Ceritasilat Novel Online

Anna Karenina 5

Anna Karenina Jilid 1 Karya Leo Tolstoi Bagian 5


"Aku samasekali tak mengerti," kata Anna sambil mengangkat bahu. "Buat dia sama saja," pikimya. "Tapi orang-orang melihat dia, dan itu yang meresahkannya."
"Karnu kurang sehat, AJeksei AJeksandrovich," tambahnya, lalu berdiri dan hendak pergi ke piintu; tapi AJeksei AJeksandrovich maju, seakan hendak menghentikan istrinya.
Wajahnya tampak buruk dan murung; belum pernah Anna melihatnya seperti itu. Anna berhenti, dan sambil mengibaskan kepala ke belakang, dan ke samping, dengan cepat ia cabuti tusuk rambutnya.
"Baiklah, aku dengarkan apa yang hendak kamu katakan," ujamya tenang mengejek. "Bahkan dengan penuh perhatian, karena ingin mengerti duduk perkaranya."
Tatkala mengatakan itu ia sendiri pun heran dengan nada bicaranya yang mantap, wajar, dan tenang, heran dengan pilihan kata-kata yang di gunakannya.
"Mernasuki seluk-beluk peras u aku tak punya hak, dan itu aku anggap tak ada gunanya, bahkan merugikan," kata AJeksei Aleksandrovich memulai. "Tapi kalau kita gali-gali jiwa kita, sering kita menemukan hal-hal yang tak biasa kita perhatikan. Perasaanmu itu urusan hati nuranimu; tapi aku wajib rnenunjukkan padamu tentang kewajibanmu, demi dirimu, demi diriku, dan demi Tuhan. Hidup kita ini terikat satu sama lain, dan terikat bukan oleh manusia, tapi oleh Tuhan. Memutuskan hubungan seperti itu sungguh merupakan kejahatan, dan kejahatan semacam itu bakal mendapat ganjaran hukuman berat."
"Aku sam tak mengerti. Ya Tuhan, tapi bukan main ngantuknya!" kata Anna sambil dengan cepat menggerayangi rambutnya
untuk mencari tusuk rambut yang "masih tert inggal.
"Anna, demi Tuhan, jangan kamu bicara seperti itu," kata Aleksei Aleksandrovich singkat. "Barangkali juga aku bersalah, tapi percayalah, yang kukatakan ini sama pentingnya buatku maupun buatmu. Alm ini suamimu, dan aku mencintaimu."
Untuk sesaat lamanya wajah Anna tertunduk, dan padamlah letikan api bemada ejekan dari wajahnya; tapi kata-kata "aku mencintaimu" itu kembali menimbulkan kemarahan pada dirinya. "Cinta" Memangnya i a bisa mencintai" Sekiranya i a tak pernah mendengar bahwa ada dinamakan cinta, tak bakal i a menggunakan kata itu. Ia pun tak tahu apa yang dinamakan cinta."
"Aleksei Aleksandrovich, betul-betul aku tak mengerti ini," katanya. "Coba jelaskan, apa yang kamu lihat. ... "
"Izinkan aku mengatakan sampai selesai. Alm mencintaimu. Tapi aku tidak bicara tentang diri sendiri; orang terpenting yang tersangkut dalam soal ini adalah anak kita dan karnu sendiri. Kuulangi, barangkali benar bahwa kata-kataku ini kau rasakan sia-sia belaka dan tidak pada tempatnya; barangkali juga kata-kata ini keluar hanya karena kesesatanku. Kalau mernang demikian, kuharap kamu rnemaafkan aku. Tapi kalau kamu sendiri merasa memang beralasan, walau sekecil apapun, aku minta kamu rnemikirkannya, dan kalau hatimu berkata padamu, menyampaikannya kepadaku .... "
Tanpa disadarinya, Alesei Aleksandrovich telah mengucapkan hal yang samasekali tidak dipersiapkannya.
"Samasekali tak ada yang harus kukatakan. Dan lag i...," tiba-tiba kata Anna cepat, seraya menahan senyuman dengan susah-payah, "betul-betul sudah waktunya sekarang untuk tidur."
Aleksei Aleksandrovich menarik napas dalam-dalam, dan tanpa mengatakan apa-apa Jagi ia pun menuju ke kamar tidur.
Anna masuk ke kamar tidur, Aleksei Aleksandrovich sudah berbaring. Bibimya menguncup keras, dan matanya tidak memandang sang istri. Anna membaringkan diri di tempat t idurnya sendiri, dan t iap saat menanti suaminya akan bicara lagi. Ia takut suaminya akan bicara lagi, tapi ia menginginkannya pula. Namun Aleksei Aleksandrovich di am. Lama Anna menanti tanpa bergerak, sampai ia lupa akan suarninya. Ia memikirkan orang lain, melihat orang lain itu, dan ia rnerasa betapa hatinya penuh kegelisahan dan kegembi raan kriminal sewaktu memikirkannya. Dan tiba-tiba ia mendengar desir hidung yang teratur dan tenang. Awalnya Aleksei Aleksandrovich seolah takut terhadap desir hidungnya sendiri hingga berhenti bernapas; tapi dengan dua tarikan napas lagi desir itu berbunyi kembali dengan keteraturan yang baru dan tenang.
"Sudah malam, sudah malam, ya, sudah malam," bisik Anna sambil tersenyum. Lama i a berbaring tanpa gerak dengan mata terbuka; rona mata itu terasa bisa dilihat di tengah kegelapan.
Sejak malam itu mulailah hidup baru bagi Aleksei Aleksandrovich dan istrinya. Tak ada hal penting yang terjadi. Seperti biasa, Anna mendatangi pertemuan kalangan bangsawan. Yang paling sering di rumah Nyonya Pangeran Betsy, dan di mana saja ia bisa menjumpai Vronskii. Aleksei Aleksandrovich tahu itu, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Kalau ia coba meminta istrinya memberi penjelasan, Anna melawannya dengan semacam sikap bingung bercampur riang, yang merupakan dinding tak tertembus. Dari luar mereka tampak biasa saja, tapi hubungan batin mereka samasekali sudah berubah. Aleksei Aleksandrovich, orang yang demikian kuat dalam aktivitas pemerintahan, di sini merasa dirinya tak berdaya. Seperti kerbau dicocok hidungnya, ia menunggu terjadinya ledakan yang sudah ia rasakan mengancam d i atas kepalanya. T iap kali ia pikirkan hal itu, tiap kali pula i a merasa dirinya perlu mencoba sekali lagi; ia merasa, dengan kebaikan hati, dengan kemesraan yang menyakitkan dirinya, masih ada harapan untuk menyelamatkan istrinya, memaksanya untuk eling. T i a p hari i a bermaksud bicara dengan istrinya, tapi tiap kali ia mulai bicara, ia merasa betapa roh kejahatan dan kebohongan yang telah menguasai istrinya telah menguasai dirinya pula, dan bicaranya sa kali bukan tentang hal yang sudah direncanakan, dan dengan nada yang bukan dimaksudkan. Tanpa terasa i a bicara dengan sang istri dengan nada mengolok-olokseperti kebiasaannya. Padahal ia tidak boleh menyatakan apa yang harus dikatakannya kepada sang istri dengan nada semacam itu.
Apa yang selama hampir setahun penuh bagi Vronskii merupakan harapan hidup satu-satunya yang bisa mengubah harapan yang ia miliki sebelumnya, apa yang bagi Anna rnerupakan impian babagia yang tak masuk aka!, mengerikan, clan bahkan memesonakan, barapan itu k ini sudab terwujud. Dengan wajab pucat dan rabang gemetar Vronskii berdiri agak lebib tinggi dar ipada Anna dan meminta Anna menenangkan diri, walaupun ia sendiri tak tabu dalam hal apa dan bagaimana caranya.
"Anna! Anna!" katanya dengan suara gemetar. "Anna, demi Tuhan!"
Tapi makin keras Vronskii bicara, makin Iebib rendah Iagi Anna memerosotkan kepalanya, yang sebelumnya begitu anggun, riang, tapi kini aib. Ia membungkukkan badan dan menjatuhkan diri dari dipan tempat ia duduk ke lantai, ke kaki Vronskii; sekiranya Vronskii tidak memegangnya, pasti i a terjatuh ke permadani.
"YaTuhan! Maafkanaku!"kataAnnasambiltersedudanmenekankan tangan Vronskii ke dadanya.
Ia merasa dirinya begitu jabat dan bersalab hingga yang perlu dilakukannya banyalab merendab dan meminta maaf; dan sekarang tak ada orang lain dalam hidupnya selain Vronskii. Karena itu kepadanya ia meminta maaf. Tatkala menatap Vronskii, secara lahiriab ia merasakan kebinaan dirinya, dan tak ada lagi yang bisa diucapkannya. Adapun Vronskii merasakan apa yang tentunya dirasakan seorang pembunuh ketika menatap tubuh yang telah i a cabut nyawanya. Tubuh yang telah i a cabut nyawanya itu adalah cinta mereka, cinta mereka di tahap a. Terasa mengerikan dan menjijikkan apa yang telah mereka bayar dengan rasa malu yang menakutkan itu. Rasa malu terhadap ketelanjangan jiwa itu menekan diri Anna, dan itu menjalar kepada Vronskii. Tapi betapapun ngerinya pembunuh menghadapi tubuh korban, i a harus memotongmotong dan menyembunyikannya, ia harus menuntaskan apa yang telah dilakukannya.
Dengan geram, seolah bemafsu, si pembunuh menerkam tubuh itu, menyeret, dan merobek-robeknya; demikianlah Vronskii menghujani wajah dan bahu Anna dengan c iuman. Anna hanya memegang tangan Vronskii dan diam sa ja. "Ya, c iuman ini adalah apa yang telah dibeli dengan rasa malu. Ya, dan tangan yang akan selalu jadi milikku ini adalah tangan komplotanku." Diangkatnya tangan itu dan dic iumnya. Vronskii merendah hendak berlutut dan menatap wajah Anna, tapi Anna menyembunyikan wajahnya dan tidak mengucapkan sepatah kata pun. Kemudian, seolah mengerahkan seluruh tenaganya, ia bangkit dan menolakkan Vronskii. Wajahnya masih tetap cantik, tapi justru karena
itu ia tampak lebih memilukan.
"Semua telah berlalu," katanya. "Sekarang aku tak punya siapa-siapa lagi selain kamu. Ingatlah itu."
"Tak mungkin aku tak ingat akan hidupku sendiri. Untuk detik kebahagiaan ini .... "
"Kebahagiaan apalah!" kata Anna dengan rasa benc i dan ngeri, dan ngeri itu tanpa terasajuga menjalar kepada Vronskii. "Demi Tuhan, jangan, jangan Iagi kamu mengatakan sesuatu."
Anna cepat berdiri dan meninggalkan Vronskii.
"Tak usah lagi kamu mengatakan sesuatu," ulang Anna, dan dengan ekspresi putusasa bercampur sikap dingin yang menurut Vronskii aneh, ia pun berpisah dengan lelaki itu. la merasa, saat itu i a tak mampu mengucapkan kata-kata untuk menunjukkan rasa malu, riang, dan ngeri menjelang memasuki kehidupan baru tersebut, dan ia tak mau bicara tentang ha! itu, yang berarti mencemari perasaannya dengan kata-kata yang tidak tepat. Namun sesudah itu pun, pada hari kedua dan ketiga, ia tetap tak mampu menemukan kata-kata yang kiranya bisa digunakan untuk mengungkapkan seluruh kerumitan perasaannya, dan i a tak mampu pula menemukan gagasan yang bisa digunakan untuk meninjau kembali segala yang ada dalam jiwanya.
Katanya pada diri sendiri: "Tidak, sekarang aku tak sanggup memikirkan hal itu; nanti saja kalau aku sudah lebih tenang." Tapi temyata ketenangan pikiran tak juga pernah datang; tiap kali datang pikiran tentang apa yang telah dilakukannya, tentang apa yang bakal terjadi dengan dirinya, dan tentang apa yang harus ia lakukan, yang muncul adalah rasa ngeri. Maka i a usir pikiran-pikiran itu dirinya.
"Nanti saja, nanti sa ja," katanya. "Nanti saja, kalau aku sudah Iebih tenang."
Tapi sewaktu tidur, ketika ia tak punya kekuasaan atas pikirannya, keadaan itu tampak olehnya sebagai ketelanjangan yang tak senonoh. Ada mimpi yang hampir tiap malam mendatanginya. la bermimpi mereka berdua adalah suaminya, dan mereka berdua mencurahkan kepada di a segala kemesraannya. Aleksei Aleksandrovich menangis sambil menciumi tangannya dan mengatakan alangkah bahagia sekarang! Dan Aleksei Vronskii pun ada d i sana, dan ia juga suaminya. Dengan rasa heran melihat ha! yang XII Sekembali dari Moskwa, ka tiap kali i a bergidik dan memerah wajahnya mengingat rasa malu akibat penolakan itu, Levin mula-mula selalu mengatakan pada dirinya: "Dulu wajahku juga memerah dan aku juga bergidik, dan menganggap semuanya seolah sudah runtuh aku dapat angka satu untuk a dan harus tinggal di tingkat dua; dulu aku juga menganggap diriku sudah hancur ketika mengacaukan urusan saudara perempuan yang dipercayakan padaku. Lalu" Sekarang setelah bertahun-tahun lewat, kukenangkan kembali hal itu, dan aku heran kenapa itu bisa mengecewakan diriku. Seperti itu jugalah nanti yang bakal terjadi dengan kesedihanku sekarang ini. Waktu akan berlalu, dan aku akan bersikap masa bodoh pula terhadap dia."
Tapi tiga bulan telah berlalu, dan ternyata ia tak bisa bersikap masa bodob terbadap ha! itu, dan seperti bari-hari pertama dulu, ia tetap merasa sakit mengenangkannya. Ia tak bisa merasa tenang, karena sebagai orang yang sudah lama memimpikan kehidupan rumahtangga dan merasa dirinya sudah matang untuk itu, i a belum juga beristri dan bahkan makin jauh dari an dibandingkan waktu-waktu sebelumnya. Dengan sakit seperti yang dirasakan semua orang di sekitarnya, i a merasa tak baik bag i orang seusia dia hidup sendirian. Ia teringat ketika hendak pergi ke Moskwa dulu, dan i a mengatakan kepada pengurus ternak, Nikolai, seorang petan i lugu yang sering diajaknya bicara: "Beg ini, Nikolai, aku mau kawin." Waktu itu Nikol a i lekas menjawab, seolah itu soal yang tak mungkin diragukan lagi: "Memang sudah waktunya, Konstantin Dmitrich." Tapi perkawinan itu sekarang makin menjauh dia dibandingkan kapan pun di masa lalu. Tempat itu tadinya sudah terisi, dan kalau sekarang dalam angannya i a mengisi tempat itu dengan salah seorang gadis kenalannya, ia merasa ha! itu mustahil. Selain itu, kenangan tentang penolakan dan peranan yang telah ia mainkan dalam peristiwa itu sunggub menyiksanya dengan rasa malu. Betapapun ia katakan pada dirinya bahwa dalam ha! ini ia samasekali tak bersalah, kenangan itu, yang sejenis dengan kenangan lain yang memalukan, memaksa dia bergidik dan memerah wajahnya. Memang, seperti di alami orang lain juga, dii masa lalu ada perbuatan-perbuatan
buruk yang ia sadari sepenuhnya dan menyebabkan hati nuraninya tersiksa; namun kenangan tentang perbuatan-perbuatan buruk lain itu tidak begitu menyiksanya seperti kenangan yang sebenarnya sepele tapi sangat memalukannya sekarang ini. Luka-Iuka ini tak pernah sembuh. Dan seperti halnya dengan kenangan tersebut, sekarang muncul pula dalam angannya penolakan dan keadaan menyedihkan yang harus ia pertontonkan kepada orang lai n malam dulu itu. Tapi waktu dan kerja memainkan peranannya sendiri. Kenangan yang berat makin lama makin terselimuti perist iwa kehidupan desa yang tidak kentara namun sangat berarti. Dari minggu ke minggu ia makin jarang teringat kepada Kitty. Tanpa disadari i a menantikan berita bahwa Kitty sudah kawin atau akan kawin dalam waktu dekat, dengan harapan berita semacam itu akan mengobatinya dengan tuntas, sepert i waktu giginya dicabut.
Sementara itu musim semi telah datang, musim semi yang indah dan bersahabat, tanpa dinantikan dan tanpa kebohongan, satu dari musimmusim semi yang membuattumbuhan, binatang, dan manusia bersukaria. Musim semi yang indah itu semakin membangunkan semangat Levin dan memantapkan maksudnya untuk melepaskan d iri dari seluruh masa lalunya dan membangun hidup melajang yang mantap dan merdeka. Walaupun banyak di antara rencana yang menyebabkan dirinya kembali ke desa tidak terlaksana, yang terpenting, yakni kebersihan hidup, telah terlaksana. Dengan demikian ia tidak mendapat rasa malu yang biasa menyiksanya sesudah terjatuh, dan i a bisa dengan berani menatap mata orang banyak. Masi h di bulan Februari i a sudah menerima surat dar i Maria Nikolayevna yang menyatakan bahwa kesehatan abangnya Nikolai makin memburuk, tapi abangmya tak mau berobat, dan karena surat itu Levin pergi ke Moskwa untuk menjumpai abangnya dan berhasil membujuknya untuk berkonsultasi dengan dokter dan pergi ke Juar negeri, ke sumber air panas. Ia betul-betul berhasil membujuk abangnya dan bisa mem injami dia uang untuk perjalanan itu tanpa menimbulkan kemarahan abangnya, sehingga dalam hubungan ini ia merasa puas terhadap dirinya. Selain urusan pertanian yang menuntut perhatian khusus d i musim semi ini, selain membaca, sejak musim dingin Levin mula i menuli s karangan tentang pertani an, yang i sinya adalah saran agar watak pekerja dunia pertanian d iterima sebaga i unsur mutlak seperti halnya iklim dan tanah. Maka semua tesis ilmu pengetahuan tentang pertanian harus disimpulkan bukan hanya dari unsur tanah dan i klim semata, melai nkan dari unsur tanah, iklim, dan watak pekerja yang tidak
berubah dan sudah dikenal. Demikianlah, meski hidup sendiri, atau akibat hidup sendiri, hidup Levin sangat sibuk dan terkadang ia punya keinginan yang tak tersalurkan untuk menyampaikan pikiran yang berkembang dalam otaknya kepada rang selain Agafya Mikhailovna. Dengan perempuan itu pun terkadang ia bicara tentang fisika, tentang teori p ian, dan terutama tentang filsafat. Filsafat merupakan pokok pembicaraan kesayangan buat Agafya Mikhailovna.
Perjalanan musim semi kali i n i agak lambat. Pada minggu-minggu terakhir masa puasa, cuaca terang dan dingin. Siang hari salju mencair terkena sinar matahari, tapi malam hari suhu mencapai tujuh derajat; kerak es sedemikian rupa hingga gerobak bergerak tak sesuai dengan jalan yang ada. Perayaan Paskah dilakukan di atas salju. Kemudian tibati b a pada hari P as kah kedua bertiup angin panas, awan berarak, dan tiga hari tiga malam turun hujan lebat. Hari Kamis angin mereda, kemudian bertiup kabut tebal kelabu, seakan menyibakkan rahasia perubahan yang terjadi di tengah-tengah alam. Di tengah-tengah kabut itu air mengalir, bungkah-bungkah es bergerak menghilir, alur-alur air yang keruh berbusa bergerak lebih cepat lagi, dari utara kabut bertiup ke Bukit Merah, awan berlar i seperti anak biri-biri, kemudian cuaca jadi terang, dan mulailah musim semi yang sesungguhnya. Pagi hari, matahari terang yang sedang nai k segera menelan lapisan es tipis yang menye l imuti air, dan udara hangat pun bergetar karena berlangsungnya penguapan bumi yang usang. Rumput tua dan rumput muda yang menjalar dengan tunas-tunas jarumnya kini menghijau. Kuncup-kuncup pohon bola salju, pohon kismis, dan pohon birk, menggelembung , dan di tengah-tengah rerantingan yang bergelimang warna keemasan mendengung suara lebah yang terbang keluar berkeliling. Burung lark yang tak terlihat bemyanyi riang di atas permadani hijau dan tunggul je ram i yang berselimutkan es, burung dians" meratap di atas paya dan rawa yang tergenang air warna coklat, dan tinggi di atas sana terbang burung bangau dan angsa disertai nyanyian musim seminya. Temak yang sudah rontok bulunya, yang hanya di sana-sini belum kehilangan warna bulunya, mulai melenguh di tempat penggembalaan. Anak biri-biri yang bengkok kakinya mulai bermain d i sekitar emaknya yang mengembikembik kehilangan embik anak-anaknya. Anak-anak manusia dengan kakinya yang cekatan berlarian di jalan setapak yang mulai mengering
51 Burung kaki dian: Semacam bu rung bangau.
penub kaki telanjang, suara gembira para perempuan yang tengab mencuci pakaian terdengar riub di kolam, dan suara kampak para petani yang sedang membetulkan bajak dan garu mengetuk-ngetuk di tiap pekarangan. Musim sem i yang sesungguhnya telab tiba.
XIII Levin mengenakan sepatu bot besar. Untuk pertama kalinya ia tak mengenakan mantel bulu, tapi baju poddyovka dari kain biasa, dan berangkat menengok tanah pertaniannya. Jalan kaki ia menyeberangi kali-kali kecil yang menyilaukan mata karena pantulan sinar matabari. Satu kali ia men ak es, kali lain mengi n jak lumpur liat.
Musim semi, musim men lsun rencana dan perhitungan. Sewaktu memasuki pekarangan, seperti balnya pobon di musim semi yang belum tahu ke mana dan bagaimana arah pertumbuhan pucuk dan cabang yang masih muda dan masih terbungkus kuncup yang sintal, Levin pun belum tahu pasti pekerjaan apa yang akan dilakukannya di tanah pertanian yang dicintainya, tapi ia sudah merasa punya banyak rencana dan perbitungan terbaik. Pertama-tama i a datangi ternaknya. Lembu-lembu telab dikeluarkan untuk mandi matahari. Bersinarlab bulunya yang rata dan berwarna pudar itu. Mereka melenguh minta dibawa ke ladang. Levin mengagumi lembu-lembu yang dikenalnya sampai sekecil-kecilnya, lalu memerin menggiring mereka ke ladang, kemud ian mengeluarkan anak-anaknya untuk di jemur. Gembala pun dengan gembira berlari menuju ke ladang. Para perempuan perawat ternak, sambil mengangkat rok, berjalan di lumpur dengan kaki telanjang yang masih putih belum terbakar sinar matabari, berlar i ke pekarangan sambil mengacungkan ranting kayu untuk menggiri ng anak-anak lembu yang meringkik dan berjingkrak riang dengan datangnya musim semi.
Gembira dengan pertumbuhan ternak tahun itu yang luarbiasa baik-anak-anak sapi yang pertama sudah sebesar sapi dewasa, dan anak si Pava yang baru umur tiga bulan sudah seperti bertahun-tahun-Levin menyuruh mengeluarkan palung buat mereka dan memberi jerami lewat jeruji. Ternyatajeruji di tempat penjemuran itu, yang dibuat pada musim gugur dan tidak dipakai selama musim dingin, telah rusak. D ipanggilnya tukang kayu, yang sesuai tugas.nya harus menjalankan mesin penebah gandum. Tapi ternyata tukang kayu tengah membetulkan garu, yang seharusnya sudab dikerjakan sej ak masa puasa dulu. Hal ini mengesalkan Levin. Mengesalkan, karena terulang lagi kecerobohan abadi dalam kerja pertanian yang sudah bertahun-tahun ia perangi dengan segala daya. Jeruji, yang sepengetahuannya memang tak diperlukan pada musim dingin, telah dipindahkan ke kandang kuda kerja dan di situ patah karena memang dibuat ringan untuk anak-anak sapi. Selain itu, garu dan semua alat pertanian yang telah diperintahkannya untuk d iperiksa dan dibe sejak musim dingin-dan untuk itu dengan sengaja dipekerjakan tiga tukang-tidak dikerjakan pula, sedangkan garu baru diperbaiki ketika saatnya diperlukan untuk menggaru. Levin menyuruh orang memanggil pengatur rumahtangga, tapi seketika itu pula ia pergi sendiri mencarinya. Pengatur rumahtangga yang hari itu berseri-seri seperti semua orang turun dari tempat menebah gandum mengenakan mantel kulit biri-biri berpelipir sambil mematah-matahkan jerami. "Kenapa tukang kayu tak ada di tempat menebah?"
"Kemarin mau saya laporkan: garu perlu dibetulkan. Sudah perlu membajak sekarang."
"Lalu musim dingin dulu apa lkerjanya?" "Jelas untuk apa Tuan butuh tukang kayu." "Di mana jeruji dari pekarangan anak sapi itu?"
"Sudah saya perintahkan untuk menyiapkannya. Apa perintah Tuan untuk orang-orang itu?" kata pengatur rumahtangga sambil mengayunkan tangan.
"Bukan orang-orang itu, tapi pengatur rumahtangga!" kata Levin naik darah. "Lalu untuk apa saya gaji Anda?" teriaknya. Tapi karena i a teringat cara itu si a-sia belaka, i a pun berhenti bicara di tengahtengah, dan hanya menarik napas dalam-dalam. "Lalu bagaimana, bisa menebar?" tanyanya sesudah diam sebentar.
"Sesudah Turkino, besok atau lusa bisa." "Dan semanggi?"
"Sudah saya panggil Vasilii dan Mishka; mereka sekarang menebar. Belum tahu apakah baik atau tidak tumbuhnya; tanah paya." "Berapa desyatin?"
"Enam." "Kenapa tidak semua?" teriak Levin.
Semanggi ditebar hanya enam desyatin, bukan duapuluh desyatin, ini lebih mengesalkan lagi. Menebarkan benih semanggi, menurut teori dan pengalamannya sendiri, hanya akan bai k hasilnya kalau dilakukan sedini mungkin, nyaris di atas salju. Walaupun demikian Levin belum pemah berhasil melakukannya sendiri.
"Tenaga tak ada. Apa perintah Tuan kepada orang-orang itu" Tiga orang tidak datang. Semyon misalnya .... "
"Mestinya Anda tarik tenaga jeram i." "Sudah saya tarik."
"Lalu di mana orang-orang itu?"
"Lima orang bikin kompot (maksudnya kompos). Empat orang mindahkan haver; mudah-mudahan tidak rusak, Konstantin Dm itr ich."
Levin tahu benar, "mudah-mudahan tidak rusak" itu berarti haver lnggris untuk bibit itu sudah rusak, jadi kembali mereka tidak mengerjakan apa yang diperintahkannya.
"Kan sudah saya bilang waktu puasa dulu, di bawah cerobong," teriaknya.
"Tenanglah, Tuan, semuanya akan kami kerjakan pada waktunya." Levin dengan marah mengayunkan tangannya, lalu berangkat ke lumbung untuk menjenguk haver, barn sesudah itu kembali ke kandang kuda. Haver belum rusak. Tapi para pekerja memindahkannya dengan sekop, padahal seharusnya bisa langsung dicurahkan ke lumbung bawah. Sesudah memberikan petunjuk cara melakukannya dan mengambil dua pekerja dari situ untuk menebarkan semanggi, Levin jadi tenang kembali dari kekesalannya terhadap pengatur rumahtangga. Hari begitu baik, tidak pantas marah-marah.
"Ignat!" serunya kepada kusir yang dengan menyingsingkan Iengan baju mencuci kereta di dekat sumur. "Pasang pelana .... " "Kuda yang mana, Tuan?"
"Kolpik boleh."
"Baik, Tuan." Sementara kuda diberi dipelana, Levin kembali me gil pengatur rumahtangga yang terlihat mondar-mandir di situ untuk berdamai dengannya; dan mulailah ia bicara dengan orang itu tentang berbagai pekerjaan musim semi yang sudah menanti dan rencana-rencana pertaniannya.
Pengangkutan pupuk dimulai lebih dini agar sebelum penyabitan yang pertama semua sudah rampung. Dengan bajak, d ibajaklah ladang yang lebih jauh letaknya terus-menerus supaya tidak ada tanah yang dibiarkan kosong. Hasil sabitan dibereskan bukan dengan bagi hasil, tapi dengan mengupah pekerja.
Pengatur rumahtangga mendengarkan dengan saksama, dan agaknya ia berusaha keras untuk bisa memahami petunjuk tuannya; tapi wajahnya memang tanpa harapan dan muram, wajah yang sudah dikenal Levin clan selalu membuatnya marah. Wajah itu mengatakan: "Semua itu baik, tapi terserah pacla Tuhan."
Tak acla yang lebih mengesalkan Levin claripada sikap itu. Tapi sikap sepert i itu memang umum pacla semua pengatur rumahtangga, si apapun yang pernah tinggal dengan clia. Semua punya sikap clemikian terhadap petunjuk-petunjuknya. Karena itu ia ticlak marah lagi, tapi i a merasa kesal clan merasa lebih terdorong lagi untuk berjuang melawan semacam lingkaran setan kekuatan alam yang tak bisa diberinya nama selain "terserah kepada Tuhan" itu, yang selamanya menentang dirinya.
"Mudah-mudahan kita masih sempat, Konstantin Dmitrich," kata pengatur rumahtangga.
"Kenapa pula tidak sempat?"
"Perlu dikerahkan sekitar limabelas pekerja lagi. Ini mereka tidak datang. Tadinya mereka bersedia, tapi untuk musim panas ini mereka minta tujuhpuluh rubel."
Levin terdiam. Kembali kekuatan itu menentangnya. Ia tahu, betapapun berusaha, tak mungkin iia sanggup mengerahkan pekerja lebih daripada empatpuluh orang, bahkan tigapuluh tujuh, tigapuluh delapan, dengan upah sekian itu; empatpuluh orang sudah dikerahkan, lebih claripada itu tak mungkin. Walaupun demikian tak mungkin baginya untuk ticlak berjuang.
"Cari ke Suri, ke Chefirovka, kalau mereka tidak datang. Mesti dicari."
"Cari memang cari," kata Vasilii Fyodorovich murung. "Tapi kudakuda sudah pada loyo."
" kita bell. Saya tahu," tambahnya sambil ketawa, "kalian ini makin Joyo dan makin buruk; tapi tahun ini tidak akan saya biarkan kalian kerja semaunya. Akan saya awasi sendir i semuanya."
"Sekarang saja kelihatan n kurang tidur. Tentu kami lebih senang dengan pengawasan Tuan .... "
"Nah, apa di sebelah sana Lembah Birk ditebari semanggi" Saya akan per iksa," katanya sambil menaiki si Kolpik kecil sawo matang yang disodorkan kusir kepadanya.
"Tuan tidak bisa menyeberangi sungai, Konstantin Dmitrich," kusir.
"Ya lewat hutanlah." Dengan kuda yang meligas gagah, kuda kecil yang sudah beristirahat lama dan terus mendengus-dengus di atas becekan-becekan air tiap kali kendalinya ditarik-tarik, Levin mulai melintasi pekarangan menuju ke luar pintu gerbang dan selanjutnya ke ladang.
Levin senang berada di pekarangan tempat ternak dan tempat ia tinggal, tapi i a lebih senang lagi berada di ladang. Ia senang menyaksikan pohon-pohon dengan lumutnya yang baru tumbuh, dan menyaksikan kuncup-kuncupnya yang melepuh. Ia terayun-ayun teratur di punggung kudanya yang meligas dengan jejaknya yang lebar seraya menghirup bau salju dan udara hangat segar ketika melintasi hutan di atas salju yang belum mencair dan di sana-sirri sudah hancur mencari jalan mengalir. Sesudah keluar dari hutan, di hadapannya sejauh mata memandang terhampar hutan hijau laksana permadani yang rata tanpa satu pun tempat yang kering atau tergenang, hanya di sana-sini, di tempat yang rendah, terdapat becekan-becekan sisa salju yang mencair. Ia tidak marah melihat kuda petani dan anaknya menginjak-injak tanamannya (ia menyuruh seorang petani yang dijumpainya untuk mengusir mereka), dan tidak marah pula mendengar jawaban bodoh bernada mengejek petani Ipat yang di jumpainya dan ditegurnya dengan kalimat: "Bagaimana, Ipat, sebentar lagi menebar, ya?"
"Ya harus dibajak dulu, Konstantin Dm itrich," jawab Ipat. Makin jauh ia pergi, makin giranglah dia, dan rencana-rencana pun terbayang di depan matanya, yang satu lebi h baik daripada yang la in: menanami seluruh petak tanah dengan tanaman jalar sepanjang sisi selatan, sehingga salju tak menumpuk lama di bawahnya; membagi tanah jadi enam petak berpupuk dan tiga petak cadangan bertanaman rumput; membuat pekarangan ternak di ujung ladang dan menggali kolam, sedangkan untuk tempat pemupukan dibuat pagar yang bisa dipindahpindahkan buat ternak. Maka nantinya bakal ada tigaratus desyatin tanaman gandum, seratus desyatin kentang, dan seratus limapuluh desyatin semanggi; tak ada satu desyatin pun tanah yang menganggur.
Dengan impian-impi an seperti itu, dan dengan bati-hat i membelokkan kudanya di atas pematang agar tidak menginjak tanaman, sampailah ia di tempat para pekerja yang tengah menebar semanggi. Gerobak pengangkut bibit tidak berdiri di luar petakan, melainkan di tanah bajakan, sehingga gandum tebaran musim dingin tergali roda-roda gerobak dan kaki-kaki kuda. Kedua pekerja itu tengah duduk di pematang, agaknya sedang menghabiskan rokok pipa yang diisap bersama. Tanah di gerobak untuk campuran bibit belum dilumatkan, masih menumpuk a tau menggumpal seperti bola. Melihat tuannya datang, V asilii si pekerja menghampiri gerobak, sedangkan Mishka mulai menebar. Semua itu tentunya tidak baik, tapi Levin jarang memarahi pekerja. Ketika Vasilii mendekat, Levin menyuruh dia membawa kudanya ke pematang. "Lumayan, Tuan, jalan juga," jawab Vasilii.
"Kamu tidak usah berfilsafat, n kata Levin. "Lebih baik kerjakan diperintahkan."
"Baik, Tuan," jawab Vasilii, lalu memegang kepala kuda. "Tebaran ini, Konstantin Dmitrich," katanya menjilat, "nomor satu. Cuma jalannya susah! Muatan satu pud, jalan menyeret pakai sepatu kulit ."
"Tapi kenapa tanah pupuk tidak kalian sebarkan?" kata Levin. "Sedang dilumatkan, Tuan," jawab Vasilii sambil mengambil bibit dan menggosok-gosokkan tanah di telapak tangannya.
Vasilii merasa tidak bersalab bahwa kepadanya diberikan tanab yang belum disebarkan, tapi bagaimanapun itu mengesalkan.
Sebagai orang yang sudah berulang kali berhasil menerapkan cara yang dikenalnya untuk menekan kekesalan dan mengubah semua yang burukjadi baik, sekarang pun Levin menggunakan cara itu pula. Melihat cara Mishka berjalan sambil menyeret gumpalan tanah melekat di kakinya, ia pun turun dari kuda, mengambil wadah bibit dari tangan Vasilii dan mulai menebarkan bibit itu.
"Tadi kamu berhenti di mana?"
Vasilii menunjukkan batas dengan kakinya, dan Levin pun mulai sedapat mungkin menyebarkan tanah bersama bibitnya. Jalan memang susah, seperti di atas rawa; melewati jalur ia sudah berkeringat dan berhenti menyerahkan wadah bibit.
"Nah, Tuan, maka musim panas nanti jangan marahi saya karena jalur ini," kata Vasilii.
"Kenapa?" kata Levin riang karena sudah merasakan sendiri cara yang digunakannya.
"Tuan bisa lihat sendiri musim panas nanti. Lain. Tuan boleh lihat tebaran saya musim semi yang lalu. Bagaimana tumbuhnya! Saya, Konstantin Dmitrich, rasanya sudah berusaba, seperti bapak kita. Saya tidak suka bikin jelek, dan tidak mau menyuruh orang lain bikin jelek juga. Jadi Tuan senang, dan kami juga senang. Kalau kita lihat ke sana itu," kata Vasilii sambil menunjuk ke ladang, "hati kitajadi riang."
"Musim semi ini bagus, V as ilii."
"Memang musim semi macam ini tak pernah diingat orangtua. D i tempat saya, orangtua menebar gandum tiga kali di musim di ngin. Ia bilang, tak ada bedanya dengan gandum hi tam."
"Apa kalian sudah lama menebar gandum?"
"Tuan sendiri yang mengajar saya sebelum musim panas waktu itu; dua petak Tuan korbankan buat . Seperempat Tuan jual, dan tiga perempat lagi Tuan tebari gandum musim ding in."
"Jangan lupa lumatkan gumpalan itu," kata Levin sambil menghampiri kudanya. "Dan awasi si Mishka. Kalau baik kerjamu, kamu bisa dapat limapuluh kopek per desyatin."
"Terimakasih banyak, Tuan. Rasanya kami senang sekali dengan Tuan."
Levin naik kudanya dan menuju ke ladang semanggi tahun sebelumnya, juga ke ladang yang telah dibajak untuk gandum musim semi.
Dilihat dari tunggulnya, semanggi tumbuh baik sekali. Semanggi itu telah tua, dan kini menghijau kembali dengan mantap d i tengah batangbatang gandum tahun lalu yang telah rebah. Kuda terbenam setinggi as roda; kaki-kakinya berkec ipak ktu keluar dari tanah yang setengah mencair. Berjalan melewati alur bajak sam tak mungkin; yang tinggal keras hanya di bekas es, sedangkan di tengah alur, kaki masuk sampai lebih tinggi daripada as roda. Pembajakan berjalan baik sekali; dua hari lagi bisa digaru, dan kemudi an ditebari bibit. Segalanya bai k sekali, dan semua gembira. Pulangnya Levin mengambil jalan melintasi kali dengan harapan air sudah surut. Dan benar, ia bisa melintas, mengagetkan dua ekor itik. "Tentunya ada ayam hutan juga di sini," piki dan kebetulan di jalan yang membelok ke rumah ia berjumpa dengan penjaga hutan, dan ini membenarkan dugaannya tentang ayam hutan itu.
Levin menderap pulang agar sempat makan siang dan menyiapkan senapan menjelang petang.
XIV Tiba di rumah dengan hati sangat riang, Levin mendengar suara lonceng d a r i pintu-masuk utama rumahnya.
"Ya, ini keretaapi," pikirnya. "Ini memang jadwal kedatangan kereta dari Moskwa .... Siapa itu gerangan" Bagaimana kalau itu Abang Nikolai" Bukankah ia mengatakan: Barangkali aku pergi ke sumber air panas, tapi mungkin juga ke tempatmu." Mula-mula ia merasa ngeri dan tak senang, karena kehadiran abangnya Nikolai akan membuyarkan keriangan dan kebahagiaan dirinya. Tapi kemudian ia merasa malu sendiri punya perasaan seperti itu, dan seketika itu pula i a, seakan membuka pelukan batinnya, dengan rasa gembira penuh haru menanti dan mengharapkan dengan segenap jiwa, mudah-mudahan yang datang adalah abangnya. Disentuhnya kudanya, dan begitu sampai di sebelah sana pohon akasi a, dilihatnya troikas" pos yang datang dari stasiun keretaapi, membawa seorang tuan yang mengenakan mantel bulu. Orang itu bukan abangnya. "Ah, alangkah gembiranya kalau itu orang yang menyenangkan, dengan siapa aku bisa bicara," pikimya.
"Aa!" seru Levin riang sambil mengangkat kedua tangannya ke udara. "Ini dia tamu yang menggembirakan! Oh, alangkah senangnya aku bertemu kamu!" serunya lagi, ketika sudah diketahuinya Stepan Arkadyicb.
"Sekarang aku bakal tahu apakab d ia sudah kawin atau kapan akan kawin," pikirnya.
Dan pada bari di musim semi yang indab itu i a pun merasa bahwa kenangannya pada Kitty t idak d i r asakannya menyakitkan.
"Bagaimana, tidak d isangka-sangka, ya?" kata Stepan cb sambil keluar dari kereta salju den,gan bercak-bercak lumpur di pangkal bidung, pipi, dan alls, tapi wajahnya berseri-se r i gembira dan sebat. "Aku datang menengok kamu-itu satu," katanya sambil memeluk dan mencium Levin. "Berburu burung butan-dua, dan menjual butan di Yergushov-tiga."
"Bagus sekali! Lalu apa pendapatmu tentang musim semi kali ini" Kenapa kamu naik kereta salju?"
"Naik gerobak lebih buruk lagi, Konstantin Dmitrich," jawab tukang kereta yang dikenalnya.
"Ya sudahlah, aku senang sekali bertemu kamu," kata Levin sambil tersenyum tulus, senyuman r iang kekanakan.
Levin mengantarkan tamunya yang barn datang ke kamar tamu; ke situ pula di angkut barang-barang Stepan Arkadyich: karung, senapan dengan sarungnya, kantong cerutu. Sementara meninggalkan tamunya untuk membasuh badan dan berganti pakaian, Levin pergi ke
52 T r oika (Rus): Kereta salju yang ditarik tiga ekor kuda.
kantornya untuk membicarakan soal pembajakan dan semanggi. Agafya Mikhailovna, yang selalu menangani urusan menghormati tamu di rumah itu, menemuinya di kamar depan dan mengajukan pertanyaanpertanyaan sekitar makan siang.
"Bi kin saja apa yang Anda mau, cuma cepat," kata Levin, lalu pergi menemu i pengatur rumahtangga.
ka ia kembali, Stepan Arkadyich yang sudah bersih, bersisi r, dan tersenyum berseri-seri keluar pintu, dan mereka berdua pun naik ke atas.
"Nah, bukan main senangku sampai di tempatmu! Sekarang aku tahu rahasi a apa sebetulnya yang kamu lakukan di sini. Tapi terus-terang, aku iri padamu. Bukan rumah ini, semuanya megah! Terang, gembira," kata Stepan Arkadyich; ia lupa bahwa tidak selalu ada musim semi dan hari-har i terang seperti sekarang ini. "Dan bibimu itu, bukan main! Lebih sip lagi kalau ada pelayan perawan molek mengenakan celemek; tapi buat kehidupanmu yang seperti pendeta ini, bibi tuamu itu lebib cocok."
Stepan Arkadyich bercerita banyak tentang berita-berita yang menarik, terutama berita yang menarik buat Levin, bahwa abangnya Sergei Ivanovich musim panas itu bermaksud berkunjung ke rumahnya.
Tidak sepatah kata pun disinggung oleh Stepan ch tentang Kitty atau keluarga Shcherbatskii; ia hanya menyampaikan salam dari istrinya. Levin berterimakasih sekali kepada dia atas sikap halusnya, dan i a pun merasa senang punya tamu seperti itu. Seperti biasa terjadi, selama ia mengasingkan dir i terkumpullah dalam dirinya serba pikiran dan perasaan yang tak bisa disampaikan kepada orang sekitar, dan sekarang semua itu ia curahkan kepada Stepan Arkadyich: tentang keriangan musim semi yang puitis, tentang kegagalan-kegagalan dan rencana-rencana pertaniannya, tentang gagasan-gagasan dan catatancatatan yang dipunyainya sekitar buku-buku yang sudah dibacanya, dan terutama gagasan tentang karangannya sendiri yang isi dasarnya, sekalipun ia sendiri tidak menyadarinya, merupakan kr itik terhadap semua karangan lama tentang pertanian. Stepan Arkadyich yang memang selalu bersikap baik dan mengerti segala ha!, sekalipun hanya lewat sindiran, kali itu bersikap luarbiasa baiknya, dan Levin pun merasakan dalam diri tamunya itu ada sikap hormat yang baru bernada memuji, bahkan sikap mesra terhadap dirinya.
Usaha Agafya Mikhailovna dan juru masak agar makan siang sukses,
berakhir dengan kedua sahabat yang telah lapar itu duduk menghadap makanan, menyikat roti dengan mentega, daging asap dan jamur asin yang dihidangkan, bahkan Levin minta di hidangkan sop tanpa pastel yang oleh juru masak memang dimaksudkan untuk memesona tamunya. Walaupun terbiasa dengan n siang jenis la in, Stepan Arkadyich merasa semua hidangan itu nikmat sekali: baik minumannya, rotinya, menteganya, daging asapnya terutama, jamurnya, sop kubisnya, daging ayam dengan saus putihnya, anggur putih krim-nya-semuanya amat nikmat dan mengesankan.
"Bukan main, b m a in," katanya sambil mengisap papiros gemuk, sesudah menyantap masakan panas itu. "Berkunjung di rumahmu ini seperti berlabuh di tepian yang tenang, sesudah naik kapalapi yang ribut penuh guncangan. Jadi, menurutmu, unsur pekerja mesti dipelajari dan dipimpin dalam memilih cara-cara melakukan pertani an. Aku dalam ha! ini awam; tapi menurut pendapatku, teori dan penerapannya akan berpengaruhjuga pada pekerja."
"Ya, tapi tunggu, aku tidak bicara tentang ekonomi politik, aku bicara tentang ilmu pertanian. Ini sama dengan ilmu pengetahuan alam la innya, kita harus memerhatikan gejala-gejalanya,juga pekerjanya, dari sudut ekonomi, etnografi .... "
Waktu itu masuklah Agafya Mikhailovna membawa manisan. "Nab, Agafya Mikhailovna," kata Stepan Arkadyich kepadanya sambil mencium ujung jarinya sendir i yang gemuk. "Bukan main daging asap itu, dan minuman itu! Lalu, apa belum waktunya ini, Kostya?" tambahnya.
Levin menoleh ke jendela, ke matahari yang sedang turun di sebelah sana puncak hutan yang meranggas.
"Sudah, ya, sudah," katanya. "Kuzma, siapkan kereta besar!" lalu berlari turun.
Stepan Arkadyich sendiri, sesudah turun, dengan hati-hati melepaskan sarung petinya yang berlal<, yang terbuat dari kain layar; dibukanya peti itu, lalu dikeluarkannya senapan yang mahal, model baru. Kuzma yang sudah mengharapkan bagian wodka yang akan d iberikan kepadanya tidak mau jauh-jauh dari Stepan Arkadyich; ia kenakan kaos dan sepatu Jars ke kaki Stepan Arkadyich sesuai permintaannya. "Kostya, kalau Ryabinin pedagang itu datang, terima dan suruh tunggu; aku suruh dia datang ke sini .... "
"Hutan kamujual pada R yabinin?"
"Ya, kamu kenal d ia, ya?"
"Tentu saja kenal. Dengan dia aku pernah punya urusan 'positif dan final'."
Stepan Arkadyich ketawa. 'Positif dan final' adalah kata-kata kesayangan pedagang itu.
"Ya, memang lucu sekali bicaranya. Anjing i n i tahu ke mana tuannya akan pergi!" tambahnya sambil membelai si Laska yang waktu itu membelit saja di sekitar Levin sambil merengek dan menjila t i tangan, sepatu, serta senapan tuannya.
Kereta sudah menunggu di dekat serambi ketika mereka berdua keluar rumah.
"Alm suruh si apkan walaupun tidak jauh; a tau barangkali mau jalan kaki?"
"Tidak, lebih bail< pakai kendaraan," kata Stepan Arkadyich sambil menghampiri kereta panjang itu. Ia pun duduk, menutupi kedua kakinya dengan selimut kulit macan, lalu mengisap cerutu. "Bagaimana bisa kamu tidak merokok! Cerutu itu bukan kenikmatan, melainkan mahkota dan tanda keni kmatan. Inilah hidup! Nikmat sekali! Oh, ingin sekali aku hidup macam ini!"
"Siapa yang melarang?" kata Levin tersenyum.
"Tidak, kamu ini orang yang bahag ia. Semua yang kamu c intai ada. Kamu senang kuda-ada, berburu-ada, pertanian-ada."
"Barangkali karena aku senang dengan yang kupunya, aku tidak bersedih dengan yang tidak kupunya," kata Levin yang waktu itu teringat Kitty.
Stepan Arkadyich mengerti itu; ia menatap Levin, tapi tidak mengatakan apa-apa.
Levin berterimakasih sekali kepada Oblonskii, karena Oblonskii samasekali tidak menyinggung soal keluarga Shcherbatskii karena sikap santun yang selalu ada padanya, dan karena tahu Levin takut dengan percakapan tentang itu; tapi sekarang Levin sudah ingin sekali mengetahui hal yang sangat m.enyiksanya itu, meskipun ia tak berani mulai bicara.
"Lalu bagaimana kabarmu send iri?" kata Levin, sesudah merasa bahwa sikapnya kurang baik, hanya memikirkan diri sendiri. Mata Stepan Arkadyich berkilau riang.
"Kamu kan tidak setuju ki.ta boleh menyenangi roti kalach meski sudah punya ransum takaran; menurut pendapatmu itu kejahatan;
sedangkan aku tidak mengakui hidup yang tanpa cinta," katanya, karena pemahamannya atas pertanyaan Levin lain. "Apa boleh buat, aku cuma seorang makhluk. Dan, betul i ni, sedikit sekali orang melakukan itu, padahal berapa banyak kesenangan yang bisa ki ta raih .... " "Apa memang ada yang baru lagi?" tanya Levin.
" Ada, Kawan! Begini saja, kamu kan tahu t ipe perempuan Ossi an ... perempuan yang bi asa kita lihat dalam mimpi.... Nah, perempuan macam itu ada juga di alam sadar... dan perempuan ma cam itu sungguh mengerikan. Perempuan, kalau kamu mau tahu, adalah benda yang seberapa jauh pun kita pelajari akan tetap jadi ha! yang baru samasekali."
"Kalau begitu, lebih baik tidak usah dipela jari."
"Tidak. Ada seorang ahli matematik mengatakan, kenikmatan bukan terletak pada saat menemukan kebenaran, melainkan dalam usaha mencari kebenaran."
Levin mendengarkan dengan diam; sekalipun berusaha keras, tak juga ia mampu menyelami jiwa sahabatnya itu dan memahami perasaan serta kesenangannya dalam mempelajari perempuan demikian itu.
Tempat berburu b g hutan itu tidakjauh, di dekat sungai, di tengahtengah hutan kecil pohon aspen. Setiba di hutan itu Levin turun dari kereta, kemudian membawa Oblonski i ke sudut lapangan yang berlumut dan bertanah padat serta sudah tidak bersalju. Ia sendiri kembali ke ujung yang lain, ke pohon birk kembar. Ia sandarkan senapannya ke cabang sebatang kayu sudah kering, dilepaskannya baju kaftannya, lalu bersiap-siap dan menguji kelenturan gerak tangannya.
Si Laska tua beruban berjalan mengikuti Levin, lalu duduk dengan terti b di depannya dan memasang telinga. Matahari turun di sebelah sana hutan lebat; diterangi sinar matahari senja, pepohonan birk yang tumbuh berpencar di tengah-tengah hutan pohon aspen tampak jelas dengan cabang-cabangnya yang menggelantung da n kuncup-kuncup daunnya yang sudah menggelembung siap mekar.
Dari dalam hutan lebat yang masih diselimuti salju terdengar air mengalir di kali-kali kecil yang berkelok-kelok. Burung-burung kecil mencicit, dan kadangkala terbang dari pohon ke pohon. Di tengah suasana hening terdengar gemerisik dedaunan tahun lalu yang diusik salju yang mencair dan rumput yang tumbuh.
"Bukan main! Terdengar dan terlihat tumbuhnya rumput!" kata Levin dalam hati dilihatnya daun aspen basah be a kelabu bergerak d i dekat kuncup-kuncup rumput yang masih muda. Ia berdiri, mendengarkan dan melihat ke bawah, sekali ke arah basah berlumut, sekali ke arah si Laska yang terns mendengar-dengarkan, sekali ke arah lautan mahkota hutan belum berdaun yang terhampar di hadapannya di sebelah sini gunung, dan sekali pula ke arah lang it buram yang diselimuti baris-baris awan putih. Burung rajawali terbang jauh tinggi di atas hutan di sana, tenang mengepak-ngepakkan sayapnya; rajawali yang lain terbang demikian juga ke arah yang sama, lalu menghilang. Burung-burung makin nyaring dan riuh berkicau di dalam semak. Takjauh dari sana burung hantu menggemakan suaranya. Laska bergidik, lalu dengan hati-hati mengambil beberapa langkah dan mulai mendengar-dengarkan sambil menelengkan kepala ke samping. Dari a rah sungai terdengar suara burung engkuk. Dua kali ia memperdengarkan engkuknya yang biasa, kemudian memperdengarkan suaranya yang serak, bergegas pergi dan bersembunyi.
"Bukan main! Sudah terdengar burung engkuk!" kata Stepan Arkadyich sambil keluar dari dalam semak.
"Ya, aku dengar," jawab Levin yang dengan rasa tak senang memecahkan keheningan hutan dengan suaranya yang menyebalkan d i r i sendiri. "Sebentar lagi."
Stepan Arkadyich kembali masuk ke dalam semak, sesudah itu Levin hanya melihat nyala api korek yang kemudian berubah ja d i hara merah papiros dan asap biru.
Klik! Klik! Terdengar suara senapan yang dikokang Stepan Arkadyich.
"Apa suara menjerit itu?" tanya Oblonskii, meminta Levin memerhatikan suara yang memanjang, seolah seeker anak kuda tengah berjingkrak meringkik dengan suara melengking.
"Tidak kenal suara itu" Itu kelinci jantan. Sudah, jangan omong lagi! Dengar, terbang!" kata Levin hampir berteriak sambil mengokang senapannya.
Terdengar decit lirih dari kejauhan, dan segera sesudah itu, saatsaat yang sudah amat dikenal seorang pemburu, dua detik kemudian, terdengar deci t yang lain, menyusul yang ketiga, dan sesudah decit ketiga itu suara desir pun mulai terdengar.
Levin melontarkan pandangan ke kanan, ke kiri, dan ke depan, ke langit yang biru keruh. Di atas pucuk teratas pohon aspen yang rimbun lembut, muncul seekor burung. Burung itu terbang langsung ke arahnya: bunyi desir serupa bunyi kain kaku disobek memanjang terdengar tepat di atas telinganya; paruh dan leher burung yang panjang itu sudah tampak, dan begitu menyandarkan badan, dari tengah semak-semak tempat Oblonskii berdiri, warna merah menyambar kilat; b g itu menukik seperti anak panah, kemudian membubung lagi ke angkasa. Kilat kembali menyambar dan terdengar hantaman. Dengan mengepakkan sayap, burung itu seolah mencoba bertahan di udara, tapi kemudian berhenti terbang, diam untuk sesaat, kemudian dengan berat jatuh menghantam tanah padat.
"Apa meleset?" teriak Stepan Arkadyich yang tak melihat apa-apa karena asap.
"Ini dia!" kata Levin sambi'J menunjuk Laska yang waktu itu menyodorkan burung yang sudah terbunuh itu kepada tuannya sambil menegakkan telinga dan mengibaskan ujung ekornya yang penuh bulu itu tinggi-tinggi dan melangkah perlahan seakan tersenyum. "Yah, aku senang kamu berhasil," kata Levin yang merasa iri, karena bukan d i a yang berhasil membunuh burung hutan itu.
"J elek li melesatnya laras kanan," jawab Stepan Arkadyich sambil mengisi lagi senapannya. "Shsh ... ada lagi!"
Dan benar, terdengar kembali decit-decit menusuk telinga, yang satu menyusul yang lain. Dua ekor burung hutan, sambil bennain berkejaran terbang di atas kepala kedua pemburu, kali ini tidak disertai desir, melainkan decit. Terdengar empat tembakan, dan seperti burung layang-layang, kedua burung hutan itu menukik cepat, lenyap dari pandangan mata.
Perburuan itu bagus sekali. Stepan Arkadyich berhasil membunuh dua ekor lagi, sedangkan Levin dua ekor, satu di antaranya tidak ditemukan. Hari mulai gelap. Bintang Venus yang terang keperakan di sebelah barat mulai bersinar dari balik pepohonan birk dengan cahayanya yang lembut, sementara jauh tin.ggi di timur sana bintang yang murung sudah bennan cahaya merah. Di atas kepala Levin gugusan Bimasakti tampak seperti bergelombang. Burung hutan sudah mula i berhenti terbang, tapi Levin memutuskan untuk menanti lagi sampai bintang Venus yang dilihatnya di bawah cabang pohon birk naik ke atas kepala, sampai gugusan Bimasakti terlihat terang d i mana-mana. Bintang Venus sudah pindah ke atas cabang, sementara Kereta Perang di tengah gugusan Bimasaksi dengan boomsa keretanya sudah kelihatan seluruhnya di Iangit biru tua , tapi Levin masih t et a p juga menanti. "Apa belum waktunya?" kata Stepan Arkadyich.
Di tengah hutan keadaan sudah sepi, dan tak seekor burung pun bergerak.
"Kita tunggu sebentar lagi," jawab Levin. "Terserahlah."
mereka berdiri terpisah sekitar limabelas langkah. "Stiva!" sekonyong-konyong kata Levin. "Kenapa tak kamu katakan, sudah kawin apa belum iparmu itu, atau kapan akan kawin?"
Levin merasa hatinya mantap dan tenang, sehingga menurut pikirannya, jawaban apapun tak bakal mengguncangkannya. Walaupun demikian ia samasekali tak menduga jawaban Stepan Arkadyich.
"Oulu maupun sekarang dia tak bermaksud kawin; dia sakit parah, dan dokter mengirimnya ke luar negeri. Orang bahkan mengkhawatirkan nyawanya."
"Ah, kamu ini!" seru Levin. "Sakit parah" Kenapa dia" Bagaimana
. " 1a .... Ketika mereka tengah bicara, Laska memandang ke langit sambil menegakkan telinga, dan dengan sikap mencela menatap kedua orang itu.
"Mereka masih punya waktu buat omong," pikimya. "Sedangkan burung terbang . . .. Nah, itu dia. Begitu saja dibiarkan lewat...," pikir Laska lagi.
Tapi saat itu pula kedua orang itu mendengar decit menusuk, seakan melecut telinga mereka kuat-kuat. Keduanya pun segera mencekau senapan, dua kilat menyambar, dan dua hantaman menggema bersamaan. Burung hutan yang terbang tinggi itu sekejap mengatupkan sayap dan jatuh ke tengah-tengah semak, menimpa semi-semi kecil.
"Hebat ! Serentak!" seru Levin dan terns berlari bersama Laska ke semak-semak mencari burung itu. "Ah, ya, apa yang terasa
53 Boom: Palang yang ada di kiri-kanan kuda pada kereta.
tidak menyenangkan tadi?" demikian ia mengingat-ingat. "Ya, ya, Kitty sakit .... Apa boleh buat, sayang sekali," pikimya.
"Aa, ketemu! Pintar sekali kamu," kata Levin seraya mengambil dari mulut Laska burung yang masih hangat itu, dan memasukkannya ke dalam tas buru yang sudah hampi r penuh. "Ketemu, Stiva!"
XVI Sekembali di rumah Levin bertanya semua hal tentang penyakit Kitty dan tentang rencana-rencana keluarga Shcherbatskii. Sekalipun ia malu mengakui, apa yang baru diketahuinya itu sungguh menyenangkan hatinya. Menyenangkan juga, karena masih ada harapan baginya, dan lebih menyenangkan lagi karena Kitty, orang yang telah membuatnya begitu menderita, sakit. Tapi ketika Stepan Arkadyich mulai bicara tentang penyebab sakitnya Kitty dan menyinggung nama Vronskii, Levin menukasnya:
"Terus-terang saja, aku tak berhak mencampuri seluk-beluk keluarga itu, dan juga tak berminat samasekali."
Stepan Arkadyich tersenyum tipis, karena ia bisa menangkap perubahan sekejap yang begitu dikenalnya di wajah Levin yang k ini murung, padahal semenit sebelumnya i a begitu riang.
"Apa sudah final urusan hutanmu dengn Ryabinin itu?" tanya Levin.
"Ya, final. Harganya baik sekali, tigapuluh delapan ribu. Delapan dibayar dulu, selebihnya dicicil selama enam tahun. Lama aku menghabiskan waktu buat mengurus ini. Tak ada lagi yang mau."
"ltu artinya, kamu berikan hutan itu cuma-cuma," kata Levin muram.
"Kenapa cuma-cuma?" kata Stepan Arkadyich tersenyum simpatik, karena ia tahu bahwa sekarang semuanya akan terlihat jelek di mata Levin.
"Karena harga hutan itu setidaknya limaratus rubel satu desyatin," jawab Levin.
"Ah, tuan-tuan tanah desa ini!" kata Stepan Arkadyich berkelakar. "Perhatikan hinaanmu terhadap saudara-saudaramu orang-orang kota itu ... , bagaimana mereka menyelesaikan urusan dagang. Mereka selalu bisa melakukannya dengan lebih baik. Percayalah, aku telah menghitung semuanya," katanya. "Dan hutan itu terjual sangat menguntungkan,
sampai-sampai aku khawatir, jangan-jangan orang itu akan menolak lagi. Ini kan bukan hutan yang baik kayunya, paling kayu bakar," kata Stepan Arkadyich; dengan kata-kata bukan hutan yang baik kayunya itu ia sungguh-sungguh hendak meyakinkan Levin bahwa sikap Levin yang meragukan dirinya itu tak benar. "Tak lebih daripada tigapuluh sazhen tiap desyatin, sedangkan dia kasih aku duaratus satu desyatin."
Levin tersenyum menghina. "Aku tahu," pikirnya. "Aku tahu bukan hanya sikapnya saja, melainkan sikap semua penduduk kota yang hanya dengan dua kali dalam sepuluh tahun berada di desa, dan mengenal duatiga kata desa, sudah menggunakan kata-kata itu, benar atau tidak, dan yakin bahwa mereka sudah tahu semuanya. Tidak disayangkan, cuma tigapuluh sazhen. Dia ucapkan kata-kata itu, tapi tak mengerti apaapa."
"Aku tidak akan mengajarmu tentang apa yang mesti kamu tulis di kantormu sana," katanya. "Malah kalau perlu, aku akan bertanya padamu. Tapi apa kamu begitu yakin bahwa kamu sudah paham seluruh seluk-beluk hutan" Ini sukar. Apa kamu sudah menghitung jumlah pohonnya?"
"Bagaimana itu, menghi tung pohon ?" kata Stepan Arkadyich sambil ketawa, masi h juga berusaha membebaskan sahabatnya itu dari suasana m g. "Biarpun akal yang maju ini mampu, tapi menghitung pasir dan cahaya planet .... "
"Betul, tapi aka! yang maju punya Ryabinin bisa. Dan tak seorang pedagang pun akan membeli tanpa menghitung, kecuali orang member i sesuatu padanya dengan cuma-cuma, seperti kamu. Hutan itu aku tahu. T i a p tahun aku berburu di sana, dan hutanmu itu harganya limaratus rube! uang kontan satu desyatin, sedangkan dia cuma kasih kamu duaratus dengan nyicil. Jadi kamu kasih dia hadiah kira-kira tigapuluh ribu."
"Ah, sudahlah, cukup kita ngelantur," kata Stepan Arkadyich murung, "tapi kenapa tidak ada orang yang mau?"
"Karena Ryabinin sudah bersekongkol dengan para pedagang lain; dan dia kasih uang ganti rugi. Aku punya pengalaman dengan mereka semua itu, dan aku kenal mereka. Mereka itu bukan pedagang, tapi tukang catut dan spekulan. Dia tak bakal mau urusan dagang yang cuma mendatangkan keuntungan sepuluh atau limabelas persen, tapi menunggu sampai bisa membeli dengan duapuluh kopek." "Ah, sudahlah! Kamu sedang tidak ang hati."
"Samasekali tidak," kata Levin murung, ketika mereka sudah dengan dengan rumah.
Di depan serambi sudah ada gerobak yang tersalut banyak besi dan kulit, ditarik kuda yang kenyang dengan abah-abah lebar. Di atas gerobak duduk pengatur rumahtangga selaku kusir Ryabinin; wajahnya merah, dan pinggangnya terikat erat. Ryabinin sendiri sudah masuk ke dalam rumah, dan menyambut kedua sahabat itu d i kamar depan. Ryabini n, lelaki setengah baya, tinggi agak kurus, berkumis, dagunya mendongak tercukur, dan matanya keruh melotot. Ia mengenakan jas panjang biru dengan kancing bawah pantat, sepatu Jars tinggi yang berkerut di pergelangan dan lurus di bagian betis, dan sepatu itu berlapis sepatu luar yang besar. Ia menyeka wajahnya berkeliling dengan saputangan, merapatkan jas meskipun sudah baik letaknya, dan sambil tersenyum menyapa kedua orang yang masuk: dengan mengulurkan tangan kepada Stepan Arkadyich seperti hendak menangkap sesuatu.
"Datang juga, ya?" kata Stepan Arkadyich seraya mengulurkan tangan. "Bagus sekali."
"Tak berani saya mengabaikan perintah yang mulia, meskipun jalan jelek sekali. Sebetulnya enak kalau jalan itu ditempuh dengan jalan
, tapi saya toh muncul tepat pada waktunya. Konstantin Dmitrich, hormat saya," ujarnya kepada Levin, dan berusaha menangkap pula tangan Levin. Tapi sambil mengerutkan dahi Levin pura-pura tak melihat tangan itu dan terus mengeluarkan burung hutan dari dalam tasnya. "Menghibur hati dengan berburu, ya" Burung apa ini?" tambah Ryabinin, yang dengan kesal memandang burung hutan itu, "boleh juga seleranya." Dan dengan wajah tak suka ia menggeleng-gelengkan kepala, seakan menyangsikan benar apakah itu ada gunanya.
"Mau ke kamar kerja?" kata Levin dalam bahasa Prancis kepada Stepan Arkadyich sambil mengerutkan dahi dengan wajah muram. "Silakan ke kamar kerja, di sana bisa bicara."
"Bisa di rnana saja, Tuan," kata Ryabinin menunjukkan harga dirinya dengan nada kesal, seakan dengan berkata dernikian ia ingin memberikan isyarat bahwa dengan orang lain barangkali akan timbul kesulitan tentang bagaimana dan dengan siapa berhubungan, tapi dengan d i a samasekali tak mungkin ada kesulitan.
Sambil masuk ke kamar kerja, Ryabinin menoleh ke sekeliling seperti kebiasaannya, seakan tengah mencari gambar orang suci, tapi ketika ditemukannya gambar orang suci, ia tak membuat tanda salib.
Ia melihat-lihat lemari dan rak serta buku-bukunya dengan sikap ragu, seperti waktu menghadapi burung hutan tadi, lalu tersenyum kesal dan dengan wajah tak senang menggeleng-gelengkan kepala karena menganggap semua itu sam tak berfaedah.
"Lalu bagaimana, bawa uangnya?" tanya Oblonskii. "Silakan duduk."
"Kita berdiri di sini bukan untuk uang. Saya datang untuk bertemu, untuk berunding."
"Apa lagi yang mau dirundingkan" Duduklah."
"Ya, ini boleh," kata Ryabinin sambil duduk dengan cara paling menyiksa diri dan sambil bertelekan pada punggung kursi. "Turunkan lagi, Pangeran. Bisa jadi dosa ini. Masalah uang sudah siap semua, sampai kopek terakhir. Untuk uang tak pemah ada masalah."
Levin, sementara itu, sudah memasukkan senapan ke lemari dan sudah keluar dari pintu, tapi mendengar kata-kata pedagang itu, ia berhenti.
"Anda dapat hutan itu cuma-cuma," katanya. "Dia datang terlambat menemui saya; kalau tidak, saya yang menyebut harganya."
Ryabinin berdiri, dan sambil tersenyum tanpa mengatakan apa-apa memandang Levin dari bawah ke atas.
"Kikir sekali Konstantin Dmitrich ini," katanya tersenyum kepada Stepan Arkadyich. "Tampaknya tak ada yang bisa kita beli dari beliau. Itu sama dengan Anda menjual gandum, lalu Anda kasih saya uang tunai."
"Buat apa saya berikan milik saya cuma-cuma kepada Anda" Saya kan tidak begitu saja panen, danjuga tidak mencuri?"
"Begini, sekarang ini mencuri jelas tidak mungkin. Sekarang ini semuanya lewat pengadilan terbuka, semuanya dengan jalan halus, bukan yang dinamakan mencuri. Kita bicara terus-terang. Kalau hutan itu dihargai mahal, saya tidak bakal untung. Jadi saya minta diturunkan harganya, biarpun sedikit."
"Jadi urusan Anda berdua ini sudah selesai atau belum" Kalau sudah selesai, tak perlu tawar-menawar lagi, tapi kalau belum selesai," kata Levin, "saya beli hutan itu."
Senyuman tiba-tiba lenyap dari wajah Ryabinin, digantikan ekspresi keras dan ganas seperti burung rajawali. Dengan jemari yang menonjol tulang-tulangnya i a buka cepat-cepat jas panjangnya, ia keluarkan kemeja dari celana, ia buka kancing rompi dan rantai arlojinya, lalu dengan cepat ia keluarkan dompet tuanya yang tebal.
"Maaf, butan itu saya punya," ujarnya sambil dengan cepat membuat tanda salib, lalu mengulurkan tangan. "Ambillah uang ini, butan itu saya punya. Begini Ryabinin berdagang, tidak menghitung uang kepengan," ujarnya sambil mengerutkan dahi dan melambaikan dompetnya.
"Kalau aku ini kamu, tidak akan aku terburu-buru," kata Levin kepada Oblonski i.
"Ah," kata Oblonskii heran. "Tapi kan aku sudah janji?" Levin keluar kamar sambil membanting pi ntu. Ryabi nin melibat ke arab pintu, dan sambil tersenyum menggeleng-gelengkan kepala.
"Begitulah orang muda, benar-benar masih kanak-kanak. Tapi percayalab, saya membeli sesuatu selalu dengan jujur. Jadi demi kehormatan semata kalau Ryabinin, dan bukan orang lain, membeli semak-semak dari Oblonskii. Cuma kalau Tuhan mengiz inkan, saya bisa meraib untung. Percayalah kepada Tuhan. Silakan. Silakan tuli s perjanjiannya .... "
Satu jam kemudian pedagang itu sudab merapatkan kbalatnya dan mengancingkan jas panjangnya, dan dengan perjanjian di kantong masuklab ia ke gerobak yang bersalut besi itu, lalu pulang.
"Bukan main tuan-tuan itu," katanya kepada pengatur rumahtangga, "jadi soal juga. n
"Begitulah memang," jawab pengatur rumahtangga sambil menyerabkan kendali gerobak dan mengeratkan celemek yang terbuat dari kulit. "Apa habis beli sesuatu, Mikhail lgnatich?"
"Nab, nab .... "
XVII Stepan Arkadyich dengan kantong menggembung berisi uang persekot tiga bulan dari pedagang itu masuk ke kamar atas. Jual-beli hutan sudah selesai, uang sudah di kantong, perburuan berlangsung baik sekali. Karena itu perasaan Stepan Arkadyich sekarang sedang senang. Karena itu pula ia ingin sekali menghilangkan sikap tak senang yang dilibatnya pada Levin. Ia ingin mengakbiri hari itu dengan makan malam secara menyenangkan, seperti ia mengawalinya.
Memang benar, Levin tengah tidak bersenang hati. Walaupun ingin benar bersikap ramab dan mesra iterhadap tamunya yang simpatik itu, ia tak bisa mengendalikan dirinya. Rasa setengah oleng akibat berita tentang belum kawinnya Kitty sedikit demi sedikit mulai menguasainya.
Kitty tidak kawin dan sedang sakit; sakit karena cintanya kepada orang yang telah menyia-nyiakannya. Penghinaan ini seakan menimpa dirinya. Vronski i menyia-nyiakan Kitty, dan Kitty menyia-nyiakan di rinya, menyia-nyiakan Levin. Dengan sendirinya Vronskii punya hak menghina Levin, dan karena itu Vronskii adalah musuhnya. Tapi soal itu semua tidak dipikirkan Levin. Samar-samar dia merasakan ada sesuatu yang menghinakan baginya, tapi sekarang i a marah bukan karena ada yang mengganggunya, melainkan karena kecewa dengan apa yang ada di hadapannya. Penjualan hutan yang bodoh, dan penipuan Oblonski i yang terjadi di rumahnya itu yang membuat Levin marah.
"Bagaimana, sudah selesai?" katanya ketika berjumpa dengan Stepan Arkadyich di atas. "Mau makan malam?"
"Ya, aku t idak menolak. Bukan main nafsu makanku di desa ini; luarbiasa! Kenapa Ryabinin tak kamu ajak makan?"
"Ah, persetan dengan dia!"
"Tapi cobalah pikirkan sikapmu terhadap dia itu!" kata Oblonskii. "Mengulurkan tangan pun kamu tidak sudi. Kenapa kamu tak mau mengulurkan tangan?"
"Karena pada pelayan pun tak pernah kuulurkan tangan, padahal pelayan seratus kali lebih baik."
"Kamu ini betul-betul reaksioner! Lalu bagaimana dengan pembauran lapisan masyarakat itu?" kata Oblonskii.
"Siapa mau membaur silakan, tapi bagiku itu memuakkan." "Alm perhatikan, kamu ini betul-betul reaksioner."
"Betul, tak pernah aku memikirkan siapa diriku ini. Alm adalah Konstantin Levin, lebih daripada itu tidak."
"Dan Konstantin Levin yang sedang tidak bersenang hati," kata Stepan Arkadyich tersenyum.
"Ya, betul, aku memang sedang kesal, dan tahu kamu, kenapa" Karena, maafkan kata-kataku, bodohnya penjualan yang kamu lakukan itu ... ."
Stepan Arkadyich mengerutkan dahi dengan sikap simpatik, seperti orang yang tanpa salah dihina dan diganggu.
"Sudahlah itu," katanya. ?"Kapan pernah terjadi orang menjual sesuatu, dan segera sesudah terjual, kepada si penjual tak d n: 'ltu jauh lebih mahal harganya!' Dan sementara barang itu mau di jual, tak seorang pun mau membelinya .... Tidak, aku perhatikan, kamu ini punya ganjalan terhadap Ryabinin malang itu."
"Barangkali juga begitu. Dan kamu tahu, karena apa" Kamu akan mengatakan lagi bahwa aku reaksioner, atau barangkali dengan kata lain yang lebih mengerikan; tapi bagaimanapun, aku kecewa dan tersinggung melihat di mana-mana terjadi pemelaratan golongan bangsawan, dan aku adalah bag ian golongan itu; biarpun sekarang terjadi pembauran lapisan masyarakat, aku senang jadi bagian dari golongan itu. Dan pemelaratan itu bukan akibat kemewahan-itu tidak apa-apa; hidup sebagai pangeran-itu memang urusan kaum bangsawan, dan hanya mereka yang bisa melakukannya. Sekarang petani di sekitar kita memborong tanah-itu bagiku tidak menyakitkan. Seorang bangsawan cuma menganggur, sedangkan petani bekerja dan mendesak orang yang tahunya cuma pesta. Memang seharusnya demikian. Dan aku senang melihat perkembangan p e tani. Tapi yang buatku sangat menyakitkan adalah melihat pemelaratan itu akibat-aku tak tahu apa namanyatiadanya kesalahan. Di sini ada orang Polan menyewa s e pa ru h harga tanah seorang nyonya yang tin l Nice. Di sini tanah yang nilainya sepuluh rubel per desyatin disewakan pada seorang p edagang dengan harga satu rubel. D i sini kamu tanpa alasan apapun menghadiahi penipu itu dengan uang t igapuluh ribu."
"Lalu" Mau dihitung tiap pohon itu?"
"Tentu saja mesti dihitung. Nah, itulah, kamu tidak menghitungnya, tapi Ryabinin menghitung. Anak-anak Ryabinin nantinya akan punya biaya hidup dan biaya pendidikan, sedangkan anak-anakmu barangkali tidak akan punya!"
"Tapi, yah, maatkan aku, rasanya ada yang sepele dalam hitunghitungan itu. Kita punya urusan, mereka pun demikian, dan mereka butuh keuntungan. Tapi, ya,jual-beli sudah terjadi, tutup sudah. Dan ini telur goreng. Telur goreng yang kusuka. Dan Agafya Mikhailovna nanti menghidangkan pada kita minuman yang luarbiasa itu .... "
Stepan Arkadyich duduk menghadap meja dan mulai berkelakar dengan Agafya Mikhailovna, dan mencoba meyakinkan perempuan itu bahwa sudah lama ia tidak makan siang dan makan malam sepert i itu.
"Kalau Tuan memu ji," kata Agafya Mikhailovna. "Kalau Konstantin Dmitrich, apapun yang yang dihidangkan, biarpun cuma kerak roti, dia makan, lalu pergi."
Betapapun ia berusaha me sai diri, tetap saja n murung dan diam. la perlu menga j ukan satu pertanyaan kepada Stepan Arkadyich, tapi ia tak sanggup mengambil keputusan, dan tak mampu menemukan


Anna Karenina Jilid 1 Karya Leo Tolstoi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bentuk, waktu, dan saat pertanyaan itu diajukan. Stepan Arkadyicb sudab turun dan masuk ke kamarnya, melepaskan pakaian, sekali lagi membasub badan, mengenakan kemeja malam yang berkerut-kerut serta membaringkan badan, tapi Levin masib juga berlambat-lambat di dalam kamar Stepan Arkadyich itu dan bicara tentang berbagai tetekbengek, tapi ia tak punya daya untuk menanyakan apa yang bendak ditanyakannya.
"Mengagumkan cara orang membuat sabun ini," katanya sambil mengamati dan membuka bungkus sabun wangi yang telah dipersiapkan buat tamu oleb Agafya Mikbail , tapi tak digunakan oleh Oblonskii. "Coba kamu perhatikan, betul-betul karya seni."
"Ya, memang usaha penyempurnaan sekarang ini sudah memasuki segala bidang," kata Stepan Arkadyich sambil menguap nikmat dan lembab. "Teater, misalnya, dan acara-acara hiburan itu ... a-a-a!'' ia pun menguap lagi. "Lampu listrik di mana-mana ... a-a-a!"
"Ya, lampu listrik," kata Levin. "Ya. Lalu, di man a Vronskii sekarang?" tanyanya tiba-tiba, dan meletakkan sabun.
"Vronskii?" kata Stepan Arkadyich menghentikan uapnya. "Ia di Petersburg. Ia pergi ke sana tak berapa lama setelah kamu pergi, dan setelah itu tak pernah muncul di Moskwa. Tahu tidak kamu, Kostya, ini aku katakan padamu terus-terang," sambungnya sambil bertelekan pada meja dan menopang wajahnya yang tampan kemerahan dengan tangan; dan wajahnya memancar sepasang mata mengantuk, simpatik, menyanjung, seperti bintang. "Kamu sendiri yang salah dulu itu. Kamu takut pada sa inganrnu. Aku sendiri, seperti kukatakan padamu waktu itu, aku sendiri tak tahu siapa di antara kalian yang punya kesernpatan lebih besar. Kenapa kamu tidak ngotot" Waktu itu kukatakan padamu bahwa .... " Ia menguap lagi hanya dengan rahangnya, tanpa membuka mulut.
"Dia tak tahu bahwa aku telah mengajukan lamaran?" pikir Levin sambil menatapnya. "Ya, terasa ada sifat licik, sifat diplomat, di wajahnya itu." Dan karena merasa wajahnya memerah, ia pun diam saja sambil menatap mata Stepan Arkadyich.
"Kalaupun ada apa-apanya di pihak Kitty, paling-paling waktu itu baru tertarik pada penampilan luar Vronskii," sambung Oblonskii. "Kalau kamu mau tabu, keningratannya yang sempurna dan kedudukannya di kalangan bangsawan di masa depan tidak menyilaukan Kitty, melainkan ibunya."
Levin mengerntkan dahi. Hinaan bernpa penolakan yang dialaminya itu menyala dalam hatinya, seolah Iuka barn yang barn saja dideritanya. Untung ia berada di rnmah sendiri, dan di rumah itu dinding-dinding membantunya.
"Tunggu, tunggu," ujarnya menukas Oblonskii. "Kamu bilang keningratan. Boleh aku bertanya, apa mutu keningratan Vronskii atau si apapun yang lain, hingga d i a berhak menyepelekan di riku" Kamu anggap Vronski i seorang ningrat, tapi aku tidak menganggapnya demikian. Orang yang ayahnya berasal entah mana dengan kelicikan, dan ibunya berhubungan entah dengan siapa saja .... Tidak, maaf, ta pi yang kuanggap ningrat adalah d ku sendiri, juga orang lain seperti diriku, yang bisa menunjuk ke belakang sampai tiga-empat generasi keluarga yang terhormat di masa lalu, yang semuanya pernah menempuh pendidikan tertinggi (bakat dan otak itu soal lain), dan tidak pernah di hadapan siapapun menjilat, tidak pernah membutuhkan siapapun, seperti ayahku dan kakekku. Dan aku kenal banyak orang seperti itu. Kamu merasa terhina aku menghitung pohon di hutan, sedangkan kamu menghadiahi Ryabinin dengan tigapuluh ribu; kamu menerima uang sewa dan entah apalagi aku tak tahu, sedangkan aku tidak menerimanya, karena itu aku menghargai sekali apa yang telah kan nenekmoyangku, yang didapat dengan kerja keras. ... Kami ini ningrat, dan bukan orang-orang yang hanya bisa hidup karena pemberian orangorang yang berkuasa di dunia ini, dan bisa dibeli dengan harga duapuluh kopek."
"Kamu i ni menyerang siapa" Alm setuju dengan kamu," kata Stepan Arkadyich tulus dan riang, walaupun ia merasa bahwa yang dimaksudkan Levin dengan dapat dibeli dengan harga duapuluh kopek adalah dia. Kemarahan n itu menyenangkan Stepan Arkadyich, . "Siapa yang kamu serang" Biarpun banyak yang tidak benar dalam kata-katamu tentang Vronskii, tapi bukan itu yang kubicarakan. Terusterang kukatakan padamu, kalau aku ini kamu, seharusnya kamu pergi denganku ke Moskwa dan .. . . "
"Tidak, tidak tahu aku, kamu tahu atau tidak, tapi buatku sama saja. Dan sekarang kukatakan padamu: aku sudah melamar dan ditolak, dan Katerina Aleksandrovna sekarang buatku hanya jadi kenangan yang berat dan membuat malu."
"Kenapa" Ha, ini omong-kosong!"
"Ya, tak usahlah kita bicara. Maaf kalau aku kasar padamu," kata n. Kini, sesudah ia mengatakan semuanya, ia kembali jadi orang yang tadi pagi. "Kamu tidak marah padaku kan, Stiva" Jangan marah padaku," katanya, dan sambil tersenyum ia pun memegang tangan Stepan Arkadyich.
"Ah, tidak, samasekali tidak, dan buat apa" Alm senang kita sudah sama-sama memberi penjelasan. Tapi kamu tahu tidak, berburu pagi hari kadang-kadang menyenangkan. Mau pergi tidak" Mau rasanya tidak tidur, langsung saja berburu ke stasiun."
"Itu baik sekali."
XVIII Walaupun seluruh kehidupan batin Vronskii telah dipenuhi nafsu, kehidupan luarnya tetap berjalan sesuai pola hubungan dan kepentingan keningratan serta kehidupan resimen seperti sebelumnya. Kepentingan resirnen rnenduduki ternpat penting dalarn hidup Vronskii karena ia rnenc intai resimen, dan lebih-lebih lagi karena di resimen itu ia dicintai semua orang. Di resimen itu orang bukan hanya mencintai dia, tapi juga menghormati dan membanggakannya; membanggakannya karena orang yang kekayaannya luarbiasa ini punya pendidikan dan kemampuan amat baik, dan jalannya terbuka ke berbagai macam sukses yang sangat berharga buat ambisi dan kebanggaannya. Namun ternyata ia mengabaikan semua itu, dan di antara segala kepentingan hidup itu, yang paling dipentingkannya adalah resimen dan persahabatan di dalamnya. Vronskii menyadari pandangan kawan-kawannya terhadap dirinya; ia adalah orang yang mencintai kehidupan, dan merasa dirinya wajib mendukung pandangan terhadap dirinya itu.
Dengan sendirinya ia tak bicara dengan siapapun di antara kawankawannya tentang hubungan cintanya, atau tanpa sengaja bicara rneski dalarn acara rninum-minum paling hebat sekalipun (memang ia tak pernah terlalu mabuk sampai hilang kendali atas dirinya); ia pun membungkam mulut sebagian temannya yang sembrono, yang mencoba mewanti-wanti dia tentang hubungan asmaranya. Tapi, walaupun hubungan asmaranya sudah diketahui belaka oleh seluruh kota-sedikitbanyak dugaan semua orang bahwa hubungan Vronskii dengan Karenina benar-sebagian besar orang muda mengiri kepadanya justru karena ada hal yang sangat berat sebelah dalam c inta Vronskii, yaitu tingginya kedudukan Karenin, dan karena itu hubungan asmara mereka amat mencolok di kalangan bangsawan.
Sebagian perempuan muda iri kepada Anna karena mereka sudah lama bosan mendengar Anna disebut adil. Kini mereka senang dengan menduga dan menanti-nanti bakal terjadi pembenaran atas berubahnya pendapat umum, sehingga kebencian betul-betul akan menimpa Anna. Kini mereka bukan hanya menyiapkan gumpalan kotoran yang bisa digunakan untuk melempar Ann a, bila waktunya telah tiba. Sebagian besar orang Ianjut usia dan mereka yang berkedudukan tinggi tidak suka skandal umum yang bakal terjadi i1tu.
Ibu Vronskii awalnya merasa senang mendengar hubungan anaknya itu, karena menurut anggapannya tak ada yang lebih bisa memberikan kesempurnaan hidup seorang pemuda berbakat selain hubungan di kalangan bangsawan tinggi. Ini karena menurut pemahaman Nyonya Graf Vronskaya, Karenina yang amat di sukainya dan telah banyak bicara tentang anaknya, bagaimanapun, sama dengan perempuan lain yang cantik dan terhormat. Tapi belakangan ini ia mendengar, anaknya menolak kedudukan penting yang diusulkan kepadanya hanya agar i a bisa tinggal di resimen, d i mana ia bisa senantiasa bertemu dengan Karenina. Ia pun tahu, tokoh-tokoh berkedudukan tinggi tak puas dengan anaknya karena sikap itu, dan karena itulah Nyonya Graf Vronskaya rnengubah sikap. la rnerasa tak senangjuga, karena dari yang diketahuinya, ternyata hubungan itu bukanlah hubungan yang cemerlang, anggun, dan ningrat yang kiranya bisa dimaklumi, melainkan semacam nafsu putusasa tanpa tujuan, seperti diceritakan orang kepadanya, yang bakal menceburkan anaknya ke dalam kebodohan. Ia tak pernah lagi melihat Vronskii sejak anaknya ini tiba-tiba pergi dari Moskwa. Melalui anaknya yang lebih tua i a minta agar Vronskii datang menemuinya.
Si abang juga tak puas dengan adiknya. Ia memang belum tahu macam apa cinta adiknya, cinta yang agung atau cinta cepengan, cinta nafsu atau bukan, cinta sesat atau bukan (sebagai orang yang punya anak, ia sendir i punya simpanan seorang penari. Karena itu dalam ha! ini ia bersikap rendah bati); ta pi ia tahu, cinta adiknya tidak rnenyenangkan orang yang seharusnya merasa senang. Karena itu ia t idak setuju dengan tingkah adiknya.
Selain kesibukannya dalam dinas dan di kalangan bangsawan, Vronskii punya kesibukan lain, yakni dalam perkudaan, dan dalam ha! ini ia seorang penggernar yang be angat.
Tahun ini sudah ditetapkan penyelenggaraan pacuan kuda dengan rintangan untuk perwira. Vronskii mencatatkan namanya untuk ikut pacuan itu, dan ia membeli seeker kuda ras Inggris. Meski tengah sibuk dengan urusan cinta, ia sangat berminat terhadap pacuan mendatang, bahkan dengan pen uh nafsu, meski terkendali ....
Kedua macam nafsu itu tidak saling mengganggu. Sebaliknya, ia membutuhkan kes ibukan dan hi buran agar tidak tergantung pada cintanya saja, dan dengan itu ia menyegarkan dan mengaso dari kesan-kesan yang sangat mengguncangkan.
XIX Pada hari penyelenggaraan pacuan Krasnoselsk itu Vronskii datang lebih dini daripada bi asanya dan makan bistik di ruangan makan perwira resimen. la tak perlu terlalu keras mengendalikan nafsu makannya, karena berat badannya kebetulan sama dengan yang telah ditetapkan, yaitu empat setengah pud; tapi ia memang tidak boleh terlalu gemuk. Karena itu ia menghindari makanan yang mengandung tepung dan yang manis-manis. la duduk dengan jas panjang terbuka sehingga rompi putihnya terlihat; ditelekannya tangan pada meja, dan sambil menanti bistik yang dipesannya ia tatap buku roman Prancis yang tergeletak di atas tatakan. Ia tatap buku itu hanya agar tidak perlu bercakap-cakap dengan para perwira yang keluar-masuk, dan ia berpi kir.
Ia memikirkan janji Anna bertemu hari itu sesudah pacuan. Tapi sudah tiga hari ini i a tak melihat Anna, dan akibat pulangnya suami Anna dari luar negeri, i a tak tahu apakah se pertemuan itu masih mungkin, dan ia tak tahu pula 'bagaimana caranya mengetahui hal itu. Terakhir ia bertemu Anna di bungalo saudara sepupunya, Betsy. la berusaha sejarang mungkin berkunjung ke bungalo keluarga Karenin. Sekarang ia ingin pergi ke sana, dan memikirkan bagaimana caranya.
"Tentu saja akan kukatakan padanya bahwa Betsy telah menyuruhku bertanya apakah Anna akan datang ke pacuan atau tidak. Tentu saja aku harus pergi," demikian diputuskannya sendiri sambil mengangkat kepala dari buku tadi. Dan membayangkan dengan gamblang kebahagiaannya bertemu dengan Anna, wajahnya pun berseri-seri.
"Pergi ke rumah dan siapkan cepat kereta troika," katanya kepada pelayan yang menghidangkan biistik panas di atas piring besar perak, lalu mendekatkan piring itu dan mula i makan.
Dar i kamar bola sodok di sebelah terdengar sodokan-sodokan bola,
percakapan orang, dan tawa mereka. Dari pintu-masuk muncul dua perwira; yang seorang masih muda, dengan wajah kurus lembek, yang belum lama masuk resimen mereka, Korps Page; yang lain perwira tua berbadan si ntal, mengenakan gelang tangan, matanya kecil menjorok.
Vronskii menoleh ke mereka, mengerutkan dahi, dan seakan tak melihat mereka, i a melirik bukunya, mulai makan dan membaca sekaligus.
"Wah, memperkuat badan sebelum kerja, ya?" kata si perwira sintal sambil duduk di dekatnya.
"Lihat sendiri," jawab Vronskii mengerutkan dahi, mengusap mulut tanpa memandang perwira itu.
"Apa tidak takut gemuk?" kata orang itu sambil membalik kursi untuk si perwira muda.
"Apa?" kata Vronskii marah sambil menunjukkan wajah muak, dan memperlihatkan g iginya yang perkasa.
"Apa tidak takut gemuk?"
"Hei, Bung, kasih kheres!"54 kata Vronskii tanpa menjawab, dan sesudah membalik halaman bukunya ia melanjutkan membaca.
Perwira sintal itu mengambil daftar anggur, katanya kepada perwira muda:
"Kamu pilih apa yang mau kita min um, "katanya sambil menyerahkan daftar itu dan menatapnya.
"Barangkali anggur Rhi ne," a si perwira muda sambil takut-takut melirik Vronskii dan mencoba menangkap kumisnya yang baru tumbuh. Melihat Vronskii tak menoleh, si perwira muda berdiri.
"Ayo ke kamar bola," katanya.
Si perwira sintal berdiri dengan patuh, lalu mereka menuju ke pin tu.
Waktu itu masuk Kapten Kavaleri Yashvin yang bertubuh tinggi dan tegap ke ruangan itu. Ia menghampiri Vronskii, sesudah menggerakkan kepalanya dengan nada benci ke arah kedua perwira tadi.
"Aa! Anda di sini!" serunya sambil memukul epolet Vronskii mantap dengan tangannya yang besar. Vronskii menoleh marah, tapi langsung wajahnya menyinarkan kelembutan tenang mantap yang memang jadi cirinya.
"Pintar, Alyosha," kata Kapten Kavaleri dengan suara bariton keras.
54 Kheres (Rus): Sejenis minuman keras dari buah anggur.
"Sekarang kamu boleh makan dan minum satu sloki." "Aku tidak ingin makan."
"Lihat itu dua sejoli," sambung Yashvin dengan nada mengejek memandang si kedua perwira tadi, yang waktu itu keluar dari ruangan. Kemudian ia duduk d i dekat Vronskii dengan melipatkan paha dan betis sehingga terlalu tinggi dibandingkan kurs i-kursi yang ada, dan celananya ketat. "Kenapa kemarin tak mampir ke teater K r asnensk" Penampilan Numerova sungguh tidakjelek. Ke mana kamu kemarin?" "Duduk-duduk di rumah keluarga Tverski i," jawab Vronskii. "Aa!" sahut Yashvin.
Yashvin adalah tukang judi, seorang perisau yang bukan saja tak tahu aturan, tapi juga punya kebiasaan tak bermoral. Di resimen ia sahabat terbaik Vronskii. Vronskii senang kepada dia karena kekuatan fisiknya yang luarbiasa, yang sebagian besar ditunjukkan lewat kemampuannya minum seperti drum dan kemampuannya tak tidur tapi tetap segar seperti biasa. Vronskii senang kepada dia juga karena kepribad iannya yang kokoh, yang diperlihatkannya dalam hubungan dengan para atasan dan sahabat, yang menyebabkan orang ngeri dan hormat kepadanya, juga karena dalam permainan judi i a memasang taruhan puluhan ribu, dan selalu main cerdik dan mantap sekalipun habis minum-minum, sehingga ia dianggap sebagai pemain terbaik di klub Inggris. Vronskii menghormati dan mencintainya terutama karena ia merasa bahwa Yashvin mencinta inya pula, bukan demi nama atau kekayaannya, tapi demi dirinya sendiri. Dan di antara semua orang yang dikenalnya, hanya dengan dia Vronskii ingin bicara tentang hubungan asmaranya. Walaupun tampaknya Yashvin membenci semua perasaan yang ada pada manusia, Vro:nskii merasa, hanya Yashvin seorang yang agaknya bisa memahami nafsu besar yang kini begitu menguasai hidupnya. Selain itu Vronskii pun yakin, Yashvin barangkali sudah tak bisa memperoleh kesenangan dengan bergunjing dan membuat skandal, tapi ia bisa memahami perasaan itu sebagaimana patutnya, artinya tahu dan percaya bahwa cinta bukanlah lelucon, bukan pula permainan, melainkan sesuatu yang lebih serius dan lebih penting daripada itu.
Vronskii tak pernah bicara dengan Yashvin tentang urusan cintanya, tapi ia tahu Yashvin pasti mengerti semuanya, dan ia senang melihat semua itu sudut pandang temannya.
"Ah, ya!" katanya mengomentari Vronski i yang mengatakan bahwa ia telah berkunjung ke rumah keluarga Tverskii. Sambil memainkan matanya yang hitam, ia mulai memelintir kumisnya sebelah kiri dan memasukkannya ke dalam mulut. Uulah kebiasaan jeleknya.
"Lalu, apa yang kamu kerjakan kemarin" Menang, ya?" tanya Vronskii.
"Delapan ribu. Tapi yang tiga bermasalah, barangkali tak bakal dibayar."
"Kalau begitu kamu bisa menanggung kekalahan atas namaku," kata Vronski i ketawa. (Yashvin memegang taruhan besar dengan uang Vronskii.)
"Tak bakal aku kalah. Cuma Makhotin yang berbahaya." Kemudian percakapan beralih pada pacuan, karena kini memang hanya peristiwa itu yang bisa dipikirkan Vronskii.
"Ayo, aku sudah selesai," kata Vronskii, dan ia pun berdiri, lalu menuju ke pintu. Yashvin juga ikut berdiri, mengembangkan kakinya yang sangat besar dan punggungnya yang panjang.
"Buatku, makan siang terlaJu dini, tapi minum perlu sekarang. Sebentar lagi aku datang. Hei, anggur!" teriak Yashvin dengan suara yang terkenal bernada komando, pekat, dan membuat kaca bergetar. "Ah, tidak, ti dak usah," seketika itu pula kembali ia berteriak. "Kalau kamu pulang, aku ikut kamu."
Dan ia pun berangkat bersama Vronskii.
Vronksii berdiri di tengah-tengah rumah Chukhon yang Japang dan bersih, disekat jadi dua. Petr itskii juga tinggal bersamanya. Petritskii sedang tidur sewaktu Vronskii dan Yashvin masuk.
"Bangun, tidurnya cukup," kata Yashvin sambil melintasi penyekat dan mendorong bahu Petritskii yang tak keruan keadaannya dan membenamkan hidungnya ke bantal.
Petritskii langsung bangkit berlutut, dan menoleh.
"Abangmu barn dari sini," katanya kepada Vronskii. "Dia bangunkan aku, setan betul dia itu. Katanya mau datang lagi." Dan sambil mengembangkan kembali selimutnya, ia Iemparkan diri ke bantal. "Lepaskan, Yashvin," katanya marah kepada Yashvin yang waktu itu langsung menarik selimutnya. "Lepaskan!" Kemudian ia membalik tubuhnya dan membuka mata. "Lebih baik kamu bilang, apa yang akan kita minum; mulut begini asam, sampai .... "
"Paling baik wodka," kata Yashvin dengan suara bas. "Teresbchenko! Ambil wodka buat Tuan, sama t imun," teriaknya; ia agaknya suka mendengar suaranya sendiri.
"Wodka, betul, ya" A?" tanya Petritski i sambil mengerutkan dahi dan mengusap matanya. "Kamu mau minum" Kalau begitu kita sama-sama minum! Vronskii, kamu mau minum?" kata Petritskii sambil i r i dan menggulungkan selimut kulit macan ke tubuhnya.
Ia keluar ke pintu penyekat, mengangkat tangannya, lalu mulai menyanyi dalam bahasa Prancis: "Raja Pernah di Tu-u-la". "Vronskii, kamu mau minum?"
"Pergi sana," kata Vronskii. sesudah mengenakan jas panjang yang di sodorkan pesuruh.
"Ini mau ke mana?" tanya Yashvin kepada Vronskii. "Nah, ini troika datang," tambahnya ketika dilihatnya kereta datang.
"Ke kandang kuda, dan masih perlu lagi ke rumah Bryanskii menanyakan seal kuda," kata Vronskii.
Vronskii memang berjanji ke rumah Bryanskii yangjauhnya sekitar sepuluh werst55 dari Petergof untuk menyampaikan uang kuda; dan ia ingin menyempatkan diri ke sana. Tapi kedua temannya itu langsung mengerti bahwa ia bukan hanya akan ke sana saja. Petritskii, sambil terus menyanyi, mengejap-ngejapkan mata dan memonyongkan bibirnya, seakan berkata: tahulah kami, Bryanskii macam apa.
"Awas, jangan sampai ter'lambatl" hanya itu kata Yashvin; dan untuk mengubah percakapan, katanya: "Bagaimana anak nakalku itu, baik tidak kerjanya?" tanyanya sambil menoleh ke jendela, ten tang kuda tarik yang dijualnya.
"Tunggu!" seru Petritskii kepada Vronskii yang sudah keluar. "Abangmu menitipkan surat buat kamu, juga catatan kecil. Tapi tunggu, di mana itu tadi?"
Vronskii berhenti. "Mana dia" Itu pertanyaannya!" ujar Petritskii bermegah sambil mengangkat jari telunjuk ke atas dahi.
"Cepat sebutkan, jangan bodoh!" kata Vronskii tersenyum. "Pemanas tidak kunyalakan. Entah di mana itu tadi." "Ah, sudahlah, cukuplah berbohong! Mana itu?" "Tidak, ini betul-betul lupa. Apa barangkali aku tadi cuma bermimpi"
55 t (Rus): Ukuran jauh, setara dengan 1,06 km.
Tunggu, tunggu! Gampang saja marah! Kalau kamu seperti aku kemarin, menenggak empat botol sampai ludes, tentu kamu sudah lupa di mana kamu berbaring. Tunggu, aku ingat-ingat!"
Petritskii menyeberangi pintu penyekat dan berbaring di tempat tidurnya sendiri.
"Tunggu! Alm tadi berbaring begini, dan dia berdiri. Ya-ya-ya-ya .... Ini dial" Dan Petritskii pun menarik surat dari bawah kasur tempatnya menyembunyikan surat itu.
Vronskii mengambil surat dan catatan kecil dari abangnya. Tepat seperti dugaannya, itu adalah surat dari ibunya yang marah karena i a tidak datang, dan catatan kecil dari abangnya, i sinya menyatakan bahwa i a perlu bicara. Vronskii tahu, semua itu sama saja maksudnya. "Apa hubungannya dengan mereka!" pikir Vronskii, lalu ia meremas suratsurat itu dan meyelipkannya di antara kancing jas panjangnya agar bisa dibaca dengan saksama sambil jalan nanti. D i serambi rumah ia bertemu dua perwira, yang satu dari resimen sendiri, yang lain dari resimen lain. Flat Vronskii memang selalu jadi sarang perwira.
"Ke mana?" "Ada perlu, ke Petergof."
"Kudanya sudah datang belum, Tsarskoye?" "Sudah. Tapi belum kulihat."
"Kabamya, Gladiator milik Makhotin pi ncang."
"Omong-kosong! Tapi bagaimana kalian melompat di tempat becek itu?" kata yang lain.
"Ini dia juru selamatku!" seru Petrinskii melihat orang-orang masuk, di depannya berdiri kacung memegang baki berisi wodka dan timun asinan. "Ini, Yashvin menyuruh minum, supaya segar."
"Kebetulan kamu kasih kami tugas kemarin," kata seorang yang datang, "sepanjang malam tidak bisa tidur."
"Tidak, kita akhiri malam itu dengan hebat!" cerita Petritskii. "Volkov naik ke atap, bilangnya sedih. Aku bilang: Mainkan musik, mars pemakaman! Jadinya ia t idur pulas di atap dengan mars pemakaman."
"Minum, minum wodka pasti, lalu air Seiter dan lemon banyakbanyak," kata Yashvin sambil berdiri dengan posisi lebi h tinggi daripada Petritskii, seperti seorang ibu yang memaksa anaknya minum obat, dan kemudian minum sampanye sedikit, "nah, kasih sini botolnya." "Itu namanya pintar. Tunggu. Vronskii, ayo minum." "Tidak, selamat tinggal, Tuan-tuan, sekarang aku tidak minum." "Kenapa, kamu sakit, ya" Yab, kita sajalab. Ayo air Seiter dan lemon."
"Vronskii!" teriak seseorang sewaktu ia sudab di serambi. "Apa?"
"Kamu mestinya sudab bercukur, bikin berat saja, terutama di bagian yang botak."
Vronskii memang mulai botak sebelum waktunya. Ia pun ketawa gembira memperlihatkan giginya yang perkasa, lalu keluar dan duduk di dalam kereta, sesudah menggeser topinya ke bagi an yang botak.
"Ke kandang kuda!" katanya, lalu dikeluarkannya kedua surat itu untuk dibaca, tapi kemudian ia mengubab keputusan agar perhatiannya tidak menyeleweng sebelum ia melihat kuda. "Nanti sa ja!. .. "
XXI Kandang kuda darurat berupa gubuk dar i papan itu dibangun dekat sekali dengan hipodrom; ke situlab tentunya kemarin kudanya dibawa. Ia belum lagi melihat kuda itu. Hari-hari terakhir itu ia tak pernah membawa sendir i kudanya jalan-jalan, tapi di serabkan kepada pelatih. Karena itu i a samasekali tak tabu bagaimana jadinya, dan bagaimana keadaannya. Belum lagi ia kel ar dari kereta, tukang kuda (groom), seorang bocab yang demikian juga namanya, sudab memanggil pelatib; dari jauh ia sudah melihat kereta itu. Orang Inggris itu bertubuh kurus, mengenakan sepatu lars tinggi dan jaket pendek, dan berjenggot sedikit. Ia keluar menyambut; gaya jalannya sepert i joki-joki lainnya, dengan menonjolkan sikunya.
"Bagaimana kabar si Fru-Fru?" tanya Vronskii dalam bahasa Inggris.
"All ri ght, Sir, semua heres, Tuan," ujar orang Inggris dengan suara entah di mana dalam tenggorokannya. "Sebaiknyajangan datang dulu," tambabnya sambil mengangkat topi. "Baru saya kenakan berangus, dan ia sedang gelisah. Lebih baik jangan datang dulu, kuda bisa tidak tenang."
"Tidak, tapi saya mau masuk. Saya ingin menengok." "Silakan," kata orang Inggris, tetap tanpa membuka mulut dan mengerutkan dahi; kemudian, sambil mengayunkan siku, ia berjalan lebih dulu dengan gaya seperti menggeliat.
Mereka masuk ke halaman kecil barak. Petugas yang berjaket
meriah dan masih muda menyambut para tamu sambil memegang sapu, kemudian mengikuti mereka. D i dalam barak itu berd iri lima ekor kuda sesuai kandang masing-masing. Vronskii tahu, di sini pula sekarang tentunya berada pesaingnya terberat, Gladiator milik Makhotin yang berbulu kerangga mencapai lima vershok.s6 Vronskii ingin melihat kudanya sendiri, tapi lebih daripada itu i a ingin melihat Gladiator yang belum ah dilihatnya; Vronskii tahu, menurut hukum sopan-santun perkudaan, i a tak boleh melihat kuda itu, dan juga t idak sopan bertanyatanya tentang kuda itu.
Ketika ia berjalan di sepanjang gang barak, anak itu membuka pintu ke arah kandang kedua di sebelah kiri, dan terlihatlah oleh Vronskii kuda besar warna kerangga berkaki putih. la tahu, itulah Gladiator, tapi dengan sikap orang yang mengalihkan tatapan orang lain dari surat yang terbuka, ia pun berbalik dan menghampiri kandang Fru-Fru.
"Di sini kuda Ma-k. .. Mak . .. , tak bisa saya mengucapkan nama itu," kata orang Inggris sambil menoleh dan menunjukkan kandang Glad iator dengan ibujarinya yang berkuku kotor.
"Punya Makhotin" Ya, ini saja pesaing saya paling serius," kata Vronskii.
"Kalau Tuan naik kuda ini," orang Inggris, "tentu sayajagokan
." "Fru-Fru lebih gugup, tapi dia lebi h kuat," kata Vronskii tersenyum karena dipuji kemampuannya naik kuda.
"Kalau dengan rintangan, yang penting cara naiknya, juga plucknya," kata orang lnggris.
Pluck, yaitu energi dan keberanian, oleh Vronskii bukan hanya dirasakan memadai; lebih daripada itu ia merasa amat yakin bahwa di dunia ini tak mungkin ada pluck yang lebih besar daripada yang dimilikinya.
"Apa Tuan yakin betul tidak perlu bantalan sadel lebih besar?" "Tidak perlu," jawab orang Inggris. "Saya minta Tuan tidak bicara terlalu keras. Kudajadi gelisah," tambahnya sambil mengayunkan kepala ke arah satu kandang yang tertutup; mereka berdiri di depan kandang itu, dan dari situ terdengar gerak kuda di atas jerami.
Ia membuka pintu, dan Vronskii masuk ke kandang yang mendapat penerangan sedi k i t dari satu jendela kecil. Di dalam kandang itu berdiri
56 Vershok (RusJ: Ukuran panjang, setara dengan 4.4 cm.
kuda warna merah tua dengan moncong terberangus sedang memilihmilih jerami dengan kakinya. Sesudah meninjau kandang setengah terang itu, tanpa disadarinya Vronskii sekali lagi secara sepintas-lintas meni l ai semua segi kuda yang dic intainya. Fru-Fru kuda yang tingginya sedang; dilihat dari semua segi, i a betul-betul tanpa cela. Seluruh kerangka tulangnya sernpit; sekalipun tulang dada jauh menjorok ke depan, dadanya sendi ri s-empit. Pantatnya agak menggantung, sedangkan depan, dan terutama belakang, sangat mengkar. Otot-otot belakang dan depan tak terlalu besar; tapi di tempat tali perut, tubuh kuda itu luarbi asa lebar, sehingga dalam keadaan menahan diri dan ramping seperti sekarang ini, ia tampak sangat mencolok. Dilihat dari depan, tulang-tulang kaki di bawah lutut lebarnya seakan tak lebih daripada sejari, tapi u dilihat dari samping tampak luarbiasa lebar. Terkecuali tulang rusuk, kuda itu seluruhnya seakan tergencet dari samping dan tertarik ke dalam. Tapi kuda itu punya nilai sangat tinggi yang memaksa orang melupakan semua kekurangannya; nilai itu adalah darah-nya, darah yang bicara, demik ian ungkapan Inggrisnya. Otot-otot yang menonjol tajam dari bawah jaringan urat, yang menyebar di dalam kulitnya yang tipis, mudah bergerak dan merata seperti kain satin, tampak sama kokohnya dengan tulang. Kepalanya yang kokoh, dengan rnata yang cerlang gernbira itu, melebar di bagian lubang hidungnya yang menonjol dengan selaput yang memperlihatkan darah di dalamnya sewaktu kuda itu mendengus. Melihat penampilan seluruh tubuh kuda itu, terutama sorot matanya, terungkap kepastian, kekuatan, dan sekaligus kelembutan. Kuda adalah salah satu binatang yang agaknya tak mampu bicara karena mekanisme mulutnya memang tak memungkinkannya bicara.
Setidak-tidaknya Vronskii merasakan, kuda itu mengerti semua yang ia rasakan ketika dia menatapnya.
Begitu Vronskii mendekat, kuda itu menarik napas dalam sambil mengerlingkan matanya yang melotot sedemikian rupa, sehingga putih matanya tampak dialiri darah, sedangkan sisi lain ia memandang orang-orang yang baru masuk sarnbil mengguncang-guncangkan berangusnya, dan dengan l mengangkat kakinya bergantian. "Nab, Tuan lihat sendiri, dia gelisah," kata orang Inggris. "O, Sayang! O!" kata Vronskii sarnbil rnendekat dan mernbujuknya. Tapi makin dekat Vronskii, makin gelisah kuda itu. Hanya Vronski i mendekati kepalanya, kuda itu langsung tenang, dan otot-otot bergetar di bawah bulunya yang tipis halus. Vronskii membelai lehernya yang kuat, membetulkan berkas bulu tengkuk yang melengkung ke sisi lain bahunya yang tajam, dan mendekatkan wajahnya ke arah lubang hidung kuda yang menjulur tipi s seperti sayap kelelawar. Kuda itu dengan suara keras menghirup dan mengembuskan udara lubang hidungnya yang meregang, menggetarkan badannya, lalu menelengkan telinganya yang tajam ke tanah dan menjulurkan bibirnya yang kokoh hitam ke arah Vronskii, seakan hendak menangkap lengan bajunya. Tapi ketika mengingat berangusnya, i a guncang-guncangkan berangus itu, dan kembali i a menginjak-injakkan kakinya yang lancip bergantian.
"Tenang, Sayangku, tenang," kata Vronskii sambil membelai lagi pantat kuda itu, dan dengan riang karena kudanya dalam keadaan sangat baik ia pun keluar dari kandang.
Kegelisahan kuda itu menjalar pada Vronskii; ia merasa darah membanjir ke jantungnya, dan seperti kudanya, ia pun ingin bergerak dan menggigit; keadaan demikian luarbiasa dan gembira.
"Nab, saya percayakan pada Anda," katanya kepada orang Inggris. "Pukul enam tigapuluh ada di tempat."
"Semua beres," kata orang Inggris. "Ke mana Anda pergi sekarang, my lord?" tanyanya; tanpa disangka-sangka i a menggunakan sebutan my lord yang tidak pernah digunakannya.
Dengan heran Vronskii sedikit mengangkat kepala, dan menatap sebisa-bisanya, bukan ke mata orang Inggris itu, melainkan ke dagunya, karena heran akan keberaniannya mengajukan pertanyaan demikian. Tapi karena ia tahu bahwa orang Inggris itu mengajukan pertanyaan tersebut karena memandang dia sebagaijoki, dan bukan sebagai pemilik kuda, ia pun menjawab:
"Saya perlu ke Bryanskii; satu jam lagi saya ada di rumah." "Berapa kali padaku diajukan pertanyaan itu!" kata Vronskii dalam hati, dan wajahnya pun memerah, suatu hal yangjarang terjadi padanya. Orang Inggris menatap dia dengan saksama, dan seakan mengerti ke mana Vronskii akan pergi, sambungnya:
"Yang penting, perlu tenang menjelang pacuan," katanya, "jangan sampai tanpa semangat, danjangan ada rasa kecil hati."
"All right," jawab Vronskii sambil senyum; ia melompat ke kereta, dan menyuruh jalan ke Petergof.
Belum lagi beberapa langkah berjalan, bertiup awan yang sejak pagi mengancam, dan hujan deras pun iturun.
"Berat!" pikir Vronskii, menaikkan atap kereta. "Sudah becek, sekarang akan jadi pula." Duduk sendirian di dalam kereta tertutup, ia pun mengeluarkan surat dari ibunya dan catatan kecil dari abangnya, lalu membaca.
Ya, semua ini urusan yang itu-itu juga. Semua, ibunya, abangnya, merasa perlu ikut campur dalam urusan hatinya. Campur-tangan ini menimbulkan kemarahan dalam hati, suatu perasaan yang jarang dipunyainya. "Apa urusan mereka" Kenapa mereka menganggap berkewajiban mengurusi aku" Dan kenapa mereka mengusikku" Karena mereka melihat ini hal yang tak bisa dimengerti" Kalau sekiranya ini hubungan bangsawan biasa yang tak pantas itu, tak bakal mereka menggangguku. Mereka merasa ini sesuatu yang la in, sesuatu yang bukan main-main, tapi ini urusan perempuan yang buatku lebih berharga daripada h idupku sendiri. Dan ini tak mereka pahami, dan membuat mereka kesal. Bagaimanapun nasib ini, sekarang atau nanti, kami telah memilihnya, dan kami tak menyesalinya," katanya, dan dengan kata kami itu ia menyatukan dirinya dengan Anna. "Tidak, mereka harus mengajar kami bagaimana mesti hidup. Pengertian tentang apa yang di namakan bahagia pun mereka tak punya, dan mereka tak tahu bahwa tanpa cinta buat kami tak ada bahagia, dan tak ada kebahag iaan, tak ada hidup," pikirnya.
la marah kepada semua orang itu justru karena dalam h a t i ia merasa bahwa mereka, semua mereka itu, benar sekali. la merasa, cinta yang mengikatnya dengan Anna itu bukan sekadar rangsangan sesaat yang akan segera hilang seperti hilangnya hubungan keduniawian yang tak meninggalkan jejak lain dalam hidup mereka selain kenangan yang menyenangkan dan yang tak menyenangkan. la merasakan segala siksa dirinya dan diri Anna karena posisi mereka; ia merasakan sulitnya menyembunyikan cinta mereka, sulitnya membohong dan menipu,justru karena posisi mereka yang mencolok di mata kalangan bangsawan yang merupakan kalangan mereka; padahal membohong, menipu, mengakali, dan memikirkan orang lain mereka lakukan ketika nafsu yang mengikat mereka berdua demikian kuat, sehingga mereka lupa semuanya kecuali c inta mereka.
Dengan jelas ia teringat peristiwa yang amat sering terjadi, yaitu perlunya membohong dan menipu, yang buat dirinya sangat memuakkan; teringat pula ia dengan sangat jelas perasaan malu yang bukan hanya satu kali tampak di wajah Anna karena harus menipu dan membohong. Dan ia pun punya perasaan aneh yang sejak berhubungan dengan Anna terkadang muncul dalam d irinya. Itulah perasaan muak terhadap sesuatu: apakah itu terhadap Aleksei Aleksandrovich, terhadap diri sendiri, atau terhadap seluruh dunia, i a tak tahu dengan pasti. Tapi i a selalu mengusir perasaan aneh itu dari dalam hatinya. Dan sekarang, sesudah bergidik, ia teruskan jalan pikirannya itu.
"Ya, Anna Dan untuk pertama kali terpikir olehnya dengan terang perlunya menghentikan kebohongan itu, dan makin cepat makin baik. "Buang kebohongan itu, dan bersembunyilah di suatu tempat, berdua saja dengan c inta ini," katanya pada diri sendiri.
XXII Hujan tidak lama turun, dan ketika Vronskii sampai di tempat tujuan dengan derap kuda tengah dan kuda-kuda samping yang d itariknya mencongklang di atas becekan tanpa tali kendali, matahari kembali bersinar; sementara itu atap-atap bungalo dan pohon-pohon lipa57 tua di kebun di kedua sisi jalan utama berkilauan b h karena air hujan; dari ranting-rant ing pohon, air menetes-netes riang, dan dari atas atap, air mengucur. la sudah tak lagi memikirkan rusaknya hipodrom karena hujan; ia sekarang senang karena berkat hujan barangkali i a bisa menjumpai Anna sendirian di rumah, karena ia tahu Aleksei Aleksandrovich belum pulang ke Petersburg sesudah kembali dari sumber air.
Dengan harapan bisa menemukan Anna sendirian, seperti selalu dilakukannya agar tidak terlalu menimbulkan perhatian orang, Vronskii turun dari kereta sebelum menyeberangi jembatan, kemudian berjalan kaki. Ia bukannya berjalan langsung ke beranda, melainkan ke pekarangan.
"Tuan sudah datang?" tanyanya kepada tukang kebun. "Belum. Nyonya ada. Silakan masuk dari beranda; di sana ada yang membukakan pintu, n jawab tukang kebun.
57 Lipa (Rus): sejenis pohon bunga.
"Tidak, saya lewat kebun saja."
Dan dengan keyak inan bahwa Anna tengah sendir ian, dan berharap bisa mengejutkannya, karena i a tidak berjanji akan berkunjung sekarang, dan Anna pun agaknya tidak menyangka bahwa ia akan berkunjung menjelang pacuan, Vronskii pun masuk sambil mengepit pedangnya dan dengan hati-ha t i melangkah di jalanan berpasir yang diapit bungabungaan menuju ke teras yang menghadap kebun. Vronskii kini sudah lupa semua yang tadi dipikirkannya di jalan, yaitu tentang posisi nya yang berat dan sukar. Yang dipikirkannya kini hanya satu, sebentar lagi ia akan melihat Anna, bukan dalam angan-angan, tapi dalam kenyataan, melihatnya dalam hidup yang sebenar-benarnya. Ia sudah masuk, melangkah lebar-lebar agar tidak berisik sewaktu melewati anaktangga teras yang melandai, tapi tiba-tiba ia teringat sesuatu yang memang selalu dilupakannya, sesuatu yang merupakan hal paling menyiksa dalam hubungannya dengan Anna, yaitu anak Anna dengan tatapan mata yang menurut tangkapannya selalu tampak bertanya-tanya dan menjengkelkan.
Anakitu lebihseringjadi penghalanghubungan mereka dibandi ngkan orang lain. Kalau anak itu ada, baik Vronski i maupun Anna tidak akan membic sesuatu yang kiranya tidak bisa diulangi di hadapan orang banyak; bahkan dengan isyarat sekalipun mereka tak bakal bicara tentang sesuatu itu, yang tidak dimengerti oleh si anak. Mereka ua tidak membicarakan soal itu, namun membiarkannya saja. Menipu anak itu mereka anggap menghina sendiri. Di hadapan anak itu mereka bicara sebagai kenalan. Tapi, walaupun sudah mengambil sikap hati-hati seperti itu, sering Vronskii melihat tatapan mata anak itu penuh dik, penuh tanda tanya kepada dia; Vronskii pun melihat sikap takut-takut yang aneh, sikap berubah-ubah, kadang mesra, kadang dingin dan malu terhadap dirinya. Seolah anak ?"tu merasa, antara orang itu dan ibunya ada suatu hubungan penting yang maknanya tak bisa ia mengerti.
Peta Rahasia Lembah Kutukan 2 Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja Circa 2

Cari Blog Ini