Ceritasilat Novel Online

Silence 1

Hush Hush Trilogy Buku 3 Silence Karya Becca Fitzpatrick Bagian 1


Tetapi, tidak satu pun dari ketiga penumpangnya yang SebUah mobil aUdi yang Ramping dan parkir yang berhadapan dengan pemakaman. bercat hitam meluncur ke lapangan
berniat berziarah ke sana. Saat itu telah lewat tengah
malam. Resminya pemakaman sudah ditutup. Selapis
kabut musim panas menggantung tipis dan tampak
menakutkan. Menyerupai barisan hantu yang melayang.
Bahkan bulan sabit yang ramping mengilat itu tampak
mirip dengan kelopak mata yang mengantuk. Sebelum
debu jalanan turun ke tanah kembali, sang pengemudi
p R o l o g Coldwater, Maine tiga Bulan lalu 6 keluar dari mobil dan cepat-cepat membukakan kedua
pintu belakang. Blakely yang pertama keluar. Dia berperawakan
tinggi, rambut kelabu, dan wajah berbentuk kotak.
Dalam hitungan manusia, usianya hampir tiga puluh
tahun. Tetapi dia jauh lebih tua dari itu dalam hitungan
Nephilim. Yang berikutnya adalah Hank Millar.
Seperti Blakely, Hank pun bertubuh sangat jangkung.
Dia memiliki rambut pirang, mata biru menawan,
dan wajah tampan karismatik. Pedomannya adalah
"Keadilan di atas pengampunan". Karena faktor itulah,
juga prestasinya yang melejit di dunia Nephilim selama
beberapa tahun terakhir, dia mendapat julukan Tangan
Keadilan, Tangan Besi, dan yang paling terkenal, Tangan
Hitam alias Black Hand. Di tengah rekan-rekannya,
dia dipandang sebagai pemimpin masa depan, seorang
penyelamat. Namun dalam lingkaran yang lebih kecil dan
tersembunyi, diam-diam dia dijuluki Blood Hand. Dari
desas-desus yang beredar, tampaknya dia bukan seorang
pembebas, melainkan diktator yang tidak kenal belas
kasihan. Namun Hank malah tertawa mendengarnya.
Seorang diktator sejati memiliki kekuasaan absolut,
tanpa oposisi. Mudah-mudahan saja dia bisa memenuhi
harapan mereka suatu hari nanti.
7 Hank berjalan dan menyalakan sebatang rokok, lalu
mengisapnya dalam-dalam. "Apakah semuanya sudah
berkumpul?" "Sepuluh orang di hutan di atas sana," jawab Blakely.
"Sepuluh lagi di dalam mobil yang diparkir di kedua
jalan keluar. Lima orang bersembunyi di beberapa titik
di area pemakaman. Tiga orang persis di balik pintu
mausoleum. Dan dua orang lagi di sekitar pagar. Kita
akan ketahuan seandainya membawa anak buah lebih
banyak lagi. Aku yakin orang yang hendak kau temui
malam ini akan membawa anak buah juga."
Hank tersenyum di tengah kegelapan. "Oh, aku
tidak yakin akan hal itu."
Blakely tercengang. "Kau membawa dua puluh lima
Nephilim terkuat hanya untuk menghadapi satu orang?"
"Bukan orang," kata Hank mengingatkan. "Aku
tidak ingin ada sesuatu yang tidak beres malam ini."
"Kita sudah menangkap Nora. Seandainya orang itu
mencari masalah, suruh dia meneleponnya. Kabarnya
malaikat tidak bisa merasakan sentuhan. Tapi lain halnya
dengan emosi. Aku yakin, dia akan merasakannya begitu
gadis itu menjerit. Dagger di sampingnya, siap siaga."
Hank menoleh ke Blakely, dan tersenyum tipis penuh
kepuasan. "Dagger menjaganya" Orang itu jauh dari
waras." 8 "Bukankah kau ingin mematahkan semangat gadis
itu?" "Aku pernah mengatakan itu, ya?" Hank tersenyum.
Sekarang sudah empat hari sejak Hank menangkap
Nora. Gadis itu diseret keluar dari ruang mesin Delphic
Amusement Park. Namun Hank sudah tahu dengan
pasti, pelajaran yang harus diberikannya kepada Nora.
Pertama, gadis itu tidak boleh meremehkan otoritasnya
di hadapan anak buahnya. Kedua, dia harus menghargai
darah Nephilim yang mengalir dalam tubuhnya.
Ketiga, dan mungkin yang paling penting, dia harus
menghormati ayahnya sendiri.
Blakely menyodorkan sebuah perangkat kecil kepada
Hank. Di bagian tengah alat itu terdapat sebuah tombol
yang memancarkan sinar biru yang aneh. "Taruh dalam
sakumu. Tekan tombol biru dan anak buahmu akan
berdatangan dari segala arah."
"Dunia ilmu hitam mengalami kemajuan, ya?" tanya
Hank. Blakely mengangguk. "Jika diaktifkan, alat ini
didesain untuk melumpuhkan malaikat. Tapi aku tidak
tahu pasti untuk berapa lama. Ini sebuah prototipe.
Belum benar-benar teruji."
"Apakah ada orang lain yang tahu?"
"Kau menyuruhku tidak memberi tahu siapa pun,
Sir." 9 Hank mengantongi alat itu dengan perasaan puas.
"Doakan aku beruntung, Blakely."
Blakely menepuk-nepuk punggung temannya. "Kau
tidak butuh keberuntungan."
Setelah memadamkan rokoknya, Hank menuruni
undakan tangga batu yang mengarah ke pemakaman.
Area berkabut itu menyembunyikan sosoknya yang
berwibawa. Dia berharap melihat malaikat itu lebih dulu,
dari atas. Namun dukungan dari orang-orang terpilih
dan terlatih membuatnya merasa nyaman.
Di anak tangga terbawah, Hank menyipit ke
kegelapan. Rintik hujan mulai turun, mengusir kabut.
Dia bisa melihat nisan-nisan yang menjulang dan
pepohonan yang meliuk-liuk. Vegetasi di pemakaman ini
sudah sangat rimbun, nyaris seperti hutan. Tidak heran
Blakely memilih tempat ini. Kecil kemungkinannya ada
saksi mata dari peristiwa yang akan berlangsung malam
ini. Nah, itu dia, di depan sana. Malaikat itu bersandar
di sebuah nisan. Tetapi begitu melihat Hank, dia
menegakkan badan. Dengan busana serbahitam,
termasuk jaket kulit seorang pengendara motor,
sulit menangkap sosoknya di tengah kegelapan. Tapi
sepertinya pemuda itu tidak bercukur selama berharihari. Rambutnya pun tampak berantakan. Terlihat
pula garis-garis cemas di sekeliling mulutnya. Apakah
10 dia berduka karena kehilangan kekasihnya" Itu malah
lebih baik. "Kau tampak tidak terlalu baik mengenakan... kau
Patch, bukan?" tanya Hank, berhenti beberapa kaki
saja darinya. Sang Malaikat tersenyum. Tapi bukan senyum yang
menyenangkan. "Aku sendiri menyangka kau tidak bisa
tidur beberapa malam ini. Bagaimanapun dia adalah
darah dagingmu sendiri. Tapi kelihatannya kau bisa
tidur nyenyak. Rixon sering mengatakan kau lelaki yang
manis." Hank tidak menghiraukan penghinaan itu. Rixon
adalah malaikat terbuang yang biasa menguasai
tubuhnya setiap tahun selama bulan Cheshvan. Pada
periode itu, dia tidak berbeda dengan orang mati.
Namun dengan kepergian Rixon, tidak ada lagi yang
ditakutinya. "Well" Ada berita untukku" Kuharap itu
sesuatu yang baik." "Aku berkunjung ke rumahmu. Tapi kau bersembunyi
dan membawa seluruh keluargamu seperti seorang
pengecut," kata malaikat itu. Suaranya rendah dan
memiliki semacam getaran yang tidak bisa ditafsirkan
Hank secara pasti. Sepertinya itu campuran antara rasa
muak dan... ejekan. "Ya, aku sudah menyangka kau akan melakukan
sesuatu secara gegabah. Mata dibalas mata. Bukankah
11 itu semboyan malaikat terbuang?" Hank tidak bisa
memastikan apakah dia terkesan atau jengkel dengan
sikap sang Malaikat yang santai. Dia mengira akan
menghadapi malaikat yang putus asa dan bertindak
kalang kabut. Atau setidaknya, dia berharap bisa
memancing sang Malaikat melakukan kekerasan. Jika
itu terjadi, dia akan memperoleh dalih untuk memanggil
anak buahnya. Hanya pertarungan berdarahlah yang
mampu mengabadikan "ikatan persahabatan" ini.
"Jangan berbasa-basi lagi. Kau membawa sesuatu yang
berguna untukku?" Sang Malaikat mengangkat bahu. "Bermainmain dengan cecungukmu sepertinya tidak penting
dibandingkan mencari tahu tempat kau menahan
putrimu." Otot rahang Hank mengencang. "Perjanjiannya
tidak seperti ini." "Aku akan memberikan informasi yang kau
butuhkan," jawab sang Malaikat. Kalau tidak melihat
sorot matanya yang tajam menusuk, orang akan mengira
dia sedang mengobrol biasa. "Tapi, lepaskan Nora dulu.
Telepon anak buahmu sekarang."
"Aku harus mendapatkan kepastian dulu. Bahwa
kau bersedia bekerja sama dalam jangka panjang. Aku
akan tetap menahannya sampai kau bisa meyakinkan
aku dalam perjanjian ini."
12 Sudut mulut sang Malaikat terangkat. Tetapi itu
jauh dari senyuman. Malah memberi kesan yang sangat
menakutkan. "Aku ke sini bukan untuk berunding."
"Kau tidak dalam posisi untuk berunding."
Hank merogoh sakunya dan mengambil ponsel.
"Kesabaranku sudah habis. Kalau kau membuangbuang waktuku, malam ini akan menjadi malam yang
tidak menyenangkan bagi kekasihmu. Aku hanya perlu
menelepon. Dan dia akan kelaparan?"
Sebelum Hank selesai dengan ancamannya,
tubuhnya sudah terpelanting ke belakang. Tangan sang
Malaikat terulur, dan dengan seketika Hank kehabisan
udara. Kepalanya membentur benda keras, membuat
pandangannya dipenuhi gelombang hitam.
"Beginilah cara kerjaku," desisnya. Hank mencoba
berteriak, tapi tangan sang Malaikat mencekik
tenggorokannya. Hank menendang kakinya. Tetapi
tindakannya sia-sia. Malaikat itu kelewat kuat. Dia
berusaha memencet tombol darurat dalam sakunya, tapi
jarinya hanya bergerak-gerak tanpa arah. Sang Malaikat
telah memutus jalur udaranya. Rona merah menyembul
di balik matanya dan dadanya serasa ditindih batu.
Tiba-tiba sebuah ide melintas dalam kepalanya. Hank
menginvasi otak sang Malaikat, memisah-misah jalinan
pikirannya, dan memusatkan upaya untuk mengalihkan
niat musuhnya dan melemahkan motivasinya. Sambil
13 melakukan itu, Hank berusaha menghipnotis dengan
bisikan, Lepaskan Hank Millar, lepaskan dia sekarang
juga" "Permainan pikiran?" ejek sang Malaikat. "Tidak
usah repot-repot. Telepon saja," perintahnya. "Kalau
gadis itu bebas dalam dua menit, aku akan membunuhmu
dengan cara cepat. Kalau tidak, aku akan mencabikcabik tubuhmu, satu per satu. Dan percayalah, aku akan
menikmati setiap jeritan yang keluar dari mulutmu."
"Tidak bisa"membunuh"ku!" kata Hank terbata.
Dia merasakan nyeri tak terkira di pipinya. Hank
mengerang, tapi suaranya tidak berhasil melewati
bibirnya. Batang tenggorokannya remuk akibat
cengkeraman lawannya. Rasa sakit menghebat, dan
selama itu, Hank bisa mencium bau darah bercampur
dengan napasnya sendiri. "Satu per satu," desis sang Malaikat, mengayunayunkan sesuatu yang tipis dan berlumur cairan kental
di penglihatan Hank yang mulai kabur.
Hank merasa matanya membelalak. Itu kulitnya!
"Telepon anak buahmu," perintahnya dengan suara
yang sangat tidak sabaran.
"Tidak"bisa"bicara!" Hank tersedak. Seandainya
saja dia bisa memencet tombol darurat....
Bersumpahlah kau akan membebaskan Nora. Aku
akan memberimu kesempatan untuk bicara. Ancaman
14 sang Malaikat meluncur dengan mudahnya ke dalam
kepala Hank. Kau melakukan kesalahan besar, balas Hank. Jarijarinya meraba saku kemeja, dan menyelusup masuk.
Dia menekan alat darurat itu.
Sang Malaikat menggerutu tidak sabaran, merebut
alat itu, dan melemparnya ke tengah kabut. Bersumpahlah.
Atau, tanganmu yang menjadi korban berikutnya.
Aku bertahan dengan kesepakatan semula" balas
Hank. Aku akan membiarkannya hidup dan memendam
semua niat untuk membalas dendam atas kematian
Chauncey Langeais jika kau memberikan informasi
yang kubutuhkan. Kalau tidak, aku bersumpah akan
membuat gadis itu" Sang Malaikat membenturkan kepala Hank ke
tanah. Di tengah rasa mual dan sakit, dia mendengar
malaikat itu berkata, Aku tidak akan membiarkannya
bersamamu selama lima menit lagi. Apalagi sampai kau
memperoleh keinginanmu. Hank berusaha menatap melalui bahu sang Malaikat.
Tetapi yang dilihatnya hanyalah barisan nisan. Malaikat
itu menahannya di tanah sehingga menghalangi
pandangannya. Anak buahnya tidak bisa melihatnya.
Hank tidak percaya malaikat ini bisa membunuhnya.


Hush Hush Trilogy Buku 3 Silence Karya Becca Fitzpatrick di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia abadi. Tetapi dia tidak ingin tergeletak di sini dan
15 membiarkan anggota tubuhnya dimutilasi hingga dia
menyerupai mayat. Hank menekuk bibir dan menatap sang Malaikat
lekat-lekat. Aku tidak akan lupa betapa keras jeritan
gadis itu ketika aku menyeretnya. Tahukah kau, dia
meneriakkan namamu" Berulang kali. Dia bilang kau
akan datang untuk menyelamatkannya. Tentu saja, itu
terjadi pada beberapa hari pertama. Kurasa akhirnya
dia mulai menerima, kau bukan tandinganku.
Hank melihat wajah sang Malaikat menggelap.
Seolah-olah darahnya naik ke kepala. Bahunya
ber-guncang, mata hitamnya membelalak dengan
kemarahan. Kemudian, terjadilah sesuatu yang
mengakibatkan penderitaan hebat. Hank merasa nyaris
pingsan akibat nyeri tak terkira di tubuhnya yang sudah
memar-memar. Dan pada menit berikutnya, dia melihat
kepalan tangan sang Malaikat basah dengan darahnya.
Erangan yang memekakkan telinga mengguncang
tubuh Hank. Rasa sakit meledak dalam dirinya
hingga nyaris membuatnya tidak sadarkan diri. Dari
kejauhan, dia mendengar anak buahnya berlari menghampirinya. "Jauhkan"dia"dari"ku!" erangnya sementara
sang Malaikat mencabik-cabik tubuhnya. Setiap saraf
mengakhiri amukan dengan api. Panas dan penderitaan
merembes dari pori-porinya. Dia menatap tangannya.
16 Tetapi tidak ada daging di sana"hanya tulang yang
remuk. Sang Malaikat benar-benar akan menghancurkan
anggota tubuhnya satu per satu. Dia mendengar anak
buahnya menjerit panik. Tetapi sang Malaikat masih
menindih tubuhnya. Tangannya mengobarkan api di
setiap tempat yang disentuhnya.
Hank berteriak garang, "Blakely!"
"Singkirkan dia, sekarang!" teriak Blakely dengan
suara parau kepada anak buahnya.
Beberapa saat kemudian, tapi tidak terlalu cepat,
sang Malaikat berhasil disingkirkan. Hank rebah di
tanah. Napasnya tersengal-sengal. Seluruh tubuhnya
basah dengan darah. Rasa nyeri menyiksanya seperti
tusukan tongkat biliar yang panas. Tanpa menghiraukan
uluran tangan Blakely, Hank berdiri dengan susah
payah. Dia merasa gamang. Tubuhnya berayun-ayun dan
mabuk akibat penderitaannya sendiri. Dari ekspresi anak
buahnya yang tercengang, Hank tahu, penampilannya
pasti mengerikan. Mungkin butuh waktu seminggu
penuh untuk menyembuhkan luka-lukanya yang
dahsyat. Itu pun dengan bantuan ilmu hitam.
"Kita habisi dia, Sir?"
Hank menekankan saputangan ke bibirnya, yang
robek dan menggantung di wajahnya seperti karet.
"Tidak. Itu tidak ada gunanya. Perintahkan Dagger
untuk tidak memberikan apa pun selain air putih kepada
17 gadis itu selama empat puluh delapan jam." Napasnya
tersengal. "Kalau dia tidak mau bekerja sama, biar gadis
itu yang kena getahnya."
Dengan satu anggukan, Blakely membalikkan
badan, lalu menghubungi seseorang.
Hank meludahkan giginya yang berdarah ke
telapak tangan, memperhatikannya tanpa suara, lalu
memasukkannya ke saku baju. Matanya tertuju kepada
sang Malaikat, yang tanda-tanda kemarahannya hanya
bisa dilihat dari tangannya yang mengepal. "Sekali lagi,
isi sumpah kita, supaya tidak ada kesalahpahaman lebih
jauh. Pertama, kau akan mendapatkan kebanggaanmu
kembali sebagai malaikat terbuang, bergabung kembali
dengan mereka?" "Aku akan membunuhmu," ancam sang Malaikat
dengan suara pelan. Meskipun dipegang oleh lima
Nephilim, dia tidak lagi memberontak. Dia berdiri
tenang. Mata hitamnya sarat dengan nafsu untuk
membalas dendam. Sesaat, Hank merasakan ketakutan
yang amat sangat. Seolah-olah nyalinya disulut api.
Dia berusaha bersikap acuh tak acuh. ?"karena
itu, kau akan memata-matai mereka, dan melaporkan
urusan mereka langsung kepadaku."
"Aku bersumpah," kata sang Malaikat. Napasnya
terkendali, tapi semakin berat. "Mereka menjadi saksiku.
Aku tidak akan beristirahat sampai kau mati."
18 "Kau hanya membuang-buang tenaga. Kau tidak bisa
membunuhku. Barangkali kau lupa, dari siapa seorang
Nephil mendapatkan tanda lahirnya yang abadi?"
Terdengar gumaman senang di antara para anak
buah, tapi Hank menyuruh mereka diam dengan
isyarat tangannya. "Setelah aku memutuskan kau telah
memberikan informasi yang cukup untuk mencegah para
malaikat terbuang menguasai tubuh Nephilim selama
Cheshvan yang akan datang?"
"Setiap tangan yang menyentuh Nora akan kubalas
sepuluh kali lipat."
Mulut Hank membentuk semacam senyuman.
"Sentimen yang tidak penting, bukankah begitu"
Pada saat aku selesai dengannya, dia tidak akan ingat
namamu." "Ingatlah momen ini," kata sang Malaikat dengan
kesungguhan sedingin es. "Kenangan ini akan menghantuimu." "Cukup!" bentak Hank dengan muak dan berjalan
ke arah mobil. "Bawa dia ke Delphic Amusement
Park. Kita harus mengembalikannya ke tengah-tengah
malaikat terbuang secepat mungkin."
"Aku akan memberikan sayapku kepadamu."
Hank menghentikan langkah, tidak yakin dengan
yang didengarnya. Tawanya menyembur. "Apa?"
19 "Bersumpahlah bahwa kau akan melepaskan
Nora sekarang. Dan sayapku akan menjadi milikmu."
Nada suaranya mengibakan, memberi secercah tanda
kekalahan. Jelas, ini bagaikan musik di telinga Hank.
"Buat apa sayap?" ejeknya lemah, tapi sang
Malaikat sudah mendapatkan perhatian. Sejauh yang
diketahuinya, tidak ada Nephil yang pernah merobek
sayap malaikat. Mereka melakukannya sekali-sekali
di tengah kalangannya sendiri. Tetapi gagasan bahwa
seorang Nephil bisa memiliki kekuatan semacam itu
tergolong baru. Jelaslah tawaran ini sangat menggoda.
Kisah keberhasilannya menundukkan malaikat akan
beredar di kalangan Nephilim dalam waktu semalam
saja. "Pertimbangkanlah dulu," kata sang Malaikat
dengan nada cemas yang menjadi-jadi.
"Aku akan bersumpah untuk melepaskannya
sebelum Cheshvan," tandas Hank sembari berusaha
meredakan kesan bersemangat dalam suaranya. Akan
berbahaya kalau kegembiraannya terlihat.
"Tidak cukup." "Sayapmu mungkin sebuah piala yang indah, tapi
agendaku lebih besar. Aku akan melepaskannya pada
akhir musim panas. Ini penawaran terakhir." Hank
berbalik, melangkah, dan menelan antusiasmenya yang
menggelegak. 20 "Sepakat," kata sang Malaikat dengan nada enggan.
Hank menghela napas. Dia berbalik. "Bagaimana caranya?"
"Anak buahmu yang akan merobek sayapku."
Hank hendak membantah, tapi sang Malaikat
menyela. "Mereka cukup kuat. Aku tidak akan melawan.
Pekerjaan itu bisa dilakukan oleh sembilan atau sepuluh
anak buahmu bersama-sama. Aku akan menetap di
belakang Delphic lagi dan mengumumkan bahwa
penghulu malaikatlah yang merobek sayapku. Tapi
supaya rencana ini berjalan lancar, kau dan aku tidak
boleh berhubungan," katanya memperingatkan.
Tanpa menunda barang sedetik pun, Hank
menjatuhkan beberapa tetes darah dari tangannya yang
tidak berbentuk lagi, ke rumput di samping kakinya.
"Aku bersumpah untuk membebaskan Nora sebelum
musim panas berakhir. Kalau aku melanggar sumpah,
aku akan mati dan kembali ke tanah yang menjadi asal
mula penciptaanku." Sang Malaikat meloloskan T-shirt-nya melalui
kepala, lalu membungkuk dengan tangan di lutut.
Dadanya naik-turun seiring helaan napas. Dengan
keberanian yang membuat Hank muak sekaligus iri,
sang Malaikat berkata, "Lakukan."
Sebenarnya Hank ingin melakukannya sendiri, tapi
kecemasan mengalahkan hasratnya. Dia tidak yakin sang
21 Malaikat tidak dilindungi ilmu hitam. Seandainya bagian
tubuh tempat sayap itu menempel ke punggung sang
Malaikat sama sensitifnya dengan gosip yang beredar,
satu sentuhan saja bisa menggagalkan segalanya. Hank
tidak menginginkan itu. Dia sudah bekerja kelewat keras
untuk terpeleset di ujung permainan ini.
Sembari menelan rasa sesal, Hank memerintah anak
buahnya, "Cabut sayap malaikat ini dan lakukan dengan
rapi. Lalu lempar tubuhnya ke gerbang Delphic sehingga
mudah ditemukan orang. Hati-hati, jangan sampai ada
yang melihat perbuatan kalian." Hank pasti senang
kalau bisa membubuhkan cap ke tubuh malaikat ini.
Apalagi kalau bukan cap bergambar tangan mengepal.
Itu akan menjadi tanda kemenangan yang mencolok
dan akan membuat pamornya berkibar di kalangan
Nephilim. Tetapi pendapat malaikat ini ada benarnya.
Supaya pekerjaan ini sukses, jangan sampai ada bukti
yang terkait dengan dirinya.
Hank memandang pemakaman dari dalam mobil.
Kejadian itu telah berlangsung. Sekarang sang Malaikat
tergeletak di tanah, tanpa baju. Dua luka menganga di
sepanjang punggungnya. Meski tidak merasakan sakit
sedikit pun, sepertinya tubuh malaikat itu mengalami
guncangan karena hilangnya kedua sayap itu. Hank
juga pernah mendengar, goresan sayap tak ubahnya titik
lemah malaikat terbuang. Sepertinya gosip itu benar.
22 "Tugas kita selesai?" tanya Blakely, muncul dari
belakangnya. "Satu kali telepon lagi," kata Hank. Ada kesan ironis
dalam suaranya. "Ke ibu gadis itu."
Dia menekan tombol dan menempelkan ponsel ke
telinga. Kemudian dia berdeham dan bicara dengan nada
tegang dan cemas yang dibuat-buat. "Blythe, Sayang, aku
baru membaca pesanmu. Aku sedang liburan bersama
keluarga. Dan sekarang aku menuju bandara. Aku
akan ikut penerbangan pertama. Ceritakan semuanya
kepadaku. Apa maksudmu, diculik" Kau yakin"
Bagaimana menurut polisi?" Hank diam, mendengarkan
isak tangis wanita itu. "Dengarkan aku," katanya tegas.
"Aku akan datang untukmu. Akan kukerahkan seluruh
tenaga bantuan yang dibutuhkan. Kita akan menemukan
Nora." 23 langkah kaki yang semakin dekat. Rasa mengantuk SekalipUn belUm membUka mata, akU tahu, aku dalam bahaya. Tubuhku bergerak saat terdengar bunyi
masih menggelayuti mataku, melemahkan pandanganku.
Aku berbaring terlentang, desiran dingin merembes
melalui bajuku. Leherku menekuk dengan sudut yang menyakitkan.
Aku membuka mata. Batu-batu kecil bermunculan dari
balik kabut biru-hitam. Waktu seolah terhenti ketika
ColdWateR, maine Saat ini 24 suatu gambaran gigi-gigi runcing menjelas di mataku.
Kemudian aku melihat yang sebenarnya. Barisan nisan.
Aku memaksa diriku duduk, tapi tanganku terpeleset
di rumput yang basah. Sambil berusaha melawan rasa
kantuk yang masih menggelayut, aku berguling ke
samping kuburan yang separuh terbenam, mencari jalan
di tengah kabut. Bagian lutut celana panjangku basah
oleh embun saat aku merangkak di antara nisan dan
patung yang berdiri tidak beraturan. Sebuah kesadaran
muncul, tapi itu hanya khayalan. Aku belum bisa
memusatkan perhatian lantaran rasa sakit yang tak
tertahankan di dalam tengkorak kepalaku. Aku berjalan
tertatih-tatih sambil berpegangan pada pagar besi,
melewati lapisan daun membusuk yang sudah bertahuntahun berserakan di sana. Erangan mengerikan melayang
dari atas. Membuat tubuhku gemetar. Tetapi bukan
bunyi itu yang paling menakutkan, melainkan langkah
kaki yang melewati rumput di belakangku. Aku tidak
tahu, apakah mereka jauh atau sudah dekat. Teriakan
perburuan menembus kabut, aku mempercepat gerakan.
Naluri menyuruhku bersembunyi. Tetapi pikiranku
masih kacau. Dan suasana terlalu gelap bagiku untuk
bisa melihat dengan jelas. Kabut biru yang menyeramkan
menabiri kedua mataku. Di kejauhan, terperangkap di antara dua barisan
pohon yang sangat rimbun, sebuah mausoleum batu
25 putih tampak berkilau pada tengah malam. Aku berdiri
lalu berlari ke arahnya. Kakiku terpeleset di antara dua patung marmer.
Begitu aku sampai di seberang, ternyata sudah ada yang
menungguku. Siluetnya tinggi. Tangannya terangkat
untuk menyerang. Aku terjungkal. Saat terjatuh, barulah


Hush Hush Trilogy Buku 3 Silence Karya Becca Fitzpatrick di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku menyadari kekeliruanku. Ternyata dia terbuat dari
batu. Sebuah patung malaikat berdiri di atas fondasi
berbentuk segitiga, menjaga mereka yang telah mati.
Mulutku mungkin mengeluarkan tawa gugup, tapi
kepalaku membentur sesuatu yang keras, membuat
dunia miring ke samping. Kegelapan menyelimuti
pandanganku. Mestinya aku belum lama berada di luar. Ketika
kabut tebal ketidaksadaranku menguap, aku masih
tersengal-sengal seperti orang habis berlari. Aku tahu,
aku harus berdiri, tapi aku tidak ingat untuk apa. Jadi,
aku berbaring saja di sana. Embun dingin menyatu
dengan aliran keringat di kulitku. Setelah beberapa
saat, akhirnya aku mengerjap. Ketika itulah mataku
menangkap keberadaan nisan yang paling dekat
denganku. Ukiran hurufnya membentuk baris demi
baris. 26 HARRISON GREY SUAMI DAN AYAH YANG SETIA
WAFAT 6 MARET 2008 Aku menelan tangis. Sekarang aku tahu kegelapan
yang menyeruak melalui bahuku sejak aku siuman
beberapa menit lalu. Aku berada di pemakaman kota
Coldwater. Di samping kuburan ayahku.
Ini mimpi buruk, pikirku. Aku belum benar-benar
terjaga. Ini hanya mimpi yang sangat buruk.
Malaikat itu mengawasiku. Kedua sayapnya
membentang di belakang punggungnya. Tangan
kanannya menunjuk ke pemakaman. Ekspresinya
seolah terpisah jauh. Tetapi lekuk bibirnya cenderung
terkesan ironis ketimbang agung. Sesaat aku nyaris bisa
mendorong diriku untuk percaya bahwa dia hidup. Aku
tidak sendirian. Aku tersenyum kepadanya. Tetapi aku merasa
bibirku gemetar. Kuangkat lengan bajuku ke tulang
pipi untuk menghapus air mata meskipun aku tidak
ingat telah menangis. Aku merasa begitu ingin naik ke
tangannya, merasakan degup sayapnya di udara saat dia
membawaku terbang melewati gerbang dan menjauh
dari tempat ini. Bunyi langkah kaki membuyarkan khayalanku.
Suara itu lebih cepat sekarang, melindas rerumputan.
27 Aku membalikkan badan ke arah bunyi itu. Sorotan
lampu yang berkedap-kedip di tengah kegelapan berkabut
membuatku kebingungan. Cahayanya naik-turun seiring
irama langkah"nyala"mati... nyala... mati"
Lampu senter. Aku menyipit ketika cahaya itu menyorot ke antara
kedua mataku, membuatku silau. Aku tersentak saat
menyadari aku tidak bermimpi.
"Lihat ke sini," seru suara lelaki, yang tersembunyi
di balik pancaran sinar. "Kau tidak boleh berada di sini.
Pemakaman ini sudah ditutup."
Aku memalingkan wajah. Bercak-bercak cahaya
masih menari-nari di balik pelupuk mataku.
"Ada berapa orang lagi?" desaknya.
"Apa?" Suaraku tak lebih dari bisikan.
"Berapa orang lagi selain kamu?" lanjutnya lebih
agresif. "Kau bermain di tengah malam, ya" Petak
umpet, mungkin" Atau Hantu di Kuburan" Tidak akan
kubiarkan selama aku yang bertugas jaga!"
Apa yang kulakukan di sini" Apakah aku ingin
menziarahi ayahku" Aku menggali ingatan, tapi
sepertinya relung itu kosong melompong. Aku tidak
ingat telah datang ke pemakaman ini. Bahkan aku tidak
ingat apa-apa. Seolah-olah satu malam penuh dicabut
dari bawah kakiku. 28 Tidak, lebih parah dari itu. Aku tidak ingat kejadian
pagi ini. Aku tidak ingat apakah aku berpakaian, makan, ke
sekolah..., apakah ini hari sekolah"
Aku berusaha menyingkirkan kepanikanku untuk
sementara dan memfokuskan diriku secara fisik untuk
menerima uluran tangan lelaki itu. Begitu aku duduk
tegak, cahaya itu menyilaukan mataku lagi. "Berapa
usiamu?" tanyanya ingin tahu.
Akhirnya, sesuatu yang kuketahui dengan pasti.
"Enam belas." Hampir tujuh belas. Bulan Agustus nanti
aku berulang tahun. "Apa yang kau lakukan di sini, sendirian" Memangnya kau tidak tahu sekarang sudah lewat tengah malam?"
