Ceritasilat Novel Online

Dark Memory 4

Dark Memory Karya Jack Lance Bagian 4


jauh lagi?" "Tiga ratus yard," Stephen memperkirakan. "Paling jauh lima
ratus." "Sudah dekat, sial," Jonathan mengutuk.
"Aku pergi sendiri saja," kata Stephen.
Jon menatapnya laki-laki tua itu sambil melotot. "Jangan. Terlalu
bahaya." "Aku akan hati-hati. Aku hanya akan melihat ke sana lalu kembali
ke sini." "Tidak, jangan. Pikirkan Ellen. Dia juga pasti tidak mau kau ke
sana." Stephen terkekeh keras. "Meskipun aku sangat mencintainya,
kadang aku berbuat sesuka hatiku."
Setelah berkata begitu, ia berbalik dan mulai berjalan menjauhi Jon.
"Tunggu! Stephen, tunggu!"
Tapi laki-laki itu terus berjalan sampai teriakan Jon menghilang di
tengah angin dan hujan. 273 Jon melepaskan pergelangan kakinya dan duduk di lumpur, terus
memandang Stephen. Ia berusaha berdiri dengan susah payah, tapi sakit
yang dirasakannya tak terkira. Sambil berteriak putus asa ia kembali
jatuh ke tanah. Ia memutuskan untuk duduk, memberi waktu pada
pergelangan kakinya untuk pulih. Memangnya ada pilihan apa lagi"
Ia memandang arah terakhir kali dilihatnya Stephen di hutan,
keningnya berkerut khawatir. Apa ia akan baik-baik saja" Apa sudah
terlambat untuk Rachel" Ia menolak untuk memercayainya.
Pikirannya kembali pada percakapannya dengan Pukas dua jam
lalu. Pukas sempat berbicara pada Rachel saat pemakaman Jenny,
kebanyakan soal Paula Deckers.
Awalnya, polisi humas itu menyimpulkan, tidak ada yang istimewa
dari kasus itu untuk Jenny. Hanya kasus lain yang belum terkuak, sesuatu
yang sudah pernah dikerjakannya. Jenny baru mulai mendalaminya
setelah mengunjungi seseorang bernama Alastair Johnson, seorang
psikiater di Rumah Sakit Jiwa Aberdeen Crown, tempat Paula mengikuti
pelatihan. Jenny ingin berbicara dengan Johnson karena, kata Pukas
pada Jonathan, salah seorang pasiennya dulu pernah menjadi tersangka
dalam kasus hilangnya Paula.
Pasien itu bernama Graeme Horne. Graeme memiliki ketertarikan
obsesif terhadap Paula. Pada satu kesempatan ia pernah mengatakan
bahwa Paula adalah miliknya. Saat gadis itu menghilang tanpa jejak,
ia menjadi subjek interogasi secara intens. Ia tidak punya alibi. Pada
malam Paula menghilang, ia tidak berada di kamarnya di rumah sakit.
Karena itu ia tidak bisa membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah.
Tapi Horne terus saja menyangkal semuanya, dan berhubung tidak ada
bukti kuat yang menentangnya, kesalahannya tidak bisa dibuktikan.
Pada akhirnya, nama Graeme dicabut dari daftar tersangka.
274 Jenny sudah membicarakan mengenai Graeme dengan Alastair
Johnson. Psikiater itu mendeskripsikan laki-laki itu sebagai pesakit
jiwa. Ia bisa bersikap tenang dan terkendali, dan tampak biasa-biasa
saja, jenis orang yang tidak mengundang curiga, meskipun sebenarnya intelegensinya tidak terlalu tinggi. Tapi kadang ia bisa jadi agresif
dan merusak. Pada saat-saat seperti itu ia dirasuki suara-suara di
dalam kepalanya dan melakukan apa yang mereka suruh, mengaku
bahwa suara-suara itu menyiksanya. Salah satu suaranya, rupanya,
bernama Abaddon. Berasal dari Alkitab, nama itu memiliki berbagai
arti: Pangeran dari Neraka, Malaikat yang Jatuh, Malaikat dari Neraka,
Penghancur dan Penguasa di Alam Kematian. Dalam kata lain, Demon
Iblis. Setelah mendengar ini, tiba-tiba Jenny menjadi sangat tertarik. Ia
ingin tahu semuanya tentang Graeme Horne.
Saat itu Dave heran. Tapi Rachel Saunders mengerti, pada hari
pemakaman Jenny. "Maksudmu bagaimana?" tanya Jonathan pada Dave pagi tadi.
Pukas duduk di sofa ruang tengahnya sambil melemparkan
pandangan kosong ke depan. "Aku bisa melihat jelas bahwa Rachel
kaget mendengar nama itu. Aku menanyakannya pada Rachel, tapi
ia tidak mau menjelaskan. Meski begitu, ia memintaku menceritakan
semuanya tentang rencana Jenny berikutnya. Ia ingin tahu semua
detailnya." "Oke, apa yang kau katakan padanya?"
"Setelah mewawancarai Johnson, Jenny menjadi terobsesi pada
kasus Paula Deckers. Ia datang ke kepolisian dan mendesak agar kasus
itu dibuka kembali. Menurutku ia berharap teknik penyelidikan yang
baru bisa melibatkan Graeme Horne sebagai pelakunya."
"Apa kau melakukannya?"
275 "Dengar," kata Dave. "Jenny dan aku sudah berteman baik selama
bertahun-tahun. Ia sering menghubungiku saat ia sedang menyelidiki
sesuatu, dan pertemanan kami lebih dari sekadar hubungan pekerjaan.
Aku selalu berusaha membantunya bila aku bisa. Tapi ini di luar
kemampuanku. Kasus Paula Deckers sudah ditutup, dan atasanatasanku tidak akan mengizinkan aku melakukan penyelidikan baru."
"Tapi tebakanku Jenny tidak menyerah," kata Jonathan.
"Tidak, tentu saja tidak," Dave setuju sambil mendesah. "Agak
lama setelah itu aku tidak mendengar kabar dari Jenny. Saat akhirnya
ia menelepon, ia mengatakan bahwa ia sudah mengunjungi orangtua
Paula dan berbicara pada saksi."
"John Collins," kata Jonathan pelan.
"Itu dia. Dia kembali meminta penyelidikan baru atas Graeme Horne.
Roy dan Frances Deckers memberi tahu Jenny bahwa mereka merasa
Horne bisa dipastikan orang yang sanggup melakukan pembunuhan,
dan aku menghargai sudut pandang itu. Tapi aku bilang pada Jenny bahwa kecurigaan mereka hanya berdasarkan kesedihan dan kebencian, dan
bukan berdasarkan bukti yang bisa digunakan. Yang paling diinginkan
Roy dan Frances adalah supaya akhirnya, setelah bertahun-tahun, kami
melakuan penangkapan, supaya mereka bisa menyudahi tragedi mereka
dan melanjutkan hidup. Satu-satunya orang yang bisa mereka tunjuk
adalah Graeme Horne. Jadi bagi mereka, Horne memang orang yang
membunuh putri mereka. Kemudian Jenny berkata ia akan pergi untuk
mewawancarai Horne sendiri. Aku tidak bisa menentukan apakah ia
hanya menggertak atau sungguh-sungguh. Tapi aku menentangnya
dengan tegas." "Aku juga akan menentangnya," kata Jonathan sepakat, merasa
lumayan marah karena pasangan Deckers tidak menyebut nama
Graeme Horne ketika dirinya dan Rachel mengunjungi mereka.
276 Mungkin mereka tidak menyebutnya karena mereka pikir tidak akan
ada bedanya. Horne tidak bersalah di mata polisi, dan meskipun mereka
bersikeras, tidak akan mengubah apa pun.
Kemudian Jon bertanya, "Kapan tepatnya terakhir kalinya?"
"Senin, 7 Juni," jawab Dave.
Informasi itu mengingatkan Jon akan email yang samar isinya
pada hari Jumat, 11 Juni: Aku akan melakukannya. Aku tidak bisa
melupakannya, aku harus tahu. Aku yakin kau mengerti.
Akhirnya Jon tahu apa yang direncanakan Jenny setelah akhir pekan
di gunung itu. Jenny berencana menemui Graeme Horne.
Tapi apa peran Rachel dalam hal ini"
Rahasianya ada hubungannya dengan Abaddon, nama yang
dikenali keduanya, Rachel dan Jenny. Nama itu, nama demon, adalah
kunci sesungguhnya dari misteri ini.
Tapi Jonathan tidak pernah mendengar Rachel menyebut-nyebut
Abaddon. Iaa tidak bilang apa-apa saat berbicara di telepon Senin
malam setelah pemakaman, beberapa jam sebelum menghilang dan
sebelum kehilangan ingatannya. Bahkan pada saat itu ia pasti merasa
ingin sekali menjauh dari Jon. Tapi Jon memang curiga bahwa Rachel
sudah membulatkan tekad untuk melakukannya. Setelah menggambar
demon itu seperti apa yang ada di benaknya, di tepi brosur turis, ia
sudah memutuskan untuk mencarinya dan mengikuti jejak Jenny. Ia
ingin menyelesaikan pekerjaan sahabatnya. Itulah sebabnya ia menemui
Ed Lyons di hari Selasa. Lalu hari Rabu" Apa pada saat itu ia sudah
menemukan Abaddon" "Apa yang kau lakukan setelah berbicara dengan Jenny di telepon?"
tanya Jon pada Dave Pukas.
277 "Aku jujur saja padamu," kada Pukas. "Aku pergi menemui Horne,
sehari setelah Jenny meninggal. Aku sedih sekali mendengar kabar itu.
Tentu saja aku tahu Horne tidak ada hubungannya dengan kematian
Jenny. Itu kecelakaan, dan terjadi jauh dari tempat tinggal Horne
sekarang. Tapi aku merasa harus melakukannya, meski mungkin hanya
demi ketenanganku saja."
"Kau bicara dengannya?" tanya Jonathan.
"Ya. Graeme dibebaskan dari klinik tahun 1998, empat tahun
setelah Paula Deckers hilang. Psikiaternya berpendapat ia sudah
cukup sembuh dan merasa ia bisa hidup sendiri. Tidak lama setelah
dibebaskan, ia diberi pekerjaan untuk merawat sebuah rumah besar, dan
itu termasuk rumah pondok di hutan tempat ia tinggal. Ia masih menjadi
penjaga rumah itu, masih tinggal di pondok yang sama. Aku ke sana,
kami berbicara sebentar, aku tidak menangkap ada yang mencurigakan
darinya. Tapi tetap saja..."
"Tetap saja apa?" desak Jonathan.
"Aku tidak memercayainya. Mungkin bukan apa-apa, pengalaman
bertahun-tahun mengajariku untuk percaya pada instingku. Dan
pokoknya aku tidak percaya pada laki-laki itu."
Jonathan merenungkannya. "Di sana ada rumah besar" Dan rumah
tempat tinggalnya?" "Dekat Whitemont," kata Dave.
Mulut Jonathan ternganga. Jantungnya berhenti berdegup sesaat
dan ia tidak bisa bernapas selama beberapa saat.
"Di perbukitan, di sekitar sana, maksudmu?"
Dave mengangguk. "Apa kau bilang pada Rachel bahwa dia tinggal di sana?"
278 "Ya tentu saja."
Kemudian Jon menceritakan pada Pukas tentang menghilangnya
Rachel setelah pemakaman Jenny, dan bahwa beberapa hari kemudian
Rachel terbangun di hutan, yang ternyata tak jauh dari rumah Horne.
Sejak itu ia menderita amnesia jangka pendek, tapi ia ingat jelas akan
dua hal. Pertama, bahwa Jenny belum mati, dan yang kedua, bahwa ia
bertemu dengan demon, meski ia tidak mengatakan bahwa namanya
adalah Abaddon. "Dan kemudian ia menghilang lagi, malam ini, setelah Elizabeth
terbunuh," tambahnya.
Dave beranjak seketika. "Oke, aku mengerti. Mungkin ini semua
hanya kebetulan yang buruk sekali, dan mungkin juga bukan. Tapi ada
sesuatu yang harus dilakukan dan harus dilakukan sekarang. Aku akan
melakukan interogasi lebih jauh pada Horne. Akan kukirim satu tim
polisi untuk menjemputnya. Kupastikan itu terlaksana dalam hitungan
jam. Jika ia menyembunyikan sesuatu, mereka akan tahu. Dan jika
mereka tidak menemukan Rachel di rumahnya, mereka akan terus
mencari. Sementara itu kau, Jonathan, jangan lakukan apa-apa. Pasti
sulit bagimu, tapi demi yang terbaik."
Sekitar dua jam kemudian, di bukit berhutan di Whitemont
dengan angin berderu dan hujan membasahinya, Jon menyadari yang
sebenarnya terjadi. Rachel meninggalkan Ed Lyons dan pergi ke Whitemont, ke Graeme
Horne. Dia adalah Abaddon. Dia menemuinya kemudian terjadi
sesuatu. Aku tidak tahu apa, tapi hanya itu penjelasan logis untuk
amnesianya dan keyakinannya bahwa Jenny masih hidup.
Tinggal tiga pertanyaan tersisa: apa yang terjadi di pondok Horne
hari Rabu itu; bagaimana Rachel kemudian bisa berada di tepi sungai
itu; dan mengapa Rachel tidak langsung ke Whitemont setelah
279 meninggalkan The Old Wheel hari Selasa, tapi malahan jauh-jauh pergi
ke Fort William terlebih dahulu.
Tanpa ada tanda-tanda dari Stephen, Jon berusaha bangun.
Pergelangan kakinya masih sakit sekali, tapi dengan susah payah,
sepertinya masih bisa menopang tubuhnya. Ia mengawasi sekeliling dan
melihat ranting tebal yang tergeletak di tanah. Ia berjalan terpincangpincang menghampirinya, memungutnya, dan kemudian berjalan
menyusuri jalur itu, dengan menggunakan kayu tadi sebagai tongkat
berjalan sementara. Pergelangan kakinya terasa jauh lebih baik setelah
berjalan dengan tongkat itu.
Rachel sudah tahu siapa itu Horne sebelum Senin lalu, dan dia tahu
tentang Abaddon. Jenny pasti memberitahunya. Jadi, ini membuktikan
bahwa ia dan Rachel memang membicarakannya pada minggu-minggu
terahir itu. Itu adalah kesimpulan yang logis.
Ya, memang, tapi meski begitu... entah bagaimana tetap belum sempurna. Ada yang salah dengan kesimpulan ini. Sesuatu yang teramat
salah. Jon memutar otak. Jen menjadi tertarik untuk mencari tahu tentang Horne setelah
dia mendengar nama Abaddon dari Dr. Johnson. Itu bukan pertama
kalinya dia mendengar nama itu. Dia mengenalinya, sama seperti
Rachel, itu jelas. Tapi jika dia dan Rachel kemudian membicarakannya,
mengapa Rachel meminta Dave Pukas untuk menceritakannya juga
kepadanya" Bukankah pada saat itu dia sudah tahu, dari Jen, semua
yang diungkapkan Pukas padanya.
Kecuali, tentu saja, Rachel belum tahu.
280 Dengan cara sama seperti Rachel menjauhinya, Jen juga mungkin
tutup mulut terhadap Rachel pada minggu-minggu terakhir hidupnya.
Email yang dikirimnya tengah malam tanggal 11 Juni tidak terlalu
informatif, dan bagaimana jika Jen malah tidak mengatakan lebih dari
yang tertulis di sana"
Itu berarti Rachel dan Jen ternyata saling menyimpan rahasia antara
satu sama lain. Dalam rintik hujan, Jon terpincang-pincang mencari Stephen.
Pikirannya berputar terus.
Meskipun setelah mengungkap bahwa Rachel dan Jen tidak
sepenuhnya jujur terhadap satu sama lain, pengungkapan luar biasa
mengingat kedekatan mereka dalam banyak hal lainnya, masih ada
yang perlu dipertimbangkan.
Karena jika Jen belum pernah memberi tahu Rachel tentang
Abaddon, maka bagaimana ia bisa tahu namanya, yang juga mewakili
salah satu suara di dalam pikiran gila Horne" Dan mengapa ia berpikir
suara itu adalah dari makhluk bersayap berkepala serigala itu"
Jon merasa dirinya hampir menggali lebih jauh kepada kebenaran
yang menakutkan itu, bahwa ia sekarang mulai bisa melihat.
Jen sudah mengenal nama Abaddon, karena dia sudah tahu tentang
itu"dari Rachel! Pemikiran itu itu masuk ke dalam benaknya, dan rasanya benar,
meskipun ia tidak memahaminya.
Ia tidak mengerti mengapa selama penyelidikan setelah pemakaman, Rachel menjadi yakin bahwa kematian Jenny tidak pernah terjadi.
Otak Jon bekerja. Mana yang benar merupakan fakta, dan mana
yang hanya dugaan" 281 Satu hal yang tidak diragukannya, adalah bahwa Horne menculik
Rachel dari Ardrough House tadi malam, dan bahwa hidup Rachel bisa
saja bergantung pada apa yang akan dilakukannya dalam beberapa
menit selanjutnya. Lima ratus yard yang diperkirakan Stephen lebih terasa bagai lima
ribuan, tapi Jon berhasil mencapai tepi tanah lapang di mana ia bisa
melihat Stephen yang sedang membungkuk di balik semak-semak,


Dark Memory Karya Jack Lance di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengawasi bangunan kayu gelap itu. Rumah itu berdiri di tengahtengah tanah lapang. Sekelilingnya ditumbuhi rumput-rumput tinggi,
membentang sekitar lima puluh yard di kedua sisi bangunan. Hutan ini
membentuk lingkaran luas yang mengelilingi bangunan dan rumputrumput itu. Jon hanya melihat satu celah kecil di hutan"di sebelah
kanannya, di mana sepertinya berupa jalan tanah kecil, cukup lebar
untuk dilewati mobil. Jon berjongkok di sebelah Stephen. "Bagaimana?"
Stephen mengangkat bahu. "Menurutku tidak ada orang di rumah."
Jon memandang pondok itu. Di sebelah pintu, ada tabung berkarat.
Rumput liar tubuh di sekelilingnya dan di mana-mana. Jendela-jendela
gelapnya tampak seperti mata.
Jon setuju. Rumah itu kelihatan sunyi.
Ia meninggalkan persembunyian di balik semak dan kemudian
melangkah pelan ke rumah itu, melewati rumput-rumput tinggi. Atap
yang miring di satu sisi, bertopang kayu ek besar, dirangkap dua
sebagai tempat penyimpanan mesin-mesin tua, kardus-kardus, drum oli
berkarat, dan sampah lainnya. Apa yang akan dilakukannya sekarang"
Ia berjalan menuju pintu, membuang tongkatnya. Ia tidak
membutuhkannya lagi. 282 "Jadi ini tempat tinggal orang tua itu mengikutinya, kemudian
disadarinya itu tidak ada gunanya. Rupanya hanya Ellen yang
diturutinya. "Dia bekerja untuk marga McEwan; bangsawan setempat," kata
Stephen pelan. "Salah satu dari beberapa marga yang masih kaya.
Keluarga itu tinggal di Kastel Trian, sepuluh mil dari Whitemont.
Horne merawat rumah ini dan mengatur acara-acara berburu untuk
keluarga McEwans." Jonathan tidak begitu mendengarkannya. Ia mengumpulkan
keberanian dan pelan-pelan mendorong pintu. Pintu itu tidak terkunci
dan berderit saat membuka sedikit, sebelum kemudian tersangkut.
Jon merasa diamati. Sesuatu sedang mengawasinya. Ia mengintip ke
dalam. Tidak dilihatnya sosok demon di lorong itu, tidak ada kelelawar
besar berkepala serigala. Yang dilihatnya hanya kegelapan.
Akan tetapi rumah itu tidak terbengkalai.
Ini lebih dari sekadar perasaan, ini pasti, karena"karena di sinilah
kejadiannya. Ia mendorong pintu dengan bahunya dan pintu itu terbuka lebar.
Pergi dari sini! Suara di dalam dirinya berteriak, tapi Jon tidak bisa
pergi. Ia harus menemukan Rachel. Dan jika Rachel masih hidup, ia ada
di sini, Jon yakin sekali.
Jon memasuki rumah itu. 283 Suatu kebetulan menyelamatkannya.
Pada waktu singkat yang bersamaan, Rachel melesat ke atas papan
kayu berlumut yang tergeletak di sana. Sang raksasa menembak lagi
dari jendela. Serpihan kayu-kayu di mana tadi tubuhnya berada meledak
ke mana-mana. Tapi sekarang adalah kesempatan si raksasa untuk menyelesaikan
pekerjaannya. Tembakan berikutnya tidak mungkin meleset. Rachel
memejamkan matanya kuat-kuat.
Tapi tidak ada apa-apa. Hanya kesunyian. Ia tidak menembak untuk
ketiga kalinya. Apa ia mengira sudah berasil membunuhnya, Rachel bertanyatanya. Tidak, tentu saja tidak, akal sehatnya menegurnya.
Mungkin ia sedang mengisi peluru. Apa pun yang sedang dilakukannya, Rachel harus berusaha melarikan diri. Mungkin ia tidak bisa
pergi jauh-jauh, tapi ia bersikeras untuk memperjuangkan hidupnya.
Apa dia bisa berdiri" Bukankah kakinya patah"
Bangun! Bangun! desak sebuah suara di dalam dirinya.
Ia bangun, bertopang tangan dan lutut, lalu mulai merangkak ke
semak-semak dan berbelok di sudut, keluar dari jangkauan bidikan
senapan, tepat ketika tembakan berikutnya mencipratkan lumpur sekitar tiga kaki darinya. Rachel berdiri dan mulai berlari, melesat dan
berputar seperti orang mabuk.
Rachel menyimpulkan, ia hanya punya satu pilihan sekarang dan
pilihan itu adalah mencoba berlari ke pinggir tanah lapang di belakang
sarang, kemudian masuk ke hutan tempat ia mungkin bisa menemukan
tempat persembunyian. Darah mengucur dari luka di bahunya, tapi
kekhawatiran utamanya sekarang adalah apakah kakinya cukup kuat
untuk terus berlari. Ia menyeret tubuhnya yang berbalut pakaian sobek.
Ia tak bisa melangkah lebih cepat. Sambil mengumpulkan segala
energi yang tersisa di seluruh tubuhnya, ia merangkak ke hutan dan
masih berjuang terus sambil kesulitan bernapas.
Apa jejak tetesan darahnya bisa membuatnya lolos" Mungkin, tapi
ia tahu si raksasa bisa mendengar ranting-ranting dan benda-benda
hutan lainnya berkeresak dan patah terinjak kakinya yang telanjang.
Ia berdiri tak bergerak. Jangan bersuara, jangan bersuara.
Sambil tersengal, ia bersandar pada batang pohon.
Di sini, di antara pepohonan, rasanya hampir sama seperti Kamis
malam itu. Rachel membuka mata, mendengar suara air mengalir,
mendengar ada sesuatu yang turun dari langit gelap. Kali ini ia tahu
pasti siapa demon itu dan di mana demon itu berada. Dan demon itu
akan terus membuntutinya sampai ia mati tergeletak di kakinya.
Demon itu tidak bisa mati. Dia hidup selamanya.
Rachel menoleh ke sarang di belakangnya, tapi deretan pohon
menghalangi pandangannya. Di mana demon itu sekarang" Untuk
bernapas pun ia takut. Bahunya berdenyut dan rasa sakit di kakinya
nyaris tak tertahankan. Yang perlu dilakukan demon itu hanyalah mengikuti jejak tetesan
darahnya. 285 Di depannya, di bawah derasnya hujan, muncul sebuah bayangan.
Rachel hampir gagal menahan teriakannya. Tapi ternyata bayangan itu
segera pergi. Ia berbalik dan menembus lebih jauh lagi ke dalam hutan.
Kakinya mematahkan ranting-ranting pohon lagi, dan ia mengutuki
dirinya sendiri karena membuat begitu banyak suara. Tetes hujan
menusuk matanya. Ia berhenti dan membungkuk di belakang semak. Dengan begini, ia
tidak membuat keributan. Tapi apa itu juga berarti demon itu tidak bisa
menemukannya" Rachel menunggu, napasnya tersekat di kerongkongannya. Setidaknya beberapa menit berlalu, mungkin lebih dari hitungan menit.
Tidak terjadi apa-apa. Sama sekali tidak ada apa-apa. Tapi si raksasa
sudah melihat ke mana dia berlari. Apa yang menghalanginya begitu
lama" Di mana gerangan dia berada"
Semakin lama ia duduk di belakang semak itu, kekhawatirannya
semakin bertambah"dan dirinya semakin yakin bahwa si raksasa
hanya mempermainkannya. Ia pasti ada di dekatnya dan matanya
tertuju padanya; ia hanya memberi kesempatan untuk membiarkannya
merasa aman, yang hanya merupakan ilusi maut.
Akhirnya Rachel berdiri. Ia menyangka si raksasa akan menampakkan diri, sosok manusia besar membawa senapan. Tapi tetap
tidak ada apa-apa. Yang ada hanya angin kencang dan hujan deras.
Seharusnya ia merasa kedinginan sekali, tapi tidak. Ia mati rasa dan
tidak merasakan apa-apa. Rachel berbalik dan mulai berjalan lagi, menjauhi sarang. Dengan
hati-hati ia mengambil selangkah demi selangkah, sedikit merunduk
dan membungkuk, berharap ini bisa membuatnya lari tanpa terlihat. Ia
juga tidak berlari, lebih penting untuk tidak bersuara; sebisa mungkin
tidak bersuara. 286 Ia berjalan di antara pohon-pohon, dan setiap pohon yang dilewati
membawanya lebih jauh dari pondok yang ditinggalkannya. Di sebelah
kirinya, di balik beberapa pohon, ia bisa melihat rerumputan tinggi
yang mengelilingi pondok itu, dan kemudian, lebih jauh lagi, bahkan
rerumputan hijau itu pun tidak ada lagi. Ia sudah sampai di hutan, bagian
utara sisi tanah lapang itu. Kalau terus berjalan sedikit lagi, ia akan
langsung tersesat di hutan dan akan lebih sulit untuk menemukannya.
Paling tidak begitulah doanya.
Selangkah demi selangkah. Sekarang di sekitarnya hanya ada
pohon-pohon. Ia berada di tengah hutan. Semakin lama. Pohon demi
pohon. Dan kemudian"
Rachel tersandung dan tanpa hati-hati ia berteriak. Di terjatuh ke
lubang dangkal atau ceruk, terjerembap di kolam lumpur.
Ia diam tergeletak seperti orang mati dan untuk sejenak, hening.
Tapi tidak lama. Ia mendengar suara ranting-ranting patah. Darahnya membeku. Ia berpaling dan melihat ke langit gelap di atas sana.
Di tepi lubang terlihat siluet. Bayangan itu membidikkan senapan
ke arahnya, sebelah matanya yang berdarah menatapnya.
Jadi lubang ini disiapkan sebagai liang kuburnya. Bukan di ruang
hijau itu, bahkan bukan di sarang itu. Ketika si raksasa menarik
pelatuknya, semua berakhir.
287 Seperti dugaannya, pondok itu tak berpenghuni. Jonathan dan Stephen
berjalan hati-hati di koridor kosong. Jika Graeme Horne ada di rumah,
ia pasti sudah mendengar mereka sekarang, dan sesuatu yang buruk
pasti sudah terjadi. Tapi tidak terjadi apa-apa, maka mereka mulai mengintai ke dalam.
Pondok itu berbau apak dan tidak menarik. Kompor di dapur,
disambung ke tangki gas. Terdapat tempat tidur di kamar seberang
dapur. Lorong itu berakhir di kaki tangga.
Mereka tidak melihat tanda-tanda keberadaan Graeme Horne.
Ataupun Rachel. Di mana kau" Jonathan memeriksa kamar tidur. Dilihatnya sebuah perapian,
lampu parain tua, sebuah lemari, dua buah kursi, dan tempat tidur
dengan selimut di atasnya.
Lalu ia memasuki dapur, tapi selain oven batu dan bak cuci piring,
tidak banyak yang bisa dilihat lagi.
Di atas konter, ada tumpukan piring-piring dan wajan penggorengan, serta kantong sampah penuh sesak yang ditinggalkan di sudut
ruangan. Graeme Horne mungkin sedang tidak ada di sana sekarang, tapi
kelihatannya ada yang tinggal di pondok itu.
Lalu Jon mendengar suara gesekan di belakangnya. Ia membalikkan
tubuh. Angin. Hanya angin. Jantungnya berdentum mendesak rusuknya.
"Rachel!" teriaknya. "Rachel, di mana kau?"
Suaranya menggema di seluruh ruang kosong. Tidak ada jawaban.
Ia bertemu Stephen di lorong ketika Stephen baru keluar dari kamar
tidur. "Ada apa?" "Lihat ke sini."
Jonathan cepat-cepat menghampiri dan melihat apa yang dimaksud
Stephen: lubang kotak yang digali di lantai, antara tempat tidur dan
dinding. Kelihatannya seperti sumur, dengan kedalaman sembilan kaki
dan diameter kurang dari tiga kaki.
"Aku pernah melihat yang seperti ini di kastel-kastel tua," komentar
Stephen. "Ini ruang bawah tanah. Biasanya dipakai untuk mengurung
tahanan dan membiarkan mereka mati kelaparan dan kehausan."
Jonathan berpikir cepat. Ia mengawasi sekeliling dengan liar dan
kemudian memutuskan untuk memeriksa ke kamar-kamar atas. Ia naik
dan melihat pintu hijau, membuka sedikit. Ruangan di baliknya, yang
juga bercat hijau, kosong.
Potongan tali tergeletak di atas lantai kayu. Ujung-ujung tali itu
diikatkan pada cincin besi berat yang ditempel ke satu dinding.
"Apa ini?" tanya Stephen, muncul di sampingnya. Ia berjongkok
dan memungut serpihan benda yang kelihatannya seperti potongan
pijau tajam. "Dia tadi ada di sini, Stephen," tegasnya dengan yakin. "Dia di sini,
itu pasti, di mana dia sekarang?"
289 Pandangannya terpaku ke jendela yang terbuka. Hujan menciprat
ke dalam, tertiup angin. Tidak ada orang waras yang akan membiarkan
jendela terbuka dalam cuaca seperti ini, pikir Jonathan"tapi Graeme
Horne bukan orang waras. Ia berjalan menghampiri jendela, melongok keluar, lalu melihat
ke bawah. Dilihatnya papan-papan tua, dan gentong air hujan. Tidak
ada apa-apa lagi, selain lumpur, rumput-rumput tinggi, dan hutan di
kejauhan. Tidak ada Rachel, dan tidak ada Graeme Horne.
"Rachel!" ia berteriak dalam embusan angin.
Suaranya teredam. Stephen berjalan keluar kamar dan menuruni tangga.
Jonathan berdiri di tempatnya beberapa saat kemudian. Setiap serat
tubuhnya mengatakan bahwa Rachel tadi berada di sini. Baru saja, tidak
lama sebelum ia dan Stephen menemukan tempat ini.
Di mana dia sekarang"
Didengarnya teriakan dari lantai bawah.
"Jonathan!" Ia bergegas menuruni tangga.
Stephen berdiri di lorong, menunjuk sesuatu dengan jari gemetar.
"Itu! Lihat!" "Heh" Ada apa?"
"Lihat, itu!" Stephen sedang menunjuk ruang yang rendah, menempel di bawah
tangga. Tempat itu tertutup pintu kecil. Mereka mendegar suara-suara
samar dari dalamnya. 290 Jonathan memandang Stephen tak percaya.
Kemudian ia jatuh berlutut, merangkak ke arah pintu dan menarik
gagang pintunya. Pintu kecil itu terbuka dan bau busuk kotoran manusia
menyengat hidungnya. Di dalam ruangan itu gelap, tapi ia bisa melihat sosok manusia.
Seorang wanita, terbaring ke samping. Ia segera tahu wanita itu
bukan Rachel, karena rambutnya keriting.
Rambut merah, keriting! Apa ia tidak salah lihat"
Jenny" 291 Rachel memandang laras senapan itu. Meskipun bisa sampai sejauh ini
merupakan suatu keajaiban, tampaknya tanpa bisa dihindari sebentar
lagi hidupnya akan berakhir.
Rachel mencari-cari dengan membabi buta ke sekelilingnya dan
matanya tertuju pada sebatang dahan patah yang kira-kira berada tiga
kaki darinya dan tampak kuat. Diraihnya batang pohon itu dengan
kedua tangan, membidiknya ke arah pergelangan tangan si raksasa.
Kayu itu menghantam tulangnya dan laki-laki itu berteriak.
Si raksasa kehilangan keseimbangan. Terguling masuk ke lubang
dan jatuh tertelungkup di samping Rachel. Rachel segera melompatinya
dan mulai mencakar-cakar wajahnya seperti kucing bercakar tajam yang
marah. Jari Rachel tertancap pada sesuatu yang empuk dan lengket,
dan Rachel pun tahu dia telah mencolok matanya yang terluka karena
lemparan batu bata tadi. Raksasa itu mengerang marah dan melepaskan
senapannya. Setelah menyambar senapan itu darinya, Rachel berguling menjauh
dan membidikkan senapan itu ke arahnya.
"Jangan bergerak!" teriaknya serak. "Jangan bergerak, atau kutembak kepalamu!"
Si raksasa menekan satu tangan ke matanya yang terluka dan Rachel
melihat darah mengucur di telapak tangannya. Ia memandang Rachel
dengan penuh kebencian, dan bersusah payah untuk berdiri.
"Aku bilang jangan bergerak!" dan raksasa itu pun menurut.
Rachel menelan ludah. Sekarang ia yang berkuasa, meskipun ia
masih jauh dari aman. Laki-laki itu adalah predator sekaligus pesakit
jiwa. Ia bisa kapan pun menerjang ke arahnya dan merenggut senapan
itu.

Dark Memory Karya Jack Lance di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku harus membunuhnya. Akan tetapi apakah ia tega, dan berani melakukannya" Apa ia
mampu untuk membunuh" Jarinya siap menarik pelatuk, tapi dia tak
bisa melakukannya. "Di mana Jenny?" teriaknya, suaranya serak. "Apa yang kaulakukan
terhadapnya?" Si raksasa tidak berkata apa-apa.
"Katakan, kalau tidak aku akan menembakmu, bajingan!"
Wajahnya tetap datar, tapi mata cokelatnya tetap sekeras baja.
"Apa yang kaulakukan pada Jenny?" teriak Rachel.
Kemudian disadari Rachel mata raksasa itu mengikuti setiap gerak-geriknya. Ia menunggu"menunggu saat yang tepat untuk menyerangnya.
Dan kemudian mulut raksasa itu terbuka.
"Tembak dia," teriak sebuah suara berderik.
Rachel segera mengenali suara dan derik itu dari mimpi-mimpi
buruknya yang mulai dialaminya di Ardrough House bersama Jon.
"Lakukan," perintahnya. "Lakukan! Dia tidak berharga. Aku abadi."
Pikiran Rachel kalut dan yang bisa dilakukannya adalah tetap
membidikkan laras senapan itu ke wajah mengerikan itu. Ia berpikir
raksasa itu memiliki dua wajah. Itu tidak benar. Ia hanya memiliki satu
293 wajah, tapi mata itu bukan matanya. Dan apa pun yang ada di dalamnya
juga memakai suaranya. Kemudian Rachel tahu mata siapa yang dilihatnya dan apa yang
berbicara padanya. "Abaddon..." bisik Rachel.
Raksasa itu membungkuk, seperti kobra yang menggelum sebelum
menyerang. Lalu ia pun menyerang. 294 Ketika Jonathan menghampiri wanita itu sambil merangkak di ruangan
sesak dan beratap rendah, dilihatnya wanita itu bukan Jenny Dougal.
Ia tidak mengenali wajah wanita muda itu. Salah satu pergelangan
tangannya diborgol ke pipa tebal yang menempel di dinding.
Wanita itu tidak merespons saat Jon dengan pelan mengguncang
bahunya. Apa ia sudah mati"
"Halo?" Jon mencoba mengajak bicara. "Kau bisa dengar aku?"
"Tolong... aku," bisiknya serak, nyaris tak terdengar.
Bibirnya kering dan pecah-pecah, dan pergelangan tangannya yang
dibelenggu terluka dan berdarah. Ia pasti telah berusaha membebaskan
dirinya dengan menarik pipa itu dari dinding.
Yang bisa dilakukan Jonathan untuk membebaskannya adalah
menemukan kunci borgol itu. Di mana ia bisa menemukannya"
"Kita harus mengeluarkannya," kata Stephen di belakangnya.
"Sudah pasti kita tidak bisa meninggalkannya di sini."
Rachel dulu, pikir Jonathan. Dia ada di sekitar sini, pasti.
"Siapa namamu?" tanya Jonathan pada wanita muda itu.
Wanita itu berusaha menjawab dengan mulut kering. "Marcy,"
katanya. "Marcy," ulang Jonathan, berusaha tak menghiraukan bau urine dan
kotoran. "Aku akan membawamu keluar dari sini. Kau paham" Aku
akan menolongmu. Tapi sebelumnya aku memerlukan bantuanmu. Di
mana orang yang menyekapmu di sini?"
Kepala wanita itu tetap tergeletak di lantai kayu. Jonathan menunggu jawaban, tapi tidak kunjung datang. Graeme Horne jelas tidak ada di
dalam rumah, tapi di mana dia, dan di mana ia membawa Rachel pergi"
"Apa dia pergi, membawa wanita lainnya?" tanya Jonathan padanya.
Mungkin pertanyaannya percuma saja, karena Marcy tidak mungkin tahu apa yang terjadi di tempat lain di pondok ini, sementara disekap di dalam ruangan serendah ini"
"Rachel..." bisik Marcy kemudian.
Mata Jonathan terbelalak. Ia memegangi bahu Marcy.
"Ya!" serunya bersemangat. "Benar. Rachel! Di mana dia?"
Marcy menelan ludah lagi, dan kemudian terbatuk.
"Dia mati," Jonathan mendengar jawaban Marcy.
Jonathan mematung. Ia menatap wanita itu tak percaya. "Apa?"
"Seperti yang lainnya," kata Marcy serak. "Seperti yang lain. Berikutnya aku."
Jonathan tak sanggup bicara. Ia hanya bisa menatap wanita itu. Rasa
duka dan kemarahan membanjirinya.
"Di mana dia" Apa yang dilakukannya pada Rachel?"
Ia mendengar suaranya sendiri, hampa dan suram.
Marcy tidak menjawab. "Kumohon, aku harus tahu," desaknya.
Marcy tetap diam, dan pikiran Jon kabur.
296 Graeme Horne telah menculik Rachel dari tempat tidurnya di
Ardrough House. Ia membawanya sementara Jonathan tidur. Apa ia
sudah membunuhnya" Apa sekarang ia tengah membuang jasadnya"
Bersama jasad lainnya. Jonathan menoleh ke belakang. "Berikan ruang, Stephen," katanya, dan Stephen mulai merangkak mundur dari tempat sempit itu.
"Tetaplah bersamaku, Marcy", katanya pada wanita itu. "Aku akan
kembali menjemputmu. Kau percaya padaku?" Marcy mengangguk
dan ia mengikuti Stephen keluar.
"Apa yang akan kaulakukan?" tanya Stephen.
"Aku akan mencari Rachel," jawab Jonathan. "Ambilkan air untuk
gadis itu." "Kau tidak boleh keluar sana sendirian," seru Stephen padanya.
"Terlalu berbahaya. Tunggu polisi."
"Ambilkan air untuk gadis malang itu," seru Jon sambil menoleh ke
belakang dan kemudian ia menghilang keluar diguyur hujan.
Ia mulai berlari. Ia tidak tahu ke mana harus berlari, yang ia tahu ia
harus berlari. "Jonathan!" teriak Stephen untuk terakhir kalinya.
Pada momen yang sama mereka mendengar sesuatu yang kedengarannya seperti suara petir memecah di kejauhan.
Namun itu bukan petir. Jon berbalik menghadap Stephen. "Kau dengar itu?"
Wajah tegang Stephen menandakan bahwa ia mendengarnya. "Ada
yang baru saja menembakkan senjata," serunya. "Dari sana, kalau
tidak salah," tambahnya, sambil menunjuk ke sisi kiri hutan yang
mengelilingi pondok. 297 Jonathan mulai berlari lagi, kali ini lebih mempunyai tujuan, ke arah
pohon-pohon. Ia menyibak semak-semak dengan tangannya, setengah
mati berusaha memijak tanah. Ia harus menemukan Rachel, terlambat atau belum. Lalu ia berhenti, telinganya terpasang mencari suara
tembakan lagi. Tapi tidak ada kelanjutan dari suara tembakan pertama
tadi. Stephen menghampirinya.
"Suaranya di dekat sini, bukan?" tanya Jonathan, suaranya
gemetar. "Maksudku; pasti di dekat sini, kalau tidak kita tidak akan
mendengarnya di tengah hujan badai seperti ini.
"Ya, kau benar," Stephen menyetujui.
Mereka berdua memandang hutan yang mengelilingi mereka di
segala sisi. Tapi mereka tidak melihat apa-apa. Jon berjalan menembus
pohon-pohon lebih jauh lagi, sambil menyadari bahwa dirinya bertindak
ceroboh. Jika Horne melihat mereka, Horne akan membunuhnya. Tapi
ia tidak peduli. Pikiran lain menyergapnya kemudian. Stephen juga menempatkan
dirinya dalam bahaya. Dan itu harus dicegah.
"Aku akan ke sana sendirian, Stephen. Kembalilah ke pondok
dan telepon Pukas. Lalu lihat gadis tadi." Saat Stephen terlihat ragu,
Jonathan berseru, "Lakukan saja, sial!"
"Aku tidak punya telepon!" balasnya.
Jon melangkah mundur dan memberikan BlackBerry-nya. "Ini,"
katanya, sebelum kemudian berbalik dan mulai berlari lagi.
Ia berlari seperti orang kesetanan, melintasi pohon-pohon dengan
cepat dan menembus tanaman-tanaman liar. Horne pasti berada di dekat
sini, pikirnya berulang-ulang. Itu pasti. Berapa jauh gema yang bisa
dipancarkan dari sebuah tembakan"
298 Napasnya yang panik memarut kerongkongannya, keringat bercucuran dari semua pori-pori tubuhnya.
Sebentar lagi, ia menduga akan melihat Graeme. Tapi tidak ada apaapa.
Ia memutuskan untuk menoleh ke belakang dan lega ketika ternyata
Stephen sudah berhenti membuntutinya.
Untunglah laki-laki itu kali ini mau menurutinya. Ia berhasil memegang kendali.
Jonathan melanjutkan berlari, lebih dalam ke hutan. Ia terus berlari,
menepis dedaunan dan ranting-ranting. Selain langkah kakinya sendiri,
ia tidak mendengar apa-apa lagi.
Tapi kemudian ada gema tembakan kedua dan ia berhenti seketika,
seolah membeku. Jon mendengarkan sambil melihat ke sekeliling, jantungnya berdentum mendesak kerongkongan. Masih saja ia tidak melihat apa-apa,
selain lebatnya pepohonan.
Ia tahu ada yang salah. 299 Secara releks, Rachel menarik pelatuk. Teriakan histeris meledak dari
kerongkongannya sementara tubuh raksasa itu roboh menimpanya.
Tuhan, tolong aku. Tolong aku!
Berat tubuh raksasa itu meremukkannya. Rachel tidak bisa bergerak.
Apakah tembakannya mengenainya"
Rachel tidak tahu. Detik demi detik berlalu. Ia masih belum
bergerak. Raksasa itu hanya tertelungkup begitu saja di atas tubuhnya,
seperti sepasang kekasih.
Mungkinkah itu artinya ia sudah membunuhnya"
Rasanya mustahil bagi Rachel. Pasti mustahil. Akan tetapi sepertinya memang begitu.
Detik-detik berlalu sementara tetes-tetes hujan membasahinya.
Rachel nyaris tidak bisa bernapas lagi. Ia harus bisa keluar dari bawah
raksasa itu, kalau tidak ia akan kehabisan napas.
Rachel mengambil napas dalam-dalam, lalu menaruh tangannya di
bahu raksasa itu. Dengan tenaga yang tersisa, ia berusaha mendorong
laki-laki itu. Ia tetap tidak bergerak sama sekali.
Usaha berikutnya, Rachel berhasil mengangkat tubuh laki-laki itu
sedikit. Pada saat bersamaan, laki-laki itu dengan sendirinya mengangkat
kepalanya. Matanya terbuka dan ia menarik bibirnya seolah akan
menggigitnya. Rachel bisa bisa melihat, lebih jelas dari sebelumnya,
kebencian dan kemarahan pada sepasang mata yang mengerikan itu,
yang salah satunya terluka parah.
Tangan Rachel masih menggenggam senapan, tapi ia tidak bisa
menemukan pelatuknya. Raksasa itu menghantamkan kepalanya ke
kepala Rachel. Rachel merasa pusing. Tangan-tangan besar si raksasa
mengalungi leher Rachel lagi dan dari tenggorokan raksasa itu muncul
suara derik bergemuruh. Lalu raut wajahnya berubah. Mulutnya memanjang, gigi-giginya
membesar dan bertambah tajam. Bulu-bulu hitam tumbuh dari kulitnya.
Sayap besar muncul di punggungnya.
Di depan mata Rachel, raksasa itu berubah menjadi monster
bersayap dengan kepala serigala. Dan monster itu bertumpu pada lutut
dan berat dari tangannya yang mencekiknya membuat Rachel tak bisa
bernapas. Rachel meraba-raba pelatuk pada laras senapan. Sementara ia mulai
tenggelam dalam jurang hitam yang dalam, ia kembali melihat bentuk
manusia dari monster itu.
Ia masih belum menemukan pelatuknya. Si raksasa menekan
lehernya lebih keras lagi, menjepit batang tenggorokannya, merenggut
nyawanya. Jari-jari Rachel akhirnya menemukan apa yang dicarinya.
Ia menarik pelatuknya. Sementara tembakan menggema, mata si raksasa membulat, dan
darah seperti menciprat ke seluruh tubuhnya.
301 Erangan buas dan marah keluar dari tenggorokannya, dan kemudian
tangannya lumpuh. Segala kekuatan meninggalkannya dan ia roboh, wajahnya
menempel pada wajah Rachel sementara bibir raksasa itu menekan pipi
Rachel. Racher mencoba membebaskan dirinya.
Air mata mengucur di pipi Rachel selagi ia berteriak.
Ia menggerak-gerakkan tubuhnya di bawah monster itu, lalu berbaring di sebelahnya. Ia kehilangan senapan itu yang terkubur di bawah
tubuh si raksasa, tapi ia sudah bebas.
Bebas. Raksasa itu sudah berhenti bergerak.
Rachel memunggunginya, tangan dan kakinya mengais-ngais untuk
memanjat keluar, dan berusaha berlari, menembus hujan deras.
Tapi ia hanya bisa menyeret tubuhnya dari mimpi buruk ini. Ia tidak
melihat ke mana arah yang ditujunya, jauh saja sudah cukup.
Hingga kemudian wajahnya menabrak pohon dan ia pun hilang
kesadaran. *** Rachel mendapati dirinya telentang di lantai hutan, hujan jatuh menetes
di mata dan mulutnya. Apa ia tadi pingsan" Berapa lama"
Ia mencoba bangun, namun terjatuh lagi. Kedua kakinya kehabisan
tenaga dan rasa sakit di bahunya menusuk.
"Aku tidak bisa lagi," bisiknya, suaranya memecah.
302 Bisakah ia berdiri lagi" Ia meragukannya; kekuatanya yang tersisa
sedikit pasti sudah habis terpakai.
Tapi tidak. Ia menemukan sesuatu di dalam dirinya, tidak lebih
dari sepercik kegelisahan, menuntutnya untuk tidak menyerah, belum.
Selama ia bisa terus berjalan, ia harus mencoba.
Ia memaksakan diri untuk bangun dan terus berjuang, ia tidak tahu
ke mana. Tiba-tiba ia mendapati dirinya kembali di lubang yang diperuntukkan menjadi liang kuburnya, tapi sekarang menjadi kuburan raksasa itu.
Raksasa itu tidak terlihat di mana pun. Juga senapannya.
"Tidak!" teriaknya, terperanjat. "Tidak, ini tidak mungkin!"
Ia jatuh berlutut. Di mana dia" Di mana dia"
Rachel masuk ke dalam lubang itu, jantungnya berdebar, dan
meraba-raba lumpur. Semestinya raksasa itu ada di sana. Mati, dari dua
tembakan yang dibidikkan ke arahnya.
"Tidak!" teriaknya. "Kumohon, jangan biarkan ini terjadi!"
Ia terus memukul-mukul lumpur, histeris. Raksasa itu pasti ada di
sini, dia yakin telah membunuhnya
Dia abadi. Dia akan kembali di setiap mimpi buruk. Dia tidak bisa
mati, karena dia adalah Kematian itu sendiri.
Sambil duduk menangis di dalam lubang, Rachel mengangkat
tangannya ke atas, jari-jarinya terlipat membentuk kepalan putus asa.
Jika ia keluar dari lubang, berarti semestinya ia sudah melihat
Rachel sekarang, dan mungkin sedang membidikkan senapannya lagi.
Ia akan menghabisinya, merobeknya berkeping-keping.
303 Rachel tidak tahu ada kekuatan dari mana, tapi entah bagaimana ia
berhasil keluar dari lubang dan mulai merangkak di lantai hutan hingga
akhirnya ia berhasil memaksakan diri untuk berdiri. Sebatang ranting
menggoresnya bagai pisau tumpul. Ia menahan teriakan, tapi kemudian
ia tersandung akar pohon. Ia bangkit kembali dan berjalan lagi.
Sesekali ia berhenti dan memasang telinga. Apa ia bisa mendengar
sesuatu" Apa dia bisa mendengar monster itu"
Di samping menjadi mimpi buruk dalam bentuk labirin, hutan ini
juga membuatnya berhalusinasi. Ia berusaha lagi dan lagi, tanpa tahu ke
mana dia pergi, tapi juga entah bagaimana tanpa merasakan terbangun
sepenuhnya. Itulah yang paling aneh. Rasanya hampir sama seperti
Kamis lalu lagi, seolah sekarang ini adalah waktu itu. Semua yang ada
di sekelilingnya sama. Ia tersandung, mendarat dengan lutut jatuh di sebuah dahan,
ia

Dark Memory Karya Jack Lance di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memungutnya dari tanah. Ia bisa memakainya untuk menopang
tubuhnya, seperti tongkat berjalan.
Lalu ia berjalan lagi, sebisa mungkin tanpa bersuara, mencari jalan
keluar dari labirin ini. Meskipun sepertinya mustahil ia bisa menemukannya.
Ia tidak merasakan rasa sakit lagi, ataupun dingin dan hujan. Ia tidak
merasakan apa pun. Pohon-pohon menghilang.
Hutan itu menghilang. Aneh. Sesaat, ia merasa seakan sedang berada di tepi jurang yang sangat
dalam. Ia menatap kakinya yang tak beralas kaki dan lantai hutan
berubah menjadi rumput-rumput tinggi.
304 Ia berusaha terus berjalan, membungkuk seperti wanita tua dengan
tongkat, dengan pinggiran tajamnya yang menggores telapak tangan
kirinya hinga berdarah. Tiba-tiba sarang itu berada tepat di depannya, lima puluh atau tujuh
puluh yard jauhnya. Ini adalah tempat yang ditinggalkannya, dua kali. Yang pertama
adalah dua belas tahun lalu, yang kedua adalah beberapa menit lalu.
Tapi ia terus kembali ke sini, seolah sarang ini memiliki daya tarik iblis
baginya. Hanya itu rumahnya yang sesungguhnya.
Rachel bergegas menuju bangunan kayu itu, merasa seperti tinggal
dalam mimpi buruk. Ia tidak ingin berada di sini, ia ingin akhirnya
terbangun, ia ingin pondok ini tidak ada atau bisa melupakannya
selamanya. Lalu ia melihat sesuatu. Tongkat itu jatuh dari tangannya ke rumput.
Matanya membelalak. 305 Jonathan mendengar dua tembakan dilepaskan. Tapi yang kedua
terdengar lebih jauh dari yang pertama. Dari tadi ia berlari ke arah yang
salah! Sambil mengutuk, Jon berbalik dan bergegas kembali ke tanah
lapang dan pondok secepat mungkin menembus semak-semak yang
lebat. Pergelangan kakinya mulai terasa sakit lagi, menyebabkan
kecepatannya berkurang drastis.
Akhirnya ia keluar dari hutan. Di kejauhan dilihatnya Stephen
berdiri di halaman pondok Horne.
Laki-laki tua itu berlari ke arahnya. "Ya Tuhan, tembakan itu berasal
dari sana," katanya, kehabisan napas, menunjuk jauh ke depan.
"Aku tahu," kata Jon sambil tersengal. "Aku tahu. Sial. Dari tadi
aku lari ke arah yang salah."
Wajah Stephen kelihatan tidak enak sekali. "Ini salahku."
Jonathan membungkuk, tangannya berada di pahanya. Pergelangan
kakinya yang teluka berdenyut sakit.
"Jangan salahkan dirimu, aku juga salah dengar. Pasti angin kencang
dan hutan ini mengelabui kita."
Ia berdiri tegak. "Oke, aku akan mencarinya ke sana," katanya,
kepalanya mengangguk ke arah barisan pohon yang ditunjuk Stephen.
Ia mulai berlari, pergelangan kakinya tertekuk dan ia terjatuh.
"Sial!" kutuknya. "Sial!"
Stephen berjongkok di sampingnya. "Aku saja."
Jon menggeleng. "Tidak. Kita sudah bicarakan ini. Kau tidak boleh
melakukannya, kau mengerti?"
Bahu Stephen mengendur dan kemudian mengangguk tanda
mengerti. "Sudah terlambat juga," kata Jon dengan suara yang luar biasa
tenang. "Tembakan terakhir berarti dia sudah membunuhnya. Menurutku tidak ada yang bisa kita lakukan lagi. Kita harus menunggu polisi
datang. Kau sudah menelepon Pukas, bukan?"
Stephen mengambil ponselnya dari saku, seakan ia perlu
menunjukkan alat itu pada Jon. Ia memasukkannya kembali.
"Ya. Pukas belum berhasil mengirim tim. Tapi aku sudah bilang
padanya kita menemukan seorang wanita yang disekap di sini, dan
bahwa kita mendengar tembakan. Itu membuatnya panik. Perkiraanku
tim kepolisian akan datang sebentar lagi. Mereka akan menjelajah
hutan dan menemukan Horne... dan Rachel."
"Bagus," kata Jonathan sambil meringis. "Itu bagus."
Ia berusaha berdiri lagi dan berhasil. Tapi ia sulit berjalan dan
terpincang-pincang ke arah pondok.
Ia tidak mendengar ada tembakan lagi. Jon yakin bahwa beberapa
menit selanjutnya akan terasa lama sekali, sama rasanya seperti
menunggu polisi tiba dan mulai menjelajah hutan. Jon dan Stephen
hanya bisa duduk diam sampai mereka menemukan jasad Rachel tanpa
ada tanda-tanda keberadaan Graeme Horne.
Jangan berpikir begitu dulu.
307 Itu bukannya tidak mungkin, tapi ia akan berusaha.
Jonathan memandang ke depan, ke arah gudang yang dibangun
berpunggungan dengan bagian belakang pondok. Pintunya terbuka,
dan di dekat tangki gas dilihatnya sebuah Land Rover cokelat berkarat.
Mobil Graeme" Kalau ya, ia pasti berjalan kaki, dan tidak akan pergi
terlalu jauh. Kalau beruntung ia pasti masih ada di suatu tempat di hutan
ini, dan polisi bisa cepat menangkapnya. Itu tidak akan meringankan
kesedihan Jon jika Rachel memang terbunuh, tapi setidaknya ia bisa
menuntut keadilan. Ia terpincang melewati gudang itu, di sudut, menuju bagian
depan rumah dan pintu yang mereka masuki sebelumnya. Stephen
mengikutinya. Setiap langkah lebih sulit dan menyakitkan. Langkah
berikutnya bisa jadi langkah terakhirnya sebelum ia terpaksa merangkak.
Tiba-tiba Jonathan merasakan sensasi ngeri bahwa ada yang sedang
mengawasinya. Ia hampir mencapai pintu depan, tapi kemudian ia bimbang.
Ia sudah membunuh Rachel lalu kembali ke sini dari hutan. Kita
tidak melihatnya tapi dia melihat kita, dan menunggu untuk membunuh
kita juga. Aneh, betapa ia yakin sekali.
Dia menunggu di samping jasad Marcy. Sekarang dia juga sudah
mati. Jon merasa mual. Itu tidak masuk akal, tapi...
Mungkin saja laki-laki itu menunggu di dalam pondok. Seperti
predator kelaparan yang akan menerkam mangsa yang terluka.
"Kenapa?" bisik Stephen di belakangnya.
308 "Kita berjalan ke arah jebakannya," Jon balas berbisik.
Stephen berdiri kaku. "Apa maksudmu?" tanyanya lirih.
Jon tidak punya waktu untuk menjelaskan. Lagi pula tidak ada cara
untuk menjelaskannya. Apa yang harus dilakukannya" Pilihan pertama adalah menemukan
tempat aman, jauh dari pintu ini, dan menunggu polisi. Pilihan kedua
adalah tetap masuk ke dalam, meskipun Graeme Horne ada di sana.
Jonathan kembali menyadari ia perlu melindungi Stephen. Pria tua
itu dalam bahaya. Ia berbalik. "Pergilah dari sini. Dia mengawasi kita.
Dia ada di dekat sini. Berlarilah ke arah kita berjalan kemari tadi di
balik pepohonan itu dan bersembunyilah."
Stephen terpana. "Kau bagaimana?"
Jon menggeleng. "Aku tidak bisa lari."
Stephen meringis lemas padanya. "Kau meracau, Nak. Aku tidak
akan ke mana-mana." "Lakukan perintahku!" kata Jonathan pelan namun marah.
Kemudian, tanpa berkata apa-apa, Stephen berjalan melewatinya
dan masuk ke pondok. Di belakangnya, Jon memandang terkejut,
mengira akan mendengar tembakan dari jarak yang sangat dekat.
Tidak terjadi apa-apa. Ia mengikuti Stephen ke dalam. Lorong pintu masih sunyi, dan
Marcy masih hidup di ruang sempit di bawah tangga.
Tadinya Jonathan tidak mengira bisa seperti ini, ia pun menghela
napas lega. Stephen menoleh padanya. "Lihat, kan" Tidak ada apa..."
309 Tapi kemudian napasnya tercekat. Matanya melotot. Ia tengah
menatap sesuatu di belakang Jonathan.
Jon menoleh dan melihatnya juga, melalui pintu pondok yang
terbuka. Itu Rachel. Ia keluar dari hutan"dari barisan pohon di kiri tempat Jonathan
mencarinya tadi. Ia berada sekitar lima puluh yard darinya sekarang,
jalannya pincang sekali. Kelihatannya ia tidak bisa menjaga
keseimbangannya. Ia terluka; Jon melihat darah di bajunya yang sobek.
Ia setengah telanjang. Kemudian dengan mengejutkan, disadarinya Rachel tidak sendirian.
Di belakangnya, ada yang mengintainya.
Seorang laki-laki raksasa, bertubuh kekar. Jon juga melihat,
meskipun dari kejauhan, senapan yang ada di tangannya.
Jon berlari cepat keluar. Pergelangan kakinya memprotes dengan
marah, tapi ia dipicu adrenalin dan dorongan yang lebih kuat dari rasa
sakit mana pun. Rachel juga melihatnya. Ia mengangkat
menyapanya"atau memperingatkannya.
tangan, seolah Laki-laki di belakang Rachel, bercucuran darah. Jon ragu Rachel
menyadari keberadaannya. Tapi laki-laki itu melihat mereka.
Si raksasa mengangkat senjata tepat saat Jon berlari pincang melewati Rachel dan menubruk si raksasa, mencengkeram pinggangnya,
dan mendorongnya. Raksasa itu jatuh tertimpa Jonathan.
Jon mencium bau busuk yang asam. Keringat, darah, dan yang
lain lagi. Jon meninju wajah raksasa itu sekali, dua kali, dan berusaha
310 melucuti senapan itu darinya. Tiba-tiba senapan itu terlempar dari
tangan si raksasa, di mana senapan itu jatuh"
Si raksasa mulai membalas pukulannya. Jon menerima dua pukulan
keras dan kemudian tangan-tangan besar laki-laki itu membelit
laringnya. Ia tersedak, berjuang menghirup udara.
Satu kesempatan lagi. Ia berada di atas laki-laki itu, tangannya yang bebas diayunkan, dan
memukulnya keras tepat di bawah dagunya. Si raksasa mengerinyit,
sejenak melepaskan cengkeraman maut di kerongkongan Jonathan.
Sambil menyumpah keras-keras, Jonathan menyingkir darinya.
Senapan itu" Di mana senapan itu"
Kemudian semuanya mulai terjadi seketika.
Jonathan menoleh ke raksasa di belakangnya. Ia memegang
sesuatu"senapan itu! Mata Jon terpaku pada jari laki-laki itu yang
menekuk pada pelatuk senjatanya. Jon menahan napas, tak berdaya.
Tepat pada saat itu, ada kaki tak beralas yang menendang rusuk
raksasa itu, diikuti suara buk dari pukulan ke wajahnya.
"Terimalah ini, bajingan tengik!" teriak Rachel.
Laki-laki itu mengerang dan terjengkang. Saat ia berusaha bangkit,
Rachel menendang selangkangannya keras-keras, membuatnya
terguling dan sekali lagi senapan itu terlepas dari tangannya.
Rachel merebut senapan itu dan membidikkan ujungnya tepat ke
arah wajah laki-laki itu.
"Bergerak sedikit lagi," bentaknya, "kutembak kepalamu!"
Graeme Horne menyeringai. Ia benar-benar menyeringai. Jon
mendengarnya mengeluarkan suara berderik, yang mencapai taraf puncak ketika dalam satu gerakan ia menarik pisau dari sarungnya.
311 Jon bertindak tanpa sempat berpikir. Ia menjegal kaki Rachel dan
Rachel terjatuh terguling menjauhi raksasa itu.
Sesaat yang singkat kemudian, laki-laki bercucuran darah itu
melemparkan pisau yang kemudian menancap pada tulang dada
Jonathan. Lelaki itu jatuh terjengkang dan kedua tangannya memegangi
gagang pisau. Rachel membidikkan senapannya, menekan pelatuknya dan
melepaskan tembakan. Graeme Horne terpental ke belakang. Serpihan tulang dan selaput
otak bercipratan di udara selagi tubuhnya ambruk ke tanah, matanya
kosong dan tak bercahaya.
"Jonathan!" teriak Rachel sambil merangkak ke arahnya. "Oh
Tuhan, Jonathan!" Jon masih terbaring dengan pisau menancap di dada. Ia sulit
membuka mata. "Jonathan!" Rachel menangis, tangannya memegangi Jonathan
dengan lemah tanpa kendali. Ia tidak tahu bagaimana cara
menyelamatkan Jonathan. Dari kejauhan mereka mendengar raungan sirene polisi yang
nyaring. "Jonathan, sayang, bisa dengar aku" Oh Tuhan, kumohon bertahanlah. Bertahanlah!"
Kepala Jon menoleh sedikit ke arah Rechel. "Cinta padamu," bisiknya.
"Aku juga mencintaimu, sepenuh hatiku. Jangan pegi, demi Tuhan,
jangan pergi." 312 Kemudian Jon merasakan sentuhan lembut di bahunya. "Jangan
pergi, Teman," didengarnya suara Stephen. "Bantuan segera datang."
313 Delapan hari kemudian, Rachel duduk di ambang jendela ruang tengah
di Ardrough House. Dagunya bertopang lutut dan kedua tangannya
memeluk kakinya. Ia takut sendirian. Karena setiap malam ia turun dari langit hitam.
Makhluk bersayap berkepala serigala dan mata semerah darah. Burung
dari neraka, memburunya, selamanya. Tidak satu malam pun Rachel
tidur tanpa terbangun sambil berteriak dan bermandi keringat.
Rachel turun dari ambang jendela dan mengambil jaket dan kunci
mobil. Mobilnya segera ditemukan, setelah Marcy Tremain memberitahunya
di mana ia akan menemukannya, di dekat gubuk reyot, tidak jauh dari
jalan tanah yang menghubungkan ke pondok itu. Telepon genggamnya
ditemukan di dalam mobil Toyota-nya. Dari daftar panggilan masuk
dan keluar, diketahui bahwa Jenny meneleponnya tiga kali pada hari
kematiannya, 14 Juni, pukul 7.23, 8.11, dan 9.26 pagi. Itulah telepon
terakhir dari Jenny. Beberapa jam kemudian, Jenny ditemukan tewas.
Apa yang dia bicarakan dengan Jenny hari itu masih menjadi misteri.
Jon meneleponnya tidak kurang dari tiga puluh tujuh kali antara
Selasa setelah dia meninggalkan The Old Wheel dan Kamis, ketika
Stephen Mackenzie membawanya ke rumahnya. Semua panggilan itu
tidak ada yang dijawab. Ia bisa saja menjawabnya, sampai ia memarkir
Toyota-nya di gubuk reyot. Mungkin ia sengaja mematikan telepon
itu hari Selasa. Mengapa ia menutup diri dari Jon juga masih misteri
berhubung ingatan jangka pendeknya belum pulih. Beberapa minggu
dalam hidupnya menghilang. Dan tidak ada email atau sms yang
menjawab pertanyaan itu. Rachel menutup pintu Ardrough House dan masuk ke mobilnya.
Ia menelusuri jalan desa sampai terhubung dengan jalan raya, ia larut
dalam pikirannya. Tidak ada kejadian yang diingatnya sejak kira-kira dua minggu sebelum kematian Jenny"ia akhirnya bisa menerima bahwa sahabatnya
sudah tiada"sampai ia berada di hutan sekitar Whitemont. Seorang
psikiater, Alan Bickering, menyebut kondisinya sebagai amnesia
mundur. Menurutnya, apa yang terjadi padanya sering diderita oleh
orang-orang yang mengalami kecelakaan atau pengalaman traumatis
yang parah. Mereka tidak ingat kecelakaan atau pengalamannya itu
sendiri, dan rentang waktu selama beberapa jam sampai beberapa


Dark Memory Karya Jack Lance di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

minggu. Dalam hitungan menit, Rachel tiba di Rumah Sakit Bradield di
Aberdeen.Ia memarkir mobil, masuk dan langsung berjalan ke ruangan
tempat Jonathan dirawat, memeluk dan menciumnya mesra.
Jon meringis lemah. "Terus begitu," katanya, "nanti akan ada sakit
yang lain." Rachel tersenyum, bukan bercanda. "Kau mengorbankan nyawamu
untukku," bisik Rachel padanya, bukan untuk yang pertama kali.
Jon mengangkat bahu. "Cinta yang hebat butuh pengorbanan
besar," katanya, mengucapkan satu kalimat itu saja sudah membuatnya
kehabisan tenaga. Keadaan Jon lebih buruk dari yang mau diakuinya. Pisau itu
menghancurkan organ-organ vitalnya, dan Jon sudah dioperasi untuk
ketiga kalinya. Para ahli saraf tidak bisa menjamin Jon tidak akan
mengalami kerusakan permanen akibat dari luka tersebut. Rachel
315 khawatir sekali, tapi Jonathan tampak tidak terlalu memikirkannya. Ia
tetap ceria dan usil. "Apa yang kau lakukan hari ini?" tanya Jon.
"Aku tidur." "Itu bagus." "Tidak, tidak bagus. Tempatku di sini, bersamamu."
"Kau menghabiskan dua puluh empat jam sehari di sini, selama
seminggu penuh. Apa aku harus terus mengingatkanmu bahwa bateraimu bisa habis juga dan sangat wajar bila kau butuh tidur?"
Ia benar, Rachel tahu itu. Kelelahan membuatnya sulit mengendalikan emosinya. Ia terus menangis pada saat-saat tertentu. Dan saat
ini hampir terjadi lagi. "Nanti juga aku akan pulih kembali," kata Jonathan. "Oh, ada
perawat yang memberi tahu Dave Pukas nanti akan mampir. Aku tidak
tahu dia mau apa sekarang ini. Banyak yang datang kemari, aku sampai
tidak ingat." Rachel mengangguk. Ia pun melalui hal serupa. Karena itulah
ia mengira Marcy adalah Jenny. Bukan Jenny yang masih hidup,
melainkan Marcy. Apa yang ada di benaknya saat ia menemukan Marcy hari Kamis,
23 Juni, setelah meninggalkan hotel Ed Lyon pagi dini hari itu"
Ia tidak ingat, tapi ia yakin sudah tahu bahwa pondok itu adalah
sarang tempat ia pernah disekap. Dengan mengulang jejak Jenny"
yang dalam penyelidikannya tentang kasus Paula Deckers mengungkap rahasia yang selama dua belas tahun disimpan Rachel"ia tiba-tiba
kembali pada trauma masa lalunya.
316 "Aku mau menengok Marcy sebentar. Nanti aku kembali lagi."
"Salamku untuknya," kata Jon.
Rachel naik tiga lantai dengan lift lalu masuk ke kamar yang dihuni
seorang wanita muda berambut merah keriting. Wanita itu menyapanya
dengan mengangkat tangan.
"Bagaimana keadaanmu?"
Marcy Tremain tersenyum. "Sedikit lebih baik setiap hari."
Rachel duduk di samping tempat tidur. "Kau akan baik-baik saja,
Marcy." Marcy menjadi korban demon dari Whitemont yang terakhir. Ia
bekerja di Royal Mail. Setiap pagi ia mengirim surat di Inverurie, kota
tempat tinggalnya, pekerjaan yang disukainya selama delapan tahun. Ia
sudah berkeluarga dan hidup bahagia bersama kedua putranya, Andy, 3
tahun, dan Patrick, 5. Pada hari Kamis, 17 Juni, saat Rachel Saunders berada di
Chelmsford, berduka atas kematian Jenny Dougal, Marcy menghilang
tanpa jejak. Graeme menculik wanita pekerja pos itu dari sepedanya
pagi-pagi sekali. Ia memukulinya, menendanginya, melecehkannya,
dan mengurungnya. Mimpi buruk Marcy berlangsung selama sebelas
hari yang sadis. Sungguh suatu keajaiban Marcy bisa bertahan begitu
lama. Marcy bercerita pada Rachel, ia mendengar ada orang, bukan Horne,
masuk ke dalam rumah. Itu hari Kamis saat Rachel menemukan sarang
itu. Dari dalam ruang sempit gelap di bawah tangga itu ia menyadari
bahwa orang itu bukan Graeme"langkahnya terlalu ringan.
Dengan sekuat tenaga, Marcy menendang pintu dan berteriak minta
tolong. Rachel membuka pintu dan menemukan Marcy, tapi tidak
317 bisa membuka borgolnya. Ia bermaksud mencari tang, tapi Marcy
memeringatkan bahwa penyekapnya bisa kembali kapan pun, dan
bahwa Rachel harus pergi dan menelepon polisi.
Andai Rachel tidak membuat kesalahan dengan meninggalkan
ponsel di mobil yang diparkirnya di depan gubuk reyot itu, akan berbeda
ceritanya. Jika Rachel langsung menelepon 999, ia bisa menyelamatkan
dirinya dan Marcy dari semua yang terjadi setelah itu. Tapi ia harus
kembali ke mobilnya terlebih dulu.
Rachel menutup pintu ruangan sempit itu dan Marcy yang berada di
dalam gelap lagi, mendengar langkah ringan Rachel menjauh.
Lalu Marcy menunggu, katanya, menunggu Rachel dan polisi.
Ia menunggu polisi datang hingga kehabisan napas, tapi polisi tidak
datang-datang. Hanya Graeme yang datang menemuinya setelah ia
mengetahui ada orang yang datang ke pondok. Setelah itu, Marcy
takut jika Rachel tidak selamat. Graeme pasti menemukannya dan
membunuhnya sebelum ia berhasil menelepon.
Tetapi Rachel tidak mati. Setelah Marcy menyuruhnya pergi,
beberapa jam kemudian Rachel sadarkan diri, di tengah malam gelap,
di dekat tepi sungai. Apa yang terjadi" Anehnya, ia bisa mengingat
beberapa kejadian, meski sisanya kabur.
Rachel mulai berlari, sambil terus melihat ke atas, mencari sosok
monster bersayap berkepala serigala. Lalu ia terpeleset pinggiran
curam, terjungkal, dan kepalanya membentur benda keras. Setelah ia
membuka matanya lagi, hari sudah malam dan tubuhnya lecet-lecet dan
memar-memar. Juga ada benjolan parah di kepalanya.
Di dalam dan di sekitar sarang Graeme Horne, polisi menemukan
sisa-sisa jasad enam wanita lainnya. Empat di antaranya menghilang
dari Aberdeen, satu dari Peterculter, dan satu lagi dari Inverurie,
semuanya hilang setelah 1998, tahun ketika Horne dibebaskan oleh
318 psikiaternya. Ia pasti menyerang secepat kilat dalam kasus-kasus
ini, membuat "mangsa-mangsanya" hilang tanpa jejak, karena polisi
kewalahan menyelidiki setiap kasus kehilangan ini"dan tetap begitu
sampai Horne tewas tertembak di kepalanya. Keenam jasad wanita
itu ditemukan terkubur dalam di bawah tangki gas di luar rumah.
Rachel tahu nama-nama mereka, dan masih tak sanggup memikirkan
penyiksaan yang mereka alami.
Paula Deckers tidak ditemukan. Graeme menculiknya ketika
seharusnya ia masih berada di rumah sakit jiwa. Kalau memang ia
penculiknya. Ia tidak pernah mengaku berbuat apa pun. Juga tidak ada
bukti kuat yang menghubungkannya dengan Paula.
Jika polisi menemukan bukti yang menunjukkan Graeme menculik
dan membunuh Paula"Rachel yakin sekali Graeme-lah pelakunya"
maka jasad Paula bisa ditemukan di suatu tempat selain di pondok itu,
karena pada saat tindak kriminal itu berlangsung Graeme belum tinggal
di pondok itu. Polisi telah membuka kembali kasus itu, dengan harapan
mereka bisa berhasil menemukan jasad Paula suatu saat nanti. Mungkin
tidak akan bisa menghapus kepedihan Roy dan Frances Deckers dengan
mudah, tetapi paling tidak, setelah sekian lama, mereka bisa berkabung
atas kepergian putri mereka secara layak.
Rachel memegang tangan Marcy. Wanita itu, yang mirip sekali
dengan Jenny, sangat berterima kasih padanya. Setelah ia diperbolehkan
pulang dari rumah sakit nanti, Marcy berniat melanjutkan hidupnya,
dan berharap bahwa kecemasan-kecemasannya akan hilang seiring
waktu. Rachel memastikan segala kecemasan itu akan hilang"bagi
mereka berdua. Marcy membuat pernyataan-pernyataan di hadapan polisi yang
membantu Rachel untuk memahami apa yang terjadi. Pertamatama, kematian Bibi Elizabeth. Horne mengetahui ada penyusup di
pondoknya. Marcy tidak memberi tahu apa-apa padanya, tapi ternyata,
319 Rachel meninggalkan jejak. Kemudian, Horne mengatakan pada
Marcy bahwa ia menemukan mobil Toyota putih di ujung jalan di
hutan yang menghubungkan ke pondoknya, di dekat reruntuhan gubuk
petani. Lagi-lagi ia memukuli Marcy supaya memberikan informasi,
tapi Marcy tetap tidak mengatakan apa-apa. Tapi Horne menelusuri
jejak dari plat nomor mobilnya dan mendapati bahwa mobil itu milik
satu-satunya wanita yang lolos dari hasrat kejinya. Ia juga tahu bahwa
Rachel memiliki keluarga di Glenville, seorang bibi; ia bahkan masih
ingat namanya setelah dua belas tahun, meskipun Rachel tidak bisa
mengingat pernah memberitahukan nama bibinya. Maka ia pergi ke
rumah Elizabeth, menyiksanya agar mau memberikan informasi yang
dimintanya, lalu membunuhnya. Begitulah ceritanya ia bisa sampai di
Ardrough House. "Menurutmu Graeme Horne dikuasai sesuatu yang bersifat iblis?"
tanya Rachel. "Marcy mengangguk. "Ya, menurutku begitu. Tidak ada penjelasan
lain." Dan Rachel menyadari bahwa itulah kenyataannya. Makhluk
bersayap berkepala serigala itu tidak nyata, hanya khayalan dari
ingatannya yang kabur karena pengalaman menakutkan ketika
diculik tujuh belas tahun lalu. Ia menceritakan ini di rumah sakit
pada Jonathan dan yang lain, di antaranya psikiter Alan Bickering.
Bickering menyimpulkan, lebih baik dari kesimpulannya sendiri,
apa yang dialaminya. Monster itu adalah gambarannya akan Graeme
Horne. Horne"yang wajahnya tidak pernah dilihatnya sampai ia
membunuhnya"mungkin sempat menyebut nama Abaddon selama
Rachel menjadi tahanannya. Dan pondoknya pun, di dalam benaknya,
menjadi "sarang". Bickering menyatakan itu adalah konsekuensi dari
keinginannya yang besar untuk melupakan semua tentang peristiwa
penculikannya. 320 Rachel tidak ingin mengingat apa yang dilakukan Graeme Horne
terhadapnya. Tapi sebagai gantinya, pikirannya menciptakan gambaran
demon yang tidak ada dan tidak mungkin ada. Ia menekan kenyataan,
tapi sementara itu terciptalah ingatan palsu.
Akan tetapi yang bukan ilusi adalah bahwa Horne dirasuki kekuatan
iblis. "Matanya, begitu dingin dan penuh kebencian," kata Rachel, "Aku
mengira..." Ia bimbang. "Kau mengira itu bukan matanya," kata Marcy.
Rachel hanya memandangnya, terpana. "Ya, benar." Bibir bawahnya
mulai gemetar. "Matanya berbicara padaku," katanya pelan. "Bukan
Horne, tapi monster yang ada di dalam dirinya. Dia berkata bahwa
Graeme tidak lagi bernilai. Dan bahwa dia abadi. Aku bersumpah
bukan Horne yang mengatakannya. Tapi si iblis itu yang mengatakan
itu tentang Horne. Suaranya... bukan suara manusia. Aku tidak tahu
bagaimana lagi cara menjelaskannya, tapi... kau mengerti?"
"Sangat," kata Marcy. "Aku juga mendengar suara itu, kusebut
suara derik." Marcy termangu. "Kadang dia bukan dirinya sendiri," ia mengingat.
"Dia mengalami ledakan-ledakan emosi. Kalau sudah begitu dia seperti
orang gila. Dia menubruki dinding, menendang apa saja, mengataiku
yang buruk-buruk. Dia sering memukuliku. Aku yakin dia akan
membunuhku setiap kali dia memasuki masa-masa itu. Dan dia mungkin
tidak sadar sudah melakukannya, karena dia bukan dirinya sendiri pada
saat-saat itu. Pendapatku" Saat dia memburu dan membunuhi wanitawanita itu, dia adalah Abaddon, bukan Graeme Horne."
321 Marcy terdiam, kemudian: "Ledakan-ledakan emosi ini tidak
pernah berlangsung lama, biasanya hanya sekitar satu jam. Tapi sangat
mengerikan. Di waktu lain, dia menjadi dirinya sendiri, Graeme Horne.
Pernah seharian dia berbicara dan bersikap normal, seolah tidak ada
masalah. Seakan-akan aku ini tamunya." Marcy menggeleng. "Percaya
atau tidak, dia pernah mencoba menenangkanku dengan mengusap air
mata di wajahku." "Pasti pada saat-saat itu Abaddon sedang tidur," kata Rachel.
"Kadang seperti itu. Di waktu lain, Horne sendiri hanya laki-laki
biasa. Aku tahu ini aneh," ia cepat-cepat menambahkan, "tapi pasti
ada alasan mengapa psikiaternya mengizinkannya bebas dari klinik.
Mereka pasti mengira dia bukan ancaman bagi masyarakat. Apa yang
mereka tidak mengerti adalah bahwa sesuatu di dalam dirinya itu
mengendalikannya." "Apa yang terjadi padamu terjadi juga padaku," kata Rachel, "saat
aku berusia tujuh belas tahun."
"Aku mengerti mengapa kau berusaha memendam ingatan-ingatan
itu," kata Marcy. "Dan aku mengerti mengapa kau percaya dia adalah
demon sungguhan, karena ledakan-ledakan emosi itu sulit dilupakan.
Tuhan tahu aku tidak akan pernah melupakannya."
"Ya," kata Rachel. "Tapi tidak semua orang setuju dengan teori
bahwa Horne dirasuki. Bickering tidak percaya, dan dia adalah
psikiater tingkat internasional, paling tidak begitulah katanya. Dia
menyatakan bahwa perilaku agresif memang melekat pada pesakit jiwa
dan pasien itu sering kali tidak ingat hal-hal yang mereka lakukan. Iblis
itu menyuruhku melakukannya sering jadi alasan mereka. Bickering
mengatakan padaku banyak hal tentang apa-apa yang disebut kerasukan
setan ini, katanya dia bisa saja menulis buku tentang itu."
"Pasti jadi bacaan yang menarik," kata Marcy sambil tersenyum.
322 Rachel membalas senyumnya. "Aku sudah membuang-buang
waktumu, Marcy. Kau perlu istirahat. Aku harus kembali ke kamar
Jon." "Aku mengerti. Dia laki-laki yang hebat, Rachel. Kau sangat
beruntung bisa saling memiliki. Terima kasih sudah mampir dan aku
harap kau mampir lagi sebelum aku pulang."
"Pasti," kata Rachel penuh perasan.
*** Rachel meninggalkan kamar Mercy, memutuskan untuk tidak memberitahunya tentang dua pertemuan penting dengan Scott Horne,
saudara laki-laki Graeme, dua hari lalu.
Scott bercerita padanya tentang hal-hal yang tidak bisa Rachel
jelaskan secara rasional. Saat kecil, Graeme terkadang bisa membaca
pikiran orang lain. Dan jika ada yang membicarakannya saat ia tidak
ada, ia sering kali tahu apa yang dibicarakan itu. Kadang-kadang dengan
kata-kata yang sama persis. Graeme juga luar biasa pandai menemukan benda-benda yang hilang. Ia mengatakan bahwa "Abaddon", suara
yang hanya bisa didengarnya, membantunya pada saat-saat seperti itu.
Dan kadang-kadang ia berlaku keji terhadap orang-orang tanpa
alasan yang jelas. Dari penampakan luar secara keseluruhan, ia adalah
anak laki-laki normal, tapi ada waktu-waktu di mana tiba-tiba ia
marah besar. Seperti ada sesuatu atau seseorang di dalam dirinya yang
mengisinya dengan kebencian.
Rachel turun dengan lift dan berjalan kembali ke kamar Jon. Ia
duduk di sampingnya dan tersenyum padanya. Lalu wajahnya berubah
serius. 323 "Apa aku harus takut, Jonathan?"
"Takut pada apa?" tanyanya.
"Pada demon. Aku tahu Graeme Horne sudah mati, tapi iblis di
dalam dirinya belum. Dia abadi. Jadi apa benar sudah selesai?"
Jon mengulurkan tangannya dan mengelus rambut Rachel. "Kau
selalu bicara begitu setiap kali habis menemui Marcy. Kau terusmenerus membicarakan hal yang sama. Baiklah, kali ini aku akan
menurutimu. Mari anggap saja Graeme tidak sakit jiwa, tapi dirasuki
demon seperti yang kau yakini. Kau tahu kan kalau begitu itu terus
berkembang" Paling tidak secara teori?"


Dark Memory Karya Jack Lance di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak, apa?" "Ketakutan." "Ketakutan," ulang Rachel.
"Tentu. Selama kau masih takut, mereka akan terus hidup."
"Dan aku tidak punya kehidupan," katanya. "Aku tidak ingin takut
lagi, Jon. Aku sudah menepis banyak hal dari ingatanku terlalu lama."
"Dan kau membangun dinding yang mengelilingimu."
"Itu juga. Aku ingin berhenti begitu. Aku ingin bebas."
"Kalau begitu bagaimana kalau kita mulai dengan awal yang baru?"
Jon menyarankan. "Mulai hari ini, kau bebas. Ini hari pertamamu tanpa
demon. Demon itu sudah meninggalkan ruangan kecil di kepalamu dan
tidak akan pernah kembali lagi."
"Tidak semudah itu, Jon. Aku tidak bisa lupa lagi. Yang terjadi kali
ini akan terus hidup bersamaku. Terlalu banyak yang terjadi. Aku akan
selalu ketakutan," katanya menolak.
324 Jon mengambil segelas air dari nakas dan menawarkannya pada
Rachel. "Dari yang kulihat," katanya sementara Rachel meminum air,
"ada dua hal yang bisa kaulakukan. Kau bisa kembali bersembunyi,
menutup pintu di dalam pikiranmu itu, dan membuang kuncinya. Tapi
kalau kaulakukan itu, demon itu suatu saat mungkin akan menemukan
kunci itu dan mengunjungimu."
"Apa pilihan lainnya?"
"Kau bisa menikah denganku dan kita bisa hidup bahagia selamanya."
Rachel malah tersenyum. "Aku akan dengan senang hati membahas
topik itu nanti. Sekarang, aku ingin kau bersikap serius."
"Aku tidak pernah seserius ini seumur hidupku," sumpah Jon. "Tapi
kalau menuruti sudut pandangmu, aku tidak yakin ada pilihan lain. Kau
harus mencarinya, tapi aku ingin sekali membantumu menemukannya.
Aku sungguh-sungguh ingin kita melakukannya bersama-sama."
"Sayangnya jalan ke sana masih panjang," keluh Rachel. "Tadinya
mudah, hidup dengan ingatan-ingatan yang terlupakan. Begitulah satusatunya cara untuk bisa menjalani hidupku. Tapi sekarang... semuanya
berubah. Tidak sama lagi. Dan jangan lupa bahwa Bibi Elizabeth dan
Jenny meninggal gara-gara aku. Andai saja waktu itu aku tutup mulut,
mereka masih bersama kita. Bibi masih hidup, dan Jenny tidak pernah
bertemu Horne. Entah bagaimana dia bisa tahu Jenny pergi mendaki
gunung. Dia pasti mengikutinya ke Fort William dan membunuhnya,
melemparnya ke batu-batu supaya terlihat seperti kecelakaan. Dia
memang membunuhnya."
"Kau tidak tahu pasti," cetus Jonathan. "Tidak ada satu bukti pun
yang mengarah ke sana. Mungkin dia malah tidak tahu Jenny. Itu sangat
mungkin hanya kecelakaan tragis semata."
325 Jon berdeham. "Dan soal bibimu, yah... aku tahu ini tidak
menenangkan, tapi ingatlah yang dikatakan Herb, tentang penyakit dan
penderitaannya." Rachel menunduk. Jonathan mengulurkan tangan padanya. "Graeme Horne adalah
seorang pembunuh, tapi dia tidak akan memakan korban lagi. Dan
kau berhasil menyelamatkan salah seorang korbannya dari kematian.
Kau kembali ke masa lalumu dan sekarang semua sudah jelas. Jangan
menyalahkan dirimu. Tidak ada gunanya dan tidak adil."
"Penuturan yang bagus," kata Rachel, sambil menyeka air mata.
"Tapi aku tidak akan bisa melupakan ini dengan cepat."
"Meskipun jalan ke sana masih panjang," kata Jon sambil meremas
tangannya. "Aku mencintaimu, Rachel, dan aku bersedia ikut dalam
perjalanan panjangmu."
326 Matahari mulai terbenam saat Rachel meninggalkan Rumah Sakit
Bradield. Ia menyeberangi lapangan tempat ia memarkir mobilnya dan
duduk di kursi kemudi. Tiba-tiba seseorang membuka pintu sopir.
Yang pertama terlintas di benaknya, itu pasti perampok. Sekilas,
ia melihat kepalan tangan. Memukulnya seperti palu di antara kedua
matanya. Kemudian semua gelap.
Saat ia terbangun, kepalanya serasa mau pecah.
Ia bisa merasakan gerakan dan melihat dirinya ada di dalam mobil
Toyota-nya sendiri, di sebelah laki-laki yang sedang mengemudi.
Laki-laki itu kekar, dan awalnya Rachel tidak mengenalinya. Rasa
sakit kepalanya yang berdenyut membuatnya sulit berpikir jernih.
Pandangannya kabur, dan perlu beberapa saat sampai kemudian terlihat
jelas. Lalu dilihatnya siapa laki-laki itu.
Lester Cumming. Rachel terkesiap. Lester menoleh. "Halo, Rachel," katanya.
Rachel ingin melakukan sesuatu, tapi tidak bisa. Tangannya diikat
ke belakang menggunakan ikatan kabel atau semacamnya. Ia berusaha
membebaskan tangannya. Lester meliriknya dan menggeleng.
Rachel meringis marah. "Apa yang kau lakukan, Lester" Lepaskan
aku sekarang juga! Apa kau sudah gila!"
Ucapannya yang kasar menguras tenaganya. Rachel duduk sambil
tersengal. Ini tidak masuk akal. Tidak masuk akal sama sekali.
"Lester, apa yang kaulakukan?" tanyanya dengan suara lebih tenang.
Lester menatap ke depan dengan tetap berbicara padanya.
"Kita sudah sepakat," katanya. "Kau belum lupa, kan?"
Rachel memandanganya dengan mata kosong. "Sepakat?"
"Ya. Saat pemakaman" Ingat?"
"Apa yang kaubicarakan?" Rachel menyerocos.
Lester mendesah. "Aku sudah mengira kemungkinan akan jadi
seperti ini: masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Kau mengelak terus
di telepon tempo hari. Apa sih yang ingin kaubuktikan" Tidak penting."
Rachel tidak bisa mengingat kesepakatan apa pun. Ia masih tidak
ingat apa pun yang terjadi saat pemakaman.
"Kau mau apa dariku?"
Tapi Lester tidak merespons, seolah kesepakatan yang mereka buat
sudah cukup jelas. Lester terus memandang ke jalan.
Lester tadi memukul sisi wajahnya. Rasanya sakit bukan main. Dan
ia sampai harus mengikatnya. Kenapa" Ia mau membawanya ke mana"
Demi Tuhan, apa tujuannya"
Rachel berusaha mengingat-ingat apa yang mungkin mereka
bicarakan saat pemakaman. Tapi percuma. Tidak ada yang diingatnya
sama sekali. Untuk pertama kalinya Rachel memandang keluar jendela. Mereka
berada di jalan sempit. Di kedua sisi dilihatnya padang rumput yang
328 belum lama ini dilihatnya, dan di ujung jalan dilihatnya barisan bukit
tak berujung. Tidak ada rumah maupun mobil-mobil lain. Sepertinya
hanya ada mereka di dunia yang terasing.
Tapi dilihat dari pemandangan yang melesat, mereka pasti masih
berada di sekitar Grampian. Di depan mereka tampak tepi pegunungan
itu. Apa Lester mau melewati Inverness menuju pantai barat"
"Apa kau mau membawaku ke Glasgow?" tanya Rachel padanya.
Lester melihatnya, alisnya terangkat kaget.
Kalau begitu bukan. Rachel memikirkan apa yang telah dilakukan
Lester setelah ia membuatnya dan Jenny berpisah. Pelan-pelan, seakan
enggan, ingatan-ingatan itu mulai datang kembali. lebih banyak lagi
yang ingin dilupakannya, dan ingatan ini belum pernah diceritakannya
pada siapa pun, bahkan kepada Jon sekalipun.
Satu hari, seminggu sebelum Natal tahun lalu, Lester memencet bel
rumahnya di Chelmsford. Ia jauh-jauh datang mengendarai mobil dari
Glasgow. Itu saja sudah membuatnya psikopat di mata Rachel. Berdiri
di luar apartemennya, Lester meneriakinya. Dan kemudian, saat ia
mengeluarkan pisau dari saku mantelnya, Rachel yakin sekali apa yang
akan dilakukan Lester padanya.
Kalau saja tidak ada pejalan kaki yang lewat pada saat itu, ia tidak
akan hidup sampai hari ini. Ia merasa yakin akan hal itu. Tapi saat
seorang pemuda mendekat, Rachel memanggil-manggilnya, dengan
panik memberikan isyarat. Ketika pemuda itu berlari menghampirinya,
Lester segera pergi. Beberapa minggu setelah insiden itu, Rachel
ketakutan sekali berada di dalam rumahnya sendiri, meskipun ia sudah menambah kunci selot di semua pintu. Tapi Lester tidak pernah
kembali. Jadi sekarang ia mau membawanya ke mana"
329 Tiba-tiba terpikir olehnya. Ia tidak terlalu yakin, tapi entah mengapa
rasanya hanya itu satu-satunya penjelasan.
"Kita akan pergi ke Fort William, ya," katanya, bukan pertanyaan.
Wajah Lester tidak menyangkal.
Jika tebakannya benar, Lester pasti sudah memberitahunya.
Bibirnya yang tetap tertutup rapat menandakan bahwa dia mungkin
memang benar. "Kenapa kita mau ke Fort William, Lester?"
Kemudian terlintas di benaknya.
"Kita akan menemui Jenny," kata Rachel, melonjak spontan.
Lagi-lagi Lester seperti tidak mendengarnya. Ia menatap kosong ke
depan dan hampir seolah sudah lupa bahwa Rachel ada di dalam mobil
bersamanya. Yang berikutnya terpikir oleh Rachel adalah kelanjutan logis dari
pikiran sebelumnya, meskipun bagi Rachel terkesan gila.
"Kau mau membawaku padanya."
Lester menoleh sekilas. "Benar sekali."
Rachel merasa pusing. Rupanya dia masih hidup. Aku tidak ingat pemakamannya
karena memang tidak pernah berlangsung. Semua orang ingin aku
memercayainya, tapi mereka semua bohong.
Rachel sudah lama tahu tentang ini. Di dalam benaknya, ia telah
melihat deretan wajah dan nama, dan mereka semua menyatakan yang
sebaliknya. 330 Jenny mengalami kecelakaan. Ia dimakamkan. Kau hadir di
pemakaman dan membacakan pidato. Kau berdiri di samping
makamnya. Apa itu semua bohong"
"Apa maksudmu?" tanya Rachel, semata-mata untuk membuat
Lester bicara. "Dia sudah meninggal, kan?"
"Tidak," Lester menyangkal. "Dia belum mati."
"Apa maksudmu, Lester?" lanjut Rachel, sambil menatapnya tajam,
memperhatikan tubuh kekarnya untuk mencari celah.
"Dia harus berhenti menggangguku," jawabnya. "Hanya kau yang
didengarnya. Kalau kau yang menyuruhnya, dia mungkin mau pergi."
Lester berbelok ke kanan di pertigaan jalan dan jalan sempit itu
mulai menanjak. Ia terus menaiki bukit yang tadi dilihat Rachel dari
seberang. Ia melihat mobil lain mendekat. Lester menyingkir ke kiri
untuk membiarkannya lewat.
"Kita akan menemuinya, dan kemudian kau akan memastikan dia
pergi. Itu kesepakatan kita," kata Lester. "Dan kau harus bisa melakukan
bagianmu." Sejak Rachel membuka mata di hutan, ia bersikeras mengatakan
bahwa Jenny masih hidup. Sekarang Lester menyatakan hal yang sama,
dan kini terpikir oleh Rachel bahwa pemahaman aneh itu bukan karena
Marcy Tremain, tapi karena Lester Cumming.
Jika itu benar, maka kesepakatan yang dibuatnya dengan Lester
masuk ke dalam kepalanya seperti gema, meskipun ia tidak bisa
mengingat pemakaman itu sendiri.
"Kami pergi ke gunung bersama," jelas Lester. "Oke, memang agak
lama sampai akhirnya dia siap mengambil langkah itu. Dia pergi ke
331 Fort William hari Jumat, dan kami seharusnya bertemu setelah itu.
Tapi dia membatalkannya dua kali"mundur ke hari Sabtu, lalu hari
Minggu. Akhirnya kami setuju bahwa aku akan menemuinya di sana
hari Senin. Bagiku tidak masalah. Semua baik-baik saja. Kami akan
bersama lagi. Dia juga menginginkannya. Kami bersenang-senang. Tapi
kemudian, pada menit-menit terakhir, dia bilang dia meneleponmu dan
kau menasihatinya supaya berhenti menemuiku lagi. Dia menurutimu,
dia selalu menurutimu. Kemudian..."
Lester terdiam, tapi Rachel tiba-tiba paham kenyataan pahitnya.
Jenny pergi mendaki gunung, dan dia membatalkan pergi dengan
Alison Flanagan karena entah karena alasan apa dia memutuskan untuk
menemui Lester Cumming lagi. Tapi Jenny masih sangat meragukan
Lester; itu memang menjadi dilema baginya. Itulah sebabnya ia
menelepon Rachel. Panggilan-panggilan terakhir di hari kematiannya
pasti tentang itu. Bagaimana pendapatmu, Rachel, apa aku harus putus
dengannya untuk selamanya atau tidak" Dan Rachel menyarankan
untuk mengakhirinya. "Kalian bertengkar lagi," kata Rachel. "Kau kejam dan jahat
padanya. Kau menginginkannya kembali, tapi dia menolak."
Lester memukul setir dengan telapak tangannya. "Aku melakukan
semua demi dia, brengsek. Apa lagi yang bisa kulakukan" Ya, aku
memang bodoh. Kuakui aku sering lepas kendali, kadang-kadang. Tapi
dia bisa saja memaafkan aku; kami bisa memulai awal yang baru. Tapi
kemudian, tepat pada saat kukira kami bisa melupakan masa lalu, dia
tetap memutuskan. Dan itu salahmu." Lester mengepalkan tangan. "Ya
ampun!" Lester memandangnya dan ada tatapan benci di matanya.
"Kau yang membunuhnya," bentaknya.
Kemudian Rachel bisa melihat semuanya sebening kristal.
332 "Bukan, bukan aku," katanya. "Tapi kau. Kau jadi marah. Kau
memukulnya lagi. Dan pada saat itulah dia jatuh dari tebing. Atau
mungkin kau sengaja melemparkannya di bawah. Kalaupun itu
kecelakaan, itu karena kau tidak bisa mengendalikan emosi, atau itu
memang pembunuhan yang disengaja."
"Seharusnya kau tutup mulutmu, perempuan jalang!"
Untuk alasan yang tidak pernah dimengerti Rachel, Lester masih
menggenggam hati Jenny. Apa alasannya, mungkin itulah satu-satunya
tentang Jenny yang tidak akan pernah dimengerti Rachel. Sementara
Jenny menggali masa lalu Rachel, yang tak diragukan lagi bermaksud
untuk menemui Graeme Horne, akhir pekan bersama Lester terganggu.
Itulah "kedua hal" yang dimaksudnya di email terakhirnya yang dikirim
hari Jumat, 11 Juni. Usaha Jenny untuk mempertimbangkan apakah
sebaiknya memberi satu kesempatan lagi untuk Lester telah merenggut
nyawanya, karena ia menuruti sarannya untuk mengakhiri hubungan
itu. Rachel merasa bersalah seakan dia sendiri yang telah membunuh
Jenny. Lester mengerutkan wajah. "Setiap malam aku mendengarnya, aku
melihatnya. Dia menyiksaku tanpa henti. Dia bahkan ada pada saat
pemakaman. Tidak ada yang bisa melihatnya, tapi aku bisa. Aku tidak
tahan lagi. Ini harus dihentikan selamanya. Kau satu-satunya orang
yang diturutinya. Kau yang membawaku dalam kekacauan ini, jadi
kau yang harus mengeluarkan aku dari ini semua. Mudah melacakmu
karena kau akhir-akhir ini jadi orang penting."
Televisi dan situ-situs berita serta surat kabar masih didominasi
kejadian yang terjadi di sekitar pondok yang dalam benak Rachel selalu
saja merupakan sarang. Tapi namanya sudah dirahasiakan secara hatihati. Ia memohon pada Dave Pukas untuk merahasiakan namanya.
Dave berjanji, dan menepatinya. Tapi Lester mungkin menemukan
333 cara lain untuk mengungkap peran utama yang dimainkannya dalam
kejadian itu. "Aku sudah menduga pondok bibimu pasti dijaga," katanya, "jadi
aku memutuskan untuk menunggumu di luar rumah sakit. Aku tidak
mengajakmu baik-baik, karena kau pasti akan bilang tidak. Hanya itu


Dark Memory Karya Jack Lance di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cara satu-satunya." "Apa yang akan kaulakukan terhadapku?" tanya Rachel hati-hati.
"Kita akan kembali ke tempat kejadian. Kita akan ke gunung. Hanya
itu yang kutahu sekarang. Ini harus diakhiri di tempat dia tewas. Dan
tugasmu adalah memastikan bahwa ini berakhir."
Bagaimana Lester berharap dia bisa melakukan itu" Rachel tidak
yakin apa yang dibicarakan Lester. Yang dia tahu adalah bahwa Lester,
bukan Graene Horne, yang membunuh Jenny. Dan ia tewas karena
Lester tidak mampu menahan amarahnya.
Rachel tahu bahwa Lester juga bisa membunuhnya, jika ia tidak
mampu melaksanakan apa yang diinginkannya, yaitu membebaskan
hantu Jenny yang dirasakan Lester selalu ada di dekatnya. Tapi Rachel
tidak peduli lagi jika ia mati. Sebagian dari dirinya sudah mati. Disadari
atau tidak, ia telah menyebabkan Jenny mengalami nasibnya.
Maka bagaimanapun ini akan berakhir buruk, juga akan berakhir
buruk bagi Lester Cumming. Tanpa mempertimbangkan banyak hal,
Rachel bangkit, menguatkan otot-ototnya, dan melemparkan diri pada
Lester, menghantam kepala Lester dengan kepalanya sekeras mungkin.
Lester berteriak kaget dan kehilangan kendalinya pada mobil.
Toyota berputar, dan ketika berbelok ke tepi jalan, terjungkir di
lereng curam. Rachel berteriak saat mobil itu meninggalkan pijakannya
pada tanah dan jatuh seperti bobot mati. Mobil itu seketika mendarat
setelah menghantam keras.
334 Rachel mengerjap-ngerjap. Wajahnya tertelungkup di pangkuan
Lester. Seluruh tubuhnya terasa sakit"ia masih hidup tapi pasti mengalami
beberapa patah tulang. Rachel mendengar Lester berteriak lagi, suara mengerikan yang
mengingatkannya pada teriakan Graeme Horne setelah ia melemparkan
batu bata ke matanya. Tangan kanan Lester meraih tengkuk Rachel dan ia memekik.
Kemudian, tiba-tiba, tanpa disangka, Lester menjatuhkan tangannya.
Ia melepaskan Rachel seluruhnya dan wajah Rachel kembali jatuh ke
pangkuan Lester. Entah bagaimana Rachel berhasil memutar kepalanya.
Di kursi belakang, yang sekarang berada di atas, seorang wanita
muda berambut merah keriting muncul.
Hantu Jenny Dougal terlihat melayang di atas mereka.
Sementara pada saat bersamaan, Lester ternganga seakan sedang
dicekik. Matanya melotot dan wajahnya menjadi ungu tepat sebelum
ia berhenti bernapas. "... cinta padamu," Rachel mendengar hantu itu berkata padanya,
sebelum mengabur dan menghilang.
335 "Ayolah, makan es krim sedikit saja," perintah Ellen Mackenzie.
"Perutku sudah mau meledak," tolak Stephen.
"Perutku juga," kata Jonathan.
"Aku juga," tambah Rachel.
Mereka baru saja menikmati banyak sekali hidangan di rumah
Stephen dan Ellen, tapi cukup tetaplah cukup.
Sudah dua bulan setelah semuanya terjadi. Beberapa hari lagi,
Jonathan dan Rachel akan kembali pulang ke Inggris untuk memulai
hidup baru bersama. Perlu waktu untuk mengatur semuanya. Bukan hanya setelah
kematian Jenny, tapi semuanya yang terjadi selama dua belas tahun
terakhir. Jon dan Rachel mengucapkan selaman tinggal pada Stephen dan
Ellen, sambil berjanji untuk menengok mereka setiap kali mereka
kembali ke area ini. Ellen mengusap air mata saat mengucapkan selamat
tinggal, terutama pada Rachel yang sudah ia anggap anak sendiri.
"Tuhan memberkati kalian," kata Stephen pada mereka, dan
Rachel memeluknya sekali lagi. "Terima kasih atas semua yang kau
lakukan untuk menyelamatkan hidupku, Stephen," bisiknya lembut
di telinga Stephen. "Aku tidak akan pernah melupakan kebaikan dan
keberanianmu." Stephen mengangguk sebagai balasan. Emosi mencekat kerongkongannya.
Jonathan dan Rachel kembali ke Ardrough House. Sudah hampir
pukul sembilan malam, cuacanya sejuk menyegarkan, dan matahari
terbenam mewarnai khatulistiwa sebelah barat dengan warna-warni
cemerlang. Musim panas akhirnya tiba.
Rachel sering kali memikirkan perjalanan di mobil bersama Lester
Cumming itu. Saat sadarkan diri kembali, Rachel terbaring di tanah
di samping Toyota-nya yang hancur, dikelilingi petugas-petugas
paramedis dan polisi. Lester, rupanya, sudah tewas. Penyelidikan polisi
menyimpulkan bahwa Lester tewas karena kecelakaan setelah Rachel
melakukan tindakan pembelaan diri.
Kenyataannya lain lagi, tapi tidak bisa diceritakan. Jenny tidak
pergi sepenuhnya setelah meninggal. Ia terus mengikuti Lester, sebagai arwah yang menuntut balas. Itu membuat mental Lester lebih
tidak stabil dibandingkan sebelumnya. Dan Jenny sudah berhasil
membalasnya. Pada saat Rachel membutuhkan pertolongan, Jenny
datang dan menyelamatkannya.
Rachel menghabiskan berminggu-minggu setelah kematian Lester
dalam keadaan bingung, melawan depresi. Apakah semua ini tidak
akan pernah selesai" Akankah musibah akan terus menghantamnya
dalam bentuk ombak penderitaan yang tiada pernah berakhir"
Jonathan membantunya melewati semua itu.
Begitu pula Jenny, dalam mimpinya. Semalam ia bermimpi sedang
berbaring di padang rumput, di antara rumput hijau tinggi dan bungabunga merah. Jenny bersamanya. Mereka terus bertemu di padang
surgawi itu, di suatu tempat di atas sana. Mimpi-mimpinya selalu sama,
kecuali yang tadi malam. Jen melambaikan tangannya, lalu berbalik.
337 Ia berjalan pergi, dan Rachel memandangnya sampai ia menghilang di
balik kaki langit yang terang. Itu adalah perpisahan mereka.
Suatu hari nanti mereka akan bertemu kembali, tapi sampai hari itu
tiba mereka harus berpisah. Jenny di padang rumput, Rachel di bumi
ini. Hidupnya telah berubah. Akan tetapi dinding-dinding yang dibangunnya sendiri sudah
dirobohkan. Bersama Jonathan, ia ingin membangun hidup baru.
Kehidupan tanpa demon, tanpa Graeme Horne, dan tanpa Lester
Cumming. Rachel melewati pedesaan Skotlandia, menuju kaki langit berwarna
ungu. "Menakjubkan sekali, sungguh, kita bisa melanjutkan hidup," ia
merenung. "Ya, memang," kata Jon pelan.
"Hanya kita berdua," Rachel menekankan.
Jonathan tersenyum. Ia meraih tangan Rachel. "Hanya kita berdua,"
ia setuju, "kecuali dan sampai ada satu-dua makhluk kecil yang masuk
ke dalam hidup kita."
"Atau mungkin tiga," kata Rachel berseri-seri.
Apa itu kesadaran" Di mana batas antara mimpi dan kenyataan"
Tanpa disadari, batas itu sudah kaulewati. Kau meninggalkan dunia
lain di belakangmu. Kau menjadi sadar akan sekelilingmu dan dirimu
sendiri. Kau adalah matahari yang menepis kegelapan.
Rachel, juga telah menyeberangi batas antara mimpi dan kenyataan.
Ia melihat cahaya itu. 338 Fiksi/ Novel Monster itu merentangkan sayapnya. Mengangkat tubuhnya dan terbang.
Ia menjadi mangsa makhluk itu; ia diambil oleh kekuatan gelap.
Semakin tinggi, semakin tinggi lagi ia berada di langit gelap. Ia mengira
monster itu akan membawanya keluar dunia dan masuk ke dalam tempat
persembunyiannya, ke dalam sarangnya, di mana tulang-tulangnya akan
membusuk di antara sisa-sisa mangsa lainnya.
Rachel Saunders menghadiri pemakaman Jenny Dougal, sahabat baiknya yang
meninggal karena kecelakaan tragis. Namun tak lama setelah pemakaman,
ia sendiri menghilang secara misterius. Karena khawatir, Jonathan Lauder,
kekasih Rachel,terbang ke Skotlandia untuk mencarinya.
Tiga hari kemudian, Rachel muncul kembali. Tetapi ia mengalami amnesia
jangka pendek dan tak bisa mengingat apa pun selama tiga hari sebelumnya,
hingga minggu-minggu terakhir sebelum dirinya menghilang. Namun satu hal
yang ia yakini, Jenny belum meninggal. Sahabatnya itu masih hidup. Ia ada di
suatu tempat, dan Rachel merasa harus segera menemukan dan menolongnya,
sebelum terlambat! Jonathan dan Rachel berusaha mencari tahu dan merekonstruksi hari-hari saat
Rachel menghilang, demi mencari kebenaran mengenai Jenny, dan mencari
penyebab Rachel kehilangan ingatannya.
Namun, apa yang Rachel temukan adalah teror yang sungguh menakutkan.
Mimpi-mimpi buruk tentang monster berwajah serigala mengerikan
menghantui malam-malamnya.
Satu-satunya jalan bagi Rachel untuk bertahan hidup, dan mungkin untuk
menyelamatkan Jenny adalah dengan menyingkap tabir gelap masa lalunya".
Sebuah novel karya Jack Lance, penulis novel thriller bestseller
asal Belanda ini, akan membuat Anda tak bisa melepaskan diri dari
lembaran-lembaran yang mencekam, dan akan memaksa Anda untuk
menyelesaikan sampai akhir!
Jl. Palmerah Barat 29-37, Unit 1- Lantai 2, Jakarta 10270
T: (021) 53677834, F: (021) 53698138
E: redaksi_bip@penerbitbip.id
www.penerbitbip.id Empress Orchid 5 Gento Guyon 19 Dewa Sinting Pendekar Lembah Naga 14

Cari Blog Ini