Mahesa Kelud - Simo Gembong Mencari Mati Bagian 2
istana cepat mencegah. "Lepaskan! Biar kubunuh bangsat ini detik ini juga!" teriak Prajadika.
"Raden Mas, ingat apa rencana kita semula?" berkata hulubalang di sebelah kanan.
Kawannya ikut bicara: "Jika dibunuh seperti keinginan Raden Mas bukankah
terlalu enak baginya" Bukankah Raden Mas ingin dia mati sedikit demi sedikit"
Tersiksa agar dia dapat merasakan
bagaimana sakitnya hati Raden Mas
kematian putera?" Dengan dada turun naik dan nafas
menyengal, hartawan Prajadika buang
tombaknya ke lantai. Kedua matanya
berapi-api. "Masukkan dia kedalam sumur tua itu!
Jangan di-beri makan dan minum sampai dia mampus kelaparan dan kehausan! Jangan
lupa tuangkan segayung air men-didih
setiap pagi biar tubuhnya melepuh dan busuk!"
"Perintah kami jalankan Raden Mas."
"Satu hal! Jangan kalian lepaskan totokan ditubuhnya!"
Kedua hulubalang itu tersenyum.
"Kami tidak sebodoh itu Raden Mas," kata salah seorang dari mereka.
* * * Di belakang gedung kediaman Raden
Mas Prajadika terdapat halaman luas.
Disitu ada sebuah sumur tua sedalam empat meter yang mata airnya sudah kering.
Kesitulah dalam keadaan tertotok tubuh Mahesa mereka lemparkan. Masih untuhg
pemuda ini jatuh ke dasar sumur dengan kaki lebih dulu. Sempat kepalanya
mendarat lebih dulu celakalah dia.
"Bagaimana dengan air panas
mendidih?" tanya hulubalang pertama.
"Siapa yang mau memasak malam-malam begini. Besok pagi saja kita guyur. Kalau
perlu tidak hanya satu gayung. Satu
ember!" jawab kawannya. Lalu keduanya tinggalkan sumur tua itu.
Mahesa kerahkan tenaga dalamnya
sampai butir-butir keringat memercik
dikening. Dia berusaha melepaskan
totokan. Tapi sia-sia saja. Pemuda ini heran dari mana puteri Suto Nyamat
mempelajari ilmu totokan yang sangat
lihay itu. Padahal dua tahun lalu gadis itu tidak mempunyai kepandaian apa-apa.
Menghadapi kematian bukan satu hal yang menakutkan bagi Mahesa. Tetapi yang saat
itu teringat olehnya adalah istrinya
- Wulansari - . Lalu bayi yang menurut
Kemaladewi adalah puteranya. Terbayang wajah gurunya Karang Sewu dan Suara Tanpa
Rupa. Dia berusaha bersikap tabah. Tapi tak urung air mata mengalir membasahi
pipinya. Dalam sumur tua yang gelap dan dingin serta pengap itu, Mahesa tegak
pejamkan mata, berusaha bersemedi
menenangkan jiwa. Hanya itulah yang bisa dilakukannya sementara menunggu saat
kematian yang datang merayap. Besok pagi siksaan pertama akan dirasakannya.
Diguyur dengan air mendidih!
Hampir menjelang pagi, ketika udara
dingin mencucuk daging menembus tulang, Mahesa Kelud merasakan sebuah benda
meluncur kebahu, terus turun kepunggung.
Dia tak mau membuka kedua matnya yang terpejam. Sangkaannya benda yang
meluncur itu pastilah ular atau sejenis binatang tanah yang berbisa. Biarlah
binatang itu mematuknya. Mati terkena racun ular lebih baik dari pada mengalami
siksa. Tapi tak ada yang mematuk. Tak ada yang menggigit walau benda itu masih
terus meluncur naik turun di
punggungnya. Tiba-tiba bret! Pantat celananya
robek. Sesuatu menyangkut di ikat
pinggangnya. Kemudian perlahan-lahan, sedikit demi sedikit tubuhnya terangkat
keatas sampai akhirnya kepalanya muncul ditepi bibir sumur. Mahesa membuka
matanya lebar-lebar menembus kegelapan malam. Seseorang dilihatnya dengan susah
payah menarik tali yang barhubungan
dengan besi pengait yang dipakai untuk menggeret tubuhnya ke atas. Dia tidak
dapat mengenali siapa adanya orang ini.
Tubuhnya ditarik keluar sumur. Baru saja dibaringkan di tanah yang basah,
tiba-tiba dari arah bangunan terdengar suara seseorang membentak.
"Hai! Siapa didekat sumur"!"
Bentakan disusul dengan mendatanginya sesosok tubuh sambil
menghunus golok. Orang yang menolong Mahesa Kelud
Jatuhkan diri ke balik sumur sambil
tangannya mencabut sebilah belati.
Ketika lelaki yang memegang golok
melangkah lebih dekat, secepat kilat
belati itu dilemparkannya.
"Heekk. .!" Golok terlepas dari tangan. Orang
itu hanya sempat mengeluarkan suara
seperti ayam tercekik laiu roboh ke
tanah. Belati besar menancap di
lehernya! upitmantil!" seru Mahesa Kelud
ketika dalam gelap kemudian
S dia mengenali siapa orang yang
menolongnya itu. Supitmantil silangkan jari telunjuk di depart bibir memberi
isyarat agar Mahesa jangan bicara keras.
"Sahabat..." berbisik Mahesa. "Kebaikanmu dimasa lalu masih belum sempat kubalas, hutang budi belum
kulunaskan. Kini kau telah menanam budi baru. Aku berhutang nyawa padamu Supit
"Kita harus segera keluar dari
sini," ujar Supitmantil. Pemuda inilah dulu yang memberi keterangan kemana
Wulansari dilarikan ketika diculik oleh Niliman Toteng alias Iblis Jangkung
(Baca Pedang Sakti Keris Ular Emas) Kini kembali dia jadi tuan penolong.
"Ya, tapi aku tak bisa jalan. Aku tertotok. Bisa-kah kau mendukungku...?"
"Tentu saja tapi kita harus
hati-hati. Dua hulubalang istana masih ada di gedung sana..."
"Kalau begitu kau lepaskan
totokanku. Disini, disebelah dada!"
Supitmantil seorang pemuda yang
memiliki kepandaian silat cukup tinggi.
Ini karena dia berguru pada beberapa
tokoh silat kalangan istana. Namun dalam soal ilmu totok menotok pemuda ini
masih belum matang. Maka Mahesa harus
membimbing memberi tahu bagaimana cara yang ampuh untuk me lepaskan totokan
ditubuhnya. Setelah mencoba beberapa
kali baru Supitmantil berhasil. Namun totokan itu belum pulih seluruhnya.
Terpaksa Mahesa duduk bersila dan
kerahkan tenaga dalamnya ke dada untuk memusnahkan sisa-sisa totokan. Selagi dia
melakukan hal itu tiba-tiba melayang dua buah obor besar. Benda ini menancap di
kiri kanan sumur hingga tempat itu jadi terang benderang.
"Supitmantil! Bagus sekali
perbuatanmu!" terdengar bentakan marah.
Itu suara hartawan Prajadika.
Supitmantil berpaling. Ditangga
belakang gedung tampak tegak Raden Mas Prajadika dengan bertolak pinggang.
Disebelahnya tegak dua lelaki berpakaian biru, tinggi dan kekar. Mereka adalah
dua hulubalang istana kelas tiga yang
membawa Mahesa sebelumnya dari tempat kediaman Suto Nyamat di Madiun.
"Celaka!" keluh Supitmantil. Dia tidak takut terhadap hartawan yang
dianggapnya mempergunakan kedudukan dan kekayaannya untuk berbuat sesuka hatinya
itu. Tapi dua hulubalang istana kelas tiga itu adalah dua lawan berat. Satu saja
sulit bagi Supitmantil untuk
menghadapi. Kini mereka malah berdua!
Pemuda ini melirik pada Mahesa. Saat itu Mahesa masih mengerahkan tenaga dalam
untuk memulihkan sisa totokan. Justru disaat itu pula dua hulubalang istana
berkelebat, menerkam ke arah
Supitmantil. Pemuda ini jatuhkan diri. Tendangan
yang mengarah ke batok kepalanya
berhasil dielakkan. Baru saja dia
bangkit berdiri hulubalang yang tadi
menyerang sudah menghantamkan jotosan ke dadanya, Supitmantil menangkis dengan
lengan kiri dan balas memukul dengan tinju kanan.
Dua lengan beradu. Supitmantil
mengeluh kesakitan. Lengan kirinya
laksana ditabas pedang sedang tinju '
kanannya hanya memukul angin.
"Gonto! Cepat kau ringkus pemuda yang bersila itu! Yang satu ini biar aku yang
melumatkan!" Terdengar hulubalang yang menyerang Supitmantil berseru. Maka
kawannya yang semula ikut menghantam
Supitmantil, kini melompat ke hadapan Mahesa Kelud. Sikap duduk Mahesa
merupakan sasaran empuk untuk diserang.
Terdengar suara bersiur ketika kaki
kanan hulubalang bernama Gonto melesat ke muka Mahesa Kelud, disaat pemuda ini
masih meramkan mata me-musnahkan totokan di dadanya.
Pukulan yang mengenai angin membuat
Supitmantil terhuyung ke depan.
Akibatnya dadanya menjadi sasaran
terbuka. Tinju hulubalang kelas tiga itu laksana palu godam melabrak dada
kanannya. Supitmantil keluarkan seruan kesakitan. Tubuhnya mencelat dan
terkapar dekat sumur tua. Mulutnya
terasa panas dan asin. Ada darah yang keluar dari saluran di dadanya tanda saat
itu dia menderita luka dalam yang pa rah akibat hantaman lawan. Menahan sakit
Supitmantil berusaha berdiri. Dia tahu apa artinya jika
tubuhnya masih tergeletak begitu rupa. Lawan akan
menghantamnya kembali dengan tendangan atau pukulan maut.
Sambil bangkit Supitmantil cabut
sebilah belati besar dari balik
pinggangnya. Memang pemuda ini me-miliki keahlian melempar senjata tajam. Tadi
telah dibuktikannya dengan sekali hantam saja berhasil merobohkan pengawal
gedung. Tapi sekali ini orang yang
dihadapinya. bukan manusia jenis ronda malam. Dengan mudah hulubalang istana ini
berhasil mengelakkan sambaran
belati. Dilain kejap dia sudah menerkam Supitmantil. Lututnya menusuk ke perut
pemuda itu. Selagi Supitmantil terlipat ke depan, kedua tangan-nya yang besar
kuat datang menyambar dan mencekik leher si pemuda laksana japitan besi.
Supitmantil me-ronta-ronta. Tapi
kehabisan nafas membuat tenaganya
lumpuh. Tak mungkin lagi baginya
menyelamatkan diri. Matanya mendelik dan lidahnya mulai menjulur.
Prakk!!! Satu pekik kesakitan menggeledek.
Hulubalang Gonto melengak kaget
ketika Mahesa yang hendak ditendangnya tiba-tiba melayang melewatinya lalu
melabrak temannya yang tengah mencekik Supitmantil. Hulubalang ini terbanting
roboh ke tanah. Tulang belikatnya patah.
Cekikannya terlepas. Supitmantil
mereguk udara segar sebanyak-banyaknya.
Lalu selagi hulubalang itu terkapar tak berdaya pemuda ini hunjamkan sebilah
belati ke dadanya. Sang hulubalang hanya keluarkan keluhan pendek, kaki
menggelepar beberapa kali, setelah itu diam tak ber-kutik lagi!
Melihat kematian kawannya Gonto
menggembor marah. Ditangan kanannya
tahu-tahu sudah tergenggam sebilah golok besar. Sambil menerjang dia babatkan
goloknya ke arah leher Supitmantil. Tapi setengah jalan seseorang menyambar
pinggangnya hingga hulubalang ini
terpuntir. Wuutt! Dia membabat ke arah Mahesa Kelud
yang menelikung pinggangnya namun satu pukulan menghancurkan sambungan sikunya
hingga hulubalang ini meraung kesakitan.
Goloknya terlepas mental. Selagi meraung kesakitan itu dirasakannya tubuhnya
terangkat lalu tiba-tiba sekali dilemparkan kebawah. Kembali hulubalang ini menjerit ketika mengetahui dirinya
dilemparkan ke dalam sumur tua, kepala ke bawah kaki ke atas. Suara teriakannya
serta merta lenyap ketika batok
kepalanya menghantam dasar sumur tua
hingga pecah dan lehernya patah.
Nyawanya putus detik itu juga!
Supitmantil cepat datangi Mahesa
dan berkata: "Kita harus tinggalkan tempat ini segera Mahesa
"Ya, tapi aku harus membayar hutang dulu pada orang kaya itu!" sahut Mahesa.
Sekali lompat saja dia sudah berdiri
dihadapan Raden Mas Prajadika yang tegak ketakutan di pintu belakang gedung. Dia
segara balikkan diri sambil berteriak namun Mahesa jambak rambutnya, putar
tubuhnya hingga keduanya berhadap-hadapan. "Prajadika!" kata Mahesa. "Aku membunuh puteramu bukan karena aku
manusia jahat buas! Tapi karena anakmu memang pantas ditabas batang lehernya!
Dia kupancung ketika hendak memperkosa seorang gadis!"
"Aku tidak percaya! Puteraku anak baik-baik! Aku tidak percaya. Lepaskan
jambakanmu! Keparat...!!"
Plak! Satu tamparan keras menghantam pipi
kanan hartawan itu hingga bibirnya pecah dan tiga giginya tanggal. Prajadika
meraung kesakitan. Tubuhnya melintir.
Kalau saja rambutnya tidak dijambak
pasti sudah terkapar di tangga gedung.
"Itu hadiah dari gadis yang hendak dirusak oleh puteramu!" kata Mahesa.
"Dan ini pembayar hutang tadi malam!"
Lalu Mahesa hantam muka Prajadika dengan tinju kiri. Kembali orang ini meraung
kesakitan, tapi raungan itu segera
lenyap karena dirinya keburu pingsan.
Mahesa lepaskan jambakannya. Prajadika tergelimpang di tangga batu. Hidungnya
hancur dan darah mengucur!
Di gedung sebelah depan terdengar
suara orang berlari. Beberapa
diantaranya meneriakkan sesuatu. Mahesa memberi isyarat pada Supitmantil. Kedua
pemuda ini lompati tembok halaman
belakang. Ketika enam orang penjaga
gedung sampai disitu keduanya telah
lenyap dalam kegelapan. Ketika ayam berkokok di kejauhan dan
langit di ufuk timur tampak kemerahan, kedua pendekar itu sampai di sebuah anak
sungai berair dangkal tapi jernih. Baik Mahesa maupun Supitmantil segera
menggulingkan diri di tebing sungai dan merendam muka mereka yang berlepotan
darah. "Seharusnya kubunuh orang kaya itu
...." kata Supitmantil beberapa saat kemudian sambil menyisir rambutnya yang
basah dengan jari-jari tangan. "Dia mengetahui pengkhianatanku. Kini aku
jadi orang buronan! Pasti Prajadika
meminta tokoh-tokoh istana untuk
menangkapku hidup atau mati!"
Mahesa Kelud - Simo Gembong Mencari Mati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Semua karena aku!" ujar Mahesa.
"Aku tidak menyesal menolongmu,"
kata Supitmantil yang tahu maksud
kata-kata Mahesa tadi. "Sekarang apa yang hendak kau
lakukan?" tanya Mahesa.
"Jelas aku tak mungkin kembali ke Kotaraja. Mungkin aku harus menempuh
hidup sepertimu. Mengembara sambil
menambah ilmu." "Kalau begitu seandainya kau
tersesat ke utara maukah kau singgah di puncak Muria. Istriku berada disana.
Namanya Wulansari. Kau pasti kenal dia karena dialah gadis yang dulu berhasil
kuselamatkan dari kebejatan
Prajakuncara berkat pertolonganmu....."
"Apa yang harus kukatakan jika
bertemu?" tanya Supitmantil.
"Katakan bahwa aku da lam keadaan baik. Aku akan segera pulang ke Muria begitu
beberapa urusanku selesai...."
Supitmantil mengangguk. "Aku akan mampir menemui istrimu," katanya.
"Terima kasih sahabat. Sekarang ada satu hal yang amat penting yang harus
kulakukan" "Apa itu?" "Dua senjata milikku dirampas
puteri Suto Nyamat. Untuk mendapatkan kedua senjata itu nyawaku taruhannya.
Karenanya aku harus mengambilnya kembali sekalipun mungkin kali ini aku harus
membunuh gadis itu! Sebelum kesana aku perlu keterangan darimu..."
"Katakanlah....."
"Dua tahun lalu Retno hanya seorang gadis cantik biasa yang tidak memiliki
kepandaian apa-apa. Tapi melihat
kemampuannya menotokku, pastilah dia
telah berguru pada seseorang. Mungkin kau mengetahui siapa guru gadis itu dan
dimana kediamannya?"
Supitmantil menggeleng. "Sekali ini aku tak bisa menolongmu Mahesa....."
"Tidak jadi apa," jawab Mahesa. Dia merangkul Supitmantil sambil
mengucapkan terima kasih berulang kali.
"Jangan berterima kasih
terus-terusan Mahesa. Kau lupa bahwa kaupun tadi
menyelamatkan jiwaku dari tangan
hulubalang istana itu!"
Mahesa Kelud hanya angkat bahu."Ada ubi ada talas. Ada budi ada balas,"
katanya. "Selamat jalan Mahesa,"
"Selamat mengembara Supit. Sampai ketemu...." Kedua sahabat itupun berpisah,
tepat ketika sang surya menyembul di ufuk timur. egitu sampai di Madiun, Mahesa
Kelud langsung menuju rumah
B kediaman Suto Nyamat. Saat itu
remang senja memasuki malam. Gedung
besar itu tampak sepi. Tak seorangpun kelihatan. Setelah menunggu sambil
meneliti keadaan beberapa lamanya, baru Mahesa menyelinap kedalam, terus
memasuki kamar dimana dulu dia dijebloskan oleh Retno sebelum diserahkan pada
dua hulubalang istana. Lemari yang terkunci sekali dobrak
saja hancur berantakan pintunya. Mahesa melemparkan semua pakaian yang ada dalam
lemari itu. Namun sampai lemari itu
menjadi kosong dia tidak menemukan Pedang Dewa ataupun Keris Ular Emas.
"Celaka!" keluh Mahesa dalam hati.
Kemana harus dicarinya kedua senjata
mustika itu" Kemana harus dicarinya
puteri Suto Nyamat" Mahesa kemudian
menggeledah seluruh gedung. Tetap saja dia tidak menemukan apa yang dicari.
Geram dan marah akhirnya Mahesa
lepaskan beberapa pukulan karang sewu hingga dinding bangunan jebol besar dan
atap runtuh. Tiba-tiba pemuda ini
mendengar suara kuda meringkik. Dia
segera melompat ke halaman samping lewat dinding yang jebol. Seorang lelaki
berdestar hitam dilihatnya melompat
turun dari kuda lalu lari menuju gedung.
Di ruangan depan langkahnya terhenti dan terdengar suaranya.
"Gusti Allah! Tak ada gempa tak ada badai! Kenapa bangunan ini jebol dan
ambruk"!" Baru saja dia berkata begitu satu
tangan yang kuat mendadak dirasakannya mencekal tengkuknya.
"Sis ... siapa.......?"
"Kau yang siapa"!" Mahesa
membentak. Lalu memutar tubuh orang itu dengan keras hingga hampir terpelanting
jatuh. Orang itu tampak ketakutan. Seperti
melihat hantu. Mulutnya terbuka tapi tak ada kata-kata yang keluar.
"Kemana penghuni rumah ini dan kau siapa"!" kembali Mahesa membentak.
"Rum ... rumah ini kosong. Tak ada yang mendiami lagi. A .. aku ditugaskan
menjaga ... Tapi kenapa gedung ini
sekarang hancur seperti ini. Celaka,
matilah aku......" "Siapa yang menugaskanmu menjaga rumah ini?"
"Siapa" Pemiliknya tentu....."
"Siapa pemiliknya ...."
"Den ayu Retno Kumalasari . . . ."
jawab si penjaga. "Dimana gadis itu sekarang ....?"
"Di rumah kekasihnya!"
"Bagus! Kau antarkan aku kesana!"
"Tapi......." Plak! Mahesa yang sudah tidak sabaran
langsung tampar pipi orang itu hingga destarnya tercampak dan sesaat
pemandangannya gelap berkunang-kunang.
"Kau mau antarkan aku kesana atau kutampar lagi hingga robek mulutmu"!"
"Aku . . . aku akan antarkan. Kau ini siapa.....
Apa kau yang merusak bangunan
ini.....?" Mahesa tak menjawab. Dia tarik
tengkuk penjaga itu dan mendorongnya
keras-keras hingga jatuh terguling di tangga gedung!
* * * Tempat yang dituju ternyata cukup
jauh di tenggara Madiun. Sepanjang
perjalanan Mahesa berusaha mendapat
keterangan dari penjaga yang mengantarkannya. Meskipun tidak banyak keterangan yang didapat tapi ada satu
yang sangat penting. Yaitu bahwa kekasih Retno Kumalasari adalah juga gurunya
dalam ilmu pengobatan. Satu hal yang
tidak jelas bagi Mahesa ialah mengapa puteri bekas Adipati itu walaupun
ayahnya sudah meninggal kini tidak
tinggal bersama ibunya yang tentunya
disatu gedung bagus - tetapi memilih diam bersama kekasihnya di daerah terpencil.
Lapat-lapat dikejauhan terdengar
suara air men-deru. Suara air terjun. Si penjaga melarikan kudanya ke arah suara
air itu. Mahesa menempel di belakang.
Disatu tempat ketinggian si penjaga
hentikan kuda dan menunjuk ke lembah yang terletak di bawah mereka diselimuti
kegelapan. Orang ini menerangkan
disebelah kanan air terjun terdapat
sebuah kali. Di sebelah utara dekat
tikungan ada sebuah rumah kecil.
Disitulah Retno Kumalasari bersama
kekasihnya berada. "Kau tahu apa akibatnya jika kau memberi keterangan dusta"!" ujar Mahesa seraya
pegang dan tekan bahu si penunjuk jalan.
"Demi Tuhan. Aku bersumpah! Gadis itu pasti ada disana!"
"Siapa nama kekasihnya?"
"Pergola. Pergola apa aku tak
tahu..." Mahesa melompat dari punggung kuda.
"Kau boleh pergi!" katanya. Tanpa menunggu lebih lama orang itu segera
putar kudanya dan tinggalkan tempat itu sekencang yang bisa dilakukannya.
* * * Rumah kayu itu selain kecil juga
tampak tidak terurus. Di ruang depan menyala sebuah pelita. Puteri Suto
Nyamat, Retno Kumalasari berbaring diatas sehelai tikar sementara seorang lelaki berambut tebal dan beralis mata
tebal hitam berusia sekitar empat puluh tahun duduk di sebelahnya tengah membuka
ikatan sebuah kantong besar.
"Retno, sudah saatnya kau masuk
kedalam dan tidur. Besok pagi-pagi
sekali kita akan berangkat ke Kotaraja."
terdengar yang lelaki berkata. Dialah Pergola.
Sepasang mata Retno menatap sayu ke
langit-langit diatasnya. Lalu ada senyum aneh tersungging di bibirnya. "Aku
tidak akan mau tidur sebelum kau beri-kan
barang itu......" katanya.
"Sudah cukup Retno. Terlalu banyak kau bisa sakit..."
"Aku ingin menghisap lagi. Biar
sakit. Aku memang sudah sakit. Dan akan lebih sakit jika tidak kau berikan..."
"Dengar, besok kita akan bicara
dengan pejabat tinggi istana mengenai jual beli senjata-senjata mustika ini.
Aku kawatir kau masih dibawah pengaruh barang itu dan bicara tak karuan
"Aku berjanji akan bersikap dan
bicara baik," jawab Retno lalu gulingkan tubuhnya. Sesaat kemudian dia telah
memperbantal paha Pergola. Matanya
terpejam. Mulutnya ternganga dan
lidahnya yang merah basah setengah
terjulur. Pergola geleng-geleng kepala dan
kecup bibir gadis itu lumat-lumat. Dia mengeluarkan sebuah kotak kain dari
dalam saku pakaiannya. Dari dalam kotak ini dikeluarkannya sehelai daun kering.
Di atas daun diletakkannya tembakau
kering yang dicampur sejenis obat. Lalu daun kering tadi digulungnya hingga
berbentuk sebatang rokok. Rokok ini
kemudian disulutnya ke api pelita. Baru saja rokok menyala Retno sudah
menyambar, lalu gulingkan diri ke sudut kamar, duduk menjelepok disana dan sedot
rokok itu dalam-dalam hingga kedua pipinya
menjadi cekung. Asap rokok berbau aneh dihembuskannya ke udara sementara kedua
mata-nya terbuka lebar tetapi kuyu dan sayu.
"Betapa nikmatnya kakak.... Nikmat sekali rokok ganja ini!" Dihisapnya lagi
rokok itu dalam-dalam. "Ahh.....Indah sekali. Aku mulai melihat sesuatu yang
indah. Tidakkah kau ingin menyaksikannya....." Dia angkat kedua kakinya setinggi dada
hingga kainnya tersingkap. "Aku tak bisa hidup tanpa rokok ini kakak. Kau dengar
itu kakak Pergola ....?"
"Eh, apakah' kau bisa hidup tanpa aku?" tanya Pergola.
"Tentu saja tidak. Kau dan rokok ini jadi satu. Datanglah kesini kakak. Peluk
aku, biar lebih nikmat rasanya menghisap ganja ini."
Pergola tetap duduk di tempatnya.
Dia telah membuka ikatan kantong besar.
Dari dalam kantong itu dikeluarkannya dua buah senjata yang sarungnya
memancarkan sinar kuning dan sinar
merah. Pedang Dewa dan Keris Ular Emas!
Retno melirik sebentar lalu
berkata: "Kau tak bosan-bosannya memandangi benda itu. Jika kau me-mang suka
benda itu mengapa tidak turut
kataku" Belajar ilmu silat dan kau akan jadi raja diraja dalam rimba
persilatan!" Pergola tertawa. "Aku sudah terlalu tua untuk belajar silat. Lagi pula apa
untungnya jadi raja diraja dunia
persilatan" Hidup tak tenang, musuh
banyak. Bukankah lebih baik dua senjata mustika itu kita jual. Ditukar dengan
uang emas dan harta perhiasan" Kita akan jadi kaya raya. Memiliki gedung bagus,
hidup mewah!" Retno mencibir. "Aku bosan tinggal di gedung bagus. Aku muak dengan hidup mewah.
Aku lebih suka tinggal disini
bersamamu. Asal saja kau selalu
menyediakan rokok ganja ini untukku. Hik
... hik ... hik!" Siapakah sebenarnya lelaki bernama
Pergola itu" Dulu dia tinggal di Magetan, putera
seorang ahli obat. Ayahnya memiliki
hubungan baik dengan banyak pejabat
tinggi yang sekaligus jadi langganannya.
Salah satu diantara langganannya Adipati Suto Nyamat.
Ketika ahli obat itu meninggal
sekitar dua tahun lalu, Pergola yang
telah mewariskan hampir keseluruhan
kepandaian ayahnya melanjutkan
pekerjaan sang ayah. Hanya saja secara diam-diam Pergola mempergunakan
kepandaiannya untuk maksud tidak baik alias kejahatan.
Lelaki yang sudah lama menduda ini
menaruh hati terhadap puteri Suto Nyamat yakni Retno. Hubungannya yang akrab
dengan keluarga itu membuat mudah
baginya mendekati si gadis. Dengan dalih memberikan obat untuk menjaga kesehatan
serta agar tetap langsing dan wajah
berseri Pergola memberikan obat aneh hingga si gadis ketagihan dan tak dapat
membebaskan diri lagi dari tangan
Pergola. Ketika Adipati Suto Nyamat
terbunuh hubungan Pergola dengan Retno sudah tak ubah seperti suami istri saja.
Sang ibu yang tak dapat mencegah dan tak berdaya berbuat apa akhirnya dalam
keadaan sakit-sakitan pulang ke rumah orang tuanya di selatan. Bagi Pergola
justru ini yang diinginkannya. Retno
diboyongnya ke rumah di tepi sungai itu.
Gadis ini semakin lengket setelah
Pergola mengajarkannya menghisap rokok daun ganja yang tembakaunya dibubuhi
obat terlarang. Sejalan dengan kepandaiannya dalam
pangobatan. Pergola juga memiliki
keahlian dalam bidang ilmu menotok.
Sambil terus mengikat Retno dengan rokok dan obat, kepada gadis ini diajarkannya
bagaimana cara me-notok hingga orang dalam waktu sekejap tidak berdaya. Kaku
diam dan bisu! Karena pada dasarnya Retno adalah seorang gadis yang cerdas maka
dalam waktu singkat dia sudah menguasai ilmu itu
Pergola mengajarkan ilmu menotok
itu sebenarnya karena mempunyai tujuan tertentu. Disamping ahli mengobati dan
menotok lelaki ini memiliki keahlian
lain yakni pengetahuan yang amat luas tentang berbagai macam senjata mustika
atau senjata sakti yang ada di tanah
Mahesa Kelud - Simo Gembong Mencari Mati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jawa. Dia mampu mengingat diluar kepala senjata-senjata yang terdapat
diberbagai Keraton di pulau Jawa ataupun yang dimiliki para tokoh ternama
lainnya, termasuk tokoh-tokoh dunia
persilatan. Sejak lama dia berniat
memiliki beberapa dari senjata sakti
mandraguna tersebut. Bukan untuk
dimiliki, tapi untuk dijual dengan harga tinggi. Diantara senjata-senjata yang
jadi incarannya adalah Pedang Dewa Dewi yang selama ini tersimpan disebuah gua
tempat kediaman tokoh sakti Suara Tanpa Rupa. Lalu Keris Ular Emas yang dikuasai
Dewi Ular dan yang ketiga Pedang Samber Nyawa yang berada di sebuah pulau di
ujung Jawa Timur. Pergola tengah menyusun rencana
bagaimana caranya mendapatkan ketiga
senjata itu ketika telinga-nya yang
tajam dan pengetahuannya yang luas
menyirap kabar bahwa Pedang Dewa dan
pasangannya Pedang Dewi tak ada lagi di gua Suara Tanpa Rupa. Lalu Keris Ular
Emaspun telah berpindah tangan sedang Pedang Samber Nyawa terakhir sekali
direbut oleh seorang pendekar gagah
bernama Mahesa Kelud. Ada petunjuk nyata bahwa Pedang Dewa dan Keris Ular Emas
telah berada pula di tangan pendekar itu.
Maka Pergola menyusun rencana baru.
Retno Kumalasari diperalatnya untuk
mendapatkan senjata-senjata itu. Maka diapun menyirap kabar dimana beradanya
Mahesa Kelud. Dan akhirnya Retno
berhasil memperdayai Mahesa. Bukan saja dia berhasil mendapatkan Pedang Dewa dan
Keris Ular Emas, tapi dia juga berhasil
"menjual" tubuh pamuda itu pada hartawan Prajadika yang menaruh dendam terhadap
Mahesa karena kematian puteranya!
"Kakak Pergola, rokokku habis....."
terdengar suara Retno bernada setengah merengek.
"Aku minta lagi....." Kedua matanya hampir terpicing.
"Cukup Retno. Kau harus tidur ....!"
jawab Pergola. Tangan kanannya bergerak mencabut Pedang Dewa. Sinar merah
menerangi ruangan itu. "Senjata luar biasa! Senjata yang akan membuatku jadi
kaya!" Braak! Baru saja Pergola berkata begitu
pintu rumah ter-pentang dan mental
berantakan. Mahesa Kelud tegak diambang pintu.
"Senjata curian itu akan membuat kau celaka Pergola! Bukan membuatmu jadi
kaya!" bentak Mahesa.
Pergola melompat dari duduknya,
siap dengan pedang sakti di tangan.
Retno, meskipun belum melihat orangnya tapi telah mengenali suara pendekar itu.
Dengan cerdik dia segera menyambar Keris Ular Emas. Tapi pengaruh obat dan rokok
membuat gerakannya menjadi lamban.
Mahesa bergerak lebih cepat mengambil Keris Ular Emas yang terjatuh di lantai
sewaktu Pergola berdiri tadi. Bersamaan dengan itu dia pergunakan tumitnya untuk
menendang Retno, tidak keras tapi cukup membuat puteri Suto Nyamat itu terpekik
dan terpelanting ke samping.
Baru saja jari-jari tangan Mahesa
Kelud menyentuh Keris Ular Emas
tiba-tiba terdengar suara menderu. Sinar merah yang terang berkiblat. Pedang
Dewa menyambar ganas ke arah pinggang
pendekar itu. Walaupun Pergola tidak
memiliki ilmu silat atau ilmu pedang, namun serangan yang dilancarkannya
dengan senjata sakti itu tetap saja
merupakan serangan maut! Mahesa jatuhkan diri ke lantai, hampir menabrak pelita.
Bacokan pedang lewat diatasnya.
"Pergola! Kalau kau serahkan pedang itu secara baik-baik, aku tak akan
menyakitimu! Juga tidak akan menyakiti kekasihmu!" ujar Mahesa. Saat itu dia
sudah tegak berdiri, antara Pergola dan Retno.
Retno Kumalasari yang berdiri
dibelakangnya tanpa terlihat oleh Mahesa memberikan isyarat rahasia lalu
berseru: "Kakak Pergola! Turuti katanya. Serahkan pedang itu dan biarkan dia pergi!"
Pergola yang sudah melihat isyarat
yang diberikan Retno, semula kembali
hendak menyerang, tapi batalkan niatnya.
"Aku menyadari tingginya puncak
Merapi!" kata Pergola pula. "Meski pedang sakti di tangan mana mungkin aku bisa
menang menghadapimu. Apalagi kau memegang Keris Ular Emas. Ini, ambil
kembali pedangmu. Lalu pergilah dari
sini....." Pergola angsurkan pedang dan
sarungnya. Pedang di tangan kanan sarung di tangan kiri. Mahesa sisipkan Keris
Ular Mas ke pinggang lalu ulurkan tangan untuk menerima senjata itu. Namun
sebelum sempat menyentuh senjata ataupun sarungnya tiba-tiba, dalam gerakan luar
biasa sarung pedang berkelabat, ujungnya menusuk ke dada kiri Mahesa.
"Bangsat curang....!" maki Mahesa.
Dia cepathindarkan tusukkan ujung sarung pedang. Namun agak terlambat. Ujung
sarung itu masih sempat menusuk bahu
kanannya. Saat itu juga dia merasakan tubuhnya sebelah kanan menjadi sangat
linu. Dia tak dapat menggerakkan tangan kanan sedang kaki kanan terasa berat
untuk dilangkahkan seolah-olah
diganduli batu besar! Menyangka lawannya lumpuh total
maka ahli obat itu angkat tangannya yang memegang pedang tinggi-tinggi, lalu
ditetakkan sekencang-kencangnya ke
kepala Mahesa. Setengah jalan Pergola tersentak kaget ketika melihat lawannya
tiba-tiba mengangkat tangan kiri dan
memukulkannya ke depan. Serangkum angin luar biasa panasnya menderu. Mahesa
telah lepaskan pukulan inti api. Pergola menjerit setinggi langit. Tubuhnya
mencelat menghantam dinding lalu roboh ke lantai. Sebagian dada dan perutnya
hangus. Pedang Dewa jatuh tergeletak di sampingnya.
"Kakak Pergola!" terdengar pekik Retno Kumalasari lalu gadis ini lari
menubruk tubuh Pergola yang tidak
bergerak dan tak bernafas lagi.
Mahesa lepaskan totokan dibahunya
dengan tangan kiri lalu ambil Pedang Dewa berikut sarungnya dan selipkan senjata
itu ke balik pakaiannya. "Pembunuh! Pembunuh!" teriak Retno.
Hendak diterkamnya Mahesa. Tapi kali ini si pemuda tidak punya rasa kasihan
lagi. Tamparannya mendarat pulang balik ke
muka gadis itu. Retno terhempas ke
lantai, meraung-raung, memanggil-manggil kekasihnya. Darah
bercucuran dari bibirnya yang pecah!
iga orang gadis berbaju biru,
cantik-cantik semuanya, T menjura dihadapan Dewi Maut.
"Cepat katakan apa hasil penyelidikan kalian?" Dewi Maut langsung bertanya.
Sejak markasnya dilabrak Mahesa Kelud beberapa bulan lalu dia merasa masygul.
Pertama dia dan anak buahnya belum sempat membenahi bangunan rahasia mereka yang
terletak di Lembah Maut. Kedua dia telah sengaja menipu Mahesa dengan memberikan
pedang Samber Nyawa palsu. Hal ini
mungkin akan mendatangkan kelanjutan
yang tidak enak atau yang menyenangkan hatinya. Yang tidak enak si pemuda akan
muncul kembali mengobrak abrik tempat kediamannya bahkan kali ini mungkin
membunuh anak buahnya. Yang menyenangkan ialah dia dapat melihat wajah pemuda
itu kembali. Satu hal yang dirindukannya
sejak kedatangannya dulu. Hal ketiga
yang menimbulkan rasa kawatir dalam diri sang dewi ialah minggatnya salah
seorang anak buahnya yakni empat Biru. Seperti yang dilaporkan sembilan Biru ada
kecurigaan bahwa anak buah yang kabur itu telah terpikat pada Mahesa dan
melarikan diri untuk dapat mengejar pemuda
tersebut. Tiga Biru maju selangkah. Dia
memberi keterangan: "Ada dua orang lelaki diketahui naik perahu dari pantai
Timur menuju kemari. Saya tidak
mengetahui siapa mereka "Terangkan ciri-ciri keduanya!"
ujar Dewi Maut. Hatinya bertambah
masygul. "Yang seorang kakek memiliki muka seperti tengkorak. Berpakaian biru
gelap. Pada pinggangnya ada seeker ular mati, besar sekali..."
Dewi Maut merenung. "Aku pernah
dengar tokoh silat dengan ciri-ciri
seperti itu. Tapi lupa nama atau
gelarnya. Bagaimana tampang lelaki yang kedua?"
"Separuh baya. Berpakaian
bunga-bunga merah... ." jawab Tiga Biru.
"Pasti itu si Pendekar Kembang Merah
.... Kenapa orang-orang itu datang
kemari" Kalau tidak sengaja mencari mati pasti ada sesuatu . . ." Dewi Maut
memandang pada anak buahnya yang kedua.
Sembilan Biru. Anak buah ini menerangkan dia tidak berhasil mencari jejak kemana
perginya Empat Biru. "Dan kau Lima Biru, apa hasil
penyelidikanmu?" Lima Biru menjura dulu baru
menjawab. "Di luar pulau tak ada yang dapat saya temukan. Tapi di dalam pulau
ada suatu keanehan. Di sebelah timur
Lembah Maut, sejak satu hari lalu selalu terdengar suara orang menyanyi diiringi
gesekan rebab...." Paras Dewi Maut berubah. Dia tegak
dari kursi besar empuk yangdidudukinya lalu melangkah mundar mandir.
"Kalau benar Dewi Rebab Kencana yang muncul sungguh luar biasa." Lalu dia
terdiam sesaat, baru ber-tanya: "Tidak satupun dari kalian yang menyirap kabar
tentang pemuda bernama Mahesa Kelud
itu?" "Tidak Dewi," jawab ketiga anak buah itu hampir berbarengan.
"Dengar kalian bertiga. Untuk
sementara jangan ganggu orang yang
menyanyi dengan iringan rebab itu. Lima Biru, kau pimpin lima orang
kawan-kawanmu dan berjaga-jaga
disepanjang pantai. Siang malam! Jangan sampai dua tamu tak diundang itu lolos.
Dan kau Sembilan Biru, bersama dua
kawanmu tetap berjaga-jaga disini.
Karena alat-alat rahasia kita belum
seluruhnya terpasang rampung, agaknya kita harus mempergunakan kekuatan dan
kepandaian. Laksanakan tugas!'"
Ketiga gadis itu menjura dan siap
berlalu ketika tiba-tiba anak buah
dengan panggilan Enam Biru muncul
membawa kabar baru. "Dewi, mata-mata kita di daratan memberi tahu ada seorang kakek bermuka angker
menuju kemari pagi tadi. Mata-mata itu tak dapat mencegah, malah dua kawannya tewas ditangan si kakek!"
"Bagaimana keangkeran tampang orang itu?" tanya Dewi Maut.
"Matanya hanya satu, hidungnya
sangat pesek. Kuping sebelah kanan
sumplung. Kedua kakinya memakai gelang bahar. Berjanggut tebal sampai ke
dada..." "Tubuhnya kurus. . .?"
"Betul sekali Dewi."
"Ah......." seru sang dewi pendek dan berusaha menenangkan darahnya yang
tersirap. "Dia berani datang lagi. Pasti mengandalkan sesuatu ..." Lalu pada
ketiga anak buahnya yang terdahulu dia memerintahkan untuk segera melaksanakan
tugas. Dewi Maut sendiri kemudian masuk ke dalam sebuah ruangan batu yang
pintunya hanya bisa dibuka secara
rahasia dan sulit dilihat karena hampir sama rata dengan dinding.
* * * Malam gelap sekali dan dingin.
Tambah dingin menjelang memasuki
dinihari. Dibalik gundukan batu karang di sebelah timur Pulau Mayat dua sosok
tubuh tampak mendekam. Keduanya hampir tak banyak bergerak ataupun bicara.
Kalau bicara mereka berbisik-bisik.
Dikejauhan terdengar suara alunan rebab.
"Perempuan muka pucat itu ternyata lebih cepat dari kita, Datuk," bisik lelaki
berpakaian kembang-kembang. Ternyata
keduanya adalah Datuk Ular Muka
Tengkorak dan Pendekar Kembang Merah.
"Tak jadi apa, yang penting kita sampai disini lebih dulu dari si keparat itu!"
"Apakah menurutmu Simo Gembong
belum sampai disini?" tanya Pendekar Kembang Merah.
"Aku yakin. Walau dia sebelumnya berada di depan kita tapi kita menempuh jalan
memotong dan....." Ucapan Datuk Ular terhenti ketika
tiba-tiba terdengar bentakan garang.
"Dua manusia dibalik batu karang!
Jika kalian serahkan diri secara
baik-baik, kami akan mengampuni nyawa kalian!"
Datuk Ular dan Pendekar Kembang
Merah terkejut. Mereka hampir tak
mendengar kedatangan orang tahu-tahu
sudah berada didekat sana dan membentak.
Keduanya palingkan kepala.
"Ah! Ternyata gadis-gadis cantik!"
ujar sang datuk sambil tertawa
menyeringai. "Kalian bertiga pasti anak buah Dewi Maut.....!"
"Jika sudah tahu mengapa masih
banyak mulut!" Yang menjawab adalah gadis paling ujung kanan. Dia bukan lain
Lima Biru bersama Tujuh Biru dan Tiga Biru. "Kawan-kawan, mari kita tangkap dua
tikus tak diundang ini!"
"Hai! Tunggu dulu!" Kata Pendekar Kembang Merah cepat. "Kami tidak ada silang
sengketa dengan kalian ataupun Dewi Kalian. Mengapa hendak menangkap kami" Apa
kesalahan kami berdua"!"
Lima Biru mendengus. "Apa tidak tahu peraturan" Siapa saja orang luar yang
berani injakkan kaki di Pulau Mayat
berarti mati! Masih untung kalian berdua hanya kami tangkap! Soal nyawa nanti
Dewi yang memutuskan!"
"Alangkah hebatnya!" ujar Datuk Ular seraya batuk-batuk." Kalian bertiga seperti
kurang pekerjaan. Sebaiknya
kembali ke tempat kediaman kalian. Tidur dibawah selimut hangat. Malam-malam
begini berada diluaran bisa masuk
angin!" "Tua bangka bermulut ceriwis!"
sentak Lima Biru. Dia memberi isyarat pada dua kawannya. Ketiga gadis itu
langsung berkelebat ke arah Datuk Ular dan Pendekar Kembang Merah.
Dua lelaki ini memang sudah lama
mendengar kehebatan Dewi Maut dan anak buahnya. Kini menyak-sikan sendiri
mereka jadi terkejut. Gadis-gadis muda dan cantik itu sebat sekali gerakan
mereka. Tangan kanan memukul, tangan
kiri berusaha menotok. Kalau tidak
berkelit dengan cepat, salah satu
Mahesa Kelud - Simo Gembong Mencari Mati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
serangan itu pasti akan menemui sasaran.
Ketika melihat lawan sanggup
menghindar kini Lima Biru dan dua
kawannya yang ganti terkejut. Jelas dua orang ini memiliki kepandaian tinggi.
Maka didahului penyerangan.
Tujuh jurus menggempur habis-habisan tanpa dapat merobohkan
lawan membuat Lima Biru dan dua kawannya menyadari bahwa mereka tak bakal
sanggup menangkap dua orang itu hidup-hidup.
Diikuti oleh Tujuh Biru dan Tiga Biru, Lima Biru cabut pedang hitamnya. Dengan
senjata di tangan mereka kembali
menyerbu. Tiga pedang membentuk tiga
buntalan sinar hitam yang menggidikkan didalam gelapnya malam. Tekanan tiga
pedang membuat Datuk Ular dan Pendekar Kembang Merah terdesak. Ternyata nama
Dewi Maut bukan satu nama kosong. Kalau ingin selamat tak ada jalan lain. Datuk
Ular harus keluarkan pukulan-pukulan
sakti atau loloskan ikat pinggang ular sancanya dan Pendekar Kembang Merah
harus siap dengan bunga kertasnya.
Di jurus ke sepuluh ketika serbuan
lawan tidak tertahankan lagi dua tokoh silat ini terpaksa keluarkan senjata
masing-masing. Disaat itulah terdengar suara tawa
mengekeh. "Ha .. ha .. ha.! Dua manusia yang katanya tokoh persilatan baru menghadapi
gadis-gadis bau kencur saja sudah kalang kabut! Sangat memalukan!"
Baik Datuk Ular maupun Pendekar
Kembang Merah sama-sama tersentak kaget.
Suara tawa dan yang tadi bicara itu
adalah suaranya Simo Gembong. Berpaling ke arah datangnya suara keduanya hanya
sempat melihat lenyapnya satu sosok
bayangan di dalam gelap. "Tiga Biru!" sera Lima Biru. "Lekas kejar orang itu! Beritahu kawan-kawan!"
Tiga Biru segera tinggalkan
kalangan pertempuran, mengejar kearah lenyapnya suara tertawa tadi. Sambil
mengejar dia keluarkan suitan panjang.
Inilah tanda rahasia bagi tiga orang
kawannya yang berada di jurusan lain.
Setelah kedua lawan keluarkan
senjata sementara kepergian Tiga Biru membuat Lima Biru kini hanya berdua saja
dengan Tujuh Biru, setelah terjadi
gebrak-an-gebrakan hebat dalam dua
jurus, anak buah Dewi Maut itu kini
merasakan bukan saja semua serangan
mereka jadi terbendung tapi serangan
balasan lawan membuat keduanya terpaksa bertahan malah sejurus kemudian terdesak
hebat. PEDATARAN PEMANCUNGAN ama yang menggidikkan ini
diberikan oleh Dewi Maut dan
N sesuai dengan keadaannya.
Meskipun pedataran itu merupakan
lapangan luas berumput yang dikelilingi pohon-pohon bunga, namun
disekelilingnya juga terdapat lebih dari selusin tiang pembantaian. Pada
masing-masing tiang terpancang mayat
manusia. Ada yang masih baru, ada yang sudah membusuk dan beberapa diantaranya
hanya tinggal jerangkong putih.
Simo Gembong memandangi tiang-tiang
kematian itu satu demi satu. Dia membalik ketika dibelakangnya terdengar
beberapa sosok tubuh berkelebat. Di pedataran itu kini tampak tujuh gadis
berpakaian biru, berpencaran dan jelas mengurungnya. Simo Gembong menyeringai.
Matanya yang cuma satu berkilat-kilat. Sekian tahun
menguncilkan diri di puncak Gunung
Kelud, siapa yang tidak terpesona
melihat sekian banyak gadis cantik walau jelas pandangan mata mereka
membersitkan sinar maut. "Gadis gadis cantik! Mana Dewi
kalian. Cepat suruh dia datang kemari!"
kau tak layak memerintah kami.
Apalagi menyuruh Dewi datang kemari! Kau tahu kematianmu sudah diujung mata"!"
Yang membuka suara adalah Tiga Biru.
Si mo Gembong tertawa mengekeh.
"Gadis secantikmu tak layak segalak itu!"
"Lekas sebutkan nama atau gelarmu sebelum nyawa lepas dari tubuhmu!"
"Kalian rupanya memang
manusia-manusia haus nyawa! Tapi
ketahuilah nyawa burukku tidak begitu sedap untuk diteguk! Katakan pada Dewi
kalian aku Simo Gembong ingin bertemu dan bicara dengannya!"
"Kentut busuk! Biar kepalamu kubuat menggelinding dulu!" Tiga Biru cabut pedang
hitamnya lalu menerjang. Sinar hitam menderu dalam gelapnya malam.
Simo Gembong masih tertawa
mengekeh. Tubuhnya berkelebat.
Terdengar seruan Tiga Biru. Gadis in
melompat mundur. Memandang ke dia hampir tak percaya melihat pedang hitamnya
telah berpindah tangan. Kini dipegang oleh Simo Gembong! Meskipun melihat
kenyataan bahwa orang tua kurus berambut awut-awutan itu memiliki kepandaian
luar biasa tingginya namun Tiga Biru tidak menaruh takut sama sekali. Dengan
tangan kosong dia kembali menyerbu. Enam gadis lainnya kini tak tinggal diam.
Mereka serentak cabut padang dan menyerang.
"Tahan!" Satu seruan lantang terdengar
membelah kegelapan malam.
Tujuh gadis baju biru cepat menahan
gerakan mereka begitu mengenali suara tadi.
Sesosok tubuh tinggi semampai
berpakaian hijau tipis tegak di tengah Pedataran Pemancungan. Dewi Maut! Dia
berdiri dengan kaki merenggang tangan di pinggang.
"Puluhan tahun lalu kau melarikan diri dariku. Melarikan diri dari
tanggung jawab secara pengecut! Malam dingin begini tahu-tahu muncul kembali!
Apakah kau sudah bersiap sedia untuk mati Simo Gembong.....?"
"Dewi Maut... Dewi Maut! Sajakmu sungguh bagus. Ah! Aku tak boleh
memanggilmu dengan nama itu. Lebih layak menyebut nama aslimu. Sutri.... Sutri!"
Paras Dewi Maut tampak berubah
ketika Simo Gembong menyebut namanya.
"Dengar Sutri, aku datang memang untuk mati. Jika itu sudah takdirku! Tak ada
yang lebih nikmat dari pada kematian
.... Tapi sebelumnya aku ingin bicara empat mata dulu denganmu!"
"Begitu"! Orang yang mau mampus
memang layak dikabulkan pemintaannya!"
jawab Dewi Maut. Lalu dia memberi isyarat pada ketujuh anak buahnya.
"Dewi....." Tiga Biru menunjukkan rasa kawatir.
"Jangan takut!" berkata sang dewi.
"Tua bangka rongsokan ini tampangnya memang angker. Lagaknya selangit. Tapi dia
tak ada apa-apanya! Kalian boleh
pergi.....!" Meskipun tetap kawatir akan
keselamatan dewi mereka namun Tiga Biru dan kawan-kawannya terpaksa harus
mematuhi perintah pimpinannya itu. Kini di Pedataran Pemancungan hanya Dewi Maut
tegak berhadap-hadapan, terpisah
sejarak sepuluh langkah. "Lekas katakan apa maumu!" kata Dewi Maut.
"Aku ingin memperlihatkan bahwa bagaimanapun aku adalah manusia yang
bisa bertanggung jawab ...."
"Maksudmu"!"
"Dalam sisa hidupku, aku ingin
tinggal bersamamu disini atau dimana
saja sebagai suami istri....!" Simo Gembong bicara blak-blakan.
"Jadi itu tanggung jawab yang kau maksudkan!"
"Betul sekali Sutri....."
Sutri alias Dewi Maut mendongak ke
langit gelap lalu tertawa panjang.
"Tanggung jawabmu sudah basi Simo Gembong! Dosamu tak mungkin terampunkan dengan
cara apapun! Lagi pula aku
berpikir-pikir, apakah kau
pernah berkaca sebelum datang kemari dan bicara melantur seperti ini?"
Paras Simo Gembong kelihatan
menjadi merah. "Matamu cuma satu, hidungmu pesek, kupingmu sumplung. Dan hatimu lebih
jahat dari iblis kepala seribu! Apakah kau cukup pantas tinggal bersamaku"!
Jangan mimpi Simo. Atau kau mabok" Atau ada niat keji di balik maksudmu
itu ...." "Tidak ada niat keji apapun. Aku benar-benar ingin melupakan masa lalu dan ingin
menempuh hidup baik-baik "Ah, ternyata kaupun pandai
bersajak. Tapi sajakmu itu sayang, tak laku disini! Malam ini malaikat maut siap
menjemput nyawa anjingmu!"
Dendam kesumat Dewi Maut yang pernah
dirusak kehidupannya dimasa muda lalu ditinggalkan begitu saja, rupanya tak
mungkin dihapus dengan maksud dan janji muluk.
"Kalau memang begitu katamu, akupun sudah siap untuk mati!" kata Simo Gembong.
Lalu maju dua langkah. "Aku tahu kau memiliki pedang Samber Nyawa yang asli.
Keluarkan senjata itu. Gorok
batang leherku! Kau puas dan akupun
terlepas dari siksa batin puluhan
tahun!" Dari balik pinggang pakaian
hijaunya Dewi Maut keluarkan sebuah
benda berbentuk gulungan. Ketika
gulungan ini dibuka . .. sret!
Membersitlah sinar hitam pekat
menggidikkan. Sebilah pedang angker kini tergenggam di tangan Dewi Maut. Senjata
ini demikian tipisnya dan
bergoyang-goyang tiada henti, sulit
dilihat mana badannya yang asli dan mana yang bayangan belaka!
"Aku sudah siap!" kata Simo Gembong dan maju lagi dua langkah.
Dewi Maut juga melangkah mendekat.
Pedang Samber Nyawa melintang di depan dada. Ketegangan menggantung di udara
malam yang dingin mencucuk sungsum.
Justru saat itulah tiba-tiba dua
sosok tubuh ber-kelebat dan satu
bentakan nyaring terdengar.
"Nyawa Simo Gembong adalah milik kami!"
Sesaat kemudian Datuk Ular Muka
Tengkorak dan Pendekar Kembang Merah
sudah berada di Pedataran Pemancungan.
Sebelumnya mereka telah berhasil
merobohkan Lima Biru dan Tujuh Biru.
"O ladalah! Dua ekor monyet ini
rupanya!" kata Simo Gembong ketika mengenali dua tokoh silat itu dalam
gelapnya malam. Dia sengaja menyebut
mereka sebagai dua ekor monyet karena jengkel. "Aku mengampuni nyawa kalian
waktu pertempuran di Lembah Suket!
Sekarang malah menyusul kemari.
Benar-benar minta mampus!"
Pendekar Kembang Merah bertonjolan
rahangnya mendengar ucapan Simo Gembong yang merendahkan itu. Sebaliknya Datuk
Ular cepat menyahuti sambil tak lupa
mengumbar tawa mengejek. "Simo Gembong manusia durjana! Kami datang justru mengejarmu yang secara
pengecut melarikan diri dari Lembah
Suket!" "Bagus! Kalau kalian merasa diri sebagai jago silat kelas satu terima
salam hormatku ini!"
Simo Gembong lambaikan kedua
tangannya ke depan. Perlahan saja. Tapi dari telapak tangan kiri kanan menderu
angin dahsyat berwarna hitam!
Baru saja dua sinar pukulan itu
menghantam setengah jalan tiba-tiba
terdengar suara rebab digesek keras
melengking langit menembus kegelapan
malam dingin. Sinar putih kekuningan yang
mengembang seperti kipas berkiblat.
Sesaat Pedataran Pemancungan terang
benderang. Lalu des! des! Dua larik sinar hitam dari telapak tangan Simo Gembong
terpapas lebur berantakan. Beberapa
seruan kaget terdengar. Simo Gembong
tampak miring tubuhnya ke kiri tapi dia cepat mengimbangi diri dan pasang
kuda-kuda baru. Di sebelah kanan
pedataran tampak seorang perempuan berambut panjang tergerai, berwajah
pucat. Dia memegang alat penggesek di tangan kanan dan rebab di tangan kiri.
Perempuan ini tampak terhuyung-huyung ke belakang. Ketika dia hampir jatuh
terduduk di rumput cepat dia melompat jungkir balik di udara lalu tegak kembali
diatas kedua kakinya. Sepasang matanya memandang tak berkesip ke arah Simo
Gembong. "Ah, mengapa perempuan ini muncul lagi disini," diam-diam Simo Gembong mengeluh.
"Dewi Rebab Kencana!" seru Datuk Ular menyebut julukan perempuan bermuka pucat.
"Terima kasih, kau lagi-lagi menolong kami. Hanya saja mohon
dimaafkan. Biarkan kami menyelesaikan urusan dengan manusia durjana bermata satu
itu!" Perempuan yang memegang rebab
mendengus. "Apapun urusan kalian aku tidak perduli. Darah dan nyawanya adalah
bagianku!" Lalu alat penggesek di tangannya meluncur diatas tali-tali
rebab. Terdengar suara rebab melengking yang disusul dengan kiblatan sinar putih
kekuningan. Kali ini lebih hebat, lebih panas dan lebih terang. Menghantam ke
arah Simo Gembong! "Manusia-manusia tolol! Kalian
datang tidak pada waktu yang tepat!
Biarkan aku menyelesaikan urusan dengan Dewi Maut!" teriak Simo Gembong seraya
melompat tiga tombak ke atas. Dari atas dia memukul dengan tangan kanan ke
bawah. Angin sedahsyat badai menerpa.
Buum! Pedataran berumput itu laksana
dilanda gampa. Para tokoh silat yang ada disitu berlompatan berserabutan. Ketika
muncratan pukulan-pukulan sakti itu
lenyap tampak Dewi Rebab Kencana duduk bersila di rumput. Rebab dan
penggeseknya terletak di atas pangkuan.
Dadanya turun naik, wajahnya tambah
pucat dan rambutnya yang panjang
awut-awutan. Jelas dia tengah mengatur jalan nafas dan peredaran darah dari
gejolak hebat akibat bentrokan pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga dalam
tinggi. Di seberang sana Simo Gembong tampak tersandar ke salah satu tiang
pemancungan. Rahangnya menggembung.
Matanya yang cuma satu membeliak besar.
Terlebih ketika dilihatnya Dewi Rebab Kencana perlahan-lahan berdiri sambil
pegang rebab dan penggeseknya.
Mahesa Kelud - Simo Gembong Mencari Mati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dewi Rebab! Datuk Ular dan Pendekar Kembang Merah! Kalian bertiga pantas
dihukum mati karena telah masuk ke Pulau Mayat tanpa izinku! Tapi mengingat
akupun punya persoalan dengan kakek
buruk ini, jika kalian mau meninggalkan tempat ini dengan segara maka nyawa
kalian aku ampunkan!"
"Kalau kita semua mempunyai urusan yang sama, mengapa tidak saling berebut cepat
berbuat pahala menamatkan riwayat manusia biang racun malapataka ini"!"
ujar Datuk Ular. Dewi Rebab menggesek rebabnya,
keras melengking. Tanda dia setuju
dengan ucapan Datuk Ular. Pendekar
Kembang Merah tidak berkata apa-apa, tapi diapun ikut setuju dan diam-diam sudah
kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan dan tangan kiri menyelinap mengambil
senjatanya yaitu kembang kertas warna merah. Sebelum Dewi Maut dapat
mencegah ketiga tokoh silat itu sudah menyerbu Simo Gembong. Kawatir
kedahuluan ketiganya, Dewi Maut yang
sejak tadi telah memegang pedang Samber Nyawa akhirnya menyerbu pula ke tengah
kalangan pertempuran. Sinar hitam
menggidikkan yang mengeluarkan deru
angin panas berkelebat di udara ketika pedang sakti itu membabat. Badan pedang
berubah menjadi puluhan. Sulit diterka mana yang asli dan mana bayangannya!
Dua bunga kertas merah menyambar
ganas ke perut dan batok kepala Simo
Gembong. Ikat pinggang berupa ular sanca besar ditangan Datuk Ular menderu
membabat ke pinggang dan sinar putih
kekuningan yang keluar dari tali-tali rebab yang digesek bersiur dahsyat
melabrak kakek bertubuh kurus itu!
Simo Gembong berteriak keras. Putus
asa karena Sutri alias Dewi Maut menolak untuk hidup bersama. Disamping itu dia
juga marah melihat kenyataan dirinya
menjadi bulan-bulanan pengeroyokan.
Namun suara teriakan Simo Gembong
yang dahsyat itu ternggelam dalam satu bentakan menggeledek yang datang dari
ujung timur Pedataran Pemancungan. Semua serangan punah berantakan!
"Manusia-manusia pengecut!
Beraninya main keroyok! Benar-benar
memalukan!" Segulungan asap putih datang
membuntal. Udara di pedataran berumput itu mendadak sontak menjadi dingin luar
biasa. Semua yang ada disitu menggigil.
Pendekar Kembang Merah goyah lututnya dan jatuh tersungkur. Datuk Ular komat
kamit entah membaca mantera apa.
Tubuhnya menggeletar. Dewi Rebab Kencana menggigil, berusaha bertahan agar tidak
melosoh ke tanah. Dewi Maut pegang Pedang Samber Nyawa erat-erat dan salurkan
hawa panas dari pedang itu ke dalam tubuhnya.
Namun tak urung tetap saja dia merasa kedinginan. Simo Gembong tegak
tergontai-gontai. Matanya yang besar
merah tampak membeliak. Tapi dia tidak merasa dingin. Jelas pukulan asap putih
dingin itu tidak ditujukan padanya! Tapi tak dapat dia menduga. Kawan atau
lawankah yang datang ini" Di saat dia sudah kepingin cepat-cepat mati mengapa
masih ada saja yang hendak menolongnya"
Asap putih dingin perlahan-lahan
sirna meninggalkan kabut tipis. Dibalik asap tipis itu kelihatan tegak sesosok
tubuh tinggi kekar, berpakaian putih
dengan baju terbuka hingga tampak
dadanya yang penuh dengan otot.
"Mahesa!" seru Simo Gembong ketika dia mengenali siapa adanya orang itu.
Dewi Maut tersentak kaget. Mendadak
saja hatinya gembira berbunga-bunga.
Benarkah pemuda yang dirindukannya itu yang tegak dibalik kabut putih tipis itu"
mbah!" seru si pemuda seraya
melompat ke hadapan gurunya
E dan tegak dengan sikap melindungi. Embah Jagatnata alias Simo Gembong
sesaat masih terkesiap namun kemudian terdengar suara tawa-nya panjang.
"Muridku! Aku gembira kau datang!
Tapi aku tidak senang kau turun tangan menolongku! Aku kagum melihat kau
memiliki ilmu pukulan sakti bernama Api Salju tadi! Muridku, biarkah aku mati
ditangan orang-orang ini! Untuk menebus semua dosaku. Termasuk dosaku padamu!
Dosa membunuh ayah dan ibumu!"
"Embah, saya telah melupakan hal itu
...." kata Mahesa. "Bagus! Terima kasih muridku. Tapi ada yang tak bakal melupakan. Yakni
hukuman Tuhan! Jika kau merasa masih
muridku, patuh padaku, pergi ke ujung lapangan sana! Biarkan orang-orang ini
membantaiku di pedataran rumput ini!"
"Sebagai murid saya tak bisa
berlepas tangan membiarkan mereka
membunuh Embah!" "Jangan keras kepala! Turut
perintahku!" Simo Gembong tampak marah.
Mahesa tetap tegak ditempatnya.
Kedua matanya memandang ke arah
orang-orang yang siap mengeroyok
gurunya. Simo Gembong diam-diam
mengetahui apa yang ada dalam benak
pemuda itu. Maka dia cepat berkata.
"Mahesa, dengar! Apapun yang mereka lakukan terhadapku jangan sekali-kali kau
mendendam pada mereka!"
Datuk Ular, Dewi Rebab Kencana dan
Pendekar Kembang Merah hampir tak dapat mempercayai kalau yang muncul itu adalah
seorang pemuda yang diaku murid oleh Simo Gembong. Jika gurunya jahat apakah
sang murid juga jahat" nyatanya sang murid memiliki kepandaian yang tidak berada
dibawah tingkat kepandaian gurunya.
Apakah dia berkeras kepala untuk
membantu Simo Gembong"
Sebaliknya Dewi Maut tidak
perdulikan siapapun adanya Mahesa.
Melihat wajah pemuda itu kembali
hilanglah kerinduannya selama ini.
Selintas pikiran muncul dibenaknya.
Serangkum senyum menyungging dibibirnya yang merah mungil. Dia berpaling pada
Simo Gembong dan berkata: "Tua bangka durjana! Aku bisa melupakan dendam
kesumatku terhadapmu dan mengampuni
selembar nyawa busukmu. Asal saja kau mau membujuk muridmu untuk tinggal disini,
di Pulau Mayat ini!"
Paras Mahesa Kelud tampak menjadi
sangat merah. Datuk Ular, Dewi Rebab dan Pendekar Kembang Merah sama memandang
ke arahnya. "Eh, apa katamu Sutri. .. ."!" ujar Simo Gembong seraya memandang pulang
balik pada Mahesa dan Dewi Maut. "Ha ...
ha ... ha .. ! Rupanya kau sudah jatuh cinta pada muridku! Ha.. ha.. ha..!
Pantas tak ada tempat lagi untukku
dihatimu!" Meskipun mulutnya tertawa tapi hati dan batin Simo Gembong
benar-benar terpukul. Kemungkinan hidup bersama dengan perempuan yang pernah
dirusak kemudian dicintainya itu sudah tertutup. Apalagi yang kini dicarinya
selain kematian"! Dia memandang
berkeliling. "Siapa yang ingin
membunuhku, bunuhlah! Mahesa, jangan
kecewakan hatiku dihari terakhir hidupku ini! Menyingkir ke tepi pedataran!"
Mahesa merasakan tenggorokannya
tercekik. Dengan .langkah gontai dia
berjalan ke tepi pedataran berumput.
Saat itulah Datuk Ular dan Pendekar Kern bang Merah pergunakan kesempatan. Ikat
pinggang ular sanca menderu. Kembang
kertas merah melesat. Disaat yang sama Dewi Rebab gesek rebabnya. Sinar putih
kekuningan menyambar ke arah perut Simo Gembong.
Tubuh orang tua itu mencelat ketika
sinar putih menghantam perutnya. Belum sempat mencelat jauh, kepala ular
menggebuk punggungnya hingga dia
terbanting ke bawah. Disaat itu pula
kembang kertas yang sekeras kepingan
besi itu menancap di dadanya! Jelas
sekali terlihat Simo Gembong tidak
berusaha menghindar atau balas
menyerang. Dia biarkan dirinya menjadi sasaran tiga serangan itu. Tubuhnya
terkapar di tanah. Tapi dia bangkit
kembali sambil menyeringai. Darah
mengucur dari dadanya yang ditancapi
kembang kertas. Tulang-tulang iganya
dibarisan belakang kiri hancur oleh
gebukan senjata Datuk Ular dan sinar
putih yang menghantam dadanya membuat dada itu hangus. Darah kental kelihatan
mengucur di sela bibirnya.
"Embah!" pekik Mahesa.
"Tetap ditempatmu!" teriak Embah Jagatnata alias Simo Gembong. Dia
melangkah ke hadapan Dewi
Maut. "Sutri.....Mereka bisa menggebukku sampai hancur! Mereka bisa mencincang tubuh
kasarku! Tapi aku tak akan mati!
Nyawaku tak akan lepas! Hanya pedang di tanganmu itu yang sanggup membunuhku!
Tusukkan ke dadaku Sutri! Tusukkan!"
"Jangan dengar ucapannya Dewi!"
Mahesa berteriak dari tepi pedataran.
Sesaat Dewi Maut menjadi ragu.
Kata-kata siapa yang harus diikutinya.
Sebaliknya Simo Gembong yakin bahwa
perempuan itu akan mengikuti ucapan
Mahesa. Tak ada jalan lain. Simo Gembong menerkam ke depan. Dewi Maut terpekik.
Tubuhnya mencelat dan jatuh terhampar di rumput. Pedang Samber Nyawa tertarik
lepas dari genggamannya. Ketika dia
meman-dang ke depan senjata sakti itu sudah berada dalam tangan Simo Gembong.
"Embah! Jangan!" teriak Mahesa menggeledek. Dia memburu. Tapi Simo
Gembong lebih cepat. Pedang Samber Nyawa ditusukkannya ke dadanya. Persis
seperti kejadian di puncak Gunung Kelud tempo hari. Tapi sekali ini yang
menancap di dadanya adalah pedang Samber Nyawa yang asli.
Terdengar suara aneh dari
tenggorokan Simo Gembong. Suara seperti kerbau disembelih. Darah membusah
dimulutnya, mengucur dari luka didada.
Matanya yang merah membeliak besar.
Mahesa cepat cabut pedang Samber Nyawa dari dada gurunya. Tubuh Simo Gembong
rebah menelentang ke tanah. Mahesa
merangkulnya. "Embah.....Embah!"
Tapi sang guru tak menjawab. Tidak
bergerak dan tak bernafas lagi.
Benar-benar mati. Dewi Maut melangkah mendekat.
Dipungutnya , Pedang yang tergeletak di rumput. "Dia sudah mati Mahesa. Gurumu
sudah mati...." terdengar perempuan itu berkata. Mahesa hanya bisa tundukkan
kepala. Disampingnya terdengar Dewi Maut membentak.
"Dewi Rebab! Datuk Ular! Pendekar Kembang Merah! Kalian tak punya
kepentingan apa-apa lagi disini! Pergi sebelum aku merubah keputusan untuk
me-ngampuni nyawa kalian!"
Datuk Ular berpaling pada Pendekar
Kembang Merah. Keduanya saling
mengangguk. "Memang, tak ada perlunya kami berlama-lama disini!" Lalu keduanya
cepat-cepat tinggalkan tempat itu.
Dewi Maut berpaling pada Dewi Rebab
Kencana. Yang dipandang tersenyum tawar lalu
gesek rebabnya. Kali ini tak ada sinar dahsyat yang berkiblat. Hanya bunyi yang
keras tapi bernada pilu. Begitu bunyi itu lenyap, Dewi Rebab juga ikut lenyap
dari tempat tersebut. Dewi Maut bertepuk tiga kali. Tujuh
anak buahnya segera muncul.
"Urus mayat kakek itu," katanya pada mereka.
"Baik Dewi!" Tujuh gadis cantik berpakaian biru menyahut berbarengan.
'Tidak!" tiba-tiba terdengar suara Mahesa. "Aku sendiri yang akan mengurus mayat
guru! Jangan ada yang berani
menyentuh jenazahnya!"
Dewi Maut termangu sesaat. Lalu
berkata: "Jika itu maumu, akupun tidak melarang. Hanya saja kau harus
menguburkannya di pulau ini!"
Mahesa tak menyahut. Didukungnya
jenazah Simo Gembong yang selama ini
hanya dikenalnya dengan nama Embah
Jagatnata. Ditepi pantai dia berhenti, memandang ke tengah laut sementara hari
mulai terang dan di timur langit
kelihatan mulai merah. Dewi Maut yang sejak tadi mengikutinya bersama tujuh anak
buahnya tegak di belakangnya.
Ketika Mahesa menurunkan jenazah Simo Gembong, Dewi Maut memberi isyarat. Dua
orang anak buah Dewi Maut yakni Tiga Biru dan Dua Biru meletakkan alat-alat
penggali disamping Mahesa yakni pacul dan linggis. Keduanya kemudian mundur ke
tempat semula. Tanpa berkata apa-apa Mahesa ambil
pacul itu lalu mulai menggali kubur untuk gurunya. Dewi Maut mengambil linggis.
Sesaat dia tegak memandangi Mahesa.
Ketika Mahesa mengangkat kepalanya,
pandangan mereka bertemu.
"Kalau kau memang ingin membantu, mulailah," kata Mahesa.
Dewi Maut tersenyum lebar. Dia
segera mengambil linggis dan masuk ke dalam lobang yang telah digali Mahesa.
Tiga Biru memandang pada kawan-kawannya.
"Tak ada pekerjaan untuk kita
disini," katanya. Lalu ketujuh gadis itu segera tinggalkan
tempat tersebut. Mahesa dan Dewi Maut terus menggali
sementara sang surya sudah menyembul di sebelah timur.
TAMAT Scan/Convert/E-Book : Abu Keisel
Tukang Edit : Dewa Urakan
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Bunga Abadi Gunung Kembaran 2 Pendekar Hina Kelana 16 Pertarungan Di Lembah Selaksa Mayat Pembalasan Topeng Tengkorak 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama