Ceritasilat Novel Online

Dinding 2

Dinding Karya Jean Paul Sartre Bagian 2


juga takut," pikir Eve. Sepanjang hidupnya dilindungi ru"
76 ]ean-Paul Sartre suk sebelah kanan. Eve membungkuk ke arah Pierre tanpa
membuka mata. Ini sudah cukup menyenangkan, hanya de"
ngan sedikit usaha dimana untuk pertama kalinya Eve masuk
ke dunia yang tragis. "Aku takut dengan patung"patung,"
pikirnya. Ini sebuah pernyataan yang luar biasa dan tidak
jelas, sebuah mantra: dengan semua kekuatannya Eye ingin
mempercayai kehadiran mereka, rasa cemas melumpuhkan
rusuk kanannya, Eve berusaha membuat sebuah indera
baru, sebuah sentuhan. Di tangannya, di rusuknya, dan di
pundaknya. Ia merasa, mereka melintas.
Patung"patung itu terbang rendah dan halus, mereka
mendengung. Eve tahu kalau mereka kelihatan licik dan ia
pun tahu kalau bulu mata mereka terbuat dari batu tetapi
Eve sukar untuk membayangkannya. Eve juga tahu kalau
mereka belum benar"benar hidup, meskipun lempengan"
lempengan daging, kulit yang hangat, muncul di tubuh besar
mereka. Di ujung jari"jari mereka batu"batu itu mengelupas
dan telapak tangan mereka gatal"gatal. Eve tak dapat me"
lihat semua itu: ia hanya berpikir kalau raksasa"raksasa
perempuan itu menabraknya, besar dan aneh, dengan wajah
manusia dan kepala dari batu yang padat. "Mereka tertarik
pada Pierre." Eve berusaha kuat, sehingga kedua tangannya
mulai gemetar. "Mereka tertarik menghampiriku...". Tiba"
tiba sebuah teriakan mengerikan membuat Eve menggigil.
"Mereka menyentuhnya." Eve membuka matanya: Pierre
memegang kepalanya, ia menghelanya. Eye merasa lemas:
"Sebuah permainan," pikirnya dengan penyesalan. Ini ha"
nya sebuah permainan, sejujurnya tidak ketika aku mem"
Kamar 77 percayainya. Dan selama waktu itulah Pierre sulit untuk
jujur. Pierre sudah tenang lagi dan menarik napas kuat"kuat.
Tetapi kedua bola matanya masih membesar dengan ganjil,
Pierre berkeringat. "Kamu melihat mereka?" tanya Pierre.
"Aku tak dapat melihat mereka."
"Sebenarnya ini lebih baik bagimu, mereka telah mem"
buatmu takut. Bagiku," kata Pierre, "ini sudah biasa."
Kedua tangan Eve selalu gemetar, ia naik darah. Pierre
mengambil sebatang rokok dari sakunya dan memasukkan
rokok itu ke mulutnya. Tetapi Pierre tidak menyulutnya:
"Bagiku, sudah biasa melihat mereka," kata Pierre, "tetapi
aku tak ingin mereka menyentuhku: aku takut kalau mereka
tak memberiku beberapa tangkai bunga."
Ia berpikir sesaat dan bertanya: "Kamu mendengar me"
reka?" "Ya," jawab Eve, "seperti mesin pesawat terbang. (Pie"
rre sudah mengatakan hal itu kepada Eve dalam arti sebe"
narnya pada hari Minggu kemarin)"
Pierre tersenyum dengan sedikit angkuh.
"Kamu melebih"lebihkan," kata Pierre. Tetapi Pierre
masih pucat. Ia memandang kedua tangan Eve. "Kedua ta"
nganmu gemetaran. Ini membuatmu terkesan, Agatheku
malang. Tapi kamu tak perlu cemas: mereka tidak akan mun"
cul lagi sebelum esok tiba."
Eve tak dapat bicara, giginya bergemeletuk dan ia takut
Pierre tak menyadarinya. Pierre mengamati Eve sangat lama.
78 ]ean-Paul Sartre "Kamu sangat cantik," kata Pierre sambil menggeleng"
gelengkan kepalanya. "Sayang, benar"benar sayang."
Pierre mengulurkan tangannya ke depan dengan cepat
menyentuh telinganya. "Setanku yang cantik! Kamu sedikit menggodaku, kamu
terlalu cantik: ini menyenangkanku. Seandainya ini tak me"
merlukan suatu ringkasan...".
Pierre berhenti dan memandang, Eve dengan terpana:
"Bukan karena kata itu... sudah tiba" sudah tiba"," kata
Pierre dengan tersenyum dan wajah Samar. "Aku punya kata
yang lain di ujung lidah" dan di sanalah... terbentuk. Aku
lupa apa yang telah aku ucapkan kepadamu."
Pierre mengingat sesaat dan menggelengkan kepalanya:
"Ayo," kata Pierre, "aku akan segera tidur." Pierre menga"
takannya dengan suara kekanak"kanakan: "Kamu tahu,
Agathe, aku lelah. Aku tak dapat lagi menemukan ide."
Pierre membuang rokoknya dan memandang ke perma"
dani dengan muka khawatir. Eve memasang bantal di bawah
kepala Pierre. "Kamu juga boleh tidur," kata Pierre kepada Eve sambil
memejamkan kedua matanya, "mereka tak akan kembali
'77 lagi. "RINGIQ"XSAN." Pierre tidur, senyumannya nyaris
hambar: ia memiringkan kepalanya. Orang seperti ingin me"
ngelus pipinya dan pundaknya. Eve tak mengantuk, ia ber"
pikir: kata "ringkasan" saat itu dengan tiba"tiba. Pierre ber"
muka buruk dan kata yang meluncur dari mulutnya, panjang
Kamar 79 dan bersih. Pierre menatap ke depan dengan terpana, se"
olah"olah ia ingin melihat kata itu dan tidak mengenalinya.
Mulutnya terbuka, pelan, seolah"olah sesuatu jatuh padanya.
Pierre menggumam. Ini pertama kali terjadi padanya: lagi"
pula, ia menyadarinya. Ia mengatakan kalau ia tidak lagi
menemukan ide. Pierre merintih dan tangannya membuat satu gerakan
ringan. Eye memandang Pierre dengan tajam: "Bagaimana
ia akan bangun?". Hal ini telah mengganggu Eye. Begitu
Pierre tidur, Eve harus memikirkan hal itu, ia tidak dapat
menahannya. Eve takut Pierre bangun dengan mata sembab
dan mulai menggumam. "Aku bodoh," pikir Eve, "tak seha"
rusnya memulai hal itu sebelum satu tahun, Franchot telah
mengatakannya." Tetapi rasa cemas tidak lenyap dari benak
Eve. Satu tahun berlalu, musim dingin, musim semi, musim
panas telah berakhir dan awal musim semi berikutnya pun
tiba. Suatu hari nanti garis"garis itu menjadi kabur, Pierre
membiarkan rahangnya menggantung, ia sedikit membuka
matanya yang berair. Eve membungkuk di atas tangan Pierre
dan menaruh bibirnya di situ: "Aku akan membunuhmu
lebih awal!" Erostrate ORXNG"orang tampak lalu"lalang, aku melihatnya dari
ketinggian. Aku memadamkan lampu dan berdiri di dekat
jendela. Mereka bahkan tidak tahu kalau kita bisa meng"
amatinya dari atas sini. Mereka tampak berada di depan
gedung, kadang"kadang di belakangnya, namun kesan sebe"
narnya hanya akan tampak pada jarak 1,70 meter. Jadi, siapa
yang tahu bentuk bhapad" 777610711 jika dilihat dari lantai enam"
Mereka melindungi bahu"bahu dan kepalanya dengan
warna"warna yang hidup, dan kain"kain yang mencolok ma"
] Topi lelaki berbentuk bulat.
Erostrate 81 ta. Mereka tak tahu bagaimana cara melawan musuh besar
kemanusiaan: pandangan orang yang menusuk. Aku mem"
bungkuk dan mulai tertawa: jadi, mana "halte" yang terkenal
itu, yang mereka banggakan. Mereka saling berdesakan,
trotoar, dua kaki panjang dengan posisi setengah merangkak
keluar dari balik bahu mereka.
Di sebuah balkon di lantai enam. Di sanalah aku harus
menghabiskan seluruh hidupku. Kita harus mendukung
moral"moral yang tinggi dengan simbol. Simbol material,
tanpa membuatnya terjatuh. Karena, apalah kelebihanku da"
ri orang"orang lain" Hanya karena posisiku lebih tinggi, itu
saja. Aku berada di atas orang"orang yang berada di dalam
diriku dan yang aku pandangi. Itulah kenapa aku suka me"
nara Notre Dame, atap datar Menara Eiffel, Sacre"Coeur,
apartemenku yang terletak di lantai enam di Rue Delambre.
Semua itu adalah simbol yang tepat.
Terkadang, aku harus turun ke jalanan. Untuk pergi
ke kantor, misalnya. Aku selalu merasa sesak. Saat kita
berdiri sama tinggi dengan orang"orang lain, maka lebih
sulit bagi kita untuk menganggap mereka sebagai semut"
semut yang saling bersentuhan. Suatu kali, aku melihat
orang mati di jalanan. Ia jatuh tengkurap. Orang"orang
membalik tubuhnya, ia berdarah. Aku melihat matanya
terbuka, dan wajahnya yang mencurigakan, dan darah itu.
Aku berkata kepada diriku sendiri: "Biasa saja, tak lagi
mengharukan, sekadar lukisan yang masih baru. Seseorang
telah mengimbuhi hidungnya dengan warna merah, itu
saja." Tapi, aku mulai merasakan suatu keindahan yang
82 ]eaui"Paul Sartre
menjijikkan, menjalar dari kaki ke tengkukku, aku tak sadar.
Mereka membawaku masuk ke sebuah apotek, memukul"
mukul bahuku dan meminumkan cairan yang mengandung
aklohol. Aku ingin menghancurkan mereka.
Aku tahu, mereka adalah musuh"musuhku, tapi mere"
ka justru tak sadar. Mereka saling mencintai, saling mera"
patkan siku. Mereka ingin aku menyalami mereka di sana,
di sini, karena mereka pikir aku sama dengan mereka. Tapi,
seandainya mereka bisa menebak hal yang paling kecil dari
kebenaran, mereka akan memukulku. Lagipula mereka akan
melakukannya nanti. Ketika mereka mengangkatku dan me"
ngetahui siapa aku sebenarnya, mereka memukuli wajahku
selama dua jam, di kantor polisi. Mereka menampar dan
meninjuku, memelintir tanganku, melepas celanaku dengan
paksa. Kemudian untuk mengakhirinya, mereka melempar
kacamata tanpa bingkaiku ke lantai dan selama aku mencari"
carinya dengan merangkak, mereka menendangi pantatku
sambil tertawa"tawa.
Aku selalu berpikir mereka akan berhenti memukuliku
karena aku lemah dan tak bisa mempertahankan diri. Ada
orang"orang yang selalu mengintaiku sejak lama, orang"
orang bertubuh besar. Mereka mendorong"dorongku di ja"
lanan, sebagai bahan lelucon, untuk melihat apa yang akan
aku perbuat. Aku tak berucap apa pun. Aku pura"pura tak
paham, namun mereka tetap melakukannya. Aku takut pada
mereka. Ini adalah Hrasat. Anda bisa mengerti bahwa aku
punya alasan yang tepat untuk membenci mereka.
Kemudian, semua berjalan lebih baik sejak aku membeli
Erostrate 83 sebuah pistol. Kita akan merasa kuatjika kita selalu membawa
benda"benda yangbisa meledak dan menimbulkan keributan.
Aku membawanya setiap hari Minggu, meletakkannya be"
gitu saja di saku celanaku dan kemudian aku pergi jalan"
jalan seperti biasanya di boulevard. Aku merasakan pistol
itu menarik"narik celanaku seperti seekor kepiting, aku
merasakannya di pahaku, sangat dingin. Tapi, sedikit demi
sedikit, pistol itu mulai menghangat karena bersentuhan
dengan tubuhku. Aku berjalan dengan sedikit kikuk, aku
bertingkah seperti seseorang yang berjalan dengan mata
tertutup dan yang tongkatnya selalu tersangkut di setiap
langkahnya. Aku memasukkan tangan ke kantung celanaku
dan meraba"raba benda itu. Aku masuk ke WC umum, aku
harus berhati"hati berada di dalamnya, karena kadang"ka"
dang ada seseorang di samping kita. Aku mengeluarkan pis"
tolku, menimang"nimangnya, menatap gagangnya yang ber"
garis kotak"kotak hitam dan pelatuk hitamnya yang mirip
kelopak mata yang tertutup. Orang"orang yang ada ada di
luar, melihat kakiku yang terenggang dan bagian bawah ce"
lanaku, percaya bahwa aku sedang kencing. Padahal, aku tak
pernah kencing di WC umum.
Suatu sore, aku tiba"tiba ingin menembak orang"orang.
Hari itu, Sabtu sore, aku keluar untuk bertemu dengan Lea,
gadis pirang yang selalu menunggu di depan sebuah hotel
di Rue Montparnasse. Aku tak pernah berurusan masalah
keintiman dengan seorang perempuan, aku akan merasa
tertipu. Kita membuat mereka tersanjung, tapi mereka akan
menelan bulat"bulat perut bagian bawah kita dengan mulut
84 ]eaui"Paul Sartre
besarnya yang terbuka dan, seperti apa yang aku katakan
kepada mereka, selanjutnya mereka akan memperoleh uang,
sebagai penggantinya. Aku tidak pernah meminta kepada
orang lain, tapi aku juga tak ingin memberi kepada orang
lain. Atau, kalaupun begitu, aku membutuhkan seorang pe"
rempuan yang dingin dan sangat setia yang menerimaku de"
ngan rasa muak. Setiap Minggu pertama di awal bulan, aku menyewa
kamar bersama Lea di Hotel Duquesne. Ia melepas
pakaiannya dan aku menatap tanpa menyentuhnya. Kadang"
kadang, "anuku" keluar dengan sendirinya di celanaku; di
lain kesempatan, aku punya cukup waktu untuk pulang, dan
menyelesaikannya di rumah. Sore itu, aku tak menemukan Lea
di tempat ia biasa mangkal. Aku menunggunya sebentar dan
karena ia tak juga datang, aku pikir ia sedang terkena flu. Saat
itu awal Januari dan udara terasa sangat dingin. Aku kecewa.
Aku adalah tipe orang yang suka berkhayal dan saat itu aku
sangat ingin menunjukkan kesenangan yang kuperoleh sore
ini. Di Rue de l>Odessa ada seorang perempuan berambut
hitam kecoklatan yang sering kuperhatikan. Ia sedikit de"
wasa, tapi bertubuh padat dan sintal. Aku sebenarnya tidak
membenci perempuan dewasa, karena ketika mereka te"
lanjang, tubuhnya tampak lebih polos dari perempuan ma"
na pun. Tapi, perempuan itu tak tahu seleraku dan hal itu
pula yang membuatku sedikit takut untuk memperlihatkan
"anuku" kepadanya secara langsung. Lagipula, aku selalu
mencurigai kenalan"kenalan baruku. Perempuan itu bisa saja
menyembunyikan dengan baik seorang berandal jalanan di
Erostrate 85 belakang pintu dan kemudian orang itu datang dengan tiba"
tiba dan mengambil semua uangku. Beruntung jika ia tidak
melayangkan tinjunya. Meskipun begitu, sore itu, aku tak ta"
hu darimana datangnya keberanian yang aku miliki, aku me"
mutuskan untuk kembali ke rumah, mengambil pistolku dan
mencoba untuk berpetualang.
Ketika aku menegur perempuan itu, setelah terlambat
seperempat jam lebih dari biasanya, senjataku ada di saku
celanaku dan aku tak takut lagi pada apa pun. Setelah de"
kat, aku lihat wajahnya yang menyedihan. wajahnya mirip


Dinding Karya Jean Paul Sartre di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan tetangga perempuanku yang berprofesi sebagai
pembantu dan aku merasa sangat puas karena sudah lama
aku ingin melihat perempuan telanjang. Ia berpakaian tanpa
menghiraukan jendela terbuka, ketika perempuan itu keluar,
aku sering sembunyi di balik tirai untuk mengintipnya. Tapi,
ia selalu berdandan di dalam kamar.
Di Hotel Stella, tinggal satu kamar yang kosong, di lantai
empat. Kami naik menuju kamar itu. Perempuan berambut
coklat kehitaman itu sedikit lambat dan selalu berhenti di
setiap langkah untuk mengambil. napas. Aku merasa amat
santai, karena aku memiliki tubuh yang kurus kering, mes"
kipun perutku lumayan buncit, butuh lebih dari sekadar lan"
tai empat untuk membuatku kehabisan napas. Setibanya di
lantai empat, ia berhenti dan meletakkan tangan kanannya di
dadanya, tepat di jantungnya seraya bernapas kuat"kuat. Di
tangan kirinya, ia memegang kunci kamar.
