Balada Padang Pasir Karya Tong Hua Bagian 5
tanah yang ditutupi salju, namun tak dapat menemukan sosok
manusia lain. Air mata di wajahku menjadi es, kulitku merekah,
darah mengucur keluar, bercampur dengan air mata dan menjadi
tetesan air mata beku berwarna merah darah.
Aku yang berusia dua belas tahun, di tengah salju yang menutupi
langit dan bumi, berlari seharian penuh, akhirnya aku kehabisan
tenaga dan tersungkur ke dalam salju, bunga salju yang
melayang-layang memenuhi angkasa jatuh di wajah dan tubuhku,
aku membuka sepasang mataku lebar-lebar dan memandang
angkasa, tak kuasa bergerak, tak punya tenaga, dan juga tak
ingin bergerak lagi. Sedikit demi sedikit, bunga es menyelimuti
sekujur tubuhku, aku merasa semuanya sangat baik, sebentar
lagi aku tak akan menderita lagi, ternyata seperti ini rasanya!
Biarkan semua berakhir di tengah alam serba putih yang bersih
ini, sama sekali tak berbau darah.
Lang Xiong melolong mencariku, dengan cakarnya, sedikit demi
sedikit, ia menyingkirkan salju yang menutupi tubuhku, ia hendak
menggunakan mulutnya untuk menyeretku pergi, namun saat itu
ia masih kecil dan tak dapat menarikku. Ia mendekam di atas
perutku, menggunakan sekujur tubuhnya untuk melindungiku,
sambil tak henti-hentinya menjilati wajah dan tanganku dengan
lidahnya untuk menghangatkanku. Aku menyuruhnya pergi,
memberitahunya bahwa kalau kawanan serigala tak datang tepat
pada waktunya, ia juga akan mati beku di tengah salju, namun ia
berkeras untuk tetap menjagaku.
Mata Lang Xiong menatapku tanpa berkedip, setiap kali aku
hendak memejamkan mata, dengan sekuat tenaga ia menjilatiku.
Matanya dan mata A Die berbeda, namun maksud yang
terkandung dalam pandangan mata mereka sama, mereka
semua ingin aku bertahan hidup. Aku ingat bahwa aku telah
berjanji pada A Die, bahwa tak perduli apa yang terjadi, aku harus
hidup dengan bahagia, oleh karenanya, satu-satunya keinginan A
Die adalah agar aku tetap hidup. Aku menatap mata Lang Xiong
yang hitam legam dan berkata padanya, "Aku salah, aku ingin
hidup, aku harus tetap hidup". Untung saja kawanan serigala
datang tepat pada waktunya, salju pun telah berhenti turun, aku
diselamatkan oleh kawanan serigala, dengan menggunakan
tubuh mereka sendiri dan darah hangat binatang buruan, mereka
menghangatkan tangan dan kakiku yang mati rasa?".
Tiba-tiba aku berseru, "Jangan bicara lagi! Mudaduo, bagimu
semua ini sudah berlalu, namun peristiwa itu adalah parut luka
dalam hatiku, dahulu luka itu berdarah-darah, tapi sekarang
sudah dengan susah payah menjadi parut dan tak lagi berdarah,
kenapa kau muncul di hadapanku dan membuka kembali luka
lama itu" Kembalilah! Kalau kau masih menghargai persahabatan
kita semasa kecil, sejak saat ini, jangan temui aku lagi, Yu Jin
sudah tak ada, dia memang sudah mati, mati di tengah hujan
salju lebat bertahun-tahun yang silam itu".
Aku melambaikan lengan bajuku, hendak pergi, namun Mudaduo
menarik lengan bajuku kuat-kuat sambil berseru, "Jiejie, jiejie".."
Sebelum meninggalkan Xiongnu, aku, Yu Dan, Ri Di dan
Mudaduo bersahabat erat. Karena jabatan A Die, aku dan Yu Dan
paling dekat dibandingkan dengan yang lainnya. Saat Yu Dan, Ri
Di dan aku pergi bermain, kami tak suka mengajak Mudaduo. Ia
tak pernah berkata apa-apa, namun sepasang matanya yang
lebar selalu menatap kami. Untuk mengodanya aku berkata,
"Panggil aku jiejie dan aku akan mengajakku pergi bermain".
Dengan keras kepala ia menggeleng, tak sudi memanggilku
kakak, dengan sikap merendahkan ia berkata padaku, "Kau
sendiri tak tahu berapa umurmu, mungkin kau lebih kecil dariku,
aku tak akan memanggilmu jiejie". Akan tetapi, tak perduli
kemanapun kami pergi, ia selalu membuntuti kami dan tak bisa
ditinggalkan. Setelah besar, kami justru dekat karena kami samasama keras kepala dan suka berbuat onar. Sedangkan mengenai
keputusanku untuk menyuruhnya memanggilku kakak, setelah
berpikir semalam ia bersedia memanggilku demikian. Aku heran
kenapa ia bersedia memanggilku kakak, setelah itu aku baru tahu
dari Yu Dan bahwa ia bersedia melakukannya karena mengira
aku akan melakukan apa saja yang diinginkannya kalau aku
memanggilnya kakak. Panggilan jiejie yang berulang-ulang itu melunakkan hatiku,
dengan lembut aku berkata, "Sekarang keadaanku sangat baik,
aku tak ingin pulang, dan tak dapat pulang". Mudaduo berpikir
tanpa berkata apa-apa untuk beberapa saat, lalu mengangukangguk, "Aku mengerti, kau tak ingin menemui Shanyu, maka aku
tak boleh memberitahu Shanyu bahwa aku telah bertemu
denganmu". Aku mengenggam tangannya, "Banyak terima kasih, kapan kalian
akan pulang?" Dengan girang Mudaduo pun mengenggam
tanganku, "Besok kami akan pergi, oleh karenanya hari ini semua
orang sangat sibuk, tak ada yang memperdulikanku dan aku
kabur untuk bermain sendiri".
Aku tertawa dan berkata, "Aku akan mengajakmu berkeliling kota!
Dan aku akan menyuruh dapur membuat beberapa makanan Han
yang luar biasa untukmu, walaupun harus mengucapkan selamat
tinggal padamu". Dengan sinis Mudaduo bertanya, "Apakah
setelah ini kita masih akan bertemu lagi?"
Aku berpaling dan melihat bahwa jejak kaki kami tertera dengan
jelas, tapi kami sudah tak dapat menemukan jalan pulang,
dengan penuh kepahitan aku berkata, "Aku harap kita tak akan
bertemu lagi, aku dan Yinzhixie sama sekali tak bisa bertemu
muka. Lagipula kau telah memilihnya, kalau kami sampai bertemu
lagi, jangan-jangan kau akan merasa serba salah".
Wajah Mudaduo langsung menjadi merah padam, dengan jengah
ia menunduk dan memandang ke tanah. Sebenarnya aku hendak
mengatakan bahwa ia telah memilih Yinzhixie sebagai Shanyu
mereka, namun begitu melihat wajahnya, aku paham, dengan
hambar aku bertanya, "Apakah kau sudah menjadi selirnya?"
Mudaduo menggeleng, lalu menghela napas dengan pelan,
"Shanyu sangat baik padaku, oleh karenanya permaisuri sangat
tak suka padaku, seperti perjalanan ke Dinasti Han ini, tak ada
yang setuju aku ikut, tapi Shanyu setuju, dan karena masalah ini
permaisuri mengamuk. Aku masih tak tahu isi hati Shanyu, tapi
kalau ia ingin mengangkatku menjadi selir, aku pasti bersedia". Ia
berbicara dengan jengah sambil mencuri pandang ke arahku.
Aku tertawa, begitulah perempuan Xiongnu, kalau suka ia akan
berkata suka, kalau ingin menikah dengan seorang pria ia berkata
akan menikahinya, tak pernah menutupi perasaanya sendiri, dan
juga tak merasa hal itu memalukan. "Tak usah perdulikan aku,
walaupun kita bersahabat, tapi masalah kau ingin menikah
dengan Yinzhixie adalah urusanmu sendiri. Aku hanya berharap
tak akan bertemu muka lagi dengannya". Dengan agak takut
Mudaduo memandangku, "Apakah kau ingin membunuh
Shanyu?" Aku menggeleng, lalu menjawab dengan jujur, "Sekarang tidak,
sebelumnya aku merasa sangat sedih dan ingin melawan, tapi
akhirnya menjadi tenang, setelah ini?"setelah ini seharusnya
tidak, aku hanya ingin tak bertemu muka lagi dengannya
sepanjang hidup ini. Mudaduo, sebenarnya bukan aku yang dapat
memutuskan hendak membunuhnya atau tidak, tapi dialah yang
memutuskan hendak membunuhku atau tidak. Ada beberapa
tindakan yang harus dilakukan sampai tuntas, kalau tidak ia akan
selalu merasa was-was, oleh karenanya ia lebih suka berduka
karena merasa bersalah setelah A Die bunuh diri daripada
memberinya jalan keluar".
Wajah Mudaduo agak berubah, seakan memahami perkataanku,
namun ia tak mau mengakuinya dan masih dengan keras kepala
berkata, "Shanyu tak ingin kalian mati, perintah yang diberikannya
tidak?"" Sambil tersenyum getir aku berkata, "Apa yang kau takuti"
Apakah kau masih takut aku akan membunuhnya" Kalau ia ingin
membunuhku hal ini sangat mudah, tapi bukankah sangat sulit
bagiku untuk membunuhnya" Dia adalah pejuang nomor satu
bangsa Xiongnu, dan juga Shanyu bangsa Xiongnu, kalau aku
hendak membunuhnya aku harus melawan seluruh bangsa
Xiongnu, oleh karena itu aku hanya dapat memendam dendam ini
seumur hidupku. A Die hanya ingin aku menemukan orang yang
akan menghadiahiku sekuntum bunga peoni, dengan segenap
daya membahagiakan diri sendiri, dan tak tenggelam dalam
kesedihan. Mudaduo, kalaupun pada suatu hari aku dan Yinzhixie
kembali bertemu muka, kau tak usah cemas, aku hanya khawatir
kalau ia tahu aku masih hidup, kehidupanku di Chang"an akan
menjadi sulit". Rasa bersalah nampak dalam pandangan mata Mudaduo,
dengan bersungguh-sungguh ia berkata, "Aku tak akan berkata
pada siapapun bahwa kau masih hidup".
------------------------------------'Tahun Yuanshuo keenam, tanggal satu bulan satu, hari pertama
tahun yang baru. Aku tak tahu apakah tahun ini aku akan selalu
bahagia, namun di hari pertama tahun baru aku sangat bahagia.
Selama tiga puluh malam aku mengurai potongan kain dari kaki
Xiao Tao dan hal itu membuatku gembira sepanjang malam, Jiu
Ye mengundangku bermain ke Wisma Shi di siang hari tahun
baru, ini adalah untuk pertama kalinya kau mengambil inisiatif
untuk mengundangku. Aku sedang berpikir bagaimana agar di
kemudian hari akan sangat banyak kesempatan seperti itu,
sangat banyak........' Ketika memasukkan potongan kain itu ke dalam kotak bambu,
aku memperhatikannya, tanpa terasa, potongan-potongan kain itu
telah menjadi sebuah tumpukan kecil. Entah kapan seribu satu
pikiran dalam potongan-potongan kain itu dapat kuberitahukan
padanya. Sebelumnya aku pergi mengucapkan selamat tahun baru pada
kakek dan Shi Feng, setelah mengobrol dan bercanda dengan
kakek dan Shi Feng setengah hari lebih, aku pergi ke Pondok
Bambu. Begitu sampai di Pondok Bambu, aku mencium keharuman
bunga yang samar-samar, aku merasa agak heran, biasanya Jiu
Ye tak pernah menanam bunga seperti itu.
Di dalam ruangan, sebuah vas tanah liat berperut gendut
diletakkan di atas meja, di dalamnya terdapat beberapa ranting
bunga prem putih, ranting-ranting itu tak tinggi dan bunganya
menjuntai keluar dari vas itu, namun bunga-bunga itu sedang
mekar dengan rimbun, kelihatannya amat semarak.
Di sebelah bunga prem diletakkan sepasang cawan arak dan
sumpit yang saling berhadapan, sedangkan sebuah poci arak
sedang dihangatkan dalam tungku arang. Mau tak mau sudutsudut bibirku terangkat. Aku menghampiri bunga prem itu, lalu
mencium baunya, Jiu Ye keluar dari kamar sambil mendorong
kursi rodanya, "Wangi bunganya seakan ada dan tiada". Aku
berpaling melihatnya, "Masa bodoh bagaimana baunya, yang
penting gembira". Ia tersenyum dengan hangat, aku menaruh sepasang tanganku di
balik punggung, lalu bertanya sembari tersenyum, "Kau ingin
mengundangku makan hidangan lezat apa?" Katanya, "Sebentar
lagi kau akan tahu".
Ia mempersilahkanku duduk di samping meja, lalu menuangkan
arak panas untukku. "Bahumu masih sakit?" "Ah", ujarku, dengan
bingung aku memandangnya, namun aku segera bereaksi dan
cepat-cepat mengangguk, "Sudah tak sakit".
Ia tertegun, "Sebenarnya sakit atau tidak?" Aku menggeleng,
"Hanya sakit sedikit saja".
Ia tertawa, "Pikir baik-baik dahulu sebelum bicara, kalau sakit, ya
sakit, kalau tak sakit, ya tak sakit. Kenapa gerakan tubuh dan
perkataanmu bertolak belakang?" Aku memukul kepalaku sendiri,
dasar orang tak berguna. Aku meraba bahuku, "Sudah tak sakit
seperti dulu, tapi kadang-kadang agak sakit".
Ia berkata, "Walaupun sibuk kau harus merawat tubuhmu dengan
baik dahulu, di luar hawa sangat dingin dan semua orang
memakai pakaian yang berlapis-lapis, coba lihat apa yang kau
pakai" Tak heran kalau tenggorokanmu sakit, kepalamu sakit
atau bahumu sakit". Aku menunduk dan memutar cawan arak di atas meja, lalu
mencibir dan tersenyum, diam-diam aku merasa senang. Shi Yu
memanggil, "Jiu Ye", dari balik jendela, lalu masuk sambil
mengusung sebuah baki besar, di atasnya terdapat dua mangkuk
besar yang ditutupi, sambil menyengir ke arahku, ia menaruh
masing-masing sebuah mangkuk di hadapanku dan Jiu Ye.
Aku memandang mangkuk di hadapanku, lalu dengan heran
bertanya sembari tersenyum, "Apakah kau mengundangku untuk
makan mi?" Jiu Ye membuka tutup mangkuk untukku, "Konon Dewa Panjang
Umur Peng Zu dapat hidup sampai delapan ratus tahun lebih
karena wajahnya (lian) panjang, lian sama artinya dengan mian
, lian panjang yaitu mian panjang, dengan semangkuk
mi panjang umur ini aku mengucapkan selamat ulang tahun
padamu, semoga panjang umur dan bahagia".
Mi dalam mangkuk itu halus seperti rambut, kuahnya kaldu tulang
yang seputih susu, permukaannya ditaburi irisan ketumbar dan
daun bawang berwarna hijau muda. Dengan sumpit aku
mengangkat seutas mi, lalu berkata dengan lirih, "Hari ini bukan
hari ulang tahunku".
Dengan lembut ia berkata, "Setiap orang seharusnya punya suatu
hari khusus, karena kau tak tahu kapan kau berulang tahun, kita
pakai hari ini saja! Pada hari ini tahun lalu kita berjumpa lagi di
sini, hari ini adalah hari keberuntungan, dan juga hari pertama
tahun yang baru. Setelah ini setiap tahun di hari ulang tahunmu,
setiap keluarga akan berbahagia bersamamu".
Tenggorokanku tercekat, aku tak kuasa berkata apa-apa, dan
hanya dapat menyumpit mi dan memasukkannya ke dalam mulut,
di sisiku ia dengan tenang menemaniku makan mi panjang umur
itu. Mi itu harum dan lembut, ketika sampai di perut, sekujur tubuh
menjadi hangat, aku yang selalu menganggap daging adalah
satu-satunya makanan yang enak, untuk pertama kalinya merasa
bahwa mi adalah makanan yang terlezat di kolong langit.
Setelah makan mi, kami berdua dengan perlahan minum arak
sambil bercakap-cakap, kekuatan minumku sangat rendah, maka
aku tak berani banyak minum, tapi enggan kalau sama sekali tak
minum, maka aku menghirupnya sedikit demi sedikit, aku suka
rasa mabuk ringan saat kami berdua saling bersulang, rasanya
hangat dan bahagia. Hari musim dingin cepat gelap, begitu lewat pukul shenshi
, ruangan itu sudah gelap. Jiu Ye menyalakan lilin,
dalam hati aku tahu aku harus minta diri, tapi aku enggan pulang,
untuk sesaat aku bimbang namun akhirnya membuat keputusan,
aku berpura-pura dengan tak sengaja berkata, "Baru-baru ini aku
mempelajari sebuah lagu, permainanku sekarang sudah jauh
lebih baik dibandingkan dahulu".
Sambil tersenyum Jiu Ye berkata, "Ternyata kau punya waktu
untuk mempelajari lagu, rupanya kau tak sesibuk seperti yang
kukira, lagu apa itu?"
Dengan mantap aku berkata, "Aku akan memainkannya, coba
Balada Padang Pasir Karya Tong Hua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lihat, kau tahu atau tidak?"
Ia mengeluarkan sebuah seruling kumala, mengelapnya dengan
sehelai sapu tangan yang bersih, lalu memberikannya padaku.
Aku menunduk, tak berani memandangnya, tanganku yang
mengenggam seruling kumala bergetar pelan, setelah
menaruhnya di balik lengan baju untuk beberapa saat, aku
mengangkatnya ke sisi bibirku.
Malam ini malam yang luar biasa, kuambil perahu dan berlayar di
tengah sungai. Hari ini hari luar biasa, seperahu dengan sang pangeran.
Aku sangat malu, tapi tak perduli.
Tak tahu apa-apa, namun bukannya tak perduli, aku berkenalan
dengan sang pangeran. Di gunung ada pohon dan di pohon ada ranting.
Tahukah ia isi hatiku"
Aku sudah beribu kali berlatih memainkan lagu itu, namun ketika
memainkannya kali ini, kadang-kadang suara serulingku bergetar.
Setelah selesai memainkannya, aku masih menunduk, sambil
memegang seruling, aku duduk tak bergeming, khawatir kalau
bergerak aku akan memecahkan sesuatu.
Sunyi senyap, sunyi senyap bagai kuburan, di tengah kesunyian
itu udara seakan mengumpal, api lilin tak lagi menari-nari, seakan
makin redup. "Aku belum pernah mendengarnya, tapi melodinya cukup bagus,
namun kau tak memainkannya dengan baik, hari akan segera
gelap, pulanglah!", dengan hambar Jiu Ye berkata.
Krek! Sebelum merasa sakit, hatiku telah retak, setelah beberapa
saat, rasa sakit menyebar dari retakan itu ke sekujur tubuhku,
tubuhku yang kesakitan gemetar pelan. Aku menengadah
memandangnya, pandangan mata kami berdua bertemu, biji
matanya seakan tiba-tiba mengkerut dan cepat-cepat
menghindari pandanganku. Dengan keras kepala aku terus
menatapnya, namun ia memusatkan pandangannya ke arah
bunga prem putih di vas tanah liat itu. Pertanyaan 'mengapa"'
dan luka hatiku sepertinya tak dihiraukannya.
Dia tak akan memperdulikanku lagi, ayo pergi! Paling tidak aku
belum menelanjangi diriku sendiri dan masih dapat pergi secara
terhormat. Dalam hatiku sebuah suara lirih menasehatiku, namun
aku juga masih berharap, berharap ia akan menengadah dan
memandangku sekali lagi. Setelah sangat lama, aku bangkit tanpa berkata apa-apa, lalu
berjalan ke pintu, ketika hendak membuka pintu, aku tersadar
bahwa tanganku masih mengenggam seruling kumala itu eraterat, karena genggamanku terlalu erat, kukuku menembus
telapak tanganku dan bercak-bercak darah pun mengenai
seruling itu, merah tua dan mengejutkan.
Aku berbalik dan dengan hati-hati menaruh seruling itu di atas
meja, lalu dengan tertatih-tatih melangkah keluar dari pintu.
Di tengah cahaya remang-remang, aku berjalan tak tentu arah,
aku tak ingat apakah aku hendak pulang ke Luoyu Fang.
Benakku dipenuhi suara seperti guntur yang terus berulangulang, 'Aku belum pernah mendengarnya, tapi melodinya cukup
bagus, namun kau tak memainkannya dengan baik'.
Kenapa" Kenapa" Apakah kau sama sekali tak punya perasaan
padaku" Tapi kenapa ia begitu baik padaku" Kenapa kalau aku
pulang malam, ia menungguku di bawah sinar lentera" Kenapa ia
selalu mengkhawatirkan setiap penyakitku, walaupun sepele, dan
selalu dengan hati-hati menulis resep untukku dan
menasehatiku" Kenapa berbicara padaku dengan lembut dan
penuh kasih sayang" Kenapa merayakan ulang tahunku"
Kenapa" Terlalu banyak 'kenapa', membuat kepalaku begitu sakit
seakan hendak pecah. Saat perayaan tahun baru di depan setiap rumah tergantung
lentera merah besar, cahaya merahnya yang hangat menyinari
jalanan, udara penuh aroma daging yang harum, segalanya
hangat dan manis, ketika menengadah aku melihat kebahagiaan
di mana-mana, namun begitu menunduk, aku hanya melihat
bayanganku sendiri yang terkadang nampak jelas dan terkadang
kabur, bergoyang-goyang kesana-kemari bersama sinar lentera.
Beberapa anak sedang bermain mercon di jalanan, "Dor, dor!", di
tengah api mercon itu meledak, anak-anak itu tertawa-tawa
sambil menutup telinga dan bersembunyi di tempat jauh
menunggu suara ledakan. Aku berjalan melewati api itu, kebetulan mercon sedang meledak,
setelah suara ledakan yang amat keras terdengar, bunga-bunga
api jatuh ke gaunku, angin bertiup dan menyulutnya. Melihatnya,
anak-anak itu berteriak-teriak dan berpencar. Aku menunduk dan
melihat bahwa api di pakaianku makin lama makin besar, setelah
tertegun sejenak aku bereaksi, dengan cemas aku menepuknepuk pakaianku dengan tangan, namun api sudah berkobar dan
sulit dipadamkan. Ketika aku hendak berguling-guling di tanah
untuk memadamkan api, sebuah mantel bulu berkelebat di atas
gaunku dan segera memadamkan api.
"Apakah tanganmu terluka?", tanya Huo Qubing. Aku
menggeleng dan menarik tangan kiriku, lalu menyembunyikannya
di balik punggungku. Huo Qubing mengibaskan mantel bulu dalam genggamannya,
lalu menghela napas dan berkata, "Sayang sekali, aku baru saja
memperolehnya dari kaisar beberapa hari yang lalu, dan hari ini
baru kupakai". Tadinya aku hendak berkata akan mengantinya, namun begitu
mendengar bahwa mantel itu adalah hadiah dari kaisar, aku
segera menutup mulut. Ia memperhatikan sepasang mataku, lalu
menyelimutiku dengan mantel besar itu, "Walaupun sudah rusak,
namun jauh lebih baik dibandingkan gaunmu yang berlubanglubang itu".
Aku merapatkan mantel itu, "Kenapa kau berada di jalanan?"
Ia berkata, "Aku baru pulang dari mengucapkan selamat tahun
baru pada sang putri dan pamanku. Kenapa kau bisa sendirian di
jalan" Kelihatannya kau sudah lama berkeliaran sampai
rambutmu penuh bunga es". Sambil berbicara ia membersihkan
bunga es di pelipisku dengan teliti.
Sebelum menjawab, aku berpaling dan memandang ke segala
penjuru, mencari tahu di mana aku sebenarnya berada, ternyata
dalam keadaan bingung aku telah memutari separuh kota
Chang'an. Ia memandangiku beberapa saat, "Ini tahun baru,
kenapa kau murung begini" Ayo ikut aku!"
Sebelum aku sempat menolak, ia telah memaksaku melompat ke
kereta kuda, tenagaku sudah habis, sekarang aku hanya merasa
masa bodoh, tanpa berkata apa-apa, aku membiarkannya
mengatur semuanya. Melihatku tak menolak, ia pun duduk tanpa berkata apa-apa,
hanya derit roda kereta kuda yang terdengar.
Setelah beberapa lama, ia berkata, "Aku tahu lagu apa yang kau
mainkan itu. Aku pernah menyenandungkan beberapa nada lagu
itu dengan asal, lalu kaisar secara tak sengaja mendengarnya
dan bertanya sambil menggodaku, siapa gadis yang
menyanyikan Lagu Orang Yue itu untukku. Dengan bingung aku
bertanya pada kaisar, 'Kenapa lagu itu tak bisa dinyanyikan
seorang pria"'"
Aku memaksa diriku untuk tersenyum.
"Negara Chu dan Yue berdekatan, tapi bahasanya lain. Ketika
Raja E dari Negara Chu naik perahu melewati Negara Yue, gadis
Yue pengayuh perahu tertarik padanya, namun apa daya ia tak
tahu bahasa sang raja, maka ia terpaksa menyanyikan lagu. Raja
E tahu maksud lagu itu, dan paham isi hati sang gadis, ia tertawa
dan membawa gadis itu pulang". Dengan bersemangat Huo
Qubing menceritakan kisah yang terjadi ratusan tahun yang lalu
itu. Karena pertemuan yang berakhir dengan indah itu, mungkin
banyak gadis yang meniru perbuatan gadis Yue itu dan berusaha
meraih kebahagiaan untuk dirinya sendiri, tapi tak semua orang
dapat meraih cita-citanya. Aku tak ingin mendengarkan cerita itu
lagi dan memotong perkataannya, "Kau ingin mengajakku ke
mana?" Ia menatapku untuk beberapa saat tanpa berkata apa-apa, lalu
tiba-tiba tersenyum berseri-seri bagai matahari terbit,
"Mengajakmu mendengarkan nyanyian lelaki".
Ternyata Huo Qubing langsung membawaku ke markas Pasukan
Kavaleri Yulin. Begitu naik takhta, Liu Che memilih pemudapemuda baik yang lahir di enam prefektur, yaitu Longxi, Tianshui,
Anding, Peide, Shangjun dan Xihe, untuk menjaga Istana
Jianzhang. Saat itu urusan pemerintahan dipegang oleh Ibusuri
Dou, walaupun Liu Che berambisi untuk menumpas bangsa
Xiongnu, namun ia tak dapat berbuat apa-apa, maka ia bersikap
seperti seorang pemuda kaya yang suka hidup mewah. Liu Che
membagi pasukan pengawal Istana Jianzhang menjadi dua
pasukan yang masing-masing memakai seragam Xiongnu dan
Dinasti Han, lalu melatih mereka bertempur. Sepertinya ini adalah
permainan seorang pemuda untuk menghibur diri sendiri, namun
pasukan itu sebenarnya adalah pasukan yang telah dilatih Liu
Che selama bertahun-tahun lamanya, sehingga menjadi pasukan
andalan Dinasti Han. Sekarang pasukan itu sudah berganti nama
menjadi Pasukan Kavaleri Yulin, yang diambil dari semboyan
'secepat anak panah (yu), lebih banyak dari pohon-pohon di
hutan (lin)'. Walaupun saat itu tahun baru, namun suasana dalam markas
masih penuh disiplin, setelah sampai di barak suasana tahun
baru barulah terasa. Pintu barak terbuka lebar dan lilin-lilin besar
menerangi ruangan di dalamnya hingga terang benderang, api
merah menyala di perapian, di atasnya mereka sedang
memanggang daging, aroma daging dan arak bercampur di
udara, membangkitkan selera.
Huo Qubing adalah anggota Pasukan Yulin, orang-orang yang
duduk di sekeliling perapian nampak sangat akrab dengannya,
begitu melihat Huo Qubing mereka tersenyum. Seorang lelaki
berpakaian brokat berkata sembari tersenyum, "Hidungmu
memang tajam, daging rusa segar baru saja dipanggang, tapi kau
sudah datang". Ketika mendengar suaranya aku melangkah maju,
dia adalah Li Gan. Sebelum menjawab, Huo Qubing mengajakku duduk di sebuah
tempat yang telah disediakan untuk kami diantara kerumunan
orang itu, ketika melihatku, mereka sama sekali tak kelihatan
heran, seakan aku memang sudah seharusnya berada di situ,
atau mungkin mereka menganggap semua tindakan Huo Qubing
biasa. Seorang pemuda menaruh masing-masing sebuah cawan
di hadapanku dan Huo Qubing, tanpa berkata apa-apa, ia lalu
mengisinya dengan arak hingga penuh.
Huo Qubing juga diam seribu bahasa, ia bersulang pada para
hadirin, lalu menengadah dan menenggak arak itu, semua orang
tertawa, sambil tersenyum Li Gan berkata, "Ternyata kau tak
banyak alasan dan sudah tahu akan di hukum minum arak karena
terlambat". Seraya berbicara ia menuang secawan arak lagi,
dalam sekejap Huo Qubing telah menengak tiga cawan arak.
Semua orang memandangku, di bawah cahaya api unggun,
wajah mereka nampak segar bugar, mata muda mereka nampak
jernih, polos dan bersemangat, bersinar-sinar bagai api, entah
karena api unggun atau mata mereka, aku merasa hatiku hangat,
aku menarik napas panjang, lalu menuang arak sambil tersenyum
dan mengikuti Huo Qubing bersulang pada semua orang. Setelah
itu, aku menutup mataku dan menengak arak itu dalam sekali
tarikan napas. Begitu secawan arak masuk ke perut, para hadirin bertepuk
tangan sambil tertawa dan bersorak-sorai, aku menghapus sisa
arak di bibirku, lalu menaruh cawan di meja. Cawan kedua telah
terisi penuh, ketika aku hendak mengambilnya, Huo Qubing
menuang arak ke cawannya dan berkata dengan hambar, "Dia
tamuku, dua cawan arak yang tersisa anggap saja punyaku".
Sambil berbicara ia meminumnya.
Li Gan memandang ke arahku, lalu berkata sembari tersenyum,
"Melihat rupanya ia tak bisa minum, aku akan mengikuti
teladanmu, tuan, dan membuat si jelita mabuk. Hal ini sangat
jarang terjadi! Caixia Li Gan". Sambil berbicara ia menjura
kepadaku, untuk sesaat aku tertegun, lalu tersadar dan
menghormat kepadanya. Hubungan Li Gan dan Huo Qubing jelas sangat baik. Di depan
orang banyak, Huo Qubing sangat jarang berbicara, wajahnya
sering nampak angkuh dan dingin, orang-orang tak suka merasa
direndahkan, maka mereka biasanya menjaga jarak dengannya.
Akan tetapi Li Gan dan Huo Qubing, yang seorang hangat dan
yang seorang lagi dingin, nampaknya saling menyukai.
Li Gan memenuhi cawan ketiga Huo Qubing, lalu memenuhi
cawannya sendiri dan menemani Huo Qubing minum. Setelah itu
ia mengiris daging rusa dan menaruhnya di hadapanku dan Huo
Qubing. Huo Qubing menusuk sepotong daging dengan pisau
dan memberikannya padaku seraya berkata dengan suara pelan,
"Makanlah sedikit daging untuk menekan rasa mabuk".
Saat itu semua orang lain telah makan daging rusa sambil duduk
atau berdiri, tak ada yang memakai sumpit, ada yang langsung
mencabik daging dengan tangan dan memakannya, sedangkan
yang agak anggun menggunakan pisau untuk makan. Ada juga
yang sibuk bermain tebak-tebakan, teriakan mereka memekakkan
telinga. Rasa mabuk mulai naik ke kepalaku, mataku berkunang-kunang,
aku hanya tahu bahwa asalkan Huo Qubing memberiku sepotong
daging, aku memakannya. Aku langsung memasukkan daging ke
dalam mulutku dengan tangan, lalu menyeka minyak di mulutku
dengan mantelnya. Dengan mata yang kabur karena mabuk, aku sepertinya melihat
para pemuda itu menyanyi sambil mengebrak meja, aku pun
menyanyi bersama mereka. "........nyanyikan hidup Yang Mulia, antar aku pergi berperang.
Ayah ibu memperingatkan, gantung busur dan panah, waspada
segala penjuru, hari ini untuk seumur hidup. Lelaki jantan tak sudi
menyerah, kuda menginjak-injak Xiongnu, Han berada di atas
angin; busur besi dingin, darah panas......"
Di tengah sorak sorai itu, kesedihan dan kecemasan dalam hatiku
sepertinya sedikit demi sedikit mengalir keluar dari hatiku. Hari ini
aku juga untuk pertama kalinya memahami semangat para
pemuda itu, darahku pun ikut bergolak.
Keesokan harinya, sambil mengerang aku tersadar, Hong Gu
menuang semangkuk sup penawar mabuk untukku sambil
berbisik, "Dahulu kau tak suka minum, tapi sekali minum sampai
begini". Aku memegangi kepalaku sendiri, beratnya seakan ribuan kati.
Hong Gu menggeleng-geleng, lalu menyuapiku sesendok demi
sesendok sup, setelah minum beberapa sendok, aku bertanya,
"Bagaimana aku bisa pulang?"
Hong Gu tersenyum aneh, dengan genit ia melirikku, "Kau mabuk
berat, mana bisa pulang" Tuan Muda Huo mengantarmu pulang,
aku hendak menyuruh orang mengendongmu ke kamar, tapi ia
mengendongmu sendiri ke kamar".
"Oh!", ujarku, kepalaku terasa makin berat, dengan senyum
penuh kemenangan, Hong Gu berkata, "Ada lagi yang akan
membuat kepalamu tambah pusing!"
Balada Padang Pasir Karya Tong Hua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan tak berdaya aku mengerang, "Apa?"
Hong Gu berkata, "Ketika Tuan Muda Huo hendak pergi, kau
mencengkeram lengan bajunya erat-erat, melarangnya pergi dan
menyuruhnya menjelaskan sesuatu, bicaramu meracau, aku juga
tak mengerti apa yang kau katakan, tapi secara garis besar
maksudnya sepertinya, 'Kenapa kau begitu baik padaku" Kau
bisa tidak tak sebegitu baik padaku" Kalau kau agak jahat
padaku, mungkin aku tak akan sesedih ini'. Tuan Muda Huo
duduk di sisi ranjang, terus menemani dan menghiburmu, sampai
kau tertidur ia baru pergi". Aku menjerit, duduk tegak, lalu kembali
ambruk ke ranjang. Sebenarnya apa omong kosong yang telah
kukatakan" Sedikit demi sedikit aku teringat akan tingkahku yang tak keruan,
adegan demi adegan seakan muncul dalam benakku, kadangkadang jelas dan kadang-kadang kabur, dengan kesal aku
menghela napas, aku benar-benar mabuk berat sampai tingkahku
kacau, setelah ini aku tak boleh terbawa darah panas dan rasa
persaudaraan lagi. Aku mengangsurkan tangan kiriku yang dibalut perban putih, "Aku
ingat kaulah yang membalutnya".
Hong Gu mengangguk dan berkata, "Akulah yang membalutnya,
tapi Tuan Muda Huo mengawasiku melakukannya, dan juga
menyuruhku memotong kukumu, dengan wajah dingin ia berbisik,
'supaya ia tak mencakar orang lain atau dirinya sendiri'. Sayang
sekali, segala yang telah kulakukan untuk kukumu sia-sia, namun
begitu melihat wajah Tuan Muda Huo, aku sama sekali tak berani
membantah". Aku mengangkat tanganku yang lain, benar saja,
kukuku telah menjadi amat pendek. Aku pun mengerang dan
menutupi wajahku dengan tangan.
------------------"Kenapa tak ada yang menyanyi?" Aku bersandar di ambang
jendela kereta kuda untuk menghirup angin dingin, Huo Qubing
menarikku ke dalam kereta, dengan wajah tak berdaya ia berkata,
"Kenapa kau begitu tak kuat minum" Apa rasa araknya sangat
tak enak?" Sambil tersenyum aku menghindari tangannya, lalu
menyanyi keras-keras sambil menghadap ke jendela kereta,
"........nyanyikan hidup Yang Mulia, antar aku pergi berperang.
Ayah ibu memperingatkanku......gantung busur dan panah,
waspada.......penjuru, hari ini........" Ia menarikku ke dalam kereta,
"Baru minum arak sudah menghirup hawa dingin, besok kalau
kepalamu sakit jangan salahkan aku".
Aku hendak mendorongnya pergi, namun ia cepat-cepat
mencengkeram tanganku, cengkeramannya kebetulan tepat
mengenai bekas lukaku, dengan kesakitan aku menarik napas
dalam-dalam, ia mengenggam telapakku dan memperhatikannya,
"Ini kenapa" Apakah kau berkelahi dengan orang dalam lengan
bajumu?" Aku tertawa terkekeh-kekeh dan berkata, "Aku sendiri
yang melakukannya". Dengan lembut ia bertanya, "Sakit tidak?"
Aku menggeleng dan menunjuk ke dadaku sendiri seraya
mengigit bibirku, seakan tersenyum sekaligus menangis, "Di sini
sakit sekali". Wajahnya kalem, ia tak berkata apa-apa, namun di
matanya nampak seberkas rasa sedih, ia menatapku tanpa
berkedip, memandangiku yang sudah mabuk berat tapi masih
tetap sedih, tak nyana aku tak berani memandangnya dan cepatcepat menghindari pandangan matanya.
-------------------Hong Gu tertawa seperti seekor tikus yang berhasil mencuri
makanan, ia mencengkeram bajuku, lalu menarikku hingga
bangkit, "Tak usah banyak berpikir lagi, setelah minum sup
penawar mabuk, makanlah sedikit bubur, lalu suruh gadis
pelayan melayanimu mandi air hangat, setelah itu kau tak akan
sedih lagi". -------------------- Sekarang Xiao Tao dan Xiao Qian suka makan kuning telur, Xiao
Qian lumayan, kalau ia ingin makan, ia mencicit, tapi Xiao Tao
sangat nakal, kemanapun aku pergi, ia selalu ikut, berputar-putar
di sekeliling gaunku, mengejutkanku di setiap langkah. Aku
berpikir untuk "membunuhnya dengan menginjaknya" atau
"membunuhnya dengan mengemukkannya", namun setelah
bimbang sesaat, aku memutuskan untuk membiarkannya bunuh
diri perlahan-lahan. Keputusan ini akan membuatku tak bisa
menemani mereka makan telur ayam lagi: mereka makan kuning
telur, sedangkan aku makan putih telurnya.
Saat memperhatikan Xiao Tao dan Xiao Qian aku sering
termenung, aku mencoba sebisanya untuk melupakan perkataan
Jiu Ye itu, yaitu "aku belum pernah mendengarnya, tapi melodinya
cukup bagus, namun kau tak memainkannya dengan baik". Setiap
kali aku teringat akan perkataan itu, hatiku seakan ditikam
pedang. Kami sudah tak berhubungan lebih dari sebulan
lamanya, kadang-kadang aku berpikir, apakah setelah ini untuk
selamanya kami tak akan berhubungan lagi"
Malam sudah larut, aku bersandar di ambang jendela melihat titiktitik cahaya bintang, warna putih Xiao Tao dan Xiao Qian di
tengah kegelapan malam terus menerus menyadarkanku bahwa
cahaya malam ini dan sebelumnya tak sama. Diam-diam aku
menanyai diriku sendiri, apakah aku melakukan suatu kesalahan"
Mungkin seharusnya aku tak memainkan lagu itu, kalau tidak,
paling tidak kami masih dapat saling bertukar surat merpati di
malam hari. Aku terlalu tamak, ingin terlalu banyak, tapi aku tak
bisa menahan diri untuk tak tamak.
Sebenarnya aku harus menyuruh orang ke Tianxiang Fang untuk
mencari tahu kemana Yinzhixie pergi, tapi aku yang selalu
bersikap waspada di Chang'an justru tak dapat melakukan
tindakan yang seharusnya dilakukan itu, aku hanya berusaha
sebisanya untuk tak keluar rumah, sehari-hari aku tinggal di
rumah sambil berlatih meniup seruling atau bercanda dengan
gadis-gadis rumah hiburan kami untuk melewatkan waktu,
apakah aku sengaja tak menghiraukan dan melupakannya"
Ternyata setelah begitu banyak tahun berlalu, aku masih tak
berani menghadapinya. Hatiku galau dan aku terus menerus memainkan sebuah lagu, "Di
gunung ada pohon dan di pohon ada ranting. Tahukah ia isi
hatiku?" Kekhawatiran lama ditambah dengan kekhawatiran baru,
hatiku semakin bimbang. Dari luar jendela sebuah suara berkata, "Sebenarnya aku tak
ingin menganggumu, aku hendak menunggu sampai lagumu
selesai, tapi kenapa tak selesai-selesai juga?" Sambil berbicara,
ia mengetuk pintu. Aku menaruh seruling, "Pintu tak dikunci, silahkan masuk". Huo
Qubing mendorong pintu hingga terbuka dan masuk, lalu
mengambil seruling yang tergeletak di atas meja dan
mempermainkannya. "Lagu yang barusan ini kau mainkan itu lagu
apa" Sepertinya sudah akrab di telingaku, tapi aku tak ingat lagu
apa itu". Untung saja kau tak pernah memperdulikan hal-hal semacam itu,
diam-diam aku menghembuskan napas dengan lega, lalu
merebut seruling itu dan menaruhnya di dalam kotaknya, "Kenapa
kau mencariku?" Dengan seksama ia memperhatikanku, "Untuk
memastikan bahwa kau baik-baik saja?" Aku memaksa diriku
untuk tersenyum berseri-seri, "Aku baik-baik saja". Sambil
tersenyum ia mencecarku, "Seharian bersembunyi di rumah dan
tak keluar-keluar itu baik-baik saja?" Aku menunduk memandang
meja, "Aku suka tak keluar rumah".
Tiba-tiba, ia menjulurkan kepalanya untuk melihat mataku,
setelah memandangku ia bertanya, "Kau minta beberapa buku
untuk dibaca Li Yan?" Topik pembicaraannya berubah dengan
sangat cepat, aku tertegun sejenak, lalu bereaksi, yang dimaksud
olehnya adalah buku-buku itu, aku cepat-cepat melengos dan
menjawab dengan lirih, "Ya".
Ia berbisik di telingaku, "Kau sudah membacanya belum?", napas
yang hangat menerpa telingaku sehingga separuh wajahku panas
membara, aku menjadi panik dan mengangsurkan tanganku
untuk mendorongnya pergi. Dengan bertopang dagu, ia
menatapku seraya menyengir, ditatap seperti itu olehnya, sekujur
tubuhku merinding, aku pun melompat turun dari bangku, "Aku
harus pergi mengurus sesuatu, kau cepatlah pergi".
Dengan kemalas-malasan ia bangkit, lalu menghela napas dan
berkata, "Wajah perempuan lebih cepat berubah dibandingkan
cuaca di padang pasir. Barusan ini cuaca cerah, lalu dalam
sekejap mata berubah menjadi badai pasir".
Tanpa berkata apa-apa, aku membuka pintu dan memelototinya,
memberi isyarat agar ia segera pergi, wajahnya menjadi serius,
lalu dengan ekspresi dingin, ia melewatiku, namun ketika aku
sedang hendak menutup pintu, ia berbalik dan berkata padaku
dengan hambar, "Wajahmu yang dingin seperti ini membuat
hatiku semakin gatal". Dengan geram aku memelototinya, "Bruk!",
pintu kubanting keras-keras.
Ketika aku sedang merasa sebal pada Huo Qubing, dari pintu
terdengar beberapa ketukan pelan, dengan kesal aku mengomel,
"Kenapa kau kembali lagi?" Dengan heran Hong Gu bertanya,
"Kalau tidak kembali aku harus pergi ke mana?"
Aku cepat-cepat membuka pintu seraya tersenyum, "Ada orang
yang membuatku kesal sampai aku kebingungan, barusan ini aku
tak marah padamu". Hong Gu tersenyum dan berkata,
"Melampiaskan kemarahan itu baik, sudah dua tiga hari ini kau
murung, tapi hari ini ternyata kau marah-marah, ayo ikut aku
berjalan-jalan di taman, cuaca yang begitu baik sayang kalau
disia-siakan". Mendadak aku terkejut, karena dibuat kesal oleh Huo Qubing,
aku sibuk marah-marah, sehingga rasa sedih yang sudah
menumpuk beberapa hari ini telah hilang separuhnya,
apakah?"apakah dia sengaja melakukannya"
Melihatku berdiri di ambang pintu sambil tertegun, Hong Gu
tersenyum dan menarik tanganku, lalu berjalan keluar, "Jangan
mimpi di siang bolong, pikirkanlah hal-hal yang nyata saja.
Kemarin aku mengerjakan pembukuan kita, sepertinya kita punya
uang lebih untuk membeli sebuah rumah hiburan, bagaimana
menurutmu" Aku merencanakan untuk".." sambil berjalan-jalan
di taman, aku dan Hong Gu membicarakan urusan bisnis rumah
hiburan. "Chen Gongzi, mohon jangan berbuat seperti ini, bukankah aku
berkata akan menemanimu berjalan-jalan?" Sambil merontaronta, Qiu Xiang memohon-mohon, namun lelaki yang hendak
memeluknya dengan paksa sama sekali tak menghiraukannya,
dan masih terus mengerayanginya. Aku dan Hong Gu saling
memandang, kami merasa geram, memangnya rumah hiburan
kami dianggap apa" Sekarang para bangsawan yang paling
kasar pun sudah bersikap sopan begitu tiba di Luoyu Fang, tak
nyana hari ini kami bertemu dengan orang yang tak tahu malu
seperti ini. Hong Gu tertawa dengan genit dan berkata, "Aku sedang
berjalan-jalan sesuka hati dan lantas melihat burung layanglayang berkelahi, dalam hubungan pria dan wanita kedua belah
pihak harus sama-sama mau. Kalau gongzi benar-benar suka
pada Qiu Xiang, kau harus berusaha merebut hatinya dan
membuatnya mengikuti gongzi dengan senang hati, dengan
demikian gongzi akan kelihatan romantis dan anggun".
Lelaki itu melepaskan Qiu Xiang, lalu menoleh dan tertawa,
"Perkataanmu masuk akal, tapi aku justru merasa lebih
mengasyikkan kalau ia tak mau?"" Saat pandangan mata kami
berdua bertemu, senyumnya membeku, sedangkan jantungku
seakan berhenti berdetak, ketika aku berbalik hendak pergi, ia
berseru, "Berhenti!"
Aku berpura-pura tak mendengar, dan terus berjalan dengan
cepat, namun ia melompat beberapa kali dan mengejarku, lalu
menarikku, aku menangkis tangannya dan kembali berlari dengan
cepat, di belakangku ia berseru dalam bahasa Xiongnu, "Yu Jin
Jiejie, aku mengenalimu, aku mengenalimu".." Ketika berbicara
suaranya sudah tersedu-sedan, ia jelas-jelas seorang wanita.
Langkah kakiku berhenti, namun aku masih tak berpaling, setelah
berjalan ke belakangku, ia menarik napas panjang, lalu berbisik,
"Hanya aku sendiri yang berbuat onar di sini, Shanyu tak ada di
sini". Aku berbalik dan memandangnya, kami berdua saling
memperhatikan masing-masing dengan seksama, untuk waktu
yang lama kami tak berkata apa-apa. Hong Gu melirik kami
berdua, lalu mengajak Qiu Xiang pergi dengan cepat.
"Kenapa kau masih begini" Di Chang"an kau begitu tak tahu
aturan dan malahan melecehkan seorang nona", aku bertanya
sembari tersenyum. Tiba-tiba Mudaduo memelukku sambil menangis, "Mereka semua
berkata bahwa kau sudah mati, mereka semua berkata bahwa
kau sudah mati, aku menangis setahun penuh, kenapa ketika
menjelang ajal Yu Dan bersumpah demi langit bahwa kau sudah
mati?" Aku menganggap diriku sudah cukup kuat, namun ternyata air
mataku berlinangan, aku mengigit bibirku untuk menahan air
mata agar tak jatuh bercucuran, "Yu Dan"..sebelum meninggal
kau melihatnya?" Sambil mencucurkan air mata Mudaduo mengangguk, "Mulamula Shanyu tak percaya kau sudah mati, ia tahu waktu kecil kita
bersahabat, maka ia sengaja menyuruhku mencarimu, tapi Yu
Dan memberitahuku sendiri bahwa kau benar-benar sudah mati,
dan bahwa ia mengubur mayatmu di tengah pasir hisap". Aku
mengambil sapu tangan dan memberikannya padanya, namun
untuk beberapa saat aku tak kuasa bertanya tentang apa yang
terjadi pada Yu Dan setelah ia ditangkap.
"Jiejie, apakah kau juga menjadi penari di sini" Berapa uang yang
diperlukan untuk membelimu?", kata Mudaduo seraya
menghapus air matanya. "Rumah hiburan ini milikku, aku fangzhu
rumah ini", aku memandangnya sambil tersenyum hangat.
Mudaduo memukul kepalanya sendiri, lalu tersenyum, "Aku
benar-benar bodoh, di kolong langit ini siapa yang dapat
membuat jiejie melakukan sesuatu yang tak kau kehendaki"
Kusambit dia dengan "paku gatal", biar dia mati kegatalan!"
Aku mencibir, tapi tak tertawa. Senyum Mudaduo pun segera
menghilang, setelah diam sesaat, ia berkata, "Jiejie, Shanyu tak
membunuh Yu Dan, Yu Dan meninggal karena sakit".
Aku tertawa dengan sinis, "Meninggal karena sakit, masa" Sejak
kecil Yu Dan dan aku bermain bersama, masa tubuhnya begitu
lemah" Aku pernah menipunya hingga ia tercebur ke danau es di
tengah musim dingin, aku sendiri sakit karena kedinginan, tapi dia
sendiri tak apa-apa".
Mudaduo cepat-cepat menjelaskan, "Jiejie, peristiwa itu benarbenar terjadi. Kalau Shanyu ingin membunuh Yu Dan, begitu
menangkapnya ia dapat langsung membunuhnya, tapi Shanyu
memberi perintah bahwa Yu Dan harus ditangkap hidup-hidup,
kalau tidak, masa untuk menangkap satu orang perlu waktu
berhari-hari" Kau juga tak tahu bahwa ketika Shanyu tahu bahwa
kau terluka ketika kami mengejar kalian, ia begitu marah sampai
wajahnya pucat pasi, aku tak pernah melihat Shanyu begitu
marah, ribuan prajurit yang mengejarmu semua berlutut di tanah
mohon ampun. Selain itu Shanyu juga tak pernah mau percaya
bahwa kau sudah mati, ia menanyai Yu Dan berulang-ulang
tentang bagaimana kau mati, tapi penjelasan Yu Dan sangat
masuk akal, Shanyu mencarimu di seluruh pelosok Xiyu tapi tak
bisa menemukanmu, ia mengirim pasukan ke semua gerbang
yang menuju ke Dinasti Han, tapi mereka tak bisa menemukan
orang yang mirip denganmu, maka akhirnya kami mempercayai
perkataan Yu Dan".
Balada Padang Pasir Karya Tong Hua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku tertawa dengan sinis, "Aku tak ingin mengungkit masalah ini
lagi, kalaupun Yu Dan meninggal karena sakit, masih ada A Die
ku dan permaisuri, memangnya mereka ingin bunuh diri" Siapa
yang membuat semua peristiwa itu terjadi" Walaupun ia tak
membunuh mereka, tapi mereka mati karenanya".
Sambil berlinangan air mata, Mudaduo menggeleng-geleng,
"Jiejie, aku sama sekali tak mengerti kenapa guru ingin bunuh
diri, Shanyu terus menerus membujuk guru agar tetap tinggal
bersamanya, kalaupun guru tak bersedia, ia masih dapat minta
agar Shanyu mengizinkannya pergi, tapi kenapa ia malahan ingin
bunuh diri" Aku ingat hari itu aku sedang hendak tidur, lalu tibatiba mendengar suara teriakan dari luar, aku cepat-cepat
berpakaian dan keluar dari kemah dan mendengar orang-orang
berteriak, "Ibu suri bunuh diri". Tak lama kemudian ada orang
yang berseru sambil tersedu-sedan, "Guru bunuh diri". Karena aku
memikirkan jiejie, aku tak pergi melihat ibu suri dan langsung
berlari untuk melihat guru, kulihat Shanyu berlari menghampiriku,
rupanya Shanyu baru bangun tidur, karena tergesa-gesa ia
bahkan tak sempat memakai sepatu dan berjalan dengan kaki
telanjang di atas salju. Begitu melihat jenazah guru tubuhnya
gemetar hingga hampir ambruk, semua orang khawatir ia akan
mati dan menyuruhnya beristirahat, namun dengan wajah pucat
pasi ia berteriak menyuruh semua orang mundur, dan terus
berjaga di sisi tubuh guru sampai hari terang. Jiejie, setelah
Shanyu mengumpulkan pasukan dan mengangkat dirinya sendiri
menjadi Shanyu, aku selalu membencinya, membencinya karena
ia merebut kedudukan Yu Dan, tapi malam itu, aku melihatnya
duduk sendirian di dalam kemah, saat itu di luar salju turun
dengan lebat, kami yang duduk di dekat perapian saja
kedinginan, tapi Shanyu yang hanya memakai pakaian tipis
duduk sampai hari terang, tak bergeming, sinar matanya tak
senang, justru penuh duka dan derita. Hari itu dingin, namun
hatinya jangan-jangan lebih dingin lagi, dari luar aku dengan
sembunyi-sembunyi mengintipnya, dan tiba-tiba tak
membencinya lagi, aku merasa bahwa semua yang dilakukannya
tentu beralasan, dan aku pun menganggapnya lebih pantas
menjadi Shanyu kami dibandingkan dengan Yu Dan. Semua ini
kulihat dengan mata dan kepalaku sendiri, aku sama sekali tak
membohongi jiejie. Setelah itu, walaupun ditentang oleh para
menteri, Shanyu menguburkan guru dengan upacara kehormatan
sesuai dengan adat orang Han?""
Rasa sakit yang amat sangat berkecamuk dalam hatiku, aku
menekan dadaku keras-keras, dengan kesakitan memejamkan
mataku. Dahulu ketika mendengar kabar berpulangnya A Die di
kaki Qilian Shan, aku juga merasakan rasa sakit yang sama,
begitu sakit hingga hatiku seakan dimakan hidup-hidup. Adegan
itu pun kembali muncul dalam benakku.
Setelah Yu Dan meninggalkanku, aku tak menuruti kata A Die
untuk pergi ke Zhongyuan, dan malahan bersembunyi di tengah
kawanan serigala, aku berusaha sebisanya untuk mendekati A
Die, berkat bantuan kawanan serigala, aku berhasil menghindar
dari pencarian yang berulang-ulang itu. Aku mengira dapat
dengan diam-diam menemui A Die, bahkan dapat mengajaknya
melarikan diri, namun ketika aku hendak menemuinya, aku justru
mendapat kabar bahwa ia telah meninggal dunia.
Saat itu salju telah turun tiga hari tiga malam, salju yang
menumpuk di tanah tak sampai setinggi lututku, tapi Langit belum
selesai menurunkan salju. Langit berwarna putih, bumi pun putih,
semua diantara langit dan bumi pucat pasi. Yu Dan sudah mati,
permaisuri sudah mati, A Die sudah mati, Yinzhixie dalam hatiku
juga sudah mati. Sambil menangis tersedu-sedu aku berlari di
tanah yang ditutupi salju, namun tak dapat menemukan sosok
manusia lain. Air mata di wajahku menjadi es, kulitku merekah,
darah mengucur keluar, bercampur dengan air mata dan menjadi
tetesan air mata beku berwarna merah darah.
Aku yang berusia dua belas tahun, di tengah salju yang menutupi
langit dan bumi, berlari seharian penuh, akhirnya aku kehabisan
tenaga dan tersungkur ke dalam salju, bunga salju yang
melayang-layang memenuhi angkasa jatuh di wajah dan tubuhku,
aku membuka sepasang mataku lebar-lebar dan memandang
angkasa, tak kuasa bergerak, tak punya tenaga, dan juga tak
ingin bergerak lagi. Sedikit demi sedikit, bunga es menyelimuti
sekujur tubuhku, aku merasa semuanya sangat baik, sebentar
lagi aku tak akan menderita lagi, ternyata seperti ini rasanya!
Biarkan semua berakhir di tengah alam serba putih yang bersih
ini, sama sekali tak berbau darah.
Lang Xiong melolong mencariku, dengan cakarnya, sedikit demi
sedikit, ia menyingkirkan salju yang menutupi tubuhku, ia hendak
menggunakan mulutnya untuk menyeretku pergi, namun saat itu
ia masih kecil dan tak dapat menarikku. Ia mendekam di atas
perutku, menggunakan sekujur tubuhnya untuk melindungiku,
sambil tak henti-hentinya menjilati wajah dan tanganku dengan
lidahnya untuk menghangatkanku. Aku menyuruhnya pergi,
memberitahunya bahwa kalau kawanan serigala tak datang tepat
pada waktunya, ia juga akan mati beku di tengah salju, namun ia
berkeras untuk tetap menjagaku.
Mata Lang Xiong menatapku tanpa berkedip, setiap kali aku
hendak memejamkan mata, dengan sekuat tenaga ia menjilatiku.
Matanya dan mata A Die berbeda, namun maksud yang
terkandung dalam pandangan mata mereka sama, mereka
semua ingin aku bertahan hidup. Aku ingat bahwa aku telah
berjanji pada A Die, bahwa tak perduli apa yang terjadi, aku harus
hidup dengan bahagia, oleh karenanya, satu-satunya keinginan A
Die adalah agar aku tetap hidup. Aku menatap mata Lang Xiong
yang hitam legam dan berkata padanya, "Aku salah, aku ingin
hidup, aku harus tetap hidup". Untung saja kawanan serigala
datang tepat pada waktunya, salju pun telah berhenti turun, aku
diselamatkan oleh kawanan serigala, dengan menggunakan
tubuh mereka sendiri dan darah hangat binatang buruan, mereka
menghangatkan tangan dan kakiku yang mati rasa?".
Tiba-tiba aku berseru, "Jangan bicara lagi! Mudaduo, bagimu
semua ini sudah berlalu, namun peristiwa itu adalah parut luka
dalam hatiku, dahulu luka itu berdarah-darah, tapi sekarang
sudah dengan susah payah menjadi parut dan tak lagi berdarah,
kenapa kau muncul di hadapanku dan membuka kembali luka
lama itu" Kembalilah! Kalau kau masih menghargai persahabatan
kita semasa kecil, sejak saat ini, jangan temui aku lagi, Yu Jin
sudah tak ada, dia memang sudah mati, mati di tengah hujan
salju lebat bertahun-tahun yang silam itu".
Aku melambaikan lengan bajuku, hendak pergi, namun Mudaduo
menarik lengan bajuku kuat-kuat sambil berseru, "Jiejie, jiejie".."
Sebelum meninggalkan Xiongnu, aku, Yu Dan, Ri Di dan
Mudaduo bersahabat erat. Karena jabatan A Die, aku dan Yu Dan
paling dekat dibandingkan dengan yang lainnya. Saat Yu Dan, Ri
Di dan aku pergi bermain, kami tak suka mengajak Mudaduo. Ia
tak pernah berkata apa-apa, namun sepasang matanya yang
lebar selalu menatap kami. Untuk mengodanya aku berkata,
"Panggil aku jiejie dan aku akan mengajakku pergi bermain".
Dengan keras kepala ia menggeleng, tak sudi memanggilku
kakak, dengan sikap merendahkan ia berkata padaku, "Kau
sendiri tak tahu berapa umurmu, mungkin kau lebih kecil dariku,
aku tak akan memanggilmu jiejie". Akan tetapi, tak perduli
kemanapun kami pergi, ia selalu membuntuti kami dan tak bisa
ditinggalkan. Setelah besar, kami justru dekat karena kami samasama keras kepala dan suka berbuat onar. Sedangkan mengenai
keputusanku untuk menyuruhnya memanggilku kakak, setelah
berpikir semalam ia bersedia memanggilku demikian. Aku heran
kenapa ia bersedia memanggilku kakak, setelah itu aku baru tahu
dari Yu Dan bahwa ia bersedia melakukannya karena mengira
aku akan melakukan apa saja yang diinginkannya kalau aku
memanggilnya kakak. Panggilan jiejie yang berulang-ulang itu melunakkan hatiku,
dengan lembut aku berkata, "Sekarang keadaanku sangat baik,
aku tak ingin pulang, dan tak dapat pulang". Mudaduo berpikir
tanpa berkata apa-apa untuk beberapa saat, lalu mengangukangguk, "Aku mengerti, kau tak ingin menemui Shanyu, maka aku
tak boleh memberitahu Shanyu bahwa aku telah bertemu
denganmu". Aku mengenggam tangannya, "Banyak terima kasih, kapan kalian
akan pulang?" Dengan girang Mudaduo pun mengenggam
tanganku, "Besok kami akan pergi, oleh karenanya hari ini semua
orang sangat sibuk, tak ada yang memperdulikanku dan aku
kabur untuk bermain sendiri".
Aku tertawa dan berkata, "Aku akan mengajakmu berkeliling kota!
Dan aku akan menyuruh dapur membuat beberapa makanan Han
yang luar biasa untukmu, walaupun harus mengucapkan selamat
tinggal padamu". Dengan sinis Mudaduo bertanya, "Apakah
setelah ini kita masih akan bertemu lagi?"
Aku berpaling dan melihat bahwa jejak kaki kami tertera dengan
jelas, tapi kami sudah tak dapat menemukan jalan pulang,
dengan penuh kepahitan aku berkata, "Aku harap kita tak akan
bertemu lagi, aku dan Yinzhixie sama sekali tak bisa bertemu
muka. Lagipula kau telah memilihnya, kalau kami sampai bertemu
lagi, jangan-jangan kau akan merasa serba salah".
Wajah Mudaduo langsung menjadi merah padam, dengan jengah
ia menunduk dan memandang ke tanah. Sebenarnya aku hendak
mengatakan bahwa ia telah memilih Yinzhixie sebagai Shanyu
mereka, namun begitu melihat wajahnya, aku paham, dengan
hambar aku bertanya, "Apakah kau sudah menjadi selirnya?"
Mudaduo menggeleng, lalu menghela napas dengan pelan,
"Shanyu sangat baik padaku, oleh karenanya permaisuri sangat
tak suka padaku, seperti perjalanan ke Dinasti Han ini, tak ada
yang setuju aku ikut, tapi Shanyu setuju, dan karena masalah ini
permaisuri mengamuk. Aku masih tak tahu isi hati Shanyu, tapi
kalau ia ingin mengangkatku menjadi selir, aku pasti bersedia". Ia
berbicara dengan jengah sambil mencuri pandang ke arahku.
Aku tertawa, begitulah perempuan Xiongnu, kalau suka ia akan
berkata suka, kalau ingin menikah dengan seorang pria ia berkata
akan menikahinya, tak pernah menutupi perasaanya sendiri, dan
juga tak merasa hal itu memalukan. "Tak usah perdulikan aku,
walaupun kita bersahabat, tapi masalah kau ingin menikah
dengan Yinzhixie adalah urusanmu sendiri. Aku hanya berharap
tak akan bertemu muka lagi dengannya". Dengan agak takut
Mudaduo memandangku, "Apakah kau ingin membunuh
Shanyu?" Aku menggeleng, lalu menjawab dengan jujur, "Sekarang tidak,
sebelumnya aku merasa sangat sedih dan ingin melawan, tapi
akhirnya menjadi tenang, setelah ini?"setelah ini seharusnya
tidak, aku hanya ingin tak bertemu muka lagi dengannya
sepanjang hidup ini. Mudaduo, sebenarnya bukan aku yang dapat
memutuskan hendak membunuhnya atau tidak, tapi dialah yang
memutuskan hendak membunuhku atau tidak. Ada beberapa
tindakan yang harus dilakukan sampai tuntas, kalau tidak ia akan
selalu merasa was-was, oleh karenanya ia lebih suka berduka
karena merasa bersalah setelah A Die bunuh diri daripada
memberinya jalan keluar".
Wajah Mudaduo agak berubah, seakan memahami perkataanku,
namun ia tak mau mengakuinya dan masih dengan keras kepala
berkata, "Shanyu tak ingin kalian mati, perintah yang diberikannya
tidak?"" Sambil tersenyum getir aku berkata, "Apa yang kau takuti"
Apakah kau masih takut aku akan membunuhnya" Kalau ia ingin
membunuhku hal ini sangat mudah, tapi bukankah sangat sulit
bagiku untuk membunuhnya" Dia adalah pejuang nomor satu
bangsa Xiongnu, dan juga Shanyu bangsa Xiongnu, kalau aku
hendak membunuhnya aku harus melawan seluruh bangsa
Xiongnu, oleh karena itu aku hanya dapat memendam dendam ini
seumur hidupku. A Die hanya ingin aku menemukan orang yang
akan menghadiahiku sekuntum bunga peoni, dengan segenap
daya membahagiakan diri sendiri, dan tak tenggelam dalam
kesedihan. Mudaduo, kalaupun pada suatu hari aku dan Yinzhixie
kembali bertemu muka, kau tak usah cemas, aku hanya khawatir
kalau ia tahu aku masih hidup, kehidupanku di Chang"an akan
menjadi sulit". Rasa bersalah nampak dalam pandangan mata Mudaduo,
dengan bersungguh-sungguh ia berkata, "Aku tak akan berkata
pada siapapun bahwa kau masih hidup".
------------------------------------'Tahun Yuanshuo keenam, tanggal satu bulan satu, hari pertama
tahun yang baru. Aku tak tahu apakah tahun ini aku akan selalu
bahagia, namun di hari pertama tahun baru aku sangat bahagia.
Selama tiga puluh malam aku mengurai potongan kain dari kaki
Xiao Tao dan hal itu membuatku gembira sepanjang malam, Jiu
Ye mengundangku bermain ke Wisma Shi di siang hari tahun
baru, ini adalah untuk pertama kalinya kau mengambil inisiatif
untuk mengundangku. Aku sedang berpikir bagaimana agar di
kemudian hari akan sangat banyak kesempatan seperti itu,
sangat banyak........' Ketika memasukkan potongan kain itu ke dalam kotak bambu,
aku memperhatikannya, tanpa terasa, potongan-potongan kain itu
telah menjadi sebuah tumpukan kecil. Entah kapan seribu satu
pikiran dalam potongan-potongan kain itu dapat kuberitahukan
padanya. Sebelumnya aku pergi mengucapkan selamat tahun baru pada
kakek dan Shi Feng, setelah mengobrol dan bercanda dengan
kakek dan Shi Feng setengah hari lebih, aku pergi ke Pondok
Bambu. Begitu sampai di Pondok Bambu, aku mencium keharuman
bunga yang samar-samar, aku merasa agak heran, biasanya Jiu
Ye tak pernah menanam bunga seperti itu.
Di dalam ruangan, sebuah vas tanah liat berperut gendut
diletakkan di atas meja, di dalamnya terdapat beberapa ranting
bunga prem putih, ranting-ranting itu tak tinggi dan bunganya
menjuntai keluar dari vas itu, namun bunga-bunga itu sedang
mekar dengan rimbun, kelihatannya amat semarak.
Di sebelah bunga prem diletakkan sepasang cawan arak dan
sumpit yang saling berhadapan, sedangkan sebuah poci arak
sedang dihangatkan dalam tungku arang. Mau tak mau sudutsudut bibirku terangkat. Aku menghampiri bunga prem itu, lalu
mencium baunya, Jiu Ye keluar dari kamar sambil mendorong
kursi rodanya, "Wangi bunganya seakan ada dan tiada". Aku
berpaling melihatnya, "Masa bodoh bagaimana baunya, yang
penting gembira". Ia tersenyum dengan hangat, aku menaruh sepasang tanganku di
balik punggung, lalu bertanya sembari tersenyum, "Kau ingin
mengundangku makan hidangan lezat apa?" Katanya, "Sebentar
lagi kau akan tahu".
Ia mempersilahkanku duduk di samping meja, lalu menuangkan
arak panas untukku. "Bahumu masih sakit?" "Ah", ujarku, dengan
bingung aku memandangnya, namun aku segera bereaksi dan
cepat-cepat mengangguk, "Sudah tak sakit".
Ia tertegun, "Sebenarnya sakit atau tidak?" Aku menggeleng,
"Hanya sakit sedikit saja".
Ia tertawa, "Pikir baik-baik dahulu sebelum bicara, kalau sakit, ya
sakit, kalau tak sakit, ya tak sakit. Kenapa gerakan tubuh dan
Balada Padang Pasir Karya Tong Hua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perkataanmu bertolak belakang?" Aku memukul kepalaku sendiri,
dasar orang tak berguna. Aku meraba bahuku, "Sudah tak sakit
seperti dulu, tapi kadang-kadang agak sakit".
Ia berkata, "Walaupun sibuk kau harus merawat tubuhmu dengan
baik dahulu, di luar hawa sangat dingin dan semua orang
memakai pakaian yang berlapis-lapis, coba lihat apa yang kau
pakai" Tak heran kalau tenggorokanmu sakit, kepalamu sakit
atau bahumu sakit". Aku menunduk dan memutar cawan arak di atas meja, lalu
mencibir dan tersenyum, diam-diam aku merasa senang. Shi Yu
memanggil, "Jiu Ye", dari balik jendela, lalu masuk sambil
mengusung sebuah baki besar, di atasnya terdapat dua mangkuk
besar yang ditutupi, sambil menyengir ke arahku, ia menaruh
masing-masing sebuah mangkuk di hadapanku dan Jiu Ye.
Aku memandang mangkuk di hadapanku, lalu dengan heran
bertanya sembari tersenyum, "Apakah kau mengundangku untuk
makan mi?" Jiu Ye membuka tutup mangkuk untukku, "Konon Dewa Panjang
Umur Peng Zu dapat hidup sampai delapan ratus tahun lebih
karena wajahnya (lian) panjang, lian sama artinya dengan mian
, lian panjang yaitu mian panjang, dengan semangkuk
mi panjang umur ini aku mengucapkan selamat ulang tahun
padamu, semoga panjang umur dan bahagia".
Mi dalam mangkuk itu halus seperti rambut, kuahnya kaldu tulang
yang seputih susu, permukaannya ditaburi irisan ketumbar dan
daun bawang berwarna hijau muda. Dengan sumpit aku
mengangkat seutas mi, lalu berkata dengan lirih, "Hari ini bukan
hari ulang tahunku".
Dengan lembut ia berkata, "Setiap orang seharusnya punya suatu
hari khusus, karena kau tak tahu kapan kau berulang tahun, kita
pakai hari ini saja! Pada hari ini tahun lalu kita berjumpa lagi di
sini, hari ini adalah hari keberuntungan, dan juga hari pertama
tahun yang baru. Setelah ini setiap tahun di hari ulang tahunmu,
setiap keluarga akan berbahagia bersamamu".
Tenggorokanku tercekat, aku tak kuasa berkata apa-apa, dan
hanya dapat menyumpit mi dan memasukkannya ke dalam mulut,
di sisiku ia dengan tenang menemaniku makan mi panjang umur
itu. Mi itu harum dan lembut, ketika sampai di perut, sekujur tubuh
menjadi hangat, aku yang selalu menganggap daging adalah
satu-satunya makanan yang enak, untuk pertama kalinya merasa
bahwa mi adalah makanan yang terlezat di kolong langit.
Setelah makan mi, kami berdua dengan perlahan minum arak
sambil bercakap-cakap, kekuatan minumku sangat rendah, maka
aku tak berani banyak minum, tapi enggan kalau sama sekali tak
minum, maka aku menghirupnya sedikit demi sedikit, aku suka
rasa mabuk ringan saat kami berdua saling bersulang, rasanya
hangat dan bahagia. Hari musim dingin cepat gelap, begitu lewat pukul shenshi
, ruangan itu sudah gelap. Jiu Ye menyalakan lilin,
dalam hati aku tahu aku harus minta diri, tapi aku enggan pulang,
untuk sesaat aku bimbang namun akhirnya membuat keputusan,
aku berpura-pura dengan tak sengaja berkata, "Baru-baru ini aku
mempelajari sebuah lagu, permainanku sekarang sudah jauh
lebih baik dibandingkan dahulu".
Sambil tersenyum Jiu Ye berkata, "Ternyata kau punya waktu
untuk mempelajari lagu, rupanya kau tak sesibuk seperti yang
kukira, lagu apa itu?"
Dengan mantap aku berkata, "Aku akan memainkannya, coba
lihat, kau tahu atau tidak?"
Ia mengeluarkan sebuah seruling kumala, mengelapnya dengan
sehelai sapu tangan yang bersih, lalu memberikannya padaku.
Aku menunduk, tak berani memandangnya, tanganku yang
mengenggam seruling kumala bergetar pelan, setelah
menaruhnya di balik lengan baju untuk beberapa saat, aku
mengangkatnya ke sisi bibirku.
Malam ini malam yang luar biasa, kuambil perahu dan berlayar di
tengah sungai. Hari ini hari luar biasa, seperahu dengan sang pangeran.
Aku sangat malu, tapi tak perduli.
Tak tahu apa-apa, namun bukannya tak perduli, aku berkenalan
dengan sang pangeran. Di gunung ada pohon dan di pohon ada ranting.
Tahukah ia isi hatiku"
Aku sudah beribu kali berlatih memainkan lagu itu, namun ketika
memainkannya kali ini, kadang-kadang suara serulingku bergetar.
Setelah selesai memainkannya, aku masih menunduk, sambil
memegang seruling, aku duduk tak bergeming, khawatir kalau
bergerak aku akan memecahkan sesuatu.
Sunyi senyap, sunyi senyap bagai kuburan, di tengah kesunyian
itu udara seakan mengumpal, api lilin tak lagi menari-nari, seakan
makin redup. "Aku belum pernah mendengarnya, tapi melodinya cukup bagus,
namun kau tak memainkannya dengan baik, hari akan segera
gelap, pulanglah!", dengan hambar Jiu Ye berkata.
Krek! Sebelum merasa sakit, hatiku telah retak, setelah beberapa
saat, rasa sakit menyebar dari retakan itu ke sekujur tubuhku,
tubuhku yang kesakitan gemetar pelan. Aku menengadah
memandangnya, pandangan mata kami berdua bertemu, biji
matanya seakan tiba-tiba mengkerut dan cepat-cepat
menghindari pandanganku. Dengan keras kepala aku terus
menatapnya, namun ia memusatkan pandangannya ke arah
bunga prem putih di vas tanah liat itu. Pertanyaan 'mengapa"'
dan luka hatiku sepertinya tak dihiraukannya.
Dia tak akan memperdulikanku lagi, ayo pergi! Paling tidak aku
belum menelanjangi diriku sendiri dan masih dapat pergi secara
terhormat. Dalam hatiku sebuah suara lirih menasehatiku, namun
aku juga masih berharap, berharap ia akan menengadah dan
memandangku sekali lagi. Setelah sangat lama, aku bangkit tanpa berkata apa-apa, lalu
berjalan ke pintu, ketika hendak membuka pintu, aku tersadar
bahwa tanganku masih mengenggam seruling kumala itu eraterat, karena genggamanku terlalu erat, kukuku menembus
telapak tanganku dan bercak-bercak darah pun mengenai
seruling itu, merah tua dan mengejutkan.
Aku berbalik dan dengan hati-hati menaruh seruling itu di atas
meja, lalu dengan tertatih-tatih melangkah keluar dari pintu.
Di tengah cahaya remang-remang, aku berjalan tak tentu arah,
aku tak ingat apakah aku hendak pulang ke Luoyu Fang.
Benakku dipenuhi suara seperti guntur yang terus berulangulang, 'Aku belum pernah mendengarnya, tapi melodinya cukup
bagus, namun kau tak memainkannya dengan baik'.
Kenapa" Kenapa" Apakah kau sama sekali tak punya perasaan
padaku" Tapi kenapa ia begitu baik padaku" Kenapa kalau aku
pulang malam, ia menungguku di bawah sinar lentera" Kenapa ia
selalu mengkhawatirkan setiap penyakitku, walaupun sepele, dan
selalu dengan hati-hati menulis resep untukku dan
menasehatiku" Kenapa berbicara padaku dengan lembut dan
penuh kasih sayang" Kenapa merayakan ulang tahunku"
Kenapa" Terlalu banyak 'kenapa', membuat kepalaku begitu sakit
seakan hendak pecah. Saat perayaan tahun baru di depan setiap rumah tergantung
lentera merah besar, cahaya merahnya yang hangat menyinari
jalanan, udara penuh aroma daging yang harum, segalanya
hangat dan manis, ketika menengadah aku melihat kebahagiaan
di mana-mana, namun begitu menunduk, aku hanya melihat
bayanganku sendiri yang terkadang nampak jelas dan terkadang
kabur, bergoyang-goyang kesana-kemari bersama sinar lentera.
Beberapa anak sedang bermain mercon di jalanan, "Dor, dor!", di
tengah api mercon itu meledak, anak-anak itu tertawa-tawa
sambil menutup telinga dan bersembunyi di tempat jauh
menunggu suara ledakan. Aku berjalan melewati api itu, kebetulan mercon sedang meledak,
setelah suara ledakan yang amat keras terdengar, bunga-bunga
api jatuh ke gaunku, angin bertiup dan menyulutnya. Melihatnya,
anak-anak itu berteriak-teriak dan berpencar. Aku menunduk dan
melihat bahwa api di pakaianku makin lama makin besar, setelah
tertegun sejenak aku bereaksi, dengan cemas aku menepuknepuk pakaianku dengan tangan, namun api sudah berkobar dan
sulit dipadamkan. Ketika aku hendak berguling-guling di tanah
untuk memadamkan api, sebuah mantel bulu berkelebat di atas
gaunku dan segera memadamkan api.
"Apakah tanganmu terluka?", tanya Huo Qubing. Aku
menggeleng dan menarik tangan kiriku, lalu menyembunyikannya
di balik punggungku. Huo Qubing mengibaskan mantel bulu dalam genggamannya,
lalu menghela napas dan berkata, "Sayang sekali, aku baru saja
memperolehnya dari kaisar beberapa hari yang lalu, dan hari ini
baru kupakai". Tadinya aku hendak berkata akan mengantinya, namun begitu
mendengar bahwa mantel itu adalah hadiah dari kaisar, aku
segera menutup mulut. Ia memperhatikan sepasang mataku, lalu
menyelimutiku dengan mantel besar itu, "Walaupun sudah rusak,
namun jauh lebih baik dibandingkan gaunmu yang berlubanglubang itu".
Aku merapatkan mantel itu, "Kenapa kau berada di jalanan?"
Ia berkata, "Aku baru pulang dari mengucapkan selamat tahun
baru pada sang putri dan pamanku. Kenapa kau bisa sendirian di
jalan" Kelihatannya kau sudah lama berkeliaran sampai
rambutmu penuh bunga es". Sambil berbicara ia membersihkan
bunga es di pelipisku dengan teliti.
Sebelum menjawab, aku berpaling dan memandang ke segala
penjuru, mencari tahu di mana aku sebenarnya berada, ternyata
dalam keadaan bingung aku telah memutari separuh kota
Chang'an. Ia memandangiku beberapa saat, "Ini tahun baru,
kenapa kau murung begini" Ayo ikut aku!"
Sebelum aku sempat menolak, ia telah memaksaku melompat ke
kereta kuda, tenagaku sudah habis, sekarang aku hanya merasa
masa bodoh, tanpa berkata apa-apa, aku membiarkannya
mengatur semuanya. Melihatku tak menolak, ia pun duduk tanpa berkata apa-apa,
hanya derit roda kereta kuda yang terdengar.
Setelah beberapa lama, ia berkata, "Aku tahu lagu apa yang kau
mainkan itu. Aku pernah menyenandungkan beberapa nada lagu
itu dengan asal, lalu kaisar secara tak sengaja mendengarnya
dan bertanya sambil menggodaku, siapa gadis yang
menyanyikan Lagu Orang Yue itu untukku. Dengan bingung aku
bertanya pada kaisar, 'Kenapa lagu itu tak bisa dinyanyikan
seorang pria"'"
Aku memaksa diriku untuk tersenyum.
"Negara Chu dan Yue berdekatan, tapi bahasanya lain. Ketika
Raja E dari Negara Chu naik perahu melewati Negara Yue, gadis
Yue pengayuh perahu tertarik padanya, namun apa daya ia tak
tahu bahasa sang raja, maka ia terpaksa menyanyikan lagu. Raja
E tahu maksud lagu itu, dan paham isi hati sang gadis, ia tertawa
dan membawa gadis itu pulang". Dengan bersemangat Huo
Qubing menceritakan kisah yang terjadi ratusan tahun yang lalu
itu. Karena pertemuan yang berakhir dengan indah itu, mungkin
banyak gadis yang meniru perbuatan gadis Yue itu dan berusaha
meraih kebahagiaan untuk dirinya sendiri, tapi tak semua orang
dapat meraih cita-citanya. Aku tak ingin mendengarkan cerita itu
lagi dan memotong perkataannya, "Kau ingin mengajakku ke
mana?" Ia menatapku untuk beberapa saat tanpa berkata apa-apa, lalu
tiba-tiba tersenyum berseri-seri bagai matahari terbit,
"Mengajakmu mendengarkan nyanyian lelaki".
Ternyata Huo Qubing langsung membawaku ke markas Pasukan
Kavaleri Yulin. Begitu naik takhta, Liu Che memilih pemudapemuda baik yang lahir di enam prefektur, yaitu Longxi, Tianshui,
Anding, Peide, Shangjun dan Xihe, untuk menjaga Istana
Jianzhang. Saat itu urusan pemerintahan dipegang oleh Ibusuri
Dou, walaupun Liu Che berambisi untuk menumpas bangsa
Xiongnu, namun ia tak dapat berbuat apa-apa, maka ia bersikap
seperti seorang pemuda kaya yang suka hidup mewah. Liu Che
membagi pasukan pengawal Istana Jianzhang menjadi dua
pasukan yang masing-masing memakai seragam Xiongnu dan
Dinasti Han, lalu melatih mereka bertempur. Sepertinya ini adalah
permainan seorang pemuda untuk menghibur diri sendiri, namun
pasukan itu sebenarnya adalah pasukan yang telah dilatih Liu
Che selama bertahun-tahun lamanya, sehingga menjadi pasukan
andalan Dinasti Han. Sekarang pasukan itu sudah berganti nama
menjadi Pasukan Kavaleri Yulin, yang diambil dari semboyan
'secepat anak panah (yu), lebih banyak dari pohon-pohon di
hutan (lin)'. Walaupun saat itu tahun baru, namun suasana dalam markas
masih penuh disiplin, setelah sampai di barak suasana tahun
baru barulah terasa. Pintu barak terbuka lebar dan lilin-lilin besar
menerangi ruangan di dalamnya hingga terang benderang, api
merah menyala di perapian, di atasnya mereka sedang
memanggang daging, aroma daging dan arak bercampur di
udara, membangkitkan selera.
Huo Qubing adalah anggota Pasukan Yulin, orang-orang yang
duduk di sekeliling perapian nampak sangat akrab dengannya,
begitu melihat Huo Qubing mereka tersenyum. Seorang lelaki
berpakaian brokat berkata sembari tersenyum, "Hidungmu
memang tajam, daging rusa segar baru saja dipanggang, tapi kau
sudah datang". Ketika mendengar suaranya aku melangkah maju,
dia adalah Li Gan. Sebelum menjawab, Huo Qubing mengajakku duduk di sebuah
tempat yang telah disediakan untuk kami diantara kerumunan
orang itu, ketika melihatku, mereka sama sekali tak kelihatan
heran, seakan aku memang sudah seharusnya berada di situ,
atau mungkin mereka menganggap semua tindakan Huo Qubing
biasa. Seorang pemuda menaruh masing-masing sebuah cawan
di hadapanku dan Huo Qubing, tanpa berkata apa-apa, ia lalu
mengisinya dengan arak hingga penuh.
Huo Qubing juga diam seribu bahasa, ia bersulang pada para
hadirin, lalu menengadah dan menenggak arak itu, semua orang
tertawa, sambil tersenyum Li Gan berkata, "Ternyata kau tak
banyak alasan dan sudah tahu akan di hukum minum arak karena
terlambat". Seraya berbicara ia menuang secawan arak lagi,
dalam sekejap Huo Qubing telah menengak tiga cawan arak.
Semua orang memandangku, di bawah cahaya api unggun,
wajah mereka nampak segar bugar, mata muda mereka nampak
jernih, polos dan bersemangat, bersinar-sinar bagai api, entah
karena api unggun atau mata mereka, aku merasa hatiku hangat,
aku menarik napas panjang, lalu menuang arak sambil tersenyum
dan mengikuti Huo Qubing bersulang pada semua orang. Setelah
itu, aku menutup mataku dan menengak arak itu dalam sekali
tarikan napas. Begitu secawan arak masuk ke perut, para hadirin bertepuk
tangan sambil tertawa dan bersorak-sorai, aku menghapus sisa
arak di bibirku, lalu menaruh cawan di meja. Cawan kedua telah
terisi penuh, ketika aku hendak mengambilnya, Huo Qubing
Balada Padang Pasir Karya Tong Hua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menuang arak ke cawannya dan berkata dengan hambar, "Dia
tamuku, dua cawan arak yang tersisa anggap saja punyaku".
Sambil berbicara ia meminumnya.
Li Gan memandang ke arahku, lalu berkata sembari tersenyum,
"Melihat rupanya ia tak bisa minum, aku akan mengikuti
teladanmu, tuan, dan membuat si jelita mabuk. Hal ini sangat
jarang terjadi! Caixia Li Gan". Sambil berbicara ia menjura
kepadaku, untuk sesaat aku tertegun, lalu tersadar dan
menghormat kepadanya. Hubungan Li Gan dan Huo Qubing jelas sangat baik. Di depan
orang banyak, Huo Qubing sangat jarang berbicara, wajahnya
sering nampak angkuh dan dingin, orang-orang tak suka merasa
direndahkan, maka mereka biasanya menjaga jarak dengannya.
Akan tetapi Li Gan dan Huo Qubing, yang seorang hangat dan
yang seorang lagi dingin, nampaknya saling menyukai.
Li Gan memenuhi cawan ketiga Huo Qubing, lalu memenuhi
cawannya sendiri dan menemani Huo Qubing minum. Setelah itu
ia mengiris daging rusa dan menaruhnya di hadapanku dan Huo
Qubing. Huo Qubing menusuk sepotong daging dengan pisau
dan memberikannya padaku seraya berkata dengan suara pelan,
"Makanlah sedikit daging untuk menekan rasa mabuk".
Saat itu semua orang lain telah makan daging rusa sambil duduk
atau berdiri, tak ada yang memakai sumpit, ada yang langsung
mencabik daging dengan tangan dan memakannya, sedangkan
yang agak anggun menggunakan pisau untuk makan. Ada juga
yang sibuk bermain tebak-tebakan, teriakan mereka memekakkan
telinga. Rasa mabuk mulai naik ke kepalaku, mataku berkunang-kunang,
aku hanya tahu bahwa asalkan Huo Qubing memberiku sepotong
daging, aku memakannya. Aku langsung memasukkan daging ke
dalam mulutku dengan tangan, lalu menyeka minyak di mulutku
dengan mantelnya. Dengan mata yang kabur karena mabuk, aku sepertinya melihat
para pemuda itu menyanyi sambil mengebrak meja, aku pun
menyanyi bersama mereka. "........nyanyikan hidup Yang Mulia, antar aku pergi berperang.
Ayah ibu memperingatkan, gantung busur dan panah, waspada
segala penjuru, hari ini untuk seumur hidup. Lelaki jantan tak sudi
menyerah, kuda menginjak-injak Xiongnu, Han berada di atas
angin; busur besi dingin, darah panas......"
Di tengah sorak sorai itu, kesedihan dan kecemasan dalam hatiku
sepertinya sedikit demi sedikit mengalir keluar dari hatiku. Hari ini
aku juga untuk pertama kalinya memahami semangat para
pemuda itu, darahku pun ikut bergolak.
Keesokan harinya, sambil mengerang aku tersadar, Hong Gu
menuang semangkuk sup penawar mabuk untukku sambil
berbisik, "Dahulu kau tak suka minum, tapi sekali minum sampai
begini". Aku memegangi kepalaku sendiri, beratnya seakan ribuan kati.
Hong Gu menggeleng-geleng, lalu menyuapiku sesendok demi
sesendok sup, setelah minum beberapa sendok, aku bertanya,
"Bagaimana aku bisa pulang?"
Hong Gu tersenyum aneh, dengan genit ia melirikku, "Kau mabuk
berat, mana bisa pulang" Tuan Muda Huo mengantarmu pulang,
aku hendak menyuruh orang mengendongmu ke kamar, tapi ia
mengendongmu sendiri ke kamar".
"Oh!", ujarku, kepalaku terasa makin berat, dengan senyum
penuh kemenangan, Hong Gu berkata, "Ada lagi yang akan
membuat kepalamu tambah pusing!"
Dengan tak berdaya aku mengerang, "Apa?"
Hong Gu berkata, "Ketika Tuan Muda Huo hendak pergi, kau
mencengkeram lengan bajunya erat-erat, melarangnya pergi dan
menyuruhnya menjelaskan sesuatu, bicaramu meracau, aku juga
tak mengerti apa yang kau katakan, tapi secara garis besar
maksudnya sepertinya, 'Kenapa kau begitu baik padaku" Kau
bisa tidak tak sebegitu baik padaku" Kalau kau agak jahat
padaku, mungkin aku tak akan sesedih ini'. Tuan Muda Huo
duduk di sisi ranjang, terus menemani dan menghiburmu, sampai
kau tertidur ia baru pergi". Aku menjerit, duduk tegak, lalu kembali
ambruk ke ranjang. Sebenarnya apa omong kosong yang telah
kukatakan" Sedikit demi sedikit aku teringat akan tingkahku yang tak keruan,
adegan demi adegan seakan muncul dalam benakku, kadangkadang jelas dan kadang-kadang kabur, dengan kesal aku
menghela napas, aku benar-benar mabuk berat sampai tingkahku
kacau, setelah ini aku tak boleh terbawa darah panas dan rasa
persaudaraan lagi. Aku mengangsurkan tangan kiriku yang dibalut perban putih, "Aku
ingat kaulah yang membalutnya".
Hong Gu mengangguk dan berkata, "Akulah yang membalutnya,
tapi Tuan Muda Huo mengawasiku melakukannya, dan juga
menyuruhku memotong kukumu, dengan wajah dingin ia berbisik,
'supaya ia tak mencakar orang lain atau dirinya sendiri'. Sayang
sekali, segala yang telah kulakukan untuk kukumu sia-sia, namun
begitu melihat wajah Tuan Muda Huo, aku sama sekali tak berani
membantah". Aku mengangkat tanganku yang lain, benar saja,
kukuku telah menjadi amat pendek. Aku pun mengerang dan
menutupi wajahku dengan tangan.
------------------- "Kenapa tak ada yang menyanyi?" Aku bersandar di ambang
jendela kereta kuda untuk menghirup angin dingin, Huo Qubing
menarikku ke dalam kereta, dengan wajah tak berdaya ia berkata,
"Kenapa kau begitu tak kuat minum" Apa rasa araknya sangat
tak enak?" Sambil tersenyum aku menghindari tangannya, lalu
menyanyi keras-keras sambil menghadap ke jendela kereta,
"........nyanyikan hidup Yang Mulia, antar aku pergi berperang.
Ayah ibu memperingatkanku......gantung busur dan panah,
waspada.......penjuru, hari ini........" Ia menarikku ke dalam kereta,
"Baru minum arak sudah menghirup hawa dingin, besok kalau
kepalamu sakit jangan salahkan aku".
Aku hendak mendorongnya pergi, namun ia cepat-cepat
mencengkeram tanganku, cengkeramannya kebetulan tepat
mengenai bekas lukaku, dengan kesakitan aku menarik napas
dalam-dalam, ia mengenggam telapakku dan memperhatikannya,
"Ini kenapa" Apakah kau berkelahi dengan orang dalam lengan
bajumu?" Aku tertawa terkekeh-kekeh dan berkata, "Aku sendiri
yang melakukannya". Dengan lembut ia bertanya, "Sakit tidak?"
Aku menggeleng dan menunjuk ke dadaku sendiri seraya
mengigit bibirku, seakan tersenyum sekaligus menangis, "Di sini
sakit sekali". Wajahnya kalem, ia tak berkata apa-apa, namun di
matanya nampak seberkas rasa sedih, ia menatapku tanpa
berkedip, memandangiku yang sudah mabuk berat tapi masih
tetap sedih, tak nyana aku tak berani memandangnya dan cepatcepat menghindari pandangan matanya.
-------------------Hong Gu tertawa seperti seekor tikus yang berhasil mencuri
makanan, ia mencengkeram bajuku, lalu menarikku hingga
bangkit, "Tak usah banyak berpikir lagi, setelah minum sup
penawar mabuk, makanlah sedikit bubur, lalu suruh gadis
pelayan melayanimu mandi air hangat, setelah itu kau tak akan
sedih lagi". -------------------Sekarang Xiao Tao dan Xiao Qian suka makan kuning telur, Xiao
Qian lumayan, kalau ia ingin makan, ia mencicit, tapi Xiao Tao
sangat nakal, kemanapun aku pergi, ia selalu ikut, berputar-putar
di sekeliling gaunku, mengejutkanku di setiap langkah. Aku
berpikir untuk "membunuhnya dengan menginjaknya" atau
"membunuhnya dengan mengemukkannya", namun setelah
bimbang sesaat, aku memutuskan untuk membiarkannya bunuh
diri perlahan-lahan. Keputusan ini akan membuatku tak bisa
menemani mereka makan telur ayam lagi: mereka makan kuning
telur, sedangkan aku makan putih telurnya.
Saat memperhatikan Xiao Tao dan Xiao Qian aku sering
termenung, aku mencoba sebisanya untuk melupakan perkataan
Jiu Ye itu, yaitu "aku belum pernah mendengarnya, tapi melodinya
cukup bagus, namun kau tak memainkannya dengan baik". Setiap
kali aku teringat akan perkataan itu, hatiku seakan ditikam
pedang. Kami sudah tak berhubungan lebih dari sebulan
lamanya, kadang-kadang aku berpikir, apakah setelah ini untuk
selamanya kami tak akan berhubungan lagi"
Malam sudah larut, aku bersandar di ambang jendela melihat titiktitik cahaya bintang, warna putih Xiao Tao dan Xiao Qian di
tengah kegelapan malam terus menerus menyadarkanku bahwa
cahaya malam ini dan sebelumnya tak sama. Diam-diam aku
menanyai diriku sendiri, apakah aku melakukan suatu kesalahan"
Mungkin seharusnya aku tak memainkan lagu itu, kalau tidak,
paling tidak kami masih dapat saling bertukar surat merpati di
malam hari. Aku terlalu tamak, ingin terlalu banyak, tapi aku tak
bisa menahan diri untuk tak tamak.
Pagi harinya ketika aku baru saja mengambil air dari jambangan
air, aku berbalik dan secara tak sengaja melihat beberapa tunas
hijau di persemaian bunga di bawah jendela yang dibuat musim
gugur lalu, aku terkejut sekaligus kegirangan, tapi sebelum
kegiranganku naik ke kepala, hatiku telah hancur berkepingkeping.
Aku berjongkok di sebelah persemaian bunga itu dan
memperhatikannya, tanaman Yuanyang Teng itu sepertinya telah
muncul dalam semalam, daun dan kuncup bunganya yang mungil
masih menempel di tanah, nampak rapuh dan cantik, tapi mereka
baru dapat melihat sinar mentari setelah menembus tanah yang
tebal, sejak musim gugur tahun lalu, mereka berjuang di dalam
tanah yang gelap gulita, dari musim gugur sampai musim dingin,
dari musim dingin sampai musim semi, lebih dari seratus hari dan
malam, apakah mereka tahu betapa tebalnya tanah, dan apakah
mereka pernah ragu-ragu akan dapat melihat sinar mentari"
Dengan hati-hati aku menyentuh daun mereka, sekonyongkonyong aku merasa bersemangat, aku menyuruh si gadis
pelayan Xin Yan untuk minta penutup dari anyaman bambu dari
tukang kebun, lalu menutupi tunas-tunas Yuanyang Teng itu
dengannya untuk menghalangi Xiao Tao dan Xiao Qian, tunastunas itu masih terlalu lemah dan tak dapat bertahan terhadap
kenakalan Xiao Tao. Aku berjalan mondar-mandir di depan tembok Wisma Shi untuk
waktu yang lama, namun tak pernah berani melompat masuk, aku
selalu menganggap diriku seorang pemberani, namun sekarang
aku baru tahu bahwa kalau menghadapi sesuatu yang benarbenar penting, seseorang hanya memikirkan untung dan rugi,
keberanian sepertinya begitu jauh meninggalkanku.
Ingin masuk tapi tak berani masuk, ingin pergi tapi tak kuasa
melakukannya, aku benar-benar mati kutu, hatiku terkesiap,
dengan sembunyi-sembunyi aku melompat ke atap rumah lain,
berdiri di bagian atap yang paling tinggi, lalu memandangi Pondok
Bambu yang berada di kejauhan, di tengah malam buta, cahaya
lentera samar-samar masih terlihat, apa gerangan yang kau
lakukan di bawah sinar lentera"
Malam ini adalah malam tanpa sinar rembulan, hanya ada tiga
buah bintang lemah yang cahayanya terkadang terang terkadang
redup. Di tengah malam yang segelap tinta, seluruh kota
Chang"an tertidur nyenyak, namun ia belum tidur. Aku berdiri
seorang diri di ketinggian, angin malam meniup jubahku hingga
bergemerisik, tubuhku dingin, namun sinar lentera yang hangat
itu terlampau jauh untuk dijangkau.
Selama lentera itu masih bersinar, aku masih memandanginya,
entah berapa lama aku berdiri dengan terpesona, ketika kokok
ayam sayup-sayup terdengar, aku baru sadar bahwa hari akan
segera terang, tiba-tiba hatiku terasa pedih, tapi bukan karena
diriku sendiri. Sebuah lentera, sebuah malam panjang tanpa
akhir, seseorang yang sebatang kara, kenapa kau tak bisa
memejamkan matamu semalaman" Kenapa kau selalu kesepian"
Di jalan sudah nampak para pejalan kaki, aku tak berani berlamalama dan segera melompat turun dari bubungan atap, namun
sebelum mengambil beberapa langkah, langkah kakiku telah
terhenti, seketika itu juga, aku terpaku di tempat, Huo Qubing
sedang berdiri di tengah jalan.
Di bawah sinar mentari fajar yang temaram, ia menengadah,
tanpa bergeming, ia mengamati bubungan tempatku berdiri
semalaman, angin malam yang dingin bertiup, lengan jubahnya
seakan juga membawa dinginnya malam.
Sudah berapa lama ia berdiri di tempat itu"
Ia menunduk dan memandang ke arahku, dari sepasang bola
matanya yang hitam legam sulit untuk diketahui apakah ia girang
atau marah, ia seakan tak punya emosi, namun walaupun
terpisah seribu li darinya, aku tetap tak bisa menghindar dari
pandangan mata yang tajam itu. Jantungku seakan berhenti, aku
tak berani menyambut pandangan matanya dan cepat-cepat
melihat ke arah lain. Kami berdua berdiri dengan berjauhan, ia
diam seribu bahasa, aku tak bergeming, saling mendiamkan.
Di jalan, kadang-kadang ada pejalan kaki yang memandanginya
dan memandangiku, wajah mereka penuh rasa heran, namun
karena sikap Huo Qubing luar biasa, tak ada yang berani lamalama memandangnya dan segera berjalan melewatinya dengan
cepat. Sinar mentari menjadi terang, cahaya terang benderang
menyinari bumi, sekonyong-konyong ia tersenyum, senyumnya
seakan tanpa beban, "Kau semalaman berdiri di tengah angin
dan embun, ada apa?" Bibirku bergerak namun tenggorokanku
tercekat sehingga tak bisa menjawab pertanyaannya, sekonyongkonyong aku mengangkat kaki dan berlari secepat-cepatnya dari
hadapannya, tak berani menoleh dan juga tak dapat menoleh.
Di bawah cahaya lilin, tinta di batu tinta telah mengental, namun
aku masih tak dapat menulis sepatah kata pun. Apa yang harus
kukatakan" Aku sudah memikirkannya dari siang hingga malam,
tapi hasilnya sama sekali nihil, akhirnya aku menggertakkan gigi
dan mulai menulis, "Aku menemani Xiao Tao dan Xiao Qian
makan telur, aku kebanyakan makan dan sakit perut, tak bisa
makan nasi. Aku tak suka makan obat, apakah kau punya cara
lain?" Setelah selesai menulis aku tak berani berpikir lagi, aku takut
begitu berpikir keberanianku akan sirna, dan aku akan membakar
potongan kain itu. Aku cepat-cepat mengikatkan secarik kain itu
di kaki Xiao Qian, lalu meniup peluit bambu untuk menyuruhnya
pergi ke Wisma Shi. Setelah Xiao Qian pergi, aku tak bisa duduk atau tidur dengan
tenang dan berjalan keluar dari kamar ke halaman, lalu berjalan
dari halaman kembali ke kamar, akhirnya, aku menyalakan
lentera, berjongkok di depan tempat persemaian bunga, dan
mengamati Yuanyang Teng. Mereka benar-benar cepat tumbuh,
pagi kemarin mereka masih menempel di tanah, namun sekarang
mereka sudah setinggi setengah jari. Apakah kalau aku berusaha
keras seperti mereka, pada suatu hari aku juga akan dapat
melihat sinar mentari" Apakah ia akan memberiku jawaban"
Akan" Tak akan"
Di bubungan atap terdengar kepakan sayap burung, aku segera
melompat berdiri, dengan gesit Xiao Qian menerjang turun dari
angkasa dan mendarat di lenganku yang terpentang. Untuk
sesaat aku tak berani melihat kaki Xiao Qian dan memejamkan
mataku, lalu baru dengan perlahan membuka mataku. Bukan
surat yang kukirim! Dalam sekejap mata, hatiku pedih sekaligus
girang. Setelah mengurai potongan kain itu, aku masuk ke kamar,
menelungkup, dan membacanya dengan seksama di bawah
cahaya lentera. "Ambil biji shanzha, tambahkan shanyao secukupnya, suruh
Balada Padang Pasir Karya Tong Hua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dapur mengukus shanzha dan shanyao hingga menjadi kue
dadar tipis, kalau kau suka manis, kau boleh menambahkan
beberapa tetes madu, setiap hari makanlah secukupnya. Kalau
membuat teh kau boleh menambahkan sedikit kulit jeruk, baik
untuk obat sakit perut dan tenggorokan".
Aku berpura-pura tak terjadi apa-apa, dan dia pun berpura-pura
tak terjadi apa-apa, kami berputar-putar dalam sebuah lingkaran,
dan seakan telah berputar kembali ke titik awal.
Setelah memandangi potongan kain itu untuk beberapa lama, dan
berusaha keras untuk melihat apakah resep obat yang seperti
diberikan seorang tabib pada pasiennya itu diam-diam
mengungkapkan sesuatu, dengan perlahan aku membacanya
sekali lagi, "kalau kau suka manis, kau boleh menambahkan
beberapa tetes madu".. baik untuk obat sakit perut dan
tenggorokan". Diam-diam aku menghela napas, setelah begitu
lama, kau masih ingat bahwa tahun lalu aku berkata
tenggorokanku sakit, dan juga masih ingat aku berkata tak suka
pahit, hanya perkataan itu yang mengandung perasaan tertentu,
namun sepertinya tak ada hubungannya dengan dirinya sendiri.
-------------------Sinar mentari pertengahan musim semi bersinar dengan terik,
dengan murah hati menyinari Yuanyang Teng. Ketika sinarnya
jatuh di daun tua yang warnanya sudah gelap, ia bagai ikan yang
masuk ke dalam air, begitu riak air menghilang sudah tak
kelihatan, daun-daun itu sama sekali tak berubah. Akan tetapi,
daun-daun muda yang baru tumbuh ketika terkena sinar matahari
menjadi tipis bagai sayap tonggeret, urat-urat daunnya terlihat
jelas. Sinar dan bayangan, terang dan gelap, muda dan tua,
serasi dan tak serasi, saling melilit di sekeliling sulur tanaman itu,
daunnya hijau dan rantingnya rimbun.
"Kapan kau menanam sulur-suluran ini?" Huo Qubing bertanya di
belakangku, nada suaranya ringan, seakan kami tak pernah
berdiri semalaman di tengah angin dan embun.
Setelah hampir setengah bulan tak bertemu dan tiba-tiba
mendengar suaranya, untuk sesaat aku tertegun, dalam hatiku
muncul rasa girang. Aku tak berani bergerak dan terus
memandangi Yuanyang Teng, aku berlagak pilon dan berkata,
"Lain kali, kau bisa tidak tak berdiri diam-diam di belakangku
seperti ini?" Ia berjalan ke sisiku, lalu menyentuh sulur itu, "Bahkan kau
sendiri tak tahu aku berada di belakangmu, rupanya ilmu silatku
cukup bagus. Apa namanya" Apakah dapat berbunga?"
Aku berkata, "Bunga Jinyin, ia tak cuma berbunga, tapi bunganya
amat cantik. Ia berbunga di musim panas, sekarang belum
musimnya berbunga". Ia berdiri di sampingku tanpa berkata apa-apa untuk beberapa
saat, lalu tiba-tiba bertanya, "Apa kau ingin pulang ke Xiyu?"
Pertanyaannya aneh, setelah beberapa saat aku baru mengerti,
"Kau ingin pergi ke Xiyu?"
"Ya, asalkan kaisar menyetujuinya, seharusnya tak lama lagi".
"Ah, benar, aku lupa memberi selamat padamu. Kabarnya kaisar
mengangkatmu menjadi pengiringnya". Sambil berbicara aku
berpikir. Ia tertawa sinis menertawakan dirinya sendiri, lalu berkata, "Apa
bagusnya" Apa kau belum mendengar kata orang" Bocah yang
tak tahu apa-apa, hanya membonceng bibi dan pamannya".
Aku mencibir dan tertawa, "Aku belum mendengarnya, aku hanya
mendengarkan apa yang ingin kudengar. Tahun ini berapa
umurmu?" Alis Huo Qubing terangkat, seakan tersenyum namun tak
tersenyum ia berkata, "Untuk apa kau menanyakan umurku" Aku
berumur delapan belas tahun, masih muda, wajahku tampan,
belum kawin, keluargaku punya ladang dan tanah, serta banyak
pelayan tua dan muda, menikah denganku bukan ide yang jelek".
Aku memelototinya, "Masih muda tapi sudah berkedudukan tinggi
mengundang rasa dengki, lagipula kau sekarang......", aku
menelan ludahku dan tak berbicara lagi.
Huo Qubing mendengus dengan sinis, "Aku akan membuat
mereka tak bisa berkata apa-apa tentangku".
Aku tertawa, di musim semi tahun ini, Han Wudi memerintahkan
Jenderal Besar Wei Qing memimpin pasukan untuk berperang
dengan Xiongnu, dan tak sampai dua hari, ia telah pulang dengan
meraih kemenangan. Rupanya Huo Qubing tak tahan hanya
menjadi bangsawan pengangguran di Chang'an, ia ingin meniru
pamannya dan pergi berperang.
Aku berkata, "Ketika itu, bukankah kau sudah hafal keadaan alam
dan cuaca di Xiyu" Persiapanmu sudah sangat memadai,
lagipula di dalam pasukanmu tentu sudah ada orang-orang yang
mengenal baik Xiyu untuk menjadi penunjuk jalan, aku tak melihat
bagaimana aku dapat berguna di sana".
Ia memandangku tanpa berkata apa-apa untuk beberapa saat,
lalu menjura padaku sambil tertawa terkekeh-kekeh, "Sudah
begitu lama, dengan terus terang maupun sembunyi-sembunyi
aku selalu diremehkan orang, namun akhirnya, selain kaisar, ada
orang yang memujiku. Orang yang tahu keadaan Xiyu jauh kalau
dibandingkan denganmu. Sepanjang tahun bangsa Xiongnu
mengembara di Xiyu, mereka sudah hafal keadaan alam di sana,
sedangkan pasukan Dinasti Han sangat sulit menyesuaikan diri
dengan cuaca di Xiyu".
Sambil memandang ruji tempat Yuanyang Teng merambat, aku
berkata, "Saat ini aku tak ingin kembali ke Xiyu". Tangannya
berpegangan pada pada ruji itu, "Tak apa-apa". Aku berkata,
"Ada sesuatu yang ingin kumohon darimu, kalau saat melewati
Loulan pasukan Han menyuruh penduduk setempat menjadi
penunjuk jalan, perlakukanlah mereka dengan baik".
Seakan sedang memikirkannya, ia menatapku, "Aku malas
mengurus urusan orang lain, di bawah komandoku, asalkan
mereka tak berkhianat, aku tak akan bersikap keras pada
mereka". Aku membungkuk untuk memberi hormat padanya,
"Banyak terima kasih". Ia berkata, "Setelah hari ini aku tak akan
punya waktu menemuimu, kalau kau memerlukanku, kau dapat
langsung pergi ke rumahku dan menemui Pengurus Rumah
Tangga Chen. Ia sudah mengenalmu, ia adalah Paman Chen
yang kau temui di Xiyu, ia akan mengirim orang untuk
memberitahuku". Aku mengangguk, lalu menengadah memandangnya, "Aku akan
menunggumu pulang dengan membawa kemenangan, setelah
kau mendapat hadiah dari kaisar, kau boleh mengundangku
berpesta di Yipin Ju". Wajahnya menjadi angkuh, dengan sikap
merendahkan ia berkata, "Sekarang kau boleh merencanakan
pesta itu, supaya mereka punya waktu untuk mengumpulkan
bahan-bahan langka yang diperlukan".
Seraya tersenyum aku mengangguk, "Baik! Besok aku akan pergi
ke Yipin Ju". Ia pun tertawa, sambil tertawa, ia melangkah keluar
dengan jumawa, namun ketika tiba di depan pintu ia sekonyongkonyong berbalik, "Saat aku berangkat berperang, apakah kau
dapat melepas aku pergi?" Aku tersenyum dan balas
menanyainya, "Memangnya aku ini siapa" Masa ada tempat
untukku?" Ia menatapku dengan tajam tanpa berkata apa-apa, aku pun
terdiam untuk sesaat, "Kapan kau berangkat?" Seulas senyum
tipis muncul di wajahnya, "Sebulan lebih lagi". Aku berkata seraya
tersenyum, "Kalau begitu, aku akan menemuimu sebulan lagi".
Ia mengangguk, lalu melangkah keluar dengan cepat, di bawah
sinar mentari musim semi yang indah, sosoknya yang bagai
pohon cemara sedikit demi sedikit berjalan menjauh. Di
belakangnya, mentari yang cemerlang tersenyum lebar.
Daun-daun Yuanyang Teng yang berwarna hijau zamrud dengan
riang melambai-lambai ditiup angin sepoi-sepoi. Sambil
memicingkan mata aku memandang langit biru. Suatu hari di
bulan tiga, pepohonan menghijau, bunga-bunga merona merah,
dan kami berdua muda belia.
Aku mengetuk pintu, "Mana Jiu Ye?" Xiao Feng sedang mengatur
biji-biji catur, tanpa mengangkat kepala ia berkata, "Di kamar
baca sedang membereskan buku". Aku melangkah ke kamar
baca, Xiao Feng kembali berkata, "Kamar baca tak boleh
dimasuki orang, bahkan menyapu lantai pun dikerjakan Jiu Ye
sendiri, kau duduklah dulu berjemur sinar matahari, tunggu
sebentar! Di sini ada teh, undang dirimu sendiri, aku sedang
sibuk, tak bisa mengundangmu".
Aku mengetuk kepala Xiao Feng keras-keras, "Kau ini masih
kecil, tapi sudah jadi Tuan Besar di sini". Xiao Feng mengeluselus kepalanya, lalu memelototiku dengan kesal. Aku mendengus
dan tak memperdulikannya lagi, lalu melangkah ke kamar baca.
Walaupun aku pernah tinggal di Pondok Bambu untuk beberapa
lama, namun ini adalah untuk pertama kalinya aku masuk ke
kamar baca. Ruangan itu luar biasa besar, sama sekali tak ada
pembatasnya, begitu luas hingga kereta kuda dapat berjalan di
dalamnya. Lebih dari separuh ruangan itu dipenuhi rak-rak buku,
Jiu Ye sedang membolak-balik buku di depan salah satunya.
Aku sengaja berjalan dengan suara keras, begitu mendengar
suara langkah kakiku, ia berpaling dan tersenyum, lalu
mempersilahkanku masuk. "Kau duduklah dulu, aku akan segera
selesai". Hatiku girang, aku berpaling dan membuat wajah lucu ke
arah Shi Feng. Dengan penuh rasa ingin tahu, aku mengamati rak-rak buku itu,
"Apakah kau sudah pernah membaca semua buku ini?" Suara Jiu
Ye datang dari beberapa rak buku di depanku, suaranya tak
begitu jelas, "Sebagian besar sudah kubaca".
Shi Jing, Shang Shu, Yi Li, Zhou Yi, Chun Qiu, Zuo Zhuan, Li Jing
..."rak buku ini berisi kitab-kitab Konghucu, Shi Jing
nampaknya sering dibaca olehnya, kitab itu diletakkan
di tempat yang paling mudah dijangkau.
Empat Kitab Huangdi, Ilmu Tata Negara Huang Ji, Dao De Jing,
Lao Lai Zi?"semua buku di rak buku ini tentang ajaran Huang
Lao dan Lao Zi. Dao De Jing karya Lao Zi, Xiaoyao You dan Zhi
Bei You karya Zhuang Zi, jelas sering dibolak-balik olehnya,
benang yang dipakai untuk menjilid bilah-bilah bambu kitab-kitab
itu telah kendur. Fa Jia ......Bing Jia .......kitab-kitab ini sebagian
besar telah kuhafalkan di luar kepala sejak kecil, dengan tak
tertarik aku menyapu mereka sekilas dengan pandangan mataku,
lalu beralih ke rak lainnya. Rak ini agak aneh, bagian atasnya
hanya berisi sebuah buku, sedangkan rak bagian bawahnya
berisi setumpuk gulungan.
Dengan ragu aku mengambil sebuah gulungan, gulungan itu
adalah kitab Mo Zi , kabarnya kitab ini sangat rumit,
bahkan A Die pun sakit kepala membacanya. Aku membolakbaliknya sejenak, ada bagian-bagian yang dapat kupahami,
namun ada bagian yang penuh dengan kata-kata yang sulit
dimengerti, sepertinya tentang pembuatan alat-alat seperti as
roda kereta dan tangga, tentang fenomena matahari, tentang
apabila sesuatu dilihat melalui sebuah lubang kecil bayangannya
akan menjadi terbalik, cermin datar, bayangan yang ditimbulkan
oleh cermin cekung dan cembung, dan hal-hal lain yang aku
sama sekali tak tahu namanya, sambil menggeleng-geleng aku
meletakkan buku itu, lalu melangkah ke rak dibelakangnya dan
mengambil sebuah gulungan. Gulungan itu bertuliskan tulisan
tangan Jiu Ye, untuk sesaat aku tertegun, tak kuasa membaca
isinya, aku pun mengambil beberapa gulungan lain, semuanya
pun bertuliskan tulisan tangan Jiu Ye. Aku menjulurkan kepalaku
untuk melihat Jiu Ye, ia masih membereskan buku sambil
menunduk, dengan ragu-ragu aku bertanya, "Apakah aku boleh
membaca buku-buku di rak ini?"
Jiu Ye berpaling untuk memandangku, berpikir sejenak, lalu
mengangguk-angguk, "Tak ada bagusnya dibaca, hanya
kesukaanku di waktu senggang".
Aku memungut gulungan itu, karena amat panjang, aku tak punya
waktu untuk membacanya dengan teliti dan hanya membacanya
dengan melompat-lompat. Tulisan-tulisan itu membicarakan
strategi untuk menaklukkan atau mempertahankan sebuah kota,
bagaimana Mo Zi menyesalkan negara kuat menyerang yang
lemah, cara membuat senjata dan cara menghangatkan diri di
musim dingin. Beberapa gulungan setelah itu berisi gambar-gambar terperinci
tentang berbagai macam senjata yang dapat digunakan untuk
menyerang dan mempertahankan kota, dan cara untuk
menyerang dan mempertahankan sebuah kota.
Aku membaca buku-buku itu dengan sekilas, lalu menaruh
mereka dan mengambil sebuah gulungan lain, ?""cintailah
semua di kolong langit"..bencilah peperangan?"." Secara
garis besar ia menganalisa penjelasan Mo Zi tentang kenapa ia
membenci peperangan dan menentang negara-negara besar
menganiaya negara-negara kecil. Di satu pihak ia berargumentasi
bahwa negara besar tak boleh menggunakan kekuatannya untuk
menekan negara-negara kecil, sedangkan di lain pihak ia
menganjurkan negara-negara kecil secara aktif mempersiapkan
diri untuk berperang, memperkuat pertahanan dan bersiap untuk
sewaktu-waktu melawan negara besar, sehingga negara besar
tak berani dengan sembarangan memerangi mereka.
Aku berpikir dengan diam selama beberapa lama, dengan
perlahan meletakkan gulungan di tanganku, lalu kembali
mengambil beberapa gulungan lain dan membacanya, gulungan
itu penuh gambar tentang cara pembuatan berbagai macam alat,
setiap langkah pembuatannya dijelaskan dengan amat terperinci,
diantaranya tentang busur silang rumit untuk berperang, alat-alat
untuk pengobatan patah tulang, dan ketel berlapis dua sederhana
untuk menjaga agar air di dalamnya tetap hangat di musim dingin,
bahkan ada juga gambar hiasan rambut wanita. Aku menggarukgaruk kepalaku dan mengembalikan gulungan-gulungan itu, aku
ingin membacanya sekali lagi, namun aku lebih ingin tahu ada
buku apa di rak di belakangku, aku khawatir setelah ini aku tak
akan punya kesempatan untuk membacanya lagi.
Rak itu penuh berisi buku-buku ilmu pengobatan, aku membolakbalik salah satu diantaranya, yaitu Pianque Neijing. Walaupun Jiu
Ye banyak menulis catatan dengan rinci di buku itu, aku tetap tak
memahaminya, dan juga tak terlalu tertarik padanya, oleh
karenanya aku dengan sembarangan mengambil sebuah buku di
ujung rak itu, yaitu Tianxia Zhidao Tan, buku itu juga penuh
catatan Jiu Ye, namun wajahku langsung menjadi panas, "Buk!",
aku melemparkan buku itu kembali ke raknya. Mendengar suara
itu, Jiu Ye melihat ke arahku, karena terkejut aku melompat ke
depan sebuah rak buku lain, mengambil sebuah gulungan dan
berpura-pura membacanya dengan tenang, namun jantungku
masih berdebar-debar tak keruan.
Apakah Jiu Ye juga membaca buku semacam ini" Akan tetapi,
walaupun buku ini menjelaskan tentang seni berhubungan
dengan wanita, buku itu membicarakannya dari segi ilmu
pengobatan, dan banyak diantaranya berhubungan dengan
urusan ranjang, pembuahan dan kehamilan, aku sibuk
memikirkannya dan untuk beberapa lama aku menunduk tanpa
bergeming. "Apakah kau paham buku-buku semacam ini?" Jiu Ye mendorong
Balada Padang Pasir Karya Tong Hua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kursi rodanya ke sisiku dan bertanya dengan heran. Aku terkejut
dan cepat-cepat menjawab, "Aku hanya sekilas membacanya,
lalu kubakar". Dengan kebingungan Jiu Ye menatapku, aku pun bereaksi, ia
menunjuk buku yang sekarang berada dalam genggamanku, dan
bukan.......saking kesalnya aku hampir pingsan, tak nyana dari
begitu banyak orang di kolong langit ini aku justru terpergok
olehnya. Aku segera membolak balik beberapa halamannya,
dengan tak percaya aku membelalakkan mata lebar-lebar,
semuanya penuh bertuliskan huruf-huruf kecil seperti kecebong,
aku memutar-mutarnya, namun tak bisa mengenali satu huruf
pun, aku tak sudi menyerah dan kembali memandangnya, tapi
aku masih tak bisa membacanya.
Celaka! Ternyata aku telah berlama-lama membaca buku
semacam ini, sekarang aku sudah tak mau pingsan lagi, dan
justru ingin bersembunyi dalam sebuah lubang saking malunya.
Aku menunduk dan berkata dengan terbata-bata,
"Hmm........hmm.......sebenarnya aku tak paham, tapi aku........aku
sangat ingin tahu.......oleh karenanya........oleh karenanya aku
membacanya dengan seksama, ini.......aku hanya
menyelidiki.......menyelidiki kenapa aku tak memahaminya".
Mata Jiu Ye berkedip-kedip, dengan penuh rasa ingin tahu ia
bertanya, "Kalau begitu, apa kesimpulanmu?"
"Kesimpulanku" Eh.......kesimpulanku......eh.......ialah bahwa aku
tak bisa membaca huruf-huruf itu". Sudut-sudut bibir Jiu Ye
sepertinya nampak bergerak, dalam hati aku menjerit, celaka!
Sebenarnya aku sedang bicara tentang apa" Aku menunduk,
menatap ujung kakiku sendiri, makin banyak bicara makin salah,
lebih baik tutup mulut! Suasana dalam ruangan itu sunyi senyap penuh rasa jengah,
dengan putus asa aku berpikir bahwa aku harus menghilang. Jiu
Ye mendadak tertawa terbahak-bahak sambil bersandar pada
kursi rodanya, suaranya yang riang gembira itu sayup-sayup
bergema dalam ruangan itu, dalam sekejap mata seluruh ruangan
dipenuhi rasa gembira. Aku menunduk makin dalam, wajahku
merah padam, namun aku merasakan seberkas rasa manis, aku
belum pernah mendengar suara tawanya, asalkan ia bisa sering
tertawa seperti ini, aku rela mempermalukan diriku setiap hari.
Ia mengeluarkan sehelai sapu tangan sutra dan memberikannya
padaku, "Aku cuma asal bertanya saja, tapi kau malahan begitu
tegang sampai wajahmu merah padam, begitu cemas sampai
keringatan, sama sekali tak mirip fangzhu rumah hiburan terkenal
di Chang'an". Dengan jengah aku menaruh gulungan itu di rak,
lalu menerima sapu tangan itu dan menghapus butiran-butiran
keringat di dahi dan ujung hidungku.
Pandangan mataku menyapu rak buku itu, "Buku-buku ini semua
tak ditulis dalam bahasa Han?" Jiu Ye mengangguk. Aku
mengalihkan pandangan mataku dan berkata sembari tersenyum,
"Barusan ini aku melihat gambar hiasan rambutmu, cantik sekali!"
Jiu Ye mengalihkan pandangan matanya dari rak buku dan
bertanya sembari menatapku, "Kenapa kau tak bertanya bukubuku ini buku apa?"
Setelah terdiam sesaat, aku menghela napas dengan pelan, "Kau
juga belum pernah bertanya kenapa aku bisa hidup bersama
serigala. Kenapa aku lahir di Xiyu tapi fasih bahasa Han, dan
bahkan sama sekali tak bisa bahasa-bahasa Xiyu. Semua orang
mempunyai sesuatu yang sukar dijelaskan, kalau pada suatu hari
kau bersedia memberitahuku, aku akan duduk di sisimu dan
mendengarkannya, tapi kalau kau tak bersedia, aku tak akan
menanyaimu. Ada seseorang yang pernah berkata padaku bahwa
ia hanya ingin mengenal diriku yang berada di hadapannya, aku
juga ingin seperti itu, hanya ingin mengenal kau yang ada di
dalam hatiku". Jiu Ye duduk tanpa berkata apa-apa untuk beberapa saat, lalu
mendorong kursi rodanya dan keluar dari kamar baca, sambil
membelakangiku ia berkata, "Sebenarnya aku sendiri tak bisa
memastikan tentang banyak hal, oleh karenanya aku tak bisa
membicarakannya". Suaraku pelan namun nadanya sangat tegas,
"Tak perduli apa yang kau lakukan, aku akan selalu berdiri di
sisimu". Tangannya yang sedang mendorong kursi roda berhenti sejenak,
lalu kembali bergerak, "Kenapa kau mencariku?" Aku berkata,
"Tak ada hal khusus, aku hanya kebetulan punya waktu luang
dan datang untuk menjenguk kakek, Xiao Feng.......dan kau".
Setelah keluar dari kamar baca, tiba-tiba aku melihat sebatang
tongkat yang bagus buatannya tersandar di sebuah sudut
tembok. Apakah tongkat itu dipakai oleh Jiu Ye" Tapi aku
Rantau Satu Muara 3 Tuan Tanah Kedawung Karya Ganes Th Bagus Sajiwo 12
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama