Mahesa Kelud - Malapetaka Di Puncak Halimun Bagian 2
itu hatinya tetap saja masih mengkal terhadap
Sultan. Mahesa Kelud melompat ke muka seraya
berseru: "Saudara-saudara, harap tahan dulu!"
Akan tetapi kelima orang prajurit itu yang
rupanya tengah berada dalam keadaan marah sekali tidak memperdulikan seruan Mahesa. Bahkan sebaliknya mereka juga menyerang pemuda
ini karena menyangka Mahesa adalah kawan atau
saudara seperguruan dari si gadis!
Lagipula prajurit-prajurit ini sebegitu jauh
tidak pernah tahu tentang hubungan Mahesa
dengan Kerajaan Banten dan baru kali ini bertemu. Ini disebabkan karena sebagai prajuritprajurit penjaga perbatasan mereka jarang ke kotaraja. Salah seorang dari
prajurit ini memba- batkan pedangnya ke bahu Mahesa Kelud. Pemuda ini mengelak cepat dan hampir tiada terlihat tangan kanannya bergerak maka
tahu-tahu pedang si prajurit terlepas dan sudah berpindah
tangan! Bukan saja prajurit yang kena dirampas
senjatanya, tapi juga keempat kawan-kawannya
menjadi sangat terkejut. Tanpa dikomandokan
maka mereka berhenti menyerang. Kesempatan
ini di lain pihak dipergunakan oleh gadis baju merah untuk melarikan diri dari
situ dengan sece- pat-cepatnya! Kelima prajurit coba mengejar namun sia-sia saja. Si gadis baju merah sudah lenyap di balik pohon rapat dan semak belukar lebat. Mereka kembali ke tempat pertempuran itu
dengan amarah meluap. Yang tertua diantara mereka melintangkan
pedang di muka dada dan berkata: "Orang muda!
Tindakanmu sungguh ceroboh sekali! Kau tahu
siapa gadis itu dan dengan siapa kau telah membuat urusan"!" "Tentang gadis cantik itu memang aku tidak kenal. Namun siapa kalian cukup kumaklumi
dari pakaian-pakaian kalian," jawab Mahesa Kelud. Jika saja dia tidak melihat
bagaimana sa- lah seorang kawannya dirampas pedangnya dengan sangat mudah dalam satu gebrakan yang cukup memberi bukti bahwa Mahesa adalah pemuda berilmu tinggi, maka prajurit paling tua itu mungkin sudah memberi aba-aba
kepada keempat prajurit lainnya untuk menyerbu! Amarahnya
ditahan dengan sedapat-dapatnya. Kawankawannya yang lain juga tidak berani bertindak
gegabah. "Siapa gadis baju merah itu dan mengapa
sampai kalian mengeroyoknya?"
"Pemuda, jika terang kau tidak ada sangkut paut dengan gadis itu mengapa membantunya"!" balas bertanya si prajurit.
Mahesa tersenyum. "Bukankah sangat disayangkan kalau kulitnya yang putih serta licin itu sampai tergores oleh senjatasenjata kalian" Apalagi kalau sampai daging tubuhnya mendapat luka-luka parah!" "Tapi itu adalah akibat yang harus ditanggungnya sendiri! Dia gadis kurang ajar! Murid si
Dewa Tongkat!" "Murid Dewa Tongkat" Hem... baru kali ini
aku dengar manusia bergelar demikian.... Apa
yang telah diperbuatnya terhadap kalian?"
"Kami tengah meronda sepanjang hutan
ini. Antara Banten dan Pajajaran sudah sejak la-ma terjadi permusuhan. Tiba-tiba
dari atas pohon melompat satu bayangan merah dan tahu-tahu
topi-topi yang ada di atas kepala kami lenyap! Sesaat kemudian dihadapan kami
berdiri seorang gadis remaja dengan tertawa cekikikan! Apa yang membuat kami menjadi sangat
marah dan terhina ialah bahwa gadis inilah yang telah berlaku kurang ajar, mengambil topi kami! Dari pakaian ser-ta tongkat yang ada di tangan
kanannya segera kuketahui bahwa dia adalah murid Dewa Tongkat. Karenanya aku dan kawan-kawan tidak mau
berlaku kasar dan meminta agar topi kami yang
diambilnya dikembalikan! Tapi si gadis kurang
ajar membentak dan memaki kami bahkan kemudian menyerang! Nah, pantaslah kalau manusia kurang ajar seperti dia kau tolong"! Disamping topi kami dibawa lari pula!
Ini benar-benar satu penghinaan bagi kami, bahkan bagi Kerajaan!"
Dalam hatinya Mahesa Kelud tertawa geli
mendengar keterangan prajurit tersebut. Dia berkata: "Tindakan si gadis memang
tidak pantas. Tapi kalau dilihat kepada umurnya, dia agaknya
masih berjiwa kanak-kanak...."
"Kanak-kanak"! Kalau dia murid seorang
sakti, sudah memiliki ilmu tinggi dan sudah remaja seperti itu apa masih bisa disebut anakanak"!" tukas si prajurit.
"Saudara-saudara sekalian," kata Mahesa kemudian. "Memang aku salah. Salah
karena tidak tahu bahwa gadis itu telah membuat suatu
penghinaan terhadap kalian. Tapi dari pada kita bicara berbantahan di sini, jika
kalian tahu di mana tempat kediaman Dewa Tongkat itu, antar-kanlah aku ke sana.
Aku akan mintakan kembali
topi-topi kalian." "Orang muda, jangan bicara sinting! Dewa
Tongkat seorang pertapa yang tak senang didatangi tempatnya, apalagi jika untuk membuat
urusan! Dia tak akan perduli siapa yang salah
dan pasti akan berdiri di pihak muridnya! Kabarnya manusia ini bersifat cepat
pemarah!" "Jangan khawatir. Jika terjadi apa-apa aku yang akan menghadapi si Dewa Tongkat
sedang kalian berlima bisa melayani gadis baju merah
itu," kata Mahesa Kelud pula.
Prajurit yang berdiri di hadapan Mahesa
memandang pada kawan-kawannya. "Anak muda," dia berkata kemudian, "Aku dan kawan-kawan memang telah melihat
kelihayanmu. Tapi terhadap si Dewa Tongkat kau jangan main-main.
Kau mengandalkan kepandaian apakah maka berani menghadapinya?"
"Aku hanya mengandalkan bahwa kau dan
kawan-kawanmu berada di pihak yang benar,
yang telah dikurangajari oleh muridnya! Si Dewa Tongkat tentu namanya akan buruk
di dalam du- nia persilatan jika kita datang dengan baik-baik sebaliknya dia turun tangan
berpihak kepada muridnya yang terang-terangan salah!"
Akhirnya kelima prajurit itu pun pergilah.
Tempat kediaman Dewa Tongkat ialah di satu
lembah. Tepat di pertengahan lembah ini terdapat sebuah danau penuh ditumbuhi
oleh rotan. Karena itulah lembah tersebut dinamakan orang Lembah Rotan. Dewa Tongkat sudah puluhan tahun
tinggal di Lembah Rotan sehingga dari ilmu silat yang diwarisi dari gurunya dia
kemudian mencip-takan sendiri sejenis ilmu tongkat rotan yang
memang patut dikagumi. Kalau tidak percuma saja dia mendapat gelar "Dewa Tongkat."
Lewat tengah hari baru keenam orang tersebut sampai ke tempat tujuan mereka. Suasana
sekitar Lembah Rotan tampak tenang-tenang saja
dan diliputi kedamaian. Udara sekitar situ terasa sejuk segar. Keenamnya
mendekati danau yang penuh dengan pohon-pohon rotan. Persis di tengah-tengah danau kelihatanlah sebuah pondok
mungil yang keseluruhannya mulai dari lantai
sampai dinding dan atap terbuat dari rotan. Bagian bawah dari pondok itu dilapisi dengan rotan sebesar-besar betis sehingga
pondok tersebut tak ubahnya seperti sebuah rumah di atas rakit yang bisa dibawa
ke setiap bagian danau. Jika pondok rotan tersebut kebetulan berada di tepi danau maka mudah saja bagi seseorang untuk mendatanginya, tapi tidak demikian
bila sedang berada di bagian tengah danau. Jika
orang mengambil jalan air yaitu berenang maka
dia akan mendapat celaka karena di dalam danau
penuh dengan ular-ular air sepanjang-panjang
lengan. Untuk melompat begitu saja juga tidak
mungkin karena jarak sangat jauh. Seorang berilmu paling atas dengan kepandaian mengentengi tubuh yang luar biasa sekali pun juga tak akan bisa membuat lompatan sejauh
itu yakni kira-kira seratus tombak! Satu-satunya jalan untuk pergi
tersebut adalah dengan pertolongan batangbatang rotan, melompat dari satu batang ke batang lainnya seperti seekor monyet! Dan kalau
bukan orang yang punya ilmu tinggi tentu hal tersebut sukar pula dilakukan.
Keenam orang itu berhenti di tepi danau.
Mereka dapat melihat puluhan ular-ular air mengambang di atas danau. Mereka tidak mengerti
bagaimana Dewa Tongkat dan muridnya dapat diam di pondok rotan tanpa diganggu oleh binatang tersebut. Mahesa dan kelima
prajurit ini tidak mengetahui bahwa si Dewa Tongkat melumuri
bagian bawah dari pondoknya dengan sejenis obat mengandung racun sehingga ularular air tersebut tidak berani datang mendekat.
Mahesa Kelud memandang ke pondok rotan di tengah danau. Pintu dan jendela tertutup Pemuda itu maklum bahwa untuk
pergi ke sana hanyalah dengan berayun-ayun dari satu batang
rotan ke batang rotan lainnya. Baginya itu bukan suatu kesukaran tapi apakah hal
tersebut dapat pula dilakukan oleh kelima prajurit Banten, agak
disangsikannya. "Saudara-saudara," kata Mahesa, "Satu-satunya jalan untuk dapat pergi ke pondok
itu hanyalah dengan pertolongan batang-batang rotan, melompatinya satu demi satu sampai ke batang rotan yang terdekat dengan pondok. Lain jalan adalah sia-sia. Kalian bisa
melakukannya?" Kelima prajurit itu sama berdiam diri tanpa
mereka tak menyanggupi. Kemudian yang paling
tua berkata: "Kita berteriak saja dari sini. Meminta supaya gadis itu keluar dan
mengembalikan topi-topi kami!" Sebenarnya, dengan jalan berteriak itu berarti menunjukkan kelemahan yaitu tak sanggup
mendatangi sendiri pondok si Dewa Tongkat. Namun setelah berpikir-pikir sejurus akhirnya Mahesa menyetujui juga. Maka mementang mulutlah
si prajurit tadi: "Gadis baju merah! Kami datang dengan maksud baik! Harap kau
suka mengembalikan topi-topi kami!"
Mereka menunggu. Sejurus kemudian pintu pondok rotan kelihatan terbuka dan dua orang keluar.
TUJUH ORANG pertama tak lain adalah dari si
Dewa Tongkat sendiri. Manusia ini berumur sekitar enam puluh tahun. Tubuhnya kurus dan tinggi sekali! Ini membuat dia tak ubahnya seperti
tonggak! Rambut di kepalanya pendek dan jarang
serta berwarna putih. Dewa Tongkat mengenakan
pakaian putih ringkas yang di bagian dadanya
terbuka sehingga jika kita berdiri dekat-dekat bisa dihitung tulang-tulang
iganya yang menonjol. Di pinggang melilit sebuah sabuk kulit besar dan
pada sabuk ini tergantunglah sebuah tongkat rotan sebesar betis yang kedua ujungnya berkeluk.
Dewa Tongkat berdiri di muka pintu pondoknya
dengan melipat kedua tangan di muka dada. Di
sampingnya tegak orang kedua yaitu si gadis baju merah murid tunggalnya yang
bernama Kemaladewi. "Orang-orang liar mana yang kesasar ke si-ni dan berteriak
macam monyet lapar"!" tanya Dewa Tongkat. Suaranya keras sekali dan meng-gema ke
seluruh lembah tanda dalam bicara itu
dia telah mempergunakan tenaga dalamnya yang
tinggi dan hebat. Diam-diam kelima prajurit Banten jadi merinding bulu tengkuk
mereka. "Dewa Tongkat!" seru Mahesa Kelud. Dia kini yang bicara menjawab kata-kata si
orang tua sakti. Tak lupa pula pemuda ini mempergunakan
tenaga dalamnya yang tinggi sehingga suaranya
pun bergema di seluruh pelosok lembah. Kelima
prajurit itu jadi bergetar gendang-gendang telinga mereka. Si Dewa Tongkat
mengernyitkan kening tanda dia tak dapat menekan perasaan terkejut
ketika mendengar suara yang keras tajam Mahesa
Kelud itu. "Kami datang membawa perdamaian dan persahabatan. Harap dimaafkan
jika kami mengganggu ketenteraman lembahmu! Tapi ketahuilah, muridmu telah mencuri sesuatu dari kelima prajurit Banten ini. Kami datang untuk memintanya kembali!" Kemaladewi, murid Dewa Tongkat mengatakan sesuatu pada gurunya. Sang guru kemudian berkata: "Siapa pun yang hendak membuat urusan dengan muridku dipersilahkan
datang sendiri ke sini! Tapi jika tidak sanggup, maka sebaiknya siang-siang tinggalkan
lembah ini. Jika kalian keras kepala ada baiknya bila kusuruh kalian
meninggalkan kepala masing-masing di sini!"
"Dewa Tongkat, kalau persoalan kecil ini
hendak kau besar-besarkan sesungguhnya akan
membuat namamu menjadi buruk saja. Mana ada
guru bijaksana membela muridnya yang kurang
ajar, menghina prajurit-prajurit Kerajaan serta mencuri topi"!" sahut Mahesa
Kelud pula. "Orang muda! Kau bicara terlalu berani!
Kau mengandalkan ilmu kepandaian apakah"!
Apa hubunganmu dengan lima manusia kacung
Istana itu"! Berapa ringgit kau disuapnya mau
ikut-ikutan ke sini untuk mengambil topi-topi
tengik itu"!" "Sebagai seorang yang dihormati oleh tokoh dunia persilatan seharusnya kau
memberikan contoh yang baik! Apa tidak malu membela murid
demikian rupa"! Mengambil milik orang lain wa
Mahesa Kelud - Malapetaka Di Puncak Halimun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lau bagaimana pun tidak berharganya milik itu
tetap namanya mencuri! Akan luntur nama tokoh-tokoh dunia persilatan lainnya jika terlalu banyak murid-murid mereka
menjadi maling!" Mendengar ini maka marahlah si Dewa
Tongkat. Kedua kakinya bersitekan pada lantai
rakit kemudian tubuhnya melayang ke muka laksana anak panah lepas dari busur. Untuk sampai
ke tepi danau dia hanya mempergunakan dua batang rotan sebagai tempat berayun. Tak lama sesudah dia menginjakkan kaki di tepi danau maka
muridnya, Kemaladewi, juga sampai di sana dan
berdiri di sebelahnya. Kelima prajurit merasa gen-tar melihat manusia kurus
tinggi ini. Mahesa sendiri yang bertubuh tegap dan tinggi hanya
sampai seleher Dewa Tongkat.
Sebagai orang yang tahu diri, bagaimana
pun beringasnya dia bersahut-sahutan kata dengan si Dewa Tongkat namun di hadapan orang
tua ini Mahesa Kelud segera menjura. "Dewa Tongkat," katanya. "Sebagai orang
luar sebenarnya aku tidak pantas untuk ikut campur dalam
urusan ini. Tapi apa mau dikata aku sudah terlibat padahal maksudku adalah untuk
memisah. Aku tidak tahu kalau muridmu telah mempermainkan lima prajurit ini dan melarikan topi-topi mereka! Walau bagaimana pun
yang sudah berlalu bisa dilupakan. Aku harap muridmu sudi mengembalikan topi prajurit-prajurit ini." Mahesa Kelud melirik pada Kemaladewi dan
saat itu baru dia menyadari kalau si gadis baju merah sudah
sejak tadi memperhatikannya. Pada detik pandangan mata mereka saling bertemu membayanglah warna kemerahan pada kedua pipi si gadis
yang tadi putih dan licin. Si gadis mengatupkan
bibirnya rapat-rapat dan memandang ke tempat
lain. "Eh, orang muda, tadi kau bicara begitu berani, begitu gegabah! Sekarang
berhadap-hadapan denganku mengapa merendah! Nyalimu
mulai kecut huh"!" bentak Dewa Tongkat pula.
"Dewa Tongkat, siang-siang kami sudah
beritahukan bahwa kedatangan kami membawa
persahabatan dan perdamaian. Kalau tadi aku bicara agak keras dan kasar adalah karena kau
yang lebih tua telah memulainya lebih dahulu!"
Dewa Tongkat menyapu kelima prajurit
yang di hadapannya dengan pandangan mata
menyorot. "Tikus-tikus Kerajaan, jika kalian in-ginkan topi-topi tengik itu
kembali majulah berlima sekaligus! Layani aku barang beberapa jurus!
Jika kalian berhasil mengalahkanku dalam tiga
jurus topimu akan kembali!"
Sudah barang tentu kelima prajurit itu tidak berani menyambut tantangan si orang tua
sakti. Maka meledaklah tertawa si Dewa Tongkat.
"Manusia-manusia kintel berani-berani datang kemari, pergilah kalian!" katanya.
Bersamaan dengan itu dia melambaikan tangan kanannya.
Apa yang terjadi benar-benar mengagumkan. Kelima prajurit itu ada yang mental, berguling bahkan ada yang jungkir balik
ketika kena disapu oleh hantaman angin dahsyat yang keluar dari
tangan Dewa Tongkat! Mahesa memandang pada
mereka yang bergelimpangan di tanah dan kemudian berdiri dengan nanar. Pukulan tenaga dalam
si Dewa Tongkat luar biasa namun Mahesa maklum itu hanya pukulan yang dilakukan untuk tidak mencelakai lawan. Jika tenaga dalam itu diisi dengan aji kekuatan lain,
pasti kelima prajurit tersebut sudah mati konyol semua. Melihat ini
Mahesa mengerti bahwa si Dewa Tongkat tidaklah
sejahat sebagaimana mulutnya yang kasar dan
keras! Orang tua itu berpaling dan menyeringai
kepada Mahesa. Kedua tangannya sudah berulang lagi di muka dada. "Pemuda, kau masih in-ginkan topi itu, barangkali?"
"Benar Dewa Tongkat. Aku telah salah turun tangan dan merugikan kelima prajurit itu,"
jawab Mahesa. Si orang tua mengambil tongkatnya yang
tersangkut pada sabuk besar di pinggangnya.
"Mari kulihat, apa kepalamu cukup keras untuk menerima pukulan tongkatku ini!
Jika kau bisa bertahan sampai tiga jurus kau menang dan topitopi busuk itu akan kukembalikan! Mulailah!"
Sebelum Mahesa Kelud membuat gerakan
tiba-tiba Kemaladewi maju ke muka. "Guru," ujar gadis, ini dengan suara yang
merdu. "Untuk menghadapi pemuda yang datang minta digebuk
ini mengapa guru harus mengotorkan tangan" Biar murid yang beri sedikit pelajaran padanya!"
Dewa Tongkat tertawa. "Bagus, bikin melintir dia dalam tiga jurus, Kemala!"
Gadis itu mengeluarkan rotan berkeluknya.
Tongkat rotan ini sama panjangnya dengan yang
di tangan sang guru namun lebih kecil, tak ada
setengahnya. "Pemuda, keluarkan senjatamu!"
tantang Kemaladewi dengan suara yang tinggi dan kerlingan mata tajam menyambar.
Saat itu, satu-satunya senjata yang dibawa
oleh Mahesa ialah "Pedang Dewa" pemberian gurunya si Suara Tanpa Rupa. Namun dia
tidak mau mengeluarkan senjata itu begitu saja karena memang pedang tersebut tidak
boleh dipakai sembarangan. Sekedar untuk tidak mengecewakan hati lawannya Mahesa Kelud kemudian mematahkan sebatang rotan! Diam-diam si Dewa Tongkat jadi terkejut.
Mematahkan sebatang rotan bukan satu hal yang
mudah, tidak seperti mematahkan kayu atau
ranting pohon karena rotan bersifat lemas dan
liat! Tapi kini disaksikannya sendiri bagaimana pemuda itu mematahkan rotan
seperti dia mematahkan sebuah ranting kering saja! Hati si Dewa Tongkat jadi
tertarik pada pemuda ini.
Dengan tongkat rotan panjang tiga jengkal
di tangan kanannya maka berkatalah Mahesa,
"Nah. Saudari, sebagai tuan rumah kau silahkan memulai duluan."
Kemaladewi tertawa. Gadis ini memang
berhati periang, lucu dan suka menggoda orang.
Dia menggerakkan kaki kanannya sedikit, menggeser kaki kiri dan memutar tongkat berkeluk di tangannya. Ujung yang berkeluk
tongkat si gadis menyambar ke dada Mahesa. Jika serangan ini
dielakkan maka ujung tongkat yang berkeluk
akan melesat secepat kilat ke arah leher. Bagian yang berkeluk akan merenggutkan
batang leher lawan yang mana bisa mengakibatkan tanggalnya
tulang leher dari persendiannya atau sekurangkurangnya mengalami keremukan!
Tapi anehnya, diserang demikian Mahesa
Kelud sama sekali tidak mengelak bahkan menggerakkan tubuh atau menangkis pun tidak! Kemaladewi menjadi ragu-ragu untuk meneruskan
serangannya. Di samping sebenarnya dia memang
tidak tega untuk menciderai pemuda yang semenjak tadi telah menarik hatinya, maka dia juga merasa berhutang budi karena waktu
diserang lima prajurit Mahesa Keludlah yang telah menolongnya. Mau tak mau Kemala memiringkan tongkat
rotannya dan senjata itu melesat ke samping, tidak jadi menghantam dada si
pemuda. Jika si Dewa Tongkat melihat adanya ketidak beresan dalam serangan yang dilancarkan
muridnya itu maka lain halnya dengan Mahesa.
Pemuda ini tersenyum, meski dia tidak tahu apa
yang menjadi alasan namun memaklumi bahwa
lawannya tidak mau melukainya.
"Saudari, seranglah yang benar. Kalau tidak tongkatmu akan kurampas dalam tiga jurus!"
kata Mahesa Kelud pula. Ucapan pemuda ini disambut si gadis dengan tertawa cekikikan. Tongkatnya berputar seperti titiran, menyambar kian ke mari untuk kemudian merasuk tajam ke arah pinggang Mahesa
Kelud dengan sangat tiba-tiba! Untuk kedua kalinya Mahesa tidak mengelak atau pun menangkis. Rotan yang di tangannya disorongkannya ke
muka sembarangan saja. Dengan lengan kirinya
Kemaladewi memukul tongkat lawan. Sebelum
terpukul Mahesa cepat meninggikan tangannya
dan pada saat yang sama pula tongkat berkeluk
lawannya melesat ke kaki.
Dewa Tongkat kini puas melihat permainan
muridnya. Dia sudah memastikan bahwa dalam
jurus itu juga bagian yang berkeluk dari tongkat rotan akan mengait pergelangan
kaki kiri si pemuda! Akibatnya Mahesa akan terlempar ke udara setinggi beberapa tongkat. Tapi orang tua ini jadi terkesiap ketika melihat
bagaimana hal yang sebaliknya kini terjadi. Tongkat panjang lurus
yang cuma tiga jengkal dan lebih kecil di tangan si pemuda telah mengait bagian
yang berkeluk dari tongkat muridnya dan sedetik kemudian senjata Kemaladewi melayang ke udara. Seperti besi berani yang bertemu dengan besi
biasa maka de-mikianlah kemudian Mahesa mempergunakan
ujung tongkat rotannya yang diputar siam untuk
menempel senjata lawan lalu menyambutnya
dengan tangan kiri! Rahang-rahang Dewa Tongkat kelihatan
bertonjolan sedang Kemaladewi sendiri berdiri
tanpa bergerak. Bibirnya yang kecil terkatup rapat-rapat, pipinya yang montok
berwarna kema- rahan karena malu! Lawannya telah menjanjikan
akan merampas senjatanya dalam tiga jurus, tapi nyatanya pemuda itu hanya
memerlukan satu ju- rus! Namun di samping malu anehnya Kemaladewi juga merasa puas karena dia tak sampai melukai si pemuda yang sangat menarik hatinya itu!
Mulut si Dewa Tongkat kelihatan komatkamit. Hatinya menggeram. Betapakah tidak! Kemaladewi sudah lebih dari lima tahun dididik dan diajarinya ilmu silat permainan
tongkat dan kini tahu-tahu di hadapan mata kepalanya sendiri si
murid dikalahkan lawan cuma dalam dua jurus!
Hati guru mana yang tidak jadi gemas"! Tapi
meskipun demikian diam-diam guru sakti ini harus pula memuji kelihayan si pemuda, hatinya
tambah tertarik dan besarlah keinginannya untuk mencoba sendiri Mahesa Kelud.
Sambil batuk-batuk Dewa Tongkat maju ke
muka. "Anak muda," katanya. "Kau berhasil mengalahkan muridku. Ini membuat sudah
sepantas- nya dia mengembalikan topi-topi tengik itu. Kemala, kembalikan topi tersebut!"
Dari balik pakaiannya si gadis mengeluarkan lima buah topi lalu melemparkannya ke hadapan lima orang prajurit. Sesudah masingmasing mereka mendapatkan topi kembali maka
membentaklah Dewa Tongkat. "Kalian tunggu apa lagi"! Ayo pergi dari sini,
kecuali pemuda ini!"
Dibentak demikian lima prajurit Banten
tersebut segera angkat kaki. Mereka lupa untuk
minta diri pada Mahesa, bahkan mengucapkan
terima kasih pun tidak! Sesudah kelima prajurit tersebut meninggalkan lembah maka berkatalah si Dewa Tongkat.
"Pemuda, terus terang saja hatiku tidak puas melihat kekalahan muridku. Mari
kita main-main sebentar. Jika kau bisa mempertahankan diri
sampai tiga jurus memang kau pemuda gagah!"
Orang tua ini tidak menunggu jawaban
Mahesa lagi, dia menyerang dengan cepat. Tongkat rotannya yang sebesar betis membabat ke
muka mengeluarkan angin yang dingin dan hebat.
Mahesa Kelud tahu dengan siapa dia berhadapan,
karenanya tidak berani berlaku sebagaimana dia
tadi melayani si gadis. Jika orang tua ini mempunyai gelar "Dewa Tongkat" tentu
ilmunya tinggi sekali. Sambil mengelak dengan mempergunakan
jurus ilmu pedang "Dewa Tongkat Dari Delapan Penjuru Angin" Mahesa mengirimkan
satu tusukan tajam tepat ke pertengahan dada lawan. Melihat ini Dewa Tongkat memutar tongkatnya sedemikian rupa sehingga ujung berkeluk yang pertama dimaksudkannya untuk menyampok senjata
Mahesa sedang ujung kedua untuk menyambar
leher pemuda itu! Mahesa harus mengakui kehebatan ilmu
tongkat si orang tua. Meskipun dia hanya bersenjatakan sebatang rotan yang
panjangnya cuma ti- ga jengkal namun dengan mempergunakan jurusjurus ilmu pedang ajaran gurunya si Suara Tanpa Rupa maka dia tidak perlu
khawatir akan dikalahkan dalam satu gebrakan saja. Bahkan tiga jurus!
Demikianlah sambil membungkuk melipat
kaki kiri pemuda ini mempergunakan batang
tongkat di tangannya untuk memukul bagian tengah senjata Dewa Tongkat sedang kaki kanannya
dipakai untuk mengirimkan tendangan dahsyat
ke selangkangan lawan! Melihat ini cepat-cepat si Dewa Tongkat
melompat ke atas. Tendangan Mahesa lewat sedang Mahesa sendiri pada saat tongkat rotannya
hampir beradu dengan senjata lawan cepat-cepat
menurunkan tongkatnya karena dia maklum tenaga dalam lawannya lebih tinggi dari yang dimilikinya. Si Dewa Tongkat melihat
ini segera dipu-kulkan ke bawah namun saat itu lawannya sudah
berguling menyelamatkan diri. Tongkat memukul
tanah, akibatnya tanah itu terbongkar dan berlo-bang besar!
Ketika dia memutar tubuh maka Mahesa
Kelud sudah berdiri beberapa langkah di hadapannya. Pandangan mata Dewa Tongkat menyorot
dan juga kagum. Jurus yang dikeluarkannya tadi
adalah jurus yang tersulit dari ilmu tongkat cip-taannya. Jarang ada manusia
sanggup mengelak bahkan juga balas menyerang membuat dia menjadi sibuk!
Mahesa Kelud - Malapetaka Di Puncak Halimun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jurus kedua, anak muda! Hati-hatilah,"
memperingatkan si Dewa Tongkat. Tongkatnya
dipegang di bagian ujung dan diputar sampai
mengeluarkan suara menderu. Daun-daun pepohonan sekitar sana melambai-lambai, ikat kepala dan pakaian Mahesa Kelud sendiri
juga turut melambai sedang tubuhnya terasa dingin oleh sambaran angin, tapi rasa dingin itu cuma seketika karena dari balik punggungnya
Mahesa Kelud kemudian merasa adanya aliran hawa panas. Ini
tak lain adalah hawa panas yang keluar secara
aneh dari pedang sakti pemberian gurunya Suara
Tanpa Rupa yang diselipkannya di belakang
punggung! Tahu bahwa lawannya tidak bisa dibikin
roboh dengan hawa dingin tongkat rotannya maka
tidak menunggu lebih lama si Dewa Tongkat segera menyerbu. Serangannya gencar bertubi-tubi.
Tubuh Mahesa Kelud untuk beberapa lamanya
terkurung oleh sambaran-sambaran dahsyat
tongkat besar lawannya. Kemaladewi yang berdiri menyaksikan pertempuran itu
menjadi sangat cemas. Karena jika gurunya sudah mengeluarkan
ilmu tongkat yang dinamai "kincir maut' itu berarti cepat atau lambat tubuh si
pemuda pasti akan kena digebuk dan hancur remuk!
Jika si gadis cemas sedang si Dewa Tongkat gembira bahwa sebentar lagi dia akan sanggup merobohkan lawannya maka tidaklah demikian dengan Mahesa Kelud. Pemuda ini tetap tenang. Dia tahu bahwa dirinya sudah kena dikurung. Dengan mengeluarkan satu bentakan keras
membelah udara maka berkelebatlah tubuhnya.
Tongkat rotan di tangannya bergerak hampir tak
kelihatan, berputar berlawanan dengan arah putaran tongkat lawan. Inilah jurus yang dinamai
"seratus pedang mengamuk". Salah satu ilmu silat yang merupakan bagian dari
permainan Pe- dang Dewa Delapan Penjuru Angin yang sangat
diandalkan dan baru pertama kali pula dicoba
oleh pemuda tersebut meskipun tidak dengan
mempergunakan Pedang Dewa itu sendiri. Tongkat di tangan Mahesa Kelud seakan-akan berubah dari satu menjadi seratus banyaknya! Dan
dalam beberapa saat saja maka buyarlah serangan-serangan tongkat berkeluk yang tadi begitu
dahsyat dari si Dewa Tongkat!
Kini jurus yang ketiga atau jurus terakhir.
Jika dalam jurus ini Dewa Tongkat tidak
dapat mengalahkan si pemuda maka betapa malunya, kemana akan ditaruh mukanya" Apa lagi
saat itu turut pula menyaksikan murid tunggalnya! Dewa Tongkat untuk ketiga kalinya merubah cara memegang senjatanya. Tongkat berkeluknya kini dipegang di bagian tengah, dipergunakan sebagai sebuah toya. Ketika dia menyerang maka nyatalah bahwa serangannya
lebih ganas dan hebat dari pada jurus pertama ataupun kedua tadi. Mahesa Kelud berlaku hati-hati. Dia harus memperhitungkan setiap
gerakan yang di- buatnya, kalau tidak kepalanya akan kena terpukul atau lehernya terkait senjata lawan bahkan
mungkin lambungnya kena disodok sampai pecah! Dalam menghadapi serangan-serangan gencar lawannya maka ilmu "Pedang Dewa Delapan Penjuru Angin" benar-benar
memberikan pertolongan pada pemuda itu. Namun demikian saat
itu si Dewa Tongkat telah mengeluarkan salah sa-tu dari ilmu simpanannya yang
sangat lihay! Se- rangan tongkat yang diperbuat seperti toya itu
cepatnya bukan main, tidak terduga dan yang
paling hebat ialah karena kebanyakan dari serangan-serangan tersebut hanyalah
berupa tipuan belaka! Kalau saja Mahesa tidak berlaku tenang
dan bertindak sangat hati-hati pasti dia kena dicelakai. Di samping itu si
pemuda terpaksa pula mempergunakan tangan kirinya untuk mengirimkan pukulan
"karang sewu" karena dia maklum bila si Dewa Tongkat sudah mengeluarkan ilmu
simpanannya maka Ilmu "Pedang Dewa" yang belum sepenuhnya dikuasainya apalagi
tanpa me- megang pedang saktinya tidak sanggup dia
menghadapinya. Bentakan dahsyat keluar dari mulut si Dewa Tongkat! Mahesa merasakan tangan kanannya
tergetar dan sesaat kemudian disadarinya senjatanya sudah terlepas dari tangan! Tongkat itu
mental ke udara namun tidak mau dikalahkan
demikian saja. Biarlah tongkat tersebut terlepas dan mental namun dia harus
dapat pula memberi hajaran pada lawan. Tangan kirinya bergerak
mengirimkan jotosan "karang sewu" disusul dengan tendangan kaki kanan! Dewa
Tongkat mem- babatkan senjatanya ke kaki dan menangkis pukulan Mahesa dengan lengan. Namun kedua serangan ini hanyalah tipuan belaka! Pada saat
yang sama tahu-tahu tinju kanan Mahesa menyelinap ke dada kiri orang tua itu, tak sanggup dielakkan! Mahesa sendiri ketika
tahu bahwa se- rangannya bakal mengenai sasaran dia menjadi
ragu-ragu. Pemuda yang bijaksana ini maklum
bagaimana akan malunya si Dewa Tongkat bila di
hadapan muridnya sendiri dia kena dipukul oleh
lawan seorang pemuda belia lagi pula sebenarnya terhadap si guru sakti dia tidak
ada permusuhan apa-apa. Kalau tadi mereka bertengkar gara-gara topi maka itu pun
sudah diselesaikan! Agar jangan sampai mengecewakan atau menimbulkan
kemarahan pada diri lawan maka Mahesa sengaja
membuat pukulannya menjadi meleset! Dia melompat menjauh dan sambil melompat menyambar tongkatnya yang melayang ke bawah dengan
tangan kiri lalu berdiri dan menjura di hadapan si orang tua sakti.
"Dewa Tongkat," ujar Mahesa Kelud pula.
"Ilmu tongkatmu hebat sekali sampai senjataku terlepas. Aku mengaku kalah!"
Kata-kata merendah dari pemuda ini membuat si orang tua hatinya seperti diguyur air sejuk. Dia tahu bahwa tadi si
pemuda kalau mau pasti berhasil memukul dadanya. Juga pemuda
itu dapat pula menyambut senjatanya sehingga di hadapan muridnya tindakan yang
sengaja mengalah dari Mahesa membuat dia sebagai orang tua
tidak kehilangan muka. Dewa Tongkat mendehem-dehem beberapa
kali lalu berkata: "Pemuda, kau hebat dan gagah sekali. Siapa namamu?"
"Mahesa Kelud."
"Kau berasal dari mana dan siapa gurumu?" "Aku cuma seorang pemuda gunung dan
mengenai guruku sekalipun diterangkan mungkin
kau tidak kenal, orang tua," jawab Mahesa.
Dewa Tongkat maklum kalau Mahesa Kelud tidak mau memberikan keterangan tentang
asal usulnya serta gurunya. Dengan ramah orang
tua itu berkata: "Pemuda gagah. Kuharap kau tidak menjadi gusar atas perbuatan
murid serta di-riku sendiri...."
"Hal yang sama juga kuharapkan kepada
kalian berdua," sahut Mahesa.
"Kalau begitu antara kita tidak ada lagi
apa-apa. Mari mampir minum teh ke pondokku,
Mahesa," kata Dewa Tongkat penuh keramahan.
"Terima kasih," jawab si pemuda dengan menjura. "Sebenarnya aku sendiri sedang
ada urusan penting di pedalaman. Lain kali aku ber-janji untuk bertandang ke
pondokmu...." "Kalau aku boleh tanya, urusan apakah
yang kau maksudkan itu?"
"Sedikit urusan pribadi, Dewa Tongkat,"
jawab Mahesa dengan tersenyum. "Aku minta diri sekarang," katanya kemudian. Dia
menjura dua kali, kepada si Dewa Tongkat dan pada Kemaladewi. Meskipun Mahesa
Kelud sudah lama pergi namun kedua mata Kemaladewi masih saja memandang ke jurusan di mana lenyapnya pemuda
itu. Gadis ini baru sadar akan dirinya ketika terdengar suara gurunya berkata di
sampingnya. "Pemuda itu gagah dan tinggi ilmunya."
Paras Kemaladewi menjadi semu merah
"Muridku," kata Dewa Tongkat pula. "Mari kit kembali ke pondok."
Sesampainya di pondok rotan berkatalah
Kemaladewi. "Guru, sudah lama murid tidak me-nyambangi nenek di desa. Jika
diizinkan murid bermaksud untuk pergi sekarang."
Dewa Tongkat agak terkejut mendengar kata-kata muridnya itu, tapi memang sudah lama
sekali Kemaladewi tidak mengunjungi neneknya
yang tinggal di sebuah desa jauh dari Lembah Rotan. "Jika kau memang sudah rindu
pada ne-nekmu, pergilah. Hati-hati di jalan dan jangan
mengganggu orang! Bisa berabe kalau aku terusterusan harus turun tangan!"
Kemaladewi tersenyum. Hatinya gembira
diperbolehkan pergi. Dia segera menjura memberi hormat dan mohon diri kepada
sang guru. DELAPAN SETELAH jauh meninggalkan Banten, dalam sebuah hutan baru Resi Mintaraya menurunkan tubuh Ismaya dari bahunya. Pemuda itu disandarkannya ke sebuah pohon. Sebelum melepaskan totokan Ismaya, sang Real memeriksa dulu luka-luka bekas senjata tajam pada tangan
pemuda ini, juga, bekas-bekas jotosan lawan wak-tu Ismaya dikeroyok oleh Raden
Mas Tirta dan Jaka Luwak. Ternyata luka-luka serta bekas pukulan tersebut tidak berapa berbahaya. Sesudah
mengobati seperlunya baru Mintaraya melepaskan totokan di tubuh Ismaya
Pemuda yang tersandar ke batang pohon
ini membuka kedua matanya dan terheran-heran
mendapati dirinya berada dalam sebuah hutan
serta jadi lebih heran lagi waktu melihat di hadapannya tegak seorang berjubah
biru, bermuka putih, yang sama sekali tidak dikenalnya. "Orang tua, kau siapa?" tanya Ismaya.
"Tak usah khawatir. Kita sama-sama dari
Pajajaran. Aku Resi Mintaraya dari gunung Halimun." Mengetahui hal ini segera Ismaya berdiri dan menjura. Setelah menerangkan
apa yang telah terjadi dan di perbatasan Banten maka Resi
Mintaraya berkata. "Kau harus ikut ke gunung Halimun bersamaku. Di sana kau akan
mendapat tambahan ilmu silat seperlunya bersama muridmuridku yang lain guna mempersiapkan gempuran besar-besaran terhadap Banten!"
Ismaya menjura sekali lagi. Hatinya senang
sekali mengetahui bahwa dia diambil murid oleh
Resi Sakti yang namanya sudah dikenal di seluruh penjuru Kerajaan Pajajaran itu! Kedua orang tersebut tak lama kemudian
segera meneruskan perjalanan. Empat hari kemudian barulah tampak
puncak gunung Halimun di kejauhan. Lewat tengah hari kedua orang yang berlari itu sudah mencapai lereng. Tempat pertapaan Resi Mintaraya
terletak di puncak gunung Halimun sebelah barat, yaitu sebuah kuil yang terbuat dari batu marmar putih lantai dan dindingnya
serta seng atapnya. Jika melihat setan seribu muka yang sangat mengerikan rasanya tidaklah demikian terkejutnya kedua orang tersebut, terutama Resi Mintaraya. Betapakah tidak! Ketika Mintaraya sampai ke pelataran muka kuil
kelihatan dua sosok tubuh terkapar di tanah. Keduanya adalah muridnya sendiri! Ketika diteliti ternyata mereka sudah tidak bernapas lagi! Seperti
harimau terluka maka menggerenglah sang Resi. "Kuntawirya!" serunya memanggil
muridnya yang paling tua Kuntawirya
adalah nama sebenarnya dari Unang Gondola.
Pemuda ini sengaja memakai nama palsu yaitu
Unang Gondola ketika dia menyusup ke Banten
tempo hari dan mengikuti sayembara perebutan
kedudukan Kepala Balatentara Banten! "Kuntawirya!" teriak Resi Mintaraya sekali
lagi dengan suara menggeledek menggetarkan puncak gunung
Halimun, menggidikkan Ismaya. "Di mana kau...
Wirya"!" Namun tetap saja tak ada suara jawaban. Resi ini segera masuk ke dalam
kuil dan langkahnya terhenti dengan serta merta. Kedua
kakinya seperti dipakukan ke lantai kuil. Di hadapannya, di sudut sana, dekat
sebuah pendu- paan besar duduk tersandar muridnya yang paling tua yaitu Kuntawirya. Muka pemuda ini pucat
pasi laksana mayat. Pakaiannya di bagian dada
penuh dengan darah. Pemuda ini mengerang sedang kedua matanya tertutup. Dari mulutnya
yang menganga mengalir darah kental berbukubuku! Sungguh mengerikan!
Mintaraya lari dan berlutut di hadapan
muridnya. Dipegangnya kedua bahu pemuda itu,
lalu diguncang-guncangnya. "Wirya! Kuntawirya!
Apa yang terjadi dengan kau dan saudarasaudaramu"! Wirya!" Jawaban sang murid hanyalah suara erangan. Sang Resi sadar
bahwa mu- ridnya terluka hebat. Diperhatikannya kulit dada Kuntawirya yang matang biru,
darah yang berbuku-buku dan memaklumi bahwa meski bagaimana pun nyawa muridnya ini tak bisa ketolongan
lagi! Namun demikian dicobanya juga mengalirkan tenaga dalam memberi sedikit kekuatan sekedar untuk dapat bicara. "Kuntawirya! Dengar, ini aku gurumu! Siapa yang
melakukan ini semua, siapa"! Kunta! Jawab! Jawab!"
Suara erangan si murid terhenti, kedua
matanya terbuka tapi pemandangan pemuda ini
sudah sangat kabur sehingga tidak sanggup lagi
melihat apa-apa. "Kuntawirya, siapa yang melakukan perbuatan durjana ini"
Manusia mana"!"
"Guru..." desis Kuntawirya. Suaranya per-lahan sekali, hampir tidak kedengaran.
Dan hanya sepatah kata itu sajalah yang sanggup di
Mahesa Kelud - Malapetaka Di Puncak Halimun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ucapkannya karena sedetik kemudian nyawanya
melayang bersama dengan suara erangannya
yang terakhir! Darah Mintaraya mendidih. Kedua tangannya terkepal! Kegeramannya tiada terperikan lebih-lebih karena dia tidak tahu dan tak dapat keterangan sedikitpun siapa yang
membunuh ketiga orang muridnya itu! "Bangsat! Jahanam! Manusia mana yang
melakukan perbuatan terkutuk ini! Siapa"!" te-riaknya memaki-maki.
Dan adalah tidak terduga sama sekali kalau saat itu tiba-tiba saja ucapan-ucapan lantangnya itu mendapat jawaban dari belakang sebuah arca besar di sisi kanan ruangan. "Mintaraya... akulah yang membunuh ketiga
orang mu- ridmu itu! Aku datang ke kuil ini untuk mencari-mu, tapi murid-muridmu menyerang
mengantar- kan nyawa!" Resi Mintaraya terkejut, demikian juga Ismaya. Sang Resi kemudian menghantamkan tinju
kanannya yang terkepal ke muka seraya berseru:
"Manusia atau setan keluarlah! Jangan bersembunyi di balik arca!"
Arca besar yang terbuat dari batu itu hancur berantakan. Dan di belakang sana kelihatanlah berdiri seorang pemuda yang tak lain dari
Mahesa Kelud adanya! Pemuda ini karena mengambil jalan memotong telah sampai ke puncak
gunung Halimun lebih dahulu dari Resi Mintaraya dan Ismaya. Ketika dia tiba di
kuil dua orang pemuda muncul menemui dan membentak dengan
keras. Kedua orang ini tak lain dari pada murid-murid Resi Mintaraya. Mahesa
Kelud segera me- nanyakan tentang guru mereka. Murid-murid
Mintaraya ini tidak mau memberi keterangan
bahkan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
bertubi-tubi dengan menaruh kecurigaan terhadap Mahesa Kelud. Diam-diam kemudian Mahesa mengetahui
bahwa Mintaraya bersama Ismaya belum sampai
ke sana. Karenanya pemuda ini segera minta diri.
Maksudnya dia akan bersembunyi dan menunggu
kedatangan sang Resi bersama Ismaya di bagian
yang lain dari puncak gunung. Namun sebelum
dia berlalu tahu-tahu kedua orang murid Mintaraya menyerangnya dengan tiba-tiba. Meskipun
Mahesa berusaha untuk mengelakkan pertempuran ini karena memang dia ke sana bukan untuk
mencari urusan dengan mereka melainkan untuk
menangkap hidup-hidup Ismaya, tapi sudah terlalu kasip. Sesudah sepuluh jurus berlalu Mahesa
berhasil mendesak kedua lawannya dan sebelum
habis lima belas jurus kedua murid Resi Mintaraya ini roboh! Pada saat itulah muncul pemuda
ketiga yakni Unang Gondola alias Kuntawirya.
Melihat bagaimana kedua adik seperguruannya
terkapar tanpa nyawa maka Kuntawirya segera
mengamuk menyerang Mahesa Kelud. Maka terjadilah pertempuran seru!
Untuk sepuluh jurus lamanya Kuntawirya
masih sanggup mengimbangi ilmu silat lawannya.
Namun sesudah itu dia mulai terdesak. Walau
bagaimana pun Mahesa Kelud memang bukan
tandingan Kuntawirya. Murid Resi Mintaraya itu
terdesak dan mundur terus ke dalam kuil. Pemuda ini sengaja mundur ke sana karena dia bermaksud untuk bisa mengambil salah satu senjata
yang berada di dalam kuil. Namun sebelum maksudnya kesampaian jotosan tangan kanan lawannya yang mengandung aji "karang sewu" telah menghantam dadanya! Kuntawirya
mental dan terbanting, melosoh ke lantai tersandar ke dinding! Dalam keadaan seperti itu
darah keluar me- nyembur dari mulutnya! Jangankan untuk meneruskan perkelahian, untuk berdiri bangunpun
Kuntawirya tidak sanggup lagi!
Mahesa kemudian segera meninggalkan
kuil. Waktu dia berlari menuruni puncak gunung
mencari tempat persembunyian yang baik menantikan kedatangan Resi Mintaraya mendadak di
bawahnya terlihat dua orang tengah berlari cepat menuju puncak gunung! Pasti
kedua manusia ini adalah Resi Mintaraya serta Ismaya, pikir Mahesa. Segera si pemuda kembali ke dalam kuil dan
bersembunyi di balik sebuah arca besar. Ketika
Resi Mintaraya sampai ke sana dan berteriak
memaki seperti orang gila maka menyahutlah
pemuda itu. Melihat siapa yang berdiri di depannya
menggeramlah Mintaraya. "Anjing Banten! Kau rupanya! Hari ini juga kucincang
tubuhmu sampai lumat!" Mintaraya menyambar sebuah pedang yang tergantung di
dinding dan dengan senjata ini dia segera menyerbu Mahesa Kelud.
Sungguh hebat serangan Resi ini karena
tangan kiri serta tendangannya turut pula beker-ja. Mahesa meloncat ke samping.
Sambaran pe- dang lewat hanya satu jengkal di muka hidungnya! Namun yang lebih berbahaya bagi Mahesa
Kelud adalah pukulan tangan kiri sang Resi. Kalau arca batu yang besar sanggup dihancurkannya berkeping-keping dengan pukulan jarak jauh
maka bisa dibayangkan bagaimana jika pukulan
tersebut mampir di tubuh manusia! Meskipun
Mahesa sudah digembleng oleh beberapa orang
guru sakti namun untuk menerima begitu saja
pukulan lawan dia tidak mau bertindak gegabah!
Sebelum Resi Mintaraya menyerang untuk
kedua kalinya, Mahesa Kelud cepat menjangkau
sebatang tombak yang tersandar di sudut ruangan. Pedang dan tombak pun berkecamuklah.
Tubuh Mintaraya hampir tidak kelihatan yang
tampak hanya bayangan biru pakaiannya dan gulungan sinar putih pedangnya! Dengan tombak di
tangan Mahesa Kelud mengeluarkan jurus-jurus
ilmu "Pedang Delapan Penjuru Angin". Sampai dua puluh lima jurus di muka pemuda
ini dapat mengimbangi ilmu silat sang Resi bahkan dengan
menyertai serangan-serangan dengan pukulan
tangan kiri yang mengandung aji "karang sewu"
Mahesa berhasil mendesak Mintaraya. Namun dalam jurus ketiga puluh, ketika Mintaraya mengeluarkan permainan pedang yang dinamainya "raja pedang mengamuk" maka lumpuhlah
setiap setiap serangan Mahesa Kelud bahkan pemuda ini
kini yang kena didesak. Pedang Mintaraya bersiut
sambar menyambar. Meskipun Mahesa kemudian
mengeluarkan jurus yang diandalkan yang dipelajarinya dari gurunya si Suara Tanpa Rupa yakni
jurus yang dinamai "seratus pedang mengamuk"
namun tetap saja dia tak berdaya untuk membendung serangan lawan. Dari sini Mahesa bisa
menjajaki bahwa kepandaian Resi dari Pajajaran
ini sekitar dua tingkat lebih tinggi dari kepandaian si Dewa Tongkat yang pernah
dihadapinya di Lembah Rotan beberapa hari lalu!
Mahesa terdesak ke dekat pendupaan besar. "Trang!" Mata pedang beradu keras dengan batang tombak! Senjata di tangan
Mahesa Kelud patah dua! Pemuda ini cepat mundur menjauhi
lawan. Waktu Resi Mintaraya memburunya dengan satu serangan berantai. Mahesa melemparkan kedua patahan tongkat ke arah sang Resi.
Patahan yang pertama melesat miring ke arah dada Mintaraya sedang yang kedua melesat dengan
bagian runcing mengarah bawah perutnya! Siapa
pun adanya orang yang diserang seperti ini dan
bagaimana pun lihay serta tingginya ilmu yang
dimilikinya namun akan sia-sia jika dia coba menyelamatkan diri dengan jalan
mengelak atau me- lompat. Daya lesat patahan-patahan tombak itu
cepatnya bukan main karena dilempar dengan tenaga lahir dan tenaga dalam. Jika dielakkan dengan melompat ke samping, maka
tombak yang menyerang miring akan tetap membentur tubuh
yaitu pada bagian tulang-tulang iga atau sekurang-kurangnya menyambar bahu! Jika dielakkan
dengan jalan melompat ke atas maka patahan
tombak yang menyerang lurus ada kemungkinan
akan menghantam bagian berbahaya di bawah
perut kalau tidak akan menancap di salah satu
paha! Kalaupun seseorang dengan segala kelihayannya masih bisa mengelakkan serangan
tombak sebelah bawah maka ini berarti dia menyerahkan perutnya untuk dihantam mentahmentah oleh patahan tombak yang menyerang
miring! Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan
diri dari patahan-patahan tombak tersebut hanyalah dengan mempergunakan segala kemampuan yang ada, menangkisnya! Resi Mintaraya
yang sudah banyak pengalaman dalam ilmu silat
juga memaklumi hal ini. Pedang putih di tangannya diputar sedemikian rupa. "Trang... trang!" Kedua patahan tombak patah lagi
dan mental ke langit-langit kuil. Satu di antaranya menancap di langit-langit tersebut!
Tanpa senjata tak akan mungkin bagi Mahesa Kelud menghadapi Resi yang sakti ini. Karenanya Mahesa segera mencabut
pedang dewa yang tersisip di punggungnya. Namun baru saja
tangannya bergerak Mintaraya sudah menyerbu
secepat kilat. Mahesa melompat ke samping. Pedang lawan lewat tapi di saat yang sama tendangan kaki kanan Mintaraya datang tiada terduga.
Dalam saat yang sedemikian sulitnya itu Mahesa
segera mendorong pendupaan besar setinggi pinggang yang terbuat dari batu di sampingnya. Ini
adalah suatu hal yang tidak dinyana oleh sang
Resi. Tak ada kesempatan lagi untuk menarik pulang tendangannya. Akibatnya kaki dan batu
pendupaan beradulah! Resi Mintaraya merasakan kaki kanannya
sakit bukan main. Ini menambah menggelegak
amarahnya saja sedang pendupaan yang ditendangnya tadi hancur berantakan! Kesempatan ini
dipergunakan di lain pihak oleh Mahesa Kelud
untuk mencabut pedang saktinya! Begitu "Pedang Dewa" keluar dari sarungnya, maka
kelihatanlah sinar merah keluar dari senjata tersebut yang
menyilaukan mata, merambas ke setiap sudut dari kuil! Meskipun sang Resi terkejutnya bukan
main melihat pedang di tangan lawan, namun rasa terkejutnya itu tiada diperlihatkan
"Jika ini pemuda bukannya murid seorang
sakti luar biasa, mustahil dia bisa memiliki pedang dahsyat ini." kata Mintaraya
dalam hatinya. "Atau mungkin ini sebuah senjata curian"!" Sang Resi tak bisa bertanya-tanya
dalam hati lebih la-ma karena saat itu Mahesa Kelud sudah melompat ke arahnya! SEMBILAN MESKIPUN serangan lawan dapat dielakkannya namun angin panas yang menyambar keluar dari pedang bersinar merah itu memerihkan
mata dan menyengat kulit tubuhnya! Sang Resi
jadi bergidik. Pedang putihnya dipegang erat-erat dan dengan cepat ilmu
pedangnya dirubah. Gulungan sinar putih dari pedang Mahesa Kelud
sambung menyambung di udara laksana dua ekor
naga yang tengah berkelahi! Kalau tadi Mintaraya bisa mendesak dan menyerang
pemuda itu secara gencar maka setelah pedang "Dewa" berada di tangan Mahesa suasana jadi berubah.
Ilmu silat dan tenaga dalam serta pengalaman memang Mahesa lebih rendah, namun pedang sakti yang di
tangannya membantu pemuda ini dalam banyak
hal karena bukan Mahesa, tapi pedang itulah
yang seperti membimbing tangannya, bergerak
sebat kian kemari! Sudah bermacam tipu dan
berbagai serangan yang jitu dikeluarkan oleh sang Resi, namun pedang di tangan
lawannya seperti mempunyai mata selalu saja dapat menangkis.
Dan setiap senjata mereka saling beradu Mintaraya merasakan betapa tangannya tergetar serta
panas sedang mata pedang putih kelihatan gompal! Dalam tiga jurus kemudian Mahesa Kelud
sudah berada di atas angin kembali dan mendesak lawannya ke sudut kuil!
Melihat kehebatan senjata lawannya, sang
Resi penasaran bukan main. Tangan kirinya bergerak. Mahesa sambil menyerang berlaku waspada karena dalam terdesak demikian Resi yang licik ini mungkin akan mengeluarkan senjata rahasia. Tapi apa yang dikeluarkan Mintaraya dari balik jubah birunya ternyata
adalah sebuah cambuk kulit berwarna sangat hitam. Kehebatan senjata
ini ialah bisa dibuat seperti sebuah tongkat baja yang keras untuk dipakai
menghantam tubuh lawan sehingga berpatahan tulang-tulangnya! Namun dapat pula dibuat lemas sedemikian rupa
untuk melilit dan merampas senjata lawan! Dan
memang inilah yang menjadi maksud Resi Mintaraya yaitu hendak merampas pedang sakti di tangan Mahesa Kelud. Dia maklum bahwa senjata itu
berbahaya sekali. Jika dia berhasil merampasnya maka dalam satu dua gebrakan
saja pasti dia dapat membabat putus leher si pemuda! Di samping
kehebatan-kehebatan di atas, juga cambuk angin
dingin yang tajam merasuk dan menusuk ke tulang-tulang sungsum sehingga lawan yang masih
tanggung-tanggung memiliki tenaga dalam pasti
akan menggigil sekujur tubuhnya!
Mahesa Kelud - Malapetaka Di Puncak Halimun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan pedang putih membabat dari bawah sedang cambuk diputar di udara maka menyerbulah Resi Mintaraya. Mahesa Kelud melompat ke atas dengan cepat. Pedang lawan lewat di selangkangannya. Dengan kaki
kiri pemuda ini coba menendang sambungan siku Mintaraya tapi
pedang putih lawan membalik menyambar tulang
keringnya membuat Mahesa Kelud terpaksa menarik pulang kakinya kembali dan di saat yang
sama melompat ke bagian lain untuk mengelakkan sambaran cambuk hitam. Meskipun pemuda
ini berhasil melewatkan sambaran cambuk namun sambaran angin dingin dan tajam yang keluar dari senjata tersebut membuat sekujur tubuhnya menjadi dingin! Beberapa detik lamanya
pemuda ini jadi menggigil. Cepat-cepat dia kerahkan tenaga dalamnya namun
sebelum itu terjadi tahu-tahu dari gagang pedang "Dewa" yang di tangan kanannya mengalir hawa panas
yang me-lumpuhkan dan mengusir hawa dingin jahat yang
menguasai tubuh Mahesa saat itu! Inilah kesaktian dan kehebatannya pedang merah pusaka si
Suara Tanpa Rupa itu! Ketika melihat Mahesa Kelud tertegun beberapa detik lamanya. Resi Mintaraya menduga
bahwa pemuda ini sudah lumpuh oleh angin pukulan cambuknya. Segera dia membacokkan pedangnya ke kepala Mahesa Kelud. Namun pada
detik itu pula pedang merah di tangan si pemuda menusuk pesat ke muka, tepat ke
pusar Mintaraya! Mau tak mau pedangnya yang hendak dipakai membacok kepala lawan terpaksa dipergunakan untuk mengambil pedang merah tersebut!
Untuk kesekian kalinya terdengar suara nyaring
beradunya senjata itu dan untuk kesekian kalinya pula pedang putih Mintaraya
menjadi gompal matanya! Saat itu mereka bertempur sudah sembilan puluh jurus
lebih! Dengan pedang putihnya Mintaraya memusatkan segala serangan gencar bertubi-tubi sedang cambuk di tangan kiri di samping untuk mempengaruhi tenaga dalam lawan juga senantiasa mengincar untuk melilit dan merampas pedang sakti Mahesa Kelud. Demikianlah,
waktu Mahesa harus menangkis sebuah sambaran senjata lawan maka Mintaraya mempergunakan kesempatan ini untuk menempel pedang Mahesa Kelud! Serentak dengan itu cambuk hitam
datang meliuk dan melilit pertengahan pedang
merah. Dengan mengandalkan tenaga dalamnya
yang lebih tinggi sang Resi yakin dia akan dapat merampas senjata pemuda itu.
Namun betapa terkejutnya ketika baik tangan kiri maupun tangan kanannya terasa sangat panas! Tenaga dalam
yang dialirkannya lewat pedang putih, demikian
juga hawa dingin yang dikerahkannya melalui
cambuk hitam lumpuh semuanya bahkan kini
seperti didorong oleh sesuatu kekuatan dahsyat berbalik menyerang dirinya
sendiri! Inilah doron-gan hawa panas yang keluar secara ajaib dari pedang "Dewa"
yang sakti di tangan Mahesa!
Sebelum dirinya mendapat celaka, Resi Pajajaran ini sambil mengeluarkan seruan tinggi
melompat ke belakang beberapa langkah. Namun
kerugian tetap ada pada pihaknya. Sebelum lilitan cambuk pada pedangnya lepas
Mahesa menggerakkan senjata itu sedikit dan "cris!" Cambuk hitam yang sangat
dibanggakan oleh Mintaraya putus dua! "Laknat terkutuk!" maki Mintaraya dan menerkam ke muka dengan kalap. Namun
inilah kesalahan besar yang dibuatnya. Kekalapan menyebabkan dia tidak memperhitungkan langkah
serta posisi lawan. Maka ketika pedang merah
menyambar ke dadanya. Resi ini hanya mampu
miringkan tubuhnya. "Bret!" Jubah birunya robek besar di bagian bahu! Masih
untung kulitnya ti- dak terluka. Namun hawa panas perih membuat
dia terpaksa menjauhi lawan untuk mengerahkan
tenaga dalam mengusir hawa panas jahat senjata
Mahesa! Tahu bahwa pemuda ini sukar dirobohkan,
lagi pula saat itu tak ada orang luar yang menyaksikan pertempuran maka tanpa malu-malu
Resi Mintaraya berseru: "Ismaya! Bantu aku!"
Mendengar ini Ismaya segera menjangkau
sebuah golok panjang dan sebilah keris di dinding kuil. Mintaraya juga memegang
sebuah senjata baru di tangan kirinya yakni sebatang tombak
yang ujungnya berbentuk garpu! Maka kini terjadilah pertempuran dua lawan satu! Empat senjata dahsyat berkelebat mengurung
sebuah pedang sakti! Betapa pun tingginya ilmu Mahesa Kelud
namun masih tetap lebih rendah dari Mintaraya.
Betapa pun saktinya pedang di tangan pemuda
tersebut namun menghadapi empat senjata sekaligus memberikan pengaruh yang berat juga!
Mahesa tahu bahwa untuk dikalahkan begitu saja oleh kedua orang lawannya memang tidak mungkin. Namun baginya ini merupakan satu kesukaran karena dia harus menangkap Ismaya hidup-hidup! Dalam satu gebrakan hebat
Mahesa berhasil membabat sampai puntung keris
di tangan kiri Ismaya. Begitu kehilangan senjatanya, Ismaya segera menjangkau senjata baru
dari dinding kuil. "Jika begini terus-terusan, bisa berabe," pikir Mahesa.
Dipercepatnya putaran tangannya. Pedang sakti bersinar merah turut pula memberikan gerakan bimbingan. Pemuda ini
berhasil mendesak kedua pengeroyoknya ke luar
kuil! Di pelataran ini di mana terkapar mayat kedua murid Mintaraya, pertempuran
berjalan lebih seru karena ruang gerak jadi lebih luas! Pakaian ketiga orang
itu, terutama Mahesa dan Mintaraya sudah basah oleh keringat. Dari empat senjata
lawan yang dihadapi pemuda itu maka yang paling berbahaya ialah tombak berbentuk garpu di
tangan kiri Resi Mintaraya. Senjata ini senantiasa dipakai untuk menusuk ke
depan dan bagian-bagian yang diserang adalah tempat berbahaya
seperti muka, tenggorokan, dada, atau bagian
bawah perut! Yang membuat murid Embah Jagatnata
dari gunung Kelud ini menjadi mengkal ialah karena terhadap Ismaya dia tidak bisa menyerang
dengan sepenuh hati sebab dia takut pemuda ini
akan luka parah dan menemui ajalnya sedang
Ismaya harus ditangkapnya hidup-hidup untuk
diseret ke Banten sebagai saksi hidup atas
pengkhianatan Tirta dan juga sebagai jaminan
untuk dibebaskannya Raden Mas Ekawira dari
penjara! Pertempuran memasuki jurus yang keseratus lima puluh kini! Sebelumnya sudah berkalikali Mahesa mendesak kedua lawannya namun
berkali-kali pula dia harus mundur. Mengapa
Mahesa tidak sanggup memereteli lawanlawannya saat itu cukup dapat dimaklumi.
Selain Resi Mintaraya memang seorang
sakti kelas tinggi juga ilmu "Dewa Pedang Dari Depan Penjuru Angin" belum
keseluruhannya dikuasai Mahesa sedang penggemblengan yang diterimanya dari gurunya si Suara Tanpa Rupa juga belum selesai!
Dalam suasana berkecamuk itu tiba-tiba
terdengarlah suara tertawa bekekehan: "He... he...
he... he... ada apa di sini" Ada apa di sini" Ka-kakku Mintaraya, agaknya hari
ini kau bertemu dengan lawan yang lihay!"
Mahesa tidak berani memalingkan kepala
untuk melihat siapa yang bicara itu. Sebaliknya ketika mendengar suara yang
tinggi kecil tadi ma-ka berserilah air muka Mintaraya. Dia juga tidak menoleh
tapi dia sudah dapat memastikan siapa
adanya yang bicara. "Gandabraja!" serunya. "Kebetulan kau datang! Ayo jangan berpangku tangan bantu
aku untuk mencincang bangsat ingusan ini!"
Orang yang baru datang ini bertubuh gemuk dan pendek. Keningnya lebar, berambut tipis dan hidungnya sangat pesek,
hampir sama rata dengan pipinya yang gemuk! Namanya Gandabradjasura, dari Ujung Kulon dan adalah adik seperguruan Resi Mintaraya! Sebagai
adik sepergu- ruan maka kepandaian Gandabradjasura adalah
satu tingkat lebih rendah dari Mintaraya, jadi masih satu tingkat dari Dewa
Tongkat! Gandabradja bukan seorang Resi karenanya dia tidak mengenakan jubah seperti kakak
seperguruannya. Kedatangan Gandabraja ke puncak gunung Halimun itu ialah untuk menyambangi saudara seperguruannya dan manusia ini
jadi terheran-heran ketika sampai di sana menemui Mintaraya tengah bertempur
melawan seo- rang pemuda gagah yang bersenjatakan sebuah
pedang mustika sakti! Jika pemuda tersebut tidak berilmu sangat tinggi niscaya
kakak seperguruannya dan tidak akan bertempur dengan jalan
mengeroyok! Di samping itu Gandabraja sudah
melihat pula dua mayat terkapar di pelataran kuil yang tak lain dari pada muridmurid saudaranya sendiri! Mendengar ucapan Mintaraya tadi, maka
Gandabraja pun melompat ke dalam kalangan
pertempuran. Di tangan kanannya tergenggam
senjata aneh yaitu seikat sapu lidi! Tapi meskipun cuma seikat sapu lidi,
bahayanya tidak kalah dengan tombak berbentuk garpu di tangan kiri
Mintaraya. Bila kena tergebuk, kulit tubuh akan menjadi hancur berkeriput sedang
bila kena mata pasti membutakan!
Dengan ikut campur nya Gandabraja maka
Mahesa segera maklum bahwa dalam waktu singkat dia pasti tak akan berdaya. Pemuda ini membentak: "Orang-orang tua tidak tahu diri! Apa tidak malu melakukan
pengeroyokan"!"
"Tutup mulutmu! Sebentar lagi kau akan
mampus!" hardik Mintaraya.
"Eh, saudaraku Mintaraya..." ujar Gandabraja. "Biar saja dia mengumbar bacot!
Kalau sudah mampus toh tidak bisa bicara" He... he...
he...!" Mahesa menggertakkan gerahamnya. Tubuhnya berkelebat dan kini tampak
hanya meru- pakan bayang-bayang saja terbungkus oleh sinar
merah. Meski tahu bahwa dirinya akan mudah
dikalahkan namun untuk lari dari sana adalah
suatu pantangan bagi Mahesa, apalagi jika Ismaya tidak pula dapat dibekuknya! Kalau pun dia harus mati saat itu maka dia
akan mati sebagai seorang kesatria meskipun mungkin terdapat rasa penyesalan berhubung sampai saat
itu dua tugas gurunya Embah Jagatnata yakni mencari pedang
bernama "Samber Nyawa" dan mencari manusia bernama Simo Gembong belum dapat
dilaksana-kannya! Dengan pedang sakti di tangan Mahesa
hanya bisa bertahan sampai lima belas jurus. Jurus-jurus kemudiannya pemuda ini
mulai terde- sak hebat. Pedang Mintaraya sudah merobekkan
pakaian di bagian dadanya sedang sapu lidi Gandabraja telah menggebuk paha kirinya. Pakaiannya di bagian itu hancur dan kulit tubuhnya merah lecet, sakitnya bukan main
"Kita desak dia ke dalam kuil!" kata Mintaraya. "Biar manusia ini mampus di sana
disaksikan oleh mayat muridku yang tertua!"
Gandabrajasura terkejut mendengar ucapan kakak seperguruannya itu. "Apa"! Jadi Kuntawirya juga dibunuh oleh keparat
ini"! Kalau begitu memang dia harus cepat-cepat mampus!" dan manusia gemuk
berhidung pesek ini menghantamkan sapu lidinya dengan ganas.
Keroyokan ke tiga orang itu membuat Mahesa Kelud kini benar-benar terdesak dan dia di-paksa mundur ke pintu kuil.
Senjata-senjata la- wan menderu-deru siap menggebuk tubuhnya
dan ini hanya tinggal waktu saja.
"Celaka! Apa yang harus aku perbuat!" ke-luh Mahesa dalam hati. Gagang Pedang
Dewa di- pegangnya erat-erat. Tenaga dalam disalurkan
penuh. Cahaya merah berkiblat menggidikkan.
Tapi para pengeroyok yang berada di atas angin
sama sekali tidak merasa jerih. Di saat-saat yang sangat kritis itu tiba-tiba
terdengar seseorang berseru nyaring
"Kakak bertahanlah! Jangan khawatir! Aku
segera membantumu!" "Tuhan masih menolongku! Siapa orang
itu. Aku rasa-rasa kenal suaranya!" kata Mahesa Kelud. Semangatnya timbul
kembali. Pedang De-wa dikiblatkannya ke atas. Cahaya merah menderu berbentuk setengah lingkaran!
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel Juru Edit: Fujidenkikagawa
Golok Naga Kembar 5 Komplotan Tangan Hijau Karya Enid Blyton Bunga Di Batu Karang 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama