Ceritasilat Novel Online

Hus Hus 1

Hus Hus Karya Becca Fitzpatrick Bagian 1


HaUnCey TengaH bersaMa seorang pUTri petani di rerumputan tepi Sungai Loire ketika badai melanda. Kudanya terlepas dan berlari tak tentu arah di tengah kabut. Sekarang dia terpaksa mengandalkan kedua kakinya sendiri untuk kembali ke ch"teau. Chauncey mencopot lempengan perak dari sepatunya dan menaruhnya di telapak tangan sang gadis. Dia mengawasi gadis itu menjauh, tanah bertebaran dari roknya. Chauncey lalu mengenakan sepatu botnya dan berjalan pulang.
Hujan lebat membasahi wilayah desa yang suram di sekitar Ch"teau de Langeais. Dengan mudahnya Chauncey melangkah di sela-sela kuburan dan lapisan lumut di pemakaman itu. Di tengah kabut yang pekat
P R O L O G L e m b a h L o i r e , P r a n c i s n ov e m b e r 1565
sekalipun, dia bisa menemukan jalan pulang dari sini tanpa takut akan tersesat. Malam ini tak berkabut. Tetapi kegelapan dan derasnya hujan bisa membuat orang terkecoh.
Chauncey menangkap gerakan seseorang dalam jarak penglihatannya. Dia cepat-cepat menoleh ke kiri. Sekilas yang tertangkap matanya adalah sosok malaikat bertubuh besar, berdiri tinggi menjulang di atas sebuah nisan. Bukannya batu atau pun marmer, tapi dia adalah anak laki-laki yang punya tangan dan kaki. Dadanya telanjang, kakinya tak beralas, dan celana petani melorot di pinggangnya. Dia melompat turun dari nisan, ujung rambut hitamnya meneteskan air hujan. Air itu membasai wajahnya yang sehitam anjing Spaniard.
Tangan Chauncey memegang ujung pedang. Siapa di sana"
Ujung mulut anak itu menyunggingkan senyum. Jangan main-main dengan Duc de Langeais, Chauncey memperingatkan. Aku menanyakan namamu. Sebutkan.
Duc" Anak itu menyandarkan badannya ke pohon dedalu yang bengkok. Atau bajingan"
Chauncey mencabut pedangnya. Cabut kata-kata itu! Ayahku adalah Duc de Langeais. Sekarang akulah
Duc de Langeais, katanya menambahkan dengan kikuk, lalu memaki dirinya sendiri karena bersikap seperti itu.
Anak laki-laki itu menggeleng pelan. Ayahmu bukan duc yang itu.
Chauncey terkejut dengan penghinaan yang tak tanggung-tanggung itu. Dan ayahmu sendiri" cecarnya, menyiapkan pedang. Dia belum lagi kenal semua rakyatnya, tetapi dia belajar. Dia akan menyegarkan ingatan bocah itu dengan nama keluarganya. Aku tanya sekali lagi, katanya dengan suara pelan, sebelah tangannya mengusap air hujan dari wajahnya. Siapa kau"
Anak itu berjalan dan menggeser pedang itu ke samping. Mendadak dia tampak lebih tua dari yang disangka Chauncey, bahkan barangkali satu atau dua tahun lebih tua dari dirinya. Salah satu keturunan Setan, jawabnya.
Chauncey merasakan kejut rasa takut di perutnya. Kau sinting, desis Chauncey. Minggir dari jalanku.
Tanah di bawah Chauncey bergerak. Percikan warna emas dan merah berlompatan di depan matanya. Sembari memegang pahanya kuat-kuat, Chauncey menatap anak itu, mengerjap-ngerjap dan terengah-engah, berusaha memahami peristiwa di depan matanya. Tetapi kepalanya seolah tak lagi bisa dikendalikan.
Anak itu berjongkok hingga berhadap-hadapan dengan wajah Chauncey. Dengarkan baik-baik. Aku butuh sesuatu darimu. Aku tak akan pergi sampai aku mendapatkannya. Mengerti"
Menggerenyitkan gigi, Chauncey menggelengkan kepala untuk menunjukkan rasa tak percayanya atau lebih tepatnya pembangkangan. Dia berusaha meludah ke wajah anak itu, tapi air liurnya malah mengalir ke pipinya sendiri. Lidahnya tidak lagi mematuhi perintahnya.
Anak laki-laki itu menepukkan tangan ke sekitar tubuh Chauncey. Rasa panas membakar tubuhnya dan dia menjerit.
Kau harus mengucapkan sumpah setia, kata anak itu. Berlutut dan ucapkan sumpahmu.
Chauncey menyuruh tenggorokannya untuk tertawa sinis, tetapi tenggorokannya tercekat sehingga yang keluar adalah bunyi orang tersedak. Lutut kanannya menekuk seolah ditendang dari belakang, meski tak ada orang di sana. Dan tubuhnya terhuyung ke depan, nyaris terjerembap ke tanah. Tubuh Chauncey membungkuk ke samping dan dia muntah.
Ucapkan sumpah itu, anak laki-laki itu mengulangi perintahnya.
Rasa panas menjalar di leher Chauncey. Dia harus mengerahkan seluruh tenaganya untuk menekuk
tangannya menjadi sepasang kepalan lemah. Chauncey menertawai dirinya sendiri, tetapi tak ada yang lucu. Dia tak tahu bagaimana, tetapi anak laki-laki itu menyebabkan rasa mual dan lemah dalam dirinya. Dia tak akan bisa berdiri sampai dia mengucapkan sumpah. Diucapkannya kata-kata yang harus diucapkan, tetapi di dalam hati dia bersumpah akan menghancurkan anak itu sebisa-bisanya atas penghinaan ini.
Tuan, aku adalah budakmu, kata Chauncey dengan geram.
Anak itu membantu Chauncey berdiri, Temui aku di sini pada permulaan bulan Ibrani Cheshvan. Dalam dua minggu antara awal dan pertengahan bulan. Aku perlu pengabdianmu.
Sa m pa i& b u la n p u r n a m a" tubuh Chauncey gemetar menahan amarah. Aku D uc de Langeais.
Kau seorang Nephil, kata anak itu dengan senyum jahatnya.
Caci maki kotor sudah di ujung lidah, tetapi Chauncey menelannya. Kata-kata berikut yang keluar dari mulutnya setajam silet. Apa katamu"
Kau termasuk ras Nephilim, sebuah ras yang tertulis dalam Alkitab. Ayahmu yang sebenarnya adalah malaikat yang dibuang dari surga. Kau separuh manusia. Mata hitam anak laki-laki itu menantang, bertemu dengan mata Chauncey. Separuh malaikat.
Suara guru Chauncey melayang di relung-relung pikirannya, melafalkan ayat-ayat Alkitab yang menceritakan tentang terciptanya ras sesat ketika malaikat yang dibuang dari surga menikah dengan seorang manusia perempuan. Ras yang menakutkan sekaligus kuat. Suatu desiran yang tidak sepenuhnya penolakan menjalar di tubuh Chauncey. Siapa kau"
Anak itu membalikkan badan, berjalan menjauh. Dan meskipun Chauncey ingin mengejarnya, tetapi kedua kakinya tak mau diperintahkan untuk menahan tubuhnya. Sembari berlutut, mata mengerjap-ngerjap di tengah hujan, dia melihat dua goresan tebal di punggung telanjang anak itu. Bentuknya huruf V terbalik.
Apakah kau malaikat yang dibuang" teriaknya. Sayapmu telah dicabut, bukankah begitu"
Anak itu sang malaikat siapa pun dia, tidak menoleh. Dan Chauncey tidak perlu konfirmasi.
Tugas yang harus kulaksanakan, teriaknya, aku harus tahu apa itu!
Udara bergetar dengan tawa pelan anak itu.
k U M a s U k k e k e l a s b i o lo g i Da n TerCengang. Sebuah boneka Barbie, dengan Ken di sampingnya, entah kenapa digantungkan di papan tulis. Mereka dipaksa bergandengan tangan dan telanjang, kecuali pada bagian-bagian tertentu yang ditutup dengan daun. Di atas kepala mereka tertulis undangan dengan kapur merah muda.
selaMaT DaTang Di reproDUksi ManUsia (seks)
Di sebelahku, Vee berkata, Inilah sebabnya, kenapa sekolah melarang kita membawa ponsel berkamera.
1 c o L dwat e r , m a i n e
m a s a s e k a r a n g Masukkan gambar itu ke eZine dan aku sudah mendapatkan cukup bukti untuk memanggil dewan sekolah agar menghapus pelajaran biologi. Dan kita akan punya waktu untuk melakukan sesuatu yang produktif. Les privat dengan cowok gedongan yang keren, misalnya.
Lho, Vee, kataku, bukannya kau menunggununggu pelajaran ini sepanjang semester"
Vee menatap bosan dan tersenyum nakal. Kelas ini tak mengajarkan apa-apa kepadaku. Aku sudah tahu semuanya.
Vee" Yang masih perawan"
Jangan keras-keras. Vee mengedipkan mata, tepat ketika itu bel berbunyi sehingga kami harus menempati kursi kami, yakni bersebelahan di satu meja.
Guru olahraga kami, McConaughy, meraih peluit yang dikalungkan di lehernya dan meniupnya. Tim, harap duduk! McConaughy mengajar biologi untuk kelas sepuluh di luar tugas utamanya sebagai pelatih tim basket utama di sekolah, dan kami semua sudah tahu itu.
Barangkali kalian tidak tahu kalau seks itu lebih dari sekadar permainan lima belas menit di kursi belakang mobil. Seks adalah sains. Dan sains itu adalah& "
Membosankan, seorang anak di belakang berteriak.
Satu-satunya pelajaran yang membuatku mendapatkan nilai merah, kata yang lain.
Mata Pelatih bergeser ke barisan depan dan berhenti padaku. Nora"
Studi tentang sesuatu, kataku.
Pelatih melenggang dan mengetukkan jari telunjuknya di mejaku. Ada lagi"
Pengetahuan yang diperoleh melalui eksperimen dan observasi. Manis. Jawabanku terkesan seperti keluar dari buku audio.
Dengan kata-katamu sendiri.
Aku menjilat bibir atasku dan berusaha memikirkan persamaannya. Sains adalah sebuah penelitian. Jawaban ini lebih terkesan sebuah pertanyaan daripada pernyataan.
Sains adalah penelitian, kata Pelatih, menggosokgosok tangannya. Sains mengharuskan kita untuk menjadi mata-mata.
Sampai di situ sains sepertinya menyenangkan. Tetapi aku sudah lama mengikuti mata pelajaran yang disampaikan Pelatih, jadi aku tidak berharap banyak.
Untuk menjadi mata-mata yang baik, harus banyak berlatih, lanjutnya.
Begitu juga dengan seks, komentar seseorang di belakang lagi. Kami tertawa kecil sementara Pelatih
menudingkan telunjuk, memberi peringatan kepada si usil.
Yang itu tak akan menjadi PR kalian malam ini. Perhatian Pelatih kembali tertuju kepadaku. Nora, kau duduk bersebelahan dengan Vee sejak awal tahun ini. Aku mengangguk, tetapi perasaanku tidak enak. Kalian sama-sama bertugas untuk eZine. Lagi-lagi aku mengangguk. Aku yakin kalian sudah saling mengenal satu sama lain.
Vee menendang kakiku di bawah meja. Aku sudah bisa membaca pikirannya. Pelatih tak tahu seberapa jauh kami saling mengenal. Dan yang kumaksud bukan hanya rahasia-rahasia di buku harian kami saja. Vee berbeda 180 derajat dariku. Dia memiliki mata hijau, rambut pirang seperti cerpelai, dan kelebihan berat beberapa kilogram. Aku memiliki mata cokelat, rambut ikal bergelombang, lebih cantik dari hasil catokan terbaik. Dan tubuhku tulang melulu, seperti bangku di bar. Tetapi ada ikatan tak kasat mata yang mengeratkan kami berdua. Kami sama-sama yakin kalau ikatan itu sudah ada, jauh sebelum kami dilahirkan. Dan kami bersumpah untuk menjaga ikatan itu seumur hidup.
Pelatih menatap kelas. Bahkan aku yakin kalian mengenal teman semeja kalian dengan baik. Kalian tidak begitu saja memilih teman yang akan duduk di sebelah kalian, bukan" Keakraban, itu alasannya. Tetapi
sayangnya, detektif jagoan selalu menghindari keakraban. Karena hal itu tidak mengasah naluri penyelidikan. Maka dari itu, hari ini, kita akan mengubah posisi duduk.
Aku membuka mulut untuk memprotes, tetapi Vee menyikutku. Kenapa repot-repot" Ini kan April. Maksudku, sudah hampir akhir tahun ajaran. Kita tidak bisa berbuat apa-apa.
Pelatih menyunggingkan senyum. Aku harap hal ini sudah beres pada akhir semester. Dan jika kalian gagal pada mata pelajaranku, kalian harus kembali ke kelas ini tahun ajaran depan, dan aku bisa memberlakukan program ini lagi.
Vee memaki Pelatih. Dia memang jagoan untuk urusan caci-mencaci. Tetapi perbuatan Vee tak menghasilkan apa-apa, kecuali peringatan untuk diam. Seolah kebal dengan semua itu, Pelatih meniup peluit, dan kami sudah paham maksudnya.
Setiap murid yang duduk di sisi kiri meja artinya di sebelah kiri kalian bergeser satu kursi. Murid-murid yang duduk di barisan depan ya, termasuk kamu, Vee, bergeser ke belakang.
Vee menjejalkan buku catatannya ke dalam ransel dan menutup resletingnya keras-keras. Aku menggigit bibir dan melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan. Lalu aku menoleh sedikit, memeriksa barisan di
belakangku. Aku hapal nama semua teman sekelas& kecuali satu. Anak yang baru pindah. Pelatih tak pernah menyebut namanya, dan tampaknya dia merasa lebih baik begitu. Dia duduk malas di barisan belakangku. Matanya yang hitam menatap lurus ke depan. Seperti biasanya. Aku tak menyangka dia duduk di sana, hari demi hari, dengan mata menerawang. Pasti dia tengah memikirkan sesu atu. Tetapi naluriku mengatakan sepertinya aku tak ingin mengetahuinya.
Dia meletakkan buku teks biologinya ke meja dan bergeser ke kursi yang tadinya diduduki Vee. Aku tersenyum. Hai. Aku Nora.
Mata hitamnya melirik sedikit ke arahku, dan ujung mulutnya sedikit terangkat. Jantungku berdegup dan dalam waktu yang senyap itu rasa murung seolah menyusup ke dalam diriku. Perasaan itu hilang dalam sekejap, tapi aku masih menatapnya. Itu bukanlah senyuman ramah. Melainkan senyuman yang mengundang bahaya. Sudah pasti.
Kufokuskan mataku ke papan tulis. Barbie dan Ken saling menatap dengan senyum riang yang aneh.
Pelatih berkata, Reproduksi manusia bisa menjadi suatu topik yang menegangkan
Iihhh! seru murid-murid seperti paduan suara. Dibutuhkan kedewasaan. Dan seperti sains yang lain, pendekatan terbaik adalah mempelajarinya dengan
cara menjadi detektif. Sepanjang sisa mata pelajaran, praktikkan teknik ini dengan mencari informasi sebanyak mungkin tentang rekan kalian yang baru. Besok, bawa catatan tentang penemuan kalian. Dan percayalah, aku akan memeriksa keasliannya. Ini kelas biologi, bukan bahasa Inggris. Jadi jangan coba-coba merekayasa jawaban. Aku ingin melihat interaksi dan kerja tim yang sebenarnya. Kalimat itu mengandung isyarat, Awas, kalau tidak&
Aku duduk tegak. Keputusan berada di tangannya aku tersenyum, dan bermaksud melihat hasilnya. Kugerenyitkan hidungku, berusaha mengetahui seperti apa baunya. Bukan rokok. Sesuatu yang lebih pekat, lebih berbahaya.
Cerutu. Aku melihat jam di dinding dan mengetuk-ngetukkan pensil ke jam tanganku. Dengan siku di atas meja, aku mengangkat dagu dengan kepalan tanganku. Aku menarik napas.
Bagus. Aku akan gagal dalam tugas kali ini. Mataku menatap lurus ke depan, tapi aku mendengar goresan lembut penanya. Dia menulis. Dan aku ingin tahu. Sepuluh menit duduk bersama, seharusnya dia tidak boleh membuat asumsi apa pun tentang diriku. Mencuri-curi pandang ke samping, aku melihat
kertasnya berisi beberapa baris kalimat dengan tulisan tebal dan besar-besar.
Apa yang kau tulis" tanyaku.
Dan dia berbahasa Inggris, katanya sembari menulis kata-kata itu. Setiap huruf digoreskannya dengan pelan sekaligus malas.
Aku mencondongkan tubuh sedekat mungkin kepadanya, sebatas keberanianku. Aku berusaha membaca apa lagi yang dia tulis, tapi dia melipat kertas, menyembunyikan tulisan itu.
Apa yang kau tulis" cecarku.
Dia meraih kertasku yang masih kosong, menggesernya di atas meja ke arahnya. Lalu dia meremasnya menjadi bola. Sebelum aku bisa memprotes, dilemparkannya kertas itu ke keranjang sampah di samping meja Pelatih. Gol.
Aku melongo, menatap keranjang sampah. Perasaanku campur aduk antara tidak percaya dan marah. Kemudian aku membuka buku catatanku pada lembaran yang masih bersih. Siapa namamu" tanyaku, pensil siap menulis.
Aku melirik tepat pada waktu dia nyengir. Kali ini seolah menantangku untuk mencari tahu tentang dirinya.
Namamu" aku mengulang dengan harapan suaraku yang gemetar hanya ada dalam khayalanku saja.
Panggil aku Patch. Aku sungguh-sungguh. Panggil aku.
Dia mengedipkan mata saat mengatakannya. Dan aku yakin dia mengolok-olokku.
Apa yang kau lakukan di waktu senggang" tanyaku.
Aku tak punya waktu senggang.
Aku kira tugas ini menentukan, jadi tolong. Bantu aku.
Dia menyandarkan tubuh ke kursi, melipat tangan di belakang kepala. Bantuan macam apa"
Aku berani sumpah dia menjadikanku bahan lelucon. Dan aku berusaha keras mengganti topik.
Waktu senggang, ulangnya sambil berpikir. Aku memotret.
Fotografi, kutulis di atas kertas.
Aku belum selesai, katanya. Aku punya cukup banyak informasi tentang seorang kolumnis eZine yang sangat mendukung makanan organik, yang diam-diam menulis puisi, dan yang berdebar-debar ketika memikirkan universitas mana yang akan dipilih. Stanford, Yale, dan& apa satu lagi yang huruf depannya H "
Aku menatapnya tak berkedip. Kaget betapa jitunya dia. Kurasa itu bukan hasil tebakan. Dia tahu. Dan aku ingin tahu dari mana sekarang juga.
Tapi kau tak akan masuk ke salah satunya. Tidak" tanyaku tanpa berpikir.
Dia menautkan jari-jarinya ke bawah kursiku, menyeretku lebih dekat dengannya. Tak tahu apakah aku harus menjauh dan terlihat ketakutan, atau tak melakukan apa-apa dan berpura-pura bosan. Aku memilih yang terakhir.
Meski kau berusaha keras agar lulus di ketiga universitas itu, kau menuding ketiganya memiliki prestasi yang klise. Suka mengkritik adalah kelemahanmu yang ketiga.
Dan yang kedua" kataku menahan marah. Siapa sih cowok ini. Apa ini semacam lelucon yang menjengkelkan.
Kau sulit percaya kepada orang lain. Aku ralat. Kau percaya cuma semuanya bukan orang yang tepat. Dan yang pertama" aku mencecar. Kau hidup di atas jembatan yang rapuh. Maksudnya"
Kau takut akan sesuatu yang tidak bisa kau kendalikan.
Bulu kudukku berdiri, dan suhu di ruangan ini seolah membuatku merinding. Tadinya aku ingin langsung
ke meja Pelatih untuk meminta partner baru. Tetapi aku tak mau membuat Patch berpikir kalau dia bisa mengintimidasi atau membuatku takut. Ada perasaan yang tidak rasional untuk membela diri dan bersikap tegas serta tak akan mengalah kepadanya. Apakah kau tidur telanjang" tanyanya. Hampir saja mulutku melongo, tetapi aku berhasil mencegahnya. Aku tak akan mengatakannya kepadamu.
Pernah ke psikolog" Tidak, aku berbohong. Sebenarnya secara berkala aku berkonsultasi dengan psikolog sekolah, Dr. Hendrickson. Itu bukan pilihanku, dan bukan sesuatu yang akan kuceritakan kepada orang lain.
Pernah melakukan sesuatu yang terlarang" Tidak. Kadang-kadang mengebut tentu tidak masuk hitungan. Apalagi baginya. Mengapa kau tidak menanyakan sesuatu yang normal saja" Seperti& jenis musik kesukaanku"
Aku tak akan menanyakan sesuatu yang bisa kutebak.
Kau tidak tahu jenis musik yang biasa kudengar. Barok. Kau orang yang sangat teratur, terkendali. Aku berani taruhan kau suka bermain& selo" katanya seolah sebuah tebakan asal-asalan.
Salah, aku berbohong lagi. Tapi kali ini ada desiran di sekujur kulitku hingga jari-jariku gemetar. Siapa sih dia sebenarnya. Jika dia tahu aku bermain selo, apa lagi yang dia ketahui"
Apa itu" Patch mengetukkan pulpennya ke bagian dalam pergelangan tanganku. Secara naluriah aku menyembunyikannya.
Tanda lahir. Seperti luka tergores. Apa kau pernah mencoba bunuh diri, Nora" Matanya bertemu dengan mataku. Dan aku bisa merasakan dia menertawaiku. Orangtuamu utuh atau bercerai"
Aku tinggal bersama ibuku. Dan ayahmu"
Meninggal tahun lalu. Karena apa"
Aku menarik diri. Dia dibunuh. Ini persoalan pribadi, kalau kau tidak keberatan.
Hening sejenak. Sudut mata Patch sepertinya melembut. Pasti berat rasanya. Dari nada suaranya terkesan kalau dia bersungguh-sungguh.
Bel berbunyi dan Patch langsung berdiri, lalu berjalan menuju pintu.
Tunggu, cegahku. Dia tidak menoleh. Hei! Patch melewati pintu. Patch! Aku belum mendapat apa-apa tentang dirimu.
Dia berbalik dan berjalan ke arahku. Setelah meraih tanganku, dia menggoreskan sesuatu sebelum aku berniat menariknya.
Aku menunduk. Tujuh angka dengan tinta merah tertulis di telapak tanganku dan aku menggenggamnya. Ingin kukatakan kalau aku tak mengharapkan telepon darinya malam ini. Ingin kukatakan bahwa karena dia banyak bertanya, aku tak punya waktu untuk memperoleh informasi tentang dirinya. Ingin kukatakan banyak hal. Tapi aku hanya berdiri dan menatapnya, seolah aku tak tahu bagaimana caranya membuka mulut. Akhirnya aku berkata, Aku sibuk malam ini. Aku juga. Dia nyengir lalu pergi.
Aku mematung di tempat itu, berusaha mencerna apa yang barusan terjadi. Apakah dia sengaja menghabiskan waktuku dengan pertanyaan-pertanyaan" Agar nilaiku jelek" Apakah dia menyangka satu senyuman kilatnya bisa menebus segalanya" Ya, pikirku. Ya.
Aku tidak akan meneleponmu! teriakku. Tak akan!
Apa kau sudah selesai menulis kolommu" Batas waktunya besok. Itu Vee. Tiba-tiba dia sudah ada di sampingku, menunjuk catatan di agenda yang dibawanya ke mana-mana. Aku berniat menulis tentang keputusan Pelatih yang tidak adil dengan menukar tempat duduk
kita. Aku dipasangkan dengan cewek yang tadi pagi menjalani perawatan dengan lintah.
Partner baruku, kataku menunjuk punggung Patch yang berjalan di lorong sekolah. Gaya berjalannya yang penuh percaya diri sungguh menjengkelkan. Sesuatu yang akan kita padankan dengan T-shirt belel dan topi koboi. Padahal Patch tidak memakai keduanya. Dia cowok ala jins Levi s warna gelap dan sepatu bot hitam Henley.
Anak senior pindahan" Sepertinya dia kurang banyak belajar pada tahun pertama. Atau kedua. Vee menatapku dengan lagak sok tahu. Biasanya ada keajaiban pada kesempatan ketiga.
Dia membuatku takut. Dia tahu jenis musik yang kusuka. Tanpa aba-aba, dia bilang, Barok. Sepertinya aku tak berhasil menirukan suara rendahnya. Tebakan mujur"
Dia tahu& yang lainnya juga. Misalnya"
Aku menarik napas. Dia tahu lebih banyak dari yang kuharapkan dan itu membuatku tidak nyaman. Seperti bagaimana membuatku jengkel, kataku pada akhirnya. Aku akan meminta Pelatih agar kau dipasangkan kembali denganku.
Coba saja. Aku harus mendapatkan judul yang menarik untuk artikel e-Zineku yang baru. Perlawanan
Anak Kelas Sepuluh . Atau yang lebih cocok, Penentuan Posisi Duduk yang Menampar Wajah . Mmm, aku suka itu.
Pada akhirnya, akulah yang mendapat tamparan di wajah. Pelatih menolak permohonanku untuk meninjau ulang penentuan posisi duduk. Sepertinya aku tidak bisa menolak Patch.
Setidaknya sekarang. kU Da n i b U kU T i n gg a l D i rU M a H perTanian abad kedelapan belas, di pinggiran Coldwater yang banyak angin. Kediaman kami adalah satu-satunya rumah di Hawthorne Lane, dan tetangga terdekat jaraknya hampir satu mil. Kadang aku membayangkan barangkali pengembang pertama wilayah ini melihat banyak lahan yang tersedia. Kemudian mereka memilih untuk membangun rumah berdasarkan rumus atmosferik misterus yang sepertinya menelan seluruh kabut di pesisir Maine dan menumpahkannya ke halaman kami. Seperti sekarang ini. Rumah kami
diselubungi kabut gelap yang menyerupai roh yang melarikan diri dan gentayangan kesana-kemari.
Aku menghabiskan senja sambil duduk-duduk di kursi dapur, ditemani PR aljabar dan Dorothea, pelayan kami. Ibuku bekerja di perusahaan pelelangan Hugo Renaldi. Tugasnya mengoordinasikan pelelangan tanah dan barang-barang antik untuk kawasan Pesisir Timur. Pekan ini dia berada di Charleston, South Carolina. Pekerjaan menuntut ibu untuk banyak bepergian, dan dia menggaji Dorothea untuk memasak dan membersihkan rumah. Tetapi aku yakin tugas utama Dorothea adalah mengawasiku, layaknya orangtua.
Bagaimana di sekolah" tanya Dorothea dengan sedikit aksen Jerman. Dia berdiri di depan wastafel, menggosok pinggan kaserol yang menghitam akibat lasagna yang gosong.
Aku punya partner biologi yang baru. Ini berita bagus, atau buruk" Partner lamaku adalah Vee.
Yaah. Dia semakin keras menggosok sehingga lemak di lengan atasnya bergoyang-goyang. Artinya kabar buruk.
Aku menarik napas tanda setuju.
Ceritakan kepadaku tentang partner barumu. Cewek seperti apa dia"
Cowok. Tinggi, mata hitam, menjengkelkan. Dan sangat misterius. Mata Patch seperti bola hitam. Mengambil segalanya dan tidak memberikan apa pun. Bukannya aku ingin mengetahui lebih banyak tentang dia. Karena aku tak suka yang tampak dari luar, rasanya aku tak ingin mengintip yang di dalam.
Hanya saja, ini tidak sepenuhnya benar. Aku sangat suka yang terlihat dari luar. Otot-otot di tangannya yang panjang ramping, bahu yang lebar tetapi tidak kaku, dan senyuman yang separuh jenaka separuh merayu. Rasanya aku sedang tidak serasi dengan diriku sendiri, berusaha mengabaikan sesuatu yang mulai terasa sungguh tak tertahankan.
Jam sembilan waktu kerja Dorothea selesai dan dia mengunci pintu setelah keluar. Sebagai tanda selamat jalan, aku menyalakan lampu teras dua kali. Cahayanya tentu menembus kabut karena dia menjawab dengan membunyikan klakson. Aku sendirian.
Aku mulai menelaah perasaan yang bermain-main di dalam diriku. Aku tidak lapar. Bahkan sama sekali tidak kesepian. Tetapi aku merasa agak cemas dengan tugas biologiku. Aku sudah memberitahu Patch bahwa aku tak akan menelepon. Dan enam jam yang lalu aku benar-benar bermaksud begitu. Tetapi sekarang yang terpikir adalah bahwa aku tak mau mendapat nilai jelek. Biologi adalah mata pelajaran yang paling berat bagiku.
Nilaiku berayun-ayun tak tentu antara A dan B. Dalam benakku, itu mengandung isyarat apakah aku akan mendapatkan beasiswa penuh atau hanya separuh.
Aku ke dapur dan mengangkat telepon. Kutatap tujuh angka yang masih terlihat di tanganku. Diam-diam aku berharap Patch tidak menjawab teleponku. Jika dia tidak bisa dihubungi atau tidak kooperatif dalam tugas ini, aku mendapatkan bukti yang bisa kugunakan untuk meyakinkan Pelatih agar mengubah posisi tempat duduk kami. Sambil berharap-harap cemas, aku menekan nomornya.
Pada dering ketiga, Patch menjawab, Ada apa" Aku berkata terus terang, Aku ingin bertanya apakah kita bisa bertemu malam ini. Aku tahu kau tadi mengatakan sibuk, tapi
Nora. Patch menyebut namaku seperti pendahuluan sebuah lelucon. Kupikir kau tak akan menelepon. Selamanya.
Aku benci karena harus menelan ludah sendiri. Aku benci karena Patch mengungkitnya. Aku benci Pelatih dan tugas yang membuat gila ini. Aku membuka mulut, berharap memperoleh jawaban cerdas. Bagaimana" Bisa bertemu atau tidak"
Sepertinya aku tidak bisa. Tidak bisa, atau tidak mau"
Aku sedang main pool 1. Terkesan senyuman dalam suaranya. Pertandingan yang penting.
Dari kebisingan yang melatari suaranya, aku tahu dia tidak berbohong menyangkut pool. Entah permainan itu lebih penting dari tugasku atau tidak, masih bisa diperdebatkan.
Kau di mana" tanyaku.
Bo s Arcade. Bukan tempat gaul kesukaanmu. Kalau begitu tanya-jawabnya melalui telepon saja. Aku sudah menulis beberapa pertanyaan Dia menutup telepon.
Aku menatap telepon dengan rasa tak percaya, lalu merobek kertas kosong dari buku catatanku. Kutulis Menyebalkan di baris pertama. Pada baris berikutnya aku menambahkan, Mengisap cerutu. Calon meninggal karena kanker paru-paru. Semoga saja tak lama lagi. Fisiknya mengagumkan.
Aku langsung menghapus komentar terakhir sampai benar-benar bersih.
Penanda waktu di m icro wa ve berkedip-kedip menunjukkan pukul 9.05. Kelihatannya aku cuma punya dua pilihan. Merekayasa wawancara dengan Patch, atau pergi ke Bo s Arcade. Pilihan pertama rasanya menggoda, andaikan aku bisa mengabaikan peringatan Pelatih bahwa dia akan memeriksa keaslian jawaban. 1 Jenis permainan dalam cabang olahraga biliar.
Aku belum cukup mengenal Patch untuk dapat membuat wawancara jadi-jadian. Dan pilihan kedua" Sama sekali tidak menarik.
Cukup lama aku menunda mengambil keputusan, sebelum aku menelepon ibu. Salah satu kesepakatan yang kami buat karena Ibu banyak bepergian adalah bahwa aku harus bertanggung jawab dan tidak menjadi anak yang harus diawasi terus-menerus. Aku senang mendapatkan kebebasan. Dan aku tidak ingin melakukan sesuatu yang membuat ibuku punya alasan untuk membatalkan kesepakatan itu dan mencari tempat kerja baru di dekat rumah supaya bisa mengawasiku.
Pada dering keempat, terdengar voice mail dari telepon ibu.
Ini aku, kataku. Sekadar memberitahu. Ada PR biologi yang harus kuselesaikan, lalu aku akan tidur. Telepon aku saat makan siang besok, kalau Ibu mau. Love you.
Setelah menutup telepon, aku melihat uang logam di laci dapur. Untuk urusan sulit, biarlah nasib yang memutuskan.
Kalau kepala berarti aku pergi, kataku kepada gambar George Washington, kalau ekor berarti aku tetap di rumah. Lalu aku melempar koin, menutupnya dengan telapak tanganku, dan mengintip. Jantungku
berdegup sangat kencang, dan aku tak tahu pasti apa artinya.
Urusan ini tidak berada di tanganku lagi, kataku.
Dengan tekad menyelesaikan persoalan ini secepat mungkin, aku mengambil peta dari atas lemari es, meraih kunci mobil, dan menjalankan Fiat Spiderku. Tahun 1979, mobil ini mungkin termasuk keren. Tapi aku tak terlalu suka dengan catnya yang berwarna cokelat, karat yang menyebar di spatbor belakang, atau jok putihnya yang sudah pecah-pecah.
Lokasi Bo s Arcade ternyata lebih jauh dari yang kusuka, menjorok ke pesisir, lama tempuhnya tiga puluh menit. Dengan peta terbuka di kemudi, aku memarkir Fiat di belakang bangunan kayu hitam besar dengan papan nama listrik bertuliskan BO S ARCADE, MAD BLACK PAINTBALL & OZZ S POOL HALL. Grafiti menghiasi dindingnya dan puntung rokok bertebaran di lantai. Jelaslah, Bo adalah tempat berkumpulnya para pentolan Ivy League dan tokoh-tokoh masyarakat di masa depan. Aku berusaha menjaga pikiranku tetap ceria dan rileks, tetapi perutku terasa tegang. Setelah memeriksa untuk kedua kalinya bahwa semua pintu mobil telah dikunci, aku melangkah masuk.
Aku berdiri di antrean, menunggu agar bisa melewati tambang pembatas. Setelah kelompok di depanku membayar, aku menyusupkan diri, berjalan ke arah labirin sirene yang bising dan lampu yang berkedap-kedip.
Memangnya kau bisa masuk dengan gratis" bentak sebuah suara berat khas perokok.
Aku berbalik dan mengerjap ke kasir yang bertato di sekujur tubuhnya. Aku bukannya mau bermain. Aku mencari seseorang.
Dia menggerutu. Kalau ingin melewatiku, kau harus bayar. Dia menunjuk ke tabel harga yang direkatkan di meja konter, tanda bahwa aku harus membayar lima belas dolar. Tunai.
Aku tak punya uang tunai. Kalau pun ada, aku tak mau membuangnya sekadar untuk menginterogasi Patch selama beberapa menit tentang kehidupan pribadinya. Aku merasa sangat marah dengan ketentuan posisi duduk dan terutama pilihanku untuk pergi ke sini. Aku hanya harus bertemu Patch, setelah itu aku bisa mewawancarainya di luar. Buat apa jauh-jauh ke sini dan pulang dengan tangan kosong"
Kalau aku tidak kembali dalam dua menit, aku akan bayar, kataku. Sebelum aku bisa berpikir lebih jauh atau bersikap lebih sabar lagi, aku melakukan sesuatu yang tidak biasa kulakukan. Aku menyusup ke bawah tambang. Tidak berhenti di situ, aku berlari melewati arkade sambil membuka mata lebar-lebar agar menemukan Patch. Aku tak percaya karena sudah
melangkah sejauh ini, tetapi aku seperti bola salju, memperoleh kecepatan dan momentum. Saat ini aku hanya ingin menemukan Patch lalu keluar. Kasir itu mengejarku dan berteriak, Hei! Tentunya Patch tidak berada di lantai utama, aku menuruni tangga, mengikuti petunjuk ke Ozz s Pool Hall. Di anak tangga terbawah, cahaya remang-remang menerangi beberapa meja poker, semuanya dipakai. Asap cerutu nyaris setebal kabut yang menyelimuti rumahku menutupi langit-langit yang rendah. Bersarang di antara meja-meja poker dan bar adalah sebuah barisan meja biliar. Patch berdiri di ujung seberang, berusaha menyodok bola yang posisinya sulit.
Patch! panggilku. Bertepatan dengan itu Patch mendorong tongkat, mengarahkannya di atas meja. Rambutnya disisir ke atas. Dia menatapku dengan perasaan kaget sekaligus penasaran.
Kasir menghentikan langkahnya di belakangku, menekan bahuku dengan tangannya. Ke atas. Sekarang.
Mulut Patch kembali menyunggingkan senyum seulas lagi. Entah itu senyuman ramah atau mengejek, sulit dipastikan. Dia bersamaku.
Tampaknya kalimat itu berpengaruh karena sang kasir melonggarkan cengkeramannya. Sebelum dia bisa
mengubah pikiran, aku tepis tangannya lalu melenggang di antara meja menuju Patch. Pada awalnya aku melangkah panjang-panjang dengan penuh percaya diri. Tetapi semakin mendekati Patch, kepercayaan diriku luntur.
Aku segera menyadari sesuatu yang lain pada dirinya. Apa persisnya aku sulit memastikan, tapi aku merasakannya seperti aliran listrik. Lebih penuh permusuhan"
Lebih percaya diri. Juga lebih bebas untuk menjadi dirinya sendiri. Dan mata hitam itu semakin tajam menatapku. Seperti magnet yang menyeret setiap gerakanku. Diam-diam aku menelan ludah dan berusaha mengabaikan tarian poco-poco yang membuat mual di perutku. Aku tak bisa memastikan, tapi ada sesuatu pada diri Patch yang tidak beres. Sesuatu yang tidak normal. Sesuatu yang tidak& aman.
Maaf tadi menutup teleponmu, kata Patch, berjalan ke sampingku. Resepsionis di sini kurang ramah.
Aku setuju. Dengan memiringkan kepala, Patch memberi isyarat agar yang lain pergi. Keheningan yang kaku menyelimuti sebelum mereka beranjak. Orang pertama yang pergi menabrak bahuku saat dia melewatiku. Aku mundur untuk menyeimbangkan diri dan mengangkat mata,
persis ketika dua pemain lain berlalu dengan tatapan dingin.
Bagus. Bukan aku yang memilih Patch sebagai partnerku.
Bola delapan" tanyaku dengan alis terangkat dan berusaha terkesan nyaman dengan diri sendiri, nyaman dengan lingkunganku. Barangkali dia benar. Bo s bukan tempat kesukaanku. Bukannya aku memang berniat untuk masuk tanpa membayar. Berapa taruhannya"
Senyum Patch melebar. Kali ini aku yakin kalau dia mengejekku. Kami bermain bukan untuk uang.
Aku meletakkan tas di sudut meja. Sayang sekali. Aku ingin mempertaruhkan semua yang kupunya untuk melawanmu. Aku mengeluarkan kertas tugas, dua barisnya sudah terisi. Aku hanya ingin mengajukan beberapa pertanyaan singkat. Setelah itu aku keluar.
Menyebalkan" Patch membaca keras-keras, tubuhnya bertumpu pada tongkat biliar. Kanker paru" Apa ini ramalan"
Aku mengipas-ngipaskan kertas itu ke udara. Aku rasa, kau ikut berkontribusi terhadap atmosfer. Berapa batang semalam" Satu" Dua"
Aku tidak merokok. Suaranya terkesan jujur, tapi aku tidak percaya.
Mm-hmm, kataku, meletakkan kertas di antara bola delapan dan bola ungu. Tanpa disengaja aku
mendorong bola ungu saat menulis Perokok sejati di baris ketiga.
Kau mengacaukan permainan, kata Pacth, masih tersenyum.
Aku menatap matanya dan tak tahan untuk membalas senyumannya sekilas saja. Mudahmudahan tidak menguntungkanmu. Impian terbesar" aku bangga dengan pertanyaan ini karena aku tahu itu akan membuatnya mati kutu. Untuk menjawabnya perlu perenungan.
Menciummu. Tidak lucu, kataku, tetap menatap matanya sambil bersyukur karena aku tidak gemetar.
M em a ng t id a k , t api m embu at waja h mu memerah.
Aku bergeser ke samping meja, berusaha terlihat tidak terkesan, padahal itu tidak benar. Aku menyilangkan kaki dan menggunakan lututku sebagai meja. Kau bekerja"
Aku menjadi pelayan di Borderline. Restoran Mexico terbaik di kota ini.
Agama" Dia tak tampak kaget dengan pertanyaan ini, tapi juga tidak terlalu senang. Bukannya kau tadi mengatakan satu-dua pertanyaan singkat. Ini sudah yang keempat.
Agama" ulangku dengan lebih tegas.
Patch mengusap-usap rahangnya sambil berpikir. Bukan agama& sekte.
Kau anggota sekte" Aku sadar, sudah terlambat kalau ingin tidak terlihat kaget.
Sepertinya aku sedang membutuhkan seorang perempuan sehat untuk dikorbankan. Aku berniat merayunya agar dia percaya padaku dulu. Tapi kalau kau sudah tahu&
Sisa senyum di wajahku langsung hilang. Kau tidak membuatku tertarik.
Aku belum mencoba. Aku beranjak dari pinggir meja dan berdiri di hadapannya. Dia lebih tinggi satu kepala dariku. Vee bilang kau anak senior. Berapa kali kau gagal dalam mata pelajaran biologi untuk kelas sepuluh" Satu kali" Dua kali"
Vee bukan juru bicaraku. Kau ingin menyangkal kalau kau gagal" Sudah kukatakan, aku tidak bersekolah setahun kemarin. Matanya mengejekku. Aku menjadi semakin ketus.
Kau pembolos" Patch meletakkan tongkat biliarnya di atas meja dan menggerakkan telunjukkan sebagai isyarat agar aku mendekat. Mau dengar rahasia" katanya dengan
nada misterius. Aku belum pernah sekolah sebelum ini. Satu lagi" Ternyata sekolah tidak sebegitu membosankan seperti yang kusangka.
Dia berbohong. Semua orang bersekolah. Ada undang-undangnya. Dia berbohong untuk membuatku marah.
Kau pikir aku bohong, katanya dengan senyum lebar.
Kau tak bersekolah sebelum ini" Sama sekali" Kalau itu benar dan kau tidak bohong, kurasa tidak apa yang membuatmu memutuskan untuk bersekolah tahun ini"
Kamu. Jantungku berdegup kencang seperti orang ketakutan. Tapi aku berkata dalam hati bahwa itulah yang diinginkan Patch. Berusaha tegar, aku malah berlagak terganggu. Tapi tetap saja butuh beberapa detik sebelum suaraku bisa keluar. Itu bukan jawaban sesungguhnya.
Tentunya Patch melangkah mendekat, karena tibatiba tubuh kami hanya dipisahkan oleh selapis udara tipis. Matamu, Nora. Mata yang dingin, kelabu, dan sulit sekali ditolak. Dia menelengkan kepalangnya ke samping, seolah ingin mempelajari diriku dari sudut yang baru. Dan bibir maut itu.
Bukan karena terkejut dengan komentarnya, melainkan sebagian dari diriku yang bereaksi positif terhadap ucapan itu, aku mundur. Selesai. Aku pergi dari sini.
Tetapi begitu kata-kata itu meluncur dari mulutku, aku tahu kalau itu tidak benar. Aku merasakan keinginan kuat untuk berbicara lebih banyak lagi. Sambil memilih-milih pikiran yang kusut dalam kepalaku, aku berusaha menemukan kalimat yang seharusnya aku ucapkan. Mengapa dia senang mengolok-olok aku, dan mengapa dia bertingkah seolah aku telah melakukan sesuatu sehingga pantas menerimanya"
Sepertinya kau tahu banyak tentang aku, kataku, basa-basi terbaik tahun ini. Lebih dari yang seharusnya. Kau tampaknya tahu persis apa yang harus kau katakan untuk membuatku tidak nyaman.
Kau yang memudahkan aku bersikap seperti ini. Percikan api kemarahan menjalar dalam diriku. Kau mengaku bahwa kau melakukan ini dengan sengaja"
Melakukan apa" Memprovokasi aku.
Katakan provokasi lagi. Bibirmu tampak provokatif saat kau mengucapkannya.
Aku sudah selesai. Teruskan saja permainan biliarmu. Aku mengambil tongkat biliarnya dari meja
dengan kasar dan menyodorkan kepadanya. Patch tidak mengambilnya.
Aku tak suka duduk di sampingmu, kataku. Aku tak suka menjadi partnermu. Aku tak suka senyummu yang sombong. Rahangku berdenyut seperti yang biasanya terjadi kalau aku berbohong. Aku bertanyatanya, apakah aku sedang berbohong. Kalau ya, aku ingin menendang diriku sendiri. Aku tak suka kamu, kataku setegas mungkin, dan mendorong tongkat itu ke dadanya.
Aku senang Pelatih menyatukan kita, katanya. Aku mencium sindiran dalam kata Pelatih , tapi aku tak tahu apa maksudnya. Kali ini dia menerima tongkat itu.
Aku akan berusaha agar Pelatih mengubah keputusannya, balasku.
Patch berpikir ucapanku sangat lucu sampai-sampai giginya kelihatan saat dia tersenyum. Dia menjulurkan tangannya ke arahku, dan sebelum aku sempat menghindar, dia menarik sesuatu dari rambutku.
Potongan kertas, katanya, lalu melemparkannya ke tanah. Saat dia menjulurkan tangan tadi, aku melihat tanda di pergelangan tangan sebelah dalam. Pada awalnya aku menyangka itu tato, tetapi setelah diperhatikan warnanya cokelat kemerahan, goresan tanda lahir. Bentuknya seperti tetesan cat.
Posisi yang kurang menguntungkan untuk sebuah tanda lahir, kataku, lebih dari sekadar terkejut karena posisinya sama dengan tanda lahirku sendiri.
Dengan santai tapi tanpa disembunyikan, Patch menarik lengan bajunya hingga menutupi pergelangan tangannya. Kau lebih suka kalau di bagian tubuh yang lebih pribadi"
Aku tak suka di bagian mana pun. Aku tak yakin dengan nada suaraku sehingga aku mencoba lagi. Aku tak peduli apakah kau punya tanda lahir atau tidak. Dan aku mencoba sekali lagi. Aku tak peduli dengan tanda lahirmu, titik.
Ada pertanyaan lagi" tanya Patch. Komentar" Tidak.
Sampai ketemu di kelas biologi.


Hus Hus Karya Becca Fitzpatrick di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku ingin mengatakan kalau dia tak akan bertemu denganku lagi. Tapi aku tak mau menelan ludahku sendiri dua kali dalam sehari.
Malam itu juga, bunyi kraak! membuatku terbangun dari tidur. Dengan wajah terbenam dalam bantal, aku diam tak bergerak, seluruh indraku waspada. Ibuku keluar kota setidaknya sekali dalam sebulan. Jadi aku sudah terbiasa tidur sendirian. Dan sudah lama rasanya aku tak mengkhayalkan bunyi langkah kaki orang berjalan menuju kamarku. Sebenarnya aku tak pernah
merasa benar-benar sendirian. Setelah ayahku ditembak mati di Portland saat membelikan hadiah ulang tahun ibuku, suatu sosok aneh memasuki kehidupanku. Seolah ada sesuatu yang mengikuti duniaku, mengawasiku dari kejauhan. Pada awalnya kehadiran gaib itu membuatku ketakutan. Tetapi karena tak pernah ada kejadian buruk, kecemasanku pun hilang dengan sendirinya. Dan aku mulai membayangkan bahwa barangkali ada tujuan alam di balik perasaanku seperti itu. Barangkali roh ayah tak pernah jauh dariku. Pikiran itu biasanya membuatku nyaman, tetapi malam ini berbeda. Kehadiran itu terasa seperti es di kulit.
Aku sedikit menoleh dan melihat suatu sosok samar membentang di lantai. Kubalikkan wajah menghadap jendela, sinar tipis bulan menjadi satu-satunya sumber cahaya yang bisa memperlihatkan bayangan. Tapi tak ada apa-apa. Kutindih bantal dan berkata dalam hati bahwa itu hanyalah awan yang melewati bulan. Atau serpihan sampah yang terbawa angin. Tetap saja, perlu waktu beberapa menit sebelum degup jantungku kembali normal.
Ketika akhirnya aku mendapatkan keberanian untuk bangkit dari tempat tidur, halaman di bawah jendelaku tenang dan sunyi. Satu-satunya suara berasal dari dahan pohon yang menyentuh dinding rumah, dan jantungku yang berdetak kencang di bawah kulitku.
P elaTiH MCConaUgHy berDiri Di saMping
papan tulis, berceloteh tentang sesuatu. Tetapi pikiranku jauh dari kerumitan sains. Aku sibuk merumuskan alasan, mengapa aku seharusnya tidak berpartner dengan Patch. Aku membuat daftar di balik kertas ujian lama. Begitu mata pelajaran berakhir, aku akan mengajukan argumenku kepada Pelatih. Tidak kooperatif dalam mengerjakan tugas, tulisku. Tidak terlalu memedulikan kerja tim.
Tetapi itu bukan poin yang paling menggangguku. Aku menganggap posisi tanda lahir Patch menyeramkan, dan aku ketakutan dengan kejadian di jendela kamarku
semalam. Aku tidak serta-merta menuduh Patch mematamatai aku. Tapi kebetulan itu tak bisa kuabaikan begitu saja. Bahwa aku yakin ada seseorang yang mengintip di jendelaku, beberapa jam setelah aku bertemu Patch.
Pikiran bahwa Patch memata-matai membuat aku merogoh saku ransel dan mengeluarkan dua pil zat besi dari botol, lalu menelannya sekaligus. Pil-pil itu tercekat di kerongkonganku sebentar, lalu meluncur turun.
Dari sudut mataku, aku melihat alis mata Patch terangkat.
Aku berniat menjelaskan bahwa aku menderita anemia dan harus mengonsumsi zat besi beberapa kali sehari, terutama ketika aku sedang stres. Tetapi aku pikir sebaiknya tak usah dikatakan. Anemia bukan penyakit yang mengancam jiwa asalkan aku mengonsumsi zat besi dalam dosis tertentu secara teratur. Aku tidak paranoid hingga berpikir Patch akan menjahati aku. Tapi entah mengapa, aku merasa kondisi medis adalah faktor rapuh yang sebaiknya dirahasiakan saja.
Nora" Pelatih berdiri di depan kelas. Tangannya terulur sebagai isyarat bahwa dia tengah menunggu sesuatu jawabanku. Rona merah menjalar di pipiku. Tolong ulangi pertanyaannya" pintaku. Anak-anak mengejek.
Dengan sedikit jengkel, Pelatih berkata, Sifatsifat apa yang membuatmu tertarik kepada calon pasanganmu"
Calon pasangan" Ayolah, kita tak punya waktu seharian di sini. Bisa kudengar Vee cekikikan di belakangku. Kerongkonganku seolah tersumbat. Kau ingin aku menyebutkan sifat-sifat& "
Calon pasangan, ya, tolong.
Tanpa sengaja, aku melirik ke Patch. Dia duduk santai, menyadarkan punggungnya ke kursi dengan postur agak merosot, menatapku dengan penuh kepuasan. Mulutnya mengembangkan senyuman perompak dan melafalkan, Kami menunggu, tanpa suara.
Aku menumpukkan kedua tanganku di atas meja, berharap tampak lebih tenang dibandingkan yang kurasa. Aku belum pernah memikirkannya. Well, pikirkan dengan cepat.
Bisakah kau bertanya pada yang lain dulu" Dengan tidak sabaran, Pelatih memberi isyarat ke samping kiriku. Kamu, Patch.
Berbeda denganku, Patch bicara dengan penuh percaya diri. Dia memosisikan tubuhnya sedikit condong ke arahku, lutut kami hanya terpisah beberapa inci. Cerdas. Menarik. Rapuh.
Pelatih sibuk menuliskan kata-kata sifat itu di papan tulis. Rapuh" tanyanya. Kenapa begitu"
Vee angkat suara. Apakah ini ada hubungannya dengan topik yang kita pelajari" Karena aku tak menemukan karakteristik pasangan idaman dalam buku teks kita.
Pelatih berhenti menulis untuk melihat melalui bahunya. Setiap hewan di planet ini memikat pasangannya dengan tujuan reproduksi. Katak menggembungkan tubuhnya. Gorila jantan memukul-mukul dadanya. Pernahkah kalian melihat kepiting jantan mengangkat ujung kaki dan menjepit-jepitkan capitnya untuk menarik perhatian kepiting betina" Daya tarik adalah unsur utama dalam reproduksi hewan, termasuk manusia. Bagaimana kalau kau menyebutkan kriteriamu, Miss Sky"
Vee mengacungkan lima jari. Tampan, kaya, royal, sangat protektif, dan sedikit berbahaya. Satu jarinya ditekuk setiap dia menyebut satu sifat.
Patch menahan tawa. Masalahnya, manusia tidak tahu apakah daya tariknya berbalas atau tidak. Tepat, kata Pelatih.
Manusia itu rapuh, Patch melanjutkan, karena mereka bisa sakit hati. Sambil mengatakan kalimat itu, lutut Patch menyenggol lututku. Aku menghindar,
tak berani membiarkan hatiku menduga-duga apa maknanya.
Pelatih mengangguk. Kerumitan daya tarik dan reproduksi manusia merupakan salah satu ciri yang membedakan kita dari spesies lainnya.
Aku seolah mendengar Patch mendengus karena ucapan itu. Tetapi bunyinya sangat halus sehingga aku tidak bisa memastikan.
Pelatih melanjutkan, Sedari dulu, wanita tertarik dengan pasangan yang terampil dalam hal kebertahanan hidup. Misalnya keunggulan akal dan fisik. Karena pria yang memiliki karakter ini cenderung lebih mampu memenuhi kebutuhan makan malam. Pelatih mengacungkan ibu jarinya ke atas dan nyengir. Makan malam berarti bertahan hidup, tim.
Tak ada yang tertawa. Begitu juga, lanjutnya, pria tertarik dengan keindahan karena karakter itu mengindikasikan kesehatan dan kebeliaan. Tak ada alasannya menikah dengan perempuan penyakitan, yang tak akan bisa membesarkan anak. Pelatih mengangkat kacamatanya yang melorot ke hidung dan tergelak.
Pernyataan yang sangat seksis, protes Vee, Memangnya penjelasan itu ada hubungannya dengan wanita abad dua puluh satu"
Kalau kau melakukan pendekatan terhadap reproduksi dengan kacamata sains, Miss Sky, kau akan melihat bahwa anak-anak adalah kunci bagi kelanggengan spesies kita. Dan semakin banyak anak yang kau miliki, semakin besar kontribusimu terhadap kolam gen.
Aku praktis melihat Vee memutar bola matanya. Aku rasa kita sudah hampir selesai dengan topik pembahasan ini. Seks.
Hampir, kata Pelatih, mengangkat telunjuk. Sebelum seks, ada daya tarik. Tapi sebelum daya tarik, harus ada bahasa tubuh. Kita harus mengungkapkan Aku tertarik kepada calon pasangan, tetapi tanpa banyak kata.
Pelatih menunjuk ke sebelahku. Baiklah, Patch. Anggap saja kau berada dalam pesta. Ruangan itu penuh dengan gadis dengan berbagai bentuk dan ukuran. Ada yang berambut pirang, cokelat, merah, beberapa di antaranya berambut hitam. Sebagian cerewet, sebagian lagi tampaknya pemalu. Kau melihat satu gadis yang cocok dengan kriteriamu menarik, cerdas, dan rapuh. Bagaimana kau membuatnya tahu bahwa kau naksir kepadanya"
Mengajaknya keluar. Berbicara dengannya.
Bagus. Sekarang, pertanyaan besarnya. Bagaimana kau tahu apakah dia tidak tertarik atau ingin kau melanjutkan"
Aku mempelajarinya, kata Patch. Aku membayangkan apa yang dia pikirkan dan rasakan. Dia tak akan berkata terus terang, itu sebabnya aku harus memperhatikan. Apakah dia mencondongkan tubuhnya ke arahku atau tidak" Apakah dia menatapku lalu mengalihkan pandangan" Apakah dia menggigit bibir dan memainkan rambutnya, seperti yang dilakukan Nora sekarang"
Seisi kelas tertawa. Aku menurunkan tangan ke pangkuanku.
Dia tertarik, kata Patch, menyenggol kakiku lagi. Bukannya marah atau apa, aku malah salah tingkah.
Bagus sekali! Bagus sekali! kata Pelatih, suaranya bersemangat, dan dia tersenyum lebar karena kami menyimak.
Pembuluh darah di wajah Nora melebar dan kulitnya menghangat, kata Patch. Dia tahu kalau dia sedang dievaluasi. Dia suka mendapat perhatian, tetapi tidak yakin bagaimana harus menyikapinya. Aku tidak memerah.
Dia gugup, kata Patch. Dia mengusap-usap tangan agar kita tidak memperhatikan wajahnya dan
melihat sosoknya, atau mungkin kulitnya. Keduanya punya nilai jual yang tinggi.
Aku hampir tersedak. D ia bercanda, kataku dalam hati. Tid ak, dia gila. Aku tak punya pengalaman berurusan dengan orang sinting, dan itu terlihat jelas. Sepertinya aku menghabiskan sebagian besar waktu bersama Patch dengan menatapnya, dan mulutku menganga. Kalau aku punya gambaran, sekecil apa pun, untuk terus berpartner dengannya, aku harus memikirkan pendekatan baru.
Aku menelungkupkan kedua tanganku di atas meja, mengangkat dagu tinggi-tinggi, dan berusaha terlihat masih punya kepercayaan diri. Ini menggelikan.
Patch melebarkan tangannya ke samping dan menyandarkannya ke punggung kursiku dengan gaya santai yang berlebihan. Ada perasaan aneh dalam hatiku bahwa sikap itu adalah ancaman yang ditujukan sepenuhnya kepadaku. Dan bahwa dia tak tahu dan tidak peduli dengan tanggapan seisi kelas terhadapku. Mereka tertawa, tapi Patch seolah tidak mendengar. Sedangkan mataku menatap lekat-lekat matanya sampai aku nyaris yakin bahwa dia menciptakan suatu dunia kecil hanya untuk kami berdua dan orang lain tak bisa memasukinya.
Rapuh, mulutnya melafalkan kata itu tanpa suara.
Aku mengaitkan tumitku ke kaki kursi dan memajukannya. Dapat kurasakan bobot tangannya jatuh dari punggung kursi. Aku tidak rapuh.
Nah, itu dia! kata Pelatih. Proses biologis sedang terjadi.
Bisakah kita bicara tentang seks sekarang" tanya Vee.
Besok. Baca bab tujuh dan yang penting siapsiaplah untuk berdiskusi.
Bel berbunyi, dan Patch menggeser kursinya kembali. Itu tadi asyik. Kapan-kapan kita lakukan lagi. Sebelum aku menemukan jawaban yang lebih tegas dari sekadar tidak, terima kasih, dia berbelok ke belakangku dan menghilang melalui pintu.
Aku akan membuat petisi agar Pelatih dipecat, kata Vee, mendekati mejaku. Apa-apaan tadi. Porno abis. Dia praktis menyuruhmu dan Patch ke atas meja, dengan posisi horizontal, minus pakaianmu, dan ML
Aku menghentikannya dengan tatapan tajam yang seolah mengatakan, Memangnya aku butuh siaran ulangan"
Yeee, kata Vee, melangkah mundur.
Aku harus berbicara dengan Pelatih. Kita ketemu sepuluh menit lagi di lokermu.
Oke. Aku ke ruang kerja Pelatih dan melihatnya sedang serius membaca buku tentang permainan basket. Sekilas, barisan X dan O itu membuatku mengira dia sedang bermain catur.
Hai, Nora, katanya tanpa mengangkat wajah. Ada yang bisa kubantu"
Aku datang untuk memberitahu kalau perubahan posisi duduk dan rencana pelajaran membuatku tak nyaman.
Pelatih memundurkan kursi dengan punggungnya dan melipat kedua tangannya di belakang kepala. Aku suka posisi yang baru. Hampir sama sukanya dengan permainan satu-lawan-satu yang sedang aku rancang untuk pertandingan hari Sabtu.
Aku meletakkan buku tentang peraturan sekolah dan hak-hak murid di atas meja. Berdasarkan hukum, tak boleh ada siswa yang merasa terancam karena properti sekolah.
Kau merasa terancam"
Aku merasa tidak nyaman. Dan aku ingin mengajurkan usulan. Karena Pelatih tidak memotong ucapanku, aku menarik napas penuh keyakinan. Aku akan menjadi mentor biologi bagi siswamu yang mana pun asalkan kau mengembalikan Vee ke sampingku lagi.
Patch butuh mentor. Aku menahan diri untuk tidak menggerenyitkan gigi. Dia tidak termasuk.
Apakah kau lihat dia tadi" Dia melibatkan diri dalam diskusi. Aku tak pernah mendengar suaranya setahun ini, tetapi begitu aku tempatkan dia di sebelamu bingo. Nilainya pasti naik.
Dan nilai Vee akan jatuh.
Itulah yang terjadi kalau kau tak bisa menoleh ke sebelahmu untuk mendapatkan jawaban yang benar, katanya dengan ketus.
Dia hanya kurang konsentrasi. Aku akan menjadi mentornya.
Tak perlu. Sambil melirik jam tangan, Pelatih berkata, Aku sudah terlambat untuk rapat. Kau sudah selesai"
Aku berdiri dengan mulut separuh terbuka, memeras otak untuk melontarkan satu argumen lagi. Tapi sepertinya aku kekurangan ilham.
Biarkan saja posisi duduk seperti sekarang ini selama beberapa minggu lagi. Oh, dan aku serius soal menjadi mentor Patch. Aku mengandalkanmu. Pelatih tidak menunggu jawabanku, dia menyiulkan lagu Jeopardy dan melewati pintu.
Pada jam tujuh, langit diselimuti warna biru pekat, dan aku menutup resleting jaketku untuk mendapatkan
kehangatan. Vee dan aku berjalan dari gedung bioskop menuju lapangan parkir. Kami baru saja menonton The Sacrifice. Aku punya tugas membuat ulasan film untuk eZine dan karena aku sudah melihat film-film lainnya yang diputar bioskop ini, kami memasrahkan diri untuk sebuah kisah pembunuhan terbaru ala urban.
Itu tadi, kata Vee, adalah film paling menyeramkan yang pernah kulihat. Janji, kita tidak akan menonton apa pun yang mendekati horor lagi.
Aku sih setuju saja. Apalagi aku merasa ada seseorang yang mengintai di jendela kamarku kemarin malam. Jika pengalaman itu digabungkan dengan tontonan malam ini yang sangat menyeramkan, wajarlah kalau aku sedikit paranoid.
Bisa kau bayangkan" kata Vee. Sepanjang hidup tak pernah menduga sedikit pun kalau satu-satunya alasan mengapa kita dibiarkan hidup adalah untuk dijadikan tumbal"
Kami berdua bergidik. Dan belum lagi altarnya" Vee terus berceloteh. Payah sekali dia, tak sadar kalau aku lebih suka berbicara tentang siklus kehidupan jamur daripada tentang film itu. Kenapa lelaki jahat itu membakar altar sebelum mengikat si cewek di atasnya" Ketika aku mendengar bunyi dagingnya mendesis
Oke! aku praktis berteriak. Ke mana kita selanjutnya"
Bolehkah aku tambahkan, kalau seorang lelaki bisa menciumku seperti itu, aku akan menawarkan diri. Penolakan adalah kata yang bodoh untuk menggambarkan yang terjadi dengan mulutnya. Itu karena makeup, kan" Maksudku, tak ada orang yang benar-benar punya mulut seperti itu
Ulasanku harus selesai tengah malam, kataku, memotong ucapannya.
Oh, ya. Jadi ke perpustakaan" Vee membuka pintu Dodge Neon warna ungu keluaran tahun 1995. Kau jadi gampang marah, kau tahu"
Aku masuk ke kursi penumpang. Salahkan filmya. Salahkan Si Pengintip di jendelaku kemarin malam.
Maksudku bukan cuma malam ini. Aku merasa, kata Vee dengan lekuk bibirnya yang nakal, tidak seperti biasanya kau menjadi uring-uringan selama setengah jam terakhir saat pelajaran biologi dua hari lalu.
Yang ini juga gampang. Salahkan Patch. Mata Vee tertuju ke kaca spion. Dia membetulkan posisinya agar bisa melihat giginya dengan baik. Vee menjilatnya, lalu membuat senyum buatan. Harus kuakui, sisi gelapnya membuatku berminat.
Aku tak punya keinginan untuk mengakuinya, tapi Vee tidak sendirian. Aku merasa terhanyut oleh Patch dengan cara yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Seolah ada besi magnet di antara kami. Berada di dekatnya membuatku merasa tertarik ke sudut bahaya. Rasanya dia bisa menarikku ke sudut itu kapan saja.
Ucapanmu membuatku ingin aku berhenti, berusaha memikirkan apa persisnya yang ingin kulakukan akibat ketertarikan kami kepada Patch. Sesuatu yang tidak menyenangkan.
Katakan kepadaku kalau menurutmu dia tidak tampan, kata Vee, dan aku janji tak akan menyebut namanya lagi dalam pembicaraan kita.
Aku mengulurkan tangan untuk menghidupkan radio. Di antara banyak hal, pasti ada sesuatu yang lebih baik untuk dilakukan daripada merusak malam ini dengan mengundang Patch. Meskipun diam-diam aku tertarik kepadanya. Duduk di sampingnya selama satu jam setiap hari, lima hari seminggu, sudah lebih dari yang bisa aku tahan. Aku tak akan melepaskan malam-malamku juga.
Well" Vee mendesak.
Dia mungkin tampan. Tapi aku orang terakhir yang tahu. Aku hakim yang tak adil dalam kasus ini, maaf.
Apa maksudmu" Aku tak memahami kepribadiannya. Ketampanan tak bisa menutup kepribadian.
Bukan tampan. Dia& berbahaya. Seksi. Aku memutar mata.
Vee menekan klakson dan menginjak rem begitu sebuah mobil menyalip di depannya. Apa" Kau tidak sependapat denganku, atau cowok macho bukan tipemu"
Aku tak punya tipe, kataku. Aku tak serendah itu.
Vee tertawa. Say, kau lebih dari rendah kau kaku. Terkungkung. Spektrummu tak lebih besar dari mikroorganisme Pelatih. Kalau pun ada, pasti sangat sedikit cowok di sekolah yang kau incar.
Itu tidak benar. Kata-kata itu keluar secara otomatis. Begitu terucap, aku baru meragukan keakuratan ucapanku sendiri. Aku belum pernah benar-benar naksir kepada siapa pun. Aneh sekali aku ini. Masalahnya bukan itu, tetapi& cinta. Aku belum menemukannya.
Ini bukan tentang cinta, kata Vee. Pokoknya asyik.
Aku mengangkat alis mata, meragukan. Berciuman dengan cowok yang tidak kukenal tidak aku pedulikan mengasyikkan"
Kau tak menyimak pelajaran biologi, ya" Ini jauh dari sekadar ciuman.
Oh, kataku dengan suara meninggi. Kolam gen sudah cukup penuh tanpa kontribusiku.
Mau tahu siapa yang menurutku benar-benar keren"
Keren" Keren, ulangya dengan senyum nakal. Tidak terlalu.
Partnermu. Jangan menyebutnya seperti itu, kataku. Partner punya konotasi positif.
Vee menyelipkan mobilnya ke tempat parkir di dekat pintu perpustakaan lalu mematikan mesin.
Kau pernah berkhayal berciuman dengannya" Kau pernah mencuri-curi pandang ke sebelahmu dan berkhayal mendekap tubuhnya dan menyentuh bibirnya dengan bibirmu"
Aku memandang Vee dengan tatapan yang kuharap tidak terkesan melongo. Kau pernah"
Vee nyengir. Aku berusaha membayangkan bagaimana reaksi Patch kalau mendengar informasi ini. Meski belum tahu banyak tentang dirinya, aku menangkap kesan kalau Patch menjaga jarak dengan Vee sejauh mungkin. Dia kurang baik untukmu, kataku.
Vee mengerang, Hati-hati, kau justru membuatku semakin menginginkannya.
Di dalam perpustakaan, kami memilih meja di lantai utama, dekat bagian fiksi dewasa. Aku membuka laptop dan mengetik: The Sacrifice, dua setengah bintang. Dua setengah boleh jadi tergolong rendah. Tetapi banyak hal berkecamuk dalam kepalaku. Dan kurasa penilaian itu kurang adil.
Vee membuka kantong keripik apel. Mau" Tidak, terima kasih.
Vee mengintip isi kantong. Kalau kau tidak mau memakannya, terpaksa aku yang makan. Padahal aku tak mau.
Vee melakukan diet warna buah. Tiga buah sehari, dua biru, segenggam hijau...
Dia mengambil satu keping keripik apel, memeriksanya dari depan dan belakang.
Warna apa" tanyaku.
Kurasa hijau baju nenek-nenek.
Tepat pada saat itu Marcie Millar, satu-satunya anak kelas dua yang ikut kelompok pemandu sorak utama sepanjang sejarah Coldwater High, mengambil kursi di ujung meja kami. Rambutnya yang pirang bercampur merah ditata menjadi dua ekor kuda pendek. Dan seperti biasa, kulitnya disembunyikan di bawah setengah botol alas bedak. Aku yakin perkiraanku tepat. Karena aku tak melihat bintik-bintik di kulitnya sama sekali. Aku tak pernah melihat bintik-bintik Marcie sejak kelas tujuh,
yakni tahun ketika dia menemukan Mary Kay. Ada jarak tiga per empat inci antara ujung bawah atasannya dengan ujung atas celana dalamnya& kalau pun dia pakai. Hai, Gendut, kata Marcie kepada Vee. Hai, Kuntilanak, balas Vee.
Ibuku mencari model baru akhir pekan ini. Upahnya sembilan dolar per jam. Mungkin kau tertarik.
Ibu Marcie bekerja sebagai manajer untuk JCPenney setempat. Dan pada akhir minggu dia mengerahkan Marcie dan anak-anak pemandu sorak lain untuk menjadi model bikini. Mereka akan bergaya di jendela pajang toko yang menghadap jalanan.
Dia kesulitan mencari model untuk celana dalam ukuran ekstra L, kata Marcie.
Ada sisa makanan di gigimu, kata Vee kepada Marcie. Di celah antara dua gigi serimu. Sepertinya cokelat sisa& ,
Marcie menjilat giginya dan beranjak dari tempat duduk. Saat dia bergegas pergi, Vee memasukkan jari ke mulutnya dan berpura-pura tercekik di belakang Marcie.
Untungnya kita di perpustakaan, kata Vee kepadaku. Kalau dia bertemu kita di lorong jalan yang gelap, akan lain kejadiannya. Kesempatan terakhir mau keripik"
Pas. Vee pergi untuk membuang bungkus keripik. Beberapa menit kemudian, dia kembali dengan sebuah novel romantis. Dia menempati kursi di sebelahku dan, sambil menunjukkan sampul novel, berkata, Suatu hari, kita yang ada di sampul ini. Diperkosa oleh koboi-koboi setengah telanjang. Bagaimana ya, rasanya, dicium sepasang bibir yang terpanggang matahari dan berlapis lumpur"
Jorok, gumamku, sambil terus mengetik. Omong-omong soal jorok. Lalu suara Vee mendadak melengking. Itu dia cowok kita.
Aku berhenti mengetik dan mengangkat mata dari laptop. Jantungku berdegup keras. Patch berdiri di seberang sana, di antrean pengembalian buku. Seolah merasa aku memperhatikannya, dia menoleh. Mata kami bertemu selama satu, dua, tiga detik. Aku yang lebih dulu mengalihkan pandangan, tapi itu sesudah dia menunjukkan senyumnya yang menyebalkan.
Jantungku berdetak tak menentu, dan aku menguatkan diri untuk tampak terkendali. Kali ini aku tidak akan kalah. Apalagi dengan Patch. Kecuali aku mendadak gila.
Yuk kita pergi, kataku kepada Vee. Aku mematikan laptop lalu memasukkannya ke dalam tas jinjing. Kujejalkan buku-buku ke dalam ransel, tapi ada beberapa barang yang terjatuh ke lantai.
Aku sedang berusaha membaca judul buku yang dia pegang& tunggu sebentar& Cara menjadi Seorang Penguntit, kata Vee.
Dia tidak mengembalikan buku seperti itu. Tapi aku tidak yakin.
Kalau tidak, Bagaiman a menjadi Seksi Tanpa Susah Payah.
Shhh! aku berusaha membuat Vee diam. Tenang saja, dia tidak dengar. Dia sedang berbicara dengan petugas perpustakaan. Untuk mengembalikan buku.
Untuk menegaskan kebenaran ucapan Vee, aku menatap sekilas. Aku sadar kalau kami keluar sekarang, kemungkinan kami akan berpapasan dengannya di pintu keluar. Kalau begitu kejadiannya tentulah aku harus mengucapkan sesuatu kepadanya. Aku kembali duduk di kursi dan sibuk berpura-pura mencari sesuatu sementara Patch selesai dengan urusan bukunya.
Aneh ya, dia ada di sini pada saat yang sama dengan kita" tanya Vee.
Bagaimana menurutmu" Kurasa dia membuntuti kamu.
Kurasa cuma kebetulan saja. Ini tidak sepenuhnya benar. Kalau aku diminta membuat daftar sepuluh lokasi, tempat aku menyangka akan bertemu dengan Patch pada malam tertentu, perpustakaan umum tentu
bukan salah satunya. Bahkan jika daftar itu terdiri dari seratus tempat. Lalu apa yang dia lakukan di sini"
Pertanyaan itu sangat mengganggu, terutama setelah kejadian kemarin malam. Aku belum menceritakannya kepada Vee karena aku berharap kenangan itu akan semakin menipis dalam ingatanku sampai tak munculmuncul lagi. Titik.
Patch! bisik Vee. Apa kau menguntit Nora" Aku membekap mulut Vee dengan tanganku. Hentikan. Aku sungguh-sungguh. Aku memasang wajah galak.
Berani taruhan, dia membuntutimu, kata Vee, melepas tanganku. Aku yakin dia juga punya riwayat tidak beres. Pasti dia pernah diskors. Kita harus menyelinap ke kantor utama. Di sana tempat arsip seluruh murid. Kita tidak akan melakukannya.
Aku bisa mengalihkan perhatian. Aku jago dalam hal ini. Tak ada yang akan melihatmu masuk ke sana. Kita bisa seperti mata-mata.
Kita bukan mata-mata. Kau tahu nama keluarganya" tanya Vee. Tidak.
Kau tahu sesuatu tentang dirinya" Tidak. Dan aku lebih suka begitu.
Oh, ayolah. Kau suka cerita misteri, dan tak ada cerita misteri yang lebih bagus dari ini.
Selalu ada mayat dalam cerita misteri yang hebat. Kita tak punya mayat.
Vee memekik. Belum! Aku mengeluarkan dua pil zat besi dari botol di ranselku, lalu menelannya sekaligus.
Jam sudah menunjukkan angka 9.30 saat Vee memasukkan Neonnya ke jalan rumahnya. Dia mematikan mesin lalu menggoyang-goyangkan kunci ke depanku.
Kau tidak mengantarku pulang" tanyaku. Pertanyaan yang sia-sia, karena aku sudah tahu jawabannya.
Ada kabut. Kabut Patchy. 1
Vee nyengir. Ya, ampun. Dia benar-benar ada dalam kepalamu. Aku tidak menyalahkanmu. Aku sendiri berharap memimpikannya malam ini. H uh.
Dan kabut di dekat rumahmu selalu lebih parah dibandingkan yang lain, lanjut Vee. Aku jadi takut kalau sudah gelap.
Aku mengambil kunci itu. Terima kasih banyak. Jangan salahkan aku. Bilang kepada ibumu agar pindah ke lokasi yang lebih dekat. Bilang padanya, ada
1 Kabut yang tidak merata.
sebuah klub baru yang namanya peradaban dan kalian berdua seharusnya bergabung.
Aku rasa kau ingin dijemput sebelum ke sekolah besok"
Kalau bisa tujuh tiga puluh. Jangan khawatir soal sarapan.
Yang enak, ya" Baik-baik sama pacarku. Vee menepuk-depuk dasbor Neonnya. Tapi jangan terlalu baik. Jangan sampai dia berpikir ada yang lebih baik darinya.
Dalam perjalanan pulang, kubiarkan pikiranku melayang sebentar ke Patch. Vee benar ada sesuatu pada dirinya yang sangat memikat. Dan sangat menakutkan juga. Semakin kupikirkan, semakin aku yakin kalau ada sesuatu pada dirinya yang& aneh. Kenyataan bahwa dia senang memancing kemarahanku bukan berita besar. Tapi ada perbedaan antara mempermalukan aku di kelas dengan kemungkinan bertindak lebih jauh dengan membuntutiku ke perpustakaan untuk menuntaskannya. Tak banyak orang yang mau bersusah-payah seperti itu& kecuali ada alasan yang sangat bagus.
Baru separuh perjalanan, hujan deras mengucur dari awan-awan kabut yang melayang di atas jalanan. Dengan perhatian terbagi antara ke jalan dan tugas mengendalikan kemudi, aku berusaha menemukan tombol yang menghidupkan fungsi wiper.
Lampu jalan berkedap-kedip di atas. Aku bertanyatanya dalam hati, apakah sebentar lagi akan ada badai hebat. Lokasi ini dekat dengan laut, jadi cuacanya berubah-ubah. Hujan badai bisa berkembang menjadi banjir dalam waktu singkat. Aku menambah kecepatan.
Lampu di luar berkedap-kedip lagi. Perasaan aneh membuat bulu kudukku berdiri, begitu juga bulu di tanganku. Indra keenamku dalam keadaan siaga. Aku bertanya-tanya dalam hati, apakah aku merasa diikuti. Tak terlihat sorot lampu kendaraan lain di spion mobil. Di depan juga tak ada mobil. Aku benar-benar sendirian. Pikiran itu membuatku tidak nyaman. Kutancap gas sampai speedometer menunjukkan angka empat puluh lima.
Akhirnya aku menemukan tombol wiper. Tapi bahkan pada kecepatan seperti ini, penghapus air itu tak mampu mengimbangi derasnya hujan. Lampu lalu lintas menunjukkan warna kuning. Aku menghentikan mobil, memeriksa apakah lalu lintas kosong, lalu bergerak ke persimpangan.
Akibatnya sudah kudengar sebelum aku bisa memastikan siluet hitam yang terguling di kap mobil.
Aku menjerit dan menginjak rem sekuatnya. Siluet itu terempas ke wiper disertai suatu pecahan yang melayang ke atas.
Mengikuti naluri, aku memutar kemudi keras-keras. Ujung belakang Neon membentur rambu lalu lintas, membuat mobil ini berputar ke persimpangan. Siluet itu terguling dan menghilang di ujung kap mobil.
Aku menahan napas, mencengkeram roda kemudi dengan tanganku yang pucat. Kuangkat kaki dari pedal. Mobil itu melonjak lalu mati.
Lelaki itu merangkak beberapa kaki dariku, mengawasi. Dia sama sekali tak tampak& terluka.
Busananya hitam dari ujung rambut ke ujung kaki, menyatu dengan kegelapan malam, sehingga sulit bagiku untuk memastikan rupanya. Semula aku tidak bisa mengenali apa pun di wajahnya. Tapi kemudian aku sadar kalau dia memakai topeng ski.
Dia berdiri, memperkecil jarak di antara kami. Telapak tangannya di jendela samping. Mata kami bertemu melalui lubang di topengnya. Dia seolah menyunggingkan senyum mematikan.
Dia memukul sekali lagi, kaca yang memisahkan kami bergetar.
Aku menjalankan mobil, berusaha menyeimbangkannya ke gigi satu, menekan pedal gas, dan melepaskan kopeling. Mesinnya bergetar kencang, tapi mobil itu berguncang lagi lalu mati.
Aku menyalakan mesin sekali lagi, tetapi perhatiannku teralihkan karena tiba-tiba ada bunyi keras. Dengan
ketakutan, aku melihat pintu mobil membengkok. Dia men-copot-nya.
Aku masuk ke gigi satu. Sepatuku terlepas saat menekan pedalnya. Mesin bergemuruh, jarum RPM di dasbor menunjukkan zona merah.
Kepalan tangannya menembus jendela seiring pecahnya kaca. Tangannya menggapai bahuku, lalu mencengkeram tanganku. Aku menjerit, menginjak pedal gas kencang-kencang, meloloskan diri dari cengkeraman. Roda Neon menderit. Lelaki itu berpegangan, mencengkeram tanganku, berlari di samping mobil beberapa kali sebelum terjatuh.
Aku meluncur dengan kekuatan adrenalin. Aku menatap spion untuk memastikan lelaki itu tidak mengejarku, lalu membalikkan kaca itu sampai menghadap ke depan. Aku harus mengatupkan bibirku agar tidak terisak-isak.
kU MeMaCU Mobil Dengan keCepaTan Tinggi menuju Hawthorne, sampai-sampai rumahku sendiri terlewat. Aku memutar balik, memotong jalan ke Beech, lalu menuju pusat kota Coldwater lagi. Aku menghubungi Vee melalui speed-dial.
Sesuatu terjadi aku dia tiba-tiba Neon-- Suaramu putus-putus. Apa"
Aku menyeka hidung dengan punggung tangan. Tubuhku gemetar sampai ke jari-jari kaki. Dia muncul entah dari mana.
Siapa" Dia Aku berusaha menjaring pikiran-pikiranku dan mengarahkannya menjadi kata-kata. Dia melompat di depan mobil!
Ya, ampun. Ya, ampun ya, ampun. Kau menabrak r u sa" Apa kau baik-baik saja" Bagaimana dengan Bambi" Vee separuh terisak, separuh menggerutu. Dan Neonku"
Aku membuka mulut, tapi Vee memotongku. Lupakan. Sudah aku asuransikan. Tapi katakan padaku, tak ada potongan tubuh hewan itu di tubuh pacarku& Tak ada, kan"
Apa pun jawaban yang ingin kusampaikan, katakata itu menjauh ke belakang. Pikiranku maju dua langkah. Rusa. Barangkali aku bisa membungkus semua kejadian tadi dalam dua kata, menabrak rusa. Aku ingin berterus terang kepada Vee, tapi aku juga tak mau dianggap gila. Bagaimana aku menjelaskan kalau aku baru saja melihat seorang laki-laki yang tertabrak lalu berdiri kembali dan mencopot pintu mobil" Aku menarik kerah bajuku sampai melewati bahu. Tak ada warna merah di tempat dia mencengkeramku tadi&
Aku terkejut sendiri. Apakah aku ingin menyangkal kejadian itu" Aku tahu apa yang kulihat. Aku tidak mengada-ada.
Benar-benar sinting, kata Vee. Kau tak menjawab pertanyaanku. Rusa itu terbentur lampu sen depan, kan"
Kau mengemudi dengan binatang itu tersangkut di depan mobil seperti bajak salju.
Boleh aku tidur di rumahmu" aku ingin segera menjauh dari jalanan. Menjauh dari kegelapan. Dengan suatu entakan tiba-tiba, aku sadar kalau aku ke rumah Vee berarti aku harus melewati persimpangan tempat aku menabraknya.
Aku ada di kamar, kata Vee. Masuk saja. Sampai jumpa.
Dengan tangan mencengkeram roda kemudi eraterat, aku menjalankan Neon menembus hujan, berdoa agar lampu di perempatan Hawthorne berwarna hijau. Ternyata doaku terkabul, dan aku meluncur melewati perempatan, dengan mata lurus ke depan. Tapi pada saat yang sama, aku mencuri-curi pandang ke bayangan di pinggir jalan. Tak ada tanda-tanda keberadaan lelaki bertopeng ski itu.
Sepuluh menit kemudian aku memarkir Neon di depan rumah Vee. Pintu mobil rusak parah, dan aku harus menendangnya dan menyelipkan badan agar bisa keluar. Lalu aku berlari ke pintu depan, masuk, dan bergegas menuruni tangga ke lantai dasar.
Vee sedang duduk bersila di tempat tidur. Sebuah buku catatan berada di pangkuannya, earbud menutupi telinganya, dan iPod dalam kondisi hidup. Apa aku harus melihat kerusakan itu malam ini atau sebaiknya
menunggu setelah aku tidur setidaknya tujuh jam" teriak Vee di sela-sela musik.
Barangkali pilihan nomor dua.
Vee menutup buku dan mencopot earbud. Kita hadapi sekarang saja.
Sesampainya di luar, aku menatap Neon cukup lama. Malam itu tidak hangat, tapi cuaca bukanlah penyebab bulu-bulu di tanganku meremang. Jendela samping tidak hancur. Pintu tidak penyok.
Ada yang tidak beres, kataku. Tapi Vee tidak mendengarkan. Dia sibuk menginspeksi setiap inci Neon kesayangannya.
Aku melangkah maju dan meraba jendela samping pengemudi. Mulus. Aku memejamkan mata. Setelah aku membuka mata kembali, jendela itu tetap utuh.
Aku memutari belakang mobil. Aku hampir melakukan satu putaran penuh ketika aku melihat sesuatu. Ada retakan yang membuat salah satu wiper patah. Pada saat yang sama Vee juga melihatnya. Kau yakin bukan tupai"
Mata mematikan di balik topeng ski itu berkelebat dalam pikiranku. Begitu hitam sampai aku tak bisa membedakan yang mana bola mata, yang mana selaput pelangi. Hitam seperti& mata Patch.
Lihat aku. Meneteskan air mata sukacita, kata Vee, melebarkan tangannya dan memeluk kap mobil. Satu retakan kecil. Cuma itu!
Aku memaksa diri tersenyum, tetapi perutku terasa mulas. Lima menit lalu jendela itu dihancurkan dan pintu dipukul keras. Melihat kondisi mobil sekarang, rasanya itu mustahil. Bukan, gila. Tapi aku melihat tonjokan tangan melewati kaca, dan aku merasa kuku-kukunya menancap di bahuku.
Bukankah begitu" Semakin kuat aku berusaha membangkitkan peristiwa itu, semakin sia-sia saja. Blip-blip kecil akibat hilangnya informasi menjalar dalam memoriku. Rincian peristiwa itu menyurut. Apakah dia jangkung" Pendek" Kurus" Gempal" Apakah dia mengatakan sesuatu"
Aku tidak ingat. Dan itulah bagian yang paling menakutkan.
Aku dan Vee meninggalkan rumah pada pukul tujuh tiga puluh keesokan pagi, lalu meluncur ke Enzo s Bistro untuk membeli sarapan berupa susu panas. Dengan kedua tangan memegang cangkir cina, aku berusaha menghangatkan rasa menggigil di dalam diriku. Aku sudah mandi, memakai kamisol dan kardigan yang kupinjam dari lemari Vee, menyapukan sedikit makeup, tapi aku tak ingat telah melakukannya.
Jangan lihat, kata Vee, Mr. Sweter Hijau terus memperhatikan kita, memperkirakan panjang kakimu melalui jins yang kau pakai& Oh! Dia memberi hormat kepadaku. Aku tidak bercanda. Pemberian hormat ala militer, dengan dua jari. Memesona sekali.
Aku tidak mendengarkan. Peristiwa kemarin malam terus berputar tanpa diundang dalam kepalaku, membuatku tak bisa tidur. Pikiranku kusut, mataku kering dan berat, dan aku tak bisa berkonsentrasi.
Mr. Sweter Hijau sepertinya tidak aneh, tapi ajudannya terlihat seperti cowok metal yang berengsek, kata Vee. Dia seolah-olah memberi peringatan jangan macam-macam denganku . Katakan padaku kalau dia tak mirip keturunan Drakula. Katakan padaku kalau aku cuma berkhayal.
Aku mengangkat mata, sekadar cukup untuk melihat bagaimana penampilannya. Menurutku wajahnya tampan dan tegas. Rambut pirang menggantung di bahunya. Warna matanya seperti tembaga. Tidak cukuran. Pakaiannya sempurna, jaket mahal di atas sweter hijau. Dan dia mengenakan jins hitam buatan desainer. Kau cuma berkhayal, kataku.
Apa kau tak lihat matanya yang dalam" Rambut di dahinya" Tubuhnya yang jangkung dan ramping" Dia bahkan cukup tinggi untukku.
Tinggi Vee hampir enam kaki, karena itu dia punya persoalan dengan hak sepatu. Hak yang tinggi. Dia juga punya persoalan untuk berkencan dengan cowok yang lebih pendek.
Oke, ada apa" tanya Vee. Kau membisu dari tadi. Bukan karena wiper mobilku yang patah, ya kan" Memangnya kenapa kalau kau menabrak hewan" Kecelakaan ini bisa terjadi pada siapa pun. Dijamin, peluangnya pasti jauh lebih kecil kalau ibumu pindah rumah dari hutan belantara begitu.
Aku tak ingin memberitahu kejadian yang sebenarnya kepada Vee. Tidak dalam waktu dekat ini. Aku butuh waktu untuk memilah-milah detailnya. Masalahnya aku tak yakin bisa melakukannya. Satu-satunya detail yang tersisa sangat samar, amat sangat samar. Seolah-olah ada karet penghapus yang membersihkan memoriku sampai kosong. Tetapi aku ingat ada hujan deras yang mengucur di jendela Neon, membuat segala sesuatu di luar menjadi kabur. Apakah aku menabrak rusa"
Mmmm, lihat itu, kata Vee. Mr. Sweter Hijau meninggalkan kursinya. Itu baru tubuh yang rajin ke gimnasium. Tak diragukan lagi dia berjalan ke arah kita. Matanya mengejar incaran, maksudnya kamu.
Setengah detik kemudian, kami mendapat ucapan salam dalam suara yang rendah dan menyenangkan, Halo.
Vee dan aku mengangkat wajah berbarengan. Mr. Sweter Hijau berdiri persis di belakang meja kami. Ibu jarinya dimasukkan ke saku celana jinsnya. Dia bermata biru, dengan rambut pirang berpotongan shaggy yang sedang tren, menyapu dahinya.
Halo juga, kata Vee. Aku Vee. Ini Nora Grey. Aku mengerutkan kening kepada Vee. Aku tak suka dia menyebut nama keluargaku. Rasanya itu melanggar perjanjian tak tertulis antar-teman cewek, apalagi sahabat, saat bertemu dengan cowok yang belum dikenal. Aku melambai separuh hati dan mengangkat cangkir ke bibirku, yang langsung melukai lidahku.
Dia menarik kursi dari meja sebelah dan duduk dengan posisi kursi terbalik. Tangannya berada di bagian kursi yang seharusnya menjadi sandaran punggung. Sambil menjulurkan tangan ke arahku, dia berkata, Aku Elliot Saunders. Meski merasa kelewat formal, aku menyambut uluran tangannya. Dan ini Jules, kata Elliot sembari memberi isyarat dengan dagunya ke arah temannya yang oleh Vee mendapat julukan sembrono sebagai jangkung .
Jules menjatuhkan badan ke kursi di samping Vee, lantas saja membuat kursi itu tampak kerdil.
Kurasa kau cowok paling tinggi yang pernah kulihat. Berapa tinggimu" kata Vee.
Enam koma sepuluh kaki, gumam Jules, menggelosor di kursi dan menyilangkan tangannya. Elliot berdehem. Kalian ingin makan apa" Aku pas, kataku, mengangkat cangkir. Aku sudah memesan.
Vee menendangku di bawah meja. Dia mau donat dengan krim vanila. Tolong dua.
Katanya sedang diet, he" tanyaku kepada Vee. He untuk dirimu sendiri. Biji vanilla itu buah. Buah berwarna cokelat.
Bukan, itu padi-padian. Kau yakin"
Tidak juga. Jules memejamkan mata dan menekan batang hidungnya. Sepertinya dia sebal duduk bersama kami, sama seperti aku dengan kedatangan mereka.
Saat Elliot berjalan ke konter di depan, kubiarkan mataku mengawasinya. Jelas dia anak SMA, tapi aku tak pernah melihatnya di CHS. Kalau ya, aku pasti ingat. Dia mempunyai kepribadian menawan dan supel, tak mudah dilupakan. Kalau aku sedang tidak terguncang, barangkali aku menaruh minat kepadanya. Untuk berteman, atau mungkin lebih.
Kau tinggal di sekitar sini" tanya Vee kepada Jules.
Mmm. Sekolah" K ing horn Prep. Ada kesan sok saat dia mengatakannya.
Belum pernah dengar. Sekolah swasta. Portland. Kami di sana sejak kelas sembilan. Dia mengangkat lengan bajunya, dan melihat arloji.


Hus Hus Karya Becca Fitzpatrick di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Vee mencelupkan jari ke busa di permukaan susunya lalu menjilatnya. Apa itu sekolah mahal"
Untuk pertama kalinya Jules menatap Vee secara langsung. Matanya melebar, menunjukkan bagian putih yang kecil di sudut.
Apa kau kaya" Pasti iya, katanya.
Jules menatap Vee seolah dia baru saja membunuh lalat di kening cowok itu. Dia memundurkan kursinya beberapa inci, menambah jarak dengan kami.
Elliot kembali dengan kotak berisi setengah lusin donat.
Dua krim vanila untuk para cewek, katanya sembari mendorong kotak itu ke arahku, dan empat donat berglasir untukku. Sebaiknya aku mengenyangkan diri sekarang, karena aku tak tahu bagaimana kafeteria di Coldwater High.
Vee nyaris menumpahkan susu. Kau di CHS" Baru hari ini. Aku pindahan dari Kinghorn Prep.
Nora dan aku juga di CHS, kata Vee. Aku harap kau mensyukuri keberuntunganmu. Kalau kau ingin tahu segala sesuatu termasuk siapa yang harus kau undang ke Spring Fling tanya saja. Nora dan aku tak punya kencan& sejauh ini.
Kuputuskan sekaranglah waktunya kami berpisah. Jules jelas-jelas kelihatan bosan dan jengkel. Berada di dekatnya sama sekali tak membantu suasana hatiku yang memang sudah letih. Dengan sangat kentara, aku melihat jam di telepon genggam dan berkata. Sebaiknya kita berangkat ke sekolah, Vee. Ada ujian biologi hari ini. Elliot dan Jules, senang bertemu dengan kalian. Ujian biologi baru hari Jumat, kata Vee. Di dalam hati, aku melotot. Di luar, aku tersenyum lebar sampai gigiku kelihatan. Benar, maksudku ujian bahasa Inggris. Tentang karya& George Chaucer. Siapa pun tahu, aku berbohong.
Samar-samar aku merasa sikap kasarku tadi mengusik hatiku. Apalagi karena Elliot tak punya kesalahan yang membuatnya patut diperlakukan seperti itu. Tapi aku tak mau duduk di sana lebih lama. Aku ingin terus bergerak, menjauhkan diriku dari kemarin malam. Barangkali hilangnya memoriku bukan sesuatu yang buruk. Semakin cepat aku melupakan kejadian itu, semakin cepat kehidupanku kembali normal.
Semoga hari pertamamu di sekolah baru menyenangkan, dan mungkin kami akan berjumpa denganmu saat makan siang, kataku kepada Elliot. Lalu aku menarik siku Vee dan menyeretnya keluar pintu.
Jam sekolah hampir selesai, tinggal mata pelajaran biologi. Dan setelah berhenti sebentar ke lokerku untuk menukar buku, aku berjalan menuju kelas. Vee dan aku sampai lebih dulu ketimbang Patch. Vee menempati kursi Patch yang masih kosong dan merogoh ranselnya, mengeluarkan sekotak Hot Tamales.
Satu buah warna merah siap dihidangkan, katanya , menyodorkan kotak itu kepadaku.
Coba kutebak& kayu manis itu termasuk buah, ya" kataku sambil mendorong kotak itu.
Kau belum makan siang, kata Vee, cemberut. Aku tidak lapar.
Bohong. Kau selalu lapar. Apa ini karena Patch" Kau tidak berpikir kalau dia benar-benar mematamataimu, kan" Karena yang kukatakan kemarin malam di perpustakaan itu cuma bercanda.
Aku memijat dahiku dengan membuat gerakan melingkar. Rasa sakit yang mengendap di balik mataku menjadi semakin parah saat aku mendengar nama Patch disebut. Aku tak akan memusingkan Patch, kataku. Aku berbohong.
Permisi, kursiku. Mendengar suara Patch, Vee dan aku mengangkat kepala berbarengan.
Suaranya terkesan menyenangkan, tetapi matanya terus menatap Vee ketika sahabatku ini berdiri dan mengayunkan ransel ke bahunya. Sepertinya gerakan Vee kurang cepat sehingga Patch memberi isyarat dengan tangannya agar Vee segera keluar.
Kau tampak cantik seperti biasanya, kata Patch kepadaku setelah dia duduk di kursi. Dia menyandarkan punggung, dan meregangkan kaki. Aku tahu Patch memang tinggi, tapi aku tak pernah memberi penilaian akan hal ini. Jika dilihat-lihat, tingginya tak kurang dari enam kaki. Bahkan mungkin enam koma satu.
Terima kasih, jawabku tanpa berpikir. Segera setelah itu aku menyesali ucapanku. Terima kasih" Di antara ribuan kata, terima kasih adalah yang paling buruk. Aku tak mau Patch menganggap aku suka dengan pujiannya. Karena sebetulnya tidak& sebagian besarnya. Tak perlu banyak berpikir untuk menyadari kalau dia adalah biang kerok, padahal hidupku sudah penuh dengan persoalan. Tak perlu mengundang persoalan lebih banyak lagi. Mungkin kalau aku tidak mengacuhkannya, pada akhirnya dia akan bosan untuk memulai pembicaraan. Kemudian dia akan duduk di
sebelahku dengan ketenangan penuh, seperti pasanganpasangan lainnya di kelasku.
Kau juga harum, kata Patch.
Aku mandi, kataku dengan mata lurus ke depan. Ketika dia tidak menjawab, aku menoleh. Sabun. Sampo. Air panas.
Telanjang. Aku tahu kelanjutannya.
Aku membuka mulut untuk mengubah topik pembicaraan, tetapi bel sekolah berbunyi.
Singkirkan buku teks kalian, kata Pelatih dari belakang mejanya. Aku akan memberikan kuis pendek sebagai persiapan ujian hari Jumat. Dia berhenti di depanku, menjilat jari untuk memisahkan lembaran kertas kuis. Harap tenang selama lima belas menit, selama kalian menjawab pertanyaan. Setelah itu kita akan membahas bab tujuh. Semoga sukses.
Aku menggarap beberapa pertanyaan pertama, menjawab dengan aliran informasi yang tersimpan dalam memoriku. Kalau bukan karena yang lain, kuis ini berhasil mencuri konsentrasiku. Menggusur kejadian kemarin malam dan suara dalam benakku yang mempertanyakan kewarasanku. Berhenti sejenak untuk melemaskan tangan, aku merasa tubuh Patch miring ke arahku.
Kau tampak letih. Ada pengalaman buruk semalam" bisiknya.
Aku melihatmu di perpustakaan. Aku berhatihati agar pensilku tidak jatuh ke atas kertas kuisku, sepertinya sulit dikendalikan.
Bagian penting dari malamku. Apakah kau membuntuti aku"
Dia mendorong kepalanya ke belakang dan tertawa pelan.
Aku mencoba arah baru. Apa yang kau lakukan di sana"
Meminjam buku. Aku merasa mata Pelatih tertuju kepadaku maka aku memusatkan perhatian ke lembar kuis. Setelah menjawab beberapa pertanyaan lagi, aku melirik ke samping. Ternyata Patch tengah mengawasiku. Dia nyengir.
Aku tak siap dengan kejutan itu, senyumnya luar biasa menarik. Yang aku takutkan terjadi, karena saking terkejutnya pernsiku terjatuh dan berguling di permukaan meja beberapa kali sebelum meluncur ke ujungnya. Patch membungkukkan badan untuk mengambilnya. Dia memegang pensil itu dalam telapaknya sehingga aku harus berhati-hati agar tidak menyentuh kulitnya saat mengambil pensil itu kembali.
Sesudah dari perpustakaan, bisikku, kau ke mana"
Kenapa" Apakah kau membuntuti aku" aku mendesaknya dengan suara ditekan.
Kau sepertinya gampang marah, Nora. Ada apa" alis matanya terangkat, menunjukkan perasaan khawatir. Tentu saja itu cuma pura-pura. Karena ada percikan kilat di tengah mata hitamnya.
Apa kau membuntuti aku" Kenapa aku membuntutimu" Jawab pertanyaanku.
Nora. Nada tegas dalam suara Pelatih mendorongku kembali ke kuis. Tapi aku tak tahan untuk tidak berspekulasi tentang jawaban yang mungkin akan diberikan Patch. Dan jawaban itu akan membuatku berlari menjauhinya. Ke seberang ruangan. Ke seberang dunia.
Pelatih meniup peluit. Waktunya habis. Serahkan kertas kuis ke depan. Bersiaplah untuk menghadapi ujian yang sama Jumat ini. Sekarang dia menautkan tangan, dan suara kering itu membuatku bergidik untuk pelajaran hari ini. Miss Sky, maukah kau menyebutkan topik kita"
S-e-k-s, Vee mengumumkan.
Persis setelah Vee mengatakan itu, pikiranku beralih. Apakah Patch membuntuti aku" Apakah wajah di balik topeng ski itu adalah wajahnya kalau pun ada wajah di balik topeng itu" Apa yang dia inginkan" Aku memeluk
siku tanganku, mendadak merasa sangat kedinginan. Aku ingin kehidupanku kembali ke saat sebelum Patch menyusup ke dalam kehidupanku.
Di akhir pelajaran, aku menahan Patch sebelum dia pergi. Bisakah kita bicara"
Patch sudah berdiri, jadi dia duduk di ujung meja. Ada apa"
Aku tahu, kau tak ingin duduk di sebelahku seperti aku tak ingin duduk di sebelahmu. Kurasa Pelatih bisa mengubah tempat duduk kita kalau kau memintanya. Kalau kau menjelaskan alasan
Alasan" Bahwa kita tidak cocok. Dia menggosok-gosok rahangnya, isyarat bahwa dia sedang memikirkan usulanku. Aku menjadi terbiasa dengan bahasa tubuh ini hanya dalam beberapa hari setelah mengenalnya. Kita tidak cocok"
Aku tidak sedang menyiarkan berita dahsyat. Ketika Pelatih meminta karakteristik pasangan idaman, aku menyebutkan karakteristik dirimu. Cabut kata-katamu.
Cerdas. Menarik. Rapuh. Kau tidak setuju" Dia melakukannya hanya untuk membuatku jengkel, dan penjelasannya itu hanya membuat kemarahanku menjadi-jadi. Kau mau meminta Pelatih mengubah tempat duduk kita atau tidak"
Tidak. Kau harus tetap bersamaku.
Apa yang harus kukatakan" Jelas-jelas dia memancing reaksiku. Dan ini tidak sulit, mengingat aku tak pernah bisa membedakan kapan dia bercanda, kapan dia serius.
Aku berusaha menyuntikkan kesan percaya diri dalam suaraku. Kupikir sebaiknya kau duduk dengan yang lain. Dan kupikir kau tahu itu. Aku tersenyum, tegas tapi sopan.
Kupikir ujung-ujungnya aku akan duduk di sebelah Vee. Dia tersenyum, sama sopannya denganku. Tapi aku tak mau memaksakan keberuntunganku.
Vee muncul dari samping meja kami, melirik ke arahku dan Patch. Apakah aku mengganggu kalian"
Tidak, kataku sambil menutup resleting ranselku dengan kasar. Aku bertanya kepada Patch tentang bahan bacaan malam ini. Aku tak ingat, halaman berapa yang ditugaskan pelatih untuk dibaca.
Vee menjawab, Tugasnya tertulis di papan tulis, seperti biasa. Seperti kau belum membacanya saja.
Patch tertawa, seolah sedang berbagi lelucon rahasia dengan dirinya sendiri.
Bukannya sekali ini saja aku ingin tahu apa yang ada dalam kepalanya. Karena kadang-kadang aku yakin lelucon rahasia itu pasti berkaitan dengan diriku. Ada yang lain, Nora" katanya.
Tidak, kataku. Sampai ketemu besok. Kutunggu. Dia mengedipkan mata. Benar-benar mengedipkan mata.
Setelah Patch tak bisa mendengar pembicaraan kami, Vee menarik lenganku. Kabar baik. Cipriano. Itu nama keluarganya. Aku lihat di daftar nama milik Pelatih. Dan kabar ini patut dirayakan karena& " Semua orang tahu kalau siswa harus mendaftarkan obat yang diresepkan ke kantor perawat. Vee mengetuk kantong depan ranselku, tempat aku menyimpan pil zat besi. Begitu juga, semua orang tahu kalau kantor perawat berada di kantor utama, tempat arsip siswa juga disimpan.
Dengan mata berbinar, Vee menggenggam tanganku dan menarikku ke pintu. Waktunya untuk melakukan pekerjaan mata-mata sesungguhnya.
B isa saya banTU" Aku memaksakan diri tersenyum kepada sekretaris kepala sekolah. Mudah-mudahan saja ekspresiku tidak mengungkapkan kepalsuan yang kurasakan. Ada resep obat yang harus kuminum setiap hari di sekolah, dan temanku
Suaraku tersumbat pada kata itu, dan aku ragu apakah setelah hari ini aku masih mau menyebut Vee sebagai temanku lagi.
Tem a n ku memberitahu kalau aku harus mendaftarkannya ke perawat. Apakah benar begitu" Tak percaya rasanya, aku berdiri di sini dengan niat
melakukan sesuatu yang dilarang. Seperti belakangan ini, tingkah laku-ku tidak seperti biasanya. Pertamatama aku membuntuti Patch malam-malam ke tempat permainan yang reputasinya kurang baik. Sekarang aku berancang-ancang mengintip arsip sekolahnya. Ada apa denganku" Bukan ada apa dengan Patch" Karena kalau ada sesuatu, tampaknya aku tidak bisa menahan diri untuk tidak memberikan penilaian buruk terhadap dirinya.
Oh, ya, kata sekretaris itu serius. Semua obat harus didaftarkan. Kantor perawat ada di belakang sana, pintu ketiga sebelah kri, di seberang arsip siswa. Dia memberi isyarat ke lorong di belakangku. Kalau perawatnya tak ada, kau bisa duduk di bangku dalam kantornya. Dia akan kembali dalam beberapa menit.
Aku memasang senyum terpaksa lagi. Aku benarbenar berharap pekerjaan ini tidak sulit. Saat melewati lorong, aku berhenti beberapa kali untuk memeriksa situasi melalui bahuku. Tak ada orang di belakangku. Telepon di kantor utama berdering, tapi bunyinya seolah berasal dari dunia lain di lorong yang remang, tempat aku berdiri sekarang. Aku benar-benar sendirian, bebas melakukan apa saja sesukaku.
Aku berhenti di depan pintu ketiga di sebelah kiri. Aku menahan napas dan mengetuk pintu. Tetapi dari jendelanya yang gelap jelaslah kalau ruangan itu kosong.
Kudorong pintu itu. Ia membuka dengan mengeluarkan bunyi berderit dan menampakkan ruangan kokoh dengan ubin putih bergores-gores. Sejenak aku berdiri saja di ambang pintu, nyaris berharap sang perawat muncul sehingga aku tak punya pilihan kecuali mendaftarkan pil zat besiku lalu pergi. Dengan pandangan sepintas ke lorong, terlihatlah sebuah pintu dengan jendela bertuliskan ARSIP SISWA. Ruangan itu pun gelap.
Kupusatkan perhatian pada pikiran menyebalkan dalam benakku. Patch mengaku kalau dirinya tak bersekolah tahun lalu. Aku yakin sekali dia berbohong. Tapi kalau tidak, apakah dia punya arsip" Setidaknya dia punya alamat rumah, pikirku. Dan kartu imunisasi, dan nilai-nilai semester kemarin. Bagaimanapun juga, kemungkinan diskors sepertinya hukuman yang sangat mahal akibat mengintip kartu imunisasi Patch.
Aku menyandarkan sebelah bahu ke dinding dan melihat arloji. Vee menyuruhku menunggu isyarat darinya. Dia bilang isyarat itu akan sangat kentara. Bagus.
Telepon di kantor utama berdering lagi. Kali ini sang sekretaris mengangkatnya. Sembari menggigit bibir, aku melirik untuk yang kedua kalinya ke pintu berlabel A RSIP S ISWA . Kemungkinan besar ruangan itu dikunci. Arsip pelajar boleh jadi dipandang sebagai sesuatu yang patut mendapat keamanan kelas tinggi. Tak peduli taktik
Vee seperti apa, kalau pintu itu dikunci, aku tak akan masuk.
Kupindahkan ranselku ke bahu yang lain. Satu menit berlalu sudah. Aku berkata dalam hati mungkin sebaiknya aku keluar&
Di lain pihak, bagaimana kalau Vee benar" Bagaimana kalau Patch mempunyai riwayat kriminal" Sebagai partner biologinya, seringnya kontak dengan Patch bisa membuatku berada dalam bahaya. Aku punya tanggung jawab untuk melindungi diriku...ya kan"
Kalau pintunya tidak dikunci dan arsip disusun berdasarkan abjad, aku tentu tak akan kesulitan menemukan file Patch. Tambahkan beberapa detik untuk memeriksa dengan cepat file-nya, mungkin aku bisa masuk dan keluar dari ruangan itu kurang dari satu menit. Meskipun sangat singkat, aku tetap enggan untuk masuk.
Keadaan di kantor kepala sekolah luar biasa sepi. Mendadak Vee berbelok di sudut. Dengan tubuh dan telapak tangan menempel ke dinding, dia berjingkatjingkat ke arahku sambil melirik melewati bahunya dengan pandangan misterius. Benar-benar seperti cara berjalan seorang detektif di film kuno.
Semuanya terkendali, bisiknya. Bagaimana dengan sekretaris"
Dia harus meninggalkan kantor sebentar.
H arus" Kau tidak melumpuhkannya, kan" Kali ini tidak.
Puji syukur atas rahmat ini.
Aku melaporkan ada ancaman bom dari telepon umum di luar, kata Vee. Sekretaris itu menelepon polisi, lalu kabur untuk memberitahu kepala sekolah. Vee!
Vee mengetuk-ngetuk arlojinya. Waktu berjalan. Kita tak boleh di sini saat polisi datang.
Ya, iyalah. Vee dan aku menyelinap melewati pintu ruangan arsip siswa.
Geser sedikit, kata Vee sambil menyenggolku dengan pinggulnya.
Dia menarik lengan bajunya sampai menutupi kepalan tangannya lalu meneroboskannya melewati jendela. Tak terjadi apa-apa.
Itu tadi cuma latihan, katanya. Dia mundur lalu menonjok sekali lagi, aku mencengkeram tangannya.
Mungkin tidak dikunci. Aku memutar tombol dan pintu membuka.
Tidak lucu, kata Vee. Itu pendapat dia.
Kau masuk, kata Vee memberi perintah. Aku berjaga-jaga. Kalau semuanya lancar, kita akan bersenang-senang satu jam lagi. Temui aku di restoran
Mexico di pojokan Drake and Beech. Vee berjingkatjingkat lagi seperti tadi.
Aku berdiri separuh di dalam dan separuh di luar ruangan sempit dengan barisan rak arsip yang menempel di dinding. Sebelum kesadaran menyuruhku keluar, aku masuk ke dalam ruangan itu dan menutup pintunya. Kusandarkan tubuhku ke pintu.
Setelah menarik napas panjang, aku melepaskan ranselku lalu bergegas maju, menyeret jariku ke map-map di rak. Kutemukan laci berlabel CAR-CUV. Dengan sekali tarik, laci itu berkeretak membuka. Label file ditulis dengan tangan. Aku jadi bertanya-tanya, apakah Coldwater High adalah sekolah terakhir di negara ini yang tak berkomputer"
Mataku tertuju ke nama Cipriano .
Kutarik map itu dari laci yang sesak. Sejenak aku memegangnya, berusaha meyakinkan diri kalau tindakan yang akan kulakukan tidak kelewat salah. Lalu bagaimana kalau ada informasi pribadi di dalamnya" Sebagai partner biologi Patch, aku punya hak untuk tahu hal-hal semacam ini.
Di luar, suara-suara mengisi lorong.
Aku membuka map dengan tergesa-gesa dan langsung terkejut. Sungguh tak masuk akal. Suara-suara itu semakin keras.
Kujejalkan map itu asal-asalan ke dalam laci dan kudorong laci itu hingga berderit masuk ke rak kembali. Saat membalikkan badan, aku terperanjat. Di sebelah luar jendela, kepala sekolah menghentikan langkahnya yang terburu-buru. Matanya menatap tajam ke arahku.
Apa pun yang sedang dia katakan kepada kelompok yang terdiri dari tokoh-tokoh penting sekolah, dihentikan. Permisi sebentar, kudengar dia berkata begitu. Kelompok itu terus berjalan terburu-buru. Kepala sekolah tidak.
Dia membuka pintu. Area ini tidak boleh dimasuki siswa.
Aku berusaha memasang tampang memelas. Maaf. Aku sedang mencari ruang perawat. Resepsionis mengatakan pintu ketiga di sebelah kanan, tapi aku salah& Aku mengangkat tangan. Aku tersesat.
Sebelum dia bisa menanggapi, aku membuka resleting ranselku. Seharusnya aku mendaftarkan ini. Pil zat besi, kataku menjelaskan. Aku menderita anemia.
Sejenak dia mengawasiku, alis matanya beradu. Kurasa dia sedang mempertimbangkan dua pilihan: tetap di sini dan berurusan denganku, atau mengurusi ancaman bom. Dia menggerakkan dagunya ke arah pintu. Keluar dari gedung ini segera.
Dia membuka pintu lebar-lebar dan aku menyusup ke bawah tangannya, tak bisa tersenyum.
Satu jam kemudian aku meluncur ke sebuah kedai restoran Mexico di sudut Drake and Beech. Kaktus keramik dan patung coyote gendut berdiri di atas dinding tinggi. Seorang lelaki yang mengenakan sombrero lebih besar dari dirinya berjalan menghampiriku. Sembari memetik gitar, dia melantunkan serenade sementara pelayan perempuan meletakkan menu di atas meja. Aku mengerutkan dahi saat membaca label di sampul depannya. The Borderline. Aku belum pernah makan di sini, tetapi nama itu sepertinya tak asing.
Vee datang dari belakangku dan menjatuhkan diri di kursi seberang. Pelayan kami menghampiri.
Empat chimi, krim asamnya yang banyak, satu porsi nachos, dan satu porsi buncis hitam, kata Vee tanpa melihat menu.
Satu burrito merah, kataku.
Tagihannya dipisah" tanya pelayan itu. Aku tidak mentraktir dia, kata Vee dan aku berbarengan.
Setelah pelayan pergi, aku berkata, Empat chimi. Aku ingin tahu hubungannya dengan buah.
Jangan memulai. Aku kelaparan. Belum makan sejak makan siang. Vee terdiam. Itu kalau kau pikir Hot Tamales masuk hitungan, kalau aku sih tidak.
Vee itu cewek berwajah Skandinavia dan senang barang-barang mewah. Dan dari sudut yang tidak kuno, tubuhnya luar biasa seksi. Ada hari-hari ketika persahabatan kami agak renggang lantaran aku merasa iri kepadanya. Di samping Vee, satu-satunya yang kubanggakan hanyalah kakiku. Dan mungkin metabolisme tubuhku. Tapi sudah pasti bukan rambutku.
Mudah-mudahan keripiknya cepat datang, kata Vee. Aku akan pingsan kalau tak makan sesuatu yang asin dalam empat puluh lima detik. Dan omong-omong, tiga huruf pertama dalam kata diet sudah menjelaskan alasanku.
Mereka punya salsa dengan tomat, aku menunjuk menu. Itu makanan merah. Dan alpokat itu buah. Kupikir.
Wajah Vee menjadi cerah. Dan kita memesan koktil stroberi.
Vee benar. Diet ini tidak sulit.
Aku pergi sebentar, katanya, bergegas ke luar restoran. Sudah waktunya bulan ini. Setelah itu, aku ingin makan sepuasnya.
Sembari menunggu Vee, tanpa sengaja aku memperhatikan pegawai kebersihan restoran yang terpaut
beberapa meja dariku. Dia sedang sibuk menggosok kotoran di permukaan meja. Tetapi ada sesuatu yang sepertinya tak asing dari caranya bergerak, dari cara kemejanya menutupi lengkungan punggungnya yang ramping. Nyaris seolah curiga ada seseorang yang mengawasi, dia menegakkan tubuh dan berbalik. Matanya menatap lurus ke arahku, tepat pada saat aku sadar mengapa pegawai itu sangat familier. Patch.
Sulit dipercaya. Sungguh aku ingin menepuk dahiku begitu teringat kalau Patch sudah memberitahu bahwa dia bekerja di Borderline.
Sembari mengelapkan tangannya ke celemek, dia berjalan mendekat. Jelas sekali dia menikmati perasaan tidak nyamanku saat aku melihat ke sekeliling untuk berusaha kabur, tapi ternyata tak ada jalan yang memungkinkan kecuali harus masuk semakin dalam di restoran itu.
Well, well, katanya. Lima hari bertemu denganku ternyata belum cukup, ya" Sampai-sampai kau harus bersamaku malam hari juga"
Aku minta maaf atas kejadian kurang menguntungkan ini.
Patch duduk di kursi Vee. Ketika dia menjulurkan tangannya, ternyata tangan itu sangat panjang hingga
melampaui separuh meja. Dia mengangkat gelasku dan memutar-mutarnya.
Kursinya sudah terisi, kataku. Dia tak menjawab. Kurebut gelas itu dan kuirup airnya. Tanpa disengaja, aku menelan sebongkah es. Kerongkonganku agak tersedak. Bukannya kau harus bekerja, kok malah mengobrol dengan pelanggan" kataku terbatuk.
Patch tersenyum. Kau ada acara M inggu malam"
Aku mendengus. Tanpa disengaja. Kau mengajakku kencan"
Kau jadi sombong. Aku suka, Angel.
Aku tak peduli apa yang kau suka. Aku tak akan pergi denganmu. Tidak untuk kencan. Tidak untuk berduaan denganmu. Aku ingin menendang diriku sendiri karena tiba-tiba ada desiran hangat saat membayangkan apa yang akan terjadi kalau aku menghabiskan malam berduaan dengan Patch. Besar kemungkinan dia tak punya niat untuk itu. Besar kemungkinan dia hanya menggodaku atas alasan yang cuma dia saja yang tahu. Sebentar, apakah barusan kau menyebutku Angel" tanyaku.
Kalau ya, kenapa" Aku tak suka.
Patch nyengir. Aku tak akan mengubahnya. Angel.
Dia mencondongkan tubuhnya ke meja, mengangkat tangannya ke wajahku, dan menyapukan ibu jarinya ke sudut mulutku. Aku menarik diri, tapi terlambat.
Dia menghapus lip gloss dengan menggosokkan ibu jari dan telunjuknya. Kau tampak lebih cantik begini.
Aku berusaha mengingat-ingat apa yang sedang kami bicarakan. Tapi usaha itu tidak terlalu gigih hingga aku tak bisa menghindari ekspresi kalau sentuhannya seolah tak berarti apa-apa bagiku. Aku mengayunkan rambut ke belakang bahu, berusaha melanjutkan ujung pembicaraan sebelumnya. Lagi pula, aku tak boleh keluar malam di luar hari libur.
Sayang sekali. Ada pesta di pesisir. Kupikir kita bisa pergi. Dia terdengar tulus.
Aku tak paham sama sekali, tapi desiran hangat tadi masih terasa dalam darahku. Aku mengisap sedotan dalam-dalam, berusaha menyejukkan perasaanku dengan aliran air dingin. Menghabiskan waktu berduaan dengan Patch akan penuh intrik dan berbahaya. Aku tak tahu kenapa, tapi dalam hal ini aku percaya pada naluriku.
Aku berpura-pura menguap. Well, seperti kubilang, aku tak boleh keluar malam. Dengan harapan dapat lebih meyakinkan diriku sendiri daripada dirinya, aku menambahkan, Kalau itu jenis pesta kesukaanmu, aku hampir bisa menjamin kalau aku tak suka.
Nah, dengan begini kasus ditutup.
Lalu, tanpa aba-aba sama sekali, aku berkata, Lagi pula kenapa kau mengajakku"
Sebelum pertanyaan itu, aku masih bisa berkata pada diriku sendiri kalau aku tak peduli dengan pandangan Patch terhadap diriku. Tapi sekarang aku yakin itu bohong. Meski kemungkinan itu akan menghantuiku, aku sebenarnya penasaran. Bagaimana rasanya pergi dengan Patch ke suatu tempat"
Sepasang Ular Naga 9 Tembang Tantangan Karya S H Mintardja Sibadung Jadi Pahlawan 1

Cari Blog Ini