Kuil Kencana Kinkakuji Karya Yukio Mishima Bagian 2
Jawabnya datang sebagai suatu yang tak disangka-sangka. Temyata, Ibu telah menyerahkan hak Kuil Nariu kepada orang lain dan telah menjual tumpak tanah milik kami. Ia telah membayar semua ongkos pengobatan Ayah dan sudah bersiap-siap untuk tinggal sendiri di rumah seorang paman di Kasagun dekat Kyoto. Jadi kuil tempat aku kelak harus kembali bukan lagi milik kami! Di desa, di tanjung yang sunyi itu tidak akan ada apa-apa lagi yang menyambut aku. Aku tidak tahu bagaimana Ibu menafsirkan air muka kebebasan yang muncul di wajahku, tapi ia membungkuk mendekati aku lalu berkata: "Begini, sayang. Kau tidak lagi punya kuil milik sendiri. Jadi satu-satunya jalan bagimu kini ialah jadi Pendeta Kepala Kuil Kencana. Atau harus usahakan supaya Bapa itu senang padamu, hingga kau bisa rhenggantikan dia jika sudah sampai saatnya ia pergi. Kau mengerti, kan" Hanya untuk itu Ibu hidup." Aku kaget karena perkembangan ini lalu mencoba memandang nanap pada Ibu. Tapi aku terlalu terkejut untuk dapat memandang padanya dengan baik. Kamar kecil yang di sebelah belakang sudah gelap. Ibuku "yang penuh kasih sayang" telah merapatkan mulutnya pada telingaku waktu ia bicara padaku dan kini bau keringatnya mengambang depan lobang hidungku. Aku ingat waktu itu Ibu ketawa. Kenangan lama, bagaimana aku disusukan, kenangan pada buah dada yang hitam - kenangan itu berpacu menjengkelkan mengelilingi otakku. Dalam kebakaran sawah rendah ada semacam kekuatan fisik dan kekuatan inilah rupa-rupanya yang menakutkan aku. Waktu segumpal rambut Ibu yang keriting menyentuh pipiku, aku melihat seekor lalat besar mengistirahatkan sayapnya di atas bak batu berwarna hijau lumut di halaman yang taram-temaram. Langit senja dipantulkan pada permukaan genangan air bundar kecil yang ada dalam bak itu. Tidak ada suatu suara pun yang kedengaran dan pada saat itu Rokuonji tidak ubahnya bagai kuil yang terlantar. Akhirnya aku berhasil memandang lurus ke muka ibuku. Sebuah senyuman terbayang di sudut bibirnya yang berkilat dan aku dapat melihat gigj emasnya yang berkilauan. "Ya,"jawabku tergagap-gagap sejadi-jadinya. "Tapi sebelum apa-apa, aku sudah dipanggil dan tewas dalam pertempuran." "Bodoh," katanya. "Kalau mereka sudah memasukkan orang gagap ke dalam pasukan tentara, maka riwayat Jepang betul-betul berakhir sudah!" Aku duduk dengan tegang, meluap-luap karena kebencianku pada Ibu. Tapi kata-kata yang kuucapkan dengan tergagap-gagap itu tidak lebih dari * semacam helah. "Kuil Kencana ini mungkin terbakar dalam serangan udara," kataku. "Kalau melihat keadaan sekarang," kata Ibu, "tidak akan mungkin ada serangan udara ke Kyoto. Orang Amerika menghindarkannya." Aku tidak menjawab. Halaman yang makin kelam memperoleh warna lunas laut. Batu-batu tenggelam dalam kemuraman, dan karena bentuknya orang mungkin akan mengira bahwa mereka sudah bergumul dengan buas. Ibu berdiri tanpa memperdulikan keheninganku lalu memandang dengan seenaknya pada pintu kayu kamarku yang kecil. "Apa belum waktunya makan malam?" tanyanya. 76 ITatkala hal ini kemudian kufikirkan lagi, maka aku sadar bahwa kunjungan ibuku ini mempunyai pengaruh yang besar sekali pada pemikiranku. Pada kesempatan itulah aku mengerti bahwa Ibu. hidup dalam suatu dunia yang berbeda sekali dari duniaku dan juga pada kesempatan itulah untuk pertama kali jalan fikirannya mulai mengganggu aku. Ibu adalah orang yang sesuai dengan sifatnya, tidak akan punya perhatian pada keindahan Kuil Kencana; sebaliknya, ia memiliki suatu pengertian realistik yang bagiku asing sama sekali. Ia berkata bahwa suatu serangan udara terhadap Kyoto tidak usah dikhawatirkan, dan biarpun aku mengingin-kan sebaliknya, mungkin sekali apa yang ia katakan itu benar. Dan kalau tidak ada kemungkinan Kuil Kencana itu diserang, maka untuk sementara waktu aku sudah kehilangan tujuan hidup dan dunia tempat ku hidup akan h an cur berantakan. Sebaliknya, keinginan yang diutarakan Ibu dengan tak disangka-sangka betul-betul memukau aku, biarpun aku muak mendengamya. Ayah tidak pernah bicara apa-apa tentang ini, tapi siapa tahu ia juga memiliki ambisi yang sama dengan Ibu waktu ia mengirimkan aku ke kuil ini. Bapa Dosen bujangan. Karena ia memperoleh kedudukannya sekarang berkat pujian pendeta sebelumnya yang telah menaruhkan harapannya padanya, maka tidak ada alasan, selama aku berusaha baik-baik, kenapa aku tidak bisa menggantikan Bapa Dosen sebagai Pendeta Kepala Rokuonji. Jika itu terjadi, maka Kuil Kencana akan jadi milikku. Fikiranku jadi kacau. Jika keinginanku yang kedua mulai terasa berat, maka aku kembali kepada angan-anganku yang pertama (bahwa Kuil Kencana akan dibom), dan jika angan-angan itu hancur karena penilaian Ibu yang jernih dan realistik, aku bertumpu pada keinginanku yang kedua, hingga aku akhirnya letih karena tak henti-hentinya pulang-balik 78 dalam fikiranku, hingga akibatnya, di bagian bawah tengkukku terdapat sebuah bengkak besar dan merah. Bengkak itu kubiarkan. Ia mulai berakar dengan kukuh hingga menekan dari tengkukku dengan kekuatan yang besar dan panas. Dalam tidur yang lelap, aku bermimpi bahwa sebuah cahaya emas murni tumbuh di tengkukku, lalu mengitari bagian belakang kepalaku sebagai semacam lingkaran cahaya dan meluas secara lambat laun. Tapi jika aku bangun, maka ini ternyata hanya rasa sakit yang diseb'abkan oleh bisulku yang parah. Akhirnya badanku panas hingga aku harus istirahat. Pendeta Kepala menyuruh aku pergi ke dokter. Dokter yang mengenakan seragam nasional dengan salut-kaki kulit, mendiagnosa bengkakku dengan nama Barah. Karena tidak mau memakai alkohol, maka ia mendesinfeksi pisaunya dengan membakarnya di atas api, lalu membedah tengkukku. Aku mengerang. Dunia yang panas dan berat meledak di belakang kepalaku, lalu aku menyusut dan akhirnya pingsan. Peperangan berakhir. Yang kufikirkan waktu mendengarkan Pernyataan Kaisar di pabrik yang mengumumkan berakhirnya permusuhan, hanya Kuil Kencana. Begitu aku kembali dari pabrik tentu saja aku tergopoh-gopoh pergi ke depan Kuil Kencana. Di jalan yang biasa dipergunakan para pengunjung, batu-batu kerikil menjadi panas karena matahari pertengahan musim panas dan masuk satu demi satu ke dalam lobang-lobang sepatu olahragaku. Di Tokyo, orang mungkin sekali pergi berdiri di depan istana Kaisar setelah mereka mendengar pengumuman itu; di sini sejumlah besar orang pergi menangis ke depan gerbang dan biara yang dapat dipakai untuk tempat menangis pada kesempatan seperti ini. Para pendeta di masa itu tentu cukup makmur. Tapi sungguhpun Kuil Kencana mempunyai peranan yang besar tidak ada orang yang datang mengunjungi-nya hari itu. Dengan demikian maka hanya bayang-bayangku yang kelihatan di batu panas itu. Untuk melukiskan keadaan dengan tepat, harus kukatakan bahwa aku berdiri di satu fihak sedangkan Kuil Kencana itu di fihak lain. Dan mulai saat aku mengarahkan pandanganku ke kuil hari itu, aku merasa bahwa hubungan "kami" telah mengalami perubahan. Dalam hubungan dengan kejutan kekalahan atau dukacita nasional, Kuil Kencana betul-betul merasa senang;
di saat-saat seperti itu ia mengatasi keduniawian, atau setidak-tidaknya berpura-pura mengatasi keduniawian. Sampai hari itu Kuil Kencana tidak pernah seperti itu. Tak sangsi lagi, kenyataan, bahwa ia akhirnya selamat dari pembakaran dalam suatu serangan udara dan kini sesudah selamat dari bahaya, ia hendak menegakkan ekspresinya yang dulu, sebuah ekspresi yang mengatakan: "Aku sudah dari zaman purba ada di sini dan aku akan berada di sini selama-lamanya." Aku diam membisu, bagai sebuah perabot yang bagus tapi tak berguna, dengan lapisan emas antik bagian dalamnya terlindung oleh pernis matahari musim panas yang melapisi dinding-dinding luar. Rak-rak pameran besar dan kosong litempatkan di depan kehijauan hutan membakar. Benda-oenda hiasan apa yang dapat kita letakkan di atas rak itu" fidak ada yang akan cocok dengan ukurannya kecuali sesuatu yang mirip dengan sebuah pedupaan besar, atau lebuah kekosongan yang betul-betul seperti raksasa. Tapi "Mil Kencana telah kehilangan hal-hal seperti itu; ia tiba-tiba $0 telah kehilangan hakikatnya dan kini memamerkan sebuah bentuk yang kosong dan aneh. Yang paling aneh bahwa dari semua saat di mana Kuil Kencana memperlihatkan keindahannya padaku, justru pada saat inilah ia paling indah. Belum pernah kuil ini memperlihatkan keindahan yang begitu mantap " keindahan yang mengatasi angan-anganku sekalipun, ya, yang mengatasi seantero dunia kenyataan, sebuah keindahan yang tak punya hubungan sama sekali dengan bentuk kesirnaan mana pun jua! Belum pernah keindahannya cemerlang seperti ini, keindahan yang mengingkari arti yang mana pun jua. Tidaklah berlebih-lebihan jika kukatakan bahwa waktu menatapnya kakiku gemetar dan keningku basah oleh keringat dingin. Dulu, kalau aku kembali ke desa setelah melihat kuil ini, bagian-bagiannya dan seluruh bangunannya menggema dengan semacam harmoni yang musikal. Tapi kali ini yang kudengar hanyalah keheningan yang sempurna, kebisuan yang lengkap. Tidak ada yang mengalir di sana, tidak ada yang berubah. Kuil Kencana itu tegak di hadapanku, menjulang di depanku, bagai sebuah istirahat yang mengerikan dalam sebuah musik, bagai sebuah keheningan yang menggema. "Ikatan antara Kuil Kencana dan aku sudah terputus," kataku dalam hati. "Kini anggapan bahwa Kuil Kencana itu dan aku hidup dalam sebuah dunia yang sama, sudah hancur. Kini aku akan kembali ke keadaanku dulu, tapi aku akan lebih tanpa harapan dibandingkan dengan dulu. Suatu keadaan, di mana aku berada di satu fihak sedangkan di fihak lain berada keindahan. Suatu keadaan yang tidak akan mungkin bertambah baik selama dunia ini ada." Kekalahan nusa dan bangsa bagiku adalah pengalaman keputusasaan seperti itu. Bahkan kini aku masih dapat membayangkan di hadapanku cahaya musim panas yang mirip api pada hari kekalahan itu, tanggal 15 Agustus. 81 Orang mengatakan bahwa semua nilai sudah runtuh; tapi sebaliknya 'dalam diriku, keabadian bangkit, hidup kembali dan menegaskan haknya. Keabadian yang mengatakan padaku, bahwa Kuil Kencana akan berada di sana untuk selama-lamanya. Keabadian yang turun dari langit, yang melekat pada pipi kita, tangan kita, perut kita, dan akhirnya mengubur-kan kita. Alangkah terkutuknya dia! Ya, dalam teriakan-teriakan jangkrik yang menggema dari bukit-bukit yang ada di sekeliling, aku dapat mendengar suara keabadian ini, keabadian yang merupakan kutukan yang menimpa kepalaku, yang mengurung aku dalam sebuah tuangan emas. Pada saat pembacaan sutra malam itu sebelum tidur, kami khusus membacakan doa-doa panjang untuk kedamaian Sri Maharaja Kaisar dan untuk menghibur arwah mereka yang tewas dalam peperangan. Semenjak perang pecah, telah menjadi kebiasaan di antara pelbagai sekte untuk memakai pakaian yang sederhana, tapi malam itu Pendeta Kepala mengenakan jubah merah yang sudah bertahun-tahun ia simpan. Mukanya yang hcin dan tembam, yang kelihatan seolah-olah bebas dari semua kerut, memberikan kesan seorang yang sehat hari itu dan seolah-olah melimpah dengan kepuasan karena sesuatu. Dalam malam panas itu, desir-desir sejuk jubahnya ke den gar an jelas sekali dalam kuil. Sehabis pembacaan sutra, maka semua yang ada di kuil dipanggil ke kamar Pendeta Kepala untuk mendengarkan ceramah. Masalah kataketik Zen yang ia pilih ialah "Nansen membunuh seekor kucing" dari Kejadian Keempat Belas Mumonkan." "Nansen membunuh seekor kucing" (yang juga terdapat dalam Kejadian Keenam Puluh Tiga Hekiganroku di bawah judul "Nansen membunuh seekor anak kucing" dan dalam Kejadian Keenam Puluh Empat di bawah judul "Yosyu memakai sandal- di atas kepalanya") dari masa dulu dianggap sebagai salah sebuah masalah Zen yang paling pelik. Di Zaman Tang ada seorang pendeta Ch'an, Pu Yuan, yang tinggal di Gunung Nan Chuan dan bernama Nan Chuan (Nansen menurut ejaan Jepang) sesuai dengan nama gunung itu. Pada suatu hari, waktu semua rohaniwan keluar untuk menyabit rumput, seekor anak kucing muncul di kuil pegunungan yang penuh kedamaian itu. Semua orang heran melihat anak kucing itu. Binatang itu mereka bum lalu mereka tangkap. Lalu ia jadi sumber pertengkaran antara kelompok Ruang Timur dan kelompok Ruang Barat kuil itu. Kedua kelompok itu bertengkar siapa di antara mereka yang akan memelihara anak kucing itu sebagai mainan. Bapa Nansen yang memperhatikan " semua ini, segera memegang leher kucing itu, lalu meletakkan sabitnya pada anak kucing itu dan berkata sebagai berikut: "Jika di antara kalian ada yang dapat mengatakan sesuatu maka kucing ini akan selamat; jika tidak maka ia akan mati." Tidak ada yang bisa menjawab, hingga Bapa Nansen membunuh kucing itu lalu melemparkannya jauh-jauh. Waktu malam turun, Santri Kepala, Yoshu, kembali ke kuil. Bapa Nansen menceritakan padanya apa yang terjadi lalu menanyakan pendapatnya. Yoshu segera membuka sepatunya, meletakkannya di atas kepalanya lalu pergi. Pada saat itu, Nansen mengeluh dengan rasa perih sambil berkata: "Oh, sekiranya hari ini kau ada di sini, maka anak kucing itu akan selamat." Begitulah garis besar kisah itu. Bagian di mana Yoshu meletakkan sepatunya di atas kepalanya terkenal sebagai suatu masalah yang luar biasa peliknya. Tapi menurut pendapat Pendeta Kepala, sebetulnya ia tidak begitu pelik. Alasan maka Bapa Nansen membunuh kucing itu ialah karena dengan berbuat begitu ia memotong semua keinginan 82 diri dan membuang semua fikiran yang tidak. penting dan angan-angan dari fikirannya. Dalam mengamalkan ketiadaan kepekaannya ini' ia telah memenggal kepala kucing itu dan dengan demikian serta-merta memenggal semua per ten tangan, semua bantahan dan perpecahan antara diri sendiri dan yang lain-lain. Ini dikenal sebagai Pedang Pembunuh, sedangkan perbuatan Yoshu disebut Pedang Pemberi Hidup. Dengan melakukan tindakan yang begitu rendah hati, seperti meletakkan barang-barang kotor dan hina seperti sepatu di atas kepala, ia telah menunjukkan contoh praktis dan teladan Bodhisatwa. Setelah menjelaskan masalah itu dengan cara begini, maka Pendeta Kepala mengakhiri ceramahnya tanpa menyentuh-nyentuh soal kekalahan Jepang biarpun sekali. Kami merasa seolah-olah sudah dipukau oleh seekor rubah. Kami sama sekah tidak mengerti kenapa justeru masalah Zen yang ini yang dipilih pada hari kekalahan negeri kami. Waktu kami berjalan menyusuri gang menuju kamar kami, aku mengutara-kan kesangsianku pada Tsurukawa. Ia juga heran dan menggeleng-gelengkan kepala. "Aku tidak mengerti," katanya. "Aku kira tidak akan ada yang bisa mengerti, kecuali orang yang seumur hidupnya telah menjadi pendeta. Tapi kukira inti ceramah malam ini ialah, bahwa pada hari kekalahan kita, ia justeru tidak boleh nyinggung-nyinggungnya dan sebaliknya bicara tentang pembunuhan seekor kucing." Aku sendiri sama sekali tidak merasa sedih karena kalah dalam peperangan ini, tapi kesan kebahagiaan yang tak terkira-kira yang diperlihatkan oleh Pendeta Kepala membuat aku jadi resah. Hormat pada Kepala kita adalah sesuatu hal yang menjamin ketertiban dalam sebuah kuil. Tapi selama tahun-tahun yang lewat ketika aku berada dalam 84 asuhan kuil ini, aku sama sekali tidak merasakan rasa cinta atau rasa hormat pada Kepala kami ini. Itu sendiri tidak mengapa. Tapi semenjak Ibu menyalakan api ambisi dalam dadaku, aku mulai memandang Kepala itu dengan daya kritis seorang anak berumur tujuh belas tahun. Kepala itu adalah seorang yang adil dan tidak pilih kasih. Tapi keadilan dan sikapnya yang tidak berfihak itu adalah keadilan dan sikap tidak berfihak yang dengan mudah rasanya dapat kupamerkan sekira aku sendiri sudah jadi Kepala. Orang ini tidak memiliki rasa humor seorang pendeta Zen yang khas. Ini adalah hal yang aneh, karena biasanya humor adalah suatu bagian yang tidak terpisahkan dari orang-orang gemuk seperti dia. Menurut cerita orang, Pendeta Kepala itu telah menikmati perempuan sepuas-puasnya. Waktu aku membayangkan bagaimana dia mengasyikkan diri dengan kesenangan ini, aku merasa lucu, tapi sekaligus aku jadi resah. Bagaimana rasanya bagi seorang perempuan jika ia dipeluk oleh badan yang mirip dengan kue kacang berwarna merah jambu" Mungkin perempuan itu merasa, seolah-olah badan yang lembut dan merah jambu itu mengembang sampai ke ujung-ujung dunia, seolah-olah ia dikuburkan dalam kuburan daging. Aku merasa aneh bahwa seorang pendeta Zen juga memiliki daging. Mengapa Pendeta Kepala begitu mabuk perempuan, mungkin karena ia ingin menunjukkan kebehciannya pada daging dengan jalan mencampakkannya dari dirinya sendiri. Tapi jika itu benar, maka aneh sekali kenapa daging yang begitu dibencinya itu begitu banyak menyerap makanan dan kenapa ia melilitkannya dengan licin sekeliling sukmanya. Daging, hina dan penurut bagai daging seekor hewan ternak yang terlatih. Daging yang tak ubahnya seorang gundik bagi jiwa Pendeta Kepala itu. Aku harus jelaskan apa arti kekalahan ini bagiku. Ini bukanlah pembebasan. Tidak, sama sekali bukan pembebasan. Ini tidak lain daripada kembali pada kebiasaan Budhis yang abadi tak berobah-robah, yang berpadu dengan kehidupan kita sehari-hari. Kebiasaan ini kini sudah ditegakkan dengan kukuh, dan berlangsung terus tanpa perobahan sejak Hari Penyerahan: "pembukaan peraturan", tugas pagi, pesta bubur, samadi, "obat" atau makan malam, mandi, "membuka bantal". Pendeta Kepala melarang keras penggunaan beras pasar gelap di kuil. Sebagai akibatnya, maka beras satu-satunya yang kami " para murid " temui mengambang dalam mangkok-mangkok bubur kami yang sedikit sekali isinya, adalah beras yang dikembangkan oleh jemaah, atau jumlah kecil yang dibeli oleh Pengetua di pasar gelap. Pengetua mem belt beras ini dengan pertimbangan bahwa kami calon pendeta kini sedang berada dalam usia tumbuh cepat dan karena itu memerlukan makanan; tapi ia selalu berbuat seolah-olah beras pasar gelap ini adalah bagian dari sumbangan orang pada -kufl. Kadang-kadang kami keluar membeli ubi merah. Kami, dapat bubur tidak hanya untuk sarapan; makan siang dan makan malam kami pun terdiri dari bubur dan ubi merah, hingga kami selalu lapar karenanya. Tsurukawa meminta juadah pada orang tuanya, dan kadang-kadang dari Tokyo datang kiriman bungkusan. Kalau malam sudah larut maka ia membawa perbekalan juadahnya ke kamarku; lalu kami makan bersama-sama. Sekali-sekali halilintar menyambar di gelap malam. Aku bertanya pada Tsurukawa kenapa ia mau tinggal di sini sedangkan ia punya keluarga yang makmur dan orang tua yang penuh kasih-sayang. "Semua ini bagiku semacam latihan menguasai diri," katanya menjelaskan. 'Tendeknya, kalau sudah datang &b saatnya, maka aku akan mewarisi kuil Ayah." Rupa-rupanya tak ada yang menyusahkan Tsurukawa. Ia cocok sekali dengan pola hidupnya, bagai sumpit dalam kotak. Aku melanjutkan percakapan dengan mengatakan pada Tsurukawa bahwa suatu masa baru dan tidak bisa dibayangkan mungkin akan datang ke negeri kami. Aku ingat cerita yang dipercakapkan semua orang di sekolah beberapa hari setelah penyerahan. Cerita itu adalah tentang seorang perwira yang bertanggung jawab atas beberapa pabrik dan begitu perang berakh^ menumpuk satu truk barang lalu membawanya ke rumahnya sendiri, sambil berkata dengan terus terang: "Mulai kini aku akan mulai dengan kegiatan pasar gelap." Aku membayangkan perwira yang berani, kejam dan berpandangan tajam itu, bagaimana ia berdiri di sana siap untuk berlari menuju kejahatan. Jalan yang akan dia tempuh dengan sepatu separuh tinggi militernya mengungkapkan kwalitas yang sama dengan kematian di medan pertempuran; ia memiliki semacam kekacauan yang mengingatkan aku pada cahaya merah di kala fajar. Setelah ia berangkat, maka selendang sutera putihnya akan berkibar-kibar di dada dan dadanya akan terbuka untuk angin malam yang dingin yang masih melingkar-lingkar di waktu pagi. Punggungnya akan bongkok sekali karena berat barang-barang curian: ia akan melapah dirinya dengan kecepatan luar biasa. Tapi lebih jauh, lebih samar, kudengar bunyi lonceng kekacauan di menara lonceng. Aku terpisah dari semua itu. Aku tak punya uang, tak punya kebebasan, tidak punya kemajuan. Tapi pasti sekali bahwa dalam otakku yang berumur tujuh belas tahun, kalimat "suatu masa baru" menyangkut suatu kebulatan tekad untuk mengejar suatu tujuan,. biarpun belum lagi beroleh bentuk yang kongkrit. 87 "Jika penduduk dunia ini," kataku dalam hati, "bermaksud untuk mengecap kejahatan melalui hidup dan perbuatan, maka aku akan menyelam sedalam mungkin ke dalam suatu dunia batin kejahatan." Tapi bentuk kejahatan yang mula-mula kugambarkan untuk diriku sendiri mula-mula tidak lebih dari sebuah rencana untuk merebut hati Pendeta Kepala dengan tipu muslihat dan dengan demikian merebut Kuil Kencana, atau kalau tidak suatu impian gila seperti " misalnya " meracuni Pendeta Kepala kemudian menggantikannya. Rencana ini malahan berguna untuk melegakan hati sanubariku, begitu kuketahui bahwa Tsurukawa tidak memiliki keinginan seperti itu. "Apa kau tidak punya kekhawatiran atau harapan untuk masa depan?" tanyaku padanya. "Tidak, tidak ada sama sekali. Apa gunanya kupunyai?" Tidak ada yang murung dalam caranya mengatakan, dan ia juga tidak bicara seenaknya. Waktu itu sepintas kilat menerangi alis matanya yang tipis dan meninggi sedikit yang merupakan satu-satunya bagian mukanya yang halus. Rupa-rupanya Tsurukawa sudah membiarkan tukang cukur berbuat sekehendak hatinya waktu mencukur bagian atas dan bawah alisnya; hingga alisnya yang tipis jadi makin tipis dan di ujungnya kita bisa melihat sebuah bayang-bayang biru samar, di tempat pisau cukur menggores. Waktu aku melihat wama biru itu, aku jadi gelisah. Anak muda yang duduk di depanku ini terbakar di ujung kemumian hidup. Ia berbeda dari aku. Masa depannya begitu tersembunyi hingga ia terbakar. Sumbu masa depannya terapung di atas minyak yang jernih dan sejuk. Siapakah di dunia ini yang diwajibkan meramalkan kemumian dan kesuciannya" Artinya, jika yang tersisa baginya untuk masa depan hanya kesucian dan kemumian" 88 Malam itu setelah Tsurukawa kembali ke kamarnya, aku tidak bisa tidur karena hawa panas akhir musim panas terasa sebagai uap. Kecuali suhu udara, kebulatan hatiku untuk melawan kebiasaanku melakukan onani menghilangkan keinginanku untuk tidur . . . Kadang-kadang dalam tidurku aku mengeluarkan mani. Ini sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan mimpi seks yang kongkrit. Misalnya, seekor anjing hitam berlari di jalan yang gelap: aku dapat melihat nafasnya yang terengah-engah keluar bagai api dari mulutnya, dan aku makin terangsang mengikuti bunyi lonceng yang tergantung di lehemya; lalu, kalau bunyi lonceng itu sudah mencapai nada terkeras, maka aku akan mengeluarkan mani. Jika aku lagi melakukan onani, maka fikiranku penuh dengan gambaran-gambaran yang mengerikan. Aku melihat buah dada Uiko. Lalu pahanya muncul di hadapanku. Dan sementara itu aku sudah berobah menjadi seekor serangga yang. kecil dan buruk. . . . Aku melompat dari tempat tidur lalu menyelinap ke luar gedung lewat pintu belakang perpustakaan kecil. Di belakang Rokuonji dan sebelah barat Yukatei ada sebuah gunung yang bernama Fudosan. Ia ditumbuhi oleh banyak tusam merah, dan tersebar di sela-sela rumpun-rumpun bambu yang tebal, yang terhampar di antara pepohonan itu, tumbuh deutsia, azalea dan tumbuh-tumbuhan lain. Aku begitu kenal gunung ini hingga ia bisa kudaki di malam hari tanpa tersandung-sandung. Dari puncaknya kita dapat melihat Kyoto Atas dan Kyoto Pusat, sedangkan di kejauhan kelihatan gunung-gunung Eizan dan Daimonjiyama. Aku mendaki lereng itu. Aku mendaki menuju bunyi bumng yang mengepak-ngepakkan sayap mereka ketakutan ketika aku lewat; aku tidak melihat ke samping dan aku 89 berhasil mengelakkan tunggul-tunggul kayu. Aku merasa segera sembuh jika aku mendaki seperti ini tanpa punya fikiran apa-apa. Waktu aku sampai di puncak, angin malam yang sejuk menghembus badanku yang berkeringat. Aku terpesona melihat pemandangan di depanku. Pengge-lapan sudah lama ditiadakan. dan kini sebuah lautan cahaya terentang di kejauhan. Hal ini kurasakan hampir-hampir sebagai keajaiban. karena semenjak per an g be r akhir aku belum ke mari sekali juga di waktu malam. Cahaya itu merupakan sebuah badan yang kukuh. Mereka bertebaran di seluruh permukaan yang ceper, tanpa memberikan kesan jauh atau dekat; yang timbul di hadapanku di waktu malam adalah sebuah bangunan besar dan bening yang seluruhnya terdiri dari cahaya, yang rupa-rupanya menyebarkan menaranya yang bersayap dan mempunyai tanduk-tanduk yang rumit. Ini mem an g sebuah kota. Hanya hutan di sekitar istana Kaisar yang tidak diterangi dan kelihatan seperti sebuah gua besar yang hitam. Sekali-sekali di arah Gunung Eizan; kilat kelihatan di langit kelam. "Inilah," kataku dalam hati, "alam duniawi. Kini setelah perang berakhir, maka di bawah cahaya itu manusia dihalau oleh fikiran-fikiran jahat. Pasangan-pasangan yang tak terhitung jumlahnya tatap-menatap dalam cahaya itu, dan dalam hidungku terdapat bau perbuatan yang sama dengan kematian, yang telah mulai mendesak mereka secara langsung. Waktu aku ingat bahwa cahaya-cahaya yang tak terhitung jumlahnya ini semuanya cahaya yang merusak, maka hatiku jadi terhibur. Tolong perbesar kejahatan dalam hatiku dan perbanyak jumlahnya sampai tak ada batasnya, hingga ia bisa menyesuaikan diri dalam segala macam segi dengan cahaya besar yang ada di hadapanku! Biarkan kegelapan hatiku, tempat kejahatan itu terkurung, menyamai kegelapan malam, yang mengurung cahaya yang tak terhitung jumlahnya itu!" Jumlah pengunjung ke Kuil Kencana bertambah. Pendeta Kepala telah memohonkan pada pemerintah kota dan permohonannya ini dikabulkan untuk menaikkan harga tanda masuk supaya sesuai dengan inflasi. Pengunjung-pengunjung yang bertebaran yang sampai kini kulihat adalah orang-orang kecil yang mengenakan pakaian seragam, baju kerja atau celana gelembung semasa perang. Tapi kini Tentara Pendudukan sudah datang dan tidak lama kemudian kebiasaan murtad kehidupan duniawi mulai berkembang sekitar Kuil Kencana. Tapi perobahan ini tidak semuanya merupakan keburukan; karena adat persembahan teh dihidupkan kembali, dan banyak di antara pengunjung wanita kini datang ke kuil dengan berbaju riang dan berwarna-warni yang selama ini, dalam masa-masa perang, mereka simpan. Kami para rohaniwan dengan pakaian kami yang berwarna gelap kini mulai muncul sebagai kontras; kelihatan-nya seolah-olah kami memainkan peranan rohaniwan hanya sebagai hiburan, atau kelihatannya kami seolah-olah penduduk suatu daerah yang berusaha keras untuk mempertahankan adat kebiasaan lama untuk kepentingan wisatawan yang datang untuk melihatnya. Prajurit-prajurit Amerika terutama, sangat sekali terheran-heran melihat kami: Biasanya mereka menarik-narik lengan jubah kami tanpa segan-segan dan mentertawakan kami. Kadang-kadang mereka menawarkan uang pada kami asal mereka diperbolehkan mengenakan jubah kami; dengan berdandan seperti itu mereka lalu membuat foto untuk dijadikan kenang-kenangan. Hal-hal seperti inilah yang terjadi jika aku dan Tsurukawa disuruh mempergunakan 91 90 bahasa Inggeris kami yang patah-patah pada pengunjung-pengunjung asing sebagai pengganti penunjuk jalan biasa, yang tidak bisa berbahasa Inggeris sama sekali. Waktu itu musim dingin pertama sesudah perang. Salju turun mulai malam Jumat dan masih terus turun pada hari Sabtu. Waktu aku pagi itu berada di sekolah, aku sudah menunggu-nunggu saat pulang di sore hari supaya dapat melihat Kuil Kencana diselimuti salju. Juga di waktu sore salju turun. Aku meninggalkan jalan para pengunjung lalu menuju ke pinggir Kolam Kyoto sambil mengenakan sepatu karet dan menyandang tas sekolahku di bahu. Salju turun dengan semacam kecepatan yang lancar. Tatkala aku masih kanak-kanak aku sering kali menengadahkan kepalaku ke salju dengan mulut ternganga; sekarang aku juga melakukan itu, lalu gumpalan-gumpalan salju menyentuh gigiku dan memperdengarkan suara seolah-olah mereka memukul sehelai plat timah yang tipis sekali. Aku merasakan salju itu menyebar dalam lobang mulutku yang hangat hingga ia Iumer begitu ia menyentuh permukaan daging yang merah. Di saat itu aku membayangkan mulut burung funiks yang berada di puncak Kukyocho. Mulut burung berwarna emas dan penuh rahasia, yang panas, licin. Salju memberikan rasa muda kepada kita semua. Apa salah kalau kukatakan, bahwa aku yang belum lagi berumur delapan belas tahun kini merasakan suatu getaran penuh kemudaan dalam diriku" Kuil Kencana itu indah tidak tepermanai kala diselimuti oleh salju. Ada sesuatu yang menyegarkan pada kulit telanjang gedung tertiup angin itu, dengan tiang-tiangnya menjulang berdekat-dekatan, dan dengan salju yang bertiup masuk dengan bebas. "Kenapa salju tidak gagap?" demikian aku bertanya dalam hati. Kadang-kadang kala salju bergeser dengan daun-daun yatsude, ia jatuh ke tanah seakan-akan ia memang gagap. Tapi jika aku sendiri merasa mandi dalam salju, yang turun dengan lembut terus-menerus dari langit, aku lupa kekusutan dalam hatiku dan aku seolah-olah kembali pada suatu irama jiwa yang lebih ramah, seakan-akan dimandikan dalam musik. Berkat salju, maka Kuil Kencana yang berukuran tiga dimensi ini kini betul-betul jadi gambar yang ceper, sebuah gambar dalam gambar. Ia tidak lagi menunjukkan rasa permusuhan pada apa yang berwujud di luar dirinya. Dahan-dahan pohon mapel yang berjuluran ke kedua sisi kolam itu hampir-hampir tak sanggup menahan salju sehingga hutan kini kelihatan lebih telanjang dari biasa. Di sana-sini kelihatan salju menumpuk dengan bagus sekali di pohon-pohon tusam. Salju juga tebal di atas permukaan kolam yang beku; tapi anehnya, ada tempat-tempat yang tidak bersalju sama sekali dan menyolok karena tambalan-tambalan putih yang mirip awan dalam lukisan hiasan. Karang Kyusanhakkai dan Pulau Awaji dipersatukan oleh salju di atas permukaan kolam yang beku itu, dan pohon-pohon tusam kecil yang tumbuh di sana kelihatan seolah-olah secara kebetulan tumbuh di tengah-tengah padang es dan salju. Tiga bagian dari Kuil Kencana putih sekali " atap Kukyocho, Choondo dan atap kecil Sosei. Bagian gedung yang selebihnya yang tidak didiami tampak gelap dan dalam kehitaman bangunan kayu yang rumit menonjol ke atas salju, ada sesuatu yang menyegarkan. Seperti kalau kita memperhatikan sebuah kuil yang bersarang di antara pegunungan dalam lukisan tertentu pelukis-pelukis Mazhab Selatan, lalu muka kita dekatkan ke kanvas untuk melihat kalau-kalau ada orang tinggal di balik dinding itu, begitu juga pukauan kayu hitam yang ada di depanku membuat aku 93 merasa ingin tahu apa menara kuil itu tidak didiami orang. Tapi biarpun mukaku kudekatkan pada Kuil Kencana, aku hanya akan terbentur ke kanvas sutera salju yang dingin; lebih dekat dari itu aku tidak bisa mendekat. Juga hari ini pintu-pintu Kukyocho dibukakan untuk udara yang penuh salju. Jika aku menengadah melihatnya, maka aku melihat dengan jelas bagaimana salju yang jatuh itu berputar-putardi tempat kecil yang kosong di Kukyocho, dan bagaimana sesudah itu mereka hinggap pada lapisan emas dindingnya yang sudah tua dan kusam, dan tinggal di sana sampai mereka membentuk tumpak-tumpak kecil embun emas. Hari berikutnya adalah hari Minggu. Pagi hari penunjuk jalan tua itu datang menjemput aku. Rupa-rupanya ada seorang serdadu asing yang datang untuk melihat-lihat kuil itu sebelum jam buka yang biasa. Penunjuk jalan itu mempergunakan bahasa tangan untuk meminta serdadu itu menunggu, lalu pergi menjemput aku, karena seperti katanya, aku fasih bahasa Inggeris. Anehnya bahasa Inggerisku lebih baik dari bahasa Inggeris Tsurukawa dan tidak pernah gagap kalau aku berbicara. Sebuah jip kelihatan di dekat pintu masuk. Seorang serdadu Amerika yang sedang mabuk lagi bersandar pada salah sebuah tiang. Waktu aku datang ia memandang padaku lalu tertawa dengan penuh ejekan. Kebun depan gemerlapan karena salju yang baru turun. Di hadapan latar belakang yang gemerlapan ini, wajah serdadu yang muda dan penuh lipatan-lipatan tebal itu menghembuskan awan uap putih bercampur bau wiski ke arahku. Sebagai biasa, aku merasa resah jika aku mencoba membayangkan perasaan apa yang hidup dalam diri seseorang yang besarnya begitu berbeda dari aku. Karena aku sudah menjadikan kebiasaan tidak melawan orang lain, aku menyatakan setuju untuk mengantarkannya melihat-lihat kuil, biarpun waktu itu masih belum waktu buka. Aku minta ongkos masuk dan ongkos penunjuk jalan. Anehnya, orang mabuk bertubuh besar itu sama sekali tidak mau membayar. Lalu ia melihat ke dalam jip dan mengucapkan sesuatu yang berarti "Keluar!" Karena salju yang menyilaukan, aku sebegitu jauh tidak bisa melihat ke dalam jip yang gelap itu. Tapi kini aku melihat sesuatu yang putih bergerak di balik jendela jip itu. Aku merasa seolah-olah ada seekor kelinci yang bergerak di dalamnya. Sebuah kaki yang dibungkus oleh sepatu bertumit tinggi langsing diturunkan ke tangga jip. Aku heran melihat kaki itu sama sekali tidak dibungkus oleh kaus panjang, biarpun hari sangat dingin. Dengan sekali lihat aku tahu bahwa gadis itu adalah seorang pelacur yang menyeltiakan diri untuk serdadu asing: karena ia mengenakan mantel merah menyala sedangkan kuku tangan dan kakinya juga dicat dengan warna yang sama. Waktu bagian bawah mantelnya terbuka, aku melihat bahwa di baliknya ia mengenakan sehelai gaun tidur yang sudah kotor terbuat dari kain handuk. Gadis itu juga mabuk sekali dan matanya kaku. Lelaki itu mengenakan seragam yang rapi; tapi perempuan itu hanya menyelimutkan sehelai mantel dan selendang untuk menutupi gaun tidumya, setelah rupanya baru saja bangun dari tempajt tidur. Dalam pantulan salju, wajah gadis itu pucat sekali. Karena kulitnya yang putih, yang hampir-hampir tidak memperlihatkan warna sama sekali, merah gincu bibirnya menyolok sekali. Begitu menginjak tanah ia bersin; kerut-kerut kecil berkumpul di tulang hidungnya yang ramping, dan matanya yang mabuk dan lelah memandang nanap ke kejauhan selama sesaat, sebelum ia tenggelam kembali ke dalam sorotan yang dalam dan 95 94 berat. Lalu ia memanggil nama lelaki itu. "Jeku, Jeku!"*) katanya. 'Tsu korudo, tsu korudo/"**) Suara gadis itu berkelana dengan sedih di atas salju, waktu ia mengatakan bahwa ia kedinginan. Lelaki itu tidak menjawab. Baru kali ini aku melihat seorang pelacur yang betul-betul cantik. Bukan karena ia mirip Uiko. Ia tak ubahnya sebuah potret yang dilukis dengan hati-hati sekali supaya tidak mirip dengan Uiko dalam hal apa pun jua. Gadis ini memiliki kecantikan yang segar dan menantang yang dengan salah satu cara rupanya telah tercipta sebagai reaksi terhadap kenanganku pada Uiko. Ada sesuatu yang bersifat menyanjung dalam penolakan pada nafsu syahwatku yang merupakan buntut dari penghayatanku yang pertama tentang keindahan dan kecantikan. Hanya dalam satu hal ia serupa dengan Uiko. Yaitu, ia sama sekali tidak melihat padaku biarpun sekilas selama aku berada di sana. Aku meninggalkan jubah pendetaku dan aku memakai sehelai switer kotor dan sepatu karet. Semua orang di biara sudah keluar semenjak pagi untuk menyodok salju, tapi mereka baru selesai membersihkan jalan pengunjung. Bahkan kini akan susah sekali jika ada rombongan besar pengunjung yang datang. Tapi untuk sebuah rombongan kecil yang berjalan satu-persatu, cukup jalan. Aku berjalan mendahului serdadu Amerika dan gadis itu. Waktu orang Amerika itu sampai ke kolam dan melihat pemandangan yang terungkap di hadapannya ia mengangkat tangan lalu meneriakkan sesuatu dengan kata-kata yang tidak bisa kufahami. Lalu ia menggoncang-goncangkan tubuh gadis *) Jack, Jack!"
**) Too cold, too cold!" 96 itu sejadi-jadinya. Gadis itu mengernyitkan alisnya dan hanya berkata: "Oh Jeku, tsu korudoV Orang Amerika itu menanyakan padaku tentang buah aoki merah yang berkilat dan kelihatan di balik dedaunan yang penuh salju, tapi aku tidak bisa mengatakan apa-apa kecuali "Aoki". Mungkin juga dalam badannya yang besar itu tersem-bunyi jiwa seorang penyair yang sendu, tapi aku merasa, bahwa dalam matanya yang biru dan bening terbayang kekejaman. Sajak anak-anak "Ibu Angsa" menyebut mata hitam sebagai mata kejam dan licik; soalnya jika orang membayangkan kekejaman, maka orang biasanya menempelkan ciri-ciri^sing padanya. Aku mulai menjelaskan Kuil Kencana itu menurut aturan baku para penunjuk jalan. Serdadu itu masih mabuk dan ia berdiri terhuyung-huyung. Dengan jari-jariku yang kebal kukeluarkan dari kantongku naskah Inggeris tentang Kuil Kencana yang biasanya kubacakan pada kesempatan seperti ini. Tapi orang Amerika itu merampas buku itu dari genggaman-ku lalu mulai membaca dengan nada lucu. Aku melihat bahwa penjelasanku tidak lagi diperlukan. Aku bersandar pada terali Hosui-in dan memandang ke permukaan kolam yang berkilat-kilat dengan hebat sekali. Belum pernah bagian dalam Kuil Kencana ini dihadapkan pada cahaya seperti ini " begitu cemerlang hingga kita jadi risau karenanya. Waktu aku mengangkat kepala kulihat bahwa antara lelaki dan perempuan itu telah terjadi pertengkaran. Mereka lagi berjalan meMju Sosei. Pertengkaran makin lama makin hangat, tapi aku tidak bisa menangkap biar satu kata pun. Perempuan itu menjawab dengan nada kasar; aku tidak tahu apa ia berbahasa Inggeris atau Jepang. Keduanya berjalan kembali ke Hosui-in, sambil bertengkar. Rupa-rupanya mereka sudah 97 lupa akan kehadiranku. Orang Amerika itu mengangkat muka menghadapi gadis itu lalu mulai memaki-makinya. Perempuan itu menampar pipi serdadu itu dengan sekuat tenaga. Sudah itu ia berbalik lalu berlari dengan sepatu bertumit tinggi menuju pintu masuk. Aku tidak mengerti apa yang terjadi, tapi aku juga meninggalkan Kuil Kencana lalu berlari sepanjang pinggir kolam. Waktu aku sampai ke tempat gadis itu, orang Amerika yang berkaki panjang itu telah berhasil mengejar dia dan menyambar kerah mantel merah gadis itu. Waktu berdiri memegang gadis itu, ia memandang padaku. Ia melonggarkan pegangannya pada kerah merah nyala gadis itu. Di tangannya itu rupa-rupanya ada kekuatan yang luar biasa; karena, waktu kerah itu ia lepaskan, gadis itu jatuh lambat-lambat ke belakang, ke atas salju. Bagian bawah mantel merahnya terbuka dan pahanya yang tersingkap dan putih terkangkang di atas salju. Gadis itu tidak berusaha untuk bangkit. Dari tempat ia duduk ia membelalak ke mata raksasa yang menjulang tinggi di atasnya. Aku terpaksa berlutut untuk menolongnya berdiri. Waktu aku mau berbuat begitu, orang Amerika itu berteriak: "Hei!" Aku berbalik. Ia berdiri di atasku dengan kaki mengangkang. Ia memberi isyarat padaku dengan jarinya. Lalu dengan suara yang sama sekali sudah berubah - hangat dan manis " ia berkata dalam bahasa Inggeris: "lnjak dia. Coba injak dia!" Aku tidak mengerti apa yang dia maksud. Tapi di matanya yang biru jelas sekali kesan memerintah waktu ia memandang padaku dari ketinggiannya. Di belakang bahunya aku dapat melihat Kuil Kencana yang diselimuti salju bersinar-sinar di bawah langit musim dingin yang biru, hambar dan tak memperlihatkan garis-garis nyata. Di matanya sedikit pun 98 tak kelihatan tanda-tanda kekejaman. Aku tidak tahu kenapa, tapi pada saat itu aku merasa matanya sangat sendu sekali. Tangannya yang besar turun, lalu memegang pangkal leherku dan mengangkat aku sampai aku berdiri. Tapi nada perintahnya. masih hangat dan lembut. "Injak dia!" katanya. "Dia harus kauinjak!" Karena tak sanggup membangkang aku mengangkat kakiku yang disalut oleh sepatu tinggi. Orang Amerika itu mehepuk bahuku. Kakiku turun lalu aku menginjak sesuatu yang lunak bagai lumpur musim semi. Perut gadis itu. Gadis itu mengatupkan matanya lalu mengerang. "Terus, injak! Terus!" Aku menurunkan kakiku ke atas tubuh gadis itu. Rasa tak senang yang kurasakan waktu pertama kali menguijaknya kini digantikan oleh semacam kesenangan. "Ini perut wanita," kataku dalam hati. "Ini buah dadanya." Aku tidak pernah mengira bahwa tubuh orang lain bisa menantang seperti ini dengan kepegasan yang sungguh-sungguh. "Cukup," kata orang Amerika itu dengan tegas. Lalu dengan sopan gadis itu ditolongnya berdiri dan membersihkan lumpur dan salju dari mantelnya. Sudah itu ditolongnya gadis itu masuk jip kembali. Ia berjalan mendahului aku tanpa berpaling ke jurusanku; gadis itu sendiri tidak pernah memalingkan muka padaku. Waktu mereka sampai ke dekat jip, ia menyilakan gadis itu naik dulu. Pengaruh wiski itu rupanya sudah habis; orang Amerika itu berpaling padaku lalu berkata dengan sungguh-sungguh: "Terima kasih." Ia mau memberi aku uang tapi kutolak. Lalu ia mengeluarkan dua kotak besar rokok Amerika dari tempat duduk jip itu lalu memaksakannya padaku. Dengan pipi menyala aku berdiri di pintu masuk dalam pantulan salju yang keras sekali. Jip itu berjalan menuju 99 kejauhan, sambii mengepulkan awan salju, lalu hilang dari niata. Tubuhku berdenyut karena kebingungan. Setelah kebingungan itu berlalu, aku memikirkan suatu rencana yang memungkinkan sediMt latihan kemunafikan yang menyenangkan. Pendeta Kepala senang rokok! Alangkah senangnya dia menerima hadiah ini! Tanpa mengetahui apa-apa. Bagiku tidak ada perlunya untuk mengungkapkan semua yang sudah terjadi. Aku hanya berbuat sebagaimana harusnya karena aku diperintah dan dipaksa. Kalau orang Amerika itu kulawan. aku tidak tahu kesusahan apa yang akan harus kualamL Aku pergi ke kantor Pendeta Kepala di Perpustakaan Besar. Kepalanya sedang dicukur oleh Pengetua yang pandai sekali dalam pekerjaan itu. Aku menunggu di ujung beranda, di mana matahari pagj bersinar dengan kekuatan penuh. Di taman, salju bertumpuk di atas Pohon Tusam Kapal Layar dan berkilat dengan cemerlang; kelihatannya benar-benar seperti layar baru yang dilipat. Pendeta Kepala menutup matanya waktu dicukur. Ia memegang selembar kertas untuk menampung rambut yang jatuh dari kepala. Bentuk kepala Pendeta Kepala yang kasar dan hewani makin lama makin menonjol dengan makin lamanya Pengetua itu mencukur. Setelah ia selesai, Pengetua membungkus kepala itu dengan handuk panas. Setelah beberapa saat handuk itu ia angkat lalu muncullah sebuah kepala yang baru lahir, berkilat, yang memberikan kesan seolah-olah ia baru direbus. Aku berhasil menyampaikan pesanku lalu menyerahkan kedua kotak rokok Chesterfield seraya membungkuk. "Ha!" kata Pendeta Kepala, "Terima kasih banyak atas susah payahmu." ' la tersenyum sedikit, seakan-akan ia ketawa hanya dengan 100 ujung mukanya. Hanya sekian. Lalu dengan cekatan ia menerima kedua kotak itu lalu meletakkannya begitu saja di atas mejanya yang penuh dengan tumpukan kertas dan surat-surat yang serba beragam. Pengetua mulai memijit bahunya, dan Pendeta Kepala sekali lagi mengatupkan matanya. Bagiku tidak ada jalan lain kecuali mengundurkan diri. Tubuhku panas karena tidak puas. Tindakan rahasia dan jahat yang telah kulakukan, rokok yang kuterima sebagai hadiah, diterima oleh Pendeta Kepala tanpa mengetahui kenapa rokok itu kuperoleh " semua ini harus memperkuat sesuatu yang lebih dramatis dan keras. Bahwa seseorang yang mempunyai kedudukan seperti Pendeta Kepala sampai tidak tahu sama sekali apa yang teraadi merupakan alasan lain yang penting bagiku untuk menaruh benci padanya. Tapi waktu aku mau meninggalkan kamar itu, ia menahanku. "Begini!" katanya. "Aku bermaksud mengirim kau ke Universitas Otani begitu kau tamat dari sekolahmu. Kini kau harus gjat belajar, Nak, supaya angka-angkamu baik kalau nanti ada ujian. Itu yang sangat diinginkan almarhum ayahmu. Ia selalu memikirkan agar kau dapat angka baik di sekolah." Berita ini segera disebarkan oleh Pengetua ke seluruh kuil. Jika seorang calon pendeta mendapat didikan universitas atas anjuran Pendeta Kepalanya, maka itu berarti bahwa ia tentu seorang yang sangat sekali memberikan harapan. Dulu sering terjadi bagaimana seorang calon pendeta setiap malam datang ke kamar Pendeta Kepala untuk memijit bahunya, dengan harapan akan dipujikan mendapat pendidikan universitas " biasanya harapan ini dipenuhi. Tsurukawa yang akan masuk universitas dengan ongkos orang tuanya, menepuk bahuku kegjrangan waktu ia mendengar berita itu. Sedangkan calon-calon pendeta yang lain, yang tak 101 pernah mendengar sesuatu pemberitahuan dari Pendeta Kepala bahwa akan disuruh melanjutkan pelajaran ke universitas,tidak mau lagi menegur aku sesudah kejadian itu. Bab Empat DALAM musim semi tahun 1947, datanglah saat bagiku untuk memulai pelajaran persiapan di Universitas Otani. Tapi masukku ke universitas bukanlah suatu kejadian meriah dan aku hanya didampingi oleh simpati Pendeta Kepala yang teguh dan rasa iri hati kawan-kawan sejawatku di kuil. Dilihat dari luar kejadian ini kelihatan seperti membanggakan, tapi sebetulnya masukku ke universitas ini dikelamkan oleh keadaan yang tidak ingin kuingat. Pada suatu hari waktu aku kembali dari sekolah, kira-kira seminggu setelah pagi penuh salju ketika Pendeta Kepala memberikan izin padaku untuk masuk universitas, ada seorang calon pendeta lain yang tidak mempegbleh persetujuan masuk universitas sedang melihat padaku dengan wajah yang bahagia luar biasa. Sampai saat ini anak muda itu tidak pernah menegur aku. Sikap Pegawai Biara dan Pengetua juga kelihatan agak berubah. Tapi dari tingkah laku mereka terhadap aku kelihatan bahwa mereka berusaha untuk tidak memperlihatkan sikap yang berbeda dari sebelumnya Malam itu aku pergi ke kamar Tsurukawa lalu mengeluh tentang perobahan sikap orang terhadap aku di kuil. Mula-mula ia memiringkan kepalanya dan berusaha meyakinkan aku bahwa tidak ada apa-apa; tapi ia bukan orang yang bisa menyembunyikan perasaan dan tidak berapa lama kemudian ia menatap aku dengan air muka orang bersalah. 103 "Aku mendengamya dari kawan yang lain," katanya, sambil menyebut nama rekan sesama calon pendeta, "dan kawan itu juga hanya mendengar kabar angin, karena waktu hal itu terjadi ia juga sedang berada di sekolah. Tapi rupa-rupanya ada sesuatu yang aneh yang telah terjadi waktu kau pergi." Aku merasakan suatu firasat yang samar-samar tapi aku meneruskan pertanyaanku. Tsurukawa meminta supaya aku berjanji akan merahasiakan cerita itu. Sambil memandang nanap kepadaku, ia mulai bicara. Pada sore hari itu seorang gadis telah mengunjungi kuil lalu minta ketemu dengan Pendeta Kepala. la mengenakan mantel merah dan jelas sekali bahwa ia seorang pelacur yang melacurkan diri pada orang asing. Pengetua menemuinya di pintu masuk sebagai wakil Pendeta Kepala. Gadis itu memaki-maki Pengetua itu dan mengatakan lebih baik mempertemukannya dengan Pendeta Kepala sekiranya ia ingin selamat. Waktu itu kebetulan Pendeta Kepala lewat di gang. Gadis itu menceritakan padanya, kira-kira seminggu sebelumnya, pada pagj hari setelah hujan salju turun, ia mengunjungi kuil itu bersama seorang serdadu asing. Serdadu itu memukul dia sampai jatuh,lalu salah seorang calon pendeta berusaha untuk mengambil muka dengan menginjak perutnya. Malam itu ia keguguran. Oleh karena itu berhak untuk minta ganti uang dari kuil itu. Jika mereka tidak mau memberi, maka ia akan mengungkapkan kejahatan yang telah terjadi itu dan akan mengumumkan tuntutannya secara luas. Pendeta Kepala memberikan sedikit uang tanpa berkata apa-apa lalu menyuruh dia pulang. Semua orang tahu bahwa akulah yang bertugas sebagai penunjuk jalan hari itu, tapi Pendeta Kepala mengatakan karena di kuil tidak ada saksi yang melihat perbuatanku, maka soal itu tidak boleh disebut-sebut. Ia sendiri bermaksud untuk menutup mata terhadap itu. Tapi semua orang di kuil itu segera curiga bahwa akulah biang keladinya waktu mereka mendengar cerita itu dari Pengetua. Tsurukawa memegang tanganku. Aku melihat bahwa dia hanipir-hampir menangis. Ia memandang padaku dengan mata yang jernih lalu memohon padaku dengan suaranya yang jujur dan kekanak-kanakan: "Apa betul kau sudah melakukan hal seperti itu?" Aku menghadapi perasaan murungku sendiri. Tsurukawa memaksa aku untuk menghadapinya dengan menanyakan pertanyaan itu padaku. Kenapa hal itu ia tanyakan" Apa demi persahabatan" Apa dia sadar bahwa dengan mengajukan pertanyaan seperti itu ia telah menyia-nyiakan kewajibannya yang sejati" Apa dia tahu bahwa dengan pertanyaan itu ia telah mengkhianati bagian diriku yang paling dalam"
Aku sudah berkali-kali mengatakan: Tsurukawa adalah gambaranku yang positif. Jika Tsurukawa melakukan kewajibannya dengan sungguh-sungguh, ia tidak akan memaksakan pertanyaan itu padaku, ia tidak akan menanyakan apa-apa, tapi sebaliknya akan menerima perasaan murungku sebagaimana adanya lalu memindahkannya pada perasaan yang menggembi-rakan. Maka dusta akan jadi kebenaran, dan kebenaran akan jadi dusta. Jika Tsurukawa mengikuti cara-caranya yang khas " cara-caranya untuk merobah semua kegelapan jadi kecerahan, malam jadi siang, cahaya bulan jadi sinar matahari, kelembaban lumut malam jadi desir-desir dedaunan muda yang berkilat di kala siang " aku boleh saja menggagapkan suatu pengakuan. Tapi pada kesempatan ini ia tidak berbuat begitu. Oleh karena itu perasaan murungku jadi lebih kuat karenanya. Aku ketawa dengan penuh arti. Malam kelam di kuil tak 105 berapi. Lutut dingin. Tiang-tiang tua kuil itu menjulang sekeliling kami sewaktu kami duduk mcncangkung melakukan percakapan rahasia. Aku hanya mengenakan baju tidur hingga mungkin karena kedinginan maka aku menggigil. Tapi kenikmatan yang kurasakan karena berdusta secara terbuka untuk pertama kali pada kawanku sudah cukup membuat lututku gemetar. "Aku tidak berbuat apa-apa," kataku. "Betul?" kata Tsurukawa. "Jadi perempuan itu berdusta. Persetan dia! Tidak masuk akal kenapa Pengetua juga ikut-ikut percaya," Kemarahan Tsurukawa yang dapat dimengerti makin besar, sampai ia menyatakan bahwa ia bermaksud untuk bicara dengan Pendeta Kepala atas namaku keesokan harinya dan menjelaskan apa yang terjadi. Pada saat itu terlintas dalam fikiranku gambaran kepala Pendeta Kepala yang baru dicukur yang mirip dengan sayur yang sudah direbus. Lalu aku melihat pipinya yang lembut dan berwarna merah jambu. Entah kenapa aku tiba-tiba dirangsang oleh rasa muak yang tidak terkira melihat wajahnya. Oleh karena itu kemarahan Tsurukawa yang wajar perlu sekali dikuburkan ke dalam tanah sebelum ia diketahui orang. "Tapi apa Pendeta Kepala betul-betul yakin bahwa aku yang melakukannya?" tanyaku. "Ah," kata Tsurukawa yang tiba-tiba bingung oleh fikiran baru ini. "Yang lain boleh saja memburuk-burukkan aku di belakang-ku semau mereka. Selama Pendeta Kepala tahu kisah sebenar-nya, aku tidak khawatir. Begitu pendapatku." Dengan demikian aku berhasil membuat Tsurukawa yakin bahwa usaha membela aku hanya akan membuat orang lain lebih curiga dari sebelumnya. Justru karena Pendeta Kepala 106 yakin aku tak bersalah maka ia memutuskan untuk tutup mulut dan tidak memperdulikan seluruh persoalan itu. Waktu aku bicara, kegembiraan tumbuh dalam hatiku, dan lambat laun kegembiraan ini berakar dalam diriku. Kegembiraan yang mengatakan "Tidak ada saksi. Tidak ada yang bisa dipanggil untuk memberikan kesaksian." Sesaat pun aku tidak percaya, bahwa hanya Pendeta Kepala yang yakin akan kebersihanku. Malahan sebaliknya: justru dia sendiri yang betul-betul yakin bahwa aku berdosa. Putusannya untuk melupakan soal itu adalah bukti dari sangkaan ini. Barangkali ia sudah tahu semuanya waktu aku menyerahkan rokok Chersterfield yang dua kotak itu padanya. Barangkali sebabnya ia mendiamkan soal itu karena secara diam-diam ia mengharapkan kedatanganku untuk mengakui kesalahanku padanya secara sukarela. Bukan hanya itu. Siapa tahu tindakannya untuk menganjurkan aku masuk universitas hanya sekadar umpan untuk memeras pengakuanku: jika aku tidak mengaku ia akan mencabut anjurannya sebagai hukuman atas ketidakjujuranku; tapi jika aku mengaku, dan jika ia betul-betul yakin bahwa aku benar-benar menyesal, ia mungkin cenderung, sebagai penghargaan khusus " untuk terus menganjurkan aku masuk universitas. Masalahnya terletak dalam kenyataan, bahwa Pendeta Kepala telah mengatakan pada Pengetua untuk tidak menye-but-nyebut hal ini padaku. Kalau aku betul-betul suci, maka aku akan dapat hidup dengan tenang dari hari ke hari, tanpa mengetahui atau merasa bahwa ada sesuatu yang luar biasa yang terjadi. Tapi jika sebaliknya aku sudah melakukan kejahatan, aku mestinya (sekiranya aku punya fikiran sehat) bisa bcrpura-pura hidup dalam kesncian yang damai sebagai tanda kesucianku artinya, kehidupan seseorang yang tidak perlu mengakui apa-apa. Ya, sebaiknya aku berpura-pura 107 saja. Itu jalan yang terbaik bagiku, itu satu-satunya cara untuk menjelaskan kesucianku. Pendeta Kepala sendiri meng-harapkan itu. Inilah perangkap yang ia sediakan untukku. Waktu aku ingat itu, aku marah sekali. Karena dengan demikian aku seolah-olah tidak bisa memaafkan perbuatanku. Jika aku tidak menginjak perempuan itu, orang Amerika itu mungkin mencabut pistolnya lalu mengancam aku. Kita kan tidak bisa melawan Tentara Pendudukan. Apa yang kulakukan, kulakukan karena terpaksa. Tapi perut wanita yang terasa di telapak sepatu karetku, tubuhnya yang terasa seolah-olah menyanjung aku dengan kebingkasannya; erangnya; rasa yang mirip kembang daging yang diremas kemudian merekah; inderaku yang terhuyung-huyung; goncangan yang pada saat itu datang dari tubuh gadis itu laik halilintar penuh keajaiban dan masuk ke dalam tubuhku " aku tidak bisa berpura-pura bahwa paksaanlah yang membuat aku menikmati segalanya ini. Aku masih belum bisa melupakan kemanisan saat itu. Pendeta Kepala tahu apa yang kurasakan sedalam-dalamnya ia kenal rasa manis itu sampai ke inti-intinya! Selama tahun berikutnya, aku tak ubahnya seekor burung yang terperangkap dalam sangkar. Sangkar itu tak hilang-hilangnya dari penglihatanku. Karena aku telah memutuskan untuk tidak mengakui perbuatanku, maka dalam hidup sehari-hariku aku sama sekali tidak merasa lega. Aneh. Perbuatanku, yang waktu itu sama sekali tidak menimbulkan rasa berdosa dalam diriku, perbuatan menginjak perut gadis itu, lambat-laun mulai mengikat dalam ingatanku. Ini tidak disebabkan karena aku tahu bahwa sebagai akibatnya gadis itu sudah keguguran. Karena perbuatanku itu mulai rrielekat bagai debu emas dalam ingatanku dan mulai menyebarkan cahaya menyilaukan yang tak henti-hentinya menusuk mataku. Gemerlap kejahatan. Ya, itulah dia. Mungkin kejahatan ttu kejahatan kecil sekali, tapi kini aku dibebani oleh kesadaran yang hidup bahwa aku sudah melakukan kejahatan. Kesadaran ini tergantung sebagai sebuah perhiasan di dalam dadaku. Mengenai hal-hal praktis, tidak ada yang bisa kulakukan, sampai aku menempuh ujian masuk Universitas Otani, kecuali hidup dalam keadaan bingung, dan berusaha sebaik-baiknya untuk menerka apa rencana Pendeta Kepala sebenarnya terhadap aku. Pendeta Kepala tidak pernah mengatakan sesuatu yang meniadakan janjinya memberi aku kesempatan belajar di universitas. Sebaliknya, ia juga tidak mengatakan apa-apa untuk mengurus persiapan ujian masukku. Aku berharap sekali dan menunggu sampai Pendeta Kepala mengatakan sesuatu padaku, apa pun yang akan ia katakan! Tapi ia tctap berdiam did dengan mengesalkan, dan membiarkan aku mengalami siksaan yang lama. Sedangkan aku sendiri, mungkin karena takut, mungkin karena ingin memper-tahankan diri, aku ragu-ragu untuk menanyakan pada Pendeta Kepala bagaimana maksudnya. Dulu aku memandang Bapa Dosen dengan rasa hormat yang biasa, dan kadang-kadang aku melihat dia dengan mata yang kritis. Tapi kini ia lambat-laun mulai memperoleh ukuran raksasa, hingga aku tidak lagi bisa percaya bahwa dalam tubuhnya terdapat hati manusia yang biasa. Bagaimanapun seringnya aku berusaha mengalihkan pandanganku dari dia. tokoh itu menjulang di depanku bagai sebuah kuil yang mengerikan. Terjadinya pada akhir musim gugur. Pendeta Kepala diminta untuk menghadiri penguburan seorang anggota jemaah tua, dan karena perjalanan kereta api ke tempat itu memakan waktu dua jam, maka pada malam sebelumnya ia mengumurn-kan bahwa ia akan meninggalkan kuil pukul setengah lima pagi. Pengetua akan mengawani dia. Supaya siap sebelum 109 keberangkatan Pendeta Kepala, kami harus bangun pukul empat untuk menyapu dan mempersiapkan sarapan. Begitu kami bangun kami mulai dengan "tugas pagi" membaca sutra, sementara Pengetua membantu Pendeta Kepala dengan persiapan-persiapannya. Dari halaman yang gelap dan dingin datang suara derik-derik timba sumur yang terus-menerus. Kami buru-buru membasuh muka. Kokok ayam di halaman menembuspagi musim gugur yang gelap; suara itu mengandung suatu kesegaran dan keputihan. Kami menggulung lengan jubah lalu bergegas untuk berkumpul di tempat pemujaan di ruang pengunjung. Dalam kedinginan fajar, tikar-tikar pada ruang besar, yang tak pernah ditiduri orang memberikan suatu rasa khusus, seolah-olah mereka enggan menerima kita. Lilin meja pujaan berkelap-kelip. Kami menunjukkan takzim kami. Mula-mula kami membungkuk sambil berdiri; lalu kami bersimpuh di atas tikar dan membungkuk di sela-sela bunyi gong. Perbuatan ini kami ulangi sampai tiga kali. Aku selalu sadar akan kesegaran dalam suara laki-laki yang membacakan sutra bersama-sama di. kala tugas pagi. Suara sutra pagi ini adalah yang paling lantang di seluruh hari. Suara-suara yang lantang itu seolah-olah mencerai-beraikan semua fikiran jahat yang bertumpuk selama semalam, dan dari pita suara para penyanyi itu seolah-olah menyembur semprotan hitam dan menggenang di mana-mana. Aku sendiri tidak tahu mengenai diriku. Aku tidak tahu, tapi anehnya aku merasa diriku kuat kalau kuingat bahwa suaraku juga telah mencerai-beraikan fikiran kelaki-lakian buruk seperti suara yang lain. Sebelum kami menyelesaikan "pesta bubur" kami, Pendeta Kepala sudah siap untuk berangkat. Menurut kebiasaan maka kami semua berbaris di pintu masuk untuk pamitan dengannya. 110 Hari masih gelap. Langit penuh bintang. Dalam cahaya bintang jalan batu terbentang samar-samar sampai ke Gerbang Sammon, tapi bayang-bayang pohon-pohon oak besar, prem dan pohon pinus terkapar di taman, yang satu meleleh memasuki yang lain hingga mereka menutupi seluruh per-mukaan jalan itu. Switerku penuh lobang-lobang dan udara pagi yang dingin menyengat sampai ke sikuku. Semuanya dilakukan dengan diam. Kami membungkuk pada Pendeta Kepala tanpa bicara dan ia memberikan jawaban yang hampir-hampir tak bisa ditangkap. Lalu bunyi tengkelek Pendeta Kepala dan Pengetua menghilang perlahan-lahan dengan makin jauhnya mereka berjalan meninggalkan kami, di atas jalan berbatu itu. Telah merupakan adat kebiasaan di kalangan sekte Zen untuk menunggu orang yang kita antarkan menghilang sama sekali di kejauhan. Waktu kami memandang ke arah kedua orang tokoh yang bepergian itu, kami tak dapat melihat mereka secara keseluruhan. Yang dapat kami lihat hanya pinggiran jubahnya dan kaus mereka yang putih. Pada suatu titik mereka seolah-olah hilang sama sekali dari pandangan mata. Tapi itu hanya karena tersembunyi di balik pepohonan. Setelah bcberapa saat pinggiran putih dan kaus putih itu muncul lagi, dan entah karena apa gema telapak mereka kedengaran lebih keras dari sebelumnya. Kami berdiri di sana memandang nanap keduanya yang pergi itu dan rasanya lama sekali baru kedua tokoh itu melewati gerbang utama dan akhirnya menghilang. Justru pada saat itulah dalam hatiku lahir suatu kecenderungan yang aneh. Seperti halnya kata-kata penting tertentu berusaha mendobrak keluar dari mulutku, tapi terhalang oleh kegagapanku, demikian juga kecenderungan menyala dalam kerongkonganku. Kecenderungan itu adalah keinginan untuk membebaskan diri secara tiba-tiba. Pada 111 saat itu, keinginan-keinginanku sebelumnya " keinginanku untuk masuk universitas, dan lebih lagi harapan yang dikemukakan oleh ibuku, supaya aku menggantikan kedudukan Pendeta Kepala " semuanya lenyap. Aku ingin melarikan diri dari suatu kekuasaan yang menguasaiku dan yang memaksakan dirinya padaku. Aku tak bisa mengatakan bahwa pada saat itu aku kehilangan keberanian. Keberanian untuk melakukan suatu pengakuan adalah suatu soal kecil. Bagi orang seperti aku yang telah hidup dengan membisu selama dua puluh tahun, nilai sebuah pengakuan dosa adalah kecil sekali. Orang mungkin mengira bahwa aku sudah terlalu melebili-lebihkan. Tapisebetulnya dengan menghadapkan diriku pada keheningan Pendeta Kepala dan dengan penolakanku untuk mengakui dosa, aku sebetumya sudah melakukan percobaan dengan sebuah masalah tunggal, yaitu: "Apakah kejahatan mungkin?" Jika aku bertahan sampai saat terakhir untuk tidak mengakui dosaku, maka dengan itu terbuktilah, biarpun kejahatan itu hanya kejahatan remeh, bahwa kejahatan memang mungkin. Tapi waktu aku menangkap lintasan-lintasan jubah dan kaus putih Pendeta Kepala itu di sela-sela pepohonan, menghilang dalam gelap dinihari, maka kekuatan yang menyala dalam kerongkonganku hampir-hampir tidak bisa ditahan hingga aku ingin melakukan pengakuan lengkap. Aku ingin berlari mengejar Pendeta Kepala lalu bergantung pada lengannya dan menceritakan padanya dengan suara lantang semua yang terjadi pada pagi hari penuh salju itu. Keinginanku melakukan ini pasti tidak ditumbuhkan oleh karena rasa hormat pada orang itu. Kekuatan Pendeta Kepala itu tak ubahnya bagai suatu kekuasaan fisik yang hebat. Tapi sangkaan, bahwa kejahatan kecil pertama dalam hidupku akan runtuh jika aku sampai mengakui dosa, telah 112 menahanku dan aku merasakan sesuatu yang memegangku kuat-kuat dari belakang. Lalu sosok Pendeta Kepala lewat di bawah gerbang utama dan menghilang di bawah langit malam. Semua tiba-tiba merasa lega dan berlari hiruk-pikuk ke pintu depan kuil. Waktu aku tegak termenung di sana, Tsurukawa menyentuh bahuku. Bahuku tiba-tiba siuman. Bahuku yang kurus dan lusuh memperoleh harga diri kembali. *** Seperti telah kukatakan, biarpun ada kekusutan-kekusutan ini, akhirnya aku jadi juga masuk Universitas Otani. Aku tak perlu membuat suatu pengakuan. Beberapa hari kemudian Pendeta Kepala memanggil Tsurukawa dan aku, lalu mengatakan kepada kami dengan singkat bahwa kami sudah harus mulai mempersiapkan diri untuk ujian dan bahwa kami akan dibebaskan dari tugas-tugas kuil selama kami sibuk dengan pelajaran. Demikianlah aku berhasil masuk universitas. Tapi sungguh-pun begitu tidaklah berarti bahwa semua kekusutan sudah selesai. Sikap Pendeta Kepala sama sekali tidak menjelaskan bagiku apa pendapatnya ten tang kejadian di hari penuh salju itu; juga tak jelas bagiku apa rencananya mengenai pengganti-nya. Universitas Otani merupakan suatu titik perkisaran dalam hidupku. Di sinilah pertama kali dalam hidupku aku berkenalan dengan fikiran-fikiran yang telah kupilih dengan sengaja. Sejarah Otani mulai lebih kurang tiga ratus tahun yang lalu, waktu dalam tahun 1663 asrama universitas Kuil Chikusyi Kanzeon dipindahkan ke gedung Kikoku di Kyoto. Semenjak itu ia dipakai sebagai biara untuk pengikut sekte Otani dari 113 PHonganji. di zaman Imam Kelima Belas Honganji, seorang pengikut biara itu, bernama Soken Takagi, yang berdiam di Naniwa. telah memberikan sumbangan besar. Mereka memilih tempat yang sekarang di Karasumaru-gashira di sebelah utara ibukota, lalu mendirikan universitas di sana. Tanah itu luasnya hanya sepuluh aker dan terlalu kecil untuk sebuah universitas. Tapi di sinilah, banyak anak-anak muda, bukan saja dari sekte Otani, tapi juga dari cabang-cabang agama Budha lainnya, belajar dan dilatih dalam pokok-pokok filsafat agama Budha. Sebuah gerbang baru bata tua memisahkan wilayah universitas itu dari jalan raya dan jalan trem. Gerbang itu menghadap ke barat ke Gunung Hiei. Dari gerbang itu terdapat sebuah jalan kerikil menuju porte-cochere gedung utama, sebuah bangunan bertingkat dua yang gelap dan muram. Di atas atap pintu masuk itu menjulang sebuah menara tembaga yang besar. Menara ini bukan menara jam dan bukan pula menara lonceng; di bawah sebuah penangkal kilat, sebuah jendela empat persegi yang tak berguna mengorek sebuah sudut langit biru. Di sebelah tempat masuk itu tumbuh sebatang pohon jeruk tua, daun-daunnya yang indah selalu gemerlapan bagai tembaga merah dalam sinar matahari. Universitas yang aslinya hanya terdiri dari gedung utama,' lambat-laun diperbesar dan bagian-bagian lain ditambahkan tanpa pengaturan tertentu. Selebihnya gedung ini adalah sebuah bangunan kayu tua bertingkat satu. Kita tidak diperbolehkan memakai sepatu dalam gedung itu dan gedung-gedung sampingnya dihubungkan dengannya oleh gang-gang yang panjang berlantai bambu. kLantai itu sudah mulai rekah-rekah karena tua. Kadang-kadang bagian yang rusak diperbaiki, hingga kalau kita berjalan dari sayap yang satu ke sayap yang lain maka kaki kita melangkahi mosaik yang terdiri dari kayu tua dan muda, karena sebagian lantai tua diikuti oleh lantai yang masih baru sekali. Setiap kali kita memulai sebuah sekolah atau universitas baru, keadaannya sama saja: biarpun setiap hari kita datang dengan perasaan segar, kita sadar akan sesuatu sifat yang samar dan saling tak berhubungan dalam berbagai hal. Begitu juga halnya dengan aku ketika aku pertama-tama berada di Otani. Karena Tsurukawa satu-satunya orang yang kukenal, aku selalu bicara dengan dia dan tidak dengan siapa pun lagi yang lain. Setelah beberapa hari, aku mulai berfikir, tidak ada gunanya bagi kami untuk begitu bersusah-payah memasuki suatu dunia baru kalau kami terus berkumpul bersama-sama. Rupa-rupanya Tsurukawa juga mempunyai perasaan yang sama, dan setelah itu kami berusaha tidak selalu berdekatan di waktu-waktu istirahat dan kami masing-masing berusaha memperoleh kawan baru. Karena akugagap, maka aku tidak memiliki keberanian seperti yang dimiliki Tsurukawa, hingga kalau jumlah kawannya bertambah maka aku makin lama makin terpencil. Tahun persiapan di universitas itu terdiri dari sepuluh mata pelajaran " moral, bahasa Jepang, bahasa Jepang-Cina, bahasa Cina, bahasa Inggeris, sejarah, kitab-kitab Budha, logika, matematika dan olahraga. Dari semula aku sudah mendapat kesulitan mengikuti pelajaran logika. Pada suatu hari, waktu jam istirahat tengah hari sehabis pelajaran logika, aku memutuskan untuk menanyakan beberapa soal pada salah seorang mahasiswa. Sudah beberapa lama aku hernial untuk berkenalan dengan anak muda itu. Ia selalu duduk menyendiri dan makan makanan yang ia bawa dekat tanaman bunga di taman belakang. Kebiasaannya ini tak ubahnya suatu upacara,hingga tak seorang pun mahasiswa lain yang berusaha mendekatinya, apalagi karena ada suatu kesan kebencian IIS pada orang yang besar sekali ketika memandang makanannya dengan muak. Dari fihaknya. ia juga tidak pernah bicara dengan sesama mahasiswa dan rupa-rupanya tidak tertarik untuk berkawan dengan siapa pun jua. Aku tahu namanya Kashiwagi. Sal ah satu ciri yang menyolok sekali ialah kedua kakinya yang bengkok. Caranya berjalan susah sekali. Ia seolah-olah berjalan dalam lumpur: jika ia akhirnya berhasil mengangkat kaki yang satu dari lumpur, maka kaki yang sebelah lagi se akan-akan terperosok lebih dalam. Sekaligus seluruh tubuhnya memberikan kesan ketiadaan keriangan. Langkahnya semacam tarian yang dibuat-buat, lain sekali dari yang biasa. Dapat dimengerti, bahwa semenjak hari pertamaku di universitas, Kashiwagi telah menarik perhatianku. Aku merasa lega melihat cacatnya. Sejak semula kakinya yang bengkok menunjukkan suatu persetujuan dengan keadaan tempatku berada. Kashiwagi membuka kotak makanannya di atas daun di taman belakang. Kebun itu berada di sebelah sebuah gedung tua, di man a terdapat ruangan-ruangan tempat kami berlatih karate dan juga ping-pong; boleh dikatakan tidak satu pun dari kaca-kaca jendela itu yang masih utuh. Beberapa batang pohon pinus kurus tumbuh di kebun itu dan beberapa buah bingkai kayu kecil menutupi tempat penyemaian yang kosong pula. Cat biru bingkai-bingkai itu telah terkelupas; kelihatan-nya kasar dan berkerut-kerut bagai bunga buatan yang sudah layu. Di samping persemaian itu terdapat sebuah rak dengan beberapa alas tempat meletakkan pot-pot berisi pepohonan bonsai, setumpuk ubin dan kerikil, persemaian untuk mawar dan hiasinta. Duduk di atas tumpak rumput itu menyenangkan sekali. Cahaya diserap oleh dedaunannya yang lembut dan permukaan 116 rumput itu penuh dengan bayang-bayang kecil, hingga seluruh tumpak itu seakan-akan mengambang di atas tanah. Kalau ia lagi duduk di sana Kashiwagi tidak berbeda dengan mahasiswa lain; kalau ia berjalan barulah cacatnya kelihatan. Di wajahnya yang pucat terbayang suatu keindahan yang keras. Secara lahir ia pincang, tapi pada dirinya terdapat suatu kecantikan yang gagah, seperti yang kita temui pada seorang perempuan jelita. Orang pincang dan perempuan cantik keduanya bosan dipandangi; mereka lelah karena kehidupan di mana mereka selalu jadi pokok perhatiah, mereka merasa terhalang; dan tatapan yang diarahkan padanya dikembalikannya dengan kehidupan itu sendiri. Mereka yang memang betul-betul menatap, adalah yang menang. Kashiwagi makan sambil menunduk; tapi aku merasa bahwa matanya sebetulnya meneliti seluruh dunia yang ada di sekitarnya. Ia menimbulkan kesan berdiri sendiri waktu ia duduk di sana. Inilah kesan yang menarik hatiku. Dengan hanya melihat padanya dalam cahaya musim semi dan di tengah-tengah bunga, aku tahu bahwa ia sama sekali tidak memiliki rasa pemalu, sama sekali tidak kesulitan karena rasa berdosa seperti yang kurasakan. la adalah bayang-bayang yang menyatakan diri sendiri, atau lebih tepat, dialah bayang-bayang berwujud itu sendiri. Jelas, bahwa matahari tidak akan pernah bisa menembus kuhtnya yang tebal. Makan an, yang dia hadapi dengan keasyikan dan dengan rasa bosan, jelas sekali sangat sederhana, tapi tidak jauh lebih buruk dari yang biasanya kupersiapkan bagi diriku sendiri pagi-pagi dari sisa-sisa sarapan di kuil. Kala itu tahun 1947. Kecuali kalau kita sanggup membeli makanan di pasar gelap, maka mustahillah untuk memperoleh makanan yang cukup baik. Aku berdiri di samping Kashiwagi sambil memegang kitab catatanku dan kotak makan an ku. Bayang- bayangku jatuh ke atas makanannya lalu ia melihat ke atas. Ia mengerling padaku lalu menunduk kembali dan meneruskan kesibukannyamengunyah seperti seekor ulat sutera mengunyah daun murbei. "Maaf," kataku tergagap-gagap, "aku ingin menanyakan beberapa hal yang tidak bisa kufahami dari kuliah tadi." Aku bicara dengan langgam Tokyo, karena setelah masuk universitas aku memutuskan untuk tidak mempergunakan langgam bicara orang Kyoto.
"Aku tidak mengerti apa yang kaukatakan," kata Kashiwagi. "Yang kudengar hanya orang tergagap-gagap." Aku merasa mukaku jadi merah. Kashiwagi menjilat ujung sumpitnya lalu melanjutkan"Aku tahu kenapa kau bicara padaku. Mizoguchi " itu namamu kan" Kalau kau mengira kita hams bersahabat karena kita berdua cacat, aku tidak keberatan. Tapi kalau dibandingkan dengan cacatmu, apa kau betul-betul mengira bahwa gagap adalah suatu hal yang penring sekali" Kau terlaJu membesar-besarkannya, tahu kau" Akibatnya, kau terlalu membesar-besarkan gagapmu seperti kau membesar-besarkan dirimu." Kemudian setelah aku tahu bahwa Kashiwagi berasal dari sebuah keluarga Zen yang tergolong pada sekte Rinsai, aku sadar bahwa dalam caranya bertanya dan menjawab pada permulaan ia lebih kurang sekadar melakukan pendekatan khusus seorang pendeta Zen; tapi tidak bisa diingkari bahwa ucapannya itu meninggalkan kesan yang kuat sekali pada diriku kala itu. "Kau boleh gagap!" katanya. "Silakan bicara gagap." Aku mendengarkan cara dia mengutarakan diri yang agak lain dengan penuh kebingungan. "Akhimya kau menemui seseorang yang bisa kauajak bicara gagap dengan seenaknya. Ya, 'kan" Orang memang begitu. Semua orang mencari kawan senasib. Baiklah, apa kau masih perawan?" Aku mengangguk tanpa tersenyum. Cara Kashiwagi menanyakan pertanyaan itu mirip cara seorang dokter, hingga aku merasa bahwa aku lebih baik tidak berdusta. "Ya, aku juga sudah mengira," katanya. "Kau masih perawan. Tapi kau bukan perawan yang cantik. Kau sama sekali tidak menarik. Kau tidak menarik bagi gadis-gadis sedangkan kau tidak punya keberanian untuk mendatangi perempuan lacur. Begitu sebenarnya. Tapi kalau kau mengira waktu kau tadi mulai menegur aku bahwa kau akan berkawan dengan seorang perawan lain, kau sudah salah sangka. Mau tahu kau bagaimana caranya aku kehilangan keperawananku?" Tanpa menunggu jawabanku, Kashiwagi meneruskan. "Aku anak seorang pendeta Zen di Sannomiya, dan aku lahir dengan kaki bengkok. Kalau kau mendengar aku memulai pembicaraanku dengan begini, kukira kau akan berfikir bahwa aku seorang anak malang yang sakit.yang tidak perduli dengan siapa ia bicara asal dapat kesempatan menumpahkan seluruh isi hatinya tenting dirinya sendiri. Tapi itu salah. Aku tidak akan bicara seperti ini pada siapa saja yang kebetulan lewat. Aku sebetulnya agak malu mengatakan, tapi sejak semula aku dengan sengaja sudah memilih kau untuk mendengarkan kisahku. Soalnya, aku merasa bahwa kau akan bisa memungut manfaat lebih banyak dari pengetahuan ten tang apa yang telah kulakukan daripada orang lain. Yang terbaik bagimu barangkali adalah melakukan hal yang sama seperti yang telah kulakukan. Seperti kau tahu, demikianlah caranya orang-orang yang alim mencium saudara sekeyakinannya dan demikianlah caranya orang yang tak minum minuman keras mengenal saudara yang juga tidak minum minuman keras. "Nah, aku selama ini berasa malu karena kenyataan 119 hidupku. Aku merasa bahwa menyesuaikan diri dengan kenya-taan itu, hidup berdamai dengan kenyataan itu, suatu kekalahan. Kalau aku ingin menyesali, tentu saja, bahan cukup banyak. Mestinya orang tuaku mengusahakan supaya kakiku dioperasi waktu aku masih kecil. Kini sudah terlambat. Tapi aku sama sekali tidak perduli akan orang tuaku dan menyesali mereka kuanggap sebagai sesuatu yang membosan- kan. "Aku dulu yakin bahwa perempuan tidak akan mungkin bisa mencintai aku. Sebagai kau barangkali juga tahu, keya-kinan ini lebih menyenangkan dan mendamaikan daripada yang dikira kebanyakan orang. Antara keyakinan ini dan penolakanku untuk berdamai dengan kenyataan hidupku tidak terdapat sama sekali suatu pertentangan. Soalnya, jika aku percaya bahwa perempuan bisa mencintai aku dalam keadaanku sekarang ini, artinya, dengan kenyataan hidupku yang sebenarnya, kalau aku sampai meyakini itu, maka itu berarti bahwa aku sudah berdamai dengan kenyataan ini. Aku sadar bahwa kedua bentuk keberanian " keberanian untuk menilai kenyataan seperti sebagaimana adanya, dan keberanian untuk menentang penilaian itu " dapat saling diperdamaikan. Tanpa bergerak, aku bisa memperoleh perasaan bahwa aku sudah- berjuang. "Karena keadaan fikiranku begitu, maka wajar sekali jika aku tidak merasa kehilangan keperawananku dengan jalan bergaul dengan perempuan-perempuan pelacur seperti yang banyak dilakukan kawan-kawanku. Yang menghalangi aku, adalah, kenyataan bahwa pelacur-pelacur tidak mcmbiar-kan diri ditiduri langganannya karena mereka sayang pada langganan itu. Mereka bersedia menerima siapa saja sebagai langganan, orang tua terbata-bata, pengemis, orang buta sebelah, lelaki-lelaki tampan bahkan orang-orang 120 berpenyakit kusta, selama mereka tidak tahu bahwa orang itu penderita kusta. Sikap menyamaratakan segala ini akan me-legakan kebanyakan anak muda biasa dan mereka dengan segala senang hati akan melangkah terus dan membeli perempuan mana saja yang mereka temui. Tapi aku sendiri tidak ' senang sikap menyamaratakan ini. Aku tidak bisa menerima bahwa seorang perempuan akan memperlakukan seorang lelaki yang lengkap dan orang seperti aku dengan cara yang sama. Ini kurasakan sebagai suatu pengotoran diri sendiri yang besar sekali. Soalnya, aku dirasuki oleh suatu ketakutan, bahwa jika kakiku yang bengkok ini dilupakan atau tidak diperdulikan, maka aku dalam pengertian tertentu juga berhenti berwujud. Sama dengan ketakutan yang kaurasa-kan mulai saat ini, 'kan" Supaya aku merasa betul-betul diakui dan diterima, aku merasa perlu supaya buat aku segalanya diatur dengan cara yang lebih mewah daripada yang biasanya diperlukan orang lain. Apa pun yang terjadi, demikian fikiranku, begitu harusnya hidup jadinya bagiku. "Tak sangsi lagi tentu mungkin untuk mengatasi rasa tidak puasku yang getir " rasa tak puas karena dunia dan aku ditempatkan dalam suatu hubungan yang saling bertentangan. Hal ini bisa dimungkinkan dengan jalan merobah diriku atau merobah dunia. Tapi aku tak suka memimpikan perobahan seperti ini. Aku benci pada impian-impian tak keruan seperti ini. Kesimpulan logis yang kuperbuat setelah berfikir keras, ialah, jika dunia berobah, maka aku tidak bisa hidup, dan jika aku berobah, dunia tidak bisa ada. Dan biarpun kedengar-annya saling bertentangan, kesimpulan ini merupakan semacam perdamaian, semacam kompromi. Bagi dunia mungkin untuk hidup bersama dengan fikiran, bahwa sesuai dengan keadaanku, aku tidak mungkin dicintai. Dan perangkap yang akhimya menjerat seorang yang cacat tidak terletak dalam 121 keputusannya untuk menyelesaikan keadaan pertentangan yang terdapat antara dunia dengan dia, tapi sebaliknya dengan jalan membenarkan pertentangan ini seluruhnya. Karena itulah maka seorang yang cacat tidak akan pernah bisa disembuhkan. "Nah, pada saat itulah, pada saat keremajaanku yang penuh " kata-kata ini kupergunakan dengan bijaksana " aku mengalami sesuatu yang tidak masuk akal. Ada seorang gadis keturunan keluarga kaya yang jadi jemaah kuil kami. Gadis ini tamatan Sekolah Gadis Kobe dan dia termashur karena kecantikannya. Pada suatu hari ia ungkapkan kenyataan, bahwa ia sudah jatuh cinta padaku. Selama beberapa lama aku tidak percaya pada pendengaranku. Berkat keadaanku yang tidak menguntungkan, aku pandai sekali menduga suasana kejiwaan orang lain. Oleh karena itu, seluruh persoalan tidak kukesampingkan begitu saja, seperti banyak dilakukan orang, tapi aku memahami cintanya itu sebagai sekadar rasa simpatL Aku sadar sekali bahwa tidak seorang gadis pun yang akan mencintai aku hanya karena simpati semata. Sebaliknya, aku menganggap bahwa sebab cinta kasih gadis ini ialah rasa keangkuhannya yang luar biasa. Gadis itu sadar sekali akan kecantikannya dan harga dirinya sebagai perempuan, hingga mustahillah baginya untuk menerima pelamar yang mana pun juga yang menunjukkan tanda-tanda harga diri. Ia tidak bersedia mempertaruhkan keangkuhannya sendiri dan menimbangnya dengan kekenesan seorang anak muda yang tahu harga diri. Ia cukup mendapat kesempatan untuk menerima lamaran yang baik, tapi makin sempurna jodohnya itu, makin tak suka dia. Akhirnya, ia dengan keras menolak setiap cinta yang memperlihatkan semacam keseim-bangan - dalam hal ini ia jujur sekali - lalu menjatuhkan pilihannya padaku. 22 "Aku sendiri sudah tahu jawaban apa yang akan kuberikan padanya. Kau boleh saja mentertawakan aku tapi aku berkata padanya: "Aku tak cinta padamu." Apa lagi kalau bukan itu yang dapat kukatakan" Jawaban ini jujur dan sama sekali tidak dibikin-bikin. Jika sekiranya, sebaliknya, aku tidak mau kehilangan suatu kesempatan baik dan menjawab pernyataan-nya itu dengan mengatakan"Aku juga cinta padamu, maka aku akan menimbulkan kesan yang lebih buruk dari hanya sekadar konyol " aku akan kelihatan tragis. Orang berpera-wakan pelawak seperti aku selalu berusaha mengelakkan bahaya akan kelihatan tragis karena salah langkah. Aku tahu betul, begitu aku kelihatan tragis, maka orang tidak lagi akan merasa betah berhubungan dengan aku. Demi jiwa orang lain, adalah sangat penting supaya aku tidak kelihatan sebagai orang malang. Oleh karena itulah aku serta-merta memutuskannya dengan mengatakan: "Aku tidak cinta padamu." "Gadis itu sama sekali tidak putus asa karena jawabanku. Tanpa ragu-ragu ia mengatakan bahwa aku berdusta. Betul-betul suatu tontonan. yang mengasyikkan, melihatkan bagai-mana dia berusaha untuk membujuk aku, sambil berusaha sekuat-kuatnya supaya tidak menyentuh perasaanku. Gadis ini tidak bisa membayangkan, bahwa di dunia ini ada lelaki yang tidak mau mencintai dia sekiranya dia beroleh kesempatan. Kalau ada orang seperti itu, maka orang itu pasti telah menipu dirinya sendiri. Lalu ia mulai membuat sebuah analisa yang dalam tentang diriku dan akhirnya ia sampai pada kesimpulan bahwa sebetulnya aku sudah lama mencintai dia. Dia seorang gadis yang pintar. Misalkan ia betul-betul mencintai aku, maka ia tentu menyadari sebaik-baiknya bahwa ia telah mencintai seseorang yang sulit. sekali bisa ia peroleh. Apa saja yang akan ia katakan akan salah. 123 Jika ia berpura-pura mengatakan bahwa wajahku tampan, padahal tidak, maka ia akan membuat aku jengkel. Jika ia mengatakan bahwa kakiku yang bengkok ini bagus, maka aku akan lebih jengkel lagi. Dan jika ia mengatakan bahwa ia tidak mencintai aku karena keadaan lahirku, tapi karena apa yang ia rasakan ada dalam diriku, maka ia akan membuat aku betul-betul marah. Pokoknya, karena ia pintar, semua ini ia perhitungkan dan karena itu ia terus berkata dengan bersahaja: "Aku cinta padamu". Tentu saja, sesuai dengan analisa yang ia perbuat, ia telah menemui suatu perasaan dalam diriku yang sesuai dengan cintanya. "Aku tidak bisa menerima ketidakwajaran ini. Pada saat yang sama, aku lambat laun dihinggapi oleh keinginan yang luar biasa untuk memiliki gadis itu, tapi aku tidak yakin, bahwa sekadar nafsu tidak akan dapat mempersatukan dia dan aku. Aku beroleh fikiran, jika ia betul-betul mencintai aku dan bukan orang lain, maka ini tentu berarti bahwa aku punya ciri-ciri khas yang membedakan aku dari orang lain. Lalu apa ciri khas ini kalau bukan kakiku yang bengkok" Jadi jelaslah, biarpun tidak ia katakan, bahwa yang ia cintai ialah kaki bengkokku. Nah, menurut pemikiranku hal ini tidak bisa diterima sama sekali. Sekiranya kepribadianku tidak terkandung dalam kaki bengkokku, cinta ini barangkali masih bisa dibenarkan. Tapi kalau aku mengakui bahwa kepribadianku " alas an perwujudanku " berada di tempat lain dan bukan di kaki bengkokku, maka ini akan melibatkan semacam pengakuan tambahan. Lalu aku akan terpaksa mengakui alasan orang lain untuk hidup dengan cara tambahan seperti ini, dan ini akan mengantarkan aku untuk mengakui suatu pribadi yang seluruhnya terbungkus dalam dunia ini. Jadi cinta adalah mustahil. Perkiraannya bahwa ia jatuh cinta padaku adalah sebuah angan-angan, dan aku tidak 124 mungkin mencintai dia. Karena itu aku terus-menerus berkata: "Aku tidak cinta padamu." "Anehnya, makin sering aku mengatakan bahwa aku tidak cinta padanya, makin tenggelam ia dalam angan-angan bahwa ia betul-betul mencintai aku. Akhirnya, pada suatu malam ia menyerahkan dirinya padaku. Ia menawarkan tubuhnya, dan aku harus katakan, tubuhnya itu memang indah mengagumkan sekali. Tapi setelah sampai saatnya aku ternyata impoten sama sekali. "Kegagalanku yang luar biasa ini telah menyelesaikan segalanya dengan bersahaja sekali. Akhirnya ia rupa-rupanya memperoleh bukti yang meyakinkan bahwa aku betul-betul tidak mencintai dia. Ia meninggalkan aku. "Aku malu karena aku impoten, tapi kalau dibandingkan dengan rasa maluku karena punya kaki bengkok, tidak ada lagi apa-apa yang perlu disebut. Yang paling merisaukan aku adalah hal lain. Aku tahu kenapa aku impoten. Yang membuat aku impoten, adalah fikiran, jika telah tiba saatnya, bagaimana kaki bengkokku yang cacat menyentuh kakinya yang telanjang dan indah. Penemuan ini telah menghancurkan semua kedamai-an yang ada dalam diriku yang merupakan bagian dari keyakinanku bahwa aku tidak akan pernah dicintai oleh seorang perempuan. "Pada saat itu, aku merasakan suatu kegembiraan yang tidak jujur setelah ingat bahwa dengan nafsuku " dengan jalan memuaskan nafsuku " aku akan dapat membuktikan kemustahilan cinta. Tapi tubuhku telah mengkhianati aku. Apa yang ingin kulakukan dengan jiwaku, telah dilaksanakan oleh tubuhku. Dengan demikian aku berhadapan dengan sebuah pertentangan lain. Atau dengan kata-kata biasa, aku memimpikan cinta sedangkan aku sendiri yakin bahwa aku tidak bisa dicintai. Tapi pada tahap terakhir aku menggantikan 125 cinta dengan nafsu, lalu merasa diriku lega. Tapi akhirnya aku mengerti bahwa nafsu memerlukan kepuasan dan bahwa aku harus melupakan kenyataan hidupku, dan bahwa aku harus mengesampingkan apa yang bagiku merupakan halangan bagi cinta, yaitu keyakinan bahwa aku tidak bisa dicintai. Aku selalu mengira bahwa nafsu adalah sesuatu yang lebih jernih dari kenyataan, dan aku tidak sadar bahwa ia menghendaki supaya kita melihat diri kita sendiri dengan suatu cara yang sedikit mirip mimpi dan tidak nyata. "Mulai saat itu badanku lebih menarik perhatianku dari jiwaku. Tapi aku tidak bisa menjadi penjelmaan nafsu. Aku hanya bisa memimpikannya. Aku jadi seperti angin. Aku menjadi sesuatu yang tidak bisa dilihat orang lain, tapi sebaliknya bisa melihat segalanya, yang mendekati sasarannya secara ringan, mengelusnya dan kemudian memasuki bagian yang paling dalam. Kalau aku bicara tentang kesadar-an badan, aku berharap kau akan membayangkan suatu kesadaran yang berhubungan dengan suatu benda yang kukuh, padat dan hitam. Tapi aku tidak seperti itu. Bagiku, menyadari diriku sebagai suatu benda tunggal, sebagai satu nafsu tunggal, berarti bahwa aku sudah menerawang, tembus cahaya, tak dapat dilihat, artinya, serupa dengan angin. "Tapi kaki bengkokku serta-merta membuktikan bahwa ia adalah halangan terbesar bagiku. Hanya itu yang tidak bisa tembus cahaya. Mereka lebih banyak menyerupai sepasang arwah binal daripada sepasang kaki.
Itulah mereka " mereka adalah benda-benda yang lebih teguh dari tubuhku sendiri. "Orang mungkin mengira bahwa kita tidak bisa berkaca kalau kita tidak punya cermin. Tapi jadi seorang yang pincang, itu berarti bahwa kita senantiasa memiliki cermin di depan hidung kita. Setiap jam seluruh tubuhku tercermin pada cermin itu. Tidak bisa dilupakan. Akibatnya, apa yang di 126 dunia ini dikenal sebagai keresahan bagiku tak lebih dari satu permainan anak-anak. Dalam haiku tidak mungkin ada keresahan. Bahkan perwujudanku dalam bentuk sekarang ini adalah kenyataan yang selesai, selesai seperti adanya matahari dan bumi, atau burung-burung yang bagus dan buaya yang buruk. Dunia ini tidak bergerak bagai batu nisan. "Tidak sedikit rasa gamang pun, tidak satu tempat ber-pijak pun " di sana letak dasar cara hidupku yang asli. Untuk apa aku hidup" Fikiran ini membuat orang jadi resah malahan kadang-kadang sampai membunuh diri. Tapi buat aku sama sekali tidak mengganggu. Punya sepasang kaki bengkok " begitu persyaratan hidup bagiku, begitulah fikirannya, tujuan-nya, cita citanya, begitulah hidup itu sendiri. Sekadar hidup bagiku sudah lebih dari memuaskan. Pertama-tama, bukankah kegamangan seseorang tentang hidupnya lahir dari semacam ketidakpuasan yang mewah karena khawatir tidak akan dapat hidup sepenuhnya" "Aku mulai memperhatikan seorang perempuan janda tua yang tinggal sendiri di kampung kami. Kata orang umurnya" enam puluh, atau lebih menurut sebagian orang. Pada upacara hari peringatan meninggal ayahnya aku dikirim untuk membacakan sutra di rumahnya sebagai pengganti ayahku. Tidak seorang pun keluarganya yang menghadiri upacara itu hingga di hadapan meja pemujaannya hanya kami berdua saja. Setelah aku selesai membaca sutra maka ia menuangkan teh untukku di kamar sebelahnya. Karena waktu itu hari musim panas yang panas sekali aku bertanya apa aku boleh mencuci diri. Aku membuka pakaianku lalu perempuan tua itu menuangkan air ke punggungku. Aku melihat pandangan yang simpatik kepada kakiku, lalu pada saat itu timbullah sebuah rencana dalam fikiranku. "Aku selesai bersiram lalu kembali ke kamar tempat 127 i duduk sebelumnya. Sambil mengeringkan badan aku bercerita padanya dengan nada yang sungguh-sungguh, bahwa waktu aku dilahirkan Budha telah datang ke dalam mimpi ibuku dan mengatakan bahwa jika anaknya jadi dewasa, maka perempuan yang menyembah kakinya dengan tulus ikhlas akan dilahirkan kembali dalam surga. Waktu aku bicara, perempuan janda yang saleh itu memandang nanap ke mataku sambil menghitung-hitung tasbihnya. Aku terbaring menelentang bagai mayat; tanganku terlipat di atas dadaku memegang seuntai tasbih, dan aku membaca sutra palsu. Aku mengarupkan mataku. Bibirku terus membaca sutra. "Kau bisa bayangkan bagaimana aku hampir-hampir kaku karena ketawa. Aku mau pecah karena ketawa. Dan aku sama sekali tidak memimpikan diriku. Aku sadar bahwa perempuan tua itu asyik memuja kakiku dengan khidmat sambil membaca-kan sutra-sutra. Seluruh fikiranku dikuasai oleh kakiku dan aku hampir-hampir tercekik karena keadaan yang konyol itu. Kaki bengkok, kaki bengkok " cuma itu yang bisa kuingat, cuma itu yang bisa kulihat dalam hatiku. Bentuk kakiku yang mengerikan. Keadaan paling buruk di mana aku sudah ditempatkan. Kelucuannya. Dan keadaan bertambah lucu lagi, waktu rambut perempuan tua itu menyentuh telapak kakiku, waktu ia berkali-kali membungkuk sambil berdoa, hingga aku kegelian. "Rupa-rupanya aku sudah salah kira mengenai nafsuku semenjak saat aku menyentuh kaki gadis yang indah itu dan kemudian jadi impoten. Karena di tengah kebaktian yang buruk ini, aku sadar bahwa secara fisik aku terangsang. Ya, tanpa memimpikan diriku sendiri sedikit pun jua. Ya, dalam keadaan yang paling bengis dari semua keadaan. "Aku duduk lalu menolakkan badan orang tua itu tiba-tiba. Aku malahan tidak punya waktu sama sekali untuk merasa 128 an eh karena ia sama sekali tidak heran melihat perbuatanku. Janda tua itu terlentang di tempat ia kudorong. Matanya terkatup sambil membaca sutra. Anehnya, aku ingat sekali bahwa sutra yang ia baca adalah surat dari Rakhmat Besar Darani: 'Iki, iki, Shino shino, Orasan, Furashiri, Haza haza furashayaS Kau tentu tahu bagaimana ayat ini ditafsirkan: "Kami mohonkan, kami mohonkan. Kami mohonkan hakikat murni kesucian tak bercacat tempat ketiga kejahatan, tamak, kemarahan dan kebodohan sudah dihancurkan." "Dalam penglihatanku, wajah seorang perempuan tua berumur enam puluh tahun " wajah yang hangus kena matahari tanpa rias " seolah-olah menyambut aku. Kegairahan-ku tak berkurang sedikit pun jua. Di sini letak puncak keedanan seluruh lelucon ini, tapi tanpa kusadari aku dibim-bingnya. Atau lebih tepat, aku bukannya tak sadar " aku melihat semuanya. Sifat khas mereka, ialah jika kita melihat segalanya dengan terang sampai ke hal yang sekecil-kecilnya. Dan melihat kesemuanya itu dalam lobang yang gelap! "Wajah perempuan tua yang kerut-merut itu sedikit pun tidak menyimpan kecantikan dan kesucian. Bahkan keburukan-nya dan umurnya seolah-olah merupakan penegasan yang terus ada tentang keadaan batinku di mana tak ada impian sama sekali tersimpan. Siapa yang bisa menjamin, bahwa jika kita memandang tanpa impian pada perempuan yang mana pun jua, biar bagaimana cantiknya pun ia, siapa yang bisa mengatakan bahwa wajahnya tidak akan berobah menjadi wajah perempuan tua ini" Kaki bengkokku dan wajah ini. Ya, demikianlah. Pandangan pada kenyataan memantapkan keadaan kegairahan tubuhku. Kini untuk pertama kali aku bisa yakin pada nafsuku sendiri dengan perasaan yang ramah. Dan aku sadar bahwa masalahnya bukanlah terletak dalam usaha untuk memperpendek jarak antara diriku sendiri dan 129 sasaran, tapi dalam menjaga supaya jarak tetap sama hingga sasaran tetap me ru pa kan sasaran.' "Menyenangkan sekali untuk memandangi sasaran kita. Pada saat itu aku menemui logika nafsu berahiku dari logika seorang yang pincang, yang biarpun tidak bergerak, ia sampai juga " dari logika bahwa ia tidak akan pernah bisa dihinggapi oleh keresahan. Aku menemui kepura-puraan yang biasanya disebut orang kegilaan. Nafsu badani tak ubahnya bagai angin atau sebagai mantel ajaib yang menyem-bunyikan orang yang memakainya. Dan persatuan yang lahir dari nafsu itu tidak lebih dari sebuah mimpi. Serempak, pada saat aku memandang, aku juga harus membiarkan diriku dipandang. Di sanalah, aku melemparkan dari duniaku, baik kaki bengkokku maupun perempuanku. Kaki bengkokku dan perempuan-perempuanku semua berada dalam jarak yang sama dari aku. Kenyataan ada di sana; nafsu tidak lebih dari suatu bayangan. Dan sambil memandang aku merasa diriku jatuh jungkir-balik tiada akhirnya ke dalam bayang-bayang itu dan sekaligus aku dipancutkan ke atas permukaan yang kupandangi. Kaki bengkokku dan perempuan tidak akan pernah saling bersentuhan, tidak akan pernah berkumpul; tapi kalau mereka bersama, maka mereka akan dilontarkan ke luar dunia. Nafsu menyala tiada putus-putusnya dalam diriku. Karena kaki bengkokku dan kaki yang indah itu tidak akan pernah bersentuhan, kapan pun juga. "Apa susah bagimu untuk memahami aku" Apa kata-kataku memerlukan penjelasan" Tapi aku yakin kau tentu mengerti bahwa sesudah itu aku sanggup meyakini dengan kedamaian fikiran yang sempurna bahwa "cinta adalah mustahil". Aku dibebaskan dari keresahan. Aku dibebaskan dari.cinta. Dunia telah berhenti untuk selama-lamanya dan pada saat yang sama ia juga sudah sampai. Apa ini harus kutegaskan dengan mengatakan "dunia kita?" Jadi dengan satu kalimat aku dapat merumuskan ilusi besar tentang "cinta" di dunia ini. Ia adalah usaha untuk menyatukan kenyataan dengan bayang-bayang. Kini aku sampai pada kesadaran bahwa keyakinanku " keyakinan bahwa aku tidak akan pernah bisa dicintai orang " adalah keadaan dasar kenyataan hidup manusia. Jadi kini kau tahu bagaimana aku kehilangan keperawananku!" Kashiwagi selesai bicara. Aku mendengarkannya dengan penuh perhatian. Kini akhirnya aku menarik nafas panjang. Aku betul-betul terpesona oleh pembicaraannya dan tak bisa melepaskan diriku dari perasaan seolah-olah disentuh oleh suatu cara berfikir yang sampai saat itu belum bisa kubayang-kan. Beberapa saat setelah Kashiwagi selesai bicara, matahari musim semi bangun di sekitarku dan tumpak rumput yang cerah itu mulai berkilauan. Suara teriakan-teriakan yang datang dari lapangan bola basket di belakang gedung juga mulai kedengaran lagi. Tapi biarpun saat itu masih merupakan sore hari yang sama pada hari musim semi yang sama, arti dari semuanya seolah-olah berobah sama sekali. Aku tak bisa berdiam diri. Aku ingin ikut berbunyi, aku ingin menambahkan pembicaraannya. Lalu aku mengucap-kan kata-kata yang kikuk tergagap-gagap: "Setelah itu tentu kau sunyi sekali." Sekali lagi ia memperlihatkan kepura-puraan seolah-olah ia tidak mengerti aku, lalu meminta aku untuk mengulangi apa yang telah kukatakan. Tapi dalam jawabannya ia memperlihatkan sedikit tanda-tanda persahabatan. "Sunyi, katamu" Kenapa aku harus sunyi" Nanti kau bisa lihat bagaimana aku berkembang setelah itu, jika kau nanti sudah mengenali aku." Lonceng berbunyi tanda kuliah sore akan mulai.. Aku 131 sudah siap untuk berdiri, tapi Kashiwagi yang masih duduk di rumput menyentakkan lengan bajuku. Seragam universitasku sama dengan seragam yang kupakai di sekolah Zen. Hanya kancingnya yang baru; baju itu sudah ditambal-sulam dan sudah lapuk. Lagipula ia sudah terlalu sempit hingga badanku yang kurus kelihatan lebih kecil dari sebenarnya. "Pelajaran berikut adalah bahasa Jepang-Cina, 'kan" Mem-bosankan sekali. Mari kita jalan-jalan saja." Dengan ucapan ini ia segera berdiri. Kelihatannya ia memerlukan kekuatan luar biasa: mula-mula ia seolah-olah mengungkai seluruh tubuhnya dan sesudah itu harus ia sambung-sambung kembali. Hal ini mengingatkan aku pada onta yang pernah kulihat mencoba berdiri dalam sebuah film. Sampai saat itu aku belum pernah mangkir dari kuliah, tapi aku tidak ingin kehilangan kesempatan untuk tahu lebih banyak tentang Kashiwagi. Kami berjalan menuju gerbang utama. Setelah kami melewati gerbang utama aku tiba-tiba sadar akan cara berjalan Kashiwagi yang aneh dan merasa diriku dihinggapi oleh suatu perasaan yang mirip-mirip dengan perasaan malu. Aneh sekali, aku mau saja menyertai perasaan orang banyak dan merasa malu berjalan bersama Kashiwagi. Kashiwagilah yang menjelaskan padaku perihal rasa maluku itu. Dan ia juga yang mendorong aku ke arah kehidupan manusia. Seluruh segi sifatku yang kurasa memalukan dan semua kejahatan dalam hatiku telah disembuhkan oleh kata-katanya dan telah ia robah menjadi sesuatu yang segar. Barangkali karena itulah, makanya, waktu aku berjalan me-nyusuri jalan kerikil melewati gerbang utama, Gunung Hiei yang kulihat di depanku di kejauhan, berselimut kabut dalam matahaii musim semi, kelihatan seakan-akan ia kulihat untuk pertama kalinya. Dan ia juga seolah-olah tampil 132 kembali di hadapanku setelah memperbaharui artinya sendiri, dengan cara yang sama, seperti hal-hal yang begitu banyak dan berada di sekitarku memperbaharui artinya, setelah tertidur begitu lama. Puncak gunung itu runcing, tapi kaki-kaki bukit di lerengnya melebar tanpa batas, laik sebuah tema musik yang mengambang di udara. Waktu aku memandang ke arah Gunung Hiei di balik rentetan atap-atap rendah, hanya lekuk-lekuk di sampingnya yang kelihatan jelas dan dekat sekali; warna musim semi gunung besar itu selebihnya terkubur dalam kebiruan gelap dan rapat. Di luar gerbang utama Universitas Otani tidak banyak orang yang berjalan-jalan dan juga hampir-hampir tidak ada mobil kelihatan. Hanya sekali-sekali kedengaran bunyi trem yang menggerajah-gerajah mengikuti relnya, yang berjalan dari depan stasiun Kyoto menuju depan perhentian trem. Di seberang jalan, rumah jaga gerbang universitas yang lama berhadapan dengan gerbang utama yang di sebelah kami dan sebarisan pohon-pohon gingko dengan daun-daun musim semi yang muda merentang arah ke kiri. "Mari kita jalan-jalan sekeliling halaman sebentar!" kata Kashiwagi. Aku berjalan di depan menyeberangi jalan trem ke seberang jalan. Kashiwagi terhuyung-huyung dengan berat menyeberangi jalan yang lengang itu, sedangkan seluruh tubuhnya mengge-letar karena gerakan-gerakan keras. Daerah universitas itu cukup luas. Di kejauhan sekelompok mahasiswa yang bebas kuliah atau yang memutuskan untuk tidak mengikutinya lagi bermain lempar bbla; di tempat yang lebih dekat beberapa orang mahasiswa lagi berlatih lari maraton. Peperangan baru beberapa tahun yang lalu berakhir, tapi anak-anak muda kembali mengasyikkan diri dengan cara-cara untuk menghabiskan enersi mereka. Aku ingat pada makanan yang 133 kurang baik yang kami peroieh di kuil. Kami duduk di atas sebuah buaian yang sudah separuh rusak sambil memandang tanpa tujuan pada sesama mahasiswa yang lagi berlari ke arah kami dan kemudian menyeberangi lapangan olahraga yang berbentuk bundar telur, berlatih lari maraton. Membolos dari kuliah seperti ini rasanya seperti sehelai kemeja baru menyentuh kulit kita; matahari dan angin sepoi-sepoi basah menekankan perasaan ini padaku. Sekelompok pelari berlari perlahan-Iahan ke arah kami, sambil bernafas berat; setelah mereka mulai lelah, barisan mereka mulai tidak teratur; lalu mereka berlari ke kejauhan, sambil mengepulkan awan debu. "Dungu," kata Kashiwagi. "Dungu semua!" Kata-katanya sama sekali tidak memberikan kesan iri hati. "Buat apa mereka berbuat begitu" Katanya buat kesehatan. Tapi apa gunanya memamerkan kesehatan kita depan umum seperti itu" Mereka mengadakan tontonan olahraga di mana-mana, lean" Ini betul-betul tanda bahwa kita sudah sampai pada tingkat terakhir dekadensi. Yang harus dipamerkan depan umum adalah hal-hal yang tidak pernah diperlihatkan. Yang harus dilihat oleh umum " ialah eksekusi! Kenapa mereka tidak mengadakan eksekusi depan umum?" Kashiwagi diam sebentar lalu melanjutkan dengan nada orang bermimpi: "Bagaimana perkiraanmu cara mereka mem-pertahankan ketertiban dan keamanan selama peperangan jika tanpa mempertontonkan pembunuhan dengan kekerasan depan umum" Sebabnya mereka berhenti mengadakan eksekusH depan umum, kiraku, adalah karena mereka takut rakyat akan jadi haus darah. Betul-betul dungu, kalau kau mau tahu pendapatku. Orang-orang yang mengangkat mayat-mayat setelah serangan udara semuanya memiliki air muka yang lembut dan gembira. Melihat manusia menderita, melihat mereka mandi darah, melihat regangan kematiannya - semua ini membuat orang jadi rendah hati. Semangat mereka halus, cerah dan damai karenanya. Kita tidak pemah jadi kejam atau haus darah di saat-saat seperti itu. Tidak, justru di sore hari musim semi yang indah seperti ini manusia bisa tiba-tiba jadi kejam. Justru pada saat-saat seperti ini, ya 'kan, di kala orang memperhatikan matahari mengintip melalui sela-sela dedaunan pepohonan di sebuah padang rumput yang diriifat dengan baik. Setiap mimpi jahat yang mungkin ada di dunia ini, semua mimpi jahat yang mungkin ada dalam sejarah, terjadi seperti ini. Tapi jika kita duduk di tengah-tengah matahari yang cerah, gambaran tubuh mandi darah yang tertelentang dalam penderitaanlah, yang memberikan batasan jelas pada mimpi buruk itu dan yang membantu merobah impian menjadi kenyataan. Mimpi buruk itu bukan lagi kesengsaraan kita, tapi penderitaan berat orang lain. Dan kita tidak diharuskan merasakan keperihan orang lain. Oh, alangkah melegakan!" Ajaran Kashiwagi yang penuh darah ini memang punya daya tarik bagiku, tapi yang ingin kudengarkan kini ialah mengenai ziarah yang ia lakukan setelah ia kehilangan kepera-wanannya. Karena, seperti telah kukatakan, aku betul-betul mengharapkan hidup dari Kashiwagi. Aku berhasil untuk masuk dan menyinggung apa yang kuinginkan. "Maksudmu perempuan?" katanya. "Hm. Aku sudah sampai ke taraf di mana kini aku dapat mengatakan dengan tepat berkat firasatku, apa seorang perempuan adalah macam atau bukan macam perempuan yang senang pada lelaki berkaki bengkok. Macam-macam seperti itu ada. Mungkin sekali perempuan seperti itu, menyembunyikan keinginannya pada lelaki yang berkaki bengkok seumur hidupnya. Dia bahkan mungkin tidak ragu-ragu untuk membawa rahasianya itu bersama dia ke dalam kubur. Mungkin ini satu-satunya 135 134 cacat selera yang dimaiki perempuan itu, mungkin ini satu-satunya impiannya . . . Coba kita lihat. Bagaimana kita bisa menandai perempuan yang senang pada lelaki berkaki bene-kok" Biasanya, dia adalah perempuan cantik yang sejati Hidungnya dingin dan lancip. Tapi ada sesuatu yang longgar di mulutnya . . ." Waktu itu seorang gadis da tang ke arah kami. Bab Lima GADIS itu tidak berjalan di daerah universitas. Di luar daerah itu ada sebuah jalan yang melalui daerah rumah-rumah Icediaman. Jalan itu berada kira-kira dua kaki lebih rendah. Di situlah ia berjalan. Gadis itu baru keluar dari sebuah rumah bergaya Spanyol yang mengesankan sekali. Rumah ini memberikan kesan agak rapuh, bercerobong asap dua buah, jendela-jendela dengan kisi-kisi miring, dan atap kaca yang menutup rumah persemaian yang besar; tapi kesan umumnya agak terganggu oleh pagar kawat tinggi yang menjulang dekat daerah universitas, di seberang jalan, yang tak pelak lagi telah didirikan atas permintaan pemilik rumah itu. Kashiwagi dan aku duduk di atas buaian di luar pagar itu. Aku memperhatikan wajah gadis itu lalu aku terkejut. Raut mukanya yang agung adalah raut muka yang tadi dijelaskan oleh Kashiwagi waktu ia bicara tentang macam perempuan yang "senang laki-laki berkaki bengkok". Waktu kemudian hari aku ingat keheranan yang kualami pada saat itu, aku merasa diriku agak konyol dan bertanya-tanya dalam diriku apa bukan mustahil Kashiwagi telah lama mengenal wajah itu dan apa ia tidak pernah memimpikannya. Kami duduk di sana menunggu gadis itu. Di bawah sinar penuh matahari musim semi, puncak Gunung Hiei yang biru tua menjulang di kejauhan, sedangkan pada jarak lebih dekat gadis itu selangkah demi selangkah mendekati kami. Aku belum lagi pulih dari goncangan yang disebabkan oleh ucapan Kashiwagi tadi " ucapannya yang mengatakan bahwa kakinya yang bengkok dan wanita-wanitanya membacaki dunia kenyataan, bagai dua bintang di langit, tanpa sentuh-menyentuh dan kata-katanya yang aneh tentang bagaimana ia bisa memuaskan nafsunya sedangkan ia sendiri terkubur dalam dunia bayang-bayang. Waktu matahari ditutup awan: Kashiwagi dan aku diselimuti oleh bayang-bayang tipis dan dunia kami tiba-tiba seolah-olah menramerkan aspek diri yang terdiri dari bayang-bayang itu. Semuanya jadi kabur dan kelabu dan hidupku sendiri juga jadi kabur. Seolah-olah hanya puncak ungu Gunung Hiei dan gadis ramping yang berjalan menuju kami yang bercahaya dalam dunia kenyataan dan yang merniliki perwujudan sebenarnya. Jelas sekali bahwa gadis itu berjalan ke arah kami. Tapi dengan berlalunya waktu, saat-saat terasa sebagai ke-sengsaraan yang membesar, dan makin dekat ia pada kami makin jelas kelihatan sebuah wajah yang lain " wajah seseorang yang sama sekali tidak punya hubungan dengan gadis itu. Kashiwagi berdiri lalu berbisik ke telingaku dengan berat: "Mulai jalan! Ikuti apa kataku." Aku terpaksa berjalan seperti yang ia suruhkan. Kami berdua berjalan menyusuri dinding batu, kira-kira dua kaki di atas tanah, sejajar dan searah dengan jalan gadis itu. "Sekarang lompat ke sana!" kata Kashiwagi, sambil men-dorong punggungku dengan jarinya yang runcing. Aku melangkahi dinding batu lalu melompat ke jalan. Aku sama sekali tidak kesulitan untuk melakukan lompatan dua kaki itu. Tapi begitu aku melompat, Kashiwagi rubuh di sampingku dengan suara yang hebat. la mencoba melompat dengan 138 kaki bengkoknya, lalu jatuh. Waktu aku melihat ke bawah, aku melihat punggung hitam seragamnya berombak-ombak di tanah. Waktu ia terbaring menelangkup di sana, ia sama sekali tidak mirip dengan manusia; selama sesaat ia kulihat seperti segumpal noda hitam yang tak berarti, laik genangan air keruh yang biasa kita lihat di pinggir jalan setelah hari hujan. Kashiwagi jatuh tepat di depan gadis itu. Gadis itu berhenti, terpaku di tempatnya. Waktu aku membungkuk untuk membantu Kasttlwagi berdiri, aku memandang pada gadis itu; dan waktu kulihat hidungnya yang dingin dan mancung, dan mulutnya yang memperlihatkan kesan longgar sekitar bibirnya, matanya yang berawan - waktu aku melihat seluruh wajahnya, selama sekilas tampil di hadapanku sosok yang kulihat dalam cahaya bulan, sosok tubuh Uiko.. Bayangan itu segera lenyap dan aku melihat seorang gadis yang umurnya kelihatannya belum lagi dua puluh, memandang padaku dengan air muka mar ah. Aku melihat bahwa ia ingin berjalan terus melewati kami. Kashiwagi, dalam hal begini rupanya lebih peka lagi dari aku. Ia mulai berteriak. Teriaknya yang mengerikan menggema di seluruh daerah kediaman yang lengang itu. "Kau mahluk busuk! Apa aku mau kautinggalkan di sini seperti ini" Kau yang jadi sebab makanya aku begini!" Gadis itu berbalik. Ia menggigil dan dengan jarinya yang kering dan ramping ia seolah-olah membarut pipinya yang pucat. Setelah beberapa saat ia berpaling padaku lalu berkata: "Apa yang harus kuperbuat?" Kashiwagi menengadah lalu memandang pada gadis itu dengan tajam. Kemudian ia bicara dengan memberikan tekanan pada setiap kata: "Apa kau mau mengatakan bahwa di rumahmu tidak ada obat sama sekali?" Selama sesaat gadis itu terdiam. Lalu ia berbalik dan berjalan ke arah asalnya tadi. Aku membantu Kashiwagi untuk berdiri. Ia terasa berat sekali, sampai ia berdiri, dan nafasnya tersengal-sengal. Tapi waktu aku menawarkan bahuku kala kami mulai berjalan, kulihat ia melangkah dengan kelincahan yang tak kusangka-sangka. *** Aku berlari ke tempat perhentian trem depan bangsal trem Karasumaru lalu melompat ke atas trem. Baru setelah trem itu bergerak ke arah Kuil Kencana aku dapat bernafas dengan lega. Tanganku basah karena keringat. Begitu Kashiwagi kubantu masuk gerbang rumah bergaya Spanyol itu, aku jadi ketakutan. la kubiarkan di sana berhadapan dengan gadis itu, lalu aku lari tanpa menoleh ke belakang. Aku tak puny* .waktu untuk berhenti di universitas, tapi lari sepanjang jalan yang lengang itu, melewati apotik, toko kue, dan toko alat-alat listrik. Aku merasa melihat sesuatu yang ungu dan merah berkibar-kibar dalam angjn lewat sudut mataku. Rupa-rupanya waktu lewat di depan gereja Kotoku Tenrikyo, aku melihat lentera-lentera bertudung kembang pruim mencelak depan dinding hitam dan tirai-tirai merah tergantung di gerbang, juga dengan jurai-jurai berwama kembang pruim. Aku tidak tahu ke mana aku begitu tergopoh-gopoh. Waktu trem lambat-laun mendekati Murasakino, aku sadar bahwa hatiku yang kacau telah membawa aku kembali ke Kuil Kencana. Kami sedang berada di tengah musim pelancung, dan biarpun hari itu hari kerja, di Kuil Kencana kelihatan pengunjung yang ramai sekali. Penunjuk -jalan tua itu memandang padaku dengan rasa curiga waktu aku menguakkan jalan antara orang banyak itu menuju ke kuil. Maka aku pun berada di sana " berdiri depan Kuil Kencana yang pada sore musim semi ini dikelilingi oleh debu yang mengambang dan orang banyak yang menakutkan. Sementara suara penunjuk jalan menggema, kuil itu selalu seolah-olah separuh menyembunyikan keindahannya dan ber-sikap pura-pura tidak tahu apa-apa. Hanya bayang-bayang di kolam yang cerah. Tapi jika kita melihat kepadanya dari arah tertentu, maka awan debu itu kelihatan seperti awan emas yang membungkus Bodhisatwa dalam lukisan turunnya para orang suci di mana Amida Budha diperlihatkan turun ke bumi dikelilingi oleh semua Bodhisatwa; demikian juga halnya dengan Kuil Kencana, seperti adanya samar-samar dalam debu di sana, mirip bagai wenter tua yang guram dan desain yang sudah lusuh. Bukanlah suatu hal yang aneh jika keributan dan kegalauan yang ada di sekitarnya masuk ke dalam bentuk tiang-tiang kuil yang ramping itu, dan kalau mereka diserap ke udara putih ke arah Kukyocho kecil dan burung funiks yang ada di atas atap menggapai kala membubung ke udara, makin lama makin kecil. Kuil ini, yang tegak berdiri di sana, merupakan suatu kekuatan yang mengendalikan, suatu kekuatan yang mengatur. Makin keras keributan yang ada di sekitarnya, makin keras Kuil Kencana " bangunan ramping asimetris dengan Sosei di satu sisi dan di atasnya Kukyocho, yang melancip di atas " bertindak sebagai saringan yang merobah air keruh menjadi air jernih. Kuil itu tidak menolak suara-suara riang para pelancung itu, tapi ia menyaring suara-suara itu begitu rupa, hingga mereka masuk ke antara tiang-tiang yang menyerap dan akhirnya menjadi bagian dari keheningan dan kebeningan. Demikianlah ia berbuat di bumi ini tepat seperti yang dibuat 141 oleh bayang-bayang kolam yang tenang itu di air. Hatiku jadi tenang, lalu akhirnya rasa takutku surut. Bagiku, keindahan tentu bersifat seperti ini. Keindahan seperti ini dapat memisahkan aku dari hidup dan melindungi aku terhadap hidup. "Jika hidupku akan menyerupai kehidupan Kashiwagi, lindungilah aku. Karena aku tak yakin aku akan sanggup memikulnya." Demikian doa yang hampir kuucapkan waktu aku berdiri menghadapi kuil itu. Apa yang disarankan oleh Kashiwagi dalam percakapannya dan apa yang langsung dia lakukan di hadapanku hanya mungkin punya arti, bahwa hidup dan menghancurkan adalah satu dan sama. Hidup seperti itu tidak memiliki kewajaran, dan juga tak memiliki keindahan seperti Kuil Kencana; bahkan, ia sebetulnya lebih sedikit semacam regangan yang sakit. Memang benar bahwa aku tertarik sekali pada hidup seperti itu dan bahwa aku mengenali arahku sendiri; tapi adalah mengerikan sekali jika kita ingat bahwa kita terlebih dulu harus mendarahi tangan kita dengan nukilan-nukilan kehidupan yang berduri. Kashiwagi membenci naluri dan intelek sampai ke tingkat yang sama. Bagai sebuah bola yang berbentuk ganjil, hidupnya berguling terus-menerus lalu mencoba menghancurkan dinding kenyataan. Ia bahkan tidak mengandung satu perbuatan pun. Hidup yang ia sarankan padaku, singkatnya, adalah semacam pertunjukan dagelan yang berbahaya, dan dengan itu kita mencoba menghancurkan kenyataan yang telah menipu kita dengan samaran yang tak dikenal, dan dengan itu kita membersihkan dunia ini hingga ia tidak pernah lagi mengandung sesuatu yang tak dikenal. Semua ini baru kuketahui kemudian setelah melihat selembar poster di kamar tempat penginapan Kashiwagi. 142 Poster itu adalah sebuah lito yang bagus sekali diterbitkan oleh sebuah biro perjalanan dan memperlihatkan pegunungan tinggi Jepang. Di atas puncak gunung putih yang menjulang ke angkasa biru, dicetak kata-kata: "Kami undang Tuan ke sebuah dunia yang tak dikenal!" Kashiwagi mencoret pesan ini dengan coretan kwas tinta merah berbisa, lalu mencoret-coretkan di sebelahnya tulisan tangan yang khas dan menari-nari, yang mengingatkan kita pada kakinya yang bengkok: "Aku tidak suka hidup yang tak dikenal." *** Waktu keesokan harinya aku pergi ke universitas, hatiku risau memikirkan Kashiwagi. Setelah kufikir-fikir, rasanya perbuatanku melarikan diri dan meninggalkan dia tidaklah terlalu bersahabat, dan biarpun aku tidak merasa bahwa aku harus bertanggung jawab, hatiku risau memikirkan kemungkin-an kalau-kalau pagi itu ia tidak muncul di ruang kuliah. Tapi waktu kuliah mau dimulai, kulihat Kashiwagi memasuki ruangan dengan lenggangnya yang tak wajar. Waktu istirahat sehabis kuliah aku segera mendekati Kashiwagi. Sikap ringan seperti itu bagiku juga merupakan sesuatu yang tidak biasa. Kashiwagi tersenyum dengan sudut bibirnya lalu menemani aku berjalan ke gang. "Lukamu tak parah 'kan?" kataku. "Luka?" kata Kashiwagi sambil memandang padaku dengan senyuman penuh rasa kasihan. "Kenapa aku harus luka" Kenapa kau mengira aku luka?" Aku bingung mendengar kata-katanya. Setelah membuat aku terperanjat begitu rupa, Kashiwagi mengungkapkan rahasianya: "Semuanya itu sandiwara. Aku sudah berkali-kali berlatih menjatuhkan diri di jalan itu, hingga aku bisa memperlihatkan cara jatuh yang begitu meyakinkan dan orang mengira tulangku patah. Terus terang aku tidak mengira gadis itu akan berjalan melewati kita dengan air muka yang tidak perduli sama sekali. Tapi sekiranya kau tahu apa yang terjadi. Gadis itu sudah mulai jatuh cinta padaku. Atau lebih tepat, ia jatuh cinta pada kaki bengkokku. Dia sendiri yang membarutkan yodium pada kakiku." Ia mengangkat kaki celananya lalu memperlihatkan padaku tulang keringnya yang dicat kuning. Aku kini merasa mengetahui tipu dayanya. Bahwa ia dengan sengaja menjatuhkan diri di jalan untuk menarik perhatian gadis itu adalah wajar; tapi bukankah dia juga berusaha menyembunyikan kakinya yang bengkok dengan berpura-pura luka" Tapi keraguanku ini, sama sekali tidak membuat aku muak padanya, bahkan sebaliknya rasa persahabatanku padanya, jadi lebih besar. Lagipula, aku merasa " ini perasaan kekanak-kanakan tentu saja " makin banyak tipu daya tersimpan dalam filsafat-nya, makin terbukti kejujurannya terhadap kehidupan.
Tiga Naga Sakti 3 Harry Potter Dan Tawanan Azkaban Karya J.k Rowling Petualangan Dipulau Suram 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama