Ceritasilat Novel Online

The Ring Of Solomon 7

Bartimaeus 4 The Ring Of Solomon Karya Jonathan Stroud Bagian 7


foliot mendesis, berkedut-kedut dan meletup-letup, dan dengan cepat berubah menjadi sekam
menghitam yang kemudian berantakan dan lenyap sama sekali.
Asmira menoleh ke si mesir, tapi dia sudah tidak berada di tepi parapet lagi, si penyihir dengan
tangannya yang berdarah-darah meraih ke ikat pinggang dimana sebuah cemeti dengan ujung
majemuk diselipkan. Dia menariknya " gerakannya acuh tak acuh dan lemah. Gulungan sihir
berwarna kuning menguar lemah dari ujung cambuknya, mengores batu, tapi tidak mencapai
Asmira, yang melompat menghindar ke belakang keluar dari jangkauannya.
Si penyihir menatap Asmira; matanya berkabut oleh rasa sakit dan kebencian. "Melompat dan
berlarilah sesukamu, wanita. Aku masih punya pelayan lain. Aku akan memanggil mereka
kemari. Dan kalau Ammet kembali ?" Sepertinya Khaba akan menyerangnya lagi, tapi
tangannya yang terluka mengalihkan perhatiannya, karena darahnya masih terus mengalir
keluar. Dia berusaha menghentikan aliran darah dengan kain jubahnya.
Asmira memikirkan Bartimaeus yang terbang dengan si bayangan membuntuti di belakangnya.
Kalau bayangan itu memang marid, seperti yang dikatakan Bartimaeus, si jin tidak akan bisa
bertahan lebih lama. Segera, sebentar lagi, Bartimaeus akan tertangkap atau terbunuh, dan
cincin itu akan kembali pada Khaba, kecuali kalau "
Kalau Asmira cukup cepat, dia mungkin bisa menyelamatkan jinnya, dan setelah itu Jerusalem.
Tapi semua pisaunya telah terpakai, dia membutuhkan bantuan, dia butuh "
Disana, di belakang Asmira, lorong yang menuju ke tempat kamar raja berada.
Asmira berbalik dan berlari.
"Ya larilah! Pergilah sejauh kau suka!" kata Khaba. "Aku akan mengurusmu segera setelah aku
memangil budak-budakku kesini. Beyzer! Chosroes! Nimshik! Dimana kalian" Datanglah
padaku!" Setelah semua huru-hara, kegelapan dan asap di luar sana, perasaan tentram, yang
gemerlapan di seluruh ruangan emas ini terasa aneh, terasa tidak nyata. Seperti sebelumnya,
kolam cuci kaki mengepulkan uap, panganan mempesona tetap berkilauan di wadah-wadahnya
dan permukaan bola kristal masih berpendar dalam cahaya keruh. Asmira melintas tanpa
memperhatikan glamour ruangan-ruangan itu, kemudian berhenti mendadak.
Seseorang berdiri menontonnya dari sisi seberang ruangan. "Ada sedikit masalah sedang
menimpa kita rupanya?" Raja Solomon dari Israel berkata.
Melemparnya ke laut. Dilemparkan ke laut. Kedengarannya gampang. Ya kan" Dan seperti
semua perintah gadis itu yang memang sederhana, setidaknya secara prinsip. Melakukannya
dan pulang dalam keadaan hidup adalah masalahnya.
Empat puluh mil jarak memisahkan Jerusalem dan pantai. Tidak jauh. Biasanya seekor phoenix
dapat menempuhnya dalam dua belas menit, dan masih punya cukup waktu untuk sekali-sekali
berhenti melihat-lihat pemandangan dan kesempatan memeriksa apa yang dilihatnya.1) Tapi
keadaan sedang tidak biasa di sini. Tidak, sampai ke hal-hal terkecil. Istana terbakar, planeplane masih bergetar hebat oleh kemunculan segerombolan besar makhluk halus tadi, akhir
dunia menggantung dengan tenang " Oh, dan aku memegang cincin Solomon dengan paruhku.
1) Angin dari ekornya yang berapi menyediakan tenaga pendorong jet tambahan, membuat phoenix
menjadi satu dari samaran aerial tercepat yang ada. Bola cahaya lebih cepat, sejujurnya kukatakan,
hanya saja khusus untuk perjalanan lurus langsung ke tujuan. Kau biasanya berakhir dengan kepala
menancap duluan di pohon.
Sebenarnya, kalau kau ingin tahu detailnya, aku menggigit jari Khaba yang terpotong, dengan
cincin itu masih terpasang rapi. Untuk menjaga perasaan pembaca yang pilih-pilih, aku tidak
akan menjelaskan rinciannya lebih lanjut.
Kecuali mengatakan kalau aku merasa seperti sedang merokok, kecil dan agak canggung,
dengan lingkaran emas melesak didekat ujungnya yang tidak rata. Sekian, bisa
membayangkannya" Bagus.
Masih terasa hangat, tapi sudah berhenti meneteskan cairan, tapi aku tidak akan
menjelaskannya lebih lanjut.
Katakan saja, dengan mempertimbangkan segala hal, ini bukanlah bagian tubuh paling
menyenangkan yang pernah kubawa,2) tapi biar bagaimanapun mempunyai fungsi yang sangat
berguna. Yang berarti aku tidak perlu menyentuh langsung si cincin, dan juga terpenting
mengurangi dosis rasa sakitku.
2) Ataupun yang paling menjijikkan, bukan keduanya. Tidak dilihat dari tujuan jangka panjangnya.
Itu semua sudah merupakan sumbangsih yang cukup banyak, sungguh. Soalnya ada Ammet
dekat mengikuti dibelakangku.
Melewati reruntuhan istana Solomon si Phoenix melaju, berusaha melintas pada area-area
yang terlihat lebih berantakan oleh serangan singkat Khaba tadi. Separuh tempat ini tampak
dimakan kobaran api, sedangkan sisanya dilumuri oleh asap tebal sihir yang mengapung.
Semua tampak kelabu, tapi tetap jejak sisanya masih bersinar kuat; buluku terasa tersengat
saat aku melintas melewati mereka, berkelok dan memotong jalan untuk menghindari area
simpul mantra yang masih melekat erat. Banyak bagian yang menggumpal masih mengantung
dekat kubah-kubah dan menara-menara jaga hancur, membuat mereka terdistorsi, tampak
agak mencair dan kabur seperti melihat kedalam dunia mimpi, dan mungkin hal yang sama juga
berlaku padaku, member separuh kesempatan padaku. Rasa-rasanya memang akan lebih
nyaman melintasi langit cerah di atas, tapi aku tidak akan melakukannya untuk saat ini. Asap di
sekelilingku ini memberi tempat persembunyian padaku dan mungkin juga membantu meredam
aura cincin.3) 3) Kubilang mungkin. Cincin itu terlalu dekat denganku, jadi aku tidak mau membuka mataku pada planeplane yang lebih tinggi karena takut akan terbutakan olehnya. Dan ini bukan satu-satunya masalahku.
Bahkan meski aku tidak menyentuhnya lansung, kekuatannya tetap membuatku sakit. Tetesan kecil roh
mulai mengalir lepas dari paruhku.
Kedua hal itu akan menjadi penting seandainya aku dapat bertahan hidup sedikit lebih lama
lagi. Aku belum melihat si bayangan saat ini, tapi aku bisa mendengar kepakan sayapnya melaju
menembus asap. Aku harus bisa menjauhkannya. Si Phoenix meluncur di antara dua tembok
tumbang menuju ke tempat yang asapnya lebih tebal, menghindar kiri-kanan menembus
jendela hancur, meluncur di sepanjang galeri yang terbakar, dan membubung tinggi kembali di
bawah kasau, mendengarkan.
Tak terdengar suara selain derakan kayu penyangga atap yang terbakar. Patung kuno "
pahlawan-pahlawan, dewa-dewa, hewan dan jin " tergeletak menghitam di antara kobaran api.
Si Phoenix menelengkan kepalanya penuh harap. Bisa jadi dia kehilangan aku. Dengan sedikit
keberuntungan Ammet akan tersesat di tengah asap dan tinggal landas ke barat menuju pantai,
mengikuti perkiraan arah lintasanku. Seandainya aku terbang meninggalkan istana ke arah
utara dulu, baru kemudian menikung ke barat melewat hutan cedar, mungkin aku bisa sampai
dengan selamat ke laut. Aku melayang turun, melayang cepat di tengah ruangan, berusaha sedekat mungkin dengan
asap dan api. Di ujung galeri aku ke kanan menuju Rumah turutan sumeria, diapit oleh barisan
tugu batu raja-raja-pendeta Sumeria yang pernah kukenal dan kulayani.4) Disana di ujung
ruangan ada jendela yang sangat besar, yang darinya aku bisa terbang terbang keluar menuju
utara. Si Phoenix mencapainya dengan mempercepat laju terbang tiba-tiba"
4) Akurgal sang Penyemberut juga ada, dan Lugalanda si Keras Hati; juga Shulgi sang Bermuka-Durja,
Rimush si Alis-hitam, Shar-kali-sharri (lebih dikenal sebagai Shar-kali-sharri si Hati Layu) tak ketinggalan
Sargon yang Agung, atau Yang Tua dan Bermuka-kusut. Yep, semua master lamaku yang tersayang dari
awal fajar dunia. Betapa menyenangkannya hari-hari saat itu.
" dan nyaris saja dihantam detonasi yang menghancurkan lantai dibelakangku. Salah satu
patung tiba-tiba berubah, menampakkan wujudnya; ilusi yang menyembunyikan si bayangan
tersibak bak jubah. Tangan bercakar muncul, membelah bulu-ekor-apiku saat aku berkelit di
udara. Aku mempecepat diri melaju di sepanjang aula meninggalkan jejak api orange,
berzigzag putus asa di antara tangan-tangan yang melayang bak benang kusut.
"Bartimaeus!" suara halus memanggilku dari belakang. "Jatuhkan cincinnya! Dan aku akan
membiarkanmu hidup!"
Aku tidak menjawab, itu tidak sopan, aku tahu itu. Tapi sekali lagi, paruhku penuh. Beberapa
saat sesudahnya aku menabrak jendela, meledakkannya dan melesat keluar menuju
kegelapan. Bagaimana kau menghabiskan pengejaran hidup atau matimu" Dalam keadaan mati rasa
karena kebingungan" Mungkin dengan jari kaki kejang karena tegang, atau sekali-sekali
menyemburkan racauan ketakutan" Masuk akal, semuanya tentunya. Secara pribadi aku
menggunakannya untuk bisa berpikir. Mereka berguna baik sekali dengan cara itu. Segalanya
tenang, kau sedang sendirian, dan semua masalah kecilmu yang lain dengan sangat membantu
akhirnya enyah dari dalam jarak pandangmu saat kau merenungkan hal-hal yang mendasar.
Tetap hidup ada dalam daftar teratas, tentu saja, tapi itu bukanlah satu-satunya. Kadangkadang kau mendapat sedikit perspektif dalam hal lainnya juga.
Jadi, saat aku ngebut ke barat melintasi malam yang sebentar lagi berakhir, dengan bukit-bukit
dan lembah-lembah bergulir bergelombang dibawahku, dan bayangan Khaba melaju pesat di
belakang tumitku, aku berlari keluar dari keadaan dimana aku terjebak didalamnya.
Beginilah bagaimana hal ini terlihat, dalam penerbangan.
Ammet ingin menangkapku, dan dia akan menangkapku segera. Dengan kecepatan terbang
yang dipunyai phoenix kau dapat selalu selangkah di depan selamanya. Hal ini benar dua kali
lipat kalau kau baru saja ditubruk Mantra peledak. Dan agak benar jika kau melakukannya
sambil membawa-bawa benda dengan kekuatan seperti ini di paruhmu yang sudah mulai
meleleh dengan baik dan benar.5) Si marid " lebih besar dariku dan penuh padat berisi sihir "
kehilangan sasarannya pada awal kejar-kejaran ini dimulai, tapi ia berhasil mengatasinya
sehingga nyaris membuatku tercabik-cabik. kapanpun aku menoleh ke belakang punggungku
aku dapat melihat lendut penuh kemarahan dari benda gelap dalam kegelapan, setengah
lembah di belakang dan terus mendekat.
5) Aku sungguh ingin membuangnya sekarang juga. Tampangku saat ini kelihatan seperti macaw
murung. Cukup aman untuk berasumsi bahwa aku tidak akan pernah mencapai lautan.
Sekali Ammet berhasil menangkapku, konsekuensiya boleh jadi akan mengerikan. Pertama,
dan yang terpenting, aku akan mati. Kedua, Khaba akan memiliki cincin ini kembali. Dia baru
memakainya sekitar lima menit, tidak lebih, dan istana Solomon sudah tinggal reruntuhannya
saja, yang mana memberimu petunjuk tentang seperti apa gaya pemerintahan yang akan
dijalankannya, seperti bayi baru lahir marah dalam sebuah toko roti, Khaba ingin secara
sistematis mendatangkan kehancuran yang tak terkira jumlahnya terhadap penduduk yang
meratap di seantero bumi. Lebih penting lagi, aku akan mati. Atau mungkin aku sudah pernah
menyebutkannya padamu"
Sang burung Phoenix terbang rendah. Pada waktu-waktu tertentu kilatan sangat terang
menerangi bentang alam yang ruwet saat Ammet melepaskan serangan sihir dari belakangku;
aku mengelak ke samping, menukik turun, menampilkan kebolehan akrobat ilmu penerbangan
saat Mantra Kejang dan Aliran berdengung melintas, meledakkan pepohonan dan sisi-sisi bukit
menjadi puing-puing yang rontok berguguran.
Ini semua kesalahan gadis itu, tentu saja. Kalau saja dia mau menuruti nasehatku dan segera
memakai Cincin Solomon, tidak ada satupun dari kejadian ini yang akan terjadi. Alih-alih dia
akan bisa menghancurkan Ammet, membunuh Khaba, melakukan perjalanan dalam sekedipan
mata ke Sheba, menendang bokong ratu, dan melantik dirinya sendiri dalam kekayaan,
kemewahan dan kemulian singgasana. Gadis itu akan dapat melakukan semua itu dan tetap
bisa duduk, nonton pertunjukan hiburan tari perut sebelum sarapan.
Itu adalah yang akan diperbuat oleh semua master-master terdahuluku.6)
6) Kecuali Lugalanda Sang Keras Hati. Dimana dia melompati tari perut karena agak bersimpati pada
beberapa eksekusi mati. Tapi tidak gadis itu. Dia itu campuran segala macam sifat aneh. Di satu sisi tekun dan tegas, dengan lebih banyak
keteguhan hati dan keberanian di sebelah alis matanya yang rupawan daripada semua penyihir
konvensional yang pernah kutemui. Di lain pihak, membingungkan,, kontra dan sepenuhnya
tidak yakin pada dirinya sendiri, dan dengan sepanjang waktu dihabiskan untuk membuat
keputusan yang salah. Dia menyeret diriku pada mungkin malam terburuk yang pernah kualami
dalam dua ribu tahun terakhir hidupku, yang sekalipun begitu tetap berdiri di sampingku saat
kami mengambil Cincin Solomon. Dia telah menyia-nyiakan kesempatan untuk memakai Cincin
untuk dirinya sendiri, tapi mampu memisahkan jari Khaba dari tempatnya tanpa sedetikpun
mengeluh. Dia mungkin sudah mengutukku menuju kematianku, tapi juga sudah meminta maaf
atas hal itu. Sebuah kombinasi yang aneh. Jenis yang selalu membangkitkan amarah.
Dengan menggunakan hak-hakku aku seharusnya mencari cara untuk membatalkan
perintahnya, melupakan lautnya, dan meninggalkan cincinnya untuk Ammet. Lalu aku bisa
meninggalkan gadis itu dan dunianya pada perlindungan Khaba yang baik hati. Faquarl akan
membayangkan jalan keluar seperti ini bahkan sebelum ia meninggalkan istana, sambil tertawa
kecil saat melakukannya. Cara ini tidak berlaku untukku.
Sebagian adalah karena kebencianku pada musuhku. Aku selalu ingin mengurus mereka kalau
memungkinkan. Sebagian karena pembawaanku yang rapi. Adalah kemampuan dan
pertimbanganku lah yang membawa kami pada Cincin Solomon; adalah aku juga yang
menyarankan untuk meninggalkannya di laut. Singkat kata, aku memulai ini semua dengan
gaya, dan aku juga ingin menyelesaikannya dengan caraku.
Sebagian lagi karena aku ingin menyelamatkan gadis itu.
Tapi pertama-tama, sebelum semua itu, aku harus terlebih dahulu mencapai pantai dahulu, dan
memikirkan cara menyingkirkan Ammet setelahnya. Seandainya ia berada tepat di belakangku
saat aku melemparkan Cincin ke kedalaman lautan, keseluruhan rencanaku akan berantakan.
Dia dapat langsung memancingnya, mungkin menggunakan mayatku yang berlubang-lubang
sebagai jaring, dan membawanya kembali pada Khaba. Entah bagaimana, aku harus
mengurusnya lebih dulu. Di atas puncak bikit si Phoenix terbang, paruh mendidih dengan baik akibat aura Cincin.
Dibelakangnya mengikuti si bayangan dengan sayapnya yang hitam. diseberang sana adalah
lembah berhutan, disesaki cemara. Disana sini, dalam cahaya remang-remang menjelang fajar,
tampak glade-glade, yaitu tanah-tanah lapang di kelilingi pepohonan yang masih rimbun yang
ditinggalkan oleh para penebang pohon. Mata sang phoenix berkilat. Aku menurunkan
ketinggian terbangku secara mendadak menuju hutan, dan api penunjuk-jalanku padam.
Ammet, si bayangan, baru saja menambah ketinggian tepat waktu untuk melihat aku
menghilang. Dia pun menukik turun di antara kanopi dan melayang dalam kehitaman getah
damar wangi, mendengarkan.
"Dimana kau, Bartimaeus?" si bayangan berbisik. "Keluarlah, keluarlah."
Hutan ditelan keheningan.
Si bayangan merangkai jalannya si antara batang-batang pohon, perlahan, perlahan, berkelokkelok bak ular.
"Aku mengendusmu, Bartimaeus! Aku mengendus ketakutanmu!"7)
7) Yang mana, tak perlu dikatakan lagi, adalah kebohongan yang nyata. Disamping dari sesekali bau
belerang, yang mana kecuali pada situasi yang sangat khusus, aku tidak pernah menekan bau apapun "
ketakutan yang paling kecil dari semuanya.
Kesunyian hutan datang sebagai jawabannya, yang mungkin memang diharapkannya. Di dasar
hutan di antara pepohonan dia meluncur, mengikuti langkah turun kaki bukit.
Lalu di suatu tempat di depan, sebuah suara lirih: Grrrt, grrrt, grrrt.
"Aku mendengarmu, Bartimaeus. aku mendengarmu! Apakah itu suara lututmu yang saling
beradu?" Grrrt, grrrt, grrrt. Si bayangan, datang dengan sedikit lebih cepat. "Apakah itu gigimu yang bergemeretak?"
Mestinya, makhluk halus mana saja yang menghabiskan banyak waktunya di luar akan tahu.8)
Suara tadi berasal dariku yang menggunakan kuku untuk meraut ujung dua gelondong batang
pohon yang kutemukan disamping kamp pembalakan. Aku membuat dua buah pancang
berujung runcing yang bagus.
8) Karena hanya penyihir yang paling kuat saja yang memanggil mereka, dan karena para penyihir ini
tanpa kecuali hampir selalu berbasis di dalam kota yang merupakan pusat kekuasaan, marid seperti
Ammet tidak mempunyai pengalaman apapun tentang kehidupan dan adat kebiasaan warga pedesaan
biasa, yaitu orang pedalaman berkaki berselaput ramah yang mandi sekali setahun, dan nongkrong di
sekeliling api unggun berbahan bakar kotoran hewan pada suatu malam untuk saling membandingkan
kutil dan menghitung sisa-sisa gigi mereka. Ya, marid sungguh ketinggalan akan semua hal ini.
"Kesempatan terakhir, Bartimaeus. Lemparkan cincinnya padaku! Aku bisa melihat auranya
memancar dari pohon. Larilah sekarang, maka aku akan membiarkanmu hidup!"
Di lantai hutan si bayangan berdiam, mendengarkan. Lagi dan lagi rautan berhenti, si bayangan
terhenti. Tapi dia bisa melihat aura Cincin Solomon bersi-nar terang di depan.
Perlahan dia mendekat, sehening salju hitam, melacak aura sampai ke sumbernya.
Yang mana tersangkut di ujung pohon di sisi lain glade. Di ujung pohon tergantung provokatif
pada buah cemara, adalah jari Khaba, dengan Cincin Solomon berdenyar-denyar riang pada
pangkalnya. Di situasi ini, makhluk halus biasa manapun " yaitu kami yang secara rutin dikirim menelusuri
kuil-kuil sumeria, misalnya " akan segera mencium bau adanya perangkap. Kami semua jauh
terlalu berpengalaman terhadap berbagai perangkap-perangkap tolol untuk bisa terpancing
pada hadiah semacam yang tergantung di ujung pohon itu. Tapi Ammet, anjing timangan
Khaba, mungkin belum pernah berkubang dalam pekerjaan layak sehari-hari manapun dalam
dua puluh tahun terakhir, atau sudah lupa, seandainya dia pernah, akan betapa pentingnya
tanda-bahaya ekstrim. Juga, merasa aman dalam arogansi dan kekuatannya, juga pada
ultimatum yang berdenging di telinganya, dia benar-benar berpikir aku meninggalkannya disitu.
Jadi, dengan siulan puas, dia mendekat, melebarkan sedikit lebih panjang lagi hasratnya,
senang pada hadiah yang baru saja dia dapatkan.
Dari belakangnya datang gerakan berputar " sesuatu yang massif dilemparkan dengan kuat.
Sebelum Ammet sempat bereaksi, sebelum dia sempat mencapai cincin itu, sebuah batang
pohon berukuran menengah, yang mana ujungnya diruncingkan dengan sangat tekun, melesat
diagonal dari landaian lereng dibawah. Batang itu menghantamnya tepat di tengah punggung
lonjongnya, menusuk tembus dan menancap dalam-dalam pada tanah hutan yang berjamur. Si
bayangan tersangkut pada bagian tengah tubuhnya; dia mengeluarkan teriakkan melengking
mengerikan. Si pembawa tombak Sumeria melompat masuk ke jangkauan pandang di atasnya,
mengacungkan pancang kedua. "Pagi, Ammet." Kaokku. "Lagi istirahat" Kupikir ini akan jadi
malam yang menyenangkan. Uh oh, sialnya " bukan untukmu ya." Salah satu tangan si
bayangan terus menggapai-gapai Cincin; yang satunya lagi berada di atas gelondongan dan,
perlahan, dengan keras, berusaha mencabutnya. Aku menghalanginya dan menggamit jarinya.
"Ini akan kuambil, kukira." Kataku. "Tapi jangan khawatir, aku orangnya adil kok. Aku akan
memberimu sesuatu sebagai gantinya."
Sambil bicara, aku melompat mundur, mengarahkan pasak kedua dan melontarnya tanpa
meleset ke kepala si bayangan.
Ammet bereaksi dengan gerakan kalut, mengoyak pasak pertama dari tempatnya di tanah dan
tanpa mempedulikan lubang besar koyak yang tertinggal di tengah tubuhnya, dia melempar
pohon itu seperti sebuah pentungan kayu, yang menghantam samping misilku, melontarkannya
merobohkan pepohonan.

Bartimaeus 4 The Ring Of Solomon Karya Jonathan Stroud di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lumayan," kataku. Si pembawa tombak sudah berubah lagi, sekali lagi menjadi Phoenix. "Tapi
seberapa cepat kau di udara dengan lubang itu" Aku bertaruh tidak terlalu."
Dengan perkataan barusan aku sudah di atas pepohonan cemara lagi dan langsung ke arah
barat dalam kobaran api. Sesudah sesaat berlalu aku menoleh ke belakang. Si bayangan sudah naik melayang melewati
cemara-cemara dan masih keras kepala mengikutiku. Seperti yang kuharapkan, luka-lukanya
membuatnya tidak nyaman dan terganggu " bentuk tubuhnya lebih kasar daripada sebelumnya.
Dia pun sedikit melambat, dan, seiring dengan hal itu, dia tidak lagi diuntungkan oleh siap
dirinya. Itu kabar baiknya. Aku bisa mencapai pantai.
Masalahnya adalah " tidak ada dari hal ini yang akan menyelamatkanku pada akhirnya.
Ammet masih bisa melihatku. Saat aku melempar Cincin ke samudra, dia hanya tinggal
mempercepat laju terbangnya, menukik turun dan menangkapnya lagi. Tidak ada cara atau
harapan aku bisa mengerjainya lagi, karena aku dengan cepat melemah. Kejar-kejaran ini, dan
luka-lukaku, dan terutama kekuatan perusak Cincin, yang tanpa henti membakar lubang kecil
pada paruhku yang malang " semua ini menyerap habis kekuatanku. Apiku sudah nyaris habis.
Walaupun aku sudah bisa mendengar suara hempasan ombak, mereka tidak menjanjikanku
apa-apa kecuali tidak lebih dari uap kematian yang biasa.
Pilihan apa yang masih kumiliki" Akan kuteruskan semua ini. Mengobrak-abrik otaknya,
menghabisinya dengan upaya heroik terakhir. Si Phoenix pengerutu dengan susah payah
menuju lautan terbuka. Raja Solomon memakai jubah tidur panjang dari emas sulaman dan ikatan rambut warna perak.
Dia berdiri tegak dan tampak sangat tenang. Dalam balutan jubahnya yang sederhana, dia
tampak lebih tinggi dan menawan daripada saat terakhir kali Asmira melihatnya, walaupun tidak
mengubah kondisinya yang lemah.
Wajah Asmira memerah akibat rasa malu. "Please," katanya tergagap. "Maafkan aku. Anda
benar. Cincin itu " cincinnya telah ?" Asmira menghimpun dirinya sendiri: dia tidak punya
waktu, dan tidak ada yang mudah untuk dikatakan. "Aku membutuhkan senjata," Asmira
memulai. "Sesuatu yang bisa membunuh Khaba."
Sang raja memandanginya. "Aku baru saja berpikir," katanya tenang, "kau sepertinya belum
cukup puas membunuh."
"Tapi anda tidak tahu apa yang dilakukan Khaba! Dia?"
"Aku tahu apa yang dilakukannya dengan sangat baik." Mata di wajah rusak itu berkilat; dia
member isyarat pada bola kristal disebelahnya. "Globe pengintaiku bukan cuma untuk pajangan
dan aku tidak memerlukan cincinku untuk menggunakanya. Perang dunia telah dimulai, aku
tahu, dan istanaku jadi sasaran pertamanya." Permukaan bola teraduk berputar-putar, warnawarna keruhnya menjernih. Asmira melihat kompleks istana terbakar, orang berlarian di taman,
makhluk-makhluk halus bergegas dengan tong dan ember, menyiramkan air ke api. Asmira
mengerucutkan bibir. Ia berkata: "Tuanku, pelayanku mendapatkan cincinnya. Demon Khaba mengejarnya. Kalau
aku bisa menjatuhkan si penyihir, Bartimaeus akan selamat, dan cincinmu?"
"Dilempar ke laut." Solomon menetap tajam Asmira dengan alisnya yang terangkat. "Aku tahu.
Aku mendengar dan melihat semuanya."
Dia menyapukan tangannya di atas bola kristal itu. Gambarnya bergelombang: kini
menampakkan Khaba di atas balkon, siluetnya tampak kontras dengan asap di sekelilingnya.
Dia sedang merapalkan suatu jenis mantra, suaranya terdengar lemah dari bola kristal. Mereka
mendengarkan, si penyihir tampak bingung: ia berhenti dan mengumpat, menarik nafas sejenak
dan memulainya dari awal lagi.
"Dia memaksa dirinya melampaui batas," Solomon berkomentar, "Seperti semua orang bodoh.
Cincin itu mengambil kekuatanmu sebesar permintaan yang kau ajukan. Karena meminta
terlalu banyak, Khaba menjadi lemah dan pikirannya melayang. Dia hampir tidak bisa
mengingat mantra Pemindahan. Ah " sepertinya sekarang ingatannya sudah kembali."
Asmira melihat birai di belakangnya, enam cahaya pucat yang muncul berurutan menerangi
jendela dari sisi seberang. Pada bola kristal, tubuh si penyihir tak nampak tertutup oleh bentukbentuk gelap yang baru muncul itu. "Dia mendapatkan demonnya!" teriak Asmira, "mereka
datang! Please! Tidakkah kau punya sesuatu apa saja yang bisa kita gunakan untuk
mempertahankan diri kita dari mereka?"
"Tidak dengan kekuatanku sendirian." Sang raja berhenti sejenak. "Sudah lama sekali sejak
terakhir kali aku melakukan ini " Tapi pasti ada sesuatu yang bisa dipakai di ruang hartaku.
Ayo kalau begitu, cepatlah. Seberangi aula itu. Jauhkan matamu dari glamournya. Tapi saat
kau melewati meja di sebelah kri, bukalah laci tengahnya. Ambil benda apapun yang kau
temukan di dalamnya dan bawakan padaku."
Asmira melakukan seperti apa yang dikatakan padanya, secepat yang ia bisa. Dari kristal
Asmira bisa mendengar Khaba meyuarakan perintah nyaring, dan suara-suara geraman dalam
muncul sebagai jawabannya.
Di laci terdapat beberapa kalung emas berhiaskan batu mulia; kebanyakan di antaranya ditulisi
simbol rahasia berbau mistik. Asmira berlari menuju Solomon, yang mengambilnya tanpa
mengucapkan sepatah katapun. Dengan langkah agung tergopoh-gopoh, dia melangkah
menuju ruangan yang belum pernah dimasuki Asmira sebelumnya. Sambil berjalan, dia
menunduk kemudian memakai kalung-kalung itu.
"Kekuatan apa yang sebenarnya mereka miliki?" Tanya Asmira sambil berjalan cepat mengikuti.
"Tidak penting. Yang jelas mereka kelihatan bagus, bagaimana menurutmu" Bagaimanapun
aku kan akan segera mati," kata raja Solomon, berbelok ke arah ruangan itu. "Aku bermaksud
melihat-lihat bagian sini. Nah sekarang " inilah koleksi kecilku."
Asmira menyurvei ruangan penyimpanan itu, rak-rak, peti-peti, dan kotak-kotak, semua luber
oleh artefak dalam berbagai jenis dan rupa. Kelimpahannya membingungkan Asmira. "Apa
yang sebaiknya kupakai?" katanya. "Apa kegunaan mereka?"
"Entahlah," kata Solomon ramah, "kebanyakan aku tidak tahu. Selama bertahun-tahun aku
mencari sesuatu yang kekuatannya sederajat dengan cincin itu, tapi dengan efek samping yang
kurang begitu besar. Pencarianku sia-sia, tentu saja. Sementara itu para pelayanku
memperoleh begitu banyak objek yang membuatku kewalahan kehabisan waktu dan tenaga
untuk memeriksa mereka satu-persatu. Mereka semua berkekuatan sihir, tapi beberapa hanya
perhiasan kecil belaka, dan beberapa lainnya sukar untuk dimengerti."
Suara berdentam terdengar dari ujung terjauh ruangan emas. Asmira megerjap. "Well, tips
singkat mungkin akan banyak membantu. Anda punya beberapa pisau perak?"
"Tidak." "Bintang lontar?"
"Entah." "Baiklah. Aku ambil pedang itu, paling tidak."
"Kuragukan itu." Solomon mengetukkan kesamping tangannya yang terulur. "Sekali dipegang,
benda itu tidak bisa dilepaskan lagi. Kau perhatikan tulang jari menguning di gagangnya?"
"Perisai itu, kalau begitu?"
"Terlalu berat untuk kebanyakan tangan normal. Menurut cerita, itu kepunyaan Raja Gilgamesh.
Tapi kita mungin bisa mencoba ini, cobalah." Dia memberikan dua butir telur metalik seukuran
kepalan tangan pria pada Asmira.
"Apa ini?" Tanya Asmira.
"Sesuatu yang agresif, kita berharap saja begitu. Bagaimana dengan yang yang ini?" dia
menunjuk tiga batang kayu pendek, masing-masing dengan sebuah gelembung kaca di
ujungnya. Sesuatu di dalam gelembung bergerak-gerak gelisah.
Asmira mendengar suara sesuatu bergerak diam-diam di sebelah ruangan. Maka ia mengambil
batang kayunya juga. "Tetaplah mencari," katanya. "Jangan dekat-dekat pintu. Aku akan
berusaha menjauhkan mereka dari sini."
Melintasi ruangan. Asmira melangkah dengan punggung merapat ke tembok, kemudian
menengok ke arah ruangan indah di seberang. Disana mereka berada: enam demon milik
Khaba dari jurang: mengendus-endus meja dan kursi. Seperti sebelumnya, mereka
berperawakan manusia; tapi kali ini kepala mereka berbentuk hewan buas " seekor serigala,
beruang, dua ekor elang, seekor monyet yang menyeringai mengerikan, dan yang terburuk,
seekor belalang besar, warna kelabu-hijau dan bercahaya, lengkap dengan antena yang
bergoyang-goyang. Berlawanan dengan penampilan mereka yang ganas, mereka bergerak
lamban, mereka mengeluh dengan tampak amat jelas; dibelakang mereka muncul Khaba,
mendesak mereka maju dengan hentakan samar cambuk-rohnya. Tangannya yang terluka
sudah dibalut dengan kain hitam yang tampaknya disobek dari jubahnya; dia melangkah seperti
orang cacat. Asmira melihatnya berkali-kali menoleh ke balkon penuh harap. Dia terlalu jauh
dibelakang, diluar jangkauan lemparan Asmira " menunggu kepala budaknya kembali
membawa hasil. Asmira menekankan kepalanya ke tembok dan menutup mata. Membayangkan Bartimaeus
terbang, sendirian dan putus asa. Membayangkan si demon berwujud bayangan dekat di
belakangnya, mengulurkan tangan bercakarnya untuk menelan Bartimaeus dan cincinnya akan
Asmira menarik napas dalam-dalam.
Asmira melompat ke samping dari tempat persembunyiannya sambil berseru riang "Sebelah
sini!" Kepala-kepala binatang menoleh. "Dialah gadis yang membuat tangan master kalian jadi
begini!" teriak Khaba. "Hancurkan dia berkeping-keping! Siapa yang membunuhnya akan
mendapatkan kebebasannya!"
Serentak, demon-demon menerjang, meremukkan meja, membanting kursi-kursi ke dinding,
melompati kolam di tengah ruangan dalam sekali lompat, semuanya mengarah ke tempat
Asmira berdiri. Saat mereka berada lima belas kaki jauhya dari Asmira, ia melemparkan telur metalik dan
batangan tongkat bergelembung, satu demi satu dengan kecepatan tinggi.
Dua butir telur menghantam dua kepala-elang dan meledak dengan dahsyat, menciptakan
lubang besar menganga di tengah dada mereka. Paruh mereka terangkat, teriakan bergemuruh
terlontar, kemudian mereka menguap dan lenyap.
Dua tongkat lagi meleset seinchi dari targetnya, mendarat di lantai, pecah berantakan seperti
cangkang telur, dua pancaran api hijau vertikal membubung, mengirim demon-demon terdekat
jungkir-balik ke belakang, ke arah teman mereka yang berkoak dan berteriak. Tongkatgelembung yang terakhir menghantam si kepala belalang hanya sedikit di bawah kakinya. Taji
api menyalakan bagian atas kakinya. Diiringi teriakan, si demon melompat ke kolam cuci-kaki
dan hilang ditelan kabut uap air.
Asmira melangkah dengan tenang kembali ke dalam ruangan tempat Solomon berada, dimana
ia sedang mengobrak-abrik rak-rak penyimpanan. "Dua beres," kata Asmira. "Satu terluka. Apa
lagi yang anda punya?"
Sang raja menggulung lengan bajunya, rambutnya yang kelabu tergerai acak-acakan di
wajahnya. "Aku harusnya menyortir benda-benda ini bertahun-tahun yang lalu " sulit sekali
mengatakannya ?" "Beri aku apa saja."
"Well, cobalah yang ini." Solomon memberinya silinder tanah liat, yang bercap bintang-bintang
dan sebuah kendi tersegel terracotta.
Asmira melangkah cepat-cepat kembali menuju pintu masuk ruangan. Ruangan emas dipenuhi
asap, yang dari dalamnya muncul empat sosok besar yang berjalan lambat.
Asmira melontarkan silinder kepada yang terdekat; silindernya menghantam, hancur menjadi
debu, tak ada yang terjadi.
Asmira melemparkan kendinya: pecah, terdengar suara keluhan lembut yang sedih, kemudian
suara tawa serak yang bergetar. Para demon yang sebelumnya melompat mundur dengan
ragu, maju kembali dengan langkah lebih cepat.
Dibelakangnya si mesir menyumpah kasar. "Kalian idiot! Anak kecil bisa melakukan ini lebih
baik! Hantam dia dengan sihir dari jauh!"
Asmira mundur kembali ke ruang penyimpanan, tepat waktu untuk lolos dari penguapan lantai
di luar sana. Beberapa detonasi menghantam dinding, mengirim bongkahan-bongkahan
menembus lapisan dinding ruang penyimpanan. Debu menghujani rambut Asmira.
Sang raja secara metodis memeriksa rak demi rak. "Ada hasil?"
"Tidak kali ini."
"Ini," Solomon memutar tutup peti kecil dari kayu oak. Didalamnya, agak bertumpukan, terdapat
enam sphere kaca. Pada saat Solomon mengulurkan peti itu, sebuah bola sihir memantul melewati pintu ruangan,
melesat di atas kepala Asmira dan meledakkan atap ruang penyimpanan sampai remuk. Batu
bangunan meleleh, bongkahan kayu dan puing-puing berjatuhan. Diiringi suara teriakan,
Solomon roboh ke lantai. Asmira berlutut di sisinya. "Anda terluka?"
Wajah Solomon kelabu. "Tidak " tidak. Kau tak perlu mengkhawatirkanku. Tapi demon-demon
itu?" "Ya." Asmira berdiri kembali, berlari menembus hujan batu-batu kecil yang berguguran dan
melemparkan tiga sphere keluar melalui pintu lengkung yang sekarang hanya tinggal
reruntuhan. Ledakan menyusul, pancaran api hijau, disusul suara melengking nyaring.
Asmira merundukkan diri dalam bayang-bayang, menyibakkan rambut yang jatuh ke matanya
dan meraih ke dalam kotak lagi. Pada saat yang bersamaan sesuatu menghantam sisi lain
dinding tempatnya bersandar dengan kekuatan yang membuatnya tergelincir dari pijakannya.
Peti kayunya terlepas dari pegangannya; dan tiga sphere yang tersisa menggelinding keluar,
memantul dengan indah di lantai.
Asmira membeku, mata terpaku pada tiga bola kaca itu, retakan-retakan kecil menyebar di
permukaan ketiganya. Asmira terbang secepat-secapatnya ke dalam ruangan dan pada saat yang bersamaan pintu
lengkung itu meletus diselimuti api hijau.
Lidah api menyebar ke mana-mana; hawa panas menyerang Asmira pada saat dia melompat,
mengangkatnya ke atas kemudian maju melayang dalam kecepatan tinggi. Asmira menubruk
rak-rak di tengah ruangan, dan jatuh dalam posisi aneh di antara peti-peti kayu yang
menengadah. Gelombang artefak runtuh menimpa kepalanya.
Pada waktu Asmira membuka matanya, ia melihat Solomon menunduk menatapnya.
Ia mengulurkan tangan perlahan. Asmira meraihnya, membiarkan dirinya dibantu berdiri
kembali. Lengan dan kakinya berdarah, dan bajunya terbakar. Solomon sendiri dalam keadaan
yang tidak lebih baik. Jubahnya koyak dan ada plester dinding menempel di rambutnya.
Asmira berdiri diam menunggu detak jantungnya reda, menatap Solomon. Kemudian ia berkata
tiba-tiba, dengan gusar. "Maafkan aku, Master. Maafkan aku atas apa yang telah kuperbuat
padamu." "Maaf?" kata sang raja. Kemudian ia tersenyum. "Dalam beberapa cara aku harus
berterimakasih padamu."
"Aku tidak mengerti." Asmira melirik pintu masuk, dimana sisa api hijau perlahan mulai padam.
"Kau telah membangunkanku dari tidur panjang," raja Solomon berkata. "Dalam terlalu banyak
tahun-tahun belakangan ini aku telah terperangkap disini, diperbudak rasa sakit, terobsesi pada
timbunan bebanku, menjaga cincin Solomon agar tetap aman. Dan apa hasilnya" Aku hanya
makin dan semakin melemah dan menjadi berpuas diri " dan buta pada perbuatan penyihirpenyihirku sendiri yang selalu menyibukkan diri dengan menghisap kekayaan negeriku! Ya,
terimakasih padamu, cincin itu sudah tidak ada " tapi akibatnya aku merasa lebih hidup
daripada yang sudah-sudah. Aku bisa melihat segala sesuatunya dengan lebih jelas sekarang.
Dan kalau kini aku akan mati, aku bermaksud untuk berjuang dengan kemauanku sendiri."
Solomon menjangkau ceceran harta berharga di lantai dan mengambil patung ular
berornament. Benda itu dibuat dari emas, dengan mata rubi, dan mempunyai beberapa engsel
tersembunyi di kakinya. "Ini," sang raja berkata, "tampak jelas adalah senjata, dikendalikan oleh
tombol-tombol di sebelah sini. Ayo, kita gunakan ini sekarang."
"Anda tunggulah disini," kata Asmira. "Aku akan melakukannya."
Solomon mengabaikan tangan Asmira yang menengadah. "Tidak hanya dirimu kali ini. Ayo."
Di lubang yang tadinya pintu masuk itu api telah padam. "Satu hal lagi, Asmira," Solomon
berkata sambil melangkah maju. "Aku bukan mastermu. Kalau saat ini memang harus menjadi
jam-jam terakhir hidupmu, cobalah untuk tidak membutuhkan satu master lagi."
Mereka melangkah keluar dari ruang tengah, berjalan melewati lubang-lubang beruap dan
cuakan terbuka yang berasap di lantai, dan nyaris bertabrakan dengan tiga dari demon yang,
dalam bentuk monyet makaka yang, mengendap-endap perlahan menuju sisa-sisa pintu
lengkung. Karena melihat Solomon, para monyet berseru sambil melambungkan diri tinggitinggi menjauh melintasi ruangan. Si penyihir sendiri sebelumnya sedang bersandar dengan
muram pada dipan terbalik di samping kolam, ikut tersentak tegak karena kaget dan rasa
kawatir. "Brengsek!" seru Solomon. Suaranya bak guntur. "Berlutut di bawah kakiku!"
Wajah khaba kendur dengan ngeri. Dia bimbang, litutnya menekuk. Lalu dia kembali dapat
mengendalikan diri kembali, bibir tipisnya merapat. Menggerakgerakkan tangan ketakutan pada
kerumunan monyet yang gemetar ketakutan di sudut aula, dia melangkah maju dan bersumpah.
"Memangnya kenapa si tiran masih hidup?" kaoknya. "Cincinnya tidak ada padanya lagi!"
Solomon beringsut maju, menodongkan si naga air. "Bebaskan budak-budakmu! Berlutut!"
Si Mesir tidak peduli. "Jangan takut pada perhiasan emas kecil itu!" teriaknya pada para monyet
itu. "Ayo, budak, maju dan bunuh dia!"
"Oh Khaba ?" "Brengsek!" teriak Solomon lagi. "Membungkuk!"
"Dia tanpa harapan, kalian goblok! Tak berdaya! Bunuh dia! Bunuh mereka berdua!"
"Oh tidak ?" Asmira berkata perlahan. "Lihat."
"Khaba tersayang ?"
Suara itu datang dari belakang si penyihir, dari arah balkon. Khaba mendengarnya. Dia
membeku. Dia menoleh. Semua pasang mata di ruangan itu menoleh, melihat bersamanya.
Si bayangan mengapung di pintu masuk, rohnya tampak redup dan berkelip-kelip. Masih
mengenakan wujud siluet si penyihir, tapi lebih lembek dan kasar dari sebelumnya, tepi
wujudnya meleleh seperti permen. "Aku baru saja mengarungi daratan dan lautan," suara lemah
itu berkata. "Capek sekali. Jin itu membawaku dalam tarian yang panjang dan menyenangkan,
tapi tetap saja aku menangkapnya pada akhirnya." Si bayangan mendesah berat. "Lihat
bagaimana dia bertempur! Lima puluh jin bersatu pun tak bisa melakukannya sebaik itu. Tapi,
semuanya telah berakhir. Aku melakukannya untukmu, Master. Hanya demi dirimu."
Suara Khaba pecah karena terpaan emosi. "Ammet yang manis! Kau memang budak yang
terbaik! Dan " dan kau mendapatkannya?"
"Lihat apa yang dilakukan benda itu padaku," kata si bayangan penuh prihatin. "Membakar,
membakar, semua bermil-mil yang panjang dan gelap ini menuju rumah " Ya, Master, aku
membawanya dengan tanganku."
Dia membuka lima jari yang beruap. Sebuah cincin dari emas berada di tengah telapak
tangannya. "Kemudian tindakan pertamaku adalah menghancurkan si terkutuk Sol-mon!" kata Khaba.
"Ammet " aku akan meringankan bebanmu. Aku siap. Berikan cincinnya padaku."
"Khaba tersayang, ini dia."
Solomon berteriak; dia mengangkat si naga emas. Asmira mulai berlari. Tapi si bayangan tidak
peduli pada itu semua. Membentangkan jemarinya yang panjang dan kurus, si bayangan
berayun ke depan dengan cincin di tangannya.
Begini bagaimana semuanya berakhir.


Bartimaeus 4 The Ring Of Solomon Karya Jonathan Stroud di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Diluar hutan wilayah barat, diluar jalan jalur lintas pesisir lama yang membentang ke utara
sampai Damaskus, diluar desa-desa kecil yang menjuntai di sepanjang ngarai, wilayah Israel
perlahan "lahan kemudian dengan lebih cepat hilang di tepi laut besar.1) Perlahan bersama
berlalunya waktu si phoenix mencapainya juga, aku melayang menuju pantai.
1) Laut besar: belakangan (oleh orang Romawi) disebut Mediterania. Pada zaman kejayaan Roma,
perairannya menjadi arena ajang perdagangan, ombaknya memercik dengan warna-warna terang pada
layar kapal mereka, di atasnya, ufuk langitnya menggelap oleh makhluk-makhluk halus yang
berterbangan bolak-balik denga tergesa-gesa. Akan tetapi, pada zaman Solomon, bahkan pelaut-pelaut
Phoenician yang pandai pun lebih suka menyusuri pesisir-pesisir pantainya saja, laut besar dibiarkan
kosong dan terisolir, sebuah perwujudan kekacauan sejak zaman purba.
Secara pribadi kukatakan, tidak peduli bagaimanapun cerita-cerita orang tentangnya, bagiku
semua laut itu sama saja: besar, dingin, dan yang paling tidak penting, basah.
Di atas pantai yang sepi aku melayang, terbang tidak beraturan, satu atau dua bulu berapiku
jatuh pada tiap lambaian kepakan sayapku. Paruhku yang mulia sudah meleleh pada sebagian
besar bagiannya, dan ini semua hanya gara-gara gumpalan kecil seukuran burung gereja
dimana aku berusaha mempertahankan potongan jari Khaba. Penglihatanku juga sudah
berkabut, terimakasih pada kelelahan dan kedekatanku dengan cinicin itu, tapi saat aku
menoleh ke belakang sekilas aku masih dapat melihat si bayangan mendekat dan semakin
dekat. Aku sudah hampir mencapai batasku. Pengejarku hampir mendapatkan incarannya.
Aku melayang sedikit lebih lama ke arah barat, lurus ke arah laut, dan untuk setengah mil
pertama masih belum tampak adanya cahaya kecuali pijar orange kemerahan yang lengket di
sekeliling tubuhku dan melompat-lompat dan menari-nari di bawahku pada ombak yang
bergemuruh. Tapi tidak lama kemudian langit menjadi kelabu, aku menengok ke belakang, di
belakang si bayangan, aku melihat garis pink pada horizon di garis pantai di kejauhan
menandakan malam telah berakhir.
Bagus. Aku tidak ingin mengakhiri hidupku dalam suasana gelap. Aku ingin sinar matahari
mengenai kulitku untuk terakhir kalinya.
Si phoenix merendahkan terbangnya, meluncur dekat permukaan air. Lalu menyentakkan
kepalaku ke atas dan melontarkan potongan jari di paruhku ke udara. Melambung tinggi, tinggi,
mencapai cahaya pertama matahari, kemudian mulai jatuh "
" dan mendarat di tangan hitam ramping.
Tidak begitu jauh darinya bayangan yang mendekat melambat. Kemudian berhenti, menunggu
dengan kakinya yang meruncing menjadi setipis jarum pada ujungnya tepat di atas ombak, dan
menatapku. Aku memandangnya balik, penjaga pembawa tombak Sumeria, berambut keriting kecil-kecil
dan kusut. Titik-titik hempasan air ombak membasaki kakiku yang telanjang; Cahaya fajar yang
meluas mencapai mataku yang menatap muram. Dengan gerakan cepat aku melepaskan cincin
Solomon dari potongan jari Khaba, yang kemudian kulemparkan ke laut. Lalu aku mengangkat
tanganku. Di tanganku cincin itu tergenggam aman, melayang tenang bersamaku di atas teluk.
Ammet dan aku berdiri dalam keheningan, melayang di atas air, kedala-man yang dingin
menyentakkan roh kami. "Jadi, Bartimaeus," akhirnya si bayangan bicara, "Kau mengajakku menari gembira dan
bertempur . Lima jin sekaligus tidak akan berpengaruh banyak. Tapi semuanya akan berakhir
disini." "Terlalu benar." Aku mengangkat tanganku sedikit lebih tinggi. Cincin itu kupegang dengan
telunjuk dan jempolku, rohku di bagian itu mendesis; uapnya membubung tinggi menuju cahaya
ping fajar yang merekah. "Kalau kau berani maju satu riak gelombang lebih dekat," kataku, "aku
akan membuat benda ini langsung menuju dasar yang berlumpur, dimana sesuatu berkaki
terlalu banyak akan menjaganya selamanya. Pikirkan baik-baik, Ammet! Mastermu tidak ingin
kau menghilangkannya kan?"
Si bayangan mengangkat bahu acuh tak acuh. Cahaya fajar bersinar menembus lubang tidak
rata di tengah dadanya. "Kau hanya menggertak Bartimaeus," dia berbisik. "Bahkan dengan
kecerdasanmu yang sangat kerdil itu kau seharusnya tahu kalau kau menjatuhkan cincinnya,
aku hanya hanya perlu berubah menjadi ikan dan mendapatkannya kembali sebelum dia
sempat tenggelam sejauh selusin yard. Disamping itu, auranya cukup terang untuk bisa terlihat
walaupun tenggelam di titik terdalam. Aku tetap akan menemukannya walaupun kau
memasukkannya kedalam perut paus. Jadi lemparkan cincin itu padaku dan demi
kehormatanku, mengabaikan keinginan balas dendamku, aku akan merasa sangat berhutang
budi padamu, aku berjanji akan membunuhmu tanpa rasa sakit. Tapi bawalah benda itu sedetik
lebih lama, dan aku bersumpah akan melakukan sesuatu yang membuat bahkan Khaba pasti
menagis kalau melihat sisa-sisa dirimu."2)
2) Untuk ukuran ancaman yang baru saja ditemukan, punyaku lumayan, terutama sekali setelah aksi
kejar-kejaran kami yang panjang. Ammet jelas sekali menganut tradisi sumpah serapah ala mesir: dia
menjaga kata-katanya tetap ringkas dan menakutkan, sebagai lawannya bagi (punyaku) sumpah serapah
semeria yang panjang dan bertele-tele yang berakhir selalu dengan ungkapan tanpa akhir tentang bisul,
dan rasa sakit dan pedihnya saat tertiup angin, dimana, saat kau yang dijadikan korbannya, yang terbaik
bagimu adalah menyingkir perlahan menjauhinya.
Aku berdiri diam di atas air. Di bawah kakiku dan kaki si bayangan yang meruncing tajam,
puncak gelombang biru-pink naik dan turun, teraduk dan terhempas perlahan. Matahari telah
terbit di timur, menghadiahi kubah langit biru gelap. Setelah semua api dan kemarahan malam
ini hilang, segala sesuatunya, untuk sesaat terasa tenang. Sekarang aku bisa melihat
semuanya lebih jelas. Ammet benar, tidak ada manfaatnya melempar cincin ini ke kegelapan.
"Berikan padaku," kata si bayangan. "Lihat kerusakan yang ditimbulkannya padamu! Kau
memegangnya terlalu lama."
Aku mengamati tanganku yang meleleh.
"Apakah akal sehatmu ikut terbakar juga Bartimaeus?" Si bayangan melayang kesana-kemari di
atas laut. "Sudah cukup. Berikan padaku sekarang."
Aku tersenyum, sudah kuputuskan. Tanpa berkata apa-apa lagi, aku mengubah bentukku.
Solomon sang Bijak berdiri dengan tenang."3)
3) Aku menjadi Solomon dengan pakaian "resmi" lengkapnya disini " tampan, bugar, suram, dengan
tampilan sangat mencolok yang membosankan, dan bukan penampilan kisut "pribadi" berjubah putih versi
yang dilihat aku dan gadis itu terakhir kali. Sebagian untuk menghindari meniru semua lipatan dan
kerutannya (yang akan membuat aku tampak tua), dan sebagian lagi karena, aku berada dalam keadaan
untuk membuat pilihan hidup atau mati dalam kebenaran tertinggi, aku akan sangat terpukul kalau
mengenakan wujud seorang pria tua berpiama.
Si bayangan berhenti karena sebab yang tidak pasti.
"Apa yang kau pikirkan?" kataku. "Apa aku akan melakukan seperti kelihatannya" Aku bertaruh
aku bisa melakukannya. Aku punya pinggang bulat dan segalanya. Bahkan suaranya lumayan
bagus, bagaimana menurutmu" Tapi sepertinya ada yang kurang." Aku menunjukkan tanganku,
mengoyangkannya berganti-ganti dari satu sisi ke sisi lainnya. "Mari kita lihat " dimana dia?"
aku mengibaskan jubahku ke segala arah sedikit prihatin. Lalu seperti pesulap amatiran di
gang-gang belakang, mengeluarkan lingkaran kecil dari emas dari sela telingaku. "Ta"da!
Cincinnya! Kau ingat ini?"
Aku mengangkatnya, menyeringai, lalu memperlihatkannya dalam cahaya terang fajar. Bentuk
tubuh Ammet berkedut sedikit, menjadi gentar karena gelisah.
"Apa yang kau lakukan?" dia mendesis. "Turunkan benda itu."
"Kau tahu, Ammet," kataku. "Aku sependapat denganmu. Memegang cincin ini benar-benar
membuat rohku berantakan. Jadi dengan begitu, kelihatannya aku tidak akan kehilangan lebih
banyak dengan melangkah lebih jauh ?"
Si bayangan melangkah setapak ke belakang dengan cepat. "Itu akan membunuhmu. Kau tidak
akan berani." "Oh, masa`?" Aku memakai cincinnya. Cocok sekali. Kecocokan yang datang bersama sensasi sangat mengerikan ditarik keras-keras ke dua arah
sekaligus. Cincin ini seperti yang kukatakan sebelumnya adalah sebuah pintu gerbang.
Memegangnya, kau akan merasa seperti ada angin sepoi-sepoi yang melintasi gerbang.
Memakainya" Seakan gerbangnya sendiri meledak terbuka, dengan topan badai berkekuatan
penuh bergemuruh melintasinya, dan kau terperangkap di antaranya, kecil dan menyedihkan.4)
Rasanya seperti dibebaskan dari ikatan dunia ini dengan aliran berkekuatan penuh, menarikku
kembali ke dunia lain " tapi saat ini rohku tidak bisa melakukannya. Aku merasa rohku tercabikcabik saat aku berdiri dalam keheningan dengan tenang di sini, di atas air yang bergerak
tenang, aku tahu aku tidak akan bertahan terlalu lama.
4) Dan telanjang. Cuma agar analogi ini terasa lebih ekstra dingin.
Kukira, pada saat-saat awal, saat aku terhuyung-huyung, Ammet mungkin akan melakukan
serangan. Tapi dia terlalu terheran-heran oleh keberanianku, dia melayang disampingku seperti
noda berminyak kehitaman yang terhapus di pagi hari. Kelihatannya dia terpaku. Dan dia tidak
bergerak. Aku menguasai rasa sakitnya, berbicara sebaik yang kubisa. "Sekarang, Ammet," aku berkata
dengan nada yang menunjukkan persetujuan. "kau sejak tadi terus mengocehkan hukuman dan
pembalasan dendam. Kau lumayan banyak omong dalam masalah itu. Aku cukup setuju kita
memang harus melihatnya dengan amat sangat detil. Bisa tunggu sebentar."
"Tidak, Bartimaeus, Tidak! Maafkan?"
Kalau begitu, ini ya, pengaruh teror cincin itu. Inilah kekuatannya. Ini adalah yang membuat
para penyihir rela saling bunuh untuk mendapatkanya, mengapa Azul, Philocretes dan yang
lainnya mempertaruhkan segalanya agar mendapatkannya di tangan mereka. Tidak terlalu
menyenangkan. Sekarang pun, aku ingin segera mengakhiri ini semua.
Aku memutar cinicin itu di jariku.
Rasa sakitnya berfluktuasi dan membelitku; rohku tercabik. Aku tersengal keras pada matahari
pagi. Di sekitarku ketujuh plane terlipat. Sosok Kehadiran gelap mengambang di udara di sisiku.
Cahaya fajar tidak menerangi sosoknya sama sekali, tetapi menembusnya, menjadikan sosok
itu tetap hitam pekat seakan ada lubang memotong cahaya di siang hari. Dan sosok itu tidak
punya bayangan sama sekali.
Omong-omong, sosok kehitaman Ammet tua kita yang malang terlihat agak kelabu dan
renggang bila dibandingkan sang pendatang baru. Dia tidak tahu harus berbuat apa, melayang
keluar dari air, terbang ke kanan dan ke kiri dengan gerakan canggung, menyusut, mengempis,
dan berputar di udara meninggalakan jejak spiral menyeret ujung kakinya yang runcing.
Seperti saat di balkon sebelumnya, Sosok Kehadiran tidak memedulikan gangguan itu.
"Sebutkan keinginanmu?"
Ini juga tidak lolos dari pengamatanku bahwa saat Khaba memanggilnya, makhluk halus dari
cincin terdengar agak sakit hati ketika mendapati bukan Solomon yang memanggilnya. Pasti
karena penyamaranku yang hebat. Tidak terlalu sempurna memang" terkadang suaraku
terdengar agak sedikit lebih mencicit daripada raja yang asli, yang mana menunjukan sedikit
rasa ngeri yang merajalela dan rasa tidak nyaman yang kualami, tapi aku berusaha
melakukannya sebaik yang kubisa. Aku membuat diriku sangat persis seperti aslinya, bahkan
ibu tua si raja tidak akan tahu perbedaanya. Aku berkata dengan tenang. "Salam hangat, Wahai
Engkau Sang Makhluk Halus Hebat."
"Bisa kau berhenti berbicara menggunakan aksen tolol itu." Sosok Hadir itu berkata. "Aku tahu
nama dan jatidirimu."
"Oh." Aku menelan ludah. "Kau tahu" Apa itu masalah?"
"Aku diikat untuk mematuhi siapapun pemakai Cincin ini. Tidak ada pengecualian " Bahkan
dirimu." "Oh. Bagus! Ini memang berita bagus. Tunggu sebentar " dimana kau berada Ammet"
Kabur?" si bayangan sudah berbalik dan menjauh melintasi ombak. Aku menonton
kepergiannya dengan senyum cerah yang agak sembrono, kemudian berbicara pada makhluk
halus dari cincin itu lagi. "Bagaimana Engkau bisa menebaknya?"
"Dengan mengesampinkan kemampuanku melihat menembus segala bentuk ilusi" Solomon
jarang-jarang berdiri di atas laut terbuka. Dan juga, kau melupakan parfumnya."
"Dua kesalahan pemula! Well, sangat menyenangkan bisa bercakap-cakap seperti ini, Engkau
Sang Makhluk Halus Hebat, meskipun?"
"Apa keinginanmu?"
Singkat dan langsung ke intinya. Yang memang bagus sekali, karena aku tidak bisa menahan
tarikan Cincin ini lebih lama lagi. Di tempat jariku memakai cincin itu, rohku mulai rata dan
lemah seperti benang. Setengah kekuatanku sudah habis tertarik keluar.
Ammet sudah sangat jauh sekarang. Secarik garis diagonal kabur di sebelah kiri gelembung
buih lautan di belakangnya, dia sudah hampir mencapai daratan.
Aku berkata: "Ada marid tertentu yang terbirit-birit disana. Aku ingin dia ditangkap untuk
sementara dan diberikan suara gedebuk."
"Dilaksanakan."
Dari antah berantah, muncul tiba-tiba sebentuk benda kelabu dari ombak besar yang memecah
pantai, benda itu melingkupi si bayangan pelarian. Sedihnya aku tidak bisa melihat detilnya,
karena jaraknya dan semua regangan dan ceburan air, tapi suara teriakan dan gaduhnya cukup
membuat camar laut terbang dari sarangnya dan turun ke pantai untuk memuaskan
keingintahuan mereka. Setelah lama berlalu, penyiksaan itu pun berakhir. Si bayangan menjadi seonggok benda
kelabu yang mengapungdi air.
Sang Wujud tetap menunggu di sampingku. "Keinginanmu?"
Kalau rohku sudah terasa diregangkan sebelumnya, penggunaan kehendakku pada cincin
sangat memperparah rasa sakitnya. Aku berdiam diri, tak yakin apa yang ingin kulakukan.
Sosok Hadir kelihatannya memahami kebimbanganku. "Itu adalah sifat dasar dari Cincin ini."
Katanya. "Cincinnya akan menarik keluar energy penggunanya. Senyatanya, permintaanmu
termasuk ringan, lagipula " jika kau memang menginginkan " rohmu masih sanggup
menahannya." "Dalam kasus ini," aku berkata sungguh-sungguh, "gedebuk lagi untuk Ammet, please."
Saat hiruk-pikuk yang mendera masih berlangsung, aku berkata, "Engkau Sang Makhluk Halus
Hebat, aku memerlukan sebuah botol, atau sesuatu yang mirip, tapi aku tidak memilikinya di
tanganku saat ini, mungkin engkau bisa membantuku."
"Lautnya dalam disini" kata sang Sosok, "tapi jauh di bawah sana terdapat reruntuhan kapal
orang Mesir yang karam karena badai tiga ratus tahun silam. Kapal itu mempunyai kargo
amphorae yang dulunya berisikan anggur. Kebanyakan sudah kosong, tapi sebaliknya botolnya
sendiri dalam keadaan utuh walaupun lama berserakan jauh dibawah lapisan sedimen lumpur
laut. Kau mau satu?"
"Jangan terlalu besar, please."
Dibawah kakiku air bergelembung dan berbusa, dan corong air dingin dari kedalaman berwarna
hijau muncul di permukaan, membawa bersamanya kendi botol anggur yang besar ditutupi
rumput laut dan bernakel.
"Tinggal yang ini," kataku. "Roh Agung. Ini akan menjadi permintaan terakhir. Walaupun engkau
telah menenangkan hatiku, tapi kurasa rohku akan meledak kalau aku memakai cincin ini lebih
lama lagi. Aku ingin si marid Ammet diikat dengan belenggu dalam botol ini, dan tutupnya
disumbat dengan timbal atau apapun benda serupa itu yang bisa engkau temukan, lalu
sumbatnya disegel dengan hexes dan rune, dan kemudian dikembalikan ke dasar samudra,
tempat dia tidak mungkin dapat ditemukan selama beberapa ribu tahun, sampai waktunya si
Ammet menyesali perbuatan kriminalnya pada makhluk halus lain, dan yang paling utama,
padaku." "Sudah terlaksana." Sang Sosok berkata. "Dan tepatnya inilah permintaan terakhirmu."
Dalam sesaat botol anggur berpusing diiringi pancaran berbagai warna, dan aku bisa
merasakan proses pengikatan pada plane-plane. Di suatu tempat kuakui, sayup-sayup aku
mendengar teriakan terakhir si bayangan, tapi mungkin itu hanya suara teriakan burung camar
laut yang terdengar melintasi laut. Leher botol berpijar terang oleh timbal yang meleleh; air asin
berdesis dan beruap. Akhirnya leher botol mendingin aman dimana lima symbol Pesona dan
Pengikat masih bersinar di sumbatnya. Botol kendi itu mulai berputar, pertama-tama perlahan,
kemudian bertambah cepat: turun, turun jauh di bawah kakiku, kemudian laut menutup
melingkupinya. Sedikit gelembung besar muncul dan membasaahi kakiku, kemudian berakhir, permukaan laut
kembali datar. "Roh Mistis," kataku. "Terimakasih. Itu adalah keinginan terakhirku. Sebelum aku melepas
cincin ini, engkau memerlukanku untuk menghancurkannya menjadi dua, jadi engkau bisa
terbebaskan?" "Perkataan yang sopan." Sang Sosok berkata. "Masalah ini berada di luar jangkauan
kemampuanmu. Cincin itu untuk saat ini belum bisa dipatahkan."
"Maaf," kataku. "Sedih mendengarnya."
"Kebebasanku akan datang bila waktunya telah tiba." Sang Sosok berkata. "Dan apalah artinya
waktu bagi kita?" Aku menoleh menatap mentari. "Entahlah. Terkadang terasa sebentar."
Aku melepas cincin itu. Sang Sosok Hadir lenyap. Aku berdiri sendirian di atas gelombang laut
yang memukul-mukul dengan tenang.
Bahkan saat bergerak, Asmira tahu kalau itu tidak ada gunanya. Dia tidak mungkin mencapai
Khaba sebelum si bayangan. Tidak ada yang dapat Asmira lakukan untuk menghalanginya
mendapatkan kembali cincin itu.
Terlalu lamban, terlalu lemah dan terlalu jauh untuk menjadi berguna " ini sensasi yang sudah
pernah dirasakanya sebelumnya. Tapi Asmira tetap berlari. Mungkin dia bisa mengalihkan
perhatian mereka, memberi waktu Solomon untuk menggunakan senjatanya, atau memberinya
ruang untuk lolos. Asmira berlari " itu hal benar yang harus dilakukannya. Dan di saat terakhir
itu Asmira menyadari sepenuhnya keadaan sekelilingnya: cahaya fajar bersinar menembus tirai
jendela; keempat demon berbentuk monyet itu berkumpul berdesakan di sudut ruangan; si
penyihir tersandung maju, mulut terbuka lebar, mata berkilat, tangannya terbuka rakus "
Dan si bayangan, cerminan sosok Khaba, maju mempercepat langkah ke arahnya.
Mengabaikan kerusakan pada rohnya, si bayangan masih mempertahankan mimikri masternya
dengan setia. Kecuali saat dia semakin dekat dengan si penyihir, Asmira melihat siluet itu telah
berubah. Hidungnya tiba-tiba menjadi lebih panjang daripada milik si penyihir, dan muncul kutil
yang sangat besar, telinganya melebar menjadi sangat besar, meniru milik gajah, menonjol
keluar dari tulangnya. Si bayangan dan masternya bertemu. Khaba menjulurkan tangan. Si bayangan berbuat seolaholah akan menjatuhkan cincin itu ke telapak tangannya " lalu, pada saat terakhir "
menyentakkannya kembali. Khaba merenggut cincinnya dan meleset. Dia melompat-lompat menari, berteriak-teriak jengkel,
tapi si bayangan mengangkat tinggi-tinggi tangannya ke atas kepala, menggoyang- goyangkan
cincin itu di jarinya ke kanan dan ke kiri dengan menggoda.
"Hampir saja kau mendapatkannya ya," kata si bayangan. "Ooh, itu lompatan yang tinggi. Hm,


Bartimaeus 4 The Ring Of Solomon Karya Jonathan Stroud di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

coba kau sedikit lebih tinggi lagi."
"Apa yang kau lakukan, budak?" khaba meraung. "Berikan padaku cincin itu! Berikan padaku!"
Si bayangan menepukkan tangannya ke telinganya yang kelewat besar. "Sori, jelek. Aku sedikit
tuli. Apa katamu tadi?"
"Berikan padaku!"
"Tidak ada yang membuatku lebih senang lagi."
Si bayangan mundur, lalu melayangkan tinju dan menghantamkannya pada dagu kotak si
penyihir, mengirim seluruh tubuhnya ke lantai, bersalto di udara dan mendarat di salah satu
meja berlapis emas, yang menjadi pecah berantakan di bawah tubuh si penyihir yang
tergeletak. Khaba sang keji terbaring tak sadarkan diri di atas buah-buahan yang berhamburan. Jus anggur
ungu kemerahan menggenang seperti darah di sekitarnya.
Asmira melotot. Engahan napasnya bercampur dengan gema suara-suara lain di ruangan itu.
Si bayangan memberi hormat sedikit. "Terimakasih, terimakasih. Untuk trikku yang terbaru.
Cincin ini kembali ke pemiliknya yang sah, diikuti dengan pembebasan segera jin yang
namanya sudah dikenal baik. Tanda tangan tersedia bagi yang meminta."
"Bartimaeus?" Asmira memulai.
Si bayangan membungkuk. "Pagi. Aku punya sesuatu untukmu."
"Tapi bagaima?" Kami pikir kau sudah benar-benar?"
"Aku tahu, aku tahu " kalian mungkin mengharapkan aku kembali sedikit lebih cepat. Well, aku
belum bisa bercakap-cakap dengan Ammet sebelum mengalahkannya dulu, kau lihat.
Memberinya peringatan keras juga, semoga dia menyadari kesalahannya. Lalu, sesudah itu,
ada sejumlah permohonan belas kasihan, semua ratapan dan raungan mengemis yang tidak
diharapkan; kau tahu bagaimana marid itu jadinya ?" untuk pertama kalinya si bayangan
sepertinya baru menyadari kehadiran sekelompok demon yang berkeliaran di batas ujung aula.
"Halo, anak-anak," kataya gembira. "Aku berharap kalian mengambil pelajaran disini. Beginilah
caranya mengalahkan master dengan baik."
Keheranan Asmira menjadikannya mendadak tenggelam dalam urgensi. "Lalu kau masih benar
membawa?" Si bayangan membuka tangannya. Di tempat cincin Solomon berada, roh si jin berbelembung
dan mencair, mengirim jalinan uap ke udara.
"Kupikir aku mengatakannya padamu untuk membuangnya ke laut." Kata Asmira.
"Yep, dan aku melaksanakan perintahmu sampai akhir. Well, aku melontarkannya dan
mengambilnya lagi dengan segera. Masih terasa basah, cobalah. Lain kali kau harus hati-hati
pada saat mengucapkan frase perintah saat kau kau sedang bermain-main menjadi penyihir,
Asmira " trik seperti ini adalah hal-hal yang kami para jin yang nakal manfaatkan saat kami
tidak hanya ingin menyelamatkan peradaban. Intinya adalah," si bayangan melanjutkan,
"walaupun itu memang ideku, aku tidak benar-benar berpikir menghilangkan cincin ini di lautan
dan mencelakakan makhluk halus di dalamnya dengan pemenjaraan lebih lama daripada yang
sudah dideritanya adalah yang terbaik. Nuraniku tidak mengizinkannya. Jadi, seperti
permintaan pertamamu, sebetulnya, sebab ini membuatku berdarah-darah, aku
mengembalikannya padamu sekarang, terserah padamu apa yang akan kau lakukan
dengannya, tentu saja. Tangkap!"
Cincin itu dilemparkan padanya, Asmira menangkapnya, tersengal oleh rasa sakit saat cincin itu
menyentuh kulitnya. Kali ini Asmira tidak menjatuhkan cincin itu.
Alih-alih, tanpa mengeluh, ia berbalik untuk berhadapan dengan sang raja, yang berdiri
menunggu di seberang ruangan. "Solomon Yang Mulia," Asmira memulai, "dia yang memiliki
kecemerlangan dan keagungan tanpa batas?"
Asmira mendongak menatap sang raja untuk pertama kalinya, dan menemukan sang Raja
Hebat melongo ke arahnya seperti ikan terdampar. Wajah dan bahunya menghitam terkena
jelaga, dan rambutnya berdiri tegak seperti paku keriting.
"Oh," Asmira tersengal. "Apa yang terjadi pada anda?"
Solomon mengerjap. "Aku " tidak begitu tahu. Saat kukira Khaba akan mendapatkan kembali
cincinnya, aku mengarahkan piranti ular emas ini padanya, memencet sejumlah besar tombol
dan, dan seolah dunia berakhir, aku mendapat sejumlah sengatan tertentu, lalu benda ini
mengeluarkan gumpalan asap seperti ter langsung menuju wajahku. Aku harap aku tak tampak
terlalu mengerikan."
Asmira berbicara dengan suara lemah. "Tidak " terlalu buruk."
"Setidaknya kau tidak menekan tombol ketiga," kata si jin. "Itu akan membuatnya mengeluarkan
bau yang sangat mengeriakan yang ?" Si jin mengeluh, mengendus. "Oh, kau "
menekannya." "Yang Mulia Solomon," Asmira berkata tergesa-gesa. "Dengan ini aku mengembalikan
propertimu." Ia menundukan kepalanya dan mengulurkan tangannya yang membentu mangkok.
Tangannya terbakar akibat kekuatan cincin itu, tapi Asmira menggertakkan giginya dan
mengulurkan tangannya dengan mantap. "Aku dan Bartimaeus sangat menyesal atas hal buruk
yang kami lakukan padamu, kami menyerahkan diri kami pada kebijaksanaan dan belas
kasihmu." Si bayangan berseru kaget. "Hei, biarkan aku keluar dari ini semua! Aku melakukan semuanya
dibawah paksaan. Kecuali yang barusan " saat aku mengembalikan cincin itu."
Asmira mendesah. Ia mengangkat tangannya tinggi-tinggi; Solomon masih belum bergerak.
"Aku bertanggung jawab penuh, Wahai Raja," kata Asmira, "dan aku mohon pelayanku
diampuni dari segala kesalahan yang telah dia perbuat." Ia melirik dengan pandangan marah ke
arah si bayangan. "Sudah. Itu memuaskanmu?"
"Cukup bagus, kukira."
Saat itu raja Solomon bergerak. Dia mendekati mereka berdua. Si bayangan menutup mulut.
Terasa kegelisahan dari empat ekor monyet di pojokan. Bahkan si penyihir yang terbaring tak
sadarkan diri di ranjang buahnya mengerang dan menggerakkan kepalanya.
Ruangan itu hening. Asmira menunggu dengan kepala tertunduk dan tangan terbakar, ia tidak punya bayangan
bagaimana ia akan berakhir, dan ia juga tahu itu memang sudah sepantasnya. Kembali ke
ruang penyimpanan, Solomon menampakkan ekspresi tanpa ampun " tapi itu saat mereka
berdua berada di ambang kematian. Sekarang, dengan cincinnya kembali ke genggamannya
dan wibawanya dipulihkan, mungkin keadaan akan berbeda. Diluar menara, istananya menjadi
reruntuhan, rakyatnya ketakutan. Para penyihirnya mati. Hukum menuntut balas.
Asmira tahu semua itu, tapi hal-hal itu tidak menggusarkannya. Ia merasa sangat damai dan
tenang. Gerakan si pemakai jubah panjang mendekat. Asmira tidak menatapnya.
"Kau menyerahkan cincin dan permintaan maafmu padaku." Suara Solomon terdengar, "yang
pertama kuterima " dengan rasa enggan, karena beban tanggung jawab kekuatannya yang
mengerikan." Asmira merasakan jemari dingin menyapu tangannya, kemudian rasa sakit yang dirasakannya
menghilang. Saat ia mengangkat wajahnya, Solomon memakai cincin itu di jarinya. Kilasan rasa
tidak nyaman tampak pada roman muka Solomon saat dia melakukannya, kemudian hilang.
"Berdiri," kata sang raja. Asmira berdiri tegak. Disampingnya si bayangan berkelip dan
kemudian berubah menjadi pemuda bermata gelap tampan yang biasanya. Asmira dan
Bartimaeus berdiri di hadapan sang raja, menunggunya berbicara.
"Tawaran keduamu," kata Solomon, "Aku tidak akan menyetujuinya semudah itu. Terlalu
banyak kerusakan yang telah ditimbulkannya. Pada waktunya kita akan sampai pada
keputusanku. Tapi pertama ?" Menutup matanya, dia menyentuh cincin itu dan mengucapkan
sebuah kata tanpa suara. Kilasan cahaya meliputi Solomon, kemudian mereda; sang raja yang
berdiri di depan mereka berubah total. Wajahnya bersih dari jelaga, bersamaan jaringan kerutan
di wajahnya juga lenyap; rambutnya tidak berdiri lagi, hitam gelap dan bersinar memancarkan
vitalitas. Sang raja sekarang adalah pria muda tampan yang terpampang pada lukisan di
tembok istana, dan hanya karena Asmira pernah melihatnya di lukisan itulah ia tidak jatuh
berlutut lagi. "Oh, ayolah" katanya, "kau tau ini semua cuma ilusi." Meringis sedikit, Solomon memutar
cincinnya; dalam sekejap Sang Sosok hadir berdiri bersama mereka. "Uraziel," Solomon
berkata, "aku kembali."
"Aku tidak pernah meragukannya."
"Kita punya sedikit pekerjaan."
"Darimana kita akan memulainya?"
Solomon menoleh ke arah penyihir yang terbaring di lantai. Khaba mengerang, menggeliat ke
berbagai arah. "Kau bisa menyingkirkan objek itu dulu sebelum kita memulai yang lainnya.
Pindahkan dia ke penjara bawah tanah di dasar menara. Aku akan mengurusnya sendiri nanti."
Kilasan cahaya; Khaba lenyap.
"Budak-budaknya yang menyeret diri mereka menjauh dari sini bisa dibebaskan; aku tidak
dendam pada mereka lagi."
Lebih banyak kilasan menyilaukan mata lagi: empat demon berwujud monyet lenyap dari
tempat mereka tadinya berada."
Raja Solomon mengangguk. "Istanaku, aku yakin, perlu beberapa perbaikan; kita harus bekerja
keras, Uraziel. Survei kerusakanya, perkirakan jumlah makhluk halus yang dibutuhkan dan
tunggu tanda dariku. Aku punya sedikit urusan yang harus diselesaikan disini."
Sang sosok berangkat, sentakan di udara; telinga Asmira berdenging; ia menyeka darah dari
hidungnya dengan lengan baju.
Asmira dan Bartimaeus masih berdiri diam di hadapan sang raja.
"Sekarang," raja Solomon berkata, "kita menuju keputusan keadilanku, Bartimaeus dari Uruk
kau duluan. Perbuatan kriminalmu sebanyak satu legion penuh. Kau membuat berlusin-lusin
makhluk halusku mati, kau menyebarkan kekacauan di seluruh penjuru Jerusalem. Adalah
nesehat dan pertolonganmu sehingga gadis itu dapat mencapai cincinku. Tidak hanya itu, kau
menghabiskan banyak waktu menampakkan penghinaan yang luar biasa pada diriku sebagai
raja. Samaran kudanilmu?"
"Tidak, tidak. Itu sungguh-sungguh cuma kebetulan! Sama sekali tidak mirip istrimu!"
?" menunjukkan ketidakpedulian yang menjijikkan pada kesucian kuilku. Itulah yang ingin
kukatakan." "Oh." "Seolah kejahatan itu belum cukup banyak," sang raja melanjutkan setelah keheningan yang
menegangkan, "Kau tampaknya mendukung gadis itu untuk melemparkan cincinku ke laut ?"
"Hanya untuk menjaganya agar tidak jatuh ke cengkraman musuhmu!" kaok si jin. "Jauh lebih
baik kehilangan dia di kedalaman berair daripada membiarkan Khaba atau Ratu Sheba
menikmati kekuatannya alih-alih kau! Itulah yang ada dalam pikiranku. Kalau Solomon yang
Hebat tidak bisa memilikinya, aku berkata pada diriku sendiri, well, mari kita biarkan koral bisu
menjaganya sampai akhir waktu, saat?"
"Berhenti mengoceh, Bartimaeus." Solomon mengerutkan bibirnya. "Dalam semua hal ini kau
patut dicela. Tapi bagaimanapun, kau juga adalah seorang budak, dipaksa melakukan
keinginan orang lain, kenyataanya, mengesampingkan apapun godaan yang sangat mungkin
kumiliki, aku tidak dapat meletakkan tanggung jawab semua kesalahan itu padamu."
Si jin menghembuskan nafas dengan kelegaan yang sangat dalam. "Tidak bisa" Hupf.
Sekarang itu apa yang kusebut kebijaksanaan." Dia memberi anggukan tajam pada Asmira di
tulang rusuknya. "Jadi, sekarang " giliranmu."
"Asmira dari Sheba," sang Raja berkata. "Dalam kasusmu tidak dibutuhkan lagi menceritakan
daftar lengkap perbuatanmu. Kerugian yang kau timbulkan padaku sangatlah besar, dan
dampak kelanjutannya membuatku semakin melemah. Tidak hanya itu, kau memergokiku
kelemahanku; kau melihat apa yang ada di balik topeng yang kupakai. Demi semua peraturan
hukum yang sudah lazim ada, kau berhak mendapatkan sangsi. Kau akan menyetujuinya?"
Asmira mengangguk. Ia tidak berbicara sepatah katapun.
"Sebagai tambahan," sang raja melanjutkan, "ini kelanjutannya. Kau tidak membunuhku di
dalam kamarku. Aku tidak tahu alasannya " mungkin kau sudah mulai menduga-duga misimu
adalah kesalahpahaman. Lalu, saat Khaba ikut campur, semua taraf kebodohanmu sampai saat
itu akhirnya tampak jelas olehmu, kau menyerangnya dan meminta Bartimaeus mengambil
cincinnya. Aksimu itu, dengan sendirinya, mencegah si penghianat mendapatkan kemenangan
dengan segera. Tidak hanya itu, kau sesudahnya mempertahankan hidupku selama serangan
penghabisan Khaba, tanpa itu saat ini aku sudah pasti telah terbunuh. Kini kau menyerahkan
kembali cincin itu padaku. Aku merasa sulit mencari kata-kata yang tepat untukmu."
"Dia memang aneh," Bartimaeus menyetujui. "aku pun punya masalah yang sama."
"Aku sudah mengatakannya padamu, Asmira," sang raja berbicara memberi penekanan pada
kata-katanya, dan mengabaikan interupsi si jin, "kalau aksimu itu membangunkanku dari tidur.
Belakangan ini, aku merasa terbebani kekuatan Cincin, yang menyebabkan aku melalaikan
banyak hal, termasuk membiarkan korupsi para pelayanku tumbuh subur merajalela. Kejadian
ini akan mengubah diriku mulai sekarang! Aku harus mencari cara lain untuk menjaga Cincin
ini, dan memakai benda terkutuk ini lebih jarang lagi, apapun yang terjadi. Kerajaanku," kata
Solomon, "akan jadi jauh lebih kuat dari yang sudah-sudah."
Sang raja menyeret meja yang selamat, dan dari botol batu menuang dua gelas anggur merah
terang. "Ada satu fakta yang yang harus ditambahkan," katanya, "yang memang butuh
pertimbangan masak. Bukan kemauanmu untuk menyerangku, dan aku tidak percaya kau
punya pilihan dalam masalah ini. Termasuk kau Asmira, kau bertindak dibawah perintah pihak
lain. Kau sama saja denagan Bartimaeus dalam hal ini."
Si jin mengangguk ke arah Asmira lagi. "Sudah kubilang," katanya.
"Konsekuensinya, Raja Solomon berkata, "penyebab kesalahan ini berada di tempak lain.
Uraziel." Sang Sosok melayang di sisi sang raja. "Master."
"Bawakan ratu Sheba kemari."
Wujud itu lenyap kembali. Bartimaeus bersiul. Perut Asmira mendadak mulas, sensasi rasa
tenang yang aneh yang dirasakannya sepanjang pengadilan dirinya tadi mendadak berubah
menjadi rasa tegang. Solomon memilih sebutir buah anggur dari baki buah dan menggigitnya
hati-hati. Dia mengangkat dua gelas anggur dan menoleh menatap ke arah ruang kosong di
tengah permadani terdekat.
Kilatan cahaya, disusul aroma susu dan mawar menguar: Ratu Sheba berdiri di atas
permadani. Ia mengenakan gaun putih panjang dengan hiasan garis keemasan, dan kalung dari
emas dan gading. Rambutnya disanggul tinggi di atas karangan bunga, anting-anting dari emas
yang melingkar menggantung di samping lehernya yang jenjang. Sedikit mengurangi
penampilannya yang cantik dan elegan adalah ekspresi kaku kebingungannya yang tampak
hampa, dan perlu ditambahkan ada sedikit kesan kehijauan pada kulitnya. Ia bergoyang sedikit
di tempatnya berdiri, megap-megap dan mengerjap, menatap sekeliling tempatya berada.
Si pemuda sumeria memiringkan tubuhnya ke arah Asmira "Perpindahan tempat kilat
membuatmu mulas," Bartimaeus berbisik. "Meski begitu dia bisa segera mengasai diri, toh. Gak
ada acara muntah tak sengaja atau semacamnya. Itu jelas pertanda keturunan bagus."
"Selamat datang di Jerusalem, Ratuku. " Solomon menyorongkan gelas dengan kasual. "Mau
mencicipi sedikit anggur?"
Balqis tidak menjawab. Pandangannya menyala-nyala ke arah Aasmira dan, setelah keraguraguan sesaat, pandangannya terang karena mengenali Asmira. Ia berteriak kecil.
"Ratuku?" Asmira memulai bicara.
"Gadis picik!" wajah sang ratu mendadak berubah putih; bintik-bintik merah terbakar muncul di
pipinya. "Kau menghianatiku!" ia tersandung ke arah Asmira. Mengangkat sebelah tangannya
yang berkuku. "Tidak seluruhnya," Solomon berkata, menyisipkan dirinya dengan lembut di antara mereka
berdua. "Kenyataanya, justru sebaliknya. Dia pelayanmu yang paling setia. Dia menjalankan
misi yang kau tugaskan. Dia mencuri cincinku. Dia menghancurkan orang-orang yang
mengancammu dengan mengatasnamakan aku. Tanpa dia, masa depan Israel " dan Sheba,
Balqis tersayang, akan terkubur dalam-dalam. Aku berhutang budi pada Asmira," kata Solomon.
"Dan pastinya juga dirimu."
Ratu Balqis tak mengatakan sepatah katapun. Matanya masih terpaku pada Asmira, menusuk
dalam-dalam dengan keraguan dan rasa dingin permusuhan, bibirnya membentuk garis tipis.
Asmira berusaha mengingat kembai cara sang Ratu memandangnya saat mereka bercakapcakap berdua dua minggu kebelakang. Ia berusaha mengingat senyuman dan bujuk-rayuan,
kedekatannya, perasaan bangga yang membengkak dalam diri Asmira "
Tidak bagus. Ingatannya kabur dan tidak lagi memancarkan kekuatannya.
Balqis menoleh pada sang raja. "Seperti katamu, Tuanku," katanya akhirnya. "Aku akan tinggal
agar yakin pada fakta-fakta itu."
"Sungguh?" Solomon membungkuk sopan. "Ini tidak mengejutkan. Agaknya kami memang akan
mengatakannya padamu." Dia menyodorkan segelas anggur, sang ratu bermandikan radiasi
senyumnya dalam kekuatan penuh; Balqis menerima gelasnya. "Boleh kutunjukan padamu,
kalau begitu," katanya, "kalau kau mau menemaniku berjalan-jalan di seputaran istanaku,
dimana sedikit pekerjaan rekonstruksi sedang berlangsung" Aku dapat memberikan detailnya
lebih jauh sambil jalan, dan kita dapat berbincang-bincang bersama tentang hubungan di antara
negeri kita, yang " aku harap kau setuju " sedang membutuhkan beberapa pembaharuan."
Sang ratu mendengarkan dengan sabar, kemudian dengan langkah kecil, berbalik. Ia
membungkuk kaku. "Bagus sekali."
"Oh iya, pengawalmu?"
Balqis menggelengkan kepalanya dengan tegas. "Dia bukan lagi pengawal milikku. Aku tak tahu
lagi siapa yang dilayaninya."
Hanya sesaat Asmira merasakan tusukan rasa sakit, seperti ada mata pisau ditancapkan di
hatinya. Kemudian, secepat datangnya, rasa sakit itu hilang, dan bersamaan dengan itu,
pergolakannya pada sang ratu berakhir. Dengan terkejut Asmira merasa dirinya tenang
kembali. Asmira menghormat datar pada sang ratu. Balqis menyesap anggur dan berbalik.
"Dalam masalah ini," Solomon berkata, tersenyum, "kau pasti tidak keberatan ratuku, kalau aku
punya sedikit saran kecil. Asmira" " kini semua daya tarik dan glamour penampilan sang raja
dengan kekuatan penuh beralih pada Asmira " "aku punya penawaran khusus untukmu.
Masuklah dalam pelayananku, jadilah pengawalku. Aku sudah melihat dengan mata kepalaku
sendiri banyak sekali kualitasmu yang luar biasa, dan sekarang aku tahu " memang hal yang
ironis setelah semua kejadian-kejadian semalam " kalau aku dapat mempercayaimu dengan
seluruh hidupku. Jadi, bantulah aku menegakkan kembali semuanya disini di Jerusalem.
Jadilah bagian dari pemerintahanku yang lebih bersinar! Aku akan membutuhkan semua
pertolongan yang dapat kuperoleh dalam beberapa hari dan minggu atau bulan ke depan, demi
para pelayan lamaku yang berceceran, dan jika ada penyihirku yang bertahan hidup, mereka
akan membutuhkan pengawasan saksama. Bantulah aku melangkah ke depan, Asmira!
Mulailah hidup barumu di Jerusalem! Yakinlah," Solomon tersenyum, "bahwa aku akan
memberimu hadiah yang besar sebagai imbalannya."
Sampai disini Solomon meletakkan gelas anggurnya. "Sekarang ini adalah waktu yang amat
penting yang harus kukerahkan pada tamuku yang paling penting. Balqis yang baik, kita harus
mulai mengambil perjalanan tur kita yang panjang, lalu kembali sebentar ke pavilion untuk
menikmati jus buah ber-es. Esnya, kebetulan masih segar, baru saja diambil dari punggung


Bartimaeus 4 The Ring Of Solomon Karya Jonathan Stroud di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pegunungan Lebanon; aku bersumpah kau tidak akan pernah bisa merasakan yang lebih segar
dari ini. Please ?" Solomon mengulurkan lengannya; ratu dari Sheba menyambut uluran tangannya. Bersama
mereka berjalan melintasi ruangan, melangkah dengan anggun mengitari reruntuhan di lantai.
Mereka mencapai pintu lengkung di ujung terjauh dan melewatinya. Suara kibaran jubah
mereka melemah di kejauhan, suara langkah-langkah kaki kecil mereka lenyap. Mereka telah
pergi. Asmira dan si jin saling menatap satu sama lain. Jeda hening sesaat.
"Yep, sepasang raja dan ratu lengkap untukmu," kata Bartimaeus.
Uraziel, makhluk halus hebat dari cincin, bukanlah jenis orang yang akan mengacau dalam
usahanya memperbaiki istana. Dibawah menara pekerjaan tengah berlangsung. Bangunanbangunan di seputar taman-taman istana yang merupakan area yang paling parah terkena
dampak pertempuran berdarah semalam telah dibungkus dengan jalinan rangka-rangka
bambu,dan bergentong-gentong jin terburu-buru naik-turun rangkaian tangga yang ruwet,
menyingkirkan reruntuhan, menarik keluar kayu-kayu terbakar dari reruntuhan bangunan dan
menghapus sisa-sisa jejak sihir. Dari arah lokasi tambang terdengar hiruk-pikuk suara
menempa; afrit-afrit beterbangan ke barat menuju hutan menebang kayu. Di pekarangan,
barisan mouler 1) berjajar di sisi-sisi tong-tong besar semen, mengaduk-aduknya dengan rajin
menggunakan ekor mereka, sedangkan di taman, terentang jauh sampai di horizon biru di
kejauhan, berjejal pasukan-pasukan besar imp membersihkan dan mengganti halaman rumput
yang menghitam. 1) Mouler: suatu subtipe makhluk halus yang luar biasa membosankan. Bayangkan ini: kecil, lambat,
berwarna coklat kelabu " Tidak, hanya mendeskripsikan mereka saja membuatku mati bosan.
Di antara itu semua, Solomon melangkah, menggandeng ratu sheba di-tangannya.
Dari tempat aku berada, di atas balkon, bahkan monumental penghormatan diri sendiri
Solomon dan Balqis tampak tidak penting. Mereka hanya dua titik kecil di antara warna emas
dan putih, hampir tidak terbedakan dari onggokan gerombolan penonton yang mengikuti dari
belakang tumit mereka.2) Balqis berjalan lambat, sedikit kaku di belakang, gambaran harga
dirinya yang rapuh; sedangkan Solomon melangkah dengan langkah lebih anggun. Dari tadi
Solomon terus melambai-lambaikan tangan dengan berlebih-lebihan, tak perlu diragukan lagi
dia sedang menunjukkan betapa mengagumkan taman-tamannya. Di salah satu tangannya
bersinar kilatan kecil emas.
2) Kerumunan yang biasa: prajurit, pejabat istana, para istri dan budak-budak manusianya. Tampaknya
bahwa kebanyakan kategori pegawai istana, selain dari para penyihir, berhasil bertahan hidup dari
kejadian semalam lengkap dengan perangai budak tulen mereka yang biasa. Suara cicit kemarahan para
istri, saat mereka melontarkan penilaian tentang Sang Ratu dari Sheba, terbawa angin seprti riuhan
celoteh burung dari tempat bertenggernya. Dalam banyak hal, kukira, keadaan akan kembali normal.
Bisa dikatakan kalau, dengan jumlah kekuatan yang ada di tangannya, Solomon itu, menurut
standar manusia, cukup mampu mengendalikan dirinya dengan baik. Kebanyakan
perbuatannya kelihatannya kurang lebih dirujukan untuk kebaikan bersama, dan secara pribadi
dia juga sangat murah hati " seperti yang aku dan Asmira barusan temukan. Tapi, di atas
segalanya, dia masih tetap raja di hati, yang berarti agung dan menyilaukan. Bahkan
kesederhanaannya, penampakan kemurahan hatinya pada kami, dengan caranya sendiri, lebih
agung dan menyilaukan dari semua permata dan perhiasan yang dimilikinya. Bukan berarti kau
akan mendengar keluhanku.
Tapi kalau untuk Ratu Sheba itu " Well.
Dari ketinggian tempatnya berada si pemuda Sumeria bermata gelap tampak berwajah penuh
sesal. Dia menarik rohnya yang sudah compang-camping dari pembatas tangga tempatnya
bersandar kemudan masuk ke dalam ruangan.
Waktunya bagiku pulang. Aku menemukan gadis itu sedang duduk di salah satu kursi emas Solomon di apartemen
tempat tinggalnya, makan kue madu dalam jumlah besar dengan kehalusan dan kendali tingkah
laku seekor serigala hutan kurus kering yang kelaparan 3). Dia tidak berhenti waktu aku masuk,
tapi meneruskannya dengan mengejek. Aku duduk di kursi tepat dihadapannya dan untuk
pertama kali sejak aku kembali kemari, memperhatikannya dengan sungguh-sungguh.
3) Keglamouran ruangan itu telah porak-poranda tersapu pertempuran semalam, bersama beberapa
lemari, karpet, lukisan-lukisan, dan bola kristal Solomon yang sekarang tampak sejernih air hujan,
makhluk halus yang terjebak didalamnya dengan gembira telah dilepaskan.
Secara fisik gadis itu masih punya sisa jumlah tangan dan kaki yang benar; sebaliknya,
penampilanya tidak dapat disangkal memang buruk. Pakaiannya koyak dan hangus di sanasini, kulitnya memar-memar, bibirnya sedikit bengkak; ditambah, rambutnya berwarna hijau
aneh karena letupan api sihir. Tidak satupun yang benar-benar mendapat nilai plus, sebab itu
tidaklah menggambarkan cerita keseluruhannya dalam artian apapun. Saat ini gadis itu tengah
meneguk dalam-dalam anggur Solomon, kemudian dengan senang hati menyeka tangannya
yang lengket dengan salah satu bantal sutra Solomon, pada perspektif pengamat (aku) bisa
ditambahkan bahwa gadis itu tampak lebih bersemangat dan hidup daripada ketika pertama kali
aku berjumpa dengannya, begitu kaku dan dingin di punggung untanya tempo hari di tepi jurang
itu. Kalau tampilan luar Asmira sungguh buruk disebabkan kejadian semalam, kurasa kejadian itu
juga membuat rantai dalam dirinya terputus " yang mana ini bukanlah sesuatu yang buruk.
Gadis itu meraih setangkai anggur dan sebuah kue kismis almond. "Masih dibawah sana
mereka, ya?" "Ya, sibuk dengan tur ?" aku menyipitkan mataku yang tampan dengan pandangan tertarik.
"Cuma perasaanku, atau ratu Balqismu yang baik itu jadi tidak lebih dari ikan trout tua yang
masam?" Asmira memberiku seringaian miring. "Harus kukatakan ia tidaklah sebaik-hati yang
kuharapkan." "Itu sedikit membuat citranya jelek."
"Well, apa yang bisa kau harapkan?" gadis itu mengibaskan sepotong kue
pangkuannya. "Ia mengirimku untuk melakukan aksi pembunuhan yang cukup
pencurian cincin. Sekarang dia menemukanku mendapat puji-pujian setinggi
Solomon, cincin masih nyaman di jarinya, dan ia dipanggil ke Jerusalem seperti
dengan tali kekang dilehernya."
pastry ke aman dan langit dari imp dungu Itu analisis yang adil. "Solomon akan menaklukannya," aku menekankan kata-kataku disini. "Dia
selalu bisa melakukannya."
"Oh, ia akan memaafkan Solomon, kata Asmira. "Ia tidak akan memaafkanku."
Gadis itu kembali ke kue-kuenya. Suasana hening selama beberapa saat.
"Kau dapat tawaran pekerjaan bagus, toh," kataku.
Gadis itu menengadah, mengunyah. "Apa?"
"Tawaran Solomon. Penghargaan menggiurkan untukmu membantu dia kedepannya dalam
rencana barunya, pemerintahan yang lebih progresif, atau apalah. Terdengar sedikit tidak jelas
bagiku sih. Tapi tetap saja, aku yakin kau akan senang." Aku menatap langit-langit.
"Kau kedengarannya tidak setuju," kata gadis itu.
Aku mengerutkan dahi. "Well, dia cuma sedang menggunakan mantra Pesonanya padamu,
bukan" Menggaetmu dengan hal-hal gemerlapan seperti barusan, kontak mata satu lawan
satu" semua senyuman manisnya, tentang urusan mempercayaimu dengan seluruh hidupnya
" Semua itu memang sangat bagus, tapi kemana perginya semua itu pada akhirnya nanti"
Pertama kau dijadikan pelindung, lalu "penasehat khusus". Hal berikutnya yang kau ketahui
adalah kau berada dalam haremnya. Yang bisa kukatakan saat ini adalah, kalau itu terjadi,
pastikan dirimu tidak tidur di bangku tidur dibawah istri yang dari Moab."
"Aku tidak akan memasuki haremnya, Bartimaeus."
"Well, kau mengatakannya sekarang, tapi?"
"Aku tidak akan menerima tawarannya." Ia meneguk anggur lagi.
"Apa?" Sekarang giliranku yang melongo. "Kau menolaknya?"
"Ya." "Tapi dia itu Solomon. Dan " dengan mengesampingkan yang barusaja kukatakan. Dia
mengatakan terimakasih padamu kan."
"Aku tahu itu," kata Asmira. "Tapi aku tidak akan memasuki istananya, menjadi pelayannya,
yang terpening adalah, aku tidak akan menukar satu master dengan master lainnya."
Aku mengerutkan dahi. Rantai dalam dirinya telah terlepas, baguslah. "Apa kau yakin dengan
pilihanmu itu?" kataku. "Benar, dia penguasa yang congkak, benar dia adalah seorang maniak
pengoleksi istri. Tapi dia masih tetap bos yang lebih baik daripada si Balqis dalam segala hal.
Sebagai permulaan, kau tidak akan menjadi bud" kau takkan manjadi pengawal turuntemurun. Akan ada banyak sekali kebebasan bagimu " dan emas juga, seandainya itu juga
menggelitik angan-anganmu."
"Bukan karena itu. Aku tidak mau tetap tinggal di Jerusalem."
"Kenapa tidak" Berterimakasihlah pada Cincin itu, disinilah pusat dunia."
"Tapi disini bukan Sheba. Disini bukan rumahku." Dan seketika dimatanya, aku melihat api yang
sama yang kulihat semalam sebelumnya, masih membakar dengan terang, tapi dengan api
yang lebih tenang, lembut. Semua kemarahan dan fanatismenya telah lenyap. Gadis itu
tersenyum padaku. "Aku tidak berbohong padamu " hal yang kukatakan padamu semalam.
Menjadi pengawal, melakukan apa yang diperintahkan " ya, aku melayani ratu, tapi aku juga
melakukannya untuk Sheba. Aku cinta bukit-bukit dan hutannya; aku suka gurun yang berkilau
dibalik padang-padang rumputnya. Ibuku menunjukkan itu semua padaku, Bartimaeus, saat aku
masih sangat kecil. Dan hal-hal itu tidak akan pernah kembali pada perbudakan, atau pada
"nya?"" gadis itu berhenti. "Kau tidak akan bisa membayangkan seperti apa rasanya."
"Sebenarnya," kataku. "Bisa. Omong-omong tentang itu?"
"Ya, tentu saja."
membebaskanmu." Asmira berdiri dengan meyakinkan. "Ini waktunya. Aku akan Yang sekali lagi membuktikan bahwa gadis itu bukanlah penyihir sungguhan. Sejak hari-hari
kejayaan Uruk, semua penderitaan perbudakan secara tradisional berakhir dengan argumentasi
jorok dimana masterku menolak mentah-mentah membebaskanku, dan aku menjadi mayat
berkotek atau lamia dengan cakar berdarah untuk "membujuk"-nya. Tapi gadis ini, yang sudah
membebaskan dirinya, cukup senang untuk melakukan hal yang sama padaku. Dan
melakukannya tanpa pertengkaran. Untuk sesaat aku sangat terkejut dan tidak bisa berkata
apa-apa. Aku berjalan lambat-lambat. Gadis itu melihat-lihat sekitar aula. "Kita akan membutuhkan
sebuah pentacle," katanya.
"Ya, atau bahkan dua. Seharusnya ada di suatu tempat di sekitar sini."
Kami berburu, dan segera melihat ujung lingkaran pemanggilan mengintip dari salah satu
karpet yang terbakar. Aku melemparkan perabotan yang menutupinya ke samping, sedangkan
gadis itu berdiri menontonku dengan ekspresi memiliki diri sendiri yang tenang yang sama yang
kulihat di tepi jurang. Sebuah pertanyaan muncul di benakku.
"Asmira," kataku, menendang sebuah meja terbalik melintasi ruangan. "Kalau memang niatmu
akan kembali ke Sheba apa yang akan kau lakukan di sana" Dan bagaimana dengan ratumu"
Dia tidak akan senang melihatmu berkeliaran di sana, kalau hari ini dengki adalah segalanya
yang dia rasakan terhadapmu."
Yang mengejutkanku gadis itu menjawabku dengan cepat. "Aku tidak akan berkeliaran di
Marib," katanya. "Aku akan bekerja bersama para saudagar dupa frankincense, membantu
melindungi mereka dalam perjalanannya melintasi Arabia. Dari apa yang kulihat, ada banyak
bahaya yang mengancam di luar sana " bandit, jin, maksudku. Kurasa aku bisa mengurus
mereka." Aku melempar sebuah dipan antik dengan rasa gembira dan bangga melalui bahuku. Itu sama
sekali bukan ide yang buruk.
"Itu juga memberiku kesempatan untuk bepergian," gadis itu melanjutkan. "Siapa tahu, aku bisa
bahkan pergi ke Himyar suatu hari " melihat kota batu yang kau sebutkan. Toh, dupa akan
membuatku tetap menjauh dari Marib hampir sepanjang waktu. Dan kalau si ratu memang
mengecualikanku ?" ekspresinya mengeras. "Maka aku akan berurusan dengan itu. Dan
dengannya." Aku bukan ahli nujum yang suka meramal dan tidak tahu apa-apa tentang masa depan, tapi aku
sangat senang bahwa kata-katanya barusan membuktikan di dalam dirinya setidaknya ada
sedikit rasa tidak senang pada si ratu Balqis itu. Tapi ada mesalah lain untuk diperhatikan
sekarang. Aku mendorong sedikit sisa-sisa perabotan terakhir ke pinggir, menggulung si karpet
yang tak ternilai dan melontarkannya ke kolam berendam " dan berbalik dengan perasaan
puas. Disitu, tercetak di lantai " tidak terlalu rusak terkena dampak pertempuran semalam"
terdapat dua pentacle dari pualam berwarna kemerahan. "Sedikit rusak," aku
mengomentarinya, "tapi masih bisa dipakai."
"Bagus," kata gadis itu. "Masuklah."
Kami berdiri berhadap-hadapan untuk terakhir kalinya. "Katakan," kataku, "kau tahu rapalan
pembebasannya kan" Aku paling benci kalau harus keluyuran di sekitar sini selama berbulanbulan sementara kau mencoba menguasainya."
"Tentu saja aku tahu," kata gadis itu. Ia menarik nafas dalam-dalam. "Bartimaeus?"
"Tunggu ?" aku barusan melihat sesuatu. Sebuah lukisan yang tidak kuperhatikan
sebelumnya, berjajar di sepanjang dinding, dari ujung ada Gilgamesh, Rameses dan raja-raja
lalim peringkat atas lainnya dari masa laluku " gak ketinggalan potret utuh Solomon sendiri
lengkap dengan semua kemilau kemuliaannya. Entah kenapa, aneh sekali, selamat dari
pertempuran gila-gilaan semalam.
Aku mencungkil sedikit kayu gosong dari lantai, melompat ke seberang dan membuat sedikit
penyesuaian pada lukisan tangan itu. "Coba lihat!" seruku. "Kalau dilihat dari kacamata
fisiologis, memang tidak mungkin, tapi entah kenapa kok cocok ya, bagaimana menurutmu"
Berapa lama sebelum dia menyadari ini ya, aku penasaran?"
Gadis itu tertawa; pertama kalinya dalam pertemanan kami ini ia tertawa. Aku melirik padanya.
"Haruskah kutambahkan Balqis sekalian" Masih ada sedikit ruang nih."
"Tambahkan, kalau begitu."
"Ini diaa"aa"a"a."
Aku melangkah kembali ke lingkaranku. Gadis itu memandangiku dengan tatapan yang sama
seperti Faquarl tempo hari " seakan dia diselubungi perasaan terhibur jenis tertentu. Aku
melotot ke arahnya. "Apa?"
"Kau lucu," katanya. "Kau bertingkah seperti orang sok penting yang tidak keberatan
menghadapi kengerian perbudakaanmu . Kau menikmatinya juga."
Aku menempatkan diri dalam pentacle-ku. Mengamati gadis itu dengan tatapan suram penuh
penghinaan "Nasehat yang tampak lumayan bersahabat," Kataku. "Kecuali kalau kau benarbenar sangat-sangat kompeten, selama ini bukan ide yang bagus melontarkan hinaan pada jin
yang akan bebas. Terutama jin yang ini. Di Babylonia lama, para pendeta Ishtar melarang
penyihir manapun di bawah level kesembilan untuk berurusan denganku karena alasan ini."4)
4) Yaitu setelah serangkaian kejadian fatal, favoritku adalah seorang pembantu pendeta biadab yang
menyiksaku dengan mantra Kulit Terbalik. Tetapi pria itu juga menderita sengsara akibat demam-alergijerami. Aku membawakannya seikat besar lupin yang banyak serbuk sari dan polennya, yang membuat
orang itu bersin-bersin sampai keluar dari pentaclenya.
"Yang mana membuktikan pendapatku barusan," katanya. "Kau selalu sesumbar tentang
prestasi-prestasimu di masa lalu. Ayolah, akui saja. Kau bersenang-senang dengan itu semua.
Bahkan semalam " kulihat kau berhenti melontarkan keluhan sewaktu kita berada di dekat
Cincin itu." "Ya, well, itu ?" Aku menepukkan kedua tanganku dengan cepat. "Memang kulakukan, toh"
Terlalu banyak yang terjadi waktu itu. Percayalah padaku, aku membenci detik demi detiknya.
Puas, berhentilah membicarakannya. Ucapkan kata Pembebasannya dan biarkan aku bebas."
Gadis itu mengangguk dan menutup matanya, seorang gadis muda kurus sedang mengingatingat rapalannya. Aku hampir bisa mendengar suaranya berkomat-kamit saat aku menontonnya
melakukan itu. Matanya membuka. "Bartimaeus," gadis itu berkata tiba-tiba, "terimakasih atas apa yang kau
lakukan." Aku berdehem. "Aku senang, sungguh! Dengar " kau sungguh tahu rapalannya" Aku tidak ingin
menemukan diriku bermaterialisasi lagi di lumpur kotor membusuk atau semacamnya."
"Ya, aku tahu rapalannya." Gadis itu tersenyum.
"Berkunjunglah ke Sheba kapan-kapan. Kau pasti akan menyukainya."
"Tiada tempat yang tidak pernah bisa kudatangi."
"Hanya saja jangan lama-lama. Kami tak punya waktu sebanyak dirimu."
Lalu, gadis itu mengucapkan apa yang yang kubutuhkan, dengan cukup yakin, ia memang tahu
rapalannya. Kurang lebih, hanya tiga kali ragu-ragu, dua kali salah ucap infleksi dan sekali
tersandung lumayan parah, yang kesemuanya " pada kesempatan ini " aku bersiap
mengabaikannya. Gadis itu tidak terlalu besar, di atas semuanya, tidak ada cukup banyak
daging yang bisa dimakan di tubuh gadis itu. Lagi pula, aku benar-benar ingin pulang segera.
Bahkan saat ikatanku terlepas dan aku berputar-putar bebas pada semua plane, aku dapat
melihat (dari tujuh sudut pandang berbeda) kalau gadis itu sudah meninggalkan pentacle-nya,
malintasi kamar Solomon yang rusak parah, menatap lagkah-langkah kakinya yang
membawanya keluar dari menara, menuju hari baru yang tengah menanti.
Pedang Keadilan 9 Dewa Arak 18 Kelelawar Beracun Dendam Empu Bharada 17

Cari Blog Ini