Ceritasilat Novel Online

Everytime 4

Everytime Karya Alboni Bagian 4


Pernah suatu malam dia mengajukan pertanyaan yang sedikit aneh, seperti Sa, gua nyebelin nggak"
Dan sejak saat itu tingkah laku Ableh berubah drastis. Hal itu nggak hanya membuat gua tersiksa penasaran tapi begitu pula bokap. Sejak mengenal gadis misterius yang merubah hidupnya, Ableh terlihat lebih hidup , dia nggak lagi terjebak dalam rutinitasnya yang menyebalkan, nggak lagi sering mengencani gadis-gadis liar yang baru saja dikenalnya. Sampai suatu hari, Bokap memanggil gua ke ruang kerjanya. Dan gua tau kalo ada hal sangat serius yang ingin dibahas, bokap nggak pernah memanggil anak-anaknya ke ruang kerja jika nggak sedang inginn membahas sesuatu yang teramat serius.
Kenapa pak" Kamu udah kenal pacar barunya Solichin, sa" Belum.. kenapa emang"
Kamu tau nggak kenapa bapak panggil kesini" Ya nggak tau, makanya aku nanya.. ih berbelitbelit deh..
Hampir sama seperti bapak membatasi hubungan kamu dengan andre dulu.. bapak mau kalau pacarnya solichin yang sekarang ini memenuhi kriteria bobot, bibit dan bebet nya.. Oh..
Gua hanya meng-oh kan, Bokap membahas hubungan gua dengan mantan gua dulu; Andre yang harus kandas gara-gara status sosial Andre dan gua nggak suka itu.
Kamu cari tau deh, tadi sih Solichin sempet bilang kalo pacarnya itu yatim dan orang nggak berada.. coba cari tau deh...
Tapi, pak.. Ableh kayaknya udah stuck banget sama cewek itu, kasian.. biarin deh.. lagian juga hari gini masih mikirin bobot, bibit dan bebet.. udah nggak jaman..
Pohon yang baik dan bagus itu berasal dari benih yang baik dan bagus pula, sa... dan bapak cuma mau anak-anak bapak nanti bisa punya keturunan yang baik pula..
Punya keturunan baik kalo nggak bahagia buat apa...
Gua berkata sambil berbalik, keluar dari ruang kerja bapak sambil membanting pintu.
Sejujurnya, gua sangat nggak setuju dengan pola pikir bapak yang kolot, yang masih menimbangnimbang jodoh dari ideologi jawa dengan bobot, bibit dan bebet nya. Dan gua juga nggak mau nasib Ableh nanti seperti gua dan Andre yang harus rela berpisah gara-gara ideologi bobot, bibit dan bebet nya bapak. Tapi, mau nggak mau, suka nggak suka gua harus melakukan perintah bapak, daripada nantinya bapak turun tangan sendiri dan ,alah berujung chaos dan keluarga ini malah berantakan.
--- Buat gua nggak sulit sama sekali untuk bisa menggali informasi mengenai pacar barunya Ableh. Gua cukup memanggil satu nomor telepon dan orang diujung sana bakal melakukan semuanya buat gua, kata orang sih The abuse of power tapi gua lebih setuju menyebutnya The power of money . Hanya dalam hitungan jam, gua sudah menerima email yang berisi detail tentang gadis bernama Desita itu. Gua membaca sekilas dan mendapati kalau pendidikan terakhirnya hanya sebatas SMA, selain bukan berasal dari keluarga yang punya bibit yang mumpuni hal ini bakal menjadi kendala hubungan Ableh dan Desita dimata bokap. Dan gua sadar hanya lambat laun bokap pasti mengetahui akan hal ini dan itu nggak bakal lama.
Gua duduk dibalik meja kerja sambil bertumpu dagu, mencoba mencari solusi yang tepat agar semua bisa bahagia; win-win solution, Solusi bahagia buat Ableh, buat Desita dan buat Bokap. Sementara rekan-rekan kerja lain di departemen Akunting salah satu tivi swasta ini tengah berseliweran menuju ke kantin untuk makan siang, gua tetap terpaku menghadapi layar monitor dimeja gua. Awalnya bokap nggak pernah mengijinkan gua untuk bekerja diperusahaan lain selain diperusahaan miliknya, tapi gua mendapat pembelaan dari nyokap yang bilang kalau gua paling nggak cari pengalaman kerja dulu, nggak sekonyong-konyong kerja langsung jadi direktur dikantor bokap, dan langkah gua diikuti oleh Ableh.
Sore harinya, sepulang kerja gua menghubungi Ableh;
Bleh, dimana lo" Lagi jalan sama Desita, kenapa" Oh yaudah..
Ada apaan" Gapapa.. Aneh lu..
Gua mengakhiri pembicaraan yang memang sengaja dilakukan untuk mengecek lokasi mereka berdua. Kemudian gua dengan ditemani Ubay, pacar gua, pacar piliha bokap tepatnya, langsung menuju ke daerah palmerah, jakarta barat. Menuju ke rumah Desita.
Setengah jam berikutnya gua sudah berada di depan sebuah rumah yang kurang layak disebut sebagai rumah. Gua berniat mengetuk pintunya, saat tiba-tiba pintu itu terbuka dan muncul seorang wanita tua dari dalam, dia terlihat sedikit terkejut dengan kehadiran gua.
Cari siapa, neng" Ibu, bener ini rumah Desita" Iya betul..
Ibu, ibunya Desita" Iya..
Boleh saya masuk bu.."
Silahkan neng.. eneng siapa ya" Saya Salsa bu, kakaknya Solichin... Oh iya iya, ada apa ya neng.."
Gua menelan ludah, sambil memandang sekeliling ruangan yang terlihat kotor dan sedikit kumuh ini. Desita bikin masalah ya neng"
Eh.. nggak kok bu, enggak bukan itu.. Aduh sampe lupa nawarin minum.. mau minum apa neng" Ayo duduk deh..
Si Ibu menawarkan gua minum dan mempersilahkan gua duduk disebuah sofa kecil yang terlihat kusam.
Nggak usah bu, saya cuma sebentar kok.. Si Ibu kemudian duduk dilantai, untuk menghormatinya gua turun dari sofa dan ikut duduk dilantai yan sepertinya hanya dilapisi semacam karpet dari bahan plastik.
Jadi begini bu.. kalau bisa Desita jangan dulu berhubungan sama Solichin ya bu..
Oh kenapa emangnya"..
Si ibu sama sekali nggak terlihat terkejut Hmm..
Gua nggak bisa berkata-kata, bingung bagaimana cara menjelaskannya.
Iyah, kita mah udah biasa neng, diperlakuin kayak gini.. eneng mah nggak usah ngerasa nggak enak..
Iya bu, sebelumnya saya minya maaaaff banget.. Bapak saya nggak setuju... dan satu lagi bu.. Apa neng"
Ibu asli bogor kan" Iya bener..
Mau nggak kalau pindah ke bogor" Nanti disana saya sediain tempat tinggal dan kerjaan buat Desita..
Lho kenapa" Karena kalau cuma memaksa mereka untuk putus, solichin nggak bakal terima dan ujungujungnya dia bakal terus menerus mengejar Desita..
Tapi... Kemudian gua menjelaskan semua duduk persoalan dan rencana-rencana spontan yang terlintas dibenak gua. Si Ibu sesaat terlihat bingung tapi pada akhirnya dia tersenyum dan mengangguk setuju. Beberapa saat kemudian gua pun pamit dan bergegas untuk pulang. Saya pamit dulu ya bu..
Iya, makasih ya neng salsa.. Sama sama bu..
Diperjalanan pulang, gua mencoba menghubungi Pak Yohannes, direktur disalah satu perusahaan bapak yang berada di Bogor.
Halo pak yohannes.. ini saya Salsa.. Oh iya halo sa.. apa kabar"
Baik pak.. gini pak saya minta tolong bisa" Tolong apa sa"
Saya ada temen di bogor, lagi cari kerja.. bisa dibantu"
Bisa bisa.. Ada posisi yang masih kosong kan"
Gampang, bisa diatur.. besok orangnya suruh dateng aja kekantor ya sa..
Nah itu masalahnya pak, dia itu orangnya idealis, dia nggak mau kalau sampe ketahuan saya bantu dia dapet kerja..
Lah terus gimana" Udah nanti itu saya atur..
Oke deh, nanti kamu SMS aja detailnya.. Oke makasih ya pak.. oiya satu lagi pak.. Apa tuh.."
Bapak jangan sampe tau ya.. Beres..
Gua mengakhir pembicaraan dengan pak Yohannes dan kemudian berpaling ke arah Ubay yang tengah asik menyetir. Sambil merayunya gua meminta tolong dia untuk membuat semacam print-out lowongan pekerjaan yang dibuat semirip mungkin dengan sobekan kertas koran kepadanya, Ubay hanya mengangguk sambil tersenyum dan gua pun mengecup keningnya. ------Bagian #34 Satu minggu setelah Desita dan ibu-nya pergi, gua cukup melihat perubahan gelagat dan perilaku Ableh untuk mengetahui sejauh mana rencana gua berjalan. Dan persis seperti perkiraan gua, rencana yang gua buat berhasil. Sudah hampir seminggu ini Ableh terlihat uring-uringan, gelisah dan sering kedapatan bicara dan marah-marah sendiri. Puncaknya adalah ketika Ableh resign dari kantornya untuk lebih fokus mencari Desita,its more getting serious.
Gua sadar kalau gua telah menciptakan sebuah permainan berbahaya, permainan dimana hidup Ableh dipertaruhkan, gua hanya berharap rencana ini bisa berhasil dan agar semua ini bisa berjalan sesuai dengan plan yang sudah terpatri dalam benak ini, butuh keseriusan dan kesetiaan Ableh terhadap Desita, mudah-mudahan Ableh mampu melaluinya.
Persis dua minggu setelah perpisahan pasangan beda status; Ableh dan Desita, gua mendapat kabar dari Pak Yohannes kalau Desita sudah bekerja diperusahaannya, gua cukup sumringah mendengarnya, ini berarti satu sisi rencana gua sudah berjalan mulus, gua hanya tinggal meluncur ke bogor dan berbicara empat mata dengan Desita, takutnya nanti dia malah kecantol dengan pria lain.
--- Diakhir minggu, gua sudah meluncur ke bogor, menuju ke salah satu perusahaan milik bokap yang dipimpin oleh Pak Yohannes, sebuah perusahaan yang bergerak dibidang tradding.
Hanya butuh waktu nggak sampai dua jam untuk bisa sampai ke kota bogor, gua tiba didepan sebuah komplek perkantoran dan masuk kedalam sebuah kantor dengan logo dua huruf S yang saling behadapan simetris dibagian atas bangunan. Didalam gua disambut oleh Pak Yohannes yang langsung mengajak gua ke lantai atas untuk bertemu dengan karyawan baru bernama Desita.
Nggak perlu, pak.. Desita-nya aja yang suru turun kesini deh..
Gua menolak ajakan Pak Yohannes dan duduk disofa sambil menunggu. Nggak lama berselang Desita muncul dari sudut tangga dan sangat terkejut begitu melihat sosok gua. Gua berdiri, tersenyum kepadanya. Desita berjalan pelan menghampiri gua;
Kok Kak Salsa ada disini" Disuruh Solichin ya..." Gua nggak menjawab, tetap tersenyum kemudian mengalihkan pandangan ke arah Pak Yohannes. Pak, saya pinjem Desita-nya sebentar ya.. Gua kembali menatap Desita, menarik tangannya mengikuti gua keluar dan masuk kedalam mobil. Gua mengarahkan mobil nggak begitu jauh, dan tiba disebuah mall yang berada di pusat kota Bogor.
Kak Salsa kok tau aku disini" Disuruh Solichin ya" Nggak kok..
Gua menjawab sambil melepas kaca mata hitam yang gua kenakan.
Terus.. kok bisa tau aku disini" Justru gua yang bikin lo bisa ada disini.. Maksudnya.."
Bokap gua nggak setuju sama hubungan kalian, gua yakin lo tau alesannya dan gua nggak pengen bokap sampe turun tangan sendiri, karena lo pasti nggal bakal suka dengan caranya.. makanya waktu itu gua dateng ke rumah lo dan bicara sama nyokap lo, karena gua tebak kalau lo pasti nggak mau ngingkarin permintaan dari nyokap lo, dan tebakan gua benar..
... ... gua pengen lo stay away dulu dari Ableh untuk sementara waktu, paling nggak setahun atau dua tahun dan nanti gua bakal ketemuin lo lagi sama Ableh.. dan tempat lo kerja sekarang itu gua yang atur
Gua menjelaskan rencana gua ke Desita secara singkat, gua yakin dia cukup mengerti.
Tapi, apa kak Salsa nggak mikirin perasaan aku, perasaan Solichin"
Desita bertanya sambil menyeka airmata yang mulai menetes.
Gua tau gimana rasanya, Des.. karena gua pernah ngalamin hal yang sama dengan alasann yang sama, maka dari itu gua berusaha supaya kalian nggak ngalamin apa yang gua pernah rasakan... dan gua pikir ini cara yang tepat..
Tapi kenapa harus selama itu, dua tahun kan nggak sebentar..
Gua pengen Bokap sadar dengan perubahan sifat Ableh.. dan gua pengen supaya kalian mengalah dulu untuk akhirnya.. menang
... Jangan takut, Des.. Ableh pasti balik ke lo, gua jamin...
Tapi, kak.. Udah, nggak usah pake tapi-tapian, nanti gua bakal kasih tau lo terus tentang kondisi dan kabar Ableh, dan lo jangan hubungin dia dulu.. ...
Nomor hape lo yang lama masih ada" Masih kak..
Nomor itu jangan lo buang, tetep lo aktifin, isi pulsanya kalau masa aktif nya udah mau habis, tapi jangan biarin selalu on.. paham kan"
Iya kak.. Desita menjawab lirih sambil sedikit terisak, gua membelai rambutnya dan sekali lagi mencoba meyakinkannya.
Lo percaya sama gua kan Des"... kalo memang pada akhirnya semua ini nggak berhasil, lo bisa menyalahkan gua sepanjang umur lo.. Kemudian Desita menggenggam tangan gua erat. Siang itu gua menghabsikan waktu dengan Desita untuk sekedar makan siang dan berjalan-jalan sambil shopping disalah satu mall di pusat kota bogor, sebelum akhirnya gua mengantarnya kembali ke kantor.
Dari jendela mobil yang terbuka gua pamit ke Desita;
Des.. jaga kepercaaan gua sama Ableh ya.. jangan ganjen..
Desita kemudian tersenyum dan kembali masuk kedalam kantor.
--- Malam itu, setelah kembali dari Bogor saat gua hendak bersiap untuk tidur terdengar suara ributribut dan teriakan dari kamar Ableh. Kami semua; bokap, nyokap dan gua berkumpul didepan kamarnya, Nyokap mengetuk pintu kamar dan mencoba membukanya; terlihat Ableh tengah berteriak-teriak histeris sambil memanggilmanggil nama Desita, gua melihat kesekeliling kamar, kamarnya yang dulu terkenal paling tertata rapi sekarang berubah menjadi kotor dan kumuh, dindingnya banyak ditempeli kertas-kertas dengan sketsa Desita. Nyokap berusaha memeluk Ableh yang masih berteriak-teriak, dia memegang kepalanya dan sambil menangis berkata ke bapak; Kita ke dokter pak, badannya panas banget... Dan dengan bantuan Oge, Satpam depan dan Bapak membopong Ableh kedalam mobil untuk ke dokter, gua menyentuh dahi-nya; Panas. Saat hendak memasuki mobil gua sempat melihat kepunggung ableh yang telanjang, sebuah tato baru yang sepertinya baru saja dibuat karena masih meninggalkan sedikit memar disekitarnya, sebuah tato bergambar telapak tangan yang menengadah dibawah sebuah lingkaran yang didalamnya terdapat ukiran huruf D . Gua hanya mengerling sebentar, menebak kalau demam-nya disebabkan oleh hal itu, sebuah Tato.