"Tinggi juga, ya," ucapnya sambil mencoba tersenyum
kepadaku. 86 ]eaui"Paul Sartre
Aku mengambil kunci dari tangannya tanpa menjawab
dan membuka pintu. Aku menggenggam senjataku dan me"
nodongkannya tepat di hadapanku, tidak melepaskannya se"
belum aku menekan tombol lampu. Kamar itu kosong. Di
atas wastafel, petugas hotel meletakkan sepotong kecil sabun
berwarna hijau untuk pelacur itu. Aku tersenyum. Bagiku
wastafel atau sepotong kecil sabun tidak ada artinya sama
sekali. Perempuan itu selalu bernapas di belakangku dan itu
membuatku terangsang. Aku berbalik, ia menyerahkan bi"
birnya. Aku menolaknya. "Buka pakaianmu," kataku.
Di sana ada sebuah sofa yang diletakkan di atas karpet,
aku duduk dengan nyaman. Pada saat"saat seperti inilah aku
menyesal tidak merokok. Perempuan itu menanggalkan rok"
nya, kemudian diam dan menatapku dengan tatapan curiga.
"Siapa namamu?" tanyaku seraya memutar kursi mem"
belakanginya. "Renee." "Oke, Renee, cepat sedikit," aku menunggu.
"Kamu tak buka baju?"
"Cepat, cepat," kataku, "kamu tak usah mengurusiku."
Ia menjatuhkan celana di atas kakinya, kemudian meng"
ambil dan meletakkannya dengan rapi di atas rok dan ku"
tangnya. "Jadi, kamu bertingkah seperti seorang anak kecil yang
nakal, sayang, seorang pemalas kecil?" tanyanya, "kamu
ingin istrimu yang melakukan semua pekerjaan?"
Sambil berkata seperti itu, ia berjalan mendekat ke arah"
Erostrate 87 ku dan bersandar di lengan sofa yang kududuki. Ia mencoba
berlutut dengan canggung di antara kakinya. Tapi, aku ke"
mudian mengangkatnya dengan kasar.
"Jangan begitu, jangan begitu," kataku kepadanya.
Ia memandangku dengan kaget.
"Tapi, kamu ingin aku melakukan apa?"
"Tidak ada. Jalan, berkelilinglah kamu, aku tak akan
minta lebih." Ia mulai berjalan mondar"mandir, dengan wajah yang
kikuk. Tidak ada yang lebih mengesalkan bagi seorang pe"
rempuan, kecuali disuruh berjalan tanpa busana. Seper"
tinya, para perempuan tak terbiasa berjalan dengan telan"
jang kaki. Pelacur itu membungkukkan punggungnya dan
membiarkan lengannya tergantung. Hal itu membuatku sa"
ngat gembira, aku duduk tenang di atas sebuah sofa dengan
pakaian lengkap hingga menutupi leherku. Aku bahkan tetap
memakai kaus tanganku, sedangkan perempuan dewasa itu,
benar"benar telanjang atas perintahku dan berputar"putar
mengelilingiku. Ia memutar tubuhnya lalu memandangku dan untuk
menyelamatkan gengsinya, ia tersenyum ke arahku dengan
genit. "Menurutmu, aku cantik" Kamu bisa cuci mata?"
"Tak perlu kamu urusi itu."
"Coba katakan," pintanya dengan kejengkelan yang di"
tahan, "kamu tidak berniat untuk membiarkanku terus ber"
jalan seperti ini, kan?"
"Duduklahl" 88 ]eaui"Paul Sartre
Ia duduk di atas tempat tidur dan kami saling menatap
dalam keheningan. Aku melihat bulu kuduknya berdiri.
Kami mendengar bunyi jam yang berdetak di bagian dinding
yang lain. Tiba"tiba aku berkata kepadanya.
"Renggangkan kakimu."
Sejenak ia ragu"ragu, namun kemudian melakukannya
juga. Aku memandang ke arah kedua kakinya dan aku me"
narik napas kuat"kuat. Lalu, aku mulai tertawa dengan keras
hingga airmataku keluar. Aku berkata padanya dengan ri"
ngan. "Kamu sadar tidak?"
Dan, kemudian aku mulai tertawa lagi.
Ia melihatku dengan heran, lalu aku melihat pipinya
memerah dan ia menutup kakinya kuat"kuat. "Bajingan!"
geramnya. Mendengar ucapannya, aku tertawa semakin keras, ke"
mudian ia meloncat berdiri dan mengambil kutangnya yang
diletakkannya di atas kursi.
"Hei!" ucapku padanya, "urusan kita belum selesai. Aku
akan memberimu 50 Franc nanti, tapi aku ingin sesuatu un"
tuk uang yang akan kukeluarkan."
Ia mengambil celananya dengan gugup.
"Aku sebal, kamu tahu itu. Aku tak paham apa maumu.
Jika kamu mengajakku ke sini hanya untuk menghinaku."
Lalu, aku mengeluarkan pistol dan menunjukkan kepa"
danya. Ia melihatku dengan wajah serius dan ia menjatuhkan
celananya tanpa mengatakan apa"apa lagi.
"Ayo jalan, berkeliling!"
Erostrate 89 Ia berkeliling lagi selama lima menit. Kemudian, aku
memberikan "tongkatku" kepadanya dan memintanya untuk
sedikit menggerakkan badan. Ketika aku merasa celana
dalamku basah, aku berdiri dan mengulurkan kepadanya se"
lembar uang 50 Franc. Ia mengambilnya.
"Sampai jumpa lagi," tambahku, "aku tak membuatmu
begitu capek dengan harga semahal itu."
Aku keluar, aku meninggalkannya sendiri, telanjang, di
tengah kamar. Ia menggenggam kutangnya dan di tangan
yang lain ia menggenggam selembar uang 50 Franc. Aku tak
menyesal dengan uang yang telah kukeluarkan, karena aku
telah membuatnya kebingungan dan tidaklah mudah untuk
membuat seorang pelacur terheran"heran. Aku menuruni
tangga sambil berpikir. "Inilah yang aku inginkan, membuat
bingung semuanya." Aku kegirangan seperti seorang anak
kecil. Aku membawa sabun hijau kecil itu dan kembali ke
rumahku, cukup lama aku menggosok"gosoknya di bawah
air panas sampai sabun itu berbentuk lapisan tipis di
tanganku, seperti permen yang telah lama dihisap.
Tapi, malamnya aku terbangun dan melihat lagi wajah
perempuan itu, bagaimana tatapan matanya ketika aku
menunjukkan pistolku padanya, dan perutnya yang berlemak
yang bergerak"gerak mengikuti irama langkahnya.
"Betapa tololnya aku," ucapku. Dan, aku merasakan
penyesalan yang getir. Seharusnya aku menembaknya saat
aku di sana, memecahkan perut itu dengan membuatnya
berlubang. Sejak malam itu dan tiga malam selanjutnya, aku
bermimpi tentang enam buah lubang kecil merah yang me"
90 ]eaui"Paul Sartre
ngelilingi sebuah pusat. Untuk selanjutnya, aku tak pernah keluar tanpa mem"
bawa senjataku. Aku melihat punggung orang"orang dan
membayangkan, berdasarkan cara berjalannya, bagaimana
cara mereka jatuh jika aku menembaknya dari atas. Setiap
hari Minggu, aku biasa pergi ke depan Chatelet, di depan
pintu keluar gedung yang selalu digunakan untuk pagelaran
musik klasik. Jam 6 lewat, aku mendengar suara bel dan
para pekerja sukarela baru saja membuka pintu kaca itu.
Ini baru awalnya, aku melihat kerumunan orang keluar per"
lahan"lahan. Mereka berjalan dengan langkah"langkah yang
mengambang, mata mereka penuh dengan impian, hati me"
reka masih dipenuhi perasaan"perasaan indah. Banyak di an"
tara mereka yang saling memandang dengan heran, jalanan
membuat mereka lupa tampak berwarna biru. Kemudian,
mereka tersenyum dengan misterius, mereka berjalan dari
dunia yang satu ke dunia yang lain. Di dunia yang lain itulah
aku menunggu mereka. Aku memasukkan tanganku ke dalam
saku dan memegang sekuat tenaga pistolku. Beberapa saat
kemudian, aku terlihat seperti sedang menembak mereka.
Aku membuat mereka jatuh terguling"guling seperti pipa,
berjatuhan satu demi satu, dan yang selamat, menjadi panik,
masuk kembali ke dalam gedung itu dengan memecahkan
pintu kaca. Sebuah permainan yang menyebalkan, karena
pada kenyataannya tanganku gemetaran dan aku harus mi"
num cagmc di Dreher agar pulih kembali.
Aku tak akan membunuh para perempuan. Aku akan
menembak mereka di pinggul atau di betisnya, biar mereka
menari. Erostrate 91 Aku masih belum memutuskan apa"apa. Tapi, aku ambil
bagian dari semua kegiatan seperti: jika aku telah menetapkan
sebuah keputusan. Aku mulai membereskan hal"hal yang
tidak penting. Aku berlatih di sebuah stan panahan di pekan
raga Denfert"Rochereau. Caraku menembak tidaklah hebat,
tapi orang"orang itu menawarkan papan sasaran yang besar,
terutama jika kita menembak dari jarak dekat. Kemudian,
aku sibuk dengan urusan iklanku. Aku memilih hari, dimana
semua kolegaku berkumpul di kantor.
Suatu Senin pagi. Aku sangat ramah kepada mereka, itu
prinsipnya, meskipun aku juga sangat ketakutan jika harus
bersalaman dengan mereka. Mereka menanggalkan sarung
tangan untuk mengucapkan salam, cara mereka kasar saat
membuka dan menurunkan sarung tangannya dengan perla"
han"lahan melewati jari"jari sambil memperlihatkan bentuk
jari"jari mereka yang gemuk dan mengerutkan telapak ta"
ngannya. Sedangkan aku selalu memakai sarung tanganku.
Setiap hari Senin pagi, kami tidak melakukan kegiatan
yang penting. Juru ketik dari dinas perdagangan datang
sambil membawa kwitansi"kwitansi pembayaran. Lemercier
menyambutnya dengan ramah dan ketika ia keluar, mereka
menceritakan kharismanya dengan membosankan. Lalu, me"
reka membincangkan Lindbergh. Mereka sangat menyukai
Linbergh. Aku berkata kepada mereka.
"Aku suka pahlawan hitam."
"Orang"orang Negro?" tanya Masse.
"Bukan, hitam, seperti jika kita mengatakan si Magie
Lindbergh adalah pahlawan putih dan tak membuatku ter"
tarik." 92 ]eaui"Paul Sartre
"Ayo, lihat jika mudah menyeberangi Laut Atlantik," ka"
ta Bouxin dengan tajam. Aku menerangkan pendapatku kepada mereka tentang
pahlawan"pahlawan hitam.
?"Orang"orang anarkis," Lemercier menyimpulkan.
"Bukan," jawabku lembut, ((orang"orang anarkis menyu"
kai orang lain dengan cara mereka sendiri."
"Di situlah buruknya."
Tapi, Masse, yang mengurusi surat"surat, ikut urun suara:
"Aku tahu orang yang Anda maksud," ucapnya kepadaku. "Ia
bernama Erostrate. Ia ingin terkenal dan tidak menemukan
cara lain untuk menjadi terkenal kecuali dengan membakar
kuil Ephese, salah satu dari tujuh keajaiban dunia."
"Dan, siapa nama arsitek kuil itu?"
"Aku tak ingat lagi," jawabnya, "aku yakin tak ada yang
tahu namanya." "Kamu yakin" Dan, kamu ingat nama Erostrate" Kamu
yakin tidak mengambil kesimpulan yang salah?"
Percakapan berhenti sampai di situ, tapi aku merasa
tenang karena mereka akan mengingatnya sebagai saat yang
indah. Bagiku, yang sampai sekarang belum pernah men"
dengar cerita tentang Erostrate, kisah hidupnya membuatku
bersemangat. Paling tidak, ia pasti sudah mati sejak dua ribu
tahun yang lalu dan tindakannya masih saja bersinar, seperti
berlian hitam. Aku mulai percaya, bahwa jalan hidupku akan
pendek dan tragis. Hal itu membuatku takut pada awalnya,
tapi kemudian aku terbiasa.]ika kita melihatnya dari satu sisi,
akan tampak mengerikan, tapi jika kita melihatnya dari sisi
Erostrate 93 yang lain, dengan tiba"tiba hal itu memberikan kita kekuatan
dan terlihat sangat indah.
Ketika aku turun ke jalan, aku merasakan dalam tu"
buhku suatu kekuatan yang aneh. Aku membawa pistolku,
benda yang bisa meletus dan menimbulkan keributan. Tapi,
bukan pistol itu yang memberiku rasa percaya diri, kekuatan
itu berasal dari dalam diriku. Aku adalah orang yang bisa
menjadi pistol, petasan, juga bom. Aku, pada suatu hari,
di akhir hidupku yang kelabu, akan memperlihatkan dan
menerangi dunia dengan api yang terang dan singkat seperti
kilatan lampu blitz. Aku mengalami saat"saat dimana setiap
malam aku selalu bermimpi tentang hal yang sama. Aku se"
orang anarkis, aku berdiri di jalan yang dilalui seorang Tsar
dan aku membawa mesin penyiksaan di tubuhku. Pada
jam yang telah ditetapkan, arak"arakan itu lewat, bom itu
meledak, kami terlempar ke udara, aku, Tsar itu dan tiga
perwira yang mengenakan hiasan dari emas, dilihat oleh
sekelompok orang. Aku tidak masuk ke kantor selama seminggu penuh.
Aku berjalan"jalan di baalezm'd, di tengah"tengah calon kor"
banku. Kadang"kadang aku juga menyendiri di kamar dan
menggambar peta. Mereka menyuruhku pergi di awal Ok"
tober. Aku sibuk mengurus kepergianku sambil menulis su"
rat di bawah ini yang kuperbanyak sebanyak 102 lembar:
Dengan hormat, Anda adalah orang terkenal dan karya"karya Anda dicetak sebanyak


Dinding Karya Jean Paul Sartre di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

30 ribu eksemplar. Saya akan mengatakan kenapa hal itu bisa terjadi.
Semua itu terjadi karena Anda mencintai manusia. Dalam darah
]ean"Paul Sartre Anda mengalir sifat humanisme dan Anda beruntung karenanya.
Anda merasa senang ketika ada seseorang yang menemani Anda.
Jika ada orang semacam Anda, meskipun tidak mengenalnya, Anda
akan bersimpati kepadanya. Anda tertarik pada tubuhnya, caranya
bergerak, bagaimana kaki dan tangannya bergerak dan menutup.
Anda senang melihat kelima jarinya dan menyukai ibu jari yang
bisa diletakkan di antara jari"jari lainnya. Anda senang sekali, saat
tetangga mengundang minum teh, karena Anda dapat melihat
bagaimana tingkah laku manusia seperti Anda kemudian sering
mengungkapkannya dalam karya"karya Anda: sedikit kaku, lebih
lambat dari tingkah kera, tapi benar, kan" Benar"benar lebih pandai.
Anda juga menyukai bentuk tubuh manusia, tingkah lakunya yang
merupakan kesalahan besar dalam reedukasi, mimiknya ketika
ia menginjak anak tangga di setiap langkahnya, dan pandangan
matanya yang tajam dan tak dimiliki binatang liar. Akan mudah
bagi Anda menemukan logat yang sesuai untuk berbicara dengan
orang lain, logat yang halus namun mantap. Orang"orang terlib at ke
dalam tulisan Anda dengan sangat bernafsu, mereka membacanya
dengan duduk di sofa yang empuk, mereka berpikir tentang cinta
sejati yang tak tersampaikan dan sikap hati"hati yang Anda bawa
kepada mereka. Hal itu meringankan berbagai persoalan lainnya,
menjadi orang jahat, seorang pengecut, orang yang dikhianati,
orang"orang yang tidak menerima kenaikan gaji per 1 Januari. Dan,
orang"orang mengomentari roman Anda yang terakhir: karya yang
bagus. Saya kira, Anda akan sangat ingin tahu tentang seseorang yang
membenci orang lain. ltulah saya yang hanya sedikit menyukai
mereka hingga saya akan membunuh setengah lusin dari mereka.
Mungkin Anda akan bertanya, kenapa hanya setengah lusin. Sebab
pistol saya hanya berisi enam butir peluru. Bukankah saya orang
yang keji" Dan, lebih"lebih, itu adalah tindakan yang tidakbijaksana.
Tapi saya tegaskan kepada Anda bahwa saya tak dapat mencintai
mereka. Saya benar"benar mengerti apa yang Anda rasakan. Tapi,
apa yang membuat Anda tertarik kepada mereka justru membuat
saya muak. Saya pernah melihat, seperti Anda juga, bahwa orang"
orang itu mengunyah makanan seperlunya sambil melihat koran
Erostrate 95 harian yang mengulas tentang ekonomi. Lalu, apakah saya salah jika
saya lebih senang memperhatikan cara makan anjing laut" hlanusia
tak dapat mempermainkan raut wajahnya tanpa mengubah mimik
Ketika mereka mengunyah makanan sambil menjaga mulut mereka
agar tetap tertutup, sudut bibir mereka naik dan turun. hlereka
seperti sedang melewati kedamaian yang cengeng. Anda suka itu,
saya tahu, Anda mengatakan itu sebagai ketentraman jiwa. Tapi,
bagi saya itu menjijikkan. Saya tidak tahu kenapa saya tetap saja
dilahirkan. Jika di antara kita tidak ada perbedaan selera, saya tak
akan mengganggu Anda Tapi, semuanya tampak seperti Anda
diberkahi sedangkan saya tidak. Saya bebas menyukai atau tidak
menyukai bomardz di Amerika, tapi jika saya membenci orang"orang,
saya berubah menjadi orang yang malang dan saya tidak akan bisa
melihat tempat yang bermandikan sinar matahari. hlereka merebut
arti sebuah kehidupan. Saya harap Anda bisa mengerti apa yang ingin saya katakan.
Selama 33 tahun saya selalu terbentur pintu"pintu dengan tulisan
"tak seorang pun boleh masuk kecuali seorang humanis" di
atasnya. Semua yang telah saya rencanakan harus saya abaikan.
Saya harus memilih: mengusahakan sesuatu yang tidak nyata
dan tidak dapat dibenarkan atau kembali cepat atau lambat pada
fungsinya masing"masing. Saya belum menyampaikan gagasan"
gagasan dengan jelas kepada mereka, saya belum bisa melepaskan
diri saya dari pemikiran"pemikiran tersebut sehingga saya tak
dapat mengutarakannya, karena mereka terus bergerak halus
seperti makhluk"makhluk organik. Bahkan, saya merasa peralatan"
peralatan yang saya gunakan adalah milik mereka. Misalnya, kata"
kata, saya ingin menggunakan kata"kata saya sendiri. Tapi, kata"
kata yang tersedia tersebar dalam kesadaran"kesadaran yang tidak
saya ketahui berapa jumlahnya. Semuanya tersusun dengan sendiri
dalam kepala saya atas nama kebiasaan yang mereka ambil dari
orang"orang lainnya dan saya menggunakannya untuk menulis ke"
pada Anda tanpa rasa jijik. Untuk terakhir kalinya, saya katakan
kepada Anda, Anda harus menyukai manusia karena mereka telah
membiarkan Anda bekerja. Dan saya tidak ingin bekerja.
2 Sejenis udang besar. 96 ]ean"Paul Sartre Saya akan akan mengambil pistol, saya akan turun ke jalanan dan
saya akan melihat bisakah kita menghasilkan sesuatu di antara
mereka. Sampai jumpa Tuan, mungkin Andalah yang akan saya
temui nanti. Anda tidak akan mengerti bagaimana senangnya
saya jika dapat menembak kepala Anda. Jika tidak, dan ini yang
paling mungkin, bacalah koran"koran esok hari. Anda akan
membaca di sana, bahwa seseorang yang bernama Paul Hilbert
telah menembak lima orang pejalan kaki di baulemrd Edgar"Quinet,
karena mengamuk. Anda pasti tahu, bahwa tak selalu sesuatu yang
begitu berharga ditulis di koran"koran besar. Jadi, Anda mengerti
bahwa saya bukanlah orang yang bisa mengamuk. Saya, bahkan
sangat sabar, dan terima kasih atas perhatiannya.
Paul Hilbert Aku memasukkan 102 surat ke dalam 102 amplop dan
aku menulis di atas amplop itu 102 alamat penulis Prancis.
Kemudian, aku memasukkan semuanya ke dalam laci meja,
termasuk enam butir peluru.
Selama 15 hari berikutnya, aku jarang keluar, aku mem"
biarkan diriku sibuk dengan kejahatanku. Dalam cermin,
dimana aku melihat diriku, kadang"kadang aku mengamati
dengan senang perubahan wajahku. Mataku semakin besar,
hampir memenuhi seluruh wajahku. Mataku hitam dan lem"
but di balik kacamata tanpa jepit dan aku memutar"mutar
mataku seperti gerakan planet. Mata bagus seorang artis dan
pembunuh. Tapi, aku berharap wajahku akan berubah lagi
setelah aku "menyelesaikan" para korban itu.
Aku melihat foto dua gadis cantik, dua orang pembantu
yang merampok dan membunuh majikannya. Aku melihat
foto mereka sebelum dan setelah melakukan kejahatan
itu. Sebelum melakukan kejahatan, wajah mereka bagai"
Erostrate 97 kan bunga"bunga gunung. Mereka tampak sehat dan wa"
jah lugunya sangat menggairahkan. Mereka menata ram"
butnya dengan cara yang sama. Dan, penataan itu lebih
menampakkan rambut mereka yang keriting, juga mem"
perlihatkan leher mereka. Mereka pergi memenuhi un"
dangan seorang fotografer. Mereka adalah dua bersaudara
yang berparas mirip, kemiripan yang sudah dimiliki jauh
sebelumnya, mereka sedarah dan berasal dari akar keluarga
yang sama. Setelah kejahatan itu, wajah mereka tampak
cerah seperti api, dengan leher telanjang mereka yang akan
dipenggal nantinya. Keriput tampak di mana"mana, keriput
yang mengerikan, karena ketakutan dan kebencian. Kerut"
an"kerutan, lubang lubang di tubuh mereka seperti bekas
cakaran seekor hewan yang sebelumnya berputar"putar di
wajah mereka. Dan mata itu, selalu hitam dan tanpa dasar,
mirip mataku, walaupun tidak sama. Tiap"tiap foto memiliki
caranya tersendiri dalam menyimpan kejahatan mereka.
Aku berkata kepada diriku sendiri, jika sebuah kejahatan
mengerikan dengan risiko terbesar bisa dilakukan para
yatim itu, lalu kenapa aku tak bisa melakukan kejahatan
yang benar"benar gagasanku dan kuatur sendiri" Ia telah
merebutnya dariku, membongkar kejelekanku... sebuah ke"
jahatan terbagi dalam dua kehidupan bagi siapa saja yang
melakukannya. Kadang" kadang kita mengharapkan ia da"
tang belakangan, tapi ia telah ada di sana, di belakang Anda,
merintangi jalan Anda. Aku hanya butuh satu jam sehari untuk menikmati pis"
tolku, untuk merasakan bebannya. Saat itu, aku mengatur
98 ]ean"Paul Sartre segalanya. Aku memutuskan untuk melakukan eksekusi
dari atas Rue Odessa. Aku akan memanfaatkan keadaan
orang"orang yang kalang"kabut untuk melarikan diri dan
membiarkan mereka mengangkat orang"orang yang mati.
Aku akan berlari dan menyeberangi boulevard Edgar"Quinet
dan aku akan berbelok dengan cepat ke Rue Delambre.
Aku hanya akan membutuhkan waktu 30 detik untuk
membuka pintu gedung dimana aku tinggal. Ketika itu,
para pengejar masih berada di boulemrd Edgar"Quinet,
mereka akan kehilangan jejakku dan membutuhkan waktu
satu jam lebih untuk menemukan aku. Aku akan menunggu
mereka di tempatku dan ketika aku mendengar mereka me"
ngetuk pintu rumah, aku akan mengisi ulang pistolku dan
menembakkannya ke mulutku.
Kini aku merasa lebih nyaman. Aku telah membuat ke"
sepakatan dengan seorang pengusaha jasa boga di Rue Vavin
yang akan membawakan makanan kecil setiap pagi dan sore.
Seseorang membunyikan bel pintu, aku tidak membukanya,
aku menunggu beberapa menit dan kemudian membuka
pintu itu sedikit. Aku melihat sekeranjang piring yang berisi
penuh makanan yang masih hangat diletakkan di lantai.
Tanggal 27 Oktober, jam 6 sore, uangku tinggal 17
Franc 50 sen. Aku mengambil pistolku dan membungkusnya
dengan kertas"kertas, aku turun. Aku membiarkan pintuku
terbuka, agar aku bisa masuk lebih cepat setelah aku mela"
kukan aksiku. Aku merasa tak enak badan, tanganku terasa
dingin dan darahku naik ke kepala, mataku gatal. Aku me"
lihat"lihat toko, asrama sekolah, toko alat"alat tulis tempat
Erostrate 99 aku membeli pensil"pensil yang sekarang entah ada di mana.
Aku bertanya kepada diriku sendiri: "Kenapa jalan ini?"
Baalezmd Montparnasse dipenuhi manusia. Mereka
menghimpitku, mendorong"dorongku, memukulku dengan
leher dan bahu mereka. Aku membiarkan diriku terguncang,
aku tak punya kekuatan untuk menyelinap di antara mereka.
Tiba"tiba aku merasa seperti jantung di kerumunan itu,
kecil, sendirian, dan mengerikan. Sepertinya mereka akan
menyakitiku jika mereka mau. Aku merasa takut justru ka"
rena pistol yang kubawa di sakuku. Sepertinya mereka ta"
hu aku membawa pistol. Mereka seakan"akan melihatku
dengan mata tajam dan berkata: "Hei, tapi... tapi?" de"
ngan rasa senang yang tidak pada tempatnya, sambil me"
nangkapku tiba"tiba dengan menggunakan tangannya. Pem"
bunuh! Mereka kemudian akan melemparku di atas kepala
mereka dan aku akan jatuh di tangan mereka seperti sebuah
boneka. Aku memutuskan untuk melakukan eksekusi besok
saja. Sekarang, aku akan makan malam di La Coupole de"
ngan makanan seharga 16 Franc 80 sen. Uangku tinggal 70
sen dan aku melemparkannya ke sebuah sungai kecil.
Aku menyendiri selama tiga hari di kamarku, tanpa
makan, tanpa tidur. Aku menutup semua tirai dan tak be"
rani mendekati jendela atau menyalakan lampu. Hari Se"
nin, seseorang membunyikan keras"keras lonceng pintu
rumahku. Aku menahan napas dan menunggu. Setelah
lebih dari semenit, ia membunyikan lonceng itu lagi. Aku
berjingkat dan menempelkan mataku di lubang kunci. Aku
hanya melihat kain hitam dan sebuah kancing baju. Orang
100 ]ean"Paul Sartre
itu membunyikan bel sekali lagi, lalu pergi menuruni tang"
ga. Aku tak tahu siapa orang itu. Malam harinya, aku mem"
bayangkan hal"hal yang indah, pohon"pohon kelapa, air
yang mengalir, lembayung senja di atas kubah. Aku tak
merasa haus, karena dari waktu ke waktu aku selalu minum
dari keran air yang ada di bak dapur. Tapi, aku merasa lapar.
Aku juga membayangkan seorang pelacur berambut coklat.
Di sebuah istana, yang kubangun di 20 tempat di Gausses
Noires. Pelacur itu telanjang, hanya berdua saja denganku.
Aku memaksanya berlutut di bawah ancaman pistolku, ber"
lari sambil merangkak, kemudian aku mengikatnya di sebuah
pilar dan setelah menjelaskan secara panjang lebar apa yang
akan aku lakukan, aku melubangi tubuhnya dengan peluru.
Bayangan"bayangan itu membuatku kacau, hingga aku
cukup puas dengan membayangkan sampai hal itu saja. Ke"
mudian, aku terdiam dalam gelap, kepalaku benar"benar
kosong. Napasku sesak. Saat itu jam lima pagi. Aku me"
nyiapkan apa saja untuk kemudian pergi meninggalkan ka"
marku, tapi aku tak bisa turun karena banyak orang yang
lalu"lalang di jalanan.
Harinya telah tiba. Aku tak merasa lapar lagi, tapi aku
mandi keringat dan itu membuat kemejaku basah kuyup.
Di luar, matahari bersinar terang. Kemudian, aku berpikir:
"Dalam sebuah kamar yang tertutup, dalam gelap, ia disem"
bunyikan. Selama tiga hari, ia tidak makan, tidak tidur. Se"
seorang membunyikan bel pintu dan ia tidak membukanya.
Sekarang, ia akan turun ke jalan dan akan membunuh."
Aku takut. Jam enam sore, aku lapar. Aku gila karena
Erostrate 101 kemarahanku. Sejenak aku tersandung mebel. Aku menyala"
kan lampu kamar, lampu dapur, dan lampu di ruang"ruang
kecil. Aku bernyanyi keras"keras, aku mencuci tanganku, lalu
keluar. Aku butuh waktu dua menit untuk meletakkan semua
suratku di dalam bis surat. Aku menatanya sepuluh"sepuluh.
Aku terpaksa mengusutkan beberapa amplop. Kemudian
aku berjalan di sepanjang baulezm'd Montparnasse hingga
Rue Odessa. Aku berhenti di depan cermin di sebuah toko
kemeja dan saat menatap wajahku, aku berpikir: "Hanya un"
tuk sore ini." Aku memilih tempat di atas Rue Odessa, tak jauh dari
lampu jalan dan aku menunggu. Dua orang perempuan
lewat. Mereka saling berangkulan, si pirang berkata: "Mereka
menutup semua jendela dan merupakan kehormatan bagi
daerah itu jika tempatnya dipilih untuk pembuatan Elm."
"Apakah mereka semua dinas dan mengenakan baju
panjang?" tanya yang lain.
"Tidak ada yang perlu dirias untuk pekerjaan yang
hanya dibayar 5 Louis per hari."
"Lima Louis!" sahut yang berambut coklat terkejut.
"Kemudian," ia menambahkan sambil lewat di depanku:
"Aku membayangkan akan sangat menyenangkan jika kita
memakai pakaian nenek moyang, kita."
Mereka menjauh. Aku merasa dingin, tapi berkeringat
banyak sekali. Saat itu, aku melihat tiga orang datang. Aku
membiarkan mereka lewat, karena untuk menembak mereka


Dinding Karya Jean Paul Sartre di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku membutuhkan enam butir peluru. Orang yang paling
kiri melihatku dan mendecakkan lidahnya. Aku mengalihkan
pandanganku. 102 ]ean"Paul Sartre
Jam 7 lebih 5 menit, aku melihat dua kelompok yang
saling berurutan dekat jalan keluar dari boa/ezwzl Edgar
Quinet. Ada seoranglaki"laki dan seorang perempuan dengan
dua anaknya. Di belakang mereka muncul tiga perempuan
tua. Aku maju selangkah. Si perempuan kelihatan marah dan
menggoyang"goyangkan tangan anaknya. Si laki"laki ber"
bicara dengan suara lamban: "Anak ini membuatku jengkel."
Jantungku berdetak keras hingga tanganku terasa sa"
kit. Aku maju dan berdiri di depan mereka, tak bergerak.
Tanganku ada di saku, memegang pelatuk senjataku dengan
lemas. "Maaf," ucap laki"laki itu sambil menyenggolku.
Aku mengingat"ingat lagi apakah aku sudah menutup
pintu apartemenku, dan itu menghambatku. Aku akan kehi"
langan waktu yang berharga untuk membukanya. Orang"
orang itu menjauh. Aku memutar tubuh, berbalik, dan secara
otomatis mengikuti mereka. Tapi, aku tak ingin menembak
mereka. Mereka menghilang di kerumunan orang"orang
yang ada di baa/emrd. Aku bersandar di sebuah dinding.
Aku mendengar sirine jam delapan dan jam sembilan. Aku
berkata lagi kepada diriku sendiri: "Kenapa aku harus mem"
bunuh orang yang sudah mati?" dan aku ingin tertawa. Se"
ekor anjing menciumi kakiku.
Ketika ada orang gendut yang melewatiku, aku me"
lompat dan berjalan di belakangnya. Aku melihat lipatan
tengkuknya yang berwarna merah di antara topinya dan leher
bagian atasnya. Jalannya sedikit berlenggak"lenggok dan ia
bernapas dengan keras, tampaknya ia orang yang kuat. Aku
Erostrate 103 mengeluarkan senjataku. Senjataku tampak berkilat dan te"
rasa dingin. Senjata ini membuatku muak, aku tak bisa meng"
ingat dengan baik apa yang harus aku lakukan. Kadang"
kadang, aku melihat si gendut itu dan memperhatikan lipat"
an di tengkuknya. Lipatan tengkuk orang itu tersenyum
ke arahku, seperti mulut yang tersenyum dan sinis. Aku
bertanya"tanya kepada diriku apakah aku tidak akan me"
lemparkan pistolku ke selokan.
Tiba"tiba, orang itu berbalik dan memandangku dengan
jengkel. Aku melangkah ke belakang.
"Saya hendak bertanya kepada Anda..."
Ia tampaknya tak mendengarkan, ia melihat tanganku.
Aku mengakhiri pertanyaanku dengan susah payah.
"Bisakah Anda menunjukkan arah ke Rue Gaite?"
W'ajah orang itu bulat dan mulutnya tampak bergetar.
Ia tak mengatakan apa"apa, ia mengulurkan tangannya. Aku
mundur dan berkata kepadanya: "Saya ingin...".
Saat itu aku sadar bahwa aku akan mulai berteriak. Aku
tak ingin itu. Aku melepas tiga peluru ke arah perutnya. Ia
terjatuh dengan wajah yang tak mengerti, di atas lututnya,
dan kepalanya terkulai ke arah bahu kirinya.
"Bajingan!" kataku kepadanya, "keparat!"
Aku melarikan diri. Aku mendengarnya terbatuk"batuk.
Aku mendengar teriakan"teriakan dan suara langkah"langkah
di belakangku. Seseorang bertanya: "Ada apa, mereka ber"
tengkar?" Sesaat kemudian aku mendengar mereka berteriak:
"Pembunuhan! Pembunuhan!"
104 ]ean"Paul Sartre
Aku tak berpikir bahwa teriakan"teriakan itu ditujukan
kepadaku. Tapi, teriakan"teriakan itu tampak mengerikan
bagiku, bagai bunyi sirine pemadam kebakaran yang sering
kudengar ketika aku masih kecil. Aku berlari sekuat"se"
kuatnya. Tapi, aku melakukan suatu kesalahan yang tak termaaf"
kan. Seharusnya aku naik ke arah Rue Odessa melewati lmu"
lemm' Edgar"Quinet, tapi aku malah menuruni Rue Odessa
menuju ke boulez'anl Montparnasse. Saat aku menyadarinya,
semuanya sudah terlambat. Aku sudah berada di tengah"te"
ngah kerumunan, wajah"wajah heran berpaling ke arahku
(aku ingat wajah seorang perempuan dengan riasannya yang
tebal, ia mengenakan topi hijau berjambul). Aku mendengar
orang"orang tolol yang berada di Rue Odessa itu berteriak,
"Pembunuhl", di belakang punggungku. Sebuah tangan dile"
takkan di bahuku, aku seperti kehilangan kepalaku. Aku tak
ingin mati tercekik oleh orang"orang itu. Aku menembak
dua kali lagi dengan pistolku. Orang"orang mulai berteriak
dan menjauh. Aku masuk dengan berlari ke sebuah kafe.
Para tamu berdiri di hadapanku, tapi mereka tak berani
mencoba untuk menahanku. Aku menuju ke kamar kecil
dengan menyeberangi kafe itu. Masih tersisa satu peluru di
dalam pistolku. Waktu berlalu. Aku kehabisan napas dan terengah"
engah. Semuanya terasa sunyi, seperti jika orang tiba"tiba
berdiam diri secara serentak. Aku mengangkat pistolku
hingga ke mata dan aku melihat lubang kecil bundarnya,
tempat peluru keluar. Bubuk mesiunya akan membakar wa"
Erostrate 105 jahku. Aku menurunkan tanganku dan menunggu. Tiba"tiba
mereka datang dengan mengendap"endap, mereka bagaikan
segerombolan serigala yang menapakkan kaki"kakinya di
atas lantai pagan. Mereka saling berbisik. Aku masih menarik
napas dan aku pikir mereka pasti mendengar napasku di
balik dinding ini. Seseorang maju dengan perlahan dan
menggerakkan pegangan pintu. Tubuhnya pasti merapat
ke dinding, untuk menghindari peluru"peluruku. Aku
sebenarnya masih ingin menembak, tapi peluru terakhir
untukku. "Apa yang mereka tunggu?" gumamku.
Jika mereka menubruk pintu ini dan mendobrak sece"
patnya, aku tak punya waktu untuk bunuh diri, dan mereka
akan menangkapku hidup"hidup. Tapi, tampaknya mereka
tidak terburu"buru, mereka memberiku kesempatan untuk
mati. "Dasar bajingan, mereka takut."
Tiba"tiba terdengar suara.
"Bukalah pintunya, kami tidak akan menyakiti Anda."
Kemudian, sunyi lagi dan suara yang sama menyusul:
"Anda tahu bahwa Anda tak bisa melarikan diri."
Aku tak menjawab, aku masih terengah"engah. Untuk
memberanikan diriku menembak, aku berkata kepada diri"
ku sendiri: "Jika mereka menangkapku, mereka akan me"
mukuliku, merontokkan gigiku, mungkin mereka akan me"
nusuk mataku. Aku ingin tahu apakah orang gendut itu me"
ninggal. Mungkin saja aku hanya melukainya... dan dua pe"
luru lainnya, mungkin saja keduanya tidak mengenai seorang
pun" Mereka tampaknya sedang menyiapkan sesuatu. Me"
106 ]ean"Paul Sartre
reka tampak sedang menarik sesuatu yang berat di atas lantai
papan." Aku lekas"lekas meletakkan pistol di depan mulutku dan
aku menggigitnya kuat"kuat. Tapi aku tak dapat menembak"
kannya, bahkan untuk menarik pelatuknya. Semuanya jatuh
dalam diam. Kemudian, aku meletakkan pistolku dan membuka
pintu untuk mereka. Kehangatan LULU selalu tidur telanjang, karena ia senang sprei mem"
belai"belai kulitnya, apalagi mencucikan pakaian biayanya
mahal. Awalnya Henri memprotesnya. Kita tak bisa benar"
benar telanjang di tempat tidur karena tempat tidur itu kotor.
Tapi akhirnya ia mengikuti kemauan istrinya. Sebenarnya
rumahnya juga tak rapi, Henri sendiri tampak kaku seperti
tiang menjulang di antara orang"orang (sebenarnya ia adalah
tipe pengagum bangsa Swiss, terutama orang"orangJenewa,
baginya mereka seperti melayang di udara bebas karena
tubuh mereka ringan seperti terbuat dari kayu). Henri sering
melalaikan hal"hal kecil, misalnya, ia tak terlalu rapi, sering
108 ]ean"Paul Sartre
tak mengganti celana dalamnya; saat Lulu meletakkannya
di dalam cucian kotor ia tak bisa menahan diri untuk tidak
memperhatikan bagian yang berwarna kuning karena gesek"
an"gesekan pantat Henri.
Lulu tak membenci hal"hal yang kotor karena itu bisa
memberikan kehangatan yang lebih, memberikan bayang"
an yang lembut, seperti di lekukan siku. Lulu tak menyukai
orang"orang Inggris, baginya mereka adalah korps imper"
sonal yang tak bisa merasakan apa"apa. Tapi ia takut pada
kecerobohan suaminya, karena hal itu merupakan cara
untuk saling memanjakan. Pagi hari saat bangun ia selalu
merasa sangat nyaman. Kepala yang dipenuhi mimpi, hari
yang penting, air dingin, dan sisir, memberikan pengaruh
menakjubkan buatnya. Lulu tidur terlentang. Ia memasukkan ibu jari kaki kiri
di lubang yang ada di sprei. Sebenarnya itu bukan lubang,
hanya sebuah jahitan yang terbuka. Yang membuatnya ke"
sal, ia harus menambalnya besok. Namun ia tetap saja akan
menarik sedikit benang untuk merusaknya.
Henri belum tertidur, tapi ia tak terganggu lagi. Ia se"
ring berkata kepada Lulu: begitu menutup mata ia merasa
diikat oleh jerat kuat yang menahannya, ia bahkan tak meng"
gerakkan jari kelingkingnya. Seekor lalat besar terjerat da"
lam sarang laba"laba. Lulu senang merasakan tubuh besar
yang dikuasainya. Jika saja Henri tetap dalam keadaan tak
berdaya seperti itu, akulah yang akan membersihkannya
seperti seorang anak kecil dan kadang"kadang aku akan
menelungkupkan dan memukul"mukul pantatnya, dan
Kehangatan 109 begitu ibunya datang menjenguk, aku akan perlihatkan
seolah"olah tanpa sengaja tubuhnya telanjang dengan cara
menjatuhkan selimutnya. Aku kira ibunya akan terkejut
karena selama lima belas tahun tak melihatnya dalam ke"
adaan seperti itu. Lulu mengelus pinggul suaminya dan mencubit sedikit
selangkangannya. Henri menggerutu, tapi ia tak bergerak
sedikit pun. Menunjukkan ketidakberdayaannya. Lulu terse"
nyum. Kata "impoten" selalu membuatnya tersenyum.
Ketika masih menyayangi Henri, dan Henri terbujur tak
berdaya di sampingnya, Lulu memuaskan dirinya dengan
membayangkan Henri berpakaian ketat dikelilingi orang"
orang cebol seperti yang pernah ia lihat di sebuah gambar
sewaktu ia masih kecil, saat ia membaca cerita Gulliver. Lulu
sering memanggil Henri dengan nama Gulliver. Henri pun
senang dengan nama panggilan itu karena Gulliver adalah
nama Inggris dan pada saat mengucapkannya Lulu tampak
terpelajar, tapi ia lebih senang jika Lulu mengucapkannya
dengan aksen Inggris. Yang membuatku bosan pada mereka
adalah jika Henri menginginkan seorang yang terpelajar,
kenapa ia tak menikahi Jeanne Beder yang berpayudara be"
sar tapi bisa berbicara dalam lima bahasa.
Waktu kami sering pergi ke Sceaux setiap hari Minggu,
aku sering merasa bosan, sampai"sampai aku selalu mem"
bawa buku apa saja. Selalu ada yang datang untuk melihat
apa yang kubaca dan adik perempuannya sering bertanya:
"Anda tahu Lucie...?". Hal luar biasa apa yang tak bisa ia
temukan pada diriku. Orang"orang Swiss memang luar bia"
110 ]ean"Paul Sartre
sa. Kakak perempuan tertuanya yang dinikahi oleh orang
Swiss mempunyai lima orang anak. Mereka membangga"
banggakan gunung"gunung mereka kepadanya. Aku sendiri
tidak ingin punya anak karena keadaan tubuhku, tapi aku
tidak akan pernah berpikir bahwa apa yang dilakukannya
itu luar biasa. Saat pergi denganku ia selalu mampir ke WC
umum, setiap waktu, aku pun harus melihat"lihat etalase to"
ko sambil menunggunya, ia pikir aku apa" Ia selalu keluar
sambil menarik celana dan melengkungkan kaki seperti ka"
kek"kakek. Lulu menarik jari kaki dari lubang sprei dan sedikit
menggerakkan kedua kakinya untuk menikmati saat dimana
ia merasa cekatan di dekat tubuh lemas dan terkungkung
itu. Ia mendengar bunyi air mengalir. Perut yang berbunyi
membuatku jengkel, aku tak ingin tahu perut siapa yang
berbunyi. Lulu menutup matanya. Bunyi itu ternyata bunyi
cairan yang menggelegak dalam sejumlah besar pipa"pipa
lembek, seperti bisa terjadi pada setiap orang, pada Rirette,
padaku (aku tak mau memikirkannya, membuatku mual
saja). Ia mencintaiku, namun tak menyukai ususku. Kalaupun
seseorang menunjukkan kepadanya usus buntuku yang di"
letakkan di dalam toples, ia tak akan mengenalinya. Ia selalu
mengusikku setiap waktu. Kalaupun ada yang menunjukkan
toples itu kepadanya, ia tak akan merasakan apa pun dari
benda yang ada di dalamnya. Ia tak akan berpikir "itulah dia".
Kita seharusnya mencintai seluruh bagian tubuh seseorang,
kerongkongannya, hatinya, dan isi perutnya. Mungkin kita
Kehangatan 1 11 tak bisa menyukai benda"benda itu, karena tidak terbiasa.
Andai saja kita bisa melihatnya seperti melihat telapak ta"
ngan dan lengan kita, mungkin bisa menyukai benda"benda
itu. Jadi, binatang laut pasti lebih saling mencintai daripada
kita. Mereka berjemur di tepi pantai saat matahari bersinar,
dengan mengeluarkan isi perutnya untuk bernapas sehingga
setiap orang bisa melihatnya. Aku bertanya kepada diriku
sendiri, darimana kita akan mengeluarkan isi perut kita, dari
pusat" Mata Lulu masih tertutup dan lempengan"lempengan
biru mulai berputar seperti permainan di pekan raya. Ke"
marin, aku menembak lempengan"lempengan dengan anak
panah dari karet. Ada huruf"huruf yang menyala pada setiap
bidikan yang tepat dan huruf"huruf itu membentuk sebuah
nama kota. Ia menghalangi bidikanku untuk menyelesaikan kata
"Dijon" dengan kebiasaan anehnya yang suka menempel di
punggung. Aku sering berharap, kalau saja aku tak punya
punggung. Aku tak suka orang"orang melakukan sesuatu di
belakangku tanpa sepengetahuanku, mereka bisa saja saling
mengejek dan kita pun tak bisa melihat tangan mereka. Kita
bisa tahu siapa yang naik dan siapa yang turun tapi kita tak


Dinding Karya Jean Paul Sartre di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tahu dari arah mana mereka datang. Mereka memandang
Anda dengan segenap perhatian tapi Anda tak bisa melihat
mereka. Sementara Henri suka itu. Ia tak akan pernah berpikir,
dan ia hanya berpikir untuk menempel di punggungku. Aku
yakin ia sengaja menyentuh bagian belakangku karena tahu
aku sangat malu. Saat aku malu itulah yang membuatnya te"
112 ]ean"Paul Sartre
rangsang tapi aku tak ingin berpikir tentang dirinya (ia ke"
takutan), aku ingin berpikir tentang Rirette.
Lulu berpikir tentang Rirette setiap sore pada jam yang
sama, tepat ketika Henri bergumam dan merintih. Namun
selalu ada perlawanan, sebagian dari dirinya tampak dari
rambut hitam dengan keriting kecil"kecil dan ia percaya akan
hal itu. Ia mengigil karena kita tak akan pernah tahu apa
yang akan terjadi. Jika yang muncul adalah seraut wajah, itu bagus, tapi
kadang"kadang ada malam"malam yang dilewatinya tanpa
tidur karena pikiran"pikiran kotor muncul dalam ingatannya.
Satu hal yang menakutkan adalah jika kita mengenal seorang
lelaki dan hanya itu saja yang dapat kita lakukan. Henri ada"
lah orang yang berbeda, aku bisa membayangkannya tanpa
susah payah berpikir, aku bisa menduganya karena ia be"
gitu lemah. Seluruh tubuhnya berwarna abu"abu kecuali
perutnya yang merah. Ia selalu berkata bahwa lelaki sehat
adalah lelaki yang saat duduk perutnya memiliki tiga lipatan.
Namun lipatan perutnya sendiri ada enam, ia menghitungnya
dua"dua dan tak mau melihat sisa lipatan yang lain.
Saat berpikir tentang Rirette, Lulu merasa jengkel. Ri"
rette pernah berkata, "Lulu, kamu tak tahu bagaimana tu"
buh indah seorang lelaki." Lucu juga, sebenarnya aku tahu
apa yang ia maksud. Ia ingin membicarakan tubuh yang
kuat seperti batu, berotot, tapi aku tak suka itu. Patterson
memiliki tubuh seperti itu, sementara aku merasa lemah se"
perti seekor ulat saat ia memelukku; sedangkan Henri, aku
mengawininya karena ia benar"benar orang yang lemah, ka"
Kehangatan 1 13 rena ia mirip seorang pastor. Pastor"pastor itu lembut seperti
perempuan dengan jubahnya dan mereka memakai kaus ka"
ki. Ketika berumur 15 tahun aku punya keinginan untuk
mengangkat jubah mereka, melihat lutut dan celana kolor
mereka. Bagiku, lucu jika mereka mempunyai "sesuatu"
di antara kaki"kaki mereka; dengan satu tangan aku akan
mengangkat jubah mereka dan tanganku yang lain akan me"
nelusuri kaki"kaki itu, naik hingga tempat "itu".
Tindakan macam ini tak pernah kusukai, tapi benda itu
ibarat mesin bagi laki"laki. Ketika "itu" berada di balik jubah,
benda itu terasa empuk dan hangat seperti bunga besar. Pa"
da kenyataannya kita tak akan bisa memegang benda itu di
tangan. Meskipun tak bergerak, kita memegangnya, benda
itu akan mulai bergerak seperti seekor binatang, mengeras.
Hal yang membuatku takut adalah saat benda itu keras dan
tegak di udara. Betapa cinta itu kotor. Aku mencintai Henri
karena benda kecilnya tak pernah mengeras, tak pernah
mengangkat kepalanya, aku tertawa, aku kadang"kadang
menciuminya. Aku tak perlu takut karena aku seperti meng"
hadapi milik anak kecil. Setiap sore aku memegang benda
kecil itu di antara jari"jariku, wajah Henri pun memerah dan
1111 berpaling ke arah yang lain sambil tersenyum. Tapi
tak bergerak sama sekali, tetap diam di tanganku. Aku tak
memeluk Henri, kami tetap dalam posisi seperti itu sampai ia
tertidur. Aku masih berbaring dan memikirkan para pastor,
hal"hal yang suci, dan para perempuan. Aku membelai pe"
rutku, perut rataku yang indah, tanganku bergerak ke ba"
wah, turun, dan di situlah letak kenikmatan; kenikmatan
114 ]ean"Paul Sartre
yang hanya bisa aku jelaskan.
Rambut keriting kecil"kecil, mirip rambut orang Negro.
Dan kecemasan yang tertahan di tenggorokan seperti sebuah
bola. Tapi ia menutup matanya cepat"cepat. Akhirnya yang
muncul adalah telinga Rirette, telinga kecil berwarna lem"
bayung keemasan yang tampak seperti gula batu. Sambil
membayangkan, ia mendengar suara Rirette. Suara tinggi
dan tajam yang tak disukai Lulu. "Kamu seharusnya pergi
dengan Pierre, Lulu sayang, itulah satu"satunya hal yang
pantas kamu lakukan." Aku sangat menyayangi Rirette, tapi
ia sedikit membuatku kesal saat ia merasa amat dibutuhkan
dan saat ia senang pada apa yang dikatakannya.
Dulu, di Coupole, sambil membungkukkan badannya
dengan cara yang pantas dan sedikit liar Rirette mengatakan:
"Kamu tak bisa tinggal terus dengan Henri karena kamu
tak mencintainya lagi, dan itu adalah kejahatan." Ia tak
akan pernah menyia"yiakan peluang untuk mengatakan hal"
hal yang jelek tentang Henri, aku tahu kalau itu tak baik,
karena Henri selalu cocok dengan Rirette. Aku tak men"
cintainya lagi, mungkin saja, tapi bukan Rirette yang harus
mengatakannya kepadaku. Baginya segala sesuatu terlihat
begitu sederhana dan mudah; kita mencintai atau kita tak
mencintai lagi; tapi aku bukanlah orang seperti itu. Aku me"
miliki kebiasaan"kebiasaanku sendiri di sini dan aku pun
benar"benar mencintainya.
Rirette mengangkat lengan, aku melihat ketiaknya, aku
selalu senang jika melihat tangannya tak tertutup apa"apa.
Ketiak. Ia membukanya sedikit, bisa dikatakan bagai sebuah
Kehangatan 1 15 mulut, dan Lulu melihat kulit berwarna ungu, sedikit keriput
di bawah bulu"bulu keriting yang mirip dengan rambut. Pierre
menamainya "Minerve yang sintal", namun sedikit pun ia
tak menyukainya. Lulu tersenyum karena teringat pada adik
laki"lakinya, Robert, yang suatu saat pernah mengatakan ke"
padanya, ketika Lulu mengenakan celana dalam model te"
rusan: "Kenapa kamu punya rambut di bawah lenganmu?"
dan Lulu menjawab: "Ini penyakit."
Lulu senang berpakaian di depan adiknya karena adiknya
selalu memancarkan wajah yang lucu, orang"orang akan ber"
tanya di mana wajah semacam itu bisa ditemukan. Dan ia
selalu menyentuh benda"benda milik Lulu, ia melipat gaun"
gaun dengan rapi, tangannya sangat terampil, suatu saat nanti
ia pasti akan menjadi seorang penjahit yang hebat. Menjadi
seorang penjahit adalah suatu pekerjaan menyenangkan, dan
aku akan menggambar pola baju untuknya. Memang aneh
seorang anak laki"laki ingin menjadi penjahit; seandainya
aku anak laki laki, aku akan memilih jadi seorang penjelajah
atau aktor, bukan penjahit. Tapi Robert seorang pemimpi,
ia tak banyak bicara, ia mengikuti idenya; aku ingin menjadi
seorang kakak yang baik, sekalipun aku harus memohon pe"
kerjaan di perusahaan"perusahaan besar.
Aku merasakan mataku melembut seperti sesosok tu"
buh, aku akan tertidur. Wajah cantikku yang terlindung di
bawah kerudung biarawati, pasti akan membuatku tampak
anggun. Aku akan selalu melihat ratusan kamar tunggu yang
gelap. Tapi kamar yang terbaik pasti akan segera menjadi
terang; kemudian akan terlihat meja"meja yang besar, ben"
116 ]ean"Paul Sartre
da"benda seni dari perunggu yang diletakkan di atas meja,
serta gantungan"gantungan baju. Seorang perempuan da"
tang membawa buku catatan kecil dan selembar uang 50
Franc: "Ini saudaraku... terima kasih Nyonya. Tuhan mem"
berkati Anda. Sampai jumpa lagi." Tapi aku pastilah bukan
saudara sebenarnya. Di dalam bus kadang"kadang aku me"
lihat seseorang, pasti ia heran pada awalnya, kemudian ia
akan mengikutiku sambil menceritakan banyak hal dan
aku akan memberinya uang. Sedangkan uang derma adalah
untukku. Apa yang akan aku beli" Sebutir "obat rohani".
Bodoh, kataku melembut, membuatku senang, seperti kita
merendamnya dalam air sehingga seluruh tubuhku terasa
nyaman. Tiara hijau yang cantik, dengan zamrud dan batu"batu
nila. Tiara itu menengok, tampak kepala seekor sapi yang me"
ngerikan, tapi Lulu tak takut, ia berkata: "Secourge. Burung"
burung dari Cantal." Namun sebuah sungai berwarna
merah mengalir melewati tanah gersang. Lulu teringat pisau
pencacah daging elektroniknya, kemudian sebuah gowz'na.1
"Itu kejahatan!" ia melompat dan mengenakan baju tidur.
Matanya melebar. Mereka menyiksaku, apakah mereka tak
menyadari itu" Rirette, aku tahu ia punya niat baik dan ju"
ga tampaknya paling beralasan di antara yang lainnya, ia
harus mengerti bahwa aku perlu berpikir. Ia pernah berkata
kepadaku: "Kamu akan datang!". Matanya tampak berapi"
api. "Kamu akan datang ke rumahku, aku menginginkanmu
untukku saja." Aku takut pada tatapan matanya, seperti
! Sejenis minyak rambut, Kehangatan 1 17 ingin menghipnotisku, meremas"remas tanganku. Saat me"
mandang matanya aku selalu teringat bulu"bulu di dadanya.
Kamu akan datang, aku menginginkanmu hanya untuk diri"
ku; bagaimana seseorang dapat selalu mengatakan hal yang
sama.> Aku bukan seekor anjing.
Saat duduk aku tersenyum kepadanya, aku mengganti
bedakku untuknya tapi ia tak pernah memperhatikan. Ia
bahkan tak melihat mukaku, ia hanya melihat dadaku. Aku
akan menginginkan itu jika saja mereka menangis di da"
daku sehingga membuatnya kesal. Tapi aku tak pernah me"
rasakannya, dadaku kecil. Kamu akan datang ke Villaku di
Nice. Ia berkata bahwa villa itu dicat putih dengan tangga
dari mariner; bahwa villa itu menghadap ke laut, dan bahwa
kita akan telanjang sepanjang, hari. Pasti lucu naik tangga
dalam keadaan telanjang; aku akan menyuruhnya naik ter"
lebih dulu agar ia tak melihatku. Jika tidak, aku bahkan tak
sanggup mengangkat kakiku, aku akan diam sambil ber"
harap sepenuh hati agar ia menjadi buta. Namun itu tak
akan mengubahku, selama ia di sana, aku yakin bahwa aku
akan selalu telanjang. Ia memegang lenganku, wajahnya
tampak kejam dan berkata: "Kamu milikku!" dan aku yang
ketakutan berkata: "Ya."
"Aku ingin membuatmu bahagia, kita akan bepergian
dengan mobil, dengan perahu, kita akan pergi ke Italia dan
aku akan memberikan apa saja yang kamu inginkan."
Tapi Villa yang dikatakannya itu itu hampir tak memi"
liki perabotan dan kami akan tidur di lantai dengan ber"
alaskan matras. Ia ingin aku tidur di lengannya dan aku bi"
118 ]ean"Paul Sartre
sa mencium bau tubuhnya. Aku suka sekali dadanya yang
berwarna coklat dan besar dengan bulu"bulu di atasnya.
Aku menginginkan laki"laki tak berbulu dada seperti milik"
nya, bulu dada berwarna hitam dan lembut seperti lumut.
Kadang"kadang aku membelainya dan aku takut kepadanya,
aku mundur sejauh mungkin tapi ia memelukku. Ia ingin
aku tidur di lengannya dan mencium baunya; dan saat ge"
lap kami mendengar suara ribut air laut. Kalaupun mau
melakukan, bisa saja ia membangunkanku di tengah malam.
Aku tak akan pernah tertidur dengan tenang sampai aku
melaksanakan tugasku, namun ia tak peduli. Tampaknya
ada laki"laki yang melakukannya dengan para perempuan
yang merasa terganggu dan setelah itu terlihat ada darah
di perutnya, darah yang bukan miliknya, dan kita bisa me"
lihatnya di mana"mana, di atas sprei. Memuakkan, kenapa
mesti dilakukan hanya karena kita punya tubuh"
Lulu membuka mata, tirai"tirai memerah tertimpa sinar
dari jalan. Sinar merah menempel di kaca. Lulu senang si"
nar itu, bayangan sofa tampak jelas di bawah bayangan hu"
ruf"huruf Cina di seberang jendela. Di tangkai itu Henri
meletakkan celana bretelnya tergantung. Seharusnya aku
membelikannya gantungan bretel. Oh! Aku tak ingin pergi.
Ia akan menciumiku sepanjang hari dan aku akan menjadi
miliknya, aku akan melakukan semua keinginannya. Ia akan
memandangku, ia akan berpikir, "Inilah kesenanganku, aku
telah menyentuhnya di sana dan di sana, dan aku bisa me"
mulainya kapan saja aku mau."
Di Port Royal. Lulu menggerak"gerakkan kaki di sprei.
Kehangatan 1 19 Ia benci Pierre saat teringat kejadian di Port Royal. Waktu
itu Lulu berada di belakang pagar tanaman, ia yakin Pierre
ada di dalam mobil dan sedang mempelajari peta, tiba"tiba
Lulu melihatnya mengendap"endap di belakangnya, dan
Pierre memandangnya. Lulu menendang Henri, ia akan
terbangun. Namun Henri hanya menggumam: ?"Hmm...,"
dan tetap lelap. Aku ingin mengenal seorang laki"laki tam"
pan yang polos seperti seorang gadis, dan kami tak akan
saling menyentuh. Kami akan berjalan"jalan di tepi pantai,
berpegangan tangan, dan malam harinya tidur di dua tempat
tidur dalam satu kamar, seperti kakak dan adik, lalu kami
akan mengobrol sampai pagi.
Aku ingin sekali melewatkan waktu bersama Rirette.
Pasti menyenangkan bersama seorang perempuan. Ia mem"
punyai bahu yang besar dan mengkilat; aku benar"benar
merasa sedih saat ia menyukai Fresnel. Pikiranku sangat
kacau jika membayangkan Rirette membelainya, meraba
pelan"pelan paha dan tubuhnya, dan Rirette tersenyum.
Aku bertanya"tanya, bagaimana wajahnya saat berbaring
seperti itu, telanjang, di bawah tubuh seorang laki"laki, ia
merasakan tangan yang bergerak"gerak di atas tubuhnya.
Aku tak akan menyentuh tubuhnya meskipun orang akan
mengupahku dengan segala emas yang ada di dunia. Aku tak
akan pernah tahu apa yang akan dilakukannya. Jika sedang
sangat menginginkannya, ia akan berkata kepadaku: "Aku
ingin sekali." Aku tak akan pernah tahu, namun seandainya
aku tak terlihat, aku ingin berada di sana saat ia melakukan
itu dan menatap wajahnya (yang mengherankanku ia tetap
120 ]ean"Paul Sartre
memiliki wajah laksana sang Minerve), dan membelai de"
ngan ringan lututnya yang, berwarna merah jambu, lalu
mendengarnya merintih. Lulu, dengan lehernya yang terasa kering, tertawa pen"
dek, kadang"kadang kita memang punya pikiran seperti itu.
Suatu kali ia pernah membayangkan Pierre memerkosa Ri"
rette. Dan aku menolongnya, aku memegangi lengan Ri"
rette. Kemarin. Pipinya tampak merah, kami berdua duduk
di atas dipannya, saling berhadapan, kakinya rapat, tapi kami
tak bicara apa pun. Kami hanya saling diam. Henri mulai


Dinding Karya Jean Paul Sartre di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendengkur dan Lulu menarik napas. Aku berada di sana,
aku tak bisa tidur, aku was"was, dan ia mendengkur. Dasar
bodoh. Andai saja ia merengkuhku dalam lengannya, andai
saja ia memohon, andai saja ia berkata kepadaku: "Kamu
hanya untukku, Lulu, aku mencintaimu, jangan pergil".
Aku akan melakukan pengorbanan itu untuknya, aku akan
tinggal. Ya, aku akan tinggal dengannya sepanjang hidupku
untuk menyenangkan hatinya.
Rirette duduk di teras Dome dan memesan anggur. Ia
merasa lelah, ia jengkel kepada Lulu: ?" Anggurnya terasa
gabus." Lulu selalu mengejek anggur di tempat itu karena
ia terbiasa minum kopi sepanjang hari. Kita sendiri tak bisa
selalu minum kopi karena harus minum aperitif pula. Namun
di sini mereka selalu minum kopi atau kopi krim karena me"
reka tak punya uang. Mungkin menjengkelkan bagi mereka,
Kehangatan 121 kalau aku tak mungkin bisa. Aku akan melemparkan semua
boutique di depan hidung para tamu, bagiku mereka adalah
orang"orang yang tak bisa menempatkan diri.
Aku tak mengerti kenapa Lulu selalu mengajakku ber"
temu di Montparnasse. Namun akhirnya aku paham, jika
kami bertemu di Cafe de la Paix atau di Pam"Pam maka akan
terlalu dekat dengan rumahnya dan terlalu jauh dari tempatku
kerja. Alasan sebenarnya bukan begitu. Aku merasa sedih
jika selalu melihat wajah"wajah yang lama setiap waktu.
Karenanya, jika ada waktu aku harus mampir ke tempat ini.
Di teras pun bisa, karena di dalam aku seperti mencium bau
pakaian kotor, apalagi aku tak suka bunyi mesin. Tapi, di
teras aku merasa kurang pada tempatnya karena aku terlalu
rapi. Pasti orang"orang yang lewat akan heran melihatku
berada di tengah"tengah orang yang tak bercukur bersama
para perempuannya, dengan wajah anehnya yang aku tak
aku tahu menyiratkan apa.
Mereka pasti berkata: "Apa yang dilakukan perempuan
itu di sana?" Aku tahu kadang"kadang ada orang"orang Amerika yang
cukup kaya datang di musim panas. Tampaknya mereka se"
karang tertahan di Inggris, pemerintah kami sekarang men"
cegahnya. Karena itulah perdagangan barang"barang mewah
terhambat. Aku menjual lebih sedikit barang daripada tahun
lalu dalam periode waktu yang sama, dan aku bertanya"ta"
nya bagaimana dengan nasib yang lain, karena menurut
Nyonya Dubech aku adalah penjual terbaik. Aku kasihan
pada si kecil Yonnel, ia tak bisa berjualan, karena itu ia harus
122 ]ean"Paul Sartre
berhemat bulan ini, dan setelah berdiri sepanjang hari sekali
waktu kita pasti ingin bersantai"santai di tempat yang agak
nyaman, sedikit mewah, sedikit berbau seni, dengan orang"
orang yang penuh gaya. Kita pasti ingin menutup mata dan larut di dalamnya,
lalu dibutuhkan musik yang lembut. Tak terlalu mahal se"
benarnya jika kita pergi berdansa di Amhassadeurs sekali
waktu; sayang pelayan"pelayannya tidak sopan, sepertinya
mereka punya urusan sendiri, kecuali si kecil berambut
coklat yang cukup baik. Aku yakin Lulu senang dikelilingi
orang"orang yang seperti itu, apalagi ia takut pergi ke tempat
yang agak mentereng. Pada dasarnya ia kurang yakin pada
dirinya sendiri, takut kalau ada lelaki yang menggodanya. Ia
tak suka Louis; aku pikir ia pasti merasa senang di sini.
Dari wajah"wajah miskin dan pipa"pipa orang"orang, dan
pandangan mata mereka yang dilontarkan pada Anda semua,
mereka bahkan tak mencoba untuk menyembunyikannya.
"Kelihatannya mereka tak punya uang untuk membeli pe"
rempuan. Padahal perempuan"perempuan yang berada
di tempat ini memuakkan. Mereka seperti akan memakan
Anda, dan mereka pasti tak bisa mengatakan sesuatu yang
sopan jika mereka menginginkan Anda. Mereka tak bisa
mengubah tingkah laku sesuai dengan yang Anda inginkan."
Seorang pelayan mendekat.
"Anggur keras, Nona?"
"Ya, terima kasih."
Ia berkata lagi dengan raut muka ramah.
"Cuaca yang cerah!"
Kehangatan 123 "Terlalu cepat untuk mengambil kesimpulan seperti
itu," kata Rirette. "Benar, saya yakin musim dingin belum berlalu."
Kemudian ia beranjak dan Rirette mengikuti dengan
pandangan matanya. "Aku suka pelayan itu," pikirnya, "ia
tahu bagaimana menempatkan diri. Aku tak mengenalnya
tapi ia selalu menyapaku. Perhatian kecil yang khas."
Seorang lelaki muda langsing dan berbadan bungkuk
memandangi Rirette dengan rasa ingin tahu. Rirette
mengangkat bahu dan membalikkan punggungnya.
"Kalau ingin main mata dengan perempuan, perhatikan
dulu pakaianmu." Aku akan menjawab seperti itu jika ia mengajakku bi"
cara. Aku bertanya"tanya, kenapa Lulu tak datang juga. Ia
tak ingin menyakiti Henri, aku rasa itu terlalu indah.
"Menurutku seorang perempuan tak perlu menyia"nyia"
kan hidupnya untuk orang yang lemah (syahwat)." Rirette
membenci orang"orang yang lemah (syahwat), itu adalah
suatu masalah Fisik. "Lulu harus pergi," putusnya, "kebahagiaannya sedang
dipermainkan, aku akan berkata kepadanya bahwa kita tak
boleh bermain"main dengan kebahagiaan kita.
"Lulu, kamu tak berhak bermain"main dengan keba"
hagiaanmu. Aku tak akan mengatakan apa"apa lagi, cukup
sudah. Aku sudah mengatakan kepadanya ratusan kali, kita
tak bisa mempermainkan kebahagiaan meskipun itu milik
mereka sendiri." Rirette merasakan kekosongan di kepalanya, ia merasa
124 ]ean"Paul Sartre
lelah. Ia memandang anggur yang sangat kental seperti ka"
ramel cair di dalam gelasnya, dan suara yang berulang"ulang
mencecarnya: "Kebahagiaan, kebahagiaan." Suara itu begitu
memelas namun penuh tekanan. Ia membayangkan orang"
orang menanyakan kepadanya dalam acara kuis di Paris"Soir
tentang pendapatnya, ia akan mengatakan bahwa suara itu
mengeluarkan kata yang paling indah.
"Apa mereka pikirkan?"
Mereka mengatakan, "Energi, keberanian, itu pun kare"
na mereka laki"laki. Seharusnya ada perempuan yang meng"
ikuti acara itu, hanya perempuan yang bisa menemukan kata
itu. Jadi harus disediakan dua hadiah. Salah satunya untuk
laki"laki, dan nama yang paling indah adalah Honneur. Satu
lagi untuk perempuan, dan aku pasti akan menang, aku akan
mengatakan Bonheur. Honneur dan Bonheur terasa mem"
punyai rima, sangat menyenangkan."
Aku berkata kepadanya, "Lulu, kamu tak berhak untuk
melupakan kebahagiaanmu, kebahagiaanmu Lulu, kebaha"
giaanmu." Secara pribadi aku tahu Pierre sangat baik, ia benar"be"
nar seorang laki"laki. Ia juga pandai, suatu hal yang meng"
untungkan. Ia punya uang, ia pasti akan memberi perhatian
kepadanya. Ia adalah seorang yang tahu bagaimana mengatasi
kesulitan"kesulitan kecil dalam hidup, bisa membuat se"
orang perempuan merasa nyaman. Aku menyukai orang
yang bisa memerintah, seperti memberikan nuansa, tapi ia
tahu bagaimana cara menyampaikannya kepada pelayan, ke"
pada pemilik hotel. Orang"orang akan patuh kepadanya, aku
Kehangatan 125 menyebutnya "punya gengsi".
Mungkin itulah yang kurang pada diri Henri. Dan
lagi, ada beberapa pertimbangan soal kesehatan, apalagi
menghadapi orang seperti ayah Lulu, ia harus selalu hati"
hati. Memang menyenangkan punya tubuh langsing dengan
kulit halus dan tak pernah lapar, tak pernah mengantuk, tidur
empat jam setiap malam, dan berkeliling Paris sepanjang hari
di tempat"tempat yang biasa dilaluinya. Tapi semuanya tak
teratur, ia seharusnya mengikuti diet yang rasional, kadang"
kadang makan sedikit seperti yang aku makan, tapi lebih
sering dan pada jam yang sama. "Ia pasti akan mengalami
kemajuan kalau kita bisa mengurungnya di sanatorium
selama sepuluh tahun."
Rirette memastikan lagi dengan wajah bingung jam
yang ada di perempatan Montparnasse. Jarum jamnya me"
nunjukkan angka 11.20. "Aku tak paham, Lulu. Temperamennya aneh, aku tak
pernah bisa tahu kalau ia mencintai laki"laki, atau ia mem"
benci mereka. Bahkan jika dengan Pierre ia merasa bahagia,
maka itulah perubahan sikapnya sejak setahun lalu. Rabut"
nya, aku menamainya Rabut." Ingatan itu membuatnya
senang, tapi ia menahan senyum karena laki laki langsing
itu terus memandangnya. Ketika menoleh ia terkejut pada
tatapan laki"laki itu. Rabut adalah orang dengan lubang"lu"
bang hitam dan Lulu senang menghilangkan lubang"lubang
itu dengan cara menekan kulit Rabut menggunakan kuku"
nya: memuakkan namun itu bukan salahnya. Lulu hanya
tahu seorang laki"laki tampan. Sedangkan aku, aku suka
126 ]ean-Paul Sartre laki"laki yang genit, benda"benda milik laki"laki itu bagus"
bagus, kemejanya"kemejanya, sepatunya, dasi"dasinya yang
berkilauan, kasar memang. Tapi jika menginginkan sesuatu
mereka begitu lembut, kuat, kekuatan yang lembut, seperti
bau mereka yang beraroma tembakau Inggris dan mlqgne.
Kulit mereka pada saat mereka berkeringat, bukan... bukan
kulit seorang perempuan, mereka menyebutnya kulit dari
Cordove, lengan mereka yang kuat memeluk Anda, kita bisa
menyandarkan kepala di dada mereka.
Kita bisa mencium aroma kuat seorang laki"laki yang
terawat, mereka akan membisikkan kepada Anda kata"kata
yang lembut; mereka punya barang"barang bagus, sepatu"
sepatu bagus dari kulit lembut, mereka akan berbisik ke"
pada Anda: "Sayangku, sayangku yang lembut," dan tiba"
tiba kita merasa lemas, Rirette teringat pada Louis yang
ditinggalkannya setahun lalu, hatinya terasa pedih: "Seorang
laki"laki yang mencintai dan memiliki banyak hal kecil, cincin
stempel, pipa rokok dari emas, dan obsesi"obsesi kecil"
hanya merekalah yang bisa melakukannya kepada kita,
kadang"kadang mereka terlihat lebih buruk dari perempuan.
Yang terbaik adalah seorang laki"laki berumur 40 tahun,
seseorang yang rambutnya mulai beruban di pelipisnya
dengan gaya ditarik ke belakang, keras, dengan bahu yang
besar, sangat sportif, tapi yang tahu bagaimana hidup dan
bersikap baik karena mereka telah mengenal penderitaan.
Lulu hanyalah seorang bocah, ia beruntung karena memiliki
teman seperti aku, karena Pierre kelihatan mulai jemu dan
ada seseorang yang berada di sampingnya, dan aku selalu
Kehangatan 127 mengatakan kepadanya agar bersikap sabar. Ketika Pierre
tampak sedikit mesra kepadaku, aku mengacuhkannya, aku
mulai berbicara tentang Lulu dan aku selalu menemukan
cara untuk membuat Lulu diinginkan, tapi Lulu tak pantas
menerima keberuntungan itu, ia tak bertanggung jawab,
aku mengharapkannya hidup sedikit kesepian seperti yang
kualami sejak Louis pergi. Lulu akan tahu bagaimana rasanya
pulang sendirian dan masuk kamar setiap sore setelah be"
kerja sepanjang hari, dan menyadari bahwa kamarnya ko"
song, dan ingin sekali menyandarkan kepala di atas sebuah
bahu. Bertanya"tanya di mana kita dapat menemukan se"
mangat untuk bangun keesokan harinya dan kembali be"
kerja, menjadi orang yang menarik dan menyenangkan, dan
memberikan semangat kepada setiap orang. Sementara kita
merasa ingin mati saja daripada meneruskan hidup ini."
Jam berdentang menunjukkan pukul 11.30. Rirette
membayangkan kebahagiaan, burung biru, burung keba"
hagiaan, burung yang memberontak pada cinta. Ia terkejut:
"Lulu terlambat 30 menit, itu biasa. Ia tak akan pernah me"
ninggalkan suaminya, ia tak punya cukup keinginan untuk
itu. Pada dasarnya, semua itu karena gengsi jika ia ting"
gal bersama Henri: Lulu menipunya, tapi saat orang me"
manggilnya (Nyonya), ia berpikir bahwa hal itu tidaklah pen"
ting. Ia menjelek"jelekkan Henri tapi ingin kita mengulang
kembali apa yang dikatakannya keesokan harinya. Wajahnya
akan memerah karena marah. Aku telah melakukan apa
yang dapat kulakukan dan aku mengatakan apa yang harus
kukatakan kepadanya, untung ruginya."
128 ]ean-Paul Sartre Sebuah taksi berhenti depan Dome, Lulu turun. Ia
membawa tas besar dan wajahnya tampak sedikit kaku.
"Aku meninggalkan Henri," teriaknya dari kejauhan.
Ia mendekat, terbungkuk"bungkuk karena tasnya yang
berat. Ia tersenyum. "Bagaimana, Lulu?" sambar Rirette, "kamu tak akan bi"
lang...?" "Ya," jawab Lulu, "selesai sudah, aku sudah meninggal"
kannya." Rirette masih tetap tidak percaya.
"Ia tahu" Kamu telah mengatakan kepadanya?"
Mata Lulu tampak tegang: "Lalu bagaimana!" jawabnya.
"Baiklah! Lulu, sayang!"
Rirette hanya bisa berpikir, tapi bagaimanapun ia meng"
anggap bahwa Lulu memerlukan dorongan semangat.
"Tindakanmu itu benar," katanya. "Kamu telah meng"
ambil keputusan yang berani."
Ia sebenarnya ingin menambahkan: "Bukankah kamu
sadar kalau itu sebenarnya muda ."
Tapi ia menahannya. Biarlah Lulu merasa dikagumi: pi"
pinya memerah dan matanya berapi"api. Lulu duduk dan
meletakkan tas di sampingnya. Ia mengenakan mantel wol
berwarna abu"abu dengan sabuk kulit dan .ru/eater berwar"
na kuning muda berleher tinggi yang digulung. Ia tak me"
ngenakan topi di kepalanya. Rirette tidak suka melihat Lulu
jalan"jalan tanpa topi: ia dapat lebih mudah dikenali karena
perpaduan rasa ingin tahu, celaan dan keriangan; ia selalu
mengenali Lulu karena hal itu.
Kehangatan 129 "Apa yang kusukai dari Lulu adalah Vitalitasnya," pu"
tusnya.

Dinding Karya Jean Paul Sartre di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dengan secepat kilat. Aku pun telah mengatakan apa
yang ada dalam hatiku. Ia terpukul," ucap Lulu.
"Aku tak heran," kata Rirette. "Tapi apa yang telah ka"
mu makan, Lulu sayang" Apakah kamu menelan seekor
singa" Kemarin sore, aku yakin, potong kepalaku. Kamu tak
berani meninggalkannya."
"Semuanya karena adikku. Aku ingin ia bisa melakukan
hal yang terbaik jika bersamaku, tapi aku tak mengizinkannya
jika ia menyinggung keluargaku."
"Tapi bagaimana semuanya bisa terjadi?"
"Di mana pelayannya?" tanya Lulu sambil bergerak
di atas kursinya. "Pelayan Dome tak pernah ada kalau kita
memanggilnya. Laki"laki kecil berambut coklat itukah yang
melayani kita?" "Ya," jawab Rirette. "Kamu tahu aku telah merebut ha"
tinya?" "Oh, ya" Apakah kamu tak curiga pada perempuan
yang membersihkan kamar kecil itu, ia selalu masuk ke da"
lam bersamanya. Ia selalu berada di sekelilingnya untuk
mengambil hatinya, tapi aku yakin bahwa itu hanya alasan
agar ia bisa melihat perempuan"perempuan masuk ke kamar
kecil. Ketika para perempuan itu keluar ia akan menatap
mata mereka dan membuat mereka memerah wajahnya.
Omong"omong, aku akan pergi sebentar. Aku turun untuk
menelepon Pierre atau ia akan cemberut! Kalau kamu
melihat seorang pelayan, pesankan kopi krim; aku pergi
130 ]ean-Paul Sartre sebentar dan akan kuceritakan semuanya kepadamu."
Ia berdiri, berjalan beberapa langkah dan melewati Ri"
rette. "Aku benar"benar bahagia, Rirette, sayang."
"Lulu, sayang," jawab Rirette sambil menggenggam ta"
ngannya. Lulu melepaskan genggaman Rirette dan berjalan me"
lintasi teras dengan langkah ringan. Rirette melihatnya sam"
pai ia menjauh. "Aku tak akan pernah sanggup bertindak
seperti itu. Betapa senangnya ia," pikirnya, sedikit malu, "ia
telah berhasil meninggalkan suaminya. Kalau saat itu mau
mendengarku ia pasti sudah meninggalkannya dari dulu.
Sebenarnya semua itu berkat aku; aku telah mempenga"
ruhinya begitu banyak."
Lulu kembali setelah beberapa saat.
"Pierre sudah mantap," katanya. "Ia ingin tahu cerita
detailnya, tapi itu nanti saja, aku akan makan dengannya. Ia
bilang, kami mungkin dapat pergi besok sore."
"Aku bahagia, Lulu," kata Rirette. "Ceritakan segera.
Apakah tadi malam kamu mengambil keputusan itu?"
"Kamu perlu tahu bahwa aku tak mengambil keputusan
apa"apa," jawab Lulu merendah, "semua terjadi begitu sa"
ja." la memukul"mukul meja dengan jengkel: "Pelayan! Pe"
layan ia membuatku jengkel, "aku pesan kopi krim."
Rirette terkejut. Jika berada pada posisi Lulu dan dalam
keadaan yang sama ia tak mau kehilangan waktu hanya un"
tuk memburu secangkir kopi krim. Lulu adalah orang yang
menarik tapi mengherankan karena ia mungkin saja ber"
Kehangatan 131 bobot, ia adalah manusia biasa.
Lulu tertawa keras: "Jika saja kamu melihat wajah Hen"
ri!" "Aku jadi bertanya"tanya, apa yang akan dikatakan ibu"
mu," ucap Rirette serius.
"Ibuku" Beliau akan merasa bahagia," balasnya dengan
yakin. "Henri sudah bersikap tidak sopan kepada ibu, ka"
mu tahu itu, ibu selalu menganggapnya begitu. Beliau se"
lalu menyalahkannya atas semua tingkah burukku, aku
yang beginilah, aku yang begitulah. Orang"orang bisa me"
lihat bahwa aku memperoleh pendidikan untuk urusan be"
lakangan. Kamu pun mengerti, apa yang kulakukan sedikit
banyak juga karena beliau."
"Tapi apa sebenarnya yang terjadi?"
"Ia menampar Robert."
"Jadi, Robert ada di rumahmu?"
"Ya, ia mampir tadi pagi, karena ibu ingin mengirimnya
belajar di tempat Gompez. Aku yakin, aku sudah mencerita"
kannya kepadamu. Kemudian ia mampir ke tempat kami se"
waktu kami sedang sarapan, dan Henri menamparnya."
"Tapi, kenapa?" tanya Rirette sedikit jengkel. Ia tak suka
cara Lulu bercerita. "Mereka berdebat," jawab Lulu sepintas lalu, "dan
kejadian itu tak dapat dicegah. Ia memegang kepalanya.
Dasar orang tua bodoh. Ia menampar tepat di mukanya
karena menyebutnya bertingkah buruk. Sebenarnya Henri
tak tahu kata lain selain kata itu, aku sakit hati. Kemudian
Henri berdiri, kami sarapan di studi, dan ia menamparnya,
132 ]ean-Paul Sartre aku ingin membunuhnya!"
"Lalu, kamu akan pergi?"
"Pergi?" tanya Lulu kaget, "kemana?"
"Aku yakin, inilah saatnya kamu pergi meninggalkannya.
Dengarkan, Lulu sayang, ceritakan kepadaku secara
berurutan, jika tidak, aku tak akan mengerti. Katakan,"
tambahnya, hal itu membuatnya sedikit curiga, "kamu telah
benar"benar meninggalkannya, benar begitu?"
"Tentu saja, sudah satu jam aku menjelaskannya
kepadamu." "Henri memukul Robert, dan setelah itu?"
"Setelah itu aku menguncinya di balkon, lucu sekali! Ia
masih mengenakan piyama, ia memukul"mukul kaca jendela
tapi tak berani memecahkannya, karena ia sangat pelit
seperti kutu. Jika berada di tempatnya aku akan merusaknya
meskipun nanti tanganku berdarah. Kemudian keluarga
Texier datang. Ia pun tersenyum kepadaku dari balik jendela,
ia berpura"pura bahwa itu hanyalah gurauan."
Seorang pelayan lewat, Lulu memegang tangannya:
"Hei, kamu pelayan" Apakah kamu merasa terganggu jika
aku memesan secangkir kopi krim?"
Rirette merasa rikuh dan ia tersenyum meminta maaf
kepada pelayan itu, tapi pelayan itu telanjur berwajah suram
dan membungkuk dengan sikap sopan yang berlebihan,
penuh dengan ejekan. Rirette sedikit marah kepada Lulu:
ia tak pernah mengerti bagaimana cara berbicara dengan
suara rendah, ia kadang"kadang terlalu bersahabat, terlalu
berlebihan, dan terlalu keras.
Kehangatan 133 Lulu mulai tertawa. "Aku tertawa karena membayangkan
Henri masih dengan piyamanya berdiri di atas balkon, ia pasti
kedinginan. Kamu tahu, bagaimana aku bisa mengurungnya
di balkon" Saat itu kami berada di studio, Robert menangis,
dan Henri memberinya nasihat"nasihat yang membosankan.
Aku membuka jendela dan mengatakan: 'Lihat Henri!
Ada taksi yang menabrak penjual bunga." Ia mendekatiku.
Ia sangat menyukai penjual bunga itu, karena ia pernah
mengatakan kepadanya bahwa ia adalah orang Swiss, dan
bahwa Henri percaya jika penjual bunga itu jatuh cinta
kepadanya. (Di mana" Di mana", tanyanya. Aku mundur
perlahan"lahan, kembali ke kamar, dan menutup jendela. Aku
berteriak kepadanya dari jendela: "Itu balasan karena kamu
telah berbuat kasar kepada adikku." Aku membiarkannya
satu jam lebih di balkon. Ia menatap kami dengan mata
terbelalak, wajahnya membiru karena marah. Kujulurkan
lidah kepadanya dan memberi permen kepada Robert, aku
pun membawa barang"barangku ke studio dan berpakaian
di depan Robert karena aku tahu Henri membeci itu. Robert
mencium lengan dan leherku seperti anak kecil, ia manis,
kami melakukan itu semua seperti saat Henri tak di sana.
Karena kejadian"kejadian itu aku sampai lupa mandi."
"Dan, orang yang berada di balik jendela. Sangat meng"
gelikan," kata Rirette sambil tertawa terbahak"bahak.
Lulu berhenti tertawa: "Aku takut ia kedinginan,"
ucapnya serius, "saat marah kita tak bisa berpikir apa"apa."
Ia pun mulai bercerita lagi dengan riang: "Ia mengacung"
acungkan tinju kepada kami dan terus bicara, tapi aku tak
134 ]ean-Paul Sartre mengerti sebagian kata"katanya. Lalu, Robert pergi dan
di bawah aku dengar keluarga Texier membunyikan bel,
aku pun mempersilakan mereka masuk. Sewaktu melihat
mereka, Henri tertawa dan menyembah"nyembah dari atas
balkon, kukatakan kepada mereka: "Lihat suami saya, suami
saya yang terhormat, bukankah ia mirip dengan ikan dalam
akuarium" Keluarga Texier memberi salam kepadanya dari
balik kaca, meski sedikit heran mereka diam saja."
"Aku bisa bayangkan," kata Rirette sambil tertawa. "Ha"
haha... Suamimu di balkon dan keluarga Texier di dalam stu"
diol". Ia mengulanginya beberapa kali. "Suamimu di balkon
dan keluarga Texier di dalam studio...". Ia sebenarnya ingin
menemukan kata"kata lucu dan ekspresif untuk menggam"
barkan kejadian itu kepada Lulu, ia pikir Lulu tak memiliki
selera humor. Tapi kata"kata itu tak muncul juga.
"Aku membuka jendela," kata Lulu, "Henri pun masuk.
Ia menciumku di depan keluarga Texier dan memanggilku
"si genit,, yang terjadi adalah ia ingin sedikit bermain"main
denganku. Aku pun tertawa dan keluarga Texier tertawa
dengan sopan, semuanya tertawa. Tapi begitu keluarga
Texier pergi, ia meninju mataku. Lalu, kuambil sikat rambut
dan melemparkannya tepat di sudut bibir Henri. Aku telah
membuat bibirnya pecah."
"Luluku yang malang," ucap Rirette dengan lembut.
Tapi Lulu menolak segala bentuk belas kasihan. Ia
berada di sebelah kananku, menggerak"gerakkan rambut
ikal coklatnya dengan semangat dan matanya tampak
berkilat"kilat. Kehangatan 135 "Saat itulah kujelaskan kepadanya. Aku mengelap
mulutnya dengan serbet dan bilang bahwa aku sudah bosan,
aku sudah tak mencintainya lagi, dan aku akan pergi. Ia
pun mulai menangis dan bilang bahwa ia akan bunuh diri.
Tapi itu tak akan terjadi. Apakah kamu ingat, Rirette, tahun
lalu saat peristiwa Rhenaie, ia selalu mengumbar ancaman
itu setiap hari: ia akan pergi berperang. "Lulu, aku akan
pergi, aku akan terbunuh dan kamu akan menyesal, kamu
akan menyesal untuk segala kesusahan yang kamu berikan
kepadaku" "Baik,, jawabku, "kamu impoten, kepergianmu
adalah suatu perubahan." Kemudian aku menenangkannya,
karena ia akan mengunciku di dalam studio maka aku pun
meyakinkannya bahwa aku tak akan pergi sebelum satu
bulan. Setelah itu ia berangkat ke kantor, matanya merah
dan secarik kain plester di bibirnya, ia kelihatan jelek. Aku
segera membersihkan rumah dan meletakkan kacang lentil
di atas pemanggang, aku pun berkemas. Aku meninggalkan
pesan di atas meja dapur."
"Apa yang kamu tulis di surat itu?"
"Aku tulis: "aku sudah meletakkan kacang lentil di atas
pemanggang, siapkan makan siangmu sendiri, dan matikan
gasnya. Ada daging asap di dalam pendingin. Aku sudah
bosan dan aku pergi. Selamat tinggal"."
Mereka berdua tertawa dan orang"orang yang lewat pun
memandangi mereka. Rirette berpendapat bahwa mereka
telah menyuguhkan tontonan yang menyenangkan dan ia
menyesal kenapa tak sedang duduk di teras Viel atau Cafe
de la Paix. Mereka berhenti tertawa lalu terdiam, dan Rirette
13 6 ]ean-Paul Sartre sadar mereka tak punya apa"apa lagi untuk dibicarakan. Ia
sedikit kecewa. "Aku harus menyelamatkan diri," ucap Lulu sambil
berdiri, "aku akan menemui Pierre nanti siang. Bagaimana
dengan tasku?" "Biar aku urus," jawab Rirette, "akan kutitipkan nanti
kepada perempuan kepala pelayan, kapan kita dapat bertemu
lagi?" "Aku akan ke rumahmu dalam dua jam, masih
banyak keperluan yang harus dibeli dan aku ingin kamu
menemaniku: aku tak membawa sebagian barang"barangku,
kuharap Pierre memberiku uang."
Lulu pergi dan Rirette memanggil pelayan, ia merasa
serius dan sedih kepada keduanya. Pelayan datang berlari:
Rirette sadar bahwa ia akan segera datang jika ia yang
memanggilnya. "5 Franc," ucapnya. Ia menambahkan dengan wajah
keras: "Anda berdua tampak riang, kami mendengar tawa
Anda dari belakang."
"Lulu sudah melukainya," pikir Rirette jengkel karena ia
merasa tersinggung. Ia kemudian menjawab dengan wajah
memerah: "Teman saya agak sedikit gugup pagi ini."
"Ia menyenangkan," jawab pelayan itu dengan sepenuh
hati. "Saya ucapkan terima kasih kepada Anda, Nona."
Ia memasukkan uang 5 Franc ke dalam saku dan pergi.
Rirette merasa sedikit heran tapi jam telah menunjukkan pu"
kul 12, ia pun membayangkan Henri pasti sudah pulang dan
menemukan surat Lulu. Itu merupakan saat"saat penuh ke"
Kehangatan 137 sedihan bagi Rirette. "Saya ingin Anda mengantar tas itu sebelum besok
sore ke Hotel Theatre, di Rue Vandamme," ucap Lulu
kepada kasir, dengan wajah anggun. Kemudian ia berbalik
memandang Rirette: "Selesai sudah, Rirette, mereka telah
meletakkannya." "Atas nama siapa?" tanya kasir.
"Nyonya Lucienne Crispin."
Lulu meletakkan mantel di atas lengan dan segera ber"
lari, ia menuruni tangga Samaritaine sambil berlari. Rirette
mengikuti dari belakang, ia nyaris terjatuh beberapa kali
karena tak memperhatikan langkahnya. Ia memperhatikan
bayangan ramping berwarna biru dan kuning kenari sedang
menari di depannya!. "Mungkin benar, tubuhnya mesum...".
Setiap kali Rirette melihat punggung atau profil Lulu, ia
selalu membayangkan kemesuman tapi ia tak bisa menjelaskan
kenapa: hanya sebuah kesan. "Ia tampak luwes dan ramping,
tapi ada sesuatu yang tidak pantas dari tubuhnya, aku tak
akan keluar kalau jadi dirinya. Ia melakukan apa saja yang
bisa dilakukan agar pakaiannya melekat di tubuhnya, pasti


Dinding Karya Jean Paul Sartre di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

begitu. Ia bilang ia malu dengan pantatnya dan memakai
celana yang dapat menutupi pantatnya. Pantatnya kecil, aku
ingin sekali, ingin punya yang lebih kecil dari yang kumiliki,
tapi hal itu sepertinya menguntungkan. Pantatnya tampak
bulat, di bawah pinggul yang ramping ia mengisi celana
dengan baik, seperti yang dikatakan bahwa ia mengisi di
dalamnya; lalu, ia pun bergerak"gerak."
Lulu membalikkan badan dan mereka saling tersenyum.
13 8 ]ean-Paul Sartre Rirette membayangkan bagian tubuh tersembunyi milik
temannya dengan perpaduan antara bantahan dalam diri
dan hatinya yang merana: dada kecil yang mendongak ke
atas, tubuh yang sopan, berwarna kuning"waktu kita
menyentuhnya kita bagaikan menyentuh karet"paha
yang panjang, tubuh panjang yang kampungan, anggota
badan yang panjang: "Tubuh orang Negro," pikir Rirette,
"wajahnya seperti wajah orang Negro yang menari Rumba."
Di dekat pintu putar, sebuah cermin memantulkan
gambar tubuh Rirette secara keseluruhan: "Aku lebih
sportif," batinnya seraya menyambar lengan Lulu, "tubuhnya
mungkin lebih bagus saat mengenakan pakaian, tapi saat
telanjang kurasa tubuhku lebih bagus dari tubuhnya."
Mereka terdiam beberapa saat, kemudian Lulu berkata:
"Pierre sangat menyenangkan. Kamu juga, Rirette. Aku ber"
terima kasih atas bantuan kalian berdua."
Ia mengucapkan kalimat itu dengan wajah kikuk,
tapi Rirette tak memperhatikannya. Lulu tak pernah tahu
bagaimana mengucapkan terima kasih, ia terlalu pemalu.
"Ini membuatku bosan," ucap Lulu tiba"tiba, "tapi aku
harus membeli BH." "Di sini?" tanya Rirette. Saat itu mereka tengah melewati
toko pakaian dalam. "Tidak. Aku jadi berpikir untuk membeli pakaian dalam
setelah aku melihat toko ini. Biasanya aku membeli BH di
Ficher." "Di baa/emrdh'lontparnasse?" teriak Rirette. "Kita perlu
berhati"hati, Lulu," ulangnya dengan berat hati, "lebih baik
Kehangatan 139 kita tak usah menyusuri boa/ezmzl Montparnasse terutama
pada jam"jam seperti ini, kita pasti bertemu Henri, pasti
akan ada kejadian yang tidak enak."
"Bertemu Henri?" ulang Lulu sambil mengangkat
bahunya. "Tentu saja tidak, kenapa?"
Rasa tersinggung membuat pipi dan pelipis Rirette sem"
burat dengan warna lembayung.
"Kamu selalu begitu, Lulu. Saat membenci sesuatu
menyangkalnya begitu saja. Kamu ingin ke Fischer, dan
kamu meyakinkanku bahwa Henri tak akan lewat baa/emrd
Montparnasse. Kamu tahu pasti bahwa ia selalu melewati
jalan itu setiap jam 6, itu sudah kebiasaannya. Kamu pernah
mengatakannya sendiri kepadaku. Ia menuju jalan Rennes
dan akan menunggu AE di sudut boalezm'd Raspail."
"Tapi, ini baru jam 5," sanggah Lulu, "dan ia pasti
tak akan pergi ke kantor karena surat yang kubuat, ia pasti
sedang istirahat." "Tapi, Lulu," ucap Rirette tiba"tiba, "ada Fischer yang
lain, kamu tahu itu, tak jauh dari gedung Opera, di Rue Du
Quatre"Septembre."
"Ya, aku tahu," jawab Lulu dengan wajah tidak
bersemangat, "tapi aku harus pergi ke sana."
"Ah! Aku benar"benar sayang kamu, Lulu! Aku harus
pergi ke sana! Tapi toko itu di dekat situ saja, lebih dekat dari
perempatan Montparnasse."
"Aku tak suka pada apa yang mereka jual."
Rirette menghibur diri sendiri dengan berpikir bahwa
semua Fischer menjual barang yang sama. Tapi Lulu
140 ]ean"Paul Sartre
mempunyai sikap keras kepala yang tak dapat dimengerti.
Tak dapat disangkal lagi, Henrilah orang yang paling tidak
ingin ditemuinya sekarang ini, dan ia pasti akan membuatnya
berlutut. "Baiklah," ucapnya mengalah, "ayo kita pergi ke Mont"
parnasse, selain itu Henri terlalu besar untuk tidak terlihat
sebelum ia melihat kita."
"Lalu, kenapa?" tanya Lulu, "kalau kita harus bertemu
dengannya, tentu kita akan bertemu. Ia tak akan memakan
kita." Lulu ingin pergi ke Montparnasse dengan berjalan kaki,
ia bilang ia membutuhkan udara segar. Mereka menyusuri
Rue de Seine, kemudian Rue de FOdeon dan Rue de
Vaugirard. Rirette memuji"muji Pierre dan menunjukkan
kepada Lulu bahwa ia adalah orang yang tepat.
"Apa yang kusuka dari Paris, itulah yang akan membuatku
bersedih," kata Lulu.
"Diamlah, Lulu. Kupikir, kamu beruntung bisa pergi
ke Nice dan bahwa kamu menyesal karena meninggalkan
Paris." Lulu tak menjawab. Ia mulai menengok ke kanan dan
ke kiri dengan wajah sedih dan seperti sedang mencari"cari.
Waktu keluar dari Fischer mereka mendengar jam ber"
dentang enam kali. Rirette menggandeng Lulu dan ingin
membawa Lulu pergi secepatnya. Tapi Lulu berhenti di
depan Baumann, sebuah toko bunga.
"Lihat bunga Azelia ini, Rirette sayang. Seandainya aku
punya ruang tamu yang luas, aku akan memenuhinya dengan
bunga ini." Kehangatan 141 "Aku tak suka bunga yang diletakkan dalam pot," jawab
Rirette. Ia sangat jengkel. Ia menengok ke ujung Rue de Rennes
dan tiba"tiba melihat bayangan besar si bodoh si Henri
muncul. Ia tak mengenakan topi dan memakai setelan
jas bermodel sportif dari bahan wol berwarna coklat tua.
Rirette tak suka warna coklat tua.
"Ia di sana, Lulu, ia di sana," ucapnya dengan cepat.
"Di mana?" tanya Lulu, "ia di mana?"
Ia tidak lebih tenang dari Rirette.
"Di belakang kita, di trotoar seberang. Ayo kita pergi
dan jangan menoleh."
Tapi, Lulu tetap menoleh juga.
"Aku melihatnya," katanya.
Rirette menyeretnya, tapi Lulu tetap bertahan. Ia
menatap Henri lekat"lekat. Akhirnya, ia berkata: "Aku yakin
ia melihat kita." Ia tampak ketakutan. Tiba"tiba ia menuruti Rirette dan
patuh pada ajakan Rirette.
"Sekarang, Demi Tuhan, Lulu, jangan menengok," ucap
Rirette dengan sedikit tersengal"sengal. "Kira akan belok ke
kanan di jalan selanjutnya, ke Rue Delambre."
Mereka berjalan sangat cepat dan menabrak orang"
orang yang lewat. Untuk sesaat Lulu merasa terseret, tapi
pada kesempatan yang lain dialah yang menyeret Rirette.
Namun sebelum mereka sampai di ujung Rue Delambre,
Rirette melihat bayangan besar berwarna coklat berdiri di
belakang. Lulu sadar bahwa itu Henri dan ia mulai terlihat
142 ]ean"Paul Sartre
marah. Lulu menatap ke bawah, ia tampak mencurigakan
dan tegar. "Ia menyesali kecerobohannya, tapi terlambat sudah,
sayang." Mereka mempercepat langkah, Henri mengikuti
tanpa mengucapkan satu kata pun. Mereka melewati Rue
Delambre dan menuju Observatorium. Rirette mendengar
derap langkah Henri, ia juga mendengar desahan napas yang
ringan dan teratur mengiringi langkahnya: itu adalah napas
Henri (napas Henri selalu berat, tapi tak seperti saat ini, ia
pasti berlari untuk mengejar mereka, atau mungkin saja itu
karena emosinya). "Kita harus bersikap seolah"olah ia tak berada di sana,"
pikir Rirette. "Jangan menunjukkan wajah kalau kita tahu
kehadirannya." Tapi ia tak dapat menahan diri untuk tidak
melihat Henry dari sudut matanya. Ia sangat pucat seperti
kain dan pandangan matanya terus menunduk hingga
matanya seperti tertutup.
"Seperti orang yang berjalan waktu tidur," pikir Rirette
takut. Bibir Henri tampak turun dan di atas bibir bagian bawah
ada secarik plester berwarna merah muda, agak terlepas,
hampir terjatuh. Hembusan napasnya selalu sama dan
parau, yang sekarang terdengar seperti musik sengau. Rirette
merasa agak kikuk: ia tak takut pada Henri tapi rasa sakit dan
nafsu yang membuatnya sedikit takut. Sesaat, Henri tampak
menjulurkan tangannya pertahan"lahan, tanpa melihat, dan
memegang tangan Lulu. Lulu menekuk bibirnya seperti
Kehangatan 143 akan menangis dan mulai tampak menggigil.
"Pfffouh!" teriak Henri.
Rirette ingin sekali berhenti: ia memegang tangan Lulu
sebelah dan telinganya berdengung. Namun Lulu hampir
berlari, ia juga, ia tampak seperti berjalan dalam tidur.
Rirette melepaskan tangan Lulu dan berhenti, mereka akan
terus berlari bersebelahan, membisu, pucat, seperti orang
mati dan dengan mata tertutup.
Henri mulai bicara. Ia mengatakannya dengan suara
parau yang terdengar lucu: "Kembalilah denganku."
Lulu tak menjawab. Henri mengulang, dengan suara
parau yang sama dan tanpa intonasi: "Kamu istriku.
Kembalilah denganku."
"Anda tahu benar ia tak ingin kembali," jawab Rirette
dengan bibir terkatup. "Biarkanlah ia."
Tampaknya Lulu tak mendengar. Ia mengulang,
ucapannya: "Aku suamimu, aku ingin kamu kembali
bersamaku." "Saya harap Anda mau meninggalkannya," kata Rirette
dengan suara tinggi, "Anda tak akan memperoleh apa"apa
dengan membiarkannya bosan seperti itu, beri kami kete"
nangan." Henri berbalik ke arah Rirette dengan wajah heran:
"Ia istriku," ucapnya; "ia milikku, aku ingin ia kembali
bersamaku." Ia memegang tangan Lulu dan kali ini Lulu tak berusaha
melepaskan diri: "Ayo, pergilah!" kata Rirette.
"Aku tak akan pergi, aku akan mengikutinya ke mana
144 ]ean"Paul Sartre
saja, aku ingin ia kembali ke rumah."
Ia berbicara dengan tekanan. Tiba"tiba ia menyeringai
dan memperlihatkan giginya, dan menjerit sekuat tenaga,
"Kamu milikku!"
Orang"orang melihat sambil tertawa. Henri
menggoyangkan lengan Lulu dan meledak seperti seekor
binatang sambil menekuk bibirnya. Untungnya sebuah
taksi yang masih kosong lewat di depan mereka. Rirette
menghentikan taksi itu dan berhenti. Henri pun berhenti.
Lulu ingin terus melangkah tapi mereka memegang kedua
tangannya dengan kuat. "Anda pasti mengerti," kata Rirette sambil menarik Lulu
menuju jalur kendaraan, "bahwa Anda tak bisa membawanya
dengan kekerasan." "Tinggalkan ia, tinggalkan istri saya," ucap Henri sambil
menarik Lulu ke arah berlawanan.
Lulu tampak lemah seperti secarik kain.
"Anda naik atau tidak?" teriak sopir taksi dengan tak
sabar. Rirette melepaskan tangan Lulu dan menghujani tangan
Henri dengan pukulan. Tapi Henri seperti tak merasakan
apa"apa. Tiba"tiba ia melepaskan pegangan dan menatap
Rirette dengan wajah bodoh. Rirette pun menatap. Ia
dipenuhi dengan ide"ide yang membuatnya muak namun
menguasainya. Mereka saling tatap selama beberapa saat,
mereka berdua menarik napas. Kemudian Rirette bergerak,
ia memegang pinggang Lulu dan membawanya sampai ke
taksi. Kehangatan 145 "Kita akan kemana?" tanya sopir.
Henri mengikuti mereka, ia ingin naik taksi bersama
mereka tapi Rirette menolaknya dengan segala kekuatan dan
cepat"cepat menutup pintu.
"Oh! Jalan, ayo jalan," teriaknya kepada sopir. "Nanti
kami katakan tujuan kami."
Taksi itu berangkat dan Rirette melihat ke belakang,
"Betapa semuanya begitu kasar," pikirnya. "Ia membenci
Lulu." "Kamu ingin kemana, Lulu?" tanyanya dengan lembut.
Lulu tak menjawab. Rirette merangkul lengannya dan
membujuknya: "Jawab, Lulu. Kamu ingin kuturunkan di
rumah Pierre?" Lulu melakukan gerakan yang dianggap Rirette sebagai
tanda setuju. Ia membungkuk ke depan: "Rue de Messine
No. 11." Sewaktu Rirette berbalik, Lulu menatapnya dengan
wajah yang aneh. "Ada apa...," tanya Rirette terputus.
"Aku benci kamu," teriak Lulu, "aku benci Pierre,
aku benci Henri. Apa yang kalian mau dariku.> Kalian
menyiksaku." Tiba"tiba ia berhenti dan wajahnya tampak kacau.
"Menangislah," kata Rirette dengan tenang, "menangislah,
kamu akan merasa lebih baik."
Lulu menekuk badannya dan mulai terisak. Rirette me"
rangkul dan mendekapnya erat"erat. Sesekali ia membelai
rambutnya. Tapi dalam dirinya, ia merasa dingin dan
146 ]ean"Paul Sartre
melecehkan Lulu. Begitu taksi berhenti, Lulu pun tenang. Ia
menyeka mata dan memakai bedak.
"Maafkan aku," katanya dengan lembut, "aku hanya
merasa gugup. Aku tak tahan melihatnya dalam keadaan
begitu, ia menyakitiku."
"wajahnya seperti orang hutan," ucap Rirette berusaha
menenangkan Lulu. Lulu tersenyum.

Dinding Karya Jean Paul Sartre di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kapan aku dapat bertemu kamu lagi?" tanya Rirette.
"Oh! Sampai besok tak bisa. Bukankah kamu tahu kalau
Pierre tak bisa memberiku tumpangan karena ibunya" Aku
ada di Hotel Theatre. Jika tak merasa terganggu kamu bisa
datang lebih pagi, setelah jam 9, mungkin. Karena setelah itu
aku ingin mengunjungi ibuku."
Ia tampak pucat pasi dan Rirette sangat sedih atas
peristiwa yang terjadi padanya.
"Jangan melakukan yang terlalu berlebihan sore ini,"
katanya. "Aku benar"benar lelah," jawab Lulu, "kuharap Pierre
tak menggangguku, tapi ia tak pernah mengerti hal"hal yang
seperti itu." Rirette meminta taksi itu mengantarnya sampai ke
rumah. Ia sempat berpikir untuk pergi ke bioskop tapi
kemudian membatalkannya. Ia melemparkan topi ke kursi
dan melangkah ke jendela. Tempat tidur yang berwarna
putih, lembut, dan lembab dalam kegelapan, menarik
hatinya. Ia meloncat ke tempat tidur, merasakan belaian bantal
Kehangatan 147 di pipinya yang serasa terbakar. "Aku begitu kuat, akulah
yang melakukan segala sesuatunya untuk Lulu dan sekarang
aku sendirian, tak ada seorang pun yang mau melakukan
sesuatu untukku." Ia merasa kasihan pada diri sendiri saat merasakan
gelombang isak tangisnya naik hingga ke tenggorokan.
"Mereka akan pergi ke Nice dan aku tak akan melihat
mereka lagi. Akulah yang membuat mereka bahagia tapi
mereka bahkan tak berpikir lagi tentang aku. Dan aku, aku
tetap tinggal di sini, bekerja delapan jam per hari, menjual
mutiara imitasi ke Burma."
Saat tetes airmata pertama jatuh di pipi, ia biarkan
mengalir perlahan, jatuh ke atas kasur. "Ke Nice"," ulangnya
sambil menangis sedih, "ke Nice... yang disinari matahari...
berlayar di atas Riviera...".
"Cih!" Malam yang muram. Tampaknya ada seseorang yang
tengah berjalan di dalam kamar: Seorang lelaki dengan
pantofelnya. Ia masuk dengan hati"hati sekali, selain itu
tampaknya ia tak berusaha menghindari deritan lembut
lantai papan. la berhenti, terasa sunyi sejenak, ia pun
bergerak tiba"tiba ke bagian lain dari kamar, ia kembali,
seperti seorang maniak, langkah tanpa tujuan. Lulu merasa
kedinginan, selimutnya terlalu tipis. Ia mengucap: "Cih!"
dengan suara keras dan suaranya membuatnya takut.
148 ]ean"Paul Sartre
Cih! Aku yakin sekarang ia pasti tengah memandang
langit dan bintang"bintang, menyalakan rokok, berada di
luar. Ia pernah bilang bahwa ia suka warna ungu langit Paris.
Ia kembali ke rumah dengan langkah kecil"kecil: ia merasa
puitis saat kembali dengan seperti itu, ia pernah bilang
padaku, merasa ringan seperti sapi yang baru diperah, ia tak
berpikir tentang itu lagi"dan aku merasa kotor.
Hal itu tak membuatku heran kalaupun ia merasa
sempurna saat ini, meninggalkan kotorannya di sini, dalam
gelap, ada sebuah lap tangan yang mereka letakkan dan
sprei ini terasa lembab di bagian tengah kasur, aku tak bisa
merenggangkan kaki karena merasakan sesuatu yang basah
di bawah kulitku dan kotoran ini, dan ia benar"benar kering,
aku mendengarnya bersiul di bawah jendelaku saat ia keluar;
ia di sana, di bawah, kering dan segar dengan pakaian bagus,
dengan mantel hangatnya, ia sepertinya tahu bagaimana cara
berpakaian, seorang perempuan akan merasa bangga jika
keluar bersamanya, ia berada di bawah jendelaku, dan aku di
sini, telanjang dalam kegelapan, aku merasa kedinginan, aku
memukul"mukul perut dengan tangan karena masih merasa
basah. "Aku naik sebentar," katanya, "untuk melihat kamarmu."
Ia di sana selama dua jam, dan tempat tidur ini berderit"
tempat tidur kecil dan kotor dari besi. Aku bertanya"tanya
darimana ia tahu hotel ini, ia pernah mengatakan kepadaku
bahwa ia pernah tinggal selama lima belas hari di hotel ini,
dan ia pun bilang bahwa aku akan merasa nyaman. Aku su"
dah membandingkan dua kamar dan tak pernah melihat ka"
Kehangatan 149 mar yang begitu kecil, dan kamar itu penuh dengan barang"
barang, ada bantalan kursi, sofa"sofa, dan meja"meja kecil
yang menyebarkan bau tak enak dari cinta. Aku tak tahu
kalau ia telah melewatkan waktu selama lima belas hari di
sana, tapi yang pasti ia tak melewatkan waktunya sendirian;
ia pasti hanya menghormatiku sedikit saja, hingga ia tega
memasukkan aku di tempat itu. Pelayan hotel itu tertawa
sewaktu kami naik, tampaknya ia orang Algeria.
Aku benci orang"orang seperti itu, mereka membuatku
takut, ia mengamati kaki"kakiku, lalu masuk ke kantornya
dan pasti akan mengatakan: "Akhirnya, mereka melakukan
itu," dan ia membayangkan hal"hal yang kotor, tampaknya
apa yang mereka lakukan kepada perempuan"perempuan
di bawah sana menakutkan; jika ada yang jatuh ke bawah,
pasti mereka akan membuatnya merasa timpang selama sisa
hidup mereka; dan setiap kali Pierre membuatku bosan aku
selalu berpikir tentang orang Algeria itu yang selalu berpikir
tentang apa yang kulakukan dan yang membayangkan hal"
hal yang paling kotor meskipun itu tak ada. Ada seseorang
di dalam kamar! Lulu menahan napas, tapi derakan itu pun berhenti.
Aku merasa sakit di antara pahaku, gatal dan panas, aku
ingin menangis, dan itu akan berlangsung sepanjang malam
kecuali malam besok saat kami berada di kereta. Lulu
menggigit bibir dan menggigil karena ingat ia telah merintih.
Tidak benar itu, aku tak merintih, aku hanya mengambil
napas sedikit lebih kuat karena ia begitu berat, saat ia ada di
atasku, aku dibuatnya tak bisa bernapas.
150 ]ean"Paul Sartre
Ia berkata kepadaku: "Kamu merintih, kamu menik"
matinya," aku takut ia berbicara pada saat melakukan itu,
aku mau kita melupakannya, tapi ia tak berhenti untuk
berbicara kotor. Aku tak merintih karena tak menikmatinya, itu hanyalah
hal biasa. Dokter pernah mengatakan kepadanya bahwa aku
akan bisa menikmati jika memberinya dengan sukarela. Ia
tak mau mempercayainya, mereka tak mau memp ercayainya,
mereka semua mengatakan: "Itu semua karena mereka salah
memulainya, aku akan membuatmu senang," aku biarkan
mereka berkata begitu, aku tahu benar bagaimana mereka,
itu berkaitan dengan hal medis, tapi hal itu telah membuat
mereka tersinggung. Seseorang menaiki tangga. Pasti orang yang baru pu"
lang. Semoga, Tuhanku, dialah yang kembali itu. Mungkin
saja hal itu terjadi jika ia ingin mengambilnya. Tapi ternyata
bukan ia, langkah"langkah itu terdengar berat"lalu sia"
pa"jantung Lulu berdebar keras di dada"jika ternyata
orang Algeria tersebut, dan ia tahu bahwa aku sendirian,
ia pasti akan mendobrak pintu. Aku tak bisa, aku pasti tak
bisa menahannya, tidak, suara itu dari lantai bawah, itu
Hamukti Palapa 11 Wiro Sableng 079 Ninja Merah Harta Karun Kerajaan Sung 5

Cari Blog Ini