Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer Bagian 2
Tahulah ia: otot-otot yang perkasa sama sekali tanpa daya menghadapi kekuasaan kepala desa. Ia menyerah tanpa rela hatinya. Sebelum pergi kepala desa masih mengancam: Kau harus menggondol kemenangan itu di Tuban Kota nanti. Kembalikan kehormatan Awis Krambil! Ia hanya bisa mendeham menerima paksaan kepala desa, dan ia harus menggondol kemenangan.
0o-dw-o0 Galeng sedang menimba sumur asrama waktu didengarnya teguran seseorang: Ia menengok. Orang itu ternyata penantangnya dari desa lain, dikenal bernama Boris. Nama lengkapnya Borisrawa, seorang pengejek yang tajam menyayat kata-katanya.
Galeng meletakkan timba dan menghampirinya. Dalam segala ukuran Boris kalah daripadanya, namun semangatnya untuk menang memancar kemilau pada matanya.
Kang Galeng, katanya lagi. Kau datang lagi ke Tuban Kota tahun ini.
Kau juga, Boris. Boris milirik tajam, bibirnya tertarik kejang mengejek: Kau datang untuk menang" Atau untuk kehilangan Idayu"
Darah Galeng tersirap. Sekarang jelas padanya arti sindiran-sindiran selama dalam perjalanan dan memuncak dalam asrama ini.
Dua masalahnya belum lagi terpecahkan: menang dan lepas dari hukuman Sang Adipati. Sekarang gelombang sindiran tentang kehilangan Idayu. Siapa bakal mampu merampas kekasih daripadanya kalau bukan punggawa" Ia masih dapat mengingat kebencian Rama Cluring terhadap para punggawa kebencian yang bukan tanpa alasan. Dan pesan kepala desa dan anggota-anggota majelisnya untuk turun lagi ke gelanggang perlombaan. Ia masih dapat mengingat waktu Idayu menolak, dan rapat desa diadakan dengan terburu-buru. Ia pun masih dapat mengingat penutupan perlombaan tahun lalu: semua gadis perbatasan diperintahkan menari di pendopo kadipaten. Tak ada penduduk desa diperkenankan hadir. Dan kemudian desasdesus ini mata Sang Adipati tak lepas-lepas dari gadisnya, Idayu.
Idayu, Kang rupanya kau sudah relakan dia, tetaknya.
Galeng mencoba tersenyum. Sumbang. Satu dugaan telah mendorongnya ke pojok: bukan salah seorang dari para punggawa itu, tapi Sang Adipati sendiri bakal merampas kekasihnya.
Betapa indahnya kehidupan di desa sendiri, ya Kang" Boris masih juga mencoba membakar dan menganiaya hatinya.
Ya, jawabnya hambar. Sebelum kepergian terakhir ke Tuban ia selalu merasa bangga melihat pandang pria yang memberahikan kekasihnya, pandang wanita yang mengagumi dan mencemburui. Seorang pun takkan bakal mampu merampas kekasihnya selama otot-otot dan kecekatannya masih dapat diandalkannya. Sekarang ia tersedar. kaum punggawa, terutama Sang Adipati sendiri bukan sekedar gumpalan otot perkasa dan kecekatan menggunakannya. Jauh lebih dari itu: kekuasaan atas hidup dan mati.
Mengapa kau diam saja, kang" Marah barangkali" Begitu dilihatnya Galeng menjatuhkan pandang ke tanah basah berbatuan segera ia meneruskan: Tak ada guna marah Kang, percuma. Barangkali hanya aku yang berani menyatakan ini terang-terangan padamu. Sekiranya kau marah, itu pun beralasan. Aku memang penantangmu. Hadapi aku nanti di gelanggang. Jangan di sumur sini.
Di luar dugaan Boris, Galeng tersenyum. Giginya kemudian muncul, nampak dan gemerlapan putih.
Gigimu masih putih, Kang. Apa akan tetap kau biarkan putih seperti itu"
Gigimu pun masih putih, Boris. Kapan kau hitamkan" Bagiku tidak soal. Tiba-tiba ia menetak lagi: Aku tidak mengharapkan perawan atau jandanya Idayu, Kang. Kalau dia lepas dari tanganmu, apa gigimu akan tetap putih juga"
Galeng meninggalkan sumur dengan kesakitan dalam hatinya. Sekali ini kemarahan memang membuncah. Dan ia tak ingin terjadi perkelahian. Apa lagi ia tahu Boris sengaja hendak mengganggunya. Ia tak jadi menimba, masuk ke dalam asrama, hendak berdamai dengan hati sendiri. Tapi kembali ancaman kepala desa memasuki ingatannya. Kalau dia libatkan diriku pada Rama CIuring, tentu juga Idayu. Dia dan majelisnya telah giring kami ke Tuban Kota, ke hadapan Sang Adipati sendiri.
Setiap orang tahu akibat gugatan terhadap punggawa, terhadap Sang Adipati, terhadap seorang raja. Hukuman. Mati. Tak ada tawaran lain. Tapi Rama CIuring tidak keliru, dia .benar, mereka tak pernah berbuat sesuatu untuk kawula; segala tingkah laku mereka tak boleh disalahkan, sekalipun hanya dengan kata-kata. Aku dan Idayu akan ditindak. Tidak sekarang, pastilah nanti sehabis perlombaan. Ia pun tahu betul: ada aturan yang membebaskan setiap peserta perlombaan yang diasramakan dari segala tuntutan.
Maka aku dan Idayu harus menang. Harus! Kemenangan saja yang barangkali dapat melepaskan kami berdua dari hukuman. Bebas! Bebas! Mungkin aku bisa bebas, tapi Idayu" Mungkinkah dia bisa balik ke Awis Krambil bersama denganku" Betapa bakal sunyi hidup ini tanpa Idayu, tanpa dia, tanpa tawa tanpa candanya. Dan apa pula arti duka-cita seorang anak desa seperti kami bagi seorang Adipati yang berkuasa atas hidup dan mati& ." 0o-dw-o0
Idayu sedang masak waktu mendengar berita itu: Galeng bingung! Galeng bimbang! Dia akan kalah di gelanggang nanti. Dia akan kehilangan dua: kejuaraan dan Idayu. Kalau dia menang, dia akan kehilangan satu: Idayu saja, kau saja. Dia tetap akan kehilangan.
Teka-teki yang buruk, Idayu menanggapi dan belum begitu menyedari duduk-perkara.
Bukan teka-teki. Kau sendiri lebih tahu dari aku. Apa maksudmu sesungguhnya" ia tinggalkan periuk dan mendekati teman masaknya.
Maksudku, Idayu. Di desamu sana, semua orang melihat betapa indah dan bersinar kulitmu, agung kalau sudah menari, memikat, tinggi semampai seperti puncak gunung kapur. Di sini orang melihat kau hanya pada wajahmu. Tidak kurang tertarik. Teman masak itu mendekatkan bibir pada kuping Idayu: Kau akan tinggal di keputrian, Idayu.
Idayu membeliak. Centong pada tangannya luruh ke tanah. Wajah temannya tak nampak olehnya. Sebagai gantinya muncul kepala desa yang berkumis jarang dan kata-katanya yang lembut, manis dan membujuk: Kecakapan dan kecantikanmu, Idayu, akan membantu kau mencapai segala yang jadi impianmu. Dan semua orang menilainya sebagai cantik dan tanpa tandingan dalam menari. Juga semua orang tahu harga kecantikan dalam percaturan kekuasaan, di desa ataupun kota.
Ya, Idayu, pemenang tunggal akhir-akhirnya Gusti Adipati juga. Tidak lain dari kau sendiri yang lebih mengerti. Sampai sekarang kabarnya Awis Krambil belum juga mendapat tambahan Raden Bambang, belum ada lagi Nyi Ayu& .
Idayu menarik ke dua-dua lengannya jadi siku-siku, mengejang jari-jarinya pada pipi, mencengkeram udara kosong. Matanya berpendaran pada langit-langit dapur, hitam diselaputi jelaga tipis.
Temannya memungut centong dan mencucinya dalam jambang air, kemudian membetulkan letak kayu bakar. Tak ada pilihan lain bagimu, Idayu, katanya lagi sambil melewatinya.
Dalam mata batin Idayu kini terpampang dirinya sendiri, la mengerti betul kata-kata temannya itu. Dan ia diam. Satu doa kesejahteraan membubung dari dalam hatinya, mencari para dewa yang masih punya persediaan kemurahan& .
Asrama itu sendiri terletak di tentang alun-alun, tak seberapa jauh dari gedung kadipaten.
Di luar asrama orang-orang terus juga menggerombol dengan harapan pintu pagar sekali-sekali dibuka dan dapatlah pandang dilemparkan ke dalam.
Hari semakin gelap. Beduk mesjid Kota dan mesjid pelabuhan telah bertalu-talu. Di sela desau dan deru ombak yang mendesak daratan terdengar azan bilal.
Di depan asrama orang semakin banyak datang. Hampir pada setiap kepala mereka hidup satu gambaran: Idayu yang sedang menari pada perlombaan tahun yang lalu. Lebih dari itu: sedang tersenyum pada si pemilik hati masing-masing, senyum seorang bidadari pujaan. Idayu! Idayu! Hati mereka berseru-seru, berbisik-bisik, menggonggong dan melolong seperti anjing di musim kawin. Dan setiap orang di antaranya punya harapan: seorang dewa pemurah akan mengkaruniakan gadis perbatasan itu pada dirinya.
Dan malam itu setelah mengikuti pelajaran tatakrama kerajaan bagaimana harus berlaku di hadapan para punggawa, terutama Sang Adipati sendiri, semua calon petanding menuju ke bangsal ketiduran masing-masing. Kelelahan berlatih dan bekerja membikin mereka terlalu rindu pada bantal.
Idayu masuk ke bangsal wanita. Damarsewu pendek menerangi semua pojokan. Tanpa bicara ia rebahkan tubuhnya di antara kawan-kawannya wanita. Dan ia masih dapat menangkap sindiran dari sana-sini.
Siapa seminggu kemudian akan memasuki keputrian" dan tawa terkikik-kikik menyusul berpantulan dari bibir ke bibir.
Idayu diam saja dan hanya dapat berdoa. Ia rasakan duka-cita yang sedang menerjang kekasihnya. Dan kekasih yang dempal kuat itu muncul dalam perasaannya seperti seorang bayi seminggu yang membutuhkan perawatannya. Dan ia tak dapat memberikannya.
Tanpa disadarinya matanya telah melepas mutiaramutiara, berkilauan tertimpa sinar damarsewu. Segala keindahan masa kemarin serasa akan bubar-buyar dari angan-angan kekasihnya. Yang tertinggal akan hanya sampahnya yang berhamburan tak menentu.
Seorang demi seorang telah mulai tertidur. Akhirnya tenang. Deburan laut terdengar semakin nyata dan semakin nyata. Kadang berlomba dengan desah angin yang merobosi sirap.
Sampai dengan kemarin ia masih terbiasa membayangkan sebuah pondok bambu beratap ilalang, berdiri sederhana di pinggir hutan. Galeng sendiri yang mengusulkan pendirian pondok itu. Dan mereka berdua akan membuka hutan di pinggiran desa itu, dan membuka huma seluas-luasnya untuk gogo dan palawija. Ayam tak perlu banyak/ kekasihnya menyarani, kecuali kalau hutan itu sudah terbuka luas. Tiga ekor induk dan seekor jago sudah cukup untuk permulaan. Dan sepasang anjing yang cerdas. Kelak atap ilalang akan kuganti dengan injuk. Sudah aku ketahui ada daerah enau. Aku sudah temukan daerah enau, Dayu! Kita akan bikin gula dan tuak sebanyak-banyaknya!
Ia simpan gambaran itu sebagai suatu yang terlalu mahal sekarang ini.
Kemudian Sang Adipati muncul dalam mata batinnya, bertolak pinggang, semua rambutnya telah putih, tegap, gagah, dan Galeng dihalau dari hadapannya. Kekasihnya itu merangkak pergi bersama dengan impian dan kesakitan sendiri. Dirinya sendiri tidak dapat berbuat apa-apa. Sudah terlalu banyak cerita tentang raja yang menghendaki perawan cantik dan menikam kekasih perawan dengan tangan dan keris sendiri. Ah, Galeng, Kang Galeng! Bahkan kekasihnya itu tak berani menengok untuk memandangi buat terakhir kali.
Tiba-tiba ia tersedan pelan, sangat pelan. Apa pula arti air mata bagi Sang Adipati" Sedang nyawa orang pun miliknya" Ia tahu, di tangan Sang Adipati tak ada orang boleh menyentuh dirinya, Galeng tidak, orangtuanya sendiri pun tidak. Ia menggeragap bangun. Seorang bocah lelaki, berumur empat belasan, mendadak telah berdiri di hadapannya dan menyentuh dirinya. Telunjuknya, yang bercincin mas, terpasang pada bibir ia memberi isyarat agar tak ada sesuatu bunyi. Ia pandangi anak itu dari balik selaputan air mata. Masih dilihatnya bocah itu berpakaian ningrat. Gelang mas menghiasi lengan. Destarnya saja menyangkal keningratannya, karena ujung-ujung pengikatnya terkanji kaku. Ikat pinggangnya dari kulit, lebar, berkilauan dengan hiasan perak.
Dengan sikap rahasia si bocah menyerahkan secarik lontar.
Dan sebelum Idayu sempat bertanya ia telah keluar dari bangsal wanita.
Gadis Awis Krambil itu melangkah ke sebuah damarsewu dan membacanya: Idayu, kekasih si Kakang. Jangan kaget karena datangnya lontar ini. Di luar sana malam, Idayu, tetapi dalam hatiku kekuatiran yang merajalela. Kalau nanti, Idayu, kekasih si Kakang, menang atau kalah dalam pertandingan, tahu-tahu Gusti Adipati menghendaki dirimu& . Idayu, pujaan si Kakang, bagaimana akan jadinya"
Perawan perbatasan itu menghela nafas panjang. Lontar itu diciumnya, kemudian ia gulung kecil, ia tekuk. Ia lepaskan subang kiri dari kuping dan membuka cepuknya. Gulungan kecil lontar itu dimasukkan ke dalamnya subang itu dikenakannya kembali. Ia merangkak ke ambin dan turun lagi mengambil kantong tipis dari anyaman bambu. Dari dalamnya ia keluarkan selembar lontar dan sepotong besi menggurit. Dengan penggurit itu ia mulai menulis. Setelah selesai disekanya dengan jelaga pelita dan muncul tulisannya.
Si bocah menongolkan kepala di pintu. Idayu menyerahkan lontar balasan.
Damarsewu tetap menyala. Menurut aturan asrama, lampu harus tetap menyala dari surya tenggelam sampai terbit& .
Gerombolan orang di luar asrama sudah lama bubar dengan menyemaikan harapan untuk hari esok.
Dalam bangsal pria, si bocah Pada menyerahkan lontar balasan pada Galeng. Juara gulat tahun lalu itu tanpa sabarnya segera membacanya.
Kakang Galeng, kakang si adik. Memang semua orang sudah bicara. Semua orang sudah tahu, Kang. Apa kau dan aku bisa perbuat, Kang" Gusti Adipati tak dapat kita hadapi. Semoga yang ini tidak akan terjadi. Kelak kau akan terpilih jadi kepala desa, Kang, kepala desa Awis Krambil. Aku akan jadi si embok lurah, ya Kang" Jangan pikirkan yang lain-lain kecuali pertandingan. Jangan malukan aku dengan kekalahan. Hyang Widhi mengabulkan, Kang. Galeng menyorong lontar itu pada api damarsewu, terbakar, jadi abu. Ia pandangi Pada yang masih berdiri di sampingnya. Juara gulat itu mengangguk, dan bocah itu pergi menghindar, meneruskan kewajibannya meronda ke sekeliling asrama.
Bocah itu lebih suka berada di bangsal wanita. Ke sana pula ia pergi. Baru dua tiga langkah ia masuk terdengar canang bertalu tiada hentinya. Ia berhenti dan mendengarkan. Kemudian terjadi yang diduganya: keributan terbit di dalam bangsal itu. Cepat-cepat ia masuk ke ruangan tidur. Para penghuni telah terbangun semua, bertanya satu pada yang lain: bunyi canang tak pernah masuk dalam acara.
Pada berdiri tegak. Mata terarah pada Idayu yang juga berdiri bertanya-tanya. Ia angkat lengan, memberi isyarat agar semua tenang kembali. Lengannya yang bergelang mas diangkatnya semakin tinggi untuk memamerkan perhiasannya.
Para mbokayu calon juara! katanya lantang tanpa ragu-ragu, seperti pembesar berpengalaman, jangan kaget jangan terkejut, jangan gaduh, jangan ribut. Canang itu memang belum ada pada tahun yang lalu. Apalagi di malam hari seperti ini. Aturan baru, para mbokayu calon juara! Artinya, para mbokayu calon juara, pada malam ini kelihatan datangnya kapal asing akan memasuki pelabuhan.
Mengapa dipukul terus seperti panggilan perang" seseorang bertanya.
Tidak ada perang. Tidak ada kerusuhan. Pertama-tama sebagai pemberitahuan pada para pedagang pelabuhan supaya siap-siap dengan barang dagangannya. Kedua untuk membangunkan para pekerja pelabuhan. Dan yang terpenting, para mbokayu calon juara: warta itu tertuju pada kadipaten, bukan pada asrama ini!
Taluan canang itu lebih mirip dengan panggilan perang. seseorang membantah.
Kalau betul ada kapal asing datang, tentulah kapal Demak.
Demak" Demak menyerbu dari laut"
Tidak. Percayalah pada Pada ini. Tidurlah lagi semua mbokayu calon juara.
Gadis-gadis itu terlampau mudah diyakinkan dengan gerak gelang dan cincin Pada. Mereka kembali merangkak ke ambinnya masing-masing dan meneruskan tidurnya. Idayu justru mendekati Pada.
Tidur, mbokayu. Kau begitu pucat. Beberapa hari lagi pertandingan dimulai, tegur Pada sebagai pejabat.
Jangan katakan pada siapa pun tentang lontar tadi, bisik gadis perbatasan itu tanpa mengindahkan teguran.
Apakah ada nampak olehmu Pada ini tak dapat dipercaya" si bocah berbisik kembali.
Percintaan memang dilarang di sini mbokayu. Bukannya aku tidak percaya. Kalau sampai terdengar ke sana& . Idayu menuding ke arah kadipaten, apa bakal"
Apa bakal jadinya" ia mencibir,
Mbokayu celaka, Kang Galeng celaka. Aku lebih celaka lagi. Tentang yang sama itu bukankah Mbokayu sendiri yang tinggal pilih" Kang Galeng sendiri bisa apa" Memilih seorang di antara dua tidaklah sulit. Bukankah semua orang sudah tahu soal Mbokayu dan Kang Galeng, dan soal Mbokayu dengan yang sana"
Kalau bicara semaumu sendiri, Pada. Tak ada terniat dalam hatimu untuk membantu aku dan Kakang"
Untuk pertama kali dalam asrama gadis itu melihat mata si bocah, yang beberapa tahun lebih muda daripadanya itu, menyala-nyala memberahikannya.
Tak ada orang bisa membantu, bisiknya berwibawa. Hanya Mbokayu sendiri yang bisa menentukan, dan semua akan selesai. Bukankah Mbokayu seorang wanita di negeri sendiri"
Kau benar, Pada, ia mengalah setelah mengherani kebijaksanaannya. Akhir-akhirnya aku bukan satu-satunya yang pernah menghadapi soal seperti ini. Si Mira dulu lebih suka menyobek perutnya. Si Dama lari ke negeri Atas Angin dengan Parta. Tapi memang tidak semudah itu, Pada. Kau harus membantu.
Kalau kau sudah memutuskan, tentu mudah untuk membantu.
Sudah, tidurlah, Mbokayu calon juara. Makin banyak melanggar aturan makin tidak baik, dan ia pergi. Si lancang mulut itu ke luar dari ruang tidur.
0o-dw-o0 Pagi itu di ruangan latihan gulat tak ada seorang pun berlatih. Para calon petanding dan pengawasnya pada duduk-duduk di atas tikar menghadapi sebuah meja rendah panjang yang belum lagi berisi sarapan. Mereka sedang memikirkan sesuatu. Tubuh mereka yang dipenuhi oleh gumpalan otot kuat sejak leher sampai betis seakan bongkahan batu-batuan gunung yang terhempas di pinggir jalan.
Kongso Dalbi! seseorang menyebut nama dengan dihembuskan.
Kongso seperti nama orang sebelah barat sana. Barangkali dia punya darah Jawa dari sebelah sana.
Galeng diam-diam mendengarkan untuk mengetahui duduk perkara.
Dia bukan Jawa. Juga bukan turunan Jawa. Keling pun tidak. Kata orang kulitnya putih, rambutnya sama hitamnya dengan kita. Badannya tidak lebih dempal, tidak lebih tinggi, juga tidak lebih besar daripada kita.
Jadi siapa Kongso Dalbi" akhirnya Galeng bertanya juga.
Dasar tolol perbatasan, kau, juara tahun lalu. Apa guna ototmu kalau tak pernah dengar nama Kongso Dalbi" Dasar tolol perbatasan! Hanya Idayu saja tahu, itu pun bakal tak kau ketahui juga. Untuk selama-lamanya.
Husy! pengawas mendiamkan. Kau, Galeng wajib tahunama itu. Memang tidak patut tidak mengetahuinya. Kongso Dalbi& orang Peranggi. Peranggi pun kau tidak tahu barangkali"
Galeng menggeleng dan Boris mentertawakannya. Peranggi, pengawas mengulangi. Ayoh, kalian, siapa tahu tentang negeri Peranggi" Ayoh katakan siapa yang tahu.
Tak ada yang menjawab. Boris pun tidak Di mana negeri Peranggi, Pengawas"
Aku tak segagah tidak sedempal kalian. Rasanya sudah sepatutnya kalau aku pun tidak tahu.
Jadi apa sedang kita bicarakan ini" Petai hampa" Ya, Boris" Petai hampa" Galeng bertanya.
Tidak, jawab Boris gagah, ketahuilah, calon bekas juara, bahwasanya ada negeri di Atas Angin yang telah jatuh di tangan Peranggi. Sebuah negeri bandar. Goa namanya. Bandar itu sekarang dipergunakan jadi pangkalan kapal-kapalnya. Tak ada yang bisa mengalahkan kapaikapai mereka. Bagaimana bisa kalau mereka sudah bubar sebelum mencoba" Tapi kau jangan coba-coba, Kang Galeng. Di darat mungkin orang-orang Peranggi akan jadi pisang goreng di tanganmu, kau kemah-kemah, kau banting. Di laut. Kang, kau hanya agar-agar belaka di tangan mereka.
Betul, Galeng, pengawas membenarkan. Hanya agaragar. Kau tak bakal bisa mendekat. Hanya mendekat! Tangan mereka terlalu panjang. Mereka bisa lemparkan bola-bola besi berapi padamu, sebesar sukun! Coba, sebesar sukun! Dan kau, Boris, perhatikan mulutmu. Anak perbatasan juga punya kehormatan dan harga diri. Jangan suka mengejek tidak sepatutnya.
Biar, pengawas, daripada kalah untuk kedua kalinya di gelanggang ada baiknya dia diberi kemenangan di luar gelanggang, Galeng melepaskan anak panahnya. Biar dia bebas menggetarkan bibirnya sebelum lehernya patah.
Husy, cegah pengawas. Kau pun sama saja, Galeng, uh. Kalian datang kemari untuk jadi petanding atau pembunuh" PUH! Kalian pulang ke desa masing-masing untuk membawa keharuman, bukan berita kengerian. Jangan kalian lupa.
Betul, pengawas, betul sekali. Dan Kang Galeng, kata Boris, akan pulang, mungkin juga dengan membawa keharuman, mungkin juga tidak. Yang jelas dia akan pulang lenggang-kangkung tak lagi bergandengan dengan seperti datangnya. Percaya sajalah. Sebagaimana surya terbit pada hari ini& .
Tiba-tiba percakapan mereka terputus oleh bunyi canang bertalu. Tak lama kemudian canang kadipaten menyahuti bertalu pula. Dan apa pun yang sedang terjadi, menurut peraturan, yang berlatih tak diperkenankan berhenti sebelum sarapan pagi datang.
Pengawas, yang mengetahui pemuda-pemuda tani dan pekerja tak punya kekuatan sebelum sarapan, mengambil kebijaksanaan untuk mengobrol sambil menunggu. Dan justru karena canang yang ramai bersahut-sahutan pengawas tak jadi meneruskan ceritanya, bahwa kapalkapal Peranggi sudah mulai kelihatan berkeliaran melewati Singhala Dwipa.
Dari luar ruangan terdengar suara Pada berseru-seru seperti seorang pembesar Para Mbokayu dan Kakang calon juara sesuai dengan aturan, tahun ini dengarkan baik-baik. Canang dari pelabuhan berarti: nakhoda dengan atau tanpa saudagar dari kapal semalam sudah berlabuh. Sekarang sudah siap menghadap Gusti Adipati Tuban. Canang kadipaten yang menyahuti menandakan: Gusti Adipati siap dihadap. Jangan gaduh, jangan gelisah. Tidak ada apa-apa. Hanya barang siapa ingin mengintip untuk melihat iring-iringan penghadap kalau bisa mengintip tapi jangan rusakkan pagar jangan lewatkan kesempatan! Barangkali Kongso Dalbi! Pengawas menyarani. Mereka berlompatan berebut dulu meninggalkan ruangan latihan, lari ke luar gedung. Seperti dengan sendirinya baik gadis maupun perjaka mengisi pelataran depan dan bingung mencari lobang pada pagar. Mereka tak mendapatkannya. Mereka lari ke sana kemari mencari tumpukan batu atau kayu. Yang mendapatkan tangga berseri-seri dengan keunggulannya dan menebah dada dengan kemenangannya.
Melewati pagar kayu tinggi itu orang melihat alun-alun yang lengang seperti biasa pada siang atau pagi hari. Jalanjalan raya pun senyap. Sebuah iring-iringan kecil menuju ke kadipaten. Beberapa orang yang sedang lewat tidak bersimpuh menghormati iring-iringan, tetapi berhenti menonton.
Paling depan dalam iring-iringan itu berjalan Syahbandar Tuban Ishak Indrajit, yang lebih biasa disebut Rangga Ishak. Tubuhnya yang jangkung itu berjubah dan bersorban putih. Sedikit di belakangnya berjalan seorang nakhoda berbangsa Arab, berjubah dan bersorban coklat muda. Pada pergelangannya melingkar akar bahar besar. Ia berterompah seperti halnya dengan Syahbandar. Langkahnya tenang sambil membelai-belai jenggot yang sangat tebal lebat dan kepalanya selalu menunduk seakan sedang menghitung setiap batu yang dilewatinya. Di belakangnya menyusul para pemikul. Barang-barang yang dipikul selalu jadi pergunjingan. Orang mendapat kesempatan menaksir-naksir berapa dan apa macam yang bakal dipersembahkan. Dan orang bertaruh.
Canang kadipaten bertalu satu-satu, pertanda iringiringan melewati gapura kadipaten. Dan para pengintip meninggalkan tempat masing-masing dan berlarian kembali ke dalam asrama untuk mendapatkan sarapan. 0o-dw-o0
Pada siang hari berita tentang kedatangan tamu itu meniup cepat. Benar ia seorang saudagar Arab, bukan nakhoda dan hanya bisa berbahasa Arab, Syahbandar yang jadi penterjemah. Persembahannya berupa permadani terindah dari Bagdad dan Ashkhabad untuk peraduan Gusti Adipati Tuban dan untuk keputrian. Kemudian: batu-batu permata dari Arabia, Birma dan Singhala Dwipa, kain khasaa dari Benggala, sutra Tiongkok, madu Arabia yang tiada tandingan, tembikar, kertas, kasut sulaman putri-putri Mesir dan Alqur an. Lebih dari itu orang tak tahu.
Tamu itu agak aneh, kata warta yang datang meniup. Ia telah memohon diperkenankan mempersembahkan sesuatu tanpa dihadiri atau didengar oleh siapa pun. Juga tidak diperlukan penterjemah.
Jadi dia bisa Melayu! seseorang memberi komentar. Mungkin juga pintar Jawa, yang lain menambahi. Persoalan baru itu tidak menarik orang.
Di dalam ruangan latihan Galeng berdiri di dekat sebuah meja rendah panjang yang kini telah ditaruhi cobek-cobek tanah berisi telur dan buah-buahan, penganan serta cawan minuman dan madu lebah. Para calon petanding pada memperhatikan gelang dan cincin mas Pada: Bocah yang punya gaya pembesar itu cekatan dalam mengatur letak makanan dan minuman: Hanya Galeng memperhatikan airmukanya.
Madu dan telor memang cukup, Pada, tegur juara gulat dari Awis Krambil itu. Tuak tidak. Tuak, Pada. Barangkali kau sendiri yang menghabiskannya. Ya, tuak! Tuak! yang lain-lain membenarkan. Tuak dilarang di sini! Pada memekik sengit dan keras, berdiri tegak menantang mata setiap orang: Ia tahu tak ada di antara pegulat-pegulat itu berani meletakkan tangan pada seorang pejabat: Dan ia seorang pejabat terpercaya dari Sang Adipati. Semestinya Kakang semua ini sudah senang dengan pelayananku. Bukankah ada juga tuak kumasukkan untuk para Kakang" Apa tak juga mencukupi layananku" Tuak dilarang, kataku.
Dulu tak begitu banyak larangan, Galeng memprotes. Memang. Kang Galeng tidak keliru: Dulu, dulu sekarang, sekarang. Daging babi pun sekarang sudah tak boleh dihidangkan di sini. Di asrama sini, juga daging anjing.
Nampaknya di Kota ini hanya larangan saja yang ada, Galeng mengancam.
Belum lagi semua aku katakan. Nanti sore akan diresmikan larangan baru: orang tak boleh lagi memahat batu. Nanti sore. Dan suaranya meningkat keras. Kalau tidak percaya, dengarkan sendiri nanti di alun-alun. Juga itu belum semua. Semua batu berukir di dalam kota harus dikumpulkan di alun-alun besok sampai lusa, sebelum perlombaan dimulai. Akan dibuang ke laut!
Apa salahnya batu-batu itu"
Salahnya, karena mereka berukir! jawab Pada ketus. Kata orang, Gusti Adipati Tuban merasa segan terhadap putranya, Raden Said, yang sudah jadi pandita besar Islam, jadi guru pembicara di mana-mana, jadi Ulama, kata orang. Dan batu berukir dalam peraturan Islam, katanya, barangbarang jahat.
Mereka tak menyedari, Boris dengan diam-diam mendengarkan dan mendekati mereka: Matanya menyalanyala berang. Tiba-tiba ditariknya meja rendah panjang itu dan ditekuk-lipatnya dengan kedua belah tangan sampai gemertak patah. Cawan-cawan dan cobek beserta isinya jatuh pecah berhamburan di lantai. Dengan mata membelalak ia lemparan meja remuk itu pada dinding.
Orang terkesimak. Boris jadi pusat perhatian. Pegulat penantang itu berdiri di tengah-tengah ruangan. Seluruh ototnya di dada, perut, pinggul dan punggung bermunculan tegang seakan bersiap hendak bertarung. Kedua belah tangannya kini terangkat sampai bahu, juga penuh bergumpalan otot. Lututnya ditariknya jadi siku-siku, siap hendak menerkam siapa saja yang datang. Tak ada orang datang menyerang. Yang ada justru sesuatu yang tak nampak: kekuasaan Sang Adipati. Kekuasaan mutlak seorang raja yang tak dapat ditawar tak dapat diketeng, utuh bulat tiada retak tiada rekah.
Mengapa marah, Boris" Pada mencoba meredakan. Ketegangan pada wajah dan otot Boris lambat-lambat jadi kendur. Suatu kemurungan menggantikannya. Ia menunduk dalam. Tanpa memandang pada siapa pun keluar kata-kata sendu: Memahat batu dilarang. Lantas harus kerja apa aku"
Itu baru warta, Boris, kata Pada lunak.
Sejak kecil, Boris mengadu dengan suara tetap sendu, bapakku mengajari aku memahat. Keluarga kami hidup dari pahatan, turun-temurun. Mengapa orang tak boleh memahat lagi" Mengapa" Apa jahatnya batu-batu berukir itu"
Galeng tak memperhatikan kata-kata itu. Ia terheranheran melihat kekuatan penantangnya. Tahun yang lalu ia belum sekuat itu. Sungguh lawan bertanding yang bisa mematahkan lehernya.
Boris berjalan mondar-mandir dalam berangnya. Teduh! Teduh! kata Galeng menghibur. Pada belum lagi selesai dengan wartanya. Teruskan, Pada. Bagaimana wajah dunia tanpa gapura" Boris mengaum. Dewa-dewa pun akan enggan turun ke bumi. Hancurkanlah gapura kahyangan, dan para dewa akan pindah ke tempat lain Ia tutup mukanya dengan kedua belah tangan seperti sedang memanggil-manggil kekuatan dari luar dirinya. Suaranya keluar lagi, seperti tangis bayi, tanpa daya: Pindah entah ke mana para dewa itu. Celakalah manusia bila para dewa tak mau tahu lagi. Apakah Gusti Adipati sudah bertekad melawan para dewa"
Lambat-laun Galeng mengerti, pernahat penantangnya sama halnya dengan dirinya: sedang menghadapi kekuasaan yang tak dapat dilawan. Dirinya dan Boris tak ubahnya seperti bayi tanpa daya. Ia jadi iba terhadapnya, juga terhadap diri sendiri. Ia rasai kesamaan nasib. Ia dekati Boris, dan: Teduh, Boris. Teruskan, Pada, yang jelas.
Begitulah kata warta, Pada meneruskan dengan hatihati matanya tertuju pada Boris. Semua bangunan batu di atas wilayah Kota, gapura, arca, pagoda, kuil, candi, akan dibongkar. Setiap batu berukir telah dijatuhi hukum buang ke laut! Tinggal hanya pengumumannya.
Biadab! Disambar petirlah dia! Boris meraung, seakan batu-batu itu bagian dari dirinya sendiri. Dia hendak cekik semua pernahat dan semua dewa di kahyangan. Dikutuk dia oleh Batara Kala! Tiba-tiba suaranya turun menghibahiba: Apa lagi artinya pengabdian" Biadab! Aku pergi! Jangan dicari. Tak perlu dicari! Meraung: Biadaaaaab!
Ia lari keluar ruangan, langsung menuju ke pelataran depan. Diangkatnya tangga dan dengannya melangkahi pagar papan kayu.
Dari balik pagar orang berseru-seru: Lari dari asrama! Lari!
Siapa" Siapa" Pegulat, ya, pegulat" Boriiiiiis! Mau ke mana kau" Kembali!
Sebentar kemudian seruan-seruan terdengar menggelombang dan bergumul jadi satu, tak dapat ditangkap maksudnya. Suatu pertanda orang sudah mulai menggerombol lagi di depan asrama.
Mereka yang tertinggal masih juga termangu-mangu. Gadis-gadis mulai menyerbu ke dalam ruangan latihan gulat.
Gila mendadak! jawab Pengawas. Biar saja dia pergi. Seperti telah ada persetujuan bathin. Pergi. Itu lebih baik.
Galeng melemparkan pandang pada tangga. Ia juga ingin bebas, lari seperti Boris. Dan itu tidak mungkin. Hatinya terpaut pada Idayu& .
Keadaan tenang sampai malam turun pelahan-lahan langit dan menyelebungi bumi.
Melalui pintu pagar samping, dengan iringan beberapa orang pengawal bertombak tanpa perisai, Sang Adipati memasuki asrama. Ia berjalan langsung menuju ke bangsal wanita.
Damarsewu yang memancar di setiap pojokan tidak mengacuhkan kedatangannya. Para calon petanding pada bergolek-golek di atas ambin sambil mengobrol. Melihat Sang Adipati masuk semua melompat turun, bersimpuh di lantai dan mengangkat sembah.
Idayu! Mana Idayu! panggil Sang Adipati. Mana Idayu Awis Krambil"
Alis, kumis, jenggot dan cambangnya yang putih menyala tertimpa sinar damarsewu.
Idayu, kekasih Tuban! Mendekat sini, kau, Gadis! Sesosok tubuh merangkak beringsut-ingsut menghampiri kaki Sang Adipati. Tubuhnya menggigil seperti kucing habis tercebur dalam comberan. Dengan tangan menggigil ia mengangkat sembah untuk ke sekian kali, kemudian bersujud mencium kaki Sang Adipati sebagaimana diajarkan oleh tatakrama.
Bawalah keharuman dari Tuban, semua kalian! Kau juga, Idayu, kekasih Tuban. Jangan mengecewakan. Tidurlah kalian pada waktu yang sudah ditentukan. Beberapa hari lagi kau dan kalian akan bertanding. Dan kau, Idayu, kau bertekad jadi juara lagi tahun ini" Juara tiga kali berturut"
Inilah patik, Gusti Adipati Tuban, jawabnya gemetar. Rupanya sudah cukup dewasa kau sekarang. Belum lagi cukupkah jadi juara dua kali berturut"
Ampun, Gusti Adipati Tuban. Patik sekedar menjalankan putusan rapat desa, suaranya masih juga gemetar.
Kalau sudah jadi putusan rapat desa, tak dapatlah orang menolaknya"
Ampun, Gusti Adipati Tuban, sesembahan patik. Patik takkan sanggup hidup di luar desa patik, Gusti. Iagi pula apalah buruknya menjalankan keputusan rapat desa, Gusti"
Sang Adipati tertawa senang.
Kata-katamu sudah seperti orang kota. Gadis. Bagus. Bukankah Tuban Kota lebih baik daripada desamu" Pasti lambat-laun kau akan lebih suka tinggal di sini. Menurut tatakrama yang diajarkan, apa pun yang telah dititahkan oleh Sang Adipati, orang tak boleh membantah. Orang hanya mengiyakan sambil mengangkat sembah. Mendapat teguran saja dari seorang raja sama halnya dengan menerima karunia dari para dewa.
Idayu bergulat dengan kata hatinya sendiri. Bumi yang ditundukinya menjadi pengap. Tak diketahuinya kaki penguasa sudah tak ada di hadapannya.
Sang Adipati telah meninggalkan asrama dan memasuki kegelapan malam.
0o-dw-o0 Melalui jalan belakang Sang Adipati menuju ke sebuah taman di belakang kadipaten yang terletak di tentang kandang gajah pribadi Duduk ia di sana seorang diri dalam kerumunan nyamuk.
Para pengawal bertugur di kejauhan Dan inilah waktu untuk menyendiri baginya. Waktu seperti ini dipergunakannya untuk mengingatingat Juga untuk merancang-rancang. Juga sekarang ini.
Nama saudagar Arab yang memohon menghadap sendiri itu tak juga dapat diingatnya. Ia mencoba dan mencoba. Tanpa hasil. Nama itu terlalu sulit, terlalu panjang. Di antara deretan nama itu ia pun tak tahu, mana gelar mana tidak. Bahasa Melayunya lancar, indah dan paut. Alqur anul Karim yang patik persembahkan, ya Gusti, adalah dari Mufti Besar Hayderabad, dengan harapan sudi apalah kiranya Gusti Adipati Tuban daiam berpegangan pada kitab suci ini serta memikirkan ummat Islam di Atas Angin sana. Tuban dimasyhurkan di Atas Angin sebagai kerajaan terkuat di Jawa setelah Majapahit. Raja-raja Islam mempunyai harapan besar Gusti Adipati Tuban melimpahkan kesudian yang tiada keringnya. Ya, Gusti, armada Peranggi tak henti-hentinya berusaha menguasai dan menaklukkan kerajaan-kerajaan sekepercayaan sepanjang pantai. Bila kekuatan mereka tak dibendung bersamasama, ya Allah, pastilah Allah jua yang akan menghukum semua kita, karena tak berbuat sesuatu terhadap angkara si kafir. Bila mereka tidak dibendung, ya Gusti Adipati Tuban, entah kapan, jalan-jalan pelayaran akan dikuasai semua olehnya. Mereka takkan berhenti sekalipun sudah menguasai semua bandar. Bila mereka sampai ke Jawa, matilah sudah semua pelayaran, matilah perdagangan, matilah bandar-bandar. Yang tinggal hanya Peranggi dengan angkaranya. Seluruh ummat Islam bisa kehilangan perlindungan, kekafiran akan menang. Mereka akan menumpas ajaran Rasulullah s.a.w.
Sang Adipati masih ingat setiap kata dari persembahan itu. Juga barang-barang persembahan yang berasal dari empat orang raja Atas Angin, semuanya Islam.
Dari persembahan itu ia menarik dua hal, pertama Tuban diakui juga sebagai kerajaan terkuat di Jawa, dan kedua ia dianggap sebagai raja Islam. Ia tersenyum dalam kegelapan dan mengangguk-angguk senang. Mereka tidak tahu, satu wilayah Tuban telah dirampas oleh kerajaan Islam, Demak. Dan aku tidak mengerti, bagaimana banyak aturan aku titahkan untuk membuat penyesuaian dengan Demak. Ia semakin tenggelam dalam pikirannya.
Jauh, jauh di sana, mereka sudah mengakui keislamanku. Dan karenanya mereka menuntut, berdasarkan keislamanku, agar aku ikut memikirkan dan bersumbang tangan. Ya-ya, Islam telah banyak menguntungkan kami selama ini. Tapi apakah itu sudah cukup banyak untuk mempertaruhkan Tuban dalam suatu peperangan"
Ia mengggeleng lemah. Perang tidak menguntungkan. Tidak menguntungkan! Demak masih harus diemong untuk tidak jadi binal. Jepara jatuh, tapi dalam hidupku, aku bersumpah, bukan saja Jepara akan kembali di tangan, juga seluruh Demak. Tidak dengan perang. Rempah-rempah dari Tuban takkan memasuki Jepara dan Semarang! Dan apa yang terjadi di Atas Angin sana, bukan urusan Tuban untuk mencampuri.
Kemudian ia mulai pikirkan untuk kesekian kalinya keadaan baru yang menggelombang di Atas Angin.
Keadaan baru harus dihadapi dengan persiapan baru. Bandar tetap jadi inti persoalan. Peranggi dan Ispanya pasti akan datang. Syahbandar harus seorang yang pandai melayaninya. Ishak Indrajit alias Rangga Iskak tak pandai berbahasa Peranggi dan Ispanya. Dia harus diganti. Bangsa dan kapal unggul yang digentari harus dilayani oleh seorang yang bijaksana dan tahu segala. Jelas itu bukan Rangga Iskak.
Dalam kegelapan itu terdengar ia mendengus tertawa, teringat pada persembahan Sang Patih, Bergabung dengan negeri-negeri lain, Gusti, dengan semua kerajaan Islam, bersama-sama menghancurkan Peranggi dan Ispanya. Menurut patik, ampunilah patik, ya Gusti Adipati sesembahan patik, itulah satu-satunya jalan menyelamatkan Tuban. Dan Sang Adipati bertanya, Juga dengan Demak" Sang Patih menjawab, Sementara Demak harus dilupakan, Gusti, Peranggi dan Ispanya lebih berbahaya, lebih mematikan
Sang Adipati senang mendengarkan setiap pikiran, mengangguk dan tersenyum seakan-akan menyatakan terimakasih. Tapi dengan diam-diam ia lebih suka mencari jalan sendiri. Dengan demikian baginya berdikari menjadi semacam olahraja.
Sebaliknya setiap laporan ia dengarkan sungguh-sungguh tanpa senyum tanpa tawa, tanpa terimakasih. Dari semuanya paling banyak ia ambil separoh sebagai kebenaran. Tak ada punggawa yang tulus sepenuhnya, ia berpendirian. Sebagian dari ketulusan mereka hanya bea untuk keselamatan diri dan kepunggawaannya. Malahan laporan dari para punggawa yang berasal dari rakyat kebanyakan hampir tak pernah ia gubris. Menurut pendapatnya, orang menjadi berbangsa karena justru punya kehormatan, dan rakyat kebanyakan itu bukan saja tidak punya, juga tak tahu kebenaran.
Syahbandar harus diganti, apa pun biayanya. Dan itulah keputusannya malam ini.
0o-dw-o0 Pada waktu Sang Adipati sedang mengukuhkan kebijaksanaannya dalam kegelapan taman, lain lagi yang terjadi pada diri Syahbandar Tuban, Ishak Indrajit alias Rangga Iskak
Ia sedang gelisah di kesyahbandaran.
Hari ini ia telah dijengkelkan oleh tamu yang seorang itu. Saudagar Arab! Kecuali yang berhubungan dengan agama ia seorang pembend Arab. Setiap orang Arab mengingatkannya pada abangnya yang telah jatuh sebagai Syahbandar Malaka, terpaksa merantau dan mati dalam perantauan. Kejatuhannya disebabkan oleh kelicikan seorang Arab.
Dan sekarang Abud, saudagar Arab itu, harus ia layani kebutuhannya selama tinggal di Tuban. Baru saja datang, dan ia sudah menimbulkan kecurigaan: mohon menghadap sendiri tanpa penterjemah, tanpa saksi. Ternyata ia bukan tidak bisa berbahasa Melayu!
Tadi ia telah panggil Yakub agar datang menghadap padanya. Dan sekarang ia sudah berdiri di pintu, membungkuk dan beruluk salam: Assalamu alaikum, ya Tuan Syahbandar!
Ia bergumam menjawabi dan melambaikan tangan menyuruh masuk. Ia tak pernah menyilakannya duduk. Kursi adalah benda kebesaran, juga di Tuban Kota, terutama di kesyahbandaran. Ia mengangguk memerintahkan Yakub mendekat. Kemudian: Apa yang bisa kau katakan, Yakub" tanyanya tajam dalam Melayu.
Yakub berperawakan kecil, berumur sekira dua puluh delapan menurut perhitungan bulan, tak berkumis, tak berjenggot, licin seperti muka belut. Ia tertawa. Dan tawanya selalu mengesani mengentengkan segala perkara, dan: kurangajar.
Tuan Syahbandar sendiri semestinya sudah tahu. jawabnya dalam Melayu juga. Sang Adipati sudah memerintahkan penyingkiran peninggalan Hindu. Memang orang bilang, putranya sendiri memesan itu, Tuan, Raden Said, sekarang sudah mengenakan gelar aneh Ki Aji Kalijaga. Orang Jawa memang sulit Tuan Syahbandar, maksud menggunakan gelar berbahasa Arab, tapi lidah Jawanya memang lidah kafir terkutuk: Bukankah kali itu yang dimaksudkannya Kholik"
Rangga Iskak bertanya tajam: Bukankah kau tahu bukan itu yang kutanyakan"
Yang tadi itulah, Tuan. Ada keanehan dalam pesanan itu: Klenteng dan Pecinan tidak boleh diganggu!
Sekarang Syahbandar yang tertawa. Dengan kedua belah tangan ia menepuk-nepuk dadanya sendiri, berputar membalikkan badan dan meneruskan tawanya.
Terkena sinar tiga batang lilin yang menyala pada kandil kelihatan Yakub terheran-heran.
Tuan mengetawakan Yakub" tanyanya menuduh. Apa yang lucu padamu"
Rangga Iskak tertawa di antara tawanya. Tak pernah kau nampak setolol sekarang.
Laporan Yakub salah"
Tidak. Tak pernah aku menyalahkan keteranganmu. Apa lagi yang dapat kau katakan sekarang"
Yakub memperbaiki sikapnya. Ditarik-tariknya ujungujung bajunya yang kombor putih. Ujung hidungnya yang mancung bercahaya bergemuk memantulkan sinar lilin. Nampaknya ia sedang menguasai suasana dan bersikap resmi.
Ada sesuatu yang lebih penting, bisiknya sambil mendekatkan mulutnya pada kuping Rangga Iskak. Tapi sekalipun ia sudah bersitinjak dengan kaki dan mendongakkan muka, jarak antara mulutnya dan kuping Syahbandar masih terpaut sejengkal.
Rangga Iskak menelengkan kepala ke atas, seperti seekor ayam sedang melirik pada elang di langit.
Ada sesuatu yang lebih penting, Tuan Syahbandar. Sungguh mati. Keterangan penting patut dihargai satu dinar. Sedinar saja, Tuan Syahbandar, ia menjauhkan kepala dari tuan rumah untuk dapat menatap nya dengan pandang menuntut Apa kau kira aku nenekmu sendiri, pembikin dinar" Apa kau kira satu dinar sedikit" Empat kali belayar belum tentu kau memperolehnya. Kalau keterangan itu tentang pembicaraan saudagar Abud dengan Sang Adipati, apa boleh buat. Sekarang juga kukeluarkan.
Sayang tidak, Tuan, tapi ini lebih penting dari segalagalanya.
Jangan coba-coba bohongi aku, kau, penipu. Abud, saudagar Arab itu, sama sekali tidak membawa atau mengambil barang dagangan. Pasti dia bukan saudagar, dan karenanya lebih penting dari segala-galanya.
Tidak, Tuan Syahbandar. Yang belum kukatakan ini justru yang terpenting. Satu dinar.
Syahbandar nampak ragu: Pandangnya ditebarkannya ke seluruh ruangan. Selama ini keterangan Yakub selalu benar. Dan biar bagaimanapun sedinar terlalu mahal. Ia tatap mata pewarung tuak dan ciu-arak itu, dan ia muak pada sikapnya yang kurang-ajar dan menantang. Ini sudah pemerasan, pikirnya bukan lagi minta upah. Kalau dibiarkan, dia akan menjadi-jadi.
Satu dinar tidaklah banyak untuk keterangan penting, Yakub merajuk. Bukankah aku tak perlu menunggu begini lama"
Pertahanan Rangga Iskak patah. Dengan berat hati ia keluarkan mata uang mas dari pundi-pundinya. Dilemparkannya pada orang muda yang menjijikkan itu sambil menyumpah.
Yakub menangkapnya, mengujinya di bawah lampu, tersenyum, dan memasukkannya dalam pundi-pundinya sendiri, mengikatnya dan memasukkannya ke dalam ikat pinggang di balik baju kombornya, memperbaiki letak baju itu dan menebah pinggang.
Kalau Tuan lebih sayang pada dinar yang satu ini, mungkin tahu-tahu Tuan sudah kehilangan jabatan Tuan. Husy! bentak Rangga Iskak tersinggung. Katakan Baik, Tuan, dengarkan sungguh-sungguh, dengan bisiknya Yakub meminta perhatian sambil mencoba mencari kuping tuanrumah dengan mulutnya. Pada sore hari ini juga, Tuan, Sang Adipati telah mengirimkan utusan ke Trantang. Aku sudah tahu sesungguhnya isi perintah itu: mulai besok harus sudah dipersiapkan pembikinan delapan belas cetbang baru.
Itu beritamu yang terpenting"
Betul, Tuan. Perang akan terjadi. Perwira-perwira telah mendapat perintah untuk bersiap-siap. Pemeriksaan atas anak buah sudah dimulai sejak jatuhnya perintah. Dalam berapa lama cetbang harus selesai" Tidak jelas.
Syahbandar mengawasi bibir Yakub. Tapi bibir itu sudah tak bergerak lagi, seakan setiap kata yang keluar daripadanya telah diperhitungkan harganya. Mengerti Yakub takkan bicara lagi ia mengalah. Bertanya: Adakah Sang Adipati sudah berkunjung ke asrama wanita" Ada, Tuan, baru sebentar tadi.
Ia sorong Yakub. Orang itu keluar dan hilang ke dalam kegelapan. Rangga Iskak berkecap-kecap menyesali dinarnya yang berpindah tangan. Dengan kecewa ia kunci pintu dari dalam, kemudian duduk termenung di atas bangku bantal kulit onta dan tak henti-hentinya bergumam: Penipu yang tertipu itu telah jual dagangannya padaku.
Tuhan akan kutuki kau, Yakub! Apa yang kau dapatkan dari dinar itu jadilah tuba dalam tubuhmu.
Dengan lemas ia masih juga berkecap-kecap menyesal setelah mengetahui Sang Adipati berkunjung ke rumah asrama wanita. Ia punya pedoman: Apabila Sang Adipati masih mempunyai perhatian pada wanita baru, sesuatu yang bersungguh-sungguh tidak akan mungkin keluar dari pikirannya.
Cetbang-cetbang itu pastilah bukan sesuatu yang dirahasiakan, pikirnya. Sengaja dibuat demikian rupa agar semua orang tahu, terutama saudagar Arab si Abud keparat itu diharapkannya terbawa ke Atas Angin& .
Pikiran iblis! Laknat! Pikiran licik! Tapi aku tak bisa kau tipu. Rangga Demang! Yakub bisa, tapi aku tidak. Adipati Tuban, Ishak Indrajit ini tak bisa kau tipu! Kau boleh berlagak cerdik, tapi hanya Pribumi kawulamu yang bisa percaya! Ha, dengan cetbang-cetbangmu itu sekaligus kau hendak menggertak Demak. Tapi siapa pun tahu kau lebih suka berdagang daripada berperang. Tua bangka tak tahu diri! Sekarang aku baru mengerti mengapa si Boris itu lari dari asrama. Siapa tak kenal Boris pernahat terkenal itu" Peninggalan Hindu harus disingkirkan. Si pernahat jadilah seperti Syahbandar kehilangan bandar. Ya-ya, dia lari sebagai protes. Tapi kau jangan anggap dapat mudah untuk kelabui aku, Rangga Demang! Pesan Raden Said alias Ki Aji Kalijaga itu pasti juga tidak ada. Kau hanya menghendaki dibenarkan keislamanmu. Kau tetap kafir. Tapi kau memang cerdik seperti selama ini. Runtuhnya Majapahit juga karena kecerdikanmu!
Tiba-tiba ia terdiam. Dan mengapa kelenting dan Pecinan tak boleh dirusak" Tulisan cina itu juga sama dengan Hindu, mengapa tak boleh dirusak" Ia berdiri untuk mengambil kitab catatannya. Tak jadi, dan duduk kembali. Ia mengangguk-angguk mengerti.
Pecinan Tuban Kota bersetia pada Lao Sam, yang oleh penduduk; disebut Lasem. Lasem bersetia pada Sampo Toalang, yang oleh penduduk disebut Semarang. Dan Semarang yang mendirikan kerajaan Demak untuk menjadi bentengnya terhadap Tuban.
Kau benar-benar cerdik, Rangga Demang! Anak-anakmu pada mengabdi pada Demak. Waktu Demak merampas Jepara untuk berkokok pada dunia dia tidak takut pada Tuban, semua anakmu yang di Demak diam.
Dan karena semua itu aku kehilangan satu dinar! Keparat si Yakub!
Malam itu Rangga Iskak lebih banyak menggiliri istriistrinya di kamar-kamar belakang. Namun setelah itu ia tetap sulit memicingkan mata. Dinar yang satu itu juga yang terbayang-bayang, menggelincir tanpa guna. Setelah sembahyang subuh baru ia mendapat ketenangan sedikit. Ia telah berdoa memohon rezeki yang berlimpahan
Ketenangan itu tiada lama umurnya. Beberapa bentar kemudian saudagar Abud muncul untuk minta diri.
Bagaiman sikap Tuan Syahbandar kalau musuh Islam, Peranggi dan Ispanya, menyerang Tuban" tanyanya dalam Arab.
Mana mungkin, ya Abud"
Bagaimana tidak mungkin" Goa jatuh. Dan Malabar. Mereka terus mendesak ke timur. Sedang kita bicara begini Singhala pun sudah jatuh, Abud meneruskan dalam rembang fajar di depan pintu gedung. Tuban terlalu jauh, ya Abud, jawabnya tak acuh.
Benggala pun jauh dari Peranggi. Aku hanya Syahbandar, bukan raja.
Setiap Syahbandar yang cerdik bisa lebih dari raja, katanya menyarani. Demi Allah, Tuan Syahbandar mampu mempengaruhi Sang Adipati untuk sudi bergabung dengan kerajaan-kerajaan lain, kerajaan Islam, melawan mereka. Allah memberkahi Tuan
Pembicaraan pendek itu selesai dengan kepergian Abud ke jurusan pelabuhan.
Arab, jih! Rangga Iskak meludah ke tanah. Setiap gerak, setiap omongan, setiap& semua menutupi tangannya yang merogo pundi-pundi orang.
Pandangnya tertebar ke mana-mana, menembusi halimun tipis pagi hari. Matari pun mulai terbit. Samarsamar nampak olehnya kedai tuak dan ciu-arak Yakub yang masih tutup.
Dia sedang menikmati dinarku, iblis keparat itu. Terkutuk bapaknya, terkutuk Pribumi ibunya.
Kemudian ia berjalan menuju ke menara pelabuhan dan naik. Dilihatnya penjaga-penjaga menara dua orang itu sedang tidur nyenyak. Ditebarkan pandangnya pada kapalkapal yang sedang berlabuh. Dan ia lihat Yakub sedang turun dari kapal si Abud.
Si keparat itu tentu sudah mendapat dinar lagi. Awas, kau, bedebah!
Tak dapat ia menahan amarahnya. Dipunggunginya pelabuhan. Diangkatnya kaki kanannya. Terompahnya yang tua itu membikin ia ragu-ragu. Cepat ia alahkan keraguannya. Kaki itu turun cepat menumbuk perut penjaga menara berganti-ganti.
Kafir! makinya dan turun lagi. 0o-dw-o0
4. Sayid Habibullah Al-Masawa
Armada Portugis itu berlabuh jauh, jauh, terlalu jauh dari dermaga. Matari pagi sedang mengusir halimun yang masih melembayung di seluruh Malaka. Layar kapal-kapal dan& Pribumi masih dalam keadaan tergulung.
Tiang-tiangnya menuding langit yang tebal karena halimun. Dan matari sendiri baru beberapa derajad dari permukaan bumi. Sinar-suramnya yang berpantulan pada permukaan laut berpendar-pendar lesu.
Jauh di bandar Malaka sana perahu-perahu dan kapalkapal itu masih pada tidur, berayun-ayun malas dibuai ombak. Hanya perahu-perahu nelayan kecil-kecil nampak hidup. Dan kalau pandang diangkat naik ke darat, mata akan menampak atap-atap injuk, ilalang dan sirap dari bedeng-bedeng pelabuhan. Jalanan-jalanan nampak merupakan garis tipis kuning. Hanya beberapa orang kelihatan mondar-mandir. Semua pria.
Lubang-lubang bulat pada lambung kapal-kapal Portugis mulai terbuka. Moncong-moncong meriam mulai bermunculan dari sebaliknya, Terdengar kemudian yang banyak diceritakan orang: pekik bersama Mariam. Meriam meriam bergelegaran. Api bersemburan dari moncongmoncongnya. Peluru besi beterbangan, membentuk kerucut udara dengan bola-bola besi sebagai matanya. Semua menuju ke bandar Malaka.
Atap injuk, ilalang dan sirap di bandar Malaka sana mulai terbakar. Api menjalar, berdansa dengan angin yang mulai datang bertiup. Asap hitam berkepulan seperti cendawan raksasa, dengan beratnya naik pelahan ke atas, membikin kelam udara yang kelabu.
Ketenangan pagi itu lenyap dalam dentuman meriam, api, asap dan kebalauan. Perang Salib dari beberapa abad yang lalu kini tersasarkan pada kesultanan Malaka.
Perahu-perahu nelayan yang sedang pulang ke pangkalan berhamburan lari tak jadi menuju ke bandar. Perahu dan kapal lain yang tertidur hangat dalam belaian matari pagi, nyenyak dalam ayunan ombak, mulai menggeragap, menaikkan layar masing-masing, berhamburan mencoba melarikan diri dan keselamatan.
Bola-bola besi dari kapal Portugis tak membiarkan mereka lolos. Dalam hanya beberapa bentar perahu dan kapal kayu itu pun pada pecah atau menungging, hilang dari pengelihatan, ditelan laut.
Kapal-kapal dari armada kebanggaan Malaka masih juga belum bergerak, seakan masih terbuai dalam mimpi indah. Tak kurang dari sebelas jumlahnya. Konon kabamya sebagian besar dari kesatuan ini dulu biasa dipimpin oleh Laksamana Hang Tuah. Dan tak lebih dari tiga puluh bentar, armada kebanggaan itu pun seluruhnya tenggelam ke dasar laut.
Kebakaran sedang menjadi-jadi di darat sana. Dari laut nampak jalanan-jalanan pasir kuning pelabuhan mulai hidup dengan orang-orang yang bcrlarian kebingungan. Di antara mereka nampak juga wanita yang menarik-narik atau menggendong anak. Mereka lari meninggalkan daerah pelabuhan. Sebarisan prajurit bertombak muncul di dermaga, berhenti pada akhir jalanan yang terputus oleh laut, mengacu-ngacu senjatanya ke arah armada Portugis.
Sepucuk laras meriam ditujukan pada mereka. Aba-aba, dentuman. Sebuah bola besi membentuk kerucut udara, terbang menyambari barisan prajurit bertombak itu. Mereka bubar berlompatan dan berlarian, hilang dari pemandangan. Yang tersisa hanya bangkai-bangkai dan tombaknya, tulang dan serpihan daging.
Tak ada lagi barisan muncul. Bandar telah jadi lautan api. Meriam-meriam berhenti menggonggong. Kapal-kapal Portugis mulai menurunkan sekoci. Serdadu-serdadunya pada turun. Dan seperti iring-iringan semut sekoci-sekoci itu menuju ke bandar.
