99 Cahaya Di Langit Eropa Menapak Jejak Islam Di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais Dan Rangga Almahendra Bagian 4
telepon seluler masing-masing. Sinyal
telekomunikasi kembali muncul juga di ponselku.
Aku melihat notiikasi unread message di inbox
e-mailku. Nama yang sepertinya kukenal bertengger
di sana. Mataku mendelik tak percaya. Otakku
mencari-cari rekaman masa laluku tentang orangorang yang pernah kutemui. Apakah aku benarbenar mengenalnya"
Dari Fatma Pasha. 317 47 318 Juni 2008 adalah bulan terakhir aku berkomunikasi
dengan Fatma. Setelah itu dia menghilang bak
ditelan bumi. Beberapa kali aku mencoba ke
rumahnya di Wina, namun selalu berakhir dengan
kekecewaan. Aku sudah tak ingat lagi berapa
persisnya jumlah SMS dan e-mail yang kukirimkan
kepada Fatma, tanpa satu pun dia balas. E-mail
perjalananku ke Andalusia adalah yang terakhir
kalinya. Waktu berjalan begitu cepat. Aku ingat hari-hari
pertamaku di Wina, perkenalanku dengan Fatma
yang begitu berkesan dari sebatang cokelat. Dialah
yang menyentuh indra rasa dan pikiranku untuk
memulai perjalanan menapak misteri Eropa yang tak
pernah terkuak dalam kehidupanku. Eropa yang
pernah menjadi lahan berseminya nilai-nilai Islam
yang begitu indah. Entah mengapa aku selalu ingin menceritakan
pengalaman perjalananku pada Fatma. Mungkin
karena aku merasa berutang budi padanya. Dia
adalah orang Eropa pertama yang membuatku
merasa nyaman di perantauan. Ikatan batin sebagai
sesama muslim di perantauan membuat kami
merasa dekat sebagai keluarga. Tak hanya itu, kami
pernah berjanji traveling bersama-sama selama aku
di Eropa. Aku sedikit tak percaya apakah e-mail ini benarbenar dari Fatma Pasha, temanku kursus bahasa
Jerman dulu. Tampaknya aku harus memercayai itu.
Salam Hanum, Semoga engkau dan suamimu baik-baik saja
di Wina. Aku minta maaf karena baru kali ini
bisa membalas e-mail-e-mailmu. Aku begitu
bangga mendengar cerita-cerita perjalananmu, kau
membuatku seolah-olah berada di tempat itu.
Namun, aku tak kuasa untuk membalasnya.
Sudah lebih dari dua tahun ini aku tenggelam dalam
kesedihan. Ayse anakku telah kurelakan kepergiannya
selama-lamanya. Sepulang dari pertandingan
dulu itu, aku menemukannya tak sadarkan diri.
Dokter memvonisnya menderita leukemia akut.
Rupanya, kesedihanku akan kekalahan Turki itu
bersambung hingga hari-hari berikutnya. Itu adalah
319 hari terburuk dalam hidupku, Hanum. Namun, kini
semuanya sudah berbeda. Tuhan menjawab doaku.
Dia menggantikan Ayse dengan Baran dua bulan
yang lalu. Oya, kapan kalian pulang ke Indonesia" Jika
kau ada waktu, berkunjunglah ke Istanbul. Jangan
ragu-ragu untuk menghubungiku. Tinggal di Wina
tampaknya jauh dari realitas. Aku dan Selim sudah
memutuskan untuk menetap di Istanbul. Aku hanya
bisa berharap semoga Allah mempertemukan kita
lagi, Sister. Sampai jumpa lagi, Hanum.
320 Salam, Fatma Aku diam tergugu. Aku memandang kedua tanganku. Tiba-tiba
teringat pada Ayse. Tangan ini pernah berkali-kali
menggendongnya. Bayangannya masih membekas di
telapak tanganku...rasanya....
Ayse yang selalu menurut diajak ke mana pun
oleh ibunya. Anak pendiam itu ternyata telah tiada.
" " E-mail dari Fatma telah membuatku sadar akan
sesuatu. Bahwa setiap pertemuan berujung pada
perpisahan. Sebuah kenyataan yang sering kita
lupakan, karena seakan-akan ibu, bapak, saudarasaudara kandung kita, anak-anak kita, bahkan
pasangan hidup kita, adalah milik kita selamalamanya. Kita lupa betapapun kita menyayangi
mereka, mereka bukanlah milik kita seutuhnya.
Demikian pula kita, bukan milik mereka seutuhnya.
Menyadari kembali bahwa perpisahan pasti akan
datang menghampiri seharusnya menjadi pelecut
untuk memberikan yang terbaik kepada mereka
yang kita sayangi di dunia ini. Tak hanya orangorang terdekat dalam lingkaran keluarga, namun
juga orang-orang yang jauh jangkauannya dari
tangan kita. Sudah jelas mengapa Fatma tak pernah membalas
e-mail-e-mailku. Siapa pun takkan kuasa menerima
kematian anak semata wayang yang begitu
mendadak. Apalagi untuk memikirkan membalas
e-mail jalan-jalan. Muncul perasaan bersalah di
dadaku. Ingatanku melayang kembali pada hari-hariku
bersama Fatma selama 3 bulan kelas bahasa Jerman.
Aku mengingat kali terakhir aku diajak ke
rumahnya, mengaji bersama Latife, Ezra, dan Oznur.
Di dalam dapur, aku dan Fatma memadu cita-cita
menjelajah Eropa. Magnet-magnet hias di
dindingnya itu satu per satu telah kugenggam.
321 Hanya tinggal magnet Hagia Sophia di Istanbul yang
belum kuperoleh. Semua begitu kebetulan. E-mail dari Fatma
tiba-tiba meletupkan keinginanku untuk kembali
mengarungi samudera peradaban Islam di Eropa.
E-mail itu membuatku yakin, aku harus
mengunjungi tempat imperium Islam terakhir pada
masa lalu yang terkenal itu: Dinasti Usmaniyah atau
Ottoman. Dan tentu saja sambil mengunjungi
sahabatku, Fatma Pasha. Aku sangat ingin ke Istanbul....
322 Pesan SMS itu kulayangkan begitu saja kepada
Rangga, menomorduakan e-mail balasanku untuk
Fatma. Selang lima belas menit kemudian aku
mendapat balasan SMS dari suamiku. Suamiku itu
bahkan tak menanyakan mengapa Istanbul. Agaknya
tempat yang menjadi tujuan jalan-jalanku juga
masuk dalam daftar jalan-jalannya.
Cocok. Aku sudah cek di internet, ada tiket murah
untuk bulan depan. Bagaimana, ambil atau tidak"
Aku hanya menjawab dengan satu kata pendek.
Ambil 48 Sabiha Gokcen International Airport,
Istanbul Petugas bandara itu mengecek daftar nama negaranegara yang ditempel di dinding kaca ruang
kerjanya. Ke atas dan ke bawah, tapi dia tak
menemukan nama itu juga. Rangga membantu
penglihatannya yang semakin kabur karena umur
itu. "Yang paling bawah, itu dia Indonesia!" seru
Rangga menunjuk tulisan pena coret, bukan ketik.
"Aha!" petugas itu nyengir. "Yang paling bawah
berarti paling baru, dan sayangnya paling mahal. 25
dolar, please," ucap petugas itu.
Ya, Indonesia akhirnya berhasil meyakinkan
pemerintah Turki bahwa warganya bisa berkunjung
ke Turki dengan visa on arrival. Mendapatkan visa on
arrival di Turki untuk warga Indonesia biasa adalah
kemajuan besar. Aku merasa kali ini Turki benar323 benar menunjukkan kebesarannya sebagai saudara
tua sekaligus saudara negara yang berpenduduk
mayoritas Islam. " " 324 Sabiha Gocken adalah bandara kedua di Istanbul
setelah Atat?rk. Sebuah nama yang diambil dari
anak perempuan adopsi Mustafa Kemal Atat?rk.
Tiga puluh lima kilometer dari pusat kota, hanya
pesawat-pesawat tier kedua dan budget airliners yang
berkeliaran di lapangan bandara ini, termasuk
pesawat Sun Express yang membawa kami dari Wina
ke Istanbul. Meski hanya bandara kelas dua,
arsitekturnya begitu menawan, sekelas bandarabandara internasional di Eropa Barat.
Begitu kami keluar dari portal keimigrasian, hawa
dingin yang berembus dari pintu otomatis langsung
menyerang kami. Kami sekali lagi diingatkan, Turki
bukanlah Arab yang beriklim panas dan kering.
Hawa Istanbul pada Februari awal tak kalah dingin
dengan hawa di Wina yang berada di bawah suhu
beku. Istanbul, Islambol, New Rome, Constatinople,
atau Konstatinopel adalah aneka sebutan untuk kota
ini. Kota dengan segudang nama yang tentunya
punya segudang sejarah. Begitu keluar bandara, kami serasa berada di
Bandara Soetta Cengkareng. Parkir taksi, bus, dan
mobil pribadi centang perenang. Penjemput dan
orang yang berdatangan dari penerbangan
berseliweran tak tentu arah. Atmosfer demikian
diperparah dengan hujan yang turun lebat. Para
penjaja taksi yang melihat kami bingung langsung
menyerbu satu per satu. Kami terus menggeleng,
sambil melangkahkan kaki menuju bus besar
bernama Havas yang terparkir tepat di depan
billboard bertuliskan "Istanbul, The European Capital
of Culture". Di dekatnya ada papan besar lain
ber-tagline "Turkey Welcomes You" dengan ikon
bunga tulip. Bus Havas adalah semacam bus Damri
di bandara Cengkareng yang mengantar penumpang
dari bandara ke pusat kota.
Setengah jam kemudian setelah semua kursi
terduduki, bus Havas yang kami naiki baru bergerak.
Tak ada jadwal pasti kapan bus ini berangkat. Semua
tergantung subjektivitas sopir dan kondekturnya.
Dan semua itu tergantung dari apakah lira (mata
uang Turki) yang mereka kumpulkan telah
memenuhi syarat atau belum.
Suasana Jakarta pada petang hari terasa juga di
Istanbul. Bus kami bergerak seperti keong. Merayap,
lebih banyak direm daripada diinjak pedal gasnya.
Kami segera menyadari bahwa kemacetan adalah
masalah yang tak terelakkan di setiap kota
metropolitan. Dan di negara berkembang.
Kami memandang jauh ke luar jendela bus.
Kerlap-kerlip lampu memancar dari pinggiran aliran
325 326 air yang membentang membelah dua daratan.
Iluminasi juga berpendar dari lampu-lampu kecil
yang ditautkan di sepanjang jembatan besar, tempat
yang akan bus kami lewati sebentar lagi. Ribuan
kendaraan yang datang dari arah berlawanan
meyakinkanku jembatan ini begitu krusial bagi
kehidupan warga Istanbul.
"Goodbye Asia, welcome to Europe again," Rangga
berbisik di telingaku. Aku tersadar. Bandara Sabiha Gocken tempat
kami mendarat tadi berada di bumi Asia. Oh, inilah
Jembatan Bosphorus yang sangat terkenal itu. Dan
aliran sungai yang membelah itu adalah bagian dari
Selat Bosphorus. Bus yang kami tumpangi tengah
menembus dua benua. Dengan rentang antarbenua
kurang lebih 1,5 kilometer, tak mengherankan
orang-orang Ottoman begitu bersemangat
menaklukkan Konstantinopel.
Inilah mengapa Turki begitu bangga dengan
dualitas identitasnya. Memiliki satu kaki yang
menginjak Eropa dan kaki satunya menjejak Asia.
Tapi ini pulalah yang membuat negara-negara Eropa
Barat maju-mundur dan saling tarik-ulur menerima
Turki ke dalam kesatuan negara-negara Uni Eropa.
Pasalnya satu, teritori Turki di sebelah selatan
berbatasan langsung dengan negara-negara konlik,
sarang terorisme, bom bunuh diri, dan gerakan
anti-Barat. Turki tak jemu-jemu meyakinkan Barat bahwa
dirinya bukan seperti negara-negara yang menjadi
tetangganya. Atat?rk pernah mendeklarasikan Turki
sebagai negara sekuler, bahkan lebih sekuler
daripada negara Eropa. Jauh sebelum Prancis
melarang pemakaian jilbab di institusi pemerintahan
dan sekolah akhir-akhir ini, Turki"notabene negara
yang mayoritas penduduknya Islam"sudah lebih
dulu mengeluarkan kebijakan kontroversial itu.
Namun, realitas berbalik 180 derajat setelah
partai Atat?rk tak lagi berkuasa. Turki bukan lagi
peminta-minta belas kasihan bangsa lain.
Pertumbuhan ekonomi Turki tak seburuk dulu. Dia
tak butuh mengemis identitas sebagai negara Uni
Eropa dari Barat. Toh kondisi Uni Eropa kini malah
99 Cahaya Di Langit Eropa Menapak Jejak Islam Di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais Dan Rangga Almahendra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terpuruk, dengan bombardir chaos sosial, politik,
dan ekonomi. Kini ekonomi Turki boleh diadu
dengan negara-negara Uni Eropa lainnya seperti
Spanyol, Yunani, dan Portugis.
" " Hampir tiga jam kami duduk dalam bus Havas yang
akhirnya berhenti di pinggir jalan yang sangat
ramai. Kami telah sampai di jantung kota Istanbul,
Taksim Square. Sebuah distrik yang mirip areal Blok
M di Jakarta. Sebuah distrik yang mengingatkanku
bahwa bahaya terorisme tak hanya dihadapi mereka
di Barat. Keberadaannya bak ranjau yang menjebak
di mana dan kapan saja, tanpa pandang bulu.
327 Bom bunuh diri meledak di Taksim Square kurang
dari setahun yang lalu dan melukai puluhan orang.
Beberapa tahun sebelumnya, bom meledak pula di
Istanbul, menewaskan puluhan orang dan
mencederai ratusan lainnya. Tiada korban selain
orang-orang Turki sendiri, yang tak lain saudarasaudara muslim.
Tepat begitu kami turun dari bus, sebuah SMS
mendarat di ponselku. Dari Fatma.
Selamat datang di Istanbul. Sekali lagi, aku
tawarkan kalian bermalam di rumah kami yang
mungil. Jadi kan kita bertemu lusa"
328 Fatma tak berubah dari dulu. Begitu akrab dan
tak sungkan-sungkan menawarkan bantuan.
Meskipun bahasa membuat kami terbata-bata
mengungkapkan sesuatu, itu tak mengurangi
pemahamanku tentang kepribadiannya yang hangat.
Berkali-kali dia menawari kami menginap di
apartemennya, namun kami tolak. Kami pun
menolak mentah-mentah keinginannya menjemput
kami di Sabiha Gocken. Kami tahu, kami tak layak
merepotkannya yang tengah sibuk mengurus
seseorang yang paling ditunggu-tunggunya lagi di
dunia ini. Seorang bayi yang baru berusia 3 bulan,
bayi pengganti Ayse. Tapi pada akhirnya kami menyerah. Kami
mengabulkan permintaan terakhirnya untuk
menemani kami jalan-jalan selama di Istanbul.
Ya, lusa. Kau harus bawa Baran ya. Topkapi Palace
jam 11 pagi. Esok kami akan mengunjungi Hagia
Sophia dan Blue Mosque dulu.
Sebuah SMS balasan kulayangkan pada Fatma
saat kami akhirnya berada di kereta gantung di
Taksim Square. Kami baru sadar bahwa geograis
Istanbul ini berbukit-bukit, dan Taksim Square
berada di atas sebuah bukit. Dengan kereta gantung
inilah kami akhirnya mencapai Camberlitas,
kompleks situs sejarah Turki yang memangku tiga
bangunan bersejarah terbesar: Hagia Sophia, Blue
Mosque, dan Topkapi Museum. Dan di Camberlitas
inilah berjejer ratusan penginapan yang bersaing
harga dan fasilitasnya. Setelah browsing internet yang melelahkan, kami
mendapatkan penginapan berharga hostel dengan
fasilitas hotel. Enam puluh Euro untuk 3 malam,
termasuk sarapan untuk 2 orang. Best deal price yang
membuatku dan Rangga semakin yakin kami harus
datang ke Istanbul dan bertemu Fatma.
329 49 Mbak Hanum, kalian ada di mana" Kita jadi ke
Hagia Sophia" 330 Sebuah SMS mendarat pagi-pagi dari salah satu
kenalan kami di Wina, Ranti Tobing. Seorang
perempuan muda Batak yang sedang bekerja
magang beberapa bulan di Istanbul. Dia baru
beberapa hari tiba di Istanbul. Kedatangan kami
adalah kebetulan bagi Ranti, setidaknya dia tak
harus membeli sepatu bot baru. Agaknya semua
orang yang datang ke Turki pada musim dingin
menyepelekan hawa di Turki. Turki yang identik
dengan imej Arab yang panas agaknya harus segera
dihapus jauh-jauh. Termasuk dari kepalaku karena
aku lalai membawa sarung tangan termalku dan
Ranti juga lupa mengikutsertakan sepatu bot
kulitnya ke dalam koper. Kami sengaja berjanjian
dengan Ranti untuk jalan-jalan pada pagi pertama
di Istanbul, sekaligus serah terima penitipan sepatu
bot yang bisa menyelamatkannya dari hunjaman
suhu dingin Istanbul. Sebuah alasan yang
kukemukakan juga pada Fatma agar dia tak terlalu
memaksakan diri untuk menemani kami selama 3
hari berturut-turut. " " Dua jam kemudian aku, Rangga, dan Ranti telah
berada di jalanan Camberlitas menuju Hagia Sophia.
Dalam hal penginapan, kami memang begitu
beruntung. Tapi tidak begitu halnya dengan cuaca di
Istanbul kali itu. Hawa dingin menggigit ujung
jari-jemari kami, ditambah dengan angin dan hujan
yang konsisten berembus dan menitik. Matahari
yang menjadi harapan besar setiap kami akan
mengabadikan gambar dengan kamera, hari itu
terlalu malu menyibakkan sinarnya. Dia tak kuasa
melawan hegemoni awan gelap dan kabut yang
tebal. Namun, semua itu tak mengurangi semarak
suasana pagi hari di Istanbul. Pedagang-pedagang
kaki lima menggelar dagangan mereka di emperan
jalanan. Persis seperti para pedagang kaki lima di
Malioboro Yogyakarta. Setelah berjalan sekitar 2 kilometer, dari
Camberlitas kami bisa melihat kubah cokelat
kemerah-merahan yang dikelilingi 4 minaret.
331 332 Hagia Sophia telah menanti kedatangan kami.
Hagia Sophia memiliki arti tertentu bagi aku dan
Rangga, juga bagi Ranti. Bagi aku dan Rangga,
bangunan ini adalah masjid raya yang menjadi ikon
kemenangan Dinasti Usmaniyah atas Byzantium
Romawi. Namun bagi Ranti, Hagia Sophia adalah
gereja termegah pada zamannya, yang membuatnya
bangga menjadi penganut Kristen yang taat.
Baik kami dan Ranti sungguh menyadari, masingmasing mengakui apa yang menjadi cerita sejarah
pada masa lalu. Biarlah rasa kagum kami yang
berbeda-beda cara pandangnya itu kami simpan
sendiri dalam hati. Karena seperti yang pernah
kusebutkan sebelumnya, yang paling penting dari
mempelajari sejarah adalah bukan hanya
kemampuan menjabarkan siapa yang menang siapa
yang kalah, melainkan mengadaptasi semangat
untuk terus menatap ke depan, mengambil sikap
bijak darinya dalam menghadapi permasalahanpermasalahan dunia.
Yang nyata dari semua itu adalah kini kami
bertiga akan memasuki sebuah tempat yang bukan
lagi gereja dan bukan lagi masjid, tapi museum. Aku
tiba-tiba teringat kata-kata Sergio di Mezquita
tahun lalu. Dia sangat berharap pemerintah Spanyol
menyulap Mezquita menjadi museum. Baginya,
membuka Mezquita sebagai museum akan
mempermudah semua orang untuk memaafkan
sejarah, menghilangkan krisis identitas yang selama
ini menghampiri bangunan itu. Tak bisa dihindari,
dengan ikon Mezquita sebagai Katedral Katolik kini,
tak semua orang memperbolehkan diri mereka
memasuki tempat suci keyakinan orang lain. Dan
bagi Sergio sendiri, dengan demikian kesempatan
bagi dirinya dan ratusan orang seperti dirinya untuk
menggemukkan dompet malah terbatas.
Persis seperti di Al-Hambra, kami bertiga harus
merelakan diri mengular di loket pembelian karcis di
tengah dingin dan rintik hujan. Tapi entah mengapa,
baik kami dan Ranti tak berkeberatan untuk
melakukannya. Kami ingin menyaksikan bangunan
harmoni antara dua keyakinan yang kini sama-sama
rela mewakafkannya untuk kepentingan negara.
Begitu masuk ke Hagia Sophia, aku tak bisa
mengelabuhi diri bahwa ini adalah tempat ibadah
yang spektakuler untuk ukuran abad 4 Masehi.
Bukanlah persoalan yang mudah untuk mendirikan
bangunan raksasa setinggi 200 kaki dengan 2
tingkat. Dipandang dari kecanggihan zaman modern
seperti sekarang, Hagia Sophia memang tak
menunjukkan kemolekan sama sekali. Namun, aku
berusaha membayangkan diriku sebagai orang
Romawi yang hidup 1.600 tahun lalu, yang tinggal
dalam gubuk-gubuk jerami dan hidup sehari serasa
setahun karena tiada yang dikerjakan. Tentu aku
akan menganggap Hagia Sophia sebagai bangunan
dari kahyangan dan Tuhan senantiasa bersemayam
333 334 di sana. Tuhan dan malaikat-malaikat yang
dilukiskan dengan mosaik berwarna emas tergelar di
langit-langit dasar kubah. Siapa pun pada saat itu
pasti akan takjub terpana merasakan kehadiran
Tuhan yang begitu lekat dengan bangunan ini.
Hagia Sophia, mendengar namanya saja kita
sudah bisa membayangkan sesosok putri nan
anggun. Demikian pula Hagia Sophia; dia tak lekang
oleh zaman dan ruang, meski berkali-kali ditempa
gempa bumi dan pengambilalihan kekuasaan dari
satu tangan ke tangan yang lain. Dia tetap suci.
Di Hagia Sophia aku mengamati dua ruh desain
yang berbeda. Menunjukkan kepribadian Hagia
Sophia yang berganti-ganti dari satu masa ke masa
lain, sesuai perintah manusia yang menguasainya.
Desain awal Hagia Sophia tergambar dari motif
lukisan Yesus, Bunda Maria, malaikat Jibril, John the
Baptist"atau Nabi Yahya dalam Islam"dan tentunya
Kaisar Byzantium, sang Konstantin sendiri, serta
mosaik dan fresco aneka warna yang tersuguh di
langit-langit dan dinding bangunan. Semua lukisan
tersebut mengetengahkan atmosfer spiritualitas
hidup pemeluk Kristen. Sementara itu, motif kaligrai Islami ukuran
raksasa dan ukir-ukiran bunga yang menghiasi rel
atap dan pucuk pilar Hagia Sophia adalah desain
dengan nuansa berbeda. Ukiran yang terinspirasi
dari bahasa Qur"ani ini adalah kreasi 1.000 tahun
sesudahnya, masa setelah Byzantium jatuh ke
tangan Dinasti Ottoman. Nasib Hagia Sophia berkebalikan dengan
Mezquita di Cordoba. Hagia Sophia adalah Katedral
Byzantium terbesar di Eropa yang kemudian menjadi
masjid. Masjid itu memajang kaligrai Allah,
Muhammad, serta kalimat-kalimat ayat suci, tetapi
tetap membiarkan lukisan-lukisan Yesus dan Maria
serta elemen-elemen kekristenan bertengger di
sana. Sebelum Konstantinopel jatuh ke tangan
Ottoman, berbagai aksi vandalisme terhadap Hagia
Sophia pernah terjadi. Aksi dilakukan para pembela
Kristen Katolik Roma, yang dari awal memang
menjadi musuh bebuyutan Kristen Orthodok
Byzantium. Aksi perang antar sempalan agama
Kristen ini juga mengingatkanku pada Perang Syuni
melawan Syiah yang terjadi pada abad modern ini.
Ketika Konstantinopel kemudian jatuh ke tangan
kekhalifahan Islam, Sultan Mehmed sang penakluk
Byzantium hanya memplester semua ikon Kristen
itu, tapi tidak menghancurkannya. Dia hanya
menutupnya dengan kain sehingga tak terlihat
ketika umat Islam beribadah. Bahkan kemudian
Sultan Abdulmajid membuka plester itu dan melukis
kembali semua mosaik dan fresco yang ada di Hagia
Sophia agar kembali seperti aslinya.
Sebagai muslim, aku dan Rangga terpana
menyaksikan 4 medalion raksasa berwarna hitam
yang sungguh menggetarkan hati. Persis getaran
335 336 hati kami saat memandang Al-Hambra dan
Mezquita. Tulisan Allah, Muhammad, dan Allahu Akbar
berwarna emas menggantung di empat sudut
medalion. Dan yang membuat hati ini berdesir
adalah karena medalion-medalion itu juga mengapit
gambar Bunda Maria yang tengah memangku bayi
Yesus. Karena menggantung, perasaan paranoid tibatiba menyergapku. Seakan-akan medalion itu bisa
jatuh setiap saat. Kami lantas menempuh sebuah
lerengan panjang gelap yang penuh tikungan untuk
menuju balkon tingkat dua, tempat medalionmedalion itu dililitkan. Sepertinya orang pada masa
itu belum terpikir untuk membuat anak tangga atau
undakan untuk menuju ke atas.
Ternyata bagian belakang medalion itu
ditegakkan dengan tali tambang besar yang dibelit
berkali-kali. Konon, perlu 800 orang untuk
mengangkat dan kemudian menempelkannya pada
dinding untuk pertama kalinya. Tali-tali itu lalu
diperkuat dengan besi serta pengait dan pemberat
yang kuyakini ditambahkan pada zaman modern ini.
99 Cahaya Di Langit Eropa Menapak Jejak Islam Di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais Dan Rangga Almahendra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku menengadahkan wajah menatap bangunan
yang aziz ini. Sekali lagi aku teringat kata-kata
Sergio. Manusia sesungguhnya hanya membela
kepentingannya sendiri. Dia tak pernah benar-benar
membela agamanya. Sebagai orang beragama, sekilas dan sepintas
baik aku, Rangga, dan Ranti tentu akan geram jika
peradaban agama kami dijatuhkan oleh peradaban
agama lain. Kami tak menyangsikan itu semua.
Namun, kami juga mengingat fakta sejarah yang
lain. Kenyataan bahwa di Andalusia kekhalifahan
Islam tidak sepenuhnya luluh lantak karena Kristen
yang menyingkirkan. Imperium Islam jatuh karena
anarki dan konlik dalam tubuh kesultanan sendiri.
Lalu di Turki, Katolik Roma di Eropa Barat yang
sejatinya merupakan saudara dekat Kristen
Orthodok di Timur, ternyata tak kuasa pula meredam
nafsu untuk menaklukkan Byzantium, bahkan
menjarah keindahan Hagia Sophia, jauh sebelum
Ottoman datang mengambil alih Constantinople.
Takluk-menaklukkan itu tak pernah ada
kaitannya dengan kesucian agama. Agama
sepertinya hanya akan menjadi korban dan kambing
hitam nafsu kekuasaan manusia. Lalu agama juga
yang harus memikul akibat tanpa bisa membela diri.
Manusia menyalahkannya, menghujatnya, dan
terakhir menelantarkannya. Eropa telah
membuktikannya melalui sosok Stefan, Sergio,
Gomez, dan jutaan orang Eropa lainnya.
Saat kami tengah asyik mengabadikan foto-foto
di atas balkon Hagia Sophia, kami mendengar
sesuatu. Aku yakin 60 tahun lalu, Hagia Sophia juga
memperdengarkannya sebelum akhirnya dia
disekularisasikan. Aku tersadar kami berada di
negara Eropa yang umat muslimnya paling besar
337 dan masjid-masjidnya paling menjamur.
Suara panggilan Shalat Zuhur berkumandang.
Aku melirik pemandangan di luar dari jendela
fresco berwarna-warni. Azan barusan terdengar
paling megah dan lantang dari masjid kebirukebiruan yang terletak lurus berhadapan dengan
Hagia Sophia. Bangunan itu menanti kedatangan kami.
338 50 Blue Mosque, Masjid Sultan Ahmed.
"Aku tidak ikut masuk ya, Mbak," kata Ranti saat
kami bertiga berada beberapa meter dari Masjid
Biru atau Blue Mosque. Aku dan Rangga saling
pandang. Ada kebimbangan karena itu berarti kami
membiarkannya sendirian di antara rintik hujan
yang dingin. Namun, aku tak bertanya lebih lanjut
kepada Ranti mengapa dia enggan masuk bersama
kami. Mungkin dia sudah pernah, mungkin dia
merasa harus memakai penutup rambut, atau
sederhana saja, dia tak mau masuk ke tempat
peribadatan umat lain. Pada dasarnya sikap saling
menghargai pilihan dan keyakinan itu begitu indah
saat kami jalan-jalan bersama di Istanbul ini.
"Kau nggak papa menunggu kami sebentar"
Mungkin nggak harus pakai kerudung kalau masuk.
Kami cuma shalat sebentar," bujuk Rangga dengan
perasaan tak tega. 339 Ranti menggeleng tanda tak berkeberatan.
"Nggak papa, Mas, silakan saja, take your time. Ranti
tunggu di kedai seberang itu ya, lapar nih," jawab
Ranti sambil menunjuk rumah makan yang paling
terkenal di dunia, McDonald.
Alasan Ranti begitu jelas dan manusiawi itu
membuat perut kami ikut-ikutan berbunyi, tanda
ransum siang hari itu belum dipasok. Kami segera
berlari menuju Blue Mosque Sultan Ahmed mengejar
Shalat Zuhur siang itu. Tentu saja dengan menahan
lapar dan dahaga yang semakin lama makin
menyerang setelah diingatkan Ranti.
340 " " Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokaatuh.
Suara imam shalat yang diperkeras dengan
pelantang langsung membuat kami kecewa. Kami
gagal mengejar Shalat Zuhur berjemaah di Blue
Mosque siang itu. Kami hanya berkesempatan
menyaksikan para jemaah zuhur menengokkan
kepala ke kiri dan ke kanan pada duduk tahiyatul
terakhir. Tapi karena penginapan kami dekat masjid
ini, kami berjanji akan hadir pada kesempatan shalat
berjemaah lainnya. Masjid Biru ini memang biru sesuai namanya.
Alih-alih menghancurkan Katedral Hagia Sophia,
Sultan Ahmed malah membangun Masjid Biru ini,
seolah-olah dia ingin mengatakan peradaban Islam
juga tak kalah dengan peradaban Byzantium. Masjid
ini dibangun tepat di depan Hagia Sophia dengan
ukuran yang jauh lebih besar.
Seusai menunaikan ibadah Shalat Zuhur, aku
melihat sekeliling masjid. Begitu banyak turis bule
yang duduk-duduk di dalam masjid. Ternyata mereka
yang masuk ke masjid tak harus menggunakan
tudung kepala. Hanya pakaian rapi dan terhormat
syaratnya. Saat shalat berjemaah digelar, para turis
yang sebagian besar nonmuslim tersebut dilokasikan
di pinggir dalam masjid. Usai shalat, masjid ini
seolah menjadi milik semua orang, bagiku dan bagi
mereka yang tak memeluk Islam.
Jepretan blitz yang berkali-kali langsung terasa
begitu shalat purna. Termasuk jepretan Rangga yang
mengabadikan kemewahan atap masjid ini. Terlihat
jelas perbedaannya dengan Hagia Sophia.
Sebagaimana kepercayaan dalam Islam, di dalam
masjid tak ditemukan patron-patron atau gambar
manusia. Yang membuat masjid ini begitu menawan
justru ukiran, pahatan, dan lukisan geometris yang
membuncah di dinding dan atap. Lagi-lagi kaligrai
Qur'ani berwarna-warni yang menyita perhatian
kami sejauh mata memandang. Bahkan seorang
perempuan bule langsung mengeluarkan alat
lukisnya dan mencorat-coret penggambaran abstrak
masjid ini. Di beberapa sudut masjid yang diperuntukkan
341 342 bagi perempuan, aku menyaksikan muslimahmuslimah Turki yang bertadarus Al-Qur"an.
Sebagian di antara mereka membuka hijab mereka
dan berdandan dalam ruang tertutup khusus
perempuan itu. Dalam shaf laki-laki yang dibatasi
tirai pendek, lima hingga enam laki-laki
menggerombol dalam keasyikan berdiskusi. Cocok
dengan semangat masjid sebagai forum bertukar
pikiran dan transfer ilmu pengetahuan. Dua tiga
orang yang lain duduk menyendiri, bermunajat
kepada Allah. Sungguh suasana yang begitu indah!
Tak hanya lelaki Turki yang berdiskusi dalam
masjid itu. Aku yang duduk menyandar pada sebuah
pilar besar dalam masjid sempat menguping diskusi
sekelompok turis dengan guide perempuan. Mereka
begitu antusias mendengarkan penjelasan guide
tentang Islam. Guide yang berambut hitam ikal itu
melontarkan sebuah kuis untuk anggota
rombongannya. "Siapa yang bisa menyebutkan apa saja 5 Pilar
dalam Islam?" Lalu berlomba-lombalah para turis tersebut
mengangkat tangan. "Aku bisa, tetapi tidak urut," jawab salah satu
anggota rombongan perempuan muda yang
sepertinya dari Amerika. Aku tersenyum. Guide perempuan itu juga
tersenyum. Dia mempersilakan anggotanya
menjawab. Ada perasaan yang tak bisa kujabarkan
mendengar seorang nonmuslim berusaha
mengucapkan 5 kewajiban paling dasar seorang
muslim. Begitu bangga rasanya agamaku dipelajari
oleh orang yang tak memeluk keyakinanku. Guide
perempuan itu tersenyum-senyum lagi saat
anggotanya benar-benar mencoba menjawab kuis
yang dia lontarkan tadi. Tersebutlah satu per satu 5
Rukum Islam yang terbalik-balik susunannya karena
mengandalkan pengetahuan umum itu.
"Yang pertama shalat seperti yang baru saja kita
saksikan. Kedua, puasa pada bulan Ramadhan,
ketiga haji, keempat"," turis itu berhenti sebentar,
tak yakin dengan jawaban selanjutnya
?"memakai jilbab bagi perempuan, dan kelima
adalah tidak boleh makan babi atau minum
alkohol," jawab turis itu dengan cepat dan mantap.
Tidak ada yang tertawa atau tersenyum. Para turis
itu menganggap jawaban temannya sudah
sempurna. Sang guide jadi salah tingkah dengan
jawaban keempat turis itu. Kemudian dia pun
mengembangkan senyum. Yang ada dalam kepala turis perempuan itu
tampaknya sesuatu yang selama ini populer
dikedepankan media. Haji dan puasa pada bulan
Ramadhan tampaknya sudah menjadi dua ritual
muslim yang paling terkenal di jagad alam. Dan
tentu saja, yang keempat dan kelima adalah dua
kewajiban dan larangan yang selalu menjadi
kontroversi di berbagai belahan dunia.
343 344 Guide itu meluruskan jawaban tadi.
"Ada 2 pilar lain yang belum Anda sebutkan.
Yang pertama adalah puncak keimanan dan
pengakuan hubungan manusia dengan Tuhannya,
yaitu mengucapkan dua kalimah syahadat. Dan
kedua, puncak hubungan manusia dengan manusia
yang lain, yaitu berzakat atau berderma. Syahadat
adalah yang pertama, shalat yang kedua, puasa yang
ketiga, zakat yang keempat, dan haji yang kelima,"
ucap guide perempuan itu mantap. Lalu dia
mengajak seluruh rombongannya berjalan kembali
menyisir pinggir masjid. Aku masih duduk bersandar
di pilar masjid dan tersenyum-senyum sendiri
melihat rombongan itu meninggalkanku.
Senyum yang sangat bahagia....
51 Perempuan itu terlihat kedinginan. Dia meniupkan
napasnya ke kedua tangannya. Di tangannya dia
memegang 3 helai kertas. Tidak ada ruang tertutup
di area itu yang bisa menjadi pelindung tubuhnya
yang semakin menggigil. Matanya berkali-kali
mengecek jam tangan, lalu pandangannya dilempar
jauh ke arah pintu masuk utama. Berkali-kali pula
dia menarik dan mendorong pendek-pendek kereta
bayi di dekatnya. Tampaknya dia tengah menunggu
seseorang yang tak kunjung muncul. Aku tak habis
pikir bagaimana perempuan itu tak mengenaliku.
Aku yang terus berjalan mendekatinya, di depan
matanya. Aku memang bersalah, datang terlambat
10 menit dari waktu yang kami sepakati. Ba"da
Shalat Subuh berjemaah di Masjid Biru, kami
kembali ke penginapan dan tertidur pulas. Sinar
matahari yang menerobos jendelalah yang membat
kami terbangun. 345 346 "Assalamu"alaikum, Fatma. Maaf terlambat...."
Fatma menatapku lekat-lekat. Dia bahkan lupa
menjawab salamku. Iris matanya semakin melebar.
Lalu semua itu diakhiri dengan dekapannya yang
erat untukku. "Hanum, Ya Allah! Kau mengenakan kerudung!
Aku tak mengenalimu!" pekik Fatma. Aku terpukau
juga melihatnya. Tiga tahun telah berlalu, namun
dia tetap manis seperti dulu, dengan tambahan
lemak di pipinya pasca-melahirkan.
"Alhamdulilah, aku memutuskan memakai jilbab
baru-baru ini. Kau tak ingat dengan kerudung ini?"
jawabku sembari bertanya.
Fatma melihatku dengan tatapan menyelidik. Dia
benar-benar lupa bahwa kerudung yang kupakai
adalah pemberiannya saat menonton pertandingan
sepak bola Turki versus Portugal dulu. Dan dia
tampak begitu tersanjung karena setelah sekian
lama aku masih menyimpannya.
"Jadi akhirnya kau berhasil mengumpulkan semua
magnet yang ada di dapurku dulu itu?" tanyanya
mengalihkan pembicaraan. E-mail-e-mail
perjalananku selama ini agaknya telah membuatnya
penasaran. Aku langsung teringat dengan percakapan kami
di dapur tiga tahun lalu. Seperti baru terjadi
beberapa hari yang lalu. Saat kami mengikat janji
untuk bertekad bersama-sama pergi ke situs-situs
Islam di Eropa. "Belum seluruhnya, Fatma. Doakan aku bisa
melengkapinya." Bibir Fatma langsung mengucap kata "aamin"
dengan lirih.
99 Cahaya Di Langit Eropa Menapak Jejak Islam Di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais Dan Rangga Almahendra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mudah-mudahan aku juga bisa mengunjungi
tempat-tempat itu suatu saat nanti," harap Fatma.
Aku tak menyangka dia mengalami kemajuan pesat
dalam berbicara bahasa Inggris.
Rangga dan aku lantas mengamininya serempak.
"Dan ini pasti...Baran-mu," Rangga menunjuk
kereta bayi yang digoyang-goyang oleh Fatma. Di
dalamnya ada bayi mungil dengan pipi memerah.
Tiba-tiba aku terbayang seorang balita lain tiga
tahun yang lalu...Ayse. "Umurnya baru 3 bulan. Dia adalah pusat
hidupku saat ini". Oh ya, salam dari Selim untuk
kalian berdua, dia tak bisa datang. Dia kerja lembur,
berjuang untuk Baran," ujar Fatma sambil
memandang malaikat kecilnya.
"Dan satu lagi. Selim tadi mengamanatiku untuk
membeli tiket Topkapi Palace untuk 3 orang. Jadi
aku mohon, kalian jangan menolak," ucap Fatma
sambil mengibas-ngibaskan 3 helai karcis di
tangannya. Fatma tak memberi kami sedikit pun ruang untuk
menjawab. Kami harus menerima penawaran gratis
masuk Topkapi dengannya. Lalu dia menggamit
tanganku cepat-cepat untuk masuk ke antrean
pengunjung Topkapi Palace yang tetap membludak
347 348 meski cuaca Istanbul sangat tak bersahabat. Baran
yang tertidur pulas tak terpengaruh sedikit pun oleh
dingin yang mengintimidasi hari itu. Aku menatap
bayi merah itu. Aku seperti melihat reinkarnasi Ayse
pada raut wajahnya. Menjadi guide seperti 3 tahun lalu. Itulah Fatma.
Di Topkapi Palace, dia juga akan menunaikan
perannya lagi sebagai pemandu wisata untukku.
Wajahnya yang berbinar-binar setiap mengajakku
keliling ke berbagai tempat di Austria lamat-lamat
hadir siang itu. Hanya ada satu yang hilang dengan
semua pengulangan ini...ketiadaan Ayse di antara
kami. Aku masih ingat kali pertama Fatma begitu
antusias mengajakku ke Bukit Kahlenberg di Wina.
Udara dingin yang mencekam di Istanbul siang itu
persis seperti saat di Kahlenberg, membuat semua
episode kebersamaanku dengan Fatma seperti
benar-benar terulang kembali.
"Coba kalian lihat istana ini. Menurutku Istana
ini adalah yang paling jelek dibandingkan istanaistana yang pernah kulihat di Austria dulu," ujar
Fatma mengagetkanku. Aku dan Rangga sama-sama
mengernyitkan dahi. Sungguh aneh seorang Fatma
tak bangga dengan peninggalan sejarah bangsanya
sendiri. "Itu sebuah realitas. Siapa pun setuju, istana ini
tidak ada apa-apanya dibandingkan Schoenbrunn,
Buckingham, atau Versailles. Yah, walaupun aku
hanya tahu dari buku-buku untuk dua istana
terakhir," tambah Fatma seperti orang tak percaya
diri. Dia memang tak pernah jalan-jalan di Eropa,
namun dia membaca banyak sekali buku dan selalu
bermimpi bisa jalan-jalan mengunjungi tempattempat tersebut satu per satu.
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling
Topkapi. Aku takkan menipu diri sendiri. Istana ini
memang terlihat biasa saja. Desainnya kalah mewah
atau canggih dibandingkan istana-istana lain di
Eropa. "Memang sederhana sekali, Fatma. Tapi bukankah
ini merupakan"yah, bisa dibilang...kekuatan
tersendiri?" kata suamiku.
"Tepat," jawab Fatma pendek.
"Sultan-sultan saat itu memang menerapkan
kesederhanaan sebagai syarat mutlak. Bukan karena
tidak bisa bermewah-mewah, tetapi karena mereka
kurang suka dengan istana yang terlalu gemerlap.
"Oh ya, lihat juga gerbang utamanya dan
gerbang-gerbang serta gapura-gapura lain dalam
istana ini. Tak bisa ditarik garis lurus karena
pendiriannya tak beraturan. Di istana-istana Eropa,
tak mungkin seamburadul ini," lanjut Fatma sambil
tertawa. "Dalam patron arsitektur, seharusnya
kesimetrisan dijunjung tinggi sebagai releksi dari
kesempurnaan. Namun, Sultan tak menginginkan
yang "sempurna" itu. Maka dibuatlah yang tidak
349 sempurna. Karena, menurut Sultan, kesempurnaan
itu hanya milik Allah."
Fatma benar, banyak sekali fenomena asimetris
dalam Topkapi yang tak kujumpai di istana Eropa.
Ornamen ukiran yang membubuhi dinding dan atap
istana sangat biasa. Aura kesederhanaan dan
kesahajaan begitu kuat melekat.
Kami mulai paham, Fatma sebenarnya justru
sangat bangga dengan peninggalan masa lalu
bangsanya. " " 350 "Oh ya, kalian tahu mengapa simbol pariwisata
Turki itu tulip?" tanya Fatma saat kami
menginjakkan kaki ke dalam Harem. Harem adalah
sebuah kompleks terpisah dari istana utama yang
selalu diasosiasikan dengan ruang para selir raja.
"Itu menjadi pertanyaan kami juga, Fatma. Ruang
Harem ini dihiasi gambar tulip di mana-mana.
Bahkan lambang pariwisata kalian pun mengambil
ikon tulip. Mengapa kalian sangat bangga dengan
bunga dari Belanda itu?" tanya Rangga.
"Belanda?" tanya Fatma balik. Lalu dia
tersenyum-senyum. "Sayang, memang...negaraku kalah cepat dengan
Belanda dalam membangun imej," tambah Fatma
lirih. "Rangga, tulip itu bunga asli Anatolia Turki dan
sebagian Asia Tengah. Tulip menjadi semakin
populer saat Ottoman melancarkan invasi ke
negara-negara Eropa. Termasuk ketika kapal-kapal
Ottoman berlabuh di Belanda. Tidak ada satu pun
negara yang melirik tulip untuk dikembangkan,
kecuali Belanda. Di Belanda-lah bunga-bunga ini
dikembangkan jadi lebih menarik dalam berbagai
warna karena peran teknologi. Dan sekarang ada
festival yang sangat terkenal dengan bunga-bunga
tulip itu," ucap Fatma merujuk Festival Bunga
Kekeunhof di Belanda. Kami mengagguk-angguk. Sebuah pengetahuan
sejarah yang baru kami ketahui.
Rasa-rasanya banyak sekali tradisi dan serbaserbi Eropa yang bersinggungan erat dengan
Ottoman Turki. Ini mengingatkanku pada cerita roti
croissant dan cappucino yang tak lain terinspirasi
kekalahan Turki, dan fakta bahwa tulip adalah
bunga favorit dan legendaris dari Dinasti Ottoman
Turki. Aku baru memahami benar apa yang dijelaskan
Fatma setelah mengamati banyaknya ukiran dari
keramik berbentuk tulip di Harem. Selain tulisan
dan inskripsi Al-Qur"an yang dipahat di dinding dan
atap, ukiran tulip sangat mendominasi berbagai
ruang dan kamar Sultan. "Kau tahu mengapa semua berdesain sangat
Islami seperti ini?" tanya Fatma. Aku dan Rangga
menggeleng. Tentu saja karena pengaruh peradaban
351 352 Islam, begitu menurutku. Sesederhana itu.
"Karena sultan-sultan sangat religius. Bahkan
gambar atau lukisan mereka pun tak boleh dipasang
dalam kamar. Mereka mempunyai sugesti, dengan
menghiasi kamar-kamar mereka dengan kalimatkalimat Qur'ani, setiap mereka membuka mata pada
pagi hari, lalu menutup mata pada malam hari,
mereka selalu ingat kepada Allah. Senantiasa
berzikir kepada Tuhan. Itulah kepercayaan mereka."
Kata-kata Fatma barusan menyadarkanku akan
sebuah kenyataan yang tak bisa kumungkiri. Kini,
sudah tiada lagi kamar-kamar tidur generasi masa
kini yang beraroma Qur'ani. Jangankan Qur"an,
menemukan kamar tidur pribadi anak-anak yang
dihiasi gambar Kakbah, masjid, atau sekadar bungabungaan sudah terlalu asing dalam kehidupan
modern saat ini. Memang itu hanya sekadar simbol,
namun ada kalanya simbol itu tak sekadar simbol
ketika kita melihatnya setiap detik, meresapinya
setiap mata terbuka dan tertutup, lalu membuahkan
inspirasi tersendiri dalam kehidupan kita. Membuat
kita meneladani semua gerak dan gerik, tindak dan
tanduk idola idaman. Bisa menjadi inspirasi yang
positif, namun tak jarang melahirkan inspirasi yang
menyesatkan. Apa yang kita harapkan ketika kamar-kamar tak
lagi ditempeli tulisan atau tokoh-tokoh yang
memberikan role model kehidupan"
Yang ada adalah kamar anak Indonesia berumur
15 tahun"seperti yang pernah kudapati"yang
penuh dengan gambar Justin Bieber, Ariel Peterpan,
Paris Hilton, dan Lady Gaga. Itulah poster-poster
tempel yang menaungi kamar anak belasan tahun di
Indonesia, juga ribuan atau bahkan jutaan anak lain
di luar sana. Membuat diriku hanya bisa mengelus
dada. Aku sadar, poster-poster itu telah mencuri sisi
spiritualitas seorang anak dengan halus. Suara bijak
dan sikap hidup isik para orangtua dikalahkan oleh
gambar-gambar mati yang walaupun tak bersuara
atau bergerak itu, namun bisa memberi pengaruh
yang sangat mematikan jiwa manusia. Sebuah
kenyataan yang aku dan Rangga harus lalui juga
saat anak-anak kami kelak beranjak dewasa.
" " Aku memandangi lampion-lampion di Topkapi yang
terlihat kusam. Makin terlihat kusam karena siang
itu matahari tiada bersinar sedikit pun, hanya awan
mendung yang senantiasa bergelayut. Ruang-ruang
di Harem pun menjadi angker. Memecah keheningan
di Harem yang begitu solid kala itu, aku
memberanikan diri bertanya pada Fatma tentang
sesuatu yang mengganjal dalam kepalaku.
"Jadi benar tidak Harem ini adalah tempat para
sultan...apa ya...memadu kasih dengan para selir?"
tanyaku hati-hati pada Fatma.
353 354 Aku pernah membaca buku-buku wisata yang
bercerita tentang Harem di Topkapi ini sebelumnya.
Ekspos yang paling sering dilakukan adalah Harem
merupakan bangunan yang begitu terkenal karena
nilai seksualitasnya. Setiap orang yang mendengar
Harem langsung mengasosiasikannya dengan
tempat legal bagi para sultan untuk berasyikmasyuk.
Namun, lagi-lagi aku mengingat bahwa semua
referensi yang kubaca selama ini adalah garapan
Barat yang mungkin saja sepihak. Karena itu, aku
ingin mendengarnya dari Fatma, warga Istanbul dan
muslim taat yang mungkin tahu cerita sebenarnya.
Fatma terdiam sejenak, tak langsung
menjawabku. Ada rasa kecewa yang kubaca dari air
mukanya. Apakah Fatma merasa masygul dengan
pertanyaanku" "Itulah, Hanum. Aku tak menyangkal Harem
adalah tempat yang dikhususkan bagi para
permaisuri atau istri-istri sultan. Hanya saja
sekarang ini interpretasi masyarakat dunia tentang
Harem begitu negatif, seolah-olah Islam hanya
mengagungkan poligami. Sekarang coba sebutkan.
Dalam sejarah, raja dari kerajaan atau dinasti
manakah yang tak memiliki istri lebih dari satu?"
"Harem itu artinya "haram" atau yang disucikan
atau disakralkan. Jadi, sesungguhnya Harem
bukanlah tempat yang berkonotasi buruk. Sultan
membangun khusus tempat ini untuk menjunjung
tinggi harkat para perempuan. Orang-orang yang
bukan terhitung muhrim sultan atau permaisuri
tidak diperbolehkan masuk ke Harem. Inilah yang
membuat seolah-olah Harem tempat yang penuh
misteri," terang Fatma.
"Satu lagi anggapan yang sudah jamak. Salah bila
para sultan memiliki puluhan atau ratusan istri.
Mereka hanya mempunyai dua atau tiga istri, yang
terkadang diambil dari para dayang istana dengan
tujuan menaikkan derajat mereka. Ini juga untuk
menunjukkan pada dunia bahwa dayang-dayang
yang sebagian besar berasal dari daerah lain yang
ditaklukkan posisinya terangkat, sehingga
mengurangi resistensi daerah dan pergolakan."
"Kalian tahu daerah taklukan Kekhalifahan
Ottoman itu kurang lebih mencakup 68 negara dari
Mesir hingga Semenanjung Balkan, juga perbatasan
Eropa Barat. Namun, Khalifah Ottoman itu
mempunyai kebijakan perang yang...," mata Fatma
menerawang sejenak mencari kata yang cocok untuk
menggambarkan maksudnya, "...aneh tapi baik."
"Maksudmu?" tanyaku lagi.
"Begini...saat itu kesultanan membolehkan
pasukan Islam mengambil harta rampasan perang
99 Cahaya Di Langit Eropa Menapak Jejak Islam Di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais Dan Rangga Almahendra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
selama maksimal 3 hari, sekadar untuk memulihkan
kelelahan, rasa lapar, dan dahaga setelah berperang.
"Selepas 3 hari, Sultan melarang pasukan untuk
merusak, menjarah, mengganti, atau mengubah apa
pun dari apa yang mereka taklukan. Itulah sebab
355 356 Ottoman hanya mengubah Hagia Sophia menjadi
masjid, tidak merusak ornamen-ornamen Kristen di
dalamnya. Bukan hanya Hagia Sophia, tapi juga
Gereja Hagia Irene dan lusinan tempat ibadah
Kristen lainnya di Hungaria, Kroasia, dan Yunani.
Sampai sekarang Gereja Irene masih berdiri tegak
sebagai gereja utuh dengan semua elemen
Kristennya. Bahkan lokasinya pun masih di dalam
kompleks Istana Sultan Topkapi," jelas Fatma sambil
menunjukkan denah Istana Topkapi. Kami tadi
melewati gereja itu di gerbang utama istana.
"Baik Irene maupun Sophia bukan lagi gereja
ataupun masjid. Keduanya berubah menjadi museum
sejak Kemal Atat?rk berkuasa dan mengenalkan
sekularisme di Turki. Aku merasa sedih sebenarnya.
Tapi menurutku itu ide yang baik. Biarlah bangunan
itu menjadi saksi bahwa Islam pernah berjaya,
namun tetap menghormati keberadaan agama lain.
Biarlah Hagia Sophia tetap hidup menjadi museum
saja, bukan rumah ibadah. Dengan menjadi museum,
semua perasaan terjajah atau menjajah menjadi
lebur. Lagi pula, museum itu juga mengalirkan
banyak devisa dari turis sehingga menggerakkan
ekonomi di sekitarnya," Fatma mengajukan
opininya. Opini yang sama persis seperti kata-kata
Sergio dulu. Aku dan Rangga mendapatkan perspektif baru
yang begitu berbeda. Tadinya kami sempat kecewa
kenapa Hagia Sophia tidak dipertahankan sebagai
masjid, bukan museum seperti sekarang ini. Tapi
penjelasan perempuan muslim asli Turki ini justru
membalikkan logika kami. Bagi aku dan Rangga, kekayaan perspektif baru
seperti inilah yang membuat kami lebih bijak
menilai satu hal dari berbagai sudut. Termasuk
dengan mengetahui apa yang menjadi penyebab
kemunduran Kesultanan Turki, yang kemudian
berubah 180 derajat pasca-Renaissance di Eropa.
Kami memasuki sebuah ruang yang tampak lebih
baru dan mewah daripada bagian Topkapi lainnya.
Di sana dipajang berbagai atribut dari baju, senjata,
hingga perhiasan yang berlapis berlian dan batubatu mulia. Di sini perkataan Fatma sebelumnya jadi
terasa kontradiktif. Kesederhanaan Sultan ternyata jauh panggang
dari api. Para Sultan juga mencintai kemewahan.
"Sebagian besar benda di sini merupakan
peninggalan Dinasti Ottoman pasca-Renaissance,
atau kira-kira beberapa puluh tahun setelah Kara
Mustafa gagal mengekspansi Eropa Barat. Para
sultan Turki mulai meninggalkan kesederhanaan,"
ucap Fatma langsung menjawab apa yang baru saja
kupikirkan. "Manusia begitu berubah, Fatma," tambah
Rangga. Fatma tersenyum mengiyakan. Baran kulihat
masih tertidur, namun suasana ramai pengunjung
membuatnya bergerak-gerak. Beberapa kali dia
357 358 terkejut kala suara nyaring atau tawa tiba-tiba
terdengar. Fatma akhirnya mengajak kami keluar
ruang, melewati seorang haiz (penghafal) Qur'an
melantunkan ayat-ayat Tuhan yang diperdengarkan
lewat pelantang ke seluruh sudut Topkapi. Fatma
memberitahu bahwa tradisi baca Qur'an 24 jam ini
sudah dilestarikan selama ratusan tahun, sejak
Topkapi dibangun. Kami lalu menembus lorong
pendek yang menyibak sebuah panorama yang
begitu indah. Inilah bagian terakhir Topkapi. Sebuah
paviliun dengan pemandangan lautan luas dengan
kapal-kapal pesiar yang tampak seperti titik-titik di
horizon. "Jika kalian ada waktu, naiklah kapal menyusuri
Bosphorus. Lihat di seberang laut sana, ada istana.
Kalian lihat?" tunjuk Fatma jauh-jauh.
"Itulah Istana Dolmabah?e. Istana Kesultanan
Turki yang baru. Topkapi ini seperti bangunan
bobrok bila dibandingkan dengannya," kata Fatma
tertawa-tawa. Aku tahu maksud Fatma, Dolmabah?e
pastilah istana yang sangat mewah dan megah.
Namanya saja, yang berarti istana yang disesaki
tamanan bunga, sudah mengerdilkan Istana Topkapi.
"Perubahan gaya hidup Sultan yang mulai hidup
bermewah-mewah, jauh dari realitas sosial, dan
hanyut dalam Euphoria Barat akhirnya membawa
Ottoman semakin terpuruk. Mereka tak lagi betah
tinggal di Istana Topkapi yang"kau tahu sendiri
lah," ucap Fatma membentangkan tangannya
memperlihatkan Topkapi yang biasa-biasa saja.
"Mereka tentu lebih senang tinggal di istana
gemerlap yang ornamennya dihiasi untaian emas
permata, setiap sudut ruang dan perabotannya
terbuat dari keramik dan sutra. Akhirnya
Dolmabah?e menjadi istana negara dan pusat
pemerintahan, yang kemudian dipindahkan ke
Ankara. Mustafa Kemal Atat?rk, Presiden Republik
Turki pertama setelah Ottoman jatuh, meninggal di
istana itu," kenang Fatma.
"Demikianlah. Kau benar Rangga, manusia dan
peradaban berubah dengan mudah. Apa pun itu, aku
mensyukuri apa yang telah menjadi sejarah
bangsaku ini. Kini satu-satunya kewajiban kita
sebagai muslim adalah menjadi...."
"Agen muslim yang baik!" sahutku memotong
Fatma. Derai tawa kami"seperti dulu"langsung
menggelegar. Fatma menoyor pundakku. Dia
sepertinya malu aku menduluinya menyebutkan
kata-kata favoritnya itu. Aku tahu kata-kata
unggulan Fatma ini akan dia keluarkan lagi pada
saatnya. Kata-kata yang baginya bukan sekadar
ucapan, tetapi aksi nyata. Dia benar-benar tak
berubah. Persis seperti dulu.
Angin laut bertiup kencang di paviliun istana
yang menghadap ke laut bebas itu. Aku melihat
Baran yang akhirnya terbangun dari tidurnya mulai
merengek-rengek. Dia mulai mengeluarkan ingus
359 dari hidungnya. Persis seperti Ayse yang kedinginan
di Kahlenberg dan menangis di Museum Wina.
Fatma langsung membopongnya dan menimangnimangnya.
"Fatma, Baran sudah kedinginan. Ia pasti butuh
ASI segera. Oya, jadi kan kita ke rumahmu hari ini?"
tanyaku menagih janji. Fatma menghirup dalam-dalam udara yang
menusuk tulang hari itu sebelum ia menjawabku
dengan anggukan. Persis seperti dulu dia menghirup
dalam-dalam udara dingin di Kahlenberg saat turun
dari bus. Aku masih belum percaya Tuhan akhirnya
mempertemukanku lagi dengan "saudara
perempuanku" di Wina ini di Istanbul."
360 52 Lagu klasik Mozart berjudul Rondo Alla Turca itu
sangat kukenal meski lirih terdengar. Komposisi
yang kupilih untuk kumainkan dalam ajang
kompetisi piano anak-anak dulu. Sebuah lagu yang
tak pernah absen dimainkan di setiap pertunjukan
konser di gedung-gedung opera di Wina. Aku tak
menyangka ternyata Fatma begitu merindukan Wina
yang pernah ditinggalinya 3 tahun itu. Sampaisampai lagu ini menjadi latar musik yang dia setel
dalam player cakram padatnya, sesaat setelah kami
sampai di rumahnya. "Lihat apa yang kubawa untukmu, Fatma," kataku
setelah kami duduk melingkar di ruang tamu yang
asri. Fatma tak percaya apa yang kutunjukkan
padanya. Matanya berusaha membaca satu per satu
kata dalam kertas yang kubawa. Kertas yang sedikit
lusuh karena lembapnya lemari penyimpanan.
361 362 "Masya Allah, kau menyimpankan sertiikat
Bahasa Jermanku?" Fatma mendekapku. Dia tampak begitu bahagia
melihat sertiikat bahasa Jerman yang memuat
nilai-nilai ujiannya. Untuk 4 kemampuan
berbahasa"membaca, menulis, mendengar, dan
berbicara"dia mendapatkan masing-masing nilai A.
"Kau tahu, Elfriede guru kita itu marah saat aku
meminta sertiikat ini untuk kuserahkan padamu.
Dia mengatakan: "Temanmu Fatma itu kurang bisa
menghargai jerih payahnya"," kataku sambil
mengingat guru Bahasa Jerman kami.
Fatma tersenyum dan menggeleng-geleng. Dia
tahu Elfriede takkan pernah paham bagaimana
kecewanya dia tak bisa hadir pada hari
pengumuman ujian itu. Jika saja Tuhan tak
memberinya ujian kehidupan hari itu, tentu dia
sudah maju ke depan kelas dan memberikan pidato
kecil sebagai peraih nilai terbaik di kelas kursus,
suatu hal yang sudah menjadi tradisi di lembaga
kursus bahasa tersebut. "Kau sudah berhasil menjadi agen muslim yang
baik, Fatma. Kautunjukkan pada teman-teman kelas
kita, termasuk kepadaku, bahwa sebagai muslimah
yang tak mengenyam pendidikan tinggi seperti yang
lain, tak bekerja atau berkarier, kau bisa menjadi
yang terbaik di kelas. Kau tahu, aku sebal dengan
diriku karena hanya mendapatkan C untuk menulis.
Andai saja aku punya kesempatan mencontek
dirimu"." Fatma tertawa mendengar rasa jengkelku. Lalu
dia terdiam beberapa saat. Tak terasa matanya pun
berkaca-kaca. Ada memori tentang Wina, anaknya
Ayse, dan semua kebersamaan di kelas bahasa
Jerman yang terpancar di raut wajahnya.
"Ini adalah teh turki ?ay dan baklava buatanku
sendiri," kata Fatma menyuguhi kami minuman khas
dan makanan kecil. Dia mengusap tetesan air mata
yang berhasil lolos dari sudut matanya.
"Dan...dulu karena kita pernah bersama-sama di
Wina, aku khusus memutar lagu Mozart ini. Mozart
adalah komponis klasik yang paling kusukai. Karena
dia banyak menulis lagu bertema Alla Turca. Lagu
yang terinspirasi kedisiplinan para militer Janissari
Turki zaman dulu." Aku tak bereaksi karena terkejut. Aku tak
menyangka karya yang sangat terkenal itu wujud
kekaguman komponis besar Wolfgang Amadeus
Mozart terhadap kebesaran prajurit Turki. Aku baru
sadar, jika didengarkan dengan cermat dari awal,
notasi komposisi itu memang sangat berbau Turki.
"Dan lihat ini, Hanum"," Fatma memotong
lamunanku kemudian menyodoriku lembaranlembaran kertas.
"Ini desain baju yang kaubuat sendiri?" tanya
Rangga terperanjat melihat beberapa sketsa desain
baju muslimah di kertas-kertas itu.
Fatma mengangguk. "Sekarang aku menerima
363 364 jasa menjahit pakaian muslim dari orang-orang. Yah,
kecil-kecilan, tapi ini benar-benar menyenangkan.
Inilah pekerjaan yang terbaik selagi merawat Baran
dan paling cocok dengan keinginanku," jawab
Fatma. Aku langsung teringat mimpi-mimpi Fatma. Dia
mendamba menjadi desainer fesyen pakaian muslim.
Sesuatu yang menggantang asap ketika dia tinggal
di Wina. Agaknya Tuhan memang sudah
merencanakan semuanya dengan indah. Allah
memang tidak mengabulkan keinginan Fatma di
Wina, tapi Dia menggantinya dengan takdir lain
yang lebih baik. Termasuk kematian Ayse yang sempat membuat
Fatma begitu terpuruk. Siapa yang menyangka
kematian Ayse justru membawanya kembali ke
Istanbul dan membukakan pintu baginya untuk
menggapai mimpi-mimpi. Dan kini Tuhan juga telah
mengirim Baran, pengganti Ayse, untuknya.
"Kau juga harus mendesain baju muslim batik ala
Turki ya, Fatma," kataku berkelakar. Selayang
pandang, hari itu aku melihat Fatma sama sepertiku
yang berjualan batik pada hari-hari pertamaku di
Wina dulu. "Lihat ini, Hanum"aku punya kejutan lain
untukmu." Fatma mengeluarkan map putih di bawah sketsasketsa desain bajunya. Map berisi kertas-kertas
cetakan e-mail. Aku kaget saat mengenali e-mail-email itu. Itu adalah e-mail-e-mail yang selama ini
kukirimkan padanya. Tentang perjalananku
mengarungi jejak Islam di Eropa.
"Jadi selama ini kau selalu menyimpan dan
99 Cahaya Di Langit Eropa Menapak Jejak Islam Di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais Dan Rangga Almahendra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membaca e-mailku?" Fatma mengangguk pelan. Tiba-tiba rasa bersalah
menggejala di diriku. Perjalanan di Eropa adalah
obsesi kami berdua. Dan aku merasa bersalah karena
selama tiga tahun ini aku telah membuatnya
tertinggal sendirian dengan mimpi-mimpinya karena
akhirnya hanya aku sendiri yang menempuh
perjalanan itu. "Aku paling senang dengan pengalamanmu
meminta izin shalat di Cordoba. Aku tertawa
membaca e-mailmu. Harus kukatakan kepadamu,
tahukah kau siapa yang pernah berurusan dengan
polisi Spanyol karena terlibat insiden dengan
petugas di Mezquita" Mereka adalah Latife, Oznur,
dan puluhan orang dari komunitas generasi muda
muslim di Austria!" Aku dan Rangga terhenyak. Kami langsung
tertawa. "Tapi kejadian itu dibesar-besarkan oleh media
barat, Hanum. Kau tahu kan, dunia sedang demam
Islamophobia. Dan kejadian seperti itu merupakan
makanan empuk bagi media. Kau tahulah, kau kan
bekerja sebagai jurnalis. Tapi sudahlah, aku hanya
bisa berharap suatu saat nanti Mezquita bisa
menjadi museum saja agar tidak pernah ada
365 366 kontroversi lagi." Lagi-lagi, kata-kata Fatma persis dengan
perkataan Sergio dulu. Aku tersadar dengan Islamophobia yang selama
ini terus dinyalakan oleh pihak-pihak yang tak
menginginkan perdamaian. "Kau tahu Hanum, terkadang Islamophobia itu
dipupuk oleh oknum-oknum saudara muslim kita
sendiri. Dan kita-kita inilah yang menjadi
korbannya. Hanya satu yang bisa kita lakukan, meski
itu sepele di mata kebanyakan. Sedikit demi sedikit
menggerus Islamophobia itu dengan menjadi, kau
tahulah"." Fatma tersenyum. Aku tahu yang dia
maksudkan tak lain tak bukan: "menjadi agen
muslim yang baik". "Beberapa pelanggan butik kecilku ini adalah
orang-orang nonmuslim. Salah satu dari mereka
adalah korban teror bom di Sinagog Istanbul tahun
2003 lalu. Betapa bahagia aku ketika saat
mengambil jahitan dia berkata: "Aku tak tahu
seorang muslim sepertimu bisa menciptakan
pakaian selembut dan serapi ini.?"
Fatma menunjukkan koleksi jahitannya di sebuah
lemari kaca kecil miliknya. Hanya ada 3 atau 4
pakaian yang menggantung. Sebuah usaha bisnis
yang benar-benar Fatma rintis dari awal.
"Dan karena dia mengatakan hal itu, aku
memberinya diskon beberapa persen, yang
membuatnya jadi lebih senang," ucap Fatma
tersenyum bahagia. Ya, Fatma memang tampak sangat bahagia. Aku
tahu kebahagiannya tercipta dari kata-kata yang
dilontarkan pelanggannya. Dia bahagia karena hasil
kreasinya disanjung, dan dia lebih tersanjung dan
bahagia lagi karena orang mengenalnya sebagai
muslim yang kreatif, yang berperang dalam ranah
inovasi dan keterampilan pekerjaan, bukan sebagai
muslim yang sepanjang waktu membaca Qur"an
tiada henti atau shalat puluhan kali setiap hari
untuk dirinya sendiri. Kebahagiaan yang seharusnya Fatma rasakan
juga ketika Elfriede mencari-carinya di kelas. "Mana
perempuan Turki cantik berkerudung itu" Dia yang
terbaik di kelas ini." Itulah ucapan Elfriede yang tak
pernah kukatakan pada Fatma, agar tak
membuatnya lebih kecewa karena musibah Ayse
yang menimpanya. Saat itu pun aku yakin, Elfriede
pasti juga mempunyai pikiran yang sama seperti
pelanggan Fatma. "Kalian tahu... yah, kalian pasti menganggapku
gila. Ketika Baran masih di dalam kandungan, setiap
hari aku membacakannya ini," kata Fatma sambil
menunjuk lembar-lembar print out e-mailku.
Aku sangat terenyuh mendengar kata-kata
Fatma. "Ya, ini...e-mail-e-mailmu. Aku ceritakan padanya
betapa ibunya ingin sekali mengunjungi tempattempat Islam pernah menjadi bagian penting di
367 368 benua tempat kami tinggal ini.
"Sekarang ini anak-anak makin melupakan
sejarah agama. Aku ingin suatu saat nanti, dari awal
kedatangan di dunia ini seluruh anak muslim tahu,
tiada kebanggaan yang berarti kecuali menjadi
muslim. Aku ingin mereka lahir sebagai muslim
karena mereka memahami, meresapi, mengenal,
menyentuh, merasakan, dan mencintai Islam, bukan
karena paksaan orang lain. Dan aku ingin mereka
tahu bahwa dalam setiap waktu, dalam masa depan
mereka, mereka akan menemui orang-orang yang
berbeda dalam hal kepercayaan, bahasa, dan
bangsa. Aku akan mengajarkan pada mereka bahwa
perbedaan terjadi bukan karena Tuhan tidak bisa
menjadikan kita tercipta sama. Menciptakan
manusia homogen itu bukan perkara sulit untukNya. Itu semua terjadi justru karena Tuhan
Mahatahu, jika kita semua sama, tidak ada lagi
keindahan hidup bagi manusia. Jadi, nikmatilah
perbedaan itu," ujar Fatma begitu mantap.
Aku memandang Baran yang tiba-tiba merengek
lagi di boks tempat tidurnya. Kuraih dan kubopong
dia. Dia seperti tahu bahwa ibunya tengah
membicarakannya. Tangisannya baru berhenti
setelah dia kupangku. Sesaat aku terharu
memandangnya. Seolah dia tahu bahwa dia-lah
simbol harapan semua manusia. Dia ingin cepat
melewati fase merangkak, duduk, berdiri, berjalan,
lalu berlari. Berlari untuk mewujudkan cita-cita
orangtuanya yang begitu mulia. Cita-cita jutaan
manusia sebelum dan sesudah dia. Kata-kata Fatma
begitu merasuk dalam hatiku.
Dia kemudian membacakan lagi e-mail-e-mailku
di Al-Hambra Granada dan di Paris, Prancis.
Matanya tertuju pada nama perempuan yang hampir
saja kulupakan hari itu. "Marion Latimer. Walau aku tak mengenalnya,
rasanya aku sudah bisa mengenalnya lewat e-maile-mailmu ini, Hanum. Aku begitu iri padanya. Dia
tahu banyak tentang Islam, bahkan lebih banyak
dibandingkan kita yang sudah mengenal Islam
berpuluh-puluh tahun ini."
Sama, Fatma! gumamku dalam hati. Tiba-tiba
nama perempuan yang hanya kukenal satu hari itu
hadir lagi di kepalaku. Dialah orang yang dengan
spektakuler menunjukkan kepadaku lukisan-lukisan
masa gelap Eropa yang menyimpan misteri
peradaban Islam. Beberapa bulan sebelumnya,
Marion mengirim kabar dia ditempatkan di Mesir
beberapa tahun untuk sebuah penelitian. Aku tak
pernah mendengar kabarnya kembali sejak Mesir
bergejolak awal 2011 lalu.
"Hanum, lihatlah e-mail siapa ini."
Fatma mengangsurkan kepadaku sebuah print out
e-mail kucel. E-mail dalam bahasa Inggris.
Hi Fatma, nice to know you. Thanks for the treat
in Kahlenberg cafe. We"re really looking forward to
369 treat you back someday. Hope to see you soon. It
took me quite sometime to send out this e-mail to
you because I had no idea how to express my regret.
Are you a Muslim" Thank God, I think we could
be penfriends and I"ll tell the world that my best
penfriend is a Muslim"
Write me back. Paul. PS: I do hate croissants anyway, because"I love
kebab most 370 Aku dan Fatma tertawa terbahak-bahak,
membuat Rangga bertanya-tanya apa yang
membuat kami begitu kompak tertawa bersamaan.
Baran yang masih bayi itu pun merasakan
kebahagiaan. Ia tersenyum-senyum di pangkuanku
seakan-akan ia tahu segala cerita itu. Kami tak bisa
menahan tawa mengingat betapa konyol kami yang
hendak menyerang kelompok turis yang menjelekjelekkan Turki di Kahlenberg dulu.
Aku tak pernah membayangkan cerita itu bisa
berakhir seindah ini. Entah apa yang terjadi bila
Fatma tak ada di sana, mungkin aku benar-benar
marah-marah dalam bahasa asing untuk pertama
kalinya. Lalu aku akan masuk koran Oesterreich
karena menantang adu jotos orang-orang bertubuh
tambun itu. "Lalu apa jawabanmu Fatma?" tanyaku
penasaran. Fatma menggeleng. Dia belum menjawabnya. Kini
dia yang bingung bagaimana harus membalas e-mail
Paul. "E-mail ini sudah lama sekali belum kujawab!
Sekarang adalah tanggung jawabmu, Hanum!
Bahasa Inggrismu kan lebih baik, balaslah e-mail
mereka untukku," kata Fatma kepadaku.
Sungguh aku juga tak tahu harus menjawab apa.
Perasaan bahagia terlalu menguasaiku.
"Bagaimana jika hmm"sebagai tanda
memaafkan, dia harus mau mengajarimu bahasa
Inggris lewat internet seperti keinginanmu dulu?"
tanyaku bercanda. Tak kusangka, Fatma malah
mengangguk-angguk mantap. Dia begitu antusias
mendengar ideku. Hari itu takkan pernah kulupakan.
Kami berbicang, tertawa, terharu, hingga
mengeluarkan air mata suka cita. Aku seperti tak
ingin lepas dari momen-momen hari itu. Begitu
banyak hal yang membuatku belajar dari
perjalananku di Eropa ini. Bahwa membuat orang
bahagia sekaligus diri kita bahagia sungguh sangat
mudah, asalkan kita membuka mata hati kita.
Fatma mengajarkan hal itu kepadaku.
371 372 Epilog Pergilah, jelajahilah dunia, lihatlah dan carilah
kebenaran dan rahasia-rahasia hidup; niscaya jalan
apa pun yang kaupilih akan mengantarkanmu
menuju titik awal. Sumber kebenaran dan rahasia
hidup akan kautemukan di titik nol perjalananmu.
Perjalananan panjangmu tidak akan
mengantarkanmu ke ujung jalan, justru akan
membawamu kembali ke titik permulaan.
Pergilah untuk kembali, mengembaralah untuk
menemukan jalan pulang. Sejauh apa pun kakimu
melangkah, engkau pasti akan kembali ke titik awal.
Aku tercenung membaca kata-kata Paulo Coelho
dalam bukunya The Alchemist. Begitu dalam
maknanya untukku. Sebuah pertanyaan
berkumandang terus dalam pikiranku. Sudah lebih
dari 3 tahun aku tinggal di benua Eropa ini. Tak
terhitung lagi tempat-tempat yang sudah kujelajahi,
sekian banyak manusia-manusia dari berbagai latar
belakang yang kutemui. Namun, entah...sepertinya
aku masih belum menemukan titik nol itu. Di
manakah sumber kebenaran yang dijanjikan"
Semakin jauh aku melangkah, semakin buncah hati
dan pikiran ini terus mencari-cari.
Tiga tahun perjalanan bukanlah waktu yang
pendek; perjalanan ini penuh senyuman,
kekaguman, kebahagiaan sekaligus kesedihan,
tangis, dan air mata. Sedikit demi sedikit aku bisa
merasakan denyut sejarah Islam di Eropa, kadang
naik-turun, pasang-surut dalam dinamika yang tidak
pernah bisa ditebak arahnya.
Namun, kemudian aku tersadar, bukankah semua
yang ada di dunia dan di alam semesta ini diciptakan
oleh Tuhan" Aku harus percaya bahwa rasa sakit,
sedih, senang, atau gembira selama penjelajahanku
di Eropa ini juga datang dari Allah yang Maha
Menciptakan. Kekagumanku terhadap ilmuwan Islam di
Cordoba, rasa senangku melihat artefak-artefak
Islam di Paris, kebanggaanku atas megahnya masjidmasjid di Istanbul berbaur dengan kesedihanku
373 374 kehilangan Mezquita, Al-Hambra, atau Hagia
Sophia. Kemarahanku pada Ratu Isabella, Paus
Urban, atau Kara Mustafa. Aneka perasaan itu
hanya menunjukkan bahwa kita sebagai manusia
hanyalah jiwa-jiwa yang tidak bisa sepenuhnya
menguasai diri sendiri. Kita sejatinya selalu hidup
dalam "ketidaksadaran".
Allah-lah yang menguasai jiwa-jiwa kita.
Membuatnya senang atau sedih, membuatnya
tertawa atau menangis. Demikianlah aku
menerjemahkan setiap pengembaraanku ke tempat
baru. Penjelajahan terhadap sejarah masa lalu
99 Cahaya Di Langit Eropa Menapak Jejak Islam Di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais Dan Rangga Almahendra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hanyalah suatu usaha untuk lebih mengenal diri
sendiri, mengenal kuasa Tuhan atas jiwa-jiwa kita.
Untuk bisa menemukan Tuhan, aku tak boleh
mencari tujuan-tujuan lain selain diri-Nya. Aku
harus kembali pada-Nya. Aku harus membuang jauh
hal-hal yang dapat membuatku berpaling dari-Nya,
termasuk "aku" sendiri. Semua yang kulakukan
bukan untuk aku atau egoku, mungkin bukan pula
untuk kebutuhan agamaku. Tapi hanya untuk
kembali kepada Allah. Islam adalah penyerahan diri sepenuhnya pada
Allah. Pergi dan kembali hanya untuk-Nya.
" " Wapena. Warga Pengajian Indonesia di Wina.
Komunitas inilah keluarga besar yang selalu
mengawal ruh dan jiwaku selama tinggal di Austria.
Muslim dan muslimah Indonesia bersama-sama
bergabung setiap minggu untuk bertadarus dan
menimba perspektif kehidupan dari pengajian oleh
ustaz, sesepuh warga, atau scholar Indonesia yang
hidup dalam perantauan. Tak jarang, komunitas ini
menggelar pengajian lewat teleconference dengan
ustaz-ustaz kenamaan di Indonesia. Demikianlah
orang-orang ini berusaha keras untuk terus
bersanding dalam iman, Islam, dan ihsan di tengah
dunia bebas di Eropa. Lebih dari itu, yang membuatku bersemangat
untuk datang ke pengajian tiap minggu adalah
wajah-wajah mungil anak-anak Indonesia di
Wapena. Dari bayi, balita, hingga yang berusia
belasan tahun. Wapena menjadi forum bagi harapan-harapan
manusia masa mendatang untuk mengenal Islam
sejak dini. Di forum inilah anak-anak mengenal apa
itu Al-Qur"an, bagaimana membacanya,
memahaminya, dan mengamalkannya. Apakah itu
rukun Islam, rukun Iman, siapakah itu Nabi
Muhammad, siapa saja nabi dan rasul utusan Allah,
dan lain sebagainya. Dan tentu saja, dari semua itu
yang paling pertama kali diperkenalkan kepada
mereka adalah siapakah yang telah menciptakan
mereka ke dalam keberadaan ini.
Sebuah pengetahuan yang murah dan mudah
diakses di tanah air, Indonesia. Bahkan bagi
375 376 sebagian orangtua di Indonesia, pengetahuan
seperti ini terlalu "pasaran" dan tak "menjual" lagi
di dunia penuh gemerlap populerisme dan
pragmatisme. Namun, bagi anak-anak Wapena,
pengetahuan itu menjadi langka dan bernilai luar
biasa bagi ruh dan jiwanya. Untuk menata ruh dan
jiwanya di sebuah negara perantauan bernama
Austria. Aku selalu terharu dengan mereka, ketika huruf
per huruf yang kutunjuk dalam buku "Iqra karya
Kyai As"ad Humam dieja satu per satu dengan penuh
keyakinan dan konsentrasi. Hanya satu hal yang
membuatku selalu bersemangat memandu mereka
membaca Al-Qur"an: karena mereka adalah
"harapanku". Harapan ketika suatu saat Tuhan
benar-benar memanggilku kembali pada-Nya.
Hari itu, pada pengujung Ramadhan 2010, seperti
biasa kudatangi Wapena untuk mendengarkan
ceramah sekaligus berbuka puasa dengan keluarga
besar KBRI di Wina. Tamu dan tema ceramah Ramadhan malam itu
sangat menarik: Seorang mualaf bule Belanda akan
berbagi pengalaman menjadi muslim. Dia
menceritakan bagaimana dia menerima hidayah, di
tengah lingkungan Belanda yang superateis dan
hedonis, di tengah kondisi sosial yang
melambungkan nama-nama orang yang gemar
mendiskreditkan Islam. Tausiah mualaf itu begitu mengasyikkan hingga
aku tak menghiraukan surat edaran Wapena yang
diteruskan dari satu jemaah ke jemaah lain. Surat
edaran yang kubaca sambil lalu sebelum kuteruskan
ke jemaah di sebelahku. Surat edaran pendaftaran calon jemaah Haji
Austria tahun 1431 H. " " Awalnya aku tidak begitu memedulikan isi surat
edaran itu, namun entah kenapa malam itu aku tak
bisa tidur. Tadinya surat itu tak kupedulikan atau
kuremehkan begitu saja. Namun malam itu, surat itu
kembali hadir seperti membisiki hatiku yang
terdalam. Membuat hati ini gundah dan gelisah. Ada
bisikan kuat dalam hatiku untuk menuntaskan
pengembaraanku selama di Eropa ini. Sebuah
pengembaraan akhir menuju titik awal. Adventurum
ad Initio. Haji, itulah jawabannya. Jawaban yang membuat
otakku akhirnya bisa memerintah saraf-saraf
mataku untuk melemas, mengantarku menuju
kematian kecilku malam itu. Aku tidur dengan pulas.
" " Beberapa hari kemudian, aku dan Rangga telah
disibukkan dengan berbagai macam urusan
administrasi proses haji. Pendaftaran ibadah haji
377 378 dari Austria tak serumit di Indonesia. "Kondisi"
Austria yang bukan domain para jemaah haji
membuat kami tidak perlu menunggu bertahuntahun dalam daftar tunggu. Jemaah tanah air yang
berangkat dari Austria berhimpun bersama dengan
Maktab Eropa. Saudara-saudara muslim kami
datang dari berbagai negara di Eropa.
Ada hal yang kami sadari ketika bergabung
dengan jemaah haji Eropa: tidak akan ada katering
ala masakan tanah air atau ceramah-ceramah dalam
bahasa Indonesia selama kami berhaji. Namun,
semua itu sama sekali tak mengurangi semangat
kami melakukan pengembaraan isik yang paling
sakral ini. Saat persiapan sudah hampir matang, dokumendokumen juga sudah lengkap, tiba-tiba datang
berita yang memukulku: Rangga tidak mendapat izin
dari atasannya. Dia sudah mencoba berbagai cara
untuk mendapatkan izin cuti, tapi Eropa tetaplah
Eropa. Saat itu, Rangga sedang memulai tugas barunya
di Linz, Austria sebagai staf pengajar di sebuah
universitas. Jadwal kuliah sudah dirancang oleh
pihak universitas sejak semester sebelumnya. Dan
jadwal yang bertepatan dengan minggu ritual haji
itu tidak mungkin diubah lagi. Sang atasan malah
menyarankan Rangga untuk menggeser rencana
pergi hajinya menjelang liburan Natal.
Aku sebenarnya ingin marah mendengar jawaban
atasan Rangga. Mereka sepertinya tidak pernah bisa
mengerti, menganggap pergi haji sama halnya
dengan perjalanan liburan mereka untuk mencari
pantai atau matahari selama musim dingin. Tapi
kemudian aku tersadarkan, perjalanan haji memang
tidak bisa disamakan dengan perjalanan lainnya.
Selama ini aku tidak pernah kesulitan merencanakan
perjalananku keliling Eropa bersama Rangga.
Namun kali ini berbeda; ibadah haji adalah
perjalanan spesial. Hanya orang yang benar-benar
"diundang" Allah yang bisa mewujudkannya.
Sekuat apa pun daya manusia untuk mencoba,
jika Allah berkehendak lain, mustahil dia bisa
mewujudkannya. Aku sering mendengar cerita
mukjizat kecil sebelum orang berangkat haji; ada
yang baru mendapatkan visa pada detik-detik
terakhir keberangkatannya, ada yang hidup
berkekurangan, namun tiba-tiba mendapat rezeki
yang tak terduga untuk berhaji, ada pula yang
awalnya sakit-sakitan lalu menjadi segar bugar
menjelang wukuf di Arafah.
Demikian pula aku. Aku bersyukur merasakan
mukjizat kecil itu. Aku termasuk salah satu calon
jemaah yang mendaftar pada saat-saat akhir. Ada
suatu kekuatan yang memudahkanku, membukakan
jalan, dan menyelesaikan semua masalah yang
menghadang satu per satu. Namun, tidak begitu
halnya dengan Rangga. Semua jalannya seolah
tertutup rapat. 379 Aku hanya bisa menerima kenyataan bahwa Allah
telah mengundangku datang ke rumah-Nya. Dan Dia
akan menggilir undangan-Nya kepada Rangga pada
lain kesempatan. " " Labbaikallaahhumma labbaik"
labbaikalaa syariikalaka labbaik".
Kusambut panggilan-Mu ya Allah, kusambut
panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu, kusambut
panggilan-Mu.... 380 Kalimat talbiyah menggaung terus melalui ucapanku
di dalam bis yang membawaku dari Madinah ke
Mekkah malam itu. Melaksanakan tawaf pertama
kali sebelum masuk rangkaian inti haji. Jam raksasa
di Zam-Zam Tower di Kompleks Masjidil Haram
menunjukkan pukul 11.30 malam. Bukan perasaan
kantuk yang kurasakan, namun perasaan berdebardebar karena sebentar lagi aku tiba di depan rumah
Allah. Sebentuk perasaan tiba-tiba bernaung dalam diri.
Ini adalah puncak dari perjalananku. Akhir dari
petualanganku yang justru mengantarkanku pada
tempat semuanya berawal. Tepat di depan pintu Masjidil Haram, aku
bersama 12 orang rombongan anggota Wapena
berhenti sejenak. Ucapan talbiyah tadi tak terasa
berhenti sendiri di ujung bibir. Kami terperangah
memandang sesuatu di depan kami. Sesuatu yang
selama ini menjadi arah 17 rakaat shalat fardu wajib
kami. Meski ini bukan kali pertama dalam hidupku
memandang Kakbah, malam itu aku mengenal
bangunan itu sebagai bangunan baru dalam
hidupku. Bangunan yang mengingatkan seluruh
kesadaranku, aku hanyalah manusia yang diliputi
dosa dan hina. Mataku berkaca-kaca. Bangunan
kubus berwarna hitam itu seakan tersenyum padaku.
Dia seolah melirik khusus kepadaku di antara
ratusan ribu manusia yang mengelilinginya.
Sungguh aku malu menampakkan wajahku padanya.
Bagaimana mungkin dia memandangku tanpa bosan.
Tak bosan oleh makhluk bernama Hanum Salsabiela.
Hamba lemah yang lagi-lagi datang ingin berkeluh
kesah pada-Nya. Di depan Kakbah aku tak bisa lagi menguasai
diriku. Bulir air mata yang bertahan sekuat tenaga di
sudut mataku akhirnya mengalir deras ketika
kutundukkan kepala. Lagi-lagi aku datang mendekat dan menghampiriNya, karena aku tahu tak ada lagi di dunia ini yang
bisa menolongku. " " 381 Kakbah, the cube. 382 Bangunan kubus berwarna hitam ini pernah kulihat
di mana-mana. Di lukisan, bingkai foto, sajadah,
maupun dalam siaran televisi. Bentuknya demikian
sederhana, namun begitu sempurna. Tak perlu
membuatnya beraneka warna, tak perlu
membentuknya aneka rupa. Hanya hitam saja, kubus
saja. Hitam adalah induk segala warna. Dia mampu
menyerap semua spektrum cahaya, meskipun
sebenarnya hitam adalah akromatik, warna yang
justru melambangkan ketiadaan warna. Kekosongan.
Budaya barat mengidentikan hitam dengan
kematian, namun aku lebih suka
mengasosiasikannya dengan pencapaian puncak.
Bukankah dalam seni beladiri, sabuk hitam adalah
pencapaian paling tinggi" Demikian juga dalam
pencapaian gelar akademis; toga berwarna hitam.
Mobil milik pejabat tinggi maupun jenis tulip yang
paling mahal, semua hitam. Hitam adalah puncak
kesempurnaan. Bentuk kubus juga tak kalah sempurna bagiku.
Karena titik sudut, garis rusuk, dan sisinya paling
teratur dan simetris dari segala arah. Demikian juga
Islam"sederhana, namun sempurna dari segala sisi.
Aku merasa, di sinilah tempat terindah yang
pernah kulihat di dunia. Orang boleh terkagumkagum dengan kecantikan Menara Eiffel atau
kemegahan Colosseum Roma. Tapi Kakbah dan
Masjidil Haram adalah keajaiban dunia yang
sebenarnya. Aku merinding menyaksikan ratusan
ribu manusia berputar mengelilinginya, dalam
kecepatan dan ritme yang sama, dengan melafalkan
kalimat-kalimat pujian yang sama untuk-Nya.
Lama aku mencari alasan mengapa "Rumah
Allah" dibuat sesederhana ini, di tempat seperti ini.
Mengapa Tuhan memilih Mekkah sebagai tempat
untuk umat-Nya berhimpun" Tempat yang
dilingkupi gurun pasir serta muntahan panas dan
99 Cahaya Di Langit Eropa Menapak Jejak Islam Di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais Dan Rangga Almahendra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terik matahari sepanjang tahun" Kini aku bisa
menjawabnya: Karena di situlah aku merasa hanya
Tuhan satu dan satu-satunya zat yang menjadi
perhatianku, yang menjadi penolongku.
Dia memilih tempat ini agar ibadahku tak
terganggu pesona dan kemolekan daya tarik yang
lain. Karena doa yang sungguh-sungguh dan
terkabul, tentulah doa-doa yang dipanjatkan
sepenuh hati dan pikiran hamba-Nya.
Sejenak di dalam berjubelnya umat manusia yang
mengitari Kakbah malam itu aku tersadar akan
sesuatu yang lain lagi. Ternyata segala makhluk dan
benda di jagat raya ini, sekecil apa pun dia, juga
bertawaf untuk menjaga keseimbangan hidup. Aku
dan ratusan ribu manusia malam itu tak ubahnya
elektron-elektron yang mengelilingi inti atom.
Seperti planet-planet yang mengitari matahari dan
pusat galaksi. Mereka berputar sangat padu dengan
izin Sang Maha Pencipta. Lautan manusia yang
383 melakukan tawaf itu juga digerakkan oleh satu
tujuan: mengagungkan kebesaran Allah.
Dalam tawaf aku menengok sekelilingku. Aku
terpana menyaksikan manusia-manusia segala
bangsa, segala warna kulit, segala strata sosial
berkumpul jadi satu, melakukan aktivitas yang
sama. Mereka semua berpakaian ihram putih,
berkebalikan dengan Kakbah yang hitam legam. Jika
hitam adalah "warna" yang menyerap segala
spektrum, putih adalah "warna" yang paling tak
mampu menyerap satu pun spektrum. Dia yang
harus terserap. Terserap untuk kembali hanya pada
Allah. 384 Labbaikallaahhumma labbaik"
labbaikalaa syariikalaka labbaik".
Kusambut panggilan-Mu ya Allah, kusambut
panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu, kusambut
panggilan-Mu.... Aku mendengar kalimat-kalimat pujian itu
diucapkan oleh saudara-saudara muslimku. Dengan
logat yang berbeda-beda. Tak hanya perbedaan logat
ketika melafalkan doa-doa di sepanjang tawaf,
perbedaan model pakaian ihram perempuan juga
membuat atmosfer yang hadir begitu berwarna di
Masjidil Haram. Menurutku inilah keindahan Islam;
berbagai macam interpretasi tentang bahasa dan
busana tapi semua tetap bertauhid, menyembah
hanya pada satu Tuhan yang sama.
Kakiku semakin susah melangkah. Aku berusaha
mengitari Kakbah sedekat mungkin. Kupandang
lekat-lekat bangunan ini. Lalu kutatap kakiku yang
berjalan tersaruk-saruk di lantai Kakbah. Injakan
kaki-kaki besar manusia nan kuat saling
bertubrukan di kakiku. Terkadang kakiku yang
berganti menginjak kaki-kaki mereka tanpa sengaja.
Aura ribuan bahkan puluhan ribu tahun yang lalu
tiba-tiba menerpa diri. Ketika kuamati lantai
marmer putih sejuk yang kupijak, aku seperti
melihat tapak-tapak Adam dan Hawa yang
menandai altar ibadah pertama manusia yang
dipersembahkan untuk Tuhannya.
Lalu ribuan tahun kemudian, Ibrahim dan Ismail
meninggikan fondasinya, menyempurnakan
pencarian intelektual manusia akan siapakah Sang
Pencipta. Ibrahimlah yang pertama kali
mempertemukan manusia dengan itrahnya, itrah
untuk selalu mencari kekuatan Tuhan. Dialah nabi
yang menginspirasi semua perjalanan hajiku,
termasuk menginspirasi jutaan umat Islam lainnya,
dari berbagai bangsa, ras, dan etnis, untuk datang
ke tempat agung ini. Ibrahim telah meletakkan dasar paling penting
dalam kehidupan manusia. Tentang dirinya sendiri
yang harus terus dan terus mencari sumber cahaya
kebenaran melalui perjalanan spiritual dan
385 intelektual. Manusia tidak boleh berdiam diri
membiarkan diri tersesat dalam kegelapan. Manusia
harus terus berjalan menuju tempat yang lebih
terang dari sebelumnya. Sebagaimana Ibrahim yang
mencari cahaya kebenaran melalui bintang,
kemudian berpindah pada bulan, lalu matahari.
Hingga akhirnya dia menemukan Allah sebagai "Nur
"ala Nur"...Cahaya di Atas Segala Cahaya.
" " 386 Air mata kembali berkumpul di sudut mataku.
Aku yakin inilah letak titik nol yang kucari
selama ini. Dalam tafakur dan perenungan dalam
tenda yang sangat panas di Padang Arafah, aku
mengingat-ingat kembali sejarah panjang agamaku.
Pikiranku melayang tentang apa dan siapa aku
sebenarnya. Apa dan mengapa Tuhan mengirimku ke
dalam dimensi keberadaan. Hanya satu sosok yang
hampir saja kulupa, yang akhirnya menjawab semua
ini. Ya Allah, Engkau mengirimnya ke bumi suci ini.
Nama yang selama ini kusenandungkan puluhan kali
dalam sujudku, namun aku masih belum bisa
menggapai dirinya dan syafaatnya.
Seribu empat ratus tahun yang lalu, pada suatu
malam, anak manusia bernama Muhammad itu juga
bertafakur di sebuah gua bernama Hira" di
pegunungan batu Kota Mekkah. Lalu Malaikat Jibril
datang padanya dalam bentuk bagaikan cahaya fajar
di ufuk timur, membuat Muhammad menggigil
ketakutan. ?"Iqra! Bacalah."
Muhammad ketakutan, bingung dan tak tahu
harus menjawab apa. Jibril melanjutkan katakatanya. Kalimat yang datang langsung dari Allah,
merasuk dalam sanubari Muhammad.
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu
yang menciptakan. Dia yang menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu yang Maha Pemurah.
Yang mengajar (manusia) dengan perantara
kalam (pengetahuan). Dia mengajar kepada manusia apa yang
tidak diketahuinya. Malam itu, kalimat-kalimat yang disampaikan
oleh Jibril baru kusadari merupakan kalimat yang
sesungguhnya menjadi sumber energi cahaya
Islam di muka bumi ini. Kalimat yang
mengukuhkan kewajiban manusia sebagai khalifah
di bumi. Air mataku tak bisa kutahan lagi. Kubiarkan dia
terus membanjiri baju ihramku. Membanjiri
relung-relung perasaanku, yang menyesal betapa
aku sering melupakannya selama ini. Di malam
387 itulah anak manusia bernama Muhammad
dikukuhkan menjadi panutan bagiku, juga
panutan miliaran manusia lainnya hingga akhir
zaman. " " 388 Di Padang Arafah ini juga, 23 tahun kemudian,
junjunganku bersama ratusan ribu muslim dari
berbagai penjuru jazirah Arab datang untuk
menunaikan Hajj al Wada", haji perpisahannya. Di
tengah peluh dan panas terik matahari yang sama,
Muhammad saw. naik ke mimbar untuk
menyampaikan khotbah perpisahan. Tak lama
setelah itu, sebuah wahyu pamungkas turun
padanya. Hari ini telah Kusempurnakan agamamu untukmu, dan
telah Kucukupkan padamu nikmat-Ku dan Aku meridai
Islam sebagai agamamu. Itulah kalimat terakhir dari Tuhan kepada
junjunganku, Muhammad saw. Kalimat yang seketika
membuncahkan tangis Umar bin Khattab.
"Wahai Umar, apa yang membuatmu menangis?"
tanya junjunganku itu sepenuh hati.
"Aku takut, setelah kesempurnaan, hanya akan
ada kekurangan." Umar sadar bahwa orang yang sangat dicintainya
itu telah menyelesaikan tugasnya. Saat berpisah
dengan orang paling mulia itu pun sudah semakin
dekat. Umar tak tahu harus bagaimana jika orang
yang dicintainya itu benar-benar meninggalkan
dirinya dan seluruh umat.
Senin, 8 Juni 632. Rasulullah Muhammad saw.
mengembuskan napas untuk terakhir kalinya. Hari
itu seluruh alam tunduk kehilangan. Kesedihan
terdalam mengantarkan manusia berakhlak paling
istimewa itu kembali ke haribaan-Nya.
"Wahai saudaraku, barang siapa menyembah
Muhammad saw., Muhammad saw. telah wafat, dan
barang siapa menyembah Allah, sesungguhnya Allah
kekal, hidup, dan tidak akan mati."
Kata-kata Abu Bakar itu mengentakkan
keber"ada"anku. Itulah kata-kata Abu Bakar untuk
membangunkan orang-orang yang juga berlinang air
mata pada hari itu. Aku tahu, panutanku itu tidak pernah benarbenar "pergi". Ajaran-ajarannya akan terus hidup
sampai akhir zaman. Kurang dari 1 abad setelah
Rasulullah wafat, Islam telah mencapai Afrika,
sebagian Asia Selatan, bahkan sampai Eropa. Dalam
waktu sesingkat itu Islam menyebar jauh melebihi
daerah kekuasaan kekaisaran Roma di bawah Julius
Caesar si Penakluk. Allah telah menyemaikan jiwa-jiwa yang terang
389 390 benderang, yang damai, dan yang berpikir kepada
manusia-manusia sepeninggal Nabi Muhammad saw.
Mereka telah membawa berita indah tentang Islam,
menyebarkan ideologi tauhid dan pencerahan yang
dibawanya. Islam yang tak pernah
mempertentangkan wahyu dan akal, keyakinan dan
rasionalitas. Hatiku bergetar mengingat kata-kata ini. Begitu
pendek namun begitu menggetarkan.
Iqra" bismirabbikalladzii kholaq.
Jibril malam itu tak meminta Muhammad
mendirikan shalat. Jibril tak menyuruhnya berpuasa
atau berhaji. Jibril memintanya melakukan satu hal.
Membaca"menelaah tanda-tanda alam dan mencari
terus sumber-sumber kebenaran segala daya upaya,
seperti yang dilakukan Ibrahim as. Ayat tersebut
juga dilengkapi perintah untuk membaca sekaligus
menyebut asma Allah agar manusia tidak terjerumus
dengan keterbatasan akal yang hanya bisa
menyesatkan. Demikian wahyu Al-Qur"an yang
turun pertama kali itu mengingatkan manusia untuk
senantiasa bertauhid dalam perjalanan mencari
kebenaran melalui akalnya.
Ibrahim as. yang memperkenalkan, Muhammad
saw. yang menyempurnakan.
Lagi-lagi aku bergetar dan air mata ini telah
kembali memadati pelupuk mata. Aku menyadari
bahwa selama ini aku berkali-kali telah lupa
menyebut nama-Nya dalam setiap langkah dan
napas pada awal hari, ketika mata ini diperkenankan
membuka kembali. Perjalanan suci berhaji ini telah membawaku jauh
menengok perjalanan panjangku mengarungi
samudra kebesaran Islam pada masa lalu. Ritual haji
yang kutunaikan hari itu adalah ritual haji yang juga
dilakukan jutaan manusia sebelumku.
Allah Maha sempurna telah mempertemukan
umat-Nya dalam sebuah forum ibadah yang luar
biasa ini. Haji pada masa lalu bukan hanya menjadi
ritual ibadah, namun juga sarana taaruf antarumat
Islam dari seluruh penjuru dunia. Wahana
pertukaran ilmu pengetahuan dan perdagangan
antarumat manusia, mengembangkan teknologi dan
inovasi yang seharusnya menjadi ghirah peradaban
Islam. Itulah yang sesungguhnya mengawali semua
kebesaran peradaban Islam masa lalu. Kini, seperti
ada mata rantai yang putus.
Seribu tahun Islam bersinar, lalu pelan-pelan
memudar. Aku bertanya, mengapa"
Karena sebagian umat Islam sudah mulai
melupakan apa yang telah diperdengarkan Jibril
kepada Muhammad saw. pertama kali. Karena kita
terlalu sibuk bercumbu dengan kata jihad yang salah
dimaknai dengan pedang, bukan dengan perantara
kalam (pengetahuan). Tangisku terhenti. Aku sudah menemukan titik
nol itu. Di sini. Di Padang Arafah ini. Dalam seluruh
jiwa ragaku. Aku tak ingin menangis lagi. Karena
391 aku yakin, Allah telah menyempurnakan Islam. Allah
telah meridai Islam sebagai agama yang membawa
keselamatan bagi seluruh umat manusia, sampai
akhir zaman. Allah membiarkan umat Islam
mengalami sendiri pasang surut seperti itu, agar
99 Cahaya Di Langit Eropa Menapak Jejak Islam Di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais Dan Rangga Almahendra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
manusia-manusia bisa belajar dari sejarahnya, dari
orang-orang terdahulu. Belajar dari keberhasilan
sekaligus kegagalan agar manusia memiliki dua
sayap pengalaman yang lengkap, untuk
membuatnya terbang lebih tinggi pada kemudian
hari. Aku percaya, suatu hari nanti cahaya Islam akan
kembali bersinar di muka bumi ini.
392 " " Gunung Cahaya, The Mountain of Light, Jabal Nur.
Aku memandang lekat-lekat pegunungan tinggi
dengan bebatuan terjal itu dari kejauhan. Di tempat
itulah aku menemukan jawaban atas pertanyaanpertanyaanku. Terminal akhir penjelajahanku selama
3 tahun lebih menapak jejak sejarah Islam di Eropa.
Itu semua telah membawaku ke titik awal tempat
semuanya berasal. Awal diturunkannya Al-Qur"an,
awal kelahiran Islam. Agama yang sempurna.
Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan....
Eropa, Musim Semi 2011 Jejak Kronologis 393 Abad 7 610 Turunnya wahyu pertama Al-Qur"an.
632 Nabi Muhammad saw. wafat di Madinah.
655 Islam menyebar hingga ke Irak dan Mesir.
661 Berdirinya kekhalifahan Umayyah.
691 Masjid Al-Aqsa dan Dome of the Rock berdiri
di Yerusalem. Islam, Kristen, dan Yahudi hidup
dengan damai. Abad 8 710 Muslim pertama kali masuk Spanyol.
712 Islam menyebar hingga Samarkand,
Uzbekistan. 750 Akhir dari kekhalifahan Umayyah, berdirinya
kekhalifan Abbasiyah. 762 Baghdad menjadi ibukota Kekhalifahan
Abbasiyah. Khalifah Al Mansur menerjemahkah semua
teks pengetahuan Yunani kuno ke dalam
bahasa Arab. 785 Mezquita, Masjid Cordoba, didirikan oleh Abd
Al-Rahman I, yang meneruskan kekhalifahan
Umayyah di Spanyol. 795 Universitas Islam pertama di Spanyol berdiri.
394 Abad 9 800 Sekolah kedokteran dan konsep rumah sakit
modern pertama kali didirikan di kota
Baghdad. 832 Khalifah Al-Ma"mun dan Harun Al-Rasyid
mendirikan perpustakaan Bait Al Hikmah
(House of Wisdom). Al-Khawarizmi membuat buku Al-Jabr wa al
Muqabilah yang menjadi pegangan ilmu
Aljabar hingga kini. Abad 10 931 Abu Al-Qasim Al-Zahrawi dari Cordoba
menulis al-Tasrif, buku ensiklopedia
kedokteran, menjadikannya sebagai Bapak
Bedah Dunia. Dalam dunia barat, beliau
dikenal sebagai Abulcasis atau El-Zahrawi.
936 969 973 980 Kompleks istana Medinat al-Zahra didirikan di
Cordoba. Awal dari Dinasti Fatimah di Mesir.
Al-Azhar, universitas tertua di dunia, berdiri di
Kairo, Mesir. Kelahiran Ibnu Sina, atau yang dikenal sebagai
Avicenna, seorang ilsuf dan ahli isika besar.
Abad 11 1009 Al Hakim dari Dinasti Fatimah merusak Gereja
Holy Sepulchre di Yerusalem, kemudian
memperbaikinya lagi. 1085 Tentara Kristen mengambil alih Toledo di
Spanyol. 1095 Paus Urban mengobarkan Perang Salib,
memperbolehkan pasukannya membunuh
Muslim dengan jaminan surga.
Gerakan Reconquista untuk merebut kembali
Spanyol dari Khalifah Islam.
1099 Yerusalem diambil alih tentara Kristen.
Abad 12 1126 Kelahiran Ibn Rushd atau Averro?s di
Cordoba. Filsuf yang banyak mengkaji karya
Aristoteles, memperkenalkan Double Truth
Principle yang sangat populer di dunia barat,
dan dipercaya menginspirasi Gerakan
Pencerahan. (Renaissance) yang mengakhiri
Era Kegelapan di Eropa. 395 1130 Raja Roger II naik takhta di Sicily. Dia
melindungi Islam dari Perang Salib.
1154 Tabula Rogeriena atau Book of Roger, peta
dunia yang dibuat oleh Al-Idrisi membantu
ekspedisi Vasco de Gama dan Colombus.
1193 Yerusalem kembali direbut oleh tentara Islam
di bawah Salahudin. 396 Abad 13 1219 Tentara Mongol menyerang Baghdad,
menghancurkan Bait Al Hikmah, dan
membakar seluruh ilmu pengetahuan di
dalamnya. 1236 Cordoba jatuh ke tangan Kristen.
1238 Muslim di Spanyol terdesak hingga Granada,
Dinasti Nasrid mendirikan Al-Hambra sebagai
benteng terakhir umat Islam di Eropa.
1258 Akhir dari Kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad.
1271 Kerajaan Islam pertama di Indonesia,
Samudra Pasai, berdiri. Abad 14 1300 Kemunduran Kekaisaran Byzantium di
Constantinople dan tumbuhnya cikal bakal
Kekhalifahan Ottoman (Usmaniyah) di
Istanbul, Turki. 1313 Bangsa Mongol yang menyerang Baghdad
mulai beralih memeluk Islam, mendirikan
dinasti baru hingga ke India, Pakistan, dan
Afganistan. Abad 15 1453 Kekhalifan Ottoman mengambil alih
Constantinople, selanjutnya berubah nama
menjadi Istanbul. Gereja Kristen Ortodoks terbesar di dunia
berubah menjadi masjid. 1492 Benteng Granada jatuh, Ratu Isabella
mengusir Islam dan Yahudi dari tanah
Spanyol. Buku-buku pengetahuan, agama,
dan warisan peradaban Islam Cordoba dibakar
di lapangan Vivarrambla Granada.
1498 Ekspedisi Vasco de Gama dari Portugis
mendarat di India atas bantuan navigator
muslim Ahmad Ibn Majid. Abad 16 1520 Puncak kejayaan Kekhalifahan Ottoman
Istanbul di bawah Sulayman the Magniicent.
1529 Ekspedisi Sulayman ke Eropa tertahan di kota
Wina, Austria. 1565 Ekspedisi Kesultanan Ottoman ke Indonesia,
membantu Sultan Aceh melawan Portugis di
Selat Malaka. Abad 17 1602 Berdirinya VOC, awal era kolonialisme
Belanda di Indonesia. 397 1632 Taj Mahal didirikan oleh Shah Jehan, dari
Dinasti Mughal di India. 1683 Ekspedisi kedua Sultan Ottoman ke Wina di
bawah pimpinan Kara Mustafa Pasha dipukul
mundur di Bukit Kahlenberg, Wina, Austria.
1688 Beograd dikuasai Kesultanan Ottoman. Islam
menyebar cepat di Semenanjung Balkan yang
kemudian menjadi Yugoslavia dan Bosnia
Herzegovina. 398 Abad 18 1707 Kemunduran Dinasti Mughal di India,
serangan dari bangsa Persia.
1736 Nadir Shah, Raja Persia menguasai Kota Delhi,
India. 1757 Awal era kolonialisme Inggris di India.
1789 Ekspedisi Napoleon Bonaparte ke Mesir dan
Afrika Utara. 1799 Jenderal Perang kepercayaan Napoleon,
Jacques-Francois Menou, menemukan Batu
Rosetta. Abad 19 1801 Napoleon kembali ke Paris, Jenderal JacquesFrancois Menou beralih memeluk Islam.
1803 Napoleon memerintahkan membangun Arc du
Triomphe du Carrousel dan Arc du Triomphe
de l"Etoile dalam garis Axe Historique di kota
Paris. 1805 Kolonialisasi negara-negara muslim oleh
negara Eropa semakin gencar.
1827 Kemuduran Kesultanan Ottoman.
1877 Perang Rusia-Turki di Semenanjung Balkan.
Awal jatuhnya Yugoslavia menjadi negara
komunis. Abad 20 1914 Pembunuhan Franz Ferdinand dari Austria
yang memicu Perang Dunia I.
1920-an Gelombang nasionalisme di negara-negara
berpenduduk Muslim (termasuk Sumpah
Pemuda 1928 di Indonesia).
1925 Berdirinya Republik Turki, era berakhirnya
kekhalifahan Ottoman. 1928 Gerakan Sekulerisme di Turki di bawah
Mustafa Kemal Ataturk. Islam tidak lagi
menjadi agama resmi di Turki.
1935 Ataturk mengubah Hagia Sophia menjadi
museum, melarang perempuan muslim
memakai jilbab di tempat-tempat umum.
1939 Awal Perang Dunia II. Invasi Nazi Jerman di
Eropa. 1940-an Perjuangan merebut kemerdekaan di
negara-negara muslim (termasuk Indonesia
pada 1945, dan Pakistan pada 1947). Lahirnya
negara-negara muslim baru.
1998 Uji coba nuklir Pakistan.
Abad 21 2001 Serangan teroris terhadap menara kembar
WTC di New York yang memicu ketegangan
dunia Islam dan Barat. 2003 Invasi tentara sekutu ke Baghdad total
memorakporandakan pusat peradaban Islam
masa lalu. Sumber: Koleksi Pribadi Lukisan Kara Mustafa Pasha yang terus "diziarahi" turis dari Turki. Ketika aku
dan Rangga mengunjungi museum ini untuk kedua kalinya, sebuah ekskursi
anak-anak SD tengah berlangsung di sana. Kami takkan lupa dengan kata-kata
guru pada murid itu yang menjadi guide. Ia menjelaskan siapa Kara Mustafa
bagi sejarah Wina. "Er war ein M?rder." Dia adalah seorang pembunuh.
Sumber: Koleksi Pribadi Turki melawan Swiss. Aku berada di tengah-tengah
kerumunan ini. Aku ingat kata Fatma, Turki akan bersinar
dalam kejuaraan bergengsi ini. Benar adanya, Turki
berhasil masuk semiinal pertama kali dalam sejarah
sepak bola dunia di ajang Piala Eropa 2008.
Sumber: Diunduh dari: http://tuileriesfutur.blogspot.
com/2010_03_01_archive.html (20 Mei 2011)
Quadriga Arc de Triomphe du Carrousel berlatar belakang horizon garis lurus
Axe Historique yang membelah kota Paris. Marion mengatakan, Napoleon
membuat garis imajiner ini sepulangnya dari ekspedisi Mesir, searah kiblat.
Sumber: Diunduh dari situs resmi Masjid Paris http://www.mosqueede-paris.net/artman/uploads/1-03w.jpg (20 Mei 2011)
Le Grande Mosquee de Paris, Masjid Agung Paris di pusat kota Paris.
Masjid ini pernah menyelamatkan puluhan warga Yahudi dari kejaran
tentara Nazi Jerman. Sumber: Koleksi Pribadi Beratus tahun lalu, kumandang azan pernah membahana
dari puncak menara Mezquita ini. Kini sejarah memaksa
masjid ini menerima identitas baru sebagai Gereja
Katedral terbesar di Cordoba.
Sumber: Koleksi Pribadi Hatiku berdesir di Hagia Sophia Istanbul, melihat
medalion raksasa bertuliskan Allah dan Muhammad,
mengapit gambar Bunda Maria yang tengah memangku
bayi Yesus. Sumber: Koleksi Pribadi Gereja Hagia Irene masih berdiri tegak lengkap dengan semua
simbol Kristennya. Berada tepat di halaman kompleks Istana
Topkapi, pusat kekhalifahan Islam Ottoman di Turki.
Sumber: Koleksi Pribadi Siapa pun akan terpana menyaksikan keindahan atap kubah Blue Mosque,
lambang supremasi kehebatan arsitektur zaman Sultan Ahmed dari
kekhalifahan Ottoman di Istanbul.
Sumber: Koleksi Pribadi
99 Cahaya Di Langit Eropa Menapak Jejak Islam Di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais Dan Rangga Almahendra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mihrab Mezquita kini tak bebas lagi. Jeruji besi yang
dibangun memisahkanku dengan inti bangunan
"Masjid Katedral" ini. Aku hanya bisa berdoa semoga
suatu saat ada yang merobohkan jeruji itu.
Sumber: Koleksi Pribadi Vienna Islamic Centre, masjid terbesar di Austria.
Terletak di sebelah Sungai Danube. Banyak warga asli
Eropa yang akhirnya mendapat hidayah dan beralih
memeluk Islam di masjid ini.
Sumber: Koleksi Pribadi Museum Kota Wina, Wien Stadt Museum, letaknya menyelip di
dekat Gereja Baroque St. Charles. Kedua tiang yang mengapit gereja
itu terinspirasi bentuk minaret masjid, yang ironisnya kini justru
menjadi topik kontroversi di Eropa.
Sumber: Koleksi Pribadi Schatzkammer, Museum Harta Kerajaan di kompleks Istana Hofburg
Wina, tempat mantel Raja Roger II yang berkaligrai Arab disimpan.
Sumber foto lain: " " " Kara Mustafa (hlm. 85)"Sumber Pribadi
Piring di Museum Louvre (hlm. 154)
http://depts.washington.edu/silkroad/museums/ml/
khurasan.html, diunduh tanggal 10 Februari 2011
Ugolino (Lukisan Bunda Maria hlm. 164 )
http://en.wikipedia.org/wiki/File:Ugolino_di_
Nerio_1315_1320_La_Vierge_et_l_Enfant_Sienne_detail.
jpg, diunduh tanggal 10 Februari 2011 (public domain)
Tentang Penulis Hanum Salsabiela Rais, adalah putri Amien Rais,
lahir dan menempuh pendidikan dasar
Muhammadiyah di Yogyakarta hingga mendapat
gelar Dokter Gigi dari FKG UGM. Mengawali karier
sebagai jurnalis dan presenter di Trans TV.
Hanum memulai petualangan di Eropa selama
tinggal di Austria bersama suaminya Rangga
Almahendra dan bekerja untuk proyek video podcast
Executive Academy di WU Vienna selama 2 tahun. Ia
juga tercatat sebagai koresponden detik.com untuk
kawasan Eropa dan sekitarnya.
Tahun 2010, Hanum menerbitkan buku
pertamanya, Menapak Jejak Amien Rais: Persembahan
Seorang Putri untuk Ayah Tercinta. Sebuah novel
biograi tentang kepemimpinan, keluarga, dan
mutiara hidup. Rangga Almahendra, adalah suami Hanum
Salsabiela Rais, teman perjalanan sekaligus penulis
kedua buku ini. Menamatkan pendidikan dasar
hingga menengah di Yogyakarta, berkuliah di
Institut Teknologi Bandung, kemudian S2 di
Universitas Gadjah Mada, keduanya lulus cumlaude.
Memenangi beasiswa dari Pemerintah Austria
untuk studi S3 di WU Vienna, Rangga
berkesempatan berpetualang bersama sang istri
menjelajah Eropa. Pada tahun 2010 ia
menyelesaikan studinya dan meraih gelar doktor di
bidang International Business & Management.
Saat ini ia tercatat sebagai dosen di Johannes
Kepler University dan Universitas Gadjah Mada.
Rangga sebelumnya pernah bekerja di PT Astra
Honda Motor dan ABN AMRO Jakarta.
Untuk mengontak penulis, silakan mengirim e-mail ke
hanumrais@gmail.com atau ralmahen@yahoo.com.
Kunjungi juga situs resmi buku ini di
www.hanumrais.com. "Danke" 410 "Sebagian foto-foto itu tak terselamatkan lagi, tapi
kita masih bisa menyelamatkan kenangan
perjalanan kita dalam sebuah buku. Kita harus
menulis. Bukan hanya untuk kita, tapi juga
membaginya untuk yang lain." Rangga melihat
kasihan kepada saya yang terus-menerus
menyalahkan diri sendiri. Saya baru saja
menjatuhkan harddisk baru berisi penuh foto
kenangan perjalanan kami selama di Eropa.
Untuk itu, pertama-tama saya ingin
mengucapkan "danke", terima kasih kepada teman
perjalanan sekaligus teman hidup saya, Rangga
Almahendra, suami yang juga sekaligus menjadi
penulis kedua buku ini. Ia yang memberi ide dan
selalu menyemangati saya untuk menyelesaikan
buku ini. Ialah teman diskusi yang membuat
perjalanan di Eropa ini menjadi luar biasa.
Terima kasih juga saya hunjukkan pada orangorang yang saya temui selama 3 tahun perjalanan
saya di Eropa ini. Termasuk juga pahlawan-pahlawan
Islam dari masa lalu, pembawa cahaya kedamaian
dan pengetahuan, yang justru baru saya "temui"
selama saya tinggal di Eropa.
Untuk teman-teman di Muslimische Jugend
?sterreich (MJ?), Sara, Barbara, Dahlul, Ilma, Erika,
Hanife, Sherin, Jasmine, Farid, dan Lajali. Mereka
semua adalah inspirasi saya untuk menulis buku ini.
Juga untuk kawan-kawan di kampus WU dan JKU:
Phillip, Kathleen, Shalini, Khan, Wang Myu-Chun,
Geraldine Oh-Saune, Elizabeth, dan Xiao Wei yang
telah menjadi partner debat yang mengasyikkan.
Untuk seluruh keluarga besar Warga Pengajian Wina
(Wapena)-KBRI Austria, serta rekan-rekan PPI
Austria dan PPI Dunia yang namanya tidak mungkin
disebut satu per satu. Untuk keluarga besar KBRI di
Wina, kerabat saya di Wina: Tutie-Ali Nasir, SintaLalu Muhammad Iqbal, Riena-Iskhak Fathonie,
Nuning-Benny Lubiantara, Cici Kramar, A ManEwald Kutzenberger, Kak Risma, dan Eva-Wolfgang
Obenaus. Tak lupa saya juga ingin mengucapkan terima
kasih pada Ibu Siti Gretiani, Mbak Fialita
411 Widjanarko dan seluruh staf PT Gramedia Pustaka
Utama yang membantu penerbitan dan
mempromosikan buku ini. Juga untuk rekan-rekan
saya di Trans TV, detik.com, PAN, Budi Mulia Dua,
termasuk juga Keluarga Besar Muhammadiyah,
guru-guru sekolah, dan teman-teman di mana pun
berada yang memperkaya wawasan dan perspektif
dalam menulis dan menuntaskan buku ini.
Terakhir, saya ingin mempersembahkan terima
kasih yang tak terhingga untuk keluarga di Yogya:
Bapak, Ibu, Papa, Mama, serta seluruh keluarga
besar Amien Rais dan Muslam-Dahlan lainnya. Ke
mana pun saya pergi mengembara, keluarga adalah
rumah untuk kembali. 412 Dapatkan juga buku Hanum Salsabiela Rais
lainnya di Toko Buku Gramedia terdekat!
413 Sebuah Novel Biograi tentang
Kepemimpinan, Keluarga, dan Mutiara Hidup
Transfer nilai-nilai kehidupan, spiritualitas, dan
kepemimpinan dari seorang Amien Rais kepada putrinya,
Hanum Salsabiela Rais, dilukiskan dalam buku ini secara
lugas dan amat menarik. Dengan membaca buku ini, kita
akan lebih mengenal sisi lain dari ketokohan Amien Rais
yang dapat dipetik oleh generasi muda Indonesia
lainnya. "Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie, Mantan Presiden
Republik Indonesia Aku mengucek-ucek mata. Lukisan Bunda
Maria dan Bayi Yesus itu terlihat biasa
saja. Jika sedikit lagi saja hidungku
menyentuh permukaan lukisan, alarm di
Museum Louvre akan berdering-dering. Aku
menyerah. Aku tidak bisa menemukan apa
yang aneh pada lukisan itu.
tentang sebuah peradaban yang sangat
luhur, peradaban keyakinan saya, Islam.
?"Percaya atau tidak, pinggiran hijab Bunda
Maria itu bertahtakan kalimat tauhid Laa
Ilaaha Illallah, Hanum,?" ungkap Marion
akhirnya. Dalam perjalanan itu saya bertemu dengan
orang-orang yang mengajari saya, apa itu
Islam rahmatan lil alamin. Perjalanan yang
mempertemukan saya dengan para pahlawan
Islam pada masa lalu. Perjalanan yang
merengkuh dan mendamaikan kalbu dan
keberadaan diri saya. ?"" Apa yang Anda bayangkan jika mendengar
"Eropa?" Eiffel" Colosseum" San Siro" Atau
Tembok Berlin" Buku ini bercerita tentang perjalanan
sebuah "pencarian". Pencarian 99 cahaya
kesempurnaan yang pernah dipancarkan
Islam di benua ini. Bagi saya, Eropa adalah sejuta misteri
Pada akhirnya, di buku ini Anda akan
menemukan bahwa Eropa tak sekadar Eiffel
atau Colosseum. Lebih"sungguh lebih
daripada itu. "Buku ini berhasil memaparkan secara menarik
betapa pertautan Islam di Eropa sudah
berlangsung sangat lama dan menyentuh berbagai bidang peradaban. Cara menyampaikannya
sangat jelas, ringan, runut, dan lancar mengalir. Selamat!"
"M. Amien Rais (Ayahanda Penulis) "Karya ini penuh nuansa dan gemuruh
perjalanan sejarah peradaban Islam Eropa,
baik pada masa silam yang jauh maupun pada
masa sekarang, ketika Islam dan Muslim
berhadapan dengan realitas kian sulit di Eropa."
"Azyumardi Azra (Guru Besar Sejarah, Direktur Sekolah
Pascasarjana UIN, Jakarta)
"Pengalaman Hanum sebagai jurnalis membuat
novel perjalanan sekaligus sejarah ini mengalir
lincah dan indah. Kehidupannya di luar negeri
dan interaksinya dengan realitas sekulerisme
membuatnya mampu bertutur dan berpikir
"out of the box" tanpa mengurangi esensi Islam
sebagai rahmatan lil alamin."
"Najwa Shihab (Jurnalis dan Host Program Mata Najwa,
Metro TV) "Hanum mampu merangkai kepingan mosaik
tentang kebesaran Islam di Eropa beberapa
abad lalu. Lebih jauh lagi, melihat nilai-nilai
Islam dalam kehidupan Eropa. Islam dan Eropa
sering ditempatkan dalam stigma "berhadapan",
sudah saatnya ditempatkan dalam kerangka
stigma "saling menguatkan"."
"Anies Baswedan (Rektor Universitas Paramadina dan
Ketua Indonesia Mengajar)
NONFIKSI/NOVEL ISLAMI Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Kompas Gramedia Building Blok I, Lt. 5 Jl. Palmerah Barat 29-37 Jakarta 10270 www.gramediapustakautama.com
Cover_99cahaya.indd 1 9/16/11 3:06 P Perawan Lembah Wilis 6 Pendekar Rajawali Sakti 25 Bangkitnya Pandan Wangi The Bridesmaids Story 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama