The White Castel Karya Orhan Pamuk Bagian 3
itu, Hoja melangkah keluar dari bingkai cermin. Ketika aku menoleh kembali, dia telah berbaring di atas tikar yang dihamparkannya dengan sembarangan di lantai, menggambarkan berbagai penderitaan yang akan kurasakan. Tangannya memegang perutnya, seakan-akan, demikian yang terpikir olehku, menyentuh rasa sakit yang diceritakannya. Lalu, dia memanggil, dan saat aku, dengan gemetaran, berjalan ke sampingnya, aku segera menyesalinya; dia mencoba menyentuhku lagi dengan tangannya. Apa pun alasannya, sekarang aku berpendapat bahwa benjolannya itu disebabkan oleh gigitan serangga, tetapi tetap saja aku merasa takut.
Sepanjang malam itu berlalu seperti ini. Sementara, dia mencoba menularkan kepadaku penyakit itu dan rasa takut akan penyakit itu, dia terus mengulang-ulang bahwa aku adalah dia dan dia adalah aku. Dia melakukan ini karena dia senang keluar dari dirinya sendiri, mengamati dirinya dari kejauhan, begitu pikirku, dan terus mengulanginya dalam hati, seperti orang yang berusaha bangun dari mimpinya. Ini semua hanya permainan; karena dia sendirilah yang menggunakan kata "permainan" itu, tetapi dia berkeringat demikian banyaknya seperti orang yang sakit dan bukannya orang yang tercekik oleh pemikiran jahat dalam ruangan yang panas.
Saat matahari terbit, dia terus bicara tentang bintang dan kematian, tentang berbagai ramalannya yang salah, kebodohan sultan dan, yang lebih buruk lagi, sikapnya yang tidak tahu terima kasih, tentang orang-orang bodoh yang dicintainya, "kami" dan "mereka", tentang keinginannya menjadi orang lain. Aku sudah tidak mau mendengarkan lagi, berjalan keluar ke taman. Entah mengapa pikiranku dipenuhi berbagai gagasan tentang keabadian
yang kubaca dalam sebuah buku kuno. Tidak ada gerakan di luar, kecuali gerakan burung pipit yang bersiul dan beterbangan dari satu dahan ke dahan lainnya di antara pohon linden. Keheningan ini sungguh aneh! Aku membayangkan sejumlah ruangan di Istanbul, tempat para korban wabah itu terbaring tak berdaya. Bila penyakit Hoja memang wabah itu, dia akan terus bertingkah laku seperti itu sampai akhirnya mati, pikirku, dan bila tidak, sampai bengkak merah itu menghilang. Saat itulah aku sadar bahwa aku tidak bisa tinggal di rumah itu lagi. Ketika masuk ke dalam, aku tidak tahu harus melarikan diri ke mana agar bisa bersembunyi. Aku mendambakan sebuah tempat yang jauh dari Hoja, jauh dari wabah itu. Ketika memasukkan beberapa potong pakaian ke dalam tas, aku hanya tahu bahwa tempat ini haruslah cukup dekat, tapi jangan sampai ketahuan olehnya.*
TUJUH AKU TELAH mengumpulkan sedikit uang dengan mencuri dari Hoja setiap kali ada kesempatan, dan juga hasil keringatku dari sana-sini. Sebelum meninggalkan rumah, aku mengambil uang itu dari lemari tempatku menyembunyikannya di dalam kaus kaki di antara buku-buku yang tidak pernah lagi dilihatnya. Karena penasaran, aku kemudian masuk ke kamar Hoja, dan ternyata dia sedang tertidur lelap, bermandikan keringat, dengan pelita yang masih menyala. Aku kaget juga ketika menyadari betapa kecilnya cermin yang sudah membuatku takut sepanjang malam tadi, yang menampilkan kemiripan kami yang tidak pernah bisa kupercayai sepenuhnya. Tanpa menyentuh apa pun, aku meninggalkan rumah itu dengan terburu-buru. Angin sepoi-sepoi berembus saat aku berjalan menyusuri jalanan sepi di lingkungan perumahan kami. Ingin rasanya mencuci tangan dulu, dan aku tahu ke mana akan pergi sehingga merasa tenang. Kunikmati berjalan di sunyinya subuh, menuruni perbukitan menuju laut, mencuci tangan di air mancur, melihat pemandangan Tanduk Emas.
Aku pertama kali mendengar tentang Pulau Heybeli dari seorang pendeta muda yang datang ke Istanbul dari situ. Ketika kami bertemu di ruangan bergaya Eropa di
Galata, dengan sangat bersemangat dia menggambarkan kecantikan pulau itu. Ceritanya membuatku sangat terkesan, sehingga saat aku meninggalkan distrik kami, aku tahu itulah tempat yang akan kutuju. Para pelaut dan nelayan yang kuajak bicara meminta bayaran mahal untuk mengantarkan aku ke pulau itu; dan aku merasa depresi ketika mengira mereka tahu aku melarikan diri dari rumah mereka pasti akan mengkhianatiku dan mengabarkannya kepada orang-orang yang akan dikirimkan Hoja untuk mengejarku! Belakangan aku berpendapat bahwa inilah cara mereka mengintimidasi orang-orang Kristen yang mereka pandang rendah karena takut pada wabah itu. Sambil berusaha untuk tidak ingin menarik perhatian, aku melakukan tawar-menawar dengan pelaut kedua yang kuajak bicara. Dia bukan orang yang kuat dan dia menghabiskan tenaga lebih sedikit untuk mendayung dan lebih suka membicarakan wabah itu dan dosa yang menyebabkan wabah itu dikirimkan untuk menghukum kami semua. Lalu, dia menambahkan bahwa tidak ada gunanya berusaha melarikan diri dari wabah tersebut dengan bersembunyi di pulau itu. Saat dia berbicara, aku menyadari bahwa dia ternyata sama takutnya denganku, Perjalanan itu memakan waktu enam jam.
Baru beberapa waktu kemudianlah aku menganggap hari-hari yang kuhabiskan di pulau itu merupakan saat-saat yang membahagiakan. Dengan sedikit uang aku bisa tinggal di sebuah rumah milik pelaut berkebangsaan Yunani yang hidup sendiri, dan berusaha agar tidak terlihat oleh orang lain karena aku merasa tidak begitu aman. Kadang, aku membayangkan bahwa Hoja sudah meninggal, kadang aku takut dia mengirimkan orang untuk menangkapku. Di pulau itu banyak orang Kristen yang seperti aku
juga menghindari wabah tersebut, tetapi aku tidak ingin mereka mengetahui kehadiranku.
Aku berangkat melaut dengan si pelaut itu setiap pagi dan kembali di malam harinya. Untuk beberapa lama, aku ikut menombak udang besar dan kepiting. Bila cuaca terlalu buruk untuk menangkap ikan, aku berjalan-jalan di pulau itu dan kadang aku pergi ke taman sebuah gereja dan tidur dengan damainya di bawah tanaman perdu. Ada sebuah pondok yang ditopang oleh pohon fig dan dari situ kita bisa melihat sejauh Hagia Sofia pada saat cuaca bagus. Di tempat itu pula aku suka duduk di bawah bayangan pohon sambil menatap ke Istanbul, melamun selama berjam-jam lamanya. Pada salah sebuah lamunan, aku berlayar ke pulau itu dan melihat Hoja berada di antara lumba-lumba yang berenang di samping perahu, dia berteman dengan kawanan ikan itu dan menanyakan keberadaanku. Dalam lamunan yang lain, ibukulah yang berenang dengan ikan lumba-lumba itu dan kawanan ikan itu memarahiku karena datang terlambat. Saat terbangun dengan bermandikan peluh karena matahari menyinari wajahku, aku ingin kembali tenggelam dalam lamunan ini, tetapi karena tidak bisa kembali melamun, aku memaksakan diri untuk merenung: kadang aku membayangkan Hoja sudah mati dan aku bisa melihat mayatnya di dalam rumah yang kutinggalkan. Aku bisa merasakan keheningan upacara pemakamannya yang tidak dihadiri oleh siapa pun. Lalu, aku teringat pada berbagai ramalannya, berbagai hal yang diciptakannya dengan gembira dan berbagai hal yang dirakitnya dengan sebal dan murka; pada sultan dan binatang peliharaannya. Kepiting dan udang yang berhasil kutombak menggerak-gerakkan capit mereka seraya menemaniku melamunkan semua itu.
Aku berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa cepat atau lambat aku akan mampu melarikan diri dan kembali ke kampung halamanku. Yang harus kulakukan hanyalah mencuri dari sejumlah rumah yang pintunya tidak dikunci di pulau itu, tapi sebelumnya aku harus bisa melupakan Hoja terlebih dahulu. Karena aku sudah terbelenggu oleh sihir yang telah ditanamkan di dalam kepalaku, oleh godaan untuk mengingat-ingat berbagai kenangan itu, aku nyaris menyalahkan diri sendiri karena meninggalkan lelaki yang begitu mirip denganku. Seperti yang kulakukan sekarang, aku benar-benar merindukannya; apakah dia benar-benar mirip denganku seperti yang terlintas dalam kenangan ini, atau apakah aku menipu diriku sendiri" Seakanakan aku belum pernah sekali pun menatap wajahnya selama sebelas tahun ini; padahal, aku sering melakukan hal itu. Aku bahkan merasakan keinginan untuk kembali ke Istanbul untuk melihat mayatnya untuk terakhir kalinya. Aku memutuskan bahwa bila aku ingin bebas, aku harus meyakinkan diriku bahwa kemiripan kami hanyalah ada dalam pikiranku saja, sebuah ilusi pahit yang harus dilupakan, dan aku harus terbiasa dengan kenyataan tersebut.
Untunglah aku tidak terbiasa dengan hal itu. Karena pada suatu hari, aku tiba-tiba melihat Hoja di hadapanku. Aku sedang melamun sambil berbaring di halaman belakang rumah pelaut itu, mataku yang terpejam menentang matahari, saat aku merasakan bayangannya. Dia sedang menatapku, tersenyum seperti orang yang mencintaiku dan bukan orang yang telah mengalahkanku dalam sebuah permainan. Aku merasakan perasaan aman yang luar biasa, perasaan aman yang sungguh kuat sehingga hal itu menakutkanku. Mungkin aku diam-diam menantikan saat
ini, karena aku dicekam perasaan bersalah seperti yang dirasakan seorang budak yang pemalas, seorang pembantu yang hina dan penurut. Saat mencoba menguasai diriku kembali, aku merasa ingin mencaci-maki diri sendiri dan bukannya membenci Hoja. Dialah yang membayar semua utangku pada si pelaut. Dia membawa dua orang lelaki bersamanya dan kami kembali pulang dengan cepat menggunakan dua buah dayung. Kami tiba di rumah sebelum malam tiba. Aku merindukan bau rumah itu. Dan cermin itu telah diturunkan dari dinding,
Keesokan paginya, Hoja berbicara padaku: kesalahanku sangat besar dan dia benar-benar berniat untuk menghukumku, bukan saja karena telah melarikan diri, melainkan juga karena telah meninggalkannya dalam keadaan sekarat karena memercayai bahwa sengatan serangga itu adalah benjolan penyakit wabah itu. Tapi, saat itu bukanlah waktu yang tepat untuk menghukumku. Dia menjelaskan bahwa minggu yang lalu sultan akhirnya memanggilnya dan bertanya kapan wabah ini akan berakhir, masih berapa banyak jiwa yang akan jadi korban, apakah nyawanya terancam atau tidak. Hoja, karena begitu bersemangatnya, memberi jawaban yang tidak jelas karena dia tidak siap, dan meminta waktu karena katanya dia harus mempelajari bintang-bintang dulu. Dia berjalan pulang sambil melompat-lompat kegirangan dengan perasaan penuh kemenangan, tetapi tidak yakin bagaimana memanfaatkan ketertarikan sultan demi kepentingannya sendiri. Jadi, dia memutuskan untuk mencariku.
Dia sudah lama tahu bahwa aku berada di pulau itu. Setelah aku melarikan diri, dia jatuh sakit, lalu pergi mencariku tiga hari kemudian, mengetahui jejakku dari para nelayan itu, dan ketika dia membuka dompetnya, si pelaut
yang cornel itu menceritakan bahwa dia mengantarku ke Heybeli. Karena Hoja tahu aku tidak bisa melarikan diri lebih jauh lagi, dia tidak mengikutiku. Ketika dia mengatakan bahwa pertemuannya dengan sultan adalah peluang emas dalam hidupnya, aku sependapat dengannya. Dan dengan jujur, dia mengatakan bahwa dia memerlukan pengetahuanku. TXI/PRC INI DI BUAT KARENA KECINTAAN SAYA MEMBACA NOVEL DI HP/PDA (ottoys@yahoo.com)
Kami segera mulai bekerja. Hoja memiliki aura seseorang yang tahu apa yang diinginkannya; aku senang melihat ketekunan yang selama ini jarang kulihat pada dirinya. Dulu aku jarang mengatainya. Karena kami tahu dia akan dipanggil lagi hari berikutnya, kami memutuskan untuk meminta waktu tambahan. Kami langsung sepakat untuk tidak akan memberikan banyak informasi dan hanya mengemukakan hal-hal yang akan ditegaskan kebenarannya. Ketajaman Hoja, yang sangat kukagumi, langsung membuatnya berpendapat bahwa "ramalan adalah omong kosong, tetapi bisa digunakan untuk memengaruhi orang-orang bodoh." Saat mendengarkan aku berbicara, dia tampaknya sependapat bahwa wabah itu sebuah musibah yang hanya bisa ditanggulangi dengan peningkatan kualitas kesehatan. Seperti aku, dia tidak menyangkal bahwa musibah itu takdir Allah, tetapi hanya secara tidak langsung. Karena itulah, bahkan kita, makhluk yang fana ini, bisa melakukan sesuatu untuk melindungi diri tanpa menyinggung perasaan Allah. Bukankah Kalifah Umar r.a. pernah memanggil kembali Jenderal Abu Ubaidah dari Suriah ke Madinah untuk melindungi pasukannya dari wabah itu" Hoja akan meminta sultan untuk mengurangi kontak dengan orang lain sampai seperlunya saja demi keselamatannya sendiri. Kami bukannya tidak memikirkan pilihan lain, yakni membujuk sultan agar mengambil
tindakan pencegahan ini dengan menancapkan rasa takut akan kematian di hatinya, tetapi pendekatan itu sungguh berbahaya. Masalahnya bukanlah menakutnakuti sultan dengan gambaran retorika tentang kematian; bahkan, sekalipun bualan Hoja mengesankan, sultan dikelilingi sekumpulan orang bodoh yang juga akan ikut ketakutan dan menolongnya untuk menanggulangi rasa takut itu. Nantinya, orang-orang bodoh ini bisa menuduh Hoja melanggar agamanya. Jadi, dengan mengandalkan pengetahuanku tentang literatur, kami menciptakan sebuah kisah untuk diceritakan pada sultan.
Hal yang paling menakutkan Hoja adalah bagaimana meramalkan kapan berakhirnya wabah tersebut. Aku menyadari bahwa kami harus memulainya dengan menghitung jumlah kematian setiap hari. Ketika aku mengatakan ini pada Hoja, dia sepertinya tidak terlalu terkesan, tapi dia setuju meminta tolong kepada sultan untuk mengumpulkan angka-angka ini, meskipun tetap menyembunyikan maksud sesungguhnya dari permintaan ini. Aku tidak terlalu percaya pada matematika, tetapi kami tak punya pilihan lain.
Keesokan paginya dia pergi ke istana, dan aku menjelajahi bagian kota yang dilanda wabah tersebut. Aku masih sama takutnya pada wabah itu seperti sebelumnya, tetapi denyut kehidupan seharihari, keinginan untuk meraih sesuatu dari dunia ini, sekalipun hanya sedikit saja, membuat kepalaku berputar. Hari itu hari di musim panas yang sejuk diembus angin. Ketika aku berjalan-jalan di antara mayat yang bergelimpangan dan orang-orang yang sekarat, aku teringat bahwa sudah bertahun-tahun lamanya berlalu sejak aku bisa mencintai kehidupan seperti ini. Aku masuk ke halaman masjid, menuliskan jumlah peti
mati di secarik kertas, dan berjalan melalui beberapa lingkungan perumahan, berusaha memahami hubungan antara apa yang kulihat dan jumlah orang yang mati: tidak mudah menemukan hikmah di balik musibah ini di rumah, pada orang, pada kerumunan orang, keriangan, kesedihan, dan kegembiraan. Dan, anehnya, mataku hanya mengamati rincian, kehidupan orang lain, kegembiraan, ketidak berdayaan, ketidakpedulian orang-orang yang tinggal di rumah masing-masing dengan keluarga dan kerabat.
Menjelang tengah hari, aku menyeberang ke sisi lain pantai Tanduk Emas, ke bagian Eropa di lingkungan Galata, dan karena telah mual oleh kerumunan orang dan mayat yang bergelimpangan, aku berjalan keluar-masuk sejumlah warung kopi yang kumuh di sekitar dermaga, dengan malu mengisap rokok, makan di warung sederhana hanya karena ingin memahaminya, berjalan di pasar dan toko. Aku ingin mencatat setiap hal teperinci di dalam benakku, sehingga aku bisa meraih sebuah kesimpulan. Aku kembali ke rumah setelah senja tiba, merasa lelah, dan mendengarkan berita yang dibawa Hoja dari istana.
Semuanya berjalan lancar. Cerita yang kami cipta-kan telah sangat memengaruhi sultan. Benaknya bisa menerima bahwa wabah itu seperti setan yang mencoba menipunya dengan berbentuk manusia. Sultan memutuskan untuk tidak mengizinkan orang asing masuk ke istana; setiap orang yang keluar-masuk istana diawasi dengan ketat. Ketika Hoja ditanya kapan dan bagaimana wabah itu akan berakhir, dia berbicara dengan sedemikian mengerikannya. Itu membuat sultan berkata dengan takut bahwa dia bisa melihat Izrail, malaikat kematian, menjelajahi kota seperti orang mabuk, menarik tangan siapa pun yang terlihat olehnya dan membawanya pergi, Dengan cepat Hoja
mengoreksinya, bukan Izrail, tetapi Setanlah yang membenamkan orang-orang itu dalam kematian: dan si Setan tidak mabuk, tetapi sangat licik. Hoja, seperti yang kami rencanakan, menekankan bahwa sangatlah penting memerangi si Setan. Untuk bisa memahami kapan wabah itu akan usai, amatlah penting mengamati perkembangannya. Walaupun di antara para penasihatnya ada yang mengatakan bahwa melawan wabah itu sama saja dengan menentang Allah, sultan tidak menggubrisnya, lalu bertanya tentang binatang peliharaannya; apakah wabah tersebut bisa menyerang burung garuda, elang, singa, dan monyetnya" Hoja segera menjawab bahwa si Setan mendatangi manusia dalam bentuk manusia dan mendatangi binatang dalam bentuk tikus. Sultan memerintahkan lima ratus tikus didatangkan dari sebuah kota yang lokasinya jauh, yang tidak tersentuh wabah, dan Hoja diberi orang sebanyak yang dibutuhkannya.
Langsung saja kami menyebarkan kedua belas orang di bawah perintah kami itu ke empat penjuru Istanbul untuk mengawasi setiap distrik dan melaporkan jumlah kematian kepada kami dan hal lain yang menarik perhatian mereka. Kami menghamparkan sebuah peta besar Istanbul hasil gambaranku di atas meja, yang kusalin dari berbagai buku. Dengan lelah namun bersemangat, di malam hari kami menandai tempat-tempat di peta yang dilanda wabah, mengikhtisarkan berbagai hasilnya yang akan kami sajikan ke hadapan sultan.
Mula-mula kami tidak merasa optimistik. Wabah itu telah menyerang kota seperti pengembara yang tidak pilih-pilih, bukan setan yang licik. Pada suatu hari wabah itu merenggut empat puluh nyawa di daerah Aksaray, hari berikutnya menyerang Fatih, tiba-tiba muncul di pantai
lainnya di Tophane, Jihangir, dan hari berikutnya saat kami mengamati lagi, wabah itu boleh dikatakan tidak menyentuh tempat-tempat itu, dan setelah melewati Zeyrek, masuk ke distrik kami yang menghadap ke Tanduk Emas, merenggut dua puluh nyawa. Kami tidak dapat menyimpulkan apa-apa dari jumlah kematian itu; pada satu hari lima ratus nyawa melayang, hari berikutnya hanya seratus. Kami menghabiskan banyak waktu sebelum akhirnya menyadari bahwa kami tidak perlu tahu di mana wabah itu melahap korbannya, tetapi di mana tempat pertama diketahuinya penyakit tersebut berjangkit. Sultan memanggil Hoja lagi. Kami memikirkannya dengan berhati-hati dan memutuskan bahwa dia harus menjawab bahwa wabah itu muncul di pasar yang ramai dipenuhi orang, di pertokoan, yakni tempat orang saling menipu, dan di sejumlah warung kopi tempat mereka duduk saling berdekatan dan bergosip. Hoja pun pergi dan kembali pada malam harinya.
Hoja telah mengungkapkan semua hal itu kepada sultan. "Apa yang harus kita lakukan?" tanya sultan. Hoja menasihatkan agar jumlah orang yang diizinkan ke pasar dan berjalan-jalan di kota harus dikurangi dengan paksa. Para penasihat istana segera menentang hal ini, tentu saja: bagaimana cara memberi makan kota ini, sebab jika semua bisnis dihentikan, kehidupan juga akan berhenti. Berita bahwa wabah itu meluas dalam bentuk manusia pasti akan menakut-nakuti mereka yang mendengarnya. Mereka akan memercayai bahwa Hari Kiamat telah datang dan akan merasa ketakutan. Tidak ada seorang pun yang ingin terpenjara di lingkungan perumahan tempat wabah itu menyebar, mereka akan memberontak. "Dan mereka memang benar," ujar Hoja. Pada saat itu seorang penasihat sultan bertanya, di mana kita bisa mendapatkan cukup banyak orang untuk mengawasi masyarakat yang begitu banyak untuk mematuhi perintah ini, dan sultan menjadi murka, Dia membuat takut semua orang dengan mengatakan akan menghukum siapa pun yang meragukan kekuasaannya. Dalam amarahnya, dia memerintahkan untuk melaksanakan semua rekomendasi Hoja, tapi sebelumnya dia berkonsultasi dulu dengan para penasihatnya. Sang Peramal Istana Sitki Efendi, yang sangat iri pada Hoja, mengingatkan Hoja bahwa dia masih belum mengatakan kapan wabah ini akan meninggalkan Istanbul. Karena takut sultan akan meremehkannya, Hoja mengatakan akan membawa kalender pada kunjungannya yang berikutnya.
Kami telah memenuhi peta di atas meja itu dengan berbagai tanda dan angka, tetapi masih tetap belum bisa memahami gerakan penyebaran wabah itu. Sekarang sultan telah memberlakukan larangan itu dan semua diawasi selama tiga hari. Tentara elit menjaga pintu masuk ke pasar, jalan raya, pelabuhan, menghentikan orang-orang yang lalu-lalang, menginterogasi mereka: "Siapa kamu" Mau ke mana" Datang dari mana?" Mereka mempersilakan para pelancong dan pengembara yang terkejut itu kembali ke kampung halaman mereka agar tidak terserang wabah. Pada saat kami mendapat berita bahwa kegiatan sehari-hari sudah melambat di Bazaar Besar dan Unkapi, kami mengkaji kembali jumlah kematian yang telah kami kumpulkan selama sebulan terakhir ini, menuliskannya di atas kertas dan menempelkannya ke dinding. Menurut Hoja, sia-sia saja kami menunggu wabah itu menyebar mengikuti sebuah logika, dan bahwa jika ingin menyelamatkan diri, kami harus menciptakan sesuatu untuk menyingkirkan
sultan. Pada sekitar saat inilah sistem izin diciptakan. Aga, yakni pasukan tentara elit memberikan izin kerja kepada orang-orang yang dianggap penting untuk melaksanakan kegiatan perdagangan dan menyediakan makan untuk seisi kota. Ketika aku mulai melihat sebuah pola dalam jumlah kematian untuk pertama kalinya, kami mendapat kabar bahwa Aga mengutip uang cukup banyak dari sistem pengawasan ini. Dan, sekelompok kecil pedagang, karena tidak mau membayar, mulai mempersiapkan sebuah pemberontakan. Ketika Hoja mengatakan bahwa Wazir Agung Koprulu sedang merencanakan sebuah persekongkolan dengan para pedagang kecil, aku memotong kata-katanya untuk menceritakan pola itu dan berusaha membuat Hoja percaya bahwa wabah itu secara perlahan-lahan telah reda di permukiman di bagian luar kota dan berbagai distrik miskin.
Ucapanku tidak cukup meyakinkannya, tetapi dia mengalihkankan pekerjaan menyiapkan kalender kepadaku. Katanya, dia akan mengarang sebuah cerita untuk mengalihkan perhatian sultan, dan cerita itu sama sekali tidak ada artinya, sehingga tidak ada seorang pun yang mampu menarik kesimpulan. Beberapa hari kemudian, dia bertanya apakah mungkin mengarang sebuah cerita yang sama sekali tidak memiliki nilai moral atau arti selain hanya untuk membangkitkan rasa senang setelah membaca atau mendengarkannya. "Seperti musik?" Tanyaku dan Hoja terlihat kaget. Kami mendiskusikan bahwa cerita yang ideal itu harus dimulai dengan polos seperti kisah dari negeri dongeng, menakutkan seperti mimpi buruk pada bagian tengahnya, dan membuat akhir yang menyedihkan seperti sebuah cerita cinta yang berakhir dengan
perpisahan. Pada malam sebelum dia pergi ke istana, kami duduk dan bercakap-cakap dengan riang, bekerja dengan cepat. Pada ruangan sebelah, teman kami, si ahli kaligrafi kidal sedang menuliskan salinan dari awal cerita yang masih belum mampu diselesaikan oleh Hoja. Menjelang pagi, dengan menggunakan angka-angka yang tidak begitu terbatas jumlahnya, aku berhasil mengambil kesimpulan dari sejumlah perhitungan yang telah kutelaah dengan tekun selama beberapa hari ini, yaitu bahwa wabah akan mengambil korbannya yang terakhir di pasar dan akan meninggalkan kota ini dalam waktu dua puluh hari. Hoja tidak menanyakan dasar yang kupakai untuk membuat kesimpulan ini dan hanya menanggapi bahwa hari kemenangan itu masih terlalu jauh sehingga dia menyuruhku mengubah kalendar itu selama periode dua minggu dan menyembunyikan waktu tersebut dengan angka-angka lain. Aku meragukan keberhasilan kiat ini, tetapi melakukan perintah itu. Lalu, saat itu juga Hoja menyusun beberapa paragraf kronogram yang terdiri atas beberapa tanggal dan menyerahkannya ke si ahli kaligrafi yang baru saja hendak menyelesaikan pekerjaannya. Dia memintaku menggambar ilustrasi dari paragraf tersebut. Menjelang siang, dengan merasa kesal, depresi, dan ketakutan, Hoja tergesa-gesa menjilid risalah tersebut dengan sebuah sampul biru berpualam dan meninggalkan rumah sambil membawanya. Katanya, dia lebih memercayai cerita tentang burung pelikan, kerbau bersayap, semut merah, dan monyet yang bisa berbicara dalam ceritanya daripada keakuratan kalender itu.
Saat kembali pada malamnya, dia terlihat riang dan hal ini terus berlangsung selama tiga minggu karena akhirnya dia benar-benar bisa meyakinkan sultan tentang
TXI/PRC INI DI BUAT KARENA KECINTAAN SAYA MEMBACA NOVEL DI HP/PDA (ottoys@yahoo.com)
kebenaran ramalannya. Mula-mula dia berkata, "Semua bisa terjadi." Hari pertama dia sama sekali tidak berani berharap apa-apa, Beberapa orang di dekat sultan bahkan sempat tertawa saat mendengarkan ceritanya yang dibacakan seorang pemuda bersuara merdu. Tentu saja mereka sengaja melakukan ini untuk mengejek Hoja, untuk membuatnya tampak bodoh di hadapan sultan, tetapi sultan menyuruh mereka diam dan memarahi mereka. Dia bertanya pada Hoja tentang tandatanda yang digunakannya untuk menarik kesimpulan bahwa wabah itu akan berakhir dalam dua minggu. Hoja menjawab bahwa semuanya ada di dalam ceritanya, yang tidak dipahami oleh siapa pun. Lalu, untuk menyenangkan hati sultan, dia menunjukkan rasa kasih sayang kepada beberapa ekor kucing warna-warni yang dibawa oleh sebuah kapal dari Trabzon. Kucing-kucing itu sekarang melenggak-lenggok di halaman dalam istana dan dan di setiap ruangan di dalam istana.
Dia berkata bahwa pada saat dia tiba pada hari kedua, penghuni istana telah terbagi menjadi dua kubu. Satu kelompok, termasuk Peramal Istana Sitki Efendi, ingin membatalkan semua larangan yang telah diberlakukan pada penduduk kota; sedangkan yang lainnya mendukung Hoja dengan mengatakan, "Biarkan penduduk kota tidak menarik napas, biarkan mereka tidak mengisap setan wabah yang sedang menghantui kota ini." Aku berbesar hati saat melihat jumlah korban semakin sedikit setiap harinya, tetapi Hoja masih terus merasa gelisah. Ia mendengar bisikan bahwa kelompok pertama, setelah mencapai kesepakatan dengan Koprulu, telah memulai persiapan untuk memberontak. Tujuannya bukanlah untuk mengatasi wabah, tetapi untuk bisa membebaskan diri dari lawan mereka.
Pada akhir minggu pertama tampak pengurangan yang cukup tajam dalam jumlah kematian, tetapi perhitunganku menunjukkkan bahwa epidemi itu belum akan berakhir dalam waktu seminggu lagi. Aku mengomeli Hoja karena telah mengubah kalenderku, tetapi sekarang justru dia yang penuh harapan. Dia mengatakan dengan gembira bahwa desas-desus tentang Wazir Agung sudah berhenti. Di samping itu, pendukung Hoja telah menyebarkan berita bahwa Koprulu bersekongkol dengan mereka. Sultan takut mendengar semua berita ini dan menenteramkan pikirannya dengan bermain bersama kucing-kucingnya.
Ketika minggu kedua berakhir, penghuni kota serasa terbelenggu oleh berbagai larangan, bukan oleh wabah itu sendiri. Semakin hari semakin sedikit orang yang meninggal, tetapi hanya kami dan mereka yang seperti kami mengikuti penghitungan jumlah korban yang menyadari hal tersebut. Desasdesus tentang kelaparan telah menyebar, Istanbul yang megah ibarat kota yang ditinggalkan. Hoja yang menceritakan hal ini padaku karena aku sendiri tidak pernah meninggalkan lingkungan perumahan. Kita bisa merasakan kegelisahan orangorang yang tercekam oleh wabah di balik semua jendela dan gerbang halaman yang tertutup, menunggu dibebaskannya mereka dari kematian dan wabah itu. Istana juga berada dalam keadaan tegang, setiap kali sebuah cangkir jatuh ke lantai atau seseorang batuk dengan kerasnya, para bangsawan itu langsung seperti terkencing-kencing akibat rasa gelisah, berbisik pada saat yang bersamaan, "Coba kita lihat apa yang diputuskan sultan hari ini." Mereka histeris seperti jiwa yang tidak berdaya, yang menunggu terjadinya sesuatu, entah apa. Hoja hanyut dalam kegelisahan ini. Dia berusaha menjelaskan pada sultan bahwa wabah itu
telah mulai reda, bahwa berbagai ramalannya telah terbukti benar, tetapi dia tidak bisa membuat sultan terkesan, dan pada akhirnya terpaksa mengalihkan pembicaraan kepada binatang peliharaan lagi.
Dua hari kemudian, dia mampu mengambil kesimpulan dari jumlah hitungan yang dilakukan di masjid bahwa epidemi itu akhirnya benar-benar telah surut. Tetapi, kepuasan Hoja lebih disebabkan oleh kenyataan bahwa sekelompok orang di antara para pedagang yang gelisah telah berkelahi dengan para tentara elit yang sedang menjaga jalanan, dan sekelompok tentara elit yang tidak puas dengan berbagai larangan ini telah bergabung dengan beberapa imam tolol yang berkhotbah di berbagai masjid. Sejumlah orang melakukan penjarahan dan sejumlah pengembara mengatakan bahwa wabah adalah takdir Allah dan tidak seorang pun boleh mengganggu takdir tersebut. Tetapi, kekacauan ini bisa dipadamkan sebelum menjadi tidak terkendali. Saat sebuah fatwa diperoleh dari seorang sheik Islam, dua puluh orang segera dihukum mati saat itu juga, mungkin agar berbagai peristiwa ini terasa lebih menghebohkan dari yang sebenarnya terjadi. Hoja sangat gembira.
Malam berikutnya, dia mengumumkan kemenangan. Tidak ada seorang pun di istana yang mengeluhkan berbagai pelarangan itu. Ketika Aga dari tentara elite dipanggil, Hoja tak lupa menyebutkan adanya pendukung pemberontakan di istana. Sultan marah, dan orang-orang yang selama ini menyusahkan Hoja berlarian seperti sekelompok ayam hutan. Untuk beberapa saat lamanya terdengar desar-desus bahwa Koprulu akan menghukum berat para pemberontak, padahal sudah diduga dia bersekongkol dengan mereka. Hoja mengatakan dengan perasaan riang yang terlihat amat jelas bahwa dalam hal ini pun dia telah memengaruhi sultan. Pihak yang telah memadamkan pemberontakan berusaha meyakinkan sultan bahwa wabah itu telah berlalu. Dan, apa yang mereka katakan itu memang benar. Sultan memuji Hoja seperti yang belum pernah dia lakukan sebelumnya; dia mengajaknya melihat monyet-monyet yang dibelinya dari Afrika dalam sebuah kandang yang dibuat sesuai dengan pesanannya. Sementara mereka menonton monyetmonyet tersebut, yang kekotoran dan kekurangajarannya memuakkan Hoja, sultan bertanya apakah monyet bisa diajar bicara seperti burung kakaktua. Dengan membalikkan tubuhnya menghadap para pengawalnya, sultan menyatakan bahwa di masa depan dia ingin lebih sering bertemu dengan Hoja. Kalender ciptaannya terbukti akurat.
Pada hari Jumat sebulan kemudian, Hoja diangkat menjadi Peramal Istana; jabatannya bahkan lebih daripada sekadar peramal. Ketika sultan pergi ke Masjid Hagia Sophia untuk salat Jumat, dan di masjid itu seluruh penduduk kota ikut serta untuk merayakan berakhirnya wabah itu, Hoja berjalan tepat di belakangnya. Semua larangan telah dicabut, dan aku juga berada di antara kerumunan orang yang turut mengucapkan syukur kepada Allah dan sultan. Ketika sultan melewati kami dengan menunggang kuda, masyarakat berteriak-teriak sekuat tenaga. Mereka menjadi histeris, beberapa orang saling mendorong dan menyikut, berdiri dan bergerak seperti gelombang dan para tentara elit mendorong kami ke tempat semula. Sejenak, aku terimpit pohon ketika didorong oleh orang-orang yang berlimpah ruah di hadapanku. Dan, saat menyeruak di tengah-tengah kerumunan itu, aku lari ke depan, dan tiba-tiba berhadapan dengan Hoja, yang
berjalan empat atau lima langkah di depanku, terlihat gembira dan puas. Dia membuang muka seakan tidak mengenalku. Dalam sorak-sorai yang luar biasa itu, tiba-tiba, karena dengan bodohnya tersapu dalam suasana histeris itu, aku yakin bahwa saat itu Hoja tidak melihatku, dan bahwa bila aku berteriak padanya dengan sekuat tenaga, dia akan menyadari kehadiranku dan menyelamatkan aku dari kerumunan orang tersebut, dan aku akan turut serta dalam parade orang-orang yang sedang merayakan kemenangan dan kekuatannya! Bukannya aku berharap bisa ikut mencicipi sebagian dari kemenangan itu atau menerima hadiah atas apa yang kulakukan. Perasaanku amat berbeda: aku seharusnya berada di sampingnya, aku adalah Hoja! Aku telah terpisah dari diriku sendiri dan melihat diriku dari kejauhan, seperti dalam mimpi buruk yang sering kualami. Aku bahkan tidak ingin mengetahui jati diri orang di dalam tubuhku ini. Aku hanya ingin, selagi mengamati diriku berlalu tanpa menyadari kehadiranku, bergabung dengannya secepat mungkin. Tapi, seorang tentara yang kasar mendorongku kembali dengan sekuat tenaga ke dalam kerumunan orang.#
DELAPAN PADA BEBERAPA minggu setelah meredanya wabah, Hoja bukan saja menempati posisi sebagai peramal istana, tetapi juga telah menjalin hubungan yang lebih akrab dengan sultan, melebihi yang kami harapkan. Wazir Agung, setelah pemberontakannya gagal, berusaha membujuk ibu sultan dengan mengatakan bahwa anaknya harus segera dijauhkan dari orang-orang bodoh yang berada di sekelilingnya, karena baik para pedagang maupun tentara elit menyatakan bahwa para penasihat sultan, yang telah membimbingnya ke jalan yang salah dengan semua omong kosong mereka, bertanggung jawab atas semua kekacauan di negeri ini. Oleh karena itu, ketika sekelompok pendukung mantan Peramal Istana, Sitki Efendi, yang disebut-sebut berperan dalam rencana busuk itu, diusir dari istana ke tempat pengasingan atau menempati jabatan yang berbeda, maka semua tugas mereka juga diberikan kepada Hoja.
Sekarang, setiap hari Hoja mengunjungi salah satu istana tempat tinggal sultan, berbicara dengannya berjam-jam pada waktu yang disediakan khusus oleh sultan. Saat Hoja pulang ke rumah, dia menceritakan apa yang terjadi, dengan riang gembira dan penuh rasa kemenangan, betapa setiap pagi sultan pertama-tama memintanya menafsirkan mimpinya tadi malam. Dari semua tugas yang diemban Hoja, mungkin inilah yang paling disukainya: jika pada suatu pagi, sultan berkata dengan sedih bahwa dia tidak bermimpi apa-apa, Hoja mengajukan usul untuk menafsirkan mimpi orang lain. Dan, ketika sultan menerima usulan ini dengan antusias, para penjaga istana segera bergegas mencari orang yang bermimpi bagus, dan membawanya ke hadapan sultan. Dengan demikian, akhirnya menjadi kebiasaan, bahwa sebuah mimpi harus ditafsirkan setiap pagi, Selanjutnya, untuk mengisi waktu, saat mereka berjalan di taman yang diteduhi pohon erguvan yang sedang berbunga dan pepohonan besar, atau berlayar di Selat Bosphorus dengan menaiki kapal, mereka mengobrolkan binatang peliharaan kesayangan sultan, dan, tentu saja, aneka makhluk ciptaan kami. Tapi, Hoja juga membicarakan berbagai hal lainnya dengan sultan, seperti yang diceritakannya dengan dilebih-lebihkan padaku: apakah yang menyebabkan arus Selat Bosphorus" Pengetahuan berharga apakah yang bisa dipelajari dengan mengkaji kebiasaan semut yang tertib" Dari manakah magnet mendapatkan kekuatannya selain dari Tuhan" Apa yang istimewa dari pergerakan bintang di langit" Apakah yang bisa didapatkan dari orang-orang kafir selain kekafiran itu sendiri, hal yang berguna untuk diketahui" Apakah kita bisa menciptakan senjata yang bisa membuat tentara musuh kocar-kacir dengan dilanda perasaan takut dan kengerian" Setelah menceritakan betapa besar perhatian sultan saat mendengarkan uraiannya, Hoja bergegas ke meja dan menggambarkan berbagai desain senjata di atas kertas mahal yang tebal: meriam berlaras panjang, mekanisme penembakan yang dipicu oleh mesin itu sendiri, mesin perang yang mengingatkan kita pada mahkluk
buas yang kejam. Dia memanggilku untuk duduk di meja dan menyaksikan kekejaman berbagai gambar yang tak lama lagi akan dijelmakan.
Namun, aku ingin ikut menikmati berbagai mimpi ini bersama Hoja. Mungkin inilah sebabnya pikiranku masih teringat pada wabah yang telah membuat kami mengalami hari-hari melelahkan yang penuh dengan rasa kekeluargaan itu. Semua penduduk Istanbul berdoa di Hagia Sophia untuk bersyukur atas berakhirnya wabah yang mengerikan itu, tetapi penyakit itu belum hilang seluruhnya dari kota. Pada pagi hari,
TXI/PRC INI DI BUAT KARENA KECINTAAN SAYA MEMBACA NOVEL DI HP/PDA (ottoys@yahoo.com)
ketika Hoja bergegas menuju istana sultan, aku berjalan-jalan di kota dengan gelisah, menghitung jumlah pemakaman yang masih berlangsung di sejumlah masjid bermenara kecil, masjid kecil yang kumuh dengan atap merah yang sudah dipenuhi lumut, mencuatkan motif penuh harapan yang tidak bisa kupahami, bahwa penyakit itu tidak akan meninggalkan kota dan kami.
Ketika Hoja asyik membicarakan betapa dia telah berhasil memengaruhi sultan, membicarakan kemenangannya, kujelaskan padanya bahwa epidemi itu masih belum usai dan karena larangan pencegahan sudah dicabut, wabah itu bisa timbul sewaktu-waktu. Dia segera menyuruhku untuk tutup mulut dengan marahnya, menuduhku cemburu atas kejayaannya. Aku mengerti maksudnya: sekarang, dia telah menjadi peramal istana, sultan menceritakan semua mimpinya setiap pagi, dia bisa membuat sultan berbicara empat mata dengannya tanpa direcoki para penasihat bodoh lainnya. Semua ini telah kami tunggu selama lima belas tahun, ini adalah sebuah kemenangan. Tetapi, mengapa dia berbicara seakan-akan kemenangan ini hanya miliknya seorang" Dia sepertinya telah lupa bahwa akulah yang menyarankan pelarangan sehubungan
dengan wabah ini, akulah yang telah membuat kalender yang meskipun terbukti tidak begitu akurat, tetapi telah dipandang sebaliknya. Hal yang membuatku lebih kesal adalah dia hanya ingat saat aku melarikan diri ke pulau itu, bukan berbagai keadaan yang menyebabkan dirinya membawaku kembali.
Mungkin dia benar, mungkin apa yang kurasakan memang cemburu belaka, tetapi yang tidak disadarinya adalah bahwa ini perasaan kekeluargaan. Aku ingin dia memahami hal ini, tetapi ketika aku membuatnya teringat bagaimana di hari-hari sebelum wabah itu kami berdua suka duduk berhadapan di meja seperti dua orang bujangan yang mencoba melupakan kebosanan di malam-malam yang sepi, ketika aku mengingatkannya bahwa sesekali dia atau aku merasa takut, tetapi kami memetik banyak pelajaran dari berbagai perasaan takut ini, dan mengakui bahwa aku merindukan malam-malam itu bahkan saat aku sendirian di pulau itu, dia hanya mendengarkan dan mengejek semua yang kukatakan seakan hanya menyaksikan kemunafikanku yang mengemuka dalam sebuah permainan yang tidak dia ikuti. Dia membuatku putus asa, dia tidak berkata apa-apa yang menunjukkan bahwa kami akan kembali ke hari-hari seperti itu saat kami hidup seperti layaknya kakak beradik.
Sewaktu berjalan dari satu distrik ke distrik lainnya, aku bisa melihat sekarang bahwa walaupun semua larangan sudah dicabut, wabah itu, seakan tidak ingin menimbulkan kesan negatif pada hal yang oleh Hoja disebut sebagai "kemenangan" ini, pelan-pelan menghilang dari kota. Kadang, aku bertanya dalam hati mengapa aku merasa kesepian saat merenung bahwa rasa takut akan ke-matian mulai menyurut dari hati kami dan lenyap begitu
saja. Kadang aku ingin kami bisa mengobrol lagi, bukan tentang mimpi sultan atau proyek yang diusulkan Hoja kepada sultan, tetapi tentang harihari yang pernah kami lalui bersama. Aku sudah lama ingin berdiri berdampingan dengannya, meskipun disertai rasa takut akan kematian, dan menghadapi cermin menakutkan yang telah diturunkannya dari dinding. Tapi, sudah lama Hoja memperlakukan aku dengan sikap merendahkan, atau berpura-pura merendahkanku. Dan, yang lebih buruk lagi, kadang aku yakin bahwa dia bahkan tidak peduli untuk melakukan hal itu.
Sesekali, saat berusaha menariknya kembali ke kehidupan kami yang berbahagia sebelumnya, kukatakan bahwa sudah waktunya kami duduk di meja itu lagi. Jadi, sebagai contoh, aku pernah sekali atau dua kali mencoba menulis. Ketika kubacakan tulisan yang melebih-lebihkan kengerian wabah itu, atau keinginan untuk melakukan kejahatan akibat rasa takut, atau dosa-dosaku yang baru sebagian kuceritakan, dia bahkan tidak menggubrisku. Sambil mengejek dia berkata, dengan kekuatan yang mungkin didapatkannya dari ketidak berdayaanku dan bukan dari kemenangannya, bahwa dulu pun dia sudah tahu bahwa tulisan kami hanyalah omong-kosong belaka, Katanya, pada saat itu dia memainkan semua permainan itu untuk menghilangkan rasa bosan, hanya untuk melihat akhir permainan itu, dan karena dia ingin mengujiku. Pokoknya, dia sudah tahu orang macam apa aku pada hari aku melarikan diri karena percaya bahwa dia sudah tertular penyakit tersebut. Aku orang jahat! Ada dua orang jenis manusia: orang yang bijak seperti dirinya dan yang bersalah seperti diriku.
Aku tidak menanggapi kata-katanya itu, yang kuasumsikan berasal dari racun kemenangan yang tengah memabukkan dirinya. Pikiranku masih setajam dulu, dan ketika aku bisa geram pada halhal sepele, maka aku pun tahu bahwa aku belum kehilangan kemampuan untuk merasakan amarah. Tetapi, sepertinya aku tidak tahu bagaimana cara menanggapi provokasi yang dilontarkannya, atau bagaimana cara membiarkannya semakin bersemangat merendahkanku, bagaimana menjeratnya ke dalam sebuah jebakan. Pada hari-hari yang kulalui saat melarikan dari dirinya ke Pulau Heybelli, aku menyadari bahwa aku sudah melupakan tujuanku, Apa bedanya bila aku kembali ke Venesia" Setelah lima belas tahun berlalu, pikiranku sudah lama mau menerima bahwa ibuku telah meninggal, tunanganku telah melupakanku, menikah, dan sudah berkeluarga. Aku tidak ingin memikirkan mereka, yang semakin jarang muncul dalam mimpiku. Terlebih lagi, aku tidak lagi melihat diriku di antara mereka di Venesia seperti yang masih kubayangkan di tahuntahun pertamaku di negeri ini, tetapi mengkhayalkan bahwa mereka tinggal di Istanbul, di tengahtengah kami. Aku tahu bahwa bila aku kembali ke Venesia, aku tidak bisa meneruskan kehidupan yang kutinggalkan dulu. Paling-paling aku mungkin hanya mampu menjalani sebuah kehidupan baru. Aku tidak lagi merasakan antusiasme untuk mengingat kembali berbagai perincian kehidupanku yang lama, kecuali untuk satu atau dua buku yang hendak kutulis tentang bangsa Turki dan kehidupanku sebagai budak selama bertahun-tahun.
Kadang kurasa Hoja merendahkan diriku karena dia merasa bahwa aku tidak memiliki tanah air dan tujuan hidup, karena dia tahu aku ini lemah, walaupun kadang aku meragukan bahwa dia memahami hal ini. Setiap hari dia
benar-benar dibuat mabuk oleh berbagai cerita yang dia sampaikan pada sultan, oleh sejumlah gambar dan kemenangan dari senjata luar biasa yang dikhayalkannya dan katanya pasti akan bisa memikat hati sultan, sehingga mungkin dia tidak menyadari apa yang sedang kupikirkan. Aku menyadari bahwa aku mengamati kepuasan diri yang dirasakan Hoja dengan penuh rasa iri. Aku mencintainya, aku mencintai semangat semu yang melandanya yang berasal dari perasaan kemenangan yang dibesar-besarkan olehnya, berbagai rencananya yang tidak pernah ada habisnya, dan caranya mengatakan bahwa tak lama lagi dia akan sepenuhnya bisa menguasai sultan. Aku tidak mungkin bisa mengakui, bahkan pada diriku sendiri, bahwa aku juga pernah memiliki berbagai pemikiran seperti ini. Tetapi, saat aku mengikuti semua gerakannya, kegiatannya sehari-hari, aku sering merasa bahwa aku sedang mengamati diriku sendiri. Ketika melihat seorang anak kecil dan seorang pemuda, maka seorang lelaki dewasa kadang melihat masa kecilnya dan masa mudanya sendiri, serta mengamati si anak dan si pemuda itu dengan cinta dan rasa penasaran: perasaan takut dan penasaran yang kurasakan adalah seperti itu, Sering terpikirkan olehku bagaimana Hoja pernah mencengkeram tengkukku dan berkata, "Aku telah menjadi dirimu," tetapi saat aku mengingatkannya tentang hari-hari itu, Hoja langsung memotong ucapanku dan mengganti bahan pembicaraan dengan membicarakan apa yang dikatakannya hari itu pada sultan agar sultan percaya pada senjata yang luar biasa itu, atau menggambarkan dengan teperinci bagaimana pagi itu dia telah memengaruhi pikiran sultan ketika sedang menafsirkan mimpinya.
Aku juga ingin bisa memercayai kehebatan berbagai
kisah suksesnya yang oleh ucapannya terdengar begitu indah saat dia menceritakannya. Kadang, karena terbawa oleh khayalanku yang tiada batasnya, dengan sukarela aku memosisikan diriku sebagai dirinya dan memercayai semua hal itu. Maka, aku akan mencintai dirinya dan diriku sendiri, diri kami, dan dengan mulut ternganga seperti si dungu yang sedang mendengarkan dongeng yang mengasyikkan, terbuai oleh ucapannya, aku percaya bahwa ucapannya tentang hari-hari menyenangkan yang akan datang menjelang itu menjadi tujuan yang akan kami kejar bersama-sama.
Begitulah kejadiannya sampai akhirnya aku menyertainya menafsirkan mimpi sultan. Hoja telah memutuskan untuk memprovokasi sultan yang berumur dua puluh satu tahun itu untuk memegang kendali pemerintahan secara penuh. Lalu, dia menjelaskan pada sultan, beberapa ekor kuda kesepian yang dilihatnya berlari bebas dalam mimpinya sungguh menyedihkan karena mereka tidak ditunggangi. Dan, kawanan serigala yang menancapkan gigi mereka dengan kejamnya ke leher hewan buruan sungguh berbahagia, karena mereka bisa mencukupi diri sendiri. Bahwa, para wanita tua yang menangis dan gadis-gadis cantik yang buta dan pepohonan yang daunnya berguguran diterpa hujan hitam sebenarnya memohon pertolongannya. Bahwa, laba-laba keramat dan burung elang yang pongah melambangkan hakikat kebebasan. Kami ingin sultan tertarik pada ilmu pengetahuan kami setelah dia mengendalikan roda pemerintahan. Kami bahkan mengeksploitasi mimpi-mimpi buruknya untuk meraih tujuan kami ini. Selama malam-malam panjang yang melelahkan dalam kegiatan berburu, sultan, yang seperti kebanyakan orang yang senang berburu, bermimpi bahwa
dialah yang menjadi binatang buruan, atau, karena takut kehilangan tahta, bermimpi bahwa dia melihat dirinya duduk di singgasana sebagai anak kecil. Hoja menjelaskan bahwa singgasana itu menandakan sultan akan terus tampil muda, tetapi jika sultan tidak mau membuat senjata yang lebih hebat daripada senjata musuh yang selalu waspada, dirinya akan terancam oleh niat jahat musuhnya itu. Sultan bermimpi bahwa kakeknya, Sultan Murat, pernah membuktikan kesaktiannya dengan membelah seekor keledai menjadi dua bagian dengan sekali sabetan pedang yang sedemikian cepatnya, sehingga kedua bagian tubuh keledai itu meloncat-loncat saling menjauh. Sultan juga bermimpi bahwa wanita pemarah bernama Kosem Sultana, neneknya, bangkit dari kubur untuk mencekik dirinya dan ibunya, lalu meloncat ke atas tubuhnya tanpa mengenakan sehelai benang pun. Mimpi lainnya menunjukkan bahwa di hipodrom (arena balap kuda), alih-alih tumbuh pepohonan raksasa, yang tumbuh adalah pohon fig dan dari dahannya bergantungan mayat penuh darah sebagai pengganti buah. Dia bermimpi bahwa orang jahat yang wajahnya mirip dengan wajahnya sendiri mengejarnya untuk memasukkan dirinya ke dalam karung yang mereka bawa dan membunuhnya. Impiannya yang lain menunjukkan sekawanan kura-kura yang membawa lilin di punggungnya yang entah bagaimana apinya tidak mati tertiup angin, masuk ke dalam lautan dari Uskudar dan berbaris menuju istana. Kami mencoba menafsirkan semua mimpi ini, yang dengan sabar dan gembira kutuliskan dalam sebuah buku untuk kemudian dikelompok-kelompok-kan, demi mendukung ilmu pengetahuan dan senjata luar biasa yang harus dibuat. Menurutku, betapa salahnya para penasihat yang berbisik-bisik bahwa sultan mengabaikan pemerintahan dan hanya memikirkan acara berburu dan binatang peliharaannya.
Menurut Hoja, kami pelan-pelan telah memengaruhi sultan, tetapi aku tidak lagi yakin bahwa kami akan berhasil. Hoja membuat sultan menjanjikan senjata baru atau pembangunan observatorium baru atau rumah ilmu pengetahuan, dan setelah malam-malam yang penuh harapan besar memimpikan berbagai proyek itu, berbulan-bulan berlalu dan Hoja tidak pernah sekali pun berbicara serius lagi mengenai hal itu dengan sultan. Setahun setelah wabah itu, ketika Wazir Agung Koprulu meninggal, Hoja menemukan sebuah dalih lain yang membangkitkan rasa optimismenya: sultan ragu-ragu mewujudkan semua rencananya karena dulu dia gentar akan kekuatan dan kepribadian Koprulu, dan sekarang setelah Koprulu meninggal dan putranya, yang tidak begitu berkuasa seperti ayahnya, telah menggantikannya, tibalah waktunya untuk mengharapkan berbagai keputusan berani dari sultan.
TXI/PRC INI DI BUAT KARENA KECINTAAN SAYA MEMBACA NOVEL DI HP/PDA (ottoys@yahoo.com)
Tetapi, kami menghabiskan waktu tiga tahun untuk menunggu keputusan tersebut. Yang membuatku bingung sampai sekarang bukanlah sikap sultan yang pasif, yang tenggelam dalam mimpimimpinya dan kegiatan berburu-nya, tetapi bahwa Hoja masih tetap menaruh harapan padanya. Selama ini aku menunggu saat ketika Hoja putus asa dan menjadi seperti aku! Walaupun sekarang, dia sudah tidak pernah berbicara sesering dulu lagi tentang "kemenangannya", dan tidak merasakan semangat yang dimilikinya selama bulan-bulan setelah usainya wabah, dia masih mampu mempertahankan khayalannya bahwa suatu hari kelak dia akan bisa memanipulasi sultan dengan apa yang disebutnya sebagai "rencana besar". Dia selalu bisa berdalih: segera setelah kebakaran hebat yang meruntuhkan Istanbul, investasi besar-besaran sultan pada rencana besarnya telah memberi para musuhnya peluang untuk berkomplot dan mendudukkan adiknya di singgasana. Kekuasaan sultan terpasung untuk sementara, karena pasukannya sedang menjalani sebuah ekspedisi memerangi bangsa Hun. Tahun berikutnya, kami memperkirakan tentaranya akan mulai berperang melawan bangsa Jerman. Lalu, masih ada proyek penyelesaian Masjid Valide Baru di pantai Tanduk Emas yang sering dikunjungi Hoja bersama sultan dan ibunya, Turhan Sultana, yang menggunakan dana besar. Kemudian, ada juga acara berburu yang tiada henti-hentinya, yang tidak pernah kuikuti. Sementara aku di rumah menunggu Hoja pulang berburu, aku berusaha mengikuti berbagai instruksinya dan membuahkan berbagai gagasan untuk "rencana besarnya" atau "ilmu pengetahuan", terangguk-angguk dengan malasnya saat membukabuka halaman bukunya.
Aku sudah tidak bersemangat lagi dengan semua proyek ini; aku sudah tidak peduli lagi bagaimana hasilnya seandainya berbagai proyek ini akhirnya diwujudkan. Hoja juga menyadari, seperti aku, bahwa tidak ada gagasan berharga dalam pikiran kami mengenai astronomi, geografi, atau bahkan ilmu pengetahuan alam selama tahun-tahun pertama saat kami bertemu, Berbagai jam, peralatan, dan model sudah dilupakan, terpuruk di sudut ruangan dan sudah lama berkarat. Kami menunda semuanya sampai tiba saatnya untuk mengotak-atik lagi hal yang disebut "ilmu pengetahuan" ini. Sekarang, kami tidak memiliki rencana besar yang bisa menyelamatkan kami dari kehancuran; yang kami punyai hanyalah khayalan tentang rencana itu. Untuk meyakini khayalan
yang muram ini, yang sama sekali tidak bisa menipuku, dan untuk merasakan semacam kebersamaan dengan Hoja, aku kadang mencoba melihat halaman-halaman buku ini dari sudut pandangnya, atau berusaha menempatkan diriku pada posisinya saat berbagai pikiran melintasi benakku. Ketika dia kembali dari acara berburu, aku berpura-pura seakan berhasil menemukan hal baru tentang perkara apa pun yang ditinggalkannya untuk kupikirkan, dan kami bisa melakukan sesuatu tentang hal itu. Ketika aku berkata: "Pasang surutnya lautan ditentukan oleh panas sungai yang bermuara ke lautan itu," atau, "Wabah itu disebarkan dengan bakteri sekecil debu di udara, dan pada saat cuaca berubah, bakteri itu pun menghilang," atau, "Bumi berputar mengelilingi matahari dan matahari berputar mengelilingi bulan," Hoja, yang mengganti pakaian berburunya, selalu memberikan jawaban yang sama padaku, membuatku tersenyum dengan penuh kasih sayang: "Dan orangorang idiot di sini bahkan tidak pernah menyadari hal itu!"
Lalu, amarahnya meledak, yang membuatku ikut terpengaruh, menggerutu berjam-jam tentang sultan yang mengejar seekor babi hutan, atau alangkah bodohnya sultan yang menangisi seekor kelinci yang dikejar-kejar anjing pemburunya. Dan, walaupun bertentangan dengan perasaannya, Hoja mengakui bahwa ucapannya pada sultan selama perburuan tampaknya hanya masuk lewat telinga kiri dan keluar lewat telinga kanannya, lalu bertanya berulang kali tentang kapankah semua orang idiot itu akan menyadari kenyataan. Apakah hanya kebetulan bahwa begitu banyak orang bodoh yang berkumpul di sebuah tempat atau apakah hal itu memang tidak dapat dihindarkan" Mengapa mereka semua begitu tolol"
Jadi, dia pelan-pelan menyadari bahwa dia harus memulai lembaran baru dengan apa yang disebutnya sebagai "ilmu pengetahuan"; kali ini untuk bisa memahami apa yang dipikirkan orang-orang itu, Karena hal ini mengingatkanku pada hari-hari yang begitu kusukai saat kami duduk di meja yang sama dan, saling membenci, saling bermiripan, aku merasakan antusiasme yang sama dengan Hoja untuk mulai kembali mengerjakan "ilmu pengetahuan" ini. Namun, setelah beberapa kali melakukan usaha awal, kami menyadari bahwa semuanya tidak seperti dulu lagi.
Pertama-tama, karena aku tidak tahu cara membimbing Hoja atau mengapa aku harus melakukannya, maka aku pun tidak bisa menekan dirinya. Yang lebih penting lagi, aku merasa seakan-akan penderitaan dan kegagalannya adalah penderitaan dan kegagalanku juga. Pada sebuah kesempatan, aku mengingatkan dirinya tentang kebodohan orangorang di sini, mengemukakan beberapa contoh yang dibesar-besarkan, dan membuatnya merasa akan gagal seperti mereka walaupun aku tidak meyakini hal ini lalu mengamati reaksinya. Walaupun dia dengan gencar menyangkal pendapatku, mengatakan bahwa kegagalan bisa dihindarkan jika kami bertindak dulu dan mengabdikan diri menyelesaikan tugas ini jika, misalnya, kami bisa mewujudkan proyek senjata itu, kami masih bisa mengubah arah sejarah yang sedang menekan kami ini dan, walaupun dia membuatku senang karena menyebut hal tersebut sebagai rencana "kami" dan bukan rencananya seorang, seperti yang selalu dilakukannya saat merasa tertekan, tetap saja dia menolak pendekatan yang besar kemungkinannya akan membuahkan kegagalan yang tak terelakkan. Aku melihatnya sebagai anak yatim piatu; aku menyukai amarah dan kesedihan yang mengingatkan
aku akan tahun-tahun pertamaku sebagai budak; dan aku ingin menjadi seperti dirinya, Saat dia berjalan mondar-mandir di dalam ruangan sambil melihat jalanan yang kotor dan berlumpur di luar saat hujan turun dengan derasnya, atau pelita yang bergoyang dan basah kuyup yang memancar dari beberapa rumah di tepi pantai Tanduk Emas, seakanakan sedang mencari sebuah tanda baru yang bisa dijadikannya harapan, sepertinya untuk sejenak hal yang membuat ruangan in terasa penuh tekanan bukanlah Hoja, melainkan masa mudaku sendiri. Diriku yang dahulu, yang sekarang telah meninggalkanku dan menghilang, dan diriku yang sekarang terkantuk-kantuk di sudut rumah yang dengan penuh rasa iri menginginkan dirinya, seakan-akan di dalam dirinyalah aku bisa menemukan antusiasme yang pernah kumiliki.
Tapi, aku juga akhirnya penat dengan antusiasme yang tidak pernah lelah muncul dan muncul lagi. Setelah Hoja menjadi peramal istana, harta bendanya di Gebze semakin banyak dan demikian pula penghasilan kami. Sekarang, dia tidak perlu lagi berbuat apa-apa selain mengobrol dengan sultan saat diperlukan. Sesekali, kami masih suka pergi ke Gebze, melihat tempat penggilingan yang sudah butut, dan desa-desa yang anjing liarnya berlarian menyambut kami, memeriksa keuangan, menelaah laporan pembukuan, dan mencoba menelaah seberapa besar penggelapan yang dilakukan si mandor. Kami menulis sejumlah risalah yang bisa menghibur sultan, kadang tertawa, namun lebih sering mengerang karena bosan, dan hanya itu sajalah yang kami lakukan. Jika aku tidak memaksanya, dia mungkin tidak akan pernah beristirahat, bersenang-senang dengan para pelacur yang wangi setelah menjalani hari-hari yang membosankan itu.
Hal yang lebih mengesalkan Hoja adalah bahwa sultan, karena ditinggalkan pasukannya yang sedang pergi berperang dan para pasha yang meninggalkan kota untuk memerangi bangsa Jerman atau menghancurkan benteng bangsa Creta, dan karena ibunya tidak bisa memaksanya untuk mendengar nasihatnya, telah mengumpulkan para penasihat, orangorang bodoh, dan para penipu di sekelilingnya yang dulu pernah diusirnya. Jadi, untuk memisahkan dirinya dari para penipu ini, yang dipandangnya dengan perasaan benci dan sebal dan membuat mereka menerima keunggulannya, Hoja bertekad untuk tidak bergabung dengan mereka. Namun, ketika sultan bersikeras, dia terpaksa harus mau berbicara dengan mereka dan mendengarkan pendapat mereka. Berbagai pertemuan tersebut mendiskusikan berbagai pertanyaan seperti apakah binatang memiliki jiwa, bila ya binatang mana sajakah yang berjiwa, dan apakah mereka akan masuk surga atau neraka, apakah binatang mussels berkelamin jantan atau betina, apakah matahari yang terbit setiap pagi itu adalah matahari baru atau matahari yang sama yang terbenam di pagi hari di tempat yang berseberangan. Menanggapi diskusi itu, Hoja mengemukakan kekhawatirannya akan masa depan, mengatakan bahwa jika kita tidak melakukan sesuatu, sultan tak akan bisa dipengaruhinya lagi.
Karena dia membicarakan rencana "kami," masa depan "kami," dengan senang hati aku mengikuti semua pembicaraannya. Suatu kali, ketika berusaha mengetahui apa yang sedang dipikirkan sultan, kami membaca kembali berbagai tulisan yang kusimpan selama bertahun-tahun, impian kami, semua kenangan kami. Seakan-akan sedang menelaah isi sejumlah laci, kami berusaha menghitung isi kepala sultan. Hasilnya sama sekali tidak membesarkan
hati. Meskipun Hoja masih bisa mengobrol tentang senjata hebat yang bisa dijadikan penyelamat kami, atau tentang berbagai misteri yang harus dipecahkan yang masih tersembunyi di dalam pikiran kami, sekarang dia tidak bisa lagi bersikap seakan-akan dia tidak mengantisipasi kekalahan besar yang sudah semakin dekat ini. Selama berbulan-bulan kami mendiskusikan hal ini sampai merasa lelah sekali.
Apakah kami memandang "kekalahan" ini sama artinya dengan bahwa kesultanan ini akan kehilangan daerah kekuasaannya satu per satu" Kami bentangkan peta kami di atas meja dan dengan sedih memperkirakan daerah manakah, lalu pegunungan atau sungai manakah yang akan lepas dari tangan kami. Ataukah kekalahan ini berarti bahwa orang-orang akan berubah dan mengganti keyakinannya tanpa menyadarinya" Kami membayangkan bagaimana semua orang di Istanbul terbangun dari tempat tidurnya yang hangat di suatu pagi dan telah berubah menjadi orang lain; mereka tidak tahu bagaimana mengenakan pakaiannya sendiri, tidak ingat lagi apa kegunaan menara masjid. Atau mungkin, kekalahan berarti mengakui keunggulan orang lain dan mencoba meniru mereka. Lalu, Hoja mulai mengingat kembali beberapa bagian kehidupanku di Venesia dulu, dan kami mulai membayangkan bagaimana kenalan kami di sini akan meniru apa yang kulakukan dengan memakai topi dan celana yang biasa dipakai orang asing.
Sebagai usaha terakhir, kami memutuskan untuk menceritakan semua khayalan ini pada sultan, khayalan yang telah membuat kami lupa bagaimana kami melewatkan waktu yang kami gunakan untuk menciptakan semua khayalan ini. Kami menduga bahwa mungkin semua pandangan ke depan tentang kekalahan ini, yang diungkapkan dalam bentuk khayalan kami, mungkin bisa membuat sultan melakukan sesuatu. Jadi, pada malam-malam yang hening dan gelap, kami memenuhi sebuah buku dengan semua pandangan ke depan yang berasal dari khayalan tentang kekalahan dan kegagalan yang telah kami khayalkan dengan kegembiraan yang menyedihkan dan putus harapan. Orang miskin yang kepalanya tertunduk, jalanan yang becek, bangunan yang setengah selesai, jalanan yang gelap dan aneh, orang-orang yang berharap bahwa semuanya akan kembali seperti dulu saat mereka memanjatkan doa yang tidak mereka pahami, para ibu dan ayah yang berduka cita, kaum lelaki yang tidak bahagia yang hidupnya terlalu pendek sehingga tidak bisa meneruskan kepada kami hal-hal yang telah mereka raih dan wujudkan di tanah bangsa lain, sejumlah mesin yang dibiarkan tidak berjalan, jiwa yang matanya basah karena mengenang masa lalu yang indah, anjing-anjing liar yang tinggal tulang berbalut kulit, penduduk desa yang tidak punya tanah, penjahat yang berkeliaran di kota, kaum Muslim buta huruf yang memakai celana panjang, dan semua perang yang berakhir dengan kekalahan. Kami masukkan berbagai kenanganku yang mulai hilang di bagian lain dari buku tersebut: beberapa halaman yang memuat berbagai pengalaman menyenangkan dan mencerahkan dari masa sekolahku di Venesia dengan ibu, ayah, adik, dan kakakku. Orang-orang yang akan menguasai kita menjalani kehidupan seperti ini, dan kita harus melakukan sesuatu sebelum kita mulai meniru mereka! Pada bagian kesimpulan, ahli kaligrafi kami yang kidal menuliskan sebuah kalimat yang disusun dengan baik, dengan menggunakan metafora tentang lemari Hoja yang sangat disayanginya, yang dipandang sebagai pintu masuk ke dalam teka-teki hitam misteri pikiran kami yang rumit. Puisi yang dirangkai dengan indahnya ini, yang agung dan sunyi,
TXI/PRC INI DI BUAT KARENA KECINTAAN SAYA MEMBACA NOVEL DI HP/PDA (ottoys@yahoo.com)
telah merangkum inti dari semua buku dan risalah yang pernah kutulis bersama Hoja.
Hanya sebulan setelah Hoja menyerahkan buku ini, sultan memerintahkan kami untuk memulai pembuatan senjata tersebut. Kami benar-benar kebingungan menerima perintahnya dan tidak pernah bisa memutuskan seberapa jauh kesuksesan kami dipengaruhi oleh buku itu,#
SEMBILAN KETIKA SULTAN berkata, "Ayo kita lihat senjata yang menakjubkan ini, yang sanggup menghancurkan semua musuh kita," mungkin dia hanya sedang menguji Hoja, mungkin dia memimpikan sebuah mimpi yang dirahasiakannya dari Hoja, mungkin dia ingin menunjukkan pada ibunya yang mendominasi dan para pasha yang selalu mengganggunya bahwa para "filsuf " yang mengelilinginya ternyata bermanfaat juga. Mungkin dia mengira bahwa Hoja bisa menciptakan keajaiban baru setelah wabah itu. Mungkin dia benar-benar terpengaruh oleh berbagai gambaran tentang kekalahan yang memenuhi buku kami, atau mungkin beberapa kegagalan militer yang benar-benar terjadi dan bukan bayangan tentang kekalahan yang kami ciptakan yang telah membuatnya panik dan kemudian berpikir, seperti yang ditakutkannya selama ini, bahwa pihak-pihak yang ingin mengangkat adiknya menjadi sultan akan mampu mendongkel dirinya. Kami memikirkan semua kemungkinan ini ketika menghitung pendapatan yang bisa kami dapatkan dari penduduk desa, caravan-sarays (tempat persinggahan iring-iringan karavan), dan kebun zaitun yang telah diberikan oleh sultan untuk membiayai pembuatan senjata tersebut.
Hoja bertekad bahwa kami hanya boleh terkejut oleh
kejutan yang kami buat sendiri. Apakah semua itu hanya kebohongan belaka, semua cerita yang diceritakannya pada sultan selama bertahun-tahun, semua risalah dan buku yang kami tulis, sehingga sekarang kami harus meragukan semua itu saat sultan justru memercayainya" Dan masih ada lagi: sultan mulai penasaran tentang apa yang tersembunyi di dalam pikiran kami. Hoja dengan gembira bertanya padaku apakah ini bukan kemenangan yang kami tunggu-tunggu selama ini.
Memang ini adalah kemenangan itu, dan kali ini kami mulai bekerja sebagai rekan kerja. Karena, aku tidak begitu bersemangat seperti dirinya mengenai hasil proyek ini, aku juga senang. Selama enam tahun berikutnya, ketika kami bekerja untuk mewujudkan senjata itu, keselamatan kami selalu terancam. Bukan karena kami bekerja dengan menggunakan bubuk mesiu, tetapi karena telah mengundang rasa iri para musuh kami; karena semua orang menunggu dengan tidak sabar untuk menyaksikan apakah kami akan gagal atau berhasil. Dan, kami terancam karena kami juga menunggu hal yang sama, dengan penuh rasa takut.
Pertama-tama, kami menyia-nyiakan musim dingin hanya dengan bekerja di balik meja. Kami penuh semangat, antusias, tetapi tidak punya apa pun selain gagasan mengenai senjata dan berbagai konsep yang tidak masuk akal dan tidak berbentuk yang telah menghantui kami saat kami membayangkan bagaimana senjata ini bisa menghancurkan semua musuh. Kemudian, kami memutuskan untuk keluar mencari udara segar dan bereksperimen dengan mesiu. Sama seperti ketika kami mempersiapkan pertunjukan kembang api dulu, anak buah kami mencampurkan beberapa macam bubuk sesuai dengan ukuran
yang kami berikan kepada mereka, lalu meledakkannya dari kejauhan, sementara kami berlindung di tempat teduh yang sejuk di bawah pepohonan yang tinggi. Orang yang penasaran berdatangan dari keempat penjuru Istanbul untuk melihat asap berwarna-warni yang meledak dengan tingkat kebisingan yang berbeda-beda. Seiring dengan berjalannya waktu, kerumunan orang membuat lapangan menjadi semacam arena sirkus, padahal di lapangan itu kami mendirikan tenda, memasang target sasaran, dan sejumlah meriam berlaras pendek dan panjang yang kami cetak. Pada suatu hari di akhir musim panas, sultan sendiri muncul tanpa pemberitahuan sebelumnya.
Kami menggelar pertunjukan baginya, menggetarkan bumi dan langit dengan suara. Satu demi satu, kami tunjukkan selongsong peluru yang telah kami persiapkan, yang diisi dengan berbagai campuran bubuk mesiu, rencana cetakan senjata baru dan meriam berlaras panjang yang belum dicetak, mekanisme penembakan berdasarkan waktu yang sepertinya meriam itu bisa meledak secara otomatis. Sultan tampak lebih tertarik padaku daripada pada berbagai senjata itu. Mula-mula, Hoja ingin menjauhkan aku dari sultan, tetapi saat pertunjukan dimulai dan sultan melihatku memberi perintah sama seringnya dengan Hoja, bahwa anak buah kami menuruti perintahku sama seperti menuruti perintah Hoja, dia jadi penasaran.
Ketika aku diperintahkan agar menemuinya untuk yang kedua kalinya dalam waktu lima belas tahun, sultan menatapku seakan-akan aku adalah seseorang yang pernah dia kenal sebelumnya, namun tidak ingat kapan pertemuan itu pernah terjadi. Dia seperti orang yang sedang mencoba menebak buah yang dia cicipi rasanya dengan mata tertutup. Aku mencium ujung pakaiannya. Dia tidak
marah ketika diberitahu bahwa aku telah tinggal di Istanbul selama dua puluh tahun, tetapi masih belum memeluk agama Islam. Ada hal lain dalam pikirannya: "Dua puluh tahun?" tanyanya. "Sungguh aneh!" Lalu, tiba-tiba dia mengajukan pertanyaan itu: "Kaukah yang mengajarkan semua ini kepadanya?" Jelas dia mengajukan pertanyaan ini bukan dengan niat untuk mengetahui jawaban-ku, karena dia meninggalkan tenda kami yang compang-camping yang berbau mesiu dan sendawa, dan berjalan menuju kuda putihnya yang gagah ketika tiba-tiba berhenti melangkah, membalikkan badan menghadapi kami berdua yang sedang berdiri berdampingan. Lalu, dia tersenyum, seakan-akan melihat salah satu keajaiban yang diciptakan Allah untuk meruntuhkan kesombongan manusia, agar mereka merasakan kemustahilan seorang manusia cebol yang sempurna atau sepasang anak kembar yang sangat mirip seperti pinang dibelah dua.
Malam itu aku memikirkan sultan, bukan seperti yang diinginkan Hoja. Dia terus membicarakan sultan dengan perasaan sebal, tapi aku menyadari bahwa aku tidak akan pernah mampu membenci atau meremehkan sultan. Aku benar-benar terkesan oleh sikapnya yang informal, keramahannya, aura seorang anak manja yang mengatakan apa pun yang hinggap di benaknya. Aku ingin menjadi seperti dirinya atau menjadi temannya. Setelah ledakan kemarahan Hoja, aku berbaring di tempat tidur, mencoba tidur, merenung bahwa sultan sepertinya bukanlah orang yang pantas diperdaya; aku ingin membocorkan semuanya padanya. Tapi, apakah semuanya itu"
Ketertarikanku bukannya tidak berbalas. Suatu hari, ketika Hoja dengan sebal mengatakan bahwa sultan mengharapkan juga kehadiranku di pagi itu, aku berjalan
mengikutinya ke istana, Hari itu adalah suatu hari di musim gugur yang menebarkan aroma laut. Kami menghabiskan sepanjang pagi itu di kolam bunga teratai di bawah pepohonan besar di dalam hutan yang dipenuhi dedaunan merah yang berguguran. Sultan ingin membicarakan kawanan kodok yang sedang asyik meloncat-loncat dan memenuhi kolam itu. Hoja tidak mau meladeninya dan hanya mengulangi beberapa ungkapan klise tanpa makna tentang bayangan dan warna-warni hutan. Sultan bahkan tidak menyadari kekasaran Hoja yang sangat mengejutkanku. Dia lebih tertarik padaku.
Jadi, aku berbicara panjang lebar tentang mekanisme loncatan kodok, tentang sistem peredaran darahnya, tentang jantung mereka yang terus berdenyut untuk beberapa saat lamanya setelah dikeluarkan dari dalam tubuh mereka, tentang lalat dan serangga yang menjadi makanannya. Aku meminta sebuah pena dan selembar kertas untuk menunjukkan dengan lebih jelas beberapa tahapan perubahan sebutir telur menjadi kodok dewasa di dalam kolam. Sultan mengamati dengan penuh perhatian saat aku membuat rangkaian gambar tersebut dengan beberapa buah pena berparuh yang dibawa di atas nampan perak berhiaskan batu mirah delima, Dia mendengarkan dengan rasa puas yang terlihat jelas tentang berbagai cerita yang kuingat tentang kodok dan saat aku sampai ke bagian cerita ketika sang putri mencium kodok, dia tampak seperti mau muntah dan mimik wajahnya tampak masam, tapi tetap saja tidak mirip anak muda bodoh yang sering digambarkan Hoja. Dia lebih tampak seperti orang dewasa yang berpikiran serius, yang bersikeras ingin memulai setiap harinya dengan ilmu pengetahuan dan seni. Pada akhir jam-jam yang damai itu, saat Hoja terus
saja mengerutkan keningnya, sultan melihat gambar kodok di tangannya dan berkata, "Aku sudah menduga sejak lama bahwa kamulah yang mengarang semua cerita itu. Jadi, kamu juga yang membuat semua gambarnya!" Lalu, dia bertanya tentang kodok berkumis.
Beginilah awal mula hubunganku dengan sultan. Sekarang, aku selalu menemani Hoja setiap kali dia berkunjung ke istana. Pada awalnya, Hoja tidak banyak bicara, akulah yang justru banyak berbicara dengan sultan. Sementara aku berbicara dengannya tentang mimpi-mimpinya, antusiasmenya, hal-hal yang ditakutinya, tentang masa lalu dan masa depan, aku bertanya dalam hati, dari sudut pandang manakah lelaki cerdas dan memiliki rasa humor tinggi di hadapanku ini mirip dengan sultan yang digambarkan Hoja selama bertahun-tahun ini. Aku bisa menduga dari berbagai pertanyaan cerdas yang diajukannya, dari kebajikannya, bahwa sejak dia menerima berbagai buku yang kami sajikan kepadanya, sultan berspekulasi seberapa banyak unsur dalam diri Hoja yang merupakan diriku dan seberapa banyak unsur dalam diriku yang merupakan Hoja. Pada saat itu Hoja, terlalu sibuk dengan meriam dan berbagai laras panjang yang sedang dia coba cetak, sehingga tidak tertarik pada berbagai spekulasi ini, yang menurutnya adalah spekulasi konyol. Enam bulan setelah kami mulai mengerjakan meriam itu, Hoja panik ketika mengetahui bahwa ahli senjata istana amat murka karena kami telah mencampuri urusan mereka. Dia menuntut agar dia diberhentikan dari jabatannya atau orang-orang bodoh yang gila seperti kami, yang membuat keahlian pembuatan senjata diragukan karena yakin bahwa kami sedang menciptakan senjata baru, agar diusir dari Istanbul. Tapi, Hoja tidak mau berkompromi,
walaupun ahli senjata istana itu sepertinya ingin membuat kesepakatan. Sebulan kemudian, ketika sultan memerintahkan kami untuk mengembangkan senjata itu sedemikian rupa sehingga tidak harus sampai membuat meriam, Hoja tidak terlalu peduli. Kami berdua sudah tahu bahwa senjata baru dan meriam laras panjang yang kami buat tidak ada bedanya dengan berbagai senjata yang sudah digunakan selama bertahun-tahun.
Jadi, menurut Hoja, kami memasuki lagi sebuah fase baru, dan dalam fase ini kami akan memimpikan semuanya dari awal lagi. Tetapi, karena aku sudah terbiasa dengan luapan amarahnya dan mimpimimpinya, satu-satunya yang baru bagiku adalah mengenal sultan. Dan, sultan pun tampaknya menikmati kehadiran kami. Seperti seorang ayah yang penuh perhatian yang memisahkan dua anaknya yang sedang bertengkar karena berebut kelereng, dan berkata, "Kelereng ini punyamu dan yang itu punyamu," dia memisahkan kami dengan berdasarkan pengamatannya tentang ucapan dan perilaku kami. Berbagai pengamatan ini, yang kadang kuanggap kekanak-kanakan dan kadang cerdas, mulai mengkhawatirkanku. Aku mulai percaya bahwa kepribadianku telah memisahkan diri dari sosok diriku dan bergabung dengan kepribadian Hoja, dan begitu pula sebaliknya, tanpa kami menyadarinya. Sementara itu, sultan yang mengevaluasi makhluk khayalan ini, telah mengenal kami lebih baik daripada kami mengenal diri kami sendiri.
Ketika kami menafsirkan mimpi-mimpinya, atau membicarakan senjata baru dan pada masa itu kami hanya memiliki impian tentang senjata itu sultan bisa tiba-tiba berhenti bicara dan menatap salah satu dari kami, lalu berkata, "Tidak, ini gagasannya, bukan gagasanmu." Kadang dia bisa menentukan berdasarkan gerak-gerik kami: "Sekarang kamu memandang ke sekelilingmu, persis seperti yang dilakukannya. Jadilah diri sendiri!" Jika aku tertawa karena terkejut, dia melanjutkan, "Nah, begitu lebih baik, bravo! Apa kalian tidak pernah becermin bersama-sama?" Lalu, dia bertanya siapa di antara kami berdua yang bisa menjadi diri sendiri saat kami menatap cermin. Pada sebuah kesempatan, dia memerintahkan semua risalah, buku tentang binatang, dan kalender yang pernah kami buat untuknya selama bertahun-tahun ini dikeluarkan dari tempatnya. Lalu, dia berkata bahwa saat pertama kali membacanya, sambil membuka-buka halamannya, dia mencoba membayangkan siapa di antara kami yang telah menuliskan bagian yang mana, dan bahkan bagian manakah yang ditulis oleh salah satu dari kami dengan menganggap dirinya menjadi sosok yang lainnya. Tapi, si peniru yang dipanggilnya, di saat kami sedang menghadap sultan, yang benar-benar membuat Hoja marah, dan membuatku terkesima, namun sekaligus terheran-heran.
TXI/PRC INI DI BUAT KARENA KECINTAAN SAYA MEMBACA NOVEL DI HP/PDA (ottoys@yahoo.com)
Wajah atau bentuk tubuh orang ini sama sekali tidak mirip dengan kami; tubuhnya pendek dan gendut, dan pakaiannya benar-benar berbeda, tetapi saat dia mulai bicara, aku terpana, seakan-akan Hoja, dan bukan dia, yang sedang bicara. Seperti Hoja, dia mendekatkan tubuhnya ke telinga sultan seakan-akan sedang membisikkan sebuah rahasia. Seperti Hoja, dia membuat suaranya terdengar berat dengan menciptakan suasana terkendali dan penuh perhatian saat mendiskusikan beberapa hal penting, lalu tiba-tiba, persis seperti Hoja, dia terlihat gembira dengan ucapannya, melambai-lambaikan tangan dan lengannya dengan penuh semangat untuk membuat para pendengarnya terkesan dan terkagum-kagum. Tetapi, walaupun dia berbicara dengan aksen suara Hoja, dia tidak menceritakan berbagai proyek yang melibatkan bintang atau senjata yang luar biasa; dia hanya memerinci berbagai masakan yang dipelajarinya di dapur istana dan bahan baku serta bumbu yang cocok untuk mempersiapkan masakan itu. Sementara sultan tersenyum, si peniru itu terus melanjutkan pertunjukannya meniru-niru Hoja, yang membuat wajah Hoja tampak geram, dengan memerinci satu demi satu tempat persinggahan karavan antara Istanbul dan Aleppo. Lalu, sultan meminta si peniru meniruku. Orang itu, yang menatapku dengan mulutnya ternganga adalah aku sendiri: aku terpana. Ketika sultan memintanya untuk meniru seseorang yang setengah Hoja dan setengah aku, aku benar-benar terkesima. Saat melihat gerakannya, rasanya ingin sekali aku mengatakan, seperti yang dikatakan sultan, "Ini aku dan yang ini Hoja." Tetapi, si peniru melakukannya sendiri dengan menunjukkan telunjuknya kepada kami secara bergantian. Setelah sultan memujinya dan menyuruhnya pergi, dia memerintahkan kami untuk merenungkan pertunjukan yang telah kami lihat itu.
Apa maksudnya" Malam itu, ketika kukatakan pada Hoja bahwa sultan ternyata lebih cerdas dari sosok yang digambarkannya padaku selama bertahun-tahun ini, dan mengatakan bahwa sultan telah menemukan sendiri arah yang ingin ditunjukkan oleh Hoja, dia segera murka kembali. Kaliini, aku merasa kemarahannya itu bukan tanpa sebab: pertunjukan si peniru bukanlah sesuatu yang bisa diterima begitu saja. Hoja berkata bahwa dia tidak akan menginjakkan kakinya di istana lagi kecuali bila terpaksa. Dia tidak memiliki keinginan untuk merendahkan diri dengan membuang-buang waktu bersama semua orang bodoh itu, meskipun sekarang kesempatan yang telah ditunggunya selama bertahun-tahun akhirnya telah berada dalam genggamannya. Karena aku menyadari antusiasme sultan dan aku pintar mempermainkan orang-orang bodoh, aku pergi ke istana untuk menggantikan Hoja. Ketika kukatakan pada sultan bahwa Hoja sedang sakit, dia tidak percaya. "Biarkan dia bekerja membuat senjata itu," ujarnya. Jadi, selama empat tahun berikutnya, sementara Hoja merencanakan dan mewujudkan senjata itu, aku ke istana dan dia tinggal di rumah ditemani mimpi-mimpinya, seperti yang pernah kualami dulu.
Selama empat tahun itu, aku menyadari bahwa kehidupan adalah untuk dinikmati dan bukan sekadar menjadi beban. Orang-orang yang melihat bahwa sultan telah menghargaiku seperti dulu dia menghargai Hoja, tak lama kemudian mulai sering mengundangku ke berbagai upacara dan perayaan yang sudah menjadi kebiasaan sehari-hari di istana, Pada suatu hari, putri Wazir akan menikah, pada hari berikutnya istri sultan melahirkan, khitanan putranya dirayakan secara besar-besaran, pada hari lainnya mereka merayakan direbutnya kembali sebuah istana dari bangsa Hongaria, lalu ada upacara untuk merayakan hari pertama sekolah sang pangeran, sementara bulan Ramadan dan perayaan hari libur lainnya dimulai. Aku mulai gemuk karena semakin sering makan daging dan pilaus (semacam nasi goreng berdaging) dan melahap singa, burung unta, ikan duyung yang terbuat dari gula dan kacang-kacangan pada berbagai acara ini, yang pada umumnya berlangsung selama beberapa hari. Sebagian terbesar waktuku dihabiskan menonton berbagai pertunjukan: para pegulat, yang kulitnya mengilat karena diminyaki, bertanding sampai jatuh pingsan, atau para pemain
akrobat yang berjalan di atas tali atau kabel yang dibentangkan di antara menara masjid sambil mengayun-ayunkan gada, menghancurkan sepatu kuda dengan gigi, menusuk tubuh dengan pisau dan paku runcing, atau pesulap yang mengeluarkan ular, burung merpati, dan monyet dari balik jubahnya, membuat cangkir kopi di tangan kami dan uang di dalam saku menghilang dalam sekejap mata, atau sandiwara wayang kulit Karagoz dan Hajivat dengan gurauan jorok yang kukagumi. Pada malam harinya, bila tidak ada pertunjukan kembang api, aku ikut dengan teman-teman baruku, kebanyakan baru kukenal pada hari yang sama, ke salah satu istana atau gedung yang dikunjungi semua orang, Setelah minum raki atau anggur dan mendengarkan musik selama berjam-jam, aku bergembira dengan mendentingkan gelas minumanku dengan para penari cantik yang menirukan kijang yang lemah gemulai, para pemuda tampan yang berjalan di atas air, para biduan dengan suara memabukkan yang menyanyikan lagu-lagu yang romantis dan riang.
Aku sering mengunjungi rumah para duta besar yang sangat penasaran akan diriku, dan setelah menonton pertunjukan balet yang dipersembahkan para gadis dan pemuda yang meregangkan tubuh mereka yang indah, atau mendengarkan lagu-lagu terkini yang dimainkan orkestra yang didatangkan dari Venesia, aku menikmati berbagai keuntungan dari kepopuleranku yang semakin lama semakin menyebar. Orang-orang Eropa yang berkumpul di kedutaan menanyaiku tentang berbagai pengalaman mengerikan yang pernah kualami selama ini; mereka ingin tahu seberapa besar penderitaanku, bagaimana aku menghadapi semua itu, bagaimana aku bisa terus bertahan. Aku menyembunyikan kenyataan bahwa aku menjalani kehidupanku dengan duduk terkantuk-kantuk di antara empat dinding sambil menulis sejumlah buku konyol, dan justru menceritakan berbagai cerita luar biasa yang sudah kukuasai cara melebih-lebihkannya, sama seperti yang kuceritakan pada sultan, tentang tanah yang eksotis, yang sungguh membuat mereka terpesona. Bukan hanya para gadis muda yang melaksanakan penampilan pra-nikahnya di hadapan para ayah, dan istri para duta besar yang suka menggodaku, tapi semua duta besar dan pejabat tinggi mendengarkan dengan penuh rasa kagum kisah berdarah tentang agama dan kekerasan, intrik tentang cinta dan harem, yang kukarang sendiri. Bila mereka memaksa, kubisikkan satu atau dua rahasia negara atau menceritakan beberapa kebiasaan aneh sultan yang tidak diketahui oleh siapa pun, yang kuciptakan saat itu juga. Jika mereka menginginkan informasi lebih banyak lagi, dengan gembira aku pura-pura bersikap penuh rahasia; aku bersikap seakan-akan tidak bisa berkata apa-apa lagi tentang berbagai hal yang kuketahui. Caraku berlindung dengan berdiam diri justru semakin menumbuhkan rasa penasaran orang-orang bodoh yang menurut Hoja harus kami samai. Tapi, aku tahu mereka berbisik-bisik di antara mereka, menggosipkan bahwa aku terlibat dalam sebuah proyek besar dan misterius yang membutuhkan kehebatan ilmu pengetahuan, sebuah desain senjata rahasia yang membutuhkan dana yang sangat besar. Ketika di malam hari aku pulang dari gedung dan istana ini, dengan pikiran yang dipenuhi bayangan tubuh molek yang tadi kulihat, dan terbuai oleh bau minuman yang kutenggak, kudapati Hoja duduk di meja kami yang telah berumur dua puluh tahun. Dia membenamkan dirinya
dalam pekerjaan dengan ketekunan yang belum pernah kusaksikan sebelumnya. Meja itu dipenuhi berbagai model aneh yang tidak masuk akal, gambar, halaman yang dipenuhi coretan yang tidak menentu. Dia memintaku menceritakan apa saja yang telah kulihat dan kulakukan sepanjang hari, tapi dia langsung sebal mendengar berbagai kegiatan santai yang menurut penilaiannya hanyalah kegiatan yang memalukan dan konyol. Jadi, dia menyela ucapanku dan mulai menceritakan rencananya, berbicara tentang "kami" dan "mereka". Sekali lagi, dia mengulangi bahwa semuanya berhubungan dengan bagian terdalam pikiran kami. Dia membuat semua proyeknya berdasarkan hal itu, dia berbicara dengan penuh semangat tentang simetri, atau kekacauan, tentang wadah yang dipenuhi sampah yang kami sebut sebagai otak. Tetapi, aku tidak mengerti bagaimana semua ini bisa dijadikan titik tolak untuk mendesain senjata yang menjadi tumpuan harapannya, tumpuan harapan kami. Aku meragukan bahwa siapa pun termasuk dirinya, berlawanan dengan pemikiranku dulu mampu memahami hal ini. Dia menyatakan bahwa suatu hari nanti seseorang akan membuka kepala kami dan membuktikan semua gagasannya itu. Dia membicarakan kebenaran yang didapatkannya selama terjadinya wabah dulu, saat kami bersama-sama merenungi diri di cermin sekarang, semuanya telah terlihat dengan jelas di kepalanya, senjata itu lahir pada saat-saat yang penuh makna itu! Lalu, dia menunjukkan padaku walaupun aku tidak memahaminya, namun mampu membuatku terkesan sebuah bentuk yang aneh, ganjil, dan tidak masuk akal di atas sehelai kertas dengan ujung jarinya yang gemetaran. Bentuk itu, yang kulihat semakin berkembang setiap kali
dia menunjukkannya padaku, sepertinya mengingatkanku akan sesuatu. Ketika aku memerhatikan bercak hitam yang kusebut sebagai "iblis" di gambar itu, aku tiba-tiba hendak mengatakan apa yang teringat olehku saat melihat benda itu, tetapi karena ragu-ragu, atau mengira bahwa pikiranku sedang memerdayaiku, aku tidak berkata apa-apa. Selama empat tahun itu aku tidak pernah bisa menentukan apa benda yang digambarnya di lembaran kertas tersebut, membuatnya semakin lama semakin lebih berbentuk saat Hoja mengembangkannya lebih jauh setiap hari. Setelah mengeluarkan semua daya dan upaya selama bertahun-tahun, akhirnya dia mampu mewujudkannya. Kadang-kadang, aku menyamakannya dengan benda yang kami temui dalam kehidupan sehari-hari, kadang-kadang dengan bayangan dalam mimpi kami, sekali atau dua kali dengan berbagai benda yang kami lihat atau bicarakan di masa lalu saat kami saling menceritakan kenangan masa lalu. Tetapi, aku tidak mampu mengambil langkah akhir untuk menjelaskan bayangan yang melintas di benakku, sehingga aku menyerah pada kebingungan yang melanda pikiranku, dan menunggu senjata itu membuka rahasia jati dirinya sendiri. Bahkan empat tahun kemudian, saat bercak kecil itu telah berubah menjadi makhluk aneh setinggi masjid agung, sosok mengerikan yang menjadi buah bibir seluruh penduduk kota Istanbul dan yang oleh Hoja disebut sebagai mesin perang mutakhir, dan sementara orang lain menduga-duga benda apakah itu, aku masih kebingungan memikirkan berbagai hal rinci yang diungkapkan Hoja di masa lalu bahwa senjata itu akan berjaya di masa mendatang.
Seperti orang yang baru bangun dan berusaha keras
mengingat mimpi yang justru ingin dilupakan oleh ingatan, pada berbagai kunjungan ke istana aku mencoba mengulangi berbagai rincian yang amat jelas dan menakutkan ini pada sultan. Aku menceritakan roda, mesin pelontar, kubah, serbuk mesiu, dan tuas yang diuraikan Hoja padaku entah sudah berapa kali. Kata-kata yang keluar bukanlah kata-kataku, dan walaupun tidak terasa semangat Hoja yang membara dalam penjelasanku, aku masih bisa melihat bahwa sultan cukup terkesan. Dan, aku juga merasa tersentuh bahwa lelaki ini, yang kunilai sebagai sosok yang berpikiran serius, terinspirasi penuh harapan oleh kata-kataku, paparanku yang hanya berupa garis besar tentang anganangan Hoja mengenai kemenangan dan penyelamatan. Sultan mengatakan bahwa Hoja, yang sedang duduk di rumah, adalah aku. Permainan intelektualnya ini sungguh membingungkanku, tetapi sudah tidak terlalu mengejutkan lagi. Ketika dia mengatakan bahwa aku adalah Hoja, kurasa lebih baik aku tidak mengikuti logikanya, karena tidak lama kemudian dia akan mengatakan bahwa akulah orang yang telah mengajari Hoja semua hal ini bukan sosok lemahku sekarang ini; tetapi orang yang telah mengubah Hoja beberapa waktu yang lampau. Ah, pikirku, kalau saja kami bisa membicarakan hiburan, binatang, perayaan di masa lampau, atau persiapan untuk parade para pedagang, Lalu, sultan mengatakan bahwa semua orang tahu bahwa akulah otak di balik proyek pembuatan senjata ini.
TXI/PRC INI DI BUAT KARENA KECINTAAN SAYA MEMBACA NOVEL DI HP/PDA (ottoys@yahoo.com)
Inilah yang paling membuatku takut. Hoja sudah bertahun-tahun tidak terlihat di depan khalayak ramai, dia seakan-akan telah dilupakan. Akulah orang yang sering terlihat di sisi sultan di istana, di kota, dan sekarang mereka semua cemburu padaku! Mereka mengertakkan
giginya saat melihatku, si kafir, bukan hanya karena penghasilan yang didapatkan dari sedemikian banyaknya domba, kebun zaitun, tempat persinggahan karavan, yang terlibat dalam proyek yang semakin sering digosipkan ini, bukan hanya karena aku dekat dengan sultan, tetapi juga karena dengan mengerjakan senjata ini kami dianggap telah mencampuri urusan orang lain. Ketika aku sudah tidak bisa menutup telinga lagi dalam menghadapi semua tuduhan ini, aku akan mengungkapkan rasa takutku kepada Hoja atau kepada sultan.
Tapi, mereka tidak terlalu peduli. Hoja benarbenar menenggelamkan dirinya dalam pekerjaannya. Aku merindukan amarahnya seperti orang tua yang merindukan masa mudanya. Selama beberapa bulan terakhir, ketika dia mengembangkan bercak hitam dan aneh itu di atas kertas dengan berbagai rinciannya, dan mengubahnya menjadi desain monster mengerikan, menghabiskan banyak sekali uang untuk membuat cetakan dan menuangnya dengan besi yang terlalu berat sehingga tidak bisa ditembakkan oleh meriam mana pun, dia bahkan tidak menggubris semua gosip jahat yang kusampaikan padanya. Dia hanya menunjukkan ketertarikan pada gedung kediaman para duta besar di mana mereka membicarakan karyanya tersebut: orang macam apakah para duta besar ini, apa yang mereka pikirkan, apa pendapat mereka tentang senjata ini" Dan yang paling penting: mengapa sultan tidak pernah memikirkan untuk mengirim wakil dan mendirikan kedutaan yang mewakili Kesultanan ini di negara-negara tersebut" Aku merasa dia menginginkan jabatan itu untuk dirinya sendiri, ingin melarikan diri dari para idiot yang tinggal di sini dan tinggal di antara orang asing, tetapi dia tidak pernah secara terbuka mengungkapkan keinginannya ini, bahkan juga pada hari-hari di saat dia merasa gelisah untuk segera mewujudkan desainnya itu, di saat besi yang dituangnya retak, atau saat dia mengira akan kehabisan uang. Dia hanya sekali atau dua kali mengatakan bahwa dia ingin menjalin hubungan dengan para "ilmuwan" di negara-negara tersebut; mungkin mereka bisa memahami kebenaran yang di dalam kepala kami. Dia ingin berhubungan dengan para ilmuwan yang tinggal di Venesia, Flanders, negeri antah berantah mana pun yang terpikirkan olehnya saat itu. Siapa di antara mereka yang paling hebat, di mana tempat tinggalnya, bagaimana caranya melakukan surat-menyurat dengan mereka, apakah aku bisa mencari informasi ini dari para duta besar tersebut" Pada hari-hari terakhir itu, aku tidak begitu tertarik pada realisasi pembuatan senjata itu dan membiarkan diriku tenggelam dalam kesenangan semata, melupakan berbagai harapannya yang sia-sia yang pasti membuat musuh kami puas.
Sultan pun tidak menggubris berbagai gosip yang dilontarkan musuh-musuh kami. Pada harihari ketika Hoja, yang sudah siap menguji senjata tersebut, dan mencari orang-orang pemberani untuk masuk ke dalam mesin dari besi dan menjalankan rodanya sambil sesak napas karena mencium bau besi berkarat, sultan bahkan tidak menggubris saat aku mengeluhkan berbagai gosip itu. Seperti yang selalu dilakukannya, dia memintaku mengulangi lagi kata-kata Hoja. Sultan memercayainya, puas dengan segala sesuatunya, sama sekali tidak pernah menyesali ke-putusannya untuk memberikan kepercayaan kepadanya: karena itulah dia berterima kasih padaku. Tentu saja selalu karena alasan yang sama: karena aku telah mengajarkan semua ini pada Hoja. Seperti Hoja, dia juga membicarakan isi kepala kami; dan kemudian dia mengajukan pertanyaan lain yang berhubungan dengan hal yang menarik baginya. Sama seperti yang pernah dilakukan Hoja dulu, sultan menanyaiku tentang kehidupan masyarakat di kampung halamanku.
Aku menghiburnya dengan sejumlah khayalan. Aku sudah tidak tahu lagi apakah berbagai cerita ini, yang kebanyakan kupercayai setelah berulang kali kuceritakan pada sultan, memang pernah kualami di masa mudaku ataukah hanya visi yang mengalir dari penaku setiap kali aku duduk di meja untuk menuliskan bukuku. Kadang-kadang aku menambahkan beberapa kebohongan Jenaka yang melintas di benakku, Aku memiliki beberapa dongeng fabel yang terus berkembang setiap kali aku menceritakannya kembali. Karena sultan demikian tertariknya oleh perincian pakaian yang banyak kancingnya, aku memastikan untuk selalu mengulangi bagian itu dan menceritakan berbagai cerita yang aku sendiri tidak yakin apakah memang berasal dari kenangan sejati ataukah khayalanku semata. Tapi, ada juga berbagai hal yang masih tidak bisa kulupakan setelah dua puluh lima tahun berlalu, berbagai hal yang memang nyata: obrolanku dengan ibu dan ayah, kakak dan adikku ketika sarapan di meja keluarga di bawah pohon linden! Semua ini perincian yang tidak menarik bagi sultan. Dia pernah berkata padaku bahwa pada dasarnya kehidupan seseorang mirip dengan kehidupan orang lain. Hal ini membuatku takut karena beberapa alasan: tampak ekspresi jahat pada wajah sultan, ekspresi yang belum pernah kulihat sebelumnya, dan aku ingin bertanya apa maksudnya saat mengatakan hal itu. Di saat aku menatap wajahnya dengan penuh kekhawatiran, aku merasakan dorongan untuk berkata, "Aku
adalah aku," Seakan-akan, jika aku berani mengatakan frasa yang tidak masuk akal ini, aku akan bisa melenyapkan semua permainan yang dimainkan oleh semua gosip itu yang dimaksudkan untuk mengubahku menjadi orang lain, permainan yang dimainkan oleh Hoja dan sultan, dan hidup tenang lagi dengan menjadi diri sendiri. Tetapi, seperti orang yang menghindari berbagai ketidakpastian yang mungkin bisa membahayakan keselamatannya, dengan perasaan takut aku memutuskan untuk tidak berkata apa-apa.
Hal ini terjadi di musim semi, pada hari-hari ketika Hoja telah menyelesaikan pekerjaannya menciptakan senjata tersebut, namun masih belum mampu mengujinya karena tidak bisa mengumpulkan orang-orang yang dibutuhkannya. Tak lama kemudian, kami tercengang ketika sultan berangkat bersama pasukannya untuk melaksanakan sebuah ekspedisi ke Polandia. Mengapa dia tidak membawa senjata mutakhir ini, mengapa dia tidak mengajakku, apakah dia tidak memercayai kami" Seperti semua orang yang ditinggalkan di Istanbul, kami mengira sultan bukan pergi untuk berperang, melainkan hanya untuk berburu. Hoja senang karena punya waktu tambahan setahun lagi; karena aku tidak memiliki pekerjaan atau hiburan, kami bekerja sama menyempurnakan senjata itu.
Sungguh sulit mengumpulkan orang yang diperlukan untuk mengoperasikan mesin itu. Tidak ada seorang pun yang bersedia masuk ke dalam wahana yang menakutkan dan misterius tersebut. Hoja mengumumkan bahwa dia akan memberikan uang banyak, kami mengirimkan pembawa berita ke kota, ke pelabuhan, ke tempat penempaan meriam, mencari orang pengangguran di warung kopi, para tunawisma dan orang yang senang bertualang. Ke Pendekar Elang Salju 3 Tugas Rahasia Karya Gan K H Pedang Kiri Pedang Kanan 12
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama