Ceritasilat Novel Online

Atas Nama Kehormatan 1

Atas Nama Kehormatan In The Name Of Honor Karya Mukhtar Mai Bagian 1


P endahuluan M uKHTAR M AI ADALAH SEORANg PEREMPuAN PETANI miskin Pakistan berusia tiga puluh dua tahun. Dia tinggal di Meerwala, sebuah desa kecil di bagian selatan Punjab yang berdekatan dengan perbatasan India.
Ketika para wartawan memberitakan bahwa dia telah dijatuhi hukuman oleh dewan adat di desanya dengan cara diperkosa secara massal, kisah mengeri - kan tersebut kemudian menjadi berita utama di seluruh dunia. Meskipun Mukhtar Mai buta huruf dan tampak lemah, tapi dia adalah seorang perempuan pemberani. Dia menjadi perempuan pertama di negara nya yang berhasil merebut kembali ke - hormatan nya dengan cara menyerang balik tradisi barbar yang hampir saja membinasakannya.
Aku bersama para kolegaku melakukan perjalanan sangat melelahkan menuju desa Meerwala yang terpencil. Di sana kami mendapat sambutan hangat dari Mukhtar Mai dan temannya, Naseem Akhtar. Mereka sangat terkesan dengan kedatangan
kami jauh-jauh dari Prancis untuk menawarkan kerja sama ke pada Mukhtar Mai dalam penulisan sebuah buku, yakni buku yang akan turut membantu perjuangannya. Setelah berdiskusi selama beberapa jam akhir nya kami menyepakati bahwa buku tersebut akan diterbitkan di Prancis, dan dia sendiri akan datang ke Prancis dalam rangka peluncuran buku tersebut.
Marie-Th"r"se Cuny, seorang penulis yang telah lama memperjuangkan hak-hak perempuan, tiba di Meerwala beberapa minggu kemudian. Satu-satunya bahasa yang dikuasai Mukhtar Mai adalah bahasa Saraiki. untungnya, Mustapha Baloch dan Saif Khan mau memberikan bantuan yang tak ternilai. Dengan ke mampuan berbahasa Prancis dan Saraiki, Mustapha Baloch dan Saif Khan ber hasil memfasilitasi kola - borasi antara Marie-Th"r"se Cuny dan Mukhtar Mai dengan cara mener jemah kan percakapan kedua perempuan tersebut.
Hari berganti hari, dari terbit matahari hingga larut malam, Marie-Th"r"se Cuny dengan sabar mendengarkan penuturan Mukhtar Mai mengenai kehidupannya: cerita tentang masa kecilnya, peng - alaman pahit akan penderitaan yang dialaminya di tangan dewan adat, dan usahanya yang tiada henti untuk memperjuangkan keadilan. untuk pertama kali nya, perempuan muda Pakistan ini bercerita secara rinci dan penuh ketegasan kepada dunia luar
mengenai penderitaan yang dialaminya, dan juga turut dialami para perempuan di negaranya yang telah menjadi korban dari adat-istiadat yang menginjak-injak kehormatan mereka.
Marie-Th"r"se Cuny menuangkan penuturan Mukhtar Mai dalam buku ini. Demi memastikan agar kata-kata yang digunakan dalam buku ini sesuai dengan maksud yang ingin disampaikan oleh pengarangnya, kami kembali ke Pakistan untuk membacakan isi buku ini kepada Mukhtar Mai yang mendengarkannya dengan penuh emosi. Dia sangat seksama mendengarkan penuturan Marie-Th"r"se Cuny sebagaimana halnya dulu ketika Marie- Th"r"se Cuny mendengarkan kisahnya. Mukhtar Mai sangat tidak menyangka bahwa kata-katanya benar-benar diwujudkan menjadi sebuah tulisan, dan perjuangannya akhirnya dituangkan dalam sebuah buku. Dia menunjukkan persetujuannya dengan membubuhkan inisial MM pada bagian bawah setiap halaman manuskrip ini.
Pada Januari 2006, setelah bertemu dengan Menteri Luar Negeri Prancis, Mukhtar Mai berkesempatan untuk berbicara mengenai hak-hak perempuan di sebuah tempat yang didedikasikan untuk perjuangan hak-hak asasi seluruh umat manusia: Place des Droits de l Homme, Paris.
M enuju P erjalanan P anjang
P ADA MALAM HARI TANggAL 22 J uNI 2002, KELuARgA kami membuat sebuah keputusan.
Aku, Mukhtaran Bibi, seorang perempuan petani miskin dari kasta gujar yang tinggal di Desa Meerwala, akan menjadi seseorang yang menghadapi sebuah klan lokal yang berpengaruh dan agresif, para petani dari kasta Mastoi yang kuat. Atas nama keluargaku, aku harus memohon peng - ampunan dari mereka.
Pengampunan atas adik laki-lakiku Shakur yang dituduh oleh kaum Mastoi telah berbicara dengan Salma, seorang perempuan muda dari klan mereka. Shakur hanyalah seorang anak laki-laki yang baru berusia dua belas tahun, sementara Salma berusia lebih dari dua puluh tahun. Kami sekeluarga yakin bahwa adikku tidak melakukan kesalahan apa pun. Namun jika kaum Mastoi telah memutuskan se - baliknya, maka kami kaum gujar harus mematuhi tuntutannya. Begitulah yang selama ini terjadi.
Ayah dan pamanku telah menjelaskan situasi ini kepadaku.
Mullah (pemimpin) kita, Abdul Razzak, tidak tahu harus bagaimana lagi. Kaum Mastoi memiliki suara mayoritas di dewan adat, dan mereka semua menolak tawaran rekonsiliasi. Mereka bersenjata. Paman dari ibumu dan Ramzan Pachar, seorang sahabat kaum Mastoi, telah melakukan berbagai cara untuk menenangkan para anggota dewan. Kita hanya memiliki satu kesempatan terakhir: seorang perempuan gujar harus memohon pengampunan dari klan mereka. Dari semua perempuan yang ada di keluarga kita, kami memilih engkau.
Mengapa aku" Yang lainnya masih terlalu muda untuk me laku - kan hal ini. Suamimu telah menceraikanmu, kau tidak memiliki anak dan kau mengajarkan al-Quran. Kau perempuan terhormat!
Matahari telah lama terbenam, namun sampai saat ini aku hanya diberi secuil informasi mengenai penyebab perselisihan pendapat yang serius yang terjadi pada hari ini. Kaum lelaki di Dewan Jirga, dewan adat kami, telah melakukan pertemuan se - lama beberapa jam hingga saat ini, dan hanya mereka lah yang tahu pasti mengenai alasan meng - apa aku yang harus maju di hadapan pengadilan adat untuk meminta pengampunan.
Shakur telah menghilang sejak siang hari. Yang
kami tahu, siang hari tadi dia masih berada di per - kebunan tebu yang terletak tidak jauh dari rumah kami, namun malam ini dia ditahan di kantor polisi yang berjarak tiga mil dari desa kami. Aku men - dengar dari mulut ayahku sendiri bahwa adikku telah dipukuli.
Kami menyaksikan kejadian saat polisi membawa Shakur keluar dari farmhouse milik kaum Mastoi. Tubuhnya berlumuran darah dan pakaiannya tercabik-cabik. Polisi membawa Shakur dalam keadaan kedua tangannya diborgol. Mereka tidak mengizinkan aku untuk berbicara kepadanya. Aku telah mencarinya ke mana-mana, sampai akhirnya aku menjumpai seorang lelaki di atas pohon palem, yang sedang memotong dahan-dahan pohon itu. Lelaki itu memberitahuku bahwa dia menyaksikan saat Shakur diculik oleh Kaum Mastoi. Di desa, orang-orang mulai memberitahuku bahwa kaum Mastoi menuduhnya telah mencuri dari per kebunan tebu mereka.
Kaum Mastoi sangat berpengalaman dalam mengambil tindakan pembalasan dendam seperti itu. Pemimpin klan mereka yang kuat mengenal banyak orang berpengaruh, dan mereka adalah orang-orang kejam, yang memiliki kemampuan untuk memasuki rumah siapa saja secara paksa dengan menggunakan senjata untuk melakukan tindakan pencurian, pe - mer kosaan, dan penghancuran rumah. Kaum gujar
yang berkasta rendah tidak memiliki hak untuk menentang mereka, dan tidak ada se orang pun di keluargaku yang berani pulang ke rumah.
Dengan otoritas keagamaan yang dimilikinya, Mullah menjadi satu-satunya orang yang berhak melakukan intervensi dalam kemelut ini, namun semua usaha yang dilakukannya untuk membebas - kan adik laki-lakiku ternyata sia-sia. Karena itu ayah - ku mengirimkan surat pengaduan kepada pihak kepolisian. Merasa sangat marah karena ada seorang petani miskin gujar berani menentang mereka de - ngan mengirimkan polisi ke muka pintu rumah mereka, kaum Mastoi yang sombong kemudian mengubah cerita mereka: sekarang mereka menuduh Shakur telah memerkosa Salma. Mereka menuduh adik laki-lakiku telah melakukan perbuatan zina. Di Pakistan, zina sama berdosanya dengan melakukan pemerkosaan, berhubungan seks dengan seseorang yang bukan suami atau istrinya, atau melakukan hubungan seks tanpa ikatan perkawinan. Sebelum menyerahkan adik laki-lakiku, kaum Mastoi me - nuntut agar dia ditahan, dan mereka bersikeras jika di bebaskan dari tahanan, maka dia harus dikem - balikan dalam pengawasan klan Mastoi. Berdasar - kan hukum syariah Islam, perbuatan zina dapat di - kenakan hu kuman mati. Karenanya, pihak ke polisi - an menahan Shakur atas dua hal, yakni dia di tuduh telah melakukan kejahatan serius dan, disamping itu,
untuk melindunginya dari keberingasan kaum Mastoi yang ingin mengadilinya dengan cara-cara mereka sendiri. Seluruh penduduk desa telah mengetahui semua kejadian ini sejak awal sore tadi, dan ayahku telah menitipkan para perempuan di keluargaku di rumah-rumah para tetangga demi keselamatan mereka. Kami tahu, kaum Mastoi selalu mengarahkan tindakan pembalasan dendam mereka kepada seorang perempuan dari kasta yang lebih rendah. Di sinilah tempat perempuan untuk mempermalukan dirinya sendiri dengan memohon peng - ampunan di hadapan seluruh penduduk laki-laki desa yang berkumpul dalam Dewan Jirga di depan farmhouse milik kaum Mastoi.
Meskipun jarak farmhouse mereka hanya sekitar tiga ratus yard dari farmhouse kami, namun baru kali ini aku benar-benar melihatnya: tembok-temboknya yang mengagumkan dan sebuah teras yang diguna - kan untuk mengawasi daerah-daerah di sekitarnya, seakan-akan merekalah pemilik bumi ini.
Mukhtaran, bersiap-siaplah, dan ikutlah dengan kami.
Malam itu, aku sama sekali tidak menduga bahwa jalan yang kami tempuh dari farmhouse kami yang kecil menuju farmhouse kaum Mastoi yang lebih megah akan mengubah hidupku selama nya. Takdir akan menentukan panjang atau singkatnya perjalanan yang kutempuh. Jika para lelaki dari klan
Mastoi menerima permohonan maafku, perjalanan itu akan menjadi singkat. Meskipun misi yang ku - emban sangat berbahaya, aku menjalaninya dengan penuh percaya diri. Aku beranjak pergi, mendekap kitab suciku erat-erat. Al-Quran akan melindungiku.
Ayahku membuat satu-satunya keputusan yang masih memungkinkan. Aku berusia dua puluh delapan tahun, dan aku tidak bisa membaca atau menulis karena tidak ada sekolah untuk para perempuan di desa kami. Namun, aku telah belajar cara membaca sebagian ayat-ayat al-Quran. Dan semenjak percerai - anku, aku telah mengajarkan ayat-ayat al-Quran kepada anak-anak di desa kami secara sukarela. Itulah kehormatanku. Dan, itulah kekuatanku.
Aku melangkahkan kakiku menyusuri jalan tanah tak beraspal, diikuti ayah dan pamanku serta ghulamnabi, seorang sahabat dari kasta lain yang selama ini berperan sebagai penengah dalam proses negosiasi di Dewan Jirga. Mereka sangat meng - khawatirkan keselamatanku, dan pamanku bahkan sempat enggan turut bersamaku. Namun aku terus berjalan dengan penuh keyakinan, seperti keyakinan seorang anak kecil. Aku tidak melakukan tindakan kejahatan. Secara pribadi, aku tidak melakukan kesalahan apa pun. Aku percaya kepada Tuhan, dan sejak perceraianku aku selalu menjalani kehidupan - ku dengan penuh kepatuhan dalam kesendirian yang damai bersama keluargaku. Tiada seorang pun
yang pernah berbicara buruk me ngenai diriku, tidak seperti yang mereka bicarakan mengenai perempuan-perempuan lain. Salma, misalnya, dikenal sebagai perempuan yang kurang sopan: dia selalu mengeluarkan ungkapan pedas dan suka keluyuran. Dia pergi ke mana pun dan kapan pun sesuka hatinya. Jadi, mungkin saja kaum Mastoi se ngaja memanfaatkan keluguan adik laki-lakiku untuk menutup-nutupi sesuatu yang melibatkan Salma. Meskipun demikian kemungkinannya, tetap kaum Mastoilah yang berhak memutuskan sementara kaum gujar harus mematuhinya.
Malam hari pada bulan Juni masih menyisakan hawa panas di siang hari. Burung-burung lelap tertidur, begitu pun kambing-kambing. Di suatu tempat, terdengar suara anjing menggonggong di tengah-tengah kesunyian yang menyelimuti langkah-langkah kakiku, sebuah kesunyian yang lambat laun berubah menjadi suara kegaduhan yang samar-samar terdengar. Begitu aku melanjutkan perjalanan, aku mulai dapat mendengar suara orangorang yang sedang marah. Sekarang aku dapat me - lihat sosok mereka yang diterangi cahaya lampu di pintu masuk menuju farmhouse kaum Mastoi. Ada sekitar lebih dari seratus laki-laki berkumpul di dekat masjid, mungkin jumlahnya mencapai seratus lima puluh orang, dan mereka umumnya berasal dari kaum Mastoi. Merekalah yang mendominasi
Dewan Jirga. Bahkan seorang Abdul Razzak pun, yang notabene mullah desa kami, tidak mampu menentang mereka. Aku berusaha mencarinya di tengah-tengah kerumunan banyak orang, tapi dia tidak berada di sana. Pada saat itu, aku tidak menyadari bahwa be berapa anggota Dewan Jirga tertentu telah me ning galkan dewan setelah me nun - juk kan ketidaksetujuannya atas cara-cara yang di - tempuh kaum Mastoi dalam mengatasi permasalah - an ini. Sekarang, kaum Mastoi-lah yang memegang kendali.
Di hadapanku, aku melihat pemimpin klan Faiz Mohammed, yang lebih dikenal sebagai Faiza, didampingi oleh empat orang laki-laki lainnya: Abdul Khaliq, ghulam Farid, Allah Dita, dan Mohammed Fiaz. Mereka dipersenjatai beberapa senapan dan sebuah pistol yang dengan cepat diarahkan kepada para lelaki dari klanku. Kaum Mastoi mengayun-ayunkan senjata mereka untuk menakut-nakuti keluargaku. Namun, ayah dan pamanku sama sekali bergeming. Mereka tetap berdiri di belakangku untuk melindungiku dari Faiz.
Kaum Mastoi telah mengumpulkan para anggota klannya di belakang mereka, barisan laki-laki yang menakutkan dan diliputi ketidaksabaran serta ke - resahan.
Aku membawa sehelai selendang yang kemudian aku hamparkan di dekat kaki-kaki mereka sebagai
tanda kesetiaan. Aku membaca satu ayat al-Quran yang aku hapal sambil memegang kitab suci itu dengan erat. Meskipun semua ayat yang aku tahu kupelajari dengan cara mendengarkan, bukan mem - baca, namun aku lebih mengenal ayat-ayat suci ter - sebut daripada kebanyakan orang-orang kejam di hadapanku, yang menatapku dengan penuh ke hina - an. Akhirnya, tiba saatnya bagiku untuk me minta pengampunan agar kehormatan kaum Mastoi dapat suci kembali. Punjab, selain dikenal sebagai Tanah Lima Sungai (The Land of Five Rivers), juga di sebutsebut sebagai Tanah Kaum Suci (The Land of the Pure). Tapi, siapakah yang dianggap suci"
Kaum Mastoi menakut-nakutiku dengan senjata dan wajah beringas mereka terutama Faiz, pe mim - pin nya, seorang laki-laki tinggi, kuat dan bersenjatakan sebuah senapan kokang. Dia memiliki mata seorang laki-laki gila, yang menatap dengan penuh kebencian. Namun, meskipun aku tahu pasti posisi - ku sebagai anggota dari kasta yang lebih rendah, aku juga memiliki perasaan ingin dihormati dan ingin mendapatkan kehormatan sebagai kaum gujar. Masyarakat kami, terdiri dari sejumlah petani miskin yang lemah, telah menetap di sini selama ratus an tahun. Dan, meskipun aku tidak terlalu me ngenal sejarah masyarakat kami secara mendetail, aku tetap merasa hal itu telah menjadi bagian dari diriku, yang mengalir di dalam darahku. Peng ampun an yang aku
minta dari orang-orang kejam ini hanyalah sebuah formalitas, yang tidak akan me nodai kehormatan pribadiku. Dengan tatapan mata ke bawah, aku kemudian berbicara sambil meninggikan suaraku sekeras mungkin di antara teriakan yang mulai mereda, yang berasal dari orang-orang yang dilanda kemarahan ini.
Jika adikku telah melakukan kesalahan, aku me - minta maaf atas namanya, dan aku mohon agar kalian membebaskannya.
Suaraku tetap tenang. Sambil menatap ke atas, aku menantikan jawaban mereka. Namun, Faiz tidak mengucapkan sepatah kata pun. untuk beberapa saat, semuanya terdiam. Dalam hati aku berdoa, dan kemudian rasa takut menyerangku dengan tiba-tiba, seperti hujan deras pada musim hujan, yang mem - buat tubuhku kaku dengan sambaran petirnya.
Sekarang aku dapat melihat di mata laki-laki itu bahwa dia tidak pernah bermaksud untuk mem beri - kan pengampunan; dia menginginkan seorang perempuan gujar agar dia dapat melampiaskan pembalasan dendam kepadanya di hadapan seluruh penduduk desa. Orang-orang ini telah menipu sang mullah, ayahku, seluruh keluargaku, dan para anggota Dewan Jirga di mana mereka juga termasuk di dalamnya. Inilah kali pertama para anggota de - wan sendiri telah memutuskan pemerkosaan massal sebagai cara untuk dalam pendapat mereka
menghormati keadilan. Faiz kemudian berpaling kepada para saudara laki-laki satu klan-nya, yang sama menggebunya dengan dirinya untuk melaksanakan keputusan tersebut, untuk memperlihatkan kekuasaan mereka melalui sebuah aksi unjuk kekuatan.
Itulah orangnya! Lakukan apa pun yang kau ingin lakukan dengannya!
Memang betul aku berada di sana, tapi diriku pada saat itu bukanlah diriku yang sebenarnya: tubuh kaku ini, kedua kaki yang melemas ini bukan lagi milikku. Aku hampir pingsan ketika terjatuh ke tanah, tapi aku tidak memiliki kesempatan untuk itu. Mereka menarikku bagaikan seekor kambing yang digiring untuk disembelih. Tangan-tangan lelaki men cengkeram kedua lenganku, sambil menariknarik baju, selendang, dan rambutku.
Demi al-Quran, lepaskan aku! teriakku. Demi Tuhan, biarkan aku pergi!
Aku melewati malam demi malam, dibawa dari kegelapan di luar ke kegelapan di dalam ruangan tertutup di mana aku dapat mencirikan keempat lakilaki itu hanya dengan cahaya bulan yang menerobos masuk melalui sebuah jendela yang sangat kecil. Ruangan persegi empat dengan sebuah pintu yang dijaga oleh sebuah siluet sosok orang bersenjata.
Melarikan diri sangat tidak mungkin. Men jalan - kan salat juga tidak mungkin.
Di situlah mereka memperkosaku, di atas hamparan tanah kosong. Empat orang laki-laki. Aku tidak tahu berapa lama siksaan keji itu berlangsung. Satu jam" Sepanjang malam"
Aku Mukhtaran Bibi, anak perempuan tertua ayahku ghulam Farid, kehilangan seluruh kesadaran diri. Tapi aku tidak akan pernah melupakan wajahwajah para binatang itu. Bagi mereka perempuan hanyalah sebuah benda yang dapat dimiliki, dialih - kan kepada orang lain, atau dijadikan pelampiasan dendam. Mereka menikahi atau memerkosa pe - rempuan berdasarkan konsepsi mereka mengenai ke banggaan kesukuan. Mereka sadar bahwa seorang perempuan yang dipermalukan dengan cara demi - kian tidak memiliki pilihan lain kecuali bunuh diri. Mereka bahkan tidak perlu menggunakan senjatasenjata untuk membunuh perempuan itu. Pemer - kosa an akan membunuhnya. Pemerkosaan adalah senjata sangat ampuh: tindakan tersebut dapat merusak nama baik suku lain untuk selama nya.
Mereka tidak perlu repot-repot memukuliku. Aku sudah berada dalam kekuasaan mereka, mereka mengancam kedua orangtuaku, adik laki-lakiku ber - ada di penjara. Aku harus pasrah. Dan, aku benarbenar pasrah.
Mereka mendorongku keluar dalam keadaan setengah telanjang, di mana semua orang sedang menunggu. Sepasang pintu kayu itu memperkecil
jarak dengan keempat laki-laki tersebut, kali ini. Mereka meninggalkanku sendiri dengan menanggung rasa malu di hadapan seluruh penduduk desa. Aku tak dapat menemukan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan keadaanku pada saat itu. Aku tidak dapat berpikir; kabut tebal telah menutupi otakku, menyembunyikan bayang-bayang penyiksaan dan kepasrahan yang buruk. Dan dengan kepala tertunduk malu, serta selendang yang me - nutupi wajahku untuk mempertahankan satu-satu - nya harga diri yang tersisa, aku berjalan tanpa tahu ke mana aku akan melangkah. Hanya berjalan mengikuti insting menuju rumah keluargaku. Aku menyusuri sepanjang jalan bagaikan hantu, tidak menyadari kalau ternyata ayahku, pamanku, dan teman Ramzan, membuntutiku dari ke jauh an. Kaum Mastoi rupanya telah menahan mereka di bawah ancaman todongan senjata selama aku di siksa, dan baru saja membebaskan mereka.
Ibuku menangis di luar rumah kami. Aku berjalan melewatinya, bingung, diam, dengan di - dampingi perempuan-perempuan lain dalam suasana penuh kesunyian. Aku masuk ke salah satu dari tiga kamar yang berada di ruangan perempuan dan menjatuhkan diriku di atas kasur jerami, di mana aku terbaring diam dalam balutan kain selimut. Hidupku baru saja hancur lebur dalam sebuah ketakutan yang sangat, sampai-sampai pikiran dan ragaku tidak
sanggup menerima kenyataan. Aku tidak habis pikir mengapa kekejaman seperti itu bisa terjadi. Aku memang seorang yang naif, yang telah terbiasa hidup di bawah perlindungan seorang ayah dan kakak laki-laki, seperti halnya para perempuan lain di wilayah provinsiku.
Menikah pada usia delapan belas tahun atas keinginan keluarga dengan seorang lelaki yang tidak kukenal dan ternyata pemalas serta tidak memiliki keahlian apa-apa. Aku akhirnya segera memutuskan untuk minta diceraikan darinya dan berhasil men - dapatkannya dalam waktu lumayan singkat, berkat bantuan ayahku. Semasa itu, aku menjalani kehidup - an yang terlindung dari dunia luar sebuah dunia yang luasnya tidak lebih dari desa asalku. Karena tidak memiliki kemampuan baca-tulis, seperti perempuan-perempuan lainnya di sekitarku, aku menjalani kehidupanku dengan melakukan pekerjaan-pekerja - an rumah tangga biasa, di tambah dengan beberapa kegiatan sederhana lainnya. Aku mengajarkan al- Quran secara sukarela kepada anak-anak kecil di desa kami, yang mempelajari kitab suci dengan cara mendengarkan, seperti yang dulu aku lakukan. Dan untuk turut mem bantu keuangan keluarga kami yang minim, aku mengajarkan keahlian menjahit ke - pada perempuan-perempuan lain. Dari fajar hingga terbenam matahari aku menghabiskan waktu di ladang kecil milik ayahku dan mengikuti ritme kerja
ke seharian serta panen musiman. Selain dari yang pernah aku dapatkan semasa aku masih menikah, yang membuatku untuk sementara menetap di kediaman keluarga lain, aku tidak tahu apa-apa di luar ke hidupan yang dijalani para perempuan di dunia kecilku.
Takdir baru saja menghancurkanku dari kehidup - an yang tenang itu, dan aku tidak dapat mengerti mengapa aku yang dihukum. Aku merasa seperti mati. Aku tidak dapat berpikir. Aku tidak dapat bangkit dari penderitaan yang terasa asing ini, yang meluluhlantakkan dan melumpuhkan diriku.
Seluruh perempuan menangis sedih di sekeliling - ku. Aku dapat merasakan tangan-tangan yang mengelus lembut kepala dan kedua pundakku untuk menenangkan diriku. Adik perempuanku yang bungsu menangis tersedu-tersedu sewaktu aku terbaring diam atas nasib buruk yang menimpaku dan membawa dampak bagi seluruh keluargaku. Selama tiga hari aku tidak pernah keluar dari kamar itu kecuali untuk menenangkan diri. Aku tidak pernah makan, menangis, atau bicara. Aku dapat men - dengar suara ibuku ketika dia berbicara padaku. Kau harus melupakan semua itu, Mukhtaran. Semua sudah berakhir. Pihak kepolisian akan membebaskan adik laki-lakimu.
Aku juga mendengar ucapan-ucapan lainnya. Shakur telah melakukan kesalahan, dia memerkosa
Salma! ungkap seorang perempuan di desa.
Mukhtaran seharusnya dulu menikah dengan seorang Mastoi, seperti yang pernah diungkapkan oleh mullah, dan Shakur seharusnya dulu menikahi Salma, kata perempuan lainnya. Dia (Mukhtaran) menolak. Itu kesalahannya sendiri.
Berbagai kabar burung beterbangan melewati desa seperti merpati-merpati putih atau gagak-gagak hitam, tergantung siapa yang bicara. Sedikit demi sedikit akhirnya aku mengerti dari mana kabar-kabar burung itu berasal.
Negosiasi-negosiasi yang diselenggarakan oleh Dewan Jirga, yang biasanya berkumpul di rumah Mullah Abdul Razzak, kini dilakukan di jalanan, di pusat desa. Dewan adat tradisional ini melakukan kegiatannya tanpa mengantongi izin resmi. Mereka bertugas mengatasi perselisihan-perselisihan lokal dengan cara-cara yang dapat mewakili dalam hal prinsip kepentingan setiap kelompok yang ada. Di desa-desa kami, kebanyakan orang tidak mampu menyewa jasa pengacara, sehingga mereka lebih suka datang ke Dewan Jirga karena biaya keadilan milik pemerintah terlalu mahal. Sementara dalam hal dakwaan pemerkosaan yang dituduhkan kepada adik laki-lakiku, aku tidak habis pikir mengapa Dewan Jirga tidak mampu menegosiasikan penyelesaian apa pun. Para perempuan jarang sekali diberitahu mengenai keputusan-keputusan yang telah
diambil oleh kaum laki-laki. Dan, ayah serta pamanku juga sangat sedikit memberikan informasi kepadaku. Namun berkat kabar burung dari desa yang sampai ke telinga kami, akhirnya aku mengerti mengapa aku dihukum.
Shakur dikabarkan tertangkap basah sedang meng goda Salma. Kabar lainnya menyebutkan, dia mencuri beberapa batang tebu dari sebuah per ke - bunan, sebagaimana tuduhan yang pertama kali di - lontarkan oleh kaum Mastoi. Setelah menuduhnya melakukan pemerkosaan, klan ini menculik, me - mukuli, dan menyodomi adik laki-lakiku untuk menginjak-injak harga dirinya. Tidak beberapa lama setelah kejadian itu, Shakur menceritakan apa yang dialaminya, tetapi hanya kepada ayahku. Adik lakilakiku telah berkali-kali mencoba melarikan diri, namun kaum Mastoi selalu berhasil menangkapnya kembali.
Kemudian, untuk menutupi tindakan pemerkosa - an terhadap adik laki-lakiku agar tidak diketahui Dewan Jirga, kaum Mastoi mengarang cerita baru bahwa Shakur telah melakukan hubungan seksual dengan Salma, yang katanya masih gadis. Suatu ke - jahatan yang sangat besar. Anak perempuan di larang untuk hanya bercakap-cakap dengan anak laki-laki. Jika seorang perempuan berpapasan dengan seorang lelaki, perempuan itu harus menundukkan pandang - an nya dan tidak boleh memanggilnya dengan alasan
apa pun. Sewaktu aku melihat Shakur melewati halaman rumah, aku sama sekali tidak dapat membayangkan kejahatan yang dituduhkan kepadanya. usianya baru sekitar dua belas atau tiga belas tahun! (Di tempat kami tinggal, usia seorang anak hanya dapat diketahui dari mulut ayah atau ibunya: Tahun ini, kau berumur lima tahun.& atau sepuluh, atau dua puluh. Kami tidak memiliki akte kelahiran, karena kelahiran tidak terdaftar di mana pun). Adik lakilakiku yang berbadan kurus masih kanak-kanak dan tidak mungkin menjalin hubungan dengan gadis mana pun.
Salma adalah seorang perempuan muda berusia dua puluh tahunan yang agak liar. Mungkin saja dia mengatakan sesuatu yang provokatif kepada adik laki-lakiku., dan memang seperti itulah sifat Salma. Namun, kesalahan yang dilakukan adik laki-lakiku tidak lebih dari sekadar berpapasan dengan Salma di pinggir perkebunan tebu milik kaum Mastoi secara tanpa sengaja. Sebagian penduduk desa mengatakan, adik laki-lakiku menggodanya, atau paling tidak berbicara dengannya. Sementara sebagian lainnya mengungkapkan bahwa mereka berdua tertangkap basah sedang duduk bersama sambil berpegangan tangan. Kebenaran perlahan-lahan menghilang dalam debu-debu yang mengotori ucapan banyak orang, tergantung dari klan mana orang itu berasal.
Shakur tidak melakukan kesalahan apa pun, aku yakin akan hal itu.
Hanya pengalaman pahitku sajalah yang dapat menyamai apa yang dia ceritakan kepada ayahku mengenai penderitaan yang dialaminya pada hari itu.
Semua hal ini terus berputar-putar di kepalaku selama hampir satu minggu. Mengapa harus dia" Dan mengapa harus aku" Keluarga mereka hanya ingin menghancurkan keluarga kami.
Dan aku banyak mendengar mengenai saran pertama yang katanya diajukan kepada kaum Mastoi oleh Mullah Abdul Razzak, yang pada saat itu mengatakan bahwa cara bijak untuk menenangkan semua orang dan menghindari permusuhan di antara dua keluarga adalah menyerahkan Shakur untuk dinikahkan dengan Salma, serta meminta seorang anak perempuan tertua gujar, yakni aku sendiri, untuk menikah dengan seorang lelaki Mastoi sebagai gantinya. Sebagian orang bersikeras bahwa akulah yang menolak hal itu, dan dengan demikian aku harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi padaku, karena aku telah menggagalkan proses perdamaian. Namun demikian, para anggota dewan lainnya mengatakan bahwa pemimpin kaum Mastoilah yang menolak kesepakatan ini.
Aku akan menghancurkan isi rumah mereka! teriaknya. Aku akan menghabisi ternaknya dan
memerkosa para perempuannya!
Pada saat itulah mullah meninggalkan dewan, karena dia tidak mempunyai penawaran lain untuk diajukan. Pada akhirnya, Ramzanlah satu-satunya orang yang hadir dan bukan berasal dari kasta Mastoi maupun kasta kami, gujar, yang meyakinkan ayah dan pamanku untuk mencoba taktik lainnya: memohon pengampunan dengan cara mengutus seorang perempuan terhormat seusiaku untuk menunjukkan sikap patuh di hadapan para manusia primitif itu. Sikap patuh yang akan melunakkan kaum Mastoi untuk mau mengampuni dan menarik tuduhan mereka, supaya pihak kepolisan dapat membebaskan adik laki-lakiku. Dan karena itulah aku beranjak pergi dengan penuh keyakinan untuk menghadapi orang-orang kejam itu tanpa ada yang membayangkan bahwa aku akan menjadi korban dari usaha rekonsiliasi terakhir itu.
S ETELAH para pemerkosaku mendorongku keluar dari kandang, Shakur masih belum dibebaskan, sehingga pada malam harinya salah seorang sepupuku pergi menemui Faiz, pemimpin kaum Mastoi.
Apa yang telah kau lakukan biarlah selesai sampai di sini. Sekarang bebaskan Shakur.
Pergilah ke kantor polisi, aku akan berbicara kepada mereka.
Sepupuku pergi ke kantor polisi.
Aku telah berbicara kepada Faiz, dia mengatakan agar membebaskan anak itu.
Polisi itu kemudian menelepon Faiz, seolah-olah orang itu adalah bosnya.
Seseorang baru saja datang ke sini dan me ngata - kan bahwa Anda telah setuju untuk membebaskan Shakur.
M INTALAH bayaran darinya untuk membebaskan anak itu. Ambil uangnya, baru kemudian bebaskan anak itu.
Polisi itu meminta dua belas ribu rupee, sejumlah uang yang sangat besar bagi keluarga kami, sama dengan gaji seorang pekerja selama tiga atau empat bulan. Ayah dan pamanku berkeliling meminta sumbangan uang dari para sepupu dan tetangga kami, dan mereka kembali pada malam hari itu juga untuk menyerahkan uangnya kepada polisi. Adik lakilakiku akhirnya dibebaskan sekitar jam satu pagi.
Namun, dia masih berada dalam bahaya. Kemarahan kaum Mastoi tidak akan pernah mereda. Mereka akan terus mencoba berbagai cara untuk mempertahankan tuduhan, karena mereka tidak akan mundur tanpa kehilangan muka dan kehormatan. Dan, seorang Mastoi tidak akan mengalah begitu saja. Mereka ada di sana, di dalam rumah mereka pemimpin klan dan para saudara lakilakinya di seberang perkebunan tebu. Terlihat jelas. Mereka telah meraih kemenangan atas saudara lakilakiku dan diriku, namun keputusan ber perang telah dibuat. Kaum Mastoi, yang berasal dari kasta kesatria, semuanya bersenjata. Sedangkan kami hanya memiliki kayu bakar, tanpa sekutu kuat untuk ikut membela kami.
A Ku telah mengambil keputusan: aku akan bunuh diri. Itulah yang akan dilakukan oleh perempuan yang berada dalam posisiku. Aku akan menenggak air raksa dan mati, memadamkan kobaran perasaan malu yang membuat keluargaku dan diriku men - derita selamanya. Aku memohon kepada ibuku agar membantuku mati. Dia harus pergi untuk membeli air raksa agar hidupku dapat berakhir, karena sebenarnya aku sudah mati di mata orang lain! Ibuku tak sanggup menahan air matanya dan menggagalkan usaha bunuh diriku dengan berjanji tidak akan pernah meninggalkanku, siang atau malam. Aku tidak lagi bisa tertidur, dan dia tidak akan membiarkanku mati. Selama beberapa hari aku hampir gila dengan ketidakberdayaanku sendiri. Aku tidak dapat terusterusan hidup seperti ini; berbaring, terbungkus dalam kain selendang! Tiba-tiba saja, amarahku muncul dan menyelamatkanku dari kelumpuhan ini.
Sekarang tiba giliranku untuk membalas dendam. Aku bisa membayar sekelompok orang untuk
membunuh orang-orang yang menyerangku. Sekelompok orang itu harus bergerak cepat masuk ke dalam rumah mereka, dengan membawa senjata api, dan keadilan harus dituntaskan. Tapi, aku tidak punya uang! Andai saja aku bisa membeli senjata api untukku sendiri, atau membeli air raksa untuk kulemparkan ke mata mereka dan membutakannya. Andai saja aku bisa& tapi aku hanya seorang perempuan, dan kami tidak memiliki uang kami tidak berhak memilikinya. Kaum laki-laki memono - poli tindakan balas dendam, yang dilampiaskan melalui tindakan kekerasan yang ditujukan kepada perempuan.
Itulah saat aku mengetahui beberapa hal yang belum pernah aku dengar sebelumnya: kaum Mastoi telah malakukan banyak tindak pemerkosaan, melakukan perusakan dan perampokan di rumah salah seorang pamanku, juga sanggup menyerang dan melakukan perampokan di rumah siapa saja dengan menggunakan senjata api. Pihak kepolisian mengetahui semua hal ini, namun mereka juga tahu bahwa tak seorang pun berani melawan kaum Mastoi. Karena, siapa saja yang berani menentang mereka akan langsung dibunuh. Kaum Mastoi telah menetap di sini selama beberapa generasi, dan tidak ada yang dapat dilakukan terhadap kaum Mastoi. Mereka memiliki banyak teman yang memegang berbagai posisi penting, dan kekuasaan absolut
berada di tangan mereka, kekuasaan atas desaku dan terus sampai ke ibukota wilayah. Mereka memegang kendali. Dengan demikian, jelas sudah alasan mengapa mereka menghubungi pihak kepolisian ketika terjadi keributan, Jika kalian harus melepas - kan Shakur, kalian harus mengembalikannya kepada kami!
Bahkan, pihak kepolisian pun mengkhawatirkan nyawa adik laki-lakiku, dan satu-satunya solusi yang mereka punya ialah tetap menahan adik laki-lakiku di dalam sel tahanan sampai mereka dapat me - mutus kannya bersalah atau tidak.
Permohonan pengampunan yang diminta untuk kulakukan di hadapan khalayak umum telah di - gagalkan sejak awal. Kaum Mastoi menyetujuinya agar mereka dapat memerkosaku di depan seluruh penduduk desa. Mereka tidak takut kepada mullah, setan, atau bahkan Tuhan. Dalam sistem adat mereka, kasta mereka yang lebih tinggi memberi mereka kebebasan penuh untuk memutuskan siapa yang harus dimusuhi siapa harus dihancurkan, diper - malu kan, dirampok, diperkosa. Mereka me nyerang kaum lemah, dan kamilah kaum lemah itu.
J ADI , aku memohon kepada Tuhan agar Dia membantuku memilih antara melakukan bunuh diri atau balas dendam dengan cara apa pun yang me mung - kin kan. Aku membaca al-Quran. Aku berbicara kepada Tuhan seperti yang kulakukan ketika masih kecil. Saat itu, ketika aku melakukan kenakalan, ibuku selalu mengatakan, Hati-hati, Mukhtaran! Tuhan selalu melihat setiap tindakanmu!
Kemudian aku memandangi langit dan bertanyatanya adakah jendela di atas sana bagi Tuhan untuk mengawasiku. Tapi karena rasa hormatku pada ibuku, aku tidak pernah menanyakan hal itu kepadanya. Anak-anak tidak berbicara secara langsung kepada orangtua mereka. Terkadang, ketika aku perlu berbicara kepada orang yang lebih dewasa, aku akan datang bertanya kepada nenek dari ibuku dan memintanya untuk menjelaskan bagaimana dan mengapa sesuatu terjadi. Dia satusatu nya yang mau mendengarkanku.
Nek, Ibu selalu mengatakan bahwa Tuhan sedang melihatku. Adakah jendela di atas langit yang Dia buka untuk melihatku"
Tuhan tidak perlu membuka jendela, Mukhtaran. Seluruh langit ini adalah jendela-Nya! Dia melihatmu, dan Dia melihat seluruh mahluk yang ada di muka bumi ini. Dia mencatat kenakalan yang kau lakukan, juga yang dilakukan orang lain. Kenakalan apa yang telah kau lakukan"
Aku dan saudara-saudara perempuanku diamdiam mengambil tongkat seorang kakek tetangga kami, lalu meletakkannya di ambang pintu menuju kamar sang kakek. Ketika kakek itu hendak masuk
ke dalam, kami angkat kedua ujung tongkat itu bersamaan, sehingga dia pun terjatuh.
Mengapa kalian melakukan hal itu"
Karena dia selalu memarahi kami. Dia melarang kami memanjat pohon dan bergelayutan di cabang - nya. Dia melarang kami ngobrol, tertawa, bermain dia melarang semuanya! Dan, dia selalu meng - ayunkan tongkatnya begitu melihat kami! Kau, kau belum mandi, cepat pergi mandi sana! Kau, kau tidak memakai selendangmu! Pulang dan pakailah. Dia tidak pernah berhenti memarahi kami itulah yang selalu dilakukannya.
Kakek itu sudah renta, galak pula. Dia memang membenci anak-anak. Semua itu benar, tapi jangan lakukan itu lagi! Apa lagi yang telah kau lakukan"
Aku ingin pergi makan bersamamu, tapi ibu tidak mengizinkan. Dia bilang aku harus makan di rumah.
Aku akan berbicara dengan ibumu agar dia tidak melarang-larang cucuku lagi.&
Tidak ada seorang pun di keluargaku yang pernah memukul kami. Ayahku tidak pernah me - layangkan tangannya kepadaku. Meskipun kami hidup sederhana, tidak hidup dalam kesenangan atau juga penderitaan, kehidupan masa kecilku penuh dengan kegembiraan. Aku ingin sepanjang hidupku selalu seperti itu. Aku membayangkan Tuhan sebagai seorang raja: Dia bertubuh tinggi
kekar, duduk di atas singgasana, dikelilingi para malaikat, dan Dia memaafkan kesalahan manusia. Dia memberikan pengampunan bagi mereka yang telah melakukan perbuatan baik, dan melempar orang-orang yang berbuat buruk ke dalam neraka atas kejahatan yang telah dilakukannya.
Pada usiaku yang keduapuluh delapan tahun (atau hampir mendekati, jika aku percaya kata-kata ibuku), ketika aku ditahan di dalam penjara dengan penuh rasa malu, Tuhanlah yang memberikan ke - sejukan dalam kesendirianku. Kematian" Atau balas dendam" Apa yang harus kulakukan untuk me - mulih kan kehormatanku"
Sewaktu aku berdoa sendirian, kabar-kabar burung masih terus tersebar luas di desa.
Orang-orang mengatakan bahwa mullah kami menyampaikan pidato pada saat salat Jumat. Dengan suara keras dia mengatakan bahwa apa yang telah terjadi di desa kami merupakan sebuah dosa, satu aib bagi seluruh masyarakat, dan para penduduk desa diimbau melaporkannya ke pihak kepolisian.
Orang-orang mengatakan bahwa pada saat itu di antara para jemaah, ada seorang wartawan surat kabar lokal, dan dia menuliskan kisah ini di media massanya.
Orang-orang juga mengatakan bahwa kaum Mastoi pergi menuju sebuah rumah makan yang terletak di kota. Di sinilah mereka menyebarluaskan
cerita tentang berbagai tindakan yang mereka bangga-banggakan secara detail. Jadi, tersebarlah berita itu ke seluruh wilayah bagian.
Pada hari keempat atau kelima dalam masa kesendirianku, yang masa itu aku isi dengan terus membaca al-Quran tanpa kenal lelah, tanpa makan atau tidur, untuk pertama kalinya butiran-butiran air mata mulai menetes dari kedua mataku. Akhirnya, aku tak kuasa menahan tangis. Jiwaku yang kering dan tubuhku yang lelah menemukan kebebasan dalam lautan air mata yang mengalir perlahan.
Aku tidak pernah sedemonstratif ini dalam menunjukkan perasaan sedihku. Ketika kecil, aku selalu riang, penuh kegembiraan, sering melakukan kejahilan-kejahilan kecil yang tidak membahayakan, serta tertawa terbahak-bahak. Aku ingat pernah sekali menangis ketika usiaku kurang lebih sepuluh tahun. Saat itu, ada seekor anak ayam terlepas. Para saudara laki-laki dan perempuanku mengejarnya, namun saking kencangnya anak ayam itu berlari, dia masuk ke dalam tungku api yang sedang kugunakan memasak chapati (sejenis roti bulat pipih khas India yang terbuat dari gandum dan tanpa ragi). Aku segera menyiramkan air ke dalam api, namun sayang nya terlambat. Anak ayam itu terbakar mati di depan kedua mataku. Karena yakin itu me - rupakan kesalahanku, yang terlambat melakukan upaya penyelamatan, sepanjang hari aku menangisi
kematian tragis yang dialami anak ayam tak berdosa itu. Aku tak pernah bisa melupakan perasaan bersalahku, begitu juga dengan anak ayam itu yang tak akan bisa melupakanku, dan hingga saat ini aku masih merasa bersalah. Barangkali, seandainya pada saat itu aku bertindak lebih cepat, aku mungkin bisa menyelamatkannya, dan anak ayam itu pasti dapat tumbuh besar menikmati kehidupan kecilnya. Aku merasa seakan telah berdosa karena telah membunuh seekor makhluk hidup. Dan saat ini, dalam kesendirianku di kamar, aku menangisi nasib yang menimpa diriku sendiri, seperti dulu ketika aku menangisi kematian seekor anak ayam, yang mati terpanggang api dalam hitungan detik.
Aku merasa bersalah karena telah diperkosa. Ini perasaan yang menyakitkan, karena apa yang terjadi padaku beberapa hari lalu bukanlah merupakan kesalahanku. Sewaktu kecil, aku tidak meng inginkan anak ayam itu mati, seperti halnya aku tidak melakukan apa pun sehingga pantas men dapatkan hukuman yang memalukan. Para pe mer kosa ku" Mereka sama sekali tidak merasa bersalah! Tapi, aku tak bisa melupakannya, dan aku tidak bisa men - ceritakan kejadian yang menimpaku kepada orang lain itu belum semuanya. Selain itu, men ceritakan pemerkosaan yang menimpaku akan terasa berat bagiku. Dan, ketika ingatan-ingatan perihal malam yang menyesakkan itu kembali me nyerang pikiran ku, aku cepat-cepat mengeluarkannya dari dalam otakku. Aku tidak ingin mengingatnya! Tapi aku tak bisa menahannya& .
T IBA TIBA , aku mendengar suara teriakan dari dalam rumah. Pasukan polisi telah tiba.
Ketika meninggalkan kamarku, aku melihat Shakur berlari melewati halaman rumah dengan paniknya, sampai-sampai, tanpa sadar, dia berlari menuju farmhouse milik kaum Mastoi! Ayahku berlari mengejarnya, dengan perasaan yang sama takutnya dengan adik laki-lakiku. Akulah yang mesti menenangkan dan membujuk mereka agar mau kembali ke rumah,
Ayah, kembali! Jangan takut! Shakur! Kembali ke rumah!
Ketika ayahku mendengar suara anak perem - puan nya yang belum pernah dia lihat selama bebe - rapa hari ini sewaktu dia berlari mengejar Shakur, dia berhenti, dan keduanya kemudian kembali me - nuju halaman rumah dengan penuh kehati-hatian, di mana pasukan polisi sedang menunggu.
Agak aneh memang, aku tidak lagi takut pada apa pun, dan para polisi itu juga sama sekali tidak membuatku takut.
Siapa yang bernama Mukhtaran Bibi" Aku
Kemarilah! Kau harus segera ikut bersama kami ke kantor polisi. Shakur dan ayahmu juga harus ikut. Di mana pamanmu"
Kami pergi dengan menggunakan mobil polisi, menjemput pamanku terlebih dahulu, baru kemu - dian bersama-sama menuju Kantor Kepolisian Wilayah Jatoy, di mana kami harus menunggu sampai kepala kepolisian tiba. Ada beberapa kursi di sana, tapi tak seorang pun mempersilakan kami duduk. Bapak kepala kepolisian tampak sedang tidur.
Kalian akan dipanggil! Ada beberapa wartawan di sana. Mereka meng - ajukan beberapa pertanyaan kepadaku. Mereka ingin mengetahui kejadian yang menimpaku, dan tiba-tiba saja aku mau membuka mulutku. Aku menceritakan kisahku kepada mereka, tanpa harus merinci hal-hal yang cukup aku saja yang tahu. Aku menyebutkan nama-nama para pemerkosaku kepada mereka, menjelaskan keadaan pada saat kejadian, menceritakan bagaimana semua kejadian itu diawali dengan tuduhan palsu terhadap adik laki-lakiku. Aku tidak peduli dengan hukum dan sistem peng - adilan kami yang tidak memberikan akses kepada kaum perempuan. Meskipun demikian, instingku berkata bahwa aku harus memanfaatkan kehadiran para jurnalis ini.
Dan kemudian, salah seorang dari keluargaku
tiba di kantor polisi dengan kekhawatiran yang sangat: kaum Mastoi telah mendengar kabar ke - beradaanku di kantor polisi, dan mereka meng - ancam akan menghukum kami.
Jangan mengatakan apa-apa! Kalian akan di - minta menandatangani surat laporan kepolisi an, tapi jangan lakukan itu. Kalian harus membatalkan semua ini. Jika kalian pulang ke rumah tanpa meng - ajukan surat pengaduan kepada polisi, kaum Mastoi tidak akan melakukan tindakan apa-apa kepada kita, tapi jika kalian teruskan.&
Aku telah memutuskan untuk melawan. Aku masih belum mengetahui alasan kedatangan polisi membawa kami ke sini. Baru di kemudian hari aku mengetahui bahwa kisah kami telah tersebar dengan cepat di beberapa surat kabar nasional, berkat artikel lokal pertama tersebut. Banyak orang di ibukota Islamabad dan di berbagai negara lainnya telah mendengar kisah tentang kami! Merasa khawatir atas publikasi yang tidak seperti biasanya ini, peme - rintah provinsi Punjab akhirnya meminta pihak kepolisian setempat untuk secepatnya menyiapkan laporan mengenai permasalahan tersebut. Kejadian ini menandai pertama kalinya Dewan Jirga, yang menolak saran dari mullah setempat, telah menjatuhi hukuman pemerkosaan massal atas seorang perempuan.
Seperti banyak perempuan buta huruf lainnya,
aku tidak tahu apa-apa tentang hukum. Saking minimnya pengetahuan mengenai hak-hakku, aku sampai-sampai tidak tahu bahwa aku sebenarnya memiliki hak-hak! Meskipun demikian, sekarang aku sudah mulai mengerti bahwa selain bunuh diri, ternyata aku juga dapat membalaskan dendamku dengan jalan lain. Peduli apa aku tentang ancaman atau bahaya" Aku telah mengalami hal paling buruk, dan di luar dugaanku, ayahku ternyata mendukung keputusanku ini.
Seandainya aku mengenyam pendidikan, se - andai nya aku dapat membaca dan menulis, segala sesuatunya mungkin akan menjadi jauh lebih mu - dah! Namun begitu, aku tetap melangkah, dengan dukungan keluargaku, menuju arah yang benarbenar baru.
Perjalanan panjang di depan kami sangatlah asing, karena di wilayah provinsi kami, pihak ke - polisian mendapatkan kontrol langsung dari kastakasta yang lebih tinggi. Para polisi, yang bekerja - sama dengan pihak otoritas kesukuan, berperan kuat sebagai penjaga tradisi. Keputusan apa pun yang telah dibuat Dewan Jirga akan diterima dan di - dukung oleh pihak kepolisian. Tidaklah mungkin memerkarakan tindak kejahatan yang dituduhkan terhadap satu keluarga berpengaruh, jika pihak kepolisian menilainya sebagai permasalahan desa, terutama jika yang menjadi korban adalah seorang
perempuan. Seringkali, pihak kepolisian bekerja - sama dengan orang yang melakukan kejahatan, yang tidak mereka pandang sebagai seorang kriminal. Perempuan tidak lebih dari sekadar sebuah benda yang dapat dipertukarkan, sejak lahir hingga menikah. Menurut adat, perempuan tidak memiliki hak-hak. Dengan cara itulah aku dibesarkan, dan tidak ada seorang pun yang memberitahuku bahwa negara Pakistan memiliki sebuah konstitusi, hukum, dan hak-hak yang tertulis dalam buku. Aku belum pernah melihat seorang pengacara atau hakim. Aku sama sekali tidak tahu apa-apa mengenai keadilan resmi yang dipersiapkan secara khusus untuk orangorang kaya dan terpelajar.
Jadi, aku sama sekali tidak tahu ke arah mana keputusan mengajukan tuntutan ini akan membawa - ku. untuk sementara waktu, keputusan ini me - rupakan langkah awal agar aku dapat bertahan, sebuah senjata untuk perlawananku dan perasaan malu yang aku alami, sebuah senjata yang belum pernah dicoba namun sangat berarti bagiku karena hanya senjata inilah yang kumiliki. Aku akan mendapatkan keadilan, atau kematian. Mungkin kedua - nya. Dan, ketika seorang polisi akhirnya me manggil - ku pada sekitar jam sepuluh malam itu, ia mem - biarkan ku di dalam ruangannya. Aku dibiarkan berdiri di hadapannya, sementara dia mulai mencatat jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya kepadaku. Tiba-tiba, aku merasakan emosi lain muncul pada diriku: sebuah kecurigaan.
Tiga kali dia berkonsultasi dengan atasannya, yang tidak pernah terlihat olehku. Setiap dia kembali, dia hanya membuat tulisan sekitar tiga baris, padahal aku telah berbicara banyak. Ketika selesai menanyaiku, dia meminta untuk menempelkan tinta pada ujung jariku dan membubuhkannya di bagian bawah halaman kertas sebagai tanda tangan.
Meskipun aku tidak bisa membaca, atau tidak mengetahui apa yang dibicarakan dengan atasannya, aku tahu bahwa polisi itu menulis apa yang di - diktekan atasannya kepadanya hanya dalam se - tengah halaman. Dengan kata lain, atasannya adalah pe mimpin klan Mastoi. Aku memang tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku hanya mengikuti instingku. Polisi itu bahkan tidak membacakan apa yang telah ditulisnya kepadaku. Saat itu sudah jam dua pagi, dan aku baru saja membubuhkan sidik jari ku pada sebuah dokumen yang intinya me - nyatakan bahwa tidak ada yang terjadi, atau bahwa aku telah berbohong. Aku bahkan tidak menyadari bahwa dia telah memalsukan tanggal di laporan tersebut. Tanggal seharusnya 28 Juni, tapi yang di - tulisnya 30 Juni. Itu bukan perkara penting baginya, jadi dia lebih memilih memberikan jeda waktu dua hari baginya.
Ketika meninggalkan kantor polisi yang terletak
di Jatoy itu, kami harus melakukan perjalanan pulang sendiri, yang berjarak beberapa mil jauhnya. Kami menjumpai seorang pengojek motor, alat transportasi yang umum digunakan di sini. Biasanya, se - orang pengojek motor bersedia mengantarkan kami pulang, namun orang itu ternyata menolak meng - antarkan Shakur dan aku karena dia merasa takut akan berpapasan dengan bebe rapa orang Mastoi di sepanjang perjalanan.
Aku bersedia membawa ayahmu, tapi tidak yang lainnya.
Dengan demikian, sepupu kami yang datang dari desa untuk memperingatkan akan ancaman kaum Mastoi kepada kami berkewajiban mengantar kan kami pulang, tapi dia memilih menempuh rute lain untuk menghindari rute yang biasa ditempuhnya.
M uLAI sekarang tidak ada lagi istilah seperti biasa . Aku sendiri sudah berbeda. Aku tidak tahu bagai - mana akan melawan dan membalaskan dendam ku untuk mendapatkan keadilan. Tapi, arah langkah baruku, satu-satunya yang masih mungkin, telah jelas di benakku. Kehormatanku, dan kehormatan keluargaku, bergantung padanya. Meskipun nyawa yang kupertaruhkan, aku tidak mau mati terhina. Aku telah mengalami penderitaan selama beberapa hari, berpikir untuk melakukan bunuh diri, bersedih dan menangis. Sekarang aku telah berubah, bersikap
beda, yang tidak pernah terpikir sebelumnya akan mungkin terjadi padaku.
Ketika aku memulai perjalanan menuju sistem hukum, sebuah langkah yang tidak ada jalan kembali di dalamnya, aku mendapatkan hambatan karena ketidakmampuanku dalam membaca dan menulis serta statusku sebagai seorang perempuan. Selain keluargaku, aku masih memiliki satu kekuatan lagi yang dapat memperkuat tekadku: amarahku.
Sebelumnya aku hidup dalam kepasrahan abso - lut. Sekarang, keinginanku untuk berontak sama kuatnya.
h akiM P aling l uar B iasa
W AKTu MENuNJuKKAN PuKuL LIMA PAgI KETIKA KAMI tiba di rumah, dan aku merasa sangat lelah. Pada saat-saat seperti itu, seorang perempuan sepertiku, yang memiliki posisi rendah dalam kehidupan, akan bertanya-tanya apakah tindakan untuk mencoba mengubah aturan tradisi kesukuan yang telah mapan dapat dibenarkan. Sekarang aku sadar bahwa keputusan untuk memperkosaku diambil di hadapan seluruh kelompok masyarakat. Ayah dan pamanku mendengar keputusan itu bersama-sama dengan para penduduk lainnya. Namun, keluargaku ber - harap, pada akhirnya nanti, kami akan mendapat pengampunan. Tapi nyatanya, kami semua terperangkap dalam lubang yang sama, dan aku telah dihancurkan.
Keraguan dan ketakutan apa pun yang mungkin aku rasakan, saat ini sudah terlambat untuk mundur. Kaum laki-laki di Punjab, baik dari kasta Mastoi, gujar, atau Baluch, sama sekali tidak dapat
merasakan betapa menyakitkan hati bagi seorang perempuan untuk menceritakan tindakan beringas seperti yang aku alami. Kata pemerkosaan saja sudah cukup menyakitkan. Ada empat orang di sana. Faiz yang memberikan perintah. Aku melihat wajah-wajah mereka. Mereka melemparku keluar dari kandang. Aku mencoba menutupi tubuhku yang setengah telanjang, sementara para laki-laki lainnya hanya menyaksikan. Kemudian aku beranjak pergi. Sisa kisah yang aku alami menjadi mimpi buruk yang selalu coba kulupakan tapi terus saja meng hantui.
Menceritakan kisahku berulang-kali sungguh aku tidak sanggup melakukannya. Karena dengan menceritakan kisahku berarti mengenangnya kembali. Seandainya saja aku merasa dapat mempercayai seseorang.& Dengan seorang polisi perempuan, hal itu mungkin tidak akan terlalu menyakitkan. Namun, kenyataan pahitnya, hanya kaum laki-laki yang ada di kepolisian dan sistem peradilan. Selalu laki-laki.
Dan, kesulitan kami belumlah berakhir. Ketika kami baru saja tiba di rumah, tiba-tiba para polisi muncul kembali. Kali ini mereka membawaku ke kantor kepolisian wilayah untuk mengurus beberapa formalitas.
Karena insiden tersebut telah diberitakan di media massa, tiba-tiba aku berpikir bahwa pihak
otoritas mungkin takut akan kedatangan para wartawan lain yang akan menyebarkan berita itu lebih luas lagi. Tapi, aku tidak terlalu yakin. Setiap gerakan merupakan satu usaha keras bagiku, dan aku merasa tatapan orang lain kepada diriku hanyalah tatapan kehinaan. Bagaimana seseorang dapat makan, minum, tidur setelah kelelahan yang dialaminya" Namun begitu, aku bangun, berjalan keluar, dan masuk ke dalam mobil polisi dengan wajah yang kusembunyikan di balik selendang yang kukenakan, bahkan tanpa melihat jalan yang kami lalui. Aku telah berubah menjadi perempuan ber - beda.
A Ku mendapati diriku duduk di atas lantai, ditemani orang-orang yang tidak aku kenal, dalam sebuah ruangan tanpa perabotan. Aku tidak tahu apa yang kulakukan di sini atau apa yang akan terjadi se - lanjutnya. Tidak ada seorang pun yang datang membawaku ke suatu tempat untuk menjalani interogasi.
Dan, karena tidak ada yang berbicara atau men - jelaskan apa-apa kepadaku, aku jadi memiliki banyak waktu luang untuk memikirkan perlakuan yang dialami para perempuan. Hanya laki-lakilah yang berhak tahu ; perempuan harus tetap diam dan menunggu. Mengapa kami ingin mengetahui semua hal" Laki-laki membuat keputusan, mereka berkuasa, bertindak, dan menghakimi. Aku membayangkan kambing-kambing yang terikat kencang di pekarangan rumah agar mereka tidak bisa memasuki perkebunan. Di sini, aku tidak lebih berharga dari seekor kambing, meskipun tidak ada tali terikat di leherku.
Waktu terus berlalu. Ketika Shakur dan ayahku datang untuk mengetahui apa yang terjadi, para polisi menempatkan mereka di ruangan yang sama denganku. Di sini, kami tinggal diam seharian penuh tanpa berani berbicara. Pada saat matahari terbenam, para polisi mengantarkan kami kembali ke desa. Tidak ada interogasi, tidak ada formalitas. Seperti biasanya, aku merasakan bahwa aku telah dialihkan dari sesuatu, tapi aku tak mengetahui sesuatu itu. Sewaktu kecil, dan kemudian beranjak besar, yang dapat kulakukan hanyalah mendengarkan dengan seksama orang-orang yang lebih dewasa, dan mencoba memahami apa yang sedang mereka bicarakan. Aku tidak bisa bertanya atau mengeluarkan pen - dapat yang kulakukan hanyalah menunggu untuk dapat memahami apa yang sedang terjadi di sekitar - ku, dengan cara menyatukan perkataan-perkataan dari orang lain.
Pada pukul lima pagi keesokan harinya, polisi kembali datang dan membawaku ke ruangan yang sama di tempat yang sama, di mana aku menghabiskan sepanjang hari hanya untuk diantarkan pulang lagi pada sore harinya. Pada hari ketiga,
kejadian itu berulang lagi. Ruangan yang sama, harihari yang sama tanpa aktivitas. Aku belum yakin bahwa penahanan ini ada kaitannya dengan kehadir - an para jurnalis di wilayah kami, tapi kecurigaanku ini akan terbukti di kemudian hari. Kalau saja aku tahu dari awal, aku akan menolak meninggalkan rumah. Pada hari ketiga dan merupakan hari terakhir, sepanjang malam, ayahku, Shakur, dan mullah dibawa lagi ke kantor polisi yang sama. Kali ini aku tidak dapat melihat mereka, karena kami di - tempatkan di ruangan berbeda. Di kemudian hari, aku diberitahu bahwa ruangan itu adalah ruang tahanan, dan satunya lagi adalah ruangan untuk bagian pidana. Aku ditempatkan di ruang tahanan, sementara mullah dan keluargaku ditempatkan di ruangan yang satunya lagi. Nantinya, mereka baru memberitahuku bahwa sebelum aku, mereka bertiga juga telah ditanyai tentang apa yang terjadi. Ketika akhirnya aku dibawa untuk diinterogasi, aku ber - papasan dengan mullah, yang masih sempat meng - ingatkanku.
Hati-hati! Mereka menulis semua yang kau katakan kepada mereka dengan kata-kata mereka sendiri.
Sekarang tiba giliranku, dan begitu aku mema - suki ruangan kepala kepolisian yang membawahi keseluruhan wilayah bagian, barulah aku mengerti. Begini, Mukhtar, kami telah mengenal baik Faiz
Mastoi dan dia bukan orang jahat. Tapi kau mem - buat tuduhan terhadapnya! Mengapa kau melaku - kan itu" Percuma saja.
Tapi, Faiz dulu berkata, Inilah orangnya! Lakukan apa pun yang kau ingin lakukan dengannya!
Dasar gadis bodoh, kau tidak boleh mengakui bahwa dia telah mengucapkan hal itu. Bukan dia yang mengucapkan itu.
Tapi, memang dia yang melakukannya! Dan, kemudian yang lainnya menarik-narik kedua lengan - ku, dan aku berteriak minta tolong, aku memohon ampun.&
Semua yang kau katakan sampai saat ini akan kutulis dan aku akan membacakan laporan awalnya kepadamu. Tapi, besok aku akan membawamu ke peng adilan, dan di hadapan hakim kau harus ber - sikap hati-hati, sangat hati-hati. Kau akan mengata - kan persis seperti yang aku katakan kepadamu sekarang. Aku telah menyiapkan segala nya, dan aku tahu inilah yang terbaik untukmu, keluargamu, dan semua yang terlibat dalam perkara ini.
Mereka telah memerkosaku.
Kau tidak boleh berkata bahwa kau telah diperkosa.
Ada selembar kertas di atas meja kerjanya yang telah dia tulisi sesuatu. Bagaimana aku bisa tahu apa yang tertulis di dalamnya" Seandainya saja aku
dapat membaca! Dia memergokiku ketika aku sedang memandangi kertas tersebut, dan dia sama sekali tak peduli.
Kau tidak boleh menyebut-nyebut nama Faiz. Kau tidak boleh mengatakan bahwa kau telah diperkosa. Kau tidak boleh mengatakan bahwa Faizlah yang memberikan perintah, atau melakukannya.
Tapi, dia memang berada di sana!
Baiklah kalau begitu: sebetulnya kau bolehboleh saja mengatakan bahwa Faiz memang berada di sana. Semua orang tahu itu. Tapi, mengakui bah - wa Faizlah yang memberikan perintah jangan laku - kan. Kau akan mengatakan, misalnya, bahwa Faiz me neriakkan: Inilah orangnya! Maafkanlah dia!
Cukup sampai di sini. Aku keluar ruangan de - ngan penuh rasa amarah.
Aku sudah tahu semua yang harus kukatakan, karena aku sudah mengatakannya! Aku tidak mesti mendengarkan omong kosong Anda, Tuan!
Dan, tiba-tiba aku sudah berada di lobi depan, bersiap-siap untuk keluar dari tempat itu. Aku me - rasa telah direndahkan dan sangat terhina. Sudah jelas bagiku: polisi ini menginginkan agar aku membebaskan Faiz dari kasus pemerkosaan. Dia pikir bisa menakut-nakutiku untuk membatalkan semua tuduhan. Oh, mereka sangat mengenal Faiz, kan" Dan, Faiz bukan orang jahat " Setengah penduduk
desa tahu betapa jahatnya dia. Pamanku tahu, ayahku juga tahu. Shakur dan aku adalah korban kejahatannya. Dan, ketika dia sedang tidak menjadi orang jahat, seperti penilaian polisi ini, dia malah melarang orang-orang dari kastaku untuk membeli beberapa jengkal bidang tanah, supaya dia dapat mengambilnya semua. Begitulah kekuasaan feodal. Semuanya berawal dari sebidang tanah, dan ber - akhir dengan pemerkosaan.
Mungkin, aku memang miskin dan buta huruf, dan mungkin aku tidak pernah mau menyampuri urusan laki-laki.Tapi aku punya telinga untuk mendengar dan mata untuk melihat. Aku juga punya suara untuk berbicara bersuara kencang untuk membela diriku sendiri!
Seorang petugas kepolisian datang mendekatiku dari belakang. Dia menyingkirkanku jauh-jauh dari ayahku dan mullah, yang masih tetap menunggu di depan pintu menuju ruangan lainnya.
Kemarilah, dengarkan aku& tenangkan dirimu, Mukhtaran Bibi. Dengar! Kau harus mengatakan sesuai dengan yang telah kami perintahkan kepada - mu, karena itu demi kebaikanmu dan kebaikan kami juga.
Aku tak punya kesempatan untuk menjawabnya. Seorang petugas kepolisian lainnya menggiring ayahku memasuki ruangan.
Baiklah kita harus segera menyelesaikan ini!
Kalian tandatangani ini, dan kami akan menuliskan laporannya.
Dia mengambil tiga lembar kertas kosong, dan menutup pintu di belakang tiga laki-laki itu. Dengan cepat dia meninggalkan ruangan itu dan kembali mendatangiku.
Ayahmu, saudara laki-lakimu, dan mullah telah menyetujuinya, mereka telah menandatanganinya, dan kami akan mengurus sisanya. Lembar kertas keempat untukmu, kau lakukan seperti yang telah mereka lakukan: tinggal tandatangani dengan sidik jarimu. Dan kami akan menulis ucapanmu secara persis di atas kertas, tidak ada masalah. Bubuhkan cap jempolmu di sini!
Mullah telah menandatangani, dan aku mempercayainya. Jadi, aku lakukan saja permintaan polisi ini, membubuhkan cap jempolku di bagian bawah lembaran kertas kosong ini.
Bagus. Baiklah, ini hanya sekadar formalitas. Kau akan segera dibawa ke pengadilan, menghadap hakim. Tunggu di sini.
Pada sekitar pukul tujuh malam, dua mobil polisi membawa kami pergi. Mullah pergi dengan mobil pertama, dan kami bertiga dengan mobil satunya lagi. Di tengah perjalanan, para polisi itu menerima sebuah pesan dari hakim, yang isinya bahwa dia tidak bisa datang ke pengadilan karena sedang menerima tamu di rumahnya. Dia meminta agar
kami dibawa ke rumahnya. Sesampainya kami di sana, dia berubah pikiran.
Tidak, ini tidak akan berhasil, terlalu banyak orang di sini. Akan lebih baik jika kita melakukan ini di pengadilan saja. Bawa mereka ke sana, dan aku akan mengikuti kalian.
Kami menunggu di luar, di depan pengadilan. Dan begitu hakim tiba, aku menyaksikan sebuah mobil polisi lain membawa Faiz dan empat orang lainnya yang tidak dapat aku lihat dengan jelas dalam kegelapan. Faiz satu-satunya yang aku kenali, tapi aku menduga keempat orang lainnya adalah para lelaki yang telah memerkosaku.
Aku tidak tahu kalau ternyata mereka juga turut diminta datang. Aku dan keluargaku tidak berbicara satu sama lainnya, karena keberadaan polisi. Shakur terlihat sedih, sangat bingung. Bekas luka-luka di kepalanya masih memperlihatkan apa yang telah dialaminya, meskipun luka-luka itu telah mengering. Sejauh ini, adik laki-lakiku tidak menceritakan ke - jadian yang menimpanya kepada siapa pun, kecuali kepada ayahku. Aku berharap dia juga dapat membela dirinya. Tapi dia masih belia, masih terlalu muda untuk menghadapi polisi dan pengadilan, menghadapi semuanya pada hari yang sama. Aku bertanya-tanya, apakah dia juga telah disarankan untuk tidak menuduh siapa pun, seperti yang telah disarankan kepadaku.
untung ayahku ada di sini. Dia akan selalu melindungi kami, tidak seperti beberapa orang ayah yang tidak segan-segan mengorbankan anakanaknya untuk menyelamatkan diri mereka sendiri dari kesulitan. Beberapa waktu lalu, begitu me - nyadari bahwa laki-laki yang dipilih untuk menjadi suamiku ternyata seorang yang kasar dan tidak dapat dipercaya, ayah mendukungku untuk menceraikannya. Dia tidak pernah ragu, dan begitu pun aku, hingga akhirnya aku memperoleh talak, yang hanya dapat dijatuhkan oleh pihak suami. Merupakan hak suami untuk setuju melepaskan istrinya. Tanpa persetujuannya, seorang perempuan tidak bisa diceraikan; perkaranya harus dibawa ke hadapan hakim, yang tentunya memakan biaya tak sedikit, dan tidak semua tuntutan percerai an selalu dikabulkan. Aku mendapatkan kembali kebebasan - ku berkat bantuan ayahku dan sifat keras kepalaku, satu-satunya senjata yang dimiliki perempuan untuk melawan laki-laki.
Ayahku sangat yakin bahwa dalam hukum adat telah dituliskan, entah di bagian mana, bahwa Faiz seharusnya menunjukkan belas kasihannya di dalam dewan desa. Keputusan untuk memberikan peng - ampunan sangat mungkin dilakukan, bahkan peng - ampunan dapat diberikan bagi seorang pembunuh yang terlibat dalam pertikaian keluarga. Namun kenyataannya, hukum itu hanya menguntungkan
pihak yang kuat: mereka dapat memaafkan sebuah kesalahan, namun tidak diharuskan melakukannya. Dan, karena jumlah kaum Mastoi lebih banyak dari lainnya, mereka mengendalikan Dewan Jirga.
Kaum Mastoi tidak mau memaafkan dan me - lupakan, dan itu juga yang akan kulakukan. Tindak - an kejahatan yang menurut pengakuan mereka telah menimpa mereka sangat tidak sepadan dengan penderitaan yang aku dan adik laki-lakiku alami. Kaum Mastoi tidak memiliki hak monopoli atas kehormatan seseorang.
A Ku berdiri di hadapan hakim: kali ini aku menjadi orang pertama yang diwawancara. Hakim ini lakilaki yang sangat dikagumi. Dia sangat sopan dan menjadi satu-satunya petugas resmi pemerintah yang meminta dibawakan sebuah kursi supaya aku dapat duduk! Dia tidak menunjukkan superioritasnya dari atas kursi hakim yang didudukinya. Malahan sebaliknya, dia duduk di hadapanku, di sisi lain meja. Dia juga minta dibawakan seteko air dan beberapa gelas. Kami kemudian menyegarkan diri kami berdua, dan aku sangat berterima kasih kepadanya, karena hari ini sangat melelahkan bagiku.
Ingat, Mukhtar Bibi, kau berada di hadapan hakim. Ceritakan kepadaku kejadian sebenarnya dengan persis, semua yang telah terjadi. Jangan
merasa takut. Aku harus tahu kejadian yang me - nimpamu. Di sini hanya ada kau, aku, dan asistenku yang akan mencatat semua yang kau ceritakan kepadaku. Ini sebuah pengadilan, dan aku berada di sini untuk mempelajari apa yang sebenarnya terjadi. Kau bisa bicara dengan bebas.
Aku memulai kisahku, dengan setenang mung - kin, tapi hatiku tersangkut di tenggorokanku. Berbicara tentang pemerkosaan sangat menyakitkan dan memalukan, tapi hakim itu terus menyemangati - ku.
Hati-hati, dia terus mengingatkanku. Ceritakan kejadian sebenarnya kepadaku. Jangan ter buru-buru, jangan panik. Ceritakan semuanya ke padaku.
Aku sangat mempercayainya. Aku dapat merasa - kan dari cara bicaranya bahwa laki-laki ini tidak memihak. Tidak seperti para polisi, dia tidak meng - awalinya dengan mengancamku atau menjejali mulutku dengan berbagai kebohongan. Dia hanya menginginkan kebenaran, dan dia mendengarkan dengan seksama tanpa menunjukkan sikap tidak hormatnya. Ketika dia melihatku berubah menjadi marah, gemetar dan berkeringat karena emosi, dia menyuruhku berhenti sejenak.
Santai saja, tenangkan dirimu. Minumlah dulu.
W AWANCARA tersebut berlangsung selama satu setengah jam. Hakim itu ingin mengetahui setiap
detail dari kejadian yang menimpaku di kandang terkutuk itu. Aku menceritakan semua kepadanya, hal-hal yang belum pernah aku ceritakan kepada orang lain sebelumnya, bahkan tidak kepada ibuku sendiri. Kemudian dia menuju kursi yang disiapkan khusus untuk hakim.
Apa yang kau lakukan dengan menceritakan kejadian sebenarnya kepadaku berjalan baik. Sekarang Tuhan-lah yang akan memutuskan.
Dia mulai menulis, dalam kesunyian, dan aku menelungkupkan kepalaku di atas meja karena kelelahan. Aku tidak ingin ditanyai lagi. Aku ingin tidur. Aku ingin pulang.
Kemudian hakim itu memanggil Mullah Razzak, yang juga diperlakukannya dengan penuh ke - sopanan seperti telah ditunjukkannya kepadaku.
Anda harus menceritakan kebenaran kepada saya. Anda orang yang bertanggung jawab, saya sangat bergantung kepada Anda. Jangan sembunyi - kan sesuatu dari saya.
Mullah mulai bercerita, tapi suaranya dengan cepat menghilang dari pendengaranku: akhirnya, aku tertidur dengan tiba-tiba, dikalahkan oleh kelelahan yang sangat. Aku tidak ingat lagi siapa yang selanjutnya dipanggil, atau apa yang dikatakannya semuanya menjadi buram. Aku tidak sadar sampai akhirnya ayahku membangunkanku.
Mukhtar, kita pulang sekarang, ayolah! Kita
harus pergi. Sewaktu aku hendak meninggalkan ruang peng - adilan, hakim itu berdiri, menghampiriku dan memberikan belaian tangan yang menenangkan di kepalaku.
Jangan menyerah. Kumpulkan keberanian. Bertahanlah kalian semua!
Polisi akhirnya mengantarkan kami pulang. Aku tidak melihat Faiz dan yang lainnya ketika kami beranjak pergi, dan aku tidak tahu apakah mereka diinterogasi setelah kami atau tidak. Keesokan harinya, para wartawan telah berada di depan rumahku, bersama-sama dengan orang-orang yang tidak aku kenali, laki-laki dan perempuan dari ber - bagai organisasi hak-hak asasi manusia. Aku tidak tahu bagaimana mereka bisa tiba di sini dan siapa yang memberitahu mereka. Aku bahkan sempat bertemu seorang laki-laki dari BBC, seorang laki-laki Pakistan yang datang jauh-jauh dari Islamabad. Saking banyaknya orang yang tidak aku kenali, sampai-sampai aku tidak ingat siapa dan apa yang mereka wakili. untuk empat jam berikutnya, orang-orang masih terus datang dan pergi. Rumah kami yang kecil belum pernah menerima kunjungan orang sebanyak ini ayam-ayam berlarian di pekarangan rumah, anjing menggonggong, dan semua kegiatan ini terpusat padaku.
Aku berbicara apa adanya tanpa tedeng alingaling, kecuali jika ada yang bertanya mengenai halhal yang terlalu mendetail. Aku telah menyadari bahwa kehiruk-pikukan yang terjadi di desaku ini hanya dapat melindungiku dari ancaman-ancaman para tetanggaku, yang ladangnya tidak terletak jauh dari ladang kami. Jika begitu banyak orang telah berdatangan untuk mengetahui kisahku, itu karena aku berdiri untuk membela perempuan-perempuan lainnya di wilayahku yang telah dilanggar hak-hak - nya. untuk pertama kalinya, seorang perempuan telah menjadi sebuah simbol.
Dan, dari orang-orang yang tidak aku kenal inilah aku belajar banyak mengenai pemerkosaanpemerkosaan lainnya, tindakan-tindakan kekerasan lainnya yang pernah ditulis di berbagai surat kabar. Seseorang membacakan sebuah laporan berita kepadaku, yang ditujukan kepada pihak otoritas Pakistan dan dikirim oleh berbagai organisasi, yang menyatakan bahwa pada bulan Juni, lebih dari dua puluh perempuan telah diperkosa oleh lima puluh tiga laki-laki! Dua di antaranya telah meninggal dunia. Yang satu dibunuh oleh para pemerkosanya supaya dia tidak dapat melaporkan mereka. Sementara satunya lagi, dalam keputusasaan karena pihak kepolisian tidak berhasil menangkap para pelakunya, melakukan bunuh diri pada 2 Juli, hampir bersamaan dengan hari ketika aku ditanyai hakim. Semua kejadian ini menguatkan tekadku
untuk terus melanjutkan perjuangan, untuk terus memperjuangkan keadilan dan kebenaran, meskipun terhambat oleh tekanan pihak kepolisan dan sebuah tradisi yang menginginkan perempuan tetap menderita dalam sikap diamnya sementara laki-laki dapat bertindak sesuka hati.
Bunuh diri kini menjadi pilihan terakhir dalam benakku.
Setengah dari jumlah perempuan di negara kami menjadi korban kekerasan, seorang perempuan Pakistan militan menjelaskan kepadaku. Mereka dipaksa menikah, diperkosa, atau diperlakukan seperti barang yang dapat dipertukarkan di antara para lelaki. Tidak peduli apa yang dipikirkan para perempuan itu, karena mereka sama sekali tidak diperkenankan berpikir! Mereka tidak diperboleh - kan belajar membaca dan menulis, serta mencari tahu bagaimana keadaan dunia di sekitar mereka. Itulah mengapa para perempuan buta huruf tidak bisa membela diri sendiri: mereka sama sekali tidak mengetahui hak-haknya, dan mulut-mulut mereka telah dijejali dengan berbagai kebohongan agar mereka tidak melakukan pemberontakan. Tapi, kami mendukung usahamu! Kumpulkanlah keberani - an.&
Begitulah persisnya yang ingin dilakukan para pemegang kekuasaan kepadaku: Kau hanya akan mengatakan sesuai yang aku pe rintahkan kepadamu,
karena hal ini demi kebaikanmu .&
Seorang wartawan menyebutkan kepadaku bahwa pihak pers telah mendapatkan surat peng - aduan sebelumnya terhadap Faiz, yang dikirim oleh seorang ibu yang anak perempuannya telah diculik oleh Faiz pada awal-awal tahun, diperkosa berkalikali, dan kemudian dilepaskan pada saat pers se - tempat memberitakan tentang tuduhanku.
Kepalaku pusing karena banyaknya informasi yang diberikan kepadaku, dan dengan banyaknya wajah-wajah baru di sekelilingku ini .&
P IHAK pers sangat banyak memberikan perhatian kepadaku, karena aku membawa kasus ini ke peng - adilan dan karena untuk pertama kalinya (atau pa - ling tidak, untuk pertama kalinya didengar oleh negara ini), seorang pimpinan Dewan Jirga di Provinsi Punjab telah mengesahkan tindakan pemerkosaan massal. Di sisi lain, karena akulah yang paling dikenal dari sebuah berita yang melibatkan ribuan perempuan Pakistan.
Aku merasa sangat senang. Aku merasa seakanakan akhirnya aku dapat melihat segala sesuatu di sekitarku sebagaimana adanya. Melewati desaku, melewati wilayah provinsiku, hingga jauh ke Islamabad, ternyata ada dunia baru yang belum pernah aku lihat. Sewaktu kecil, perjalanan terjauhku hanya sampai ke desa-desa tetangga pada saat kami
mengunjungi para sepupu dan teman keluarga. Aku masih teringat akan seorang paman yang kadangkadang datang berkunjung dan tinggal bersama kami. Dia telah tinggal di Karachi sejak masih anakanak. Dulu kami, aku dan saudara-saudara perempuanku, sering mendengarkan ceritanya tentang laut, pesawat terbang, gunung, dan beragam orang yang datang dari berbagai tempat yang jauh. Saat itu mungkin usiaku sekitar tujuh atau delapan tahun, dan aku merasa sukar membayangkan semua hal yang terasa aneh bagiku. Aku tahu bahwa di sini, di desaku, kami berada di Pakistan, dan paman kami mengatakan bahwa ke arah barat masih ada negaranegara lainnya seperti Eropa. Aku, aku hanya pernah mendengar tentang orang-orang Inggris yang telah menjajah negara kami, meski aku tidak pernah me - lihat mereka. Dan aku juga tidak pernah tahu kalau ternyata ada orang-orang asing yang tinggal di Pakistan. Desa kami di selatan Punjab sangat ter - pencil, terletak sangat jauh dari kota-kota besar. Dan, aku sendiri tidak pernah melihat bentuk televisi, sampai pada suatu hari paman kami dari Karachi datang membawakan kami sebuah televisi& gambar-gambar di dalamnya membuatku takjub. Saat itu, aku tidak mengerti siapa yang berada di belakang kotak aneh itu, yang berbicara pada waktu bersamaan di saat aku juga sedang bicara. Kamera-kamera itu mengabadikan gambarku:
mereka dari pertelevisian.& Para fotografer ini & mereka dari surat kabar.
Di desa, para penduduk mengatakan bahwa aku telah dipengaruhi oleh para wartawan, yang menurut mereka telah memanfaatkanku untuk ditulis dalam berbagai artikel yang sangat memalukan bagi banyak otoritas di Punjab. Dan, aku seharusnya merasa malu melakukan semua ini, dan lebih baik bunuh diri atau menguburkan diriku sendiri hiduphidup. Namun, orang-orang yang berdatangan dari berbagai tempat ini mengajarkanku banyak hal hebat. Misalnya, tindakan pemerkosaan yang di - laku kan terhadap adik laki-lakiku dan diriku se - benarnya hanyalah taktik kaum Mastoi untuk meng - usirku dari desa. Kaum gujar telah membuat gusar kaum Mastoi yang tidak suka melihat para petani miskin dari kasta kami membeli ladang-ladang milik penduduk mereka. Aku tidak tahu apakah itu memang benar, tapi beberapa anggota keluargaku mempercayainya, karena kami kelompok minoritas, kelompok yang lebih miskin dari kaum Mastoi dan tidak memiliki kekuatan politik, sehingga sangat sulit bagi seorang gujar dapat memperoleh tanah.
Dan, empat hari menyenangkan bersama pers membuatku menyadari kenyataan pahit, pada akhir - nya, akan betapa lemahnya aku tanpa kemampuan baca-tulis, dan akan ketidakmampuanku untuk meng ambil keputusan sendiri terhadap hal-hal
penting. Hal itu sangat menyakitkan bagiku saat ini, bahkan lebih menyakitkan dari keadaan keluargaku yang relatif miskin aku sebut relatif karena kami masih berkecukupan untuk makan. untuk mem - bantu kami mempertahankan hidup, kami memiliki dua ekor sapi jantan, seekor sapi betina, delapan ekor kambing, dan sebidang lahan perkebunan tebu. Namun, yang membuatku kesal ialah keadaanku yang sama sekali tidak mengerti tulisan. Al-Quran merupakan satu-satunya harta paling berharga yang aku miliki: al-Quran telah tertulis di dalam diriku, di dalam ingatanku, dan al-Quran adalah satu-satunya buku yang aku miliki.
Bukan hanya itu, anak-anak yang pernah aku ajari cara membaca al-Quran, dengan cara yang sama ketika aku diajari dulu, tidak lagi datang me - nemuiku. Dulu aku dihormati sebagai seorang guru, namun sekarang penduduk desa menghindariku: terlalu banyak kabar burung, terlalu banyak wartawan dari kota-kota besar, terlalu banyak fotografer dan kamera film. Terlalu banyak skandal. Bagi sebagian orang, aku hampir menjadi pahlawan, sementara bagi sebagian lainnya, aku adalah orang yang harus dihindari, seorang pembohong yang telah menyulitkan kaum Mastoi. Dengan demikian, untuk melawan, tampaknya aku mesti mengorban - kan segalanya: reputasiku, kehormatanku, semua yang pernah ada dalam hidupku. Tapi, itu semua
tidaklah penting. Aku menginginkan keadilan.
P ADA hari kelima, kepala kepolisian wilayah me - minta ku datang. Dua orang perwakilan dari kepolisian datang menjemput ayahku, Shakur, dan mullah menuju daerah Muzaffargarh. Saat itu, aku berharap semua bentuk formalitas sudah berakhir untuk sementara waktu dan keadilan dapat terwujud. Namun, ketika tiba di ruang Kepala Kepolisian Wilayah, aku mendapati kedua polisi yang pernah kutemui sebelumnya sedang berada di sana, kedua orang yang dulu memintaku untuk mengatakan sesuatu demi kebaikanku sendiri. Apakah tekanan itu akan dimulai dari awal lagi" Itulah hal terkecil yang membuatku sangat kesal saat ini, dan wajahku pasti telah mengekspresikan perasaan was-was. Aku mempercayai ayahku dan mullah ketika aku membubuhkan cap jempol di bagian bawah kertas milik kedua polisi tersebut, yang aku yakini sekarang sebagai sebuah perangkap.
Kepala kepolisian wilayah meminta kedua polisi itu keluar agar dia dapat berbicara empat mata de - nganku.
Anakku, apakah kau mempunyai masalah dengan kedua orang ini" Apakah mereka pernah melakukan kesalahan terhadapmu"
Aku tidak mempunyai masalah dengan mereka,
kecuali bahwa salah seorang dari mereka pernah memaksaku untuk membubuhkan cap jempol di atas selembar kertas kosong. Dia juga telah menyiapkan kertas kosong lainnya untuk adik laki-lakiku, ayahku, dan mullah. Dan, kami bahkan tidak tahu apa yang tertulis di kertas-kertas itu.


Atas Nama Kehormatan In The Name Of Honor Karya Mukhtar Mai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Benarkah begitu" Kepala kepolisian wilayah itu terkaget-kaget, dan memikirkan kata-kataku dengan hati-hati.
Apakah kau mengetahui nama orang yang melakukan itu"
Tidak. Tapi, aku mengenalinya.
Baiklah. Aku akan memanggil mereka berdua, lalu kau tunjukkan orang itu padaku.
Dia memanggil kembali kedua orang itu ke dalam ruangan kantornya. Aku sama sekali tidak mengetahui kalau ternyata keduanya adalah bawah - an nya! Aku menunjukkan orang yang dimaksud, tapi setelah itu dia menyuruh keduanya keluar lagi tanpa kata-kata.
Aku akan mengurusnya, katanya kepadaku. Tampaknya mereka lupa membawa berkas yang telah mereka persiapkan untukku tapi mereka tidak diberitahu mengenai isi berkas tersebut. Aku telah meminta mereka untuk mencarinya dan memberikannya kepadaku. Kau akan diminta kembali lagi ke sini nanti.
T IgA atau empat hari kemudian, polisi setempat datang memberitahu bahwa besok pagi kami akan dibawa lagi untuk diwawancarai.
Kali ini, yang kami temui di Muzaffargarh bukanlah kepala kepolisian wilayah, melainkan seorang dokter dari rumah sakit setempat. Kaum Mastoi, tampaknya, telah memutuskan untuk mengajukan dakwaan mereka, dan mereka membawa Salma untuk menceritakan kepada polisi bahwa dia telah diperkosa oleh adik laki-lakiku. Kedatangan Salma hampir bersamaan dengan kedatangan kami, tapi dengan mobil polisi yang berbeda. Dokter itu akan memeriksa Salma dan Shakur. Sementara, aku masih belum mengerti mengapa dibawa ke sini. Sebagai seorang perempuan, aku tahu pasti bahwa sudah agak terlambat untuk memeriksa Salma. Aku diperiksa oleh seorang dokter pada tanggal 30 Juni, delapan hari setelah kejadian, dan seharusnya aku datang menemui polisi lebih awal lagi, tapi pada saat itu aku benar-benar tidak bisa melakukannya.
Pakaian yang aku kenakan saat kejadian telah dicuci atas perintah ibuku ketika polisi menyitanya sebagai bahan bukti. Tapi kemudian, aku benarbenar mendengar bahwa dokter yang memeriksaku telah memastikan dugaanku, yakni aku mengalami kerusakan pada organ bagian dalam. Dokter itu yakin bahwa aku telah diperkosa, meskipun pada saat itu dia tidak mengatakan apa pun tentang hal itu
kepadaku. Aku merasa senang dapat mengetahui hasil dari pemeriksaannya yang menyimpulkan bahwa aku tidak mengalami disorientasi ataupun gila! Namun demikian, tak seorang pun dapat me - nilai kadar luka dari perasaan terhina yang aku simpan sendiri. Entah itu disebabkan oleh perasaan bangga atau perasaan malu, aku tetap tidak sanggup membicarakan hal itu.
Sedangkan Salma, yang mengaku telah diperkosa pada tanggal 22 Juni, sudah agak telat untuk menjalani pemeriksaan. Kecuali jika dia memang masih gadis, tapi aku meragukannya. Lalu, dokter memanggil Shakur untuk menjalani pemeriksaan sederhana. Dia memperkirakan usia adik laki-lakiku pada kisaran antara dua belas atau tiga belas tahun, seperti perkiraan ayahku.
Aku memang tidak berada di sana ketika Salma menjalani pemeriksaan, tapi beberapa lama kemudian, berkat kabar burung yang tersiar di desa, aku mendengar bahwa Salma tiba-tiba berubah pikiran ketika dokter yang menanganinya menjelaskan kepadanya bahwa dia akan membandingkan hasil pemeriksaan pada Shakur dengan hasil pemeriksaan pada dirinya.
Shakur" tanyanya dengan perasaan kaget. Tidak, bukan dia yang memperkosaku! Dia hanya memegangi kedua tanganku sewaktu kakak laki-laki dan ketiga sepupunya memperkosaku!
Dokter itu menatapnya dengan sangat terkejut. Kau bicara apa" Seorang anak berusia dua belas tahun sudah cukup kuat untuk memegangimu, sendirian, sewaktu ketiga orang lainnya memer kosa - mu" Apakah ini sejenis lelucon"
Namun demikian, tim kedokteran tetap meme - riksanya. Mereka memperkirakan umurnya pada kisaran dua puluh tujuh tahun, dan menyatakan bahwa dia telah melakukan hubungan seks secara aktif sejak tiga tahun lalu, dan pernah mengalami keguguran selama masa itu. Kesimpulannya, para dokter menduga bahwa hubungan seks yang terakhir kali dilakukannya terjadi lebih awal dari dugaan pemerkosaan pada tanggal 22 Juni.
Aku tidak tahu pasti bagaimana para dokter sampai pada kesimpulan itu, tapi aku jadi banyak tahu mengenai hal seperti itu setiap harinya. Apa yang mereka lakukan terhadap adikku disebut tes DNA. Dan Shakur tidak memerkosa Salma. Dia hanya kebetulan sedang berada di perkebunan tebu di saat yang sama ketika Salma berada di sana, dan kaum Mastoi memanfaatkan hal itu. Banyak surat kabar menyatakan bahwa Shakur jatuh cinta kepada Salma. Yah, orang hanya butuh satu pandangan se - kilas untuk menuduh seseorang telah jatuh cinta. Para gadis remaja seharusnya menundukkan tatapannya karena malu. Tapi Salma, dia dapat berbuat apa pun yang diinginkannya. Dia tidak merasa takut
dipandangi orang lain, bahkan sebaliknya dia akan memastikan bahwa dia sedang dipandangi orang lain!
Kehidupan yang aku jalani hingga saat ini, meng - ajarkan al-Quran, merupakan dunia yang jauh dari perkara-perkara amoral tersebut. Keluargaku mendidikku dan saudara-saudara perempuanku untuk menghormati tradisi. Dan, seperti halnya semua gadis kecil, ketika berusia sepuluh tahun aku diberitahu bahwa berbicara kepada anak laki-laki dilarang. Aku tidak pernah melanggar ketabuan itu. Aku belum pernah melihat wajah suamiku sampai hari pernikahan kami. Aku mungkin tidak akan memilihnya sebagai suamiku, tapi aku menghormati kelu - argaku dan mematuhi keinginan mereka dalam perkara ini. Sebaliknya, Salma belum menikah dan seharusnya belum boleh melakukan hubungan seks, dan keluarganya sedang merencanakan sesuatu: pertama, mereka menuduh adik laki-lakiku telah mencuri batang tebu, kemudian menuduhnya telah memerkosa Salma, dan mereka juga menuduh adik laki-lakiku tidak melakukannya sendirian, tapi bersama-sama dengan kakak laki-lakiku yang tertua dan beberapa sepupunya .& Aku mencoba tegar, namun terkadang aku merasa putus asa terhadap semua kebohongan ini! Bagaimana bisa aku men - dapatkan keadilan, sementara orang-orang ini, para tetanggaku, tidak henti-hentinya menambahnambahkan cerita mereka, seperti sehelai selendang yang berubah warna setiap harinya"
Aku tahu apa yang kami berdua alami. Shakur menceritakan kepada hakim bahwa ada tiga orang laki-laki dari klan Mastoi me nangkap dan menyodominya, dan pada saat itu dia berteriak, Aku akan beritahu ayahku, aku akan laporkan polisi! Pada saat itulah ketiga laki-laki itu meng - ancam akan membunuhnya, jika dia berani bicara. Kemudian, mereka menyeretnya ke rumah mereka, menguncinya di dalam sebuah ruangan, memukuli - nya, memerkosanya lagi, dan baru menyerahkannya kepada pihak kepolisian setelah adanya campur ta - ngan ayahku, yang telah mencarinya selama ber jamjam.
Di sini, di Pakistan, seorang perempuan hampir tidak mungkin dapat membuktikan bahwa dia telah diperkosa, karena dia harus menghadirkan empat laki-laki sebagai saksi mata tindak kejahatan tersebut. Dan, keempat saksi mata atas pemerkosaan adik laki-lakiku dan diriku adalah para pelaku pemer - kosa an itu sendiri!
K ETIKA polisi datang pagi ini, aku pikir mereka akan membawaku menemui kepala kepolisian wilayah, tapi ternyata mereka membawa Shakur dan aku ke rumah sakit. Kemudian aku dibawa menuju sebuah kantor yang bersebelahan dengan ruangan seorang
presiden dewan jenderal. Di sana, aku mendapati seorang perempuan sedang menungguku.
Perempuan itu adalah seorang menteri pemerintah, dan dia telah diperintahkan untuk memberi ku selembar cek senilai 500,000 rupee, sepadan dengan 8,000 dollar! Aku memiliki sifat sedikit mencurigai, dan beberapa kejadian akhir-akhir ini mengharuskanku untuk bersikap lebih waspada. Aku khawatir kalau-kalau cek itu merupakan sebuah perangkap.
Setelah mendengarkan kata-kata penghibur dari perempuan itu, aku memandangi penawaran yang ada di tangannya. Aku mengambil cek itu tanpa melihat angkanya: aku sudah mendengar apa yang dikatakannya, dan angkanya memang menggiurkan, 500,000 rupee! Aku bahkan tidak bernah berpikir mendapatkan uang sejumlah itu. Dengan uang sebesar itu, orang dapat membeli & mobil, traktor, dan masih banyak lagi. Siapakah dalam keluargaku yang pernah memiliki uang sebanyak 500,000 rupee" Atau bahkan menerima selembar cek"
Dengan mengikuti instingku, tanpa berpikir lagi, aku meremas-remas kertas itu dan membuangnya ke lantai. Bukan karena tidak menghormati ibu menteri ini, tapi karena merasa muak dengan cek itu. Aku tidak membutuhkan ini!
Kau tidak akan pernah tahu: jika perempuan ini mau memberiku uang dalam jumlah besar, mungkin
saja dia telah dikirim oleh seseorang untuk me - nutup-nutupi masalah ini. Tapi, dia tetap memaksa sekali, dua kali, tiga kali agar aku mau menerima cek tersebut. Dia berpenampilan rapi, seorang perempuan terpandang, dan kedua matanya tidak memperlihatkan kebohongan.
Aku tidak membutuhkan cek, akhirnya aku katakan kepadanya. Aku membutuhkan gedung sekolah!
Dia tersenyum. gedung sekolah"
Ya, sebuah gedung sekolah untuk anak-anak perempuan di desaku. Kami tidak memilikinya. Jika Anda benar-benar berniat memberikanku sesuatu, maka perkenankan aku mengatakan ini: Aku tidak membutuhkan cek, tapi yang aku butuhkan adalah sebuah gedung sekolah untuk anak-anak perempuan di desaku.
Aku mengerti, dan kami akan membantumu membangun sebuah gedung sekolah. Tapi setidak - nya, terimalah cek ini sebagai permulaan. Bagilah uangnya dengan ayahmu. Aku berjanji kepadamu bahwa kami juga akan mendirikan sebuah sekolah. untuk sementara ini, kau perlu uang untuk mem - bayar seorang pengacara, yang tentunya sangat mahal.
Aku tahu itu. Seorang warga Pakistan yang ter - libat dalam organisasi hak-hak perempuan memberi tahuku bahwa harga seorang pengacara hebat dapat mencapai 25,000 rupee. Itulah mengapa para penduduk yang berpikir sederhana lebih suka meminta bantuan Dewan Jirga. Dewan adat tersebut men - dengarkan orang-orang yang mengadukan kasusnya, menawarkan penyelesaian, dan perkaranya akan diselesaikan pada hari itu juga. Biasanya, tidak seorang pun dapat berbohong di Dewan Jirga, karena semua orang di desa sudah saling me ngenal, dan pimpinan Dewan Jirga kemudian menyampaikan suatu keputusan yang bertujuan agar masyarakat tidak saling bermusuhan. (Nasib buruk yang menimpaku terjadi karena orang yang me nyampaikan keputusan atas kasusku, yang ber tentangan dengan saran mullah, adalah Faiz. Dan dia lebih suka memecah belah daripada mendamaikan kami semua.)
Jadi, aku terima cek itu. Kemudian, perempuan itu mengajukan beberapa pertanyaan kepadaku, dengan sikap baiknya, dan aku mendapatkan keberanian untuk memberitahukan kepadanya, karena dia seorang perempuan dan berparas jujur, bahwa hidupku sedang dalam bahaya. Orang-orang tidak mau memberitahuku apa yang akan dilakukan oleh para penyerangku, tapi aku tahu bahwa mereka telah dibebaskan setelah ditahan di kantor polisi selama beberapa hari. Seluruh laki-laki Mastoi tersebut telah kembali ke rumah, berada tidak jauh dari kami,
sambil hanya menunggu satu hal: menghancurkan kami.
Mereka tetangga kami, rumah mereka berada di sebelah sebuah perkebunan. Aku tidak berani melalui jalur itu lagi. Aku merasa mereka sedang mengawasiku .&
P EREMPuAN itu tidak menjanjikan apa-apa padaku, tapi aku dapat melihat bahwa dia memahami situasi yang aku hadapi. Semua ini terjadi dengan sangat cepat. Bahkan lebih cepat dari yang aku pahami pada saat ini. Surat-surat kabar memberitakan kisahku dengan sangat gencar selama empat hari terakhir, sehingga seluruh penduduk negara ini tahu tentang aku, termasuk kalangan pemerintah di Islamabad. Attiya Inayatullah, perempuan yang baru saja memberiku selembar cek dan berjanji mem - bantuku mendirikan sebuah gedung sekolah, adalah menteri negara pengembangan perempuan yang dikirim ke sini oleh Presiden. gambarku terpampang di mana-mana, sedangkan kisahku muncul di setiap surat kabar di Pakistan dan di beberapa surat kabar di luar negeri. Amnesti Internasional mengetahuiku.
Pada tanggal 4 Juli 2002, kelompok-kelompok pembela hak asasi manusia melakukan demonstrasi untuk menuntut keadilan. Pihak kejaksaan meng - kritik kepolisian setempat atas keterlambatannya dalam mendaftarkan pengaduanku dan atas sikapnya yang memintaku untuk menandatangani se - lembar kertas laporan kosong. Aku pergi ke kantor polisi pada tanggal 28 Juni, namun mereka menulis 30 Juni dalam laporan mereka, dan kemudian segera menyembunyikannya. Hakim yang menanyaiku mengatakan banyak hal kepada pers, menjelaskan bahwa tidak ada alasan bagi pihak kepolisian untuk tidak memerhatikan kejadian ini bahkan sebelum aku memutuskan untuk maju, dan bahwa keputusan Dewan Jirga merupakan tindakan yang memalukan. Bahkan, menteri kehakiman telah mengeluarkan pernyataannya pada stasiun televisi milik Inggris bahwa keputusan Dewan Jirga yang dipimpin oleh suku Mastoi dapat dianggap sebagai sebuah tindakan terorisme, bahwa dewan adat itu sendiri me - rupakan suatu badan ilegal, dan pihak yang bersalah sebaiknya diadili di hadapan pengadilan antiteroris. Menurutnya, ini merupakan kasus penyalahgunaan kekuasaan.
Karenanya, pemerintah Pakistan telah memutus - kan untuk memprioritaskan kasus Mukhtaran Bibi. Delapan anggota suku Mastoi telah ditangkap, yakni pada tanggal 2 Juli, dan pihak kepolisian telah di - minta untuk menjelaskan cara-cara yang mereka gunakan selama menangani perkara tersebut. Keempat orang yang diputuskan bersalah telah melarikan diri, namun pihak kepolisian sedang mengejarnya. Beberapa polisi ditugaskan untuk
menjaga rumahku demi melindungi aku dan kelu - argaku. Pada akhirnya, pihak kepolisian berhasil menangkap empat belas laki-laki dari suku Mastoi. Pengadilan telah menghabiskan tujuh puluh dua jam untuk memutuskan nasib para tersangka itu.
S ANgAT aneh memang. Seluruh dunia mengenal wajahku dan memperbincangkan tragedi keluargaku. Semuanya terjadi terlalu cepat, aku tidak dapat mengingat semuanya. Ibu menteri mengatakan kepadaku bahwa ayahku dapat membawa cek yang diberikannya kepadaku ke sebuah bank di kota Jatoy, yang direkturnya telah diminta untuk mem - buka sebuah rekening atas nama ayahku dan diriku. Aku belum pernah memiliki rekening bank sebelumnya. Begitu juga ayahku. Merasa khawatir dengan keselamatan uang itu, kami bergegas menuju bank di Jatoy. Di sana, kami hanya diminta membubuhkan dua tanda tangan, kemudian pihak bank memberikan sebuah buku cek kepada ayahku.
Ketika kembali ke rumah pada sore harinya, kami mendapati lima belas petugas kepolisian berada di sekitar rumah kami. Ternyata, gubernur datang bersama kurang lebih lima belas orang lainnya untuk memberikan dukungan kepadaku dan memberitahuku bahwa orang-orang yang bersalah akan dihukum. Dia juga mengatakan bahwa dia telah menganggapku sebagai anaknya sendiri, bahwa aku
harus melanjutkan hal ini, dan aku akan dilindungi.
Setelah setengah jam lamanya, dia pulang ber - sama rombongannya.
Para polisi malang yang menjaga rumahku terpaksa tidur di bawah pohon. Jumlah mereka banyak, dan kami juga harus memberikan mereka makan dan minum. Cek 250,000 rupee yang telah dicairkan tidak bertahan lama, karena sepasukan kecil polisi tersebut ditugaskan menjaga kami selama satu tahun. Dan, hanya gaji belaka yang mereka terima dari pemerintah.
Tapi, selalu saja ada kejadian lucu dalam sebuah tragedi. Orang yang aku lihat berkunjung, bersama dengan banyak anggota keluargaku, tidak lain adalah paman dari ibuku yang paling lama tidak aku jumpai kurang lebih sejak perceraianku tujuh tahun lalu. Dia memiliki seorang putra seusiaku yang sudah menikah dan memiliki beberapa orang anak. Dia belum pernah datang sebelumnya untuk me - nawarkan pernikahan. Setelah melihatku bersama gubernur dan cek yang ada ditanganku, dia kemudian menyatakan tawarannya dengan sebuah peri - bahasa.
Sebuah ranting patah janganlah dibuang: itu akan selalu berguna bagi keluarga! Jika dia berkenan, aku akan mengambilnya untuk dijadikan istri kedua bagi anakku!
Tanpa banyak komentar, aku berterima kasih
kepadanya, tapi aku menolak tawarannya. Apa yang dia inginkan untuk anaknya" Aku, atau cek"
Buatku pribadi, aku hanya menginginkan gedung sekolah.
M eMecah k esunyian H uKuM N EgARA P AKISTAN MEMBERIKAN OTORISASI untuk menahan semua laki-laki yang terlibat dalam kasus pemerkosaan yang menimpaku, baik yang turut ambil bagian di dalamnya, maupun yang hanya berperan sebagai saksi. Para lelaki itu diadili berdasarkan sistem hukum Islam. Pemerintah telah membentuk sebuah pengadilan khusus pada tingkat lima wilayah bagian, di mana tindak kejahatan ter - sebut akan diadili lain dari yang lain di hadapan pengadilan antiteroris. Hal ini sangat menguntung - kanku: aku tidak mesti menghadirkan empat orang saksi mata untuk membuktikan bahwa aku telah diperkosa, yang sebenarnya telah dibuktikan kebenarannya melalui pemeriksaan medis. Lagipula, ada sekelompok laki-laki penduduk desa di sana yang menyaksikanku memasuki dan keluar dari kandang, dilempar keluar ke jalanan di hadapan mereka .
Keselamatanku telah dijamin. Namun di satu sisi, aku telah menjadi tawanan atas pengamananku,
karena ke mana pun aku pergi, meski hanya untuk melakukan hal-hal kecil, aku harus dikawal polisi.
Pihak pengadilan telah meminta untuk mengkaji kembali keseluruhan berkas yang ada. Keputusan akan segera diambil untuk meredakan berbagai pendapat publik, pihak media massa nasional dan pihak pers internasional, yang sempat mengkritisi kurang - nya hak-hak legal bagi perempuan dalam demokrasi kami yang disebabkan oleh ketergantungan pada tradisi adat. Berbagai organisasi hak-hak asasi manusia, kelompok penentang kekerasan terhadap perempuan, dan lembaga swadaya masyarakat turut memetik keuntungan atas kasusku untuk meng - undang perhatian, melalui berbagai surat kabar, terhadap berita-berita yang biasanya lepas dari perha - tian publik. Penduduk negaraku berada di pihakku.
D i L ahoRe , seorang istri, yang juga seorang ibu yang minta diceraikan karena sikap suaminya yang se - mena-mena kepadanya, telah terbunuh di kantor pengacaranya. Pengacaranya sendiri juga mendapat ancam an dari si pembunuh yang sampai saat ini masih bebas berkeliaran.
Menduga saudara ipar perempuannya tidak setia, tiga laki-laki bersaudara membakarnya hidup-hidup di sebuah desa dekat Sukkur. Perempuan itu sempat di - selamatkan oleh ayahnya, sebelum akhirnya meninggal di rumah sakit.
D AN , daftar itu terus berlanjut. Apa pun alasannya perceraian, tuduhan perzinaan, ataupun penyelesaian dendam antarlaki-laki perempuanlah yang harus menanggung akibatnya. Perempuan sah-sah saja diberikan sebagai kompensasi atas sebuah kejahatan, atau diperkosa sebagai satu bentuk pembalasan dari musuh-musuh suaminya. Terkadang anehnya, ketika dua orang laki-laki meributkan sesuatu, salah satu di antara mereka akan melampiaskan dendamnya pada istri dari laki-laki yang satunya lagi. Praktik yang umum terjadi di desa kami ialah kaum laki-laki memutuskan suatu perkara dengan cara-cara mereka sendiri, menggunakan prinsip mata dibayar dengan mata . Permasalahannya selalu tentang kehormatan, dan mereka dapat melakukan apa pun sesuka hatinya; memotong hidung perempuan, membakar saudara perempuan, memerkosa istri tetangga.
Bahkan, jika ada pelaku penyerangan tertangkap sebelum mereka berhasil membunuh korbannya, insting untuk melakukan pembalasan tidak berhenti sampai di situ, karena anggota keluarganya yang lain akan selalu siap untuk memperjuangkan kehormatan saudara atau sepupunya. Aku tahu, mi salnya, salah seorang saudara laki-laki Faiz, yang jauh lebih liar dan temperamental dibanding kan dengan saudara-saudaranya yang lain, tidak akan pernah menerima ide untuk melepaskanku. Dan, tidak ada seorang pun yang dapat mencegahnya untuk
menghukumku bahkan sebaliknya: semakin eks - trem tindak kekerasannya, semakin menggebu hasrat mereka untuk ikut ambil bagian di dalamnya.
Aku tidak mentolerir tindakan kejahatan kehormatan, sikapku jauh dari itu. Namun, ketika bebe - rapa orang asing menggangguku dengan pertanyaan-pertanyaan, aku mencoba menjelaskan ke - pada mereka mengenai cara kerja masyarakat di Punjab ini, sebuah wilayah di mana kejahatankejahatan sejenis itu terjadi di banyak tempat. Aku dilahirkan di negara ini, tunduk pada hukumhukum nya, dan aku tahu bahwa aku sama seperti para perempuan lainnya yang dimiliki para lelaki di keluarganya. Kami adalah objek, dan mereka di - benarkan untuk me laku kan apa pun yang mereka inginkan dari kami. Kepasrahan diwajibkan bagi kami.
P ARA pelaku penyerangan terhadap diriku akan diadili di sebuah pengadilan khusus antiteroris, yang berlokasi di Dera ghazi Khan, sebuah pusat administratif yang berlokasi di sebelah barat sungai Indus dan dapat ditempuh dengan berkendaraan dalam waktu tiga jam dari desaku. Pihak kepolisian menemukan banyak senjata yang disimpan di farmhouse milik kaum Mastoi, yang mungkin masih memiliki senjata dalam jumlah lebih besar di tempat-tempat lainnya. Karena sebelum tertangkap, mereka memi liki cukup banyak waktu untuk menyembunyikan apa pun yang dikehendakinya di berbagai tempat yang disukainya. Aku tidak tahu apakah keberadaan senjata-senjata itu saja sudah dianggap cukup untuk membenarkan penggunaan pengadilan antiteroris ini, karena banyak laki-laki Punjab memiliki senjata. Satu-satunya keuntungan bagiku ialah peng adilan ini dapat memberikan keputusan dalam waktu cepat, tidak seperti di pengadilan biasa, di mana kasus seperti ini akan memakan waktu ber bulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun.
Kehadiranku sangat diperlukan di ruang peng - adilan setiap harinya, dan karena sulit bagiku me - lakukan perjalanan pulang pergi dari Desa ghazi Khan ke Meerwala, akhirnya aku memutuskan me - ngontrak di sebuah rumah yang dekat jaraknya de - ngan pengadilan. Aku tidak terbiasa dengan ke - hidup an kota, dengan debu-debunya, dengan jalanjalannya yang dibuat bising oleh pedati, rickshaw (becak yang ditarik oleh manusia), truk, dan sepeda motor yang suaranya meraung-raung. Aku hanya akan menetap di sini selama tiga minggu ke depan.
P IHAK pengadilan mulai mendengarkan kesaksian pada salah satu hari Jumat di bulan Juli, satu bulan setelah kejadian suatu penundaan yang sangat singkat dalam sistem peradilan kami. Para terdakwa dihadirkan di ruang pengadilan dalam keadaan
kedua tangan terborgol: empat belas laki-laki. Ramzan Pachar adalah salah satu di antaranya. Sembilan orang didakwa telah mengancam ayahku dengan senjata yang mereka miliki, sementara Faiz dan keempat terdakwa lainnya dituduh telah melakukan pemerkosaan. Sampai saat ini, tak ada seorang pun, meski pelaku kejahatan sekali pun, pernah dihukum atas tindakan kejahatan kehormatan, sehingga para terdakwa merasa yakin bahwa mereka akan meninggalkan ruang pengadilan dalam keadaan bebas. Faiz dan teman-temannya hanya diam. Mereka membiarkan para pengacara nya berbicara mewakili mereka. Menurutku, para pelaku penyerangan terhadapku kali ini tidak terlihat sok jagoan seperti biasanya, dan aku tidak merasa takut menghadapi meraka. Para serigala yang kemarin terlihat kini tampak seperti domba. Namun penampilan luar kadang menipu. Aku tahu apa yang telah mereka lakukan kepadaku. Mereka tidak lagi mem - bangga-banggakan tindakan-tindakan jahat yang telah mereka lakukan, tidak lagi memamerkannya sebagai harga yang harus dibayar atas kehormatan keluarga mereka.
Sebelum datang ke sini, seperti biasanya aku melakukan salat dhuha. Kepercayaanku pada ke - adilan Tuhan mungkin jauh lebih besar dari rasa percayaku pada keadilan manusia. Dan, aku seorang fatalis.
Empat belas orang dari suku Mastoi melawan seorang perempuan dari kasta yang lebih rendah.& Belum pernah ada yang menyaksikan hal seperti ini sebelumnya. Mereka memiliki banyak pengacara, sembilan orang jumlahnya, sementara aku hanya memiliki tiga pengacara, ada yang masih agak muda, dan ada juga seorang perempuan. Lawan utamaku dari tim pengacara mereka adalah seorang pembicara hebat yang memonopoli sesi pendengaran kesaksian dan terus menyebutku seorang pembohong, yang mengatakan bahwa aku telah mengarang semuanya.
Bagaimanapun, aku adalah seorang janda, dan statusku ini menempatkanku pada tingkatan terbawah dari urutan perempuan-perempuan terpandang, demikian menurut tim pembela. Aku bahkan bertanya-tanya, apakah itu bukan merupakan alasan mengapa kaum Mastoi memilih Mukhtaran Bibi untuk memohon pengampunan palsu itu kepada mereka. Aku tidak akan pernah mengetahuinya.
Kaum Mastoi menyatakan bahwa mereka telah menawarkan pertukaran perempuan: Salma untuk Shakur, dan Mukhtar untuk seorang laki-laki dari klan mereka. Mereka menegaskan bahwa ayahku, pamanku, dan Ramzan sang negosiator tidak menyetujui tawaran tersebut! Malahan sebaliknya, tampaknya Ramzanlah yang menyarankan agar aku diberikan kepada kaum Mastoi untuk diperkosa
supaya dapat menyamakan situasi di antara kedua belah pihak keluarga, sebuah tawaran yang ditolak oleh ayahku. Aku semakin menaruh kecurigaan terhadap Ramzan atas peran kotor yang dimainkannya dalam perkara ini. Namun, tim pembela mereka te - tap mempertahankan pendapatnya bahwa aku telah melakukan kebohongan sejak awal hingga akhir. Ti - dak ada yang terjadi! Tidak ada seorang pun ya ng te lah melakukan zina-bil-jabar (pemerkosaan) ter ha - da p anak perempuan tertua ghulam Farid Jat, ayah - ku.
Tim pembela mereka mencoba memintaku untuk membuktikan bahwa tindakan kejahatan telah ter jadi berdasarkan hukum Islam. Dan, aku harus membuktikannya. Ada dua cara untuk mendapatkan bukti tersebut: pertama, melalui pengakuan menyeluruh dari satu atau banyak pihak yang bersalah di hadap - an sebuah pengadilan yang kompeten (yang tidak pernah terwujud); atau kedua, melalui kesaksian empat laki-laki muslim dewasa yang dikenal akan kesalehannya dan dipandang jujur oleh pengadilan.
Namun, keberadaanku di pengadilan luar biasa ini hanya dapat berarti bahwa takdir telah memilih untuk menunjukkanku jalan menuju keadilan. Dan jika vonisnya adil, ini akan menjadi pembalasan dendamku. Ketika aku berdiri di hadapan para laki-laki terborgol yang memalukan ini, aku tidak lagi merasa takut untuk memberikan kesaksian dengan sikap
dingin dan tanpa detail yang terkait dengannya. Pernyataan yang aku berikan kepada hakim penguji telah dimasukkan sebagai barang bukti.
Kedatanganku menghadap Dewan Jirga ber - tujuan untuk memohon pengampunan. Aku men - dengar suara seorang laki-laki yang mengatakan, Dia harus dimaafkan, tapi seorang laki-laki lain tiba-tiba maju ke depan dan memerintahkan pemer - kosaan. Tidak ada seorang pun yang berusaha membantu menyelamatkanku. Ada empat orang yang menyerangku, memerkosaku secara ber gantian dan melemparku keluar dari kandang ternak itu dalam keadaan yang memalukan di depan kedua mata ayahku.
Ketika aku selesai bicara, aku berusaha tetap tenang, tapi hati dan perutku terasa perih dengan perasaan malu.
Kesaksian dilakukan di ruangan tertutup. Para wartawan menunggu di luar. Hanya penggugat, terdakwa, saksi, dan pengacara yang boleh hadir di hadapan hakim, yang berkali-kali harus melakukan intervensi saat persidangan menjadi terlalu teng - gelam dalam perbedaan pendapat antarpengacara.
P ADA kesaksian terakhir, hakim yang memimpin sidang berencana menyampaikan keputusannya pada keesokan harinya. Ketika saat itu tiba, aku tidak hadir sewaktu dia menanyai kepala kepolisian
wilayah dan bawahannya (orang yang menyuruhku menandatangani pernyataanku di atas selembar kertas kosong) beserta dengan para anak buahnya. Menurut bawahannya, pernyataanku pada saat itu berbeda dengan kesaksian yang kuberikan hari ini.
Aku meminta kalian datang, kata hakim, karena kalian semua berada di sana ketika Mukhtar menyampaikan ceritanya, dan kalian semua ber - tanggungjawab atas apa yang tertulis pada dokumen-dokumen ini.
Yang Mulia, jawab kepala kepolisian wilayah, perkenankan aku untuk memperjelas bahwa mereka lah yang terlibat dalam perkara itu. Mukhtar memberitahuku sewaktu kami membicarakan kasus ini di dalam ruangan kantorku beberapa hari lalu. Sewaktu aku meminta polisi itu untuk datang, dia berkata, Tidak ada masalah, kertas itu pasti ada di dosir (kumpulan dokumen), aku akan mencarinya, tapi dia tidak pernah menyampaikan dosir itu kepadaku.
Mendengarnya, seru hakim dengan marahnya, membuatku ingin mengirimmu ke penjara!
Namun, hakim membebaskannya dan meng - umum kan akan adanya penundaan dalam penye - lesaian kasus itu.
P ADA tanggal 31 Agustus 2002, pengadilan menyampaikan keputusannya dalam sesi khusus pada tengah
malam. Enam orang dijatuhi hukuman mati dan diharuskan membayar denda sejumlah 50,000 rupee: empat di antaranya dijatuhi hukuman mati karena telah memerkosa Mukhtaran Bibi, dan dua orang lainnya karena, sebagai anggota Dewan Jirga, telah menyarankan pemerkosaan; yakni Faiz, pimpinan klan, dan Ramzan. Yang terakhir, Ramzan, telah berpura-pura melakukan negosiasi atas nama kelu - argaku, padahal nyatanya dia seorang peng khianat munafik yang memanfaatkan kepercayaan ayahku yang malang kepadanya, yang bersedia melakukan apa pun untuk memenuhi keinginan kaum Mastoi. Delapan orang lainnya dibebaskan.
Aku mengumumkan kepada para wartawan yang menunggu di luar gedung pengadilan bahwa aku merasa tenang dan puas dengan keputusan peng - adilan, tapi para pengacaraku dan jaksa penuntut umum merencanakan akan naik banding atas ke - putusan membebaskan delapan orang kaum Mastoi. Sementara, keenam orang yang telah diputuskan ber salah juga akan naik banding atas hukuman mati yang dijatuhkan kepada mereka. Jadi, meskipun aku sudah menang, ini belum berakhir. Para militan me - rasa sangat senang keberhasilan perjuangan Mukh - taran Bibi merupakan satu simbol penting bagi mereka.
Aku dapat kembali ke desaku dengan kepala te gak, dan hanya ditutupi dengan selendang tradisional.
A Ku masih harus mendirikan sebuah sekolah, dan itu bukan perkara mudah. Aku tidak tahu mengapa, namun terkadang kekuatanku hilang & aku ke - hilang an berat badanku, dan wajahku bertambah pucat karena keletihan. Pengalaman pahit yang menghancurkan ketenangan hidupku dan gema kemenangan yang diteriakkan banyak media massa membawaku pada depresi tanpa akhir aku lelah berbicara, aku lelah harus berurusan dengan kaum lelaki dan hukum-hukumnya. Orang-orang me - ngatakan bahwa aku heroik, namun nyatanya aku sangat lelah. Dulu aku sering tertawa dan sangat bahagia, tapi kebahagiaan itu kini telah hilang dariku. Dulu aku senang bercanda dengan saudarasaudara perempuanku dan aku menikmati pekerja - anku, kegiatan menyulam dan mengajarkan al- Quran kepada anak-anak kecil. Tapi sekarang, aku merasa sedih dan tidak bergairah. Dengan keberadaan sekelompok polisi di depan pintuku ini aku merasa seperti terpenjara di dalam kisahku sendiri, meskipun aku berhasil mengalahkan orang-orang yang telah menyakitiku.
Para pengacara dan kaum militan berusaha menenangkanku: proses naik banding akan memakan waktu lama, sekitar satu atau bahkan dua tahun, dan untuk sementara ini aku aman. Bahkan, para lelaki yang dibebaskan tidak akan berani terlalu menunjukkan sikap marahnya kepadaku. Dan, semua itu
benar. Berkat keberanianku, demikian yang di - katakan orang-orang, aku telah ikut menyoroti kondisi kaum perempuan di negaraku, dan para perempuan lainnya akan mengikuti langkahku. Aku bertanya-tanya, berapa banyak"
Berapa banyak dari mereka yang akan men dapat - kan dukungan keluarganya sebagaimana dukungan keluargaku kepadaku" Berapa banyak yang mung - kin cukup beruntung menemukan seorang wartawan yang akan memberitakan kisahnya, mendapatkan dukungan sangat kuat dari banyak organisasi hakhak asasi manusia sampai-sampai pemerintah sendiri harus melakukan intervensi di dalamnya" Terlalu banyak perempuan buta huruf di desa-desa sekitar Indus River Valley. Begitu banyak perempuan akan diabaikan oleh para suami dan keluarganya yang meninggalkan mereka dalam keadaan tak berdaya, kehilangan kehormatan dan segala bentuk dukung - an. Sebegitu mudahnya.
Ambisiku mendirikan sebuah sekolah di desaku untuk kaum perempuan sangat penting bagi hatiku. Ide itu datang kepadaku dengan tiba-tiba hampir bagaikan sebuah wahyu dari Tuhan. Aku mencoba mencari jalan agar dapat memberikan pendidikan bagi anak-anak perempuan, memberikan motivasi kepada mereka agar mau belajar. Kaum ibu di desa tidak berbuat apa-apa untuk membantu mereka karena mereka tidak bisa melakukannya. Karena,
anak perempuan harus membantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dan ayahnya tidak berniat menyekolahkannya. Begitulah keadaannya. Di daerah ku yang terpencil, apa yang dipelajari anak perempuan dari ibunya" Mereka belajar membuat chapati, memasak nasi dan lentil (biji-bijian sejenis kacang yang dikeringkan dan dijadikan makanan), mencuci pakaian dan menjemurnya di antara batang-batang pohon palem, memotong rumput untuk makanan ternak, mengumpulkan hasil panen gandum dan tebu, menyiapkan teh, menidurkan anak-anak yang masih kecil, mengambil air dari pompa. Para ibu kami telah melakukan semua hal itu sebelum kami, dan ibu mereka juga telah melaku - kannya sebelum mereka. Dan kemudian tibalah waktunya menikah dan memiliki anak.& Begitulah perjalanan hidup dari satu generasi perempuan ke generasi perempuan lainnya.
Namun di perkotaan, dan bahkan di wilayahwilayah lain, perempuan bisa mendapatkan pendidikan dan berprofesi sebagai pengacara, guru, dokter, wartawan. Aku telah berjumpa dengan se - bagian dari mereka, dan mereka tidak tampak buruk bagiku. Mereka tetap menghormati orang tua dan suami mereka, tapi mereka memiliki hak untuk menyuarakan pendapat pribadinya karena mereka mempunyai pengetahuan. Bagiku, jawabannya sederhana: pengetahuan harus diberikan kepada
anak-anak perempuan, dan dengan sesegera mungkin, sebelum ibu-ibu mereka membesarkan anak-anak perempuannya dengan cara yang sama ketika mereka dibesarkan dulu.
Aku tidak akan melupakan kata-kata yang di - ucapkan oleh seorang polisi yang melakukan interupsi sewaktu aku bersiap-siap hendak memberi - kan kesaksianku kepada kepala kepolisian wilayah.
Biarkan aku yang menjelaskannya kepadamu! Dia tidak tahu bagaimana mengatakannya.&
Tapi, aku tetap angkat bicara. Karena, aku memiliki karakter yang kuat" Karena aku merasa terhina" Karena lidahku tiba-tiba terasa bebas untuk bicara" Aku angkat bicara untuk semua alasan itu. Aku akan memastikan agar anak perempuan dapat belajar membaca, dan aku sendiri juga akan belajar mem - baca. Aku tidak akan pernah lagi membubuhkan cap jempolku pada selembar kertas kosong.
Aku telah berencana membangun sebuah rumah sakit kecil untuk mengenang seorang saudara perempuanku, yang meninggal dunia karena men - derita kanker dan tidak mendapatkan perawatan medis secara memadai. Namun, pekerjaan berat tersebut akan membutuhkan biaya jauh lebih besar dibandingkan dengan membangun sebuah sekolah: mempekerjakan dokter, perawat, mendapatkan obatobatan untuk kemudian dibagi-bagikan secara gratis sebuah permasalahan berat yang sulit
dipecahkan. Ketika aku bersama ibu menteri, aku mengatakan sekolah karena mengikuti instingku, meskipun ide itu tidak pernah terpikir olehku sebelum insiden cap jempol yang aku alami. Aku merasa tanganku seperti terborgol, tidak berdaya dalam menghadapi situasi sulit tersebut. Kalau saja saat itu aku dapat mengetahui apa yang ditulis polisi tersebut, mungkin keadaan akan berbeda. Dia mungkin akan mencoba memanipulasi diriku dengan cara lain, bukan dengan cara yang sangat kentara.
Di beberapa wilayah tertentu, para polisi se - tempat dan pejabat penting hanya berperan sebagai bidak dalam sistem adat. Mereka dikontrol oleh para pemilik tanah yang kaya, karena pada akhirnya kaum kayalah yang akan berkuasa. Aku beruntung dapat bertahan dalam sistem itu, berkat keluargaku, media massa, hakim yang berpikir jernih, dan intervensi dari pemerintah. Satu-satunya tindakan berani yang aku lakukan ialah berani angkat bicara, padahal aku dulu diajarkan untuk diam.
Para perempuan di sini sama sekali tidak memi liki pijakan kokoh. Ketika mereka hidup bersama orangtua, mereka menuruti keinginan orangtua mereka. Ketika mereka berumah tangga, mereka mematuhi perintah suaminya. Sewaktu anak-anaknya sudah dewasa, anaknya yang laki-laki mengambil alih dan memperlakukannya dengan sama. Bedanya aku
dengan mereka ialah aku telah terbebas dari ke - pasrahan seperti itu. Terbebas dari suamiku dan tidak memiliki anak, sekarang aku akan berjuang untuk memperoleh kehormatan dengan cara me - rawat anak-anak orang lain.
P IHAK pemerintah memenuhi janjinya. Berkat bantuan mereka, sekolahku yang pertama mulai ber - operasi menjelang akhir tahun 2002. Pihak pemerintah sangat menunjukkan sikap murah hatinya de - ngan bersedia melebarkan jalan, memperbaiki sistem saluran air, membangun instalasi listrik dan telepon. Aku menghabiskan sisa dari uang 500,000 rupee yang pernah diberikan kepadaku untuk membeli dua bidang tanah di dekat rumahku yang masingmasing seluas hampir empat are. Aku bahkan menjual perhiasanku untuk membantu pembangunan sekolah anak-anak perempuan ini, yang berawal dari anak-anak murid yang hanya duduk di atas tanah yang dinaungi pohon-pohon rindang.
Dan itulah sekolah di bawah pohon milikku, sampai akhirnya kami dapat membangun sebuah gedung yang cukup memadai. gadis-gadis kecil mulai memanggilku Mukhtar Mai, Kakak perempuan yang dihormati. Setiap pagi aku menyaksikan mereka datang dengan membawa buku dan pensil, dan kemudian guru mengabsen mereka. Kesuksesan tersebut, meskipun masih belum sempurna, mem buatku sangat gembira. Siapa yang pernah menduga bahwa Mukhtaran Bibi, anak perempuan buta huruf dari keluarga petani miskin, akhirnya menjadi se - orang kepala sekolah"
Pihak pemerintah membayarkan gaji untuk se - orang guru yang mengajar di ruang kelas anak lakilaki. Kemudian datang berbagai sumbangan lain, seperti dari Finlandia: 15,000 rupee yang digunakan untuk membayarkan gaji seorang guru selama tiga tahun.
Akhir tahun 2002 tidak hanya kulalui dengan kehormatanku yang terinjak-injak, tapi juga dengan mendapatkan penghargaan yang terpajang di atas meja kerjaku di sekolah.
Hari Hak Asasi Manusia Internasional Peringatan Nasional Pertama atas Hak-hak Perempuan Penghargaan kepada Mukhtaran Bibi
10 Desember 2002 Komite Internasional untuk Hak Asasi Manusia
A Ku benar-benar eksis di dunia, dan mewakili seluruh perempuan Pakistan.
Pada tahun 2005, setelah dua tahun berlalu, sekolah mengalami kemajuan sangat pesat. gaji para guru telah dibayar untuk masa satu tahun, dan aku berniat membangun sebuah kandang ternak, agar aku dapat membeli beberapa ekor sapi dan kambing untuk menghasilkan pendapatan mandiri bagi sekolah.
Meskipun beban tanggungjawabku kadang terasa sangat berat, aku mendapatkan dukungan moral yang menggembirakan ketika sebuah or - ganisasi feminis, Women s Club 25, mengundangku datang ke Spanyol untuk berpartisipasi dalam Konferensi Perempuan Internasional yang diketuai Ratu Rania dari Yordania. Aku terbang dengan pesawat untuk pertama kalinya dalam hidupku. Aku ditemani salah seorang kakak laki-lakiku. Kami berdua sangat gugup, terutama karena orang-orang di sekeliling kami berbicara dengan beragam bahasa asing. untungnya kami mendapat sambutan hangat begitu kami sampai di Dubai. Kami mendapatkan pengawalan di sepanjang sisa perjalanan kami.
Banyak perempuan yang menghadiri konferensi bertema kekerasan terhadap perempuan tersebut, dan mereka datang dari berbagai negara. Banyaknya permasalahan yang dibicarakan membuat aku ter - kaget-kaget akan besarnya masalah tersebut. untuk setiap perempuan yang menentang kekerasan dan berhasil bertahan, seberapa banyak yang terkubur di bawah pasir, tanpa harga diri, bahkan tanpa kubur - an" Sekolah kecilku terlihat begitu kecil dalam kubangan penderitaan ini, bagaikan sebuah batu kecil yang diletakkan di suatu tempat di dunia ini dengan usaha yang berat demi mengubah alur sifat manusia dengan mengajarkan alfabet kepada sekelompok gadis kecil dan membiarkan proses
belajar ini berjalan dari satu generasi ke generasi lainnya. Dan dengan mengajarkan sejumlah kecil anak laki-laki untuk menghormati teman-temannya, saudara-saudara perempuannya, serta para tetangga - nya. Sebuah aksi sekecil itu.&
Tapi, aku sedang berada di Eropa, suatu tempat di sebelah barat desaku, tempat yang dulu diceritakan pamanku ketika aku masih kecil, dan orang-orang asing ini mengetahui kisahku! Rasa terkejutku terus bertambah, dari satu hal ke hal lainnya, dengan perasaan sedikit malu-malu. Aku tidak berani menunjukkan rasa banggaku berada di sini, seorang perempuan di antara para perempuan lainnya di dunia luas yang hebat ini.
Setelah kembali lagi ke rumah, keinginanku untuk memperluas sekolah semakin kuat. Setiap kali aku mendengar murid membacakan ayat-ayat al- Quran di bawah pepohonan palem di Meerwala, atau melantunkan tabel-tabel perkalian dan alfabet Inggris, aku merasakan hidupku penuh arti. Dalam waktu dekat, pelajaran Sejarah dan geografi akan diberikan. gadis-gadis kecilku, anak-anak perempuanku, akan mempelajari hal-hal yang dipelajari anak laki-laki.
N AMuN demikian, eksistensi ini berada di luar diriku. Aku tidak memiliki seseorang yang dapat benar-benar aku percaya. Aku telah menjadi sese orang yang tidak mudah percaya, yang tidak mampu memulihkan kehidupanku yang dulu kedamaian, canda-tawa, perjalanan yang tenang pada siang dan malam hari.
Tentu saja, sekarang listrik telah menerangi ambang pintu rumah kami, dan telepon pun ber - dering cukup sering, karena aku kerap mendapat - kan telepon dari berbagai lembaga swadaya masya - rakat dan media massa. Dengan setia aku selalu menjawab telepon-telepon mereka karena aku selalu membutuhkan bantuan untuk mewujudkan proyek sekolahku, yang masih belum memiliki atap. Kami belum memiliki dana cukup untuk mem belinya, padahal sekarang tahun 2003, sudah satu tahun sejak kejadian tragis pada malam hari di bulan Juni berlalu.
Suatu hari, aku mendengar suara seorang perempuan di telepon.
Halo" Selamat siang, Mukhtar. Aku Naseem, dari desa tetangga Peerwala. Ayahku seorang polisi, dan dia ditugaskan menjaga di depan rumahmu. Aku ingin tahu kabarnya.&
Peerwala berjarak dua belas mil dari desa kami. Ayah Naseem adalah salah seorang yang ditugaskan untuk menjaga keamananku, dan pamannya bekerja pada sebuah kanal yang berjarak sekitar tiga mil jauhnya. Dia menceritakan kepadaku bahwa kami sebenarnya kerabat jauh karena kami berdua samasama memiliki bibi yang berasal dari keluarga yang sama dan tinggal di Peerwala. Naseem kembali ke kampung halamannya setelah menyelesaikan studi - nya di Alipur, kota tempat aku bertemu dengan se - orang hakim yang sangat membantu dalam penyelesaian kasusku. Saat ini Naseem terdaftar sebagai se - orang mahasiswi pada sebuah sekolah hukum di Multan.
Aku tidak pernah bertemu Naseem sebelumnya. Dia sendiri mengenalku hanya melalui berita yang dibacanya di koran. Aku memanggil ayahnya agar dia dapat berbicara dengan putrinya, dan saat itu kami berbincang-bincang sedikit. Beberapa waktu kemudian dia menelepon lagi, pada saat aku pergi menjalankan ibadah haji di Mekkah, sebuah impian yang diidam-idamkan setiap muslim sejati. Sewaktu dia meneleponku untuk ketiga kalinya dan meminta - ku menemuinya, aku balik memintanya untuk datang menemuiku, karena aku harus melayani begitu banyak orang yang datang mengunjungiku akhirakhir ini. Aku sama sekali tidak mengetahui bahwa Naseem tidak hanya menawarkan persahabatan untukku, tapi juga bantuan dan dukungan yang sa - ngat berharga. Dia telah banyak membaca mengenai diriku, dan kisahku membuatnya tertarik dari sudut pandang hukum. Namun jika bukan karena ayahnya seorang polisi dan ditugaskan untuk melindungiku, mungkin kami tidak akan pernah bertemu. Naseem
bukanlah tipe orang yang suka memaksakan ide-ide - nya kepadaku, seperti sebagian orang yang hanya tertarik pada popularitas yang aku miliki.
Ketika aku bertemu dengan Naseem untuk per - tama kalinya, aku melihatnya sebagai seorang perempuan yang mengagumkan. Sifatnya sangat berlawananan dengan sifatku. Dia seorang perempuan aktif, bersemangat, pandai bicara, dan tidak takut pada orang lain atau tidak takut meng - ungkap kan pendapatnya. Aku cukup terkesan de - ngan salah satu hal yang pertama kali diucapkannya.
Kau takut pada setiap orang dan setiap hal& Kalau kau terus-terusan bersikap seperti itu, kau tidak akan pernah berhasil. Kau harus menghadapi masalahmu sendiri.
Dengan cepat dia tersadar bahwa hanya ke - ajaibanlah yang membuatku masih bertahan. Kenyataan yang ada ialah aku sudah sangat lelah. Butuh waktu lama bagiku untuk dapat memahami beberapa hal tertentu, seperti apa yang dikatakan orang lain tentang aku, dan apa yang akan terjadi setelah pihak pengadilan mempertimbangkan permohonan naik banding yang diajukan kaum Mastoi atas keputusan yang mereka terima. Aku masih merasa takut dengan kekuatan yang dimiliki klan tersebut. Aku mendapatkan perlindungan dari polisi, dan pihak pemerintah juga membantuku, tapi Islamabad berada sangat jauh dari Meerwala.&
Interograsi Maut 4 Kitab Pusaka Karya Tjan Id Banyuwangi Trilogi 2

Cari Blog Ini