Ceritasilat Novel Online

Menggebrak Kotaraja 1

Mahesa Kelud - Menggebrak Kotaraja Bagian 1


MENGGEBRAK KOTARAJA Oleh : Bastian Tito Hak Cipta Dan Copy Right Pada Penerbit Dibawah Lindungan Undang-Undang
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Bastian Tito Serial Mahesa Kelud Pedang Sakti Keris Ular Emas
Dalam Episode : Menggebrak Kotaraja 1 Matahari baru saja muncul di ufuk
timur. Sinarnya masih merah kekuningan.
Dia sampai ke sebuah sungai kecil dan berhenti di sana. Alangkah menyegarkan
udara pagi di tepi sungai tersebut.
Sungai berair jernih serta dangkal.
Timbullah niat di hati gadis ini untuk turun mandi membersihkan diri. Dia
memandang berkeliling. Memang tak ada dilihatnya seorangpun di sekitar sana.
Tapi bagian tepi sungai itu kelewat terbuka. Dia melangkah menyusuri tepi sungai
itu kelewat terbuka. Dia menyusuri tepi sungai menuju ke hilir. Di satu bagian
sungai yang banyak ditumbuhi pohon-pohon serta semak belukar lebat dia
menghentikan langkah. Di sini adalah tempat yang baik untuk mandi karena sepi
serta kelindungan. Ditinggikannya ikatan rambutnya yang hitam lebih ke atas kepala. Kemudian dia
melangkah ke balik semak belukar dekat pohon keladi besar. Di sini gadis
tersebut membuka pakaian luarnya yang berwarna kuning. Pakaian ini dibuat
seperti pakaian laki-laki yaitu celana panjang serta baju lengan panjang yang
diikat dengan sehelai selendang warna kuning pula pada pinggangnya.
Pakaian kuning itu dihamparkannya di atas semak-semak kemudian dia mulai
memasukkan kakinya satu demi satu ke dalam air sungai. Dingin. Dia agak
menggigil. Tapi diteruskannya juga
membuka pakaian dalamnya. Kini gadis itu berada dalam keadaan sebagaimana dia
dahulu dilahirkan oleh ibunya ke dunia yakni tanpa pakaian. Dipandanginya
tubuhnya itu. Sinar matahari yang jatuh dibadannya seakan-akan membuat kulit
badannya yang kuning mulus itu seperti bercahaya. Dia
bangga memiliki tubuh begitu indah, yang masih suci dan belum pernah disentuh atau dijamah satu tangan
laki-laki pun, juga belum oleh kekasihnya yang tercinta!
Gadis ini melemparkan pakaian
dalamnya ke bawah semak-semak di mana baju dan celana kuningnya tadi
dihamparkannya. Kemudian dia melangkah ketengah air naik sebatas lutut, terus
kepaha dan sampai di pinggang. Di atas permukaan air hanya tubuh sebatas
pinggang ke ataslah kini yang terlihat. Gadis ini menyeka dadanya, mulai mandi
membersihkan diri. Sambil mandi dia bernyanyi-nyanyi kecil. Suara nyanyiannya
ditingkahi oleh kicauan burung-burung yang baru keluar dari sarang masingmasing. Binatang-binatang itu seakan-akan gembira menyambut datangnya pagi
dengan menyaksikan seorang gadis berparas
cantik, tanpa pakaian, tengah mandi di sungai jernih. Kalau saja burung-burung
ini mempunyai akal seperti manusia dan melihat seorang gadis dalam keadaan
seperti itu mungkin mereka akan menyesali diri, mengapa mereka diciptakan Tuhan
menjadi burung, bukan seorang pemuda, bukan seorang laki-laki, bukan seorang
manusia, sehingga mereka bisa menikmati
pemandangan luar biasa di tengah sungai sepagi itu! Tapi mereka tetap binatang,
tetap burung kecil yang tak tahu apa-apa, yang tak akan perduli apa-apa meski
dihadapan mata mereka ada seorang gadis berparas cantik jelita, berkulit halus
mulus, mandi telanjang di dalam sungai!
Gadis itu menyelamkan tubuhnya sampai kekening untuk terakhir kali lalu menuju
ke tepian kembali. Naik ke daratan
tubuhnya terasa segar. Diambilnya pakaian dalam yang baru dari buntalan kecil
yang dibawanya lalu cepat-cepat mengenakannya.
Kemudian di lekatkannya pula baju serta celana kuningnya. Terakhir sekali
dibereskannya letak rambutnya dan sesudah itu cepat-cepat ia meninggalkan sungai
tersebut. Ketika dia berada di puncak bukit
kecil itu, dibawahnya kelihatan sesosok tubuh berpakaian kuning lari dengan
sangat cepat. Saat itu jaraknya dengan manusia baju kuning tersebut terlalu jauh
sehingga dia tak dapat memastikan apakah orang yang lari itu seorang laki-laki
atau perempuan, apakah orang tersebut adalah orang yang tengah dicari-carinya
sejak hampir satu tahun yang lewat. Hati Jaliteng berdebar
keras, jantungnya mendegup kencang. Kedua kakinya bergerak, sesaat kemudian diapun lari menuruni
bukit tersebut mengejar si baju kuning di bawah sana. Ilmu lari yang diajarkan
gurunya yang kedua yaitu Si Harimau Betina ternyata tidak mengecewakan, apalagi
memang dari gurunya yang pertama yakni Si Cakar Setan pemuda ini sudah
mendapat pelajaran ilmu lari pula. Ilmu lari ajaran kedua guru tersebut
"digabungkannya" sehingga jadilah satu ilmu lari yang hebat dan mengagumkan!
Meski demikian, untuk dapat mengejar orang berbaju kuning di muka sana,
Jaliteng terpaksa mengeluarkan
banyaktenaga dan keringat serta
membutuhkan waktu agak lama juga karena rupanya orang yang dikejarnya itu
memiliki pula ilmu lari yang lihay!
Pada jarak lima puluh tombak lebih baru dia dapat mengenali orang yang
dikejarnya itu. Tak sabaran lagi dia berteriak keras penuh gembira:
"Wulan! Wulansari!"
Orang berbaju kuning di muka sana
memutar kepala dengan terkejut lalu menghentikan langkah. Sesaat kemudian Jaliteng sampai di hadapannya. Dan
masing-masing mereka sama berseru
gembira. "Wulan!". "Kakak!" Kedua orang itu sama mengulurkan
tangan dan saling berangkulan. Sesaat kemudian dengan kemalu-maluan serta paras
yang kemerahan Wulansari melepaskan dirinya dari pelukan kakak
seperguruannya. "Aduh Wulan, aku sudah sangat rindu padamu. Kemana saja kau selama hampir satu
tahun belakangan ini?" tanya Jaliteng.
"Mengembara" jawab Wulansari. "Dan kau sendiri?"
Pemuda itu menuturkan riwayatnya.
Lalu: "Kau tambah cantik saja, Wulan."
"Ah, kakak bisa saja. Kau sendiri tambah tampan dan gemukan..." balas memuji
Wulansari. Jaliteng tertawa. Kedua matanya
senantiasa memandang tepat-tepat pada gadis di hadapannya itu. Sesungguhnya
sudah sejak lama, sejak tahunan, sejak mereka sama-sama diambil murid oleh Si
Cakar Setan, bahwasanya Jaliteng secara diam-diam mencintai Wulansari. Karena
mereka masih berada dipertapaan saat itu maka Jaliteng tak pernah menerangkan
secara terus terang perasaan hatinya.
Lagipula pikirannya dipusatkan pada setiap ilmu pelajaran yang diberikan gurunya
kepadanya. Kini bertemu muka berhadap-hadapan dan melihat bagaimana Wulansari
sudah jauh berbeda dari dahulu, tambah cantik dan tambah mekar dewasa tubuhnya
maka dengan sendirinya kerinduan selama ini kembaii bergejolak
menggelombang menimbulkan hawa asmara yang berkobar!
"Adikku Wulan, kemanakah tujuanmu saat ini?" tanya Jaliteng.
Gadis itu hendak menjawab bahwa dia tengah dalam perjalanan kembaii menuju ke
goa gurunya Si Suara Tanpa Rupa karena satu tahun sudah lewat dan waktu untuk
kembali sudah datang. Namun Wulan
memutuskan untuk merahasiakan hal
tersebut. Bukan dia tidak mau bicara jujur pada kakak seperguruannya itu, tapi
karena ia kawatir apakah sang guru Suara Tanpa
Rupa, tidak akan marah bila mengenai dirinya dikatakan pada lain orang.
"Aku tengah mengembara" jawab
Wulansari pada akhirnya berdusta.
"Mengembara! Gadis secantikmu ini mengembara dan sendirian pula!" Jaliteng
bertolak pinggang dan menggelengkan kepalanya. "Apa kau tidak takut akan bahaya,
Wulan?" "Mengapa aku takut kakak. Percuma saja kalau begitu kita memiliki ilmu
kepandaian tinggi." "Betul... betul. Tapi Wulan, jika kau tak keberatan ikutlah bersamaku. Kita...
kita bisa membangun...." Pemuda itu tak dapat meneruskan kalimatnya. Dia
memandang ke tanah. "Membangun apa, kakak?" tanya Wulansari.
"Maksudku... membangun... membangun sebuah rumah... rumahmu dan rumahku...
sebuah rumah tangga Wulan...."
"Oh" Betapa terkejutnya gadis itu.
Parasnya merah sekali. Dia coba tersenyum dan berkata: "Kau ini ada ada saja,
kakak. Masakan kau suka pada gadis
seburukku ini. Kan banyak yang jauh lebih cantik...."
"Siapa bilang kau buruk Wulan" Kau cantik, cantik sekali...."
"Ah, kau main-main kakak...."
"Tidak Wulan, tidak adikku. Aku sungguhan. Aku sudah mengasihimu sejak kita
sama-sama menuntut pelajaran pada guru dahulu...."
Wulansari menjadi gelisah. Sekujur
tubuhnya gemetar. Dia tahu Jaliteng
seorang pemuda berhati baik serta
parasnyapun gagah. Dia suka kepada pemuda ini, suka sebagai seorang adik pada
kakaknya. Tapi untuk mencintai pemuda ini, apalagi kawin dengan dia... itu
adalah satu hal yang jauh diluar
perkiraannya. Dia hanya punya satu hati dan hatinya itu sudah diberikannya untuk
satu orang. Dia hanya punya satu rasa kasih sayang yang jujur murni dan rasa
kasih sayang itu juga hanya untuk satu orang
yakni Mahesa Kelud! Dan kini
dihadapannya berdiri Jaliteng. Apakah akan jawabnya". Bagaimana dia harus
menolak dengan tidak mengecewakan serta menyakiti hati pemuda ini"
"Kakak," kata Wulansari pada akhirnya. "Kau ini seperti yang tidak tahu saja
siapa kita adanya. Bukankah kita saudara seperguruan?"
"Lantas kalau saudara seperguruan memangnya kenapa...?" tanya Jaliteng.
"Mana boleh kita berumah tangga"
jawab gadis itu. "Siapa kata tidak boleh, Wulan" Tak ada larangan. Baik larangan adat ataupun
agama." Wulansari tahu bahwa apa yang
dikatakan Jaliteng tersebut adalah benar.
Kembaii gadis ini menjadi gelisah dan terdesak. Otaknya berputar mencari akal.
Kemudian dia membuka mulutnya yang
mungil, berkata memutar pembicaraan.
"Kakak, apa kau tak tahu bahwa guru sudah meninggal?"
"Aku tahu Wulan, justru
pengembaraanku adalah untuk mencari si
pembunuh di samping juga mencarimu."
"Dan kau sudah tahu siapa yang membunuh beliau?" tanya Wulansari pula.
"Yang, seorang yang bernama Ma...."
Jaliteng tak bisa meneruskan
ucapannya karena pada saat itu dari samping kiri terdengar langkah orang berlari dan seruan keras.
"Wulan, adikku!"
Kedua orang itu terkejut. Mereka sama ber-paling.
"Mahesa!" pekik Wulansari penuh gembira ketika melihat dan mengenali siapa
adanya orang yang datang itu. Dia berlari menyongsong dan memeluk
kekasihnya yang sudah sangat dirindui itu, yang sudah satu tahun lamanya tak
pernah jumpa! Bergetar sekujur tubuh Jaliteng,
mendidih darahnya dan meluap amarahnya sampai ke kepala ketika melihat bagaimana
kedua orang itu berpelukan mesra,
bagaimana si pemuda mencium Wulansari gadis yang dicintainya pada keningnya!
Ditambah pula Jaliteng segera mengenali bahwa manusia itulah yang tengah dicaricarinya. Mahesa Kelud! Orang yang
diketahuinya sebagai pembunuh gurunya!
"Wulansari! Menjauh dari manusia itu!" kata Jaliteng dengan suara menggeledek!
Mereka yang tengah berangkulan
terkejut dan memutar kepala masing-masing memandang kepada Jaliteng. Wulansari
melihat bagaimana kakak seperguruannya berdiri dengan sebatang tongkat besi di
tangan. Parasnya buas merah mengelam!
"Wulan! Menjauh kataku!" perintah Jaliteng sekali lagi.
Perlahan-lahan Mahesa melepaskan
pelukannya. Dia bertanya: "Wulan, siapa pemuda ini?"
"Dia adalah kakak seperguruanku, Jaliteng."
Jaliteng maju dua langkah dan berkata dengan membentak. "Wulan, sungguh menusuk
mata sekali apa yang kau lakukan di hadapanku! Apakah kau tidak punya sopansantun dan peradaban! Apa kau sudah gila memeluk manusia itu sedemikian rupa, di
hadapanku"! Minggir Wulan! Kau tidak tahu bangsat inilah yang kucari-cari. Dia
yang membunuh guru kita!"
"Kakak," kata Wulansari cepat. "Kau jangan salah sangka... Dia adalah Mahesa
Kelud...." "Ya, memang itu namanya. Mahesa Kelud! Pembunuh!"
"Tidak kakak, bukan dia yang membunuh guru kita...."
"Bukan dia katamu"!" tanya Jaliteng dengan mata membeliak.
"Betul bukan dia, tapi Warok Kate!"
"Ha... ha... pemuda ini tentu telah menipumu, adikku!
Menipu lalu memperrnainkanmu!" "Kakak, jangan bicara demikian...."
"Minggir!" bentak Jaliteng geram.
"Bukan dia yang membunuh guru kita!
Tapi Warok Kate. Percayalah. Aku akan berikan keterangan lebih jelas jika kau
sudi...." "Tutup mulutmu, Wulan! Kau berusaha hendak melindungi pembunuh bejat ini"
Pembunuh gurumu sendiri"! Cukup bukti-bukti bagiku bahwa dia memang manusianya
bahkan dia melarikan pedang Naga Kuning milik mendiang guru!"
Sebenarnya dendam Jaliteng terhadap Mahesa Kelud yang disangkanya sebagai
pembunuh gurunya meskipun demikian
besarnya namun maslih bisa baginya untuk bicara dengan hati sabar serta kepala
dingin. Tapi apa yang membuat amarahnya itu menggejolak ialah melihat bagaimana
Wulansari, gadis yang dikasihinya selama bertahun-tahun, berpelukan dengan
pemuda musuh besarnya, di hadapan mata kepalanya sendiri! Bahkan pemuda itu
mencium si gadis pada keningnya! Sesungguhnya, bilamana dendam kesumat, amarah
yang meluap dan rasa cemburu sakit hati yang amat sangat bercampur aduk menjadi
satu, maka memang sukar bagi seseorang untuk diberi penjelasan, untuk berpikir
secara tenang dan hati sabar.
Demikianlah, tubuh Jaliteng menggigil panas dingin. Dia maju satu langkah lagi
dan berdiri beberapa tornbak di hadapan Mahesa Kelud.
"Bangsat rendah!" semprot Jaliteng.
"Dicari-cari tidak bertemu. Kini datang sendiri mengantar nyawa!"
Mahesa Kelud yang sejak tadi diam
saja memperhatikan gerak-gerik Jaliteng dan membiarkan saja dia dicaci-maki,
kini membuka mulut, bicara dengan tenang.
"Saudara, segala sesuatunya yang dimulai dengan cara tidak baik serta kesusu dan
marah tak karuan, pasti akan tidak baik pula akibatnya. Aku...."


Mahesa Kelud - Menggebrak Kotaraja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Keparat! Jangan pidato! Bersiaplah untuk mampus!" serentak dengan itu Jaliteng
menerjang ke muka. Tongkat besinya membabat ke kepala Mahesa Kelud.
"Kakak!" jerit Wulansari. "Tahan!
Jangan...!" Tapi Jaliteng yang sudah tidak punya hati kemanusiaan lagi dan sudah lenyap
pikiran sehatnya tidak mengacuhkan
teriakan adik seperguruannya itu. Malahan teriakan itu membuat dia bertambah
nekat serta mendorongnya untuk cepat-cepat memecahkan kepala Mahesa Kelud.
* * * 2 Mahesa telah melihat bahwa tongkat besi di tangan Jaliteng bukan tongkat
sembarangan. Menurut taksirannya senjata ini sekitar sepuluh sampai lima belas
kilo beratnya. Tapi Jaliteng memegang senjata tersebut seperti memegang sebuah
tongkat dari kayu halus belaka dan ringan sekali! Ini satu pertanda bahwa kakak
seperguruan kekasihnya itu di samping dengan Si Cakar Setan tentu telah berguru
pula pada seorang sakti lainnya yang lebih tinggi ilmu kepandaiannya dari Si
Cakar Setan. Karenanya Mahesa Kelud bertindak hati-hati penuh waspada.
Pada saat tongkat besi Jaliteng
menyambar ganas ke kepalanya, Mahesa Kelud dengan cepat melompat ke belakang.
Sementara itu Wulansari tiada hentinya
berteriak: "Kakak Jaliteng, tahan!
Hentikan semua ini! Bukan Mahesa yang membunuh guru, tapi Warok Kate! Dan Warok
Kate aku sendiri yang membunuhnya!"
Ketika suaranya mulai parau dan Jaliteng sama sekali tidak mengacuhkannya maka
gadis ini menangis terisak-isak. Dari gerakan-gerakan kakak seperguruannya itu
dan dari senjata tongkat besi di
tangannya Wulan tahu bahwa kakak
seperguruannya itu sudah berguru pula pada seorang sakti lainnya. Dia khawatir
kalau-kalau kekasihnya, Mahesa Kelud, tak sanggup mempertahankan diri!
Tiga kali sudah serangannya dielakkan dengan mudah oleh lawan. Ini membuat
Jaliteng jadi penasaran dan naik pitam.
Dia mengamuk. Tongkat besinya yang berat bersiur kian ke-rnari mencari sasaran
di tubuh lawan. Untuk mengimbangi kehebatan serangan senjata lawan Mahesa Kelud
harus bergerak cepat, berkelebat kian kemari!
Delapan jurus berlalu sangat cepat
Jaliteng geram sekali karena jangankan berhasil memukul lawan bahkan mendesakpun
dia tidak bisa. Di lain pihak Wulansari merasa lega melihat bahwa ilmu
kepandaian kekasihnya lebih tinggi dari pada Jaliteng. Ini membuat dia tak perlu
kawatir Mahesa Kelud akan roboh atau kena celaka oleh kakak seperguruannya.
Jaliteng merobah cara berkelahinya.
Kini tangan kirinya yang berkuku-kuku panjang serta kedua kakinya kiri kanan
turut bekerja. Tapi meskipun demikian untuk menghadapi Mahesa Kelud yang sudah
digembleng oleh beberapa orang sakti,
Jaliteng tetap berada di bawah angin.
Saudara seperguruan Wulansari ini mulai terdesak ketika Mahesa mengeluarkan
jurus-jurus pukulan yang mengandung aji
"batu karang" Jaliteng dibuat repot.
Beberapa kali hampir saja dada atau perutnya kena jotosan. Tongkat besinya yang
berat diputar semakin cepat laksana titiran. Tak disangkanya musuh besar yang
dicapnya sebagai pembunuh gurunya
berkepandaian tinggi sekali!
Keringat dingin mulai mengucur di
tengkuk dan di kening Jaliteng. Lawannya mendesak terus. Dia kepepet ke dekat
sebatang pohon, lalu dengan cepat
melompat ke samping seraya menghantamkan tongkat besinya ke perut Mahesa Kelud.
Yang diserang memiringkan tubuh ke
samping. Begitu tongkat lewat, laksana seekor ular yang tengah mematil Mahesa
melompat ke samping. Dari sini dia
melancarkan jotosan "batu karang" ke arah sambungan siku lawan yang memegang
tongkat. Melihat ba-haya ini Jaliteng segera melompat ke udara tapi sayang
kurang cepat! Di saat dia melompat ke atas tubuh bagian bawahnya terbuka tiada
terlindung lagi. Ini satu peluang yang bagus serta empuk bagi Mahesa. Tapi
mengingat lawannya saat itu adalah masih saudara seperguruan Wulansari maka
Mahesa masih mempunyai hati belas kasihan.
Dengan pukulan tangan kiri yang
mengandung aji "batu karang" sebenarnya dia dapat memukul dan menghancurkan
perut Jaliteng. Tapi ini tak dilakukannya.
Sebaliknya Mahesa merunduk cepat.
Tangannya yang sebelah kiri menangkap betis kanan Jaliteng. Terdengar bentakan
keras dari mulut Mahesa Kelud. Jaliteng berseru kaget! Tongkat besinya terlepas
dan terlempar jauh. Tubuhnya sendiri jatuh ke tanah. Sebenarnya dia sanggup
untuk jatuh dengan kedua kaki lebih dahulu karena ilmu mengentengi tubuhnya
tidak rendah. Tapi dalam keadaan gugup Jaliteng tak berdaya apa-apa. Dia jatuh
ke tanah dengan keras, masih untung dia bisa menyelamatkan mukanya, kalau tidak
pasti muka itu lecet berkelukuran di parut tanah!
Untuk beberapa lamanya Jaliteng
tergeletak nanar di tanah tanpa bergerak.
Tubuhnya sakit dan pemandangannya gelap.
Sesaat kemudian dia berdiri dengan periahan dan huyung. Pemuda ini maklum walau sampai seribu juruspun dia tak akan
bisa mengalahkan Mahesa Kelud, bahkan sebaliknya dirinyalah yang akan dapat
celaka. Jaliteng melangkah mengambil tongkat besinya.
"Akan diteruskan saudara, atau cukup sampai di sini saja?" tanya Mahesa.
Panas telinga Jaliteng mendengar
ejekan itu. Mukanya merah gelap. Dia tak menjawab.
"Kakak" seru Wulansari ketika gadis itu melihat saudara seperguruannya hendak
melangkah pergi. "Tutup mulutmu Wulan!" bentak Jaliteng. "Mulai hari ini jangan panggil aku kakak
lagi! Mulai hari ini tali persaudaraan kita putus! Kau bersekutu
dengan pembunuh gurumu sendiri! Kau murid murtad, Wulan! Arwah gurumu akan
mengutuk kau seumur hidup dari liang kubur! Ingat baik-baik, satu ketika aku
akan kembaii untuk membunuh kau dan bangsat ini!"
"Kakak, dengar dulu..." kata Wulansari sam-bil lari memburu. Tapi lengannya
dipegang oleh Mahesa Kelud.
"Biarkan saja dia pergi, Wulan..."
kata Mahesa Wulansari menangis terisak-isak. Mahesa menyeka air mata gadis itu
lalu memeluknya. Wulan menyandarkan kepalanya ke dada si pemuda. "Sudahlah, tak
perlu menangis. Mari kita ke tempat guru. Kurasa sudah waktunya kita kembaii ke
sana." Wulansari membetulkan rambutnya,
merapikan bajunya lalu menyeka matanya dengan selendang kuning. Ketika dia
menoleh pada Mahesa, dilihatnya pemuda ini tersenyum. Wulansari tersenyum pula.
Mahesa Kelud memegang jari-jari tangan kiri gadis itu. Dengan berpegangan
seperti itu, keduanya kemudian berlari meneruskan perjalanan menuju ke goa
tempat kediaman guru mereka Si Suara Tanpa Rupa.
Ketika malam tiba mereka berhenti di tepi sebuah hutan. Mahesa Kelud mencari
ranting-ranting kering lalu menyalakan api unggun. Di tengah jalan sebelumnya
mereka sudah mem-beii dua bungkus nasi.
Meskipun nasi itu dingin serta basi tapi karena keduanya sudah sangat lapar maka
akhirnya nasi tersebut licin tandas juga masuk ke dalam perut mereka!
Keduanya duduk di muka api unggun
berhadap-hadapan. Mahesa Kelud menatap paras kekasihnya. Memandang wajah yang
cantik itu hatinya terasa tenang dan bahagia. "Wulan," katanya, "kau tambah
cantik saja, dik." Gadis itu tersipu malu. Dia ingat
bahwa Jaliteng kakak seperguruannya, waktu bertemu tadi siang juga memujinya
demikian. "Coba tuturkan riwayat pengembaraanmu selama satu tahun ini," kata Mahesa.
"Kau lebih dahulu," balas Wulansari.
Mahesa tersenyum dan menuturkan
segala kisah pengalamannya, terutama waktu dia datang ke Banten. Satu hal yang
tidak diterangkan oleh pemuda ini ialah
"peristiwa"nya dengan Kemaladewi.
Selesai Mahesa Kelud menceritakan
riwayatnya maka kemudian Wulansari pun menceritakan pula pengalaman
pengembaraannya. Mereka bicara-bicara sampai jauh malam. Kemudian Mahesa
membentangkan alas ketiduran buat
kekasihnya itu. "Tidurlah Wulan. Aku akan
menjagamu...." Si gadis mengangguk lalu mencium jari-jari tangan kanan pemuda
itu. Beberapa hari kemudian sampailah
kedua muda-mudi gagah ini ke tempat tujuan. Anehnya, seperti yang sudah tahu
saja bahwa mereka akan datang, maka di mulut gua yang tertutup dan tersembunyi
rapat oleh semak belukar telah menunggu Joko Cilik yaitu anak rusa sakti
peliharaan guru mereka Si Suara Tanpa Rupa. Binatang ini melompatkan-lompat
kian kemari lalu menyelinap-nyelinapkan badannya ke kaki kedua orang itu.
"Hai Joko! Kau sudah besar sekarang ya?" kata Wulansari seraya menangkap
binatang itu dan mendukungnya. Joko Cilik mengedip-ngedipkan kedua matanya yang
bening dan Wulansari mengusap kepala binatang itu.
Joko Cilik melepaskan diri dari
dukungan gadis itu, lalu lari menyeruak di balik semak belukar, hilang lenyap
masuk ke dalam goa. Mahesa segera
menyibakkan semak belukar rapat, memberi jalan pada Wulansari lebih dahulu untuk
masuk ke dalam goa lalu dia menyusul dari belakang.
Satu tahun lamanya mereka
meninggalkan tempat tersebut dan ketika kembali saat itu tak ada sedikit
perbedaanpun yang mereka lihat di dalam goa. Joko Cilik duduk di atas batu
karang putih licin. Mahesa Kelud serta Wulansari menjura dan berlutut di lantai.
"Guru, kami murid-muridmu, kembali ke sini..." kata Mahesa Kelud.
Sunyi beberapa detik, kemudian baru terdengar satu suara yang pelahan tapi
menggetarkan dinding-dinding karang goa batu tersebut. Sedang orangnya yang
berkata sama sekali tidak kelihatan.
"Bagus Mahesa, kau kembaii ke sini bersama saudara seperguruanmu tepat pada
waktu yang aku sudah janjikan. Ini
berarti bahwa kalian berdua akan mendapat pelajaran lanjutan atau tambahan
dariku selama beberapa bulan, mungkin satu tahun, tergantung pada kemampuan
kalian masing-masing. Tapi sebelum semua itu dimulai, kalian berdua pergilah ke sebuah
sungai terdekat dan bersihkan diri kalian di sana, lalu baru kembali ke sini.
Dengar...?" "Dengar guru" jawab kedua orang tersebut hampir bersamaan. Mereka menjura lalu
meninggalkan goa tersebut. Tak berapa jauh dari situ mereka menemukan sebuah
sungai kecil. Keduanya berpisah mencari tempat mandi masing-masing yang agak
berjauhan., Selesai membersihkan diri, mereka segera kembaii ke goa. Dan mulai
hari itulah Mahesa Kelud serta Wulansari menuntut ilmu kembaii pada guru mereka.
Dalam waktu beberapa bulan saja ilmu pedang mereka sudah meningkat jauh menuju
kesempurnaannya. Demikian juga tenaga dalam serta ilmu meringankan tubuh semakin
mencapai tingkat tertinggi.
Pelajaran terakhir yang diberikan oleh guru mereka ialah mempergunakan sejenis
pasir berwarna merah panas sebagai
senjata. Pasir merah ini tersimpan di bekas lobang-lobang dalam di mana dulu
telah dikeluarkan sepasang Pedang Dewi Delapan Penjuru Angin. Mempelajari ilmu
senjata rahasia ini tidak mudah. Pasir-pasir halus merah itu panasnya bukan main
dalam satu minggu pertama kulit tangan kedua orang itu merah melepuh. Sebulan
kemudian barulah mereka terbiasa dengan benda tersebut!
Akhirnya sampailah pada suatu hari.
"Murid-muridku," kata Suara Tanpa Rupa dari tempatnya yang tiada terlihat.
"Hari ini berakhirlah segala pelajaran
yang aku berikan padamu. Banyak hal yang harus kalian ingat, murid-muridku.
Pertama kalian harus sadar bahwa
betapapun tingginya segala ilmu luar dan dalam yang kalian miliki saat ini, tapi
itu semua belum mencapai kesempurnaannya karena memang itulah sifat segala apa
saja yang ada di dunia yaitu tak pernah sempurna! Kedua, juga jangan kalian
menduga bahwa dengan ilmu kepandaian serta pedang-pedang sakti yang kalian
miliki, kalian sudah menjadi manusia-manusia terpandai dan terjago di atas bumi
ini atau kalian menjadi bersifat sombong congkak. Ingatlah selalu bahwa masih
banyak, puluhan bahkan ratusan manusia-manusia yang lebih pandai dari kalian.
Ingatlah pula bahwa di atas langit ada lagi langit! Ketiga, ilmu-ilmu pelajaran
yang kalian miliki itu hanya dan harus dipergunakan untuk maksud-maksud baik dan
lurus serta diridhoi Tuhan. Jika kalian menyimpang,
menyeleweng dan mempergunakan untuk maksud-maksud jahat, maka ilmu-ilmu itu
sendiri yang akan berbalik mengutuk kalian sampai kalian akhirnya mendapat
celaka sendiri! Nah, itulah pesan-pesanku yang penting dan kalian harus ingat
baik-baik. Sekarang kalian boleh pergi. Sudah tiba saatnya bagi kalian berdua,
terutama kau Wulansari, untuk mencari musuh
besarmu Adipati Madiun Suto Nyamat dan membuat perhitungan dengan dia serta
kaki-kaki tangannya. Sekali lagi ingat, Suto Nyamat bukan orang sembarangan dan
yang lebih berbahaya ialah bahwa dia
mempunyai banyak kaki-kaki tangan yang terdiri dari manusia-manusia sakti
berilmu tinggi. Kalian berdua harus hati-hati! Nah kalian boleh pergi...."
Mahesa melirik pada gadis yang duduk di
sampingnya. Dilihatnya kedua mata
Wulansari berkaca-kaca. Ketika gadis ini hendak berdiri. Mahesa memberi isyarat
agar dia tetap duduk dulu di tempatnya.
"Guru" berkata pemuda itu. "Sebelum kami pergi bolehkah kami memohon untuk dapat
bertemu muka dengan guru?"
"Aku dapat memaklumi permintaan kalian itu," jawab Suara Tanpa Rupa.
"Tapi sayang sekali, saat ini belum waktunya. Nanti suatu ketika pasti kita akan
bertemu muka juga." Mahesa Kelud dan Wulansari sedikit kecewa mendengar jawaban tersebut.
"Guru" berkata lagi Mahesa Kelud.
"Dapatkah saya meminta beberapa keterangan?"
"Keterangan apa yang kau maui, Mahesa?"
"Waktu saya dilepas oleh guru saya yang terdahulu yakni Embah Jagatnata saya
diberi dua tugas yang mana sampai saat ini masih belum dapat saya jalankan...."
"Katakan tugas-tugas tersebut."
"Pertama saya disuruh mencari sebuah pedang sakti bernama Samber Nyawa. Yang
kedua mencari seorang manusia bernama Simo Gembong dan membunuhnya! Dapatkah
guru memberi keterangan-keterangan?"
Sunyi seketika. Kemudian terdengar suara sang guru.
"Pedang Samber Nyawa itu, terakhir
sekali kuketahui berada di Pulau Mayat sedang manusia
bernama Simo Gembong menurut dugaanku bersembunyi di satu tempat di tanah Jawa ini. Pastinya aku tak
tahu...." Terima kasih, guru," kata Mahesa gembira.
"Ada pertanyaan lagi?" tanya Suara Tanpa Rupa.
"Ya" jawab Mahesa Kelud. "Seorang guru lainnya telah meminta kepada saya untuk
pergi ke Lembah Maut. Katanya di sana berdiam seorang perempuan jahat yang telah
membunuh murid-muridnya. Saya mohon keterangan tentang letak Lembah Maut
tersebut...." "Aku memang pernah dengar tentang lembah tersebut. Kalau tak salah letaknya jauh
di ujung timur pulau Jawa ini, sekitar kerajaan Hindu, Belambangan...."
"Terima kasih, guru" Mahesa hendak menanyakan tentang Sitaraga yakni
perempuan tua yang bergelar Iblis Buntung yang telah memberi obat perangsang
kepadanya dan Kumaldewi sehingga keduanya melakukan hubungan kotor diluar
kesadaran. Namun Mahesa membatalkan niat untuk bertanya itu karena dia kawatir
kalau itu hanya membuka rahasianya
sendiri di hadapan Wulansari!
"Ada pertanyaan lagi?" terdengar sang guru bertanya.
Mahesa berpaling pada Wulansari.
Gadis ini kemudian membisikkan sesuatu ke telinganMahesa Kelud. Lalu Mahesa
cepat-cepat berkata: "Ada guru, tapi sebenarnya bukan pertanyaan. Kami
mengharapkan petunjuk guru...." "Petunjuk mengenai apa?" tanya Suara Tanpa Rupa.
"Harap terlebih dahulu dimaafkan kalau ini bagi guru tak pantas


Mahesa Kelud - Menggebrak Kotaraja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dikemukakan. Kami... kami mohon petunjuk mengenai diri kami berdua...."
"Heh, ada apa dengan diri kalian berdua?" tanya sang guru pula.
Mahesa tak segera menjawab. Dia
melirik ke samping dan melihat Wulansari duduk dengan menundukkan kepala sedang
parasnya yang jelita kelihatan kemerah-merahan karena jengah!
"Mahesa, ada apa dengan kalian?"
tanya Suara Tanpa Rupa sekali lagi.
"Begini guru. Apakah... apakah menurut guru kami ini cocok satu sama lain
untuk... untuk membangun... hem...
rumah tangga...?" "Maksudmu kalian mau kawin eh?"
"Betul, guru" sahut Mahesa Kelud.
Maka terdengarlah suara tawa terbahak si Suara Tanpa Rupa. Mahesa Kelud dan
Wulansari saling berpandang-pandangan tidak mengerti. Selama dua tahun mereka
pernah menetap di goa tersebut, baru inilah kali pertama mereka mendengar guru
mereka tertawa bergelak sedemikian rupa.
Tawa sang guru berakhir lalu terdengar suaranya bertanya, "Mahesa, apa kau
mencintai Wulansari?"
"Betul guru. Saya mencintainya" jawab Mahesa.
"Dan kau Wulan... kau juga cinta pada pemuda ini?"
"Ya, guru." Suara si gadis seperti
orang tercekik karena menjawab agak kikuk gugup.
Suara Tanpa Rupa tertawa lagi
terbahak-bahak. "Ada-ada saja kalian berdua ini!" kata-nya. "Kalian harus
ingat... bahwa soal jodoh itu bukan di tangan kita manusia, bukan di tanganku,
tapi di tangan Yang Kuasa! Di tangan Tuhan! Tak ada yang menyuruh kalian untuk
berumah tangga, juga tak ada yang
melarangnya. Putusan terletak di tangan kalian berdua. Jika memang sudah suka
sama suka, sudah sama mencintai, perduli apa dengan orang lain"! Bukankah
begitu...?" "Betul guru" kata Mahesa. Hatinya gembira. "Namun sebaiknya hal ini kami ajukan
supaya guru mengetahui dan nanti dikemudian hari tidak menganggap kami muridmurid yang tak tahu peradatan dan melupakan gurunya...."
"Kalian murid yang baik," kata Suara Tanpa Rupa. "Laksanakanlah cita-cita kalian
itu dengan sebaik-baiknya dan dengan cara yang wajar syah. Aku merestui kalian.
Memang agaknya kalau kalian sudah berjodoh dengan sepasang Pedang Dewi itu maka
kini dari kalian sendiri yang
berjodoh satu sama lain. Kapan cita-cita itu akan kalian laksanakan?"
"Oh... itu masih belum dapat kami tentukan, guru. Mungkin jika sudah
selesai urusan kami dengan Adipati Suto Nyamat serta kaki-kaki tangannya."
"Memang itu bagus sekali. Selesailah semua urusan dulu, baru kawin. Jangan kawin
dulu lalu membuat urusan, nanti
bisa berabe!" Mahesa Kelud dan Wulansari tertawa mendengar kata-kata guru mereka itu. Tak
disangka sang guru rupanya suka pula bergurau!
"Karena kalian bermaksud demikian, maka agaknya perlu pula aku berikan sedikit
peringatan. Yaitu selama kalian belum menjadi suami istri secara syah, meskipun
saiing mencintai dan suka sama suka namun kalian harus perhatikan dan ingat
betul-betul walau bagaimanapun kalian masih tetap orang lain, karenanya harus
dapat menjaga dan membatasi diri masing-masing."
"Terima kasih guru, nasihat itu akan kami ingat baik-baik...."
"Bukan hanya diingat, Mahesa"
memotong sang guru. "Tapi juga harus dijalankan."
"Akan kami jalankan," kata Mahesa Kelud pula.
Kedua muda-mudi ini berdiri. "Guru, kami berdua mohon diri," kata Mahesa.
Suaranya agak bergetar karena haru.
Wulansari sendiri berlinang air matanya.
Begitu besar kecintaan mereka pada sang guru meskipun keduanya tak pernah
bertemu muka sehingga perpisahan itu berat sekali rasanya.
Wulansari mengusap Joko Cilik. Sekali lagi mereka minta diri dan menjura, lalu
keduanyapun meninggalkan goa tersebut.
* * * Dengan mempergunakan ilmu lari cepat maka keesokan harinya sampailah kedua orang
itu ke Madiun. Mereka menunggu malam tiba dimana mereka menentukan saat
penyerbuan ke Kadipaten Madiun tempat bersarangnya Suto Nyamat yang telah
membunuh ayah dan ibu serta kakek dan guru Wulansari!
Malam tiba, pintu gerbang kadipaten tertutup rapat tanpa seorang pengawalpun
kelihatan di sekitar sana. Mahesa Kelud dan Wulansari bergerak ke bagian yang
lebih gelap. Di sini mereka berdua
melompati tembok samping Kadipaten yang tingginya tak kurang dari
sampai di halaman dalam tanpa
menimbulkan suara sedikitpun!
Gedung Kadipaten kelihatan sunyi
sepi. Satu-satunya lampu yang menyala hanyalah di bagian belakang gedung
tersebut. Mahesa dan Wulansari bergerak ke sana dengan hati-hati. Mereka menemui
sebuahh pintu yang terkunci. Mahesa mengetuk dengan keras! Tak ada jawaban.
Pemuda ini mengetuk lagi lebih keras.
Sesaat kemudian baru terdengar langkah-langkah kaki, lalu daun pintu terbuka.
Mahesa Kelud dan Wulansari tanpa
menunggu lebih lama segera menyerbu masuk. Orang yang membuka pintu, seorang
pelayan tua hampir saja terpelanting jatuh ke lantai karena ditabrak begitu saja
oleh Mahesa Kelud. Orang tua itu berdiri dengan paras
pucat. "Ka... kalian siapa...?"
tanyanya.... "Orang tua, mengapa gedung ini sunyi
saja" Mana Suto Nyamat"!" tanya Mahesa membentak.
"Adipati Suto Nyamat sudah berangkat dua hari yang lalu ke Pajang bersama
keluarga dan para pengawal..."
menerangkan pelayan tua itu.
"Dusta!" hardik Wulansari. "Manusia keparat itu pasti ada di sini dan
bersemhunyi!" "Tidak... Adipati tidak ada di sini.
Aku tidak dusta," kata si pelayan ketakutan.
* * * 3 Kelihatannya orang tua ini tidak
berdusta. Namun untuk memastikan bahwa Suto Nyamat benar-benar tidak ada di sana
maka Mahesa Kelud dan Wulansari
menggeledah seluruh pelosok gedung
Kadipaten! Memang benar tak ada
seorangpun selain si pelayan tua tersebut di dalam gedung.
"Ada urusan apa bangsat itu ke kotaraja"!" tanya Wulansari.
"Bang... bangsat siapa?" tanya si pelayan.
"Suto Nyamat!" bentak Wulansari.
"Kabarnya... kabarnya Baginda yang menariknya ke kotaraja untuk memangku satu
jabatan baru...." "Lantas siapa yang menggantikannya di sini?"
"Aku tidak tahu tapi kabarnya Adipati
yang baru itu akan segera datang ke sini dalam tempo sehari dua ini...."
Mahesa Kelud menoleh pada Wulansari.
Kedua orang ini kemudian meninggalkan gedung tersebut dengan cepat. Si pelayan
tua menarik nafas lega lalu mengunci pintu lekas-lekas.
Jarak antara Madiun dan Kotaraja
tidak dekat. Dengan berlari cepat mereka baru bisa sampai ke sana selama
seminggu mungkin lebih! Karenanya malam itu juga kedua orang tersebut memutuskan
untuk berangkat ke kotaraja.
Hari ke empat, mereka beristirahat di satu kaki bukit yang subur. Mereka duduk
berdampingan dan bersandar ke sebuah pohon besar yang rindang. Mahesa
memandang jauh ke muka. Duduk berdua dengan Wulansari, seperti itu
mengingatkan pemuda ini pada Kemaladewi, gadis yang menjadi murid si Dewa
Tongkat. Bagaimanakah keadaan gadis itu sekarang, sesudah ditinggalkannya sejak satu
tahun yang lewat" Pemuda ini tak habisnya mengutuki dirinya sendiri dan
menyumpahi Si Iblis Buntung yang menjadi biang racun dari semua perbuatan
terkutuknya atas diri Kemaladewi. Kemudian terpikir oleh pemuda ini yaitu jika
perbuatannya tempo hari bersama Kemaladewi menyebabkan gadis tersebut sampai
hamil, maka saat ini tentu Kemala sudah melahirkan seorang anak! Anaknya dan
anak Kemala! Merinding bulu tengkuk Mahesa Kelud.
"Apa yang tengah kau renungkan, Mahesa?" tanya satu suara di sampingnya.
Pemuda ini terkejut. Parasnya pucat
seketika. Lalu dia coba tersenyum untuk menyembunyikan rasa terkejutnya itu,
tapi tak berhasil! "Eh, agaknya kau terkejut mendengar pertanyaanku, Mahesa?"
Mahesa diam-diam menjadi takut
sendiri meski takut yang tak beralasan.
Dia takut kalau-kalau gadis di sampingnya itu mengetahui rahasia atau
peristiwanya dengan Kemaladewi.
"Kau melamunkan seseorang agaknya, Mahesa?"
"Ya. Melamunkan kau." jawab pemuda itu berdusta.
"Aku berada di dekatmu, di sampingmu.
Mengapa harus dilamunkan" Kalau aku jauh lain perkara..." kata Wulansari pula.
Ucapan Wulansari itu seperti satu
tempelak yang keras menghantam mukanya bagi Mahesa Kelud. Hatinya serasa diiris.
Meski perbuatannya atas Kemaladewi bukan mau dan diluar kesadarannya namun dia
tetap saja merasa berdosa. Bukan saja berdosa kepada Kemaladewi, berdosa kepada
Tuhan, tapi lebih dari itu adalah berdosa kepada Wulansari, gadis satu-satunya
yang dikasihinya di dunia ini!
Mahesa tak berkata apa-apa.
Dipeluknya bahu gadis itu dengan penuh kasih sayang, lalu diciumnya keningnya.
"Eh... eh... apa-apaan ini, Mahesa?"
kata Wulansari sambil menjauhkan
kepalanya. "Apa-apaan apa maksudmu?"
"Kau lupa pesan guru kita?"
"Pesan apa...?"
"Bahwa sebelum kita berumah tangga
secara resmi kau dan aku masih tetap merupakan orang lain dan mempunyai batasbatas tertentu...?" "Aku ingat" jawab Mahesa dengan
tersenyum. "Tapi kalau cuma peluk cium saja kan boleh!"
"Ih, kau ceriwis sekali sekarang!"
kata Wulansari pula. Dikatakan "ceriwis" pemuda kita jadi penasaran. Kedua tangannya diulurkan kemuka
memeluk tubuh kekasihnya lalu diciumnya muka gadis itu berulang kali.
"Sudah... sudah..." peluk Wulansari pelahan. Tapi dia tak berusaha untuk
menghindarkan ciuman-ciuman pemuda yang dikasihinya itu bahkan memberikan
balasan! Mahesa melepaskan pelukannya. Kedua pipi Wulansari kelihatan merah. Gadis ini
cepat-cepat menyembunyikan mukanya di dada si pemuda. "Kalau kau berani bilang
aku ceriwis lagi... aku akan cium kau sampai lama sekali dan tidak lepas-lepas!"
kata Mahesa Kelud. "Kau memang ceriwis! Genit!" kata Wulansari dengan tertawa merdu lalu melepaskan
dirinya dan lari. "Kau mau lari kemana, Wulan"!" kata Mahesa seraya mengejar gadis tersebut.
Dan dengan demikian keduanyapun berlari meneruskan perjalanan menuju kotaraja.
* * * Siang itu mereka mencapai sebuah
kampung kecil agak jauh diluar kotaraja.
Keduanya mencari kedai nasi. Satu-satunya
kedai nasi terletak di tengah pasar yang sudah agak sepi karena hari sudah
tinggi. Mereka masuk dan Mahesa mernesan makanan.
Kedatangan kedua orang ini tentu saja menarik perhatian tamu-tamu yang sudah
terlebih dahulu berada di dalam kedai.
Pandangan mata yang kagum takjub lebih banyak ditujukan kepada Wulansari, gadis
berparas jelita ini. Wulansari sendiri bersikap acuh tak acuh sedang Mahesa
Kelud yang duduk di sampingnya tenang-tenang saja.
Sambil mengunyah nasi dalam mulutnya, Wulansari menggeser kursinya lebih dekat
pada Mahesa lalu dia berkata pelahan,
"Mahesa... coba kau perhatikan tiga orang prajurit yang duduk dipojok sana."
Mahesa pura-pura menjangkau gelas
minumannya. Lalu sambil menempelkan tepi gelas ke bibirnya dia memandang ke arah
yang dikatakan Wulansari. Di sana duduk tiga orang prajurit kerajaan dan
ketiganya memandang tajam menyorot pada mereka. Pandangan mata orang-orang ini
agaknya sudah disengaja sejak tadi dan kurang ajar.
"Aku rasa-rasa pernah bertemu dengan mereka..." ujar Mahesa Kelud.
"Aku sendiri juga demikian," kata Wulansari..
"Mungkin mereka adalah cecunguk cecunguknya si Suto Nyamat."
"Boleh jadi,.. bagaimana kalau beri sedikit pelajaran pada mereka?" tanya si
gadis yang sudah gatal-gatal tangannya melihat cara memandang ketiga prajurit
yang kurang ajar itu. "Ssssh..." desis Mahesa. "Biarkan saja mereka seperti anjing-anjing lapar
begitu. Kita harus berhati-hati dan jangan sampai membuat urusan baru sebelum
urusan kita dengan Suto Nyamat
selesai...." Wulansari tak berkata apa-apa. Gadis ini meneruskan makannya. "Satu hal lagi
yang harus diingat Wulan," ujar Mahesa,
"Sesampainya kita di kotaraja nanti jangan bertindak gegabah. Kotaraja bukan
saja tempat diamnya Suto Nyamat serta pentolan-pentolannya tapi juga sarangnya
para pendekar gagah pengawal Baginda yang sudah barang tentu akan turun tangan
bila kita mereka anggap sebagai pengacau!"
Tiga prajurit di pojok kedai berdiri.
Salah satu dari mereka membayar harga maka nan lalu bersama kawannya yang dua
orang lagi segera keluar meninggalkan kedai tersebut. Di luar terdengar suara
derap kaki kuda mereka yang akhirnya lenyap di kejauhan.
* * * Apa yang diduga oleh Mahesa Kelud
memang tidak meleset. Ternyata ketiga prajurit tersebut adalah kaki-kaki tangan
Suto Nyamat yang kini diam di kotaraja.
Ketiganya memacu kuda masing-masing menuju kotaraja. Mereka adalah sebagian dari
bawahan Braja Kurrto yang tempo hari pernah bertempur dengan Mahesa Kelud serta
Wulansari di dekat goa kediaman guru kedua orang ini, cuma sayang Mahesa dan
Wulan tidak mengingat mereka lagi.
Tak lama kemudian prajurit-prajurit Ini sampai ke gedung kediaman Suto
Nyamat. Salah seorang dari mereka, yang bertubuh tinggi kurus turun dari kuda.
"Kalian berdua tunggu di sini, aku akan menemui Adipati. Waspadalah, bukan tidak
mustahil kedua orang tadi membuntuti kita!" Demikianlah, meski kini Suto Nyamat
sudah diberi kedudukan lain oleh Baginda namun para prajurit dan anak buahnya
tetap saja menyebutnya dengan
"Adipati." Saat itu menjelang senja. Suto Nyamat baru selesai mandi dan habis berpakaian
ketika seorang pelayan datang menerangkan bahwa ada
seorang prajurit hendak menghadap. "Katanya ada satu urusan penting, Gusti!" menambahkan pelayan tersebut.
Ketika Suto Nyamat keluar, prajurit tinggi kurus tadi menjura.
"Ada apa Lokan?" tanya Suto Nyamat.
"Adipati, masih ingat sepasang muda-mudi yang tempo hari menyerang ke
Kadipaten Madiun dan yang kemudian kami kejar-kejar?"
"Tentu! Ada apa dengan mereka?"
"Keduanya berada di kampung Tenginan, tengah menuju ke sini."
Terkejut Suto Nyamat mendengar
keterangan prajurit tersebut. "Kau tidak salah lihat"... tanyanya.
"Tidak. Saya dan kawan-kawan
mengenali benar keduanya."
Suto Nyamat berpikir dengan cepat


Mahesa Kelud - Menggebrak Kotaraja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baiklah," katanya. "Bawa beberapa orang kawan-kawanmu ke pintu gerbang
kotaraja. Aku akan menyusul ke sana. Jika sebelum aku datang mereka sudah sampai, tahan
sedapat-dapatnya agar kedua monyet jantan betina itu tidak masuk ke sini ke
kotaraja!" "Siap Adipati." Lokan menjura dan berlalu dengan cepat.
Suto Nyamat sengaja tidak mau menghadapi kedua musuh besarnya itu di dalam kotaraja karena ini akan membuat
namanya jadi kurang baik sedangkan dia baru saja dipindahkan Baginda untuk
menduduki jabatan tinggi serta terhormat.
Karena itu diaturnya rencana untuk
menghadapi Mahesa Kelud diluar batas kota, di pintu gerbang!
Satu tahun yang lewat Mahesa Kelud
dan Wulansari pernah menyerbu ke gedung Kadipaten Madiun bersama seorang kakekkakek bernama Sentot Bangil atau yang lebih dikenal dengan gelaran Pendekar
Budiman. Saat itu dengan bantuan
Waranganaya Toteng para penyerbu berhasil dipreteli bahkan Pendekar Budiman
sendiri meregang nyawa di tangan Waranganaya Toteng. Kini tahu-tahu Mahesa Kelud
dan Wulansari muncul kembaii mencarinya!
Kalau tidak ada sesuatu yang diandalkan pasti kedua orang muda tersebut tidak
akan mengejarnya sampai ke kotaraja.
Menurut Suto Nyamat yang memang punya otak cerdik tapi busuk ini hanya ada dua
hal menjadi andalan musuh-musuh besarnya itu. Pertama mereka datang bersama
seorang atau beberapa orang sakti yang membantu mereka. Kedua mungkin selama
satu tahun yang lalu mereka berhasil
memperdalam ilmu silat atau berguru pada seorang sakti!
Dugaan pertama tidak bisa jadi karena Lokan tadi memberi kesempatan bahwa hanya
Mahesa Kelud serta Wulansari saja yang terlihat. Jadi dugaan jatuh pada andalan
kedua yakni bahwa kedua muda mudi
tersebut kini sudah memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi dari dahulu! Suto
Nyamat harus mengakui bahwa dalam
pertempuran setahun yang silam, satu lawan satu menghadapi salah seorang dari
muda-mudi itu belum tentu dia akan dapat mengalahkan lawannya, apalagi kini!
Namun demikian dia tak perlu khawatir.
Waranganaya Toteng memang saat ini tidak ada disampingnya yang akan turun tangan
membantu, tapi kotaraja penuh dengan hulubalang-hulubalang dan pendekar
pendekar Baginda yang rata-rata berilmu tinggi dan dikenal baik oleh Suto
Nyamat! Di samping itu kebetulan sekali di
gedungnya saat ini ada empat orang tokoh kelas tinggi yang menjadi tamunya yang
sudah pasti bisa dimintakan bantuannya!
Suto Nyamat masuk ke dalam kamarya.
Ketika dia keluar maka dia sudah
mengenakan pakaian perang dengan sepasang golok panjang tergantung di sisinya!
* * * 4 Hari mulai gelap. Di langit bintang-bintang mulai muncul bertaburan. Bulan
purnama menyusul kemudian menampakkan diri sehingga kegelapan malam berkurang
sedikit oleh sinarnya yang sejuk.
Kedua orang itu lari terus. Masingmasing memperlambat larinya ketika
mendekati batas kotaraja. Pada saat mereka sampai ke pintu gerbang kota maka
kelihatanlah selusin manusia berkumpul menghadang di muka pintu tersebut! Dalam
jarak beberapa tombak Mahesa Kelud dan Wulansari menghentikan langkah mereka.
Kedua muda-mudi ini menggeram dalam hati.
Lebih-lebih ketika mengetahui bahwa manusia berkening lebar, bermata besar dan
berkumis lebat yang mengenakan
pakaian perang tak lain adalah Suto Nyamat, musuh besar mereka! Agak
kebelakang kelihatan tiga orang berjubah ungu yang karena malam kelihatannya
hitam. Baik Mahesa maupun Wulansari tidak tahu siapa mereka adanya namun
memaklumi bahwa ketiga orang ini tentu memiliki ilmu yang tinggi. Di samping
kiri Suto Nyamat berdiri pula sesosok tubuh yang menarik perhatian murid-murid
Si Suara Tanpa Rupa ini. Sosok tubuh ini adalah seorang laki-laki berbadan
sangat pendek, bermuka buruk dan cuma punya satu tangan yakni tangan kanan
sedang tangan kirinya puntung! Di pinggang si buntung tangan ini melilit sebuah
rantai baja yang sudah dapat dimaklumi merupakan senjata
andalannya! Manusia ini mengenakan
pakaian aneh. Kalau saja saat itu mereka tidak tengah menghadapi musuh besar,
sudah past! Mahesa Kelud dan Wulansari akan tertawa membahak. Betapakah tidak!
Karena manusia berbadan pendek dan
bertangan buntung ini mengenakan pakaian
"baju monyet," seperti anak anak umur tiga tahun! Di bagian perut dari baju ini
terdapat pula sebuah saku besar empat segi! Di belakang kelima orang tersebut
maka berjejerlah tujuh prajurit di mana tiga di antaranya adalah yang dilihat
Mahesa dan Wulansari di kedai siang tadi.
Sambil kedua tangannya bersitekan
pada hulu-hulu golok Suto Nyamat maju satu langkah dan berkata dengan suara
membentak. "Anak-anak yang masih ingusan!
Kalian mengandalkan apakah beraniberanian datang mengantar nyawa kemari"!"
Wulansari, yang sudah sejak tadi tidak sabaran melihat musuh besar
pembunuh ayanbunda, paman serta kakeknya ini, menerjang ke muka.
"Iblis bermuka manusia! Bersiaplah untuk mampus!" bentak Wulansari. Serentak
dengan itu kelihatanlah sinar merah panjang melesat membabat ke arah Suto
Nyamat. Sinar merah panjang ini tak lain adalah sambaran Pedang Dewi yang
dicabut oleh Wulansari bersamaan ketika tubuhnya melesat ke muka!
Suto Nyamat dengan cepat mencabut golok panjang di sisi kirinya untuk dipakai
menangkis. Dan "Trang!" Golok yang masih tergenggam di tangan
laki-laki itu hanya tinggal hulunya saja.
Bagiannya yang tajam terbabat buntung dan dibikin mental oleh teriakan Pedang
Dewi sakti yang luar biasa tajamnya di tangan Wulansari! Tak dapat dilukiskan
bagaimana terkejutnya Suto Nyamat. Bukan saja karena goloknya yang buntung itu
tapi juga karena tangan kanannya terasa panas sekali! Dan sebelum habis rasa
terkejutnya maka Pedang Dewi di tangan Wulansari berbalik membabat deras ke arah
lehernya! Sukar bagi Suto Nyamat dalam keadaan kepepet begitu untuk mengelak ataupun
mencabut senjatanya yang satu lagi!
Manusia ini berteriak ngeri seperti orang yang melihat datangnya malaekat maut!
Namun sebelum pedang sakti tersebut sempat memisahkan kepala dan badan Suto
Nyamat, salah seorang dari tiga manusia yang mengenakan jubah ungu melompat ke
muka sambil menusukkan senjatanya, berupa sebuah penggada dari batu hitam yang
lebih kuat daripada besi, ke dada
Wulansari! Hal ini membuat Wulansari terpaksa
menarik pulang serangannya karena kalau diteruskan meski dia mungkin berhasil
menebas batang leher Suto Nyamat namun penggada si jubah ungu pasti akan
bersarang di dadanya pula!
Bukan main geramnya si gadis. Kedua matanya melotot. "Tua bangka yang sudah
bosan hidup!" makinya. "Kau juga harus mampus bersama anjing ini!"
"Eeee... e... e. Gadis kurang ajar!
Kau tak tahu tengah berhadapan deng..."
Si jubah ungu tak sempat meneruskan kalimatnya karena saat itu Wulansari telah
menyerangnya dengan ganas. Dua kawannya yang lain maju pula ke muka.
Ketiganya memiliki senjata yang sama yakni penggada batu hitam. Suto Nyamat
sementara itu sudah mencabut golok
panjangnya yang satu lagi dan menyerbu pula. Melihat kekasihnya dikeroyok
demikian rupa Mahesa Kelud yang memang sudah gatal tangan segera mencabut pedang
saktinya, maju ke depan membantu
Wulansari. Tapi manusia pendek berbaju monyet
tahu-tahu melompat pula menghalanginya, demikian pula tujuh prajurit kerajaan
anak buah Suto Nyamat! "Manusia pendek! Rupanya kau kaki tangan cecunguknya Suto Nyamat juga huh"!"
"Eit! Anak muda bau amis! Kau tahu dengan siapa kau berhadapan saat ini sampai
berani unjukkan nyali besar"!
Ketahuilah akulah manusianya yang
dijuluki Setan Puntung!"
"Hem..,. Bagus kalau begitu!" kata Mahesa dengan nada mengejek. "Lekas maju biar
kubikin buntung tanganmu yang satu lagi!"
Tak terkirakan marahnya si pendek itu diejek demikian rupa oleh Mahesa Kelud,
dan dihadapan banyak orang pula.
"Kupecahkan kepalamu, kunyuk!" Sambil membentak dibukanya rantai besi yang
melilit di pinggang lalu menyabetkannya ke kepala Mahesa Kelud! Pemuda ini
menggerakkan pedang saktinya untuk
memapaki senjata lawan. Si Setan Puntung
yang memaklumi bahwa pedang di tangan lawannya bukan pedang sembarangan tapi
sebuah pedang mustika sakti, tak berani mengadu senjata dan cepat-cepat
menurunkan sedikit tangan kanannya
sehingga kini rantai besinya menyambar ke perut Mahesa Kelud!
Mahesa di lain pihak juga memaklumi bahwa lawannya bukan seorang lawan enteng
dan empuk. Begitu serangannya mengenai tempat kosong pemuda ini segera geser
kedua kakinya dan serentak dengan itu pedang mustika merah di tangannya
membalik membabat ke lengan yang memegang rantai dari Si Setan Puntung!
Si Setan Puntung mengeluarkan seruan kaget. Tidak diduganya bahwa begitu
mengelak sang lawan masih sanggup
melancarkan serangan balasan yang
sedemikian cepatnya! Manusia pendek bertangan satu ini cepat-cepat melompat ke
belakang menyelamatkan tangannya.
Ketika dia maju kembaii, maka tujuh prajurit yang tadi masih diam saja di
tempat, turut pula menyerbu Mahesa Kelud.
Dikeroyok delapan demikian rupa, tidak tanggung-tanggung Mahesa Kelud segera
keluarkan jurus-jurus ilmu "Pedang Dewi Delapan Penjura Angin!"
Sesaat kemudian maka terdengarlah
pekik-pekik tiga orang prajurit
pengeroyok. Yang satu terpapas buntung iengannya, darah muncrat!
Yang kedua meliuk roboh dengan usus berburaian, yang ketiga mundur menjerongkang terbacok
bahunya! Si Setan Puntung sendiri
mengeluarkan seruan tertahan karena
sebagian dari senjata rantai besinya dibabat putus oleh pedang di tangan lawan!
Demikianlah hebatnya Pedang Dewi di tangan Mahesa Kelud dan lihaynya ilmu silat
yang dimainkannya sehingga dalam satu gebrakan saja dia membuat tiga lawan roboh
dan yang ke empat menciut nyalinya, padahal jurus ilmu "Pedang Dewi Dari Delapan
Penjura Angin" yang dimainkannya tadi baru tingkat terendah saja!
Di bagian lain Wulansari tengah
mengamuk hebat melawan musuh besarnya yakni Suto Nyamat yang dibantu oleh tiga
orang berjubah ungu yang rata-rata
memiliki ilmu tinggi! Suto Nyamat telah mengambil sebuah golok lagi sehingga
pedang merah di tangan Wulansari harus melayani sepasang golok panjang Suto
Nyamat serta tiga penggada batu! Dengan tiada gentar sedikitpun gadis remaja itu
melayani keempat musuhnya dengan
mengeluarkan jurus-jurus menengah dari ilmu Pedang Dewi yang dipelajari dari
gurunya Si Suara Tanpa Rupa. Bukan saja gadis ini bisa mengimbangi kehebatan ke
empat lawan tangguh tersebut bahkan dia berhasil pula mendesak mereka. Karena
dalam hal ini Suto Nyamat adalah musuh besar
yang paling dibencinya, maka
kebanyakan dari serangan-serangannya diarahkan kepada manusia tersebut. Suto
Nyamat menjadi sibuk, untung saja tiga orang yang membantunya mempunyai
kepandaian tinggi kalau tidak pasti dalam jurus sembilan tadi dia sudah kena
dibacok bahunya oleh pedang sakti
Wulansari! Siapakah ketiga manusia berjubah ungu ini" Seperti Waranganaya Toteng, mereka
adalah resi-resi dari kerajaan
Belambangan yang tersesat dan
mempergunakan ilmu kepandaian mereka untuk membuat kejahatan di setiap pelosok
negeri. Ketiganya berasal dari satu perguruan sehingga pakaian dan juga senjata
mereka sama semua. Namun dibanding dengan ilmunya Waranganaya Toteng, ketiganya sangat ketinggalan jauh!
Mereka tinggal di kotaraja sebagai pengawal-pengawal kelas
enam. Pedang merah di tangan Wulansari menciut
menyambar ke resi yang paling ujung. Resi ini coba menangkis dengan penggadanya,
namun ujung penggada itu hancur lebur dihantam pedang! Suto Nyamat mulai kecut
nyalinya. lambat laun tetapi pasti dia dan kawan-kawannya akan kena celaka,
apalagi Wulansari senantiasa mengincarnya terus-terusan! Ketiga resi tersebut
merubah permainan gada mereka. Mereka berdiri agak merapat dengan Suto Nyamat di
ujung paling kanan. Salah seorang dari resi itu mengeluarkan suara melengking
tinggi. Serentak dengan itu ketiganya berpencar menyerang Wulansari dari tiga
jurusan. Ini berarti ditambah dengan Suto Nyamat, Wulansari harus menghadapi
empat serangan sekaligus!
Wulansari memutar pedangnya di
sekeliling tubuh! Sinar merah bergulung membungkus dirinya. Bersamaan dengan itu
dia melompat ke atas tinggi sekali.
Begitu empat senjata lewat di bawahnya,
maka dengan menggerakkan kedua kakinya kelihatanlah kini tubuh gadis itu menukik
laksana seekor burung rajawali yang menyambar empat ekor anak ayam! Terdengar
suara jeritan keras! Salah seorang dari resi itu roboh ke tanah dengan bahu
mandi darah kena dibacok pedang Wulansari. Dia cepat berguling jauh
menyelamatkan diri. Dua golok panjang yang ada di tangan Suto Nyamat kini hanya tinggal gaganggagangnya saja karena terbabat buntung oleh pedang mustika sakti! Masih untung
bagi dua resi lainnya karena mereka sempat mengelak menyelamatkan diri
masing-masing! Melihat naga-naga macam begini tanpa pikir panjang lagi Suto Nyamat segera putar
tubuh dan ambil langkah seribu!
"Manusia keparat! Jangan lari!"
teriak Wulansari dia segera melompat memburu. Namun dua resi tadi secara
bersamaan menyerangnya dengan tidak terduga! Niatnya untuk memburu musuh
besarnya terpaksa urung seketika untuk memberikan hajaran pada kedua manusia
jubah ungu penghalang itu!
Di bagian yang lain, Mahesa Kelud
sudah berhasil pula merobohkan dua orang prajurit lagi. Namun untuk lekas-lekas
membereskan si Setan Puntung memang agak sukar juga
karena harus diakui oleh Mahesa bahwa manusia pendek berbaju monyet ini mempunyai ilmu yang tinggi serta
gerakan-gerakannya cepat dan gesit!
Namun demikian, di lain pihak Si Setan Puntung memaklumi pula bahwa dia tak akan
sanggup mempercundangi Mahesa Kelud
sekalipun dia harus bertempur sampai seribu jurus! Karenanya dia segera
menggeser kedudukannya. Dia bergerak mendekati dua resi yang masih mengeroyok
Wulansari. Maksudnya dengan berada dalam satu kelompok itu mereka akan dapat
membantu satu sama lain. Tapi justru inilah yang merupakan
satu kesalahan besar baginya karena ketika bergerak berpindah tempat itu dia
bertindak terlampau kesusu, tak
memperhitungkan lagi kedudukan lawan.
Pedang Mahesa Kelud menyambar dari
samping. Setan Puntung miringkan tubuh, namun bahu kirinya yang tiada berlengan
lagi tak urung masih sempat dibabat senjata lawan! Baju monyetnya basah oleh
darah! Prajurit-prajurit yang masih hidup yang tak mau mati konyol segera kabur
meninggalkan tempat itu, apalagi sesudah mereka melihat Suto Nyamat sendiri lari
lintang pukang! Setan Puntung sendiri dan kedua resi baju ungu sebenarnya sudah berpikir-pikir


Mahesa Kelud - Menggebrak Kotaraja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pula untuk lari menyelamatkan nyawa, namun niat tersebut mereka tahan-tahan juga
karena diam-diam saling merasa malu dan tahan harga diri!
Kini jumlah pengeroyok hanya tinggal tiga orang. Satu di antaranya yaitu Setan
Puntung sudah terluka parah, sebentar lagi tubuhnya akan menggeletak mampus kena
bisa pedang mustika yang panas itu!
Menurut Mahesa, Wulansari sendiripun akan sanggup menumpas ketiganya dalam
beberapa jurus di muka. Karenanya ketika Suto Nyamat melarikan diri pemuda ini
berseru: "Wulan, biar aku yang kejar Suto Nyamat keparat itu! Kau bereskanlah tikus-tikus
tua ini!" Sebelum Wulansari sempat mengatakan sesuatu, Mahesa Kelud sudah berkelebat dan
lari mengejar kejurusan mana tadi Suto Nyamat menghilang!
Dugaan Mahesa Kelud bahwa Wulansari akan sanggup merobohkan ketiga lawan yang
sudah babak belur itu memang benar, tapi benarnya adalah kalau keadaan tetap
seperti itu, artinya jumlah mereka tetap terus tiga orang! Tak ada seorang lain
yang kemudian datang! Begitulah, beberapa ketika setelah
Mahesa Kelud meninggalkannya maka Wulansari putar pedangnya lebih cepat.
Resi pertama roboh jungkir balik tanpa nyawa. Gadis ini menyerang dan mendesak
terus sampai Setan Puntung serta resi yang satu lagi kewalahan! Keduanya saling
memberi isyarat, sama-sama hendak
melarikan diri. Namun ketika itulah datang seseorang yang sangat menggembirakan
mereka! "Amboi... amboi! Apakah yang terjadi di sini"!" terdengar orang yang baru datang
itu berkata, suaranya tinggi melengking, tapi seperti orang tercekik!
* * * 5 Orang yang baru datang ini adalah
seorang perempuan bermuka hitam, berjubah merah. Tubuhnya tinggi sekali. Satu
jengkal kurang dari dua meter. Mungkin karena tubuhnya yang tinggi ini serta
hatinya yang jahat seperti iblis maka dia digelari dalam dunia persilatan
sebagai "Iblis Jangkung!" Nama sebenarnya ialah Niliman Toteng. Dan dia adalah kakak
seperguruan Waranganaya Toteng dan juga kakak kandung resi dari Blambangan itu!
Sebagai kakak seperguruan, tentu saja ilmu kepandaian Niliman Toteng lebih
tinggi beberapa tingkat dari adiknya, Waranganaya Toteng. Sebelumnya sudah kita
saksikan kehebatan Waranganaya Toteng ketika menghadapi dan membunuh Pendekar
Budiman yang datang menyerbu ke gedung Kadipaten Madiun bersama Wulansari dan
Mahesa Kelud. Karenanya dapatlah
dibayangkan betapa dahsyatnya Si Iblis Jangkung ini dan tak heran biia Si Setan
Puntung serta resi baju ungu menjadi sangat gembira melihat kedatangannya!
Niliman Toteng memandang dengan mata menyipit beberapa mayat prajurit serta
mayat dua orang resi yang dikenalnya baik menggeletak di muka pintu gerbang. Di
hadapannya Setan Puntung dan resi bernama Majineh tengah didesak hebat oleh
seorang gadis muda belia!
Niliman Toteng geleng-gelengkan dia punya kepala.
"Biung... biung... biung! Setan
Puntung dan Majineh, lagi apa kalian di sini"! Menghadapi anak gadis yang masih
menyusu saja kalian sampai dibikin babak belur begini" Bahkan kawan-kawan kalian
dibuat menggeletak mampus" Biung...
biung!" Perkataan perempuan sakti itu membuat Si Setan Puntung serta Majineh menjadi
merah muka mereka karena malu!
"Niliman Toteng," kata Si Setan Puntung seraya babatkan rantai besinya yang
sudah pendek akibat ditebas terus-terusan oleh pedang mustika Wulansari,
"Jangan berdiri dan menonton saja, cobalah maju sejurus dua jurus dan kau akan
tahu bahwa sesungguhnya bukan gadis ini yang masih menyusu, tapi kitalah yang
musti menyusu kepadanya!"
Maka melengkinglah tertawa perempuan sakti berjubah merah, bermuka hitam itu.
Wulansari sendiri bukan main geramnya mendengar kata-kata tersebut. Segera
pedangnya menyambar kian kemari membuat Si Setan Puntung yang sudah terluka pada
bahu kirinya menjadi sibuk kewalahan!
Jika saja kejadian pertempuran ini
didengar dari cerita orang lain, maka pasti Niliman Toteng tak akan bisa
mempercayai bagaimana seorang kawakan dalam dunia persilatan seperti Si Setan
Puntung dapat "dipermainkan" oleh seorang gadis muda remaja yang umurnya belum
lagi dua puluh tahun, bahkan Setan Puntung dibantu pula oleh seorang resi yang
berkepandaian cukup tinggi!
Niliman Toteng seorang perempuan
berhati jahat! Ini dapat dilihat dari
kulit mukanya yang hitam, bibirnya yang ungu serta hidungnya yang tinggi bengkok
seperti paruh burung betet! Meski jahat namun diam-diam mengagumi kehebatan
jurus-jurus permainan silat Wulansari yang tak pernah dilihatnya sebelumnya.
Dan yang sangat menarik perhatian
perempuan bergelar "Iblis Jangkung" ini ialah pedang mustika sakti yang
mengeluarkan sinar merah yang dipegang oleh Wulansari! Tak salah kalau si Setan
Sukma Pedang 9 Hijrah Cinta Karya Miylahun Pendekar Kembar 1

Cari Blog Ini