Ceritasilat Novel Online

Divergent 2

Divergent Karya Veronica Roth Bagian 2


Asalnya dari seorang gadis berambut gelap dengan tindikan tiga cincin
di alisnya. Ia menyeringai padaku. "Si Kaku ini, yang pertama kali
melompat" Belum pernah mendengar yang seperti ini."
"Ada alasannya kenapa ia meninggalkan kaumnya, Lauren," ujar
pemuda tadi. Suaranya berat dan bergemuruh. "Siapa namamu?"
"Um ..." aku tak tahu kenapa aku ragu. Namun, "Beatrice" sepertinya
tidak lagi cocok. "Pikirkan," ujarnya. Ada senyum kecil tersungging di bibirnya. "Nanti
kau tak bisa menggantinya lagi."
Tempat baru, nama baru. Aku bisa lahir kembali di sini.
"Tris," jawabku mantap.
"Tris," ulang Lauren, menyeringai. "Umumkan, Four."
Pemuda yang tadi menangkapku"Four"berteriak
"Pelompat pertama"Tris!"
Kerumunan mulai terlihat jelas di antara kegelapan saat mataku mulai
menyesuaikan dengan keremangan Mereka bersorak dan
mengacungkan tinju ke atas. Lalu orang selanjutnya jatuh ke dalam
jaring. Jeritannya menggema. Christina. Semua tertawa, tapi mereka
tertawa dengan ceria. Four menepuk punggungku dan berkata, "Selamat datang di
Dauntless." Saat semua peserta inisiasi sudah berdiri tegak, Lauren dan Four
memimpin kami menyusuri terowongan sempit. Dindingnya terbuat
dari batu. Langit-langitnya landai, jadi aku merasa seperti turun
dalam ke perut bumi. Terowongan diberi penerangan dengan jarak
yang panjang. Di celah gelap antara tiap lampu yang bersinar suram,
aku takut kalau-kalau aku tersesat sampai bahu seseorang membentur
bahuku, menyadarkanku kami masih beriringan. Saat cahaya kembali
menyorot terang, aku merasa aman lagi.
Pemuda Erudite di depanku tiba-tiba berhenti dan aku menabraknya.
Hidungku membentur bahunya. Aku terhuyung ke belakang dan
menggosok hidungku. Seluruh barisan berhenti. Dan, ketiga pemimpin
kami berdiri di depan dengan lengan terlipat.
"Di sinilah kita berpisah," ujar Lauren. "Peserta inisiasi asli Dauntless
ikut bersamaku. Kuanggap kalian tak butuh tur tempat ini."
Ia tersenyum dan memberi isyarat pada para peserta inisiasi asli
Dauntless. Mereka memisahkan diri dari barisan dan menghilang di
kegelapan. Aku melihat sepatu terakhir tenggelam di kegelapan dan
memandang ke arah kami yang tersisa. Sebagian besar peserta adalah
asli Dauntless, jadi hanya tersisa sembilan orang. Di antara
kesembilan ini, hanya akulah satu-satunya pindahan dari Abnegation
dan tak ada pindahan dari Amity. Sisanya dari Erudite dan, cukup
mengejutkan, dari Candor. Rupanya membutuhkan keberanian untuk
selalu jujur setiap saat. Aku takkan pernah tahu.
Four memanggil kami. "Sebagian besar waktuku untuk bekerja di
ruang kendali, tapi untuk beberapa minggu ke depan, aku adalah
instruktur kalian," ujarnya, "namaku Four."
Christina bertanya, "Four" Empat" Seperti nama angka?"
"Ya," ujar Four. "Ada masalah?"
"Tidak." "Bagus. Kita akan pergi ke The Pit yang suatu hari nanti kalian akan
belajar mencintainya. Itu?" Christina tergelak. "The Pit" Nama yang
pintar." Four berjalan mendekati Christina dan mendekatkan mukanya.
Matanya sipit dan sejenak ia menatap Christina erat.
"Siapa namamu?" tanyanya lirih.
"Christina," ia menciut.
"Nah, Christina, jika aku ingin bergabung dengan mulut pintar Candor,
aku pasti sudah bergabung dengan mereka," ejeknya. "Pelajaran
pertama yang akan kau pelajari dariku adalah jaga mulutmu.
Mengerti?" Ia mengangguk. Four melangkah menuju kegelapan di ujung terowongan. Barisan para
peserta inisiasi mengikutinya dengan diam.
"Dasar menyebalkan," gumamnya.
"Kurasa ia tak suka ditertawakan," balasku.
Mungkin lebih baik berhati-hati jika berada di sekitar Four, pikirku.
Sepertinya ia terlihat tenang padaku saat di platform tadi, tapi ada
sesuatu tentang sikap diamnya yang sekarang membuatku waspada.
Four mendorong sepasang pintu terbuka dan kami memasuki tempat
yang disebut "The Pit".
"Oh," bisik Christina. "Aku mengerti sekarang."
"Pit" adalah kata yang tepat untuk itu. Tempat itu adalah sebuah gua
bawah tanah yang begitu besar sehingga aku tak bisa melihat
ujungnya dari tempatku berdiri sekarang di bagian bawah. Tembok
batu yang tak rata menjulang beberapa lantai di atasku. Ada tempattempat yang dipasang di dinding batu itu untuk makanan, pakaian,
persediaan, dan tempat bersantai. Jalur sempit dan tangga berukir
batu saling menghubungkan semua. Tidak ada penahan untuk menjaga
orang jatuh dari sisi terbukanya.
Seberkas cahaya oranye membentang di salah satu dinding batu. Atap
The Pit terbuat dari jendela kaca dan di atasnya, ada gedung yang
bisa diterobos sinar matahari. Kalau kami melewatinyai dengan kereta
akan kelihatan seperti gedung kota biasa.
Lentera biru menggantung dengan jarak tak beraturan di atas jalan
batu. Lentera itu sama seperti lentera yang menerangi Upacara
Pemilihan tadi. Cahayanya makin lama makin membesar saat matahari
mulai tenggelam. Ada orang di mana-mana. Semuanya berpakaian hitam. Semuanya
berteriak dan berbicara, ekspresif; dan diikuti gestur tubuh. Aku tak
melihat ada orang yang lebih tua di kelompok ini. Apakah ada orang
tua di Dauntless" Apakah mereka tidak bertahan lama" Atau, apa
mereka diusir saat mereka tak lagi bisa melompati kereta"
Sekelompok anak-anak berlarian di jalan setapak sempit tanpa
penahan itu. Mereka berlari terlalu cepat sampai jantungku ikut
berdebar cepat. Aku mau berteriak ke arah mereka agar pelan-pelan
sebelum mereka terluka. Kenangan akan jalan Abnegation yang
tertata rapi muncul di ingatanku: Sebaris orang di lajur kanan
melewati sekelompok orang yang berjalan di sebelah kiri. Mereka
tersenyum kecil lalu kembali menatap lurus ke depan, dan diam.
Perutku seperti terpelintir. Tapi, ada sesuatu yang indah di kekacauan
Dauntless ini. "Kalau kalian mengikutiku," kata Four, "akan kutunjukkan kalian
jurangnya." Ia melambaikan tangan ke depan. Penampilan Four kelihatan kalem
dari depan, untuk ukuran Dauntless. Tapi ketika ia berbalik, aku
melihat ada tato menyembul dari balik kerah kausnya. Ia mengajak
kami ke sisi kanan The Pit yang jauh lebih gelap. Aku mengejapkan
mata dan melihat lantai yang kuinjak berujung pada pembatas besi.
Saat kami mendekat ke pegangannya, aku mendengar suara yang
keras"suara air, air yang berdebur kencang membentur karang
bebatuan. Aku melihat lebih jauh. Lantai itu terputus di sebuah ujung yang
tajam dan beberapa lantai di bawah kami adalah sungai. Air yang
berdebur membentur dinding di bawahku dan percikannya sampai ke
atas. Di sebelah kiriku, aimya lebih tenang, tapi di sebelah kanan,
airnya putih oleh buih dan terus-terusan membentur karang.
"Jurang ini mengingatkan kita ada batas yang jelas antara keberanian
dan ketololan!" teriak Four. "Nekat melompati jurang ini akan
mengakhiri hidup kalian. Itu pernah terjadi dan itu akan terjadi lagi.
Kalian sudah diperingatkan."
"Ini menakjubkan," ujar Christina ketika kami menjauh dari susuran
itu. "Menakjubkan adalah kata yang pas," kataku sambil mengangguk.
Four menuntun kelompok peserta inisiasi melewati The Pit ke arah
lubang besar di dinding. Ruangan di dalamnya memiliki penerangan
yang cukup sehingga aku bisa melihat ke mana kami pergi. Ruang
makan dipenuhi orang dan peralatan makan yang berdenting. Saat
kami memasuki ruangan, para Dauntless yang ada di daJam berdiri.
Mereka bertepuk tangan. Mereka juga mengentakkan kaki. Mereka
berteriak. Keramaian ini mengelilingiku dan menyusup ke dalam jiwaku.
Christina tersenyum, dan sedetik kemudian, aku pun ikut tersenyum.
Kami mencari kursi kosong. Christina dan aku menemukan meja yang
hampir kosong di sisi ruangan dan aku mendapati diriku duduk di
antara ia dan Four. Di tengah meja ada piring saji berisi makanan yang
tak kukenali. Potongan daging bulat tebal yang dijejalkan di antara
potongan roti bundar. Aku mengambilnya, tak yakin bagaimana cara
memakannya. Four menyikutku. "Itu daging sapi," katanya. "Oleskan ini di atasnya."
Ia menyodorkan semangkuk kecil penuh berisi saus merah.
"Kau tak pemah makan hamburger sebelumnya?" tanya Christina
dengan mata melebar. "Tidak," kataku. "Apa ini disebut hamburger?"
"Orang kaku hanya makan makanan sederhana," ujar Four sambil
mengangguk ke arah Christina.
"Kenapa?" tanyanya.
Aku mengangkat bahu. "Kemewahan dianggap menyenangkan diri
sendiri dan tak perlu dilakukan."
Ia menyeringai. "Tak heran kau pergi."
"Yeah," kataku sambil memutar mata. "Semata hanya karena
makanan." Sudut mulut Four menyimpul senyum.
Pintu kafetaria terbuka dan ruangan jadi hening. Aku melirik ke
belakang. Seorang pria muda melangkah masuk dan suara langkahnya
bergema di keheningan. Wajahnya ditindik di banyak tempat sampai
aku tak bisa menghitungnya. Rambutnya panjang, hitam, dan
berminyak. Tapi, bukan itu yang membuat ia kelihatan mengancam.
Pancaran matanya yang dinginlah yang membuatnya seperti itu,
terlebih saat ia menatap ke sekeliling ruangan.
"Siapa itu?" bisik Christina.
"Namanya Eric," ujar Four. "Ia pemimpin Dauntless."
"Yang benar saja" Tapi, ia terlalu muda."
Four menatapnya muram. "Umur bukan masalah di sini."
Aku tahu Christina akan menanyakan apa yang ingin kutanyakan: Lalu,
apa yang penting" Tapi, mata Eric berhenti menatap sekeliling dan ia
mulai mendekati sebuah meja. Ia mendekati meja kami dan duduk di
kursi di samping Four. Ia tak menyalami kami, jadi kami pun tak perlu
menyalaminya. "Nah, apa kau takkan mengenalkanku?" tanyanya sambil mengangguk
pada aku dan Christina. Four menjawab, "Ini Tris dan Christina."
"Ooh, ada si Kaku," ujar Eric menyeringai ke arahku. Senyumnya
menarik tindikan di bibimya, membuat lubang yang ditempati tindikan
itu membesar, dan aku mengernyit. "Kita akan lihat berapa lama kau
sanggup bertahan." Aku mau mengatakan sesuatu"untuk meyakinkan nya kalau aku akan
bertahan, mungkin"tapi kata-kata itu tak keluar. Aku tak tahu
kenapa, tapi aku tak mau Eric menatapku lebih lama dari sekarang.
Aku tak mau ia melihatku lagi.
Eric mengetukkan jari ke meja. Tonjolan tulangnya berkeropeng dan
sepertinya akan pecah jika ia memukul sesuatu terlalu keras.
"Apa yang kau lakukan belakangan ini, Four?" tanyanya.
Four mengangkat bahu. "Tidak ada." Ujarnya.
Apa mereka teman" Aku menatap Eric dan Four bergantian. Semua
yang Eric lakukan"duduk di sini dan menanyai Four"menunjukkan
kalau mereka memang teman. Tapi cara Four duduk, tegang, setegang
kabel yang ditarik, menunjukkan hubungan mereka yang lain. Mungkin,
saingan. Tapi, bagaimana mungkin seperti itu jika Eric pemimpin dan
Four bukan" "Max bilang ia terus mencoba bertemu denganmu dan kau tak muncul,"
ujar Eric. "Ia memintaku mencari tahu apa yang terjadi denganmu."
Four menatap Eric beberapa saat sebelum berkata, "Bilang padanya
kalau aku puas dengan posisi yang kupegang saat ini."
"Jadi, ia ingin memberikanmu sebuah pekerjaan rupanya "
Cincin-cincin di alis Eric memantulkan cahaya. Mungkin Eric
menganggap Four sebagai potensi an-caman untuk posisinya. Ayah
pernah bilang, mereka yang menginginkan kekuasaan dan
mendapatkannya, hidup dalam ketakutan akan kehilangan kekuasaan
itu. Itulah kenapa kami harus menyerahkan kekuasaan pada mereka
yang tidak menginginkannya.
"Sepertinya begitu," ujar Four.
"Dan kau tidak tertarik."
"Aku tak pernah tertarik selama dua tahun." "Jadi," ujar Eric"
"Semoga ia mengerti maksudmu."
Ia menepuk pundak Four, sedikit keras, lalu bangkit. Saat ia menjauh,
aku langsung mengembuskan napas lega. Aku tak sadar kalau tadi aku
begitu tegang. "Apa kalian berdua,... teman?" tanyaku tak sang-gup menyimpan rasa
penasaran, "Kami dulu pernah menjalani tahun inisiasi yang sama," jawabnya. "Ia
pindahan dari Erudite."
Semua pikiran untuk berhati-hati bila berada di dekat Four menguap.
"Apa kau pindahan juga?"
"Aku pikir, aku hanya akan bermasalah dengan orang Candor yang
bertanya terlalu banyak," jawabnya dingin. "Dan, aku harus
menghadapi si Kaku juga?" "Pasti karena kau begitu mudah didekati,"
kataku datar. "Kau tahu. Seperti seranjang penuh paku."
Ia menatapku dan aku tidak berpaling. Four bukan seekor anjing, tapi
peraturan yang sama tetap dipakai. Memalingkan muka itu tanda
kepatuhan. Menatapnya tepat di mata adalah tanda tantangan. Itu
pilihanku. Pipiku mulai memanas. Apa yang terjadi jika ketegangan ini pecah"
Tapi ia hanya berkata, "Hati-hati, Tris."
Perutku mencelos seakan aku baru saja menelan batu. Seorang
anggota Dauntless di meja lain memanggil nama Four, dan aku
berpaling ke arah Christina ia mengangkat alis.
"Apa?" tanyaku.
"Aku punya teori."
"Yaitu?" Ia mengambil hamburgernya, tersenyum lebar dan berkata, "Kalau kau
mau cari mati" Setelah makan malam, Four menghilang tanpa berkata apa-apa. Eric
membawa kami menuju lorong yang berjajar tanpa memberi tahu ke
mana kami akan pergi. Aku tak tahu mengapa seorang pemimpin
Dauntless perlu bertanggung jawab atas sekelompok peserta baru,
tapi mungkin untuk malam ini saja.
Di ujung setiap lorong ada lentera biru, tapi selebihnya gelap. Aku
harus berhati-hati supaya tidak tersandung di tanah yang tidak rata.
Christina berjalan di sampingku tanpa berkata apa-apa. Tak ada yang
menyuruh kami diam, tapi tak seorang pun yang bicara.
Eric berhenti di depan sebuah pintu kayu dan melipat tangannya. Kami
pun berkerumun mengelilinginya.
"Bagi kalian yang tidak tahu, namaku Eric," ujar- nya. "Aku salah satu
lima pemimpin Dauntless. Kami disini mengadakan proses inisiasi
dengan sangat serius, jadi aku mengajukan diri untuk mengawasi
sebagian besar pelatihan kalian."
Hal itu membuatku mual. Seorang pemimpin Dauntless akan mengawasi
inisiasi kami sudah cukup buruk, tapi kenyataan bahwa Ericlah yang
akan melakukannya, membuatnya jauh lebih buruk.
"Beberapa peraturan dasar," ujarnya. "Kalian harus berada di ruang


Divergent Karya Veronica Roth di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

latihan jam delapan setiap hari. Setiap hari latihan berlangsung dari
jam delapan sampai jam enam, di luar istirahat saat makan siang.
Kalian bebas melakukan apa yang kalian suka setelah jam enam. Kalian
juga akan mendapatkan libur di antara jeda tahap inisiasi."
Kata-kata "melakukan apa pun yang kalian suka" melekat di benakku.
Di rumah, aku tak pernah bisa melakukan apa yang kumau, tidak satu
malam pun. Aku harus memikirkan apa yang orang lain butuhkan
terlebih dahulu. Aku bahkan tidak tahu apa yang aku suka.
"Kalian hanya diizinkan untuk meninggalkan tempat ini apabila
ditemani seorang Dauntless," Eric menambahkan. "Di belakang pintu
ini ada ruangan tempat kalian tidur selama beberapa minggu ke depan.
Kalian akan lihat ada sepuluh tempat tidur dan kalian hanya ada
sembilan. Kami sudah mengantisipasi proporsi lebih besar untuk
sampai ke tahap ini."
"Tapi, tadinya kami ada dua belas," protes Christina Aku menutup
mata dan menunggu teguran. Christina harus belajar diam.
"Setidaknya selalu ada satu anak pindahan tak bisa lolos sampai
kemari," ujar Eric sambil mencongkel kutikelnya. "Ngomong-ngomong,
di tahap pertama inisiasi, kami memisahkan anak pindahan dan anak
asli Dauntless. Tapi, itu bukan berarti kalian akan dievaluasi terpisah.
Di akhir inisiasi, rrangking kalian akan ditentukan bersama para anak
asli Dauntless. Dan, mereka sudah lebih baik dari kalian. Jadi,
kuharap?" "Ranking?" tanya gadis Erudite berambut cokelat di sebelah kananku.
"Kenapa kami di-ranking?" Eric tersenyum. Dan pantulan cahaya biru,
senyumnya terlihat licik seakan senyumnya terukir di wajah dengan
pisau. "Ranking kalian memiliki dua tujuan," ujarnya. "Yang pertama untuk
menentukan urutan pekerjaan yang kalian pilih selepas inisiasi. Hanya
tersedia beberapa posisi yang diinginkan."
Perutku menegang. Aku tahu dari senyumnya, seperti aku tahu begitu
aku memasuki ruang tes ke- cakapan, sesuatu yang buruk akan
terjadi. "Tujuan kedua ," ujarnya, "bahwa hanya sepuluh besar peserta inisiasi
baru yang akan dijadikan ang- gota."
Rasa nyeri menusuk perutku. Kami semua mematung. Lalu, Christina
bertanya, "Apa?"
"Ada sebelas anak asli Dauntles dan kalian ber-sembilan," lanjut Eric.
Empat pemilih baru akan di-eliminasi di akhir tahap satu. Sisanya akan
dieliminasi setelah ujian terakhir."
Itu artinya bahkan jika kami selesai melewati tiap tahap inisiasi,
masih ada enam orang yang tidak akan menjadi anggota. Aku
mendapati Christina menatapku, tapi aku tidak bisa balik menatapnya.
Mataku terpaku pada Eric.
Kesempatanku, sebagai peserta terkecil, dan sebagai satu-satunya
pindahan dari Abnegation, tidaklah bagus.
"Apa yang terjadi jika kami dieliminasi?" kata Peter.
"Kalian meninggalkan markas Dauntless," ujar Eric acuh, "dan hidup
tanpa faksi, sebagai factionless'.
Gadis berambut cokelat tadi menutup mulutnya dengan tangan dan
mulai sesenggukan. Aku teringat pria factionless bergigi hitam yang
mengambil sekantong apel dari tanganku. Matanya menatap hampa.
Tapi, bukannya menangis seperti gadis Erudite itu, aku merasa lebih
dingin. Lebih keras. Aku akan menjadi anggota. Pasti.
"Tapi, itu... tidak adil!" ujar gadis Candor berbahu lebar, Molly.
Walaupun kedengarannya marah, ia kelihatan ketakutan. "Kalau kami
tahu?" "Apa kau mau bilang kalau kau tahu ini sebelum Upacara Pemilihan, kau
takkan memilih Dauntless?" bentak Eric. "Kalau benar begitu, kau
harus keluar sekarang. Kalau kalian benar-benar salah satu dari kami,
bukan masalah jika nanti kalian gagal. Dan, kalau itu benar jadi
masalah, kalian seorang pengecut."
Eric membuka pintu asrama.
"Kalian telah memilih kami," ujarnya. "Sekarang, kami harus memilih
kalian." Aku berbaring di atas kasur dan mendengarkan suara napas sembilan
orang. Aku sebelumnya tak pernah tidur sekamar dengan anak laki-laki, tapi
di sini aku tak punya pilihan, kecuali kalau aku mau tidur di lorong.
Semuanya sudah mengganti baju dengan pakaian yang telah disediakan
Dauntless untuk kami. Tapi, aku tidur dengan pakaian Abnegationku
yang wanginya masih seperti sabun dan udara segar. Seperti rumah.
Dulu aku terbiasa tidur sendiri. Aku bisa melihat pekarangan depan
rumahku dari jendela. Di kejauhan, kulihat cakrawala berkabut. Aku
terbiasa tidur di keheningan.
Mataku terasa panas tiap kali memikirkan rumah. Dan, tiap kali
mengerjapkan mata, ada air mata yang meluncur. Kututup mulutku
untuk menutupi isakan. Aku tak boleh menangis. Tidak di sini. Aku
harus tenang. Semua akan baik-baik saja. Aku bisa melihat bayanganku di kaca
kapan saja kumau. Aku bisa berteman dengan Christina dan memotong
pendek rambutku. Dan, aku bisa membiarkan orang lain membersihkan
kekacauan yang mereka buat sendiri.
Tanganku gemetar dan air mata meluncur makin cepat. Pandanganku
menjadi kabur. Tak jadi masalah saat nanti aku bertemu kedua orangtuaku di Hari
Kunjungan mereka tak mengenaliku"itu pun jika mereka datang. Tak
jadi masalah jika terasa sakit saat mengingat wajah ayah ibu, bahkan
untuk sepersekian detik. Bahkan wajah Caleb, betapapun rahasianya
telah menyakitiku. Kuatur irama tarikan napasku dengan tarikan napas
anak-anak lain, juga embusan napasku dengan embusan napas yang lain.
Bukan masalah. Suara tersedak memecah suara irama napas dan diikuti dengan isakan
kuat. Ranjangnya berdecit saat sesosok tubuh berbalik dan bantal
membekap suara isakannya. Itu tak cukup. Isakan itu berasal dari
ranjang di sampingku"dari seorang bocah Candor bernama Al, yang
paling besar dan kekar di antara semua para anak baru. Ia orang
terakhir kupikir akan menangis.
Kakinya beberapa inci dari kepalaku. Aku harus menenangkannya"aku
seharusnya ingin menenangkannya karena seperti itulah aku
dibesarkan. Aku malah merasa jengkel. Seseorang yang kelihatannya
begitu kuat seharusnya tidak bertingkah selemah itu. Kenapa ia tidak
menahan tangisnya seperti kami semua"
Susah payah aku menelan ludah.
Jika ibu tahu apa yang baru kupikirkan, bisa kubayangkan bagaimana
ia menatapku. Sudut bibirnya akan melengkung turun. Alisnya
mengerut"bukan marah, tapi lelah. Aku mengusapkan tangan ke pipi.
Al terisak lagi. Rasanya suara itu hampir menyayat tenggorokanku
sendiri. Ia hanya berbaring beberapa inci dariku"aku harus
menyentuhnya. Tidak. Aku menurunkan tangan dan membalikkan tubuhku menghadap
tembok. Tak ada yang perlu tahu aku tak ingin membantunya. Aku bisa
mengubur rahasia itu. Mataku tertutup dan aku merasa mengantuk.
Tapi, tiap aku hampir tertidur, aku mendengar isakan Al lagi.
Mungkin masalahku bukan karena aku tak bisa pulang. Aku akan
merindukan ayah, ibu, dan Caleb; juga perapian sore serta suara
denting jarum rajut ibu. Tapi, bukan itu satu-satunya alasan perasaan
hampa di perutku. Masalahku, jika pun aku bisa kembali ke rumah, aku tak berhak
berada di sana, di antara mereka yang memberi tanpa berpikir apaapa dan peduli tanpa pamrih.
Pikiran itu membuatku menggertakkan gigi. Aku membenamkan bantal
di telinga untuk menghalangi suara tangisan Al dan jatuh tertidur
dengan pipi basah oleh air mata.
"Hal pertama yang hari ini akan kalian pelajari adalah cara
menembakkan senjata. Yang kedua adalah bagaimana memenangkan
perkelahian." Four menjejalkan senjata ke telapak tanganku tanpa
melihat dan terus berjalan. "Bagusnya, jika kalian ada di sini, kalian
sudah tahu bagaimana cara naik dan turun dari kereta yang berjalan,
jadi aku tak perlu mengajari kalian hal itu."
Seharusnya aku tidak kaget bahwa Dauntless langsung mengharapkan
kami mengejar ketertinggalan dan menyesuaikan diri. Tapi, aku
berharap seandainya bisa tidur lebih dari enam jam agar bisa
mengejar ketertinggalan. Tubuhku masih berat digelayuti kantuk.
"Inisiasi dibagi tiga tahap. Kami akan mengukur kemajuan kalian dan
me-ranking kalian berdasarkan performa kalian di tiap tahap. Setiap
tahap tidak dianggap sama rata untuk menentukan ranking final
kalian, jadi mungkin saja, walau sulit, untuk meningkatkan peringkat
kalian secara drastis di tiap tahap berbeda."
Aku melihat senjata di tanganku. Seumur hidupku tak pernah
kubayangkan memegang senjata, apalagi menembakkannya. Sepertinya
berbahaya bagiku, seakan-akan hanya dengan menyentuhnya, aku bisa
melukai seseorang. "Kami percaya persiapan akan mengurangi rasa pengecut, yang kami
anggap sebagai kegagalan untuk bertindak di tengah rasa takut," ujar
Four. "Oleh karena itu, tiap tahap inisiasi ditujukan untuk
mempersiapkan kalian dengan cara yang berbeda. Tahap pertama
diutamakan untuk fisik; tahap kedua diutamakan untuk emosi; ketiga
untuk mental." "Tapi, apa ...?"Peter menguap di tengah kata-katanya. "Apa hubungannya
menembakkan senjata dengan ... keberanian?"
Four memutar senjata di tangannya, mengarahkan moncongnya ke dahi
Peter, dan menarik pelatuknya. Peter membeku.
"Bangun," bentak Four. "Kau sedang memegang senjata berisi peluru,
bodoh. Bersikaplah seperti itu." Ia menurunkan senjata. Begitu
senjata itu tak lagi mengancamnya, mata hijau Peter menajam. Aku
terkejut Peter bisa menahan diri untuk tidak menjawab, setelah
sebelumnya terbiasa meneriakkan pikirannya saat berada di Candor,
tapi ia menahan diri. Pipinya memerah.
"Menjawab pertanyaanmu ... kemungkinan kau ngompol di celana dan
menangis memanggil ibumu semakin mengecil jika kau punya persiapan
untuk membela diri." Four berhenti berjalan di ujung barisan, lalu
membalikkan tubuh. "Ini juga informasi yang mungkin kau butuhkan
nanti di-tahap pertama. Jadi, perhatikan!"
Ia menghadap tembok yang dipasangi target"sebuah tripleks persegi
dengan tiga lingkaran merah. Masing-masing anak mendapatkan satu
papan target. Ia berdiri dengan kaki terbuka lebar; memegang
senjatanya, dan menembak. Suaranya begitu kencang sampai telingaku
terasa sakit. Aku menjulurkan leher untuk melihat targetnya.
Pelurunya menembus lingkaran tengah.
Aku menatap targetku sendiri. Keluargaku takkan pemah setuju aku
menembakkan senjata. Mereka akan berkata senjata digunakan untuk
bela diri, kalau tidak bisa dibilang untuk kekerasan, dan itulah kenapa
senjata termasuk pemuasan diri sendiri.
Aku berusaha mengusir bayangan keluargaku, lalu mengambil posisi
kaki terbuka selebar bahu. Dengan lembut, kugenggam gagang senjata
dengan kedua tangan. Memang berat dan sulit mengangkatnya, tapi
aku mau senjatanya sejauh mungkin dari wajahku. Aku menarik
pelatuknya, awainya sedikit ragu, tapi kutarik lebih kuat. Terdengar
bunyi mendenting melesat dari senjataku. Suaranya memekakkan
telinga dan hempasannya mendorong tanganku ke belakang ke arah
hidung. Aku terjungkal dan tanganku berpegangan di dinding
belakangku untuk keseimbangan. Aku tak tahu ke mana arah peluruku,
tapi aku tahu itu bukan di dekat target.
Aku menembak lagi dan lagi dan lagi, dan tak satu peluru pun yang
mendekati target. "Menurut statistik," ujar bocah Erudite di sampingku"namanya Will"
dengan senyum lebar, "kau seharusnya sudah mengenai target
setidaknya sekali sekarang, bahkan karena tak sengaja sekali pun."
Rambutnya kusut pirang dan ada lipatan di antara kedua alisnya.
"Begitu ya," kataku tanpa mengubah posisi.
"Yeah," ujarnya. "Kurasa kau ini pengecualian.".
Aku menggertakkan gigi dan berbalik menatap target. Aku
memutuskan untuk setidaknya berdiri te- gak. Jika aku tak bisa
menguasai tugas pertama yang mereka berikan, bagaimana aku akan
bisa melewati tahap pertama"
Aku menarik pelatuk kuat, dan kali ini aku siap dengan hempasannya.
Hempasannya membuat tanganku terpental ke belakang, tapi kedua
kakiku tetap di tempat. Lubang peluru terlihat di pinggir target. Aku
menaikkan alis ke arah Will.
"Jadi kau lihat kan, aku benar. Statistik tak pernah bohong," ujarnya.
Aku tersenyum kecil. Butuh lima kali tembakan untuk menembus target bagian tengah. Dan
saat aku berhasil, ada energi menggelora di dalam tubuhku. Aku lebih
awas, mataku terbuka lebar, tanganku menghangat. Aku menurunkan
senjata. Ada kekuatan di dalam kemampuan mengendalikan sesuatu
yang bisa menghancurkan"dalam mengendalikan sesuatu, titik.
Mungkin aku cocok di sini.
Saat istirahat makan siang, lenganku berdenyut-denyut karena terlalu
lama memegang senjata dan jemariku sulit diluruskan kembali. Aku
memijatnya sambil berjalan ke ruang makan. Christina mengajak Al
duduk bersama kami. Tiap kali. aku melihatnya, aku seperti mendengar
tangisannya lagi. Jadi, aku berusaha untuk tidak menatapnya.
Aku mengaduk-aduk kacang dengan garpu. Pikiranku kembali melayang
kembali ke saat tes kecakapan. Saat Tori memperingatkanku kalau
menjadi Divergent itu berbahaya. Rasanya cap itu terpasang di
wajahku, jadi jika aku menyimpang terlalu jauh, seseorang akan
melihatnya. Sejauh ini tidak ada masalah, tapi tak juga membuatku
merasa aman. Tapi, bagaimana jika aku lengah dan sesuatu yang buruk
terjadi" "Oh, ayolah. Kau tak ingat aku?" tanya Christina pada Al sambil
membuat roti lapis. "Kita di kelas Matematika yang sama beberapa
hari lalu. Dan, aku bukan orang pendiam."
"Aku sering tidur di kelas Matematika," jawab Al "Kelasnya jam
pertama!" Bagaimana kalau bahaya itu datangnya tidak dalam waktu dekat"
bagaimana jika datangnya bertahun-tahun lagi dan aku tak
menyadarinya" "Tris," ujar Christina. Ia menjentikkan jari di depan wajahku. "Kau
dengar?" "Apa" Ada apa?"
"Aku tanya apa kaii ingat pernah sekelas denganku," ujarnya.
"Maksudku, jangan tersinggung, tapi mungkin aku takkan ingat kalau
memang benar begitu. Semua Abnegation kelihatan sama di mataku.
Maksudku, mereka memang masih seperti itu, tapi kan sekarang kau
bukan bagian dari mereka lagi."
Aku menatapnya. Seakan aku butuh diingatkan lagi bahwa aku berasal
dari Abnegation. "Maaf, apa aku kasar?" tanyanya. "Aku terbiasa mengucapkan apa pun
yang ada di pikiranku. Ibuku pernah bilang sopan santun adalah
kepalsuan yang dikemas dengan cantik,"
"Kurasa itulah kenapa faksi kami jarang berhubungan dengan yang
lain," ujarku tertawa pendek. Candor dan Abnegation tidak saling
membenci seperti hubungan Erudite dan Abnegation. Tapi, lebih pada
saling menghindari. Musuh Candor sebenarnya adalah Amity. Mereka
bilang, kaum yang selalu mencan kedamaian di atas segalanya akan
selalu berbohong untuk menjaga suasana tetap tenang.
"Apa aku boleh duduk di sini?" tanya Will sambill mengetuk meja
dengan jarinya. "Apa" Kau tak mau bergabung dengan teman-teman Eruditemu?" kata


Divergent Karya Veronica Roth di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Christina. "Mereka bukan temanku," ujar Will sambil meletakkan piringnya.
"Kalau kami berasal dari faksi yang sama, bukan berarti kami akur.
Ditambah lagi, Edward dan Myra itu pacaran dan aku lebih baik tidak
menjadi orang ketiga."
Edward dan Myra, dua pindahan dari Erudite lain- nya, duduk dua
meja dari kami. Mereka duduk begitu dekat sampai siku mereka
bertabrakan saat mengiris makanan. Myra berhenti untuk mencium
Edward. Aku menatap mereka. Aku hanya pernah beberapa kali
melihat orang berciuman seumur hidupku.
Edward memalingkan wajahnya dan mencium bibir Myra. Aku
menghela napas dan mengalihkan pandangan. Sebagian dari diriku
menunggu mereka ditegur. Sebagian lagi bertanya-tanya, dengan
sedikit putus asa, bagaimana rasanya jika ada yang menciumku.
"Kenapa mereka begitu terbuka?" tanyaku.
"Myra cuma menciumnya." Al mengernyit ke arahku. Saat ia
melakukannya, alis tebalnya menyentuh bulu mata.
"Ciuman tidak seharusnya dilakukan di depan umum."
Al, Will, dan Christina, semuanya melemparkan senyuman penuh arti
padaku. "Apa?" kataku. "Sifat Abnegationmu muncul," ujar Christina. Semua tidak ada
masalah menunjukkan sedikit kasih sayang di depan umum."
"Oh." Aku mengangkat bahu. "Ya, ... kurasa aku harus membiasakan
diri." "Atau kau bisa tetap idingin," ujar Will. Mata hijaunya mengerling
nakal. "Kau tahu. Jika kau.mau." Christina melemparkan makanan ke
arahnya. Will menangkapnya dan memakannya.
"Jangan jahat padanya," ujarnya. "Sikap dingin itu sudah kodratnya.
Seperti sikap sok tahumu,"
"Aku tidak dingin!" teriakku.
"Jangan khawatir," ujar Will. "Itu menarik kok. Lihat, wajahmu
memerah." Komentar itu hanya membuat wajahku makin merah padam. Semuanya
tertawa. Aku terpaksa ikut tertawa, dan setelah beberapa detik,
tawaku terdengar apa adanya.
Senang rasanya bisa tertawa lagi.
Setelah makan siang, Four membawa kami ke sebuah ruangan baru.
Ruangannya besar dengan lantai kayu yang retak dan berderak, serta
ada lingkaran besar tergambar di tengahnya. Di dinding sebelah kiri
ada papan hijau"papan tulis. Guru pendidikan dasarku pernah
mengajar menggunakan itu, tapi aku tak pernah melihatnya lagi.
Mungkin ini ada hubungannya dengan prioritas Dauntless: latihan dulu,
baru mengembangkan teknologi.
Nama kami ditulis di papan itu berdasarkan urutan abjad. Di sisi lain
ruangan, ada sansak tinju berwarna hitam pudar tergantung setiap
interval satu meter. Kami berbaris di belakang sansak itu dan Four berdiri di tengah, agar
kami semua bisa melihatnya.
"Seperti yang sudah kubilang tadi pagi," ujar Four; "selanjutnya kalian
akan belajar bagaimana caranya bertarung. Tujuannya untuk
mempersiapkanmu beraksi; mempersiapkan tubuhmu bereaksi pada
ancaman dan tantangan"yang akan kau butuhkan jika kau berniat
bertahan hidup sebagai seorang Dauntless."
Aku bahkan tak bisa membayangkan hidup sebagai seorang Dauntless.
Yang cuma kupikirkan adalah melewati inisiasi ini.
"Kita akan mempelajari tekniknya hari ini dan besok kalian akan mulai
saling bertarung," ujar Four. "Jadi, kusarankan kalian memperhatikan.
Yang tidak cepat belajar akan cepat terluka."
Four menyebutkan beberapa macam tinju yang berbeda, menunjukkan
masing-masing tinju itu. Masing-masing jenis dengan dua kali tinju.
Satu ke udara, lalu satu ke arah sansak.
Pemahamanku kian bagus saat berlatih. Seperti senjata tadi, aku
butuh beberapa kali usaha untuk mengetahui bagaimana menopang
tubuhku dan bagaimana mengatur tubuhku seperti yang tadi ia
tunjukkan. Tendangan lebih sulit walau ia hanya mengajari kami
dasamya. Sansak membuat tangan dan kakiku sakit, dan kulitku
kemerahan. Sansaknya hampir tak bergerak sekeras apa pun aku
menghantamnya. Yang ada di sekelilingku hanyalah suara debam kulit
menghantam kain. Four berkeliling di antara para peserta inisiasi dan melihat kami
berlatih. Lalu, ia berhenti di depanku. Rasanya seperti ada yang
mengaduk-aduk perutku dengan garpu. Ia menatapku. Matanya
melihatku dari ujung rambut sampai ujung kaki tanpa berhenti di satu
titik"sebuah tatapan singkat dan ilmiah.
"Kau tak punya banyak otot," ujarnya, "artinya, lebih baik kau gunakan
lutut dan siku. Kau bisa me-nambahkan kekuatan di titik itu."
Tiba-tiba ia menyentuh perutku. Tangannya begitu panjang sampai
ujung jarinya bisa menyentuh satu sisi rusukku, walau pergelangan
tangannya berada di satu sisi rusuk lainnya. Hatiku berdebar kencang
sampai dadaku terasa sakit. Aku membelalakkan mata ke arahnya.
"Jangan lupa mengencangkan tekanan di sini," ujarnya dengan kalem.
Four mengangkat tangannya dan terus melangkah. Aku masih bisa
merasakan tekanan telapak tangannya, bahkan setelah ia pergi. Aneh,
tapi aku harus berhenti sejenak dan menarik napas selama beberapa
detik sebelum aku mulai berlatih lagi.
Saat Four mengakhiri kelas untuk makan malam, Christina menyikutku.
"Aku kaget tadi ia tidak mematahkanmu jadi dua," ujarnya. Ia
mengerutkan hidung. "Ia benar-benar membuatku takut. Suara
kalemnya itu lho," "Yeah. Ia..." aku melirik ke belakang. Four memang pendiam dan bisa
menguasai diri. Tapi, aku tak takut ia akan menyakitiku. "... benarbenar membuatku ter-intimidasi," akhimya aku berbicara.
Al, yang ada di depan kami, membalikkan badan saat kami mencapai
The Pit dan berkata, "Aku mau tato."
Dari belakang kami, Will bertanya, "Tato apa?" "Aku tidak tahu." Al
tertawa. "Aku cuma ingin merasa kalau aku sebenarnya sudah
meninggalkan faksiku yang lama. Berhenti menangisinya." Saat kami
tak menjawab, ia menambahkan, "Aku tahu kalian mendengarku
menangis." "Yeah, cobalah untuk tenang, bisa kan?" Christina mencolek lengan
kekar Al. "Kupikir kau benar. Sekarang kita setengah keluar, setengah
masuk. Kalau kita benar-benar ingin masuk, kita harus kelihatan
seperti itu." Ia menatapku. "Tidak. Aku tidak akan memotong rambutku," kataku, "atau
mengecatnya dengan warna yang aneh.. Atau menindik wajahku."
"Bagaimana dengan pusarmu?" ujarnya.
"Atau putingmu?" dengus Will.
Aku mengerang. Karena sekarang latihan hari ini sudah selesai kami bisa melakukan
apa pun sampai waktunya tidur. Hal itu hampir membuatku pusing
walaupun mungkin karena kelelahan.
The Pit sesak oleh banyak orang. Christina bilang kalau ia dan aku
akan menemui Al dan Will di salon tato. Lalu, ia menyeretku ke bagian
pakaian. Kami menempuh jalan setapak, naik lebih tinggi dari lantai
The Pit. Beberapa kerikil berguguran terinjak sepatu kami.
"Apa yang salah dengan pakaianku?" tanyaku. "Aku tak lagi memakai
warna abu-abu." "Pakaianmu jelek dan kebesaran." Ia menghela napas. "Biarkan aku
membantumu oke" Kalau kau tak suka pakaian yang kupilihkan, kau tak
perlu lagi memakainya selamanya. Aku janji."
Sepuluh menit kemudian, aku berdiri di depan kaca di gudang baju
sambil mengenakan gaun terusan selutut berwarna hitam. Roknya
tidak mengembang, tapi tak pula melekat di pahaku"tak seperti yang
pertama ia pilihkan dan aku tolak mentah-mentah. Lenganku yang
terbuka merinding. Christina melepas tali rambutku dan aku
mengibaskan kepangannya sehingga rambutku menggantung di bahuku.
Lalu, ia memegang pensil hitam.
"Eyeliner," ujarnya.
"Kau tak bisa membuatku kelihatan cantik. Kau tahu itu, kan?" Kataku
sembari memejamkan mata dan diam. Ia menorehkan ujung pensil di
garis bulu mataku. Aku membayangkan berdiri di depan keluargaku
dengan pakaian seperti ini. Perutku langsung terpelintir.
"Siapa yang peduli tentang cantik" Niatku untuk menarik perhatian."
Aku membuka mata dan pertama kalinya menatap bayanganku di
cermin. Jantungku langsung berdebar kencang seperti baru saja
melanggar peraturan dan akan dihukum karenanya. Akan sulit
menghilangkan kebiasaan pola pikir Abnegation yang masih kumiliki.
Seperti menarik sehelai benang dari sebuah karya sulaman yang
rumit. Tapi, aku akan menemukan kebiasaan baru, cara berpikir baru,
dan peraturan baru. Aku akan menjadi sesuatu yang berbeda.
Sebelumnya mataku berwarna biru, tapi biru kelabu yang pucat.
Eyeliner membuat warna mataku makin menonjol. Dengan rambut yang
terurai membingkai wajahku, sosokku kelihatan lebih lembut dan
berisi. Aku tidak cantik"mataku terlalu besar dan hidungku terlalu
panjang"tapi aku tahu Christina benar. Wajahku menarik perhatian.
Melihat diriku yang sekarang tak seperti melihat diriku untuk
pertama kalinya. Ini seperti melihat orang lain untuk pertama kalinya.
Beatrice adalah sosok gadis yang kulihat diam-diam mencuri pandang
di kaca, yang pendiam di meja makan. Yang ini seseorang yang
matanya berkata inilah aku dan jangan lepaskan aku; inilah Tris.
"Lihat kan?" ujarnya. "Kau ... keren."
Itulah pujian terbaik yang bisa ia berikan padaku Aku tersenyum
padanya dari cermin. "Kau suka?" tanyanya.
"Yeah," aku mengangguk. "Aku seperti ... orang yang berbeda."
Ia tertawa. "Itu bagus atau jelek?"
Aku menatap bayanganku lagi. Untuk pertama kalinya, keinginan untuk
meninggalkan identitas Abnegation tak membuatku gugup. Justru
memberiku harapan. "Hal yang baik." Aku menggeleng. "Maaf aku hanya tak pemah
diizinkan untuk menatap bayanganku sendiri di cermin selama itu."
"Masa?" Christina menggeleng. "Kuberi tahu kau, Abnegation itu faksi
yang aneh." "Ayo lihat Al ditato," kataku. Walau kenyataannya aku telah
meninggalkan faksi lamaku, aku masih belum mau mengkritiknya.
Di rumah, ibu dan aku mengambil tumpukan pakaian yang hampir
serupa tiap enam bulan sekali. Mudah untuk mengatur pembagian
sumber daya apa pun saat semuanya mendapatkan hal yang sama. Tapi,
semua lebih bervariiasi di markas Dauntless. Tiap Dauntless
mendapatkan sejumlah poin tertentu untuk dibelanjakan dan pakaian
termasuk salah satu yang bisa dibelanjakan.
Christina dan aku bergegas menuruni jalur sempit menuju tempat
tato. Sesampainya di sana, Al sudah duduk di kursi, didampingi
seorang pria yang memiliki tatonya lebih banyak dari kulit aslinya. Pria
itu menggambar seekor laba-laba di lengan Al.
Will dan Christina membuka-buka buku contoh gambar dan saling
menyikut saat mereka menemukan gambar yang bagus. Saat mereka
duduk berdampingan, aku menyadari betapa berlawanannya mereka.
Christina berkulit gelap dan ramping, sementara Will berkulit pucat
dan berisi. Tapi, mereka memiliki senyum renyah yang sama.
Aku mengelilingi ruangan dan melihat hasil karya yang ada di dinding.
Di masa kini, pekerja seni banyak yang tinggal di Amity. Abnegation
memandang seni sebagai sesuatu yang tidak praktis dan waktu yang
dihabiskan untuk mengapresiasinya bisa digunakan untuk menolong
orang lain. Jadi, walaupun aku pernah melihat hasil karya seni di buku
teks sekolah, aku tak pernah berada di dalam ruangan penuh dekorasi
seperti ini. Dekorasinya membuat udara menjadi padat dan hangat.
Aku bisa saja tersesat di sini berjam-jam tanpa ada yang tahu. Aku
menyusuri gambar-gambar di dinding dengan ujung jari. Gambar elang
di salah satu dinding mengingatkanku pada tato Tori. Di bawahnya ada
sketsa burung yang sedang terbang.
"Itu burung gagak" ujar suara di belakangku. "Cantik, kan?"
Aku berbalik dan mendapati Tori berdiri di sana, Rasanya seperti
kembali di ruang tes kecakapan dengan cermin mengelilingiku dan
kabel-kabel menancap di dahi. Aku tak menyangka akan bertemu
dengannya lagi. "Halo." Ia tersenyum. "Tidak kusangka akan bertemu denganmu lagi.
Beatrice, kan?" "Sebenarnya, Tris," kataku. "Kau kerja di sini"
"Ya. Aku cuti untuk membantu ujian itu. Sebagian besar waktuku di
sini. Ia mengetuk dagunya dengan jari. "Aku kenal nama itu. Kau
pelompat pertama kan?"
"Ya, aku pelompat pertama."
"Bagus." "Trims." Aku menyentuh sketsa burung itu. "Dengar"aku ingin bicara
padamu tentang..." aku melirik ke arah Will dan Christina. Aku tak
bisa mengajak Tori berbicara di sudut sekarang. Mereka akan
bertanya- tanya. "... tentang sesuatu. Kapan-kapan."
"Aku tak yakin itu bijaksana," ujarnya kalem. "Aku membantumu
sebanyak yang kubisa dan sekarang kau harus melakukannya sendiri."
Bibirku mengerut. Ia punya jawabannya. Aku tahu ia punya. Jika ia tak
mau memberikannya sekarang, aku akan mencari cara untuk
membuatnya mengatakannya suatu hari nanti.
"Mau tato?" ujarnya.
Sketsa burung itu menarik perhatianku. Aku tak pernah berniat
ditindik atau ditato saat aku datang kemari. Aku tahu jika aku
melakukannya, itu akan menjadi pemisah untukku dan keluarga yang
takkan pernah bisa kuhapus. Dan, jika hidupku berlanjut di tempat ini,
itu akan menjadi penghalang terakhir di antara kami.
Namun, aku paham sekarang apa yang Tori maksud tentang tato yang
mewakili ketakutan yang telah ia taklukkan"semacam pengingat dari
mana ia berasal, sebagaimana pengingat di mana tempatnya sekarang.
Mungkin ada jalan untuk menghormati hidupku di masa lalu
sebagaimana aku menerima hidupku sekarang.
"Ya," kataku. "Tiga sketsa burung yang sedang ini."
Aku menyentuh tulang selangkaku. Memberi tanda jalur arah terbang
mereka"menuju hatiku. Satu gambar untuk satu anggota keluarga
yang telah kutinggalkan. "Karena hari ini jumlah kalian ganjil, ada satu di antara kalian yang
tidak akan berkelahi hari ini" ujar Four sambil melangkah menjauh
dari papan di ruang latihan. Ia menatapku. Tidak ada nama yang
tertulis di sebelah namaku.
Simpul di perutku terasa terbuka. Rasanya seperti lolos dari hukuman
mati. "Ini tidak bagus," ujar Christina menyikutku. Ujung sikunya menusuk
salah satu ototku yang nyeri"pagi ini rasanya aku punya lebih banyak
otot nyeri daripada yang tidak nyeri"dan aku bekernyit.
"Ow." "Maaf" ujarnya. "Tapi lihat, aku melawan Tank."
Aku dan Christina duduk bersebelahan saat sarapan. Sebelumnya, dia
menutupiku dari seluruh penghuni kamar yang lain saat aku berganti
baju. Aku tak memiliki teman sepertinya sebelumnya. Susan lebih suka
bergaul dengan Caleb daripada denganku, dan Robert hanya mengikuti
ke mana pun Susan pergi. Kurasa aku tak pernah benar-benar memiliki teman, titik. Sulit untuk
memiliki teman sejati saat tak seorang pun merasa diperbolehkan
untuk menerima bantuan, atau bahkan berbicara tentang dirinya
sendiri. Rasanya aku lebih mengenal Christina daripada aku mengenal
Susan, padahal ini baru dua hari.


Divergent Karya Veronica Roth di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tank?" kulihat nama Christina di papan. Yang tertulis di sebelahnya
"Molly". "Yeah, kaki tangan Peter yang kelihatan sedikit feminin itu," ujarnya
sambil mengangguk ke arah sekumpulan orang di sisi lain ruangan.
Molly tinggi seperti Christina, tapi hanya itu persamaannya. Molly
memiliki bahu lebar, kulit kecokelatan, dan hidung bulat.
"Tiga orang itu?"Christina menunjuk Peter, Drew, dan Molly
bergantian?"anggap saja, tak terpisahkan sejak lahir. Aku benci
mereka." Will dan Al berdiri saling berhadapan di masing- masing sudut arena.
Mereka mengangkat tangan ke wajah untuk melindungi diri sendiri,
seperti yang diajarkan Four, dan bergerak melingkar satu sama lain.
Al setengah kaki lebih tinggi dari Will dan dua kali lebih lebar. Saat
aku menatapnya, aku sadar bahkan seluruh bagian wajahnya besar"
hidung besar, bibirnya besar, dan matanya pun besar. Pertarungan ini
takkan berlangsung lama. Aku melirik Peter dan teman-temannya. Drew lebih pendek dari Peter
dan Molly, tapi posturnya seperti bongkahan batu dengan pundak yang
selalu membungkuk. Rambutnya oranye kemerahan seperti warna
wortel yang sudah matang.
"Ada apa dengan mereka?" tanyaku,
"Peter itu sangat jahat. Saat kami masih kecil ia sering berkelahi
dengan anak-anak dari faksi lain. Saat orang dewasa datang melerai,
ia akan menangis dan mengarang cerita kalau anak yang lain yang
memulainya. Dan tentu saja, orang dewasa mempercayainya karena
kami dari Candor dan kami tidak boleh bohong."
Christina mengerutkan hidung dan menambahkah "Drew cuma anak
buahnya. Aku ragu ia memiliki pikiran sendiri. Dan Molly... ia sejenis
orang yang membakar semut dengan kaca pembesar hanya untuk
melihat semut-semut itu menggelepar."
Di arena, Al meninju rahang Will dengan keras, Aku bekernyit. Di
seberang ruang, Eric menyeringai ke arah Al dan memainkan salah
satu cincin di alisnya. : Will terjungkal ke samping. Tangannya
menekan wajah dan menahan tinju Al selanjutnya dengan tangannya
yang lain. Dari seringai di wajahnya, menahan pukulan itu sepertinya
sama sakitnya dengan pukulannya yang diterimanya tadi. Pukulan Al
memang pelan, tapi penuh tenaga.
Peter, Drew, dan Molly diam-diam menatap ke arah kami, lalu saling
mendekatkan kepala untuk membisikkan sesuatu.
"Kurasa mereka tahu kalau kita membicarakan mereka," kataku.
"Lalu" Mereka sudah tahu aku membenci mereka."
"Mereka tahu" Kok bisa?"
Christina memasang senyum palsu dan melambaikan tangan. Aku
menunduk dengan pipi memerah.
Aku tidak seharusnya bergosip. Bergosip itu tindakan menyenangkan
diri sendiri. Will mengulurkan kaki dan menjegal kaki Al sampai Al jatuh
tersungkur ke tanah. Ia jatuh menimpa kakinya sendiri.
"Karena aku pernah bilang pada mereka," ujar Christina sambil
menggertakkan gigi. Giginya rapi di bagian atas, tetapi gigi bawahnya
gingsul. Ia menatapku. "Kami belajar untuk benar-benar jujur atas
perasaan kami di Candor. Banyak orang yang bilang padaku kalau
mereka tak suka aku. Dan, ada beberapa orang juga yang belum
berkata apa-apa. Siapa peduli?"
"Hanya saja, kita... tak seharusnya menyakiti hati orang lain," kataku.
"Aku lebih suka menganggap kalau aku menolong mereka dengan cara
membenci mereka," ujarnya. "Aku mengingatkan mereka kalau mereka
bukan anugerah Tuhan untuk umat manusia."
Aku sedikit tertawa mendengarnya dan fokus melihat ke arena lagi.
Will dan Al saling berhadapan beberapa detik lebih lama. Keraguan
mereka lebih besar daripada sebelumnya. Will mengibas helai pucat
rambutnya dari mata. Mereka menatap Four seakan mereka
menunggunya untuk menghentikan pertarungan, tapi Four tetap
berdiri dengan lengan terlipat tanpa respons apa-apa. Beberapa
meter darinya, sedang memeriksa jamnya.
Setelah beberapa detik berlalu, Eric berteriak. "Apa kalian pikir ini
hanya mengisi waktu luang" Apa kita harus berhenti sebentar untuk
tidur siang" Ayo bertarung!"
"Tapi ..." tubuh Al menegak dan menurunkan tangannya. "Ini dinilai
atau bagaimana" Kapan pertarungannya berakhir?" tanyanya.
"Pertarungannya berakhir saat salah satu dari kalian tak bisa
melanjutkan," ujar Eric.
"Menurut peraturan Dauntless," ujar Four, "salah satu dari kalian juga
bisa mengaku kalah."
Eric menyipitkan matanya ke arah Four. "Itu menurut peraturan lama
Dauntless," ujarnya. "Di peraturan baru, tak ada yang mengaku kalah."
"Seorang pemberani boleh mengakui kekuatan orang lain," jawab Four.
"Seorang pemberani tak pernah menyerah."' ;
Four dan Eric saling menatap satu sama lain selama beberapa detik.
Rasanya aku seperti melihat dua jenis Dauntless"yang terhormat dan
yang kejam. Tapi, aku tahu di ruangan ini, Ericlah, pemimpin termuda
Dauntless, yang memegang kekuasaan.
Titik-titik keringat memenuhi dahi Al. Ia mengusapnya dengan bagian
belakang tangannya. "Ini konyol," ujar Al menggeleng. "Apa gunanya memukulinya" Kita
semua ada di faksi yang sama!
"Oh, menurutmu itu mudah?" tanya Will menyeringai. "Ayo, coba saja
memukulku, dasar lambat."
Wil kembali mengangkat tangan memasang kuda- kuda. Ada keteguhan
yang tadinya tidak ada, terpancar di matanya. Apa ia berpikir ia
benar-benar bisa menang" Satu serangan telak di kepala dan Al akan
langsung mengalahkannya. Itu baru bisa terjadi jika Al benar-benar bisa memukul Will. Al
mencoba memukul, dan Will menunduk. Bagian belakang lehernya
mengkilat penuh keringat. Ia memasukkan satu pukulan lagi, berkelit
memutari Al, dan menendangnya kuat-kuat di belakang. Al tersentak
ke depan dan membalikkan tubuh.
Saat aku masih kecil, aku membaca buku tentang beruang buas yang
besar. Ada gambar seekor beruang yang berdiri dengan kedua kaki
belakangnya, cakar kaki depannya terentang sambil mengaum. Seperti
itulah Al sekarang. Ia menyerang Will dengan menangkap lengannya
sehingga Will tak bisa ke mana-mana, lalu menghantam rahangnya
dengan keras. Aku melihat mata Will, yang berwarna hijau pucat seperti seledri,
mulai meredup. Sepasang matanya berputar ke belakang dan tubuhnya
terkulai kehilangan kekuatan. Ia lepas dari genggaman Al, tak sanggup
menahan beban, dan tersungkur di lantai. Hawa dingin merayapi
punggungku dan memenuhi dadaku.
Mata Al terbelalak. Ia membungkuk di samping Will dan menepuknepuk pipinya dengan satu tangan. Seisi ruangan mendadak hening
saat kami menunggu respons Will. Beberapa detik, Will. tidak
merespons. I Ia hanya berbaring di tanah dengan lengan tertekuk
tertimpa tubuhnya sendiri. Kemudian ia mengedip jelas sekali tampak
linglung. "Bangunkan ia," ujar Eric. Ia menatap tamak ke arah tubuh Will yang
tersungkur, seperti Will itu seonggok makanan dan Eric sudah tak
makan selama berminggu-minggu. Lengkung bibimya terlihat kejam.
Four membalikkan badan ke arah papan tulis dan melingkari nama Al.
Kemenangan. "Yang berikutnya"Molly dan Christina" teriak Eric. Al mengalungkan
lengan Will ke bahunya dan menariknya keluar arena.
Christina menggertakkan tulang ruas jari-jarinya. Aku ingiri
mengatakan semoga beruntung, tapi aku tak tahu apa gunanya.
Christina tidak lemah, tapi ia jauh lebih ramping dari Molly. Kuharap
tubuh tingginya bisa membantu.
Di seberang ruangan, Four memegangi pinggang Will dan menuntunnya
keluar. Al berdiri sejenak di pintu dan menatap mereka pergi.
Kepergian Four membuatku gugup- Meninggalkan kami bersama Eric
rasanya seperti menyewa pengasuh yang menghabiskan waktunya
dengan mengasah pisau. Christina merapikan rambutnya ke belakang telinga. Rambutnya
sepanjang dagu, hitam, dan terjepit dengan sepasang jepit rambut
perak. Ia menggertakkan tulang jemarinya yang lain. Ia kelihatannya
gugup dan tak heran jika ia begitu"siapa yang tidak akan gugup
setelah melihat Will pingsan seperti boneka perca"
Jika setiap konflik di Dauntless diakhiri dengan hanya satu orang
yang tersisa, aku tak yakin apakah aku akan berhasil diinisiasi tahap
ini. Akankah menjadi seperti Al yang berdiri menang di atas tubuh
lawan, tahu bahwa akulah yang membuatnya jatuh tersungkur" Atau,
akankah aku menjadi Will yang berbaring tak berdaya" Apakah
menginginkan kemenangan itu artinya egois atau berani" Aku
menggosokkan telapak tanganku yang berkeringat ke celana.
Aku tersentak kembali memperhatikan saat Christina menendang sisi
tubuh Molly. Molly terkesiap dan menggertakkan gigi seakan hampir
mengerang. Beberapa helai rambut hitamnya jatuh menutupi muka,
tapi ia tak menyibakkannya.
Al berdiri di sampingku,tapi aku terlalu fokus menatap pertarungan
baru ini untuk memandangnya atau menyelamatinya atas
kemenangannya barusan. Kukira itulah yang ia inginkan. Meski aku
tidak yakin. Molly menyeringai ke arah Christina dan tanpa peringatan apa-apa, ia
menukik sambil mengulurkan tangan, menyerang perut Christina. Ia
memukul Christina dengan telak, membuat Christina tersungkur dan
mengunci tubuhnya di tanah. Christina mendorongnya, tapi Molly
terlalu berat dan tidak bergerak sedikitpun.
Ia memukul dan Christina mengelak, tapi Molly memukulnya lagi, dan
lagi, sampai akhimya kepalan tangannya membentur rahang, hidung,
dan mulut Christina. Tanpa berpikir apa-apa, aku meraih lengan Al dan
meremasnya sekuat yang kubisa. Aku hanya memerlukan sesuatu
untuk kupegang. Darah mengucur di wajah samping Christina dan ada
percikan darah yang mengenai tanah di samping pipinya: Untuk
pertama kalinya, aku berdoa agar seseorang jatuh pingsan, Tapi,
Christina tidak pingsan. Ia berteriak dan menarik tangannya yang
masih bebas. Ia meninju telinga Molly dan membuat gadis itu
kehilangan keseimbangan sehingga Christina bisa menggeliat bebas. Ia
kembali berdiri ditopang lutut sambil memegangi wajah dengan satu
tangan. Darah yang mengalir dari hidungnya terlihat kental dan gelap,
melumuri jari-jari tangannya dalam hitungan detik. Christina kembali
berteriak dan merangkak menjauh dari Molly. Aku tahu dari bahunya
yang bergetar, Christina sedang menangis. Tapi, aku hampir tak bisa
mendengar suaranya karena telingaku sendiri tengahberdenyutdenyut ngeri.
Ayolah, pingsan saja. Molly menendang sisi tubuh Christina dan membuatnya jatuh
telentang. Al mengulurkan tangannya dan menarikku mendekat ke
sisinya. Ia menggertakkan gigi, menahan tangis. Aku memang tak
punya simpati untuk Al di malam pertama kami tiba di sini, tapi aku
belum berubah menjadi orang yang kejam. Pemandangan Christina
yang memegangi rusuknya membuatku ingin naik ke arena dan melerai
mereka berdua. "Stop!" jerit Christina saat Molly menarik kakinya untuk sekali lagi
menendang. Ia mengulurkan tangan ke depan. "Stop! Aku ..." ia
terbatuk. "Aku menyerah." Molly tersenyum dan aku menghela napas
lega. Al juga menghela lega. Dadanya naik turun di samping bahuku.
Eric berjalan ke tengah arena. Langkahnya lambat dan berdiri di
samping Christina dengan lengan terlipat. Ia berkata dengan tenang,
"Maaf, apa yang kau katakan barusan" Kau menyerah?"
Christina bangkit. Saat ia menjejakkan tangan di tanah sebagai
tumpuan, ada bekas telapak tangan kemerahan tercetak di sana. Ia
menekan hidungnya untuk menghentikan pendarahan dan mengangguk.
"Bangun," ujar Eric. Jika pria itu berteriak, aku mungkin tidak akan
merasa sengeri ini. Jika ia teriak, aku akan tahu bahwa berteriak
adalah hal terburuk yang bisa ia rencanakan. Tapi, suaranya yang
tenang dan kata-katanya yang singkat membuatku merinding. Eric
menangkap lengan Christina, menyeretnya keluar melalui pintu.
"Ikut aku," ujarnya pada kami semua.
Dan kami menurut. Aku merasakan debur sungai bergema di dadaku.
Kami berdiri di dekat susuran. The Pit hampir kosong. Sekarang
tengah hari, tapi rasanya seperti malam tak berganti selama
beberapa hari. Jika ada orang Dauntless lagi di sini aku ragu ada seseorang yang akan
menolong Christina. Kami sedang bersama Eric, itu masalahnya, dan
masalah lainnya, Dauntless memiliki peraturan berbeda"-peraturan
yang menyatakan bahwa kebrutalan bukan kekerasan.
Eric mendorong Christina ke susuran itu.
"Panjat," ujarnya.
"Apa?" ujar Christina seakan ia berharap Eric bisa melunak, tapi
matanya yang melebar dan wajahnya yang berubah abu-abu,
menunjukkan hal sebaliknya. Eric tidak akan melunak.
"Panjat susuran itu," kata Eric lagi sambil mengucapkan satu-demi
satu kata itu perlahan. "Kalau kau bisa menggelantung di atas jurang
selama lima menit, akan kulupakan kepengecutanmu. Kalau kau tak
bisa, aku takkan mengizinkanmu melanjutkan inisiasi."
Susuran itu sempit dan terbuat dari logam. Debur yangtepercik
daribatas sungai membuat susuran itu licin dan dingin. Bahkan, jika
Christina cukup berani untuk menggelantung di susuran itu selama
lima menit, ia takkan bisa bertahan. Ia harus memutuskan untuk
keluar dari Faksi Dauntless atau menantang maut.
Saat aku menutup mata, aku bisa melihatnya jatuh ke bebatuan curam
di bawah sana, itu membuatku gemetar.
"Baik," ujarnya. Suaranya bergetar.
Ia cukup tinggi untuk mengayunkan kakinya melewati susuran. Kakinya
gemetar. Ia menempelkan jempol kakinya ke tepian bangunan saat ia
mengangkat kaki lainnya ke atas. Sambil berdiri menghadap kami,
Christina mengusap tangannya ke celana dan berpegangan di susuran
dengan kuat sampai buku-buku jarinya memutih. Kemudian, ia
mengangkat kakinya yang berada di pinggiran. Lalu, kaki satunya lagi.
Aku melihat wajahnya di antara jeruji pembatas. Pendiriannya begitu
teguh. Bibimya merapat kuat.
Di sebelahku, Al mengeset jam tangannya.
Untuk satu setengah menit pertama, Christina baik-baik saja.
Tangannya tetap kuat menggenggam susuran dan lengannya tidak
gemetar. Aku mulai berpikir ia akan berhasil melaluinya dan
menunjukkan pada Eric betapa bodohnya kalau pria itu sampai
meragukannya. Tapi, kemudian debur sungai membentur dinding dan hempasannya
mengenai punggung Christina. Wajahnya membentur pembatas dan ia
berteriak. Tangannya tergelincir, hanya ujung jarinya yang bertahan
mencengkeram jeruji. Ia mencoba untuk menggenggam lebih kuat,
tapi tangannya sekarang basah.
Jika aku menolongnya, Eric akan membuatku bernasib sama seperti
Christina. Akankah aku membiarkannya jatuh menemui ajal atau aku
akan mengundurkan diri untuk keluar dari faksi" Mana yang lebih
buruk: diam saja sementara seseorang akan mati atau diasingkan
tanpa memiliki apa-apa"
Orangtuaku takkan memiliki masalah menjawab pertanyaan itu.
Tapi, aku bukan orangtuaku.
Seingatku, Christina belum pernah menangis sejak kita tiba di sini,
tapi sekarang wajahnya kusut dan ia menangis. Tangisannya lebih kuat
dari suara sungai. Satu ombak lagi menerjang dinding dan percikannya
membasahi tubuhnya. Salah satu tetesnya mengenai pipiku. Tangannya


Divergent Karya Veronica Roth di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tergelincir lagi, dan kali ini satu ja rinya lepas dari pegangan.
Sekarang, Christina hanya bergantung dengan empat jari.
"Ayo Christina," kata Al, suara rendahnya terdengar jelas. Christina
menatap Al. Al menepukkan tangan. "Ayo, pegang lagi. Kau bisa
melakukannya. Pegang."
Bahkan, akankah aku cukup kuat untuk memeganginya" Akankah
usahaku untuk menolongnya sepadan jika aku tahu aku terlalu lemah
untuk melakukannya" Aku sadar semua pertanyaan itu hanya alasan. Manusia akan
menciptakan alasan apa pun untuk menoleransi hal jahat; itulah kenapa
penting untuk tidak bergantung pada alasan-alasan semacam itu. Katakata ayah.
Christina mengayunkan lengannya, mencoba meraih susuran. Tak ada
lagi yang menyemangatinya. Tapi, Al menepukkan tangannya dan
berteriak. Matanya menatap erat ke arah Christina. Kuharap aku bisa.
Kuharap aku bisa bergerak, tapi aku hanya menatapnya dan bertanyatanya sudah berapa lama aku ada di situasi egois yang menjijikkan ini.
Aku menatap jam Al. Sudah lewat empat menit. Ia menyikut bahuku
dengan keras. "Ayo," kataku. Suaraku seperti bisikan. Aku berdeham. "Tinggal satu
menit," kataku, kali ini lebih keras. Tangan Christina yang satunya lagi
berhasil menangkap susuran. Lengannya bergetar begitu kuat, sampai
aku bertanya-tanya apakah sekarang ada gempa dan mengguncangkan
pandanganku tanpa kusadari.
"Ayo Christina," kataku dan Al. Saat suara kami berpadu, kuyakin
mungkin aku bisa cukup kuat untuk membantunya.
Satu debur ombak lagi membentur punggung Christina dan ia menjerit
saat kedua tangannya lepas dari susuran. Aku menjerit. Suara itu
kedengarannya bukan seperti suaraku sendiri.
Tapi, Christina tidak jatuh. Ia menangkap jeruji pembatas. Jemarinya
meluncur menuruni jeruji logam sampai aku tak bisa melihat kepalanya
lagi. Hanya jemarinya yang bisa kulihat.
Jam Al menunjukkan 5.00. "Sudah lima menit," sembur Al arah Eric.
Eric memeriksa jamnya sendiri. Saat ia memiringkan pergelangan
tangannya, perutku seperti terpelintir dan aku tak bisa bernapas. Aku
teringat saudara Rita yang tergeletak di pelataran di bawah jalur
kereta. Anggota tubuhnya patah ke sudut yang tak beraturan; Rita
menjerit dan menangis. Aku teringat diriku sendiri yang membalikkan
badan. "Baik," kata Eric. "Kau bisa naik, Christina."
Al berjalan ke arah susuran.
"Tidak," kata Eric. "Ia harus melakukannya sendiri."
"Tidak, ia tidak perlu seperti itu," Al mengerang "Ia sudah melakukan
apa yang kau suruh. Ia bukan pengecut. Ia melakukan apa yang kau
minta." Eric tidak menjawab. Al membungkuk di susuran dan meraih
pergelangan tangan Christina. Christina menangkap lengan bawah Al.
Al mengangkatnya ke atas dengan wajah memerah penuh frustrasi.
Aku berlari untuk membantu mereka. Seperti yang kukira, aku terlalu
pendek untuk melakukan banyak hal. Tapi, aku mendorong bagian
bawah bahu Christina begitu ia naik cukup tinggi. Aku dan Al menarik
tubuhnya melewati pembatas. Christina tersungkur di lantai.
Wajahnya masih berlumur darah bekas pertarungannya tadi.
Punggungnya basah kuyup. Tubuhnya bergetar hebat.
Aku berlutut di sampingnya. Matanya menatapku, lalu ganti menatap
Al, dan kami bertiga menghela napas bersama-sama.
Malam itu aku memimpikan Christina yang bergelantungan di susuran
sekali lagi, kali ini dengan jari kakinya. Lalu, seseorang berteriak
bahwa hanya seorang Divergent yang bisa menolongnya. Maka, aku
berlari menghampirinya untuk membantunya naik. Namun, seseorang
mendorongku melewati pinggir jurang dan aku terbangun tepat
sebelum aku membentur bebatuan di bawah sana.
Dengan tubuh berkeringat dan gemetar, aku berjalan ke kamar mandi
perempuan untuk mandi dan berganti pakaian. Saat aku kembali, ada
semprotan merah membentuk kata "KAKU" melintang di atas tempat
tidurku. Kata itu ditorehkan di sepanjang dipan tempat tidur dan satu
lagi di atas bantalku. Aku melihat ke sekeliling dengan jantung
berdebar penuh kemarahan.
Peter berdiri di belakangku. Ia bersiul sambil menepuk-nepuk
bantalnya. Sulit kupercaya aku bisa membenci seseorang yang
kelihatannya begitu baik"alisnya melengkung alami dan ia memiliki
senyum lebar dengan gigi yang putih.
"Hiasan yang bagus," ujarnya.
"Apa aku tidak sengaja melakukan sesuatu padamu?" tanyaku. Aku
meraih ujung seprai dan menariknya dari atas kasur. "Aku tidak tahu
apa kau sadar atau tidak, tapi sekarang kita ada di satu faksi yang
sama." "Aku tidak tahu apa maksudmu," ujarnya enteng. Lalu, ia melirikku.
"Dan, kita tidak akan pernah ada di faksi yang sama."
Aku menggeleng sambil melepas sarung bantal. Jangan terpancing. Ia
hanya ingin membuatku marah. Ia takkan bisa melakukannya. Tapi,
tiap kali ia menepuk-nepuk bantalnya, kubayangkan tinjuku memukul
perutnya. Al masuk dan aku bahkan tak perlu memintanya untuk membantuku. Ia
hanya menghampiri dan melucuti seprai bersamaku. Nanti aku harus
menggosok dipan untuk menghilangkan coretannya. Al membawa
sepraiku ke dalam keranjang pakaian kotor dan kami berdua berjalan
ke ruang latihan. "Jangan pedulikan ia," ujar Al. "Ia itu idiot dan kalau kau tak
terpancing, ia akan berhenti sendiri."
"Yeah," aku menyentuh pipiku. Rasanya masih hangat oleh rasa
marahku barusan. Aku mencoba mengalihkan pikiran. "Apa kau sudah
bicara dengan Will?" tanyaku pelan. "Setelah ... kau tahu."
"Yeah. Ia baik-baik saja. Ia tidak marah." Al menghela napas.
"Sekarang, aku akan selalu diingat orang sebagai cowok berdarah
dingin yang pertama kali menghajar seseorang."
"Ada banyak cara untuk diingat. Setidaknya mereka takkan
mengganggumu." "Ada beberapa cara yang lebih baik juga." Ia menyikutku sambil
tersenyum. "Pelompat pertama." Mungkin aku memang pelompat
pertama, tapi kurasa itulah awal dan akhir ketenaranku di Dauntless.
Aku berdeham. "Lagi pula, toh salah satu dari kalian akan kalah, kau
tahu, kan" Kalau bukan ia, pasti kau."
"Tetap saja, aku tak mau melakukannya lagi." Al menggeleng cepat
beberapa kali. Ia mendengus. "Aku benar-benar tak mau."
Kami mencapai pintu ruang latihan dan aku berkata, "Tapi kau harus."
Al memiliki wajah yang baik. Mungkin ia terlalu baik untuk Dauntless.
Aku melihat papan tulis saat memasuki ruangan. Aku tak perlu
bertarung kemarin, tapi hari ini pasti aku akan bertarung. Saat
kulihat namaku, aku berhenti melangkah.
Lawanku adalah Peter. "Oh tidak," ujar Christina yang berada di belakang kami. Wajahnya
masih memar dan kelihatannya ia memaksakan diri untuk tidak
kelihatan pincang. Saat melihat papan, ia meremas bungkus muffin
yang dipegangnya. "Apa mereka serius" Mereka akan membuatmu
bertarung dengan-nya?"
Peter hampir 30 sentimeter lebih tinggi dariku dan kemarin ia
menghajar Drew kurang dari lima menit. Hari ini wajah Drew terlihat
memar hitam kebiruan, tak segar seperti biasanya.
"Mungkin kau perlu menerima beberapa pukulan dan berpura-pura
pingsan," saran Al. "Takkan ada yang menyalahkanmu. "
"Yeah," kataku. "Mungkin."
Aku melihat papan itu. Pipiku terasa panas. Aku tahu Al dan Christina
hanya mencoba membantu. Tapi, kenyataan bahwa mereka tak
percaya, bahkan tidak sedikit pun tebersit di benak mereka, kalau aku
memiliki kemungkinan menang melawan Peter, menggangguku.
Aku berdiri di sisi ruangan, setengah mendengarkan obrolan Al dan
Christina, dan melihat Molly bertarung dengan Edward. Edward lebih
cepat dari Molly, jadi kuyakin gadis itu takkan menang hari ini.
Saat pertarungan berlangsung dan kejengkelanku memudar, aku mulai
gelisah. Kemarin Four memberi tahu kami untuk mencari kelemahan
lawan. Selain sifat yang membuatnya tak disukai, Peter tak memiliki
kekurangan. Ia kuat karena cukup tinggi, tapi tubuhnya tidak terlalu
besar untuk membuatnya lambat. Ia bisa melihat kelemahan orang
lain. Ia kejam dan takkan memberiku ampun. Aku bisa saja
mengatakan, siapa tahu Peter meremehkanku, tapi itu bohong. Aku
sama tak berdayanya seperti yang ia duga.
Mungkin Al benar dan aku cuma perlu menerima beberapa pukulan dan
berpura-pura pingsan. Tapi, aku tak bisa tak mencoba. Aku tak boleh ada di ranking
terbawah. Saat Molly mencoba berdiri, nyaris tak sadar akibat hantaman
Edward, jantungku berdebar begitu kencang sampai-sampai aku bisa
merasakannya di ujung jariku. Aku tak ingat bagaimana caranya
berdiri. Aku tak ingat caranya memukul. Aku berjalan ke tengah arena
dan perutku menggeliat saat Peter mendekatiku. Ia lebih tinggi dari
yang kuingat; lengan-lengannya mencuat menarik perhatian. Ia
tersenyum padaku. Aku bertanya-tanya apakah muntah di depannya
akan membantuku. Aku ragu. "Kau baik-baik saja, Kaku?" ujarnya. "Kelihatannya kau mau nangis.
Aku akan pelan-pelan padamu jika kau menangis."
Dari balik bahu Peter, aku melihat Four berdiri di samping pintu
dengan tangan terlipat. Mulutnya mengerut seakan ia baru saja
menelan sesuatu yang asam. Di sampingnya ada Eric yang mengetukngetukkan kaki lebih cepat dari detak jantungku.
Satu detik aku dan Peter masih berdiri di sini dengan saling melihat
satu sama lain. Detik berikutnya, tangan Peter terangkat ke arah
wajah dengan siku menekuk. Lututnya pun ikut menekuk, seakan ia
siap melompat. "Ayo Kaku," ujarnya dengan mata berkilat. "Cuma setetes air mata
saja. Mungkin sedikit memohon juga."
Bayangan kalau aku memohon ampun pada Peter membuatku muak, dan
aku menendangnya ke arah samping. Atau, aku akan menendangnya di
sampinya, jika ia tak menangkap kakiku dan melemparnya ke depan,
sehingga membuatku kehilangan keseimbangan Punggungku
membentur lantai. Aku menarik kakiku dan berusaha berdiri.
Aku harus tetap berdiri, jadi ia takbisa menendang kepalaku. Hanya
itu yang bisa kupikirkan.
"Jangan bermain-main dengannya," bentak Eric. "Aku tak punya waktu
seharian." Tampang jahil Peter memudar. Tangannya mengayun dan rasa sakit
menjalari rahangku, merambat ke penjuru wajah dan membuat
pandanganku mulai gelap. Telingaku ikut berdenging. Aku berkedip dan
terhuyung-huyung ke samping saat ruangan kelihatan seperti
bergoyang-goyang. Aku tak ingat kalau tinjunya telah mengenaiku.
Aku terlalu limbung untuk melakukan apa pun kecuali menjauh darinya,
sejauh mungkin asal masih tetap berada di arena. Ia bergerak cepat
ke depan dan menendang perutku keras-keras. Kakinya seperti
memaksa udara keluar dari paru-paruku. Rasanya sakit. Sangat sakit
sampai aku takbisa bernapas. Atau, mungkin itu semata karena
tendangannya, aku tak tahu. Yang kutahu aku hanya jatuh tersungkur.
Cepat bangun adalah satu-satunya pikiran yang ada di kepalaku. Aku
memaksakan diri untuk bangkit, tapi Peter telanjur ada di dekatku. Ia
menarik rambutku dengan satu tangan dan tangan yang lainnya tepat
meninju hidungku. Kali ini sakitnya berbeda. Bukan seperti sakit
ditusuk, dan lebih mirip sakit saat ada anggota tubuh yang patah.
Otakku rasanya seperti retak dan pandanganku dipenuhi berbagai
warna, biru, hijau, merah. Aku mencoba mendorongnya menjauh,
lenganku memukul lengannya. Ia memukulku lagi, lali ini di tulang
rusuk. Wajahku basah. Hidungku berdarah. Lebih deras dari
sebelumnya, kurasa, tapi aku terlalu pusing untuk melihat ke bawah.
Ia mendorongku dan aku jatuh lagi. Aku menapakkan tangan di tanah.
Mataku tak henti berkedip, lambat, perlahan, dan panas. Aku
terbatuk dan berjalan menyeret langkah. Aku seharusnya tetap
berbaring di tanah karena ruangan ini berputar terlalu keras. Peter
pun seperti berputar mengelilingiku. Aku ada di pusat planet yang
tengah berputar. Aku yang satu-satunya tidak berputar. Sesuatu
memukulku dari samping dan aku hampir terjatuh lagi.
Bangun, cepat bangun. Aku melihat ada sesuatu di hadapanku. Tubuh
seseorang. Kulayangkan tinju sekeras yang kubisa dan kepalan
tanganku menumbuk sesuatu yang lunak. Peter bahkan tak mengerang
dan memukul telingaku dengan telapak tangannya sambil tertawa. Aku
mendengar suara mendenging dan mencoba menghilangkan beberapa
noda hitam di mataku dengan mengedip beberapa kali. Bagaimana
mungkin ada sesuatu yang masuk ke mataku"
Di tengah-tengah pandangan yang berkunang- kunang ini, kutangkap
sosok Four mendorong pintu terbuka dan melangkah keluar. Rupanya
pertarungan ini tak cukup menarik untuknya. Atau, mungkin ia mencari
tahu mengapa semuanya berputar seperti gasing. Dan, aku tak
menyalahkannya. Aku juga ingin tahu alasannya.
Akhirnya, lututku menyerah dan pipiku merasakan dinginnya lantai.
Sesuatu membentur sisi tubuhku dan untuk pertama kalinya aku
menjerit, melengking tinggi yang sepertinya bukan suaraku. Sekali lagi
ada yang membentur tubuhku. Aku tak bisa melihat apa- apa, bahkan
apa pun yang ada di depan wajahku. Semuanya gelap. Seseorang
berteriak, "Cukup!" dan yang kupikirkan hanyalah terlalu banyak dan
tidak sama sekali. Saat aku terbangun, aku tak merasakan apa-apa, tapi bagian dalam
kepalaku rasanya samar-samar, seperti dijejali banyak bola kapas.
Aku tahu aku kalah, dan satu-satunya hal yang menyingkirkan rasa
sakit adalah keadaanku yang sulit berpikir jernih sekarang.
"Apakah matanya menghitam?" tanya seseorang.
Aku membuka satu mata"mata yang lainnya tetap tertutup seakanakan dilapisi lem. Di sebelah kananku ada Will dan Al. Christina duduk
di atas kasur di sebelah kiriku dengan sekantong es di rahangnya.
"Kenapa mukamu?" ujarku. Bibirku rasanya aneh dan terlalu besar.
Christina tertawa. "Lihat siapa yang bicara. Apa kami perlu
mengambilkan perban mata untukmu?" "Ya, aku sudah tahu apa yang
terjadi dengan mataku," kataku. "Aku kan ada di sana. Sepertinya."
"Kau baru saja bercanda, Tris?" ujar Will tersenyum lebar. "Kami
harus lebih sering memberimu penahan sakit jika kau mulai bercanda.
Oh, dan menjawab pertanyaanmu, aku baru saja menghajar Christina."
"Aku tidak percaya kau tak bisa mengalahkan Will," ujar Al
menggeleng. "Apa" Ia bagus kok," ujar Christina mengangkat bahu. "Plus, kurasa
aku sudah belajar bagaimana caranya supaya tidak kalah lagi. Aku
cuma perlu mencegah orang memukul rahangku."
"Seharusnya kau tahu itu dari dulu." Will mengedipkan mata padanya.
"Sekarang, aku tahu kenapa kau bukan seorang Erudite. Tidak terlalu
pintar, kan?" "Kau tidak apa-apa, Tris?" kata Al. Matanya cokelat tua,
hampir sama seperti warna kulit Christina. Pipinya terlihat kasar. Jika
tidak bercukur, ia akan memiliki jenggot yang tebal. Sulit dipercaya ia
baru enam belas tahun. "Yeah," kataku. "Aku cuma berharap selamanya aku tetap di sini
supaya tak perlu bertemu Peter lagi."
Tapi, aku tak tahu di mana "di sini" itu. Aku berada di ruangan yang
sempit tapi besar dengan barisan tempat tidur di masing-masing sisi.
Beberapa tempat tidur ditutup gorden. Di sebelah kanan ruangan ada
pos perawat. Pasti ini tempat di mana para Dauntless pergi jika
mereka terluka atau sakit. Seorang wanita di sana menatap kami dari
balik papan catatannya. Aku tak pernah melihat seorang perawat
dengan tindikan di telinga sebanyak itu. Beberapa Dauntless pasti


Divergent Karya Veronica Roth di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi sukarelawan untuk melakukan pekerjaan yang biasanya
dilakukan faksi lain. Lagi pula, sepertinya tak masuk akal bagi para
Dauntless untuk berjalan jauh ke rumah sakit di kota tiap kali mereka
terluka. Pertama kalinya aku pergi ke rumah sakit, umurku masih enam tahun.
Ibu terjatuh di trotoar jalan di depan rumah dan lengannya patah.
Mendengarnya menjerit membuatku menangis, tapi Caleb langsung
berlari mencari ayah tanpa berkata apa-apa. Di rumah sakit, seorang
wanita Amity berkaus kuning dengan kuku yang bersih, mengukur
tekanan darah ibu dan membetulkan letak lengannya sambil
tersenyum. Aku ingat Caleb berkata pada ibu kalau ibu butuh waktu sebulan untuk
pulih karena retakannya terjadi di tulang lunak. Kupikir Caleb hanya
menenangkan ibu karena itulah yang dilakukan mereka yang tak
memiliki rasa pamrih. Tapi, sekarang aku bertanya-tanya apakah ia
hanya menyampaikan apa yang sudah ia peIajari; seakan semua sifat
Abnegation yang Caleb miliki hanyalah sifat Erudite yang disamarkan.
"Jangan khawatirkan Peter," ujar Will. "Paling tidak ia akan dihajar
oleh Edward yang sudah belajar perkelahian tangan kosong sejak
umur kami sepuluh tahun. Untuk senang-senang."
"Bagus," ujar Christina. Ia memeriksa jamnya. "Kurasa kita kelewatan
makan malam. Apa kau mau kami ada di sini, Tris?"
Aku menggeleng. "Aku baik-baik saja."
Christina dan Will bangkit, tapi Al tinggal sebentar. AI memiliki wangi
yang khas"manis dan segar seperti wangi daun sage dan serai. Saat ia
banyak bergerak, aku membalikkan badan di malam hari, aku bisa
mencium aromanya dan tahu kalau ia sedang bermimpi buruk.
"Aku hanya ingin memberitahumu kalau kau ketinggalan pengumuman
Eric. Kita akan pergi jalan-jalan besok, ke perbatasan, untuk
mempelajari pekerjaan Dauntless," ujarnya. "Kita harus sudah ada di
kereta jam delapan lebih lima belas."
"Bagus," kataku. "Terima kasih."
"Dan jangan dengarkan Christina. Wajahmu tak seburuk itu." Ia
tersenyum kecil. "Maksudku, kelihatannya baik. Selalu kelihatan baikbaik saja. Maksudku kau kelihatan berani, Dauntless."
Matanya menghindari tatapanku. Dan, ia menggaruk belakang
kepalanya. Ada keheningan di antara kami berdua. Ia mengatakan hal
yang baik, tapi ia bersikap seakan itu lebih dari sekadar kata-kata.
Kuharap aku salah. Aku tak mungkin tertarik Al"aku tak mungkin
tertarik pada orang serapuh itu. Aku tersenyum selebar yang pipiku
bisa lakukan dan berharap bisa mengaburkan ketegangan yang ada.
"Harusnya kubiarkan kau istirahat," ujarnya. Ia bangkit, tapi sebelum
ia pergi, aku meraih pergelangan tangannya.
"Al, apa kau baik-baik saja?" kataku. Ia menatapku kosong dan aku
menambahkan, "Maksudku, apakah ini jadi lebih mudah sekarang?"
"Uh ..." ia mengangkat bahu. "Sedikit."
Ia menarik tangannya dan menjejalkannya ke saku. Pertanyaan itu
pasti telah membuatnya malu karena aku tak pernah melihat wajahnya
semerah itu. Jika menghabiskan malam-malamku dengan menangis di
atas bantal, aku juga akan sedikit malu. Setidaknya saat aku
menangis, aku tahu bagaimana cara menyembunyikannya.
"Aku kalah dari Drew. Setelah pertarunganmu dengan Peter." Al
menatapku. "Aku memukul beberapa kali, jatuh, dan tetap berada di
sana. Walaupun aku tak perlu melakukannya. Aku menyadari ... aku
sadar sejak aku mengalahkan Will, jika aku kalah di semua
pertarungan, aku tidak akan berada di urutan terbawah. Jadi, aku tak
perlu menyakiti siapa-siapa lagi."
"Apakah itu yang benar-benar kau mau?"
Ia menunduk. "Aku cuma tak bisa melakukannya. Mungkin itu artinya
aku pengecut." "Kau bukan pengecut hanya karena kau tak ingin menyakiti orang lain,"
kataku, karena aku tahu itulah hal yang benar untuk dikatakan,
bahkan jika aku sendiri tak yakin aku sungguh-sungguh
mengatakannya. Kami saling berpandangan sejenak. Mungkin aku memang bersungguhsungguh mengatakannya. Jika ia pengecut, itu bukan karena ia tak
menikmati rasa sakitnya. Itu karena ia tak mau bertindak.
Ia menatapku miris. "Menurutmu keluarga kita akan datang
berkunjung" Mereka bilang keluarga anak pindahan tak pernah datang
di Hari Kunjungan." "Aku tak tahu," kataku. "Aku tak tahu apakah itu baik atau buruk jika
mereka melakukannya."
"Kurasa buruk." Ia mengangguk. "Yeah, ini saja sudah cukup sulit." Ia
mengangguk lagi seakan ingin menegaskan apa yang baru ia katakan
dan melangkah pergi. Kurang dari seminggu lagi, para peserta inisiasi faksi Abnegation bisa
mengunjungi keluarga untuk pertama kalinya sejak Upacara Pemilihan.
Mereka akan pulang ke rumah dan duduk di ruang keluarga. Mereka
akan berhubungan lagi dengan orangtuanya untuk pertama kalinya
sebagai orang dewasa. Tadinya aku menanti hari itu. Tadinya aku memikirkan apa yang akan
kukatakan pada ibu dan ayah setelah aku diizinkan untuk bertanya
pada mereka di meja makan.
Kurang dari seminggu, para peserta inisiasi asli Dauntless akan
menemui keluarga mereka di lantai terbawah The Pit atau di gedung
kaca di atas markas ini. Mereka akan melakukan apa pun yang biasa
Dauntless lakukan saat mereka berkumpul. Mungkin mereka saling
bergantian melemparkan pisau ke kepala anggota keluarga yang lain"
itu takkan membuatku terkejut.
Dan, para peserta inisiasi pindahan dengan orang-tua yang pemaaf
juga akan bisa bertemu dengan keluarganya lagi. Kurasa orangtuaku
bukan termasuk golongan itu. Tidak setelah ayahku berteriak marah
saat upacara. Tidak setelah kedua anaknya meninggalkan ayah ibunya.
Mungkin kalau aku bisa bilang pada mereka aku seorang Divergent dan
bingung harus memilih apa, mereka akan mengerti. Mungkin mereka
akan membantuku mencari tahu apakah Divergent itu, dan apa artinya,
dan kenapa berbahaya. Tapi, aku tidak memberitahukan rahasia itu
pada mereka, jadi aku tak akan pernah tahu.
Aku menggertakkan gigi saat air mataku jatuh. Aku muak. Aku muak
dengan air mata dan rasa lemah. Tapi, tak banyak yang bisa kulakukan
untuk menghentikan semua perasaan itu.
Mungkin aku akan tertidur, mungkin juga tidak. Meski begitu,
malamnya aku menyelinap keluar ruangan dan kembali ke kamar. Hal
yang lebih buruk dari membiarkan Peter mengirimku ke rumah sakit
adalah membiarkannya membuatku menginap di rumah sakit.
Download ebook menarik lainnya di:www.ac-zzz.blogspot.com
Undangan Maut 2 Lima Sekawan 20 Di Pulau Seram Yang Terasing 13

Cari Blog Ini