Ceritasilat Novel Online

Kemelut Tahta Naga 2

Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp Bagian 2


yang syah itu sudah hampir kehabisan daya
perlawanan. Sebentar lagi tentu akan
tertangkap oleh Pangeran In Ceng dan
orang-orangnya, lalu nasibnyapun akan
127 susah diramalkan di dalam genggam an
Kakandanya yang haus kekuasaan itu.
Akhirnya Pak Kiong Liong memutus-kan
bahwa keselamatan Pangeran In Te harus
diutamakan dari Kaisar Khong Hi. Mungkin
untuk beberapa lama, Kaisar akan di bawah
kendali komplotan In Ceng namun nyawanya tidak terlalu terancam sebab Pak
Kiong Liong beranggapan bahwa betapapun
durhakanya In Ceng, rasa-nya tidak
mungkin berani membunuh Ayahandanya
sendiri (di kemudian hari, ternyata Pak
Kiong Liong menyesali sendiri anggapannya
yang keliru ini). Sebelum ini, Pak Kiong Liong berusaha
menunjukkan sikap netral dalam persidangan antar pangeran, tapi hari itu
terpaksa ia terang-terangan "buka kartu"
memihak Pangeran In Te. Memang In Te
belum tentu berhasil menjadi Kaisar yang
128 sesempurna Ayahandanya, tetapi dialah
pilihan terbaik di antara putera-putera
Kaisar Khong Hi. Kalau tahta dibiarkan
jatuh ke tangan In Ceng, Pak Kiong Liong
sudah membayangkan bahwa kekaisaran
akan mengalami kemelut hebat di bawah
pemerintahannya. Sambil membentak keras untuk menghimpun semangatnya, Pak-Kiong Liong se
kaigus melancarkan tiga pukulan berturutturut. Hoan-in-hok-te (Mega Terba-lik
Menutup Bumi), Boat-in-kian-jit (Meny
ingkap Mega Memandang Matahari dan
Liang-siang-kai-san (Sepasang Gajah Mendobrak Gunung). Dua pukulan pertama menghasilkan
gulungan tenaga panas beberapa langkah di
sekitar arena, membuat kedua lawannya
melompat menjauhkan diri. Kemudian
ketika Liang-siang-kai-san dilontarkan,
129 kedua tangannya terpentang dan terkatup,
dua arus udara membara kembali memaksa
kedua jagoan In Ceng itu mengulur jarak.
Mereka harus mengakui hebatnya, Panglima
tua yang sudah ubanan semuanya itu.
Pak Kiong Liong menggunakan kesem
patan itu untuk melompat keluar
arena, seperti seekor burung garuda ia
menyambar ke arah Pangeran In Te yang
keadaannya kian berbahaya.
Putera ke empatbelas Kaisar Khong Hi
itu memang sudah ibarat telur di ujung
tanduk. Pundaknya sudah berdarah kena
pedang salah seorang pengikut In Ceng,
bajunya robek, langkahnya sempoyongan
seperti orang mabuk. Namun tidak percuma
ia menjadi Panglima Tertinggi Angkatan
Perang Kekaisaran, ia memang bernyali
singa dan bersemangat naga, sehingga
130 dengan gigihnya dia terus memutar pedang
untuk melawan. Saat itulah Pak Kiong Liong datang
menyambar dari atas, pukulan hawa panasnya terus dihamburkan kepada lawanlawan Pangeran In Te, kecuali Pangeran In
Ceng yang tidak. "Maafkan hamba, Pangeran," kata Pak
Kiong Liong kepada In Ceng yang hanya
didorongnya mundur tanpa menggunakan
Hwe-Iiong Sin-kang. Itupun sudah cukup
membuat In Ceng terhuyung-huyung nyarls
roboh Dengan geranm In Ceng membentak,
"Paman, kaupun coba-coba melindungi
seorang pemberontak"!"
Sahut Pak Klong Liong, "Siapapun yang
ingin berontak, hambalah rintangan
pertama yang harus dilaluinya. Namun
suatu pemberontakan harus dibukii-kan
131 leblh dulu adanya, bukan mengumbar
tuduhan untuk menyingkirkan saudara
sendiri"." Berada ditengah Jagoan-jagoan yang
berjumlah banyak, In Ceng tldak lagl gentar
kepada Pamannya ini. Tanpa kata-kata,
hanya dengan isyarat matanya. ia menyuruh
orang-orangnya untuk turun tangan segera.
Namun geraken orang-orang itu masih
kalah cepat dari gerakan Pak Kiog Long,
yang tiba-tiba menyambar pinggang In Te
untuk dibawa kabur. Gerakannya secepat
angln puyuh, sehlngga In Te sendiri tak
menduga akan diperlakukan demikian.
Seorang Jagoan berjubah ungu yang
mencoba menghadangnya, telah ditumbuk
dengan pundaknya sehingga ter penial
pingsan. Seorang lagi menusukkan tombak,
tapi kemudian tulang-tulang dadanya
132 sendirilah yang remuk terhajar tendangan
Pak Kiong Liong. "Kejar!" teriak In Ceng. "Sekali
melangkah, jangan tanggung-tanggung ."
Namun gerakan Pak Kiong Liong sangat
cepat , meskipun dibebani tubuh Pangeran
In Te. Beberapa butir kepala musuh malah
dijadikannya batu-batu loncatan untuk
mencapai luar aula. Di luar aula ada liga pengawal Pak Kiong
Liong. Melihat Panglima mereka diuberuber, ketiga pengawal itu menghunus
senjata dan menghadang orang-orang In
Ceng yang jauh lebih ba-nyak.
"Selamatkan dirl kalian!" seru Pak Kiong
Liong kepada liga pengawalnya itu. la tahu
ketiga pengawal itupun prajurit-prajurit
yang tangguh, tapi terlaIu be rat kaIau harus
me Iawan oiang orang Pangeran In Ceng.
Tapi pengawaI-pengawal itu menjawab,
133 Searang jagoan berjubah ungu yang mencoba
menghadangny, telah d.i tumbuk dengan pundaknga
sohingga terpental pingsan.
134 "Goan-swe selamatkan Putera Mahkota,
kami bertiga akan bertahan di sini!"
"Tapi lawan-lawan kalian sangat kuat..."
kata Pak Kiong Liong, namun pengawalpengawal menjawab lagi dengan tegas
tanpa keraguan sedikitpun. "Agar tahta
tidak jatuh ke tangan pangeran yang lalim,
kami siap berkorban nyawa di tempat ini .
Ciangkun, pergi lah!"
Rasa bangga campur terharu Pak-Kiong
Liong mendengar tekad pengawaI "
pengawal itu. la tahu past i mereka bertiga
akan mati, namun tidak ada waktu lagi
untuk membujuk-bujuk mereka sebab jagoan-jagoan In Ceng sudah terdengar derapnya yang kencang. Yang
kemudian dilakukan Pak Kiong Liong
kepada ketiga pengawal itu ialah berlutut
sambil berkata, "Terimalah hormat terakhirku, prajurit-prajurit jantan."
135 Setelah itu, dengan mengempit tu-buh
Pangeran In Te, pergilah Pak Kiong Liong.
Sedangkan ketiga pengawalnya dengan
berani-mati menghalangi jagoan-jagoan In
Ceng itu. Perlawanan ketiga orang pengawal itu
tentu saja tak bisa menghentikan jagoanjagoan macam Kim Seng Pa, To Jiat Hong
atau lain-lainnya. Mereka bertiga tergilas
habis, bahkan tubuh mereka menjadi
pelampiasan kemarahan dan dibacoki
senjata sampai nyaris berujud daging
cincang. Namun pengorbanan mereka tidak
sia-sia, sebab para pengejar haus darah dan
haus pahala itu jadi terhambat sejenak
untuk mengejar Pak-Kiong Liong dan In Te.
(Bersambung jilid III) 136 137 KEMELUT TAHTA NAGA Karya : STEFANUS S .P. Jilid III Pangeran In Ceng sadar, kalau sampai adik
ke empatbelas yang dibawa Pak Kiong Liong itu
kembali berada di tengah pasukan perangnya,
kedudukannya sendiri jadi berbahaya sekali.
Karena itu, diperi ntahkannya salah seorang anak buahnya. "Bawa perintahku untuk menutup
Sembilan Gerbang Kotaraja. Dalam satu hari
satu malam, siapapun dilarang keluar masuk
dengan ancaman hukuman potong kepala!"
Anak buahnya yang disuruh itu agak paham
tentang aturan jalur-jalur perin tah di ibukota,
sehingga ia menjadi ragu-ragu. Katanya,
"Pangeran, sembilan pintu gerbang itu ada di
bawah wewenang Kiu-bun Te-tok (Panglima
Sembilan Pintu, Garnisun Ibukota)."
138 pangeran In Ceng yang sedang marah itu tidak
mau mendengar bantahan apa pun. "Kau berani
membantah aku" Kim Seng Pa, seret dia dan
penggal kepala-nya!"
Anak buah itu kaget sekali sampai mukanya
pucat, ia tidak menduga kata-katanya yang
sepele itu mengakibatkan kematiannya. Dia
berlutut dan meratap-ratap mohon ampun,
tetapi Kim Seng Pa tidak peduli dan
menyeretnya pergi ke tempat lain, dan tidak
lama kemudian sudah kembali dengan menjinjing batok kepaia anak buah yang malang
itu. Setelah menyuruh orang lain agar
menghubungi Kiu-bun Te-tok agar memerintahkan penutupan semua pintu kota, agar
kedua "buruan" itu tidak sempat kabur keluar
kota, maka Pangeran In Ceng masuk kembali ke
aula persidangan dengan langkah tegap, seolahoiah ia sudah mengenakan Jubah Naga Kuning
139 dan Mahkota Naga. Para pejabat yang hadir di
ruangan itu tadi, meskipun masih ke bingungan,
tapi belum pergi sebelum ada perintah untuk
bubar. Di bawah cengkeraman pengaruh
Pangeran In Ceng yang tidak segan-segan
bertindak keras, kesalahan sekecil apapun bisa
menyebabkan lepasnya batok kepala dari
badan. Pangeran In Ceng mencoba memoles
wajahnya dengan senyum ramah supaya
kelihatan tidak menakutkan, namun banyak menteri-menteri tua yang justru bergidik melihat senyuman di wajah tampan itu.
Apalagi Pangeran In Ceng diiringi segerombolan
jagoan-jagoannya yang berwajah seram-seram
dan berseragam jubah ungu itu.
In Ceng memang belum berani duduk di
Singgasana Naga yang ditinggal kan Ayahandanya tadi namun berdirinya hanya
selangkah dari singgasana idaman para 140 pangeran itu. Menghadap ke arah orang-orang


