99 Cahaya Di Langit Eropa Menapak Jejak Islam Di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais Dan Rangga Almahendra Bagian 1
"Novel perjalanan ini menunjukkan bahwa
kebudayaan dan teknologi selalu berjalan
berdampingan, saling mengisi, menentukan masa
depan suatu peradaban."
"B.J. Habibie TI (Mantan Presiden Republik Indonesia)
N A ON AL S E LL E R om 99 Cahaya BE S ?"" No Islavel mI T .b lo gs po t.c di Langit Eropa pu st ak a -in do Perjalanan Menapak Jejak Islam
di Eropa Hanum Salsabiela Rais Rangga Almahendra Cover_99cahaya.indd 1 9/16/11 3:06 P Komentar Tokoh pu st ak a -in do .b lo gs po t.c om Novel perjalanan Hanum Salsabiela Rais-Rangga
Almahendra yang berjudul 99 Cahaya di Langit
Eropa: Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa,
yang ditulis berdasarkan pengamatan selama tiga
tahun hidup di Eropa, cukup menarik. Hanum
kemudian menyimpulkan bahwa kondisi umat saat
ini sudah semakin jauh dari akar yang membuat
peradaban Islam terang-benderang seribu tahun
lalu, karena kondisi umat kini yang menyalahartikan
"jihad" sebagai perjuangan dengan pedang, bukan
dengan perantara kalam (pengetahuan dan
teknologi). Pengamatan Hanum, sekali lagi menunjukkan
kepada kita bahwa kebudayaan dan teknologi selalu
berjalan berdampingan, saling mengisi, menentukan
masa depan suatu bangsa. Jika kebudayaan suatu
bangsa mati, mati pula teknologi bangsa itu. Di luar
meredupnya peradaban Islam, lihat saja persamaan
dengan kepunahan Suku Indian Maya di Amerika
Latin, bersamaan dengan punahnya teknologi suku
tersebut. Begitu pula jika kebudayaan dan teknologi
suatu bangsa dikekang, bangsa itu tidak akan
pu st ak a -in do .b lo gs po t.c om tumbuh. Sebaliknya jika keduanya diberikan
kesempatan mekar, masa depan bangsa itu mekar
dan berkembang. Berdasarkan pengalaman sejarah dan peradaban
umat manusia, yang lebih penting bagi umat Islam
sekarang ini tidak lagi sibuk membicarakan
keunggulan-keunggulan yang telah dicapai umat Islam
pada masa lampau, atau memperdebatkan siapa yang
pertama kali menemukan angka nol, termasuk angka
satu, dua, tiga, dan seterusnya, sebagai sumbangan
umat Islam dalam penulisan angka pada zaman
modern dan dasar seluruh pembangunan dan
peradaban di dunia, tetapi bagaimana umat Islam
kembali unggul dan menguasai ilmu pengetahuan dan
teknologi, kembali terdepan dan menjadi pemimpin
dalam ilmu pengetahuan dan peradaban dunia, karena
prestasi nyata yang ditunjukkannya.
"Bacharuddin Jusuf Habibie
Mantan Presiden Republik Indonesia
" " Buku ini berhasil memaparkan secara menarik
betapa pertautan Islam di Eropa sudah berlangsung
sangat lama dan menyentuh berbagai bidang
peradaban. Cara menyampaikannya sangat jelas,
ringan, runut, dan lancar mengalir. Selamat!
"M. Amien Rais (Ayahanda Penulis) " " 99 Cahaya di Langit Eropa: Perjalanan Menapak
Jejak Islam di Eropa karya Hanum Salsabiela
Rais-Rangga Almahendra adalah buku
istimewa"lebih daripada sekadar "personal
account" dan perjalanan spiritual Hanum di
Eropa, tetapi juga adalah novel sejarah Islam di
Eropa. Berbeda dengan banyak karya lain
tentang pertemuan dan perbenturan Islam
dengan Eropa, dengan gaya bertutur personal,
karya ini membawa kita ke dalam lingkungan
yang hidup dan riil. Karena itu, karya ini penuh
dengan nuansa dan gemuruh perjalanan sejarah
peradaban Islam Eropa, baik pada masa silam
yang jauh maupun pada masa sekarang, ketika
Islam dan Muslim berhadapan dengan realitas
kian sulit di Eropa. Padahal Islam pernah
memberikan kontribusi besar dalam kebangkitan
Eropa menuju dunia modern; kontribusi yang
kini juga tetap diberikan melalui?pribadipribadi Muslim yang berkiprah dalam
bidang?keilmuan, seperti Marion Latimer dan
banyak lagi kaum muslimin yang bergerak
dalam ketenagakerjaan dan ekonomi Eropa.
Tidak ragu lagi, karya ini merupakan kontribusi
besar untuk memahami dinamika dan kontribusi
Islam pada peradaban dan masyarakat Eropa;
dan sekaligus ke arah pemahaman lebih baik
tentang lingkungan hidup masyarakat Muslim
dalam diaspora Eropa. "Azyumardi Azra Guru Besar Sejarah; Direktur Sekolah Pascasarjana
UIN Jakarta; Co-Chair United Kingdom-Indonesia
Islamic Advisory Group (London & Jakarta); dan
Anggota Badan Penasihat International Insitute for
Democracy and Electoral Assistance (IDEA,
Stockholm) " " Memaknai buku ini seperti sebuah metamorfosis
perjalanan spiritual untuk menemukan kehakikian
jati diri. Suatu penjelajahan meniti samudra
kehidupan, menyelami hakikat persahabatan, dan
mensyukuri keagungan sebuah keyakinan.
"I Gusti Wesaka Puja
Duta Besar Indonesia untuk Austria dan Slovenia
" " Pengalaman Hanum sebagai jurnalis membuat novel
perjalanan sekaligus sejarah ini mengalir lincah dan
indah. Kehidupannya di luar negeri dan interaksinya
dengan realitas sekulerisme membuatnya mampur
bertutur dan berpikir "out of the box" tanpa mengurangi
esensi Islam sebagai rahmatan lil alamin.
"Najwa Shihab (Jurnalis dan Host Program Mata Najwa, Metro TV)
" " .b lo gs po t.c om Lewat kisah-kisah sederhana dan menarik, Hanum
membukakan mata tentang pernak-pernik kehidupan
Islam di Eropa dan mengajak untuk lash back melihat
masa lalu. Hanum mampu merangkai kepingan mosaik
tentang kebesaran Islam di Eropa beberapa abad lalu.
Lebih jauh lagi, melihat nilai-nilai Islam dalam kehidupan
Eropa. Islam dan Eropa sering ditempatkan dalam
stigma "berhadapan", sudah saatnya ditempatkan
dalam kerangka stigma "saling menguatkan".
"Anies Baswedan (Rektor Universitas Paramadina dan Ketua
Indonesia Mengajar) ak a -in do " " pu st H = Halaman demi halaman tulisan ini memberikan
inspirasi buat yang membacanya.
A = Analisis yang ditulis secara objektif.
N = Niat tulus untuk mengungkapkan fakta sejarah.
U = Ulasan dan tulisan diceritakan dengan lugas
dan mudah dipahami. M = Membuat saya lebih jatuh cinta kepada Islam.
"Eko Patrio Artis Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
Lingkup Hak Cipta: Pasal 2 Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang
Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya,
yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan
tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.
Ketentuan Pidana: Pasal 72 1. Barang siapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau
Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda
paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana
penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2.Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,
mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau
barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai
dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
99 Cahaya di Langit Eropa Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa
Hanum Salsabiela Rais & Rangga Almahendra
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
vii 99 Cahaya di Langit Eropa
Menapak Jejak Islam di Eropa
Oleh: Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra
GM 22401110010 Copyright ? Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Kompas Gramedia Building Blok I, Lt 5
Jl. Palmerah Barat 29"37
Jakarta Pusat 10270 om Desain cover dan isi: Suprianto
gs po t.c Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia
Pustaka Utama, Anggota IKAPI, Jakarta, 2012
pu st ak a
99 Cahaya Di Langit Eropa Menapak Jejak Islam Di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais Dan Rangga Almahendra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
-in do .b lo Cetakan pertama: Juli 2011
Cetakan kedua: Agustus 2011
Cetakan ketiga: September 2011
Cetekan keempat: November 2011
Cetakan kelima: Desember 2011
Cetakan keenam: Februari 2012
Cetakan ketujuh: Maret 2012
Cetakan kedelapan: April 2012
Cetakan kesembilan: Agustus 2012
Cetakan kesepuluh: November 2012
Cetakan kesebelas: Februari 2013
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang. Dilarang
mengutip atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.
ISBN: 978-979-22-7274-1 Dicetak oleh percetakan PT Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab Percetakan
Untuk seluruh saudara-saudari
muslimku dan mereka para pencari cahaya.... Daftar Isi Prolog -2 Overture -10 Bagian I Wina -20 Bagian II Paris -124 Bagian III Cordoba & Granada -230
Bagian IV Istanbul -314 Epilog -372 Jejak Kronologis -393 Tentang Penulis -408 "Danke" -410 London Brussels Leipzig Cologne Frankfurt am Main Eropa Stuttgart Paris Munich Milan Turin Genoa Marseille Zaragoza Rome Barcelona Madrid Lisa bon Cordoba Valencia Palermo Sevilla 2 Granada Algiers M?laga Prolog Tinggal di Eropa selama 3 tahun menjadi arena
menjelajah Eropa dan segala isinya. Untuk pertama
kalinya dalam 26 tahun, saya merasakan hidup di
suatu negara tempat Islam menjadi minoritas.
Pengalaman yang makin memperkaya dimensi
spiritual untuk lebih mengenal Islam dengan cara
yang berbeda. Tunis Leipzig ain Wroclaw Prague L?d" Kiev Krak?w Lviv tgart Munich Vienna Budapest Chisinau Dessa Zargeb Belgrade Bucharest Sarajevo Sofia Rome Istanbul om Naples Nome d"Ath?nes Konya Antalya pu st ak a -in do .b lo Tunis Izmir gs Palermo po t.c Eskisehir Ankar Buku ini adalah catatan perjalanan atas sebuah
pencarian. Perjalanan yang membuat saya
menemukan banyak hal lain yang jauh lebih menarik
dari sekadar Menara Eiffel, Tembok Berlin, Konser
Mozart, Stadion Sepak Bola San Siro, Colosseum
Roma, atau gondola-gondola di Venezia. Pencarian
saya telah mengantarkan saya pada daftar tempat3 4 tempat ziarah baru di Eropa yang belum pernah saya
dengar sebelumnya. Memang tempat-tempat ziarah
tersebut bukanlah tempat suci yang namanya
pernah disebut dalam Al-Qur"an atau kisah para
nabi. Tapi dengan mengunjungi tempat-tempat
tersebut, saya jadi semakin mengenal identitas
agama saya sendiri. Membuat saya makin jatuh
cinta dengan Islam. Eropa dan Islam. Mereka pernah menjadi
pasangan serasi. Kini hubungan keduanya penuh
pasang surut prasangka dengan berbagai
dinamikanya. Berbagai kejadian sejak 10 tahun
terakhir"misalnya pengeboman Madrid dan London,
menyusul serangan teroris 11 September di
Amerika, kontroversi kartun Nabi Muhammad, dan
ilm Fitna di Belanda"menyebabkan hubungan
dunia Islam dan Eropa mengalami ketegangan yang
cukup serius. Saya merasakan ada manusia-manusia
dari kedua pihak yang terus bekerja untuk
memperburuk hubungan keduanya. Luka dan
dendam akibat ratusan tahun Perang Salib yang
rupanya masih membekas sampai hari ini.
Mengutip kata-kata George Santayana: "Those
who don"t learn from history are doomed to repeat it."
Barang siapa melupakan sejarah, dia pasti akan
mengulanginya. Banyak di antara umat Islam kini
yang tidak lagi mengenali sejarah kebesaran Islam
pada masa lalu. Tidak banyak yang tahu bahwa luas
teritori kekhalifahan Umayyah hampir 2 kali lebih
pu st ak a -in do .b lo gs po t.c om besar daripada wilayah Kekaisaran Roma di bawah
Julius Caesar. Tidak banyak yang tahu pula bahwa
peradaban Islam-lah yang memperkenalkan Eropa
pada Aristoteles, Plato, dan Socrates, serta akhirnya
meniupkan angin renaissance bagi kemajuan Eropa
saat ini. Cordoba, ibu kota kekhalifahan Islam di
Spanyol, pernah menjadi pusat peradaban
pengetahuan dunia, yang membuat Paris dan
London beriri hati. Islam pertama kali masuk ke Spanyol membawa
kedamaian dan kemajuan peradaban. Benih-benih
Islam itu tumbuh menyinari tanah Spanyol hingga
750 tahun lebih, jauh sebelum dan lebih lama
daripada Indonesia mengenal Islam. Namun kita
semua juga harus bertanya, apa yang membuat
cahaya ini kemudian meredup" Peristiwa apa yang
akhirnya membuat Islam tersapu dari Spanyol" Apa
yang bisa kita pelajari dari kesalahan-kesalahan
masa lalu agar kita tidak terperosok di lubang yang
sama" Tidak bisa kita mungkiri, peradaban Islam
mengalami kemunduran selama beberapa abad
terakhir. Di tengah retorika teriakan jihad untuk
memerangi negara-negara barat, kita dihadapkan
pada suatu realitas: tidak ada satu pun negara Islam
yang memiliki kemampuan teknologi untuk
melindungi dirinya sendiri saat ini.
Dunia Islam saat ini sudah mulai memalingkan
muka dari pengembangan ilmu pengetahuan dan
5 teknologi. Semakin jauh dari akar yang membuatnya
bersinar lebih dari 1.000 tahun yang lalu. Kemudian
ketika ada negara yang melarang pemakaian jilbab,
pembangunan minaret, atau seorang yang
mengolok-olok Islam dengan membuat video Fitna,
kita hanya bisa berteriak-teriak di depan kedutaan
negara mereka sambil membakar bendera. Hanya
itu. Ini yang coba saya releksikan dalam catatan
perjalanan ini. Saya mencoba mengumpulkan
kembali sisa kebesaran peradaban Islam yang kini
terserak. Dan saya justru menemukan jejak-jejak
peninggalan tersebut selama menempuh perjalanan
menjelajah Eropa. 6 " " Sudah terlalu banyak buku traveling sebelumnya,
terutama tentang Eropa dan segala keindahannya,
yang hadir. Bangunan-bangunan, tempat yang wajib
dikunjungi berikut tip-tip perjalanan dan cara
kreatif untuk berhemat, semua dikemas untuk
pembaca. Tapi buat saya sendiri, hakikat sebuah
perjalanan bukanlah sekadar menikmati keindahan
dari satu tempat ke tempat lain. Bukan sekadar
mengagumi dan menemukan tempat-tempat unik di
suatu daerah dengan biaya semurah-murahnya.
Menurut saya, makna sebuah perjalanan harus
lebih besar daripada itu. Bagaimana perjalanan
tersebut harus bisa membawa pelakunya naik ke
derajat yang lebih tinggi, memperluas wawasan
sekaligus memperdalam keimanan. Sebagaimana
yang dicontohkan oleh perjalanan hijrah Nabi
Muhammad saw. dari Mekkah ke Madinah.
Umat Islam terdahulu adalah "traveler" yang
tangguh. Jauh sebelum Vasco de Gama menemukan
Semenanjung Harapan, atau Colombus menemukan
benua Amerika, musair-musair Islam telah
menyeberangi 3 samudra hingga Indonesia,
berkelana jauh sampai ujung negeri China,
menembus Himalaya dan Padang Pasir Gobi. Mereka
adalah orang-orang yang tidak pernah ragu untuk
meninggalkan rumah, belajar hal-hal baru dari
dunia luar sana. Bukankah dalam Al-Qur"an juga
disebutkan bahwa Allah menciptakan manusia
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar manusia
bisa saling mengenal, berta"aruf, saling belajar dari
bangsa-bangsa lain untuk menaikkan derajat
kemuliaan di sisi Allah"
Bagi saya, berada di Eropa selama lebih dari tiga
tahun adalah pengalaman yang tak ternilai
harganya. Saya mencoba membuka mata dan hati
saya menerima hal-hal baru dan mereleksikannya
untuk memperkuat keimanan saya. Menelisik
hikmah dalam setiap perjalanan, belajar dari
pengalaman dan membaca rahasia-rahasia masa lalu
yang kini hampir tak terlihat lagi di permukaan.
Saya tak menyangka Eropa sesungguhnya juga
7 8
99 Cahaya Di Langit Eropa Menapak Jejak Islam Di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais Dan Rangga Almahendra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyimpan sejuta misteri tentang Islam.
Catatan perjalanan ini berdasarkan kisah nyata
saya dan Rangga dalam berinteraksi sosial dan
mengusung fakta sejarah yang sebenarnya. Namun,
untuk melindungi privasi orang-orang yang terlibat
dalam cerita ini, nama mereka sengaja disamarkan.
Tutur dialog dan alur cerita yang terjadi dalam buku
ini juga direkonstruksi ulang untuk memperkuat
bangunan cerita, tanpa menghilangkan esensinya.
Perjalanan saya menjelajah Eropa adalah sebuah
pencarian 99 cahaya kesempurnaan yang pernah
dipancarkan Islam di benua ini. Vienna, Paris,
Madrid, Cordoba, Granada, dan Istanbul masuk dalam
manifes perjalanan saya selama menjelajahi Eropa.
Perjalanan ini membuka mata saya bahwa Islam
dulu pernah menjadi sumber cahaya terang
benderang ketika Eropa diliputi abad kegelapan.
Islam pernah bersinar sebagai peradaban paling
maju di dunia, ketika dakwah bisa bersatu dengan
pengetahuan dan kedamaian, bukan dengan teror
atau kekerasan. Saat memandang matahari tenggelam di Menara
Eiffel Paris, Katedral Mezquita Cordoba, Istana
Al-Hambra Granada, atau Hagia Sophia Istanbul,
saya bersimpuh. Matahari tenggelam yang saya lihat
adalah jelas matahari yang sama, yang juga dilihat
oleh orang-orang di benua ini 1.000 tahun lalu.
Matahari itu menjadi saksi bisu bahwa Islam pernah
menjamah Eropa, menyuburkannya dengan
menyebar benih-benih ilmu pengetahuan, dan
menyianginya dengan kasih sayang dan semangat
toleransi antarumat beragama.
Akhir dari perjalanan selama 3 tahun di Eropa
justru mengantarkan saya pada pencarian makna
dan tujuan hidup. Makin mendekatkan saya pada
sumber kebenaran abadi yang Mahasempurna.
Saya teringat kata sahabat Ali ra.:
Wahai anakku! Dunia ini bagaikan samudra tempat
banyak ciptaan-ciptaan-Nya yang tenggelam. Maka
jelajahilah dunia ini dengan menyebut nama Allah.
Jadikan ketakutanmu pada Allah sebagai kapal-kapal
yang menyelamatkanmu. Kembangkanlah keimanan
sebagai layarmu, logika sebagai pendayung kapalmu,
ilmu pengetahuan sebagai nakhoda perjalananmu; dan
kesabaran sebagai jangkar dalam setiap badai cobaan.
(Ali bin Abi Thalib ra.) 9 10 Overture Sebuah kota di Eropa Barat, 11 September 1683
Malam semakin merayap, dingin pada akhir musim
panas yang semakin memuncak. Laki-laki tua itu
menunggu di dalam barak. Seharusnya hari ini adalah hari yang paling
ditunggu-tunggu untuk melancarkan aksinya.
Semua sudah terencana rapi. Penantian hampir 100
tahun akhirnya akan segera terwujud. Dia akan
dielu-elukan sebagai panglima perang paling besar
pada zamannya. Namun, mendung yang kelam di langit membuat
dirinya menangguhkan niat. Dia mempunyai irasat
buruk. Hujan akan memporak-porandakan semua
rencana yang sudah tersusun rapi. Dia tidak mau
menghantam musuh saat hari hujan, mengulang
kesalahan panglima perang sebelumnya.
Laki-laki itu terduduk di atas kursi kayu
mempelajari sebuah peta. Dia membelai-belai
jenggotnya yang panjang sambil menganggukangguk sendiri. Matanya tak berkedip memandang
titik-titik di atas peta. Selain titik-titik itu, deretan
garis yang menghubungkan titik-titik itu juga
membuatnya tersenyum puas. Puas oleh gambaran
peta yang baru saja diberikan oleh penasihatnya.
Peta pengepungan sebuah kota.
Seorang laki-laki lain tiba-tiba masuk ke dalam
barak. Dia membawa pesan penting.
"Panglima, lapor!" seru laki-laki tadi saat
menghadap laki-laki tua itu di barak.
"Penasihat, apa yang akan kausampaikan"
Kuharap berita baik," kata laki-laki tua itu.
"Siap Panglima, tinggal satu titik lagi. Pasukan
kita sudah membuat terowongan bawah tanah di
sini separuh jalan," kata sang penasihat menunjuk
salah satu deret garis yang menghubungkan titiktitik di atas peta.
"Hingga hari ini kita sudah berhasil membuat 257
terowongan ke pusat kota. Orang-orang terbaik
telah kita tempatkan. Ahli peledak juga telah kita
perintahkan untuk siap sedia. Jika tak ada aral
melintang, besok adalah hari bersejarah bagi kita
11 12 semua," tambah penasihat itu mantap, menerangkan
kemajuan rencana penyerangan.
"Berapa prajurit Sipahi dan Janissari yang kita
punya untuk melakukan serangan?"
"Tujuh ribu orang lebih, Panglima."
"Lalu, bagaimana kondisi kavaleri kita hingga
saat ini?" "Kita kehilangan banyak, tetapi tak sebanyak
lawan. Tujuh puluh tujuh ribu tentara sudah
termobilisasi di depan benteng lawan."
"Jangan pernah lengah. Awasi terus sepanjang
benteng. Jangan biarkan satu orang pun keluar dari
sela-sela benteng. Kita akan kepung mereka sampai
mereka kelaparan. Jika sampai ada yang akan
melarikan diri, tangkap dan kita interogasi mereka!"
perintah laki-laki tua itu lantang. Dia diam sejenak
setelah penasihatnya berkata "Siap" dengan
mantap. Lalu ada hening di sana.
"Bagaimana dengan mata-mata kemarin yang
tertangkap?" tanya laki-laki tua itu lagi.
"Sudah dipancung. Bahasa Turki mereka bagus,
tapi mereka gagal menerjemahkan sandi-sandi dari
pasukan kita," jawab penasihat itu dengan tegas.
"Kalau begitu, simpan energi kita. Sebelum siang
kita gempur lawan! Jangan memulai serangan
kecuali ada serangan dari dalam benteng. Tuhan
bersama kita!" tutup laki-laki tua itu sambil
mengibaskan tangannya ke arah penasihatnya.
Sebuah tanda agar penasihatnya keluar dari barak.
"Siap, Panglima. Tuhan bersama kita," timpal
penasihat itu. Namun, penasihat itu tak beranjak.
Masih ada sesuatu yang ingin disampaikannya.
"...Mmm...Panglima.... Apakah Panglima juga
berkenan mendengar berita lainnya" Hanya saja
berita ini sedikit kurang baik...," ucap penasihat itu
terbata-bata. Mata laki-laki tua tiba-tiba melotot. Dia seperti
tak percaya. Ini adalah detik-detik yang menentukan.
Seharusnya tak ada lagi berita buruk!
Laki-laki tua itu tak menjawab penasihatnya.
Penasihatnya pun tak berani bersuara sedikit pun.
Dia menunduk penuh ketakutan. Namun dia tahu,
pesan ini harus disampaikan kepada orang yang
paling bertanggung jawab dalam misi penaklukan
ini. "Katakan!" Suara berat laki-laki tua itu
akhirnya keluar juga. Penasihatnya yang beberapa
menit bergeming dalam posisinya akhirnya angkat
bicara. "Mereka tidak menyerang, Panglima. Tetapi
anak buah kita melihat tembakan api terusmenerus dilontarkan ke udara dari dalam
benteng," jawab penasihat itu dengan satu tarikan
napas. Dia seperti tak tahu harus menjawab apa
jika ditanya pemimpinnya tentang hal aneh itu.
Lontaran sekam berapi. Ada dua kemungkinan, sandi
untuk pasukan bantuan...atau pertanda penyerahan diri....
Tapi jika itu adalah penyerahan diri, seharusnya, seorang
13 14 kurir sudah dikirim ke dalam barak. Jadi ini adalah....
Hanya itu yang ada di pikiran laki-laki tua itu.
Orang-orang di dalam kota itu telah meminta bala
bantuan dari luar! Laki-laki tua itu bangkit dari tempat duduknya
yang empuk, berjalan di depan penasihatnya yang
masih berdiri tertegun. Lalu dia berlari keluar barak
nyamannya, menyingkap tirai, lalu menatap bebas
pemandangan yang ada di depannya.
Sebuah benteng kokoh nan tinggi menjulang
berdiri di hadapannya. Laki-laki tua itu terus
memandang sekeliling. Dengan pencahayaan
lampu-lampu api yang dipasang di tiap-tiap barak
kecil milik pasukannya, laki-laki itu berjalan
sendiri di tengah rintik hujan. Pandangannya kali
ini tak berbatas. Kota yang dia kepung ini telah
dia pelajari seluk-beluknya berbulan-bulan.
Laki-laki tua itu yakin tak ada yang tercecer dari
rencananya, hingga dia menyadari suatu hal...kota
ini dikepung oleh perbukitan tinggi!
Lalu dia teringat sesuatu lagi...dua mata-mata
musuh yang tertangkap. Jika musuh mengirim
mata-mata, mereka tentu tak akan mengirim hanya
satu atau dua. Mereka pasti memperbanyak
kemungkinan.... Mungkinkah ada mata-mata musuh lain yang berhasil
meloloskan diri dari puluhan ribu barak di luar benteng ini
hingga mencapai bukit itu" Laki-laki tua itu bergetar. Dia
tak percaya telah melakukan sebuah kesalahan besar.
Laki-laki tua itu terduduk lagi di singgasananya
dalam barak. Dia tak bisa tidur nyenyak.
" " 12 September 1683 Pagi telah menyongsong, namun salak anjing-anjing
pemburu masih terdengar bersahutan. Seolah
mereka ahli nujum yang menyampaikan hal buruk
yang akan terjadi. Laki-laki tua itu keluar dari barak lagi. Dia
termenung memandang sekeliling. Hatinya
bergejolak dahsyat. Siapakah sebenarnya yang aku bela dalam perang
ini" Diriku sendiri" Sultanku" Agamaku" Atau
ketamakanku" Tidak ada yang berubah dari benteng yang tinggi
kokoh itu. Rakyat berhasil membuat benteng terkuat
dan termegah yang pernah ada di Eropa.
Nyala lampu api gantung semakin redup.
Laki-laki tua itu membuka lipatan peta strategi
pertempuran tadi malam. Titik-titik di peta dari
kulit sapi itu menggambarkan bastion benteng
kota yang bagian bawahnya dipasangi bubuk
peledak. Jika dia menyeru "serbu" pada
pasukannya, bastion-bastion benteng akan
langsung meledak. Di dalam benteng, tiba-tiba sebuah loncatan api
terpelanting ke udara beberapa kali. Sinyal
15 16 permintaan bantuan dari dalam benteng kembali
diletupkan. Laki-laki tua itu menengok ke arah bukit di
belakangnya. Bukit itu satu-satunya belantara yang
tidak pernah dia perhitungkan. Dia berpikir cepat.
Dia yakin musuhnya telah minta bantuan dari luar,
namun bantuan itu belum kunjung tiba. Jika
perhitungannya benar, bantuan itu seharusnya akan
datang hari ini. Artinya, dia harus lebih dulu
menaklukkan kota sebelum orang-orang kota
mendapatkan bantuan dari luar.
Dia berketetapan hati. Sebelum matahari
tergelincir, kota berbenteng itu harus digenggam!
Tapi agaknya semua sudah terlambat.
Penasihatnya datang tergopoh-gopoh kepadanya.
"Panglima, pasukan gabungan Polandia dan
Jerman mengirim pesan kepada kita. Mereka telah
mengepung kita dari balik bukit, meminta kita
mundur. Mohon maafkan hamba. Hamba tak bisa
menjawab berapa kekuatan pasukan mereka."
Rasa panik tiba-tiba menyerang laki-laki tua itu.
Tubuhnya bergetar lagi. Dia sadar, kini dirinya yang
sebenarnya sedang dikepung musuh. Dari 2 arah!
Musuh di dalam benteng dan musuh dari luar
benteng. Laki-laki tua itu tercenung. Dia gundah. Tapi
baginya, ini semua adalah titik tanpa kembali. Dia
takkan mundur barang selangkah pun.
"Bagi pasukan menjadi 2! Siapkan semua
Janissari dan Sipahi untuk menghadapi aliansi
mereka di bukit. Sisanya menyerbu benteng
bersamaku! Sekarang ini juga, perintahkan
penyerbuan! Allah bersama kita...."
" " Allah bersama kita. Itulah kata-kata terakhir laki-laki tua itu sebelum
akhirnya dia menghunus pedang bersama pasukan
kavalerinya, menghantam apa saja yang dilewatinya.
Membakar semua rumah dan gubuk penduduk.
Suara meriam dari pasukan artileri berdebumdebum menggetarkan bumi dan langit siang itu. Lalu
suara ledakan dari bawah tanah pun berdentum
menyobek permukaan tanah dan meruntuhkan
bastion-bastion benteng.
99 Cahaya Di Langit Eropa Menapak Jejak Islam Di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais Dan Rangga Almahendra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Laki-laki tua itu sudah benar memperhitungkan
semuanya. Hari ini adalah hari yang tenang tanpa
hujan dan angin. Semua bubuk peledak juga
meledak sesuai target. Namun kali ini, di atas
kudanya, tiba-tiba dia merasa lemah. Teriakan
"Allahu Akbar" yang terus dia kumandangkan
dengan ribuan pasukannya tiba-tiba melemah.
Matanya berkunang-kunang.
Tidak ada yang salah dengan semua rencana ini.
Tapi ada rasa bersalah yang tiba-tiba menjalari
dirinya. Sebuah bisikan datang dari lubuk hatinya.
Seperti suara orang-orang yang datang dari alam
17 masa depan. Suara anak, cucu, dan cicitnya yang
belum hadir di muka bumi ini. Suara-suara itu
memintanya untuk menangguhkan penaklukan kota
ini. Tapi laki-laki tua itu tak bisa berpikir jernih lagi.
Di atas kudanya dia baru menyadari apa sebenarnya
yang dia bela. Laki-laki tua itu terus memacu kudanya, namun
pandangan matanya semakin kabur. Jantungnya
berdegup kencang. Kontrolnya terhadap kuda begitu
limbung. Dia terperosok ke dalam parit yang
dibuatnya sendiri. Jatuh terjerembap ke dasar parit
dalam. Sangat dalam.... 18 Heroes Square Muse Kompleks Istana Hof Burggarten Spittelberg Stifts-Kanserne Stifts-Kaserne Neschmarkt Naschmarkt Ger 20 Bagian 1 1" Wina Hari itu, medio Maret 2008, adalah hari-hari
pertamaku menginjak bumi Eropa. Aku
mengikuti suamiku Rangga yang
mendapatkan beasiswa studi doktoral di
Wina, Austria. Aku datang menyusul 4 bulan setelah
suamiku menyelesaikan semua administrasi
untuk bisa mengundangku. Sebagai
pendatang baru, aku bertekad untuk
Innere Stadt Gereja Stephansdom s Square Museum Schatzkammer leks Istana Hofburg City Park Burggarten Karlsplatz Museum Kota Wina aschmarkt schmarkt Gereja St. Charles menghabiskan waktuku dengan berjalan-jalan
mengelilingi kota Wina sambil menunggu panggilan
kerja di kampus Rangga. Pada Maret, seharusnya hawa sudah lebih
menghangat. Seharusnya pegawai pertamanan
mulai menanam bunga warna-warni di alun-alun
dan di setiap sudut kota. Seharusnya burung-burung
sudah berkicau menyambut matahari yang terlalu
irit cahaya pada 6 bulan sebelumnya. Tetapi
21 22 nyatanya itu tidak terjadi. Tuhan Yang Merajai
perubahan alam membuat manusia kecele akan
hitung-hitungan cuaca di Eropa. Hawa Maret kali itu
dingin tak terkira menusuk tulang. Angin perubahan
musim berembus memperburuk keadaan. Burungburung enggan bernyanyi karena tenggorokan
mereka kering dan gatal. Penghangat di bawah jok bus yang aku tumpangi
tak kuasa menantang udara dingin kali itu. Aku
terus berusaha menyusutkan badan di dalam mantel
musim dinginku. Mantel yang cukup tebal dan
seharusnya bisa melindungiku dari hawa dingin. Toh
aku tetap merinding kedinginan.
"Itu karena suhu tubuhmu masih dalam
penyesuaian, Hanum," kata Fatma yang duduk di
sebelahku. Kuperkenalkan, Fatma Pasha. Kawan
seperjalananku ke sebuah tempat baru di Wina.
Baru dua minggu kami berkenalan. Dan pucuk
dicinta ulam tiba, dia seakan tahu aku perlu seorang
penunjuk jalan untuk menyusuri sudut-sudut kota
Wina. Fatma adalah kawan baruku di kelas Bahasa
Jerman di sebuah kursus singkat yang
diselenggarakan oleh pemerintah Austria. Di dalam
kelas, kami bertemu dengan para pendatang lain di
Austria. Sebagian besar murid di kelas itu adalah
para pendatang dari Eropa Timur. Hanya aku dan
Fatma yang berwajah nonbule.
Meski Fatma juga pemula dalam bahasa Jerman,
aku bersandar padanya untuk urusan jalan-jalan kali
ini. Peta Wina sudah lekat diingatnya karena dia
jauh lebih lama tinggal di Wina untuk ikut suaminya.
Lucunya, meski sudah 3 tahun tinggal di Austria, dia
masih harus mengenyam kursus Jerman level A1
sepertiku. Bagaimana mungkin"
Alasannya satu, dia tak punya kegiatan yang
mendekatkannya pada komunikasi bahasa Jerman
sehari-hari. Dia tak bekerja, dia juga tak bersekolah.
"Karena ini, Hanum," ucap Fatma sambil
mengarahkan telunjuknya ke kepala.
"Mungkin"," Fatma berhenti bicara seolah
mencari ide di kepalanya. "Karena aku berhijab. Aku
tak pernah mendapatkan balasan dari perusahaan
tempat aku melayangkan lamaran pekerjaan. Jika
harus bersekolah, aku tak mampu mengeluarkan
biaya," ucap Fatma lirih.
Itulah Fatma, potret seorang imigran Turki di
Austria. Pada usia produktif 29 tahun, dia jatuh
bangun mengirim puluhan surat lamaran pekerjaan.
Karena sehelai kain penutup tempurung kepala yang
tampak dalam pas foto curriculum vitae-nya, dia
tertolak untuk bekerja secara profesional. Paling
tidak, itulah pengakuan Fatma kepadaku.
Kami bercakap-cakap lama dalam bus. Sesekali
Fatma mencoba mengalihkan pembicaraan dengan
menunjukkan padaku panorama di luar jendela.
Indah memang pemandangan kali itu. Kali
pertama aku melihat gunungan tipis putih
23 24 membubuh di atas daun-daun yang berusaha
kembali bersemi. Putih seperti bunga es dalam
kulkas. Sebagian besar telah mengeras menjadi
kristal es. Setiap ban bus melindasnya, bunyi
gemeretak pun berdecak-decak. Oh, ini yang
namanya salju. Salju kali itu adalah yang pertama kulihat di
Eropa. Tapi salju ini bukanlah salju segar yang
diluruhkan langit tadi malam. Salju ini salju terakhir
yang masih berusaha bertahan di tengah asumsi
musim semi yang akan segera tiba. Hamparan
sisa-sisa salju yang berserakan di daun-daun ini
hampir saja membuatku terbuai. Melupakan sebuah
pertanyaan yang sempat hinggap di kepala tentang
dilema yang dialami Fatma, sebelum akhirnya
pertanyaan itu kembali berkelebat di otakku.
"Fatma, maaf jika aku menyinggungmu. Kenapa
kau tak berpikir, mungkin mmm"kualiikasimu
kurang sesuai, atau pengalaman kerjamu kurang
sehingga perusahaan di sini tidak menerimamu?"
ucapku terbata-bata. Terbata-bata karena takut
menyinggung perasaannya. Terbata-bata karena
memang kemampuan bahasa Jermanku masih
berada di dasar laut. "Ah, tadinya kupikir juga demikian, Hanum.
Sampai kuturunkan pilihanku. Katakan padaku,
apakah profesionalitas dan kompetensi sangat
dibutuhkan sekadar untuk menjadi portir dalam
dapur?" Aku terdiam. Portir di dapur. Aku melihat diriku
sendiri. Aku sendiri tak berjilbab. Bagaimanapun,
aku akan berpikir berkali-kali untuk mengambil
pekerjaan sehari-hari mengangkat-angkat barang
berat, atau gampangnya menjadi buruh kasar
perempuan. Namun untuk Fatma, meski dia telah
rela menjadi buruh agar tetap bisa bekerja,
perusahaan-perusahaan di Austria tetap
menolaknya. Entah mengapa aku tertarik berdiskusi tentang
isu jilbab dan pekerjaan ini dengan Fatma. Rasanya
penasaran saja. Di Indonesia, perempuan berjilbab
bisa berkarier sampai puncak. Di Eropa" Apalagi di
Austria" Bagi Fatma, meski mendapatkan izin
bekerja dari pemerintah dan juga dari suaminya,
tetap tak ada artinya. Musykil perusahaan di Austria
mau menerimanya. Dia harus mengubur dalamdalam harapannya menjadi perempuan yang
mengenal dunia kerja. Sekarang tekadnya hanya
satu: menjadi perempuan solehah yang menjaga
keluarga dan keharmonisan rumah tangga. Itu saja,
katanya. "Fatma, kauambil sisi baiknya. Jika kau bekerja,
siapa yang akan mengurusnya?" tanganku menunjuk
bocah perempuan yang tertidur lelap di sebelahnya,
yang tak lain adalah Ayse, anak Fatma yang berusia
3 tahun. Fatma tersenyum sambil mengelus-elus
rambut putri semata wayangnya. Dia menarik napas
dalam-dalam lalu mengembuskannya. Aku tahu dia
25 sedang berpikir bahwa perkataanku mungkin ada
benarnya. " " 26 Perjalanan ke tempat baru di Austria ini adalah ide
Fatma saat pertemuan hari pertama di kelas bahasa
Jerman. Aku selalu yakin, berkenalan dengan orang
baru itu harus dengan cara yang mengesankan.
Bagiku kalimat: "Hai, namaku Hanum. Namamu siapa"
Senang berkenalan denganmu" terdengar sangat
membosankan. Kurang memberi impresi terhadap
calon kawan. Karena itu, kusorongkan cokelat bergambar sapi
terlilit lonceng kepada Fatma yang duduk di
sebelahku, "Magst du Schokolade. Maukah kau
cokelat ini?" tanyaku sambil mempraktikkan bahasa
Jerman dasarku. Kubuka sedikit kemasan cokelat
yang langsung menyembulkan batang-batang
cokelat dari balik lapisan dalamnya.
"Ah, Milka!" Fatma tampaknya kenal akrab
dengan nama cokelat ini. "Ich mag Milka gern. Aber"danke, Ich faste. Saya
sangat suka cokelat Milka. Tapi"terima kasih, saya
sedang berpuasa," jawab Fatma santun.
Tadinya aku agak kecewa karena penawaranku
ditolaknya. Namun aku senang, karena
penolakannya didasarkan sebuah ibadah yang aku
tahu benar maknanya. Sejurus kemudian, kututup
lagi kemasan cokelat yang sudah telanjur robek itu,
lalu kujulurkan kembali kepada Fatma.
"Ambillah untuk berbuka puasa nanti. Kau
berpuasa Senin-Kamis, ya?"
Fatma terlihat begitu girang mendengar
responsku yang paham tentang puasa yang
dilakoninya. Dengan bahasa Jerman seadanya,
jadilah kami kawan dekat sejak itu. Fatma menjadi
rahmat buatku. Rahmat pertemanan dari sebatang
cokelat. Setiap istirahat kelas yang berdurasi 15 menit,
Fatma mengajakku shalat zuhur berjemaah. Awalnya
aku kebingungan, mana mungkin institusi sekuler
semacam kursus bahasa ini menyediakan langgar
atau mushala" Tidak mudah menemukan tempat
ibadah shalat di Eropa. Namun Fatma panjang akal.
Dia menemukan sebuah tempat"walau kurang
representatif untuk shalat, tetapi suasana di sana
cukup khidmat"yaitu ruang penitipan bayi dan anak
para peserta kursus bahasa. Setiap kali kursus, kami
berdua shalat zuhur, menyempil di antara bayi dan
balita yang tengah tergeletak tertidur pulas.
Dengkuran dan dengusan lirih bayi mungil justru
membuat shalat kami semakin khusyuk.
Karena aku muslimah, Fatma merasa mempunyai
saudara dekat di kelas tersebut. Karena itu juga dia
merelakan waktu akhir pekannya untuk mengajakku
berkeliling kota. Memamerkan kota Wina kepada
pendatang baru, tepatnya.
27 "Kau pernah melihat kecantikan kota Wina dari
99 Cahaya Di Langit Eropa Menapak Jejak Islam Di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais Dan Rangga Almahendra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
atas gunung, Hanum" Kalau belum, esok selesai
kelas kau harus melihatnya!" Itulah ajakan jalanjalan Fatma pertama kali di kelas.
28 2 Aku menilik jam tanganku. Seharusnya jika bus
tepat waktu, lima belas menit lagi aku dan Fatma
akan sampai di Kahlenberg.
Kahlenberg adalah sebuah bukit atau
pegunungan di Wina, Austria yang masih menjadi
bagian kecil dari gugusan Alpen yang mengitari 7
negara Eropa. Dari Kahlenberg, orang bisa melongok
cantiknya Wina dari ketinggian, dari pojok A sampai
Z. Sesuai namanya, Kahlenberg, "kahl" dalam bahasa
Jerman berarti telanjang, sementara "berg"
pegunungan. Jadi, kira-kira maksud si pemberi nama
pegunungan ini kala itu adalah dari sini orang bisa
menelanjangi kota Wina seutuhnya tanpa batas.
Untuk menuju Kahlenberg, aku dan Fatma hanya
perlu mengambil bus dari pusat kota dengan tiket
biasa, bukan tiket khusus. Hanya dengan 1,8 Euro"
atau sekitar 22 ribu rupiah"sesuai plot jadwal yang
aku baca di halte, kami akan menempuh perjalanan
29 30 dalam waktu 1 jam hingga mencapai titik tertinggi
Wina dengan 20 halte bus di antaranya.
Ketika bus mulai berjalan, aku merasakan sebuah
intuisi yang dalam. Perjalanan ke Kahlenberg ini pasti
perjalanan yang memikat, aku yakin.
Tepat pukul 17.30 kami turun dari bus di sebuah
halte sepi di atas bukit. Udara menjadi dingin
karena kehangatan pemanas di bus hilang seketika
dari tubuhku. Tapi, rasa dingin itu menjadi sirna tak
terasa tatkala mataku menangkap pemandangan
gunung nan asri. Kami melangkah mendekati pagar
pembatas di sepanjang bukit. Pagar itu melingkar
membentengi dua bukit kecil yang ditebas
menyerupai tembok. Berdiri di belakangnya
memungkinkan kita melihat kota Wina seutuhnya.
Wina yang menyambut datangnya senja. Terlihat
pemandangan luar biasa indah yang mencuri
perhatianku. Kugendong Ayse mendekati pagar
pembatas Kahlenberg. Matahari sudah semakin memerah menuju
peraduan, membuat bangunan dan gedung
serempak menyalakan lampu. Momen tersebut
sayang bila terlewatkan. Kamera di balik mantelku
sudah kukeluarkan, siap menjepret detik-detik
berubahnya suasana malam di Wina. Kilatan sinar
dari kameraku langsung membuncah berkali-kali
mengabadikan panorama senja itu. Ayse yang terus
berada dalam pelukanku sesekali kubiarkan
mencoba memencet-mencet tombol capture.
Diafragma kameraku menangkap sebuah objek
yang membuatku bertanya-tanya. Sederhana, tetapi
dia memberikan pengaruh besar terhadap horizon
pemandangan kota Wina. Sebuah sungai yang
membelah kota Wina menjadi dua. Aku baru sadar,
inilah sungai yang terkenal itu. Donau atau Danube.
Sungai yang menginspirasi Johann Strauss
menciptakan lagu waltz The Blue Danube.
Simfoni abadi musik klasik itu ternyata berawal
dari sungai bening di hadapanku kali itu. Waltz The
Blue Danube benar-benar menggambarkan aliran
sungai yang menginspirasinya. Airnya terkadang
tenang, terkadang bercipratan. Persis permainan
partitur waltz The Blue Danube yang kadang
bergerak lembut legato dan berlompatan staccato.
" " Teng" teng" teng"
Nun jauh di kota Wina sana, lonceng gereja berbunyi
bertalu-talu. Gereja kecil yang ada di Kahlenberg
pun tak mau kalah menyahut. Suara loncengnya
berdentang berkali-kali. Waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore.
Matahari semakin menenggelamkan diri ke
peristirahatannya. Ekor sinarnya yang berwarna
semburat jingga terlihat begitu anggun. Suguhan
lukisan alam yang semakin indah pada senja hari.
Dari mataku aku mengindera 3 horizon panorama.
31 32 Paling atas adalah langit gelap dan matahari yang
terbenam. Di tengah adalah bangunan-bangunan
tinggi bercahaya yang kuyakini sebagian besar
adalah gedung pencakar langit di kompleks markas
PBB, gereja, dan menara pemancar. Paling bawah
adalah Sungai Danube, simfoni gemercik airnya bisa
terdengar dari atas Bukit Kahlenberg. Komposisi
pemandangan yang langka di mataku.
Aku berusaha menikmati keindahan sore di
lereng Kahlenberg. Sampai aku tersadar ada sesuatu
yang hilang pada senja itu. Sesuatu yang akrab
kudengar menjelang matahari terbenam, tapi kali ini
tiada. Fatma memecah keheningan, sontak
menyadarkanku dari lamunan. Dia seperti tahu apa
yang sedang kulamunkan senja itu.
"Kau tidak bisa mendengarnya, kan Hanum" Nun
jauh di sana, di tepi Sungai Danube, ada masjid.
Kalau mendekat, kita bisa mendengar azan dari
masjid itu." Segera aku raih kameraku kembali, kufokuskan
lensanya ke bangunan tersebut. Dengan zoom in
maksimal dalam pencahayaan sangat kurang, aku
melihat bangunan berwarna hijau dengan kubah
blenduk dan minaret. Fatma memberitahuku, masjid itu bernama
Vienna Islamic Center, pusat peribadatan umat
Islam terbesar di Wina. Seorang muazin pasti sedang memanggil umat Islam
untuk shalat magrib sore ini, gumamku dalam hati.
Hanya saja suaranya dikalahkan lonceng gereja di
jagat Wina yang berdengung-dengung.
Sanubariku tiba-tiba tergerak, lalu kupejamkan
mata. Konsentrasiku kupusatkan pada suatu kata,
seolah aku mendengarnya dengan jelas, dan
mengikutinya. Allahhu akbar"Allahu Akbar".
Begitulah rasanya. Lalu kuresapi hafalan doa seusai
panggilan shalat. Sebersit perasaan rindu kampung
halaman karena rindu suara azan tiba-tiba
menerpaku. Sudah beberapa minggu telingaku tak
dihampiri suara kebesaran Tuhan di Eropa ini.
Rasa rindu yang menggejala itu perlahan hilang
saat bulu romaku serempak berdiri. Bukan karena
ketakutan, tapi kedinginan. Matahari sudah benarbenar menghilang. Panorama Wina sudah stabil
dengan cahaya lampu yang itu-itu saja. Kabut
malam yang tebal mulai menyaput deretan
bangunan dan menara di Wina. Manusia yang
berkerumun juga sudah mulai rontok meninggalkan
pagar batas Kahlenberg, menyisakan aku, Fatma,
dan Ayse. "Lebih baik kita langsung ke dalam bangunan
saja, Fatma. Lihat Ayse, sepertinya dia tak kuat
menahan hawa sedingin ini," kataku tak tega
melihat hidung Ayse mulai basah karena ingus.
Satu-satunya bangunan yang kumaksud tak lain
adalah Saint Joseph, gereja berwarna kuning
33 34 keemasan. Selain sebuah kafeteria, gereja itu
menjadi satu-satunya alternatif tempat berlindung
dari hawa dingin yang menusuk. Aku berlari
menggendong Ayse menuju gereja tanpa
menghiraukan ibunya. Sejenak baru kusadari bahwa
Fatma adalah muslimah berjilbab. Muslimah yang
mungkin kurang nyaman memasuki tempat ibadah
agama lain. Kutengokkan kepalaku ke belakang, mencari
keberadaan Fatma. Ternyata dia lari tergopoh-gopoh
tepat di belakangku. "Fatma, kurasa...mmm"sebaiknya kita
menghangatkan diri di kafe." Pernyataanku
membuat Fatma sedikit masygul.
"Kenapa" Sudah telanjur berlari kemari.
Sebaiknya kita masuk dulu ke gereja. Di dalam
banyak patung dan relief yang artistik. Kau perlu
mengabadikannya dengan kameramu. Setelah itu,
baru kita bersantai di kafe. Lekas masuk!"
Tak menduga jawaban Fatma, aku memasuki
gerbang gereja Saint Joseph.
Kami beruntung hari itu. Gereja tersebut tak
biasa dibuka untuk umum, tapi hari itu misa tengah
berlangsung. Jemaah yang sebagian besar beruban
alias berusia lanjut tampak khidmat mendengarkan
khotbah dan sesekali menyanyikan lagu bersama.
Beberapa rombongan jemaah mengalir berdatangan
dan langsung mengambil tempat. Lalu kami"
Kami tidak sendiri. Ternyata banyak turis yang
juga kedinginan seperti kami. Masuk ke gereja
bukan untuk berdoa, melainkan karena tak kuat lagi
menahan dingin. Gereja menjadi penyelamatnya.
Para turis berdiri di area luar misa dan tanpa malumalu menjepret objek-objek menarik dalam gereja.
Hal ini boleh dilakukan dengan satu syarat, tanpa
blitz. Aku pun tak mau ketinggalan mengabadikan
setiap sudut gereja yang berumur ratusan tahun itu.
Tapi, tanganku seakan beku tak bisa digerakkan.
Gambar yang kuambil menjadi gurat-gurat tak jelas.
Dingin masih berdiam diri dalam kepalan tangan
dan jari-jariku. "Aku tahu cara menghangatkan badan yang
paling efektif dalam gereja," sekali lagi Fatma
seperti bisa membaca kegelisahanku. Gelisah karena
tanganku bagai batu. Lalu dengan sigap dia
memperagakan cara cepat menaikkan suhu tubuh
manusia dalam gereja. Mengayun-ayunkan jari
jemarinya mengawang di atas lilin-lilin yang
menerangi remang Saint Joseph, kemudian dengan
cepat menariknya kembali.
Aku mengikuti Fatma. Kukibas-kibaskan kedua
tanganku di atas api lilin-lilin yang sebenarnya
ditujukan untuk berdoa. Beberapa saat, jari-jariku
yang membeku mulai menghangat. Dan dari ujung
jari-jari itu, kalor panas mulai merambat masuk ke
dalam tubuhku. Di dekat beranda lilin itu ada
sebuah gelas porselen dengan tulisan 50 cent Euro.
Kumasukkan koin 50 cent Euro ke dalam gelas
35 36 porselen tersebut. Tanda terima kasih karena lilinlilin tersebut telah memberiku kehangatan.
Kulihat Fatma yang masih menggendong Ayse
sambil sesekali mengusap hidung Ayse yang dialiri
ingus. Dia begitu antusias mengambil gambar di
setiap sudut gereja lewat kamera yang kutitipkan
padanya. Sebuah perasaan yang tak bisa
kugambarkan seketika menghinggapi diriku. Tentang
Fatma dan seluruh sikapnya hari ini. Sikapnya yang
membantah kekhawatiranku terhadap prinsipnya
tentang Islam. Dia begitu ringan memahami agamanya tanpa
menyulitkan dirinya sendiri. Jelas, tidak semua
orang muslim mempunyai pandangan sama, bahwa
mereka boleh memasuki tempat ibadah umat agama
lain. Tapi bagi Fatma, semua itu berpulang pada niat
dalam hati. Niat saat itu tentu untuk mencari
perlindungan diri dari serangan hawa dingin.
3 "Dan niat untuk menunjukkan padamu, bahwa orang
Eropa sejak dulu sangat peduli dengan detail,"
tambah Fatma saat kami akhirnya duduk santai di
sebuah kafeteria di seberang Saint Joseph.
Hari itu aku menikmati cantiknya kota Wina dari
balik jendela kafe sembari menunggu sepotong roti
croissant serta secangkir cappucino yang kupesan.
Hari itu semakin berkesan karena Fatma secara tak
langsung memberiku banyak pengetahuan baru.
"Kalau kaulihat, gereja-gereja di Eropa dibangun
ratusan tahun lalu. Dan bisa kaulihat semuanya
sangat indah karena detail yang rumit di setiap
reliefnya. Bahkan mereka membangun gereja
dengan menara setinggi mungkin, padahal gereja
sudah dibangun di dataran yang sangat tinggi. Tentu
hal seperti ini tidak mudah dilakukan pada zaman
dulu." Fatma yang tak bersekolah tinggi ini ternyata
37 38 mempunyai kecermatan yang tinggi. Meski
muslimah sejati, ternyata dia tahu banyak model
dan tipe gereja di Eropa. Termasuk mengapa gereja
harus dibangun dengan gaya khusus.
"Kalau yang memakai menara tinggi disebut
gereja bergaya gothic. Semakin tinggi menara
dibangun, jemaat yang berdoa dalam gereja akan
merasa semakin dekat dengan Tuhan. Karena, Tuhan
diasumsikan berada di atas langit.
?"kalau gereja yang atapnya berbentuk kubah
seperti masjid, disebut bergaya baroque. Nah,
biasanya dalam gereja baroque, lukisan-lukisan
99 Cahaya Di Langit Eropa Menapak Jejak Islam Di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais Dan Rangga Almahendra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gambaran malaikat dan mosaik bersepuh emas lebih
dominan karena"."
"Psst"psst, Fatma...diamlah sebentar"," kataku
sambil meletakkan telunjukku di ujung bibir.
Ada suara yang tiba-tiba mengusikku. Suara
cekikikan tamu kafe yang duduk di meja di balik
tembok. Tembok kafe setebal kira-kira 15 cm itu
memisahkan meja kami dengan meja mereka. Aku
mengintip tamu kafe itu sebentar dari balik tembok.
Dari bahasa Inggris yang begitu fasih, aku yakin
mereka adalah para turis yang berkunjung di
Kahlenberg. Dan dari kecukupan kemampuanku
mendengar percakapan bahasa Inggris, aku yakin
mereka sedang bercakap-cakap tentang".
Roti croissant! Roti croissant yang mereka sedang
santap. Dan kata-kata inilah yang membuatku
menghentikan Fatma berbicara: "If you want to
ridicule Muslims, this is how to do it! Kalau kalian mau
mengolok-ngolok Muslim, begini caranya!"
Aku mengintip turis itu memakan croissant
dengan gaya rakus yang dibuat-buat dari balik
tembok. Tak berhenti di sana, turis laki-laki itu
meneruskan kalimatnya. Kali ini ia lebih berani
berbicara keras. "Croissant itu bukan dari Prancis,
guys, tapi dari Austria. Roti untuk merayakan
kekalahan Turki di Wina. Kalau bendera Turki itu
berbentuk hati, pasti roti croissant sekarang
berbentuk "love" bukan bulan sabit, dan tentu
namanya bukan croissant, tetapi l"amour."
Aku melihat Fatma hanya termangu. Termangu
karena tak tahu mengapa aku menyuruhnya diam.
Termangu karena dia tak paham satu pun kata
dalam bahasa Inggris yang tengah aku dengarkan.
Di sebelahnya Ayse justru dengan tenang
menyantap butter croissant keju pilihannya.
"Ada apa, Hanum" Kau tak suka kita
membicarakan gereja?" Fatma akhirnya membuka
mulut. Aku tak menjawab pertanyaannya.
Kubisikkan sesuatu setengah terbata-bata dalam
bahasa Jerman kepadanya. "Kurasa tamu di balik tembok ini sedang
menjelek-jelekkan Islam. Mereka menyebut croissant
melambangkan bendera Turki yang bisa dimakan.
Kalau makan croissant artinya memakan Islam!
Pokoknya menyebalkan!"
Sejenak Fatma terdiam mendengar bisikanku. Dia
39 40 mengerutkan alisnya. "Aku punya rencana, Hanum!"
Seketika itu juga aku merasa menyesal telah
memprovokasi Fatma. Siapa yang tak jengkel jika
lambang negara yang dia cintai dicemooh begitu
saja. Dan siapa yang tak tersinggung jika
kepercayaannya dihina oleh orang lain. Aku bisa
merasakan kegerahan yang sama. Para turis tersebut
benar-benar keterlaluan. Akankah melabrak para
turis menjadi opsi bagi kami" Memberi mereka
peringatan agar tak bicara sembarangan" Ayo saja,
pikirku. Seketika itu pula sudah tersiapkan dalam otakku
kata-kata yang akan kulontarkan kepada mereka.
"Aku perlu tahu dulu, berapa orang yang ada di
balik tembok itu, Hanum," kata Fatma.
Aku mengintip kembali para turis tersebut dari
balik tembok. Memastikan berapa jumlah mereka.
"Aku tak yakin Fatma, tapi aku bisa berpura-pura
pergi ke WC untuk melihat berapa jumlah mereka."
Aku bergegas menuju WC dan segera kembali ke
meja. Kulihat Fatma tengah menulis coretan di
kertas. "Tiga orang, 2 laki laki dan 1 perempuan.
Seumuran dengan kita, kurasa. Kita habiskan dulu
minuman dan makanan ini, kita bayar, lalu kita
peringatkan mereka baik-baik, Fatma!"
"Apa sih yang mereka makan" Croissant saja?"
tanya Fatma ragu. Pertanyaan yang aneh,
menurutku. "Ya, dan 3 bir, sepertinya," jawabku pendek.
Kuseruput habis cappucino Italiano-ku. Begitu
juga Fatma. Dia segera menghabiskan green tea-nya,
lalu memanggil pelayan perempuan yang siap sedia
menerima panggilan pesanan maupun pembayaran
dari pelanggan. "Aku membayar untuk semua. Termasuk untuk
meja di belakang kami," kata Fatma pada pelayan
perempuan itu sambil mengerdipkan matanya
padaku. "Aku yakin tagihan mereka tak lebih dari 15 Euro.
Kalau sisa, itu untuk tipmu. Kalau kurang, suruh
mereka bayar kekurangannya saja. Oh ya, berikan
pesan ini untuk mereka kalau kami sudah pergi,"
ujar Fatma lagi sambil menyerahkan kertas. Pelayan
itu mendengarkan baik-baik permintaan Fatma.
Aku tercekat. Terdiam. Terpana. Mulutku terkunci
rapat-rapat. Ada udara tertahan di ujung mulut. Berganti
termangu memandangi Fatma yang sibuk
memakaikan jaket untuk Ayse. Aku seperti orang
linglung. Seperti dibodohi oleh kelakuan Fatma.
Kata-kata bahasa Inggris yang sudah kupersiapkan
di dalam kepala tiba-tiba buyar entah ke mana.
Padahal, jika saja aku jadi "menyergap" para turis
tersebut, kejadian itu akan jadi peristiwa pertama
aku marah-marah dalam bahasa asing dalam
hidupku. 41 42 Jadi inikah rencana Fatma" Cara membalas dendam
macam apa ini" Aku perlu waktu beberapa menit
untuk tersadar akan sikap Fatma, hingga dia
menarikku keluar kafe. Masih mencoba mengumpulkan kesadaranku,
Fatma mengajakku kembali ke pinggir pagar Bukit
Kahlenberg. Aku tak tahu apa yang ingin
dipamerkannya di malam gelap gulita. Semua sudah
terlalu kelam untuk ditembus oleh sepasang mata
manusia. Kenapa kita tidak segera menuju bus pulang
saja, menghindari para turis yang mungkin akan
menuntut penjelasan dari kita" batinku.
"Kau tahu kenapa aku mengajakmu ke sini,
Hanum?" tanya Fatma tiba-tiba.
"Karena kita sama-sama muslimah, Hanum," seru
Fatma lantang menjawab pertanyaan yang
diajukannya sendiri. Wajahnya menengadah
menghirup udara alam dalam-dalam.
"Aku perlu memberitahumu sedikit sejarah,
Hanum. Turki negaraku, pernah hampir menguasai
Eropa Barat. Sekitar 300 tahun lalu, Pasukan Turki
yang sudah mengepung kota Wina akhirnya dipukul
mundur oleh gabungan Jerman dan Polandia dari
atas bukit ini. Islam Ottoman Turki kemudian kalah
terdesak ke arah timur. Jadi, bisa saja turis itu benar.
Roti croissant memang simbol kekalahan Turki saat
itu." Aku terpaku. Melongo kali ini. Inikah maksud
Fatma mengajakku ke Kahlenberg" Dia tak hanya
bermaksud memamerkan kecantikan Wina, tapi juga
menceritakan sebuah fragmen sejarah panjang
Islam di Eropa. Kau harus tahu, karena kita sama-sama
muslimah, Hanum, begitu kata Fatma mengulang
kata-katanya. 43 4 44 Pikiranku tiba-tiba menerawang jauh ke pelajaran
tarikh Islam dari guru agamaku di SMA
Muhammadiyah di Yogya dulu, Muhammad
Djam"an. Dengan senyum tebar pesona yang
memperlihatkan gigi-giginya, dia selalu
mengobarkan semangat para murid dengan mimpimimpinya. Termasuk cita-citanya pergi ke Eropa,
mengajak seluruh murid-muridnya menapaki jejakjejak keberadaan Islam. Empat tempat sangat ingin
dia kunjungi: di sebelah barat adalah Al-Andalus
alias Spanyol dengan ibu kotanya Cordoba, kedua
adalah Sisilia di Italia. Di sebelah timur Eropa
adalah ibu kota Romawi Byzantium Konstantinopel
atau Istanbul di Turki, dan terakhir adalah Wina,
Austria. Untuk kota yang terakhir ini aku masih ingat
bertanya padanya. "Bapak ingin belajar sejarah Islam
atau musik di Wina?" tanyaku setengah menyentil.
Aku hanya merasa guruku ini tukang ngibul.
Mana mungkin Islam pernah berekspansi sejauh itu
di Eropa. Aku risih dengan guyonannya mengajak
kami ke Eropa yang 99 persen adalah muslihat. Lalu
aku baru teringat ketika guruku itu menjawab,
"Wina-lah kota terakhir tempat ekspansi Islam
berhenti." Aku kembali tercenung dengan semua nostalgia
pelajaran-pelajaran sejarah agamaku. Ternyata Wina
tempat aku tinggal sekarang juga menyimpan
sejarah Islam pada masa lalu.
Kupejamkan mataku sambil mengingat-ingat
kembali raut wajah guruku itu. Pak Djam"an
memang mungkin belum berhasil menghirup udara
Wina. Mimpinya mengajak para murid bersamasama mengadakan study tour ke Andalusia sudah
pasti tak pernah terlaksana. Tapi, kini aku berhasil
mewakili mereka semua. Satu persen kemungkinan
yang pernah kusangsikan itu, kini benar-benar
menjadi realitas. Seolah ada beban berat di
pundakku. Bertugas menelusuri serpihan-serpihan
Islam di bumi Eropa, lalu merangkainya kembali
dalam sebuah khazanah pengetahuan bagi siapa saja
yang ingin mempelajari dan menghayatinya.
Hanum, jadilah kau murid pertama Pak Djam"an
yang mendaratkan diri ke bumi Islam di Eropa!
Begitulah kalimat yang terus mengiang-ngiang di
kepalaku selama dalam bus.
45 " " 46 Dalam perjalanan kembali ke Wina, aku masih tak
menyangka Fatma bisa membalas penghinaan ketiga
turis itu dengan cara yang tak terbayangkan.
Cara berpikirku tak mampu menggapai cara
berpikir seorang perempuan, ibu rumah tangga,
yang tak mengenyam pendidikan terlalu tinggi
bernama Fatma. Emosi dan perasaan tersinggung
terkadang terlalu kelam dalam diri, menutupi cara
berpikir untuk "membalas dendam" dengan cara luar
biasa elok, elegan, dan jauh lebih berwibawa
daripada sekadar membalas dengan perkataan atau
sikap antipati. "Kau menulis apa di kertas itu, Fatma?"
Hanya kata-kata itu yang akhirnya terucap dari
bibirku setelah sekian lama di dalam bus.
"Aku cuma tahu sedikit bahasa Inggris, Hanum.
Aku hanya menulis: "Hi, I am Fatma, a muslim from
Turkey", lalu kutulis alamat e-mailku. Itu saja."
Hari itu Fatma, orang biasa yang baru kukenal 2
minggu lalu di kelas bahasa Jerman, memberiku
pelajaran luar biasa. Aku tak perlu mendengarkan
para ustaz atau ulama di TV yang mengajarkan arti
kesabaran dan menahan emosi. Aku juga tak perlu
mendengarkan khotbah para motivator hidup dan
kesuksesan yang semakin menjamur di layar kaca.
Aku juga tak perlu membaca kutipan kata-kata
wisdom of life dari para tweep dan facebooker. Hari itu
Fatma memberiku pesan yang sangat jelas, konkret
tentang cara menahan diri yang belum tentu bisa
dilakukan sembarang orang.
"Bagaimana kau bisa tak marah sedikit pun,
Fatma?" tanyaku lagi.
"Tentu saja aku tersinggung, Hanum. Dulu aku
juga jadi emosi jika mendengar hal yang tak cocok di
negeri ini. Apalagi masalah etnis dan agama. Tapi
seperti kau dan dinginnya hawa di Eropa ini, suhu
tubuhmu akan menyesuaikan. Kau perlu
penyesuaian, Hanum. Hanya satu yang harus kita
ingat. Misi kita adalah menjadi agen Islam yang
damai, teduh, indah, yang membawa keberkahan di
komunitas nonmuslim. Dan itu tidak akan pernah
mudah." ?"Tapi, bukankah itu menunjukkan kita begitu
lemah dan terinjak-injak?" sanggahku.
Fatma terdiam. Dia tersenyum lembut, lalu
mengambil napas dalam-dalam.
"Suatu saat kau akan banyak belajar bagaimana
bersikap di negeri tempat kau harus menjadi
minoritas. Tapi menurut pengalamanku selama ini,
aku tak harus mengumbar nafsu dan emosiku jika
ada hal yang tak berkenan di hatiku."
Aku berusaha meresapi kata-kata Fatma. Menjadi
agen Islam yang baik di Eropa. Terdengar sangat
mulia. Terang saja, karena di dunia ini sudah terlalu
banyak agen muslim gadungan yang membajak
nama agama dengan teror dan penghasutan.
47 .b
99 Cahaya Di Langit Eropa Menapak Jejak Islam Di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais Dan Rangga Almahendra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
do -in ak a st pu 48 lo gs po t.c om Sekarang ini dibutuhkan mendesak agen muslim
yang menebar kebaikan dan sikap positif. Yang kuat
menahan diri, mengalah bukan karena kalah, tetapi
mengalah karena sudah memetik kemenangan
hakiki. Membalas olok-olok bukan dengan balik
mengolok-olok, tetapi membalasnya dengan
memanusiakan si pengolok-olok, membayari penuh
seluruh makanan dan minuman mereka.
Aku senang dengan perjalanan ke Kahlenberg ini.
Sesuai dengan intuisi awalku, ini akan menjadi
perjalanan yang memikat. Fatma tak hanya menunjukkan kepadaku
keindahan Kahlenberg dan rahasia di baliknya, dia
bahkan mentraktirku"termasuk mentraktir ketiga
turis tadi. Lima belas Euro tentulah "apa-apa"
baginya. Tapi aku yakin, Fatma mengeluarkannya
dengan rela. Yang ada dalam pikirannya adalah
menjadi agen muslim sejati!
"Karena itulah aku bertanya, Hanum, berapa
orang yang harus kubayari dan mereka makan apa.
Kalau mereka bersepuluh memesan steak dan
spageti, pastilah aku tak kuat membayar tagihan
mereka. Lebih baik uang itu kusimpan untuk
membeli kebab dan durum!"
Aku tak bisa menahan tawa. Untunglah turis tadi
tak pesan macam-macam. Kami tertawa lepas
malam itu, selepas-lepasnya membayangkan
ekspresi ketiga turis tadi saat akan membayar
tagihan mereka. Mereka pasti melongo karena
tiba-tiba bisa makan dan minum gratis.
Di dalam bus, Fatma melayangkan harapannya.
"Siapa tahu, jika mereka berkirim e-mail padaku,
aku bisa meminta mereka menjadi tandem partner
bahasa Inggrisku." Aku hanya tersenyum. Memahami cara berpikir
Fatma. Membalikkan momen "hampir bertikai"
menjadi "berteman". Sungguh cara yang jitu selain
menawarkan makanan kecil pembuka sebagai salam
perkenalan seperti yang kulakukan di kelas bahasa
Jerman. Bus berhenti terakhir kali di pusat kota ketika
jam menunjukkan pukul 20.05. Udara yang makin
menusuk tulang cocok untuk melakukan sebuah
aktivitas yang satu ini: minum kopi.
"Ngopi dulu yuk. Gantian aku yang mentraktir
cappucino," kataku menunjuk sebuah kedai kopi di
kompleks Stasiun Karlplatz, Stasiun U-Bahn atau
Unterbahn, julukan kereta bawah tanah terbesar di
Austria. "Terima kasih. Ayse agaknya sedikit demam. Aku
harus segera membawanya pulang," kata Fatma
menolak ajakanku dengan halus.
Aku melihat Ayse. Dari tadi sore hingga malam
anak Fatma itu memang tak banyak bicara. Ingusnya
terus mengalir. Tebersit rasa bersalah dalam diriku.
Seharusnya aku berinisiatif mengajak pulang lebih
awal. Tiba-tiba mataku tertumbuk pada hidung Ayse
yang cairan ingusnya berubah. Berubah warna.
49 50 Menjadi merah. Dia mimisan.
"Anakmu mimisan, Fatma. Dongakkan kepalanya
dan cepat kauusap," kujulurkan sehelai tisu pada
Fatma. "Sudah biasa, jika dia kedinginan seperti ini.
Dingin ke panas, panas ke dingin."
Agaknya Fatma sudah biasa menangani anaknya
mimisan. Dia bergegas menggendong Ayse,
mengulurkan tangannya untuk bersalaman, lalu
beranjak meninggalkanku. Tiba-tiba dia menengok
kembali. Ada sesuatu yang harus dia katakan
padaku. "Tentang kopi kesukaanmu, cappucino, kopi itu
bukan dari Italia. Aslinya berasal dari biji-biji kopi
Turki yang tertinggal di medan perang di
Kahlenberg. Hanya sebuah info pengetahuan kecilkecilan. Assalamu"alaikum," ujar Fatma sambil
mencolek pipiku. Dia memunggungiku lalu
meninggalkanku. Kubalas salamnya dengan jiwa yang masih
tertegun. Tertegun dengan semua kebetulan hari ini.
Kahlenberg, croissant, dan cappucino. Tertegun
dengan semua sikap dan pengetahuan Fatma yang di
luar dugaanku. "Jangan lupa bawa koran Oesterreich di kelas
minggu depan, Hanum!" pekik Fatma seiring
lenyapnya dia dan Ayse diangkut trem kota.
Aku hanya berdiri melambaikan tanganku.
Malam semakin dingin, bibirku sudah kaku tak
mampu bicara, kedua daun telingaku kuyakin
semakin memerah. Kuputuskan untuk segera
pulang. Secangkir cappucino terpaksa dibatalkan.
51 5 52 Senin itu seperti biasa aku masuk kelas Jerman. Hari
ini kami diminta untuk membawa koran lokal
berbahasa Jerman. Akan ada diskusi dan presentasi
tentang topik berita di koran. Satu koran untuk dua
murid, tidak boleh topik yang sama.
Tentu saja aku berduo dengan Fatma. Kami
sepakat aku akan mencari koran lokal, Oesterreich,
untuk tugas ini. Oesterreich atau Austria adalah surat kabar paling
populer di Austria yang terbit dalam dua versi setiap
harinya. Versi pertama adalah versi tipis, banyak
iklan, dan dibagikan gratis, tersebar di setiap stasiun
U-Bahn, trem, dan halte bus. Versi kedua adalah
versi yang lebih tebal dan lengkap, dijual di lapaklapak yang menggantung di tiang listrik.
Inilah metode unik penjualan koran di Austria;
tanpa loper atau kios perantara, pembeli koran bisa
langsung merogoh koran di dalam wadah plastik. Di
sebelah plastik ada panel berlubang bertuliskan 1
Euro. Murah, praktis, sekaligus melatih kejujuran,
karena sebenarnya siapa pun bisa merogoh koran itu
tanpa harus membayar. Tapi sepertinya hari itu aku sedang apes, versi
tipis yang dibagikan gratis siang itu sudah habis di
setiap halte dan stasiun U-Bahn yang aku lalui. Aku
harus membeli versi berbayar. Kuaduk-aduk isi
dompetku berharap ada sisa koin Euro yang sering
menyelip di saku dompet. Tapi ternyata nihil. Hari
itu aku tidak membawa koin sepeser pun.
Lima belas menit lagi kelas akan segera dimulai.
Akhirnya aku putuskan untuk mengambil koran di
tiang tanpa membayar. Kulirik kiri dan kanan sambil
mengambil satu Oesterreich. Begitu koran di tangan,
melesatlah aku menuju ruang kelas. Aku berjanji
dalam hati, hari ini selesai kursus aku harus kembali
lagi melunasi utang. Itulah pengalamanku dengan koran Oesterreich.
Pengalaman yang kusimpan sendiri karena malu dan
merasa bersalah. Selepas kelas saat aku dan Fatma menunggu bus
di halte, kami melihat seorang perempuan dari kelas
kami dengan santai merogoh koran dalam wadah
plastik di sebuah stan koran di tiang listrik. Aku
terus mengamati gerak-geriknya. Benar saja,
ternyata dia merogoh koran tanpa mencemplungkan
koin pembayaran. Aku tiba-tiba melihat diriku
sendiri pagi tadi. Begini bentuk orang yang sedang
53 54 melakukan kejahatan mencuri koran!
Fatma membisikkan sesuatu yang membuatku
tertohok. "Aku selalu memperingatkan kawan-kawan
Turkiku. Jangan kita yang berkerudung dan
pendatang ini suka mengemplang koran. Malu
dengan orang lokal."
Ini yang selalu dikatakan Fatma berulang-ulang:
menjadi agen muslim yang baik di Eropa. Agen
muslim yang menebar kebaikan. Bawalah nama baik
Islam. Jangan sampai memalukan atau malah
mencemarkan. Mendengar kata-kata ini, aku jadi malu dengan
perbuatanku. Utang 1 Euro terus menggelayuti
pikiranku. Niat Fatma untuk senantiasa merajut
kebaikan demi nama baik Islam sedikit terkotori
oleh tindakanku hari ini. Seharusnya jika pun tak
ada koin, aku tetap harus berusaha membeli
Oesterreich di kios-kios umum yang ada penjualnya.
Jujur, aku merasa tak enak hati.
"Kalau semua orang mengambil koran tanpa
membayar, pasti Oesterreich akan merugi, ya,"
kataku menyindir diriku sendiri.
"Di Eropa model bisnis seperti itu sudah biasa.
Mungkin orang Austria sudah terdidik untuk selalu
berbuat jujur," jawab Fatma.
"Selain koran, ada juga bisnis restoran yang
melakukan hal serupa. Kau pernah makan sepuasnya
bayar seikhlasnya?" Fatma tiba-tiba menyodoriku
dengan sebuah pertanyaan berbau semi-gratisan.
"All you can eat" Buffet?" kataku dengan dahi
mengernyit, membayangkan restoran makan
sepuasnya yang juga banyak aku temui di Jakarta.
"Bukan. Bukan seperti itu. Kalau restoran buffet
kan sudah mematok harga. Kalau yang ini,
kaumakan banyak atau secuil, terserah. Bayar
banyak atau tidak bayar juga terserah."
Aku tergelak. Mana ada bisnis bodoh seperti itu"
Kalau pun ada, pasti". Ini tidak mungkin! Tiba-tiba
logikaku berontak. Kalaupun ada, pasti"akan
membuat Rangga suamiku yang sekolah bisnis
terpingkal-pingkal. "Milik salah seorang kawan muslim. Semua halal.
Kita makan bersama malam minggu nanti. Bawa
suamimu!" ucap Fatma sambil mengedipkan
matanya. Lalu bus jurusannya membawa dirinya,
juga Ayse yang selalu dibawanya serta, pergi.
Tak sabar rasanya aku untuk memberitahu
suamiku tentang model bisnis "gila" ini. Malam
minggu besok kami harus mencoba restoran yang
"aneh" itu. 55 6 56 Boleh percaya boleh tidak. Bukan sulap bukan sihir.
Restoran ala Pakistan yang sungguh ajaib untuk
praktisi bisnis itu memang benar-benar ada.
Namanya Der Wiener Deewan. Tempatnya di pinggir
jalan bersaingan dengan Fresco, restoran ala
Meksiko, yang menjual tacos dan tortilla. Plang
nama Der Wiener Deewan dibubuhi slogan yang
sensasional "All You Can Eat. Pay As You Wish.
Makan sepuasnya, bayar seikhlasnya".
"Kalau di Jakarta, pasti sudah bangkrut." Itu
komentar pertama Rangga membaca slogan restoran
tersebut .Aku sepakat dengan Rangga. Di Jakarta,
tak kurang dari seminggu, restoran seperti itu pasti
bubar jalan. Membayangkan para sopir bus dan
angkot, pedagang asongan, dan pengangguran akan
menyerbu tempat itu. Menjadikannya markas dan
tempat tongkrongan sehari-hari. Sudah bisa ditebak
seperti apa nasib restoran itu.
Tapi di atas itu semua, restoran tipe ini mungkin
belum cocok untuk budaya Indonesia. Tidak ada
sistem kejujuran atau pengendalian diri yang
dicontohkan oleh para pemimpin. Mana mungkin
mengharapkan kejujuran apalagi keikhlasan pada
akar rumput yang perutnya hanya dijejali angin dan
derita tiada purna" Jangankan restoran, penerbit
koran yang dijual di tiang listrik juga takkan pernah
mau terbit lagi! Begitu membuka pintu masuk, bau makanan
langsung merasuk hidung. Sudah bisa dipastikan
bau gulai dan kari yang paling mendominasi.
Mataku tertumbuk pada meja buffet yang dipasang
tepat di pintu masuk. Baskom-baskom dan
mangkok-mangkok raksasa disuguhkan di atasnya.
Sebuah kuali berbadan besar berada di sampingnya.
Lagi-lagi aku salah duga. Aku meremehkan tempat
ini. Restoran Pakistan ini benar-benar
memutarbalikkan konsep bisnis di dunia. Sayur
hanya disediakan sebagai pelengkap. Selebihnya
adalah daging, buah, dan aneka ragam pencuci
mulut yang menempati baskom dan mangkok itu.
Dagingnya pun komplit dari kambing, ayam, hingga
sapi. Daging babi sudah pasti absen karena tidak
lulus ujian "Halal Food" yang ditulis besar-besar di
99 Cahaya Di Langit Eropa Menapak Jejak Islam Di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais Dan Rangga Almahendra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dinding warung. Dan tentu saja sebagai penyedia
makanan Asia, Deewan menawarkan pilihan kentang
atau nasi putih panas bagi pelanggannya. Suamiku
menjadi orang yang paling kaget. Rumah makan ini
57 58 menabrak semua teori ekonomi dan bisnis yang
pernah dia pelajari. "Kami di sini!" Fatma berteriak memanggil kami.
Dia sudah memesan meja untuk makan malam 2
keluarga kecil ini. Tampak dia bersama Ayse dan
seorang pria. "Kenalkan ini Selim, suamiku. Kau pasti Rangga,
ya" Kita langsung ambil makan saja, oke?" ucap
Fatma dalam bahasa Jerman.
Kami pun saling memperkenalkan suami masingmasing, lalu hijrah bergantian ke meja buffet yang
sudah memanggil-manggil. Selim adalah seorang imigran Turki yang bekerja
di toko elektronik. Dia intensif bergaul dengan
kawan sesama Arab di Wina. Pergaulan luas
memperkenalkannya dengan seorang Pakistan
pemilik rumah makan Deewan. Dia sedikit lebih
fasih berbahasa Inggris dibandingkan Fatma. Dan
itu melegakan Rangga suamiku yang kurang lihai
berbahasa Jerman. Begitu kembali dari meja buffet, Rangga langsung
menembak Selim dengan pertanyaan yang dari tadi
terus berputar di otaknya: konsep dan strategi bisnis
makanan macam apa yang diterapkan restoran ini.
"Konsep ikhlas memberi dan menerima. Take and
give. Natalie Deewan percaya bahwa sisi terindah
dari manusia yang sesungguhnya adalah
kedermawanan." Rangga dan aku terdiam mendengar jawaban
Selim. Berusaha menyelami logika manusia yang
digunakan Natalie, pemilik Der Wiener Deewan.
Kami langsung paham. Untuk manusia yang sudah
memiliki teori kehidupan setinggi itu, memang
susah dibenturkan dengan segala macam
perhitungan yang transaksional. Natalie Deewan,
seorang lulusan ilmu ilsafat tak hanya bicara dan
mengeluarkan dogma-dogma, tapi langsung praktik
membuktikan kepercayaan teorinya dalam
kehidupan sehari-hari. "Dan ini adalah ajaran Islam yang sangat
mendasar. Berderma dan berzakat membersihkan
diri sepanjang waktu," Fatma menambahkan.
Mataku menatap sebuah tulisan kecil yang
dipasang di dinding: Seit 2003. Sejak 2003. Janji
Allah agar umatnya "ikhlas berderma, bersedekah,
berzakat, atau apa pun istilahnya, niscaya akan
bertambah kaya" memang benar-benar terbukti.
Kalau tidak, mana mungkin Natalie bisa bertahan
bertahun-tahun tanpa keuntungan alias tekor tak
berkesudahan" Warungnya saja sudah berdiri di
areal jantung kota Wina yang bernama Schottentor,
yang pasti memorot uang sewa habis-habisan.
Sekali lagi, Natalie Deewan, siapa pun dia,
seorang agen muslim sejati. Dia mempromosikan
ajaran Islam tentang ikhlas bukan dengan ucapan
yang hanya berhenti di mulut. Dia menggelarnya
menjadi sebuah kedai makanan sumber kerelaan
antara penjual dan pembeli.
59 60 Ya, pembelinya pun harus memiliki konsep yang
sama. Jika pembeli tak mau mengakui makanan yang
masuk ke perutnya adalah berkah kehidupan, tak
mau mengakui makanan yang dia telan enak,
bergizi, dan menyehatkan padahal berpiring-piring
sudah dia habiskan, Natalie pasti gulung tikar
secepat mata berkedip. Tetapi karena para pembeli
memberi penghargaan yang besar terhadap arti
keikhlasan, Natalie dengan warung Deewannya tak
pernah sepi. Uang terus mengalir sebagai bukti
ucapan Tuhan: "Bersyukurlah, maka akan Kutambah
nikmat-Ku padamu." Lagi-lagi aku berterima kasih kepada Fatma
karena telah mengajakku ke Deewan. Kami
mendapatkan pelajaran hidup tentang Islam
sesungguhnya, justru bukan di negara berpenduduk
muslim terbesar di dunia, tetapi di sebuah restoran
kecil Pakistan bernama Deewan di Austria.
Di depan kasir, aku teringat kembali pada petuah
ayahku, Amien Rais: "Jika kau puas dengan
pelayanan di restoran, berilah tip kepada pelayan
seharga kepuasanmu." Dan harga kepuasan inilah
yang tak bisa ditebak. Begitu juga dengan aku dan
suamiku yang hari itu bersantap lengkap dari
makanan pembuka, utama, dan penutup ala
Pakistan tanpa tahu berapa banderolnya.
Rangga menyodorkan 30 Euro kepada seorang
pria di meja kasir. Sang kasir terbelalak, agaknya fair
fare di restoran itu hanyalah 3 hingga 8 Euro per
orang. Suamiku berkata, "Makanannya enak.
Memuaskan. Dan itu belum sepadan dengan
keikhlasan yang kaucontohkan."
61 7 62 Pertemananku dengan Fatma adalah pertemanan
yang luar biasa. Pertemanan yang membawa berkah.
Saat berpisah di restoran Deewan, dia meminta izin
pada Rangga, "Izinkan aku mengajak istrimu
berkeliling kota setelah kelas agar dia tidak
meneleponmu terus-menerus untuk minta
ditemani." Setiap mengunjungi satu tempat, Fatma begitu
pandai mengaitkan peninggalan sejarah di Wina
dengan peradaban Islam di Eropa masa lalu. Entah
dia hanya mengklaim atau memang realitas, selalu
ada hal yang membuatku iri kepadanya.
Kebanggaannya terhadap Islam.
Berdekatan dengan Fatma menimbulkan rasa,
seharusnya aku bisa lebih memaknai agamaku,
ajaran-ajarannya, ilosoinya, sejarahnya, dan lain
sebagainya. Fatma membukakan mata bahwa lima
pilar inti ajaran Islam juga harus tersuguh dengan
akhlaqul karimah dalam kehidupan sehari-hari,
bukan hanya dimaknai sebagai tata cara ibadah.
Fatma menghadapi tantangan lebih berat"di
tengah penduduk nonmuslim"yaitu di Eropa yang
umatnya semakin bangga melepas semua atribut
agama, mengabaikan keniscayaan terhadap Tuhan
alias ateis. Sama sekali bukan perkara mudah. Tapi
dia percaya keteladanan berbicara lebih keras
daripada kata-kata. Dia yakin, air talang yang hanya jatuh setetessetetes pada batu yang keras lama-lama bisa
membuat ceruk di permukaannya. Butuh waktu
memang, tapi dengan kelembutan, ketekunan, dan
komitmen, tetesan air mampu menembus kerasnya
bebatuan. Batu pun berubah bentuk tanpa luka dan
goresan. Menjelma menjadi batuan baru alami yang
bukan dibentuk oleh gesekan mesin atau gosokan
parang. Fatma yakin bahwa menebar pengaruh kepada
seseorang dengan cara-cara yang memaksakan,
menggurui, menghasut, menyerang, atau
membandingkan sudah bukan zamannya lagi. Bagi
Fatma, semua itu sudah usang sejak dia sadar
bangsanya pernah menyimpan memori buruk
kegagalan. Siapa yang tak kenal dengan Dinasti Islam
Usmaniyah atau Ottoman Turki yang terkenal itu"
Dinasti yang pernah merebut ibu kota kerajaan
Romawi Byzantium di Konstatinopel"
63 "Kau tahu Hanum, Turki dan Indonesia bisa jadi
saudara sebangsa. Ottoman pernah berlayar hingga
ke Indonesia." Fatma membuatku mengingat-ingat kembali
semua pelajaran sejarah yang pernah aku ikuti. Aku
baru teringat bahwa kesultanan Aceh dan Ottoman
memang kawan seperjuangan dalam mengusir
penjajah Portugis. " " 64 Jika bepergian ke Eropa, Anda harus mempersiapkan
diri untuk dijejali penampakan berbagai macam
istana, gereja, dan museum. Wisata sejarah memang
merupakan salah satu kekayaan yang dimiliki Eropa.
Aku sebenarnya bukanlah orang yang menyukai
wisata museum atau istana yang penuh berisi
lukisan yang jarang bisa kupahami. Namun, hari itu
adalah kali pertama aku jatuh cinta kepada wisata
istana dan museum, tatkala Fatma mengajakku ke
istana ikon Wina, Schoenbrunn.
Istana ini sepintas persis seperti Versailles di
Paris, Prancis. Arsitektur Schoenbrunn tak hanya
megah dan indah, tetapi juga menampakkan
bangunan isik yang sombong luar biasa. Terlalu
berlebihan untuk bangunan pada masa itu.
"Bangunan ini memang dibangun dengan
semangat unjuk diri, Hanum," kata Fatma. Fatma
langsung paham begitu melihatku ternganganganga mengagumi kemegahan Schoenbrunn.
Begitu masuk ke pintu utama ruang istana, mata
kami langsung disuguhi ruang-ruang dengan
dinding berlapis kuning emas, berpermadani merah
marun, berlangit-langit coretan lukisan kanvas.
Belum lagi ornamen dinding ukiran yang detailnya
sangat njlimet dan ruwet. Suara alas parket kayu
yang berderik-derik setiap kami melangkahkan kaki
menambah atmosfer kekunoan Schoenbrunn.
"Ratu Austria kenamaan, Maria Theresa,
menikahkan anak perempuannya dengan putra
mahkota Prancis. Nah, dia juga ingin menunjukkan
betapa besar kerajaan Austria dan tak mau dianggap
sebelah mata oleh dominasi Prancis saat itu. Karena
itu, dia lalu membuat tandingan Versailles dengan
merenovasi Schoenbrunn semegah ini."
Aku mendengarkan penjelasan Fatma dengan
saksama. Aku kagum dengan wawasannya yang
sangat luas. Agaknya dia sudah berkali-kali masuk
ke istana mimpi ini. "Perempuan inilah anak Maria Theresa yang
menikah dengan Raja Prancis," Fatma menunjuk
salah seorang gadis cilik dari 13 anak Maria Theresa
dalam sebuah lukisan. "Ini semua anak kandung Theresa?" Aku sedikit
tak percaya bagaimana seorang perempuan bergelar
ratu yang memerintah negara bisa memiliki
keturunan begitu banyak. Ada 13 anak yang
bersama Maria Theresa dalam lukisan itu.
65 66 "Maria adalah ratu yang paling tersohor karena
prestasinya. Dia berhasil mempersatukan beberapa
negara menjadi wilayah kekuasaannya. Jadi, dia
terkenal bukan karena mempunyai banyak anak,"
canda Fatma. Aku bisa melihat "itu" dalam lukisan Maria
Theresa. Lukisan yang mengabadikan wajah Maria,
suaminya, dan ke-13 anaknya ini mengirim pesan
tersembunyi. Maria tampak begitu berkuasa
dibandingkan suaminya. Dia duduk di sebelah
kanan, suaminya di sebelah kiri. Ibu jarinya begitu
angkuh menunjuk pada dadanya sendiri seolah
berbicara: "Akulah pemilik semua takhta,
kepemilikan istana, dan bumi Austria ini." Semakin
kucermati, Maria seakan tak terkalahkan karena
dilindungi seluruh anak laki-lakinya. Semua anak
laki-laki Maria berdiri menggelayut padanya,
sementara anak-anak gadisnya berada di dekat ayah
mereka, Francis Stephen. Si pelukis makin
menambah kedigdayaan Maria dengan sengaja
menyoroti wajah Maria dengan cahaya matahari
yang bersinar melalui jendela, sementara wajah
suaminya redup tak tersentuh sinar matahari.
Aku mengamati anak Maria satu per satu. Di
caption lukisan tertulis nama-nama mereka dan
mataku tertumbuk pada satu nama, yang aku yakini
adalah nama perempuan yang menikah dengan Raja
Prancis. Nama perempuan yang terkenal karena
hedonismenya. Perempuan yang akhirnya memantik
lahirnya Revolusi Prancis.
"Oh, ini dia yang bernama Marie Antoinette,"
kataku sambil menunjuk lukisan perempuan paling
kecil di dekat Maria Theresa.
"Benar. Oya, menurut kisah, dalam setiap pesta
mewah yang dia gelar setelah menikah dengan Raja
Prancis, dia selalu menyuguhkan roti dari Wina
kepada tamu-tamunya. Karena berbentuk bulan
sabit, terpopulerkan menjadi croissant. Jadi memang
benar kata-kata para turis di Kahlenberg beberapa
waktu lalu itu," ungkap Fatma lirih.
Aku mengangguk-angguk. Kini semua jelas
mengapa croissant dikenal sebagai makanan khas
Prancis. "Ada cerita satir dari algojo Antoinette yang
99 Cahaya Di Langit Eropa Menapak Jejak Islam Di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais Dan Rangga Almahendra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bagus untuk menyindir para pemimpin yang
menelantarkan rakyatnya dan menyalahgunakan
kekuasaannya demi memperkaya diri sendiri."
"Bagaimana ceritanya?" tanyaku penasaran.
"Aku lupa siapa namanya, tapi dia sudah
memenggal ribuan orang dengan guillotine-nya.
Napoleon Bonaparte pernah bertanya padanya
apakah dia masih bisa tidur nyenyak setelah
membinasakan 3.000-an nyawa."
Tiba-tiba aku bergidik membayangkan seperti apa
rasanya menjadi orang yang pekerjaan sehariharinya adalah"membunuh manusia! Kubayangkan
hidupnya takkan pernah tenang.
"Apa jawabannya?" tanyaku penuh semangat.
67 68 Fatma mendesah dalam-dalam mempersiapkan
jawabannya. "Algojo itu dengan santai menjawab,
"Kalau raja, ratu, dan orang-orang di istana masih
bisa tidur nyenyak, kenapa aku tidak?""
Benar juga si algojo itu. Buat apa susah-susah tak
bisa tidur jika pemimpinnya saja masih bisa
bersenang-senang di atas penderitaan rakyat" Dan
aku langsung teringat tingkah polah sebagian
pemimpin Indonesia yang melakukan korupsi untuk
kekayaan pribadi. Itu sama saja dengan membunuh
rakyat dan negara secara pelan-pelan.
Kalimat si algojo memang sepele, tetapi dalam
artinya. Dalam artinya bagi siapa pun yang
mendapat amanah rakyat untuk memimpin, tetapi
melupakan atau justru menganiaya rakyat dengan
segala macam kebijakan dan perintahnya.
8 Wien Stadt Museum Museum Kota Wina adalah bangunan yang didirikan
untuk mengabadikan sejarah kota Wina. Di mataku,
museum ini kalah pamor jika dibandingkan dengan
museum lain di Wina. Sebutlah Museum Istana
Hofburg, Museum Schoenbrunn, Museum kembar
Kunshistorische dan Naturhistorische. Berbagai
museum yang kusebutkan itu memajang ribuan
koleksi benda-benda berharga, lukisan, hingga
hewan yang diawetkan. Belum lagi Museum Sisi
yang menggeber cerita sedih tentang Putri
Elizabeth, cucu Ratu Maria Theresa dari Kerajaan
Austria. Museum-museum ini lebih mengundang
rasa penasaran dan kekaguman!
Sebaliknya, Museum Kota Wina selalu terlewat
dari perhatianku. Apalagi namanya jarang disebut
dalam brosur wisata kota.
Saat Fatma menjatuhkan pilihan untuk
69 70 berkunjung ke museum itu, aku sudah punya
perasaan bahwa dia mengajakku karena suatu
alasan. Museum Wina sekilas tampak berbeda dengan
arsitektur museum kebanyakan. Bangunannya
terlalu modern, tidak seperti bangunan museum
pada umumnya yang bergaya klasik rococo, gaya
bangunan Eropa pada umumnya. Lokasinya terletak
tepat di belakang gereja St. Charles yang memiliki
atap berbentuk kubah raksasa dengan banyak
ornamen emas. Orang Indonesia yang melihat gereja itu bisa
salah sangka. Dari kejauhan, aku langsung
menganggapnya masjid. Ternyata ada sebuah salib
bertengger di atas kubahnya. Mengingatkanku
kembali bahwa aku tengah berada di benua Eropa
yang mayoritas penduduknya beragama Kristen.
Tidak mungkin aku bisa melihat masjid semegah itu
tepat di jantung kota. "Kupikir ujung kubah itu bulan sabit dan
bintang," gumamku memandangi gereja gendut
berwana hijau itu. Fatma menertawaiku. "Dulu aku juga salah duga.
Ini adalah salah satu contoh gereja bergaya baroque
yang dulu pernah kuceritakan itu. Kebalikan dari
Katedral Stephansdom di ujung sana yang bergaya
gothic." Mataku mengikuti arah yang ditunjuk Fatma.
Dari kejauhan aku melihat puncak menara Gereja
Stephansdom yang tinggi menjulang dan berwarna
hitam legam. Pilar-pilar atasnya yang runcing bak
jarum-jarum raksasa yang menantang langit.
Stephanplatz, sebuah distrik perbelanjaan terbesar
di Wina, mengambil nama besar katedral ini.
"Kalau baroque memang punya ciri atap kubah
seperti itu, sekilas seperti masjid. Tapi jangan
khawatir, kalau ada waktu aku akan mengajakmu ke
masjid terbesar di Wina yang dulu pernah kaufoto
dari bukit Kahlenberg itu. Lokasinya tepat di tepi
Sungai Danube." Aku mengiya mantap tanda kegairahanku muncul
kembali. Aku sangat kangen dengan masjid. Aku jadi
ingat dulu setiap kali ditugaskan meliput berita, aku
selalu meminta sopir liputan mengantarku shalat
zuhur di Masjid Sunda Kelapa yang sejuk itu.
Masjid, di mana pun itu, selalu menjadi bagian
tak terpisahkan dari hari-hari kerjaku di Trans TV.
Menjadi tempatku bercurah hati jika tugas liputan
tak tentu agendanya. Hingga berujung melelahkan
badan dan perasaan. Percaya atau tidak, sugesti
atau bukan, jika aku sudah berkeluh kesah dengan
Tuhan di masjid, rasanya pikiran ini segar dan
enteng kembali. Gereja baroque St. Charles di sebelah Museum
Kota Wina itu kupandang lekat-lekat. Dia memang
hanya bangunan isik mati. Dia hanya sekilas seperti
masjid. Dan selama dia adalah gereja, takkan pernah
ada suara muazin yang melantunkan kalimat Allah
71 72 dari puncak menaranya. Fatma tiba-tiba meneriakiku dari depan pintu
masuk Museum Wina. "Hanum, ini sudah terlalu sore. Ayse bertanya
padaku, kita mau masuk gereja atau masuk
museum?" Aku tersenyum menyeringai lalu bergegas
menghampiri Fatma dan Ayse. Kami membayar 6
Euro untuk tiket. Dari tulisan di sisi tiket, museum ini dibagi
menjadi tiga lantai. Lantai pertama adalah Wina
pada masa prasejarah dan awal sejarah, atau
rentang tahun 5000 SM"800 M. Lantai kedua Wina
antara rentang tahun 800"1900 M. Dan lantai
ketiga Wina antara rentang tahun 1900 hingga kini.
Kami memutuskan untuk langsung naik ke lantai
dua, mengingat hari sudah terlalu sore. Ruang
museum lantai dua ternyata jauh lebih besar
daripada lantai satu. Aku memperhatikan sekatsekat tembok kayu yang memisahkan ruang-ruang di
lantai itu. Sekat-sekat ini membentuk koridor jalan
bagi pengunjung. Tak jarang sekat itu dibentuk oleh
lemari-lemari kayu bercorak keningratan yang
berusia ratusan tahun. Kilatan cahaya tak hentihentinya muncul dari blitz kameraku ketika aku
mengabadikan gambar per gambar. Museum Wina
adalah salah satu museum yang tidak terlalu
konservatif dibandingkan museum Eropa lainnya
yang mengharamkan lampu lash atau bahkan tak
memperbolehkan sama sekali pengambilan foto. Di
Museum Wina, pengunjung diperbolehkan
memotret menggunakan blitz.
Sinar blitz menjadi penolong penyempurna
gambar di sebagian besar museum Eropa. Pasalnya,
museum Eropa didesain berkesan angker dengan
cahaya remang-remangnya. Dan itulah yang terjadi
di museum Wina; cahaya redup remang-remang
membuat ruang museum makin berkesan mistis.
Apalagi jika kita sendirian di ruang tersebut. Ruang
seakan-akan bernuansa magis berkat kehadiran
benda-benda keramat berupa patung manusia atau
lukisan wajah yang berumur 300 hingga 500 tahun.
Bayangkan, ruang sebesar ini hanya dinaungi
tiga atau empat lampu ayun yang berkelebatkelebat karena gerakan udara. Kelebatan itu
membuat wajah-wajah dalam lukisan atau patungpatung manusia berkesan hidup dan bergerak-gerak.
Semakin seram tatkala aku menyadari hanya tinggal
kami bertiga yang berkunjung di museum Wina hari
itu. Aku, Fatma, dan Ayse.
Fatma benar. Lantai dua inilah sejarah Wina yang
sesungguhnya. Di sana potret Wina tua dan
pengaruh monarki Habsburg dalam perkembangan
kota direkam satu per satu. Aku baru sadar, ternyata
negara secuil bernama Austria ini dulu menyimpan
sejarah yang begitu besar. Menjadi pusat imperial
Hofburg"atau Habsburg"di Eropa yang wilayahnya
mencakup Hungaria, Germania, Rumania,
73 74 Czekoslovakia, hingga beberapa negara Balkan. Aku
melihat lukisan Maria Theresa, Ratu Austria yang
digeber menjadi lukisan paling berkuasa di lantai
itu. Dia seperti haqqul yaqin, kerajaannya akan
tumbuh luas dan besar meski dia sudah ditelan
bumi. Toh itu semua porak-poranda.
Perang dunia pertama di Eropa yang berangkat
dari konlik kerajaan Austria akhirnya justru
menciutkan wilayah negara ini hingga seluas
separuh Pulau Jawa. Ditambah lagi dengan perang
dunia kedua, semakin menderitakan wilayah
Austria"sudah kecil, menjadi semakin kecil. Perang
memang tidak pernah menjadi jawaban untuk
meraih kekuasaan. Yang ada hanya kehilangan.
Aku terpaku beberapa menit memandang
bentangan maket kota Wina di dalam balok kayu.
Maket itu memperlihatkan bangunan-bangunan
Wina pada era 1700-an. Aku susah membayangkan
letak bangunan-bangunan itu sekarang. Mereka
seakan tidak pernah ada di alam realitas. Aku
tersadar semua hanya tinggal kenangan. Bangunanbangunan yang pasti indah itu telah dilalap api bom
dan roket peperangan. Sangat mengasyikkan mencermati satu demi satu
objek di lantai dua ini meski tanpa seorang
pemandu. Hingga aku tak sadar bahwa Fatma dan
aku berpisah ruang. Sampai akhirnya"lampu tiba-tiba padam!
Deg! Denyut jantungku seakan ikut berhenti.
Sejenak aku berusaha menenangkan hati meskipun
bulu romaku sudah tegak berdiri. Aku sadar ada
sebuah lukisan manusia dan patung baju zirah tanpa
isi berdiri persis di hadapanku. Pikiran dan fantasi
aneh langsung menyerbu otak. Bagaimana jika
patung zirah seukuran manusia itu tiba-tiba hidup"
Atau orang-orang dalam lukisan itu tiba-tiba keluar
dari bingkainya" Seperti ilm Night at the Museum,
yang bercerita tentang mitos benda-benda museum
yang sesungguhnya bernyawa setelah malam tiba.
Aku berusaha membuang jauh pikiran
mengerikan itu. Ayolah Hanum, kau sudah dewasa. Itu
kan hanya cerita ilm yang tidak masuk akal. Perlu
waktu sekitar 30 detik hingga mata ini melakukan
relaksasi dan menyesuaikan dalam kegelapan yang
sempurna. "Fatma, wo bist du. Fatma, di manakah kau?" Aku
setengah berteriak. Teriakan untuk sekadar
memecah sunyi dan menenteramkan diri sendiri.
Tapi tidak ada jawaban. Kupanggil sekali lagi Fatma sambil berusaha
mencari jalan keluar dari ruang tanpa pelita itu.
Tapi, bukan jawaban Fatma yang kudapat. Sayupsayup kudengar isak tangis manusia.
Nyaliku makin ciut. Aku yakin telingaku masih
normal untuk mendengarkan suara sesenggukan
manusia. Tiba-tiba aku teringat, di dekat pintu
masuk lantai dua ada beberapa igur topeng
kematian atau yang biasa dikenal sebagai death
75 mask. Death mask adalah tradisi bangsa Eropa untuk
membuat cetakan topeng wajah orang-orang besar
yang baru saja meninggal. Hal ini dilakukan untuk
mengabadikan damainya wajah kematian orang
tersebut sebelum dia dikubur.
Aku begitu paranoid membayangkan patungpatung wajah kaku itu seketika terbangun dan
menangisi kematian mereka. Lalu mereka mencari
manusia hidup sepertiku untuk berkeluh-kesah,
menceritakan apa yang dilihatnya setelah mati.
Sungguh paranoid aku! 76 Kuucapkan doa taawudz berkali-kali. Sambil terus
meraba-raba dan memanfaatkan setitik cahaya yang
ada, aku langkahkan kaki menuju ruang samping
tempat aku berpisah dengan Fatma. Kupercepat
langkahku hingga menjadi dominan di antara
kesunyian. Lalu tiba-tiba suara tangis itu
sekonyong-konyong berhenti.
Tiba-tiba". Pyaaar! Lampu menyala kembali. Aku
melihat orang yang menangis tadi. Dia adalah Fatma
yang menggendong Ayse yang tampak letih. Tak bisa
dimungkiri, bocah 3 tahun itu sudah sangat
mengantuk. Kulihat Fatma tertunduk. Dia berdiri lesu dengan
mata sembap menatap lukisan laki-laki berjenggot
99 Cahaya Di Langit Eropa Menapak Jejak Islam Di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais Dan Rangga Almahendra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan wajah sedang bermuram durja. Fatma
tampak malu kedapatan sedang menangis. Dia
tergesa-gesa mengusap wajahnya lalu menengokku
yang berdiri terpaku."Maaf Hanum, tadi aku yang
menangis," kata Fatma dengan suara serak. Ia
menggoyang-goyang Ayse agar anak itu segera
tidur. Belum sempat aku membalas pengakuannya,
terdengar derap langkah mendekat. Seorang lakilaki tua berusia 60 tahunan berbaju dinas lengkap
dengan walkie talkie muncul dari balik gang ruang.
"Maafkan kami, tadi lampu kami matikan. Kami
kira ruang ini kosong. Kami mohon maaf sebesarbesarnya. Oh ya, 20 menit lagi museum akan tutup."
Aku dan Fatma mengangguk tanda mengerti.
Petugas itu kemudian melenggang pergi dengan
jalan tersaruk-saruk. Usia tuanya tak bisa
mengalahkan semangat kerjanya.
Aku melihat Fatma yang masih menampakkan
wajah sendu seraya beranjak meninggalkan lukisan
pria berjenggot di depannya.
"Ayo Hanum, sebelum mereka mematikan lampu
lagi. Mereka sangat eisien," Fatma menyeru padaku.
"Fatma, masih ada waktu sejenak. Kau mau
jelaskan kenapa kautangisi lukisan pria itu?"
kuberanikan diri bertanya pada Fatma. Tiba-tiba aku
tersadar bisa saja dia menangis karena
permasalahan rumah tangga yang menjadi wilayah
privat. Lalu aku berubah pikiran untuk
menanyakannya lebih jauh.
"Lupakan saja pertanyaanku tadi". Maaf jika
pertanyaanku menyinggung urusan pribadimu...."
77 78 Belum selesai aku berbicara, Fatma tiba-tiba
menggamit tanganku lalu menarikku kembali ke
lukisan itu. Lukisan seorang pria tua berwajah Arab.
Serban yang melingkar di kepalanya adalah tipikal
serban Timur Tengah. Di tengah serbannya tersemat
bulu angsa yang ditempel demikian cantik. Bajunya
berjenis kaftan berwarna merah, tampak sangat
mewah. Dan"aku menemukan sesuatu yang aneh. Dia
dilukis dengan cara yang berbeda dibandingkan
lukisan yang lain. Lukisan raja, panglima perang, atau tokoh
penting biasanya dilukis dengan penuh kegagahan.
Menunjukkan kesaktian, kekuatan, dan
intelektualitas dengan penanda tongkat, buku, atau
mahkota sebagai simbolnya. Tapi pria ini dilukiskan
seperti kakek-kakek. Tua dan lemah. Lama-lama
terlihat seperti seorang penjahat. Atau seorang
pecundang. Matanya nanar, mengiaskan kegagalan
luar biasa dalam hidupnya.
"Dia Kara Mustafa Pasha, Hanum. Seorang
panglima perang Dinasti Turki. Orangtuaku di Turki
mengatakan, kami mempunyai jalinan darah
dengannya. Kami adalah anak keturunannya...."
Fatma akhirnya menjelaskan sosok lukisan di depan
kami. Kara Mustafa Pasha" Oh, ternyata dia seorang
Turki, bukan Arab. Dan dia seorang panglima perang
khalifah Usmaniyah atau Ottoman. Tapi kenapa dia
dilukis seperti seorang pesakitan" Orang ini pasti
punya sejarah dengan kota Wina, sampai-sampai
museum ini memajang lukisannya. Tak ada orang
lain di luar tokoh kerajaan Austria yang lukisannya
dipajang di lantai ini...selain laki-laki tua berjenggot
lebat ini. Dan penjelasan Fatma makin membuatku
melongo. Ternyata keturunan orang di lukisan itu
sedang berdiri di hadapanku" Aku masih belum
percaya dengan apa yang kudengar. Kuedarkan
mataku bolak-balik ke lukisan itu dan ke Fatma
untuk mencari kemiripan mereka berdua. Namun,
tentu saja kemiripan wajah setelah beberapa
generasi sulit untuk dilihat.
Tetapi, mengapa Fatma meratapi kakek buyutnya
ini" Bukankah seharusnya dia bangga, kakek
buyutnya adalah orang yang dihormati sampaisampai lukisannya terpampang di museum ini"
"Fatma, aku tahu engkau pasti sedang terenyuh.
Tapi kau harus bangga, Fatma. Kakekmu adalah
orang yang luar biasa dan...."
"Tidak, Hanum," sergah Fatima tiba-tiba.
"Di mata orang Eropa, Kara Mustafa adalah
seorang penakluk. Itulah mengapa dia dilukis
seburuk ini. Karena dia adalah"seorang penjah","
kata-kata Fatma terpenggal. Ia tak meneruskan
kata-katanya. Aku tahu dia tak tega menjuluki kakek buyutnya
penjahat. Dia benamkan wajahnya di kedua
79 tangannya. Dia tak bisa menghalau air mata yang
keluar dari sudut matanya. Ayse yang dia turunkan
dari gendongan seketika menangis pula. Tiba-tiba
aura kesedihan menyelimuti ruang museum yang
temaram itu. Kuperhatikan lagi wajah Kara Mustafa. Bukan
untuk mencari kemiripan dengan Fatma, melainkan
hanya untuk menatap dua bola matanya yang sama
sekali tak bersinar itu. Matanya sayu tanpa ekspresi.
80 Lukisan itu lama-lama memiliki batin yang dalam.
Seakan-akan mata Mustafa menyaksikan langsung
seorang cicit keturunannya yang terisak-isak di
depan hidungnya tanpa dia bisa berbuat apa-apa.
Mustafa hanya diam membisu. Dia tak bisa
"merangkul" cucunya, tak bisa "membesarkan hati"
cucu keturunannya. Matanya kosong melompong.
Mustafa tahu benar bagaimana kesedihan
mendalam seorang anak keturunan jenderal perang
yang dicap sebagai penjahat. Kuberanikan tanganku
untuk menepuk-nepuk pundak Fatma. Berharap dia
bisa mengendalikan emosi yang sedang
menguasainya. Tapi tepukan pelan di pundak itu
justru menambah kesedihan luar biasa. Ayse yang
menangis keras di gendongankulah yang membuat
Fatma akhirnya bisa menguasai dirinya. Dia ambil
kembali Ayse dari gendonganku dan redalah
tangisan mereka berdua. "Hanum, kau masih ingat kan cerita di
Kahlenberg?" Fatma tiba-tiba mengajukan
pernyataan tentang hal yang hampir kulupa. Aku
berusaha mengingat-ingatnya.
"Tiga ratus tahun lalu, pasukan Islam Ottoman
Turki yang menyerbu Wina dan ternyata diserbu
balik dari Kahlenberg itu"dipimpin oleh Kara
Mustafa.?" Fatma berhenti sejenak. Dia tampak
berusaha menahan air mata untuk keluar dari
pelupuk matanya. Dia dongakkan kepalanya dan
ditariknya napas dalam-dalam, lalu diembuskannya.
Tetap saja aku masih bisa melihat air mata Fatma
yang tak mampu dihalau dengan usaha kerasnya. Air
mata itu terus mengalir meski Fatma berbicara.
"Hanum, bagaimanapun kakekku melakukan
kesalahan besar. Karena dia"menghunus pedang ke
semua orang. Dia menawarkan kebencian. Aku
menangis bukan karena dia kalah perang. Bukan
karena dia dilukis lemah dan buruk rupa. Aku
menangis karena"karena dia"memilih jalan yang
salah dalam hidupnya"," jelas Fatma terbata-bata.
Dia harus menjepit hidungnya yang tak terasa juga
mengalirkan cairan bening kesedihan.
Kupandangi kembali wajah Mustafa. Di
permukaan kanan atas lukisan itu ada tulisan dan
angka 1683. Tulisan tersebut adalah bahasa Jerman
kuno, tapi aku masih bisa mencernanya perlahan
dalam keremangan ruang. Ada kata grand vizier;
Residenz StadtWien; Belagert; Verlusst; Morden.
81 Panglima perang; masyarakat kota Wina;
mengepung; kehilangan/kerusakan; pembunuhan.
Dengan sedikit mengutak-atik semua kata itu, aku
langsung tahu apa artinya. Pelukis ingin
mengatakan bahwa orang yang dia lukis ini seorang
panglima perang yang menggempur Wina dan
mengakibatkan banyak kerugian dan kematian.
Mataku mulai berkaca-kaca.
82 Aku mungkin tak memiliki hubungan khusus dengan
Mustafa. Tapi keyakinan kami tentang agama yang
sama membuat diriku seketika terkoneksi
dengannya. Serasa aku pernah mengenal Mustafa
dalam kehidupan yang lain. Dan aku lupa
mengatakan sesuatu padanya. Bukan begini caranya,
Mustafa.... Masih seperti tadi, mata dan wajah Mustafa tak
bergairah. Dia seakan mendengar kata-kata
cucunya. Jika bangkit dari pusaranya, dia pasti
tertunduk malu di hadapan Fatma.
Andai saja dan andai saja, waktu bisa berbalik ke
masa itu. Andai saja Fatma adalah anak kandung yang
mencegah dirinya menumpahkan darah. Andai saja
Kara Mustafa paham bahwa pedang dan kebencian
hanya akan menghasilkan kerugian. Andai saja dia
tahu bahwa kini Fatma harus mengenyam kesulitan
hidup di negara yang hampir saja dia taklukkan.
Andai saja Mustafa bisa merengkuh Eropa dengan
cinta dan kasih sayang, mungkin lukisannya
dipajang sebagai lukisan terbesar dan terhormat
tidak hanya di museum kecil ini, tetapi di seluruh
museum Austria atau bahkan Eropa. Tetapi itu
semua hanya ilusi. Mustafa telah menetapkan hati.
Dia maju perang dengan pedang dan meriam untuk
membuat Eropa berlutut di hadapannya. Dia kalah
dan mati di medan perang.
Kini aku paham mengapa Fatma begitu
bersemangat memperkenalkanku kepada Wina. Dia
mempunyai ikatan batin dengan kota ini.
" " Lampu ruang mati satu demi satu. Ayse menangis
kembali. Ia sudah ingin segera bertemu dengan
bantal dan kasur empuk di rumah. Aku dan Fatma
tahu, museum akan menutup gerbang. Suara derap
sepatu kembali menapaki lantai kayu museum. Pria
tua petugas museum datang menghampiri kami lagi.
"Maaf, kami tutup. Kami akan mematikan
lampunya segera." Aku dan Fatma mengangguk untuk kedua kalinya,
meyakinkan pria itu dia bisa meninggalkan kami.
Fatma memandang lukisan kakek buyutnya itu untuk
terakhir kalinya. Dia menatapnya beberapa detik,
lalu bercakap-cakap satu arah dengan kakek
buyutnya. "Kau tak mendapatkan apa-apa, Mustafa. Wina
83 84 gagal"dan pulang pun kau mati dipenggal Sultan."
Aku mendengarkan percakapan yang tak
seimbang ini. Mustafa tak memiliki harkat untuk membela diri
dari penghakiman cucunya. Dia pasrah
mendengarkan semua kekecewaan yang dituturkan
Fatma. Sejurus aku merasakan sebuah situasi yang
menghanyutkan hati dan perasaanku. Sebuah
penyesalan yang tiada terperi. Di bumi Eropa, Kara
Mustafa jelas dianggap penyerang. Di tanah air pun
dia dikenang sebagai pecundang karena tidak mati
di medan perang. Lagi-lagi yang tersisa dari perang
hanyalah kehilangan".
Mustafa kini benar-benar sudah tak tahan. Dia
malu semalu-malunya. Lukisan itu ingin menangis juga seperti Fatma.
Tapi dia tak bisa. Semua atribut kebesaran yang ada di lukisan itu
tiba-tiba sirna, seiring dengan wajah Mustafa yang
redup seketika. Lukisan itu tadi masih bernyawa.
Kini begitu lampu seluruh ruang dipadamkan, ruh
Mustafa sudah tidak ada di sana lagi. Fatma kembali
berkaca-kaca. Aku memandang Fatma dan Ayse.
Lalu kudekap mereka berdua.
Ada rasa dan tanya. Kapan kami bisa menebus
sejarah kelam Mustafa dengan darma yang lain"
Petugas museum yang renta itu kembali
mendatangi kami. Dia sudah tak percaya anggukan
kami. Kami tahu harus beranjak pergi sekarang juga.
Meninggalkan Kara Mustafa sendirian di sana
bersama ratusan peninggalan sejarah lainnya.
Selamat tinggal, Kara Mustafa Pasha. Semoga
Allah memberimu penilaian yang terbaik di alam
sana. 85 Sumber: Koleksi Pribadi 9 86 Sudah hampir 3 bulan aku mengenal Fatma, tapi
belum pernah sekali pun aku bertandang ke
rumahnya. Sebenarnya beberapa kali Fatma
mengajakku untuk berkunjung ke rumahnya, namun
selalu gagal terwujud karena alasan waktu yang tak
99 Cahaya Di Langit Eropa Menapak Jejak Islam Di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais Dan Rangga Almahendra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cocok dengan pekerjaan baruku di kampus Rangga.
Kali ini, waktu yang pas akhirnya tiba, saat
pekerjaanku tak terlalu menumpuk di kampus
Rangga. "Fatma, hari ini kunjungan kita bukan museum
atau istana. Hari ini giliran rumahmu," kataku
mantap. "Cocok, Hanum. Hari ini aku dan beberapa
kawan akan mengadakan pertemuan. Biasalah,
ibu-ibu saling berbincang-bincang. Kau akan
kuperkenalkan kepada mereka, Hanum," ucap Fatma
bersemangat. Hari itu rumah Fatma terlihat lebih kecil daripada
ukuran aslinya. Aku terkejut mendapati tiga
kawannya menyesaki rumah Fatma hari itu.
Keterkejutanku tak berhenti sampai di sana. Dua
dari tiga kawannya itu memakai baju yang sangat
kukenal. Koleksi batik jualanku yang kutitipkan pada
Fatma masa-masa awal aku di Wina mencoba
berdikari. Agaknya bisnis sampinganku selama di
Wina ini dijalankan dengan baik oleh Fatma.
"Hanum, ini Latife, Ezra, dan Oznur," ucap Fatma
memperkenalkan para model pemakai batikku.
"Bagaimana Ayse" Dia tak rewel, kan?" tanya
Fatma kepada ketiga koleganya. Hari itu sepertinya
Fatma menitipkan Ayse kepada kawan-kawannya,
sementara dirinya menghadiri kelas Jerman
bersamaku. "Jangan khawatir Fatma, dia sedang tertidur
pulas di kamar. Tadi hanya rewel sebentar. Nafsu
makannya tak ada hari ini," jawab Latife.
Aura kekeluargaan tiba-tiba kurasakan di sana.
Keempat perempuan muda itu seperti menjalin
hubungan kakak-beradik yang erat. Buktinya,
duplikat kunci rumah Fatma dititipkan kepada
ketiga kawannya. Saat kami datang, ketiga
perempuan itu sudah berada dalam rumah Fatma.
Latife dan Oznur adalah perempuan Turki muda
berkisar 30 hingga 35 tahun. Badan mereka tinggi
semampai seperti kebanyakan perempuan Eropa.
Sementara Ezra dengan usia kurang lebih sama
punya badan yang jauh lebih lebar. Ketiganya
87 88 memakai jilbab Turki sebagaimana Fatma.
Fatma selalu mengatakan padaku bahwa dia tidak
mau ketinggalan fesyen dunia. Dia yakin meski dia
berhijab, dia masih bisa tampil modis sekaligus
tetap syar"i. "Hanum, seandainya boleh bekerja, aku
ingin menjadi desainer baju muslim di Eropa," bisik
Fatma padaku suatu kali saat di kelas Jerman kami
diminta membuat presentasi rancangan bisnis
wiraswasta. Aku hanya bisa mengamininya meski
kemungkinan untuk mewujudkan cita-citanya itu di
Austria sangatlah kecil. Spirit Fatma untuk
mensyiarkan Islam memang tak pernah padam.
Dengan cara elegan dan luar biasa dia berusaha
berdakwah dengan perilaku, bahasa, dan tata cara
berpakaiannya. Aku sangat menikmati perkenalanku dengan
Fatma dan ketiga kawan Turkinya. Sama seperti
Fatma, mereka adalah imigran Turki yang mencari
penghidupan lebih baik di Austria dengan mengikuti
suami mereka bekerja. Ezra dan Latife menguasai bahasa Jerman lebih
baik dibandingkan Fatma, karena keduanya memiliki
supermarket kecil yang menjual barang kebutuhan
hidup sehari-hari khas Turki. Kontak dan interaksi
dengan orang lokal saat berniaga membuat mereka
jauh lebih lancar berbahasa Jerman. Sementara
Oznur senasib sepenanggungan dengan Fatma. Dia
ibu muda dengan satu anak, tanpa pekerjaan kecuali
mengabdi untuk suami dan keluarganya.
"Kami di sini sering bertukar pikiran. Tentang
kehidupan dan cara menyiasati hidup di Austria,"
ucap Fatma menjawab keingintahuanku tentang apa
kegiatan mereka di rumah Fatma. Agaknya aku
mulai paham, kegiatan mereka ini seperti pengajian
atau arisan di Indonesia.
"Kau sudah bisa membaca Al-Qur"an, kan?"
Tiba-tiba Ezra yang tambun menanyaiku. Aku
mengangguk. "Oh, kalau belum, kita di sini juga belajar
membaca Al-Qur"an. Aku juga baru belajar. Mereka
ini bergantian menjadi guruku," terang Ezra
menunjuk Latife, Oznur, dan Fatma sebagai
mentornya. "Ezra berpikir karena kau tak memakai jilbab,
mungkin kau seorang mualaf. Dia mengira kau ke
sini untuk belajar Al-Quran juga," Latife tiba-tiba
mengejutkanku akan suatu fakta bahwa Ezra
ternyata mualaf. Fatma yang tengah berada di dapur bersiap
menyuguhkan makanan spontan berteriak.
"Mungkin Hanum setelah ini akan berjilbab agar tak
dikira mualaf." Lalu tawa pun berderai di rumah kecil itu. Aku
ikut tertawa. Mukaku langsung memerah.
"Ah sudahlah, jangan merasa tersindir, Hanum.
Waktunya akan tiba untukmu. Hidayah akan datang
pada saatnya," Oznur akhirnya angkat suara. Kata89 katanya seperti menyiram muka merah padamku
dengan air dingin yang jernih.
Aku memperhatikan sekilas ruang tamu Fatma
yang penuh dengan bentangan kaligrai. Ada sebuah
goresan kaligrai Allah dan Muhammad yang
artistik. Sebuah kalender Sightseeing in Istanbul
bertengger di antara kaligrai tersebut. Namun, yang
benar-benar menarik mataku adalah sebuah kertas
besar bercoretkan tulisan. Kertas itu ditempelkan ke
dinding dengan paku warna-warni.
Aku berusaha membaca pesan yang tertera dalam
kertas besar tersebut. Bahasa Jerman yang rumit
membuatku lama berdiri menatapnya, berusaha
menyerap arti kata per kata.
90 SYIAR MUSLIM DI AUSTRIA 1. TEBARKAN SENYUM INDAHMU
2. KUASAI BAHASA JERMAN DAN INGGRIS
3. SELALU JUJUR DALAM BERDAGANG
Aku bertanya-tanya. Apa sebenarnya maksud
tulisan ini" Tak kusadari Oznur mendekatiku. "Ini semua
inisiatif Fatma. Awalnya kita hanya bertemu untuk
bersenda gurau tanpa tujuan. Bicara tentang anak,
masalah pribadi, hingga curhat keluh kesah sebagai
warga pendatang di Austria, kurang bergunalah,"
kata Oznur membuka perbincangan.
Aku mengangguk pelan mencoba memahami
situasi mereka. "Lalu Fatma meluncurkan ide untuk mengkaji
Al-Qur"an bersama. Kebetulan aku, Latife, dan
Fatma sama-sama datang dari Istanbul. Lalu karena
aku dan Fatma kurang bisa berbahasa Jerman, kami
meminta Latife mengajari kami," ungkap Oznur
menjawab rasa penasaranku tentang awal
pertemanan mereka. "Kalau Ezra...," Oznur berbisik padaku sambil
melirik Ezra yang tengah mengeja Al-Qur"an dengan
sang mentor Latife," dia baru saja bergabung
dengan perkumpulan kami di sini. Dia dan Latife
mempunyai toko kecil. Dulu mereka bersaing. Kedai
Latife lebih laris daripada kedai Ezra. Kau tahu
kenapa?" Tentu saja aku menggeleng tanda tak tahu. Aku
hanya berpikir mungkin barang dagangan di tempat
Latife lebih lengkap dan lebih murah. Tapi dengan
model bisnis mirip perkartelan di sebuah pasar,
mustahil harga yang dipatok satu penjual dengan
penjual lain terlalu berbeda.
"Karena ini," Oznur menyunggingkan
senyumnya. Sudut bibirnya meregang
memperlihatkan sedikit gigi-gigi putihnya.
"Karena senyum Latife," bisiknya di telingaku.
Aku kembali memperhatikan catatan syiar Islam
yang terpajang di dinding: "1. Tebarkan Senyum
Indahmu". "Ezra sendiri yang tersadar akan kekuatan
91 92 senyum Latife. Ezra tadinya sangat iri dengan Latife.
Tapi ada yang membuat Ezra jatuh cinta kepada
Islam; Karena Latife selalu tersenyum pada semua
orang, termasuk Ezra, meskipun ada persaingan
bisnis di antara mereka. Wajah Latife itu memang
terlalu smiley. Marah pun dia seperti tersenyum,"
pungkas Oznur menyanjung Latife.
Senyumlah. Memberi senyum adalah sedekah.
Senyum adalah semudah-mudahnya ibadah.
Sebuah hadis qudsi dari Nabi Muhammad saw.
langsung tebersit di otakku. Aku melirik kembali
wajah Latife yang sangat sumeh itu.
"Selain menebar senyum ikhlasnya itu, Latife
juga tidak pernah berbohong pada pelanggannya.
Jika ada barang yang tidak segar atau hampir
melewati tanggal kedaluwarsa, dia tidak segansegan mengatakannya pada pelanggan," kata Oznur
membuka satu lagi rahasia keberhasilan Latife
padaku. Aku memandangi tulisan di dinding.
Membaca nomor 3: "Selalu Jujur dalam Berdagang".
Aku semakin memahami misi keempat imigran Turki
ini. Rupanya apa yang tertulis di sana adalah tekad
bersama untuk mengenalkan Islam dengan cara
yang indah. Aku tahu, ini semua pasti "ulah" Fatma.
Lalu kupandangi perempuan sebayaku itu. Ia keluar
dari dapur dengan nampan minuman dan makanan
khas Turki: ?ay dan baklava.
"Teman-teman, silakan cicipi dulu makanan kecil
ini," seru Fatma kepada teman-temannya. "Oh ya,"
Fatma berdeham sebentar, "kukira setelah ini kita
tak perlu bingung mencari guru bahasa Inggris. Hari
ini kubawa Hanum temanku dan kudaulat dia
menjadi mentor bahasa Inggris dalam program kita
ini. Bagaimana" Setuju?" tandas Fatma sembari
menepuk pundakku. Aku kaget didaulat sepihak oleh Fatma seperti
itu. Latife, Oznur, dan Ezra saling berpandangan,
lalu mereka bertiga serempak bertepuk tangan.
Mukaku kembali memerah. Tetapi kali ini
memerah karena tersanjung. Aku tak bisa menolak
permintaan Fatma. Tak bisa aku menolak wajahwajah Turki yang penuh harap kepadaku. Dan tak
bisa aku menolak karena mereka adalah orangorang biasa yang melakukan langkah kecil tetapi
luar biasa untuk agama mereka. Hatiku sungguh
tersentuh dengan semangat juang keempat
perempuan Turki ini. Tak lelah mencari jalan
untuk menimba ilmu meski mereka adalah ibu
rumah tangga. Mereka adalah empat perempuan
luar biasa yang pertama aku temui di negeri
orang. Mereka perempuan muda, ibu dari anakanak, gigih mencari ilmu, sekaligus promotorpromotor Islam yang menebarkan pesan
perdamaian. Pesan yang tersirat dan tersurat
pertama kali dari nama Islam itu sendiri: jalan
menuju damai. Sejak itu aku memiliki 4 murid bahasa Inggris.
Dua kali seminggu pada sore hari hingga menjelang
93 94 magrib sepulang kerja aku mengajari Fatma, Latife,
Oznur, dan Ezra. Rumah Fatma tak hanya menjadi
rumah pribadinya. Rumah itu berubah fungsi
menjadi taman pendidikan Al-Qur"an untuk Ezra dan
ruang tandem partner Jerman dan Inggris untuk
kami berlima. Aku mengagumi kemauan dan
kegigihan empat orang ini, terutama karena semua
dilandasi rasa cinta kepada agama.
Mereka sadar di belahan dunia lain ada orangorang yang mengaku terlalu mencintai Islam tapi
mengerjakan sesuatu yang bertolak belakang
dengan semangat mereka. Orang-orang yang
memilih jalan teror atas nama agama. Mereka
mengerjakan jihad yang mereka akui sebagai
perintah Tuhan. Klaim jihad yang akhirnya hanya
membuat semakin banyak orang menyalahpahami
ajaran Islam. Fatma dan ketiga Turki itu mengerjakan jihad
dengan cara yang lebih indah. Mereka memang
cuma berempat. Yang mereka lakukan juga sesuatu
yang sepele. Tapi hal-hal sepele ini membuat
seorang Ezra jatuh cinta dan kemudian memeluk
Islam. Merekalah bulir-bulir muslim sejati yang
patut diteladani. Aku yakin, sebagian besar manusia yang
berpindah agama untuk memeluk Islam bukanlah
mereka yang terpengaruh debat dan diskusi
antaragama. Bukan karena terpaksa karena menikah
dengan pasangan. Bukan karena mereka
mendengarkan ceramah agama Islam yang berat dan
tak terjamah oleh pikiran awam manusia. Bukan
karena semua itu. Sebagaimana Ezra yang tadinya
apatis pada agama, dia jatuh cinta kepada Islam
karena pesona umat pemeluknya. Seperti Latife
99 Cahaya Di Langit Eropa Menapak Jejak Islam Di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais Dan Rangga Almahendra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang selalu mengumbar senyumnya. Seperti Fatma
yang membalas perlakukan para turis bule di
Kahlenberg dengan traktiran dan memberikan
alamat untuk membuka perkenalan. Seperti Natalie
yang percaya restoran ikhlasnya bisa merekahkan
kebahagiaan para pelanggan. Saat itu aku yakin,
orang-orang ini memahami dan mengerjakan
tuntunan Islam dengan kafah. Mereka paham bahwa
dengan mengucap syahadah, melekat kewajiban
sebagai manusia yang harus terus memancarkan
cahaya Islam sepanjang zaman dengan keteduhan
dan kasih sayang. Bagiku, orang-orang seperti ini tadinya too good
to be true, tapi aku berani berkata: they are really true.
95 10 96 Pada suatu waktu di pertemuan mingguan tandem
bahasa di rumah Fatma, aku ungkapkan rasa
kagumku kepada Fatma dan kawan-kawannya. Saat
Fatma sendirian di dapur menyiapkan suguhan
untuk kami berempat, aku dekati dia.
"Fatma, pernahkah kau berpikir apa yang kalian
lakukan sekarang ini seperti menebus keinginan
kakek buyutmu Kara Mustafa yang kandas?" ucapku
dengan mata sedikit kupicingkan.
Fatma memandangiku. Pandangannya dilempar
ke langit-langit rumah, lalu dia tersenyum. Dia
seperti tak sadar bahwa apa yang dia usahakan
selama ini adalah upaya menebus kesalahan kakek
buyutnya ratusan tahun lalu. Apa yang mereka
lakukan itu bernilai perjuangan lebih dibandingkan
cara Kara Mustafa. Mereka semua adalah bangsa
Turki. Bangsa yang mewakili kebesaran Islam pada
masa lalu. Mungkin Mustafa tak berhasil dengan
caranya, tapi aku yakin Fatma sebagai cicitnya, juga
kawan-kawannya, akan berhasil dengan cara
mereka. "Ya, memang ini perjalanan yang pelan. Tapi
pasti. Yah, mungkin juga tak hanya Mustafa, tetapi
impian para sultan Turki yang mendambakan Islam
berjaya di Eropa," jawab Fatma mengawang.
"Paling tidak sekarang kau bisa melihat orangorang Turki ada di mana-mana di Eropa ini. Mereka
berbisnis, sekolah, juga bekerja. Aku hanya berharap
langkah ini diikuti oleh banyak muslim yang lain,"
sambung Fatma. "Hanum, kau tahu gambar bangunan apa saja
ini?" Tiba-tiba Fatma mengalihkan perhatianku pada
deretan hiasan magnet di dinding dapurnya. Hiasan
magnet tersebut bertuliskan Istanbul, Granada,
Cordova, Vienna, Paris, Cairo, Roma, Mecca, dan
Medina. Di tiap magnet terpahat ukiran metal
bangunan ikon dari masing-masing kota.
"Aku ingin sekali berjalan-jalan keliling Eropa
sepertimu, Fatma, mengunjungi tempat-tempat
bersejarah yang meninggalkan jejak kebesaran
Islam. Kapan ya aku bisa," jawabku sambil
menyentuh lekuk-lekuk hiasan magnet yang berjejer
tersebut. Tipikal suvenir Eropa yang paling disukai
turis untuk dikoleksi karena murah dan praktis
dijadikan oleh-oleh. "Hanum, ternyata kita mempunyai angan-angan
yang sama. Aku baru saja ingin mengajakmu
97 98 melakukan hal yang sama. Magnet-magnet itu
hanya pemberian Latife dan Ezra yang sering
berjalan-jalan ke luar negeri. Sekarang aku harus
mengumpulkan uang dulu...," Fatma menghela
napas. Melepaskan semua keinginannya untuk
sementara waktu. "Bolehlah kita rencanakan bersama-sama. Kau
bilang pada Selim, ya. Kita ingin menjelajah Eropa.
Nanti aku juga bilang ke Rangga," kataku padanya.
Fatma tersenyum lebar. Seperti mendapatkan
seseorang yang benar-benar cocok untuk
menemaninya mewujudkan impian jalan-jalannya.
"Bagaimana jika yang pertama Turki" Istanbul"
Aku penasaran melihat seperti apa Hagia Sophia
yang terkenal itu. Gereja yang berubah menjadi
masjid, kan" Sekaligus melihat kota kelahiranmu,"
kataku dengan mata berbinar-binar.
Fatma menggeleng. "Aduh, jangan kau memintaku
pulang kampung secepat itu. Enam bulan yang lalu
aku baru saja pulang dari Istanbul. Bagaimana jika
kita ke Spanyol" Ke Cordoba dan Granada" Di sana
ada bangunan yang unik. Kebalikan Hagia Sophia.
Sebuah masjid diubah menjadi Katedral Katolik."
Aku terdiam. Aku pernah mendengar tentang
masjid yang diubah menjadi gereja. Ternyata letak
bangunan itu di Spanyol. 11 Tiga setengah bulan sudah kursus bahasa Jerman
kujalani. Awal Juni 2008 Austria semakin ramai
dengan para pendatang dadakan. Sebuah jalur
U-Bahn baru saja diresmikan. Hotel-hotel
penginapan kelas borjuis hingga proletar telah
di-book manusia-manusia penggila bola se-Eropa.
Austria seakan tak mau melewatkan kesempatan
emas memanjakan fan bola. Sebuah fan-zone
dihadirkan di setiap kota penyelenggara
pertandingan. Wina termasuk di dalamnya,
menyulap jalan utamanya menjadi zona khusus
pendukung bola, lengkap dengan 16 layar ukuran
raksasa. Cuaca Eropa pun berubah dramatis. Seperti
bersekongkol dengan para bonek ala Eropa yang
berdatangan menyemarakkan suasana, hawa dingin
pada pagi hari dilibas panas menyengat pada siang
hari awal Juni. Bulan itu bukan hanya menjadi bulan
99 100 ujian kelas Bahasa Jermanku. Juni 2008 adalah bulan
euforia perayaan sepak bola Eropa. Piala Eropa 2008
di Austria dan Swiss. Euforia bola agaknya juga menyerang diriku.
Apalagi aku terdaftar sebagai wartawan Indonesia
peliput acara besar itu. Aku tak bisa konsentrasi
mengurus semua materi ujian Jerman kali itu.
Sebagai orang yang tinggal di Austria, ada rasa
"wajib" menjagoi Austria. Karena itu, hari-hari
terakhirku di kelas Jerman malah disibukkan dengan
kegiatan memborong atribut kesebelasan Austria.
"Hanum, kau mau kan menonton Turki berlaga
hari ini" Sore kita bertemu di Rathaus Fan-zone,"
ajak Fatma via telepon. Ajakan Fatma seusai ujian Jerman hari itu
menyadarkanku akan sesuatu. Turki adalah salah
satu kontestan Piala Eropa 2008. Kegoyahan hati
mendukung Austria tiba-tiba menjalar. Kenapa
goyah" Aku tidak tahu. Hanya ada satu alasan yang
langsung logis kuterima. Karena Turki adalah negara
dengan penduduk mayoritas muslim juga. Turki
seakan-akan mewakili kebesaran Islam di arena
kompetisi bola dunia nomor dua paling bergengsi
itu. " " Sore hari di Rathaus Fan-zone Wina. Turki versus
Portugal. Dua kutub pendukung telah menyesaki halaman
Kantor Walikota Wina. Kantor Walikota yang
biasanya sunyi sepi kini dipenuhi lautan manusia.
Pertandingan itu tidak digelar di Wina melainkan di
Swiss, namun gelora ribuan manusia di Rathaus
Fan-zone boleh ditantang dengan keramaian di
stadion Swiss. Tiga monitor TV raksasa digantung
secara tersebar di gedung Rathaus.
Ada Apa Dengan Setan 2 Perang Bangsa Naga War Of The Dragons Karya Junaidi Sang Penebus 18
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama