Pendekar Yang Berbudi Karya Okt Bagian 5
bukannya menunggu disitu, ia melainkan hendak merayap memasuki gua itu. Tapi
mendadak dari dalam gua terlihat seseorang merayap keluar. Orang itu mengenakan
ikat kepala. Hanya sejenak, ia lantas mengenali Pek Kong, sahabat yang menjadi pikiran
itu! "Ah!" serunya. "Justeru aku masuk mencari kau, kau keluar!" Dan dia menubruk dan
merangkul! Pek Kong melengak saking heran dan girang berbareng melihat sahabat itu. Iapun
bersyukur atas kecintaannya sang sahabat. Hanya sejenak kemudian ia menghela
napas. Katanya. "Aku sudah lolos dari bahaya, tetapi entah bagaimana dengan anak
muda yang menolong aku.. ."
Ho Tong pun ingat Tian Ceng, yang tidak muncul bersama sahabatnya ini.
"Kau maksudkan Tian Ceng ?" tanyanya. "Dia yang menyuruh aku menantikan disini.
Diapun memesan agar kita menunggu dijalan umum !"
"Bukannya begitu." kata Pek Kong, yang kuatir sangat. "Aku tak tahu dia dapat lolos
atau tidak.. ." Ho Tong lantas menunjukkan jempolnya, "Dia liehai luar biasa!" pujinya.
"Kalau orang Liong Pang melihat dia, mereka itu lantas saja menjadi katai hingga
separuh tubuhnya!" Pendekar Yang Berbudi - Halaman 170
yoza collection Si polos ini maksudkan bahwa orang menghormati anak muda itu sambil menjura
dalam. Pek Kong heran. Tapi waktu itu tak sempat ia berpikir banyak. Ia mesti lekas
menyingkir dari mulut gua. Maka bersama sahabatnya itu, menaiki bersama seekor
kuda, ia kabur mencari jalan besar, setelah tiba dijalan umum, lantas ia menahan
kudanya dan lompat turun buat bersama-sama duduk ditepian seraya menantikan Tian
Ceng, penolongnya itu. Disinilah mereka memasang omong, saling menuturkan atau berceritera. Pek Kong
sangat bersyukur. Dimana-mana ia mendapat pertolongan orang-orang Rimba
persilatan, sampai yang terakhir ini, ia ditolong Tian Ceng itu. Disamping kagum dan
bersyukur, ia insaf atas pentingnya ilmu silat.
"Mesti aku pelajari itu!" katanya, memperbulat tekadnya. Kemudian baru ia
menambahkan: "Seharusnya sekarang kita kembali ke Kimleng, kerumah keluarga Kat,
supaya hati mereka itu lega. Hanya entah kapan mereka itu pulang. Dilain pihak, Paman
Hauw sangat memerlukan obat, karena itu, aku pikir, baik kita lebih dulu pergi ke Ngo
Bwee Koan!" "Baik!" kata Ho Tong. "Aku akur! Sekarang tinggal tunggu Tian Ceng saja, lantas kita
berangkat !" Pek Kong setuju, maka bersama-sama mereka duduk terus untuk menantikan Tian
Ceng. Mereka melewatkan tempo dengan bicara tentang lain-lain hal. Tanpa merasa,
setengah jam sudah berlalu. Masih Tian Ceng tidak juga muncul.
Pek Kong berkuatir. Tidak lama, tampak beberapa orang muncul dari dalam semak-semak.
"Itu dia!" si polos berseru, tapi lantas dia melongo.
Dilihatnya serombongan orang dengan pakaian ringkas tapi diantaranya tak ada
Tian Ceng. Dari antara mereka itu yang seorang melangkah lebih jauh. Orang itu bertubuh
jangkung kurus. "Kalian dari golongan mana?" dia bertanya suaranya keras. "Kenapa kalian
memasuki tempat terlarang dari pusat kami" Jikalau kalian tidak dapat memberi
keterangan, jangan sesalkan apabila kami berlaku kurang ajar!"
Pek Kong tidak menjadi kaget. Ia meskipun lemah tetapi besar nyalinya. Sudah biasa
baginya menghadapi orang orang kasar dan galak. Ia pun memikir untuk jangan banyak
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 171
yoza collection omong, sebab kalau salah bicara, mereka berdua bisa menghadapi bahaya. Selagi ia
mau menjawab tiba tiba Ho Tong sudah mendahului.
Dengan tertawa lebar, si polos terus berkata: "Oh, kiranya itu urusan kecil! Diatas
ada Raja Langit, dibawah ada Ratu Bumi segalanya akulah Tok . .Ko.. ,Ong yang
bertanggung jawab! Kalian mau apa?"
Menyusul itu si polos ini mengangkat sebelah tangannya dibawa kedahinya. Ia
berbicara dan beraksi menyontoh Tian Ceng kemarin.
Si jangkung kurus itu nampak heran, dia mengawasi tajam, kemudian ia memberi
hormat dan menanya: "Mohon tanya she yang besar dan nama yang mulia dari kalian,
tuan-tuan yang terhormat" Kalian dari cabang yang mana dan hiocu siapa?"
"Akulah Tiat Lohan!" Ho Tong membentak. "Kalian semua tidak kenal aku, buat apa
kalian menanya banyak-banyak?"
Si jangkung kurus itu terkejut. Orang bertubuh besar, romannya bengis, suaranya
nyaring, bahkan gelarnyapun Tiat Lohan, si Arhat Besi. Segalanya itu mirip orang partai.
Hanya karena kemarin telah ada orang menerobos masuk dengan meminjam nama
hu-hoat, penegak hukum mereka, ia masih ingin kepastian. Untuk itu, ia bersedia buat
dibentak dan ditegur. Maka ia memberi hormat pula.
"Maaf, hiocu.. ." katanya, "Aku mohon bertanya, ada urusan apa hiocu datang
kewilayah kami ini?"
Tapi Ho Tong menjadi gusar.
"Urusan apa" Urusan apa?" bentaknya, bengis. "Ada urusan angin buruk! Tak
dapatkah orang berlalu lalang disini" Masih kau banyak rewel.. . . . . ?"
Kata-kata itu diakhiri dengan orangnya melangkah maju sambil meninju muka
orang itu. Si jangkung kurus mengerti silat, melihat datangnya tinju itu, ia berkelit dengan
sebat, tetapi tidak urung, ia kena terpukul juga hingga merasa nyeri. Ia tidak menjadi
gusar, bahkan sikap galak dari si dungu membuatnya percaya orang itu bukan orang
sembarangan. "Harap jangan gusar, hiocu!" ia berkata. "Aku yang rendah mendengar berita bahwa
ada orang jahat yang menyelundup kemari dengan memakai nama palsu, lantaran itu
kami . . . . . ." "Ngaco belo!" Ho Tong membentak pula. "Dia adalah dia, tetapi aku ialah. Masih kau
tidak mau menggelinding pergi!" Dan ia mengayun pula kepalannya!
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 172
yoza collection Kembali si dungu ini meniru lagaknya Tian Ceng.
Si jangkung kurus kaget, dengan satu siulan, dia mengajak kawan-kawannya kabur
mengangkat kaki! Pek Kong melongo sejak semula. Ia heran atas lagaknya Ho Tong itu. "Eh, barusan
apakah yang kau ucapkan?" tanyanya pelan. "Kenapa mereka itu kaget dan ketakutan
dan akhirnya kabur?"
Ho Tong tertawa gembira. Tak lagi romannya sebengis tadi.
"Inilah pelajaran yang aku tiru tadi dari Tian Ceng," sahutnya. Dan ia tuturkan
bagaimana sepak terjang anak muda itu diwaktu dia menghadapi orang-orang Tian
Liong Pang yang semuanya galak galak.
Lalu ia tertawa pula. "Jikalau demikian, tidak dapat kita berdiam lebih lama lagi disini," katanya Pek Kong
kemudian. "Mari kita berangkat lebih dahulu! Karena Tian Ceng juga mau pergi ke Ngo
Bwee Nia, kita tunggu saja ia disebelah depan. Sama juga, bukan?"
Ho Tong setuju, maka berangkatlah mereka. Tempo mereka tiba di Siang jiauw, hari
sudah terang tanah. Lantas mereka memasuki sebuah rumah makan, untuk mengisi
perut. Tengah mereka makan itu, ada orang yang dari dalam jalan keluar dan
mengawasi mereka, lantas dia berlalu dengan tergesa-gesa.
Pek Kong telah memperoleh pengalaman, otaknya menjadi terang, matanya menjadi
tajam, maka itu, melihat gerak-gerik orang itu, lantas timbul kecurigaannya.
"Mari lekas!" ia mengajak Ho Tong.
Mereka makan dengan cepat, terus membayar dan pergi. Mereka keluar dari pintu
kota belum lima lie, lantas mereka mendengar riuhnya suara banyak kaki kuda
dibelakang mereka, Pek Kong lantas berperasangka jelek.
"Lekas!" ia berkata kepada Ho Tong tanpa berpaling kebelakang.
Si polos mengerti, ia menjepit perut kudanya, Regel baru binatang tunggangan yang
jinak dan mengerti itu, lantas meringkik kupingnya menegak, lalu mengangkat keempat
kakinya kabur bagaikan terbang. Sebentar saja Pek Kong dan Ho Tong tak lagi
mendengar berbisikan kaki-kaki kuda dibelakang mereka seperti tadi.. .
Tentu saja, karena kudanya merat, kedua penunggang itu tak tahu sudah berapa
jauh perjalanan mereka. Hanya, segera mereka lihat disebelah depan, sebatang pohon
kayu roboh melintang ditengah jalan. Tepat pada saat itu dari dalam rimba disisi
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 173
yoza collection mereka, tampak berkelebatnya suatu cahaya terang yang disusul dengan hujan anak
panah. Kedua pemuda itu kaget. Justeru itu, kuda mereka meringkik keras, tubuhnya
melompat tinggi, maju terus kedepan. Maka semua anak panah lewat tanpa meminta
korban. Hanya di sebelah depan itu, ketika sang kuda menjejakkan kakinya ditanah, tibatiba dia terus jatuh tersungkur.
Kembali kedua pemuda itu menjadi sangat kaget. Apalagi mereka lantas melihat
dari empat penjuru datang berlarian orang orang dengan pakaian singset, semuanya
bertubuh besar. Mereka itu lantas mengambil sikap mengurung!
Ho Tong mengajak Pek Kong turun dari kuda, untuk memikir bagaimana harus
menghadapi banyak orang itu, guna meloloskan diri. Celakanya, mereka tak mengerti
ilmu silat dan juga tidak mempunyai senjata. Menyusul pengurungan itu lantas
terdengar siulan nyaring dan panjang, dan kemudian terlihat dua orang berlompat turun
dari atas pohon. Orang yang satu berkepala besar bagaikan gantang, matanya seperti kelenengan
tembaga, janggutnya merah, akan tetapi tubuhnya katai gemuk, pada dahinya tumbuh
segumpal rambut putih. Yang jadi kawannya bertubuh jangkung, kulit mukanya
bertotolan, kepalanya agak lancip mirip kepala mencak, matanya seperti mata tikus,
bersinar. Dia kalah keren tetapi menang wibawa. Usia mereka berdua lebih kurang
empat atau limapuluh tahun.
Si Katai yang tubuhnya terokmok itu mengawasi kedua anak muda kita, setelah itu
tertawa, kepalanya dimiringkan, matanya melirik.
"Koh Tongcu!" katanya, kepada kawannya, "apakah bocah muka putih ini yang kau
katakan telah memalsukan diri sebagai Khong hu hoat dan telah menerobos
menyelundup masuk melewati gua Cui Liam Tong?"
Orang yang dipanggil Koh Tongcu itu memperlihatkan roman sungguh-sungguh.
"Benar dia!" sahutnya. Si katai terokmok tertawa pula.
"Koh Tongcu, kau membesar besarkan perkara kecil!" katanya. "Buat menghadapi
kedua bocah ini, mestikah kita turun dengan sendiri?"
Orang yang dipanggil Koh Tongcu itu - ketua seksi Koh - memandang kawannya.
"Jangan salah mata, Beng Tongcu!" katanya; "Ilmu ringan tubuh bocah ini tak ada
dibawah ilmu kepandaian kita ! . . . . . ." Habis berkata, dia melangkah maju, tangannya
diangkat naik hendak menghajarnya.
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 174
yoza collection "Tunggu!" berkata si Beng Tongcu, si katai terokmok itu, yang mengajukan
tangannya, menangkis serangan kawan itu. "Kalau secara begini kita memperlakukan
mereka, apakah derajat kita tak turun karenanya" Apa kata orang, andaikata peristiwa
ini diketahui umum?" Kemudian, tanpa menanti sikap kawannya, ia menoleh ke belakang
sambil menanya dengan membentak, "Mana Ciauw bersaudara?"
Menjawab pertanyaan itu, dua orang berbareng mengajukan diri.
Pek Kong melihat dua orang itu sama tinggi, kira-kira tujuh kaki, senjatanya masingmasing sebatang toya. Mereka berdiri mendampingi si tongcu she Beng.
"Jual beli ini, kalianlah yang rebut hadiahnya!" berkata Beng Tongcu tertawa kepada
dua orang she Ciauw itu." Majulah!"
Dua orang itu menyambut anjuran tersebut dengan gembira. Berbareng mereka
menghampiri Pek Kong. Si anak muda bingung juga, tetapi di dalam hati, ia lega. Karena ia percaya Tian
Ceng sudah lolos dari ancaman petaka. Mereka itu tentunya menyangka ia adalah si
pemuda she Tian itu. Yang membingungkan yaitu bagaimana ia bisa menghindarkan
diri dari ancaman itu. "Baru satu kali aku bertemu saudara Tian itu, ia sudah berani mengorbankan segala
apa guna menolong aku," pikirnya. "Sahabat demikian bernyali besar dan budiman apa
halangannya kalau aku balas budinya dengan aku tak menyangkal disangka sebagai
dia" Baru saja aku bebas dari tangannya Tian Lay Mo Lie, dan itu pun berkat
pertolongannya. Maka itu, yang lahirkan aku ialah ayah bundaku, dan yang
menghidupkan aku ialah Tian Ceng!"
Sampai disitu, bulat sudah tekad pemuda ini. Dengan berani iapun maju guna
menghadapi kedua lawan itu. Tetapi ia tidak lantas menyambut serangan mereka.
"Tahan!" serunya. Terus ia tertawa. Ia menambahkan: "Kedua tongcu, buat
melawanku seorang, kalian sampai mengepalai banyak orang datang kemari, tidakkah
itu berlebihan" Bicara sebenarnya, dagingku satu orang masih tidak cukup untuk
memelihara serigala yang rakus. Nah tongcu, baik kalian maju berbareng aku sendiri
yang nanti melayani kalian!"
Pek Kong tidak mengerti silat tetapi setelah makan cuteng cuiko, buah cuteng cuiko
ia tahu badannya menjadi kuat dan ulet, bahkan suaranya bisa keras mengguntur.
Beng Tongcu terperanjat, dia menatap. Adalah diluar dugaannya suara orang ini
demikian keras, sedangkan nyalinyapun besar tak gentar menghadapi banyak orang.
Dia berani tanggung jawab sendiri. Tapi, ia adalah seorang yang besar kepala.
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 175
yoza collection "Hm!" katanya dingin. "Kau belum berarti apa-apa, bocah jangan kau banyak bicara!
Belum tentu kau bakal dapat mengalahkan dua saudara Ciauw !"
"Bagaimana andaikata aku yang menang ?" Pek Kong sengaja menegaskan. Tapi
lantas ia merasa, kata katanya itu terlalu lemah, dia bisa membuka rahasia sendiri,
maka lekas-lekas ia menambahkan. "Baiklah, akan aku beri kesempatan kepada kalian!
Kalian boleh berbareng menerima ajal kalian !" Beng Tongcu gelak tertawa. Dia melirik
si anak muda. "Kau hendak menggertak aku?" katanya. "Untuk itu kau harus berlatih dulu 30 tahun!
Tak dapat aku ditakut-takuti. Tapi kau cukup berani, maka suka aku memberi
kesempatan padamu! Inilah pertempuran yang pertama dan juga yang terakhir. Jikalau
tidak melayang jiwamu akan aku biarkan kalian berlalu dari sini tanpa gangguan! Kalau
sebaliknya, jangan kau sesalkan aku."
"Baik!" berseru Pek Kong, menyambut janji itu. "Akan aku bereskan dua orangmu ini,
supaya kau tak usah banyak bicara lagi!"
Benar anak muda ini mengepal tangannya.
"Mari maju!" tantangnya. Ia jadi berani seperti Ho Tong yang tak kenal takut.
Dua saudara Ciauw terkejut mendengar suara yang nyaring dan keras itu, tetapi
sekarang, melihat gerak gerik si anak muda, sendirinya mereka tertawa. Sedikitpun
mereka tidak gentar. "Adik Beng!" berkata orang yang lebih tua, "kau sendiripun cukup untuk melayani
dia!" Ciauw Beng, sang adik menyahut secara terus menancapkan toyanya ditanah
hingga melesak hampir separohnya. Lantas ia maju lebih jauh.
"Sambut!" serunya. Dia meluncurkan sebelah tangannya, tetapi itu hanya gertakan,
sebab terus ia merendah dan sebelah kakinya dipakai menyapu!
Pek Kong kaget menyaksikan tenaga orang demikian kuat, tetapi lega juga hatinya
melihat orang itu mau bertempur dengan tangan kosong. Sementara itu kembali ia
terkejut. Sebab selain diatas, iapun dihajar di bawah. Ia tidak bisa berkelahi. Karena
kaget didupak, iapun menyambutnya dengan dupakan pula.
Tanpa ampun lagi kedua kaki beradu. Menyusul kemudian jeritan keras orang
kesakitan, lalu tampak tubuh Ciauw Beng terpental roboh, kakinya patah.
Ho Tong kaget berbareng girang. Ia menyangka Pek Kong maju untuk berbicara,
maka ia menjadi kaget melihat mereka itu lantas bergebrak, karena ia tahu kawannya
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 176
yoza collection lemah dan belum pernah berkelahi. Namun kemudian ia menjadi girang mendapatkan
kawannya menang dalam satu gebrak saja itu. Ia bersorak-sorai seorang diri! "Bagus!
Bagus!" demikian ia berseru seru.
Beng Tongcu semua terkejut. Mereka tidak sangka akan berkesudahan demikian.
Kawan kawan Ciauw Beng kaget sebentar, lantas mereka lari maju sambil berseru
seru, toya mereka diputar.
"Lihat toyanya Ciauw Hiong!" demikian saudaranya Ciauw Beng berteriak. Dia terus
merabuh. Pek Kong bingung. Mana bisa ia menangkis atau berkelit dari toya itu"
Penglihatannya pun kabur. Tahu tahu lengannya terasa sakit. Sebab toya menyambar
ketangannya. Sendirinya ia mengangkat tangannya yang lain menyambar toya. Ia
berhasil. Maka dipegangnya toya itu erat-erat, dibantu lengannya yang sakit.
"Lepas tanganmu!" ia berteriak sembari menarik dengan keras.
Satu suara nyaring dari jatuhnya tubuh orang terdengar, maka disitu tampak Ciauw
Hiong roboh terguling, ketika toyanya ditarik, dia bertahan, cekalannya terlepas, kudakudanya runtuh, maka robohlah dia kebelakang jatuh tertunduk kesakitan dan tak dapat
segera bangkit berdiri. Dia jatuh terkena batu.
Semua lawan pada berdiri tercengang.
Menyaksikan keadaan buruk itu, Koh Tong-cu hendak mengajukan diri, tetapi Beng
Tongcu menarik tangannya seraya mengedipkan mata. Setelah itu, tongcu she Beng itu
berkata nyaring: "Oh, bocah yang baik, kau benar lihay! Aku telah berkata satu, tak akan
mau membilang dua. Maka itu pergilah kalian menyingkir!"
Ho Tong tidak puas. Lawan terlalu jumawa. Iapun benci melihat lagaknya si Kong
Pendekar Yang Berbudi Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tongcu itu. Maka ia berkata keras: "Jikalau kau berani maju, akan aku hajar kau hingga
kau terberak-berak."
Beng Tongcu itu tersohor gagah di dalam kalangannya sendiri, dalam Thian Liong
Pang juga di dalam dunia Rimba Persilatan dia telah mempunyai nama. Mana bisa dia
dihina si dungu itu" Tapi dia sudah melepas kata-kata, terpaksa dia menahan
amarahnya. Akan tetapi dia tetap penasaran, maka dia maju menghampiri sebuah batu
nisan, ia lantas memukulnya.
Hebat luar biasa serangan itu. Batu nisan itu roboh pecah. Lantas dia tertawa dingin
dan berkata bengis; "Nah, lihat ini, bocah tidak tahu mampus! Tanyalah dirimu sendiri,
adakah tubuhmu sekeras batu nisan ini?"
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 177
yoza collection Pek Kong tahu diri, tak sudi ia mencari susah, maka ia lantas menarik tangan
kawannya untuk diajak pergi. Katanya: "Jangan layani mereka, mari kita berangkat!" Dan
ia menarik juga kudanya, terus melompat naik. Begitu Ho Tong menyusul, kuda itu
dikeprak lagi. Beng Tongcu membubarkan orang-orangnya kemudian sembari tertawa ia
menoleh kepada Koh Tongcu, "bukan aku mau mengatakan kau terlalu berani, tetapi
dihadapan orang-orang kita, harus melihat gelagat. Dihadapan mereka itu, kalau kita
layani kedua bocah tadi, apakah kita tidak akan kehilangan derajat kita" Bukankah itu
berbahaya?" Koh Piauw menghela napas.
"Kau benar, saudara Beng Sin," katanya, masgul. "Hanya bocah tampan itu, dia adalah
barang "hidangannya" Thian Lay Sin Lie. Dia diserahkan kepada tanggung jawabku,
sekarang dia dapat lolos. Bagaimana andaikata Thian Lay Sin Lie meminta aku
menyerahkannya?" Beng Sin berpikir, kemudian ia menggoyang goyang kepala.
"Menurut aku," katanya kemudian," bocah tadi pasti bukan orang yang kau cari itu,
saudara Koh. Mungkin didalam hal ini ada terselip sesuatu yang aneh.. . . . . "
"Tetapi dia sendiri sudah mengaku, bagaimana kita bisa salah?" kata Koh Piauw.
"Inilah karena tadi aku melihat caranya dia berkelahi," Beng Sin menjawab: "Dia
memang dapat mengalahkan kedua saudara Ciauw tetapi gerakannya bukan gerakan
seorang yang mengerti silat. Ilmu ringan tubuh saudara sudah sempurna, bagaimana
saudara sampai tak sanggup menyandak dia. Sungguh aku tidak percaya! Maka itu, dia
mestinyalah lain orang."
Koh Piauw berpikir keras. Alasannya Beng Sin kuat, tetapi potongan tubuh dan
roman orang itu sama, satu dengan yang lain sangat mirip. "Roman mereka mirip, tapi
kepandaian mereka berlainan," katanya ragu-ragu. "Agaknya tidak ada lain jalan kecuali
kita menyusul dan menahannya, untuk mendapatkan kepastian." Beng Sin tertawa.
"Itu soal mudah!" katanya. "Satu hal yang telah aku pikir sejak semula. Aku melepas
harimau tetapi bukan untuk membiarkan dia pulang kegunungnya hingga menjadi
bebas merdeka. Aku sengaja membikin mereka masuk ke dalam jaring."
Koh Piauw heran hingga menatap kawan itu.
"Bagaimana?" tanyanya.
"Mari kita pergi sejauh beberapa puluh lie, nanti saudara ketahui sendiri!"
Berkata begitu, Beng Sin tertawa, lantas ia tarik tangan kawannya itu, diajak lari. Ia
menggunakan ilmu lari ringan tubuh.
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 178
yoza collection Koh Piauw mengikuti, otaknya bekerja karena heran atas sikap kawannya ini.
Sesudah lari beberapa saat, Beng Sin mengajak kawannya memasuki sebuah rimba,
yang rumputnya tinggi, setinggi orang berdiri. Kalau waktu itu bukan musim dingin dan
banyak daun pohon rontok, mungkin disitu orang tak dapat melihat langit.
Tiba di tengah-tengah rimba Beng Sin memasang telinga. Segera juga tampak air
mukanya berubah menjadi tegang. Ia terus jalan, sampai di tepi sebuah liang lebar.
Itulah lobang jebakan yang kosong. Lantas ia menepuk tangan tiga kali.
Selang sesaat, muncullah empat orang yang tubuhnya besar.
"Kawanan keledai dogol, kalian pergi ke mana?" tegur Tongcu itu, gusar. "Mana kedua
bocah itu" Kenapa mereka tak terpukul?"
Empat orang itu nampak bingung. Terang mereka ketakutan. Seorang diantaranya
berkata gugup: "Kami melakukan tugas tanpa alpa. Tadi kami mendengar suara
klenengan, lantas kami memburu kesini. Kami melihat seekor kuda bersama dua orang
penunggangnya terjeblos kedalam lobang perangkap. Lekas-lekas kami menggunakan
kaitan. Tepat itu waktu kuda itu memperlihatkan kepandaiannya, melompat keluar bersama
penunggangnya itu, lalu kabur tanpa dapat dicegah. Kami mengejar tetapi kami tak
sanggup menyandak, dalam waktu singkat, mereka sudah menghilang. Sekarang baru
saja kembali." Beng Sin melongo. Memang ia melepaskan Pek Kong dan Ho Tong karena ia
mengandalkan lobang jebakannya ini, siapa sangka ia gagal. Maka ia mendongkol dan
gusar. "Lekas kabarkan lain pusat!" teriaknya.
"Telah kami lepaskan burung dara kepusat Tong-bok-cee," sahut bawahannya itu.
Beng Sin menoleh kepada Koh Piauw, "Saudara, mari kita jalan selintasan lagi !"
katanya. Ia masgul dan penasaran. Ia lantas lari.
Koh Piauw mengikuti. Sementara itu Pek Kong sedang kabur menuju ke Ngo Bwee Koan. Memang tadi ia
dan Ho Tong telah terjeblos dalam lobang jebakan, syukur kudanya tidak terluka, dan
binatang luar biasa itu dapat melompat keluar, hingga mereka bisa kabur terus. Mereka
tak berani main ayal-ayalan lagi. Lewat tengah hari baru mereka mencari tempat sunyi
di tepi jalan, turun dan kuda, lalu duduk beristirahat sambil menangsel perut dengan
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 179
yoza collection bekal rangsum kering. Mereka tengah enak-enak makan, tiba-tiba mendengar suara
siulan di empat penjuru. "Itu tentulah musuh!.. " kata Pek Kong, curiga. "Mari kita pergi menyingkir!"
Dengan tersipu-sipu mereka bebenah, terus mereka naik keatas punggung kuda
dan kabur seketika. Belum ada setengah lie, mendadak mereka roboh bersama kuda
mereka. Tubuh mereka kena jaring penangkap binatang liar, hingga mereka tidak
berdaya. Segera muncullah beberapa orang. Mereka terus ditawan, digusur naik keatas
gunung. Tubuh mereka diringkus. Kemudian, mereka terus dihadapkan kepada Sam Gam
Tauwto Lih Seng, pemimpin dari benteng Tongbok-cee. Lih Seng adalah asal tauwto,
seorang pendeta dari kuil Siauw Lim Sie digunung Kiu Lian San. Perbedaan antara
hweeshio dan tauwto ialah: Kalau seorang pendeta hweeshio gundul kepalanya, tapi
tauwto, atau dhato, memelihara rambut. Tapi dia murtad, setelah dahinya dibikin codet
sebagai tanda, dia diusir dari rumah perguruannya. "Sam Gah" adalah julukannya, yang
berarti "Mata Tiga". Dalam ilmu silat, dia tak kalah dari keenam tongcu dari Thian Liong
Pang. Dia diterima baik oleh Tong Thian Tok Liong dan diberi kedudukan sebagai hiocu
dan ditempatkan di "benteng" Tong bok-cee itu. Hari itu dia menerima warta yang
dibawa burung dara, lantas ia memerintahkan orangnya berjaga jaga, kemudian tak
lama berselang ia menerima laporan tentang "musuh" sudah dapat ditawan. Maka ia
lantas muncul di ruangan depan untuk melihat orang orang tawanannya. Ia heran ketika
mengenali "Musuh" adalah bocah bocah usia belasan tahun, yang nampak masih hijau.
Maka ia menghampiri Pek Kong dan Ho Tong, dan menjaga dengan ramah.
"Kedua tuan-tuan." demikian tanyanya, "kenapa kalian bentrok dengan partai kami?"
Keduanya, Pek Kong dan Ho Tong diam saja. Pek Kong bukan karena anggapnya
tak ada perlunya memberikan keterangan.
Lih Seng bertubuh besar dan kekar, usianya kira-kira lima puluh tahun. Dia bermata
tajam tetapi tidak beroman bengis, sedangkan bicaranya halus dan sabar. Mulanya Pek
Kong ingin bicara tetapi tidak jadi setelah ia ingat toh orang partai Naga Langit itu
kesohor buruk. Sam Gan Tauwto mengawasi. Ia dapat menerka kedua anak muda itu dalam
kesulitan. "Tan wat muda," katanya, "tak ada halangannya kalian bicara padaku, mungkin
pinceng dapat membantu sesuatu."
"Tan wat," berarti penderma dan dipakai oleh kaum pendeta sebagai panggilan,
sama seperti panggilan "sio cu," penderma juga. Tan wat diambil dari kata-kata
sangsekerta, "dana pati".
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 180
yoza collection "Eh, buat apa kau ngaco tidak karuan !" Ho Tong menegur. Si polos ini tak sabaran,
"Bukankah lebih baik kau segera memerdekakan kami?"
Pendeta murtad itu menyeringai. Dia bersenyum sedih.
"Mudah bagi pinceng untuk memerdekakan kalian, asal lebih dahulu pinceng telah
memperoleh keterangan jelas," katanya, la tidak menjadi gusar dibentak-bentak.
Pikiran Pek Kong berubah melihat orang itu demikian sabar. Ia jadi menaruh
harapan. "Kalau kau mengatakan demikian, taysu," sahutnya, "kami pun tidak berani berdusta
terhadap taysu." Lantas anak muda ini menuturkan tentang bagaimana ia telah menjadi orang
tawanan, bagaimana ia bisa meloloskan diri. Tapi ia menutup rahasia tentang
pertolongan Tian Ceng. Sam Gan Tauwto diam, pikirannya bekerja. Kemudian ia menghela napas.
"Sebenarnya usia Thian Lay Mo Lie sudah lebih dari pada seratus tahun," katanya
kemudian. "Adalah diluar dugaan bahwa napsu birahinya masih tetap berkobarkobar.. .Hanya heran kenapakah kedua tongcu kami itu boleh membantunya didalam
urusan pribadi ini?" Pendeta ini masih mempunyai rasa perikemanusiaan, Iapun benci
pada orang-orang cabul. Maka itu ia berkesan baik terhadap Pek Kong dan memikir
untuk membebaskannya. Hanya, belum sempat ia mengambil keputusan, mendadak
tampak dua bayangan orang diluar ruang, dan muncullah kedua tongcu yang ia
maksudkan yaitu Beng Sin dan Koh Piauw. Lekas lekas ia untuk menyambut.
"Maafkan pinceng, kami tak tahu akan kedatangan Tongcu berdua," katanya hormat.
Cit Seng Bong segera melihat Pek Kong dan Ho Tong, yang terikat ditiang ruang
tengah. Bukan main girangnya. Ia tertawa dan berkata: "Dengan Lih Hiocu yang
bertanggung jawab, benarlah Tong-bok-cee tidak pernah gagal. Mari hiocu, kita jangan
sungkan sungkan, kau harus menerima hormatku tiga hadiah dari Pangcu!"
Sam Gan Tauwto berlaku hormat mempersilahkan tamu-tamunya duduk. Ia telah
berbuat pelanggaran didalam kuilnya, ia telah diusir, tetapi hati nuraninya belum padam,
maka juga tak puas ia dengan kata-kata dan sikap tongcu she Koh itu.
"Harap tongcu jangan memuji pinceng!" katanya, sungguh sungguh. "Sekarang ini
pinceng justeru memohon petunjuk, entah tongcu sudi memberikannya atau tidak?"
Cit Seng Bong belum tahu apa yang hendak diomongkan orang itu, enak saja ia
menjawab. Pendekar Yang Berbudi - Halaman 181
yoza collection "Asal hiocu minta, tak ada yang si orang she Koh tak meluluskan," demikian
sahutnya. "Tongcu, pinceng sangat berterima kasih dan bersyukur bahwa tongcu sudi
meluluskan permohonanku," katanya manis. "Apa yang pinceng hendak mohonkan
bukan lain hanya mereka itu.. " ia menunjuk kearah tiang rumah, kepada kedua pemuda
yang tertawan itu," supaya dua anak muda itu dapat dimerdekakan."
Koh Piauw tercengang. Permintaan itu diluar sangkaannya. Mendadak saja dia
menjadi tidak senang dan gusar, maka dengan karena dia mendamprat: "Hai, orang she
Lih, kau mirip anjing yang naik joli terhias! Kenapa kau tidak tahu diri" Bagaimana kau
berani menentang aku" Aku ingin bertanya, kau mempunyai berapa batok kepala?"
Dalam murkanya itu, tongcu ini segera melompat bangun dari kursinya.
Beng Sin terkejut. Ia pun tidak menyangka rekannya demikian mudah menjadi
gusar. Sebenarnya Pek Ngo Houw si Harimau Pitak ini kurang senang hatinya terhadap
rekannya itu disebabkan Koh Piauw tidak mau mencari keterangan dahulu, siapa
sebenarnya si anak muda, yang pandai berlari cepat atau yang tidak mengerti silat. Ia
tak kenal Pek Kong atau Tian Ceng, tetapi ia merasa, mesti ada dua orang pemuda yang
tersangkut dengan Thian Lay Mo Lie itu. Dan sekarang, tidak keruan-keruan rekan ini
mendamprat Lih Seng sedangkan tadinya Lih Seng telah bicara dengan baik dan lebih
dahulu mengajukan permintaan. Hebatnya lagi, Lih Seng itu adalah seorang hiocu, ketua
bagian yang kedudukannya sama setingkat dibawah tongcu.
"Sabar, saudara Koh," kata Beng Sin, yang tak menghendaki timbul perang saudara.
"Baiklah perkara diusut dahulu, baru kita mengambil keputusan."
Lih Seng tidak takut terhadap Koh Piauw, ia hanya kuatir Beng Sin nanti berpihak
kepada orang kasar itu. Karenanya ia bersabar sebisanya.
"Bukannya pinceng hendak menentang kau, tongcu," katanya lembut, "pinceng hanya
mementingkan Partai kita. Thian Liong Pang hendak memimpin dunia Rimba Persilatan,
untuk itu sudah tentu dia harus mengutamakan keadilan! Mana dapat kita melakukan
tindakan-tindakan yang serampangan. Kenapa kita harus membantu Thian Lay Mo Lie
dalam urusan pribadinya terhadap kedua anak muda ini" Itu toh bukan urusan
Partai.. . . . . " Ciat Seng Bong makin gusar mendengar kata-kata si pendeta, telinganya terasa
panas sekali, mukanya menjadi merah. Dia berdiri tegak.
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 182
yoza collection "Tutup mulutmu!" bentaknya. "Apakah aku dapat disamakan dengan kau" Mana bisa
kau mengajari aku?" "Sabar," Beng Sin datang mengetengahi. Ia cemas akan suasana itu.
"Mari dengar dahulu kata-kataku si orang she Beng.. . . . . "
Sementara itu Lih Seng sudah bangun berdiri tetapi mendengar suara Beng Sin itu,
ia duduk kembali. Koh Piauwpun duduk, karena sahabatnya memintanya.
Kemudian Beng Sin memandang kedua rekan itu. Ia merasa mereka itu tak begitu
saja akan bertempur. Karena itu, ia lantas mulai bicara lagi dengan sabar: "Thian Lay
Sin Lie adalah tamu agung Partai kita. Dia seorang jago selama seratus tahun, tenaga
bantuannya sangat diharapkan, karena itu kita harus dapat merendahkan diri. Tentang
urusan pribadinya kita tidak berhak mencampurinya. Mengenai anak muda ini, dia
dianggap bersalah karena mencoba menyelundup masuk ke dalam gua Cui Lian Tong
dengan memakai nama Khong Hu hoat, penegak hukum kita. Dia memasuki gua dimana
dia telah mengganggu ketentraman Sin Lie. Untuk menjaga gua itu, Sin Lie telah
meminta bantuan Koh Tongcu, dengan begitu Koh Tongcu bertanggung jawab atas
kesejahteraan gua. Lalu anak muda ini, dia telah dijamin oleh Koh Tong Cu untuk kembali
kegua itu, akan tetapi, baru saja dia keluar dari mulut gua, lantas dia sudah melanggar
janjinya, dia kabur melarikan diri."
Pek Kong dan Ho Tong mendengarkan keterangannya Beng Sin itu. Pek Kong
memasang telinga karena ia ingin tahu bagaimana Tian Ceng lolos. Ia dapat bersabar.
Tapi tidak demikian dengan Ho Tong. Si polos ini naik darah waktu mendengar Pek
Kong dikatakan "sudah melanggar janji." Tetapi ia bukannya mencaci, melainkan justeru
tertawa. Beng Sin si Harimau Pitak jadi mendongkol, Memangnya dia masih panas hati
karena tadi dia dicaci maki si polos. Dia lantas membentak dan mengancam: "Eh, jikalau
kau berani tertawa lagi, akan kuhajar kau hingga gigimu rontok!"
Ho Tong tidak takut. Tetapi melihat Pek Kong melirik padanya, ia lalu menutup mulut.
Beng Sin menyangka anak muda itu takut. Dia tertawa puas agak menghina. Lantas
dia meneruskan ceritanya: "Oleh karena itu kita harus membawa orang yang memalsu
sebagai Khong Hu hoat ini kepada Thian Lay Sin Lie, supaya Sin Lie sendiri yang
memutuskan. Sekarang tinggal orangnya. Pemuda ini belum tentu orang yang harus
kita tangkap. Karenanya, menurut aku, haruslah kita menanyakan dahulu kepadanya,
supaya urusan menjadi terang, kalau dia lantas diserahkan pada Sin Lie, entah
bagaimana kesudahannya nanti.
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 183
yoza collection Jikalau benar dia adalah orang yang dicari, urusan beres, kalau tidak, itulah yang
sulit. Nah sekarang bagaimana pikiran saudara berdua?"
Sam Gan Tauwto diam. Dalam hal itu, ia tidak tahu duduknya perkara, la cuma tahu
persoalannya menurut keterangan Pek Kong sendiri. Sebaliknya, Beng Sinpun tidak
berani memberi kepastian.
Koh Piauw ragu ragu tetapi akhirnya dia mengangguk menyatakan akur. Beng Sin
lantas bangun dari tempat duduknya, menghampiri Pek Kong. "Eh, anak muda," sapanya,
"bukankah kau telah dengar apa yang kuucapkan barusan" Sekarang urusan terserah
kepadamu. Pikirlah baik-baik! Asal kau bicara terus terang, itulah baik bagimu. Kalau
sebaliknya, berarti kau mencari jalan keneraka. Nah, bicaralah!"
Itu berarti saat hidup atau mati! Pek Kong tahu betul akan hal itu. Tapi ada kesulitan
baginya. Mana dapat ia memberikan keterangan yang sebenarnya" Tian Ceng telah
menolongnya, tanpa memperdulikan bahaya yang mengancamnya. Kenapa ia mesti
membuka rahasia penolong itu" Perbuatan yang sangat tidak berbudi, bahkan jahat!
Kalau ia membuka rahasia jiwa Tian Ceng bakal terancam bahaya. Sebaliknya ia sendiri,
kalau bicara dengan benar, belum tentu ia bisa bebas.. . . . .
"Asal aku mengakui aku telah mengelabui Khong Hu hoat, pasti aku bakal dibawa
pergi pada Thian Lay Mo Lie," pikirnya lebih jauh. "Disana tentulah aku bakal diperkosa
wanita cabul itu. Baiklah aku menyangkal."
Maka ia lantas menjawab bengis: "Kau manusia binatang, masih ada mukakah kau
untuk menanyakan keterangan padaku" Hari ini Pek Kong sudah terjatuh dalam tangan
kalian, segalanya terserah kepada kalian sendiri! Pek Kong tak akan mengkerutkan dahi
walaupun dia dibunuh dibelah dadanya!"
Pek Ngo Houw tertawa dingin.
"Kau ingin dibunuh, bocah?" katanya mengejek. "Tidak, aku justeru tidak mau
membunuhmu! Sekarang aku hendak kasih rasa dahulu kepadamu bagaimana
Pendekar Yang Berbudi Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sedapnya ilmu Hun Kin Co Kut!"
Itu adalah ilmu siksaan "Membagi-bagi Otot dan Mengacaukan Tulang tulang".
Begitu dia berkata, begitu Beng Sin menotok Pek Kong beberapa kali dipelbagai
jalan darah. Segera juga si anak muda gemetar, tubuhnya merengket dan menggigil,
dahinya memperlihatkan otot-otot matang biru, peluhnya keluar bercucuran. Dia
merasakan nyeri bukan buatan. Tapi dia menguatkan hati, dia merapatkan gigi, tak mau
dia mengeluh. Pendekar Yang Berbudi - Halaman 184
yoza collection Sam Gan Tauto menyaksikan penganiayaan itu. hatinya ngeri, ia tidak tega. Ia
merasa kasihan terhadap si anak muda yang ia percaya tubuhnya sangat lemah. Anak
muda itupun pelajar. Ia lantas memikir untuk campur bicara. Tapi, belum lagi ia
membuka mulutnya mendadak terdengarlah suara sangat nyaring dan berisik sekali,
lantas debu mengepul naik!
Sebuah tiang patah dan roboh, membikin payon seperti mau ambruk!
Dan itulah perbuatannya si Ho Tong si polos.
Tiat Lohan tidak tega menyaksikan kawannya disiksa, darahnya naik tanpa dapat
dicegah lagi. Karena ia diikat kepada tiang, ia lantas meronta membikin tambang
pengikatnya putus. Tetapi tenaganya berlebihan. Disamping tambang putus, tiangpun
tertarik hingga patah, maka hampir ambruklah sebagian ruang itu. Begitu dia bebas,
anak muda ini lantas menyerang si Harimau Pitak!
Beng Sin bukan sembarang orang, tak kena ia diserang anak muda yang tidak
mengerti silat itu. Ia berkelit dengan sebat, dan menyusul sebelah tangannya meluncur
menotok kearah jalan darah cie tiong dari penyerangnya. Tapi ketika itu tubuhnya Ho
Tong justru sedang bergerak kearah menyamping dan tangan kanannya sudah
melayang, maka tinjunya tepat mengenai bahu kiri penyerangnya hingga si penyerang
tertolak mundur dua tindak. Beng Sin terperanjat.
"Eh, bocah ini mempelajari ilmu apakah?" dia tanya dalam hatinya sendiri. Karena
ini ia jadi tidak berani alpa. Segera ia menyerang pula. Kali ini ia menggunakan pukulan
tangan. "Udara Kosong," hingga cukup kalau angin tinjunya yang mengenai lawan. Hebat
serangan itu, angin yang keras lantas meluncur kearah si anak muda yang polos itu!
Berbareng dengan serangan dahsyat itu, muncullah serangan serupa lainnya. Angin
kedua pihak lantas beradu satu dengan lain, hingga ruang itu terasa tergetar. Tapi ruang
tidak ambruk sebab masih tertahan tiang tiang lainnya.
Akibatnya bentrokan itu membuat tubuhnya Beng Sin limbung bergoyang-goyang,
tetapi masih sempat ia melompat keluar, karena ia khawatir ruang roboh. Yang lain
lainnya pun berlompatan keluar juga.
Disaat itu, diluar ruang, dihalaman terbuka, muncul dua orang asing lainnya, dua
orang wanita muda yang cantik-cantik. Karena itu Beng Sin lantas dapat menerka, nonanona itulah yang menentang dia! Maka wajarlah ia menjadi gusar sekali.
"Siapakah yang barusan membokong pun tongcu?" dia bertanya bengis. Dia tidak
menyebut "aku" hanya "pun-tongcu," yang berarti ia adalah seorang tongcu. Dengan
demikian ia sekalian memperkenalkan kedudukannya dalam partai Naga Langit.
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 185
yoza collection Salah seorang nona yang mengenakan pakaian serba putih, tertawa hambar.
"Kiranya kau seorang tongcu!" katanya, dingin, "Bagaimana tebal kulit mukamu "
Bagaimana kau tega menyerang seorang bocah dengan pukulan Udara Kosong yang
merupakan pukulan maut" Bahkan seorang bocah yang tak mengerti ilmu silat sama
sekali! Sudah begitu, kau juga berani memfitnah bahwa orang membokongmu!"
Hebat kata-kata itu bagi si tongcu, ketua sebuah seksi ketua Thian Liong Pang. Hebat
pula sebab totokannya kepala Ho Tong tidak mempan, karenanya anak muda itu tidak
kurang suatu apa! Karena ini, ia menjadi tidak percaya Ho Tong tidak mengerti silat
sama sekali. Dalam bingungnya itu, ia melayani si nona bicara.
"Siapakah kau?" tegurnya. "Bagaimana besar nyalimu hingga kau berani
mencampuri urusan pun-tongcu?"
Nona berpakaian putih itu tidak menghiraukan lagak jumawa si tongcu, acuh tak
acuh dia berpaling kepada kawannya, yang berdiri berendeng dengannya. Kawan itu
berpakaian merah seluruhnya. Sudah begitu, dia pun tertawa seenaknya.
"Kakak Hui!" katanya, "jangan kau memandang terlalu tinggi kepada seorang tongcu
dari Thian Liong Pang! Kau lihat sekarang, tongcu itu tak lebih kurang mirip dengan
kepala tombak lilin yang disepuh perak!"
"Kurang ajar!" berteriak Beng Sin, gusar sekali. "Kau banyak tingkah ya! Kau berani
sembarang mencaci orang! Jikalau kau tetap membangkitkan hawa amarahnya puntongcu, kau nanti bakal kuhajar seperti anak muda itu!"
"Fui !" si nona serba putih mengejek. "Buta kau rupanya ! Bukankah kau yang tempo
hari digunung Kun San sudah berpura pura menjadi orang yang baik hati" Bukankah
kau yang hari itu telah bicara baik untuk si siluman rase " Bagaimana sekarang kau
berlagak tidak mengenal aku?"
Bukan main panasnya hati si Harimau Pitak. Hendak dia menghajar, dia diingatkan
akan peristiwa dengan Kiu Bwee Ho si Rase Berekor Sembilan itu. Dia menjadi bingung.
Jadi nona-nona itu tak dapat dibuat permainan. Dia menyangka cuma Thian Lay Mo Lie
yang mencari si anak muda. Sekarang kiranya nona-nona ini pun demikian pula.
"Hajar dia!" mendadak Beng Sin dikejutkan suara mengguntur, hingga dia berpaling
dengan kaget. Maka dia melihat seorang nona berpakaian merah sedang melangkah
keluar dengan mengajak Pek Kong dan Ho Tong, kedua pemuda itu. Jadi, Pek Kong itu
telah dibebaskan, sedangkan Ho Tong sudah bebas semenjak tadi. Dan yang bersuara
seperti guntur itu ialah si anak muda yang ketolol-tololan itu! Ketika itu si nona baju
merah berpaling kepada si baju putih, dan berkata nyaring : "Kakak Honghu, jangan
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 186
yoza collection kasih ampun itu setan katai yang telengas bagaikan serigala ! Lihat, terhadap seorang
lemah pun dia tega menggunakan ilmu penganiayaan yang kejam sekali!"
Bukan main mendongkolnya Beng Sin. Tak dapat dia membiarkan orang
menghinanya demikian rupa. Tapi dasar dia licik, dalam keadaan seperti itu dia terus
mencari akal muslihat. Berbeda dengan si Harimau Pitak ini maka Cit Seng Bong, Koh Piauw si Ular Naga
Bintang Tujuh telah habis kesabarannya, tak dapat ia mengendalikan diri lagi!
"Jangan ngaco tidak keruan!" dia berteriak, "Hayo, siapa yang mau mendaftarkan
nama terlebih dahulu" Akan pun tongcu beri ajaran kepadanya!"
"Fui!" Honghu Pek Hee - demikian nona itu kedengaran mengejek. "Kiranya kau juga
seorang tongcu ! Maaf, maafkan aku! Karena melihat kedudukanmu yang tinggi, aku
bersedia memberi kesempatan padamu. Mari, sambutlah pukulan Hoan Soat Ciang
dariku sebanyak tiga jurus ! Kalau kau sanggup menyambutnya, akan aku tambah lagi
dengan pedang Hoat Soat Kiam, supaya kau mencoba mencicipi rasanya pedang!
Jikalau tidak, baiklah kau pergi ke istana Raja Neraka, untuk memohon keputusan pada
Hakim Cui Poan koan!.."
Kedua ilmu silat itu, seperti diketahui ialah pukulan tenaga kosong dan pedang
Membalik salju. Cit Seng Bong tidak sesabar Pek Ngo Houw. Sambil berseru, dia lantas menyerang,
kedua tangannya digunakan dengan keras.
Nona Pek Hee sudah bersiap sedia, cepat ia menutup diri. Maka kedua tangan
mereka bentrok satu dengan lain. Kesudahannya" Tubuh Koh Piauw menjadi limbung
hingga dia mundur dua langkah. Si nona Honghu cuma limbung sendikit, ia tak sampai
terpelanting. Hanya dengan satu bentrokan itu, terbedakan sudah kekuatan kedua belah pihak.
Tapi Koh Piauw adalah tongcu, ketua dari Hek Bong Tong, seksi ular naga hitam dari
Thian Liong Pang, partai Naga Langit. Ia malu kalau tidak sanggup menyambut pukulan
seorang nona, atau lebih benar, sambutannya nona itu.
Semua orang Tong bok-cee, tak terkecuali Beng Sin dan Sam Gan Tauwto,
semuanya terperanjat sekali. Hebat nona itu.
Tetapi Koh Piauw penasaran dia tak mau mengerti. Dengan perlahan dia mendesak
maju, matanya menatap bengis, tanpa berkedip sama sekali. Setelah mendekati si nona
setombak lebih, ia berhenti seraya terus memasang kuda-kudanya, dan segera
mengulangi serangannya. Dapat dimengerti bahwa ia dapat mengerahkan seluruh
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 187
yoza collection tenaganya dengan kedua belah tangannya itu, karena dia lagi dikuasai nafsu
amarahnya. Nona Pek Hee tetap bersedia-sedia, ia tidak gugup atau bingung. Tenaga dalamnya
telah dikerahkan, dipusatkan kepada kedua telapak tangannya. Dengan mata tajam, ia
mengawasi tangan lawan. Lagi satu kali, beradulah tangan kedua belah pihak!
Suatu suara nyaring mengikuti bentroknya kedua tangan itu.
Kemudian, bagaikan orang sinting disebabkan mabuk arak, tubuh Koh Piauw
mundur terhuyung huyung sampai tujuh langkah. Ketika ia mencoba berdiri tegak di
atas kakinya, ia masih limbung.
Nona Pek Hee pun tertolak, tetapi cuma mundur dua langkah. Hanya sekarang kulit
mukanya yang merah dadu berubah menjadi pucat dan napasnyapun bekerja lebih
cepat. Biar bagaimana, ia merasakan hebatnya serangan lawan.
Koh Piauw kaget berbareng penasaran dan sangat gusar. Sesudah dapat
menegakkan pula tubuhnya serta memusatkan perhatiannya, ia maju lagi, dan setelah
dekat kepada lawan, ia menyerang untuk ketiga kalinya! Dengan serangan sedahsyatdahsyatnya!
"Kau cari mampus!" Nona Honghu berseru.
Pek Hee telah bersiap terlebih dahulu. Iapun mendongkol karena bandelnya lawan.
Menuruti hatinya, ia hendak memberi hajaran keras. Tepat kedua tangan mereka hampir
beradu, mendadak kedua lawan itu menjadi kaget dan mundur sendirinya, karena
tangan mereka masing-masing tertolak dengan keras. Didepan mereka tampak dua
orang lain, ialah si Harimau Pitak Beng Sin dan Poey Hui kalau Beng Sin sambil mundur
tiga langkah, Nona Poey berdiri sambil bersenyum berseri-seri, hingga dia membuat
tongcu Thian Liong Pang itu melengak! Mereka berdua itu, seperti orang yang berjanji,
maju berbareng, untuk mencegah kawannya masing-masing terlukakan. Sebab kedua
lawan itu mengerahkan tenaga, tidak heran kalau mencegahnyapun dilakukan dengan
tenaga sepenuhnya. Dengan demikian terjadilah hal yang seperti itu.
Empat tenaga seperti beradu menjadi satu. Tenaga Nona Poey hebat, karenanya
Beng Sin tertolak mundur.
Koh Piauw bebas dari ancaman petaka yang ketiga kali, walaupun demikian,
keadaannya parah. Sebab pada bentrokan yang pertama dan kedua tadi, ia sudah
terluka didalam. Yang satu lebih hebat dari pada yang lain. Seolah-olah darahnya
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 188
yoza collection bergolak dan anggauta anggauta tubuhnya pada bergerak berpindahan. Begitulah,
selagi tubuhnya limbung, ia muntah darah terus roboh tak sadarkan diri!
Honghu Pek Hee tidak roboh, dia hanya limbung sedikit, cuma napasnya memburu.
Kat In Tong maju mendekati kawannya itu, memegangnya seraya menanya dengan
prihatin: "Bagaimana, kakak?"
"Tidak apa-apa," sahut Pek Hee. "Hendak kuhajar si setan katai itu!"
"Beristirahatlah, kakak, aku yang akan gantikan kau," In Tong bilang.
Nona Kat memang sudah gatal tangan habis berkata, ia maju.
"He, Setan katai, lekas kau keluar!" ia menantang.
Ketika itu Beng Sin, yang dikatakan setan katai itu, telah membisiki sesuatu kepada
Sam Gan Tauwto, dan telah menyuruh orang mengangkat pergi kawannya yang pingsan
itu, supaya bisa lekas ditolong. Seteiah itu, ia menghampiri nona Kat. Selama itu, sebagai
orang cerdik, ia telah berpikir. Ia menginsafi lihainya Pek Hee, lebih-lebih Poey Hui,
sebab barusan ia telah terhajar walaupun merasa bukannya bertempur, hanya mereka
bentrok secara kebetulan. Mengenai nona Kat ini, yang ia lihat usianya lebih muda, ia
beranggapan si nona mesti kalah lihai dari pada dua nona lainnya. Karenanya, suka ia
melayani untuk mencoba-coba, ia sangat mengharap memperoleh kemenangan,
supaya ia bisa menolong muka mereka.. . . . .
"Bocah kau jangan berjumawa!" katanya, keras. "Pun tongcu akan membuat kau mati
puas!" Ia lantas meloloskan senjatanya yang dinamakan Gan leng-to, golok Sayap Belibis.
Sembari memasang kuda-kuda, ia berseru: "Mari!" Walaupun demikian, ia tidak maju,
hanya memasang mata tajam.
In Tong sudah tidak sabaran. Ia menerima tantangan tanpa sungkan-sungkan. Dari
pinggangnya ia menarik genggamannya, ialah sepasang Solian-cui, bandring gembolan
kecil. Ia maju selangkah demi selangkah dengan sabar.
Beng Sin heran melihat senjatanya nona itu. Suatu senjata yang jarang dipakai
orang, apa lagi kaum wanita. Maka ia menjadi berpikir: Tapi karena ia tak memandang
berat kepada nona itu, timbul keinginannya untuk mencoba-coba.
Begitu kedua belah pihak berhadapan, si nona mendahului dan si pria menyambut
dengan menangkis sambil membacok. Maka beradulah kedua senjata hingga suaranya
terdengar nyaring dan berisik. Telapak tangannya nyeri dan nyernyeran, hingga dia
terperanjat. Tapi itu belum semua. Menyusul bentrokan itu maka bandring yang lainnya
menyusul mengarah bahunya.
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 189
yoza collection Bukan main kagetnya Beng Sin, terpaksa ia menghindarkan diri dengan mencelat
mundur. Ia menjadi mendongkol dan penasaran. Habis berkelit itu, ia terus melompat
maju pula untuk mengadakan pembalasan. Dengan satu bacokan Macan Galak
Menerkam Kambing" ia membacok kepala si nona. Tentu sekali ia mengeluarkan seluruh
tenaganya. In Tong melihat datangnya bacokan itu, dengan sebat ia berkelit kesamping, dan
terus membalasnya. Ia menggunakan tipu Bintang Sapu Menyambar Kilat", sepasang
banderingnya meluncur berbareng.
Beng Sin menyerang hanya untuk menggertak. Begitu ia diserang, ia mendahului
berkelit maka bandring si nona menyambar tempat kosong. Selagi bandring itu turun,
ia melompat menyerang goloknya berkelebat.
In Tong melihat cahaya golok itu, ia mengerti ada bahaya mengancam. Ia lekas
menarik kembali senjatanya sambil memperbaiki kedudukannya hingga ia jadi berada
disamping lawan. Dengan cepat ia meluncurkan tangan kirinya menotok!
Beng Sin terkejut. Ketika itu ia tengah melompat, tak sempat baginya menaruh kaki.
Kalau ia tidak menangkis, ia bisa celaka. Maka itu terpaksa ia membela tubuhnya
dengan menangkis serangan. Karena itu juga, tangan mereka beradu keras.
Kembali si Harimau pitak terkejut. Kali ini tubuhnya terpental kira-kira setombak
jauhnya. Syukur ia tidak terluka. Ia terpental justeru mendekati Bwee Hoa Chung, patok
"Bunga Bwee'", hanya diaturnya bukan seperti bunga tetapi berupa huruf "Banji", mirip
swastika terbalik. Lantas ia lompat naik keatas sebuah patok. "Eh, perempuan bau,
beranikah kau naik ke mari?" dia menantang, suaranya dingin, sikapnya jumawa.
"Siapa takut padamu?" bentak Nona Kat, yang penasaran karena orang itu tidak
roboh hingga ia menerima tantangan tanpa berpikir lagi. Ia masih muda sekali, mudah
saja ia menuruti suara hatinya, hingga ia tidak curiga sedikit juga.
Sebaliknya, si Harimau Pitak memikir cara menggunakan akal licik. Kedua lantas
bertempur pula diatas patok-patok itu. Disini diminta kegesitan, ketajaman mata,
ketrampilan menaruh kaki ditempat yang tepat, kalau tidak, setiap saat orang bisa
terpeleset atau terjeblos. Jangankan kena terhajar, roboh sendiri saja orang bisa celaka!
Oieh karena Pek Ngo Houw hendak menggunakan akal licik, ia sengaja membuat
dirinya terdesak. Kat In Tong menggunakan tipu silat "Sepasang Naga Mengenjot Air" dengan itu
dipaksa lawannya mundur kesuatu sudut, ia sendiri melompat maju, menaruh kaki
dipatok terakhir yang diinjak lawan barusan. Baru saja kakinya menginjak patok itu,
lantas ia menjadi kaget sekali. Kalau tadi diinjak Beng Sin patok itu kokoh kuat. Ketika
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 190
yoza collection diinjak olehnya sebaliknya meluruk hancur, hingga sendirinya ia terjeblos kebawah
patok-patok itu. Yang paling mengagetkan ialah ketika ia melihat, dibawah patok itu ada
tertancapkan banyak golok lancip yang tajam sekali. Berbareng dengan itu juga
seranganpun dilakukan lawan terhadap dirinya.
Nona itu lantas insaf bahwa ia telah kena tertipu lawan yang licik itu, bahwa selagi
ia terjeblos, ia sekaligus diserang. Syukur, walau ia masih muda, hatinya tabah. Selagi
jatuh itu, ia meringankan tubuhnya dan ketika sepatunya mengenai golok, dengan yang
sangat enteng, bisa ia menjejak hingga tubuhnya mumbul naik lagi, hingga ia bisa
menaruh kakinya disatu patok yang kuat, sedangkan serangan yang datang itu ia
singkirkan dengan sampokan bandringnya Ilmu ringan tubuh yang ia gunakan itu ialah
"Burung Walet Mumbul ke Awan.
Beng Sin kaget, kagum dan malu berbareng, waktu ia menyaksikan tipu dayanya
itu gagal. Ia tidak menyangka nona semuda itu sudah sedemikian liehai. Ia malu sendirinya
sebab ia memakai akal yang busuk itu. Tapi ia adalah seorang berpengalaman dan
cerdik. Untuk menutupi rasa malunya, ia justeru tertawa lebar, setelah itu dengan suara
dingin ia berkata mengejek: "Haha, hampir hilang jiwanya yang kecil! Jikalau kau benarbenar tidak takut mati, mari maju menyerbu kepedalaman benteng kami!"
Berkata begitu si Harimau Pitak segera menjauhkan diri dengan berlompat
kebelakang gunung gunungan yang berada di sampingnya, dengan begitu dalam
sekejap ia sudah menghilang!
Kat In Tong mendongkol sekali, ia lompat menyusul. Teriaknya: "Kemana kau hendak
lari?" Hanya sebentar, iapun telah berada di belakang gunung buatan itu.
Honghu Pek Hee mengkhawatirkan kawannya itu, apalagi dia itu sendirian saja.
Maka ia lantas lari menyusul tetapi selagi mau pergi ia menoleh kepaka Poey Hui
sambil berkata: "Bibi Hui, tolong lindungi mereka berdua, aku hendak melihat kakak Kat!"
Kata katanya itu terhenti dengan menghilangnya tubuhnya dibalik gunung.
Hatinya Poey Hui tidak senang. Sudah diketahuinya tabiat In Tong yang keras. Iapun
tahu Pek Hee tidak cukup sabar, bahkan nona Honghu tidak kenal takut. Maka ia juga
Pendekar Yang Berbudi Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hendak menyusul. "Kalian berdua pergi menantikan di kaki gunung, katanya pada Pek Kong berdua.
"Aku mau menyusul dahulu menyambut mereka itu!.. . . . . "
Si nona baru berkata begitu, mendadak ada anak anak panah menyambar
kearahnya. Ia kaget dan repot, lantas ia membolang balingkan kedua belah tangannya,
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 191
yoza collection yang berujung baju lebar, membikin semua anak panah itu terpental tanpa mengenai
sasarannya. "Mari turut aku," berseru si nona, yang melihat bahaya mengancam hebat. Tak
mudah membebaskan diri terus menerus dari hujan anak panah. Karenanya perlu ia
melindungi kedua anak muda itu. Ia membuka jalan untuk lari ke pintu benteng, untuk
menerobos ke luar dari jalanan yang buntu.
Syukurlah orang orang Tongbok-cee sudah ciut hatinya dan tak dapat menghalang
halangi mereka lolos. Hanya, begitu mereka bertiga tiba di tengah gunung, segera
mereka disambut dengan suara gembreng riuh. Mereka terus dihujani batu dan balokbalok yang selagi jatuh bergelinding itu mendengarkan suara yang sangat hebat dan
menakutkan. Celakalah siapa terbentur batu atau balok itu. Poey Hui menginsyafi hal itu, maka
itu untuk dapat lolos, tak lagi ia memperdulikan pepatah yang berbunyi: "Pria dan wanita
tak dapat berpegangan tangan" ia menyambar Pek Kong dan Ho Tong dikanan dan
kirinya, diangkatnya tubuh mereka dan diajak lari turun bagaikan terbang. Ia berlari
sambil bersiul nyaring! Menyusuli siulan itu, segera terdengar suara nyaring dari seekor burung rajawali.
Suaranya berkumandang dilembah lembah, sebelum Pek Kong dan Ho Tong dapat
melihat apa-apa, mereka telah merasakan sambaran angin dan kaki mereka menginjak
barang sesuatu, tubuh mereka tak lagi terangkat terenteng. Tadinya merekapun kaget
sebab dibawa lari secara luar biasa oleh Nona Poey. Setelah mereka melihat tegas,
mereka menjadi heran dan kagum. Kiranya mereka bertiga telah berada dipunggung
burung raksasa yang tadi bersuara bagaikan guruh itu.
Tak lama kemudian binatang bersayap itu sudah turun ketanah ditempat yang
aman. Dengan didahului si nona, kedua pemuda itu turut turun dari punggung burung
itu. Lantas Poey Hui berkata: "Selayaknya kalian berdua menantikan disini, sekarang tak
dapat kalian berbuat demikian, khawatir musuh nanti datang mengejar. Maka itu baiklah
kalian berangkat terlebih dahulu, atau kalian mencari tempat bersembunyi. Aku sendiri
hendak menyusul mereka berdua, setelah itu kami akan cari kalian."
"Nona . ." kata Pek Kong.
Cuma sebegitu anak muda ini sempat membuka mulutnya, si nona sudah lantas
dibawa terbang oleh burungnya yang jinak dan mengerti luar biasa itu. Si nonapun
pergi sambil tertawa. Maka ia menghela nafas dan berkata.
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 192
yoza collection "Kecewa aku jadi pria." Ia pun mengawasi si nona terbang naik ke atas bukit dan
lenyap. Karenanya ia lantas berkata pada Ho Tong: "Mari kita pergi!"
Ho Tong bagaikan orang baru tersadar dari tidurnya yang nyenyak, iapun sangat
kagum. Ia berkata: "Burung itu lebih hebat dari pada kudaku! Kalau kita menuggang
kuda atau burung, pasti kita sudah sampai di Ngo Bwee Koan.. "
"Kau ngelindur!" kata Pek Kong tertawa.
"Burung itu milik lain orang dan kudamupun sudah hilang.. "
Ho Tong melengak mendengar sahabatnya mengatakan bahwa kudanya sudah
hilang. Tetapi hanya sebentar, ia tertawa.
"Nanti aku mencoba memanggilnya." katanya. Dan terus bersiul dua kali beruntun.
Belum lama siulan itu lenyap, maka dikejauhan terdengar ringkik kuda, terus tampak
sesuatu yang hitam dan besar lari mendatangi. Kiranya itulah kuda si polos, lengkap
dan tak kurang suatu apa-apa. Pek Kong menghela napas, hatinya lega.
"Aku kalah dengan kuda.. " katanya masgul. "Dia masih dapat melawan musuh."
Ho Tong puas melihat kudanya tak hilang, tetapi melihat sahabatnya berduka ia
tersenyum dan berkata. "Jangan kau berkecil hati jangan takut! Kalau usaha kita sudah
berhasil, sesampainya dirumah, kita nanti minta paman Houw mengajarkan kita ilmu
silat. Andaikata paman menolak, tak dapatkah kita belajar dari nona-nona itu saja!"
Mau atau tidak Pek Kong tersenyum. "Nah, marilah," dia mengajak. Maka naiklah
mereka keatas punggung kuda untuk melanjutkan perjalanan. Ditengah jalan mereka
menerka-nerka, bagaimana dengan nona-nona itu.. . . . .
Sementara itu Kat In Tong terus mengejar Beng Sin. Ia penasaran hingga tak
khawatir bakal terpedayakan lagi. Setelah melewati gunung gunungan itu, ia melihat
sebuah goa yang mulutnya setinggi orang dan didinding mulut goa itu terdapat ukiran
4 huruf besar, bunyinya: "Kalau Takut Jangan Masuk."
"Hm!" ia mengasih dengar suaranya saking mendongkol dan memandang rendah.
Ia menduga, Beng Sin tentunya telah masuk kedalam goa itu, sebab disitu tidak ada
tempat bersembunyi lainnya. Iapun mengira, didalam goa mesti ada disembunyikan
sesuatu, tetapi selagi hatinya panas, ia tidak memperdulikannya.
Tanpa sangsi sedikit jua ia mengangkat kaki, melangkah masuk kedalam gua!
Dua pengkolan telah dilewati, lantas lenyap sudah cahaya terang yang masuk dari
luar. Terowongan menjadi gelap. Tapi kegelapan tidak menjadi rintangan bagi nona ini,
yang pernah mempelajari latihan berjalan ditempat gelap. Walaupun samar samar, ia
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 193
yoza collection bisa melihat segala sesuatu. Kosong disitu, kecuali undakan tangga batu. Maka ia
berpikir: "Benarkah ada alat alat rahasia disini atau orang bersembunyi ?" Kendati
demikian pada waktu berjalan terus ia tetap waspada memasang mata.
Si nona melangkah dengan sangat perlahan supaya tidak menimbulkan suara apaapa.
Kira-kira beberapa detik kemudian, terdengarlah suara bergemuruh beberapa kali.
In Tong menghentikan langkahnya. Ia memandang tajam. Di depannya ia
menyaksikan tanah melesak turun. Menyusul itu, berhenti sudah suara nyaring itu. Ia
menempelkan tubuhnya pada dinding, lalu melongok ketempat melesak itu. Disisinya
terdapat sebuah liang sedalam tiga tombak, lobangnya cukup lebar tetapi dasarnya
kosong. Setelah mengawasi sekian lama sambil otaknya bekerja, ln Tong memungut sebutir
batu dan menimpuk kedalam lobang yang mirip sumur itu. Sebagai kesudahan dari itu,
terjadi lah hal yang mengejutkan. Yaitu dari dasar liang menyambar nyambar sejumlah
anak panah, menyambar bersilang siur. Andaikata ada orang memasuki sumur itu, dia
akan tewas oleh anak panah itu.
"Syukur aku teliti.. ." kata ln Tong dalam hati. Justeru ia berpikir itu, sekonyong
konyong ada sambaran angin keras dari arah belakangnya. Ia terkejut. Ia menduga
kepada serangan gelap. Wajar saja, ia berkelit sambil berlompat keluar. Tiba tiba ia
melihat Hong-hu Pek Hee berdiri berhadapan dengannya.
"Ah!" serunya, lega hatinya. "Kau membuatku kaget!.. ." Pek Hee tertawa.
"Anak nakal!" katanya. "Kau tahu, aku datang kemari untuk mati bersamamu,
bagaimana kau berani menyesalkan aku?"
"Tak apalah kalau kita mati bersama! kata In Tong yang turut tertawa. "Kalau ada
orang yang menemani kita jadi tidak kesepian, bukan" Kalau tadi aku lompat turun
kedalam sumur itu, pastilah aku tak akan dapat naik lagi!"
"Nah, sekarang saja kau terjun!" Nona Hong-hu menyahut.
"Tidak! Coba bilang, didalam sumur itu ada ancaman atau tidak"
"Buat apa kau tanya-tanya " Kenapa kau tidak mau mencoba saja?"
In Tong tidak menjawab, hanya kembali ia mengambil batu dan menimpuk lagi
kedasar sumur itu. Kembali hujan saling menyambar.
Honghu Pek Hee diam mengawasi.
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 194
yoza collection Nona Kat penasaran, katanya, "Ingin aku lihat, sebenarnya ada berapa banyak anak
panah ini!" Dan lantas dia menimpuk berulang-ulang sampai belasan kali.
Anak panah menghentikannya. menyambar-nyambar, sampai timpukan yang terakhir "Nah habis juga!" kata In Tong tertawa puas. "Mari kita lompat turun!" Dan lantas ia
mendahului terjun. Pek Hee mengikuti. In Tong baru menjejakkan kaki, tiba-tiba ada angin keras menyambarnya.
EK HEE pun merasakan angin itu, hingga ia kaget. Lantas ia menyerang
keatas, telapak tangannya dibuka.
Satu suara nyaring terdengar. Kiranya tangan itu beradu dengan papan besi.
"Celaka !" nona ini berseru. Ia mengangkat kepalanya, melihat ke atas.
Entah dari mana munculnya, papan besi yang turun menindih.
"Kita jadi kura-kura dalam korang.. . . . . !" kata Nona Honghu menyeringai.
"Jangan perdulikan dia !" kata In Tong sengit. Bagusnya papan besi itu tidak turun
terus, hingga mereka tak tertindih, cuma tertutup saja. "Bukankah kau lihat itu ukiran
huruf hidup dan mati di dinding" Disini jadi ada jalan! Nah, kita pilih yang mana?"
Itu soal sulit. Ditempat rahasia itu, kedua kata-kata itu pasti mempunyai arti serupa.
Hidup dan mati tentulah untuk membingungkan saja. Sedangkan menurut ilmu perang
ada pepatah yang berbunyi: "Berisi itu kosong. Kosong itu berisi! Sedangkan dijaman
Tiga Negara, oleh Khong Beng, penasihat negara dari Kerajaan Han dari Lauw Pie,
pepatah itu di balik menjadi: "Kosong ya kosong Berisi ya berisi."
Honghu Pek Hee tidak kenal takut, tetapi ia toh tahu-tahu memikirkan dua kata-kata
itu. Jalan mana yang harus diambil, jalan hidup atau jalan mati"
In Tong pun berpikir. Tiba-tiba dia tertawa.
"Baik kita turut kata-kata umum, dari mati kita mencari hidup! katanya. "Mari kita
terjang kota iblis saja! Paling juga dua-duanya ialah jalan mati!"
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 195
yoza collection "Kata-katamu beralasan juga," berkata Pek Hee. "Cuma kau harus jangan lupakan
kebiasaan kita kaum persilatan: Kita biasa beradat tinggi. Biasanya kita menyerbu jalan
mati biarpun kita tahu jalan mati itu terlebih berbahaya! Inilah sebabnya kenapa orang
yang memasang perangkap suka mengutamakan istilah hidup dan mati itu. Bukankah
ini sama dengan: gua kehidupan digembleng gua kematian sukar dilalui?"
Nona Kat berpikir. Ia menganggap kawan itu benar.
"Baiklah, aku turutkan!" bilangnya.
Honghu Pek Hee segera bergerak memasuki gua dengan huruf hidup itu. In Tong
telah mendampinginya. Berhati-hati mereka berjalan. Baru sejauh satu tombak lebih dibelakang mereka,
terdengar satu suara nyaring kemudian gua menjadi gelap seketika. Ternyata jalan
yang baru dilalui mereka telah tertutup!
Mereka tidak takut. Mereka maju terus.
Tiba-tiba didepan mereka muncul sehelai kain putih yang terbeber dari
gulungannya seperti gulungan gambar lukisan, bertuliskan: "Mahluk temaha hidup tetapi
takut mati, lekas kau pulang ke rumah orang tuamu!"
Itulah artinya ancaman kematian.
Nona Honghu gusar sekali, dengan satu sampokan, ia robek tulisan itu!
"Baiklah, akan kulabrak sarang ini!" katanya sengit. Ia melihat In Tong menggunakan
senjata panjang tak leluasa senjata itu dipakai ditempat yang sempit. Maka ia lantas
menghunus sepasang pedangnya, yang satu diberikannya kepada kawannya itu sambil
memberitahukan: "Pedangku ini tajam luar biasa, yang sebilah ini kupinjamkan padamu!"
Habis berkata demikian, tanpa menanti jawaban, ia maju kedepan.
In Tong mengikuti kawannya itu.
Mereka maju dengan berhati hati. Jalannya perlahan-lahan mendaki. Setelah satu
pengkolan, mereka berada didalam sebuah ruang tiga tombak lebar dan tak ada pintu
yang lainnya lagi, tak ada tembusannya juga. Maka mereka lantas meneliti dinding
kalau-kalau disitu ada sesuatu alat rahasianya.
Tiba-tiba terdengar suara menggabruk hebat dibelakang mereka, hingga mereka
terkejut, apalagi sesudah mereka berpaling dengan segera. Terlihat daun pintu rahasia
yang terbuat dari besi turun dari atas, hingga ruang itu tertutup di empat penjuru!
"Hahaha!" In Tong tertawa. "Mereka mengundang kita berdiam disini buat
merayakan tahun baru!"
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 196
yoza collection Nona Honghupun tertawa. Tetap ia tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya melanjutkan
memeriksa dinding, sampai ia mendapatkan sela-sela yang sangat halus.
"Bukankah ini alat rahasianya?" tanyanya girang.
Lantas nona ini meneliti lebih jauh.
Tengah ia melakukan itu, ia melihat sela-sela itu bergerak sendirinya, perlahanlahan terbuka renggang sampai 3 kaki lebarnya. Ia memikir untuk masuk ke sebelah
dalam itu, tiba-tiba In Tong mendahuluinya.
Sambil berseru saking girang, nona Kat melompat maju.
"Tunggu!" Pek Hee mencegah sambil menyambar menarik lengan kawannya. "Alat
ini bekerja sendirinya, ini sangat mencurigakan." Belum berhenti suara si nona,
mendadak satu serangan gelap datang dengan tiba-tiba. Sebuah peluru sebesar
gantang melesat dari dalam sela-sela itu.
Dengan terperanjat, kedua nona itu berkelit kesamping. Maka peluru itu menghajar
terobos dibelakang mereka, terus terpental balik. Baru kira kira peluru itu sampai
ditengah ruang, dari ruang sebelah datang pula serangan yang lain, dengan begitu
kedua peluru itu menjadi saling berbenturan, hingga terdengar suaranya yang keras
memekakkan telinga. Tetapi itu belum semua. Sesudah peluru yang kedua ini, melesat pula yang ke 3,
disusul yang ke 4, hingga terulang kejadian kedua peluru saling membentur. Kejadian
itu susul menyusul berulang-ulang. Hingga kesudahannya ruang itu seperti penuh
dengan peluruh besi! Selama peluru saling membentur dan mental sana mental sini itu, Pek Hee dan In
Tong repot menjaga diri. Mereka mesti berkelit berlompatan, supaya tidak menjadi
sasaran yang tak diinginkan. Merekapun lompat nempel ke dinding dengan
menggunakan "Pek-houw Kang," yaitu Ilmu Cecak.
"Celaka!" kata In Tong terkejut. "Berapa lama kita depat bertahan begini macam?"
Pek Hee tertawa. "Ini karena terpaksa, saudaraku!" katanya. "Tidak ada jalan lain, kita harus menyerbu!"
Nona Honghu kawatir kawan itu nanti mendahuluinya. Maka sambil berkata begitu, ia
memasang mata, menanti sampai sebuah peluru melesat keluar. Sebelum peluru itu
mengenai dinding dan mental balik, dan sebelum peluru lainnya menyusul menyambar,
ia mendahului melompat keruang sebelah itu dengan lompatan "Coan In Koan Jit"
(Menembusi Mega, Menyerbu Matahari), tubuhnya melesat kelain ruang atau kamar batu
seperti yang semula itu. Disini ia mendapatkan sebuah alat pelontar peluru. Didalam
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 197
yoza collection tempo sangat pendek, ia belum tahu dari mana datangnya peluru-peluru besi itu. Maka
ia lantas memeriksa. Kiranya pelurunya turun dari atas dengan perantara sebuah
gelang besi. Ketika ia mencoba membetot gelang itu, pelurunya turun terus menyambar
kekamar sebelah. Menemukan hal itu, bukan main girangnya.
"In Tong, lekas kemari !" ia berseru memanggil.
Nona Kat menyahuti, terus ia melompat menghampiri kawannya itu. Setelah
menyaksikan alat rahasia itu, dia heran dan kagum.
"Ah, kenapa tak ada seorang jua disini ?" tanyanya. "Kenapa alat ini ditinggalkan dan
dibiarkan hingga orang yang dikurungnya dapat menggunakannya" Jangan-jangan
masih ada lain rahasia yang bersangkut-paut dengannya."
"Memang!" Pek Hee membenarkan. "Bahkan disini mesti ada pintu rahasianya! Kalau
tidak kemana sembunyinya orang yang tadi berada disini dan mengerjakan alat rahasia
ini?" Tengah kedua nona itu berbicara, maka keduanya lantas menengadah melihat ke
atas. Tampaknya oleh mereka sebuah lubang. Dari lubang itu tampak sinar terang dari
matahari. Hanya sekejap, liang itu telah tertutup lagi dan hilang!
Menyaksikan kejadian itu, Pek Hee lantas berpikir, kemudian ia berkata: "Diatas ada
liang hidup, diatas tentu ada orang. Itu berarti ada sesuatu ruang. Aku percaya, tutup
liang itu bukannya benda terlalu tebal, maka marilah kita serbu! Aku rasa dapat kita
mengandalkan pedang tajam kita ini!"
"Akur!" Jawab In Tong cepat. Dia bersemangat sekali. "Biarlah aku yang mulai!" Ia
pun lantas mengembalikan pedang Nona Honghu.
"Apakah kau tidak mau pakai pedang?"
"Hendak kucoba dahulu bandringku!" Nona Kat segera meloloskan sebatang
bandringnya, terus ia bersiap. Dengan cepat ia menyerang keatas!
Suara keras mengiringi suara itu, lantas di langitan tampak sebuah lubang besar
dua atau tiga kaki, hingga sinar terang lantas tampak. Melihat itu, Pek Hee tertawa.
"Aku menyangka alat rahasia Tong Bok Cee sangat lihay," katanya, "kiranya cuma
sebegini kalau begitu, dapatkah mereka mengekang kita?"
Berkata begitu, si nona mengawasi keatas. Ia merasa diatas langitan itu benar ada
sebuah ruang. "Mari kita coba," katanya seraya terus ia menjejak tanah untuk berlompat naik,
tangannya diulur, menjambret lobang itu.
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 198
yoza collection
Pendekar Yang Berbudi Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba saja dari atas, dari dalam ruang itu, terdengar satu suara yang aneh, lantas
terasa juga angin menyambar.
Pek Hee terkejut, segera ia menjatuhkan diri. Ketika ia melihat keatas, tampaklah
sebuah bayangan hitam, disusul dengan suara pekikan beberapa kali.
Ketika In Tong turut mengawasi keatas, ke mulut lobang, disitu tampak satu kepala
mahluk mirip anjing. "Eh, mahluk apakah itu?" tanyanya heran.
Nona Honghu pun telah melihatnya. "Itulah kera fufu!" katanya, "Kera itu mempunyai
muka seperti anjing, tenaganya besar, kulitnya tebal tak mudah mempan senjata. Kita
harus mencari daya upaya untuk menghadapinya."
"Apakah pedang kakak tak dapat digunakan?"
"Tentu saja dapat! Namun binatang itu sangat gesit dan lincah."
"Baik kakak menggunakan pedang, aku akan memakai banderingku.
Selagi aku membandering dan menyambarnya, kakak hajar ia dengan pedang!"
"Baik!" Pek Hee menyatakan setuju, ia tertawa. "Sebenarnya tak usah kita
menggunakan pedang, cukup kalau kita hajar dia dengan tangan kosong!"
Kembali terlihat kera semacam anjing itu mengintai dimuka lobang, mulutnya
dipentang kedua giginya dipertontonkan hingga tampak sangat bengis.
Pek Hee pindahkan sepasang pedangnya ke tangan kiri, tangan kanannya disiapkan.
Selagi tubuhnya mencelat naik, ia menghajar sang kera.
Fufu itu liehay. Dia juga bukannya sendirian. Begitu dia diserang, begitu pula dia
berkelit mundur. Dan selagi tubuh si nona mulai turun, fufu yang lainnya terus
menggantikan muncul diambang lobang itu, bahkan dia lantas mengulur tangannya
menjambret rambut si nona.
Pek Hee kaget dan mendongkol. Rambutnya terlepas dan terurai berserakan.
Mukanya menjadi merah. Ia malu dan penasaran. Katanya sengit: "Jikalau aku tidak
mampuskan dan mencincangmu, tak puas hatiku!"
In Tong tertawa pula, "Kakak, apakah fufu mengerti akan kata-katamu ini?" tanyanya
bergurau. Dia sampai lupa bahwa dirinya masih dalam kurungan.
Nona Honghu mendongkol. "Mulut bawel!" bentaknya. "Nah, cobalah caramu?"
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 199
yoza collection In Tong tertawa pula. Karena dia sudah sedia, dia lantas bekerja. Ialah ia lemparkan
bandering kelubang itu. Ia berlaku lamban.
Seekor fufu lantas muncul dan tangannya diulur guna menyambar bandering itu.
Tetapi pada saat dia menyambar itu, justru Nona Honghu menebas dengan sangat
cepat. Hebat tabasan itu, binatang itu tak mendapat ampun lagi, kepalanya putus,
tubuhnya roboh. Dia mati dengan jeritan tertahan dan perlahan.
Nona Honghu tidak hanya menebas, ia terus loncat naik, menjambret lobang terus
mencelat keatas. Setibanya diatas, ia segera menghadapi kera-kera lainnya sambil memutar kencang
sepasang pedangnya. Lobang itu tidak besar, dengan adanya Pek Hee dimulutnya, sulit bagi In Tong turut
lompat naik, maka nona itu berseru seru kepada kawannya.
"Hai, kawan, jangan banyak berisik!" berkata Nona Honghu nyaring, "kau tunggu
sampai aku habis menyingkirkan binatang binatang galak ini, baru kau datang kemari!"
Setelah berkata begitu, nona ini maju menyerang. Lagi tiga ekor kera roboh binasa!
"Nah, naiklah!" berseru kepada kawannya. Dengan satu gerakan, tubuh In Tong lompat
memasuki lobang itu. Ia sempat melihat Pek Hee tengah mengancam kera yang
terakhir, yang lari mepet kesudut tembok. Binatang itu beroman bengis tetapi sekarang
tengah ketakutan. "Eh, kenapa kau terlalu bengis terhadap binatang itu?" In Tong tanya. "Kenapa kau
bukannya berusaha untuk meloloskan diri?"
Meski ia menanya begitu, Nona Kat toh tertawa.
Pek Hee tidak menjawab, ia hanya mengayunkan pedangnya.
Maka matilah kera yang terakhir itu.
"Mari coba lolos dari pintu besi itu!" katanya, tangannya menunjuk. Kamar batu itu
berhubungan dengan sebuah kamar lainnya, Pintu besi itu ialah yang menghubungkan
satu dengan yang lain. Sinar terang datang dari luar pintu. Itulah cahaya matahari, yang
menembus dicelah-celah jeruji yang jarang. Pek Hee mempunyai pedang yang tajam,
ia percaya jeruji besi itu tak akan tahan bacokannya.
Ketika In Tong menghampiri jeruji besi itu ia terkejut hingga ia menghentikan
langkahnya secara mendadak.
Honghu Pek Hee pun maju. Ia melihat tulisan pada pintu itu, bunyinya: "Kalian sudah
sampai di Bong Hiang Tay dibawah mana ada jurang yang curam dan mematikan,
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 200
yoza collection sedangkan diatas ada batu-batu untuk menghajar dan menguruk! Silahkan kalian pilih
sendiri mana jalan yang terdekat untuk berpulang,. ."
"Bong Hiang Tay" itu berarti "panggung kematian." Dan "berpulang" artinya mati. Jadi
terang itu adalah kata-kata mengejek yang hebat. Memang, melihat kedepan, tampak
oleh Pek Hee dan In Tong jurang yang dasarnya seribu tombak dalamnya dan dibagian
atas dari jurang tentunya telah disiapkan banyak batu besar buat digulingkan turun
atau dipakai untuk menimpuk.
"Ya, ini benar-benar ancaman hebat.. . . . . " Kata Pek Hee. Dia berbesar hati tetapi dia
bersenyum menyeringai.. . . . .
"Mari kita duduk disini!" kata In Tong tertawa. "Coba kita pikir-pikir, kita dapat terbang
naik atau tidak.. ."
"Ah," tiba-tiba Pek Hee berseru serentak Nona Kat menyebut terbang. "Ah! Kenapa
melupakan si rajawali sakti?"
In Tong nampak seperti orang baru sadar. Tanpa mengatakan sesuatu, ia lantas
bersiul keras dan nyaring. Ia mengulangnya hingga beberapa kali.
Tiba tiba terdengar satu suara burung yang keras, disusul dengan terbang
melayangnya sebuah tubuh yang besar, yang bagaikan bayangan menyambar kearah
mereka berdua, jaraknya kira kira tiga tombak! "Mari!" berseru In Tong, yang lantas
lompat naik ke panggung burung itu, disusul oleh Pek Hee, hingga dalam sekejap mata,
keduanya sudah dibawa terbang oleh burung yang besar dan jinak itu, yang ngerti
maksud orang. "Lekas!" Pek Hee berseru pada sang burung. Tengah burung itu terbang
pesat, dari atas jurang menyambar-nyambar puluhan benda hitam yang besar, lewat
dibelakang ekor rajawali itu, terus jatuh ke dalam jurang.
In Tong menoleh kebelakang, maka tahulah ia bahwa benda-benda itu adalah batu
besar yang dilempar-lemparkan atau digulingkan dari atas jurang. Kalau serangan itu
mengenai sasarannya, celakalah mereka, manusia ataupun binatang . . . . . .
Dengan dikeprak, burung rajawali itu lantas terbang cepat, menuju ke atas gunung.
Disitu kedua nona ini tak melihat bayangan manusia sama sekali. Maka mereka lantas
pergi kepesanggerahan, kedalam sarang penjahat.
Pesanggerahan itu juga kosong, kecuali seorang liauwlo, yaitu seorang berandal
yang tua, dan sedang sakit. Dia lantas ditanya ke mana kaburnya pemimpin pemimpin
dari Tong Bok Ce. Dia menjelaskan bahwa mereka itu telah dilabrak oleh Ang Wee-Hui
Poey Hui hingga mereka binasa atau kabur bersama semua rakyat berandalnya itu.
"Pergilah kau turun gunung!" kata In Tong, yang menjadi sangat mendongkol. Setelah
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 201
yoza collection itu dia menyalakan api, membakar benteng penjahat, hingga musuh semuanya menjadi
abu. "Ah!" serunya kamudian. Tiba-tiba ia ingat Pek Kong.
"Bibi Hui mungkin mengejar kawanan penjahat itu!" katanya. "Tapi kenapa Pek Kong
dan Ho Tong tidak muncul" Kita telah membakar habis benteng ini, mestinya mereka
keluar . ." Pek Hee pun heran.
"Satu antara dua," katanya kemudian, "kalau mereka tak tertolong oleh bibi Hui,
mestinya mereka dibawa kabur orang jahat. Sekarang pergi kau terbang ke Utara, terus
pulang ke Kimleng, aku sendiri akan mencari keselatan terus ke Ngo Bwee Nia. Aku
percaya kita tak akan gagal, atau sedikitnya kita pasti memperoleh jejaknya."
Kat In Tong setuju, maka disitu mereka berdua berpisahan.
Oleh karena ia berjalan kaki, Pek Hee mesti mengandalkan ilmu ringan tubuhnya. Ia
berlari-lari di mana ada kesempatan. Demikian malam itu sedang ia berlari, tiba-tiba
tampak didepannya berkelebat satu bayangan orang.
"Pek Kong !" ia lantas memanggil. "Pek Kong, tunggu dulu !"
Bayangan itu menoleh kebelakang, ia tidak menghentikan langkahnya bahkan
sebaliknya, ia perkeras larinya!
"Heran!" kata si nona di dalam hati. "Kenapa ia menjauhkan diri dariku".. ."
Selagi orang itu menoleh, nona Honghu mengenali Pek Kong, tetapi orang itu
meninggalkannya pergi.. . . . . Ia menjadi penasaran. Ingin ia mengejarnya, untuk memberi
teguran, tapi mendadak ia ingat: "Bukankah dia tak berbudi" Atau mungkinkah aku telah
melakukan sesuatu yang keliru terhadapnya".. ."
Berpikir demikian, nona ini tanpa merasa memperkendor larinya, tidak heran ketika
ia memandang lagi kedepan, Pek Kong sudah lenyap, bayangannya pun tidak nampak
lagi. Ia jadi berpikir pula. Lalu ia ingat Poei Hui. Nona itu sudi menolong si anak muda.
Bukankah nona itu pun mencintai Pek Kong" Poei Hui lebih luwes dan tenang dari pada
Kat In Tong tetapi sering ada orang semacam itu yang pikirannya tak lurus.. .
Terhadap Pek Kong, Pek Hee belum pernah menyatakan cintanya, tetapi di dalam
hati ia sudah menyerahkan seluruh raganya. Ia ingat bagaimana ia pernah dipeluk anak
muda itu dan ketika ia roboh, tubuhnya telah tertindih olehnya. Ketika mereka berjalan
bersama-sama mereka pun pernah berpegangan tangan dan berbicara secara manis
dan asyik sekali satu dengan yang lain. Ia menganggap itu semua sudah lebih dari
pada pengutaraan cinta. Karenanya, mana bisa ia membiarkan buah hatinya dirampas
lain orang. Pendekar Yang Berbudi - Halaman 202
yoza collection Berpikir lebih jauh, Pek Hee pun ingat bahwa Poei Hui tidak memasuki tempat
rahasia dari Tong bok cee, bahwa mereka itu berdua berada di luar. Entah apa yang
mereka itu bicarakan. Mungkin nona itu bicara buruk tentang dirinya" . . Kalau tidak,
kenapa sekarang sikapnya Pek Kong begitu tawar terhadapnya"
Mau tak mau, timbul rasa panas dalam hati nona ini.. .
Perjalanan dilanjutkan. Hatinya Pek Hee terombang ambing, tak hentinya ia
memikirkan Pek Kong, begitu pula ia memikirkan Poei Hui juga. Ia masih merasa dirinya
tak tenang ketika ia sampai disebuah kota. Langsung ia memasuki sebuah rumah
penginapan. Tanpa makan lebih dahulu, karena tak bernafsu, tanpa berganti pakaian
lagi, ia terus naik keatas pembaringan. Terus otaknya bekerja, karena sukar ia bisa tidur.
Tengah nona ini berpikiran kacau itu tiba-tiba ia mendengar pelahan napas dari
kamar sebelahnya. Itulah suara yang dikenalnya baik sekali, yang tak pernah dilupakan.
Hampir ia menyangka bahwa ia tengah bermimpi. Toh suara napas itu jelas sekali
terdengar dan di saat ia sedang sadar.
Karena mendongkolnya, Pek Hee ingin tidak memperdulikan orang itu. Tetapi orang
itu lagi-lagi menghela napas! Kenapakah dia" Apakah yang disusahkannya" Tiba tiba
muncul rasa kasihan. Bagaikan ada tenaga gaib yang menariknya, ia melangkah
kedinding, untuk mengintai disela-sela papan.
Pek Kong tampak sedang duduk sambil bertopang dagu. Dia menghadap kelain arah
entah apa yang sedang dipikirkannya. Justeru itu terdengar kembali suara napasnya
disusul dengan kata kata ini: "Oh, Tuhan Yang Maha Esa, coba diantara kita tidak ada
rintangan, pasti dia dan aku telah jadi pasangan yang setimpal."
Heran Pek Hee. Rintangan apakah itu"
"Apakah dia membenci aku maka dia menjauhkan diri?" pikirnya lebih jauh. "Tidak!
Aku mesti tanyakan dia!" Ho Tong tidak ada didalam kamar itu. Kebetulan! Pikirnya,
kalau akhirnya mereka bentrok ia boleh pergi kemana ia suka habis perkara!
Nona Honghu mengambil keputusan sambil memperdengarkan suaranya: "Pek
Kong ! Buka pintu aku ingin bicara!"
Tidak ada suara jawaban, pintupun tidak dibuka. Kamar itu menjadi sunyi sekali.
"Ah dia bertingkah!" pikir si nona. "Atau aku yang buta! Kenapa aku?"
Hendak ia menolak pintu, menerobos masuk dan menegur anak muda itu. Tapi ia
berkuatir derajatnya nanti turun. Maka dengan air mata bercucuran deras ia lari pulang
kekamarnya! Pendekar Yang Berbudi - Halaman 203
yoza collection Sekian lama nona ini menangis sambil menahan suaranya. Sesudah sedikit tenang
ia melangkah kedinding, untuk mengintai lagi. Di luar dugaan, kamar itu telah kosong
penghuninya, tiada juga buntalannya si penghuni!
Dalam sejenak itu, lupa Pek Hee akan dirinya. Asal ia tenang sedikit, dapat ia
memikiri tidak akan Pek Kong dapat berlalu tanpa menerbitkan suara sedikitpun, tak
perduli pemuda itu telah makan cu eng cuiko. Menuruti suara hatinya, ia masuk
kekamar sebelah dengan jalan melompati dinding. Lebih dahulu ia membalik bantal
kepala. Disitu ia mendapatkan sehelai sapu tangan yang bersulamkan huruf "Hui", nama
dari Poet Hui. "Ah, benar dia!" serunya di dalam hati. "Kiranya kalian berdua sudah mengikat janji
dan aku dianggapnya sebagai orang ditengah jalan! Baiklah, hitung-hitung aku Honghu
Pek Hee belum mengenalmu. . ."
Tubuh si nona menggigil. Sebaliknya, air matanya lantas kering sendirinya. Ia
sesapkan saputangan itu dalam sakunya, lekas lekas ia kembali kekamarnya. Ia
meletakkan sepotong perak diatas meja, kemudian menyambar buntalannya, terus ia
meninggalkan kamarnya itu. Ia keluar dengan melompati jendela!
Pada suatu magrib, nona Honghu Pek Hee telah tiba didepan Ngo Bwee Kwan.
Tengah ia berjalan tiba tiba dari sebelah belakangnya terdengar suara panggilan:
"Sumoay!" Panggilan itu berarti adik seperguruan perempuan.
Dengan sebat Pek Hee berpaling, maka lantas nampak Kim Pian Giok Liong muncul
dari simpang jalan. Tiba-tiba ia merasa hangat. Ia menghentikan langkahnya dan terus
bersenyum. "Apa kabar, kakak Siangkoan?" ia bertanya, dengan "kakak" itu dimaksudkan "suheng,"
kakak seperguruan. "Apa kabar perihal penyelidikanmu mengenai turunan Keluarga Tek
itu?" Si pemuda sementara itu menatap muka si gadis. Ia tampak heran. "Adik!" tanyanya,
"kenapa baru beberapa hari saja adik nampak sedikit kurus dan pucat" Apakah selama
dalam perjalanan kesehatanmu terganggu?"
Pek Hee terkejut tetapi berbareng ia merasa bunga hatinya. Ia tidak melihat bahwa
mukanya perok, ia cuma tahu pikirannya kacau. Ia heran bahwa mata si anak muda
demikian tajam. Ia senang karena anak muda itu sangat memperhatikannya. Tapi ia
menggeleng kepala sambil tertawa.
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 204
yoza collection "Aku tidak merasakan perbedaan apa-apa pada diriku," sahutnya. Sambil beromongomong, mereka berjalan memasuki kota, langsung pergi kesebuah rumah makan untuk
makan dan minum arak. "Bersama-sama Cie Jiam Tootiang aku telah menghadap Cu Su-thay di Hangcu." Sun
Siu mulai bicara. "Ditanya mengenai Keluarga Tek itu, suthay diam lama sebelum dia
memberikan penyahutan. Kemudian dia berkata bahwa mungkin Liauw Kong Suthay
yang mengetahui jelas tentang keluarga itu. Karena tidak memperoleh keterangan, Cie
Jiam Tootiang terus pulang ke Liauw Tong.. ."
"Heran imam tua she Auwyang itu," berkata Pek Hee, "Mendadak dia pergi ke Selatan
dan sekonyong-konyong pula dia pulang ke Utara! Untuk apakah itu?"
"Toh bukan buat lain urusan dari pada buah pek-bwee ko!" kata Sun Siu. "Aku heran
akan buah itu! Benarkah chasiatnya dapat membuat orang seperti menukar tubuh
raganya sebagaimana diceritakan orang" Cerita itu sampai menggemparkan dan
menarik perhatian jago-jago dari delapan penjuru negara hingga mereka itu pada
berdatangan dan berkumpul di Ngo Bwee Nia, untuk pada saatnya saling berebut
mendapatkan buah muzijat itu. Herannya semua orang kosen itu sangat ingin
mendapatkan buah tersebut."
Honghu Pek Hee juga ingin memperoleh buah itu. Mendengar kata-kata anak muda
ini bahwa banyak jago sudah berkumpul untuk berebut mendapatkannya, diam-diam ia
terkejut. Itu berarti adanya banyak saingan. Tapi ia dapat menenangkan diri. Maka ia
bisa tersenyum dan tertawa.
"Kakak," katanya, "kau menyebut orang datang dari 8 penjuru negara. Kalau begitu,
apakah tak akan terjadi bahwa mereka bakal berdiam bertumpuk-tumpuk di gunung
Ngo Bwee Nia itu?" Sun Siu pun tertawa. "Itu mungkin," katanya, "hanya saja, orang yang
berkemungkinan mendapatkan buah pasti terbatas jumlahnya. Kebanyakan mereka
datang untuk menonton keramaian saja. Mereka ingin menyaksikan siapa yang nanti
menggondol hadiah. Umpama Auwyang Tootiang. Dia seorang yang bijaksana,
mengenal baik dirinya sendiri dan percaya bahwa dia tak akan berjodoh dengan buah
itu, maka dari itu dia sudah lantas mundur sendirinya."
"Oh, begitu?" berkata si nona. "Sekarang coba kakak ceritakan perihal Keluarga Tek
itu. Aku ingin mengetahuinya lebih banyak.. . . . . "
Siangkoan Sun Siu mengangguk.
"Waktu itu pada malam yang kedua," demikian ia mulai bercerita, "itulah saatnya
aku masuk tidur. Tiba-tiba dibantal kepalaku aku mendapatkan surat suhu yang
memberitahukan bahwa tak usah aku menyelidiki lebih jauh tentang Keluarga Tek itu,
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 205
yoza collection sebaliknya aku diperintahkan lekas-lekas pergi membantu Pek Kong mencari buah
pekbwee lengko. Karena itu, malam itu juga aku pergi keliling mencari saudara Pek.
Malam itu aku tidak memperoleh hasil, hanya siang tadi aku kebetulan bertemu dengan
Pek Bie Lo-lo dan dia lantas.. "
Pendekar Yang Berbudi Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendengar disebutnya nama Pek Kong, tubuh Pek Hee gemetar sendirian bagaikan
terkena arus listrik. Hatinya pun terasa pedih, tetapi ia kuatir orang nanti melihat rahasia
hatinya itu. Ia mencoba menguatkan hati dan menahannya. Karena ini mukanya tampak
menjadi pucat, biji matanya merah dan air matanya berlinang.
Sun Siu melihat itu, dia kaget sekali. "Adik, kau kenapakah?" tanyanya.
Pek Hee mengerutkan alis dan merapatkan bibirnya. "Tidak apa apa," sahutnya.
"Ceritakanlah terus kakak,"
Sun Siu mengawasi si nona diam-diam ia menghela napas. Lalu ia melanjutkan:
"Pee Bie Lo lo menceritakan padaku bahwa ia pagi tadi melihat Pek Kong bersama Ho
Tong dilembah Kie Hong Kok dan bagaimana mereka itu dikurung oleh Hwee Ceng Pa
Beng Ciong dan kawan-kawannya, ia lantas membubarkan pengepungnya itu. Setelah
itu tak ketahuan kemana perginya Pek Kong berdua, tetapi karena mereka itu berada
berdua, mereka tak usah dikuatirkan. Setelah itu Pee Bie Lo lo kembali ke Kimleng."
Mendengar bahwa Pek Kong berdua Ho Tong diketemukan si wanita tua dilembah
Kie Hong Kok. Pek Hee heran sekali. Justru malamnya ia melihat Pek Kong berada
dikamar penginapan dan tengah menghela napas panjang pendek. Kenapa Pek Kong
bisa berada jauh di sebelah depan dan bersama Ho Tong " Tapi Pee Bie Lo lo adalah
orang tingkat tua, dia dapat dipercaya sepenuhnya.. .Maka bagaimanakah sebenarnya"
"Kakak, tahukah kau kenapa atau bagaimana sebabnya maka Pee Bie Lo-lo dapat
menemukan mereka dilembah Kie Hong Kok itu ?" Tanyanya kemudian.
Siangkoan Sun Siu heran menyaksikan gerak-gerik nona ini, sebentar perhatiannya
penuh sebentar dia tawar dan bersusah hati. Setelah memikirkannya ia rasanya dapat
meraba sebab musababnya. Hal ini membuat hatinyapun tawar. Tapi ia tertawa dan
menjawab: "Sebenarnya Pee Bie Lo lo belum pernah melihat Pek Kong. Ketika itu dia
tengah pergi mencari It Koay dan Sam Yauw, dan dia pergi mencari dengan mengajak
Cian Bin Jin Yauw. Diluar sangkaannya, dilembah Kie Hong Kok ia bertemu dengan Ho
Tong. Karena ini, ia jadi ketahui juga bahwa Pek Kong yang bersama Ho Tong itu."
Pek Hee berpikir keras. "Kenapakah rombongannya Hwee Ciang Pa bentrok dengan
Pek Kong berdua?" tanyanya pula.
"Katanya karena urusan buah cutengkoh."
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 206
yoza collection Nona itu terdiam. Ketika itu, terhadap Pek Kong, ia penasaran berbareng
mengkhawatirkan keselamatannya . .
"Celaka!" demikian katanya berpikir. "Kalau pihak Thian Liong Pang ketahui Pek Kong
adalah orang yang makan cutengkoh, mana mereka itu mau mengerti" Tak mungkin
dia dilepaskan secara mudah saja! Pasti dia bakal terjatuh lagi ke dalam tangannya
rombongan partai Naga Langit itu.. ."
Mendengar perkataan "lagi" itu, Sun Siu heran. "Apakah Pek Kong pernah ditawan
kaum Thian Liong Pang?" dia tanya.
Pek Hee mengangguk, lantas ia tuturkan bagaimana bersama kedua nona dari Bwee
Cu Ciu ia sudah menggempur pecah Tong bok cee, bagaimana iapun melihat Pek Kong
di dalam rumah penginapan. Tapi ia menyembunyikan hal bahwa ia menemukan
saputangan dengan sulaman huruf "Hui" itu.
"Aku menyusul malam-malam juga," ia menambahkan, akhirnya, "walaupun Pek
Kong sudah makan buah cutengkoh, bagaimana bisa terjadi, dia pagi tadi sudah berada
di Kie Hong Kok, bahkan dia ada bersama Ho Tong" Mustahil dia dapat mengetahui aku
enam jam terdahulu."
Siangkoan Sun Siupun heran, tetapi yang membuatnya tidak enak hati ialah bahwa
ia dapat meraba, terang nona Honghu ini telah mencintai Pek Kong, bahkan cintanya
itu hebat. Diam-diam ia merasa iri hati. Tapi karena ia berbesar hati, dapat ia menguasai
dirinya. Begitulah sedikitpun ia tidak mengutarakan sesuatu apapun pada paras mukanya.
Sebaliknya ia berkata: "Ada alasan bahwa Pek Kong terjatuh ke dalam tangan Thian
Liong Pang. Maka itu aku pikir.. " Baru berkata sampai di situ, Sun Siu mendengar satu
suara pelahan di luar jendela.
Kontan ia menghentikan perkataannya, itu, terus ia lompat mencelat ke jendela, dan
memburu ke luar. Melihat demikian, Pek Heepun bercuriga. Maka segera ia meletakkan sepotong perak
di atas meja, kedua tangannya menyambar buntalan mereka, terus iapun lompat keluar
untuk menyusul. Lewat beberapa lie, dapat ia menyandak Sun Siu, yang tengah berdiri
diam di tengah jalan, berdiri bagaikan patung. Melihat demikian, ia tertawa.
"Kau dapatkan apa?" tegurnya.
"Aneh!" sahut si anak muda, suaranya tidak tegas. Dia bagaikan menggerutu. "Dia
justeru Pek Kong!" "Pek Kong?" si nona mengulangi, tubuh menggigil.
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 207
yoza collection "Ya! Tadi di penginapan aku mendengar suara sangat pelahan, aku bercuriga, maka
aku lantas lompat ke luar jendela. Aku sempat melihat satu tubuh ramping berkelebat
lenyap. Aku memburu naik keatas genteng. Orang itu melintasi beberapa bubung rumah.
Aku susul terus. Lewat beberapa rumah, dia lenyap. Ketika aku lompat turun ke tanah,
aku dapat melihat dia pula kira-kira terpisah sejauh sepanahan. Ketika itu dia menoleh
kepadaku dan tertawa."
"Ah, kakak!" kata Pek Hee, heran. "Dengan kepandaian ringan tubuh dan lari cepat
yang kakak miliki, masih kakak tak dapat menyusul dan menyandaknya?"
Parasnya Sun Siu merah saking jengah. Ia tertawa menyeringai.
"Aku juga heran sekali," sahutnya, "Dia dapat bergerak lebih lincah dan cepat dari
padaku! Bagaimana Pek Kong dapat kemajuan sedemikian pesat" Mungkinkah dia itu
bukannya Pek Kong" Aku kejar dia terus. Tiba di muka rimba, dia menoleh pula. Kembali
dia tertawa. Dia memang sama romannya, sama bentuk tubuhnya dengan Pek Kong.
Dua kali aku memanggilnya, dia tidak menjawab. Apakah dia tidak mengenali aku.. .?"
Anak muda she Siangkoan ini berhenti sejenak.
"Maka itu adik," kemudian ia menambahkan, "mungkin orang yang kau lihat dirumah
penginapan adalah orang yang aku ketemukan itu."
Pek Hee terperanjat. Dia bagaikan tersadar secara kaget dari mimpinya. Terkaan
Sun Siu ini masuk diakal. Pek Kong itu membuat hatinya tidak tenteram. Siapa sangka
bisa terjadi dua Pek Kong diketemukan divdua tempat oleh dua orang berbareng.. . . . . "
Tapi ia lantas ingat kepada saputangan sulam itu dengan huruf "Hui". Ia mendengar
juga suara tarikan napas yang sama.. . . . . Benarkah itu dua orang yang seperti kembar"
Keras nona ini berpikir, hingga tak disengaja, ia berkata keras: "Orang yang aku lihat
itu pastilah Pek Kong! Ketika itu aku dan dia berada dekat sekali cuma teraling dinding
kamar! Itu waktupun ada terangnya cahaya api! Mustahil aku salah lihat!"
"Toh tadi aku tak dapat mengejar dan menyandaknya!" kata Sun Siu juga: "Kau
mengatakan kau terpisah sangat dekat dengannya, mengapa kaupun membiarkannya
lolos" Mungkinkah dia telah memiliki kepandaian istimewa, hingga dia seperti juga
sudah berubah menjadi orang sakti?"
Pek Hee melengak. Itu benar. Maka ia menjadi sangat bingung. Tentu sekali, tak mau
ia memberitahukan Sun Siu bahwa sebenarnya ia mengintai Pek Kong itu, bahwa
bukannya mereka berdua cuma berada berdekatan.. Sun Siu menghela napas.
"Bagaimana kalau sekarang kita pergi kelembah Kie Hong Kok membuat penyelidikan
di sana?" tanyanya. "Mungkin, adik.. ."
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 208
yoza collection "Mari kita pergi!" Pek Hee memotong. "Ini, buntalanmu." Dan ia menyerahkan
buntalan si anak muda, yang tadi disambarnya sekaligus. Sun Siu menyambut
buntalannya itu. "Terima kasih, adik." katanya. "Nah, mari kita berangkat!"
Maka berangkatlah mereka, menuju Kebukit Ngo Bwee Nia.
Sekarang mari kita menengok kepada Pek Kong dan Ho Tong. Hari itu, dengan
menunggang kudanya, mereka kabur meninggalkan Tong bok-cee. Tak berani mereka
lengah ditengah jalan, kecuali untuk beristirahat sebentar. Mereka melakukan perjalanan
siang dan malam, sampai mereka tiba ditempat di mana untuk pertama kalinya mereka
bertemu dengan Ciong Thian Auw-cu Kat Hiong Hui. Dahulu mereka dipimpin oleh si
pengemis pemabukan sekarang mereka berdua saja. Mereka mengikuti jalan
pegunungan, sampai mereka melihat sebuah puncak mirip bendera segitiga.. .
"Bukankah itu Kie Hong Kok?" Ho Tong berseru. "Mari lekas kita lihat!"
Pek Kong seperti mengenali lembah itu, di mana tak ada jalanan, kecuali disisi
jembatan stalagmite, yang cuma muat satu orang dan seekor kuda. Ia lantas lompat
turun. "Kuda kita lelah sekali," katanya, "kita biarkan dia jalan sendiri. Disini kita dapat
berjalan kaki." Ho Tong akur, iapun lompat turun dari kudanya. Sembari tertawa, ia berkata:
"Sebenarnya kepalaku pusing menunggang kuda dijalanan yang sukar ini. Karena kau
diam saja, aku tidak mau mengatakan sesuatu. Sekarang kau yang terlebih dahulu mau
turun, baik, marilah! Nah, pergilah kau jalan sendiri!" tambahnya, kepada kudanya yang
terus dilepaskan tali lesnya.
Kudanya itu meringkik dan terus lari. "Binatang ini dapat membuka jalan buat kita,"
kata Ho Tong tertawa. "Mari kita ikuti!" Dan dia mengambil langkah cepat berlari-lari.
Pek Kong turut lari. Baginya terasa sukar juga, meskipun ia telah makan cutengko.
Tanah pegunungan itu tidak mempunyai jalanan yang rapi. Lekas juga ia jauh
ketinggalan oleh kudanya Ho Tong. Bahkan segera mereka itu tak tampak lagi. Sukurlah
masih ada sisa salju. Diatasnya tampak tapak kaki kuda dan orang. Maka ia lari terus
mengikuti bekas-bekas tapak kaki orang itu. Sesudah lari sekian lama, tiba-tiba ia
terpeleset jatuh. Ia kaget dan tubuhnya terus menggelinding turun, makin cepat!
"Celaka!" pikirnya. Lantas ia menggunakan tangan dan kakinya, berniat menahan
tubuhnya itu. Disaat ia hampir berhasil, menggelindingnya pun mulai kendor, lalu
mendadak kakinya mengenai tempat kosong, maka terus terjatuhlah ia.
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 209
yoza collection Kembali ia menjadi kaget. Kali ini sebelum ia tahu apa-apa, kakinya dua-duanya.. .
sudah mengenai tanah datar, hingga ia terus jatuh berduduk. Rasa nyeri membuatnya
tidak dapat segera bangkit bangun. Dengan berduduk menahan sakit ia membuka mata,
melihat ke sekitarnya. Ia heran berbareng kaget. Ia berada disebuah tempat seperti
sumur tua, tingginya mungkin lima atau enam tombak, dan sekitarnya sempit. Pantas
saja ia jatuh lurus dan tidak terkulai! Melihat keatas, si anak muda memikirkan jalan
untuk dapat manjat naik. Ia bingung. Kalau ia tidak dapat manjat, itu berarti menunggu
kematian.. . Dasar ia cerdas, dalam kesunyian itu, otaknya dapat bekerja.
"Aku harus berdaya-upaya" pikirnya. Maka bergeraklah ia bangun. Ia meraba-raba
untuk melangkah. Ia dapat meraba dinding sumur, atau mendadak kakinya terpeleset
karena ia menginjak suatu yang licin. Tidak ampun lagi, ia roboh terguling, kedua
kakinya terpangkas. Saking nyerinya hampir ia pingsan.
Dengan kedua tangan memegangi dasar sumur, Pek Kong memutar otak pula. Ia
tahu bahwa ia harus berlaku tenang atau sarafnya bakal terganggu. Biar bagaimana, ia
harus berusaha. Tiba-tiba kakinya terjeblos disaat kaki itu dipakai untuk merayap
bangun dan bertindak. Sebuah lubang!
Pek Kong memasang mata tajam, mengawasi lobang itu, yang mesti dalam sekali.
Dua kali mesti jalan merayap membuat ia dapat berpikir dan menerka-nerka. Didalam
kegelapan sukar ia dapat melihat tegas. Maka otaknya harus bekerja terus.
"Ini sebuah gua!" pikirnya akhirnya. "Ini bukanlah sumur, sebab kalau sumur, air
tentu menggenang disini, atau air hujan bakal membuat sumur luber. Di sini mesti ada
jalan penyalur membuang air! Baiklah aku ikut lubang ini..."
Dengan separuh merayap, Pek Kong memasuki lubang itu, yang membawanya
kesebuah ruang kecil semacam kamar. Pada dinding di sekitarnya, ada liang-liang yang
kecil sebesar jari tangan. Dari lobang-lobang itu menembus masuk sinar terang. Dengan
begitu, dibagian ini ruang tidak terlalu gelap. Disini pula ia dapat bangkit berdiri. Ia mesti
menguruti dan menggosok-gosok betisnya yang masih dirasakan nyeri. Baru setelah
itu, ia mengawasi sekitarnya.
Empat penjuru ruang itu terang berkilau seperti kaca rasa. Ada sebuah meja batu
yang pendek. Di atas meja itu terdapat sebuah tripod atau kaki tiga yang kecil juga.
Ditanah, di sisi meja, ada sebuah batu untuk tempat duduk bersila. Pada dinding
terdapat pintu yang berdaun dua. Diatas pintu samar-samar terlihat huruf-huruf ukiran.
Untuk dapat melihat dengan tegas ia maju menghampirinya.
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 210
yoza collection Tampak tiga huruf "Siu Cit Sit" yang berarti kamar tempat bertapa atau memelihara
semangat. Sesaat itu ia belum dapat memastikan, kamar bertapa itu ruang dimana ia
berada sekarang atau dibalik pintu batu itu.
Lebih dahulu ia meneliti tembok. Kenapa tembok itu demikian mengkilap terang"
Sesudah meraba-raba ia dapat mengetahui bahwa dinding itu terbuat dari batu granit
seluruhnya. Karena ia meraba-raba itu, artinya ia datang dekat sekali kepada dinding
maka ia tahulah seluruh dinding ada ukiran dari banyak sekali harimau dengan pelbagai
sikapnya; berdiri, jongkok, mendekam, rebah dan lompat menerkam. Semua ukiran indah
sekali hingga semua macan itu mirip macan hidup.
Melihat lain bagian dari tembok itu, ia mendapatkan ukiran menjangan yang juga
berjumlah banyak dengan pelbagai macam sikapnya. Di kanan itu ada ukiran yang
berupa kera, juga banyak macam gerakannya.
"Heran!" pikir anak muda ini. "Didalam kamar pertapa apa perlunya semua ukiran
pelbagai macam binatang ini" Adakah ini untuk hiasan saja?"
Karena belum sempat memikirkannya lebih jauh, Pek Kong kembali kemeja batu. Ia
mengawasi tripod itu. Kali ini, karena ia meneliti, ia dapat lihat ukiran delapan huruf,
bunyinya: "Kitab Aneh Lima hewan Ada Jodoh Dapat Melihat." Tripod itu kosong, tiada
isinya. Kembali anak muda kita heran. Lebih-lebih karena kosongnya tripod itu. Tadinya
ia menyangka, menurut bunyinya delapan huruf terukir itu, didalamnya tentu ada
kitabnya. "Apakah kitab itu telah dicuri orang?" tanyanya dalam hati. Sementara itu, lantas
timbul suatu kesan mendalam pada anak muda ini: Mestinya sumur mati yang
merupakan gua ini bekas tempat orang bertapa, orang yang dapat disebut cianpwee
kie jin, orang yang luar biasa dari angkatan tua, tempat bertapa memahami kitabnya
itu. Tentu sekali, kitab itu aneh pula, sebab isinya adalah tentang ngokim, lima macam
binatang atau hewan. Sebagai seorang pelajar yang luas ilmu pengetahuannya, Pek Kong tahu bahwa di
jaman Tong Han.. .kerajaan Han Timur.. .pernah hidup tabib pandai luar biasa, hingga
disebut sebagai tabib sakti, yang bernama Hoa Ta, yang pernah mengarang Ngo Kim
Keng, kitab Lima Macam Hewan. Dengan "hewan" itu termasuk binatang-binatang
bersayap dan berkaki empat. Itu bukan kitab umum belaka, melainkan kitab ilmu silat.
"Mungkinkah kitab kuno itu tersimpan disini?" Pek Kong bertanya pada dirinya
sendiri. Ia jadi berpikir mendalam, hingga ia ingat segala-galanya.
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 211
yoza collection Di situ baru terdapat tiga macam binatang kaki empat, yaitu harimau, menjangan
dan kera. Dimanakah binatang yang keempat dan kelima yaitu biruang dan burung"
Maka ia mencari pula. Pada dinding menghadap pintu disebelahnya. ia melihat
perbagai ukiran biruang. Hal ini menyenangkan hatinya. Maka ia terus mencari ukiran
burung. Tak berhasil mencari dinding, ia mengangkat kepalanya, menengadah kelangit.
Tak lama ia meneliti, maka terlihatlah ukiran burung dengan macam-macam sikap pula.
"Pantas!" pikirnya. "Burung bisa terbang, ukiran burung jadi dibuat di langitan ruang ini
Untuk sementara, puas sudah si anak muda. Semua binatang sudah lengkap. Sekarang
tinggal artinya empat huruf lainnya, "ada jodoh dapat melihat.. ."
"Aneh!" demikian pikirnya. "Toh orang mudah saja melihat ukiran lima macam
binatang itu! Siapa masuk kedalam gua ini, dia akan segera dapat melihatnya. Apakah
artinya jodoh itu?" Pek Kong berpikir keras, mengasah otaknya, "Ini bukanlah soal sederhana, tapi pasti
ada rahasia," ia memikir lebih jauh. "Melihat saja bukan berarti mengerti. Kitab aneh itu
harus dilihat dan dipahami sedalam-dalamnya." Karena memang cerdas, anak muda ini
lantas insaf. Tanpa bersangsi lagi, ia merapikan pakaiannya, setelah itu ia berlutut diatas
pouw toan cio, yaitu alas untuk berlutut yang terbuat dari batu. Ia mengheningkan cipta
dan memuji, lalu tiga kali ia mengangguk-angguk. Begitu ia membuka matanya maka
diatas meja tampak sesuatu yang bercahaya suram. Waktu ia mengawasi dengan tajam
ia melihat samar-samar empat huruf. "Ngo Kim Kie Keng" Kitab Lima Hewan. Huruf
"Lima" itu Ngo jauh terlebih jelas dan ada tambahan lima titik disetiap sambungan.
Kembali Pek Kong berpikir, ia mengumpulkan pancaindranya. Lantas di tiap lima
titik itu ia menekan dengan jari tangannya, Sekali ia menekan, ia tidak melihat
perubahan atau gerakan apa-apa, lantas ia menekan menindih lagi tiap titikan empat
kali. Bukan main girangnya! Habis menekan untuk yang keempat kalinya itu, ia melihat
tripod itu bergerak dengan perlahan sekali. Ia mengawasi dengan penuh perhatian.
Dibawah tripod itu ia dapatkan sebuah kotak batu. Di atasnya bertulisan tiga huruf.
"Chong Keng Hap," artinya "kotak tempat menyimpan kitab." Pada pinggirnya kotak itu
terdapat tulisan, yang berbunyi: "Siapa ingin memperoleh kitab Ngo Kim Keng, lebih
dahulu dia harus makan buah pek bwee koh." Masih ada tambahan lainnya, dengan
huruf-huruf halus, ialah catatan tanggal bulan matangnya buah serta cara memetiknya.
Bukan main girangnya Pek Kong. Justru saat itu ia mendengar suara bergeraknya
suatu benda. Waktu ia mengawasi, tripod bergerak sendirinya, pulang ketempat asalnya
semula ! Ia terperanjat dan heran, sekaligus pun sangat kagum.
Pendekar Yang Berbudi - Halaman 212
yoza collection Tapi ia tahu apa yang harus diperbuat. Lantas ia menekan kelima titik pada huruf
"Kim"- "Binatang"- itu. Oleh karenanya tripod itu tak bergeming lagi.
Pendekar Yang Berbudi Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rahasia Arca Budha 2 Si Rase Hitam Hek Sin Ho Karya Chin Yung Rawa Rahasia 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama