Ceritasilat Novel Online

Pendekar Yang Berbudi 3

Pendekar Yang Berbudi Karya Okt Bagian 3


bagaikan dirangkul! Pendekar Yang Berbudi - Halaman
84 yoza collection Tetapi itu belum semua. Si nona terkejut. Ia malu dan likat. Justru karena terkejut,
tanpa merasa kakinya keliru melangkah. Maka terpelesetlah ia dan jatuh! Dengan begitu,
roboh juga Pek Kong yang kena tertarik.
Kesudahannya kedua duanya jatuh dengan tubuh si pemuda berada diatas tubuh
si pemudi. Cepat-cepat Pek Hee menolak tubuh pemuda itu, ia terus melompat bangun. Sukur
ia berada ditempat gelap, hingga tidak tampak wajahnya.
"Dasar kau!" ia lantas menyesali. "Telah kukatakan akulah yang masuk, kau bandel.
Coba kau menanti dimulut goa, tak usahlah aku jatuh! Malah aku kena kau."
Mendadak Nona Honghu menutup mulutnya, ia mau mengatakan bahwa ia kena
kau tindih tetapi ia malu.
Pek Kongpun terkejut berbareng jengah, sampai hatinya berdebaran, karena ia
kuatir si nona menyangka ia ceriwis dan mendampratnya. Begitu ia mendengar suara
si nona, ia lantas menjura hingga membungkuk rendah sekali seraya berkata; "Maaf
kak! Adik Kong mu ini sungguh tak berguna, dia membuat kakak letih.. . . . . "
'"Cis!" si nona berkata keras. Tapi ia tiba-tiba tertawa. Sebab kejadian itu tidak
disengaja. Malah lantas ia kata; "Mari tanganmu, biar aku tuntun! jalanan begini gelap.. . . . . "
Mau atau tidak, Pek Kong mengangsurkan tangannya, untuk dipegangi si nona. Maka
itu, ia lantas berjalan disebelah belakang. Si nona menuntunnya perlahan, tetapi
walaupun demikian, ia bisa jalan jauh terlebih cepat dari pada tadi sewaktu membuntuti
Pek Kong. Berjalan kira-kira setengah jam, habis sudah terowongan dilalui. Sekarang
mereka berada dimulut goa lainnya. Disini cuaca terang benderang, cahaya matahari
tampak indah. Dikiri kanan terdengar puncak-puncak kecil bersegi tiga, dan diantara puncak
sebelah kanan, ditengahnya ada sebuah kali kecil yang mengalir kearah kiri! Didepan
kali ada sebuah rimba, pohon kayunya tinggi-tinggi dan besar. Hawa udara disitu hangat
mirip hawa udara dimusim pertama.
Kedua muda-mudi jalan hingga ditepian kali. Disana mereka mendapatkan pohon
anggur, yang sedang berbuah dan ada buahnya yang sudah matang. Pek Hee demikian
gembira hingga ia menjejak tanah, meloncat tinggi, buat menjambret dan memetik dua
renteng buah itu, lalu yang serenteng ia serahkan pada kawannya. Maka sebentar saja,
mulut mereka sudah mengunyah buah yang lezat itu.
Pendekar Yang Berbudi - Halaman
85 yoza collection "Sungguh lezat!" si pemuda memuji. Tapi hanya sejenak, lalu terlihat parasnya
menjadi pucat, nampak ia terkejut, karena tiba-tiba ia ingat Ho Tong. Mereka memasuki
gua dan terowongan justru guna mencari kawan itu.
"Kau kenapa?" tanya Pek Hee, heran.
"Ho Tong!" sahut si pemuda.
"Ho Tong?" si nona mengulang lalu tertawa. "Kau jangan kuatir! Ho Tong toh
menyusul si kera. Mereka akan datang ketempat ini dan makan anggur.. ."
Pek Kong menyeringai! Kekuatirannya baru kekuatiran belaka, belum ada buktinya.
Tapi ia masih menanya: "Habis, kemanakah perginya dia?"
Pek Hee segera menoleh, dan memandang ke sekitarnya.
"Semua penjuru ini terhadang puncak, kecuali didepan itu," sahutnya. Disitu mereka
melihat sebidang hutan yang terbuka. "Dirimba itu tentu dapat orang berjalan lewat.
Mungkin habis makan anggur, dia pergi kesana. Buah anggur disini besar-besar dan
rasanya lezat dan baunya harum, mari kita petik lebih banyak untuk bekal sebagai
gantinya rangsum kering!"
Segera nona Honghu lompat naik kepohon untuk memetik belasan renteng buah
itu, lalu dibagikan separoh kepada Pek Kong supaya mereka membawanya bersama.
Setelah itu mereka berlari-lari melintasi rimba.
Tengah berlari itu, mendadak Pek Hee mendengar sesuatu, hingga ia memasang
telinga, kemudian, ia berkata pada kawannya: "Disana itu ada suara kera! Pasti Ho Tong
tengah bermain-main dengan kera itu. Hendak kulihat lebih dulu, kau boleh menyusul
belakangan." Dan tanpa menanti jawaban lagi, ia lari kabur.
Pek Kong memasang telinga. Ia tidak mendengar apa-apa. Toh si nona mengatakan
ada suara kera. Tapi ia percaya nona itu, maka larilah ia menyusul.
Kali ini si anak muda lari luar biasa keras diluar kemampuannya. Belum lama ia
sudah kehabisan tenaga, napasnya kempas-kempis. Terpaksa ia berhenti sebentar guna
menelan dahulu sebutir pil Gie Han Pauw Sin Wan habis itu ia lari pula. Dan selanjutnya
ia berlari dan berhenti bergantian, supaya bisa menyambung napas.. .
Sudah satu jam, rimba itu masih belum dapat ditembus, selama itu, si anak muda
telah menelan obatnya lebih dari pada sepuluh butir. Ia kehausan dan kehabisan tenaga
walau semangatnya masih berkobar. Anggur tadi dapat menolong banyak padanya.
Maka akhirnya ia berhenti dan menjatuhkan diri duduk di tanah, guna beristirahat
secukupnya. Karena ini pikirannya bimbang juga karena ia selalu memikirkan Ho Tong
dan bertanya-tanya didalam hati, bagaimana dengan Pek Hee.
Pendekar Yang Berbudi - Halaman
86 yoza collection Pada saat anak muda ini mulai segar kembali, sekonyong-konyong hidungnya
mencium bau harum. Lantas ia menoleh sekelilingnya, untuk mengetahui bau itu
datangnya dari arah mana. Ia tidak melihat apapun kecuali pada sebuah pohon beroyot
seperti rotan, ada sebiji buah yang warnanya hijau sebesar kira-kira telur angsa. Buah
itu berada disisinya, mudah saja ia memetiknya. Ia menciumnya. Tidak salah, itulah
buah yang barusan menyiarkan bau harum. Buah itupun menor sekali hingga siapa
yang melihat lantas merasa suka dan ingin memakannya.
Begitu kulit buah pecah, melelehlah air atau sarinya masuk lewat kerongkongan,
rasanya lezat, bunga harum luar biasa.
Yang aneh ialah seketika itu juga lenyaplah rasa dahaganya!
Tanpa ayal lagi, Pek Kong telan semua buah itu berikut kulitnya. Maka dilain detik,
ia merasakan keluar kebiasaan lainnya. Yaitu rasa letihnya lenyap seluruhnya, bahkan
ia merasa segar melebihi biasanya!
"Buah apakah ini?" pikirnya, heran. "Kenapa buah ini berkhasiat begini rupa" Baiklah
aku mencari pula.. . . . . "
Sekarang Pek Kong melihat jelas kepada pohon beroyot itu, yang batangnya
sebesar cangkir teh, yang berakar panjang satu tombak lebih, dan daunnya tumbuh
sejarak satu kaki kira-kira, sedangkan daun itu mirip tangan yang terpentang dan
warnanya merah mengkilat sangat menyolok mata.
Tapi aneh, pohon itu lantas layu dengan perlahan-lahan, bahkan daun-daunnya
rontok seketika, hingga dilain saat tampaknya bagaikan pohon mati!
"Heran!" pikir si anak muda. "Pohon begini tinggi, kenapa buahnya cuma sebiji" Dan
kenapa didalam tamannya Paman Houw tidak ada pohon semacam ini " Sayang pohon
ini mati, kalau tidak, sebentar diwaktu mau pulang, pasti aku akan mencabut untuk
dibawa pulang, buat ditanam didalam taman. Pasti paman girang melihat pohon aneh
ini . . . . . ." Cuma sebegitu ia berpikir, lantas ia melanjutkan perjalanannya. Kali ini, dengan
tenaga yang sudah pulih, Pek Kong dapat lari dengan pesat, melebihi yang sudah-sudah.
Bahkan lewat sekian lama, ia menjadi bertambah heran. Ia tidak merasa letih lagi, tak
letih sebagai semula tadi. Ia menjadi girang, maka ia lari terus seperti terbang.
Akhirnya, sesudah lewat beberapa lie, habis sudah rimba itu dijelajah. Di luar rimba
itu terlihat melintang atau menghalangnya sebuah jalan pegunungan.
Pendekar Yang Berbudi - Halaman
87 yoza collection Mengawasi jalanan itu, Pek Kong berpikir keras: "Kemana aku menuju " Kekiri atau
ke kanan?" Tengah ia celingukan, tiba-tiba ia dikejutkan seruan orang: "Ketemu! Ketemu!
Ini dia!" Itulah suaranya Ho Tong. Segera ia berpaling.
Ho Tong sedang berlari-lari mendatangi, pundaknya memanggul sebuah guci batu,
tangannya menenteng rantang buah.
"Ah, Ho Tong, kemana saja kau pergi?" Pek Kong menegur.
"Bagaimana sengsaranya kami mencarimu?"
Si dungu meletakkan barang-barangnya. Dia tertawa haha hihi. "Bersama-sama dia
aku mencarimu." sahutnya. "Aku mengira kau direnyah kera!"
Pek Kong heran. Ia segera ingat Pek Hee.
"Apakah kau ketemu dengan kakak Pek Hee?" Tanyanya.
Justeru itu Pek Hee pun lari mendatangi.
"Kalian berdua nakal sekali," berkata nona dari jauh jauh.
"Ketemu yang satu, lenyap yang lain!" Ketika ia mengawasi Pek Kong, ia menjadi
heran. Wajahnya pemuda itu menunjukkan bahwa dia sangat bersemangat.
"Eh, eh.. ." katanya, "aku menyangka kau letih hingga tak berdaya, tapi kau justeru
lebih segar dari padaku."
Pek Kong bengong. Memang ia sendiripun tidak tahu sebabnya kenapa ia jadi kuat
lari malah larinya cepat. Hanya sejenak, ia lantas tuturkan pengalamannya tadi didalam
hutan, bahwa ia makan buah yang aneh itu.
Pek Hee berpikir, sampai mendadak dia berseru: "Tidak salah lagi! Kau tentu telah
makan buah rotan Cu-teng cui! Pernah aku mendengar keterangan guruku perihal buah
itu, yang roman warnanya diterangkan padaku keterangan itu sama dengan apa yang
kau lukiskan. Kau tahu, khasiatnya buah itu dapat melawan latihan semadhi tigapuluh
tahun! Kau tidak mengerti silat, tetapi tubuhmu pasti telah menjadi kokoh kuat dan ulet
luar biasa! Nah, cobalah!"
Pek Kong girang, dia tertawa.
"Semoga benarlah kata-katamu ini!" bilangnya. "Bagaimanakah aku harus
mencobanya?" "Kau cobalah pada pohon itu, yang kecil saja," si nona menganjurkan. "Coba kau tolak
atau gempur roboh." Pendekar Yang Berbudi - Halaman
88 yoza collection Pek Kong mendatangi sebuah pohon zahib sebesar mangkok, lantas saja ia meraba
dan mendorongnya. Dan pohon itu roboh seketika tapi ia sendiripun roboh, sebab ia
tidak dapat memasang kuda-kuda dan tubuhnya ngusruk mengikuti robohnya pohon.
Selagi ia terguling itu hingga kepala dibawah dan kaki diatas, Ho Tong bersoraksorak saking girangnya.
"Hebat! Hebat!" serunya berulang-ulang.
"Aku sendiri tak sanggup merobohkan pohon itu!"
Pek Kong melompat bangun. Ia membereskan pakaiannya. Ia toh jengah sendirinya,
maka ia berdiri diam sambil menyeringai.. . . . .
Honghu Pek Hee senang, hingga ia tertawa manis sekali.
"Kau telah mencuri makan buah dewa!" Katanya bergurau, "maka itu tubuhmu
menjadi kutukannya.. .!"
Pek Kong girang tak kepalang.
"Sekarang aku tak perlu digendong Ho Tong lagi!" katanya. "Dimanakah kalian
bertemu tadi?" Honghu Pek Hee membuka matanya lebar-lebar, terus ia melirik Ho Tong, lalu ia
tertawa, "Orang mengatakan dia dungu, sebenarnya dia tak dungu sama sekali!"
sahutnya. "Selagi kita kelaparan dan dahaga tadi, dia justeru makan besar, dia dapat
menenggak arak yang sedap ! Tempo tadi aku mendengar suara kera, aku segera
menyusul dan dapat menemuinya ! Ketika itu dia justeru berada diantara buah anggur
yang banyak dan berserakan ditanah dan didepannya bergeletakkan beberapa guci
arak semacam yang dibawanya ini! Saudara dungu ini sudah mencuri menenggak
araknya si kera, dia lupa daratan dan tidur mendengkur disisi guci! Telah aku dupak
dia, sampai beberapa kali, baru dia terbangun. Lantas dia menyesali aku, katanya tidak
selayaknya dia dibangunkan!"
Nona itu melirik si anak muda tampan, matanya dibuka lebar. Ia menambahkan.
"Lantas aku mengajak dia mencarimu! Aku kembali ketempat dimana kutinggalkan kau.
Aku suruh kau menyusul aku, siapa tahu kau justeru repot mencuri buah dewa itu. Aku
sampai berpencaran dengannya untuk mencarimu."
Pek Kong bersenyum, Ho Tong tertawa. Maka si nona tertawa juga. Mereka
ketiganya nampak gembira sekali.
Pendekar Yang Berbudi - Halaman
89 yoza collection Pek Kong mencoba arak yang dibawa Ho Tong, terasa sedap sekali hingga ia
menjadi heran. "Pernah aku dengar cerita hal kera dapat merendam arak, tetapi tidak
tentang dia dapat membuat guci, kenapa guci ini licin mengkilat hingga mirip guci
buatan manusia ?" "Mungkinkah di sini ada orang yang berumah tangga?"
"Aku telah mencurigai itu, tetapi sia-sia belaka aku mencarinya. Aku tidak
mendapatkan rumah orang," berkata si nona. Ho Tong sudah berdiam dan tidur sekian
lama, tidak ada seorangpun yang ganggu. Suatu bukti bahwa disini tidak ada orang atau
kalau toh ada, pasti orang itu sudah pindah kelain tempat.. Lihat, waktu sudah lewat
siang, mari kita lekas pergi ke Ngo Bwee Nia!"
Pek Kong setuju dan mengangguk, demikian pun Ho Tong. Maka mereka lantas
berangkat. Pek Kong berjalan berendeng dengan Ho Tong, mereka seperti berlomba lari.
Sesudah berlari-lari sekian lama, ketiga muda-mudi ini sampai disebuah gunung
lain, Disinipun tidak ada jalanan manusia, maka mereka sering mesti berjalan dan
melapai saking sukarnya tempat yang dilalui, hingga lambatlah mereka maju.
Ho Tong memang lucu. Tak mau ia meninggalkan guci araknya, maka ia telah
membawanya. Karenanya selagi berjalan itu, beberapa kali ia memerlukan menengguk
dahulu susu macan itu! Tengah berjalan, tiba-tiba seekor menjangan terlihat lari diatas. Binatang itu
berlompat turun dari atas gunung.
"Bagus!" berseru Ho Tong. "Teman arak datang !" Dan ia meletakkan gucinya. Lalu
terus lari mengejar. Honghu Pek Hee sebaliknya terperanjat dan lantas menyangka sesuatu. Mesti ada
sebabnya kenapa menjangan itu kabur sedemikian rupa, seperti lagi ketakutan.
"Jangan kejar!" teriaknya. Lantas ia berdiam untuk memasang telinga. Hanya
sebentar lantas ia kata. "Diatas gunung itu ada orang sedang bertarung, mari kita lihat!
Ingat, jangan kalian berpencaran. Hendak kulihat lebih dahulu!" Lalu ia melompat lari.
Dalam sekejap mata, nona itu sudah kabur menghilang diantara hutan lebat.
Pek Kong berdua Ho Tong lari menyusul. Tidak lama merekapun mendengar suara
beradunya senjata tajam. "Mari lekas!" berseru si anak muda yang lantas mengkhawatirkan nona Honghu. Ia
lari mendahului kawannya, sembari berlari, ia memandang keatas gunung. Sekarang ia
dapat melihat bergerak-gerak tak henti-hentinya beberapa tubuh orang.
Pendekar Yang Berbudi - Halaman
90 yoza collection Hampir tiba diatas gunung, mendadak Pek Kong ada yang hadang. Orang itu
mendadak lompat dari sampingnya, terus ia dipegang dan dibawa lari ke sisi karang.
Syukur ia lantas mengenali nona Pek Hee. "Siapa mereka yang bertempur itu ?"
tanyanya. "Sst jangan bicara!" mencegah si nona. "Kita bicara sebentar dialingan batu karang
itu!" Berkata begitu, ia mendahului berlari pula.
Pek Kong heran tetapi ia mengikuti, Ho Tong pun mencampurkan diri dengan
mereka. Baharu sesudah berhenti berlari, Nona Honghu berbicara. "Aku hendak pergi
melihat." Dan ia pergi, tak lama sudah kembali lagi. "Yang bertempur itu orang-orang
kaum Sungai Telaga!" bilangnya. "Kita tak usah takut tetapi lebih baik kita jangan
menyebabkan timbulnya gara-gara. Kalian turut aku. Aku hendak melihat mereka, untuk
menyelidiki mengapa mereka bentrok. Kita ambil jalan dari samping kiri belakang batu
karang itu." Pek Kong dan Ho Tong menurut. Setibanya diatas, mereka menyembunyikan diri di
balik batu itu supaya tak ada yang lihat, sebaliknya mereka bisa melihat tegas kepada
orang-orang yang sedang bertempur itu, yang terpisahnya belasan tombak jauhnya
dari mereka. Disana tampak dua orang dikepung empat orang lainnya. Yang empat itu bertubuh
besar dan dandanannya singset. Seorang imam tua usia enam puluh tahun lebih berdiri
menonton sebelah tangannya bermain-main dengan kumis janggutnya, tangannya
yang lain diturunkan. Sikapnya tenang sekali, seperti juga dia tidak memperhatikan
sama sekali orang-orang yang tengah mengadu jiwa itu.
Dari dua orang yang dikerubuti itu, yang satu ialah seorang imam setengah tua,
dan yang seorang lagi seorang pembantu imam tersebut, usia dua atau tiga belas
tahun. Dia ini masih sangat muda tetapi ilmu silatnya tak dapat dipandang enteng. Dia
pandai lompat tinggi dan rendah, dan pedangnya bergerak-gerak dengan baik
mengimbangi kelincahannya. Berapa kali si imam setengah tua menghadapi serangan
serangan yang berbahaya, syukur pembantunya itu saban-saban dapat menolongnya.
Pek Kong dan Ho Tong tidak mengerti silat, mereka cuma bisa menonton, lain
dengan Nona Pek Hee, yang termasuk seorang ahli. Nona ini melihat sebenarnya imam
setengah umur itu lihai, dia cuma belum mengeluarkan kepandaiannya, karena itu dia
tampak seperti keteter. Setelah berlangsung lagi sekian lama, baru kelihatan si imam seperti habis sabar.


Pendekar Yang Berbudi Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendadak dia menebas dengan hebat, hingga sinar pedangnya berkilau, dan tebasan
Pendekar Yang Berbudi - Halaman
91 yoza collection itu membuat senjatanya bentrok dengan senjata lawan, dua diantara siapa sudah lantas
melompat mundur. Diapun segera berseru: "Sutee, mundurlah! Kasih aku yang
menghajar kawanan tikus ini!"
Pembantu itu menurut tanpa mengatakan sesuatu, dia lompat mundur sudah
menikam dua kali selaku ancaman. Baru sesudah berada diluar kalangan, dia kata
nyaring: "Toa suheng! Orang-orang Thian Liong Pang ini hampir membuatku celaka,
jangan kasih mereka kabur! Jangan sekalipun cuma setengah potong!" Habis itu, ia lari
kepada si iman tua untuk berkata: "Susiok, kau lihat jurus barusan dari anak Peng,
apakah aku telah memperoleh kemajuan?"
Pembantu itu memanggil "toa suheng" kepada si imam setengah tua. Itu artinya
kakak seperguruan yang tertua. Dan ia membahasakan "susiok" pada si imam tua dan
itu artinya paman guru. Tentang ilmu silat yang ia gunakan itu yang ia tanyakan pada
paman gurunya, ia maksud ilmu "Memecah Sinar, Menangkap Bayangan."
"Tak jelek!" Menjawab si imam kepada keponakan muridnya itu, selagi ia menonton
terus, sementara itu tampak beberapa kali perubahan air mukanya.
Ketika itu terdengar suara beradunya senjata, lalu terlihat dua orang lawannya si
imam setengah tua tergempur mundur setombak lebih. Si imam sendiri tertawa dan
berkata: "Kalian memandang rendah kepada adik seperguruanku Gak Peng, yang kalian
anggap masih terlalu muda, sekarang aku mengajar kenal kalian dengan jurus
Memecah Sinar Menangkap Bayangan!"
Memang imam itu, Ceng Hong Toojin, kakak seperguruannya Gak Peng. Suaranya si
imam diiringi oleh satu siulan panjang yang datangnya dari tempat jauh, disusul dengan
keempat orang musuhnya yang sudah maju pula. Ia tahu artinya siulan itu, Yalah
pertanda datangnya bala bantuan untuk keempat lawannya itu. Ia tidak takut, ia justeru
tertawa hambar. Tanpa ayal ia menyambut serangan keempat musuh, malah kali ini ia
terus mendesak dengan keras, membikin musuh musuhnya repot dan mesti selalu
mundur. Disaat keempat orang Thian Liong Pang partai Naga Langit sudah kewalahan
membela diri maka muncul pula bantuan buat mereka, terdiri dari delapan orang, yang
munculkan diri dari sela-sela gunung. Mereka itu semua juga bertubuh besar.
Melihat tibanya musuh baru, Gak Peng lompat maju.
"Kalian mau main keroyok, ya?" tegurnya.
Kedelapan musuh baru itu maju dan terus membagi diri, empat maju langsung
kepada empat kawannya yang tengah terdesak itu, empat yang lain merintangi si bocah
umur belasan tahun. Pendekar Yang Berbudi - Halaman
92 yoza collection Menyaksikan lagak orang itu, si imam tua habis sabarnya. Maka ia menengadah
dan bersiul nyaring dan panjang. Itulah pertanda ia hendak maju. Tetapi mendadak saja
satu bayangan orang tampak lompat berkelebat, dengan cepat bayangan itu sampai di
depan si imam tua, sedangkan dari mulutnya terdengar seruan : "Semua berhenti!"
Hebat seruan itu. Serempak keduabelas orang Thian Liong Pang menghentikan
serangannya. Semua lantas mundur, berkelompok di pinggiran, semua berdiri dengan
tangannya diturunkan kebawah tanda mentaati perintah.
Honghu Pek Hee segera mengawasi orang yang baru tiba itu seorang dengan tubuh
tinggi besar dan berkepala "kepala macan tutul" bermata "Mata api" berhidung seperti
"hidung singa" dan bibirnya seperti "bibir beruang". Hanya membentak itu dia lantas
berkata kepada orang-orang Thian Liong Pang itu.
"Di sini ada Tan Yang Cinjin dari Ngo Bie Pay, bagaimana kalian dapat mengacau
seperti ini?" Kemudian ia berpaling kepada si imam tua seraya memberi hormat dan
berkata: "Tan Yang Tootiang, sudah lama kita tak bertemu! Maafkan aku Beng Ciong,
karena telah terlambat datang! Beberapa orang sebawahanku ini bangsa kutu tolol,
telah berbuat kurang ajar, aku mohon sukalah tootiang memaafkan mereka. Aku pun
mohon bertanya, buat urusan apa tootiang datang kemari" Maukah tootiang
menerangkan sesuatu kepadaku ?"
ITANYA begitu, si imam tua agaknya tidak puas. Sebab ia percaya orang itu
sudah ketahui maksud kedatangannya tetapi sengaja menanyakannya.
"He, kau seekor Hwee Ceng Pa cu, jangan kau berlagak pilon!" tegurnya.
"Lembah Kie Hong Kok ini bukannya wilayah yang telah dibeli oleh partai Thian Liong
Pangmu, kenapa kami dilarang datang kemari?"
Beng Ciong tertawa lebar. Ia tidak menjadi gusar disebut sebagai seekor Hwee Ceng
Pa cu, yang berarti macan tutul bermata api, sebab itu diambil dari arti kata julukannya
yaitu "Hwee Ceng Pa" si Macan tutul Bermata Api.
"Oleh karena tootiang menanyakan, tiada halangannya aku menjelaskan," sahutnya.
"Ingin aku bicara dengan sejujurnya. Didalam lembah Kie Hong Kok ini cuma ada sebuah
pohon Cuteng cui, buahnya itu sekarang ini masih belum masak, maka itu, tak peduli
tootiang berniat mencari buah itu atau bukan, tetapi yang pasti yalah siapa juga
semuanya jangan mengharap dia dapat memasuki lembah itu! Sekalipun satu tindak!"
Pendekar Yang Berbudi - Halaman
93 yoza collection Ketiga muda mudi yang sedang bersembunyi itu saling mengawasi waktu mereka
mendengar Beng Ciong menyebut nama buah Cu teng-cui itu. Honghu Pek Hee dan Pek
Kong saling bersenyum tetapi mereka pada menutupi mulut mereka, guna mencegah
agar tidak terdengar suara tawanya. Adalah Ho Tong yang kemudian lantas berkata
nyaring: "Buah cu-tengcui itu telah dimakan orang, buat apa diricuhkan lagi?"
Tan Yang Cinjin terkejut mendengar suara itu, sedangkan mulanya ia sudah gusar
terhadap Hwee Cong Pa sebab si Macan tutul Bermata Api sudah bicara secara keras
dan jumawa terhadapnya. Dua belas orang Thian Liong Pang kaget juga, lebih-lebih
Beng Ciong sendiri, yang bertanggung jawab atas keamanannya buah dewa itu.
Dia segera berteriak menegur. "Orang gagah dari mana itu yang bersembunyi dibalik
batu karang" Kenapa kau tak mau memperlihatkan diri?"
Henghu Pek Hee menyesal tetapi ia tidak bisa berbuat lain, maka ia lantas
memberikan kisikan pada Pek Kong dan Ho Tong, terus ia muncul dari tempatnya
sembunyi. Ia langsung menghadapi Beng ciong dan berkata dengan ketus. Buah cuteng cui sudah menjadi kotoran didalam perut, apakah kalian masih hendak makan itu?"
Beng ciong semula terkejut, berbareng merekapun gusar. Mereka beranggapan
kata-kata itu kasar sekali. Tapi mereka menahan diri, lebih-lebih Beng ciong sendiri. Si
Macan tutul Bermata Api heran. Tadi terang-terang ia mendengar suara pria, kenapa
yang muncul ini wanita. Karena itu ia curiga. Lalu tak sudi ia melayani si nona, hanya
sambil mengawasi kebelakang batu karang, ia menegur dengan tantangannya. "Orang
gagah yang menyembunyikan diri, keluarlah, mari kita membuat pertemuan! Buat apa
kau menyembunyikan kepala tetapi memperlihatkan ekormu?"
Ho Tong bertabiat keras, mendengar suara itu lupa pada pesan Nona Pek Hee.
Mendadak saja ia muncul dari balik batu, terus ia lari menghampiri mereka, sedangkan
dari mulutnya keluar suara nyaring. "Kau mau apa" Kau lihat inilah Ho Tong! Kau lihat,
aku laki-laki atau bukan?"
Semua orang terkejut juga! Yang muncul ini seorang muda dengan tubuh kekar,
kepala besar dan muka bengis. Tapi Hwee Ceng Pa, seorang Kang Ouw kawakan, dapat
menerka bahwa orang itu sebenarnya dungu. Maka ia dapat menyabarkan diri, dan
bersikap sabar. "Apakah kau mencuri dan makan buah cu-teng-cui!" tanyanya lembut.
"Hihi-hihi" Ho Tong tertawa. Barang yang aku makan sudah banyak sekali! Buat apa aku
ingin cari-cari buah cu-teng-cui kamu itu?" Beng Ciong tahu, memang sukar bicara
dengan orang dungu karenanya ia lantas menoleh kepada Honghu Pek Hee.
Pendekar Yang Berbudi - Halaman
94 yoza collection "Nona, kau tak ada miripnya dengan seorang pencuri." katanya sabar, "maka itu aku
hendak bertanya, siapa yang sebenarnya telah makan buah itu" Asal nona memberikan
keterangan dengan sebenarnya, tidak akan aku mempersulitmu.. ."
Tapi si nona mendadak menjadi gusar. Orang itu telah menggunakan kata-kata
mencuri. "Fui!" bentaknya. "Sungguh tak tahu malu! Kau tanya siapa yang mencuri"
Memangnya pohon buah itu pohon buah tanamanmu sendiri?" Darahnya Beng Ciong
mendadak bergolak pula. Di luar dugaannya, si nona justru lebih "kasar" dari pada si
dungu! "Hm!" ia perdengarkan suara dihidung. Ia pun maju selangkah. Agaknya ia hendak
lantas menyerang. Tepat waktu itu, dari balik batu dimana Pek Kong tengah menyembunyikan diri
terdengar teriakan tertahan. Pek Hee mendengar itu, ia lantas menoleh, maka ia lantas
melihat satu bayangan merah berkelebat pergi lari turun gunung.
"Celaka!" ia berseru, kagetnya bukan main. Maka tanpa mempedulikan lagi si Macan
tutul Bermata Api, ia lompat lari kebalik batu itu dimana ia mendapatkan Pek Kong tiada
bayangannya lagi! Ia menjadi bertambah kaget. Pek Kong lenyap! Karena ini hendak ia
lari turun gunung, guna menyusul bayangan merah tadi. Tapi mendadak Beng Ciong
sudah berada di depan si nona! Dia ini telah lari menyusul dia lantas menghadang.
"Nona," katanya dingin, "sebelum kau bicara jelas, mana dapat kau pergi dengan
begini saja"' Nona Pek Hee mencoba menyabarkan diri. Ia tahu, kalau ia layani orang
Thian Liong Pang ini, ia bakal membuang-buang waktu. Berarti bayangan merah.. .
"Ah, kau tidak tahu aturan!" tegurnya, "pencari buah itu sudah kabur pergi, mungkin
dia sudah pisahkan diri delapan ribu sampai selaksa lie, bukannya kau susul dan kejar
dia, kau justeru menghadang didepanku! Manakah aturanmu?"
Hwee Ceng Pa melengak. "Apakah kau maksudkan bayangan merah tadi?" ia menegaskan kemudian.
"Memang dia!" Ben Ciong tetap berdiam. Melihat orang menjublek saja, Honghu Pek Hee menggerakkan kakinya, maka dalam
sekejap telah larilah ia turun gunung.
Hwee Ceng Pa sementara itu berpikir: "Bayangan merah..mungkinkah dia berani.. "
Pendekar Yang Berbudi - Halaman
95 yoza collection Disaat itu baharu ia sadar bahwa orang didepannya sudah menghilang, tetapi
justeru ia sedang bingung, mendadak pula munculah seseorang lainnya. Iapun segera
mendengar orang itu tertawa dan berkata. "Inilah yang dibilang orang di dalam rumah
sendiri saling berperang! Atau angin dan air berputar balik.. " Beng Ciong lantas
mengenali orang yang berkata kata itu ialah Tan Yang Cinjin. Ia menjadi tidak puas.
"Tootiang apakah artinya kata-kata kamu ini?" tanyanya.
Si imam tua tertawa dingin.
"Tuan, apakah tuan masih belum mengetahui siapakah si bayangan merah itu?" dia
balik bertanya. Tiba-tiba saja Hwee Ceng Pa berseru: "Celaka!" Insyaflah ia bahwa kalau peristiwa
diketahui lain orang. Thian Liong Pang bakal mendapat malu besar. Maka itu, walaupun
ia murka besar dan membenci imam didepannya ini, ia masih mencoba menguasai
amarahnya. Dengan membantah ia berkata: "Belum tentu bayangan merah itu adalah
orang partaiku sendiri! Orang partaiku sendiri tak akan berani mencuri buah cu cengcui buat dimakan sendiri! Kata-kata si perempuan itu mana bisa dipercaya
sepenuhnya?" Lenyapnya buah dewa itu juga membikin Tan Yang Tojin putus asa, sebab
ia menjadi hilang harapannya. Tetapi karena orang membantah padanya, hatinya
menjadi panas. Lalu dengan rada dingin sengaja ia berkata: "Tuan, apakah kau yang
dengan samar-samar menunjuki tempat di mana tumbuh dan berbuahnya pohon itu?"
Beng Ciong mendongkol, ia sangat tidak puas.
Sejak tadi ia bingung memikirkan kata-kata si nona serta kepergiannya nona itu. Ia
pun curiga mengapa orang tahu tempat tumbuhnya pohon buah dewa itu. "Sudahlah!"
ia bentak si imam tua. "Tootiang baik tootiang jangan memutar lidah lagi! Aku tahu apa
yang aku harus lakukan, aku sudah memikirnya! Sekarang silahkan tootiang lekas
meninggalkan tempat ini, supaya aku si orang she Beng, tidak sampai melakukan
sesuatu yang tak bersahabat!"
Tan Yang Cinjin mengerti bahwa orang itu telah menjadi sangat marah, tak sudi
melayani. "Baiklah jika kau mau mengalah!" katanya. Terus ia mengajak Ceng Hong Toongjin
dan Gak Peng meninggalkan tempat itu, guna menuju ke Kie Hong Kok, tetapi mereka
jalan baru beberapa tindak, Beng Ciong sudah menyusul dan setelah melewatinya
menanya dengan suara keras: "Kalian mau pergi ke mana?"
Si imam tua berlagak pilon.
Pendekar Yang Berbudi - Halaman
96 yoza collection "Beng Tongcu, bukankah kau telah meminta kami berlalu dari sini?" sengaja ia balik
bertanya. "Sekarang kembali kau menghadangku, apakah maksud tongcu?"
Matanya Beng Ciong mendelik.
"Apakah lembah Kie Hong Kok dapat menjadi tempat tujuan kalian?" Dia bertanya
bengis. Sekarang si imam pun menjadi gusar. Dialah orang pertama dari Ngo Bie Pay. Mana
bisa dia dibentak-bentak dan dihadang berulang-ulang" Mendadak ia tertawa gelakgelak dan selagi suara tawanya itu belum terhenti, tiba-tiba juga terdengar suatu suara
keras dibelakang mereka. Beng Ciong terkejut. Dia segera menoleh ke arah suara keras itu. Segera dia menjadi
sangat kaget. Diantara 12 orangnya, satu diantaranya telah roboh sebagai mayat
dengan polo pecah berhamburan! Justeru saat itu terdengar suara si pemuda yang
dianggapnya dungu. "Jikalau kalian berani menghadang pula, akan aku bikin kepala
kalian pecah satu demi satu!"
Bukan kepalang gusarnya Hwee Ceng Pa, dengan satu gerakan, tubuhnya sudah
mencelat kepada si dungu itu. Karena marah besar, hendak ia menghajar si anak muda
yang dianggapnya keterlaluan. Ketika ia berlompat kearah Ho Tong, justru Tan Yang
Jinjin serta dan kawannyapun berlompat pergi meninggalkannya untuk melanjutkan
perjalanan mereka ke Kie Hong Kok, lembah Puncak Bendera.
Beng Ciong terkejut, otaknya lantas bekerja. Insaflah ia bahwa kematian orangnya
adalah urusan kecil dan buah cu-teng-cuilah yang sangat penting, karenanya tak jadi
ia lari terus mengejar si anak muda.
Ia cuma memerintah orang-orangnya itu, "Tangkaplah bocah itu!" Ia sendiri lantas
lari turun, guna mengejar Tan Yang Jinjin bertiga itu!
Semua orangnya Beng Ciong itu gusar bukan main, apalagi setelah seorang
kawannya itu binasa ditangannya Ho Tong. Mereka mau menghadang si anak muda,
tetapi anak muda itu gusar, mendadak saja dia mendupak, maka seorang diantaranya
roboh, kepalanya kebetulan mengenai batu, maka kepala itu pecah dan polonya
berhamburan, darahnya keluar bergelimang. Karena mereka itu mendapat perintah
ketuanya, lantas mereka bergerak.
Bahkan mereka maju seraya menghunus golok dan pedang mereka!
Ho Tong tidak takut, tak mau ia menyingkirkan diri. Habis membuka suara besar
tadi, ia tetap berdiri diam. Sekarang, melihat orang berdatangan kearahnya. ia menanti
sambil kedua tangan bertolak pinggang, dan matanya dipentang lebar-lebar.
Pendekar Yang Berbudi - Halaman
97 yoza collection Biar tidak mengerti silat, pemuda ini dapat berkelahi dengan baik. Iapun sudah
memperoleh pengalaman. Kedunguan tak merintangi kecerdasan otaknya..
Demikianlah begitu rombongan musuh menyerbu, sekonyong-konyong Ho Tong
mendahului, tangan dan kakinya bekerja saling susul, merabuh musuh-musuh itu. Ada
golok yang ia bikin jatuh karena tangannya si penyerang terhajar keras dan senjatanya
terlepas sendirinya. Dan dua orang, yang kena terdupak anggauta tubuhnya yang lemah,
roboh mati seketika! Saking kaget, sisanya sembilan orang partai Naga Langit itu mundur serentak
beberapa tindak! Tapi satu diantaranya, saking mendongkolnya, berkata keras: "Kalau
binatang ini tidak dapat dibekuk, celakalah keempat besar dari Hwee Pa Tan!"
Keempat arhat besar ialah empat kimkong dan Hwee Pa Tan adalah ruang Macan
tutul Api, seksi Naga Langit dalam mana Hwee Ceng Pa Beng Ciong menjadi tongcu,
ketuanya. Setelah berseru, orang tadi terus maju, diikuti oleh tiga orang lainnya. Maka
teranglah mereka adalah keempat arhat besar itu. Sambil berseru-seru bengis, mereka
maju menerjang Ho Tong. Dalam hal ilmu silat, keempat kimkong dari Hwee Pa Tan jauh lebih lihay dari pada
Sun Siu, Empat si Jelek, dari Kim Eng Tong, seksi Elang Emas. Maka itu, dengan bertangan
kosong, berbahaya bagi Ho Tong untuk melayani mereka itu.
Tepat selagi bahaya mengancam anak muda itu, tiba-tiba terdengar bentakan
nyaring dan bengis bagaikan suara guntur. "Hai, kawanan manusia tak tahu malu! Masih
kalian tidak segera menggelinding pergi?"
Semua orang Thian Liong Pang itu segera berpaling, mereka terperanjat dan heran.
Mereka melihat satu tombak jaraknya dari mereka, seorang muda tengah berdiri
dengan keren menghadapi mereka, pemuda itu berdandan ringkas dan sebelah
tangannya memegang cambuk, matanya bersinar tajam.
"Sahabat!" kimkong yang menjadi kepala lantas menegur. Dia tidak kenal si pemuda
dan tidak takut. "Lebih baik jangan kau usil!" Pemuda itu tidak menjawab, hanya
cambuknya yang berputar menyambar kaki orang itu. "Pergilah!" teriaknya menyusuli
libatan cambuknya itu sambil terus menarik melempar.
Dan si kimkong yang galak itu terangkat kakinya, terlempar tubuhnya, terguling jauh
satu tombak. "Bagus!" Ho Tong berseru. "Kiranya Siangkoan Tayhiap yang datang pula!"


Pendekar Yang Berbudi Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar Yang Berbudi - Halaman
98 yoza collection Semua orang Tian Liong Pang ikut kaget, Baru sekarang mereka tahu bahwa
pemuda itulah Kim Giok Liong si Cambuk emas Naga Kumala. Serempak mereka kabur
tunggang langgang. Siangkoan Sun Siu, demikian pemuda itu.. . . . . tidak mengejar.
"Kenapa kau berkelahi sendirian disini?" tanyanya. "Kemana mereka itu berdua"
Kenapa mereka tak nampak?"
"Tak nampak" Aneh!" seru si dungu. "Pek Kong tadi bersembunyi dibalik batu itu dan
Nona Honghu pergi turun gunung.. ."
Berkata begitu, Ho Tong menunjuk, maka Siangkoan Sun Siu berpaling mengikuti
arah yang ditunjuk itu. Batu karang itu terpisah dari mereka sepuluh tombak lebih. Tidak
bersangsi lagi pemuda gagah ini lompat lari ke arah batu gunung itu. Tiba dibalik batu,
ia berdiri menjublek. Pek Kong tak nampak, sekalipun bayangannya!
Ho Tong menyusul dengan segera.
"Bagaimanakah duduknya persoalan?" Sin Siu tanya. "Coba jelaskan padaku!"
Ho Tong menjelaskan segala sesuatunya. Sun Siu terkejut mendengar munculnya
si bayangan merah. Ia lantas berpikir: "Bayangan merah itu pastilah dia adanya! Kalau
Pek Kong dilarikan dia, mungkin dia bakal tersiksa bathinnya dan lahirnya hingga akan
menderita sangat.. ." Maka ia lantas berkata pada Ho Tong: "Urusan ini sulit! Nanti aku
susul dahulu dia itu! Kau sendiri pergilah turun gunung dari jalan diujung timur utara
itu, kau jalan lempeng saja, nanti setelah empat hari kita akan bertemu lagi dikuil Hu Cu
Bie di Kimlong." Baru berhenti suara anak muda itu, maka tubuhnya sudah mencelat pergi, terus
berlari-lari, sedangkan bungkusan rangsum keringnya dilemparkan kepada Ho Tong.
Si dungu ini berdiri bengong. Ia heran mengapa pemuda she Siangkoan itu pergi
begitu terburu-buru. "Kemanakah perginya Pek Kong?" ia bertanya-tanya didalam hati.
"Dan bayangan merah itu bayangan siapakah" Atau makhluk apakah dia" Kenapa
dia harus disusul" Pula, kenapa Siangkoan Tayhiap begini kesusu" Kimlong selang
empat hari" Tempat apakah itu"
Dapatkah aku tiba disana diwaktu yang tepat kelak.. . . . . "
Mengingat itu semua, Ho Tong lantas menerka bahwa hal itu mesti ada
hubungannya dengan Pek Kong, maka tak berayal sedikit juga, larilah ia menuruni
gunung. Pendekar Yang Berbudi - Halaman
99 yoza collection Tatkala itu matahari merah sudah condong kearah barat, angin bertiup
mendatangkan hawa yang meresap ke tulang-tulang. Ho Tong selalu ingat Pek Kong, ia
tidak memperdulikan gangguan hawa udara itu.
Ia berlari terus, yang menyulitkan bukan cuma tanah yang tidak rata tapi pengkolan
atau tikungan yang terlalu banyak, hingga karenanya ia merasa matanya menjadi
kabur.. . Tiba-tiba anak muda itu terjatuh duduk sendirinya karena kebentur oleh sesuatu
benda keras. Ia duduk terhempas dengan pikiran kacau. Ia baru sadar waktu telinganya
mendengar ringkik kuda. Maka ia membelalakkan matanya, mengawasi arah dari mana
ringkikan itu terdengar. Dilihatnya seekor kuda didepannya sejauh satu tombak lebih
seekor kuda besar dengan tubuhnya hitam mengkilat. Lekas-lekas ia meraba kepalanya,
tangannya kena memegang sesuatu yang membuatnya merasa mual. Kiranya tadi
kepalanya telah kena tubruk duburnya kuda itu! Mendadak ia menjadi mendongkol,
maka ia melompat bangun, menghampiri sang kuda, berniat menghajarnya dengan
kepalanya yang keras! Aneh kuda itu, Ho Tong boleh beroman dan bersikap bengis, dia tak
menghiraukannya. Sebaliknya, dia berdiri mengawasi saja, sepasang kupingnya ditarik
ke belakang dan ekornya bergoyang-goyang. Nyata dia menunjukkan sikap seperti mau
bersahabat! Tak jadi si dungu menghajar binatang itu. Sebaliknya, ia lantas mengusap-usap
lehernya. Ia pun berpikir. "Aku tengah lari keras, aku membentur dia dengan kepalaku,
dia cuma mundur sedikit, aku sebaliknya merasakan kepalaku pusing, aku jatuh
tertunduk. Inilah bukti dari kuatnya kuda ini. Baiklah aku ambil dia buat dijadikan binatang
tungganganku. Sayang disini tidak ada pelayannya. Bagaimana dapat aku menaikinya?"
Sembari berpikir itu, si dungu mengawasi kuda itu. Makin lama ia makin
menyukainya. Kuda berbulu hitam mengkilat, hidungnya putih, dan bulu putih itu lurus
terus kepunggungnya, keekornya, juga keperutnya, lempang sampai dibawah lehernya,
nampaknya seperti tali putih. Jadi itulah belang istimewa, karena hitam dan putihnya
terang jelas, iapun merasa bebas memilikinya karena binatang itu berada didalam
hutan! "Mari kau turut aku!" katanya kemudian pada binatang itu. "Mari kau bawa aku!" Dan
ia melompat naik kepunggungnya, memegangi dan menepuk lehernya.
Binatang belang hitam putih itu lantas menggerakkan keempat kakinya dan lari
kabur. Pendekar Yang Berbudi - Halaman 100
yoza collection Dia jinak dan mengerti. Dia pun dapat lari kencang. Maka bukan main gembiranya
si dungu. Ketika menggerakkan kakinya kuda itu meringkik keras, suaranya nyaring
sekali. Lupalah Ho Tong kepada bahaya dapat tergelincir jatuh dari punggung binatang itu.
Dalam kegirangannya, ia membiarkan dirinya di bawa kabur!
Sementara itu, mari kita kembali dahulu kepada Pek Kong. Ia tetap bersembunyi di
saat munculnya Ho Tong dan Honghu Pek Hee dari tempat sembunyinya itu. Ia
mengintai. Mengertilah ia bahwa satu pertempuran tak akan dapat dihindarkan lagi. Ia
pun memasang telinga, untuk mendengarkan apa yang mereka itu percakapkan.
Tepat selagi perhatian anak muda ini diarahkan kedepan, diluar dugaannya
mendadak ia merasa ada tangan lunak yang memegang lengannya yang kanan. Ia
terperanjat, apalagi ketika ia sudah berpaling kebelakang melihatnya. Mulanya ia
menerka, mungkin itu tangannya Nona Henghu.. Kiranya tangannya satu makhluk yang
bermuka sangat bengis, yang pakaiannya terdiri dari baju dan gaun merah mulus.
Saking kaget, ia berteriak. Cuma satu ia dapat buka suara, lantas ia tak sadarkan diri.
Kemudian ia tersadar tanpa diketahuinya, berapa lama ia sudah pingsan.
Sekarang ia merasa heran. Setelah membuka matanya, yang pertama-tama
dilihatnya adalah sang waktu.. saatnya sudah sore, waktunya untuk memasang api. Ia
mendapatkan tubuhnya berada diatas pembaringan yang berkelambu indah.
Didepan pembaringan terdapat sebuah meja dan lainnya, yang terbuat dari kayu
wangi. Bau harum pun memenuhi kamar itu. Didinding tergantung sehelai gambar
lukisan yang dinamakan "Empat si Cantik Menikmati musim Semi" lukisannya bagus
dan hidup hingga keempat nona-nona didalam gambar itu mirip orang benar!
Disitu pula ada sebuah meja berias, diatasnya penuh terdapat pelbagai alat rias.
"Ah!" pikirnya bingung. Terang itu kamarnya seorang wanita. Kamar dari seorang
pria berada didalam kamarnya seorang wanita dan tidur diatas pembaringannya ini?"
Pek Kong lantas menggerakkan tubuhnya hendak bangkit turun. Disaat ia baru
menyiapkan selimut, tiba-tiba ia merasa ada tangan yang halus yang menekan
tubuhnya mencegah ia bangun. Kembali ia terkejut dan heran.. Kali ini telinganya lantas
menangkap suara halus dan merdu. "Kau sudah mendusin" Hayu, tidur lagi.. . . . . "
Pek Kong menoleh. Ia heran! Entah kapan datangnya, tahu-tahu seorang nona telah
berada disisinya. Nona itu cantik menarik melebihi Honghu Pek Hee. Ia heran, dan
hatinya goncang. Maka lekas-lekas ia mencoba menenangkan diri.
"Tempat apakah ini?" tanyanya. "Kenapa aku berada disini?"
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 101
yoza collection Nona itu menatap tajam. Matanya jeli dan sinarnya hidup sekali. Tapi ia menatap
sambil memperlihatkan roman heran.
"Aneh!" katanya. "Kau telah datang kemari, kenapa kau bertanya padaku" Mustahil
kau tidak tahu kenapa aku telah datang kesini?"
Si anak muda berpikir keras. Dia bingung, Setelah mengingat-ingat, ia berkata raguragu. "Rasanya seperti ada seorang wanita yang serba merah yang membawaku pergi.
Ketika itu aku lantas tak sadarkan diri, baru sekarang aku mendusin. Itulah sebabnya
kenapa aku menjadi tak tahu apa-apa.. . . . . "
Nona itu masih mengawasi muka orang. Nampak iapun sedang berpikir. "Kau
tentunya ingat dimana kau telah diculik?" kemudian tanyanya, tertawa.
Pek Kong menatap nona itu. Ia ingat "siluman" yang menculiknya sama potongan
tubuhnya dengan nona ini, sama juga pada pakaiannya yaitu serba merah. Cuma yang
sangat berbeda bagaikan langit dan bumi, ialah muka atau wajahnya! Kalau nona ini
cantik laksana See Sie, wanita cantik dijaman dahulu, maka si "siluman" sangat buruk
dan bengis. Karenanya tak mungkin nona ini dan siluman itu adalah satu orang. Tak
mungkin! Dengan otak masih berpikir, anak muda kita turun dari pembaringan. "Ketika aku
diculik, aku berada dibukit Ngo Bwee Nia," ia menerangkan. "Kalau tidak salah, tempat
itu ialah lembah Kie Hong Kok. Dan tempat ini, apakah namanya?" Berbalik ditanya itu,
si nona agak terperanjat. Tapi ia menjawab lekas: "Tempat kami ini namanya Bwee-cuciu, adanya dikota Kim-leng. Dan kau berada dirumahku ini sudah tiga hari . ."
Pek Kong heran benar-benar. Ia menatap terdiam.
"Eh, tunggu dulu," kata nona itu. "Coba bilang dahulu padaku, siapakah kau " Siapakah
namamu ?" "Aku Pek Kong," Pek Kong memperkenalkan diri.
Nona itu mengangguk. "Terima kasih!" katanya lembut. "Aku sendiri bernama Kat It Teng. Kau telah dibawa
kemari dengan digendong oleh bibiku, Bibi Hui. Kau dibawa malam-malam. Kata bibi
kau sebenarnya telah terkena bubuk beracun Toa Pek Bie Hun San dari Cian Bin Jin Yao
dan untuk menyembuhkan kau, obat pemunahnya harus didapatkan dari Cian Bin Jie
Yao sendiri. Karena itu, kau dibawa kemari dan dititipkan disini, setelah itu bibi lekas
berangkat, pergi mencari penculikanmu itu. Ketika bibi mau pergi, bibi memesan pada
menjaga dan merawat. Kata bibi, kau adalah bibi empunya."
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 102
yoza collection Si nona tidak melanjutkan kata-katanya itu, ia justeru tertawa dan lekas-lekas
menutupi mulutnya . . Pek Kong heran. Kembali ia menjadi bingung.
"Sungguh aneh.. " demikian pikirnya. "Bukankah jarak antara Kie Hong Kok dan
Kimleng dua ribu lie lebih" Bagaimana perjalanan sedemikian jauh dapat dilakukan
dalam tempo hanya satu hari" Bukankah dikatakan akupun telah terkena racun Toat
Pek Bie Hun San dan karenanya memerlukan obatnya Cian Bin Jin Yauw sendiri" Tetapi
kenapa sekarang aku sadar sendirinya" Dan nona ini menyebut-nyebut Bibi Hui..
siapakah gerangan bibinya itu?"
Pusing si anak muda memikirkan semua itu. Tanpa merasa, ia berkata; "Kalau begitu
pasti aku bukan diculik oleh bibimu itu . .
Kat In Tong juga bingung. Lebih-lebih kalau ia ingat tentang Bibi Huinya itu. Ia tahu
pasti bibinya itu berbudi luhur, keras dalam aturan sopan santun, pandangannya jauh
dalam segala hal. Ia dapat percaya, walaupun pemuda ini sangat tampan, tak nanti
bibinya tergila-gila terhadapnya cuma sekali melihat saja.. .
"Bibipun mengatakan anak muda ini adalah adik seperguruannya," demikian ia
memikir lebih jauh. "Tetapi mengapa pemuda ini tidak kenal bibi" Kalau memang benar
bibi dengan dia tidak kenal satu lain, kenapa bibi sampai begitu memerlukan pergi
mencari Cian Bin Jin Yauw buat meminta, atau mendapatkan obat pemunah itu"
Tidakkah itu aneh sekali?"
Sambil berpikir, In Tong mengawasi si anak muda, Pek Kong pun berdiam saja. Anak
muda ini juga bingung seperti dia.
"Mungkinkah bibi Hui menaruh hati pada anak muda ini?" demikian ia tanya pada
dirinya sendiri. Ingat begitu, mendadak ia merasa hatinya panas. Entah kenapa, ia
merasa cemburu atau jelus, ia kuatir Pek Kong nanti dapat menerka apa yang ia
pikirkan, lalu ia bersandiwara.
"Pui!" bentaknya. "Jangan kau menerka yang tidak-tidak! Tak mungkin bibiku
menculik seorang pemuda!"
Pek Kong terkejut. Tidak keruan-keruan orang menegurnya. Iapun menjadi merasa
tidak senang. Hampir ia mengumbar napsu amarahnya. Baiknya didetik terakhir ia ingat
bahwa ia tidak kenal si nona, bahkan ia telah diberi tempat menumpang, dijaga dan
dirawat dua hari satu malam. Bukankah itu berarti budi yang besar" Maka ia tekan rasa
hatinya. Akhirnya bisa juga ia tersenyum. Ia lantas berkata; "Harap jangan salah paham,
nona. Apa yang aku katakan bukan karena aku menyangka jelek tentang bibimu itu.
Apakah nona bicara main-main denganku?"
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 103
yoza collection Sabar si anak muda bicara tetapi nada suaranya keras, In Tong bukannya seorang
tolol, ia mengerti itu. Maka ia berkata di dalam hati: "Orang ini tidak berbudi! Tak perduli
siang atau malam aku menjaga dan merawatnya, ia toh bersikap begini . . "
Sebagai seorang yang perasaannya halus, In Tong menjadi berduka sendirinya,
hampir ia menangis. Air matanya sudah mengembang.. . . . . tapi, dari berduka, ia menjadi
mendongkol. Ditanya lain, ia mengatakan lain.
"Agaknya kau seorang tidak berbudi!" bilangnya. "Lain kali aku.. ."
Pek Kong merasa sulit dan aneh. Hebat nona ini. Ia sebenarnya tidak puas tetapi
airmata si nona membuat hatinya lemah. Ia merasa kasihan. Nona itupun manis sekali.
Ia juga dapat menerka hati nona itu, Dia pasti merasa suka terhadapnya. Kalau tidak,
si nona tak akan mengatakan ia tidak berbudi. Nona itu polos, dia mengatakan apa yang
dia pikir. Bukankah dia baik hati" Dia telah menjaganya. Jarang ada seorang nona yang
suka berdiam bersama seorang pemuda didalam sebuah kamar. Banyak nona yang
akan merasa malu dan jengah.
Melihat nona ini, Pek Kong menjadi ingat Couw kun. Mereka berdua belum membuat
janji tetapi hati mereka sudah terikat satu dengan lain. Disana ada juga Peek Bwee Lie,
si Nona Bunga Bwee putih. Berdua mereka baru berkenalan, tetapi nona itu sudah
berkorban untuknya, menolong dia dari tempat berbahaya membawa ketempat aman,
dan sekarang nona itu sedang pergi mencari obat buat menolong lebih jauh. Nona itu
sudah tak malu-malu memondong atau menggendongnya. Bagaimana nanti sikapnya
terhadap nona penolong itu " Dan sekarang ada lagi Nona Kat ini.
Pek Kong berpikir terus. Lalu ia ingat Hong-hu Pek Hee dan Ho Tong. Dimana mereka
itu berdua" Mana mereka ketahui bahwa ia sekarang lagi "menggumam" dirumah
keluarga Kat keluarga yang tadinya tak dikenal sama sekali. Pasti Nona Pek Hee dan
Ho Tong bingung dan berkuatlr sekali terhadapnya. Dan bagaimana dengan si Paman
Siauw yang sakit itu" Dapatkah ia berdiam lama-lama di kota Kimleng ini"
Sesudah berpikir sekian banyak hingga kepalanya pusing, mendadak Pek Kong
bangkit dan menjura kepada nona rumah.
"Maaf nona, harap nona jangan berkecil hati atau bergusar," ia berkata. "Mungkin
kata-kataku tidak layak. Tentang kebaikan nona yang telah menjaga dan merawatku ini
harap kelak dikemudian hari dapat aku membalasnya. Sekarang ini aku ada mempunyai
urusan penting, perkenankanlah aku berpamitan!"
Kat In Tong terperanjat. Tidak disangka bahwa pemuda itu hendak pergi secara
mendadak. Dari terperanjat, ia menjadi bingung. Ia pun tadi bukannya bergusar, hanya
agak tidak puas. Dalam bingungnya, ia melompat ke pintu, untuk menghadang.
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 104
yoza collection "Kenapa kau mau pergi?" tanyanya. Tak sempat ia memilih kata-kata. "Aku toh tidak
mengusirmu?" "Kalau kau pergi, bagaimana aku harus menjawabnya kepada Bibi Hui"
Pek Kong tertawa didalam hati. Aneh nona ini. Maka ia berkata didalam hati:
"Sekarang, tahulah aku bagaimana caranya aku harus melayani kau! Asal kau bergusar,
lantas aku pergi!" Kemudian ia tertawa. "Aku dengan bibimu itu tidak ada sangkut paut
apa-apa, kita pun tidak perlu membicarakan sesuatu. Kalau bukannya disebabkan ada
urusan yang mendesak dapat aku tinggal disini satu atau dua hari lagi. Sekarang.. ."
"Hm!" Kata si nona. "Kau bicara enak saja! Kenapakah kau tidak dapat menanti"
Bukankah orang tengah menempuh bahaya" Bukankah bibiku lagi pergi jauh buat
mencari obat untukmu" Bukankah sekarang ini tak ketahuan bibiku itu masih hidup
atau mati" Kau mau memaksa pergi! Benarkah kau berhati begini kejam?"
Saking bingung, Nona Kat hampir tak memilih kata-kata lagi. Hampir dia
mengatakan si pemuda kejam sebagai serigala. Lalu ingat mungkin anak muda ini
gusar, maka ia lekas lekas menambahkan. "Kau tahu sudah beberapa hari kau belum
makan sama sekali! Kau perlu mengisi perut dahulu . . Walaupun kau hendak berangkat
sekalipun, kau tak usah kesusu, bukan" Bibi Hui bakal pulang, kalau tidak sebentar
malam, tentulah besok pagi. Tak dapatkah kau menangguhkan keberangkatanmu satu
hari lagi?" Biar bagaimana, Pek Kong menganggap kata-kata si nona benar. Tak dapat ia
meninggalkan si Bibi Hui itu dengan cara begini. Pasti bibi itu akan mengatakan ia tidak
berbudi! Dan bagaimana andaikata disebabkan mencari obat itu, Bibi Hui benar-benar
menghadapi bencana" "Sebenarnya Cian Bin Jin Yauw itu orang macam apa?" Ia kemudian tanya, sabar.
"Andai kata ditampik, dapatkah bibi melawan dia itu?"
Hatinya In Tong menjadi sedikit lega. Suaranya si anak muda sudah jadi lunak
kembali dan diapun memanggil Bibi Hui kepada bibinya itu. Ia berlega hati hingga ia
bisa tertawa. "Jangan kau menguatirkan bibiku itu," kata ia; "Kau tunggu, hendak aku menyajikan
dahulu makanan untukmu!"
Begitu ia berkata, begitu si nona memutar tubuh dan pergi. Karena dia berlalu


Pendekar Yang Berbudi Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambil berlompat, sebentar saja dia sudah lenyap dari dalam kamar.
Pek Kong melongo. Pendekar Yang Berbudi - Halaman 105
yoza collection "Sungguh aku tidak sangka dia yang nampaknya demikian lemah lembut kiranya
pandai silat.. ." pikirnya. "Melihat cara bergeraknya, dia rupanya tak kalah gagahnya
dibandingkan dengan Pek Bwee Lie . ." Karena mengetahui si nona pandai silat, Pek Kong
berpikir lebih jauh. Ia menerka-nerka Nona kat itu orang macam apa. Kenapa rumah ini
seperti tidak mempunyai penghuni lainnya" Karena memikir demikian, sendirinya ia
bertindak keluar dari kamar, terus sampai diluar.
Malam itu cahaya rembulan indah, walau pun si Puteri Malam sendiri seperti sudah
menyandarkan tubuh kearah barat. Tanah terang bagaikan perak. Kendati demikian, tak
dapat anak muda ini memperoleh kepastian, rumah itu berapa besar, berapa tingkat
tingginya. Ia cuma dapat menerka, ia sekarang tengah berada didalam atau dekat
dengan taman bunga. Mungkin luasnya tempat ada satu lie persegi.
Dibawah itu terdapat tempat-tempat berumput, pohon-pohon bunga disampingnya
pepohonan lainnya, bahkan ada juga gunung-gunungnya serta pavilyun-pavilyun kecil.
Pendek, segalanya lengkap sebagai taman.
Satu kali Pek Kong melihat kebawah maka ternyata ia sebenarnya berada diatas
loteng, rumah bertingkat yang tingginya kira-kira lima tombak. Ia seperti terkurung
lankan atau loteng. Ketika ia menghampiri pintu loteng, pintu itu sudah dikunci. Disitu ia
berdiri diam. "Kalau begitu barusan, andaikata aku pergi keluar, aku toh tidak tahu bagaimana
harus turun dari rumah bertingkat ini . . " katanya didalam hati.
Karena berpikir demikian, anak muda ini menjadi berdiri diam terpaku sekian lama.
Ia menyandarkan tubuh pada loteng. Tengah diam memandang, tiba-tiba ia melihat
satu bayangan berkelebat. "Nona Kat!" ia memanggil. Ia kira In Tong sudah kembali.
Tidak ada jawaban! Juga tidak ada orang yang muncul. Ia heran.
Ia lalu berdiam sekian lama, masih mengharap sahutan. Tapi itu tak kunjung tiba.
"Aneh!" pikirnya.
Sekonyong-konyong terdengar suara tertawa dingin, suara itu datangnya dari pojok
rumah dan mendatang mendekati. Hanya sebentar tawa itu lenyap, tak terdengar pula.
"Apakah ada setan disini?" pikirnya. Ia menjadi ragu ragu.
Kalau tadinya si anak muda menyangka ia salah melihat bayangan, setelah
mendengar suara itu, kesangsiannya lenyap seketika. Tapi ia tak lamur atau silap mata,
barusan ia pun tidak salah mendengar. Toh seluruh halaman tetap sunyi.
Memikirkan semua itu, sendirinya Pek Kong menjadi iseng, hatinya bimbang. Lalu
tanpa merasa ia menggigil. Karenanya, ia memikir buat kembali saja kedalam kamar.
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 106
yoza collection Tapi belum ia memutar tubuh, ia melihat orang mendatangi dengan cepat, seperti
berlari-lari, terus ia mendengar suara nyaring merdu: "Mari! Mari lekas makan! Sebentar
aku temani kau melihat keindahan sang malam ini!"
Itulah Kat ln Tong, yang baru muncul. Si nona segera tiba didepannya, tangannya
membawa barang hidangan. Nona itu terus masuk kedalam kamar. Maka ia mengikuti
masuk. Hampir Pek Kong memberitahukan si nona perihal bayangan yang ia lihat dan
suara tertawa yang ia dengar itu, tapi ia membatalkan niatnya membicarakannya
karena ia malu, kuatir nanti ditertawakan nona itu. lapun bicara tanpa bukti.
Tiba didalam kamar, Pek Kong melihat barang santapan sudah diatur diatas meja.
Ada bubur, sarang burung, kuah jinsom dan empat rupa teman nasi lainnya, yang hebat
ialah semua itu dibawa naik keloteng bukan dengan jalan di anak tangga hanya sambil
berlompat dari tanah langsung keatas setinggi kira-kira lima tombak! Tidak ada kuah
atau sayur yang tercecer!
Saking heran, Pek Kong tidak lantas duduk makan, ia hanya menjublek.
In Tong mengawasi anak muda itu dia tertawa.
"Eh, kenapakah kau?" tegurnya manis. "Kau berdiam saja, apakah yang kau pikirkan"
Lekas minum kuah jinsom ini, lantas dahar buburnya dan lainnya! Harus dijaga supaya
perutmu tidak kosong!"
"Tetapi kau.. " kata si anak muda perlahan dan ragu-ragu.
"Kau daharlah!" si nona mendesak. "Kau jangan perdulikan aku! Kau dahar, aku mau
bicara.. . . . . " Sebenarnya Pek Kong sudah lapar sekali, hanya tadi ia melupakannya sebab
"gangguan" bayangan orang serta suara tertawa yang tak ada ujudnya itu.
"Maafkan aku," katanya, lalu terus ia mulai menangsel perutnya yang tengah
berkeroncongan itu. In Tong duduk didepan si anak muda tangannya menunjang pipinya, matanya
mengawasi. Ia tidak ambil pusing anak muda itu likat atau tidak.
"Apakah kau sangka Bibi Hui jeri terhadap Cian Bin Jin Yauw?" katanya mulai bicara.
"Kalau benar anggapanmu demikian, itulah sangat lucu! Sebenarnya mungkin dua Cian
Bin Jin Yauw juga bukan lawannya bibi! Hanya benar bibi berkuatir juga ketika ia
mendengar berita halnya It Koay dan Sam Yauw dari pulau Kauw Kie To telah datang
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 107
yoza collection ke Tionggoan, sebab ia kuatir mereka itu nanti berserikat satu dengan lain. Tahukah kau
bahwa Cian Bin Jin Yauw ada salah seorang dari Sam Koay itu."
Tentang It Koay dan Sam Yauw pernah Pek Kong mendengarnya dari Hong
Hweeshio. Mereka itu hendak, atau telah bergabung dengan Leng Sie Cay dan Sian
Hiauw In. Itulah yang dikuatirkan, karena mereka semua liehay sekali. Terutama dalam
hal mencari buah mujijat pekbwee lengko, mereka sudah berjanji untuk bekerja sama.
"Kalau It Koay dan Sam Yauw mempersatukan diri, tidakkah itu membahayakan
Bibi Hui?" Pek Kong tanya. Ia berkuatir.
"Jangan kau berduka," menjawab si nona. "Kepandaiannya Bibi Hui jauh melebihi
kepandaianku. Aku percaya, seandainya bibi tidak berhasil meminta obat, ia toh tak
bakal celaka!" Si anak muda tetap bingung. Nona ini bicara putar balik. Tadinya dia menguatirkan
bibi itu, sekarang tidak.
"Benarkah Bibi Hui tak bakal mendapat bahaya?" ia tegaskan.
"Ah, kau bingung tidak keruan!" kata si nona. "Aku bukannya dewa, mana dapat aku
meramalkan dengan tepat, apa pula Bibi Hui sekarang berada ditempat jauh ribuan lie."
"Ribuan lie?" tanya Pek Kong terkejut.
"Oh, begitu jauh, tetapi Bibi Hui bisa pergi dan pulang dalam tempo dua tiga hari In
Tong tertawa. "Ah, kau pandai sekali memotong kata-kata orang !" katanya. "Kau tahu atau tidak,
bibiku itu mempunyai Cui Cui si burung rajawali, yang dapat terbang dengan membawa
orang. Bahkan burung itu pun dapat membantu bibi berkelahi."
"Oh, begitu?" kata Pek Kong, kagum. Aneh!
"Ya," kata si nona, yang terus mengawasi si anak muda. "Tapi, kau juga aneh! Aneh
siapa terkena bubuk beracun Bie Hun San dari Cian Bin Jin Yauw, dia akan lupa diri
hingga akhirnya dia menjadi seperti orang yang kehilangan rohnya, tetapi kenapakah.. .
kau dapat sembuh sendirian" Mungkinkah kau telah terlebih dahulu bersiaga dengan
memakan pemunahnya" Pek Kong tertawa mendengar pertanyaan itu.
"Cian Bin Jin Yauw mau bikin celaka aku, mana bisa dia memberikan aku obat
pemunahnya?" kata dia, membaliki. "Aku juga tidak mengerti kenapa aku lolos dari
bahaya racun itu. Mungkin ini disebabkan aku pernah makan buah rotan cuteng
cuiko.. . . . . " In Tong melengak, terus dia tampak gembira.
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 108
yoza collection "Benar begitu!" serunya kemudian, "pernah aku mendengar orang mengatakan
bahwa buah itu mempunyai khasiat menambah tenaga latihan orang tigapuluh tahun,
hingga tidaklah heran kalau kau jadi kebal dari racun!"
Demikian asyik dua orang itu memasang omong, sampai mendadak mereka
dikejutkan oleh suara tertawa dingin, Pek Kong kaget sekali ia kenali tawa itu. In Tong
sebaliknya. Tubuh si nona mencelat dan terus lari ke luar.
"Aneh suara tawa itu," kata Pek Kong di dalam hati itu. "Nadanya itupun bukan nada
dengan maksud baik! Mungkinkah pemuda she Kat ini juga bukannya orang baik-baik?"
Karena bercuriga demikian, mendadak timbui ingatan si anak muda untuk
mengunci pintu kamar loteng itu. Iapun ingat lagi bahwa dirinya ada di dalam kamar
yang kosong, dan bahwa sering ada nona atau nona-nona yang menyimpan orang lakilaki . .
Pek Kong ingat akan menutup pintu tetapi tak sempat ia melakukannya. Tiba-tiba
ia dikejutkan satu suara angin yang datangnya dari jendela. Kiranya dari luar, dari mulut
jendela itu tampak satu bayangan orang lompat masuk dengan pesat sekali. Ia kaget
bukan kepalang. Karena kagetnya ia lantas bergerak bangun untuk melarikan diri, tapi
mendadak pula ada yang menotok kakinya. Hingga tahu-tahu tubuhnya telah disambar
orang terus dibawa lari ! Pek Kong ditawan sesudah ia ditotok hingga tak berdaya,
bahkan tak ingat apa-apa. Ia terus dibawa kabur ketepi telaga Hian Bu Ouw. Disitu lantas
ia ditotok lagi, kali ini untuk disadarkan. Maka ia membuka matanya. Waktu ia sudah
melihat tegas, ia menjadi girang bukan main.
"Kiranya kakak!" katanya nyaring. "Barusan kau melompat masuk ke dalam kamar,
kau membuatku kaget tak terkirakan. Bagaimana kau ketahui bahwa aku . ."
Pertanyaan si anak muda terputus oleh si nona, Honghu Pek Hee terkejut. Ia melihat
satu bayangan tubuh manusia melompat turun dari tembok. Maka ia tak sempat
menjawab pertanyaan itu, ia menyambar lengan pemuda itu, ditarik dan diajak lari ke
dalam rimba untuk bersembunyi!
Selama di Ngo Bwee Nia, Pek Kong telah melihat kenyataan bahwa Honghu Pek
Hee boleh dikata, "tak takut langit, tak jeri akan bumi," maka heranlah ia bahwa belum
lewat tiga hari, sekarang si nona menjadi demikian bernyali kecil mirip nyali tikus. Ia
heran tetapi ia tidak berani menanyakan. Juga disaat itu tak dapat mereka bicara.
Dengan memperdengarkan suara. "Ser!" maka melesatlah diatas mereka bayangan
itu berbareng dengan itu terdengar tawa dingin mengejek. Tapi itu belum semua. Tawa
dingin itu dengan suara helaan napas.. .
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 109
yoza collection Pek Kong berpikir heran. Katanya di dalam hati: "Bukankah itu suara yang pernah
aku dengar di atas loteng Nona Honghu sebaliknya menggerutu: "Hm, perempuan hinadina yang tak tahu malu itu! Dia benar-benar lihay! Mari kita menyingkir sedikit lebih
jauh.. ." Lalu tanpa menanti jawaban ia menarik lebih jauh pemuda itu untuk diajak melintasi
rimba. Tidak lama maka tibalah mereka didepan sebuah kuil, temboknya merah dan
gentengnya putih yang bercahaya terkena sinarnya si Putri Malam. Dinding dibawah
atap, semua ukiran belaka.
Dengan melompat tembok, muda-mudi ini masuk kehalaman dalam yang
keadaannya gelap gulita, karena tidak ada sinar api. Dalam kegelapan, suasana pun
sangat sunyi. Ruang depan kuil itu luas tetapi disitu tidak ada patung-patung berhala
yang dipuja. Yang ada hanya sebaris Paywie, terletak di atas meja pemujaan masingmasing. Tirai merah diturunkan hingga hampir sampai kelantai.
Tidak ada niat kedua orang itu untuk pesiar atau bersujud di rumah suci. Langsung
mereka menghampiri sebuah meja, yang diatur disebelah kanan. Didepan itu mereka
duduk di lantai, tubuh mereka teralingkan tirai serta hiolouw, tempat menancap hio
yang besar. Baru itu waktu, Pek Kong mengeluarkan napas lega.
"Kakak," katanya perlahan karena nampaknya tegang sekali, "apakah ada sesuatu
yang kurang disegani?"
Perpisahan beberapa hari membuat muda-mudi itu makin akrab satu dengan lain
ketika si nona mendengar si pemuda memanggilnya kakak, matanya mengeluarkan
cahaya hidup dan terang, bersinar ditempat yang gelap itu. Sebelum ia menjawab, lebih
dahulu ia tertawa. "Bahaya tidak ada.. " demikian sahutnya.
"Walaupun demikian, berhati-hati tidak ada ruginya.. ."
Masih si pemuda ingin mengetahui lebih banyak.
"Apakah kakak maksudkan si nona berbaju merah itu?" Tanyanya pula. Nona Honghu
merasa tertusuk mendengar pemuda itu menyebut si baju merah dengan sebutan nona
karena ia merasa jelas atau hati-hati. Pada nada suaranya pemuda itu terdengar akrab
sekali. "Oh!" sahutnya. "Pantas begitu dia melihat aku, dia lantas kabur, kiranya kau masih
tak tega meninggalkan dia! Kasihan.. . . . . "
"Kakak!" berkata si anak muda. "Kakak, jangan kau membuat orang penasaran!
Justeru aku bercuriga terhadapnya. Hendak kutinggalkan dia tanpa pamit, tahu-tahu
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 110
yoza collection mendadak aku melihat ada orang lompat memasuki jendela, aku kira dia yang kembali,
maka aku.. ." "Sudahlah, tak usah kau omong lebih banyak lagi!" tukas si nona. "Tahukah kau siapa
perempuan berbaju merah itu?"
"Dia bernama Kat In Tong. Lainnya aku tidak tahu.. . . . . "
"Hm!" terdengar Nona Honghu mengejek. "Namanya tak dapat dicela tetapi
martabatnya masih kalah dengan anjing . ."
"Kakak," Pek Kong tanya, "apakah kakak tahu asal-usul dia?"
Pek Hee mendelik kepada si anak muda. Ia menerka pemuda itu belum puas.
"Hm!" ia memperdengarkan suaranya lebih jauh. "Coba kaurenungkan segala
pengalamanmu dua hari yang paling belakang ini, mustahil kau tak mengerti sendiri?"
Pek Kong tahu bahwa orang salah paham. Maka ia lantas berkata: "Kakak tahu
sendiri, selama dua hari aku selalu berada dalam keadaan tak sadarkan diri. Mana aku
ketahui segala hal disekelilingku?"
Honghu Pek Hee heran. Jadinya pemuda ini dua hari pingsan.
"Aneh!" katanya. "Kenapa selama itu orang tak memberikan kau obat penawar untuk
lekas-lekas menyadarkanmu?"
"Itulah karena dia berkata orang sedang pergi mencari obat penawarnya. Yang
pergi itu ialah Bibi Huinya."
"Sukur!" Pek Hee berseru didalam hati. Lalu dia kata: "Baiklah! Mari aku beritahu
padamu.. . . . . " Pek Kong lantas memasang telinga, untuk mendengarkan keterangan nona yang
dipanggilnya kakak itu, tetapi bukannya si nona lantas mulai dengan penuturannya, dia
justeru berdiam dan dengan tangannya, dia membekap mulutnya si anak hingga ia ini
heran dan gelagapan. Tepat pada saat itu diluar terdengar suara keheran-heranan dari Kat In Tong: "Ah,
aneh. Terang-terang barusan aku mendengar suara orang bicara, kenapa sekarang
suara itu sirap secara mendadak?" Segera terdengar suara seorang wanita lain: "Dia
sudah tidak ada, biarlah tak usah kita cari lebih jauh!" Habis itu terdengar suara helaan
napas, suara menyesal . .
Pek Hee menanti sampai orang-orang itu pergi, kemudian berkata: "Hm! Jikalau
bukan untukmu, akan kuhajar mereka itu dengan pukulanku Hoan Soat Ciang! Kalau lain
kali aku bertemu pula dengan mereka, pasti tak akan aku memberi ampun!"
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 111
yoza collection Mendengar suara si nona, Pek Kong berterima kasih berbareng kaget juga. Ia
berumur belum lewat delapanbelas tahun. Mengenai asmara, pengetahuannya belum
banyak, tetapi suara nona ini, yang menyatakan rasa hatinya, membuat ia seperti sudah
membayangkan keruwetan untuk dibelakang hari. Mulailah ia tahu perihal tabiat
segolongan wanita, yang tak bisa, atau sukar lolos dari gangguan cemburu, jelus dan
iri hati, terlalu mementingkan diri sendiri. Karenanya ia mengalihkan pembicaraan.
"Kakak, coba katakan padaku, siapakah si baju merah itu" Dia manusia atau setan?"
demikian tanyanya. Pek Hee mengawasi pemuda didepannya itu. Ia merasa pemuda itu masih hijau
dalam soal asmara. Hal itu membuatnya girang berbareng jengah. Karena sekarang ia
yang harus menjelaskannya, Selama diculik pemuda itu belum "terlibat" dan dia tetap
polos. Ia lantas memegang keras-keras tangan pemuda itu.
"Oh," katanya. "Aku harus bicara mulai dari permulaannya. Ketika itu hari aku lihat
kau diculik oleh orang yang seperti bayangan merah itu, aku bingung bukan main, maka
aku lekas-lekas meloloskan diri dari rongrongannya Hwee Ceng Pa, dan lantas pergi
menyusul. Karena aku ketinggalan, aku tidak lihat bayangan merah itu, terpaksa aku
menduga-duga saja. Begitulah aku melintasi Kie Hong Kok aku kembali kepuncak
dimana kita telah berpisah dari Ho Tong. Dari atas puncak yang tinggi itu, aku melihat
kebawah, keempat penjuru. Aku tidak melihat kau atau bayangan merah itu. Justeru itu
aku ingat Ho Tong. Dia sendirian didalam lembah. Ada kemungkinan dia nanti menghadapi ancaman
bencana, maka aku lantas kembali untuk pergi mencari dia. Setelah aku sampai didalam
rimba, ditempat pohon anggur itu tiba-tiba aku melihat tiga orang tengah mendatangi.
Dari kejauhan mereka tampak hitam saja seperti bayangan. Mereka itu berlari-lari.
Belum lama, lantas aku melihat seorang lain berlari-lari mendatangi. Mungkin dia
menyusul atau mengejar tiga orang itu. Coba terka, siapakah orang yang satu itu?"
"Dia tentu Ho Tong!" sahut si anak muda.
"Bukan!" sahut si nona. "Tiga orang yang di depan itu ialah seorang imam itu
bersama murid-muridnya. Rupanya dia tidak mendapatkan buah cuteng cui ko, lantas
sama seperti aku, mereka mencoba mencari si bayangan merah, mungkin untuk
membuat perhitungan. Orang yang menyusul itu kiranya ialah Hwee Ceng Pa. Didalam
keadaan seperti itu, tak sempat aku melibatkan diri berurusan dengan mereka itu, dari
itu aku menyingkir kedalam rimba, untuk keluar dilain bagian dari rimba itu. Baru aku
muncul, lantas aku melihat seorang kenalan.. . . . . "
"Kali ini dia tentulah Ho Tong!" Pek Kong menerka pula mendahului pertanyaan.
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 112
yoza collection

Pendekar Yang Berbudi Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kembali kau salah terka!" berkata si nona, yang terus tertawa.
Dua pemuda itu telah keliru menebak.
Hatinya Pek Kong goncang. Ia merasa senang sekali. Bukankah ia sedang duduk
berendeng dengan seorang gadis yang tubuhnya mengeluarkan harum" Hatinya
menjadi tegang. Maka ia mencoba menguasai dirinya.
"Kalau begitu," katanya, menerka pula, "dia tentulah Siangkoan Tayhiap!"
Mendengar disebutnya nama Siangkoan Sun Siu, hatinya Pek Hee memukul. Segera
berbayang didepan matanya satu tubuh yang kekar dan tampan. Kalau Pek Kong cakap
ganteng dan halus gerak-geriknya, Sun Siu keren dan pandai silat, seorang pemuda
yang sudah masuk dalam dunia Sungai Telaga dan telah mendapat nama. Nama!
Sejenak ia berdiam, lantas ia mengangguk.
"Kali ini kau menerka tepat!" sahutnya.
"Semenjak aku turun gunung, orang yang aku kenal cuma kalian bertiga, maka
seandainya kau masih tidak dapat menebak, kau harus dihajar.. . . . . "
Pek Kong tertawa. Pek Hee mendelik kepada pemuda itu, terus ia melanjutkan: "Siangkoan Tayhiap
melihat Cian Bin Jin Yauw memasuki bukit Ngo Bwee Nia, diam-diam dia menyusul,
maka kebetulan sekali dia berhasil meloloskan Ho Tong dari gangguan. Sesudah itu Ho
Tong diberitahu harus menuju kemana lagi, bahwa empat hari lagi mereka berdua akan
bertemu pula dikota Kimleng, dikuil Hu Cu Bie. Setelah Ho Tong pergi, Siangkoan Sun
Siu lantas menyusul Cian Bin Jin Yauw.
Itulah sebabnya kenapa, tanpa menanti lagi aku telah menanyakan kepada dia,
siapa lantas menuturkan tentang kau. Kami berdua berjanji buat saling mencari dengan
berpencar. Dia telah pesan padaku, seandainya aku bertemu dengan Cian Bin Jin Yauw,
aku dilarang melawannya secara terang-terangan, supaya aku harus menggunakan
akal. Ini untuk menjaga supaya aku tak sampai terkena Toat-pek Bie Hun San, bubuk
beracunnya yang liehay itu. Tadi magrib aku tidak berhasil mencari kau dipanggung Ie
Hoa Tah. Selagi aku bingung dan masgul, mendadak aku melihat seekor burung rajawali yang
besar sekali tengah terbang mendatangi, di punggungnya tampak sesuatu yang
bergumpal merah. Aku lantas lompat menyusul, sedangkan burung itu menukik
kebawah! Dan.. . kiranya kau berada diatas burung itu!"
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 113
yoza collection ENDENGAR sampai disitu, Pek Kong segera sadar sendirinya. Terang dia
sudah menerka keliru, dia keliru mengenali Kat In Tong sebagai Cian Bin Jin
Yauw, tak tahunya ia dibawa oleh si Bibi Hui. Dan bibi itu tengah menempuh
bahaya mencarikan untuknya obat pemunah racun, sedangkan ia menyangka jelek
terhadapnya. Maka ia lekas-lekas berkata; "Kakak, kau.. . . . . "
Perkataan ia terhenti terpaksa. Sebat luar biasa, Honghu Pek Hee sudah membekap
mulutnya sambil dia berkata perlahan: "Jangan kau pergi dari sini!" Lalu dia sendiri
lompat naik keatas genteng.
Nona Honghu telah melihat bergeraknya satu bayangan merah, bergerak dengan
sangat ringan dan gesit. Sembari mengawasi ia berkata didalam hatinya: "Kau siluman
hina, bagaimana kau masih mau mengganggu orang" Awas, akan kuhajar kau!" Selama
ia mengawasi dan berpikir itu, si bayangan merah sudah lantas tiba dihadapannya.
Maka itu dengan tidak membilang apa-apa, ia lantas menyerang.
Tepat serangan menyambar, tepat bayangan merah itu melesat menyingkir tiga
tombak jauhnya! Gagal serangannya itu, tubuhnya Pek Hee mencelat maju menyusul, guna
menyerang pula hanya kali ini, tiba-tiba ia menjadi terperanjat. Sesudah berada dekat
satu dengan lain, ia bisa melihat siapa orang yang ia sambut dengan serangannya itu!
Didepan nona Honghu bukan berdiri seorang perempuan, lebih-lebih bukan
perempuan muda atau nona yang cantik, hanya seorang imam yang berjubah merah,
yang berjenggot berewokan. Imam itu terkejut karena disambut dengan serangan tibatiba itu, dan diapun segera menjadi gusar.
"Hai, apakah matamu sudah buta?" Dampratnya. "Kenapa kau datang-datang
membokong Cie Jiam Tooya kamu?"
Honghu Pek Hee melengak. Memang itulah Cie Jiam Toojin Auwyang Kian, imam
yang dengan Kim Pian Giok Liong Siang Koan Sun Siu dari lawan telah menjadi kawan
dan mereka merantau bersama-sama. Pernah ia mendengar tentang imam itu, siapa
sangka ia sekarang telah keliru menyerangnya Seharusnya ia minta maaf mengakui
kekeliruannya itu. Tetapi ia beradat keras, karena ditegur itu ia menjadi tidak puas! Memang tak
pernah ia mengalah terhadap siapa juga.
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 114
yoza collection "Fui!" ia membalas, "kiranya kau si hidung kerbau berjanggut merah! Telah aku hajar
kau habis mau apakah kau sekarang?"
Cie Jiam mendongkol. Ia telah diserang secara hebat, kalau saja kurang waspada
dan gesit, tentu roboh sudah ia ditangan si nona, tetapi sekarang nona itu galak dan
jumawa, ia gusar hingga matanya mendelik dan kumisnya berdiri bangun.
"Anak tak tahu adat!" bentaknya. "Rupanya kau sendiri yang mencari mampus! Nah,
jangan kau sesalkan bahwa aku si tua menghina si muda!"
Nona Honghu senang melihat orang marah demikian. Ia mendongkol tetapi iapun
merasa wajah orang itu lucu untuk dipandang. Karena itu selanjutnya, hilang juga
kemendongkolannya. Hingga ia bisa bergurau!
"Sungguh Cie Jiam Tootiang liehay sekali!" katanya untuk membuat orang mendeluh.
"Lihat, sampaipun janggutnya bisa bangkit berdiri! Tootiang, coba tolong jelaskan,
sekarang ini parasmu mirip dengan Kwan Kong atau dengan Pauw Kong?"
SEPERTI KITA KETAHUI, Kwan Kong adalah seorang pendekar dari jaman Tiga
Negara, Pauw Kong ialah hakim yang kesohor di jaman Song.
Cie Jiam Toojin mesti tua tetapi tabiatnya keras, dia mudah marah. Inilah cacatnya,
sifatnya yang merupakan kelemahannya. Beberapa hari yang lalu Sin Ciu Cui Kit telah
menyebut hal kekurangannya itu, sekarang menghadapi Pek Hee, ia lupa. Tapi hanya
sebentar, lantas ia ingat "nasihat" dari si pengemis pemabukan itu. Maka ia lantas
berpikir: "Aku menghadapi bocah yang masih hijau, buat apa aku gusar tidak keruan?"
Maka itu, lantas ia tertawa gelak-gelak sendirian.
"Jangan kurang ajar, bocah!" tegurnya kemudian. "Pintoo tidak mau melayani kau!
Coba sebutkan nama atau julukan gurumu supaya dapat aku pergi padanya untuk
membicarakan urusan tingkahmu ini!"
"Hm!" terdengar suara nona Honghu menghina. "Tepatkah kau menanyakan tentang
guru" Jikalau kau bisa melayani aku sampai sepuluh jurus dan kau tidak kalah, maka
aku Honghu Pek Hee akan menyerah kepadamu.. . . . . "
Cie Jiam Toojin tertawa pula. Ia dapat menerka anak ini anak bawang, yang baru
mulai memasuki dunia sungai Telaga, jadi dia belum punya banyak pengalaman hingga
lagaknya sangat takabur. "Anak, kau masih terlalu hijau, kenapa kau begini jumawa?"
tanyanya. Jikalau kau tidak diajar adat, kau tentu belum mau takluk! Tapi pintoo tak
biasanya menghina yang muda, maka itu, baiklah kau boleh menyerang dahulu padaku
sampai tiga kali! Suka aku mengalah!"
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 115
yoza collection "Hm," lagi-lagi nona Pek Hee menghina. Ia tahu ia keliru tetapi tak puas ia dengan
perlakuan si imam. Ia mengira bahwa ia dipermainkan, dihina, maka ia menjadi sangat
panas hati. Bahkan tak dapat ia menahan sabar lagi.
"Tua bangka tak tahu malu !" bentaknya. "Tua bangka sambutlah!" Benar benar
Honghu Pek Hee menyerang dengan jurus "Daun kemala, Bunga berputar." Hebat
serangannya itu, anginnya menderu deru. Auwyang Kian seorang jago dari Liauw tong,
latihan kepandaiannya beberapa puluh tahun dapat menjadi jaminan, apa mau dia telah
memandang lawannya terlalu ringan, sedang lawan itu dia tidak kenal, dia cuma
memandang lawannya seorang wanita dan masih sangat muda. Pikirnya, asal dia
berkelit sedikit saja, akan lewat sudah serangan lawan. Tapi sekarang dia diserang
dengan satu jurus dari Hoan Soat Ciang, Tangan Salju Terbalik, walaupun dia berkelit
dengan sebat, dia toh masih tak dapat lolos. Disaat dia terkejut dan sadar waktunya
sudah terlambat. Dia berkelit beku separoh, terus tubuh itu berputar bagaikan roda
kereta. Dia berkelit, baru separoh tubuh ketika serangan si nona memperoleh hasil. Dia
kaget hingga dia mengeluarkan peluh dingin.
Honghu Pek Hee tidak melanjutkan serangannya, ia berdiri diam dengan mukanya
tersungging senyuman. Katanya sambil tertawa manis, "bagaimana, tootiang, apakah
kau masih akan membuka mulut besar." Pertanyaan nona ini belum sempat dijawab
oleh si imam, tiba tiba ia sudah mendengar ringkik kuda yang keras. Kuda itu
mendatangi sambil berlari-lari sangat pesat, kemudian ia mendengar sapaan nyaring.
"Honghu Pek Hee! Kiranya kaupun datang kemari?"
Itulah suaranya Ho Tong, yang si nona kenal dengan baik, maka yang disapa itu
segera menoleh sebentar, lalu berkata pada Cie Jiam Toojin: "Imam tua Auwyang, mari
kita tunda jurus kita yang tinggal dua! Sahabatku datang, hendak aku bicara dahulu
dengannya!" Berkata begitu, si nona terus berlompat meninggalkan lawannya, untuk lari
memapak si dungu. Cepat sekali tiba sudah dihalaman luar.
Jie Jiam Tojin melengak. Iapun mendengar dan mengenali suaranya Ho Tong. Jadi
si dungu itu adalah sahabatnya nona ini. Setelah sadar, ia berlompat keluar untuk
menyusul. Ho Tong segera lompat turun dari kudanya. Lantas ia melihat si imam, yang
mukanya merah padam pertanda dari amarahnya yang meluap luap. Ia menjadi heran
sekali. "He!" sapanya, "eh, si imam tua berjanggut merah juga ada disini" Eh.eh! Kau
nampaknya gusar sekali, kenapakah?"
Si dungu ini rupanya dapat menerka imam itu sedang bergusar terhadap Nona
Honghu, maka tanpa menanti jawaban si imam, ia sudah lantas menambahkan: "Eh, eh,
tahukah kau bahwa nona ini adalah adik seperguruan dari Siangkoan Tayhiap?"
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 116
yoza collection Ce Jiam Toojin heran. "Oh.. ." serunya tertahan. Dia melengak sejenak.
Honghu Pek Hee tertawa tertahan. Ia anggap imam itu lucu.
"Tadi kita salah mengerti, tootiang!" katanya. "Maafkanlah kesembronoanku!"
Auwyang Kian tertawa lebar. Segera ia sabar kembali.
"Karena kita ada orang-orang sendiri, tak usah kau berlaku sungkan-sungkan!"
bilangnya. "Auwyang Kian juga ada kesalahannya. Hanya nona, tadi kau membokong
aku, apakah disini ada musuh gelap yang tangguh yang roman atau potongan tubuhnya
menyamai pintoo?" "Dialah Cian Bin Jin Yauw, tootiang!" sahut si nona. "Dia bukanlah seorang lawan
yang tangguh, tetapi dia mengenakan pakaiannya merah, diantara sinarnya Putri Malam
tak tampak tegas, merahnya merah muda atau merah tua, maka juga.. . . . . "
"Apakah dia itu seorang wanita?" Ho Tong memotong. "Eh, apakah Pek Kong telah
dapat ditemui?" Tiba-tiba Honghu Pek Hee terkejut. Pertanyaannya si dungu mengingatkan ia pada
si anak muda. Kudanya Ho Tong sudah meringkik keras, mestinya Pek Kong dengar itu. Mestinya
Pek Kong segera muncul. Kecuali itu dengan datangnya Cie Jiam Toojin, Pek Kong harus
keluar juga untuk mendamaikan mereka! Kenapa sampai itu waktu si anak muda tak
tampak bayangannya sekalipun"
"Celaka!" berseru si nona selekasnya dia berpaling melihat kearah pintu kuil. Tidak
ayal lagi ia berlompat lari melewati tembok, lalu masuk kedalam. Langsung ia menuju
ke ruang dimana tadi mereka berdua bersembunyi. Ruang itu kosong! Pek Kong tak ada
disitu ! Tiba-tiba ia ingat seseorang, maka lantas ia lari keluar untuk menyusul!
Auwyang Kian menyusul kedalam kuil, ia heran waktu melihat si nona bingung, ia
lantas menerka ada sesuatu.
"Sabar, nona!" katanya, menghibur. "Mari kita pergi keluar untuk berdamai. Kau harus
tahu, kalau disana ada tiga orang tukang kulit maka mereka itu seperti juga melebihkan
satu Cukat Liang!" Cukat Liang ialah penasihat Lauw Pie di jaman Tiga Negara.
Honghu Pek Hee menganggap si imam benar, ia mencoba menyabarkan diri, ia
membatalkan niatnya menyusul orang yang hendak dikejarnya.
Maka berdua mereka keluar, akan menemui Ho Tong. Lantas mereka berbicara.
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 117
yoza collection "Ini pasti perbuatan si perempuan hina dina yang tak tahu malu!" berkata si nona
kemudian. "Pastilah selagi kita bertempur diatas genteng, dia mendatangi Pek Kong dan
menculiknya, atau dia menyembunyikannya dahulu, selagi kita pergi keluar dan bicara,
dia lantas membawanya pergi! Dia itu tinggal di Bwee Cu Ciu.. . . . . "
Mendengar keterangan si nona, dengan tak peduli dia tak tahu Bwee-Cu Ciu itu
tempat apa dan dimana letaknya, Ho Tong lantas saja berkata nyaring: "Biar aku The
Lohan yang menyusul, untuk mengubrak-abrik sarangnya!" Dan iapun lantas mau
lompat naik ke atas punggung kudanya!
Auwyang Kian menyambar tubuh si dungu, dan mencegahnya berangkat pergi. Ia
terkejut ketika mendengar bahwa penculiknya Pek Kong berasal dari Bwee-Cu-Ciu itu.
"Jangan semb " Nona Pek Hee menganggap imam itu jeri, atau dia tak mau dipersalahkan oleh
penculiknya Pek Kong itu.
"Em!" ia menggeram. "Jika ada yang kau beratkan, tootiang, baik tootiang tak usah
pergi kesana! Sekalipun Cian Bin Jin Yauw mempunyai kepandaian dapat naik keatas
langit, aku Honghu Pek Hee akan menempurnya!"
Auwyang Kian lihat nona itu tak sabaran, ia bersikap tenang. "Mendengar
keteranganmu barusan, nona," katanya, "aku rasa belum tentu Pek Kong dilarikan Cian
Bin Jin Yauw..,. !" "Bukannya Cian Bin Jin Yauw?" kata Honghu Pek Hee. "Telah kulihat jelas ketika aku
menolong Pek Kong dari atas loteng. Aku melihat nyata-nyata bagaimana seorang
wanita lompat keluar dari loteng. Seorang wanita cantik yang mengenakan baju merah!
Kemudian diapun datang kedalam kuil mencari Pek Kong. Mustahil aku keliru!"
Auwyang Kian menggeleng-gelengkan kepala, menanti sampai si nona sudah
selesai bicara, baru ia membuka mulut.
"Mungkin nona cuma tahu satu tetapi tidak tahu dua," katanya, tetap sabar. "Wanita
yang kau maksudkan itu Cian Bin Jin Yauw si Siluman Bermuka Seribu, adalah orang
yang usianya sudah empat puluh tahun lebih, lantaran dia pandai ilmu merawat diri
dia tampak seperti seorang nyonya muda. Karena dia sudah berusia lanjut, tak mungkin
dia masih gila asmara. Lagi pula, setahuku, belum pernah dia memperlihatkan wajahnya
yang asli. Kat In Tong juga bukan namanya wanita tua itu. Kalau Pek Kong benar karena
bubuk beracunnya Cian Bin Jin Yauw mempunyai obat pemunahnya, buat apa dia
membiarkan si anak muda terus saja tak sadarkan diri?"
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 118
yoza collection Nona Pek Hee bingung, dia diam. Karena ia cerdas, ia dapat memahami keterangan
si-imam ini. Tapi ia tetap heran. Ia mengerutkan alisnya.
"Habis," katanya, "siapakah nona baju merah yang ada bersama Pek Kong?"
Cie Jiam Toojin tidak menjawab, hanya ia memberikan keterangannya lebih jauh.
"Majikan dari perkampungan Bwee cu-cin itu adalah Pee Bie Lo-lo yang namanya
terus tersohor," demikian ceritanya.
"Tentang ilmu silat, dia lihainya hampir sama dengan lihainya Hong Hweeshio si
pendeta Angin-anginan dan Sin Ciu Cui Kit si Pengemis Pemabukan. Tabiatnya aneh
luar biasa. Siapapun yang membangkitkan kemarahannya, biar dia dari Golongan Hitam
ataupun Golongan Putih Hek Too atau Pek To dihajar dengan biji matanya dikorek-korek
dicongkel atau telinganya dipotong putus.
Kebetulan sekali, baru saja siang tadi pintoo lewat dimuka perkampungan itu. pintoo
melihat di suatu pojok rumahnya muncul hawa menghembus, mengepul naik mirip
embun atau halimun. Karena ingin tahu sebabnya, diam-diam pintoo menghampiri
sampai dekat. Ternyata itu bukanlah hawa asap atau air panas, melainkan hawa dari
dalam dirinya yang menghembus keluar dari ubun-ubunnya. Maka itu sekarang ini
bukan saja kepandaiannya sudah memasuki taraf kesempurnaan, bahkan telah
mencapai juga ilmu gaib.. . . . . "
Ho Tong membanting-banting kaki. Dia memotong: "Apa sih taraf kesempurnaan
dan ilmu gaib" Semua itu aku tak peduli! Aku cuma ingin Pek Kong kembali kepada
kita!" Auwyang Kian diam sekian lama.
"Memang, dia memang harus kembali kepada kita," katanya kemudian, "akan tetapi
walaupun demikian, haruslah kita terlebih dahulu membuat penyelidikan. Sebentar
setelah terang tanah, kita mengirimkan kartu nama kita, mohon menemuinya, atau kita
minta Pee Bie lo-lo menyuruh si Nona Kat mengembalikan dia."
Honghu Pek Hee juga telah menjadi tidak sabaran. Menantikan sampai terang tanah
berarti menunggu lama. Entah sejak kapan, dimatanya, didalam hatinya, Pek Kong sudah
menjadi seperti salah sebuah anggauta tubuhnya. Bukankah menanti berarti beras
sudah menjadi bubur"
"Bagaimana kalau malam ini juga terjadi sesuatu?" kata dia. "Maka itu sekarang
baiklah aku yang pergi membuat penyelidikan, kalau terjadi sesuatu, secara diam-diam
akan ku cegah. syukur kalau tidak terjadi sesuatu apapun, besok pagi baru kita pergi
membawa kartu nama kita untuk mohon bertemu.. . . . . "
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 119
yoza collection Cie Jiam Toojin berpikir, matanya menatap nona itu. Ia dapat menerka hati si nona
maka ia mengerti akan sia sia belaka apabila ia menentang niat orang. Ia lantas
bersenyum dan berkata: "Begitupun baik! Hanya kau harus berhati hati! Bersama anak
hitam ini pintoo menantikan kau di Hu Cu Bio. Bersama-sama Siang Koan Sun Siu, kita
akan bertemu di dalam kuil jam tiga.. "


Pendekar Yang Berbudi Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ho Tong heran. "Apakah ini bukannya Hu Cu Bio" "tanyanya.
Pek Hee tertawa. "Hu Cu Bio berada ditepi sungai Cin Hoay Ho!" katanya. "Mustahil kuil itu pindah ke
telaga Hian Bu Ouw?"
Ho Tong melengak, terus dia menjadi mendongkol.
"Pemuda itu menjual aku!" teriaknya sengit. Tapi hanya sejenak, lantas dia tertawa
dan berkata: "Tapi dia tak dapat terlalu dipersalahkan! Kalau tidak ada dia, mana bisa
aku menemukan kalian disini.. . . . . " Pek Hee dan Cie Jiam mengawasi si dungu.
"Kenapa kau?" mereka tanya.
Ho Tong memberitahukan bahwa ia telah menanya Siangkoan Sun Siu dimana
letaknya Cin Hoay Ho, tapi pemuda itu menunjukkan Hian Bu Ouw.
Pek Hee tertawa. Kemudian ia menoleh kepada Cie Jiam Toojin dan berkata.
"Tootiang tak usah mengkhawatirkan aku. Sebaliknya, kalau totiang bertemu Siangkoan
Suheng, tolong kau beritahukan kepadanya supaya dia menyusul ke Bwee-cu-ciu!"
Tak tenang hatinya Cie Jiam. Sama sekali si nona tidak memperdulikan nasihatnya,
tapi ia tidak dapat dicegah.
"Baik nona," sahutnya, mengangguk. "Cuma aku minta berhati-hatilah kau . ."
Kata itu belum berhenti diucapkan, mendadak tubuh Honghu Pek Hee sudah lompat
mencelat, terus pergi memulai perjalanannya.
"Ah!.. " si imam menyatakan penyesalannya. Lebih tidak. Maka akhirnya ia mengajak
Ho Tong pergi memasuki kota.
Di pihak lain, segera Pek Hee sudah sampai di Bwee-cu ciu, di atas loteng yang
tinggi dan besar. Di situ ia melihat sinar api di suatu sudut. Maka ia berpikir: "Pasti si
nona berbaju merah main gila di dalam kamar itu! Tidakkah malu bagiku kalau aku
memergoki mereka . .?"
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 120
yoza collection Sejenak nona ini beragu. Tapi segera ia berpikir pula: "Aku tahu adik Pek bukan
orang ceriwis dan pemogoran, kalau sampai dia melakukan sesuatu, pastilah itu
disebabkan dia dibujuk atau dipaksa oleh perempuan hina dina itu. Bagaimana aku
harus menolongnya?" Cepat sekali Pek Hee mengambil keputusan. Dengan satu gerakan ringan dan lincah,
ia lompat ke depan jendela. Didalam kamar itu lantas terlihat tubuh dua orang dalam
rupa bayangan. Dan ia tak usah menanti lagi akan mendengar suaranya Kat In Tong.
"Bibi, dia menyebalkan, dia menyakiti hati! demikian terdengar suara si nona.
"Demi kepentingannya, bibi sudah melakukan suatu perjalanan penuh dengan
bahaya. Bibi telah mencari Cian Bin Jin Yauw untuk minta obatnya pemunah racun.
Disana hampir bibi hilang jiwa di tangan Sam Yauw, ketiga iblis yang kejam itu. Syukur
ada pertolongan dari Say Tauw Tay-swee, si Datuk Kepala Singa, karena ia telah melihat
benda tanda mata dari Lo-lo. Kenapa dia demikian tidak berbudi" Kenapa dia pergi
tanpa pamitan lagi?"
Mendengar itu Nona Pek Hee menjadi heran. Sungguh ia tidak mengerti. Pikirnya.
Menurut pembicaraan mereka ini, bukan saja adik Pek bukan diculik dan dipaksa, dia
malah tidak ada disini. Sebenarnya siapakah yang telah menculiknya?"
Tengah Pek Hee berpikir, telinganya mendengar suara seorang wanita lainnya, yang
terus menghela napas. Kata wanita itu, "Dalam hal ini, tak dapat kita sesalkan atau
menyalahkan dia, dan taruh kata kau memberi penjelasan terhadapnya, belum tentu
dia percaya penjelasanmu.. . . . . "
Terdengar pula suara Kat In Tong: "Menurut penglihatanku, anak perempuan berbaju
putih yang membawanya lari itu pastilah seekor siluman rase! Kalau tidak kenapa dia
membiarkan dirinya dibuat permainan. Kenapa dia menyerah saja orang mengurung
padanya?" Mukanya Honghu Pek Hee merah dan panas. Orang telah mencacinya sebagai
siluman rase. Hebat sekali. Hampir dia menerjang daun jendela untuk lompat masuk
dan menghajar si mulut jahat. Baiknya ia dapat mengekang diri. Ia lantas mendengar
suara wanita yang lainnya, yang dipanggil Bibi Hui itu.
"Kapan kau belajar menjadi pendek pikiran?" tanya wanita itu.
Dia lantas tertawa manis. "Mengapa kau mencaci orang selagi urusan masih belum
terang" Itu suatu perbuatan sembrono dan lancang. Kau memaki dia sebagai siluman
rase, bukankah dia telah mencacimu sebagai perempuan hina-dina?"
Dari herannya, Honghu Pek Hee menjadi berdiri bengong.
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 121
yoza collection "Apakah dia telah mencuri mendengarkan pembicaraanku bersama adik Pek
didalam rimba?" demikian dia tanya dirinya sendiri.
Kat In Tong terdengar berkata pula, nadanya sangat sengit.
"Bibi Hui, kau keterlaluan?" teriaknya. "Kau telah mendengar orang mencaci aku,
kenapa kau diam saja" Kenapa kau tidak mau merobek mulutnya dengan segera"
Bahkan kenapa bibi membiarkannya lolos dan kabur?"
Selagi orang berkata itu, sang bibi terdengar berkata cepat. "Enak saja kau bicara!
Kau belum tahu bahwa orang telah datang kemari!
Pek Hee terkejut. Hebat Bibi Hui itu. Teranglah dia sudah ketahuan tentang
kedatangannya. Walaupun begitu, ia tidak takut bahkan ia lantas membentak: "Eh,
perempuan hina-dina! Kenapa kau mencaci dibelakang orang masih kau tidak mau
menggelinding keluar buat mengadu kepandaian?"
Kata-kata bengis itu disusul dengan loncatan turun dari atas loteng.
Sementara itu, dengan suara tersentak, daun pintu pun terpentang terbuka dan
tubuh seseorang mencelat keluar. Sebelum dia menjejakkan kakinya, dari mulutnya
sudah keluar dampratan: "Sudah kau mencaci orang, telah berani pula engkau datang
kemari! Hai perempuan hina-dina, kulihat rupanya kau sudah bosan hidup!"
"Eh!" Honghu Pek Hee membalas. "Kaulah yang tidak tahu malu! Tengah malam buta
kau sudah menyembunyikan orang laki-laki dalam kamarmu."
Seorang gadis putih bersih dicaci telah menyembunyikan laki-laki, apalagi kata-kata
itu diucapkan dihadapannya sendiri! Maka itu taklah heran kalau Kat In Tong menjadi
sangat gusar berbareng sangat penasaran, sehingga hampir menangis dan giginya
bersuara bercatrukan. "Hai, perempuan hina!" teriaknya, suaranya bergetar. "Kau sendiri yang datang
memfitnah!" Honghu Pek Hee tertawa hambar, ia pun sangat penasaran dan mendongkol.
"Siapa kebanyakan tempo buat mengadu lidah denganmu?" Bentaknya. "Kalau kau
tak takut mampus, marilah!"
"Fui!" tukas In Tong, yang lantas melompat maju untuk mendahului menyerang. Dia
kalah sabar, maka juga tak dapat dia membuang-buang tempo lagi!
Pek Hee sudah bersiap sedia. Dengan berani ia menyambut serangan itu. Ia tak
menghiraukan bahwa mereka akan keras lawan keras. Ia menyambut dengan tipu silat
"Genta dan Tambur Berbunyi Berbareng."
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 122
yoza collection Tepat tangan kedua pihak bakal bentrok satu dengan lain, mendadak ada satu
bayangan orang yang berlompat ketengah-tengah di antara mereka. Bayangan itu
muncul dari samping gerakannya sangat cepat bagaikan kilat berkelebat. Karena itu
kedua pihak berhasil dirintangi, yang satu berdiri tak dapat maju, yang lain tertarik
mundur! In Tong segera menoleh, maka dilihatnya Bibi Huinya yang merintangi mereka! Ia
menjadi penasaran sekali.
"Bagus, bibi!" serunya. "Jadi bibipun membantu orang luar menghina aku" Siapa
suruh bibi menggendong pria itu datang kemari hingga orang menjadi mempunyai
alasan mencaci maki kita?"
Mukanya sang bibi menjadi merah seketika, "Kau ngaco!" bentaknya. "Apakah kau
sudah edan" Hampir bibi ini menyerocos terus, mendadak ia ingat bahwa dua kali pernah ia
mempergoki In Tong berada berdua saja dengan Pek Kong didalam kamar. Maka ia
lantas menjadi sabar pula!
"Nah, terserah pada kalian . ." katanya perlahan, terus ia mengundurkan diri kesisi.
la seperti tak menghiraukan lagi kedua pemudi itu akan mengadu jiwa. Ia hanya
memikirkan, menghayalkan pengalamannya beberapa hari yang lalu.. . . . .
Waktu itu adalah magrib dan tiga hari yang baru lalu, matahari sudah doyong
kebarat, masih ada sinar layungnya. Ketika itu seorang diri ia menaiki burung
rajawalinya. Ia pesiar sampai jauh. Tengah burungnya itu terbang rendah, ia melihat
satu bayangan merah bergerak gerak ditanah. Kelihatan tubuh kecil langsing,
dipunggungnya tergendong entah barang apa. Dilihat selayang pandang tubuh orang
itu mirip tubuhnya Kat In Tong. Ia menjadi heran.
"Bocah itu keluar seorang diri, bikin apakah dia?" pikirnya.
Lantas ia memerintahkan burungnya: "Cui Cui, susul dia!"
Burung itu jinak dan mengerti, lantas dia menggerakkan kedua belah sayapnya
dengan cepat. Sebentar saja, dia sudah berada diatas orang berbaju merah yang berlarilari ditanah itu. Dia lantas terbang berputar-putar diatasnya orang itu.
Si Bibi Hui lantas mengawasi kebawah, kepada si baju merah itu. Sekarang ia bisa
melihat dengan tegas dan mengenali siapa orang itu. Dia bukannya Kat In Tong,
keponakannya itu. Dia itu ialah Cian Bin Jin Yauw si Siluman bermuka seribu, yang lagi
menggendong seorang muda dengan dandanan sebagai pelajar, yang rebah diam
seakan-akan sedang tidur.
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 123
yoza collection Lantas bibi ini menerka jelek. "Tentulah dia mau berbuat busuk!" Timbul niatnya
untuk menolong si anak muda. Dari punggung burungnya, yang ia terbangkan lebih
rendah lagi, ia lantas melompat turun tepat didepan wanita cantik yang sedang
menggendong orang laki-laki itu.
"Hai, Cian Bin Jin Yauw, hendak pergi ke manakah kau?" tegurnya. Wanita itu berhenti
berlari. Dia lantas mengawasi tajam. Dari mukanya yang menjadi merah, terang dia
tidak senang, bahkan gusar. "He, siapa kau?" Dia membalas membentak. "Kenapa semaumau kau mencaci aku sebagai siluman?"
"Siluman" ialah "jin yauw."
"Wajah setanmu dapat berubah-rubah!" bentak si bibi Hui. "Kau dapat mengelabui
lain orang tetapi tidak aku! Aku adalah Ang-Wee Hui Poey Hui! Didepanku, jangan kau
main gila!" Cian Bin Jin Yauw belum kenal Poey Hui belum pernah ia melihatnya, tetapi
julukannya itu "Ang Wee Hui" telah ia ketahui baik, sudah lama ia mendengarnya. Julukan
itu terdengar jauh sampai diperbatasan dan disegani orang. Pula ini pasti Ang Wee Hui
yang tulen (asli) sebab dia turunnya dari burung rajawali. Walaupun demikian, segera
ia merubah sikap, dari galak menjadi lunak-lunak manis budi. Begitulah tertawa riang.
"Lie hiap, sungguh namamu besar!" ia berkata. Ia sengaja memanggil "lie hiap,
pendekar wanita." "Tetapi kau telah menghadang di hadapanku ini, apa maksudmu" Apakah yang kau
kejar?" Poey Hui muak melihat ketawanya orang itu. Muka jelek bagaikan muka setan dari
wanita itu, berubah menjadi semakin buruk, lapun tertawa.
"Marilah kita berdua bersikap satu dengan lain seperti halnya air sumur tidak
mengganggu air kali," katanya, ramah tamah. "Mari kau berbuat baik padaku seperti juga
aku hendak berbuat baik terhadapmu. Tolong kau turunkan orang di punggungmu itu,
lantas kau lanjutkan terus perjalananmu dijalan besar umum! Selanjutnya kau bebas
merdeka!" Cian Bin Jin Yauw menjadi tidak puas, bahkan dia gusar juga.
Barang hidangan yang tinggal dicaplok saja disuruh dilepaskan lagi! Mana dapat"
"Hm!" ia menggeram. "Perempuan busuk, jangan kau mengira aku takut padamu.
Bukankah dikolong langit ini terdapat banyak pria cakap ganteng" Kenapa kau justeru
mau saling rebut denganku.. . . . . ?"
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 124
yoza collection Parasnya Ang Wee Hui menjadi merah. Tak disangka orang akan membalas dengan
kata-kata fitnah demikian! Sebab maksud yang sebenarnya ia mau menolong orang
secara selayaknya manusia terhadap sesama manusia, yang harus saling tolong.
Mendadak ia menjadi sangat gusar.
"Awas!" Serunya sambil menyerang. Tak sudi ia banyak omong lagi.
Ia mengebut dengan ujung tangan bajunya kedada lawan.
Cian Bin Jin Yauw menjadi salah satu dari It Koay Sam Yauw dari pulau Kauw Kie
To, ilmu silatnya tidak lemah, hanya karena dia menggendong tubuh orang, gerak
geriknya tak selincah seperti asalnya. Dia rada terhalang. Karenanya, walaupun dia
berkelit, bahu kanannya kena juga tersentuh anginnya serangan. Dia merasa sakit. Dia
lompat kesamping, gendongannya lantas diturunkan, diletakkan di tanah. Sesudah itu,
dia berpaling, bersiap melayani musuh. Tapi baru dia memutar tubuh, kebetulan sudah
tiba pula. Orang telah mendahuluinya. Sulit buat menangkis, tak dapat dia berkelit secara
biasanya, maka itu, guna menyelamatkan diri, terpaksa dia membuang dirinya ke tanah,
untuk terus bergulingan sejauh dua tombak. Itulah ilmu berkelit "Keledai Buduk
Bergulingan." Poey Hui telah berniat untuk membuat malu pula pada Cian Bin Jin Yauw, tapi
mendadak dilihatnya suatu bayangan hitam berlari-lari kearahnya. Ia menerka, tentu
pembantu dari lawan. Karena ia harus menolong orang, tak ingin ia berkelahi secara
bertele-tele. Itulah berbahaya! Maka tidak ayal lagi, ia lompat kepada orang yang
diletakkan ditanah itu, diangkat dan dipondongnya.. terus dibawa lompat kepunggung
burungnya, yang ia panggil turun. Dengan begitu selang sedetik ia dan orang yang
ditolongnya sudah dibawa terbang naik ke udara.
Sekarang penolong itu dapat melihat bahwa korbannya Cian Bin Jin Yauw itu adalah
seorang muda yang tampan, yang sekarang rebah dipangkuannya, hingga ia bisa
mengawasinya dengan leluasa, sendirinya ia merasa malu. Ia telah memeluk seorang
pria yang ia tidak kenal. Dilain pihak, diam-diam sendirinya, merasakannya manis
karena ia dapat berada berduaan dengan pemuda itu.
Sendirinya jantungnya memekai . .
Pemuda itu diam dengan matanya tak bercahaya dan hidungnya dingin. Teranglah
bahwa dia telah terkena racun yang jahat.
Pasti itulah racun Toat Pek Bie Hun San "bubuk Melupakan merampas Roh". Maka
lekas-lekas ia membawa orang itu pulang ke rumah keluarga Kat.
Kat In Tong heran tetapi ia diberitahu bahwa pemuda itu adalah saudara
seperguruannya dan ia diminta suka menyimpan rahasia supaya orang itu dijaga dan
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 125
yoza collection dirawat, sebab dia sendiri mesti pergi pula menyusul Cian Bin Jin Yauw, guna meminta
obat pemunah racun. Lain orang tak mempunyai obat mujarab itu. Mengenai halnya si
anak muda disembunyikan, sekalipun Pee Bie Lo-lo tidak diberitahu!
Hari itu tak dapat Poey Hui mencari Cian Bin Jin Yauw, maka ia terus mencarinya.
Lewat beberapa hari, sampai ia didepan Hui In Tong, gua Mega Terbang, dimana
kebetulan terlihat It Koay Sam Yauw tengah berkumpul.
Begitu Cian Bin Jin Yauw melihat si nona dia terus saja menyambutnya dengan
cacian kalang kabut, sebab dia mendongkol dan gusar sekali "korbannya" telah
dirampas dan dibawa lari.
"He, manusia busuk!" demikian si Siluman Bermuka Seribu mendamprat. "Jikalau kau
tidak kembalikan orang itu padaku, akan kubikin kau mampus tidak wajar!"
Poey Hui pun gusar, hendak ia menghajar pula, tetapi disitu ia melihat tiga orang
lain kawannya si mambang, ia lantas memikir-mikir. Ia menerka, andaikata ia menang,
ia tentu harus membuang buang tempo dahulu. Maka itu dengan dingin ia berkata: "Apa
katamu" Apakah kau sangka aku jeri terhadapmu" Tapi aku datang untuk mencari
permusuhan, aku hanya hendak minta sesuatu padamu, asal kau sudi menyerahkannya
suka aku memberi ampun padamu hingga lolos dari kematianmu! Kalau tidak.. .!"
Cian Bin Jin Yauw tertawa terkekeh.
"Jikalau tidak, kau tak akan mendapatkan rejeki, bukan?" dia balik menanya sambil
tertawa mengejek. "Kau tak akan memperoleh kepuasan, bukan" Hmm".. . . . .
Bukan main gusarnya Poen Hui. Tengah orang tertawa itu, mendadak ia menyerang,
tangannya dikibaskan dan dua cahaya berkilau bagaikan bintang bintang jatuh
meluncur pada wanita galak itu, kena pada mulutnya, hingga seketika juga runtuhan
dua buah giginya ! Sedangkan darahnya lantas keluar meleleh.
Menyaksikan kejadian itu maka Ban Hoa Yam Yauw dan Pek Leng Coa Yauw
menjadi gusar sekali, serentak mereka maju sambil tangannya menghunus masingmasing pedangnya, berbareng menyerang si nona. Sedangkan di pihak lain, Cian Bin Jin
repot dengan mulutnya yang terhajar kesakitan..
Ang Wee Hui tidak takut menghadapi banyak lawan. Ia berlaku tabah. Sembari
melayani Ban Hoa Yam Yauw dan Pek Leng Coa Yauw, ia juga saban-saban melirik ke
arah Cian Bin Jin Yauw, sambil menggunakan akal pura-pura terdesak, ia mundur
kearah jago racun itu. Begitu ia memperoleh kesempatan, mendadak ia lompat
menghampiri sembari mengulurkan tangan kirinya guna mencekik orang itu.
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 126
yoza collection It Koay. Satu Siluman, yaitu Lauw Koay Say Tauw Thay-swee, selalu memasang
mata. Ia belum turun tangan tetapi ia tidak lengah. Melihat bagaimana lihaynya lawan
nona itu, ia jadi berlaku waspada. Begitulah ia dapat melihat ketika kawannya si
mambang, terancam bahaya.
"Tahan!" ia berseru sambil menggoyangkan kepalanya. Maka rambutnya yang
panjang pada bangun berdiri dan menjadi kaku, terus meluncur menghajar nona
lawannya. Say Tauw Thay-swee Datuk Berkepala Singa rambutnya sangat liehay. It Koay atau
Lauw Koay Siluman tua melulu adalah pertanda baginya yang sendirian saja. Sekarang,
melayani si nona, baru ia menggunakan rambutnya itu.
Poey Hui menjauhkan diri dari rambut lawan, lalu ia memutar tubuh buat


Pendekar Yang Berbudi Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghadapinya. Diam-diam ia merasakan tenaga dalam yang kuat dari orang tua itu.
Sembari tertawa dingin ia menegur: "Bagus kelakuanmu, siluman tua! Beginilah
lagaknya seorang jago Rimba Persilatan yang ternama. Sudah kaumaju untuk
mengepung, kau juga membokong ! Tak takutkah kau, orang nanti menertawakan
karena kau main kroyok?"
Say Tauw Thay-swee gelak tertawa.
"Hai bocah, rupanya kau hendak mengenakan topi tinggi diatas kepalaku!" katanya.
"Baik kau ketahui, aku si tua tak nanti kena kau kelabui! Apakah kau kira, jikalau aku
menggunakan kepandaianku dengan sungguh-sungguh membantu kawan-kawanku ini,
tak segera aku akan berhasil " Hmmm!"
Poey Hui panas hati, tetapi ia mengendalikan diri. Ia tahu, kalau ia dikepung
berempat sulitnya merebut kemenangan. Maka tetap ia berlaku tenang.
"Fui!" serunya. "Jikalau benar kau yang disebut orang kelas satu, marilah bertanding
satu lawan satu! Beranikah kau?"
Sambil berkata begitu, si nona lantas lompat mundur setombak j auhnya.
Say Tauw Thay swee maju satu tindak.
"Tahan!" serunya. "Aku ingin tanya dahulu padamu! Kau membekal dua buah
gembolan kecil pada pinggangmu, adalah itu miliknya Pee Bio Lo-lo?"
Nona Poey dapat menerka, ada sebabnya kenapa orang menanyakan senjatanya
itu. Ia tidak mau menjawab langsung, ia hanya menggoda. "Kalau benar, bagaimana?"
Cinta Sepanjang Amazon 1 Matemacinta Karya Razy Bintang Argian Pendekar Pedang Dari Bu Tong 13

Cari Blog Ini