Kini balatentara Malaka mulai mengisi semua jalanan bandar. Tombak dan pedang mereka gemerlapan tertimpa matari yang telah berhasil mengusir halimun. Di antara letusan musket dari sekoci terdengar sorak-sorai mereka. Kembali meriam-meriam berdentuman. Peluru beterbangan dan menyambari mereka, tak menggubris tak menghormati tombak dan pedang dan sorak-sorai. Juga tembakan musket menggebu-gebu, menghalau, membunuh, menumpas. Jalanan kuning di bandar sana makin kelam disirami darah dan disebari serpihan daging dan tulang para prajurit yang tiada dapat beibuat sesuatu. Yang tersisa melarikan diri. Lenyap di balik lidah api dan cendawan asap.
Tahun 1511 Masehi. Alfonso d Albuquerque-Kongso Dalbi-menyerbu dan menduduki Malaka.
Dengan tergopoh-gopoh Sultan Mahmud Syah, keturunan Paramesywara itu, memerintahkan pengerahan pasukan gajah. Binatang-binatang raksasa itu didapatkan telah bergelimpangan termakan racun. Balatentara Malaka tanpa perlindungan gajah tak terbantu oleh armada, dalam waktu pendek dihalau oleh peluru musket Portugis. Perang darat terjadi seperti tiupan angin lalu. Mereka melawan mati-matian.
Tapi senjatanya terlalu pendek. Musket dan meriam tetap lebih unggul. Semua harus mundur, terpaksa mundur, harus, terpaksa. Yang tertinggal hanya daging yang telah terpisah dari tulang.
Sultan Mahmud Syah melarikan diri ke Johor, Bintan, Kampar. Kerajaan berumur seabad lebih beberapa belas tahun itu jatuh. Dan bandar kunci Asia ini kini berada di tangan Portugis.
Dalam keributan dan kekacauan berhidung bengkung merajawali sebuah kapal kecil bercat hitam masih juga nampak aman terayun-ayun di pelabuhan. Tanpa tergesagesa layar-layamya dipasang dan berkembang lesu, kemudian berlayar menuju ke tengah-tengah armada Portugis. Benderanya berkibar-kibar gelisah pita hijau panjang berjela-jela.
Kapal kecil hitam itu terus juga mendekat. Semua gerakgeriknya tak terlepas dari teropong d Albuquerque. Terus mendekat dan nampak sedang mengucapkan selamat datang.Sesampainya di dekat kapal bendera pita hijau diturunkan, tinggal bendera hitam bersirip kuning itu berkibar sendirian. Kapal itu tidak berhenti. Dengan tenang seakan tidak terjadi sesuatu apa ia terus melewati armada Portugis. Di bawah tiang utamanya berdiri seorang lelaki tinggi, agak bongkok, berhidung bengkung merajawali, berjubah genggang, membawa tongkat hitam berhulu gading.Kopiahnya tarbus merah. Kumis, jenggot dan cambang-bauknya mengkilat hitam seperti jelaga tersulam oleh beberapa lembar uban.
Portugis tak sedikit pun mengganggunya. Kapal kecil itu pun hanya membawa seorang penumpang saja. Orang itu terus juga berdiri di bawah tiang utama. Matanya besar bulat-bulat, tajam dan gelisah. Pandangnya selalu bertebaran ke mana-mana seperti sedang mencari sesuatu di atas permukaan laut.
Nakhoda datang menghampirinya, mencium jubahnya. Berkata dalam Melayu: Alhamdulillah, ya Tuan Sayid Mahmud Al-Badawi. Berkah Tuanlah maka kapal sahaya ini selamat.
Kafir-kafir itu takkan berani mengganggu aku, jawab penumpang itu angkuh. Tuhan takkan membiarkan terlantar ummat-Nya yang beriman.
Hanya dengan pita hijau! seru nakhoda.
Ya, hanya dengan pita hijau, penumpang itu membenarkan.
Bagaimana sahaya harus membalas budi, ya Tuan Syahbandar Malaka" nakhoda bertanya menghiba. Melihat penumpangnya tak menjawab, ia meneruskan: Sekiranya Tuan sekarang ini memerintahkan sahaya menuju Tuban, tiadalah sahaya akan menolak, biarpun upah tiada ditambah.
Tak ada padaku niat hendak ke Tuban.
Bukankah dengan datangnya Peranggi Tuan kehilangan jabatan sebagai Syahbandar dan sebagai penasihat Baginda Sultan"
Tetap. Antarkan aku ke Pasai.
Sahaya, Tuan. Tujuan tetap. Ke Pasai. Nakhoda itu berhenti bicara, menunggu penumpangnya mengatakan sesuatu. Melihat Sayid Mahmud AI-Badaiwi tak juga bicara, dilemparkan pandangnya pada layar yang menggeletar, beiteriak memerintahkan memperbaiki kedudukan siku, kemudian: Setelah kejadian mengagetkan ini, Tuan, ada baiknya Tuan berteduh-teduh di Tuban Di sana sedang ada pesta tahunan dari bangsa kafir itu. Biarpun kafir, cukup menyenangkan juga, Tuan Syahbandar.
Dilaknatlah kiranya kafir-kafir itu, sumpah penumpang itu bersun gut-sun gut.
Ampun, Tuan, kemudi tetap di arahkan ke Pasai. Bukan begitu, Tuan, yang kafir bisa jadi tidak kafir lagi. Yang tidak kafir pun bisa berubah jadi kafir, bukan"
Tak pernah ada orang mencoba menggurui aku, penumpang itu bersungut-sungut.
Ampun, Tuan, kemudi tetap diarahkan ke Pasai. Penumpang itu masih juga merabai permukaan laut dengan pandangnya. Nakhoda mencoba mengikuti arah pengelihatannya dan tak menemukan sesuatu yang luarbiasa. Dan kapal kecil hitam itu terus juga berlayar menyeberangi Selat menuju Pasai.
Cat hitam ini takkan sahaya ubah lagi, Tuan. Wama keselamatan, nakhoda bicara lagi. Bolehkah kiranya sahaya bercerita, Tuan"
Penumpang tak ramah itu tak mengacuhkannya. Dan nakhoda itu menggosok-gosok kedua belah telapak tangan, tersenyum manis dan memulai: Bukan cerita, Tuan Syahbandar Malaka, tapi warta. Warta sesungguhnya sungguh-sungguhnya warta. Warta yang mungkin khusus untuk Tuan saja.
Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Penumpang itu menoleh padanya tetapi tak bertanya sesuatu.
Tentu Tuan melihat juga kapal Jawa yang tenggelam sebentar tadi. Lambungnya pecah-belah seperti kepiting terinjak. Semoga Tuhan melapangkan jalan mereka di alam arwah Semalam, Tuan, setelah Tuan meninggalkan kapal sahaya, sahaya sudah bicara dengan nakhodanya, seorang anak muda, uh, anak semuda itu telah dilepas jadi nakhoda. Dia akan belayar ke Singhala Dwipa, katanya. Sahaya tak tanyakan muatannya. Mungkin dupa dan setanggi untuk kafir-kafir Atas Angin sana. Tapi memang ada muatan penting dibawanya. Dan itulah warta khusus untuk Tuan. Lagi pula sahaya tidak melanggar amanatnya, karena kita sudah berada di atas Malaka.
Penumpang itu nampak bosan dan jemu mendengarkan kkauannya. Namun ia tetap tak beranjak dari tempatnya berdiri. Dan matanya tetap menyisiri permukaan laut.
Bukan suatu kebetulan, nakhoda meneruskan sebagai balas-jasa. Kapal itu dari Tuban. Dan warta itu, Tuan, muatan yang lain, itu, adalah wara-wara untuk disebarkan di negeri-negeri di atas Malaka. Katanya: Adipati Tuban Tumenggung Wilwatikta mencari Syahbandar baru yang& .
Keangkuhan, kecemberutan dan keseraman penumpang itu mengurang dan mengurang. Ia menoleh lagi pada nakhoda. Melihat nakhoda itu berseri-seri, ia mengangguk. Begitulah wartanya.
Matikah Syahbandar Tuban"
Sayang, itu tak termaktub dalam warta. Pendeknya Adipati Tuban mencari Syahbandar baru. Syaratsyaratnya& apalah artinya itu" Semua sudah ada pada Tuan: bisa menulis, membaca, dan berbahasa Arab dengan baik, dan Tuan sendiri keturunan Sayid-sayid Arab yang mulia& .
Kalau itu saja syarat-syaratnya, ribuan orang bisa jadi Syahbandar.
Masih ada, Tuan, itu pun sudah ada pada Tuan: pandai berbahasa Melayu. Jangan tertawakan dulu, Tuan. Inilah syarat gila menurut perasaan sahaya yang bodoh ini: Harus juga lancar berbahasa Pcranggi dan Ispanyn dan menulis serta membacanya.
Penumpang tunggal itu menegakkan bongkoknya, mengangkat tongkat, dan dengan tiga batang jari menggaruk rambut di bawah tarbus. Matanya bersinarsinar. Satu pikiran sedang membersit menerangi wajahnya.
Di Jawa sana orang harus bisa berbahasa Jawa, penumpang itu membongkok seperti semula. Kata nakhoda Jawa itu, bahasa jawa tidak perlu. Sayid Mahmud Al-Badaiwi, yang kemarin masih Syahbandar Malaka sesungguhnya bemama Tholib Sungkar Az-Zubaid. Nama barunya itu dipergunakan sejak jadi Syahbandar Malaka. Nakhoda dan semua orang Malaka tak pernah mengetahui. Jadi ke Tuban tujuan kita, Tuan" Tidak. Pasai.
Jadi tetap ke Pasai, dengan demikian kapal tetap ke tujuan semula. Sesampainya di Pasai, Tholib Sungkar Az- Zubaid alias Sa yid Mahmud Al-Badaiwi menyewa kapal Aceh yang bertujuan Banten dan ia membayar khusus untuk pelayaran ini.
Pada waktu kapal yang ditumpanginya mancal dari Banten menuju ke Tuban pikirannya tidak disesaki lagi oleh ingatan pada api yang menjolak-jolak membakar bekas bandarnya, peluru-peluru yang beterbangan merebahkan barang siapa dan barang apa diterjangnya, orang yang belingsatan menyelamatkan nyawanya, dan balatentara Malaka yang sama sekali tiada berdaya& .
Umbul-umbul berkibaran di sekelilirig alun-alun Tuban, tinggi dan berwarna-wami. Pada pesta tahun ini gapuragapura batu tidak dipasang. Orang dapat masuk dan meninggalkan alun-alun tanpa melalui pandangan kala dan makara gapura. Dan orang tidak merasakan kehilangan ini.
Penduduk Tuban memang keranjingan seni dan olahraga. Larangan memahat batu dan perlntah membuangi peninggalan Hindu seakan telah mereka lupakan untuk sementara ada pesta. Bahkan para pernahat sendiri menangguhkan kekecewaannya demi sang pesta.
Orang pada berpakaian bagus-bagus. Para pedagang Pribumi kaya menghiasi destar dengan permata serta menyelitkan keris berhulu mas berukir pada tentang perut. Beberapa orang tidak mengenakan kain batik, tapi sarong berkotak-kotak seperti pedagang seberang.
Para wanita mengenakan penutup dada dan selendang sebagai penutup bahu. Istri-istri pedagang kaya kelihatan dari selendang sutranya.
Santri-santri yang kadang bersarong putih, berambut pendek atau gundul dan berkopiah putih, turun berbondong-bondongdari perguruannya masing-masing. Mereka pun takkan melewatkan pesta lomba tahunan kafir yang tradisionil itu. Di pelabuhan kapal-kapal Pribumi dihiasi dengan aneka-warna bendera dan umbai-umbai.
Di setiap perempatan jalan yang menuju ke alun-alun bunga-bungaan dikarang jadi lingkaran besar. Buah-buahan dan telor bcrwarna membentuk lingkaran sari bunga di dalamnya. Sedang tepat di tengah-tcngah berdiri sebuah pedupaan tanah dengan asap harum mengepul menyerbaki udara. Anak-anak kecil berlari-larian riang dengan penganan di tangan. Semua mengenakan pakaian dan destar baru. Dan rombongan-rombongan dari desa-desa tak henti-hentinya memasuki kota.
Pembukaan pesta telah diawali dengan pawai para peserta lomba. Umbul-umbul mempelopori barisan desa masing-masing. Di belakangnya menyusul perangkatperangkat gamelan untuk baris: gong, gendang, suling dan kenong. Semua gamelan ditabuh melagukan nyanyi pujipujian kepada Hyang Widhi, tanpa suara manusia, tanpa tari.
Dahulu pawai selalu mula pada Sela Baginda di pelabuhan. Setelah tugu prasasti Airlangga dirobohkan dan juga diceburkan ke laut, umpaknya saja kini jadi tempat membubarkan diri.
Pawai bergerak pelahan-lahan meninggalkan asrama. Di antara dupa-setanggi pada setiap awalan barisan, nama Idayu bergema-gema dalam hati para penonton. Dan nama itu semakin semerbak dengan semakin mendekati pembukaan. Kunjungan Sang Adipati ke bangsal wanita di dalam asrama telah meyakinkan semua orang: gadis perbatasan yang menawan hati Tuban itu pasti keluar sebagai juara lagi. Takkan ada yang berani meniadakan isyarat dari Sang Adipati.
Orang harus mengerti tanpa bertanya.
Hari-hari mengintip di depan asrama tanpa hasil membikin orang seperti dicurahkan memadati kiri-kanan pawai di mana Idayu berada. Anak-anak kecil yang terdesak orang-orang dewasa, kalah tinggi dan kalah kuat, hanya bisa berlari-larian sambil bersorak-sorak tidak menentu. Pria dewasa membelaikan pandang berahi. Wanita meneliti apa-apa yang dapat dicela atau dipuji pada Idayu.
Semua peserta wanita berkalung rangkaian melati. Peserta pria masing-masing membawa setangkai dedaunan beringin. Dan antara sebentar tangkai itu dilambaikanlambaikan ke langit, mengikuti jatuhnya gong.
Tidak seperti satu atau dua tahun sebelumnya kini Idayu gugup tak menentu. Ia bingung di mana harus sangkutkan pandangnya. Ke mana pun matanya diarahkan, tertatap juga olehnya pandang yang memberahikan, merajuk, merayu, mengajak, mengagumi, atau hanya sekedar hendak melihatnya. Peluh telah membasahi tubuhnya. Ia rasai pada matari mendidih dalam dirinya, karena di desa sendiri ia tidak biasa berkemban. Antara sebentar ia menghela nafas dalam-dalam untuk mengalahkan kegugupannya sendiri.
Pawai terus bergerak pelahan. Setiap gong berbunyi seakan di atas kepala pawai tumbuh semak pohon beringin. Dan beringin itu hilang kembali dengan cepat seperti tertelan rekah bumi.
Di depan kadipaten barisan panjang berhenti. Pohon beringin melambai-lambai tinggi di atas kepala mereka. Kemudian sunyi-senyap. Juga para penonton terdiam, tak bergerak di tempatnya masing-masing. Kenong bertalu. Tiba-tiba membubung nyanyian bersama dari semua gadis peserta, disahuti oleh nyanyian bersama semua pria peserta. Bersahut-sahutan seperti seribu pasang burung cocakrawa, dalam tingkahan gamelan baris. Sunyi-senyap.
Canang kadipaten bertalu-talu. Semua peserta bersimpuh di tanah. Canang kadipaten bertalu-talu lagi. Sebuah tandu keemasan muncul dari kadipaten. Di atasnya duduk Sang Adipati menghadapi sebuah jambang besar dari kuningan. Semua peserta mengangkat sembah. Tandu berjalan lambatlambat dengan gerak kaki seirama dari para pengusungnya, dan nampak seperti menari. Di belakangnya, para pembesar negeri berbaris, juga melangkah lambat-lambat seirama. Juga seperti menari.
Tandu Sang Adipati menghampiri ujung barisan yang satu, bergerak lambat-lambat sampai ke ujung yang lain sambil memercikkan air bunga pada kepala para peserta.
Selesai itu canang kadipaten kembali bertalu-talu. Sang Adipati dengan semua pengiringnya berjalan kaki kembali masuk ke kadipaten.
Para peserta menurunkan sembahnya, kemudian lambatlambat mengangkat sembah lagi tiga kali berturut mengikuti tabuhan canang.
Selesai itu pecah sorak-sorai gegap-gempita dari penonton. Barisan berdiri, bergerak lambat-lambat mengelilingi alun-alun. Setiap sampai di depan kadipaten lagi mereka mengangkat sembah seirama dengan paluan canang kadipaten. Kemudian mereka menuju ke Sela Baginda.
Dan inilah saat yang ditakuti oleh Idayu. la jera terhadap orang banyak, terhadap pengagum-pengagumnya. Di dalam barisan ia masih terlindungi oleh aturan. Tanpa barisan, dengan semua mata tertuju padanya" Begitu pawai bubar segera ia lari mendapatkan Galeng, berlindung di balik bahunya yang bidang. Teman-teman sedesa melindunginya rapat-rapat. Lenyap ia dari pemandangan penonton.
Idayu! Idayu! orang berseru mencari-cari, kecewa, jengkel, membujuk, merayu, di mana kau, Idayu" Di mana"
Gadis dan perjaka Awis Krambil menjadi gumpalan pelindung bidadari perbatasan itu terhadap gangguan. Rombongan ketat itu menahan semua serbuan, sedang umbul-umbul desa berjalan mendahului.
Sampai di alun-alun gumpalan ketat Awis Krambil langsung menuju ke bangsal penari. Dan di sini keadaan telah aman. Aturan tidak membenarkan orang menghampiri bangsal kecuali hanya untuk menonton pertunjukan. Dan perlombaan tari tak pernah diadakan di pagi atau siang hari.
Pesta lomba dibuka dengan sodor berkuda dan ujungan dan lomba ben teng dan gulat. Sodor berkuda diikuti hanya oleh para prajurit peijaka. Sorak-sorai gegap-gempita tak putus-putusnya mengiringi sudah sejak pertand ingan belum dimulai. Mula-mula lapangan yang tersedia seakan disapu oleh sebarisan prajurit menabuh gendang dengan berlari dalam barisan. Di belakangnya mengikuti barisan dari Pasukan Kuda. Setiap penunggang menurun-naikkan bendera merah dan kuning dan ungu dan hijau. Petanding berbaris di belakangnya dengan gerakan kuda yang mengedrap, pelan seakan tidak akan beringsut dari tempat. Bila barisan gendang dan Pasukan Kuda telah meninggalkan lapangan, para petanding memacu kuda mengelilingi lapangan. Kemudian dua petanding ditinggalkan untuk mengawali perlombaan.
Mereka berhadap-hadapan jauh pada tepi-tepi yang bertentangan. Dua barisan prajurit dari Pasukan Kaki masuk ke dalam lapangan dan mempersembahkan kayu sodor pada mereka. Kemudian mereka lari meninggalkan lapangan.
Canang bertalu. Kedua petanding melesit maju ke tengah-tengah lapangan diiringi oleh sorak-sorai. Kayukayu sodor teracukan di atas kepala kuda. Dan bila soraksorai tiba-tiba berhenti keadaan sunyi-senyap, pertanda seseorang telah terjatuh dan dinyatakan kalah. Tak jarang pertandingan harus diulang-ulang karena tak ada yang segera teralahkan.
Kata orang tua-tua permainan ini berasal dari Atas Angin, diperkenalkan oleh pendatang-pendatang Benggala sekira seribu tahun yang lalu, menurut perhitungan surya. Permainan ujungan lain lagi coraknya. Penonton sama sekali tidak bersorak. Ya, sekalipun sedang menjagoi desanya sendiri. Mereka mengikuti pertandingan dengan diam-diam. Di atas panggung tampil dua orang petanding. Canang bertalu. Mereka menyembah pada penonton, berputar-putar di panggung memperlihatkan tubuh mereka yang bercawat, memamerkan lengan dan paha dan dada dan punggung dan kepala, dan mengangkat kaki memamerkan tulang-keringnya. Mereka kelihatan pengap seperti habis dipukuli. Kulit mereka seperti terkena lepra, membengkak merah dengan pori-pori kulit melotot keluar. Tak bisa lain, karena berminggu sebelum bertanding kulit mereka digosok dengan lumatan daun tapak liman untuk mematikan perasaan kulit.
Sehabis pameran mereka meninggalkan panggung di bawah taluan canang. Tinggal dua orang petanding yang akan berkelahi. Masing-masing bersenjatakan sebilah rotan yang sama ukurannya. Menurut aturan setiap petanding mempunyai kebebasan memukul dan memilih sasaran. Maka bilah-bilah rotan berayun dan menggebu, membabat dan menerjang bagian tubuh mana saja: hidung, dagu, dada, kaki, kepala. Sasaran yang menjatuhkan adalah batok kepala dan tulang kering. Untuk melindungi kedua-duanya melompat ketangkasan melompat dan berkelit menjadi syarat mutlak, sedang keuletan kulit, daging dan tulang dan syaraf jadi petaruh menentukan. Bila temyata tak ada yang kalah atau menang, tak ada yang jatuh terguling, mereka melakukan undian dengan sut di bawah pengawas. Si pemenang sut boleh memukul tulang kering lawannya sampai sepuluh kali. Bila ia tidak roboh, ia boleh memberikan pukulan balasan.
Tak ada yang bersorak-sorai, hanya meringis-ringis, mengernyit-ngernyit, mengeluh, mengaduh, mengejapngejapkan mata seperti sekelompok monyet kehilangan akal pada setiap pukulan yang jatuh. Jantung terasa seperti dicekam, diremas-remas menjadi ciut. Bila salah seorang roboh dan terpaksa digotong keluar, orang pun tak juga bersorak. Hanya mengeluh dan mengaduh atau menghembuskan nafas panjang.
Kalau pukulan tulang kering tidak merobohkan, sut diadakan lagi. Dan sekali ini batok kepala yang dipukul bergantian. Tiga kali. Biasanya orang tak dapat menahan lebih dari dua kali dan roboh terjengkang di geladak panggung. Lomba banteng lain lagi ceritanya. Pada pertandingan ini kanak-kanak dilarang menonton. Peserta hanya dari kalangan prajurit perjaka. Juga tidak setiap tahun diadakan. Harus ada permohonan dari para prajurit sendiri, yang ingin melompat jadi perwira Pengawal. Lomba khusus ini, bila ada, selalu dipergelarkan pada sore hari tanpa disaingi oleh lomba-lomba lain.
Dalam medan yang dipagari balok-balok kayu, seekor banteng lapar dilepaskan. Orang pun bersorak-sorak. Binatang lapar itu jadi marah dan bingung, berjalan mondar-mandir, kadang berlarian kecil mengitari medan. Kadang berhenti sejenak untuk memelotoli penonton.
Seratus gendang dipukul orang. Dan seorang prajurit penantang naiklah ke atas pagar balok. Ia melompat ke atas leher binatang lawannya dan berusaha, dengan kedua belah tangan berpegangan pada tanduk, membantingnya. Belum tentu sang penantang berhasii. Tak jarang orang kehabisan nafas dan tenaga dan terlompat ke udara menyemburkan darah dan isi perut.
Berkali-kali terjadi seorang penantang lari dan lari membiarkan diri diburu sampai lawannya kehabisan tenaga. Baru kemudian ia mengguguh mata lawannya sampai bolanya terlompat keluar dari rongga. Dengan guguhan pada mata yang lain banteng buta itu kehilangan daya. Ia dinyatakan menang, hanya bukan dengan nilai tertinggi. Menurut aturan, kemenangan yang sempuma adalah bila penantang dapat meremukkan kepala lawannya dengan pukulan tangan. Dan orang pun bersorak-sorai menderu. Mereka menyerbu ke gelanggang, menggotong si pemenang, mengaraknya ke kadipaten. Para penggotong itu adalah gadis-gadis Tuban. Maka juga para penonton kebanyakan gadis. Pada umumnya penantang banteng punya maksud Iain daripada hanya ingin melompat jadi perwira Pengawal. Biasanya ia orang putus-asa karena kegagalan cinta. Dalam gotongan dan arakan para gadis Sang Adipati akan menyambutnya pada anak tangga kadipaten. Di sana ia diturunkan, mendapat pangkat dan nama dan gelar ketentaraan yang menjadi haknya. Tandatanda pangkat pun dikenakan pada badannya: gelang dan keris, dan kalung. Begitu ia mendapat pengangkatannya ia dapat memilih pasangan hidupnya dan menjadi kesukaan pada hari itu. Dan masyarakat Tuban yang mengagungkan kepahlawanan ikut serta merayakan kegembiraan mereka berdua.
Lomba gulat adalah umum. Selalu diadakan pada pagi hari. Prajurit tidak diperkenankan serta. Penonton dari desa-desa bersorak-sorai untuk jagonya masing-masing. Dua orang pejabat panggung tak henti-hentinya memercikkan air pada para petanding sehingga lantai panggung jadi basah, kotor dan licin keadaan yang membikin petanding lebih menarik. Para petanding hanya mengenakan cawat. Tidak boleh berdestar. rambut harus disanggul untuk tidak menghalangi pemandangan.
Pada tahun yang lalu Galeng telah memenangkan kejuaraan. Tahun ini dengan atau tanpa Boris, ia bertekad memenangkan kejuaraan berturut. Ia harus hadapi lima belas orang penantang. Tak tahu ia bagaimana harus mengalahkan orang sebariyak itu. Dan sudah menjadi kebiasaan bagi juara gulat mendapat banyak tantangan. Makin banyak penantang makin banyak kemungkinan seorang juara ditelentangkan di atas lantai panggung.
Dalam pertandingan awal Galeng berkelahi seperti orang keranjingan. Ia lebih banyak bertempur menaklukkan ketakutan dan kekecilan hati sendiri dan cemburu sendiri. Sang Adipati harus tahu: si Galeng bukan perjaka yang mudah melepaskan Idayu apa pun yang terjadi, Idayu hanya untuk diri dan kebahagiaannya.
Dua-tiga orang penantang telah dibantingnya dan nyaris mati. Pertandingan dihentikan untuk sementara. Para petugas ragu-ragu atas sikap juara dari Awis Krambil. Ia lebih banyak tampil sebagai pembunuh daripada olahragawan. Dan ia akan berkelahi terus seperti itu bila idaman hidup direnggutkan orang daripadanya. Tak peduli orang itu Sang Adipati atau punggawa praja.
Dengan titah Sang Adipati pertandingan gulat diteruskan. Ia berkelahi terus, mengamuknya orang yang terpojokkan. Kunjungan penguasa Tuban pada kekasihnya di asrama telah membikinnya kalap. Ia akan tunjukkan pada rajanya, ia juga bisa berkelahi, dan melawan siapa saja: ia akan berikan nyawanya untuk bukti cintanya pada Idayu melawan penantang gulat ataupun penantang tombak-tombak para pengawal.
Pada awal perlombaan menari Idayu dipancari semangat tinggi. Dua tahun berturut-turut ia telah memenangkan kejuaraan pertama. Tahun ini ia bertekad untuk memenangkan lagi. Bukan karena kunjungan Sang Adipati yang jadi isyarat pada para penilai. Ia harus menang karena kejuaraan tiga kali berturut memberinya sesuatu rencana kemungkinan: ia punya rencana. Dalam setiap pertandingan Galeng memerlukan hadir. Bukan karena hendak menonton, hanya hendak mematahkan batang leher orang, siapa saja, yang berani bertingkah terhadap Idayu. Tak ada suatu gerak terlepas dari perhatiannya.
Perlombaan telah berjalan beberapa hari. Setiap pulang dari menari Idayu langsung pergi ke tempat kekasihnya untuk mengurutnya. Ia tak peduli pada larangan yang berlaku. Para punggawa tak sampai hati melarangnya, mengetahui, itulah hari-hari terakhir dua orang kekasih itu dapat berkumpul untuk kemudianberpisahn buat selamalamanya& .
Pagi hari waktu itu. Pertandingan olahraga sedang seruserunya berjalan.
Syahbandar Rangga Iskak sedang sibuk di pelabuhan mencatati nama orang dan kapal peiarian yang berbondongan datang dari Malaka dan telah ditolak di bandar-bandar lain di Sumatra dan Jawa. Di Tuban mereka bermaksud memohon perlindungan pada Sang Adipati Tuban Arya Teja Tumenggung Wilwatikta. Jatuhnya Malaka ke tangan Kongso Dalbi telah jadi pengetahuan umum.
Di antara para pendatang terdapat bekas Syahbandar Malaka Sayid Mahmud Al-Badaiwi alias Tholib Sungkar Az-Zubaid.
Sekilas Rangga lskak mengetahui, pendatang itu seorang Arab Arab yang dibencinya. la berbenah dalam hati, menyingkirkan perasaan pribadi dan melayaninya sebaik mungkin.
Ia persilakan pendatang jangkung agak bongkok, berhidung bengkung merajawali itu, untuk menyampaikan halnya. Dan nahkoda kapal yang ditumpanginya tidak ikut mendarat. Ia agak heran, tetapi tidak menanyakan. Kapal itu akan berlayar terus menuju Gresik.
Tuan Syahbandar Tuban, bekas Syahbandar Malaka memulai dalam Arab. Berkahlah untuk Tuan buat hah ini. Aku pendatang baru, juragan kapal itu. Kapalku akan terus berangkat dan akan menjemput aku kelak. Uang labuh untuk sehari akulah yang membayamya. Namaku Sayid Habibullah Almasawa dari Malagas!, bermaksud menghadap Sang Adipati Tuban.
Berkahlah Tuan untuk hari ini. Maksud Tuan akan terpenuhi.
Pada para pekerja ia perintahkan untuk mengangkuti barang-barang persembahan. Ia perintahkan canang menara dipukul untuk pertanda akan adanya penghadapan. Canang kadipaten menjawab.
Iring-iringan penghadap berangkat, termasuk bekas Syahbandar Malaka, Tholib Sungkar Az-Zubaid alias Sayid Mahmud Al-Badaiwi dan sekarang bernama Sayid Habibullah Almasawa dari Malagasi. Di belakang mereka menyusul para pemikul persembahan.
Di alun-alun mereka melihat orang beijejal-jejal menonton pertandingan. Umbul-umbul berkibaran tinggi di mana-mana. Dan karangan-karangan bunga di perempatan jalan. Mereka dengar sorak-sorai tak henti-hentinya. Di negeri ini orang bersuka-suka, negeri yang mereka tinggalkan sedang terlanda Portugis.
Pendatang yang menamakan diri Sayid Habibullah Almasawa memperhatikan semua dengan kuping dan matanya.
Tuban sedang merayakan pesta tahunan, Rangga lskak alias Ishak Indrajit menerangkan dalam Melayu. Ia tak meneruskan, membisu, tak memberi kesempatan pada para pendatang untuk bertanya. Orang Arab yang seorang itu merusuhkan hatinya.
Mereka berhenti di depan pendopo. Dua orang pejabat datang dan menyampaikan tata-tertib. Mereka melepas semua alas kaki, senjata tajam dan tumpul kecuali keris. Maka alas kaki pun berbaris berjajar, dan tongkat dan bawaan pribadi. Mereka dipersilakan masuk ke pendopo dengan kaki telanjang, duduk berderet-deret di hadapan kursi gading kedudukan Sang Adipati.
Kursi itu sendiri berdiri di atas lantai khusus yang ditinggikan. Sebuah bangku rendah berlapis bantal berdiri di bawahnya. Itulah tempat Sang Adipati meletakkan kakinya. Menurut peraturan penghadapan secara Tuban, orangorang asing bukan Nusantara tidak diwajibkan duduk dan menyembah. Bangku atau kursi duduk tidak pernah disediakan. Mereka harus berdiri dan barang siapa tidak duduk harus mengambil tempat di pinggir.
Biti-biti perwara keluar menduduki tempatnya di bawah kiri dan kanan tahta Sang Adipati. Pada tangannya mereka membawa nampan kuningan tempat sirih dan jambang kuningan tempat ludah. Menyusul kemudian bentara kiri dan kanan, yang mengambil tempat di kiri dan kanan belakang tahta. Mereka semua bersenjata tombak dan perisai. Baru kemudian datang Sang Adipati dalam iringan Sang Patih dan para pembesar lain. Di belakangnya lagi menyusul para pengawal.
Para penghadap yang duduk menyembah bersama-sama. Mereka yang berdiri di pinggir menyampaikan hormat dengan caranya masing-masing. Orang-orang Benggala, termasuk Syahbandar Tuban, berdiri sambil mengangkat sembah dada. Sang Patih dan para pembesar yang duduk bersila jauh di samping kiri dan kanan Sang Adipati, juga mengangkat sembah.
Upacara penghadapan selesai. Syahbandar Tuban membacakan daftar para penghadap, nama, asal, pekerjaan dan permohonannya. Kemudian seorang demi seorang maju menghadap lebih dekat dan menghaturkan persembahannya sambil memuji-muji barangnya. Setelah persembahan menyusul permohonan dengan mulut sendiri.
Sang Adipati duduk mendengarkan, tanpa bicara, mengangguk dan tersenyum, atau menggeleng dan tersenyum.
Semua penghadap tahu belaka, satria Jawa tidak berbaju dalam pekerjaan resmi, dan mereka menghormati kebiasaan ini.
Bekas Syahbandar Malaka tercantum dalam daftar terakhir. Waktu sampai pada gilirannya ia bicara dalam Melayu: Patik datang dari Malagasi, ya Gusti Adipati Tuban yang termasyhur pengasih di sepanjang pantai Atas Angin. Orang memanggil patik Sayid Habibullah Almasawa. Kata silsilah keluarga, patik adalah keturunan ke empat puluh dari Nabi Besar Muhammad s.a.w.
Rangga Iskak mengemyitkan dahi. Giginya berkerut. Ia tak percaya. Prasangka mulai berbisik-bisik dalam hatinya: Itulah dia penipu yang kau tunggu-tunggu!
Patik hanyalah saudagar rempah-rempah yang belayar dari bandar ke bandar. Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, Tuhan belumlah memberkahi, ya Gusti Adipati Tuban. Sesampai di Malaka, Peranggi sedang menggagahi bandar. Semua isi kapal patik dirampas dan kapal patik dibakar. Alhamdulillah Tuhan masih ingat pada hamba-Nya ini. Segala puji untuk Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Bekas Syahbandar Malaka itu masih juga tak mempersembahkan sesuatu barang.
Si penipu itu! pikir Rangga Iskak. Dia sedang memainkan lidahnya.
Larilah patik ke Bengkulu. Dengan kapal patik yang ada di )ambi patik belayar kemari untuk memohon perlindungan Gusti Adipati Tuban. Adapun harta benda patik seluruhnya telah habis untuk membayar kerugian di Malaka. Ampun, Gusti, bila patik tidak mampu mempersembahkan barang sesuatu yang mahal-mahal.
Nampak Sang Adipati mulai kehilangan kesabarannya. Ia menguap, dan ditutupnya mulutnya dengan tinju. Gelang-gelang mas pada tangannya, berukir dan bertatahkan intan permata, berkilauan. Namun ia tidak memberi isyarat mencegah penghadap itu meneruskan katakatanya.
Adapun harta-benda yang tersisa pada patik hanyalah kecakapan berbahasa Arab, karena itulah bahasa nenekmoyang patik, berbahasa Melayu, karena itulah penghidupan patik sebagai saudagar rempah-rempah. Yang tersisa pada sahaya juga bahasa Ispanya, Gusti Adipati Tuban&
Para penghadap mengangkat pandang mendengar Sang Adipati mendeham dan memanjangkan leher mengawasi pembicara fasih itu dengan perhatian.
& karena di negeri Ispanya patik dilahirkan, di sebuah negeri yang indah bernama Andalusia, ya Gusti Adipati, bekas Syahbandar Malaka meneruskan, dan juga karena itu patik berdarah Ispanya pula. Kemudian bahasa Peranggi, ya Gusti Adipati Tuban, karena itulah bahasa yang patik pelajari sejak kecil.
Rangga Iskak merasa seakan lantai yang diinjaknya terbang. Orang jangkung agak bongkok, berhidung bengkung merajawali itu tak lain dari orang Moro yang hendak menumbangkan kedudukannya sebagai Syahbandar Tuban. Dunia dilihatnya berayun-ayun. Tangannya di balik jubah menggapai-gapai tanpa tujuan. Dan dalam pandangannya yang bergoyang ia tak lihat Sang Adipati menegur Moro keparat itu, padahal pembual itu mulai ramai dengan tangan memberikan tekanan pada katakatanya. Kalau dia Pribumi, pikimya, dia akan mendapat hukuman dera.
Ya, Gusti AdipTuban yang mulia, dilindungi oleh Allah, kiranya Gusti Adipati. Sedang patik hina-dina lagi melarat begini, ya Gusti yang tersohor bijaksana dan pemurah di sepanjang pantai Atas Angin, limpahkan kiranya pada patik suatu perlindungan, karena hanya Allah jua Maha Mengetahui, bahwa perlindungan Gusti Adipati adalah berkah daripada-Nya juga.
Tanpa diduga-duga Sang Adipati melambaikan tangan dan berkata dalam Jawa. Segera Rangga Iskak menterjemahkan dalam Melayu.
Permohonan Tuan kami terima, tuan Sayid. Tuan Syahbandar Tuban akan mengurusmu sebagai tamu pribadi kami& .
Rangga lskak hampir-hampir tak dapat meneruskan terjemahannya. Ia membelalak mengetahui, tamu yang mengaku diri Sayid Habibullah Almasawa telah berkenan di hati Sang Adipati. Celaka, pikirnya, sekali seorang Moro mendapat setitik tempat, orang harus waspada. Semua akan berubah, bumi tempat berpijak akan goyah.
Apalagi yang masih akan dipersembahkan" tanya Sang Adipati. Penghadap itu mengangkat kedua belah tangan sehingga bongkoknya berayun, meneruskan: Ampun, Gusti, perkenankanlah kiranya patik mempersembahkan sesuatu yang langsung berupa karunia dari Allah. Memang nampaknya tiada sepertinya, namun tak terkirakan berkahnya.
Ia keluarkan sebuah pundi-pundi dari balik jubahnya yang genggang. Semua orang berusaha untuk melihat apa persembahan si cerewet. Permata! tak bisa lain, orang menduga.
Berat tak seberapa, Gusti, bekas Syahbandar Malaka itu menjepit pundi-pundi dengan ibujari dan telunjuk. Enteng tak terkira.
Semua penghadap menjadi tegang. Mereka kuatir Sang Adipati menjadi murka dan membatalkan semua perlindungan yang telah dikaruniakan. Dan memang Sang Adipati nampak tersinggung, tapi masih menahan diri. Rangga lskak gelisah.
Selaksa kali lebih berharga daripada in tan, mutiara, zamrud atau delima, karena memang karunia Allah sendiri!
Dan para penghadap sampailah pada titik tertinggi kekuatirannya melihat Sang Adipati bicara untuk ketiga kali, hanya pada seorang penghadap: Apakah itu, Tuan Sayid keturunan Nabi"
Tidak lain dari benih baru, ya Gusti, dari seberang dan seberangnya seberang pulau Jawa ini. Benih beras besar ya Gusti. Sepuluh kali lebih besar daripada beras biasa. Bila disantap sewaktu muda, ya Gusti, hanya ditunu di atas bara, gemeratak bunyinya, tapi rasanya takkan kalah dengan emping ketan bercampur kelapa dan gula. Menanamnya tak memerlukan air, malah harus ditanam pada penghabisan musim hujan. Di mana saja dapat tumbuh, di gunung, di pantai, huma, sawah kering, ladang. Dia tak memilih tanah, asal tak tergenangi air.
Tholib Sungkar Az-Zubaid alias Sayid Mahmud Al- Badaiwi alias Sayid Habibullah Almasawa menaruh sejumput bening kuning dari dalam pundi-pundi dan diletakkan di atas telapak tangan kiri.
Orang-orang dungu di Ispanya dan Peranggi mengenai ini beras Turki, ya Gusti. Orang-orang Turki memang suka menipu, Gusti. Tidak benar ini beras Turki. Yang benar Zhagung namanya, Gusti. Dalam jangka waktu lima kali musim panas, seluruh negeri Tuban akan makan beras besar ini, Gusti, insya Allah.
Ia melangkah maju setelah mengembalikan benih dari telapak tangan ke dalam pundi-pundi dan mempersembahkan kepada penguasa Tuban.
Orang terheran-heran melihat Sang Adipati tersenyum berseri menerimanya.
Telah kami terima persembahanmu, Tuan Sayid. Segala yang berasal dari Tuhan adalah berkah/ kemudian menengok pada Sang Patih yang duduk di bawah. Kembangkan beras besar ini, Kakang Patih. apalagi sekarang sedang musim kering.
Sang Patih menyembah rajanya, kemudian menerima pundi-pundi itu dan meletakkan di hadapannya.
Dan Tuan Sayid, apa nama negeri asal beras besar ini" Negeri itu, Gusti Adipati Tuban yang mulia orang mulai menamainya Amerika.
Di mana itu" Di balik bumi manusia ini, GustL
Di balik bumi" Sang Adipati berseru berolok, tentu mereka di sana hidup seperti cicak dengan badan tergantung pada kaki"
Tidak, Gusti, mereka sama dengan kita, demikian cerita pelaut-pelaut yang pernah ke sana. Hanya kulitnya merah. Merah"
Merah, Gusti, seperti batu bata.
Rangga Iskak mengerutkan gigi dan mengemyitkan dahL Kegeramannya menjadi-jadi. Dia mulai menyemburkan bisa, gumamnya dalam Malayalam. Dan kalau tidak kuatkuat ia mengekang sudah akan tersembur tuduhannya sebagai penipu . Ia menggeragap waktu tiba-tibaSang Adipati berkata: Tuan Syahbandar, apakah yang Tuan ketahui tentang bangsa kulit merah"
Tidak pernah disebut dalam kitab apa pun, Gusti Adipati Tuban. Kulit hitam, putih, coklat, kuning, semua ada, Gusti. Merah tak pernah ada, apalagi seperti batu bata. Tak pernah tersebut ada manusia makhluk Allah hidup dengan badan tergantung pada tangan atau kaki.
Pendatang itu menengok ke pinggiran, pada Rangga Iskak, dan tersenyum ramah sambil mengangguk.
Tentang itu panjang ceritanya, ya Gusti. Sembilan tahun yang lalu Sri Baginda dan Ratu Ispanya, Phillipo dan Isabella, telah memberikan pangestu pada pelaut-pelaut Amerigo dan Colombo untuk mencari negeri asal rempahrempah. Mereka belayar lurus ke jurusan barat& dan bercerita bekas Syahbandar Malaka tentang pelayaran besar dan penemuannya, dan bahwa dunia temyata bukanlah seperti tampah tetapi bulat seperti buah kelapa, bahwa di mana ada daratan di sana ada manusia, semua berdiri pada kakinya, tak ada yang bergantung pada tangan atau kaki. Orang mendengarkan dongengan baru yang tak masuk di akal itu. Mereka tertarik sampai-sampai lupa untuk mengetahui dari mana Tholib Sungkar Az-Zubaid alias Sayid Mahmud Al-Badaiwi alias Sayid Habibullah Almasawa mendapatkan beras besar yang bukan beras Turki.
Dalam pada itu Sang Adipati sendiri sedang mengenangkan kembali cerita Sang Patih, bahwa Mpu Nala pernah menduga dunia ini memang tidak seperti tampah tapi bulat seperti buah maja. Dan sekarang kapal-kapal orang putih telah mampu muncul dari balik Ujung Selatan Wulungga yang selama ini dianggap sebagai batas akhir dari dunia, dan barang siapa melewatinya akan tercebur ke kedalaman tanpa batas. Mereka justru muncul dari situ. Mereka telah belayar sampai ke balik dunia dan mendapatkan beras besar.
Ia berpaling pada Syahbandar Tuban. Rangga Iskak sedang merah-padam keunguan. Memahami akan adanya sikap permusuhan terhadap penghadap itu ia perintahkan Sayid Habibullah Almasawa kembali ke tempatnya di pinggir pendopo.
Patireja! perintahnya pada menteri-dalam, tempatkan tuan Sayid sebaik-baiknya di gandok belakang kadipaten.
Beberapa jam setelah penghadapan selesai pecahlah berita ke seluruh Tuban Kota: Sang Adipati telah dihadap oleh seorang tamu asing, seorang Arab bemama Sayid Almasawa yang ditempatkan di gandok belakang kadipaten. Berita besar, karena itulah untuk pertama kali seorang asing diterima di dalam kadipaten. Tentang beras besar orang tak memberitakan. Dan sekarang Tuban memiliki dongengan baru tentang bangsa manusia berkulit merah yang hidup di balik bumi, berjalan tergantung pada tangan dan dengan kaki melambai-lambai di udara.
Tholib Sungkar Az-Zuibaid alias Sayid Mahmud Al- Badaiwi alias Sayid Habibullah Almasawa merasa puas dengan semua jerih-payahnya. Ia merasa telah berkenan di hati Sang Adipati. Sebentar lagi bendera Tuban akan dikuasainya. Syahbandar yang sekarang harus menyingkir! Harus!
Pulang dari kadipaten Rangga Iskak langsung menuju ke pelabuhan untuk menemui nakhoda kapal Sayid. Temyata kapal itu telah berangkat ke Gresik. Dengan jengkel ia pulang sambil menyumpah-nyumpah dan mengutuk semua orang Arab di atas bumi ini kecuali mereka yang tersebut dalam Alkitab dan Tarikh.
Dengan cepatnya terjadi persahabatan antara Sayid dengan Pada. Mereka berdua fasih berbahasa Melayu. Pada pandai melayani orang-orang besar dan Sayid pandai mengambil hati orang.
Padalah yang mengantarkan tamu itu menghadap Sang Patih. Ia duduk di belakangnya.
Sang Patih duduk di atas kursi kayu dihadap oleh empat orang yang barn datang dari Bonang murid-murid Ki Aji Bonang dan dianggap tahu berbahasa Arab.
Bekas Syahbandar Malaka itu duduk di antara mereka berempat. Dan ujian diadakan.
Tamu Sang Adipati tertay/a geii dalam hati mengetahui sedang menghadapi ujian bahasa Arab. Seratus orang penguji masih takkan dapat mengatasi bahasa Arabkuf sumbarnya dalam hati. Mereka paling-paling tahu bahasa ibunya sendiri, sedikit Melayu dan sedikit Arab! Tulisan latin mereka takkan bisa. Ayoh, ujilah aku, tantangnya.
Salah seorang di antara empat penguji menyodorkan padanya setumpukan lontar bertulisan Jawa.
Tuan Sayid bisa membaca ini" tanyanya.
Ia ambil seikat lontar, mengamat-amati, menggeleng melihat huruf-huruf yang menjulur berlingkar-lingkar itu. Tulisan kafir, gumamnya.
Jadi Tuan Sayid dapat membacanya" Ia menggeleng. Seaksara pun tak terbaca olehnya. Baik, kalau begitu biar kami bacakan, ukara demi ukara. Ini tulisan Jawa, tetapi berbahasa Melayu. Tulis oleh Tuan terjemahannya dalam bahasa Peranggi. Tuan sendiri punya kertas dan kalam.
Dan dengan demikian ujian dimulai.
Dari setumpukan lontar Iain Tholib Sungkar Az-Zubaid alias Sayid Mahmud Al-Badaiwi alias Sayid Habibullah Almasawa menterjemahkan ukara demi ukara yang dibacakan itu ke dalam bahasa Ispanya dan Peranggi. Tulisan-tulisan terjemahan itu disimpan oleh Sang Patih.
Pada hari berikutnya dengan diantarkan juga oleh Pada ia menghadapi ujian yang memakan waktu lama. Ia tak pernah menyangka akan menghadapi ujian pengalaman gila itu. Para penguji memberikan kembali terjemahan Peranggi padanya, kemudian menunjuk pada baris-baris tertentu dan bekas Syahbandar Malaka diminta untuk melisankannya dalam Melayu.
Peluh mulai membasahi tubuhnya. Ia mengakui terjemahan Peranggi itu ditulisnya dengan gegabah. Kalimat-kalimat dan kalimat itu bermunculan di hadapan matanya seperti barisan mara. Ia menyesal telah melakukannya dengan gegabah dan menganggap sepele. Berkali-kali para penguji melihat tak ada kecocokan antara terjemahan Melayu orang ujian itu dengan teks Melayu dalam tulisan Jawa diatas lontar. Pengalamannya yang sama dialaminya sewaktu memelayukan Ispanya tulisannya sendiri. Banyak selisihnya dengan teks Melayu di atas lontar.
Gusti Patih Tuban, salah seorang penguji melaporkan. Memang Arabnya tidak meragukan, Peranggi dan Ispanya-nya nampak agak sembarangan, Gusti. Banyakkah kelirunya" tanya Sang Patih. Tidak Gusti, hanya sembarangan.
Untuk pertama kali dalam hidupnya Tholib Sungkar Az- Zubaid alias Sayid Mahmud Al-Badaiwi alias Sayid Habibullah Almasawa kehilangan kata-kata dan bermandi keringat sebanyak itu.
Hari yang dinanti-nantikan tiba juga: hari penutupan pertandingan. Sejak pagi hari dengan membawa bekal makan orang telah datang berbondong ke alun-alun. Bunyi gamelan tak henti-hentinya berlagu.
Orang berdatangan bukan sekedar hendak menyaksikan pertandingan. Pada hari penutupan Sang Adipati akan datang dalam iringan besar para pembesar negeri dan para pengawal.Semua dalam pakaian berwarna-wami. Mereka akan berbaris datang ke alun-alun mengunjungi semua gelanggang. Para penilai akan berbaris di belakang para pengawal dengan kaki dan tangan berhiaskan giring-giring serta kain dan destar berwamn keemasan cemerlang. Dan setiap orang di antara mereka akan membawa umbul-umbul kecil beraneka wama.Di belakangnya lagi akan menyusul barisan pengawas pertandingan, semua menabuh genderang kecil.
Dan begitu Sang Adipati dan rombongan datang orang pun bersimpuh di tanah dan mengangkat sembah. Begitu rombongan lewat orang pun berdiri dan bersorak gegapgempita.
Rombongan itu lewat tanpa menengok tanpa menjawab sembah. Orang berdesak-desak mengikuti rombongan, semakin lama semakin tebal dan panjang. Sekali ini bukan sekedar karena kebiasaan: orang ingin menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana kerja mata Sang Adipati bila berhadapan dengan Idayu.
Di dalam rombongan pembesar terdapat Tholib Sungkar Az-Zubaid, di Tuban Kota mulai dikenal sebagai Sayid Alusawa. Ia tetap bertarbus merah dengan jumbai keemasan jatuh ke belakang, berjubah genggang, agak bongkok, berjenggot, bermisai, bercambang-bauk, jangkung dan membawa tongkat hitam berhulu gading. Hidung bengkungnya menjadi sasaran setiap mata.
Itulah Tuan Ulasawa! seseorang berbisik pada temannya.
Seorang lain tertawa keheranan, memberi komentar: Betapa panjang dan bengkung hidung itu. Kalau diberi berbuntut panjang, pasti akan lebih mendekati kadal.
Puh! , yang lain lagi mendengus, Gusti kita memang kranjingan orang asing dan semua saja tidak beres.
Apa pun komentar orang yang pasti sudah dapat diketahui: itulah tamu terhormat yang telah berkenan di hati Sang Adipati.
Dan dalam hati mereka, yang memang sudah tidak senang pada orang asing yang mendapat jabatan tinggi, timbul pertanyaan: jabatan tinggi apa yang akan diterimanya" Pada umumnya orang menebak: penghulu negeri. Dan tebakan itu saja sudah cukup menjengkelkan, mengingat penghulu sebelumnya telah banyak mengurangi kesenangan mereka dengan berbagai aturan yang masih juga berlaku sampai sekarang Aturan baru, aturan baru, selalu mengurangi kebebasan. Dan penduduk negeri dan kota Tuban terkenal pencinta kebebasan.
Tak jauh dari Tholib Sungkar berjalan Syahbandar Tuban, juga berjubah, hanya berwarna putih, berkopiah, tidak bersorban, berselendang leher putih. Hanya dia yang berjalan menunduk Tak ada nampak sinar kegembiraan pada wajah dan matanya, di tengah-tengah pesta yang membeludag itu.
Damarsewu dan cempor menyala di mana-mana, mencoba mengusir semua bayang-bayang benda dan manusia. Namun semua lampu itu tak kuasa mengusir bayang-bayang dalam pikiran Rangga lskak.Ia telah mendapat firasat Sayid Habibullah Almasawa tidak lain dari Syahbandar Malaka yang dahulu menjatuhkan abangnya, dan sekarang datang ke Tuban untuk menjatuhkan pula sebagai Syahbandar. Tidak salah lagi, kata hatinya, dialah iblis laknat itu. Dan pikirannya kini bekeija keras mencari jalan untuk menyingkirkan orang Moro itu dari Tuban sebelum Sang Adipati mengambil sesuatu keputusan yang akan merugikan dirinya.Si pembual, penipu, pendusta, mengaku keturunan Nabi itu harus punah!
Begitu rombongan memasuki ruangan tari, ia sudah mempunyai rencana. Gamelan membubungkan lagi sambutan. Idayu muncul di atas panggung menarikan tarian penghormatan. Kepalanya bermahkotakan bunga-bungaan sedang pakaian tarinya yang serba ketat memperagakan resam-tubuhnya semampai berisi. Pada bibimya tersunting senyum kemenangan. Matanya memancar penuh keyakinan dan kebahagiaan. Waktu mengangkat sembah gerak lehernya berayun seakan sedang menyerahkan pipinya untuk dicium oleh penonton di depan, sebelah kiri dan kanan. Dan Rangga Iskak tak melihat semua itu.
Orang bersorak-sorai gegap-gempita. Sang Adipati mengangguk-angguk menyetujui.
Itulah Idayu, Tuan Sayid, Sang Adipati berkata dalam Melayu, kekasih Tuban, bunga seluruh Tuban. Tiada tandingan dalam tari dan kecantikan dan keluwesan. Juara tiga kali berturut.
Patik,Gusti. Mata Tholib Sungkar Az-Zubaid menyala-nyala, ia angkat tongkatnya turun-naik, mengagumi tarian Idayu.
Dahulu gadis seperti itu akan meneruskan pertandingan ke Wilwatikta, ibukota Majapahit.
Tholib Sungkar Az-Zubaid mencantolkan tongkat pada lengan kanan. menegakkan bongkoknya dan bertepuktepuk: Haibat! serunya. Tanpa tandingan. Banyak negeri terah patik lihat, ya Gusti. Yang ini memang tiada tara! Namanya pun indah: I-da-yu. Dan betapa cantik! Aduhai betapa cantik, kau, Idayu! gumamnya. Allah telah menciptakan kau sesuai dengan kehendaknya.
Mata Sang Adipati bersinar-sinar hampir tiada berkedip. Orang pun lupa memperhatikan mata yang sepasang itu. Semua tertarik pada Idayu. Tetap hanya Rangga Iskak antara sebentar melirik pada Tholib Sungkar Az-Zubaid.
Aduh, Aduh, Aduh, Gusti! gumam bekas Syahbandar Malaka itu seperti kesakitan.
Apa, Tuan Sayid" tanya Sang Adipati seperti pada seorang sahabat lama.
Serba indah, Gusti, serba cantik, serba mengikat. Kalau di Ispanya sana, Gusti, ia bertepuk bersemangat, tidak salah lagi, pasti akan jadi hiasan istana Ekopal. Apa"
Hiasan istana raja Ispanya, Gusti.
Hiasan istana raja& . Sang Adipati berbisik mengulangi sambil tersenyum. Kemudian agak keras, sayang hanya anak desa.
Tuban menciptakan makhluknya tanpa perbedaan, Gusti, baik desa mau pun kota milik Allah juga.
Rombongan pembesar kembali ke kadipaten sebelum tarian Idayu selesai& . Rangga Iskak tidak kembali ke alunalun. Ia berjalan bergegas menuju ke pelabuhan. Kakinya melangkah cepat-cepat. Antar sebentar ia menengok ke kiri dan ke kanan. Sampai di depan waning tuak dan ciu-arak ia berhenti. Pintunya terkunci dari dalam. Langit gelap. Ia mengetuk dan mengetuk. Tak lama kemudian pintu itu terbuka. Tak ada lampu menyala di dalam. Kaukah itu, Yakub"
Tidak salah, Tuan, Yakub ada di sini menunggu Tuan. Tuan tidak masuk"
Syahbandar Tuban itu masuk ke dalam, duduk pada salah sebuah bangku setelah menggerayanginya dengan hati-hati.
Dalam kegelapan tak ada nampak wajah dua-duanya. Seakan mereka bicara dalam kekosongan alam sebelum matari dan bulan diciptakan. Hanya bisik-bisik pelahan, seperti guru di kejauhan, tanpa nada: Sang Adipati ini lain dari putra-putranya, Yakub. Raden Sayid itu sepenuh hati mengabdikan diri pada Islam, Sang Adipati ini, hanya perdagangan dan keuntungan saja yang dia urusi. Dasar Rangga Demang& .
Tapi Sang Adipati jelas berpihak pada Islam, Tuan, Yakub membantah.
Dari mana pikiranmu itu"
Uah, tuan Syahbandar Tuban, bukankah sudah aku sampaikan, Sang Adipati sudah bersiap-siap dengan cetbang"
Benar, bersiap-siap berperang terhadap Demak. Yakub berdiam.
Lantas di mana Islamnya, Yakub"
Banyak yang bilang tidak begitu. Sang Adipati tak pernah memperlihatkan kegusaran Jepara diambil oleh Demak, Tuan Syahbandar. Jepara direlakan, karena Demak Islam yang mengambil. Orang bilang Tuban bersiap-siap terhadap Peranggi.
Bodoh, kau, Yakub. Mari aku bilangi. Tak kau lihat tadi Sayid palsu Habibullah Almasawa sudah mulai mengiringkan Sang Adipati"
Semua orang sudah melihat, Tuan.
Tandanya dia akan gantikan aku jadi Syahbandar Tuban.
Tidak mungkin, Tuan. Untuk melayani kapal-kapal Peranggi dan Ispanya. Dia tahu dua-dua bahasa itu. Sang Patih sudah mengujinya, dan dia dianggap lulus. Maka tak mungkin Sang Adipati punya sikap terhadap Peranggi atau Ispanya. Dia sendiri kafir! Dan akan mati sebagai kafir! Dia munafik, kafir yang munafik. Pada saudagar-saudagar Islam ia perlihatkan diri seorang Islam demi mas dan perak, dan sutra dan tembikar, dan persembahan. Berapa perempuannya" Tak ada orang bisa menghitung. Bisikannya semakin mengandung amarah, Coba, orang-orang lain diperintahkannya bersembahyang untuknya, yang Buddha, yang Wisynu, yang Syiwa. Juga mandi junub, Yakub, dia tak lakukan sendiri, orang lain harus mewakilinya.
Kalau begitu Tuan, memang kurang ajar Sang Adipati itu. Tapi bagaimana pun, Tuan, Sayid itu takkan mungkin dapat menggantikan Tuan.
Mengapa tidak. Aku bilang, pendatang itu tak mungkin dapat jadi Syahbandar Tuban, biar pun Sang Adipati menghendaki. Tuan akan tetap di tempat. Jangan lupa, Tuan, Yakub, masih segar-bugar, sekarang terserah saja pada Tuan bagaimana jalan dan caranya.
Dalam kegelapan itu bisikan mereka makin pelan, semakin mesra seakan dua sahabat karib, yang baru bertemu setelah berpisah sepuluh tahun. Dan suatu rencana tertimpalah pada malam itu juga: Sayid Habibullah Almasawa disingkirkan dari Tuban, hidup atau mati. Rencana akan dijalankan secepat-cepatnya dan setelititelitinya. Menjelang subuh rencana sudah selesai sepenuhnya. Dan waktu Syahbandar akan pulang terdengar suara Yakub yang agak keras: Nanti dulu, Tuan. Belum lagi Tuan perhitungkan biaya untuk si Yakub miskin dan teman-temannya.
Iblis! bentak Rangga lskak. Kau selalu menuntut biaya. Berapa kau kehendaki"
Lima dinar, Tuan. Husy. Dengan lima dinar aku bisa beli kepalamu sampai kepala nenekmu sendiri.
Uah, uah, kemudian Yakub tertawa senang, hanya lima dinar harga jabatan Tuan" Tinggal pilih, Tuan. Yakub sih, sekedar tenaga murah.
Rangga Iskak berhenti berjalan. Ragu-ragu ia bertanya: Dalam waktu berapa hari semua selesai"
Dua minggu, Tuan. Begitu dia keluar dari kadipaten, jadilah sebagaimana Tuan kehendaki.
Baik. Terima ini satu dinar panjar, dan ia pun pergi tanpa menoleh lagi.
Yakub tertawa, masuk kembali ke dalam warung dan mendengus: Si buaya itu sudah menyediakan dinar dalam pundi-pundinya. Kalau mengenai mas, mas yang harus keluar, dia pikun seperti hampir-hampir mati tua. Kalau emas harus masuk, dia lebih dari seorang periba. Dasar buaya darat!
Tholib Sungkar Az-Zubaid alias Sayid Mahmud Al- Badaiwi alias Sayid Habibullah Almasawa masih mendengkur di gandok belakang kadipaten& .
0o-dw-o0 5. Idayu dan Galeng Pagihari.
Semua orang datang ke alun-alun membawa bekal makan.
Pelabuhan sunyi. Jalan-jalan senyap. Semua berkepentingan menyaksikan dan mendengarkan sendiri keputusan Sang Adipati di hadapan para petanding.
Alun-alun lebih ramai daripada kemarin atau kemarin dulu. Bangsal-bangsal pertunjukan telah terbongkar. Dan orang duduk berbanjar-banjar di atas tanah, tak peduli rakyat biasa saudagar ataupun orang asing.
Pedang Kayu Harum 18 Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo Yang Lain Other 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama