Ceritasilat Novel Online

Memburu Putera Radja 11

Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen Bagian 11


pengetahuannja, kenapa ia bolehnja menelad Hek Gwa Sam Hiong dan datang djuga
kemari ?". Ia belum habis berpikir, djago tua itu sudah tiba didepannja dan
sambil mengulur tangan, dia berkata: "Sudah lama kita tidak pernah bertemu !".
Lie It heran kenapa, meski ia telah salin rupa, orang masih mengenali padanja.
Tapi ia menenteramkan diri, dengan lekas ia berkata: "Aku jang muda Siangkoan
Bin mengudjuk hormatnja kepada Kok Loo-bengtjoe ". "Djangan memakai banjak
kehormatan ", kata Kok Sin Ong seraja ia mendjabat tangan orang, tetapi sembari
mendjabat itu, satu djarinja menulis kata2 : "Segala apa aku telah ketahui !".
Selagi Lie It tetap heran, Yang Thay Hoa njelak diantara mereka. "Kiranja
djiewie telah kenal satu sama lain !", katanja ,,Aku mengenal Siangkoan Laotee
semendjak dia masih orok ", kata Kok Sin Ong. "Dia gemar ilmu silat, maka itu
aku si orang tua pernah bersama ia mejakinkan ilmu silat pedang " "Djikalau
begitu pantaslah botjah ini mengenal ilmu tenaga dalam jang lurus ", pikir Thay
Hoa. Kok Sin Ong keluaran Ngo-bie-pay, dengan Tiangsoen Koen Liang dan Oet-tie
Tjiong ia bersahabat, pantas kalau ia mengenal Lie It semendjak Lie It masih
ketjil, dan pantas djuga Lie It mengerti ilmu tenaga dalam jang sedjati itu.
Karena ini, ketjurigaannja Yang Thay Hoa mendjadi berkurang. Kok Sin Ong
berbitjara pula dengan Lie It, tangan si anak muda masih ia tidak lepaskan, maka
itu, kembali ia mentjorat-tjoret: "Apakah kau benar datang kemari bukan untuk
menghamba kepada Khan Turki ?". Lie It girang, pikirnja: "Dengan pertanjaannja
ini, terang Kok Sin Ong pun bukan dengan sesungguhnja hati mau menghamba pada
bangsa Turki ". Maka ia lantas mentjoret, mendjawab pertanjaan itu: "Memang
bukan ". Sepasang alisnja Kok Sin Ong terbangun, ia tertawa. Itulah menandakan
leganja hatinja. Maka ia lantas melepaskan tjekalannja, untuk berbitjara dengan
jang lain2. la tetap bersikap gembira dan ramah-tamah. Lie It berpikir keras.
"Mungkinkah itu malam dia ini jang mempermainkan Thia Tat Souw ?", ia tanja
dalam hatinja. "Akan tetapi belum pernah aku mendengar halnja ia pernah
mempeladjari sendjata rahasia jang berupa djarum untuk menjerang djalan darah.
Laginja, rasanja orang itu berkepandaian lebih tinggi dari padanja. Djikalau
bukannja dia, habis siapakah orang liehay itu" Mungkinkah ia selama sepuluh
tahun ini telah bertambah pesat ilmu kepadaiannja ?". Pangeran ini mendjadi
menjesal sekali atas ada banjaknja lain orang disitu hingga ia tidak memperoleh
ketika untuk menanjakan bengtjoe itu, untuk ia memperoleh kepastian. Dihari
kedua mestinja Thia Tat Souw menqadjak Lamkiong Siang dan Lie it menghadap Guru
Besar Matu, jang kedudukannja mirip perdana menteri, tetapi ia mesti membatalkan
itu disebabkan mendadak datang pemberitahuan dari Khan bahwa hari itu, tengahhari, radja itu akan mengadakan perdjamuan didalam istana, dan bahwa, habis
pesta, pertemuan besar akan dibuka dengan resmi. Sementara itu ada boesoe Turki
jang memberitahukan bahwa pesta itu bukan pesta biasa, hahwa pesta diadakan
sekalian berhuhung hari itu bakal tiba selir jang baru dari Khan. Djadi itulah pesta penjambutan.
Dikatakan djuga bahwa selir itu kabarnia puteri dari suatu negara ketjil
diselatan gunung Altai, romannja tjantik luar biasa dan tersohor karenanja, maka
untuk mendapatkanja, Khan sudah mengeluarkan banjak uang emas dan permata mulia.
Untuk menjambutnja, ada dibilang lebih djauh, Khan sampai mengirim utusan
istimewa. Boesoe jang bisa mendapat kabar itu menambahkan bahwa ada kemungkinan,
didalam perdjamuan itu, sang selir sendiri akan menghaturkan arak kepada para
tetamu. Djikalau Khan mengundang pesta, siapa jang menerima undangan merasakan
girang sekali, karena itu herarti kehormatan luar biasa, dan sekarang, pesta ada
dua maksudnja, tidak heran setiap orang ingin sekali mengehadirinja, untuk dapat
melihat wadjahnja si selir tjantik. Demikian tengah-hari itu, boesoe dari
pelbagai negara, sudah berkumpul dimedan pesta, jang diadakan didalam istana
dalam taman keradjaan. Disitu telah diatur pendjagaan jang kuat dan rapih oleh
sekalian boesoe jang diberikan tugas pendjagaan. Kedatangannja Kok Sin Ong telah
diwartakan kepada Thian Ok Toodjin dan Khan djuga telah mendapat tahu, maka itu
setibanja tetamu itu Thian Ok meniambut ber-sama2 Biat Touw, untuk
memperkenalkan dia kepada Khan. Dengan begitu, Kok Sin Ong mendapat tempat duduk
sebagai tetamu jang terhormat. Thia Tat Souw bertindak terlebih rendah, maka ia
tjuma ditemani Yang Thay Hoa, tetapi ta dapat duduk dibagian depan. Jang lain2nja, seperti Lie It dan Lamkiong Siang, mendapat kursi menurut runtunannja
masing2. Karena banjaknja tetamu, sampai diluar istana, dilatar janq berumput,
masih diatur medja pesta, hingga mereka ini sukar melihat sekalipun wadjah Khan.
Lie It memandang Khan Turki, jang romannja agung, usianja sedikitnja sudah lima
puluh lebih. Ia tidak melihat selir jang baru, jang belum sampai. Karena katanja
selir itu berumur kurang-lebih duapuluh tahun, perbedaan mereka djauh sekali. Ia
kata dalam hati ketjilnja: "Apabila benar puteri itu demikian muda dan tjantik,
dia harus dikasihani ...". Tapi ia lantas tertawa sendirinja kapan ia ingat satu
radja biasa mempunjai banjak selir. Kemudian Lie It mengawasi kearah Thia Tat
Souw. Dibantu oleh Yang Thay Hoa, ketua Hok Houw Pang itu menundjuk sikap hormat
sekali kepada Guru Besar Matu. Ia tidak dapat mendengar pembitjaraan orang
tetapi dengan mejihat lagak-lagunja sadja, ia sudah merasa muak, hingga ia
lantas menggeser pandangannja kelain arah. Baru selesai orang mengambil tempat
duduknja masing2, lantas Lie It mendengar suara berisik jang datangnja dari luar
istana. Ia lantas berpaling. Maka ia melihat muntjulnja seorang umur lima puluh
tahun, badju pandjangnja sudah luntur dan kopiahnja sudah belutuk. Orang itu
mirip sangat dengan seorang peladjar tua, jang sudah rudin, sedang gerakgeriknja seperti gerak-gerik orang jang otaknja tidak beres. Kelakuannja ini
djuga jang menjebabkan bentak2-nja beberapa boesoe atau pengawal, jang hendak
mentjegah dia memasuki istana. Lima atau enam pengawal itu lari kedalam, untuk
menjusul. Melihat kelakuan itu, Lie it menduga, orang bukannja tetamu Khan. Para
tetamu lainnja pun turut merasa heran. Pasti orang bernjali sangat besar maka
dia berani lantjang memasuki istana. Sebentar sadja orang itu telah tiba dilatar
rumput dimana ada belasan medja perdjamuan, hingga para tetamu pada bangun
berdiri. "Berhenti ...!", membentak seorang pengawal, jang berhasil menjandak.
Tapi dia bukan tjuma membentak dengan perintahnja itu, terus dengan goloknja dia
membatjok kearah batok kepala orang! Orang dengan pakaian dan lagak tidak keruan
itti nampaknja bingung, tepat dia dibatjok, mendadak dia terpeleset, tubuhnja
lantas roboh terdjengkang. Lie It kaget, ia mengira orang bakal terbatjok
tjelaka, atau ia lantas mendjadi heran. Ketika dia djatuh, kaki kanan orang itu
terangkat kaget, sepatunja tjopot, terbang kelengannja si pengawal, hingga golok
ditangan pegawal ini terlepas. Rupanja sepatu itu membuatnja kaget dan
kesakitan. Begitu dia terdjengkang, orang aneh itu menggulingkan tubuh, untuk
bangun herdiri dengan gesit sekali, untuk terus menjambuti sepatunja jang mau
djatuh ketanah, kemudian tak sempat memakai sepatu itu, dia lari pula, untuk
lari terus. Semua tetamu kaget dan heran. Kenapa orang djatuh tepat selagi
dibatjok! Kenapa sepatu orang tjopot dan tepat mengenakan lengan si pengawal,
hingga goloknja pengawal itu terbang" Bagaimana sebatnja dia dapat menanggapi
sepatunja itu" Dan siapakah dia dan apa perlunja dia nerobos masuk ke dalam
istana" Segera djuga terlihat Kok Sin Ong dan Thian Ok Toodjin ber-lari2 keluar
dari istana, untuk memapaki si peladjar tidak keruan lagaknja itu, dan Kok Sin
Ong sambil ber-teriak2 : "Eh, Lao Hoe! Inilah istana Khan jang agung, mengapa
kau main gila ?". Thian Ok Toodjin heran, dia, tanja Sin Ong : "Apakah Hoe Loosianseng dari Thian-san disana" Bagus! bagus sekali kau pun datang kemari !".
Mendengar suaranja dua orang itu, Lie It mendapat tahu Kok Sin Ong kenal baik
orang itu dan Thian Ok tjuma mengenal nama, melihat pun belum. Orang luar biasa
itu tertawa berkakakan. "Kedua adikku, kamu boleh datang kenapa aku tidak ?",
katanja. Mendengar suara orang itu, rombongan pengawal jang mengedjar lantas
menghentikan pengedjarannja. Mereka pun melihat muntjulnja Thian Ok Toodjin dan
Kok Sin Ong itu. Orang itu melihat dan mendengar suaranja Kok Sin Ong dan Thian
Ok Toodjin, dengan lekas dia memakai sepatunja, habis mana, dia menjekal
tangannja bengtjoe she Kok itu, sembari tertawa dia bertindak madju, untuk
menaiki undakan tangga istana. Para tetamu asal Tiongkok mendjadi heran sekali,
rata2 mereka itu menanja dalam hati mereka: "Siapakah orang ini" Sampaipun Kok
Sin Ong dan Thian Ok Toodjin sangat menghormatinja ". Sekarang terlihat njata
orang djenggotnja jang pandjang tetapi djarang, usianja paling tinggi baru lima
puluh tahun lebih, djadi dia djauh lebih muda daripada Kok Sin Ong dan Thian Ok
Toodjin, maka heran kenapa dia memanggil dua orang itu dengan panggilan "laotee" atau adik jang tua. Pula agaknja dia kenal baik dengan Kok Sin Ong tetapi
dengan Thian Ok baru kenal sekarang. Pula mereka heran atas Thian Ok, jang
biasanja kepala besar dan djumawa, tetapi sekarang, dipanggil lao-tee, dia tidak
kelihatan mendongkol . Khan Turki telah menjaksikan kekatjauan itu. Mulanja rasa
tidak senang sekali pestanja didalam istana terganggu sedemikian rupa. Tidakkah
orang itu mirip dengan pengemis dan kelakuannja seperti orang edan" Tapi,
setelah menjaksikan kepandaian orang, sikapnja mendjadi lain. Ia mengerti orang
adalah orang jang berkepandaian luar biasa, maka pantas sadja djikalau tingkahpolanja turut luar biasa djuga. Ia pun telah lantas melihat sikapnja Kok Sin Ong
dan Thian Ok Toodjin terhadap si peladjar. Bagaikan seorang radja jang besar
tjita2-nja, jang tjerdas, ia lantas memikir: "Ada orang pandai datang sendiri,
inilah bagus sekali, tidak dapat aku perlakukan dia tak semestinja ". Hampir
berbareng dengan itu Biat Touw Sin-koen pun memberitahukan radja itu bahwa
tetamu tidak diundang itu seorang dengan kepandaian luar biasa, maka Khan lantas
menitahkan guru negara menjambut. Demikian dilain saat, tetamu luar biasa itu
sudah duduk ber-sama2 dimedja pesta jang utama itu. Lie It sendiri segera
mendusin begitu lekas ia mendengar Kok Sin Ong memanggil orang "Lao-hoe", jang
berarti 'Hoe jang tua' ". Kata ia didalam hatinja, "Kiranja ialah Lootjianpwee
Hoe Poet Gie dari Thian-san !". Ia tahu, Hoe Poet Gie itu ben seorang Kang-ouw
jang luar biasa. Dia djago Rimba Persilatan tetapi dia hidup menjendiri,
kelakuannja aneh. Demikian telah terdjadi dalam pertemuan di Kim-teng, Puntjak
Emas, dari gunung Ngo-bie-san, selagi Kok Sin Ong bertempur sama Boe Hian Song,
mendadak dia muntjul dan mengadjak Sin Ong pergi. Tentang itu, Lie It tidak
menjaksikan sendiri, ia sudah mengundurkan diri dari Kim-teng, tetapi kemudian
Hian Song menuturkan kepadanja. Hoe Poet Gie pun bersahabat dengan Oet-tie
Tjiong, gurunja Lie It. Oet-tie Tjiong tinggal di Thian-san Selatan, ia di
Thian-san Utara. Pernah satu kali Oet-tie Tjiong datang menjenguk, keduanja
lantas berunding tentang ilmu pedang. Oet-tie Tjiong memberitahukan bahwa dia
telah medapat beberapa djurus jang baru, Poet Gie paling gemar pembitjaraan ilmu
silat dan gemar menggoda djuga, maka mereka berdua kedjadian mengudji kepandaian
mereka. Kesudahannja Poet Gie menang satu djurus dan ia menggoda pula. Oet-tie
Tjiong tahu orang menang tetapi dia tahu djuga ilmu pedang sahabat itu masih ada
kelemahannja, hanja pada saat itu, dia tidak tahu tjara untuk mengalahkannja.
Maka mereka berdjandji lagi sepuluh tahun, mereka akan membuat pertemuan pula
guna saling mengudji lagi. Kedjadian itu jalah kedjadian sebelum Lie It mendaki
gunung Thian-san. Maka tidaklah diduga sama sekali, sebelum tiba hari djandji
sepuluh lahun itu, Oet-tie Tjiong telah mendahului meninggal dunia. Terpisahnja
gunung Selatan dengan Utara ada tiga ribu lie lebih, maka djuga meski Lie It dan
Hoe Poet Gie sama2 tinggal di Thian-san, mereka belum pernah ketemu satu dengan
lain. Sekarang Lie It melihat tibanja orang she Hoe itu, ia heran. Ia pikir, Hoe
Poet Gie benar aneh tetapi dia tidak dapat disamakan dengan orang pandai jang
kebanjakan, kenapa sekarang dia datang kemari untuk membantu meramaikan ?".
Ketika itu orang sudah duduk pula dengan rapih dan Khan pun telah memerintahkan
orang mendesak untuk selirnja jang baru lekas keluar guna memberi selamat kepada
para tetamunja. Sebaliknja, selir itu ajal2-an untuk memuntjulkan diri. Maka
achirnja pemimpin dari pasukan pengawal, Baturu Kakdu, mengadjukan usul,
katanja: "Selama Jang Mulia Puteri belum hadir, mari kita main2 sebentar, untuk
menggembirakan para tetamu, supaja mereka tidak mendjadi kesepian ". "Permainan
apakah jang bagus dilihat ?", Khan tanja.
---oo0oo--"KHAN Agung dari Pohai telah menghadiahkan kita beberapa ekor harimau asal
gunung Tiang-pek-san, maka itu sekarang selagi hadirnja banjak orang gagah, baik
kita mengadakan pertundjukan orang gagah menaklukkan harimau ". Negara Pohai
jalah sebuah negara besar di Timur-daja dan harimau dari gunungnja, gunung
Tiang-pek-san, kesohor galak dan ganasnja. Radja negara itu bersekutu sama Khan
Turki, dia mendapat tahu, Turki bakal melakukan peperangan, maka dia
menghadiahkan beberapa ekor harimau sebagai tanda menghormat, sebagai pudjian
untuk Turki menang perang. Khan setudju dengan usulnja baturu itu. "Bagus, bagus
!", katanja, girang. "Tidak usah dipilih lain orang, kau sadja yang madju untuk
menaklukkan harimau itu !". Khan tahu pengawalnja itu gagah, ia pikir baiklah ia
menggunai ketika ini untuk membikin para tetamu menjaksikan kegagahan pahlawan2nja. Kakdu menerima baik putusan djundjungannja itu. Ia lantas memerintahkan
perawat binatang untuk mengeluarkan seekor harimau. Untuk itu telah disediakan
sebuah tanah-lapang, jang sudah dikurung pagar kawat, guna mentjegah harimau
nerobos keluar dan mentjelakai orang banjak. Segera djuga orang melihat seekor
harimau dengan pita putih didjidatnja. Benar2 radja hutan itu besar dan bengis
romannja. Ketika Kakdu muntjul didepannja dan membentaknja lantas dia mendjadi
gusar dia menderum njaring, ekornja di-gojang2, terus dia melompat, menubruk
kepada Kakdu. Para hadirin pada mengerti ilmu silat tetapi melihat radja hutan
demikian garang, ada jang hatinja gentar. Tidak demikian dengan si baturu.
Begitu ditubruk, begitu ia berkelit, ketika radja hutan itu lewat disampingnja,
ia menghadjar punggungnja binatang itu. Harimau itu berkulit tebal dan tubuhnja
kuat, ketika dia kena dihadjar, dia mendjadi gusar, sambil mengaung keras dia
menongkrong, matanja memandang tadjam, lantas dia menggojang ekor, terus dia
melompat pula, menubruk untuk kedua kalinja. Kembali Kakdu berkelit, habis itu
dia menjerang ke kempungan si radja hutan. Tapi binatang ini melawan, dia
memutar tubuh, untuk menjingkur. Maka tubuh baturu itu terangkat naik dan
terlempar. Orang rata2 terkedjut. Tidak demikian dengan Kakdu sendiri. Selagi
tersingkur itu, ia meneruskan memindjam tenaga, untuk berdjumpalitan, lalu
sedang tubuhnja turun, dengan kedua kakinja, ia mendjedjak kepalanja harimau
itu. Hebat djedjakan itu, si radja hutan roboh, sedang ia sendiri, terus lompat
turun ketanah. Harimau itu bergulingan, dia berderum gusar, lantas dia bangun,
untuk mendekam, bersiap untuk menjerang. Akan tetapi, dia tidak lantas menerkam
pula. Kakdu mengawasi tadjam, ia madju per-lahan2, untuk mendekati, sembari
madju, ia terasa, tangannja pun men-gapai2. Harimau itu mendjadi gusar sekali,
dia menderum bagaikan guntur, lantas dia berlompat bangun, untuk menerdjang,
mulutnja dipentang lebar, untuk menggigit, kedua kakinja mementang kukuh, guna
menjengkeram. Kakdu berlaku tabah, tenang tetapi gesit. Ketika diterkam itu, dia
berkelit kesamping, dan ketika si radja hutan mengindjak tanah, menubruk tempat
kosong, dia berbalik, untuk memberikan beberapa bogem-mentah. Sesudah menerkam
tak berhasil, sedang barusan dia mengerahkan seluruh tenaganja, harimau itu
mendjadi lelah. Ketika ini digunai Kakdu. Dia mendjambak kulit kepala radja
hutan itu, dia menekan keras, sambil berbuat begitu, dia membentak: "Binatang,
kau menjerah atau tidak ?". Sia2 harimau itu menderum dan keempat kakinja meronta2, hingga tanah kena terbongkar dan tergali tjukup dalam, ketika tenaganja
habis, dia lantas berdiam sadja ditekan si baturu. Kakdu tertawa lebar, ia
lompat naik kepunggung harimau itu, sebelah tangannja terus mentjekal kulit
kepalanja, sebelah tangan jang lain me-nepuk2 perlahan kelehernja seraja
berkata: "Kau mengalah kasi aku duduk diatas punggungmu !". Bagaikan seekor
binatang jang djinak, harimau itu menurut, tanpa melawan dia berdjalan perlahan
mengitari lapangan. Maka gemuruhlah tempik-sorak semua hadirin. Kakdu puas, ia
terlihat bangga sekali. Ketika ia turun dari punggung harimau, binatang itu dia
tolak masuk kedalam kerangkengnja. Khan girang menjaksikan pahlawannja itu
menang, ia memberi selamat dengan tiga tjawan araknja. Sekalian ia memberi
gelaran pada pahlawan itu, mendjadi 'Djendral Penakluk Harimau'. Kemudian
sembari tertawa, ia tanja Thian Ok Toodjin: "Orang gagah sebagai Kakdu ini,
didalam kalangan boesoe Tiongkok, dia termasuk jang keberapa ?". Thian Ok
tertawa, tetapi ketika ia mendjawab, ia hening dulu sedjenak. Sahutnja: "Dia
dapat dihitung kelas satu ". Nada suaranja nada menghormat, tetapi terhadap
Kakdu sendiri, tidak terlihat kekagumannja. Kakdu tahu ia tidak dilihat mata, ia
mendjadi tidak puas. "Silahkan tootiang djuga menakluki seekor harimau, untuk
kita membuka mata kita !", katanja. Thian Ok Toodjin bersenjum, lalu ia
memanggil Yang Thay Hoa, katanja: "Hiantit, pergi kau main2 sama beberapa ekor
binatang itu !". Sikapnja imam ini menundjuk njata sekali, ia sendiri tidak
mempunjai kegembiraan untuk bertempur sama radja hutan. Yang Thay Hoa menerima
baik perintahnja paman guru itu, lantas ia menghadap Khan, untuk berkata dengan
hormat: "Aku mohon bertanja, Khan jang mulia masih mempunjai beberapa ekor
harimau ?". Sama sekali Khan dari Pohai mengirim enam ekor ", menjahut radja
itu. "Barusan pengawal Baginda telah menakluki seekor ", kata Yang Thay Hoa,
"binatang itu baik tidak dimasuki hitungan, maka itu, silahkan Baginda
mengeluarkan jang lima lagi untuk aku menaklukinja ". Yang Thay Hoa itu
djangkung kurus, romannja tidak luar biasa, maka itu, mendengar perkataan orang,
Kakdu berpikir: "Ini setan berpenjakitan berani mementang mulut begini besar ?".
Lantas ia kata pada orang she Yang itu: "Djikalau kau dapat menakluki lima ekor,
aku suka mendjadi tukang memegangi les kudamu !". Khan djuga heran. Ia ingin
menjaksikan kepandaian orang. "Baiklah !", katanja. Terus ia menitahkan lepas
lima ekor sekaligus. Yang Thay Hoa tidak berani ajal2-an lagi. Lalu ia bersiap
untuk masuk kedalam gelanggang. Ia lantas duduk bersila. Lima ekor radja hutan
gusar melihat orang, kelimanja menderum, lantas mereka madju, untuk berlompat
menerkam dari empat pendjuru. Djusteru binatang liar itu menundjuk kemurkaannja
dan menjerang, Yang Thay Hoa berseru njaring sekali, bagaikan guntur, hingga
tjawan arak diatas medja pada berlompat sendiri, hingga deruman kelima harimau
itu kalah pengaruh !. Kakdu kaget. "Aku tidak sangka orang berpenjakitan ini
mempunjai suara begini keras!" katanja didalam hati. la merasakan telinganja
ketulian. Sedang para hadirin lain, banjak jang menutupi kuping. Kelima radja
hutan pun kaget hingga mereka batal menerkam. Ekor mereka pada turun, mulut
mereka dengan gigi2 kasar dan tadjam dirapatkan. Khan Turki berdiam. Dia djuga
ketulian, hanja dia tidak sampai menutup kuping, tjuma dia mengerutkan alis.
Sebagai radja, dia mesti memegang deradjat. Dia lantas berpaling kepada Thian Ok
Toodjin. "Tootiang, tolong kau mewakilkan kami memberitahukan keponakan muridmu
agar dia djangan lagi berseru njaring itu ", katanja. Thian Ok bersenjum. Ia


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lantas berbangkit. "Thay Hoa, kau taklukilah harimau itu !", katanja. "Djangan
kau membikin kaget pada tetamu2 mulia dari Khan jang agung ". Kelihatannja imam
ini bitjara biasa sadja akan tetapi kata2 itu terdengar tedas sekali hingga
kedalam gelanggang, sedang Khan jang agung itu mulanja menjangka orang akan
pergi menghampirkan sang keponakan murid itu. Ia tidak ketahui, Thian Ok telah
mahir tenaga-dalamnja dan pandai menggunai ilmu-kepandaian 'Tjoan-im-djip bit',
atau menjalurkan suara. Hoe Poet Gie mengetuk medja dengan sumpitnja, perlahan.
"Sungguh kepandaian jang liehay ! Sungguh kepandaian jang liehay !", pudjinja.
Orang banjak menganggap pudjian itu pantas, tetapi Thian Ok, mendengar itu
hatinja terkesiap. Ketukan sumpit dan nada pudjian itu terdengarnja tadjam untuk
telinganja. Ketika itu seruan Thay Hoa dan deruman si radja hutan sudah sirap.
Kelima harimau mendekam mengurung Thay Hoa, tidak ada jang berani lompat
menerkam, tidak ada djuga jang mau mundur, tjuma sikap mereka tetap mengantjam.
Selang sekian lama, seekor harimau menderum pula, tubuhnja mentjelat, menubruk
kearah si manusia. Tjepat menubruknja dia, tetapi lebih sebat Thay Hoa. Ia ini
berkelit kesamping, sambil berkelit, sebelah tangannja melajang kearah leher
sambil ia membentak: "Binatang tidak tahu mampus, kau rebahlah baik-baik ...!".
Serangan itu tepat dilakukan ketika sang harimau menubruk tempat kosong dan
keempat kakinja turun ditanah, lalu bagaikan kutjing djinak, dia terus menekuk
dan rebah. Dia telah dihadjar dengan tipu silat 'Hoen-kin Tjo-koet-tjioe', atau
'ilmu memisah-otot membagi tulang', hingga seluruh tubuhnja mendjadi lemas.
Terkaman harimau itu ditelad oleh empat kawannja, mereka melompat saling-susul,
maka Thay Hoa lantas bekerdja terus, ia berkelit dan menghadjar setiap ekor,
hingga semua kelima radja hutan itu diam mendekam disisinja, tidak ada jang
berkutik. "Ha ... ha ... ha..... !", Thay Hoa tertawa. "Kau pun mendjadi
binatang tungganganku ! Jang lain2-nja mengikuti !". Ia naik atas punggungnja
harimau jang terbesar. Semua orang heran dan kagum, lantas mereka bertempiksorak riuh sekali. Lie It pun heran. Ia berpikir: "Muridnja sadja sudah begini
liehay, bisa dimengerti liehaynja Pek Yoe Siangdjin. Aku dibantu Kok Sin Ong,
tetapi mungkin kita bukanlah lawan dia ...". Kakdu seorang laki2, setelah
kekagumannja, dia menghampirkan Thay Hoa, jang telah kembali ke kursinja. "Aku
kalah dari kau, gelaranku ini aku serahkan padamu !", dia kata. Mendengar
begitu, Khan lantas berkata: "Kamu berdua sama2 gagah! Kakdu, tidak usah kau
menjerahkan gelaranmu, nanti aku memberikan orang gagah ini lain gelaran, jalah
'Djenderal Sakti Penakluk Harimau' !". Thay Hoa puas sekali, dengan bangga ia
menerima gelaran itu. Djusteru itu waktu, dari antara medja utama terdengar
tertawa dingin. Thay Hoa sudah lantas menoleh,
maka tahulah ia, orang itu jalah Guru Budi dari mesdjid Tudjuh Mustika. Medja
utama itu berada paling dekat dengan medja Khan, duduk disitu ada delapan
hadirin jang paling dihormati, ketjuali Guru Besar Matu, tudjuh jang lainnja
tetamu-tetamu terkenal dari pelbagai negara. Thian Ok Toodjin, Biat Tow Sinkoen, Kok Sin Ong dan Hoe Poet Gie ada diantaranja. Jang dua lagi jaitu, jang
satu jalah boesoe dari Tuyuhun, Maitjan namanja, jang lainnja Ihama dari Tibet,
Chang Chin Lhama. Guru Budi itu djago nomor satu diantara djago2 Turki, mulanja
Khan hendak mengangkat dia mendjadi Guru Negara, berhubung dengan datangnja Pek
Yoe Siangdjin, keangkatan itu dibatalkan. Sebabnja jalah nama Pek Yoe lebih
termashur. Tentang itu, orang sudah berdamai dengannja. Maksudnja Khan bukan
hendak merendahkan djago sendiri, ia hanja hendak mengambil hati , djago lain
negara, orang sendiri boleh mengalah. Guru Budi tidak bilang apa2 tetapi hatinja
tidak puas. Ia malu ketika mendapat kenjataan Kakdu kalah dari Thay Hoa, saking
penasaran, ia mengasi dengar tertawa mengedjeknja itu. Thay Hoa tidak puas, akan
tetapi ia diam sadja. Khan heran, ia menanja kenapa djagonja itu tertawa.
"Hambamu mentertawakan harimau itu ", sahut orang jang ditanja. "Semuanja jalah
kutjing2 hutan jang bagus dipandang tetapi tidak ada gunanja!". "Sebenarnja
semua galak dan kuat!", kata Kakdu tidak puas. Ia merasa tersinggung. Guru Budi
tidak memperlukan djago itu, ia hanja menanja radjanja: "Sri Baginda, djikalau
dipadu, mana lebih tangguh, harimau ini atau burung garuda kita ?". Ditanja
begitu, Khan berpikir. "Mungkin burung kita ", sahutnja kemudian. "Tidak ada
halangannja untuk mentjoba ". Maka perintah dikeluarkan akan pegawai tukang
piara burung garuda mengeluarkan burungnja, untuk burung itu diadu dengan
harimau2 itu. Burung itu burung gunung Thian-san, dipelihara sedjak masih
ketjil, oleh Khan biasa dipakai berburu, sering dia menempur singa, harimau dan
lainnja binatang liar, hanja menghadapi harimau pitak dari gunung Tiang-pek-san
barulah kali ini. Tubuh burung besar, sajapnja lebar, kalau kedua sajap itu
dikibasi, pasir dan batu beterbangan. Kelima ekor harimau melihat musuh datang,
semua lantas melompat, maka dilain saat, pertempuran jang dahsjat telah
terdjadi. Binatang kaki empat itu main menerkam, binatang bersajap itu main
terbang menjambar dan menjengkeram. Satu kali kedua pihak bentrok, Khan
terkedjut. Bulu burungnja pada rontok. Tapi seorang pengawal, jang matanja
tadjam, berkata: "Tidak apa, burung itupun telah kena menjambar matanja dua ekor
harimau!". Itulah benar. Hati Khan mendjadi lega. Burung garuda itu terbang
berputaran, mendadak dia menjambar pula. Dia berhasil. Lagi dua radja hutan
rusak matanja. Tinggal jang seekor, jang masih utuh. Ketika burung itu menjambar
untuk ke-tiga kalinja, tubuh harimau itu kena terangkat tinggi, maka ketika
tubuhnja itu dilepaskan, dia djatuh terbanting terus mati!. Keempat harimau,
jang matanja buta, tjuma bisa tabrak-tubruk tak keruan, ketika mereka diserang,
tidak bisa mereka berkelit, maka belum terlalu lama, satu demi satu, tubuh
mereka diangkat dan didjatuhkan. Demikian matilah semuanja. Khan girang hingga
ia tertawa lebar. Ia perintah memotong daging harimau, untuk dikasi makan kepada
burungnja itu. Kemudian ia berkata pada Guru Budi bahwa benar burung garuda itu
lebih liehay !. Guru Budi menggapai kepada Kakdu dan berkata: "Kau telah melihat
garuda menempur harimau, njatanja semua harimau itu tidak berarti apa2.
Sekarang, beranikah kau melawan garuda itu ?". Kata2 itu ditudjukan kepada Thay
Hoa. Thay Hoa mengerti itu, maka ia berkata didalam hatinja: "Sulit untuk
melawan burung itu. Mungkin aku tidak dapat dilukakannja tetapi djuga sulit
untuk aku mengalahkannja ...". Kakdu, jang djudjur, berkata: "Guru main2 !
Manusia boleh pandai tetapi dia tidak dapat terbang, mana bisa dia melawan
burung ?". Guru Budi bersenjum, lantas ia berpaling kearah Kok Sin Ong. "Aku
mendengar katanja kamu bangsa Tionghoa mengutamakan Ong-too, sekarang dengan
Ong-too akan mentjoba menaklukkan burung itu," katanja. Kata2 ini pun diarahkan
kepada Thay Hoa. Dengan me-njebut2 Ong-too, djalan kebidjaksanaan radja jang
adil, tegasnja, kehalusan, Guru Budi mengertikan bahwa iparnnja Thay Hoa
menaklukkan harimau barusan adalah tjara Pa-too, djalan radja se-wenang2 jang
galak, jalah kekerasan. Thay Hoa mengetahui itu, ia mendjadi kurang senang. Kok
Sin Ong pun tidak pertjaja kata2 orang itu. Maka ia kata: "Silakan guru besar
menggunai Ong-too menakluki burung itu, supaja kami orang2 gunung dapat membuka
mata kami!". Khan girang Guru Budi mau menempur burung garuda, hal itu dapat
mengangkat deradjat bangsa Turki, tetapi toh ia kuatir, maka ia kata : "Guru
Budi gagah-perkasa, inilah kami ketahui, akan tetapi burung itu kosen sekali,
sjukur djikalau guru berhasil, kalau tidak, djanganlah dipaksakan ". "Harap Sri
Baginda melegakan hati ", kata Guru Budi. "Telah hambamu mengatakan hendak
menggunai Ong-too, maka itu, biarnja burung itu galak, tidak nanti hambamu
membuatnja tjelaka ". Mendengar itu, hati Khan lega, hanja dilain pihak, ia
berkuatir untuk keselamatan burungnja itu. Ia pertjaja, tanpa kepastian Guru
Budi tidak nanti berani melawan burung garuda. Guru Budi sudah lantas masuk
kedalam gelanggang. Disitu ia duduk bersila. Setelah itu Khan menitahkan
melepaskan burungnja. Tukang merawat burdng bersiul, terus ia melepaskan tiga
batang anak panah, jang dibikin djatuh tepat disisi Guru Budi, setelah mana ia
melepaskan burungnja. Tiga batang anak panah itu berarti tanda untuk burung itu.
Memang biasa, diwaktu berburu, Khan melepas anak panah, guna burung garuda
menjambar bakal mangsanja. Demikianlah, burung itu lantas terbang kearah Guru
Budi. Biar bagaimana, banjak hadirin berkuatir djuga. Mereka telah ketahui baik
kegalakan dan liehaynja burung itu. Barusan pun terbukti, lima ekor harimau
telah didjadikan kurbannja. Mereka lebih berkuatir melihat Guru Budi melawan
dengan duduk bersila. Dilain pihak, perhatian mereka pun tertarik. Mereka ingin
menjaksikan bagaimana nanti Guru Budi melawannja. Burung garuda terbang berputar2 diatas kepala Guru Budi, jang tetap bertjokol sadja, tak bergeming, tak
berkutik. Hati penonton ada jang berdenjutan. Tjelaka kalau kepalanja guru itu
kena ditjengkeram. Maka ada orang jang hatinja ketjil, jang lantas memedjamkan
matanja. Setelah terbang berputaran, untuk mengintjar mangsanja, burung garuda
terbang turun, menjambar! Tetapi heran, mendadak kedua sajapnja mendjadi
tertutup rapat, lalu digeraki, seperti jang meronta, tapi achirnja dia djatuh
ketanah. Masih dia berlompatan, tapi sekarang dia tidak dapat terbang lagi.
Semua orang heran. Tahu2 burung itu sudah berada ditelapakan tangannja Guru
Budi, jang mengulur tangan dengan telapakannja dipentang terlentang. Tak dapat
burung itu terbang pergi, meski dia masih mentjoba meronta. Kedua kakinja,
dengan kuku2 jang tadjam, tidak ada gunanja lagi. Guru Budi itu telah menggunai
tenaga dari ilmu tenaga-dalamnja jang mahir sekali. Menampak itu, Lie It
terperandjat. Maka mengertilah ia, tidak dapat ia memandang enteng kepada orang
Turki itu. Burung itu berbunji ber-ulang2, seperti orang jang meminta
dikasihani. "Kasihan kau ", kata Guru Budi, tertawa. "Baiklah, aku lepas
padamu !". Lantas tangannja diapungkan ! Lantas, bagaikan bebas dari belenggu,
burung itu terbang pergi! Habis itu Guru Budi kembali kekursinja. "Bagaimana ?",
ia tanja Kakdu. Ia tertawa. "Guru besar, kau benar sakti!", Kakdu berkata,
takluk. "Aku tidak mengerti, kenapa burung itu tidak dapat terbang ?". Sementara
itu, Kok Sin Ong dan Yang Thay Hoa ketahui sebabnja itu. Yang Thay Hoa pun
berkata dalam hatinja: "Aku kira tjuma guruku jang dapat menandingi Guru Budi
ini ...". Kok Sin Ong sebaliknja memandang kearah Hoe Poet Gie. Orang she Hoe
itu tertawa, dia berkata: "Bagus! Jang satu melebihkan ramainja daripada jang
lain! Kelihatannja, makin dilihat djadi makin menarik hati ". Dia membawa
sikapnja sebagai penonton jang kebanjakan, sedikitpun seperti tidak ada minatnja
untuk turut mempertontonkan kepandaiannja. Khan jang agung girang luar biasa,
ketjuali ia memberi selamat dengan tiga tjawan arak, ia pun menjuruh Kakdu pergi
ke gudang istana untuk mengambil sebuah djubah sutji untuk Guru Budi. "Aku
mengharap mendapat pengadjaran dari sekalian tuan2 !", kemudian kata Guru Budi
pada orang banjak, sikapnja merendah. Tentu sekali itu hanjalah pura2 belaka,
karena suaranja bernada menantang.
---oo0oo--CHANG Chin Lhama dan Maitjan ada orang dipihak Guru Budi, tidak dapat mereka
menjambut tantangan itu. Kok Sin Ong dan Biat Touw Sin-koen pun tidak, mereka
merasa tidak dapat menandingi ilmu si guru itu. Sedang Hoe Poet Gie, dia tjuma
tertawa sadja, dia atjuh tak atjuh. Melainkan Thian Ok Toodjin seorang, jang
mendjadi tidak puas. Dia biasanja tjuma takluk terhadap Yoe Tam Sin-nie, si
bhiksuni tua, dan Pek Yoe Siangdjin berdua. Tapi dia masih berpikir dulu ketika
dia tersenjum dan tangannja menundjuk pada sebuah pohon besar diluar taman,
untuk berkata: "Meskipun burung itu bertenaga besar luar biasa, tidak nanti dia
dapat merusak pohon besar itu!". Pohon jang ditundjuk itu sebuah pohon istimewa
untuk negara Turki itu, orang menamakannja pohon "kuku naga". Besarnja pohon
sepelukan dua orang. Bongkot dan akarnja tampak melilit bagaikan naga melingkar,
maka itu didapatlah namanja itu. "Tootiang mengatakan demikian, tentunja
tootiang dapat merusaknja ", kata Guru Budi. "Bagaimana tjaranja itu" Ingin
sekali aku membuka mataku ". Khan mengerutkan alisnja ketika ia mendengar
perkataannja Thian Ok, akan tetapi karena Guru Budi sudah berkata demikian, ia
diam sadja, sedang sebenarnja ingin ia berbitjara. Thian Ok Toodjin tertawa
tawar. "Nanti pintoo mentjoba ", katanja. "Djikalau pintoo gagal, harap tuan2
sekalian tidak mentertawakannja ". Lantas dia turun dari undakan tangga, untuk
bertindak pergi kebawah pohon besar itu. Dia lantas menaruh kedua tangannja
kepada pohon, untuk menekan. Terlihatlah romannja jang sungguh2. Dari atasan
embun2-annja, lantas nampak keluarnja hawa bagaikan uap putih, menjusul mana,
peluh keluar ber-ketel2 dimukanja, menetes djatuh. Teranglah ia tengah
mengerahkan tenaga dalamnja. Selama itu pohon tak bergerak, daunnja tidak ada
jang rontok. "Men-sia2-kan tenaga begitu rupa, apakah perlunja ?", kata Guru
Budi, tertawa. Kok Sin Ong, jang duduk dekat orang djumawa itu, tengah berpikir:
"Rupanja Thian Ok Toodjin hendak mempertundjukkan kepandaiannja jang
istimewa ...". Tengah ia berpikir itu, Guru Budi sambil tertawa berkata padanja:
"Tuan Kok, aku dengar di Tiongkok ada kata2 'Lalat ephemera menggojangi pohon',
maka aku melihatnja, pemandangan hari ini mirip dengan pepatah itu!" Guru Budi
mengerti banjak tentang Tiongkok, maka itu dengan mengurai pepatah itu, ia
menjindir Thian Ok tidak tahu akan tenaganja sendiri. Ephemera jalah kutu ketjil
berkepala seperti tjetjapung, badan ketjil dan tirus, sajapnja empat, pada
ekornja tumbuh tiga batang mirip bulu pandjang dan hidupnja tjuma satu hari. Kok
Sin Ong bentji Thian Ok tetapi mendengar edjekan itu, ia tertawa dingin dan
kata: "inilah mungkin bukannja lalat ephemera menggojang pohon. Kau lihatlab
lagi biar terang !". Belum berhenti suaranja Sin Ong, mendadak kesunjian
mengarungi semua orang. Tidak lagi ada orang jang tertawa tertahan sebab
mendengar edjekan Guru Budi barusan. Semua mata diarahkan kepada pohon, jang
ditempel tangannja Thian Ok Toodjin. Sekian lama pohon itu, jang besar dan
daunnja gompiok, berdiri tegak dan tenang, kepadanja tidak terlihat perubahan
apa djuga, tapi sekarang maka tampaklah tjabang2-nja pada tunduk turun dan semua
daunnja mendjadi kuning dan laju. Pohon jang demikian besar mendjadi kering
dalam sekedjaban ! Sebenarnja Thian Ok Toodjin telah mengerahkan tenaga-dalamnja
untuk menjerang pohon besar itu dengan Tok Tjiang Sin-Kang, ilmu Tangan
Beratjun. Ia menggempur hati pohon, hawa beratjun dari tangannja tersalurkan,
terus hingga ke tjabang2 dan daun. Lie It kaget sekali, hingga ia berkata
didalam hatinja : "Thian Ok telah menggunai tenaga latihannja sepuluh tahun jang
belakangan ini, kepandaiannja madju sangat pesat hingga mendjadi begini luar
biasa. Djikalau dia tidak dapat disingkirkan, sungguh dia sangat
berbahaja ...!". Thian Ok sendiri sangat puas, tampak kebanggaannja pada
wadjahnja, akan tetapi segera djuga ia merasa heran disebabkan kesunjian itu,
lantaran tidak ada orang jang bertempik-sorak memudji kepadanja. Ia tjerdas
sekali, segera ia mengerti sebabnja sambutan sepi itu. Jalah besok adalah hari
raja "Mentjabut Hidjau". Negara Turki itu negara peternakan, djadi negara itu
sangat mengutamakan tanaman pepohonan dan rumput. Sekarang, menghadapi hari raja
itu, ia merusak pohon jang besar dan gompiok ini, ia mendjadi telah melakukan
perlanggaran kepada pantangan. Mengingat ini, sendirinja ia mengeluarkan peluh
dingin. Tapi pohon telah terusak, ia tidak bisa berbuat lain. Ia tjuma dapat
membatalkan niatnja untuk menggempur roboh pohon itu. Ia kembali ke kursinja
dengan diantar ribuan mata jang membentjinja. Khan sendiri turut merasa tidak
puas. Sebenarnja tadi, ketika Thian Ok hendak mentjoba merusak pohon, ia hendak
mentjegah, akan tetapi ia tahu, Guru Budi hendak mempersulit imam itu, ia pun
tidak pertjaja Thian Ok dapat merusaknja, ia batal mentjegah, siapa tahu, Thian
Ok benar2 liehay sekali. Betul pohon itu tidak dirobohkan tapi sudah mati,
tjabangnja merojot turun dan daun2-nja mendjadi pada kuning ! Khan menganggap
itulah kedjadian jang merupakan firasat buruk. Karena ini, ia bersikap demikian
tawar, bahkan ia tidak memberi selamat dengan arak ! Adalah Guru Budi, jang
tertawa dengan tiba2. "Benar2 tootiang liehay!", katanja. "Mari aku menghaturkan
setjawan arak!". "Terima kasih, tidak berani aku menerima !", menampik Thian Ok
seraja bangkit. Tapi Guru Budi berbitjara sambil bekerdja, ia telah menghaturkan
nenampan emas diatas mana ada sebuah tjangkir kemala, jang herisi penuh arak.
Ditangannja itu, nenampan berputaran, menudju kedepan dada si imam. Thian Ok
liehay, matanja tadjam, otaknja tjerdas, segera ia dapat membade hati orang.
"Hmmm, dia masih hendak mengudji aku !", pikirnja. Maka ia tidak mau berlaku
alpa. Dengan tadjam ia mengawasi, tangannja diulur untuk menjambuti. la telah
mengerahkan tenaganja, untuk menantjap kaki, tapi toh, tubuhnja kena djuga
dibikin bergerak satu kali. Sudah lama Guru Budi hendak mengudji Thian Ok,
disebabkan ia tahu orang liehay dan tangannja beratjun, ia memikirkan daja untuk
mengudjinja. Ia merasa tjaranja jalah memakai perantara, agar ia tidak beradu
tangan langsung. Demikian ia memindjam tenaga nenampan dan tjawan arak, guna
mengadu tenaga dalam mereka. Djikalau mereka bentrok, dengan tangan beratjunnja,
tak susah buat Thian Ok merebut kemenangan, tetapi ia masih kalah tenagadalamnja, demikian tubuhnja kena dibikin tergerak. Karena ini, ia tidak berani
mengambil tjawan arak itu. "Tootiang, silakan minum !", kata Guru Budi sambil
tertawa, "Ah, aku telah ,mempersembahkannja, kau tidak sudi menerima, kau tidak
memberi muka padaku ", dia menambahkan. Thian Ok mendjadi mendongkol sekali.
Tahulah ia bahwa orang hendak mendjatuhkan ia benar2, untuk membikin ia mati.
Dalam panasnja hati, ia mendjadi berlaku nekat. Ia menjangga nenampan emas itu,
ia kerahkan semua tenaga-dalamnja. Ia pun memaksa tertawa. "Sebenarnja aku tidak
berani menerima ", ia kata. "Tapi biarlah! Sekarang aku ingin menjuguhkan
terlebih dulu kepada guru jang agung !". Nenampan emas itu berhenti berputar.
Dengan antero tenaganja, Thian Ok menolaknja. Guru Budi menang tenaga-dalam
tetapi ia tidak berani sembarang menjambuti tjawan arak itu. Dengan begitu,
dengan sendirinja mereka mendjadi mendjadjal tenaga-dalam mereka. Lekas sekali,
embun2-an mereka menghembuskan uap putih. "Silakan minum ! Silakan minum !",
kata mereka saling mengundang. Khan heran menjaksikan orang saling memberi
selamat dan saling mengalah itu, ia tidak tahu bahwa orang sebenarnja lagi
berkutat nekat. Katanja dalam hatinja: "Kenapa ini dua orang begini ngotot
saling mengalah ?". Seorang pegawal disisi Khan menunduki kepala, untuk
membisiki: "Mereka berdua lagi bertempur mati2-an, maka itu semoga Sri Baginda
mengambil tindakan ...". Khan itu melengak, ia lantas menginsafi bahaja. Ia
berpikir, "Ini imam mendjemukan, dia melakukan perlanggaran, tetapi dialah
tetamuku, tenaganja dibutuhkan, kalau dia terlukakan Guru Budi, kedjadian ini
bisa mendatangkan anggapan djelek pada pihakku ". Ia djuga tidak suka Guru Budi
mendapat tjelaka. Selagi Khan ini bersangsi, sebab kalau ia memisahkan, itu
berarti ia membantui diam2 kepada Thian Ok Toodjin, tiba2 terlihat Hoe Poet Gie
berbangkit dari kursinja, sembari tertawa manis, dia berkata: "Kamu berdua main


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengalah sadja, sajang ini arak, djikalau kamu tidak mau minum, kasilah aku jang
meminumnja !". Lantas ia mengangkat sumpit, dengan itu ia mengetuk nenampan emas
sehingga terdengar bunji "traang!". Mendadak sadja, tjangkir kemala itu
mentjelat sendirinja!. Guru Budi dan Thian Ok Toodjin, keduanja mereka,
tangannja lantas terlepas, maka itu, djatuhlah nenampan emas. Akan tetapi
Maitjan, boesoe dari Tuyuhun, sebat sekali, dia sudah berlompat, mendjemput
nenampan itu. Hoe Poet Gie sendiri sudah lantas membawa tjangkir ke mulutnja,
untuk menenggak habis isinja. "Sungguh arak jang bagus !", ia memudji berulang2. Semua hadirin, jang terdiri dari orang2 pandai, mendjadi terperandjat
saking heran dan kagum. Sungguh hebat Thian Ok dan Guru Budi itu. Sekalipun Kok
Sin Ong dan Biat Touw Sin-koen, mereka tidak ungkulan dapat memisah mereka itu
berdua. Pula, Thian Ok dan Guru Budi sendiri, tidak nanti sanggup melepaskannja.
Akan tetapi Hoe Poet Gie, dia ini telah dapat memisahkan orang dengan tjaranja
itu jang nampaknja sangat sederhana !. Maka bisalah dimengerti kemahirannja
tenaga-dalam orang she Hoe itu. Guru Budi dan Thian Ok duduk dengan berdiam
sadja, roman mereka lesu. Ditempat mereka berdiri tadi, terlihat tapak kaki
mereka, suatu bukti bagaimana mereka telah memasang kuda2 mereka, untuk
mempertahankan diri. Para boesoe Khan tidak mengerti kemahiran Hoe Poet Gie,
tetapi melihat tapak kaki itu, mereka kagum dan terkedjut. Akan tetapi, jang
kaget paling hebat jalah Guru Budi dan Thian Ok sendiri. Guru Budi merasakan
semua anggauta dalam tubuhnja bergerak keras, menggetar seperti mau terbalik
ambruk. Diam2 ia menenangkan diri dan mengerahkan semangatnja, untuk bertahan. Berselang
seminuman teh, baru ia berhasil memulihkan diri seperti biasa lagi. Ia lantas
menoleh kearah Thian Ok Toodjin. Ia mendapatkan muka si imam putjat sekali,
sinar matanja guram. Maka itu berpikirlah ia : "Kalau begitu Hoe Poet Gie tidak
berat sebelah ! Rupanja lukanja ini si imam hidung kerbau tak terlebih ringan
daripada lukaku ...". Oleh karena pertarungan mereka itu, dua2 Guru Budi dan
Thian Ok bakal lenjap kepandaiannja jang mereka jakinkan selama tiga tahun,
tjoba Hoe Poet Gie tidak datang sama tengah, mungkin mereka bakal bertjelaka
dua2-nja, bertjelaka lebih hebat daripada kerugian perjakinan tiga tahun itu.
Thian Ok Toodjin berdiam untuk memulihkan diri sebagai Guru Budi, setelah itu,
ia pun berpikir keras. Ia djuga memikirkan sepak terdjangnja Hoe Poet Gie. Ia
tidak mengerti kenapa orang tidak membantu padanja, sedang dengan kepandaiannja
itu, Poet Gie dapat bertindak untuk keuntungan pihaknja. Kenapa Hoe Poet Gie
hanja datang sama tengah, membuat ia dan Guru Budi terluka bersama" Tentu sekali
ia, demikian djuga Guru Budi, tidak dapat membade maksud orang, jang sengadja
menghendaki mereka sama2 terluka sedikit itu. Orang jang bergirang hati adalah
Khan Turki. Senang ia melihat sikapnja Hoe Poet Gie, jang memisahkan hingga
kedua orang jang lagi mengadu kepandaian itu tidak ada jang menang dan jang
kalah tidak ada jang hilang muka. Dalam girangnja itu, ia memberi selamat dengan
tiga tjawan arak kepada mereka itu bertiga. Ia sendiri jang menghaturkan arak
pemberian selamat itu. Selagi semua itu berdjalan, satu orang menghampirkan Guru
Besar Matu, untuk berbitjara dengan berbisik. Dialah koankee, atau pengurus
rumah-tangga, dari guru besar itu. Setelah orangnja itu mengundurkan diri, guru
besar itu berpaling kepada djundjungannja. "Sri Baginda ", katanja, "ada seorang
pandai bangsa Tionghoa jang ingin memberi suatu pertundjukan dihadapan Sri
Baginda ". Khan lantas mengerutkan dahi. Ia kuatir nanti terdjadi lain onar.
"Siapakah dia itu ?", ia bertanja. "Tahukah kau tentang asal-usul dia itu" Dia
hendak memberikan pertundjukan apa?". "Dialah seorang tabib ", sahut sang guru
besar. "Dia kata dia dapat menjembuhkan pohon jang barusan kena dibikin sakit
itu. Dia pula tabib kenalan hamba, dari itu hamba berani mendjamin bahwa dialah
bukan orang djahat ". Baru setelah mendengar keterangan itu, hati Khan mendjadi
lega, bahkan ia girang sekali. "Baiklah, suruhlah dia mentjoba !", perintahnja.
Tak jagi ia menanja djelas-djelas pada si guru besar. "Djikalau dia dapat
menjembuhkan pohon itu, dia bakal diberi persen besar !" Begitu lekas telah
keluar perintah itu maka disitu muntjul seorang tua dengan kumis dan djenggotnja
terbagi tiga, romannja sangat sederhana, sikapnja sangat tenang. Diantara sinar
mata para hadirin, ia langsung menudju kepohon kuku naga. Kapan Thian Ok Toodjin
melihat orang itu, jang ia kenali, ia kaget bukan main. Orang itu jalah bintang
penakluknja. Dialah Kim Tjiam Kok-tjioe Heehouw Kian, si Ahli Djarum Emas.
Heehouw Kian muntjul tanpa mengubah wadjah atau pakaiannja. "He, kenapa dia
turut hadir ?", tanja Thian Ok Toodjin dalam hatinja. "Yang Thay Hoa toh
bukannja tidak mengenalnja " Kenapa dia dapat masuk kedalam sini ?". Yang Thay
Hoa jalah orang jang ditugaskan menjambut dan melajani para tetamu dari
Tiongkok, semestinja dia mendapat tahu datangnja orang jang berderadjat seperti
tabib jang termashur itu, atau taruh kata dia tidak mewartakannja kepada Khan,
sedikitnja dia mesti mengisikkan kepada Thian Ok. Tapi kedjadiannja tidak
demikian, tahu2 tabib itu sudah berada diantara mereka. Pasti sekali Thian Ok
mendjadi kaget. Sama sekali Thian Ok Toodjin tidak ketahui bahwa datangnja
Heehouw Kian jalah atas undangannja Guru Besar Matu sendiri, bahwa pada itu ada
suatu sebabnja. Matu mempunjai seorang anak laki2 tunggal, jang ia sangat
sajang, kebetulan anak itu mendapat sakit mengih. Ia sudah mengundang banjak
tabib, untuk mengobati puteranja itu, semua tidak dapat menolong. Kebetulan lagi
Heehouw Kian datang ke kotaradja Khan Turki itu. Dia lantas diminta
pertolongannja. Dia mengobati baru tiga kali, lantas putera itu sembuh. Maka
itu, Matu djadi sangat berterima kasih. Heehouw Kian mendapat tahu bakal
diadakannja pertemuan besar itu, ia minta Matu memperkenankannja datang
menonton. Matu menerima baik permintaan itu, tetapi karena ia tidak tahu orang
mempunjai kepandaian silat djuga, ia memberikan tempat diantara tetamu biasa.
Karena itu, untuk mengadjukan tawarannja itu, Hee-houw Kian minta perantaraannja
si pengurus rumah tangga. Diantara para hadirin tjuma beberapa orang sadja jang
mengetahui baik Kim Tjiam Kok-tjioe, maka itu rata2 orang heran, perhatian
mereka djadi tertarik, ingin mereka melihat bagaimana pohon diobati. Heehouw
Kian berdiri di sisi pohon, ia meng-amat2-inja sekian lama, kemudian dari
sakunja ia mengeluarkan kim-tjiam, jaitu djarum emasnja, terus ia bekerdja. Ia
menusuk pohon dengan dua belas batang djarumnja. Habis itu ia minta dua tahang
air dengan apa ia menjirami pohon itu. Setelah itu, ia berdiam, untuk menanti.
Berselang kira sepasangan hio, maka terlihatlah perubahannja. Daun2 pohon, jang
telah mendjadi laju dan kuning warnanja, sekarang mendjadi segar pula, warnanja
itu pulih mendjadi hidjau. Pula, tjabang2 jang tadi sudah merojot turun,
sekarang pada bangun pula mendjadi seperti sedia-kala, memain diantara tiupan
sang angin. Tegasnja, pohon jang sudah mati itu, mendjadi hidup pula !.
Girangnja Khan tidak terkira-kan. Ia lantas memanggil sang tabib datang ke
medjanja. Lie It duduk dimedja dekat tangga pendopo, ketika Heehouw Kian lewat
didepannja, tabib itu tersenjum terhadapnja. Orang tidak tahu bahwa senjuman itu
jalah suatu isjarat, tetapi hatinja Lie It bertjekat. "Mukaku memakai obatnja,
pantas sadja dia mengenali aku ", pikirnja pangeran ini. Tengah ia berpikir
begitu, Lie It merasakan seperti ada kutu berkutik didalam tangan badjunja, ia
lantas menggunai tangannja untuk menangkap itu. Tapi ia bukannja mentjekuk kutu,
hanja memegang sebatang djarum bwee-hoa-tjiam, hingga ia mendjadi kaget
berbareng girang. Heehouw Kian berdjalan terus. Tengah orang berdjalan, diam2,
tetapi sebat, Lie It melihat djarum itu dimana ada sehelai kertas ketjil sekali.
Dengan ber-pura2 menjeka peluhnja, ia bawa kertas itu kemukanja. Dengan tjepat
ia membatja. Pada kertas itu ada tulisannja, bunjinja : "Lekas menjingkir dari
sini, kalau ajal bakal terdjadi perubahan ".
---oo0oo--BARU sekarang Lie It sadar. "Ah, kiranja dialah jang menjerang Thia Tat Souw
dengan djarumnja ...!", katanja dalam hati. Tapi ia heran. Maka pikirnja pula :
"Mengapa dia menjuruh aku mesti lekas menjingkir dari sini " Mungkinkah
rahasiaku sudah terbuka ?". Ia pun mendjadi bingung. Dimuka umum itu, tjara
bagaimana dia dapat mengangkat kaki " Selagi pangeran ini bimbang hati, Heehouw
Kian sudah didepan Khan. Khan girang sekali. Dia menanja tabib jang dapat
mengobati pohon jang keratjunan itu, setelah itu ia memberi persen tiga tjangkir
arak. Kemudian Guru Besar Matu dititahkan untuk melajani tabib itu. Matu
mendapat tugas mewakilkan radjanja melajani semua tetamu agung, mendengar
perintah djundjungannja itu, mengertilah ia jang sang djundjungan menghendaki
tabib itu diundang duduk bersama di medja kepala. Di medja itu berkumpul semua
ahli silat jang paling kenamaan, ketjuali tuan rumah, semua tudjuh kursi sudah
ada orangnja. Maka berpikirlah ia, achirnja ia berkata kepada Maitjan, boesoe
dari Tuyuhun itu : "Tabib Heehouw ini tetamu agung dari djauh, kau jalah orang
sendiri, baiklah kau jang mengalah ". Maitjan tidak berani membantah, tetapi dia
tidak puas, pikirnja : "Biarnja dia pandai ilmu tabibnja, dia tidak lebih
daripada tabib pelantjongan, mana dia sesuai untuk duduk dimedja kepala ?". Maka
itu, meski sekapnja ramah-tamah ketika ia berbangkit dan menarik kursinja, guna
mempersilakan tetamu duduk, diam2 ia menggeraki kakinja, untuk membikin si tabib
keserimpat djatuh dan mendapat malu karenanja. Tapi, baru sadja ia bekerdja,
mendadak ia merasakan kakinja lemas, pinggangnja terus membungkuk, kelihatannja
seperti ia mau mendjalankan adat kehormatan besar terhadap orang jang mau
dibikin malu itu. Heehouw Kian nampaknja kaget, dengan ter-gesa2 ia membungkuk,
untuk memimpin bangun pada boesoe itu seraja ber-ulang2 mengatakan : "Djangan,
djangan, aku tidak berani menerima hormatmu !". Maitjan terkedjut. Ia merasakan
tenaga jang kuat mengangkat tubuhnja. Ia telah mentjoba mempertahankan diri,
dengan membikin berat tubuhnja, tetap ia tidak berhasil. Maka sekarang tahulah
ia, ketjuali pandai ilmu tabib, orang itu djuga liehay ilmu silatnja. Tanpa
merasa, ia mendjadi takluk. Sambil memberi hormat, ia mengutarakan kekagumannja.
Djusteru hampir berbareng dengan itu, ia merasakan kakinja jang lemas sembuh
dengan mendadak ! Apa jang berlaku itu tidak diketahui Guru Budi, hanja sikapnja
Maitjan mendatangkan rasa heran, dari agak rada bertahan, dia mendjadi sangat
menghormat. Thia Tat Souw, jang berada di medja sebelah, mendjadi heran dan
bertjuriga, hingga ia berkata dalam hati-ketjilnja: "Ilmu totok tua-bangka ini
sangat liehay ! Malam itu, apakah bukannja dia jang telah menjerang aku dengan
djarum bwee-hoa tjiam ?". Guru Besar Matu, setelah dengan hormat mempersilakan
Heehouw Kian mengambil tempat duduk, berkata kepada orang banjak untuk sekalian
memperkenalkan : "Ini Tuan Heehouw, pandai sekali ilmu tabibnja. Anakku telah
mendapat sakit mengih jang bandel tetapi telah dapat disembuhkan olehnja. Ah,
Tuan Heehouw, tidak kusangka, selain pandai mengobati orang, kau djuga dapat
mengobati pohon ! Mari, silakan kau minum tiga tjawan arakku ini ...!".
Mendengar perkataannja Matu itu, tambahlah djelus dan kebentjiannja Thia Tat
Souw terhadap Heehouw Kian. Inilah sebab : Ketika baru2 ini ia memerintahkan
Lamkiong Siang membegal dan membinasakan si saudagar dari Khorezmia, ia
sebenarnja hendak merampas obat2-annja saudagar itu untuk dipersembahkan kepada
Matu, guna menolong puteranja si Guru Bosar, siapa tahu sekarang putera itu
telah disembuhkan tabib ini. Dengan begitu, bukankah persembahan obatnja itu
mendjadi tidak ada artinja ". Ketika Heehouw Kian sudah duduk, ia djusteru duduk
berhadapan dengan Thian Ok Toodjin. Imam itu mendjadi likat sendirinja. Si
tabib, dengan tersenjum, berkata kepadanja : "Semendjak perpisahan kita di
gunung Kiong-lay-san, sepuluh tahun belum lewat, ternjata sekarang tooheng telah
berhasil dengan perjakinanmu Hoe Koet Sin-Tjiang, siauwtee kagum sekali!". Kedua
matanja Thian Ok mentjilak. Ia mendongkol karena orang me-njebut2 kepandaiannja
itu, Hoe Koet Sin-Tjiang, jang berarti ilmu Tangan Membusukkan Tulang. Pantas
dia dapat membinasakan pohon dengan tangannja jang liehay itu. Dalam panasnja
hati, ia kata : "Sebentar setelah pesta bubar, aku masih ingin memperoleh
pengadjaran dari kau, lao-heng ...!". Manis kata2 mereka itu, terutama kata2 si
imam, tapi sebenarnja, dengan begitu, mulailah sudah bentrokan diantara mereka.
Thian Ok tidak berani menempur sendiri tabib itu, ia kuatir kalah, maka ia
memikir akan menanti tibanja Pek Yoe Siangdjin. Kok Sin Ong dan Hoe Poet Gie
kenal Heehouw Kian, mereka lantas minum dan berbitjara dengan gembira dan asjik,
dengan begitu sendirinja Thian Ok seperti terasing, sebab dia tidak dapat
memasang omong dengan gembira seperti mereka itu. Jang lain2-nja, jang tiada
sangkut-pautnja, dapat bersikap biasa sadja. Tengah pesta berlangsung itu, tiba2
terdengar pengumuman oleh seorang abdi dalam : "Jang mulia selir jang baru tiba
datang untuk memberi selamat kepada para tetamu jang terhormat ...!". Serentak,
dalam sedetik, sunjilah seluruh ruangan pesta. Umumnja semua boesoe mengetahui,
selir jang baru dari Khan jang agung ini jalah wanita tertjantik dalam negara
mereka. Semua orang diam, semua mata diarahkan kearah perdalaman. Lantas
terlihat muntjulnja serombongan dajang, jang memimpin selir jang baru itu, jang
keluarnja dari pintu model rembulan. Benar2 selir itu tjantik sekali!. Lie It
tidak tertarik perhatiannja seperti para hadirin lainnja, akan tetapi karena
selir itu datang, ia pun turut menoleh, untuk melihat. Begitu ia sudah
memandang, maka tertjenganglah ia. Ia lantas merasa bahwa ia pernah lihat selir
itu, bahwa ia seperti mengenalnja, terutama alis orang, jang mirip dengan
alisnja seorang lain. Ia lantas berpikir keras : "Dia ..., dia ..., siapakah
ia ?". Radja Turki berbangkit menjambut selirnja itu. "Karosi !", ia berkata,
"Hari ini hari baik kita, kau dan aku, maka hari ini setjara istimewa, aku
mengundang orang2 gagah dari kolong langit ini untuk mereka datang dan ikut
merajakan upatjara pernikahan kita, untuk mereka dapat memberi selamat. Inilah
pesta terbesar jang sebelum ini belum pernah diadakan ! Sekarang silakan kau
menghaturkan selamat kepada hadirin!". "Terima kasih kepada Khan jang agung jang
telah mengadakan pesta besar ini untukku ", berkata selir dengan perlahan,
setelah mana lantas ia mengulur lengannja untuk dengan djari2 tangannja jang
lentik mendjemput tjangkir kemala jang berisikan arak, sembari mengangkat itu,
dengan tertawa manis, ia berkata : "Tuan2, silakan minum ...!". Ketika Lie It
mendengar suara si tjantik itu, tanpa terasa tjangkirnja terlepas dari
tangannja, djatuh kebawah. Sjukur Lamkiong Siang berada didekatnja dan kawan ini
tabah dan sebat, dengan tjepat dia menjambarnja, hingga tjangkir itu tak usah
djatuh hantjur. Dia lekas memulangi tjangkir itu sambil berkata dengan perlahan:
"Banar2 selir itu tjantik sekali. Thian-hee, silakan minum ...!", Lamkiong Siang
berkata demikian karena ia menjangka Lie It tersengsam selir itu, djadi ia mau
memberi ingat untuk djangan pangeran ini mendjadi berlaku kurang hormat. Lie It
menjambuti tjangkirnja, sedang dalam hati ketjilnja, ia kata: "Bukan sadja
wadjahnja mirip, suaranja pun sama! Dia ..., dia ..., mestinja Boe Hian Song !".
Memang benar selir itu si nona she Boe. Sebab Karosi telah mewudjudkan
rentjananja untuk menjingkir dengan Hian Song menggantikan dia. Dengan menjamar
mendjadi budak pelajan, dengan membawa pakaian pengantinnja, dia sudah pulang
dengan naik djuga kereta asalnja. Itulah adat kebiasaan dan meskipun Khan
tjerdas, ia tidak tjuriga apa2. Siapa dapat menjangka ada orang berani menjamar
djadi selir, sedang si selir sendiri kabur pulang " Pula Hian Song sangat
tjantik, tidak kalah dengan Karosi. Hanjalah, Hian Song sendiri tidak pernah
menduga bahwa Lie It hadir dalam pesta itu. Benar ia telah berdandan dan bitjara
dalam bahasa Uighur, dan mukanja pun memkai obat, untuk menjalin warna kulitnja,
tetapi potongan wadjahnja tidak berubah, seperti suaranja tidak berubah djuga,
dari itu, Lie It mendjadi mengenali padanja. Bukankah dengan Lie It ia pernah
melakukan perdjalanan bersama untuk ribuan lie" Perpisahan delapan tahun djuga
tidak menjebabkan si pangeran melupakannja. Lie It memandang dan memandang lagi,
untuk menegasi. Ia bagaikan terdjerumus didalam kabut. Ia sudah mengenali tetapi
ia masih sangsi, ia heran bukan main. Tjara bagaimana Boe Hian Song dapat
mendjadi selir Khan Turki" Inilah dalam impianpun ia tidak berani mengharapnja.
Di achirnja, ia menggigit djari tangannja sendiri!. Dan ia merasakan sakit!.
Djadinja ia bukan lagi bermimpi!. Maka itu, terbajanglah segala pengalamannja
selama delapan tahun itu : Adu pedang di Ngo-bie-san, pembitjaraan tentang
sjair, perdjalanan ber-sama2, dan perpisahan digunung Lie San. Semua itu
bagaikan impian, bagaikan kedjadian kemarin. Lie It mendjadi ngelamun. Mendadak
ia merasa Boe Hian Song berubah mendjadi isterinja. Ia melihat sinarmata
Tiangsoen Pek, sinar jang tadjam mengawasi padanja. Lalu ia sadar pula. "Semoga
dia bukannja Boe Hian Song !", katanja kemudian dalam hatinja. "Taruh-kata dia
benar, kau pun tidak selajaknja berpikir begini matjam mengenai dia !".
Kedjadian ini membuat Lie It melupai pesan Heehouw Kian, jang menjuruh ia lekas
mengangkat kaki. Ia sudah sadar, ia sudah menegur dirinja sendiri, toh matanja
masih tetap diarahkan kepada Hian Song. Hian Song sendiri tidak mendapat lihat
pangeran itu. Tetamu terlalu banjak, semua mata tetamu itu diarahkan
terhadapnja. Ini pula sebabnja mengapa ketjuali Lamkiong Siang lainnja tetamu
tidak ada jang memperhatikan orang jang lagi kesengsem dan terbenam dalam
keheranan itu. Habis selirnja menghormat para tetamu, Khan mengadjaknja ke medja
kepala. Ia kata: "Semua tetamu ini
jalah tetamu2 kita jang paling dihormati, silakan kau memberi selamat djuga
kepada mereka !". Karosi menurut. "Terima kasih, terima kasih ... !", kata Hoe
Poet Gie, tertawa, "Aku tidak sanggup menerima kehormatan ini !". Ketika tiba
gilirannja Thian Ok Toodjin, imam ini mengangkat tjawannja sambil matanja
memandang tadjam selir itu, dari atas kebawah, dan dari bawah keatas. Ketika
selir sudah mengeringi tjawannja, baru ia ingat untuk mentjeguk araknja sendiri.
Khan melihat sikap si imam, ia mendjadi tidak senang. "Imam bau ini tidak tahu
adat!", katanja didalam hati. Paras Boe Hian Song pun berubah, akan tetapi
dengan lekas ia dapat menjabarkan diri, meski begitu, dua2 Khan dan Thian Ok
telah dapat melihat perubahan air mukanja itu. Khan menganggap selirnja itu
djemu terhadap si imam. Thian Ok sebaliknja kaget, sebab dari sinar mata orang,
ia menduga wanita tjantik ini mengerti ilmu silat sempurna sekali. Pula, samar2,
ia mengingat seperti pernah bertemu si nona, hanja biar bagaimana djuga, tidak
berani ia menerka Hian Song!. Habis memberi selamat, selir mengambil tempat
duduknja. Khan pun duduk, untuk terus menitahkan seorang pengiringnja: "Pergi
kau undang kedua utusan dari Keradjaan Tong !". Ketika itu keradjaan di Tiongkok
sudah bertukar dari ahala Tong mendjadi ahala Tjioe akan tetapi negara2 asing


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih biasa menjebutnja ahala Tong. Hian Song heran mendengar titahnja Khan itu.
"Tidak pernah aku mendengar bibi hendak mengirim utusan kesini ...", pikirnja.
Segera djuga pengiring tadi sudah kembali bersama dua utusan Tiongkok jang
disebutkan. Melihat mereka itu, Boe Hian Song lantas mengenalinja. Merekalah dua
orang jang ia pernah menemukannja digunung Thian-san, Hong Bok Ya dan Tjiok Kian
Tjiang. Kedua utusan itu memberi hormat kepada Khan. Mereka tak lupa memberi
selamat djuga kepada selirnja radja itu. Khan tertawa girang. "Silakan duduk !",
ia mempersilakan. Boe Hian Song mendongkol bukan main. "Dua binatang ini, mereka
menjamar djadi utusan ! Sungguh mereka memalukan negara!", katanja dalam hati.
Ia belum tahu bahwa orang jalah utusannja Boe Sin Soe, kakak sepupunja.
"Karosi ...", kata Khan, tertawa, "sehabisnja pesta besar ini, kami bakal
memimpin angkatan perang kita menjerbu ke Tiongkok! Kota Tiang-an besar dan
indah dan makmur, itu waktu kau boleh memasukinja, masuk ke istana kaisar!
Disana kau bakal mendapatkan apa djuga kau kehendaki. Ini dua utusan jalah
utusan keponakannja kaisar wanita dari Tiongkok. Kaisar wanita itu tidak
mendapat simpati rakjat, sekalipun keponakannja berkhianat terhadapnja,
keponakan itu setudju untuk bekerdja sama dengan kita, untuk nanti menjambut
penjerbuanku. Ha ha! Bukankah itu berarti jang Tuhan membantu kita ". Besok
mereka ini mau pulang ke negerinja, maka itu kami mengundang mereka datang
kemari, silakan kau mewakilkan memberi selamat kepada mereka !". Hian Song
ketahui Boe Sin Soe berkontjo hendak merebut kekuasaan pemerintahan, untuk nanti
menggantikan Boe Tjek Thian, bibinja itu, mendjadi kaisar, hanja ia tidak
menduga, kakak sepupu itu sedemikian buruk, sampai dia tak segan berkongkol dan
memindjam tenaga asing untuk merobohkan sang bibi. Itulah sepak-terdjang jang
sangat sembrono dan berbahaja djuga. Sepak-terdjang itu dapat memusnahkan
negara. Maka itu, bukan main gusar dan panas hatinja, hingga, meski ia mentjoba
menguasai diri, air mukanja berubah djuga sedikit. Kebetulan sekali, Hong Bok Ya
dan Tjiok Kian Tjiang mengangkat kepalanja, memandang sang selir, mata mereka
bentrok sinarnja. Mereka itu kaget melihat sinar mata jang tadjam mengantjam,
jang seperti bermusuhan. "Aku tidak pernah membuatnja selir gusar, kenapa dia
tidak senang ?", mereka masing2 berpikir. Selagi mereka berpikir itu, Hian Song
sudah mengangsurkan dua tjawan arak. "Silakan minum ! Tuan2 telah melakukan
perdjalanan laksaan lie, pasti tuan2 letih !", katanja tertawa. Hong Bok Ya dan
Tjiok Kian Tjiang menjambuti arak itu. Lega hati mereka melihat njonja agung itu
lantas berubah sikapnja mendjadi manis. Mereka menegur diri kenapa mereka
berpikir tidak keruan. Keduanja lantas mengeringi tjawan mereka. Habis minum,
kedua utusan ini mengangguk kepada Khan dan selirnja, untuk menghaturkan terima
kasih. ---oo0oo--"ADA satu urusan penting jang aku ingin menjampaikan kepada Khan jang agung !",
kata Hong Bok Ya. Ia bitjara setjara tiba2. Khan heran. "Silakan bitjara !",
katanja seraja ia mendekati, matanja menatap. "Orang jang hendak ditjari Sri
Baginda ", kata Hong Bok Ya, "jalah Lie It. Dia ..., dia telah tiba disini ...".
Khan terkedjut. "Dia sudah tiba disini ?", dia tanja. "Dimana dia sekarang ?".
Belum berhenti suaranja ini radja, atau ia melihat tubuhnja Hong Bok Ya dan
Tjiok Kian Tjiang terhujung sendirinja, lalu Hong Bok Ya, dengan roman putjat,
berseru tadjam : "Kau ! Kau ...! Kau Boe Tjek Thian punja ...! Oh, kau kedjam
sekali ...! Aduh ! Tjelaka ...!", Tjiok Kian Tjiang pun turut berseru :
"Kau ..., kau ...! Kaulah Boe Tjek Thian punja .... ". Belum habis mereka itu
berbitjara, lantas tubuh mereka roboh terguling, djiwa mereka melajang, dari
kuping, mata, hidung dan mulut mereka meleleh keluar darah hidup. Semua orang
mendjadi kaget dan heran. Itulah kedjadian sangat hebat. Beberapa pengiring dan
boesoe lantas ber-teriak2 : "Perutusan Tiongkok keratjunan ! Perutusan Tiongkok
keratjunan !", disusul dengan seruan : "Tangkap si pembunuh ! Tangkap si
pembunuh !". Tapi Kakdu segera berseru : "Djangan berisik ! Djangan bingung !
Mereka bukan dibunuh ! Mereka terkena ratjun ...!". Boe Hian Song pun turut
mendjadi heran. Ia bentji dua orang ini, ingin ia membinasakan mereka, tetapi
tidak sekarang. Ia sudah memikir, kalau sebentar atau besok ia sudah menjingkir
dari istana Khan, hendak ia menjusul mereka itu, untuk membunuhnja ditengah
djalan. Sebagai selir Khan, tidak dapat ia membunuh orang di medan pesta ini. Ia
tertjengang, sebab orang terbinasa didepannja tanpa ia mengetahui siapa si
pembunuhnja. Khan menjambar sebuah tempat arak, dia menegur Kakdu : "Kau alpa
mendjaga, kau minum ini arak ...!". Kakdu kaget, mukanja mendjadi putjat sekali.
la sangat setia, meski ia dihadiahkan kematian, ia tidak mau memohon ampun. Ia
mengangguk satu kali seraja berkata : "Hamba jalah kepala pasukan pengawal Sri
Baginda, ada orang meratjuni utusan, hamba tidak mendapat tahu, maka dosaku,
jalah dosa kematian. Hamba tjuma memohon Sri Baginda sukalah mengurus rumahtanggaku ...". Habis berkata, pengawal setia ini menenggak arak jang tinggal
separuh potji, terus ia berdiam, menanti kematiannja. Sia2 sadja ia menunggu,
sampai sekian lama, ia masih tidak kurang suatu apa. "Sri Baginda, inilah bukan
arak beratjun !", kata ia kepada radjanja. "Djikalau benar bukannja arak
beratjun, kau tidak sangkut-pautnja lagi ...!", kata Khan. Tapi ia tetap heran.
Potji arak itu jalah potji jang araknja barusan dikasihkan minum pada kedua
utusan Boe Sin Soe itu. Kedua utusan mati, kenapa Kakdu tidak " Mungkinkah
selirnja jang mentjampuri ratjun itu " Inilah tidak bisa djadi !. Ketjurigaan,
Khan terhadap Hian Song tjuma sedetik, lantas itu hilang lagi. Tidak ada alasan
selirnja meratjuni. Djuga ia mendampingi, ia melihat tegas ketika sang selir
menuang arak. Kalau selir itu menuang ratjun, ia pasti memergokinja. Habis,
siapa si tukang meratjuni itu " Selagi suasana katjau itu, terdengar Hoe Poet
Gie tertawa lebar. "Ha ... ha ... ! Sangat liehay kepandaiannja orang jang
melepas ratjun ini! Dia terlebih liehay daripada ini tuan imam jang tadi
meratjuni pohon kuku naga !" Matanja Thian Ok Toodjin mendelik. "Hai, tabib
rudin, kau ngotjeh apa ?", dia membentak. "Aku bilang orang jang meratjuni ini
lebih liehay daripada kepandaianmu !", djawab Poet Gie, "Apakah kau tidak senang
hati ?". Belum lagi Thian Ok menjahuti, Guru Budi sudah bangkit. "Aku melihat
satu orang !", katanja njaring, dingin. Kepandaian melepaskan ratjunnja Thian Ok
Toodjin telah dilihat orang banjak, maka itu semua boesoe Turki lantas menjangka
dia, akan tetapi mereka tidak berani bilang suatu apa, sekarang terdengar
suaranja Guru Budi itu, lantas beberapa orang diantaranja, dengan suara sama
dinginnja, menanja imam itu. Thian Ok mendjadi sangat gusar. Dia menjerang Guru
Budi. "Kau melepas angin busuk !", bentaknja. Guru Budi tertawa. "Dikolong
langit ini kaulah nomor satu tukang melepas ratjun, ketjuali kau, siapa lagi ?",
katanja dingin. Thian Ok djeri terhadap Hoe Poet Gie, ketika barusan orang she
Hoe itu mengasi dengar suaranja, ia menguasai diri untuk mengendalikan mulut,
sekarang ia menghadapi Guru Budi, ia tidak takut sama sekali. Pula Poet Gie tadi
bitjara setjara menjimpang, sedang orang ini berterang menuduh padanja. Mukanja
mendjadi guram. Ia lantas menjambar Guru Budi. "Kau mempunjai bukti apa ?", dia
berteriak. "Djikalau kau tidak dapat membuktikan, kau mesti berlutut meminta
ampun padaku!". Guru Budi djeri untuk tangan beratjun imam itu, ia berkelit,
setelah mana, sebat luar biasa, ia meloloskan djubahnja, ia pakai itu untuk
menungkrap si imam. Ia pun berseru : "Bukti apa kau mau " Didalam ruangan ini,
ketjuali kau, siapa lagi jang mengerti ilmu ratjun" Djikalau bukannja kau
ketakutan, perlu apa kau gusar kelabakan ?". Kata2-nja Guru Budi ditutup dengan
suara memberebet njaring, dari robeknja djubahnja, sebab Thian Ok berontak,
sedang tubuhnja si imam, terhujung beberapa tindak. Bukan main gusarnja Guru
Budi karena djubahnja itu robek,dia lupa siapa tuan rumah siapa tetamu, dengan
lantas dia menungkrap pula dengan djubahnja kepada imam itu. Kali ini dia
mengerahkan tenaga-dalamnja, hingga djubahnja jang lunak itu mendjadi kaku
seperti lempengan besi, anginnja pun menderu. Thian Ok lantas terdesak. Dalam
tenaga-dalam, ia memang kalah unggul. Tidak bisa ia lekas membebaskan diri dari
rangsakan lawannja. Tapi ini djustru membuatnja makin gusar dan panas hati.
Dengan mata mendelik dan gigi gemeretak, dia berseru : "Apakah kau menjangka aku
takut padamu " Kau mau berlutut dan mengangguk atau tidak kepadaku " Djikalau
tidak, djangan kau sesalkan aku tidak kenal kasihan!". Kata2 itu berupa
antjaman, tersusul kulit mukanja jang berobah mendjadi bersemu gelap, sedang
kedua tangannja terus diadjukan kedepan, hingga disitu djuga di rasakan bau
batjin jang terbawa gerakan tangan itu. Guru Budi terkedjut. Ia mendapat tjium
bau itu, lantas kepalanja terasa pusing dan matanja ber-kunang2, dadanja pun
mendjadi sesak. Ia tidak sangka tangan Thian Ok demikian beratjun, hingga belum
lagi tangan itu mengenai tubuhnja, hawanja sudah demikian berbahaja. Dengan
lantas ia melompat mundur. Pengawalnja Khan melihat suasana buruk, ia
mengutarakan itu kepada djundjungannja seraja mohon petundjuk. "Kau tutuplah
semua pintu, larang siapa pun keluar dari sini!", radja itu memerintahkan. Khan
lantas ingat akan pesan Hong Bok Ya halnja Lie It telah datang dan berada
diantara mereka, ia mendjadi kuatir, selagi kekatjauan berdjalan, pangeran itu
nanti kabur meloloskan diri. Setelah itu dengan tawar ia berkata : "Kamu
perintahkan orang mengundang Thian Ok Toodjin pergi kebelakang untuk
beristirahat !". Titah ini ada mengandung maksud tersembunji tetapi sekalian
pengawal mengetahui itu. Itulah titah rahasia untuk mereka membantui Guru Budi
mengalahkan Thian Ok, untuk imam itu digiring kebelakang menanti Khan
memeriksanja. Hanja Khan tidak berani omong terus-terang, dia menjebutnja
"mengundang". Maitjan bersama Kakdu sudah lantas melompat madju, untuk turun
tangan membantui Guru Budi. Didalam gelanggang, Thian Ok dan Guru Budi bertempur
terus. Mereka sama2 liehay, mereka mengeluarkan kepandaian masing2. Sesuatunja
ingin memperoleh kemenangan, dari itu, setiap serangan mereka sangat berbahaja.
Oleh karenanja mereka tidak mendapat dengar perintah Khan itu, hingga mereka
tidak tahu dua orang itu madju untuk membantui pihak jang satu. Dengan ilmu
kepandaiannja, 'Hoe Koet Tok-Tjiang', Thian Ok hendak merobohkan Guru Budi.
Selagi orang mundur itu, ia merangsak. Djusteru itu waktu, mendadak ia mendengar
suara angin menjambar. Ia lantas menduga kepada penjerangan gelap. "Fui ! tidak
tahu malu !", dia membentak. Tanpa memutar tubuh, ia memutar tangannja,
menjerang ke belakang. "Buk !", demikian satu suara jang keras, lalu tubuh besar
bagaikan kerbau dari Kakdu terpental balik dan djatuh djauhnja setombak lebih.
Selagi Kakdu terhadjar itu, Maitjan madju terus. Dialah boesoe nomor satu bangsa
Tuyuhun, dia pandai ilmu gulat bangsanja, maka itu, sambil berdongkol, kakinja
terus menjambar kaki Thian Ok, sedang tangannja mentjoba mentjekal tangan si
imam. Thian Ok melihat aksinja penjerang gelap itu, dengan lantas ia menantjap
kuda2-nja dengan tipu silat 'Djatuh seribu kati', hingga tubuhnja djadi tak
bergeming, hingga Maitjan gagal dengan sengkelitannja itu. Hanjalah, karena si
boesoe memegang tangan orang erat2, dia membuatnja tangan badju si imam
memberebet robek!. Masih Maitjan berdaja, untuk membekuk imam itu, atau mendadak
dia merasakan menjedot hawa jang seketika djuga membuatnja kepala pusing dan
mata kabur serta dadanja sesak, disusul sama lenjapnja seluruh tenaganja, hingga
tubuhnja mendjadi lemas. Maka ketika Thian Ok mendupak, tubuhnja jang djangkungkurus roboh terbanting bagaikan sepotong balok!. Baru sesudah itu, Thian Ok
Toodjin melihat tegas siapa kedua penjerang gelap itu. Maitjan masih tidak apa,
tetapi Kakdu, dialah pemimpin pasukan pengawal pribadi dari Khan Turki. Maka ia
kaget tidak kepalang. Djusteru begitu, Guru Budi sudah madju pula untuk
menjerang, tetapi sekarang dia madju sambil berseru: "Siapa djuga djangan
membantui aku! Tidak dapat tidak, akan aku bekuk ini imam hidung kerbau !". Guru
Budi tidak tahu orang datang untuk memisah atau membantui dia, orang dengan
deradjat sebagai dia tidak menghendaki orang membantu padanja. Tadi pun, ketika
Thian Ok mengatakan, dia mau main kerojok, dia sudah merasa malu sekali. Dia
djuga tidak ingin orang memisahkan. Begitulah, dia telah mengasi dengar
seruannja itu. Thian Ok sebaliknja sudah lantas timbul ketjurigaannja. "Kakdu
pun turut menjerang, mungkinkah Khan mentjurigai aku ?", ia pikir. Karena Guru
Budi sudah menjerang pula padanja, tidak sempat ia berpikir lama2,
mesti ia melajani musuhnja. Khan mendjadi gusar sekali. Ia melihat Kakdu roboh
dengan tidak bisa bangun pula. Pahlawan itu rebah dengan merintih, mukanja
bengkak-bengap. Tidak demikian dengan Maitjan, jang terkulai bagaikan majat,
mukanja hitam, darah keluar dari mata, hidung, mulut dan telinganja, terang dia
telah terkena ratjun dan tak bakal hidup pula. Memangnja ia sudah membentji imam
itu, jang meratjuni pohonnja, sekarang ia tidak bersabar lagi. Tapi, selagi ia
hendak mengeluarkan titahnja, untuk melakukan penangkapan, diambang pintu
terdengar suaranja si pengawal: "Pek Yoe Siangdjin datang menghadap !". Lantas
terlihat seorang pendeta, jang tubuhnja tinggi dan besar dan djubah sutjinja
jang mentereng mentjolok mata, muntjul diantara banjak orang, seperti djuga
tidak nampak gerakannja, dia bertindak dengan orang2 jang berada didepannja pada
terhujung mundur ke kedua pinggiran, beberapa diantaranja bahkan roboh memegang
tanah, rupanja disebabkan mereka tidak keburu menjingkir atau tak dapat
mempertahankan diri. Orang umumnja tidak ketahui, si pendeta sudah menggunai
ilmu silatnja jang diberi nama "Tjiam Ie Sip-pat Tiat", tenaga-dalam jang dapat
membuat orang roboh "delapan belas kali", hanja tjuma karena badjunja
terlanggar. Sampaipun Kok Sin Ong dan Heehouw Kian, melihat ketangguhan orang
beribadat itu, mendjadi terperandjat. Pek Yoe Siangdjin tidak bertindak dengan
tjepat, tetapi toh lekas sekali dia telah tiba di gelanggang, disaat Thian Ok
menggunai djurusnja jang berbahaja untuk menjerang hebat kepada Guru Budi. Dua2
Guru Budi dan Thian Ok tidak melihat datangnja pendeta itu, inilah disebabkan
mereka lagi memperhatikan lawan masing2, sedang djuga, datangnja si imam sangat
tjepat dan tanpa sesuatu tanda. Guru Budi mengertak gigi disebabkan ia merasakan
dadanja sesak. Ia tahu betul, kalau pertempuran berlangsung terus setjara
demikian, ia bakal kena dikalahkan si imam. Maka ia mengerahkan seluruh
tenaganja, untuk menjerang hebat. Disaat kedua musuh itu menghadapi detik2 jang
sangat berbahaja itu, jang akan menjudahi pertempuran mereka dengan dua2-nja
bertjelaka, se-konjong2 mereka merasa tubuh mereka mendjadi tidak bertenaga,
hingga keduanja kaget. Baru sekarang mereka melihat datangnja Pek Yoe Siangdjin,
jang sebelah tangannja diadjukan, untuk dikibaskan. Thian Ok mengerti bahaja,
dengan lantas dia melompat mundur. Tidak demikian dengan Guru Budi, jang
terhujung mundur, sampai tudjuh tindak baru dia dapat mempertahankan diri!.
Semua orang mendjadi kagum. "Bagus ! Bagus ...!", Hoe Poet Gie berseru seraja
tangannja menggunai sumpit untuk mengetuk medja. "Pendeta tua ini kesohor
namanja bukan kesohor kosong !". "Diantara orang sendiri, buat apa mengadu djiwa
?", demikian terdengar suaranja Pek Yoe, jang baharu itu waktu membuka mulutnja.
Thian Ok djago tetapi ada dua orang jang ia takuti, jalah jang satu Yoe Tan Sinnie, jang lainnja Pek Yoe Siangdjin ini, maka itu, meskipun ia diperlakukan
demikian, ia tidak berani menundjuki kemurkaan, hanja karena ia mendongkol, ia
membuka djuga mulutnja, untuk mendumal membela dirinja: "Dia ..., dia menuduh
aku meratjuni hingga binasa kepada utusannja Goei Ong !". Goei Ong, atau
Pangeran Goei, jalah gelarnja Boe Sin Soe. Mata jang tadjam dari Pek Yoe
Siangdjin menjapu kepada majatnja Hong Bok Ya dan Tjiok Kian Tjiang. "Adakah
mereka perutusannja Boe Sin Soe itu ?", ia menanja. "Ja ..., benar ! Mereka
terbinasa oleh ratjun ! Eh, ratjun ini rada aneh ...!", ia menambahkan. Guru
Budi tidak puas terhadap Pek Yoe Siangdjin disebabkan Khan menghendaki ia
mengalah dan gelaran Guru Negara harus diserahkan pada pendeta itu. Ia menurut
dimulut, dihati tidak. Akan tetapi sekarang, menjaksikan ketangguhan Pek Yoe, ia
menjerah, ia takluk betul2. Maka itu, walaupun ia tidak senang seperti Thian Ok,
ia tidak berani mengutarakan itu, bahkan ia kata: "Benar, Siangdjin, kau pun
telah melihatnja. Tidakkah kedua utusan ini mati setjara aneh sekali " Dikolong
langit ini, ada berapakah orang jang pandai menggunai ratjun " Maka itu,
bagaimana aku tidak mentjurigai dia ?". "Sudah, kau djangan rewel !", Pek Yoe
berkata. "Nanti aku periksa dulu ! Thian Ok, lekas kau keluarkan obat pemunahmu,
kau tolongi Maitjan !". Kemudian Bhiksu ini menghampirkan Khan, untuk memberi
hormat, setelah mana, Khan menuturkan tjara kematiannja Hong Bok Ya dan Tjiok
Kian Tjiang barusan. Lalu ia periksa kedua majat, berulang kali, air mukanja
menundjuki herannja. Habis itu, ia menjapu dengan sinar matanja kepada para
hadirin, mulutnja mengasi dengar kata2-nja jang dingin : "Siapakah jang
menurunkan tangan djahat ini " Dengan mempunjai kepandaian begini luar biasa,
kenapa kau tidak mau bangkit berdiri memuntjulkan diri ?". Semua orang berdiam,
semua mata mengawasi pendeta itu.
---oo0oo--HOE Poet Gie tertawa : Ha ... ha ...ha ... Hi ... hi... hi ...", tangannja
mementjet tangan Heehouw Kian. Djusteru itu terlihat satu orang , bangun untuk
berdiri. Melihat dia, orang heran. Pek Yoe sendiri tidak terketjuali, karena
dialah murid kepalanja. "Apa " Kaukah jang membuatnja ?", guru itu tanja.
"Bukan...!", sahut sang murid, jalah Yang Thay Hoa. "Hanja aku tahu, didalam
ruangan ini ada satu orang jang mesti tahu perbuatan ini perbuatan siapa dan aku
hendak melaporkannja setjara rahasia kepada Khan jang agung ". "Mari", kata guru
itu, jang mengadjak muridnja menghadap Khan. "Orang jang bernama Siangkoan Bin
jang datang bersama Thia Tat Souw itu jalah Lie It jang menjamar ", Thay Hoa
lantas berkata. "Dia tidak menerima undangan tetapi dia datang kemari setjara
diam2, dengan mengubah warna kulit mukanja, maka teranglah dia mengandung
pikiran menentang Khan jang agung. Kedua utusan ini bukannja dia jang
membunuhnja sendiri tetapi sudah tentu perbuatan kontjonja. "Oleh karena itu,
terserah kepada Khan jang agung, bagaimana hendak mengambil tindakannja." Thia
Tat Souw dan Yang Thay Hoa sudah mentjurigai Lie It, hanja mereka belum
mendapatkan buktinja, tidak demikian dengan Hong Bok Ya dan Tjiok Kian Tjiang,
jang lantas mengenali, tetapi mereka ini berdua hendak membuka rahasia langsung
kepada Khan sendiri supaja mereka memperoleh djasa, untuk mendapat persen atau
anugerah, karena itu, mereka menutup mulut terhadap Tiat Souw dan Thay Hoa.
Siapa tahu, baru Hong Bok Ya menjebut nama Lie It, atau dia lantas terkena
ratjun dan menerima kebinasaannja demikian djuga kawannja. Keterangannja itu,
jang kepalang tanggung, memberi keuntungan kepada Tat Souw dan Thay Hoa, jang
sekarang mendjadi merasa pasti, maka djuga Thay Hoa muntjul setibanja gurunja
itu. Khan kaget dan heran. "Sungguh besar njalinja Lie It !", pikirnja. Tanpa
ajal lagi, ia memberikan titah-nja: "Tangkap Lie It! Tangkap hidup, djangan


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangkap mati !". Yang Thay Hoa seeera memberi isjarat kepada Thia Tat Souw, dan
Tat Souw, dengan hoentjwee-nja dimulut, lantas bangkit. Para hadirin semua
heran, ketjuali mereka jang berada dekat dengan Khan. Inilah sebab mereka tidak
dengar pembitjaraannja Thay Hoa dengan Khan itu, atau tiba2 tampak air mukanja
Khan berubah mendjadi bengis. Lie It djuga tidak mendengar suaranja Thay Hoa,
tengah ia bingung itu, ia melihat Tat Souw bertindak kearahnja. Ia mendjadi
tjuriga tetapi dengan menabahkan diri, ia bangkit, untuk menjambut seraja
menanja: "Thia Pangtjoe, ada titah apakah ?" Tat Souw membawa sikap biasa, ia
mengangkat setjawan arak. "Mataku si orang tua tidak ada bidjinja, aku telah
tidak mengenali thian-hee !", ia menjahut. "Maka itu aku hendak menghaturkan
maaf ". Lie It terkedjut karena dipanggil thian-hee atau tuan pangeran."Apakah
pangtjoe sudah mabuk ?", dia tanja. Tat Souw tertawa terbahak. "Hari ini aku
sangat girang berkenalan dengan thian-hee !", katanja. "Mana aku mabuk " Mari,
mari, aku memberi selamat setjawan kepada thian-hee ". Sembari berkata begitu,
Tat Souw minum araknja itu, akan tetapi bukannja ia menelannja, ia djusteru
memuntahkannja, menjemprot kemuka Lie It, sedang dengan tjawan araknja, ia
menimpuk kelengan si pangeran, dibagian djalan darah kiok-te-hiat disebelah
dalam sikut. Tat Souw sangat liehay ilmu totoknja, ia sekarang menjerang dengan
membokong, maka Lie It tidak dapat meluputkan diri. Dia tersembur dan tertotok
djalan darahnja itu, tubuhnja lantas terhujung, terus roboh. Lamkiong Siang
duduk didekat Lie It, dia terkedjut atas perbuatannja Tat Souw ini, meski
begitu, ia sempat untuk berkata: "Toako, kau keliru! Dia memang Lie It tetapi
dia sengadja datang kemari dengan menjamar! Dia datang dengan ada maksudnja! Dia
mau menghamba kepada Khan jang agung !". "Makhluk tolol !", Tat Souw membentak
ketua mudanja itu. "Kau tahu apa " Dia datang untuk mengatjau ! Kau sendiri
bakal kerembet, dan kau masih berani membelai dia ?". Lantas ketua itu menolak
pembantunja itu, terus ia membungkuk, guna menjambar tubuh Lie It, untuk
dibekuk. Belum lagi djari tangan orang she Thia ini dapat meraba tubuh pangeran
itu, mendadak orang jang dirobohkan itu mentjelat bagaikan ikan gabus meletik,
sembari dia mentjelat, satu sinar pun berkelebat. Dan itulah sinarnja pedang!.
Tat So boleh gagah perkasa, akan tetapi diserang setjara demikian mendadak dan
diluar dugaannja, sia2 belaka ia berkelit, walaupun ia sangat gesit. Djari
telundjuk dari tangan kanannja telah terbabat kutung pedangnja si pangeran !.
Maka kagetlah ia disamping tangannja terasa sakit sekali. Lie It kalah dari Tat
Souw akan tetapi ilmu silatnja, jalah ilmu tenaga-dalamnja, ada dari kalangan
lurus, meskipun ia roboh, selagi Lamkiong Siang berbitjara dengan pangtjoe itu,
ia sudah bisa mengerahkan tenaga-dalamnja, maka itu lekas sekali ia bebas dari
totokan. Disaat ia mau dibekuk, ia melompat bangun sambil menjerang. Bukan
kepalang murkanja Tat So. Dengan hoentjwee-nja, ia segera menjerang ke kepala si
pangeran. Tentu sekali, gerakannja sangat tjepat dan tenaganja dikerahkan. Lie
It tidak berkelit, ia hanja menangkis. Keras kedua sendjata beradu, sampai
suaranja menulikan telinga. Sendjata istimewa dari Tat Souw tidak terpapas
kutung sebab bahannja dari badja dan besi terpilih dan digunakannja djuga dengan
bantuan tenaga dalam jang mahir. Lamkiong Siang gelisah sekali tetapi dia tidak
berani madju sama tengah, untuk memisahkan, sedang para hadirin bingung, tak
mengerti mereka kenapa dua orang itu bertarung tidak karu2-an, hingga mereka
djuga tidak berani lantjang turun tangan. Semua mundur sambil menonton.
Pertempuran mendjadi hebat sekali. Jang satu djeri dan hendak membela diri, jang
lain gusar dan sengit dan hendak membekuk lawannja. Boe Hian Song tidak
menjangka Lie it turut hadir dalam pertemuan ini, ketika ia mendengar
keterangannja Yang Thay Hoa, ia heran dan kaget, mulanja ia tidak
mempertjajainja, baru setelah menjaksikan aksinja Thia Tat Souw, hingga keduanja
mendjadi bertarung, lenjap kesangsiannja. Paling dulu ia mengenali pedangnja Lie
It, lalu ilmu silat si pangeran, ilmu pedang Ngo-bie-pay, baru ia menegas
orangnja, tak perduli warna kulit muka orang tidak wadjar!. Achirnja, disini ia
bertemu pangeran itu. Setelah itu, ia mendjadi bingung, ia menguatirkan
keselamatannja si pangeran. Thia Tat Souw liehay, dia mendesak. Tidak terlalu
lama, Lie It nampak kewalahan. Pangeran ini mesti membela diri sadja, hingga
tidak sempat ia membalas menjerang seperti bermula. Ia membuat Hian Song putus
daja. Sebagai selir Khan, si nona tidak bisa membantui pangeran itu. Maka tidak
dapat bertindak untuk dia melainkan bisa bersikap tenang, agar dia tidak
membangkitkan ketjurigaannja Khan Turki itu. Biar bagaimana, dia toh terlihat
tegang. Khan heran, ia mengawasi. "Karosi, kau kenapa ?", tanjanja. "Ada apakah"
Djangan takut, tidak nanti mereka bertempur sampai disini! Aku tjuma hendak
melihat kepandaian mereka itu. Djikalau kau takut, nanti aku perintahkan Guru
Budi membekuk Lie It itu, untuk mengachirkan pertarungan ini ". "Tidak apa2 ",
djawab Hian Song. "Aku bukannja takut, aku hanja sedikit tjuriga ...".
"Bagaimana ?". "Entah apa katanja si utusan Tiongkok barusan " Bukankah dia
membilang Lie It ini ada pernahnja dengan Boe Tjek Thian " Bukankah Boe Tjek
Thian itu kaisar wanita dari Tiongkok ?". "Benar ...". "Bukankah Sri Baginda
mengatakannja Lie It ini turunan kaisar Tong " Kalau benar maka dialah musuhnja
Boe Tjek Thian. Kenapa utusan Tiongkok itu membilang dia orangnja Boe Tjek Thian
?", Hian Song membalik hal. Sebenarnja Hong Bok Ya hendak mengatakan ia,
bukannja Lie It, tetapi karena dia mati mendadak, Hong Bok Ya tidak keburu omong
djelas. Kebetulan untuk Hian Song, ketika ini menggunakan ketjerdikannja. Khan
tidak mentjurigai selirnja ini, tidak demikian dengan Thian Ok Toodjin.
"Meskipun benar Lie It ini turunan radja Tong ", kata Khan, "akan tetapi karena
dia tidak sudi menghamba padaku, ada kemungkinan dia benar orangnja Boe Tjek
Thian. Untuk menetapkan sesuatu adalah sulit. Lihat Boe Sin Soe. Bukankah dia
keponakannja Boe Tjek Thian" Bukankah dia telah mengutus wakilnja meminta
bantuanku, supaja aku mengangkat dia mendjadi kaisar ?". Lega hati Hian Song
mendapatkan Khan tidak tjuriga. Maka lantas ia memikir lain. Ia memikir daja
untuk menolong Lie It. Sembari berpikir itu, ia melihat kesekitarnja. Tiba2
hatinja bertjekat. Diluar tahunja, Thian Ok mengawasi ia dengan tadjam. Imam itu
makin lama makin keras tjuriganja. Ia merasa pasti Hian Song, sebagai selir
mempunjai kepandaian silat jang tinggi. Ia melihatnja dari sinar mata orang jang
tadjam sekali. Sudah begitu, ia mendengar suara si nona, suara jang ia rasa
kenal, entah dimana pernah ia mendengarnja, ia lupa. "Terang-terang tadi Hong
Bok Ya menundjuk dia ", pikir Thian Ok. "Sajang kata2-nja itu terhenti setengah
djalan. Tidak bisa djadi kalau dengan kata2 'dia' dimaksudkan Lie It!. Pernah
apakah dia dengan Boe Tjek Thian " Apakah dia mata2 Boe Tjek Thian atau orang
jang tjuma ada hubungannja " Toh dialah puterinja seorang suku radja dan dia
sekarang mendjadi selir Khan " Tak mungkin dia bersanak dengan Boe Tjek Thian ".
Bagaimana keras tjuriganja, Thian Ok Toodjin tidak dapat membuktikan
ketjurigaannja itu dan ia pun tidak berani bertindak sembrono, guna membuka
kedok si nona. Boe Hian Song dapat menduga si imam lagi berpikir keras, maka ia
lantas bertindak, untuk mendahului turun tangan. Ia berbisik ditelinga Khan :
"Matanja imam itu seperti mata bangsat, dia selalu mengawasi tadjam padaku, aku
takut ...". Khan memandang kearah Thian Ok. Ia memang bentji imam itu, jang
merusak pohonnja, sekarang ia mendengar perkataan sang selir, hatinja mendjadi
panas. Tapi ialah radja, ia djuga tengah membutuhkan tenaga orang, terhadap
tetamunja itu, tidak dapat ia bertindak sembrono. Ia mengawasi dengan sinar mata
tawar. "Guru Besar, dapatkah kau melihat siapa jang sudah meratjuni utusan
Tiongkok itu ?", ia tanja Pek Yoe Siangdjin. "Hebat ratjun itu! Hari ini si djahat itu
mesti dapat ditjari !". Kembali ia mengawasi Thian Ok. Ia kuatir Thian Ok ini
sahabatnja Pek Yoe Siangdjin, dengan begitu ada harapan Pek Yoe nanti
melindunginja. Pek Yoe Siangdjin mengerutkan dahi. Baru sadja ia memeriksa
majatnja Hong Bok Ya berdua. Ia telah mentjium bau darah dari kedua utusan itu.
"Benar, Sri Baginda ", ia mendjawab. "Turut pemeriksaanku, kedua utusan itu
bukannja mati disebabkan obat beratjun ...". "Apa" Kau dapat melihat itu ?",
Khan tanja. "Siapakah si djahat ?". "Mereka bukannja terkena obat ratjun ?".
Kakdu pun tanja, heran. "Kenapa mereka mengeluarkan darah dan mati lantas ?".
Pek Yoe Siangdjin mengasi lihat roman sungguh2, ia kelihatan bengis. "Nanti, aku
periksa dulu sendjatanja si djahat itu ", bilangnja. Mendadak dia membalikkan
tubuhnja Hong Bok Ya, untuk menekan djalan darah tay-twie-hiat dipunggung, terus
dengan kedua djari tangannja, ia mentjabut sesuatu, jalah djarum Bwee hoa-tjiam
pandjang tiga dim. Setelah itu, dengan sebat ia berbuat demikian djuga pada
tubuh Tjiok Kian Tjiang serta berhasil pula mengeluarkan sematjam djarum
rahasia. Khan dan para hadirin dimedja utama mendjadi kaget. Khan heran untuk
liehaynja si "pendjahat", jang perbuatannja demikian sebat dan terahasia, hingga
tiada orang jang melihatnja. Kalau ialah jang diserang djarum itu, bukankah ia
tidak berdaja dan bakal bertjelaka ". Dilain pihak, orang kagum untuk Pek Yoe,
jang demikian liehay. Tidak sadja dia mengetahui duduknja hal bahkan lantas dia
menundjukkan buktinja. "Djarum bwee-hoa-tjiam ini bukan miliknja Thian Ok
Toodjin ", kata Pek Yoe kemudian. "Dia mempunjai djarum Touw-koet Sin-tjiam dan
aku kenal baik djarumnja itu ". Habis berkata, orang liehay ini meletakkan
djarum ditelapakan tangannja, lalu ia bertindak menghampirkan Heehouw Kian,
mendadak ia berkata: "Bukankah kau Kim Tjiam Kok-Tjioe Heehouw Kian " Telah lama
aku si pendeta tua mengagumimu !". "Nama Siangdjin besar hingga bagaikan guntur
jang menulikan telinga, aku si orang tua djuga mengaguminja !", menjahut Heehouw
Kian. Pek Yoe Siangdjin tertawa. "Hari ini kita dapat bertemu, sungguh
beruntung!", katanja puIa. "Kita berdua, mari kita mengikat persahabatan!".
Kata2 itu dengan mendadak disusul dengan angsuran tangan, untuk mentjekal tangan
si tabib, nampaknja untuk berdjabatan, sedang sebenarnja itulah serangan jang
sangat berbahaja, serangan untuk menangkap tangan. Serangan itu lunak diluar,
keras didalam hingga tidak sembarang mata dapat mengenalnja. Se-konjong2 Hoe
Poet Gie bangkit, sembari tertawa 'ha-ha hi-hi', ia berkata: "Aku si Hoe jang
tua bangka tak mempunjakan nama, maka itu, Siangdjin, apakah kau djuga tidak
mengagumi aku" Mari, mari ! Kita pun mengikat persahabatan !". Lalu dengan menggojang2-kan kipasnja, ia menjodorkan tangannja diantara tangan mereka itu
berdua, tepat ia membentur tangannja Pek Yoe. Bentrokan kipas dengan tangan itu
menerbitkan suara njaring serta muntjratnja lelatu api. Sebagai akibatnja, dua
tulang kipas, jang terbuat dari badja pilihan, telah kena disambar patah, itulah
bukti hebatnja djeridji tangan dari Pek Yoe Siangdjin, jang telah mahir sekali
ilmunja, 'Tiat-Tjie Sin-Kang' atau 'Djeridji Besi'. "Bagus betul!", Hoe Poet Gie
berseru, gusar. "Aku hendak mengikat persahabatan dengan kau tetapi kau merusak
kipasku, kau kurang adjar sekali!. Belum pernah aku menemui orang tak sopan
sematjam kau!". Orang she Hoe ini tidak melainkan mengutarakan kemurkaannja,
dengan kipasnja jang dirangkap, dia lantas menjodok. Ia pula beraksi bagus
sekali, jalah sekali ber-kata2 itu, tubuhnja menggigil, sebagai djuga ia tengah
sangat gusar, hingga karena tangannja turut bergemetar, udjung kipasnja pun bergojang2. Hingga udjung kipas itu seperti mendjadi belasan buah! Pek Yoe
Siangdjin kaget tidak terkira. Sodokan itu, ia tahu, jalah sodokan ke djalan
darah. Tengah ia kaget itu, tahu2 dua kali ia telah kena tertotok satu di djalan
darah kie-liauw di pinggang kanan, dan satunja lagi di djalan darah yang-leng di
betis. Saking murka, ia berseru, tangan kirinja pun melajang! Hoe Poet Gie
terkedjut. Totokannja itu jalah totokan2 jang liehay, tidak tahunja, semua
totokan itu tidak mempan terhadap ini Guru Negara, jang seperti mempunjai tubuh
Kimkong satu arhat, jang tak dapat rusak. Kedua totokan itu melainkan hanja
membikin Pek Yoe merasa kesemutan sadja. Disambar tangannja Pek Yoe itu tidak
keburu Poet Gie berkelit, maka ia mengangkat kipasnja, untuk menangkis. Maka
sekali lagi mereka bentrok. Kali ini hebat luar biasa bentrokan itu. Dengan
lantas tubuh Poet Gie terhujung enam tindak, sedang Pek Yoe bergojang dua kali,
kakinja tidak berkisar. Adalah djubah merahnja jang berkibar bagaikan diserang
angin keras!. "Tuan2 ..., berhenti! djangan bertempur!", Khan berseru. "Guru
Besar, apakah artinja ini" Siapakah sebenarnja jang menggunai djarum
membinasakan kedua utusan itu ?". Pek Yoe Siangdjin menuding Heehouw Kian.
"Dialah si tua-bangka ini!", ia mendjawab, seraja terus menuding Hoe Poet Gie
dan menambahkan: "Dan dia ini kontjonja! Silahkan Sri Baginda mengeluarkan
perintah membekuk mereka !". "Sri Baginda !", Heehouw Kian berkata, "hamba si
orang tua, hamba tjuma bisa mengobati, tidak bisa hamba meratjuni!". Khan
bersangsi. Ia telah melihat sendiri tabib itu mengobati pohonnja, sedang Maha
Guru Matu membilangi dia halnja si tabib sudah menjembuhkan puteranja, hingga
sedjak semula, ia berkesan baik terhadapnja. Dengan setengah pertjaja dan
setengah tjuriga, ia kata pada Pek Yoe Siangdjin: "Tjara bagaimana Maha Guru
ketahui dianja ?". "Dia bergelar Kim Tjiam Kok Tjioe ", djawab Pek Yoe, "dia
dapat menolong orang dengan djarumnja, dia djuga dapat membunuh! Hamba berani
pastikan, dialah si pembunuh. Tidak salah lagi!". Ketika itu Boe Hian Song
berbisik pula: "Ketika kedua utusan itu mati, Pek Yoe Siangdjin masih belum
datang!". Mendengar itu, hati Khan bertjekat. "Benar ...!", katanja. "Dia tidak
melihat dengan matanja sendiri, djangan kita menuduh orang baik hingga dia
mendjadi penasaran!". Meski ia mengatakan demikian, Khan ini pun masih
bersangsi. Kali ini ia bersangsi untuk menegur Pek Yoe Siangdjin. Tepat itu
waktu, orang mendengar djeritan jang menjajatkan hati.
---oo0oo--ITULAH djeritannja Lie It, jang terluka. Perhatian semua orang tertarik oleh
tingkah polanja Pek Yoe Siangdjin, jang menjangka Heehouw Kian, hingga dia
bentrok dengan Hoe Poet Gie, dengan begitu, pertempuran diantara Lie It dan Thia
Tat Souw seperti dibiarkan sadja, tidak tahunja, pertempuran itu berlangsung
terus, dan dengan hebat, hingga tahu2 terdengarlah djeritan si pangeran. Segera
semua mata diarahkan kepada Tat Souw dan Lie It. Lie It sudah bertempur lima
puluh djurus ketika ia kena terhadjar hoentjwee-nja Tat Souw. Ia terdesak
sangat, ia pun seperti terkurung musuh, dari itu, hatinja gentar. Karena hatinja
tidak tenteram itu, satu kali ia kalah sebat, rusuknja kena tertusuk hoentjwee,
hingga ia merasakan sangat sakit dan darahnja keluar mengutjur membasahi
badjunja. Saking sakit, ia sampai mendjerit itu. Boe Hian Song terkedjut,
kuatirnja bukan main, tanpa dapat ditjegah, mukanja mendjadi putjat. Khan
terkedjut. Ia menjangka selir itu tidak berani melihat darah. Ia pun melihat,
meskipun Tat Souw bekerdja keras sekali, walaupun Lie It telah terluka, orang
she Thia itu masih belum bisa merobohkan dan menawan lawannja. "Guru Besar,
tolong kau tangkap dulu orang she Lie itu !", ia memberikan perintahnja.
"Permaisuriku berhati ketjil, dia tidak dapat melihat darah mengalir ". Hian
Song sebaliknja kaget karena mendengar titah Khan ini. Kalau Pek Yoe jang madju,
pasti Lie It bakal kena ditawan. Pek Yoe Siangdjin tidak puas dengan perintah
itu. Ia berkata tawar: "Untuk menjembelih ajam buat apa memakai golok kerbau "
Pula pembunuhnja kedua utusan itu masih belum dihukum ! Mohon titah Sri Baginda,
dua orang ini hendak ditawan atau tidak ?". Khan menjangsikan Heehouw Kian
sebagai pembunuh, dia menitahkan Pek Yoe menangkap Lie It pun sekalian sebagai
siasat untuk menangguhkan urusan, siapa tahu, Pek Yoe memikir lain, keras
niatnja membekuk Heehouw Kian dan Hoe Poet Gie, hingga dia berani berkata
demikian kepada radja. "Baiklah!", kata Khan achirnja. Dia terdesak. "Sekarang
biarlah Heehouw Sianseng dan Thian Ok Toodjin dipadu!". Kata2 itu menundjuki
bahwa djuga Thian Ok ditjurigai, maka itu, mereka berdua perlu dipadu. Thian Ok
Toodjin mendjadi panas hati. Dia berani, dia lantas berkata njaring: "Pintoo
datang kemari dengan se-sungguh2-nja hati untuk membantu Sri Baginda. Tidak
disangka, Sri Baginda malahan mentjurigai aku! Djikalau demikian, baiklah,
pintoo akan mengundurkan diri!". Heehouw Kian menggunai saatnja jang paling baik
ini, dengan roman dan suara menjataikan kegusarannja, ia berkata keras: "Saudara
Hoe, dari tempat jang djauh kita datang kemari, siapa tahu kita dipandang
sebagai orang djahat! Bagaimana sakarang?". Hoe Poet Gie sebaliknja tidak
mendjadi kurang puas atau gusar, dia tertawa 'ha-ha hi-hi'. Dia djusteru sangat
bergirang. "Tempat ini tidak dapat menerima orang, maka ditempat lain pasti akan
ada orang jang dapat menerima kita!", ia berkata. "Baiklah, mari kita semua
pergi! Djikalau pendeta sutji itu hendak melakukan penangkapan, persilakan!".
Pek Yoe Siangdjin pun panas hatinja. Dia menarik Thian Ok, dia kata dengan
keras: "Mohon Sri Baginda lekas mengambil putusan! Sri Baginda menghendaki kami
atau mereka itu" Djikalau Sri Baginda tidak menawan itu dua orang djahat maka
kami bertiga hendak pergi!". Tengah kekatjauan itu, pertarungan diantara Lie It
dan Thia Tat Souw telah membawa perubahan. Dengan mengasi dengar suara
menggabruk keras, ketua Hok Houw Pang itu roboh terbanting!. Itulah hebat!
Itulah luar biasa!. Para hadirin heran ...!. Bukankah barusan sadja Thia Tat
Souw telah menang diatas angin, hingga Lie It kena tertusuk hoentjwee-nja"
Kenapa sekarang, dari lebih unggul, dia djusteru tertikam hingga roboh
terlukai ". Guru Budi senantiasa memasang mata, lantas dia berteriak : "Ha,
benar2 si orang tua-lah jang melepaskan djarum bwee-hoa-tjiam !". Khan mendengar
itu, dia melengak. Dia tidak puas atas sikap Pek Yoe barusan, dia berkesan tidak
manis terhadap Thian Ok Toodjin, akan tetapi dipihak sana, Hoe Poet Gie dan
Heehouw Kian, merekalah orang2 baru, orang luar, meski mungkin Heehouw Kian
bukan si pembunuh, dia toh tidak dapat karena kedua orang itu membuatnja Pek Yoe
Siangdjin tidak senang. Maka akhirnja dia lantas mengambil putusan. Dia
melemparkan tjangkirnja ke lantai seraja berseru dengan titahnja : "Tangkap dua
orang itu !". Titah itu ditaati, sekalian boesoe sudah lantas bergerak. Hoe Poet
Gie tertawa berkakakan, dia berkata njaring : "Aku si orang tua, djikalau aku
suka, aku datang, djikalau tidak, aku pergi ! Mana dapat kamu menahan aku ?". Ia
lantas mengibaskan kedua tangannja, kekiri dan kanan. Dua boesoe, jang bertubuh
tinggi-besar, jang telah lantas datang, atas kibasan itu, tubuhnja terpental
hingga setombak lebih. ---oo0oo--MENGGUNAI ketika itu, Heehouw Kian melajangkan sebelah tangannja, menghembuskan
asap, hingga ruangan mendjadi gelap karenanja, hingga ketika tubuh2 lompat
berkelebatan, tubuh itu tidak nampak tegas. Sekalian boesoe tidak berani madju,
mereka takut asap itu asap beratjun. Heehouw Kian melompatan kearah Lie It,
niatnja jalah menolong pangeran itu, akan tetapi orang berdesakan, sulit ia


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

madju. "Kemana kamu mau pergi ?", terdengar bentakan njaring dari Pek Yoe
Siangdjin, jang dengan kedua tangannja menjerang ber-ulang2. Ia menggunai ilmu
silat Pek Khong Tjiang, atau Tangan Memukul Udara, dengan itu ia mentjoba
membujarkan asap. "Djangan takut !", Thian Ok Toodjin berseru. "Ini bukannja
asap beratjun!". Heehouw Kian membekal sendjata rahasia jang ada ratjunnja
tetapi ia tidak suka mentjelakai banjak orang, ia tidak menggunai itu. Pek Yoe
Siangdjin tidak melulu membujarkan asap, segera tubuhnja mentjelat,
menghampirkan Hoe Poet Gie, siapa mengibas dengan kipas besinja, menjambuti
pendeta itu, jang ia arah telapakan tangannja dekat nadi. Pek Yoe menarik pulang
tangannja untuk diselamatkan, berbareng dengan itu, kakinja melajang, tetapi
atas itu, tubuh Poet Gie mentjelat mundur setombak lebih, lalu tanpa menoleh
pula, ia berkelit, membebaskan diri dari bokongan dua boesoe dibelakangnja,
siapa ia teruskan menjikutnja hingga mereka itu roboh dengan pingsan. Pek Yoe
menjaksikan gerakan orang, ia mengagumi kegesitan lawan itu. Tapi ia tidak tjuma
mendjadi kagum. Ia madju terus, kali ini kearah Heehouw Kian. Dalam sekedjap, ia
tiba di sisi si tabib. Heehouw Kian melihat datangnja musuh jang liehay itu, ia
mendahului menjambut dengan totokannja. Ia lantas ditangkis Pek Yoe, hingga
kedua tangan mereka bentrok. Atas itu tubuhnja terangkat, mentjelat tinggi,
hingga perlu ia berdjumpalitan dua kali untuk dapat menaruh kaki diatas medja.
Berat dan keras turunnja itu, sang medja tidak dapat bertahan, medja itu ambruk,
hingga hantjurlah piring-mangkok dan tjangkir diatasnja. Hingga ada beberapa
pengawal didekat medja, jang terluka petjahan beling. Menjaksikan itu, Hoe Poet
Gie tertawa ter-bahak2. Lalu sembari tertawa, bersama Heehouw Kian ia kabur ke
arah luar!. Didalam benrokan diantara Pek Yoe Siangdjin dan Heehouw Kian itu, si
pendeta liehay menggunai pukulan tenaga 'Kim Kong Tjiang', atau 'Tangan Arhat',
dan Heehouw Kian memakai 'It Tjia Sian-Kang', atau 'Sentilan Djari Tangan'. Pek
Yoe telah melatih tubuh hingga dia tidak takuti sentilan atau totokan, akan
tetapi totokannja Heehouw Kian umpama kata dapat "membikin emas berlubang atau
batu remuk", maka itu, akibat bentrokan itu, dia merasakan gontjangan keras pada
djantungnja dan tubuhnja bagaikan beku, sedang lawannja mental tinggi. Dengan
begitu, mereka mendjadi sama unggulnja. Dengan mengerahkan tenaga dalamnja, Pek
Yoe membebaskan diri dari gangguan serangan djeridjinja Heehouw Kian, lantas dia
berseru kepada muridnja :"Thay Hoa, pergi kau bekuk itu botjah!. Thian Ok, Biat
Touw, mari kita bertiga mengurung ini dua tua-bangka supaja dia djangan dapat
lolos !". Yang Thay Hoa menurut perintah gurunja, dia lantas bergerak, untuk
lari kepada Lie It, akan tetapi Kok Sin Ong, jang berada disampingnja, berkata
sambil tertawa lebar: "Nanti aku mewakilkan kau!". Dimulut Sin Ong mengatakan
demikian, tetapi tangannja melajang kepada murid kepala dari Pek Yoe itu. Thay
Hoa kaget, dia berkelit. "Kok Loo-bengtjoe !", dia tanja, heran, "kau ...!
apakah kau kawan mereka itu ?". Ia belum menutup mulutnja, atau Sin Ong sudah
menjambar pula hingga dia terguling. Dengan lantas mentjabut sepasang pedangnja,
Kok Sin Ong madju kearah Lie It. Ia menjerang kedepan, kekiri dan kanan, guna
membuka djalan, ia membikin kedua pedangnja bentrok hebat dengan gegamannja
pelbagai pengawal Khan, hingga ada pedang atau golok jang mental terlepas dari
tjekalan. Ialah ahli pedang dan kali ini ia mengeluarkan kepandaiannja ilmu
pedang Liap In Kiam-hoat latihan beberapa puluh tahun, dengan begitu merdeka dia
bergerak baik pun ditempat sempit. Repot kawanan pengawal Turki, tidak dapat
Ali Topan Anak Jalanan 2 The Devil's Dna Karya Peter Blauner Antara Budi Dan Cinta 7

Cari Blog Ini