Aku melihat ke sekeliling dengan perasaan tidak
berdaya. "Aku?"
"Kau tidak kabur dari rumahmu, "kan" Katakan
kau punya tempat tujuan."
"Ya." Rumah petani. Ingatan akan rumahku
mendadak membuat hatiku cerah, diikuti rasa mual yang
menyerang perutku. Keluar setelah tengah malam" Jam
berapa tepatnya" Sia-sia aku mengusir gambaran ekspresi
ibuku yang marah ketika aku melewati pintu depan.
"Berarti kau punya alamat?"
"Hawthorne Lane." Aku berdiri, tapi kepalaku
berputar-putar hebat ketika darah mengalir ke otakku.
29 Mengapa aku tidak ingat bagaimana aku bisa sampai
ke sini" Pastinya dengan mengendarai mobil. Tapi di
mana aku memarkir Fiat itu" Dan di mana tasku" Kunci
mobilku" "Kau minum-minum?" tanya lelaki itu, menyipitkan
mata. Aku menggeleng. Cahaya lampu senter menjauh dari wajahku, tapi
tiba-tiba disorotkan kembali ke antara sepasang mataku.
"Tunggu sebentar," katanya. Ada kesan tidak enak
dalam nada suaranya. "Kau bukan gadis itu, "kan" Nora
Grey," semburnya. Seolah-olah namaku adalah jawaban
yang buruk. Aku mundur selangkah. "Bagaimana"kau tahu
namaku?" "Dari TV. Ada hadiahnya. Hank Millar yang
mengirimkan pengumuman itu."
Aku tidak mendengar ucapan selanjutnya. Marcie
Millar adalah musuh bebuyutanku. Apa yang dilakukan
ayahnya dalam masalah ini"
"Mereka mencarimu sejak akhir Juni."
"Juni?" kataku membeo. Desiran panik memancar
di dalam tubuhku. "Apa maksudmu" Sekarang April."
Dan siapa yang mencariku" Hank Millar" Mengapa"
"April?" Sorot matanya tercengang. "Nak, sekarang
sudah September." 30 September" Tidak. Tidak mungkin. Aku pasti tahu
jika tahun ajaran kedua berakhir. Aku pasti tahu jika
liburan musim panas bermula dan berakhir. Aku baru
terjaga beberapa menit lalu. Memang, pikiranku kacau.
Tapi aku tidak bodoh. Tetapi, mengapa dia harus berbohong"
Setelah lampu senter diturunkan, aku melihat
penampilannya secara sempurna untuk kali pertama.
Celana jinsnya kotor. Berewok di wajahnya berantakan,
seperti berhari-hari tidak bertemu pisau cukur. Kukunya
panjang dan kotor. Penampilannya buruk. Mirip gembel
yang keluyuran di rel kereta dan menghuni gubuk di
pinggiran sungai selama musim panas. Kabarnya orang
semacam ini biasanya membawa senjata.
"Kau benar, aku harus pulang," kataku, berbalik,
dan meraba saku bajuku. Ponselku tidak ada. Begitu
juga kunci mobil. "Kau pikir, kau mau ke mana?" tanyanya, menghampiriku. Perutku kram dengan gerakannya yang tiba-tiba, dan
aku berlari. Aku menuju patung malaikat yang sedang
menunjuk. Mudah-mudahan saja yang ditunjuknya itu
adalah gerbang selatan. Seharusnya aku mengambil
arah ke gerbang utara. Itu adalah jalur yang sudah
kukenal dengan baik. Tetapi untuk mencapainya, aku
harus berlari ke arah lelaki itu, alih-alih menjauhinya.
31 Tanah berguguran di bawah kakiku. Beberapa kali aku
tergelincir. Dahan pohon menggores tanganku. Sepatuku
bergesekan dengan tanah yang tidak rata dan berbatu.
"Nora!" teriak lelaki itu.
Ingin rasanya kucubit diriku sendiri karena memberi
tahu lelaki itu bahwa aku tinggal di Hawthorne Lane.
Bagaimana kalau dia membuntutiku"
Ayunan kakinya lebih panjang. Aku mendengar dia
menyusulku. Jaraknya sudah dekat. Aku mengayunkan
tangan seperti orang kesetanan, menyibak-nyibak ranting
yang menjulur seperti cakar ke bajuku. Tangannya
menyentuh bahuku. Aku berbalik, menepisnya. "Jangan
sentuh aku!" "Tunggu sebentar. Aku sudah memberi tahu tentang
hadiah itu. Aku ingin mendapatkannya."
Dia meraih tanganku untuk kedua kalinya. Lonjakan
adrenalin membuatku melayangkan tendangan ke tulang
keringnya. "Uuhh!" Dia membungkuk, memegang kaki.
Aku terkejut dengan kekerasan yang kulakukan.
Tetapi aku tidak punya pilihan. Aku mundur beberapa
langkah, melihat ke sekeliling sekilas, berusaha mendapatkan barang-barangku. Keringat membasahi bajuku,
mengucur di tulang punggungku, membuat setiap bulu
di tubuhku berdiri tegak. Ada sesuatu yang aneh.
Meskipun memoriku sedang buruk, aku masih ingat
32 area pemakaman ini. Aku sudah berkali-kali berziarah
ke kuburan ayahku. Tetapi meskipun pemakaman ini
tidak asing bagiku, bahkan hingga ke detail terkecilnya,
seperti aroma daun terbakar dan genangan air, ada
sesuatu yang aneh dalam penampilannya.
Kemudian aku menyadari sesuatu.
Pepohonan mapel merona dengan warna merah.
Tanda musim gugur telah tiba. Tetapi itu tidak mungkin.
Sekarang April, bukan September. Bagaimana dedaunan
itu berubah" Apakah lelaki itu mengatakan yang
sebenarnya" Aku menoleh ke belakang. Lelaki itu tertatih-tatih
mengejarku. Ponsel di telinganya. "Yeah, dia adalah
gadis itu. Aku yakin. Meninggalkan pemakaman. Ke
arah selatan." Aku berlari dengan rasa takut yang baru. Lompati
pagar. Cari area yang terang dan ramai. Telepon polisi.
Telepon Vee" Vee. Sahabat dan orang yang paling kupercaya.
Rumahnya tidak jauh dari rumahku. Aku harus
ke sana. Ibunya akan menelepon polisi. Aku akan
menggambarkan penampilan lelaki itu. Dan mereka
akan mencarinya. Mereka akan memastikan dia tidak
memburuku lagi. Kemudian kami akan melewati malam
ini dengan berbincang-bincang, untuk menyusuri
kejadian-kejadian yang kualami. Dan entah bagaimana,
33 memoriku akan utuh kembali sehingga aku tahu apa
yang harus kulakukan dengan hidupku. Kusingkirkan
gambaran diriku sendiri yang terpisah ini. Perasaan
terperangkap dalam sebuah dunia yang adalah duniaku,
tapi menolak diriku. Aku berhenti berlari sekadar untuk melompati
pagar pemakaman. Ada sebuah lapangan satu blok di
depan, persis di seberang Wentworth Bridge. Aku akan
menyeberanginya dan sampai di jalanan yang rimbun
dengan pohon elm, mapel, dan dedalu. Aku akan
menerobos gang dan halaman samping, hingga aku
selamat di dalam rumah Vee.
Saat aku berlari menuju jembatan, terdengar
raungan sirene di tikungan jalan. Sepasang lampu sein
membuatku berhenti di tempat. Ada lampu kojak biru
menempel di atap sedan itu. Seiring bunyi berderit, mobil
itu berhenti di ujung jembatan.
Naluri pertamaku adalah berlari mendekati mobil.
Lalu, aku akan menunjukkan arah pemakaman kepada
petugas polisi dan memberi gambaran tentang lelaki
yang memburuku. Tetapi saat pikiran itu bermunculan,
aku dipenuhi ketakutan. Mungkin dia bukan petugas polisi. Hanya
seseorang yang menyamar sebagai polisi. Siapa pun bisa
mendapatkan lampu kojak. Di mana mobil pasukannya"
34 Dari tempatku berdiri, aku mengamati orang di dalam
mobil. Sepertinya dia tidak mengenakan seragam.
Semua pikiran ini bermunculan di kepalaku dalam
sekejap. Aku berdiri di kaki jembatan yang melengkung,
berpegangan pada dinding batu. Aku yakin, orang yang
mungkin petugas itu melihatku. Tetapi aku bergeser
juga ke bawah pohon yang menjorok ke ujung sungai.
Dari batas penglihatanku, air hitam Wentworth River
tampak berkilau. Vee dan aku sering berjongkok
di bawah jembatan ini saat kami masih kecil. Kami
memancing udang karang di tepian sungai dengan
cara menusukkan tongkat yang ujungnya ditempeli
potongan hotdog. Udang mencapit hotdog kami dan tak
mau melepaskannya, kemudian kami mengangkatnya
dari sungai dan menggoncangkannya hingga jatuh ke
keranjang. Sungai ini dalam di bagian tengah. Juga tersembunyi
karena alirannya meliuk-liuk melewati properti separuh


Hush Hush Trilogy Buku 3 Silence Karya Becca Fitzpatrick di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jadi, tempat tinggal orang yang tidak punya uang untuk
memasang lampu jalanan. Di ujung lapangan, air
mengalir ke arah distrik industri, melewati pabrik-pabrik
tak terpakai, dan bermuara ke laut.
Sesaat aku bertanya-tanya, apakah aku harus
melompat dari jembatan. Aku takut ketinggian dan
35 sensasi jatuh dari tempat yang tinggi. Tetapi aku bisa
berenang. Aku hanya perlu masuk ke air....
Pintu sedan ditutup, membuatku menyingkirkan
gagasan itu. Lelaki di dalam mobil keluar. Perawakannya
seperti mafia. Rambutnya hitam dan ikal. Dia berbusana
formal. Kemeja hitam, dasi hitam, celana panjang hitam.
Sesuatu pada dirinya membangkitkan memoriku.
Tetapi sebelum aku bisa menangkap dengan jelas,
ingatanku mandek, dan aku tidak mendapatkan
petunjuk apa pun. Sekumpulan ranting dan dahan berserakan di tanah.
Aku membungkuk. Begitu aku menegakkan badan, di
tanganku ada sebuah tongkat setebal tanganku.
Lelaki itu berpura-pura tidak melihat senjataku. Tapi
aku tahu, dia melihatnya. Dia menempelkan lencana
polisi ke kemejanya, kemudian mengangkat tangan
sebatas bahu. Aku tidak akan menyakitimu, begitu arti
bahasa tubuhnya. Tetapi aku tidak percaya.
Dia maju beberapa langkah dengan hati-hati supaya
tidak membuat gerakan mendadak. "Nora. Ini aku."
Aku mengernyit ketika dia menyebut namaku. Aku
tidak mengenal suaranya. Suara itu membuat jantungku
berdegup cukup kencang hingga aku merasakannya
berdengung di telinga. "Kau cedera?"
36 Aku terus mengawasinya dengan kecemasan yang
menjadi-jadi. Pikiranku melompat-lompat ke segala arah.
Lencana itu bisa saja palsu. Seperti juga lampu kojak itu.
Tetapi seandainya bukan polisi, siapakah dia"
"Aku sudah menelepon ibumu," katanya sambil
menaiki lengkungan jembatan dengan perlahan. "Dia
akan menemui kita di rumah sakit."
Aku tidak membuang tongkat. Bahuku naik-turun
seiring napas. Aku bisa merasakan udara di antara gigiku
karena napasku yang tersengal. Satu butiran keringat
menetes di balik bajuku. "Semuanya akan baik-baik saja," katanya. "Semuanya
sudah berakhir. Aku tidak akan menyakitimu. Kau
selamat." Aku tidak suka melihat langkah santai atau cara
bicaranya yang seolah-olah dia sudah mengenalku.
"Jangan mendekat," kataku. Keringat di telapak
tangan membuatku kesulitan menggenggam tongkat
erat-erat. Dahinya berkerut. "Nora?"
Tongkat bergetar di tanganku. "Dari mana kau tahu
namaku?" desakku tanpa menunjukkan bahwa aku
sangat ketakutan. Dia membuatku sangat takut.
"Ini aku," ulangnya. Matanya menatapku lekatlekat, seolah dia menyangka aku akan mengenalinya.
"Detektif Basso."
37 "Aku tidak mengenalmu."
Sejenak dia tidak mengatakan apa-apa, kemudian
dia mencoba pendekatan baru. "Kau ingat, ke mana
saja kau selama ini?"
Aku menatapnya dengan lemah. Aku menggali
ingatanku, masuk ke relung-relung tergelap dan tertua.
Tetapi wajahnya tidak ada. Aku tidak punya ingatan
tentang dirinya. Dan aku ingin mengingatnya. Aku
menginginkan sesuatu"apa saja"yang kukenal. Supaya
aku bisa merasakan dunia yang, dari penglihatanku,
telah melenceng jauh. "Bagaimana kau bisa ke pemakaman malam ini?"
tanyanya sambil memiringkan kepala ke arah tempat
itu. Gerakannya berhati-hati. Sorot matanya berhatihati. Bahkan gerak bibirnya dibuat-buat. "Apakah
seseorang menurunkanmu di sini" Kau berjalan kaki?"
Dia menunggu. "Kau harus menceritakannya kepadaku,
Nora. Ini penting. Apa yang terjadi?"
Aku sendiri ingin tahu. Gelombang rasa mual menyerangku. "Aku ingin
pulang." Terdengar bunyi berkelentang di dekat kakiku.
Terlambat sudah. Tongkat itu jatuh. Angin dingin
meniup telapak tanganku yang kosong. Tidak seharusnya
aku berada di sini. Keseluruhan malam ini terasa kacau.
Tidak. Tidak seluruhnya. Bagaimana aku tahu" Aku
tidak bisa mengingat secara penuh. Titik awalku tidak
38 jauh dari saat ini, ketika aku terbangun di pinggiran
kuburan, dalam kondisi kedinginan dan tersesat.
Aku membayangkan rumahku. Aman, hangat, dan
nyata. Air mata menetes ke samping hidungku.
"Aku bisa mengantarmu pulang." Dia mengangguk
dengan simpatik. "Tapi aku harus membawamu ke
rumah sakit dulu." Aku memejamkan mata rapat-rapat. Benci rasanya
karena aku menangis. Itu adalah cara terbaik atau
tercepat untuk menunjukkan betapa ketakutannya aku.
Dia menghela napas. Bunyinya sangat lembut, seolah
dia berharap ada cara lain untuk menyampaikan kabar
yang akan dikatakannya. "Kau menghilang selama
sebelas minggu, Nora. Kau dengar ucapanku" Tidak
ada yang tahu keberadaanmu selama tiga bulan terakhir.
Kesehatanmu harus diperiksa. Kami harus memastikan
kau baik-baik saja."
Aku menatapnya tanpa benar-benar melihatnya.
Lonceng-lonceng kecil berkelenting di telingaku, tapi
bunyinya seolah sangat jauh. Aku merasa mual, tapi
berusaha menahannya. Aku telah menangis di depannya,
tapi aku tidak akan memperburuk keadaan dengan
muntah. "Kami menduga kau diculik," katanya. Wajahnya
datar. Dia merapatkan jarak di antara kami dan
39 sekarang berdiri kelewat dekat. Ucapannya tidak
kumengerti. "Diculik".
Aku mengerjapkan mata. Berdiri dan mengerjap.
Suatu sensasi mencengkeram jantungku. Menusuk
dan mengaduk-aduk. Tubuhku lemas, aku kehabisan
udara. Cahaya lampu jalanan yang berwarna biru
tampak kabur. Terdengar bunyi arus sungai di bawah
jembatan. Dan aku mencium aroma bahan bakar dari
mobil yang dihidupkan. Tetapi semuanya hanya latar
belakang. Hanya pikiran yang samar.
Nyaris tanpa peringatan, aku merasa tubuhku
berayun, berayun. Dan jatuh.
Aku pingsan sebelum menyentuh tanah.
4040 AkU SiUman di RUmah Sakit. biru muda. Kamar ini beraroma bunga lili, Langit-langitnya putih. Dindingnya
pengharum pakaian, dan amonia. Rak dorong yang
diletakkan di samping ranjangku berisi dua rangkaian
bunga, seikat balon yang bertuliskan CEPAT SEMBUH!,
dan sebuah tas kado berwarna ungu mengilat. Di kartu
ucapan, tertera nama-nama yang tampak kabur dalam
pandanganku. DOROTHEA DAN LIONEL. VEE.
41 Ada yang bergerak di sudut ruangan.
"Oh, Sayangku," bisik suara yang tidak asing itu.
Orang itu bangkit dari kursi dan menghampiriku. "Oh,
Sayangku." Dia duduk di ujung ranjang dan memelukku
erat-erat. "Aku mencintaimu," isaknya di telingaku.
"Aku sangat mencintaimu."
"Ibu." Bunyi namanya saja membuat mimpi burukku
berserakan. Gelombang rasa tenang memenuhi diriku,
melonggarkan rasa takut yang menyumbat dadaku.
Dari gerakan tubuhnya, aku tahu dia menangis.
Mulanya getaran halus, kemudian berguncang-guncang.
"Kau ingat aku," katanya, nada lega menyeruak dalam
suaranya. "Aku sangat cemas. Kupikir"Oh, Sayang,
aku sudah memikirkan yang terburuk!"
Seketika itu juga mimpi-mimpi buruk itu muncul
kembali. "Apakah itu benar?" tanyaku, perutku terasa
dipenuhi cairan yang berlemak dan asam. "Yang
dikatakan Detektif. Apakah aku... selama sebelas
minggu...." Aku tidak sanggup mengucapkan kata itu.
Diculik. Kesannya sangat klinis. Sangat mustahil.
Ibuku sepertinya khawatir.
"Apa"yang terjadi?" tanyaku.
Dia menyeka bawah matanya. Aku sangat mengenal
ibuku. Karena itu aku tahu, dia berusaha tampak tenang
demi aku. Aku segera menyiapkan diri untuk mendengar
kabar buruk. 42 "Polisi sedang mengumpulkan informasi untuk
mendapatkan jawaban." Ibu berusaha tersenyum,
tapi bibirnya bergetar. Seolah-olah butuh sesuatu
untuk menyandarkan diri, dia meraih tanganku dan
meremasnya. "Yang penting kau sudah kembali. Kejadian itu"
sudah berlalu. Kita akan melewatinya bersama-sama."
"Bagaimana aku diculik?" tanyaku, lebih kepada
diri sendiri ketimbang kepada orang lain. Bagaimana
peristiwa itu terjadi" Siapa yang ingin menculikku"
Apakah mereka menarikku ke dalam mobil mereka
saat aku pulang sekolah" Atau menjejalkan tubuhku
ke dalam bagasi saat aku berjalan di lapangan parkir"
Apakah semudah itu" Mudah-mudahan tidak. Mengapa
aku tidak lari" Mengapa aku tidak melawan" Mengapa
aku membutuhkan waktu yang sangat panjang untuk
melarikan diri" Satu-dua jawaban muncul dalam
kepalaku. "Apa yang kau ingat?" tanya Ibu. "Menurut Detektif
Basso, keterangan kecil pun akan membantu. Ingatingatlah. Bagaimana kau sampai di pemakaman" Di
mana kau sebelum itu?"
"Aku tidak ingat apa-apa. Seakan-akan memoriku...."
Ucapanku terputus. Seolah-olah sebagian memoriku
dicuri. Dirampas. Tanpa menyisakan apa pun pada bagian
itu selain kepanikan. Perasaan teraniaya menjalar dalam
43 diriku. Membuatku merasa didorong dari panggung yang
tinggi tanpa peringatan. Aku jatuh. Sensasi jatuh lebih
menakutkan bagiku ketimbang saat membentur lantai.
Jatuh ke jurang tanpa dasar. Hanya efek gravitasi yang
tak putus-putus. "Apa yang terakhir kau ingat?" tanya Ibu.
"Sekolah." Jawaban itu meluncur begitu saja.
Perlahan-lahan serpihan memori mulai bergerak,
potongan-potongannya mulai bersambungan satu sama
lain untuk membentuk sesuatu yang utuh. "Hari itu ada
ujian biologi. Tapi akhirnya aku tidak ikut," imbuhku.
Fakta hilangnya sebelas minggu dalam hidupku melesak
semakin dalam. Aku masih bisa membayangkan Coach
McConaughy duduk di kelas biologi. Bau bubuk kapur,
alat-alat pembersih, udara pengap, dan aroma tubuh
menyengat bermunculan dalam memoriku. Vee, partner
labku, duduk di sampingku. Buku teks kami terbuka di
atas meja granit hitam di depan kami. Tetapi Vee telah
menyelipkan majalah US Weekly ke depannya.
"Maksudmu kimia," ralat ibuku. "Sekolah musim
panas." Aku menatapnya lekat-lekat, merasa tidak pasti.
"Aku tidak pernah mengikuti sekolah musim panas."
Ibu menutup mulutnya. Kulitnya memucat. Satusatunya bunyi di kamar itu hanya detak jam yang
teratur di atas jendela. Aku mendengar setiap detak itu
44 bergema di relung tubuhku, sepuluh kali, sebelum aku
bisa bersuara. "Tanggal berapa sekarang" Bulan apa?" Pikiranku
melayang ke pemakaman. Dedaunan yang melapuk.
Cuaca dingin menggelayuti udara. Lelaki yang
memegang senter itu berkeras bahwa sekarang bulan
September. Satu-satunya kata yang berulang kali muncul
dalam pikiranku adalah tidak. Tidak, itu mustahil.
Tidak, tidak seperti itu. Tidak, periode selama beberapa
bulan itu tidak mungkin melayang begitu saja dari
kehidupanku. Aku menggali pikiranku semakin dalam.
Berusaha menangkap apa pun yang bisa menjembataniku
dari momen ini ke momen ketika aku duduk di kelas
biologi. Tetapi jembatan itu tidak ada. Seandainya aku
punya memori tentang musim panas, sekarang memori
itu benar-benar hilang. "Tidak apa-apa, Sayang," gumam Ibu. "Ingatanmu
akan kembali seperti dulu. Dr. Howlett bilang,
kebanyakan pasien akan mengalami kemajuan seiring
waktu." Aku berusaha duduk, tapi ada serangkaian selang
dan peralatan monitor medis yang melintang di
tanganku. "Katakan saja, sekarang bulan apa!" ulangku
histeris. "September." Ibu mengernyitkan wajahnya. "Enam
September." 45 Tubuhku lemas. "Kupikir sekarang bulan April.
Aku tidak ingat kejadian apa pun setelah April." Aku
memalingkan wajah ke dinding, berusaha menyingkirkan
rasa takut yang menjadi-jadi di dalam diriku. Aku tidak
sanggup menghadapi badai besar itu. "Benarkah musim
panas"sudah berlalu" Begitu saja?"
"Begitu saja?" ulang ibuku seolah terpisah jauh.


Hush Hush Trilogy Buku 3 Silence Karya Becca Fitzpatrick di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Waktu seolah merayap. Hari demi hari tanpamu....
Sebelas minggu tanpa berita apa-apa.... Kepanikan,
kekhawatiran, ketakutan, ketidakberdayaan, semua itu
tidak pernah berakhir...."
Aku berusaha menggunakan otakku, menghitung.
"Kalau sekarang September, dan aku pergi selama
sebelas minggu, maka aku menghilang?"
"Tanggal dua puluh satu Juni," katanya terus terang.
"Pada malam titik balik matahari musim panas."
Dinding yang kuciptakan dalam imajinasiku retak
lebih cepat ketimbang waktu yang kubutuhkan untuk
memperbaikinya. "Tapi aku tidak ingat Juni. Aku
bahkan tidak ingat Mei."
Kami saling berpandangan. Aku tahu, kami samasama memikirkan sesuatu yang buruk. Mungkinkah
amnesia yang kualami ternyata lebih dari sebelas
minggu, tepatnya hingga ke April" Bisakah ini terjadi"
"Bagaimana pendapat Dokter?" tanyaku. Aku
membasahi bibirku yang terasa kering. "Apakah
46 kepalaku cedera" Apakah aku menelan obat berbahaya"
Mengapa aku tidak ingat apa-apa?"
"Menurut Dr. Howlett, ini adalah amnesia mundur."
Ibu terdiam. "Artinya, sebagian memorimu hilang. Tapi
kami belum tahu pasti seberapa jauh. April," bisiknya
kepada dirinya sendiri. Aku bisa melihat seluruh harapan
lenyap dari matanya. "Hilang" Bagaimana bisa?"
"Menurutnya ini persoalan psikologis."
Aku menelusupkan tanganku ke rambut. Jari-jariku
terasa berminyak. Mendadak aku sadar bahwa aku tidak
pernah memikirkan ke mana aku menghilang selama
berminggu-minggu itu. Mungkin saja aku dirantai di
ruang bawah tanah yang lembap. Atau diikat di hutan.
Yang jelas aku tidak mandi berhari-hari. Aku melirik
tanganku. Ada kotoran, sayatan kecil, dan memarmemar di sana. Apakah yang telah kualami"
"Psikologis?" kupaksa diriku untuk tidak berspekulasi. Itu hanya akan membuatku semakin histeris.
Aku harus kuat. Aku harus mendapatkan jawaban. Aku
tidak akan hancur. Asalkan aku sanggup memaksa diriku
berkonsentrasi, meskipun ada titik-titik bermunculan
dalam batas penglihatanku....
"Menurutnya kau menutup memorimu supaya tidak
mengingat sesuatu yang traumatis."
47 "Aku tidak menutupnya." Kupejamkan mata. Aku
tidak sanggup menghindari air yang menetes dari sudut
mataku. Kutahan napasku yang bergetar dan kukepalkan
tanganku kuat-kuat untuk menghentikan jemariku yang
gemetar hebat. "Aku pasti tahu seandainya aku berusaha
melupakan lima bulan dalam kehidupanku," kataku
perlahan, berusaha memasukkan ketenangan pada
suaraku. "Aku ingin tahu kejadian yang menimpaku."
"Cobalah kau ingat-ingat," desaknya dengan
lembut. "Apakah ini berkaitan dengan seorang pria"
Apakah kau bersama seorang pria selama ini?"
Benarkah ucapannya" Hingga detik ini aku tidak
mendapatkan wajah penculikku. Satu-satunya gambar
dalam benakku hanyalah gambaran monster yang
mengintai di luar jangkauan cahaya. Awan ketidakpastian menggelayuti diriku.
"Kau tidak perlu melindungi siapa pun. Kau tahu
itu, bukan?" lanjutnya dengan nada yang tetap lembut.
"Kalau kau tahu dengan siapa kau selama ini, kau bisa
memberi tahu aku. Sekarang kau sudah aman, terlepas
apa pun yang mereka katakan. Mereka tidak akan bisa
mendekatimu lagi. Mereka telah berbuat jahat kepadamu.
Dan itu salah mereka. Salah mereka," ulangnya.
Isak frustrasi menyumbat tenggorokanku. "Papan
kosong", itulah istilah yang tepat bagi pikiranku
sekarang. Aku hendak mengutarakan perasaan tidak
48 berdayaku, namun sebuah bayangan muncul di dekat
ambang pintu. Detektif Basso berdiri tepat di jalur
masuk kamar. Tangannya dilipat di dada. Sorot matanya
waspada. Secara refleks, tubuhku menjadi tegang. Ibu pasti
merasakannya karena dia menatap ke ujung ranjang,
mengikuti arah pandanganku. "Kupikir Nora mungkin
ingat sesuatu ketika kami berdua saja," katanya dengan
nada memohon maklum. "Aku tahu, kau sudah
mengatakan bahwa kau ingin mengajukan pertanyaan
kepadanya. Tapi kupikir?"
Sang Detektif mengangguk. Dia mendekat dan
menatapku. "Kau bilang kau tidak punya gambaran
yang jelas. Tapi penjelasan yang samar pun mungkin
bisa membantu." "Misalnya warna rambut," sela ibuku. "Mungkin...
hitam, misalnya?" Aku ingin memberi tahu ibuku bahwa aku benarbenar tidak ingat apa pun. Sekalipun itu hanya warna
rambut. Tetapi aku tidak ingin mengatakannya di depan
Detektif Basso. Aku tidak percaya kepadanya. Naluriku
mengatakan ada yang... aneh pada dirinya. Ketika dia
berdiri di dekatku, bulu kudukku meremang. Dan aku
merasa seolah ada sebutir es batu meluncur di belakang
leherku. 49 "Aku ingin pulang." Hanya itu yang kukatakan.
Ibu dan Detektif Basso berpandangan.
"Menurut Dr. Howlett, kau harus menjalani
beberapa tes," kata ibuku.
"Tes apa?" "Oh... tes yang berhubungan dengan amnesia.
Tidak akan lama. Setelah itu kita boleh pulang." Dia
mengibaskan tangan sebagai isyarat tidak ada yang
serius. Tetapi bahasa tubuhnya itu justru membuatku
curiga. Aku menatap Detektif Basso karena sepertinya
dia punya jawaban. "Mengapa kau tidak menjelaskan
kepadaku?" Ekspresi wajahnya sedingin baja. Kurasa tahun
demi tahun di dunia kepolisian telah menyempurnakan
ekspresi semacam itu. "Kami harus melakukan beberapa
tes. Untuk memastikan semuanya baik-baik saja."
Baik-baik saja" Bagian mana dari seluruh persoalan ini yang
menurutnya baik-baik saja"
5050 Apetani yang terletak di antara perbatasan kota Coldwater dan pinggiran belakang Maine. kU dan ibUkU tinggal di RUmah
Kalau aku berdiri di depan salah satu jendelanya, aku
akan merasa tertahan dalam waktu. Hamparan alam
liar terbentang di satu sisi dan lahan gandum yang
dibatasi pepohonan hijau meluas di sisi yang lain. Kami
menetap di ujung Hawthorne Lane yang agak terpencil.
Tetangga terdekat jaraknya satu mil dari rumah kami.
Pada malam hari, tidaklah sulit mengecoh pikiranku
untuk meyakini bahwa aku telah melompat ke abad
51 yang berbeda. Karena pada saat itu kunang-kunang
menyinari pepohonan dengan warna emas, ditingkahi
aroma pinus yang hangat meruap di udara. Seandainya
kualihkan pandanganku begitu rupa, aku bahkan bisa
membayangkan sebuah kandang bercat merah dan
domba yang sedang merumput.
Rumah kami bercat putih, dengan kisi-kisi warna
biru, dan teras yang melingkari sekeliling bangunan
rumah dengan tingkatan lereng yang mudah terlihat.
Jendela-jendela bangunan ini panjang dan sempit. Jika
dibuka mengeluarkan suara erangan yang cukup keras.
Ayahku sering berkata, tidak perlu memasang alarm di
jendela kamar tidurku. Ini adalah lelucon di antara kami,
karena aku jauh dari gambaran seorang anak perempuan
yang suka menyelinap keluar dari rumah.
Orangtuaku pindah ke rumah sederhana ini tidak
lama setelah aku dilahirkan. Mereka memegang falsafah,
kau tidak bisa menolak cinta pada pandangan pertama.
Impian mereka cukup gamblang. Secara bertahap
mengembalikan rumah ini ke pesona yang dimilikinya
pada 1771. Dan suatu hari kelak memakukan papan
iklan penginapan berikut sajian sarapan di halaman
depan. Kami akan menyajikan lobster terbaik di seantero
pesisir Maine. Tetapi impian itu hancur ketika ayahku
dibunuh di Portland pada suatu malam.
52 Pagi ini aku keluar dari rumah sakit, dan sekarang
aku sendirian di kamar. Aku berbaring di ranjang sambil
memeluk guling. Mataku bernostalgia dengan menatap
satu per satu foto yang digantung di dinding. Ada fotofoto orangtuaku yang berpose di puncak Raspberry
Hill. Ada Vee yang mengenakan pakaian ala Catwoman
dalam acara Halloween beberapa tahun lalu. Dan ada
foto teman-teman kelas dua SMA-ku. Melihat wajahwajah mereka yang tersenyum, aku berusaha menipu
diriku untuk percaya bahwa aku sudah aman sekarang.
Tetapi sebenarnya aku tidak pernah merasa aman. Aku
tidak akan memiliki kehidupanku kembali hingga aku
bisa mengingat kejadian yang kualami selama lima bulan
terakhir. Khususnya dua setengah bulan terakhir.
Lima bulan sepertinya tidak berarti dibandingkan
dengan tujuh belas tahun (aku kehilangan ulang tahun
ketujuh belas yang jatuh pada periode sebelas minggu
yang tidak bisa dilacak itu). Tetapi yang bisa kulihat
hanyalah celah yang hilang. Sebuah lubang besar yang
menganga di hadapanku, menghalangi pandanganku.
Aku tidak punya masa lalu, juga masa depan. Hanya
kehampaan luas yang menghantuiku.
Tes yang diperintahkan Dr. Howlett memberi hasil
yang baik. Kecuali beberapa luka dan memar yang
menuju kesembuhan, kesehatan fisikku sama baiknya
dengan kondisi pada hari aku dinyatakan menghilang.
53 Tetapi ada hal-hal mendalam, hal-hal yang tak
terlihat, bagian diriku yang tidak bisa dijangkau tes
mana pun, yang membuat ketegaranku goyah. Siapakah
aku sekarang" Apa yang kulakukan selama bulan demi
bulan yang menghilang itu" Apakah trauma telah
mengubah diriku sehingga aku tidak memahami diriku
lagi" Atau yang lebih buruk, aku tidak akan pulih dari
kondisi ini" Selama aku di rumah sakit, Ibu memberlakukan
peraturan ketat. Tidak boleh ada tamu yang menjenguk.
Dr. Howlett pun mendukung keputusan itu. Aku
maklum dengan kekhawatiran mereka. Tetapi sekarang
aku sudah di rumah lagi dan perlahan-lahan kembali
ke duniaku yang kukenal. Aku tidak akan membiarkan
Ibu mengurungku meskipun niatnya baik. Mungkin aku
sudah berubah, tapi aku tetaplah aku. Satu-satunya yang
kuinginkan sekarang adalah menceritakan semuanya
kepada Vee. Di lantai bawah, aku mengambil BlackBerry milik
Ibu dan membawanya ke kamarku. Ketika aku siuman di
pemakaman, ponselku sudah tidak ada lagi. Karena itu
aku menggunakan ponsel Ibu sampai aku mendapatkan
penggantinya. INI NORA. BS QT BICARA" Pesanku kepada
Vee. Hari sudah malam, dan ibu Vee mematikan lampu
pada pukul sepuluh. Kalau aku menelepon, dan ibunya
54 mendengar, Vee akan menghadapi masalah besar. Aku
mengenal Mrs. Sky. Kurasa dia tidak akan bermurah
hati, sekalipun sekarang kondisinya berbeda.
Tak lama kemudian BlackBerry ibuku berdering.
BABE"!"!!! AKU MERINDING. BNR2 BINGUNG.
KAU DMN" TELP. AQ KE NO. INI. Kuletakkan BlackBerry di atas pangkuan, dan aku
menggigit kuku. Aku tidak mengerti mengapa aku
segugup ini. Vee adalah sahabatku. Tetapi sahabat atau
bukan, kami tidak berbicara selama berbulan-bulan.
Rasanya memang belum selama itu, tapi kenyataannya
demikian. Ada dua pepatah yang memenuhi pikiranku;
"Lama tak berjumpa, hati semakin cinta" versus "Jauh
di mata, jauh di hati". Aku sangat berharap yang berlaku
adalah pepatah pertama. Meskipun aku tahu Vee akan menelepon, jantungku
melompat juga ketika BlackBerry berdering.
"Halo" Halo?" sapa Vee.
Mendengar suaranya, tenggorokanku terasa tercekat
dengan emosi. "Ini aku!" kataku, agak terisak.
"Sudah waktunya." Vee menghela napas, tapi suaranya juga terdengar sarat dengan emosi. "Kemarin aku di
rumah sakit seharian. Tapi mereka tidak mengizinkan
aku menjengukmu. Aku berlari melewati petugas jaga,
tapi mereka mengejarku. Lalu mereka membimbingku
55 keluar dengan tangan diikat. Maksudku membimbing
adalah dengan melibatkan tendang-menendang dan
sumpah serapah. Menurutku, satu-satunya kriminal
dalam kasus ini adalah ibumu. Dilarang menjenguk"
Aku sahabatmu. Apa dia tidak menerima memo dariku
setiap tahun selama sebelas tahun terakhir ini" Aku
benar-benar ingin memberi pelajaran kepadanya."
Di tengah kegelapan, aku merasa bibirku yang
gemetar menyunggingkan seulas senyum. Kudekap
ponsel di dada, perasaanku terbelah antara keinginan
untuk tertawa dan menangis. Seharusnya aku tahu,
Vee tidak akan membuatku kecewa. Sejak aku siuman
tiga malam lalu, memoriku penuh dengan hal yang me

Hush Hush Trilogy Buku 3 Silence Karya Becca Fitzpatrick di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ngerikan. Tetapi perasaan itu segera menguap sematamata lantaran fakta bahwa aku memiliki sahabat
terhebat di seluruh dunia. Segalanya bisa berubah,
tapi hubunganku dengan Vee sekokoh batu. Kami tak
terpisahkan. Tidak ada yang bisa mengubah ikatan ini.
"Vee." Aku menghela napas lega. Ingin rasanya
tetap dalam momen ini. Seharusnya kami sudah tidur
pada malam selarut ini, tapi kami malah mengobrol
di tengah kegelapan lantaran lampu rumah telah
dipadamkan. Tahun lalu ibu Vee melempar ponsel
putrinya ke tempat sampah karena mendapati Vee
masih mengobrol denganku setelah lampu dipadamkan.
Keesokan paginya, di hadapan seluruh tetangga, Vee
56 pergi ke tempat sampah dan mengaduk-aduknya. Hingga
hari ini dia masih menggunakan ponsel lamanya. Kami
menamainya Oscar, meniru Oscar the Grouch di serial
Sesame Street. "Apakah kau mendapat obat yang manjur?" tanya
Vee. "Sepertinya ayah Anthony Amowitz seorang ahli
farmasi. Mungkin aku bisa mendapatkan obat yang oke
untukmu." Alis mataku terangkat karena terkejut. "Wah, ada
cerita baru" Kau dan Anthony?"
"Tidaklah. Aku puasa dari cowok."
Aku baru akan percaya kalau sudah melihat dengan
mata kepalaku sendiri, kataku dalam hati. "Ke mana
Vee yang lama" Apa yang kau lakukan kepadanya?"
"Aku melakukan detoks cowok. Seperti diet saja,
tapi yang ini untuk kesehatan emosional. Jangan cemas,
aku bisa mengatasinya," lanjut Vee. "Aku tidak bertemu
sahabatku selama tiga bulan. Reuni via telepon bukan
bandingannya. Aku akan ke sana dan memelukmu."
"Memangnya kau bisa lolos dari ibuku," kataku.
"Dia "kan juru bicara yang baru untuk program
pengasuhan keliling."
"Perempuan itu!" desis Vee. "Aku membuat tanda
salib sekarang." Kami bisa berdebat tentang status ibuku sebagai
nenek sihir lain hari. Tetapi sekarang, ada hal yang
57 lebih penting untuk dibicarakan. "Aku ingin mendengar
cerita tentang hari demi hari sebelum aku diculik, Vee,"
kataku, mengalihkan pembicaraan ke tingkat yang jauh
lebih serius. "Aku tidak bisa menepis perasaan bahwa
penculikan ini tidak asal pilih. Pasti ada tanda-tanda
peringatan, tapi aku tidak ingat. Dokter mengatakan
amnesia ini tidak selamanya. Tapi sebelum ingatanku
pulih, aku ingin kau menceritakan ke mana aku pergi,
apa yang kulakukan, dan siapa yang bersamaku pada
minggu terakhir itu."
Vee tidak langsung memberikan jawaban. "Kau
yakin ini ide bagus" Sepertinya topik ini akan membuat
stres. Ibumu mengatakan soal amnesia?"
"Serius, nih?" selaku. "Kau berpihak pada ibuku
sekarang?" "Yang benar saja," gumam Vee, menyerah.
Selama dua puluh menit, Vee menceritakan kejadiankejadian selama minggu terakhir itu. Tetapi semakin
banyak yang dia ceritakan, semakin kecil hatiku
dibuatnya. Tidak ada panggilan telepon yang aneh. Tidak
ada orang asing yang mengintai tanpa sepengetahuanku.
Tidak ada mobil yang membuntuti ke mana pun aku
pergi. "Bagaimana dengan malam ketika aku menghilang?"
tanyaku, menyela kata-katanya.
58 "Kita pergi ke Delphic Amusement Park. Aku ingat,
aku meninggalkanmu untuk membeli hot dog... kemudian
terjadi kekacauan. Aku mendengar bunyi tembakan
dan orang-orang berlarian keluar dari tempat itu. Aku
berbalik untuk mencarimu. Tapi kau menghilang.
Kupikir kau bersikap cerdas dan segera melarikan diri.
Tapi aku tidak menemukanmu di lapangan parkir. Aku
ingin masuk kembali ke Delphic, tapi polisi datang dan
menyuruh semua orang keluar. Aku berusaha memberi
tahu mereka bahwa kemungkinan kau masih di dalam.
Tapi sepertinya suasana hati mereka sedang buruk.
Mereka memaksa semua orang untuk pulang. Aku
meneleponmu ratusan kali, tapi tidak ada jawaban."
Aku merasa perutku ditonjok. Tembakan" Memang,
Delphic punya reputasi miring. Tapi tembakan"
Sepertinya itu sangat luar biasa, benar-benar tidak pada
tempatnya. Mungkin aku tidak akan percaya seandainya
bukan Vee yang menceritakan ini.
"Aku tidak melihatmu lagi," kata Vee. "Belakangan
baru aku tahu. Ternyata ada kasus penyekapan."
"Penyekapan?" "Sepertinya psikopat yang meletuskan tembakan
itu menahanmu di ruang mekanis di bawah rumah
seram. Tidak ada yang tahu sebabnya. Akhirnya dia
melepaskanmu lalu kabur."
59 Aku tercengang sampai-sampai mulutku menganga.
Akhirnya aku berhasil mengatasi rasa terkejutku. "Apa?"
"Polisi menemukanmu, mencatat pernyataanmu,
dan membawamu pulang sekitar pukul dua pagi. Tidak
ada yang melihatmu lagi setelah itu. Mengenai cowok
yang menahanmu... tidak ada yang tahu apa yang terjadi
dengannya." Seketika itu juga, benang-benang bersambungan
menjadi satu. "Aku pasti diculik dari rumahku," kataku
menyimpulkan. "Setelah pukul dua pagi, kemungkinan
aku tidur. Cowok yang menahanku pasti membuntuti
hingga ke rumah. Mungkin dia ingin menuntaskan
tugasnya yang tidak bisa diselesaikan di Delphic. Dia
pasti menyusup ke dalam rumahku."
"Masalahnya, tidak ada tanda-tanda penyusupan.
Semua pintu dan jendela terkunci."
Aku memegang dahi. "Apakah polisi sudah
mendapatkan petunjuk" Cowok ini"siapa pun dia"
tentu bukan hantu." "Mereka bilang kemungkinan besar dia menggunakan
nama palsu. Tapi sekadar informasi, kau memberi tahu
mereka bahwa namanya Rixon."
"Aku tidak kenal siapa pun yang bernama Rixon."
Vee menghela napas. "Itulah persoalannya. Tidak
ada yang mengenalnya." Vee terdiam. "Ada satu hal
lagi. Kadang-kadang aku merasa mengenal namanya.
60 Tapi ketika aku berusaha mengingat, pikiranku menjadi
kosong. Memori itu sepertinya ada, tapi aku tidak
bisa menariknya. Seolah-olah ada lubang di tempat
namanya seharusnya berada. Ini mengerikan. Aku
mengingatkan diriku sendiri, mungkin itu karena aku
ingin mengingatnya. Kau mengerti maksudku" Seakanakan jika aku mengingatnya"bingo! Kita mendapatkan
si Pesakitan. Dan polisi bisa menangkapnya. Aku tahu,
ini kelewat sederhana," katanya. Kemudian dia berkata
dengan suara pelan, "Tetap saja... aku berani sumpah...."
Pintu kamarku dibuka. Ibuku menyembulkan
kepalanya. "Aku akan tidur." Matanya melayang ke
BlackBerry. "Sudah malam, kita butuh tidur." Dia
menunggu, dan aku menangkap maksudnya.
"Vee, sudah dulu, ya" Kutelepon lagi besok."
"Salam buat si Penyihir," katanya, lalu menutup
telepon. "Kau butuh sesuatu?" tanya Ibu, menerima
BlackBerry dariku. "Air putih" Selimut tambahan?"
"Tidak. Malam, Bu." Aku memaksa diriku
tersenyum untuk membuatnya tenang.
"Kau sudah memeriksa jendelamu lagi?"
"Tiga kali." Ibuku berjalan ke jendela dan memeriksa kuncinya
lagi. Setelah yakin semuanya aman, dia tertawa pelan.
"Tidak ada ruginya memeriksa sekali lagi, bukan"
61 Selamat malam, Sayang," imbuhnya, mengusap rambutku
dan mencium dahiku. Setelah dia keluar, aku meringkuk di bawah selimut
dan memikirkan kata-kata Vee. Ada tembakan di
Delphic. Tetapi mengapa" Apa yang ingin dicapai si
pelaku" Dan mengapa, di antara ribuan orang yang
memenuhi Delphic malam itu, dia memilihku sebagai
tawanannya" Mungkin aku sedang sial saja. Tapi rasanya
ada faktor lain. Berbagai pikiran berkecamuk dalam
kepalaku sampai aku lelah. Andai saja"
Andai saja aku ingat. Aku menguap dan bersiap untuk tidur.
Lima belas menit berlalu. Kemudian dua puluh. Aku
berbaring terlentang menatap langit-langit, berusaha
menyelinap ke dalam memoriku dan menyergapnya
secara tiba-tiba. Ketika itu tidak berhasil, aku mencoba
cara yang lebih langsung. Kubenturkan kepalaku ke
bantal supaya ingatan yang terpendam di sana bisa
keluar. Entah itu satu baris percakapan, aroma yang
membangkitkan gagasan, atau apa pun! Tetapi tak butuh
waktu lama aku merasa cara itu pun tidak ada gunanya.
Ketika aku keluar dari rumah sakit pagi ini, aku
yakin memoriku menghilang untuk selamanya. Tetapi
setelah kepalaku jernih, dan rasa terguncang itu berlalu,
aku mulai berpikir sebaliknya. Aku merasakan betul,
ada sebuah jembatan yang putus dalam kepalaku.
62 Jembatan yang menghubungkan antara aku dan fakta
nun di seberang sana. Seandainya akulah yang telah
meruntuhkan jembatan itu sebagai bentuk pertahanan
dari trauma, tentu aku bisa membangunnya kembali.
Aku hanya harus memikirkan caranya.
Berawal dengan warna hitam. Hitam yang luar
biasa pekat dan kelam. Aku belum memberi tahu siapa
pun, tapi warna itu terus melintas dalam kepalaku pada
momen-momen aneh. Ketika itu terjadi, kulitku bergetar
menyenangkan. Seolah-olah aku bisa merasakan warna
itu menyentuh rahangku dengan lembut dan mengangkat
daguku sehingga aku berhadapan dengannya.
Aku tahu, mustahil warna bisa memiliki nyawa.
Tetapi satu-dua kali aku merasa pasti bahwa aku
menangkap kilatan sesuatu yang lebih substansial di
balik warna itu. Sepasang mata. Caranya menatapku
membuat jantungku berdebar-debar.
Tetapi, bagaimana mungkin sesuatu yang menghilang
dari memoriku menyebabkan aku merasa senang, alihalih pedih" Kuhela napas panjang. Aku merasa begitu ingin
mengikuti warna itu, ke mana pun dia pergi. Aku
rindu kepada mata hitam itu, rindu untuk berhadaphadapan dengannya. Aku rindu untuk mengetahui si
pemilik mata itu. Warnanya menggetarkan sesuatu
dalam jiwaku. Mengajakku mengikutinya. Jelas ini tidak
63 masuk akal. Tetapi pikiran itu tidak mau hilang dari
otakku. Aku merasa dihipnotis. Ada keinginan yang
meluap-luap dalam diriku untuk membiarkan warna
itu membimbingku. Suatu kekuatan magnetis yang luar
biasa dan tidak bisa dicerna logika.
Kubiarkan keinginan ini membuncah di dalam diriku
sampai getarannya semakin kuat di bawah kulitku.
Merasa panas, aku menepiskan selimut. Kepalaku
berdengung, aku menggerakkannya ke kanan-kiri.
Dengung itu semakin kencang hingga tubuhku bergetar
akibat demam yang aneh. Pemakaman. Semuanya
berawal dari sana. Malam hitam, kabut hitam. Rumput hitam, nisan
hitam. Samudra hitam mengilat. Sekarang sepasang
mata itu mengawasiku. Aku tidak bisa menghindari
kilatan hitam itu. Dan aku tidak bisa tidur. Aku tidak
bisa beristirahat sampai aku mengambil tindakan.
Akhirnya aku turun dari ranjang. Kukenakan baju
rajut, celana jins, dan kardigan. Aku berhenti di depan
pintu kamar. Di luar sangat sepi, kecuali bunyi jarum
jam tua yang terletak di lantai dasar. Pintu kamar
ibuku tidak tertutup rapat, tapi tak terlihat cahaya
dari celahnya. Seandainya aku memasang telinga, bisa
kudengar dengkuran halusnya.
Perlahan aku menuruni anak tangga, mengambil
senter juga kunci rumah, dan keluar dari pintu belakang.
64 Papan di beranda depan mengeluarkan bunyi berderit
jika diinjak. Karena itulah aku memutuskan untuk
tidak pergi dari sana. Selain itu, ada petugas berseragam
di tikungan jalan depan. Dia berdiri di sana untuk
menghalau wartawan dan kamera. Tetapi aku punya
firasat dia akan menghubungi Detektif Basso begitu
melihatku keluar pada jam seperti ini.
Suara kecil di belakang kepalaku mengingatkan
bahwa tindakan ini mungkin tidak aman. Tetapi
gerakanku dipicu oleh semacam kondisi trans yang
aneh. Malam hitam, kabut hitam. Rumput hitam, nisan
hitam. Samudra hitam mengilat. Sepasang mata hitam
mengawasiku. Aku harus menemukan mata itu. Karena dialah yang
memiliki jawaban. Empat puluh menit kemudian, aku berjalan ke
gerbang melengkung di pemakaman Coldwater.
Dedaunan yang tertiup angin melayang dari dahannya,
bagaikan kincir mainan berwarna hitam. Aku tidak
kesulitan menemukan kuburan ayahku. Dengan tubuh
menggigil lantaran udara dingin dan lembap, aku
berusaha menemukan jalan ke nisan datar itu. Tempat


Hush Hush Trilogy Buku 3 Silence Karya Becca Fitzpatrick di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semuanya berawal. Sembari berjongkok, aku meraba marmer tua.
Kupejamkan mata dan kutepiskan suara-suara malam.
Aku berkonsentrasi untuk menemukan mata hitam itu.
65 Kulontarkan pertanyaan dengan harapan dia mendengar.
Bagaimana aku bisa sampai di pemakaman dalam
kondisi tertidur setelah sebelas minggu ditawan"
Kubiarkan mataku menatap ke sekeliling kuburan.
Aroma melapuk dari musim gugur yang sebentar
lagi datang, aroma menyengat dari rumput yang
dipangkas, denyut sayap serangga"semua itu tidak
memberikan jawaban yang sangat kudambakan. Aku
menelan gumpalan yang menyumbat kerongkongan,
berusaha keras untuk tidak merasa kalah. Warna hitam
yang menggodaku selama berhari-hari itu ternyata
membuatku kecewa. Sambil menyusupkan tangan ke
dalam saku celana jins, aku berbalik untuk pergi.
Tetapi aku melihat sesuatu di rumput. Sehelai bulu
hitam. Ukurannya sepanjang lenganku, dari bahu hingga
pergelangan tangan. Alis mataku berkerut. Burung apa
yang meninggalkan bulu semacam ini" Jelas bulu itu
terlalu besar untuk seekor gagak. Bahkan kelewat besar
untuk burung apa pun. Aku meraba tulang tengahnya,
dan setiap helaian yang lembut bak satin itu berjajar
dengan rapi kembali. Sebuah memori muncul dalam kepalaku. Angel.
Sepertinya aku mendengar bisikan lembut itu. Kau
milikku. Konyolnya, pipiku mendadak merona. Aku menatap
ke sekeliling, sekadar untuk memastikan suara itu tidak
nyata. 66 Aku tidak melupakanmu. Dengan tubuh kaku, aku menunggu suara itu lagi.
Tetapi angin telah membawanya pergi bersama sepercik
memori yang ditinggalkannya. Perasaanku terbelah
antara keinginan membuang bulu itu dan dorongan
kuat untuk menguburnya sehingga tidak seorang
pun menemukannya. Ada firasat kuat bahwa aku
menemukan sebuah rahasia tanpa disengaja. Sesuatu
yang bisa menimbulkan bahaya besar jika ditemukan
orang lain. Sebuah mobil berhenti di lapangan parkir, persis di
atas pemakaman. Terdengar musik yang ingar-bingar.
Juga teriakan dan ledakan tawa. Aku tidak akan heran
jika tahu suara itu milik teman sekolahku. Daerah ini
sangat rimbun, jauh dari keramaian kota. Ini adalah
tempat yang tepat bagi mereka yang ingin menghabiskan
malam dan akhir pekan tanpa pengawasan siapa pun.
Karena tidak ingin terlihat oleh siapa pun, terutama
lantaran kabar tentang kembalinya aku ke kota ini telah
tersiar luas, kusisipkan bulu itu ke bawah lengan. Aku
pun bergegas melewati jalur berkerikil, menuju jalan
utama. Tak lama setelah pukul dua tiga puluh, aku masuk
ke rumah. Aku mengunci pintu, lalu berjingkat ke
lantai atas. Aku berdiri saja di tengah-tengah kamarku
dengan perasaan tidak pasti. Sesaat kemudian,
67 kusembunyikan bulu itu di laci tengah, tempat aku
menyimpan kaus kaki, legging, dan syal. Sebenarnya
aku tidak tahu alasanku membawanya. Aku bukan jenis
orang yang suka memungut barang di jalanan, apalagi
kemudian menyimpannya di dalam laci. Tetapi bulu itu
membangkitkan memoriku....
Aku berganti baju dan meregangkan badan, lalu
menuju tempat tidur. Belum sampai di sana, langkahku
terhenti. Ada sehelai kertas di atas bantal. Padahal
sebelum aku pergi, kertas itu tidak ada.
Aku membalikkan badan ke arah pintu, menyangka
akan melihat ibuku yang marah karena tahu aku pergi
diam-diam. Tetapi dengan kejadian yang menimpaku,
mana mungkin dia hanya meninggalkan catatan setelah
mendapati ranjangku kosong"
Kuangkat kertas itu dengan tangan gemetar.
Tampaknya itu kertas bergaris seperti yang terdapat
dalam buku catatan sekolahku. Di sana tertera pesan
yang ditulis dengan spidol hitam secara terburu-buru.
HANYA KARENA KAU SUDAH KEMBALI,
BUKAN BERARTI KAU AMAN. 6868 Dfrustrasi, kuremas kertas itu lalu kulemparkan ke dinding. Kemudian engan peRaSaan takUt SekaligUS
aku memastikan jendela kamarku sudah terkunci
rapat. Karena tidak berani membuka jendela, aku
hanya menangkupkan tangan ke mata lalu mengintip
halaman rumahku yang gelap melalui kacanya. Entah
siapa yang menaruh catatan itu. Satu hal yang pasti,
aku telah mengunci pintu sebelum kami naik ke lantai
atas untuk tidur, dan sekali lagi, sebelum aku pergi.
69 Aku bahkan melihat ibuku memeriksa setiap pintu dan
jendela setidaknya tiga kali.
Lalu, bagaimana orang itu bisa masuk"
Dan apa maksud pesannya yang misterius dan kejam
itu" Apakah dia ingin menyampaikan lelucon sinting"
Untuk saat ini, itulah alasan yang paling mungkin.
Aku keluar dan membuka pintu kamar ibuku
sekadar untuk melihat ke dalam. "Ibu?"
Dia langsung duduk tegak. "Nora" Ada apa" Apa
yang terjadi" Mimpi buruk?" Lalu dia terdiam. "Kau
teringat sesuatu?" Aku menyalakan lampu duduk karena mendadak
merasa takut pada kegelapan dan sesuatu yang tidak bisa
kulihat. "Aku menemukan catatan ini di kamar. Isinya
pesan supaya aku tidak merasa bahwa aku sudah aman."
Ibuku mengerjap karena kamarnya mendadak terang.
Sorot matanya menunjukkan dia tengah mencerna katakataku. Mendadak rasa kantuknya hilang. "Di mana
kau temukan catatan itu?" desaknya.
"Aku?" Aku merasa gugup dengan reaksinya jika
dia tahu yang sebenarnya. Menyelinap malam-malam"
Setelah aku diculik" Jelas itu bukan ide yang bagus. Tetapi
sulit untuk takut diculik yang kedua kalinya apabila aku
bahkan tidak bisa mengingat penculikan pertama. Dan
aku butuh pergi ke pemakaman demi kewarasanku
sendiri. Warna hitam itu yang mengarahkan aku ke sana.
70 Memang bodoh dan tidak bisa dijelaskan, tetapi itulah
kenyataannya. "Kertas itu ada di bawah bantal. Aku
tidak tahu kertas itu ada di sana," kataku berbohong.
"Saat aku berguling dalam tidurku, aku mendengar
bunyi berkeresak." Ibuku mengenakan jubah dan berlari ke kamarku.
"Di mana catatan itu" Aku ingin membacanya. Detektif
Basso harus tahu sekarang juga." Ibu menghubungi
sang Detektif. Tampaknya dia sudah hafal nomor
teleponnya. Mereka pasti sering bekerja sama selama
aku menghilang. "Apakah ada orang lain yang memegang kunci
rumah ini?" tanyaku.
Dia mengangkat jari, memberi isyarat supaya
aku menunggu. Kotak suara, katanya tanpa suara.
"Ini Blythe," kata Ibu kepada sistem perekam pesan.
"Telepon aku begitu kau mendapatkan pesan ini. Nora
menemukan catatan di kamar tidurnya malam ini."
Matanya menatapku sekilas. "Mungkin dari orang
yang menculiknya. Pintu-pintu rumah sudah dikunci,
jadi catatan itu pasti ditempatkan di bawah bantalnya
sebelum kami pulang."
"Dia akan menelepon balik," katanya sambil
meletakkan gagang telepon. "Aku akan menyerahkan
kertas itu. Kemungkinan dia akan menggeledah rumah
ini. Di mana kertas itu?"
71 Aku menunjuk ke bola kertas di sudut kamar, tapi
tidak bergerak untuk mengambilnya. Aku tidak ingin
melihat catatan itu lagi. Apakah itu sebuah lelucon...
atau ancaman" Hanya karena kau sudah kembali, bukan
berarti kau aman. Kesannya seperti ancaman.
Ibu meluruskan kertas itu di dinding, merapikannya
dengan tangan. "Kertas ini kosong, Nora," katanya.
"Apa?" Aku menghampirinya. Dia benar. Tulisan
itu sudah lenyap. Aku membalikkan kertas, tapi bagian
belakangnya pun kosong. "Tadi ada," kataku, kebingungan. "Tulisan itu ada
di sini." "Mungkin khayalanmu saja. Akibat mimpimu,"
katanya lembut, lalu menarikku dan mengelus-elus
punggungku. Tetapi sikapnya sama sekali tidak
membuatku merasa nyaman. Apakah pesan itu hanya
karanganku saja" Karena apa" Paranoid" Panik"
"Aku tidak mengkhayal." Tetapi suaraku tidak
meyakinkan. "Tidak apa-apa," gumamnya. "Dr. Howlett sudah
mengatakan, yang seperti ini kemungkinan akan terjadi."
"Apa yang mungkin terjadi?"
"Dia bilang, kemungkinan besar kau akan mendengar
hal-hal yang tidak nyata?"
"Misalnya?" 72 Dia menanggapiku dengan tenang. "Suara dan
bunyi-bunyi lainnya. Dia tidak bilang kau akan melihat
sesuatu yang tidak nyata. Tapi apa pun bisa terjadi, Nora.
Tubuhmu dalam proses pemulihan. Kau mengalami stres
yang cukup berat. Kita harus bersabar."
"Dia bilang ada kemungkinan aku berhalusinasii?"
"Shh," katanya lembut, tangannya menangkup
wajahku. "Hal semacam ini mungkin terjadi sebelum
kau pulih. Pikiranmu bekerja keras untuk menuju
kesembuhan. Kita harus bersabar. Ini tidak ubahnya
dengan cedera lainnya. Kita akan melewati ini
bersama-sama." Aku merasa mataku basah, tapi aku tidak ingin
menangis. Mengapa aku" Di antara jutaan orang di
luar sana, mengapa aku" Siapa yang melakukan ini
kepadaku" Pikiranku berputar-putar, berusaha
menunjuk seseorang yang menjadi biang keladinya.
Tetapi tidak ada wajah, juga suara di sana. Aku tidak
punya gambaran apa pun. "Kau takut?" bisik ibuku.
Aku memalingkan wajah. "Aku marah."
Aku berjalan gontai ke ranjang, dan tertidur dengan
sangat cepat. Terperangkap dalam tempat aneh bin
ajaib di antara kesadaran dan mimpi total. Pikiranku
73 mengembara melewati sebuah terowongan panjang dan
gelap. Aku tertidur pulas.
Di ujung terowongan, sebuah pintu terbuka dari
dalam. Cahaya di dalam memancarkan sinar redup,
menerangi sebuah wajah yang sangat kukenal. Aku
nyaris terjatuh lemas. Rambut hitamnya menggelung
di sekeliling telinga. Masih basah karena sepertinya dia
baru saja mandi. Kulitnya merah terbakar matahari,
lembut dan kencang menutupi tubuhnya yang ramping
dan jangkung. Setidaknya dia lebih tinggi enam inci
dariku. Celana jinsnya menggantung rendah di pinggul.
Dada dan kakinya telanjang. Sehelai handuk terlampir di
pundaknya. Mata kami bertemu. Sorot matanya terkejut
ketika menatapku... kemudian dia tampak cemas.
"Apa yang kau lakukan di sini?" katanya dengan
suara pelan. Patch, kataku dalam hati. Jantungku berdebardebar. Dia adalah Patch. Aku tidak ingat mengapa aku mengenalnya, tapi
kenyataannya seperti itu. Jembatan dalam pikiranku
masih putus. Tetapi setelah aku melihatnya, kepingankepingan kecil seolah menyatu. Memori itu membuatku
merasa ada kupu-kupu beterbangan dalam perutku.
Aku melihat sekilas gambaran ketika aku duduk di
sampingnya dalam kelas biologi. Kemudian saat dia
74 berdiri begitu rapat denganku untuk mengajarkan cara
bermain biliar. Ternyata jawaban yang kucari mengarahkanku
ke sini. Ke Patch. Aku memperoleh celah di tengah
amnesia yang kualami. Ini bukan semata-mata mimpi,
melainkan jalur bawah sadar menuju Patch. Sekarang
aku memahami gejolak di dalam diriku yang sepertinya
tak pernah terpuaskan. Dalam tingkatan tertentu, aku
mengetahui sesuatu yang tidak bisa ditangkap otakku.
Aku membutuhkan Patch. Dan entah karena nasib,
keberuntungan, kekuatan kehendak, atau alasan yang
tidak kupahami, aku telah menemukan dirinya.
Di tengah rasa terkejut, akhirnya aku berkata,
"Jelaskan kepadaku."
Dia melongokkan kepala ke pintu, melihat ke
terowongan itu. "Ini mimpi. Kau tahu, bukan?"
"Kalau begitu, siapa yang kau takutkan membuntutiku?" "Kau tidak boleh berada di sini."
Kata-kataku terdengar kaku dan dingin. "Sepertinya
aku menemukan cara untuk berkomunikasi denganmu.
Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku berharap kau
menerima kedatanganku dengan lebih gembira. Kau
punya semua jawabannya, bukan?"
Dia mencubit-cubit bibirnya seperti orang yang
sedang berpikir keras. Sementara itu, mata hitamnya
75 tak pernah beranjak dari wajahku. "Aku berharap bisa


Hush Hush Trilogy Buku 3 Silence Karya Becca Fitzpatrick di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuatmu tetap hidup."
Pikiranku tersumbat, tak mampu memahami
mimpi ini untuk menemukan pesan yang lebih dalam.
Satu-satunya pikiran yang berkecamuk dalam kepalaku
hanyalah, aku telah menemukannya. Setelah sekian
lama, aku menemukan Patch. Tapi alih-alih menyambut
kegembiraanku, dia malah bersikap dingin kepadaku.
"Mengapa aku tidak bisa mengingat apa pun?"
tanyaku, menelan gumpalan dalam tenggorokanku.
"Mengapa aku tidak bisa mengingat bagaimana atau
kapan atau"atau mengapa kau pergi?" Karena aku
yakin, itulah yang terjadi. Dia pergi. Kalau tidak, kami
masih bersama-sama sekarang. "Mengapa kau tidak
berusaha mencariku" Apa yang terjadi kepadaku" Apa
yang terjadi pada kita?"
Patch menautkan tangan di belakang lehernya dan
memejamkan mata. Tubuhnya diam tak bergerak. Hanya
getaran emosi yang terlihat menggelegak di bawah
kulitnya. "Mengapa kau meninggalkanku?" tanyaku dengan
suara tercekat. Dia meluruskan tangan. "Kau yakin aku meninggalkanmu?" Jawaban itu hanya memperbesar gumpalan yang
mencekat kerongkonganku. "Bagaimana lagi aku harus
76 berpikir" Kau pergi berbulan-bulan. Sekarang, setelah
akhirnya aku menemukanmu, kau nyaris tidak ingin
melihatku." "Aku telah melakukan satu-satunya hal yang bisa
kulakukan. Aku melepasmu demi menyelamatkan nyawamu." Rahangnya menegang dan mengendur. "Bukan
keputusan yang mudah, tapi itulah yang tepat."
"Melepaskan aku" Begitu saja" Berapa lama kau
mengambil keputusan itu" Tiga detik?"
Sorot matanya menjadi dingin karena teringat
sesuatu. "Ya, itulah waktu yang kumiliki."
Semakin banyak kepingan teka-teki yang menyatu.
"Seseorang memaksamu untuk meninggalkanku" Begitu
maksudmu?" Dia tidak bicara, tapi aku sudah mendapatkan
jawaban. "Siapa yang memaksamu" Siapa yang membuatmu
begitu takut" Patch yang kukenal tidak lari dari siapa
pun." Kepedihan yang menyesakkan dada membuat
suaraku meninggi. "Aku rela berjuang untukmu, Patch.
Aku rela berjuang." "Kau akan kalah. Kita dikepung. Dia mengancam
nyawamu. Dan dia tidak main-main. Kau sudah di
tangannya. Itu berarti aku juga."
"Dia" Siapa yang kau maksud dengan dia?"
77 Lagi-lagi pertanyaanku hanya bertemu dengan
keheningan. "Apakah kau pernah berusaha mencariku" Ataukah
semudah itu?"suaraku tercekat?"melepaskan aku?"
Patch mengibaskan handuk yang semula mengelilingi
bahunya. Sorot matanya garang. Bahunya naik-turun
seiring helaan napas. Tapi aku merasa kemarahannya
bukan ditujukan kepada diriku.
"Kau tidak boleh berada di sini," katanya, suaranya
parau. "Jangan mencariku lagi. Kau harus kembali
ke kehidupanmu dan melakukan yang terbaik. Untuk
dirimu sendiri," imbuhnya, seolah-olah sudah mengira
aku akan membentaknya lagi. "Untukmu. Aku telah
melakukan segalanya untuk menjauhkan dia darimu.
Dan aku akan terus melakukannya sebisa mungkin. Tapi
aku butuh bantuanmu."
"Sama seperti aku membutuhkan bantuanmu?"
balasku. "Aku membutuhkanmu sekarang, Patch. Aku
butuh kau kembali kepadaku. Aku tersesat dan aku
ketakutan. Tahukah kau, aku tidak bisa mengingat
apa pun" Tentu saja kau tahu," kataku getir. "Itu
sebabnya kau tidak mencariku. Kau tahu, aku tidak bisa
mengingatmu. Karena itu kau terlepas dari persoalan.
Aku tidak menyangka kau ingin melarikan diri. Well,
aku belum melupakanmu, Patch. Aku melihat kilatan
hitam"warna mata dan rambutmu. Aku merasakan
78 sentuhanmu. Aku ingat caramu memperlakukan aku...."
Aku tercekat, tak mampu melanjutkan.
"Lebih baik kau tidak tahu," kata Patch datar.
"Itu adalah penjelasan paling buruk. Tapi demi
keselamatanmu sendiri, ada hal-hal yang tidak boleh
kau ketahui." Aku tertawa, tapi bunyinya berat dan sarat emosi.
"Jadi, sampai di sini saja?"
Dia menutup jarak di antara kami. Tetapi dia berhenti, persis ketika aku menyangka dia akan memelukku.
Aku mengembuskan napas, berusaha tidak menangis.
Patch menekan sikunya ke besi penahan pintu yang
tingginya sedikit di atas telingaku. Aroma tubuhnya
membangkitkan berbagai memori yang menyenangkan,
membuat momen itu semakin berat ditanggung. Aku
begitu ingin menyentuhnya, merasakan pelukannya. Aku
ingin dia menggelitik telingaku dengan bisikannya yang
ditujukan hanya untukku. Aku ingin dekat dengannya.
"Ini belum berakhir," kataku. "Setelah segala yang
kita lalui, kau tidak punya hak untuk mengusirku begitu
saja. Aku tidak akan melepaskanmu dengan mudah."
Aku tidak tahu apakah itu ancaman, pembangkangan
terakhirku, atau sekadar ungkapan kekesalan yang
keluar dari hatiku yang hancur.
"Aku ingin melindungimu," kata Patch dengan suara
pelan. 79 Dia berdiri terlalu dekat. Energi, panas, dan
kekuatan terpancar darinya. Tak sanggup aku melarikan
diri darinya. Sekarang ataupun nanti. Dia selalu ada.
Menyerap seluruh pikiranku. Hatiku berada dalam
genggamannya. Aku terdorong kepada dirinya oleh
kekuatan yang tidak bisa kukendalikan, apalagi
kuhindari. "Tapi kau tidak melakukannya."
Dia menyentuh daguku dengan sangat lembut. "Kau
sungguh-sungguh berpikir begitu?"
Aku berusaha mengelak, tapi tidak cukup keras.
Aku tidak sanggup menolak sentuhannya, baik dulu,
sekarang, maupun nanti. "Aku tidak tahu harus berpikir
bagaimana. Bisakah kau menyalahkanku?"
"Riwayatku panjang. Sebagian besar di antaranya
tidak bagus. Memang, aku tidak bisa menghapusnya.
Tapi aku bertekad untuk tidak melakukan kesalahan
lagi. Apalagi taruhannya sangat tinggi dan menyangkut
dirimu. Ada rencana di balik semua ini, tapi butuh
waktu." Kali ini dia meraihku ke dalam pelukannya,
menepiskan rambut yang menutup wajahku. Sesuatu di
dalam diriku runtuh dengan sentuhannya. Air mata yang
hangat membasahi pipiku. "Kalau aku kehilanganmu,
aku kehilangan segalanya," gumamnya.
"Siapa yang kau takuti?" tanyaku lagi.
80 Sambil memegang bahuku, dia menempelkan
dahinya ke dahiku. "Kau milikku, Angel. Tidak ada
yang akan mengubah hal itu. Kau benar"ini belum
berakhir. Hanya sebuah permulaan. Dan jalan yang
menunggu di depan tidak mudah dilalui." Dia menghela
napas seperti orang kelelahan. "Kau tidak akan ingat
mimpi ini. Dan kau tidak akan kembali ke sini. Aku
tidak tahu bagaimana kau menemukanku. Tapi aku
harus memastikan kau tidak melakukannya lagi. Aku
akan menghapus memorimu tentang mimpi ini. Demi
keselamatanmu sendiri, ini adalah yang terakhir kalinya
kau melihatku." Rasa takut menyentak diriku. Aku menjauh,
mengernyitkan wajah, ngeri dengan kemantapan dalam
suaranya. Aku hendak memprotes"
Dan mimpi itu tercerai-berai di sekelilingku, seolaholah tersusun dari pasir.
81 KeeSokan paginya akU teRbangUn dengan leher terasa kaku dan memori samar tentang mimpi aneh tak berwarna.
Setelah mandi, aku mengenakan baju terusan bermotif
zebra, celana kaus, dan sepatu bot setumit. Setidaknya
penampilan luarku normal. Membereskan kerusakan di
dalam jelas bukan sesuatu yang bisa kulakukan dalam
waktu empat puluh lima menit.
Aku bergegas ke dapur dan mendapati ibuku sedang
membuat bubur gandum seperti waktu dulu. Ini kali
pertama dia memasak gandum sejak kematian ayahku.
82 Teringat drama semalam, aku bertanya-tanya apakah
masakannya akan terasa menyedihkan.
"Pagi sekali kau bangun," katanya, di sela-sela
pekerjaan mengiris stroberi di dekat wastafel.
"Sudah jam delapan," kataku. "Detektif Basso
menelepon?" Aku pura-pura tidak peduli dengan
jawaban yang akan dikatakannya, dan menyibukkan
diri dengan membersihkan noda, yang sebenarnya tidak
ada, dari bajuku. "Aku sudah memberi tahu, ada kesalahan. Dia
mengerti." Artinya, mereka sepakat bahwa aku berhalusinasi.
Aku adalah cewek yang cengeng. Dan mulai sekarang,
semua ucapanku akan dianggap tidak ada artinya. Gadis
yang malang. Mengangguk dan tersenyum sajalah kalau
dia bicara. "Bagaimana kalau kau kembali ke kamar saja" Aku
akan mengantarkan sarapanmu kalau sudah siap," kata
Ibu, lalu melanjutkan pekerjaannya mengiris-iris bahan
makanan. "Aku tidak apa-apa."
"Mengingat kejadian barusan, kupikir kau ingin
bersantai. Berbaring di ranjang, membaca buku,
mungkin berendam air hangat."
Ibu menyuruhku bermalas-malasan pada hari
sekolah. Ini sama sekali tidak terbayangkan. Biasanya
83 kami bicara tergesa-gesa sembari sarapan. Esaimu sudah
selesai" Kau sudah menyiapkan bekal makan siang"
Tempat tidurmu sudah dirapikan" Apakah kau bisa
membayar tagihan listrik sepulang dari sekolah nanti"
Percakapan semacam itulah.
"Bagaimana?" tanya ibuku lagi. "Sarapan di tempat
tidur. Pasti asyik."
"Bagaimana dengan sekolah?"
"Nanti sajalah."
"Sampai kapan?"
"Aku tidak tahu," katanya enteng. "Mungkin satu
atau dua minggu. Sampai kau merasa siap."
Tampaknya ibuku tidak memikirkan hal ini dengan
matang, tapi tidak begitu denganku. Aku bisa saja
memanfaatkan kelonggaran sikapnya, tapi bukan ini
persoalannya. "Senang sekali rasanya, punya waktu satu
atau dua minggu untuk kembali normal."
Ibu meletakkan pisau. "Nora?"
"Tak usah pusing bahwa aku tidak ingat kejadian
apa pun lima bulan terakhir ini. Tidak usah pusing
bahwa mulai sekarang, setiap kali aku melihat seorang
asing mengawasiku di tengah keramaian, aku akan
bertanya-tanya apakah dia orang yang menculikku atau
bukan. Yang lebih hebat lagi, amnesiaku sudah tersiar
ke seluruh pelosok kota ini. Dia pasti tertawa senang
kalau tahu aku tidak bisa mengidentifikasi dirinya. Dan
84 kurasa, aku seharusnya merasa nyaman karena semua
tes yang dilakukan Dr. Howlett menunjukkan hasil
yang baik. Kemungkinan tidak ada kejadian buruk yang
menimpaku. Mungkin aku bahkan bisa meyakinkan
diriku sendiri bahwa aku berjemur di Canc"n pada
minggu-minggu itu. "Hei, itu bisa saja. Mungkin penculikku ingin
berbeda dari rekan-rekannya dan melakukan sesuatu
yang tidak terduga. Misalnya memanjakan korbannya.
Kenyataannya, butuh waktu bertahun-tahun untuk
kembali ke kehidupan normal. Mungkin itu tidak akan
terjadi. Tapi pasti itu tidak akan terjadi kalau aku
mengurung diri di sini, menonton opera sabun, dan
menghindari kehidupan. Aku akan pergi ke sekolah
hari ini, titik." Aku mengatakannya secara blakblakan,
tapi hatiku terasa menciut. Kusingkirkan perasaan itu
jauh-jauh dengan keyakinan inilah satu-satunya cara
untuk memperoleh kehidupanku kembali.
"Sekolah?" Ibu membalikkan badan sehingga
menghadapku. Stroberi dan bubur gandumnya tidak
dipedulikan. "Menurut kalender di dinding, sekarang tanggal
sembilan September." Ketika Ibu tidak mengatakan
apa-apa, aku menambahkan, "Sekolah dimulai dua
hari lalu." Dia merapatkan bibirnya. "Aku tahu itu."
85 "Karena sekolah sudah berjalan, bukankah aku
seharusnya di sana?"
"Ya, pada akhirnya." Dia mengelap tangan di
celemek. Ekspresinya seperti orang yang sedang
menyusun atau memilih kata yang tepat. Aku berharap
dia menumpahkan unek-uneknya. Perdebatan sengit
akan lebih baik daripada sekadar simpati yang dingin.
"Sejak kapan kau membolehkan aku membolos?"
kataku, mendesaknya.

Hush Hush Trilogy Buku 3 Silence Karya Becca Fitzpatrick di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bukannya aku ingin mengatur kehidupanmu. Tapi
kupikir kau perlu rileks."
"Rileks" Aku tidak ingat kejadian apa pun selama
beberapa bulan terakhir. Aku tidak akan rileks dan
membiarkan persoalan ini bertambah parah. Satusatunya cara yang akan membuatku merasa lebih baik
adalah dengan merebut kembali kehidupanku. Aku
akan ke sekolah. Setelah itu, aku akan pergi bersama
Vee untuk menikmati donat, atau makanan cepat saji
apa pun yang dia inginkan. Lalu aku akan pulang dan
mengerjakan PR. Begitu banyak hal yang tidak kuketahui
lagi. Satu-satunya cara untuk bertahan adalah dengan
berpegangan pada apa pun yang kuketahui sekarang."
"Banyak hal yang terjadi sementara kau pergi?"
"Ibu pikir aku tidak tahu?" Aku tidak bermaksud
menekannya terus. Tetapi aku tidak paham, bagaimana
dia bisa berdiri saja di sana dan menceramahiku.
86 Memangnya dia pernah mengalami kejadian seperti yang
kualami" "Percayalah, aku mengerti. Dan aku takut.
Aku tahu, aku tidak bisa kembali, dan itu menakutkan.
Tapi sekaligus?" Bagaimana aku menjelaskan sesuatu
yang bahkan tidak bisa kujelaskan kepada diriku sendiri"
Di sana aman. Dulu aku memegang kendali. Bagaimana
aku bisa melompat ke depan, ketika fondasi di bawah
kakiku ditarik" Ibu menghela napas panjang. "Hank Millar dan aku
berkencan." Kata-katanya melayang di udara. Aku menatapnya
dengan dahi berkerut lantaran kebingungan. "Maaf?"
"Kejadiannya saat kau pergi." Dia melebarkan
tangan di konter, seperti orang yang butuh pegangan
untuk menopang tubuhnya. "Hank Millar?" Untuk kali kedua, pikiranku
lamban mencerna namanya. "Dia sudah bercerai."
"Bercerai" Aku hanya pergi tiga bulan."
"Hari demi hari ketika aku tidak tahu keberadaanmu, atau apakah kau masih hidup, hanya dia yang
kumiliki, Nora." "Ayah Marcie?" Aku mengerjap, kebingungan.
Sepertinya aku tidak sanggup mengusir kabut yang
menggantung dari satu telinga ke telingaku yang lain
di dalam otakku. Ibuku berkencan dengan ayah satu87 satunya cewek yang kubenci" Cewek yang mengunci
mobilku, mengotori lokerku dengan telur, dan menjulukiku Nora si PSK" "Kami dulu berkencan. Di SMA dan kampus.
Sebelum aku bertemu ayahmu," katanya, buru-buru
menambahkan. "Ibu," kataku, akhirnya meninggikan suara, "dan
Hank Millar?" Ibuku mulai bicara dengan cepat. "Aku tahu kau
cenderung akan memberi penilaian berdasarkan opinimu
tentang Marcie. Tapi dia benar-benar pria yang manis.
Penuh perhatian, murah hati, dan romantis." Dia
tersenyum, kemudian wajahnya merona.
Aku berang. Inikah yang dilakukan ibuku saat aku
menghilang" "Baiklah." Aku merampas pisang dari mangkuk
buah, kemudian menuju pintu depan.
"Bisakah kita membicarakan masalah ini?" Kakinya
yang telanjang berdentam di lantai kayu saat dia
mengejarku. "Bisakah, setidaknya, kau mendengarkan
penjelasanku dulu?" "Sepertinya aku terburu-buru untuk obrolan
semacam itu." "Nora!" "Apa?" bentakku, membalikkan badan. "Apa yang
ingin Ibu dengar dariku" Ucapan selamat" Tidak. Kita
88 biasa meledek keluarga Millar. Kita biasa bercanda
bahwa masalah perilaku Marcie diakibatkan keracunan
merkuri lantaran makanan laut yang mereka santap. Dan
sekarang kau berkencan dengan dia?"
"Ya, dia. Bukan Marcie."
"Sama saja bagiku! Tidak bisakah setidaknya Ibu
menunggu sampai tinta di surat perceraian mereka
kering" Ataukah Ibu sudah melangkah saat dia masih
menikah dengan ibu Marcie" Karena tiga bulan adalah
waktu yang luar biasa cepat."
"Aku tidak perlu menjawab tuduhanmu!" Merasa
wajahnya memerah, Ibu mengendalikan diri dengan
memijit belakang lehernya. "Apakah ini karena kau
menyangka aku mengkhianati ayahmu" Percayalah, aku
sudah cukup menyiksa diri dengan bertanya apakah
selamanya adalah waktu yang terlalu cepat untuk
melangkah. Tapi dia pasti ingin aku bahagia. Dia tidak
ingin aku mengasihani diriku sendiri selamanya."
"Apakah Marcie tahu?"
Dia mengernyit dengan perubahanku yang mendadak.
"Apa" Tidak. Kurasa Hank belum memberitahunya."
Dengan kata lain, sementara ini aku tidak perlu
ketakutan Marcie akan menuduhku sebagai biang
keladi di balik keputusan yang diambil oleh kedua
orangtua kami. Tetapi jika dia tahu yang sebenarnya,
bisa dipastikan aku akan menerima akibat yang keras,
89 memalukan, dan brutal. "Aku sudah terlambat," kataku
sambil mengaduk-aduk mangkuk di meja depan, mencari
kunci. "Di mana kunci mobilku?"
"Seharusnya ada di sana."
"Kunci rumah, ada. Di mana kunci Fiat-ku?"
Ibu memijit batang hidungnya. "Sudah kujual." Aku
membelalakkan mata. "Dijual?" Memang, dulu aku
benci sekali mobil itu. Terutama lantaran cat cokelatnya
yang sudah mengelupas, jok kulit putihnya yang usang,
dan kebiasaan mogoknya pada waktu yang tidak tepat.
Tapi tetap saja, itu mobilku. Apakah ibuku sebegitu
cepatnya menyerah setelah aku menghilang sehingga
dia mengangkut barang-barangku ke pasar loak" "Apa
lagi?" desakku. "Apa lagi yang Ibu jual sementara aku
pergi?" "Aku menjual mobil itu sebelum kau menghilang,"
gumamnya. Tenggorokanku tercekat. Artinya, dulu aku tahu
bahwa dia menjual mobilku. Hanya saja sekarang aku
tidak ingat. Sakit hatiku saat menyadari betapa tidak
berdayanya aku. Aku bahkan tidak bisa bercakap-cakap
dengan ibuku tanpa terlihat seperti orang idiot. Alihalih meminta maaf, aku membuka pintu dan berlari
menuruni anak tangga beranda.
"Mobil siapa itu?" tanyaku, berjalan mendekati
kendaraan itu. Sebuah Volkswagen convertible warna
90 putih berdiri di tempat Fiat-ku biasanya berada. Dari
penampilannya, sepertinya VW itu sudah menjadi
penghuni tetap di sana. Mungkin mobil ini sudah ada
kemarin pagi, ketika kami datang dari rumah sakit.
Tetapi saat itu pikiranku masih terlalu kacau untuk
memperhatikan sekelilingku. Kali lain aku keluar rumah
adalah semalam, melalui pintu belakang.
"Mobilmu." "Apa maksud Ibu?" Aku menatapnya sambil
melindungi mata dari cahaya pagi.
"Pemberian Scott Parnell untukmu."
"Siapa?" "Keluarganya kembali ke kota ini awal musim
panas." "Scott?" ulangku sambil menggali memori jangka
panjangku karena samar-samar aku mengingat nama itu.
"Temanku waktu TK" Anak yang pindah ke Portland?"
Ibu mengangguk lemah. "Mengapa dia memberiku mobil?"
"Aku tidak sempat bertanya kepadamu. Kau
menghilang pada malam dia mengantarkan mobil itu."
"Aku menghilang pada malam ketika Scott secara
misterius menyumbangkan mobil itu untukku" Aneh
sekali. Seorang remaja menghadiahkan mobil kepada
gadis yang tidak terlalu dikenalnya dan tidak bertemu
dengannya selama bertahun-tahun. Ada yang tidak
91 beres di sini. Mungkin"mungkin mobil itu adalah
barang bukti, dan dia harus menyingkirkannya. Apakah
kemungkinan itu tidak terlintas dalam pikiran Ibu?"
"Polisi sudah menyelidiki mobil itu. Mereka
menginterogasi pemilik sebelumnya. Tapi rasanya
Detektif Basso tidak berpikir Scott terlibat dalam
masalah ini setelah mendengar penjelasanmu tentang
kejadian malam itu. Seseorang menembakmu sebelum
kau menghilang. Awalnya Detektif Basso mengira Scottlah yang menembakmu, tapi kau mengatakan?"
"Ditembak?" Aku menggeleng-gelengkan kepala
saking bingungnya. "Apa maksudmu ditembak?"
Ibu memejamkan mata sekilas, menarik napas.
"Dengan pistol."
"Apa?" Mengapa Vee tidak menceritakan ini"
"Di Delphic Amusement Park." Dia menggelenggelengkan kepala. "Aku tidak suka mengingat-ingat
kejadian itu," bisiknya, suaranya parau. "Aku di luar
kota saat mendapat telepon. Aku tidak berhasil pulang
tepat waktu dan aku tidak melihatmu lagi. Tidak ada
yang lebih kusesali dalam kehidupan ini. Sebelum
menghilang, kau mengatakan kepada Detektif Basso
bahwa lelaki bernama Rixon menembakmu di rumah
seram. Kau bilang Scott juga ada di sana, dan Rixon
menembaknya juga. Polisi mencari Rixon, tapi dia seolah
92 menghilang ditelan bumi. Detektif Basso yakin Rixon
bukanlah nama sebenarnya."
"Aku tertembak di bagian mana?" tanyaku, kulitku
meremang dengan gelitik yang tidak menyenangkan.
Aku tidak menyadari adanya goresan, atau bekas luka
di tubuhku. "Bahu kiri." Sepertinya mengucapkannya saja sudah
menyakitkan bagi ibuku. "Pelurunya menembus keluar,
hanya melukai otot. Kita sangat beruntung."
Kuturunkan kerah kemejaku ke bahu. Memang
benar, ada goresan luka di kulitku.
"Polisi mencari Rixon selama berminggu-minggu.
Mereka membaca buku harianmu, tapi kau telah
merobek beberapa halaman. Mereka tidak menemukan
namanya pada halaman selebihnya. Mereka juga
bertanya kepada Vee, tapi dia mengaku tidak pernah
mendengar nama itu. Rixon tidak terdaftar di sekolah.
Tidak ada catatan tentang dirinya di DMV?"
"Aku merobek beberapa halaman dari diariku?"
kataku menyela. Aku bukan orang seperti itu. Buat apa
aku melakukannya" "Kau masih ingat, di mana kau menyimpan kertas
itu" Atau kau masih ingat isinya?"
Aku menggelengkan kepala dengan pikiran kosong.
Apa yang telah kulakukan sehingga harus menyembunyikan sesuatu" 93 Ibu menghela napas. "Rixon seperti hantu, Nora. Ke
mana pun dia pergi, semua jawaban pergi bersamanya."
"Aku tidak setuju," kataku. "Bagaimana dengan
Scott" Apa jawabannya ketika ditanya oleh Detektif
Basso?" "Detektif Basso mengerahkan seluruh energi untuk
memburu Rixon. Rasanya dia tidak pernah berbicara
dengan Scott. Kali terakhir aku berbincang dengan Lynn
Parnell, Scott sudah pindah. Sepertinya sekarang dia
tinggal di New Hampshire, berjualan pembasmi hama."
"Itu saja?" tanyaku tidak percaya. "Detektif Basso
tidak pernah berusaha melacak Scott dan mencari
keterangan darinya?" Pikiranku berputar dengan
kecepatan tinggi. Sepertinya ada sesuatu yang tidak beres
pada Scott. Menurut keterangan ibuku, aku memberi
tahu polisi bahwa dia juga ditembak oleh Rixon. Selain
aku, dialah satu-satunya saksi keberadaan Rixon.
Bagaimana mungkin dia memberikan VW" Sepertinya,
paling tidak ada satu penggalan informasi yang hilang.
"Aku yakin dia punya alasan untuk tidak bicara
dengan Scott." "Aku yakin juga begitu," kataku sinis. "Mungkin
dia kurang kompeten?"
"Kalau kau mau memberi kesempatan kepada
Detektif Basso, kau akan melihat sebenarnya dia sangat
cerdas dan sangat cekatan dalam pekerjaannya."
94 Aku tidak mendengarkan. "Sekarang bagaimana?" kataku ketus.
"Kita akan melakukan satu-satunya hal yang bisa kita
lakukan. Berusaha sekeras mungkin untuk terus maju."
Sesaat kusingkirkan keraguanku terhadap Scott
Parnell. Masih banyak hal yang harus kuhadapi. Berapa
ratus hal lagi yang menjadi sisi gelapku" Apakah sisi
gelaplah yang kutimbun selama ini" Hari demi hari tanpa
apa pun kecuali malu" Aku sudah bisa membayangkan
kejadian yang menungguku di balik dinding sekolah.
Pandangan penuh iba. Teman-teman yang pura-pura tidak
melihatku. Obrolan yang terhenti karena kedatanganku.
Atau mereka menghindariku sekalian.
Darahku mendidih. Aku tidak ingin menjadi
penghalang. Aku tidak ingin menjadi target spekulasi
gila-gilaan. Cerita memalukan macam apa yang beredar
tentang penculikanku" Bagaimana pendapat orang


Hush Hush Trilogy Buku 3 Silence Karya Becca Fitzpatrick di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tentang aku" "Kalau Ibu melihat Scott, tolong tunjuki aku. Aku
ingin mengucapkan terima kasih atas pemberian mobil
ini," kataku getir. "Tapi setelah aku bertanya mengapa
dia menghadiahkannya kepadaku. Mungkin Ibu dan
Detektif Basso yakin dia tidak bersalah. Tapi banyak
keganjilan menyangkut dirinya."
"Nora?" 95 Aku mengangkat tangan. "Boleh aku meminta
kuncinya?" Setelah terdiam sesaat, Ibu melepas sebuah kunci
dari rantai kuncinya sendiri dan meletakkannya di
tanganku. "Hati-hati."
"Oh, jangan khawatir. Satu-satunya tindakan
berbahaya yang bisa kulakukan adalah mempermalukan
diriku sendiri. Mungkin akan ada orang yang bercipikacipiki denganku hari ini, tapi aku tidak ingat mereka.
Untungnya aku masih ingat jalan ke sekolah. Dan coba
lihat itu," kataku, membuka pintu mobil dan masuk.
"VW ini bergigi lima. Untungnya aku sudah belajar
mengendarai mobil gigi lima sebelum amnesia."
"Aku tahu, sekarang bukan saat yang tepat, tapi kita
diundang makan malam."
Aku menatap matanya dengan dingin. "Benarkah?"
"Hank mengajak kita ke Coopersmith"s. Untuk
merayakan kepulanganmu."
"Perhatian sekali," kataku, memasukkan kunci
dan menghidupkan mobil. Dari bunyinya yang berisik,
rasanya mobil ini tidak digunakan sejak aku menghilang.
"Dia berusaha," kata ibuku, di antara deruman
mesin. "Dia berusaha keras supaya semua ini berjalan
dengan baik." Aku sudah siap melontarkan sindiran tajam, tapi
rasanya ada yang lebih baik. "Bagaimana dengan Ibu"
96 Apakah Ibu juga berusaha supaya semua ini berjalan
dengan baik" Terus terang saja, kalau dia di sini, aku
pergi. Permisi, aku harus memikirkan bagaimana
menjalani kehidupanku lagi."
97 AkU memaRkiR mobil di deRetan belakang halaman parkir sekolah. Sepertinya aku sudah terlambat. Karena berdebat dengan
Ibu, aku terpaksa menghentikan perjalanan selama lima
belas menit hanya untuk menenangkan diri. Berkencan
dengan H ank M illar. Kejam sekali dia. Apakah
mereka ingin menghancurkan hidupku" Melihat jam
di BlackBerry Ibu, rasanya aku hanya akan mendapat
ujung mata pelajaran pertama. Sepuluh menit lagi bel
akan berbunyi. 98 Dengan niat meninggalkan pesan, aku menghubungi
ponsel Vee. "Halooo, Angel?" jawabnya dengan suara genit. Dia
berusaha melucu, tapi jantungku nyaris copot.
Angel. Bunyi kata itu saja membuat sensasi panas menjalar
di sekujur kulitku. Sekali lagi warna hitam itu bergoyanggoyang di sekelilingku seperti pita panas. Tetapi kali ini
ada sesuatu yang lain. Sebuah sentuhan fisik yang begitu
hidup sehingga mengalihkan pikiranku. Aku merasakan
sentuhan di tulang pipiku, seolah-olah ada tangan tak
kasat mata yang sedang membelaiku....
Kau milikku, Angel. Dan aku milikmu. Tidak ada
yang bisa mengubahnya. "Ini sinting," gumamku. Melihat warna hitam saja
sudah aneh. Apalagi membawanya ke level yang lebih
tinggi. Aku harus berhenti mengacaukan diriku seperti
ini. Kalau tidak, aku benar-benar akan meragukan
kewarasanku sendiri. "Apa?" kata Vee.
"Uh, tempat parkir," kataku berbohong. "Semua
tempat yang oke sudah diambil."
"Coba tebak, siapa yang harus ikut mata pelajaran
olahraga pada jam pertama" Ini sangat tidak adil. Aku
sudah memulai hari ini dengan keringat bercucuran
seperti gajah dijemur. Apa mereka yang menyusun jadwal
99 pelajaran tidak tahu apa-apa tentang bau badan" Apa
mereka tidak paham tentang rambut berminyak?"
"Mengapa kau tidak menyinggung soal Scott Parnell
semalam?" tanyaku dengan nada tenang. Dari sanalah
masalah ini bermula. Kebisuan Vee membuat suasana menjadi kaku.
Kecurigaanku semakin kuat. Dia sengaja tidak men Sampul Maut 4 Pendekar Kembar 6 Cumbuan Menjelang Ajal Dewa Tangan Api 1

Cari Blog Ini