Dinding Karya Jean Paul Sartre Bagian 1
Pengantar Penerbit DI ANTAK"X deretan filsuf Prancis, nama ]ean"Paul
Sartre tentulah bukan nama yang asing. Filsuf yang ju"
ga sastrawan kelahiran Paris tahun 1905 ini terbilang pro"
duktif dalam menyumbangkan pemikirannya seputar Fil"
safat, sosial, budaya, dan politik. Buku"bukunya menjadi
rujukan terpenting para pencinta Filsafat, khususnya peng"
anut aliran eksistensialisme. Cukup lama ia menjadi pemikir
paling populer di Eropa. Eksistensialismenya telah menjadi
suatu gaya hidup. Bersama Simone de Beauvoir dan Mau"
rice Merleau"Ponty, ia menerbitkan majalah Ley Tewpy Ma"
dame (Zaman Modern) yang menjadi corong Filsafat eksis"
tensialisme sekaligus suatu orientasi politik dan kultural.
Viil ]eau-Paul Sartre Sartre juga bersimpati pada ajaran Marx, namun ia te"
rus menerus mengritik tafsiran Marx di negara"negara ko"
munis. Sartre termasuk orang yang mengagungkan kebe"
basan. Dalam pemikiran Sartre tentang kebebasan dapat
kita saksikan suatu pergeseran dari kebebasan menuju ke
pembebasan. Pada paruh pertama hidupnya, Sartre men"
dasarkan hidupnya pada faham kebebasan. Seluruh pemi"
kirannya tentang kebebasan dijabarkan panjang lebar dalam
karyanya yang berjudul L'etre et le neant (Ada dan Ketiadaan).
Karya Sartre tersebut tercatat menjadi salah satu doku"
men terpenting dalam aliran eksistensialisme. Bahkan me"
nurut Francis Jeanson, salah seorang murid Sartre, buku ini
boleh dianggap sebagai mie aniolagz'e de la libenfe atau suatu on"
tologi tentang kebebasan. Sartre memang betul"betul men"
dewakan kebebasan. Menurut Sartre, manusia adalah kebebasan. Tidak cu"
kup kalau dikatakan bahwa manusia sekadar mempunyai ke"
hendak yang bebas. Tidak cukup pula kalau dikatakan bahwa
kebebasan merupakan salah satu ciri atau sifat manusia. Ma"
nusia adalah kebebasan itu sendiri. Karena alasan itu pula
manusia tak mempunyai kodrat dan esensi. Seandainya ma"
nusia mempunyai kodrat atau esensi, maka manusia tak me"
miliki kebebasan. Adalah keyakinan pada kebebasan pula yang lantas ber"
hubungan dengan sikap Sartre yang ateistik. Salah satu ala"
san penolakan Sartre terhadap Tuhan adalah kebebasan ma"
nusiawi. Seandainya memang ada Tuhan yang Maha Tahu,
maka saya menjadi obyek dengan kodrat tertentu. Kalau
Pengantar Penerbit iX Tuhan ada, kebebasan dicabut dari eksistensinya. Maka dari
itu, salah satu cara merumuskan ateisme Sartre ialah: karena
manusia itu bebas, maka Tuhan tidak ada. Atau, 127907727776
71,65! tien d'auma que ve qu"! refa", manusia adalah sebagaimana
ia menjadikan dirinya sendiri.
Buku berjudul Dinding ini adalah kumpulan cerita pen"
dek karya Sartre yang banyak membicarakan suasana psi"
kologis individu dan kehidupan sosial. Dalam cerpen ber"
judul "Dinding", Sartre dengan piawai menggambarkan
suasana psikologis manusia saat mengetahui dirinya segera
menghadapi kematian. Sementara dalam cerpen "Masa Kanak"kanak Sang Di"
rektur" Sartre menggambarkan Oedz'pm Cowp/ex yang men"
jadi fenomena normal dan umum; setiap orang mengalami
situasi ini. Dalam hidup setiap anak terjadi sesuatu yang
mirip dengan apa yang diceritakan dalam mitos mengenai
Oedipus, sebagaimana telah didramatisir oleh Sophocles,
dramawan Yunani yang tersohor itu. Dalam mitos itu diceri"
takan bahwa Oedipus tanpa sadar membunuh bapaknya dan
menikahi ibunya. Demikian pun terhadap anak kecil ada
sesuatu yang melebihi sekadar cinta dan keramahan terhadap
bapak. Sikap yang tak sadar ini ditandai "ambivalensi": cinta
sekaligus rasa benci. Dalam ketidaksadarannya sang anak memusuhi bapak"
nya dan ingin memiliki ibunya bagi dirinya sendiri. Bagi sang
anak, bapak tampak sebagai orang yang mengganggu ke"
satuannya dengan ibunya. Ia merasa disaingi bapaknya da"
lam merebut cinta sang ibu. Bapak tampak sebagai orang
X ]eau-Paul Sartre yang berkuasa dan kuasanya menjadi nyata karena dialah
yang menceraikan anak dari ibunya. Akibatnya, si anak pun
iri dan ingin menyingkirkan bapak sekaligus memiliki ibu.
Jean"Paul Sartre meninggal pada 15 April 1980, setelah
sebulan dirawat di salah satu rumah sakit di Paris. Karya"
karyanya sampai kini masih terus diperbincangkan. Lewat
karyanya, Ley Mary (Kata"Kata), Sartre mendapat hadiah
Nobel pada 1963, namun ditolaknya.
Dalam cetakan kedua Dinding ini kami memperbaiki be"
berapa hal yang berkaitan dengan naskah agar lebih mudah
dinikmati dan diapresiasi pembaca. Selamat membaca.
Dinding MEREKA mendorong kami ke dalam suatu ruangan
putih yang besar, mataku pun berkaca"kaca saat berkedip
karena sinar di ruangan itu sangat menyilaukan. Lalu aku
melihat sebuah meja dan empat orang di belakang, mereka
adalah orang"orang sipil yang sedang meneliti berkas"berkas.
Mereka mengumpulkan tahanan lain di ruang bawah tanah
dan kami harus melewati seluruh ruangan untuk berkumpul
bersama semua tahanan itu. Banyak dari para tahanan itu
yang sudah kukenal dan yang lainnya masih asing bagiku.
Dua orang di antaranya yang ada di depanku berambut
pirang dan berwajah bulat. Mereka mirip satu sama lain, aku
2 ]ean"Paul Sartre pikir mereka orang Prancis. Yang lebih kecil, selalu menaik"
naikkan celana karena gelisah.
Peristiwa itu berlangsung hampir tiga jam, otakku se"
rasa mau pecah dan kepalaku seperti kosong. Untungnya,
ruangan ini dihangatkan dengan baik dan bagiku ini terasa
lebih menyenangkan: sejak jam 12 malam kami tak berhenti
gemetar. Para penjaga membawa para tahanan satu persatu
ke depan. Empat orang sipir itu menginterogasi para tahan"
an dengan pertanyaan seperti nama dan pekerjaan. Keba"
nyakan tak jauh dari itu, namun mereka juga mengajukan
pertanyaan yang diulang"ulang seperti: "Apakah kamu tu"
rut ambil bagian dalam sabotase amunisi?" atau, "Di mana
kamu pada jam 9 pagi dan apa yang kamu lakukan?". Mere"
ka tak mendengarkan jawaban atau setidaknya mereka tak
mempunyai kesan pada jawaban"jawaban dari para tahan"
an. Mereka diam sesaat, memandang lurus ke depan, lalu
mulai menulis. Mereka bertanya pada Tom, apakah benar ia
menjadi anggota brigade internasional: Tom tak dapat me"
nyangkal karena kartu identitas yang ditemukan di dalam
bajunya. Pada Juan mereka tak menanyakan apa pun, tapi
setelah ia menyebutkan namanya, mereka menulis sangat
lama. "Jose, kakakku itulah yang anarkis," jawab Juan. "Anda
sangat tahu bahwa ia tak lagi di sini. Aku tak ikut partai ma"
na pun. Aku tak pernah berpolitik."
Mereka tidak menjawab, Juan berkata lagi:
"Aku tak melakukan apa pun, aku tak ingin membayar
untuk kesalahan orang lain."
Dinding 3 Bibirnya bergetar. Seorang penjaga menyuruhnya diam
dan membawanya. Sekarang giliranku.
"Namamu Pablo Ibietta?"
Aku menjawab, "Ya."
Sipir itu melihat kertas"kertasnya dan bertanya kepa"
daku: "Di mana Ramon Gris?"
"Aku tak tahu."
"Kamu menyembunyikannya di rumahmu dari tanggal
6 sampai 19?" "Tidak." Mereka menulis sebentar dan para penjaga menyuruh"
ku keluar ke arah lorong. Di sana Tom dan Juan menunggu"
ku dengan kawalan dua penjaga. Kami mulai berjalan dan
bertanya pada salah satu penjaga.
"Dan selanjutnya?"
"Apa?" ujar penjaga.
"Ini interogasi atau pengadilan?"
"Pengadilan," kata penjaga.
"Lalu apa yang akan segera mereka lakukan pada kami?"
Penjaga menjawab dengan kasar:
"Mereka akan memberitahukan hukumannya di sel ka"
mu." Pada kenyataannya sel yang disediakan untuk kami
adalah salah satu dari mu" rumah sakit. Di sini sangat di"
ngin karena banyak angin. Setiap malam kami kedinginan
dan sepanjang siang hampir tak ada panas. Lima hari se"
1Ruangan bawah tanah seperti gudang.
4 ]ean"Paul Sartre belumnya aku telah menghabiskan waktu di mahar de l'ar"
i'lyez'ev/aez, semacam sel untuk tahanan seumur hidup pada
Abad Pertengahan. Dulu, tempat ini dipakai sebagai sel
karena banyaknya tahanan sedangkan tempat yang ada tak
mencukupi. Aku tak kesal dengan mvbot"ku di situ. Aku tak
menderita karena dingin, tapi kesepian. Dalam sebuah pe"
nantian, hal semacam itu sangatlah mengesalkan. Di Lm'e
aku mempunyai sebuah kelompok. Juan tak berbicara sama
sekali, ia ketakutan dan masih terlalu muda untuk ikut ber"
suara. Lain halnya dengan Tom yang pandai bicara dan
mahir bahasa Spanyol. Di dalam Law ada sebuah bangku dan empat kasur je"
rami. Ketika mereka membawa kami ke sini, kami hanya du"
duk dan menunggu tanpa bersuara. Lalu, Tom berkata:
"Kita semua busuk."
"Aku pun berpikir begitu," kataku. "Tetapi aku percaya
bahwa mereka tak akan melakukan apa pun pada si Kecil."
"Mereka tak punya alasan apa pun untuk menyalahkan"
nya," kata Tom, "karena kakak laki"lakinya seorang militan,
hanya itu." Aku memandangJuan. Ia tampak bingung. Tom berkata
lagi: "Tahukah kamu apa yang mereka lakukan di Zaragoza"
Mereka membaringkan tahanan"tahanan di jalan dan me"
lindasnya dengan truk. Seorang pembelot Maroko menga"
takannya kepadaku. Mereka bilang itu untuk menghemat
peluru." 2Sel isolasi di Keuskupan.
Dinding 5 "Namun sama sekali tak menghemat bensin," ujarku.
Aku kesal pada Tom. Ia tak seharusnya berkata begitu.
"Dalam kejadian itu, ada beberapa perwira yang berja"
lan mengikuti truk dan mengawasinya. Tangan mereka di"
masukkan ke saku celana, mulutnya terus mengepulkan asap
rokok. Percayakah kamu kalau mereka menghabisi tahanan"
tahanan itu" Kamu pikir aku gila. Mereka membiarkan para
tahanan berteriak sesekali dalam satu jam. Si Maroko bilang,
ia nyaris muntah sewaktu pertama kali melihat kejadian itu."
"Aku tak percaya mereka akan melakukannya di sini,"
kataku, "kecuali kalau mereka benar"benar kekurangan pe"
luru." Cahaya matahari masuk melalui empat lubang angin
dan sebuah lubang bundar yang dibuat di plafon sebelah kiri
menghadap ke langit. Dari lubang yang biasanya tertutup
itulah orang mengeluarkan batubara dari dalam L'dl'6. Di ba"
gian bawah lubang terdapat seonggok debu, dulu digunakan
untuk menghangatkan rumah sakit, tetapi sejak perang di"
mulai para pasien rumah sakit ini diungsikan dan batubara
itu masih ada di sana, tak lagi digunakan. Hujan yang turun
dari langit terkadang sampai juga ke sini, karena mereka lupa
menurunkan tutup lubang itu.
Tom mulai gemetaran. "Oh Tuhan, aku mulai kedinginan lagi," katanya.
Ia bangkit dan mulai bersenam. Setiap gerakan membuat
kemejanya terbuka, tampak dadanya yang berbulu tebal.
Ia lalu membaringkan tubuh, mengangkat kedua kaki dan
membuat gerakan seperti gunting. Aku melihat pantatnya
() ]ean"Paul Sartre yang gemuk bergetar. Perawakan Tom kekar tapi terlalu ba"
nyak mengandung lemak. Aku membayangkan peluru sena"
pan atau ujung bayonet menerobos dengan cepat ke dalam
gumpalan daging yang empuk seperti gumpalan mentega itu.
Tentu saja, aku tak akan berpikiran begitu jika ia bertubuh
kurus. Aku tak benar"benar kedinginan, namun aku tak lagi
merasakan pundakku, juga lenganku. Kadang"kadang aku
merasa kehilangan sesuatu dan aku mulai mencari jasku di
sekitarku. Dengan cepat aku ingat kalau mereka tak me"
ngembalikan jasku. Ini sangat menyedihkan. Mereka telah
mengambil pakaian kami untuk memberikannya kepada
tentara mereka dan hanya membiarkan kami memakai ke"
meja dan celana kain yang biasa dipakai para pasien di mu"
sim panas yang terik. Akhirnya Tom bangkit dan duduk di
dekatku dengan napas terengah.
"Kamu kepanasan?"
"Demi Tuhan, tidak. Tetapi aku kehabisan napas." Men"
jelang jam 8 malam komandan masuk bersama dua orang
serdadu. Ia membawa selembar kertas. Ia bertanya kepada
penjaga: "Siapa nama tiga orang yang di sana itu?"
"Steinbock, Ibbieta, dan Mirbal," jawab penjaga.
Komandan memakai kacamata jepit dan mengamati
daftar. "Steinbock... Steinbock. Nah, kamu dihukum mati. Ka"
mu akan ditembak mati besok pagi."
Ia menatap lagi. Dinding 7 "Dua lainnya juga," katanya.
"Tak mungkin," kata Juan. "Bukan aku."
Komandan memandangnya dengan kaget.
"Siapa namamu?"
"Juan Mirbal," jawabnya.
"Baik, namamu ada di sini," kata komandan, "kamu di"
hukum mati." "Aku tak melakukan apa pun," kata Juan.
Dinding Karya Jean Paul Sartre di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Komandan menaikkan bahu, berbalik menuju Tom dan
aku. "Kalian orang Bask?"
"Tak seorang pun."
Ia kelihatan jengkel. "Mereka mengatakan kepadaku bahwa ada tiga orang
Bask di sini. Aku tak akan membiarkan waktuku berlalu un"
tuk menegaskannya. Apakah kalian tak memerlukan seorang
pastor?" Kami belum menjawab, ia sudah berkata lagi.
"Seorang dokter akan tiba sebentar lagi, ia punya izin
untuk melewatkan malam bersama kalian."
Komandan memberi salam militer dan keluar.
"Apa kataku tadi," kata Tom. "Komandan dan anak
buahnya itu baik." "Ya," kataku. "Namun kejam untuk si Kecil."
Aku mengatakannya untuk bersikap adil, tetapi aku tak
suka pada si Kecil. Wajahnya begitu halus namun penuh
ketakutan, dan penderitaan telah membuat garis"garis mu"
kanya penuh kerutan. Tiga hari yang lalu ia adalah seorang
8 ]ean"Paul Sartre bocah yang menggemaskan dan menyenangkan, namun se"
karang ia tampak seperti pemukul karpet tua, dan aku pi"
kir ia tak akan pernah kembali muda kecuali jika mereka
membebaskannya. Tidaklah buruk sedikit mengasihaninya,
tapi belas kasihan membuatku muak, ia membuatku sangat
benci. Ia tak lagi bicara, wajah dan tangannya memucat. Ber"
warna kelabu. Ia tak segar lagi dan memandang ke tanah
dengan mata melotot. Tom memang berjiwa besar, ia ingin
menggandeng tangannya, tetapi si Kecil melepaskan diri de"
ngan kasar sambil menyeringai.
"Biarkan ia," kataku dengan suara pelan, "kamu tahu ia
akan mulai menangis."
Tom menurut walau dengan kecewa. Ia senang meng"
hibur si Kecil karena cukup menyibukkannya dan sedikit
lupa memikirkan dirinya sendiri. Namun, justru itu yang
membuatku jengkel. Aku tak pernah memikirkan mati ka"
rena saat itu belum tiba, tapi sekarang saat itu tiba dan tak
ada hal lain yang biaa dilakukan selain memikirkannya.
Tom mulai bicara. "Kamu pernah membunuh orang?" ia bertanya padaku.
Aku tak menjawab. Ia mulai bercerita kepadaku kalau ia
telah membunuh enam orang sejak awal Agustus. Ia tak me"
nyadari keadaan dan aku tahu ia tak ingin menyadarinya. Se"
benarnya, aku pun begitu. Aku bertanya kepada diriku sen"
diri, membayangkan rentetan peluru menembus tubuhku.
Semua ini memang di luar persoalan yang sebenarnya, ta"
pi aku tak gelisah: setiap malam kami gunakan untuk me"
mahan1inya.Akhirnya Tom berhenti bicara dan aku meman"
Dinding 9 dangnya dengan sudut mataku. Aku lihat wajahnya pucat
dengan tampak menyedihkan. Aku berkata kepada diriku
sendiri, "Semuanya sudah dimulai." Hari menjelang malam,
cahaya suram menyusup melalui lubang angin dan tumpukan
batubara membuat suatu bayangan besar di langit. Lewat
lubang di plafon aku melihat bintang dilangit: malam sangat
cerah dan dingin. Pintu terbuka dan dua penjaga masuk. Mereka diikuti
seorang berambut pirang yang mengenakan seragam Belgia.
Ia memberi salam kepada kami.
"Saya adalah dokter," katanya. "Saya punya izin un"
tuk mengunjungi Anda semua dalam keadaan yang menye"
dihkan." Suaranya menyenangkan dan sopan. Aku berkata kepa"
danya. "Apa yang Anda lakukan di sini?"
"Saya akan mempersiapkan segalanya untuk Anda. Saya
melakukan segala sesuatu yang mungkin bisa meringankan
Anda sekarang." "Kenapa Anda datang ke tempat kami" Masih banyak
orang lain, bukan" Rumah sakit sedang penuh."
"Mereka mengirim saya kemari," jawabnya dengan raut
muka gugup. "Ah, Anda suka merokok, kan?" tambahnya
dengan cepat. "Saya punya beberapa batang rokok dan ce"
rutu." Ia menawariku beberapa batang rokok Inggris dan puroy, tapi kami menolak. Aku menatap kedua bola matanya
dan tampaknya ia terganggu, aku lalu berkata kepadanya:
10 ]ean"Paul Sartre "Anda tidak datang kemari karena belas kasihan, lagipula
saya mengenal Anda. Saya telah melihat Anda bersama bebe"
rapa orang Fasis di halaman tangsi pada hari ketika mereka
menangkap saya." Aku akan meneruskan, namun tiba"tiba terjadi sesuatu
yang mengejutkanku: kehadiran dokter itu membuatku tak
tertarik lagi. Biasanya ketika aku yakin kepada seseorang,
aku tak akan melepaskannya. Namun kini keinginanku un"
tuk banyak bicara menghilang, aku mengangkat bahu dan
memalingkan pandangan. Kemudian aku mengangkat ke"
pala, ia mengamatiku dengan curiga. Para penjaga duduk di
atas kasur jerami. Pedro, yang tinggi kurus, menggoyang"go"
yangkan kaki, dan yang lainnya lagi kadang"kadang meng"
gerakkan kepala untuk mencegah kantuk.
"Anda ingin penerangan?" kata Pedro tiba"tiba, kepada
dokter. Yang lain mengatakan, "Ya," dengan anggukan kepala.
Aku pikir ia punya kecerdasan yang kurang lebih sama dengan
orang dungu, tapi ia mungkin tidak jahat. Dari matanya yang
besar, biru, dan dingin, aku kira ia orang berdosa terutama
karena tak ada imajinasi di dalamnya. Pedro keluar dan masuk
lagi dengan membawa lampu minyak yang ia letakkan di
atas pojok bangku. Sinar lampu itu suram, tapi ini lebih baik
daripada tidak ada sama sekali: sehari sebelumnya mereka
membiarkan kami dalam gelap. Aku melihat momen yang
unik, sinar lampu itu melingkar pada plafon, aku terpana.
Lalu aku bangkit, lingkaran sinar itu makin samar dan aku
seperti terhimpit di bawah beban yang sangat berat. Ini bu"
Dinding 1 1 kan pikiran tentang kematian ataupun ketakutan, ini tak bisa
dijelaskan. Tulang"tulang pipiku terasa panas, kepalaku te"
rasa sakit. Aku bangun dan melihat kedua temanku. Tom mem"
benamkan kepala dalam kedua tangannya, aku hanya me"
lihat tengkuknya yang berlemak dan putih. Si Kecil, Juan,
sedang tak enak badan. Mulutnya terbuka dan kedua cu"
ping hidungnya bergetar. Dokter itu menghampirinya dan
menaruh tangan ke atas bahunya seperti memberi tenaga.
Namun mata Juan tetap dingin. Aku melihat tangan si Belgia
itu turun dengan mencurigakan ke sepanjang lengan hingga
pergelangan Juan. Juan menurut saja dengan acuh tak acuh.
Si Belgia memegang lengan tangan Juan di antara tiga ja"
rinya dengan air muka menghibur, dalam waktu yang sama
ia mundur sedikit untuk memutar punggungnya ke arahku.
Tetapi aku membungkukkan badan ke belakang, aku meli"
hatnya mengeluarkan jam tangan dan seperti bercakap se"
bentar dengan jam itu tanpa melepaskan pergelangan si Ke"
cil. Akhirnya ia menurunkan kembali tangan lemah itu dan
segera menyandarkannya ke tembok, lalu seolah"olah, tiba"
tiba ia mengingat sesuatu vang sangat penting yang harus
ia catat saat itu juga. Ia mengambil "ares dari dalam sakunya
dan menulis beberapa baris di situ. "Bajingan," aku berpikir
dengan marah, "kalau ia tidak datang memegang nadiku,
aku akan meninju tampangnya yang masam itu."
Ia tidak datang tapi aku rasa ia memandangku. Aku
mengangkat kepala dan membalas tatapannya. Ia berkata
kepadaku dengan nada yang tidak ditujukan kepada siapa
pun. 12 ]ean"Paul Sartre "Tidak tahukah kalau kita kedinginan di sini?"
Air mukanya tampak seperti menggigil, kulitnya ungu.
"Aku tak kedinginan," jawabku kepadanya.
Ia tak berhenti menatapku dengan tajam. Mendadak
aku paham dan menampar mukaku sendiri. Aku dibasahi
keringat. Dalam ma ini, di tengah musim dingin dan ba"
nyak angin, aku berkeringat. Aku menyisir rambutku yang
kusut karena keringat dengan jari"jariku, dalam waktu yang
sama aku sadar kemejaku lengket dengan kulit. Aku basah
kuyup selama hampir satu jam dan aku tak merasakan apa
pun. Semua ini tak terlepas dari "si babi" Belgia, ia melihat
tetesan meleleh di pipiku dan ia pikir ini ungkapan dari ke"
takutan yang hampir patologis. Ia menyadari bahwa dirinya
normal, dan ia bangga akan hal itu, karena ia juga mera"
sa kedinginan. Aku ingin bangkit untuk menghampiri dan
menampar mukanya, tetapi baru saja aku memikirkan ting"
kahnya yang membuatku terhina dan marah, tiba"tiba aku
melupakannya begitu saja. Aku kembali duduk di atas bang"
ku dengan acuh tak acuh. Aku menghibur diri dengan menggosok leher memakai
saputanganku karena sekarang aku merasakan keringat me"
netes dari rambut ke tengkuk dan ini sangat menjengkelkan.
Aku sudah berhenti menggosok tubuhku, aku pikir tak ada
gunanya. Saputanganku sudah bisa diperas dan aku selalu
berkeringat. Pantatku pun berkeringat, celana panjangku ba"
sah dan lengket di bangku.
Si Kecil Juan tiba"tiba berkata.
"Anda seorang dokter?"
Dindiug 13 "Ya," jawab si Belgia.
"Apakah kita akan menderita" dalam waktu yang la"
ma?" "Oh! Kapan" Tapi, tidak," jawab si Belgia dengan nada
bijak, "semua ini akan segera berakhir."
Ia mempunyai wajah yang mampu meyakinkan seorang
pasien yang berkeluh kesah kepadanya.
"Tapi, saya... mereka bilang... sering kali membutuhkan
dua kali tembakan salvo."
"Kadang"kadang," kata si Belgia sambil menggeleng"
gelengkan kepalanya, "itu dapat terjadi kalau tembakan per"
tama tidak mengenai satu pun dari organ"organ vital.
Lalu mereka harus mengisi kembali senapan"s enapannya
dan menembak lagi." Ia berpikir dan menambahkan lagi dengan suara parau.
"Itu menghabiskan banyak waktu!"
Ketakutannya terlalu besar untuk merasakan kesakitan.
Ia hanya memikirkan ketakutan. Ini menyangkut umurnya.
Aku tak banyak memikirkan hal itu lagi dan bukan rasa ta"
kut sakit yang membuatku berkeringat. Aku bangkit dan
berjalan sampai di tumpukan batubara. Tom terloncat
dan melemparkan pandangan penuh kebencian kepadaku.
Aku telah mengagetkannya karena sol sepatuku berderak.
Aku bertanya kepada diriku sendiri, seandainya aku mem"
punyai muka yang sama mengerikan dengannya. Aku li"
hat ia berkeringat juga. Langit sangat indah, tak satu pun
sinar menerobos masuk ke sudut yang gelap dan aku ha"
nya mengangkat kepala untuk melihat bintang biduk. Ber"
14- ]ean"Paul Sartre
beda dengan malam sebelumnya, dimana di mubar"ku dapat
melihat sebagian besar langit, dimana setiap jam dan setiap
hari mengingatkanku pada kenangan yang berbeda. Se"
tiap pagi ketika langit berwana biru dan cerah, aku mem"
bayangkan pantai di sepanjang Samudera Atlantik. Tengah
hari aku melihat surya, mengingatkanku pada sebuah bar
di Seville, saat aku minum manzanila sambil makan am'baz'f
dan buah zaitun. Petang hari dalam kegelapan aku mem"
bayangkan pekat yang membentang di separuh arena, se"
paruh lainnya ditimpa matahari. Benar"benar menyilaukan
mata, seperti Bumi memantulkan langit. Kini aku dapat me"
lihat langit sesering yang aku mau, tapi langit tak lagi meng"
ingatkan apa pun. Aku lebih menyukainya, aku kembali du"
duk dekat Tom. Setelah waktu berlalu cukup lama.
Tom mulai bicara dengan nada berat. "Ia harus sering
bicara, tanpa itu ia tak mengenali dirinya dengan baik," pi"
kirnya. Aku pikir ucapannya ditujukan kepadaku, tapi ia tak
memandangku. Mungkin ia takut untuk melihatku karena
aku pucat dan berkeringat. Kami semua mirip dan buruk
seperti cermin antara satu dan lainnya. Ia melihat ke arah si
Belgia. Sejurus waktu ia masih tampak terjaga.
"Tahukah Anda?" katanya. "Saya, saya tidak mengerti."
Aku mulai ikut bicara dengan suara rendah, aku pun
menatap ke arah si Belgia.
"Apa" Ada apa?"
"Ia akan membawakan kita sesuatu yang tak dapat saya
pahami." 3 Sejenis ikan haring. Dinding 1 5 Ada bau aneh di sekitar Tom. Aku kira aku lebih sensitif
pada bebauan daripada biasanya. Aku tertawa kecil.
"Kamu segera paham."
"Tak jelas," katanya dengan raut muka tegang. "Aku
ingin punya keberanian, kecuali kalau aku harus melihat...
Dengar, mereka akan membawa kita ke halaman. Orang"
orang segera berbaris di depan kita. Berapa jumlah mereka?"
"Aku tak tahu, lima atau delapan... tidak lebih."
"Baiklah. Mereka ada delapan." Seseorang berteriak ke"
pada mereka: "Tembak!" Dan aku lihat delapan pucuk sena"
pan ditodongkan ke arahku.
Aku berpikir untuk kembali ke sel, aku menekan din"
ding dengan punggung sekuat tenagaku dan dinding itu
masih tetap berdiri, seperti dalam mimpi buruk semua itu
dapat aku bayangkan. Ah! Seandainya kamu melihat seperti
apa yang aku bayangkan. "Baiklah!" kataku kepadanya, "aku
membayangkannya juga. Pasti akan banyak kesulitan. Kamu
tahu mereka mengincar mata dan mulut untuk merusak
muka," tambahku dengan kejam. "Aku sudah merasakan
lukanya; sudah sejak satu jam lalu kepala dan leherku terasa
sakit. Bukan sakit yang baru, sakit ini sangat menyiksa.
Aku merasakannya kemarin pagi. Tapi, selanjutnya?". Aku
benar"benar mengerti apa yang ingin ia katakan, tapi aku tak
ingin seperti dirinya. Aku juga merasakan sakit di seluruh
tubuhku seperti kumpulan luka"luka kecil. Aku tak dapat
Dinding Karya Jean Paul Sartre di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membiasakan diri di sini, tapi aku seperti ia, tak berada di sini.
Lalu aku berkata dengan keras, kamu akan makan ])z'.f.rmlzf.4
4lN/lakan pissenlit dalam bahasa Prancis sehari"hari berarti "mati".
16 ]ean"Paul Sartre Ia mulai bicara kepada dirinya sendiri. Ia tak melepaskan
pandangannya dari si Belgia yang tidak kelihatan sedang
menguping. Aku tahu apa yang ia lakukan di sini; apa yang
kamu pikirkan tidak menarik baginya, ia tidak datang, untuk
melihat badan kami yang sekarat dengan cepat. "Ini seperti
mimpi buruk," kata Tom. Kami mau memikirkan sesuatu,
kami selalu merasa bahwa saatnya telah tiba, bahwa kami akan
segera memahaminya kalau hal itu terjadi, meloloskanmu
dan terjadi lagi. Aku berkata kepada diriku sendiri bahwa
sesudahnya tak ada lagi apa pun, namun aku tak paham
artinya. Saat"saat dimana aku hampir tiba di sini... Lalu hal itu
terjadi, aku mulai lagi memikirkan rasa sakit, peluru"peluru
dan letusan"letusan. Aku seorang materialis, aku sungguh"
sungguh, aku tidak gila. Namun ada sesuatu yang buruk.
Aku melihat hayatku, ini memang sulit tetapi aku melihatnya
dengan jelas. Aku harus berpikir dan berpikir bahwa aku
tak akan lagi melihat apa pun, tak akan lagi mendengar
apa pun dan dunia akan terus berlanjut untuk yang lain.
Kami tidak punya cukup tenaga untuk memikirkan hal itu.
Pablo, kamu dapat mempercayaiku, telah tiba bagiku untuk
berjaga setiap malam sambil menunggu sesuatu, walaupun
sesuatu itu tidak sama. Sesuatu telah menyeret kami dari be"
lakang, Pablo dan kami tak akan dapat mempersiapkan diri.
Aku bertanya kepadanya, kamu ingin aku memanggil se"
orang pastor untuk pengakuan dosa" Ia tak menjawab, aku
tahu ia cenderung untuk berlaku seperti seorang nabi dan
memanggilku Pablo dengan suara sucinya. Aku sangat tidak
menyukainya, namun rupanya semua orang Irlandia begitu.
Dinding 1 7 Aku punya kesan yang sama seperti kalau aku merasa ingin
kencing, sebenarnya aku sangat tidak bersimpati kepada Tom
dan aku tak tahu kenapa, mungkin karena kami akan segera
mati bersama"sama. Padahal, seharusnya aku lebih banyak
bersimpati kepadanya. Ada berbagai macam orang di sini
dan bagi setiap orang semuanya akan terasa berbeda. Ramon
Gris contohnya, namun di antara Tom dan Juan aku merasa
sendirian! Aku lebih menyukai hal itu: dengan Ramon aku
merasa dapat terharu, tetapi saat itu aku sangat kesal dan
ingin tetap berkeras hati. Ia mulai menggumam beberapa
kata, semacam menghibur diri. Ia berbicara seyakin"yakinnya
untuk menahan diri dan berpikir. Ia mencium bau kencing
yang khas seperti seorang penderita prostat yang sudah
akut. Tentu saja aku sependapat dengan pikirannya, aku
dapat mengatakan semua yang ia katakan: ini bukan mati
yang sewajarnya. Dan ketika aku akan mati tidak ada lagi
yang tampak wajar bagiku, tidak juga onggokan debu, tidak
juga bangku, tidak juga muka kotor, tidak juga muka kusut
si Pedro. Hanya inilah yang membuatku benci memikirkan
hal yang sama dengan Tom. Dan aku sangat tahu bahwa
sepanjang malam, hampir setiap lima menit, kami akan terus
memikirkan sesuatu secara bersamaan. Dengan berkeringat
atau dengan gemetaran secara bersamaan. Aku melihatnya
di sampingku dan untuk pertama kalinya ia tampak asing
bagiku: ia mengusung kematiannya di atas wajahnya. Aku
sangat terluka dalam kesombonganku: selama 24 jam aku
berada di samping Tom, aku mendengarkannya, aku ber"
bicara kepadanya, dan aku tahu bahwa kami tak menyukai
18 ]ean"Paul Sartre apa pun yang sama. Dan sekarang kami sangat mirip seperti
saudara kembar, singkatnya, karena kami akan binasa bersa"
ma"sama. Tom memegang tanganku tanpa menatapku: Pab"
lo, aku bertanya kepadamu... aku bertanya kepadamu jika hal
ini benar bahwa kita akan mati. Aku melepaskan tanganku
dan berkata. "Lihat, di antara kedua kakimu, bajingan." Ada
genangan di antara kedua kakinya dan tetes"tetes air jatuh
dari celana panjangnya. "Apa itu?" katanya dengan bingung.
"Kamu kencing di celana," jawabku kepadanya. "Tidak,"
katanya dengan sengit, "aku tidak kencing, aku tak mera"
sakan apa pun." Si Belgia mendekat. Tom bangkit dan bergegas kencing
di sudut sel. Ia tak bersemangat dan tak lagi mengucap se"
patah kata pun. Si Belgia mengambil buku catatannya.
Kami bertiga melihatnya karena ia juga belum mati.
Ia bertingkah laku sebagaimana orang hidup: ia gemetaran
di cma ini, begitulah gemetarannya orang hidup. Tubuhnya
pendek dan diberi makanan yang bergizi. Lain dengan kami
yang sama sekali tak lagi merasakan tubuh kami, lebih"lebih
dengan cara yang sama, dalam semua hal. Aku ingin me"
rasakan celana panjangku, di antara kedua kakiku, tapi aku
tak berani. Aku melihat si Belgia melengkungkan kedua ka"
kinya terutama otot"ototnya. Siapa dapat memikirkan hari
esok. Kami berada di sana, tiga sosok berdarah; kami me"
lihat laki"laki itu, lalu menghisap hidupnya seperti vampir
membunuh korbannya. Lama"lama ia mendekati si Kecil Juan. Apakah ia ingin
meraba tengkuk untuk berbagai alasan medis atau hanya
Dinding 1 9 menuruti dorongan kebaikan hatinya" Jika karena kebaikan,
maka kebaikan itulah satu"satunya waktu yang khas di se"
panjang malam ini. Ia membelai kepala dan leher si Kecil
Juan. Si Kecil membiarkannya, ia malah terus"menerus me"
natapku. Lalu, tiba"tiba ia menangkap tangan si Belgia dan
menatapnya dengan pandangan aneh. Ia memegang tangan
si Belgia di antara kedua tangannya, tak ada yang aneh ketika
dua tangan kelabu mengapit tangan yang berlemak dan ber"
warna merah. Aku dapat menduga apa yang akan terjadi dan
mestinya Tom juga sudah menduganya. Namun si Belgia
hanya melihat api, ia tersenyum kebapakan. Akhirnya si Kecil
mengarahkan tangan gemuk dan merah itu ke mulutnya
dan ingin menggigitnya. Si Belgia melepaskan diri dengan
cepat dan mundur sampai ke dinding dengan terseok"seok.
Selama satu menit ia memandang kami dengan ngeri, ia
harus segera paham bahwa kami bukanlah orang"orang
seperti dirinya. Aku mulai tertawa dan salah satu dari para
penjaga itu terkejut. Penjaga lainnya masih tertidur, matanya
yang besar itu terbuka namun hanya tampak putih.
Aku merasa bosan dan sekaligus sangat bingung. Aku
tak ingin lagi memikirkan apa yang akan terjadi pada dinihari
nanti. Aku pun tak ingin memikirkan kematian. Semua ini
tanpa rima sama sekali, aku hanya menemukan beberapa
kata atau bahkan tidak. Begitu aku mencoba memikirkan
sesuatu yang lain aku seperti melihat laras senapan meletus
di hadapanku. Aku mungkin bisa hidup berkali"kali setelah
dieksekusi, dan suatu kali dari hidupku itu membuatku
percaya bahwa semuanya benar"benar terjadi di sini. Aku
20 ]ean"Paul Sartre tidur satu menit. Mereka menyeretku menuju dinding dan
aku berontak; aku meminta ampun kepada mereka. Aku
terloncat bangun dan menatap si Belgia. Aku takut berteriak
dalam tidurku tadi, tetapi ia sedang mengelus"elus kumisnya,
ia sama sekali tak memperhatikan.]ika aku ingin, aku percaya
kalau aku dapat tidur sesaat. Aku terjaga sejak empat puluh
delapan jam yang, lalu, aku tak kuat lagi. Tapi aku tak ingin
kehilangan dua jam dalam hidupku. Mereka akan segera
datang membangunkanku dini hari nanti. Aku akan meng"
ikutinya dengan terbengong"bengong karena kantuk dan
aku akan dengan terbengong"bengong mati tanpa berteriak:
"Aagh...". Aku tak menginginkannya, aku tak ingin mati
seperti seekor binatang, aku ingin memahaminya. Dan
aku takut mendapat mimpi buruk. Aku bangkit, berjalan
mondar"mandir untuk menenangkan pikiran, aku mulai
memikirkan kehidupanku yang telah lewat. Sekumpulan
ingatan datang kembali mengingatkanku, campur"aduk. Ada
ingatan yang buruk, ada pula yang baik atau setidaknya aku
mengingatnya seperti sebelumnya. Ada beberapa wajah dan
cerita. Aku lihat kembali wajah Novillero kecil yang biasa
menanduk di Valence selama La Fendi juga wajah salah satu
dari paman"pamanku, wajah Ramon Gris. Aku mengingat
cerita"cerita lalu: Bagaimana aku menganggur selama tiga
bulan pada 1926, bagaimana aku hampir mati kelaparan.
Aku ingat suatu malam ketika aku menghabiskannya dengan
tidur di atas sebuah bangku di Granada: Aku tidak makan
5 La Felia adalah sebuah perayaan di Spanyol, biasanya diseleng"
garakan pada hari Minggu.
Dinding 2 1 selama tiga hari. Aku merasa jengkel, aku tak ingin mati. Aku
tersenyum sendiri. Alangkah kerasnya aku berlari mengejar
kebahagiaan, mengejar perempuan"perempuan dan kebe"
basan. Untuk apa" Aku ingin memerdekakan Spanyol, aku
menghormati Pi) Mangga", aku mendukung gerakan anarkis,
aku telah berbicara dalam pertemuan"pertemuan umum.
Aku menghadapi semuanya dengan serius seperti seolah"
olah aku akan hidup selamanya.
Saat itu aku merasa kalau aku menggenggam semua hi"
dupku, masa depanku, dan aku berpikir: "Ini kebohongan
besar!". Hidupku tak berarti apa pun karena semuanya telah
berakhir. Aku bertanya kepada diriku sendiri bagaimana aku
dapat berjalan jauh dan tertawa bersama gadis"gadis. Aku
tak dapat menjentikkan kelingking jika membayangkan ka"
lau aku mati hanya dengan cara seperti itu. Hidupku ada
di depanku, terkunci, tertutup seperti kantung. Meskipun
begitu semua yang ada di dalamnya belum terselesaikan, aku
berusaha memutuskannya. Aku ingin berkata kepada diriku
sendiri: Hidup ini indah. Tapi kita tak dapat menggunakan
keputusan kita sendiri. Hidup ini suatu sketsa, aku telah
melewatkan waktuku untuk menarik garis"garis keabadian
dan aku tidak paham sama sekali. Aku bingung: banyak
hal yang dapat aku sesali, lezatnya Manzanilla atau mandi
berendam saat musim panas di teluk kecil dekat Cadix; na"
mun kematian telah mengecewakan semuanya.
Tiba"tiba si Belgia mempunyai ide yang hebat.
"Teman"temanku," katanya kepada kami, "saya dapat
bertanggung jawab, asal administrasi militer menyetujuinya,
22 ]ean"Paul Sartre untuk membawa pesan Anda ataupun peninggalan bagi
orang"orang yang Anda agungkan...".
Tom menggerutu. "Aku tak punya seorang pun."
Aku tak menjawab apa pun. Tom menunggu sesaat dan
melihatku dengan rasa ingin tahu.
"Kamu tak berbicara sama sekali kepada Concha?"
"Tidak." Aku benci keterlibatannya: ini salahku sendiri. Aku te"
lah bercerita tentang Concha pada malam sebelumnya, se"
harusnya kini aku menahan diri. Aku sudah berhubungan
dengan Concha sejak setahun lalu. Sehari sebelumnya aku
terluka di tangan karena pukulan kapak. Tentu saja luka itu
menjadi alasan agar aku bertemu lagi dengannya selama lima
menit. Untuk hal"hal semacam itulah aku bicara dengannya.
Lebih berat baginya daripada buatku, sekarang aku tak ingin
lagi menemuinya, aku taklagi punya apapun untuk dibicarakan
dengannya. Aku sama sekali tidak ingin merangkulnya dalam
dekapanku: Aku merasa ngeri dengan tubuhku sendiri, ka"
rena tubuh ini menjadi kelabu dan berkeringat. Aku tak ya"
kin apakah Concha tak mempunyai rasa ngeri seperti aku.
Concha menangis ketika ia mengetahui kematianku; selama
beberapa bulan aku tak mempunyai gairah hidup. Tapi, di"
rikulah yang akan segera mati. Aku membayangkan kedua
matanya yang indah dan lembut saat ia menatapku, sesuatu
terpancar dari matanya ke arahku. Namun, aku pikir semua
ini telah berakhir: Jika kini ia melihatku, dan pandangannya
matanya mengarah kepadaku, aku pikir pandangan itu tidak
Dindiug 23 akan sampai padaku. Aku merasa sendiri.
Tom juga sendirian, tapi tidak dengan cara yang sama
denganku. Ia duduk mengangkang dan mulai menatap bang"
ku dengan semacam senyuman, ia tampak terheran"heran.
Ia memajukan tangan dan menyentuh kayu dengan sangat
hati"hati seolah"olah takut memecahkan sesuatu. Lalu ia me"
narik kembali tangannya dengan cepat dan menggigil. Aku
sendiri tak merasa senang dengan menyentuh bangku. Jika
aku jadi Tom, tingkah macam ini hanya seperti komedi Ir"
landia, apalagi aku lihat semua benda tampak begitu lucu:
samar"samar, lain dari biasanya. Sudah cukup bagiku melihat
bangku, lampu, tumpukan debu. Aku sudah merasa kalau
aku akan segera mati. Tentu saja aku tak dapat memikirkan
kematian dengan jelas, namun aku melihatnya di mana"mana,
pada semua benda, pada cara benda"benda itu mundur dan
menjauh dengan hati"hati seperti orang yang berbicara pelan
di samping orang yang akan meninggal. Inilah kematian
yang Tom rasakan ketika menyentuh bangku.
Aku mungkin saja masih hidup jika mereka datang ke"
padaku dan memberitahukan bahwa aku dapat pulang de"
ngan tenang ke rumahku, bahwa mereka membiarkan hi"
dupku selamat. Namun aku tetap merasa kedinginan: be"
berapa jam atau beberapa tahun menunggu adalah sama
saja jika kita kehilangan khayalan berumur panjang. Aku
tak lagi menggenggam apa pun. Di satu sudut, aku merasa
pelan di samping orang yang akan meninggal. Inilah ke"
matian yang Tom rasakan ketika menyentuh bangku.
Aku mungkin saja masih hidup jika mereka datang kepa"
24- ]ean"Paul Sartre
daku dan memberitahukan bahwa aku dapat pulang de"
ngan tenang ke rumahku, bahwa mereka membiarkan hi"
dupku selamat. Namun aku tetap merasa kedinginan: be"
berapa jam atau beberapa tahun menunggu adalah sama
saja jika kita kehilangan khayalan berumur panjang. Aku
tak lagi menggenggam apa pun. Di satu sudut, aku me"
rasa tenang walaupun ketenangan itu mengerikan. Aku me"
lihat tubuhku sendiri dengan kedua matanya, aku mende"
ngarkan dengan kedua telinganya, tetapi ini tidak lagi cukup
untukku. Tubuhku berkeringat dan gemetaran, aku tak lagi
mengenalinya. Aku terpaksa menyentuhnya dan melihatnya
untuk tahu apa yang terjadi padanya, seolah"olah ini tubuh
orang lain. Kadang"kadang aku masih merasakan lung"
suran"lungsuran, semacam sesuatu yang jatuh dengan cepat,
Dinding Karya Jean Paul Sartre di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seperti ketika kita berada dalam pesawat yang jatuh menukik.
Aku pun merasakan degup jantungku, namun tetap saja tak
meyakinkanku: semua yang berasal dari tubuhku kelihatan
kotor dan mencurigakan. Dalam beberapa saat, tubuhku
diam, tenang, dan aku tak lagi merasakan apa pun. Ini ke"
munduran, ada sesuatu yang menjijikkan pada diriku: aku
punya kesan yang berhubungan dengan seekor kutu besar.
Sesaat aku meraba celanaku dan aku merasa celanaku basah.
Aku tak tahu apakah celanaku basah karena keringat atau
air kencing, aku sendiri kencing di atas tumpukan barubara
untuk berjaga"jaga. Si Belgia menarik jam tangannya dan melihatnya, lalu
berkata: "Sekarang jam 3.30."
Dinding 2 5 Bajingan! Ia sengaja menekankannya. Tom terlonjak,
kami tidak sadar kalau waktu terus bergulir. Malam menye"
limuti kami seperti gumpalan yang samar dan gelap, aku tak
lagi ingat kalau semuanya sudah mulai.
Si KecilJuan mulai berteriak. Ia memutar"mutar tangan"
nya, ia menghiba: "Aku tak ingin mati, aku tak ingin mati!"
Ia berlari memutari seluruh mw sambil mengangkat ta"
ngannya, lalu roboh di atas kasur jerami dan menangis ter"
sedu"sedu. Tom memandangnya dengan muram dan tak
lagi ingin menghiburnya. Pada kenyataannya ini bukanlah
hukuman, si Kecil membuat banyak keributan dibanding
kami, ia sedikit sinting. Ia seperti orang sakit yang mem"
pertahankan diri dari demam, namun ini jauh lebih parah.
Ia menangis. Aku jelas melihat ia sangat mengasihani
dirinya, ia tak memikirkan kematian dalam satu detik, ha"
nya satu detik. Aku juga ingin menangisi diriku sendiri, me"
nangis: kasihan pada diriku. Namun kenyataannya justru
berlawanan: aku melirik si Kecil, aku merasa tak berperi"
kemanusiaan. Aku tak punya rasa kasihan kepada orang lain,
juga kepada diriku sendiri. Aku bergumam sendiri, "Aku
ingin mati sebagaimana mestinya."
Tom bangkit, ia duduk di bawah pintu bundar dan
mulai menunggu saatnya tiba. Aku sendiri berusaha tetap
tegar, aku ingin mati sebagaimana mestinya dan aku hanya
memikirkan hal itu. Namun sejak si dokter mengatakan ke"
pada kami tentang jam, aku merasakan waktu begitu cepat
berlalu, mengalir tetes demi tetes.
26 ]ean"Paul Sartre Hari masih gelap ketika aku mendengar suara Tom:
"Kamu mendengarnya?"
"Ya." ?"Orang"orang berjalan di halaman."
"Apa yang mereka perbuat" Mereka tak dapat menembak
dalam gelap." Akhirnya kami tidak lagi mendengar apa pun, aku ber"
kata kepada Tom: "Inilah saatnya."
Pedro bangun sambil menguap dan meniup lampu, ia
bicara dengan temannya: "Sedikit dingin."
Seluruh mw berubah gelap. Kami melihat nyala api di
kejauhan. "Sudah mulai," kataku kepada Tom, "mereka harus me"
lakukannya di halaman belakang."
Tom meminta sebatang rokok kepada si dokter. Aku
berdiri tidak menginginkannya; aku tak ingin rokok, juga
alkohol. Sejak tadi mereka tidak berhenti menembak.
"Kamu menyadarinya?" kata Tom.
Ia ingin menambahkan sesuatu, tetapi ia diam, ia me"
natap pintu. Pintu terbuka dan seorang letnan masuk ber"
sama empat orang serdadu. Tom membiarkan rokoknya ja"
tuh. "Steinbock?" Tom tak menjawab. Pedrolah yang menunjukkannya.
"Juan Mirbal?" "Itu di atas kasur jerami."
Dindiug 2 7 "Berdiri kamu," kata si letnan.
Juan takbergerak. Dua orangserdadu segera mengangkat
ketiaknya dan mendirikannya, tetapi ketika mereka melepas"
kannya ia kembali jatuh. Kedua tentara itu ragu.
"Ini bukan pertama kalinya ia mengalami kondisi bu"
ruk," kata si letnan, "kalian hanya membawanya, kalian ber"
dua, mereka akan membereskannya di sana."
Ia berbalik menuju Tom: "Kemarilah." Tom keluar diapit dua serdadu, dua yang lainnya meng"
ikuti di belakang. Mereka menyeret si Kecil dengan meng"
angkat ketiak dan lututnya. Ia tidak pingsan, kedua matanya
terbuka lebar dan air matanya mengalir di sepanjang pipinya.
Ketika aku ingin keluar, si letnan menghentikanku:
"Kamu Ibbieta?"
"Ya." "Kamu tunggu di sini, mereka akan segera datang men"
carimu." Mereka keluar, si Belgia dan dua orang sipir juga keluar,
tinggal aku sendirian. Aku tidak paham apa yang akan ter"
jadi padaku, tetapi aku lebih suka kalau mereka segera me"
nuntaskannya. Aku mendengar beberapa tembakan dengan
jeda yang teratur. Pada setiap tembakan aku tersentak. Aku
ingin berteriak melolong dan mencerabut rambutku sendiri.
Namun aku merapatkan gigiku dan memasukkan kedua ta"
nganku ke dalam kantung celana karena aku ingin tetap ber"
sih. Sesaat kemudian, setelah satu jam, mereka kembali da"
28 ]ean"Paul Sartre tang mencariku dan membawaku ke lantai pertama di se"
buah ruangan kecil yang berbau cerutu dan yang panasnya
sangat menyesakkan napas. Di sana ada dua orang perwira
yang sedang merokok dan duduk di atas sofa dengan kertas"
kertas menumpuk di atas lututnya.
"Kamu yang bernama Ibbieta?"
"Ya."7 "Di mana Ramon Gris?"
"Aku tak tahu."
Orang yang menginterogasiku berbadan pendek dan
gemuk. Ia mempunyai mata yang tajam dibalik kacamata je"
pitnya. Ia berkata kepadaku:
"Mendekatlah!" Aku mendekat. Ia bangkit dan memegang lenganku
sambil memandang dengan air muka yang membuatku ingin
melesak ke perut bumi. Saat itu juga ia menjepit totot"otot
bisepku dengan sekuat tenaga, tapi aku tak merasa sakit. Ini
permainan hebat: ia ingin mendominasiku. Ia juga merasa
perlu mengirimkan hembusan napasnya yang bau, tepat
di wajahku. Kami diam sesaat, membuatku ingin tertawa.
Seharusnya lebih dari ini jika untuk menakut"nakuti orang
yang akan segera mati. Ini tak berpengaruh buatku. Ia men"
dorongku dengan kasar, lalu berkata: "Kini hidupmu ada di
tanganmu sendiri. Kami akan membiarkanmu selamat jika
kamu mengatakan kepada kami di mana "ia" berada."
Dua orang itu memegang cambuk dan memakai sepatu
bot, mirip dengan orang yang akan segera mati. Sesaat ke"
mudian, mereka sibuk mencari beberapa nama di tumpukan
Dinding 2 9 kertas mereka. Mereka bergegas untuk memenjarakan atau
melepaskan orang lain. Mereka mempunyai beberapa pen"
dapat mengenai masa depan Spanyol dan tentang hal yang
lain. Aktivitas kecil mereka, menurutku sangat memalukan
dan konyol. Aku tidak lagi datang untuk menduduki tempat
mereka, bagiku mereka itu gila.
Si gemuk pendek selalu melihatku sambil mencambuk
sepatu botnya. Semua tingkah lakunya disengaja untuk
memberikan kesan seperti binatang liar dan buas.
"Lalu" Sudah?"
"Aku tak tahu di mana Gris berada," jawabku.
"Aku percaya bahwa ia di Madrid."
Perwira lain menaikkan tangannya yang pucat dengan
tak bertenaga. Ketakberdayaan itu juga disengaja. Aku me"
lihat semua tipu muslihat mereka dan aku terheran"heran
bahwa selalu ada orang yang bersenang"senang dengan hal
semacam itu. "Kamu punya waktu seperempat jam untuk berpikir,"
katanya perlahan"lahan.
"Bawa ia ke ruang cuci, bawa ke sini lagi setelah seper"
empat jam. Jika ia tetap mengelak, kita akan mengekseku"
sinya seketika itu juga."
Mereka tahu apa yang mereka lakukan. Aku telah me"
lewatkan malam dalam penantian, kemudian mereka mem"
buatku menanti satu jam dalam mw. Selama mereka meng"
eksekusi Tom dan Juan, mereka mengurungku di ruang cuci.
Mereka harus menyiapkan eksekusi sehari sebelumnya, me"
reka mengobrol tentang orang yang lemas dalam penantian
30 ]ean"Paul Sartre dan berharap aku pun seperti itu.
Mereka benar"benar keliru menempatkanku di ruang
cuci. Aku duduk di atas bangku kecil, aku merasa sangat lelah
dan mulai berpikir, tetapi tidak untuk menjawab tawaran
mereka. Sebenarnya, aku tahu di mana Gris berada: ia ber"
sembunyi di rumah sepupunya empat kilometer dari kota.
Aku juga tak akan menunjukkan persembunyiannya, kecuali
kalau mereka menyiksaku tetapi mereka kelihatannya tidak
memikirkan hat itu. Semuanya sudah diatur, pasti, dan sama
sekali tak menarik bagiku. Hanya saja aku ingin tahu alasan
penangkapanku. Aku memilih lebih baik mati daripada me"
nyerahkan Gris. Aku tidak lagi menyukai Ramon Gris. Per"
sahabatanku dengannya sudah hancur sebelum dini hari
tadi, bersamaan dengan cintaku kepada Concha, bersama"
an dengan keinginanku untuk hidup. Tak ayal lagi, aku se"
lalu memperkirakannya; ini sangat berat. Tetapi ini bukan
alasanku untuk menggantikannya mati. Hidupnya tak lebih
berarti daripada aku, hidup tak sedikit pun mempunyai
arti. Mereka merapatkan seorang laki"laki dengan dinding
dan menembaknya pada bagian atas sampai ia meninggal:
orang ini, aku, Gris, atau orang lain, semua sama saja. Aku
benar"benar tahu kalau ia lebih berguna daripada aku dalam
pembebasan Spanyol, namun aku tak peduli dengan Spanyol
ataupun kaum anarkis. Tak ada lagi yang penting. Meskipun
aku dapat membebaskan diriku dengan cara menyerahkan
Gris, namun aku menolak untuk melakukannya karena aku
merasa hal itu sangat rumit: semua karena sikap keras ke"
palaku. Aku pikir: "Haruskah berkepala batu"!" dan kegem"
Dinding 3 1 biraan yang konyol menyelimutiku.
Mereka kembali mencariku dan membawaku ke dekat
dua perwira itu. Seekor tikus lewat di bawah kakiku dan itu
cukup menghiburku. Aku berbalik ke arah salah satu dari
kedua perwira itu dan berkata kepadanya:
"Anda lihat tikus?"
Ia tak menjawab. Ia tampak muram. Sikapnya serius,
aku ingin tertawa tetapi aku menahannya karena aku takut
tak dapat berhenti. Perwira itu memelihara kumis, aku ber"
kata lagi kepadanya: "Seharusnya Anda mencukur kumis. Dasar dungu!"
Aku merasa lucu jika ia membiarkan wajahnya ditumbuhi
bulu selama hidupnya. Ia pura"pura menendangku, dan aku
terbatuk"batuk. "Eh, baiklah," kata perwira yang gemuk, "kamu sudah
berpikir?" Aku memandang mereka dengan rasa ingin tahu apakah
mereka adalah serangga"serangga dari spesies yang langka.
Aku berkata kepada mereka:
"Aku tahu di mana ia berada. Ia bersembunyi di kuburan.
Di dalam lubang kubur atau di pondok tukang gali kubur."
Aku mengatakannya untuk menipu mereka. Aku ingin
melihat mereka bangkit, menutup ikat pinggang dan mem"
beri perintah dengan raut muka sibuk.
Mereka meloncat berdiri. "Ayo ke sana! Mole, cepat minta lima belas orang pada
Leman Lopez. Kamu kata si gemuk pendek, "jika apa yang
kamu katakan itu benar, aku hanya punya satu kata, tetapi
32 ]ean"Paul Sartre jika kamu membohongi kami..."
Mereka keluar sambil terbahak"bahak dan aku menunggu
dengan damai di bawah penjagaan dua serdadu. Kadang"
kadang aku tersenyum sendiri karena aku membayangkan
dalam kepalaku apa yang mereka perbuat. Aku merasa to"
lol dan licik. Aku membayangkan mereka mengangkat batu
nisan, membuka satu demi satu lubang kubur. Aku mem"
bayangkan situasi seolah"olah orang lain: seorang tahanan
yang keras kepala menjadi pahlawan, tentara"tentara tolol
dengan kumisnya dan orang"orang dengan seragam yang
berlarian di antara kuburan"kuburan. Ini lelucon yang sangat
menggelikan. Setengah jam kemudian si gemuk pendek kembali sen"
dirian, aku pikir ia datang memberi perintah untuk meng"
eksekusiku. Sedangkan yang lain harus tetap berada di ku"
buran. Si perwira itu memandangku, sebenarnya ia tak perlu
berwajah malu. "Bawa ia ke halaman dengan yang lainnya," katanya,
"setelah operasi militer berakhir, pengadilan resmi akan me"
mutuskan nasibnya." Aku yakin kalau aku tak paham, aku bertanya kepadanya:
"Lalu, mereka tidak me... mereka tidak akan menem"
bakku?" "Bagaimanapun, tidak sekarang," setelah itu ia tak me"
natapku lagi. Aku benar"benar tak paham, aku bertanya kepadanya:
"Tapi, kenapa?"
Ia menaikkan bahunya tanpa menjawabku dan serdadu"
Dinding 3 3 serdadu itu membawaku. Di halaman ada ratusan narapi"
dana, perempuan, anak"anak, dan beberapa orang lanjut
usia. Aku mulai mengelilingi lapangan rumput yang berada
Dinding Karya Jean Paul Sartre di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di tengah halaman dan aku keheranan. Jam 12 siang mereka
memberi kami makan di ruang makan, dua atau tiga orang
telah menegurku dengan sengit: aku tak tahu lagi di mana
aku berada. Menjelang petang mereka mendorongku ke halaman
yang berisi puluhan narapidana baru. Aku kembali bertemu
Garcia, seorang penjual roti. Ia berkata kepadaku:
"Betul"betul mujur. Aku tak berpikir bertemu kamu lagi
dalam keadaan hidup."
"Mereka telah menjatuhkan hukuman mati kepadaku.
Lalu mereka berubah pikiran. Aku tak tahu kenapa."
"Mereka telah menangkapku, dua jam yang lalu."
"Kenapa?" Garcia tidak berpolitik. "Aku tak tahu," katanya, "mereka menangkap semua
yang tak berpikiran sama dengan mereka."
Ia memelankan suaranya. "Mereka telah mendapatkan Gris."
Aku mulai gemetar. "Kapan?" "Pagi tadi. Ia berbuatbodoh. Ia meninggalkan sepupunya
hari Selasa karena mereka telah mendapatkan laporan. Ia
tidak kekurangan orang yang dapat menyembunyikannya
tetapi ia tak ingin lagi merepotkan orang. Ia berkata bahwa
ia akan bersembunyi di tempat Ibbieta, tetapi karena mereka
34- ]ean"Paul Sartre
telah menangkapnya, ia akan bersembunyi di kuburan."
"Di kuburan?" "Ya, ini bodoh, mereka melewati kuburan pagi tadi.
Maka, terjadilah. Mereka menemukannya di dalam gubuk
penggali kubur. Ia menembak ke atas dan mereka men"
jatuhkannya." "Di kuburan!" Semua mulai berputar dan aku menemukan diriku du"
duk di tanah: aku berteriak, sangat keras dan airmata meleleh
dari kedua mataku. Kamar NYONYA Darbedat memegang fzzbat-loukaawl di antara
jari"jarinya dengan hati"hati dan menahan napas, takut kalau
bubuk gula halus yang ditaburkan di atasnya ikut terbawa
hembusan napasnya. "Warnanya merah," ujarnya. Dengan
cepat ia menggigit buah yang sudah layu itu, aroma busuk
memenuhi mulutnya. "Aneh, seperti penyakit yang merusak
penginderaan." Ia mulai membayangkan masjid"masjid dan
kesopanan Timur (ia pernah singgah di Aljazair selama bulan
madunya), kedua bibirnya yang pucat membentuk satu se"
1Manisan buah kurma. 36 ]ean-Paul Sartre nyuman mbat-loukouw yang sopan.
Ia harus menyapu berkali"kali permukaan halaman bu"
ku dengan telapak tangan karena serbuk"serbuk gula itu
menempel. Meskipun ia sudah berhati"hati, serbuk gula itu
menutupi halaman buku menjadi semacam lapisan serbuk
putih. Tangannya sibuk menggelincirkan, mengguling"
gulingkan, dan menggersit butir"butir kecil gula di atas kertas
yang halus: "Ini mengingatkanku pada Arcachon, ketika aku
membaca di tepi pantai. . .". Ia telah melewatkan musim pa"
nas tahun 1907 di tepi pantai. Ia memakai topi besar yang
terbuat dari jerami dengan pita berwarna hijau: duduk di de"
kat dermaga dengan raut muka seolah"olah orang dari Gyp
atau Collette Yver. Angin membuat hujan pasir di atas lututnya seperti pu"
saran"pusaran pasir, dan sesekali ia mengibaskan buku de"
ngan memegangi bagian sudutnya. Benar"benar sensasi yang
sama: hanya butir"butir pasir itu yang kering, sedangkan
butir"butir gula sedikit lengket di ujung"ujung jarinya. Ia me"
lihat lagi gumpalan awan kelabu yang menggantung di atas
Laut Hitam, "Eve belum lahir."
Ia merasa semua memberatkan ingatannya yang berharga
seperti kotak kecil dari pohon cendana. Judul roman yang
ia baca tiba"tiba mengingatkannya pada berbagai memori.
Buku yang judulnya Nyonya Kacil itu tak membosankan. Se"
jak penyakit yang tak dikenal itu menahannya untuk selalu
tinggal di dalam kamar, Nyonya Darbedat lebih memilih
kenangan"kenangan dan catatan"catatan bersejarah. Ia ber"
harap rasa sakitnya tak mengurangi kemampuan bacanya,
Kamar 37 penglihatannya yang tajam memutar kembali kenangan"ke"
nangannya, perasaan"perasaannya yang lebih halus, matang
seperti buah yang matang dari rumah kaca.
Ia membayangkan dengan sedikit kesal kalau"kalau sua"
minya segera mengetuk pintu kamarnya, di hari"hari lain
dalam satu minggu ia hanya datang menjelang malam. Ia
mencium Nyonya Darbedat di kening dengan tenang dan
membaca Le Tew; di sofa. Setiap Kamis adalah "hari?" nya
Tuan Darbedat, ia pergi selama satu jam ke rumah anak pe"
rempuannya, biasanya dari jam 3 sampai jam 4. Sebelum
pergi ia masuk ke kamar istrinya dan mereka berdua mem"
bicarakan menantu mereka dengan sengit. Percakapan hari
Kamis itu sampai ke hal"hal detail, sehingga sangat mele"
lahkan bagi Nyonya Darbedat. Tuan Darbedat memenuhi
kamar yang terang dengan kehadirannya. Ia tidak duduk tapi
berjalan mondar"mandir. Sekali waktu kemarahannya yang
menusuk seperti pecahan gelas telah melukai Nyonya Dar"
bedat. Kamis itu lebih buruk dari biasanya: dalam pikirannya
seharusnya ia segera mengulang pengakuan Eve kepada sua"
minya dan melihat tubuh besar mengerikan itu melesat ke"
luar kamar secepat kilat karena marah.
Tubuh Nyonya Darbedat berkeringat. Ia mengambil
[(ya/eau?" dari cawan, mengamatinya beberapa saat dengan
bimbang, lalu ia biarkan mbaf"laakauw itu dengan tatapan se"
dih: ia tak suka suaminya melihat dirinya makan laukawa.
Ia terloncat mendengar ketukan.
"Masuk," katanya dengan suara lemah. Tuan Darbedat
masuk dengan langkah kaki berjingkat.
38 ]ean-Paul Sartre "Aku akan menemui Eve," katanya seperti setiap Ka"
mis ia muncul di kamar ini. Nyonya Darbedat tersenyum
kepadanya. "Ciumlah ia untukku."
Tuan Darbedat tak menjawab dan mengernyitkan dahi
dengan air muka cemas: setiap Kamis pada jam yang sama
suatu iritasi pendengaran bercampur dengan beratnya pen"
cernaan. "Aku akan menemui F ranchot sambil keluar dari rumah
Eve, aku ingin ia bicara serius dan berusaha meyakinkan
Eve." Ia memang berkunjung secara teratur kepada Dokter
Franchot. Namun percuma, Nyonya Darbedat menaikkan
alis. Kadang"kadang saat sehat ia menaikkan pundak tanpa
dipaksakan. Sayang, sejak penyakit itu membebani tubuhnya,
ia mengganti isyarat yang membuatnya sangat lelah dengan
mimik mukanya: ia berkata "ya" dengan kedua mata, dan
"tidak" dengan sudut mulut, bukan dengan menaikkan alis
ataupun bahu. "Seharusnya ia dapat menambah tenaganya."
"Aku sudah katakan kalau itu tak mungkin. Lebih"le"
bih aturannya tidak baik untuk dilakukan. Franchot me"
ngatakan kepadaku bahwa suatu hari mereka akan menda"
patkan kesulitan yang tak terkira dengan rumah tangga me"
reka. Orang"orang tak dapat memutuskan siapa yang mau
menjaga si sakit di rumah mereka, dokter tak bisa berbuat
apa"apa, dokter hanya dapat memberikan nasihat"nasihat
yang pokok saja. Seharusnya," tambah Nyonya Darbedat,
Kamar 39 "ia membereskan urusan publik, sedangkan Eve harus me"
nanyakan kepada dirinya sendiri tentang rencana memasuk"
kan suaminya ke rumah sakit jiwa."
"Dan ini," kata Nyonya Darbedat, "bukan untuk be"
sok." "Tidak." Ia berbalik menuju cermin dan menyurukkan jari"jari ke
dalam janggutnya. Ia mulai menyisirnya. Nyonya Darbedat
melihat tengkuk merah dan kuat milik suaminya tanpa pe"
rasaan apa pun. "Jika Eve meneruskan," kata Tuan Darbedat, "ia akan
lebih gila dari laki"laki itu. Dan ini sangat tidak sehat, ia
tak pernah bisa berpisah dengan laki"laki itu, ia tak pernah
keluar kecuali untuk menemuimu, ia tak menerima keda"
tangan siapa pun. Udara di kamar mereka begitu menye"
sakkan, ia tak pernah membuka jendela karena Pierre tak
menginginkannya. Seolah"olah orang harus minta pendapat
kepada si sakit. Mereka membakar dupa dan aku yakin ada
kotoran dalam malang, orang merasa seperti di gereja. Ter"
kadang aku bertanya"tanya... Eve mempunyai sorot mata
yang aneh seperti kamu tahu sendiri."
"Aku tak pernah memperhatikannya," kata Nyonya
Darbedat, "aku merasa ia biasa saja. Yang jelas, ia tampak
sedih." "Rautmukanya pucat. Tidurkah ia" Makankah ia" Tak se"
harusnya menanyainya dengan hal"hal semacam itu. Tapi aku
pikir dengan laki"laki seperti Pierre di sampingnya, ia harus
2 Cawan untuk memb akar dupa di gereja.
40 ]ean-Paul Sartre terjaga sepanjang malam." Ia mengedikkan bahunya: "Yang
aku alami seperti dalam dongeng, kitalah orang tuanya. Kita
tak punya hak untuk melindunginya dari dirinya sendiri. Me"
mang lebih baik Pierre dirawat di tempat Franchot. Ada se"
buah taman yang besar dan.. aku pikir," tambahnya dengan
sedikit senyuman, "ia lebih pantas tinggal dengan orang
orang di sekitarnya. Orang"orang itu seperti anak"anak, kita
harus membiarkannya di antara mereka. Apalagi mereka
membentuk Hmwwamnnme" Di sanalah mereka harus me"
nempatkannya sejak hari pertama dan aku mengatakan ini
untuk kepentingannya sendiri, keuntungannya benar"benar
masuk akal." Sesaat kemudian ia menambahkan: "Aku sudah bilang
kepadamu kalau aku tak suka melihatnya sendirian dengan
Pierre terutama di malam hari. Bayangkan kalau terjadi se"
suatu. Pierre tampak sangat mencurigakan."
"Aku tak tahu," kata Nyonya Darbedat, "banyak alasan
untuk khawatir karena air muka yang selalu ia tunjukkan, ia
memberi kesan mengejek pada setiap orang. Anak malang,"
tambahnya sambil menghela napas, "ia sangat sombong dan
sebab itulah ia merasa lebih pintar daripada kita berdua. Ia
punya cara untuk berbicara denganmu: Anda punya alasan"
Begitu biasanya ia menutup perbincangan... Adalah suatu
anugerah untuknya kalau ia tak dapat melihat keadaannya."
Dalam kebencian Nyonya Darbedat mengingat"ingat
muka lonjong yang ironis itu, yang selalu agak miring ke
samping. Pada saat"saat pertama pernikahan Eve, Nyonya
3 Semacam perkumpulan kebatinan.
Kamar 41 Darbedat tak banyak bertanya tentang hal"hal pribadi de"
ngan menantunya. Namun lelaki itu tak pernah berusaha
sama sekali: ia hampir tak pernah mengucap kata"kata, ia
selalu menyetujui sesuatu secara tergesa dan mimik kosong.
Tuan Darbedat mengikuti jalan pikirannya sendiri:
"Franchot menyuruhku datang ke tempat praktiknya," kata
Tuan Darbedat. "Luar biasa. Para pasien mempunyai kamar"
kamar khusus dengan sofa"sofa dari kulit yang nyaman dan
beberapa dipan. Ada juga lapangan tenis, tahukah kau, me"
reka akan segera membangun kolam renang."
Tuan Darbedat berdiri di depan jendela dan menerawang
ke luar sambil sesekali menggoyangkan tubuh di atas kakinya
yang pincang. Tiba"tiba ia berputar di atas tumitnya, kedua
bahunya merendah dan kedua tangannya dimasukkan ke
dalam saku dengan luwes. Nyonya Darbedat merasa kalau ia
akan mulai bernapas: setiap kali selalu sama, sekarang Tuan
Darbedat berjalan mondar"mandir seperti seekor beruang
dalam kandang dan setiap langkah sepatunya berdetak.
"Sayangku," kata Nyonya Darbedat, "aku mohon kepa"
damu, duduklah, kau membuatku lelah," ia menambahkan
dengan ragu"ragu: "Ada beberapa masalah yang harus ku"
bicarakan denganmu."
Tuan Darbedat duduk di sofa dan menaruh tangannya di
atas lutut. Getaran halus melintas sesaat di tulang punggung
Nyonya Darbedat: saatnya telah tiba, Nyonya Darbedat ha"
rus mengatakannya. "Kautahu," kata perempuan itu dengan terbatuk"batuk,
"aku telah bertemu Eve pada hari Selasa."
42 ]ean-Paul Sartre "Ya." "Aku bercakap"cakap dengannya tentang banyak hal, ia
sangat baik. Sudah sangat lama aku tak melihatnya percaya
diri. Lalu, aku sedikit bertanya kepadanya, aku menyuruhnya
bercerita tentang Pierre. Begitulah, aku paham," tambahnya
sambil terbatuk"batuk, "kalau Eve lebih terikat dengannya."
"Betul, aku sangat mengetahuinya," kata Tuan Darbedat.
Tuan Darbedat sedikit jengkel pada Nyonya Darbedat:
istrinya selalu menjelaskan segala sesuatu secara detail sam"
bil menegaskannya dengan jelas. Nyonya Darbedat memim"
pikan hidup dalam pergaulan dengan orang"orang yang ha"
lus dan sensitif yang selalu memahaminya.
"Tapi aku ingin katakan," tambahnya, "bahwa Eve lebih
tahan di sana, tidak seperti yang kita bayangkan."
Tuan Darbedat memutar kedua bola matanya yang na"
nar dan gelisah seperti setiap kali ia lakukan ketika tak dapat
menangkap dengan baik makna dari sebuah sindiran atau
sebuah berita: "Apa maksudnya?"
"Charles," kata Nyonya Darbedat, "jangan membuatku
lelah! Kau harus paham kalau seorang ibu dapat merasa se"
dih untuk mengatakan suatu hal tertentu!"
"Aku tak mengerti sepatah kata pun atas semua yang
kauceritakan kepadaku," kata Tuan Darbedat dengan kesal.
"Kau tak ingin menceritakan semuanya, kan?"
"Oh, ya!" kata Nyonya Darbedat.
"Mereka masih... sampai saat ini?"
"Ya, ya, ya!" Nyonya Darbedat jengkel sambil memberi
tiga kali penekanan.
Dinding Karya Jean Paul Sartre di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kamar 43 Tuan Darbedat meregangkan lengan, lalu menundukkan
kepala dan diam. "Charles," kata istrinya khawatir. "Tak seharusnya aku
mengatakan hal itu kepadamu. Tetapi aku tak dapat menyim"
pan hal itu sendiri."
"Anak kita," kata Tuan Darbedat dengan suara pelan.
"Dengan laki"laki gila itu! Ia tak lagi mengenali Eve, ia me"
manggilnya Agathe. Semestinya Eve kehilangan gairah yang
telah ia korbankan."
Tuan Darbedat mengangkat kepala dan memandang is"
trinya dengan galak. "Kau yakin benar"benar mengerti?"
"Tak ada yang diragukannya lagi, aku sepertimu," tam"
bah perempuan itu dengan bersemangat, "aku tak dapat
mempercayainya, lagipula aku tak memahaminya. Aku hanya
tersentuh oleh laki"taki malang itu...," akhirnya Nyonya Dar"
bedat menarik napas, "aku menduga ia telah mengikat Eve
di sana." "Sayang sekali!" kata Tuan Darbedat. "Ingatkah kau
apa yang telah kukatakan kepadamu ketika ia datang kepada
kita untuk melamar.> Aku katakan kepadamu: aku percaya ia
sangat menyukai Eve. Kau tak ingin mempercayaiku." Tuan
Darbedat tiba"tiba memukul meja dan wajahnya merah me"
nyala: "Ini kebejatan! Ia memeluk Eye, menciumnya, me"
manggilnya Agathe, sambil mengobral semua kekonyolan
tentang patung"patung yang terbang dan tak tahu apa itu!
Dan Eve membiarkan saja!"
"Tapi apa yang terjadi di antara mereka" Apakah Eve
44. ]ean-Paul Sartre mengasihinya sepenuh hati" Apakah ia menempatkan laki"
laki itu dalam sebuah rumah peristirahatan dimana Eve da"
pat melihatnya setiap hari pada saat yang baik.> Tapi aku tak
pernah membayangkannya... aku menghargainya seperti se"
orang janda." "Dengar, Jeanette!" kata Tuan Darbedat dengan suara
lantang, "aku harus mengatakan kepadamu dengan segera.
Jika Eve masih punya gairah, aku sangat senang kalau ia pu"
nya seorang kekasih!"
"Charles, diam kau!" teriak Nyonya Darbedat.
Tuan Darbedat dengan mimik bosan mengambil topi
dan tongkat yang ia letakkan di atas gueiidafsambil beranjak.
"Setelah apa yang kaulakukan kepadaku," simpul Tuan
Darbedat, "ia tak membiarkanku berharap banyak. Akhirnya
aku akan berbicara dengannya, tentu saja karena itu kewa"
jibanku." Nyonya Darbedat mempercepat Tuan Darbedat pergi.
"Tahukah kau," kata Nyonya Darbedat untuk menyema"
ngatinya, "bagaimanapun aku percaya di rumah Eye lebih
menyenangkan daripada... sesuatu yang lain. Ia tahu suami"
nya tak dapat disembuhkan tetapi ia bersikeras, ia tak ingin
menyangkalnya!" Tuan Darbedat mengelus janggutnya.
"Senang" Ya, mungkin. Jika kau benar, Eve lama"ke"
lamaan akan bosan. Pierre sehari"harinya sulit bergaul dan
kurang bisa bercakap"cakap. Ketika aku mengucap selamat
pagi kepadanya ia mengangkat tangannya dengan malas dan
4 Meja bundar berkaki satu.
Kamar 45 ia terdiam. Begitu mereka menyendiri aku kira Pierre kem"
bali lagi pada pikirannya yang waras. Eve bercerita kepadaku
kalau Pierre sedang berhalusinasi maka ia mulai berteriak
seperti digorok. Patung"patung yang mendengung dalam
khayalannya telah membuatnya takut. Lelaki itu bilang kalau
patung"patung terbang dan terus menerus menatap mata"
nya." Tuan Darbedat menaruh sarung tangannya, ia menam"
bahkan: "Eve bosan, aku tak mengatakannya kepadamu.
Namun apakah sebelumnya ia kebingungan" Aku ingin ia
sedikit ke luar rumah, bertemu banyak orang, mungkin juga
beberapa pemuda yang baik. Mungkin juga bertemu sese"
orang seperti Schroder yang menjadi arsitek di Simplon, se"
seorang yang bermasa depan. Eve sesekali bertemu dengan
salah satu dari mereka dan perlahan"lahan membiasakan diri
untuk memulai hidupnya kembali."
Nyonya Darbedat sama sekali tak menjawab, ia khawatir
pembicaraan itu menajam dan suaminya meladeni: "Baiklah,
aku harus pergi," kata Tuan Darbedat.
"Selamat jalan, suamiku," kata Nyonya Darbedat sambil
menyorongkan dahinya. "Ciumlah ia dan katakan atas nama"
ku bahwa ia adalah anakku sayang yang malang."
Setelah suaminya pergi Nyonya Darbedat membiarkan
dirinya tenggelam di sofa dan menutup matanya yang kele"
lahan. "Vitalitas macam apa," pikirnya seolah"olah menyin"
dir diri sendiri, begitu ia menemukan kembali sedikit tenaga.
Perlahan"lahan ia mengulurkan tangannya yang pucat dan
mengambil laakoaw di atas piring dengan meraba"raba tanpa
membuka matanya. 46 ]ean-Paul Sartre *** Eve tinggal bersama suaminya di lantai lima sebuah ge"
dung tua di Rue du Bac. Tuan Darbedat menapaki seratus
dua belas anak tangga dengan gesit. Ketika ia menekan bel
sama sekali tak tampak kalau ia kehabisan napas. Ia meng"
ingat dengan bangga pujian Nona Darmoy: "Untuk se"
usiamu, Charles, kau luar biasa." Ia tak pernah merasa le"
bih kuat dan lebih sehat dibandingkan pada hari Kamis,
terutama setelah menaiki tangga dengan sigap.
Evelah yang menyambutnya. "Benar, ia tak punya pem"
bantu. Anak"anak perempuan tak dapat terus menerus ting"
gal di rumah. Aku berdiri di salah satu rumah mereka." Tuan
Darbedat mencium anak perempuannya. "Selamat pagi, sa"
yangku yang malang." Eve membalas ucapan ayahnya de"
ngan dingin. "Kamu sedikit pucat," kata Tuan Darbedat
sambil menyentuh pipi Eve, "kamu kurang berolah raga."
Suasana senyap. "Mama baik"baik saja?" tanya Eve.
"Begitulah. Kamu sudah bertemu dengannya hari Selasa
kemarin, kan" Seperti biasanya, tantemu Louise kemarin da"
tang menjenguknya. Itu membuat mamamu senang. Ma"
mamu senang menerima tamu tetapi ia harus beristirahat
cukup lama. Tantemu Louise tiba di Paris dengan anak"
anaknya untuk menyelesaikan perkara hipotik itu. Aku sudah
menceritakannya kepadamu, aku yakin ini hanya perkara
konyol, ia telah menemuiku di kantor untuk meminta nasi"
hat. Aku bilang kepadanya kalau tidak mengambil dua ke"
Kamar 47 putusan, maka ia harus menjualnya."
"Ia sudah menemukan pembeli, lagipula pembeli itu
adalah Bretonnel. Kamu ingat Bretonnel" Ia sudah meng"
undurkan diri dari dunia bisnis."
Tiba"tiba ia berhenti. Eve hampir tidak mendengarkan"
nya. Tuan Darbedat berpikir dengan sedih, mungkin saja
Eve tak lagi tertarik pada apa pun. "Seperti halnya buku"bu"
ku, kadang"kadang ia harus membuangnya. Sekarang ia tak
ingin lagi membacanya."
"Baik," kata Eye. "Papa ingin menengoknya?"
"Sudah pasti," kata Tuan Darbedat dengan riang, "aku
akan menemuinya sebentar."
Tuan Darbedat merasa sangat kasihan dengan laki"laki
malang itu, namun ia tak dapat melihatnya tanpa rasa jijik.
"Aku ngeri dengan orang"orang sakit." Tentu saja ini bukan
salah Pierre: ia mengidap cacat turunan yang parah. Tuan
Darbedat menghela napas, "Biarpun orang mengambil tin"
dakan pencegahan, namun selalu saja terlambat untuk ter"
selamatkan. Tidak, Pierre tak bertanggung jawab, namun ia
selalu menggunakan kecacatannya. Ketunaan itu mendasari
karakternya, tidak seperti kanker atau TBC yang dapat kita
abstraksikan. Kita ingin menilai seseorang sebagaimana
adanya. Kebaikan hati dan ketajaman rasa yang ditunjukkan
Eve kepada Pierre inilah yang menjadi kembang"kembang
kegilaannya. Kegilaannya. Ia sudah gila ketika menikahi Eve,
walaupun belum begitu tampak. Kita bertanya kepada diri
kita sendiri," pikir Tuan Darbedat, "darimana memulai se"
buah tanggung jawab, tepatnya, sampai batas mana tang"
48 ]ean-Paul Sartre gung jawab itu harus dihentikan" Bagaimanapun Pierre ter"
lalu banyak menelisik dirinya, ia selalu berbalik menuju diri"
nya. Inikah sebab atau akibat dari penyakitnya?"
Tuan Darbedat berjalan mengikuti anak perempuannya
melalui sebuah koridor panjang dan gelap.
"Apartemen ini terlalu besar untukmu," kata Tuan Dar"
bedat, "kamu harus pindah."
"Papa selalu mengatakan itu kepadaku," jawab Eve.
"Aku sudah bilang kalau Pierre tak mau meninggalkan ka"
marnya." Eve tercengang: ini adalah pertanyaan untuk dirinya
sendiri. Ia menyadari keadaan suaminya, laki"laki itu benar"
benar gila dan Eve menghormati keputusan serta pendapat
Pierre seolah"olah suaminya itu berakal sehat!
"Apa yang aku katakan ini untuk kebaikanmu," tambah
Tuan Darbedat sedikit jengkel. "Aku rasa kalau aku pe"
rempuan, aku akan ketakutan tinggal di ruang"ruang tua yang
gelap ini. Aku ingin kamu tinggal di apartemen yang terang
seperti yang dibangun orang pada tahun"tahun terakhir ini
di dekat Auteuil, tiga ruangan kecil yang udaranya segar.
Mereka telah menurunkan harga sewanya karena mereka ti"
dak mendapatkan penyewa. Kinilah saatnya."
Eve memutar gerendel pintu perlahan"lahan dan me"
reka masuk ke dalam kamar. Tuan Darbedat tercekat teng"
gorokannya oleh bau dupa yang menyengat, tirai"tirai dita"
rik. Dalam keremangan Tuan Darbedat melihat sebentuk
tengkuk kurus di atas sandaran sofa: Pierre membelakangi
mereka, ia sedang makan. Kamar 49 "Selamat siang, Pierre," kata Tuan Darbedat dengan
meninggikan suara. "Bagaimana kabarmu hari ini?"
Tuan Darbedat mendekat: si sakit duduk di depan meja
kecil, ia menoleh curiga.
"Aku tidak tuli," kata Pierre dengan suara pelan.
Tuan Darbedat dengan jengkel mengarahkan pandang"
annya ke Eye untuk memintanya menjadi saksi ucapan Pierre
itu. Namun Eve hanya membalasnya dengan pandangan
tajam dan diam. Tuan Darbedat paham kalau ia telah me"
nyakitinya. "Heh, salahnya sendiri."
Sangat tidak mungkin bagi Tuan Darbedat untuk me"
nentukan suara yang pas dengan laki"laki malang itu. Tak ada
alasan Pierre berbuat begitu jika dibandingkan anak berumur
4 tahun. Eve sendiri ingin agar orang memperlakukan laki"
laki itu sebagaimana lazimnya. Tuan Darbedat tak mampu
menunggu terlalu lama, apalagi ketika segala sesuatu yang
aneh sudah tak lagi layak. Orang"orang sakit memang selalu
agak menjengkelkannya. "Apalagi orang"orang gila, mereka bersalah. Si malang
Pierre contohnya. Ia bersalah atas semua persoalan, ia tak
dapat mengucapkan kata, tanpa bicara sesuatu yang tak ma"
suk akal. Percuma saja memintanya sedikit bersikap hormat
atau sekadar mengingat kesalahan"kesalahannya."
Eye mengambil cangkang telur dari tempat telur rebus.
Ia menaruhnya di depan Pierre bersama seperangkat alat
makan, termasuk sebuah garpu dan pisau.
"Apa yang akan ia makan sekarang?" tanya Tuan Dar"
bedat dengan riang. 50 ]ean-Paul Sartre "Bistik." Pierre mengambil garpu dan memegangnya dengan
ujung jarinya yang panjang dan pucat. Ia memeriksanya de"
ngan teliti, lalu tertawa riang: "Tidak untuk sekarang," sam"
bil membiarkan garpu itu, "aku dituduh bersalah."
Eye mendekat dan memandang garpu itu dengan penuh
gairah. "Agathe," kata Pierre, "beri aku garpu yang lain." Eve
menurut dan Pierre mulai makan. Eye mengambilkannya se"
buah garpu dengan curiga dan menggenggamnya erat sam"
bil terus menerus memandangnya. Perempuan itu seolah"
olah melakukan usaha yang berat.
"Sepertinya semua tingkah laku dan hubungan mereka
mencurigakan!" pikir Tuan Darbedat.
Tuan Darbedat merasa canggung.
"Hati"hati," kata Pierre, "taruh garpu itu menelungkup,
tusukannya berbahaya."
Eve menarik napas dan membiarkan garpu itu di atas
meja makan. Tuan Darbedat merasa ada monster naik ke
hidungnya. Ia tak berpikir kalau ada baiknya menuruti se"
mua fantasi orang malang itu, sama dengan sudut pandang
Pierre, tapi ini berbahaya. Franchot telah bicara baik"baik
dengannya: "Seseorang tak perlu harus masuk ke kegilaan
orang sakit." Daripada memberinya garpu yang lain lebih baik me"
nasihati dan membuatnya paham kalau yang pertama ada"
lah sama dengan garpu lainnya. Laki"laki itu memajukan
badannya ke arah meja makan, mengambil garpu secara
Kamar 51 terang"terangan dan menyentuhnya tenang dengan jari"ja"
rinya. Lalu ia berbalik menuju Pierre, tapi Pierre memotong"
motong dagingnya dengan muka tenang. Ia menatap mertua"
nya dengan pandangan halus dan tanpa ekspresi.
"Aku ingin mengobrol sebentar denganmu," kata Tuan
Darbedat kepada Eve. Eye mengikutinya dengan patuh ke ruang tamu. Ketika
duduk di atas sofa Tuan Darbedat menyadari kalau ia masih
memegang sebuah garpu di tangannya, ia membuangnya di
atas simak" "Lebih nyaman di sini," kata Tuan Darbedat. "Aku tak
pernah kemari." "Boleh aku merokok?"
"Ya, Papa," kata Eve dengan pelayanan yang penuh per"
hatian "Papa ingin cerutu?"
Tuan Darbedat lebih suka melinting sebatang rokok.
Ia pikir tak ada kesulitan dalam diskusi yang akan ia mulai.
Dinding Karya Jean Paul Sartre di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketika membicarakan Pierre ia merasa bingung dengan ala"
sannya, seperti raksasa mendapatkan mangsa dengan ke"
kuatannya ketika bermain dengan anak kecil, semua sifat"
sifat baiknya kelihatan jelas, terang dan nyata berbalik me"
nimpa dirinya sendiri. "Dengan Jeanette"ku malang, harus
diakui ini mirip." Memang, Nyonya Darbedat tidak gila tapi
penyakitnya membuatnya gampang mengantuk. Eye keba"
likannya, ia mirip dengan ayahnya, ini adalah sifat bawaan,
apalagi bersama Eve, diskusi menjadi menyenangkan, "ka"
rena itulah aku tak ingin mereka memisahkan aku dari Eve."
5 Meja yang ditempelkan pada tembok.
52 ]ean-Paul Sartre Tuan Darbedat mengangkat matanya, ia ingin melihat
raut muka yang cerdas dan halus dari anak perempuannya.
Ia kecewa: wajah itu dulu sangat rasional dan transparan,
sekarang ada sesuatu yang keruh dan buram. Eve selalu
tampak cantik, Tuan Darbedat tahu jika Eve berdandan ber"
lebihan, maka ia hampir bisa dikatakan sempurna. Ia mem"
beri warna biru di kedua kelopak matanya dan menyapukan
maskara pada bulu matanya yang lentik. Rias wajahnya
sempurna dan luar biasa sehingga menimbulkan kesan sedih
bagi ayahnya. "Kamu pucat dengan riasanmu," kata Tuan Darbedat
kepada Eve, "aku takut kamu jatuh sakit. Dan karena itulah
kamu berdandan seperti saat ini! Agar kamu tak kelihatan
pucat." Eye tak menjawab dan Tuan Darbedat mengamati sesaat
dengan bingung raut muka yang berkilat dan tua itu di bawah
onggokan tebal rambut yang hitam. Ia membayangkan anak
perempuannya seperti pemain drama tragedi, "Aku tahu
pasti ia mirip dengan seseorang. Dengan seorang perem"
puan Rumania yang bermain dalam pbedre versi Prancis di
mm" farzmge." Ia menyesal memberi kritik yang tak menye"
nangkan pada Eve. "Ia membiarkanku! Lebih baik tidak
membuatnya benci untuk masalah yang kecil."
"Maafkan aku," kata Tuan Darbedat dengan tersenyum,
"tahukah kamu kalau aku seorang miwiti" tua. Aku sangat
benci segala macam pomade yang oleh para perempuan di"
oleskan ke wajah mereka. Tetapi akulah yang salah, seha"
6Penganut faham hidup kembali dengan alam.
Kamar 53 rusnya aku mengikuti perkembangan zaman."
Eve tersenyum ramah kepada ayahnya. Tuan Darbedat
menyalakan rokoknya kemudian menghisap dan menghem"
buskan gumpalan"gumpalan asap.
"Putriku sayang," Tuan Darbedat memulai, "aku hanya
ingin mengatakan kepadamu: mari kita bercakap"cakap ber"
dua seperti dulu. Ayo, duduk dan dengarkan aku dengan ba"
ik, seharusnya kamu percaya kepada papamu yang tua ini."
"Aku lebih suka tetap berdiri," kata Eve. "Apa yang,
akan Papa bicarakan kepadaku?"
"Aku akan memberi sebuah pertanyaan sederhana," ka"
ta Tuan Darbedat dengan sedikit keras. "Apa semua akan
membawamu kepadanya?"
"Semua?" ulang Eve dengan terkejut.
"Ya, semua, semua kehidupan yang telah kamu lakukan
untuk dirimu sendiri. Dengar," tambah Tuan Darbedat, "tak
seharusnya percaya kalau aku tak memahamimu (tiba"tiba
Tuan Darbedat berwajah cerah). Tetapi apa yang ingin kamu
lakukan berada di bawah kemampuan manusia. Kamu ingin
hidup di bawah imajinasi, begitukah" Kamu tak menerimanya
kalau ia sakit" Kamu tak ingin melihat Pierre saat ini, bukan"
Kamu hanya punya mata untuk Pierre yang dulu. Sayangku,
ini adalah suatu rencana yang tidak mungkin dicapai."
"Dengar, aku akan menceritakan kepadamu sebuah ki"
sah yang mungkin tidak kamu kenal: Ketika kami tinggal di
Sables"D'Olonne, umurmu baru tiga tahun. Mamamu ber"
kenalan dengan seorang perempuan muda yang menarik, ia
mempunyai seorang anak lelaki yang sangat tampan. Kamu
54 ]ean-Paul Sartre bermain di pantai dengan anak lelaki kecil itu, waktu itu kamu
setinggi tiga buah apel, kamu adalah tunangannya. Beberapa
waktu yang lalu, di Paris, mamamu ingin bertemu lagi dengan
perempuan muda itu. Orang"orang memberitahu mamamu
kalau perempuan itu mendapat musibah buruk: anak laki"
lakinya yang tampan itu patah kepalanya tertubruk sayap
roda mobil bagian depan. Orang"orang telah mengatakan
kepada mamamu: Ayo pergi menjenguknya, tapi jangan bi"
cara kepadanya, khususnya tentang kematian anaknya, ia
tak ingin percaya kalau anak laki"lakinya telah meninggal.
Mamamu telah pergi ke sana, ia melihat seorang perempuan
yang sedikit gila: perempuan itu membayangkan seolah"olah
anaknya masih hidup, ia berbicara dengan anaknya, menata
alas makan anaknya di meja. Ia hidup dengan syaraf yang
tegang. Setelah enam bulan seharusnya orang membawanya
ke rumah peristirahatan dimana perempuan itu harus ting"
gal di sana selama tiga tahun. Tapi tidak, Nak," kata Tuan
Darbedat sambil menggelengkan kepalanya: "Semua itu
tak mungkin, lebih baik kalau perempuan itu memahami
kenyataan dengan besar hati. Ia menderita sekali saja, lalu
waktu akan membuatnya lupa. Tak ada yang lebih baik selain
memandang ke depan, percayalah padaku."
"Papa keliru," kata Eve dengan sekuat tenaga, "aku sa"
ngat tahu kalau Pierre..."
Kata"katanya tidak diteruskan: ia tetap berdiri tegak,
meletakkan tangannya di atas sandaran sofa: ada sesuatu
yang kering dan buruk di wajahnya.
"Nah" lalu?" kata Tuan Darbedat terkejut.
Kamar 55 "Lalu apa?" "Kamu?"" "Aku mencintainya seperti ia mencintaiku," kata Eve
dengan cepat dan mimik jemu.
"Salah," kata Tuan Darbedat keras. "Salah. Kamu tak
mencintainya, kamu tak dapat mencintainya. Orang tak
dapat menguji hal macam itu dengan perasaan sehat dan
normal. Kamu telah menaruh belas kasihan kepada Pierre,
aku tak ragu dan tak diragukan lagi, kamu juga menyimpan
kenangan selama tiga tahun yang bahagia yang telah kamu
korbankan untuknya. Tetapi jangan katakan kepadaku kalau
kamu mencintainya, aku tak mempercayaimu."
Eve tetap membisu dan kedua matanya tertuju ke per"
madani dengan pandangan kosong.
"Kamu dapat menjawabku," kata Tuan Darbedat de"
ngan dingin. "Aku tak percaya kalau percakapan ini menjeng"
kelkanku karena kamu..."
"Karena Papa tak mempercayaiku."
"Baik, jika kamu mencintainya," teriaknya jengkel, "ini
adalah sebuah kemalangan besar untukmu, untukku, untuk
mamamu yang malang karena aku akan segera mengatakan
beberapa hal yang lebih lengkap, ia akan berperilaku seperti
binatang." Tuan Darbedat memandang tajam anak perempuannya.
Tuan Darbedat ingin Eve bersikap sebaliknya, dengan kete"
gasannya, karena putrinya itu membuatnya jengkel.
Eve tidak menanggapi, ia benar"benar tak berani meng"
angkat wajahnya. 56 ]ean-Paul Sartre "Aku tahu." "Siapa yang telah mengatakannya kepadamu?" tanya
laki"laki itu heran.
"Franchot. Sejak enam bulan lalu aku telah mengetahui"
nya." "Dan akulah yang memintanya untuk menjaga perasa"
anmu," kata Tuan Darbedat dengan sengit. "Ya, mungkin
ini lebih baik. Tetapi dalam kondisi semacam ini kamu ha"
rus paham kalau aku takkan dapat memaafkan jika kamu
menjaga Pierre di rumahmu. Perjuangan yang telah kamu
lakukan sudah pasti akan gagal, penyakitnya membawa maut,
jika ada sesuatu yang dilakukan, jika ada orang yang dapat
menyelamatkannya dengan perawatan Yang intensif, maka
aku tak perlu bicara. Tetapi sadarlah: kamu cantik, pintar
dan menyenangkan, kamu sendiri telah merusaknya dengan
puas tanpa mendapatkan keuntungan apa"apa. Dengar, dulu
kamu mengagumkan namun sekarang tak lagi. Kamu telah
melakukan semua tugasmu lebih dari yang seharusnya, se"
karang sangat tidak bermoral kalau kamu tetap tak mau
mengalah. Orang juga mempunyai beberapa kewajiban ter"
hadap dirinya sendiri, anakku. Lalu, kamu tak memikirkan
kami. Seharusnya," ulangnya dengan menekankan kata"ka"
tanya dengan jelas, "kalau kamu mengirim Pierre ke klinik
Franchot maka kamu akan meninggalkan apartemen yang
hanya membuatmu menerima banyak kemalangan dan kamu
akan kembali ke rumah kami. Jika kamu punya keinginan
untuk melakukan sesuatu dan meringankan penderitaan
orang lain, maka kamu mendapatkan kembali mamamu.
Kamar 57 Seorang perempuan malang yang dirawat oleh beberapa
perawat, ia benar"benar butuh sedikit untuk ditemani. Ke"
mudian," tambah Tuan Darbedat, "ia dapat menghargai apa
yang akan kamu lakukan untuknya dan berterima kasih ke"
padamu." Sangat lama suasana senyap. Tuan Darbedat mendengar
Pierre bersenandung sebuah lagu sedih di kamar sebelah. Se"
terusnya lebih banyak seperti nyanyian yang lagunya mirip
orang, berbicara dengan suara melengking dan tergesa"gesa.
Tuan Darbedat mengangkat matanya ke arah anak perem"
puannya: "Lalu, bagaimana?"
"Pierre tetap tinggal denganku," kata Eve dengan halus,
"aku rukun dengannya."
Seperti perbuatan konyol sepanjang hari, Eve tersenyum
dan melempar pandangan mencemooh dan girang ke arah
papanya. "Benar," pikir Tuan Darbedat curiga, "mereka tak
melakukannya, mereka tidur bersama."
"Kamu benar"benar gila," kata Tuan Darbedat sambil
berdiri. Eve tersenyum dengan sedih dan menggerutu seperti
kepada dirinya sendiri. "Tak cukup." "Tak cukup" Aku tak dapat berbicara kepadamu tentang
sesuatu hal, anakku, kamu membuatku takut."
Tuan Darbedat menciumnya dengan terburu"buru dan
keluar. "Seharusnya," pikir laki"laki itu sambil menuruni
tangga, "aku mengirim dua laki"laki kuat yang membawa"
dengan kekuatan mereka"sampah sial itu dan menaruhnya
58 ]ean-Paul Sartre di bawah pancuran tanpa banyak tanya."
Hari cerah di musim gugur, tenang dan tanpa misteri,
matahari membakar wajah orang"orang yang lewat. Tuan
Darbedat terketuk oleh wajah"wajah yang polos: ada wajah"
wajah coklat terbakar sinar matahari dan yang lainnya halus
mulus, namun mereka memantulkan semua kebahagiaan
dan masalah yang lazim bagi Tuan Darbedat.
"Aku tahu pasti apa yang aku peringatkan pada Eve,"
katanya kepada dirinya sendiri sembari berjalan ke kaulamrd Saint"Germain. "Aku memperingatkannya tentang hi"
dup di luar diri manusia. Pierre bukan lagi manusia: semua
perhatian, semua cinta telah Eve berikan kepada Pierre, tak
satu pun orang lain di antara mereka. Orang tak punya hak
menolak orang"orang lainnya, bahkan ketika setan ada di
tengah masyarakat." Tuan Darbedat menatap wajah semua orang yang lewat
dengan simpatik, ia menyukai pandangan mereka yang se"
rius dan jernih. Di jalan"jalan yang disinari matahari, di an"
tara banyak orang, ia merasa aman bagaikan di tengah"te"
ngah sebuah keluarga besar.
Seorang perempuan dengan rambut panjang berdiri di
depan sebuah etalase terbuka. Ia menggandeng tangan anak
perempuannya. "Apa itu?" tanya anak perempuan itu sambil
menunjuk sebuah pesawat radio.
"Jangan menyentuh apa pun," kata ibunya, "itu alat
untuk mendengarkan musik."
Mereka diam sesaat dan memandang penuh kekaguman.
Tuan Darbedat paham, ia membungkuk ke arah anak kecil
itu dan tersenyum kepadanya.
Kamar 59 *** "Ia sudah pergi." Pintu ditutup dengan hempasan keras,
Eve sendirian di ruang tamu: "Aku ingin ia mati."
Eve mengepalkan kedua tangannya di atas sandaran so"
fa. Ia baru saja mengingat kedua mata ayahnya. Tuan Dar"
bedat membungkuk di atas Pierre dengan wajah sok pintar,
berkata kepada Pierre: "Bagus!" seperti seseorang yang me"
ngerti bercakap"cakap dengan orang sakit. Tuan Darbedat
membungkuk menatap Pierre, sementara kecerdasan tam"
pak di dasar mata Pierre yang besar. "Aku benci ketika ia
menatap Pierre, seat itu kubayangkan ia menelan Pierre."
Kedua tangan Eve menyentuh sepanjang sofa dan ia
berbalik menuju jendela. Ia silau, ruangan ditimpa sinar
matahari, di mana"mana ada sinar itu: sebuah bulatan pu"
cat di udara seperti debu yang menyilaukan di atas per"
madani. Eve sudah lupa kebiasaan sinar yang menerobos
dan cepat menyusup ke mana"mana, mengorek sudut"su"
dut, menggosok mebel, dan membuatnya berkilat seperti
pekerjaan ibu rumah tangga yang baik. Lalu, Eve beranjak
ke jendela dan menaikkan kelambu yang menutupi kaca
jendela. Sesaat setelah Tuan Darbedat keluar dari gedung,
Eve tiba"tiba melihat sepintas bahu ayahnya yang lebar.
Laki"laki itu mengangkat kepala dan memandang langit
sambil mengedipkan mata lalu ia menjauh dengan langkah
tegap, seperti anak muda. "Ia memaksakan diri," pikir Eve,
"sebentar lagi lambungnya akan sakit."
Eve tidak lagi membencinya: ada sesuatu di dalam ke"
60 ]ean-Paul Sartre pala itu, sebuah masalah kecil yang membuatnya awet mu"
da. Meskipun begitu kemarahannya muncul lagi saat melihat
Tuan Darbedat berbelok di sudut baulezmd Saint"Germain
dan menghilang. "Ia memikirkan Pierre." Hanya sedikit
waktu yang mereka gunakan untuk keluar dari rumah dari
kamar yang tertutup dan berjalan keluar, di bawah sinar ma"
Dinding Karya Jean Paul Sartre di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tahari, di antara orang"orang. "Apakah orang"orang tak akan
pernah bisa melupakan kami?"
Di Rue du Bac hampir tidak ada orang, selain seorang
perempuan tua yang menyeberangi jalan dengan langkah"
langkah kecil. Tiga gadis lewat dengan riang. Kemudian
ada beberapa laki"laki gagah dan galak yang memakai syal,
mereka saling bercakap"cakap. "'Orang"orang yang normal,"
pikir Eve. Ia heran menemukan dirinya dalam sebuah ke"
bencian. Seorang perempuan gemuk yang cantik berlari ke
arah laki"laki gagah. Laki"laki itu merangkul si perempuan
dengan kedua tangannya dan mencium bibirnya. Eve
tertawa kaku dan membiarkan kelambu terjatuh.
Pierre tidak lagi menyanyi tetapi seorang perempuan
muda di lantai tiga mulai bermain piano: ia memainkan
Etude dari Chopin. Eve tak lagi merasa tenang, ia melangkah
menuju kamar Pierre namun tiba"tiba ia berhenti dan ber"
sandar ke tembok dengan sedikit cemas: seperti setiap kali
meninggalkan kamar, ia menjadi panik begitu berpikir kalau
ia harus kembali ke kamar. Meskipun begitu ia benar"benar
tahu kalau ia tak dapat hidup di tempat lain: ia menyukai
kamar itu. Ia memandang sepintas dengan rasa ingin tahu"
nya yang dingin, seperti untuk mendapatkan sedikit waktu,
Kamar 61 ruangan itu tidak gelap, tidak bau seperti ketika ia menunggu
semangatnya tumbuh lagi. "Orang mengatakan ruang itu
adalah ruang tunggu seorang dokter gigi."
Sofa"sofa dari sutera berwarna merah jambu, sebuah di"
pan, beberapa bangku yang sederhana dan tidak mencolok
disediakan untuk orang"orang. Eve membayangkan tuan"
tuan yang serius dan berpakaian dari bahan warna cerah,
sama seperti yang ia lihat lewat jendela, keluar dari ruang
tamu sambil meneruskan percakapannya. Mereka tidak
membuang waktu untuk mengenali lagi beberapa tempat;
mereka maju dengan langkah mantap sampai di tengah"te"
ngah ruangan, salah satu dari mereka membiarkan tangan"
nya terjuntai di belakang tubuhnya seperti alur kapal, me"
nyentuh bantal"bantal, benda"benda di atas meja, dan benar"
benar tidak tersentak dengan sentuhan"sentuhan itu. Dan
saat sebuah mebel menghalangi jalan, mereka tidak berbelok
untuk menghindarinya tetapi memindahkan ke tempat lain
dengan tenang. Akhirnya mereka duduk dan tenggelam dalam perca"
kapan tanpa mengalihkan pandangan ke belakang. "Sebuah
kamar tamu untuk orang"orang normal," pikir Eve. Ia me"
nutup pintu dengan rasa cemas mencekik leher: "Aku ha"
rus masuk kamar. Aku tak pernah berlama"lama mening"
galkannya sendirian."
Eye membuka pintu, lalu terdiam di ambang pintu
sambil berusaha menajamkan kedua matanya di kegelapan.
Tapi kamar itu menolaknya dengan seluruh kekuatannya.
Tentunya Eve mengalahkan perlawanan itu dan ia pun
62 ]ean-Paul Sartre berjalan sampai di tengah ruangan. Tiba"tiba ia punya ke"
inginan yang kuat untuk menengok Pierre, keduanya suka
mengolok"olok Tuan Darbedat tetapi Pierre terkesan tidak
membutuhkan Eve. Tanpa memperkirakan tanggapan
Pierre kepadanya, tiba"tiba Eve berpikir dengan semacam
kesombongan seandainya ia tak lagi mempunyai tempat di
mana pun. "Orang"orang normal masih percaya kalau aku
adalah salah satu dari mereka. Tetapi aku tak dapat tinggal
satu jam pun di tengah"tengah mereka. Aku butuh hidup di
sana, di sisi lain tembok ini. Tetapi di sana orang"orang tidak
menerimaku." Perubahan terjadi di sekitar Eve. Cahaya makin mere"
dup, Eve semakin tua: tubuhnya memberat seperti air dalam
vas bunga yang lama tidak dikuras. Pada benda"benda, de"
ngan lampu tua, Eye menemukan kembali satu kesenduan
yang lama ia lupakan: kesenduan di suatu sore di musim semi
yang telah berakhir. Eve memandang ke sekeliling, ragu"ragu
hampir takut. Semuanya sangat jauh: kesenduan. Sepintas
ia mengingat kembali musim"musim semi dahulu, musim
semi di masa kanak"kanaknya, tiba"tiba ia menguatkan diri:
ia takut akan kenangan"kenangannya.
Ia mendengar suara Pierre.
"Agathe! Di mana kamu?"
"Aku datang," teriak Eve. Ia membuka pintu dan masuk
ke dalam kamar. Bau dupa yang tebal memenuhi hidung
dan mulutnya, Eve membelalakkan mata dan merentangkan
tangan ke depan. Dupa dan asap sejak lama tidak lagi mem"
buat matanya pedas. Ia sudah terbiasa, akrab bagai air, udara
Kamar 63 atau api, dan dengan hati"hati ia pun menuju suatu bayangan
pucat yang tampak bagai mengambang di kabut. Itu wajah
Pierre: bajunya (sejak sakit ia selalu berpakaian hitam) lebur
dalam kegelapan. Pierre membalikkan kepala ke belakang
dan menutup mata. Ia tampan.
Eye memandang bulu matanya yang panjang dan lentik,
lalu ia duduk di dekatnya di atas kursi rendah. "Ia tampak
menderita," pikir Eve. Kedua mata Eve sedikit demi sedikit
terbiasa di keremangan. Pertama"tama yang terlihat hanya
meja tulis, kemudian tempat tidur, lalu benda"benda pri"
badi Pierre, gunting, pot, lem, buku"buku, herbarium yang
mengotori karpet di dekat sofa.
"Agathe?" Pierre telah membuka mata, ia memandang Eve sambil
tersenyum. "Kamu tahu garpu?" kata Pierre. "Aku membuatnya
untuk menakut"nakuti orang. Garpu itu nyaris tak mempu"
nyai apa"apa." Rasa cemas Eve lenyap, ia pun tersenyum ringan.
"Kamu telah berhasil dengan baik," kata Eve, "kamu
benar"benar telah membuatnya bingung."
Pierre tersenyum. "Kamu melihatnya?" ia memegang pada saat yang te"
pat, ia menggenggamnya. "Apa yang ada," kata Pierre, "itu
karena mereka tak mampu mengambil beberapa benda. Me"
reka menggenggamnya."
"Benar," kata Eve.
Dengan telunjuk tangan kanan Pierre memukul ringan
64 Jean-Paul Sartre telapak tangan kirinya. "Memang, dengan itulah mereka mengambil. Mereka
mendekatkan jari"jari mereka dan ketika memegang benda
itu mereka memukulnya dengan telapak tangan."
Pierre bicara dengan suara cepat dan dengan ujung bi"
birnya: ia kelihatan bingung.
"Aku bertanya kepada diriku sendiri apa yang mereka
inginkan, akhirnya ia berkata. Orang itu telah datang. Me"
ngapa mereka mengirimnya untukku" Jika mereka ingin tahu
apa yang kulakukan, mereka cukup membacanya di layar, dan
tak perlu beranjak. Mereka melakukan beberapa kesalahan.
Aku" aku tak pernah melakukannya, inilah kartu truf"ku.
Haikal," katanya, "bryjhz"ia menggerakkan tangannya yang
panjang ke dahinya: Bajingan, brengsek! thjfka, de JW",
apakah kamu menginginkannya lebih banyak?"
"Ia tolol?" tanya Eve.
"Ya, ia sudah pergi," tambahnya dengan marah, "ia se"
orang bawahan, kamu mengenalnya, kamu pernah bersama"
nya di ruang tamu." Eve tak menjawab. "Apa yang ia inginkan?" tanya Pierre. Ia harus mengata"
kannya. Eve ragu sesaat lalu menjawab dengan keras. "Ia ingin
menyekapmu." Saat orang mengatakan dengan harus sebuah kenyataan
kepadanya, Pierre selalu curiga, Eye harus memukulnya
dengan keras untuk membuat matanya berkunang"kunang
dan melumpuhkan kecurigaannya. Eve lebih senang menge"
Kamar 65 rasinya daripada membohonginya: ketika Eve berbohong dan
ia kelihatan mempercayainya, Eve tak dapat menghindarkan
diri dari perasaan superior yang justru menakutkannya sen"
diri. "Mengurungku!" ulang Pierre dengan ejekan. "Mereka
ngaco! Apakah itu dapat membuatku terpenjara" Mereka
mungkin percaya kalau itu akan menghentikanku. Sering
kali aku bertanya kepada diriku sendiri seandainya tidak ada
dua gerombolan. Sebenarnya salah satu dari mereka adalah
Negro. Lalu, satu gerombolan pengacau berusaha menyu"
rukkan hidungnya di dalam sana dan membuat ketololan di
atas ketololan." Pierre menempatkan tangannya di atas pegangan sofa
dan mengamatinya dengan mimik menikmati: "Tembok"
tembok, saling melintang. Kamu menjawab apa kepadanya?"
ia bertanya sambil berbalik menuju Eye dengan rasa ingin
tahu. "Apa mereka tidak menyekapmu?"
Ia mengangkat bahu. "Tidak seharusnya mengatakan hal itu. Kamu juga, ka"
mu telah membuat satu kesalahan, kecuali kalau kamu tak
sengaja. Seharusnya kamu biarkan mereka membuka kartu."
Pierre diam, Eve menunduk sedih: "Mereka telah meng"
genggamnya dan sepertinya ini adil. "Apakah aku juga menggenggam
. Dengan nada mengejek ia mengatakannya
beberapa benda" Aku telah mengamati diri sendiri, aku per"
caya kalau sebagian dari tingkah lakuku menjengkelkannya.
Tapi ia tak mengatakannya."
66 ]ean-Paul Sartre Eve tiba"tiba merasa sengsara seperti saat ia berumur
empat belas tahun dan ketika itu Nyonya Darbedat berkata
kepadanya: "Kami percaya kalau kamu tidak tahu untuk apa
kedua tanganmu." Eve tak berani membuat gerakan dan hanya saat itu
saja hatinya tertarik untuk berganti posisi. Ia perlahan"lahan
membetulkan kedua kakinya di bawah kursi, hampir tidak
menyentuh karpet. Ia memandang lampu di atas meja lampu
yang oleh Pierre alasnya dicat warna hitam dan sebuah
papan catur. Di atas papan catur Pierre hanya membiarkan
pion"pion warna hitam. Kadang"kadang ia bangun, berjalan
ke arah meja dan mengambil pion"pion satu persatu dengan
dua tangannya. Ia bercakap"cakap dengan pion"pion itu, ia
menamai mereka Robot dan mereka tampak hidup dalam
sebuah bidang yang terselubung oleh jari"jari Pierre.
Ketika Pierre meletakkannya kembali, Eve segera me"
nyentuh pion"pion itu (ia merasa sedikit geli): mereka kem"
bali menjadi potongan"potongan kayu mati tapi Pierre ma"
sih begitu asyik dengan mereka, sesuatu yang tidak jelas
dan tak dapat ditangkap, sesuatu yang seperti sebuah naluri.
"Mereka menjadi obyeknya," pikir Eve. "Tak ada apa pun
lagi milikku di kamar ini."
Dulu Eve mempunyai beberapa mebel. Sebuah cermin
dan meja rias kecil yang ditempeli hiasan dari kayu, meja itu
pemberian neneknya dan Pierre berkelakar menyebutnya:
Penata riasmu. Pierre membawa pion"pion itu, bagi Pierre
benda"benda itu memperlihatkan wajah aslinya. Eve dapat
melihat benda"benda itu selama berapa jam: pion"pion itu
Kamar 67 menimbulkan rasa pusing yang tak henti"hentinya dan me"
ngecewakan, mereka tidak pernah memperlihatkan keha"
dirannya pada Eve, seperti di tempat dokter Franchot dan
Tuan Darbedat. "Meskipun begitu," kata Eve cemas kepada dirinya sen"
diri, "aku benar"benar tak melihat mereka seperti halnya
Papa, tak mungkin aku tak melihat benda"benda itu sama
sekali seperti halnya Pierre."
Eve sedikit menggerakkan kedua lututnya: ia merasa
kedua kakinya kesemutan, tubuhnya kaku dan tegang, ini
membuatnya sakit. Eve merasa tubuhnya sangat dinamis
dan ringan: "Aku ingin menghilang dan tetap di sana, me"
lihatnya tanpa ia melihatku. Pierre tak membutuhkan aku,
kehadiranku di kamar mengganggunya."
Eye sedikit memutar kepalanya dan memandang tembok
di atas Pierre. Di tembok itu beberapa ancaman tertulis.
Eve melihatnya tetapi ia tak dapat membacanya, ia selalu
melihat bunga"bunga mawar merah di kertas dinding yang
selalu menari"nari di depan kedua matanya. Mawar"mawar
itu memancarkan cahaya dalam keremangan. Ancaman itu
kebanyakan ditulis di dekat plafon, di sisi kiri tempat tidur:
tapi kadang"kadang tulisan"tulisan itu berpindah. "Aku ha"
rus bangun, aku tak bisa... aku tak bisa terus"menerus duduk
dalam waktu yang lama."
Di tembok ada juga beberapa piringan hitam yang mirip
dengan irisan"irisan bawang. Piringan"piringan itu berputar"
putar sendiri dan kedua tangan Eve mulai gemetaran: "Ada
saat"saat dimana aku menjadi gila. Tetapi tidak... tidak," pikir
68 ]ean-Paul Sartre Eve dengan pahit, "aku tak mungkin gila. Aku hanya kalut,
semua wajar"wajar saja."
Tiba"tiba Eve merasakan tangan Pierre di atas tangannya.
"Agathe," kata Pierre dengan mesra.
Pierre tersenyum. Ujung"ujung jari Pierre memegang ta"
ngan Eve dengan semacam perasaan jijik, seolah"olah ia me"
nangkap kepiting dari punggungnya dan ingin menghindari
capit"capitnya. "Agathe," kata Pierre, "aku sangat ingin mempercayai"
mu." Eve menutup kedua matanya dan dadanya seperti ter"
bakar: "Aku tidak harus menjawab apa pun. Tanpa hal itu ia
akan ragu, ia tak lagi bicara apa pun."
Pierre melepaskan tangannya: "Aku sangat mencintaimu,
Agathe," kata Pierre kepada Eve. "Tetapi aku tak dapat me"
mahamimu. Kenapa kamu sepanjang waktu mengurung diri
di kamar?" Eve tak menjawab. "Katakan kepadaku, kenapa?"
"Kamu tahu betul kalau aku mencintaimu," kata Eve
dengan tajam. "Aku tak mempercayaimu," kata Pierre, "kenapa kamu
mencintaiku" Aku pasti membuatmu takut: Aku berhantu!"
Dinding Karya Jean Paul Sartre di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pierre tersenyum. Tapi tiba"tiba ia menjadi begitu me"
ngerikan. "Ada tembok di antara kamu dan aku. Aku melihatmu
bicara kepadaku meski kamu ada di baliknya. Apa yang
menghalangi kita untuk sating mencintai" Dulu aku kira ini
Kamar 69 lebih mudah. Di Hamburg."
"Ya," kata Eve dengan sedih. Selalu Hamburg.
Pierre tidak pernah mengatakan masa lalunya yang se"
sungguhnya. Tidak Eve, tidak juga Pierre pernah berada di
Hamburg. "Kita berjalan"jalan di sepanjang kanal, di sana ada
perahu tongkang, kamu ingat" Tongkang itu berwarna
hitam, ada seekor anjing di jembatan."
Pierre mengarang terlalu berlebihan, ia kelihatan ber"
bohong. "Aku memegang tanganmu, kamu punya kulit yang ber"
beda. Aku percaya semua yang kamu katakan padaku. Diam
|); kamu teriak Pierre. Sesaat Pierre mendengarkan sesuatu.
"Mereka segera datang," katanya dengan suara sedih.
Eve terkejut. "Mereka segera datang" Aku sudah percaya kalau me"
reka tak akan pernah lagi datang."
Sudah tiga hari ini Pierre lebih tenang, patung"patung
itu tidak datang. Pierre mempunyai ketakutan yang luar biasa
dengan patung"patung meskipun ia tidak mengakuinya. Eve
tidak takut dengan hal itu, tetapi ketika patung"patung itu
mulai terbang dalam kamar, mendengung, Eve takut akan
Pierre. "Beri aku qiul/W'e," kata Pierre.
Eye bangkit dan mengambil qiut/are, rangkaian potongan
kertas karton yang Pierre rekatkan sendiri. Pierre menggu"
nakannya untuk mengusir patung"patung itu. Zz'ztfbre mirip
70 ]ean-Paul Sartre dengan seekor laba"laba. Pada salah satu dari karton"karton
itu Pierre menuliskan: "Kekuatan dari sebuah jebakan" dan
pada potongan yang lain ia menuliskan: "Hitam". Pada ker"
tas yang ketiga ia menggambar seraut wajah riang dengan
dua mata yang berkerut: Voltaire. Pierre menangkap giutbre
melalui ujungnya dan mengamatinya dengan wajah muram.
"Itu tak berguna bagiku," kata Pierre.
"Kenapa?" "Mereka telah membaliknya."
"Kamu akan membuat yang lain lagi?"
Pierre menatap Eve, lama.
"Kamu benar"benar menginginkannya," kata Pierre de"
ngan mendesis. Eve jengkel kepada Pierre. Setiap kali mereka akan da"
tang, Pierre tahu benar apa yang dilakukannya: ia tak pernah
salah. Zimbra menggantung dengan buruk sekali di ujung jari"
jari Pierre, ia selalu menemukan alasan"alasan tepat untuk
tidak menggunakannya. Hari Minggu saat mereka datang,
ia merasa lupa meletakkannya, tetapi aku melihatnya di be"
lakang pot perekat dan ia tak dapat melihatnya. Aku ber"
tanya kepada diriku sendiri, benda ini bukankanlah ia yang
menarik perhatian mereka. Orang tak pernah tahu kalau ia
jujur. Pada saat"saat tertentu Eve merasa Pierre diliputi begitu
banyak pikiran buruk dan bayangan"bayangan, namun di
lain waktu Pierre kelihatan mengada"ada. "Ia sakit." Tetapi
sampai di mana ia percaya kepada patung dan orang Negro"
Kamar 71 Patung"patung itu, bagaimanapun, aku tahu kalau ia tidak
melihatnya, ia hanya mendengarnya: ketika mereka lewat, ia
membuang muka, meskipun begitu ia bilang kalau ia melihat
dan mengibarkannya. Eve mengingat wajah merah Dokter Franchot. "Tapi,
Nyonya, semua penderita sakit jiwa adalah pembohong. An"
da akan kehilangan waktu jika ingin mengetahui apa yang
mereka rasakan dan apa yang mereka ingin rasakan."
Eve terkejut: "Apa yang baru saja Franchot lakukan di
dalam sana" Aku tidak akan berpikir seperti dia."
Pierre bangun, ia membuang giat]?"" ke keranjang sam"
pah: "Kamulah yang ingin aku pikirkan," gumam Eve. Pierre
berjingkat dengan langkah"langkah kecil sambil merapatkan
siku pada kedua pinggulnya, sehingga memungkinkannya
untuk melewati tempat yang sempit. Pierre kembali duduk
dan memandang Eve dengan wajah agak merunduk.
"Seharusnya kutempelkan kertas dinding warna hitam,"
kata Pierre. "Kamar ini kurang nuansa hitam."
Pierre makan di atas sofa. Eye memandang dengan
sedih tubuh pelit yang selalu siap untuk beristirahat, siap
meringkuk: tangan, kaki, dan kepalanya kelihatan seperti
organ tubuh yang bisa berkerut masuk. Lonceng jam ber"
dentang enam kali, suara piano berhenti. Eve menarik na"
pas: "Patung"patung itu tidak segera datang, mereka harus
kutunggu." "Kamu ingin aku menyalakan lampu?"
Eve tidak suka menunggu mereka dalam gelap.
"Lakukan apa yang kamu mau," kata Pierre.
72 ]ean-Paul Sartre Eve menyalakan lampu kecil di meja tulis dan sebuah
kabut merah memenuhi ruangan. Pierre pun menunggu. Ia
terdiam namun bibirnya komat"kamit. Bibir itu membentuk
dua bayangan gelap dalam kabut merah. Eve menyukai
bibir Pierre. Dulu bibir itu sensual dan menggetarkan hati,
tetapi sekarang kering dan hambar. Bibir itu terkuak satu
dengan yang lain sambil bergetar sedikit dan bersentuhan
lagi terus"menerus, melumat satu sama lain untuk berpisah
kembali. Pada muka yang tertutup itu hanya bibir raja yang
hidup: bibir itu kelihatan seperti dua orang penakut. Pierre
mampu menggumam selama beberapa jam tanpa satu suara
pun keluar dari mulutnya dan sering kali Eve membiarkan
dirinya terpukau dengan gerakan yang sedikit dipaksakan.
"Aku menyukai bibirmu," Pierre tidak lagi pernah men"
cium Eve. Pierre merasa jijik jika melakukan kontak malam
hari Eve menyentuhnya, tangan laki"laki yang keras dan ka"
sar, mencubit sepanjang tubuhnya, tangan perempuan de"
ngan kuku yang sangat panjang, membuat satu elusan yang
menyakitkannya. Sering kali Pierre tidur dengan pakaian
lengkap, tetapi tangan"tangan menyelinap di bawah ba"
junya dan menarik kemejanya kuat"kuat. Suatu kali Pierre
mendengar tawa dari sebentuk bibir bengkak yang hinggap
di atas bibirnya. Sejak malam itulah Pierre tidak lagi mencium
Eve. "Agathe," kata Pierre, "jangan memandang bibirku!"
Eye melihat ke bawah. "Aku tidak tahu kalau orang dapat belajar membaca le"
wat bibir," tambah Pierre kurang ajar.
Kamar 73 Tangannya bergetar di atas pegangan sofa. Telunjuknya
tegang dan mengetuk tiga kali pada ibu jari, sementara jari"
jari yang lainnya juga tegang: ini persengkongkolan. "Akan
segera dimulai," pikir Eve. Ia ingin mendekap Pierre ke da"
lam pelukannya. Pierre mulai bicara terlalu tinggi, dengan nada orang
golongan atas. "Ingatkah kamu dengan Santet Pauli?"
Jangan jawab. Ini mungkin sebuah perangkap.
"Di sanalah aku mengenalmu," kata Pierre dengan wa"
jah puas. "Aku telah menolongtnu dari gangguan seorang
pelaut Denmark. Kami nyaris duel, tetapi aku berhasil me"
nyingkirkannya dengan pukulan dan ia membiarkanku
membawamu. Semua itu komedi semata."
"Ia berbohong, jangan percaya sepatah kata pun yang ia
katakan. Ia tahu kalau aku tidak memanggilmu, Agathe. Aku
membencinya begitu ia berbohong."
Eve melihat matanya lekat"lekat dan kemarahannya pun
cair. "Ia tak berdusta," pikir Eve, "ia lelah. Ia merasa kalau
mereka mendekat, ia bicara untuk menghindar dan mende"
ngat." Kedua tangan Pierre berpegangan pada sofa. Wajahnya
pucat: ia tersenyum. "Pertemuan"pertemuan itu sering kali aneh," kata Pierre.
"Tapi aku belum percaya hanya dengan menduga"duganya
saja. Aku tak bertanya padamu siapa yang telah mengirimku,
aku tahu kamu tak bakal menjawab. Bagaimanapun kamu
cukup cerdas untuk mengotoriku."
74 ]ean-Paul Sartre Pierre bicara dengan penuh penderitaan, dengan suara
melengking dan tertekan. Ada beberapa kata yang tak dapat
ia ucapkan dan keluar dari mulutnya, seperti suatu pikiran
lamban dan tak jelas. "Kamu membawaku ke tengah pesta, di antara bebe"
rapa mobil mainan warna hitam pada komidi putar, tetapi
di belakang mobil"mobil itu ada pasukan bermata merah
berkilat begitu aku tak melihat mereka lagi. Aku pikir ka"
mu memberikan tanda pada mereka, waktu itu kamu meng"
gelayuti tanganku, tapi aku tak melihat apa pun. Perhatianku
tersita oleh upacara penobatan besar"besaran."
Pierre memandang lurus ke depan, matanya terbuka le"
bar. Ia menyapukan tangan ke dahi dengan sangat cepat,
sebuah tingkah laku yang picik dan tak pernah diam: ia tak
ingin berhenti bicara. "Itu upacara penobatan Republik," kata Pierre dengan
suara melengking, "sebuah pertunjukan yang mengesankan
bagi bangsanya, karena beberapa jenis binatang dikirim un"
tuk ikut perayaan. Kamu takut tersesat di antara kera"kera.
Aku bicara di antara kera"kera," ulangnya dengan muka
sombong sambil memandang sekitarnya. "Aku dapat bi"
cara di antara orang Negro!" Orang"orang cebol yang me"
nyelinap di bawah meja"meja dan yakin bisa lewat tanpa
diketahui dan ditemukan, terpaku seketika oleh tatapan ma"
taku. "Perintahnya adalah diam," teriak Pierre. "Diam! Se"
mua tetap di tempat dan kamu jaga di pintu masuk patung"
patung itu, ini perintah. Tralala...," Pierre berteriak keras dan
menaruh kornet di depan mulutnya. "Tralalala... traalala...".
Kamar 75 Pierre diam, sementara Eve tahu kalau patung"patung,
itu baru saja masuk ke kamar. Pierre berdiri kaku, pucat,
dan terlecehkan. Eve juga menguatkan diri. Keduanya me"
nunggu dengan saling diam. Seseorang berjalan di sepanjang
koridor: orang itu adalah Marie, pembantu di apartemen
ini, mungkin ia baru saja datang. Eve berpikir: aku harus
memberinya uang untuk membayar gas. Lalu, patung"pa"
tung mulai berterbangan, lewat di antara Eve dan Pierre.
Pierre berkata, "han" dan meringkuk di atas sofa sambil
memasukkan kedua kaki ke bawah tubuhnya. Ia membuang
muka; kadang"kadang ia tertawa, tetapi keringat terus bergulir
di dahinya. Eve tak dapat menghalangi pandangannya dari
pipi pucat itu, dari bibir yang bergetar dan berubah ben"
tuknya: Eve menutup mata. Beberapa anak lelaki yang ku"
litnya terbakar matahari mulai berdansa di dasar kelopak
matanya yang berwarna merah, Eve merasa tua dan lamban.
Tak jauh dari Eve, Pierre kelelahan. "Mereka terbang, men"
dengung; mereka tertarik padanya...". Eve merasa sedikit
geli, rasa sakit di pundak dan di rusuk kanan. Secara nalu"
riah tubuhnya miring ke kiri seperti menghindari kontak
yang tidak menyenangkan, seperti membiarkan benda yang
berat dan kaku untuk lewat. Tiba"tiba lantai berderak dan
Eve mempunyai keinginan gila untuk membuka matanya,
memandang ke sebelah kanan sambil menyapu udara de"
ngan tangannya. Eye tidak melakukan apa pun, ia menjaga matanya agar
tetap tertutup dan kegirangan membuatnya gemetar. "Aku
Panji Sakti 8 Sherlock Holmes - Kisah Penutup Oh Yeaah Ouwh Yeeeaah 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama