Ceritasilat Novel Online

Cinta Di Ujung Batas 3

Cinta Di Ujung Batas Karya Wahyu Henneng Bagian 3


Lia. Ternyata Lia sudah tertidur. Aku memberi isyarat
pada Nissa yang sedang duduk di pinggir tempat tidur
Lia untuk meninggalkannya. Aku ingin bicara pada
Nissa di luar kamar. 159 Cinta di Ujung Batas "Apa yang harus kita lakukan Sayang" Apa analisis
dokter?" tanya Anissa cemas.
"Nissa, kita harus bersabar dan ikhas menghadapi
ini semua." "Memangnya apa yang terjadi dengan Lia, Kak?"
tanya Nissa memotong pembicaraanku dengan cemas.
"Analisis dokter, pusing yang diderita Lia bukan?
lah pusing biasa. Kita harus segera membawa Lia ke
rumah sakit Sayang, untuk mendapatkan pemerik?
saan lebih lanjut." "Astaghfirullahal `azdim. Lia, bagaimana kan?
dungannya nanti Kak?" tangis Anissa pecah di pelu?
kanku. "Kita harus tegar di hadapan Lia, Nissa. Kita ha?
rus support penuh dia untuk mau berobat. Kita harus
bisa bujuk dia untuk ke rumah sakit, dan kita harus
yakinkan Lia. Dia harus sembuh karena kita semua
mencintainya," Anissa mengangguk sesunggukan tan?
pa kuasa berkata menghadapi cobaan ini. Nissa sangat
mencintai Lia, baik sebagai adik maupun sebagai is?
triku. Dia tulus iklhas berbagi kebahagian dengan Lia.
"Nissa, kamu harus kuat. Jangan menangis di ha?
dapan Lia ya. Kakak mohon, bujuk Lia agar besok
pagi Lia mau ke rumah sakit."
"Baik Kak, semoga Allah memberikan kekuatan
kepada Lia dan kita semua," isak tangis Nissa meng?
gambarkan kesedihan dan kegalauan yang teramat
dalam. 160 Lia, Partnerku Mencari Rida Allah
Sepanjang malam kami berdua menunggui Lia
dengan penuh kasih sayang. Sesekali Lia terbangun,
tapi entah kenapa Lia tidak berkata sepatah kata pun.
Ia hanya melihat kami berdua lalu tersenyum kemu?
dian kembali tertidur. Hingga saat tahajud tiba, kami
memutuskan untuk shalat bersama di kamar Lia.
Sunyi ... hati kami hanyut dalam pengaduan de?
ngan Sang Khalik. Memasrahkan dan memohonkan
kesembuhan untuk Lia. Yaa Allah, Engkau Yang menggenggam jiwa ini,
dan segala sesuatunya. Engkau Yang Maha Berkehendak, kupasrahkan jiwa kami, kusujudkan hati kami,
kutengadahkan kedua tangan ini di sepertiga
malam-Mu. Wahai Dzat Yang Maha Mengabulkan
permohonan hamba-Nya, berikan kami yang terbaik karena hanya Engkau Yang Maha Mengetahui.
Amin Allahumma amin. ### Akhir malam yang sunyi kami meratap memohon un?
tuk Lia, agar dikuatkan menanggung penyakit yang
dideritanya. Detik demi detik merayap ke waktu Su?
buh yang kami lalui dengan deraian air mata tahajud.
Air mata tobat yang sangat dicintai Allah.
Luas sekali nikmat dan kebahagiaan yang diberi?
kan Allah. Sedikit sentilan kesedihan atau penyakit
diberikan Allah kepada kita, sudah terasa berat sekali
161 Cinta di Ujung Batas derita yang kita terima. Padahal itu belum sebanding
dengan nikmat yang kita terima selama ini. Sungguh
luas kasih sayang Allah. Azan subuh bergema merayap dalam hati seolah
menghalau kegelisahan serta ketakutan kami. Aku
bergegas menyambut panggilan Allah untuk men?
datangi rumah-Nya dan berkumpul dengan hambahamba yang mencinta-Nya untuk melakukan shalat
Subuh berjemaah di masjid.
Segera aku berpamitan pada Nissa, kucium ke?
ningnya. Kuhampiri Lia, kucium kening Lia dan aku
belai wajahnya. Pucat tak berdaya. Kuatkan istriku ya
Allah, pintaku lirih. "Kak, Kakak mau ke masjid ya" Sudah azan subuh
ya?" tanya Lia lemah.
"Iya sayang, kamu mau shalat sekarang?" tanyaku
penuh kasih. "Lia mau shalat, tapi sambil tiduran saja ya Kak.
Kakak ke masjid saja biar Lia minta tolong dibantu
Kak Nissa ya," pinta Lia lemah sambil melirik ke arah
Nissa meminta persetujuan, dan diiyakan dengan
anggukan tulus Nissa. Subhanallah, apa pun keadaan kami, kuatkan
kami menjalankan perintah wajib-Mu ya Rab. Seberat
apa pun kondisi kami, beri kami kekuatan dan kecin?
taan untuk selalu istikamah menjalankan perintah teragung-Mu, shalat sampai akhir hayat kami. Sebagai
catatan terindahku yang akan kupersembahkan padaMu jika "saat itu tiba". Amin.
162 Lia, Partnerku Mencari Rida Allah
"Iya Lia, nanti Kak Nissa bantu. Kak Haekal be?
rangkat saja ke masjid biar Lia shalat bareng Nissa
saja, Kak," pinta istriku Nissa.
"Baiklah, Kak Haekal pergi dulu. Assa?
lamu`alaikum," pamitku.
"Wa `alaikum salam."
### Pagi ini suasana hati kami tak menentu. Banyak
kekhawatiran yang kami rasakan. Aku meminta is?
triku Nissa untuk membujuk Lia agar bersedia dira?
wat di rumah sakit besar untuk mendapatkan pera?
watan yang lebih baik. Semenjak subuh tadi Lia belum turun dari tempat
tidurnya. Sembari menyuapi sarapan kulihat Nissa
berusaha terus membujuk Lia untuk mau dibawa ke
rumah sakit. "Lia, setelah sarapan kita berangkat ke rumah sakit
ya. Kak Haekal dan Kak Nissa akan selalu me?nemani
Lia," bujuk Nissa. "Iya Sayang, setelah ini kita berangkat ya. Demi
kita semuanya, demi anak kita, demi Amr, Ibr. Se?
muanya mencintai kamu Sayang. Makanya, kamu
harus sehat biar kita semua bisa membina keluarga
kita bersama-sama dengan penuh kebahagiaan. Ja?
ngan tolak lagi ya. Habis ini kita berangkat ke rumah
163 Cinta di Ujung Batas sakit," bujuk Haekal dengan memeluk lembut tubuh
rapuh Amelia. "Baik kak, Lia rasanya, " jawab Lia lemah tak ber?
daya. Duh, lemas rasanya aku mendengar keluhan Lia.
Terlihat jelas Lia menanggung beban sakit yang tak
tertahankan. Jujur, nuraniku luluh lantah melihat penderitaan
Lia. Seolah aku ingin mengambil alih penderitaannya.
Sakit apakah istriku di kala perutnya yang semakin
membuncit karena kehamilan yang sudah menginjak
tujuh bulan ini" Kulihat air mata Nissa pun mengalir tak henti
sambil mempersiapkan perlengkapan Lia. Aku lihat
sengaja Nissa selalu membelakangi Lia, agar air ma?
tanya tak tertangkap pandangan Lia. Nissa ingin se?
lalu tegar di hadapan Lia. Aku tahu betul Nissa sangat
mencintai Lia. Nissa ingin Lia selalu bahagia.
Ya Allah, terima kasih Engkau menganugerahkan
aku dua wanita yang sangat mulia.
"Kak, semuanya sudah siap. Kita berangkat seka?
rang, yuk," ajak Nissa dengan suara yang parau mena?
han getir kekhawatiran atas keadaan Lia.
"Iya Sayang, Kak Haekal gendong Lia. Tolong
hubungi Pak Kirno. Suruh parkir di teras samping.
Kita lewat dari samping, biar lebih dekat. Tolong ya,"
kataku sambil bergegas membopong Lia yang lunglai
tak berdaya. 164 Lia, Partnerku Mencari Rida Allah
Rasa pilu kembali menyayat kalbuku melihat ke?
adaan Lia seperti ini. Dengan usia kandungan yang
semakin bertambah, terasa geliatan lembut dari dalam
rahim Lia yang terasa oleh jemari tanganku ketika aku
membopong Lia. Nak . . . semoga engkau tabah dan ikut mendoakan
keadaan bundamu. Semoga kuat menjalani semuanya
ini, doaku dalam hati. "Hati-hati Kak, Pak Kirno sudah siap di samping,"
Nissa mengikuti di sampingku.
"Mama, Bunda kenapa digendong" Bunda mau ke
mana, Ma?" kejar putraku Amr dari belakang.
"Amr sayang, Bunda lagi sakit, mau dibawa ke
dokter. Amr di rumah doain Bunda, ya Sayang," Nissa
menenangkan putra sulungku.
"Iya Ma, Amr di rumah aja. Mau berdoa buat
Bunda. Cepat sembuh ya bunda," ucap Amr sedih.
"Udah ya Sayang. Mama sama Papa ke rumah sa?
kit dulu, antar Bunda. Assalamu`alaikum."
"Wa `alaikumsala, daaah ..." salam putraku meng?
hantar keberangkatan kami ke rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, Lia langsung dibawa
ke ruang UGD untuk mendapatkan pemeriksaan
intensif atas penyakitnya. Dokter Bihaqqi, dokter
pribadi keluarga kami segera dihubungi. Beberapa
saat kemudian, dokter Bihaqqi sudah sampai di ruang
UGD. Memang beliau dokter di rumah sakit ini.
Usai melaksanakan pemeriksaan, dokter Bihaqqi
memanggil kami berdua untuk memberikan penje?
lasan mengenai penyakit yang diderita Lia.
165 Cinta di Ujung Batas "Pak Haekal, Ibu Nissa, saya harap Bapak dan Ibu
tabah menghadapi semua cobaan ini," sejenak dr. Bi?
haqqi menghela napas sedangkan kami berdua tegang
menunggu kabar yang akan disampaikan dokter ke?
pada kami. "Ada apa dengan Lia, Dok?" selaku nggak sabar.
"Bapak dan Ibu, perlu diketahui pusing yang di?
derita Ibu Lia bukanlah pusing biasa. Tetapi Ibu Lia
menderita tumor otak. Berdasarkan pemeriksaan
MRI ada tumor yang bersarang di otak, yang sudah
berdiameter 2,75 cm dan ini sangat menyakitkan,"
pernyataan dokter Bihaqqi membuat jantung kami
serasa berhenti. Dada kami sesak, terasa tak ada celah
untuk bernapas. "Astaghfirullahal `adzim!" seru kami bersamaan.
Tangis Nissa pecah seolah tak kuasa menerima beban
ini, begitu juga aku. Terbayang wajah pucat Lia de?
ngan perut yang semakin membesar.
Ya Allah bagaimana ini" Lia sedang mengandung,
aku harus bagaimana" Tapi segera aku beristigfar
kembali dan memulangkan semua urusan kepada
Allah. Tawakal! Nuraniku menjerit, ya tawakal! Semua
ini pasti sudah kehendak-Nya. Tak ada suatu kejadian
pun tanpa kehendak-Nya. Semua urusan harus ber?
pulang kepada-Nya. "Tumor yang diderita Ibu Lia, mengakibatkan Ibu
Lia sering merasakan nyeri dan pusing yang luar biasa.
Dalam istilah medis jenis tumornya adalah claniolar166
Lia, Partnerku Mencari Rida Allah
ingioma, bersarang di daerah hipofisis, bagian dalam
otak. Apabila dilakukan pembedahan pun ini sangat
berisiko tinggi bagi pasien, ditambah kondisi pasien
yang sedang mengandung," lanjut dr. Bihaqqi.
"Nissa, tawakal Sayang. Semua sudah kehendakNya. Biarkan dokter melakukan yang terbaik untuk
Lia. Kita hanya bisa berikhtiar semaksimal dan sebaik
mungkin untuk Lia," aku berusaha menenangkan
Nissa maupun diriku sendiri bahwa semuanya ini
adalah sudah kehendak-Nya.
Setelah dokter panjang lebar menjelaskan pada
kami langkah apa yang harus diambil, aku belum
berani memutuskan apa-apa.
Lia sedang mengandung. Bagaimana ini Ya Allah"
Akhirnya aku putuskan untuk mengajak Nissa ter?
lebih dahulu ke musala rumah sakit untuk melak?
sanakan shalat taubat dan shalat hajat, berharap Allah
mengampuni semua kekhilafan kami dan berkenan
memberi jalan keluar yang terbaik.
Semua urusan milik Allah. Tak ada satu kejadian
pun bisa terjadi tanpa izin Allah. Aku selalu ingat pe?
san Ustadz AJ, menghadapi masalah apa pun carilah
sumber solusinya. Bila sakit, jangan ingat obat dulu
untuk sembuh. Tapi ingatlah Allah, karena Dia adalah
Dzat yang menggenggam jiwa kita. Sumber kesem?
buhan adalah Allah. Sumber solusi adalah Allah.
Maka datanglah kepada Allah dulu. Ingatlah kepada
Allah dulu, baru berikhtiar. Insya Allah semua urusan
akan diambil alih oleh-Nya.
167 Cinta di Ujung Batas Ingat nasihat itu, aku semakin tenang. Kembali
teringat bahwa tak ada sehelai daun pun jatuh tanpa
izin dan sepengetahuan-Nya.
"Dok, kami mohon izin untuk melaksanakan sha?
lat terlebih dahulu. Kami belum berani mengambil
keputusan apa pun. Beri kami waktu Dok untuk me?
mantapkan keputusan kami," pintaku kepada dokter
Bihaqqi. "Baik Pak silakan, kami menunggu. Semoga Allah
memberi petunjuk yang terbaik," jawab dokter bijak.


Cinta Di Ujung Batas Karya Wahyu Henneng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Amin, terima kasih Dok," aku bersalaman de?
ngan dokter Bihaqqi dan segera beranjak dari ruang
kerja?nya. Segera kubimbing Nissa ke musala rumah
sakit. Sepanjang perjalanan ke musala, kupeluk tubuh
Nissa yang lunglai. Sepanjang lorong rumah sakit
yang kami lalui tak ada sepatah kata pun keluar dari
mulut kami. Kami sama-sama membisu dengan sejuta
tanya di hati kami masing-masing.
Segera kami mengambil wudu dan shalat di sudut
musala. Berurai air mata kami, seolah tak kuasa me?
ngadu lagi pada-Nya. Istigfar, tahlil, tahmid, takbir
yang hanya bisa keluar dari mulut kami. Berharap
Allah-lah yang akan memberi petunjuk tanpa kami
berucap, karena Dia Yang Maha Mengetahui. Sung?
guh aku bingung, hingga kami tak kuasa mengeluar?
kan doa-doa terbaik dari mulut kami. Yang sanggup
dan spontan kami ucapkan hanyalah istigfar, tahlil,
tahmid dan takbir berulang-ulang. Entah berapa ra?
168 Lia, Partnerku Mencari Rida Allah
tus kali sudah kami ucapkan. Sampai akhirnya ada
seorang suster yang memanggil kami.
"Assalamualaikum, maaf dengan Bapak dan Ibu
Haekal?" sapa suster lirih.
"Wa `alaikumsalam. Benar saya Haekal. Ada apa
Sus" Ada apa dengan istri saya Lia?" jawabku tegang,
khawatir sesuatu terjadi pada Lia.
"Maaf Pak, pasien Ibu Lia memanggil Ibu dan
Bapak untuk segera datang. Beliau mau bicara," jelas
suster itu lembut kepada kami.
"Baik, kami segera datang. Terima kasih Sus." kami
segera beranjak menuju kamar Lia.
"Lia, ada apa Sayang?" belaiku lembut begitu aku
sampai di ruang perawatan Lia.
"Lia, kasih tahu Kak Nissa Lia kenapa" Apa pu?
sing lagi" Atau ada yang perlu Kak Nissa bantu?" Nis?
sa menimpali dengan penuh kelembutan dan kasih
sayang. "Kak Haekal, Kak Nissa, Lia mohon maaf atas se?
mua yang menimpa Lia ini. Satu permintaan Lia Kak
... tolong Kakak berdua janji ke Lia untuk menepati?
nya," pinta Lia lemah.
"Apa sayang" Insya Allah Kakak akan penuhi, ja?
ngan khawatir. Sampaikanlah," pintaku sambil meng?
angkat dan mencium tangan Lia. Lia tampak menarik
napas. "Ayo Lia, sampaikanlah jangan ragu. Lia harus
tahu bahwa kami ini sangat mencintaimu. Apa pun
untuk kebaikan dan kebahagiaanmu, akan kami
169 Cinta di Ujung Batas lakukan. Ayo Sayang, sampaikanlah jangan ragu," bu?
juk lembutku untuk menguatkannya.
"Kak Haekal, Kak Nissa ... Lia mau bicara tapi
tolong jangan dipotong dan tolong Kakak berdua ber?
janji untuk memenuhinya," sejenak Lia menarik na?
pas dan melanjutkan kembali.
"Kak, Lia tidak mau dioperasi dalam keadaan apa
pun. Tolong sampaikan ke dokter." Sejenak kami
kaget luar biasa. Kugenggam tangan Lia erat, tapi aku tidak berani
memotong perkataan Lia sesuai dengan permintaan?
nya tadi. Lia kembali melanjutkan dengan suara se?
makin melemah. "Kak, Lia hanya mohon doanya, agar Allah me?
ngabulkan doa Lia. Untuk memberi waktu sampai Lia
melahirkan bayi kita Kak. Setelah itu Lia ikhlas," se?
jenak Lia terdiam, sedangkan aku tak kuasa menahan
kesedihan, begitu juga Nissa. Air mata kami mengalir
deras. Kesedihan dan ketakutan bercampur aduk di
dalam kalbu. "Lia ... tapi kita harus ikhtiar Sayang. Biarkan dok?
ter menangani secara optimal, yang terbaik," pintaku
terenyuh. "Kak, Kakak udah janji memenuhi permintaan
Lia. Mungkin ini permintaan Lia terakhir Kak," son?
tak tangis kami pecah kembali mendengar ucapan Lia
barusan. "Lia, kamu harus bertahan. Tidak boleh menye?
rah. Selain berdoa kita juga harus ikhtiar. Banyak
170 Lia, Partnerku Mencari Rida Allah
dokter dan tenaga medis hebat yang akan berusaha
menyembuhkan penyakitmu Lia," Nissa mulai gelisah
dengan keputusan Lia. "Maaf Kak, keputusan Lia bulat. Lia tidak mau
dioperasi, tolong izinkan dan kabulkan permintaan
Lia," sejenak Lia menarik napas, "sampai Lia mela?
hirkan Kak. Setelah melahirkan, kalau masih diberi
waktu baru Lia mau operasi." Lia menatap kami pe?
nuh harap. "Satu lagi Kak, Lia mau melahirkan normal. Lia
ingin merasakan fase sebagai ibu yang sesungguhnya,"
pintanya dengan tegas. Sesaat kami tertegun lemas merespons permintaan
Lia. Tapi kami harus bagaimana" Ini adalah haknya,
dan ini adalah keputusannya. Dengan berat hati kami
pun harus menyetujuinya. "Baiklah kalau begitu Lia, Kakak akan mengabul?
kan permintaanmu. Nanti kakak sampaikan ke dok?
ter. Semoga Allah memberikanmu kekuatan, Sayang."
Kubelai wajah pucat Lia, kupandangi istriku pe?
nuh kasih. Wajah yang biasanya lembut dan segar
yang selalu memberikan ketenangan setiap aku me?
mandangnya, kini pucat dan mengiba menahan sakit
yang dideritanya. Sungguh aku tak kuasa berlamalama menatapnya. Lia sayang ... bertahanlah!
Segera aku bergegas menemui dokter Bihaqqi di
ruang kerjanya, untuk menyampaikan permintaan
Lia. Panjang lebar dokter menyampaikan padaku
risiko-risiko yang bakal muncul atas keputusan Lia
171 Cinta di Ujung Batas ini. Tapi semua ini keputusan bulat Lia yang tidak
bisa ditawar lagi. "Risikonya sangat tinggi bagi pasien maupun
janin yang ada di dalam kandungan Ibu Lia Pak. To?
long dipertimbangkan lagi," bujuk dokter padaku.
"Istri saya mempunyai keyakinan yang tinggi un?
tuk bisa bertahan sampai melahirkan dengan normal
Dok! Dia tidak mau dioperasi baik karena penyakit?
nya maupun operasi caecar untuk bayinya. Dia ingin
melahirkan normal," aku kembali memohon pada
dokter dan berusaha meyakini keputusan Lia ini.
"Risikonya tinggi Pak. Apakah tidak bisa dibujuk
lagi?" dokter kembali mendesakku.
"Saya tidak berani mendesaknya, karena dia meya?
kini ini yang terbaik yang harus dia lalui Dok," ja?
wabku lemah dan pasrah. "Baiklah kalau itu sudah keputusan bulat dari ke?
luarga, saya tidak bisa memaksa. Mohon Bapak me?
nandatangani surat pernyataan, kami pihak rumah
sakit akan berusaha sebaik mungkin memberikan
obat untuk mengurangi rasa sakit dan yang aman un?
tuk janin. Baiklah Pak, kita berdoa saja," keputusan
dokter Bihaqqi pasrah. Hari demi hari Lia berbaring di rumah sakit, un?
tuk lebih memudahkan memantau kesehatan serta
asupan makanan untuk bayi kami. Pastilah akan lebih
terjamin dan terkontrol di rumah sakit, karena ada in?
fus dan suplemen yang diberikan dalam pengawasan
dokter. 172 Lia, Partnerku Mencari Rida Allah
Aku perhatikan Lia tampak lebih segar dan berse?
mangat menyambut persalinannya. Lia juga rajin mi?
num susu dan jus, seolah dia lupa akan penyakitnya.
Mungkin ini caranya agar bisa melupakan pe?
nyakitnya untuk sementara waktu. Walaupun aku
lihat terkadang dia mendadak pucat dan lemah.
Setiap pagi aku menemaninya jalan-jalan di hala?
man rumah sakit untuk berolahraga kecil.
Tak terasa, kandungan Lia sudah memasuki usia
sembilan bulan. Kami tinggal menunggu untuk per?
salinan. Sungguh waktu yang menegangkan meng?
ingat kondisi penyakit Lia. Ya Rab, berikanlah ke?
kuatan. ### Pagi ini aku berjalan lunglai di lorong rumah sakit.
Rasanya aku belum siap membayangkan saat itu tiba.
Sanggupkan Lia bertahan dalam kondisi seperti ini
untuk melahirkan normal" Spa yang harus aku per?
buat" Terus terang aku nggak tega membayangkan
Lia harus berjuang menantang maut untuk meng?
hadirkan buah cinta kami ke dunia, di tengah derita
penyakit yang diidapnya. Sedangkan aku tidak bisa
berbuat apa-apa untuk meringankannya.
Lia tetap bergeming, ingin melahirkan normal.
Semangat yang luar biasa ia tampakkan untuk me?
nyambut keputusannya ini. Sama sekali tidak tampak
173 Cinta di Ujung Batas kekhawatiran atas kondisinya. Lia selalu berusaha
riang dan optimis dan aku yakin sikap Lia ini untuk
menenangkan kami juga. Saat aku dalam kondisi gundah di lorong rumah
sakit, aku dikejutkan oleh dering ponselku. Ternyata
Tyas. "Assalamun`alaikum Yas," aku menyapa lirih.
"Wa `alaikum salam Kak. Kak, Kak Lia apa kabar?"
sahut Tyas gundah. "Alhamdulillah ... kondisinya baik. Selalu doakan
Kak Lia ya Yas. Tinggal menunggu hari persalinan
Yas," jawabku. "Alhamdulillah, insya Allah Tyas selalu doakan
Kak. Kak ... Tyas nelepon, ada yang mau Tyas sam?
paikan Kak. Kakak yang tabah ya." Sontak aku kaget.
Ada apa dengan Tyas"
"Yas ... sampaikan ke Kakak, apa yang terjadi?"
pintaku gusar. "Kak, Mama sakit. Setengah jam yang lalu masuk
UGD," jawab Tyas terbata-bata
"Ya Allah. Tyas, Mama sakit apa?" jawabku pilu.
"Belum tahu Kak, Mama hanya mengeluh pu?sing,
badannya panas dan lemas serta sesak napas. Tyas
takut Kak," jawab Tyas sambil terisak.
"Sabar Sayang, berdoa saja biar Mama diberi
kekuatan. Kak Haekal segera ke sana Yas," jawabku
menenangkan. "Lalu gimana kak Lia?" tanya Tyas ragu.
174 Lia, Partnerku Mencari Rida Allah
"Nanti biar Kak Nissa yang menunggui Kak Lia,"
jawabku menenangkan kembali.
Terus terang aku sendiri bingung. Sebenarnya aku
nggak tega meninggalkan Lia di rumah sakit ini, tapi
aku juga nggak bisa membiarkan Mama terbaring
sendirian tanpa kutemani.
Kuhubungi Nissa untuk segera ke rumah sakit.
Kusampaikan semua yang terjadi. Beberapa saat sete?
lah Nissa datang, aku segera menghampiri kamar Lia
untuk berpamitan. "Lia, kamu tahu kan Kakak sangat menyayangimu
Lia. Tapi mohon maaf, Kakak harus meninggalkanmu
sebentar," aku menarik napas sebentar.
"Kenapa Kak" Pasti ada alasannya. Eggak apa-apa
kok, kalau memang penting. Toh ada kak Nissa yang
menemeni Lia," ujar Lia lembut.
"Lia .... kamu tabah ya. Semestinya Kakak tidak
menyampaikan ini, karena sebenarnya kondisi ini ti?
dak mengenakkan bagi kita semua," lanjutku.
"Apa yang terjadi" Sampaikan ke Lia Kak," Lia
mulai gusar. "Mama, Sayang ...." sahutku pendek.
"Mama" Kenapa dengan Mama" Bilang sama Lia
Kak, insya Allah Lia kuat," Lia setengah memaksa.
"ayang, Mama juga sakit. Beberapa jam yang lalu
Mama masuk UGD, Kak Haekal harus ke sana," pin?
taku ragu. "Astaghfirullah, Allahu akbar. Tabah ya Kak, Lia
ikhlas Kakak tungguin Mama. Di sini ada Kak Nissa.
175 Cinta di Ujung Batas Segera aja Kak, Mama butuh Kakak," pinta Lia de?
ngan suara parau menahan tangisnya.
Setelah berpamitan dengan kedua istriku, dengan
perasaan tak karuan aku meninggalkan Lia.
Ya Allah, semua ini kuyakini sebagai curahan
kasih-Mu padaku. Tenteramkan jiwa ini untuk tidak
"protes" dengan ketetapan-Mu.
Kutelusuri lorong rumah sakit di mana Lia dirawat
untuk menuju lobi. Aku bergegas menuju rumah sakit
di mana Mama dirawat, yang lumayan jauh jaraknya.
Kurang lebih setengah jam kalau lancar. Sesampai di
lobi, Pak kirno sudah menungguku.
"Den, kita langsung ke rumah sakit Ibu?" tanya
Pak Kirno hati-hati. Memang Pejak tadi Pak Kirno
sudah kuberi tahu kondisi Mama. Dia pun tak kalah
sedih denganku. "Kita mampir dulu ke masjid agung di jalan A.


Cinta Di Ujung Batas Karya Wahyu Henneng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yani Pak. Nggak jauh dari sini kan" Sepuluh menit
lagi masuk waktu Shalat Asar. Kita shalat dulu biar
lebih tenang," perintahku pada Pak Kirno.
Bagiku "mengerjakan waktu shalat di awal waktu"
kuyakini sebagai amalan utama di mana Allah pun
akan menjaga keinginan kita. Aku yakin Allah akan
mengambil alih permasalahan kita selama kita meng?
utamakan-Nya dalam setiap waktu.
Selesai Shalat Asar kami segera melanjutkan per?
jalanan menuju rumah sakit di mana Mama dirawat.
Walaupun aku sedih memikirkan kondisi Mama
maupun Lia yang sama-sama sangat kucintai, tetapi
176 Lia, Partnerku Mencari Rida Allah
Allah memberikan ketenangan yang luar biasa dalam
batinku. Semuanya kukembalikan pada-Nya.
Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui jalan ce?
rita selanjutnya. Setengah jam di perjalanan aku man?
faatkan untuk membaca kitab suci Al-Qur"an. Pak
Kirno pun tampak khusyuk ikut menyimaknya.
Sesampai di rumah sakit, aku segera masuk ke
UGD. Mama masih terbaring di UGD untuk di?
observasi. "Ma, maafkan Haekal Ma. Haekal baru datang,"
kucium kening Mama lembut. Mama terbaring
lemah, tapi beliau masih tersenyum menyambutku.
"Iya Nak, nggak apa-apa. Terima kasih ya kamu
sudah datang. Maafkan Mama juga, sudah mere?
potkan kalian," ucapan Mama lamban dan terbata
karena sesak napas. Aku menemui dokter untuk menanyakan kondisi
Mama yang sebenarnya. Dokter yang berjaga di UGD
menjelaskan padaku, bahwa hasil observasi, sesak na?
pas Mama akibat memburuknya fungsi ginjal. Aku
sama sekali nggak menyangka, Mama akan mengalami
semuanya ini. Aku mohon ke dokter untuk melaku?
kan yang terbaik untuk menyelamatkan Mama.
Di sela perbincanganku dengan dokter, suster da?
tang tergopoh mengabarkan bahwa kondisi Mama
semakin memburuk. Dokter memintaku untuk me?
nunggu di luar, dan Mama akan menjalani peng?
obatan lebih lanjut. 177 Cinta di Ujung Batas Beberapa dokumen harus kutandatangani sebagai
persetujuan tindakan lanjutan untuk Mama. Tyas
berlarian menangis menghampiri dan memelukku.
Arman yang menyusul datang berusaha menenang?
kan kami. Sebagai dokter, ia lebih mengerti kondisi
Mama. Dokter masih melakukan tindakan untuk Mama
hingga malam hari. Kondisi mama memburuk, per?
napasan Mama sekarang dibantu ventilator.
Duh ... aku nggak membayangkan penderitaan
Mama dengan dipasangnya alat itu. Mama ditem?
patkan di ruang ICU. Cepat sekali semuanya terjadi.
Tadi waktu aku datang Mama masih sadar, tersenyum
dan bercakap sebentar denganku. Tapi kini .... Mama
sudah terbujur lemas dan tak sadarkan diri. Koma ....
Beberapa kali aku dipanggil oleh dokter untuk
menjelaskan kondisi mama. Mama terkena gagal gin?
jal, dan langkah selanjutnya Mama harus menjalahi
cuci darah, hemodialisa. Banyak tahapan yang harus
Mama lalui. Aku membayangkan betapa menderita?
nya Mama. Ya Allah, berikan kekuatan pada mamaku.
Menjelang tengah malam, aku minta izin pada
dokter untuk menemui Mama di ruang ICU. Ma?
maku terbaring dengan selang yang menjuntai di
mana-mana. Tak terasa air mataku mengucur tak ter?
tahan. Aku pegang tangan Mama, kubelai wajahnya.
Tampak pucat dan dingin. Aku kecup keningnya be?
berapa saat kemudian bersimpuh setengan berdiri di
178 Lia, Partnerku Mencari Rida Allah
sebelah kanan Mama. Aku dekatkan wajahku di dekat
wajah Mama, lalu berbisik lembut di telinga kanan
Mama, "Ma, Haekal datang untuk Mama. Mama ha?
rus kuat dan berusaha sembuh." Aku mengawali pem?
bicaraan tanpa respons sedikit pun dari Mama.
"Ma, ingat selalu Allah, cinta selalu Allah, rindu
selalu Allah ya Ma," aku melanjutkan lagi, dan kem?
bali tanpa respons sama sekali. Sementara air mataku
semakin deras mengucur. "Ma, kita zikir sama-sama ya ....", suaraku terisak,
tapi aku yakin di bawah sadarnya mama mendengar?
kan semua perkataanku "Astaghfirullahal`adzhiim. Astaghfirullahal `ad?
zhiim. Astaghfirullahal `adzhiim. Laa ilaaha illallah.
Laa ilaaha illallaah. Laa ilaha illallaah."
Entah berapa ratus kali aku lantunkan zikir, tanpa
reaksi dari Mama. Tapi kulihat wajah mama berubah
lebih tenang setelah kami berzikir bersama. Aku yakin,
walaupun Mama tidak sadar, dan tidak ikut melafaz?
kan zikir, tapi di bawah sadarnya Mama merasakan
dan menikmati zikir kami. Sebab waktu sehat Mama
tidak terlepas dari zikir. Beliau sangat menikmati zikir,
baik sendiri di rumah maupun berjemaah di majelismajelis zikir, taman-taman surga Allah. Aku perha?
tikan ekspresi wajah Mama seperti sedang tersenyum.
Segera kubisikkan di telinga Mama, "Mama lebih
cantik kalau tersenyum."
Ledekan ini sering aku lontarkan ketika Mama
kurang berkenan denganku. Biasanya Mama tidak jadi
179 Cinta di Ujung Batas marah setelah aku ledek. Tapi sekarang masih tanpa
reaksi, tapi aku bersyukur energi zikir yang kami laku?
kan paling tidak membuat wajah Mama lebih tenang.
Aku pun melanjutkan zikir kembali. Zikir-zikir
pendek untuk menemani Mama hingga akhirnya
aku tertidur bersandar di tempat tidur Mama. Aku
terbangun karena getar ponsel. Ternyata SMS dari is?
triku Nissa. "Assalamu `alaikum Kak. Allah turun ke bumi dise?
pertiga malam, mengabulkan semua permohonan hamba-Nya yang memohon kepada-Nya. Mari kita sambut
kehadiran-Nya Kak, untuk Mama, Lia dan untuk kita
semua. Tahajud." Kubalas SMS istriku, dan segera melaksanakan Ta?
hajud, di sebelah ranjang Mama. Alhamdulillah suster
tidak melarang. Setelah menutup dengan witir, aku
membaca surah Yasin, lirih di sebelah Mama.
Beberapa saat kemudian suara azan Subuh me?
ngalun indah, memanggil kami umat muslim untuk
segera mendatangi rumah Allah untuk melakukan
shalat berjemaah. Aku menitipkan Mama pada Suster
jaga. Aku lihat Tyas dan Arman masih berzikir di ruang
tunggu ICU. Mereka tadi pasti Tahajud di sini. Ku?
hampiri Arman untuk subuh berjemaah di masjid ru?
mah sakit. Tyas kuminta untuk menunggui Mama di
ruang ICU, bergantian denganku.
"Tyas, kalau ada perkembangan hubungi Kakak di
handphone ya. Jaga Mama. Adik cantikku ini nggak
180 Lia, Partnerku Mencari Rida Allah
boleh lemah, harus kuat demi Mama ya sayang," pin?
taku pada Tyas yang kelihatan terpukul sekali meneri?
ma semua ujian ini. "Insya Allah, Kak," jawabnya lunglai.
"Yas, banyak cara Allah mencintai hamba-Nya,
kita harus ikhlas dengan kehendak-Nya," pintaku
sambil mengusap lembut kepala adikku. Tyas meme?
lukku tanpa sepatah kata pun.
Subuh ini rasanya sangat spesial bagi keimananku.
Dua wanita yang sangat kucintai kini berpacu mela?
wan penyakitnya. Mama begitu lemah terbaring di
ruang ICU, sedangkan istriku Lia berpacu dengan
waktu menahan penyakitnya demi menghadirkan
buah kasih kami. Hanya Allah Yang Maha Mengetahui yang terbaik
untuk mereka. Kembali aku menghela napas pan?
jang sebagai bentuk kepasrahanku pada-Nya. Kuse?
rahkan pada-Nya untuk mengambil takdir yang ter?
baik untuk Mama dan Lia. Hanya doaku, Allah tak
akan sedikit pun melepaskan kasih sayang-Nya untuk
mereka dalam keadaan apa pun.
Jemaah Subuh di Rumah Sakit ini satu per satu
sudah meninggalkan masjid. Tinggal aku dan Arman
yang masih bertafakur di dalam masjid ini. Rasanya
aku nggak mau terlepas dari rumah Allah ini.
Di sini aku mendapatkan ketenangan yang luar
biasa. Aku bisa mencurahkan semua kegalauan ha?
tiku di sini. Tak terasa air mataku dari tadi tak ber?
henti berurai. Teringat akan semua kenakalanku pada
181 Cinta di Ujung Batas Mama. Aku sedih belum bisa berbuat banyak untuk
membahagiakan Mama. Tak terasa, sekarang hampir jam tujuh pagi. Kuli?
hat Arman sudah bersiap melaksanakan Shalat Duha.
Aku pun segera menunaikan Shalat Duha. Rakaat
demi rakaat rasanya begitu khusyuk.
Di rakaat terakhir handphone-ku bergetar. Segera
setelah selesai shalat, aku lihat ternyata SMS dari Tyas.
"Segera naik Kak, Mama kritis."
Astaghfirullahal `adzhim. Allahu Akbar.
"Man, Mama kritis, kita segera ke atas," sembari
beranjak lari aku tarik Arman untuk mengikutiku.
Setengah berlari kami masuk lift untuk menuju ruang
ICU di lantai tiga. Tak ada kata-kata sedikit pun da?
riku dan Arman, kecuali zikir di dalam hati kami.
Ya Allah kuatkan mamaku, berikan yang terbaik
untuk beliau. Sampai di ruang tunggu ICU, aku lihat
Tyas menangis terisak di sudut ruangan. Ya Allah ka?
sihan adikku. Arman langsung berlari mendahuluiku dan sege?
ra memeluk Tyas. Dengan kasih sayangnya, Arman
menenangkan Tyas, memeluk dan membelainya. Aku
merasa tenang setiap kali melihat Arman memper?
lakukan adikku. Cinta kasih Arman pada Tyas ter?
tangkap jelas. Sungguh, aku ikut bahagia.
"Tyas, Mama ada apa?"
"Mama kritis Kak. Dokter sedang melakukan tin?
dakan. Tyas takut Kak," isak tangis Tyas kembali tak
terkendali. 182 Lia, Partnerku Mencari Rida Allah
"Tawakal, kita serahkan semua kepada-Nya, Allah
Yang Maha Mengetahui yang terbaik untuk Mama.
Apa pun takdir Allah, kita harus siap menerimanya,
dan kita harus yakin itu yang terbaik untuk Mama.
Kita berdoa saja Yas semoga Allah meringankan semua
penderitaan Mama." Aku berusaha untuk menenang?
kan adikku. Kesedihan tak bisa dipungkiri menggelayut di wa?
jah kami. Bayangan Mama dengan selang ventilator,
pacu jantung dan entah selang apalagi menggelayut
di hati kami. Kemungkinan terburuk pun hilir mudik
hadir di benakku, mungkin di benak kami bertiga.
Mama yang cantik, tegar, tegas tapi lembut.
Mama yang selalu setia mencintai Papa, hingga be?
liau pun ikhlas hidup sendirian bertahun-tahun se?
menjak di?tinggal Papa. Mama adalah sosok wanita
luar biasa, cantik, cerdas, setia dan bermartabat. Se?
moga Allah memberikan akhir yang baik, husnul
khatimah. Amin. Alunan lembut istigfar dari ponselku me?nga?
getkanku dari lamunanku. Ternyata telepon dari
Nissa. Aku beristigfar, aku hampir nggak kepikiran
dengan kondisi istri-istriku. Ya Allah, aku lalai. Ampuni aku.
"Assalamu `alaikum Sayang. Maafkan Kak Haekal
ya nggak kasih kabar. Bagaimana keadaan Lia?"
"Wa `alaikum salam Kak, kami baik-baik saja.
Bagaimana mama" Bagaimana perkembangan kese?
hatan beliau?" suara letih istriku di ujung telepon.
183 Cinta di Ujung Batas "Mama kritis Sayang, mohon doanya ya. Kita ha?
rus tabah menghadapi semua ini. Titip Lia, ya Sayang.
Bagaimana kandungannya?"
"Kak, maafkan Nissa. Haruskah ini Nissa sam?
paikan ke Kakak dalam kondisi seperti ini?" tanya
Nissa ragu. "Kenapa Nissa?"
"Kak, Lia sudah pembukaan dua. Lia dibantu in?
fus, karena semalam kondisi Lia agak menurun, tapi
semangat dan kemauan untuk melahirkan normal,
sangat luar biasa. Semoga semuanya lancar ya Kak,"
Nissa berusaha tenang. "Amin. Ya Allah, kakak harus bagaimana ya
Sayang" Di sini Mama kritis, sedangkan Lia ... ya
Allah ..." aku tidak bisa mengambil keputusan.
"Kak, aku di ruangan persalinan. Kakak mau bi?
cara untuk memberikan support ke Lia?" tanya Nissa.
"Boleh Sayang, Kak Haekal mau bicara sama Lia,"
pintaku pada Nissa. Sesaat kemudian aku mendengar
suara Lia di ujung telepon.
"Assalamu`alaikum Kak," suara Lia lemah mena?
han rasa sakit. "Wa `alaikumsalam, Lia Sayang ... maafkan Kakak


Cinta Di Ujung Batas Karya Wahyu Henneng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ya ... Kakak belum bisa meninggalkan mama," ucapku
terbata menahan tangis. "Kak, Kakak menangis" Lia nggak apa-apa Kak, di
sini ada kak Nissa. Kakak tungguin Mama saja, Lia
ikhlas kok," Lia menenangkanku.
184 Lia, Partnerku Mencari Rida Allah
"Lia, kamu kuat ya Sayang. Kak Haekal selalu ber?
doa untukmu, kuat Sayang...."
Akhirnya kami saling menguatkan. Aku menyu?
dahi pembicaraan setelah berkali-kali saling memberi?
kan dukungan walaupun jarak jauh.
Aku duduk di ujung ruang tunggu ICU. Tertun?
duk dengan kepasrahan yang dalam. Apa pun renca?
na-Mu ya Allah, berikan yang terbaik untuk hambaMu. Aku yakin Engkau tidak akan menguji hambaMu di luar batas kemampuan kami, wahai Dzat Yang
Maha Mengetahui. Kepasrahan dan tawakal kembali
kutancapkan dalam kalbuku.
"Kak, kita dipanggil dokter," suara Tyas me?
ngagetkanku. "Kenapa Yas?" tanyaku sambil bergegas ke ruang
dokter. Tak sepatah kata pun keluar dari bibir Tyas
kecuali isak tangis. Ya Allah ... rasanya ini ujian ter?
berat kami sepanjang hidup, kuatkanlah kami.
Aku dan Tyas memasuki ruang dokter dengan
mengerahkan ketawakalanku sekuat tenaga. Ada apa
dengan mamaku" Membaikkah kondisinya" Atau"
Duh, aku nggak berani membayangkan.
"Assalamu `alaikum Dok, bagaimana kondisi
Mama kami?" tanyaku khawatir.
"Wa `alaikumsalam. Bapak, Ibu saya harap tabah,
kondisi Mama Anda memburuk, sangat cepat! Ting?
kat kesadarannya sangat lemah, semua alat bantu su?
dah tidak bisa berfungsi dengan efektif karena kondisi
pasien yang sudah tidak bisa menerima," penjelasan
185 Cinta di Ujung Batas dokter berhenti sesaat dengan meledaknya tangisan
Tyas. Tubuhku sendiri gemetar mendengar semua ini.
Bayangan buruk terbentang, tetapi sebagai hamba
Allah yang beriman aku segera mengambil sikap, ta?
wakal! "Jadi karena fungsi alat bantu sudah tidak optimal,
keputusan ada di keluarga. Apakah mau dilepas semua
alat bantunya" Kami tim dokter sudah mereferensikan
itu. Ikhtiar kita sudah maksimal, sekarang hanya doa
yang tersisa. Semoga Allah memberi jalan yang ter?
baik. Bagaimana Pak, Bu?" Dokter meminta persetu?
juan kami. Aku sudah bisa menduga apa yang akan terjadi
pada Mama. Ya, mungkin ini saatnya.
"Baiklah Dok, kalau itu sudah jalan terakhir. Si?
lakan, semoga itu melapangkan Mama. Boleh kami
mendampinginya Dok?" kataku pasrah.
"Alhamdulillah, Anda harus ikhlas. Mama Anda
bukan milik Anda, tapi ada sang pemilik yang se?
sungguhnya. Ikhlas ya, dan silakan Anda dampingi
beliau," dokter segera mempersilakan kami menuju
ruang ICU, dan Arman pun mengikuti kami.
Pukul 08.00, semua tahapan telah dilakukan tim
dokter. Sekarang Mama sudah terbebas dari segala
macam alat bantu yang menyiksanya. Napasnya su?
dah tidak beraturan. Aku membisikkan zikir-zikir di
telinga Mama, begitu juga Tyas. Sedangkan Arman
membacakan surah Yasin, mengambil posisi di dekat
kaki mama, sambil memegangi telapak kaki Mama.
186 Lia, Partnerku Mencari Rida Allah
Hampir dua jam kami menemani Mama. Aku
tidak tega melihat kondisi Mama, pucat, dingin dan
kelihatan sangat lemah walaupun raut wajahnya keli?
hatan tenang seperti sedang tersenyum.
"Mama, kami ikhlas kalau saat untuk Mama telah
tiba. Ingat terus Allah, Ma .... rindukan terus Allah.
Semoga Allah juga sedang merindukan Mama. In?
sya Allah, doa kami akan selalu ada untuk Mama,"
aku mencoba menyampaikan keiklasan kami dengan
membisikkan kata-kata itu di telinga Mama.
Setelah aku membisikkan kata-kata itu, sungguh
sebuah keajaiban terjadi. Di luar dugaan kami, Mama
sempat membuka mata sesaat, memandang kami ber?
tiga penuh arti. Seolah berpamitan kepada kami, Tyas
segera memeluk Mama dan kami mencium kening
Mama. Aku bisikkan ke Mama, "Ma, ucapkan la ilaa ha
illallah, Mmuhammadarrasulullaah," bisikku lembut
menuntun mama melafazkan kalimat tauhid.
Mama menggerakkan bibirnya lemah tak bersuara.
Semoga Mama mengikuti lafaz yang aku bisikkan. Se?
moga Allah rida Mama berakhir dengan husnul kha?
timah. Sesaat kemudian Mama terpejam kembali. Walau?
pun tidak beraturan, napas Mama tetapi masih kami
rasakan embusannya walaupun sangat lemah.
Pukul 10.00. Innalillahi wa inna ilaihi rojiuun.
Mama mengembuskan napas terakhirnya, didam?
pingi aku, Tyas, Arman dan dr. Bihaqqi. Kami bertiga
187 Cinta di Ujung Batas berusaha untuk tawakal dan ikhlas melepas kepu?
langan Mama. Air mata kami memang mengalir deras mengantar
kepergian mama, tapi kami tidak mau meratapi ke?
hendak yang telah ditentukan Allah. Kami mencium
kaki Mama bergantian sebagai rasa penghormatan
terakhir kami kepada jasad Mama Semua milik-Mu ya
Allah, mamaku kembali pada-Mu, sambutlah mamaku
dengan kasih sayang-Mu. Aku segera mengabarkan, berita duka ini pada is?
triku Nissa, dan juga pada seluruh kerabat dan kolega
via SMS, email maupun facebook.
Mendengar kabar ini Nissa terpukul, tapi Nissa
masih bisa mengendalikan diri.
"Nis ... bagaimana dengan Lia?" tanyaku lemah.
"Kondisi Lia lemah Kak, masih tetap dibantu infus
dan Lia ngotot untuk melahirkan normal. Kata dok?
ter diperkirakan Lia insya Allah melahirkan sekitar
pukul 11.00. Bagaimana Kak, Kakak bisa hadir untuk
support Lia?" tanya Nissa hati-hati, karena kondisi
psikisku yang masih labil.
Lia pasti butuh aku. Di sini jenazah Mama sedang
diurus, oleh Arman, Tyas, Tante Ade, Om Rasyid
dan banyak kerabat-kerabat dekat serta teman-teman
Mama yang mulai berdatangan. Mungkin aku bisa
tinggalkan Mama sementara. Lia saat ini lebih mem?
butuhkanku. Segera kuminta Pak Kirno menyiapkan mobil dan
menungguku di lobi. Aku berpamitan pada semua?
188 Lia, Partnerku Mencari Rida Allah
nya, dan alhamdulillah semua mendukungku dan
sangat memahami keadaanku.
Ya Allah, Dokter memperkirakan tiga puluh menit
lagi Lia melahirkan. Beri kemudahan hamba un?
tuk sampai sebelum Lia melahirkan. Alhamdulillah
jalanan lancar. Aku dan Pak kirno benar-benar diam
seribu bahasa dengan olah batin kami masing-masing.
Semuanya bagiku terasa sangat cepat. Mama kini
telah tiada dan jenazahnya belum dikuburkan. Besar
harapanku, bisa mendampingi Mama saat jenazahnya
dimandikan sampai pemakamannya nanti. Direnca?
nakan pemakamannya setelah Shalat Ashar. Tapi, saat
ini Lia sedang berjuang untuk buah hati kami dalam
kondisi penyakit yang dideritanya.
Ya Allah, wahai Zat Yang Maha Mengetahui, beri?
kankah hamba jalan keluar yang terbaik.
Pukul 10.45, aku sampai di rumah sakit tempat
Lia menjalani persalinan. Aku segera berlari menuju
ruangan persalinan di lantai dua. Alhamdulillah aku
bisa sampai sebelum Lia melahirkan.
Nissa kelihatan letih sekali, begitu juga dengan
Lia. Kupeluk mereka. Aku mengambil posisi di sebe?
lah kanan Lia, menggenggam tangannya untuk mem?
berikan kekuatan. Lia bertakbir menahan kesakitan
yang dirasakan. Sungguh aku nggak tega melihat
kondisi Lia. Dokter memasuki ruang persalinan. Pembukaan
Lia sudah lengkap dan siap melahirkan buah hati
kami. Aku dan Nissa tetap mendampingi Lia, sesuai
189 Cinta di Ujung Batas permintaannya. Doa tak henti aku panjatkan untuk
keselamatan Lia serta kelancaraan persalinannya.
Alhamdulillah, proses persalinan lancar. Lia mela?
hirkan putra kami dengan berat 3,50 kg panjang 52
cm. Setelah dibersihkan aku mengazankannya.
Entah kenapa kebahagiaan ini kurasakan tak sem?
purna. Aku khawatir dengan keadaan Lia. Bayi kami
dibaringkan di dada Lia. Lia menangis sambil mem?
belainya, lalu berucap padaku dan Nissa.
"Kak Haekal, Kak Nissa, aku mohon satu per?
mintaan lagi," pinta Lia lemah.
"Iya Sayang, sampaikanlah," belaiku lembut
mengiyakan. "Kak, nitip putraku Akbar ya. Beri nama dia Ak?
bar ya Kak. Lia suka nama itu," pinta Lia tersenyum
lemah sambil membelai putra kami.
"Insya Allah Sayang, Akbar nama yang bagus," ja?
wabku yang diiyakan oleh Nissa. Sesaat kami bahagia
bersama atas kelahiran putra kami.
Dokter lalu mempersilakan kami meninggalkan
ruang persalinan. Kondisi Lia sangat lemah. Dokter
akan melakukan tindakan lanjutan pasca-kelahiran,
dan penyakit Lia. Sesaat kemudian, dokter memberitahukan bahwa
kondisi Lia kritis. Saat ini dia tak sadarkan diri, setelah
sebelumnya mengeluh sakit yang luar biasa di kepala?
nya pasca-melahirkan tadi. Aku dan Nissa sampai
tidak bisa berkata-kata lagi menghadapi cobaan ini,
190 Lia, Partnerku Mencari Rida Allah
selain terduduk lunglai dengan sejuta doa, menerima
semua bentuk kasih sayang Allah ini.
Kumandang azan zuhur mengalun. Kami berdua
segera memenuhi panggilan-Nya menuju masjid di
sudut rumah sakit, untuk shalat berjemaah. Sesaat
setelah mengucap salam, dokter menghubungiku mela?
lui ponsel, mengabarkan bahwa Lia telah mengem?
buskan napas terakhir beberapa detik yang lalu.
"Ya Allah! Innalillahi wainna illaihi rojiuuun,"
tanpa sadar aku berteriak mendengar berita yang di?
sampaikan dokter. Teriakanku mengganggu seluruh jemaah Shalat
Zuhur yang baru selesai shalat dan belum ada yang
beranjak dari masjid. Teriakanku sampai juga ke te?
linga Nissa yang ada si shaf muslimah.
Aku beristigfar atas sikapku ini. Beberapa jemaah
menghampiriku dan bertanya apa yang terjadi. Sete?
lah tahu, mereka maklum dan mendoakan serta ber?
simpati pada kami. Aku menghampiri Nissa, kami berpelukan dalam
kesedihan. Dalam saat yang hampir bersamaan aku
kehilangan dua wanita yang sangat aku sayangi,
Mama dan Lia. Ya Allah .... bentuk kasih sayang luar biasa yang
Engkau berikan padaku, tapi aku harus berbaik sangka
atas takdir-Mu. Engkau Maha Mengetahui akan ke?
sanggupan kami menerima cobaan-Mu, karena Engkau
tidak akan pernah memberikan cobaan melebihi batas
kesanggupan kami. 191 Cinta di Ujung Batas Kabar duka ini segera kami sampaikan pada ke?
luarga dan kerabat yang hampir sebagian besar su?
dah berkumpul di rumah duka, di kediaman rumah
Mama untuk mempersiapkan pemakaman jenazah?
nya. Kaget, haru, sedih dan bermacam ekspresi sudah
pasti kami rasakan siang ini.
Kami memutuskan pemakaman Lia dan Mama
di tempat dan waktu yang sama. Setelah semua urus?
an administrasi selesai, jenazah Lia segera kami bawa
ke rumah duka, di rumah Mama. Semua ini untuk
mempermudah semua proses.
Siang ini, langit mendung tipis, serasa menaungi
kesedihan kami. Sesampai di rumah duka, tangis kami
dan kerabat tak terbendung lagi. Kami saling berpe?
lukan dan hampir tidak ada kata-kata yang mereka
sampaikan lagi padaku selain peluk dan tangis.
Untuk mempersingkat waktu, kami segera men?
jalankan proses persiapan pemakaman jenazah sesuai
syariat. Kami rencanakan setelah asar nanti jenazah
akan dikuburkan. Waktunya sangat singkat. Alham?
dulillah tim dari masjid di kompleks perumahan kami
sudah sigap mengurus ini semua.
Lima menit sebelum Shalat Ashar semuanya
sudah siap. Om Rasyid dan Tante Ade pengambil
keputusan semua urusan pemakaman ini. Sedang?
kan aku sendiri saat ini tidak mampu melakukan
apa-apa. Aku masih terbebani dengan kesedihanku,
dan kondisiku ini sa?ngat dimaklumi oleh om dan
tanteku tercinta ini.

Cinta Di Ujung Batas Karya Wahyu Henneng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

192 Lia, Partnerku Mencari Rida Allah
Waktu pemakaman tiba. Dua jenazah wanita yang
sangat kucintai, hampir bersamaan meninggalkanku.
Aku dan Nissa lunglai di samping nisan Mama dan
Lia. Inilah rahasia hidup, Engkau yang menggenggamnya.
Aku kembali mengawali hidup berumah tangga
dengan format kehidupan yang baru lagi, tanpa Lia
di sisiku. Aku mencoba mengulas takdir yang diberi?
kan padaku. Ternyata ini rencana Allah untuk Lia. Lia
memberi hadiah terindah untuk Nissa dan aku. Putra
ku, putra kami, Akbar. Putraku mengantar bundanya
syahid di jalan Allah. ### Hari demi hari, minggu demi minggu bulan demi
bulan bahkan saat ini tahun demi tahun sudah kami
lalui tanpa Lia. Ketiga putraku sudah tumbuh men?
jadi sosok yang membanggakan, tampan, sehat dan
cerdas, dan yang terpenting insya Allah saleh.
Alhamdulillah, si bungsu Akbar sebentar lagi sele?
sai kuliahnya dari Fakultas kedokteran. Amr melan?
jutkan masternya dan sudah aku persiapkan untuk
menggantikan posisiku di perusahaan. Putraku yang
kedua, Ibra mengambil bisnis untuk pilihan hidup?
nya. Kecuali Akbar, dia lebih memilih mendedi?
kasikan hidupnya di dalam dunia kesehatan. Renca?
nanya kelak dia mau ambil spesialis penyakit dalam
untuk memantapkan pengabdiannya.
193 Cinta di Ujung Batas Usiaku kini 50 tahun, sedangkan istri tercintaku
tiga tahun lebih muda dariku. Aku merencanakan
pensiun total dari dunia bisnis pada usia 60 tahun.
Ini semua jika Allah mengizinkan.
Mulai sekarang Amr sudah sering tampil di garda
depan perusahaan. Aku lega dan bersyukur, semuanya
berjalan baik. Adikku Tyas, dan kedua sepupuku Diaz dan Diah,
juga tampak bahagia dengan suami yang mencintai
mereka. Terima kasih ya Rab, semua terasa indah.
194 Ramadhan Penuh Hikmah 12. Ramadhan Penuh Hikmah
___Diaz ___ ku dan keluarga, seperti tahun-tahun yang
lalu bersuka cita menyambut Ramadhan.
Hari ini adalah Ramadhan hari ke sembilan. Arli sua?
miku dengan penuh kasih sayang selalu membimbing?
ku dan anak kami Amie dan Aria untuk menjalankan
ibadah saum wajib dengan penuh kelembutan.
Suasana buka puasa selalu ceria. Tak jarang sua?
miku tertawa terpingkal setiap melihat kelakuan Aria
putraku. Lain lagi di saat makan sahur, Amie suka
mencubiti papanya karena kesal dipaksa bangun.
Hari ini, di sela waktuku di kantor, aku sibuk
memikirkan ingin menyediakan sesuatu yang spesial
untuk buka puasa hari ini. Belum lagi mendapatkan
ide, aku dikagetkan dengan dering ponselku.
"Assalamu`alaikum Sayang. Bapak mengundang
kita nanti sore buka puasa bersama, sekalian ada pe?
ngajian keluarga dan orang-orang masjid. Kita datang
ya Sayang. Sekalian hari ini kan Ibu ulang tahun," ajak
suamiku di ujung ponselnya.
"Wa `alaikumsalam. Insya Allah Pa, nanti Mama
pulang cepet. Papa juga ya."
195 Cinta di Ujung Batas "Oke Ma. Hati-hati ya pulangnya. Assalamu `alai?
kum." Kujawab salam suamiku dan aku pun jadi sibuk
memikirkan apa yang harus kubawa untuk mertuaku.
Undangannya dadakan, jadi aku belum menyiapkan.
Pukul 15.00, aku berkemas dari kantor. Aku ber?
niat mampir untuk membeli sesuatu yang bisa me?
nyenangkan hati mertuaku. Tak ketinggalkan rang?
kaian bunga lili putih kesukaan Ibu mertuaku sudah
aku pesan untuk dikirim ke rumah beliau. Kami seke?
luarga berangkat dari rumah menuju Mampang, tem?
pat tinggal mertuaku. Acara demi acara kami ikuti dengan bahagia. Kami
berdoa dan berbahagia bersama dengan keluarga be?
sar. Tak tebersit sedikit pun akan ada sesuatu yang
buruk menimpa keluargaku, apalagi dengan rumah
tanggaku. Tak terbayangkan!
Pukul 23.00, aku dan keluarga sampai di rumah.
Kulihat anak-anak bersiap tidur, begitu juga suamiku.
Kelihatannya dia lelah sekali. Sedangkan aku, entah
kenapa malam ini susah sekali tidur. Tak ada kantuk
yang menghampiriku. Aku menghampiri meja kerja dan menyalakan lap?
top untuk sekadar mengisi waktu sambil menyalakan
televisi. Lirih suaranya, sekadar menemaniku meng?
habiskan malam. Lelah tapi aku gelisah. Kujulurkan kaki di sofa
kamar. Hup! Tak sengaja kakiku menggeser keras
handphone suamiku yang hampir terjatuh.
196 Ramadhan Penuh Hikmah Aduh ... kenapa ditaruh di sini" gumanku. Ti?
dak bia?sanya suamiku meletakkan ponselnya sem?
barangan. Biasanya selalu rapi.
Segera kuambil dan kuletakkan di tempat yang
biasanya. Tanpa sengaja aku menyentuh layarnya.
Timbul keisenganku untuk mengutak-atik handphone
suamiku Kubuka inbox message handphone suamiku
satu per satu. Der! Aku kaget setengah mati. SMS mesra dari
siapakah ini" Aku menarik napas panjang untuk me?
ngontrol emosiku. Aku telusuri satu per satu, banyak
sekali SMS serupa. Yang terakhir dikirim pukul 17.30
hari ini. Berarti pada saat suamiku bersamaku.
Tega sekali! Memang waktu berangkat ke rumah
mertuaku tadi, aku yang menyetir mobil. Suamiku
duduk di sebelahku, dan beberapa kali dia menerima
dan membalas SMS. Tapi seperti biasa aku tidak per?
nah curiga. Aku pikir paling teman bisnisnya. Aku
percaya padanya. Duh, sungguh aku nggak menyangka. Padahal se?
lama aku menjadi istrinya, aku selalu berusaha sekuat
tenaga menjaga kehormatan rumah tanggaku. Walau?
pun aku sendiri juga berkarier dan setiap selalu ber?
gaul dengan bermacam komunitas, berbagai godaan
pun ada. Tapi alhamdulillah Allah menjagaku. Aku
tidak pernah terlibat perselingkuhan. Aku tidak per?
nah merendahkan diriku. Alhamdulillah, tidak ada istri atau anak-anak dari
rumah tangga orang lain yang aku sakiti akibat hawa
197 Cinta di Ujung Batas nafsu yang tak terkendali. Alhamdulillah aku tidak
pernah mempermalukan diriku di hadapan anakanakku. Aku masih bisa berbangga karena aku masih
tetap seorang ibu yang bisa menjaga kehormatannya
sebagai seorang Ibu maupun sebagai seorang istri.
Tapi, kenapa balasannya seperti ini" Hatiku protes.
Kembali kuutak-atik handphone suamiku. Siapakah
wanita ini" Di contact person-nya bernama P"ghayato.
Seperti nama laki-laki, tapi masa SMS seperti ini dari
seorang laki-laki" Aku tidak bisa menahan diri. Kubangunkan sua?
miku, dan aku tanyakan padanya.
"Kenapa Ma" Kenapa Papa dibangunin?" tanya
suamiku dengan suara berat menahan kantuknya.
"Pa, bangun Pa! Jelaskan ke Mama, SMS dari siapa
ini" Siapa dia Pa" Gadis, janda, atau istri orang?" ta?
nyaku dengan menahan emosi.
Suamiku sontak terbangun. Kaget lalu tertegun
sesaat. "Ma ... maafkan Papa. Papa sadar saat ini pasti
tiba. Suatu saat semuanya akan terbongkar. Maafkan
Papa, Ma," jawab suamiku sambil memelukku eraterat. Aku masih belum paham dengan apa yang di?
sampaikan. "Jelaskan ke Mama siapa dia!" Suaraku semakin
meninggi sambil berusaha aku melepaskan diri dari
pelukan suamiku. "Dia Lena Ma. Mama tahu kan siapa dia" Dia su?
dah menikah, suaminya bernama Cahya, dan mereka
198 Ramadhan Penuh Hikmah punya dua anak. Mama ingat kan siapa Lena" Pada
waktu Papa bertugas ke Semarang, secara tak sengaja
bertemu. Dia mengundang Papa ke rumahnya un?
tuk bersilaturahim. Tak ada niatan sedikit pun untuk
mengkhianati Mama. Di rumahnya ternyata ada Ba?
pak ibunya, serta adik adiknya yang sudah Papa ke?
nal baik sejak mereka masih kecil. Tak terkecuali ada
anak-anak dan suaminya," jelas suamiku yang lang?
sung aku potong dengan nada tinggi.
"Wanita macam apa dia Pa"! Besar sekali nyalinya!
Memang dia tidak punya urat malu" Suami dan anakanaknya memang tidak kenal Papa, tapi keluarga
besarnya kan tahu siapa Papa sebenarnya" Kok bisabisanya dia mengundang Papa?" sergahku heran.
"Iya Ma ... pertanyaan seperti Mama juga lama
berkecamuk di hati Papa saat itu. Tapi situasinya
berkembang terus Ma. Untuk kunjungan dinasku
selanjutnya, dia selalu menjemput Papa sendirian,
selalu sendirian. Karena dia selalu menjemput sen?
dirian itulah Ma, yang mengawali semuanya ini bisa
terjadi. Sebenarnya dia itu bukan perempuan "nakal",
tapi termasuk gampangan. Itulah yang menyebabkan
semuanya ini bisa cepat terjadi. Papa nggak heran ka?
lau mendengar, sebelum sama Papa, dia pernah ber?
selingkuh dengan orang lain. Maaf Ma, bukan Papa
membela diri. Tapi Papa kan manusia biasa yang pu?
nya kelemahan. Sebagai seorang perempuan, dia itu
terlalu membuka diri dan memberi angin yang mem?
buat orang mudah masuk dan berbuat yang menyim?
pang. Dia pun beberapa kali berkunjung ke Jakarta
199 Cinta di Ujung Batas sendirian, dan kami sering jalan bareng. Ya, akhirnya
kejadian seperti yang Mama temukan sekarang. Papa
menyesal Ma. Papa mohon maaf, maafkan Papa, Ma,"
suamiku terisak di pangkuanku.
Apa yang harus aku perbuat" Aku belum bisa
memaafkannya! Aku tinggalkan suamiku dan mengunci diri di
kamar tamu paviliun rumahku. Sepanjang malam
aku tidak bisa tidur. Sejuta perasaan berkecamuk di
dalam hatiku. Aku putus asa dengan apa yang telah
terjadi. Aku putuskan untuk keluar rumah malam itu
juga. Suamiku menahanku, tapi aku berontak. Aku
pun menolak dia mengantarku. Dini hari kurang le?
bih pukul 02.00 itu aku pergi menyusuri jalan sendi?
rian dengan penuh kesedihan. Air mataku berurai tak
terbendung. Alhamdulillah di sepanjang jalan lisanku tak
berhenti berzikir, memohon perlindungan Allah.
Aku masih berpegang pada imanku. Suasana dini
hari yang sepi, benar-benar sepi, sesungguhnya sa?
ngatlah rawan bagiku. Aku berjalan kaki dengan
lunglai ... menyusuri trotoar kompleks hingga ke
jalan raya. Beberapa kali orang iseng meneriakiku dengan
bermacam pertanyaan tapi tak kuhiraukan. Aku ha?
nya berzikir di sepanjang jalan mohon perlindunganNya. Aku bingung mau ke mana. Ke rumah Mama
aku nggak tega membebaninya, mau ke rumah Diah
200 Ramadhan Penuh Hikmah terlalu jauh. Akhirnya aku putuskan untuk menemui
kak Haekal. Ya, Kak Haekal!
Sebelumnya aku singgah di masjid kompleks Kak
Haekal tinggal. Hingga subuh tiba, aku bertafakur
kurang lebih dua jam di masjid ini. Kucurahkan luka
hatiku pada-Nya, kuadukan pada-Nya bahwa mere?
ka telah menyakitiku. Dini hari ini rasanya benarbenar aku hanya punya Dia, hanya Dia yang me?
nemaniku. Kuceritakan semua pada-Nya. Kuadukan
semua pada-Nya. Bahkan dini hari ini aku menuntut
keadilan-Nya. Subhanallah, aku mendapat ketenangan yang luar
biasa. Seusai subuh aku melanjutkan perjalananan.
Berniat menemui kak Haekal, untuk menceritakan
semua kejadian yang aku alami dan membantu men?
carikan jalan keluarnya. Sungguh aku tidak ikhlas di?
bohongi dan dikhianati oleh suamiku sendiri.
Kembali aku meyusuri jalan sepi, tapi seusai su?
buh ini aku sedikit tenang karena sudah banyak orang
beraktivitas di pagi ini.
"Assalamu`alaikum Mang," aku sedikit berteriak
memanggil tukang kebun di rumah Kak Haekal yang
kebetulan sedang menyirami tanaman di halaman de?
pan. "Wa `alaikum salam. Ibu Diaz" Sama siapa Bu"
Naik apa ke sini?" tanya si Mamang padaku. Mung?
kin dia heran dengan kondisiku saat itu. Lusuh dan
kelelahan habis berjalan kaki.
201 Cinta di Ujung Batas "Mang, Bapak ada" Sudah bangun kah?" aku ber?
tanya keberadaan Kak Haekal. Tak kuhiraukan per?
tanyaan serta sikap bingung Mamang padaku.


Cinta Di Ujung Batas Karya Wahyu Henneng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maaf Bu, Bapak tugas ke luar kota. Baru berang?
kat kemarin sore" Kalau Ibu ada, silakan masuk Bu.
Biar saya panggilkan Ibu Nissa," pinta Mamang.
Sejenak aku tertegun. Saat menuju ke sini aku ke?
lelahan berjalan kaki. Aku tidak membawa apa pun ...
hanya syal yang tadi aku ambil asal di kamar untuk
menghangatkan tubuhku. Tas, dompet atau hanya
sekadar kartu identitas sama sekali aku nggak bawa.
Dalam keputusasaanku ini, Allah kirimkan pe?
tunjuk di dalam hati. Ini semua kehendak-Nya. Kak
Haekal tidak ada saat aku ingin menceritakan semua?
nya. Ini pasti ada hikmahnya dan ini pasti kehendakNya. Ini cara Allah menyelamatkan aib suamiku, dan
aku sebagai istri wajib menjaganya.
Sejenak aku berpikir dan berusaha memetik hik?
mah dari semuanya ini. Akhirnya, aku putuskan
untuk pulang dan akan aku selesaikan sendiri tanpa
melibatkan orang lain. Ya, ini keputusanku. Entah
bagaimana caranya, aku masih ingin memperbaiki
hubunganku dengan suamiku, demi anakku, demi
rumah tanggaku. Aku harus kembali ke rumah.
"Jangan Mang nggak usah. Nggak jadi saja. Saya
mau langsung pamit," pintaku.
"Lho" Ibu mau naik apa" Biar saya panggil Mang
Kirno untuk mengantar ibu ya?" pinta si Mamang
tambah bingung. 202 Ramadhan Penuh Hikmah "Nggak usah Mang. Tolong Ibu, panggilkan
TAXI, biar Ibu tunggu di sini," pintaku yang se?gera
dilaksanakan Mamang tanpa membantah sedikit
pun. Sejuta luka rasanya berlomba menyakitiku saat
ini. Detik demi detik kulalui dengan siraman cuka
yang serasa mengguyur lukaku. Luka hatiku ... pedih!
Bahkan sakit tak terperi. Seribu permintaan maaf sua?
miku tidak aku gubris. Seribu penjelasan dan rayuan
suamiku pun tidak aku hiraukan.
Aku sakit! Aku terluka! Aku ingin menenangkan
diri. Aku pergi dan kembali lagi karena nurani. Seribu
pertimbangan berkecamuk dalam diriku. Diaz mintalah fatwa pada nuranimu, karena hati nurani adalah
sahabat terbaik. Akhirnya aku kembali! Ini fatwa nu?
raniku! Sesampai di rumah, suamiku belum pulang dari
masjid. Mungkin pengajian di masjid selepas su?
buh. Biasanya kalau hari Minggu ada pengajian. Aku
langsung mandi dan berendam sesaat untuk melepas
kepenatanku. Setelah itu berbaring dan ketiduran
di kamar. Mungkin aku kelelahan, sehingga terlelap
dan sejenak melupakan semua kejadian di sepanjang
malam tadi. Entah berapa lama aku tertidur ... dan aku terba?
ngun oleh ciuman hangat di keningku. Ternyata sua?
miku. Ia memelukku lama sekali. Aku mencari kejujuran
di situ, mencari penyesalan di situ. Aku bisa merasakan
203 Cinta di Ujung Batas niat baiknya, dan aku harus mengambil keputusan
untuk rumah tanggaku. Akhirnya aku putuskan untuk bicara dengan sua?
miku. Aku memberinya kesempatan untuk mence?
ritakan semua kejadian secara detail kalau dia ingin
mendapatkan maafku. Jangan ada sedikit pun episode
yang tertinggal. Diiringi sumpahnya, suamiku menceritakan semua
detail kejadian. Walaupun ada episode yang melukai?
ku, tapi aku lega sebab suamiku benar-benar menye?
sali perbuatannya dan ingin bertobat. Aku berusaha
sekuat hati untuk membuka pintu maaf baginya.
Istikamahkan suamiku di jalan-Mu ya Allah. Ja?
ngan biarkan dia tersesat kembali. Jauhkan dari segala
macam godaan yang hanya akan menjerumuskannya.
Setelah mendengar penjelasan suamiku, aku pu?
tuskan untuk mengirim SMS pada Lena, wanita yang
telah menoreh luka membara di hatiku. Wanita yang
tega menyakitiku dan anak-anakku.
Ramadhan kesembilan, tahun demi tahun kami
lalui dengan penuh ketenangan. Sejuta tawa dan bahagia kami miliki bersama. Tapi kini kamu datang
menghancurkannya! Kamu masuk dalam hidup kami
bagaikan awan hitam yang memporakporandakan kebahagiaan kami. Aku sakit dan kecewa! Aku ingin lari
dan tak kan kembali ... tapi aku tak kuasa. Ada dua
permata hatiku yang selalu membutuhkanku. Aku bertanya padamu, Di mana nuranimu sebagai wanita" Di
mana nuranimu sebagai seorang Ibu" Di mana nuran204
Ramadhan Penuh Hikmah imu sebagai seorang istri, dan bahkan di mana nura?
nimu sebagai sesama muslimah"
Klik, SMS aku kirimkan padanya.
Beberapa jam kemudian ponselku berdering de?
ngan alunan lembut asmaul husna. Nomor tak kuke?
nal. Segera kuangkat, dan sudah aku tebak. Pasti dia!
"Assalamu`alaikum, dengan mbak Diaz" Saya Lena
Mba," suara di ujung telepon.
"Wa `alaikumsalam. Apa penjelasan dan pembe?
laan yang akan kamu sampaikan padaku?" aku segera
menyergahnya dingin. Aku yakin setelah kejadian itu
berarti sudah ada komunikasi antara suamiku dan dia,
karena dia tahu nomor ponselku.
"Maafkan saya Mba, apa yang Mba sangka dan
yang Mba bayangkan sungguh tidak pernah kami
lakukan. Percaya sama saya Mba, kami tidak ada
hubungan apa-apa. Nggak adalah niatan saya meru?
sak rumah tangga Mba," jelasnya seperti tanpa dosa.
Padahal aku sudah mendengar pengakuan suamiku
secara rinci. Aku masih menahan diri menunggu pe?
ngakuannya. "Lalu?" sengitku pendek.
"Iya Mba, kami cuma bersilaturahim. Tidak lebih
dari itu. Saya cuma mengantar sekali, itu pun dengan
anak dan orangtua saya. Tidak lebih dari itu!" jelas?
nya. Aku tahu ini kebohongan berikutnya yang aku
dengar. "Lalu ?"Aku masih menahan emosiku.
205 Cinta di Ujung Batas "Iya, aku memanggil suami Mba "Sayang", karena
seumuran saja. Aku nggak enak memanggil nama saja,
memanggil Kakak ... kami seumuran dan aku biasa
memberikan panggilan itu ke banyak temenku yang
seumuran denganku," jelasnya lagi.
NAIF! sergahku dalam hati. Aku masih berusaha
menahan diri. "Lalu ... siapa yang menulis kata-kata mesra di
draft ponsel suamiku" Bukankah itu kamu?" tanyaku
dengan nada menginterogasi untuk mendapatkan ke?
benaran. "Ya Allah mbak ... saya nggak pernah sentuh
handphone suami mbak." Kemunafikan kembali di?
sampaikannya padaku, dengan menyebut Asma Allah
lagi. Berani sekali dia! Padahal menurut suamiku, se?
tiap bertemu, pasti dia mengutak-atik handphone ...
munafik! "Lalu ... sejauh apa hubunganmu dengan sua?
miku?" tanyaku berikutnya.
"Kalau dia ke sini paling bertemu, aku pun dengan
teman-teman. Makan bersama, nggak pernah sendiri.
Hanya berapa kali dan habis itu aku umroh ... dan
nggak pernah berhubungan lagi," jelasnya.
Hmm ... kebohongan demi kebohongan dia
ciptakan lagi. Ibadah dibawa-bawa lagi. Nggak malu!
Padahal waktu mau berangkat umroh pun janjian
dengan suamiku di bandara. Di tanah suci pun be?
rani-beraninya menelepon, SMS-an mesra dengan
206 Ramadhan Penuh Hikmah suami orang. Luar biasa! Berani sekali ibadah sambil
selingkuh. "Iya Mba, kalau aku perempuan nggak benar,
merusak rumah tangga Mba, berselingkuh dengan
suami Mba, nggak beranilah aku menghubungi Mba
sekarang," jelasnya lagi.
Duh, wanita macam apa ini" Munafik! Aku kem?
bali menahan diri padahal aku sudah tahu semuanya.
"Lalu berapa kali kamu ke Jakarta dan menemui
suamiku?" sergahku dengan nada tinggi, karena aku
sudah mulai muak dengan kebohongannya.
"Ya Allah! Memang aku gila apa Mba, ke Jakarta
sendirian" Menemui suami mbak, jalan dengan suami
mbak. Gila apa"!" jelasnya dia dengan nada tinggi.
Aku biarkan dulu kebohongannya. Aku ingin tahu
sampai di mana sih dia akan bisa bertahan dengan ke?
bohongannya. "Saya ya Mba, kalau ke Jakarta, pasti ditemani
dengan anak-anak saya atapun Kakak saya. Gila apa
Mba saya ... ke Jakarta sendirian, apalagi menemui
suami Mba" Gila apa?"
Akhirnya aku tidak bisa menahan diri juga. De?
ngan nada tinggi aku minta dia untuk mendengarkan
semua perkataan yang akan aku sampaikan kepada?
nya. "Oke, cukup Mbak! Cukup kebohongan yang
kamu sampaikan padaku. Sekarang jangan potong
pembicaraan saya dan dengarkan semua yang akan
saya sampaikan!" sergahku sengit, karena di ujung
207 Cinta di Ujung Batas telepon dia bersiap untuk menyelaku dengan kebo?
hongannya lagi. "Tolong jangan potong dulu! Dengarkan saya
ngomong!" pintaku dengan nada yang semakin tinggi.
"Oke Mba, saya dengerin!" jawabnya sengit.
"Mba, perlu kamu tahu ... aku sudah tahu se?
muanya secara detail. Aku tahu semua ceritamu tadi
adalah kebohongan untuk menutupi kesalahanmu
yang belum berani kamu akui," jelasku dengan per?
mintaan, agar dia tetap mendengarkanku dulu.
"Asal kamu tahu ya Mba, suamiku sudah mence?
ritakan semuanya sedetail-detailnya, tentang hu?
bungan kalian dari awal pertemuan hingga saat ini.
Menurut suamiku, tak ada satu episode pun yang
ketinggalan. Apakah kamu masih berani menyangkal"
Apakah perlu saya ulas secara detail di hadapan kamu
sekarang?" nadaku semakin meninggi.
"Tetapi kan belum tentu benar apa yang disam?
paikan suami Mba?" dia masih membela diri. Walau?
pun aku tahu, dia tidak menyangka suamiku me?
ngakui semuanya. "Oke kalau begitu, dengarkan saya! Saya akan
menyampaikan semua yang telah disampaikan sua?
miku, sampai kamu mau mengakuinya," aku mulai
meradang. Akhirnya aku sampaikan padanya secara detail
semuanya. Dia beberapa kali mematikan handphonenya. Mungkin tak kuasa menahan malu dengan apa
yang aku sampaikan. Akhirnya aku yang menelepon
208 Ramadhan Penuh Hikmah dia untuk melanjutkan pembicaraan. Sambungan tel?
epon kami terputus kembali.
Pasti di luar dugaannya, suamiku membuat pe?
ngakuan seperti ini. Duh, aku bisa membayangkan
rasa malunya. Beberapa detik kemudian dia menele?
pon kembali. "Maaf Mba pulsanya tadi habis. Tiga puluh menit
lagi aku telepon," pintanya.
Hah" Dia lupa mungkin, padahal kan yang
mene?lepon terakhir tadi aku. Tapi biarlah aku mak?
lum. Mungkin dia mau menata hati dulu. Bagai?
manapun, dia wanita biasa yang penuh dengan ke?
terbatasan. Sebenarnya hatiku sudah mulai ikhlas untuk
memaafkan mereka. Namanya manusia pasti penuh
kekhilafan. Tapi, aku menuntut kejujurannya. Itu saja!
Tidak sampai tiga puluh menit, dia meng?
hubungiku lagi. "Maaf mbak, tadi saya isi pulsa dulu. Silakan lan?
jutkan," pintanya dengan nada yang sudah mulai me?
renda. "Oke, kamu sudah mendengar semua yang
saya sampaikan dari pengakuan suami saya. Menu?
rut kamu, apa semua itu benar?" aku meminta pe?
ngakuannya "Oh ... dia bilang begitu" Yah ... ada yang benar
dan ada yang enggak," bantahnya mengambang de?
ngan nada getir. 209 Cinta di Ujung Batas "Oke, kalau memang ada yang tidak benar yang
disampaikan suamiku, berarti aku harus mengonfir?
masikan dengan suamimu. Paling tidak dia kan tahu
keberadaanmu. Aku akan cari kebenaran dan pem?
buktian bersama suamimu," tegasku lagi.
Memang sudah aku niatkan, kalau sampai dia ti?
dak mau mengakui perbuatannya, aku akan meli?
batkan suaminya bahkan anaknya untuk mencari
kebenaran. Karena dia pihak yang juga disakiti dan
dikhianati sama seperti aku.
Aku nggak akan berhenti sampai semuanya jelas.
Aku berusaha bijaksana, tapi aku juga tidak mau di?
bohongi. Aku perlu kejujuran dan pengakuannya.
"Oke Mba, maafkan saya. Saya mengaku dan
membenarkan pengakuan suami Mba. Maafkan saya,"


Cinta Di Ujung Batas Karya Wahyu Henneng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itulah pengakuannya dengan nada datar di ujung te?
leponnya. Aku lega dan emosiku pun mereda. Walaupun aku
tahu dia belum tulus meminta maaf padaku. Semua?
nya masih sebuah keterpaksaan dan ketakutan karena
aku akan mengadukannya kepada suami dan keluar?
ganya. Semuanya mudah bagiku, karena aku punya
akses. Tapi aku masih punya nurani, dan aku masih
memberi kesempatan padanya untuk memperbaiki
diri tanpa membuka aibnya kepada orang-orang ter?
dekatnya. Sebenarnya aku kecewa, tapi ya sudah. Paling
tidak dia sudah ada keberaniannya untuk mengakui
kesalahan. Di lubuk hati yang terdalam aku berdoa
210 Ramadhan Penuh Hikmah untuknya, semoga Allah mengampuni segala kekhi?
lafannya. Semoga dia bisa kembali bahagia dengan
keluarga seutuhnya. Semoga Allah mengampuni sua?
miku yang telah menyakiti suaminya walaupun dia
tidak mengetahuinya. Aku pun berdoa, semoga Allah meluaskan pintu
maafku untuk mereka dan menghapus semua luka,
dendam dan sakit hati yang telah ditorehkannya
padaku. Walaupun itu butuh waktu ... dan aku bisa
kembali bahagia seutuhnya dengan keluargaku.
Ya Allah kabulkan doaku. Aku pun bersyukur, aku bisa menyelesaikan ma?
salah rumah tanggaku tanpa harus membuka aib sua?
miku pada Kak Haekal, begitu juga dengan keluarga
yang lain. Aku bersyukur ... Ramadhan ini Allah menyela?
matkan rumah tanggaku. Menyelamatkanku dan
anak-anakku, terutama menyelamatkan suamiku un?
tuk tidak semakin jauh terjerumus mengikuti hawa
nafsunya. ### "Diaz, kamu baik-baik aja kan Di" Kata Pak Kirno,
subuh dua hari yang lalu kamu ke rumah. Ada yang
bisa Kak Haekal bantu, Di?" tanya Kak Haekal hatihati.
211 Cinta di Ujung Batas Alhamdulillah aku bisa meyakinkannya untuk
tidak mengkhawatirkanku. "Ya udah, Alhamdulillah Di, kalau semuanya baikbaik saja. Kak Haekal tadi sempet gelisah mendengar
laporan Pak Kirno. Ternyata Kakak lihat semuanya
baik-baik saja. Syukurlah Di, sekarang Kak Haekal
pamit ya," pamit Kak Haekal.
Alhamdulillah semuanya telah terlewati. Perlahan
aku berusaha untuk melupakan kejadian itu, mem?
bangun kembali kepercayaanku kepada suami. Perla?
han aku kikis rasa sakit hatiku, dan ternyata memang
tidak mudah. Semuanya butuh waktu panjang.
Hari demi hari, bulan demi bulan bahkan tahun
telah berganti. Luka itu ternyata masih saja tersisa.
Walaupun aku yakin suamiku telah men-delete tuntas
lembaran hitam dari hatinya.
Ah ... sudahlah. Biarkan waktu yang menyelesaikannya, aku memupus angan kelamku. Sore ini aku ingin ke
rumah Diah, saudara kembarku tercinta. Apa kabar
dia" "Ma ... jam berapa ke Tante Diah. Aku udah siap
nih," tanya putri bungsuku.
"Jam tiga sayang. Mama selesaikan masak Tom
Yang dulu. Tante kamu kan suka banget Tom Yang,
bikinan Mama," sahutku sambil mencubit gemas pipi
putriku yang ranum merona. Cantik.
"Aduh ... asyik. Nanti kita makan bareng di rumah
Tante ya Ma?" sambut putriku sambil melongok ke
pinggan di atas kompor. 212 Ramadhan Penuh Hikmah "Iya ... tapi di sana nggak boleh berantakin ya.
Kasihan Tante Diah nggak ada yang bantuin."
Diah, ibu rumah tangga yang luar biasa. Ketiga
putra putrinya diasuhnya sendirian, tanpa bantuan
baby sitter ataupun pembantu. Bahkan sekadar men?
cuci dan menyetrika pun dia tidak pernah memakai
jasa orang lain sejak awal pernikahannya dulu. Luar
biasa! Yang membuatku bangga, saudara kembarku ini
tidak pernah mengeluh dengan rutinitasnya. Putra
putrinya berprestasi menonjol di sekolahnya. Diah
rajin mengajari putra-putrinya. Terkadang aku heran,
bagaimana caranya ya Diah bisa sekuat dan sehebat
itu" Jam setengah empat aku sudah berada di rumah
Diah. Acara makan dan ngobrol bareng, asyik kami
jalani sampai menjelang marib. Kebetulan Aldi mau?
pun suamiku sedang dinas keluar kota. Anak-anak
asyik bermain di kamar. Nikmat dan rasa syukur sudah sepantasnya aku
panjatkan selalu ke Sang Pemilik Nikmat yang se?
sungguhnya. Tak pantas aku mengeluh dan meratapi
sedikit ujian yang diberikan-Nya padaku. Aku niatkan
aku harus bisa memanfaatkan sisa usia ini untuk yang
kebih baik lagi. 213 Cinta di Ujung Batas 13. Saat Batas Cinta Usai
___Haekal___ emua masalah kehidupan ini indah kalau kita
ikhlas menerimanya. Kita harus yakin kehendakNya adalah yang terbaik untuk kita.
Begitu pula dengan anugerah kehidupanku ini
dengan berbagai kejadian aku berusaha ikhlas mene?
rimanya. Alhamdulillah kebahagiaan semakin hari
rasanya semakin bertambah. Apalagi ketika ketiga pu?
traku dewasa, menikah dan hidup mapan dengan ru?
mah tangga mereka. Cucu-cucu yang tumbuh sehat
dan saleh salihah. Putra sulungku Amr meneruskan bisnis keluarga
warisan Papa dulu. Dia dikaruniai satu putri dan dua
putra. Sedangkan putra keduaku Ibra mempunyai
usaha yang alhamdulillah berkembang dengan baik.
Ibra dikaruniai dua putri kembar yang lucu. Akbar
menjadi dokter dengan dedikasi tinggi. Akbar mem?
punyai dua putra. Rasanya lengkap sudah kebahagiaan yang diberi?
kan Allah padaku. Bertepatan dengan usiaku yang ke65 tahun, aku dan Nissa memutuskan untuk pindah
214 Saat Batas Cinta Usai ke rumah kami di Perumahan Muslim Bukit Az-Zikra
Sentul. Kami bertekad menghabiskan sisa usia kami
di antara orang-orang saleh yang tinggal di sini.
Rumah mewah di Jakarta kami serahkan pada salah
satu yayasan wakaf setelah mendapat persetujuan dari
putra-putraku, berikut dengan aset-aset yang lain.
Semua putraku alhamdulillah sudah merasa berlebih
dengan apa yang mereka miliki sekarang. Perusahaan
sudah total aku lepaskan dan pengelolaannya sekarang
ada di tangan Amr. Total hidupku sekarang hanya untuk ibadah,
karena semakin hari aku semakin merasa dekat de?
ngan waktu hijrahku ke kehidupanku yang kekal.
Kami berdua berusaha berpacu dengan waktu untuk
mengumpulkan bekal kembali sebanyak-banyaknya.
Kenikmatannya jauh lebih besar daripada berburu
proyek untuk mengumpulkan kekayaan dunia.
"Kak, cokelat panas nih sudah Nissa siapin," Nissa
istriku membawa nampan kecil berisi dua cangkir
cokelat panas dan satu piring kue mantaw kukus yang
akan menghangatkan perut kami.
Di teras, kami duduk sambil menikmati gerimis
kecil yang menambah kesejukan dan keindahan kom?
pleks perumahan kami. Dari teras rumah kami terli?
hat jelas kemegahan masjid Moammar Kadaffi yang
kami banggakan. Teras rumah, tempat favorit kami
berdua untuk menikmati cokelat panas di kala sore
hari seperti sekarang ini. Kami bercengkerama menik?
mati sore yang indah ini.
215 Cinta di Ujung Batas Entah kenapa, sore ini aku melihat Nissa cantik
sekali. Walaupun di usia yang sudah senja, gurat ke?
cantikannya masih tergambar jelas.
"Kak, sore ini Kakak kelihatan berkarisma sekali.
Semakin hari rasanya Nissa semakin cinta dan hormat
sama Kakak. Terkadang ada kesedihan di hati Nissa
Kak, bila suatu saat nanti kita akan berpisah, te?rawang
istriku sedih. "Demi Allah Nissa, pasti entah kapan kita akan
berpisah. Bersedih adalah sesuatu yang wajar. Berdoa
saja Sayang, kita akan dikumpulkan Allah, baik di
dunia maupun di akhirat kelak," doaku sambil kuraih
Nissa dalam pelukan. Sore ini, aku juga merasakan perasaan yang lain
terhadap Nissa. Ada rasa ketakutan dalam diriku se?
andainya kami akan berpisah. Sudah siapkah aku"
Aku begitu mencintai istriku sepenuhnya, rasanya
Nissa begitu sempurna untukku.
"Kak, kepala Nissa dari siang tadi pusing sekali.
Kenapa ya?" rengek istriku mengejutkanku.
"Sayang, kenapa nggak bilang dari tadi" Kita bisa
ke dokter," segera aku menawarkan untuk mengantar?
kan ke dokter, tetapi Nissa menolak. Dia menganggap
ini hanya pusing biasa. Aku pun tidak memaksa. Ku?
bimbing istriku ke kamar, dan aku pijit Nissa penuh
kasih. ### 216 Saat Batas Cinta Usai Sudah dua hari ini Nissa tidak enak badan. Suhu
badannya tinggi. Nissa banyak menghabiskan waktu
di tempat tidur. Dia hanya bangun kalau mau shalat.
Itu pun memaksakan diri. Kasihan istriku, tapi dia
sama sekali nggak mau dipanggilkan dokter.
Dini hari ini, aku berpamitan pada Nissa untuk
Shalat Subuh ke masjid. Tubuh Nissa lemas dan me?
mohon untuk kupeluk sesaat.
"Kak, peluk Nissa sebentar Kak, Nissa kangen,"
suara Nissa lemah. Entah kenapa hatiku merasa ge?
lisah dan sedih. Kupeluk dan kubelai istriku penuh
kasih, sementara azan subuh telah berlalu dan seben?
tar lagi ikamat berkumandang. Aku belum tega me?
lepaskan pelukan Nissa yang terasa erat di tubuhku.
Karena kondisi ini aku memutuskan shalat berjemaah
di rumah dengan Nissa. "Sayang, kita Shalat Subuh berjemaah di rumah
ya, biar kak Haekal gendong untuk ambil air wudu,"
keputusanku diiyakan dengan anggukan lemah Nis?
sa. Sungguh tak biasanya Nissa membiarkanku tidak
Shalat Subuh berjemaah di Masjid. Tapi kali ini Nissa
sepertinya sangat berharap aku tak lepas darinya.
Segera kugendong istriku dan kubantu untuk am?
bil air wudu. Setelah selesai berwudu, istriku minta
diganti bajunya dengan gamis putih hadiah terakhir
dariku beberapa waktu yang lalu, dan memintaku un?
tuk memakaikan mukena. Hatiku pilu di subuh ini menyaksikan segala yang
yang diminta Nissa. Perasaanku mulai tidak tenang
217 Cinta di Ujung Batas melihat keanehan istriku. Ada apa dengan Nissa" Ke?
napa dia berperilaku tidak biasanya"
Setelah selesai memakai mukena, aku dudukkan
Nissa di atas sajadah, untuk shalat berjemaah bersa?
maku. Karena sangat lemah, Nissa shalat duduk dan
menyandar di pinggiran tempat tidur kami.
Rakaat demi rakaat aku imami dengan penuh
kekhusyukan. Aku tidak kuasa menahan air mata saat
shalat, terlebih saat terdengar sayup-sayup isak tangis
Nissa. Rakaat terakhir hingga salam selesai, aku sudah
tidak tahan. Kupeluk dan kubelai istriku. Aku mera?
sakan ada sesuatu yang akan terjadi pada kami. Nissa
membisikkan terima kasihnya padaku serta permo?
honan maafnya selama menjadi istriku.
Segera kubimbing Nissa untuk berzikir dan ber?
doa bersama, memohon kasih sayang serta ampunan
pada-Nya. Kurang lebih setengah jam kami berzikir
dan saling berpelukan, saking khusyuknya berzikir,
aku sampai tidak tersadar kalau pelukan Nissa terlepas
Aku terjaga dari zikir, dan melihat Nissa lemas
di pelukanku dengan mata terpejam dan bibir yang
terkatub. Segera kuperiksa nadi dan embusan nafas
Nissa. "Innalillahi wa inna illaihi rajiun."
Kesedihan terdalam kembali aku rasakan. Puluh?
an tahun aku hidup bersama istriku Nissa. Puluhan
tahun kami bahagia bersama. Dia wanita sempurna
untukku. Wanita istimewa yang menghiasi hidupku.
218 Saat Batas Cinta Usai Tapi dia bukan milikku sesungguhnya. Ada Sang Pe?
milik Sejati yang lebih berhak mengambilnya, yang
lebih berhak memilikinya.
Istriku telah pergi meninggalkanku dalam pelukan.
Selamat jalan Annisa, istriku tercinta. Semoga engkau
bahagia disisi-Nya, dan suatu saat kelak engkau ditak?
dirkan kembali sebagai bidadari surgaku, amin.
###

Cinta Di Ujung Batas Karya Wahyu Henneng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kesedihan ketiga putraku beserta cucu-cucuku atas
meninggalnya Anissa sangat memilukanku. Kami se?
mua sangat kehilangan sosok istri, mama, oma yang
teramat kami cintai. Semuanya sudah berkumpul di
rumah kami di Bukit Sentul untuk pemakaman
Anissa yang direncanakan setelaha zuhur nanti.
Aku ikhlas atas kepergian Anissa, tetapi sebagai
manusia biasa wajarlah kalau aku bersedih. Tu?
buhku rasanya masih lemas dan bergetar. Aku sangat
mencintainya. Puluhan tahun kebahagiaan kami rajut
bersama, dan kini aku harus mempersiapkan hidupku
selanjutnya tanpa Anissa. Rasanya aku belum sanggup
membayangkannya. Aku pandangi lekat jenazah istriku
Kini engkau terbaring sendirian tanpa pelukanku
Kini aku hanya bisa memelukmu, dalam doaku
219 Cinta di Ujung Batas Istriku ... Istri salihahku, aku rida engkau pergi
Istriku ... Istri salihahku, aku rida Engkau meninggalkanku
Istriku ... Istri salihahku, aku rida engkau masuk surga-Nya
Ya Allah ... Aku kembalikan istriku pada-Mu ... masukkanlah
istriku dalam surga-Mu. 220 Angan Cinta Itu Kembali Berlalu
14. Angan Cinta Itu Kembali Berlalu ___Kanya___ amis sore ini, aku bersimpuh di pusaran sua?
miku. Kutabur melati putih di atas pusaranya.
Lima tahun sudah suamiku tercinta meninggalkanku.
Ya, hari ini tepat lima tahun aku hidup sendiri tan?
pa suamiku. Aku bersyukur dengan hidupku. Walau?
pun Allah tidak mengizinkanku untuk mendapatkan
keturunan dari rahimku sendiri, tapi aku sudah cukup
bahagia dengan ketiga anak asuhku.
Kupanjatkan doa khusyukku di sore ini. Putra
sulungku memimpin doa di sampingku didampingi
dua putriku. Ketiganya saudara kandung. Almarhum
orangtuanya wafat dalam musibah bencana alam,
dan jadilah ketiganya menjadi putra-putri angkatku
semenjak mereka masih anak-anak.
Aku dan suamiku sangat mencintai mereka se?perti
putra-putriku sendiri. Merekalah sekarang teman
hidupku setelah suamiku berpuluang untuk selama?
nya. "Bunda, kita pulang yuk. Sebentar lagi magrib,"
ajak putraku sambil menyentuh bahuku.
221 Cinta di Ujung Batas "Baiklah," sambil berdiri, kubelai pusara suamiku,
dan kuucapkan salam. Kami berempat beranjak menuju jalan keluar.
Keranjang bunga yang dibawa putraku tanpa se?ngaja
menyenggol seorang pengunjung makam hingga
menjatuhkan surbannya. Si empunya surban sempat
kaget. "Astaghfirullah, maaf Om nggak sengaja," putraku
meminta maaf dengan sopan.
"Oh, nggak apa-apa Nak, nggak masalah," jawab
si Bapak. Aku terkesiap mendengar suara itu. Rasanya
aku nggak asing" Spontan aku membalikkan badan ke arahnya. Aku
belum bisa melihat wajahnya, karena posisinya mem?
belakangiku. Tapi, postur tubuhnya juga tidak asing.
Siapa ya" Ya Allah ... ternyata dia ....
"Haekal?" aku menyapanya ragu
"Kanya?" Dia membalas sapaanku dan ternyata
benar dia Haekal. Dia pun masih mengenalku dengan
baik. "Iya, aku Kanya. Ini putra sulungku," aku mem?
perkenalkan putraku, yang disambut salam dan cium
tangan oleh putraku. "Sedang ke makam, ziarah siapa?" tanya Haekal.
"Almarhum suamiku, 5 tahun yang lalu beliau
meninggal. Kamu sendiri, ziarah siapa ke sini?"
"Almarhumah Anissa, istriku. Dia juga sudah be?
berapa tahun meninggalkan kami semua," kesedihan
menyertai jawaban Haekal padaku.
222 Angan Cinta Itu Kembali Berlalu
"Oh ... maafkan saya. Saya ikut berduka," jawabku
dengan penuh simpati. "Nggak apa-apa Kanya. Sama-sama," Haekal men?
jawab bijak. "Ini sudah mau pulang?" tanyanya lagi padaku.
"Iya, kami duluan ya," pintaku.
"Iya Om, kami pamit," putraku menimpali.
"Om bolehkah kita tukaran kartu nama" Biar si?
laturahimnya nggak putus," pinta putraku yang sung?
guh di luar dugaanku. Sia mengeluarkan kartu nama
dari dompetnya. "Oh ya. Boleh ... boleh!" Haekal menjawab agak
gugup. Mungkin dia nggak menyangka putraku akan
meminta hal itu. Ya, Haekal adalah bayangan masa laluku yang
nggak pernah tertangkap. Di masa lalu, Haekal adalah
sosok yang sangat aku puja dan aku pun tidak pernah
mendapatkannya. Sepanjang jalan dari makam menuju pulang jujur
aku teringat lagi masa laluku. Dulu, aku gadis yang
terlalu memuja dan mengejarnya tanpa rasa malu un?
tuk mengutarakannya. Aku korbankan gengsiku demi
mendapatkannya. Tetapi Haekal memang tercipta bukan untukku.
Dia tidak pernah menerima cintaku. Dia menolakku
dengan santun dan membuatku tidak pernah sakit
hati dengan penolakannya.
Haekal yang kulihat sekarang tidak berubah.
Masih tetap memesona dengan kematangannya.
223 Cinta di Ujung Batas Sosoknya masih tetap mengagumkan di mataku. Ya
Allah ... apakah aku masih mencintainya seperti dulu"
Kenapa aku Engkau pertemukan lagi dengannya,
dalam kondisi aku dan dia sudah sendirian" Masihkah
kini aku mencintainya seperti aku dulu mencintainya"
Masihkah aku mempunyai obsesi untuk mendapatkan
cintanya kembali" Astaghfirullahal `adzim ... ampuni
aku ya Allah. Maafkan aku suamiku.
Tiga bulan sesudah pertemuan itu berlalu, per?
lahan aku berusaha melupakannya. Tidak ada di
antara kami yang mencoba untuk menghubungi. Aku
sibukkan diriku dengan seabrek kegiatan, sosial dan
keagamaan. Aku berusaha untuk tidak menyisakan
waktuku untuk memikirkan hal-hal yang membuatku
terhanyut dengan kesedihan masa laluku.
"Bunda, Sabtu depan ulang tahun Bunda. Kami
mau bikin acara pengajian dengan anak yatim di
rumah ya Bunda," putraku mewakili adik-adiknya
meminta izin padaku. "Oh ya, ya" Bunda sendiri lupa Sayang. Boleh
saja Bunda setuju. Berapa orang mau diundang?" aku
menyambutnya dengan senang.
"Nggak banyaklah Bun, keluarga dekat, kerabat
sama pengajian 40 anak yatim saja Bun. Ditambah
pengurus-pengurusnya dan staf kantor," putraku
menjelaskan. Aku pun kembali mengiyakan tanpa ke?
beratan. "Kalian yang atur semua ya. Bunda terima beres
ajalah," pintaku sambil meledek putra-putriku.
224 Angan Cinta Itu Kembali Berlalu
"Beres Bunda. Sip," jawab mereka bertiga ham?
pir serempak. Jawaban itu mengakhiri perbincangan
malam ini. ### Hari Sabtu, hari ulang tahunku ini akhirnya da?
tang juga. Entah kenapa, aku merasa hari ini ketiga
putra-putriku memperlakukanku terlalu istimewa.
Mendandaniku bak anak remaja yang akan berpesta
ulang tahun ke-17. "Bunda harus cantik. Ini hari spesial untuk Bun?
da," goda putri bungsuku.
"Bunda bingung, kalian ini ada apa sih" Memang?
nya ini pesta anak 17 tahun apa" Ayo ah, udah. Kita
turun. Kita mulai pengajiannya. Sudah banyak tamu
yang datang tuh," protesku pada kedua putriku, yang
disambut cekikikan mereka berdua. Kujewer sayang
mereka. "Mana Kakak kalian" Sudah di bawah ya?"
"Iya Bunda, nemenin tamu spesial," celetuk pu?
triku. "Memang siapa tamu spesialnya" Teman bisnis
Kakak kalian ada yang diundang?" tanyaku sekenanya.
"Lihat saja sendiri Bunda. Yuk ah," tarik putriku
genit "Ayolah Bunda, cepetan! Acara udah mau dimu?
lai," putriku kembali menarikku manja.
225 Cinta di Ujung Batas Tanpa curiga apa pun aku mengikutinya. Kulihat
dari tangga paling atas anak yatim berseragam putihputih sudah duduk di karpet sebelah tengah. Ibu-ibu
duduk di karpet sebelah kanan dan bapak-bapak ada
di sebelah kiri ruang tamu rumahku. Para tamu su?
dah memenuhi ruang tamuku. Putraku sudah bersiap
membuka acara. Acara demi acara pun kami lalui dengan khusyuk.
Tata letak duduk para tamu memang diatur putraku
untuk tidak saling memandang antara tamu pria dan
wanita. "Baiklah, acara berikutnya adalah doa bersama
yang kami panjatkan untuk Bunda tercinta khusus?
nya dan untuk semua muslim, baik yang masih hidup
maupun yang sudah meninggal dunia. Mohon per?
kenannya Om untuk memimpin doa," pinta putraku
santun. Siapa yang dimaksud Om" Ah ... paling Ustadz
masjid yang dekat dengannya. Entah kenapa aku sama
sekali tidak berusaha melihat siapa gerangan yang di?
maksud Om oleh putraku. Aku lebih asyik membukabuka buku doa yang ada di tanganku.
"Assalamu`alaikum warahmatullahi wabara?katuh."
Suara itu" Aku sangat mengenalnya. Mungkinkah
dia ... Haekal" Ya, itu suara Haekal. Dia pasti hadir di
sini atas prakarsa putraku.
Oh ini ternyata jawaban dari keanehan ulah anakanakku. Segera kuedarkan pandangan untuk men?
226 Angan Cinta Itu Kembali Berlalu
cari ketiga putra- putriku. Mereka tersenyum meng?
godaku. Dasar anak-anak nakal!
Setelah semua acara selesai dan tamu berpamitan
pulang, Haekal menghampiriku, mengucapkan sela?
mat dan mengobrol dengan kami semua sebentar, lalu
berpamitan. Aku sampaikan rasa terima kasihku atas
kesediaannya hadir di acara pengajian kami.
Haekal masih seperti dulu, santun dan pintar
membawa diri. Terlebih sekarang, dengan kondisi
kami yang sendirian, dia tampak berhati-hati. Aku
tahu, semuanya ini untuk menghindari fitnah.
Aku yakin Haekal sangat mencintai almarhum is?
trinya, terlihat jelas dia menjaga sikap padaku. Dari
semua gelagatnya yang kutangkap, aku pun juga ha?
rus bisa mengambil sikap untuk mengatasi semua pe?
rasaanku yang aku khawatirkan akan muncul kembali
seperti dulu. Sebelum itu semua terjadi aku harus
yakinkan diriku, aku tidak boleh meneruskan untuk
mengejar anganku. Biarkan angan itu selalu berlalu.
Setelah semua acara selesai, aku bergegas menuju
kamar untuk istirahat. Setelah selesai mandi, kure?
bahkan tubuhku di atas pembaringan. Sudah hampir
30 menit aku berbaring, tetapi mataku belum bisa ter?
pejam. Tubuhku rasanya lemas tak berdaya.
Alunan istigfar mengalun lembut dari ponselku.
Ada SMS. Beranjak aku meraihnya. Nomor siapa ya"
Assalamu`alaikum Kanya, saya Haekal. Mohon
maaf saya mengganggu waktu istirahatnya. Kanya,
227 Cinta di Ujung Batas berulang saya mengecewakan dan menyakitimu semenjak kita mengenal dulu. Maafkan saya ya. Saya ingin
menyampaikan sesuatu yang harus kamu mengerti, dari
hatiku yang tulus, bagiku kamu adalah sosok wanita
yang aku hormati, sampai kapan pun. Bagiku engkau
sahabatku, saudariku. Aku selalu menyanyagimu dalam
doaku karena Allah. Saudariku, semoga hati kita selalu
tertaut dalam doa dan kasih sayang-Nya. Amin. Wass.
Haekal. Ya, sudah kuduga. Selamanya Haekal hanya me?
nyanyangiku sebatas sebagai teman dan sebagai sau?
darinya. Aku menghornati sikapnya. Itu yang kusuka
darinya. Dia pandai menangkap gelagat seseorang
dan segera mengambil langkah untuk tidak membiar?
kan seseorang itu salah tangkap atas semua sikapnya.
Menjaga diri untuk menghindari fitnah.
Itulah Haekal yang kukenal. Yang harus aku patri?
kan di dalam hatiku; Haekal adalah saudaraku! Aku
tidak boleh mengejar angan cintaku lagi padanya. Dia


Cinta Di Ujung Batas Karya Wahyu Henneng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saudaraku. Aku tersenyum lega dan akhirnya bisa ter?
lelap tidur. 228 Di Ujung Batas Penantian 15. Di Ujung Batas Penantian
__Haekal__ ahun demi tahun aku jalani tanpa istri-istri
tercintaku. Tak terasa 73 tahun usiaku kini. Sore
ini aku duduk di teras rumahku menikmati semilir
angin perbukitan yang indah. Kupandangi masjid
megah kebanggaan kami. Setelah Anissa wafat, aku
tinggal sendiriaan di sini, ditemani dua orang yang
membantuku. Sore ini aku duduk sendiriaan di teras favorit kami
dulu. Tak terasa sudah berjam-jam aku di sini. Memu?
tar ulang rekaman hidupku. Sangat singkat hidup ini.
Aku meningat semua itu, tak membutuhkan waktu
hingga dua jam. Sungguh rugi yang tidak bisa memanfaatkan wak?
tu. Waktu berjalan terus mengikis batas waktu yang
telah ditentukan oleh Sang pemilik waktu. Waktu
tidak bisa kita putar ulang atau mengulurnya.
Ya Allah, berikan sisa waktuku ini bermanfaat
dan bermakna. Menanti waktu kekal kebersamaan
dengan-Mu, hamba-hamba kekasih-Mu yang selalu
mencintai-Mu. Persatukan kami dengan cinta kasihMu, di istana-Mu kelak.
229 Cinta di Ujung Batas Ya Allah ini rekaman yang tercatat dari memoriku
sendiri dari perjalanan hidupku selama 73 tahun.
Betapa hebatnya catatan rekaman hidupku nanti yang
Engkau rekam dan akan Engkau tunjukkan padaku
kelak. Sungguh catatan dan rekaman itu tak akan ter?
lepas dari pengawasan-Mu sedikit pun, walaupun itu
tersembunyi di sisi relung hatiku yang teramat dalam.
Hari ini, 73 tahun usiaku. Kini aku sendirian
dalam penantian waktu-Mu. Kerinduan yang dalam
untuk bertemu pada-Mu silih berganti dengan ke?
takutan akan murka-Mu atas segala dosa-dosaku. Kini
aku berharap aku sudah ada dalam pengampunanMu. Aku sudah Engkau masukkan ke dalam golong?
an hamba-Mu yang Engkau rindukan. Husnul khati?
mahkan akhir hidupku ya Rab. Satukan aku dengan
hamba-hamba-Mu yang Engkau cintai.
Aku sudah siap meninggalkan persinggahan se?
mentara ini. Aku sudah ikhlas melepaskan semua per?
hiasan dunia yang selama ini aku miliki. Sungguh aku
sudah siap dalam batas akhir penantianku. Aku rindu
pada-Mu. Takdirkan sisa detik waktuku ini hanya un?
tuk menyambut-Mu. Harapan terbesarku di penghujung usiaku kini,
Ya Allah ... ya Rab, sucikan aku.
Aku ingin kembali pada-Mu, dalam keadaan
Engkau cintai dan Engkau rindukan.
Aku ingin kembali pada-Mu, dalam keaadan
termaafkan dan terampuni.
230 Di Ujung Batas Penantian Aku ingin kembali pada-Mu, dalam keadaan hati,
lisa dan semua simpul sarafku menyebut indah
Asma-Mu. Laa ilaaha illallah ... Laa ilaaha illallah ... Laa ilaaha illallah ... Muhammadarrasulullah. Aamiin allahumma aamiin. 231 Cinta di Ujung Batas 232 Pacaran" Haruskah"
Tentang Penulis ahyu Henneng Harjianti, menyelesaikan
pendidikan di Fakultas Ekonomi, di salah
satu perguruan tinggi di Jakarta. Lahir 23 Mei 1970
di Salatiga dari Ibunda Hj. Umiyati dan Ayahanda
Alm. H. Nawawi Hadidarmodjo. Menikah pada ta?
hun 1993, dan dikarunia seorang putri, Azhardera
Dewinta Aryudatami (1994), dan tiga putra Ardan
Rasyid Wiradhatama (1996), Hudaan Rasyid Bihaqqi
(2001), Wahyu Panggayuh Utamo (2007).
Seorang Ibu rumah tangga wiraswasta, dan disela
sisa waktunya berupaya menyajikan karyanya untuk
dapat dipersembahkan untuk sesama muslim. Ber?
harap memberikan sedikit manfaat untuk hidup dan
kehidupannya sendiri, keluarga, agama, dan negerinya.
Dari anak-anak, gemar menulis dan membuat
puisi, walaupun hanya sekadar koleksi pribadi dan
kini baru terwujud membuat suatu karya yang bisa
dipersembahkan kepada pembaca. Baginya tidak ada
kata terlambat untuk membuat suatu karya yang ber?
manfaat. Bagi pembaca yang ingin berinteraktif dengan pe?
nulis bisa melalui email hennengw@yahoo.com atau
Wahyu_restu_Azhar@yahoo.com
233 Cinta di Ujung Batas 232 Novel Islami Cintag Batas Haekal, pemuda yang mencintai majelis zikir. Aktivitas zikir
di Bukit Sentul itulah yang mempertemukan Haekal secara
tidak sengaja dengan dua gadis nan rupawan yang akhirnya
selalu membayangi hidupnya bertahun-tahun. Sayang, ia tak
tahu siapa dua gadis itu.
Tiga hati, satu cinta. Bisakah mereka hidup bahagia
bersama" Novel Cinta di Ujung Batas ini menyajikan kisah cinta tiga
hati dalam ramuan yang manis dan sederhana.
Subhanallah, novel ini buah hati yang tercelup dalam kecintaan kepada Allah.
Sungguh, kecintaan kepada-Nya membuat kita mencintai SYARIAT dan
TAKDIR-NYA.Sejuta hikmah diraih, Alhamdulillah.
"Muhammad Arifin Ilham
Quanta adalah imprint dari
Penerbit PT Elex Media Komputindo
Kompas Gramedia Building Jl. Palmerah Barat 29-37, Jakarta 10270
Telp. (021) 53650110-53650111, Ext 3201, 3202
Webpage: http://www.elexmedia.co.id
Novel Islami ISBN 978-602-02-2145-8 eng u He 998131825 Cinta Diujung Batas.indd 1
C ng Wahyu Henneng Alhamdulillah, novel religi yang sangat menarik untuk dipetik hikmah di
dalamnya. Gambaran ceritanya mampu memotivasi dan merefleksi diri
untuk semakin mendekat kepada-Nya. Sesempurna apa pun kehidupan
seseorang, pasti akan mengalami fase atau episode pembelajaran. Siapa pun itu!
"Ariffian Jayanegara (penulis buku Istighfar 1-2)
di Ujung Batas Skenario Allah memang tak pernah bisa ditebak. Haekal
akhirnya menikah dengan Anissa, salah seorang gadis itu.
Lalu bagaimana dengan gadis lainnya" Dia, Amelia namanya,
adalah adik angkat istrinya Anissa.
Cinta di Ujun Novel Islami Wah Pertemuan Di Kotaraja 1 Wiro Sableng 023 Cincin Warisan Setan Prabarini 6

Cari Blog Ini