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di aula persidangan, ia berkata, "Karena
kesehatan Ayahanda agak terganggu oleh
munculnya si pemberontak tadi, maka
persidangan diundurkan sampai waktu yang
akan ditetapkan kemudian. Aku mengambil alih
tanggung jawab atas keselamatan Ayahanda
dan seisi istana. Siapapun yang berani mencoba
mengganggu istirahat penyembuhan Ayahanda, akulah lawannya. Sekarang kalian
boleh bubar ." Apa boleh buat. Pangeran In Si, In Gi, In Tong,
In Go dan lain-lainnya boleh saja mengutuk
dalam hati, namun mereka sadar bahwa In Ceng
sedang menang kedudukan dan tak mungkin
ditentang. Para menteri boleh saja ragu-ragu
ketulusan In Ceng, namun beranikah mereka
membangkang" Beberapa orang Panglima bahkan sudah menunjukkan sikap berpihak
kepada In Ceng, sementara beberapa lainnya
141 masih pasang jurus "melihat-lihat arah angin
lebih dulu . " Toh belum ada kepastian bahwa
Pangeran In Te sudah kalah.
Sementara itu, Pak Kiong Liong dan
Pangeran In Te begitu tiba di luar gerbang
Istana, langsung masing-masing melompat ke
atas dua ekor kuda tegar. Entah kuda.
kepunyaan siapa, tak sempat lagi bertanyatanya. Lalu keduanya berrpacu sekencangkencangnya menjauhi Istana, menimbulkan
keheranan perajurit-perajurit penjaga pintu
gerbang yang belum tahu apa yang terjadi di
aula per-s i dangan tad i .
"Kenapa dengan Pak Kiong Goanswe?"
seorang perajurit bertanya kepada temannya.
"Entahlah. Kenapa ia meninggalkan Sidang
Kerajaan amat terburu-buru seperti itu?"
"Yang satunya tadi siapa?"
"Melihat seragamnya, seperti pengawalnya.
Tapi wajahnya mirip-mirip.."
142 "Mirip siapa?" "Pangeran In Te."
"Ngaco. Pangeran In Te kan masih di tengah
pasukannya yang sedang dalam perjalanan
pulang dari Jing-hai sana?"
Pak Kiong Liong dan In Te sendiri terus
berpacu. Tanpa melambatkan kudanya, In Te
bertanya, "Kita akan ke mana, Paman ?"
Sahut Pak Kiong Liong, "Hamba. antarkan
Pangeran sampai ke luar kota , tempat yang
aman." "Lebih baik Pamanpun pergi bersama ku.
Kalau Paman tetap di Pak-khia, Kakanda In
Ceng pasti takkan henti-henti nya merepoti
Paman." "Jangan khawatirkan hamba, Pangeran.
Hamba yakin Pangeran keempat masih segan
kepada hamba sebagai paman-nya. Kecuali itu,
hamba masih punya banyak teman setia di Pak143
khia, dan juga tidak boleh meninggalkan HuiLiong-kun tanpa pimpinan."
Pangeran In Te tidak menjawab, namun ia
tahu pamannya tidak membual. Dengan ribuan
prajurit berani mati yang berada di belakang
Pak- Kiong Liong, rasanya Pangeran In Ceng
harus berpikir berulang kali,sebelum berbuat
gegabah terhadap Pak-Kiong Liong. Apalagi
masih ada Bok Eng Siang, Panglima Hui-houkun (Pasukan Macan Terbang) yang tidak kalah
tangguhnya dari pasukan Hui-Iiong-kun bawahan Pak Kiong Liong. Bedanya, kaiau HuiIiong-kun adalah pasukan berkuda, maka Huihou-kun adalah pasukan jaIan kaki.
Sejak dari pintu gerbang istana sampai ke
pintu kota barat, Pak Kiong Liong dan In Te
tidak mendapat rintangan dari siapapun.
Beberapa kelompok perajurit yang berpapasan
malah memberi hormat kepada Panglima tua
itu, yang tak sempat menggubrisnya.
144 Setelah berada sepuluh li di luar kota Pakkhia, barulah mereka mengendorkan lari kuda
mereka yang mulutnya sudah berbusa karena
dipacu sekian lama . In Te kemudian berkata, "Hari ini, meskipun
nyawaku hampir melayang, tetapi aku gembira
karena Paman sudah menunjukkan sikap tegas
Paman dalam sidang Kerajaan tadi. Paman juga
sudah memperpanjang hidupku."
Pak-Kiong Liong menarik napas, kini orangorang Pak-khia pasti sudah tahu semua bahwa
dirinya berpihak kepada Pangeran In Te,
dengan demikian sudah terlibat langsung
dalam-arena perebutan tahta. Namun dukungannya kepada In Te itu bukan karena
mengharap mendapat kedudukan yang lebih
tinggi di kemudian hari, melainkan sekedar
bertanggung jawab agar tahta kekaisaran
diduduki oleh pilihan yang terbaik. Pak Kiong
Liong yang sebenarnya mendambakan hari tua
145 yang tenang itu, merasa bahwa ke-tenteraman
impiannya ituagaknya belum akan diperolehnya
dalam waktu dekat ini . "Pangeran, hamba punya sebuah permi
ntaan ." "Apa, Paman?" "Hamba mohon jawaban lebih dulu, jika
Pangeran sudah ada di tengah-tengah pasukan
kembali, tindakan apa yang akan Pangeran
lakukan?" Sahut In Te, "Kakanda In Ceng sudah tidak
menghiraukan persaudaraan lagi, karena itu
buat apa aku masih akan bersikap sungkan
terhadapnya?" Wajah Pak- Kiong Liong menjadi tegang
mendengar jawaban itu. "Maksud Pangeran,
Angkatan Perang akan digerakkan untuk
membereskan urusan ini?"
"Kakanda In Ceng yang memaksa aku
berbuat demikian. Istana dan seisinya harus
146 diselamatkan dari cengkeraman komplotan
busuk Kakanda In Ceng dan Paman Liong Ke
Toh yang serakah itu. Dan bukankah tadi Paman
melihat sendiri bagaimana Ayahanda diperlakukan amat kasar oleh Paman Liong?"
Pangeran ke empatbelas itu nampak
mengepal-ngepaIkan tinju karena membayangkan bagaimana Ayahandanya diperlakukan
tadi. Suaranya bernada semakin marah, "Karena
itu, Kakanda In Ceng dan Paman Liong harus
menerima ganjarannya. Tidak ada jalan lain
kecuali menggerakkan pasukanku!"
"Itu berarti perang saudara?"
"Terpaksa. Tapi.... eh, Paman belum
menyebutkan permintaan Paman."
Tiba-tiba Pak Kiong Liong melompat turun
dari kudanya lalu berlutut menyembah In Te,
sehingga bangsawan muda itu tercengang.
Cepat diapun melompat turun dan berusaha
membangunkan Pak Kiong Liong, namun gagal.
147 "Bangkitlah, Paman. Apakah permintaan Paman
itu sehingga Paman harus bersikap seperti ini?"
Sambil tetap berlutut, Pak Kiong Liong
memohon, "Pangeran, hamba mohon biarpun
pasukan ditarik ke ibukota, tapi sebisa-bisanya
hindarilah perang saudara. Barangkali, kedatangan angkatan perang itu akan membuat
komplotan yang kini menguasai istana minggir
sen diri, sehingga Pangeran mendapatkan hak
Pangeran tanpa melewati pertumpahan darah.
Hamba mohon dengan sangat."
Darah muda Pangeran In Te masih mendidih
panas karena peristiwa di aula persidapgan
tadi, sehingga permin-taan Pak Kiong Liong itu
terasa sangat berat. Betapa ingin dia masuk
ibukota dengan megah bersama pasukannya
untuk menunjukkan kekuasaannya, dan menggempur penentang-penentangnya sehingga bertekuk lutut semuanya. Namun
148 permohonan Pak Kiong Liong, pamannya
yang dihormatinya itu, tidak bisa ditolak-nya
begitu saja, sehingga ia kebingung an harus
menjawab apa. "Pangeran, hamba mohon agar Pangeran
mengingat betapa jerih-payah kita mendirikankekiasaran agung ini, laksaan perajuritperajurit terbaik kita sudah melayang di medan
laga untuk mempersatukan daratan tengah.
Jangan sampai perang saudara antara Pangeran
dan Pangeran In Ceng membuat kekaisaran i-ni
runtuh dalam sekejap."
Terjadi pertentangan dalam diri In Te, antara
gelegak darah mudanya melawan akal sehatnya.
Kemarahannya menun-tut pembalasan karena
dirinya telah di perlakukan seperti maling
jemuran di aula persidangan tadi, namun akal
sehatnya dapat mencerna kata-kata Pak Kiong
Liong itu. Namun tidak gampang mengambi1
pilihan. 149 "Paman, tidak ada alasan untuk khawatir
akan terjadinya perang saudara sehingga
kekaisaran runtuh segala. Berapa Danyak
jumlah pendukung Kakanda In Ceng" Hanya
beberapa gelintir manusia liar, bisakah
dibandingkan dengan pasukan besarku yang
baru saja membuktikan keunggu1annya di Jinghai" Dalam satu hari, selesailah semuanya dan
aku lah sang pemenang."
"Pangeran jangan keliru menghitung
kekuatan Pangeran In Ceng. Beberapa pa sukan
di ibukota sudah di bawah pengaruh Ni Keng
Giau, padahal dia sekaligus adik seperguruan
dan tangan kanan Pangeran In Ceng. Keliru
kalau menganggap pendukung Pangeran In
Ceng cuma orang-orang berjubah ungu di aula
tadi "Tapi mereka tetap tidak berarti dibandingkan pasukanku yang terdiri dari enam
ratus ribu prajurit berpengalanan. Kalaupun
150 terjadi perang, tidak akan lama pasukanku akan
berhasil menyapu habis mereka."
"Maafkan kalau hamba terlalu banyak mulut,
Pangeran. Perlu Pangeran ketahui bahwa
pendukung Pangeran In Ceng tidak hanya
berpusat di Pak-khia, tetapi juga di daerahdaerah. Di wilayah selatan, Pangeran In Ceng
menggalang hubungan akrab dengan ribuan
pendekar silat dan puluhan kelompok silat yang
akan merupakan kekuatan bawah tanah yang
sulit dipatahkan, sebab mereka bercampuk
aduk dengan rakyat biasa dan sulit dikenali."
Sikap In Te yang membanggakan kekuatan
pasukannya itu pupus ketika mendengar
keterangan Pak Kiong Liong yang dipercayainya. Pertimbangan yang sangat
masuk akal dari seorang Jenderal tua yang
sudah berpengaIaman berpuluh tahun. Mungkin
saja Pangeran In Te ber hasiI menggempur Pakkhia secara kekerasan dan menguasai tahta, tapi
151 kalau pendukung-pendukung
In Ceng bergerak serempak di daerah-daerah, sulitlah
mematahkan mereka. Seperti gerombolan
semut, kalau berkumpul di satu sarang akan
gampang dibasmi, tapi bagaimana kalau semutsemut itu bubar berpencaran dan bersembunyi
di segenap sudut rumah" Yang terjadi akan
seperti yang di khawatirkan Pak-kiong Liong,
bukan "pe rang besar sekali pukul beres"
namun "perang-perang keci1 yang berlarut-larut", entah kapan selesainya.
"Jadi, bagaimana baiknya, Paman?"
"Angkatan Perang yang baru datang dari
Jing-hai itu digunakan untuk menggertak saja,
jangan langsung menyerbu. Nanti hamba dan


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

panglima-panglima lain yang setia kepada
Pangeran akan berusaha menekan dan
membujuk para penentang, agar mereka
mundur tanpa kehilangan martabat. Artinya,
152 kalau Pangeran naik tahta, biarkan mereka
dalam kedudukan masing-masing
"Aku kenal tabiat Kakanda In Ceng sejak
sama-sama masih kecil. Dia tidak gampang
digertak atau ditakut-takuti dengan ujung
senjata. Dia selalu mem-perjuangkan apa yang
diinginnya secara habis-habisan."
"Hamba juga kenal wataknya, namun hamba
mohon usul hamba tadi dilaksana-kan dulu.
Kalau dia tetap tidak mau minggir, barulah kita
gempur dengan kekerasan, saat itu hamba siap
bertempur di pihak Pangeran. Tapi ucapan ini
hendaknya jangan diartikan sebagai dorongan
untuk mengobarkan perang saudara. Lebih dulu
harus diselesaikan secara kekeluargaan."
Mendengar dukungan Pak Kiong Liong
kepadanya yang tanpa tedeng aling-aling itu,
melonjaklah kegembiraan Pangeran In Te.
Itulah yang diharapkannya sejak dulu. Pak
Kiong Liong adalah seorang tokoh tua yang
153 berpengaruh di pemerintahan maupun kemlliteran, juga seorang kerabat istana yang
dihormati,sikapnya tentu akan mempengaruhi
beberapa pihak pula. Beberapa panglima yang
masih ragu-ragu di simpang jalan, barangkali
akan bisa ditarik ke dalam pihaknya, bahkan
yang sudah memihak Pangeran In Ceng pun bisa
jadi akan ber-ganti kiblat.
"Aku lega mendengar ketegasan sikap
Paman. Terima kasih. Nah, aku kira cukup
sampai sini Paman mengantarku, jagalah diri
Paman baik-baik, juga titip keselamatan Ibunda
dan kerabat istana lainnya."
"Hamba junjung tinggi kepercayaan Pangeran. Tapi apakah Pangeran akan berjalan
sendiri sampai ke pasukan Pangeran" Dan
bagaimana luka di pundak Pangeran itu?"
"Di desa depan itu ada sepasukan
pengawalku yang sengaja aku tinggalkan, tidak
aku ajak menyelundup masuk Pak khia. Paman
154 jangan khawatir. Sedang luka di pundakku ini
hanyalah luka kecil yang tak berarti. Di Jinghai aku pernah mendapat luka yang lebih berat
namun masih bisa memimpin pertempuran
sampai selesai." Karena tidak mencemaskan lagi perjalanan
In Te, maka Pak Kiong Liong balik seorang diri
ke dalam ibukota. Hari sudah menjelang malam
ketika ia mendekati tembok kota, dan sembilan
pintu gerbang sudah djtutup.
Ketika Pak Kiong Liong menengadah ke atas
benteng, ia lihat di atas benteng banyak
perajurit hilir-mudik dengan membawa senjata.
Diam-diam Pak Kiong Liong menarik napas.
Hari-hari biasanya, penjagaan tak sekeras
itu, mengerasnya penjagaan itu pasti ulah In
Ceng. Dalam keadaan biasa, Pak Kiong Liong
akan dapat melewati prajurit-prajurit itu tanpa
rintangan, tapi dalam situasi saat itu ia tidak
dapat menentukan siapa kawan siapa 155 lawan, seragam yang sama pun belum
menjamin bahwa dia adalah teman sendiri.
Dengan iimunya yang tinggi, Pak Kiong Liong
kemudian merambati tembok kota dengan ilmu
Pia-hou-yu-jio (Cecak Merambat) , lalu seringan
sehelai bulu dihembus angin, tubuhnya melesat
ke dalam kota Pak-khia tanpa terlihat seorang
penjagapun. Kota Pak-khia jauh lebih menegang-kan dari
hari-hari biasa. Biasanya, sampai malam hari
pun penduduk masih banyak berjalan-jalan di
jalan besar, namun saat itu sore baru saja
lewat dan sudah tidak ada lagi penduduk
yang berada di luar pintu rumahnya. Bisa
dimaklumi ketakutan penduduk itu, sebab jalanan penuh kelompok-kelompok perajurit bersenjata, masing-masing kelompok berbeda-beda seragamnya, sesuai
dengan pasukan induk masing-masing.
156 Dari sebuah persembunyian, Pak-Kiong
Liong mengamati situasi itu dengan heran.
Perajurit-perajurit yang berkeliaran di jalanan
itu bukan cuma dari kelompok-kelompok yang
memihak In Ceng, tetapi juga kelompokkelompok saingannya. Nampak pula perajuritperajurit bawahan Pak Kiong Liong sendiri, HuiIiong-kun, dengan seragam termpurnya yang
serba hitam dan topi bulu hitam pula, dengan
sikap garang menungang kuda dan berkelompok-kelompok di jalanan.
Pak-Kiong Liong heran melihat itu. "Siapa
berani menyuruh mereka keluar dari barak
tanpa perintahku" Apakah sudah terjadi
pengambilalihan kedudukanku sebagai Pangl
ima Hui -Liong-kun?"
Sepercik kecemasan berkembang di hati
Panglima tua itu, apa yang dicemaskan itu
bukanlah sesuatu yang mustahil. Kaisar Khong
Hi yang dalam keadaan lemah itu, bisa saja
157 ditekan oleh In Ceng dan Liong Ke Toh untuk
mempereteli pengaruh Pak Kiong Liong, misal nya dengan menggeser dari kedudukan semula
sebgai Panglima Hui-Liong-kun. Bagaimanapun
setianya perajurit-perajurit Hui-Liong-kun,
kalau di depan hidung mereka disodori perintah
Kaisar resmi, tentu mereka tak kuasa membangkang apapun yang diperintahkan.
Karena ingin tahu peristiwa sebenarnya, Pak
Kiong Liong memutuskan untuk bertanya
kepada perajurit-perajurit Hui-liong-kun yang
akan ditemuinya paling awal nanti. Seandainya
perajurit-perajurit itu sudah dibekali perintah untuk menangkapnya, ya apa boleh
buat. Namun mudah-mudahan itu hanyalah pr.isangka.
Ketika sekelompok perajurit berkuda HuiLiong-kun lewat sebuah jalan, Pak Kiong Liong
melompat keIuar dari persembunyiannya dan
mendarat di hadapan perajurit-perajurit itu.
158 Perajurit-perajurit itu menghentikan kuda
mereka dengan kaget dan hampir sa ja
menghunus senjata-senjata mereka. Tapi begitu
mengenal siapa yang mengha dang mereka,
merekapun berlompatan turun dari kuda untuk
berlutut menghormat. Komandan kelompok
mereka dengan nada kegirangan berkata
tergagap-gagap, "Jadi....
jadi... Goan-swe masih selamat?" Pak Kiong Liong tertawa dan menjawab,
"Bangunlah kalian. Siapa mengatakan aku
celaka" Aku hanya dari luar kota untuk
mengantarkan seseorang."
Komandan regu itu bernama Su Toh Jiang,
berpangkat Pa-cong dan berkedudukan Pek-huthio (Pemimpin regu 100 perajurit) dalam Hui-L
iong--kun. la seo rang lelaki tegap yang mata
kirinya ditutup kain hitam karena cacad, pernah kena panah di dalam suatu pertempuran.
159 Dialah yang berbicara mewakili temantemannya.
"Tadi pagi kabarnya ada keributan dalam
Sidang Kerajaan, lalu berkembang desas-desus
bahwa Goan-swe ingin membunuh Hong-siang
(Kaisar) untuk merebut kekuasaan. Ketika
Goan-swe tidak menampakkan diri sehari
penuh, meskipun sudah dicari ke mana-mana di
dalam kota Pak-khia ini, maka keadaanpun jadi
tidak menentu, terutama bagi pasukan kita yang
seperti anak-anak ayam kehilangan induknya."
"Fitnah yang keji," Pak Kiong Li-ong
mengepalkan tinjunya. "Dan bagaimana sikap
kalian sendiri terhadap kabar angin itu?"
Su Toh Jiang menyahut tegas. "Tidak
seorangpun anggota pasukan kita mempercayai
kabar yang berasal dari mulut usil itu. Kami
sudah kenal bagaimana pengabdian tulus Goanswe
kepada kekaisaran, bagaimana kepercayaan kami terhadap Goan-swe bisa
160 luntur hanya mendengar kabar yang tak keruan
asal nya?" "Terima kasih. Tetapi kenapa kalian
berkeliaran di luar tangsi dengan seragam dan
periengkapan tempur seperti ini?"
"Goan-swe, maafkan kami yang bertindak
kurang terkendali seperti ini. Tetapi ini karena
pasukan Hui-liong-kun kita mendapat penghinaan yang amat menyakitkan hati. Bukan
saja nama Goan swe telah difitnah sebagai
pengkhia-nat, tapi tadi pagi tangsi kita
juga mendapat kiriman....."
"Kiriman apa?" "Tubuh tiga orang rekan kami yang sudah
tercincang hancur. Katanya, mereka Bertiga tadi
pagi telah berani mengacau Sidang Kerajaan
dan perajurit-perajurit istana telah menghukum
mereka. Coba pikir, seorang penjahat
yang bagaimanapun besar kesalahannya tidak akan dicincang seperti itu, paling-paling
161 dipotong lehernya. Tapi tiga rekan kami itu
telah dirajang seperti daging babi saja,
bagaimana kami sanggup, menahan kemarahan
kami?" Wajah Pak-Kiong Liong membayangkan
kesedihan dan kemarahan bercampur aduk.
Ketiga mayat tercincang itu pasti lah tiga orang
pengawalnya yang tadi pagi dengan gagah
berani mengorbankan diri menghadang kejaran
orang-orang Pangeran In Ceng, untuk memberi
kesempat an Pak Kiong Liong bisa menye1amatkan Pangeran In Te, putera
Mahkota yang syah karena namanya tertulis
dalam Surat Wasiat Kaisar yang belum
dibuka. Namun tiga pengawal gagah berani
itu malah dicap sebagai pengacau oleh pihak
lawan. Setelah mendapat "paket istimewa" itu,
seluruh perajurit Hui-Liong-kun bergolak marah. Mereka merasa difitnah, ditantang,
162 diragukan kesetiaan me reka terhadap Kekaisaran. Mereka lalu menukar seragam
harian mereka dengan seragam tempur, dan
hampir saja menyerbu tangsi-tangsi dari
pasukan-pasukan yang memihak In Ceng, siap
bertempur sampai orang penghabisan untuk
mencuci bersih kehormatan pasukan mereka.


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Untunglah wakil Pak Kiong Liong yang bernama
Tong Siau Beng berhasil mengendalikan
pasukan, meskipun dengan susah payah.
Mereka dilarang menyerbu tangsi pasukan lain,
tapi diberi "penyaluran" untuk diperbolehkan
"unjuk kekuatan" di ibukota. Itulah sebabnya
mereka ber keliling-keliling kota Pak-khia
dengan sikap garang siap bertarung.
Pak Kiong Liong menggeleng-geleng-kan
kepala. la merasa tindakan Tong Siau Beng itu
terlalu gegabah, membiarkan perajurit-perajurit
itu berkeliaran dengan memendam kemarahan
di hati. Siapa berani menjamin tidak,akan
163 terjadi bentrokan antara sesama perajurit
yang berbeda kelompok, yang kemungkinan akan meluas menjadi bentrokan antar pasukan"
Kalau itu terjadi, maka kota Pak-khia akan
banjir darah, bukan oleh serbuan musuh dari
luar, melainkan karena bentrokan antar
perajurit sendiri. Pemerintah akan lumpuh, dan
bukan mustahil itulah titik awal runtuhnya
kekaisaran. "Aku harus menjewer kuping Tong Siau Beng
nanti," kata Pak Kiong Lion dalam hati,
Untunglah, kelompok-kelompok yang memihak Pangeran In Ceng agaknya belum siap
untuk membendung gelombang kemarahan
perajurit-perajurit Hui-liong-kun yang terkenal
keperkasaannya di medan laga itu. Kalau
mereka berpapasan dengan perajurit-perajurit
Hui-liong-kun mereka diam saja biarpun dipelototi atau diejek-ejek oleh perajurit-perajurit
Hui-Liong-kun. Dengan demikian, belum ada
164 yang jatuh korban karena bentrokan antar
pasukan. Tapi situasi dalam kota Pak-khia
begitu tegangnya karena hampir semua
perajurit keluar tangsi sehingga penduduk
menjadi ketakutan dan mengurung diri dalam
rumah . Ibukota Pak-khia saat itu seperti gudang
bahan peledak, sepercik api menyala karena
kesengajaan atau ketidak-sengajaan, meledaklah semuanya dan ibu kota akan
menjadi puing raksasa yang mengerikan,
"Sekarang di mana Tong Siau Beng?" tanya
Pak Kiong Llong. "Seharian ini Tong-ciangkun terus berada di
tangsi, tidak meninggalkan ruang komando
selangkahpun juga, meski pun diberi kabar
bahwa mertuanya jatuh sakit. la terus
menerima Iaporan-Iaporan dan mengirimkan
pesan-pesan lewat kurir-kurir.
165 Tadi Pak Kiong Liong sempat jengke1 kepada
Tong Siau Beng karena tindakannya yang dinilai
ceroboh, namun ia puas juga mendengar bahwa
wakilnya itu tetap memikul tanggung jawab mengendalikan gerak-gerik pasukannya di ruang
komando tangsi Hui-Liong-kun , ti dak peduli
dikabari mertuanya jatuh sakit.
Kemudian Pak Kiong Liong meminjam kuda
salah seorang perajuritnya, dan bersama
rombongan perajurit itu menuju ke tangsi.
Sepanjang jalan, kelompok-kelompck perajurit
Hui-Liong-kun bergabung sambil bersoraksorak melihat Panglima mereka masih hidup,
sehingg.i barisan itu makin lama makin besar.
Sedang perajurit-perajurit dari pasukan lain
buru-buru menyingkir dari jalan, karena
khawatir kalau perajurit-perajurit Hui-Liongkun itu mengamuk.
Derap ratusan ekor kuda tunggangan itu
menggetarkan jalan-jalan kota Pak-khia,
166 membuat penduduk bertambah cemas karena
tidak tahu apa yang terjadi,
Tiba di tangsi Hui-Liong-kun , Pak Kiong
Liong langsung menuju ke ruang komando.
Dilihatnya wakilnya dalam pakaian seragam
tempur duduk kelelahan, dengan wajah berlapis
keringat dan debu, agaknya sejak pagi hingga
malam itu belum sempat mandi. Tampangnya
keli hatan lebih tua beberapa tahun karena tekanan kelelahan jiwa dan ketegangannya. Namun ia tidak sendirian, ditemani Bok
Eng Siang, Panglima Hui-hou-kun yang
berseragam tempur pula, hanya nampak lebih
segar dan tenang. Kedua orang itu melompat dari duduknya
ketika melihat munculnya Pak Kiong Liong
kemudian sama-sama memberi hormat dengan
menekuk lutut, "Bangunlah, kau tentu lelah dan tegang
;seharian ini, saudara Tong," kata Pak Kiong
167 Liong sambil membangunkan Tong Siau Beng
dari berlututnya. "Kau sendiri jangan banyak
adat, saudara Bok." Sahut Tong Siau Beng. "Untung Goan swe
segera datang. Aku nyaris kehabisan akal dan
tak sanggup lagi mengendalikan pasukan kita
yang semakin beringas, karena semakin
santernya desas-desus tentang tewasnya dan
pengkhianatan Goan-swe terhadap Kaisar."
Pak-kiong Liong tersenyum. "Kau lihat
sendiri, ternyata aku masih hidup, dan nanti
akan juga kujelaskan bahwa aku bukan
pengkhianat seperti yang dituduhkan mulut usil
itu. Sekarang, komando aku ambil alih."
"Silakan, Goan-swe," sahut Tong Siau Beng
sambil minggir untuk memberi jalan Pak Kiong
Liong ke arah kursi berlapis kulit macan tutul
yang tadi di duduki nya. Setelah duduk dikursi , keluarlah perintah
Pak Kiong Liong, "Tarik semua, perajurit kita ke
168 tangsi kembali. Lain semua perwira berpangkat
Jian-hu-thio (pemimpin 1000 perajurit) harus
segera menghadap di ruangan ini!"
"Baik, Goan-swe!" sahut Tong Siau Beng
sambil berlutut sekali lagi, kemudian
melangkah meninggalkan ruangan dngan tegap
dan bersemangat, lupa kepada mertuanya yang
sakit. Sesaat kemudian, kurir-kurir berkuda
bertebaran dari tangsi itu untuk memanggil
seluruh pasukan Hui-Liong-kun yang sedang
"unjuk kekuatan" di seluruh pelosok kota.
Setelah seluruh pasukan kembali ke tangsi
dan semua perwira berpangkat Jian-hu-thio
menghadap Pak Kiong Liong, maka Pak Kiong
Liong memberi penjelasan-penjelasan agar
kemarahan pasukan reda, seragam tempurpun
diperintahkan untuk segera dicopot dan diganti
dengan seragam harian. Namun dalam
penje lasan itu, Pak Kiong Liong juga tidakmenceritakan sejelas-jelasnya tentan keributan
169 di istana tadi, sebab hal itu agak memalukan
bagi keluarga istana . Semakin sedikit yang
mengetahui-nya, semakin baik.
Keesokan harinya, ketegangan yang mencengkam ibukota kekiasaran telah jauh
lebih kendor. Prajurit-perajurit yang berkeliaran di jalan jauh lebih sedikit. Perajuritperajurit Hui-liong kun masih kelihatan
beberapa kelompok, namun tidak lagi segarang
hari sebelum nya, dimana mereka mengacungacungkan pedang
atau tombak, atau menembakkan bedil di udara, sambil berderap
di punggung kuda masing-masing .
Kabar munculnya Pak-Kiong Liong kembali
di tengah-tengah pasukannya segera menyebar
luas, tapi Pangeran In Ceng tidak dapat berbuat
apa-apa karena khawatir menimbulkan
kemarahan pera jurit-perajurit Hui-Liong-kun
seperti kemarin. Tuduhan "pengkhianat" ke alamat Pak- Kiong Liong juga baru desas-desus,
170 yang makin lama makin lemah karena banyak
orang tidak percaya. Beberapa hari kemudian, ketika Si-dang
Istana berlangsung lagi, Pak-Kiong Liong pun
tetap hadir dengan sikap sopan, dan tidak ada
yang berkeinginan menangkapnya.
Sementara itu, di tempat tersembunyi,
sekelompok manusia tak kenal telah berlatih di
bawah pimpinan seorang pendeta Tibet
berjubah merah, Biau-eng Lama. Orang-orang
itu berlatih menggunakan senjata yang disebut
Hiat-ti-cu (Setetes Darah) , berbentuk semacam
topi kulit besar, bagian dalamnya ada kerangka
besi yang tipis dan ringan, dilengkapi pisau
yang bergerak dengan pegas yang bisa menjepit
leher korbannya apabila topi itu mengerudung ke kepala sang korban. Seutas
rantai panjang yang juga tipis dan ringan
berfungsi sebagai pengendali senjata yang kejam itu. 171 Pangeran In Ceng sering meninjau tempat
latihan di luar kota itu, dan melihat bagaimana
regu algojo itu sudah mahir mencopot kepala
orang-orangan dari kayu atau jerami dari
jarak belasan langkah. Entah bagaimana
kalau sasarannya orang hidup"
Pada suatu hari, kembali Pengeran In Ceng
muncul di tempat latihan dengan dikawal dua
pengawal terpercaya-nya, Kim Seng Pa dan To
Jiat Hong. Mereka memakai pakaian rakyat
biasa dan memakai tudung bambu lebar untuk
menudungi muka mereka. Yang agak lain
dari biasanya, kali ini In Ceng membawa pula
beberapa orang lelaki yang tangan-nya terikat
dan wajah mereka menimbul-kan rasa iba.
Biau Beng Lama dan anggota "regu pemetik
kepala"nya segera berlutut menghormat In
Ceng. "Aku ingin tahu sampai di mana kemajuan
kalian berlatih," kata In Ceng.
172 Sahut Biau Beng Lama bernada bangga,
"Pangeran, anak buah hamba sudah dapat
membunuh lawan yang berlari cepat, asal masih
dalam jarak tigapuluh langkah. Bahkan andaikata musuh berlari berbelok-belok, atau
berlari di antara benda-benda lain, Hiat-ti-cu
dapat mencapai kepalanya."
Pangeran In Ceng tersenyum sambil
mengangguk-angguk. "Bagus, aku ingin me Iihat
buktinya dalam sebuah uji Cuba
"Hamba siap, Pangeran," sahut Biau Beng
Lama. Lalu kepada anak buahnya ia memerintahkan,"Pangeranberkenan menyaksik
an ketrampilan kalian, Siap-kan boneka-boneka
Jerami." Kata-kata itu terpotong oleh ucapan In Ceng,
"Tidak, bkan boneka-boneka jerami, melainkan
aku ingin melihat latihan dengan sasaran
manusia-manusia hi dup !".
173 Biau Beng Lama dan para "pemetik kepala"
terkejut mendengarnya. Biau Beng Lama sendiri
seorang kejam, tidak segan-segan membunuh,
namun ia membunuh orang-orang yang
dianggap "musuh" yang merintangi cita-cita
junjungan-nya, bukan sembarangan membunuh
orang hanya sekedar "uji coba" senjata . Tetapi
ia tidak berani membantah perintah In Ceng
yang nampak tetap santai sambil tersenyumsenyum itu.


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yang menggigil ketakutan ialah empat lelaki
terikat yang dibawa pengawal-pengawal In
Ceng itu, kini mereka tahu untuk apa mereka
ditangkap dan di seret ke tempat itu. Mereka
adalah pemburu-pemburu binatang atau
pencari-pencari kayu yang hidup di sekitar
tempat itu. Nasib sial menimpa ketika mereka
bertemu dengan In Ceng dan kedua pengawalnya, mereka ditangkap, karena In Ceng tertarik melihat 174 ketangkasan mereka yang dianggap cocok
dijadikan kelinci percobaan bagi Hiat-ti-cu.
Dari kantongnya, In Ceng mengeluarkan
empat potong emas cukup besar, ditunjukkan
ke empat calon korban itu sambiI berkata,
"Kalau kalian berhasil lepas dari tangan orangorangku, kalian mendapat hadiah sepotong
emas ini, Nah, ternyata aku cukup adil bukan?"
Keempat orang itu serempak berlutut dan
meratap-ratap mohon ampun, namun In Ceng
membentak mereka, "Diam! Kalian sebagai lakilaki tidakkah malu menangis-nangis seperti itu"
Pertahankan hidup kalian sekuat tenaga,
itulah satu-satunya jalan! Anggap saja kalian sedang berburu dan bertemu seekor
harimau besar, kalau ka|ah kalian mati, kalau
menang kalian dapat kulit harimau!"
Nada suara itu adalah perintah yang tak bisa
ditawar lagi. 175 Para algojo Hiat-ti-cu itupun termangumangu. Heskipun mereka disebut pembunuh,
namun sungguh tak terduga kalau hari itu
hendak disuruh membunuh orang-orang yang
tak ada persoalan sedikitpun dengan tugas
mereka. Apalagi kalau membayangkan keluarga
para korban itu tentu menunggu di rumah,
namun yang mereka tunggu hanya kembali
arwah nya saja. Keragu-raguan di wajah algojo-algojonya itu
membuat In Ceng marah pula. "Kalian takut
membunuh" Takut melihat darah" Lalu buat
apa kalian dilatih dengan menghabiskan begitu
banyak tenaga dan beaya?"
Algojo-algojo itu serempak berlutut, meskipun suara mereka kurang mantap dan
kurang bersama-sama, namun mereka menyahut,"Hamba siap menjalankan perintah !"
In Ceng menyeringai gembira. "Bagus. Da
lam tiga hitungan, semuanya harus bergerak,
176 baik yang memburu maupun yang diburu. Calon
korban yang tidak mau lari, tetap akan dibunuh
di tempat ini, tidak peduli melawan atau
tidak melawan. Semuanya paham?"
"Paham,Pangeran!" yang menyahut hanyalah
algojo-algojo Hiat-ti-cu, sedang keempat calon
korban itu tak mampu menyahut karena mulut
terasa kaku dan tenggerokan tercekik ketakutan. In Ceng berkata lagi kepada algojo-algojonya,
"Namun karena sasaran kalian hanya empat
orang, maka cukup empat orang saja dari kalian
yang turun.Nah, kau, kau, kau dan kau!"
Empat orang yang terpilih itu maju ke depan
sambil menjinjing senjata masing-masing,
menyingkirkan sikap ragu-ragu mereka, sebab
mereka tahu Pangeran junjungan mereka tidak
suka akan sikap ragu-ragu.
In Ceng mulai menghitung. "Satudua... tiga !"
177 Tiga orang korban uji coba serentak bangkit
dan berlari sekencang-kencangnya, betapapun
takutnya mereka, lebih baik sekuatnya mencoba
mempertahankan diri daripada mati konyol .
Tapi salah seorang dari mereka agaknya
begitu ketakutan sehingga tak mampu bangkit dari berlututnya, sementara air kencing campur tinja sudah memenuhi celananya....
Sedangkan para algojo sudah memutarmutar kantong kulit mereka di ujung rantai
pengendaIinya, dan sedetik kemudian kantongkantong kulit itu bagaikan layang-layang yang
dimainkan anak-anak, telah beterbangan ke
sasaran masing-masing. Mengeluarkan bunyi
ge-merincing mengerikan, seolah-olah suara
musik dari alam kubur. Ketiga orang korban itu berlari kencang
karena terpacu rasa takut, namun Hiat-ti-cu
melayang lebih cepat dari langkah mereka.
178 Berturut-turut kantong-kantong maut itu
menungkrup kepala dua orang korbannya, yang
detik berikutnya telah menggelepar tanpa kepala lagi .
Seorang pemburu agaknya lebih menggunakan akalnya. la tidak mau berlari di
tempat terbuka seperti kedua rekannya,
melainkan lari berkelok-ke-lok dan menyusupnyusup pepohonan. Algojo bawahan In Ceng
terus mengejar sambil mengendalikan Hiat-ticu dengan mahirnya. Algojo yang satu ini
agaknya seorang yang kejam. la tidak
langsung membunuh korbannya, melainkan
lebih dulu mempermainkan agar korbannya
ketakutan. Hiat-ti-cu tidak langsung diturunkan ke kepala korbannya, melainkan hanya
melayang-layang sejengkal di atas kepalanya
sambil berbunyi gemerincing, mengikuti
korbannya kemanapun lari nya.
179 Si calon korban tak bisa menahan
ketegangannya lagi. Tiba-tiba ia berhenti
berliari dan berteriak-teriak, campuran antara
tertawa dan menangis, otaknya sudah kacau
karena melihat nasib kedua (rekannya yang
akan disusul olehnya sendiri . Saat itulah Hiatti cu turun :dani menunaikan tugasnya dengan
mulus. In Ceng mengangguk-angguk puas.
Sementara itu, si calon korban yang tak
mampu berlari karena takut itupun tetap
mendapat kematiannya. Algojo Hiat-Ti-cu yang
bertugas membunuhnya, dengan enak mendekatinya, memegang-megang kepalanya,
lalu dengan lembut topi kulit maut itu
ditungkrupkan ke kepalanya. Sekali rantai di
puncak topi disentak, pisaupun keluar menjepit leher korbannya dan bereslah sudah.
Keempat algojo Hiat-ti-cu segera berlutut di
depan In Ceng dengan tangan masing-masing
180 menjinjing kantong kuiit berantai yang masih
berisi kepala-kepala korban mereka.
"Bagus, aku puas" kata In Ceng. "Dari segi
ketrampilan maupun keteguhan hati, kalian
berempat tidak mengece wakan untuk menjadi
pembantu-pembantu-ku. Kalian berempat aku
pilih untuk memperoleh pahala pertama. Malam
ini kalian harus membunuh seseorang."
"Silakan Pangeran perintahkan. Siapa yang
harus kami bunuh?" sahut salah seorang algojo
Hiat-ti-cu dengan garang, mewakili temantemannya. Dia-lah yang tadi mempermainkan
korbannya sampai mati dalam ketakutan.
"Yang malam nanti harus kalian ambil
kepalanya ialah..." In Ceng berhenti sebentar. Pak Kiong Li-ong . . .."
Jantung keempat algojo Hiat-ti-cu itu serasa
berhenti berdetak ketika mendengar nama itu,
wajah mereka memucat dan sikap garangpun
luntur. Sedang rekan-rekan mereka yang tidak
181 terpilih itupun tiba-tiba bersyukur dalam
hati. Membunuh Pak Kiong Liong" Rasanya lebih baik disuruh menghadapi segerombol an
seriga. la daripada harus menghadapi Pak Kiong
Liong. Tidakkah mereka berempat akan seperti
serangga-serangga yang menjelang nyala api"
Pangeran In Ceng tertawa dingin melihat
sikap ragu-ragu keempat orang itu. "Takut"
Bagaimana kalau perintah tadi kuubah saja,
kantong kulit Hiat-ti-cu itu kalian tungkrupkan
ke kapala kalian sendiri saja" Sebab aku tak suka punya anak buah pengecut."
Keempat algojo itu terkejut, buru-buru
berlutut sampai jidat mereka menyentuh
rumput. Sahut mereka, "Hamba siap!"
"Hamba juga siap!" sahut lainny.a saling
susul. Daripada disuruh bunuh diri, lebih baik
coba-coba adu nasi di hadapan Pak Kiong Liong
nanti malam. Toh mereka berempat dan
menggunakan senjata jarak jauh.
182 "Kalian berempat boleh beristirahat untuk
mempersiapkan diri," perintah In Ceng.
Keempat orang itupun mengundurkan diri.
Kemudian In Ceng membisikkan Biau Beng
Lama di pinggir arena latihan, tanpa terdengar
oleh siapapun. "Toa-suhu, nanti malam Toasuhu sebaiknya juga mengikuti keempat orang
itu dari belakang. Toa-suhu tentu tahu apa
yang harus dilakukan kalau mereka berempat gagal Kepala gundul Biau Beng Lama ter-anggukangguk, tetapi ia sebenarnya merasa ngeri juga
denqan tugas itu. Hanya saja In Ceng sudah
berjamji kepada nya, kalau berhasil naik tahta
kelak, Biau Beng Lama diangkat menjadi Koksu (Guru Negara) dan Ang-ih-kau (Agama Ju bah
Merah) diresmikan sebagai Agama Ke kaisaran.
Kedudukan setinggi dan sekuat itu dalam
sebuah kekaisaran sekuat Kekaisaran Manchu,
183 memang pantas diper juangkan dengan sedikit
menyerempet bahaya. Malam harinya, ketika ibukota Pak khia
sudah tenggelam dalam kesunyian, maka empat
orang algojo Hiat-ti-cu yang mendapat tugas
berat itupun ber-gentayangan di sekitar gedung
kediaman Pak Kiong Liong.
Gedung kediaman itu terlalu sederhana buat
seorang yang masih termasuk keluarga istana,
bahkan rumah itu juga tidak dikawal perajurit
seorangpun. Hanya ada sepasang suami isteri
tua dan anak lelaki mereka yang sering
membantu-bantu Pak Kiong Liong mengurus
rumah itu. Itulah sebabnya keempat algojo Hiatti-cu itu dengan gampang sudah berada di
halaman belakang gedung besar itu.
Biarpun keadaan gedung sudah sunyi senyap
dan gelap sebagian besar tapi keempat
pembunuh suruhan itu merasa berdebar-debar
juga. Rumah yang mereka satroni itu adalah
184 kediaman dari seorang yang merupakan salah
satu dari tokoh berilmu paling tinggi di
dunia persilatan. Dua orang lainnya adalah Ketua liwe-liong-pang Tong Lam-hou
yang bermukim jauh di puncak Tiau-im-hong di
Se-cuan, besan dari Pak Kiong Liong sendiri.
Seorang lagi adalah pendeta tua di Gunung
Siong-san, propinsi Ho-lam, Pun-bu Hwe-shio.
Tapi keempat pembunuh itu harus
memaksakan diri untuk berani menjalan-kan
tugas Pangeran In Ceng itu. Mereka sendiri toh
bukan keroco-keroco sembarangan, melainkan


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bekas tokoh-tokoh terkenal di rimba persilatan.
Di halaman belakang, Pak-Kiong Liong masih
duduk didalam perpustakaan pribadinya, membaca sebuah kitab dengan diterangi seba
tang lilin yang bersinar kelap-kelip. la duduk di
dekat jendela yang tertutup, sehingga bayangan
tubuhnya tercetak dikertas putih pelapis
jendela. 185 Melihat bayangan di jendela itu, para algojo
Hiat-ti-cu saling bertukar pandang dan saling
mengangguk. Cukup dengan melihat bayangan
di kertas jendela, mereka bisa mengarahkan
senjata maut mereka, sebab pernah juga
latihan macam itu mereka lakukan. Dan
mereka tiba-tiba merasa bahwa tugas mereka toh tidak terlalu berat seperti
yang mereka bayangkan semula.
Kantong-kantong kulit pemetik kepala
segera diturunkan dari gendongan masingmasing, rantai pengendali segera diurai dari
pinggang dan salah satu ujung rantai dipasang
di pucuk topi de ngan semacam cincin yang
cukup erat, Pembantaian siap dilaksanakan.
Ketika itu perhatian Pak Kiong Liong
sepenuhnya sedang terpusat pada huruf-huruf
dalam buku yang dibacanya, sejilid buku
tentang hikayat lama Dinasti Song. Demikianlah
yang dilakukannya jika ia sedang diamuk rindu
186 Melihat bayangan di jendela itu, pair algojo Hiat-ti-cu saling
bertukar pandang dan saling mengangguk. Cukup dengan melihat
bayangan di kertas jendela, mereka bisa mengarahkan senjata
mulut mereka. 187 kepada puterinya dan cucu-cucunya yang jauh
berada di Tiau-im-hong sana. Sering ia berada
di kamar bukunya sampai jauh malam. Begitu
asyiknya dia membaca, sampai suara-suara di
halaman belakang itu lolos dari kupingnya yang
biasanya tajam. Ketika ia sampai ke halaman yang
mengisahkan 108 Pendekar Liang-san menahan tentara Bangsa Kim di kota Tay-beng,
maka ia tersenyum kecut dan merasa cerita itu
terlalu dilebih-lebihkan. Maklum kalau PakKiong Liong bersikap demikian, sebab Bangsa
Kim adalah leluhur Bangsa Manchu, sehingga
Dinasti Manchu sering juga disebut Hau-kim
atau Kim Akhir. Pikirnya saat itu, "Hem, sejarah
toh mencatat bahwa betapapun gagahnya
pendekar-pendekar itu, wilayah Kerajaan Song
toh semakin menciut. Bahkan ketika tentara
Mongol menyerbu, Kerajaan Song dan Liao
tertumpas, hanya Kerajaan Kim saja yang
188 sanggup tetap berdiri meskipun berabad-abad
harus menjadi kerajaan kecil dan lemah di
Timur Laut. Namun hari ini, toh orang Mongol
harus tunduk juga ke pada kami
Tiap orang bangga sejarah sukunya, sendirisendiri, hal ini bukan "penya kit" Pak Kiong
Liong saja, tapi juga semua orang. Hanya saja,
kalau kebanggaaa itu diwujudkan dengan
berusaha menghapuskan kebanggaan orang
lain, nah, itu barulah penyaklt
serius yang mengobarkan perang-perang besar didunia. Detik itulah mendadak sebuah benda
berbentuk topi kulit besar mendo-brak jendela
kertas berkerangka kayu, dan bagaikan kilat
terus hendak menungkrup ke kepala Pak kiong
Liong. Panglima tua itu terkejut, tapi sebagai
jago silat berilmu tinggi, ia sempat menjatuhkan diri dari kursinya untuk berguling di
lantai sehingga loloslah ia dari maut.
189 Hia-ti-cu itu membentur sebuah rak buku,
kemudian melayang-layang di dalam kamar
untuk menemukan mangsanya. Dari lantai, Pak
Kiong Liong melihat pada mulut kantong yang
menghadap kebawah Itu ada sederetan pisau
kecil, mirip rahang Ikan hiu, yang kalau dikendalikan oleh pemiliknya maka pisau-plsau
itu blsa menjepir dan berputar ke tengah untuk
memotong leber siapapun yang tertungkrup
kantong kulit itu . Pak Kiong Liong tercengang heran melihat
senjata ajaib yang belun pernah dilihat atau
didengarnya itu. Kini dilihatnya benda-benda
itu berputar-putar diatas kamar, dikendalikan
seutas rantai tipis dari luar jendela, seperti
layang-Iayang saja. Kantong kulit yang tipis
menggelembung itulah agak-nya yang memungkinkan benda itu dapat melayang lama
tanpa jatuh ke tanah. 190 Di luar jendela, algojo suruhan In Ceng itu
kebingungan .mengarahkan senjatanya, sebab
bayangan Pak-kiong Liong menghilang dari
jendela. Sementara itu, timbul keinginan Pak Kiong
Liong untuk melihat bagaimana cara kerja
senjata itu. Tadi ia diincar kepalanya, maka ia
tahu benda itu memang dirancang khusus
menyerang kepala. Sambi1 tetap berbaring di
lantai, tanpa suara ia menggunakan kekuat
annya untuk mematahkan sebuah kaki meja,
lalu mencopot jubah luarnya untul digulungkan
di ujung kaki meja sehingga menjadi gulungan
sebesar kepala. Kemudian kepala palsu itu
diacungkan ke atas, dekat jendela.
Hiat-ti-cu yang masih melayang-la yang itu
tiba-tiba turun menungkrup gulungan kain itu,
lalu pisau-pisaunya berputar dan menjepit, dan
putuslah kaki meja sebesar lengan orang
dewasa itu dengan gampangnya. Kantong kulit
191 me layang keluar kemba1i, sedang di tangan
Pak Kiong Liong tinggal sepotong kayu bekas
kaki meja yang panjangnya tak lebih sejengkal,
ujungnya terpo-tong rapi seolah-olah ditebas
dengan pedang pusaka kelas satu.
"Aku berhasil!" terdengar teriak-an kegirangan di luar jendela. "Ha-ha-ha... siapa
kira malam ini si Naga Utara (julukan Pak Kiong
Liong) itu mampus di tanganku?"
"Ha-ha-ha... percuma kita berdebar-debar
sejak siang tadi(, kiranya segampang ini
membunuh Pak Kiong Liong!" suara lainnya
menyambung. Lalu terdengar suara orang-orang yang
memuji diri sendiri, disuarakan tanpa berbisikbisik lagi, sebab mereka yakin bahwa Pak Kiong
Liong sudah terbunuh. Namun ketika si algojo yang kegirangan tadi
membuka kantong kulitnya untuk melihat
"kepala Pak Kiong Liong" yang ditemukannya
192 cuma sepotong kayu berbungkus sehelai jubah
luar.... "Kita.... kita tertipu!" katanya gugup.
"Benar, kalian tertipu," Pak Kiong Liong
berkata dengan tenang sambi1 melangkah
keluar dari kamar bukunya. Tangannya masih
memegang kayu potongan kaki meja tadi.
Sambil melemparkan potongan kayu itu ke
tanah, Pak Kiong Liong berkata lagi, "Kalian
harus mengganti rugi meja belajarku yang
terbuat dari kayu merah mutu nomor satu dari
Lam-yang. Tapi hebat juga senjata kalian tadi,
apa namanya?" Berhadapan dengan Pak Kiong Liom yang
masih hidup, tak terluka seujung rambutpun,
membuat keempat algojo rontok nyalinya. Tapi
keadaan sudah terlanjur, pulang dengan tangan
kosong kehadapan In Ceng sama saja dengan
menyerahkan nyawa juga. 193 Salah seorang dari algojo Hiat-t cu itu segera
bertindak sebagai pemimpin, memberi komando kepada teman-tc-mannya, "Berpencar
empat arah! Jangan biarkan dia mendekati kita
dalam jarak kurang dari tigapuluh langkah!"
Empat algojo terlatih itu segera berlompatan
tangkas, detik berikutnya, empat kantong maut
itu sudah gemerincing beterbangan di udara.
Menghadapi Pak Kiong Liong yang terkenal itu,
mereka tidak langsung menyerang kepala, melainkan keempat Hiat-ti-cu itu
lebih dulu diputar-putarkan di udara untuk membingungkan Pak Kiong Liong.
Begitu teori yang pernah diajarkan Biau
Beng Lama kalau menghadapi lawan tangguh.
Tapi Pak-kiong Liong pun tidak ingin jadi
sasaran diam. Bagaikan seekor naga terbang, ia
melompat menerkam seorang lawan yang
paling dekat. 194 Ketika tubuhnya tengah melambung di
udara, sebuah Hiat-ti-cu secepat kilat
menyambar kepalanya. Dengan
telapak tangannya, Pak Kiong Liong menggunakan Pekgong-ciang (Telapak Tangan Udara Kosong)
untuk memukul senjata maut itu. Angin
pukulannya membuat senjata itu tergoncang
oleng seperti layang layang putus benang
pengimbangnya . Sementara tubuhnya sudah meluncur ke
dekat lawan pertamanya tadi, ujung telunjuk
dan jari tengahnya pun menotok ke urat Kikeng-hiat lawan. la tidak ingin membunuh,
hanya ingin menang kap mereka hidup-hidup
untuk ditanyai dan mendapat kepastian siapa
yang me-nyuruh mereka. Kepastian, bukan
hanya dugaan, sebab kalau hanya dugaan saja ia
sudah punya. Orang yang diserang jarak dekat itu tidak
dapat lagi memakai Hiat-ti-cu nya. Rantai Hiat195
ti-cu dilepas, sehingga senjata itu jatuh ke tanah.
Kemudian sambi1 berguling mengindari
Pak Kiong Liong, ia cabut sepasang belati dari
pinggangnya untuk dilontarkan ke dada Pak
Kiong Liong dengan lemparan cepat dan
mantap, menandakan diapun bukan jagoan
kelas kambing. Namun dengan enak Pak Kiong Liong
mengangkat tangannya, dan belati belati itu
sudah terjepit di antara jari-jari tangannya.
Orang itu kemudian melenting bangun
dengan tangkas sambil menyingkap bajunya,
maka tampaklah di ikat pinggangnya itu terselip
belasan buah pisau belati keciI berderet-deret,
sejenis dengan yang telah dilontarkan tadi.
Agaknya ia seorang ahli lempar pisau.
Sedangkan Pak Kiong Liong Iangsung
mengenali orang itu. Kong Sun Hong dari Siam-si?"'
196 Sebagai jawabannya, dua pisau meluncur ke
leher dan dada Pak Kiong Liong sekaligus.
Namun lagi-laqi Pak Kiong Liong berhasil
menangkap pisau-pisau itu dengan jari-jarinya.
Tak terlihat bagaimana caranya.
Ketika itulah sebuah Hiat-ti-cu gemerincing
menyambar kepala Pak Kiong Liong dari
belakang, sehingga ia harus melompat menyamping sambi1 menunduk.
Kemudian terjadilah sesuatu yang

Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengerikan. Hiat-ti-cu yang luput menyambar
kepala Pak Kiong Liong itu me-luncur terus,
sulit untuk ditarik seca ra mendadak, ke arah si
pelempar belati yang hanya tiga langkah di
depan Pak Kiong Liong. Si pelempar pisau hanya berdiri kaget
dengan mata terbelalak ngeri, dan cuma
sepatah kata terlontar dari mulutnya, "Tarik!"
Si penyerang dari belakang tak mengira
serangannya akan mengancam teman sendiri. la
197 berusaha menarik rantai Hiat-ti-cunya sampai
lengannya tertekuk ke belakang, namun
tindakannya itu tidak menolong. Supaya dapat
tertarik seketika, rantai harus menegang
lebih dulu, padahal saat itu sedang dalam
ke adaan melengkung karena ia menyerang-kan
senjatanya secara mendatar. Maka tahu-tahu
kepala rekannya sudah masuk dalam kantong
kulitnya, ketika tangannya berhasil, maka
kepala temannya pun, ikut terbawa.
Tubuh tanpa kepala itu masih sempat
melangkah sempoyongan kian kemari sambil
menggapai-gapaikan tangannya, sebelum roboh
tak berkutik lagi. Meski Pak Kiong Liong pernah bergulat di
pertempuran-pertempuran besar dimana kebuasan terhadap sesama manusia dianggap
"syah demi cita-cita luhur", namun ngeri juga
melihat kejam-nya senjata aneh itu. Kemudian
timbul kemarahannya karena sadar bahwa
198 kepala nyalah yang sebenarnya diincar oleh
Hi at-ti-cu itu. "Keji sekali! Orang-orang macam kalian lebih
baik cepat-cepat jadi penghuni neraka, daripada
berkeliaran di bumi dan menyebarkan malapetaka kepada semua!" geramnya marah.
Sambil membalikkan tubuh, empat pisau
yang terjepit di jari-jarinya meluncur dan
amblas semua di dada si algojo Hiat-ti-cu yang
yang baru saja keliru membunuh teman sendiri
itu. Dan sekarang ia diberi jalan untuk
menemui sang kawan dan meminta maaf atas
kekeliruannya.... Masih ada dua orang algojo Hiat-ti-cu lagi.
Namun mereka cuma berdiri dengan lutut
gemetar, si kantong pemetik kepala tidak
mereka layangkan di udara,tapi cuma dipegangi
saja. Biasanya mereka mentertawakan calon
korban mereka yang ketakutan dan mereka permainkan
dengan senjata mereka, 199 seperti korban-korban mereka di arena
latihan siang tadi. Kini mereka mengalami
sendiri betapa mengerikan maut itu.
Pak- Kiong Liong menatap tajam kedua
orang itu, katanya dingin, "Kenapa diam" Hayo,
lemparkan kantong-kantong rongsokan itu ke
kepalaku, supaya kalian mendapat hadiah besar
dari orang yang menyuruh kalian. Begitukah?"
Salah satu dari algojo Hiat-ti-cu itu tiba-tiba
berteriak kalap dan melemparkan senjatanya ke
kepala Pak Kiong Liong. Dari pada kembali dan
sudah pasti mati di tangan In Ceng, karena ia tak
mungkin lari kemanapun selama sanak
keluarganya masih di sandera, lebih baik
melawan Pak Kiong Liong habis-habisan.
Hiat-ti-cu itu menderu menyambar kepala
Pak Kiong Liong dan Pak Kiong Liong
menyongsongnya ke atas dengan lompatan Uiho-ciong-thian (Bangau Ku-ning Menembus
Lang it), seolah hendak bunuh diri dengan
200 memasukkan kepalanya sendiri ke kantong
maut itu. Dengan gerakan kilat Pak- Kiong Li ong
menangkap rantai dekat ujung kantong dengan
tangan kirlnya, sedang tangan kanannya
mencengkeram dan meremas kantong maut itu
dari samping. Maka berpatahan1 ah kerangka
baja di bagian dalam kantong, pisau-pisau yang
bagai-kan gigi ikan hiu itupun rontok berpatahan,
tak sanggup menahan cengkeraman penuh kemarahan itu. Senjata
kebanggaan kaum Ang-in-kau itu benar-benar
berubah menjadi rongsokan tak berharga.
Dengan tangan kiri, Pak- Kiong Liong
menyentakkan rantai pengendali Hiat-ti-cu itu
sehingga pemegangnya diujung lain tertarik
maju. Namun orang itu dengan nekad
menyabetkan ujung lain rantainya ke muka Pak
Kiong Liong sambil berseru kepada temannya,
"Lekas serang!"
201 Pak Kiong Liong memiringkan kepala dengan
dibarengi menarik rantai itu lebih kuat lagi. Si
algojo Hiat-ti-cu tidak sanggup menandingi
kekuatan Si Jenderal tua yang dahsyat itu.
Kakinya sampai terangkat dari tanah dan
tubuh-nya terhempas ke dinding halaman belakang itu, kepalanya keras membentur tembok
sehingga retak dan mampus seketika.
Tinggal seorang algojo Hiat-ti-cu yang sudah
kehilangan semangat perlawanan sama sekali.
Ketika Pak-kiong Li ong mendekatinya dengan
mata menyala, sepasang lutut orang itupun
mendadak lemas dan berlututlah ia sambil
mera-tap tanpa malu malu lagi. "Ampunkan aku.
Pak Kiong Goan-swe..... aku hanya..... hanya
disuruh.... oleh.. oleh.... ah!"
Orang itu belum sempat menyebut siapa
yang menyuruhnya, tiba-tiba sudah menjerit
dan roboh tertelungkup. Sebatang pisau
melayang dari kegelapan malam dan menembus
202 punggungnya. Rupanya pihak musuh tidak
segan membunuh orangnya sendiri untuk
menutup rahasia komplotan mereka.
Cepat Pak-Kiong Liong melompat ke dinding
halaman belakang untuk. melihat siapa pelempar pisau itu. Sekilas ia masih melihat
seorang bertubuh tegap dan berpakaian serba
hitam tengah berlompatan lincah di atap rumah
di seberang lorong. Tanpa pikir panjang,
Pak Kiong Liong melesat memburu orang itu.
Begitulah keduanya berkejaran di atas
deretan atap rumah penduduk Pak khia yang
tinggi-rendahnya tidak sama itu. Begitu
cepatnya gerakannya, sehingga seperti dua ekor
burung saja. Kadang-kadang mereka melakukan
lompatan-lompatan panjang, lompatan tinggi melengkung di udara, putaran tubuh yang
akrobatis atau belokan-belokan mendadak yang
mustahil dilakukan orang orang berilmu
rendah. 203 Pak Kiong Liong memiringkan kepala dengan dibarengi
menarik rantai itu lebih kuat lagi. Si Algojo Hiat-ti-Cu
tidak sanggup menandingi kekuatan si Jendral tua
204 Gin-kang (ilmu meringankan tubuh) orang
itu memang hebat, tetapi gin-kang Pak Kiong
Liong ternyata masih unggul dua tiga tingkat.
itulah sebab-nya jarak antara yang dikejar dan
pengejar semakin pendek, sesaat lagi pasti akan
tersusul . Setelah semakin dekat dengan buruannya
itu, dibawah bulan sepotong yang remangremang, Pak-Kiong Liong dapat melihat bahwa
orang itu bertubuh tegap, berpakaian ya-hengih (Pakaian malam yang serba hitam), separuh
wajah nya tertutup kedok kain hitam,
namun kepalanya tidak tertutup sehingga nampak kepalanya yang gundul kelimis.
Pak-Kiong Liong menghimpun semangatnya, kemudian melesat ke depan dengan
gerakan Kau-yan-coan-1im (Burung Walet
Menembus Rimba) sehingga jarak dengan
buruannya berhasil diperpendek separuhnya
205 lebih. Cengkeramannya sudah siap mencengkeram tengkuk si gundul itu.
Si gundul sadar akan bahaya, ia tidak mau
tertangkap. Diambilnya sesuatu dari pinggangnya dan tiba-tiba ia membalik tubuh
sambil menyebarkan se-jumlah besar piau
(senjata rahasia) berbentuk bintang berujung
empat. Dalam ajaran silat, serangan itu
dikenal dengan Thian-Li-san-hoa (Bidadari Menyebar Bunga) yang mengarah seluruh tubuh
lawan. Serangan begitu hebat, dilancarkan
demikian mendadak dari jarak amat dekat,
tentunya Pak Kiong Liong akan terancam
terluka. Tapi Pak Kiong Liong sudah siap sejak
melihat si gundul meraba pinggangnya tadi.
Cepat Pak Kiong Liong menghentikan langkah
dan menekuk bagian atas tubuhnya ke belakang
dalam gerak penyelamatan Tiat-pan-kio
(Jembatan Besi). Hanya bertumpu satu
206 kakinya yang kokoh seakan berakar di atas
atap rumah yang diinjaknya, sementara
kaki lainnya diluruskan ke depan untuk
kese imbangan, tubuhnya lurus ke belakang sampai punggungnya hampir menyentuh a-tap tempatnya berdiri.
Begitulah Jende ral tua itu menunjukkan
kehebatannya. Dari berlari keras ke depan,
dalam waktu kurang dari sedetik ia bisa berhenti dan membuat gerakan Tiat-pan-kio yang
sempurna. Namun hampir saja ia terlambat
menghindar hamburan senjata rahasia si
gundul, beberapa pisau mela yang deras dalam
jarak kurang dari se-jengkal di atas tubuhnya.
Tapi tidak satupun yang mengenainya, semua
piau jatuh berkelotakan di atas genteng.
(Bersambung Jilid IV) 207 208 KEMELUT TAHTA NAGA Karya : STEFANUS S .P. Jilid IV Lunturlah semangat si gundul melihat
kehebatan Pak Kiong Liong. Menggunakan
peluang selagi Pak Kiong Liong repot mengelak
hamburan piaunya, si gundul meluncur turun
dari genteng dan menghilang di lorong berlikuliku, tempat berjejal-jejalnya rumah orang-orang miskin .
Dari posisi Tiat-pan-kio, Pak Kiong Liong
langsung melesat ke depan bagaikan anak
panah lepas dari busurnya, namun buruannya
sudah menghilang, Terpaksa Pak-Kiong Liong
kembali ke gedung kediamannya.
Malam itu juga Pak Kiong Liong
membangunkan suami isteri setengah tua yang
bekerja padanya, untuk membereskan empat
orang mayat yang bergelimpangan di halaman
belakang rumahnya itu. Sebelum mayat-mayat
209 disingkirkan, lebih dulu Pak Kiong Liong
menggeledah nya untuk mencari bukti siapa
yang menyuruh orang-orang itu. Ternyata tidak
diketemukan bukti apapun. Mayat-mayat lalu
dibawa ke perabuan mayat yang terdekat
dengan tempat itu, untuk diurus oleh pengurus
rumah pembakaran mayat. Meskipun Pak Kiong Liong punya dugaan
kuat bahwa Pangeran In Ceng adalah dalang
dari usaha pembunuhan itu, tapi Pak Kiong
Liong tak berani menuduhnya secara terbuka
tanpa disertai bukti-bukti yang meyakinkan
semua orang. In Ceng dengan gampang tentu akan mengingkari, dan Pak Kiong Liong akan
malu sendiri kalau tuduhannya hanya


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"menubruk angin". Akhirnya Pak Kiong Liong
memutuskan untuk tutup mulut lebih dulu
daripada menimbulkan ke tegangan di ibukota
seperti beberapa harl yang lalu. Bahkan kepada
suami isteri pembantunya itupun Pak Kiong
Liong berpesan sungguh-sungguh agar tidak
menceritakan peristiwa itu kepada lain orang.
210 Keesokan harinya, ketika Pak Kiong Liong
bertemu In Ceng dalam Sidang Kerajaan, maka
keduanya bercakap-cakap dengan ramah sambil
tersenyum-senyum segala. seolah tidak terja di
apa-apa. Meskipun sebenarnya In Ceng heran
juga dalam hati, Pamannya ini kok masih
berkepala" Ketika kemudian In Ceng diam-diam
menerima laporan Biau Beng Lama tentang
kegagalan empat algojonya, In Ceng kecewa
sekali, Namun diapun lega mendenqar bahwa
tidak ada yang berhasil ditangkap hidup oleh
Pak Kiong Liong, karena Biau Beng Lama telah
membereskan anggota Hiat-ti-cu yang hampir
saja buka rahasia kepada Pak Kiong Liong itu .
Beberapa hari In Ceng disiksa kegelisahannya . Bayangan dari pasukan-pasukan
Pangeran In Te yang tengah bergerak
mendekati Pak-khia semakin menghantuinya,
sementara di Pak-khia sendiri ia belum
memiliki peluang yang meyakinkan untuk
memenangkan perebutan tahta. Pangeran itu
juga tidak berani ber tindak gegabah, khawatir
211 kalau membuat Pak Kiong Liong habis
kesabarannya dan bersikap keras terhadapnya,
sehingga keadaan pihaknya bisa tambah
runyam. Di saat kegelisahan hampir membuat
otaknya miring, datanglah Ni Keng Giau dari
Siong-san, bersama beberapa pendekar sakti
bekas teman-teman In Ceng ketika mengembara
di selatan dulu. Pendekar-pendekar yang
berkeyakinan bahwa In Ceng adalah seorang
sahabat yang tulus dan luhur budinya, sehingga
pantas kalau sekuat tenaga didukung naik tahta.
Apalagi In Ceng sendiri pernah mengobral janji ,
katanya kalau naik tahta akan menghapus
peraturan yang mewajibkan orang Han
menguncir rambutnya, Bangsa Han dan Manchu
bersaudara, kesejahteraan rakyat ditingkatkan,
pendidikan dimajukan dan setumpuk omongan
indah lainnya. Kemudian di. hadapan teman-teman-nya
dari selatan itu, In Ceng memperlihatkan muka
muram sambil menarik napas dengan sedihnya,
Katanya, "Sayang sekali, bahwa cita-citaku itu
212 tidak sejalan dengan cita-cita Ayahanda Kaisar
dan sebagian besar tokoh istana, yang tetap
berpendapat bahwa orang Manchu tetap harus
setingkat lebih tinggi dari orang golongan lain,
yang cocok dengan pikiran Ayahanda Kaisar ini
adalah Adinda In Te, sehingga aku yakin dialah
yang namanya tertulis dalam Surat Wasiat
Ayahanda, sehingga cita-citaku dan juga citacita saudara-saudara itu agaknya akan
membentur rintangan keras. Persaudaraan
sederajat antara Han dan Manchu yang kita
dambakan bersama, agaknya masih terletak di
awang-awang dan entah kapan menjadi kenya
taan." Teman-teman In Ceng yang semuanya
berdarah Han itupun bergolak darahnya ketika
mendengar ucapan itu. Bertahun-tahun mereka
memperjuangkan agar orang Han dibebaskan
dari kehinaan, bahkan sebagian dari para
pendekar terlibat gerakan bawah tanah yang
mnenentang Pemerintah Manchu dengan
senjata, Kini mendengar ucapan In Ceng,
merekapun bergoiak dadanya, Naiknya In Ceng
213 ke rahta mereka anggap sebagai kesempatan
bagi orang Han untuk memulihkan martabat
tanpa melalui kerasnya perang, akankah
kesempatan itu mereka biarkan berlalu karena
"keserakahan In Te" seperti kata In Ceng tadi"
Sedangkan In Ceng terus menghasut para
pendekar itu, "Saudara-saudara, tahukah apa
yang akan terjadi kalau Adinda In Te kelak
berhasil menjadi kaisar" Sudah mendengar
bagaimana ia menumpas Bangsa Hui di Jing-hai"
Kampung-kampung Hui dihancurkannya dengan meriam-meriam dan pasukan berkuda
nya, penduduknya dibantai, tak terkecuali
perempuan dan anak-anak, nah, bagaimana
kalau orang macam ini sampai menjadi Kaisar"
Entah bagaimana nanti nasib Bangsa-Bangsa
Han, Tibet, Hui, Mongol, Biao, Pek, Ih, Korea dan
lain-lainnya" Tentu mereka akan ditindas ha
bis-habisan di bawah perintahnya ."
Seorang pendekar dari Kang-lam yang
bernama Kam Hong Ti, tak terasa telah
meremas cawan araknya sehingga hancur
menjadi bubuk. Geramnya, "Jadi sekarang, apa
214 yang bisa kami perbuat untuk membantu
Pangeran?" In Ceng bersorak dalam hati, tetapi wajahnya
harus pura-pura tetap muram. la tahu
pendekar-pendekar dari selatan ini punya
watak yang jauh lebih bisa dipercaya daripada
jagoan-jagoan upahannya seperti Biau Beng
Lama, Kim Seng Pa atau To Jiat Hong. Orangorang itu mengabdi kepadanya dengan pamrih
pribadi, kalau terjepit, mereka bisa berubah
dari penjilat-penjilat pantat menjadi pengkhianat-pengkhianat yang menikam dari
belakang. Sedangkan para pendekar dari
selatan itu hanya berpamrih demi pulihnya
martabat Bangsa Han dan untuk itu mereka siap
mengorbankan nyawa. Merekalah orang-orang
yang bisa disuruh mencuri Surat Wasiat yang
terjaga Pasukan Han-Lim-kun, pasukan yang
hanya tunduk kepada perintah Kaisar itu. Orang
macam Kam Hong Ti dan teman-temannya,
kalau sudah bilang sanggup, akan benar-benar
disanggupi sampai titik darah penghabisan.
Kalau sudah bilang tutup rahasia, tidak akan ad
215 a alat siksaan macam apapun yang bisa memaksa mereka buka mulut.
Demikianlah, dalam ruang tertutup yang
hanya berisi In Ceng sendiri, Ni Keng Giau, Kam
Hong Ti dan lima pendekar lainnya, In Ceng
berhasil meyakinkan para pendekar bahwa
pencurian dan kalau perlu pemalsuan atas Surat
Wasiat itu hanyalah satu-satunya jalan untuk
"martabat Bangsa Han agar sederajat dengan
Bangsa Manchu" Dan perundingan yang disertal alis-alis
berkerut, tinju-tinju terkepal dan mata-mata
yang membara itu akhirnya membuahkan
keputusan yang amat menggirangkan In Ceng.
Lima pendekar berilmu tinggi, dipimpin Kam
Hong Ti, akan masuk ke ruang penyimpanan
Surat. Wasiat itu nanti malam. Selain Kam Hong
Ti adalah Pek Thai Koan, si dewi pedang Lu Se
Nio, si jagoan ruyung Ma Sun Hian dan si jagoan
meringankan tu-buh Yang Pek Hong yang
dijuluki Hun-tiong-ho (Bangau di Tengah Mega).
Itulah sebuah regu mini yang ketangguhannya
luar biasa. 216 Pak Kiong Liong adalah seorang jenderal tua
yang kenyang pengalaman, ahli pemerintahan
yang cerdik, berpuluh-puluh buku tentang
kemiliteran dan pemerintahan sudah dibaca,
dipahami, bahkan diberinya catatan-catatan kritik di pinggir-pinggir halamannya.
Tetapi ia juga manusia biasa, seorang ayah
dan seorang kakek yang rindu kepada puterinya
dan cucu-cucunya. Dalam buku-buku kemiliteran dan pemerintahan yang dibacanya,
tidak ada tercantum siasat membunuh
kerinduan manusiawi itu. Beberapa hari Pak Kiong Liong merasakan
keadaan di Pak-khia- mulai normal, tidak ada
ketegangan lagi, baik In Ceng maupun
pangeran-pangeran lain-nya tidak nampak
membuat ulah, tokoh-tokoh yang setia kepada
Kaisar Khong Hi juga masih nampak
berpengaruh, maka Pak-Kiong Liong tiba-tiba
merasakan itulah saatnya untuk sejenak
menyegarkan diri di Tiau-im-hong bersama
anak-anaknya dan cucu-cucunya, menjumpai sa
217 habat sekaligus besannya, Ketua Hwe-Liongpang Tong Lam Hou.
Tetapi sebelum pergi, Pak Kiong Liong
menitipkan banyak nasehat kepada wakilnya,
Tong Siau Beng, bagaimana mengambil sikap
dalam keadaan-keadaan tertentu. Selain itu, ia
berpesan kalau Tong Siau Beng hendak
bertindak haruslah berunding dulu dengan Bok
Eng Siang, Panglima Hui-hou-kun, yang sama
sama pendukung Pangeran In Te.
Setelah memperoleh ijin Kaisar sendiri, dan
hatinya mantap bahwa di Pak-khia takkan
terjadi apa-apa selama ia pergi, Pak Kiong Liong
pun meninggalkan Pak-khia dengan menunggang seekor kuda, tanpa pengawaI
seorangpun, kecuali pedangnya yang tergantung di pelana kuda tanpa memberi
kesan menyolok. Pakaian yang dipakainya
adalah pakaian penduduk biasa.
"Si bocah bengal In Ceng itu tak berani
berbuat apa-apa dalam keseimbangan yang
menguntungkan Pangeran In Te seperti ini. la
akan sadar bahwa merebut tahta tidak
218 segarnpang meralh bakpao di atas meja...."
demikian pi-k i r Pak K i ong L iong.
Apa yang tidak diketahui Pak Kiong Liong
ialah isi Surat Wasiat yang sudah dirubah oleh
teman-temar, pangeran In Ceng, sehingga Surat
Wasiat itu berubah menjadi "senjata pamungkas" ditangan In Ceng sekarang. Dan ketika
mendengar kabar bahwa Pak Kiong Liong sudah
setengah perjalanan menuju Tiau-im-hong,
diperhitungkan tidak mampu kembali ke Pakkhia dalam waktu singkat, maka In Ceng pun
bertindak merebut tahta. Tanpa perlu
menunggu kembalinya Pangeran In Te dan
pasukannya sampai ke Pak-khia kembali. Justru
pengambilalihan tahta itu dapat untuk
memperkuat pihaknya, sehingga kelak dapat
mengimbangi pasukan adiknya.
Karena Itulah, ketika dua bulan kemudian
Pak Kiong Liong Lerqesa-gesa kembali ke Pakkhia, ia dikejulkan oleh berita bahwa Kaisar
yang baru sudah naik tahta, menggantikan
Kaisar Khong HI yang tanpa menimbulkan
kecurigaan besar telah diumumkan wafat kare
219 na sakitnya", alasan yang agak tepat dan mudah
dipercaya, sebab kesehatan Kaisar Khong Hi
memang merosot terus dalam beberapa tahun
terakhir setelah ia memerintah selama
enampuluh tahun leblh. Yang membuat PakKiong Liong ka get ialah ketika mendengar
bahwa pengganti Kaisar Khong Hi ialah
Pangeran In Ceng, yang kemudian bergelar
Kaisar Yong Ceng. Bagi Pak Kiong Liong yang yakin benar
bahwa pilihan dalam Surat Wasiat adalah
Pangeran In Te, berita naik tahtanya In Ceng itu
lebih susah dipercayai daripada kalau
mendengar kabar bahwa matahari muncul dari
barat. Begitu Pak Kiong Liong tiba di Pak-khia, ia
tidak langsung pulang ke gedung kediamannya,
melainkan ke gedung kediaman Bok Eng Siang,
Panglima Pasukan Macan Terbang. Tubuh dan
pakaiannya masih berbau keringat dan berlapis
debu, ketika ia melangkah lebar memasuki
gedung kediaman Bok Eng Siang.
220 Begitu berhadapan muka dengan Bok Eng
Siang, Pak Kiong Liong lupa saling memberi
salam atau berbasa-basi , lang-sung saja berkata


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan nada tinggi, "Bagaimana ini bisa terjadi"
Sulit dipercaya!" Dengan muka yang muram Bok Eng Siang
berkata, "Duduk dan nikmati secangkir teh dulu,
Goan-swe, agar hatimu menjadi agak tenang.
Bukan Goan-swe saja, akupun rasanya sulit
mempercayai dan menerima keadaan ini, Tapi
baiklah aku terangkan jalannya peristiwa."
Meskipun darahnya sedang panas, Pak Kiong
Liong sudah cukup tua umur nya untuk
mengamuk seperti orang-orang muda. la duduk
dan langsung menghirup teh tanpa menunggu
dipersilakan oleh tuan rumahnya. Hati dan
otaknya benar-benar sedang kacau,
Kemudian Bok Eng Siang berkata pelanpelan, "Goan-swe, kira-kira sebulan setelah
Goan-swe tinggalkan Pak-khia menuju Tiau-imhong, Hong-siang tiba-tiba saja diumumkan
wafat karena penyakitnya.."
221 Cangkir teh di tangan Pak Kiong Liong
gemetar, karena tangan yang meme gangnyapun gemetar, beberapa tetes air teh
menciprat membasahi lengan bajunya. Seumur
hidupnya, belum pernah Bok Eng Siang melihat
Pak Kiong Liong demi kian terguncang. Bahkan
ketika menghadapi pertempuran dahsyat di
pinggir Sungai Ussuri dalam menghadang
pasukan pasukan Rusia yang berjumlah amat
besarpun, Pak Kiong Liong masih kelihatan
tenang. Namun kini Jenderal tua itu gemetar
tangannya. "Saudara Bok, siapa yang mengumumkan
wafatnya Hong-siang, dan siapa yang menungui
detik-detik terakhir di sampingnya?" suara Pak
Kiong Liong sama gemetar dengan tangannya.
"Menurut pengumuman Tabib istana Yo Ce
Kui di aula Yang-wan-kiong, di hadapan sekal
ian Menteri, Panglima dan Bangsawan, Hongsiang
wafat karena penyakitnya tak tersembuhkan. Dan itu adalah pengumuman
resmi, siapapun dilarang menafsirkan lain
222 daripada yang di umumkan itu, dengan
ancaman hukuman penggal kepala..."
Pak Kiong Liong mengangkat cawannya
untuk minum tehnya seteguk,
"Dan siapa orang-orang disamping Hongsiang ketika beliau wafat?"
"Ipar Hong-siang Liong Ke Toh dan Pangeran
In Ceng. Suatu kejanggalan bahwa permaisuri
Tek Huai sendiri malah tidak ada di samping
Baginda menjelang akhir hidupnya. Permaisuri
baru diberitahu sejam kemudian oleh Bangsawan Liong."
Cawan teh di tangan Pak Kiong Liong
gemeretak remuk oleh cengkeraman si
panglima tua, pecahannya melukai kulit telapak
tangan, sehingga darah menetes ke lantai
bercampur air teh. Kemudian juga air mata. Pak
Kiong Liong yang seumur hidupnya lebih pelit
dengan air matanya melebihi segumpal darahnya, kini menangis sehingga pipinya dan
kumisnya yang putih itupun dibasahi air mata.
Perlahan-lahan ia berlutut menghadap ke arah
istana, dahinya menempel lantai dengan
223 khidmat, dan suaranya terbata-bata , "Karena
keserakahan hamba menggunakan waktu untuk
kepentingan pribadi, maka Tuanku telah mengalami bencana. Sebenarnya hamba patut mati
dicincang karena dosa besar ini, tapi biarlah
hamba menebalkan muka untuk tetap hidup
dan menyelidiki pengkhianat yang mencelakai
Tuanku, juga untuk mengemban amanat
Tuanku atas diri Pangeran In Te. Hamba mohon
badan halus Tuanku membantu hamba
melaksanakan cita-cita hamba ini...."
Bok Eng Siang yang berlutut pula di belakang
Pak Kiong Liong itupun agak tergetar hatinya
mendengar ucapan yang mirip sumpah prasetya
itu. Kata-kata itu mengandung keyakinan Pak
Ki-ong Liong bahwa In Ceng naik tahta dengan
cara yang tidak beres. Diam-diam Bok Eng Siang
bertekad pula, apabila Pak Kiong Liong
menggerakkan Hui-liong kun maka dirinyapun
akan menggerakkan Hui-hou-kun untuk
menyokongnya. Tidak peduli hampir seluruh
pasukan di Pak-khia sudah mengumumkan
sumpah setia sejak In Ceng menjadi Kaisar Yong
224 Ceng. Namun Bok Eng Siang sendiri belum menyatakan sumpah setia kepada Kaisar Yong
Ceng, ia masih mengulur waktu dengan alasan
sumpah setia itu akan diucapkannya kelak
dihadapan pelantikan resmi Kaisar Yong Ceng,
setelah lewatnya masa berkabung. Sementara
itu Boi Eng Siang mengharap-harap agar Pange
ran In Te dan pasukan-pasukannya cepat cepat
tiba di Pak-khia. Setelah mengucapkan kata-kata yang
meluapkan perasaan itu, Pak Liong Liong
menjadi agak tenang. Akalsehat-nya masih
menuntun dirinya, bahwa menggulingkan
Kaisar Yong Ceng secara kekerasan akan
menimbulkan perang saudara yang sekuat
tenaga harus dihindarkannya. Tapi diapun
bertekad bahwa kematian Kaisar Khong Hi
harus diusut sampai sejelas-jelasnya. Tak akan
dibiarkan-nya orang-orang yang mengambil
tahta dengan cara yang curang.
Setelah duduk kembali di kursi-nya , begitu
pula Bok Eng Siang, Pak Kiong Liong bertanya,
"Setelah Baginda wafat, bagaimana dengan
225 pembacaan Surat Wasiat itu" Apakah hal itu
dilewat. kan saja sehingga Pangeran In Ceng dapat naik tahta?"
Bok Eng Siang menarik napas bebe-rapa kali
dan menjawab, "Inilah bagian paling gila, paling
tidak masuk akal, dari rentetan peristiwa yang
mengantarkan Pangeran In Ceng sampai ke
tahta. Ya, Goan-swe, inilah bagian paling gila
dan paling tidak bisa dinalar. Pembacaan Surat
Wasiat itu...." "Cepat jelaskan."
"Di hadapan puluhan Menteri, Pang lima,
Pangeran dan bangsawan lainnya, Surat Wasiat
diturunkan dari tempatnya, diperiksa segelnya,
dibuka dan ke mudian dibacakan. Hampir tidak
bisa kupercayai kupingku ketika Liong Ke Toh
membacakan : Tahta diwariskan kepada
Pangeran ke empat!" "Jadi...yang membacakan adalah Liong Ke
Toh?" "Benar!?"Gila! Tidak mungkinkah manusia
itu bermain gila"! Semua orang tahu bahwa dia
sanqat mendukunq Pangeran In Ceng!"
226 Bok Eng Siang lagi-lagi menarik napas.
"Begitu pula rasa tidak percaya bergalau di aula
Yang-wan-kiong itu. Tetapi Liong Ke Toh
mempersi1akan semua orang melihat sendiri
tulisan Sri baginda di atas lembaran sutera
kuning bercap Kekaisaran dan bertandatangan
Sribaginda sendiri, tak mungkin palsu. Saat itu
akupun ikut mendesak maju untuk membacanya sendiri, dan isi surat memang
tepat seperti yang diucapkan Li ong Ke Toh.
Saat itu akupun hampir gila rasanya."
"Terus bagaimana?"
"Beberapa orang yang tadinya ragu ragu,
langsung saja menyatakan mendu-kung Kaisar
baru demi memenuhi amanat Kaisar lama.
Pangeran In Gi dan In Tong yang terangterangan mengatakan tidak mempercayai
keaslian Surat Wasiat itu, segera ditangkap oleh
pengawal ngawal Pangeran In Ceng. Dan
sekarang entah bagaimana nasib kedua
Pangeran itu..... Wajah Pak Kiong Liong semakin gelap.
Biarpun In Gi dan In Tong tidak akrab
227 dengannya, tapi sering juga kedua Pangeran itu
datang ke rumahnya untuk berbincang-bincang
dalam banyak hal, terutama In Gi yang tinggi
besar dan gemar ilmu silat. Kini entah
bagaimana nasibnya" Pak Kiong Liong berkata kemudian, "Sangat
mustahil kalau Surat Wasiat itu menunjuk
Pangeran In Ceng. Aku masih ingat ketika pada
suatu hari aku berbicara berdua saja dengan
Hong siang, tentang keenambelas- orang putera
Hong-siang itu. Biarpun saat itu ia belum
menyatakan terang-terangan Pangeran In Te
sebagai ahli warisnya, namun Hong-siang saat
itu nampak puas dan memuji-muji Pangeran In
Te yang masih muda namun berbakat bagus
menjadi pemimpin yang adil dan bijaksana.
Dianugerahinya putera ke empatbelas itu sehelai jubah naga kuning dan diangkat menjadi
Panglima Tertinggi Kekaisaran. Tidakkah itu
pertanda bahwa Hong siang mempersiapkannya
menjadi penggantinya"
Bagaimana bisa Surat Wasiat itu tiba-tiba
menunjuk Pangeran In Ceng yang paling tldak
228 disenangi oleh Hong-siang itu" Surat Wasiat itu
pasti tidak beres !"
Melulu kalimat "surat Wasiat tidak beres" itu
saja sudah membutuhkan nyali yang amat besar
untuk mengucap-kannya terang-terangan.
Sesaat ruangan itu dicekam kesunyian, dua
Panglima pendukung Pangeran In Te itu
berpikir keras mencoba memecahkan soal aneh
yang mendadak mengubah jalannya sejarah
kekaisaran Manchu dari rel yang semula
ditetapkan itu. "Siapa Tabib Istana yang mengumumkan
wafatnya Sribaginda?" tanya Pak Kiong Liong
memecah kesenyapan. "Yo Ce Kui "Oh, yang rumahnya dekat persimpangan
kuil Goat-sian-li itu?"
"Benar." Pak Kiong Liong bangkit meninggalkan
kursinya dan berkata tegas, "Sekarang juga aku
harus bicara dengan Yo Ce Kui"
229 Dengan menunggangi kudanya, tak lama
kemudian Pak Kiong Liong sudah tiba di depan
rumah Yo Ce Kui, tabib istana yang juga sering
dipanggil Yo Si she itu. Sebagai seorang tabib istana yang
berpenghasilan tinggi, rumah tabib itu besar
dan mentereng. Namun ketika Pak Kiong Liong
tiba di situ, keadaannya sangat sunyi. Pintu
depan tetap tertutup rapat, meskipun PakKiong Liong sudah lama mengetuknya, bahkan
menggedornya. Beberapa orang yang lewat di
depan rumah itu menengok dan dengan heran
melihat kelakuan Pak Kiong Liong, tapi
kemudian lewat terus tanpa menggubris.
Pak Kiong Liong tak sabar lagi. Dengan
mengerahkan sebagian tenaganva. ia mendorong pintu secara paksa sehingga palang
pintu yang cukup kuat di bagian dalam itupun
berderak patah. la melangkah masuk. Di bagian
halaman rumah tabib yang luas itu penuh
ratusan jenis tanaman obat yang menunjukkan
bahwa beberapa hari yang lalu tanaman itu
masih terawat rapi, tapi saat ini rumput liar
230 sudah panjang-panjang tumbuh di sela-selanya.
Tiba-tiba saja Pak Kiong Liong merasakan suatu
perasaan kurang enak menyusupi hatinya.
Pak Kiong Liong tahu, meskipun Yo Sinshe
berusia hampir setengah abad, namun tetap
membujang. la hanya tinggal di rumah itu
ditemani seorang pembantu. Namun kali ini
Pak. Kiong Liong tidak melihat seorangpun. la
melangkah melewati deretan tanam-tanaman
obat itu menuju ke rumah yang juga tertutup
pintunya. Begitu Pak Kiong Liong mendorong pintu,
bau busuk segera menerjang hidungnya. Sinshe
Yo Ce Kui yang gemuk itu tergantung di


