Ceritasilat Novel Online

Memburu Putera Radja 4

Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen Bagian 4


hamba adalah Ong Kang. Ia mempunjai seorang paman jang pernah mendjabat pangkat
tinggi ". "Pangkat apa ?". "Tjioe-hoe dari kota Pa-tjioe ". "Oh begitu " Kami
pertjaja keteranganmu. Akan tetapi, dalam memeriksa perkara, orang tak boleh
mendengar keterangan sepihak sadja. Lie Tjioe-hoe jang sekarang berkuasa dikota
Pa-tjioe adalah seorang pembesar jang bidjaksana. Sekarang kami akan menulis
seputjuk surat kepada Lie Tjioe-hoe untuk memerintahkan supaja ia periksa
perkaramu sampai se-terang2nja dan se-adil2nja. Kau boleh membawa sendiri surat
itu dan menjerahkannja kepada pembesar tersebut. Legakanlah hatimu, ia pasti tak
akan melindungi ok-pa (orang djahat jang berpengaruh besar) itu. Disamping itu,
aku djuga memerintahkan supaja isteri Lie Tjioe-hoe menemui tjalon menantumu dan
menanjakan, apa benar ia dipaksa menikah dengan orang lain ". Thio Loosam djadi
girang bukan main. "Tjalon menantuku adalah seorang wanita jang putih bersih ",
katanja, "Sesudah dirampas, ia berkeras menolak kemauan keluarga Ong. Si orang
she Ong djuga tahu, bahwa hamba sedang mengadjukan pengaduan dan sebelum perkara
ini beres, dia tidak berani terlalu memaksa. Tjalon menantuku hanja dikurung
dalam rumahnja. Baiklah, tindakan Thian-houw Piehee untuk menanja tjalon
menantuku itu, adalah tindakan jang sangat bidjaksana ". Sesudah Boe Tjek Thian
menulis surat, ia segera menjambutnja sambil berlutut dan kemudian berlalu dari
kamar itu. ---oo0oo--SESUDAH mengaso beberapa saat, kaisar wanita itu membolak-balik pula tumpukan
surat jang berada diatas medja dan kemudian berkata kepada thaykam tua itu :
"Panggil Tek Djin Kiat ". Mendengar nama itu, Siangkoan Wan Djie terkedjut. Tek
Djin Kiat adalah seorang pembesar ternama jang sangat dihormati oleh segenap
rakjat dan jang pernah dipudji tinggi oleh Tiangsoen Koen Liang. Pada djaman
Kho-tjong Hongtee, ia pernah mendjabat pangkat Tay-lie-sin dan selama satu
tahun, ia memeriksa dan membereskan tudjuh belas ribu perkara, antaranja banjak
perkara sulit. Wan Djie kaget tertjampur heran, karena seorang jang seperti Tek
Djin Kiat sudah rela bekerdja dibawah perintahnja Boe Tjek Thian. "Biar
bagaimanapun djua, tak dapat disangkal dia pandai sekali menggunakan orang ",
pikirnja, "Thian-houw Piehee, ada urusan apa memanggil hamba datang kemari ?",
tanja Tek Djin Kiat sambil berlutut. "Duduklah ", kata Boe Tjek Thian. "Hari ini
kami sudah memeriksa beberapa perkara, dengarlah !". Mendengar perkataan sang
djundjungan, pembesar itu kelihatan kurang senang. "Eh, mengapa kau kurang
senang ?", tanja Boe Tjek Thian. "Apakah kami sudah memberi putusan jang
keliru ?". "Pandangan Thian-houw Piehee terang bagaikan katja dan belum pernah
membuat kesalahan ", djawabnja. "Kalau begitu, mengapa Tek-keng (menteriku Tek)
mengerutkan alis ?", tanja pula kaisar wanita itu. "Hamba merasa djengkel karena
kuatir akan keselamatan Thian-houw Piehee ", djawabnja. "Perkara2 jang seperti
itu tidak dapat dihitung berapa banjaknja. Apakah Piehee bisa memeriksa semuanja
" Hamba dengar Kaisar Giauw dan Soen jang terkenal arif-bidjaksana djuga tidak
mengurus semua pekerdjaan ". "Kami mengerti maksudmu jang sangat baik ", kata
Boe Tjek Thian. "Kami memang harus mempunjai lebih banjak pembantu jang pandai.
Kami memanggil kau djustru untuk meminta bantuanmu. Tjobalah besok Tek-keng
periksa perkara2 ini ". Sehabis berkata begitu, ia mendjumput tumpukan surat2
itu jang lalu diserahkan kepada Tek Djin Kiat. "Tek-keng, dalam mengikuti kami
melakukan perdjalanan ini, apakah kau mendapatkan pembesar2 jang dapat digunakan
didalam djabatan2 penting ?", tanja Boe Tjek Thian. "Orang jang duluan
dipudjikan oleh hamba, belum diberikan tugas jang penting ", kata Tek Djin Kiat.
"Siapa ?". "Thio Kian Tjie, Tiang-sie dari kota Keng-tjioe ". "Bukankah kami
sudah menaikkan pangkatnja djadi Soe-ma dari kota Louw-tjioe ?". "Thio Kian Tjie
mempunjai kepandaian dari seorang perdana menteri. Djika Thian-houw Piehee hanja
mengangkatnja sebagai Soe-ma dari kota Louw-tjioe, tidaklah dapat dikatakan,
bahwa Piehee sudah memberikan tugas penting kepadanja ". Mendengar perkataan
menterinja, Boe Tjek Thian berdiam sedjenak dan kemudian berkata pula : "Hanja
sajang usianja sudah terlalu tua ". "Djabatan perdana menteri bukan djabatan
sematjam pesuruh jang harus dilakukan dengan menggunakan tenaga muda ", kata Tek
Djin Kiat. "Mengapa Piehee mempersoalkan tua atau muda, tampan atau djelek "
Walaupun Thio Kian Tjie seorang tua jang beroman djelek, tapi ia lebih menang
ribuan kali lipat, laksaan kali lipat, daripada kedua saudara Thio Ek Tjie dan
Thio Tjiang Tjong ". Mendengar perkataan itu, bukan main kagetnja Wan Djie. "Tek
Djin Kiat benar-benar berani mati ", pikirnja. "Ia sudah berani menjindir sang
djungdjungan ". Thio Ek Tjie dan Thio Tjiang Tjong adalah dua saudara jang
berusia muda, berparas tampan dan pandai menabuh tabuh2-an. Mereka telah
dipanggil masuk kedalam keraton dan diberi pangkat Kong-hong (pelajan atau
pesuruh keraton). Menurut katanja orang, mereka adalah "gula2" kaisar wanita
itu. Hal ini pernah disebutkan djuga oleh Tiangsoen Koen Liang dan dianggap
sebagai salah satu kedosaan Boe Tjek Thian jang disiarkan oleh mereka jang
menentangnja. Tapi diluar dugaan nona Siangkoan, Boe Tjek Thian tidak mendjadi
gusar. Ia bersenjum dan berkata : "Thio Ek Tjie dan saudaranja mana bisa
dibandingkan dengan Thio Kian Tjie " Sebab musabab mengapa kami memberikan
pangkat Kong-hong kepada mereka adalah karena mereka mengerti seni musik dan
dapat memberi hiburan, djika kami sedang djengkel. Kedudukan mereka tidak lebih
dari pada dajang keraton. Sekarang kami berusia enam puluh satu tahun dan sudah
tak usah memperdulikan lagi segala omongan jang tidak2 ". "Walaupun begitu,
hamba rasa alangkah baiknja djika Thian-houw Piehee mendjauhkan diri dari segala
manusia rendah dan lebih mendekati manusia2 utama (Koentjoe) ", kata Tek Djin
Kiat. "Terima kasih atas nasehat Tek-keng ", kata sang djungdjungan. "Mengenai
Thio Kian Tjie, sesudah pulang ke kotaradja, kami akan menaikkan pangkatnja satu
tingkat lagi dan djika ia ternjata seorang pandai, kami tentu akan memberikan
pangkat perdana menteri kepadanja ". Sesudah mendapat djaminan itu, barulah Tek
Djin Kiat tidak membuka mulut lagi. "Malam ini kami masih ingin merundingkan
suatu urusan jang sangat penting dengan kau ", kata pula Boe Tjek Thian. "Kau
tunggulah ". Baru habis ia berkata begitu, si thaykam tua sudah masuk dengan
mengadjak seorang wanita muda, jang segera memberi, hormat dengan berlutut. Wan
Djie segera mengenali, dia adalah Djie Ie, budaknja Boe Hian Song. Dengan
djantung memukul keras, ia menahan napas karena kuatir kedatangannja diketahui
oleh budak jang lihay itu. "Apa Hian Song turut datang ?", tanja Boe Tjek Thian.
"Siotjia telah menitip seputjuk surat untuk Thian-houw Piehee ", djawabnja.
"Urusan di Pa-tjioe dan digunung Ngo-bie-san telah diterangkan se-djelas2-nja
dalam surat ini ". Kira2 seminuman teh kaisar wanita itu membatja surat Hian
Song. Sehabis membatja, ia tertawa seraja berkata : "Ah Hian Song pun
kelihatannja ingin mendjadi kaisar wanita !". Tek Djin Kiat kelihatan kaget.
"Tek-keng tak usah kaget ", kata pula sang djungdjungan. "Hian Song adalah
keponakan kami sendiri. Ia bukan mau merebut kedudukan kami, tapi ingin merampas
kedudukan kaisar tanpa mahkota didalam Rimba Persilatan ". "Semangat anak itu
tidak ketjil! Tapi, untuk mendjadi pemimpin besar seseorang tidak boleh hanja
mengandalkan ilmu silatnja. Pergilah kau memberitahukan perkataan kami kepadanja
". Djie Ie mengijakan dan berkata : "Siotjia sedang mengubar Lie It dan mungkin
sekali ia tidak dapat datang di Tiang-an ". Sekali lagi Wan Djie terkedjut. "Tak
heran hari itu Hian Song meninggalkan aku ", pikirnja. "Kalau begitu, dia
mengedjar Lie It. Aku harap sadja Tuhan melindunginja supaja ia tak sampai
dibekuk ". "Apa kau pernah bertemu, dengan Lie It ?", tanja Boe Tjek Thian.
"Bertemu, dipuntjak Kim-teng, gunung Ngo-bie-san ", djawabnja. "Siotjia telah
mengadu pedang dengannja. Waktu itu ia baru sadja mendjadi Beng-tjoe dari apa
jang dinamakan Eng-hiong Tay-hwee. Dalam pertandingan itu, ia telah dikalahkan
oleh Siotjia ". Boe Tjek Thian menghela napas. "Tak dinjana, Lie It djuga
menentang kami ", katanja dengan suara perlahan. "Tadinja kami menganggap, bahwa
dalam keluarga Lie, dialah jang berpemandangan paling luas ". Ia berdiam
sedjenak dan berkata pula sambil mengangsurkan surat Hian Song kepada Tek Djin
Kiat. "Surat ini membuka kedok dari persekutuan Tjie Keng. Tjoba kau batja ".
Sesudah itu, ia berpaling kepada Djie Ie seraja berkata : "Pengatjauan Hian Song
dan kau dipuntjak Kim-teng sangat menggembirakan, bukan ?". "Benar ", djawabnja.
"Hamba belum pernah berkelahi begitu hebat. Kami menghadjar djago2 itu, sehingga
mereka lari lintang-pukang. Sungguh menggembirakan !". "Nah ...! Untuk djasamu
itu kami menghadiahkan setjangkir teh ", kata sang djungdjungan sambil tertawa.
"Tjoba kau tjeriterakan djalannja pertempuran ". Djie Ie menghirup teh jang
dihadiahkan itu, kemudian menuturkan djalannja pertempuran dengan bersemangat.
Sesudah budak itu selesai dengan tjeriteranja, Boe Tjek Thian segera berkata :
"Kau sudah tjapai, pergilah tidur. Sekalian keluar, suruhlah mereka membawa
kedua perwira pemberontak itu kepadaku ". "Ilmu silat mereka sudah dimusnahkan
oleh Siotjia, tapi mereka masih galak sekali ", kata Djie Ie. "Kami mau lihat
sampai dimana kegalakannja ", kata Boe Tjek Thian. "Kau pergilah ". Budak itu
tidak berani banjak bitjara lagi dan sesudah memberi hormat sambil berlutut, ia
segera keluar dari ruangan itu.
---oo0oo--BEBERAPA saat kemudian, dua orang boesoe menggusur dua perwira pemberontak itu
jang kedua tangannja terborgol. Wan Djie lantas mengenali, bahwa mereka memang
benar adalah orang orang jang sudah membunuh Lie Hian. Sikap mereka angkuh
sekali dan sesudah berhadapan dengan Boe Tjek Thian, mereka masih berdiri tegak.
Tanpa bitjara lagi, kedua boesoe itu menendang dan karena sudah tidak memiliki
lagi kepandaian silat, dengan serentak mereka roboh berlutut. "Tak boleh kau
berbuat begitu ", menegur Boe Tjek Thian. "Sesudah kedosaan mereka terbukti,
mereka dapat dihukum menurut undang2 negara ". Mendengar perkataan Boe Tjek
Thian, kedua perwira itu jang sudah menunggu pukulan2, mengangkat kepala dan
hati mereka bergontjang keras karena melihat sorot mata jang tadjam bagaikan
pisau, sehingga tjatjian jang sudah disediakan mereka tidak dapat dikeluarkan.
Sambil membolak-balik surat2 diatas medja, Boe Tjek Thian berkata dengan suara
perlahan : "Apakah kamu Thia Boe Ka jang berpangkat Touw-wie dan Han Eng jang
berpangkat Sian-heng-khoa, dibawah perintah Khoe Sin Soen?". "Kalau kau mau
bunuh, bunuhlah !. Perlu apa rewel2 ?", teriak Han Eng. Boe Tjek Thian tidak
menggubris, tapi segera menanja pula dengan suara sabar : "Thia Boe Ka, bukankah
kau saudaranja Tay-tjiang-koen Thia Boe Teng ?". "Seorang laki2, berani berbuat
berani menanggung-djawab ", kata Thia Boe Ka tanpa mendjawab pertanjaan kaisar
wanita itu. "Benar ...! Benar aku jang membunuh anak mustikamu. Aku jang
melakukan itu dan tiada sangkut-pautnja dengan orang lain. Kalau kau me-njeret2
keluargaku, akupun tidak takut. Namamu akan tertjatat dalam sedjarah sebagai
boe-to hoen-koen (radja jang menjeleweng) ". "Benarkah ?", menegas Boe Tjek
Thian. "Benarkah tiada sangkut-pautnja dengan orang lain " Apa benar kau
melakukan perbuatan itu atas kemauan sendiri, tanpa disuruh orang ?". Ia
mengulangi pertanjaan itu beberapa kali sambil menatap wadjah Thia Boe Ka dengan
sorot mata jang sangat berpengaruh. Tiba2 Boe Ka mendongak dan berkata dengan
suara menjindir : "Kau perlu tahu djuga " Baiklah. Orang jang menjuruh aku
adalah Khoe Sin Soen, Tjo-kim-gouw Tay-tjiang-koen jang paling dipertjaja olehmu
!". Boe Tjek Thian tertawa dingin. Ia berpaling kepada Tek Djin Kiat seraja
berkata : "Tek-keng, tolong kau menulis firman untuk menghibur Khoe Sin Soen,
supaja ia tidak terlalu memikiri kedjadian ini. Katakanlah, bahwa kami sudah
memeriksa perkara ini dan sudah terbukti, bahwa pembunuhan itu tiada sangkutpautnja dengannja ". Tek Djin Kiat mengijakan sambil membungkuk dan sambil
tertawa ia berkata kepada Thia Boe Ka : "Thian-houw mempunjai pemandangan jang
sangat tadjam. Mana dapat kau memfitnah Khoe Tay-tjiang-koen. Aku menasehati
kau, supaja kau mengaku sadja se-terang2-nja ". "Baiklah ", kata pula Boe Tjek
Thian. "Kau mengatakan, bahwa perbuatanmu itu tiada sangkut-pautnja dengan orang
lain. Sekarang kami ingin menanja, mengapa kau membinasakan putera kami " Apakah
dia telah melakukan perbuatan jang mentjelakakan rakjat ?". "Jang mentjelakakan
rakjat adalah kau ...!", bentak Thia Boe Ka. "Kau sudah merampas tachta
keradjaan dan membunuh menteri2 setia. Kau membunuh orang, apa orang tidak bisa
membunuh anakmu ?". "Kami tidak pernah mentjelakakan rakjat, tapi hal ini tak
usah diributi sekarang ", kata kaisar wanita itu dengan suara sabar. "Tapi
andaikata kami berdosa, kedosaan itu tiada sangkut-pautnja dengan putera kami.
Mengapa kau membunuh dia ?". Berkata sampai disitu, Boe Tjek Thian naik darahnja
dan ia melandjutkan perkataannja dengan suara keras dan gemetar : "Kau menuduh
kami sebagai seorang kedjam jang sudah membunuh banjak menteri besar. Tapi
bagaimana dengan perbuatanmu sendiri " Kamu sudah membunuh putera kami, tapi
sudah berbuat begitu rupa, sehingga menerbitkan dugaan, bahwa kamilah jang sudah
menjuruh orang untuk melakukan perbuatan itu, supaja rakjat mentjatji kami
sebagai seorang ibu jang sudah membunuh anaknja sendiri ! Kamu bukan sadja sudah
membinasakan seorang pemuda jang tidak berdosa, tapi djuga sudah menghantjurluluhkan hatinja seorang ibu. Apakah itu bukan perbuatan kedjam " Djawab !
Dikolong langit, apakah ada perbuatan jang lebih beratjun daripada itu " Hajo
djawab !". Mendengar perkataan Boe Tjek Thian jang sangat bernapsu, kedua
pembunuh itu tidak dapat mengeluarkan sepatah kata dan mereka menundukkan kepala
untuk menjingkir dari sorotan mata jang setadjam pisau. "Thian-houw Piehee
djangan terlalu berduka ", kata Tek Djin Kiat dengan suara membudjuk.
"Serahkanlah kedua manusia ini kepada hamba, supaja hamba bisa mendjatuhkan
hukuman setimpal kepada mereka ". "Hukuman apa jang kau ingin djatuhkan ?",
tanja sang djungdjungan. "Menurut undang2 negara, hutang djiwa harus dibajar
dengan djiwa djuga ", djawabnja. "Untuk orang jang membunuh putera kaisar,
hukumannja ditambah setingkat dan dia mesti mati dengan hukuman pitjis ". "Tidak
", kata Boe Tjek Thian sambil menggelengkan kepala. "Sebelum memeriksa terang,
kau sudah menarik kesimpulan. Tak dapat kami menjerahkan perkara ini kepada Tekkeng ". Tek Djin Kiat kaget. "Maaf, Thian-houw Piehee, hamba belum mengerti akan
teguran Piehee ", katanja. "Hamba mohon Piehee sudi memberi petundjuk jang lebih
terang ". "Sebelum memeriksa dengan saksama, Tek-keng sudah menarik kesimpulan,
sehingga dengan begitu, kau bisa berbuat keliru dalam menetapkan hukuman ",
djawabnja. "Tapi bukankah mereka sudah mengakui kedosaan mereka ?", tanja Tek
Djin Kiat. "Tapi dalam perkara bunuh sering terdapat dua orang jang berdosa,
jaitu orang jang menjuruh dan orang jang disuruh melakukan pembunuh itu ",
djawab Boe Tjek Thian. "Sebelum mendjatuhkan hukuman, hal ini harus diselidiki
dulu se-terang2-nja ". Sehabis berkata begitu, ia mengirup teh dan berkata pula
dengan suara perlahan : "Siapa jang memerintahkan kamu " Bitjaralah terus terang
". Han Eng mengangkat kepalanja dan melirik sang djungdjungan, tapi ia lantas
menunduk lagi. "Djika kamu tidak memberitahukan nama orang itu, kamu tentu akan
mendapat hukuman pitjis ", kata pula Boe Tjek Thian. "Apa ada harganja untuk kau
mewakili hukuman orang lain " Apa kamu rela ?". "Bitjara atau tidak, nasib kami
adalah sama djuga ", kata Thia Boe Ka dengan suara keras. "Tak mungkin kau
melepaskan kami ". "Hukuman jang didjatuhkan kepada orang jang disuruh lebih
enteng setingkat dari orang jang menjuruh ", kata Boe Tjek Thian. "Djika kamu
memberitahukan nama pengkhianat itu, kamu berdjasa dan dengan melihat besarketjilnja djasa, hukuman kamu dapat dikurangi lagi. Sesudah kamu memberitahu
nama si penjuruh, kamu tetap akan dihukum, tapi mungkin sekali, kamu akan
dibebaskan dari hukuman mati ". "Apa kau bitjara sungguh2 ?", tanja Thia Boe Ka.
"Seorang kaisar tidak boleh bitjara main2 ", djawabnja. Membunuh putera kaisar
adalah kedosaan jang tidak dapat diukur bagaimana besarnja. Kedua perwira itu
sudah menganggap, bahwa diri mereka pasti bakal mati dan mimpipun mereka tak
pernah mimpi, bahwa mereka masih bisa terluput dari kebinasaan. Dengan adanja
harapan itu, kenekatan mereka lantas sadja hilang. "Kami sudah diperdajai oleh
orang jang menjuruh kami ", kata Han Eng dengan suara gemetaran. "Dia
mengatakan, bahwa Piehee adalah seorang kedjam jang mentjelakaan ummat manusia.
Tapi sekarang kami mendapat kenjataan, bahwa Thian-houw Piehee seorang jang
welas-asih dan sangat mulia ". "Lekas beritahukan namanja orang jang menjuruh
kau ", kata Boe Tjek Thian. "Apa Tjie Keng ?". "Bukan ", djawab Han Eng.
"Biarpun Gouw-kok-kong ingin memberontak, tapi ia bukan manusia rendah. Orang
jang menjuruh kami jalah ... jalah ...". "Siapa ?". "Thian-houw Piehee tak akan
dapat menduga ", kata Thia Boe Ka. "Dia adalah Tiong-soe-leng Pwee Yam !". Pada
djaman keradjaan Tong, pangkat Tiong-soe-leng adalah pangkat jang sangat tinggi
dan tiada berbeda dengan seorang perdana menteri. "Ah ...!", kaisar wanita itu
mengeluarkan seruan tertahan. "Benar2 kami tak pernah menduga. Pwee Yam manis
mulutnja dan djuga pandai bekerdja. Kami sungguh tak pernah menduga, bahwa dia
pengkhianat. Tapi ada baiknja djuga. Bisul jang sudah kelihatan diluar kulit
lebih baik daripada penjakit didalam perut ". Ia menengok kepada Tek Djin Kiat
dan berkata pula : "Belakangan ini, kamipun merasa ada sesuatu jang luar biasa
dalam dirinja Pwee Yam. Hanja kami tak pernah mimpi, bahwa dia begitu djahat.
Hmh ...! Menteri2 banjak jang memudji kami sebagai seorang jang pandai
menggunakan orang. Tapi dalam hal ini, kami masih kalah djauh dari Thaytjong
Hongtee (Lie Sie Bin) !". "Dari djaman purba sampai sekarang, Thianh-ouw Piehee
adalah Seng-bo (nabi wanita) pertama jang memegang kendali pemerintahan ", kata
Tek Djin Kiat. "Piehee adalah seorang luar biasa jang mempunjai tanggung-djawab
jang luar biasa pula. Orang2 jang menentang Piehee tentu sadja lebih banjak
djumlahnja daripada orang2 jang menentang Thaytjong Hongtee. Diantara mereka,
ada jang menentang terang2-an dan ada pula jang masih gelap2-an. Maka itu,
menurut pendapat hamba, bukan Piehee kalah dari Thaytjong Hongtee, tapi karena
kedudukan Piehee adalah banjak lebih sukar daripada kedudukan Thaytjong
Hongtee !". Sang djungdjungan menghela napas. "Hmh ...! orang jang mengenal kami
hanjalah Tek-keng seorang ", katanja dengan suara perlahan. "Hanja sajang Tekkeng seorang she Tek dan bukan she Lie ". Ia berpaling kepada kedua perwira itu
seraja berkata pula : "Sesudah membuka rahasia Pwee Yam, kamu berdua membuat
pahala jang sangat besar, sehingga oleh karenanja, kami membebaskan kamu dari
hukuman mati! Hmmm ...! Mengapa Pwee Yam begitu djahat ?". "Gouw-kok-kong telah
bersekutu dengan Pwee Yam jang sudah menjanggupi untuk memberi bantuan dari
dalam ", kata Thia Boe Ka. "Sesudah tertjapainja persekutuan itu, Pwee Yam
memerintahkan hamba berdua membunuh Thay-tjoe, dengan berbuat begitu, pertama
Thian-houw Piehee akan ditjatji orang, kedua Piehee akan menaruh tjuriga
terhadap Khoe Tay-tjiang-koen dan ketiga,
Piehee akan tidak bisa mengurus negara karena berduka ". Boe Tjek Thian tertawa
dingin. "Hmh ...! Sekali menepuk dapat tiga lalat ", katanja. "Otak Pwee Yam


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sungguh lihay ! Djika kehilangan anak, mana ada ibu jang tidak berduka " Tapi
kalau Pwee Yam dan Tjie Keng berhasil dengan maksud mereka, bakal lebih banjak
ibu jang kehilangan anak, lebih banjak rakjat jang akan berduka! Kami tidak
dapat menuruti kemauan musuh2 kami. Biar bagaimanapun djua, kami akan terus
mengurus negara ini !". Ia mengutjapkan kata2 itu dengan tegas dan dengan
semangat jang ber-golak2. Melihat begitu, Siangkoan Wan Djie djadi makin
bingung. "Djika aku membinasakannja, bukankah negara akan diurus oleh orang2
sematjam Pwee Yam ?", tanjanja didalam hati. "Apa dia lebih pandai daripada Boe
Tjek Thian ?". Sementara itu, Boe Tjek Thian sudah berkata pula kepada si
thaykam tua : "Bawalah kedua orang itu. Apa jang kau dengar, tak boleh
dibotjorkan kepada siapapun djua ". Thia Boe Ka dan Han Eng merasa terharu dan
malu bukan main. Dengan bertjutjuran air mata, mereka manggut2 sehingga kepala
mereka membentur lantai. Tiba2 Thia Boe Ka berkata dengan suara berkuatir :
"Thian-houw Piehee !". "Ada apa " Apa kau mau bitjara lagi ?", tanjanja. "Harap
Piehee suka ber-hati2 dengan pembunuh gelap !", djawabnja. "Apa " Pwee Yam
menjuruh orang untuk membunuh kami ?", tanja pula kaisar wanita itu. "Bukan,
hamba kuatir pembunuh gelap itu sudah berada digedung ini ", djawabnja. "Omong
kosong ...! Jang berada dalam gedung ini adalah orang-orang kepertjajaan kami ",
kata Boe Tjek Thian. "Biarpun sudah tidak memiliki lagi ilmu silat, hamba masih
bisa mendengar, bahwa digedung ini ada seseorang jang bersembunji ", menerangkan
Thia Boe Ka. "Entah dia pengawal Piehee sendiri, entah dia orang djahat. Karena
menanggung budi jang sangat besar, maka hamba tidak dapat tidak memperingati
Piehee ". "Apa pada waktu masuk kesini, kau sudah merasakan adanja orang itu ?",
tanja pula Boe Tjek Thian. "Ja ...". "Kalau begitu, dia salah seorang pengawal
kami. Djika benar pembunuh, siang2 dia tentu sudah turun tangan, apa pula tadi,
kami hanja dikawani oleh seorang dajang. Sudahlah, kau boleh berlalu ". Thia Boe
Ka tidak berani banjak bitjara lagi dan sesudah memberi hormat, ia dan Han Eng
segera mengikuti si thaykam tua. Tak usah dikatakan lagi, bahwa pada waktu Thia
Boe Ka memberi laporan, Siangkoan Wan Djie ketakutan bukan main. Sesudah kedua
perwira itu berlalu, barulah hatinja djadi lebih lega.
---oo0oo--DILAIN saat, kaisar wanita itu mengangkat sebuah katja muka dan mengawasinja
mukanja sendiri. "Ha ...! aku sudah tua ", katanja dengan perlahan, sambil menngusap2 rambutnja jang sudah putih separuh. Sesudah berdiam sedjenak, ia berkata
pula : "Tek-keng, bagaimana pendapatmu dengan putusan kami jang barusan ?".
"Hamba merasa sangat takluk akan pemandangan Piehee jang sangat luas ",
djawabnja. "Tapi, untuk bitjara terus terang, kelonggaran jang tadi diberikan
sungguh2 diluar dugaan hamba ". "Kau salah, kami bukan seorang jang selalu
longgar ", kata sang djungdjungan. "Kami hanja berusaha untuk berlaku se-adil2nja, tanpa mengingat soal pribadi. Djika jang dihadapi kami adalah soal
keselamatan negara dan rakjat, kami dapat berlaku terlebih keras daripada kau.
Kami adalah seorang jang satu tangan mentjekal katja muka dan lain tangan
memegang tjambuk ". Tek Djin Kiat manggut2-kan kepalanja. "Memang, dalam
mengurus negara, seseorang harus memegang katja muka dan tjambuk dengan
berbareng ", katanja. Boe Tjek Thian menghela napas pandjang. "Hanja sajang,
kami sudah terlalu tua dan orang djahat berdjumlah terlalu besar, sehingga kami
kuatir kami tak akan dapat melajani mereka ", katanja dengan suara berduka.
"Piehee terlalu tjapai karena bekerdja terlalu keras ", kata Tek Djin Kiat.
"Hamba mengharap Piehee suka menjajang diri sendiri ". "Ja, itulah sebabnja
mengapa kami ingin mendapat bantuanmu ", kata sang djungdjungan. "Sekarang kami
ingin menjerahkan satu tjambuk kepada Tek-keng ". Sehabis berkata begitu, ia
segera memerintahkan dajangnja mengambil tjambuk itu. Tjambuk itu, jang pandjang
bentuknja, mengeluarkan sinar emas jang berkilauan. Sambil berdiri dan
mengangkatnja dengan kedua tangan, ia menjerahkannja kepada Tek Djin Kiat.
"Apakah maksud Piehee dengan menjerahkan tjambuk ini ?", tanja menteri itu.
"Tjambuk emas ini adalah pemberian dari Thaytjong Hongtee ", menerangkan Boe
Tjek Thian. "Siapapun djua jang berhadapan dengan tjambuk ini seperti berhadapan
dengan kami sendiri. Djika ada orang melanggar undang2 negara, tak perduli dia
itu menteri besar atau keluarga kaisar, Tek-keng boleh menghukumnja dengan
menggunakan sendjata ini ". Sesudah mendengar pendjelasan itu, barulah Tek Djin
Kiat berani menerima hadiah itu sambil berlutut. "Biarpun badan hantjur dan
tulang berserakan, tak dapat hamba membalas budi Piehee jang sangat besar ",
katanja dengan suara terharu dan berterima kasih. Kentongan berbunji beberapa
kali, sebagai tanda, bahwa waktu itu sudah lewat tengah malam. "Apakah Piehee
masih ingin memberi pesanan apa2 kepada hamba ?", tanja Tek Djin Kiat. "Masih
ada suatu hal penting jang kami ingin damaikan dengan Tek-keng ", kata sang
djungdjungan. "Tek-keng, malam ini aku merasa sangat berduka ...". Tek Djin Kiat
menghela napas, ia merasa kasihan akan kaisar wanita itu. Sesudah menghela
napas, ia berkata dengan suara perlahan : "Itulah hamba sangat mengerti. Baik
djuga, Piehee sekarang sudah tahu siapa jang berdiri dibelakang lajar ".
"Kedukaan kami hukan hanja karena kematian Thaytjoe ", memutus Boe Tjek Thian.
"Kami berduka sebab sepak-terdjang Lie It. Kami sungguh tak njana, dia bersekutu
dengan Tjie Keng dan menentang kami ". "Waktu masih berada di Tiang-an, Piehee
telah mengangkat Lie Hauw It Tjiangkoen sebagai Toa-tjong-koan djalanan Yangtjioe dan sekarang panglima perang itu akan segera turun keselatan dengan
membawa tiga puluh laksa serdadu ", kata Tek Djin Kiat. "Menurut pendapat hamba,
biarpun ditambah dengan satu Lie It, Tjie Keng tidak akan bisa berbuat banjak ".
Boe Tjek Thian kelihatan berduka sekali dan ia berkata parau : "Kami bukan
kuatir Lie It merampas negara. Apa jang kami kuatirkan jalah, sesudah kami
meninggal dunia, kedalam tangan siapa negara ini harus diberikan ?". "Piehee,
mengapa mengeluarkan perkataan begitu?", kata Tek Djin Kiat dengan terkedjut.
"Baik kesehatan, maupun kekuatan otak, Piehee masih sama kuatnja seperti diwaktu
muda ". Boe Tjek Thian bersenjum dan kemudian berkata : "Tiada manusia jang bisa
hidup untuk se-lama2-nja. Pada achirnja, seorang kaisar-pun harus berpulang
kealam baka. Kita tak usah memperdajai diri sendiri. Sebagaimana kau tahu kami
mempunjai empat orang putera. Putera sulung, Lie Hong, telah meninggal dunia
karena kesalahan minum ratjun. Putera kedua, Lie Hian, telah dibinasakan orang.
Tapi, andaikata, ia pandjang umur pun, kami rasa ia tak akan dapat mengendalikan
pemerintahan, sebab ia hanja seorang kutu buku jang otaknja tumpul. Putera kami
jang ketiga, Lie Tiat, djuga bukan pemuda bidjaksana dan kami sudah
menganugerahkan pangkat Louw-leng-ong kepadanja. Putera jang paling ketjil, Lie
Tan, masih berusia terlalu muda dan djika dilihat dari sekarang ia pun bukan
seorang jang mempunjai kepandaian untuk mendjadi djungdjungan ". "Menurut
pandanganku, diantara keluarga kaisar, hanjalah Lie It seorang jang paling
pandai. Aku pernah memikir untuk menjerahkan tachta keradjaan kepadanja dihari
kemudian. Tapi, sungguh mengetjewakan, bahwa dari sepak-terdjangnja jang
sekarang, sudah terbukti, bahwa dia dan kawan2-nja hanja mementingkan diri
sendiri, hanja bertudjuan untuk merampas negara guna kepentingan pribadi ". "Hai
...! Malam ini aku sungguh berduka. Tek-keng, tjoba kau bantu memikir, kepada
siapa kami harus menjerahkan tachta keradjaan ?". Mendengar perkataan itu, tak
kepalang kagetnja Siangkoan Wan Djie. Ia tak njana, bahwa Boe Tjek Thian jang
dipandang Lie It sebagai musuh terbesar, pernah memikir untuk menjerahkan tachta
keradjaan kepadanja!. Sementara itu, Boe Tjek Thian sudah melandjutkan
perkataannja: "Keponakan kami, Boe Sam Soe, kelihatannja lebih pandai daripada
putera kami jang tolol, biarpun dia bukan seorang jang benar2 tepat untuk
mendjadi kaisar. Bagaimana pendapatmu, djika dibelakang hari kami menjerahkan
tachta keradjaan kepada keponakan itu ?". "Keputusan Piehee untuk mengangkat
ahli waris se-benar2-nja tidak dapat ditjampuri oleh hamba ", kata Tek Djin Kiat
dengan djantung memukul keras. "Akan tetapi, dalam soal ini hamba mohon Piehee
suka memikiri lagi setjara lebih saksama. Semendjak djaman purba sampai
sekarang, djika putera mendjadi kaisar, barulah sang ibu bisa dipudja didalam
Thaybio (kuil keluarga kaisar). Sebegitu djauh hamba pernah dengar, keponakan
mendjadi kaisar, sang bibi tak tentu mendapat kedudukan didalam Thaybio ". "Tekkeng, dengan mengutarakan pendapat kami itu, kami hanja mementingkan kepentingan
negara dan sama-sekali tidak memperdulikan soal keagungan pribadi ", kata sang
djungdjungan. "Tapi se-dalam2-nja, Boe Sam Soe pun bukan orang jang tepat. Djika
kami dapat bertindak setjara bebas, kami sebenarnja ingin mengangkat orang dari
lain she ?". Sambil berkata begitu, ia mengawasi Tek Djin Kiat dengan sorot mata
jang berkilat. Menteri itu terkesiap, buru2 ia berlutut seraja berkata: "Thianhouw Piehee, hal itu biar bagaimanapun djua tidak dapat dilakukan ". "Mengapa
tidak ?". "Djaman sekarang bukan djaman Kaisar Giauw dan Soen. Pada waktu ini,
kebiasaan bahwa seorang putera harus mewarisi tachta keradjaan dari orang tuanja
sudah melekat didalam hati segenap rakjat. Kaisar Giauw boleh menjerahkan tachta
kepada Kaisar Soen, tapi Thian-houw Piehee tidak dapat berbuat begitu. Djika
Piehee menjerahkan keradjaan Tong kepada jang berlainan she, maka hamba berani
memastikan, bahwa didalam negeri kita bakal terdjadi peperangan hebat !". Boe
Tjek Thian tidak mendjawab. Untuk beberapa lama ia duduk bengong dan kemudian,
sesudah menghela napas pandjang, ia berkata dengan suara perlahan: "Kami
kalah ...!". Sehabis berkata begitu, paras mukanja mendadak berubah, se-olah2 ia
mendjadi lebih tua sepuluh tahun. Sebagai seorang jang pintar luar biasa, Tek
Djin Kiat mengerti apa maksudnja sang djungdjungan. Ia tahu, bahwa Boe Tjek
Thian ingin menjerahkan tachta keradjaan kepada dirinja sendiri, tapi dengan
beberapa perkataan, ia telah membatalkan keinginan itu. Selama hidupnja, Boe
Tjek Thian telah mengalami banjak gelombang hebat, tapi ia selalu dapat
mengatasinja dan selalu memperoleh kemenangan jang terachir. Tapi kali ini, ia
tak dapat tidak mengaku kalah. Ia tak dapat membenrantas kebiasaan jang sudah
melekat selama ribuan tahun !. Dalam rasa terima kasihnja, didalam hati Tek Djin
Kiat terdapat djuga perasaan takut. Ia mengerti maksud Boe Tjek Thian, tapi ia
berlagak tidak mengerti. "Thian-houw Piehee, apakah merasa djengkel karena
pemberontakan Tjie Keng ?", tanjanja. Sang djungdjungan tertawa ter-bahak2.
"Tjie Keng adalah penjakit dikulit jang tidak tjukup berharga untuk dihiraukan
", katanja dengan suara dingin. "Sudah tentu kami harus membendung gerakannja
dan siang2 kami sudah mengambil tindakan jang seperlunja ". Ia berdiam sedjenak
dan kemudian berkata pula : "Gerakan Tjie Keng tidak dipandang sebelah mata oleh
kami, tapi kami dengar Lok Pin Ong djuga telah menjatukan diri kedalam gerakan
itu. Si orang she Lok adalah sastrawan jang kenamaan dan kami agak merasa
menjesal. Nanti, pada waktu Tjie Keng mau menggerakan tentara, surat selebaran
jang disiarkan mereka, untuk menghukum kami tentulah djuga dikarang oleh Lok Pin
Ong. Kami ingin sekali membatja karangannja dan kau harus menjerahkan surat
selabaran itu kepada kami ". Sesudah mengijakan, Tek Djin Kiat bertanja : "Apa
lagi jang mau dipesan Piehee ?". Bidji mata Boe Tjek Thian bergerak, seperti d
juga ia mau bitjara lagi, tapi ia mengurungkan niatannja. "Tidak ada apa2 lagi,
kau boleh mengaso ", katanja. Tek Djin Kiat segera memberi hormat dengan
berlutut dan kemudian berlalu dari ruangan itu. Sesudah Tek Djin Kiat berlalu,
si dajang jang berdiri dibelakangnya segera berkata : "Thian-houw Piehee,
sekarang sudah djauh malam. Mohon Piehee djuga mengaso ". "Baiklah ", djawabnja.
"Pergi bereskan kamar. Sesudah memeriksa sebuah laporan lagi, kami akan segera
tidur ". ---oo0oo--DALAM ruangan tersebut, hanja ketinggalan Boe Tjek Thian seorang. Sesudah
membatja, ia mengangkat pit dan menulis beberapa huruf diatas surat laporan itu.
Tiba2, ia menghela napas dan melemparkan pit, akan kemudian bangun berdiri dan
djalan mondar-mandir diserambi depan. Ia dongak mengawasi rembulan dan berkata
dengan suara perlahan : "Hai ...! Sukar sungguh seorang wanita mendjadi
kaisar !". Dengan djantung memukul keras, Siangkoan Wan Djie mentjekel sebatang
pisau belati. Ia jakin, bahwa dengan sekali menimpuk, ia sudah bisa membalas
sakit hati kakek dan ajahnja. Djeridji2 tangannja bergemetar dan dalam tempo
sekedjapan mata, dua matjam pikiran jang bertentangan ber-kelebat2 dalam
otaknja. Beberapa kali, sambil menggertak gigi, ia tjoba mengangkat tangan, tapi
tangannja berat luar biasa. Mendadak terdengar suara Boe Tjek Thian jang berkata2 pada dirinja sendiri : "Hai ! Orang jang mengenal kami, merasa kasihan,
jang tidak mengenal, membentji kami. Malam ini indah dan sunji. Kami sungguh
ingin mempunjai seorang kawan untuk diadjak ber-omong2. Eh ...! Siapa itu ?".
Ternjata, dalam suasana jang sunji-senjap, suara bernapasnja Wan Djie jang agak
ter-sengal2 sudah didengar oleh kaisar itu jang mempunjai kuping sangat tadjam.
"Trang ...!", sebatang pisau djatuh dilantai, diikuti dengan melajang turunnja
si nona, jang sudah mentjekel pula pisau jang kedua. "Ah ! Benar2 ada
pembunuh ...!", seru Boe Tjek Thian dengan suara kaget. Tapi sebagai seorang
jang berhati tabah, paras mukanja sedikitpun tidak berubah dan ia menatap wadjah
Wan Djie dengan sarot mata tadjam. "Apa kau mau membunuh kami ?", tanjanja. Wan
Djie madju setindak dan mengangkat tangannja, tapi tangan itu bergemetar keras
dan "trang ...!", pisaunja kembali djatuh dilantai. Boe Tjek Thian bersenjum dan
berkata dengan suara sabar : "Kau tak usah takut. Mari kita bitjara baik2.
lh ...! Apa kau bukan Siangkoan Wan Djie " Aduh ...! Sudah begitu besar !". Si
nona kaget bukan main. Ia ingat, bahwa dulu, diwaktu masih ketjil, ia pernah
bertemu sekali sadja dengan kaisar wanita itu. Tak dinjana, sang kaisar masih
mengenalinja. Sesudah mengawasi muka orang beberapa saat lagi, Boe Tjek Thian
berkata pula dengan suara girang: "Tak salah ...! Kau memang Siangkoan Wan Djie,
jang tangannja mentjekel timbangan untuk menimbang ummat manusia dikolong langit
!". Ia berkata begitu, karena pada malam Wan Djie mau dilahirkan, ibunja mimpi
dihadiahkan sebuah timbangan oleh satu malaikat, jang mengatakan, bahwa anak
jang akan dilahirkan itu dihari kemudian akan mendjadi penimbang ummat manusia.
Hal itu telah tersiar luas dalam istana, sehingga sampai sekarang Boe Tjek Thian
masih mengingatnja. "Tak usah kau tanja, mengapa aku mau membunuh kau !", kata
Wan Djie dengan suara gusar.
"Baiklah, mari kita duduk dan omong2 sedikit ", mengundang Boe Tjek Thian. Wan
Djie tidak bergerak, kedua matanja menatap wadjah Boe Tjek Thian. "Ah ...!
Hatimu tidak tenteram, bukan ?", tanja Boe Tjek Thian. "Kalau kau ingin berdiri
terus, berdirilah ...! Kami membunuh kakekmu dan membunuh djuga ajahmu, sehingga
kau menganggap kami sebagai musuh besar, bukan ?". Nona Siangkoan madju setindak
dan berkata dengan suara menjeramkan : "Kau tjoba memperpandjang waktu untuk
memanggil pengawalmu. Aku mengerti segala siasatmu. Aku bitjara terang2, dengan
sekali menggerakkan tangan aku dapat membunuh kau ". "Kau begitu takut ?", tanja
Boe Tjek Thian dengan suara tawar. "Aku ingin adjukan sebuah usul. Tutup dan
kuntjilah pintu. Untuk sementara waktu, kami rela mendjadi persakitan dan kau
boleh mengadili kami ". Wan Djie lantas sadja menghampiri pintu dan selagi
menutupnja, kedua matanja tetap mengawasi kaisar itu.
Boe Tjek Thian bersenjum seraja berkata: "Kami menunggu kedatanganmu !".
"Baiklah ", kata si nona. "Sekarang aku mau tanja: Aku tahu, bahwa kakekku
seorang putih-bersih dan iapun seorang penjair jang terkenal. Mengapa kau
membunuhnja ?". "Benar, kakekmu memang pandai bersjair dan diantara penjair2
pada djaman ini, ia terhitung salah seorang jang terkemuka ", kata kaisar wanita
itu. "Sebagai manusia, ia memang bukan manusia rendah, tapi djuga bukan manusia
baik !". "Aku tidak mengerti omonganmu !", kata Wan Djie dengan gusar. "Kau
sudah mengakui, ia bukan manusia rendah, tapi mengapa kau kata, ia bukan manusia
baik ?". Boe Tjek Thian tertawa.
"Ukuran untuk mengukur baik atau djahat tidak terlalu sederhana ", katanja.
"Djika seseorang melakukan sesuatu jang baik untuk orang banjak, ia adalah
manusia baik. Apa kau tahu, apa jang sudah dilakukan oleh kakekmu?". "Sebagai
seorang jang putih-bersih dan djudjur, ia pasti tak akan melakukan sesuatu jang
tidak baik ", djawab nona Siangkoan. "Benar, setjara sadar iapun tidak merasa,
bahwa apa jang dilakukannja adalah perbuatan djahat ", kata Boe Tjek Thian.
"Tapi pada hakekatnja, perbuatan itu merupakan suatu kedjahatan. Ia tidak suka
kami mentjampuri urusan negara. Ia berusaha untuk mempengaruhi mendiang kaisar
supaja kami ditendang, bahkan firman-pun sudah ditulis olehnja. Rentjana firman
itu jang ditulis olehnja kami dapat memperlihatkan kepadamu. Ia djuga menggosok2 putera kami supaja melawan kami dan ia malah berani menjembunjikan
tentara di Tong-kiong untuk membunuh kami. Bukti2-nja nanti bisa dilihat dengan
kedua matamu sendiri. Ia telah membuat sebuah persekutuan untuk merubuhkan kami.
Ia mentjatji kami dan mengatakan, bahwa kami tidak boleh mengurus negara. Kami
tahu sebab-musabab jang sebenarnja dari perlawanan orang2 sematjam kakekmu.
Sebab musababnja jalah tindakan2 kami mementingkan kepentingan rakjat dan tidak
mengutamakan kepentingan golongan mereka. Kami telah menghapus hak2 luar biasa
dari kaum bangsawan, kami telah mengubah segala peraturan kolot, kami tidak
mengakui, bahwa negara ini adalah milik satu keluarga atau orang dari satu
she !". Makin bitjara Boe Tjek Thian djadi makin bernapsu dan suaranja djadi makin keras
dan tadjam. "Mereka mengatakan kami tidak boleh mengurus negara ", katanja pula.
"Tapi rakjat tidak menentang kami dan kami terus mengurus sampai tiga puluh
tahun lebih. Kami tak berani mengatakan, bahwa pengurusan kami sudah tjukup
baik, tapi sedikitnja kami tak usah kalah dengan orang lelaki. Kakekmu adalah
seorang penjair jang dipiara didalam keraton. Sjairnja tjukup baik, hanja
pandangannja terlalu sempit. Apa dia tahu bagaimana rakjat hidup se-hari2 " Apa
dia tahu apa jang dipikir rakjat " Kau baru sadja berkelana diluaran. Tjoba
katakan, apakah rakjat menentang atau menundjang kami ?". Siangkoan Wan Djie tak
dapat mendjawab. Bajangan si pendjual teh, bajangan Thio Loosam dan bajangan
orang2 jang pernah ditemuinja, berkelebat didepan matanja. Itu semua bukan
khajal, tapi kenjataan jang sesungguhnja. Kupingnja seolah olah mendengar pula
perkataan si pendjual teh dan Thio Loosam: "Kami hanja mengharap Thian-houw
Piehee berumur pandjang !". Sementara itu. Boe Tjek Thian sudah berkata pula :
"Kami tak suka main tedeng2. Kami mengakui, bahwa kami adalah dari keluarga
miskin. Ajah kami adalah seorang pedagang ketjil, seorang pendjual kaju. Kami
pernah djadi dajang dalam keraton, pernah djadi pendeta dan pernah djadi selir
dari ajah dan anak. Mungkin sekali didalam hati, kau tengah mentjatji kami
sebagai perempuan jang tak tahu malu. Tapi apakah ini kesalahan kami " Apakah
penindasan terhadap kaum wanita jang sudah berdjalan ribuan tahun, masih belum
tjukup " Tapi kami alot sekali. Biarpun ditjatji dan disumpahi, kami tidak
mati2. Kami berhasil merampas kekuasaan dan mendjadi kaisar wanita pertama
dibenua Tiongkok ! Semula kami hanja ingin melampiaskan penasaran kaum wanita,


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tapi belakangan kami merasa, bahwa jang penasaran bukan hanja kaum wanita, tapi
djuga kaum pria, jaitu rakjat djelata jang telah di-ilas2 selama ber-abad2. Kami
telah mengadakan peraturan pembagian sawah dan membuka udjian2 untuk orang2 jang
pandai, supaja rakjat djelata jang memiliki kemampuan bisa memperoleh djuga
kesempatan untuk mendjadi pembesar negeri. Kami menghapus kebiasaan kolot, kapan
djabatan pembesar negeri diborong oleh kaum bangsawan dan kaum jang beruang.
Kami malah mempermisikan rakjat datang di kotaradja untuk mengadu langsung
kepada kami, djika mereka dipersakiti. Apakah kau bisa memberitahukan kami,
tindakan2 kami jang mana, jang tidak baik ?". Siangkoan Wan Djie djadi bingung
sekali. Ia harus mengakui, bahwa apa jang dikatakan Boe Tjek Thian adalah hal
jang sebenarnja. Ia harus mengakui, bahwa semua tindakan itu adalah tindakan
jang tepat. Tapi, tapi Boe Tjek Thian adalah musuh besar jang sudah membunuh
kakek dan ajahnja. Mana bisa sakit hati jang begitu hebat disudahi dengan begitu
sadja ". Djantungnja memukul keras, keringat dingin mengutjur dari badannja dan
ia tetap membungkam. Sesudah mengaso sebentar, Boe Tjek Thian melandjutkan
perkataannja. "Pandangan kakekmu terlalu sempit, angan2-nja terlalu besar.
Ajahmu adalah kutu-buku jang tolol. Ia ingin mendjadi seorang jang 'tiong'
(setia kepada radja) dan 'hauw' (berbakti kepada orang tua) setjara tolol. Ia
menuruti sadja perkataan kakekmu setjara membabi-buta. Ia menganggap, bahwa
djika berhasil membinasakan aku, ia akan mendjadi menteri setia dan djempolan
dari keradjaan Tong. Maka itu, ajah dan anak bersekutu untuk merobohkan kami.
Pemimpin mereka seorang menteri besar jang bernama Tiangsoen Boe Kie. Mereka
katanja ingin membangunkan kembali Keradjaan Tong, tapi tudjuan mereka jang sebenar2-nja jalah, tanpa memperdulikan nasib rakjat, mereka ingin mengubah dunia
mendjadi dunia mereka. Kami tidak dapat mengidjinkan mereka berbuat begitu dan
dengan terpaksa, kami sudah membinasakan mereka. Sekarang kami sudah memberi
pendjelasan se-terang2-nja, sehingga, djika kau masih berpendapat, bahwa kami
bersalah, djemputlah pisaumu dan tantjapkan didada kami !". Wan Djie berdiri
terpaku, paras mukanja putjat-pias. "Pikiranmu sangat kalut, bukan ?", tanja
kaisar wanita itu dengan suara sabar. "Kau belum dapat mengambil keputusan,
bukan " Baiklah, aku memberi lain kesempatan kepadamu. Kau berdiamlah disini,
mengawani kami. Kami akan menghadiahkan kau dengan sebatang pisau jang sangat
tadjam ...!". Sehabis berkata, ia mentjabut sebatang pisau jang sinarnja
berkilauan. Wan Djie terkedjut dan melompat mundur. Dengan semangat jang
bergelora dan sinar mata jang ber-kilat2, Boe Tjek Thian mengangkat pisau itu
seraja berkata : "Bukankah kau sekarang berusia empat belas tahun " Pada waktu
berusia seperti kau, kami telah dipanggil masuk kedalam keraton oleh Thaytjong
Hongtee. Waktu itu, sebuah negeri di wilajah barat telah mengirim upeti jang
berupa seekor kuda mustika dan diberi nama Saytjoe-tjong. Sesuai dengan namanja,
kuda itu menjerupai singa jang galak dan ganas, sehingga tak seorangpun dapat
menunggangnja. Kami mengadjukan diri untuk tjoba menunggangnja dengan sjarat,
bahwa untuk pertjobaan itu, kami minta tiga rupa barang. 'Panglima kami jang
paling gagah masih tak mampu ', kata Thaytjong Hongtee. Tapi djika kau mau
djuga, baiklah. Barang apa jang diminta olehmu ". Kami minta satu tjambuk besi,
satu martil besi dan sebatang pisau ! Djika kuda itu tidak menurut perintah,
kami akan mentjambuknja. Djika dia masih tetap melawan, kami akan menghantamnja
dengan martil dan kalau dia masih djuga tidak mau menurut, kami akan
membinasakannja dengan pisau itu !. 'Kuda itu adalah kuda mustika jang didalam
satu hari bisa lari seribu lie djauhnja', kata pula Thaytjong Hongtee. 'Kalau
dibinasakan, apa kau tidak merasa sajang "'. Kami djawab : Biarpun dia bisa lari
seribu li didalam satu hari, tapi djika dia tidak menurut perintah, apa gunanja
kemampuan itu ". Achirnja, kuda itu ditaklukkan oleh kami tanpa menggunakan
martil. Kami sudah berhasil dengan hanja menggunakan tjambuk. Mulai dari waktu
itu, Thaytjong Hongtee sangat menjajang kami. Beliau mengatakan, bahwa sajang
kami bukan seorang lelaki, sebab, kalau kami seorang lelaki, kami pasti akan
mentjambuk manusia2 djahat didalam dunia ! Thaytjong Hongtee adalah lelaki jang
paling dikagumi oleh kami, tapi beliaupun tentu tak pernah menduga, bahwa kami
bisa mendjadi kaisar. Demikianlah, Thaytjong Hongtee segera menghadiahkan tiga
rupa barang itu kepada kami. Tjambuk besi diubah mendjadi tjambuk emas dan
barusan kami sudah memberikannja kepada Tek Djin Kiat. Pisau ini masih tetap
seperti dulu. Sekarang kami memberikan pisau ini kepadamu. Apa kau tahu apa
artinja pemberian itu ?". Wan Djie tetap belum dapat mendjawab. Ia hanja
mengawasi pisau tersebut dengan mata membelalak. Boe Tjek Thian tersenjum dan
kemudian berkata dengan suara lemah-lembut : "Kedatanganmu sangat kebetulan.
Kami memang sedang men-tjari2 orang untuk menilik tindakan2 kami. Kau mengawani
kami dan djika kami melakukan perbuatan jang tidak benar atau salah membunuh
orang jang baik, kau boleh segera membinasakan kami dengan pisau ini ". Bukan
main bergontjangnja hati Siangkoan Wan Djie. Dengan mata membelalak, ia
berkata : "Kau, kau ingin aku berdampingan denganmu " Dan aku membawa pisau jang
setadjam itu ?". "Benar ", djawabnja. "Karena kau musuh, maka kau seorang jang
paling tepat untuk menilik sepak-terdjang kami ". Sampai disitu, runtuhlah nona
Siangkoan. Badannja menggigil dan air matanja bertjutjuran. Ia menjambuti pisau
itu dengan kedua tangan seraja berkata : "Baiklah ...!. Aku bersedia untuk
merawat kau. Nanti, sesudah aku benar2 takluk, barulah aku akan menggunakan
pisau ini untuk bantu melawan musuh2-mu ! Aku tidak ingin mempedajai kau. Pada
waktu ini, perasaan sakit hati dalam hatiku masih belum hilang ".
---oo0oo--TIBA2 diluar ruangan itu terdengar suara tindakan kaki jang disusul dengan
suaranja seorang : "Thian-houw Piehee, kamar tidur sudah dibereskan. Dengan
siapa Thian-houw Piehee bitjara ?". "Panggil The Sip Sam Nio ", memerintah sang
djungdjungan. Ia menengok kepada Wan Djie dan berkata pula : "Bukalah pintu ",
kata sang djungdjunan pada seseorang diluar itu. Si nona segera menjelipkan
pisau dipinggangnja dan sesaat kemudian, pintu terbuka dan dari luar bertindak
masuk seorang wanita setengah tua jang mengenakan pakaian keraton. Kalau
halilintar menjambar ditengah hari bolong, mungkin Wan Djie tidak begitu kaget.
Ia mengawasi njonja itu dengan mata membelalak.
"Sip Sam Nio, tjoba kau lihat, siapa nona ini ?", tanja Boe Tjek Thian. Air mata
si nona sudah turun seperti hudjan, sedang wanita itu melompat sambil
berteriak : "Anakku !". Ia menubruk dan memeluk Wan Djie erat2. Wanita itu bukan
lain daripada ibu kandung Wan Djie sendiri. Ia seorang she The, anak jang ketiga
belas dari kedua orang tuanja, dan sesudah masuk di keraton, ia dikenal sebagai
The Sip Sam Nio. Melihat dua batang pisau dilantai, njonja itu mengawasi
puterinja seraja berkata : "Wan Djie, kau ..." Anak Djie, kau datang dengan
membawa pisau ...! Kau ?". Boe Tjek Thian bersenjum dan memberi keterangan :
"Dia datang untuk membunuh kami. Tapi sekarang, ia sudah bersedia untuk
mengawani kami. Kau harus merasa girang. Kami djusteru memerlukan seorang
bersendjata untuk menilik kami !". Sesudah semangatnja kembali, Sip Sam Nio
menghela napas seraja berkata: "Kau benar gila dan sjukur kau belum melakukan
perbuatan jang gila. Ja, Thian-houw Piehee pernah membunuh mertuaku dan suamiku
dan aku pun pernah mempunjai pikiran seperti kau. Tapi sesudah lewat beberapa
tahun, aku mulai mengerti. Thian-houw Piehee membunuh mereka bukan karena soal
pribadi. Sesudah berdekatan dengan Thian-houw Piehee beberapa tahun, aku harus
mengakui, bahwa beliau selalu mengutamakan kepentingan rakjat dan menjampingkan
kepentingan pribadi. Bagaimana aku bisa memandangnja sebagai seorang musuh " Aku
sangat menjesal sudah kehilangan mertua dan suami. Tapi siapakah jang harus
disesali " Aku hanja bisa menjesali ajahmu jang berpemandangan suram dan
menjesali diri sendiri jang sudah tidak tjoba mentjegahnja. Anak Djie, aku
sekarang hanja mempunjai kau seorang. Aku harap kau djangan setolol ajahmu ".
"Sudahlah, ibu ", kata Wan Djie dengan suara perlahan. "Aku ingin minta tempo
sementara waktu untuk membuktikan dengan mata sendiri ". Sang Ibu menghela
napas. "Kalau begitu hatiku lega ", katanja. "Sesudah ajahmu dihukum, menurut
putusan pengadilan, aku dilempar masuk kedalam keraton sebagai budak. Tempo itu,
bukan main aku membentji Thian-houw. Tak lama kemudian, Thian-houw mengubah
hukuman tersebut dengan mengatakan, bahwa kedosaan seorang suami tidak boleh menjeret2 isterinja. Sesudah itu, Thian-houw menanja, apa aku suka bekerdja
didalam keraton sebagai guru dari para dajang. Waktu itu, pikiranku bersamaan
dengan pikiranmu sekarang. Aku ingin menjaksikan dengan mata sendiri sepakterdjang Thian-houw dan oleh karenanja, aku segera menerima baik tawaran itu.
Dan sekarang aku sudah membuktikan, bahwa Thian-houw sungguh2 bekerdja untuk
kepentingan rakjat ". Boe Tjek Thian tertawa. "Sudahlah, hal itu biarlah dilihat
dan diputuskan olehnja sendiri ", katanja. "Djika kami sebagai kau, kami tentu
akan menanjakan lebih dulu pengalamannja selama beberapa tahun ini. Kami lihat
Wan Djie adalah seorang jang tjerdas dan berbakat baik. Kami kuatir, karena
mempeladjari ilmu silat, ia me-njia2-kan ilmu suratnja ". "Thian-houw Piehee,
tak salah perkataan Piehee ", kata The Sip Sam Nio. "Selama beberapa tahun ini,
belum pernah sedetik hamba tidak mengingatnja. Wan Djie, kuingat, diwaktu masih
ketjil kau sudah suka dengan sjair dan dalam usia lima tahun, kau sudah dapat
menggubah sjair. Bagaimana sekarang ?". "Anak beladjar dibawah pimpinan
Tiangsoen Pehpeh ", katanja. "Diwaktu siang anak beladjar ilmu silat dan diwaktu
malam ilmu surat. Kadang2 anak masih suka menggubah sjair ". Aha ! Gurumu
Tiangsoen Koen Liang ?", menegas sang djungdjungan. "Dia seorang jang mahir
dalam ilmu surat dan ilmu silat. Djika kau dipimpin olehnja, kami boleh tak usah
merasa kuatir. Beberapa lama jang lalu, kami telah memerintahkan The Oen untuk
mengundangnja. Tapi kami rasa, ia tak akan gampang2 bisa berubah pikiran, karena
otaknja sudah karatan ". Mengingat Tiangsoen Koen Liang, paras si nona berubah
merah dan ia merasa djengah sekali. "Kalau Tiangsoen Pehpeh tahu kedjadian ini,
bagaimana perasaannja ?", tanjanja didalam hati. Sesudah mereka ber-omong2 lagi
beberapa lama, dajang jang membereskan kamar tidur, kembali meminta supaja sang
djungdjungan mengaso. "Benar, sekarang sudah djauh malam dan kita mesti mengaso
", kata Boe Tjek Thian. "Sip Sam Nio, kesehatanmu kurang baik, tapi mulai dari
sekarang, kau bisa berkumpul terus dengan puterimu. Kami sebenarnja ingin
bitjara lebih banjak lagi, tapi sekarang kita harus mengaso dulu. Djie Ie ! Apa
kau sudah menjediakan kamar untuk Wan Djie ?". Budaknja Hian Song masuk seraja
berkata : "Wan Djie Tjietjie, marilah ...". Sesudah mengantar nona Siangkoan ke
sebuah kamar jang sederhana dan bersih, Djie Ie tertawa seraja berkata : "Aku
tahu kau tak akan membunuh Thian-houw, sehingga hatiku lega. Melihat kau
melompat turun, aku sudah berani memastikan, bahwa kau akan menakluk, sehingga
aku tidak mengawasi kau lagi dan lalu membereskan kamar ini ". Wan Djie
terkedjut. Baru sekarang ia tahu, bahwa ia terus diawasi oleh Djie le jang
lihay. Djie Ie bersenjum dan berkata pula : "Sjair Siotjiaku jang diberikan
kepadamu sekarang sudah terbukti kebenarannja. Siotjia tahu, bahwa pada
achirnja, ia dan kau akan berkumpul ber-sama2 ". "Aku sangat ingin bertemu
dengan Siotjiamu lagi ", kata Wan Djie. "Siotjia menguber Lie It ", kata Dje Ie.
"Kulihat Lie It sangat menjajang kau. Apa kau tidak pikiri dia ?". Sehabis
berkata begitu, ia tertawa dan berdjalan keluar sambil menjingkap tirai. Dapat
dimengerti, djika Wan Djie tak dapat pulas. Ia bergelisah diatas pembaringan dan
kedalam otaknja masuk rupa2 pikiran. Ia ingat Boe Hian Song dan ingat pula Lie
It. Bagaimana nasib pemuda itu jang sedang di-uber2 itu " Apa dia tidak gusar
karena ia sekarang dapat dikatakan sudah menakluk kepada Boe Tjek Thian " Dengan
pikiran kusut, si nona menghela napas ber-ulang2. Seperti djuga Siangkoan Wan
Djie, pada ketika itu Lie It sedang terdjepit diantara budi dan permusuhan,
sehingga ia tak tahu apa jang harus diperbuatnja.
---oo0oo--HARI itu, sesudah mengalami pukulan hebat diatas puntjak Kim-teng, dengan
perasaan ketjewa, ia melarikan diri dan mendaki gunung se-tjepat2-nja. Perlahan2 keadaan diseputarnja berubah sunji dan kesunjian itu hanja dipetjahkan
oleh suara angin, air dan njanjian burung2 ketjil. Dengan pikiran tertindih, ia
berdjalan terus diantara bukit2. Tiba2 disebelah timur terlihat sehelai sinar
merah jang gilang-gemilang dan tak lama kemudian, matahari mulai muntjul. Fadjar
sudah menjingsing dan ia berdjalan terus sambil melawan pukulan angin jang
sangat dingin. Ia menghela napas dan didepan matanja kembali terbajang
pengalaman2 jang telah lampau. Mendadak, dibawa oleh tiupan angin, dari sebelah
kedjauhan terdengar suara tertawa jang njaring, bagaikan kelenengan perak. Ia
terkedjut. Tiba2, dari belakang sebuah bukit muntjul seorang wanita muda jang
mengenakan pakaian warna putih. Ia lebih kaget lagi, karena nona itu bukan lain
daripada Boe Hian Song. "Enghiong besar ", kata Hian Song sambil tertawa geli
"Mengapa kau berlalu begitu tjepat ?". Sambil mentjekel gagang pedang, Lie It
mengawasi si nona dengan sorot mata gusar. "Seorang gagah boleh dibunuh, tapi
tak boleh dihina ", katanja. "Hunus sendjatamu dan binasakan aku, djika kau
mampu ". Hian Song kembali tertawa geli. "Siapa jang hinakan kau ?", tanjanja.
"Aku datang kesini untuk memulangkan serupa barangmu, tapi kau menduga jang
tidak2 ". Lie It mengawasi dan ternjata, kedua tangan nona Boe mentjekel khim
tua jang telah ketinggalan diatas lapangan Kim-teng. "Ambillah ", kata pula Hian
Song sambil tersenjum. "Tanpa khim, sjairmu kurang keindahannja ". Paras muka
Lie It berubah merah. Ia melirik Hian Song dan ternjata pada muka nona itu tidak
terdapat sinar permusuhan. Karena si nona bermaksud baik, ia tak dapat mengumbar
napsu. Tapi mengingat pengalamannja semalam dan sekarang ia harus menerima khim
dari tangannja seorang wanita jang telah merobohkannja, ia djadi merasa djengah
sekali. "Sambutlah !", kata Hian Song sambil melemparkan tabuh2-an itu. "Djangan
kau membawa lagak sebagai seorang Beng-tjoe Enghiong-hwee jang sematjam itu,
Beng-tjoe jang sematjam itu, tiada harganja. Tapi khim ini berharga tinggi.
Menurut pendapatku, kau lebih baik melemparkan kedudukan Beng-tjoe itu daripada
kehilangan khim ini !". Dengan terpaksa Lie It menjambuti djuga khimnja. Ia
ingin mengutjapkan terima kasih, tapi mulutnja terkantjing dan dilain saat, Hian
Song sudah berlalu dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan, sehingga tak
lama kemudian, ia sudah tak kelihatan bajangannja lagi. Lie It menghela napas.
"Hai ! Dunia benar2 sudah berubah !", pikirnja. "Lelaki merosot kebawah,
perempuan naik keatas. Boe Tjek Thian mendjadi kaisar, apakah Rimba Persilatanpun bakal dikuasai oleh seorang wanita ?". Hatinja merasa sangat penasaran. Tapi
dilain saat, ia harus mengakui, bahwa djika dibandingkan dengan wanita seperti
Boe Hian Song, 'orang2 gagah' jang semalam berkumpul diatas puntjak Kim-teng
adalah seperti mutiara2 direndengkan dengan batu2 koral. Mengingat begitu, ia
kembali menghela napas pandjang. Mendadak didepan matanja terbajang wadjah Wan
Djie jang tjantik-aju. Sesaat itu, Lie It se-olah2 seorang jang sedang kelelap
mendjambret sebatang rumput. Ia mendjambret bajangan Wan Djie. Dilain detik,
depan matanja terbajang dua wanita muda. Jang satu sastrawan wanita jang lemah
lembut, jang lain djago wanita jang gagah perkasa. Direndengkan setjara begitu,
ia tak tahu, siapa jang menang, siapa jang kalah. Djika disuruh memilih sungguh
sukar untuk mendjatuhkan pilihan. Tapi sesaat kemudian, ia berkata dalam hatinja
: "Dalam hidup didunia ini, djika seorang manusia bisa mempunjai seorang sahabat
jang mengenal isi hatinja, ia sudah dapat dikatakan beruntung sekali. Dalam
dunia ini, Wan Djie adalah manusia satu2-nja jang mengenal isi hatiku. Tapi Hian
Song adalah seorang musuh !". Dengan adanja pikiran begitu, bajangan nona
Siangkoan achirnja menindih bajangan nona Boe. Sekali lagi ia menghela napas.
"Dimana adanja Wan Djie sekarang ?", tanjanja didalam hati. Ia lantas sadja
ingat pengalamannja jang semalam. Hiong Kie Teng adalah seorang kasar jang
dengan tulus hati ingin menolong dirinja. Hiong Kie Teng tentu sadja tak tahu
asal-usul Wan Djie dan tak tahu pula hubungan antara si nona dan dirinja
sendiri. Tapi apa jang sangat mengherankan adalah tindakan budaknja Hian Song.
Mengapa budak itu menolong Wan Djie " Apa Wan Djie dan Hian Song sudah mengenal
satu sama lain " Bajangan Boe Hian Song sebenarnja sudah ditindih dengan
bajangan Siangkoan Wan Djie. Tapi dengan mengingat nona Siangkoan, bajangan nona
Boe lantas sadja muntjul kembali didepan matanja. Ia tidak mengenal siapa adanja
Hian Song, tapi dilihat dengan sepak-terdjangnja semalam, tak dapat tidak, ia
adalah kaki-tangan Boe Tjek Thian. "Djika dia tahu, bahwa Wan Djie adalah tjutju
Siangkoan Gie, tindakan apa jang akan diambilnja ?", tanjanja didalam hati.
"Apakah ia akan menangkap Wan Djie dan menjerahkannja kepada Boe Tjek Thian ?".
Boe Hian Song kelihatannja bukan orang djahat, tapi ia tetap berkuatir akan
keselamatan Wan Djie karena dia berdiri dipihak musuh. Dengan memikiri nasib Wan
Djie, ia djadi lebih gusar terhadap Boe Tjek Thian. jang dianngap telah mendjadi
gara2 dari semua kedjadian jang mengenaskan. Semakin ia memikir, kepalanja
semakin pusing dan badannja, jang tidak mengaso semalam suntuk, semakin
dirasakan letih. Ia segera berhenti dipinggir satu selokan dan duduk diatas
batu. Tanpa merasa, ia sudah mulai mengakurkan tali2 khim dan lalu memetik
sebuah lagu sambil menjanji dengan suara perlahan. Lagu itu adalah Siok-lam dari
Sie-keng (Kitab Sjair) dan njanjiannja berbunji seperti berikut :
"Pohon djagung berbaris, pohon kao-liang menghidjau.
Kakiku bertindak pe-lahan2,
djantungku ber-gojang2. Jang mengenal aku mengatakan aku sedang berduka, jang tidak mengenal aku
menanja, aku sedang mentjari siapa.
Oh langit ...! Langit ...!. Kau diangkasa, mengapa kau membuat aku sampai begini
rupa ?". Sjair itu adalah mengenai suatu peristiwa didjaman Keradjaan Tjioe. Sesudah
Keradjaan Tjioe pindah ketimur, pada suatu hari, seorang jang berpangkat Tayhoe
telah lewat diibukota jang dulu. Ia lihat, bahwa tempat dimana dulu berdiri
keraton dan kuil keluarga keradjaan, sekarang sudah berubah mendjadi kebun
djagung dan sawah kao-liang. Pembesar itu merasa duka bukan main dan oleh
karenanja, ia menggubah sjair diatas. Dengan hati sedih karena memikiri nasib
Keradjaan Tong, Lie It memetik khim dan menjanji sambil mengutjurkan air mata,
sehingga suara tabuh2-an dan suara njanjian kedengarannja sangat menjajatkan
hati. Sesudah melampiaskan perasaan hatinja, barulah ia merasa agak lega.
Mendadak, selagi lagunja tiba pada bagian jang paling mendukakan, terdengar
suara tertawa. Ia terkesiap, djeridjinja kalut dan sehelai tali khim mendjadi
putus. Sambil mengangkat khim-nja, ia bangun berdiri dan hampir berbareng,
disebelah kedjauhan berkelebat bajangan manusia. Matanja jang sangat tadjam
segera mengenali, bahwa bajangan itu bukan lain daripada si nona Hian Song.


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hei! Mengapa kau tertawa ?", teriaknja dengan gusar. Hian Song menghampiri
seraja berkata sambil bersenjum : "Ih, kau sungguh aneh ! Kau menangis dan aku
tertawa. Ada apa sangkut-pautnja antara kau dan aku ?". Darah pemuda itu lantas
sadja meluap dan dengan mata mendelik, ia meraba gagang pedang. "Enghiong besar,
kau djangan marah ", kata si nona. "Maaf, aku tak bisa menemani lama2 ". "Siapa
kesudian menahan kau lama2 !", bentak Lie It. "Hm ... ! lebih tjepat kau
berlalu, lebih baik lagi !". "Aku tak akan pergi djauh ", kata si nona. "Apa kau
tahu aku mau pergi kemana?". "Bukan urusanku!" bentaknja. "Aku ingin pergi
ketempat jang dipikiri olehmu ", kata Hian Song. "Aku ingin menengok kota Tiangan, untuk melihat dengan mata sendiri, apakah keraton di Tiang-an sudah mendjadi
kebun djagung dan tanah sawah ?". Perkataan itu bagaikan djarum jang menusuk Lie
It. Dibawah kekuasaan Boe Tjek Thian, sebaliknja daripada runtuh, ibukota itu
makin lama djadi makin makmur. Disindir begitu, Lie It gusar tertjampur malu.
Belum ia sempat membuka mulut untuk balas menjerang, si nona sudah tertawa
njaring dan berlalu dengan tjepat sekali. Sesudah Hian Song berlalu, dalam hati
ketjilnja ia mengakui, bahwa apa jang dikatakan si nona memang merupakan suatu
kenjataan. Tiang-an makin mentereng dan penghidupan rakjat djelata mendapat
perbaikan2 jang menjolok mata. "Perempuan itu memang liehay sekali dan harus
ditakuti ", pikirnja. Ia djadi makin berduka, karena kedatangannja di Soetjoan
telah berachir dengan kegagalan, sedang gerakan Tjie Keng pun belum tentu bisa
berhasil. "Sudahlah ! Sebagai seorang menteri setia aku harus berusaha sedapat
mungkin, gagal atau berhasil adalah soal kedua ", katanja didalam hati.
"Sekarang paling baik aku pergi ke Yang-tjioe untuk menemui Tjie Keng ".
---oo0oo--DENGAN hati kusut, ia terus turun dan pada waktu ia tiba di puntjak Tjian-hoedteng, mendadak terdengar pula suara tertawa jang sangat njaring. "Perlu apa kau
datang lagi ?", teriaknja dengan gusar. Kalau Hian Song seorang lelaki, ia tentu
sudah mentjatji habis2-an. Tapi kali ini dugaannja meleset, karena jang
mendatangi bukan nona Boe, tapi sepasang orang muda, satu lelaki dan satu
perempuan. Jang lelaki adalah seorang tauwto jang berambut pandjang, sedang jang
perempuan berparas tjantik, tapi genit sekali kelihatannja. Ia terkedjut dan
berkata dalam hatinja : "Apakah mereka bukan dua memedi jang terkenal dalam
kalangan Kang-ouw, Ok-heng-tjia dan Tok sian-lie ?". Dugaan Lie It tidak salah.
Mereka memang bukah lain daripada Ok-heng-tjia dan Tok-sian-lie jang djuga ingin
menghadiri Eng-hiong Tay-hwee, tapi terlambat karena sebagai akibat serangan
Hian Song. Si tauwto harus berobat kurang-lebih sepuluh hari lamanja. Begitu
berhadapan, Tok-sian-lie mengawasi Lie It dari kepala sampai dikaki. Ia tertawa
seraja bertanja : "Apakah kau bukan Lie Kongtjoe ?". "Aku she Lie ", djawabnja.
"Ada apa ?". Ok-heng-tjia kelihatan girang sekali. "Aha ...!", serunja. "Kalau
begitu, kau adalah Tjian-swee-ya (radja muda, keluarga kaisar) jang sering disebut2 oleh Kok Sin Ong Tjian-sweeya, terimalah hormat kami ". "Tahan ...!",
kata Lie It dengan suara mendongkol. "Apakah kamu bukan Ok-heng-tjia dan Toksian-lie ?". Tok-sian-lie tertawa manis dan mendjawab : "Ah ...! Itulah gelaran
jang diberikan oleh musuh2 kami. Kami dengar, Tjian-sweeya akan mengepalakan
Eng-hiong Tay-hwee dan dengan ter-buru2 kami datang kemari untuk turut
menghadiri pertamuan itu. Apakah Eng-hiong Tay-hwee sudah selesai dan bubar "
Kemana Kok Loosianseng ?". Lie It tertawa dingin. "Siapa sudi menganggap kamu
sebagai kawan ", katanja. "Sekarang aku mau tanja : Bukankah pembunuhan terhadap
Thay-tjoe di Pa-tjioe dilakukan oleh kamu berdua ?". Ok-heng-tjia heran dan lalu
mendjawab dengan suara kasar, "Benar ...! Kalau bukan begitu, kami tentu tidak
menganggap kau sebagai orang sendiri ". "Binatang !", bentak Lie It. "Kamu
mendjadi kaki-tangan dari Boe Tjek Thian dan sudah membunuh kakakku, tapi kamu
masih berani mengakui aku sebagai orang sendiri !". Tok-sian-lie tertawa geli.
"Tjian-sweeya, apakah Kok Sin Ong belum memberitahukan latar belakang kedjadian
ini kepadamu ?", tanjanja. Lie It kaget dan didalam hatinja lantas sadja timbul
perasaan tjuriga. Ia segera mengubah sikap dan sambil menjodja, ia berkata: "Aku
benar belum tahu, harap kalian suka menerangkan se-djelas2-nja ". "Itu semua
adalah tipu jang sangat lihay dari Pwee Lootaydjin ", menerangkan Tok-sian-lie
dengan suara bangga. "Beliau memerintahkan perwira jang bekerdja dibawah Khoe
Sin Soen mempersembahkan firman palsu kepada Thaytjoe untuk mendesak supaja
putera kaisar itu membunuh dirinja sendiri. Tapi, diluar dugaan, Thaytjoe
bertjuriga dan ingin bertemu dengan ibunja. Maka itu, kami tidak dapat berbuat
lain daripada turunkan tangan ". Tak kepalang kagetnja Lie It. "Kalau begitu,
mereka diperintah oleh Pwee Yam !", katanja dengan suara ditenggorokan. "Kalau
Thianhee (panggilan untuk seorang putera atau keluarga kaisar jang terdekat)
sudah tahu, baguslah ", kata Ok-heng-tjia. Tok-sian-lie kembali tertawa geli.
"Djika orang seperti Thianhee masih kena dikelabui, apalagi orang lain ?",
katanja. "Aku merasa pasti, semua orang akan menumplek kedosaan diatas kepala
Boe Tjek Thian dan gelaranku ini boleh diberikan kepadanja !". Lie It menunduk,
kepalanja pusing. Sungguh2, ia tak pernah mimpi, bahwa seorang seperti Pwee Yam
jang didjuluki sebagai "menteri setia" dari Keradjaan Tong, dapat berbuat
begitu. Iapun tak pernah menduga, bahwa Kok Sin Ong, seorang Beng-tjoe dari
Rimba Persilatan, turut-serta dalam persekutuan itu dan tidak memberitahukannja
terang2-an. Memikir begitu, bukan main rasa ketjewa didalam hatinja. Sebegitu
djauh, ia selalu menganggap dirinja sebagai seorang gagah jang bersih dan
berserikat dengan lain2 orang gagah jang bersih pula, untuk menghukum Boe Tjek
Thian jang kotor. Tapi sekarang, sesudah mendengar keterangan kedua memedi itu,
ia djadi bersangsi mengenai soal "bersih" dan "kotor". Siapakah sebenarnja jang
"bersih", dan siapa jang "kotor" ". Melihat perubahan pada paras muka Lie It,
Tok-sian-lie tertawa seraja berkata: "Thianhee, mengapa kau " Kau sebenarnja
harus bergirang. Anak Boe Tjek Thian, jang satu sudah mampus, jang lain mampus
karena ratjun. Masih ada satu Louw-leng-ong tapi Louw-leng-ong itu seorang
tolol. Dihari kemudian, dalam bangunnja kembali Keradjaan Tong, Thianhee akan
naik mendjadi Banswee (kaisar). Pada waktu itu terdjadi, Tjian-sweeya djanganlah
melupakan kami berdua !". Lie It menggigit bibir, sedapat mungkin ia menahan
napsu amarahnja. "Apa Tjie Keng tahu kedjadian ini ?", tanjanja dengan suara
gametar. Tok-sian-lie mengawasinja dengan mata tadjam dan mendjawab : "Ini semua
adalah tipu dajanja Pwee Taydjin. Hal ini tidak diketahui oleh Gouw-kok-kong.
Untuk bitjara terus-terang, Gouw-kok-kong ingin mengangkat Louw-leng-ong sebagai
kaisar, sedang Pwee Taydjin ingin mengangkat Thianhee sendiri. Thianhee adalah
seorang jang bidjaksana dan kurasa Thianhee sudah mengerti maksud Pwee Taydjin
". "Tidak, aku belum mengerti dan harap kau suka mendjelaskannja ", kata Lie It.
"Louw-leng-ong dan Thaytjoe Lie Hian ke-dua2-nja adalah anak Boe Tjek Thian ",
menerangkan Tok-sian-lie. "Tak perduli siapa jang mendjadi kaisar, kita seperti
menanam bibit penjakit dihari kemudian. Disamping itu, merekapun belum tentu
bersedia untuk membunuh ibu sendiri. Inilah keberatan jang pertama ". "Jang lain
?". "Djika Tjie Keng berhasil dalam usahanja untuk mengangkat Louw-leng-ong,
maka dihari kemudian, kekuasaan atas ketentaraan tentu djatuh kedalam tangannja.
Dilain pihak, djika Thianhee bisa bekerdja-sama dengan Pwee Taydjin dan Thianhee
berhasil menguasai orang2 gagah diseluruh negara, maka kita akan bisa mengurangi
kekuasaan Tjie Keng. Tjoba Thianhee pikir : Dengan disokong oleh segenap orang
gagah dan dibantu oleh Pwee Taydjin, mana bisa Louw-leng-ong melawan Thianhee "
Dihari nanti, tachta keradjaan sudah pasti akan diduduki oleh Thianhee sendiri
". Mendengar sampai disitu, Lie It tak dapat menahan sabar lagi. "Kalau begitu,
kalian adalah orang2 kepertjajaan Pwee Taydjin ", katanja dengan suara
menjeramkan. "Untuk kesetiaan kalian terhadapku, aku harus memberi hadiah jang
bagus !". "Terima kasih atas kebaikan Thianhee ", kata Ok-heng-tjia dengan suara
girang. Tiba2, Tok-sian-lie berteriak: "Soeko, hati2 !". Ok-heng-tjia terkesiap
dan melompat mundur. Pada saat jang bersamaan, Lie It sudah menghunus pedang dan
menikam tenggorokan Ok-heng-tjia jang untung masih keburu menjingkirkan diri.
"Apa aku tidak dihadiahkan ?", tanja si memedi perempuan dengan suara menjindir.
Sesudah tikamannja jang pertama gagal, Lie It memutar badan dan menjabet Toksian-lie dengan pedangnja. Tapi sebelum pedangnja menjambar, Tok-sian-lie sudah
mengajun tangan dan sedjumlah djarum jang berkeredepan menjambar. Lie It kaget,
karena ia tahu, bahwa djarum itu adalah Touw-hiat-sin-tjiam jang sangat
beratjun. Tjepat bagaikan kilat, ia menggeser kaki dengan gerakan Poan-liongdjiauw-po (Naga-menggeser-kaki) dan memutar pedangnja dengan pukulan Giok-taywie-yauw (Ikatan-pinggang-diseputar-pinggang). Pukulan itu adalah pukulan jang
sangat istimewa untuk membela diri dari serangan rupa2 sendjata, tapi karena
djarak mereka terlalu dekat dan gerakan Lie It agak terlambat, maka sebatang
djarum lolos dari kebasan pedang dan menantjap didjalan darah Kian-keng-hiat,
dipundak kiri pemuda itu. Hampir berbareng, Lie It merasa pundaknja seperti
digigit semut dan sesaat kemudian, lengan kirinja tidak dapat digunakan lagi.
Sementara itu, sesudah terlolos dari kebinasaan, Ok-heng-tjia gusar tak
kepalang. "Botjah goblok !", bentaknja. "Kedudukan Hongtee kau tolak, sekarang
aku antar kau untuk menjusul saudaramu ...!". Sambil mentjatji, ia menimpuk
dengan sedjumlah Tjhie-piauw. Karena pundak kirinja sakit dan gerakannja kaku,
maka sebatang Swee-koet-tjhie-piauw kembali menantjap di djalan darah Tiongtjoe-hiat, dibelakang leher. Timpukan itu jang disertai dengan lweekang jang
sangat tinggi, sakitnja bukan main, sehingga mata Lie It ber-kunang2. Tapi
sebagai seorang muda jang memiliki kepandaian tinggi, Lie It bertubuh kuat dan
tidak gampang2 roboh. Sambil mengertak gigi dan mengempos semangat, ia berteriak
: "Bangsat ...! Hari ini aku akan lebih dulu mampuskan dua memedi djahat ".
Tiba2 badannja melesat tinggi dan selagi melajang turun, bagaikan sehelai
bianglala putih, pedangnja membabat kebawah. Ok-heng-tjia terkedjut, sedikitpun
ia tak menduga, bahwa sesudah kena dua sendjata rahasia jang sangat liehay,
pemuda itu masih dapat menjerang begitu hebat. Buru2 ia menghunus golok dan
menangkis "Trang ...!", lelatu-api muntjrat dan golok Ok-heng-tjia somplak
sebagian. Pedang Lie It ternjata adalah pedang mustika dari keraton Keradjaan
Tong. Sambil mengaum bagaikan harimau terluka, Ok-heng-tjia membalik goloknja
dan menghantam dengan belakang golok. Sesaat itu Lie It sudah tidak memikir
hidup-mati dan ia menjerang setjara nekat. Tanpa menghiraukan pembelaan diri, ia
memapaki golok Ok-heng-tjia dan terus menikam muka musuh. Tauwtoo djahat itu
melompat mundur dengan didesak terus oleh pukulan2 jang membinasakan, sehingga
dia djadi repot bukan main. Tiba2 Tok-sian-lie tertawa njaring. "Soeko, kau
benar tolol !", teriaknja. "Ratjun Touw-hiat-sin-tjiam tak lama lagi akan
mengamuk disekudjur badannja. Piauw apa jang digunakan kau ?". "Swee-koet-tjhiepiauw jang ratjunnja bekerdja paling tjepat ", djawabnja. "Bagus ...!", kata si
memedi perempuan sambil tertawa. "Kalau begitu, mengapa kau tidak bisa menunggu
untuk beberapa saat. Perlu apa kau mengadu djiwa dengannja ?". Ok-heng-tjia
tersadar dan sambil menangkis pedang Lie It, ia melompat keluar dari
gelanggang dan terus kabur dengan berputaran. Melihat kakaknja diuber, Toksian-lie lantas sadja menguber pemuda itu, sehingga mereka seperti djuga kanak2
jang sedang main petak umpat. Bagaikan kalap Lie It memutar badan dan mengedjar
memedi perempuan itu. Tapi ilmu mengentengkan badan Tok-sian-lie lebih tinggi
daripadanja, sehingga ia tak dapat menjandaknja. "Thianhee !", seru perempuan
itu dengan nada mengedjek. "Lebih banjak kau mengeluarkan tenaga, lebih tjepat
mengamuknja ratjun! Kalau tulang2-mu sudah rontok, biarpun dewa tak akan dapat
menolong djiwamu. Aduh ...! Kau seorang turunan kaisar, tinggi ilmu surat dan
ilmu silatmu, benar2 sajang djika kau mesti binasa setjara begitu
mengenaskan !". Diedjek begitu, Lie It merasa dadanja se-olah2 mau meledak. Ia
memutar pedang dan menerdjang dengan kalap, tapi si memedi sudah kabur lebih
dulu. "Eh, kalau kita binasakan dia, apa Pwee Lootaydjin tak djadi gusar ?",
tanja Ok-heng-tjia. Tok-sian-lie tertawa. "Djika dengar kata, dia adalah orang
kita ", djawabnja. "Kalau melawan, dia musuh kita. Sedangkan Thaytjoe masih
boleh dibinasakan, apa lagi dia " Jang paling untung adalah Louw-leng-ong ".
"Baiklah, sesudah dia mampus, aku ambil mutiaranja, kau ambil pedangnja ", kata
Ok-heng-tjia. Demikianlah mereka saling sahut, se-olah2 Lie It sudah pasti akan
binasa dalam tangan mereka. Sementara itu, mata Lie It sudah ber-kunang2.
"Tjelaka ... ! Tak dinjana hari ini aku mesti binasa dalam tangan manusia rendah
!", ia mengeluh. Tiba2 dengan menggunakan sisa tenaganja, ia melompat dan
menikam Tok-sian-lie. Serangan mati2-an itu bukan main hebatnja. "Brett ...!",
walaupun si memedi perempuan berkelit setjepat mungkin, tak urung tangan
badjunja ditobloskan udjung pedang. "Thianhee ", edjeknja, "saat berkumpul
dengan kakakmu sudah tidak lama lagi !". Sampai disitu Lie It tak tahan lagi,
tubuhnja ber-gojang2 dan ia roboh diatas tanah. Se-konjong2, pada saat jang
sangat berbahaja, dalam keadaan lupa-ingat, kupingnja menangkap siulan jang
njaring luar biasa jang disusul dengan bentakan : "Bangsat ...! Kamu mau
mentjelakakan manusia lagi ?". Ia tjoba membuka kedua matanja, tapi tak dapat,
hanja kupingnja mendengar bentrokan sendjata dan sesudah itu, ia tak ingat suatu
apa lagi. ---oo0oo--ENTAH sudah lewat berapa lama, Lie It per-lahan2 tersadar. Ia seperti baru
tersadar dari impian jang menakutkan. Sebelum membuka mata, hidungnja mengendus
bebauan jang sangat ha rum dan kupingnja mendengar suara "tek-tek-tek ...", ia
seperti sedang rebah didalam sebuah kereta. Dilain saat, ia tahu, bahwa ia
sedang rebah diatas kasur jang empuk. Bukan main rasa herannja dan dengan sekuat
tenaga, ia membuka kedua matanja. Apa jang dilihatnja jalah satu muka jang
tjantik-aju dan sepasang mata jang tengah mengawasinja. Sedjenak kemudian,
sesudah mengumpulkan semangat, tiba2 ia berseru dengan suara perlahan: "Kau ...!
kau ...!". Wanita itu tertawa seraja berkata : "Djangan takut, djiwamu sudah
ketolongan !". Ia tjoba bangun, tapi sekudjur badannja sakit semua, kakitangannja kaku dan sedikitpun ia tak dapat bergerak. "Apa kau masih belum
mengenali aku ?", tanja si nona. "Orang kata, tidak berkelahi, tidak kenal. Aku
bernama Boe Hian Song !". Sekarang Lie It ingat segala pengalamannja. Ia ingat
kedjadian dipuntjak Kim-teng dan ia ingat pertempurannja melawan Ok-heng-tjia
dan Tok-sian-lie. "Kalau begitu, kaulah jang sudah menolong djiwaku ?", tanjanja
dengan suara hampir tidak kedengaran. Sebelum Hian Song keburu mendjawab,
seorang gadis tjilik jang duduk disebelah depan kereta menengok dan berkata
sambil tertawa : "Djika tidak ditolong Siotjia, kau tentu sudah tidak bernjawa.
Hm ...! kau sungguh me-nakut2-i kami. Kau sudah pingsan tiga hari dua malam
lamanja !". "Kau ...! mengapa kau menolong aku ?", tanja Lie It dcngan suara
ter-putus2. "Kau sungguh luar biasa !", mendului si tjilik. "Tanpa sebab,
mengapa kau memandang kami sebagai musuh besar " Kau sama-sekali tak punja rasa
berterima kasih. Ketahuilah, untuk menolong djiwamu, Siotjia telah mengeluarkan
bukan sedikit tenaga. Siotjia bahkan tak segan mengisap keluar darah beratjun
jang mengeram dalam tubuhmu !". "Beng Tjoe, djangan rewel ...!", bentak Hian
Song. Sesaat itu, rupa2 perasan malu, berterima kasih, djengah, mengamuk didalam
pikiran Lie It. Ia mengheIa napas seraja bertanja : "Sekarang, sesudah aku
djatuh kedalam tanganmu, hukuman apa jang kau hendak berikan kepadaku ?". "Aku
ingin bawa kau ke Tiang-an untuk me-lihat2 kebun djagung dan sawah2 ", djawab si
nona sambil tertawa. Lie It membuka kedua matanja lebar2, tapi sedjenak kemudian
ia kembali menghela napas dan parasnja berubah tenang. "Baiklah ...", katanja
dengan suara tawar. "Aku sebenarnja sudah mesti mati dan aku tidak takut mati
untuk kedua kalinja. Mati dalam tangan Boe Tjek Thian lebih berharga daripada
mampus dalam tangan Ok-heng-tjia dan Tok-sian-lie ". Ia berkata begitu, karena
menganggap bahwa nona itu mau menjerahkannja kepada Boe Tjek Thian. Dengan
adanja anggapan itu, ia djadi terlebih tenang. Tiba2, karena banjak bitjara dan
perasaannja bergontjang keras, ia merasa dadanja sakit bukan main, sehingga ia
merintih dengan perlahan. Sambil bersenjum Hian Song mengangsurkan tangannja dan
lalu mengurut dada pemuda itu. Sesaat kemudian, Lie It merasakan naiknja
sematjam hawa panas dari bagian pusar keatas dan rasa sakitnja lantas sadja
berkurang banjak. Ia mengerti, bahwa si nona telah menggunakan lweekang jang
sangat tinggi untuk membantu padanja. Ia mengerutkan alis dan berkata : "Perlu
apa kau mengeluarkan tenaga. Bukankah lebih baik djika membiarkan aku mati ?".
Hian Song tertawa. "Kutahu apa jang dipikir olehmu ", katanja. "Didalam hati,
kau tentu mentjatji aku sebagai perempuan kedjam, karena sesudah menolong, aku
ingin menjerahkan kau kepada musuhmu, supaja kau binasa dengan terhina. Bukankah
begitu jang diduga olehmu ?". Tanpa mendjawab, Lie It meramkan kedua matanja. Ia
mengakui, bahwa ia memang memikir begitu. Tapi dilain pihak, ia merasa, bahwa
pertolongan jang diberikan Hian Song adalah pertolongan jang setulus hati, bukan
ber-pura2 atau mengandung maksud tertentu. Perasaan ini, jang mendekati suatu
kepertjajaan, sangat melekat didalam hatinja. la benar2 bingung. Ia bingung,
sebab tak dapat memastikan, apa sebenarnja maksud si nona. Se-konjong2 si budak
tjilik tertawa ketjil. Ia menengok seraja berkata : "Dua hari tiga malam,
Siotjia kami belum pernah tidur sekedjap. Ia telah mengerahkan seantero
tenaganja untuk menolong djiwamu. Hai ...! Kau sungguh manusia kurang penerima.
Ratjun kedua memedi itu bukan main hebatnja. Kau harus tahu, bahwa sesudah
menghabiskan tenaganja, Siotjia hanja dapat menolong djiwamu. Ilmu silatmu tak
dapat ditolong lagi dan sudah musnah seanteronja ". "Beng Tjoe, djangan menakut2-i dia !", bentak sang Siotjia dengan mata mendelik. "Harap Siotjia
djangan gusar ", kata si budak. "Djika aku tidak bitjara terang2-an, mungkin
sekali selama tudjuh hari ini, ia akan terus bersikap bermusuhan terhadap
Siotjia ". Lie It jang sudah tidak memikirkan hidup-mati, tidak menghiraukan
keterangan Beng Tjoe, bahwa ilmu silatnja sudah musnah sama-sekali. Tapi ia
merasa heran mendengar di-sebut2nja djangka waktu tudjuh hari. Mengapa tudjuh
hari " Bagaimana Beng Tjoe tahu, bahwa sesudah lewat tudjuh hari, ia tak akan
bermusuhan Iagi dengan Hian Song " Sesudah berdiam sedjenak, Beng Tjoe berkata
pula dengan suara perlahan : "Siotjiaku sangat menjajang kau, kau tahu " Ia
bukan sadja sudah menolong djiwamu, tapi djuga tengah berusaha supaja ilmu
silatmu tidak sampai mendjadi musnah. Ia menggunakan kereta jang paling baik dan
menaruh kau diatas kasur empuk, supaja kau djangan terlalu menderita. Sekarang
kita sedang membuat perdjalanan dan didalam tudjuh hari, kita akan tiba digunung
Kiong-lay-san, dimana Siotjia akan menjerahkan kau kepada seorang jang berilmu
tinggi, agar kau dapat disembuhkan tanpa kehilangan ilmu silatmu. Apa kau kira
Siotjia benar2 mau menjerahkan kau kepada Thian-houw Piehee ?". Ia tertawa dan
berkata pula : "Andaikata Siotjia menjerahkan kau kepada Thian-houw Piehee, aku
tahu Thian-houw Piehee tak akan mentjelakakan kau. Siotjia hanja kuatir, bahwa
tabib2 istana tak mampu mengobati lukamu jg sangat hebat ". Mendengar keterangan
itu, bukan main rasa berterima kasihnja Lie It. Tapi dilain pihak, keterangan
gadis ketjil itu djuga mejakinkannya, bahwa Boe Hian Song adalah kaki-tangan Boe
Tjek Thian. la djadi serba-salah. Ia terdjepit diantara budi dan permusuhan. "Ma
Toasiok, tolong hentikan kereta ", se-konjong2 Hian Song berkata kepada kusir
jang mentjekel les. "Tjoba berikan potji somthung (godokan yosom) kepadaku ". Si


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kusir mengangguk dan sambil menahan les, ia menengok ke arah Lie It. Pemuda itu
kaget, sebab ia merasa, bahwa muka orang itu tidak asing baginja. Sesudah
mengasah otak beberapa saat, ia ingat, bahwa pada waktu ia dan Siangkoan Wan
Djie sedang menudju ke Pa-tjioe, ditengah djalan mereka bertemu dengan seorang
petani jang telah menolong Wan Djie dari tangkapan seorang perwira dan petani
itu adalah si kusir. Lie It djadi heran dan berkata dalam hatinja : "Ilmu silat
orang itu tjukup tinggi, tapi mengapa dia rela mendjadi kusir Boe Hian Song ?".
Ia djadi bingung dan tjoba me-nebak2 siapa adanja nona gagah itu. "Ih ...!
Mengapa kau mengawasi Ma Toasiok dengan mata mendelong ?", tanja si budak tjilik
sambil tersenjum. "Apakah aku boleh menanja she dan nama Toasiok jang mulia ?",
tanja Lie It. "Aku Ma Goan Thong ", djawabnja si kusir. "Terima kasih ", kata
Lie It. "Mengapa kau menghaturkan terima kasih kepadaku ?", tanja Ma Goan Thong.
"Kau seharusnja menghaturkan terima kasih kepada siotjia ". Hian Song tersenjum.
"Toasiok, ia menghaturkan terima kasih untuk pertolonganmu atas dirinja
Siangkoan Wan Djie ", katanja. "Lie Kongtjoe, kaupun sebetulnja harus mengutjap
terima kasih kepada Beng Tjoe. Djika tak ada dia, sahabatmu sudah tjelaka dalam
tangan Hiong Kie Teng ". Mendengar nama Wan Djie, Lie It terkesiap. "Wan Djie "
Bagaimana dengan Wan Djie ?", tanjanja. "Djangan kuatir ", djawab Hian Song.
"Kami tak mengganggu selembar rambutnja. Apakah kau kira kami memedi2 jang biasa
membunuh orang setjara serampangan ?". "Bukan begitu ", kata Lie It dengan suara
djengah. "Aku ... aku ...". "Kau ingin tahu dimana adanja Wan Djie sekarang?",
tanja nona Boe. Lie It mengangguk. "Ia tidak memberitahukan kepadaku, tapi
rasanja aku bisa menebak ", kata Hian Song. "Ia pergi untuk membunuh Thianhouw !". Lie It terkesiap. "Bagaimana kau tahu ?", tanjanja. "Waktu berada
dirumahku, ia telah mengatakan begitu kepadaku ", djawabnja. "Ia malah minta
bantuanku dalam hal itu ". Sehabis berkata begitu, ia tertawa sambil menutup
mulut dengan tangannja. Pemuda itu sangat berkuatir, tapi ia tidak berdaja,
karena ia sendiri sedang terluka berat. "Biarpun baru bertemu satu kali, aku
mengenal sifat2 Wan Djie ", kata Hian Song dengan suara membudjuk. "Menurut
pendapatku, djika bertemu dengan Thian-houw, ia akan seperti ikan jang bertemu
air. Mungkin sekali, jalah jang akan berkuatir akan keselamatanmu !". "Apa kau
kata ?", bentak Lie It dengan suara gusar. "Wan Djie mempunjai sakit hati jang
sangat besar. Apakah kau mau mengatakan, bahwa ia akan menakluk kepada musuh ?".
Karena darahnja meluap, ia merasa badannja sakit bukan main, sehingga ia
mengertak gigi untuk menahan sakit. "Sudahlah ", kata Hian Song, "kita tak usah
me-nebak2 sesuatu jang masih belum tentu. Kau minumlah somthung ini ". Pemuda
itu ingin menolak, tapi tubuhnja tak dapat bergerak. Tanpa mengatakan apa2 lagi,
Hian Song menekan dagu Lie It dan lalu menuang somthung kedalam mulut pemuda itu
jang sudah terbuka lebar. Sesudah minum sepotji penuh, Lie It lantas sadja
mengantuk dan beberapa saat kemudian, segera pulas njenjak. Ternjata, karena
kuatir pemuda itu terlalu letih, nona Boe sudah menaruh obat tidur kedalam
somthung. Sampai keesokan paginja, barulah Lie It tersadar. Hari itu Hian Song
tidak me-njebut2 lagi Boe Tjek Thian atau Siangkoan Wan Djie dan ia hanja
menemani pemuda itu omong2 perihal ilmu silat, seni memetik khim, main tjatur,
bersjair dan seni lukis. Mendengar perundingan2 nona Boe, Lie It merasa sangat
kagum dan ditambah dengan tjara2 si nona jang lemah-lembut, per-lahan2 ia
mengubah sikapnja jang kaku dan mulai bitjara dengan gembira. Dengan tjepat,
tiga hari sudah lewat. Setiap hari, dengan menggunakan lweekang jang sangat
tinggi, Hian Song membantu pemuda itu dalam usaha mengeluarkan ratjun dan
mengobati lukanja. ---oo0oo--PADA hari keempat, Lie It sudah bisa duduk. Karena sudah lama tidak melihat
sinar matahari, ia menjingkap tirai kereta dan melongok keluar untuk memandang
pemandangan alam jang sangat indah. Se-konjong2, dari sebelah kedjauhan
kelihatan mendatangi dua penunggang kuda, dua orang muda, jang satu lelaki dan
jang lain perempuan. Jang lelaki, jang tiba lebih dulu, segera mentjegat didepan
kereta seraja membentak : "Berhenti ! Siapa didalam kereta ?". "Tuan dari kantor
mana ?", tanja Ma Goan Thong. "Apa kau mempunjai surat perintah untuk mentjegat
atau menangkap orang ?". "Fui ! Apa matamu buta !", bentaknja. "Aku adalah
rakjat Keradjaan Tong, bukan budak kaisar ". "Aha ...! Dua penolong tjalon
kaisar sudah tiba ", kata Hian Song kepada Lie It sambil tersenjum manis. Lie It
mengawasi kedua orang itu, tapi ia tak kenal siapa adanja mereka. "Kalau kau
rakjat biasa, mengapa kau mentjegat kami ?", tanja Ma Goan Thong. "Orang jang
berada dalam keretamu bukan rakjat biasa ", kata pemuda itu. "Bukan urusanmu ",
kata Ma Goan Thong dengan suara ketus. "Aku tidak melanggar undang2 negara. Tak
dapat kau mentjampuri urusanku ". Sambil berkata begitu, ia mentjambuk
keledainja. "Aku djusteru mau mentjampuri !", bentak si pemuda. Ia melompat
turun dari tunggangannja dan dengan sekali menekan, kedua keledai jang menarik
kereta lantas sadja berlutut. Beng Tjoe tertawa njaring. "Tenaganja hebat djuga
", katanja. "Ma Toasiok, usirlah dia !". Ma Goan Thong tertawa dingin. "Apa kau
mau merampok ditengah hari bolong ?", bentaknja seraja menjabet dengan
tjambuknja. Pemuda itu ternjata bukan sembarang orang. Sambil berkelit, tangan
kanannja sudah mentjabut sebatang pedang, sedang tangan kirinja menjambar
pergelangan tangan Ma Goan Thong jang memegang tjambuk. Ma Goan Thong djadi
gusar, ia mengerahkan lweekang dan mendorong keras, sehingga pemuda itu mundur
beberapa tindak. Hampir berbareng, ia melompat turun dari kereta seraja
berteriak : "Bagus ! Mari kita main2 beberapa djurus !". Tanpa mengeluarkan
sepatah kata, pemuda itu segera menjerang dengan pukulan In-mo-sam-boe (Pajungawan-tiga-kali-menari) jang terdiri dari tiga gerakan, menikam lutut. Melihat
serangan jang hebat itu, buru2 Ma Goan Thong mengerahkan lweekang sehingga
tjambuknja, jang pandjangnja setombak lebih, berubah lurus bagaikan toja dan
dongan gerakan Poan-liong-djiauw-po (Naga-bertindak), ia memutar sendjata itu
bagaikan titiran untuk menangkis tikaman2 lawan. Pemuda itu buru2 menarik pulang
pedangnja dan sambil menggeser kaki, ia tjoba membabat djari2 tangan Ma Goan
Thong jang mentjekal tjambuk. Ma Goan Thong kaget, karena ia tak menduga
lawannja dapat bergerak dan mengubah gerakannja sedemikian tjepatnja. Dengan
sekali menotol tanah dengan kakinja, ia melompat kebelakang dan kemudian, dengan
pukulan Hoei-hong-sauw-lioe (Angin-pujuh-menjapu-pohon-lioe) ia balas menjerang.
Karena sendjatanja pandjang dan sendjata lawan lebih pendek, ia bisa menarik
keuntungan dalam hal persendjataan, tapi pemuda itu, jang ternjata bernjali
sangat besar, sebaliknja daripada mundur malah melompat madju dan selagi tjambuk
lewat dibelakangnja, ia membarengi dengan satu tikaman dahsjat. Tapi Ma Goan
Thongpun bukan anak kemarin dulu. Sekali lagi ia melompat mundur, akan kemudian
menjerang pula. Demikianlah, mereka terus serang-menjerang dengan sengitnja.
Sambil menjender dikasur, Lie It mengawasi djalannja pertempuran dengan mata
tidak berkesip. Tiba2 ia terkedjut, karena ia merasa, bahwa ilmu silat jang
digunakan pemuda itu tidak asing
lagi baginja. Ia merasa, bahwa ia pernah melihat ilmu pedang jang sangat lihay
itu. Selagi ia tjoba meng-ingat2, mendadak Hian Song bitjara pada budaknja :
"Beng Tjoe, tjoba kau pisahkan mereka. Tanja dia, apa dia masih mempunjai
sangkutan keluarga dengan Tiangsoen Koen Liang." Lie It tersadar. Sekarang ia
ingat, bahwa kiam-hoat itu pernah diperlihatkan oleh Siangkoan Wan Djie. Wan
Djie adalah murid Tiangsoen Koen Liang, sehingga pemuda itu memang mestinja
mempunjai sangkut-paut dengan orang tua tersebut. Saat itu Ma Goan Thong tengah
menjerang dengan pukulan In-liong-djip-hay (Naga-masuk-kelaut) jang sangat
lihay, tapi dengan berani pemuda itu menjerang terus. Tiba2, karena kurang berhati2, pergelangan tangannja terlibat udjung tjambuk dan dengan girang, Ma Goan
Thong tjoba membetotnja. Tapi dia bertenaga besar, dengan sekali mengempos
semangat, ia memasang kuda2 dan kedua kakinja seperti djuga berakar ditanah.
Tapi biarpun badannja tidak bergeming, pergelangan tangannja sakit bukan main,
sehingga ia mengertak gigi untuk menahan sakit. Untuk sedjenak kedua belah pihak
mengerahkan seluruh lweekang masing2 sambil saling membetot, dengan pemuda itu
per-lahan2 turunkan pedangnja disepandjang badan tjambuk untuk memapas djeridji
tangan Ma Goan Thong. Pada detik jang sangat genting, sambil tertawa njaring
Beng Tjoe melompat. Hampir berbareng, pemudi jang datang ber-sama2 pemuda itupun
melompat sambil mengajun pedang dan kedua wanita itu hinggap diatas bumi dengan
berbareng. "Trang ...!", tjambuk Ma Goan Thong terbabat putus, tapi pedang
pemudi itu lalu dipapaki pedang Beng Tjoe, jang dengan menggunakan ilmu
"memindjam tenaga, memukul tenaga", telah berhasil mendorong lawannja, sehingga
nona itu sempojongan. Sesudah berdiri tetap, ia mengawasi Beng Tjoe dan berkata
dengan suara dingin : "Suruh madjikanmu keluar ". "Serdadu melawan serdadu,
djenderal melawan djenderal ", kata Beng Tjoe sambil tertawa. "Djika kau bisa
mengalahkan aku, barulah boleh berhadapan dengan Siotjiaku ". "Baiklah, kau
madjulah ", kata pemudi itu. "Karena aku lebih tua daripadamu, aku
mempersilahkan kau menjerang lebih dulu dalam tiga djurus ". "Tahan! Aku tidak
pernah bertempur dengan manusia jang tidak ternama ", kata budaknja Hian Song.
"Pernah apakah kau dengan Tiangsoen Koen Liang ". Pemudi itu meluap darahnja.
"Kurang adjar !", bentaknja sambil menuding dengan pedang Tjeng-kong-kiam.
"Berani sungguh kau me-njebut2 nama ajahku. Djika kau berani berlaku kurang
adjar lagi, aku akan memberi hadjaran keras ". Kedua orang muda itu memang bukan
lain daripada Tiangsoen Thay dan Tiangsoen Pek, putera dan puteri Tiangsoen Koen
Liang. Mendengar Kok Sin Ong ingin mengadakan Eng-hiong Tay-hwee dipuntjak
Kimteng, orang tua itu, jang bersahabat dengan Kok Sin Ong, tapi tidak pernah
berhubungan lagi sesudah ia menjingkir ke daerah Kiamkok, segera memerintahkan
putera dan puterinja menghadiri pertemuan itu, sebab ia sendiri belum sembuh
betul dari lukanja. Apa mau, kakak-beradik itu datang terlambat dan Eng-hiong
Tay-hwee sudah keburu bubar. Ditengah djalan mereka bertemu dengan beberapa
orang jang kabur dan jang memberitahukan mereka, bahwa Eng-hiong Tay-hwee telah
diubrak-abrik oleh seorang wanita muda. Mereka kaget dan heran. Tapi sebagai
anak kerbau jang tak takut harimau, mereka segera mengubar untuk mendjadjal
tenaga dengan Boe Hian Song. Waktu tiba di Song-lioe-koan, dari pengurus sebuah
penginapan, mereka mendapat tahu, bahwa dengan menggunakan kereta, Hian Song
baru sadja lewat dikota ketjil itu. Mereka memastikan, bahwa wanita itu Hian
Song adanja karena wanita, jang dilukiskan oleh si pengurus penginapan, sesuai
dengan jang dilukiskan oleh orang2 jang kabur dari puntjak Kim-teng. Disamping
itu, dari tjeritera si pengurus penginapan, mereka djuga menarik kesimpulan,
bahwa pemuda jang rebah didalam kereta tidak lain daripada Lie It. Oleh karena
itu, mereka segera membedal kuda untuk mengubar. Dengan semangat bergelora
tudjuan mereka adalah untuk bertempur dengan Hian Song, tapi diluar dugaan,
sebelum nona Boe muntjul, Tiangsoen Thay sudah disambut oleh seorang jang
mengenakan pakaian petani, sedang Tiangsoen Pek dilajani oleh seorang budak
tjilik jang lagaknja sombong. Sambil menahan napsu amarahnja, nona Tiangsoen
berkata dengan suara dingin : "Madjulah !". Baiklah !", kata Beng Tjoe dan
hampir berbareng sehelai sinar merah menjambar. Budaknja Hian Song menggunakan
ikat pinggang jang terbuat daripada sutera merah sebagai sendjatanja. "Sungguh
tjepat !", memudji Tiangsoen Pek sambil melompat kebelakang kurang-lebih tiga
tombak djauhnja. Beng Tjoe menotol tanah dengan kakinja dan badannja lantas
sadja melesat kedepan, sedang satu tangannja jang mentjekal pedang pendek
membuat setengah lingkaran. "Tjres ...!", pedang itu membabat putus satu tjabang
pohon, sedang Tiangsoen Pek, pada saat terakhir, berhasil menjelamatkan diri
dari serangan jang luar biasa tjepat itu. Sesudah kedua serangannja dipunahkan,
Beng Tjoe kaget dan kagum, dan dengan gembira, ia segera mengempos semangat
untuk menjerang dengan pukulan simpanannja. Pukulan itu, jang menggunakan ikatpinggang dan pedang pendek, berisi dua matjam tenaga, jaitu tenaga 'lembek' dan
tenaga 'keras'. Melihat serangan hebat itu, Tiangsoen Pek mengelakkan sambaran
ikat-pinggang lawan dengan gerakan Hong-hong-tiam-tauw (Burung-hong-manggut) dan
hampir berbareng, dengan ketjepatan luar biasa, ia melompat kebelakang Beng
Tjoe. Tapi budak Hian Song ini rupanja sudah menaksir bahwa lawannja bakal
bergerak begitu. Bagaikan arus listrik tjepatnja, ia menarik pulang pedangnja
dan lalu menjabet kebelakang. "Tring ...!", pantek konde Tiangsoen Pek jang
menjerupai burung Hong, terbabat putus. Lie It mengeluarkan keringat dingin.
"Dengan memandang mukaku, kuharap kau djangan melukakan mereka ", katanja dengan
suara perlahan. Dilain detik ia ingat, bahwa Hian Song adalah musuh dan
mengingat begitu, mukanja lantas sadja berubah merah. Dilain pihak, nona Boe
seperti djuga tak dengar perkataan Lie lt. Ia terus memperhatikan djalan
pertempuran itu tanpa berkesip. Tiba2 ia tertawa njaring. "Beng Tjoe, sekarang
kau bertemu dengan tandingan ", katanja. "Ilmu silat si adik lebih tinggi
daripada sang kakak ". Bukan main gusarnja Tiangsoen Pek. Sambil membentak, ia
menjerang dengan pukulan Tit-tjie-thian-lam (Menuding-ke-selatan) dan pedang
Tjeng-kong-kiam menjambar bagaikan keredepan kilat. Buru2 Tiangsoen Pek
menangkis dengan djurus Hoen-ka-kim-liang (Memasang-penglari-emas) seraja
berkata : "Terima kasih, bahwa kau sudah mengalah dalam tiga djurus. Aku kagum
akan ilmu pedangmu ". Perkataan Beng Tjoe jang keluar dari hati sedjudjurnja,
dianggap sebagai edjekan oleh nona Tiangsoen, jang tanpa mendjawab, segera
mengirim serangan berantai jang saling susul. Tiangsoen Koen Liang, ajah si
nona, adalah salah seorang diantara tiga ahli pedang kenamaan pada djaman itu.
Dua jang lain jalah Kok Sin Ong dan Oet-tie Tjiong. Sebagai seorang jang sangat
tjerdas, ketjuali kalah dalam tenaga, Tiangsoen Pek lebih unggul dalam ilmu
mengentengkan badan dan kiam-hoat daripada kakaknja. Serangan2-nja berantai,
jang dikirim dengan hati mendongkol, dahsjat luar biasa, sehingga Beng Tjoe
terpaksa melompat mundur. Tapi nona Tiangsoen djuga tidak berani memandang
enteng lagi lawannja dan sambil memusatkan perhatian, ia menjerang gadis ketjil
itu. Sesudah bertempur beberapa djurus, tiba2 Beng Tjoe mengedut ikatpinggangnja jang lantas sadja berubah lurus bagaikan pit dan menjambar seperti
anak panah. Tapi, sebelum ikat pinggang itu mengenai lawan, mendadak ia
menjentaknja, sehingga sendjata itu kembali berubah lemas dan digunakan seperti
tjambuk. Buru2 Tiangsoen Pek melompat kesamping dengan gerakan Hoei-niauw-touwlim (Burung-terbang-masuk-kehutan), sambil mengebas dengan lengan badjunja,
sehingga ikat-pinggang itu terpental dan hampir berbareng, dengan pukulan Gioklie-tjoan-tjiam (Dewi-menusukkan-benang-kedjarum), pedangnja menjambar djalan
darah Hong-hoe-hiat dipundak Beng Tjoe. Tapi budak ketjil itu djuga liehay
sekali. Dengan sekali memutar badan, bagaikan bianglala, ikat pinggangnja bisa
menjampok udjung pedang lawan dan dengan membalik tangan, ia menjabet dengan
pedangnja, dengan pukulan Sian-djin-hoan-eng (Dewa-menukar-bajangan). Melihat
serangan hebat itu, Tiangsoen Thay terkesiap dan berseru, "Moay-moay, hati2 !"
Tapi peringatan itu sebenarnja kurang perlu, karena, dengan menggunakan ilmu
mengentengkan badan jang sangat tinggi, si adik sudah menjelamatkan diri dengan
melompat mundur, akan kemudian madju menjerang pula dengan tidak kurang
sengitnja. Sementara itu, Lie It jang rebah didalam kereta sudah tidak dapat
bersabar lagi, karena ia dengar suara bentrokan sendjata jang makin lama djadi
makin hebat. Sambil menjingkap tirai, ia mengerahkan tenaga untuk tjoba bangun
dan duduk. Hian Song tersenjum dan seraja menekan dada pemuda itu, ia berkata:
"Empat hari lagi kau sudah boleh berdjalan. Perlu apa ter-gesa2 ?". Lie It
mendongak dan melihat matahari berada di-tengah2 langit. Tiga kali setiap hari
jaitu pagi, tengah-hari dengan sore si nona mengurutnja sambil mengerahkan
lweekang untuk bantu menjembuhkan lukanja. Sekarang tiba temponja untuk
pengobatan itu. Begitu tirai kereta terbuka, Tiangsoen Thay lantas sadja
berteriak : "Thianhee djangan kuatir! Tiangsoen Thay sengadja datang untuk
menolong ". Sambil berteriak, ia melompat dan menerdjang kedepan kereta. Dengan
menjenderungkan separuh badannja, Boe Hian Song tersenjum seraja berkata :
,,Adjaklah adikmu madju ber-sama2. Beng Tjoe, kau bukan tandingan Tiangsoen
Siotjia. Mundurlah !". Tapi sebelum budak itu mundur, Tiangsoen Pek sudah
menjerang dengan pukulan Sin-liong-tiauw-wie (Naga-malaikat-menjabet-denganbuntutnja), sehingga Beng Tjoe terpaksa mesti mundur beberapa tindak dan dengan
menggunakan kesempatan itu, ia melompat menjusul kakaknja. Boe Hian Song tertawa
manis. "Ilmu pedang ajahmu
tersohor dikolong langit ", katanja. "Aku merasa girang sekali, bahwa hari ini
aku bisa bertemu dengan kalian. Hian-heng dan Hian-moay boleh mengeluarkan
seantero kepandaian supaja aku bisa tambah pengalaman ". Setibanja didepan
kereta, untuk sedjenak Tiangsoen Thay berdiri terpaku. Sedikitpun ia tidak
njana, bahwa Boe Hian Song seorang gadis djelita jang masih begitu muda-belia.
Tapi dilain saat, melihat sikap nona Boe jang terang2 sangat memandang enteng
kepadanja, darahnja meluap. "Turun kau !", bentaknja. "Mari kita men-djadjal2
kepandaian !". "Karena ingin melindungi orang, aku tidak bisa turun ",
djawabnja. "Hian-heng dan Hian-moay boleh madju sadja tanpa sungkan2 ". Tanpa
mengeluarkan sepatah kata lagi, Tiangsoen Pek melompat dan menikam dengan
pedangnja, sedang Tiangsoen Thay tjoba mendjambret lengan nona Boe untuk diseret
turun. Sambil tersenjum, Hian Song memapaki sendjata nona Tiangsoen dan begitu
kedua sendjata itu kebentrok, Tiangsoen Pek terhujung beberapa tindak. Dilain
pihak, sesudah menangkis sendjata lawan, hampir berbareng dan dengan ketjepatan
kilat, dengan gagang pedang, Hian Song menutuk lengan Tiangsoen Thay jang
separuh badannja lantas sadja kesemutan. Kakak-beradik itu kaget dan gusar.
Sesudah menarik napas pandjang untuk memulihkan aliran darahnja, Tiangsoen Thay
menjerang lagi sambil berteriak: "Sambutlah ...!". Dua batang pedang segera
menjambar nona Boe seperti arus listrik tjepatnja. Dengan tenang Hian Song
menjambut pedang Tiangsoen Thay jang lalu didorong kesamping, sehingga pedang
Tiangsoen Pek jang tengah menjambar dengan dahsjatnja kebentrok dengan sendjata
kakaknja. "Trang ...!" kakak dan adik itu sempojongan beberapa tindak. Tiangsoen
Pek mendeliki kakaknja dan berkata dengan suara perlahan: "Mengapa kau tidak
menjerang dengan Kong-tjiak-kay-peng (Burung-merak-memhuka-tirai) ?". Suara itu
jang sangat perlahan rupanja sudah didengar Hian Song jang lantas saja tertawa
seraja berkata : "Hian-heng dan Hian-moay belum mengeluarkan ilmu jang paling
tinggi. Madjulah lagi !". Dengan paras muka merah karena malu, Tiangsoen Thay
segera mengangkat pula sendjatanja dan menjerang dengan Kong-tjiak-kay-peng,
sedang si adikpun lantas sadja menikam dengan pukulan Tjay-hong-siok-ie (Burunghong menjisir-bulu). Demikianlah, dalam gerakan burung merak dan burung hong
jang sangat indah, kakak dan adik itu menerdjang dari kiri dan kanan.
"Bagus ...!", memudji Hian Song seraja menangkis, sedang tangan kirinja tetap
menekan djalan darah Soan-kie-hiat didada lie It sambil mengerahkan lweekangnja.
Melihat pertempuran jang hebat itu, Lie It mendjadi bingung. Hian Song tersenjum


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seraja berkata dengan suara halus : "Kau djangan kuatir. Aku pasti akan
memandang mukamu ". Lie It mengerti, bahwa kata2 itu merupakan djandji, bahwa si
nona tidak akan mentjelakakan lawannja. Hatinja lega dan dadanja jang barusan
agak menjesak, mendjadi lapang kembali. Dilain pihak, melihat sikap Hian Song
terhadap Lie It, kedua saudara itu djadi heran bukan main. "Apakah Thianhee
sudah djatuh dibawah pengaruh ketjantikan siluman itu ?", tanja mereka didalam
hati. Ketjurigaan itu dan tjara2 nona Boe jang sangat tidak memandang mata
kepada mereka, sudah membangkitkan rasa gusar tertjampur malu dan mereka lantas
sadja menjerang dengan pukulan2 jang membinasakan. Tapi Hian Song tetap melajani
dengan ketenangan luar biasa, sedang tangan kirinja terus menempel didada Lie
It. Melihat ketjintaan Hian Song terhadap dirinja, mau tidak mau Lie It merasa
sangat berterima kasih. Per-lahan2, sambil menikmati rasa hangat jang mengalir
diseluruh tubuhnja sebagai akibat dari lweekang si nona, ia berada dalam keadaan
setengah pulas dan tidak memperhatikan lagi pertempuran jang sedang berlangsung.
Kira2 seminuman teh, ia tersadar dan merasa badannja njaman. Karena mendengar
suara bentrokan sendjata jang sangat hebat, ia membuka kedua matanja dan melihat
Tiangsoen Thay dan adiknja sedang menjerang bagaikan hudjan dan angin. Hian Song
mengangkat tangannja dari dada Lie It dan berkata : "Pengobatan tengah-hari
sudah selesai ". Ia berpaling kepada kedua lawannja dan berkata pula : "Ngo-bie
Kiam-hoat benar2 liehay dan siauw-moay sudah mendapat banjak peladjaran.
Sekarang kalian boleh mengaso dan kalau nanti berdjumpa dengan ajah kalian,
tolong sampaikan hormatku kepada beliau. Kami hendak meneruskan perdjalanan dan
tak dapat meladeni terus ". Sehabis berkata begitu, sambil mengempos lweekang,
ia menjabet keatas dan "trang ...!", pedang Tiangsoen Thay terbabat putus. Paras
muka pemuda itu lantas sadja berubah putjat, sedang adiknja, tanpa mengeluarkan
sepatah kata, segera melompat keatas punggung kudanja jang kemudian dikaburkan
se-keras2 nja. Tiangsoen Thay tertegun sedjenak, tapi lekas2 iapun melompat
keatas punggung tunggangannja dan lalu menjusul adiknja.
---oo0oo--LIE It bangun per-lahan2 dan lalu duduk menjender dibelakang kereta. Dengan
Sleepaholic Jatuh Cinta 1 Topeng Kuning Karya Bois Brisingr 9

Cari Blog Ini