Ceritasilat Novel Online

The Phantom Of Opera 3

The Phantom Of The Opera Karya Gaston Leroux Bagian 3


Itu adalah n tercantik di dunia dan mereka menikmatinya seperti ketika kanak-kanak. Oh, betapa indah kata-kata yang saling mereka ucapkan dan janji setia yang mereka pe kan! Mereka be sepenuh hati sep kanak-kanak bermain bola; hanya saja kali ini mereka harus sangat, sangat berhati-ha t i setiap kali menangkapnya karena sesungguhnya kedua hati merekalah yang sating mereka lemparkan.
Suatu hari, seminggu setelah permainan itu dimulai, perasaan Raoul begitu terluka sehingga ia berhenti bermain dan tanpa pikir panjang ia berkata, "Aku tidak pergi ke Kutub Utara!"
Christine, yang dalam kepolosannya tidak menduga hal ini terjadi, tiba-tiba memahami bahaya permainan ini dan menyalahkan dirinya sendiri. la tak menanggapi ucapan Raoul dan langsung pulang.
Kejadian itu sore hari, di ruang ganti penyanyi itu, tempat mereka bertemu setiap dan men diri dengan memakan tiga biskuit serta meminum dua gelas anggur dengan seikat bunga violet. Namun malam harinya, Christine tidak tampil untuk bernyanyi, dan Raoul tidak menerima surat darinya seperti biasa, meskipun mereka telah betjanji untuk saling ber surat setiap se sebulan itu. Keesokan harinya, Raoul cepat-cepat menemui M amma Valerius yang kemudian memberitahunya bahwa Christine telah pergi selama dua hari sejak jam lima sore kemarin.
Raoul merasa gelisah. Ia kesal pada Mamma Valerius yang menyampaikan berita itu dengan ketenangan luar biasa. la mencoba menggali lebih jauh, tetapi perempuan tua itu tidak tahu apa-apa.
Christine kembali keesokan harinya, dan i a kembali bernyanyi dengan begitu cemerlang. la mengulang kembali kesuksesan penampilannya pada pesta jamuan makan waktu itu. Sejak petualangan "si kodok", Carlotta tak sanggup lagi tampil di atas panggung. la begitu ketakutan akan mendengar suara "kro-ok" itu lagi sehingga ia kehilangan seluruh kekuatannya untuk bernyanyi. Dan gedung teater yang telah menjadi saksi aib misterius miliknya itu kini menjadi musuh baginya. Carlotta bahkan berusaha membatalkan kontraknya. Karena itulah mereka menawari Daae posisi Carlotta untuk sementara waktu. Hasilnya, Christine menerima hujan tepuk tangan dalam pementasan Juive.
Sang viscount, yang tentu saja datang menonton, adalah satu-satunya orang yang menderita mendengar gema ribuan tepuk tangan yang menyambut kesuksesan penampilan ini, karena Christine masih memakai cincin emas polosnya. Suara s berbisik di telinga pemuda itu, "Ia memakai cincin itu lagi malam ini, dan bukan kau yang memberikannya. Ia memberikan jiwanya lagi malam ini, dan ia tidak mem be nya kepadamu .... Jika ia menolak memberitahumu apa yang dia lakukan dua terakhir ini . . . kau harus pergi dan bertanya kepada Erik!"
Raoul berlari ke belakang panggung dan menghadang
stine. Gadis itu melihatnya, sebab ia memang m - cari pemuda itu. Kata gadis itu, "Cepat! Cepat! Kemari!" Dan ia menyeret Raoul ke ruang ganti miliknya. Begitu sampai, Raoul langsung berlutut di hadapan Christine. Ia berjanji kepada gadis itu bahwa ia akan pergi berlayar dan memohon kepadanya untuk tidak lagi menghilangkan kebahagiaan impian mereka barang satu jam pun. Christine menangis mendengarnya. Lalu mereka berci seperti sepasang saudara yang sedih, yang dipersatukan oleh suatu rasa kehilangan dan kini bertemu untuk bertangisan atas kematian orangtua mereka.
Tibat iba, stine melepaskan diri dari pelukan nyaman pemuda itu dan tampak berusaha mendengarkan sesuatu. Lalu, dengan satu gerakan cepat ia menunjuk ke arah pintu. Ketika Raoul berada di ambang pintu, Christine berbicara dengan suara yang amat pelan sehingga Raoul sebenamya lebih menebak-nebak kata-kata ini daripada mendengarnya sendiri, "Besok, tunanganku tersayang! Dan bergembiralah, Raoul, Aku bernyanyi untukmu malam ini!"
Keesokan harinya, Raoul kembali. Tetapi perp dua hari itu telah membuyarkan kesenangan permainan purapura mereka. Dengan pandangan sedih keduanya bertatapan di ruang ganti itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Raoul harus menahan diri untuk tidak berseru, "Aku cemburu! Aku cemburu! Aku cemburu!"
Tetapi gadis itu mengerti. Lalu ia berkata, "Mari kita betjalan-jalan, Sayang. Udara luar baik untukmu."
Raoul berpikir Christine akan membawanya betjalan-jalan di alam terbuka, jauh dari bangunan yang terasa bagai penjara baginya. Penjara dengan sipir yang dapat dirasakannya berjalan di dalam dinding-dinding yang ada . . . sipir Erik . . . . Tetapi Christine membawa Raoul ke panggung dan mendudukkannya di pinggiran sumur kayu yang akan dipakai sebagai tata panggun g pertama pementasan malam itu.
Di hari yang lain, sambil bergandengan tangan dengan Raoul, Christine berjalan-jalan melintasi jalan setapak sepi di taman buatan yang tanaman-tamanan jalarnya telah dipangkas rapi oleh dekorator berpengalaman. Alam yang sesungguhnya seolah telah menjadi sesuatu yang terlarang bagi gadis itu, dan ia dikutuk untuk tidak pemah lagi menghirup udara di luar teater. Seorang pemadam api paro waktu lewat, memandang kebersamaan melankolis mereka dari kejauhan. Lalu Christine membawa Raoul naik ke bagian langit-langit panggung, di antara puluhan palang yang melintang, di tempat itu ia membuat Raoul cemas melihatnya berlarian di jembatan-jembatan rapuh di atas sana, di antara ribuan tali yang diikatkan pada sekian banyak katrol, kerekan, dan mesin gulung yang tersebar di hutan tiang tonggak yang ada. Saat pemuda itu ragu-ragu, dengan cibiran yang menggemaskan Christine berkata, "Dan kau bilang kau seorang pelaut?"
Kemudian mereka kembali ke terra firma, yaitu beberapa jalan yang mengarah ke sekolah tari tempat gadis-gadis kecil berumur antara enam hingga sepuluh tahun melatih
gerakan-gerakan tari mereka, berharap suatu hari nanti akan menjadi penari-penari terkenal yang "berbalut ber. . . . " Tetapi, untuk sekarang ini, Christine memberi mereka permen.
Ia membawa Raoul ke ruang-ruang peny impanan kostum dan properti, mengajak pemuda itu mengelilingi kerajaannya, yang meskipun hanyalah buatan manusia, tetapi begitu besar, meliputi tujuh belas lantai dari t ingkat paling bawah hingga ke atap, serta ditinggali oleh begitu banyak orang. Christine berkeliling di antara mereka seperti ratu yang disukai rakyatnya. la menyemangati apa yang mereka lakukan, duduk di bengkel-bengkel ketja mereka, dan memberi saran kepada para pembuat kostum yang ragu-ragu memotong kain indah untuk pakaian para tokoh utama. Sepertinya segala macam profesi ada di sana. Bahkan tukang sepatu hingga pengrajin perhiasan. Mereka semua mengenal dan mencintainya, sebab ia selalu menaruh perhatian pada masalah-masalah serta berbagai kesukaan mereka.
Christine mengetahui ruangan-ruangan tak tetjamah yang secara diam-diam ditempati oleh orang-orang tua. la mengetuk pintu-pintu mereka dan memperkenalkan Raoul sebagai Pangeran Tampan yang telah melamarnya. Lalu keduanya duduk di "properti" lapuk dan mendengarkan legenda-legenda Opera ini seperti mereka mendengarkan kisah-kisah kuno Breton saat masih kanak-kanak. Orangorang tua itu tidak ingat apa pun di luar Opera. Mereka telah tinggal di sana sejauh mereka bisa mengingat. Manajemen yang lalu-lalu telah melupakan mereka, revolusirevolusi kerajaan tak memedulikan mereka, sejarah Prancis telah bergulir tanpa mereka ketahui, dan tak ada seorang pun yang mengingat keberadaan mereka.
Begitulah hari-hari membahagiakan mereka itu berlalu dengan cepat. Dan dengan memberikan perhatian berlebih pada hal-hal di luar mereka, Raoul dan Christine berusaha keras sating menyembunyikan pikiran dan perasaan mereka. Tetapi satu hal yang pasti, Christine, yang sampai saat itu selalu menjadi yang lebih tegar di antara keduanya, tiba-tiba menjadi gugup tanpa alasan. Di tengah-tengah penjelajahan mereka di gedung Opera itu, ia tiba-tiba mulai berlari atau tiba-tiba berhenti. Dan tangannya yang bisa mendadak berubah sedingin es akan menahan Raoul. Kadang mata gadis itu seakan mencari-cari bayang-bayang yang tak tampak. la berseru, "Lewat sini," dan "Sini," lalu "Kemari," kemudian tertawa terbahak-bahak yang sering berakhir dengan tangis. Maka Raoul berusaha bertanya, tak peduli ia sudah berjanji sebaliknya. Tetapi, bahkan sebelum ia mampu mengucapkan pertanyaannya, Christine tergesa menjawab, "Tidak ada apa-apa . . . Sungguh, tidak ada apaapa."
Suatu kali, saat mereka lewat di dekat pintu jebak yang terbuka di panggung, Raoul melongok ke dalam lubang gelap itu.
"Kau sudah menunjukkan kepadaku bagian atas kerajaanmu, Christine, tetapi ada cerita-cerita ganjil tentang dunia bagian bawah ini. Baga kalau kita turun?"
Christine mencengkeram lengan Raoul, seolah takut pemuda itu akan lenyap ditelan lubang hitam. Lalu, dengan suara gemetar ia berb isik, "Tidak akan ... ! Aku takkan memperbolehkanmu pergi ke sana! Lagi pula, bagian itu bukan milikku . . . segala yang ada di bawah tanah adalah miliknya!"
Raoul menatap mata Christine dan berkata dengan kasar, "Jadi dia tinggal di sana, kan?"
"Aku tidak pernah bilang begitu ... Sia pa yang mengatakan itu padamu" Mari kita pergi! Aku kadang bertanya-tanya apa kau cukup waras, Raoul. Kau selalu menanggapi hal-hal secara tak masuk akal. ... A yo ikut aku! Cepat!"
Dan Christine benar-benar menyeretnya pergi, sebab Raoul berkeras untuk tetap berada di samping pintu jebak dengan lubang yang berhasil menarik perhatiannya.
Tiba-tiba, pintu jebak itu ditutup dengan begitu cepat sampai mereka tak melihat tangan yang me - nya. Dengan b ingung mereka memandanginya.
"Mungkin dia memang ada di sana," kata Raoul akhirnya.
Gadis itu mengangkat bahunya, tapi itu tak mampu menyembunyikan kegelisahannya.
"Tidak, tidak, itu tadi 'para penutup pintu-pintu jebak.' Pasti mereka yang melakukannya . . . . Mereka suka membuka dan menutup pintu-pintu jebak tanpa alasan. Seperti 'para petugas penutup pintu,' kadang begitulah mereka menghabiskan waktu mereka."
"Tetapi bagaimana kalau itu dia, Christine?" "Tidak, tidak! la telah mengurung diri. la sedang bekerja."
"Oh, benarkah" Jadi, dia sedang bekerja?"
"Ya, dia tidak mungkin bisa membuka dan menutup pintu-pintu jebak dan bekerja pada saat yang sama." Christine bergidik.
"Apa yang sedang dikerjakannya?"
"Oh, sesuatu yang mengerikan ... ! Tetapi itu lebih baik bagi kita. Ketika ia mengerjakan itu, ia tak menghiraukan hal lai n . Kadang ia bahkan tidak makan, minum, ataupun yang lainnya selama berhari-hari ... ia berubah menjadi mayat hidup dan tak punya waktu untuk bermain-main dengan pintu-pintu jebak itu."
Sekali lagi Christine merinding. la masih mendekap Raoul. Lalu ia ganti berkata, "Mungkin itu dia!" "Apa kau takut padanya?"
"Tidak, tidak, tentu tidak," jawabnya.
Karena itulah, untuk hari-hari setelahnya, Christine berhati-hati untuk menghindari pintu-pintu jebak. Keresahannya baru mulai terlihat ketika hari beranjak petang. Akhirnya, suatu sore, Christine datang sangat terlambat dengan wajah pucat luar biasa dan mata begitu merah sampai-sampai Raoul bertekad untuk melakukan apa pun, termasuk yang sempat ia bayangkan ketika ia berkata akan batal mengikuti ekspedisi Kutub Utara kecuali Christine memberitahukan rahasia suara laki-laki itu kepadanya.
"Di ! Demi Tuhan, diamlah! Jangan sampai dia mendengarmu, Raoul!"
Dan, dengan panik, pandangan Christine menyapu keadaan sekeliling.
"Aku akan membebaskanmu dari pengaruhnya, Christine. Aku bersumpah. Dan kau tak akan perlu m - kirkannya lagi."
"Apa itu mungkin?"
Christine memikirkan kemungkinan yang memberinya harapan itu sambil menarik Raoul ke lantai paling atas gedung teater itu, sangat, sangat jauh dari pintu-pintu jebak.
"Aku akan menyembunyikanmu di sudut paling asing di bumi ini, tempat yang tak dapat ia datangi untuk mencarimu. Kau akan aman di sana. Lalu aku akan pergi . . . karena kau telah bersumpah tidak akan menikah."
Christine meraih kedua tangan Raoul dan meremasnya dengan penuh kegembiraan. Tetapi, ia tiba-tiba menjadi waspada lagi dan memalingkan kepalanya.
"Lebih tinggi!" hanya itu yang diucapkan Christine. "Lebih tinggi lagi!"
Dan gadis itu menyeret Raoul hingga ke puncak gedung.
Raoul mengikuti Christine dengan susah payah. Tak lama, mereka telah mencapai area persis di bawah atap, tempat labirin tiang-tiang berada. Mereka bergerak dan menyelinap di antara begitu banyak dinding topang, tiang, dan balok, berp dari satu palang ke palang layaknya dari pohon satu ke pohon yang lain.
Meskipun stine tak pernah lupa menoleh sesekali ke bel g, ia luput mendapati suatu bayangan yang mengikutinya seperti bayangannya sendiri. Tanpa suara, bayangan itu berhenti ketika Christine berhenti, dan ikut bergerak ketika gadis itu bergerak lagi. Raoul pun tak melihat apaapa. Sebab, selama Christine berada di depannya, pemuda itu tak peduli dengan apa pun yang terjadi di belakangnya.
Bab12 Harpa Dewa Apollo MAKA sampailah mereka di atap. Christine melangkahkan kakinya seringan burung layang-layang. Pandangan mereka menyapu area luas yang terbentang di antara tiga kubah dan atap segitiga itu. Christine menghirup udara Paris dalam-dalam, sementara kesibukan kota itu terhampar di bawah. la memanggil Raoul untuk mendekat, dan mereka berjalan bersisian menyusuri atap berlapiskan lembar-lembar seng dan timah itu. Mereka memandang bayangan mereka di penampungan air raksasa dengan aimya yang tenang, yang pada musim panas biasanya digunakan oleh sekelompok anak laki-laki penari balet untuk belajar berenang dan menyelam.
Bayangan itu terus mengikuti di belakang mereka, menernpel ketat di setiap langkah. Dan tanpa menaruh curiga, kedua sosok belia itu akhirnya duduk di bawah patung kuningan Apollo berukuran raksasa yang mengangkat harpa besarnya ke jantung langit yang merah lembayung. Sore hari yang indah di musirn semi. A wan-a wan yang baru saja bermantelkan cahaya ungu keemasan mentari senja tampak berarak pelan. Christine berkata kepada Raoul, "Tak lama lagi kita akan pergi lebi h jauh dan lebih cepat dibandingkan awan-awan itu, ke ujung dunia, dan kau meninggalkanku, Raoul. Tetapi, bila tiba waktunya bagimu membawaku pergi dan aku menolaknya -kau harus memaksaku!"
"Apa kau takut akan berubah pikiran, Christine?" "Aku tidak tahu," jawab gadis itu sambil menggeleng aneh. "Dia itu iblis!" Lalu ia bergidik dan, sambil mengerang, menja dirinya ke dalam pelukan Raoul. "Sekarang aku takut untuk kembali dan tinggal bersamanya . . . di bawah tanah!"
"Apa yang mengharuskanmu kembali, Christine?" "Kalau aku tak kembali kepadanya, malapetaka menger akan terjadi! Tapi aku tak bisa, aku tak bisa melakukannya... Aku tahu kita seharusnya mengasihani mereka yang tinggal di bawah tanah . . . . Tapi i a terlalu mengerikan! Padahal waktu semakin mendesak, aku hanya punya sehari lagi. Kalau aku tidak datang, ia akan menjemputku dengan suaranya. Lalu i a menyeretku pergi bers ya, ke bawah tanah, dan ia berlutut di hadapanku, memandangku dengan kepala tengkoraknya. Dan ia akan berkata bahwa i a mencintaiku! Dan i a akan menangis! Oh, air mata itu, Raoul, air mata yang mengalir dari ceruk mata yang gelap di kepala tengkoraknya! Aku tak sanggup menyaksikan air mata itu mengalir lagi!"
Christine meremas-remas tangannya dengan begitu sedih, dan Raoul mendekap gadis itu erat.
"Tidak, tidak, kau tidak akan pemah mendengamya berkata ia mencintaimu lagi! Kau takkan melihat air matanya! Mari kita pergi dari tempat ini, Christine, pergi sekarang juga!"
Pemuda itu mencoba menariknya pergi, beberapa kali. Tetapi gadis itu menghentikannya.
"Tidak, tidak," jawabnya, menggeleng sedih. "Tidak sekarang! Terlalu kejam . . . biarkan ia mendengarku bemyanyi besok malam ... dan setelahnya kita akan pergi. Kau harus datang menjemputku di ruang gantiku tepat tengah malam. Saat itu ia akan menungguku di ruang makan di pinggir danau . . . kita tak diawasi dan kau mem - bawaku pergi .... Kau harus berjanji melakukannya, Raoul, bahkan bila aku menolak. Sebab aku takut kalau aku menemuinya kali ini, aku mungkin tak akan pemah bisa kembali."
Lalu gadis itu menghela napas dan sepertinya i a mendengar helaan napas lain menyusul dari belakangnya. "Kaudengar itu?"
Giginya gemeletuk karena ketakutan.
"Tidak," kata Raoul, "aku tak mendengar apa-apa." "Gemetar ketakutan seperti ini sangatlah menyiksa!" keluhnya. "Padahal tak ada bahaya apa pun yang mengintai kita di sini. Kita berada di rumah, di ketinggian langit, di tempat terbuka, dalam terang cahaya. Ma benderang, dan burung-burung malarn tak kuasa memandang ke arahnya. Aku tak pernah bertemu dengannya ketika hari masih terang . . . pasti mengerikan! Oh, kali pertama aku bertemu dengannya, kupikir ia akan mati."
"Mengapa?" tanya Raoul, meskipun ia sebenamya takut pada apa yang mungkin akan didengamya sebagai jawaban pertanyaannya yang sok yakin.
"Karena aku telah melihatnya!"
Kali ini Raoul dan Christine menoleh be an, "Seperti suara orang sedang kesakitan," kata Raoul. "Mungkin ada yang terluka. Apa kau mendengarnya tadi?"
"Aku tidak yakin," ujar Christine. "B meski ia tidak ada, telingaku sering merasa mendengar suara helaan napasnya. Tapi, kalau kau memang mendengamya . . . "
Mereka berdiri dan memandang sekitar. Hanya ada mereka berdua di atap timah berukuran raksasa ini. Maka mereka kembali duduk dan Raoul berkata, "Ceritakan padaku bagaimana kau pertama kali bertemu dengannya."
"Aku mendengarnya selama tiga bulan tanpa pernah melihatnya. a kali aku mendengar suara seperti dirimu, aku berpikir suara yang begitu indah itu berasal dari ruangan lain. Maka aku keluar dan mencarinya ke sana kemari. Tetapi seperti yang kau tahu, Raoul, ruang gantiku letaknya cukup terpencil. Aku tak dapat menemukan sumber suara itu di luar, sementara ia terus terdengar di dalam ruanganku. Dan tak hanya bernyanyi, suara itu juga berbicara denganku dan menjawab pertanyaan-pertanyaanku seperti suara manusia biasa, hanya saja ia begitu indah seperti datang dari seorang malaikat. Aku tak pernah didatangi sang Malaikat Musik yang janjinya akan dikirim kepadaku oleh Ayah segera setelah ia meninggal. Terus terang, aku agak menyalahkan M amma Valerius. Maka aku bercerita kepadanya, dan ia langsung berkata, 'Dia pastilah sang Malaikat; coba saja, tak ada salahnya bertanya kepadanya.' Jadilah aku bertanya. Dan suara itu menjawab ya, ini suara sang Malaikat, suara yang telah kunanti-nantikan dan yang dijanjikan ayahku. Sejak saat itu, aku berteman baik dengan suara itu. Ia meminta izin mengajariku bemyanyi setiap . Aku menyetujuinya dan tak pernah absen mengikuti pelajaran yang diberikannya di ruang gantiku itu. Meskipun kau telah mendengar suara itu, kau tak akan menyangka seperti apa sesi-sesi latihan itu."
"Aku tidak tahu," kata Raoul. "Musik apa yang mengiringimu?"
" Kami diiringi musik yang tak kukenal, yang berasal dari balik tembok dan yang secara ajaib, sangat akurat. Suara itu seakan begitu persisnya memah suaraku, ia tahu persis sampai mana ayahku mengajariku bernyanyi. Hanya dalam beberapa rninggu, aku tak lagi mengenali suaraku ketika yanyi. Aku bahkan merasa ketakutan bahwa ada semacam ilmu gaib di belakang semua ini, tetapi Mamma Valerius meyakinkanku. la bilang aku terlalu polos untuk bisa dikuasai iblis . . . . Suara itu menyuruhku untuk merahasiakan perkembangan kemampuanku. Tak ada yang boleh tahu selain dia, M amm a Valerius, dan aku sendiri. Memang aneh, tapi aku m tinya. Di luar aku bemyanyi dengan suaraku yang biasanya dan tak ada orang yang curiga. Aku melakukan semua yang dirninta oleh si suara. Ia berkata, 'Tunggu dan lihatlah: kita akan memukau Paris!' Maka aku menunggu dan hidup dalam semacam rnimpi yang sungguh membahagiakan. ltulah masa-masa ketika aku pertama kali melihatmu di Opera pada suatu malam. Aku begitu senang melihatmu sampai aku tak mengira harus menutupi kegembiraanku saat kembali ke ruang ganti. Celakanya, si suara telah menungguku di sana dan dari tingkah lakuku, ia tahu ada sesuatu yang terjadi. Ia bertanya ada apa dan aku tak merasa punya alasan untuk tidak membagikan cerita tentang kita atau menutupi betapa istimewanya kau di hatiku. Lalu suara itu diam. Kupanggil dia, tapi ia tak menjawab. Aku meminta dan memohon, tetapi percuma. Aku takut suara itu telah pergi untuk selarnanya. Sekarang aku berharap ia rnemang pergi saat itu. Malam itu aku pulang ke rumah dalarn keadaan putus asa. Aku bercerita pada M Valerius yang menjawab dengan, 'Tidak heran. Suara itu cemburu!' Dan saat itulah, sayangku, aku pertama kali rnenyadari aku rnencintaimu."
Christine berhenti bercerita dan menyandarkan kepalanya ke pundak Raoul. Untuk beberapa waktu mereka diam seperti itu, tak melihat gerakan yang berjarak beberapa langkah dari mereka, yang datang dari bayangan berbentuk dua sayap besar yang mengendap-endap begitu dekat dengan atap, begitu dekat hingga bayangan itu bisa mencekik mereka dengan mudah.
"Esoknya," lanjut Christine sambil menghela napas, "aku kembali ke ruang ganti dengan pikiran penuh. Suara itu ada di sana, dan dengan kesedihan teramat sangat ia berkata dengan jelas bahwa bila aku rnernang rnenarnbatkan hatiku di dunia ini, ia tak punya pi selain kembali ke surga. Kesedihannya begitu manusiawi sehingga aku semestinya rnenaruh curiga padanya dan sadar bahwa aku hanya termakan tipuan pikiranku saja. Tetapi suara itu mernbangkitkan kenangan yang begitu akrab tentang ayahku sehingga rasa percayaku kepadanya tak tergoyahkan. Tak ada yang lebih rnenakutkan bagiku saat itu selain tak bisa lagi mendengar suara itu. Aku telah memikirkan perasaanku padamu dan menyadari betapa sia-sianya hal itu. Aku bahkan tidak tahu apa kau masih mengingatku. Apa pun yang akan terjadi, status sosialmu membuyarkan harapanku untuk m denganmu, maka aku bersumpah kepada si suara bahwa kau tak lebih dari saudara bagiku, akan selamanya begitu, dan bahwa hatiku tak menanggapi rasa cinta duniawi. Itulah, Sayang, mengapa aku seolah tak mengenali atau melihatmu ketika aku berpapasan denganmu di panggung atau di lorong-lorong. Sementara itu aku menghabiskan waktu berjam-jam berlatih bersamanya dengan sungguh-sungguh, hingga ya suara itu berkata, 'Christine Daae, sekarang kau bisa memberikan sekelumit musik surga kepada manusia.' Aku tidak tahu apa yang membuat Carlotta tidak datang ke teater malam itu atau mengapa aku diminta untuk menggantikannya, yang aku tahu, aku bernyanyi dengan gairah yang tak pemah kurasakan sebelumnya dan, untuk beberapa saat, jiwaku se melayang meninggalkan tubuhku!"
"Oh, stine," kata Raoul, "hatiku bergetar mendengar setiap nada yang dilagukan suaramu itu. Aku melihat air mata mengaliri pipimu dan turut menangis bersamamu. Bagaimana mungkin kau bernyanyi seperti itu sambil menangis?"
"Aku merasa akan pingsan," kata Christine, "maka aku memejamkan mataku. Ketika aku membukanya lagi, kau sudah ada di sampingku. Tetapi suara itu juga ada di sana, Raoul! Karena mengkhawa t irkan keselamatanmu, sekali lagi aku berpura-pura tak mengenalimu dan tertawa waktu kau mengingatkanku bahwa kau pernah mengambilkan syalku dari tengah laut! Celakanya, suara itu tak dapat ditipu ... Ia rnengenalirnu dan rnerasa cernburu! Ia berkata bahwa bila aku tak rnencint u, aku tak akan darirnu dan akan rnernperlakukanrnu seperti ternan lama biasa. Ia terus rnencecarku. ya, aku berkata kepadanya, 'Cukup! Aku akan pergi ke Perros besok untuk berdoa di rnakarn ayahku dan aku akan rnengajak M. Raoul de Chagny.' 'Lakukan apa yang kau rnau,' jawab suara itu, 'tetapi aku juga akan ada di Perros. Sebab aku akan ada di rnana pun kau berada, Christine. Dan bila aku rnasih rnenganggaprnu layak dan tulus, aku akan me an The Resurrection of Lazarus tepat tengah rnalam di rnakam ayahrnu, dengan biola ay u.' Begitulah aku akhirnya rnengir mu surat yang membawamu ke Perros, Sayang. Bagairnana bisa aku dengan rnudah diperdaya" Mengapa pada saat aku rnelihat sisi egois dari si suara itu aku tidak men - curigainya sebagai seorang penipu" Aku tidak lagi menjadi tuan atas diriku. Aku telah menjadi boneka mainannya!"
"Tapi," Raoul, "kau lalu rnengetahui kebenarannya! Mengapa kau tak langsung rnembebaskan diri dari mimpi buruk yang rnengerikan itu?"
"Tahu kebenarannya" Mernbebaskan diri dari mimpi buruk itu" Raoul, aku belum terperangkap dalam mimpi buruk itu sebelurn aku tahu kebenarannya ... Betapa rnalangnya ... Ingatkah kau malam ketika Carlotta rnengira ia telah dikutuk menjadi kodok di atas panggung dan ketika gedung opera tiba-tiba gelap setelah larnpu gantung itu meluncur jatuh" Orang-orang terluka dan mati malam itu, dan seluruh gedung dipenuhi jerit ngeri. Yang terlintas di pikiranku pertarna kali adalah kau dan suara itu. Tapi aku ingat melihatmu di boks balkon kakakmu dan langsung merasa tenang karena kau pastilah selamat. Suara itu berkata bahwa ia akan datang di pementasan malam itu dan aku mengkhawatirkannya, seolah-olah ia manusia biasa yang bisa mati. Aku berpikir, 'Lampu gantung itu mungkin saja menimpa si suara.' Karena itu aku hampir saja lari dari panggung menuju ke penonton untuk mencarinya di antara mereka yang terbunuh dan terluka. Tapi lalu aku berpikir, kalau suara itu selamat, ia tentu berada di ruang gantiku saat itu. Maka aku buru-buru berlari ke ruanganku. la tak ada di sana. Aku mengunci pintu, lalu memohon-mohon sambil berlinang air mata agar ia muncul di hadapanku. Suara itu tak menjawab. Tapi tiba-tiba aku menangkap alunan panjang suara indah yang kukenal baik, lolongan Lazarus ketika ia mulai membuka mata dan bangkit menyambut cahaya matahari setelah Tuhan memanggil namanya. Itu lagu yang kita dengar di Perr os , Raoul. Lalu suara itu mulai menyanyikan bagian utama lagu itu, 'Kemarilah! Dan percayalah padaku! Yang percaya padaku akan hidup! Betjalanlah! Yang telah percaya padaku takkan binasa ... ' Aku tak dapat menceritakan kepadamu rasa yang ditirnbulkan musik itu di dalam diriku. Ia seperti memerintahku untuk mendekat, berdiri dan datang kepadanya. la bergerak menjauh dan aku mengikutinya. 'Ke ah! Dan percayalah padaku!' Aku percaya kepadanya, aku datang kepadanya . . . . Aku datang, dan-inilah yang anehseiring aku melangkahkan kakiku, ruang ganti itu seakan terus bertambah panjang. Semestinya itu efek cermin... karena cermin itu berada tepat di hadapanku . . . Dan, mendadak, tahu-tahu aku sudah ada di luar ruangan itu!" 11 Apa! Tahu-tahu begitu" Christine, Christine, kau harus berhenti berkhaya1!11
11 Aku tidak berkhayal, sayangku, aku tak tahu bagaimana aku bisa keluar dari ruangan itu. Mungkin kau, yang pernah menyaksikan aku menghilang dari ruangan itu, bisa menjelaskannya. Yang jelas aku tidak bisa. Aku hanya bisa mengatakan kepadamu bahwa, tiba-tiba, cermin di hadapanku menghilang dan ruang ganti itu lenyap. Aku berada di lorong yang gelap. Aku ketakutan dan berteriak. Tak ada cahaya di sana kecuali sinar redup kemerahan di sudut dinding yang jauh. Aku berteriak. Hanya suaraku yang terdengar, karena nyanyian dan suara biola itu telah berhenti. Dan tiba-tiba, aku merasakan ada tangan memegang tanganku . . . atau tepatnya tulang-belulang dingin yang gkap pergelangan tanganku dan tak mau melepaskannya. Sekali lagi aku berteriak. Sesosok lengan memeluk pinggangku dan menopang tubuhku. Untuk beberapa saat aku berusaha melepaskan diri tetapi nya menyerah. Aku dibawa ke arah pendar kemerahan di kejauhan itu, kemudian aku dapat melihat bahwa aku berada di pelukan laki-laki bennantel besar dengan topeng yang menutupi seluruh wajahnya. Aku berusaha memberontak untuk terakhir kalinya. Tubuhku menegang dan mulutku terbuka, siap berteriak. Tapi tangan itu menutup mulutku. Tangan yang kurasakan menyentuh b ibir dan kulitku ... tangan yang berbau kematian. Lalu aku jatuh pingsan.
11Saat aku membuka mata, kami masih berada dalam kegelapan. Ada lentera di atas tanah yang menerangi sumber air. Air yang keluar dari sumber itu langsung merembes masuk ke dalam lantai tempat aku berbaring dengan kepala di pangkuan laki-laki bermantel dan bertopeng hitam itu. Ia membasuh keningku dan tangannya berbau kematian. Aku mencoba menyingkirkan tangan itu dan bertanya, 'Siapa kau" Mana suara itu"' Ia hanya menjawab dengan menghela napas. Tiba-tiba aku merasakan napas panas menerpa wajahku dan aku melihat suatu sosok putih di kegelapan, di samping sosok hitam laki-laki itu. Sosok hitam itu mengangkatku ke atas sosok putih tersebut dan suara ringkik g menyambutku. Terkejut, aku bergumam, 'Cesar!' Binatang itu menggerakkan tubuhnya. Raoul, aku terbaring di atas pelana dan aku mengenali kuda putih yang digunakan untuk pementasan P ta, yang sering kuberi makan gula dan permen. Aku ingat, suatu malam tersebar kabar bahwa kuda itu menghilang dan dicuri oleh si hantu Opera. Aku percaya pada si suara, tapi aku tak pernah percaya pada hantu itu. Namun saat itu, dengan ketakutan aku mulai bertanya-tanya apakah aku dijadikan tawanan si hantu. Aku memanggil-manggil suara itu untuk menolongku, sebab aku tak pernah menyangka bahwa si suara dan si hantu adalah orang yang sama. Kau pernah mendengar tentang hantu Opera itu kan, Raoul?"
"Ya, tapi ceritakan padaku apa yang terjadi waktu kau berada di atas kuda putih pementasan Profeta itu?"
"Aku memutuskan untuk diam saja dan membiarkan semuanya terjadi. Sosok hitam itu mendudukkanku dan aku menurut saja. Rasa tenang yang ganjil menyelimutiku dan kupikir aku pasti berada di bawah pengaruh semacam sikap ramah seorang tuan rumah. Pancaindraku bekerja dengan sempuma, dan mataku mulai terbiasa dengan kegelapan yang ada, yang sebe ya diterangi kerlip cahaya di sana-sini. Aku memperkirakan kami sedang berada di lorong sempit melingkar yang mungkin terbentang di seluruh ruang bawah tanah Opera yang begitu luas. Aku pernah turun ke tingkat-tingkat bawah tanah itu, tetapi aku berhen t i di t ingkat ketiga, meskipun masih ada dua tingkat lagi yang cukup besar untuk menampung sebuah kota. Namun sosok-sosok yang kulihat membuatku lari menjauh. Ada iblis-iblis di bawah sana, berwama cukup gelap dan berdiri di depan tungku-tungku. Mereka memegang sekop dan garpu rumput untuk mengatur baranya, dan bila kau berada terlalu dekat dengan mereka, mereka menakut-nakutimu dengan membuka mulut-mulut merah tungku-tungku mereka secara tiba-tiba . . . . Well, sementara Cesar dengan tenang membawaku di atas pelananya, aku melihat iblis-iblis hitam itu di kejauhan. Mereka terlihat cukup kecil dan sedang berdiri di depan api merah tungku-tungku mereka. Mereka muncul dan menghilang berganti-ganti setiap kali kami bergerak menyusuri jalan melingkar itu. Akhimya mereka semua tak tampak lagi. Sosok itu masih memegangiku dan Cesar terus berjalan dengan yakin tanpa komando. Aku bahkan tak dapat mengira-ngira berapa lama perjalanan itu berlangsung. Aku hanya tahu bahwa kami seperti terus berputar dan sering kali menuruni tangga melingkar menuju perut bumi. Atau mungkin juga itu karena kepalaku pusing saat itu, tetapi rasanya tidak. Tidak, pikiranku cukup jernih waktu itu. Akhirnya Cesar sedikit mendongak, membaui udara lalu agak mempercepat langkahnya. Aku merasakan udara menjadi lembap dan Cesar berhenti. Kegelapan telah hilang.
Sem sinar kebiruan melingkupi kami. Kami sampai di tepian suatu danau dengan air kelam yang menghampar hingga jauh ke dalam kegelapan. Tetapi sinar biru itu menerangi tepiannya dan aku melihat perahu kecil tertambat di gelang besi pada dermaga!"
"Sebuah perahu!"
"Ya, tetapi aku tahu semua itu nyata dan tak ada yang gaib dari danau bawah tanah serta perahu itu. Tapi coba pikir tentang keadaan tak lazim yang membawaku ke sana! Aku tak tahu apakah efek keramahan tuan rumah itu telah menghilang ketika sosok laki-laki itu mengangkatku ke dalam perahu, yang jelas rasa ngeriku kembali. Pengawalku yang menakutkan itu pasti merasakannya, sebab ia menyuruh C pergi. Aku mendengar derap langkahnya menaiki tangga sementara laki-laki itu melompat ke dalam perahu, membebaskan tali yang menahannya dan meraih dayung. la mendayung dengan gerakan cepat dan kuat, sedangkan matanya yang berada di batik topeng tak pernah lepas dariku. Kami bergerak mengarungi air tenang yang diterangi sinar kebiruan seperti kataku tadi, lalu sekali lagi kami berada di dalam kegelapan dan mendarat di tepian. Dan kembali lengan itu menggendongku. Aku bert k keras. Lalu, tiba-tiba, aku terdiam, terpaku oleh cahaya yang ada . . . . Ya, aku diletakkan di tengah-tengah cahaya yang menyilaukan. Aku melompat berdiri. Aku berada di tengah ruang tamu yang rasanya penuh sesak dihiasi dengan berbagai jenis dan ukuran bunga, bunga-bunga di dalam keranjang dengan pita-pita sutra seperti yang dijual di toko-toko. Bunga-bunga itu terlalu beradab untuk tempat semacam itu, sebab bunga-bunga tersebut jenis yang biasa kudapati di ruang gantiku setiap usai pementasan perdana. Dan, di tengah-tengah semua bunga ini, sosok hitam laki-laki bertopeng itu berdiri sambil merentangkan tangannya. Ia berkata, 'Jangan takut, Christine; kau tidak berada dalam bahaya.' !tu si suara!
"Aku marah sekaligus takjub. Buru-buru aku menuju topeng itu dan berusaha melepaskannya supaya aku bisa melihat wajah di balik suara itu. Laki-laki itu berkata, 'Kau tidak berada dalam bahaya selama kau tak menyentuh topeng ini.' Lalu dengan lembut ia memegang pergelangan tanganku dan memaksaku duduk di kursi, sementara ia berlutut di hadapanku dan tak berkata apa-apa lagi! Kerendahan hatinya menumbuhkan sebagian keberanianku, dan cahaya ruangan itu melemparkanku kembali pada kenyataan. Seberapa pun ganjilnya perjalanan yang mengantarkanku kemari, kini aku dikelilingi oleh benda-benda nyata yang dapat dilihat dan disentuh. Perabot yang ada, hiasanhiasan gantung, lilin, vas, dan bunga-bunga dalam keranjang yang hampir bisa kukenali asal serta harganya, mematahkan imajinasiku dan membuatku menyadari keberadaan ruang tamu yang tak berbeda dengan ruang tamu mana pun di luar ruang bawah tanah Opera ini. Tak diragukan lagi, aku berurusan dengan seorang eksentrik menakutkan yang entah bagaimana caranya telah berhasil membangun tempat tinggalnya di sana, lima tingkat di bawah tanah gedung Opera. Dan suara itu, yang kukenali keluar dari balik topeng itu, datang dari sosok yang sedang berlutut di depanku, dan ia adalah manusia biasa! Dan aku mulai menangis .... Laki-laki yang tetap berlutut itu pasti memahami alasan tangisku sebab ia berkata, 'Memang benar, Christine ... Aku bukan malaikat, jenius, atau hantu . . . Aku Erik!'"
Sekali lagi cerita Christine terpotong. Gema di belakang rnereka seakan mengulangi kata terakhir yang diucapkannya.
"Erik!" Gema apa itu" Keduanya leh ke belakang dan rnendapati rnalam telah turun. Raoul hendak bangkit berdiri, tetapi Christine menahannya supaya tetap di sana.
"Jangan pergi," katanya. "Aku ingin kau mengetahui segalanya di sini!"
"Tetapi mengapa di sini, Christine" Aku takut kau akan terkena flu."
"Kita tak perlu takut apa pun kecuali pintu-pintu jebak itu, sayangku, dan di sini kita berada sangat jauh dari pintu-pintu itu ... dan aku tak diperbolehkan menernuirnu di luar teater. Ini bukan saatnya membuat dia kesal. Kita tak boleh rnembuatnya curiga."
"Christine! Christine! Entah mengapa aku merasa kita tak boleh menunggu hingga esok malam dan seharusnya kita pergi sekarang juga."
"Bila ia tak mendengarku bernyanyi besok, ia akan sangat rnenderita."
"Bag ana rnungkin kau tak rnau rnembuatnya rnenderita tetapi kau meninggalkan dia untuk selamanya."
"Kau benar, Raoul, sebab ia pasti rnati karena kepergianku." Dan ia menarnbahkan dengan suara datar, "Tetapi ini berlaku dua arah . . . sebab kita juga mengambil risiko dibunuh olehnya."
"Apa ia begitu rnencintairnu?" "Ia rela membunuh demi aku."
"Tetapi orang bisa menemukan tempat ia tinggal. Mereka bisa mencarinya. Sekarang setelah kita tahu Erik bukanlah hantu, ka bisa berbicara dengannya dan memaksanya memberikan jawaban!"
Christine menggeleng. "Tidak, tidak! Tidak ada yang bisa diperbuat terhadap Erik . . . kecuali melarikan diri darinya!"
"Kalau begitu, ketika kau telah berhasil melarikan diri, mengapa kau kembali kepadanya?"
"Karena aku harus. Dan kau akan mengerti setelah aku menceritakan bagaimana aku meninggalkannya."
"Oh, aku membencinya!" seru Raoul. "Dan kau, Christine, katakan kepadaku, apa kau juga membencinya?"
"Tidak," jawab Christine pendek.
"Tentu saja tidak . . . . Kau mencintainya! Rasa takut dan ngeri yang kaurasakan itu adalah cinta yang luar biasa, sebentuk perasaan yang bahkan tak diakui orang kepada dirinya sendiri," ucap Raoul getir. "Perasaan yang membuatmu berdebar ketika memikirkannya . . . . Bayangkan, seorang laki-laki yang tinggal di istana bawah tanah!" Raoul meliriknya tajarn.
"Jadi kau mau aku kembali ke sana?" tukas gadis muda itu. "Hati-hati, Raoul, sudah kukatakan kepadamu, aku tak akan kembali!"
Kesunyian yang menyesakkan melingkupi mereka bertiga, dua orang yang berbicara dan satu bayangan yang mendengarkan di belakang mereka.
"Sebelum aku menjawabnya," akhirnya Raoul berucap pelan, "aku ingin tahu, bila kau tak membencinya, perasaan apa yang ditimbulkannya di dalam dirimu?"
"Kengerian!" jawabnya. "Itulah yang begitu mengerikan dari semuanya. Ia membuatku merasakan kengerian teramat sangat dan aku tak membencinya. Bag a mungkin aku membencinya, Raoul" Bayangkan Erik bersimpuh di kakiku di rumah tepi danau di bawah tanah. Ia memaki-mak i dan menyumpahi dirinya sendiri serta memohon pengampunanku. Ia mengakui kesa nya. la mencintaiku! Ia menempatkan cinta yang begitu besar dan menyedihkan di ujung kakiku . . . . la membawaku atas nama cinta... la memenjarakanku di bawah tanah bersamanya karena cinta ... Tapi ia menghargaiku. Ia berlutut, mengerang, dan menangis! Dan, Raoul, saat aku berdiri dan berkata kepadanya bahwa ia tak lebih dari seorang di mataku bila ia tak membebaskanku saat itu juga ... ia menawarkan kebebasan itu kepadaku . . . ia menawarkan untuk menunjukkan jalan tersembunyi itu . . . Hanya saja . . . hanya saja ia kemudian berdiri dan bernyanyi. Dan aku sekali lagi diingatkan bahwa, meski ia bukan malaikat, hantu, atau jenius, ia tetaplah si suara. Lalu aku mendengarkannya bernyanyi . . . dan tinggal di sana! Malam itu kami tidak berkata apa-apa lagi. la bemyanyi hingga aku tertidur."
"Ketika terbangun, aku terbaring sendirian di sofa di suatu kamar tidur kecil sederhana berisi ranjang kayu mahogani biasa, diterangi lampu yang ditempatkan di atas lemari laci zaman Louis-Philippe. Aku segera menyadari bahwa aku telah dijadikan tawanan dan satu-satunya jalan keluar dari kamarku temyata mengarah ke kamar mandi yang begitu nyaman. Sekembalinya ke kamar tidur, aku melihat secarik catatan dengan tinta merah yang ditinggalkan di atas lemari laci, 'Christine-ku tersayang, kau tak perlu mengkhawatirkan nasibmu. Tak ada orang yang lebih baik terhadapmu atau yang lebih menghormatimu selain aku. Saat ini kau sendirian di rumah yang adalah milikmu ini. Aku pergi berbelanja g-barang yang kaubutuhkan.' Aku yakin aku telah jatuh ke tangan orang gila. Aku berlari mengelilingi apartemen mungilku, mencari jalan keluar yang tak bisa kutemukan. Aku menyalahkan diri sendiri karena memercayai takhayul yang membuatku masuk dalam perangkap ini. Aku ingin tertawa dan menangis pada saat yang sama."
"Begitulah keadaanku ketika datang. Setelah etuk dinding tiga kali, ia melangkah masuk dengan tenang melalui pintu yang tak kulihat sebelumnya, yang kini dib iarkannya terbuka. Tangannya penuh bungkusan yang kemudian diaturnya dengan tenang di atas tempat tidur sementara aku menghujaninya dengan pe taan supaya ia melepas topengnya bila ia memang jujur. Dengan tenang ia menjawab, 'Kau tak akan pernah melihat wajah Erik.' Lalu ia mengomeliku karena belum juga berganti pakaian sementara hari sudah siang. la memberitahu saat itu sudah pukul dua. Sambil mengeset jam, i a berkata akan riku waktu setengah jam sebelum mempersilakanku menuju ruang makan. Di sana makan siang telah menanti k ."
"Aku begitu marah, membanting pintu di hadapannya dan masuk ke kamar mandi. Ke t ika aku keluar dari sana dalam keadaan segar, Erik berkata bahwa ia mencintaiku tetapi ia tak akan memberitahukannya kepadaku kecuali
aku mengizinkannya dan i a akan menghabiskan sisa waktunya untuk menggarap musik. 'Apa maksudmu dengan sisa waktu"' tanyaku. 'Lima hari,' katanya dengan yakin. Aku bertanya apa setelah lima hari itu aku akan bebas dan ia menjawab, 'Kau akan bebas, Christine. Sebab setelah lima hari itu terlewati, kau akan terb iasa untuk tidak memandang wajahku, dan setelah itu, secara rutin kau akan datang menemui Erik-mu yang malang!' Ia duduk di meja kecil dan menunjuk kursi yang ada di seberangnya. Aku duduk dengan perasaan gelisah. Meski begitu, aku makan beberapa udang dan sayap ayam serta minum setengah gelas anggur tokay yang, katanya, diambilnya sendiri dari ruang bawah tanah Konigsberg. Erik tidak makan maupun rninum. Aku bertanya soal kewarganegaraannya dan apa nama Erik itu menunjukkan darah S inavi a yang dimilikinya. Ia berkata bahwa ia tidak punya nama atau negara, dan nama Erik diamb ilnya begitu saja."
"Selesai makan siang, ia bangkit dan mengulurkan tangan kepadaku, berniat mengajakku berkeliling tempat kediamannya. Tapi dengan cepat aku menarik tanganku sambil menjerit. Yang kusentuh adalah sesuatu yang dingin dan begitu kurus, dan aku ingat bau kematian yang menguar dari tangan itu. 'Oh, maafkan aku!' erangnya. Lalu ia membuka suatu pintu di depanku. 'lni tidurku, kalau kau sudi melihatnya. Sedikit tak lazim.' Cara, kata-kata, serta sikapnya menimbulkan rasa percaya diriku dan, tanpa ragu, aku melangkah masuk. Aku seperti memasuk i kamar orang mati. Dinding-dindingnya berwarna hitam. Tetapi, bukannya o mam en-ornamen berw putih yang biasa menghiasi interior pemakaman, ruangan itu
memiliki titi nada berukuran sangat besar yang memuat notasi Dies Irae secara berulang-ulang. Di tengah-tengah ruangan terdapat kanopi tempat tergantungnya tirai-tirai brokat berw merah, dan di bawah kanopi itu terdapat satu peti mati yang terbuka. 'Di situlah aku tidur,' kata Erik. 'Seseorang harus membiasakan diri terhadap segala sesuatu dalam hidup ini, termasuk keabadian.' Aku tak tahan lagi, dan aku memalingkan wajahku."
"Saat itulah aku melihat organ yang an satu dinding ruangan. Di atas meja terdapat buku musik yang dipenuhi notasi berwarna merah. Aku meminta izin melihatnya dan membaca tulisan yang ada di sana, Don Juan Triumphant. 'Ya,' katanya, 'kadang aku mencipta lagu. Aku mulai menulis komposisi ini dua puluh tahun lalu. Bila selesai nanti, aku akan membawanya ku ke dalam peti rnati itu dan tak akan bangun lagi untuk selamanya.' 'Kalau begitu jangan kaukerjakan sering-sering,' kataku. la menjawab, 'Kadang aku mengerj ny a si a ng-malam selama empat belas hari tanpa makan dan minum, lalu tak menjamahnya selama bertahun-tahun.' 'Apa kau mau me
an salah satu lagu dari Don Juan Triumphant karyamu itu"' tanyaku, berusaha membuatnya senang. 'Jangan pernah kau minta itu kepadaku,' jawabnya muram. 'Kalau kau mau, aku mernainkan Mozart untukmu. Mozart hanya akan membuatmu menangis, tetapi Don Juan karyaku, Christine, bergelora dan membakar, dan ia tidak berkobar oleh api kebaikan dari surga.' Setelah itu kembali ke ruang duduk. Aku menyadari bahwa tidak ada cermin di seluruh ruang kedia mann ya. Aku baru saja akan menanyakan ini kepadanya, tetapi Erik telah duduk di depan
piano . Ia berkata, 'Mengertilah, Christine, bahwa ada musik yang begitu mengerikan sehingga ia melumat habis segala sesuatu yang mendekatinya. Untunglah kau belum menjumpainya, sebab kau akan kehilangan seluruh rona keindahan dalam dirimu dan tak seorang pun akan mengenalimu saat kau kembali ke Paris. Marilah kita nyanyikan sesuatu dari Opera, Christine Daae.' la mengucapkan kalimat terakhir itu seolah-olah sedang menghinaku.11 11 Apa yang kaulakukan?"
11 Aku tak punya waktu untuk berpikir tentang maksud kata-katanya. Kami langsung menyanyikan duet di Othello dan segera kami merasakan malapetaka yang digambarkan lagu itu. Aku menyanyikan Desdemona dengan keputusasaan dan kengerian yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Sedangkan i a , suaranya me a, menyuarakan dendam teramat sangat pada setiap nadanya. Rasa cinta, cemburu, dan benci pecah melingkupi kami melalui suara-suara yang menyayat. Topeng hitam Erik mengingatkanku pada topeng tokoh orang Moor dari Venice itu. Ia telah menjelma menjadi Othello. Tiba-tiba, aku merasakan dorongan untuk melihat yang ada di balik topeng itu. Aku ingin tahu wajah dari si suara. Lalu, dengan satu gerakan yang benar-benar tak mampu kucegah lagi, jemariku dengan cepat melepaskan topeng itu. Oh, ngeri, ngeri, ngeri!"
Christine berhenti, teringat pemandangan yang telah membuatnya takut itu, sementara gema yang telah mengulang Erik mengulang seruan itu tiga kali, 11Nge- .
N " 11 n... gen... gen.
Raoul dan Christine yang berdekapan erat mengarahkan pandangan mereka ke bintang-bintang yang berpendar di
langit cerah m itu. Raoul berkata, "Betapa aneh, Christine, bahwa malam yang tenang dan tenteram ini dipenuhi suara-suara sedih. Sepertinya ia turut berduka bersama kita."
"Saat kau mengetahui rahasia itu, Raoul, seperti telingaku, telingamu akan dipenuhi ratapan."
Gadis itu menggenggam tangan Raoul, lalu setelah bergidik cukup lama ia melanjutkan, "Ya, bila aku hidup hingga seratus tahun, aku akan selalu mendengar teriakan pilu penuh kemarahan yang ia keluarkan saat aku menyaksikan hal mengerikan itu. Raoul, kau pernah melihat tengkorak-tengkorak yang telah kering dan dimakan usia, dan mungkin, bila itu temyata bukan mimpi buruk belaka, kau telah melihat kepala tengkoraknya di Perros. Lalu kau melihat Red Death berkeliaran di pesta dansa kemarin. Tetapi semua tengkorak itu tidak bergerak dan kengerian yang mereka miliki tidaklah hidup. Namun bila sanggup, bayangkan topeng si Red Death tiba-tiba hidup dan mengekspresikan murka iblis melalui keempat lubang di wajahnya yang dibentuk oleh mata, hidung, dan mulutnya. Dan tak ada seberkas cahaya pun dari relung matanya, sebab, sebagaimana yang kupahami setelahnya, kau tak dapat melihat matanya yang berkilat kecuali di dalam gelap."
"Aku terhuyung hingga ke dinding dan ia menghampiriku penuh kemarahan, dan ketika aku jatuh berlutut, ia mendesiskan kata-kata dan makian tak jelas kepadaku. Mencondongkan dirinya ke arahku, ia berseru, 'Li h at! Kau ingin melihat, kan" Lihatlah! Puaskan matamu dan kenyangkan jiwamu dengan keburukan parasku yang terkutuk ini! Lihatlah wajah Erik! kau tahu wajah si suara!
Mendengarkan suaraku saja tidak cukup bagimu, hah" Kau ingin tahu bagaimana rupaku! Oh, kalian para perempuan memang selalu ingin tahu! Well, apa kau puas" Aku lakilaki yang sangat tampan, ya" Bila seorang perempuan telah melihat parasku, seperti yang kaulakukan, ia menjadi milikku. Ia mencintaiku selamanya. Kau tahu, aku ini seper t i Don Juan!' Lalu ia berdiri tegak, dan dengan berkacak pinggang ia menggoyang-goy kepala mengerikannya itu sambil berteriak, 'Lihat aku! Akulah Don Juan yang berjaya!' Kemudian, saat aku memalingkan wajah dan memohon belas kasihan, dengan kasar ia menarik wajahku ke arahnya, menyelipkan jemarinya yang serupa mayat itu di antara rambutku."
"Cukup! Cukup!" teriak Raoul. "Aku akan membunuhnya. Demi Tuhan, Christine, beritahu aku di mana ruang makan di tepi danau itu! Aku harus membunuhnya!" "Oh, bila kau memang ingin tahu, Raoul, diamlah!" "Ya, aku ingin tahu bagaimana dan mengapa kau kembali; aku harus tahu! Tapi bagaimanapun juga, aku akan membunuhnya!"
"Oh, Raoul, diam dan dengarkan . . . Ia menarik rambutku lalu . . . lalu . . . Oh, ini terlalu mengerikan!"
"Apa" Katakan!" seru Raoul marah. "Cepat, katakan!" "Lalu ia mendesis ke arahku. 'Ah, aku membuatmu takut, bukan" Pas t i! Mungkin kaupikir aku punya topeng yang lain, hah, dan ini... kepalaku ini adalah topeng" Well,' teriaknya, 'lepaskanlah seperti kau melepaskan yang sebelumnya! Mari! Lakukan! Aku berkeras! Tanganmu! Tanganmu! Ber tanganmu!' Lalu ia meraih kedua tanganku dan mencakarkan mereka ke wajahnya yang buruk. Ia mengelupas daging mengerikan serupa mayat itu menggunakan kuku-kukuku!
'"Ketahuilah,' teriaknya dengan napas memburu penuh amarah, 'ketahuilah bahwa aku terbuat dari kematian dari ujung rambut hingga ujung kaki, dan mayat inilah yang mencintaimu, memujamu, dan takkan pemah meninggalkanmu! Lihatlah, aku tidak tertawa sekarang, aku menangis. Aku menangis untukmu, Christine, yang telah menanggalkan topengku dan karenanya tak akan pernah bisa pergi lagi dariku! Selama kau berpikir aku tampan, kau mungkin saja kembali . . . tetapi, kini setelah kau mengetahui keburukan parasku, kau akan pergi untuk selamanya . . . . Karena itu aku harus menawanmu di sini! Mengapa kau ingin melihat wajahku" Oh, si gila Christine yang ingin melihat wajahku... Bahkan ayahku sendiri tidak pernah menatapku dan ibuku menghadiahiku topeng pertamaku supaya ia tak harus memandang wajahku!'
"Akhimya ia melepaskanku dan merangkak di lantai sambil menangis pilu. Kemudian ia merangkak pergi seperti ular, masuk ke kamarnya lalu mengunci pintu dan meninggalkanku merenung sendirian. Lalu aku mendengar suara organ dimainkan, dan aku mulai memahami katakata Erik yang merendahkan musik yang dimainkan di Opera. Musik yang kudengar saat itu benar-benar berbeda dengan yang pernah kudengar. Bagiku, Don Juan Triumphant karyanya itu (sebab aku yakin ia buru-buru memainkan musik miliknya untuk melupakan kengerian saat itu) pada mulanya terdengar seperti isakan yang begitu panjang, sedih, namun indah. Tetapi, sedikit demi sedikit ia menampilkan setiap emosi, setiap penderitaan yang mungkin dialami oleh ia. Musik itu membuaiku, dan aku membuka pintu yang memisahkan kami. Ketika aku masuk, Erik berdiri namun tak berani menoleh ke arahku. 'Erik,' seruku, 'jangan takut ukkan wajahmu kepadaku! Aku yakin kau adalah manusia yang paling tak bahagia mulia. Dan bila aku pernah gemetar sekali lagi saat memandang wajahmu, itu pasti karena aku menyadari betapa jeniusnya dirimu!' Lalu Erik membalikkan badan
ia memercayaiku dan aku juga meyakini kata-kataku. Ia tersungkur di kakiku sambil mengucapkan kata-kata cinta ... kata-kata cinta yang keluar dari mulut mayatnya . . . dan musik itu berhenti . . . Ia mencium tepi gaunku dan tak melihatku memejamkan mata.
"Apa lagi yang bisa kuceritakan kepadamu, Sayang" Sekarang kau tahu tentang tragedi itu. Ia berlanjut selama dua minggudua minggu l ya aku berbohong kepadanya. Kebohonganku mengerikannya dengan monster yang menciptakannya, tetapi itulah harga yang kubayar untuk kebebasanku. Aku membakar topengnya. Dan aku berpura-pura dengan sangat baik sehingga bahkan ketika tidak sedang bernyanyi, ia memandangiku seperti seekor anjing di samping tuannya. Ia adalah pelayanku yang setia dan tak henti-hentinya ia menghujaniku dengan perhati a n. Sedikit demi sedikit aku berhasil menimbulkan rasa percaya dalam dirinya sehingga ia mau mengajakku berjalan-jalan di tepian danau dan membawaku naik perahu mengarungi airnya yang gelap. Mendekati akhir masa tawananku, ia membiarkanku keluar melalui gerbang yang menutup jalan bawah tanah di Rue Scribe. Di sana kereta kuda telah menunggu kami dan membawa kami ke Bois.
Malam ketika kami bertemu denganmu nyaris berakibat fatal bagiku karena ia begitu cemburu kepadamu dan aku terpaksa memberitahunya bahwa kau akan segera meninggalkan kota ini . . . . Lalu, akhimya setelah dua minggu yang mengerikan itu, masa-masa aku dipenuhi oleh rasa iba, semangat, putus asa, serta ngeri berganti-ganti, ia memercayaiku ketika aku berkata, 'Aku akan kembali!"' "Dan kau kembali, Christine," erang Raoul. "Ya, Sayang, dan aku harus memberitahumu bahwa aku menepati janjiku bukan karena anc anc menakutkan yang dikeluarkannya ketika ia membebaskanku, tetapi karena isakan pilu a di ambang makam . . . . lsakan itu temyata mengikatku pada laki-laki malang itu lebih kuat daripada yang kuperkirakan saat aku berpisah dengannya. Erik yang malang! Erik yang malang!"
"Christine," ujar Raoul sambil berdiri, "kau bilang padaku kau mencintaiku; tetapi kau mendapatkan kebebasanmu hanya beberapa jam sebelum kau kembali kepada Erik! Ingatlah pesta topeng itu!"
"Ya. Dan apakah kau ingat waktu-waktu yang kulewati bersamamu, Raoul. . . yang membahayakan kita berdua?" "Aku meragukan cintamu kepadaku di saat-saat itu." "Apa kau masih meragukannya, Raoul" Kalau begitu ketahuilah bahwa setiap kali aku mengunjungi Erik, rasa ngeriku terhadapnya kian bertambah. Sebab kunjungankunjungan itu semakin membuatnya jatuh cinta dan bukannya menenangkannya seperti yang kuharapkan . . . Dan kini aku sangat ketakutan!"
"Kau ketakutan ... ta pi apa kau mencintaiku" Bila Erik laki-laki yang tampan, apakah kau akan mencintaiku, Christine?"
Kini gadis itu berdiri, dan sambil melingkarkan kedua lengannya yang gemetar di leher pemuda itu i a berkata, "Oh, tunangan sehariku, bila aku tak mencintaimu, aku tak akan memberikan bibirku untukmu! Terimalah b ibirku untuk pertama dan terakhir kalinya."
Pemuda itu mencium bibirnya. Tetapi malam tenang yang menyelirnuti mereka tiba-tiba berubah kacau. Mereka berlar i secepat kilat dengan mata yang memancarkan ketakutan akan Erik, setelah dengan penuh kengerian mereka mendapati jauh di atas mereka, sosok seperti burung raksasa yang menatap mereka dengan matanya yang berkilat dan seakan melekat pada senar harpa Dewa Apollo.
Bab 13 Aksi si Pencinta Pintu Jebak
RAoUL dan stine berlari, sejauh mungkin meninggalkan atap serta sepasang mata berkilat yang hanya terlihat dalam kegelapan, dan tidak berhenti sebelum mencapai lantai kedelapan dari atas.
Malara itu tidak ada pementasan di Opera dan tak ada orang di koridor-koridomya. Tiba-tiba satu sosok ganjil berdiri di hadapan mereka dan menghalangi jalan. "Tidak, jangan lewat sini!"
Lalu sosok itu menunjuk ke jalan lain yang menuju ke daerah sayap gedung. Raoul berniat berhenti dan m ta penjelasan, tetapi sosok yang mengenakan semacam jubah panjang dan topi lancip itu berkata, "Lekas! Cepat pergi!"
Christine sudah menyeret Raoul, memohon supaya ia berlari lagi.
"Tapi siapa dia" Siapa laki-laki itu?" tanyanya. Christine menjawab, "Itu si orang Persia." "Apa yang dilakukannya di sini?" "Tak ada yang tahu. Dia selalu ada di Opera." "Kau membuatku kabur untuk pertama kalinya dalam hidupku. Kalau kita benar-benar melihat Erik, yang seharusnya kulakukan adalah memakunya ke harpa Dewa Apollo itu seperti kita memaku burung-burung hantu ke dinding peternakan Breton kita, dan semuanya akan berkhi II a r.
"Raoul-ku tersayang, pertama-tama kau harus memanjat hingga harpa Dewa Apollo dan itu bukan perkara mudah."
"Mata berkilat itu ada di sana!"
"Oh, kau sudah seperti aku sekarang yang melihatnya di mana-mana! Apa yang kuanggap mata berkilat itu bisa saja sepasang bintang yang bersinar di balik senar-senar harpa itu."
Lalu Christine turun satu lantai lagi, diikuti oleh Raoul.
"Dengan tekadmu yang sudah bulat untuk pergi, Christine, aku yakin kita lebih baik pergi sekarang juga. Mengapa harus menunggu besok" la mungkin mendengar pembicaraan kita malam ini."
"Tidak, tidak, ia sedang bekerja. Sudah kubilang, ia mengerjakan Don Juan Triumphant dan tak memikirkan kita."
"Kau begitu yakin sampai-sampai kau terus menoleh ke belakang!"
"Datanglah ke ruang gantiku."
"Tidakkah kita sebaiknya bertemu di luar Opera?" "Tidak, tunggu sampai kita pergi sini untuk se - nya! Kalau aku tak menepati janjiku, kita akan bernasib sial. Aku telah berjanji kepadanya untuk menemuimu hanya di dalam gedung Opera."
"Betapa beruntungnya aku ia memperbol u melakukan itu." Raoul melanjutkan dengan ketus, "Sadarkah kau betapa nekatnya kau memb iarkan kita pura-pura bertunangan ?"
"Sayang, ia tahu semua itu! la berkata, 'Aku percaya padamu, Christine. M. de Chagny sedang jatuh cinta padamu dan ia akan pergi jauh. Aku ingin ia sebahagia aku sebelum ia pergi.' Apa orang memang begitu sedihnya ketika mereka jatuh cinta?"
"Ya, Christine, jika mereka jatuh cinta dan tak yakin cintanya berbalas."
Mereka sampai di ruang ganti Christine.
"Mengapa kaupikir lebih berada di ruangan ini daripada di panggung?" tanya Raoul. "Kau pernah mendengarnya di balik dinding-dinding ini, itu artinya ia bisa mendengar kita."
"Tidak. Erik sudah berjanji tak akan lag i berada di balik dinding ruang gantiku dan aku memegang kata-katanya. Ruangan ini serta kamar tidurku di tepi danau adalah milikku sepenuhnya dan ia tak berhak mendekat."
"Bagaimana kau bisa berpindah dari ruangan ini ke lorong gelap itu, Christine" Bagaimana kalau kita mengulangi apa yang kaulakukan saat itu?"
"Itu berbahaya, Sayang. Sebab cermin itu mungkin akan membawaku pergi lagi, dan bukannya melarikan diri, aku
terpaksa berjalan hingga ke ujung jalan rahasia menuju danau itu dan memanggil Erik."
"Apa ia akan mendengarmu?" "Erik mendengarku setiap kali aku memanggilnya. Begitu katanya padaku. Ia amat jenius. Raoul, kau jangan meng ira ia laki-laki biasa yang suka hidup di bawah tanah. Ia mela hal-hal yang tak dapat diperbuat orang lain dan ia mengetahui banyak hal yang tak diketahui seorang pun di dunia ini."
"Hati-hati dengan ucapanmu, Christine. Kau sekali lagi mengubahnya menjadi hantu!"
"Tidak, ia bukan hantu. Ia manusia yang luar biasa, itu saja."
"Manusia yang luar biasa... itu saja! Penggambaran yang begitu indah atas dirinya! Dan apakah kau masih berkeras melarikan diri darinya ?"
"Ya, besok." "Niatmu akan lenyap besok!"
"Bila memang demikian, Raoul, kau harus tetap membawaku pergi meskipun aku menolak. Kau mengerti?"
"Tengah malam esok aku akan ada di sini. Apa pun yang terjadi, aku menepati janjiku. Kaubilang ia akan menunggumu di ruang makan tepi danau setelah mendengarkan penampilanmu esok malam?"
''Ya.'' "Ba kau bisa menemuinya jika kau tak tahu caranya menembus ce ini?"
"Tentu saja dengan langsung menuju tepi danau itu."
stine membuka kotak, mengambil kunci yang sangat besar dan menunjukkannya kepada Raoul.
"Apa itu?" tanyanya.
"Kunci gerbang yang menuju jalan bawah tanah di Rue Scribe."
"Aku mengerti, Christine. Jalan itu langsung menuju ke danau. Maukah kau memberikan kunci itu kepadaku, Christine?"
"Tidak akan!" kata gadis itu. "Itu ber aku berkhianat padanya!"
Tiba-tiba wajah Chris t ine berubah pucat. Raut ketakutan yang amat sangat terpancar dari sana.
"Oh, Tuhan!" serunya. "Erik! Erik! Kasihanilah aku!" "Diam!" kata Raoul. "Kaubilang dia bisa mendengarmu!"
Tetapi tingkah penyanyi itu semakin ganjil saja. la meremas-remas jemarinya sambil berkata berulang-ulang dengan panik, "Oh, Tuhan! Oh, Tuhan!"
"Apa" Ada apa?" tanya Raoul.
"Cincin itu . . . cincin emas yang diberikannya padaku." "Oh, jadi Erik yang memberimu cincin itu!" "Kau sudah tahu itu, Raoul! Tapi yang belum kau tahu adalah ketika ia memberikan cincin itu kepadaku, ia berkata, 'Kuberikan kembali kebebasanmu, Christine, dengan syarat cincin ini terns terpasang di jarimu. Selama kau memakainya, kau akan terlindungi dari segala bahaya dan Erik akan tetap menjadi temanmu. Tapi celakalah bila kau sampai terpisah dengan cincin ini, sebab Erik membalas dendam!' Sayangku, cincin itu hilang! Kita berdua akan celaka!"
Mereka mencari cincin itu, tetapi tak menemukannya. Christine menjadi sangat panik.
"Pasti terjadi waktu aku menciummu di atap tadi, di bawah harpa Dewa Apollo," katanya. "Cincin itu pasti terlepas dari jariku dan jatuh ke jalanan di bawah! Kita tak akan bisa menemukannya. Malapetaka apa yang menanti kita sekarang" Oh, kita harus lari!"
"Mari kita lari sekarang," paksa Raoul sekali lagi. Gadis itu ragu. Raoul mengira Christine akan berkata iya . . . . Tetapi manik matanya yang tadi bersinar kini meredup dan ia berkata, "Tidak! Besok!"
Lalu gadis itu buru-buru meninggalkan Raoul sambil terus meremas dan menggosok jemarinya, seakan berharap dengan begitu cincin tersebut akan kembali.
Raoul pulang dan merasa sangat gelisah atas segala sesuatu yang ia dengar malam ini.
"Bila aku tak menyelamatkannya dari tangan penipu itu, ia akan celaka," katanya keras-keras menjelang tidur. "Tetapi aku akan menyelamatkannya."
Ia mematikan lilin di ka ya dan merasakan dorongan kuat untuk menghina Erik dalam kegelapan. Karena itu ia berteriak tiga kali, "Penipu! Penipu! Penipu!"
Namun, tiba-tiba, i a bergerak bangun dengan bertopangkan siku di samping tubuh. Keringat dingin mengaliri dahinya. Sepasang mata seperti bara api muncul di ujung tempat tidurnya. Mata itu menatapnya dengan tajam dan tak berkedip di tengah kegelapan malam.
Raoul bukan pengecut, tetapi ia gemetar juga. Tangannya yang ragu-ragu meraba-raba meja di samping tempat tidurnya. la menemukan korek api, lalu menyalakan lilinnya. Mata itu lenyap.
Dengan gelisah ia berpikir, "Christine memberitahuku bahwa matanya hanya terlihat dalam gelap. Matanya bisa jadi tak terlihat lagi dalam terang, tetapi dia mungkin masih di sana."
Lalu i a bangun dan mengendap-endap mengitari ruangan. Seperti anak kecil ia melongok ke bawah tempat tidurnya. Merasa konyol, ia kembali ke tempat tidur lalu meniup mati lilinnya. Mata itu muncul lagi.
Raoul duduk tegak dan balas memandang sepasang mata itu dengan segenap keberanian yang mam pu dikumpulkannya. Lalu ia berseru, "Kaukah itu, Erik" Manusia, jenius, atau hantu, kaukah itu?"
la berpikir, "Kalau memang itu dia, maka dia ada di balkon!"
la kemudian berlari ke lemari lacinya dan berusaha menemukan pistolnya. Ia membuka jendela balkon, memandang ke luar, dan menutup kembali jendela itu setelah ia tak mendapati apa-apa. la kembali ke tempat tidur sambil gemetar na malam itu dingin, dan i a meletakkan pistol itu di meja sehingga ia dapat dengan mudah menjangkaunya.
Sepasang mata itu tetap di sana, di ujung tempat tidurnya. Apakah ia berada di antara tempat tidur dan bingkai jendela, atau di balik b ingkai jendela yang berarti di balkon" Itu yang ingin diketahui Raoul. Ia juga ingin tahu apakah sepasang mata itu milik manusia .... Ia ingin tahu semuanya.
Kemudian, dengan pelan dan tenang ia meraih pistol dan membidik. Sasarannya adalah sedikit di atas kedua mata itu. Kalau yang dilihatnya memang mata, pasti ada dahi di atasnya, dan jika Raoul bisa mel ny a dengan tepat. . .
Tembakan itu terdengar begitu keras di rumah yang sedang sunyi dalam lelap penghuninya. Sementara suara langkah-langkah kaki yang tergopoh terdengar mendekat dengan cepat di lorong, Raoul duduk tegak dengan lengan terjulur, siap menembak lagi bila memang diperlukan. Kali ini sepasang mata itu telah hilang.
Para pelayan muncul sambil membawa Win dan dengan sangat cemas Count Philippe bertanya, "Ada apa?"
"Kupikir aku be pi," jawab pemuda itu. "Aku menembak sepasang bintang yang membuatku tak bisa tidur."
"Kau mengigau! Apa kau sakit" Demi Tuhan, katakan apa yang terjadi, Raoul?"
Lalu Count itu merampas pistol yang digenggam adiknya.
"Tidak, tidak, aku tidak mengigau . . . Lagi pula kita akan tah
segera u . . . . Raoul dari tempat tidur, mengenakan mantel tidurnya serta sandal, dan setelah mengambil lilin yang dipegang seorang pelayan, i a membuka jendela dan melangkah ke balkon.
Sang bangsawan melihat lubang peluru setinggi orang dewasa di kaca jendela. Raoul membungkuk di pagar balkon sambil memegang lilin.
"Ah I" k "D ah D ah D"
. . d" 1 bih a. atanya. ar . .. ar ... i srm, 1 sana, e banyak darah! Itu bagus! Hantu yang berdarah tentunya tak terlalu berbahaya!" la menyeringai.
"Raoul! Raoul! Raoul!"
Bangsawan itu mengguncang-guncang Raoul seperti membangunkan seseorang yang berjalan dalam tidur.
"Kakakku yang baik, aku tidak tidur!" protes Raoul gusar. "Kau bisa melihat darah itu, kan. Kupikir aku bermimpi dan menembak sepasang bintang. Tapi itu sepasang mata Erik ... dan ini darahnya! Mungkin aku salah telah menembaknya, dan Christine mungkin tak akan pernah memaafkanku . . . . Semua ini tak akan tetjadi kalau aku menarik tirai hingga menutupi jendela sebelum tidur tadi." "Raoul, apa kau mendadak jadi gila" Sadarlah!" "Kau masih menyangka aku belum sadar" Kau lebih baik membantuku mencari Erik ... sebab, bagaimanapun juga, hantu yang terluka pasti bisa ditemukan."
Pelayan sang count berkata, "Memang benar, Tuan, ada darah di balkon."
Pelayan yang lain datang membawa lampu pijar, dan dengan cahaya lampu itu mereka memeriksa balkon dengan lebih teliti. Jejak darah itu tampak di sepanjang pagar balkon hingga mencapai talang air dan terus naik menyusuri talang itu.
"Sahabatku," ujar Count Philippe, "kau menembak seekor kucing."
"Yah," kata Raoul sambil nyengir, "itu mungkin saja terjadi. Tetapi dengan Erik, kau tak akan tahu pasti. Apa itu Erik" Atau kucing" Atau hantu" Tidak, dengan Erik, kau tak tahu!"
Raoul terus mengocehkan hal-hal yang memenuhi kepalanya sehingga orang-orang menyangka pikirannya agak terganggu. Sang bangsawan itu sendiri termasuk orang yang berpikir demikian dan nanti, hakim penyidik yang menerima laporan komisaris polisi juga menyimpulkan hal yang sama.
"Siapa itu Erik?" tanya sang bangsawan sambil menggenggam erat tangan adiknya.
"Dia sainganku. Dan sayang sekali bila ternyata ia belum mati."
Bangsawan itu mel tangan menyuruh para pelayannya pergi meninggalkan kedua anggota keluarga Chagny itu sendiri. Tetapi para pelayan itu belum cukup jauh untuk tidak mendengar Raoul berkata dengan jelas dan tegas, "Aku akan membawa pergi Christine Daae malam ini."
Kalimat ini nantinya akan disampaikan kepada M. Faure, sang hakim penyidik. Tapi tak seorang pun tahu persis apa yang dibicarakan kedua kakak-adik saat itu. Para pelayan berkata bahwa ini bukan pertama kalinya mereka bertengkar. Suara keduanya terdengar nyaring menembus dinding dan seorang aktris bemama Christine Daae selalu disebut-sebut.
Waktu sarapan-sarapan yang diminta untuk dikirirnkan ke ruang kerja sang bangsawan Philippe memanggil adiknya. Raoul datang, tak banyak bicara dan berwajah suram. Pertemuan itu singkat saja. Philippe memberikan satu eksemplar Epoque kepada adiknya dan berkata, "Baca itu!" Sang viscount membaca:
"Berita terbaru di Faubourg adalah tentang pertunangan Mlle. Christine Daae, si penyanyi opera, dengan M. le Vicomte Raoul de Chagny. Bila kabar ini benar, Count Philippe telah bersumpah bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah, keluarga Chagny tidak akan menepati janji mereka. Tetapi cinta adalah sesuatu yang dahsyat, dan karena itulah, tidak hanya di Opera, semua orang bertanya-tanya apa yang akan dilakukan Count Philippe untuk mencegah adiknya membawa Margarita baru
itu berjalan menuju altar. Kakak-adik itu dikabarkan saling menyayangi, tetapi ya sang salah bila mengira cinta antar-saudara akan mengalahkan cinta yang tulus dan murni."
"Kaulihat, Raoul," kata sang count, "kau rnernbuat kita terlihat konyol! Gadis kecil itu telah mengacaukan pikiranrnu dengan cerita-cerita hantunya."
Rupanya se arn sang viscount rnenceritakan ulang kepada kakaknya apa yang dikatakan Christine. Yang dikatakan pernuda itu sekarang hanyalah, "Selarnat tinggal, Philippe."
"Apa kau sudah memutuskan" Kau akan pergi malam ini" Bersarnanya?"
Tak ada jawaban. "Kau tak akan rnelakukan hal sebodoh itu, kan" Aku akan rnenghentikanrnu!"
"Selamat tinggal, Philippe," kata viscount itu sekali lagi, lalu rneninggalkan ruangan.
Kejadian ini diceritakan sendiri oleh sang bangsawan kepada hakim penyidik, dan bangsawan itu tidak bertemu Raoul lagi hingga rnalarn itu di Opera, beberapa rnenit sebelurn rnenghilangnya Christine.
Sebenarnya Raoul menghabiskan waktunya seharian rnernpersiapkan segala sesuatu untuk perjalanan rnereka. Kuda, kereta, kusir, bekal, barang bawaan, uang selarna di perjal rute yang akan ditempuh (ia memutuskan tidak naik kereta untuk mencegah hantu itu rnernbuntuti rnereka): sernua itu telah dipersiapkan dan selesai pada pukul sembilan malam.
Pukul sembilan, sejenis kereta kuda untuk perjalanan jauh dengan jendela tertutup tirai tampak berjajar di antara kereta-kereta kuda yang ada di luar sisi bangunan Rotunda. Kereta itu ditarik dua kuda gagah yang dikendalikan oleh kusir yang nyaris seluruh wajahnya tersembunyi di balik syal. Di depan kereta ini ada tiga kereta lagi. Satu milik Carlotta, yang tiba-tiba kembali ke Paris, satu lagi milik Sorelli, dan yang memimpin barisan adalah kereta milik Comte Philippe de Chagny. Tak ada yang ggalkan kereta. Para kusir itu tetap duduk di tempat mereka masing-masing.
Sesosok bayangan berjubah hitam panjang dengan topi kain berw hitam berjalan di trotoar di antara Rotunda dan kereta-kereta kuda itu. la memperhatikan kereta-kereta itu dengan saksama, menghampiri kuda-kuda dan kusirnya, lalu pergi tanpa berkata apa-apa. Nantinya, hakim penyidik menganggap bayangan itu adalah Vicomte Raoul de Chagny. Tetapi aku tidak setuju, sebab malam itu Vicomte de Chagny mengenakan topi tinggi yang bisa dibuktikan keberadaannya. Aku lebih cenderung berpikir bahwa bayangan itu adalah si hantu yang telah mengetahui segalanya, seperti yang akan segera diketahui oleh para pembaca.
Malam itu mereka menampilkan Faust bagi penonton yang memadati Opera. Para penduduk Faubourg berbondong-bondong datang, dan tulisan di harian Epoque pagi itu sudah menampakkan hasilnya, sebab semua mata memandang boks balkon yang malam itu hanya ditempati Count Philippe seorang diri. Bangsawan itu terlihat sibuk dengan pikirannya sendiri dan tak memedulikan sekelilingnya. Para perempuan yang datang menonton malam itu tampak bertanya-tanya, dan ketidakhadiran sang viscount membuat bisik-bisik di balik kipas mereka semakin ramai. Penampilan Christine Daae tak disambut semeriah biasanya. Penonton malam itu tak bisa memaafkan kelancangannya mencintai seorang viscount.
Penyanyi itu bisa merasakan sikap yang tak bersahabat dari para penonton dan merasa bingung karenanya.
Para Jangganan tetap Opera yang pura-pura mengetahui kisah cinta sebenarnya dari sang viscount saling bertukar senyum penuh di bagian-bagian tertentu pada nyanyian si Margarita. Dan mereka sengaja menoleh ke arah boks balkon Philippe de Chagny ketika Christine bemyanyi:
"Seandainya aku tahu siapa dia
Yang memanggilku, Apakah ia seorang terhormat, atau, setidaknya siapa namanya ... "
Bangsawan itu duduk bertopang dagu dan tampaknya tak memedulikan semua yang terjadi. la terus menatap ke arah panggung, namun sepertinya pikirannya melayang entah ke mana.
stine sem lama semakin kehilangan rasa percaya dirinya. Ia gemetar. Gadis itu merasa nyaris tak mampu lagi mengendalikan diri . . . . Carolus Fonta bertanya-tanya apa ia sakit, dan apa ia mampu bertahan hingga akhir Babak Taman. Di baris depan, penonton teringat malapetaka yang menimpa Carlotta di babak ini dan bunyi " krook" legendaris yang sempat menghentikan kariernya di Paris untuk sementara waktu.
Tepat saat itu, Carlotta masuk dengan riuh ke salah satu boks balkon yang menghadap panggung. Christine yang malang mendongak untuk melihat hal yang sanggup mengalihkan perhatian penonton itu. la mengenali saingannya, dan ia pikir ia t senyum tersungging dari bibir wanita itu. Itulah yang menyelamatkannya. la melupakan semuanya untuk kembali menunjukkan kejayaannya di atas panggung.
Sejak saat itu sang primadona bernyanyi dengan segenap hati dan jiwanya. Ia mencoba tampil lebih baik dari yang pernah ia berikan selama ini, dan berhasil. Di bagian terakhir saat ia mulai berdoa kepada para malaikat, ia membuat semua orang yang menonton seolah berubah menjadi para malaikat bersayap.
Di tengah-tengah teater itu seorang laki-laki bangkit dan tetap berdiri menghadap si penyanyi. Laki-laki itu Raoul. "Malaikat yang kudus, terberkatilah kau di surga ... "


The Phantom Of The Opera Karya Gaston Leroux di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan Christine, yang mengulurkan tangannya, sementara musik mengisi penuh tenggorokannya dan rambutnya yang indah jatuh di bahunya yang terbuka, melagukan bagian yang sangat indah: "Jiwaku rindu untuk bersamamu selamanya!"
Tepat pada saat itu pangung tiba-tiba diliputi kegelapan total. Kejadiannya begitu cepat sampai-sampai para penonton tak sempat berteriak kaget, dan lampu panggung seketika menyala lagi. Tetapi Christine Daae sudah tak ada di sana!
Apa yang terjadi padanya" Keajaiban apa itu" Semua orang berpandangan tanpa memah apa yang sebenarnya terjadi. Dan dalam sekejap suasana menjadi gempar. Keadaan di panggung tidaklah lebih baik. Orang-orang berlarian dari sayap panggung ke tempat Christine bernyanyi beberapa detik lalu. Pertunjukan pun terhenti di tengah kekacauan itu.
Ke mana Christine pergi" Ilmu sihir apa yang berhasil melarikannya di hadapan ribuan penonton dan bahkan dari pelukan Carolus Fonta" Seakan-akan para malaikat benar-benar telah membawanya ke surga "untuk selamanya."
Raoul yang masih berdiri di tengah-tengah gedung teater itu berteriak. Count Philippe melompat berdiri di boks balkonnya. Orang-orang melihat ke arah panggung, sang bangsawan, dan Raoul secara bergantian dan bertanya-tanya apakah kejadian ini ada hubungannya dengan paragraf di koran pagi tadi. Tetapi Raoul buru-buru meninggalkan kursinya, sang bangsawan menghilang dari boks balkonnya, dan sementara tirai panggung diturunkan, para langganan tetap bergegas menuju pintu ke arah belakang panggung. Penonton sisanya tetap menunggu di tengah-tengah keributan yang terjadi. Semua orang berbicara pada saat yang sama. Semua orang mencoba mengajukan penjelasan atas insiden ganjil itu.
Akhirnya, tirai panggung perlahan terangkat dan Carolus Fonta melangkah ke podium dirigen. Dengan suara sedih dan sungguh-sungguh ia kemudian berkata, "Tuan-Tuan dan Nyonya-nyonya, suatu perist iwa yang tak pernah ala.mi telah terjadi dan hal itu membuat kami semua sungguh khawatir. Saudara kami, Christine Daae, telah menghilang di depan mata kita semua dan tak ada yang dapat menjelaskan bagaimana itu bisa terjadi!"
Bab 14 Tingkah Laku Aneh Yang Melibatkan Peniti
D1 balik tirai panggung, kerumunan orang begitu gempar. Para penyanyi, pengganti gambar latar, pemain figuran, anggota paduan suara, pelanggan tetap, semuanya sibuk melontarkan pertanyaan, berteriak, dan saling dorong. "Apa yang terjadi padanya?"
"Dia melarikan diri."
"Tentu saja dengan Vicomte de Chagny!" "Tidak, dengan sang count!"
"Ah, ini Carlotta! Carlotta yang melakukannya!" "Bukan, itu perbuatan si hantu!"
Dan beberapa orang tertawa, terutama karena pemeriksaan saksama terhadap pintu-pintu jebak dan papan-papan telah menghapus kemungkinan terjadinya kecelakaan.
Di tengah-tengah massa yang riuh rendah ini, terlihat tiga lelaki sedang berbicara dengan suara rendah dan menunjukkan tingkah putus asa. Mereka adalah Gabriel, pemimpin paduan suara; Mercier si manajer akting; dan Remy si sekretaris. Mereka menyingkir ke sudut lobi yang menghubungkan panggung dengan lorong menuju lobi balet. Di sana mereka berdiri dan berdebat di belakang sejurnlah "properti" berukuran sangat besar.
"Aku sudah mengetuk pintunya," kata Remy. "Mereka tak menjawab. Mungkin mereka tidak di sana. Tapi bagaimanapun juga, kita tak mungin tahu karena mereka membawa kunci-kunci itu."
"Mereka" di sini pastilah para manajer, yang pada pergantian babak terakhir mengum an bahwa mereka tidak mau diganggu untuk alasan apa pun. Mereka tidak mau menemui siapa pun.
"Tetap saja," seru Gabriel, "seorang penyanyi dibawa kabur dari tengah-tengah panggung bukanlah sesuatu yang terjadi setiap hari!"
"Apa kau meneriakkan berita itu kepada mereka?" tanya Mercier tak sabar.
"Aku akan ke sana lagi," kata Remy yang kemudian berlari pergi.
Setelah itu datanglah si manajer panggung. "Well, M. Mercier, apa kau akan ikut denganku" Apa yang kalian berdua kerjakan di sini" Kau dibutuhkan, Mr. Manajer Akting."
"Aku menolak untuk turut campur apa pun bentuknya sebelum si kornisaris datang," ucap Mercier. "Aku sudah memanggil Mifroid. Akan kita urus begitu dia datang!"
"Kukatakan sekali lagi bahwa kau harus turun ke tempat organ sekarang juga."
"Tidak sebelum kornisaris itu tiba." "Aku sudah ke sana."
"Ah! Dan apa yang kaulihat?"
"Well, aku tak melihat siapa pun! Kaudengar tak seorang pun!"
"Untuk apa kau mau aku turun ke sana?"
"Kau benar!" kata si jer panggung s meratakan rambutnya dengan gelisah. "Kau benar! Tetapi mungkin saja ada orang di daerah organ yang dapat memberitahu kita bagaimana panggung itu bisa tiba-tiba gelap. Sekarang Mauclair tak dapat ditemukan. Apa kau mengerti?"
Mauclair adalah petugas lampu yang mengatur siang dan malam di atas panggung Opera.
"Mauclair tidak dapat ditemukan!" ulang Mercier terenyak. "Well, baga dengan para asistennya?"
"Tidak ada Mauclair maupun para asistennya! Kuberitahu ya, tak ada seorang pun di bagian lampu! Bayangkan," teriak manajer panggung itu marah, "gadis itu pasti dilarikan oleh seseorang, dia tidak pergi seorang diri! Aksi itu sudah diperhitungkan dengan cermat dan kita harus mencari tahu soal ini . . .. Dan apa yang dilakukan para manajer itu selama ini" Aku sudah memerintahkan agar tak seorang pun diperbolehkan turun ke bagian lampu, dan aku menempatkan seorang petugas pemadam kebakaran di depan pos petugas lampu di sebelah organ. Tindakan yang tepat, bukan?"
"Ya, ya, cukup tepat. Sekarang mari kita menunggu kornisaris itu."
Manajer panggung itu ah pergi sambil mengangkat bahu dan marah-marah, menggerutukan hinaan kepada orang-orang lemah yang mernilih tetap tenang meringkuk di pojokan sementara seluruh teater berada dalam keadaan kacau balau.
Gabriel dan Mercier sebenarnya tidak setenang itu. Hanya saja mereka mendapatkan perintah yang membuat mereka tak bisa berkutik. Para manajer itu tidak boleh diganggu, apa pun perkaranya. Remy telah melanggar perintah itu dan tak membawa hasil.
Pada saat itu Remy kembali dari usaha keduanya dengan wajah bingung dan terkejut.
"Bagaimana, sudah kautemui mereka?" tanya Mercier. "A ya Mon membuka pintu. Matanya melotot sampai seperti mau lepas dari kepalanya. Kupikir ia akan memukulku. Aku belum sempat bilang apa-apa dan tebak apa yang dia teriakkan kepadaku" 'Apa kau punya peniti"' 'Tidak!' 'Kalau begitu pergi dari sini!' Aku mencoba memberitahunya bahwa sesuatu yang sangat ganjil telah tetjadi di panggung, tetapi i a berteriak marah, 'Peniti! Beri aku peniti sekarang juga!' Seorang anak laki-laki mendengarnya ia berteriak seperti banteng-lalu berlari naik dan memberikan peniti kepadanya. Setelah itu Monc membanting pintu di depan mukaku, dan habis perkara!" "Dan kau bahkan tak bisa berkata, 'Christine Daae."' "Aku ingin lihat apa yang bisa kaulakukan seandainya kau jadi aku tadi. la begitu murka. la tak m kan apa pun selain penitinya. Kurasa, kalau aku tidak memberinya peniti saat itu juga, ia akan kena serangan jantung ... Oh, semua ini begitu aneh, dan para manajer kita sudah gila ... lni tak dapat dibiarkan! Aku tidak terbiasa diperlakukan seperti itu!"
Tiba-tiba Gabriel berbisik, "Ini trik yang lain dari si H.O." Remy menyeringai, Mercier menghela napas dan tampak ingin mengatakan sesuatu . . . tetapi, setelah menatap mata Gabriel, ia mengurungkan niatnya.
Mercier merasa tanggung jawab di pundaknya kian ber
bah berat seiring berlalunya waktu, sementara kedua manajer itu tak kunjung memberikan tanda-tanda kemunculan mereka. Akhirnya ia tak tahan lagi.
"Sudahlah, aku akan pergi dan aku sendiri yang akan menyeret mereka keluar!"
Gabriel, yang berubah murarn dan us, menghentikannya.
"Hati-hati dengan apa yang kaulakukan, Mercier! Kalau mereka mendekam di dalarn kantomya, mungkin itu kareh I H 0
l" "kl" na arus. . . 1tu 10 . Tetapi Mercier menggeleng.
"Kantor itu markas pengintaian mereka! Aku tetap pergi! Kalau saja orang-orang mau mendengarkanku, polisi pasti sudah mengetahui segalanya sejak dulu!" Dan ia pergi.
"Segalanya apa?" tanya Remy. "Apa yang harus diberitahukan kepada polisi" Kenapa kau diam saja, Gabriel" Ah, jadi kau tahu sesuatu! Sebaiknya kau memberitahuku juga kalau kau tak ingin aku berteriak keras-keras bahwa kalian semua sudah gila ... Ya, seperti itulah kalian: gila!"
Gabriel memasang tarnpang bodoh dan pura-pura tak mengerti ledakan amarah si sekretari s pribadi itu.
"Apakah 'sesuatu' yang semestinya kuketahui ini?" katanya. "Aku tak tahu apa yang kaumaksud."
Remy mulai kehilangan kesabaran.
"Malarn ini, Richard dan Monc gkah seperti orang sinting, di sini, di jeda antarbabak."
"Aku tak melihatnya," gerutu Gabriel sebal. "Kalau begitu kau satu-satunya yang tak rnelihat! Menurutmu aku tidak melihat mereka" Dan M. Parabise si manajer Credit Central itu juga tak melihat apa-apa" Dan M. de La Borderie, sang duta besar, juga tak punya mata" Semua pelanggan tetap Opera menudingkan jari ke arah kedua manajer kita!"
"Tapi apa yang dil oleh manajer kita waktu itu?" tanya Gabriel sambil memasang raut wajah polos.
"Apa yang mereka lakukan" Kau lebi h tahu dar i semua orang lain apa yang mereka lakukan! Kau ada di sana! Dan kau memandangi mereka. Kau dan Mercier! Dan hanya kalian yang tak tertawa melihatnya . . . . "
"Aku tak mengerti!"
Gabriel mengangkat kedua tangan lalu menjatuhkannya lagi di samping tubuhnya, menandakan bahwa yaan itu sama sekali tidak menarik baginya. Remy melanjutkan, "Apa maksud sikap ter mereka itu" Mengapa mereka melarang siapa pun mendekati mereka saat ini?"
"Apa" Mereka melarang siapa pun mendekati mereka?" "Dan mereka melarang siapa pun menyentuh mereka!" "Benarkah" Apakah kau melihat bahwa mereka melarang siapa pun menyentuh mereka" ltu sungguh aneh!"
"Oh, jadi kau mengakuinya! Sudah selayaknya! Dan setelahnya, mereka berjalan mundur!"
"Mundur! Kau melihat para manajer kita berjalan mundur" Wah, kupikir hanya kepiting yang berjalan mundur!" "Jangan tertawa, Gabriel; jangan tertawa!"
"Aku tidak tertawa," protes Gabriel dengan wajah seserius hakim pengadilan.
"Mungkin kau dapat menjelaskan ini, Gabriel, gat kau berteman dekat dengan pihak manajemen: Ketika aku berjalan sambil mengulurkan tangan hendak menyentuh M. Richard di luar lobi saat pergantian babak Taman, mengapa M. Monch buru-buru berbisik kepadaku, 'Pergi! Pergi! Apa pun yang kaulakukan, jangan menyentuh M. le directeur!' Memangnya aku akan kena semacam penyakit menular?"
"Menakjubkan!" "Lalu, tak lama kemudian, waktu M. de La Borderie menghampiri Richard, tidakkah kaulihat Moncharmin menempatkan dirinya di antara mereka dan berseru, 'M. I'ambassadeur, aku memohon dengan sangat agar Anda tidak menyentuh M. le directeur'?"
"I tu buruk sekali. .. ntara itu, apa yang dilakukan Richard?"
"Apa yang dilakukannya" Kaulihat sendiri, bukan! la berputar, membungkuk hormat ke depan meskipun tak ada seorang pun di depannya, dan berjalan mundur."
"Mundur?" "Dan Moncharmin yang ada di belakang Richard juga berputar, atau lebih tepatnya ia bergerak membentuk setengah lingkaran di belakang Richard dan berjalan mundur! Dan mereka bertingkah seperti itu menuju tangga yang mengarah ke kantor para manajer itu: mundur, mundur, mundur ... Well, kalau tindakan itu bukan dibuat-buat, b isakah kau menjelaskan maksudnya?"
"Mungkin mereka sedang berlatih gerakan balet," jawab Gabriel tak terlalu meyakinkan.
Sekretaris itu menjadi sangat marah atas lelucon buruk yang dilontarkan di saat yang tak tepat ini. Ia menautkan alisnya dan mengerutkan bibirnya. Lalu ia berbisik di telinga Gabriel, "Jangan licik, Gabriel. Ada hal-hal yang terjadi yang melibatkan kau dan Mercier."
"Apa maksudmu?" tanya Gabriel.
"Christine Daae bukan satu-satunya orang yang tiba-tiba menghilang malam ini."
"Oh, among kosong!"
"Sama sekali bukan among kosong. Mungkin kau dapat menjelaskan kepadaku mengapa Mercier meraih tangan Mama Giry begitu ia muncul di lobi dan membawanya pergi?"
"Benarkah?" kata Gabriel, "Aku tak melihatnya." "Kau melihatnya, Gabriel, sebab kau pergi bersama Mercier dan Mama Giry ke kantor Mercier. Sejak saat itu kau dan Mercier masih berkeliaran, tapi tak seorang pun melihat Mama Giry."
"Apa kaukira kami memakannya?"
"Tidak, tapi kalian menguncinya di kantor, dan siapa pun yang lewat di sana b isa mendengarnya berteriak, 'Oh, bajingan-bajingan itu! Oh, bajingan-bajingan itu!'"
Tepat pada bagian pembicaraan yang ini, Mercier kembali sambil terengah-engah.
"Sudah!" katanya dengan suara muram. "Lebih buruk dari yang pemah terjadi! Aku berteriak, 'Ini masalah serius! Buka pintunya! lni aku, Mercier.' Aku mendengar suara langkah kaki. Pintu terbuka dan muncullah Monch . la terlihat sangat pucat. la berkata, 'Apa yang kauinginkan"' Aku menjawab, 'Seseorang membawa kabur Christine Daae.' Menurutmu apa yang dika nya"
'Dan ia melakukannya dengan amat baik pula!' Lalu ia menutup pintunya setelah menaruh ini di telapak tangank II u.
Mercier membuka telapaknya, Remy dan Gabriel melihat benda itu.
11Peniti!" seru Remy.
11 Aneh sekali! Aneh sekali!11 ucap Gabriel pelan, tak kuasa untuk tak bergidik.
Tiba-tiba sebuah suara membuat ketiganya berbalik. 11Permisi, Tuan-Tuan. Dapatkah kalian memberitahuku di mana Christine Daae"11
Meskipun keadaan begitu genting, keabsurdan pertanyaan itu mungkin bisa membuat mereka tertawa terbahakbahak seandainya mereka tidak jatuh iba melihat wajah yang begitu sedih itu. Wajah Vicomte Raoul de Chagny.
Bab 15 Christine! Christine! SE peristiwa menghilangnya Christine Daae secara fantastis itu, pikiran pe yang terlintas di kepala Raoul adalah menuduh Erik. Ia sudah tak lagi meragukan bahwa sang Malaikat Musik itu memiliki kekuatan yang sifatnya nyaris supernatural di dalam gedung Opera tempat ia membangun kerajaannya ini. Lalu Raoul berlari ke panggung dengan perasaan campur aduk antara cinta dan putus asa.
"Christine! Christine!" erang pemuda itu memanggil nama Christine, merasa yakin gadis itu juga memanggilmanggil ya di kedal lubang gelap tempat monster itu melarikannya. "Christine! Christine!"
Dan ia merasa seolah mendengar teriakan gadis itu di balik papan-papan panggung yang memisahkan mereka. Ia membungkuk, mendengarkan, ia mengelilingi panggung seperti orang gila. Ah, ia ingin turun, turun ke dalam lubang gulita yang kini semua aksesnya tertutup baginya . . .
sebab tak seorang pun boleh ga-tangga yang menuju bawah panggung malam itu!
"Christine! Christine ... !"
Sambil tertawa orang-orang mendorongnya agar menyingkir. Mereka menertawakannya dan merasa si kekasih malang ini sudah kehilangan kewarasannya!
Lewat lorong dan jalan gelap misterius manakah Erik melarikan gadis polos itu" Apakah mereka ke tempat mengerikan yang telah menanti di tepi danau, lengkap dengan kamar Louis-Philippe itu"
"Christine! Christine! Mengapa kau tak menjawab" Apakah kau masih hidup?"
Pikiran-pikiran mengerikan berkelebat di otak Raoul yang telah terlalu kalut untuk berpikir. Tentu saja, Erik pasti mengetahui rahasia mereka. Ia pasti tahu bahwa Christine telah berdusta padanya. Betapa mengerikan balas dendam yang akan ia perbuat!
Lalu Raoul teringat dua bintang kuning yang berkeliaran di balkonnya kemarin malam. Mengapa tak ia habisi saja mereka" Itu pastilah sepasang mata manusia yang pupilnya membesar di kegelapan dan bersinar seperti bintang atau mata kucing. Pasti seorang Albino yang sepertinya memiliki mata kelinci di waktu siang dan mata kucing pada waktu malam: semua orang tahu itu! Ya, ya, dapat dipastikan ia telah menembak Erik. Mengapa ia tak membunuhnya saja waktu itu" Monster itu kabur memanjat talang air seperti kucing atau buronan yang-semua orang juga tahu inimencapai tempat yang sangat tinggi dengan bantuan talang itu. Tak diragukan lagi bahwa saat itu Erik berpikir untuk mencelakai Raoul terluka dan kabur, kemudian mengalihkan sasarannya pada Christine yang malang.
ltulah pikiran-pikiran jahat yang menghantui Raoul sementara ia berlari menuju ruang ganti penyanyi itu. "Christine! Christine!"
Mata pemuda itu pedih terbakar air mata sewaktu ia melihat pakaian yang akan dipakai kekasih jelitanya saat mereka kabur nanti teronggok di antara perabot yang rak di ruangan itu. Oh, mengapa gadis itu menolak pergi lebih awal"
Mengapa gadis itu berani indengan malapetaka semacam ini" Mengapa bermain-main dengan perasaan monster itu" Bila ia memang berkeras untuk pergi, mengapa ia masih ingin tinggal hingga hingga saat-saat akhir demi menenangkan hati iblis itu dengan menyanyikannya lagunya yang indah:
"Malaikat yang kudus, terberkatilah kau di surga, Jiwaku rindu untuk bersamamu selamanya!"
Sambil s tersedu dan bersumpah serapah, Raoul berjalan terhuyung ke arah cermin besar yang malam itu membuka di depan matanya dan men m stine pergi ke dunia bawah tanah yang suram. la mendorong, menekan, dan meraba-raba, tetapi rupanya cermin itu hanya mematuhi Erik . . . . Mungkin diperlukan lebih dari sekadar tindakan untuk menggerakkan cermin semacam ini" Mungkin ia harus mengucapkan kata-kata tertentu" Ketika ia masi h kanak-kanak, ia mendengar cerita tentang bendabenda yang mematuhi kata-kata tertentu!
Tiba-tiba Raoul teringat sesuatu tentang gerbang yang mengarah ke Rue Scribe, tentang jalan bawah tanah yang langsung menuju Rue Scribe dari danau itu . . . . Ya, Christine pemah memberitahukan sesuatu semacam itu kepadanya .... Lalu, ketika ia tak menjumpai kunci gerbang itu di dalam kotaknya, ia memutuskan untuk tetap berlari menuju Rue Scribe.
Di luar, ketika ia telah sampai di jalan itu, tangannya yang gemetar menyusuri batu-batu besar itu, mencari-cari celah untuk masuk... tangannya merasakan jeruji besi . . . apakah itu gerbangnya" Atau yang ini" Atau mung lubang angin itu" Ia mencoba mengintip ke dalam . . . . Betapa gelapnya! Ia memasang telinga . . . yang ada hanya sunyi! la mengitari gedung itu... dan sampai pada jeruji besi yang lebih besar, gerbang raksasa! P intu masuk menuju Cour de I' Administration.
Raoul buru-buru masuk ke kabin penjaga gerbang. "Permisi, Madame, dapatkah Anda memberitahukan di mana saya bisa menemukan gerbang atau pintu yang terbuat dari jeruji besi yang membuka ke Rue Scribe . . . dan menuju ke danau" Anda tahu danau yang saya maksud" Ya, danau bawah tanah ... di bawah Opera."
"Ya, Tuan, saya tahu ada danau di bawah Opera, tetapi saya tidak tahu pintu yang menuju ke sana. Saya tidak pernah pergi ke sana!"
"Bagai dengan Rue Scribe, Madame, Rue Scribe" Apa Anda pernah ke Rue Scribe?"
Perempuan itu tertawa terbahak-bahak! Raoul melesat pergi, ak marah ia melewati empat tangga sekaligus setiap kali ia naik-turun tangga-tangga yang
ada di bagian perkantoran gedung Opera ini. Akhirnya, sekali lagi ia mendapati dirinya berada di panggung.
Dengan dada bergemuruh ia berhenti. Mungkinkah Christine Daae telah ditemukan" Ia melihat sekelompok laki-laki dan bertanya, "Permisi, Tuan-Tuan. Bisa kalian beritahu aku di mana Christine Daae?"
Dan seseorang tertawa. Pada saat yang sama, panggung kembali penuh dengan suara-suara. Dan di tengah keru orang dengan dandanan resmi yang ribut berbicara secara bersamaan sambil menggerak-gerakkan tangannya, terlihat seorang laki-laki yang tampak begitu tenang serta berparas menyenangkan. Wajahnya bersemu merah dengan pipi gemuk, rambutnya keriting, dan matanya yang biru j membuatnya tampak riang. Mercier, si manajer akting, menjawab Vicomte de Chagny dengan berkata, "Inilah laki-laki yang seharusnya Anda tanyai, Monsieur. Mari saya perkenalkan, ini M. Mifroid, komisaris polisi."
"Ah, M. le Vicomte de Chagny! Senang bertemu dengan Anda, Monsieur," kata si komisaris. "Bisakah Anda ikut dengan saya" 0 ya, di mana para manajer itu" Di mereka?"
Mercier tidak menjawab, dan Remy, si s s, dengan sukarela memberitahukan bahwa para manajer mengunci diri di kantor mereka dan belum mengetahui apa pun yang terjadi.
"Kau pasti bercanda! Mari kita pergi ke kantor mereka!"
Sambil diikuti oleh kerumunan orang yang kian - bah jumlahnya, M. Mifroid kemudian bergerak ke arah
daerah perkantoran gedung itu. Mercier memanfaatkan keadaan tersebut untuk menyelipkan sebuah kunci ke tangan Gabriel, "Perkembangannya sama sekali tidak bagus," bisiknya. "Kau sebaiknya membebaskan Mama Giry." Lalu Gabriel beranjak pergi.
Tak lama mereka telah tiba di depan pintu kantor para manajer itu. Mercier memanggil-manggil tanpa hasil. Pintu itu tetap tertutup.
"Atas nama hukum, buka pintunya!" perintah M. Mifroid dengan suara keras dan sedikit gelisah.
Akhirnya pintu itu terbuka. Semua orang bergegas masuk ke kantor, mengikuti si kornisaris.
Raoul berada paling belakang. Ketika ia hendak mengikuti orang-orang itu masuk, bahunya dipegang dan kalimat ini dibisikkan di telinganya, "Rahasi a -rahasia Erik tidak ada urusannya dengan orang-orang ini!"
Raoul berbalik sambil berseru tertahan. Tangan yang tadi memegang bahunya menempelkan telunjuknya di bibir seorang laki-laki berkulit gelap dengan mata hijau dan mengenakan topi wol: si orang Persia!
Orang asing itu terus takkan jarinya di bibir, menyarankan Raoul untuk tutup mulut. Kemudian, pada saat viscount yang terkejut itu hendak meminta alasan campur tangannya yang rnisterius, laki-laki itu membungkuk hormat dan pergi.
Bab16 Pengakuan Mencengangkan Madame Giry atas Hubungan Pribadinya dengan si Hantu Opera
SEBELUM cerita bergulir mengikuti si ko aris masuk ke kantor manajer, aku harus menjelaskan beberapa peristiwa tak lazim yang terjadi di dalarn kantor yang dengan sia-sia coba dimasuki Remy dan Mercier, tempat Richard dan Moncharmin mengunci diri bersama dengan benda yang belum diketahui oleh para pembaca. Tetapi, sebagai ahli sejarah, sudah menjadi tugasku untuk tak m da-nunda lagi menceritakan hal ini.
Aku pemah mengatakan bahwa suasana hati para manajer itu telah memburuk selama beberapa waktu, dan hal itu bukan hanya karena jatuhnya larnpu gantung pada malam pementasan besar itu.
Para pembaca harus tahu bahwa hantu itu diam-diam telah menerima dua puluh ribu franc p anya. Oh, memang tindakan itu tidak dilakukan dengan rela! Tetapi hal itu tetap terjadi juga dengan pengaturan yang sangat sederhana.
Suatu pagi, para manajer menemukan di atas meja mereka amplop yang dialamatkan pada "Monsieur H.O. (pribadi)" beserta catatan dari si H.O. sendiri:
Telah tiba saatnya untuk menjalankan klausul dalam buku perjan jian itu. Tolong masukkan dua puluh lembar pecahan seribu franc ke dalam amplop ini, segel dengan segel milik Anda, lalu berikan kepada Madame Giry yang akan mengaturnya.
Tanpa membuang-buang waktu menanyakan bagai surat itu bisa berada di dalam kantor yang selalu mereka kunci, para manajer itu tanpa ragu be t memanfaatkan kesempatan ini untuk menangkap si pemeras misterius. Lalu, setelah bercerita kepada Gabriel dan Mercier yang disumpah untuk tak membocorkan rahasia ini, mereka memasukkan dua puluh ribu franc ke dalam amplop, dan tanpa meminta penjelasan apa-apa, memberikan amplop itu kepada Madame Giry yang telah kembali menempati posisinya. Penjaga boks balkon itu sama sekali tak terkejut. Tak perlu kuterangkan lagi bagaimana mereka mengawasi perempuan itu dengan ketat. Madame Giry langsung pergi ke boks balkon milik si hantu dan meletakkan amplop
ga itu di atas rak kecil yang menempel pada pinggiran balkon. Kedua manajer beserta Gabriel dan Mercier bersembunyi sedemikian rupa sehingga mereka tak pernah melepaskan pandangan dari amplop itu barang sedetik pun selama pementasan maupun setelahnya. Karena amplop itu diam di tempatnya, mereka juga tidak beranjak. Madame Giry pergi dari sana sementara para manajer, Gabriel, dan Mercier masih berada di tempat itu. Akhirnya mereka lelah menunggu dan membuka amplop tersebut setelah terlebih dahulu memastikan segelnya tetap utuh.
Sekilas, Richard dan Moncharmin berpikir lembar-lembar uang itu masih ada di . Tetapi mereka langsung menyadari bahwa lembar-lembar uang itu sudah berubah. Dua puluh lembar uang yang asli telah hilang dan diganti dengan dua puluh lembar uang dari "Bank of St. Farce"!"
Para manajer itu jelas-jelas murka sekaligus takut. Moncharmin bermaksud memanggil kornisaris polisi, tetapi Richard keberatan. Tak diragukan lagi, Richard pasti punya rencana, sebab ia berkata, "Jangan mempermalukan diri sendiri! Seluruh Paris akan menertawakan kita. H.O. itu telah memenangkan permainan pertama. Kita akan memenangkan yang kedua."
Yang dirnaksudkannya adalah uang setoran bulan depan.
Meski begitu, mereka telah dipermainkan habis-habisan dan tentulah merasa kesal. Dan, percayalah, hal itu bisa dipaharni. Kita harus ingat bahwa kedua manajer itu selalu berpikir bahwa semua insiden aneh ini mungkin saja semacam lelucon iseng dari para pendahulu mereka dan tidaklah baik untuk membongkarnya cepat-cepat. Meskipun demikian, Moncharmin terkadang mencurigai Richard yang kadang-kadang punya ide-ide aneh di kepalanya. Maka mereka memutuskan untuk menunggu sambil mengawasi Mama Giry. Richard menolak mengadukan perempuan itu.
" Uang yang uliskan "Bank of St. F " di Pranci s , sama halnya dengan yang bertuliskan "Bank of Engraving" di lnggris, ad uang palsu.-Catatan Penerjemah
"Kalau i a bersekongkol dengan hantu itu," katanya, "uang itu pasti sudah hilang dari tadi. Menurut pendapatku ia cuma idiot."
"Ia bukan satu-satunya idiot di bisnis ini," kata Moncharrni n sambil merenung.
"Well, siapa yang menyangka?" keluh Richard. "Tapijangan takut. . . lain kali, aku akan berjaga-jaga."
kali yang dimaksud jatuh pada yang sama ketika Christine Daae ang. Paginya, sepucuk surat dari si hantu mengingatkan mereka bahwa sudah saatnya melakukan pembayaran. Begini bunyinya:
Lakukan seperti sebelumnya. Semuanya berjalan lancar waktu itu. Letakkan dua puluh itu di dalam amplop dan serahkan kepada Madame Giry yang baik.
Surat itu datang beserta amplop yang biasanya. Mereka hanya perlu memasukkan lembar-lembar uang itu.
Mereka melakukannya sekitar setengah jam sebelum babak per pertunjukan Faust dimulai. Richard menunjukkan amplop itu kepada Moncharrni n . Lalu ia menghitung uang dua puluh ribu itu di depan Moncharmin dan memasukkan ke dalam amplop tanpa menutupnya.
"Dan sekarang," katanya, " kita undang Mama Giry kemari."
Dipanggillah perempuan tua itu. Ia masuk sambil mem
hormat. Perempuan itu masih mengenakan gaun tafeta hi ya yang sudah memudar menjadi ungu kecokelatan, lengkap dengan topi kumalnya. Tampaknya suasana hatinya sedang baik. Ia langsung berkata, "Selamat malam, Tuan-Tuan! Saya rasa ini waktunya untuk urusan amplop 'tu?" l .
"Ya, Madame Giry," kata Richard dengan sangat ramah. "Untuk urusan amplop . . . dan satu hal lain."
"Saya siap menjalankan tugas, M. Richard. Dan apakah hal lain itu?"
"Pertama-tama, Madame Giry, aku punya satu pertanyaan untukmu."
"Tentu saja, M. Richard. Saya ada di sini untuk menjawab."
"Apa kau masih berhubungan baik dengan si hantu?" "Selalu baik, Tuan."
"Ah, kami senang mendengarnya .... Begini, Madame Giry," ujar Richard dengan nada seakan ingin menyampaikan suatu rahasia penting. "Kami ingin menyampaikan bahwa, hanya di antara kita saja ... kami pikir kau bukan orang bodoh!"
"Tentu, Tuan," seru si penjaga boks balkon, menghentikan anggukan bulu-bulu hitam yang menghiasi topi kumalnya, "saya jamin tak ada yang meragukan itu!"
"Kita bisa menyetujui itu dan sebentar lagi kita akan bisa saling memah . ta tentang hantu itu omong kosong belaka, bukan" Well, masih di antara kita saja . . . ini sudah berlangsung cukup lama."
Madame Giry menatap kedua manajer itu seolah-olah mereka berbicara bahasa Cina kepadanya. la berjalan menuju meja Richard dan dengan agak gelisah bertanya, "Apa maksud Anda" Saya tidak mengerti."
"Oh, kau cukup mengerti. Kalaupun tidak, kau harus mengerti . . . . Dan, pertama-tama, beritahu kami namanya." "Nama siapa?"
"Nama laki-laki yang bersekongkol denganmu, Mme. Giry!"
"Saya bersekongkol dengan si hantu" Saya" Bersekongkol dalam hal apa?"
"Kau melakukan apa yang dia inginkan." "Oh! Ia tak terlalu merepotkan kok." "Dan apakah ia memberimu tip?" "Dengan murah hati."
"Berapa yang diberikannya kepadamu untuk membawakan amplop itu kepadanya?"
"Sepuluh franc."
"Malangnya! Itu jumlah yang kecil, bukan?" "Mengapa?"
"Akan kusampaikan kepadamu sebentar lagi, Mme. Giry. Sekarang ingin tahu alasan luar biasa apakah yang membuatmu menyerahkan tubuh serta jiwamu kepada ini . . . Persahabatan dan pengabdian Madame Giry tentu tidak bisa dibeli dengan hanya lima atau sepuluh franc."
"I tu benar . . . . Dan saya bisa memberitahu Anda alasannya, Tuan. Bukan hal yang memalukan . . . malah sebaliknya."
"Kami cukup yakin soal itu, Mme. Giry!"
"Well, begini ceritanya ... ta pi hantu ini tidak suka saya menceritakan urusannya."
"Benarkah?" ejek Richard.
"Tapi hal satu ini hanya menyangkut diri saya sendiri . . . . Well, suatu malam, di Boks Balkon nomor Lima, saya menemukan surat yang ditujukan kepada saya, surat yang ditulis dengan tinta merah. Saya tak perlu membacakan isi surat itu kepada Anda, Tuan. Saya hafal isinya dan tak akan pernah melupakannya bahkan bila saya berumur seratus tahun nanti!"
Lalu Madame Giry berdiri tegak dan mengucapkan isi surat itu dengan begitu fasih:
MADAME: 1825. Mlle. Menetrier, pemimpin kelompok balet, menjadi Marquise de Cussy. 1832. Mlle. Marie Taglioni, seorang menjadi Comtesse Gilbert des Voisins. 1846. La Sota, seorang
, me saudara lak i-laki Raja Spanyol. 1847. Lola Montes, seorang penari, menjadi i s tri Raja Louis dari Bavaria dan dinobatkan menjadi Countess of Landsfeld. 1848. Mlle. Maria, seorang penari, menjadi Baronne d'Herneville. 1870. Therese Hessler, seorang penari, men ikahi Dom Fernando, saudara lak i-laki Raja Portugal.
Richard dan Moncharmin mendengarkan perempuan tua yang semakin bersemangat mengucapkan keterangan pernikahan-pernikahan besar ini, hingga akhirnya ia menyuarakan kalimat terakhir dari surat itu dengan suara penuh keberanian dan kebanggaan yang membuncah: 1885. Meg Giry, Ratu!
Lelah akibat u a yang teramat keras, penjaga boks balkon itu mengempaskan diri ke atas kursi sambil berkata, "Tuan-Tuan, surat itu bertandakan, 'Hantu Opera.' Saya sudah mendengar banyak tentangnya, tetapi saya tak benar-benar percaya. Namun pada hari ia menyatakan bahwa Meg kecilku, darah dagingku, akan menjadi ratu, saya percaya penuh kepadanya."
Kita tak perlu terlalu lama mengamati sikap angat Madame Giry untuk me khayalan apa yang terbentuk dalam benaknya oleh kata "hantu" dan "ratu."
Pembunuh Dari Jepang 2 Pendekar Slebor 03 Mustika Putri Terkutuk Bunga Di Batu Karang 21

Cari Blog Ini