Ceritasilat Novel Online

Memburu Putera Radja 8

Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen Bagian 8


mengelabui dengan unta kami. Maka itu ada beberapa ajah dan ibu bangsa kami jang
melarang anak2-nja menerima persenan dari orang Han ". Lalu ia berpaling kepada
si njonja Uighur, untuk menambahkan : "Memang orang Han itu ada jang baik ada
djuga jang buruk, tetapi orang Han ini benar2 baik hatinja. Beberapa hari jang
lalu ia telah memberikan tiga kantung air jang besar kepada bapak ini hingga
bapak dan sekeluarganja ketolongan. Tetamu ini tidak nanti mempedajakan anakmu,
dia mengasikan barang, maka kau suruhlah anakmu menerima ". Njonja Uighur tidak
menjahut, tanpa kata apa2, ia menarik tangan anaknja, untuk diadjak pergi
mentjampurkan diri dilain rombongan. Hian Song berdiam, tetapi ia terus
berpikir. Tidak nanti wanita itu bersikap demikian kalau tjuma disebabkan dia
membentji orang Han. Mesti ada sebabnja
jang lain. Sinar matanja itu luar biasa. Seorang muda, jang mukanja ada bekas
batjokan golok, bangkit dan berkata : "Tuan ini benar. Memang ada orang Han jang
baik, ada djuga jang buruk. Akupun pernah bertemu dengan seorang Han jang baik,
bahkan dialah tuan penolong dari djiwaku. Dia tidak sudi meninggalkan namanja
akan tetapi aku tahu dia siapa. Diantara kita ini mungkin ada jang pernah
bertemu dengannja. atau kalau belum pernah melihat, pasti sudah mendengar
namanja, jalah Thian-san Kiam-kek !". Mendengar disebutnja nama itu, beberapa
orang lantas berseru: "Thian-san Kiam-kek ...! Thian San Kiam-kek ...! Benar,
aku pernah mendengar nama itu !". "Ja, aku pun pernah ditolong dia !".
"Lekas ..., Lekas kau tuturkan kenapa kau ditolongi!". Dari suara2 itu,
teranglah Thian-san Kiam-kek, 'si djago pedang dari Thian-san', namanja terkenal
sekali. Untuk Hian Song, disebutnja djulukan itu menimbulkan sesuatu jang ia
pikirkan, jang ia duga2. "Aku pun sama seperti tuan2 ", kata pemuda jang
bertapak batjokan golok itu. "Aku djuga menjingkir dari gerakan mengumpul
tentera. Aku berangkat bersama ibuku jang sudah tua dan adikku perempuan jang
lemah. Ditengah djalan kami bertemu sama empat orang baturu dari Khan. Mereka
itu. bukan tjuma mau menawan aku, mereka djuga hendak merampas adikku. Benar2
aku tidak takut mendjadi serdadu tetapi aku ingin melindungi adikku itu. Nah,
lihatlah tapak golok di mukaku ini!. Itulah tanda batjokannja seorang baturu
jang kedjam sekali. Dan ini adikku, lihat, lantaran kaget dan saking takutnja,
dia djatuh sakit dan sampai sekarang dia masih belum sembuh !". Di sampingnja si
pemuda benar ada seorang nona, jang kurus dan mukanja bersemu kuning, sinar
matanja menandakan dia masih ketakutan, matanja itu mengembeng air. "Sungguh
kedjam ! Sungguh kedjam !", kata si orang tua sengit. "Dia membikin seorang nona
kaget sampai begini rupa !". "Maka sjukurlah, Thian-san Kiam-kek datang dengan
tiba2 ", melandjuti si anak muda. "Dia lantas menolongi kami. Tjuma sebentaran,
dia telah melukai semua empat baturu itu. Dia menggunai sebatang pedang jang
pandjang. Belum pernah aku melihat atau mendengar halnja pedang demikian tadjam.
Begitu bentrok, sendjatanja empat baturu itu kena terbabat kutung !". "Bagaimana
matjamnja orang jang kau ketemukan itu ?", si orang tua bertanja. "Orang dari
usia pertengahan jang tampan. Dia kosen, dia mempunjai pedang pula, kalau dia
bukannja Thian-san Kiam-kek, siapa lagi ?", kata si anak muda. "Kalau dia bukan
Lie It, siapa lagi ?", kata Hian Song didalam hati. Lantas hatinja gontjang. Ia
lantas ingat akan peristiwa pada delapan tahun jang lampau Kata2 si orang tua
memutuskan djalan pikirannja Nona Boe. Katanja : "Aku djuga pernah bertemu
Thian-san Kiam-kek, hanja romannja tidak seperti jang kau lukiskan. Dia mirip
dengan aku, diluar nampaknja dia tua dan rejot. Keluargaku turun-temurun hidup
dari usaha mentjari obat. Ketika itu radja dari Bendera Aerchin menitahkan aku
menjerahkan teratai saldju dari Thian-san, aku diberi tempo tjuma tiga bulan.
Radja itu memerlukan teratai saldju untuk selirnja jang sakit. Teratai saldju
tumbuhnja diatas puntjak saldju, itulah teratai jang langka. Seumurku baru
pernah aku memetik satu kali. Ketika itu pun aku sedang mudanja dan kuat, tetapi
sekarang aku sudah tua dan lemah, batas temponja pun pendek sekali. Mana aku
sanggup mentjari teratai itu " Ketika batas tempo tiga bulan lewat, aku lantas
didesak oleh orang2-nja radja itu, aku diberi tempo lagi tiga hari, atau
serumah-tanggaku bakal dipendjarakan. Tempo tiga hari itu lewat dengan tjepat.
Aku putus asa. Aku pikir, dari pada hidup menderita, lebih baik mati sadja. Aku
mendjadi nekat, maka aku menggantung diri dikaki gunung Thian-san. Sungguh
kebetulan, Thian-san Kiam-kek datang selagi aku menggantung diri. Dia memutuskan
tambang gantungan, dia menolongi aku, lalu dia meninggalkan setangkai teratai
saldju itu. Dia mempunjai pedang jang tadjam, dia djuga memiliki teratai saldju,
tjoba pikir, kalau dia bukan Thian-san Kiam-kek, habis siapa ?". Penuturan orang
ini disusul oleh beberapa jang lainnja, jang katanja djuga pernah ditolongi
djago pedang dari Thian-san itu, fikirnja tjerita mereka beda hal romannja si
kiam-kek, ada jang menjebut tua, ada jang menjebut muda, dan jang tjotjok tjuma
dua hal, jalah dia orang Han dan mempunjai pedang jang tadjam. Boe Hian Song
mendjadi ragu2. Thian-san Kiam-kek itu Lie It atau bukan ". Ia bersangsi karena
roman orang, tua dan muda. Ia tjuma lantas mengingat terus lelakonnja sendiri
pada delapan tahun dulu itu. Mereka berdua sering bertemu, sering djuga
berpisah, selama bertemu, mereka pernah main khim dan bernjanji didalam rimba,
sampai di gunung Lie San terdjadilah perpisahan mereka jang terachir. Sebab Lie
It terdjun ke djurang. Ia telah kirim Djie Ie mentjari anak muda itu. Djie Ie
pernah menemuinja, katanja si pemuda naik kereta menudju ke perbatasan. Habis
itu tidak ada kabar-beritanja lagi.
---oo0oo--IA bersjukur Lie It tidak terbinasa di dalam djurang, ia berduka karena mereka
berpisah. Tapi, berpisah hidup itu suatu penderitaan hebat. Maka selama delapan
tahun itu, entah beberapa kali ia pernah mengutjurkan air mata. Ia tahu Lie It
tidak bakal kembali, ia djuga tidak meng-harap2 lagi, tetapi, penghidupan itu
gaib, ia djusteru ditugaskan Boe Tjek Thian mentjari pemuda bangsawan itu. Boe
Tjek Thian, sang kaisar wanita, atau ratu dari keradjaan Tjioe, telah mendjadi
wanita tua usia tudjuh puluh tahun, dan dia ingin sekali lekas2 mendapatkan
orang jang bakal mewariskan tachtanja. Dia mempunjai seorang keponakan, jalah
Boe Sin Soe, dan keponakan ini mengharap sangat dapat mewariskan mahkotanja,
akan tetapi dia merasa sang keponakan kurang tjakap. Beberapa menteri, seperti
Tek Djin Kiat, pun memberi nasihat untuk dia djangan mewariskan keradjaan kepada
orang lain she, bahwa walaupun tidak pintar, lebih baik pemerintahan diserahkan
kepada anak sendiri. Inilah untuk mentjegah keruwetan dibelakang hari. Maka
diam2 dia mengambil ketetapan akan menjerahkan tachta kepada pangeran Louw-lengong Lie Tan. Tentang ini dia tidak lantas memberitahukan sekalian menterinja.
Dia ingin mentjari dulu orang pintar dikalangan keluarga Lie untuk nanti
membantu puteranja itu. Dengan sendirinja dia teringat kepada Lie It. Lantas dia
minta Bee Hian Song pergi mentjari pangeran itu. Demikian Nona Boe berada di
perbatasan Tiongkok. Delapan tahun sudah lewat. Apakah Lie It telah melupakan
permusuhannja terhadap Boe Tjek Thian " Kalau Lie It ketahui keputusan Boe Tjek
Thian ini, bahwa keradjaan bakal dikembalikan kepada keluarga Lie, maukah Lie It
berangkat pulang ". Inilah hal jang menjangsikan Hian Song. Si nona djuga
memikir : "Selama delapan tahun ini, pernahkah dia memikirkan aku " Bagaimana
dia melewatkan tempo delapan tahun itu" Dia hidup menjendiri dengan senantiasa
bersenandung ataukah dia telah mempunjai teman hidup jang tjotjok dengan hatinja
?". Inilah hal jang Nona Boe sangat ingin mengetahui. Ia membajangi, kalau nanti
ia bertemu Lie It, ia harus bergirang atau bersedih . Maka itu sekarang, berada
dikaki gunung Thian-san, hampir tak dapat ia menguasai dirinja sendiri. Orang2
pelarian itu masih ramai bitjara satu dengan lain, bitjara tentang Thian-san
Kiam-kek, tentang buronnja mereka. Di lain pihak ada beberapa nona Kazakh jang
menggembirakan diri dengan lantas bernjanji, menjanjikan lagu jang umum di
padang rumput : "Adik pergi ke tegalan menggembala kambing, Kakak di rumah menggosok golok dan
tombak. Khan telah mengeluarkan titah mengumpul tentara, Maka perpisahan kita
sudah ada didepan mata !.
Rombongan kambing dapat mengurus sendiri hidupnja, Tetapi ajah dan ibu, ada
siapakah jang merawatnja ". Diutara Thian-san, angin luar biasa, Tetapi untuk
hidup kita, kita lari kesana !".
Mendengar njanjian itu, sedjenak semua suara berisik terhenti. Njanjian itu
tepat menjerang hati mereka. Dengan sendirinja ada jang mengalirkan air mata,
ada jang menghela napas. Tapi djuga ada jang berteriak : "Njanjikanlah lain
lagu, tentang sang tjinta, supaja semua senang dan gembira !". Nona2 itu
bernjanji pula : "Badai telah menggulung pasir kuning, Burung radjawali melajang hendak turun.
Kakak, kaulah si radjawali diangkasa itu, Kau tak takut angin dan pasir, Tapi
djanganlah kau turun !. Badai telah menggulung pasir kuning, Burung radjawali melajang hendak turun,
Tapi aku tidak takut angin dan pasir. Adik, untuk dapat melihat wadjahmu, hendak
aku menaiki angin mentjari kau, Untuk mengadjak kau pulang ...".
Itulah pengutaraan dari tjinta sedjati muda-mudi dipadang rumput, itulah tidak
terlalu menggembirakan tetapi sangat menarik hati, mendengar itu, Boe Hian Song
berpikir : "Aku bukannja si burung radjawali tetapi aku hendak menjerbu angin
dan pasir untuk mentjari dia dan mengadjak dia pulang ". Baru berhenti suara
njanjian, jang disusuli sama kesunjian, lalu kuping orang mendengar tindakan
kaki kuda mendatangi, hingga semua orang menoleh. Disana nampak dua pahlawan
Turki mendatangi. Segera mereka tiba diluar tenda. Semua orang mendjadi kaget.
Bukankah mereka semua orang buronan". Mereka tidak menjangka, sampai dikaki
bukit Thian-san masih ada pahlawan itu. Maka semua lantas berdiam, hati mereka
bekerdja. Orang berkuatir tapi umumnja mereka berpikir : "Kita berdjumlah
seratus lebih, djikalau mereka mau menawan kita, dengan seorang hanja menimpuk
dengan sepotong batu, mesti mereka mampus ...". Kedua pahlawan itu lompat turun
dari kuda mereka masing2, mereka bertindak kearah orang banjak itu. Kebetulan
didepannja ada seekor unta jang menghalangi djalan, keduanja berseru :
"Minggir ...!". Lantas dengan serentak mereka turun tangan, seorang pahlawan
menangkap kaki depan si unta, untuk dipeluk, jang lainnja memeluk kaki belakang,
terus mereka bangun berdiri. Heran kekuatan mereka itu, tubuh unta itu jang
besar dan berat dapat diangkat mereka, untuk dilemparkan!. Semua orang
terkedjut. Karena ini beberapa pemuda, jang aseran, jang tadinja mau
mengutarakan rasa tak puasnja, terpaksa membungkam terus. Kedua pahlawan itu
bertindak mendekati unggun, kedua tangan mereka di-gosok2. "Dingin... !", kata
mereka seorang diri. Tidak ada orang jang menjahut atau menjapa, bahkan jang
berada dekat mereka berdua lantas mendjauhkan diri, mereka djeri seperti
mendjerikan sjaitan cholera. Kedua pahlawan itu merasa tidak enak sendirinja,
tetapi mereka toh menebalkan muka, untuk mendjatuhkan diri dan berduduk, tangan
mereka lantas diulur, untuk digarang. Suara ramai pengungsi itu terus sirap,
bahkan anak2 ketjil turut menutup mulut. Anak2, jang tadi bermain pasir, turut
berhenti memain djuga. Seperti mendapat firasat, mereka menjontoh sikapnja
orang2 tua mereka. Melainkan seorang botjah sadja jang nampak tidak takut sama
sekali, dengan sinar mata keheranan, dia mengawasi kedua pahlawan itu. Hanja
sedjenak, mendadak dia berseru : "Aku penggal kepalamu ?". Dengan tangannja dia
menghadjar roboh menara pasir jang tadi dibangun. Bagian atas dari menara itu
jalah sebuah batu besar, batu itu mental sampal satu tombak lebih. Melihat itu,
Hian Song heran. Botjah itu baru berumur enam atau tudjuh tahun tetapi ternjata
dia kuat sekali. Teranglah anak itu pernah mejakinkan 'Tong-tjoe-kang', jalah
ilmu silat "Anak laki2". Kedua pahlawan itu tidak gusar karena kelakuan si
botjah, sebaliknja, tertawa berkakakan. "Bagus, kau kuat sekali !", katanja.
Botjah itu jalah botjah si wanita Uighur. Selagi semua orang diam2 mengambil
sikap bermusuh pada dua pahlawan itu, adalah kuda putih Hian Song, jang telah
mendapat kesegarannja telah makan rumput dan beristirahat, bergaul rukun dan
erat dengan kuda mereka itu. Ketiga binatang saling menempelkan diri dan
mendjilat, kaki mereka me-nendang2, suara mereka meringkik. Sambil berduduk dan
menghangatkan diri, kedua pahlawan itu mengawasi Hian Song. "Mungkinkah mereka
datang untuk menangkap aku ?", pikir si nona. Ia mendapatkan sinar mata orang
luar biasa. Ia tidak takut, maka itu, ia balik mengawasi mereka itu. "Rupanja
kuda putih itu datang dari Kwan-lwee ", kata satu pahlawan. "Sungguh seekor kuda
bagus. Siapakah penunggangnja ?". "Aku ", mendjawab Hian Song, "Kenapa ?".
"Djadinja tuan mengandal kudamu ini datang kepadang pasir ini, kekaki bukit
Thian-san ini ?", tanja pahlawan jang lain. "Ha ha ha, kau hebat sekali!. Aku
kagum ". Sembari berkata, ia mengeluarkan sepotong daging babinja, untuk
dipanggang diatas api, kemudian ia menggunai pisaunja memotong daging itu, jang
sepotong ia angsurkan kepada nona kita seraja berkata : "Tuan tentu letih habis
melakukan perdjalanan demikian djauh, kita tidak mempunjai apa2, mari ini daging
tjeleng !". Hian Song menerima daging itu dengan tidak sungkan2 dan memakannja.
Ia telah bersiap untuk bertempur kalau perlu, akan tetapi dua orang itu agaknja
tidak bersikap bermusuhan. Pahlawan itu memotong pula dagingnja, ia membagi
beberapa orang tua. Tapi mereka ini tidak menerima, mengulur tangan pun tidak,
meskipun daging itu harum baunja dan mestinja lezat rasanja. Rada djengah,
pahlawan itu menarik pulang dagingnja. lantas mereka berdua dahar sendiri.
"Turunnja saldju besar2-an membikin gunung tertutup ", kemudian kata satu
pahlawan. "Mari kita melihat mulut djaIan gunung ", kata jang lain. "Kita baik
melihat, besok kita dapat melandjuti perdjalanan kita atau tidak ...". Senang
orang banjak itu, sebab orang mau mengangkat kaki. Tidak lama kedua pahlawan itu
beristirahat sambil dahar dan minum, lantas mereka berbangkit, untuk berlalu.
Ketika mereka lewat didekat si botjah, jang satu membagi sepotong daging. Botjah
itu berpaling kepada ibunja. "Aku tidak menginginkan barangmu !", katanja
kemudian keras2. Mendadak pahlawan itu tertawa ter-bahak2, mendadak djuga dia
menjamber si botjah, untuk dipondong, buat dibawa lari ke kudanja. Dengan satu
kali lompat, dia sudah berada dipunggung kuda. Wanita Uighur itu terkedjut,
untuk sedjenak dia tertjengang, lantas dia lompat bangun, untuk memburu.
Kedjadian itu kedjadian diluar dugaan dan kedjadiannja tjepat sekali, pula
tjepat pahlawan itu melarikan kudanja, disusul oleh kawannja. Si njonja memburu
terus, terus dia melompat keatas kuda putih, untuk melarikan itu, guna menjusul
kedua pahlawan jang membawa lari si botjah. Ketika itu terdengarlah djeritannja
si botjah, berulangkali dia meneriaki ibunja : "Ibu ...! Ibu ...!". Sekarang
Hian Song mendengar njata lagu-suara orang, jalah lagu-suara penduduk Tiang-an.
Ia terkedjut dan heran, seperti barusan dia terkedjut atas sepak terdjang si
pahlawan, jang diluar dugaannja, hingga ia tertjengang, hingga walaupun ia mau,
ia tidak dapat mentjegah. Pula heran si wanita Uighur. Wanita itu dapat bergerak
dengan tjepat dan lintjah, suatu tanda dia mengerti ilmu ringan tubuh. "Apakah
dia anak bangsa Han ?", tanja Hian Song dalam hatinja. "Kenapa tadi dia berpura2 tidak mengerti bahasa Tionghoa ". Kenapa ibunja melarang dia menerima
barang pengashian orang bangsa Han ". Kenapa setelah mendapat bahaja baru dia
omong Tionghoa ". Pastilah itu bahasa jang dipakai setiap hari antara ibu dan
anak itu ..." ---oo0oo--TAPI tidak dapat si nona berpikir lama2, selagi kawanan pengungsi itu kaget dan
heran dan berbitjara ramai satu dengan lain, ia lompat bangun untuk lari
menjusul. Karena kudanja dipakai si wanita Uighur, terpaksa ia lari dengan
memakai ilmu ringan tubuhnja. Ia melihat wanita itu sudah pergi djauh.
Sebaliknja, lantas ia mendengar lapat2 suara beberapa orang pengungsi
dibelakangnja. "Tidak salah !. Tidak salah lagi !. Dialah Thian-san Kiamkek ...!". Lama djuga Hian Song lari, kesudahannja ia ketinggalan. Tidak dapat
ia menjusul kuda putihnja itu. Sjukur semua kuda itu meninggalkan tapak kaki,
maka ia bisa berlari terus, menjusul dengan mengikuti tapak kaki kuda. Baru
setelah tiba dikaki bukit sekali, lenjap si dua pahlawan, hilang si wanita dan
musnah djuga tapak kaki kuda mereka. Rupanja mereka itu kabur terus naik ke
gunung. Dengan penasaran Hian Song lari mendaki. Ia memandjat sebuah puntjak,
lalu sebuah puntjak jang lain. Untuk mendaki, ditempat jang bersaldju, ia
menggunai ilmu larinja "Teng-peng-touw-soei" jalah 'Menjeberang dengan naik
kapu-kapu'. Dari puntjak jang kedua ini, ia mendengar bentrokan sendjata
dibagian bawah. Dengan tjepat ia menudju kesana. Disana berlangsung pertempuran
diantara si wanita Uighur melawan seorang serdadu atau perwira Turki itu. Si
njonja menggunai pedang, nampak dia lintjah sekali. Maka Hian Song mengenali,
dia bersilat dengan ilmu silatnja salah satu tjabang persilatan dari Tiongkok.
Si pahlawan menggunakan sebuah tjambuk. Hian Song mendengar si pahlawan tertawa
dan berkata : "Kami tidak bakal membikin tjelaka anakmu !. Pergilah kau, lewat
lagi dua hari, kami akan mengantarkannja pulang !". Heran Hian Song. "Mustahil
orang mentjulik anak orang untuk hanja diadjak main2 ?", katanja di dalam hati.
Wanita Uighur itu berpikir lain. "Kembalikan anakku !. Kembalikan anakku !", dia
ber-teriak2, mirip orang kalap, sedang serangannja hebat-hebat. Pula hebat
tempat mereka bertempur itu, jalah tempat tinggi dipinggir bukit, siapa
tergelintjir, dia bakal tjelaka didalam djurang. Lebih berbahaja untuk si
wanita, jang berkelahi seperti kalap itu. Satu kali wanita itu menjerang dengan
tipu silatnja "Menuding langit Selatan", lalu udjung pedangnja menggaris sebuah
luka dilengan musuhnja. "Kau mau mentjari mampusb?", bentak si pahlawan.
"Djikalau kau tidak mau berhenti, aku nanti tidak main kasihan lagi !". Kata2
itu belum berhenti diutjapkan atau si pahlawan mesti melompat mundur. Lagi satu
tikaman dahsjat meluntjur kepadanja. Sjukur ia sempat mendak dengan gerakannja
"Burung hong mengangguk", maka tjuma kopijahnja sadja jang kena dibikin djatuh.
Dia terpaksa mundur hingga ketepian. Disini dia habis sabarnja, lantas dia
menjerang hebat dengan tjambuknja, dengan gerakannja "Ular naga siluman
berdjumpalitan". Sasarannja jalah pundak kanan si wanita. Njonja Uighur itu
tidak mau mundur, sebaliknja, dia memapaki tjambuk, untuk menempelnja dengan
tipu silat "Peng-see-lok-gan" atau "Belibis turun dipasir rata". Sembari
menempel, ia memapas ke djeridji tangan lawannja. "Menggelindinglah kau !",
membentak si pahlawan, jang menarik tangannja, untuk diteruskan, dipakai
menjamber kebawah, untuk melilit kaki orang. Njonja itu membabat kebawah, karena
mana, pedangnja kena tersamber, hingga ia benar2 kena ditarik, untuk dilempar.


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tubuh si njonja kena tertarik. Untuk menahan diri, dia mendupak batu besar
didepannja, hingga batu itu mental. Karena ia turut madju, keduanja sekarang
berada ditepian. Didalam saat berbahaja itu, si pahlawan barseru pula, tangan
kirinja turun dari atas kebawah, guna menghadjar batok kepala si njonja. Maka
itu, si njonja pun turut terantjam pula. Ketika itu Hian Song tidak menonton
sadja. Ia telah ber-lari2 ketempat pertempuran itu. la menjaksikan bahaja jang
mengantjam si wanita Uighur. Dengan tjepat ia mendjumput segenggam saldju,
dengan itu ia menimpuk kearah si pahlawan. Itu waktu, mereka telah berada dekat
beberapa tombak. Djitu serangan saldju itu, tepat mengenai dada si pahlawan, di
djalan darah soan-kie-hiat. Dia kaget merasakan dadanja dingin, terus tubuhnja
kaku, hingga tjambuknja terlepas dari tjekalannja. Tidak ampun lagi, tubuhnja
terhujung, djatuh kebawah. "Anakku !. Anakku !", si njonja ber-teriak2 pula.
"Mereka merampas anakku !". Disitu tidak ada pahlawan jang satunja bersama si
botjah, mengertilah Hian Song bahwa pahlawan itu telah lari bersama botjah itu,
sedang pahlawan ini rupanja sengadja memegat, merintangi ibu orang, agar
kawannja dapat lolos. "Njonja, sabar ...", berkata Hian Song, seraja memegangi
njonja itu, guna mentjegah dia terpeleset. "Mari kita bitjara per-lahan2 ". Ia
bitjara dengan tenang sekali. Wanita itu tertjengang, lantas ia mengawasi pemuda
didepannja. Agaknja ia heran. "Djangan dekati aku !", mendadak ia berseru,
tangannja menjamber. Hian Song berkelit, ia tertawa. Dengan lantas ia membuka
kopijahnja, bahkan ia membuka djuga badju luarnja. "Djangan takut njonja. Aku
seorang wanita ", katanja. Njonja itu menggigil. Se-konjong2 dia berseru: "Boe
Hian Song !. Boe Hian Song !. Aku tahu kaulah Boe Hian Song ...! Bagus, kau
telah melihat aku bertjelaka ini, tentulah kau puas !". Kata2-nja si njonja
dalam bahasa Tionghoa. Hian Song heran. Itulah suara jang ia seperti pernah
dengar, jang ia rada mengenalinja. Maka ia menatap muka orang. Lantas ia pun
mengawasi dengan melongo. Ia njata mengenali orang, jang ia tidak menjangka sama
sekali. Njonja itu seperti telah menjalin rupa, alisnja jang besar dan gompjok
telah luntur, mukanja pun tersiram air matanja, karena dalam kalapnja itu ia
menangis. Jalah Tiangsoen Pek, puterinja Tiangsoen Koen Liang. Hian Song heran
dan girang. Inilah ia tidak duga sama sekali. Maka ia lantas madju, untuk
mentjekal erat2 tangan orang. "Nona Tiangsoen, djadi anak itu anakmu ?", dia
tanja. "Kau djangan kuatir, nanti aku mendajakan menolongnja. Ah, kau
kenapakah ". Nona, aku hendak menanjakan kau halnja satu orang. Katanja Lie It
menjingkir kemari, tahukah kau dimana adanja dia sekarang ". Eh, eh, kau dengar
aku atau tidak ?", Tiangsoen Pek berdiri bengong, kaki-tangannja dingin, mukanja
mendjadi putjat sekali. Ia ditanja ber-ulang2, terus ia membungkam. Sedjenak
kemudian, matanja lantas bersinar tadjam, mengandung sinar permusuhan. Ia pun
menarik pulang tangannja, jang masih dipegangi Hian Song. "Djangan kau
mengasihani aku !", katanja tiba2, tadjam. "Aku tidak sudi menerima budimu !.
Djikalau kau mau tjari Lie It, tjarilah sendiri ...!". Bukan kepalang herannja
Hian Song. "Kau kenapa ?", ia tanja. "Apakah artinja ini ?". Didalam hatinja, ia
pun bertanja : "Kenapa dia berlaku begini rupa padaku ?". Dengan mengawasi
orang, nona Boe terus berpikir. Ia ingat memang keluarga Tiangsoen menjinta
keradjaan Tong, bahwa mereka menentang Boe Tjek Thian, tapi kalau untuk itu
sadja, tidak mungkin nona ini membawa sikapnja jang aneh ini. "Nona Tiangsoen,
kau mengertilah ", ia berkata perlahan. "Terhadapmu, aku tidak mengandung niat
busuk. Tahukah kau kenapa aku mentjari Lie It ". Ah, aku pertjaja mungkin kau
pun girang untuk mendengarnja ...". Hian Song hendak memberitahukan jang Boe
Tjek Thian mau menjerahkan keradjaan pada Keluarga Lie atau mendadak Tiangsoen
Pek berseru tadjam, hingga kata2-nja mendjadi terpotong. "Tidak, aku tidak mau
bertemu denganmu !", demikian Tiangsoen Pek berkata. "Aku djuga tidak mau
mendengar perkataan kau ! Sudahlah, aku minta, sukalah kau pergi ...!". Hian
Song mundur sedikit. Ia heran bukan main. Ia menatap wadjah orang. Dalam
herannja itu, tak tahu ia harus mengatakan apa. Tepat disaat tegang itu, djauh
didepan, dari puntjak gunung, terdengar suara orang : "Adik Pek ! Adik Pek !
Apakah kau dibawah " Lekas kemari, lekas ...! Aku dapat sekuntum teratai saldju.
Anak Bin ..., apakah kau dengar ajahmu memanggilmu ?".
Hian Song terkedjut, hatinja berdebaran. Itulah suara jang ia kenal. Meskipun
waktu sudah lewat delapan tahun, suaranja Lie It tidak dapat ia lupakan.
Tiangsoen Pek mendjerit, lantas dia lari. Hian Song sebaliknja berdiri terpaku,
djangan kata lari, bertindak sadja ia seperti tidak sanggup. Ia mengerti
sekarang, Tiangsoen Pek dan botjah tadi adalah isteri dan anaknja Lie It. Djadi
Lie It sudah menikah sama Nona Tiangsoen. Masih Hian Song berdiri diam, hatinja
kosong, otaknja kosong djuga. Ketika kemudian ia mengangkat kepalanja, memandang
kedepan, ia melihat sisa tubuh Tiangsoen Pek, jang bagaikan bajangan. Lama ...,
lama sekali, barulah nona Boe seperti sadar dari mimpinja. Bajangan Tiangsoen
Pek telah lenjap, tetapi suaranja Lie It masih mengalun ditelinganja. Ia ingin
ia bermimpi tetapi itulah tak dapat. Diatas saldju ia masih melihat tapak kaki
Tiangsoen Pek. ---oo0oo--DJAUH Hian Song telah pergi, ditengah djalan ia telah menderita, sekarang ia
mendengar suaranja Lie It, toh sekarang ia membiarkan orang pergi. Ia tjerdas,
maka mengertilah ia akan kelemahan dirinja sendiri, akan kelemahannja Tiangsoen
Pek. Hanja ada bedanja diantara kelemahan mereka berdua. Tiangsoen Pek lemah
lantaran dia tidak dapat menjembunjikan kekuatirannja bahwa mungkin ia datang
untuk merampas Lie It dari tangannja. Achirnja Hian Song sadar djuga. Bunga
saldju me-njamber2 ia, sang angin menjampoknja ber-ulang2. "Mustahilkah aku
lantas tidak dapat menemukannja pula ?", kemudian ia kata didalam hatinja. "Jang
sudah lewat biarlah lewat, akan tetapi aku mesti mempunjai ketabahan untuk
menemui dia. Aku mesti memberitahukan padanja tentang keputusan Ratu. Lalu
terserah kepadanja, dia suka membantu saudaranja atau tidak. Dengan mendengar
keradjaan dikembalikan, dia harus lega hatinja. Biarnja dia hidup beruntung
bersama Tiangsoen Pek, dia tetap harus mengetahui kabar ini, agar tidak lebih
lama pula dia hidup dalam perantauan jang tak ada batas waktunja ...". Lantas
nona ini menguatkan hatinja, segera ia mengambil keputusannja. Maka itu,
setindak demi setindak, ia madju mengikuti tapak kaki Tiangsoen Pek. Hian Song
menderita lahir dan batin, djuga Tiangsoen Pek sama menderita selama delapan
tahun ia hidup dalam manisnja madu, akan tetapi selama itu djuga, ia diliputi
kekuatiran. Ia tahu Lie It menjintainja, akan tetapi ia ketahui djuga, pada
dasar hati Lie It, ada apa2 jang tidak menjenangkan. Bukan cuma satu atau dua
kali ia melihat Lie It diam berpikir seorang diri, atau selagi menabuh khim, Lie
It mengutarakan roman atau lagu jang nadanja tidak wadjar. Ia dapat menduga
sebabnja itu. Pasti Lie It mengingat sesuatu jang lama, jang berbekas didalam
hati nuraninja. Benar selama delapan tahun tidak pernah Lie It me-njebut2 nama
Boe Hian Song atau nama Siangkoan Wan Djie, toh ia sendiri kadang2 ingat dua
nona itu, jang tak dapat ia lupakan. Didalam hatinja pernah timbul pertanjaan
jang membuatnja ragu2 dan berkuatir : "Djikalau satu sadja diantara mereka
berdua datang kemari, habis bagaimana ?". Diluar dugaannja, sekarang datang jang
satu. ---oo0oo--DUA tahun setibanja di Thian-san, Lie It dan Tiangsoen Pek mendapatkan seorang
anak lelaki, jang diberi nama Hie Bin. Lie It datang ke Thian-san untuk
menumpang pada guru-nja, Oet-tie Tjiong. Guru ini pergi ke Thian-san, untuk
hidup menjendiri, semendjak Boe Tjek Thian memegang tampuk pimpinan pemerintah.
Meski begitu, dia suka2 keluar melakukan perbuatan baik, hingga penduduk padang
rumput mendapat tahu digunung Thian-san ada tinggal seorang luar biasa bangsa
Han, jang mereka namakan Thian-san Kiam-kek, ahli pedang dari Thian-san. Tidak
lama setibanja Lie It. Oet-tie Tjiong menutup mata. Selama itu, Lie It telah
mewariskan kepandaian gurunja, ia mewariskan djuga djulukan gurunja. Untuk
melakukan pekerdjaan menolong penduduk padang rumput itu, Lie It mengandal pada
obat Ek-yong-tan dari Heehouw Kian, maka djuga ia suka muntjul diantara penduduk
dengan kulit mukanja sering ber-rubah2. Tiangsoen Pek pun turut suaminja itu, ia
mengubah warna kulit mukanja, ia djuga dandan sebagai wanita Uighur. Tjuma Lie
It jang terus berdandan sebagai seorang Han, kesatu ia ingin memperingati
gurunja, dan kedua agar penduduk padang rumput itu berkesan baik terhadap bangsa
Han. Karena ia sering menjamar, maka djuga penduduk mengatakan Thian-san Kiamkek ada jang tua dan jang muda. Dikaki gunung Thian-san itu, setiap tahun
sebelum musim dingin, suka berkumpul kafilah saudagar asal lain tempat, mereka
datang dengan naik unta, dengan membawa pelbagai barang kebutuhan kaum
penggembala, mereka mendirikan tenda, hingga tempat singgahnja mereka merupakan
seperti pasar jang bergerak. Diwaktu begitu, Tiangsoen Pek suka turun gunung,
untuk membeli barang2 keperluan mereka, guna melewatkan hari, untuk persediaan
tahun baru. Diluar dugaan, kali ini orang terganggu tindakan Khan Turki itu,
jang mengumpulkan tentera, hingga banjak rakjat iang kabur ke Thian-san utara,
hingga tidak ada pasar bergerak itu. Bahkan kesudahannja hebat untuk Tiangsoen
Pek, jalah ditengah djalan anaknja ditjulik, dibawa lari, dan ia bertemu sama
Boe Hian Song, jang ia kuatirkan. Hebat penderitaannja Tiangsoen Pek. Mulanja
keluarganja hidup ter-lunta2, lantas kakak-nja lenjap, lalu ajahnja menutup
mata, semua hilang dan meninggal dalam antjaman bahaja. Di-achirnja, ia mesti
kabur terus bersama Lie It, hingga mereka mesti hidup menjepi diatas gunung
dimana mereka membangun sebuah rumah gubuk. Mereka hidup tak sebagai selajaknja
orang tinggal di kota. Benar ia ditemani Lie It, jang mentjintainja, lalu hidup
bersama anaknja, siapa sangka, sekarang anaknja lenjap dan ia terantjam oleh Boe
Hian Song Diwaktu dia mendaki puntjak, akan menghampirkan Lie It, dia merasa
sangat letih, karena dia kehabisan tenaga dan bersusah hati. Begitu baru dia
mengatakan : "Anak Bin ditjulik orang ", dia sudah tidak sanggup bertahan, dia
roboh pingsan dalam rangkulan suaminja, jang menubruk padanja. Maka dia mesti
dipondong, dibawa pulang. Sampai dirumah, baru dia sadar. Lie It kaget dan
heran. Maka selekasnja isterinja sadar, ia minta keterangan. Tiangsoen Pek dapat
menutur dengan djelas halnja kedua pahlawan merampas anak mereka. Tapi halnja
Boe Hian Song, dia menjembunjikannja. Lie It mendjadi bertambah heran. "Apakah
kau pernah membinasakan serdadu Turki ?", achirnja ia tanja isterinja. Selama
jang belakangan ini serdadu Turki suka menangkapi pelarian, Lie It ketahui itu,
maka ia mau menduga, karena membelai penduduk, isterinja itu terpaksa membunuh
serdadu itu, hingga kawan2-nja hendak menuntut balas. "Tidak ", sahut sang
isteri. "Apakah mereka mengenali kau sebagai bangsa Han ?". "Aku rasa mereka
tidak dapat mengenali ". Lie It heran bukan main. "Anak Bin baru berumur tudjuh
tahun, untuk apa mereka mentjuliknja ?", katanja. "Walaupun mereka kedjam, tidak
nanti mereka mentjelakai botjah jang belum tahu apa2. Apa mungkin karena
tertarik pada si Bin, mereka membawanja pergi untuk main2 sadja ". Adik Pek, kau
djangan kuatir, kita akan dapat tjari anak kita itu ...!". Meski begitu, Lie It
toh berpikir keras, memikirkan kenapa anaknja ditjulik, dan memikirkan tjara
atau daja untuk menolonginja. Untuk sementara, ia belum memperoleh
pemetjahannja. Ketika angin dan saldju seperti lagi mengamuk, Lie It mundarmandir didalam rumahnja seraja menggendong tangan. Tiangsoen Pek berdiri dimuka
djendela, memandang sang saldju beterbangan memenuhi djagat, hatinja ingin
seperti saldju. Lama dia berdiam, tiba2 dia menoleh kepada Lie It dan bertanja :
"Engko It, sudah banjak tahun kita menikah, apakah kau benar2 tidak pernah
menjesal ?". Lie It heran untuk pertanjaan itu, hingga ia menanja dalam hatinja
sendiri : "Kenapa disaat begini dia masih memikirkan soal lama itu ?". Ia lantas
menatap isterinja, hingga sinar mata mereka beradu. Ia melihat isteri itu
bersikap sungguh2. Maka ia menghela napas, ia menghampirkan, untuk meng-usap2
rambut orang. "Banjak tahun telah lewat, apakah kau masih tidak pertjaja aku ?",
ia balik menanja. "Pernah aku ingat kau menanja begini pada delapan tahun jang
lalu ". "Kali ini aku masih hendak mengulanginja menanja ", menjahut Tiangsoen
Pek. "Djawabanku sama seperti djawaban delapan tahun jang lalu itu ", Lie It
mendjawab. "Dulu hari itu aku tidak menjesal, sekarang lebih2 tidak menjesal.
Adik Pek, djangan kau memikir jang tidak2. Sekarang ini jang penting jalah
memikirkan djalan untuk menolongi anak kita ". "Benar, benar, mesti kita tjari
si Bin ", kata Tiangsoen Pek, seperti ber-bitjara sama dirinja sendiri. Ia terus
berdiam, agaknja ia sangat tertindih hatinja. Hampir berbareng dengan itu,
diluar rumah terdengar tindakan kaki, disusul sama ketukan pada daun pintu.
Mendadak muka Tiangsoen Pek mendjadi putjat. "Dia datang ! Dia datang !",
pikirnja. Lie It heran. Siapa jang mengetuk pintu sedang disini ia tidak
mempunjai sahabat atau kenalan " Pintu tidak dikuntji, tjuma dirapatkan, belum
lagi Lie It menghampirkan, untuk membukai, atau daun pintu sudah tertolak
terbuka dan seorang nampak bertindak masuk. Untuk herannja Tiangsoen Pek, dia
bukan Boe Hian Song, hanja seorang pahlawan Turki. Dua2 pihak berdiri diam.
Mendadak Tiangsoen Pek berseru njaring, lantas dia berdjingkrak. "Dia ! Dia !
Dialah jang mentjulik si Bin ...!", serunja. Pahlawan itu lantas tertawa, segera
dia memberi hormat pada Lie It. "Aku datang atas titahnja Khan kami jang agung
", dia berkata. "Aku dititahkan mengundang kepada Tianhee jang mulia. Tianhee
ketjil tidak terganggu sekalipun selembar rambutnja, maka itu Tianhee berdua
djanganlah buat kuatir ". Selagi orang berbitjara, Tiangsoen Pek sudah menghunus
pedang, maka Lie It lantas mengedipi mata, untuk mentjegah. "Maaf, maaf !",
berkata Lie It. "Kiranja utusan Khan jang agung !. Aku mohon tanja, kenapakah
anakku ditjulik ?". "Aku minta tianhee sudi datang menemui Khan kami, disana
tianhee akan mengetahui duduknja hal ", menjahut pahlawan itu. "Aku tjuma
seorang jang lagi hidup menjendiri, kau mengundang tianhee jang mana ?", tanja
Lie It. Ia mentjoba menjangkal bahwa ialah seorang bangsawan. Pahlawan itu
tertawa. "Djangan tianhee menjembunjikannja, kami sudah tahu !", ia berkata.
"Tianhee jalah turunan naga dari Keradjaan Tong jang besar. Sudah banjak tahun
kami membiarkan tianhee hidup menjendiri dalam kesunjian, kami menjesal,
perbuatan kami itu perbuatan mengabaikan dan tidak pantas. Oleh karena Khan kami
jang agung kuatir nanti tidak dapat mengundang tianhee sendiri, dari itu dia
lebih dulu mengundang tianhee ketjil. Aku minta sukalah tianhee menginsafi
kesukaran hati dari Khan kami jang agung itu ", Lie It berdiam, hatinja
berpikir. Ia tidak mengerti kenapa bangsa Turki mengetahui asal-usulnja. "Aku
berdiam setjara sembunji dinegara kamu, maksudku jalah untuk dapat tinggal
dengan aman dan damai ", ia berkata kemudian. "Kamu tentu telah ketahui sendiri,
Tiongkok sekarang bukan lagi negaranja Keradjaan Tong, dan aku sendiri, aku
bukannja seorang utusan, dari itu, apa perlunja Khan kamu memanggil aku ". Aku
bilang terus-terang, selama aku belum dikasih keterangan djelas, tidak dapat aku
menerima panggilanmu ini ". Pahlawan itu menjeringai, agaknja aneh tertawanja
itu. "Tianhee, kau beredjeki besar sama dengan besarnja langit !", ia berkata.
"Sebenarnja Khan kami jang agung hendak membantu kau membangun pula Keradjaan
Tong kamu jang besar itu, karena mana, tianhee diundang untuk merundingkannja
lebih djauh ". Lie It benar2 tidak mengerti. "Khan kamu hendak membantu
membangun pula Keradjaan Tong ?", tanjanja. "Apakah artinja itu ?". "Itu artinja
Khan kami hendak membantu kau naik atas tachta keradjaan Tiongkok !", berkata si
pahlawan. "Dengan begitu hendak dibangun pula negara kamu she Lie. Untuk
berterus-terang, kaisar wanita didalam negerimu sekarang ini sangat djahat, dia
mau menggeraki angkatan perangnja menjerbu negara kami, maka itu Khan kami
menganggap baiklah kami bekerdja mendahului menjerbu Tiongkok, untuk membasmi
ratu itu. Hah ! Kau lihat, bukankah ini ketikamu jang baik ?". Hati Lie It
bertjekat. Segera ia dapat menerka persoalannja. "Terang Khan ini hendak memakai
nama dan tenagaku ", pikirnja. "Dia hendak memakai aku berbareng dengan budjukan
dan paksaan ! Dia ingin aku menurut maunja, untuk membantu dia merampas Tiongkok
jang indah-permai !". Pahlawan itu menanti sekian lama, ia tidak memperoleh
djawaban, ia mendjadi heran. "Tianhee ", katanja, "inilah ketika baik jang
sangat sukar ditjarinja. Apakah jang tianhee masih sangsikan lagi ?". Lie It
mendjadi tidak senang, tetapi ia menjabarkan diri. Ia kata dengan keren :
"Tolong kau menjampaikan kepada Khan jang agung bahwa aku Lie It, suka aku
terbinasa, tidak dapat aku menurut dia ...!". "Ah, inilah aneh !", berseru si
pahlawan. "Boe Tjek Thian telah merampas negaramu, apakah kau tidak membentji
dia ?". "Aku membentji Boe Tjek Thian adalah satu soal lain ", menjahut Lie It.
"Djikalau aku menuntun kamu memasuki Tiongkok, untuk kamu merampasnja, itu
artinja kamu meng-ilas2 rakjat Tiongkok ! Dengan
begitu bukankah aku mendjadi seperti binatang bahkan melebihkan itu ?".
Pahlawan itu tertawa ter-bahak2. "Memang kami mau merampas tachta-keradjaan
Tiongkok tetapi itu untuk diserahkan pada kau !", katanja. Lie It mendjadi
gusar. "Apakah kau menjangka aku ini kaisar anak2-an ?", katanja. "Tjukup !.
Lagi satu kali kau bitjara, aku nanti tikam padamu ...!". Pahlawan itu mundur
satu tindak, dia tertawa mengedjek. "Baiklah, kedudukan kaisar kau tidak
menghendaki, apakah kau djuga tidak mengingini puteramu ?", dia tanja. Mukanja
Lie It mendjadi merah-padam, ia mendongkol dan bergusar. Tiangsoen Pek habis
sabar, dia mendjerit, dia madju dan menikam. "Kau telah merampas anakku, maka
aku lebih dulu menghendaki djiwamu ...!", bentaknja. Serangan itu dilakukan
dengan napsu amarah jang tak terkendalikan, lupa Tiangsoen Pek pada artinja ilmu
silat, ketika si pahlawan berkelit, dia terdjerunuk hingga roboh sendirinja. Lie
It pun habis sabar, maka dia menjerang dengan tangan kosong. Pahlawan itu
menolong diri dari serangan itu dengan tipunja "Pa-Ong-gie-kah" atau "Tjouw Pa
Ong meloloskan badju perangnja". Tapi Lie It bukannja Tiangsoen Pek, ia telah
bersedia, maka itu, begitu orang berkelit sambil menangkis, ia membaliki
tangannja, untuk membangkol lengan si pahlawan. Ia menggunai tangan kanannja,
maka itu, tangan kirinja segera menjerang pula. Pahlawan itu terkedjut, hendak
ia berkelit pula, dia kalah sebat, kupingnja telah lantas kena terhadjar, ketika
ia toh dapat melepaskan tangannja, ia mesti terhujung tiga tindak. Lie It tidak
menjangka orang liehay, maka ia berniat berlaku telengas, tapi belum ia
mengulangi serangannja, pahlawan itu tertawa dan berkata dengan mengantjam :
"Beranikah kau membunuh aku ". Begitu kau bunuh aku, djiwa anakmu akan mengganti
djiwaku ! Khan kami jang agung telah bersiap-sedia untuk tindakanmu jang keras,
ketika aku diberi tugas, dia telah bilang padaku : Kau djangan takut, pergilah


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau seorang diri ! Djikalau si orang she Lie berani mengganggu selembar sadja
rambutmu, hmm ...! hmm ....!, akan aku pakai si tjilik mendjadi umpannja
serigala ...!. Kau tahu, anakmu sekarang ini telah dikirim setjara kilat kepada
Khan kami jang agung, maka itu terserah kepada kau, kau ingin minum arak
pemberian selamat atau arak denda-an ...!". Lie It gemetar sekudjur tubuhnja. Ia
pikir, pertjuma ia membinasakan pahlawan ini. Maka ia mengambil putusan untuk
membiarkannja. Maka pahlawan itu lantas bertindak keluar, sembari dia tertawa
lebar dan kata : "Khan kami memberikan batas tempo satu bulan padamu !. Djikalau
lewat tempo itu kau tidak datang, djangan kau sesalkan bahwa kami bertindak
tidak mengenal kasihan ...!". Lie It membiarkan, ia hanja menolongi isterinja.
Tiangsoen Pek masih murka, dia hendak mengedjar. "Untuk apa ?", kata si suami.
"Aku tidak sangka, seorang Khan dapat berbuat begini rendah ...!". Tapi segera
ia mengambil keputusan, maka ia menambahkan : "Biarlah aku sendiri jang
menemukan dia !". "Benarkah kau mau pergi menemui dia ?", sang isteri tanja.
"Kau ...! Kau ...!". "Pasti aku bukan niat menjerah terhadapnja ...!", kata Lie
It tjepat. "Aku mau berdaja menolongi anak Bin ! Adik Pek, kau berdiam dirumah,
kau djagalah dirimu baik2 ". "Kita suami-isteri akan hidup sama2, tidak dapat
kita berpisahan ", berkata Tiangsoen Pek, "maka itu, aku mau turut kau pergi ".
Lie It meng-usap2 rambut isterinja itu. "Adik Pek, kau djangan kuatir ", ia
berkata lembut. "Mereka itu menghendaki aku satu orang, umpama kata mereka dapat
membekuk aku, tidak nanti mereka membunuhku. Aku pun pasti akan memperoleh
djalan untuk menjingkirkan diri. Apa pula belum tentu aku roboh ditangan mereka.
Bukankah aku pernah melanggar badai dan gelombang dahsjat ". Boe Tjek Thian
sadja tidak aku buat takut, apalagi baru satu Khan !. Kau mendapat pukulan batin
keras sekali, kesegaranmu belum pulih, maka baiklah kau beristirahat dan merawat
dirimu. Paling lambat satu bulan, pasti aku akan kembali bersama anak kita si
Bin. Kau bisa pertjaja aku, kau selalu dengar kata, maka apa kali ini kau tidak
mempertjajai aku ?". Tiangsoen Pek mengerti keberatan suami itu, jalah ia kalah
gagah sepuluh lipat, djadi kalau ia turut, ia mungkin menambah beban si suami.
Ia berpikir sekian lama. "Aku pertjaja kau, engko It ", katanja kemudian, "hanja
aku kuatir, aku takut ". Lie It tersenjum. "Kau takut apa ?", dia tanja. "Aku
telah kehilangan kakakku dan ajahku ", kata sang isteri, "sekarang aku telah
kehilangan anakku, maka itu aku takut, aku takut, aku pun nanti kehilangan kau
lagi ...". Lie It tertawa. "Mana bisa aku hilang ?", katanja. "Ketjuali Khan itu
membunuh aku. Tapi aku berani melawan dia, aku tidak takut !. Hanja, memang
segala apa harus dipikir djauh. Umpamanja terdjadi sesuatu atas diriku, adik
Pek, djangan kau berputus asa, djangan kau berpikiran pendek, sebaliknja, kau
mesti berdaja untuk membalas sakit hati !". Kedua matanja Tiangsoen Pek mendjadi
merah. "Djanganlah mengutjapkan kata2 itu ", katanja. "Aku bukan maksudkan hal
itu. Aku tjuma berkuatir, setelah kau berlalu, kau nanti melupakan aku, kau
mungkin tidak bakal kembali ...". "Hai, kau ngatjo !", kata Lie It, tertawa.
"Kenapa aku melupakan kau ". Setelah menolongi si Bin, kenapa aku tidak
pulang ". Adik Pek, kau tetapkan hatimu, kau beristirahatlah, djangan memikir
jang tidak2 ...!". Suami ini me-nepuk2 pundak isterinja, ia mirip orang tua jang
lagi membudjuki anaknja jang ketjil. Lie It berhasil, isterinja mendjadi tenang,
maka ia lantas berangkat pergi. Diluar kelihatan Tiangsoen Pek tenang, hatinja
hanja tetap gontjang. Ia berkuatir jang Lie It nanti menempuh bahaja dengan
pergi menghadap Khan Turki itu. Ia pula berkuatir, ditengah djalan, suami itu
nanti bertemu sama Boe Hian Song. Ia djusteru takut Hian Song nanti merampas
suaminja itu, hingga perasaan djerinja terhadap nona Boe, melebihkan takutnja
terhadap si radja Turki. ---oo0oo--KETIKA itu, Boe Hian Song lagi berdjalan ditanah jang bersaldju, hatinja
berdebaran keras. Ia terganggu kebimbangannja, hingga ber-ulang2 ia kata didalam
hatinja : "Menemui dia atau djangan ?". Ia mentjoba menguatkan hati, untuk
mengambil keputusan, tetapi diwaktu bertindak, setiap tindakannja diiringi
bajangannja Tiangsoen Pek, hingga ia membajangi djuga sinar mata tadjam dari
nona Tiangsoen itu. Sinar mata itu membuatnja gentar hati. Maka itu, setiap dua
tindak, ia berhenti satu tindak. Dalam perdjalanan ini, jang lambat sekali. Boe
Hian Song tidak bertemu sama Lie It. Sebaliknja, ia menemukan sesuatu jang luar
biasa. Ketika ia membelok di sebuah tikungan, ia dapat membatja dua baris kata2
jang adanja dibatu gunung, dimana kata2 ini diberi gambarannja sebuah tengkorak.
Kata2 itu berbunji : "Siapa ingin djiwanja selamat, lekas pulang kekampung
halaman !". Membatja itu, sebaliknja daripada takut, semangat Hian Song djusteru
terbangun. Ia tertawa seorang diri dan berpikir : "Pahlawan Turki djuga bisa
menggunai tjara kaum Kang-ouw. Dia hendak menakuti aku, apakah ini tidak
lutju ?". Ia menduga pengumuman itu ditulis oleh serdadu Turki, jang membawa
lari anaknja Tiangsoen Pek. Ketika ia djalan pula sekian lama, kembali ia
mendapatkan surat dan gambar antjaman serupa tadi, jang terang baru sadia diukir
dengan udjung pedang. Diatas saldju masih ada hantjuran batu jang terukir itu.
Tjuma sedjenak Hian Song berpikir, lantas ia dapat satu daja. Ia mematahkan dua
ranting tjabang kering, dengan menggunai ilmu "Tan-tjie-sin-kang" atau "Sentilan
Djeridji", ia membikin kedua tjabang itu mental djauh saling susul sepuluh
tombak lebih dengan menerbitkan suara njaring. Selagi menjentil, ia djuga
menggunai ilmu "Tah-soat-boe-kin" atau "Mengindjak saldju tanpa bekas". Dengan
itu, ia menggeleser mundur beberapa tombak tanpa mengasi dengar suara apa2.
Sambil mundur, ia mengawasi kearah mentalnja tjabang kering itu. Hanja sedjenak
dari belakang batu gunung terlihat muntjulnja kepala dua pahlawan Turki. Inilah
dugaan Hian Song disebabkan ukiran kata2 jang baru. Ia pertjaja si pengukirnja
berada didekatnja. Sekarang dugaan itu terbukti. Njata pantjingannja memberi
hasil. Hanja dengan beberapa kali lompatan, Hian Song membuat dirinja sampai
didepan dua orang itu tanpa mereka ini keburu menjingkir, tjuma ketika ia
menjamber mereka, untuk ditjekuk, samberannja mengenai sasaran kosong. Ia
berseru : "Tahan !". Kedua pahlawan itu berkelit dengan lintjah, habis berkelit,
mereka madju menjerang. Pahlawan jang satu bersendjatakan sepasang poan-koan-pit
dengan apa dia lantas menotok djalan darah, dan kawannja menggunakan sebatang
golok jang dia pakai membatjok kearah lengan si nona. "Bagus ", berseru si nona.
Ia lantas menangkis dengan pedangnja, hingga beruntun ia membuat kedua sendjata
musuh mental dan musuh pun mundur. Sebaliknja, si nona djuga merasakan telapakan
tangannja kesemutan, suatu tanda kedua musuhnja bertenaga besar. Kedua pahlawan
itu tidak gentar, mereka lantas madju pula, menjerang dari kiri dan kanan. Orang
jang memegang poan-koan-pit mengarah djalan darah kie-boen dikiri dan djalan
darah tjeng-pek dikanan, lintjah gerakannja. Hian Song berkelit dari totokan,
sambil berkelit, ia pun melompat untuk menjingkir dari batjokan kearah kakinja,
kemudian ia membalas menjerang, jalah selagi tubuhnja turun habis melompat itu.
Serangan berbahaja ini membuat dua orang itu terdesak mundur. "Bilang ! Kamu
orang Han atau orang Tartar ?", tanja Hian Song. Ia melihat orang dandan sebagai
pahlawan Turki tetapi sekarang ia mengenali mereka bukanlah orang2 jang membawa
lari anaknja Tiangsoen Pek. Pula mereka itu mengenakan topeng dan berkelahi
dengan membungkam, sedang ilmu silat mereka dikenali, ilmu totok itu dari partai
Tjeng Shia Pay, dan ilmu goloknja jalah ilmu Ngo Houw Toan-boen-too dari kaum
Ban Sin Boen. Umpama kata kedua ilmu silat itu diturunkan kepada orang asing,
pasti tjara menggunainja tidak sedemikian liehay. Ia pernah bertemu ketua dari
kedua partai itu, mereka bukannja dua orang ini. Ditegur Hian Song, kedua
pahlawan itu nampak mementjarkan sinar matanja, meski begitu, mereka terus
berdiam. "Lekas bitjara !", Hian Song membentak pula. "Djangan kamu menerbitkan
kesalahan tanpa ada perlunja!". Kembali tidak ada djawaban mulut, hanja djawaban
serangan jang terlebih gentjar dan hebat. Nona Boe mendjadi habis sabar. "Kamu
tidak mau memperlihatkan dirimu, baiklah, djangan kamu persalahkan pedangku
tidak mengenal kasihan !". Kata2 ini diikuti tertawa dingin, lalu disusuli
serangan jang tidak kurang dahsjatnja, pedang menjamber melewati kepalanja kedua
pahlawan itu. Pahlawan jang bersendjatakan poan-koan-pit mentjoba membalas,
sendjatanja disampok hingga bersuara njaring dan memuntjratkan lelatu api, atas
mana, kawannja, jang memegang golok, mendjadi kaget. Tapi ia madju, guna
menjerang, untuk menolongi kawannja hingga tak dapat didesak si nona. Hian Song
melandjuti serangannja. sampai tudjuh kali saling susul serangannja itu bagaikan
golombang mendampar bergantian, hingga kedua lawannja mendjadi repot. Pahlawan
dengan poan-koan-pit itu penasaran, ia mentjoba membalas, ia djuga menotok
setjara bergelombang, mengarah pelbagai djalan darah,
tudjuh djalan darah jang berbahaja. Dengan begini tampak keliehayannja. Hian
Song memperhatikan pelbagai serangan itu, ia tidak mau mengasikan dirinja kena
ditotok, hanja sambil melajani orang, ia djuga mesti berlaku waspada kepada
musuh lainnja. Dengan begitu, bergantian mereka saling desak. "Ilmu totok kau
liehay sekali!", kata Hian Song tertawa. "Tjuma masih kurang mahir! Sekarang kau
lihatlah aku, dengan udjung pedangku hendak aku menotok djalan darah leng-tay
dipunggung-mu, lalu dengan tikaman, aku nanti menusuk djalan darah soan-kie
didada-mu!". Kata2 ini membuat heran lawan itu. Kata2-nja sadja sudah luar
biasa, sebab itu berarti membuka rahasia. Jang aneh pula, kedua djalan darah itu
ada dibelakang dan didepan. Bagaimana itu dapat ditotok demikian gampang seperti
jang dikatakan ". Didalam ilmu silat, dua pahlawan itu belum pernah
mendengarnja. Tapi mereka toh bersiap sedia, untuk menutup diri mereka. Tjuma
air muka mereka jang menandakan mereka tidak pertjaja. Habis berkata, Hian Song
tertawa pula, hanja kali ini, belum berhenti suara tertawanja itu mendengung
ditelinga kedua pahlawan itu, atau mereka sudah lantas diserang. Hanjalah,
serangannja itu luar biasa. Pahlawan dengan poan-koan-pit diserang, belum pedang
meluntjur kepadanja, atau serangan dilangsungkan pada pahlawan jang memegang
golok. Dia mau menangkis atau antjaman pindah kepada kawannja. Njata si nona
menggunai siasat. Ia mengantjam kedua lawan dengan bergantian, siapa siap sedia,
ia tinggalkan. Siasat ini membikin kedua lawan itu bingung, tidak perduli mereka
mendjaga diri dengan waspada. Mereka seperti kena pengaruh, hingga mereka
mendjadi berkuatir punggung atau dada mereka bakal benar2 kena diserang.
Pertempuran kali ini tidak mengambil tempo jang lama. Pahlawan dengan poan-koanpit lantas merasakan punggungnja seperti tertotok udjung pedang, dan kawannja,
jang bersendjatakan golok, bagaikan tertikam dadanja. Mereka mendjadi takut,
hingga lantas sadja mereka melemparkan sendjata mereka masing-masing. "Boe Koentjoe, ampun!", tiba2 mereka mengasi dengar suara mereka selagi sendjata mereka
djatuh berkontrangan. Boe Hian Song tertawa. "Benar2 kamu orang Han !", katanja.
"Aku tadinja menjangka kamu gagu !". Nona ini tidak menjerang terus, hanja sebat
luar biasa, ia menjontek bergantian topengnja mereka itu, hingga nampaklah
wadjah mereka, hingga ia meadjadi heran. Untuk sedjenak, Hian Song berpikir,
lantas ia ingat mereka itu jalah dua tetamu-tumpangan dari Boe Sin Soe, kakak
sepupunja. Ia tahu mereka jalah orang2 kepertjajaan sang kakak, maka kenapa
mereka menjaru mendjadi orang Turki, bahkan mereka berani menempur dirinja ". Ia
tjerdik tetapi tidak dapat ia menerka. Dua pahlawan itu nampaknja likat, setelah
sendjata mereka dilepaskan, mereka berlutut didepan si nona, sambil mengangguk,
satu diantaranja berkata : "Hambamu jang rendah jalah Hong Bok Ya dan Tjiok Kian
Tjiang, hamba mohon sukalah Koen-tjoe memberi ampun atas kelantjangan hambamu.
Koen-tjoe benar2 liehay, kami tidak tahu diri, kami berani banjak lagak didepan
Koen-tjoe ". Sedjenak itu, Hian Song kata didalam hatinja : "Djadinja mereka
hendak mengudji aku ". Dua pahlawan itu tinggi kedudukannja dalam Ban Sin Boen
dan Tjeng Shia Pay, didalam kalangan Rimba Persilatan, mereka kenamaan, dalam
halnja tingkat deradjat, mereka lebih tinggi dari si nona. Itu pun, rupanja,
jang menjebabkan mereka menjamar untuk mengudji padanja. Hanja heran, kenapa
mereka tidak melakukannja di Tiang-an, tetapi mereka melakukannja hanja di
wilajah perbatasan ini. Pula, apa perlunja mereka berada dipadang rumput "
Bukankah ia lagi mendjalankan tugas rahasia " Siapakah jang mengetahui
rahasianja, hingga ia dapat disusul sampai disini". "Silakan bangun, djiewie ",
kata Hian Song kemudian. "Aku she Boe, aku belum pernah memperoleh pangkat atau
gelaran. Kita sama2 orang Rimba Persilatan, tidak dapat djiewie mendjalankan
kehormatan ini ". Hian Song mengatakan demikian sebab ia disebut "koen-tjoe,"
atau puteri jang mulia, jang ada kebalikannja dari pada "tian-hee", putera jang
mulia. Itulah gantinja kata2 "paduka jang mulia". Dua orang itu lantas bangun
berdiri. Hong Bok Ya terus berkata dengan likat : "Kami pernah mendengar pada
delapan tahun jang lampau Koen-tjoe pernah mengalahkan djago2 diatas puntjak
gunung Ngo-bie-san, barusan kami mentjoba memperoleh buktinja. Sekarang baru
kami pertjaja dan takluk ". Mendengar keterangan itu, Hian Song makin heran,
hingga ia mendjadi bertambah tjuriga. Maka ia mengawasi dengan tadjam, lalu ia
berkata: "Menurut aturan Rimba Persilatan, aku harus memuliakan djiewie sebagai
orang2 jang lebih tua, maka itu, mengapa kamu masih menggunai sebutan Koen-tjoe
dan hamba " Aku minta djiewie menghapus itu!. Sekarang aku mau minta
pendjelasan, kenapa djiewie menjamar djadi pengawal Turki"Kenapa djiewie datang
kemari, ketempat ribuan lie serta gunung jang belukar ini " Adakah itu untuk
hanja mengudji aku " Inilah tidak wadjar !". "Itu ... itu ...", kata Kian
Tjiang, likat. "Bagaimana ?", Hian Song mendesak, "sekarang ini bangsa Turki
lagi mengumpulkan tentera, untuk menjerbu kita, mungkinkah djiewie telah
berkhianat kepada negeri sendiri, untuk membantui bangsa asing itu, lalu dengan
alasan mengudji kepandaian, djiewie hendak membinasakan aku" Djikalau pertemuan
kita ini terdjadi didalam negeri kita, aku dapat memakluminja, suka aku
menghormati djiewie sehagai orang2 tua, tetapi disini, harap djiewie maafkan
aku, aku mesti mendapatkan keterangan jang pasti. Maka djikalau djiewie ragu2,
harap kau djangan sesalkan aku ". Sembari berkata begitu, si nona mengawasi muka
orang. Muka Kian Tjiang mendjadi putjat, dan tubuhnja Bok Ya menggigil. Hanja
sebentar, lantas mereka tenang seperti biasa. "Nona Boe", kata jang satu,
tertawa, "apakah itu jang mengherankan kau, silakan kau utarakan ?". "Kamu jang
mengukir antjaman dibatu gunung itu, apakah artinja ini ?". "Itulah terang
sekali, untuk minta nona lekas pulang !", sahut Hong Bok Ya. "Kenapa kamu
menghendaki aku pulang ?". "Bukannja kami, hanja saudara nona. Tjiansweeya ingin
nona pulang ". "Ngatjo! Sin Soe menghendaki aku pulang, untuk apakah ?". "Itulah
hamba tidak ketahui. Tapi disini ada suratnja tjianswee sendiri. Silahkan nona
batja, nanti nona mengerti ". Boe Hian Song mengenali surat kakak sepupunja, Boe
Sin Soe. Surat itu berbunji : "Adikku, aku terkedjut mendengar kau berangkat ke
gurun Utara jang djauh, untuk memanggil pulang si achli-waris tjelaka dari
Keradjaan Tong, untuk dia membangun keradjaannja. Adikku tjerdas, mengapa kau
bertindak begini", bukankah tindakan itu akan memusnakan diri sendiri" Sungguh,
kakakmu tidak mengerti! Sri Baginda telah berusia landjut, ia terpengaruh
hasutan djahat dari Tek Djin Kiat, ia bagaikan tertutup ketjerdasannja, sudah
begitu, bukannja adikku memberi nasihat, kau djusteru membantu padanja !
Djikalau sampai terdjadi Keradjaan kembali pada si orang she Lie, bukan
melainkan kesenangan dan kemuliaan sekarang ini bakal ludas, seperti asap hilang
menghembus-bujar, pula kami kaum Keluarga Boe, apakah kami masih dapat hidup "
Oleh karena itu, adikku, aku minta sukalah kau memikirnja pula masak2 ! Aku
harap, setelah menerima suratku ini, segera adikku pulang ke Tiang-an, untuk
kita berdamai pula bagaimana baiknja. Dari kakakmu, Sin Soe ".
---oo0oo--- SEMENDJAK Boe Tjek Thian naik di tachta, ia merubah merek Keradjaan Tong
mendjadi Keradjaan Tjioe. Lantas, karena itu, timbul persoalan, bahkan
pertentangan. Pihak Boe berpendapat, setelah kaisar, atau ratu, she Boe, maka
sanak keluarga Boe adalah jang harus mewariskan keradjaan. Akan tetapi ada
menteri2 besar jang tidak menjetudjui pendapat, atau kebiasaan itu, dan mereka
ini menghendaki supaja keradjaan nanti diturunkan kepada anaknja Sri Ratu. Boe
Sin Soe ingin sekali mendjadi radja menggantikan Boe Tjek Thian, dia lantas
berichtiar untuk mendapatkan warisan itu. Dia ber-sekongkol sama beberapa
menteri, untuk mereka menundjang padanja. Demikian, di tahun kedua dari
pemerintahan Boe Tjek Thian, atas andjurannja, maka Thio Gim Hok, selaku kepala,
dengan membawa tanda tangan beberapa ratus orang, sudah mengadjukan permohonan
kepada Boe Tjek Thian agar Boe Sin Soe ditetapkan sebagai achli waris keradjaan.
Ketika itu perdana menteri jalah Gim Tiang Tjian, ia menentang, maka batallah
usahanja Boe Sin Soe itu. Boe Tjek Thian ingin memperlunak pertentangan itu, ia
lantas mengambil tindakan merubah she Lie dari puteranja jang keempat, Lie Tan,
mendjadi she Boe, serta berbareng mengangkat putera ini mendjadi "soe-hong" atau
tjalon achli waris, sedang Sin Soe dianugerahkan mendjadi pangeran Goei Ong, Boe
Sam Soe mendjadi Liang Ong, serta lain2 keponakannja lagi mendjadi Koen Ong.
Dengan demikian, pengaruh Keluarga Boe mendjadi besar hingga menindih pengaruh
Keluarga Lie. Boe Tjek Thian hendak mengangkat Boe Hian Song mendjadi pangeran
Koen-tjoe tetapi Hian Song menampik. Djusteru karena ini, Hian Song mendjadi
mendapat kepertjajaannja ratu. Boe Tjek Thian telah mengangkat Lie Tan mendjadi
Soe-hong itu, maksudnja seperti djuga sudah pasti tachta keradjaan bakal
diserahkan kepada Lie Tan, si putera nomor empat, akan tetapi putera ini bukan
seorang pangeran jang pintar, maka dia tidak ditetapkan mendjadi Thay-tjoe,
putera mahkota. Di lain pihak, Boe Sin Soe berichtiar terus agar tachta
diwariskan kepadanja. Menjaksikan suasana buruk itu, Tek Djin Kiat berkuatir Boe
Sin Soe nanti berontak, maka ia memberi saran supaja Boe Tjek Thian memanggil
pulang Lie Hian, putera nomor tiga, agar Lie Hian itu diangkat mendjadi putera
mahkota. Didalam suratnja, Tek Djin Kiat antaranja menulis : "Mana lebih erat
diantara bibi dengan keponakan dan ibu dengan anak " Djikalau Sri Baginda
mengangkat putera, maka untuk laksaan tahun kemudian, Sri Baginda akan mengambil
tempat kedudukan didalam Thay Bio, turun-temurun tidak ada habisnja. Djikalau
Sri Baginda mengangkat keponakan, maka itulah langka. Belum pernah terdengar
seorang keponakan diangkat mendjadi kaisar atau seorang bibi dimuliakan didalam
Thay Bio ". Tek Djin Kiat berterang menentang Boe Sin Soe mendjadi kaisar, maka
itu ia menundjuki perbedaan diantara hubungan bibi dengan keponakan dan ibu
dengan anak serta menjebutnjebut Thay Bio, kuil keradjaan. Hati Boe Tjek Thian
tergerak karena saran itu. Ia pun melihat, kalau keponakannja tetap diangkat


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendjadi kaisar, mesti terdjadi kekatjauan didalam pemerintahan. Ia tahu,
walaupun benar Lie Hian tidak pintar tetapi djuga Boe Sin Soe tidak tjotjok.
Sebaliknja, Lie Hian itu ditundjang oleh sedjumlah menteri jang berpengaruh.
Maka setelah me-nimbang2, Boe Tjek Thian mengambil putusan menerima baik
sarannja Tek Djin Kiat, jalah pangeran Louw Leng Ong dipanggil pulang, untuk
persiapan guna dia nanti mendjadi pengganti kaisar. Ketika Boe Sin Soe mendengar
keputusan ini, ia djadi sangat membentji Tek Djin Kiat, akan tetapi menteri itu
sangat disajang Ratu, ia tidak berani mengganggunja. Setelah membatja surat itu,
Hian Song berpikir: "Memang, kalau pihak Lie mendjadi kaisar, keluarga Boe ada
kemungkinan nanti termusnakan. Tapi ia sendiri, ia harus mengutamakan negara,
siapa jang lebih pandai memerintah, dialah jang tepat, soal keluarga ada soal
lain. Ia ingat setjara demikian bibinja, Ratu Boe Tjek Thian, sering mengatakan.
Karena memikir begini, Hian Song segera mengambil keputusannja. Ia me-robek2
hantjur suratnja Boe Sin Soe, ia masuki itu ke mulutnja, terus ia telan! Kedua
boesoe itu melongo. Sungguh mereka tidak mengerti maksudnja nona ini. "Aku tidak
mau pulang !", kata Hian Song, tawar. "Apakah kamu hendak mengambil djiwaku ?".
"Tidak, kami tidak berani!", kata Hong Bok Ya tjepat,sambil tertawa. "Kata2-ku
tadi untuk menasihati nona. Tjiansweeya tjuma mengharap nona suka pulang.
Katanja paling baik nona dapat ditjegah pergi tanpa kami menemui nona, adalah
kami jang bernjali besar sudah menggunai tjara kami ini. Nona sudah biasa
merantau, nona tentu tidak memperhatikannja. Djikalau nona tidak puas, baiklah,
disini kami menghaturkan maaf ". Hian Song dapat mengerti, maka ia mau menduga,
rupanja Boe Sin Soe ingin, kalau tidak sangat perlu, suratnja ini tidak usah
diperlihatkan kepadanja. "Karena itu ada pikirannja kakakku, tidak usah kamu
menghaturkan maaf ", katanja. Ia menjapu muka mereka itu. "Kami menggunai
seragam ini, rupanja nona bertjuriga ", berkata Tjiak Kian Tjiang. "Sebenarnja
kami menjamar begini supaja dapat kami merdeka mundar-mandir disini ". "Djadi
untuk gampang mentjari dan mengikuti aku !", kata Hian Song tertawa dingin. "Hmm
...Hmmmv....! Kamu berani menjamar mendjadi boesoe Turki, njalimu besar! Tapi
djikalau kamu bertemu sama boesoe jang tulen atau bertemu Thian-san Kiam-kek,
pasti kamu mentjari penjakit sendiri! Di waktu pulang, baiklah kamu menjalin
dandanan sebagai rakjat djelata ". "Terima kasih, nona ", kata Hong Bok Ya,
"kami akan turut nasihatmu. Apakah kita berangkat sekarang djuga ?". "Apa
kita ?", tanja si nona. "Kamu pulang sendiri, kepada Ong-ya kamu beritahu bahwa
aku telah membatja suratnja, lalu kamu membilangi supaja dalam segala hal dia
menurut kepada Sri Baginda, djangan dia bertindak atas suka sendiri ". Hong Bok
Ya dan Tjiok Kian Tjiang saling mengawasi, tetapi karena Boe Hian Song telah
mengambil keputusan untuk tidak turut pulang, terpaksa mereka berdua pulang
sendiri. "Bibiku mengubah Tong mendjadi Tjioe, dia mendjadi kaisar wanita jang
pertama di dalam negara ini ", pikirnja, "siapa tahu dia bukannja bertindak
begitu melulu untuk satu keluarga sadja. Djikalau Boe Sin Soe dan kawan2-nja
main gila, bukan melainkan keluarga Boe bakal mendapat nama djelak, djuga rakjat
bakal bertjelaka. Mudah2-an Thian melindungi agar bibiku itu hidup lebih banjak
tahun lagi, dengan bibiku masih hidup mungkin Sin Soe tidak berani bergerak ".
Boe Hian Song mengatakan demikian tanpa ia mengetahui kakaknja itu, sudah
bertindak djauh sekali. Boe Sin Soe sudah membuat perhubungan sama Khan dari
Turki. Bahkan diketahuinja Lie It berada di gunung Thian-san pun Sin Soe jang
mengisiki Khan itu. Adalah keinginan Sin Soe supaja Khan membinasakan Lie It.
Sebaliknja Khan Turki berpikir lain. Hok Bok Ya dari Tjiok Kian Tjiang adalah
orang2-nja Sin Soe jang menjampaikan kisikan itu, mereka sudah bertemu sama Khan
sendiri. Pula, Khan-lah jang telah memberikan pakaian seragam itu, untuk mereka
dapat menjamar atau menjembunjikan diri, sebab maksud mereka membekuk Hian Song,
untuk dipersembahkan pada Khan, guna mereka menagih djasa, maka adalah diluar
dugaan mereka, mereka sendiri jang hampir mampus ditangan si nona. Karena
kegagalan itu, baru mereka mengeluarkan suratnja Boe Sin Soe, untuk membersihkan
diri, supaja segala apa ditumpuk di kepalanja Boe Sin Soe. Setelah berpikir
sedjenak, Boe Hian Song mulai lagi dengan usahanja menjusul Tiangsoen Pek.
---oo0oo--IA terus mengikuti djedjak orang. Ia memandjat makin tinggi, sampai disebuah
puntjak. Di sini ia melihat sebuah rumah diantara banjak pepohonan bagaikan
rimba. Ia terkedjut, hatinja bimbang. Ia berdiri diam, ia berpikir keras. Di
achirnja ia dapat membesarkan hati, maka ia menghampirkan rumah itu, ia pergi
kepintu dan mengetuknja. Sekian lama, ia tidak memperoleh djawaban. Ia mendjadi
heran. "Ketjuali mereka, siapa lagi jang tinggal disini ?", pikirnja. Ia
maksudkan Lie It dan Tiangsoen Pek. "Mungkinkah mereka tidak sudi menemui
aku ?". Karena memikir demikian, ia lantas me-manggil2. Pertama ia menjebut nama
Tiangsoen Pek, lalu nama Lie It. Tetap ia tidak memperoleh penjahutan. Ia heran
dan mendjadi bertjuriga. Maka achirnja, ia mengertak gigi, ia menolak daun pintu
!. Hawa dingin menjamber keluar ketika pintu sudah terpentang. Rumah itu kosong.
Di situ tidak ada Lie It, djuga tidak ada Tiangsoen Pek. "Ah ....", kata si nona
didalam hatinja, ia sangat berduka dan ketjele, "Apakah benar2 kau tidak
mempunjai lagi sedikit djuga rasa persahabatan " Dari djauh2 aku datang kemari,
kenapa kau tidak mau menemui aku bahkan kau pergi bersembunji ?". Begitu ia
berpikir begitu, begitu ia berpikir pula: "Mungkinkah Tiangsoen Pek jang tidak
mengidjinkan dia menemui aku" Tiangsoen Pek, kau sungguh tjupat pikiranmu! Kau
kira aku orang jang kesudian memperebuti suami ?". Sembari ber-kata2 begitu di
dalam hatinja, Hian Song melihat kelilingan. Sinar matanja lantas bentrok sama
dua baris sjair ditembok.
Ia lantas membatja : "Sepuluh tahun diimpikan, dipikirkan. Bagaikan pasir meniup
angin barat. Seperti sepasang burung sama nasib ...! Didalam dunia ini, dimana
rumahku;" Suka aku menjiram darahku ditanah asing. Ingin aku menitipkan pesan
untuk kawan lama. Mengingat penasaran Tuan Lie atas negaranja, Biarlah dia
mengitjipi keindahan gunung saldju ...". Sjair itu baru sadja ditulis. Itulah
sjairnja Tiangsoen Pek. Hian Song berdiam, hatinja bekerdja. Dengan itu
Tiangsoen Pek melukis nasibnja sendiri jang telah menikah sama Lie It selama
sepuluh tahun, karena berduka maka ia meninggalkan rumahnja, seperti angin barat
"merantau" digurun pasir. "Inilah nasibnja Tiangsoen Pek. Bukankah ini djuga
nasibku " Bukankah ini ditulis untukku " Aku menjeberangi laut pasir, aku
mendaki gunung Thian-san. Bukankah aku pun seperti bermimpi sepuluh tahun "
Teranglah, untuk anaknja, Tiangsoen Pek meninggalkan rumahnja. Untuk itu, ia
tidak takut mati. Ia pun menganggapnja akulah kawan lama Lie It. Maka itu,
untukku, ia djuga bersedia meninggalkan rumahnja ini. Njata dia bersedia
menjerahkan Lie It padaku dan aku diperingati akan penasarannja Lie It dalam
urusan negaranja ". Achirnja Hian Song mendjadi berduka, hingga air matanja
keluar mengalir. Ia menjesalkan Tiangsoen Pek salah mengerti demikian rupa.
Karena ini ia lantas mengambil putusan : "Baiklah, djangan aku merintangi mereka
sebagai suami-isteri, biar mereka hidup berbahagia digunung Thian-san ini. Untuk
se-lama2-nja, baiklah aku djangan bertemu pula dengan Lie It ...". Hampir Hian
Song lantas meninggalkan rumah kosong itu ketika matanja melihat khim tua milik
Lie It. Ia mendjadi bertambah berduka. Maka ia berduduk, air matanja turun
menetes, mengenai alat tetabuhan itu. Tanpa merasa nona ini mengangkat khim itu,
untuk memetik-nja. Ia membunjikan lagu, jang dulu ia pernah memperdengarkannja
untuk Lie It. Setelah memainkan sebuah lagu, ia hendak meletaki alat tetabuhan
itu, untuk bangun berdiri, atau kupingnja lantas mendengar suara halus, jang
datangnja dari kedjauhan, seperti suara saldju ter-indjak2. "Mungkinkah mereka
kembali ?", ia lantas berpikir. Sebat luar biasa, Hian Song pergi melongok
kedjendela. Apa jang ia lihat membikinnja terkedjut. Jang datang itu jalah Tok
Sian Lie diikuti oleh seorang pria dengan badju hidjau, muka siapa tidak segera
terlihat njata. Tidak takut Hian Song, bertemu sama Tok Sian Lie, meskipun ia
heran jang mereka bertemu ditempat ini. Ia menguatirkan pria itu, jang ia
menduga Thian Ok Toodjin. Segera djuga ia menghela napas lega. Itulah bukan
Thian Ok jang ia sangka. "Baiklah aku lawan diam pada mereka, ingin aku
mengetahui, mau apa mereka datang kemari ?", pikirnja. Maka ia lantas duduk
didepan medja dan mulai menabuh pula alat tetabuhannja. Tidak lama, suara
tindakan kaki sudah sampai didepan pintu. Lantas terdengar Tok Sian Lie tertawa
dan berkata: "Oh, Lie Kongtjoe, kau senang sekali! Ada sahabat kekalmu jang
datang mendjengukmu !". Hian Song tidak memperdulikannja, ia terus menabuh khimnja. Tok Sian Lie jang masih tertawa geli, seketika mendadak tertawanja itu
berhenti, disebabkan ia mendengar lagu berirama sedih. Ia baru tertawa pula
tempo lagu itu ter-putus2. Segera ia berkata njaring: "Sahabat kekal begini
mengabaikan tetamu, apakah tidak keterlaluan " Aku belum pernah bertemu sama
isterimu jang baru, mengapa kau tidak mau mengundang aku masuk kedalam
rumahmu ?". Lalu terdengar suaranja si pria badju hidjau: "Suruhlah dia djangan
menabuh khim terlebih djauh, lagunja itu tidak menggembirakan!". "Benar !", kata
si wanita. "Djikalau kau menabuh khim untuk menjambut tetamu, kasi dengarlah
lagu jang merdu! Eh, apakah kau tidak mau membukai pintu " Djikalau kau tidak
membukai pintu, nanti aku lantjang masuk sendiri !". Kata2 itu dibarengi sama
tertolaknja daun pintu. Sembari berbuat begitu, Tok Sian Lie berkata kepada pria
kawannja itu: "Apakah kau tidak mau masuk untuk menemui tuan rumah ?". Si pria
menjahuti dengan djumawa : "Kau gusur sadja mereka keluar, aku tidak sudi turun
tangan terhadap anak muda !". Tok Sian Lie lantas bertindak masuk. "Ah, kiranja
Njonja Lie jang Iagi menabuh khim !", katanja. Ketika itu Hian Song menutup
tubuhnja dengan mantel dan lagi menabuh khim sambil tunduk, hingga ia tidak
lantas dapat dikenali Tok Sian Lie jang telah berpisah banjak tahun, hingga dia
itu menjangka ialah Tiangsoen Pek. Lagi2 wanita itu tertawa dan berkata : "Nona
jang dulu Nona Tiangsoen dan sekarang Njonja Lie, apakah kau masih mengenali aku
" Dikaki gunung Lie San kau telah membunuh soeheng-ku, kedjadian itu tentunja
kau masih ingat bukan " Kau djangan takut, aku bukan hendak menagih djiwa, aku
tjuma hendak mengundang kau pergi kesuatu tempat jang bagus!. Nah, baik2-lah kau
turut aku ". Hian Song tetap berdiam, ia tidak menoleh, ia terus menabuh khimnja. Kali ini Tok Sian Lie tertawa seram. "Apakah Njonja Lie tidak suka
berangkat " Kalau begitu, baiklah aku sendiri jang mengundang kepadamu !",
katanja seraja menghampirkan dengan per-lahan2. Ketika ia sudah datang dekat, ia
mengulur tangannja untuk menarik. Sembari mengulur tangan itu, ia tertawa dan
berkata pula : "Adik jang baik, tanganku ada ratjunnja! Apakah kau ingin aku
mengasi bangun padamu ?". Merdu suaranja wanita ini, tangannja pun putih-halus,
maka sebenarnja dia tjotjok dengan djulukannja, 'Tok Sian-lie', artinja 'Dewi
Beratjun'. Mendadak Tok Sian-lie berhenti tertawa. Baru sekarang ia melihat
orang bukannja Tiangsoen Pek. Tak sempat ia menarik pulang tangannja atau lompat
mundur, ketika Hian Song mengibaskan tangan, dia lantas roboh terguling dan
djumpalitan tiga kali, sehingga tubuhnja tiba diluar pintu. Tapi dia tidak
terluka, begitu dia bangun berdiri, tangannja pun terajun, menjamberkan
djarumnja jang beratjun, djarum Touw-hiat-tjiam. Boe Hian Song sudah lantas
menghunus pedangnja, jang ia putar dengan keras, hingga nampak tjahaja putih
perak seperti bianglala, hingga djarum djahat itu kena terhadjar djatuh dan
hantjur. Ketika ia tunduk, akan melihat lengannja, ia mendapatkan pada tangan
badjunja jang putih ada tapak tangan jang hitam. Tangannja Tok Sian-lie putihhalus seperti batu kemala tetapi tapak tangannja itu hitam beratjun, maka itu
menandakan hatinja jang buruk dan kedjam. Ia kaget dan kata didalam hatinja :
"Kepandaiannja hantu wanita ini tambah banjak, sjukur aku tidak memandang tak
mata kepadanja !". Lantas ia melompat keluar, untuk membentak : "Tok Sian-lie,
untuk apa kau datang kemari " Masihkah kau tidak mau omong biar benar ?". Selagi
Hian Song menanja itu, belum lagi Tok Sian-lie mendjawab ia, pria berbadju
hidjau itu mendahului turun tangan. Dia mengebut dengan tangan badjunja jang
pandjang, tubuh Tok Sian-lie lantas tergulung dan tertarik, lalu punggungnja
ditekan, ditolak dengan perlahan, sampai tubuh itu berkisar kepinggir. Tadinja
muka Tok Sian-lie putjat seperti muka majat, segera sedjenak itu, lantas
mendjadi merah, segar seperti semula. Maka setelah membuang napas, dia tertawa
dan memberikan penjahutannja : "Boe Hian Song, hari ini tidak dapat kau
bertingka lagi! Perlu apa kau datang kemari" Masihkah kau tidak mau omong biar
benar ?". Dengan berani dia mengulangi pertanjaan orang. Teranglah dia mengandal
sangat pada pria berbadju hidjau itu. Boe Hian Song pun terkedjut melihat gerakgerik pria itu. Ia menjerang Tok Sian-lie dengan djurus dari ilmu silat 'Tiat
Sioe Sin-kang', atau 'Tangan-badju Besi', ia menduga Tok Sian-lie tidak bakal
dapat pertahankan dirinja, siapa tahu si pria dengan gampang sadja telah
memberikan pertolongannja. Kepandaian pria itu njata ada terlebih tinggi
daripada kepandaiannja sendiri. Pria itu melirik kepada Nona Boe, lantas dia
tertawa terbahak. "Kaukah si wanita jang pada delapan tahun dulu telah mengatjau
rapat orang2 gagah di puntjak Kim-teng dari gunung Ngo-bie-san " Benar,
kepandaianmu tidak dapat ditjela, kau berbakat baik ! Lebih baik kau mengangkat
aku sebagai gurumu !". Biarnja orang liehay, Boe Hian Song toh murka, maka tanpa
mendjawab, ia menjerang dengan tikamannja. "Ai ...!" berseru si badju hidjau
itu. "Siapakah sudah adjarkan kau ilmu pedang ini ?". Hian Song tidak
menggubris, kembali ia menikam. Tepat ketika udjung pedang hampir mengenai
hidungnja, si hidjau itu melenggak dengan sebelah kakinja, sedang kakinja jang
lain diangkat diteruskan untuk dipakai mendupak ke tangan si nona. Hian Song
terkedjut, hampir tangannja kena ditendang, sjukur ia dapat lekas menarik
pulang. Ini pun membuatnja terkedjut, sebab ia mengerti tikamannja itu sangat
berbahaja. Karena penasaran, tanpa men-sia2-kan ketika, kembali ia menjerang,
bahkan sekarang saling-susul, hingga pedangnja berkeredepan ber-kilau2. Walaupun
dia didesak hebat, pria itu tertawa berkakak. "Meski djuga ilmu pedangmu liehay,
apa kau bisa bikin atas diriku ?", katanja djumawa. Lalu, tanpa menanti sampai
tubuhnja diputar, tangannja jang sebelah lentas diajun, dipakai menjerang
kebelakang. Seperti djuga dia mempunjai mata dipunggungnja, tangannja itu
menotok ke tangan si nona, ke djalan darah kiok-tie-hiat dilengan kanan. Boe
Hian Song melihat bahaja mengantjam, dengan terpaksa ia menggeser tubuh, dengan
begitu ia berkelit, hanja setelah berkelit, ia kembali menjerang. Ia menikam
kedjalan darah yan-kwan-hiat divpinggang lawan. Setjara demikian bertempurlah
mereka berdua, tjepat lewatnja djurus2, dari sepuluh lantas naik kedua puluh.
Menjaksikan itu Tok Sian-lie, jang liehay, ber-kunang2 matanja. Ia mendjadi
kagum. Tetapi dia manusia litjin, lantas dia mengasi dengar edjekannja. "Bagus,
ja, Sin-Koen, kau menghina aku !", demikian suaranja njaring. "Baik aku tidak
sudi bersama pula denganmu, aku hendak pulang untuk mengadu kepada soehoe !". Si
badju hidjau itu, jang dipanggi Sin-koen, tertawa. "Tjara bagaimana aku menghina
kau ?", dia bertanja. "Sebab kau tidak mau membalas penasaranku, kau sebaliknja
membilang hendak mengambil dia sebagai muridmu ! Baiklah, karena
kau menghendaki dia, aku tidak mau turut padamu ". Mendengar demikian, merah
mukanja si badju hidjau ini. Dialah Biat Touw Sin-Koen, seorang jang biasa
bertindak menuruti kehendak hatinja sendiri. Dia pandai ilmu obat2-an, maka
selama sepuluh tahun jang belakangan ini, dia biasa mengidar didalam dan diluar
kota untuk mentjari daun atau rumput obat jang langka. Ini pun sebabnja mengapa
di waktu diadakan pertemuan di Kim-teng, Puntjak Emas, digunung Ngo-bie-san, dia
tidak berkesempatan hadir. Didalam kalangan Rimba Persilatan, dialah, dan Khim
Tjiam Kok-tjioe Heehouw Kian jang pandai ilmu tabib, jang namanja sama
terkenalnja. Hanja jang beda diantara mereka berdua : Heehouw Kian menggunai
kepandaiannja untuk menolong sesamanja jang sakit, Biat Touw kadang2 menolong
dan kadang2 mentjelakai orang, mentjelakai selagi mentjoba obatnja jang
beratjun. Karena tabiatnja jang berandalan ini, dia menjebut dirinja 'Biat Touw
Sin-Koen' (Malaikat Luar Garis).
---oo0oo--DIA bertemu sama Tok Sian-lie karena kedjadian jang berikut : Guru dari Tok
Sian-lie, jaitu Thian Ok Toodjin, karena mentjoba tangannja jang beratjun, sudah
kena dikalahkan Heehouw Kian. Dia lantas pulang, untuk menutup diri, guna
beladjar lebih djauh sampai sepuluh tahun. Djusteru itu Biat Touw Sin-Koen
pulang dari See Hek, Wilajah Barat, habis mentjari bahan obat2-an. Biat Touw
menudju langsung ke Seng-Sioe-Hay, di Koen-loen-san, mentjari Thian Ok. Sebab
Thian Ok lagi menjekap diri, dia tidak dapat menemui, dia mendjadi menjesal.
Tapi, tidak bertemu sama Thian Ok, dia bertemu sama murid orang, jalah Tok Sianlie. Tjepat sekali mereka mendjadi bersahabat kekal. Masing2 mereka mempunjai
maksudnja sendiri. Biat Touw mau mendapatkan ratjunnja Thian Ok, ia perlu
membaiki Tok Sian-lie. Sebaliknja Tok Sian-lie, karena kematiannja Ok Heng Tjia,
ingin memperoleh kawan jang dapat diandalkan. Ia pun lagi kesepian, maka ia
menerima persahabatannja Biat Touw. Begitulah, erat perhubungan mereka. Tok
Sian-lie jang litjin mendapat kabar hal pernikahan diantara Lie It dengan
Tiangsoen Pek, bahwa suami-isteri itu tinggal bersembunji digunung Thian-san,
dia lantas mengadjak Biat Touw pergi, guna ia menuntut balas. Buat pergi seorang
diri, ia tidak berani. Ia djeri untuk ilmu pedangnja Lie It. Di lain pihak, ia
ingin dapat menguasai Lie It itu, supaja ia bisa mempermainkan Tiangsoen Pek.
Terhadap Tiangsoen Pek sendiri, ia tidak takut. Kebetulan untuknja, ia
bersahabat sama Biat Touw Sin-Koen. Diluar dugaannja, bukan ia bertemu Lie It
dan Tiangsoen Pek, atau Tiangsoen Pek seorang diri, ia djusteru bertemu sama Boe
Hian Song. Tentu sekali ia tidak dapat melawan Nona Boe. Karenanja ia mendongkol
mendengar Biat Touw Sin-Koen bukan lekas2 turun tangan tetapi berniat mengambil
Hian Song sebagai muridnja. Maka sengadja ia mengambul, untuk membikin gusar
kawan itu. Biat Touw Sin-Koen djengah mendengar kata2 Tok Sian-lie. Ia telah
main gila dengan nona ini, ia takut rahasianja terbuka dan diketahui Thian Ok
Toodjin. Ia terhitung orang jang terlebih tua dan terlebih atas tingkatannja
dibanding dengan Tok Sian-lie, mendjadi tidak pantas ia main gila sama murid
orang. Maka sekarang ia merasa sangsi. Tapi ialah seorang ulung, dapat ia
membawa aksi-nja. Ia tertawa lebar. "Nona ketjil, kau terlalu tjemburu! ",
katanja, "mana bisa aku tidak menghendaki kau" Aku tjuma menjajangi
kepandaiannja dia ini ...". Imam ini mendustakan Tok Sian-lie. Ia djusteru
ketarik sama Hian Song, jang ketjantikannja melebihi sepuluh lipat "muridnja"
itu. Ia ingin ambil Hian Song sebagai muridnja, agar kemudian si nona dapat
menggantikan Tok Sian-lie. Sepasang alisnja Hian Song bangun berdiri mendengari
pembitjaraannja dua orang itu. "Siluman tidak tahu masa lalu, mari rasai
pedangku !", ia berkata njaring seraja menikam, dan ketika tikaman jang pertama


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu gagal, segera ia mengulangi ber-ulang2. Biat Touw Sin-Koen berkelahi dengan
tangan kosong, didesak demikian rupa, ia mendjadi repot, sudah begitu, ia mesti
melajani Tok Sian-lie bitjara, begitulah ketika satu kali ia berajal,
"Bret ...!", maka udjung badjunja kena dirobek udjung pedang si nona, hingga ia
terkedjut. Berbareng dengan itu, ia seperti mengenali ilmu silatnja si nona.
"Ah, mungkinkah wanita ini murid dia ?", ia kata dalam hatinja. "Pantas dia
tidak suka menjerah terhadapku. Baiklah aku kasi dia rasa, supaja dia bisa lihat
!". Lantas ia tertawa keras dan pandjang, terus ia mentjabut sematjam sendjata
jang tergendol dibebokongnja, sendjata mana terlihat berkilauan. "Lekas kau
angkat aku mendjadi gurumu, aku masih dapat memberi ampun pada selembar
djiwamu !", katanja keras. Hian Song membungkam, ia terus melakukan
penjerangannja. Tapi ia sekarang mendapat perlawanan keras. Bahkan satu kali,
mendadak ia merasakan pedangnja terlibat sendjata musuh, tak dapat ia segera
menarik pulang. Ia mengerti ia terantjam bahaja akan tetapi ia mendapat akal,
sebaliknja daripada menarik, ia djusteru meluntjurkan itu, untuk meneruskan
menikam! Biat Touw terkedjut, terpaksa iu melepaskan libatannja. Ia menjekal
sendjata jang istimewa. Sebab sendjatanja adalah sebatang patjul pendek, jang ia
biasa pakai untuk menggali pohon2 obat2-an. Jang luar biasa, sendjata itu terang
mengkilap. Pedang Tjeng-song-kiam dari Hian Song bukan sebangsa pedang
mustikanja Lie It tetapi tadjamnja luar biasa, ketika kedua sendjata itu beradu,
selainnja suaranja jang njaring, patjul itu tidak rusak sedikit djuga, pedang si
nona sebaliknja sedikit bengkok. Pula keistimewaannja patjul Biat Touw, patjul
itu ada tambahan lima batang jang tadjam seperti garu atau kuku peranti
menjamber dan melibat sendjata lawan serta djuga dapat dipakai menotok djalan
darah. Maka djuga, mengenai sendjata, Biat Touw menang unggul dari Hian Song.
Pertempuran itu berdjalan seru, berselang tiga puluh djurus, Hian Song kena
dibikin repot. Dari mulai menjerang, ia mendjadi pihak jang membela diri, karena
sulit untuknja melakukan penjerangan pembalasan. Aneh ilmu silatnja Biat Touw,
serangannja katjau, sebentar dia menjamber, sebentar dia menotok, lalu dia
mematjul. Sjukur untuk si nona, ia mahir ilmunja ringan tubuh, hingga ia bisa
bergerak dengan gesit. Tok Sian-lie tertawa geli ketika ia melihat Hian Song
kelabakan. "Sin-Koen, kau rampas pedangnja, kau berikan padaku !", ia berkata
separuh mengedjek. Ia ketarik sama pedangnja Nona Boe dan ingin sekali
memilikinja. Hian Song mengertak gigi. Ia mengerti, lama2 ia bisa mendapat
susah. Dengan terpaksa ia mengeluarkan antero kepandaiannja, guna bisa menjerang
membalas. Maka itu pedangnja berkilauan mengimbangi tjahaja berkeredepan dari
patjulnja Biat Touw. Penjerangannja si imam terintang sedikit tetapi dia
tertawa. "Bagus ilmu pedangmu!" katanja. "Hanja dengan begini kau menggunai
tenagamu terlalu banjak, kau membuatnja kekalahanmu bakal datang terlebih tjepat
pula, bahkan di achirnja, kau bisa mendapat sakit berat! Maka lebih baik kau
lekas menjerah, kau mengangkat aku mendjadi gurumu !". Tok Sian-lie tertawa, ia
berkata pula: "Aku tidak menghendaki adik seperguruan seperti dia! Aku tjuma
menginginkan pedangnja !". Hian Song mendengar semua itu. Ia mengerti Biat Touw
bukannja menggertak sadja. Tapi ia mana sudi mendjadi muridnja musuh ini" Dengan
terpaksa ia berlaku nekat. Tok Sian-lie benar2 djail. Setelah melihat orang
berkelahi lama, diam2 ia menjerang dengan Touw-hiat Sin-tjiam, djarumnja jang
beratjun, jang mengarah djalan darah. Hian Song mendengar suara menjamber, ia
terkedjut, ia lantas berkelit. Ia bebas dari serangan itu tetapi karena itu, ia
mendjadi repot. Melajani dua musuh, perhatiannja mendjadi terbagi. Tepat selagi
nona ini terantjam bahaja, dari dalam rimba didekatnja terdengar satu suara
pandjang dan njaring sekali, suara itu seperti turun dari udara, lalu
berkumandang dilembah. Tjabang2 pohon pun tergojang karenanja. Dua-dua Biat Touw
Sin-Koen dan Hian Song terkedjut. Mereka heran. Suara orang liehay siapakah
itu " Tengah mereka berpikir keras dan memasang mata, lantas mereka melihat dari
dalam rimba keluar dua ekor binatang jang berbulu kuning emas, jang ternjata
jalah 'khim-hoat hoei-hoei' atau kera Afrika jang dinamakan "kera kepala
andjing". Adalah aneh kera sematjam itu didapatkan digunung bersaldju ini.
---oo0oo--KERA itu bengis romannja tetapi pun bagus, menarik hati untuk dilihat.
Begitulah, sekalipun Biat Touw Sin-Koen, dia telah tertarik perhatiannja. Kedua
kera itu mendatangi kedua orang jang lagi bertarung itu, mendadak mereka
berpekik pula, lalu keduanja lompat, akan menerkam. Mereka mempunjai tangan
dengan kuku jang pandjang. Hian Song kaget, ia berkelit seraja mendjaga diri.
Selagi ia berkelit itu, ia mendengar djeritan Biat Touw serta pekikannja seekor
kera, ketika ia menoleh dengan tjepat, ia mendapatkan pundak Biat Touw terluka
bekas ditjengkeram dan patjulnja melukai kaki depan binatang itu. Lukanja Biat
Touw Sin-Koen disebabkan ia memandang enteng kepada kedua kera itu, tidak
tahunja sang binatang gesit luar biasa, tak dapat dia berkelit seluruhnja dari
sergapannja, maka dia terluka. Dia lagi mendesak Hian Song, maka ketika
disergap, dia berkelit sambil mengibas. Dia bertenaga besar, sebaliknja dia
menjangka kedua kera itu dapat disampok roboh hingga pingsan. Dia pun mcmikir
untuk menangkap hidup kedua binatang itu, maka dia menggunai tenaga empat atau
lima bagian. Karena lukanja itu, Biat Touw heran dan kaget. Dia telah mejakinkan
ilmu Kim-tjiong-tiauw, atau Djala Lontjeng Emas, sematjam ilmu kebal hingga
tubuhnja tidak dapat dilukakan sendjata tadjam, dia tidak sekali menduga,
binatang itu dapat melukakannja. Tentu sekali, dia mendjadi sangat gusar.
"Baiklah, lebih dulu aku bereskan kamu, binatang !", dia membentak. Dia terus
berlompat kepada seekor kera, untuk mendjambak. Seperti seorang ahli silat, kera
itu berkelit lintjah sekali, setelah mana, dia membalas menjerang. Berbareng
dengan itu, Biat Touw merasai angin menjambar dibelakang kepalanja, hingga dia
mesti lekas berkelit, sambil mengibas. Kera jang satunja jang menjerang itu,
kena dikibas hingga djatuh. Hanja sedjenak, ia bangun pula, bersama kawannja,
kembali ia lompat menjerang. Hian Song girang berbareng heran. Ia tidak diserang
kedua kera itu, ia bahkan dibantui. Maka ia lantas berpikir: "Tadi mereka
menolong aku, maka tidak dapat aku membiarkan mereka ". Dari itu, ia lantas
madju menjerang Biat Touw. Ia berlaku hati2, ia kuatir kedua kera tidak
mengenali sahabat dan musuh. Tapi kekuatiran ini tidak beralasan, kedua binatang
itu mengenali padanja, terus mereka menjerang si badju hidjau, tjara
menjerangnja pun rapih, dari kiri dan kanan. Dikepung bertiga, Biat Touw Sinkoen agak kewalahan. Lagi satu kali dia telah kena ditjengkram, maka dalam
murkanja ia menggunai patjulnja dengan keras sekali. Dengan menerbitkan suara
njaring, pedang Hian Song kena ditangkis mental, lalu dengan tangan kirinja dia
menindju keras, dua kali saling-susul, dua2 kalinja mengenai sasarannja. Tanpa
ampun lagi, kedua kera itu terpental roboh, untuk tidak lantas bangun pula. Hian
Song kaget. Ia menjangka kedua kera itu sudah mati. "Serahkan dua kera itu
padaku !", terdengar Tok Sian-lie berkata. "Sin-Koen, kau menghendaki jang mati
atau jang hidup ?". "Lebih baik kalau keduanja dapat ditolong !", menjahut Biat
Touw. "Kau hati2 !". Tok Sian-lie menghampirkan kedua kera itu, untuk memeriksa.
Ia mendjadi heran. "Eh, batok kepalanja tidak petjah !", katanja, "Kenapa
keduanja mati ?". Dia memegang bulu dikepalanja, jang berwarna kuning emas,
niatnja untuk disingkap. Kedua kera itu tidak mati, pingsannja djuga pingsan
ber-pura2. Keduanja roboh terus berdiam, untuk dapat beristirahat, ketika jang
satu bulunja ditarik, dia lompat bangun dengan mendadak sambil tangannja
menjamber lengan orang!. Biat Touw pun kaget, tetapi dia tidak mendjadi gugup,
dia lompat untuk menjerang. Kedua kera itu berlompat untuk berkelit, habis mana
jang satu membalas menjerang, jang lain menjerang Tok Sian-lie. Dia ini
merasakan sakit sampai ke-uluh-hatinja karena luka dilengannja bekas
tjengkeraman si kera, akan tetapi melihat serangan datang, lekas2 dia menjambut
dengan djarum beratjunnja. Sang kera liehay, ia berkelit, lantas ia menjamber
sebatang tjabang untuk diputar bagaikan pedang guna menutup diri, setelah itu,
ia lompat keatas pohon, menangkel pada sebuah tjabang. Ketika ia terajun balik,
ia menjerang pula wanita itu !. Kera jang menjerang Biat Touw Sin-Koen berlaku
tjerdik, dia tidak mau merapatkan, dia berputaran, saban2 dia mengantjam sama
tjengkeraman-nja. Njata dia sangat gesit dan menang djuga tangan pandjang.
Sebenarnja dia biasa berdjalan dengan kedua tangan dan kedua kaki, tetapi
sekarang, dia dapat berdiri seperti manusia dan kedua kaki depannja dapat
digunai sebat dan pandai seperti tangan manusia. Beratnja untuk Biat Touw, Hian
Song terus menjerang padanja, hingga dia tetap dikepung berdua. Djusteru itu,
dia mendengar djeritannja Tok Sian-lie hingga dia kaget sekali. "Tolong ,,,!",
demikian suaranja wanita kawannja itu. Biat Touw mengibas, untuk mengundurkan
musuh, habis mana dia berlompat kearah Tok Sian-lie, buat membantu kawan itu.
Boe Hian Song melihat gerakan lawannja ini. "Kemana kau hendak kabur ?", ia
membentak seraja lompat menikam. Biat Touw seperti telah dapat menduga bahwa dia
akan dikedjar, maka itu selagi tubuhnja melompat itu, tidak menunggu sampai
kakinja mengindjak tanah, tubuhnja telah diputar balik sangat tjepat, sambil
berputar, dia menjerang kebelakangnja. Hebat kesudahannja saling-serang ini.
Hian Song kaget bukan main, ia tidak dapat menangkis, bahkan berkelit pun tidak
keburu, maka dadanja kena tertotok djari tangannja si badju hidjau, hingga ia
merasakan napasnja seperti berhenti dengan tiba2. Dilain pihak, udjung pedangnja
mengenai mata kaki lawannja itu! Walaupun terluka, Biat Touw lari terus menjusul
Tok Sian-lie, Hian Song sebaliknja, tidak berani menguber. Disana Tok Sian-lie
lagi terantjam si kera kepala andjing. Dari atas pohon, kera itu melompat turun,
sebelah tangannja jang pandjang diluntjurkan kearah si wanita tangan beratjun,
untuk menjengkeram batok kepalanja. Biat Touw gesit dan liehay sekali, dia
sampai dengan tjepat, lantas dia menjerang guna menolong Tok Sian-lie. Si kera
tahu lawan ini berbahanja, dia lompat naik pula ketjabang pohon. Biat Touw tidak
mengedjar, hanja dengan menarik tangan Tok Sian-lie, ia lari pergi, luka dimata
kakinja tidak menjebabkan dia tidak dapat lari keras. Lekas sekali mereka lenjap
diantara angin dan saldju. Boe Hian Song menghela napas lega. "Djahanam itu
sangat liehay kedua tangannja ", pikirnja. "Tanpa bantuannja kedua kera istimewa
ini, pastilah hari ini aku kena terhinakan manusia djahat itu ". Ia lantas
memikir untuk menghampirkan kedua kera, atau mendadak ia mendengar pula seruan
njaring dan pandjang dari dalam rimba. Kedua kera itu, seperti mendengar
panggilan madjikannja, lari masuk kedalam rimba itu. Hian Song mendjadi
bertambah heran. "Mestinja mereka binatang piaraan ! Karena mereka liehay,
madjikannja mesti liehay djuga !". Karena memikir demikian, tanpa bersangsi ia
lari kearah rimba, guna menjusul kedua kera itu. Ia lari belum djauh, mendadak
ia merasakan dadanja sakit. Ia lantas menghentikan tindakannja, ia mengempos
semangatnja, guna melegakan pernapasannja. Karena ini, ia memikir untuk berhenti
menjusul. Begitu ia memikir, begitu ia mendengar suaranja si kera. Hatinja
mendjadi ketarik pula. Maka ia lari menjusul lagi. Tiba disatu tikungan, ia
menampak sebuah tempat terbuka, dimana ada bukit es tinggi beberapa puluh
tombak, duduknja bagaikan sekosol. Disitu, nempel pada es, terlihat kedua kera
itu. "Engko hoei-hoei, terima kasih !", katanja girang sekali. Kedua kera itu
tidak mendjawab, sebaliknja, satu suara terdengar menanja si nona: "Nona, kau
letihkah ?". Hian Song heran. Ia lantas berpaling kearah dari mana suara itu
datang. Lantas ia melihat seorang dengan pakaian putih lagi duduk di kaki bukit
es itu, sedang kedua kera segera menghampirkan dia itu, untuk lompat naik
kepundaknja kiri dan kanan. Ia menduga kepada madjikan kedua binatang itu. Maka
mau ia menjahuti. Tapi orang itu sudah mendaihului bertindak kearahnja. Ketika
ia melihat sinar mata orang, jang tadjam sekali dan memutar memain, ia kaget,
hingga ia kata didalam hatinja: "Aku mesti ber-hati2! Siapa tahu kalau dia orang
djahat!". Mendadak orang dengan pakaian putih itu berkata: "Lekas kau menoleh
kebelakang! Lekas kau loloskan badjumu!" Nona Boe kaget bukan main. Ia tidak
tahu maksud orang. Sebaliknja, ia mendapatkan orang berlompat kearahnja. Tidak
sempat ia berpikir lagi, ia menabas dengan djurusnja, "Heng tjie thian lam" atau
"Menuding melintang kelangit Selatan". Ia bukan berniat menjerang melukai,
tetapi ingin mentjegah madjunja orang, untuk dapat ketika menanjakan keterangan.
"Ah ...!", seru orang itu seraja ia menunda madjunja, untuk menjamber setjabang
pohon disampingnja, untuk dipatahkan, hingga itu ia bisa madju terus, tanpa
menghiraukan antjaman pedang, dia menusuk ke dada si nona didjalan darah lengtoet-hiat. Hian Song kaget, dalam hatinja ia berkata: "Benarlah dia manusia
djahat!". Maka ia lantas berkelit, lalu menjerang dengan djurus "Meraba bintang,
memetik bintang." Itulah salah satu djurusnja jang terliehay. "Ah...!", orang
berpakaian putih itu bersuara pula. Dia pun tidak berhenti, setelah membebaskan
diri, dia menjerang pula dengan tjabang kajunja itu. Njata, dari gerak-geriknja,
dia mengenali ilmu silat si nona. Herannja Boe Hian Song tidak terkira.
Serangannja itu sangat hebat, dengan itu ia belum pernah gagal. Bahkan Thian Ok
Toodjin dan Biat Touw Sin-koen mengalahkan ia karena mereka menang tenagadalam.Tapi dia ini menggunai hanja tjabang pohon. Dia sangat gesit, tenagadalamnja pun mahir sekali. Terpaksa ia mengeluarkan seantero kepandaiannja, guna
membela dirinja. Dengan sebat dan lintjah, si pakaian putih memetjahkan setiap
serangan, atau menghindarkannja, dia membuat si nona di depannja heran bukan
buatan. Dalam herannja, Hian Song hendak menanja, atau segera ia didesak, lalu
dengan beruntun ia kena ditusuk tudjuh djalan darah dipunggungnja, seperti lengkie, tiong-hoe, dan lainnja. Lantas tangannja mendjadi
kaku, pedangnja terlepas djatuh ditanah. "Maaf, Nona Boe !", pria itu berkata
tjepat. "Maaf untuk perbuatanku jang kurang adjar ini. Lekas kau meluruskan
napasmu !". Hian Song tidak dapat ketika untuk mengutjapkan kata2, ia merasakan
dadanja sesak, ada hawa panas mengalir pada tudjuh djalan darahnja. Lekas2 ia
bernapas untuk menjalurkan darah, menuruti petundjuk pria pakaian putih itu. Ia
tidak usah menggunai banjak tempo atau lantas ia merasa pernapasannja pulih dan
tubuhnja terasa merdeka sekali. Si badju putih mengawasi, hingga ia melihat muka
orang bersemu dadu. Ia lantas tertawa dan berkata: "Kau telah terkena tangannja
Biat Touw Sin-Koen, djikalau kau tidak ditotok seperti ini, tidak dapat kau
bebas dari ratjunnja tangan orang djahat itu !". Hian Song lantas sadja
mengerti, hingga ia mau pertjaja orang ini. Ia djadinja ditolong dibebaskan dari
totokan dipunggungnja. Pantas orang meminta ia membuka badju sambil membalik
belakang. Djadi dialah jang salah menjangka maksud orang. Ia hanja heran, selagi
orang ini djauh terlebih liehay daripadanja, mengapa dia menanti dulu sampai
beberapa puluh djurus, baru dia menotok. Maka maulah ia menduga bahwa orang
tengah mengudji kepandaiannja. Lalu ia mendjumput pedangnja, ia memberi hormat
seraja menghaturkan terima kasih. "Aku mohon bertanja she dan nama in-kong jang
mulia ...?", ia tanja kemudian. Ia memanggil "in-kong" (tuan penolong). "Apakah
aku pun boleh mendapat tahu siapa guru in-kong ?". Orang dengan pakaian putih
itu tertawa. "Mari turut aku, kau nanti mendapat tahu !", sahutnja. Ia lantas
memutar tubuh, untuk bertindak pergi. Kedua kera itu berlompat turun, keduanja
berpekik aneh, tetapi melihat sikapnja, njata keduanja gembira sekali. Keduanja
mengangkat djuga tangannja masing2, seperti orang jang memberi hormat pada si
nona, habis itu mereka berlompatan untuk berdjalan didepan, selaku pengundjuk
djalan. Hian Song tetap heran. Ia pun berpikir: "Dia telah mengobati aku,
mestinja dia tidak berniat djahat ". Maka ia bertindak mengikuti, pergi lebih
djauh kesebelah dalam bukit bersaldju itu. Puntjak bukit seperti masuk kedalam
awan, air selokan pun bagaikan katja. Maka pemandangan alam disitu indah sekali.
Untuk berdjalan diatas saldju mengikuti si pakaian putih, Hian Song menggunai
ilmu enteng tubuh "Teng peng touw soei" atau "Menjerang dengan mengindjak
kapu2". Segera ia mendjadi heran pula. Ia melihat orang seperti djalan dengan
tindakan lebar akan tetapi ia tidak dapat melombai orang itu. Diam-diam ia
mendjadi kagum. Sesudah ber-lari2 sekian lama, Hian Song merasa hawa mulai
hangat, tidak sedingin tadi. Njata ia telah tiba disebuah bukit dimana ada
banjak pepohonan, jalah rumput dan pohon bunga. Didepannja terbentang sebuah
telaga ketijl. Anehnja telaga itu berada diatas puntjak gunung. Telaga itu
permai. Kupingnja lantas tnendengar kitjau burung2 dan hidungnja mentjium
harumnja bunga. Ia merasa ia seperti berada ditempat dewa. "Inilah pengempang
Thian Tie jang kesohor ", berkata si orang pakaian putih tanpa diminta. "Katanja
pengempang ini, dtilunja jalah mulut gunung api, setelah apinja padam, lalu
berubah mendjadi telaga. Itulah sebabnja kenapa hawa disini hangat ". Hian Song
kagum. Selewatnja pengempang itu, mereka tiba disebuah guha batu, jang mulutnja
tertutup batu sehagai daun pintu. Si badju putih menolak pintu batu itu.
"Silakan masuk !", ia menggapai kepada Hian Song. Untuk sedjenak, Nona Boe
bersangsi, tapi segera ia mengambil keputusan: "Aku sudah tiba disini, tidak
dapat aku mundur pula. Dia lebih liehay daripada aku, djikalau dia mau
mentjelakai aku, tidak usah dia menunggu sampai disini ". Maka ia lantas
bertindak madju, masuk kedalam guha.
---oo0oo--DI dalam guha ada sinar terang dari sebuah lubang angin. Sinar itu membikin Hian
Song dapat melihat segala apa dengan njata. Lantas ia mendjadi heran. Ia melihat
sebuah medja batu diatas mana ada bertjokol seorang niekouw atau pendeta wanita,
dikitari sekosol batu marmer hingga dia mirip patung dewi atau malaikat. Jang
heran, dia bukan mirip patung tanah liat atau kaju, dia seperti orang hidup!.
Untuk sedjenak Hian Song berdiri tertjengang, achirnja ia menekuk kedua kakinja,
mendjatuhkan diri didepan bhiksuni itu, untuk memberi hormat sambil ia berkata
separuh berseru: "Soehoe...!. Kiranja soehoe disini...! Soehoe, inilah muridmu,
Hian Song, datang !". Niekouw itu berdiam sadja. "Soehoe...!" kata sang murid,
heran. "Soehoe, mengapa kau berdiam sadja?". Guru itu terus berdiam. Orang
dengan pakaian putih itu, jang berdiri disamping si nona, berkata dengan
perlahan: "Gurumu telah meninggal dunia semendjak tiga tahun jang lampau, aku
menantikan sampai sekarang baru aku mendapatkan kau datang ". "Apa ...!",
berseru Hian Song, heran dan kaget. Ia tidak pertjaja mata atau pendengarannja,
ia melompat bangun. Ia lantas menggeser sekosol, untuk mendekati gurunja itu.
Ketika ia meraba, ia kena pegang anggauta tubuh jang dingin seperti es, tubuh
guru itu keras dan kaku, bagaikan batu. Ia kaget hingga ia mendjatuhkan diri
pula, ia berdiam sekian lama tanpa bisa menangis. Baru kemudian terdengar
isaknja. Pria dengan pakaian putih itu membiarkan orang menangis hingga sekian
lama. "Soehoe menutup mata tanpa sakit lagi ", katanja perlahan. "Aku tjuma
menantikan tibamu, lantas kita dapat memenuhkan keinginannja, jalah kita dapat
mengantar pulang tubuh-raganja. Soe-moay, tidak usah kau terlalu berduka ". Hian


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Song berlompat bangun, matanja menatap wadjah orang. "Hian Song, kau telah tidak
mengenali aku ...", kata pria itu. "Ketika kau berumur sepuluh tahun, aku telah
melihatmu. Semendjak itu, hingga sekarang sudah lewat enam belas tahun, tidak
heran kau tidak ingat aku lagi. Djuga aku, djikalau tadi aku tidak mengudji dulu
ilmu pedangmu, aku tidak berani mengakui kau ". Hian Song menepas air matanja,
ia mengawasi pula. "Ah, kau djadinja Pwee Toako !", katanja. "Benar, akulah Pwee
Siok Touw ", menjahut pria itu. "Sampai soehoe hendak menghembuskan napasnja
jang penghabisan, aku tetap berada didampingnja ". Siok Touw ini keponakan
gurunja Hian Song, karena ia memperoleh ilmu silatnja dari bibinja itu, ia pun
memanggil guru pada sang bibi. Selagi Hian Song masih beladjar pada gurunja,
Siok Touw sudah keluar dari perguruan, untuk pergi merantau, maka djuga kedua
saudara seperguruan ini tjuma pernah bertemu satu kali. "Kenapa soehoe berada
disini ?", kemudian Hian Song tanja. Ia heran. "Soehoe meninggalkan sekumpulan
sjair ", kata Siok Touw, "ia memesan untuk kau membawa pulang buat dihaturkan
kepada Thian-houw. Soehoe bilang Thian-houw paling mengenal hatinja. Buku sjair
itu kau boleh batja lebih dulu, habis membatja, lantas kau akan mendapat tahu
kenapa soehoe datang kemari ". Siok Tow lantas menjerahkan buku sjair jang
dimaksudkan itu. Hian Song menjambuti, lantas ia membalik lembaran pertama.
Ia membatja sjair jang berarti : "Ingin memesan kata2 tetapi sukar. Mengikuti
rembulan terang tiba di Thian-san. Selama tiga puluh tahun segala apa berubah
Koet Goan jang kesasar belum lagi kembali ". Hati Hian Song tergerak. Ia
mengetahui djuga sedikit hal ichwal gurunja, dan sjair ini memberikan
pendjelasan kepadanja. Njata selama beberapa puluh tahun sang guru senantiasa
ingat "itu orang", jalah Oet-tie Tjiong, gurunja Lie It. Ia mendjadi terharu, ia
berduka, tanpa merasa airmatanja menetes djatuh.
---oo0oo--GURU Hian Song itu, sebelum dia mendjadi pendeta, jalah Pwee Keng Hiang, dan
ajahnja, Pwee Boen Keng, didjaman Kaisar Tong Thay Tjong, mendjabat Pok-sia,
mendjadi menteri jang berkenamaan. Ketika itu ada suatu kebiasaan, putera atau
puterinja seorang berpangkat dikirim ke biara, untuk mendjadi murid pendeta
tanpa mendjadi paderi, jalah tanda mentjukur gundul rambutnja, untuk beberapa
tahun lamanja, katanja guna memohon perlindungan Sang Buddha agar si putera atau
puteri pandjang umur. Tempo Keng Hiang baru dilahirkan, ibunja telah minta
peruntungannja diramalkan, katanja ia bakal menghadapi banjak kesukaran, maka
itu sedari umur delapan tahun ia sudah dikirim ke Kam In Sie, sebuah kuil jang
istimewa menerima murid2 keluarga orang berpangkat. Kepala dari Kam In Sie
bernama Biauw Giok, djanda dari seorang Gie-tjian Sie-wie, pengawal Kaisar Tong
Thay Tjong. Sie-wie ini gagah, liehay ilmu pedangnja, tetapi ia terbinasa
dimedan perang Korea selama tahun Tjeng-koan ke-18, karena ia tidak mempunjai
anak baik laki2 maupun perempuan, isterinja lantas mensutjikan diri di biara
itu. Biauw Giok pun memahamkan ilmu pedang, tidak ada orang jang mengetahui
kepandaiannja itu, baru setelah berusia landjut dan karena tjotjok sama
tabiatnja Keng Hiang, ia mengadjari ilmu pedangnja itu pada muridnja ini. Ini
djuga ia lakukan diluar tahunja orang lain. Tatkala Biauw Giok meninggal dunia
dan Kaisar Lie Sie Bin wafat, Boe Tjek Thian, jang diusir dari keraton, memasuki
Kam In Sie mendjadi bhiksuni. Disini ia berkenalan sama Keng Hiang, jang
melihatnja dia seorang wanita luar biasa, mereka mendapat ketjotjokan satu
dengan lain, keduanja lantas mendjadi sahabat erat, hingga pernah terdjadi,
tempo ada datang orang djahat, jang hendak membinasakan Boe Tjek Thian, Keng
Hiang jang menolongi mengusir tjalon pembunuh itu. Belakangan, nasib Boe Tjek
Thian berubah mendjadi baik. Oleh Kaisar Kho Tjong (jalah Lie Tie puteranja Lie
Sin Bin / Thay Tjong), dia disambut masuk kedalam keraton, dari selir 'Tjiauwgie' (sebawahan dari Koei-hoei), dia mandjat mendjadi Hong-houw, permaisuri.
Bende Mataram 38 Pendekar Rajawali Sakti 88 Topeng Setan Bumi Cinta 4

Cari Blog Ini