--- Sejak kejadian itu, Nyokap dan Bokap sering terlihat beradu argumen yang kemudian diakhiri dengan suara tangisan nyokap dari dalam kamar, sementara dikamar satunya, kamar Ableh terdengar suara seperti pukulan-pukulan konstan pada dinding. Gua hanya bisa merenung sambil meneteskan airmata, memikirkan kondisi keluarga ini. Besoknya, gua memberanikan diri masuk ke kamar Ableh yang gelap dan apek, kemudian duduk disebelahnya. Ableh tengah, tertunduk dimeja kerjanya, memainkan pensil mekaniknya diatas sebuah kertas, menggambar sesuatu yang belum jelas bentuknya.
Bleh.. Gua menyapa, dia hanya diam nggak menjawab, masih tertunduk menghadapi kertas didepannya. Jangan gini terus dong.. lo harus percaya.. Ableh berhenti menggerakkan pensinya kemudian menatap gua nanar.
Gua harus percaya sama siapa"
Sama diri lo sendiri, sama Tuhan, sama Desita.. Desita aja udah pergi ninggalin gua.. Gua percaya kok kalo lo pasti bisa nemuin dia lagi, suatu saat..
Suatu saat itu kapan" Lima taun, sepuluh taun, dua puluh taun. Berapa lama"
Ya nggak tau deh, tapi paling nggak masa lo mau gini-gini aja"
Trus lo mau gua harus gimana" Move on trus nyari pacar laen.. kayak lo gitu"
Hahaha... gini aja deh, ikut liburan gua yuk Nggak males!!
Liburan ogah, bikin usaha mau nggak" Usaha apa"
Apa kek, clothingan aja.. atau distro.. Kenapa harus clothingan.."
Lo kan dulu kuliah desain, sayang-sayang kalo nggak dipake.. dan gua punya kenalan bos konveksi yang bisa kerjasama sama lo.. Hmmm...
Tapi nggak disini.. di Jogja, sekalian lo menjernihkan pikiran.. ngejauhin ini semua.. gimana"
.... ..kalo lo mau, ntar gua cariin rumah disana.. Males..!!
Gua menghela nafas mendengar jawaban Ableh, kemudian meninggalkan dia sendiri didalam kamarnya yang gelap dan sempit.
Gua sempat pesimis dengan rencana gua untuk memindahkan Ableh ke Jogja, selain sebagai sarana rehabilitasi darisana nanti gua bakal menggiring Ableh untuk berusaha kembali mencari Desita.
--- Dan hampir satu tahun berlalu setelah tawaran gua mengenai pindah ke Jogja, Suatu hari Ableh mendatangi gua;
Udah siap belom rumah yang lo tawarin di Jogja"
Hah" Gua mau berangkat sekarang, lo SMS alamatnya ke gua..
Hah, gila lo bleh, mendadak banget.. Gua hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala sambil menatap Ableh yang pergi sambil menenteng ranselnya.
Bagian #35 Gua sudah berada didalam rumah yang tanpa penghuni yang terletak disalah satu komplek perumahan dikota Jogjakarta. Seorang wanita muda dengan pakaian rapi berdiri disebelah gua, sudah berkali-kali gua melihatnya menepuknepukan telapak tangannya yang tanpa sengaja menyentuh perabotan dan tembok berdebu didalam rumah ini.
Masih lama ya mbak.. orang yang mau nempatin datengnya"
Wanita muda itu bertanya sopan ke gua, sambil (lagi) membersihkan telapak tangannya. Gua melirik ke arah jam tangan kemudian mengangkat bahu.
Wanita muda sok bersih yang berdiri disebelah gua ini adalah Dinda, salah satu karyawan diperusahaan Resal Estate yang berada di Jogja, kalau elu mau tau, ya.. perusahaan ini juga punya bokap. Gua mengambil ponsel dan mencoba menghubungi Ableh, beberapa kali gua mencoba dan nggak dijawab, mungkin sedang dijalan.
Waktu Ableh pamit hendak berangkat ke Jogja, gua terpaksa menyusulnya untuk membantu dia menemukan rumah untuk tinggal. Biarpun Ableh adalah anak laki-laki bokap, tapi dia nggak pernah mau tau menau tentang perusahaan-perusahaan yang dimiliki bokap, seluk beluknya, jenis industriindustrinya, apalagi untuk terjun langsung dan turun tangan disalah satu perusahaannya, yang dia tau hanya meminta sesuatu ke bokap dan nggak lama terpenuhi.
Emang siapa sih mbak yang mau nempatin" Dinda terlihat gelisah mondar-mandir kesana kemari sambil melirik ke arah jam.
Kalo lo bosen nunggu, lo boleh pulang kok.. Gua berkata sambil tersenyum ke Dinda. Bener, mbak"
Dinda bertanya sambil terlihat sumringah. Iya bener, sekarang lo boleh pulang cepet tapi besok lo dateng pagi-pagi bawa surat pengunduran diri..
Gua bicara sambil memandang lurus kedepan, saat Ableh baru saja turun dari ojek, dia membuka pagar dan melangkah masuk. Sementara Dinda tengah diam terpaku ditempat dia berdiri, sepertinya shock mendengar jawaban dari gua tadi.
Kemana aja sih lo, bleh..." Lu nggak liat, gua baru sampe.. Kenapa SMS gua nggak dibales"
Nggak penting kan gua bales, isinya juga cuma alamat rumah ini doang kan
Trus lo kemana dulu, kok baru sampe.." Ya emang gua baru sampe jogja, sa.. gua naek kereta..
Ngapain lo naek kereta"
Ya terserah gua dong, mau naek kereta kek, naek kapal kek, naek onta kek.. ini rumahnya, kok kotor banget, nggak dibersihin dulu...
Gua hanya berdiri terdiam melihat Ableh yang semakin bertingkah. Kemudian dia memandang ke arah Dinda yang masih terlihat shock.
Lu siapa"... Saa..saya Dinda mas.. staff developer real estate..
Trus kenapa lu masih diem aja disini, bersihin kek nih tempat..
Dinda hanya terdiam mendengar perkataan Ableh, gua melihat pipinya mulai basah.
Dia bukan cleaning service, bleh.. udah dinda kamu pulang aja..
Taa.. tapi nanti kalo saya pulang.." Nggak, lo nggak bakal dipecat, udah sana.. Mendengar itu, Dinda buru-buru mengambil tasnya dan bergegas keluar dari rumah. Trus, siapa yang mau bersihin nih sa.., gua" Udah gampang, ntar gua cari orang deh.. yuk makan dulu..
Dan itulah hari pertama Ableh menginjakkan kakinya untuk tinggal di Jogjakarta. Sebelum kembali ke Jakarta, setelah membereskan semua keperluan hidup Ableh selama di Jogja, gua tengah mengepak pakaian dikamar hotel saat ponsel gua berdering.
Halo.. Hallo mbak Salsa.. Piye kabare.." Ya baik, ini siapa ya"
Pak Mardi, Sumardi... Jogja... Eh, pak Mardi.. iya pak
Saya sudah ada dilobi hotel ini mbak.. Oke pak tunggu ya, sebentar lagi saya turun.. Setelah selesai mengepak gua bergegas turun ke lobi sambil membawa koper, menemui Pak Mardi untuk membicarakan kemungkinan dia berpartner dengan Ableh dan kemudian sekalian kembali pulang ke Jakarta.
Pak Mardi ini adalah seorang juragan konveksi terkenal di Jawa Tengah, dia adalah salah satu supplier dan rekanan bisnis bokap yang selalu menyuplai seragam staff perusahaan. Saat gua tiba dilobi hotel Pak Mardi sudah menyambut dengan senyum sumringahnya yang khas dibalut kumis tebal ala pak Raden, dia duduk bersama seorang gadis muda yang kemudian diperkenalkan sebagai anaknya; Astrid. Setelah selesai denga pembicaraan mengenai bisnis, gua melirik ke arah Astrid, anak Pak Mardi. Usianya berapa"
Gua bertanya ke Astrid. Sekarang dua tiga, mbak Astrid menjawab lugas, dari gestur dan gaya bicaranya gua bisa menebak kalau dia orang yang cukup supel.
Udah punya pacar" Kenapa mbak"
Astrid bertanya, mungkin ragu dengan apa yang baru saja gua tanyakan.
Udah punya pacar belum"
Gua mengulang kembali pertanyaan yang tadi. Belum sih mbak, memang kenapa" Astrid menjawab ragu-ragu.
Nggak apa-apa.. yaudah deh pak Mardi, saya pamit dulu..
Gua berdiri dan menyalami Pak Mardi kemudian menyiapkan koper untuk segera berangkat. Pak Mardi dan Astrid mengantar gua sampai ke depan lobi dimana sebuah taksi sudah menunggu untuk mengantar gua ke bandara. Gua menghentikan langkah sejenak saat menuruni tangga, menoleh ke arah Astrid dan Pak Mardi.
Astrid.. bisa temenin saya ke bandara nggak" Gua bertanya ke Astrid.
Pak Mardi dan Astrid saling pandang, kemudian Pak Mardi menyenggol sikut Astrid dengan lengannya sambil berkata pelan, yang gua denger hanya selentingan kalimat berbahasa jawa yang gua nggak mengerti artinya. Kemudian Astrid berjalan menyusul gua menuruni anak tangga lobi hotel.
Bisa mbak.. ayoo.. Seperti yang sudah gua duga sebelumnya, bahwa Astrid adalah seorang perempuan yang supel dan cukup atraktif. Didalam taksi selama dalam perjalanan menuju ke Bandara gua terus berbincang dengannya dan rasanya seperti gua sudah lama mengenal dia, perempuan ini punya pembawaan yang menyenangkan.
Astrid.. lo mau bantu gua nggak"
Gua bertanya sambil memandang keluar melalui jendela taksi.
Bantu apa mbak" Kalau nanti, Bokap lo jadi bisnis sama Ade gua, bisa kan lo yang handle"
Oh bisa mbak, biasanya toh juga saya yang handle klien baru nya bapak..
Tapi ini beda, dan karena ini berbeda makanya gua minta bantuan lo..
Maksudnya.." Astrid menggeser duduknya mendekat ke gua, penasaran.
Jadi gini, dia itu agak sedikit stress karena abis ditinggal sama pacarnya, gua mau lo temenin dia selama disini..
Hah stress.." Astrid melotot kemudian menggeser duduknya lagi.
Bukan.. bukan stress Gila.. cuma sedikit tertekan aja kejiwaannya, tapi nggak tertutup kemungkinan kalo sebentar lagi dia gila beneran..
Oh. Gampang, bisa diatur..
Nggak Astrid, semua yang berhubungan dengan adik gua saat ini bener-bener nggak gampang.. Emang kenapa"
Dia abis ditinggal sama pacarnya,.. Oh gitu
Astrid menjawab sambil manggut-manggut. Jadi.. bisa nggak"
Gua bertanya sambil memandang ke arah Astrid. Mbak, saya sih mau bantu mbak.. tapi kasih saya satu aja alesan kenapa saya harus membantu mbak Salsa"
Gua tersenyum mendengar pertanyaan dari Astrid Gua sebenernya bisa aja trid, menawarkan lo dua opsi; Bantu gua dan dapet bayaran gede atau bisnis bokap lo ancur dan keluarga lo jadi gembel selama-lamanya..
Tapi, gua nggak gitu kok gua minta tolong lu atas nama hati nurani kakak yang sayang sama Adiknya, atas nama seorang perempuan yang dipisahkan cintanya cuma gara-gara status yang sama sekali nggak dia inginkan untuk diembannya.. dan gua meminta lo dengan sangat, kalo perlu gua harus memohon sambil merangkak dihadapan lo, gua bakal lakukan
Astrid hanya terpana mendengar omongan gua, kemudian berkata;
Wow.. So, bisa bantu gua" Bisa!
Astrid menjawab. Oke kalo gitu, gua jelasin detailnya nanti di bandara.. sambil makan, lo belum makan kan" Hehehe.. iya..
Sesampainya di Bandara Adisutjipto, gua dan Astrid langsung menuju ke sebuah restaurant cepat saji yang terletak di area Bandara. Gua melirik ke arah jam tangan, masih ada waktu sekitar setengah jam sebelum pesawat gua berangkat ke Jakarta. Dibenak gua kini berputarputar rencana-rencana yang dikelilingi semacam awan dan saling terhubung dengan garis berwarna-warni, disekelilingnya berputar sosoksosok yang terkait dalam rencana tersebut, pikiran-pikiran dan rencana tersebut yang membuat tidur gua nggak begitu nyenyak belakangan ini, gua hanya bisa berharap Astrid mampu menggantikan gua sebagai soul guide -nya Ableh tanpa perlu tau siapa sosok dibalik ini semua. Dan gua bisa tidur nyenak lagi.
.. Singkat aja, trid.. gua mau lo temenan sama Ade gua, tanpa dia tau kalo lo gua yang suruh sebisa mungkin terlihat natural, bisa"
Hmm.. bisa mbak.. Astrid menjawab dengan penuh keyakinan. Nanti instruksi berikutnya gua SMS lo dari Jakarta, dan kalo ada apa-apa lo buru-buru telpon gua..
Iya mbak.. Sip! Dan ini yang paling sulit, trid.. Apa mbak"
Jangan sampe lo jatuh hati sama dia.. inget tuh.. Hah"..
..dan jangan pernah bikin dia jatuh hati sama lo..!
Hah, Kenapa" Karena dia udah ada yang punya, oke.. jadi tugas lo gampang tapi juga sedikit susah.. bikin aja dia kembali normal..
Tapi, ketahuan dia udah normalnya gimana mbak"
Lo perhatiin aja, kalo dia udah mulai ngerayungerayu cewek dan tingkahnya mulai nyebelin.. itu berarti dia udah normal..
Hah.. Gua berdiri sambil bersiap bergegas untuk pergi ke gerbang check-in bandara, sementara Astrid masih duduk terdiam sambil memandangi gelas kertas berisi minuman soda, gua menepuk pundaknya pelan sambil berkata lirih;
Tolong ya Astrid Dia menyambut tangan gua dipundaknya dengan tangan kirinya, kemudian berkata tanpa memalingkan wajahnya;
Emang mbak Salsa, bisa ya bikin bapak bangkrut"
Hahaha, nggak kok.. tadi cuma becanda.. yaudah gua jalan dulu ya..
Gua bergegas meninggalkan Astrid sambil berjalan cepat sambil tersenyum dengan kebohongan gua barusan.
Bagian #36 Sejak gua berhasil membujuk Astrid untuk ikut berperan dalam permainan yang sudah gua rencanakan, tidur gua perlahan-lahan mulai nyenyak, apalagi tau kalau Desita dan Ibunya sudah bisa hidup normal di Bogor sesuai dengan arahan gua dan sampai saat ini semuanya berjalan smooth dan terlihat baik. Kecuali rencana gua untuk mengubah pola pikir bokap yang selalu gagal.
Bokap memang terkenal dengan pemikirannya yang kolot dan idealisme-nya yang terlalu konservatif. Pembawaanya mungkin terlihat santai, penuh senyum dan ramah. Tapi dibalik itu dia punya ketegasan bak militer dan ketangguhan seperti tank tempur. Mungkin jika ada yang tau sosok Seta Soujiro di anime Samurai-x atau Hisoka di serial Hunter X Hunter, sosok yang selalu penuh senyum tapi ada kekejaman dibaliknya, katakatanya indah tapi tersimpan bisa dan seperti itulah Bokap.
Dulu gua pernah punya pacar, namanya Andre. Selain ganteng, dia juga pribadi yang lembut, bisa ngemong dan tegas, dia selalu sukses meredam betapa liar nya gua dulu, gua jatuh cinta padanya dan selama beberapa bulan kami menjalani hubungan yang penuh cinta, apalagi ditambah saat Andre gua perkenalkan dengan Bokap dan Nyokap, respon mereka begitu positif, tanpa malu Andre pun bercerita tentang asal-usulnya yang berasal dari keluarga broken home, bokap dan nyokap hanya tersenyum mendengarnya, buat gua itu sudah lebih dari cukup untuk menebak ke arah mana hubungan kami nanti bakal berlanjut. Tapi semua itu sirna seminggu kemudian, saat Andre tiba-tiba menghilang, cukup lama gua berusaha mencarinya dan ketika bertemu dia menjelaskan semuanya, bercerita tentang orangorang bertubuh besar dan tegap datang kerumahnya, mencoba meneror dia, ibu dan adiknya, bahkan tanpa segan-segan menggunakan kekerasan dalam terror-teror tersebut. Dan semua itu atas perintah satu orang; Sastrowardjodjo Syarfriel, Bokap gua.
Dan sejak saat itu setiap pria yang dekat dengan gua, haruslah tepat bobot, bibit dan bebetnya dimata Bokap dan nggak perlu ditanyakan lagi bagaimana rasa sakitnya dipisahkan dengan orang yang lo cintai dengan cara seperti itu, cara kampungan dan sama sekali nggak elegan. Dan kali ini, gua akan memperlihatkan ke bokap, sebuah cara mempertemukan lagi dua insan manusia yang terpisah gara-gara dia dengan cara yang nggak kampungan dan Elegan. Tapi ya tetap kendala utamanya adalah betapa sulitnya merubah pendirian bokap, jangan sampai nanti gua berhasil menyatukan Desita dan Ableh tapi nggak berhasil membuat hubungan mereka disetuji, sama aja bohong.
Dengan alasan itu pula-lah, gua mendaftarkan Desita ke salah satu universitas swasta di Bogor, jadi kalau Bibit (aspek keturunan, apakah ningrat atau bukan, keturunan baik-baik atau penjahat) dan Bebet (Faktor kemampuan ekonomi) nya kurang berkenan dimata Bokap, paling tidak Bobot-nya atau kualitas seseorang dalam arti aspek pendidikan-nya cukup mumpuni. Awalnya Desita menolak jika haruis gua biayai, tapi gua bersikeras, akhirnya diambil jalan tengah, gua akan menanggung biaya masuk kuliah dan Desita yang membayar biaya semester-nya, oke that s fair enough.
---- Mbak, Solichin ud mulai cerita ttg Desita Begitu kira-kira isi pesan yang dikirim Astrid ke gua, saat itu sabtu sore menjelang malam, saat gua baru saja bersiap menaiki mobil Arya yang terparkir didepan rumah. Gua mengetik sebentar kemudian mengirim SMS balasan kepadanya; Ok, Nice progress.. giring terus nanti kalo ud dpt wktu yg tepat, bikin supaya dia mau bergerak nyari Desita ya..
Pesan terkirim, dan nggak begitu lama berselang gua sudah menerima balasan darinya;
Mbak, kyaknya ak mulai jth hati beneran deh sm solichin, gmna dunk"
Gua menggelengkan kepala saat membaca SMS balasan dari Astrid.
Jatuh hati beneran" Berarti sebelumnya lo ud sempet jatuh hati sma dia"
Iy.. Kan gua ud bilang ke lo, skrng gua ga mau tau, nanti klo patah hati tnggng sndri akbtnya Gua selesai mengetik dan menekan tombol send kemudian memasukkan ponsel kedalam tas. Ini anak kayaknya benar-benar out of control, kalau cuma Astrid yang jatuh hati sama Ableh sih mungkin bukan perkara besar, its really not a big deal. Tapi, kalau sampai Ableh yang jatuh hati kepada Astrid bisa sia-sia semua yang udah gua lakukan.
Gua kembali mengeluarkan ponsel dan mengirim pesan ke Astrid;
Astrid, Stay In the Line! Send, Done
Drtt...drrtt Ponsel gua bergetar. Sebuah pesan masuk, dari Astrid.
Kalem bae, mbak Gua hanya tersenyum membaca pesan singkat tersebut, kemudian kembali (lagi) memasukkan ponsel kedalam tas, sementara Arya yang sedari tadi melirik ke arah gua yang sibuk dengan ponsel seakan bertanya dengan matanya; sibuk amat, SMSan sama siapa" .
SMS dari Astrid, yank.. Ooh..
--- Nggak ada hampir satu minggu sejak Astrid mengabari gua tentang progress si Ableh, dia mengirimi gua pesan lagi. Kali ini isinya tentang perubahan sikap Ableh setelah Astrid bertanya banyak perihal Desita. Gua menghubungi Astrid setelah mengkonfirmasi via SMS kalau dia sedang tidak bersama Ableh.
Gua menginstruksikan Astrid agar mendorong Ableh untuk berusaha mencari Desita, caranya dengan melacak nomor ponsel lama Desita, dan ternyata Astrid sukses melakukan itu, malam harinya dia mengkonfirmasi jika mereka berdua tengah dalam perjalanan menuju ke Jakarta untuk mencari Desita. Gua buru-buru bangkit dari atas kasur dan memberitahu nyokap kalau Ableh bakal pulang dan nggak lupan menghubungi Om Sasmi yang memang bekerja di salah satu provider telekomunikasi terbesar yang ada di Indonesia. Halo Om Sas..
Eh Sa.. ada apa, malem-malem telpon.. tumben.. Gini om, si Ableh kayaknya bakal minta tolong om deh ngelacak nomor ponsel, kira-kira bisa nggak.. Hah, emang nomor siapa yang mau dilacak, sa" Nomor pacarnya, bisa Om"
Sebenernya sih bisa, tapi semua ada prosedurnya sa.. nggak bisa maen minta trus dapet gitu aja.. Yaah Om, bisa doong, demi keponakan mu yang cantik dan imut ini..
Nggak bisa, saa.. kamu siapin surat keterangan deh dari kepolisian nanti Om bantu..
Yaah om maah.. bisa doong, please yaaa.. pleaseee...
... Om sas.. Om masa tega sih sama salsa... Yaaah, kamu emang paling bisa deh saa.. yaudah om usahakan deh..
Assik, om sasmi emang om paling keren deh.. nanti Ableh yang dateng ya om..
Iya,... Eh Om, tapi jangan bilang-bilang kalo salsa udah ngomong ke Om duluan ya..
Oh gitu, iya deh.. Yeay.. makasih ya Om.. Iya Salsa, sama-sama.. Selamat malam Om.. Malam..
Gua mengakhiri pembicaraan dengan Om Sasmi dan bergegas untuk segera tidur, besok past Ableh sampai dirumah pagi-pagi buta dan bakal bikin bangun orang satu kampung.
--- Dan perkiraan gua hampir nggak meleset, saat adzan subuh berkumandang gua sudah mendengar samar-samar suara Ableh diruang makan. Gua bergegas bangun dan menuju kesana, dimeja makan Astrid tengah duduk sendirian, gua mengambil setoples keripik dan duduk diseberang-nya.
Gua kan udah ngasih tau lo, trid.. kalo jangan sampe suka sama Ableh..
Gua bicara sambil berbisik dan sesekali melirik ke arah tangga, takut Ableh tiba-tiba turun. Iya mbak, tapi hati kan nggak bisa bohong.. Ya terserah juga sih, gua nggak mau tanggung jawab kalo lo sampe patah hati..
Iya mbak, aku udah tau konsekuensi-nya.. Lo tau kenapa mereka dipisahkan"
Gua bertanya ke Astrid sambil menunjuk ke kamar Ableh, merujuk kepada kondisi hubungan Ableh dengan Desita. Dan Astrid menggeleng. Karena Desita nggak berada di strata yang sama dengan keluarga ini.. dan gua rasa kalo lo jadi pacarnya saat ini, kondisi yang sama bakal terulang..
Iya mbak, aku ngerti.. Oke.. good Girl..
Baru saja gua selesai berbicara, Ableh turun dari kamar, menghampiri kami dan menginstuksikan Astrid untuk mandi dikamarnya. Gua memandang Ableh yang terlihat sedikit amburadul dengan jenggot memenuhi wajahnya, gua mengahampirinya;
Itu" Kayak gitu gantinya".. masih mending juga Desita..
Bukaaan Oh bukan.. bagus dah trus ngapain lo pulang" Ada urusan, minjem mobil lu dong..
Ableh mengatungkan tangan ke arah gua. Gua hanya berdiri diam mematung.
Pake mobil lo sendiri dong! Emang kenapa kalo mobil lo, motor lo, punya kenangan sama Desita, dijual nggak boleh, dipake juga enggak mau diapain.. belajarlah nerima sesuatu
Gua bicara, mencoba memaksa dia melawan memorinya sendiri. Sementara Ableh nggak mendengarkan, dia malah ngeloyor pergi meninggalkan gua yang masih bicara.


Everytime Karya Alboni di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

------- Bagian #37 Pagi itu setelah Ableh dan Astrid berangkat untuk memulai pencariannya, gua mulai memborbardir Astrid dengan instruksi-instruksi lewat SMS untuk terus mengarahkan Ableh ke Bogor. Sebenarnya gua bisa saja langsung memberitahu Astrid lokasi dimana mereka bisa menemukan Desita, tapi gua rasa itu terlalu to the point, dimana letak seru-nya dan lagi proses pencarian Desita paling tidak bisa memberi gambaran betapa seriusnya Ableh dengan komitmen dan hubungan yang pernah dijalin-nya bersama Desita.
Menjelang sore, Astrid memberitahu gua kalau mereka sudah mendapatkan list nama orangorang yang mengaktivasi nomor ponsel dan kini mereka sedang bergerak ke Bogor. Oke, sebuah permulaan yang bagus, pikir gua dalam hati. Gua mengeluarkan ponsel dan mengetik pesan singkat ke Astrid.
Nnti plng kerja, gua ksana.. lo SMS nama hotel tmpt lo nginep
Send!. --- Dan sepulang kerja gua, dengan diantar Arya langsung bergegas menuju ke Bogor.
Penting ya, kita harus nyusul ke bogor" Arya bertanya sambil tetap memandang lurus dihadapan kemudi.
Kamu anggap aku penting nggak buat kamu" Penting banget..
Yaudah, berarti nyusul ke Bogor juga penting banget, buat aku, buat Ableh, buat keluarga aku.. Iya deh..
Dan dua setengah jam berikutnya gua dan Arya sudah berada di Bogor, gua langsung mengkonfirmasi kedatangan gua ke Astrid dan dia menjawab kalau saat ini kami belum bisa bertemu; Nanti aku SMS mbak.. Kira-kira begitu isi pesan singkat balasan dari Astrid. Gua hanya menghela nafas sambil menggelengkan kepala. Setelah beberapa jam menunggu akhirnya Astrid memberitahu kalau dia sedang berada dihotel A dan bersiap untuk ketemuan, gua menunjukkan isi SMS tersebut ke Arya, dia hanya mengangguk dan mulai bergegas memasuki mobil. Buat gua Arya itu sudah hampir seperti peta berjalan, Jakarta, Bandung, Bogor, Jogjakarta, Surabaya, Semarang, Solo hampir semua kota besar di pulau jawa pernah dijelajahinya, maklum tugas-nya sebagai Deputi Kontrol Jaringan membuatnya menjadi Bolang (Baca: Bocah Petualang) yang mengharuskannya menjelajahi hampir kota-kota besar yang gua sebutkan diatas. Dan tanpa celingak-celinguk kekiri dan kekanan, sepuluh menit berikutnya kami sudah berada di depan hotel A, hotel yang dimaksud si Astrid.
Ditepi jalan, diatas trotoar, Astrid tengah berdiri menunggu kami, gua membuka jendela dan menyapanya;
Astriiid.. Eh mbak.. Masuk..
Kemudian Astrid masuk kedalam mobil dan kami bergegas pergi dari sana.
Ableh tau nggak lo keluar"
Gua bertanya ke Astrid sambil memandang wajahnya melalui kaca spion dibagian atas. Nggak kok, tenang aja..
Mana" Lo bawa list-nya" Bawa.. nih..
Astrid bicara sambil menyodorkan lembaran list berisi daftar nama dan alamat, kesemuanya bernama Desita dan telah disortir hingga menyisakan nama-nama yang domisilinya Bogor. Gua menepuk jidat, mengelus wajah kemudian meminta Arya untuk menepikan mobil. Gua turun dari mobil dan bergerak menuju ke sebuah warung tenda yang menjual bubur kacang hijau dan masuk kedalamnya, disusul Astrid kemudian Arya. Kamu makan dulu aja yank..
Gua berkata lembut ke Arya yang tampak kelelahan, kemudian berpaling ke Astrid. Maksud gua, lo harusnya minta list nama-nama yang Top-Up dan lokasinya, triid.. bukan nomor yang baru di aktivasi..
.... ... kalo berdasarkan ini sih, nggak bakalan ketemu..
Gua berkata sambil menggaruk-garuk kepala, kesal.
Ya tadinya kita juga minta gitu, tapi orang providernya nggak ngasih..
Astrid menjelaskan. Yah,gimana sih nih Om Sasmi.. ...
...yaudah gini deh, sementara ini lo ikutin aja dulu si Ableh berdasarkan list ini, nanti gua coba ngomong lagi ke Om Sasmi.. kalo list yang disini udah selesai semua, lo kasih clue ke dia tentang perkara Top-Up..
Oh gitu mbak, oke deh.. Yaudah sekarang lo makan aja dulu.. Gua berkata ke Astrid, yang kemudian memesan bubur kacang hijau. Sementara gua hanya duduk sambil berusaha berfikir. Mencari cara yang tepat agar Ableh bisa bertemu dengan Desita tanpa dia tau kalau gua ikut andil didalamnya.
Cling Sebuah ide terbesit dibenak gua. Trid..
Ya mbak.. Kalo list yang disini udah selesai semua, lo jangan kasih clue ke dia tentang perkara Top-Up tapi, kasih tau dia suruh tanya sama Om Sasmi nomor terakhir di hubungi..
Oh iya, mbak.. Gua tersenyum kemudian, mengambil ponsel, mencari nomor Desita yang lain dan mulai menghubungi-nya. Beberapa kali nada sambung terdengar, sampai akhirnya suara lemah dari ujung sana terdengar, gua berdiri, keluar dari warung tenda, menjauh dari keramaian.
Ya halo.. Halo, des.. lo sakit.. Eh, kak.. nggak kok.. Kok suaranya serak" Iya baru bangun..
Oh iya.., sorry-sorry ganggu malem-malem.. Nggak papa kak, aku kalo tau ada telp dari kak Salsa, bawaannya panik, takut ngasih kabar buruk..
Nggak kok, sekarang malah mau ngasih kabar baik..
Apa kak" Besok pagi-pagi banget, lo telepon ke kantor ya, pake nomor lo yang lama.. terus sesudah telepon lo non aktifin lagi..ngerti"
Ngeerti sih, tapi.. buat apaan, aku harus telepon ke kantor, ngomong sama siapa"
Sama siapa kek, pokoknya lo telepon ke kantor, nggak usah banyak nanya.. lo mau ketemu Ableh nggak"
Hah" Lo mau ketemu Ableh nggak.. ...
Halo, Des.. Apa perlu aku jawab, kak"
Ya makanya kalo mau ketemu, ikutin kata-kata gua.. ngerti"
Iya kak.. Yaudah, gitu aja dulu, nanti gua SMS lagi kalau ada apa-apa..
Iya.. eh kak.. Ya.. Solichin sehat kan" Sehat..
Alhamdulillah.. Yaudah, tidur lagi sana... Iya..
Gua mengakhiri panggilan, kemudian bergegas menyusul ke warung tenda. Disana Astrid sudah selesai dengan semangkuk Bubur kacang hijau-nya sementara Arya tengah asik dengan rokok putih ditangannya. Dan lima belas menit berikutnya gua sudah berada dijalan tol menuju ke Jakarta, meninggalkan Astrid yang gua turunkan beberapa puluh meter dari Hotel tempat dia menginap. ------Bagian #38 Aku juga nggak mau ninggalin kamu, sol.. bukan mau aku..
Desita menjawab sambil memindahkan arah duduknya menghadap ke gua. Lebih dari tiga tahun nggak bertemu, Desita sedikit berubah, dia nggak lagi menggunakan bahasa prokem elogue , rambutnya dibiarkan panjang dan dia terlihat sedikit lebih gemuk.
Trus maunya siapa" Aku nggak bisa jelasin ke kamu..
Trus sama siapa gua harus minta penjelasan" Salsa..
Desita menjawab lirih, sambil menatap kosong kearah luar melalui kaca jendela.
Hah, Salsa.." Gua menepuk bagian kemudi dengan telapak tangan. Sudah bisa gua tebak, sejak tadi bertemu dengan Salsa di kantor itu, gua yakin kalau dia ada hubungannya dengan ini semua. Dalam hati gua mengutuki wanita sialan itu.
Iya, kakak kamu Desita menegaskan sambil memandang kearah gua.
Gua menepikan mobil dan balas menatap Desita. Perempuan yang selama ini jauh, yang selama ini gua cari, kini berada disini, disebelah gua. Kamu kangen sama aku nggak, sol" Desita bertanya, air matanya mulai berlinang. Kangen banget..
Gua menjawab lirih, sambil tangan gua membelai pipinya yang lembut.
Kamu masih suka dengerin everytime -nya Britney"
Masih.. Kok lo tau" Gua menjawab disusul sebuah pertanyaan penasaran.
Tau dong, aku tau semua tentang kamu Gua hanya tersenyum sambil membatin dalam hati kalau Salsa yang ada dibalik semua ini , tapi sekarang ini, bukanlah waktu yang tepat untuk memikirkan Salsa, saat ini gua hanya ingin menikmati indahnya sosok yang gua sayangi, sosok yang sudah sekian lama direnggut dari hidup gua. Gua selalu menantikan saat ini, saatsaat dimana bisa dengan langsung menatap mata biru nya yang indah, membelai rambutnya yang berkilau, menyentuh pipinya yang lembut, merasakan bibirnya yang mungil dan menghirup aroma tubuh yang bercampur parfum khas-nya. Bahkan gua rela menukarkan seluruh hidup gua hanya untuk hal-hal tersebut.
Des.. selama ini lo nggak pernah deket sama cowok laen kan" Ato jangan-jangan lo udah punya suami"
Gua bertanya sambil berbisik ditelinga-nya. Desita hanya tersenyum kemudian menggenggam tangan gua.
Sol.. selama ini, even ada orang yang nanya ke aku; udah punya pacar belum" , aku pasti jawab Udah , dan kalo ada yang bertanya lagi; siapa nama pacarnya" , aku pasti menjawab; namanya Solichin ..sambil ngasih liat ini ke mereka Desita mengeluarkan dompet dari dalam tasnya, membuka dan memperlihatkan foto close-up kami berdua. Gua tersenyum lagi, kali ini, mungkin menjadi saat dimana gua sering sekali mengumbar senyum, senyum yang sudah lama sirna dari wajah ini.
Makan yuk" Makan dimana"
Desita bertanya ke gua, sementara gua hanya mengangkat bahu, nggak tahu menahu lokasi restaurant atau rumah makan disekitar sini, bahkan gua nggak tau sedang berada dimana saat ini. Desita terlifat berfikir sejenak, melirik ke arah jam tangan-nya kemudian mulai menunjukkan arah.
Tapi jangan lama-lama ya sol.. Lho emang kenapa"
Nanti aku ada kuliah.. Hah!! Lo kuliah"
Iya.. Serius" Gua bertanya sambil memasang wajah sangat serius.
Hooh Ngambil apa" Ekonomi..
Wuiih, hebaatt.. Gua meraih kepalanya, kemudian memeluknya sambil tetap mengemudikan mobil.
Beberapa waktu kemudian setelah makan, dan saling bercengkrama, saling bertukar cerita, gua mengantarkan Desita ke sebuah kampus swasta yang lumayan terkenal di kota Bogor. Dia turun dari mobil, sambil berkata;
Kamu tunggu aku, ya.. jangan kemana-mana" Iya babe..
Desita tersenyum sambil meninggalkan gua, kali ini nggak seperti dulu, waktu dia marah ketika gua memanggilnya dengan sebutan babe , baby atau honey , sekarang dia terlihat seperti senang mendengarnya. Sambil menunggu gua turun dari mobil dan menyalakan sebatang rokok. Kemudian mengeluarkan ponsel dan mencoba menghubungi Salsa, jujur walaupun saat ini gua nggak begitu peduli dengan hubungan Salsa dengan semua ini tapi tetap membuat gua penasaran.
Nada sambung terdengar beberapa kali, sebelum akhirnya suara cempreng Salsa terdengar diujung sana. Belum sempat gua bicara, dia sudah membuka mulut duluan;
Gimana bleh, lo ajak kemana" Ke hotel, Em-EL" Ato kemana" Seneng"
Apaan sih lo sa.. gua mau nanya sama lo, ini serius..
Nanya apa" Ntar aja deh, gua lagi sibuk nih.. Sibuk ngapain sih lo"
Sibuk nyetir.. Lo balik ke Jakarta"
Iya, sekalian nganter Astrid kebandara" Hah" Lo kenal sama Astrid"
Ups.. keceplosan.. hehehe.. kenal lah.. yaudah ntar telp lagi, gua sibuk banget nih sumpah dah.. Tut tut tut tut..
Salsa mengakhiri pembicaraan sepihak. Gua mengelus dada dan menghela nafas, sambil menikmati dinginnya cuaca kota bogor, gua memandang nanar ke layar ponsel yang kini menampilkan nama Astrid dan setelah menimbang-nimbang baik buruknya gua menekan tombol panggil, Nada sambung terdengar dua kali kemudian langsung disambut oleh suara Astrid, suara yang biasanya ceria kini terdengar lesu; Halo..
Halo, trid.." Ya..
Lo balik ke Jogja" Iya..
Nggak nunggu gua" Nggak..
Kenapa" Gua nggak mau ganggu elo..
Sekarang kan lo udah dapetin apa yang lo cari, mudah-mudahan lo bisa bahagia..
Yah, Astrid.. jangan sedih gitu dong.. Gua menangkap kesedihan dari getaran suaranya di telepon.
Ya lo tau kan gimana perasaan gua ke elo, cin.. dan itu nggak pernah berubah.. gua tau pada akhirnya gua bakal kecewa dan sedih.. tapi suatu saat nanti, gua bakal dateng lagi ke lo dan menagih jatah cinta buat gua
Hah.."" Nggak becanda kok Sial..
Ciin, nggak ada sama sekali peluang buat gua ya"
Gua terdiam sesaat mendengar pertanyaan dari Astrid
Licin..!! Ya.. Nggak ada sama sekali peluang buat gua ya" Maaf trid, gua punya cinta lain yang nggak bisa gua tinggalin
Yaah.. yaudah sana, nanti sang putrid mu sudah menunggu.. gua baik-baik saja kok.. nggak usah dipikirin..
Triid.. Makasih, udah nolong gua selama ini Ah, santai aja gapapa.. udah ya.. daaaa Tut tut tut tut..
Astrid mengakhiri panggilan. Sementara gua masih menggenggam ponsel ditelinga kanan gua sambil menatap kosong ke depan, memandangi dedaunan yang jatuh tertiup angin dan mendarat diatas tanah, kemudian terinjak oleh kaki-kaki para mahasiswa yang tengah berjalan cepat keluar dari kampus, daun yang rela mengorbankan dirinya demi kelangsungan hidup si pohon.
Nggak lama, Ponsel gua bergetar, sebuah SMS masuk, dari Salsa; Astrid nangis sejadi-jadinya nih, ngapain lagi lo pake telp dia segala, goblok!! Gua membacanya sekilas, kemudian bersandar pada bodi mobil sambil mengadahkan kepala ke atas dan membenturkannya beberapa kali. Mencoba mengurai kenangan-kenangan saat bersama Astrid dan berusaha membuangnya jauhjauh, saat ini gua sudah menemukan apa yang gua cari dan sepertinya gua nggak butuh lagi kenangan-kenangan itu. Gua tengah menyalakan rokok saat sebuah sedan datang dan parkir disebelah mobil gua, dari dalamnya bangku penumpang keluar sepasang muda-mudi. Sementara dibangku depan terdapat sepasang lainnya, terdengar sebuah lagu diputar dengan suara keras melalui stereo sound custom yang sepertinya berada di bagian bagasi mobil;
Janganlah pernah kau harapkan aku Untuk dapat mencintai dirimu Coba renungkan dalam hati kita Perpisahanlah yang mungkin terbaik Lupakan aku
Jangan pernah kau harapkan cinta Yang indah dariku
Lupakan aku Ku punya cinta lain yang tak bisa Untuk kutinggalkan
Mungkin suatu saat nanti Kaupun akan mengerti
Bahwa cinta memang tak mesti Harus bersama
Dan setengah jam berikutnya, saat gua menghabiskan hisapan terakhir rokok filter dan membuang puntungnya, sebuah pelukan mendarat dipinggang gua, tanpa menoleh pun gua tau siapa dia dari aroma parfumnya. Desita Gua tersenyum kemudian memutar tubuh, menggapai pinggulnya dengan tangan dan mengecup ujung kepalanya.
Malam ini mungkin bakal menjadi salah satu malam paling berkesan yang pernah gua lalui, tanpa tau rintangan apa yang bakal menanti didepan kami.
--- Gua anter pulang ya.. Iya..
Desita menjawab sambil mengangguk pelan. Ternyata lokasi tempat tinggal Desita nggak begitu jauh dari pusat kota bogor, gua memarkirkan mobil di depan sebuah gang, namun kali ini bukanlah gang sempit, koto dan bau lagi, gang dimana gua berada saat ini terlihat lebih bersih dan lebih besar, kira-kira cukup untuk sebuah mobil masuk kedalamnya. Gua mengikuti Desita yang berjalan didepan, sambil memandang kesekeliling, melihat rumah-rumah mungil dengan desain yang amat minimalis, bersih dan rapi berderet, saling berhadap-hadapan. Kemudian Desita berhenti disebuah rumah mungil berpagar hitam dan mengajak gua masuk kedalamnya, rumah ini, jika ini benar rumah Desita maka jelas kalau ini lebih layak disebut tempat tinggal dibanding dengan yang ditempatinya dulu di Jakarta.
Desita membuka pintu dan kami disambut seorang wanita tua berdiri sambil tersenyum menyambut kami, dia memalingkan wajahnya dan memandang ke arah gua, senyum-nya terlihat menghilang.
Dek, Solichin Iya bu.. apa kabar bu" Sehat" Alhamdulillah sehat.. masuk-masuk.. Gua pun menyusul Desita yang sudah lebih dulu masuk kedalam.
Gua duduk disebuah ruangan yang mungkin diporyeksikan sebagai ruang tamu, walau tanpa sofa, ruangan ini terlihat nyaman dengan karpet berbulu tebal sebagai alasnya ditambah bantalbantal berukuran raksasa yang mungkin berfungsi sebagai aksesoris, pada dindingnya banyak terpajang foto-foto Desita bersama Ibunya dan satu foto yang sangat gua kenal, foto dimana Desita kecil mengenakan pakaian adat daerah tengah tersenyum. Disalah salah satu sudut ruangan terdapat sebuah meja pendek, hampir mirip dengan meja-meja yang biasa digunakan orang-orang jepang, dimana diatasnya terdapat sebuah PC dan monitor disebelah terdapat meja kecil lainnya tempat meletakkan televisi. Terdapat banyak stiker dan gambar-gambar kecil disisi depan televisi, gua mengamatinya; Foto gua dan Desita terpampang disana. Gua tersenyum sendiri kala melihat hal itu sementara Desita datang setelah mengganti pakaiannya dan langsung merebahkan kepalanya dipangkuan gua. Des.. dek solichinnya kan capek, masa langsung lendotan gitu sih..
Ibu Desita berkata lirih sambil menepuk pelan kaki Desita.
Gua hanya tersenyum sambil menggeleng dan berkata; Nggak apa-apa bu, biarin..
Eh, ula kitu sana bikin minum.. Yaah..
Desita terdengar sedikit menggerutu sambil bangkit dan pergi ke dapur yang terletak dibelakang.
Dek, solichin Ya bu.. Desi sudah cerita" Cerita apa bu"
Kemudian si Ibu mulai bercerita tentang bagaimana Salsa mendatangi si Ibu dirumahnya waktu di Jakarta dan malam itu gua habiskan dengan mendengar cerita dan penjelasan dari Ibu Desita sambil membelai rambut Desita yang mulai tertidur dipangkuan gua.
------- EPISODE 6 Bagian #39 Gua memang pria yang nggak begitu pandai menyembunyikan emosi, tapi tiga tahun hidup tanpa Desita membuat gua terlatih memasang wajah tanpa emosi, dan wajah itu yang mungkin tampak saat ini. Saat dimana Ibu Desita bercerita tentang bagaimana Salsa, kakak perempuan gua satu-satunya merencanakan untuk menjauhkan Desita dari gua dengan alibi penolakan bokap. Dibalik tampang dingin yang saat ini tampak, jantung gua terasa berdetak kencang, perut seperti terkocok-kocok dan perasaan seperti diaduk-aduk. Sambil memandang Desita yang tertidur dipangkuan, gua membelai rambutnya pelan kemudian mengangkat kepalanya dan memindahkannya keatas bantal besar yang berada disana.
Des..des.. bangun atuh.. ada dek Solichin kok malah ditinggal tidur..
Ibu Desita menepuk pelan kaki Desita, mencoba membangunkannya.
Biarin bu, mungkin kecapean.. Gua berkata sambil terus memandangi Desita yang masih terlelap.
Kenapa ya bu, kok Salsa sampe segitunya ke Desita sama Ibu, saya jadi nggak enak.. Gua bicara sambil berpaling ke Ibu Desita. Aduuh.. nggak apa-apa dek... lagian juga sebenernya Salsa teh niatnya baik kok.. Baik gimana, kalo baik kenapa Ibu dan Desita disuruh pergi..
Neng Salsa teh sebenernya nggak niat misahin kalian.. dia cuma nggak mau sampe ayah kamu yang turun tangan..
Gua hanya bisa menggeleng, merasa nggak percaya dengan penjelasan Ibu Desita. Gua harus mendengarnya langsung dari Salsa. Dan gua butuh penjelasan itu sekarang.
Gua berdiri dan ingin bergegas kembali ke Jakarta. Saya pamit dulu deh bu...
Lho udah malem gini, mau balik ke Jakarta" Iya bu..
Ati-ati lho, jangan ngebut.. Iya bu, saya pulang ya.. nanti titip pesen aja ke Desita, besok saya balik kesini lagi deh.. Gua pamit ke Ibu Desita, sementara mata gua nggak lepas memandangi Desita yang (masih) terlelap. Sebelum pergi, gua mengambil ponsel Desita yang tergeletak dimeja, menghubungi nomor ponsel gua dengan ponselnya dan menyimpannya kedalam phonebook gua. Berat sekali sebenarnya gua meninggalkan Desita saat ini, saat dimana gua baru bertemu dengannya setelah terpisah cukup lama. Mungkin jika bisa mengesampingkan rasa penasaran, kesal dan marah yang bercampur menjadi satu, gua nggak bakal rela melepaskan momen ini, pun hanya bisa sekedar memandangi Desita yang tengah tertidur. Langkah gua terhenti saat hendak membuka pintu mobil dan berjalan kembali ke dalam rumah. Ibu Desita memandang heran, kemudian bertanya; Ada yang ketinggalan"
Iya bu.. separuh hati saya selalu tertinggal disini..
Gua menjawab sambil tersenyum, kemudian mengeluarkan ponsel dari dalam saku dan ..
ckrek!! Mengambil gambar wajah Desita yang tengah tertidur dengan kamera Ponsel. Ya Allah, kirain teh naon...
Ibu Desita bicara sambil tertawa dan menepuk pelan pundak gua, sementara gua kembali berjalan cepat menuju ke mobil.
--- Jam menunjukkan pukul satu dini hari saat gua tiba dirumah. Dengan mengabaikan rasa lelah dan lapar gua keluar dari mobil dan menghambur masuk kedalam rumah. Dari luar, gua memandang ke atas, ke arah kamar Salsa yang terlihat lampunya masih menyala, dengan cepat gua mendatangi kamarnya.
Sa.. sa.. buka... Gua berteriak sambil mengetuk pintu kamar Salsa. Apaan sih lo, bleh teriak-teriak..
Terdengar suara Salsa menjawab dari dalam kamar.
Buka buruan!! Kemarahan gua sudah hampir mencapai puncaknya saat Salsa membuka pintu, gua menghambur masuk kedalam.
Maksud lu apaan sih, sa.. pake nyuruh pergi Desita.. gua nggak abis pikir deh, kok bisa-bisanya lu, kakak gua sendiri malah yang bikin gua tersiksa selama ini..
... ..mikir nggak lu, sa.. Salsa nggak menjawab, dia hanya diam dan melangkah kearah meja rias yang terletak disudut ruangan. Dia mengambil ponselnya dan melemparkannya ke arah gua, setelah itu dia menuju ke atas kasur dan merebahkan diri diatasnya.
Baca tuh, SMS-SMS nya... Gua mulai membacanya.
Salsa bangun dari atas tempat tidur, dia mendorong gua keluar dari kamarnya dan menutup pintu. Nggak seberapa lama pintunya terbuka kembali, Salsa mengelurakan kepalanya; Kalo udah selesai baca, dan lo mau minta maaf ke gua.. jangan harap gua maafin sebelum lo beliin gua parfum Hanae Mori yang Butterfly.. Kemudian pintu tertutup lagi, kencang. Gua hanya mengabaikannya, sebelum mengikuti instruksi nya untuk membaca pesan-pesan yang ada gua mengecek phonebook-nya. Sepertinya dia menyediakan ponsel khusus yang dipergunakan diluar keperluan pribadinya, diponsel ini hanya terdapat sedikit sekali contact list, beberapa diantaranya gua kenali sebagai nomor Desita dan nomor.. Astrid. Dan kemudian gua mulai membaca pesan-pesan yang berada disana, dimuali dari pesan-pesan dari tiga tahun yang lalu. Dan akhirnya gua larut dalam kalimat-kalimat singkat yang terkadang membuat gua sedikit menahan nafas dan shock.
Jam menunjukkan pukul tiga pagi saat gua selesai membaca pesan-pesan diponsel Salsa. Gua membuka jendela kamar dan menyulut sebatang rokok sambil merenungi apa yang sudah dilakukan Salsa terhadap gua, begitu banyak yang sudah dia korbankan buat gua, adiknya yang jahanam ini. Dan betul kata Salsa, gua harus minta maaf kepadanya. Gua melemparkan puntung rokok melalui jendela dan bergegas menuju kamar Salsa. Sa.. sa..
Gua memanggil dan nggak ada jawaban, masih tidur.
Gua kembali kekamar dan memutuskan untuk meminta maaf kepada Salsa nanti pagi. --Gua terbangun saat sentuhan tangan lembut membelai pipi gua. Gua membuka mata dan melihat Ibu tengah duduk diatas kasur disisi gua. Bangun.. bleh, sarapan dulu..
Gua bangun dan duduk diatas kasur. Salsa mana bu"
Udah berangkat.. Hah.. Gua bangkit dari atas kasur dan segera menuju kekamar Salsa, kosong.
Gua bergegas kembali kekamar, mandi, berganti pakaian dan bersiap menyusul Salsa kekantornya.
Salsa tadi pesen, katanya parfumnya jangan lupa
Ibu berkata sambil menyiapkan sarapan untuk gua, kemudian mengambil tas jinjingnya, mengecup pelan kening gua dan pamit untuk berangkat bekerja.
Sementara gua hanya menggelengkan kepala sambil mengenakan sepatu kets kesayangan, kemudian sambil menggit roti isi buatan nyokap, gua bergegas menuju ke kantor Salsa.
Dimobil dalam perjalanan menuju kantor Salsa, gua mengeluarkan ponsel yang kini dengan background foto Desita yang tengah tertidur kemudian menekan tombol angka dua, speed dial untuk Desita.
Nada sambung terdengar beberapa kali sebelum suara Desita menyambut pagi gua yang mudahmudahan Indah.
Halo Des.. ini gua.. Kamu kok pulang nggak bilang-bilang sih Udah malem, lagian mau bangunin kamu nggak tega..
Ih kamu mah.. sekarang dimana" Masih di Jakarta..
Yaah kirain masih di bogor.. Ya nanti aku kesana.. Bener"
Iya.. Sekarang lagi ngapain" Lagi mau kekantornya Salsa..
Ngapain,.. eh kamu jangan marah-marah sama Kak Salsa lho sol..
Nggak kok, tenang aja.. Awas ya kalo sampe marah-marah.. Iya.. yaudah deh, gua tutup ya.. Iya ati-ati..jangan lupa sarapan.. Hehe iya babe..
Gua mengakhiri panggilan dengan senyum sumringah, kemudian mendari nama Salsa do phonebook dan menekan tombol panggil, gua menghela nafas sesaat sebelum menempelkan ponsel ke telinga.
Halo..Apaan" Sa, gua ke otw ke kantor lu nih.. Mau minta maaf"
Hehe Iya.. Bawa parfum nggak" Nggak..
Yaudah balik aja, kan gua udah bilang.. bawa parfum!!
Tut tut tut Salsa mengakhiri pembicaraan sepihak. Gua menekan tombol redial.
Apa lagi" Nama parfumnya apaan dah" Hanae Mori Butterfly!! Tut tut tut
Salsa mengakhiri pembicaraan lagi yang kedua kalinya. Gua melemparkan ponsel ke jok sebelah kemudian mengalihkan arah mobil menuju ke sebuah mall yang terletak didaerah kuningan. --Ternyata punya kakak seperti Salsa ada banyak untungnya juga, selain rela mengorbankan sesuatu demi adiknya dia ternyata juga memperlakukan Desita dengan baik. Sore itu setelah mencari Parfum Hanae Mori Butterfly yang ternyata harganya hampir satu juta dan mengantarkannya untuk Salsa, dia mengajak gua untuk makan. Gua yang traktir deh dia bilang begitu yang kemudian gua jawab; ya iyalah, lu udah dapet parfum sejuta . Sambil makan, Salsa menceritakan semua, semuanya.
Gua menghela nafas panjang saat Salsa selesai bercerita, sementara ponsel gua berdering, sebuah pesan masuk, dari Desita yang bertanya apakah gua jadi kebogor sore ini. Gua membalasnya singkat; Jadi, sebentar ya Siapa" Desita.."
Salsa bertanya, gua hanya mengangguk. Trus gimana nih sa, kalo bapak ternyata nggak terpengarus sama rencana-rencana lu" Ya lo pura-pura gila aja..
Ngaco.. Ato ngancem bunuh diri, kalo sampe nggak direstuin..
Tambah ngaco.. Ya terus gimana" Gua bertanya ke Salsa.
Ya lo pikir dong, gua kan udah capek tiga taon mikir buat lo doang..
Bantuin mikir dong.. Udah ah, pusing gue..
Salsa berdiri dan menagmbil tasnya, berniat pergi. Yah lu mau kemana"
Pulang!.. udah sono, samperin cewe lo, ntar ngambek lagi..
Gua hanya berdecak pelan, kemudian berdiri dan menyusul Salsa keluar dari restaurant menuju ke mobil.
--- Sore itu, gua hanya bisa terbawa dan larut dalam perasaan yang campur aduk tidak menentu. Bagaimana tidak, setelah tersiksa selama tiga tahun, dipisahkan dengan orang yang dicintai, kemudian tau kalau keluarga sendiri yang punya andil besar melakukannya dan bokap gua sendiri penyebabnya. Sejauh yang gua tau, pasti sangat sulit untuk meruntuhkan hati bokap. Sambil mengandarai mobil menembus malam ditengah Tol menuju ke Bogor, gua mulai berfikir keras untuk mencari cara bicara dengan bokap. Ponsel gua berdering, menari-nari di atas Dahboard mobil gua yang masih terlihat rusak berantakan. Desita menelpon.
Ya Halo Gua menjawab panggilan. Lagi dimana" Kok lama"
Lagi dijalan, iya sebentar lagi sampe.. Aku tunggu di kampus ya
Iya.. Ati-ati.. Gua mengakhiri panggilan dan kemudian menambah kecepatan. Nggak sabar ingin segera bertemu dengan Desita dan mencurahkan semua masalah, meringankan keraguan yang ada didalam sini, didalam hati.
Nggak sampai satu jam setelah Desita menelpon, gua sudah tiba di area parkir kampus tempat Desita berkuliah, gua tengah mengambil ponsel dan berniat menghubunginya saat sebuah ketukan di kaca jendela mobil mengagetkan gua. Desita berdiri disisi mobil sambil tersenyum, sepertinya nggak perlu lagi digambarkan betapa cantiknya perempuan mungil ini, apalagi ditambah dengan balutan kemeja putih bergaris, celana denim hitam dan beberapa buah buku yang dipeluknya membuat dia semakin terlihat aduhai dan pintar .
Gua membuka kaca dan memandangnya sekilas, kemudian berkata;
Lu kok cantik banget sih hari ini Des.. Hah" Berarti kemarin-kemarin aku nggak cantik" Cantik sih.. tapi.. hari init uh beda..
Gombal! Desita bicara sambil melangkah memutari mobil dan masuk melalui pintu penumpang bagian depan.
Mau makan asinan nggak" Desita bertanya sambil duduk dan memasang sabuk pengaman.
Asinan" Boleh Kemudian gua mengarahkan mobil mengikuti patunjuk arah yang diberikan Desita, kami memasuki sebuah jalan yang ramai, dimana dikanan kirinya banyak terdapat toko-toko, seperti pasar, Desita menunjuk sebuah jalan masuk tertutup papan metal (seng) berwarna hijau, gua mengarahkan mobil masuk kesana dan ternyata didalamnya ada beberapa mobil dan motor yang berjajar rapi, seorang petugas parkir sibuk mengarahkan mobil sambil semprat-semprit. Priitttt..
Dikit lagi om.. maju dikit.. yak.. yak.. balas.. balas.. op..op..
Kami turun dari mobil disambut dengan senyuman si petugas parkir. Desita meraih tangan gua dan menggandengnya keluar dari tanah kosong tertutup Seng itu, kami berjalan sedikit keluar kearah barat dan berhenti disebuah warung dengan gerobak dan bangku-bangku kayu berjajar dibawah tenda terpal berwarna biru.
Nggak sampai menunggu lama, semangkok besar asinan hadir dihadapan kami berdua, sambil menyantap makanan yang menurut gua aneh itu; namanya Asinan tapi rasanya Asem.
Gua terus memandangi Desita yang tengah asik menikmati asinan, entah kenapa saat memandangnya sepertinya semua masalah yang gua punya terasa seperti menguap hilang. Des.. besok libur kan"
Gua bertanya sambil tetap memandanginya. Libur.., kenapa"
Besok ikut ke Jakarta ya.. Hah, ngapain"
Kerumah gua, ketemu bokap.. Hah..
Desita terlihat kaget dan terkejut mendengar perkataan gua.
------- Bagian #40 Gua terus memandangi Desita yang tengah asik menikmati asinan, entah kenapa saat memandangnya sepertinya semua masalah yang gua punya terasa seperti menguap hilang. Des.. besok libur kan"
Gua bertanya sambil tetap memandanginya. Libur.., kenapa"
Besok ikut ke Jakarta ya.. Hah, ngapain"
Kerumah gua, ketemu bokap.. Hah..
Desita terlihat kaget dan terkejut mendengar perkataan gua.
Ikut kerumah gua, ketemu sama bokap.. Gua mengulang omongan.
Sol.. kamu kan udah tau kalau Bapak nggak setuju sama aku, sama hubungan kita.. trus kita kesana mau ngapain"
Ya kita coba aja dulu Des.. siapa tau bapak berubah pikiran..
Aku takut sol.. takut kalau harus terpisah lagi dari kamu, padahal baru aja ketemu sebentar, aku nggak bisa kalau harus jauh lagi dari kamu... Gua terdiam mendengar alasan yang dikatakan Desita. Memang sempat terbesit juga pikiran itu di pikiran gua, tapi gua juga takut jika harus terus hidup dalam bayang-bayang restu bokap. Desita meraih tangan gua, kemudian berkata; Sabar ya sol.. kata orang sabar itu buahnya manis
Yaudah deh, nanti aja ketemu sama bokap-nya.. Desita mengangguk sambil tersenyum. Gua membalas senyumnya sambil mengingat betapa sabarnya Desita menunggu gua selama tiga tahun. Gua yakin kalau pengalaman selama itu mengajarkan-nya banyak hal.
Sol.. Ya.. Kamu nggak bakalan balik ke Jogja lagi kan" Kenapa"
Ga papa..

Everytime Karya Alboni di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Desita menjawab datar, gua tau kalau dia menyembunyikan rasa cemas-nya. Cemas kalau gua bakalan bertemu lagi dengan Astrid jika kembali ke Jogja.
Tenang aja, gua gak bakal macem-macem kok.. Yee.. macem-macem juga nggak papa.. Desita menjawab sambil menjulurkan lidahnya, meledek gua.
Ah enggan rasanya gua untuk mengakhiri semua ini, mengakhiri kebersamaan yang sudah lama sekali nggak gua rasakan. Gua menggenggam erat tangannya, terasa semakin erat pula Desita membalas genggaman tangan gua. Kami saling pandang, hanyut dalam emosi rindu yang sudah lama terpendam.
Des.. Ya.. Desita.. Iyaah.. apaa.." Gua sayang banget sama elu.. Hehehe..
Kenapa cuma ketawa" Haha, itu kan pernyataan, jadi nggak membutuhkan jawaban..
Damn.. Dan malam itu kami larut dalam bahasan-bahasan masa lalu, dimana dulu kami saling ejek, saling membenci dan akhirnya mencinta. Benci untuk Mencinta.
Gua melirik kearah jam tangan, waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Sial, kenapa sih waktu terasa begitu cepat disaat saat seperti ini. Dan sepuluh menit berikutnya kami sudah berada didalam mobil menuju kerumah Desita. Besok kamu nggak usah kesini sol, takut kamu kecapean, bolak-balik jakarta-bogor..
Desita bicara sambil melepas sabuk pengaman dari jok.
Nggak apa-apa.. cape sedikit, kan obatnya elu.. Gombal..
... Terus kamu kapan mau balik ke Jogja" Belum tau nih..
Oh.. Desita hanya menjawab dengan sebuah Oh besar kemudian turun dari mobil. Gua memanggilnya pelan, kemudian menunjuk pipi kiri gua dengan telunjuk. Memberi isyarat agar Desita memberikan kecupan dipipi. Dia hanya tertawa nyaring kemudian mengepalkan tangan dan meninju pipi kiri gua.
Ati-ati, jangan ngebut.. kalo ngantuk istirahat dulu
Siap bos.. Desita menutup pintu mobil, sementara gua hanya duduk terdiam sambil mengelus pipi gua yang terkena tinjunya. Gua menunggu sampai Desita masuk kedalam rumah kemudian bergegas kembali ke Jakarta.
--- Waktu menunjukkan pukul satu dini hari saat gua tiba dirumah. Dengan langkah gontai kelelahan gua melangkahkan kaki menapaki anak tangga menuju ke kamar. Terdengar suara pintu berrdecit disusul suara langkan sandal teplek yang biasa digunakan Salsa. Dia muncul dari dalam kamar, sambil menempelkan telunjuk dbibir dia memanggil gua.
Apaan" Sini.. Gua capek banget sa.. kalo nggak pentingpenting banget.. besok aja deh, ngomongnya.. Salsa mengabaikan ucapan gua, meraih tangan dan menyeret gua kedalam kamar.
Lo nggak niat ngajak Desita kesini kan" Salsa bertanya, tampangnya terlihat serius. Tadinya sih pengen..
Et et.. jangan!! Iya emang nggak jadi kok..
Percuma dong semua rencana-rencana gua kalo ujung-ujungnya lo berlaku sporadis dengan bawa Desita kesini trus konfrontasi sama bokap.. ...
.. nanti kalo bokap nggak berubah pikiran, amsiong.. sia-sia semua rencana gua dan kalian tetep nggak bisa sama-sama, ngerti"
Gua mengangguk mendengarkan penjelasan Salsa. Dalam hati gua bersyukur rencana untuk membawa Desita bertemu bokap tadi batal terlaksana.
Terus harusnya gimana" Gua bertanya ke Salsa.
Ya nggak tau juga sih, tadinya sih gua berharap setelah lo gua pisahin sama Desita trus lo jadi stress gitu, bokap galau dan akhirnya menyetujui hubungan kalian.. tapi kayaknya bokap masih belum bergeming deh..
Yaah.. sia-sia.. sia sia.. sia sia...
Gua bicara seperti orang ngelantur sambil berjalan keluar meninggalkan Salsa yang masih berdiri didalam kamarnya.
Bleh.. bleh.. Udah besok terusin lagi, gua ngantuk abis.. Gua nggak menghiraukan panggilan Salsa dan tetap berjalan memunggunginya sambil melambaikan tangan. Kemudian masuk kekamar dan merebahkan diri diatas kasur.
Ah.. baru kali ini sepetinya tidur gua bakalan nyenyak.
--- Tepat seminggu setelah rencana gua mengajak Desita bertemu bokap yang urung terlaksana. Hari ini gua tengah bersiap untuk kembali ke Jogja, sudah cukup lama sepertinya gua meninggalkan kesibukan-kesibukan yang dulu pernah membuat pikiran gua teralihkan dari Desita. Tapi, kali ini sedikit berbeda, ada semangat lain yang memompa gua dengan bahan bakar cinta, ada semacam dorongan yang membuat gua seperti memiliki jiwa yang baru, sesuatu yang memaksa gua untuk memperbaiki apa yang telah gua rusak dan meneruskan apa yang telah gua mulai. Gua mengambil ponsel dan mulai mengetik SMS; Gw jalan skrng, Kiss
Send! Drrt..drrt.. Ponsel gua bergetar, sebuah pesan masuk, Dari Desita; Yup, tk care.. kiss n lope
Gua tersenyum membaca-nya, tanpa sadar kami hanyut dalam tingkah-polah remaja belasan tahun yang seperti baru mengenal cinta. Tapi, ah peduli setan. Gua mengenakan tas ransel dipunggung dan bergegas turun untuk kemudian menuju ke bandara.
Semakin jauh pesawat membawa gua, semakin besar rindu ini merekah. Ternyata benar apa yang banyak orang katakan tentang Cinta. Cinta itu tidak mengenal logika, tanpa aturan baku, jauh dari sistem dan anti terhadap pola tertentu. Cinta dapat menjungkir-balikan keadaan, cinta juga mampu merugah perilaku seseorang dan anehnya, cinta juga bisa membuat kalian melakukan apapun, apapun!
--- Gua turun dari taksi yang mengantar gua dari bandara menuju ke tempat dimana gua tinggal dulu. Gua berdiri memandang rumah kecil minimalis yang terlihat begitu rapi. Mursan si gembul yang memang bertugas menjaga rumah sekaligus menjadi asisten rumah tangga gua selama disini pasti benar-benar menjalankan tugasnya dengan baik. Bahkan rumput-rumput di pekarangan yang cuma sebesar kuburan pun terlihat rapi-jali, hampir tidak ada rumput liar atau daun kering yang berserakan. Gua membuka gerbang dan masuk kedalam, Mursan terlihat berjalan cepat menyambut gua.
Baru pulang mas" Dia bertanya dengan dialeg khas nya yang medok, sambil meletakkan sapu yang sejak tadi dibawabawa.
Menurut lu" Hehe iya mas, baru pulang..
San.. sepeda gua keluarin dong, gua mau ke workshop..
Gua menyuruh Mursan untuk mengeluarkan sepeda, ingin segera menuju ke workshop sambil merancang ulang rencana bisnis yang sempat terhenti.
Siap mas,.. Mursan kemudian ngeloyor pergi.
Beberapa saat kemudian gua sudah berganti baju dengan celana pendek dan kaos oblong, sementara dihalaman depan, Mursan tengah membersihkan sepeda BMX dengan kemoceng.
Dan beberapa menit kemudian gua sudah berada di workshop yang memang letaknya nggak begitu jauh dari rumah tempat gua tinggal. Tempat yang gua sebut workshop ini sebenarnya adalah sebuah rumah dengan tipe yang hampir sama dengan yang gua tempati. Bedanya disini hampir tidak ada furniture yang biasa terdapat dalam sebuah rumah, terkecuali sebuah kasur besar yang digunakan para pekerja gua untuk tidur dan sebuah meja bundar besar yang diatasnya terdapat dua unit PC berlayar besar.
Gua menyandarkan sepeda disisi luar pagar kemudian masuk kedalam, dihari-hari normal, pada jam segini para pekerja biasanya tengah bekerja menyablon kaos-kaos di carport yang disulap menjadi bengkel sablon sementara lainnya berada didalam, memasang hang-tag pricelist dan packing. Tapi, hari ini terlihat sepi, hanya terdengar sesekali suara tawa membahana dari dalam ruangan. Gua melangkah masuk dan kemudian memasang senyum sinis kepada para pekerja yang beberapa diantaranya tengah asik menyaksikan video porno dari PC yang berada disana. Seketika, mereka langsung tertegun memandang nanar ke arah gua dan sekedipan mata ruangan menjadi kosong, semua berhamburan mencari kesibukan. Gua hanya mengangkat bahu dan menghela nafas, memang bukan salah mereka sampai nggak memiliki sesuatu untuk dikerjakan, sampai saat ini gua nggak memiliki seorang asisten yang bisa gua serahkan tanggung jawab menjalankan bisnis clothingan yang terbilang baru ini. Dan, akhirnya disisa hari itu gua habiskan untuk memulai kembali semuanya, dari awal.
Sore harinya, pak Mardi datang ke workshop mengantar kaos pesanan gua.
Lho Astridnya kemana pak" Gua bertanya ke pak mardi. Ora gelem kon nganter.. Oh.. tapi sehat kan" Sehaat..
Sekarang ada orangnya dirumah" Ada..
Gua tersenyum kemudian setelah selesai mengurus pembayaran kepada pak Mardi, gua buru-buru mengambil sepeda dan kembali ke rumah.
Satu jam berikutnya gua sudah berada di beranda depan rumah Pak Mardi yang juga merupakan rumah Astrid, duduk disebuah bangku panjang ditemani secangkir kopi dan sepiring singkong rebus yang tadi disediakan Bu Mardi. Astrid muncul dari balik pintu, dia menatap gua lesu kemudian kembali masuk kedalam. Gua berdiri, buru-buru menyusulnya dan menggapai lengannya.
Lepas ah.. Astrid berusaha melepaskan tangan gua yang menggenggam lengannya.
Tunggu dulu dong, trid.. lu kenapa" Hah" Kenapa" Lu pikir aja sendiri..
Astrid berhasil melepaskan tangan gua dari lengannya. Tapi dia nggak lagi berusaha untuk menghindar, dia mundur beberapa langkah, bersandar pada dinding dan menggelosorkan punggungnya hingga terduduk dilantai. Gua hanya berdiri memandang gadis berambut panjang terurai, dengan celana denim pendek sepaha dan kaos putih kebesaran yang tengah duduk tertunduk dihadapan gua.
Trid.. sorry.. Nggak perlu, cin.. lagian emang gua-nya yang salah, kegatelan sama cowo orang..
Bukan, bukan gitu.. Entah apa yang salah, selama ini gua sudah sangant terlatih mengabaikan wanita-wanita yang berhamburan meronta-ronta setelah gua tolak cinta-nya. Tapi, kali ini berbeda. Ada perasaan seperti mencekat hati yang membuat gua merasa bersalah kepadanya.
Bukan lu yang salah trid.. bukan.. gua yang salah.. gua yang udah berani-beraninya mainin hati buat lu..
Gua duduk disebelahnya sambil berkata lirih. Iya dan gua nya yang bego.. bisa-bisanya jatuh hati sama lo, padahal udah berkali-kali diingetin sama mbak Salsa..
... Gua terdiam. Gua emang begoo... Astrid bicara sambil terisak, terlihat samar melalui helaian rambutnya yang menjuntai menutupi wajah, air matanya mulai mengalir. Sementara gua nggak bisa bebuat dan berkata apa-apa, gua seperti terjebak dalam sebuah situasi dimana gua nggak bisa menjanjikan apapun kepadanya. Kita tetep bisa jadi temen kok, trid..
Gua bicara, mencoba menghiburnya. Tapi, bukannya merasa terhibur, Astrid malah memandang gua tajam kemudian berkata; Buat gua nggak cukup sekedar temen!! . Kemudian dia berdiri dan berjalan masuk, terdengar suara langkah kaki menaiki tangga menuju ke lantai atas. Dan tinggalah gua terduduk sendiri meratapi betapa kompleksnya masalah yang tengah gua hadapi sekarang.
------- Bagian #41 Kita tetep bisa jadi temen kok, trid..
Gua bicara, mencoba menghiburnya. Tapi, bukannya merasa terhibur, Astrid malah memandang gua tajam kemudian berkata; Buat gua nggak cukup sekedar temen!! . Kemudian dia berdiri dan berjalan masuk, terdengar suara langkah kaki menaiki tangga menuju ke lantai atas. Dan tinggalah gua terduduk sendiri meratapi betapa kompleksnya masalah yang tengah gua hadapi sekarang.
Bu Mardi datang tergopoh-gopoh, masih mengenakan celemek melapisi pakaiannya, dia menatap gua yang masih terduduk bersandar pada dinding tembok.
Lho,.. kok linggih ning ngisor tho dek.. Bu Mardi bertanya sedikit penasaran. Iya nggak apa-apa bu..
Gua berdiri sambil mengibaskan celana dengan kedua tangan. Sementara Bu Mardi terlihat celingukan, sepertinya mencari Astrid.
Weh.. lha Astrid endi" Ene dhayoh kok malah ra dikancani..
Bu Mardi bicara sambil berjalan ke arah bibir tangga yang menuju ke atas, kemudian berteriak memanggil Astrid. Walaupun sudah cukup berumur, teriakan Bu Mardi terbilang cukup keras, mungkin beliau dulunya adalah vokalis band rock atau mungkin kernet angkutan umum. Nggak lama berselang, terdengar suara langkah kaki menuruni tangga dengan cepat, Astrid turun dan menghampir ibunya, kemudian mencium tangannya. Kali ini dia sudah berganti pakaian dengan kaos hitam bergambar burung hantu dibalut cardigan putih dan celana denim biru panjang selutut dipadu dengan sepatu kanvas flat converse berwarna hitam. Dia berjalan pelan melewati gua sambil setengah berbisik; Ayo.. . Kemudian menarik lengan gua.
Kalau seandainya gua punya kuasa untuk membanding-bandingkan ciptaan Tuhan, Desita memang nggak memiliki tubuh se-molek Astrid dan tentu saja Astrid juga nggak memiliki wajah dan pesona Desita. Pun begitu keduanya tetap sama-sama cantik dan menggemaskan. Tapi, itu hanyalah selintas bayangan dari gua yang mungkin mewakili para pria diluar sana, nggak ada niat sama sekali untuk mencoba membandingbandingkan keduanya.
Gua hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala diatas motor saat Astrid mulai memeluk pinggang gua erat, sambil menghela nafas gua menghentikan laju motor dan berusaha melepaskan pelukannya, bukan gua nggak suka, sama sekali bukan! Sungguh terlalu munafik dan na"f jika gua berani bilang nggak suka dipeluk oleh perempuan seperti Astrid, gua hanya berusaha untuk tetap dalam kondisi normal , gua enggan terperosok dalam apa yang namanya Basic Instinct -nya manusia, dimana kita, yang notabene buka wali, nabi atau rosul memiliki insting dasar yang isinya Ego, Seks dan Uang. Kalau salah satu , salah dua atau ketiga-tiganya tidak terpenuhi akan muncul yang keempat yaitu membunuh. Begitu pula jika memiliki ketiganya secara langsung makan akan muncul juga yang keempat yaitu membunuh. Nggak percaya, coba beli Koran kuning semacam Pos Kota, Lampu Merah atau berita-berita kriminal ditelevisi, mayoritas kasus pembunuhan motifnya adalah tiga insting manusia yang gua sebutkan tadi; Ego, Seks dan Uang.
Kemudian coba tengok ke atas, ke para elite; mereka memiliki ketiganya sekaligus; Ego, Seks dan uang lalu apa lagi yang mereka cari" Tentu saja insting ke empat; membunuh, walaupun caranya berbeda dengan membunuh secara harafiah tapi tetap saja punya makna yang relevan.
Dalam kasus gua ini tentu saja nggak sampai dengan insting yang ke empat; gua masih terlalu normal untuk itu. Tapi yang gua takutkan adalah terjebak dalam basic instinct manusia yang ke dua; Seks. Betapa kuatnya pertahanan manusia, apalagi manusia jahanam seperti gua yang tembok iman-nya cuma setebal kabut, bakalan runtuh saat dihadapkan dengan posisi seperti sekarang ini, Long Distance Relationship, jauh dari orang tua dan bersama dengan seorang perempuan cantik nun aduhai yang tergila-gila dengan gua. What can I do"
Kenapa sih" Astrid bertanya ke gua sambil pasang tampang yang sepertinya sengaja dimuram-durja-kan. Gapapa.. just lil bit much....mmmm. Gua menjawab sambil mengankat jari telunjuk dan jempol yang hampir menyatu. Mengisyaratkah sesuatu hal yang kecil melalui gerakan tangan. Yaealah.. biasa aja kali cin.. dulu-dulu juga gua sering meluk lo kalo naek motor, nggak masalah kan..
Sekarang beda trid.. Beda apanya" Lagian juga cuma pelukan doang, dimotor pula, lumrah lagi..
Buat elu mungkin lumrah, tapi buat gua.. emang lu mikirin gimana ntar kalo gua khilaf terus Gua berhenti berbicara, teringat akan wajah Desita yang samar namun sukses menjaga gua. Terus apa"
Astrid bertanya penasaran. Atau lebih tepatnya mungkin pura-pura penasaran.
Udah ah.. pokoknya lagi naik motor, lagi jalan kek lo jangan meluk gua kenceng-kenceng.. Gua akhirnya mengakhiri pembicaraan dan naik kembali ke atas sepeda motor.
Yeee.. sok pede banget.. Astrid membalas dengan sebuah cibiran kemudian menyusul naik ke atas jok belakang. Kali ini dia nggak memeluk, hanya menggenggam jaket parasit yang gua kenakan.
Nggak lama berselang hujan turun cukup deras, mengguyur kota Jogjakarta yang baru saja gua singgahi. Gua menepikan motor dan buru-buru menuju ke pelataran parkir sebuah ruko yang sedang bergegas tutup, disusul Astrid yang juga nggak kalah cepat berebut tempat berteduh bersama para pengendara motor lain yang bernasib sama. Sambil mengelap wajah yang basah terkena air huja, Astrid mencolek lengan gua kemudian menunjuk dengan dagu sebuah warung tenda yang menjual aneka macam soto. Gua memandang sekilas ke Astrid kemudian berpaling ke warung tenda tersebut dan mengangguk; Hayooo.. lari ya.. . Astrid balas mengangguk cepat kemudian menutupi kepala dengan tas-nya dia mulai berlari menuju ke warung tenda tersebut, gua menyusulnya dibelakang. Setelah memesan dua porsi soto lamongan lengkap dengan teh hangat tawar, gua duduk bersisian dengan Astrid yang sepertinya terlihat kedinginan. Gua melepas jaket dan menyerahkannya kepadanya, dia menggeleng berusaha menolak, sementara gua tetap memaksa kemudian melingkari jaket gua ketubuhnya. Gua memandang wajahnya yang Nampak bergetar kedinginan, teringat kejadian beberapa tahun yang lalu, saat yang hampir sama seperti ini, didepan sebuah ruko, saat itu hanya suara hujan yang menemani gua bersama Desita. Dan saat ini, Astrid berada di posisi yang sama dengan gua berada disisinya, memaksa dia mengenakan jaket yang gua tawarkan. Sesaat kemudian mata gua terasa perih, kepala bagian belakang terasa seperti tertusuk, gua mengernyitkan dahi sebentar kemudian rubuh, jatuh dipelukan Astrid. Dan.. yang gua lihat hanya gelap, perlahan-lahan kehilangan rasa pada indera-indera gua, hanya tersisa sedikit suara-suara rebut dan teriakan panik ditelinga sebelum akhirnya semua menjadi hitam, tenang dan sendu.
--- Gua tersadar saat sebuah tusukan jarum suntuk besar menembus kulit lengan bagian dalam. Saat membuka mata, gua disambut senyum seorang wanita muda dengan seragam biru muda lengkap dengan maskernya. Belum sempat gua mencari tau apa yang terjadi dan berada dimana gua saat ini, rasa sakit yang sama, rasa seperti tertusuktusuk pada bagian kepala belakang gua mulai menyerang, namun kali ini sedikit lebih ringan. Suster yang baru saja memasang infus di lengan gua berusaha menenangkan sambil merebahkan tubuh gua kemudian memasangkan oksigen ke bagian mulut dan hidung. Seketika gua seperti terbius dan rasa sakit yang gua rasakan perlahanlahan seperti menghilang bersamaan dengan kesadaran gua.
Saat bangun, Astrid sudah berada disebelah gua. Halooo.. hehehe.. bisa sakit juga lo cin.. Gua hanya tersenyum memandangnya, kemudian memandang sekeliling. Ruangan dimana saat ini gua berada jauh berbeda dengan ruangan dimana gua sempat tersadar tadi.
Dimana nih trid.." Gua bertanya ke Astrid sambil menaikkan posisi tubuh, hingga setengah duduk.
Dirumah sakit lah, emang lo nggak inget kalo lo pingsan"
Inget.. trus yang bawa gua kesini siapa" Gua.. Naik" Taksi..
Trus motor gua" Udah diambil sama Si Mursan..
Gua mengangguk kemudian mengambil ponsel yang berada diatas meja disebelah ranjang tempat gua berbaring.
Gua melihat layarnya, gelap. Gua mencoba menekan-nekan tombolnya, tidak ada yang terjadi. Ok Batrai nya habis. Gua mengulurkan tangan ke arah Astrid kemudian memberi isyrat agar dia meminjamkan ponselnya.
Mau nelpon siapa" Astrid bertanya sambil mengeluarkan ponsel dari saku celana-nya.
Desita.. Gua menjawab lirih. Oh.. kirain nelpon mbak salsa.. soalnya udah gua telpon tadi..
Hah lu nelpon Salsa" Gua bertanya sambil meraih ponsel yang disodorkan oleh Astrid.
Dia mau kesini katanya.. Oh..
Gua menjawab dengan sebuah oh kecil dan singkat kemudian menekan nomor Desita di ponsel Astrid.
Nada sambung terdengar beberapa kali, sampai kemudian terdengar suara Desita diujung sana. Halo..
Halo Des, ini gua.. Baru saja gua bicara, Desita langsung memberondong gua dengan banyak pertanyaan. Kemana aja sih.. nggak ngabarin" Tadi sampe jam berapa" Trus sekarang lagi dimana" Ini nomor siapa"
Nggak papa, iya ini mau ngabarin kalo udah sampe.. lu kok belum tidur.."
Mana bisa tidur, kamu ditelponin dari tadi nggak bisa-bisa, kamu nggak kenapa-kenapa kan" Nggak..
Gua menjawab, bohong. Gua nggak mau dia khawatir jika sampai tau gua berada dirumah sakit sekarang. Tapi, Astrid dengan cepat meraih ponsel ditangan gua dan bicara kepada Desita. Gua berusaha merebutnya kembali tapi terhalang oleh selang infus yang jarumnya tertancap dikulit lengan kanan.
Halo.. Desita ya.. ini gua Astrid. Solichin dirawat dirumah sakit.. oh iya iya.. belum tau diagnosanya apa.. oh oke..oke..
Astrid mengakhiri pembicaraan, tersenyum sebentar kemudian memasukkan ponselnya lagi kedalam saku celana. Dia melirik ke arah jam yang tergantung pada dinding ruang perawatan, jarumnya menunjukkan pukul dua dini hari, kemudian mengambil tasnya dan membungkuk dihadapan gua, wajahnya didekatkan dengan wajah gua.
Gua pulang dulu ya.. besok pagi pagi balik lagi... takut kurang tidur.. ntar kalo ada Desita gua kalah cantik lagi kalo kurang tidur.. hehehe.. Lah.. Desita mau kesini"
Gua bertanya ke Astrid yang mulai melangkah meninggalkan ruangan. Sambil tetap berjalan tanpa berpaling dia menjawab; Iya
------- Bagian #42 Pagi hari-nya, hari pertama gua berada diruang perawatan VIP sebuah rumah sakit swasta di Jogjakarta. Dimana sampai saat ini gua belum tau kenapa gua bisa berada disini dan ada apa gerangan dengan bagian belakang kepala gua. Baru saja gua hendak menekan bel yang berada di panel bagian atas ranjang untuk memanggil perawat, pintu kamar ruang perawatan terbuka, muncul sosok Salsa dan Ibu yang berjalan cepat menghampiri gua.
Kenapa kamu bleeh" Ibu memeluk gua kemudian bertanya.
Nggak tau nih, bu. Dokternya belum dateng, belum ada diagnosanya..
Baru saja gua selesai bicara, pintu ruangan diketuk kemudian masuk seorang pria tua berkacamata dengan jas putih disusul seorang wanita muda yang mengenakan seragam biru muda sambil menenteng sebuah papan jalan. Pria tua yang kemudian gua kenali sebagai Dokter tersebut mengucapkan salam kemudian mulai memeriksa gua. Selesai memeriksa, dia menurunkan senter mungilnya, memasukkannya kembali kedalam saku jas putih dan mulai mencatat.
Udah sering pusing sebelumnya" Dia bertanya ke gua.
Lumayan sering dok.. Kenapa nggak diperiksakan"
Saya pikir mah cuma pusing-pusing biasa.. Apapun itu, kalo intensitasnya sering, bisa jadi masalah, harus diperiksakan..
Dokter itu menjelaskan sambil tetap mencatat. Diagnosanya apa dok"
Salsa yang sejak tadi hanya berdiri sambil bersedekap membuka suara.
Kalo dugaan sementara saya sih, cuma vertigo aja... tapi tunggu hasil CT Scan-nya dulu baru bisa di diagnosa lebih lanjut..
Si dokter mendambahkan kemudian mengangguk sebentar dan pamit meninggalkan kami. Bapak nggak ikut, bu"
Gua bertanya ke Ibu. Nggak, lagi ke Singapore.. tadi sih udah ibu telpon.. dia titip salam katanya..
Yaelah, sama anak masa titip salam.. Kemudian kami bertiga larut dalam bercandaan ala keluarga syafriel yang sepertinya sudah sangat lama tidak terjadi. Obrolan-obrolan nyeleneh yang sesekali diselngi dengan tertawa sendiri tanpa sebab, aneh" Iya memang. Nggak lama berselang, obrolan kami bertiga terinterupsi dengan sebuah ketukan, pintu sedikit terbuka kemudian muncul sosok Desita yang seperti ragu untuk masuk kedalam, mungkin dia ingin memastikan terlebih dahulu kalau tidak ada bokap disana. Dengan cepat Salsa turun dari sofa yang terletak disudut ruangan, menjemput Desita, membawanya kehadapan Ibu untuk bersalaman kemudian digiringnya Desita kesebelah gua.
Kamu kenapa" Desita bertanya kaku, mungkin faktor kehadiran ibu yang membuatnya sedikit gugup. Seakan mengerti dengan situasi yang ada, Salsa kemudian mengajak ibu untuk keluar; Cari sarapan yuk bu.. , Ibu mengangguk dan mengikuti Salsa keluar.
Kamu kenapa sih sol"
Desita bertanya lagi, kali ini sudah hilang rasa gugupnya.
Nggak tau nih, katanya sih vertigo tapi hasil CT scannya belom keluar..
Gua menjawab sambil memandangi Desita sementara tangan kiri gua membelai pipinya yang lembut.
Coba kamu bangun deh, duduk.. Ngapain"
Udah bangun aja.. Gua bangun dari tidur dan duduk, menuruti permintaan Desita.
Trus" Buka baju kamu.. Hah mau ngapain sih" Udah buka cepetaaaann...
Desita bicara sambil merengek. Walaupun bingung dan penasaran gua tetap mengikuti apa maunya. Perlahan gua membuka kancing baju perawatan berwarna biru dengan kancing yang berada dibelakang, setelah terbuka Desita menyentuh punggung gua dan menariknya lembut.
Oh.. bener toh.. Desita manggut-manggut sambil memegangi dagunya.
Kenapa sih lu Des" Gua semakin penasaran.
Tadi di depan aku ketemu sama cewek yang namanya Astrid, trus ngobrol-ngobrol deh sebentar.. nggak taunya.. dia tuh tau banyak banget tentang kamu.. gokiiill.. bahkan sampe tato kamu aja dia tau..
Oh Astrid.. Gua hanya meng-oh-kan sambil berlagak santai. Dari kapan kamu punya tato"
Udah lama, dari lulus SMA..
Oooh, kok aku baru tau ya.. dan parahnya si Astrid bisa tau dan aku nggak..
... Emang kamu pernah buka-buka baju didepan dia" Atau sengaja pamer-pamer body gitu didepan cewek"
... Atau... aduh pikiran aku jadi kemana-mana deh sol, kalo kamu nggak buru-buru jelasin.. Ya gua mau jelasin, lu nyerocos aja dari tadi.. Gua bicara sambil mencibut pipi diwajahnya yang terlihat kesal.
Jadi, waktu itu kan gua lagi berenang, eh terus ketemu dia deh..
Gua menjelaskan, berbohong. Entah apa jadinya jika gua bilang pernah tidur dihotel satu kamar dengan Astrid waktu itu.
Oh.. nggak ada apa-apa kan" Nggak tenang aja..
Coba mana liat lagi.. Desita kembali membalik punggung gua. Iiih ada inisial aku...
Desita berkata sumringah.
Eh.. itu inisial nama aku bukan sih.." Dia bertanya, merujuk ke sebuah tato bertuliskan huruf D besar dipunggung atas gua.
Iya sayang.. Gua meraih kepalanya dan baru saja gua hendak mengecup keningnya saat pintu ruangan terbuka dan Astrid memasuki ruangan disusul Ibu dan salsa kemudian Seorang Dokter yang kali ini lebih muda dari sebelumnya sambil menenteng sebuah selabarang dalam amplop cokelat.
Si Dokter, mengambil posisi yang bersebrangan dengan Desita, dia menanyakan kabar yang gua jawab dengan senyumdan anggukan kepala. Desita hendak menyingkir, mungkin bermaksud memberikan ruang untuk Ibu tapi gua buru-buru meraih tangan dan menggenggamnya. Saat ini gua hanya ingin menggenggam tangannya. Ini Hasil CT Scan nya sudah keluar ya pak, dan sepertinya ada pembuluh darah yang menyempit ditambah vertigo, nggak terlalu mengkawatirkan kok...
Oh gitu dok, berarti sudah boleh langsung pulang"
Ibu bertanya ke dokter tersebut. Si Dokter tersenyum kemudian berpaling ke arah gua. Sebenernya sih sudah bisa langsung pulang. Bapak tinggal sama siapa" Sama orang tua atau sudah menikah, ini istrinya"
Dia menjelaskan kemudian bertanya sambil menunjuk ke arah Desita.
Saya tinggal sendiri dok, ini calon istri.. Gua menjawab sambil tersenyum.
Oh kalo gitu sih, lebih baik disini dulu satu atau dua hari.. nanti kalau pulang sekarang nggak ada yang merhatiin pola makannya..
Ada kok dok yang ngurusin..
Ibu menyela ucapan si Dokter. Gua berfikir kalau ibu bakalan tinggal sementara disini atau janganjangan gua yang diajak balik ke Jakarta. Des, kamu tinggal disini sebentar bisa kan" Temenin Ableh dulu"
Ibu kemudian bertanya sambil menatap Desita. Sebuah pertanyaan yang membuat seisi ruangan (kecuali si Dokter) terbengong-bengong dibuatnya. Suasana hening sebentar kemudian Desita menjawab.
Iya bu, bisa.. Mendengar hal itu, sontak gua nggak bisa menyembunyikan kegembiraan yang luar biasa. Gembira karena tau Desita bakal menemani gua, gembira karena paling tidak ini adalah sebuah sinyalemen positif dari Ibu. Yes! Sekarang gua tinggal berkonstrasi menemukan cara menaklukan bokap. Sementara ditengah wajahwajah penuh senyum yang berada di ruangan perawatan itu, sosok Astrid lah yang tersenyum paling lebar dengan tawa paling keras, gua tau, banyak yang disembunyikan dalam tawa dan senyumnya. Maaf Astrid.
------- Bagian #43 Cinta Gua pernah mengenal sebuah quote mengenai cinta, quote yang pada masa lalu menjadi pegangan dalam gua mengarungi cinta. Cinta yang gua maksud disini tentunya cinta sekedar suka, cinta yang bukan berasal dari hati, melainkan dari nafsu sesaat yang membawa manusia kebanyak persoalan rumit lainnya dan sangat tabu. Kira-kira begini bunyinya;
Ketika kamu berpaling kepada wanita lain dari wanita pasanganmu, maka tinggalkanlah pasanganmu. Karena, cinta sejati tidak akan mampu membuatmu berpaling
Banyak yang tidak setuju dengan quote tersebut. Tapi gua sangat setuju. Tentu saja, karena gua yang dulu adalah gua yang mampu berpindah kelain hati tanpa banyak pertimbangan, asal tidak sejalan dengan ego maka dia bukanlah pasangan gua.
Gua yang dulu sangat setuju dengan quote tersebut dan gua yang sekarang pun masih tetap setuju. Tapi, gua yang sekarang mampu memahami makna dari quote tersebut, bukan hanya penggalan kalimat pertamanya saja yang seakan-akan menjadi pembelaan untuk selingkuh. Gua yang sekarang hanya tau kalau Cinta sejati tidak akan mampu membuatmu berpaling . --Gua turun dari mobil yang membawa gua dari rumah sakit menuju ke rumah. Didepan rumah, disisi terluar pagar besi berwarna hitam, Mursan sudah menyambut gua dan rombongan yang terdiri dari Ibu, Salsa, Desita dan Astrid. Mursan tergopoh-gopoh mencoba memapah gua yang baru saja menginjakkan kaki turun dari mobil, gua menyingkirkan tangannya.
Emang lu kira gua lumpuh, mau dipapah.. Gua berjalan sendiri masuk kedalam.
Bleh.. nanti sore ibu sama Salsa pulang ya, kamu nggak apa-apa kan ibu tinggal"
Ibu duduk ditepi kasur tempat gua membaringkan tubuh. Dan gua hanya mengangkat alis sambil mengangguk.
Des, nanti kalo ada apa-apa, kamu telpon ibu atau Salsa ya.. punya nomornya kan"
Ibu kemudian berpaling ke Desita yang baru saja masuk kedalam kamar.
Iya bu.. punya kok.. Kamu ijin kerja dulu nggak apa-apa kan, Des" Ibu kembali bertanya ke Desita yang kemudian disusul anggukan kepala Desita.
Kerja sih bisa diatur.. asal jangan kelamaan, nanti kulaihnya nggak kelar-kelar..
Salsa masuk kedalam kamar dan ikut angkat bicara. Terlihat Ibu merespon perkataan Salsa dengan gestur heran diwajahnya.
Kamu kuliah Des" Ibu bertanya lagi ke Desita, gua hanya tersenyum mendengar pertanyaan-pertanyaan ibu ke Desita yang mirip seperti calon mertua sedang mengintrogasi calon menantu, ya memang, dan gua harap begitu.
Iya bu, dibogor.. Oh, ngambil apa" Ekonomi bu..
Waah, sama kayak Salsa dulu dong.. Oh kak Salsa dulu ngambil ekonomi juga" Desita mencoba mengkonfirmasi Salsa. Iya dulu gua mau ngambil komputer.. tapi.. Tapi kenapa"
Desita bertanya penasaran.
.. Tapi, takut ditangkep sama satpam.. Hehe iya kalo ngambil komputer kampus pasti ditangkep satpam..
Kemudian mereka bertiga tertawa bersama. Sekali lagi gua menyunggingkan senyum diwajah. Sambil berharap Bapak ada disini dan menyaksikan ini semua, menyaksikan betapa Ibu, Salsa dan Desita begitu serasi, bahkan suara tawa-nya pun terdengar seirama.
Mendadak ruangan menjadi hening ketika Astid mengetuk pintu kamar dan melangkah masuk kedalam.
Cin, gua pulang ya.. Astrid bicara sambil berdiri sudut ruangan dimuka pintu.
Hah, pulang" Nanti aja..
Gua mencoba bangun dan berusaha membuat Astrid menunda kepulangannya. Bukan, bukan karena gua ada apa-apa dengannya, gua hanya belum sempat berterima kasih atas semua yang telah dia lakukan, dan gua mau melakukannya secara eksklusif.
Iya, buru-buru mau kemana, dek.."
Ibu bertanya ke Astrid tanpa memalingkan wajahnya dari gua.
Nngg.. anu bu, ada urusan.. Nanti aja trid, nanti..
Gua bicara dengan suara dan tampang datar, mencoba terdengar serius. Dan ternyata berhasil, Astrid berpaling dan menunda kepulangannya. Sore hari, saat Ibu dan Salsa bersiap untuk pulang kembali ke Jakarta, gua hanya duduk didepan beranda rumah sambil menyaksikan empat orang perempuan cantik yang tengah saling berpamitan, lengkap dengan cipika-cipiki-nya. Ibu melambaikan tangan ke gua, kemudian mengecupkan tangan dan meniupkannya ke arah gua. Shock gua berpaling, gua merasa seperti anak kecil yang sedang ingin ditinggal kerja ibunya. Mobil yang membawa Salsa dan Ibu melaju kemudian hilang dibalik tikungan, sementara Desita dan Astrid masih melambaikan tangannya, entah melambai ke apa. Kemudian mereka masuk kedalam halaman, Desita duduk disebelah gua sementara Astrid masuk kedalam, mengambil tasnya kemudian kembali keluar.
Sekarang gua udah boleh balik" Astrid berdiri dihadapan gua dan Desita. Nanti aja trid..
Desita menjawab, mewakili gua.
Astrid menoleh ke arah Desita, memandangnya tajam kemudian berkata; Gua nggak nanya sama elo! . Desita terlihat kaget dengan jawaban Astrid kemudian berdiri dan masuk kedalam. Gua hanya menghela nafas, entah kenapa hati ini ikut terasa perih mendengar jawaban Astrid.
Kok ngomong gitu" ... Dianter mursan ya" Gua bicara sambil memanggil mursan yang tengah menyiram tanaman. Mursan kemudian bergegas menghampiri gua.
San, anterin Astrid nih sebentar..
Mursan mengangguk kemudian bersiap mengeluarkan sepeda motor.
Nggak.. nggak, gua bisa sendiri.. Astrid..
... Astrid nggak menggubris gua, dia berjalan menuju ke pagar.
Astrid!! Gua memanggilnya lagi, kali ini lebih keras. Astrid menghentikan langkahnya kemudian menoleh. Gua menghela nafas dan menghampirinya. Biar dianter mursan..
Nggak usah cin, gua bisa sendiri.. Nggak, gua maksa..
Kenapa sih lo bisanya cuma maksa orang, sedangkan maksa diri lo sendiri buat berpaling ke gua.. nggak bisa"
... ... Nggak bisa trid.. gua memang pernah merayu elu, gua memang pernah singgah dihati lu, tapi yang gua tau itu bukan cinta.. memang gua yang salah, gua akui.. dan gua mohon maaf... ...
...gua tau pasti semua ini bikin perasaan lu sakit, gua sadar kalo gua pasti bikin lu kecewa.. dan sekali lagi gua minta maaf...
Nggak perlu minta maaf cin..
Astrid bicara, kali ini suaranya terdengar lirih. Gua bahkan harus lebih dekat untuk mendengar apa yang dikatakannya.
Cinta emang seharusnya nggak dipaksakan.. dan gua sadar kalo gua tetep disini, tetep begini, gua bakal ganggu kalian.. gua udah cukup seneng kok bisa bantu lo..
Selesai bicara Astrid membalikkan badannya dan mulai melangkah pergi meninggalkan gua. Astrid..
Gua memanggil namanya lagi. Dia menoleh kemudian tersenyum.
Makasih ya atas semuanya...


Everytime Karya Alboni di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Astrid nggak menjawab, dia hanya mengangkat tangan-nya kemudian meneruskan langkahnya. Sementara gua hanya berdiri menatapnya pergi sambil memegangi bagian belakang kepala gua yang mulai terasa sakit lagi.
Kenapa" Sakit lagi..
Sebuah suara mengaggetkan gua, saat menoleh gua baru menyadari Desita tengah berdiri nggak begitu jaug dari tempat gua.
Dari kapan lu disitu"
Gua bertanya sambil tetap memegangi kepala gua. Desita meraih tangan dan menuntun gua masuk kedalam.
Dari tadi... Nguping" Nggak perlu nguping untuk tau apa isi pembicaraan kalian..
Maksudnya" I Dont know, aku cuma tau aja kalo kamu cinta mati sama aku.. dan nggak bakal berpaling.. Hahaha...
Gua tertawa, mendengar pernyataannya dan gua nggak bakal mencari tau alasannya. Cukup dengan kepercayaan Desita ke gua, dengan itu sepertinya gua mampu melalui banyak hal bersamanya. Benar apa kata quote yang dulu pernah gua dengar;
Karena, cinta sejati tidak akan mampu membuatmu berpaling
------- Bagian #44 Hari ketiga Desita menemani gua di Jogja dan mungkin ini jadi malam terakhir gua bisa bersamanya untuk saat ini. Awalnya gua bersikeras untuk memaksa Desita untuk tinggal lebih lama, tapi dengan alasan jadwal kulaih yang terganggu dan kasian ibu sendiri kelamaan akhirnya gua harus rela berpisah lagi dengannya. Malam ini, gua enggan terlelap, enggan memejamkan mata, enggan bertemu esok. Desita membelai rambut gua yang tengah berbaring dipangkuannya;
Aduh gua pusing lagi, butuh perawatan ekstra kayaknya nih..
Gua berkata sambil memijat-mijat kening. Desita menoyor pelan kepala gua.
Alesan.. bilang aja minta ditemenin lebih lama" Serius nih..
Aku telponin Astrid aja ya, biar gantiin aku.. mau"
Gua bangun dan menatapnya. Boleh juga sih..
Gua bicara sambil cengengesan. Najong.. buaya..
Desita balas menatap kemudian mendaratkan tamparan lembut dipipi kiri gua. Dia bangun dan duduk menghampiri mursan yang tengah asik dengan ponsel barunya diruang tamu. Gua menyusulnya dan duduk disebelah Desita. San.. nanti kalo dia ketemuan atau Astrid kesini kamu catet ya.. berapa kali.. trus lapor ke aku.. Desita bicara ke Mursan. Sementara yang diajak bicara hanya melongo tanda kurang paham. Mursan kan anak buah gua, Des.. dia cuma nurut sama gua lah..
Gua berdalih. Disusul tampang mursan yang mulai bersungut-sungut.
Asem e.. ra trimo aku mas, ne di podo ke karo asu..
Ye siapa yang nyamain lu sama asu *Asu =anjing
Lha kuwi, sing nurut karo majikane kan asu.. Mursan bicara masih sambil bersungut-sungut.
Udah san, pokoknya dengerin nih.. nanti kalo dia ketemuan atau Astrid kesini kamu catet ya.. berapa kali.. trus lapor ke aku.. paham" Desita mengulang omongannya tadi kali ini ditambah dengan isyarat, mursan pun mengangguk.
Kamu mau nurut sama aku apa sama mas Solichin"
Desita menambahkan. Sama mbak aja deh.. Bagus kalo begitu..
Desita menyunggingkan senyum kemenangan ke arah gua kemudian bergegas masuk kedalam kamar. Sementara gua hanya bisa mendengus kesal sambil berkata ke mursan; Berarti lu gajian minta sama dia ya san..
--- Pagi harinya, gua dibangunkan oleh aroma manis yang menggugah selera. Gua bangkit dari kasur dan menuju ke dapur. Diatas meja makan gua menatap nanar sebuah makanan berbentuk lonjong berwarna cokelat khas warna gua merah. Gemblong. Gua mengambil satu dan mulai memakannya. Desita muncul dari dalam kamar, sudah berpakaian rapi.
Bangun tidur masih ileran, belum cuci muka, belum sikat gigi.. udah makan
Desita berkata sambil geleng-geleng kepala. Ini bikin sendiri"
Gua bertanya. Iya.. Kok rasanya sedikit beda"
Itu pake ketan..biasanya aku bikin pake singkong, tapi kata mursan kalo disini orang bikinnya pake ketan.. enak"
Ah asal lu yang bikin enak kok, yummy.. enak banget, elu emang luar biasa deh..
Gua bicara sambil memperagakan gestur ala pembawa acara yang tengah mencicipi masakan direstaurant.
Itu yang bikin Mursan.. aku cuma belanja doang..
Desita tersenyum sambil duduk diseberang gua. Brengsek..
Hahaha.. nggak kok, aku yang buat.. mursan bantuin..
Fyuh.. Gua menghela nafas lega. Dan pagi itu sebelum mengantar Desita ke bandara, sebelum gua berpisah dengannya, kami menghabiskan waktu dengan bercanda berdua, seperti sejoli yang enggan terpisah oleh jarak, oleh status, oleh takdir.
Jam menunjukkan pukul satu suang saat gua melepas Desita yang pergi membelakangi gua menuju ke tempat check-in bandara. Beberapa langkah mendekati pintu, dia berbalik menyunggingkan senyum manisnya kemudian mengangkat jari telunjuk dan menggoyangkannya. Dia bicara, gua hanya mampu membaca gerak bibirnya yang berkata; Jangan Nakal . Gua balas tersenyum sambil mengangguk kemudian memandang Desita yang kini benar-benar menghilang dibalik pintu kaca. --Satu setengah tahun kemudian.
Satu tahun setengah yang gua jalani dengan berat, satu tahun setengah dimana gua hanya bisa mendengar suara Desita melalui telepon, satu tahun setengah lamanya gua terpisah oleh jarak, terpisah oleh takdir. Dan satu tahu setengah itu pula gua bersandiwara seolah-olah menjadi pria stress yang cintanya nggak disetujuin bokap, dengan bantuan Salsa dan ibu, gua harap sandiwara gua dimata bokap, berhasil.
Pedang Bayangan Panji Sakti 11 Pendekar Slebor 66 Tabir Pulau Hitam Rahasia Kaum Falasha 2

Cari Blog Ini