Ceritasilat Novel Online

Dark Memory 1

Dark Memory Karya Jack Lance Bagian 1


Dan semua pakaiannya ada di dalam mesin cuci.
Sejenak terpikir olehnya untuk lari ke mesin cuci, mematikannya
dan mengeluarkan pakaiann Rachel. Namun kemudian terdengar
bunyi mesin cuci beralih ke tahap pembilasan dan disadarinya sudah
terlambat. Pria tua itu merutuki dirinya karena tidak memikirkan itu lebih
awal. Kalau ini jadi urusan polisi, maka kemungkinan mereka sudah
mencuci bersih bukti-bukti yang ada di pakaian Rachel. Ia berdoa
semoga memang tidak ada bukti apa pun di pakaian itu.
"Maaf atas pertanyaanku ini, Rachel, tapi mungkinkah temanmu
Jonathan ada kaitannya dengan ini semua?"
Rachel langsung duduk tegak seolah tersengat, dan menatap Stephen
serius. "Tidak," jawabnya tegas. "Tidak, aku yakin tidak ada kaitannya
dengan dia." Stephen memeriksa ekspresi wajah istrinya. Ia sedang mendengarkan dengan saksama, tapi belum berkomentar. Stephen bertanya-tanya
bagaimana Rachel bisa yakin sekali bahwa pacarnya tidak bersalah,
sementara tidak ada yang bisa diingatnya dari kejadian semalam. Ingin
sekali ia menanyakannya. Tatapan Rachel beralih ke jendela, seakan curiga ada seseorang atau
sesuatu yang mengintip dari luar. Ellen menggenggam tangan Rachel
dengan tangan keriputnya. "Kau dingin sekali," katanya.
Seperti diingatkan, Rachel mulai menggigil. Pengaruh mandi air
panas tampaknya sudah hilang.
"Mungkinkah kau hanya bisa mengingat hal-hal yang terjadi agak
lama?" tanya Ellen dengan tenang.
Stephen dan Rachel memandangnya bersamaan.
"Sepertinya memang begitu, ya?" sahut wanita muda itu setelah
agak lama terdiam. "Aku bisa mengingat masa kecil dan orangtuaku,
tapi tidak ada yang kuingat tentang kejadian semalam atau bagaimana
aku bisa berada di hutan." Ia mengangguk pelan. "Seperti ada lubang
dalam ingatanku. Aku ingin tahu seberapa besar lubang itu."
"Nanti juga kau tahu, aku yakin itu," kata Ellen. "Yakinlah. Apa kau
mau menelepon pacarmu?"
Rachel mengangguk pelan. "Mungkin dia bisa memberitahumu apa yang terjadi," tambah Ellen.
Atau mungkin dialah si bajingan yang memukulinya, pikir Stephen,
tapi disimpannya pikiran itu.
"Kau ingat nomor teleponnya?" tanyanya.
Rachel memandang Stephen. "Sepertinya iya."
"Tapi bisa saja, kan, dia yang bertanggung jawab atas apa yang
terjadi padamu," ujar Stephen. Akhirnya ia memutuskan untuk
mengungkapkan kekhawatiran terbesarnya, meskipun ia tidak bisa
menjelaskan mengapa ia tidak memercayai orang yang belum pernah
ditemui atau didengarnya sebelum ini.
Rachel tampak mempertimbangkan ucapan Stephen.
"Lakukan saja apa yang terbaik menurutmu," kata Ellen. "Pikirkan
baik-baik." "Mungkinkah dia yang menyerangmu?" desak Stephen.
Ellen menatap suaminya tajam. "Berhentilah mengusik gadis
malang ini!" bentaknya.
Rachel menoleh pada Ellen lagi, tak kuasa menahan cucuran air
mata. Stephen berasumsi ia menangis karena letih, sakit, dan segala
rasa tidak aman yang pasti dirasakannya, tapi juga karena Ellen, yang
melindunginya seperti putrinya sendiri.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Ellen pelan.
"Ya, terima kasih. Tapi aku sungguh tidak percaya kalau Jon
tega menyakitiku. Dia tidak seperti itu; aku berani mempertaruhkan
hidupku." "Kuharap demikian," bisik Stephen, begitu pelan sehingga hanya ia
yang mendengarnya. *** Benjolan di kepala Rachel masih terasa sakit dan tangan kanannya
masih bengkak. Tapi setidaknya sekarang ia tahu siapa dirinya. Ia
adalah Rachel Sanders dan pacarnya bernama Jonathan Lauder. Ia
tinggal di sebuah apartemen yang jelas tergambar dalam benaknya. Di
seberangnya ada sebuah toko kelontong yang dikunjunginya setiap hari
untuk membeli koran dan kebutuhan lain.
Ia ingat nomor telepon Jon"hal lain yang dengan mudah
diingatnya. Potongan-potongan teka-teki kehidupannya mulai tersusun
pada tempatnya. "Aku bisa menelepon Jon," katanya.
Ellen mengangguk. "Teleponlah."
"Teleponnya ada di sana," Stephen menyilakan, suaranya berlawanan dengan rasa kecurigaannya terhadap Jonathan Lauder. Ia
menunjuk telepon analog di atas meja kaca di samping pintu ke dapur.
"Mungkin bagimu kuno, seperti Ellen dan aku."
Rachel mengusap kedua lengannya untuk menghangatkan badan.
Ia berdiri dan dengan ragu melangkah ke meja kecil itu, menarik baju
mandi kebesaran yang dipakainya lebih erat membungkus tubuhya.
Jantungnya mulai berdengup lagi saat ia memutar nomor telepon Jon.
Aneh, ia bisa ingat sebuah nomor telepon, tapi tidak ingat apa pun
tentang kejadian tadi malam. Seraya memutar nomor telepon Jon, ia
kembali merasa yakin bahwa ia tidak sendirian di hutan itu.
Ia mengalami keadaan yang berbahaya.
Ada yang ingin melukainya. Mungkin memusnahkannya.
Dan masih mengincarku. Pikiran itu menghantamnya bagai pukulan palu, tapi mungkinkah
hanya pikiran belaka" Ataukah gema suaranya sebelum ia kehilangan
ingatan" Jaraknya dengan Jonathan hanya tinggal satu nomor lagi. Apa yang
akan dikatakannya" Apa yang akan diceritakannya tentang semalam"
Panggilan tersambung. Setelah nada ketiga, didengarnya suara klik
di kejauhan yang menghubungkannya dengan rekaman pesan suara.
"... Ini Jonathan Lauder. Saya tidak bisa menerima telepon saat ini.
Tinggalkan pesan, dan aku akan menghubungimu kembali."
Suara itu terdengar sangat familiar.
Didengarnya suara "bip".
Apa sebaiknya ia meninggalkan pesan" Selama beberapa saat
Rachel berdiri terdiam, gagang telepon menekan telinganya. Lalu ia
mengembalikannya ke pesawat telepon. "Dia tidak ada di rumah,"
ujarnya. Stephen merengut. "Sekarang bagaimana?" tanyanya.
Rasa sakit kepala Rachel bertambah parah. "Ellen... bolehkah aku
memanggilmu Ellen?" "Tentu saja, Nak," kata Ellen tegas.
"Apakah kau punya aspirin?"
"Punya," jawab Ellen. Ia melangkah pergi dan kembali membawa
segelas air serta dua butir tablet. Ia memasukkannya ke dalam gelas dan
mengaduknya. "Ini, minumlah."
Rachel menenggaknya dengan penuh syukur.
"Sudah jam setengah dua," kata Ellen. "Kau yakin tidak lapar?"
Seolah terpancing, perut Rachel mulai bergemuruh. Ia sadar
sebaiknya ia makan sesuatu.
"Yah, mungkin sedikit saja."
"Bagus," kata Ellen. "Aku akan buatkan sesuatu."
Saat Ellen melangkah menuju dapur, Stephen tetap duduk di
kursinya, wajahnya terlihat sedang berkonsentrasi.
"Kau perlu bantuan?" seru Rachel pada Ellen.
"Tidak!" Suara Ellen menggema di dapur. "Kau di sana saja dan
santai." Stephen tersenyum. "Sebaiknya menurut saja, Rachel. Aku sudah
hampir empat puluh tahun menikah dengannya, jadi aku tahu betul.
Kalau kau bertanya-tanya siapa yang berkuasa di keluarga ini, tanya
saja padanya." Stephen tersenyum dan Rachel membalasnya.
*** Tidak lama kemudian Rachel mencium aroma sedap dari dapur. Saat
mereka duduk di meja makan, baru ia tahu bahwa Ellen menyiapkan
menu makanan lengkap; daging, sayuran, dan kentang. Setelah mulai
memakannya, Rachel baru sadar bahwa dirinya lapar sekali.
"Sudah kuduga kau pasti lapar," kata Ellen sambil tersenyum puas.
Setelah membantu bersih-bersih sebentar, akhirnya Rachel merasa
lebih baik"dan lebih hangat.
"Ada yang kautemukan di pakaianmu?" tanya Stephen saat mereka
membersihkan meja. "Hanya kunci," jawabnya.
"Kunci?" "Ya. Kutaruh di mana ya tadi?"
"Aku letakkan di wastafel kamar mandi," jawab Ellen, "Aku hanya
ingin bilang bahwa kau boleh tinggal di sini selama yang kauinginkan.
Kami senang kau menginap di sini bersama kami," tambahnya.
"Terima kasih... Kalian berdua baik sekali."
"Tidak apa-apa," sahut Ellen. Ia kembali ke ruang cuci untuk
memindahkan pakaian Rachel ke mesin pengering.
"Dia memang begitu," kata Stephen. "Pada anak-anak kami pun begitu. Kami punya seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan:
Robert dan Tess, keduanya sudah menikah. Robert bekerja di Macallan,
dan Tess adalah manajer supermarket di Whitemont sini."
"Macallan" Merek whiski?"
"Tepat sekali."
"Aku punya sebotol Macallan di rumah. Ayahku dari dulu menyukainya, Jonathan juga."
"Pria yang berselera bagus," komentar Stephen sambil tersenyum.
"Dan aku setuju dengan apa yang dikatakan istriku tadi, tentunya. Kau
boleh tinggal di sini selama yang kau mau."
"Terima kasih," katanya. "Tapi aku harus mulai melakukan sesuatu.
Namun aku tidak tahu harus mulai dari mana."
Dan aku ingin tahu di mana barang-barangku. Tidak bisa kubayangkan datang ke Skotlandia tanpa barang bawaan, hanya pakaian
yang sekarang ada di mesin pengering. Aku mengendarai mobil, bukan"
Ingatan lain pun kembali.
Aku mengendarai mobil Toyota putih. Di mana mobil itu" Dan
mana barang-barangku yang lain"
"Kalau kau berasal dari Glenville," ujar Stephen. "Apa kau masih
punya keluarga atau teman di sana?"
"Coba kuingat-ingat." Ya. Bibiku, Elizabeth," jawabnya.
"Nah, kita hampir mendapatkan petunjuk," kata Stephen.
"Yah, sebenarnya ia bukan bibiku, tapi aku sudah mengenalnya
sejak kecil. Dulu ia sering mengurusku sepulang sekolah. Makanya
kupanggil dia Bibi. Ia tinggal sendirian setelah suaminya, Gordon,
meninggal beberapa tahun lalu. Ia kenal semua orang di Glenville."
"Kenapa kau tidak menelepon dia saja?" Stephen menyarankan.
"Baiklah, akan kutelepon," sahut Rachel segera.
Nomor telepon bibinya masih melekat dalam ingatannya. Sejak
dulu ia memang bisa menghapal rangkaian angka dengan baik.
Rachel memutar nomornya dan terkejut saat mendengar nada yang
memberitahunya bahwa ia telah menghubungi nomor yang tidak ada.
Rachel menaruh gagang telepon dan baru akan mencoba lagi, tapi
tiba-tiba ia ragu apakah nomor yang diingatnya itu betul.
"Sepertinya aku tidak ingat nomornya," gumamnya. "Tadinya
kukira aku ingat..."
Stephen menghampiri sebuah lemari dan kembali dengan membawa buku telepon tebal. "Zaman sekarang orang melakukan segala
hal dengan komputer, tapi aku mempertahankan tradisi. Siapa nama
belakang bibimu?" "Doury," jawab Rachel. "Tapi itu nama suaminya, jadi mungkin
saja dia terdaftar atas nama gadisnya, Craig."
"Pasti bisa ketemu..." kata Stephen sambil membalik-balikkan
halaman. "Nah, ini dia. Craig. Elizabeth."
"Berapa nomornya?"
Sementara Stephen membacakannya keras-keras, Rachel memutar
nomornya. Telepon diangkat pada nada panggilan kedua.
"Halo, Elizabeth Craig di sini," didengarnya suara merdu bibinya
yang familiar. "Halo, Bi," katanya. "Ini Rachel."
"Rachel!" seru Bibi Elizabeth. "Ketemu juga!"
Rachel terkejut mendengar reaksi bibinya. "Ya," balasnya canggung.
"Bagaimana keadaanmu?" bibinya menuntut jawaban.
Keadaanku" Aku tidak tahu, pikir Rachel.
Nada putus asa dalam ucapan bibinya menandakan telah terjadi
sesuatu yang buruk, seperti yang dikhawatirkan Rachel. Bibi Elizabeth
tampaknya berasumsi ia tahu apa yang terjadi, tapi Rachel tidak sampai
hati mengatakan sebaliknya.
"Sulit untuk mengatakannya sekarang, Bi," katanya menghindar.
"Aku mengerti, sayang," kata Elizabeth, tanpa diduga suaranya
berubah tenang dan penuh pengertian. "Aku mengerti sekali."
Lalu ia berkata, "Tapi aku kira aku akan bertemu denganmu kemarin. Tamu-tamu sudah pergi. Aku sudah membersihkan pondok untukmu."
"Pondok?" "Pondok Ardrough. Rachel, kenapa?""
"Oh, tentu," sahut Rachel cepat-cepat.
Pondok Ardrough adalah rumah paman dan bibinya. Sejak Paman
Gordon meninggal, Elizabeth menyewakannya bagi turis untuk
menambah pemasukan. Di tahun-tahun pertama Rachel sering sekali
menginap di sana, dan sekarang tampaknya ia seharusnya menginap di
sana tadi malam. Akan tetapi ia tidur di tempat lain, di bawah bintang-bintang di
hutan. Apa yang akan ia ceritakan kepada bibinya" Rachel memutuskan
untuk tidak menceritakan apa pun untuk sementara. Apa gunanya"
Bibinya akan panik jika tahu Rachel kehilangan ingatannya. Sebaiknya
menunggu sampai ingatannya lebih banyak yang kembali dan ia bisa
berpikir lebih logis lagi tentang apa yang terjadi.
"Jadi Bibi sekarang sedang sibuk ngapain?" tanyanya untuk mulai
mengobrol. "Yah, begini inilah," jawab sang bibi. "Aku mulai mengerjakan
kebun. Cuacanya sempurna minggu lalu, tapi sekarang terlalu
mendung. Bah, aku tidak suka. Kalau begini caranya tidak beres-beres
pekerjaanku." Bibi Elizabeth sangat gemar berkebun. Kebun miliknya tidak besar,
tapi setiap incinya tertutup tanaman beraneka warna dan aroma.
"Aku akan menanam azalea baru. Herb berjanji akan membawakannya untukku."
Herb adalah tetangganya, Rachel mengingat-ingat. Laki-laki itu beberapa tahun lebih tua dari Elizabeth dan juga seorang laki-laki yang
baik. Rachel pernah beberapa kali bertemu dengannya.
Bibi Elizabeth terus mengoceh soal kebunnya, Herb, dan segala
rencananya. Perhatian Rachel bergeser. Tapi kemudian bibinya mengajukan sebuah pertanyaan.
"Kau bukannya kemari bersama Jonathan?"
Bersama Jonathan" "Apa maksudmu?" tanya Rachel hati-hati.
"Apa maksudku" Ya ampun! Ia meneleponku lima belas menit lalu.
Seharusnya sebentar lagi dia sampai."
Apa yang kaubicarakan, Bi"
"Dia baru saja menelepon?" tanya Rachel tak percaya.
"Ya. Rachel, ada apa sih" Kedengarannya kau tidak seperti biasanya."
"Dan dia sedang dalam perjalanan untuk menemuimu?"
"Ya! Rachel" Ada apa sebenarnya?" tuntut Elizabeth lebih tegas.
Rachel ingin sekali bertanya di mana Jon sekarang berada. Tapi
nanti malah tambah runyam. "Maaf," kata Rachel. "Tentu saja aku
datang bersama Jon."
"Kau yakin kau baik-baik saja" Kedengarannya tidak demikian."
"Tentu saja aku tidak apa-apa."
"Baiklah kalau begitu. Sampai jumpa sebentar lagi."
Bibinya menutup telepon. Rachel menatap Stephen.


Dark Memory Karya Jack Lance di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Yang terakhir tadi soal pacarmu?" tebaknya.
"Bibiku bilang dia juga berada di Skotlandia."
"Dan kau tidak tahu," Stephen menyimpulkan.
"Ya." Pantas saja telepon ke rumah pacarnya tidak diangkat. Bagaimana
mereka bisa terpisah"
Gara-gara hal buruk yang terjadi padaku itu.
Rasa takut itu datang lagi.
Ia tidak sedikit pun percaya Jonathan pelakunya, seperti dugaan
Stephen. Rachel yakin benar: orang yang sangat bisa dipercayainya
adalah Jonathan Lauder. "Ia punya telepon genggam lainnya. Nomor itu dia gunakan saat
perjalanan dinas. Aku bisa coba nomor itu."
"Silakan," dukung Stephen.
Rachel mengangkat gagang telepon dan memutar nomornya dengan
gugup. Panggilan diterima pada dering kedua.
"Halo?" Benar, itu Jonathan. Kali ini bukan pesan suara. Benar dia.
"Jon?" katanya.
Jonathan langsung menegakkan tubuhnya di kursi kemudi. "Rachel!"
Ada ribuan pertanyaan yang membanjiri benaknya, tapi yang bisa
dicernanya hanyalah suara-suara gagap. Ia diam untuk mengambil
napas. "Di mana kau?"
Rachel tidak langsung menjawab. Jantung Jonathan berdebar
kencang. "Aku tidak tahu," katanya selanjutnya, pelan dan waspada, nyaris
seperti menyesal. "Rachel?" "Yah, aku di rumah Stephen dan Ellen Mackenzie."
"Siapa mereka?"
"Teman-teman baru, dari Whitemont."
Jonathan berpikir sejenak, tapi tidak mampu mengingat temanteman dengan nama yang disebutkan Rachel.
"Maaf," kata Rachel kemudian. "Aku baru tahu kau ada di Skotlandia
setelah menelepon Bibi Elizabeth. Aku kira kau ada di Inggris."
"Aku naik pesawat tadi pagi. Sekarang aku di Aberdeen."
"Tadi pagi" Naik pesawat?"
"Ya." "Tapi untuk apa?"
"Kau sudah berhari-hari hilang tanpa kabar! Aku khawatir sekali."
"Hilang berhari-hari?" seru Rachel tak percaya. Lalu ia mengatakan
sesuatu yang benar-benar menegangkan.
"Aku ingin membuat pengakuan," tukasnya terus terang. "Aku
tidak tahu kenapa aku ada di sini, atau bagaimana aku bisa ada di sini."
Ia terdiam kembali. "Maksudmu bagaimana, Rachel?"
"Tepat seperti yang kubilang tadi," Rachel berusaha keras untuk
menjelaskan, suaranya serak. "Aku baru saja ingat aku ini siapa dan
kau siapa, tapi aku tidak tahu sedang apa aku di sini serta apa yang
terjadi padaku." Jonathan terdiam. Lalu: "Ya, Tuhan."
"Tidak, aku yakin sekali ini tidak ada hubungannya dengan dia."
"Tidak lucu, Rachel. Sekarang kau ada di mana?"
"Seperti yang kubilang tadi. Aku di Whitemont. Bersama Stephen
dan Ellen. Aku baru bertemu mereka beberapa jam lalu. Mereka orangorang baik. Merekalah yang menolongku."
"Menolong untuk apa" Apa gerangan yang sedang kaulakukan?"
"Aku benar-benar tidak tahu."
"Kau tidak ingat apa-apa?" tanya Jon ragu.
"Tidak," tegasnya, seraya menahan tangis. "Aku ingat beberapa hal,
tapi tidak ingat kejadian beberapa hari terakhir, selama aku menghilang
seperti yang kaubilang."
"Ya, Tuhan, Rachel," gumam Jonathan.
"Aku berada di Skotlandia, tapi tidak tahu bagaimana aku bisa
sampai di sini, atau kenapa aku datang kemari. Kamu tahu?"
"Ya," kata Jonathan.
"Demi Tuhan, kalau begitu beri tahu aku."
Jonathan ragu, bukan karena tidak mau memberi tahu Rachel, akan
tetapi karena ia tidak memercayai semua ini. Rachel tidak sungguhan
lupa, bukan" Ini jelas tidak mungkin.
"Jangan ke mana-mana. Aku akan menjemputmu."
"Katakan padaku," Rachel memohon. "Hal buruk, ya" Aku merasa
ada hal buruk yang sudah terjadi."
Ternyata Rachel memang sudah kehilangan ingatannya, meskipun
rasanya mustahil. "Di mana tepatnya lokasimu sekarang" Di mana
alamatnya?" Rachel menatap Stephen. "Apa alamat rumah ini?"
"Jalan Bisset nomor 29," jawab Stephen.
Rachel mengulangnya untuk Jonathan.
"Oke," katanya. "Lalu Whitemont itu di mana?"
"Kau bicara dengan Stephen saja. Dia akan memberikan arahannya."
Rachel menyerahkan gagang telepon. Apa yang dikatakan Stephen
kepada Jon masuk ke telinga kiri dan keluar dari telinga kanan Rachel.
"Dia dalam perjalanan kemari," lapor Stephen setelah menutup
telepon. "Yah, kalau begitu aku sarankan kau berpakaian," kata Ellen.
"Pakaianmu pasti sudah kering sekarang.
Rachel pergi ke kamar mandi. Ellen membawakan pakaiannya, dan
ia melepaskan jubah mandinya. Sekali lagi ia memandang tubuh dan
wajahnya di cermin. Matanya menatap penuh ketakutan. Apa yang
dilihat sepasang mata itu sebelum dirinya kehilangan ingatan"
Apa pun itu, adalah sesuatu yang teramat buruk.
Pikiran aneh itu terus berada dalam kesadarannya ketika ia kembali
ke ruang tengah untuk menunggu Jonathan.
*** Jadi Rachel ada di Whitemont, pikir Jonathan, kira-kira dua puluh lima
mil dari Aberdeen. Ia masuk ke dalam Passat dan mulai berpikir saat
menyetir. Berita baiknya adalah Rachel kedengarannya dalam keadaan
aman dan apa pun yang terjadi padanya tidak berakhir terlalu buruk.
Berita buruknya, ia tidak bisa mencerna apa yang dikatakan Rachel"
karena dia sendiri tidak bisa mencernanya.
Jonathan meninggalkan Aberdeen yang kelabu dan mengendarai
mobilnya menuju bukit-bukit hijau berliku di pedesaan Skotlandia,
sepanjang Sungai Dee. Matahari mulai menyirami awan-awan kelam,
memperkuat warna-warna hijau daratan di sana.
Namun dari apa yang dilihatnya, ia tidak merasakan kebahagiaan
ataupun kedamaian. Jonathan memperlambat mobilnya saat sudah dekat lalu memarkir
mobil di tepi jalan. Rachel dan Stephen berdiri di depan jendela di sisi
dalam, mengawasi Volkswagen Passat perak berhenti dan kemudian
Jonathan Lauder keluar. Terlepas dari kekhawatiran akan berita yang
dibawa oleh Jonathan, Rachel senang sekali saat melihat sosok Jonathan
yang tinggi dan tegap. Rachel bergegas ke pintu, membukanya, dan Jon memeluknya
seketika. "Aku lega sekali," bisiknya.
"Tidak terpikir sedikit pun olehku..." Rachel mulai bicara.
Jonathan menciumnya, memotong ucapannya. "...aku kira kau di
Inggris," lanjut Rachel.
"Kalau begitu aku berhasil membuat kejutan untukmu," kata
Jonathan sambil mendekapnya lebih erat, dan selama beberapa saat
mereka hanya berdiri sambil berpelukan. Rachel yang akhirnya
melepaskan pelukan. "Ini Stephen dan ini Ellen," kata Rachel, dengan canggung melangkah mundur dan memperkenalkan pemilik rumah yang baru
muncul keluar. Jon menjabat tangan mereka dan kemudian mereka semua masuk
ke rumah. Stephen mempersilakan mereka untuk duduk di sofa, dan
pasangan itu pun duduk, menunggu ada yang bicara"tapi semuanya
masih diam. Seolah tidak ada yang tahu bagaimana harus memulai.
Jonathan menaruh tangannya di atas tangan Rachel. Ia menatapnya
baik-baik dan terkejut saat menyadari apa yang dilihatnya. "Kau
terluka," katanya dengan nada prihatin.
"Hanya lecet-lecet," kata Rachel.
"Hanya lecet-lecet" Kau serius" Demi Tuhan, apa yang terjadi
padamu?" Rachel bercerita pada Jonathan tentang bagaimana ia terbangun di
hutan yang aneh di malam hari, bagaimana dia berjalan lama tanpa arah,
tahu siapa dan di mana dirinya, dan bagaimana dia hampir tertabrak
oleh Stephen." "Waktu itu keadaan Rachel tampak mengenaskan," sahut Stephen.
"Aku tidak tega meninggalkannya di sana."
"Coba kuperjelas," kata Jonathan, matanya tertuju pada Rachel.
"Kau bilang kau terbangun... di dekat air... di dalam hutan?"
"Ya," katanya. "Tapi aku tidak ingat apa yang terjadi sebelum itu.
Kaubilang aku sudah beberapa hari menghilang?"
"Ya. Sekali lagi: kau bilang ada hal-hal yang kau ingat dan ada yang
tidak kau ingat?" Rachel mengangguk. "Aku bisa mengingat beberapa hal yang
terjadi beberapa minggu lalu dan bahkan beberapa tahun lalu. Tapi aku
tidak bisa mengingat apa yang terjadi dua hari lalu."
"Apa hal terakhir yang bisa kauingat?"
Rachel mengerutkan bibir. "Aku tidak yakin seratus persen," katanya. "tapi rasanya terakhir aku ada di rumah, di Inggris. Aku sedang
mengerjakan tugas pekerjaanku. Benarkah proyek terakhir yang kukerjakan adalah demo baru untuk situs Freddie Langdon?"
Rachel tampak senang bisa mengingatnya. Namun Jon tampak tidak
senang. Ia terus menatap Rachel.
"Pekerjaan itu" Itu hal terakhir yang kau ingat?"
"Ya. Kenapa?" "Rachel, situs itu sudah online sejak tiga minggu lalu. Setelah itu
kau mengerjakan situs-situs untuk Atelier Four dan Chloride Steward.
Dan tepat sebelum kau pergi, kau sedang sibuk dengan situs Classic
Civia. Kau bisa mengingatnya, kan?"
Tatapan Rachel beralih ke lantai, air matanya merebak.
Aku sudah melupakan sesuatu yang sangat buruk.
Tiba-tiba ia ragu apakah mau mendengarkan apa yang akan
dikatakan Jon kepadanya. Tapi ia harus menghadapinya. Jon perlu
membantunya, mengembalikan ingatannya, apa pun konsekuensinya.
Rachel berdeham. "Jonathan... kenapa aku ada di sini, di Skotlandia?"
Jon menatap sepatunya dengan sedih.
"Ayo, katakan saja. Aku harus mulai mengingat-ingat."
"Jenny," jawab Jon pelan.
Jenny" Sahabatnya" Diakah yang dibicarakan Jon" Ia bertanyatanya mengapa tidak terpikir untuk menelepon sahabatnya itu. Kenapa
ia hanya terpikir untuk menelepon bibinya"
"Memangnya Jenny kenapa?"
Dengan ragu Jon balas menatap Rachel dan tatapan mereka saling
bertautan. Mata biru Jon memancarkan kesedihan... "Demi Tuhan,
Rachel..." "Jonathan, ada apa?" tanyanya, suaranya putus asa.
"Jenny..." "Katakan saja!" teriak Rachel.
"Dia pergi ke pantai barat dalam rangka tamasya akhir pekan. Ke Fort
William untuk mendaki Ben Nevis. Tapi dia mengalami kecelakaan?"
Kerongkongan Rachel terasa kering.
Jon melanjutkan sambil nyaris berbisik. "Dia jatuh dari tebing... aku
turut sedih, Rachel. Jenny sudah meninggal."
Rachel menatap Jonathan seolah habis tersambar petir. Meskipun
ia sudah punya irasat tentang apa yang akan dikatakan Jon, tapi saat
Jon mengatakannya, perutnya seperti ditinju keras-keras dan ambruk
bersama pertahanannya yang terakhir.
"Dia meninggal?" Rachel terkesiap, tak percaya.
Jonathan mengiyakan dengan diamnya.
"Tidak," kata Rachel, ia merasa syok dan mati rasa. "Bagaimana
mungkin aku bisa melupakan itu" Aku tidak mungkin melupakan hal
semacam itu. Ini tidak mungkin terjadi. Pokoknya tidak mungkin."
"Aku ikut sedih, Rachel," ulang Jonathan.
Rachel merasa sulit bernapas. Ia merasakan tubuhnya berkeringat
dingin. "Kapan?" Rachel menguatkan diri.
"Sepuluh hari lalu. Dia meninggal hari Senin, 14 Juni. Tapi kita baru
mendapat kabar sehari setelahnya."
"Sepuluh hari" Tidak... aku..."
Suasana kembali hening menegangkan. Rachel menatap keluar
jendela, tanpa tahu harus bertanya apa atau menuntut jawaban apa.
Dahan-dahan pohon ek berayun-ayun ditiup angin. Matahari sudah
menghilang di balik gumpalan awan kelabu.
"Jadi maksudmu aku berada di Skotlandia ini karena Jenny... karena
dia..." "Karena dia meninggal dan kau datang untuk menghadiri
pemakamannya," Jonathan melanjutkan.
"Dia sudah dimakamkan?"
"Senin kemarin."
"Dan aku ada di sana?"
"Tak hanya di sana," kata Jonathan, "kaulah yang menyampaikan
pidato di sana." "Pidato" Kaubilang aku yang berpidato di pemakaman Jenny?"
"Ya," tegas Jonathan.
Rachel memutar otak. "Kau bilang Senin... Sekarang hari apa?"
"Kamis, 24 Juni," kata Jonathan.
"Kamis?" Terlalu berat. Ia baru saja diberi tahu bahwa sahabatnya sudah
meninggal dan sudah dimakamkan, dan bahwa ia hadir pada acara
pemakamannya dan menyampaikan pidato dan sekarang ia tidak bisa
mengingat apa pun tentang itu semua. Ini mimpi buruk yang terburuk.
Jon bergeser dan merangkul Rachel.
"Di pegunungan?" tanya Rachel menerawang. "Jenny meninggal di
pegunungan?" "Di dekat Fort William, tempat yang selalu dikunjunginya," kata
Jon pelan. Jenny sudah mati. Pikiran itu berputar-putar di dalam benaknya, bagaikan racun di
dalam gelas. Inilah hal buruk yang dirasakannya selama ini. Kemudian
gelombang rasa frustasi menghantamnya.
Ini tidak benar. Rachel meremas tangan Jonathan dan memandangnya dengan was
was. "Kau bilang dia jatuh dari tebing?"
"Ya." "Tidak." Jon menyipitkan mata. "Tidak?"
Rachel menggeleng. "Tidak," ulangnya.
Jon mengerjap tak paham. "Apa maksudmu?"
"Dia..." Rachel memandang ke atas. "Maksudku dia tidak mati."
Rachel mendengar sendiri ucapannya, tapi ia sendiri pun tidak
paham. "Aku tidak mengerti maksudmu, Rachel," ucap Jonathan dengan
hati-hati. Rachel menutup wajahnya dengan tangannya, seakan ingin menyembunyikan dirinya sendiri sementara mengumpulkan ingatannya.
Ellen duduk di sebelah Rachel di sisi lainnya. "Tenangkan dirimu
dulu, Nak," katanya lembut, seperti yang dilakukan seorang ibu pada
putrinya. "Pelan-pelan saja dulu. Kita tidak harus terburu-buru. Kita
bisa ambil selangkah demi selangkah."
Stephen duduk di seberangnya, bergeming dan diam.
"Beberapa memang benar," kata Rachel, menatap lantai. "Aku
memang kembali ke sini karena Jenny. Aku tidak ingat apa-apa soal itu,


Dark Memory Karya Jack Lance di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tapi aku yakin itu benar. Aku tidak bisa menjelaskannya, tapi begitulah
yang kurasakan." Rachel berdeham. "Aku hanya tidak bisa terima
Jenny sudah meninggal. Pokoknya aku tidak percaya."
Jon membuka mulutnya seperti hendak berkata sesuatu, tapi
kemudian menutup kembali mulutnya dan menggeleng pelan.
"Apa?" tanya Rachel. "Ada apa?"
"Aku setuju dengan Ellen. Nanti saja," bisiknya.
Biasanya, jika Jon menginginkan sesuatu, ia akan mengejarnya
dengan gigih. Begitu pula saat ia masih di militer, bertahun-tahun
sebelum bertemu Rachel. Antusiasme serta kegigihannya termasuk
alasan mengapa ia sukses dengan Write Thing dan berhasil memenangkan hati Rachel"sesuatu yang tidak pernah dicapai pria mana pun
kecuali Grant Miller, dan pada akhirnya Rachel meninggalkan Grant.
Menyerah bukanlah sifat Jon, dan itu termasuk salah satu dari banyak
alasan mengapa Rachel sangat mengaguminya. Tapi Rachel belum
pernah melihatnya begitu tak bersemangat.
"Tidak, menurutku harus sekarang," katanya. "Apa yang
kaupikirkan?" Jon ragu sebelum menjawabnya. "Jenny mendaki Fort William, dan
dia ditemukan di kaki bukit Ben Nevis. Dia sudah dikubur, dan kau
menyaksikannya. Itulah yang terjadi, Rachel. Itu semua adalah fakta
yang tak terbantahkan."
Ketidakpercayaannya berlawanan dengan kesedihannya. Jon terdengar meyakinkan, dan irasatnya mengatakan dia pun jatuh dari tebing.
"Siapa yang menemukannya?"
"Pendaki yang kebetulan lewat di sana."
"Menurutmu kenapa dia bisa jatuh?"
Jon mengangkat bahu. "Mungkin terpeleset."
"Dan tubuhnya positif sudah teridentiikasi" Kau yakin begitu?"
"Ya. Kau juga. Kau sendiri yang menceritakan itu semua padaku di
telepon." "Dan kau yakin aku ada di pemakamannya?" desak Rachel.
"Aku sendiri tidak ada di sana waktu itu, tapi setelah pemakaman
kau meneleponku, Senin malam. Kita membicarakannya cukup lama,"
kata Jon. "Tapi Selasa paginya kau menghilang, dua hari lalu."
"Kenapa kau tidak datang ke pemakaman?"
"Kau tidak mau aku ikut."
"Kenapa...?" Sebelum Rachel sempat menuntaskan kalimatnya, Jon berdiri.
"Seperti yang kubilang tadi, Ellen benar. Kita bahas lain kali saja.
Pokoknya aku lega kau sudah ketemu, dan menurutku kau perlu waktu
untuk pulih." Rachel menatap Jon dan mendengar dirinya mengatakan sesuatu.
Spontan, tapi dikatakan dengan penuh keteguhan.. "Aku tidak punya
waktu, Jon. Aku harus menemukan Jenny."
Jon menatapnya dengan kaget. "Dengar, Rachel. Aku tidak mengerti
semua ini." Rachel menunggu kepingan teka-teki lain muncul dengan sendirinya. Saat itu tidak terjadi, ia berkata, "Katakan apa lagi yang kau tahu."
"Sebagian besar sudah kukatakan," kata Jon.
Rachel mendesah dengan rasa frustrasi yang tak terungkapkan.
"Aku tetap harus menemukannya," gumam Rachel, nyaris tidak
terdengar oleh siapa pun.
Selasa, 15 Juni, sembilan hari lalu, menurut Rachel adalah hari terburuk
dalam hidupnya. Ada yang membuat rencana Rachel dan Jon buyar. Seusai kerja,
mereka seharusnya makan malam di The Egyptian, restoran baru di
Chelmsford. Rachel hendak mampir sebentar di apartemennya untuk
mandi, setelah itu baru bertemu Jon di restoran.
Rachel memakai jaketnya dengan cepat, melambaikan tangan
pada Jon, dan menutup pintu. Jon masih ada rapat dengan kliennya"
Henry Thomas, yang baru saja datang, terlambat satu jam dari yang
seharusnya"dan Jon tidak bisa segera meninggalkan kantor.
Pada pukul enam sore, di tengah-tengah rapat dengan Thomas,
Jon menelepon The Egyptian, mengabarkan bahwa ia akan datang
terlambat, dan meminta mereka memberitahunya kalau Rachel sudah
datang. Pukul enam tiga puluh, rapatnya dengan Thomas akhirnya
selesai. Jon bergegas keluar dan menghubungi telepon genggam Rachel
saat sudah berada di dalam mobil. Tidak ada jawaban. Ia menelepon
ulang. Mungkin Rachel tadi tidak mendengar teleponnya berdering,
pikirnya. Lagi-lagi tidak ada jawaban. Rachel mungkin sedang
menunggunya, pikir Jon mengira-ngira, dan ia mematikan teleponnya
dan memasukannya ke dalam tas. Jadi tak perlu khawatir.
Namun ternyata Jon tetap saja merasa khawatir. Tidak biasanya
Rachel mematikan telepon, terutama ketika mereka punya rencana
untuk pergi bersama. Jon memaksakan diri untuk tidak melebih-lebihkan. Ia sudah
dalam perjalanan untuk menikmati makan malam bersama pacarnya
dan mereka sudah pasti akan bersenang-senang. Rachel sedang
menunggunya, mungkin sedikit tidak sabar karena Jon terlambat.
Saat Jon tiba di restoran, Rachel tidak ada di sana. Ia mencari-cari
dari meja ke meja, tapi tidak dilihatnya Rachel duduk di mana pun.
Seorang pelayan menghampiri pria itu. "Selamat malam. Ada yang
bisa saya bantu?" "Aku sudah pesan meja untuk dua orang," kata Jon setenang
mungkin, "dan aku tidak melihat temanku di sini. Apa mungkin dia
menunggu di tempat lain?"
"Ada ruang tunggu di depan," kata si pelayan, berusaha membantu.
"Sudah Anda cari di sana?"
"Sudah." "Kalau begitu maaf, Pak. Saya tidak bisa membantu."
Sekali lagi Jon mengawasi sekeliling. Tetap tidak menemukan
Rachel, dan akhirnya memutuskan untuk pergi...
"Terima kasih," katanya pada si pelayan, lalu Jon melangkah
keluar. Setelah berusaha menghubungi lewat telepon kembali, ia cepatcepat masuk ke mobil. Dinyalakannya mesin mobil dan ia pun melaju
ke gedung apartemen Rachel karena ia tak tahu lagi di mana ia bisa
menemukannya. Dengan alasan yang tidak dimengerti oleh dirinya
sendiri, ada irasat kuat yang dirasakannya. Mungkin Rachel mengalami
kecelakaan dalam perjalanan ke restoran.
Di kompleks apartemen Rachel, Jon melihat Toyota putih Rachel
berada di tempatnya biasa diparkir yaitu di bawah jendela. Jon
membunyikan bel. Rachel tidak mempersilakannya masuk.
Sekarang Jonathan benar-benar khawatir. Ia yakin telah terjadi hal
yang buruk. Di mobilnya ada kunci kamar apartemen Rachel, maka ia
kembali untuk mengambilnya. Ia berlari menaiki tangga apartemen dan
masuk ke dalam. Rachel tengah duduk tegak di ruang tengah. Ia tampak tidak
menyadari kehadiran Jon. Tangannya menutupi wajahnya dan ia sedang
menangis. Jon berlutut di sampingnya. "Rachel sayang, ada apa?"
Baru saat itu Rachel tampak menyadari kehadirannya.
"Jonathan," bisiknya di antara isak tangis.
Rachel jatuh ke pelukan Jon, dan agak lama sampai akhirnya
Jonathan merasa sanggup mengajukan pertanyaan yang serasa membakar bibirnya.
"Apa yang terjadi?"
*** Rangkaian ceritanya terdengar membingungkan dan rumit urutannya.
Charlie Waters, reporter Northern Journal, Aberdeen, menelepon
Rachel untuk memberikan kabar mengenai Jenny Dougal, rekan kerja
Charlie yang juga sahabat Rachel.
Rachel dan Jenny berteman sejak kecil di desa yang sama di
Skotlandia. Selama bertahun-tahun mereka melakukan segalanya
bersama; mereka bahkan menjadi teman sekamar sewaktu kuliah dan
memilih jurusan yang sama. Jenny lebih dari sekadar sahabat; Rachel
menganggapnya saudara perempuan yang tidak pernah dimilikinya.
Saat itu Jonathan dengan sedih menyimpulkan bahwa Rachel memiliki
hubungan yang lebih dekat dengan Jenny dibandingkan dengannya
sampai kapan pun. Secara perlahan dan berhati-hati Charlie memberi tahu Rachel
bahwa Jenny pergi Jumat lalu, 11 Juni, untuk berakhir pekan dengan
mendaki gunung di dekat Fort William. Tampaknya Jenny kurang
berhati-hati. Senin berikutnya ia jatuh dari ketinggian seratus tiga puluh
kaki dan tidak dapat diselamatkan.
Jenny berusia tiga puluh tiga tahun, sedang berada di puncak
kehidupannya. Rachel menceritakan tentang kecelakaan itu pada Jonathan sambil
terisak. Jon menemaninya. Ia tidak berusaha menenangkannya, karena
Rachel sedang menumpahkan kesedihan mendalam yang tidak sanggup
diredakannya. Bukannya Jon tidak peka terhadap kesedihan itu. Berita
buruk itu juga sangat mengguncangnya.
Selama lima tahun Jon mengenal Rachel, Jenny sempat beberapa
kali berkunjung ke Inggris untuk menengok Rachel. Rachel termasuk
wanita mandiri yang berpendirian kuat, sedangkan Jenny jauh lebih
ekstrem: berjiwa bebas, pemberontakan serta penyuka tantangan
yang gemar menguji nyali dengan mendaki gunung, bungee jumping,
seluncur salju"aktivitas-aktivitas yang disukainya, semasa hidupnya.
Jenny senang hidup dalam tantangan.
Jenny si pemberontak dan tak bisa dikekang. Begitu bersemangat,
tidak pernah bisa duduk diam lama-lama. Jonathan dan Rachel pernah
tiga kali mengunjunginya di Skotlandia, terakhir awal tahun ini di
bulan Maret. Dalam kunjungan itu mereka juga bertemu dengan Bibi
Elizabeth dan Grace Dougal, ibu Jenny. Saat itu Jenny begitu penuh
semangat, tampaknya sudah pulih dari patah hati beberapa bulan
sebelumnya karena putus dengan kekasih yang sudah lama pacaran
dengannya, Lester Cumming.
Kunjungan itu berlangsung sangat seru namun juga melelahkan.
Mereka bertemu banyak orang dan bertamasya ke pedesaan. Dan
beberapa kali Jon menyaksikan matahari terbit setelah semalaman di
klab. Jenny terkesan tidak butuh tidur sama sekali dan bagaikan anak
kecil yang menyeret mereka dari satu bar ke bar lainnya.
Sekembalinya mereka ke Inggris, Jon sempat bertanya pada Rachel
apakah Jenny pernah bersantai barang sejenak. Dia hidup seakan tiada
hari esok, kata Jon, dan Rachel setuju dengan pacarnya.
Sekarang sudah tidak ada lagi esok untuk Jenny Dougal.
Selasa itu, 15 Juni, berubah menjadi kelam. Pada malam harinya
Rachel menelepon beberapa teman dan kenalannya di Skotlandia. Ia
tidak bisa tidur. Baru pada hari Kamis ia mulai bisa mengendalikan diri.
Ia masih menderita kesedihan, namun air matanya mulai menyusut.
Saat itulah ia memutuskan untuk menghadiri pemakaman sahabatnya
sendirian. Keputusannya itu mengejutkan Jonathan, tapi sehari kemudian,
pada hari Jumat, pendirian Rachel tetap kukuh. Ia berencana pergi naik
mobil saat subuh di hari Sabtu, dan ia berencana untuk menginap di
sana beberapa hari setelah upacara pemakaman di hari Senin.
Ada banyak orang yang ingin dikunjunginya. Ia sudah memesan
kamar di pondok milik Bibi Elizabeth"mulai hari Rabu, karena
sebelumnya sudah penuh dipesan. Ardrough House, sumber pendapatan
Elizabeth, terletak di lokasi yang indah, tersembunyi di hutan sekitar
Aboyne. Jonathan pernah mengunjungi pondok yang sudah seperti
rumah kedua Rachel itu pada bulan Maret.
Jon berusaha membujuk Rachel agar mau ditemani ke Skotlandia,
tapi Rachel tidak mau dengar. "Tapi kenapa kau tidak mau aku ikut?"
tanyanya. "Sudah kubilang, aku ingin ke sana sendirian"dia itu temanku."
"Dia temanku juga," seru Jon. "Dan aku pacarmu. Apa aku tidak
ada artinya?" "Sangat berarti," kata Rachel meyakinkannya. "Tapi tidak termasuk
ini." Pada hari Jumat sebelum pergi, Rachel dan Jon nyaris tidak
saling bicara. Jon menemaninya sepanjang hari di apartemennya, dan
keheningan di antara keduanya sangat terasa. Rachel terlihat lelah.
Akhirnya ia mengakui bahwa ia belum tidur sama sekali pada malam
sebelumnya. "Alasan lain untuk tidak menyetir sendirian ke Skotlandia," Jon
memperingatkan. "Setidaknya kau bisa memesan tiket pesawat."
"Tidak, naik mobil saja tidak apa-apa. Dengan begitu aku punya
waktu untuk berpikir. Ada sesuatu yang sudah lama kutunda-tunda,"
kata Rachel penuh teka-teki.
"Apa maksudmu?"
Lelah, dengan kantong mata gelap sebagai bukti, Rachel memandang Jon dan berkata, "Biarkan aku melakukan apa yang harus
kulakukan. Kalau tidak, aku tidak akan pernah bisa tenang."
Jon tidak tahu apa maksudnya dan memohon Rachel untuk
memberitahunya. Bagaimana mereka bisa berhubungan serius kalau
dia merahasiakan sesuatu darinya" Tapi Rachel hanya menggeleng dan
meninggalkannya. Jon ingin mengejar dan mendesak Rachel untuk menceritakan apa
yang dia sembunyikan. Tapi ia menahan diri untuk tidak mengatakan
apa-apa. Ia harus bersikap penuh pengertian, tidak melakukan apa pun
kecuali mendengarkan. Kalau tidak, ia malah akan menghancurkan apa
yang paling dicintainya di dunia ini.
Namun kemudian, ia menyesal karena memilih bungkam.
*** Pada Sabtu pagi, 19 Juni, Rachel memasukkan kopernya ke dalam
mobil dan mulai berkendara jarak jauh ke Skotlandia. Ada kesedihan
di matanya saat berangkat dan Jonathan merasa khawatir saat melepas
kepergian pacarnya. Siangnya Jonathan menelepon Rachel. Ia sampai di M6 sekitar
Gretna Green. Saat Jon meneleponnya lagi malam hari, Rachel sudah
sampai di The Old Wheel di Queen Street, Aberdeen, tempatnya
menginap selama empat malam sampai hari Rabu pagi berikutnya.
Pada hari Minggu sore, Jon meneleponnya lagi. Rachel belum pergi
ke mana-mana. Kegelisahannya soal upacara pemakaman keesokan
harinya menaunginya bagai awan hitam, dan Jon tidak menangkap nada
riang yang biasa terdengar dari suara Rachel. Ia memang tidak selalu
ceria"adakalanya suasana hatinya buruk, seperti juga semua orang"
tapi biasanya ia cenderung ekstrover seperti mendiang Jenny.
Sepanjang Senin itu Jon menemani kekasihnya dari jauh. Ia
meneleponnya di sore hari dan mereka membicarakan pemakaman
dengan nada muram. Pada hari Selasa, telepon genggam Rachel mati seharian, dan
panggilan Jonathan berulang kali dialihkan ke pesan suara. Jon
setidaknya sudah menelepon tiga puluh kali sejak itu, dan tidak pernah
terhubung. Rachel juga tidak membalas teleponnya. Mungkin Rachel
sedang tidak ingin bicara. Pada hari Rabu"kemarin"lagi-lagi dia
tidak bisa dihubungi. Jon menelepon The Old Wheel dan berbicara
dengan Lorene, manajer penginapan itu. Wanita itu memberi tahu Jon
bahwa Rachel tiba-tiba check out hari Selasa pagi.
Selasa. Harusnya Rachel menginap di The Old Wheel sampai Rabu,
tetapi ia pergi sehari lebih awal. Lorene tidak tahu sebabnya; Rachel
tidak bilang. Jonathan menyimpulkan Rachel menginap di pondok
milik Elizabeth sehari lebih awal.
Namun tetap saja aneh, karena Rachel sama sekali tidak bilang
apa-apa. Telepon genggamnya mati, itu juga aneh. Semuanya aneh dan
Jon mulai bertambah khawatir. Jonathan menelepon Ardrough House,
tapi juga tidak ada jawaban. Mungkin karena Rachel sedang pergi, Jon
menyimpulkan. Lalu ia menelepon langsung ke Bibi Elizabeth. Rachel
pasti pergi menemuinya kalau ia meninggalkan penginapan The Old
Wheel lebih cepat"lagi pula kunci kamarnya ada di bibinya. Meskipun
ia berhasil menghubungi Elizabeth, ia tidak mendapatkan informasi
berarti darinya. Rachel belum mengunjunginya, kata Elizabeth, tapi
ia sedang menanti kedatangan Rachel. Ia sudah menyerahkan kunci
kamar pada Rachel pada hari Senin setelah pemakaman. Elizabeth


Dark Memory Karya Jack Lance di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

juga memberitahunya bahwa Rachel membacakan pidato yang sangat
menyentuh di upacara pemakaman.
Kekhawatiran Jonathan semakin mendalam.
Rachel seolah menghilang tanpa jejak. Di mana sebenarnya dia"
Apa yang merasukinya" Atau mungkinkah ternyata ia sudah menginap
di Ardrough House"itu mungkin saja, tapi kalau memang demikian,
kenapa ia tidak menghubungi bibinya" Ia menelepon penginapan
beberapa kali lagi, tapi tidak ada yang menerima. Siapa lagi yang bisa
diteleponnya" Ada banyak hal yang harus kukerjakan, kata Rachel waktu itu.
Kalau tidak aku tidak akan pernah bisa tenang.
Kata-kata itu menggema di dalam benak Jonathan seharian pada
hari Rabu. Jon sudah mempertimbangkan untuk menelepon Polisi Kota Aberdeen dan melaporkan hilangnya Rachel. Tapi ia mengurungkannya.
Menurutnya mereka tidak akan menganggap serius karena Rachel
belum cukup lama hilang. Lagi pula, ia tidak percaya pada polisi.
Tadi malam pria itu memutuskan untuk pergi mencari Rachel.
Mungkin memang tidak ada masalah serius"dan ia pun berdoa supaya
kekhawatirannya tak berdasar"namun ia sudah tidak tahan duduk
diam menunggu kabar dari kekasihnya dan merasa tidak berdaya.
Stephen membuka botol Macallan dan menuangkannya ke dalam empat
gelas. Kepala Rachel masih terus terasa pening, dan Jonathan, Stephen,
dan Ellen memandanginya. Jon memeluknya di sofa.
"Jadi kau tidak hadir di pemakaman," kata Rachel, kepalanya
bersandar di dada Jon. "Tidak." "Kenapa aku tidak mau kau ikut?"
"Sikapmu membingungkan soal itu. Kau bilang perlu berpikir, ada
hal yang harus kaulakukan. Kau kelihatan gelisah waktu itu."
"Ada yang harus kulakukan" Misalnya apa?"
"Kau tidak bilang."
Rachel diam sesaat. "Aku datang ke sini naik apa" Pesawat?"
"Tidak, kau naik mobil."
"Dan aku sudah hilang beberapa hari ini."
"Rachel... kita tidak perlu membahasnya sekarang."
"Tidak, aku yang mau. Aku ingin tahu apa yang kulakukan setelah
pergi dari rumah." Seberapa besar potongan kehidupan yang tidak bisa diingatnya" Dua
minggu" Tiga minggu" Tampaknya begitu. Apa yang Jon katakan soal
Jenny sepertinya mustahil, tapi ia harus menceritakan setiap detailnya,
tak peduli jika tidak ada hubungannya.
"Setelah kau pergi hari Sabtu itu, kita saling menelepon setiap hari
hingga Selasa. Sejak itu, teleponmu selalu tidak aktif. Aku tahu kau
sudah pergi dari penginapan hari itu. Tapi kau tidak pergi ke Ardrough
House." "Penginapan apa?"
"The Old Wheel, di Aberdeen. Seharusnya kau menginap di sana
sampai kemarin dan menginap beberapa hari di penginapan Bibi
Elizabeth." "Kunci-kunci..." katanya.
"Kunci?" "Kunci-kuncinya ada padaku..."
"Tunggu, biar kuambilkan," kata Ellen, lalu ia meninggalkan
ruangan. "Apa lagi?" tanya Rachel.
"Yah, sekarang kita sampai pada tadi malam, ternyata kau ada
di hutan di pegunungan." Jon bisa mendengar keputusasaan dalam
suaranya sendiri. "Lalu kau naik pesawat kemari," kata Rachel.
"Ya. Aku tidak tahan menunggu-nunggu terus."
Rachel masih merasa seolah Jon sedang membicarakan orang lain"
orang lain itu sudah kehilangan sahabatnya dan orang lain itu berdiri di
dekat peti mati dan menyampaikan pidato duka di gereja.
Rachel pernah beberapa kali mengalami mimpi buruk tentang
kematian ayah atau ibunya. Kadang mimpi-mimpi itu begitu jelas
sampai ia nyaris menangis lega ketika terbangun dan menyadari itu
hanya mimpi. Kenapa ini bukan mimpi saja"
Mungkin memang mimpi. Aku harus menemukan Jenny.
Pikiran itu datang lagi, bersamaan dengan perasaan menyesak
bahwa ia berlari tanpa landasan dan mulai kehabisan waktu.
"Waktu terakhir kita bicara hari Senin..." Rachel menggigit bibir
bawahnya. "Apa waktu itu aku masih ingat semuanya?"
"Ya, Rachel. Waktu itu kau masih ingat semuanya."
"Apa aku bilang apa-apa soal apa yang akan kulakukan?"
"Tidak. Kita lebih banyak mengobrol soal pemakaman, bukan soal
rencanamu." "Ini dia," kata Ellen, ia kembali ke ruang tengah dengan membawa
dua kunci. "Boleh kulihat?" tanya Rachel.
Saat Ellen menyerahkan kunci-kunci itu, ia langsung tahu untuk apa
kunci yang berwarna perak. "Penginapan bibiku," katanya yakin.
"Bibi memberikannya padamu hari Senin," kata Jon. "Dia
mengatakannya padaku saat kutelepon. Dan yang satu lagi?"
"Mungkin kunci penginapan The Old Wheel."
"Mungkin tidak sengaja terbawa," kata Jon.
"Sepertinya begitu."
"Tidak ada lagi yang kaubawa" Kunci mobilmu di mana" Kunci
apartemenmu?" "Tidak ada padaku," jawab Rachel.
*** Rachel menyesap whisky dan ia pun menjadi lebih tenang, tetapi juga
membuat dunia lebih memusingkan. Jon menyadari pacarnya kelelahan.
"Kurasa sebaiknya kita pergi sekarang," katanya pada akhirnya.
"Aku akan mengantarmu ke Ardrough House dan kau harus tidur."
Kali ini Rachel tidak membantah. Jon berdiri dan menoleh pada
Stephen dan Ellen. "Jadi kalian mau pergi?" tanya Ellen.
"Ya," kata Jon. "Sepertinya itu yang terbaik saat ini. Rachel biar
istirahat dulu dan kita lihat perkembangannya nanti."
"Keputusan bijak," sahut Stephen.
Rachel memaksakan senyum. "Tanpamu aku pasti masih berkeliaran di luar sana."
"Tidak usah dipikirkan," kata Stephen sambil mengibaskan
tangannya. "Tapi tolong beri kabar, ya. Beri tahu kami keadaanmu."
"Aku janji," kata Rachel. "Kalian berdua baik sekali. Aku tidak
akan melupakan kalian."
Rachel memberikan ciuman perpisahan pada Ellen dan Stephen,
kemudian ia keluar menuju mobil bersama Jonathan. Jon membukakan
pintu mobil Passat untuk Rachel, wanita itu masuk ke mobil, dan
kemudian mereka pergi. Yang kita tahu pasti hanyalah bahwa kau tadi malam ada di hutan.
Itulah faktanya. Yang lainnya seperti tidak nyata.
Bukit-bukit dan padang-padang rumput rimbun yang membentang
di kedua sisi masih ada di sana; kemarin dan kemarin dulu, sejak
zaman Bangsa Kelt, dan jutaan tahun sebelum itu. Pedesaan Skotlandia
memang abadi. Namun keberadaan diri Rachel tidak menentu. Apa kemarin dia
ada" Seakan hidupnya baru dimulai hari ini, dan segala yang ada sebelum
hari ini adalah mimpi buruk. Terkadang kenyataan dan mimpi sulit
sekali untuk dibedakan. Jonathan mengenal Rachel sejak mereka sama-sama bekerja di surat
kabar London Post. Setelah meninggalkan dunia militer di usia dua
puluh tujuh tahun, Jon bekerja di kantor surat kabar itu selama tiga
tahun, dan akhirnya berhasil menjadi Kepala Editor bagian Urusan
Dalam Negeri. Menginjak usia tiga puluh, Jon memutuskan untuk memulai
bisnisnya sendiri. Ia mendirikan agen artikel dan website, satu hal yang
dari dulu ingin dilakukannya. Ayahnya yang dulu bekerja sebagai tukang las di Flynn Steelworks, dengan tegas menentang usaha wiraswastanya dan ibunya juga bersikap serupa. Jadi wirausahawan itu penuh
risiko, kata mereka. Kau sudah memiliki karier bagus di perusahaan
surat kabar, tegas ayahnya. Mengapa harus membuangnya begitu saja"
Namun Jonathan bersikukuh. Ia akan memulai usahanya sendiri, titik.
Klien besar pertama Jon adalah London Post, yang sampai sekarang
masih menjadi kliennya. Di tahun pertamanya, 2008, ia bekerja dari
rumah. Tahun 2009, ia menyewa satu lantai di Wells Building, sebuah
kompleks perkantoran di dekat pusat kota Chelmsford, bersama sebuah
kantor pengacara dan konsultan. Kantornya cukup untuk tiga orang
pegawai. Seiring dengan menumpuknya pekerjaan, Jon memerlukan
bantuan. Orang pertama yang terpikir olehnya adalah Rachel Saunder;
mantan rekan kerjanya di London Post.
Dua tahun sebelumnya, pada suatu sore yang luar biasa panas di
musim panas, Rachel melangkahkan kakinya untuk pertama kali di
depan meja Jonathan. Pandangan Jon jatuh ke arah Rachel karena
wanita itu amat menarik. Wajahnya kecokelatan, rambut panjangnya
hitam pekat, dan tubuhnya yang langsing mewakili wanita impian semua laki-laki. Ia menebak usia Rachel berkisar antara dua puluh awal
hingga pertengahan. Waktu itu Rachel ada janji temu dengan Kevin Bexsby, atasan Jon,
dan ia masuk ke ruangannya. Lima belas menit kemudian ia keluar dari
ruangan si bos. Bexsby menjabat tangan Rachel dan Rachel tersenyum
lebar pada Jonathan saat lewat di depan mejanya. Tanpa disangka,
jantung Jonathan berdegup kencang. Lebih cepat dibandingkan degupnya untuk Rosie selama dua tahun hubungan mereka"sebelum
perempuan itu kabur bersama laki-laki bernama Rick Chapman.
Kemudian di hari yang sama, Jon bertanya pada Bexsby siapa
wanita muda yang ke ruangannya tadi.
"Pelamar kerja."
"Oh ya" Apa dia memenuhi syarat?"
"Apa kau mau mengerjakan pekerjaanku?" gerutu Bexsby.
"Tidak selama kau masih hidup," balas Jon sambil menyeringai.
"Aku tidak akan berani."
Beberapa minggu kemudian, Bexsby mengumumkan bahwa Rachel
Saunders akan bergabung di departemen editorial. Pada pagi di hari
pertama Rachel bekerja, ia diperkenalkan pada rekan-rekan kerjanya.
Jonathan menjabat tangannya dan saat Rachel balas menjabat tangannya dengan hangat, Jon memutuskan untuk mencari tahu lebih jauh tentang Rachel"segera. Lalu dengan kecewa diketahuinya bahwa Rachel
sudah memiliki kekasih, namun itu memang tidaklah mengejutkan.
Rachel bekerja di departemen Kota, satu lantai di bawah ruangan
Jon, sehingga Jon jarang bertemu dengannya. Ketika ia akhirnya
berkesempatan untuk berbicara dengan Rachel, adalah ketika Jon baru
saja membuat kesalahan terbesar dalam kariernya.
Jon menulis sebuah artikel tentang konstruksi palsu. Kala itu Jon
memiliki sumber yang kurang bisa dipercaya dan parahnya lagi, ia
mengambil fakta-fakta yang keliru. Saat artikel bermuatan politik itu
dicetak di London Post, Bexsby marah besar sehingga pekerjaannya
terancam. Sore itu sekitar pukul enam, jam sepi peralihan antara sif pagi dan
malam, Jon duduk sendirian di kafetaria, menatap kosong gelas plastik
berisi kopinya. Rachel datang dan langsung duduk semeja dengannya.
"Aku sudah dengar," katanya. "Lalu bagaimana keadaanmu?"
"Pernah lebih baik dari sekarang," jawabnya.
Tak disangka, Rachel tersenyum lebar. Dia tidak tertawa, tapi juga
tidak menepuk punggung rekannya sebagai tanda simpati. Rachel
Saunders tampak menikmati suasana.
"Yah, tahu kan apa kata orang. Hari ini berita, besok sudah jadi
bungkus ikan." Jonathan mengalihkan pandangannya. "Jangan sampai Bexsby
dengar kau bicara begitu. Baginya setiap edisi koran itu keramat."
"Aku hanya mau bilang ini bukan kiamat."
Jon mendesah pelan. "Yah, baru saja aku terpikir, bagaimana kalau
aku masuk biara saja."
Rachel menatapnya lekat-lekat sejenak, kemudian mengangguk.
"Kau benar." Jon memandangnya bingung. "Hah?"
"Kau akan cocok sekali memakai jubah pastor. Suaramu juga bagus.
Pasti para suster akan terkesan padamu."
Jon tertawa, bukan tertawa geli. "Kau terlalu baik padaku."
"Memang," katanya riang. "Aku selalu siap untuk semakin memojokkan mereka yang sedang sedih. Semacam misi hidup."
Rachel tertawa dengan gaya yang menyenangkan, mencondongkan
tubuhnya ke depan, kemudian memegang tangan Jon. "Jangan terlalu
dipikirkan. Hidup itu singkat."
Oleh karena itu saat Jon mempertimbangkan siapa orang pertama
yang akan dipekerjakannya di The Write Thing, Rachel-lah yang ada di
benaknya. Bukan hanya karena persahabatan mereka di Post, tapi juga
karena Rachel melakukan pekerjaannya dengan baik. Seperti halnya
pada Jon, kepindahan Rachel dari surat kabar ke agensi Jon juga akan
berisiko. Di Post, Rachel tahu betul apa yang sudah dimilikinya, beda
halnya di sebuah agensi kecil"bagaimanapun Jon bisa bangkrut kapan
saja"tapi mungkin ia akan menikmati tantangannya. Paling tidak Jon
akan menawarinya. Kalau toh Rachel menolak, ia bisa memasang iklan
lowongan kerja. Jon menelepon Rachel dan wanita itu bilang akan pikir-pikir dulu.
Tidak perlu waktu lama. Seminggu kemudian Rachel menelepon Jon
dan menerima tawarannya. Begitu mulai bekerja sama, mereka langsung menemukan perbedaan
antara menjadi teman kerja di kantor surat kabar dan bekerja sebagai
rekan kerja di sebuah agensi kecil. Kebiasaan jorok Rachel menjadi
sumber masalah bagi Jonathan. Meja Rachel selalu berantakan. Garagara itu Rachel menjadi sering lupa, kehilangan barang, atau melupakan
tenggat waktu. Di rumahnya pun Rachel seperti itu, ia mengakuinya.
Ia kerap menerima surat tagihan ini-itu, mendapat telepon dari asisten
dokter gigi yang menegurnya karena tidak datang sesuai jadwal. Tapi ia
berjanji akan berusaha lebih baik.
"Bagus kalau begitu," kata Jon, dengan sengatan sarkasme. Jonathan
selalu mengatur segalanya dengan rapi"meskipun kadang melakukan
kecerobohan besar. Ia tidak suka ketidakrapian. Sejak dulu ia adalah
sosok yang sangat teratur dan rapi, perilaku yang digembleng dalam
kemiliteran. Pernah satu kali Jon marah besar pada Rachel, yaitu saat ia
kehilangan pulpen perak mahal merek Parker miliknya, pulpen
favoritnya. Kejadiannya di suatu pagi saat Jon terlambat datang untuk
rapat. Ia mencari-cari pulpen itu sebelum pergi, dan sementara ia
sedang mencari-cari di meja, dilihatnya Rachel berdiri di ambang pintu
ruangannya. "Rachel!" teriaknya kalut, sambil berlutut di samping kursinya.
Rachel menatapnya di lantai dan tersenyum. "Kau menyebut
namaku, Tuan?" "Brengsek, seriuslah. Aku tak berhasil menemukan bolpen Parkerku. Apa kau memakainya?"
"Mana berani. Kau kan melarangku masuk ruangan ini" Kecuali
kalau tempat sampah sudah penuh atau kau butuh kopi. Aku tak akan
mimpi mengambil apa pun milikmu."
"Yah, pulpenku tidak ketemu."
Senyum Rachel bertambah lebar. "Kasihaaan, kau benar-benar
kehilangan sesuatu, yaa" Kau?" Ia masuk dan duduk di samping Jon di
kursi. "Teruskan mencari. Aku menikmatinya."
Wajah Jon merah padam; untuk sesaat ia hanya diam sambil
melotot ke arah Rachel. Lalu Rachel berdiri sambil tertawa, dan mereka
bersama-sama mencari pulpen itu dan menemukannya. Pulpen itu
menggelinding ke belakang kabinet arsip.
Ada lagi yang berubah sejak terakhir mereka bertemu di Post.
Rachel sudah putus dengan pacarnya. Ia kembali menjomblo, begitulah
kata Rachel, dan ia memutuskan untuk tetap sendiri dalam waktu lama.


Dark Memory Karya Jack Lance di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jon sudah mencoba segala usaha untuk membuat Rachel berubah
pikiran, namun Rachel bergeming.
Tetap saja Jon bersikeras mendekatinya, dan tidak sampai lama
mereka sudah tidur di tempat tidur yang sama, meskipun Rachel masih
tidak mau terlalu serius menjalani hubungan itu. Ia pindah dari Redding
ke sebuah apartemen di Chelmsford di akhir tahun 2009 dan kadangkadang Jon menginap di sana. Rachel tidak pindah ke apartemen Jon,
meskipun Jon terus membujuknya. Rachel ingin tetap hidup sendiri.
Rachel punya kebiasaan-kebiasaan unik. Yang paling aneh, menurut
Jon, adalah ketidaksukaannya terhadap burung. Rachel benci burung.
Apa pun yang bisa terbang membuatnya gelisah dan ketakutan. Dan ia
sering sekali sakit. Ia kerap tidur dalam keadaan sehat dan kemudian
sakit selama berhari-hari. Jon sudah berulang kali menyuruhnya checkup ke dokter, tetapi Rachel selalu menolak.
Hingga saat ini, itulah hidup yang dijalani Jon. Ia berjuang agar The
Write Thing berhasil dan di tahun 2010 ia mempekerjakan Geoffrey
Combs sebagai manajer kantor. Ia jadi bisa menjalankan hobinya
bermain rugby di klub lokal. Dan ia terus merayu Rachel.
Tapi minggu lalu semuanya berubah.
*** Setelah berkendara melewati Ordhead, Torphins, dan Kincardine
O"Neil, akhirnya Jon dan Rachel sampai di Ardrough House. Pondok
itu terletak tiga mil sebelum Aboyne di jalan tanah milik pribadi yang
membentang di antara pohon-pohon pinus tinggi. Di depan pondok
terdapat ladang ternak sapi; di belakangnya ada Bukit Callantich yang
tinggi. Pondok itu sendiri berdiri di tepi hutan.
Jon mengendarai mobil melintasi tembok-tembok putih Ardrough
House dan memarkir Passat-nya. Rachel keluar dari mobil dan masuk
ke dalam pondok. Pondok itu berbau segar karena sudah dibersihkan
bibinya. Sang bibi selalu memastikan semua kebutuhan tamunya
terpenuhi, dan berhubung tamunya kali ini adalah Rachel, mungkin ia
terpacu untuk memastikan pondoknya tanpa cela sedikit pun. Rachel
sudah dianggapnya seperti anak sendiri, jadi ia sangat senang Rachel
akan datang. Ardrough House adalah pondok yang nyaman, romantis, dan
sederhana yang terdiri dari dua kamar tidur, satu dapur, satu kamar
mandi, dan ruang santai. Namun pemandangannya sungguh menakjubkan! Salah satu kamarnya menawarkan pemandangan padang
rumput dan perbukitan. Melalui jendela di ruang santai, hutan yang
lebat terlihat bagaikan lukisan Ilahi. Permadani tartan memperindah
bagian depan perapian, dan kursi-kursinya diberi bantalan empuk dan
nyaman. Pondok mungil itu selalu membuat Rachel terpesona. Kecuali
hari ini. "Bolehkah aku berbaring sebentar" Aku lelah sekali."
"Silakan," sahut Jon. "Sepertinya ide yang bagus. Mari kubantu ke
tempat tidur." "Sepertinya aku bisa sendiri."
Rachel berjalan ke kamar tidur, melepas pakaian, dan berbaring di
atas ranjang empat tiang. Jon duduk di sampingnya.
"Kau sudah kembali. Itu yang penting sekarang," katanya.
Kau salah, Jon, karena aku harus menemukannya. Dia belum
mati"pokoknya aku tak percaya dia sudah mati.
Rachel sudah mengatakan itu pada Jon, tapi kekasihnya itu tidak
percaya. Aku akan menemukan dia, aku berjanji.
Tapi tidak hari ini. Ia kehabisan tenaga. Matanya perlahan terpejam.
Didengarnya derit tempat tidur saat Jon beranjak. Lalu semuanya
gelap. *** Gelap, hanya ada kelam, dan napasnya sendiri, satu-satunya yang
didengarnya. Ia tidak sendiri; ada sesuatu yang bersamanya. Ia tidak
bisa melihatnya, karena tersembunyi dalam kegelapan, namun ada
sesuatu, yang sedang mengawasinya. Ia harus pergi, tapi tak bisa, ia
tidak bisa menghindar. Deru napasnya bertambah cepat, gerahamnya
terkatup rapat menghalangi sebuah jeritan. Kemudian didengarnya
semacam suara geraman. Berat dan mengancam. Ia masih tidak bisa
melihat apa pun, namun ketika sesuatu itu kembali, terdengar derik
berdeguk, dekat sekali"
Rachel berteriak dan terduduk seketika. Ia bermandikan keringat
dan sejenak ia tidak tahu di mana ia berada. Masih gelap. Lalu ia ingat.
Ardrough House. Jonathan tidur dengan damai di sampingnya. Ia tidak terbangun.
Rachel melihat ke sekeliling ruangan dan matanya tertuju pada jendela
yang menampakkan malam kelam.
Rachel turun dari tempat tidur dan beranjak. Rasa sakit kembali
menghantam kepalanya. Ia kembali terduduk di tepi tempat tidur.
Sambil menekan keningnya, ia berusaha menenangkan diri dari mimpi
buruknya. Ia ingat akan kegelapan yang pekat dan... dan ada sesuatu
bersamaku. Siapa itu" Apa itu" Rachel sama sekali tidak tahu, tapi samar-samar
mendengarnya menggeram. Sungguhan, bukan hanya mimpi.
Semacam binatang. Apa yang terjadi sebelum dirinya sadarkan diri di hutan"
Rachel menghela napas dalam-dalam untuk menenangkan diri.
Kemudian ia beranjak lagi dan berjalan menuju pintu kamar. Ia
terhuyung dan berpegangan pada kursi tepat waktu. Sekali lagi ia
menghela napas dalam-dalam, melawan rasa mual. Ia berhasil sampai
di pintu kamar dan baru akan membukanya saat perasaaan ngeri
menyergapnya. Ia memaksakan diri untuk membuka pintu dan pintu
pun berderit membuka. Ia menatap keluar di lorong. Tidak ada apa-apa.
Rachel melangkah menuju dapur. Ia masuk ke dapur, menyalakan
lampu, dan duduk di meja dapur. Isi kepalanya campur aduk antara
kesedihan, perasaan merana, dan ketakutan.
Ia memandang ke sekeliling. Semua kelihatan normal. Meja. Lemari
makan. Panci dan panggangan. Dan jendela dapur. Ia melihat keluar
jendela. Sekilas ia mengira ada orang atau sesuatu yang tengah balas
menatapnya dan getaran rasa ngeri mengalir dalam dirinya.
Apa yang dialaminya di Bukit Whitemont pastilah mengerikan.
Ia masih belum bisa menyusun teka-teki itu, tapi rasa teror terus saja
bertambah kuat seperti tumor ganas.
Waktu itu ia tidak sendirian.
Ada sesuatu yang menyambarku dari atas, di malam hari.
Rachel memejamkan mata. Dalam benaknya tahu-tahu ia melihat
Jenny Dougal. Temannya itu berada di tempat gelap yang tidak
dikenalanya. Jenny mengulurkan tangan padanya. Ada ketakutan di
matanya, dan mulutnya terbuka.
Selamatkan aku, sepertinya Rachel mendengar sahabatnya berkata
begitu. "Rachel?" Suara Jonathan memecah tidur Rachel dan membangunkannya.
Wanita itu mengangkat kepalanya yang bertumpu pada kedua lengannya, lalu mengerjap-ngerjapkan mata. Awalnya ia tidak tahu mengapa
dirinya sampai bisa tertidur di meja dapur, tapi kemudian ia ingat.
"Jonathan," katanya. Rasa nyeri mendera bahunya saat ia
menegakkan badan. "Kau sedang apa di sini?" tanya Jon.
"Aku terbangun saat tengah malam."
Jon duduk di hadapan Rachel. "Lalu kau kemari dan duduk di sini?"
Cahaya pagi masuk melalui jendela yang menghadap ke timur.
Rachel memandang keluar, tapi tidak ada apa-apa. Mungkin yang
dilihatnya di sana tadi malam hanya ilusi, pikirnya. Tapi mimpi
buruknya jelas bukan ilusi.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Jonathan.
"Sudah lebih baik."
Rachel berdiri, meregangkan tubuh, dan melangkah pelan ke
jendela. Kabut tanah melayang di atas padang rumput. Sejenak ia
memandanginya, lalu berbalik.
"Aku pergi ke suatu tempat," katanya pelan.
Jon mengerutkan dahi. Jari-jari Rachel menyisir rambut panjang hitamnya. "Dan ada lagi
yang kuingat." "Ceritakan padaku."
"Yang kuingat, tempat itu gelap sekali," katanya dengan suara
mengambang. "Aku tidak bisa pergi, dan ada sesuatu yang bersamaku
di sana. Sesuatu yang menggeram, sesuatu yang terdengar seperti..."
Rachel mencari-cari analogi yang tepat, ?" seperti anjing rabies."
Tapi bukan anjing, melainkan"
Sebuah gambaran muncul sekelebat, tapi segera lenyap. Apa pun
itu, ingatan itu menjalarkan rasa ngeri ke seluruh tulang punggungnya.
Jon menaruh tangannya di bahu Rachel.
Apakah itu semacam setan"
Rachel tidak tahu harus berkata apa lagi. Mungkin semua ini gila.
Ingin sekali Rachel memercayainya, tapi mungkin yang gila itulah yang
sebenarnya terjadi. Jon menatapnya bingung, berusaha mencerna semuanya.
"Hanya itu," tukas Rachel. "Hanya itu yang bisa kuingat. Kurasa
itulah yang kualami selama aku menghilang."
Jon memilih kata-katanya dengan hati-hati. "Oke, baiklah," katanya.
"Kau berada dalam gelap. Bagaimana kau bisa kabur dari sana?"
Rachel berpikir sejenak, lalu mengangkat bahu. "Tidak tahu."
Jon memandang padang rumput berkabut di belakang Rachel.
"Jenny..." bisik Rachel tiba-tiba, lebih tampak seperti bicara pada
dirinya sendiri ketimbang pada Jon. "Ya Tuhan, Jenny ada di suatu
tempat di luar sana dan dia masih hidup. Dia membutuhkanku. Aku
harus mencarinya." Jon mendesah. "Rachel, sudah kubilang: dia sudah ditemukan.
Bukan di perbukitan sekitar Whitemont, tempatmu pergi, tapi seratus
lima puluh mil jauhnya dari sana, di Fort William, di pantai barat."
Rachel mengalihkan pandangannya. Pada dasarnya Jon bermaksud
mengatakan bahwa Rachel baru saja mengalami sesuatu yang berat
dan ia perlu menjernihkan pikiran. Namun ada fakta yang selalu ada
bagaimanapun ia berusaha menjernihkan pikirannya, Jenny benarbenar sudah meninggal.
Tidak, dia belum meninggal.
"Jon," kata Rachel, "apa aku sempat menyinggung bahwa Jenny
masih hidup sebelum aku menghilang?"
"Tidak. Kau hanya bilang ada sesuatu yang harus kaukerjakan
dan kaupikirkan. Dan kau tidak akan bisa tenang sebelum kau
menyelesaikannya. Sudah kukatakan ini sebelumnya."
Rachel mengangguk pelan. "Dan kau yakin aku tidak menyebutkan
apa-apa yang lebih spesiik?"
"Kepadaku sih tidak," sahut Jon. "Apa mungkin kau pernah
membicarakannya dengan orang lain?"
"Siapa...?" tanya Rachel, namun ucapannya terhenti ketika ia
teringat sesuatu. "Hanya pada Jenny aku menceritakan segalanya.
Tidak ada rahasia di antara kami."
Jon memijat dahinya dengan jari. "Apa yang kalian bicarakan di
saat-saat terakhir saling menelepon" Maksudku, yang bisa kauingat."
Rachel duduk di langkan jendela. "Aku tidak ingat. Sungguh, aku
tidak ingat." "Ayolah, pasti ada yang bisa kauingat."
Rachel beranjak dan mengusap pipi Jon sekilas. "Dari suaramu
sepertinya tenggorokanmu kering. Mau kubuatkan teh?"
"Tidak usah, duduk saja. Biar aku yang buatkan."
Jon mengisi ketel dan menyalakan kompor. Sementara mereka
menunggu air matang, Rachel berpikir keras. Pasti ia pernah mengatakan sesuatu pada Jenny pada minggu-minggu terakhir hidupnya. Ia
sering meneleponnya. Tapi soal apa" Ia ingat beberapa obrolan ngalor
ngidul di telepon, tapi tidak ada yang serius. Kemudian ia terpikir
sesuatu yang mungkin akan dianggap konyol oleh Jon.
"Boleh kupinjam teleponmu sebentar?"
"Untuk apa?" "Aku ingin mencoba sesuatu."
Jon menyerahkan Blackberry-nya. Nomor yang dihubungi Rachel
adalah nomor telepon yang ia hapal di luar kepala. Aneh sekali ia bisa
ingat beberapa hal yang terjadi berminggu-minggu sebelumnya, namun
tidak ingat sama sekali pada kejadian beberapa hari lalu. Jari-jarinya
bergerak di layar sementara ia menghubungi telepon genggam yang
selalu dibawa Jenny ke mana-mana. Jenny sering bilang ia merasa
seperti telanjang jika tidak membawa telepon genggamnya.
Apa yang dia harapkan" Berharap ada yang menerima teleponnya"
Rasanya begitu wajar, menelepon sahabatnya, menanti suara Jenny.
Suaranya yang lantang, cepat, dan terburu-buru seakan hidupnya
seumpama wahana roller coaster yang menantang"dan memang
demikian. Dan Rachel memang mendengar suara Jenny. Dalam
rekaman pesan suara. "Hai! Kau sudah menghubungi Jenny! Tinggalkan pesan, dan akan
kutelepon kembali!" Rachel tidak meninggalkan pesan. Alih-alih, ia mengembalikan
ponsel kepada Jon. Ia merasa tidak perlu menjelaskan siapa yang baru
saja diteleponnya, dan Jon juga tidak bertanya. Di mata Jon, Rachel
dapat melihat kekecewaan karena Rachel terus-menerus menolak
kenyataan. Atau mungkin Jon marah karena Rachel begitu keras kepala.
Air di ketel sudah mendidih. Jon menuangkannya ke dalam dua
cangkir teh. Sementara Rachel menyesap tehnya, Jon mengulang pertanyaannya
yang terakhir. "Rachel, terakhir kau menelepon Jenny, apa yang kalian
bicarakan?" "Hal-hal biasa," jawab Rachel. "Cowok, fashion, pekerjaan. Obrolan
cewek." Tiba-tiba Rachel teringat sesuatu. "Oh ya. Ia membicarakan
Lester." "Lester Cumming" Kukira mereka sudah putus. Kenapa Jenny
menyinggung-nyinggungnya lagi?"
"Yah, mereka kadang-kadang masih suka mengobrol setelah Jenny
pindah ke apartemen barunya dan Lester tinggal di Glasgow. Mereka
sudah berhenti bertengkar."
Jon berpikir sejenak. "Kudengar dia hadir di pemakaman Jenny."
"Apa?" seru Rachel tak percaya. "Kenapa kau bisa berpikir begitu?"
"Kau sendiri yang bilang Senin malam setelah pemakaman Jenny."
"Aku yang bilang?"
"Ya. Waktu aku meneleponmu di The Old Wheel."
"Oh," sahut Rachel datar. "Lalu apa lagi yang aku katakan soal
Lester?" Jon mengusap hidungnya. "Kau tidak senang bertemu dengannya
lagi. Tapi nada bicaramu biasa saja."
100 "Apa aku bertengkar dengan Lester?"
"Setidaknya tidak di acara pemakaman, itu yang kaubilang padaku."
Rachel mendesah. "Dia mungkin bersikap baik selama pemakaman.
Dan aku cukup mengerti kenapa dia ada di sana. Aku tidak pernah bisa
meyakinkan Jenny betapa gilanya orang itu."
"Apa dia benar-benar gila?"
Nada bicara Jon menarik perhatian Rachel. "Kenapa kau bertanya
begitu?" Rachel penasaran.
"Sepertinya penting," katanya. "Tidak usah tanya kenapa. Perasaanku mengatakan demikian. Yang kutahu hubungannya dengan Jenny
hanya sekadar hubungan seks..."
"Ya, dan cukup ekstrem," kata Rachel, sambil menurunkan pandangannya. "Melibatkan tali tambang, penjepit puting, topeng, kulit,
dan lain-lain. Benda-benda aneh. Jenny menceritakannya padaku,
tapi aku tidak pernah menceritakannya pada siapa pun, bahkan kau
sekalipun." "Terima kasih. Itu bukan urusanku, syukurlah. Tapi kuakui aku
agak kaget mendengarnya. Apa Jenny sungguh... istilahnya... "berjiwa
bebas?"" "Memang," jawab Rachel datar. "Jenny dan aku, kita?"
Jon mengangkat alis, lalu Rachel terdiam.


Dark Memory Karya Jack Lance di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak apa-apa," kata Rachel. "Itu rahasia kami berdua."
Jon sangat ingin tahu apa yang hendak dikatakan Rachel tadi,
namun ia tidak mendesak. "Lester orangnya pemarah," kata Rachel sambil mendesah, "dan dia
suka memukuli Jenny, dan itu tidak ada hubungannya dengan permainan cinta mereka. Lester sudah kelewatan, maka Jenny memutuskan
101 hubungan dengannya Desember lalu. Tapi aku tidak yakin Jenny sudah
meninggalkannya sama sekali. Dia memang mau mendengarkan aku,
tapi jauh di lubuk hatinya dia tidak pernah berhenti mencintai Lester."
"Mencintai Lester" Tidak mungkin. Membutuhkannya untuk seks
yang nakal mungkin saja, semakin nakal semakin asyik. Tapi aku tidak
percaya dia mencintainya." Jonathan menggeleng-geleng. "Wanita
memang membingungkan."
"Itu tandanya kau memang laki-laki," ujar Rachel sambil
menyeringai sekilas. "Kau pasti tidak memahami kami dan tidak akan
pernah. Pokoknya akhirnya dia putus dengan Lester, syukurlah."
"Setelah Jenny meninggalkannya, Lester meneleponmu dan
marah-marah padamu," kata Jon. "Dia menyalahkanmu atas putusnya
hubungan mereka. Kau yang menceritakannya padaku, berbulan-bulan
lalu..." Tiba-tiba Jon terpikir sesuatu. "Kalau dipikir-pikir, mungkinkah
Lester yang berbuat sesuatu padamu di hutan itu?"
Rachel memikirkannya. "Bukan, rasanya bukan dia..."
"Apa tepatnya yang dikatakan Lester padamu, setelah Jenny
memutuskannya?" desak Jon.
"Lupakan saja," kata Rachel sambil memalingkan wajah.
"Mulai lagi," keluh Jon.
Rachel menaruh cangkir tehnya. "Apa maksudmu?"
Jon merentangkan tangannya. "Apa hanya ini yang mau kau ceritakan padaku tentang pertengkaran kalian, sejak kau membujuk Jenny
untuk meninggalkannya" Kenapa?"
"Karena memang tidak penting, itu sebabnya."
102 "Tidak penting" Bagaimana kalau kau biarkan aku saja yang menilai
penting atau tidak" Kau tutup mulut sesuka hatimu."
Rachel melipat tangan di dada. "Apa harus kita bicarakan ini
sekarang?" "Ya, harus," kata Jon dengan penuh perasaan. "Rachel, lihatlah
aku." Rachel menurut. "Aku mencintaimu lebih dari yang kaukira, dan aku tersiksa sekali
kalau kau tidak percaya padaku. Kita mungkin tidak akan ada di sini
kalau saja kau terbuka padaku sejak awal. Kalau saja kau mengizinkan
aku hadir di pemakaman bersamamu"sebagaimana mestinya seorang
kekasih"ini semua mungkin tidak akan terjadi. Kau lupa betapa
khawatirnya aku. Betapa sampai sekarang pun aku masih khawatir!"
"Jon..." suara Rachel terdengar serak.
"Apa lagi yang bisa kuperbuat untuk meyakinkanmu bahwa kau
segalanya bagiku, Rachel" Bahwa aku mencintaimu dan menginginkan
yang terbaik untukmu" Apa" Coba katakan padaku!" Kata-katanya
terucap cepat dan tulus. Rachel mulai terisak dan kemarahan Jon pun mereda.
"Maafkan aku, Jon. Aku tidak pernah bermaksud menyakiti ataupun
mengesampingkanmu." Tiba-tiba Jon tidak tahu harus menatap ke arah mana. "Aku juga
minta maaf. Aku capek."
Rachel mesih tersedu. Baru sekarang ia sadar bagaimana perasaan
Jon selama beberapa hari ini. Ia telah menghilang tanpa jejak dan yang
bisa lelaki itu lakukan hanyalah menunggu dan berdoa. Dan Jon benar
bahwa dirinya telah menjaga jarak dengannya.
103 Jon menginginkan cintanya, bukan hanya tubuhnya. Rachel memahami itu, tapi ia tidak bisa memberikan apa paling diinginkan Jon.
Meskipun ia mau, tetapi tetap tidak bisa. Rachel memang mencintai
Jon, tapi pada saat bersamaan, ia takut menjalani hubungan serius. Jika
ia tinggal bersama Jon, itu artinya ia tidak lagi memiliki ruang pribadi.
Hal ini jugalah yang mengusik hubungannya dengan mantan pacarnya,
Grant Miller"rasa takut untuk menyerahkan dirinya sepenuhnya tanpa
syarat. Rachel belum pernah menjalin hubungan serius, hanya sekadar
kesenangan sesaat. Mungkin hubungan serius tidak cocok untuknya.
Namun ia tahu Jon tidak akan bisa menerima kenyataan ini. Sama saja
berarti hubungan mereka berakhir, dan sejujurnya Rachel tidak ingin
hubungan mereka berakhir. Ia terlalu mencintai Jon.
Rachel menyeka air matanya. "Apa yang akan kita lakukan sekarang?"
Jon merenungkannya. "Pertama-tama, kita berhenti membicarakan
Lester. Itu topik rawan, yang menyiksa kita berdua. Tapi bolehkah aku
menyarankan sesuatu?"
"Silakan." "Apa tidak sebaiknya kau pergi ke dokter" Maksudku, siapa tahu
ada masalah lain, selain hilang ingatan."
"Ada benjolan di kepalaku dan sedikit lecet, hanya itu saja. Tidak
terlalu parah." "Kau bukan dokter."
"Aku baik-baik saja, Jon. Aku hanya terbentur sedikit dan kelelahan."
104 "Kau ini keras kepala sekali," ujar Jon. "Baiklah, aku akan membuat
perjanjian denganmu. Kalau aku merasa perlu, aku akan membawamu
ke dokter. Dan aku tidak mau dengar apa pun alasanmu."
"Oke. Setuju." "Orang bijak mana pun akan istirahat dulu beberapa hari setelah
mengalami kejadian seperti yang kaualami. Tapi kau tidak."
"Memang tidak. Aku tidak seperti orang lain, dan aku mungkin juga
bukan orang bijak." Nada bicara Rachel berubah hangat dan penuh
kasih. "Maafkan aku sudah menjaga jarak darimu, Jon. Dan tidak memperbolehkanmu datang ke pemakaman bersamaku. Aku tidak ingat apa
yang kukatakan sebelum pergi, tapi aku sudah membuat kesalahan
besar. Aku minta maaf. Sungguh."
Setelah diam sejenak, Rachel berkata, dengan nada resmi, "Aku pasti
mengatakan sesuatu pada bibiku, dan ibu Jenny setelah pemakaman.
Kita harus bicara dengan mereka."
"Ya," kata Jon, "Kurasa kau benar. Dan ada hal lain lagi yang harus
kita lakukan." Jon menatap mata Rachel yang kebingungan. "Apa isi
kotak pesanmu?" "Apa?" "Kau kan kehilangan ponselmu," kata Jon, "tapi komputermu pasti
menerima surel, surat-surat, pesan-pesan di Facebook, hal-hal semacam
itu. Bukankah kita bisa menemukan sesuatu yang menarik dari situ"
Hal-hal yang mungkin menghubungkanmu dengan Jenny?"
"Tapi komputerku di Inggris."
"Geoffrey bisa mengecek data-datamu kalau kau izinkan."
"Kebanyakan email pribadiku ada di laptopku, di rumah."
105 "Kunci apartemenmu ada di rumahku, aku bisa meminta tolong
Geoffrey mengambilnya. Dia bisa masuk rumahku karena Sam punya
kuncinya." Samanta"Sam"Bickers adalah tetangga Jon. Ia membersihkan
rumah Jon seminggu sekali."
Rachel mengerutkan bibirnya. Ia tidak suka membayangkan
Geoffrey Combs mengakses data-data pribadinya. Namun ia merasa
tidak punya banyak pilihan.
"Oke, silakan lakukan saja. Kurasa dia tidak akan menemukan apaapa, tapi kita juga tidak akan tahu sebelum kita melakukannya."
"Akan kutelepon Geoffrey sekarang," kata Jon.
*** Jon mengabari Geoffrey. Ia memberitahunya bahwa ia bersama Rachel
dan mereka perlu mengecek email-email atau catatan dari atau tentang
Jenny yang mungkin ada di komputer Rachel. Geoffrey berjanji akan
membantu, tanpa menyinggung bahwa permintaan itu aneh.
Lalu Jon menelepon Bibi Elizabeth. Ia meminta maaf karena
tidak jadi datang sehari sebelumnya. Bibi Elizabeth mengomel karena
sudah menunggu tanpa kejelasan, tapi Jon menenangkannya dengan
mengatakan bahwa mereka akan datang bersama-sama secepat
mungkin. Mereka mandi bersama. Setelah Rachel menghanduki tubuhnya, ia
baru sadar tidak ada pakaian bersih yang bisa dikenakannya, pakaian
dalam untuk ganti pun tidak.
106 "Aku juga tidak punya uang," gerutunya. "Aku merasa seolah harus
bergantung padamu sepenuhnya."
"Aku suka perasaan itu," kata Jon sambil tersenyum. "Kita memang
perlu pergi ke toko karena kita tidak punya makanan di kulkas.
Bagaimana kalau kita makan roti lapis di supermarket di Aboyne
sekalian berbelanja di sana?"
Rachel setuju dan mereka pun pergi. Jon terus mengawasi Rachel
dengan saksama, nyaris bertingkah seperti pengawal pribadi. Ia masih
mengkhawatirkan keadaan isik dan emosi Rachel. Secara isik, Rachel
tampak baik-baik saja. Tapi apakah keadaan mentalnya dalam keadaan
baik" Ia tahu sedikit tentang amnesia dari seorang teman di kemiliteran,
yang merupakan veteran perang Irak. Temannya itu menderita
amnesia parah setelah terluka dalam sebuah serangan dan kemudian
menyaksikan sahabatnya hancur berkeping-keping terkena ranjau
darat. Ia tidak pernah bisa mengingat kejadian traumatis itu secara utuh.
Mereka makan roti lapis dan berbelanja daging, sayuran, telur,
dan roti. Rachel juga memasukkan susu dan soda ke dalam keranjang
belanja mereka. Saat mereka tiba di area pakaian dalam wanita, muka
Rachel tertekuk. "Lihat apa yang terpaksa kukenakan. Jelek-jelek semua! Ini pakaian
dalam yang dulu dipakai nenekku. Apa mereka cuma punya ini?"
Jon menahan diri agar tidak tertawa keras. Ia membayar belanjaan
mereka, kemudian mereka masuk ke mobil. Setelah mereka tiba di
pondokan dan menyimpan barang belanjaan, Jon berkata, "Dengar.
Hari ini kita santai dulu dan besok baru kita lanjutkan urusan ini."
Rachel menggeleng. "Aku tidak bisa hanya duduk-duduk di sini,
Jon. Aku bisa gila."
"Dan kau yakin tidak mau pergi ke dokter, sekadar untuk
memastikan?" 107 "Aku tidak apa-apa," ujar Rachel tegas.
"Yakin kau tidak akan pingsan?"
"Yakin sekali," tegasnya penuh tekad.
"Kalau begitu," kata Jon, "Aku punya usul."
"Aku mendengarkan."
"Ayo kita pergi menemui bibimu dan ibu Jenny sementara kita
menunggu Geoffrey mengecek laptopmu. Tapi sebelumnya, kita perlu
kembali ke hutan." Rachel mengerjap. "Whitemont," ujar Jon. "Kita perlu menemukan titik yang kau
datangi waktu itu. Jika kita bisa menelusuri kembali jejakmu, ke mana
jejak itu akan membawa kita?"
Jon menangkap keraguan di wajah Rachel.
"Apa kau takut?"
"Ya," jawab Rachel.
"Rachel, kita tidak harus melakukannya hari ini. Kau tahu aku lebih
suka menundanya sampai besok, supaya kau bisa cukup beristirahat."
Rachel menggoyangkan telunjuknya ke arah Jon. "Aku harus melakukan ini, Jon. Aku harus mencari tahu apa yang terjadi pada Jenny
dan bagaimana dia bisa terlibat dalam semua ini. Aku tahu dia terlibat,
tapi aku tidak tahu bagaimana. Kita tidak boleh buang-buang waktu."
"Apa sebaiknya kita menelepon Stephen dan memintanya menemani
kita?" tanya Jon. "Dia ingat tempat dia hampir menabrakmu. Kita bisa
mencoba mencari jejak dari sana."
"Kembali ke masa laluku," kata Rachel pelan, lalu dia menutup
benaknya dari kengerian itu.
108 Kepala Serigala Rachel merekam pemandangan yang mereka lewati sepintas lalu. Ia
tengah berpikir bahwa Jon mungkin benar. Seharusnya ia beristirahat
barang sehari dua hari. Tapi ia tidak punya waktu sebanyak itu. Ada
iblis tak dikenal yang mendorongnya untuk terus berjalan.
Jon sudah menelepon Stephen dan bertanya apakah ia bersedia
menemani mereka ke perbukitan Whitemont tempat ia menemukan
Rachel. "Tentu," jawab lelaki tua itu, dan mereka sekarang dalam perjalanan
menjemputnya. Rachel memaksakan diri untuk memikirkan lagi apa saja yang
mungkin dilakukannya sejak hari Senin.
"Pemakaman itu..." katanya di tengah keheningan. "Aku perlu
detailnya. Apa yang kukatakan padamu di telepon malam itu" Tolong
ceritakan serinci mungkin."
Jon menatap tajam ke depan. "Yah, upacara itu diselenggarakan di
Nicholas Kirk, Aberdeen."
"Aberdeen" Bukan di Glenville?"
"Bukan, Aberdeen. Keluarga Jenny kebanyakan tinggal di sana,
kan?" "Ya," jawab Rachel. "Aku tahu itu."
"Dia dimakamkan di pemakaman keluarga bersama almarhum
kakek-nenek dan ayahnya. Kau menyampaikan pidato yang menyentuh
sampai banyak orang menangis, termasuk Elizabeth, tapi kau pasti
sudah tahu itu." "Ibu Jenny, Grace Dougal, pasti syok sekali," ujar Rachel penuh
simpati. "Pertama dia kehilangan suaminya, dan sekarang Jenny. Dia
tidak punya siapa-siapa lagi."
"Wanita malang," komentar Jonathan pelan.
"Bagaimana keadaannya?"
"Kau bilang dia kuat, mengingat keadaannya."
"Apa lagi?" "Kau juga bilang ada banyak orang yang hadir di pemakaman
termasuk semua orang di departemen editorial Journal dan orang-orang
yang sudah lama tidak kau temui."
"Seperti?" 110 "Yah, Kate misalnya."
"Katy Kaki-Panjang?"
"Ya," jawab Jon.
"Masih sinting seperti dulu?"
"Kau tidak menyinggungnya."
Dulu Kate Mitchell terkenal suka bergonta-ganti pacar. Tapi siapa
pun yang ia ajak pulang ke rumahnya, menurut Kate, laki-laki itu
ternyata selalu saja payah, tolol, atau kutu buku. Wanita itu tidak pernah
puas dengan laki-laki dan seks. Ia juga memiliki tubuh yang berisi dan
montok yang membuat laki-laki mengerumuninya bagaikan serangga
memburu cahaya. Namun ia hanya mempertahankan mangsanya selama beberapa minggu sebelum mengincar yang lain. Tidak ada yang
bisa bertahan lama dengan sifat obsesif Kate. Meskipun demikian ia
tetap teman baik Jenny. Dalam hal temperamen yang meledak-ledak"
dulu"mereka lumayan mirip.
"Yah, sepertinya iya. Siapa lagi yang ada di sana?"
Jon menggaruk-garuk kepala. "Yah, Lester, tentunya. Chris. Tony.
Carla. William..." "William siapa?"
"William Newbigging."
"Ah iya. Si pesolek."
Rachel dari dulu tidak suka pada William Newbigging. Laki-laki
paling perasa yang pernah dikenalnya. Ucapan paling sepele saja


Dark Memory Karya Jack Lance di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bisa membuatnya marah. Rachel jarang berdebat, tapi William sering
membuat darahnya mendidih, setiap kali ia merasa "diremehkan" oleh
apa pun yang Rachel katakan atau perbuat.
"Apa aku bicara dengan Will?"
111 Jonathan menjawabnya dengan mengangkat bahu. "Benny juga
hadir..." "Si Gemuk Ben McGregor?"
"Dan Ed Lyons, dari Stronmere Inn. Jen pernah menginap di sana
pada malam sebelum dia mendaki gunung."
"Dia selalu menginap di sana. Ed tidak memungut bayaran darinya.
Mereka teman baik. Dari dulu aku merasa Ed suka pada Jenny."
"Mungkin. Bagaimanapun juga, kemungkinan dialah yang terakhir
bertemu Jenny saat masih hidup."
Rachel mengerutkan kening sambil memikirkan semua kerumitan
itu. "Sejauh yang kau tahu, tidak ada apa-apa yang terjadi selama
upacara pemakaman yang bisa jadi petunjuk atas apa yang kualami
sesudah itu" Apa aku tidak menceritakan kepadamu apa saja yang
kubicarakan dengan orang-orang itu?"
"Tidak." Jonathan tidak mengatakan apa-apa lagi setelah itu, begitu pula
Rachel. *** Setelah mereka tiba di kediaman MacKenzie, Stephen dan Ellen
menghujani Rachel dengan banyak pertanyaan. Rachel bersikap riang
dan mengatakan bahwa keadaannya sudah lebih baik. Ia memang belum bisa mengingat banyak hal, tapi karena itulah ia ada di sana"untuk
menelusuri jejaknya dan berusaha mengembalikan ingatannya.
112 Setelah minum secangkir teh"atas paksaan Ellen"ketiganya masuk ke mobil Passat sewaan Jon. Rachel duduk di belakang sementara
Jon menyetir dan Stephen mengarahkan jalan. Jon mengurangi kecepatan sesuai instruksi Stephen dan mereka pun berhenti di tepi jalan.
Stephen memandang Rachel. "Inilah tempatnya, Rachel. Kau
ingat?" "Sepertinya ya. Dari arah mana aku datang?"
"Sepertinya dari arah Cuthbert," kata Stephen.
"Cuthbert?" "Area perumahan mewah, di sudut sana."
"Tunjukkan padaku."
Stephen menunjuk ke depan. "Majulah ke jalan di sana itu, Jon."
Di sebelah kiri mereka terdapat jalan aspal yang cukup sempit.
Rachel bisa melihat lubang-lubang di permukaannya dan langsung
mengenali jalan itu. Jon membanting setir ke arah jalan itu.
"Ya," ujar Rachel waswas. "Aku ingat pernah berjalan di sini."
Stephen menujuk ke belakang dengan ibu jarinya. "Lalu kau
berhenti di tengah-tengah jalan raya itu."
"Untunglah rem mobilmu berfungsi dengan baik."
Jalan kecil itu berakhir di tepi hutan cemara yang lebat yang
ditingkahi banyak rumah mewah dari kayu dan batu bata. Rachel ingat
pernah melihatnya kemarin.
"Parkirkan mobilnya, Jon," cetus Stephen. "Dari sini kita harus
berjalan kaki." 113 Jon memarkir mobilnya, lalu mereka keluar dari mobil. Rachel
menghirup aroma hutan yang menyengat.
"Sekarang bagaimana, Rachel?" tanya Jon. "Dari mana kau
berjalan?" "Coba kuingat-ingat dulu," katanya.
Rachel mulai berjalan melewati rumah-rumah mewah menuju area
yang didominasi oleh perbukitan hijau yang lebat. Apa yang waktu
itu dilakukannya di sini" Dan apa kaitan antara keberadaannya di sini
dengan Jenny, yang diduga tewas di pantai barat"
"Bantu aku," katanya sambil menoleh pada Stephen. "Aku ingat
betul saat itu mendengar bunyi air mengalir atau semacamnya. Apa kau
tahu ada sungai di sekitar sini?"
"Ya, ada satu yang aku tahu," jawab Stephen. "Malahan ada air
terjun kecilnya. Ikut aku."
Stephen berjalan memimpin dan mulai melangkah menuju padang
rumput di kaki bukit, pohon-pohon dan semak menutupi separuh tubuh
mereka. Di seberang jembatan kayu kecil ada sebuah jalur pendakian.
Rachel tidak ingat pernah melintasi jembatan kemarin.
Hampir sepanjang seperempat mil jalur itu menyempit. Mereka
melewati gemuruh air sungai yang mengalir dari bukit.
Stephen berhenti. "Apa kau mengenal tempat ini?"
Rachel memperhatikan sekelilingnya. Langit tampak jernih dan
cahaya matahari menambah nuansa cantik di atas padang serta hutan
yang hijau. Tidak ada yang bisa meyakinkannya mengenal tempat itu.
"Kita teruskan saja," katanya, dan mereka pun berjalan lagi.
114 Jalur pendakian membawa mereka masuk ke dalam hutan. Tapi
semakin jauh mereka berjalan, Rachel semakin gugup. Saat ia membuka
mata kemarin, suasananya gelap dan ia tidak bisa melihat dengan jelas.
Selama berjalan dengan bingung menuruni hutan saat subuh itu, ia
sedang dalam keadaan tak menentu. Ia sama sekali tidak memperhatikan sekelilingnya hingga ia tiba di depan rumah-rumah mewah dan
jalan besar tempat Stephen nyaris menabraknya.
Rachel teringat kunjungan Jenny yang pertama, bertahun-tahun
lalu, setelah ia pindah dari Aberdeen ke London. Pada suatu malam,
Jenny pergi membeli piza atau hamburger atau semacamnya. Jenny
baru kembali satu jam kemudian. Ternyata ia tersesat; ia tidak bisa
menemukan apartemen Rachel di antara jalanan kota kecil yang tampak
sama semua. Bagi Rachel hutan jauh lebih menantang.
Semakin jauh mereka berjalan, hutan bertambah lebat dan jalan
setapak yang mereka lalui semakin menyempit. Mereka masih
mendengar suara air mengalir di bawah mereka, dari sebuah parit yang
tertutup pohon-pohon kecil, semak perdu, dan tanaman serta belukar
lainnya. Tempat itu memang kelihatan familier, tapi apakah ini jalan setapak
yang ditelusurinya kemarin pagi"
Berpikirlah, Rachel. Berpikirlah keras-keras.
Meskipun Rachel sudah berusaha, ia tetap tidak yakin. Ia berhenti
melangkah, Jon dan Stephen sama-sama menangkap ekspresi ragu di
wajahnya. "Aku bisa jadi pernah lewat sini," katanya sambil berpikir.
"Mungkin di sungai itu." Ia menunjuk sungai yang nyaris tak terlihat
di bawah mereka. 115 "Yang jelas aku ingat sempat memanjat sesuatu sebelum menemukan jalan ke Cuthbert setelah hari sudah terang. Tapi mungkin juga ada
sungai lain di bagian lain hutan ini. Jujur aku tidak tahu."
"Oke," ujar Stephen. "Kita jalan terus saja sebentar lagi."
Mereka berjalan selama lima belas menit hingga tiba di air terjun.
Percikan air berwarna putih melimpah di sisi gunung yang curam.
Rachel yakin ia belum pernah berada di sini. Ia menatap kosong ke arah
buih air yang menjauhi bebatuan berlumut di bawah air terjun.
"Apa ada jalur pendakian lain di sekitar sini?" tanyanya. "Sungai
atau kali lain?" Stephen mengangkat bahu. "Ada, hutan ini luas sekali. Apa ada hal
spesiik yang bisa kau ingat?"
"Pertanyaan bagus," katanya. "Tapi tidak ada."
Kemudian ia teringat akan mimpi buruknya, suara-suara geraman
di dalam gelap, lalu ia bertanya, "Stephen, apa ada anjing liar di sini?"
Stephen mengerutkan kening. "Anjing liar?"
"Atau yang lainnya... binatang" Predator?"
"Kurasa kau bertemu anjing tak bertuan yang berkeliaran di sekitar
sini. Mengapa kau tanyakan itu?"
Rachel berpikir keras. Saat itu ia berada di tempat gelap, mungkin
sebuah bangunan, atau ruang bawah tanah. Di mana ada ruang bawah
tanah di hutan ini" Ia menanyakan hal itu pada Stephen, yang kemudian menggaruk
tengkuknya sambil mencari jawaban. "Mungkin reruntuhan bangunan
tua," tambah Rachel. "Atau semacam ruang bawah tanah. Apa ada
semacam itu di sekitar sini?"
116 Stephen menatap kosong padanya, kemudian menggeleng. "Maaf,
Rachel, aku tidak tahu ada yang seperti itu di sini."
"Sayang sekali," kata Rachel.
*** Mereka terus menjelajahi hutan selama sembilan belas menit kemudian.
Lama-lama pandangan Rachel mengabur. Akhirnya ia menyerah.
"Kau sama sekali tidak tahu di mana kau berada waktu itu, ya?"
tanya Jon. "Tidak," jawabnya kecewa. "Aku ada di sana, tapi pokoknya aku
tidak tahu itu di mana. Jangan lupa aku juga semalaman berjalan tanpa
arah di dalam hutan. Seperti mencari jarum di tumpukan jerami."
Jon dan Stephen berdiri sambil terdiam.
"Aku juga tidak tahu di mana aku sebelum di sini.?" Rachel
mengangkat bahu. "Kalau begitu," kata Jon, "Ayo, kita kembali. Setidaknya kita sudah
mencoba." Dalam perjalanan kembali ke mobil, tiba-tiba Rachel merasa
dirinya sedang diawasi dari balik dedaunan. Sepasang mata yang keji,
bersembunyi di balik tanaman, menatap tajam ke arahnya. Rachel
menoleh, tapi ia tidak melihat apa-apa. Ia terus melangkah.
"Kalian berdua mau makan siang sebentar?" tawar Stephen saat
mereka dalam perjalanan ke rumahnya.
117 Jon menoleh pada Rachel yang berkata, "Terima kasih, Stephen,
tapi nanti saja. Aku perlu menemui beberapa orang lagi yang aku yakin
bisa membantuku memecahkan teka-teki ini."
"Aku paham," kata Stephen. "Hati-hati saja, berjanjilah padaku."
"Aku sudah besar, Stephen. Aku pasti baik-baik saja."
"Apalagi ada Jonathan."
"Ya, apalagi ada Jonathan. Dia akan memastikan aku ancang-ancang
dulu sebelum melompat."
Di dalam mobil, dalam perjalanan dari Whitemont ke Glenville
setelah mengantar Stephen pulang, Jon menelepon Elizabeth. Ia
menanyakan apakah tidak apa-apa kalau mereka datang sekarang.
"Oke," Rachel mendengar Jon berkata. "Kami sudah di jalan... Ya,
kami di mobil sekarang. Tentu saja kami mau makan siang di sana.
Terima kasih, Elizabeth."
Jon baru saja hendak menutup teleponnya ketika ternyata Elizabeth
mengatakan sesuatu lagi padanya. "Kemarin memang aku juga berkata
begitu, tapi kali ini aku berjanji kami sudah dalam perjalanan ke sana.
Sampai ketemu sebentar lagi."
Jon memasukkan ponselnya ke dalam saku. "Apa yang akan kita
ceritakan kepadanya tentangmu?"
"Tentang aku?" "Aku belum memberitahunya bahwa kau menghilang selama dua
hari." Rachel tersenyum lelah. "Bibiku wanita yang lembut, tapi kalau dia
tahu ada apa-apa denganku, dia akan menggila."
118 "Tapi kau ingin mencari informasi darinya. Itu artinya kita harus
membuatnya percaya pada kita."
"Mungkin," desah Rachel. "Kita lihat saja bagaimana nanti."
Dalam perjalanan ke rumah bibinya, Rachel tidak bisa membebaskan diri dari perasaan aneh bahwa meskipun mereka telah meninggalkan perbukitan Whitemont, sepasang mata yang dibayangkannya ada di
balik dedaunan tadi masih menatapnya tajam.
119 Ketika Jon mengendarai mobil ke Glenville, Rachel menangkap
pemandangan rumah-rumah granit abu-abu yang akrab di matanya
dan teringat akan masa lalunya. Dulu yang tinggal di sana lebih sedikit
sedangkan sekarang jalanan lebih ramai. Glenville adalah tempat masa
kecilnya, kebalikan dari Paris tempat ibunya dilahirkan dan dibesarkan serta tempat Rachel dan orangtuanya mengunjungi saudara-saudara mereka setahun sekali. Rachel sangat menyukai dan cukup fasih
berbahasa Prancis, tapi sejak dulu ia tidak terlalu suka Paris.
Di Glenville, ia mengenal semua orang. Jenny Dougal berusia
delapan tahun waktu orangtuanya pindah ke Glenville dari Aberdeen.
Rachel setahun lebih muda dari Jenny dan dalam waktu singkat mereka
berteman akrab. Tidak lama setelah itu mereka melakukan segalanya
bersama-sama, meskipun Jenny lah yang selalu menentukan apa yang
akan mereka lakukan. Sewaktu kecil pun Jenny dominan.
Mereka melewati sebuah rumah tak berpenghuni di Jalan Adrossan.
Jendela-jendelanya tertutup dan tanaman liar tumbuh menembus masuk
ke dalamnya di tempat yang dulunya merupakan taman kecil. Selagi
mobil mereka melewatinya, Jon tidak menaruh perhatian, namun
pandangan Rachel terus tertuju pada rumah itu sambil memikirkan
wanita yang dulu tinggal di sana.
Nyonya White memiliki lingkar mata gelap seperti kantong pasir,
ia dan Jenny dulu sering bercanda seperti itu. Rachel sering bertemu
dengan Nyonya White di toko kelontong di sudut jalan Adrossan
tempatnya membeli Johnny Walker Red Label. Sandra Moir, si
pelayan toko, tahu persis minuman apa yang disukai Beverly White
dan senang mengobrol dengannya. Namun Bibi Elizabeth membenci
Beverly. Ia sering menasihati Rachel supaya tidak bicara pada Beverly
ataupun suaminya, Dick, yang menurut Elizabeth lebih parah. Rachel
selalu menuruti bibinya, tapi ketika suatu hari Rachel melihat Beverly
mencabuti rumput liar di tamannya, ia menghampirinya. Beverly
bertanya pada Rachel mengenai keadaannya, dan Beverly tampak
benar-benar khawatir. Setelah itu, tahu-tahu Rachel sudah menceritakan
tentang dirinya pada Beverly secara rutin sambil membantunya
mengurus taman. Ketika suatu hari Nyonya White menawarinya limun, untuk pertama
kalinya Rachel melihat ke dalam rumah yang ditinggali Beverly dan
suaminya. Setelah menyuguhi segelas limun untuk Rachel, terpikir oleh
Nyonya White untuk menuangkan segelas Scotch bagi dirinya sendiri;
namun setelah melihat Rachel, ia mengurungkan niatnya. "Tidak hari
ini sepertinya," katanya, lalu ia minum limun bersama Rachel.
Rachel dan Beverly kemudian berteman dan Rachel tidak pernah
melihat Beverly minum whisky setetes pun. Mungkin Beverly meminumnya saat Rachel tidak di rumahnya, tapi Rachel tidak pernah
melihatnya minum setiap kali berkunjung ke rumahnya, dan itu cukup
sering. Beberapa tahun kemudian, suatu hari Rachel mendapat kabar bahwa
Beverly dirawat di rumah sakit. Rachel menemani Dick menunggui
istrinya sesering mungkin. Beverly sakit parah, ia menderita tumor otak
dan kesehatannya menurun secara drastis. Satu-satunya orang yang
berpikir positif dan mengatakan Beverly akan segera pulang adalah
Beverly sendiri. Sejak itu kesehatannya memburuk dengan cepat sekali. Tapi
hingga mendekati akhir hidupnya, Beverly tetap ceria dan berinteraksi
121 dengan Dick juga Rachel. Baru di saat-saat terakhir hidupnya, suasana
hati Beverly menjadi berubah-ubah, yang merupakan efek alami dari
penyakitnya. Pada suatu pagi yang suram di saat hujan, telepon berdering pagipagi sekali. Dengan suara serak Dick memberi tahu Rachel bahwa
Beverly telah meninggal pada malam hari. "Kau salah satu teman
baiknya dalam hidupnya," ujar Dick sambil menguatkan diri, dan
Rachel pun menangis terisak. Bahkan sampai hari ini, dalam perjalanan
ke rumah bibinya, kenangan akan telepon itu membuatnya menitikkan
air mata. *** Elizabeth Craig masih berambut cokelat kemerahan, masih belum
beruban, tapi kelihatan sekali berat badannya menurun"mungkin,
pikir Rachel"bibinya sedang menjalani diet yang selalu diceritakannya
itu. Ia juga kelihatan sedikit lebih bungkuk dibandingkan terakhir kali


Dark Memory Karya Jack Lance di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rachel bertemu dengannya di bulan Maret. Tentu saja kemungkinan ia
sudah menyadari perubahan itu beberapa hari lalu, tapi sudah di luar
ingatannya saat ini. Bibi Elizabeth menyapa Rachel dan Jonathan dengan hangat, lalu
mengajak mereka ke dalam. Hal pertama yang ingin diketahuinya
adalah mengapa Rachel baru sekarang mengunjunginya. Rachel
menjawab dengan ragu, bahwa ia ada urusan mendadak.
Elizabeth mengamatinya. "Kau kelihatannya kurang sehat," katanya. "Ada luka-luka gores di wajah dan tanganmu, dan matamu merah
sekali. Dan ada memar di kepala bagian belakangmu. Bagaimana bisa
begitu?" 122 "Kecelakaan konyol," kata Rachel kepadanya. "Aku jatuh dari
tangga." Ia nyaris mengatakan kecelakaan itu terjadi di rumahnya di Inggris.
Tapi kemudian ia ingat bahwa dirinya belum kelihatan terluka pada hari
Senin lalu saat pemakaman.
"Kejadiannya kemarin dulu."
Bibinya menatap curiga, tapi tidak berkomentar apa-apa. Ia malah
mulai membahas soal Jenny. Dan tentang Grace, ibu Jenny. Dan
betapa buruk sekali semua itu, bahwa semua penduduk desa berduka.
Grace yang malang, sungguh malang. Tidak ada yang layak mendapat
musibah seperti itu. Terutama Grace. Terutama Jenny. Sungguh sebuah
tragedi yang teramat buruk.
"Untungnya," Elizabeth menyimpulkan, "ada Betty yang menjaganya."
"Betty Muir?" tanya Rachel. Wanita itu adalah tetangga Grace.
"Ya, dia sangat mengkhawatirkan Grace. Kapan rencananya kalian
akan menengoknya?" Ah, pikir Rachel. Jadi aku belum menemuinya.
Elizabeth menata piring-piring dan peralatan makan di meja,
disajikannya roti dan irisan daging. Ia pergi ke dapur untuk meneruskan
memasak sup sayur, dan Rachel menemaninya.
"Aneh, bukan?" tanyanya dengan santai, "kejadian Jenny terjatuh
itu" Bagaimana itu bisa terjadi?"
"Buruk sekali kejadiannya," sahut bibinya sambil menggelenggeleng. "Tragis sekali."
Rachel menyimpulkan bahwa bibinya, seperti juga orang lain, tidak
melihat alasan untuk meragukan kematian Jenny.
123 "Aku merasa seluruh hidupku berakhir saat mendengar kabar itu,"
kata Rachel, meskipun ia tidak ingat.
"Tapi paling tidak sekarang kau sudah mau bicara," kata bibinya.
"Senin lalu kau hanya sedikit bicara."
Sedikit" Itu tidak banyak membantu.
"Waktu itu kau sedang sedih," lanjut bibinya. "Oh, waktu itu aku
ikut sedih sekali, terutama untukmu, Rachel. Pidatomu di gereja indah
sekali, caramu bercerita tentang Jenny begitu hidup dan betapa dia
sangat berarti bagimu. Membuatku berpikir tentang..."
Elizabeth berhenti bicara, memandang kosong ke arah wortelwortel yang sedang dikupasnya dengan pisau. Keheningan yang
menggelisahkan mendera. Rachel merasakan rasa gugup menusuk di
dalam perutnya sementara ia mengaduk sup dengan sendok kayu.
"Membuatmu berpikir tentang apa, Bibi?"
Elizabeth mengerjap-ngerjapkan mata beberapa kali, seakan
melawan emosi yang berat. Rachel mengusap bahu bibinya.
"Bibi baik-baik saja?"
Bibinya mengusap air mata. "Maaf, Rachel. Aku barusan lepas
kendali. Aku senang sekali bertemu denganmu lagi. Sungguh."
"Aku mengerti, Bi. Tapi tadi Bibi berpikir tentang apa?" desaknya.
Elizabeth menguatkan diri dan melanjutkan ucapannya dengan
suara yang lebih tegar. "Dari dulu aku selalu menyangka kalian lamalama akan menjauh karena kau sudah lama pindah. Tapi jarak dan
waktu ternyata tidak mengubah apa-apa. Kalian berdua masih seperti
saudara kembar." "Terima kasih, Bibi," kata Rachel, sambil menahan rasa yang
menyumbat kerongkongannya. "Yang kaubilang itu benar."
Pendekar Elang Salju 11 Fear Street Rumah Setan 3 The House Of Evil The Third Horror Touche 1

Cari Blog Ini