Ceritasilat Novel Online

Kemelut Tahta Naga 12

Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp Bagian 12


Besi yang amat keras harus diterapkan tanpa
pandang bulu ke pada segenap lapisan
masyarakat, dari Kaisar sampai rakyat jelata.
1338 Lalu Ni Keng Giau malah pamer bagaimana
pasukan Tiat-ki-kun, bawahannya, patut
dibanggakan sebagai pasukan yang paling tertib
di seluruh kekaisaran. Tengah Yong Ceng termenung sendirian,
seorang pelayan pribadinya telah berlutut di
hadapannya dan melapor. "Ampun Tuanku,
Kok-kiu-ong mohon menghadap Tuanku...."
"Suruh pergi tua bangka itu!" teriak Yong
Ceng. (Bersambung Jilid XXII ) 1339 1340 KEMELUT TAHTA NAGA Karya : STEFANUS S.P. Jilid XXII Begitu keras teriakannya, sehingga Liong Ke
Toh yang mohon menghadap itu mendengar
dari luar pintu, dan diam-diam memaki dalam
hati, "Keponakan tak kenal budi, kau sudah lupa
siapa yang dulu membantumu naik tahta?"
"Ampuni hamba, Tuanku. Kok-kiu-ong
berpesan bahwa dia datang membawa pikiranpik iran baru...."
"Pikiran baru apa" Paling-paling hanya
membuat pikiranku tambah pusing dan
akhirnya meledak!" teriak Yong Ceng pula.
Sebuah penindih kertas yang terbuat dari batu
giok disambarnya dari atas meja, lalu
dilemparkan ke dinding hingga berantakan.
1341 Si pelayan tak berani bercuit lagi, ia khawatir
kalau jidatnya bakal menjadi sasaran
berikutnya. Cepat-cepat dia menyembah
kemudian melangkah keluar.
Namun sebelum si pelayan melangkahi
ambang pintu, Yong Ceng tiba-tiba berubah
pikiran, "He, suruh dia masuk!"
"Baik, Tuanku...." kata si pelayan sambil
buru-buru keluar, tanpa menunggu perintah itu
diubah lagi. Di luar pintu, dijumpainya Liong Ke Toh yang
wajahnya masam, dan si pelayan berkata,
"Hong-siang mempersilahkan Ong-ya untuk
menghadap." Kata-katanya terputus ketika tangan Liong
Ke Toh tiba-tiba menampar pipinya sambil
membentak, "Aku sudah dengar !"
Nah, siapa bilang kaum pelayan tidak berani
menghadap Kaisar dengan muka masam. Maka
ketika ia melangkah masuk, wajahnya sudah
seperti bulan purnama tanggal limabelas.
"Hamba datang, Tuanku...." katanya sambil
berlutut. 1342 Yong Ceng lebih dulu duduk di kursinya,
wajahnyapun dibuat ramah untuk mengimbangi
wajah pamannya. Topeng-topeng harus mulai
dipasang. "Bangunlah paman, Kedatangan
paman benar-benar membuatku agak terhibur."
Sambil melirik remukan penindih kertas di
kaki dinding, Liong Ke Toh bertanya, "Mudahmudahan
kedatanganku benar-benar menggembirakan Tuanku."
"Tentu saja, paman. Penindih kertas itu
dijatuhkan oleh seorang pelayan yang terlalu
kasar ketika membersihkan mejaku."
"Sejauh itu terlemparnya, Tuanku?"
Yong Ceng merasa kurang perlumenjawab
pertanyaan itu, tanyanya, "Tentunya paman
punya keperluan menghadapku?"
"Tuanku, Pun-khong Hwe-shio dan Pun-seng
Hwe-shio dari Siau-lim-si datang lagi
berkunjung....." "Hem, pasti mereka membawa lagi tuntutan
yang itu-itu juga...."
"Benar, Tuanku. Mereka mohon bertemu
dengan Tuanku." 1343 "Paman, apakah paman tidak tahu bahwa
kepalaku hampir pecah memikirkan seribu satu
urusan" Buat apa kutambah urusanku dengan
menemui keledai-keledai gun.... eh, pamanpaman guruku itu" Paling-paling mereka hanya
akan menuntut janjiku yang dulu, mendesakdesak aku, mengajak berdebat, sampai muak
aku rasanya." Namun Yong Ceng heran ketika melihat
Liong Ke Toh malah tersenyum. "Hamba justru
menemukan akal setelah melihat kedatangan
mereka. Apakah Tuanku sependapat dengan
hamba, bahwa Siau-lim-pai adalah sebuah
kelompok persilatan yang kuat, yang bisa
digunakan untuk saling membinasakan dengan
Hwe-liong-pang?" Wajah Kaisar itu mendadak jadi cerah.
Sambil perlahan menepuk jidatnya sendiri, ia
berkata, "Ya, kenapa selama ini tak kupikirkan"
Kalau Hwe-liong pang dan Siau-lim-pai bisa
saling menghancurkan, bukankah kita akan
menghemat tenaga?" 1344 Melihat wajah Yong Ceng mulai cerah, Liong
Ke Toh ikut senang pula. "Tuanku, kalau Tuanku
berkenan, biarlah hamba yang berbicara dengan
pendeta-pendeta tua Siau-lim-si itu, nama
Tuanku?" "Baiklah, paman," sahut Yong Ceng yakin
akan kelihaian dan kehalusan pamannya ini
dalam bersilat lidah, sehingga lawan bicaranya
sering tidak sadar bahwa mereka sudah masuk
perangkap. "Terima kasih atas kepercayaan Tuanku
kepada hamba. Dan ada satu hal lagi pikiran
hamba... "Katakan, paman."
"Tuanku tidak perlu kecewa karena gagal
menuduh Pangeran In Te gara-gara lenyapnya
bukti dan saksi. Hamba sudah menemukan
sebuah akal. Punggung Yong Ceng bergerak meninggalkan
sandaran kursinya, urusan Pangeran In Te
inilah yang paling merisaukan pikirannya
selama ini. 1345 "Tuanku, bukankah di Jing-hai sedang ada
pemberontakan kaum Thai-cin-kau dan Hwekau" Nah, kirimkan Ni Keng Giau dan
pasukannya ke sana untuk menumpas
pemberontakan, beri dia Ceng-se Ciang-kun
(Panglima Penakluk wilayah barat). Angkatlah
Pangeran In Te sebagai pembantu Ni Keng Giau,
dengan dalih bahwa Pangeran In Te sudah
berpengalaman pernah berperang di Jing hai.
Kepada Ni Keng Giau, kita berikan pesan rahasia
agar Pangeran In Te diperlakukan seperti Pak
Kiong Liong dalam perang di Hek-liong-kang
dulu." Semakin berserilah wajah Yong Ceng,
sementara Liong Ke Toh berkata lagi, "Kalau
Pangeran In Te gugur di peperangan, tak
seorangpun bisa menyalahkan kita. Yang
penting, kelak kita sambut pulang jenazahnya
dengan upacara kehormatan yang megah,
anugerahkan gelar-gelar anumerta, umumkan
hari berkabung untuk seluruh wilayah
kekaisaran dan sebagainya. Tapi sepucuk duri
dalam daging akan hilang dari tubuh kita."
1346 "Tapi aku sedikit khawatir, paman
"Khawatir soal apa?"
"Ni Keng Giau sekarang makin besar kepala,
aku tidak mempercayainya lagi. Jangan-jangan
nanti dia malah bersekutu dengan Pangeran In
Te untuk berbalik menghantam aku?"
"Tuanku, Ni Keng Giau itu berlagak, tetapi
aku yakin dia masih bisa kita pergunakan,
setidak-tidaknya untuk kali ini saja. Hamba
yakin, hamba kenal betul wataknya."
Sesaat lamanya Yong Ceng masih ragu-ragu,
namun akhirnya dia mengangguk juga. Rasanya
tidak ada jalan lain, tidak ada salahnya cobacoba menyerempet bahaya.
"Kalau begitu, hamba mohon diri. Hamba
harus segera berbicara kepada pendeta-pendeta
Siauw-lim-si itu." "Katakan kepada kedua paman guruku itu,
bahwa aku sedang kurang enak badan dan
mewakilkan pembicaraan kepada paman."
"Hamba paham, Tuanku. Hamba pamit ."
"Silahkan, paman."
1347 Kemudian, dengan lihainya Liong Ke Toh
berbicara dengan Pun-khong Hwe-shio dan
Pun-seng Hwe-sio di tempat lain. la katakan,
pihak pemerintah harus memenuhi tuntutan
persamaan deiajat Bangsa Han itu dengan cara
tidak mendadak. pelahan-lahan, Dikemukakannya bahwa keadaan belum aman
betul, masih ada golongan-golongan yang
menggoncangkan pemerintahan, sebagai buktinya disebut tentang huru-hara Jit-goatpang dan Pek-lian-pai yang belum lama berlalu.
Hwe-liong-pang disebutnya pula sebagai sarang
pemberontak, karena berani melindungi Pak
Kiong Liong dan Pangeran In Tong, yang malah
dijadikan murid Ketua Hwe-liong-pang. Liong
Ke Toh juga meyakinkan kedua pendeta tua itu,
bahwa Kaisar benar-benar menghargai martabat Bangsa Han, buktinya ialah
diangkatnya Ni Keng Giau sebagai Panglima
Tertinggi. Tetapi untuk mengangkat martabat
Bangsa Han seperti yang diusulkan pendetapendeta Siau-lim-pai itu, kata Liong Ke Toh
1348 harus sabar, karena situasi politik masih
gampang tergoncang. Para pendeta itu akhirnya menganggukangguk percaya, dan menyatakan bisa
memaklumi. Bahkan, ketika Liong Ke Toh
membujuk agar pihak Siau lim-pai membujuk
pihak Hwe-liong-pang agar menghentikan sikap
menentangnya, Pun-khong dan Pun-seng Hweshin menyanggupi akan menyumbangkan
tenaga, agar ketenangan bisa segera tercapai
dan janji Kaisar Yong Ceng bisa segera dipenuhi.
Ketika malamnya Liong Ke Toh melaporkan
hasil pembicaraan itu kepada Yong Ceng, dia
dan Yong Ceng sama-sama puas.
Sedang Pun-khong Hwe-shio dan Pun seng
Hwe-shio hari itu juga pulang ke Siong-san.
Dengan hati gembira, karena mereka merasa
hampir membebaskan Bangsa Han dari
diskriminasi, tanpa sadar bahwa mereka
sebenarnya hanva diperalat oleh Yong Ceng.
Keesokan harinya, di hadapan sidang
kerajaan, Yong Ceng mengumumkan bahwa
pemberontakan di Jing-hai sudah , gawat. Untuk
1349 itu, Ni Keng Giau diangkat menjadi panglima
atas lima ratus ribu perajurit untuk
memadamkan pemberon takan. Dengan alasan
bahwa Ni Keng Giau belum pernah bertempur
di Jing-hai, dan harus didampingi seorang yang
sudah berpengalaman, maka ditunjuklah
Pangeran In Te untuk ikut berangkat ke Jing-hai
pula sebagai "penasehat perang".
Dengan wajah berseri, Ni Keng Giau berlutut
menerima perintah itu. Pangeran In Te juga
berlutut, namun dengan punggung yang dialiri
keringat dingin. la akan berada di tengahtengah sebuah pasukan besar yang hanya
tunduk kepada perintah Ni Keng Giau, padahal
Ni Keng Giau adalah orangnya Kaisar Yong
Ceng. Pangeran In Te merasa, ia bisa berangkat,
tapi entah bisa pulang atau tidak" Namun
perintah Kaisar tak bisa di tolak.
Selain perintah yang diumumkan secara
terbuka di hadapan sidang, Yong Ceng diamdiam juga memberi sepucuk surat rahasia
kepada Ni Keng Giau, yang kelak hanya boleh
1350 dibuka setelah sampai ke garis depan di Jinghai.
Kemudian Kim Seng Pa yang sudah lama
"tidak terpakai", kini ditugaskan lagi. Secara
diam-diam dan terpisah, Kim Seng Pa dan Toh
Jiat Hong diperintah ikut ke Jing-hai untuk
mengawasi gerak-gerik Ni Keng Giau dan kalau


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perlu boleh "mengambil tindakan semestinya".
Alangkah gembiranya Kim Seng Pa mendapat
kepercayaan itu, ia bersumpah akan menjalankan tugas sebaik baiknya, dan mulai
saat itu ia tidak minum arak lagi.
Tetapi dasar Yong Ceng, ia juga kurang
mempercayai Kim Seng Pa. Maka disuruhnya
lima orang murid Biau Beng Lama untuk ikut
pula ke Jing-hai, tugasnya.... mengawasi Kim
Seng Pa dan Toh Jiat Hong, dan dibekali pula
pesan "kalau perlu boleh mengambil tindakan
semestinya". Begitulah, Pangeran In Te diawasi Ni Keng
Giau, Ni Keng Giau diawasi Kim Seng Pa diawasi
murid-murid Biau Beng Lama, dan murid-murid
Biau Beng Lama di awasi entah siapa lagi.
1351 Semuanya, kecuali Pangeran In Te, mendapat
pesan "kalau perluboleh bertindak semestinya".
Setelah suatu hari diadakan upacara
Sembahyang Bendera (pai-ki) dan ti-an-ciang
(pembagian tugas untuk para panglima
bawahan) oleh Ni Keng Giau sendiri,
berangkatlah pasukan besar itu dengan
megahnya menuju Jing-hai.
Di bawah payung kuning keemasan, Yong
Ceng menyaksikan berangkatnya pasukan itu
dari atas tembok kota. Di sampingnya, adalah
Ibusuri Tek Hai yang ikut menyaksikan, sebab
anak kesayangannya, Pangeran In Te, berada
dalam barisan itu . "Mudah-mudahan kau selamat dan pulang
kembali dengan membawa kemenangan seperti
dulu, anakku....." Ibusuri Tek Huai berbisik
kepada angin. Namun sang angin membawa
bisikannya ke kuping Yong Ceng.
Yong Ceng menyeringai sambil berkata,
"Jangan berkecil hati, ibunda. Kalau Adinda In
Te gugur, pasti jenazahnya akan disambut
1352 dengan upacara kehormatan dan mendapat
gelar gelar." Kata-kata selanjutnya tidak terdengar lagi
oleh Ibusuri Tek Huai, sebab ia kemudian
terkulai pingsan. Para dayang-dayang pengiringnya jadi repot mengusungnya ke atas
joli. Tiau im-hong, salah satu dari dua 'belas
puncak pegunungan Bu-san yang membentengi
propinsi Se-cuan. Aula di markas Hwe-liong-pang dalam
keadaan, sunyi dan khidmat, biarpun beriburibu anggota Hwe-liong-pang berjubel-jubel di
dalamnya. Asap dupa dan kayu gaharu
melingkupi seluruh ruangan, sebuah altar besar
penuh sajian sembah yang akan digunakan di
ruangan itu. Di situ sedang dielenggarakan
upacara sembahyang untuk memperingati
arwah anggota-anggota Hwe-liong-pang yang
tewas. Semua kepala tertunduk, mengenang temanteman yang gugur, terutama Ji Han Lim yang
terbukti kepahlawanannya, biarpun tadinya
1353 disangka pengkhianat yang menakluk kepada
Yong Ceng. Pada saat yang sama, di kaki gunung nampak
dua orang pejalan kaki sedang mendaki ke atas.
Yang satu adalah Hui Hai Hwe shio si Lam-ki
Tong-cu (pemimpin regu bendera biru) yang
baru pulang dari perjalanan. Teman seperjalanannya adalah Thia Hou, utusan
Pangeran In Te yang membawa surat untuk
Ketua Hwe-liong-pang. Biarpun tubuh Hui-hai Hwe-shio gemuk
seperti gentong, tapi ia melangkah mendaki
lereng dengan langkah ringan saja, sedang Thia
Hou yang ramping malahan terengah-engah dan
mandi keringat. Diam-diam Thia Hou membatin.
"orang-orang Hwe-liong-pang memang hebat
hebat. Jagoan yang setingkat dengan si gendut
pemabuk ini entah berapa banyak nya di antara
mereka." Setelah dekat dengan bangunan markas
Hwe-liong-pang, hidung mereka mencium bau
asap dupa dan bakaran kayu wangi.
1354 Ketika itu, tokoh tokoh Hwe-liong pang satu
persatu maju ke depan untuk memberi hormat
dan menancapkan dupa-biting di depan papan
abu yang bertulis kan pama-nama mereka yang
tewas. Ketika tiba giliran Kiong Wan Peng yang kini
giginya ompong dan kupingnya tuli sebelah,
akibat hajaran di penjara Yong Ceng, mendapat
giliran menancapkan dupa di depan papan abu
bertuliskan nama Ji Han Lim, tiba-tiba ia
menangis. Maklum, ia bersahabat erat dengan Ji
Han Lim, namun ia pernah meludahi muka Ji
Han Lim di Taman Cun-hoa di Pak-khia. Kini ia
menyesali sikapnya , dan menyesali pula karena
tubuh Ji Han Lim tak bisa dibawa pulang karena
dihancurkan oleh Yong Ceng.
Tangisan itu segera "menular" kepada
banyak orann Hwe-liong-pang lainnya. Lalu
kesedihan berubah menjadi kemarahan,
sumpah-serapah mengutuk Yong Ceng mulai
terdengar, diselingi tekad untuk menumbangkan si Kaisar lalim.
1355 Ketika itu, masuklah Hui-hai Hwe-shio dan
Thia Hou, yang sempat ikut memberi hormat di
depan altar. Thia Hou tercengang ketika diperkenalkan
kepada tokoh-tokoh Hwe-lion-pang, ia mendapati Tok Koh Lu i sebagai Tong-cu dari
Hui-Liong-tong (Regu Naga Terbang), regu ke
sembilan dalam Hwe-liong-pang yang khusus
berlatih untuk pertempuran berkuda. Thia Hou
dan Tok Koh Lu i yang sama-sama bekas Jianhu-thio dalam pasukan Hui-liong-kun itu-pun
berpelukan. Lalu Thia Hou memberi hormat
secara perajurit kepada Pak Ki-ong Liong,
biarpun keduanya Sudah sama sama menjadi
"orang preman".
Tong Lam Hou sendiri menerima surat dari
Pangeran In Te, namun tidak langsung dibuka di
hadapan anak buahnya yang tengah marah itu.
Kemudian Thia Hou menanyakan apakah
ayahnya, Thia Kong-kong, sudah tiba di Tiauim-hong atau belum" Ketika dijawab bahwa
ayahnya belum tiba ia menjadi cemas. Dengan
seekor kuda pinjaman dari Hwe-liong-pang, ia
1356 langsung berangkat kembali ke Pak-khia untuk
mencari kabar tentang nasib ayahnya. Dua
orang anggauta Hui-liong-tong diperintahkan
Tong Lam Hou untuk menemani perjalanannya.
Malam harinya , barulah Tong Lam Hou
membaca surat Pangeran In Te itu. Di hadapan
Pak Kiong Liong dan tokoh-tokoh tinggi Hweliong-pang yang terbatas jumlahnya, dalam
sebuah ruang kecil tertutup.
Isi surat hanyalah peringatan Pangeran In Te
agai Hwe-liong-pang waspada, karena Kaisar
Yong Ceng sudah memutuskan untuk
menumpas Hwe-liong-pang. Di bagian akhir
suratnya, In Te menitipkan salam buat Pak
Kiong Liong, dan menyatakan minta maaf
karena dulu telah mengabaikan nasehatnasehat Pak Kiong Liong, dan akibatnya
sekarang Pangeran In Te harus menjadi
"burung dalam sangkar" di bangsal Leng-goatkiong.
Mendengar bagian akhir surat itu dibacakan,
Pak Kiong Liong menarik napas sambil berkata,
"Aku sudah lama memaafkannya."
1357 Sementara itu, Pangeran In Tong sudah
mengepalkan tinjunya dan berkata, "Kalau
Kakanda In Ceng ingin menumpas kita, kita
sambut tantangannya. Kita tidak boleh bersikap
lemah, bukankah begitu, Suhu?"
Beberapa Tong-cu segera bersuara mendukung pernyataan In Tong itu.
Tetapi Ketua Hwe-liong-pang tak terpengaruh oleh suasana kemarahan itu.
Sambil melipat surat dan memasukkan
kekantong bajunya, ia berkata datar, "Harus
dipikirkan masak-masak segala tindakan kita,
jangan menuruti kemarahan saja."
Perang terbuka memang tidak disukai Tong
Lam Hou. Di masa mudanya, ia adalah perajurit
yang sudah kenyang melihat kekejaman perang.
Karena itu, ia berkata, "Bukan kita yang
mengingini perang, namun kita juga berhak
membela diri. Karena itu, aku perintahkan
kepada semua anggota, bahwa kita hanya
bersikap untuk membela diri, namun kularang
keras siapapun untuk bertindak lancang diluar
1358 perintahku, apalagi menyerang lebih dulu.
Paham?" "Paham," sahut para Tong-cu agak kecewa.
"Sebarkan perintahku kepada setiap anggota!" Yang paling kecewa adalah In Tong.
Sebenarnya dia ingin keributan, supaya ada
peluang untuk mewujudkan ambisi pribadinya,
yang kelak hasilnya akan dinikmatinya sendiri
pula. Tetapi diapun tidak mau membantah
pesan ketuanya sekaligus gurunya itu.
Hanya Pak Kiong Liong yang diam-diam
setuju dan dapat memahami pendirian Ketua
Hwe-liong-pang, sahabatnya sejak masih muda
itu. Yang dimusuhi Tong Lam Hou bukan
Kerajaan Manchu, melainkan kelaliman Yong
Ceng pribadi, karena itulah Tong Lam Hou tetap
menghindari pertentangan terbuka dengan
pihak kerajaan, kecuali untuk mempertahankan
Hwe-liong-pang. Ibaratnya, Tong Lam Hou ingin
mencongkel sebuah batu bata yang rusak dari
sebuah tembok, tetapi jangan sampai merusak
temboknya. 1359 Hari hari berikutnya, biarpun perintah Tong
Lam Hou hanyalah "bersiap-siap bertahan tanpa
menyerang lebih dulu," tapi suasana di Tiau-imhong sudah mirip suasana perang. Di mananiana nampak anggota-anggota Hwe-liong-pang
berlatih silat dengan giatnya. Semuanya siap
menantikan terompet perang yang akan ditiup
dari pihak Yong Ceng. Tak terduga, tanda-tanda serangan pihak
kerajaan belum terlihat sama sekali, pihak Hweliong-pang malah sudah mendapatkan musuh
yang tadinya tidak diduga sama sekali. Siau-limpai. Perguruan terkenal yang menjadi sumber
nya pendekar-pendekar berbudi luhur, yang
selama ini tidak bermusuhan dengan Hweliong-pang.
Hari itu ditandai dengan datangnya dua
orang berpakaian hitam dan bersabuk biru,
tanda anggota Hwe-liong-pang dari regu
Bendera Biru, pimpinan Hui Hai Hwe-shio.
Wajah dan pakaian mereka penuh debu ketika
tiba di Tiau-im-hong, sedangkan sikap mereka
tegang dan tergesa-gesa. 1360 Tiba dihadapan Ketua Hwe-liong-pang,
keduanya melapor, "Pang-cu, belasan orang
anggota kita di kota Yu-pin telah dibunuh orang,
berikut semua sanak keluarga mereka. Jumlah
korban delapan puluh sembilan j iwa, termasuk
wanita, orang tua dan anak-anak."
Mendengar itu, betapapun sabarnya Tong
Lam Hou, ia menjadi marah juga. "Keparat! Tak
kusangka Yong Ceng demikian keji turun


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tandan, sampai wanita dan anak-anak pun
dibantai." Kedua anggota Hwe-liong-pang yang
melaporkan itu bertukar pandangan sejenak,
lalu salah seorang berkata., "Pang-cu, yang
membunuh teman-teman kami itu bukanlah
orang-orangnya Yong Ceng."
Keruan Tong Lam Hou tercengang. "Lalu
siapa?" "Para pendeta Siauw-lim-pai."
Kali ini Tong Lam Hou benar-benar kaget.
Sejak lama dia memang tahu bahwa pihak Siaulim-pai berselisih paham dengan Hwe-liongpang tentang ahli waris tahta. Namun hubungan
1361 selama ini tetap baik, sesepuh Siau-lim-pai, Pun
bu Hwe-shio, juga tetap menjadi sahabat baik
Tong Lam Hou. Tak terduga hari itu mendengar
kabar macam itu. Ketika berita pembunuhan di Yu-pin itu
terdengar anggaota-anggota Hwe liong-pang
lainnya, kemarahan segera menjalar seperti api
di onggokan jerami. Para Tong-cu berbondongbondong menghadap Tong Lam Hou, dipelopori
Pangeran In Tong, minta ijin untuk mengambil
tindakan balasan ke Siong-san.
"Siau-lim-pai memihak Kakanda Yong Ceng,
mentang-mentang Kakanda Yong Ceng adalah
murid Pun-bu Hwe-shio!" kata In Tong.
"Perbuatan mereka berarti menantang kita,
pantas kalau kita gempur!"
Namun Tong Lam Hou tidak menuruti usul
itu, tidak peduli para Tong-cu menggerutu
kecewa. Hari itu juga, ia menyuruh Hu Se Hiong,
Ko Seng Hwe-shio serta anaknya sendiri, Tong
Gin Yan, untuk menyelidiki ke kota Yun-pin
guna mengumpulkan bukti-bukti lebih meyakin
kan. la tidak mau gegabah mengambil sikap
1362 terhadap Siau-lim-pai yang merupakan perguruan terhormat. Namun sudah banyak anggota Hwe-liongpang yang tak, sabar lagi, apalagi karena mereka
dihasut oleh Pangeran In Tong, "Rupanya suhu
sudah pikun karena usia tua. Bukti sudah jelas,
masih mau mencari bukti yang bagaimana lagi"
Buang-buang waktu dan tenaga saja.
"Pang-cu terlalu berhati-hati. " sahut Hui Hai
Hwe-shio yang juga kurang puas. "Aku
khawatir, kalau kita terlalu hati-hati, nantinya
akan terlambat. bertindak . . .."
Demikianlah, sambil berperanan sebagai
seorang murid yanq berbakti terhadap Tong
Lam Hou, dan juga bersemangat membela Hweliong-pang. In Tong juga menyebarkan ketidakpuasan. di antara orang-orang Hwe-liong-pang
terhadap kepemimpinan Tong Lam Hou.
Tahap pertama rencana In Tong berhasil.
Anggota-anggota Hwe-liong-pang mulai banyak
yang berkasak-kusuk tentang "kelambanan
bertindak" Ketua mereka. lalu Tong Gin Yan
juga disebut-sebut "lebih cocok menjadi pertapa
1363 suci di puncak gunung dari pada seorang
pejuang Hwe-liong-pang".
Lalu tentang diri In Tong, mulai banyak yang
menganggap sebagai "calon pemimpin masa
depan" atau "pejuang gigih yang rendah hati
biarpun berdarah bangsawan" dan sanjungansanjungan lainnya .
In Tong puas, la yakin, lambat laun Hweliong-pang akan tergenggam olehnya, dan
dijadikan modal pertama untuk memupuk
kekuatan lebih lanjut, untuk kelak digunakan
merebut tahta. Tapi ia menjalankan rencananya
dengan hati-hati, tidak tergesa-gesa, setahap
demi setahap. "Kalau rencanaku berhasil, sepuluh tahun
lagi pun belum terlambat," pikirnya. "Menjadi
Kaisar pada usiali mapuluh tahun rasanya
tidaklah terlalu lambat."
Beberapa hari kemudian Tong Gin Yan, Hu Se
Hiong dan Ko Seng Hwe-shioi dalang dari Yupin untuk melaporkan penyelidikan mereka. Di
hadapan Ketua Hwe-liong-pang dan para Tongcu, Tong Gin Yan berkata, "Ayah, menurut
1364 beberapa saksi yang lolos dari pembantaian.
para pembunuh itu tidak berjubah pendeta
melainkan berpakaian hitam dan berkedok
muka. Tapi Kelihatan mereka berkepala gundul,
dan semuanya bersenjata toya yang dimainkan
dalam Hok-mo-tung-hoat (Silat Toya Penakluk
Iblis)." Tong Lam Hou mengerutkan alis, ia masih
ragu-ragu orang Siau-lim-pai melakukan
perbuatan terkutuk itu. Sekedar kepala gundul
dan permainan silat Hok-mo-lung-hoat rasanya
bukan bukti yang terlalu meyakinkan.
Sebaliknya buat Hek Ki Tong-cu (kepala regu
bendera hitam) Oh Kian Keng yang berjulukan
Song-bun-siau (Seruling Berkabung), hal itu
sudah sangat meyakinkan. Suaranya kalem
namun nyata menahan kemarahan, "Kepala
gundul dan memainkan Hok-mo-tung-hoat"
Tuduhan ini memberatkan Siau-lim-pai. Kita
harus segera bertindak, jangan sampai lebih
dulu dipereteli dengan licik oleh pihak Siau-limpai."
1365 Jai-k i Tong-cu (kepala regu bendera coklat)
Su-ma Hong yang berjulukan Hui-hek-miao
(Kucing Hitam Terbang) lalu menyambung
"Biasanya para sesepuh Siau-lim-pai bersikap
adil, namun dalam urusan-urusan yang tidak
menyangkut murid-murid mereka sendiri.
Kalau sudah menyangkut orang-orang sendiri,
mana bisa bersikap adil lagi" Mereka pasti
dendam, karena saudara Jin Han Lim berusaha
membunuh Yong Ceng, murid harapan mereka."
Ci-ki Tong-cu (kepala regu bendera ungu) Lu
Kan San yang bertubuh tinggi besar dan
berjuluk Hui-lo-sat (Raksasa Terbang) itupun
berseru kepada Oh Kian Keng, "Saudara Oh,
agaknya serulingmu harus dibunyikan lagi."
Memaag Oh-Kian Keng punya kebiasaan,
kalau hendak membunuh musuh dia lebih dulu
memperdengarkan "lagu pengantar arwah"
dengan serulingnya itu. Itulah asal mula
julukannya sebagai Song-bun-siau.
Sementara itu, Tong Lam Hou tidak
membiarkan anak buahnya menjadi kacau
karena mengemukakan pendapat sendiri1366
sendiri. la mengangkat tangannya, menyuruh
mereka diam, dan suasana menjadi sunyi
seketika. "Dengar perintahku, jangan bertindak
sembarangan sehingga menimbulkan banjir
darah dunia persilatan. Sadarilah bahwa Hweliong-pang punya banyak teman, begitu juga
Siau-lim-pai, kalau keduanya bentrok, akan
banyak korban yang menumpahkan darahnya
dengan sia-sia." "Jadi, kita biarkan orang-orang kita digoroki
lehernya begitu saja, suhu?" tanya In Tong
dengan berani, karena merasa akan mendapat
banyak dukungan dari para Tong-cu.
"Kita harus membalas!" kata Hui Hai Hweshio, didukung para Tong-cu la i nnya .
"Kita akan bertindak, tetapi persoalannya
harus.jelas lebih dulu!" suara Ketua Hwe-liongpang mehgatasi suara ribut. "Besok, aku sendiri
akan berangkat ke Siong-san untuk menemui
Pun bu Hwe-shio, minta agar dia menindak
murid-murid Siau-lim-pai yang melakukan
kekejaman di Yu-pin. Aku percaya, Siau-lim-pai
1367 sebagai perguruan tua yang masih memiliki
peraturan keras atas murid-muridnya yang
menyeleweng!" "Suhu, itu hanya membuang-buang waktu,"
bantah ln Tong. "Seperti kata saudara Su-ma
Hong tadi. Siau-lim-pai sulit diharapkan
bertindak adil, sebab Yong Ceng adalah
muridnya, mereka akan menutup mata apakah
kakanda Yong Ceng seorang jahat atau seorang
baik." "In Tong, buang waktu atau tidak, aku tetap
harus berbicara baik-baik lebih dulu dengan
Pun-bu Hwe-shio," sahut Tong Lam Hou tegas.
"Ini keputusananku. Bubarlah kalian."
Para Tong-cu dengan rasa kesal dalam hati .
"Kita harus bersabar sampai kapan?" gerutu
Lu Kan San setelah tiba di luar ruangan.
"Kita tunggu hasil pembicaraan Pang-cu
dengan Pun-bu Hwe-shio," kata Siang Koan
Long meredakan ketidak sabaran rekanrekannya. "Lagipula, musuh kita yang
sebenarnya adalah Yong Ceng, bukan Siau-limpai
1368 Tapi sekarang Yong Ceng dan Siu-lim-pai
adalah sama," Oh Kian Keng bersungut-sungut.
"Karena Siau-Iim-pai membabi buta membela
muridnya tanpa pandang benar atau salah.
Sungguh sayang keharuman nama Siau-lim-pai
selama ratusan tahun lebih dinodai oleh
angkatan yang sekarang."
Meskipun gerutuan dan ketidak sabaran
menjalar di mana-mana, tetapi orang-orang
Hwe-liong-pang tetap mematuhi pesan Ketua
mereka untuk tidak bertindak di luar perintah.
Keesokan harinya, semua Tong-cu berkumpul di
depan pintu gerbang untuk mengantarkan
keberangkatan Tong Lam Hou ke Siong-san,
yang akan ditemani Pak Kiong Liong. Dua ekor
kuda sudah disiapkan. Untuk menunjukkan diri sebagai murid yang
baik, In Tong memberi hormat kepada Tong
Lam Hou sambil berkata, "Selamat jalan, Suhu.
Mudah-mudahan perjalanan Suhu dan Paman
Pak Kiong membuahkan hasil yang baik."
Sesaat Pak Kiong Liong menatap tajam ke
arah In Tong. Bekas jenderal yang hampir
1369 seumur hidupnya di pusat kekuasaan itu tahu,
bahwa In Tong adalah sumber dari segala
gerutu dan ketidak-puasan yang.semakin
menghebat diantara anggota Hwe-liong-pang. In
Tong lah "mata air" dari "arus bawah tanah
yang tidak puas kepada Ketua Hwe-liong pang,
dan Pak Kiong Liong tahu apa tujuan In Tong
berbuat demikian. Pak Kiong Liong juga sadar, selama Tong
Lam Hou pergi, itu akan merupakan
kesempatan terbaik bagi In Tong untuk lebih
mempengaruhi anggota-anggota Hwe-liongpang agar semakin menentang Ketua mereka
sendiri. Namun Pak Kiong Liong takkan
membiarkan itu terjadi . Karena itu, Pak Kiong Liong tiba-tiba berkata
kepada Tong Lam Hou, "A-hou, sebagai seorang
tokoh persilatan terkenal, kau belum
mengumumkan bahwa kau telah menerima
seorang murid. Bagaimana kalau kali ini kita
ajak Pangeran In Tong ke Siong-an, untuk
diperkenalkan kepada tokoh-tokoh Siau-lim-pai
agar pergaulannya bertambah luas?"
1370 Keruan In Tong kaget mendengar itu, apakah
pamannya itu sudah dapat membaca isi
hatinya" Buru-buru ia menjawab dengan
tergagap-gagap, "Jangan paman, ilmuku masih
terlalu rendah untuk diperkenalkan dengan
tokoh-tokoh besar itu. Aku khawatir malah akan
merusak nama baik Suhu dan Hwe-liong-pang."
"Pangeran tidak usah berpikir sejauh itu,"
kata Pak Kiong Liong sambil tertawa. "Ikut
sajalah, Pangeran. Pangeran takkan mendapat
pengalaman berharga kalau terus mengeram di
Tiau-im-hong ini. Bukankah begitu, A-hou?"
Dengan ketajaman perasaannya, samarsamar Tong Lam Hou merasa bahwa Pak Kiong
Liong menyembunyikan maksud tertentu di
balik kata-katanya itu, tap i entah maksud apa.
"Benar, kau ikut kami, In Tong," akhirnya
Tong Lam Hou berkata kepada muridnya. Dan
kepada seorang anggota Hwe-liong-pang, ia
berkata, "Sediakan satu kuda lagi!"
In Tong jadi kebingungan mencari alasan
penolakan, la tidak mau kehilangan peluang
emas untuk memperkuat pengaruhnya sendiri
1371 dan melemahkan pengaruh Ketua Hwe-liongpang.Tengah dia kebingungan, seekor kuda lagi
sudah dituntun keluar oleh anggota Hwe-liong
pang tadi . Namun ia masih mencoba untuk mengelak
juga, "Kalau aku harus ikut, tentu Suhu dan
Paman Pak Kiong Liong akan menunggu lama
karena aku belum berkemas-kemas sama sekali.
Lebih baik aku tidak....."
Tapi Pak Kiong Liong terus menyudutkannya
tak kenal ampun, "Ah, berapa lamanya
mempersiapkan beberapa lembar pakaian"
Cepatlah Pangeran berkemas.."


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akhirnya sadarlah In Tong bahwa Pak Kiong
Liong sudah mencurigainya. Kalau terus
menolak, pasti pamannya itu akan semakin
curiga. Dalam hati dia mengutuk, tapi wajahnya
pura-pura gembira sambil berkata, "Kalau
begitu baiklah. Terima kasih untuk kesempatan
bagus ini. Harap suhu dan paman menunggu
sebentar, aku akan berkemas-kemas."
Orang-orang Hwe-liong-pang menjadi heran
melihat In Tong yang salah-tingkah itu.
1372 Mulutnya mengucapkan "terima kasih untuk
kesempatan bagus", namun mukanya kok
seperti pesakitan yang sedang digiring ke tiang
gantungan" Sementara Pak Kiong Liong pun mengeluh
dalam hatinya, "Tadinya aku kira dia sudah jera
dengan ambisinya yang berlebihan, setelah ia
mendekam dua tahun di penjaranya Yong Ceng.
Ternyata nafsunya untuk merebut tahta belum
juga padam. Aku harus memberinya peringatanperingatan halus, agar ia membuang jauh-jauh
pikiran sesatnya itu . Setelah In Tong keluar kembali dengan
bungkusan bekalnya, dan ketiganya naik di atas
kuda, tiba-tiba Pak Kiong Liong berkata lagi, "Ahou, tidakkah kau akan meninggalkan pesanpesan kepa da Yan-ji atau A-eng?"
Sahut Tong Lam Hou, "Kemarin malam sudah
kubicarakan. Yan-jin (anak Yan) akan
memimpin Hwe-liong-pang selama aku pergi.
Dalam mengambil keputusan-keputusan penting, ia harus berunding dengan para Hiangcu dan Tong cu."
1373 "Baiklah, akupun ingin berpesan kepadanya."
Lalu Pak Kiong Liong melambai kepada
menantunya itu untuk menyuruhnya mendekat.
Suara Pak Kiong Liong sengaja agak dikeraskan
supaya terdengar oleh In Tong, "Yan-ji, selama
memimpin Hwe-liong-pang, kau harus hati-hati.
Yang berbahaya bukanlah golok atau tombak
yang menyerang dari depan, tetapi....."
"Apakah itu Gak-hu (ayah mertua?"
Ketika itu In Tong sedang melirik ke arah
Pak Kiong Liong, dan Pak Kiong Liong juga
meliriknya, sambil berkata kepada Tong Gin
Yan, "Desas-desus dan bisikan menghasut yang
disebarkan secara pengecut, itulah yang lebih
berbahaya. Si penyebar hasutan itu ingin me
manfaatkan orang banyak bagi kepentingan
pribadinya. Paham?" Tong Gin Yan terkejut, paham maksudnya,
namun tidak tahu ditujukan kepada siapa
"sentilan" itu. Tapi ia menjawab juga, "Paham,
Gak-hu, aku akan berhat i-hati
Yang berkeringat dingin mendengar tanya
jawab itu tentu saja ln Tong sendiri, la sadar
1374 bahwa pamannya masih memberi "peringatan
halus" kepadanya, belum sampai "peringatan
kasar". Agaknya sang paman masih ingin
memberinya kesempatan untuk mengubah
pikirannya. Bukannya berubah pikiran, ln Tong diamdiam malah berkata dalam hati , "Awas, kau
setan tua. Tunggulah ajal-mu....."
Kemudian ketiga orang itupun berangkat
meninggalkan Tiau-im-hong .
Di lereng gunung, Tong Gin Yan menatap
kepergian ayahnya itu dengan firasat kurang
enak. Semacam perasaan bahwa ia takkan lagi
melihat ayahnya. "Ah, aku rupanya terlalu dipengaruhi
suasana tegang belakangan ini, aku terlalu
berpikir yang buruk-buruk ia mencoba
menghibur hatinya sendiri.
"Dengan latihannya yang tekun selama ini,
ayah boleh dianggap sulit ada tandingannya lagi
di dunia persilatan. Bahkan Gak-hu dan Kim
Seng Pa rasanya juga masih setingkat di
1375 bawahnya. Ayah takkan gampang dicelakai
orang.... Mati-matian Tong Gin Yan memerangi
perasaan itu. Namun, beratus-ratus kali ia
mengantar ayahnya bepergian, perasaan
macam itu belum pernah muncul di hatinya.
Sementara itu, di kejauhan, Tong Lam Hou
berkata kepada kedua teman seperjalanannya,
"Sebaiknya kita sekali lagi periksa ke kota Yu
pin. Mungkin ada jejak para pembunuh yang
terlewati tidak diperiksa oleh Yan-jin dan kedua
Hiang-cu * * * Pun-khong Hwe-shio, Pun-seng Hwe-shio,
serta lima pendeta angkatan di bawah mereka
yang namanya memakai huruf "Ci" juga
meninggalkan Siong-san untuk menuju Tiau-imhong. Mereka hendak memenuhi permintaan
Yong-ceng lewat Liong Ke Toh, agar pihak Siaulim-si segera membujuk Hwe-liong-pang agar
1376 segera "menghentikan pengacauan" supaya
Yong Ceng dapat segera "memenuhi janji
menghapuskan diskriminasi terhadap bangsa
Han ... Ketika Pun-khong Hwesio melangkah sampai
ke pinggang gunung, tiba-tiba diapun
digerakkan oleh perasaan aneh, dan tanpa sadar
ia menghentikan langkahnya untuk menengok
ke belakang. Dipandangnya wihara Siau-lim
yang megah itu, tenang dilingkari pohon-pohon
ce mara yang melambai-lambai .
Namun Pun-khong Hwe-shio dijalari
perasaan aneh, seakan itulah saat terakhir ia
bisa melihat kuil itu. Melihat sikap kakak seperguruannya yang
agak aneh, Pun-seng Hwe-shio yang bertubuh
tinggi besar dan berwajah hitam itu merasa
heran, lalu bertanya, "Kenapa, Suheng" Dari tadi
Suheng berkali-kali menengok ke belakang. Ada
kah sesuatu yang kelupaan dibawa, Suheng?"
Sahut Pun-khong Hwesio terus terang, "Aku
punya firasat, seakan-akan kepergianku kali ini
1377 takkan dapat lagi melihat kuil kita yang
tercinta..." Baik Pun-seng Hwesio maupun lima pendeta
lainnya terkesiap mendengarnya. Mereka tahu
betapa tajam pengamatan batin Pun-khong Hwe
sio, sehingga kalau sampai berkata demikian,
tentu getaran batinnya itu bukan sekedar
perasaan sambil lalu. "Suheng, benarkah itu?" tanya Pun seng
Hwesio dengan wajah berduka.
Pun-khong Hwesio tertawa melihat wajah
duka dari teman-teman seperjalanannya itu.
"Kenapa kalian bersikap seperti orang-orang
yang belum memahami agama saja" Masih
terbelenggu ikatan-ikatan duniawi" Kalau aku
segera dibebaskan dari dunia ini, seharusnya
kalian mengucapkan selamat kepadaku,."
Pun-seng Hwesio dan lima pendeta lainnya
bersama-sama merangkap tangan sambil
menggumamkan "Omitohud", tanpa diucapkan
pun mereka sama-sama menafsirkan bahwa
firasat Pun-khong Hwe shio itu cuma berarti
satu m a c a m , yaitu Pun khong Hwesio akan
1378 gugur atau meninggal wajar dalam perjalanan
itu. Begitu besar kecintaan pendeta-pendeta itu
terhadap kuil tempat mereka menuntut Ilmu
silat dan ilmu agama, sehingga ia hanya berani
membayangkan kehancuran jiwa-raga sendiri,
namun tidak berani membayangkan kehancuran Siau-lim-si. Itulah sebabnya mereka
hanya punya satu tafsiran atas firasat Punkhong Hwesio itu.
Begitulah, mereka melanjutkan perjalanan
ke Tiau-im-hong dengan berbekal perasaan
macam itu. Mereka membayangkan, di Tiau-imhong mereka takkan disambut dengan senyum
ramah, melainkan dengan ribuan ujung senjata,
dan barangkali saat itulah firasat Pun-khong
Hwesio akan menjadi kenyataan.
Perjalanan lancer dan pada hari yang
kesekian, mereka masuk kota Yu-pin.
Di pintu gerbang kota Yu-pin yang ramai,
rombongan Siau-lim-si itu berpapasan dengan
sekelompok orang berpakaian pendeta pula,
berkepala gundul dan memanggul toya. Namun
1379 anehnya, dikepala mereka tidak ada sembilan
titik bekas sulutan dupa, seperti para hwe-sio
umumnya. Ketika berpapasan dengan pendetapendeta Siau-lim-pai, orang-orang Itu memberi
hormat dengan gugup dan tergesa-gesa, lalu
bergegas keluar kota. Pun-khong Hwesio dan rombongannya tidak
terlalu menggubris orang-orang itu. Yang
penting ia harus segera sampai di Tiau-im-hong
untuk berunding dengan pihak Hwe-liong-pang.
Membujuk supaya mereka meninggalkan politik
menentang Kaisar. Di dalam kota Yu-pin, rombongan Pun-khong
Hwesio berhasil mendapatkan tempat bermalam di sebuah kuil milik Gobi-pai. Selain
seagama, orang-orang Gobi-pai juga sealiran
silat dengan orang-orang Siau-lim-pai, samasama berasal dari Tat-mo Cou-su. Karena itu,
Bu-teng Hwesio, pemimpin wihara itu, dengan
gembira menyambut tujuh tamunya dari Siaulim-pai itu.
Malam harinya, ketika Pun-khong Hweshio
berbincang-bincang berdua saja dengan Bu1380
teng Hweshio di ruangan belakang, Bu-teng
Hweshio berkata, "Susiok aku merasa agak
heran bahwa belakangan ini kota Yu-pin yang
kecil ini tiba-tiba banyak dikunjungi para
Suheng dari Siau-lim-pai ..."
Pun-khong Hweshio merasa heran. "Rasanya,
kami tidak memerintahkan rombongan lain,
hanya kami bertujuh inilah yang sedang
melakukan perjalanan ke Tiau-im-hong. Apakah
benar ada rombongan lain dari kuil kami?"
"Susiok, beberapa hari yang lalu di kota ini
muncul sekelompok pendeta yang mengaku
dari Siau-lim-si. Anehnya mereka tidak
berkunjung kemari, padahal mereka seharusnya
mengenal aku sebab selama ini Siau-lim-pai dan
Go-bi-pai bersahabat baik. Mereka malah meng
inap di Beng-an-lu, penginapan mewah di pusat
kota yang...yang ..."
Bu-teng Hweshio bimbang melanjutkan katakatanya,khawatir akan menyinggung saudarasaudara seagama dari Siau-lim-pai. Tapi Punkhong Hweshio mendesak, "Ada yang nampak
kurang beres" Katakan saja terus terang.
1381 Malam harinya, ketika Pun-khong hwe-shio
berbincang-bincang berdua saja dengan Bu-teng
Hwe-shio di ruangan belakang Bu-teng Hwe-shio
berkata, "Susiok, aku merasa agak heran bahwa
belakangan ini kota Yu-pin yang kecil ini tiba-tiba
banyak dikunjungi para suhong dari Siau-lim-pai
1382 Terpaksa Bu-teng hweshio melanjutkan
keterangnnya, "Aku mohon maaf kalau
keteranganku menyinggung pihak Siau lim-pai.
Penginapan Beng-an-lu terkenal dengan
perempuan-perempuan penghiburnya yang
cantik-cantik, kabarnya pandai melayani
lelaki..." Sengaja Bu-teng Hwe-shio memberi tekanan
pada kata-kata "kabarnya" itu, sebab kalau
tidak, ia khawatir ditanyai oleh Pun-khong
Hweshio, "Kenapa kau tahu" Apa pernah
kesana?" Sementara Bu-teng Hweshio berkata terus,
"...dan maaf sekali lagi, Susiok, Mereka
berkelakuan tidak seperti pendeta, makanmakanan hewani dengan lahap, menenggak
arak..." Alis Pun-khong Hweshio berkerut, la lalu
ingat sekelompok "pendeta" yang tadi
berpapasan dengan rombongannya di dekat
pintu gerbang kota. "Apakah di ubun ubun mereka tidak ada
sembilan bekas sulutan dupa?"
1383 "Bagaimana Su-siok sudah mengetahui nya?"
Secara ringkas Pun khong Hwe-shio
bercerita tentang rombongan yang ditemui tadi.
Sementara perasaannya mulai tidak enak, para
pendeta gadungan itu tentunya telah


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melakukan bukan sesuatu yang baik.
Sedangkan Bu-teng Hwe-shio tidak memberi
keterangan setengah-setengah, "Lalu malam
harinya terjadilah peristiwa hebat. Para pendeta
itu menyerbu markas cabang Hwe-liong-pang di
kota ini, dan menumpas delapan puluh
sembilan jiwa orang Hwe-liong-pang beserta
seluruh anggota keluarga mereka...
Kali ini Pun-khong hweshio bukan cuma
mengerutkan alis, melainkan tubuhnya sampai
bergetar karena goncangan perasaannya. Itu
bukan soal ringan, bisa membuka permusuhah
terbuka dengan pihak Hwe-liong-pang, yang
kemungkinan besar akan dimanfaatkan oleh
pihak ketiga yang akan mengail diair yang
keruh. 1384 "Atas peristiwa itu, apakah ada tindakan dari
markas pusat Hwe-liong-pang di Tiau-imhong?"
"Mereka mengirim tiga orang penyelidik,
salah satu diantaranya malahan putera Tong
Pang-cu sendiri. Rupanya pihak Hwe-liong-pang
tidak mau gegabah ambil tindakan. Tapi patut
disayangkan"." "Bagaimana ?" "Para penyelidik Hwe-liong-pang itu agaknya
juga berkesimpulan bahwa pihak Siau-lim-pai
patut dicurigai. Sampai hari ini memang belum
ada tindakan lain lagi. Tapi entah bagaimana
sikap ketua Hwe-liong-pang kalau mendengar
laporan mereka?" "ini pasti didalangi pihak ketiga, yang tidak
ingin melihat terwujudnya perdamaian", geram
Pun-khong Hwe-shio. Dalam keadaan marah
seperti itu ia tidak Nampak seperti seorang
pendeta, melainkan sekedar seorang lelaki tua
berkepala gundul dan berjubah abu-abu. "Ini
pasti ulang orang-orang Pangeran In Te yang
khawatir kalau sampai Hwe-liong-pang 1385 terbujuk untuk berdamai dengan pemerintah
kerajaan. Pihak Pangeran In Te khawatir
kehilangan pendukung yang kuat."
Sampai detik itupun Pun-khong Hwe-shio
tetap tidak berprasangka sedikitpun kepada
Yong Ceng, sebaliknya malah menimpakan
kesalahan kepundak Pangeran In Te. Tidak
mungkin Yong Ceng, pikirnya. Bukankah malah
Yong Ceng yang menyuruhnya ke Tiau-im-hong
karena katanya "rindu perdamaian?" Dalam
anggapan Pun-khong Hweshio, alangkah
mulianya hati Yong Ceng, dan alangkah busuk
nya hati Pangeran In Te yang terus berusaha
mendongkel-dongkel kedudukan kakandanya.
Selelah mendengar penjelasan Bu-teng
Hwesio, malam itu juga dibangunkannya Punseng Hweshio untuk merundingkan hal itu.
Memang gawat kalau p rundingan sampai gagal
karena pihak Hwe-liong-pang mencurigai Siaulim-pai. Akhirnya diputuskan, Pun-khong
Hweshio dan lima pendeta muda angkatan Ci
akan tetap ke Tiau-im-hong, sedangkan Punseng Hweshio sendirian akan mencoba
1386 mengejar "begundal-begundal In Te" tadi untuk
ditangkap dan dibawa ke Tiau-im-hong sebagai
bukti bahwa Siau-lim-pai tidak bersalah.
Biarpun seorang pendeta, Pun-seng Hwesio
berwatak tidak sabaran. Maka malam itu juga
dia keluar dari kota Yu-pin mengejar orangorang yang seolah menyamar sebagai pendetapendeta Siau-lim-si untuk membunuhi orangorang Hwe-liong-pang.
Malam sudah larut. Kuil pimpinan Bu-teng
Hwe-shio itupun sudah sama sunyinya dengan
bagian-bagian kota yang lain. Di kamarnya, Punkhong Hwe-shio tengah duduk bersila untuk
menenangkan pikirannya yang bergolak.
Belum lagi ketenangan diperolehnya,
kupingnya yang tajam tiba-tiba menangkap
suara kaki yang amat ringan di atas genteng.
Itulah tanda bahwa yang datang bukanlah tokoh
sembarangan. Ketika Pendeta tua itu
mempertajam lagi pendengarannya, terdengar
pula suara kibaran baju dari orang-orang yang
melompati tembok, masuk ke dalam kuil.
1387 Pun-khong Hweshio mengurai duduknya dan
membatin, "Hem, kalau bukan begundalbegundal Pangeran In Te yang licik, pastilah
orang-orang Hwe-liong-Pang yang salah
paham..." Ketika itulah pintu kamarnya di ketuk
perlahan dari luar, dan suara lirih Bu-teng Hweshio memanggil-manggil , "Susiok...Susiok ..."
Pun-khong Hweshio turun dari pembaringan
dan membukakan pintu. Dilihat nya Bu-teng
Hweshio dengan wajah tegang sudah membawa
pedang yang masih dalam sarungnya.
"Susiok, ada tamu-tamu tidak diundang . . ."
"Aku sudah mendengar langkah mereka di
atas genteng. Aku menyesal bahwa kedatangan
kami kemari telah melibatkanmu dalam urusan
ini..." "Jangan berkata demikian, Susiok. Siau-limpai. Go-bi-pai berasai dari satu sumber, boleh
dikata saudara seperguruan. Kita wajib bahu
membahu dalam semua persoalan..,"
Sementara itu, pintu di kamar sebelah juga
telah terbuka. Lima orang pendeta Siau-lim-si
1388 huruf Ci telah keluar semua dengan membawa
toya masing-masing . Pun-khong Hweshio lalu berpesan kepada
mereka, "Barangkali yang datang ini hanyalah
orang-orang Hwe-liong-pang yang salah paham.
Kita akan temui mereka dan coba menjelaskannya, mudah-mudahan mereka
dapat mengerti. Kalau terpaksa bertempur
hanyalah kalau mempertahankan diri. Mengerti?" "Mengerti, Susiok," sahut Ci-sian Hweshio,
yang usianya paling tua dari lima pendeta
angkatan Ci itu. Sementara itu, dari luar ruangan itu
terdengar teriakan, "He, para keledai gundul
dari Siau-lim-si! Keluarlah untuk mempertanggung jawabkan kekejaman kalian
atas saudara-saudara kami!"
Sebutan "keledai gundul" itu amat kurang
ajar. Pun-khong Hweshio adalah sesepuh yang
amat dihormati, bukan di-lingkungan Siau-limpai saja, tapi juga di dunia persilatan. Ketua
Hwe-liong-pang sendiripun takkan berani
1389 memanggil "keledai gundul" terhadap Punkhong Hweshio, betapapun marahnya.
Namun Pun-khong Hwe-shio sendiri cukup
tenang, "Kendalikan kemarahan kalian. Wajar
kalau mereka marah, karena teman-teman
mereka terbunuh..." "Tapi itu bukan perbuatan kita.."
"Itulah yang harus kita jelaskan kepada
mereka. Kalau begitu bertemu kita langsung
mengangkat senjata, bagaimana kita bisa
menjelaskan" Ayo kita temui mereka ..."
Diiringi Bu teng Hwesio dan lima pendeta
angkatan Ci , Pun-khong Hweshio melangkah ke
arah teriakan di halaman belakang tadi.
Ternyata orang-orang berseragam HweIiong-pang yang datang ke kuil itu cukup
banyak. Hanya saja, diantara mereka tidak
kelihatan Ketua Hwe-Iiong-pang atau anak dan
menantunya. Pun-khong Hweshio memberi hormat lebih
dulu dengan telapak tangan dirangkap di depan
dada, "Saudara-saudara, rupanya kalian sudah
termakan adu domba oleh pihak ke tiga yang
1390 tidak mau melihat Siau-lim-pai dan Hwe-liong
pang hidup rukun. Saudara-saudara kami
persilahkan mengendalikan emosi, marilah kita
duduk di dalam untuk berbicara sebagai
sahabat-sahabat lama..."
Seorang Hwe-liong-pang yang bertubuh
tinggi besar dan membawa tombak panjang,
menjawab, "Tidak perlu penjelasan apapun,
keledai gundul. Delapan puluh sembilan teman
kami sudah menjadi korban kebiadaban kalian,
dan kalian masih hendak mengingkari
tanggung-jawab" Aku Ci -ki Tong-cu Lu Kan San
yang bergelar Hui-io-sat, malam ini bersumpah
untuk menggelindingkan kepala-kepala kalian!"
Mendengar pihaknya berulangkali dimaki
"keledai gundul", diam-diam Pun khong
Hweshio merasa orang-orang Hwe-liong-pang
ini agak keterlaluan juga. Namun sebisa-bisanya
ia masih menyabarkan diri, "Kalau kami benarbenar terbukti bersalah, kami bersedia
dihukum. Tapi biarkan aku lebih dulu bicara
dengan Ketua kalian untuk menjernihkan
persoalan..." 1391 Lu Kan San menghantamkan tangkai
tombaknya ke tanah, sehingga ubin retak dan
debu mengepul. "Kau pasti hanya hendak
merayu Pangcu agar mendapat belas
kasihannya" Tidak bisa! Teman-teman, kita
bereskan pendeta-pendeta munafik ini demi
kejayaan Hwe-liong-pang kita!"
Orang-orang itu segera menghunus senjata
masing-masing, dan tanpa banyak bicara lagi
langsung menyerbu kepada para pendeta Siaulim-pai, termasuk Bu-teng Hweshio yang
mereka kira dari Siau-lim-pai juga...
Lu Kan'San sendiri langsung menusukkan
tombaknya ke arah leher Pun-khong Hweshio
dengan gerakan Jiau-hu-mi-loh (tukang kayu
menanyakan jalan). Ternyata ia dengan
beraninya telah memilih Pun-khong Hwe-shio
sebagai lawan dalam pertarungan satu lawan
satu. Pun-khong Hweshio bukan orang sombong
yang menganggap ilmunya sendiri terlalu tinggi,
dan memandang rendah ilmu orang lain. Tapi ia
heran juga melihat keberanian orang itu.
1392 Pikirnya, "Apakah Tong Lam Hou tidak
pernah'menceritakan kepada anak buahnya
tentang siapa saja tokoh-tokoh Siau-lim-si?"
Tetapi serangan tombak itu mengejutkannya.
Cepat, kuat, tepat dan mengandung gerak tipu
lanjutan yang berbahaya. Pun-khong Hweshio
mengerahkan tenaga dalamnya untuk mengibas
leher tombak, biarpun lengan bajunya hanya
barang ringan, ia yakin dengan tenaga dalamnya
akan bisa membuat tombak itu terpental ke
samping. Tak terduga, arah tombak hanya berubah
sedikit, malah lengan baju Pun-khong Hweshio
terkoyak sedikit. Bahkan tombak itu kemudian
diputar untuk ditusukkan lagi kepinggang
dengan kekuatan dan kecepatan yang sama.
"Hebat!" pikir Pun-khong Hweshio. "Aku
tidak boleh memandang terlalu remeh kepada
orang ini!" Dengan gerak Kong-jiok-kai peng (merak
membuka sayap), telapak tangan Pun-khong
Hweshio membabat ke tangkai tombak, tangan
lainnya dengan tipu Kim liong-tam-jiau (naga
1393 Lu Kan San sendiri langsung menusukkan
tombaknya ke arah leher Pun-khong hwe-shio dengan
gerakan Jiau-hu-mi-loh (Tukang Kayu
Menanyakan Jalan). 1394 emas mengulur kuku) untuk mencengkeram ke
urat nadi di lengan lawannya sambil sedikit
mendoyongkan badan ke depan.
Tangkas sekali Lu Kan San mundur berputar,
sehingga semua gerak Pun-khong Hweshio
menemui tempat kosong. Sambil membelakangi
lawannya, Lu Kan san menyapukan tangkai
tombaknya dari bawah ketiak ke sepasang
dengkul Pun-khong Hweshio. Itulah jurus
Liong-leng hong-bu (naga melingkar, burung
hong menari), jurus ilmu tombak tingkat tinggi.
"Luar biasa!" desis Pun-khong Hweshio
sambil melompat mundur karena dengkulnya
hampir menjadi korban. "Kalau seorang Tongcu
Hwe-liong-pang sehebat ini, dan semua Tongcu
lainnya juga setingkat ilmunya dengannya,
Hwe-liong-pang patut disebut Pang terkuat di
dunia persilatan !" Keseimbangan pertempuran itu memang


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengherankan orang-orang di pihak Siau-Iimpai. Mungkinkah seorang Tongcu Hwe-liongpang saja bisa bertanding hampir seimbang
dengan Pun-khong Hweshio yang ilmunya
1395 nomor dua di Siau-lim-pai" Sulit diterima, tapi
kenyataannya demikian. Barulah ketika Pun-khong Hweshio bersilat
sungguh-sungguh dengan Lo-han kun-hoat, Lu
Kan San tampak terdesak. Namun masih tetap
nampak kelihatan ilmu tombaknya.
Bayangan tangan Pun-khong Hweshio
memenuhi gelanggang, debu dan daun kering di
halaman wihara itu sampai terangkat naik oleh
desir angin pukulannya yang hebat. Sedang Lu
Kan San dengan gigih memutar tombaknya
seperti baling-baling dihembus prahara, ujung
tombak dan pangkal tombak sama berbahayanya, bahkan kakinya sering menendang juga. Namun ia semakin terdesak
juga. Seorang Hwe-liong-pang lainnya, mencabut
seruling besi yang terselip di pinggangnya, lalu
melompat mendekati Lu Kan San sambil
berseru, "Saudara Lu kita hadapi bersama
keledai gundul ini !"
Mendengar orang itu memanggil Lu Kan San
dengan "saudara Lu", panggilan sederajat,
1396 setidaknya ia seorang Tong-cu juga, dan
kepandaiannya mungkin setingkat pula dengan
Lu Kan San. Tetapi Ci-sian Hwe-shio, keponakan
murid Pun-khong Hwe-shio, takkan membiarkan paman gurunya dikeroyok, maka
Ci-sian Hwe-shio nekad menghadang dengan
toya-nya. Toya itu dengan jurus Oh-liong-boan-jiu
(Naga Hitam Melilit Pohon) menyerampang ke
pinggang orang bersenjata seruling itu. Karena
Ci-sian Hwe-shio yakin bahwa lawannya tentu
selihai Lu Kan San, maka sekali bergerak ia
tidak tanggung-tanggung mengerahkan seluruh
kekuatannya, sehingga toya itu seolah
menghembuskan badai. Ci-sian Hwe-shio
mengira lawannya adalah Oh Ki an Keng, Tongcu Hwe-liong-pang yang dijuluki Seruling
Berkabung. Oh Kian Keng menangkiskan serulingnya,
dan terjadilah hal yang mengejutkan .
Mengejutkan bukan karena lihainya orang
berseruling itu, melainkan justru karena
lemahnya. Serulingnya terpental tinggi ke
1397 udara, sedang tubuhnya terhuyung dengan
muka pucat. Ketika Ci-sian Hwe-shio
tambahkan lagi sebuah tendangan, si seruling
besi itu langsung pingsan tidak bangun lagi.
Hanya butuh dua gebrakan untuk menjatuhkan
Orang itu, padahal tadinya Ci-sian Hwe-shio
sudah mengira dirinya akan bertempur lama
dan berat. Kemenangan yang terlalu cepat itu malah
membuat Ci sian Hwe-shio terlongong-longong
heran. Kenapa kepandaian para Tong-cu Hweliong-pang begitu tidak merata" Ada Lu Kan San
yang sanggup memaksa Pun-khong Hwe-shio
memeras keringat, ada juga si orang berseruling yang roboh dalam dua gebrakan oleh Cisian Hwe-shio yang kepandaiannya jelas jauh di
bawah paman gurunya. "Apakah orang semacam Ketua Hwe-liongpang bisa keliru memilih orang untuk dijadikan
Tong-cu?" pikirnya tak habis heran.
Sementara itu, seorang Hwe-liong-pang
bersenjata Tiat-koai (tongkat melengkung dan
tajam) telah membantu Lu Kan-San menghadapi
1398 desakan Pun khong Hweshio. Kabarnya tidak
satupun Tongcu Hwe-liong-pang bersenjata
macam itu, jadi dapat disimpulkan bahwa orang
itu cuma anggota biasa. Tak terduga si "anggota
biasa" ini malah bertempur lebih hebat dari
orang berseruling tadi, dan bersama-sama Lu
Kan San dia berhasil mendesak Pun-khong
Hweshio. Kekacauan tingkat ilmu dipihak lawan,
membuat pihak Siau-lim-pai kebingungan
menentukan lawan. Yang dikira Tongcu
ternyata kepandaiannya malah rendah, yang
disangka anggota biasa malah berkelahi dengan
gesit sekali. Bingung atau tidak bingung, pertempuran
berjalan terus. Pihak Siau-lim-pai harus siap
menghadapi lawan siapapun yang masuk ke
arena. Melihat Pun-khong Hweshio terdesak, Buteng Hweshio bermaksud membantu. Sambil
menghunus pedangnya, dia melangkah ke
gelanggang dan bermaksud "mengambil" lawan
Pun-khong Hwe-shio yang bersenjata Tiat-koai.
1399 Selain pedangnya, sarung pedang Bu-teng
Hweshio juga merupakan senjata tersendiri,
sebab terbuat dari besi tebal yang bisa
digunakan sebagai tongkat.
Tapi dua orang Hwe-liong-pang segera
menghadang Bu-teng Hwe-shio, keduanya
bersenjata masing-masing sepasang, sehingga
Bu-teng Hwe-shio harus menghadapi empat
senjata. Yang satu bersenjata Siang-hap-to,
golok yang pendek dan tipis namun lebar, mirip
go lok para penjual daging babi. Yang satu
bersenjata sepasang Tiat-pi, trisula bergagang
pendek, yang senantiasa berusaha digunakan
untuk menjepit serta memuntir pedang Bu-teng
Hwe-shio. Bu-teng Hwe-shio segera meladeni mereka
dengan memainkan Tat-mo-kiam-hoat gaya
Gobi-pai. Kalau Tat-mo-kiam-hoat Siau-lim-pai
bergaya kuat dan mantap, maka gaya Gobi-pai
lincah dan cepat. Namanya sama, gayanya
berbeda. 1400 Sekeliling tubuh Bu-teng Hwe-shio segera
penuh cahaya pedang yang berkilat-kilat,
bergerak meliuk-liuk bagaikan ular.
Sementara itu, lima pendeta angkatan Ci dari
Siau-lim-pai juga sudah bertempur menghadapi
orang Hwe-liong-pang yang berjumlah lebih
banyak. Secara keseluruhan, dapatlah dikatakan
bahwa para pendeta menemui kesulitan meng
hadapi lawan lawan mereka. Tidak terkecuali
Pun-khong Hwe-shio yang paling lihai.
Ci-sian Hwe-shio melihat, kalau empat
saudara seperguruannya bertempur terpisahpisah, mereka terancam semua. Karena itu, tibatiba ia berteriak, "Ngo-heng-tin (barisan lima
unsur) !" Keempat saudara seperguruannya segera
berlompatan saling mendekat, lalu terbentuklah
Ngo-heng-tin yang bergeraknya berdasarkan
sifat-sifat air, api, kayu, logam dan tanah.
Dengan ler bentuknya Ngo-heng-tin, gempuran
orang Hwe-liong-pang dapat dibendung secara
kerjasama, namun para pendeta sendiri-pun
tidak gampang untuk menjebol kepungan .
1401 Namun orang orang Hwe-liong-pang terus
mengepung. Salah seorang dari mereka
berolok-olok, "Kalian punya Ngo-heng-tin, kami
punya Kan-loh-tin (barisan menggiring keledai)!" Maka di tengah gemerincing senjata itu
terdengar pula orang-orang Hwe-liong-pang
tertawa riuh rendah. Sementara para pendeta
menjadi merah padam wajahnya.
Sementara itu Pun-khong Hwe-shio masih
kurang percaya bahwa dirinya didesak mundur
terus oleh keroyokan seorang Tong-cu dan
seorang anggota biasa Hwe-liong-pang. Kalau ia
dikeroyok dua orang Hiang-cu dan terdesak, itu
masih masuk akal, tapi kini"
(Bersambung Jilid XXIII) 1402 1403 KEMELUT TAHTA NAGA Karya : STEFANUS S.P. Jilid XXIII Namun percaya atau tidak, ini harus
dialaminya. Waktu kedua lawannya menyerang serempak, Pun-khong Hwe-shio tak sepenuh
nya berhasil menyelamatkan diri dengan Huihun-ki - lo(Mega terbang Naik Turun). Betisnya
terkait Tiat-koai sehingga berdarah, namun ia
juga berhasil menendang orang itu sampai
terpental mundur. Tetapi ujung tombak Lu Kan
San menyusul mengenai pundaknya, meski pun
yang diincar oleh musuh sebenarnya adalah
leher. "Inikah makna firasatku ketika hendak
meninggalkan Siong-san dulu?" pikir Pun-khong
Hwe-shio. 1404 Sementara Lu Kan San tak kenal ampun telah
menusuk pula, kali ini ia baik-baik mengincar
sasarannya dengan cermat. Sambil menyerang,
ia membentak pula, "Hari ini kau mampus di
tangan Ci-ki Tong-cu, keledai tua!"
Tapi sesosok tubuh melayang dari atas
genteng dngan kecepatan kilat, menyelamatkan
Pun-khong Hwe-shio. Satu tangannya menebas
ketangkai tombak sehingga patah, dan tangan
lainnya mendorong Lu Kan-san sampai
mencelat mundur. "He-he..... sejak kapan Hap To menjadi Ci-ki
Tong-cu?" ejek bayangan, yang menolong Punkhong Hwe-shio itu.
Lu kan San dengan terkejut membentak,
"Kau sia......"
Kalimatnya tertelan kembali ke dalam
tenggorokan, sebab ia segera mengenali orang
itu. "Kau... kau., adalah."
Ternyata dia cuma Lu Kan San gadungan. la
sebenarnya adalah Hap To, si komandan Hiat-ticu, yang mengemban tugas dari Yong Ceng
untuk mengadu domba Siau-lim-pai dan
1405 Hweliong-pang, se suai dengan usul Liong Ke
Toh. Sedang orang bersenjata Tiat-koai itu
bernama Tam Tai Liong, seorang Mongol, wakil
komandan Hiat-ti-cu. Dengan gabungan antara
dua orang itu, apalagi cuma Pun-khong Hweshio, bahkan Pun-bu Hwe-shio atau Ketua Hweliong-pang juga tak bisa mengalahkan mereka.
Hap To gentar kepada penolong Pun khong
Hwe-shio itu, sebab ia mengenal pendatang
baru itu adalah Pak Kiong Liong, jenderal tua
yang sudah lama menghilang dari Pak-khia.
Sebaliknya Tam Tai Liong yang merupakan
orang baru di Pak-khia itu belum kenal siapa
Pak Kiong L i ong . Berbekal sikap macam itu. Tam Tai Liong
bangkit lagi, lalu menerkam dengan Ya-longtiau-kan (Serigala Liar Melompati Parit), ujung
Tiat-koainya yang tajam langsung hendak
"membedah" perut Pak Kipng Liong.
"Tam Tai Liong, dialah Pak Kiong Liong!"
seru Hap To memperingatkan.
1406 Namun Tam Tai Liong malah menambah
tenaganya. Pikirnya, kalau Kim Seng Pa
kabarnya bisa mengalahkan Pak Kiong Liong,
kenapa dia tidak bisa" Siapa tahu kalau Kaisar
mendengar berita kemenangannya, kedudukannya akan ditukar dengan Hap To"
Hanya saja, kali ini ia terlalu gegabah
menghitung kekuatan lawannya. Pak Kiong
Liong dengan tangkas memiringkan tubuhnya,
dua tangannya bergerak sekaligus, tangan kiri
mencengkeram lengan, tangan kanan mencengkeram pinggul. Lalu ia memutar tubuh
sambil melemparkan Tam Tai Liong lewat
belakang pundaknya. Maka terlemparlah Tam


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tai Liong tidak tanggung-tanggung, melayang
sampai jatuh di atas genteng, lalu merosot turun
dalam keadaan babak belur.
Dalam urusan banting-membanting, Tam Tai
Liong sebenarnya mahir juga gulat Mongol ,
namun kali ini ia harus rela mencicipi gulat gaya
Manchu yang di sebut Sut-kau. Sebetulnya Tam
Tai Liong berilmu tidak lemah, kalau ia tidak
1407 gegabah, tentu tidak semudah itu ia di
pecundangi. Sementara itu, dari atas genteng berlompatan pula dua sosok tubuh. Merekalah
Tong Lam Hou dan muridnya, Pangeran In
Tong, yang siang tadi juga tiba di Yu-pin. Jadi
pihak Hwe-liong-pang dan Siau-lim-pai yang
bermaksud saling "mengunjungi" itu malahan
berpapasan di Yu-pin. Mengenali Tong Lam Hou, Pun-khong Hweshio cepat berseru, "Pang-cu, tolong jelaskan
kepada anak buahnya bahwa".."
Sahut Tong Lam Hou, "Mereka bukan anakbuahku, Toa-suhu......"
Sambil berbicara, tubuhnya bergerak cepat
sekali mengelilingi arena, merobohkan beberapa anggota Hwe-liong-pang palsu yang
sebenarnya adalah anggota-anggota Hiat-ti-cu
itu. Sedangkan In Tong mengamuk pula dengan
ganas. Ada lawan yang dipecahkan kepalanya,
dijebol dadanya atau di cabut tangannya dengan
1408 tenaganya yang besar. Keruan pihak musuh jadi
gempar melihat keganasannya .
Biarpun yang dibunuhi adalah musuh,
namun Pun-khong Hwe-shio jadi berkesan
kurang baik kepada In Tong. Sementara Tong
Lam Hou juga telah memben tak muridnya, "In
Tong, kuasai dirimu"
"Baik, suhu," sahut In Tong yang menyesal
karena kelakuannya telah membuat tidak
senang gurunya. Melihat datangnya Pak Kiong Liong, Tong
Lam Hou dan In Tong, pihak Hiat-ti-cu insyaf
bahwa mereka kini berada di pihak berbahaya,
"Kan-loh-tin" mereka juga mulai berantakan.
Hap To segera bersuit nyaring sebagai
isyarat untuk mengundurkan diri, la sendiri
langsung melompat ke atas genteng, diikuti oleh
Tam Tai Liong yang meskipun badannya terasa
remuk namun memaksa untuk menyelamatkan
diri. Beberapa anggota Hiat-ti-cu juga berhasil
menjauhkan diri dari arena, tetapi sebagian
besar dari mereka belum lepas dari lawan
mereka. 1409 Sambil berbicara, tubuhnya bergerak cepat sekali
mengelilingi arena, meroboh kan beberapa anggota
Hwe-liong-pang palsu yang sebenarnya adalah
anggota-anggota Hiat-ti-cu itu.
1410 Untuk menolong teman-teman yang masih
ketinggalan, Hap To, Tam Tai-Li-ong dan
beberapa anak-buah mereka lalu mengeluarkan
senjata khas kelompok mereka. Kantungkantung kulit besar yang di dalamnya ada pisaujepit yang bisa memutuskan leher, yang
dikendalikan dengan rantai panjang tipis.
Maka sesaat kemudian, di atas halaman
belakang wihara itu melayang-layanglah
senjata-senjata maut itu, siap mencaplok batok
kepala si apapun yang lengah.
Hampir bersamaan, Tong Lam Hou dan Pak
Kiong Liong berteriak memperi ngatkan para
pendeta, "Awas Hiat-ti-cu.!"
Para pendeta Siau-lim-pai dan Go-bi-pai
memang belum pernah melihat senjata seaneh
itu, belum tahu pula cara-kerjanya senjata itu.
Mereka hanya merasakan bahwa senjata aneh
itu rupanya amat berbahaya, sebab Pak Kiong
Liong dan Tong Lam Hou sendiri nampaknya
khawatir. Ketika sebuah kantung Hiat-ti-cu menyambar kepala Bu-teng Hwe-shio, pendeta
1411 itu mengelak sambil menunduk. Namun
kantung kulit itu seperti seekor mahluk
bernyawa yang tidak jatuh berkat kantung kulit
tipis yang menyelubungi bagian luarnya dan
berfungsi sebagai parasut itu, dengan
pengendalian jarak jauh yang mahir, kantung
kulit itu terus mengejar kepala Bu-teng Hweshio. Sekilas nampak mulut kantung itu seperti
rahang seekor ikan hiu yang penuh gigi tajam,
siap mengeremus hancur kepala korbannya.
Cepat Bu-teng Hwe-shio menikamkan
pedangnya ke dalam kantung kulit itu, pisaupisau dalam kantung segera menjepit dan
mematahkan pedang Bu-teng Hwe-shio. Tapi
ujung pedang Bu-teng Hwe-shio juga berhasil
merobek kulit tipis pelapis luar kantung itu,
sehingga udaranya bocor dan kantung itu jatuh
ke tanah, tak bisa dikendalikan lagi.
Namun rupanya Bu-teng Hwe-shio lengah,
dari belakangnya menyambarlah kantung
lainnya yang langsung menungkrup kepalanya.
Tak terlihat bagaimana muka Bu-teng Hwe-shio,
sebab tertutup kantung maut itu, namun kalau
1412 melihat gerakan tubuhnya, jelas pendeta itu amat kesakitan. Tapi rasa sakit itu tidak lama,
sebab kantung kulit itu terbang lagi
meninggalkan tubuh Bu-teng Hwe-shio tetapi
membawa serta batok kepaIanya.
Korban Hiat-ti-cu jatuh pula di pihak Siaulim-pai. Dua pendeta huruf Ci juga menjadi
pendeta-pendeta tak berkepala.
Cocok dengan namanya, Hiat-ti-cu (Setetes
Darah), para korban tidak mengeluarkan
banyak darah, hanya sedikit saja.
Jatuhnya korban-korban itu menimbulkan
kemurkaan Tong Lam Hou, Pak Ki-ong Liong
dan Pun-khong Hwe-shio. Sebelum korban Hiatti-cu bertambah, mereka bertiga melompat ke
atas untuk menyambar para Hiat-ti-cu yang
masih menerbangkan senjata mereka seasyik
anak anak bermain layang-layang. Tiga pukulan
dahsyat dari tiga tokoh tua yang marah itu
segera mengambil korbannya.
Pun-khong Hwe-shio mengeluarkan Tha i -1 i
k-k im-kong-ciang (Telapak Malai kat Tenaga
Raksasa), sepasang telapak tangannya 1413 menghembuskan tenaga maha kuat, sehingga
lembaran-lembaran genteng tersingkap lepas
dari kerangkanya seperti dilewati badai. Dua
anggota Hiat-ti-cu terpental dengan isi tubuh
luluh lantak, darah mengalir dari semua lubang
tubuh mereka. Sementara Pak Kiong Liong dengan HweIiong-sin-kang juga telah mengambil korban
dua algojo kejam itu. Keduanya roboh dengan
tubuh hangus, seperti sepotong daging yang
terlambat diangkat dari penggorengan.
Ketua Hwe-Iiong-pang adalah yang paling
hebat di antara tiga orang itu, dengan pukulan
Hian-im-ciang. Pukulannya tidak kelihatan
hebat, tidak pula menerbitkan angin menderu
yang memekakkan telinga, namun seolah ada
jutaan batang jarum es lembut yang disebarkan
dalam lingkaran seluas beberapa tombak.
Empat tombak di sekitarnya, empat pula
anggota Hiat-ti-cu yang menggeliat kejang dan
roboh dengan kulit membeku kebiruan. Mereka
merasa pori-pori tubuh mereka diresapi hawa
dingin luar biasa, membuat darah menggumpal,
1414 menyumbat, nadi dan jantungpun tak mampu
berdenyut lagi. Hap To bergidik melihatnya, la segera
kerahkan ilmu meringankan tubuhnya untuk
kabur secepat-cepatnya. Sisa anak-buahnya
yang masih tertinggal tidak dihiraukannya lagi.
Namun Pak Kiong Liong mengejarnya dan
membentak, "Jangan buru-buru pergi , saudara
Hap, kita kan kenalan lama belum sempat
berbincang-bincang?"
Alangkah takutnya Hap To mendengar itu, ia
tahu yang dimaksud dengan "berbincangbincang" ialah diperas keterangannya dari
mulutnya. Dua orang Hiat-ti-cu yang berlari
didekatnya, tiba-tiba dicengkeramnya dengan
kedua tangannya yang bagaikan cakar-cakar elang, lalu dilemparkan ke arah Pak Kiong Liong,
dan ia sendiri kabur secepatnya .
Mengira dirinya diserang, karena malam
gelap, Pak Kiong Liong menyambut tubuh kedua
Hiat-ti-cu itu dengan sengit, sehingga mereka
mencelat dengan tulang-tulang rusuk berpatahan. Namun ia kehilangan jejak Hap To
1415 yang langsung menghilang dalam lorong-lorong
kecil kota Yu-pin yang ruwet seperti sarang
laba-laba itu. Bahkan Tam Tai Liong dan
beberapa Hiat-ti-cu yang berkepandaian agak
tinggi juga berhasil lolos.
Yang kasihan adalah para Hiat-ti-cu yang
ilmunya pas-pasan dan tak sempat kabur.
Untunglah Tong Lam Hou dan lain lainnya
bukan orang haus darah, kecuali In Tong yang
biarpun kejam namun tak berani berbuat
semuanya di hadapan gurunya.
Para Hiat-ti-cu yang tersisa dan masih hidup
itu akhirnya hanya ditotok lumpuh dan ditawan.
Pihak para pendeta berkabung karena
kehilangan tiga orang, termasuk Bu-teng Hweshio, si tuan rumah yang mengesankan. Namun
pihak Hiat-ti-cu harus meninggalkan sepuluh
mayat dan empat orang tawanan.
Sambil menarik napas, Pun-khong Hwe-shio
berkata, "Tak terduga ada peristiwa menyedihkan macam ini. Kiranya orang-orang
ini hanyalah anggota-anggota Hwe-liong-pang
gadungan. Dan berita tentang murid-murid
1416 Siau-lim-pai yang membunuh delapan puluh
sembilan anggota Hwe-liong-pang itu Juga.."
Tong Lam Hou cepat menukas lembut,
"Jangan khawatir, Toa-suhu, sejak semula pun
aku tidak percaya murid-murid Siau-lim-pai
menghasilkan tindakan biadab macam itu. Kami
harap Toa-suhu juga percaya bahwa kami
takkan menggunakan senjata-senjata keji
macam itu...." sambil menunjuk sebuah kantong
kulit Hiat-ti-cu yang tergeletak di tanah.
Sikap Ketua Hwe-1iong-pang itu amat
melegakan Pun-khong Hwe-shio yang memang
datang untuk berdamai, bukan untuk berkelahi.
"Semuanya jelas sekarang," kata Pun-khong
Hwe-shio. "Ada pihak yang menyamar sebagai
orang Hwe-liong-pang maupun Siau-lim-pai
untuk mengadu domba kita."
"Mereka menginginkan Hwe-liong-pang dan
Siau-lim-pai cakar-cakaran. kata Pak Kiong
Liong. "Mereka lupa bahwa di dalam Hwe-liongpang dan Siau-lim-pai ada orang-orang
berkepala dingin yang tak gampang dihasut. Si
pengadu domba itu harus gigit jari."
1417 Sampai di sini, kedua belah pihak sepakat.
Namun ketidaksepakatan dimulai ketika Punkhong Hwe-shio berkata, "Benar, Pangeran In
Te benar-benar licik sekali.."
Pak Kiong Liong terkejut mendengarnya.
"Maaf, Toa-suhu, apakah arti ucapan Toa-suhu
itu?" "Adu domba ini pasti didalangi oleh
Pangeran In Te, karena dia tidak suka
kehilangan Hwe-liong-pang yang di harapkan
sebagai alat ambisinya kelak. Pak Kiong Goanswe, kami baru pulang dari Pak-khia untuk
berbincang dengan pamanda Sri baginda, dan
ketika itu keadaan istana masih berantakan
karena baru saja ada bentrokan antara dua
kelompok pengawal istana, mereka juga di adudoinba oleh In Te...."
"Aku kira Toa-suhu keliru. Mana mungkin


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pangeran In Te mendalangi adu-domba ini"
Orang yang menyamar sebagai Lu Ku San tadi
sebenarnya adalah Hap To, komandan Hiat-ticu, regu algojo bengis yang hanya menjalankan
perintah Yong Ceng."
1418 Pun-khong Hwe-shio termangu-mangu lalu
menggeleng-gelengkan kepalanya, "Jadi Pak
Kiong Goan-swe malah menuduh Sribaginda
yang mendalanginya" Ini tidak mungkin juga.
Ketahuilah, perjalananku ini juga atas
permintaan Sribaginda untuk merundingkan
perdamaian dengan Hwe-liong-pang, tidakkah
ini menandakan bahwa Sribaginda adalah
seorang yang berusaha menghindari pertumpahan darah?" "Itulah kelicikan Yong Ceng!" suara Pak
Kiong Liong mulai meninggi. "Dia sanggup
bermuka dua dengan sempurna! Di hadapan
Toa-suhu, dia berperanan sebagai seorang yang
cinta damai dan menghindari kekerasan. Tetapi
di belakang layar dia menyuruh algojoalgojonya untuk mengadu domba, belumkah
Toa-suhu menyadari hal ini?"
"Goan-swe, kaulah yang berat sebelah.
Sribaginda sampai sekarang belum sempat
mewujudkan janjinya karena keaaan negeri
belum aman, ini antara lain karena orang-orang
semacan Goan-swe yang ngotot mendukung
1419 Pangeran In Te sambil menghasut kesana
kemari. Tidakkah Goan-swe sebenarnya hanya
putus-asa karena Pangeran In Te gagal naik
tahta?" Pembicaraan jadi tegang karena Pak Kiong
Liong dan Pun-khong Hwe-shio ngotot membela
"momongan" masing-masing di Pak-khia sana.
Sedangkan Pangeran In Tong diam-diam
bersorak dalam hati, ia ingin ada keributan,
tidak peduli siapa lawan siapa, sebab hanya
dalam suasana macam itulah maka rencananya
akan mendapat banyak peluang untuk berhasil.
Dengan tegang dia menunggu, siapa yang akan
menjotos lebih dulu"
Ternyata tidak ada adu jotos, sebab Ketua
Hwe-liong-pang segera menempatkan diri di
tengah sambil berkata, "He, kalian yang sudah
berjenggot putih ini apakah hendak bertingkah
laku seperti anak-anak berebutan kembang gu
la" Kalian berselisih pendapat, itu ti dak keliru,
tetapi tidakkah kalian sabar menunggu
munculnya kebenaran yang sejati" Setidaktidaknya kalian punya persamaan, yaitu sama1420
sama tidak ingin melihat pertumpahan darah di
kekaisaran ini, ingin melihat kekaisaran ini
aman, bukankah begitu?"
"Kau benar, A-hou...."
"Kau benar, Pang-cu....."
Yang kecewa adalah In Tong, baku hantam
yang diharapkannya ternyata tidak terjadi.
Sementara itu, mayat-mayat segera dibereskan, yang luka-luka diobati. Empat Hiatti-cu yang ditawan itu segera ditanyai, tetapi
mereka hanyalah anak-buah yang tidak tahu
terlalu banyak, mereka hanya menjalankan
perintah dan menurut saja ketika disuruh
menyamar sebagai orang-orang Hwe-liongpang .
"Beberapa hari sebelum kami berangkat dari
Pak-khia, sekelompok teman kami memang
mendapat tugas yang agak ganjil," kata seorang
Hiat-ti-cu yang sakit hati karena ditinggalkan
begitu saja oleh Hap To. "Teman-teman kami itu
disuruh mencukur gundul kepala mereka, dan
mereka dipilih dari orang-orang yang pandai
1421 bertempur dengan to-ya, mereka juga diajari
beberapa jurus ilmu toya...."
Wajah Pun-khong Hwe-shio berkerut
mendengar keterangan itu, kepercayaannya
akan "keluhuran budi" Yong Ceng mulai terusik,
biarpun belum lenyap sama sekali .
"Ilmu toya apa, dan siapa yang melatihnya?"
desak Pun-khong Hwe-shio, lebih bernafsu dari
Pak Kiong Liong dan Tong Lam Hou yang bukan
pendeta. Sahut si tawanan, "Entahlah, Toa-suhu , aku
agak lupa meskipun temanku pernah bercerita
kepadaku. Kalau tidak salah seperti ......Hok....
mo..entah apa kelanjutannya....."
"Hok-mo-tung-hoa t ?"
"Ya, benar!" "Siapa yang melatih?"
"Aku tidak tahu. Mereka diijinkan berlatih di
ruangan yang secara pribadi sering digunakan
latihan Sribaginda sendiri ...."
Kuping Pun-khong Hwe-shio dan pendetapendeta Siau-lim-pai lainnya berdengung
mendengar jawaban itu. Suka atau tidak suka,
1422 mereka mulai mencurigai Yong Ceng. Selama ini
sebagai orang-orang beribadat, mereka selalu
berpikiran lurus, tak pernah menyangka bahwa
Yong Ceng bisa bermuka dua macam itu. Di satu
pihak menyuruh paman-guru nya sebagai
"utusan perdamaian" ke Tiau-im-hong, di lain
pihak membunuh orang-orang Hwe-liong-pang
secara keji "atas nama" Siau-lim-pai.
"Mungkinkah.....dia itu seekor serigala
berbulu domba?" Pun-khong Hwe shio berdesis.
Pertanyaan yang ditujukan kepada diri sendiri,
namun ia tidak berani menjawabnya sendiri. Di
wajahnya bercampur aduk ekspresi kemarahan,
ketidak-percayaan, malu, kecewa dan entah apa
lagi...... Biarpun Pak Kiong Liong senang bahwa Punkhong Hwe-shio mulai "terbuka matanya",
namun ia secara bijaksana tidak menggunakan
kesempatan itu untuk menuding-nuding
kesalahan orang, dibiarkannya pendeta tua itu
merenung sendiri. Bukan salah para sesepuh
Siau-lim-pai sepenuhnya, namun karena lihai
nya Yong Ceng bersandiwara sebagai "anak
1423 manis" di depan gurunya, paman gurunya,
saudara-saudara seperguruannya dan sahabatsahabatnya selama ini.
"Aku harus ke Pak-khia untuk bertanya
sendiri kepada Yong Ceng, kenapa ia lakukan
semuanya ini?" desis Pun-khong Hwe-shio.
"Semuanya harus dilakukan dengan kepala
dingin, Toa-suhu, supaya kita ke Pak-khia tidak
sekedar menyetorkan batok kepala kita," kata
Pak Kiong Liong menghibur, karena tahu hati
pendeta tua itu sedang terluka. "Kelak kami
bersedia menemani ke Pak-khia...."
Otak Pun-khong Hwe-shio memang sedang
beku rasanya, maka ia hanya menganggukangguk saja.
Begitulah, Tong Lam Hou dan Pun-khong
Hwe-shio yang tadinya bermaksud saling
mengunjungi, malah bertemu di Yu-pin dan
akan bergabung pergi ke Pak khia. Namun harus
menunggu sampai luka luka di kaki Pun-khong
Hwe-shio sembuh Yang menjadi gembira adalah In Tong. Akan
ada keributan lagi. Kini Hwe-liong-pang dan
1424 Siau-lim-pai satu pihak, menghadapi Yong Ceng
dilain pihak, la harus pandai melihat ksempatan
demi rencananya sendiri. Sekarang tentang Pun-seng Hweshio, rahib
tinggi besar bermuka hitam yang sudah tua
namun tetap berangsan. Sejak dia meninggalkan
Yu-pin untuk mengejar para pendeta gadungan,
ia hampir tak pernah beristirahat. Karena
bentuk tubuh dan tampangnya gampang
menarik perhatian orang, ia mengganti jubah
pendetanya dengan pakaian biasa, sedang
kepalanya memakai caping bambu yang
tepiannya melengkung ke bawah untuk
menyamarkan wajahnya. Dengan bertanya tanya sepanjang jalan, ia
berhasil juga mengenali arah perjalanan orangorang yang dikejarnya. Dua hari sejak ia
meninggalkan Yu pin, orang-orang itu sudah
dilihatnya di depan sana.
Sebagai orang berwatak tidak sabaran, ia
tidak telaten mengikuti saja dari kejauhan.
Begitu melihat mereka, langkahnya segera
dipercepat untuk mengejar, sambil menggeram,
1425 "Biar langsung kutanyai mereka, kalau jawaban
tidak memuaskan, langsung kubekuk mereka
untuk dibawa ke T iau-im-hong."
Dan suaranya yang keras pun terde ngar di
jalanan itu, "He, berhentilah kalian.!"
Kawanan pendeta gadungan itu sebenarnya
sedang berjalan sambil bercakap cakap jorok.
Salah seorang dari mereka sedang menceritakan tentang pelacur berpinggang
besar yang semalam menemaninya. Tapi ketika
ada orang memanggil, cepat-cepat mereka
berubah sikap. Telapak tangan kiri tegak di
depan dada, kepala agak menunduk, muka alim,
tangan kanan memegang toya. Benar-benar
mirip para hwe-shio sejati.
"Omitohud, ada keperluan apa tuan
memanggil kami?" tanya seorang Hwe-shio
yang tubuhnya pendek. Pun-seng Hwe-shio panas hatinya ketika
melihat mereka benar-benar berpakaian seperti
orang-orang Siau-lim-si. Mereka juga berkalung
tasbih, membawa kantong derma berwarna
1426 putih yang beriukis lambang "Ban-ji" (Swastika)
yang merupakan lambang Siau-Iim-pai .
"Apakah kalian dari Siau-lim-pai ?" tanya
Pun-seng Hwe-shio tanpa berputar-putar lagi.
"Benar," sahut yang ditanya, karena mengira
Pun-seng Hwe-shio bukan pende ta.
"Kenapa kalian bepergian sejauh ini?"
"Kami baru saja menumpas sekelompok
bandit Hwe-Iiong-pang yang mengacau keamanan negara," sahut si hweshio gadungan
kalem, la bahkan berharap bahwa ucapannya
akan tersebar, dan memanaskan hubungan
antara Siau-lim-pai dan Hwe-liong-pang.
"Siapa yang menyuruh kalian?"
Si "hweshio" pendek dengan beraninya terus
membual. "Kami ditugaskan oleh paman-guru
kami, Pun-seng Hwe-shio."
"Bagaimana tampang Pun-seng Hwe-shio
itu?" Memangnya hwe-shio gadungan itu belum
tahu bagaimana tampang Pun-seng Hwe-shio,
maka ia menjawab dengan menggambarkan
tampang umumnya para hwe-shio, "Beliau
1427 bermuka putih kemerah-merahan, penuh
welas-asih, selalu tersenyum dan rendah hati...."
"Pembohong!" Pun-seng Hwe-shio tak dapat
menahan kemarahannya dan mencopot caping
bambunya. "Lihat baik-baik tampang asli
paman-gurumu ini!" Lalu terlihatlah bentuk kepalanya yang asli.
Gundul, hitam dan berkilat-kilat.
Hwe-shio gadungan berwajah pendek itu
memang kaget sejenak, la sebenarnya adalah
anggota Hiat-ti-cu yang ber asal dari golongan
hitam, bernama Im Bun To dan berjuluk Yahing-kui-liong (Serigala Iblis Pengembara
Malam). Namun karena banyak temannya dan yang
dihadapinya hanya seorang, maka nyalinya jadi
besar, la malahan tertawa dan berseru kepada
teman teman "Teman-teman, berikan salam
hangat kepada paman-guru!"
"Salam hangat" nya dibuka dengan
kemplangan loya yang keras ke pelipis Pun-seng
Hwe-shio. Hek-liong-pa-bwe (Naga Hitam
Memutar Ekor). 1428 Pun-seng Hwe-shio menggeram Sengit.
Dalam kemarahannya, langsung saja ia
bertempur dengan gaya ciptaannya sendiri,
Hong-gu-kun-hoat (Silat

Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kerbau Gila). Kemplangan musuh tidak digubrisnya, namun
dibarengi dengan jejakan kakinya yang lebih
cepat ke arah perut Im Bun To. Itulah ciri khas
Hong-gu-kun-hoat, serangan langsung dibalas
serangan. Kalau serangan pertama gagal, sebenarnya
Im Bun To sudah menyiapkan serangan
susulannya. Tapi reaksi Pun-seng Hwe-shio tak
terduga. Dengan gugup ia memalangkan
toyanya untuk membendung kaki Pun-seng
Hwe-shio. Toyanya terpental lepas, sepasang
telapak tangannya sampai terkelupas berdarah.
Baru sekarang ia sadar betapa berbahanya
kelakarnya tadi. Para pendeta gadungan lainnya juga segera
turun tangan serempak. Seorang yang bernama
Kang Huai Ok dan berjulukan Tiat-kak-lok
(Menjangan Bertanduk Besi), melompat tinggi
1429 Dengan gugup ia memalangkan toyanya untuk
membendung kaki Pun-seng Hwe-shio. Toyanya
terpental lepas, sepasang telapak tangannya sampai
terkelupas berdarah 1430 dan ujung toyanya dia sodokkan ke arah mata
Pun-seng Hwe-shio. Dengan cengkeraman Kim-liong-tam jiau
(Naga Emas Mengulur Cakar), Pun-seng Hweshio berhasil mertcengkeram ujung toya Kang
Huai Ok tanpa bergeming, sehingga Kang Huai
Ok yang tengah melompat tinggi itu jadi
terkatung-katung di tengah udara karena tetap
berpegangan pada toyanya.
Pun-seng Hwe-shio tertawa bergelak,
"Keponakan murid yang manis, salam hangatmu
sudah kuterima. Kau boleh mundur dulu !"
Lalu dengan kekuatan yang mirip ekor
kerbau digabung jadi satu, ia lem parkan tubuh
toya dan pemiliknya sekalian. Tubuh Kang Huai
Ok melayang deras dan baru berhenti setelah
menubruk pohon di pinggir jalan. Matanya
berkunang-kunang dan tulang punggungnya
sakit sekali, untuk sementara ia tidak bisa ikut
berkelahi. Tapi yang lain-lainnya segera mengerubut
Pun-seng Hwe-shio. Di antara mereka terdapat
bekas jago-jago tangguh golongan hitam seperti
1431 Im-kan-tiat koai (Tongkat Besi Neraka) Kao
Seng, Keng-te-ai-mo (Hantu Cebol Menggetar
Bumi) Au Yang Ki dan sebagainya, yang dipilih
oleh Yong Ceng karena pintar bersilat dengan
toya. Kemudian Im Bu To dan Kang Huai Ok
berhasil bangkit lagi untuk ikut mengepung.
Betapapun tangguhnya Pun-seng Hwe-shio,
karena dikeroyok delapan jagoan tangguh, ia
repot juga. Sebagian besar permukaan kulitnya
memang tahan gebukan, namun lawanlawannya dengan cerdik tidak mau menggebuk
sembarangan, melainkan kebagian-bagian lemah seperti mata, belakang kuping,
selakangan, biji leher, tulang kering dan
sebagainya, mau tak mau Pun-seng Hwe-shio
harus menyelamatkan tempat-tempat i u.
Namun lawan-lawannya tercengang juga
melihat ketangguhan si raksasa hitam dari kuil
Siau-lim itu. Tinju, sabetan telapak tangan atau
tendangan Pun-seng Hwe-shio berdesir desir
mengguncangkan udara, sanggup meremukkan
bagian tubuh mana saja yang dikenai-nya.
Kadang-kadang jari-jari tangannya juga
1432 berfungsi sebagai pedang yang bisa membuat isi
perut bertebaran. Diam-diam Pun-seng Hwe-shio menyesal
dulu tidak menuruti nasehat kakak seperguruannya untuk memperdalam lwe-kang
(tenaga dalam) dan hanya melatih gwa-kang
(tenaga luar). Kalau ia berlatih lwe-kang, tentu
bisa melakukan pukulan jarak jauh seperti Pekgong-ciang (Memukul Udara Kosong) atau Thai
lek-kim-kong-ciang. Namun ia tidak bisa kedua
macam ilmu itu, terpaksa hanya mengandalkan
jurus-jurusnya dan kekebalan kulitnya yang
tidak menyeluruh Jemu akan perkelahian yang tidak selesaiselesai itu, Pun-seng Hwe-shio nekad mengincar
salah satu lawan dengan serangan ganda.
Tangan kiri dengan dua jarinya hendak
menusuk mata, tipu Ji-liong-jio-cu (Dua Naga
Merebut Mutiara), tangan kanan menjotos perut
dengan Hek-hou-tou-sim (Macan Hitam Me
nerkam Hati). Lawannya mundur sambil menunduk,
berbareng menyodokkan toyanya ke kemaluan
1433 Pun-seng Hwe-shio. Sementara dua temannya
dari dua arah serempak menggebuk ke tengkuk
dan ubun-ubun Pun-seng Hwe-shio.
Kali ini Pun-seng Hwe-shio nekad, ia hanya
menunduk dan serahkan pundaknya untuk
digebuk dua kali sampai ia menyeringai
kesakitan, tapi ia maju terus. Jotosan ke depan
diubah menjadi Tin-jiu-kim-na (Menurunkan
Sikut Dan Menangkap), toya musuh yang
menyerang selakangannya kena tertangkap dan
langsung ditarik sekuat tenaga. Si pemegang
toya terhuyung ke depan dengan wajah pucat,
sadar akan nasib buruk yang sudah
menunggunya. Benar, ia roboh dengan pelipis
retak kena tamparan Pun-seng Hwe-shio, dan
toyanya berpindah ke tangan si raksasa hitam.
Dengan toya di tangannya, Pun-seng Hweshio seperti macan yang keluar sayapnya,
amukannya semakin hebat. Sebaliknya lawannya mulai kocar-kacir, mereka tidak lagi
berpikir untuk bekerja sama, namun
memikirkan bagaimana menyelamatkan diri
sendiri-sendiri. Maka kerja-sama mereka makin
1434 kacau, makin gampang diobrak-abrik Pun-seng
Hwe-shio. Terdengar pendeta muka hitam itu
menggertak, "Menyerahlah kalian, supaya bisa
kubawa ke Tiau-im-hong untuk mempertanggung-jawabkan kekejaman kali an
di kota Yu-pin!" Tentu saja kaki tangan Yong Ceng itu enggan
menyerah dan dijadikan bulan-bulanan
kemarahan orang-orang Hwe-liong-pang. Mereka tetap melawan dengan gigih.
Ketika suatu kali Pun-seng Hwe-shio
menyikut dada seorang musuh dari samping,
orang itu pasang kuda-kuda dan mengerahkan
tenaga untuk memalang-kan toya besinya. Toya
besi kena sikutan ltu sehingga melengkung, si
pemegangnya sendiri nampak tegar dan kokoh.
Teman-temannya kagum melihat itu,
mengira teman mereka itu dapat menandingi
kekuatan Pun-seng Hwe-shio biarpun senjatanya rusak. Namun tubuh orang yang
dikagumi itu tiba-tiba roboh seperti seonggok
kain saja, lalu me-ringkuk tak berkutik.
1435 Maka kepungan para kaki tangan Yong Ceng
itu semakin kendor dan serabutan. Mereka
sebenarnya ahli juga bertempur jarak jauh
dengan kantong kulit Hiat-ti-cu, namun dalam
penyamaran sebagai pendeta-pendeta Siau-simsi, mereka tidak membawa barang-barang itu.
Di saat mereka mulai cemas, dari jauh
nampaklah dua orang berkuda yang memakai
jubah dan topi pembesar. Man-chu. Salah satu
dari mereka bertubuh tinggi besar seperti Punseng Hwes-hio hanya mukanya tidak hitam, dan
ia membawa tombak panjang.
Melihat kedatangan kedua orang itu, para
pendeta gadungan jadi gembira. "Hap Congkoan, Tam Tai Hu cong koan!" teriak salah
seorang. Ketika berteriak itu dia agak lengah
sehingga lututnya disapu patah oleh Toya Punseng Hwe-shio.
Mereka adalah Hap To dan Tam Tai Liong
yang di kota Yu-pin telah gagal membunuh
orang-orang Siau-lim-pai dengan menyamar
sebagai orang-orang Hwe-liong-pang. Dan kini
mereka jumpai pula anak-buah mereka yang
1436 menyamar menjadi pendeta-pendeta Siau-limpai itu tengah dibikin morat-marit oleh Punseng Hwe-shio.
Hap To yang berilmu tinggi itu sama sekali
tidak gentar melihat tandang Pun-seng Hweshio. Dari kejauhan ia telah memacu kudanya
sambil berseru kepada anak-buahnya, "Minggir
kalian!" Para pendeta gadungan itu berlompatan
minggir, mereka tinggal lima orang, namun lega
melihat kedatangan Hap To dan Tam Tai Liong
yang bisa diandalkan . Ketika itulah tubuh Hap To yang esar itu
tiba-tiba melayang mendahului kudanya,
bagaikan seekor burung elang besar, ia
menubruk dari angkasa dan tombaknya
menikam dengan gerakan Sam goan-tho-goat
(Tiga Gelang Menje-rat Rembulan). Ujung
tombaknya melingkar lingkar, tidak jelas
manakah sasaran yang sebenarnya.
Pun-seng Hwe-shio kehilangan banyak lawan
dan mendapatkan hanya satu lawan sebagai
gantinya, tetapi yang satu orang ini ilmunya
1437 lebih tinggi dari lawan-lawan terdahulu.
Gerakan tombaknya membingungkan. Tapi Punseng Hwe-shio tidak sudi memusingkan kepala
untuk menebak arah serangan yang sebenar
nya, pokoknya serangan dibalas serangan.
Dengan tipu Boan-liong-seng-thian (Naga Naik
ke Langit) toyanya ia sodokkan ke pusar
lawannya yang tengah melayang di udara.
Itulah serangan nekad, kalau sama sama
diteruskan maka kedua pihak akan gugur
bersama. Akhirnya Hap To kalah nyali dan merasa
lebih baik mencari cara lain. Di tengah udara ia
melakukan Hui-eng-hoan-sin (Elang Terbang
Membalik Tubuh), badannya berputar dan
mendarat beberapa langkah di samping Punseng Hwe-shio. Tapi toh keringat dinginnya
mengalir juga. Sementara itu, TamTai Liong juga menerjang
bersama kudanya, bahkan kaki kaki kuda yang
depan itu merupakan serangan berbahaya pula,
sedangkan Tam Tai Liong mengangkat tinggi1438
tinggi senjata Tiat-koainya untuk melubangi
kepa la Pun-seng Hwe-shio.
Tangkas sekali Pun-seng Hwe-shio menghindar ke sebelah kiri kuda, sehingga Tam
Tai Liong yang bukan orang kidal itu mati
langkah. Sebelum sempat ia memutar tubuh,
Pun-seng Hwe-shio telah membuang toyanya
dan dengan tangan kiri menjambret tali di
moncong kuda, mengerahkan tenaga sambil
berseru, "Turun!"
Hebat kekuatan pendeta raksasa muka hitam
itu. Memang ia terseret dua langkah, namun
kuda yang tengah berlari kencang itupun
berhasil dihentikannya hanya dengan tangan
kiri. Ketika Pun-seng Hwe-shio sekuat tenaga
menekan ke bawah, kuda itu dipaksa "berlutut
dengan kedua kaki depannya.
Tam Tai Liong yang dengan susah payah
berusaha menguasai keseimbangan, tahu-tahu
tengkuknya berhasil dicengkeram Pun-seng
Hwe-shio lalu dibanting pingsan .
Tetapi Pun-seng Hwe-shio tidak sekedar
menuruti kemarahannya saja, dia sadar bahwa
1439 dirinya seorang takkan bisa melawan Hap To
ditambah lima pendeta gadungan yang masih
waras. Maka sehabis membanting Tam Tai
Liong, dengan langkah lebar Pun-seng Hwe-shio


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kabur ke dalam hutan. Hap To dan anak-buahnya tidak mengejar.
Sambil mengutuk habis-habisan, mereka angkut
tubuh-tubuh yang tewas dan terluka itu kekota
yang terdekat. Hap Tu bercerita pula bahwa
usaha adu-domba agaknya gagal, karena pihakpihak yang diadu domba cukup berkepala
dingin. Sementara itu, dalam hutan Pun-seng
Hwe shio mulai memutar otak. La bertenaga kerbau
namun tidak berotak kerbau. Tadinya ia
menduga kelompok pengadu domba itu adalah
"begundal-begundal In Te", tapi mendengar
orang-orang tadi berteriak memanggil Hap
Cong-koan" dan "Tam Ta i Hu-congkoan" ia jadi
bimbang. Namun ia belum timbul tuduhan ke
arah Yong Ceng, bukankah Yong Ceng sendiri
meminta para pendeta Siau-lim-pai menjadi
"utusan perdamaian" ke Tiau-im-hong"
1440 Bukan goblok, tapi ia terlalu polos mengikuti
liku-liku "permainan" Yong Ceng. Dalam
bimbangnya, akhirnya ia memutuskan untuk
pergi ke Pak-khia sekali lagi, ia berharap Yong
Ceng masih menghargainya sebagai pamanguru dan menjawab dengan jujur semua
pertanyaannya . Bagaimanapun juga, kepercayaannya kepada
Yong Ceng sudah mulai luntur. Karena itu, ia
masuk kota dengan menyamar sebagai seorang
tua bungkuk, supaya tinggi badannya yang
menyolok itu tidak menarik perhatian, la juga
tidak langsung ke istana, melainkan berkelilingkeliling kota Pak-khia lebih dulu.
Ketika perutnya lapar, ia masuk ke warung
yang kelihatannya murah, sebab bekalnya
tinggal sedikit. Dan kalau biasanya ia
menghabiskan sepuluh mangkuk nasi, maka
sekarang dia harus puas dengan dua mangkuk
saja, itupun tanpa lauk-pauk, sehingga pemilik
warung dengan ogah-ogahan melayani "orang
tua meIarat" itu. 1441 Tengah ia duduk dalam warung, nampak dua
orang tamu masuk ke warung itu. Dua orang
lelaki gagah yang membawa senjata, menandakan bahwa mereka dari kalangan
persilatan. Mereka duduk, lalu bercakap-cakap dengan
logat propinsi Hok-kian yang jauh di selatan.
Mula-mula Pun-seng Hwe-shio tidak tertarik
oleh pembicaraan mereka, namun lama-lama
ada juga daya penarik dalam percakapan
meieka, sehingga Pun-seng Hwe-shio mulai
pasang kuping sambil pura-pura makan.
"Akupun tadinya mengira setelah Si Liong-cu
menjadi Kaisar, dia akan melupakan kita...." kata
si tamu yang lebih pendek tubuhnya, la
membawa seba tang tombak pendek yang
disandarkan d i meja. "Karena itu, aku hampir
tidak percaya ketika seorang perajurit
gubernuran Hok-kian datang ke rumahku,
membawa sepucuk surat undangan yang ditulis
sendiri oleh Si Liong-cu."
Mada suaranya terdengar amat bangga.
Maklumlah, yang disebut Si Liong-cu itu adalah
1442 salah satu nama samaran Kaisar Yong Ceng
semasa masih berkelana di dunia persilatan
dulu. Tidak heran kalau orang itu bersuara
keras, agar orang-orang di warung itu
mendengar semuanya. Siapa tidak bangga kalau
diundang sendiri oleh Kaisar"
Tetapi teman semejanya tidak buru buru
bangga, malah mukanya nampak prihatin.
Katanya, "Saudara Lim, jangan buru-buru
bangga dulu. Kita belum tahu ada maksud apa
Kaisar mengundang semua bekas sahabatsahabatnya di Kang-lam untuk berkumpul di
Pak-khia. Si Liong-cu sekarang jangan dianggap
sama dengan Si Liong-cu semasa masih
berjuang memerangi golongan hitam bersama
kita dulu. Sekarang ia adalah pemegang
kekuasaan tertinggi yang jalan pikirannya
rumit, tak dipahami oleh orang-orang kasar
dunia persilatan macam kita-kita ini
"Jadi, apa tujuan saudara Ho datang ke Pakkhia ini?" si lelaki she Lim berkata dengan nada
tidak senang, la merasa bahwa orang she Ho itu
agak "mengurangi kebanggaan"nya. "Apa kita
1443 datang dengan prasangka buruk" Atau janganjangan jauh di dasar hati kita ada perasaan iri
akan kedudukannya yang agung" Bukankah
dalam surat undangan itu dia memakai nama Si
Liong cu, tidak memakai cap kekaisaran,
menandakan undangan itu dari sahabat kepada
sahabat" Bukankah ia tidak menyombongkan
kedudukannya sebagai Kaisar"
Orang she Ho itu ingin mengingatkan
riwayat lama. Bagaimana Cu Goan-ciang
berjuang bersama Han San Tong, Han Lim Ji,
Siang Gi Jun dan Thio Su Seng ketika masih
sama-sama melarat, untuk menumbangkan
dinasti Goan. Namun setelah Cu Goan-ciang naik
tahta, mendirikan dinasti Beng dan bergelar
Hong bu, maka semua teman seperjuangannya
malah dianggap duri dalam daging. Han San
Tong dan Han Lim Ji, pemimpin Pek-lian-kau
(agama Teratai Putih), ditumpas habis dan Pek
lian-kau dinyatakan sebagai kelompok terlarang, padahal Pek-lian-kau banyak
membantu perjuangan Cu Goan-ciang. Thio Su
Seng dan pasukannya dihancurleburkan di tepi
1444 sungai Tiang-kang karena dianggap hendak
menyaingi kekuasaannya. Siang Gi Jun, sahabat
Cu Goan-ciang yang paling jujur, disuguhi
makanan beracun hingga menemui ajalnya.
Itulah riwayat orang yang mabuk kekuasaan
sehingga "memakan" sahabat-sahabatnya sendiri. Dulu Si Liong-cu memang teman para
pendekar Kang-lam, tapi apakah sekarang
masih begitu" Orang she Ho ingin mengingatkan
temannya she Lim itu dengan riwayat Cu Goansiang, namun di warung itu teri alu banyak
orang. Akhirnya orang she Ho itu cuma berkata,
"Entahlah, mungkin memang aku terlalu
berprasangka. Mungkin juga ter lalu terpengaruh berita tentang kekejaman...... ah
sudahlah. Kita lihat saja nanti"
Orang she Lim menyahut, "Tentu saja kau
hanya berprasangka, saudara Ho. Seorang
penguasa, demi menyelamatkan negara dan
rakyatnya, kadang-kadang memang harus
bertangan besi terhadap golongan pengacau.
Dan berita ini diputar-balik lalu disebarkan oleh
1445 pihak-pihak yang tidak menyenangi sahabat
kita itu nai k tahta. "
Setiap kali mengucapkan kata "sahabat kita",
ia bersikap bangga, sambil menoleh kiri kanan,
untuk menyaksiikan bagaimana wajah orangorang di warung itu menunjukkan rasa iri
kepada para "sahabat Kaisar" yang diundang
pesta di loteng Hong-thian-lau itu.
Percakapan tambah ramai dengan munculnya dua orang lagi yang langsung
bergabung di meja orang she Lim dan Ho yang
agaknya sudah saling kenal semuanya. Kedua
tamu baru ini pun mengaku mendapat
"undangan bersahabat" dari Si Liong-cu.
Salah seorang dari mereka nampak pendiam
dan berwajah dingin, tapi sekali ia buka mulut,
bukan kepalang bualannya. Katanya dulu Si
Liong-cu pernah diperbaiki ilmu silatnya atas
permintaan Si Liong-cu sendiri. Di lain saat,
katanya pernah menolong Si Liong-cu dari
ancaman segerombolan bandit, sehingga ia
yakin tentu sampai sekarang Kaisar Yong Ceng
masih merasa berhutang budi.
1446 Lalu pembicaraan beralih, soal bagaimana
menghadapi Yong Ceng kelak" Yang satu usul
untuk berlutut saja, bagaiamanapun juga Si
Liong-cu sudah menjadi Kaisar yang disujudi
seisi kekaisaran. Yang lain bilang, cukup
memberi hormat secara dunia persilatan saja,
sebab Si Liong-cu mengundang bukan sebagai
Kaisar, melainkan sebagai sahabat lama. Si
pembual bilang, ia akan merangkul dan
menepuk-nepuk pundak Si Liong-cu. Kawankawannya jadi melongo, setengah percaya
setengah tidak. Pun-seng Hwe-shio jemu mendengar
pembicaraan yang makin simpang siur dan tak
bermutu itu. la segera membayar makanannya
dan terbungkuk-bungkuk meninggalkan warung sambil memakai capingnya. Namun ia
senang mendapatkan berita itu.
Pikirnya "rupanya Si Liong cu masih ingat
juga kepada sahabat-sahabat lama yang
bagaimanapun juga berjasa mendukungnya
sampai ke tahta. Di hadapan para pendekar
yang diundangnya, mudah-mudahan ia ingat
1447 janjinya untuk menghapuskan diskriminasi
terhadap bangsa Han, syukur kalau sekaligus
mengumumkan tindakan nyata."
Maka Pun-seng Hwe-shio membatalkan
niatnya untuk ke istana, ia ingin hadir saja di
loteng Hong-thian-lau (loteng langit merah)
untuk melihat bagaimana sikap Yong Ceng di
depan para pendekar. Biarpun ia tidak memiliki
sepucuk surat undanganpun. namun ia yakin
sebagai paman-gurunya Yong Ceng akan di
sambut. * * * Loteng Hong-thian-1au yang tiga tingkat itu
tadinya sebuah bangunan setengah bobrok yang
tak terpakai. Namun menjelang acara
perjamuan yang diselenggarakan Yong Ceng
tempat ini di perbaiki dengan mengerahkan
ratusan tukang yang dijanjikan upah tinggi.
Namun selama bekerja, tukang-tukang itu
diawasi oleh sepasukan perajurit bersenjata
1448 lengkap. Juga ada peraturan aneh, selama
bekerja, para tukang dilarang berbicara kepada
siapapun. Selesai perbaikan di tempat itu, para tukang
dibariskan dan diajak ke sebuah tempat sepi di
luar kota, katanya untuk "menerima upah".
Namun mereka tidak kembali lagi ke
keluarganya masing-masing.
Hari perjamuan tiba. Para pendekar
undangan berbondong-bondong datang ke
Hong-thian-lau yang kini sudah nampak megah.
Ada yang kelihatan gembira dan bangga, ada
yang acuh tak acuh, ada yang nampak waspada
meskipun kurang jelas harus waspada kepada
apa dan siapa. "Tidak ada yang Patut dicurigai, Saudara Si
Liong-cu agaknya benar-benar tulus ingin
menjamu kita sebagal sahabat-sahabat lamanya," kata seorang tamu. "Mari masuk
bersama aku, saudara Sun. Jangan begitu tegang
seolah-olah hendak maju ke medan perang
saja." 1449 Oleh seorang penyambut tamu berpakaian
indah, semua undangan dibawa ke lantai dua
dan tiga. Lantai pertama hanya untuk
meletakkan banyak perabotan kayu yang tak
terpakai, serta berpuluh-puluh guci yang
nampaknya adalah guci-guci arak.
Begitu para tamu duduk, suguhan mulai


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dihidangkan, sebuah rombongan musik
mengiringi sekelompok penari yang memancing
tepuk tangan para tamu. Orang-orang yang
tadinya bersikap tegang, kini mulai mengendorkan kewaspadaan mereka.
Tetapi setelah sekian lama, Yong Ceng belum
juga kelihatan batang hidungnya. Sebagian kecil
undangan merasa heran, tapi sebagian besar
lebih peduli kepada hidangan-hidangan dan
acara-acara yang menghibur hati. Beberapa
orang masih berlomba memuji-muji Si Liong-cu
"yang baik hati", sudah menjadi Kaisar namun
belum melupakan teman lama.
Dan mereka tak menyadari bahwa para
penyambut tamu yang berpakaian indah-indah
itupun satu persatu menghilang dari ruangan
1450 itu tanpa kentara. Hanya Pun-seng Hwe-shio
yang mendadak merasa hatinya tidak enak.
Apalagi ketika dari dekat pintu sana tiba-tiba
terdengar seseorang bertanya keras, "He, Si
Liong-cu belum datang, kenapa pintunya sudah
dikancing?" Dan dari arah lain lagi, "Apakah kau gila"
Udara begini panas, kenapa kau tutup jendelajendela itu" Cepat buka, supaya ada angin segar
masuk!" "Bukan aku yang menutup!"
"Kalau bukan kau, lalu siapa?"
"Aku kurang memperhatikan, sebab tadi aku
hanya memperhatikan tari-tarian tapi tadi
rasanya jendela itu terbuka".."
"Cepat buka!" "Wah, tidak bisa! Dikancing dari luar!"
Mula-mula hanya keributan kecil, namun
ketika para undangan menemukan semua pintu
dan jendela sudah tertutup dari luar, mereka
mulai agak panik. Orang-orang yang berprasangka buruk menambah suasana panik
1451 dengan mengatakan dugaan-dugaan yang
menyeramkan. "Jangan-jangan kita memang sengaja
dikurung di sini, untuk.... untuk."
"Untuk apa" Bicaramu membuat penasaran
saja!" "Untuk dibakar. Nah, kau tidak penasaran
lagi?" Dugaan itu beralasan, sebab udara semakin
panas, dan samar-samar mulai tercium bau
asap. Jelas bukan asap makanan, biarpun
masakan-masakan itupun masih berasap yang
sedap baunya. Keadaan jadi ribut, kepanikan menghinggapi
semua orang. Para pemain musik dan gadisgadis penari semakin menambah ribut dengan
teriakan-teriakan mereka. Asap masuk semakin
tebal. Udara makin panas. Tegasnya, Yong Ceng
mengumpulkan sahabat-sahabat lamanya itu
bukan untuk menikmati masakan, melainkan
untuk dijadikan "masakan" langsung. Yong Ceng
khawatir para pendekar akan menagih janji
1452 lamanya tentang penghapusan diskriminasi
bagi orang Han, maka daripada ia jemu
menghadapi "tagihan" terus-menerus, lebih
baik sahabat-sahabatnya itu sama sekali
"dibebaskan" saja dari dunia ini. Dikirim ke
dunia arwah, dimana tidak ada diskriminasi.
Kemeriahan pesta berubah jadi kegemparan.
Teriakan-teriakan marah dan putus-asa
terdengar di mana-mana. Ratusan orang saling
mendorong dan menginjak untuk mencapai
pintu atau jendela. Namun mereka kecewa.
Jendela-jendela dan pintu-pintu yang catnya
baru dan indah itu bukan terbuat dari kayu,
melainkan sudah diganti dengan lempenganlempengan besi, percuma didorong atau
didobrak dari dalam. Bahkan pintu-pintu besi
itupun makin lama makin panas sampai catnya
mengelupas. Itulah hasil kerja tukang-tukang yang
dipekerjakan secara kilat. Lalu tukang-tukang
itupun sudah dibereskan pula secara kilat agar
tidak membuka rahasia. 1453 "Kalau tidak bisa menjebol pintu atau
jendela, jebol temboknya!" seseorang mengusulkan, mengatasi suara hiruk-pikuk
Pedang, golok, ruyung dan berpuluh-puluh
senjata lainnya segera dihunus untuk dipukulpukulkan ke tembok, mencari harapan hidup
mereka. Namun ternyata setelah lapisan-lapisan
dinding itu terkelupas, nampak di bagian
dalamnya ada lembaran besi. juga. Andai kata
bisa dijebol, tentu makan waktu lama dan
mereka semua keburu mati keracunan asap di
ruangan tertutup itu, atau hangus.
Kepanikan segera merata. Pun-seng Hwe-shio nampak tetap duduk
tenang di kursinya sendiri, namun wajahnya
sudah basah air mata, la tidak menangisi
kematiannya. la menangisi kenapa dulu pihak
Siau-lim-pai begitu mempercayai Yong Ceng
yang ternyata setelah menjadi Kaisar lalu
berubah begini keji" la menangisi nyawa-nyawa
yang akan melayang dalam ruangan yang makin
panas. Menangisi jutaan rakyat kekaisaran, tak
peduli apapun suku bangsanya, yang akan jatuh
1454 dalam pemerintahan seorang maha lalim
seperti Yong Ceng. "Dulu kami buta semuanya," sesalnya dalam
heti. "Sesosok iblis berwujud manusia telah
kami puja-puja seperti sesosok malaikat
penolong yang akan membawa berkah bagi
umat manusia." Tapi ketika telinganya mendengar jerit panik
dari orang-orang dalam ruangan itu, terbangkitlah semangat Pun-seng Hwe-shio.
Semutpun akan menggigit kalau diinjak. Mana
boleh dia membiarkan si Kaisar durhaka itu
begitu gampang membasmi nyawa bekas
sahabat-saha batnya sendiri"
Tiba-tiba Pun-seng Hwe-shio bangkit dari
duduknya sambil menggeram. Di ambilnya
sebatang ruyung baja dari meja seorang
undangan yang tengah terlongong-Iongong
kehilangan sukma, lalu ia melangkah lebar ke
dinding ruangan. Saat itu dinding sudah rapat oleh manusiamanusia yang dengan kalap mengayun-ayunkan
senjata untuk membobol dinding. Manusia
1455 manusia yang pikiran mereka sudah dibekukan
oleh ketakutan dan kemarahan.
Pun-seng Hwe-shio mendesak maju sambil
mendorong-dorongkan tangan kiri nya. Tak
seorangpun sanggup menahan kekuatan
raksasanya, sehingga tak lama kemudian di
hadapannya terluang sebidang tembok besi
yang sudah luka-luka oleh bacokan macammacam senjata, namun nampaknya belum ada
tanda-tanda akan berhasil dijebol.
Pun-seng Hwe-shio lalu mengerahkan
tenaganya sampai otot thai-yang-hiat di
pelipisnya menggelembung. Disertai bentakan
memekakkan telinga, ia hantamkan ruyung baja
itu ke tembok. Tembok itu berdebum dan bergetar dahsyat.
Tidak.roboh, bahkan ruyungnya Patah. Namun
hantamannya tepat di bagian tembok yang
merupakan sambungan, sehingga terlihat mulai
retak sedikit. Retakan kecil itu bagaikan pintu kehidupan
yang disoraki dengan gembira oleh orang-orang
1456 dalam ruangan itu. Namun mereka merasa
ruangan itu semakin panas .
"Gempur lagi. Toa-suhu!" mereka berteriakteriak.
"Beri aku senjata lain!" kata Pun seng Hweshio sambil membuang potongan ruyungnya.
Terdorong rasa senasib di bawah ancaman
maut, berpuluh-puluh orang segera meminjamkan senjatanya. Pun-seng Hwe-shio
memilih sebatang tok-kak-tong jin (patung
tembaga berkaki satu) yang bobotnya sangat
berat, senjata bagi orang yang biasa
mengandalkan tenaga besarnya. Sekali lagi ia
mengerahkan tenaga, membentak dan menghantam, sekali lagi dinding itu bergetar
dahsyat. Kali ini benar-benar terbuka. Lapisan
besinya yang selebar lima kaki itu terpental
keluar loteng itu. Namun setelah dinding terbuka, orang jadi
ragu-ragu untuk melompat keluar.
"Di luar sudah penuh kobaran api!"
"Tidak mungkin kita melompat dari tempat
setinggi ini !" 1457 "Di halaman bawah sudah ada pasukan yang
siap menyambut kita!"
Tetapi suara Pun-seng Hwe-shio menggemuruh, menindas suara-suara bernada
putus harapan itu, "Diam! Kalian pilih mana"
Tetap di tempat ini, kita mampus sia-sia seperti
ayam goreng! Kalau kita keluar, barangkali juga
mampus, tapi kita sudah melawan sebagai lakilaki! Jangan sampai Yong Ceng keenakan
mendapat nyawa kita dengan cuma cuma!"
Seruan itu membangkitkan semangat orang
banyak. "Toa-suhu benar! Lebih baik melawan matimatian lebih dulu, mampuspun puas !"
"Ayo kita lompat keluar!"
Pun-seng Hwe-shio sendiri bukan hanya
membakar hati orang lain, namun juga
mempelopori. Dipungutnya sebatang golok di
lantai, lalu sambil memutar kencang golok itu di
depan tubuhnya, dia mendahului orang-orang
itu melompat keluar. Menerobos api yang
menyala-nyala di luar dinding, dan di balik api
itu ratusan pemanah Yong Ceng siap
1458 menaburkan panah-panah mereka. Juga
beberapa ragu bersenjata bedil.
Rupanya Yong Ceng memang tidak
menghendaki bekas sahabat-sahabatnya itu
lolos seorangpun. Di bagian luar loteng Hongthian-lau itu sudah berbaris melingkar pasukan
Senandung Cinta Masa Lalu 1 Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L Pemburu Darah Satria 2

Cari Blog Ini