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belandar rumahnya dengan seutas tali menjerat
lehernya, sebuah bangku tergelimpang dekat
kaki-nya. Tubuhnya sudah dikerumuni ribuan
lalat dan semut, agaknya sudah mati beberapa
hari dan tak ada tetangga yang menge tahu inya.
Pada dinding rumahnya tertulis kata-kata,
"Hamba berdosa besar kepada Sribaginda dan
patut mampus." 231 Begitu Pak Kiong Liong mendorong pintu, bau busuk
segera menerjang hidungnya. Sinshe Yo Ce Kui yang
gemuk itu tergantung di belandar rumahnya dengari
sutas tali menjerat lehernya .
232 Pak Kiong Liong menutup hidungnya dan
menahan rasa mualnya, lalu berjalan berkeliling
memeriksa rumah itu . Tetapi tak ada yang
menarik perhatiannya kecuaii kenyataan bahwa
Yo Sin-she menggantung diri dengan
meninggalkan coretan di dinding itu. Itupun
cukup menimbulkan kecurigaan Pak Kiong
Liong bahwa wafatnya Kaisar Khong Hi agak ti
dak beres. Mungkinkah Kaisar Tua itu dihabisi
oleh putera dan iparnya sendiri" Darahnya
kembali bergolak kalau memikirkan kemungkinan itu. Pak Kiong Liong segera meninggalkan rumah
itu. Namun sebelum pergi ia sempat
memberitahu beberapa tetangga Tabib Yo agar
merawat selayaknya tubuh tabib itu. Para
tetangga menjawabnya dengan ogah-ogahan,
rupanya karena Yo Ce Kui tergolong seorang
yang sombong di lingkungan tetangganya.
Kemudian Pak Kiong Liong menuju ke rumah
Panglima Han-Lim-kun, pasukan yang mengawal ruang penyimpanan Surat Wasiat
Kaisar Khong Hi itu. Di sinipun Pak Kiong Liong
233 tidak berhasil mendapat keterangan yang
memuaskan. Panglima itu dengan sangat
meyakinkan berani sumpah disambar geledek
bahwa dia tidak disuap pihak manapun untuk
memberi kesempatan mendekati Surat Wasiat
itu, bahkan juga menjaganya dengan ketat siang
dan malam, sampai surat itu dibuka dan
dibacakan setelah wafatnya Kaisar Khong Hi.
Panglima Han-Lim-kun itu tahu Pak Kiong Liong
menyelidiki hal itu karena penasaran Pangeran
In Ceng yang naik tahta, bukan Pangeran In Te
yang "dijagokan" Pak Kiong Liong dan sebagian
tokoh-tokoh pemerintahan.
Ketika Pak,Kiong Liong hendak berpamitan
pulang, Panglima Han-Lim-kun itu malahan
menghibur Pak Kiong Liong seperti menghibur
seorang anak-anak yang kehilangan LayangLayang kesayangannya. "Barangkali memang
Pangeran Ke empatlah yang dikehendaki Sianho kaisar terdahulu untuk menggantikannya.
Sikap Sian-ho selama ini agaknya cuma tabir
menutupi maksud yang sebenarnya, mungkin
234 untuk mengalihkan perhatian orang. Memang....." Dan seterusnya. dalam ucapanya begitu
banyak mengandung kata "barangkali" atau
"agaknya" atau "mungkin" itu jelas amat kabur
dan tak bisa dipegang kepastiannya.
Pak Kiong Liong hanya menyeringai kecut
mendengar penjelasan yang bertele-tele itu.
Katanya, "Kalau memang amanat Sribaginda
menunjuk Pangeran Keempat, aku tidak akan
rewel lagi. Tapi bagimana kalau dalam urusan
pergantian tahta itu ternyata ada kecurangan?"
Wajah Panglima Han-Lim-kun itu berubah
hebat mendengar itu. "Maksud Goan-swe,
Kaisar yang sekarang ini..." lalu buru-buru
mulutnya dibungkam sendiri, tidak berani
meneruskan kalimatnya, khawatir kalau
ucapannya sampai ke telinga Kaisar Yong Ceng
maka dia akan mengalami nasib seperti
Pangeran In Gi dan In Tong.
Sedang Pak Kiong Liong tidak ragu ragu
menunjukkan sikapnya, meskipun untuk itu
harus menentang arus. Katanya, "Aku memang
235 curiga terjadi kecurangan disekitar Surat
Wasiat itu. Kalau sampai orang curang itu aku
ketahui , tak peduli apapun yang terjadi, aku
akan, menegakkan Hukum Kekaisaran atas dirinya. Kau sendiri bagaimana, saudara He"
Masihkah kau setia kepada Sian-hong ?"
"Budi Sian-hong sebesar gununung dan
sedalam samudera, bagaimana aku tidak
mengingatnya?" sengaja Panglima Han-Lim-kun
itu menghindari kata "setia" dan cukup diganti
dengan "mengingat'.'.
"Bagaimana sikap saudara, kalau. Surat
Wasiat Sian-hong yang sama-sam. kita junjung
tinggi itu diseIewengkan oleh sebuah
komplotan kotor demi ingin mengangkangi
tahta!" Pak Kiong Liono mendesak.
Panglima Han-lim-kun itu merasa terjepit. Di
satu pihak, ia kagum akan sikap tegar Pak Kiong
Liong yang tidak tanggung-tanggung melawan
arus. Di lain pihak, meskipun ia setia kepada Kai
sar Khong Hi, tapi Kaisar itu sudah meninggal
dan yang berkuasa saat itu ialah Kaisar Yong
Ceng, la tidak ingin mempertaruhkan
236 kedudukannya yang didapatnya dengan susah
payah itu hanya karena mendengar "ocehan"
Pak Kiong Liong, si Jenderal tua yang
nampaknya sedang "kebingungan" itu.
Jawaban Panglima Han-Lim-kun itu akhirnya
kacau, "Aku tidak tahu apa-apa, Goan-swe, aku
cuma menjalankan perintah siapapun yang
berkuasa dan tidak bisa lain pilihan. Aku....aku
maaf , tidak berani ikut apa yang sedang Goanswe selidiki.. .."
Pak Kiong Liong muak akan sikap itu, namun
bisa juga memakluminya karena memang
demikian watak sebagian besar manusia.
Mereka hanya tahu bahwa Kaisar Yong Ceng
sedang berkuasa dan menutup mata rapat-rapat
terhadap bagaimana caranya ia mendapatkan
kekuasaannya. Biar junjungannya busuk,
supaya aman ya tutup mata saja, kalau perlu
ikut-ikutan jadi busuk sekalian agar tidak
terlempar dari kedudukan empuk-nya .
Sambil mengulum senyum getir, Pak Kiong
Liong berkuda kembali ke gedung kediamannya.
Di rumah Sin-she yo ia cuma disambut mayat
237 setengah membusuk, dan di rumah Panglima
Han-Lim-kun ia malah dibikin kenyang dengan
sikap "ilalang mengikuti angin" dari si Panglima.
"Panglima edan," kutuk Pak Kiong Liong di
dalam hatinya. "Apa aku kelihatan begitu
bingung dan putus asa, sehingga dia
menasehatiku seperti itu" Apa dikiranya aku
mendukung Pangeran In Te demi mencari
kedudukan yang le-bih tinggi bagi diriku
sendiri?" Malam itu Pak Kiong Liong hanya
beristirahat badannya, tapi pikirannya tidak.
Besok subuh, untuk pertama kali ia akan
menghadiri Sidang Kerajaan yang dipimpin
Kaisar baru, entah akan bagaimana sikap Kaisar
Yong Ceng kepadanya" Bagaimana pula sikap
Liong Ke Toh" Keesokan harinya, Pak Kiong Liong benarbenar hadir dalam Sidang Kerajaan. Ketika
tambur Liong-hong-kou dan lonceng Kengyang-kiong di kiri kanan istana berbunyi
menandakan hadirnya Sang Kaisar, maka Pak
238 Kiong Liong memaksakan diri untuk berlutut
pula agar tidak merusak tata tertib persidangan.
Kaisar Yong Ceng muncul di singgasana
dengan jubah kuning bersulam naga dan topi
kuning bersulam naga pula, di samping sekalian
hadirin dengan seruan "Ban-swe! Ban-swe!"
Dengan sikap sangat menarik hati , Kaisar
Yong Ceng menyuruh para hadirin untuk
bangkit dari berlututnya. Kemudian sidangpun
berjalan seperti biasa-nya. Beberapa Menteri
atau Pejabat Tinggi memberikan laporan atau
usul-usul menurut bidang tugas masing-masing. Dan Kaisar Yong Ceng kemudian membagibagikan perintah-perintah dan petunjukpetunjuk dengan gaya yang mempesona .
Melihat itu, terkesiaplah Pak Kiong Liong.
Kalau gaya mempesona Kaisar muda itu terusmenerus ditunjukkan ke-pada para Menteri dan
Panglima, tidak mustahil orang-orang yang
tadinya mendukung Pangeran In Te bisa
berbalik mendukung Kaisar Yong Ceng, dan
akan makin sulit bagi In Te untuk menuntut
239 haknya, kecuali lewat kekerasan yang akan
menumpahkan banyak darah.
"Pangeran In Te harus mempercepat
perjalanan pasukannya ke Pak-khia, sebelum
orang terlanjur terpesona dan memihak In
Ceng...." pikir Pak Kiong Liong.
Setelah bertanya-tanya dengan beberapa
Panglima dan Menteri tentang beberapa urusan
negara, paling akhir barulah Yong Ceng
memandang ke arah Pak Kiong Liong dan
berkata, "Kenapa Paman berdiri agak di
belakang, tidak di depan seperti biasanya"
Apakah Paman takut aku gigit ?"
Memang bukan giginya yang menggigit,
namun sapaan Yong Ceng itupun sudah cukup
"menggigit". Pak Kiong Liong dengan sikap
tenang melangkah maju dan berlutut di bawah
tangga singgasana sambil berkata, "Hamba
menghaturkan sembah untuk Tuanku."
"Bangkitlah, Paman. Paman adalah sesepuh
kerabat istana yang seangkatan dengan
mendiang Ayahanda dan Paman Liong Ke Toh,
jangan terlalu sungkan kepadaku. "
240 "Terima kasih, Tuanku."
"Bagaimana dengan perjalanan Paman ke
Tiau-im-hong" Apakah puteri Paman dan cucu
kembar Paman yang manis-manis itu dalam
keadaan sehat-sehat semua" Bagaimana pula
dengan Ketua Hwe-Liong-pang" Aku pernah
berhutang budi kepada mereka semua."
"Mereka sehat-sehat semuanya, Tuanku.
Mereka tentu akan bersyukur sekali kalau
mengetahui perhatian Tuanku terhadap mereka
" "Tentunya Paman agak kaget mendengar
bahwa aku sudah naik tahta menggantikan
Ayahanda?" "Memang agak di luar dugaan, Tuanku," kata
Pak Kiong Liong terus terang , membuat para
hadirin terkejut. Bukan saja khawatir akan
terjadi keributan seperti tempo hari, tapi juga
mencemaskan nasib si Jenderal tua yang sudah
mengalami jaman tiga Kaisar itu . Sun Ti, Khong
Hi dan kini Yong Ceng. 241 "Raman kecewa bahwa yang naik tahta
adalah aku, bukan Adinda In Te?" nya Kaisar.
"Mana berani hamba kecewa" Hamba hanya
heran bahwa Surat Wasiat Sian-hongya ternya
ta demikian isi nya. Juga heran bahwa Sianhong-ya meninggal dunia ketika hamba sedang
tidak ada di Pak-khia, padahal sebelum hamba
tinggalkan Pak-khia, hamba sempat rnenengok
dan mellhat kesehatan Sian-hong-ya semakin
baik?" Perlahan-lahan darah Kaisar Yong Ceng naik
ke kepala, wajahnya mulai mmerah perlahanlahan pula. Ucapan Pak Kiong Liong itu
rnengandung nada tuduhan dan kecurigaan
terhadapnya, lagipula diucapkan tanpa bisikbisik di tengah-tengah Sidang istana.
Disaat Yong Ceng hampir saja memerintahkan sebuah tindakan keras atas diri
Pak Kiong Liong, mendadak di bawah
singgasana dilihatnya Liong Ke Toh mengedipngedipkan mata ke arahnya. Itulah isyarat agar
Yong Ceng tidak terjebak oleh "Pembicaraan
berperangkap" yang dike hendaki Pak Kiong
242 Liong. Liong Ke Toh bisa rnenebak bahwa Pak
Kiong Liong sengaja rnemanaskan hati Kaisar


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yong Ceng lebih dulu, kemudlan Kaisar akan
dilibatkan dalam pernbicaraan yang berbahaya
agar keseleo lidah dan membuka kedoknya
sendiri . Menangkap isyarat Liong Ke Toh itu, Yong
Ceng dapat mengendalikan diri. Sambil
menunjukkan muka sedih, dia pun berkata,
"Akupun sangat terpukul dengan wafatnya Huhong, padahal semula aku sudah gembira
melihat kesehatan nya membaik. Tentang Surat
Wasiat yang menunjuk diriku, akupun merasa
sangat di luar dugaan. Aku paham ada banyak
pihak yang kecewa oleh isi Surat Wasiat itu,
namun aku lebih-lebih tidak berani mengecewakan harapan Hu-hong yang diletakkan di atas pundakku, seperti yang
dituliskannya sendiri dalam Surat Wasiat itu.
Aku harus mengemban amanat nya, agar arwah
Hu-hong tenang di alam baka."
Pak Kiong Liong tertawa dalam hati melihat
peragaan sandiwara "kucing menangisi tikus"
243 itu. la masih ingat bagaimana bernafsunya In
Ceng akan tahta , dan sekarang ia pura-pura
menduduki tahta seolah-olah dengan "terpaksa" demi "memenuhi amanat Ayahanda" segala.
Sementara itu Yong Ceng juga tahu bahwa
sulit membuat Pak Kiong Liog mempercayainya.
Namun, meskipun seolah-olah ia bicara kepada
Pak Kiong Liong, sasaran sebenarnya dari
sandiwara "kucing menangisi tikus" itu ialah
hadirin di ruangan itu, agar mereka semua
terpikat hatinya dan berdiri di pihaknya. Kalau
seluruh orang di kekaisaran berdiri di pihaknya,
biarpun ada sepuluh orang macam Pak Kiong
Liong yang tidak mempercayai juga tidak jadi
soal . Kata Kaisar Yong Ceng lebih lanjut, "Aku
sedih mendengar banyak orang menuduh aku
berbuat curang dalam mendapatkan tahta.
Bahkan juga beberapa keluarga dekatku sendiri.
Karena itulah terpaksa aku memberlakukan
Hukum Kekaisaran atas diri Adinda In Gi dan Ad
inda In Tong yang coba-coba menentang Amanat Hu-hong. Kepada Paman Pak Kiong
244 Liong, aku mohon agar Paman berbuat sesuatu
untukku......" "Apa yang bisa Tuanku harapkan dari
seorang tua yang pikun dan rewel seperti
hamba ini?" "Paman terlalu merendah. Aku tahu bahwa
Paman punya pengaruh kuat atas diri Adinda In
Te, karena itu aku mohon agar Paman mau
membujuk adikku , agar ia bersedia membantu
aku membangun kekaisaran ini. Begitu pula
Paman sendiri masih aku harapkan bantuan
tenaga untuk mengatur pemerintahan. Bagaimana dengan tawaranku yang tulus keluar
dar i dasar hati ini?"
Selama ini Pak Kiong Liong menilai Yong
Ceng hanya seorang yang bisa menyelesaikan
masalah dengan kekerasan dengan otot. Namun
ucapannya kali ini memperIihatkan kelihaian
silat lidahnya dalam usaha menyudutkan Pak
Kiong Liong. Ucapan yang dilontarkan di depan
begitu banyak hadirin dan bernada menawarkan perdamaian itu tentu saja
mendapat kesan baik dari sekalian hadirin.
245 Kalau Pak Kiong Liong bersikeras menolak,
tentu akah mendapat kesan buruk, dianggap
serakah ingin menggucang ketenangan yang
mulai mapan dan lain-lainnya. Tapi kalau Pak
Kiong Liong menerima, itu sama saja dengan
mengakui kekuasaan Yong Ceng adalah sah, dan
orang macam Pak Kiong Liong tidak mungkin
menjilat kembali ludahnya di kemudian hari.
Dengan demikian, baik menjawab "ya" ataupun
"tidak" sama-sama sulit bagi Pak Kiong Liong.
Sesaat ruangan sidang itu sunyi mencekam,
semua hadirin menunggu bagaimana jawaban
Pak Kiong Liong. Sementara Pak Kiong Liong
sendiri berpikir, "Licin juga bocah ini. Agaknya
selama ini aku terlalu memandang rendah kepadanya....."
Memang, kalau Yong Ceng alias In Ceng alias
Su Liong-cu tidak licin, bagaimana mungkin
pendekar-pendekar Kang Lam semacam Kam
Hong Ti dan Pek Thai Koan juga berhasil dipikat
untuk diperalat tenaganya"
Akhirnya kesunyian itupun dipecahkan oleh
suara Pak Kiong Liong yang tenang, "Tuanku,
246 Pangeran In Te pernah bicara kepada hamba
bahwa diapun bercita-cita membangun dan
menjayakan kekaisaran. Dia juga tak ingin
bertentangan dengan siapapun, apalagi saudaranya. Hamba pikir, ajakan Tuanku akan
diteri manya dengan senang hati , kalau persoalannya sudah jelas...."
"Di hari-hari yang lewat, memang paling
banyak kesalahpahaman antara aku dan Adinda
In Te dibandingkan dengan saudara-saudaraku
lainnya. Tapi itu sudah lewat, kami bersaudara,
jadi buat apa lagi mengungkit-ungkit soal
lama?" "Ampunilah hamba, Tuanku. Rasanya selama
dua macam persoalan yang ada sekarang ini
belum diterangkan sehingga jelas benar, sulit
sekali bagi Adinda Tuanku untuk menahan
diri!" Senyuman ramah di wajah Kaisar Yong Ceng
perlahan-lahan lenyap, alis tebalnya mulai
berkerut. "Bagaimana Paman bisa tahu pikiran
dan tindakan apa yang dilakukan Adinda In Te ,
seolah Paman ini cacing dalam perutnya Apakah
247 perjalanan Paman ke Tiau-im-hong itu
sebenarnya hanya kedok, sebenarnya Paman
pergi menjunpai Adinda In Te untuk menanasmanasi hatinya agar melawan aku?"
Semakin marah Kaisar Yong Ceng, semakin
menakutkan bagi orang lain, tetapi justru
semakin menyenangkan bagi Pak Kiong Liong
yang mengharap si marah itu agar "keseleo
lidah" tentang peristiwa wafatnya Kaisar Khong
Hi dan anehnya isi Surat Wasiat itu. Pak Kiong
Liong siap mempertaruhkan nyawa dan
kedudukannya demi membongkar tuntas
rahasia keanehan kedua peristiwa itu .
Sahut Panglima Hui-Liong-kun itu, "Tuanku,
hamba tidak berani bohong ketika berpamitan
dengan Sian-hong dulu. Hamba benar-benar
pergi ke Tiau-im-hong, tidak pergi ke manamana."
Ketenangan Pak Kiong Liong itu membuat
Yong Ceng jengkel sendiri sehingga tak kuasa
mengendaIikan diri lagi, ia membentak, "Tua
bangka berlidah ular, aku perintahkan untuk
menutup mulut!" 248 Ucapan kasar yang kurang pantas bagi
seorang Kaisar itu mengejurkan para Menteri
dan Panglima yang hadir di situ, dan membuat
citra Kaisar Yong Ceng tadi akan ternoda, Liong
Ke Toh semakin giat mengedip-ngedipkan
matanya memberi isyarat dari bawah singgaSana, tapi biarpun matanya sampai pegal,
isyaratnya itu tidak dilhat oleh Kaisar. Keruan
Liong Ke Toh mengeluh dalam hatinya, pikirnya,
"Kalau begini terus, Kaisar bisa terjebak oleh
perangkap Pak Kiong Liong dan melucuti kedok
sendiri, Menteri dan Panglima yang sudah
memperlihatkan kepatuhan, bisa berbalik kiblat
kembali." Tapi akhirnya Kaisar melihat juga isyarat
dari Liong Ke Toh itu dan berusaha menguasai
sikapnya agar tidak ke lihatan "kampungan".
Selama berlangsungnya tanya jawab yang
menegangkan antara Kaisar Yong Ceng dengan
Pak Kiong Liong itu, puluhan orang Menteri dan
Panglima hanya berdiri kaku, tak berani
menimbrung bicara. Menggerakkan ujung jari
kaki atau bernapaspun tak berani keras-keras.
249 Mereka khawatir kalau Kaisar marah kepada
Pak Kiong Liong tapi tak be rani
menghukumnya, jangan-jangan hukuman akan
ditimpakan kepada mereka, sekedar untuk
pelampiasan kemarahan"
Memang terhadap Pak Kiong Liong, Kaisar
Yong Ceng tidak bisa mengambil tindakan
gegabah. Dengan mengerahkan pengawalpengawal setianya, Yong Ceng yakin bisa
membunuh Pak Kiong Liong di tempat itu juga,
tapi bukankah itu berarti menyulut kemarahan
Pangeran In Te" Yong Ceng sadar, pihaknya
masih belum siap untuk menghadapi adiknya
itu secara terbuka. Karena itu, betapapun jengkelnya ia, ia tetap
berusaha menyabarkan diri. Katanya kemudian,
"Maafkan, aku tadi bersikap kasar terhadap
Paman. Aku mohon Paman pun bisa
membawakan diri dalam sidang ini."
"Hebat bocah ini pikir Pak Kiong Liong. "la
adalah pemain sandiwara ulung. Tetapi aku
harus tetap memancingnya agar kedoknya
terlucuti di depan sidang ini."
250 Kata Pak Kiong Liong kemudian. "Tuanku ,
hamba masih ingin melanjutkan permohonan
hamba tentang dua persoalan yang harus
dijelaskan tadi. Barangkali saja, kalau kedua
soal itu menjadi terang secara memuaskan,
Pangeran In Te akan bersedia tunduk kepada
Tuanku..." "Katakan," kata Kaisar Yong Ceng amat
terpaksa, sebab ia sadar mulai memasuki babak
pembicaraan berbahaya, yang bisa membuatnya
terjungkir dari singgasana kalau keliru bicara.
"Tuanku, yang pertama hamba mohon
penjelasan bagaimana wafatnya Sian-hong.
Yang kedua, bagaimana mungkin dalam Surat
Wasiat Sian-hong itu nama Tuankulah yang
tercantum?" "Pertanyaan pertama bisa kujawab, Hu-hong
memang sudah berusia lanjut dan mengidap
macam-macam penyakit, kalian semuapun tahu.
Hanya saja ketika wafatnya beliau, hanya aku
dan Paman Liong Ke Toh yang disampingnya,
apakah hal ini patut dicurigai" Seorang putera
dan seorang ipar berada di samping Hu-hong
251 yang membutuhkan perhatian, apakah itu dosa
besar" Paman kira aku seorang anak durhaka
yang berani membunuh ayahku sendiri"
Tentang soal nama ku yang tercantum dalam
Surat Wasiat itu, agaknya Paman hanya bisa
bertanya kepada arwah Hu-hong, tidak
kepadaku, sebab akupun tidak tahu bagaimana
bisa begitu. Atau Paman ingin mengingkari
Amanat Hu-hong?" "Hamba mohon ampun kalau kata-kata ini
tidak berkenan di hati Tuanku. Supaya
kewibawaan Tuanku kokoh, kekuasaan Tuanku
langgeng, hamba pikir Tuan ku harus bisa
menghadirkan saksi-saksi dan bukti-bukti kuat
tentang kedua hal itu. Kalau tidak, hamba
khawatirkan masih akan ada pihak-pihak yang
meragukan kedudukan Tuanku saat ini syah atau tidak?"
Barangkali itulah peristiwa janggal di mana
seorang Kaisar dituduh seperti maling ayam,
oleh seorang Panglimanya sendiri .
"Pak Kiong-Liong, lancang benar mulutmu"
kali lni yang membentak adalah Ni Keng Giau,
252 pembantu terpercaya dan sekaligus adik
seperguruan Kaisar Yong Ceng, yang saat itu
menduduki jabatan sebagai Panglima Tiat-kikun.
Tapi Ni Keng Giau cuma berani membentak
dan tidak berani berbuat apa-apa, sebab sadar
dengan siapa ia tengah berhadapan.


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tenanglah, Sute," Kaisar menyuruh Ni Keng
Giau diam, lalu berkata kepada Pak Kiong Liong.
"Terserahlah kalau Paman tidak mempercayai
penjelasanku tadi. Pada detik-detik terakhir
hidupnya, Hu-hong berpesan secara lisan
bahwa Adinda In Te memang berbakat dalam
kemiliteran, tetapi ia terlalu polos untuk
mengendalikan pemerintahan, karena itu Huhong memilih aku. Sedangkan Adinda In Te
akan tetap menduduki Panglima Tertinggi
Angkatan Peranq Kekaisaran, dengan demikian
kami kakak beradik akan bahu-membahu
membangun kekaisaran ini nenjadi bertambah
kuat dan jaya. Paman Liong Ke Toh kebetulan
hadir pula saat itu di samping pembaringan Hu253
hong dan ikut mendengar kan pesan lisan itu.
Bukankah demikian, Paman?"
Pertanyaan terakhir itu ditujukan kepada
Liong Ke Toh, Liong Ke Toh cepat berlutut dan berkata
nyaring, "Memang benar demikian, Tuanku.
Hamba mendengar Sian-hong mengatakannya
sebelum wafatnya." Sudah tentu "kesaksian" orang semacam
Liong Ke Toh tidak dipercaya sedikitpun oleh
Pak Kiong Liong. Tetapi Pak Kiong Liong sendiri
juga tidak punya bukti atau saksi yang bisa
meruntuhkari komplotan Kaisar Yong Ceng itu,
semuanya masih berdasarkan dugaan atau
kecurigaan sepihak saja. Sementara itu Kaisar Yong Cenq berkata lagi,
"Hanya orang durhaka yang pantas tidak
mempercayai pesan terakhir Hu-hong itu. Tabib
istana Yo Ce Kui juga sudah mengeluarkan
pengumuman resmi tentang wafatnya Hu-hong
itu. Tak ada keraguan lagi bahwa Hu-hong wafat
secara wajar karena sudah lanjut usia dan
penyakitnya!" 254 Sebenarnya Pak Kiong Liong harnpir terjepit
karena "Kesaksian" Liong Ke Toh itu, namun
disebut-sebutnya nama Yo Ce Kui memberi
setitik peluang lagi baginya. Secara untunguntungan ia ingin memancing bagaimana reaksi
Kaisar Yong Ceng atas ucapannya ini. "Tuanku,
kemarin sore hamba telah bertemu dengan sinshe Yo Ce Kui di rumahnya."
Pancingan itu kena. Wajah Kaisar tiba-tiba
berubah hebat dan hampir melompat dari
singgasananya. Hal itu tak lepas dari
pengamatan Pak Kiong Liong dan menimbulkan
pikiran dal am hatinya, "Kalau tidak ada apaapa dengan wafatnya Sian-hong, kenapa bocah
itu nampak kaget sekali?" Lalu Pak Kiong Liong
ingat pula tulisan di dinding rumah Sin she Yo
tentang "berdosa kepada Sribaginda" segala itu
..... Suara Yong Ceng terdengar gugup, "Apa____
Lovhobia 2 Alap Alap Laut Kidul Seri Ke 3 Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Kisah Para Pendekar Pulau Es 1

Cari Blog Ini