Ceritasilat Novel Online

Memburu Putera Radja 2

Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen Bagian 2


sambaran pisau miring kekiri, seperti djuga terpukul dengan serupa benda, dan
kemudian menantjap di tjabang pohon, dalam djarak kurang-lebih lima dim dari
kupingnja. Sedang semangatnja masih belum kumpul, ia mendengar dua suara "tuk2"
dan kedua orang itu ambruk dari atas tembok ! Wan Djie kesima, untuk beberapa
saat ia berdiri bengong dengan mulut ternganga. Tiba2 ia mendengar suara
bitjaranja pelajan jang keluar karena suara ribut2. la melongok kebawah dan
melihat si sastrawan sedang menjender dipintu kamar dengan mengenakan pakaian
tidur. Begitu si pelajan muntjul, pemuda itu lantas sadja berkata : "Eh, mengapa
dalam penginapanmu terdapat begitu banjak tikus " Mereka berkelahi, sehingga aku
tak bisa pulas ". Si pelajan tertawa, "Oh ..., kalau begitu Siangkong (tuan)
jang menghadjar tikus ?", katanja. "Benar, sajang tak kena ", djawabnja.
"Tadinja kukira kau digerajangi pendjahat ketjil ", kata lagi si pelajan sambil
bersenjum. "Maaf..., maaflah... !". Sehabis berkata begitu, ia segera berlalu.
Si sastrawan dengan mengawasi langit dan kemudian mengutjapkan dua baris sjair :
"Ditengah malam tikus gerajangan, menjadarkan aku dari dunia impian. Kurang
adjar ...! Sungguh kurang adjar ...!". Ia masuk kekamar dan menutup pintu. Wan
Djie geli tertjampur mendongkol. "Tjelaka ...! Aku melindungi kau, tapi kau
berbalik mentjatji aku ", katanja didalam hati. Tapi, dilain detik, satu
pertanjaan berkelebat dalam otaknja : "Apa tak mungkin dia jang menolong aku "
Tidak ...! Tak bisa djadi. Dia sedang tidur dalam kamarnja dan djika benar dia
jang merobohkan kedua perampok itu, kepandadannja tak bisa diukur bagaimana
tingginja ". Memikir bulak-balik, ia tak djuga berhasil memetjahkan teka-teki
itu. ---oo0oo--PADA keesokan paginja, pemuda itu bersikap tenang, seperti djuga tidak terdjadi
apa2 jang luar biasa. Waktu bertemu dengan Wan Djie, ia tidak membuka suara dan
sesudah membajar uang sewa kamar, ia segera berangkat. Si nona djadi semakin
penasaran. "Biarlah aku membuntuti terus manusia aneh itu ", katanja didalam
hati. Buru2 ia menunggang keledainja dan menguntit dari belakang. Seperti
kemarin, mereka berdjalan dengan membungkam. Selang satu-dua djam, mereka
kembali masuk didjalanan gunung jang penuh bahaja. Sambil menekan topi
dikepalanja, si sastrawan berkata seorang diri : "Di empat pendjuru tak ada
manusia dan djalanan begini berbahaja. Kalau disini muntjul perampok, tjelakalah
aku !". Baru sadja ia mengutjapkan kata2 itu, didalam hutan pohon siong
terdengar suara ribut2 dan beberapa saat kemudian, sedjumlah pendjahat
menghadang ditengah djalan. Wan Djie mengenali, bahwa jang mengepalai gerombolan
adalah itu dua orang dari rombongan kedua jang ia bertemu kemarin. Ia menahan
keledainja dan berkata didalam hati : "Aku mau lihat dulu bagaimana kau
menghadapi kawanan bandit ini. Tapi apa jang terdjadi lagi2 mengedjutkan dan
mengherankan. Sesudah mengawasi si sastrawan beberapa lama, se-konjong2 kedua
kepala perampok itu menekuk lututnja. "Kemarin kedua mataku tak bisa melihat
besarnja gunung Thay-san dan tak tahu kedatangan Kongtjoe ", kata jang satu
dengan suara menghormat. "Untuk kekurang-adjaran itu, kami memohon Kongtjoe sudi
memaafkan ". "Eh .., eh ...! mengapa kau berlutut ?", tanja si pemuda. "Didalam
dunia, manusia hanja menghormati orang jang beruang. Aku tidak membawa barang
berharga, perlu apa kau berlutut ?". Mereka saling mengawasi dan kemudian jang
satu berkata pula : "Kongtjoe, djangan kau berkata begitu. Kami adalah orang2
dari Im-ma-tjee, Liong Ngo-ya telah memerintahkan kami untuk menjambut Kongtjoe
". "Dari mana ?", menegas si sastrawan. "Tjelaka ...! Apa kau perampok ?". Kedua
perampok itu saling mengawasi. Mereka tak tahu, apa pemuda itu gujon2 atau
sebenarnja ketakutan. Selagi mereka bimbang, tiba2 terdengar pula suara kaki
kuda dan dua orang mendatangi dengan tjepat sekali. Wan Djie segera kenali,
bahwa mereka itu adalah perampok rombongan ketiga jang ia bertemu kemarin.
Begitu tiba, mereka melompat turun dari tunggangan mereka. "Tjee Sam-ko, Lie
Tjit-ko, kau sudah salah kenali orang !", teriak jang satu. Perampok jang
dipanggil "Tjee sam-ko" dan "Lie Tjit-ko" djadi semakin bingung. "Apa..." Apa
dia bukan ...", menegas satu diantaranja. "Tentu sadja bukan dia ", djawabnja.
"Tjoba kau pikir, kalau dia adalah orang jang harus disambut atas perintah Liong
Ngo-ya, tak mungkin dia melukakan kedua Tjeetjoe (kepala kawanan perampok) Lioktjiang-san dirumah penginapan ". Wan Djie kaget tertjampur girang. "Apa benar
dia jang membantu aku semalam ?", tanjanja didalam hati. "Apa benar dia
berkepandaian begitu tinggi ?". Sementara itu, si sastrawan sendiri berdiri
dipinggir djalan dengan sikap atjuh tak atjuh dan mendengari pembitjaraan
beberapa perampok itu dengan sikap tenang. "Mungkin sekali ia tak tahu ", kata
orang jang dipanggil "Tjee Sam-ko". "Tahu atau tak tahu tiada banjak bedanja ",
kata perampok jang datang belakangan. "Andaikata benar ia tak tahu, bahwa mereka
adalah Tjoa Tjeetjoe dan Ho Tjeetjoe dari Liok-tjiang-san, tapi ia pasti tahu,
bahwa jang mau dibunuh adalah si lelaki jang mau melaporkan rahasia ke
kotaradja. Diam2 ia sudah menolong lelaki itu. Dengan demikian, ia berdiri
dipihak kaisar dan tak bisa djadi ia termasuk dalam kalangan kawan kita ". Wan
Djie djadi bingung. Siapa sebenarnja pemuda Itu " la girang karena pertanjaan
jang dikandung dalam hatinja, sudah lantas diadjukan oleh "Lie Tjit-ko". "Lauw
Sie-ko, siapa sebenarnja setan miskin itu " ", tanjanja. "Lauw Sie-ko" adalah
orang jang kemarin mentjambuk muka si nona. la tertawa ter-bahak2 seraja berkata
: "Tjit-ko, lagi2 kau salah mata ! Siapa orang itu, akupun tak tahu. Tapi apa
jang kutahu, dia bukan setan miskin. Didalam badannja terdapat harta jang paling
sedikit berharga sepuluh laksa tahil perak ". Paras muka "Tjee Sam-ko" dan "Lie
Tjit-ko" berubah dengan mendadak. Diam2 Wan Djie memudji "Lauw Sie-ko" jang
kenal barang. "Dalam topi pemuda itu terdapat sembilan belas butir Ya-beng-tjoe
dan setiap butir paling sedikit berharga selaksa tahil perak ", katanja didalam
hati. Dilain saat, sambil tertawa berkakakan dan menuding dengan tjambuknja,
"Lauw Sie-ko" berkata dengan suara dingin: "Djika kau kenal bahaja, keluarkanlah
...! Djangan tunggu sampai tuan besarmu turun tangan sendiri ". Hampir
berbareng, kawannja melompat dan mendekati pemuda itu. Tjee Sam dan Lie Tjit
saling mengawasi. Tjee Sam kelihatannja masih bersangsi, tapi Lie Tjit lantas
madju setindak dan berkata : "Biarpun kami salah melihat orang, tapi menurut
peraturan, kami harus mendapat bagian ". Apa jang dikatakannja memang tak salah.
Menurut kebiasaan dalam Rimba Hidjau (kalangan perampok), semua orang jang turut
tjampur tangan dalam setiap perampokan, harus mendapat bagian. Tapi heran
sungguh, si sastrawan kelihatannja tenang2 sadja. Sebaliknja dari ketakutan, ia
dongak dan tertawa ter-bahak2. "Aku tak punja apa2 ", katanja. "Beberapa djilid
buku tua ini tak bisa dibatja olehmu dan khim kuno ini tak bisa dimainkan oleh
mu. Apa kau maui topiku jang butut ?". Wan Djie terkedjut karena pemuda itu
seperti djuga sengadja menondjolkan topinja jang berisi harta besar. "Kalau dia
bukan seorang jang punja kepandaian tinggi, tentulah dia seorang otak miring ",
katanja didalam hati. Si nona jang masih belum tahu apa pemuda itu benar
berkepandaian tinggi atau tidak, djadi kaget bukan main. Dalam kagetnja, tanpa
memikir lagi, ia menghunus pedang dan melompat dari punggung keledai seraja
membentak : "Bangsat ...! Besar benar njalimu ! Ditengah hari bolong mau
merampok ". Dengan beberapa suara kerontrangan, golok dan toja terpapas somplak
dan hanja Lauw Sie jang dapat menjelamatkan tjambuknja. "Perempuan kurang
adjar ! Lagi2 kau ...!", teriak Lauw Sie sambil menghantam Wan Djie dengan
tjambuknja. la menengok kepada kawannja dan berkata: "Perempuan itu hanja lihay
pedangnja, ilmu silatnja tidak seberapa. Djangan takut !". Sesudah sabetannja
jang pertama tidak berhasil, ia segera mengirim serangan berantai dengan
pukulan2 Lian-hoan-sam-pian (Tiga-tjambukan-berantai) dan Hoei-hong-sauw-lioe
(Angin pujuh-menjapu-pohon-lioe). Hampir berbareng, Lie Tjit pun segera
menerdjang pula dengan goloknja, sedang jang lain, jang bersendjata toja,
menjabet lutut si nona. Meskipun dalam ilmu silat Siangkoan Wan Djie tidak
begitu lihay, tapi ilmu mengentengkan badannja sudah tjukup tinggi. la memutar
badan dengan mengikuti gerakan tjambuk dan kemudian, dengan sekali menotol tanah
dengan udjung kakinja, tubuhnja melesat keatas dalam gerakan Yan-tjoe-tjoan-in
(Anak-walet-menembus-awan). Selagi badannja melajang kebawah, pedangnja menjabet
bagaikan kilat dan mengenakan djitu di pundak Lie Tjit jang tidak keburu
berkelit atau menangkis lagi. Begitu hinggap dibumi, satu kakinja menendang dan
kena tepat dilutut pendjahat jang bersendjata toja. Biarpun tenaganja tidak
tjukup berat, tendangan itu tjukup keras untuk membuat si perampok ber-teriak2
kesakitan. Si sastrawan tertawa ter-bahak2 sambil me-nepuk2 tangan. "Bagus ...!
Bagus ...!", serunja. "Gesit bagaikan naga, hebat seperti gelombang. Bagus ...!
Sungguh bagus ...!". Dalam repotnja si nona melirik pemuda itu jang tetap
berdiri dengan sikap adem, diawasi oleh "Tjee Sam-ko" jang mentjekel sendjata
Long-gee-pang (Toja-gigi-serigala). Si orang she Tjee adalah seorang kepala
pendjahat jang sudah kawakan dalam dunia Kang-ouw. Sebelum tahu djelas asal-usul
sastrawan itu, ia masih belum berani turun tangan. Kawanan pendjahat jang berada
disitu adalah orang2 dari Im-ma-tjee dan melihat pemimpinnja tidak bergerak,
mereka pun tidak menjerang dan hanja mengurung pemuda itu dari empat pendjuru.
Antara dua perampok dalam rombongan jang lain, Lauw Sie lah jang berkepandaian
paling tinggi. Melihat kawannja dilukakan oleh si nona, ia djadi gusar bukan
main. "Hai ! Gila betul ...!", teriaknja. "Masakah kau tidak bisa bereskan satu
perempuan tjilik " Kalau begini, kita tak bisa tjari makan didjalanan ini lagi.
Djangan perdulikan dia me-lompat2 ! Djaga sadja pedangnja ...! Ikuti gerakan
tjambukku dan serang bagian jang kosong ". Sehabis mengomel, ia segera menjabet
pinggang si nona dengan pukulan Sin-liong-djip-hay (Naga-malaikat-masuk-kelaut).
Wan Djie buru2 melompat kekiri, tapi dengan sekali mengedut, tjambuknja sudah
turut menjambar kekiri. Sementara itu, hampir berbareng, pendjahat jang
bersendjata golok dan toja lalu menerdjang kesebelah kanan, kebagian jang
kosong. Si nona djadi bingung dan hanja dengan kegesitannja barulah ia bisa
menjelamatkan djiwanja. Dengan melompat kian-kemari, ia meloloskan diri dari
beberapa serangan hebat. Wan Djie djadi kuatir bertjampur mendongkol. "Kurang
adjar dia !", gerutunja, "Aku berkelahi mati2-an karena gara2-nja, tapi dia
sendiri enak2-an ". Sesaat itu golok Lie Tjit menjambar dan karena perhatiannja
terpetjah, hampir2 ia terbatjok. Sesudah lewat beberapa djurus lagi, dengan
mengandalkan kegesitannja, si nona masih tetap bisa mempertahankan diri. Ketiga
pendjahat itu djadi semakin mendongkol. Sesudah mengirim dua serangan dengan
beruntun, sehingga Wan Djie terpaksa melompat mundur beberapa tindak, Lauw Sie
tertawa dingin seraja berkata : "Dalam Liok-lim, orang paling mengutamakan Giekhie (rasa persahabatan). Untuk persahabatan, orang rela mengorbankan djiwa.
Sungguh sajang, sifat jang mulia itu sekarang sudah berubah ...!". Perkataan itu
terang2-an ditudjukan kepada si perampok jang dipanggil "Tjee Sam-ko", jang
tetap mengawasi si sastrawan tanpa bergerak. Lie Tjit adalah pembantunja.
Sesudah kena tikaman pedang Wan Djie, si orang she Lie tentu sadja merasa sangat
tidak puas dengan sikap kawannja. Maka itu, ia lantas
sadja menjambungi: "Benar. Seorang laki2 selalu bekerdja tak kepalang tanggung.
Kalau dia kata berani, dia berani sungguhan. Tidak seperti tjaranja nenek
pengetjut, mulut berani, kaki lari ". Mendengar edjekan kawan sendiri, paras
muka Tjee Sam lantas sadja berubah merah. Tapi ia tetap sungkan membentur si
sastrawan. Sambil membentak, ia mengangkat sendjatanja dan menerdjang Siangkoan
Wan Djie. Ilmu silat Tjee Sam tidak berada disebelah bawah Lauw Sie dan
disamping itu, tojanja jang sangat kasar dan berat (beratnja empat puluh dua
kati), tak takuti pedang. Maka itulah, begitu ia menerdjun kedalam gelanggang,
Siangkoan Wan Djie lantas sadja berada dalam bahaja. Sekali lagi ia melirik si
sastrawan dan hatinja djadi semakin mendongkol. "Kalangan Liok-lim masih
memperhatikan Gie-kie ", teriaknja. "Hai ! Orang terpeladjar ketinggalan djauh
dari kawanan ketju ". Pada detik perhatiannja terpetjah karena mengomel,
pedangnja terpukul miring dengan toja Tjee Sam dan dengan berbareng, tjambuk
Lauw Sie menjabet pinggang-nja. la tak dapat menangkis atau berkelit lagi ! Pada
sesaat jang sangat genting, tiba2 sadja si;sastrawan membentak: "Pendjahat tak
tahu malu ...! Empat lelaki mengerojok satu perempuan ...! Betul2 aku tak bisa
melihatnja ". Sedang mulutnja bitjara, tangannja bekerdja. Dengan sekali
bergerak, ia sudah merebut toja Long-gee-pang dan sekali mengebas, golok Lie
Tjit terbang ke udara. Lauw Sie kaget tak kepalang. Sambil melompat, ia menjabet
dengan pukulan Ka-tin-liok-liong (Menunggang-enam-naga). "Kau paling menjebalkan
...!", bentak si sastrawan dan tangannja menjambar. Sambaran itu tjepat bagaikan
kilat dan tahu2 pendjahat itu terpental tiga tombak djauhnja. Dilain saat,
seraja memutar badan, ia mengirim satu tendangan dan perampok jang bersendjata
toja djatuh ngusruk. Kawanan pendjahat terkedjut, tapi sesudah kagetnja hilang,
mereka lantas sadja meluruk dan mengepung si sastrawan itu. Melihat dirinja mau
dikerojok, ia tertawa njaring dan mentjatji: "Bangsat ...! Tjara2-mu sungguh2
memalukan orang2 gagah dalam Rimba Hidjau. Lepaskan sendjatamu !". Ia melompat
tinggi dan kaki-tangannja menjambari bagaikan angin pujuh. Suara
berkerontrangannja sendjata terdengar tak henti2-nja. Begitu tersentuh tangan
atau kakinja, sendjata apapun djuga terpental atau terbang ketengah udara.
Beberapa saat kemudian, diatas tanah sudah penuh dengan golok, tombak, pedang
dan sebagainja. Kawanan pendjahat lantas sadja lari tunggang-langgang dan dalam
sekedjap mereka sudah tak kelihatan bajangannja lagi.Siangkoan Wan Djie berdiri
terpaku bahna kaget dan girang-nja. la mengawasi pemuda itu dengan mata
membelalak, tanpa mengeluarkan sepatah kata. Sementara itu si sastrawan sendiri
tertawa berkakakan, tapi, sesaat kemudian, ia menangis ter-sedu2 . Lagi2 si nona
terkesiap. Kedjadian itu benar2 aneh. Sebentar tertawa, sebentar menangis. Apa
pemuda itu gila". Sesudah tangisan mereda dan hatinja agak tenteram, Wan Djie
mendekati dan menanja dengan suara halus: "Hari ini kau telah mendapat
kemenangan besar dan seorang diri, kau telah memukul mundur kawanan pendjahat
jang berdjumlah besar. Tapi mengapa, sehabis tertawa, kau menangis ?". "Karena
kawanan ketju itu terlalu tolol ", djawabnja. Ia berhenti sedjenak dan kemudian
berkata pula sambil menghela napas : "Hai ...! Apa jang dilakukan Hok Tjoe Beng
dan Tjoe-hie-houw tak bisa terulang lagi dalam dunia. Aku merasa sedih karena
tak tega melihat keradjaan djatuh kedalam tangan lain keluarga ". Hok Tjoe Beng
adalah seorang djenderal ternama pada permulaan keradjaan Han. Dengan
kesetiaannja, ia telah memimpin kaisar jang muda naik ke tachta dan dengan
segenap tenaga, melindungi keradjaan Han. Tjoe-hie-houw adalah gelaran radja
muda jang diberikan kepada Lauw Tjiang, seorang turunan dari kaisar Han. Sesudah
mangkatnja kaisar Han Ko-tjouw, Lauw Pang, Lu-houw merampas kekuasaan dan
membinasakan banjak sekali anggauta keluarga kaisar. Adalah Lauw Tjiang jang
telah bangkit dan bergulat, sehingga achirnja ia bisa memulihkan kekuasaan
kaisar kedalam tangannja keluarga Lauw lagi. Mendengar perkataan pemuda itu,
untuk sekian kalinja Wan Djie terkedjut dan ia dongak mengawasi muka orang.
Sesaat itu, si pemuda pun sedang menatap wadjahnja sendiri, sehingga tanpa
tertjegah lagi, dua pasang mata lantas bentrok. Buru2 si nona menunduk dengan
paras muka ke-merah2-an. "Kemari kau !", tiba2 si sastrawan berkata sambil
menggapai. Hampir berbareng, ia madju setindak, mentjekel tangan si nona dengan
tangan kirinja, sedang tangan kanannja lalu menjingkap rambut jang menutup sudut
dahi. Perbuatan jang kurang adjar itu tentu sadja menggusarkan sangat hati si
nona. Tapi sebelum ia memberi teguran keras, pemuda itu sudah tertawa njaring.
"Benar sadja tak salah ", katanja. "Kau Wan Djie, bukan ?". Si nona lagi2
terkedjut. Sesaat kemudian, satu ingatan berkelebat didalam otaknja. "Aduh !
Sie-tjoe !", teriaknja (Sie-tjoe berarti pangeran). Si sastrawan melepaskan
tjekelannja dan berkata seraja tertawa: "Tak heran, begitu bertemu, aku merasa
seperti djuga berhadapan dengan seorang jang sudah kukenal lama. Hanja ku tak
ingat lagi dimana kita pernah bertemu. Kalau bukan melihat bekas luka didahimu,
aku pasti tak akan berani menjebutkan namamu ". Hati si nona me-luap2 dengan
rasa girang. "Sie-tjoe ", katanja. "Mengapa kau tidak berdiam di kotaradja "
Mengapa kau berkelana dalam dunia Kang-ouw dengan menjamar seperti ini ?".
Pangeran itu tertawa. "Negara sudah djatuh kedalam tangan orang she Boe, mengapa
kau masih djuga menggunakan istilah 'Sie-tjoe'" Aku dan kau tiada bedanja, sama
ter-lunta2. Aku panggil kau Wan Djie dan kau pun panggil sadja namaku, Lie
It ...". Siapa sebenarnja pemuda itu "
---oo0oo--IA adalah turunan kaisar keradjaan Tong. Kakeknja, Lie Kian Seng, adalah kakak
Tong thay-tjong Lie Sie Bin dan putera2 Boe Tjek Thian adalah saudara sepupunja.
Lie Sie Bin mendapat kedudukan kaisar dari tangan Lie Kian Seng dan oleh
karenanja, turunan Lie Kian Seng mendapat perlakuan baik sekali. Semendjak
ketjil, Lie It tinggal di keraton dan ia sering bertemu dengan Siangkoan Wan
Djie jang sering mengikut kakek dan ajahnja datang ke keraton. Lie It berusia
tudjuh tahun lebih tua daripada Wan Djie dan diwaktu ketjil, ia paling suka bermain2 dengan si nona. Pada suatu hari mereka main petak dan dengan menutup kedua
matanja dengan saputangan, si nona tjoba menangkap Lie It. Apa mau dikata, ia
djatuh. Sudut dahinja terluka dan luka itu meninggalkan bekas jang tak bisa
hilang. Demikianlah asal-usul persahabatan antara kedua orang muda itu. Sesudah
berselang beberapa saat, si nona menghela napas seraja berkata: "Urusan kakek
dan ajahku mungkin sudah diketahui olehmu ...". Lie It mengangguk. "Aku kabur
dari keraton djusteru sesudah terdjadinja peristiwa menjedihkan itu ", katanja.
"Untung sekali aku bisa lihat selatan terlebih siang. Kalau tidak buru2
menjingkirkan diri, djiwaku tentu sudah melajang. Hai ...! Mungkin kau masih
belum tahu, bahwa selama tudjuh tahun, iblis perempuan itu telah membinasakan
tiga puluh orang anggauta keluarga kaisar dan menteri2 besar. Disamping itu,
masih banjak orang2 lain jang tidak begitu penting. Tjelaka sungguh ...!
Perempuan kedjam itu malahan tak bisa mengampuni anaknja sendiri. Kalau ingat
itu, bulu romaku bangun semua ". "Aku sudah dengar kedjadian2 itu dari Tiangsoen
Pehpeh ", kata si nona. "Sedikitpun aku tak pernah menduga, bahwa kau djuga
terpaksa mesti menjingkirkan diri ". Mereka lantas sadja saling menuturkan
pengalaman mereka selama tudjuh tahun jang lampau. Ternjata, pengalaman Lie It
banjak miripnja dengan apa jang dialami Wan Djie. la telah kabur ketempat
seorang bekas menteri besar jang seluruhnja pernah membuat banjak pahala
didjaman kaisar almarhum. Menteri besar itu jalah Oet-tie Tjiong, turunan Oettie Kiong jang telah bantu membangun keradjaan Tong. Ilmu silat Oet-tie Tjiong


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak berada disebelah bawah Tiangsoen Koen Liang, sedang pergaulannja malahan
lebih luas daripada Koen Liang. Maka itu, selama tudjuh tahun, bukan sadja Lie
It mewarisi semua ilmu silatnja Oet-tie Tjiong, tapi djuga memperoleh berbagai
ilmu dari sahabat2-nja Oet-tie Tjiong. Mendengar Wan Djie ingin membunuh Boe
Tjek Thian, Lie It bengong sedjenak. "Keraton didjaga keras luar biasa dan tak
gampang orang bisa turun tangan ", katanja dengan suara perlahan. Disamping itu,
sajap si iblis sudah terpentang kuat. Dengan hanja membunuh dia seorang, tak
banjak gunanja ". "Bagaimana pendapatmu ?", tanja si nona. Lie It dongak dan
mendjawab dengan suara gemetar: "Aku ingin mengumpulkan tentara suka-rela
diseluruh negeri untuk membasmi kawanan siluman !". "Kau mau perang ?", menegas
si nona dengan rasa terkedjut. Sesaat itu, ia ingat keadaan jang tenteramsentosa di sepandjang djalan dan omongan2 rakjat djelata. "Kalau keluarga Lie
berebut tachta, jang tjelaka adalah rakjat ", katanja didalam hati. Sekali lagi
Lie It menghela napas. "Aku djuga tahu, bahwa banjak orang menjokong iblis
perempuan itu ", katanja. "Tapi semendjak dulu, perempuan tak pernah mendjadi
kaisar. Djangankan aku memang mendendam sakit hati besar terhadap memedi itu,
sedangkan tak punja sakit hati sekalipun, aku masih sungkan mengakui dia sebagai
djundjungan ". "Djalan pikiran ini tiada beda dengan djalan pikiran Tiangsoen
Pehpeh ", kata si nona dalam hatinja. Mengingat perkataan sikakek pendjual teh,
ia tertawa dalam hatinja. "Kau tak puas seorang perempuan mendjadi kaisar, tapi
rakjat berpendapat lain ", pikirnja. Dilain saat, ia merasa, bahwa soal ini
bukan soal lutju dan paras mukanja lantas sadja berubah suram. Sesaat kemudian,
ia menengok kepada Lie It dan berkata: "Tadi dengan menjebut nama Hok Tjoe Beng
dan Tjoe-hie-houw, kau membandingkan Boe Tjek Thian seperti Lu-houw. Tapi
menurut pendapatku, perbandingan itu adalah kurang tepat ". "Benar, kau memang
benar ...", kata pangeran ltu. "Tapi, kau tahu satu, tak tahu dua ...". "Mengapa
begitu?", tanja si nona. "Lu-houw tidak berkepandaian tinggi dan pemandangannja
tidak luas ", menerangkan Lie It. "Dalam hal ini, ia memang tak bisa
dibandingkan dengan Boe Tjek Thian. Boe Tjek Thian adalah manusia jang pandai
sekali memilih dan memakai orang2, jang mempunjai ketjerdasan, kepintaran serta
angan2 jang sangat besar. Menurut penglihatanku ia malahan tak kalah dari Thaytjong Hong-tee. Dalam hal ini, musuh2-nja, terhitung djuga aku sendiri, sungguh
merasa kagum. Tapi biar bagaimana djuga, djika memedi itu tidak siang2
disingkirkan dari dunia, keradjaan Tong tak bisa berdiri lagi ". Ia berhenti
sedjenak dan kemudian berkata pula: "Boe Tjek Thian tentu sadja banjak lebih
lihay daripada Lu-houw. Tapi ada suatu hal jang bersamaan dengan Lu-houw. Apa
itu" Kekuasaannja tidak kokoh-teguh ". Sesudah mendengar dan melihat kedjadian
di sepandjang djalan, Wan Djie menjangsikan kebenaran pernjataan Lie It, tapi ia
tidak membuka suara. "Apa kau tidak pertjaja ?", tanja pemuda itu. "Tjoba kau
pikir ... Betapa pun lihay-nja Boe Tjek Thian, dia tak nanti bisa menaklukkan
atau membasmi seantero menteri setia dalam keradjaan. Ada banjak menteri jang
memegang kekuasaan besar, tidak takluk terhadapnja. Aku datang dari Yang-tjioe.
Pembesar jang berkuasa di kota itu, Gouw-kok-kong Tjie Keng, sudah membuat
rentjana untuk menggerakkan tentara sesudah lewatnja musim rontok. Waktu mau
berangkat, aku malahan dengar, bahwa Gouw-kok-kong sedang berusaha mentjari Lok
Pin Ong untuk minta ia menjusun sebuah surat selebaran guna menghukum Boe Tjek
Thian ". Mendengar keterangan itu, si nona ter-menung2. Ia sendiri adalah musuh
Boe Tjek Thian. Ia sendiri ingin membunuh kaisar wanita itu. Tapi, apakah suatu
pemberontakan bersendjata, jang pada hakekatnja akan mentjelakakan rakjat, dapat
dibenarkan ". "Karena kuatir tenaganja tidak mentjukupi, maka Gouw-kok-kong
sudah minta bantuanku ", kata pula Lie It. Mendengar itu, Wan Djie jang berotak
sangat tjerdas, lantas sadja bisa menebak sebagian sepak-tedjangnja pemuda itu.
la tersenjum seraja berkata : "Kalau begitu, kedatanganmu ke-Pa-siok tentulah
djuga bertudjuan untuk mengumpulkan orang2 gagah guna membantu usahamu jang
besar. Bukankah begitu" Kawanan perampok itu rupanja sudah mendengar desas-desus
dan mereka ingin tampil kemuka untuk membantu kau, supaja dikemudian hari mereka
bisa djadi menteri2 pendiri keradjaan. Hanja sajang, mereka terlalu tjeroboh ".
"Itulah jang sangat mengetjewakan hatiku ", kata Lie It. " Andaikata aku bisa
menggunakan tenaga kawanan Liok-lim itu, pekerdjaan besar apakah jang kubisa
lakukan ?". "Kawanan pendjahat itu sebenarnja datang untuk mengabdi kepada kau
", kata si nona sambil bersenjum. "Menurut dugaanku, mereka tjoba membunuh Thio
Loo-sam karena dengar orang tua itu mau ke kotaradja untuk melaporkan satu
rahasia. Mereka tak tahu apa jang mau dilaporkannja dan kuatir, kalau2 laporan
itu bersangkut-paut dengan dirimu. Mereka tentu tak pernah mimpi, bahwa pada
achirnja, kaulah jang sudah menolong djiwa Thio Loo-sam ". "Thio Loo-sam seorang
miskin jang banjak menderita dan aku tentu tak akan mengawasi kebinasaan dengan
berpeluk tangan ", kata Lie It. "Tidak dinjana, tindakanku itu sudah
mengakibatkan dugaan, bahwa aku kaki-tangannja kaisar ". "Kalau begitu bukankah
itu berarti, bahwa tidak semua perbuatan Boe Tjek Thian bisa dikatakan salah ?",
kata si nona. Lie It kelihatan kaget. la bengong dan beberapa saat kemudian,
barulah mendjawab : "Djika ia tidak bisa menarik hatinja rakjat, bagaimana dia
bisa merebut keradjaan Tong ?". "Apa maksud kundjunganmu ke Pa-tjioe ?", tanja
Wan Djie. "Apakah untuk menengok saudara sepupumu, bekas Thaytjoe Lie Hian ?".
"Memang, aku memang mempunjai niatan begitu ", djawabnja. "Sajang, sifat Lie
Hian adalah sifat kutu buku jang tolol. Meskipun didalam hati ia mempunjai
keinginan untuk menentang Boe-houw, ia tidak punja keberanian ". Mendadak ia
menghela napas dan berkata : "Sudahlah ! Djangan kita bitjarakan lagi hal2 jang
mendjengkelkan hati. Wan Djie, apakah selama beberapa tahun ini kau tak pernah
ingat diriku ?". "Beberapa hari berselang aku telah menggubah sebuah sjair ",
djawabnja. "Tjoba kau dengar ...". Sjair itu adalah sjair jang telah digubahnja
di Kiam-kok dan dihafalnja waktu Tiangsoen Thay dan Tiangsoen Pek berlatih ilmu
pedang. Sehabis berkata begitu, sambil tersenjum si-nona lalu mulai menghafal
lagi sjairnja : "Di telaga Tong-teng daun2 baru rontok ditiup angin, kuingat ia jang terpisah
djauh berlaksa li ...". Lie It memotong :
"Penghidupan manusia sungguh sukar ditaksir, terpisah berlaksa li, tapi
belakangan, djalan ber-sama2 ...".
Wan Djie tersenjum dan lalu meneruskan sjairnja :
"Kabut tebal, memakai selimut masih terasa dingin, Bulan dojong, kebelakang
sekosol, tiada bajangannja lagi. Kuingin menabuh lagu dari Kang-lam, Kuingin
membatja sjair Ho-pak Utara, Kitab sjair bebas dari maksud lain jang dalam, Ku
hanja bersedih karena sudah lama berpisah ...".
Mendengar itu, kedua matanja Lie It lantas sadja berubah merah dan air mata
mengalir turun dikedua pipinja. Siangkoan Wan Djie djuga tidak kurang
terharunja, tapi ia memaksakan untuk tertawa. "Sudahlah ", katanja. "Kita
djangan ingat2 lagi kedjadian jang menjedihkan ". Demikianlah, kedua orang muda
itu lalu menudju ke Pa-tjioe ber-sama2 dengan menunggang tunggangan mereka
masing2, jalah Wan Djie menunggang keledai dan Lie It menunggang kuda.
Disepandjang djalan, pangeran itu kelihatannja gembira, tapi sering2, diantara
kegembiraan, paras mukanja mendadak berubah sedih dan ia menghela napas berulang2. Beberapa orang jang kebetulan melihat perubahan mendadak itu, djadi
merasa heran. Hanja Wan Djie seorang, jang tahu isi-hatinja, dapat mengerti
keanehan itu. ---oo0oo--SESUDAH berdjalan dua hari, mereka tiba disatu tempat jang jauhnja hanja seratus
li lebih dari kota Pa-tjioe. Karena sudah mendekati kota, djalanan lebih rata
daripada apa jang sudah dilewati. "Lebih baik kita ambil djalanan ketjil ", kata
Lie It. "Mulai dari sini, sebaiknja kita djangan terlalu berdekatan, supaja
orang tidak menduga, bahwa. kita djalan ber-sama2 ". Wan Djie jang berotak
sangat tjerdas, lantas sadja dapat menebak maksud kawannja. "Benar ", katanja
sambil tertawa. "Djika kita mengambil djalan raja, kita mungkin bertemu dengan
tentara Khoe Sin Soen. Kau adalah seorang anggauta keluarga kaisar dan memang
paling baik menjingkirkan diri ". Lie It mentjambuk kudanja dan si kurus lantas
sadja lari tjongklang. Si nona tertawa dan berkata : "Tungganganmu kurus dan
sangat djelek rupanja, tapi larinja benar2 tjepat ". Lie It mengebas tangannja,
sebagai isjarat supaja Wan Djie djangan mengukuti terus. Si nona lantas sadja
menahan les dan sesudah terpisah puluhan tombak, barulah ia mengeprak keledai
jang lalu mengikuti dari belakang. Sesudah berdjalan beberapa lama, didepan
menghadang sebuah gunung ketjil. Djalan raja terletak disebelah selatan, sedang
djalanan ketjil disebelah utara gunung. Selagi Wan Djie memutari gunung itu,
disebelah kedjauhan tiba2 ia dengar suara berbengernja ratusan kuda dari satu
pasukan tentara. "Dia tak mau berdekatan dengan aku karena rupanja dia tidak
ingin me-rembet2 aku ", kata si nona dalam hatinja. "Aku adalah seorang jang
mendendam sakit hati besar dan aku berniat untuk membinasakan musuh dengan
tangan sendiri. Masakah aku takut ke-rembet2 ?". Kira2 tengah hari, Lie It dan
Wan Djie sudah melewati gunung ketjil itu. Si nona menengok dan melihat berkibar2-nja ribuan bendera, diiringi dengan suara gemuruh. Ternjata pasukan
tentara itu mengikuti dibelakang dalam djarak beberapa li. "Untung djuga kami
sudah mendahului didepan ", pikirnja. "Kalau tidak, biarpun tidak terdjadi apa2,
perdjalanan akan terhambat ". Se-konjong2 terdengar suara terompet dan seorang
perwira, jang diikuti oleh dua orang serdadu, membedal tunggangan mereka dan
mengedjar dari belakang. "Tahan ! Orang jang didepan, tahan ...!", teriak
perwira itu. "Aku salah apa ?", Wan Djie balas berteriak. "Perempuan kurang
adjar ... !", tjatji si perwira seraja melepaskan sebatang anak panah.
"Mendengar tjerita orang, tak sama seperti mengalami sendiri ", pikir si nona
dengan mendongkol. "Kalau begitu, kaki-tangan Boe Tjek Thian hanja tukang
menghina rakjat ". Ia mengajun tangan dan sebilah pisau melesat kearah anak
panah itu. "Tjring ...!", pisau Wan Djie terpental, tapi anak panah itu pun
mentjong djalannja dan djatuh disamping keledai. Si nona kagum bukan-main. Ia
tak duga, perwira itu mempunjai tenaga jang begitu besar. Buru2 ia mentjambuk
tunggangannja. Tapi keledai itu, jang rupanja sudah djadi kaget, kabur kesawah
dipinggir djalan. Perwira itu mengudak terus. "Berhenti ...!", bentaknja dengan
suara menggeledek. Busur mendjepret dan sebatang anak panah kembali menjambar.
Baru sadja Wan Djie mau menghunus pedang untuk menangkis anak panah itu, sekonjong2 dari tengah2 sawah melompat seorang petani. "Thian-houw telah
mengeluarkan firman supaja kaum petani dilindungi setjara pantas ", katanja
dengan suara gusar. "Mengapa kau meng-indjak2 sawahku " Mentang2 memakai kulit
matjan ...! Apa kau rasa boleh menghina rakjat sembarangan ?". Seraja mengomel,
ia mendjemput dua butir batu jang lalu dilontarkan. Kedua batu itu menjambar
seperti kilat, jang satu mengenai djitu anak panah jang sedang menjambar, sedang
jang lain menghantam kepala kuda si perwira. Kuda itu berdjingkrak, berbunji
keras dan berlutut ditanah, sehingga perwira itu lantas terpelanting kebawah.
Mimpi pun tidak, si nona belum pernah mimpi bahwa seorang petani mempunjai
kepandaian jang begitu tinggi. Belum hilang kagetnja, dua penunggang kuda jang
mengikuti dari belakang, sudah tiba disitu. "Bagus ...!", teriak si petani.
"Selama beberapa tahun, belum pernah aku bertemu dengan pasukan tentara jang
begini tak mengenal aturan. Aku mau pergi kepada Tjoeswee-mu (Tjoeswee djenderal jang mimpin angkatan perang) untuk bitjara !". Seraja berkata begitu,
ia melondjorkan kedua lengannja untuk menahan kedua tunggangan jang sedang kabur
keras. Tenaga menerdjang kedua ekor binatang itu, mungkin tak kurang dari seribu
kati. Tapi dengan sekali menolak, kedua binatang itu terdorong mundur dan
kemudian roboh diatas tanah, berikut penunggangnja. Dengan gusar perwira jang
barusan djatuh melompat bangun sambil menghunus golok untuk menjerang. Mendadak
terdengar suara terompet dan waktu mereka menengok, seorang Gee-tjiang (nama
pangkat militer) meng-gojang2-kan satu bendera besar, sebagai isjarat bahwa
mereka harus lantas balik kembali. Paras muka perwira itu lantas sadja berubah
putjat. Buru2 ia membangunkan kudanja jang lalu ditunggangi dan dilarikan balik
ke pasukannja. Kedua pengikutnja merogoh saku dan melemparkan beberapa potong
perak hantjur di atas tanah. "Sudahlah kau djangan ribut ", kata satu
diantaranja dengan suara membudjuk. "Kamilah jang salah. Uang itu untuk
mengganti kerugianmu ". "Hmmm ....! Apa dengan uang sebegitu kau ingin menutup
mulutku ?", tanja si-petani dengan suara mendongkol. Ketika itu, Wan Djie berada
di tempat jang djauhnja kira2 sepanahan dari si petani. Apa jang sudah terdjadi
telah didengar dan dilihat olehnja. Sebenarnja ia ingin kembali untuk
menghaturkan terima kasih kepada petani itu, tapi ia mengurungkan niatannja
karena Lie It menggojangkan tangan sambil mentjambuk kudanja jang lantas sadja
kabur. Wan Djie djuga merasa, bahwa sesudah lolos dari bahaja, tak perlu ia
balik kembali untuk tjari2 urusan. Oleh karena begitu, meskipun tahu, bahwa si
petani bukan sembarang orang dan ia sebenarnja kepingin sekali berkenalan, ia
lalu mentjambuk keledainja jang lantas sadja lari mengikuti kuda si pemuda.
---oo0oo--DIWAKTU maghrib, mereka tiba dikota Pa-tjioe. Lie It dan Wan Djie berlagak tak
kenal satu sama lain. Sesudah Lie It masuk kesatu rumah penginapan, si nona
masih djalan2 tanpa djuntrungan. Kota itu ramai bukan main dan disemua sudut
djalanan terdapat pendjagaan tentara jang keras. Si nona mengerti, bahwa itu
semua merupakan persiapan untuk menjambut tentara Khoe Sin Soen. la tak berani
djalan sembarangan dan lalu pergi ke rumah penginapan jang tadi untuk minta
kamar. Ia tak tahu dimana kamar Lie It dan sebagai seorang gadis, ia merasa tak
pantas untuk menanjakan ke pelajan. Sesudah makan malam, baru sadja ia mau
keluar dari kamarnja untuk menjelidiki dimana kamar Lie It, tiba2 didepan
djendela berkelebat bajangan manusia jang melemparkan sebutir batu kedalam
kamarnja. la melompat, membuka djendela dan melongok keluar. Dari djauh, ia
lihat Lie It sedang berdjalan keluar dengan tindakan tjepat. la mendjemput batu
ketjil itu jang ternjata dibungkus dengan sepotong kertas jang ada tulisannja.
Buru2 ia membuka lembaran kertas itu dan membatja bunjinja: "Aku pergi untuk
satu urusan penting, malam ini belum tentu kembali. Malam ini, sebelum tengah
malam, kau harus menemui Thay-tjoe dan minta ia berlaku hati2. la tidak boleh
bertemu dengan Khoe Sin Soen ". Wan Djie djadi bingung. "Khoe Sin Soen datang
kesini atas perintah Boe Tjek Thian, mana bisa Thay-tjoe tidak menemuinja ",
pikirnja. "Apa benar Boe Tjek Thian mau mentjelakakan puteranja sendiri ?".
Dibawah kertas itu terdapat djuga sebuab peta jang mengundjuk tempat tinggalnja
bekas Thay-tjoe Lie Hian. Mendjelang tengah malam, Siangkoan Wan Djie sagera
menukar pakaian djalan malam dan bagalkan seekor kutjing, ia melompat keluar
dari rumah penginapan itu.
---oo0oo--MALAM itu malam tak berbintang, langit ditutup awan gelap dan bumi disiram
hudjan gerimis. Djalanan sunji-senjap dan gerak-gerik si nona tidak diketahui
oleh siapapun djuga. Tapi sebab gelap, beberapa kali ia njasar dan sesudah
membuang banjak tempo, barulah ia tiba djuga digedung bekas Thay-tjoe. Sebagal
hukuman untuk bekas putera mahkota itu, Boe Tjek Thian perintah orang membuat
Tjiang-hoay Ong-hoe (gedung radja muda Tjiang-hoay), tempat tinggal putera
tersebut, setjara sederhana sekali. Gedung itu hanja mempunjai tudjuh-delapan
kamar, sebuah taman ketjil dan tinggi tembok luarnja hanja satu tombak lima
kaki, sehingga djika dibandingkan, gedung itu masih kalah bagus dari tempat
tinggalnja seorang Tiehoe. Begitu melompat masuk kedalam taman, Wan Djie lihat
sinar lampu diatas sebuah ranggon ketjil disebelah timur taman. "Thay-tjoe gemar
sekali membatja buku dan mungkin ia sendiri jang berada diatas ranggon itu ",
katanja didalam hati. Memikir begitu, ia lantas melompat naik keatas ranggon.
Dengan mengintip dari djendela, ia lihat didalam ruangan itu duduk seorang
pemuda kurus jang dikawani oleh seorang Thay-kam (orang kebiri) tua, sedang
diatas medja terbuka sedjilid kitab Sie-kie (Kitab Sedjarah). Diwaktu masih
ketjil, si nona pernah bertemu dengan Lie Hian dan sampai sekarang samar2 ia
masih mengenalinja. Baru sadja ia mau masuk keruangan itu, tiba2 terdengar suara
Lie Hian. "Ong Kong-kong ", katanja. "Selama dua hari ini hatiku selalu merasa
tidak enak. Tentara Khoe Sin Soen sudah tiba diluar kota dan besok pagi, ia
pasti akan menemui aku. Apa tak baik kita mabur malam ini djuga ?". Thay-kam tua
itu kelihatannja sangat heran. "Thian-hee (panggilan untuk seorang putera
kaisar) ", katanja "Aku djusteru menganggap, bahwa kedatangan Khoe Taytjiangkoen, jang datang kesini atas perintah Thian-houw untuk menengok kau,
adalah kedjadian jang sangat menggirangkan. Bukan tak bisa djadi dalam tempo
tjepat Thian-houw akan panggil kau pulang ke kotaradja. Mengapa Thian-hee mau
melarikan diri ?". "Aku ..., aku takut ....", djawabnja Lie Hian ter-putus2."
"Boe-houw telah mengatakan, bahwa ia mau perintah The Oen datang kemari. Djika
di-hitung2, The Oen sudah harus berada disini pada sepuluh hari berselang. Tapi
sekarang, sebaliknja dari The Oen, jang dikirim kemari adalah Khoe Sin Soen. The
Oen seorang pembesar sipil dan aku tidak menaruh ketjurigaan apapun djuga. Tapi
Khoe Sin Soen seorang djenderal perang dan ia djuga membawa satu pasukan
tentara. Apakah ...! apakah ...!". "Apakah Thian-hee takut Khoe Sin Soen berbuat
apa2 jang tidak baik terhadapmu ?", tanja si thay-kam. Lie Hian tidak mendjawab
tapi dilihat dari paras mukanja, pertanjaan thay-kam itu mengenakan djitu pada
hatinja. Orang tua itu menghela napas pandjang. Tiba2 ia berlutut dan berkata
dengan suara perlahan : "Hambamu ingin mengeluarkan perkataan jang bisa mendapat
hukuman mati. Sebelum Thian-hee memberi ampun, tak berani hamba bitjara ". Lie
Hian buru2 membangunkannja. "Ong Kong-kong, kau adalah seorang jang pernah
melajani Hoe-hong (ajahanda kaisar) dan aku selalu memandang kau sebagai orang
sendiri ", katanja dengan suara halus. "Ada perkataan apakah jang kau tak boleh
mengatakannja ?". "Kalau begitu, barulah hamba berani membuka isi hati hamba ",
katanja. "Bagaimanakah perlakuan Thian-houw terhadap Thian-hee ?". "Bagaimana
pendapatmu ?". Lie Hian balas tanja. "Menurut penglihatan hamba, walaupun Thianhouw sangat repot mengurus urusan2 pemerintahan dan tak bisa sering2 bertemu
dengan Thian-hee, tapi ia sangat mentjintai Thian-hee ", djawabnja. "Memang ...,
memang djika dibandingkan dengan perlakuannja terhadap kakakku, Boe-houw lebih
menjajangi aku ", kata bekas putera mahkota itu. "Kalau begitu, hamba, lagi2
mengambil keberanian untuk mengadjukan sebuah pertanjaan jang sangat tak lajak
", kata pula si thay-kam. "Bolehkah hamba mendapat tahu, mengapa Thian-hee
merasa tjuriga terhadap Thian-houw ?". Paras muka Lie Hian lantas sadja berubah
putjat. "Ong Kong-kong ", katanja dengan suara gemetar. "Aku minta kau suka
berterus terang. Apakah benar2 aku putera Thian-houw, putera tulen " Djawablah
pertanjaanku tanpa tedeng aling2 ". "Apa ?", menegas si tua. "Hamba tak mengerti
perkataan Thian-hee ". "Dalam keraton sudah lama tersiar desas-desus, bahwa aku
bukan dilahirkan oleh Boe-houw sendiri !", djawabnja. "Hmm ... ! Ada desas-desus


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu ?", katanja. Didengar dari suaranja, thay-kam itu rupanja sudah mendengar
desas-desus tersebut. Lie Hian menatap wadjah si thay-kam dan kemudian berkata
pula dengan suara parau : "Mereka mengatakan, bahwa ibu kandungku adalah Han-kok
Hoedjin, kakak Thian-houw. Belakangan, ibuku binasa karena diratjun Thian-houw.
Kakakku, jaitu mendiang Thay-tjoe Lie Hong, djuga bukan anak kandung Thian-houw
dan ia pun binasa diratjuni Thian-houw di keraton Hap-pek-kiong !". Mendengar
perkataan itu, bukan main kagetnja Wan Djie. Sesudah berdiam sedjenak, bekas
Thay-tjoe itu berkata pula : "Sedari mendengar desas-desus itu, selama beberapa
tahun, pikiranku selalu terganggu. Aku selalu berkuatir kalau2 Thian-houw pun
turunkan tangan djahat terhadap diriku. Maka itu, maka itu Ong Kong-kong,
biarlah aku membuka semua rahasia hatiku kepadamu. Apakah kau tahu, sebab apa
aku dibuang ke Pa-tjioe ?". "Thian-houw ingin Thian-hee beladjar hidup melarat
diantara rakjat djelata, supaja dikemudian hari kau bisa memerintah negeri dan
rakjat setjara bidjaksana ", djawabnja. "Bukan ...! Bukan begitu ...!", kata Lie
Hian dengan suara keras. "Sebabnja adalah begini : "Karena kuatir Thian-houw
turunkan tangan djahat setjara menggelap, maka aku sudah menjembunjikan
sedjumlah tentara pilihan dikeraton Tong-kiong. Aku menganggap, daripada
dibinasakan, lebih baik aku turun tangan lebih dulu dan merampas kembali
kekuasaan keluarga Lie. Tapi tak dinjana, rahasia itu botjor ...". "Thian-hee,
tjara bagaimana kau bisa melakukan perbuatan itu ?", kata si thay-kam dengan
suara menjesal. "Dengan demikian telah terbukti, bahwa Thian-houw sangat
mentjintai kau dan memperlakukan kau luar biasa baik ". "Kau djuga mengambil
pihaknja ?", tanja Lie Hian dengan paras muka berduka. Ia berdiam sedjenak dan
kemudian berkata pula dengan suara gemetar : "Karena ia memperlakukan aku luar
biasa baik, maka tempo2 aku menjangsikan tentang kebenarannja desas-desus dalam
keraton. Pernah kedjadian, waktu mendapat sakit berat dan tersadar ditengah
malam, aku lihat ia duduk disampingku dan mengawasiku dengan air mata berlinang2, seperti djuga seorang ibu jang paling menjintai anaknja. Pada detik
itu, aku ingin sekali meminta-ampun kepadanja dan ingin menjingkirkan semua
ketjurigaan dari dalam hatiku ". "Tapi mengapa Thian-hee tidak mewudjudkan
keinginan itu ?", tanja si thay-kam. "Aku kuatir ia hanja ber-pura2 ",
djawabnja. "Ah ...! Pikiranku sangat kalut ! Sangat kalut. Aku tak dapat
membedakan lagi apa jang benar apa jang salah. Otakku se-akan2 diliputi kabut
jang tebal ". Thay-kam tua itu menghela napas pandjang. "Dalam keraton memang
banjak sekali desas-desus ", katanja dengan suara perlahan. "Sungguh untung,
malam ini Thian-hee telah bitjara terus-terang kepada hamba, jang tahu djelas
hal-ihwal segala persoalan itu ". "Ong Kong-kong, lekaslah tjeritakan apa jang
sebenarnja ", kata Lie Hian dengan ter-gesa2.
"Apakah Thian-houw benar2 ibu kandungku ?". "Baik Thian-hee maupun kakak Thianhee ke-dua2-nja adalah anak kandung dari Thian-houw sendiri !", djawabnja dengan
suara tetap. "Akan tetapi desas-desus dalam keraton djuga bukan tiada alasannja.
Sebenarnja, hamba tidak berani mentjeritakan urusan ini, tapi sebab Thian-hee
mempunjai sjak wasangka terhadap Thian-houw, maka dengan terpaksa hamba mesti
membuka djuga rahasia ini. Kakakmu, mendiang Thay-tjoe Lie Hong terlahir pada
bulan Tjhia-gwee (Bulan Pertama) Tahun Eng-hoei ketiga dari mendiang kaisar,
sedang Thian-hee sendiri terlahir pada Tjap-djie-gwee, (Bulan Dua belas). Pada
waktu itu, Thian-how masih djadi Niekouw (pandeta wanita) dalam kuil Kiam-in-sie
". Paras muka Lie Hian lantas sadja berubah merah. la djuga tahu, bahwa Boe-houw
pernah mendjadi selir kakeknja, jaitu Thay-tjong Hong-tee Lie Sie Bin. Sesudah
Lie Sie Bin meninggal dunia, Boe Tjek Thian telah "dianugerahi" kesempatan untuk
mendjadi pendeta. Dengan keterangannja itu, terang2 thay-kam tersebut
mengundjuk, bahwa waktu masih djadi pendeta, ibunja sudah mengadakan hubungan
rahasia dengan ajahnja. Maka itulah, biarpun ia sekarang mendapat kepastian,
bahwa Boe Tjek Thian adalah ibu kandungnja, ia djuga merasa sangat djengah dan
malu. "Pada waktu itu, Sian-tee (mendiang kaisar) belum menjambut Thian-houw
pulang ke keraton dan oleh karena kuatir tersiarnja omongan2 kurang baik, maka
Sian-tee telah menjerahkan kalian berdua kepada Han-kok Hoedjin untuk dipelihara
". Thay-kam itu melandjutkan keterangannja. "Inilah sumber dari segala desasdesus didalam keraton ".
"Dan bagaimana kakakku sampai mendjadi mati ?", tanja pula Lie Hian. "Hal ini
pun mempunjai latar belakang jang tidak banjak diketahui orang ", menerangkan si
thay-kam tua. "Pada belasan tahun berselang, seorang asing telah membuat
sematjam obat jang katanja mempunjai khasiat untuk memungkinkan hidup abadi,
untuk Sian-tee, Thian-houw mentjegah Sian-tee makan obat itu dengan mengatakan,
bahwa dalam dunia tak mungkin ada obat jang seperti itu. Sian-tee menurut
nasehat itu dan obat tersebut lalu disimpan didalam keraton Hap-pek-kiong.
Diluar dugaan, kakakmu telah mentjuri obat itu. Kau sendiri tahu, bahwa kakakmu
bertubuh lemah dan sesudah makan obat itu, ia binasa dalam keraton tersebut
dengan mengeluarkan banjak darah dari mulut, mata dan kupingnja. Kedjadian ini
telah disaksikan oleh hambamu dengan mata kepala sendiri dan manusia2 jang telah
memfitnah Thian-houw, benar2 berdosa besar ". Mendengar keterangan itu, bukan
main kagetnja Lie Hian. la tak bisa mengeluarkan sepatah kata dan hanja
mengawasi thay-kam tua itu dengan mata membelalak.
Selang beberapa saat, sesudah menghela napas pandjang, orang tua itu berkata
pula : "Tentang meninggalnja Han-kok Hoedjin, lebih2 tiada sangkut-pautnja
dengan Thian-houw. Oleh karena Thian-hee bertjuriga, mau tak mau, aku harus
mentjeritakan segala apa jang tidak boleh ditjeritakan. Dalam hal ini, jang
salah adalah Sian-tee sendiri. Dalam mewakili Sian-tee mengurus negeri, siangmalam Thian-houw selalu repot. Waktu itu, Han-kok Hoedjin sering2 berada dalam
keraton. Dan Sian-tee, aih ...! Sian-tee ...! Ia telah melakukan perbuatan jang
ia harus merasa malu terhadap Thian-houw. Apa mau , perbuatan itu diketahui
Thian-houw. Karena tak tahan malu, Han-kok Hoedjin achirnja membunuh diri
sendiri dengan makan ratjun ".
"Kalau begitu, apakah semua tjerita jang tersiar hanjalah tjerita bohong?",
tanja Lie Hian. Orang tua itu kembali menghela napas pandjang. "Dengan
mengangkat diri sendiri mendjadi kaisar, Thian-houw telah digusari oleh banjak
sekali orang ", katanja. "Tapi sebab ia memerintah setjara bidjaksana, orang2
itu tak dapat menjerang kebidjaksanaannja dalam mengendalikan pemerintahan, maka
djalan satu2-nja adalah menjiarkan tjerita2 jang tidak2 mengenai penghidupan
pribadi Thian-houw ".
Paras muka Lie Hian sebentar merah, sebentar putjat, sedang didalam hati, ia
merasa malu bukan main. "Sedang sebagai anak, aku sendiri masih membentji Boehouw, bagaimana orang lain ?", katanja didalam hati. Sesudah berdiam sedjenak,
thay-kam itu berkata pula : "Pada sebelum berangkat dari kotaradja untuk
mengikuti Thian-hee, Thian-houw telah memesan wanti2, supaja hamba merawat
Thian-hee se-baik2-nja, sebab Thian-hee tidak bisa menjajang diri. Hamba
dipesan, bahwa Thian-hee harus makan dalam tempo jang tentu dan tidak boleh
bekerdja terlalu berat. Thian-houw malahan menjesali diri sendiri, bahwa karena
repotnja, ia tak mempunjai tempo lagi untuk merawat dan mendidik anak2. Waktu
memesan begitu, Thian-houw kelihatannja berduka sangat dan hamba pun sampai
teturutan merasa pilu. Tapi, dalam seantero pembitjaraan, tak sepatahpun Thianhouw menjebutkan perbuatan Thian-hee jang sudah menjembunjikan tentara didalam
keraton Tong-kiong ". Sehabis berkata begitu, air mata mengalir turun di kedua
pipi thay-kam tua itu. Bukan main rasa malu dan dukanja Lie Hian. Kalau tidak
ingat kedudukannja, ia tentu sudah memeluk thay-kam tua itu dan menangis keras.
Tapi biar bagaimana pun djuga, ia tak dapat menahan rasa sedihnja dan lalu
menangis dengan perlahan. Sesudah membuka isi hatinja, si thay-kam merasa tak
enak dan mendengar tangisan itu, ia terkedjut dan menanja : "Hamba benar2
berdosa besar, Thian-hee, mengapa kau ?".
Mendadak Lie Hian mengambil pit dan selembar kertas. "Ong Kong-kong, kau tidak
berdosa ", katanja dengan suara parau. "Jang berdosa besar adalah aku sendiri.
Guna kepentinganku, siang-malam Boe-houw bekerdja untuk mengurus negeri, tapi
aku sendiri sedikitpun tidak mengerti pengorbanan jang sangat besar itu. Tjie
Keng mempunjai niatan untuk memberontak dan pada bulan jang lalu, ia telah
mengirim utusan rahasia untuk menemui aku. Aku malahan sudah bersekutu dengannja
dan ingin menggerakkan tentara ber-sama2 ia untuk melawan ibu sendiri. Aih ...!
Dari dulu sampai sekarang, mana ada anak jang begitu poet-hauw (tidak
berbakti) ". Hmm ...! Biar bagaimana pun djuga, aku pernah membatja buku dan
mengenal aturan. Maka itu, aku sekarang ingin memohon ampun kepada Boe-houw dan
aku ingin adukan Tjie Keng. Aku djuga mau minta supaja Boe-houw djatuhkan
hukuman atas diriku ...!". "Gouw-kok-kong Tjie Keng mau memberontak ?", menegas
thay-kam itu dengan rasa kaget dan heran. Lie Hian sudah mulai menulis surat dan
sambil menulis terus ia berkata : "Kau heran " Beberapa hari berselang, malahan
aku sendiri ingin berontak. Baiklah, besok aku akan menemui Khoe Sin Soen dan
menjerahkan surat ini kepadanja, supaja ia dapat mempersembahkan kepada Boe-houw
...". Sementara itu, Siangkoan Wan Djie jang setjara kebetulan telah mendengar
rahasia itu, djadi bingung bukan main. Dengan menulis surat untuk membuka segala
rahasia kepada ibunja, bukankah Lie Hian merusak segala rentjana Lie It. Tapi
dilain pihak, ia ingat, bahwa inilah untuk pertama kali dalam hati bekas Thaytjoe itu timbul rasa tjinta jang sungguh2 terhadap ibu kandungnja. Biarpun Boe
Tjek Thian musuh besarnja, bagaimana ia tega untuk merusakkannja".
---oo0oo--SELAGI ia bersangsi, dibawah ranggon mendadak terdengar seruan orang : "Utusan
Khoe Tay tjiang-koen mohon bertemu dengan Thian-hee !". Seruan itu disusul
dengan muntjulnja dua perwira jang terus naik keatas ranggon. Djantung si nona
memukul keras, karena ia ingat pesanan Lie It supaja mentjegah pertemuan antara
Lie Hian dan Khoe Sin Soen. Kedatangan utusan Khoe Sin Soen djusteru terdjadi
tepat pada tengah malam. Pada sesaat jang sangat pendek itu, dalam otak Wan Djie
berkelebat beberapa ingatan. Ingatan jang pertama jalah, sesuai dengan pesanan
Lie It, ia harus mentjegah Lie Hian menemui orang itu. Tapi segera djuga ia
membantah pikirannja sendiri. Mengapa ia mesti bertindak begitu " Apakah bisa
djadi Khoe Sin Soen mengirim orang untuk melakukan pembunuhan " Khoe Sin Soen
adalah seorang djenderal besar dan ketjuali diperintah oleh Boe Tjek Thian
sendiri, tak mungkin ia mentjelakakan bekas Thay-tjoe itu. Sesudah mendengar
keterangan si thay-kam tua, djangankan Lie Hian, sedangkan ia sendiri sekalipun
tidak pertjaja bahwa Boe Tjek Thian akan membunuh puteranja sendiri. Sementara
itu, ia pun ingat, bahwa kedatangan Lie It di Pa-tjioe adalah untuk berserikat
dengan Lie Hian guna menggerakkan tentara. Dengan adanja perubahan jang
mendadak, dimana bekas Thay-tjoe itu sekarang berdiri dipihak ibunja dan mungkin
akan segera menjerahkan surat pengaduannja kepada utusan Khoe Sin Soen, maka
dalam surat itu ia pasti akan menjebutkan djuga rentjana Lie It. Dengan
demikian, dengan terbukanja rahasia pemberontakan itu, banjak sekali menteri
setia dari keradjaan Tong bakal binasa. Tapi hampir berbareng, lain pikiran
masuk kedalam otaknja. Djika Tjie Keng memberontak, rakjat djelata jang sukar
dihitung berapa djumlahnja, akan mendjadi korban peperangan. Ketjelakaan jang
menimpa rakjat adalah ribuan kali lipat lebih hebat dari pada ketjelakaan jang
menimpa menteri2 setia. Ia pun ingat, bahwa biarpun Boe Tjek Thian bukan seorang
kaisar jang mulia, tapi dimata rakjat, dia sedikitnja bukan kaisar jang djahat.
Dalam bingungnja, Wan Djie tak tahu harus berbuat apa. Mendadak, ia merasakan
berkesiurnja angin dibelakangnja. Dengan kaget ia menengok dan melihat satu
bajangan hitam baru sadja hinggap diatas tembok. Orang itu segera menuding
ruangan dimana Lie Hian berada dan kemudian menundjuk dadanja sendiri. la tentu
bermaksud untuk memberitahukan, supaja si nona memperhatikan apa jang terdjadi
dalam ruangan itu dan memberi isjarat, bahwa ia adalah seorang kawan. Siapa
orang itu " Tapi Wan Djie tak sempat memikir pandjang2, sebab suara kaki kedua
perwira itu sudah kedengaran masuk kedalam ruangan dimana Lie Hian berada.
Sesudah melihat tegas, si nona lantas sadja mengenali, bahwa salah seorang
adalah perwira jang telah melepaskan anak panah kepadanja ditengah djalan. Lie
Hian segera bangun berdiri untuk menjambut tetamunja. Tiba2, perwira jang
mendjadi kepala membentak : "Lie Hian, apa kau tahu dosamu?". "Thia Tjiangkoen,
aku berdosa apa ?", tanja bekas Thay-tjoe itu. "Anak melawan ibu, menteri
melawan kaisar ", djawabnja. "Thian-houw telah memerintahkan untuk segera
mendjalankan hukuman mati terhadapmu !". "Dusta ...!", teriak si thay-kam tua.
"Tak mungkin ! Tak mungkin Thian-houw memberi perintah begitu !". Lie Hian
terkedjut sedjenak, tapi sesaat kemudian, ia berkata dengan suara perlahan :
"Keluarkan firman ...! Djika benar Boe-houw sendiri jang menghendaki
kebinasaanku, aku rela menerima hukuman karena aku memang berdosa sangat besar
dan pantas dapat hukuman mati !". Paras muka si thay-kam djadi putjat bagaikan
majat dan ia berteriak dengan suara gemetar : "Thian-hee ! Djangan pertjaja
segala omongan gila ! Meskipun ada firman, firman itu ...". Belum habis
perkataannja, sudah terdengar teriakan menjajat hati dan thay-kam itu sudah
dibatjok mati oleh perwira jang satunja lagi. Kedjadian itu terdjadi dengan
mendadak, sehingga Wan Djie tidak keburu berbuat apapun djuga. Sesudah thay-kam
itu roboh, ia mengajunkan tangan dan dua pisau terbang masuk dengan melewati
djendela. Tapi pada saat itu, terdengar teriakan Thay-tjoe, jang mungkin telah
dibinasakan oleh panglima she Thia itu. Kedua perwira itu ternjata bukan
sembarang orang. Dengan sekali melompat, mereka berhasil meloloskan diri dari
sambaran pisau terbang dan hampir berbareng, mereka menerdjang keluar seraja
mengajun golok. Apa mau, pada detik jang bersamaan, Wan Djie djuga sedang
melompat masuk, sehingga tiga sendjata lantas sadja beradu dengan mengeluarkan
suara keras, disusul dengan robohnja seorang kebawah ranggon. Orang jang roboh
adalah Siangkoan Wan Djie sendiri. Ilmu pedang si nona sebenarnja tidak terlalu
lemah, tapi lweekangnja masih kalah djauh dari kedua lawannja itu. Maka itu,
dalam bentrokan sendjata, ia telah terpukul djatuh. Untung djuga, udjung kakinja
masih keburu mentotolkan dan dengan memindjam tenaga, ia memutar badan sehingga
djatuhnja djadi banjak lebih enteng. Begitu djatuh, dengan gerakan Lee-hie-tahteng (Ikan-gabus-meletik), ia lantas melompat bangun kembali. Dalam bentrokan
sendjata jang barusan, karena si nona menggunakan pedang mustika, maka golok
perwira jang satu kena terbabat putus. Dilain saat, ia mendengar suara beradunja
sendjata dan melihat seorang lelaki bertopeng, jang menjekel sendjata warna
hitam, sedang bertempur hebat melawan kedua periwira itu. Melihat begitu, sambil
memutar pedang, ia melompat untuk memberi bantuan. "Apa kau mau tjari mati ?",
bentak si lelaki bertopeng. "Lekas lari ...!". Wan Djie terkedjut, karena suara
itu seperti djuga sudah pernah didengar olehnja, entah dimana. Sekarang ia
mendapat kenjataan, bahwa sendjata orang itu adalah sebatang hoentjwee (pipa
pandjang), jang terbuat daripada badja. Si perwira she Thia jang ilmu silatnja
tinggi dan tadi berhasil menjelamatkan goloknja dari papasan pedang si nona,
dalam sekedjap sudah terdesak dan mata goloknja tumpul dibeberapa bagian, karena
kebentrok dengan hoentjwee itu, jang kepalanja sangat besar dan tembakaunja
masih menjala, sehingga saban2 mengeluarkan peletikan api dan asap. Si orang
bertopeng lihay sekali. Hoentjwee jang menjambar kian kemari bagaikan hudjanangin digunakan sebagai tombak pendek jang menikam musuh dan sebagai Poan-koanpit jang saban2 tjoba menotok djalan darah orang. Beberapa saat kemudian, kedua
perwira itu sudah ter-sengal2 dan hampir tidak dapat mempertahankan diri lagi.
Melihat begitu, Wan Djie merasa heran. "Ia sudah berada diatas angin dan djika
aku membantu, kedua musuh itu bisa lantas dirobohkan ", pikirnja, "Tapi mengapa
ia menjuruh aku melarikan diri ?". Sementara itu, orang2 dalam Ong-hoe sudah
tersadar dan suara teriakan terdengar ramai sekali. Se-konjong2 disebelah
kedjauhan terdengar suara tertawa jang merdu, tapi menjeramkan. Suara itu tidak
terlalu keras, tapi heran sungguh, telah menindih semua teriakan jang ramai,
Mendadak, seraja membentak keras, si orang bertopeng mengempos semangat dan
menjerang dengan hebat. Dengan saling susul, kedua perwira itu roboh terguling
sambil berteriak kesakitan. Pada saat itulah, suara tertawa jang menjeramkan
tiba didepan pintu. Bukan main kagetnja si nona, karena ia segera mengenali,
bahwa suara itu bukan lain daripada tertawanja Tok-sian-lie !. Sekarang baru ia
tahu, mengapa si orang bertopeng menjuruh ia melarikan diri. Bagaikan kilat, si
orang bertopeng melompat kearah Wan Djie seraja berbisik : "Kau dan aku harus
kabur dengan mengambil djalan terpisah ". Baru sadja Wan Djie melompat keluar
dari tembok belakang, ia mendengar suara Tok-sian-lie : "Thia Tjiang-koen,
mengapa kau sudah turun tangan sebelum aku datang " Apa kau takut aku merebut
pahalamu" Tjelaka ...! Kau ...". Rupanja pada saat itu, baru ia tahu, bahwa si
orang she Thia telah dirobohkan dan lalu memberi pertolongan. Tanpa berani
menengok, si nona terus kabur.
---oo0oo--SESUDAH melewati beberapa djalan raja, se-konjong2 ia dengar suara gembrengan
dan ribut2. Segera djuga ia mendapat kenjataan, bahwa satu pasukan tentara
sedang mengurung rumah penginapan dimana ia dan Lie It bermalam. "Baik djuga Lie
It tidak berada dalam penginapan itu ", katanja didalam hati. Se-konjong2
disebelah kedjauhan terdengar suara terompet, disusul dengan terlihatnja obor2
dalam rerotan pandjang dan kemudian, terdengar teriakan2 rakjat. Tak bisa salah
lagi, pikir si nona, tentara jang masuk kedalam kota dan menggeledah rumah2
rakjat, adalah tentara Khoe Sin Soen. Buru2 ia masuk kedalam sebuah lorong
ketjil untuk menjembunjikan diri. Malam itu malam tidak berbintang dan seluruh
kota diliputi kegelapan, dengan saban2 turun hudjan gerimis. Dalam suasana jang
sedemikian, hati Wan Djie pun ditindih kedukaan dan rupa2 pertanjaan berkelebat
dalam otaknja. Manusia bagaimana Boe Tjek Thian itu " Sebelum turun gunung, ia
menganggap kaisar wanita itu sebagai iblis perempuan. Sesudah turun gunung,
berdasarkan tjerita2 jang didengarnja, Boe Tjek Thian agaknja tidak terlalu
djahat. Tapi sekarang, ia kembali menghadapi sebuah teka-teki jang sangat sulit.
Apakah Boe Tjek Thian jang memerintahkan pembunuhan atas diri Lie Hian " Kalau
bukan diperintah oleh kaisar itu sendiri, bisa djadi orang2-nja Khoe Sin Soen
mempunjai njali jang begitu besar ". Mendadak sadja, ia berduka bukan main. Ia
berduka, karena dalam, hati ketjilnja ia mengagumi Boe Tjek Thian, tapi sekarang
sesudah menjaksikan peristiwa hebat itu dengan mata kepala sendiri, ia berbalik
membentji kaisar wanita itu. Tanpa merasa ia meraba gagang pedang dan sekali
lagi ia bersumpah untuk membunuh musuh besar itu. Dari djalan raja, tentara jang
melakukan penggeledahan mulai masuk ke-djalan2 ketjil. Wan Djie ingin melarikan
diri, tapi ia bersangsi sebab tidak mengenal djalanan. Djika keluar dari lorong
itu, ia kuatir bertemu dengan tentara negeri. Selagi bersangsi, tiba2 berkelebat
satu bajangan manusia jang berkata dengan suara per-lahan2 : "Ikut aku ...!".
Dengan bantuan sinar obor jang masuk dari djalan raja, ia lihat, bahwa orang
itu, seorang lelaki jang bertubuh kekar, mengenakan pakaian djalan malam jang


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berwarna hitam dan ia segera mengenali, bahwa dia bukan lain daripada si petani
jang ia bertemu pada siang tadi. la girang tertjampur kaget. Ternjata si orang
bertopeng jang telah menolong djiwanja, adalah petani jang gagah itu. Si badju
hitam paham akan djalanan dan lorong2 dalam kota Pa-tjioe. Dengan mengambil
djalanan2 ketjil, mereka berhasil meloloskan diri dari razia dan achirnja tiba
dipintu kota sebelah utara. Ketika itu, tentara negeri jang masuk dari pintu
kota sebelah selatan belum sampai dipintu kota itu, jang hanja didjaga oleh
beberapa serdadu. Dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan, mereka keluar
dari tembok kota. Sesudah keluar kota, Wan Djie sangat ingin menanjakan she dan
nama orang itu, tapi ia tidak mendapat kesempatan karena si badju hitam terus
lari se-tjepat2nja, sehingga mau tak mau, ia terpaksa mengikuti dari belakang.
Selang dua djam lebih, mereka sudah melalui kurang-lebih tiga puluh li, tapi
orang itu masih tetap belum menghentikan tindakannja. "Hei ...! Berhentilah
dulu, kita mengaso ", seru si nona dengan napas ter-sengal2. "Tak bisa ...!",
djawabnja dengan pendek dan lari terus, malah lebih tjepat lagi daripada tadi.
"Apa dia mau adu ilmu mengentengkan badan denganku ?", pikir si nona dengan
mendongkol. Baru sadja ia berpikir begitu, dibelakangnja sudah terdengar suara
tertawa menjeramkan, jang disusul dengan bentakan njaring seperti genta :
"Botjah ...! Disini bukan Kiam-kok. Apa kau rasa masih bisa melarikan diri ?".
Hati si nona mentjelos. Mereka bukan sadja menghadapi Tok-sian-lie, tapi djuga
Ok-heng-tjia ! Ia menengok kebelakang, tapi tak terlihat bajangan satu manusia
pun. Mungkin sekali kedua musuh itu masih terpisah beberapa li, tapi suaranja
sudah terdengar begitu tegas. Wan Djie tahu, bahwa hal itu hanja bisa terdjadi
karena kedua musuh itu mempunjai Lweekang jang sangat tinggi, sehingga mereka
dapat mengirimkan gelombang suara dari tempat jang djauh. Biarpun kepandaian si
nona masih belum seberapa tinggi, tapi sebagai muridnja seorang ahli silat kelas
utama, dia sudah mengenal seluk beluk itu. "Tak heran kalau Tiangsoen Pehpeh
kalah dalam tangan mereka ", katanja didalam hati. Beberapa saat kemudian,
lapat2 sudah terdengar suara tindakan musuh. "Apakah sahabat jang berada didepan
bukan Ma Goan Thong jang menjembunjikan diri di Pa-san ?", tanja Tok-sian-lie
seraja tertawa. "Dulu, pada waktu djago2 Tionggoan mengepung kami, kau djuga
turut serta. Waktu itu, bukan main kegagahanmu ! Tapi mengapa sekarang kau lari
lintang-pukang seperti andjing buduk jang takut penggebuk " Huh ...! Ma Goan
Thong ! Hari ini adalah hari terachir dari penghidupanmu !". Siangkoan Wan Djie
sudah lelah sekali, tenaganja sudah hampir habis. Ma Goan Thong tertawa dingin :
"Djangan kau buka suara besar ", katanja. "Saat kau menjandak kami adalah saat
kematianmu !". Sehabis berkata begitu, ia lari semakin tjepat. "Ha ha ha ...!",
Tok-sian-lie tertawa pula. "Pada djaman ini, dimana ada djago2 lagi jang bisa
mengerubuti kami " Andaikata kau menjembunjikan kawan ditengah djalan,
sedikitpun kami tak takut ". Si nona tidak berani menengok. Ia lari seperti
diuber setan dan sembari lari, diam2 ia merasa heran, karena dalam ketakutan
hebat, tenaganja bertambah beberapa kali lipat. Dalam sekedjap mereka sudah
melalui lagi belasan lie. Mendadak awan2 hitam membujar dan langit berubah
terang, sehingga dusun2 dengan rumah2 penduduknja jang tengah dilewati mereka,
memberi pemandangan jang menjegarkan pada fadjar jang sedjuk itu. Tapi ditengah2 alam jang indah terdapat hawa pembunuhan jang menjeramkan. Tindakan
kedua musuh terdengar semakin njata. Tiba2 sambil tertawa berkakakan, Ok-hengtjia melepaskan sebatang Swee-koet-tjhie-piauw. Siangkoan Wan Djie melompat
kesamping, sedang Ma Goan Thong mengebas dengan hoentjweenja dan tepat sekali,
piauw beratjun itu masuk kemulut kepala hoentjwee. "Bagus ...!", teriak Ok-hengtjia seraja melepaskan lagi dua batang piauw. Sehabis menangkis dengan
hoentjweenja, Ma Goan Thong mengeluarkan teriakan gusar. Ternjata, dua batang
piauw jang masuk kemulut kepala hoentjwee, telah meretakkan gagang pipa pandjang
itu. Ketika itu, Ma Goan Thong dan Wan Djie sudah lari ke lereng gunung, dimana
terdapat hutan pohon tho jang kembangnja sedang mekar. Se-konjong2 Ma Goan Thong
tertawa berkakakan. "Kalau kamu mengedjar terus, hutan pohon tho ini akan
mendjadi kuburanmu ...!", teriaknja. Ok-heng-tjia gusar bukan main. Dengan
berbareng ia mengajun kedua tangan dan melepaskan puluhan piauw beratjun dengan
ilmu Boan-thian-hoa-ie (Hudjan-bunga-dilangit). Selagi puluhan piauw itu
menjambar bagaikan kilat, tiba2 turun angin, bunga2 tho rontok melajang kebawah
dan sungguh mengherankan, begitu tersentuh bunga2, begitu piauw2 itu djatuh
berarakan diatas tanah. Meskipun masih berusia muda, Wan Djie sudah sering
menjaksikan kedjadian luar biasa. Tapi apa jang dilihatnja sekarang, benar2
puntjaknja keanehan. Menurut pantasnja, tiupan angin itu, jang tidak begitu
besar, paling banjak hanja bisa merontokkan daun2 bunga. Tapi kenjataannja, jang
rontok adalah seluruh bunga, sekuntum demi sekuntum, dan sesudah terbentur
dengan Swee-koet-tjhie-piauw, barulah daun2 bunga itu hantjur berantakan. Apa
jang lebih aneh lagi, bunga2 itu dapat memukul djatuh sendjata rahasianja Okheng-tjia, jang dilepaskan dengan menggunakan lweekang jang sangat tinggi,
sehingga tenaga menjambarnja tidak kalah daripada anak panah. Ok-heng-tjia dan
Tok-sian-lie djuga kaget bukan main dan menghentikan tindakan mereka didepan
hutan itu. Se-konjong2 dari antara pohon2 terdengar suara tertawa jang merdu
njaring, seperti bunji kelenengan perak dan dilain saat, dari dalam hutan
muntjul seorang wanita muda jang baru berusia kira2 delapan belas tahun. Nona
itu, jang berparas sangat tjantik-aju, mengenakan pakaian warna biru, sedang
pada rambutnja jang hitam djengat tertantjap sebatang tusuk konde burung Hong.
Dengan tindakan lemah-melambai, ia mendekati kedua memedi itu. Tok-sian-lie
adalah seorang jang biasanja sombongkan ketjantikannja sendiri, tapi melihat si
nona, ia mengakui kekalahannja. Ke-ajuan gadis itu jang mengandung keangkeran,
telah membuat kedua memedi itu tidak bisa tertawa atau mentjatji. "Ma Goan Thong
", kata si nona sambil mengerutkan alisnja jang ketjil-bengkok seperti bulan
sisir. "Lagi2 kau tjari pekerdjaan untukku ". "Kedua manusia itu mempunjai asalusul jang tidak ketjil ", kata Ma Goan Thong. "Harap Kouwnio suka menolong
djiwaku ". "Siapa mereka ?", tanja si nona. "Jang perempuan adalah Tok-sian-lie
jang dalam kalangan Kang-ouw dikenal sebagai si tukang mentjabut roh ",
djawabnja. "Jang lelaki, si-pembetot njawa, adalah Ok-heng-tjia ". Nona itu
tertawa geli. "Oh begitu ?", katanja seraja menuding dengan ranting tho jang
ditjekel dalam tangannja. "Djangan kau me-nakut2-i aku. Belum tentu mereka bisa
mentjabut roh atau membetot njawa. Sudahlah ...! Biarlah aku men-djadjal2, apa
mereka ada harganja untuk aku turun tangan sendiri ". Ia tersenjum dan lalu
membentak dengan suara keras : "Hei ...! Kau menjerang dengan puluhan Tjhiepiauw, sekarang aku membalas budi dengan sebatang Tho-tjian (anak-panah dari
kaju tho) ". Hampir berbareng dengan bentakannja, ranting tho itu melesat
seperti anak panah baru terlepas dari busurnja. Mendengar kesiuran angin jang
sangat hebat, Ok-heng-tjia tidak berani menjambuti dengan tangannja dan buru2 ia
menghunus golok, jang lalu digunakan untuk menjabet ranting itu. Tapi
batjokannja meleset dan batang pohon itu, sesudah membentur badan golok jang
djadi ber-gojang2, terus menjambar kearah Tok-sian-lie. "Sungguh lihay timpukan
Tjek-yap-hoei-hoa itu ...", memudji si memedi perempuan. 'Tjek-yap-hoei-hoa'
adalah ilmu melepaskan sendjata
rahasia jang sudah mentjapai taraf kesempurnaan. Dengan menggunakan lweekang
jang sangat tinggi, seseorang bisa menggunakan daun atau bunga sebagai sendjata
rahasia jang dapat membinasakan musuh. Begitu lekas ranting tho itu datang
tjukup dekat, Tok-sian-lie menjentil dengan djeridjinja, sehingga batang pohon
tersebut patah djadi dua potong. Tapi, biarpun sudah patah, tenaga menjambar
batang pohon itu tidak berkurang. Baru sadja, si memedi ter-girang2, satu
patahan menjambar lehernja. Bukan main kagetnja Tok-sian-lie jang dengan tjepat
manggutkan kepalanja dalam gerakan Hong-tiam-tauw (Burung Hong manggutkan
kepala), tapi tak urung pantek kondenja kena kesambar djuga dan djatuh ditanah.
"Tenaga dalam Tauw-to muka djelek itu masih tjetek ", kata si nona seraja
tertawa. "Karena sedang senggang, biarlah aku melajani kamu berdua untuk
sementara waktu ". Selama malang-melintang dalam dunia Kang-ouw, belum pernah
Ok-heng-tjia dipandang begitu rendah. Darahnja lantas sadja meluap dan sambil
memutar badan, ia melepaskan sebatang Swee-koet-tjhie-piauw ke djalan darah Intay-hiat, didada si-nona. Timpukan itu, jang dinamakan Hoan-pie-im-piauw
(Timpukan piauw-sambil-membalik-lengan), hebat luar biasa, karena dilepaskan
dengan menggunakan seluruh tenaga lweekang jang dipusatkan di lengan. Timpukan
Boan-thian-hoa-ie jang digunakannja lebih dulu, sudah tjukup lihay, tapi sebab
djumlah piauw terlalu banjak, maka tenaga menjambarnja sangat berkurang dan
mudah dipukul djatuh. Kali ia adalah lain. Piauw itu bukan sadja melesat dengan
tenaga lweekang jang sangat dahsjat, tapi djaraknja pun dekat sekali, sehingga
Siangkoan Wan Djie terkesiap dan Ok-heng-tjia kegirangan. Tapi nona itu tetap
tenang. la tersenjum tawar seraja berkata : "Hm ...! Mutiara sebesar beras djuga
ingin memperlihatkan tjahajanja !". Piauw menjambar terus, tapi ia tidak
berkelit atau mengangkat tangan untuk menangkap atau menangkisnja dan selama ia
bitjara, sendjata rahasia itu sudah hampir menjentuh dadanja. Semua orang
mengawasi sambil menahan napas. Pada detik jang sangat berbahaja, tiba2 sadja,
diluar taksiran semua orang, sendjata rahasia itu berubah arahnja dan "tak !",
menantjap di dahan pohon tho jang berdekatan. Wan Djie mengawasi dengan mata
membelalak dan mulut ternganga. Hampir2 ia tak pertjaja matanja sendiri.
"Tjietjie ini tjantik bagaikan dewi ", katanja di dalam hati. "Apa ia seorang
dewi jang baru turun dari kajangan " Manusia biasa mana mampu menangkis piauw
itu tanpa bergerak ?". Sebenarnja, si djelita bukan tidak bergerak, hanja
gerakannja tidak dilihat Wan Djie. Apa jang diperbuat nona itu telah
mengedjutkan sangat hatinja Tok-sian-lie dan Ok-heng-tjia, jaitu orang jang
mempunjai kepandaian sangat tinggi dan sudah kawakan dalam dunia Kang-ouw. Apa
jang sebenarnja terdjadi adalah, piauw itu berubah arahnja karena ditiup!.
Lweekang sematjam itu, lebih hebat daripada lweekang Tjek-yap-hoei-hoa, sukar
diukur bagaimana tingginja. Tapi tjara bagaimana seorang gadis jang masih
berusia begitu muda, bisa memiliki tenaga dalam jang begitu hebat ". Inilah
pertanjaan jang hampir tak dapat didjawab. Tapi, meskipun sudah menjaksikan
kelihayan sang lawan, kedua memedi itu tentu sadja sungkan menjerah mentah2.
"Siauw-moay-tjoe (adik) benar2 lihay ", kata Tok-sian-lie sembari tertawa.
"Sekarang biarlah aku jang meminta peladjaran ". Ia madju beberapa tindak dan
waktu sudah berada sangat dekat dengan si nona, tiba2 ia mengangkat tangan dan
"serrr !", djarum2 jang sangat halus menjambar dari berbagai pendjuru. Djarum2
itu jang besar djumlahnja sudah pasti tak bisa ditangkis dengan sekali tiup dan
sebatang sadja, kalau menantjap dibadan si nona, sudah tjukup untuk mengambil
djiwanja. Bahwa Tok-sian-lie ditakuti dalam kalangan Kang-ouw, sebagian besar
adalah karena djarum Touw-hiat-sin-tjiam itu. "Siauw-moay-tjoe, awas ...!",
serunja sambil tertawa njaring dan madju lagi dua tindak seraja mengebas
tangannja untuk memberi dorongan lebih keras kepada djarum2-nja.
Pada detik jang sangat genting, mata si memedi mendadak ber-kunang2 karena
berkelebatnja sehelai sinar merah. Dilain saat, ia lihat tangan lawannja sudah
mentjekal selendang sutera jang berwarna merah, sedang semua Touw-hiat-sin-tjiam
menantjap di sutera itu !. "Soeheng !, lari ...!", teriak Tok-sian-lie dengan
suara parau. Hampir berbareng gadis itu menjentak selendangnja dan djarum2
beratjun berbalik menjambar kepada kedua memedi itu. Dengan hati mentjelos, Toksian-lie melompat tiga tombak tingginja dan semua djarum lewat dibawah kakinja,
tapi Ok-heng-tjia jang ilmu mengentengkan badannja belum mentjapai taraf jang
tinggi, sudah tjoba menolong diri dengan memutar goloknja bagaikan titiran. Ia
berhasil memukul djatuh hampir semua djarum itu, tapi sehatang Touw-hiat-sintjiam tidak keburu ditangkis dan menantjap di djalan darah Kiok-djie-hiat, di
lengannja. Sementara itu selagi badannja melajang turun kebawah, Tok-sian-lie
sudah menghunus pedang dan menjabet lawannja. Sinar merah berkelebat, si memedi
bersiul njaring dan pedang lewat diatasan kepala si nona. Wan Djie mengawasi
dengan hati ber-debar2. Ternjata, dalam tempo jang sangat pendek itu, kedua
lawan sudah bertempur beberapa gebrakan. Dimata Wan Djie, pedang Tok-sian-lie
seperti djuga hampir berhasil memapas konde si nona, tapi se-benar2-nja adalah
pergelangan tangan memedi itu jang hampir2 digulung selendang. Diambil
keseluruhannja, dalam gebrakan2 itu, si nona-lah jang berada diatas angin. Okheng-tjia tahu, bahwa pihaknja berada dalam bahaja. Buru2 ia mengerahkan ilmu
Ie-kiong-hoan-hiat untuk menahan djalannja djarum Touw-hiat-sin-tjiam jang
sedang naik keatas dari djalan darah Kiok-djie-hiat. Walaupun sangat hebat,
selama satu-dua djam ratjun djarum itu belum mengamuk, sehingga menurut pikiran
Ok-heng-tjia, sesudah merobohkan si nona dengan djalan mengerubuti, ia masih
keburu minta obat pemunah. Demikianlah, sambil membentak keras, ia segera
menerdjang dan membatjok dengan goloknja. "Bagus ...!", seru si djelita. "Hari
ini aku memegang peranan Hok-mo Tjoen-tjia untuk menakluki Sian-lie dan Hengtjia ". Hampir berbareng selendangnja berkelebat untuk menangkis sambaran pedang
Tok-sian-lie. Melihat terbukanja lowongan, Ok-heng-tjia melompat dan menjabet
dengan goloknja. Mendadak sadja berkelebat sinar dingin, sehingga Ok-heng-tjia
terkesiap dan setjepat mungkin menarik pulang goloknja. "Trang ...!", lelatu api
muntjrat, lengannja kesemutan, sedang goloknja somplak !. Ternjata, dengan
ketjepatan luar biasa, si nona telah menghunus pedangnja dan memapaki batjokan
golok. Untung djuga, pada waktu gadis itu mengirim tikaman susulan, Tok-sian-lie
keburu melompat dan menangkis, sehingga dia terlolos dari kebinasaan. Ok-hengtjia djadi kalap bahna gusarnja. "Hari ini, kita mesti mampuskan perempuan
siluman ini ...!", teriaknja sambil menjerang setjara nekat2-an. Ilmu silat Gwakee (ilmu silat luar) dari Ok-heng-tjia dapat di katakan sudah mentjapai puntjak
kesempurnaan, sehingga watu ia menjerang sambil mengempos semangat, goloknja
mengeluarkan suara men-deru2. Sementara itu, Tok-sian-lie menjerang dengan
menggunakan tenaga Im-djioe (tenaga lembek) dan dalam sekedjap, sinar golok dan
pedang ber-kelebat2 bagaikan kilat diseputar tubuh si nona. Siangkoan Wan Djie
menonton pertempuran itu sambil menahan napas. Si nona djelita lantas sadja
mengempos semangat, satu tangan memutar pedang jang turun-naik bagaikan seluluptimbulnja seekor naga ditengah lautan, sedang satu tangan lagi memutar selendang
jang ber-putar2 ditengah udara se-akan2 berterbangnja burung Hong. Di serang
dengan dua rupa sendjata jang me-njambar2 dengan lweekang jang dahsjat, kedua
iblis itu tidak berani datang terlalu dekat. Apa jang lebih luar biasa lagi
jalah, si nona djuga menggunakan dua rupa tenaga, jaitu tenaga "keras" dan
tenaga "lembek", jang dengan bersatu-padu sudah berhasil menahan madjunja kedua
iblis itu jang sangat disegani dalam dunia Kang ouw. Sesudah bertempur beberapa
lama, sambil tersenjum si nona mengempos semangat dan kedua sendjatanja lantas
sadja me-njambar2 semakin hebat. Beberapa saat kemudian, napas Ok-heng-tjia
mulai ter-sengal2 sedang mukanja berubah putjat, suatu tanda bahwa ratjun djarum
sudah mulai bekerdja. Dalam keadaan begitu, gerakannja djadi terlebih perlahan
dan waktu selendang menjambar, ia tidak keburu menarik pulang sendjatanja
sehingga kena dibetot dan dilontarkan ketengah udara. Bukan main kagetnja Toksian-lie. Dengan nekat ia mengirim serentetan serangan hebat dan tiba2 ia
menepuk punggung Ok-heng-tjia jang bagaikan lajangan putus, terpental beberapa
tombak djauhnja. Siangkoan Wan Djie terkedjut, karena ia tidak mengerti, mengapa
si iblis perempuan menghantam soehengnja. Dilain detik, Tok-sian-lie melompat
dan lari ter-birit2, sesudah lebih dulu melepaskan sedjumlah Touw-hiat-sintjiam. Sekarang barulah Wan Djie mengerti, bahwa si iblis perempuan melemparkan
soehengnja supaja Ok-heng-tjia bisa lari lebih dulu dan djarum2 beratjun itu
adalah untuk melindungi larinja mereka. Dengan sekali mengebas, semua Touw-hiatsin-tjiam sudah menantjap di selendang merah dan sesudah memasukkan pedangnja
kedalam sarung, si nona dongak dan tertawa njaring. Hati Wan Djie meluap dengan
kegirangan dan buru2 ia melompat keluar dari belakang pohon tho.
"Tjietjie ...!", serunja. "Dalam dunia ini masih terdapat satu radja iblis jang
laksaan kali lipat lebih djahat daripada kedua iblis tadi. Mengapa Tjietjie tak
mau membunuh radja iblis itu jang mentjelakakan dunia ?". Paras muka nona itu
mendadak berubah. "Siauw-moay-tjoe ", katanja dengan suara kaku. "Apakah kau mau
suruh aku mendjadi pembunuh gelap ?". Ia berdiam sedjenak dan kemudian berkata
pula : "Goan Thong, kemari kau ". Ma Goan Thong segera mendekati. "Kouwnio,
semalam bekas Thay-tjoe Lie Hian dibunuh orang !", katanja. Tubuh gadis itu
kelihatan bergemetar. "Apa benar ?", menegasnja. "Tjoba tjeritakan se-terang2nja ...". Tanpa menghiraukan Wan Djie, nona itu lalu djalan berendeng dengan Ma
Goan Thong, sehingga dengan hati tak enak, nona Siangkoan terpaksa mengikuti
dari belakang. Dengan penuh perhatian si djelita mendengari keterangan Ma Goan
Thong jang mentjeritakan segala kedjadian se-terang2nja, mulai dari waktu ia
bertemu dengan Wan Djie dan Lie It ditengah djalan sampai diubar Tok-sian-lie
dan Ok-heng-tjia. Tanpa merasa, mereka sudah berdjalan keluar dari hutan pohon
tho. Siangkoan Wan Djie djadi semakin bingung. la tak tahu, siapa adanja gadis
itu dan mengapa paras mukanja berubah ketika ia menjebutkan soal membunuh Boe
Tjek Thian. Tiba2 ia kaget karena ingat sesuatu. "Ah ...! Tiangsoen Pehpeh telah
memesan, bahwa dalam dunia Kang-ouw jang banjak bahajanja, orang harus ber-hati2
dengan perkataannja ", pikirnja. "Tapi barusan, sebelum tahu dia siapa, aku
sudah mengandjurkan supaja dia membunuh Boe Tjek Thian. Aih ...! Aku terlalu
sembrono ". Tapi dilain saat, hatinja terhibur, karena mengingat, bahwa sesudah
menolong djiwanja, nona itu pasti bukan orang djahat dan tidak mempunjai maksud
jang kurang baik. Diluar hutan tho itu berdiri sebuah gedung indah jang diputari
dengan tembok merah dan didalam pekarangannja jang luas, ditanami banjak pohon
bunga. Sampai disitu, barulah nona itu menengok dan berkata sambil tertawa :
"Sesudah kau turut datang, ajolah masuk ". Dengan perlahan nona itu mendorong
pintu dan begitu pintu terbuka, ia di sambut oleh seorang budak perempuan ketjil
jang menanja sambil tertawa : "Apakah Siotjia tidak bawa pulang kembang ?".
"Djangan sebut2 lagi ", djawabnja seraja tersenjum. "Aku diganggu oleh manusia
jang bernama Tok-sian-lie dan Ok-heng-tjia. Kembang2 pada rontok. Apa Djie Ie
belum pulang ?". "Mungkin tak lama lagi ", djawabnja. Alis si nona berkerut.
"Benar tolol ...!", katanja. "Semalaman suntuk belum tjukup untuk ia mengurus
pekerdjaan jang begitu ketjil ". Sehabis mengomel, ia mengadjak kedua tamunja
masuk keruangan tamu dengan kursi-medja jang terbuat dari kaju garu jang sangat
mahal harganja. Disatu sudut ruangan itu terdapat beberapa pot bunga anggrek,
sedang ditembok tergantung sebuah lukisan indah jang memperlihatkan seorang dewi
tjantik dengan pakaian dan ikatan pinggang ber-kibar2 karena ditiup angin. Dalam
kesederhanaannja, ruangan itu jang diperlengkapi dengan perabotan dan hiasan
mahal, kelihatannja meresapkan sekali. "Pemilik rumah ini bukan sembarang orang
", memudji Wan Djie dalam hatinja. Sesudah masing2 mengambil tempat duduk, gadis
itu berkata kepada Ma Goan Thong : "Kau membawa Siauw-moay-tjoe datang kemari,
tapi apa kau tahu siapa adanja dia ?". Ma Goan Thong dan Siangkoan Wan Djie
saling mengawasi, tanpa mendjawab. Nona itu bersenjum. "Kakek dan gurunja adalah
orang2 jang ternama besar ", katanja. "Kakeknja bukan lain daripada penjair
Siangkoan Gie jang kesohor, sedang gurunja adalah Tiangsoen Koen Liang jang
pernah mendjadi Kian-tiam pada djaman Thay-tjong Hong-tee ". Wan Djie terkesiap,
bagaimana gadis itu bisa tahu asal-usulnja setjara begitu djelas ". Ma Goan
Thong pun tidak kurang kagetnja. "Ah ...!", dia mengeluarkan seruan tertahan.


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tak tahu ", suaranja agak gemetar. Sambil mengawasi Wan Djie, nona itu
tertawa dan berkata lagi : "Sekarang ini, nama Siauw-moay-tjoe belum terkenal.
Tapi dihari kemudian, ia pasti bakal mempunjai nama jang lebih besar daripada
gurunja. Menurut pendapatku, pada djaman ini, ia merupakan Tjay-lie (wanita
pintar) nomor satu jang tiada tandingannja. Ma Goan Thong, hari ini kau telah
melakukan pekerdjaan jang sangat bagus." Siangkoan Wan Djie paling senang djika
ilmu suratnja dipudji orang. Maka itu, hatinja bungah dan lantas sadja
menganggap si nona sebagai sahabatnja. Dilain pihak, Ma Goan Thong pun merasa
lega. "Wan Djie ", kata pula gadis itu. "Keluargamu adalah keluarga jang
termasjhur, sedang kau sendiri pun tjerdas luar biasa. Aku merasa pasti kau
paham dengan Khim-kie-Mei-hwa (main khim, main tio-kie, bersjair dan melukis)
". "Aku hanja mengenal kulitnja peladjaran itu ", djawab Wan Djie dengan
merendahkan diri. "Bagus ", kata si nona. "Aku ingin sekali minta kau melukis
sebuah gambar ". Wan Djie heran. "Tjietjie, gambar apa jang harus dilukis ?",
tanjanja. "Aku ingin kau lukiskan gambarnja dua perwira jang telah membunuh
bekas Thaytjoe Lie Hian ", djawabnja. Wan Djie sebenarnja merasa kurang senang,
tapi ia meluluskan djuga permintaan orang. Sesudah mengawasi gambar itu beberapa
saat, si nona lalu menjerahkan kepada Ma Goan Thong. "Aku tak mengerti seni
menggambar, tapi kedua bangsat itu dilukiskan setjara mirip sekali ", kata Ma
Goan Thong. Se-konjong2 diluar terdengar suara tindakan kaki. "Djie Ie Tjietjie
sudah pulang ", kata si budak ketjil sambil tersenjum. "Ia membawa enam orang ".
Dari gurunja, Siangkoan Wan Djie pernah beladjar ilmu Hok-tee-teng-seng (Sambil
mendekam dibumi mendengari suara). Tapi kalau diganggu dengan lain suara, ia
masih belum mampu membedakan djumlah orang jang mendatangi, dengan mendengari
suara tindakannja. Diam2 ia merasa malu, karena kepandaiannja ternjata masih
kalah dari seorang budak. "Suruh Djie Ie sadja jang masuk kemari ", memerintah
si nona. Beberapa saat kemudian, dari luar berdjalan masuk seorang nona muda
jang baru berusia kira2 tudjuh belas tahun dengan menggendong buntalan di
punggungnja dan menjoren golok dipinggangnja, sedang pada koen-nja jang berwarna
ungu, terdapat noda darah. Dari tjara memberi hormat dan sikapnja, ia ternjata
seorang budak dari si djelita. "Apa kau membunuh orang ?", tanja sang madjikan.
"Tidak ", djawabnja. "Aku teIah menjateroni tiga Shoa-tjee (sarang perampok) dan
melukakan empat puluh delapan orang, tapi luka itu semua luka enteng. Enam
orang, kepala dan wakil kepala dari ketiga Shoa-tjee itu, telah ditakluki olehku
dengan mempergunakan Tiam-hiat-hoat (ilmu menotok djalan darah). Sekarang mereka
sudah djinak dan mengikut aku datang kemari " "Hmmm ...! Untuk pekerdjaan jang
begitu ketjil, kau sudah menggunakan tempo begitu lama ", mengomel si nona. Si
budak tersenjum dengan sikap ke-malu2an dan kemudian berkata pula : "Aku pun
telah menjelidiki didalam kota. Pria dan wanita jang harus diselidiki tidak
berada dalam penginapan. Barang2 lelaki itu tidak kedapatan dan aku lalu membawa
pulang buntalan si wanita. Ini dia ...!". Bukan main kagetnja Wan Djie karena ia
segera mengenali, bahwa buntalan itu adalah miliknja sendiri. Sesudah menjambuti
buntalan itu dari tangan budaknja, si nona lalu menjerahkannja kepada Wan Djie.
"Siauw-moay-tjoe, tjoba periksa, kalau2 ada jang hilang ", katanja. "Hmmm ....!
kau sudah perlu menukar pakaian ". Wan Djie tahu, enam kepala pendjahat itu akan
segera dipanggil masuk. "Apa ia sengadja mau menjingkirkan aku, supaja bisa
bitjara dengan leluasa ?", tanjanja didalam hati. "Siauw-moay-tjoe, kau boleh
menukar pakaian dalam kamar tidurku ", kata pula nona itu seraja menuding sebuah
pintu. "Disitu ada sisir dan lain2 alat berhias jang boleh digunakan olehmu ".
Wan Djie tidak berlaku sungkan2 lagi, karena pakaiannja, memang sudah kotor
sekali. ---oo0oo--"TERIMA kasih ", katanja seraja masuk kekamar itu sambil menenteng buntalannja.
Sesudah menguntji pintu, lapat2 ia dengar si nona bitjara dengan budaknja,
disusul dengan suara tertawa. Sambil membuka buntalan, Wan Djie memikiri sikap
nona itu jang sangat aneh, sebentar dingin, sebentar sangat ramah-tamah. Ia
mengambil seperangkat pakaian warna ungu dan selagi menukar pakaian, tiba2 ia
dengar suara orang berkata : "Kami tak tahu sudah berbuat kedosaan apa terhadap
Lie-hiap. Harap Lie-hiap sudi memberitahukan, supaja kami bisa menghaturkan maaf
". Ia kaget sebab suara orang itu kedengarannja tidak asing lagi. Diam2 ia
mengintip dari tjelah pintu dan begitu melihat, ia terkedjut karena enam orang
itu jang sedang berlutut dalam dua baris, adalah tiga rombongan pendjahat jang
pernah bertemu dengannja ditengah djaIan. "Kau orang tidak berdosa terhadapku ",
kata si nona dengan suara dingin. "Tapi aku mau tanja, bendera apa jang
dikibarkan olehmu ?". Salah seorang tertawa djengah. "Ah ... ! Itu hanjalah
kata2 jang biasa digunakan dalam kalangan Liok-lim (Rimba-hidjau, kalangan
pendjahat) ", djawabnja. Wan Djie kenali, bahwa orang itu adalah Lauw Sie jang
pernah mentjambuk mukanja ditengah djalan. "Kata2 apa ...?", bentak si nona.
"Ajo bitjara !". Paras muka Lauw Sie lantas sadja berubah putjat. "Mewakili ...
langit. Mendjalankan ... mendjalankan perbuatan mulia ", djawabnja. Si nona
tertawa njaring. Sesaat kemudian, ia berkata pula dengan suara tadjam :
"Menindas jang djahat, mengangkat jang lemah, menolong sesama manusia jang perlu
ditolong, perbuatan2 itulah jang termasuk sebagai perbuatan mulia. Tapi kamu "
Kamu mentjelakakan orang baik2, merampok rakjat, membudak pada kaum hartawan
djahat dan melakukan lain2 perbuatan terkutuk. Apa itu jang dinamakan mewakili
langit ?". Keenam pendjahat itu saling mengawasi dengan badan bergemetaran.
Beberapa saat kemudian, si nona itu berpaling kepada budaknja seraja berkata :
"Djie Ie, musnahkan ilmu silat mereka, supaja mereka tidak bisa mentjelakakan
orang lagi ". Diantara kawan2-nja, Lauw Sie lah jang bernjali paling besar.
Mendengar perkataan nona itu, ia lantas sadja berteriak : "Lie-hiap, aku ingin
bitjara dulu ". "Djie Ie, tunggu dulu ", kata si nona. "Aku mau dengar apa jang
dikatakan olehnja ". "Teguran Lie-hiap memang tepat sekali ", kata pendjahat
itu. "Tapi kami pun mempunjai kesengsaraan jang tak diketahui orang ". "Apa
itu ?", tanja si nona. "Untuk bitjara terus-terang, kami adalah orang2 jang
bersetia kepada Tjian-tiauw. Biarpun badan kami berada dalam kalangan Liok-lim,
hati kami tetapi bersetia kepada keradjaan jang dulu. Untuk membangunkan kembali
keradjaan Tong, kami terpaksa mendjadi perampok guna mengumpulkan sendjata dan
ransum. Kaum hartawan atau pembesar negeri jang mempunjai hubungan dengan kami,
djuga ingin mengundjuk kesetiaannja kepada Tjian-tiauw " (Tjian-tiauw berarti
Keradjaan jang dulu, jaitu Keradjaan Tong jang berada dalam tangan orang she
Lie. Waktu itu, banjak orang menganggap Tiongkok sudah dirampas oleh keluarga
Boe, Boe Tjek Thian). Sehabis berkata begitu, diam2 Lauw Sie memperhatikan paras
muka si nona. Pada djaman itu, pembesar2 negeri dan rakjat Tiongkok terbagi
djadi dua golongan, jang satu menjokong Boe Tjek Thian, jang lain hendak
merobohkannja. Dengan berkata begitu, Lauw Sie se-olah2 seorang pendjudi jang
telah melempar dadu dan dalam hatinja ia berdoa, agar si nona berada pada
pihaknja. "Mana buktinja ?", tanja nona itu dengan paras tidak berubah. "Bukti
kami tak punja, tapi pada beberapa hari jang lalu, seorang sanak kaisar telah
datang disini dan kami telah menjambutnja ", djawab Lauw Sie. "Ia telah
berdjandji, bahwa pada satu hari akan menggerakkan tentara, ia akan mengangkat
kami mendjadi Liong-kie-touw-wie. Lain bulan, pada malam Bulan Bundar (Tjap-go,
tanggal lima belas penanggalan Imlek), Lie-hiap boleh pergi kepuntjak Ngo-biesan untuk menjaksikan sendiri ". "Menjaksikan apa ?", tanja si nona.
"Menjaksikan sanak kaisar itu memimpin Eng-hiong Tay-hwee (perhimpunan besar
dari orang2 gagah) ", djawabnja "Sesudah menjaksikankan itu, Lie-hiap akan tahu,
bahwa aku tidak berdusta ". "Bukankah sanak kaisar itu bernama Lie It ?", tanja
pula si nona. "Benar ...!", seru Lauw Sie dengan girang. "Ternjata, Lie-hiap
sendirl sudah tahu urusan ini. la adaIah tjutju tulen dari Thay-tjong Hong-tee
". Mendengar disebutnja nama Lie It, Siangkoan Wan Djie djadi semakin ketarik
dan terus memasang kuping sambil menahan napas. Tiba2 nona itu tertawa njaring.
"Kudengar Lie It adalah pemuda paling djempolan diantara sanak keluarga kaisar
dulu ", katanja. "Tapi aku tidak njana, pemandangannja sama sempitnja seperti
pemandangan kawanan manusia seperti kamu, jang menganggap, bahwa negara ini
adalah serupa benda jang dimiliki oleh satu keluarga dan orang dari satu she ".
Bukan main kagetnja Wan Djie dan semua pendjahat itu. Lauw Sie mengeluarkan
seruan tertahan dan berkata dengan suara terputus-putus: "Kau ...!, kau ...! apa
kau penjokong radja iblis jang mentjelakakan dunia ?". Mendadak nona itu tertawa
geli. Ia menengok kepada Djie Ie seraja berkata : "Sudah ribuan tahun orang
lelaki mendjadi kaisar dan tak pernah ada manusia jang banjak mulut. Tapi begitu
lekas muntjul kaisar wanita, mereka lantas sadja rewel. Aku sungguh tak mengerti
apa sebabnja ". "Kaum lelaki memang biasa memandang rendah pada kaum wanita "
kata Djie Ie, "Tapi kenjataannja tidak begitu. Lihat sadja mustika2 ini. Kita
tidak memandang sebelah mata kepada mereka, biarpun mereka lelaki gagah ".
Melihat kawannja membentur tembok, pendjahat jang bernama Lie Tjit lantas sadja
memutar haluan. "Lie-hiap, apa jang sering dikatakan dalam dunia Kang-ouw memang
tepat sekali ", katanja. "Orang sering kata, mendjadi kaisar harus bergiliran.
Tahun ini kau, lain tahun aku, siapa jang berkepandaian, dia boleh mendjadi
kaisar, lelaki atau perempuan tiada bedanja. Aku sendiri tidak menentang Thianhouw ...!". Si nona mengeluarkan suara di hidung. "Manusia sematjam kau berani
mengeluarkan kata2 itu ?", tanjanja dengan suara menghina. "Mendengar
perkataanmu, orang2 gagah dikolong langit bisa mati karena tertawa geli ". Ia
berdiam sedjenak dan berkata pula : "Sedjumlah manusia merasa senang sekali
djika bisa menuduh Thian-houw sebagai orang jang mentjelakakan dunia. Tapi
mengapa mereka tak mau menjelidiki diantara rakjat djelata " Dimata rakjat,
memang ada orang2 jang mentjelakakan sesama manusia, tapi orang itu pasti
bukannja Thian-houw !". "Kami tidak berani berbuat begitu ", kata beberapa
kepala pendjahat itu sambil manggut2-kan kepala. "Untuk mentjelakakan dunia,
memang kamu belum mempunjai kemampuan ", kata si nona. "Tapi tak dapat disangkal
lagi, tak sedikit rakjat tjelaka dalam tanganmu ". Kata2 jang terachir
diutjapkan dengan keras, sehingga enam pendjahat itu ketakutan setengah mati.
"Mohon Lie-hiap ampuni djiwa kami ", mereka meratap. "Aku bersedia untuk
mengampuni djiwamu, tapi tak dapat aku membiarkan kamu berbuat djahat lagi ",
kata nona itu dengan suara keren. "Djie Ie ...! Musnahkan ilmu silat mereka !".
Sesaat kemudian, dengan djantung memukul keras, Wan Djie mendengar serentetan
teriakan menjajatkan hati, sebagai tanda, bahwa budak perempuan itu sedang
melakukan perintah madjikannja. Sesudah teriakan2 berhenti, Wan Djie memandang
keadaan kamar itu. Mendadak ia terkesiap. "Tjelaka ...!", katanja dengan suara
ditenggorokan. "Tadi aku telah menjuruh dia membunuh Boe Tjek Thian ...!". Apa
jang dilihatnja " Sebuah lukisan jang tergantung ditembok dan lukisan itu adalah
gambarnja Boe Tjek Thian !. Diwaktu ketjil, satu-dua kali ia pernah lihat wadjah
kaisar wanita itu. Tapi pada masa itu, ia tidak mendapat kesan jang mendalam dan
hanja merasa, bahwa Boe Tjek Thian adalah seorang wanita "tjantik". Tapi
sekarang, dalam gambar itu dia bukan sadja melihat ketjantikan, tapi djuga
keangkeran jang tidak dipunjai oleh manusia biasa. Tanpa merasa ia menghela
napas dan berkata dalam hatinja : "Sudahlah ...! Dalam penitisan ini, sakit
hatiku jang besar tak akan bisa dibalas ". Ditembok seberang djuga tergantung
sebuah gambar seorang wanita muda jang sedang bersilat dengan pedang dalam taman
bunga, dan pada gambar itu tertulis sjair jang berbunji seperti berikut :
"Sinar bulan gilang-gemilang Sinar pedang berkeredepan, Tangan mentjekal pedang,
Melindungi bunga ditaman. Asal sama2 berbahagia, 'Ku tak menampik tjapai lelah'
" ('Ku tak menampik tjapai lelah'. Dalam bait itu mempunjai arti, Negara dalam
tangan wanita). Dibawah sjair itu terdapat pula huruf2 jang berbunji seperti berikut :
"Keponakan Hian Song paling suka bersilat pedang diantara bunga2. Maka itu, kami
memerintahkan Lam Tian melukis gambar ini dan menghadiahkan djuga sjair ini
kepadanja. 'Boe Tjiauw' "
"Tjiauw" adalah nama lain dari Boe Tjek Thian. Huruf "Tjiauw" jang terdiri dari
huruf2 "djit" (matahari), "goat" (bulan) dan "kong" (langit), adalah sebuah
huruf baru gubahan kaisar itu sendiri. Dengan demikian pula dengan huruf
"Tjiauw" diartikan sebagai "matahari dan rembulan jang memantjarkan sinarnja
dilangit". Dari sini orang dapat me-raba2 sombongnja kaisar wanita itu. Sesudah
membatja sjair tersebut, bukan main kagetnja Wan Djie. Sekarang ia tahu, bahwa
nona itu bernama Boe Hian Song, adalah keponakan perempuan Boe Tjek Thian.
Dilihat dari sjair itu, Lam Tian mungkin sekali seorang pelukis istana, sedang
sjair tersebut adalah gubahan kaisar wanita itu sendiri. Dimata Wan Djie, sjair
itu bukan hasil sastra jang tinggi. Namun tetapi, mau tak mau, si nona merasa
kagum akan keberanian Boe Tjek Thian untuk mentjiptakan sesuatu jang baru. Dalam
sjair itu ditulis : "Tangan mentjekal pedang, melindungi bunga ditaman ". Kata2
"bunga" bukan bunga2 jang biasa, tapi "segala apa jang indah". Menurut buah
kalam penjair2 dulu, "orang jang melindungi bunga", selamanja orang lelaki. Tapi
dalam sjairnja Boe Tjek Thian, jang melindungi bunga adalah seorang wanita. Bait
"Mentjekal pedang melindungi bunga" berarti "mentjegah setiap pertjobaan
pemberontakan". Tak usah dikatakan lagi, nada sjair itu adalah nada suara
seorang jang berkuasa, sehingga biarpun hatinja sangat membentji, Siangkoan Wan
Djie terpaksa mengagumi kebesarannja kaisar wanita itu. Dilain saat, nona
Siangkoan bergidik dan bangun bulu romanja, karena ia mengerti, bahwa dirinja
se-olah2 berada dimulut harimau. Ilmu silat Boe Hian Song, jang tahu asalusulnja, beberapa ratus kali lipat lebih tinggi daripada dirinja dan ia sekarang
sedang berada dalam kamar tidur gadis itu !. Tiba2 diluar kamar terdengar
bentakan si budak perempuan ketjil : "Sudah ! Ajo keluar !". Buru2 Wan Djie
mengintip lagi dan ia lihat keenam kepala pendjahat itu berdjalan keluar sambil
merintih dengan perlahan. "Djie Ie ", kata si nona Hian Song seraja tertawa.
"Sesudah beberapa tahun kau mengikuti aku, hari ini kau telah mengerdjakan
pekerdjaan jang paling menjenangkan hatiku ". Baru habis ia berkata begitu,
datang lagi seorang tamu, jaitu seorang perwira, jang begitu bertemu dengan si
nona, lantas sadja menekuk lututnja. "Atas titah Thian-houw, aku datang untuk
menengok Sio-tjia ", katanja dengan suara menghormat. "Apakah kau orang
sebawahan Khoe Sin Soen ?", tanja Boe Hian Song. "Benar ", djawabnja. "Mengapa
Khoe Sin Soen membunuh bekas Thay-tjoe Lie Hian ?", tanja pula si nona.
"Bangun !. Beritahukan aku se-djelas2-nja ". Perwira itu terkedjut. "Apa benar
ada kedjadian begitu ?", ia menegas. "Sedikitpun aku tak tahu ". "Bagaimana
keadaan didalam kota ?". "Begitu masuk kedalam kota, Khoe Tay tjiang-koen segera
menutup pintu kota. Aku tak tahu, apa jang terdjadi pada waktu itu ". "Selain
menutup pintu kota, apa lagi jang dilakukan olehnja ?". "Mengumpulkan semua
perwira. Aku sendiri dipermisikan keluar kota karena mendapat titah Thian-houw
untuk menengok Siotjia ". "Apa ada perwira jang jang tidak melaporkan diri ?".
"Ada dua orang, jaitu Tjo-koen Touw-wie Thia Boe Ka dan Sian-heng-khoa Han Eng.
Sio-tjia, inilah surat Thian-houw untukmu ". Si nona menjambut surat itu, tapi
tidak membukanja. "Bersama kedua budakku, sekarang djuga kau harus kembali
kedalam kota dan menemui Khoe Tjiangkoen ", katanja. "Khoe Tjiangkoen memang
ingin mengundang Sio-tjia ", kata perwira itu. "Beritahukanlah kepadanja, bahwa
aku akan menemuinja, sesudah membekuk kedua orang itu ", kata si nona. "Hari ini
aku harus segera kembali ke kotaradja ", menerangkan perwira itu. "Apakah Siotjia tidak mau menulis surat balasan untuk Thian-houw " Thian-houw sangat
memikiri kau ". "Tidak, aku tak sempat ", djawabnja. "Tolong beritahukan Thianhouw, bahwa aku tak ingin datang di Tiang-an. Baiklah, kau boleh berangkat
sekarang ". Sesudah perwira itu dan kedua budak perempuannja berangkat, Boe Hian
Song pun lantas turut berdjalan keluar. Tapi baru beberapa tindak, ia balik
kembali dan mengetuk pintu kamar tidurnja. Wan Djie terkedjut. Sambil mentjekel
gagang pedang, ia melompat ke samping pintu, siap-sedia untuk bertempur. Tiba2
terdengar suara tertawa "Siauw-moay-tjoe ", kata nona itu. "Apa kau sudah
menukar pakaian " Aku mau keluar dulu untuk suatu urusan. Djika suka, kau boleh
mengaso dalam kamarku dan tunggulah sampai aku kembali ". Wan Djie tidak
menjahut. Sesaat kemudian terdengar pula suara nona Boe: "Ma Goan Thong, kau
boleh ikut aku ". Kedua orang itu lantas sadja berangkat dan sesudah mereka
keluar dari pintu, hati Wan Djie baru lega. Wan Djie membuang napas. Mengingat
kedjadian2 jang baru dialaminja, ia se-olah2 baru tersadar dari impian jang
menakutkan. Dengan hati ber-debar2, beberapa pertanjaan berkelebat dalam
otaknja. Boe Hian Song terang2-an tahu, bahwa ia bermaksud membunuh Boe Tjek
Thian. Tapi mengapa nona itu membiarkan ia berdiam seorang diri didalam
gedungnja ". "Djika mau, dia bisa membunuh aku seperti orang membalik tangan ",
pikirnja. "Apa maksudnja " Apa ia bermaksud baik atau bermaksud djahat ?".
Sesudah mengasah otak beberapa saat, ia segera menarik kesimpulan, bahwa biar
bagaimanapun djua, djalan jang paling baik adalah meninggalkan gedung itu
setjepat mungkin. Maka itu, sesudah berdandan beres, ia segera berdjalan keluar
dari rumah Boe Hian Song. Waktu itu matahari baru sadja muntjul disebelah timur
dan hawa pagi jang sedjuk telah menjegarkan badan Wan Djie jang letih. Tak lama
kemudian, ia masuk kedalam hutan tho jang sedang berkembang, sehingga ia seolah2 berdjalan dibawah lautan bunga. Sembari berdjalan, otaknja bekerdja terus.
Kemana ia harus pergi " Balik ke Kiam-kok dan hidup mengasingkan diri " Pergi ke
kotaradja untuk tjoba membunuh Boe Tjek Thian " Kemana "
---oo0oo--KIRA2 sebulan kemudian, pada waktu bulan jang bundar memantjarkan sinarnja jang
gilang-gemilang, seorang gadis djelita kelihatan sedang mendaki puntjak gunung
Ngo-bie-san. Gadis itu bukan lain daripada Siangkoan Wan Djie. Sesudah memikir
bulak-balik, ia achirnja mengambil keputusan untuk mendaki Ngo-bie-san, karena
menurut keterangan Lauw Sie, pada Tjap-go malam, Lie It akan mengetuai Eng-hiong
Tay-hwee (perhimpunan besar orang2 gagah) diatas puntjak Kim-teng. "Ngo-bie
Thian-hee-sioe" (Gunung Go-bie merupakan keindahan dikolong langit), demikian
dikatakan orang. Kata2 itu memang tepat sekali, karena gunung tersebut mempunjai
pemandangan alam jang sangat indah. Dan keindahan Ngo-bie pada malam terang
bulan, sungguh2 sukar dilukiskan. Dibawah sinar rembulan jang putih bagaikan
perak dengan diselimuti awan2 jang bertjorak tak henti2-nja, puntjak2 jang
beraneka-ragam bentuknja seperti djuga mengenakan selendang sutera tipis jang
me-lambai2 menurut tiupan sang angin, dalam suatu suasana jang damai dan tenang.
Tapi si nona tak bisa menikmati keindahan itu, karena pikirannja sangat
terganggu. Semendjak berpisahan dengan Lie It, ia selalu mengingat dan memikiri


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keselamatan pemuda itu. Sembari berdjalan, ia bertanja pada dirinja sendiri :
"Apa benar ia datang pada malam ini " Apa benar ia akan menerbitkan
gelombang ?". Sakit hatinja terhadap Boe Tjek Thian mungkin lebih hebat daripada
pemuda itu. Tapi ia menjangsikan, apakah tindakan Lie It, jang pasti akan
meminta banjak korban dan mengutjurkan banjak darah, adalah tindakan jang benar.
Ia tiba di Ngoo-bie-san kemarin pagi dan selama dua hari, ia ber-putar2 digunung
itu untuk menjelidiki djalanan jang menudju kepuntjak Kim-teng. Dan sekarang, ia
sedang naik kepuntjak tersebut. Bulan naik semakin tinggi dan kadang2 kesunjian
malam dipetjahkan oleh aum harimau atau bunji kera, tapi sebegitu djauh, ia
belum mendengar suara tindakan manusia. "Apa dia akan datang " Ataukah Lauw Sie
berdusta ?". Pertanjaan2 itu terus mengganggu pikirannja. Dalam hati ketjilnja,
ia sebenarnja lebih senang djika Enghiong Tay-hwee tidak djadi diadakan. Sesudah
melewati Houw-tjoe-po, Kim-teng, atau Puntjak Emas, sudah berada didepan mata.
Pada saat itulah disebuah tandjakan mendadak terlihat berkelebatnja dua bajangan
manusia, jang jika dilihat dari gerakannja, bukan Lie It adanja. "Achirnja
mereka datang djuga ", kata si nona dalam hatinja. Ilmu mengentengkan badan
kedua orang itu tidak seberapa tinggi dan dengan mengambil djalan memutar, Wan
Djie telah mendahului mereka dan tiba lebih dulu dipuntjak Kim-teng. Dengan
memperhatikan kedudukan bumi, ia menduga, bahwa perhimpunan para orang gagah itu
bakal diadakan di Thian-lie-peng, sebidang tanah datar jang terletak diatas Kimteng. Ngo-bie-san terdiri dari beberapa gunung, seperti Toa-go, Djie-go, Sam-go
dan Soe-go. Toa-go dan Djie-go ber-hadap2-an dan kedudukannja seperti djuga
sepasang alis (bie). Kedua gunung inilah jang menjebabkan kelompok gunung2 itu
diberi nama Ngo-bie-san. Diantara empat gunung itu. Toa-go lah jang paling
Cinta Di Dalam Gelas 2 Wasripin Dan Satinah Karya Kuntowijoyo Kisah Pedang Di Sungai Es 7

Cari Blog Ini