Ceritasilat Novel Online

Garuda Bulu Emas 1

Santana Dan Garuda Bulu Emas Karya Nandar Hidayat Bagian 1


NANDAR HIDAYAT NANDAR HIDAYAT " SANTANA & GARUDA BULU EMAS 1 NANDAR HIDAYAT ENDORSMENT Kisah yang ditulis oleh Bung Nandar ini,bersetting di zaman Sunda
Kuno, yakni zaman Kerajaan Sunda Galuh, sekitar abad 7 Masehi,
dimana terjadi konflik antara Prabu Tarusbawa dan Wretikandayun.
Namun, lakon yang terjadi sebagian besar memang adalah "fiksi"
yang bermain di zaman tersebut. Dan memang begitulah novel silat
sejarah pada umumnya. Tujuannya memang bukan mencari kebenaran sejarah yang mutlak,
karena toh ternyata memang tidak ada kebenaran mutlak dalam
penulisan sejarah. Tujuan novel ini tentunya memperkaya nuansa sejarah, agar punya
aroma hiburan, serta menjadi titik pijak bagi penggemar sejarah
untuk memperkaya wawasan sejarahnya, serta bagi generasi muda,
berfungsi bagi "pintu pembuka" untuk menyelami lautan sejarah
lebih mendalam. -Viddy AD Daery , penulis novel sejarah--- serial "Pendekar
Sendang Drajat" 2 NANDAR HIDAYAT SANTANA adalah anak seorang pimpinan perampok yang kejam
dan ganas. Namun dalam hati sanubarinya memberontak terhadap
perbuatan ayahnya. Sebaliknya dia ingin menjadi seorang pendekar
yang berbudi luhur dan suka menolong yang lemah.
Beruntung saat usianya masih kecil ketika ayahnya ditangkap oleh
pasukan prajurit khusus, seorang resi menolongnya,
mengangkatnya jadi anak dan mendidiknya dengan ajaran budi
pekerti yang luhur. Selain itu dia juga digembelng dengan ilmu-ilmu
silat yang diajarkan sang resi sehingga dia menjadi seorang
pendekar yang tangguh. Setelah dewasa dia diberi tugas oleh sang resi untuk membantu
perjuangan Sanjaya, saudara seperguruannya, seorang pangeran
Galuh yang dititipkan karena di istana Galuh telah terjadi
penggulingan kekuasaan. Namun jalan yang ditempuh Santana tidak serta merta langsung
membantu sahabatnya itu. Dia harus mengembara dulu seorang diri.
Dalam pengembaraannya ini dia melakukan banyak hal di antaranya
berbuat baik kepada orang-orang yang dahulu telah dirampok
ayahnya. Dan berbagai halangan serta rintangan lainnya yang dihadapi
Santana sampai dia bertemu dengan GARUDA BULU EMAS.
3 NANDAR HIDAYAT 1. ASMARA TERLARANG DI ISTANA GALUH
Suara Kendang Rampak menghentak diiringi alunan gamelan
berirama Ketuk Tilu, ditabuh sekelompok nayaga dengan penuh
semangat membuat suasana pesta di malam bulan purnama di
dalam istana Galuh semakin meriah. Beberapa gadis manis
berparas jelita tampak melenggak-lenggok lemah gemulai
memperagakan tarian Ketuk Tilu. Tarian yang cukup terkenal pada
masa itu. Semua orang yang menyaksikan tampak terhanyut dalam
alunan gamelan yang menghentakkan jantung dan terbuai oleh
keindahan gerakan penarinya. Bahkan sampai ada beberapa orang
yang melantai ikut Ngibing bersama penari yang cantik-cantik itu.
Pesta yang diadakan di istana tepatnya di ruangan besar
yang bernama Bale Gede sebuah ruangan khusus untuk menjamu
para tamu kerajaan dan acara-acara khusus seperti Istrenan atau
penobatan termasuk juga pesta semacam ini. Ruangan ini tidak
berdinding maupun sekat, hanya ada atap yang berbentuk indah
terbuat dari kayu yang ditopang tiang-tiang berjumlah banyak di
setiap sisi dan sebagian di tengah ruangan yang juga terbuat dari
kayu besar seperti kayu jati.
Ini adalah pesta yang diadakan oleh raja sekaligus pendiri
kerajaan Galuh, Prabu Wertikandayun. Sebagai rasa syukur atas
kemajuan yang telah dicapai kerajaan Galuh yang baru beberapa
tahun berdiri. Selain untuk para pejabat dalam istana dan kerabat
keluarga istana, Prabu Wertikandayun juga mengundang seluruh
raja-raja bawahan kekuasaan Galuh dengan maksud agar mereka
pun ikut merasakan kesenangan itu.
4 NANDAR HIDAYAT Prabu Wertikandayun juga memiliki sifat yang rendah hati,
tidak membeda-bedakan siapapun dimatanya. Tampak sang prabu
dengan pakaian kebesaran raja yang penuh wibawa yang di
kepalanya melingkar tanda kebesarannya yaitu Mahkota Binokasih
Sanghyang Pake, ikut berbaur bersama raja-raja bawahannya
menikmati suasana yang meriah ini, bahkan tampak sesekali dia
bercanda ria, menganggap semua orang seperti teman
sepermainannya. Sehingga para raja bawahan merasa lebih dekat,
tidak merasa sungkan yang berlebihan, dan menjadi lebih hormat
serta setia kepada Sang Maha Raja yang kedudukannya paling
tinggi di Galuh. Hal ini membuat tali persaudaraan di antara mereka
semakin erat. *** Di antara semua orang yang tampak larut dalam
kegembiraan, ada satu orang yang sepertinya tidak merasakan hal
itu. Seorang lelaki muda berwajah tampan dan gagah yang di
keningnya melingkar sebuah mahkota kecil yang duduknya agak
terpisah dari yang lainnya, matanya selalu memandang kearah
barisan tempat duduk permaisuri beserta para putri keraton. Dialah
Raden Amara putra bungsu sekaligus calon pewaris tahta Galuh.
Sang Putra Mahkota. Dia tidak tertarik oleh gemulainya para penari, dia tidak
tergoda oleh nikmatnya makanan yang dihidangkan, dia juga tidak
tergiur oleh manis dan segarnya buah-buahan dan aneka minuman.
Dia lebih tertarik dan memperhatikan seseorang yang duduk
disebelah ibundanya yang berada di barisan tempat duduknya para
5 NANDAR HIDAYAT putri keraton. Seorang perempuan yang cantik rupawan berkulit
kuning langsat telah mempesonakan sang pangeran, membuat
kedua matanya seolah tak mau berkedip, jantung berdetak kencang
dan perasaannya tak menentu.
Seorang perempuan yang mengingatkannya dulu ketika dia
ditugaskan oleh ayahandanya untuk menyampaikan surat penting
kepada Prabu Tarusbawa, Maharaja baru di Tarumanagara. Surat
yang berisi bahwa semua wilayah yang berada di sebelah timur
sungai Citarum tidak lagi mengakui kekuasaan Tarumanagara dan
memisahkan diri sebagai kerajaan yang berdaulat penuh di bawah
bendera Galuh dengan Prabu Wertikandayun sebagai rajanya.
Ketika di perjalanan menuju Tarumanagara, secara tak
sengaja Raden Amara berjumpa dengan seorang gadis yang
kecantikannya begitu mempesona. Saat itu dia merasa gerah dan
ingin mandi sebentar karena kebetulan dia melewati satu sungai
kecil yang airnya tampak bening dan segar mengalir di antara
bebatuan sungai yang berwarna hitam gelap.
Begitu sampai di sungai dia melihat seorang gadis yang baru
saja selesai mencuci pakaian. Seorang gadis dengan rambut hitam
panjang terurai, wajahnya begitu anggun memancarkan kelembutan,
dia mengenakan pakaian atas berupa kemben disambung dengan
pakaian bawah berupa Sinjang yaitu sebuah kain panjang yang
biasanya bercorak batik. Karena begitu cantiknya Raden Amara sampai terpana, dia
lupa kalau dia hanya ingin mendinginkan badannya di sungai.
Perasaanya jadi berdebar-debar. Sungguh gadis yang teramat
cantik seperti bidadari yang turun dari Kahyangan. Sementara si
gadis yang berkulit kuning langsat dan terlihat begitu mulus
pertanda dia selalu merawat tubuhnya dengan baik jadi tersipu malu
dipandang oleh seorang pemuda yang gagah lagi tampan,
6 NANDAR HIDAYAT diam-diam hatinya pun tertarik kepada ketampanan si pemuda.
"Hyang Widi Yang Agung!" ucap Raden Amara. "Apakah
engkau telah menurunkan bidadari-Mu disini?" lanjutnya yang
merupakan sebuah pujian atas kecantikan si gadis.
Si gadis yang rambutnya panjang terurai lurus sampai
menutupi punggungnya tertunduk semakin tersipu malu.
"Tuan jangan mengigau," katanya agak gugup. Suaranya
begitu lembut dan merdu semerdu suara suling Sunda dan semakin
memikat hati Raden Amara. "Saya bukan bidadari, saya hanya
menusia biasa." "Tapi, aku seperti melihat bidadari!"
"Ah, tuan terlalu berlebihan?" walaupun menunduk tapi
sesekali dia melirik juga karena ingin melihat ketampanan pemuda
di depannya. "Siapa namamu?"
Si gadis tampak malu untuk menjawab, namun akhirnya dia
mengatakan juga namanya. "Pohaci Rababu!" jawabnya.
"Ooh, nama yang begitu indah seindah orangnya?" lagi-lagi
sang pangeran memuji, sepertinya dia sudah benar-benar terpikat
oleh si gadis yang bernama Pohaci Rababu ini.
"Maaf, tuan siapa?" tanya Pohaci Rababu memberanikan diri.
"Aku Amara!" Jawab sang pengeran yang membuat si gadis
tampak terkejut. Rupanya dia mengenal nama Amara adalah salah
7 NANDAR HIDAYAT seorang putra raja Galuh. Maklumlah si gadis tidak tahu karena saat
ini Raden Amara berpenampilan seperti rakyat biasa saja, yaitu
memakai baju tanpa lengan tanpa kancing yang ujung bawahnya
diikat oleh ikat pinggang yang sekaligus mengikat celana
komprangnya di bagian bawah. Maka dengan segera dia menjura
hormat kepada si pemuda. "Maafkan saya Raden?"
"Tidak usah seperti itu, nyai!" potong Raden Amara seraya
memegang pundak Rababu hendak mengangkatnya supaya tidak
berlutut. Hyang, alangkah lembutnya kulit Rababu saat dipegang,
ingin rasanya dia memegang lebih lama. Tapi segera dilepas
kembali. "Nyai Rababu?" "Ya, Raden?" "Sebenarnya aku ingin lebih lama lagi bersama Nyai,
mengunjungi rumah Nyai, berkenalan dengan orang tua Nyai, dan
ingin lebih akrab lagi dengan Nyai?" Kata Raden Amara pelan yang
secara tidak langsung mengungkapkan perasaanya kepada Rababu
walaupun baru bertemu sekarang.
Rababu hanya diam, rupanya dia juga memiliki perasaan yang
sama kepada raden Amara. Sekarang gadis ini memberanikan diri
menatap sang pangeran. Ternyata pengeran dari Galuh ini memang
gagah, tidak dipungkiri kalau dia juga telah jatuh cinta kepada sang
pangeran. "Tapi?" lanjut Raden Amara. "Saat ini aku sedang
mengemban tugas dari ayahanda Prabu mengantarkan surat kepada
Prabu Tarusbawa di Tarumanagara. Tapi aku berjanji sepulangnya
dari sana aku akan menemui Nyai kembali. Maukah Nyai
8 NANDAR HIDAYAT menungguku?" Beberapa saat Rababu terdiam lalu menjawab. "Ya, Raden!"
Raden Amara merasa senang mendengar jawaban itu.
Hatinya seperti melambung tinggi ke angkasa. Tampaknya si gadis
sudah membukakan pintu buat dirinya. Kemudian dia pamit untuk
melanjutkan perjalanan. Selama di perjalanan dia selalu terbayang akan pesona
kecantikan Pohaci Rababu, seperti ingin cepat-cepat kembali
menemui sang pujaan hatinya lalu membawanya ke istana.
Oleh karena itu raden Amara mempercepat perjalanannya.
Sesampainya di Tarumanagara dan menyerahkan surat titipan
ayahandanya, ternyata dia baru mengetahui kalau Prabu Tarusbawa
telah mengganti nama Tarumanagara menjadi Sunda. Dan
tanggapan atas isi surat itu dia tidak mempermasalahkan kalau
Galuh dan semua wilayah disebelah timur sungai Citarum
memisahkan diri asalkan berjanji kedua kerajaan akan
berdampingan selalu dengan damai dan tidak akan saling
menyerang satu sama lain.
Begitu Raden Amara sudah mendapatkan jawaban dari Prabu
Tarusbawa, dia segera kembali ke Galuh. Tapi sesampainya di
istana dia sangat terkejut ternyata Pohaci Rababu telah dinikahkan
oleh ayahandanya dengan kakak pertamanya Rahyang
Sempakwaja. *** 9 NANDAR HIDAYAT Raden Amara belum juga menolehkan pandangannya. Dia
seperti menyelami dalam-dalam kecantikan Pohaci Rababu dari
jauh. Seperti tidak ingin melepasnya walaupun dia tahu sekarang
gadis anggun yang dijumpai di sungai dulu telah menjadi istri
kakaknya. Tapi rasa cintanya kepada Rababu belum hilang.
Sejak pernikahan Rababu dengan kakaknya itu, Raden Amara
tidak pernah lagi melihat perempuan pujaan hatinya karena Rababu
diboyong oleh suaminya ke tempat tinggalnya yaitu sebuah
padepokan sederhana di daerah gunung Galunggung. Karena
Rahyang Sempakwaja, suami Rababu, lebih memilih hidup sebagai
seorang Pandhita atau Resi ketimbang mengurusi tugas
kenegaraan. Jadi, Rahyang Sempakwaja beserta Pohaci Rababu
tidak tinggal di istana. Akan tetapi rasa cinta Raden Amara yang semakin
menggebu-gebu terhadap Rababu membuat dia tidak bisa
melupakannya begitu saja. Setiap saat yang ada dalam pikirannya
hanyalah Rababu, wajah perempuan rupawan itu selalu terbayang.
Semakin hari semakin bertambah berat rasa rindunya kepada
Rababu. Dan dia pun hampir gila. Untung saja dia mendapat akal
bagaimana caranya agar dia bisa berjumpa lagi dengan Rababu.
Dalam sebuah pasewakan rutin antara raja dengan para
pejabat istana di ruangan yang bernama Bale Mangu. Raden Amara
menyampaikan sebuah usul yang sebenarnya hanyalah akal-akalan
saja agar dia bisa berjumpa dengan Rababu.
"Ayahanda prabu," ucap Raden Amara sambil menjura hormat
kepada Prabu Wertikandayun yang duduk di kursi kebesaran raja
dengan sikap penuh wibawa. "Bolehkah ananda mengajukan sebuah


Santana Dan Garuda Bulu Emas Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

usul?" "Apa yang ada di benakmu, ananda?" balik tanya sang Prabu
10 NANDAR HIDAYAT sambil terenyum. "Sebuah usul, apa itu?"
"Begini ayahanda?" Raden Amara menarik napas sejenak.
"Semenjak Galuh memisahkan diri dan berdaulat penuh dari
Tarumanagara yang kini berganti nama Sunda. Kerajaan ini
mengalami kemajuan yang sangat pesat, bahkan mungkin lebih
maju dibandingkan dengan Sunda?" Raden Amara berhenti sejenak
untuk menarik napas. "Lanjutkan, ananda," sela Prabu Wertikandayun seraya
menyapukan pandangan ke semua orang yang hadir.
"Ada baiknya ayahanda prabu serta kita semua yang ada di
istana mengadakan acara pesta sebagai rasa syukur kepada Hyang
Widi atas kemajuan yang telah kita capai?"
"Oh, bagus, bagus, teruskan ananda!" ujar sang Prabu.
Pejabat yang lain tampak mengangguk-anggukan kepala.
"Kita undang para kerabat yang tinggal di luar istana, juga
semua raja-raja bawahan Galuh untuk ikut merayakannya." lanjut
Raden Amara. Prabu Wertikandayun angguk-angguk.
"Hamba setuju, gusti prabu!" ujar salah seorang patih yang
bernama Wirantaka. "Usulan Raden Amara sangat bagus untuk
mempererat tali persaudaraan antara gusti prabu sebagai penguasa
dengan raja-raja bawahan. Tentunya agar mereka lebih setia lagi
kepada gusti prabu."
"Baiklah aku juga setuju, ananda!"
Akhirnya keputusan sang prabu juga menyetujui usulan puta
11 NANDAR HIDAYAT bungsunya. Dan acara pesta itu kini sedang berlangsung meriah. Rencana
sang pangeran berjalan dengan lancar apalagi kesempatannya
untuk mendekati Rababu semakin terbuka lebar karena Rababu
datang sendirian. Rahyang Sempakwaja dikabarkan sedang sakit
jadi tidak bisa menghadiri acara ini. Jadi Rababu datang untuk
mewakili suaminya. *** Saat malam telah larut, pesta pun usai. Semua orang telah
kembali ke peraduannya masing-masing. Untuk para tamu
undangan sudah dipersiapkan asrama khusus yang tempatnya di
ruangan Puragabaya yaitu yang pada hari-hari biasa menjadi tempat
istirahatnya para perwira kerajaan. Termasuk Kamar untuk istirahat
Pohaci Rababu berada di Kaputren yang tempatnya menyatu
dengan Bale Bubut yaitu tempat bersemayamnya keluarga raja.
Bale Bubut letaknya di belakang Bale Gede yang dipisahkan
oleh Buruan (=halaman) yang menghubungkannya adalah jalan
setapak yang lebarnya kurang dari satu tombak terbuat dari
batu-batu pipih tersusun rapi dan di pinggirnya tertanam
tanaman-tanaman hias berbunga indah sepanjang jalan. Bale Bubut
juga berada di tengah-tengah antara Puragabaya dan Istal.
Saat malam yang sepi itulah Raden Amara yang sudah
berganti pakaian dengan sebuah jubah pendek tipis berwarna putih
menutupi bagian atas tubuhnya, tampak bergerak mengendap-endap menuju kamar Rababu.
12 NANDAR HIDAYAT Sebelumnya dia memastikan bahwa keadaan cukup aman.
Begitu sampai di depan pintu kamar dia melihat damar di dalam
kamar masih menyala pertanda bahwa orang di dalamnya belum
tidur. Lantas dia langsung mengetuk pintu pelan-pelan namun cukup
terdengar oleh orang di dalamnya.
"Siapa?" tanya Rababu dari dalam pelan.
"Aku, Nyai!" jawab Raden Amara.
Begitu mengenali suaranya Rababu membuka pintu. Raden
Amara langsung masuk ke dalam dan menutup pintu kembali
dengan cepat. Begitu di dalam kedua orang ini saling pandang
beberapa saat lamanya. Seperti mencurahkan kerinduan yang
terpendam tanpa kata-kata. Tampak Rababu sudah berganti
pakaianya berupa jubah tipis putih panjang menutupi seluruh
badannya. Namun karena tipis, lekuk tubuhnya dari balik jubah jadi
terlihat tembus pandang. Mereka saling manatap lekat penuh
makna, dalam hati masing-masing terasa bergejolak besar.
Suasana di kamar itu jadi hening, hanya dua pasang mata
saja yang berbicara. "Kanda Amara." ucap lirih Rababu. Ada perasaan takut ada
juga senang berjumpa lagi dengan sang pangeran.
"Nyai?" balas Raden Amara juga lirih masih menatap lekat
kakak iparnya. Bibirnya mendadak kelu untuk bicara. Mungkin
belum bisa karena perasaannya bercampur aduk antara rindu dan
senang. Sesaat suasana jadi hening lagi.
"Bagaimana kabarmu, Nyai?" tanya Raden Amara setelah
bisa menguasai perasaannya. Masih menatap wajah cantiknya
Rababu. 13 NANDAR HIDAYAT "Baik, kanda?" jawab Rababu juga menatap wajah pangeran
tampan itu. Mungkin rasa rindunya belum habis.
"Aku sudah lama merindukan hal ini, Nyai.."
"Begitu juga aku kanda, ini sangat kebetulan sekali, kanda
Sempakwaja juga sedang sakit.."
"Dengar, Nyai. Sebenarnya aku sudah tahu kalau kanda sakit,
dan acara pesta ini adalah atas usulku kepada ayahanda Prabu.."
"Apa!" Rababu terkejut tapi perasaannya itu segera hilang
begitu melihat Raden Amara tersenyum, sebuah senyum yang
memikat karena keluar dari wajah pangeran yang begitu tampan dan
mempesona. Pangeran yang sebenarnya menjadi pujaan hatinya.
"Jadi kanda sengaja mengatur semua ini?"
"Ya, hanya untuk bertemu Nyai, aku begitu sangat
merindukanmu Nyai.."
"Tapi aku adalah istri kakakmu.."
"Tapi aku tahu isi hatimu Nyai.." suara Raden Amara
memelan sambil mendesah dan mendekatkan wajahnya ke wajah
Rababu, dekat sekali. Lalu berbisik lirih. "Lupakan dulu tentang
keadaan yang menghalangi kita untuk sementara ini, aku tahu
semua ini tabu bagi kita. Adat di negeri kita melarangnya."
"Maafkan aku," "Kenapa harus minta maaf, Nyai?"
"Ketika aku mendapat kabar dari ayahku, bahwa Prabu
Wertikandayun akan menjodohkan salah seorang putranya
14 NANDAR HIDAYAT denganku, aku mengira itu adalah kanda Amara, tapi ternyata?"
Rababu tak bisa melanjutkan karena tak kuat menahan isak
tangisnya. Raden Amara mengerti maksud ucapan Rababu, lalu dia
menimpali. "Aku juga yang salah, aku terlambat memberitahukan
kepada ayahanda, seandainya?" dia tak melanjutkan ucapannya.
Menarik napas sejenak. Menahan perasaan menyesal yang sangat
dalam. "Seandainya waktu itu aku pulang lebih cepat dari kerajaan
Sunda?" Raden Amara melanjutkan. "Seandainya setelah bertemu
nyai di sungai dulu aku tidak melanjutkan perjalanan tapi
memberitahu ayahanda lebih dahulu, seandainya?" Raden Amara
tak bisa melanjutkan perkataanya karena Rababu tiba-tiba
menghambur ke dalam pelukannya sambil terisak-isak. Memeluk
erat seperti ingin melepaskan beban berat yang membelenggunya.
Ya, rasa cinta kepada raden Amara adalah penderitaannya karena
dia sudah bersuami. Dibandingkan dengan Rahyang Sempakwaja
suaminya, jelas Raden Amara lebih gagah dan tampan, karena
suaminya hanyalah seorang yang mempunyai cacat di badannya
yaitu giginya tanggal atau ompong.
Raden Amara tak menyia-nyiakan kesempatan ini, dia
memeluk erat-erat tubuh mulus Rababu. Bukankah ini yang
diinginkan dari rencananya mengadakan pesta" Bukankah ini yang
sangat diharapkannya, bisa berdekatan dengan sang pujaan hatinya
walau sudah menjadi milik orang"
Cinta memang bisa membuat buta segalanya, termasuk buta
adat dan aturan, mereka telah lupa bahwa hal itu adalah tabu untuk
dilakukan. Semakin lupa lagi karena nafsunya yang membara,
Raden Amara memeluk Rababu erat karena kecintaanya yang
sudah melekat lama, dia begitu sangat bernafsu menginginkan
kakak iparnya ini, kalaupun tidak bisa memilikinya secara utuh
15 NANDAR HIDAYAT setidaknya untuk malam ini sajalah dia bisa memilikinya. Begitupun
Rababu, dia tidak peduli lagi bahwa dia telah bersuami, semua ini
karena perasaan cintanya kepada Raden Amara, pemuda yang
datang lebih dulu sebelum dia di jodohkan dengan suaminya
sekarang. Dan dia semakin pasrah menikmati keindahan yang
sangat tercela ini. Keindahan tabu! Bagi Rababu, saat-saat seperti ini tentu sangat
dibutuhkannya. Menghabiskan waktu bersama kekasih hatinya.
Seseorang yang telah mencuri hatinya pada saat pandangan
pertama. Satu hal yang banyak merasuki hati perempuan adalah
mengingat, mengenang, membanggakan, bahkan mengharapkan
kembali cinta pertamanya.
Dan, dikamar yang temaram itu mereka telah dilanda mabuk
asmara terlarang. Tiada seorang pun di istana Galuh yang tahu
bahkan sampai prajurit jaga yang setiap malam selalu berkeliling
menjaga kemanan juga tidak tahu.
Tetapi bagi seorang resi yang sangat sakti mandraguna, yang
bisa menerawang ke alam jauh. Walaupun berada di suatu tempat
yang jauh dari istana, walaupun dirinya dalam keadaan sedang
sakit. Dia bisa merasakan apa yang terjadi di istana khususnya di
kamar Rababu. Dialah Rahyang Sempakwaja.
*** Walaupun pesta hanya satu hari, tapi Pohaci Rababu
menginap di istana sampai empat hari lamanya. Ketika dia telah
kembali ke padepokan suaminya di Galunggung, Rahyang
Sempakwaja yang sudah mengetahui perbuatan nista istrinya tidak
pernah menggauli lagi sampai akhirnya Rababu mengandung
kemudian melahirkan seorang anak laki-laki, dan Rahyang
16 NANDAR HIDAYAT Sempakwaja memberikan nama Sena kepada anak laki-laki itu.
Sena artinya salah, maksudnya anak yang lahir dari hubungan
salah. Selanjutnya atas pengakuan Rababu tentang hubungan
gelapnya dengan raden Amara, Sena diserahkan kepada ayah
aslinya dan dirawat di istana, bahkan raden Amara memberinya
nama Bratasenawa. Ketika prabu Wertikandayun meninggal, raden Amara
menggantikannya sebagai raja dengan gelar Rahyang Mandiminyak.
Rahyang Mandiminyak mempunyai seorang istri yang sah yaitu
Dewi Parwati, putri Ratu Shima dari kerajaan Kalingga. Dari istrinya
ini dia mempunyai anak perempuan yang diberi nama Sannaha yang
setelah dewasa dinikahkan dengan Sena atau Bratasenawa.
Ketika Ratu Shima membagi dua kerajaan Kalingga kepada
dua putranya yaitu Raden Narayana dan Dewi Parwati sendiri.
Rahyang Mandiminyak bersama Dewi Parwati bertolak ke Kalingga
dan memerintah kerajaan yang menjadi bagian Dewi Parwati yaitu
wilayah bagian utara yang diberi nama Bhumi Sambhara.
Sedangkan kerajaan Galuh diserahkan kepada Sena alias
Bratasenawa. 17 NANDAR HIDAYAT 2. ANAK PENJAHAT Dalam kegelapan malam di sebuah jalan terjal berbatu yang di kiri
kanannya terhampar sawah-sawah yang luas seperti lautan tak
bertepi. Jalan yang tidak begitu lebar menuju sebuah bukit bernama
Cibaringkeng. Dua puluh orang yang berpakaian prajurit dan
menunggangi kuda yang dipimpin oleh seorang berpangkat senopati
tampak menggebrak kudanya supaya melaju cepat. Prajurit
berkuda, berarti mereka adalah prajurit-prajurit pilihan yang memiliki
kepandaian khusus dan lebih tinggi dari prajurit biasa. Kalau bukan
melaksanakan tugas yang teramat penting, tentunya mereka tidak
akan bergerak malam-malam begini.
Mereka adalah prajurit pasukan khusus dari kerajaan
Indrakila, sebuah kerajaan kecil bawahan Galuh. Mereka ditugaskan
untuk meringkus sekawanan perampok yang merajalela dan
meresahkan rakyat Indrakila. Kawanan perampok ini dipimpin oleh
seorang yang sangat sakti namun ganas dan kejam kepada
mangsanya, namanya Kuntawala. Sebelumnya tidak ada orang
yang mampu menghentikan kekejaman perampok ini, untuk itulah
prajurit khusus ini ditugaskan. Konon para perampok ini tinggalanya
di sebuah bukit bernama bukit Cibaringkeng.
Senopati Aji Dharma adalah orang yang dipercaya oleh istana
untuk memimpin rombongan ini. Mengapa demikian" Karena sang
senopati sudah dikenal cerdik dalam mengatur taktik perang bahkan
sebelum menjabat sebagai senopati dia sempat menjadi seorang
pendekar pilih tanding di dunia persilatan.
"Menjelang pagi nanti kita harus sudah sampai di bukit
Cibaringkeng!" Kata senopati Aji Dharma diantara suara derapnya
18 NANDAR HIDAYAT kaki kuda. Dia berada paling depan.
"Siap, tuan!" Sahut semua prajurit bersamaan, kompak.
"Begitu sampai disana, kita langsung bergerak sesuai
rencana kita kemarin!"
"Siap, tuan!" Jalan yang mereka lewati banyak bebatuan terjal, apalagi
malam ini rembulan tidak menampakkan diri dan bintang-bintang
pun tertutup awan hitam sehingga suasana semakin gelap. Tapi bagi
mereka semua itu bukan sebuah halangan, dengan kepandaian
yang mereka miliki tanpa harus melihat pun mereka bisa merasakan
keadaan sekitarnya. Sehingga mereka bergerak seperti keadaan di
siang hari saja. *** Bukit Cibaringkeng, terletak di wilayah kerajaan Indraprahasta
sebelah utara dan agak ke timur tepatnya di sebuah desa bernama
Leuwi Munding, sebuah bukit yang sebenarnya sudah bisa disebut


Santana Dan Garuda Bulu Emas Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gunung karena besar dan ketinggiannya yang sudah seukuran
gunung. Tapi orang-orang di sekitarnya lebih suka menyebut bukit,
mungkin dulunya hanya sebuah bukit kecil yang kemudian
membesar. Ternyata tidak banyak orang yang tinggal di sekitarnya
di karenakan sekarang di puncak bukit itu sudah dijadikan sarang
perampok. Menjelang pagi sebelum terdengar ayam berkokok. Puncak
bukit masih tampak hening, sebuah rumah panggung besar terbuat
19 NANDAR HIDAYAT dari kayu yang berdiri di situ juga tampak sepi karena para penghuni
di dalamnya masih terlelap dalam mimpi. Hanya sebuah lampu kecil
yang masih terlihat kedap-kedip apinya dihembus angin malam.
Rumah panggung itulah yang dijadikan tempat tinggal para rampok
pimpinan Kuntawala. Maklumlah sekawanan rampok ini masih terlelap tidur, karena
sudah terbiasa setiap malamnya mereka lewati untuk
bersenang-senang menikmati hasil rampokan dan itu mereka
lakukan sampai larut malam sehingga mereka mulai tertidur jika
sudah merasa lelah dan ngantuk.
Taktik senopati Aji Dharma memang tepat. Saat-saat seperti
ini meringkus mereka tentu akan lebih mudah. Saat itulah prajurit
khusus yang dipimpin senopati mulai bergerak sesuai tugasnya
masing-masing. Enam belas prajurit mengepung di sekeliling rumah,
empat orang yang lainnya bersembunyi di tempat lainnya sementara
senopati Aji Dharma berada di tempat terpisah lagi.
"Suiiiit!" Terdengar siulan keras, itu adalah siulan perintah dari
senopati. Sesaat kemudian empat prajurit yang mengepung bagian
depan rumah bergerak melompat ke teras rumah lalu mendobrak
pintu dengan keras. Brakk! Pintu jebol. Tujuh orang di dalam rumah yang sedang terlelap terkejut
seraya langsung bangkit sambil menghunus senjata dan bersikap
waspada. "Siapa kau!" Teriak salah seorang yang dekat dengan pintu
20 NANDAR HIDAYAT begitu langsung melihat empat orang di depan pintu.
Empat prajurit yang mendobrak pintu tadi langsung melesat
mundur kembali dengan gerakan yang amat enteng dan cepat
pertanda kepandaian mereka memang tinggi. Hal ini memancing
dua orang anggota rampok mengejar mereka keluar.
Set! Dua anggota rampok ini mendarat di halaman rumah siap
melancarkan serangan namun mereka terkejut karena di sana tidak
melihat siapapun, empat prajurit itu sudah lenyap di kegelapan.
Belum hilang rasa terkejutnya tiba-tiba dari atas langit terasa angin
menyambar dengan kuat ke arah dua rampok ini.
Sreeet! Tak sempat berkelit karena hari masih gelap dua anggota
rampok ini tiba-tiba terjatuh ke tanah lalu badannya terseret jauh.
Ternyata angin yang menyambar itu adalah sebuah jala besar
terbuat dari tambang yang langsung menjaring dan menyeret
mereka ke arah kegelapan tanpa sempat berteriak lagi. Di tempat
yang gelap itulah sudah menunggu dua prajurit lain yang langsung
melumpuhkan dua perampok ini.
Kelima orang perampok lain yang agak terlambat melihat
keluar rumah karena gerakan yang kalah cepat terkejut mengetahui
dua kawan mereka sudah hilang padahal kejadian hanya beberapa
kejap yang lalu. Ternyata salah seorang dari mereka adalah anak
kecil yang masih berumur sepuluh tahun. Dia adalah Santana
anaknya sang pimpinan rampok, Kuntawala. Sedangkan Kuntawala
sendiri yang kini berdiri tak jauh darinya adalah seorang yang
perawakannya tinggi besar berkepala botak dengan kumis tebal
melintang di atas bibirnya yang memberi kesan seram di wajahnya.
21 NANDAR HIDAYAT Sangat pantas untuk wajah seorang pemimpin rampok.
Kuntawala menggeram marah, sangat marah. Karena di
pagi-pagi buta ini sudah ada yang mengganggu ketentramanya saat
beristirahat. Siapa lagi yang datang mengantarkan nyawanya"
Pikirnya dalam hati. "Tuan, ada orang yang mau main-main dengan kita!" Ujar
salah seorang anak buah Kuntawala dengan nada sombong,
mungkin karena selama ini mereka tak ada yang mengalahkan.
Kuntawala tidak menyahut, dia lebih mempertajam
pandangannya ke sekitar halaman rumah. Suasana tampak sunyi
seperti tak pernah terjadi apapun.
Sementara cahaya putih sudah terbersit di ufuk timur, namun
suasana di bukit itu masih gelap.
Brakk! Mereka dikejutkan lagi dengan suara dinding yang jebol di
bagian belakang rumah. Serta merta dua orang anak buah
Kuntawala langsung menghambur ke sana, mengejar beberapa
orang yang telah mendobrak dinding rumah.
"Jangan kejar!" Teriak Kuntawala yang sudah merasakan
gelagat yang tidak beres namun terlambat, dua anak buahnya
sudah lenyap di belakang rumah.
Seperti tadi, begitu Kuntawala mengejar ke sarah sana.
Suasana langsung sepi seperti tidak terjadi suatu apapun. Dua anak
buahnya juga sudah lenyap lagi bagai ditelan kegelapan.
Meledaklah amarah Kuntawala. Dua tangannya mengepal
22 NANDAR HIDAYAT sambil menggeram. "Kurang ajar!" teriak Kuntawala memecah kesunyian pagi.
"Tunjukkan siapa kalian, jangan menjadi pengecut. Hadapi aku
dengan jantan!" Namun sampai beberapa helaan napas keadaan tetap hening,
tak ada yang menyahuti teriakkan Kuntawala.
Dan hari pun mulai terang.
Disamping Kuntawala, anak kecil bernama Santana ini
sepertinya tidak merasakan takut atau apapun semacamnya. Raut
wajahnya hanya menyiratkan pandangan kosong tidak juga tampak
tegang seperti ayahnya. Mungkin karena masih polos belum
mengerti apa yang tengah terjadi walaupun sebelumnya dia sudah
sering diajak merampok bersama ayahnya.
"Ayo keluar!" Teriak Kuntawala lagi karena teriakannya yang
tadi tak ada yang menyahut.
Suwirya, anak buah Kuntawala yang tinggal seorang ini
tampak waspada. Kedua matanya seolah tak berkedip
memeperhatikan sekitar rumah, bersiap-siap kalau tiba-tiba ada
yang menyerang. Tak berapa lama akhirnya muncullah senopati Aji Dharma dari
persembunyiannya diikuti dua puluh prajurit anak buahnya.
Beberapa di antara parajurit itu ada yang memegang ujung tali
sebuah jaring besar terbuat dari tambang. Ada dua jaring di setiap
jaring itu terlibat dua orang anak buah Kuntawala yang sudah tak
berdaya. Kalau tidak dengan cara yang cerdik tentulah anak buah
Kuntawala itu tidak akan kalah melawan sepuluh orang prajurit
sekaligus dalam pertarungan biasa.
23 NANDAR HIDAYAT Melihat semua itu Kuntawala semakin berang, apalagi melihat
senopati Aji Dharma. Pasti senopati itu yang punya akal, pikir
Kuntawala. "Senopati Aji Dharma!" Bentak Kuntawala marah.
"Ya, ini aku!" Sahut senopati dengan sedikit senyum.
Memandang Kuntawala dengan pandangan mengejek.
"Cuih! Sungguh suatu cara yang amat memalukan dan
pengecut!" Ujar Kuntawala. "Kalau berani hendak menangkapku
bertarunglah dengan jantan."
"Kenapa harus malu!" Ujar senopati. "Untuk menangkap
penjahat sepertimu, tidak perlu memakai segala aturan dunia
persilatan. Karena kau bukan seorang pendekar. Bukankah kau juga
tidak mengenal belas kasihan kepada semua korbanmu?"
"Bedebah keparat"!"
"Menyerahlah, atau kau akan mati sia-sia!"
"Sombong kau Aji Dharma!" Bentak Kuntawala sudah habis
kesabarannya. Empat anak buahnya sudah diringkus tak berdaya,
dia harus menyelamatkan mereka. Maka seketika itu juga dia dia
melesat kedepan melancarkan pukulan tangan kosong namun
mengandung tenaga dalam yang tinggi ke arah senopati Aji Dharma.
Sang senopati sigap, hal ini sudah sering dia alami. Dengan
enteng dia berjungkir balik ke belakang menghindari serangan.
Blar! Blar! Pukulan yang dilancarkan Kuntawala menimbulkan ledakan
besar di tanah. Sesaat kemudian dia sudah mendarat dan siap
24 NANDAR HIDAYAT melancarkan serangan berikutnya.
"Bersiap!" Teriak senopati Aji Dharma yang sudah berdiri jauh
dari tempat berdirinya Kuntawala.
Empat belas prajurit bergerak mengepung.
"Dasar pengecut!" Teriak Suwirya, anak buah Kuntawala yang
tinggal seorang seraya melompat masuk ke arena pertempuran
mendampingi pimpinannya. Ke empat belas prajurit itu tidak menggunakan senjata
pedang ataupun tameng seperti hendak perang. Tapi di tangan
mereka masing-masing membawa tali tambang besar terbuat dari
rotan yang ujungnya di buat suatu simpul. Cara ini seperti sedang
mengepung binatang buas. Kuntawala dan Suwirya kerahkan kekuatan penuh, mereka
tahu kalau prajurit-prajurit ini adalah orang pilihan yang
kepandaaiannya tidak bisa dianggap remeh. Dengan ajian paling
dashyat yang mereka miliki mereka hendak menghancurkan semua
lawannya. "Heaaa"!" Diiringi teriakkan yang menggema, Kuntawala dan Suwirya
kerahkan tenaga dalam penuh dengan memutar-mutar kedua
tangannya secara bersamaan di atas kepala. Inilah ajian "Badai
Sagara" ajian paling dashyat yang dimiliki dua orang rampok ini
apalagi dikeluarkan oleh dua orang sekaligus. Sebuah ajian yang
didapat dari gurunya Kuntawala sewaktu masih muda. Ajian yang
menggunakan tenaga dalam penuh untuk mengendalikan udara atau
angin di sekitarnya menjadi berhembus kuat, kencang dan dashyat.
Dengan hembusan angin yang dashyat itu maka lawan-lawannya
akan tertiup seperti kapas beterbangan. Ajian ini memang
25 NANDAR HIDAYAT digunakan saat menghadapi kepungan atau lawan yang sangat
banyak. Tangan-tangan yang berputar itu sedang mengendalikan angin
di sekitar bukit Cibaringkeng, menjadikannya berhembus kencang,
semakin kencang dan ganas sehingga berubah seperti badai yang
mengguncang bukit. Pohon-pohon kecil ada yang tercabut ada juga
yang bertumbangan, sedangkan pohon-pohon besar bergoyang-goyang seperti hendak roboh dan rerumputan
beterbangan perputar-putar. Di bukit itu seperti sedang dilanda badai
angin puyuh yang dashyat.
Kuntawala lupa pada anaknya. Karena hembusan angin
laksana badai ini, Santana yang masih kecil dan belum memiliki
kemampuan apapun terbawa angin berputar-putar di atas. Dia
berteriak-teriak minta tolong namum suaranya lebih kecil dari suara
gemuruh angin jadi tiada seorang pun yang mendengar. Lama
kelamaan anak ini terpental jauh entah kemana dan di mana
jatuhnya. Sementara itu senopati Aji Dharma masih berdiri tegak,
tampaknya dia memiliki kekuatan untuk tidak terbawa oleh
hembusan angin dashyat ini. Sedangkan para prajurit yang
mengepung tampak melayang-layang terbawa angin, namun posisi
mereka tetap seimbang sehingga tidak terbawa jauh oleh angin
bahkan keadaan ini sepertinya sengaja sebagai salah satu taktik
mereka. Sangat cerdik, ke empat belas prajurit ini memanfaatkan
badai angin sebagai cara untuk menyerang, mereka
melayang-layang mengitari Kuntawala dan Suwirya yang terus
memutar tangannya guna menghasilkan tiupan angin yang lebih
dashyat lagi. Saat melayang di udara para prajurit saling melempar
dan menyambut ujung tali tambang sehingga tali-tali itu terpentang.
Jika dilihat dari atas mereka seperti sebuah kincir pemutar air
26 NANDAR HIDAYAT dengan tali tambang itu sebagai jari-jarinya sementara titik
tengahnya adalah Kuntawala bersama Suwirya.
Pada saat itulah ke empat belas prajurit melayang turun ke
bawah sambil tetap berputar. Akibatnya Kuntawala dan Suwirya
menjadi terlilit oleh tali-tali yang kuat ini sampai beberapa lilitan
akhirnya mereka tak bisa bergerak lagi meskipun sudah
mengerahkan semua tenaganya namun lilitan itu lebih kuat lagi lalu.
Brukk! Kuntawala dan Suwirya yang terlilit jadi satu terguling ke
tanah, mereka tidak bisa bersuara lagi karena lilitan itu membuat
mereka susah bernapas hanya kedua mata Kuntawala yang
menyorotkan penuh dendam. Angin badai pun berhenti berhembus
karena yang punya ajian sudah lumpuh.
"Bagus!" Ujar senopati Aji Dharma. "Kalian hebat dan pantas
mendapat hadiah yang besar." Lanjutnya. "Bawa mereka semua ke
istana untuk menerima hukuman!"
"Tuan senopati"!" Salah seorang prajurit menyela.
"Bagaimana dengan anaknya Kuntawala?" Tanyanya mengingatkan.
"Jangan khawatir!" Jawab senopati. "Dia sudah terlempar jauh
entah kemana oleh ajian Badai Sagara. Orang dewasa biasa saja
bisa tewas di hantam angin itu, apalagi dia cuma anak kecil."
Jelasnya menarik napas sejenak. "Kecuali ada orang yang
menolong atau keajaiban Hyang."
Kemudian rombongan yang dipimpin senopati Aji Dharma ini
bergerak meninggalkan bukit Cibaringkeng dengan membawa hasil
yang memuaskan. Sekawanan perampok yang sudah lama
meresahkan rakyat kini sudah tak berdaya menjadi tawanan
27 NANDAR HIDAYAT mereka. Terbayang dalam pikiran mereka sejumlah hadiah yang akan


Santana Dan Garuda Bulu Emas Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diberikan raja kepada mereka atas keberhasilannya. Semua ini
berkat taktiknya senopati Aji Dharma.
*** Santana melayang-layang seperti daun tertiup angin.
Terkadang dia menghantam sebuah pohon yang membuat tubuhnya
terasa remuk namun itu cuma sebentar karena ternyata di dalam
tubuhnya sudah terisi sebuah ajian bernama "Wadah Rahayu" yang
gunanya untuk melindungi tubuh dari segala macam hantaman
benda atau senjata, sejenis ilmu kebal. Ajian ini sengaja
dimasukkan kedalam tubuh oleh ayahnya. Karena perbuatannya
yang merugikan banyak orang, Kuntawala merasa sangat perlu
memberikan perlindungan kepada anak semata wayangnya agar
sewaktu dalam bahaya, Santana tidak mengalami suatu cidera
apapun. Sementara dia sendiri tidak mamakainya karena sudah
merasa kuat. Begitu jauh Santana terbawa angin hingga semakin jauh
semakin berkurang hembusan anginnya akhirnya bocah sepuluh
tahun ini terjatuh lalu terkapar pingsan di pinggiran sebuah hutan.
*** Santana membuka matanya, suasana hangat langsung
menyelimuti tubuhnya. Wajah polos itu memperhatikan keadaan di
sekitarnya. Berada di mana dia" Tanyanya dalam hati. Lalu perlahan
dia bangkit ternyata dia berada diatas sebuah tempat tidur terbuat
dari kayu. Saat menyapukan pandangan ke sekeliling dia melihat
dinding-dinding kayu. Rumah! Ya dia berada di rumah tapi bukan
28 NANDAR HIDAYAT rumahnya yang berada di bukit Cibaringkeng karena melihat bentuk
dan warnanya dinding rumah ini berbeda dengan rumahnya yang di
sana. Terus di rumahnya yang dulu tidak ada tempat tidur seperti ini
karena di sana jika tidur hanya di lantai beralaskan tikar pandan.
Ini rumah orang lain. Pikir Santana.
"Eh, sudah bangun jang!"
Satu suara terdengar. Dari luar pintu yang tak berdaun itu
masuk seorang kakek agak bungkuk berpakaian serba putih yang
bagian atasnya berbentuk selempang. Pakaian seorang resi.
Rambutnya yang sebagian memutih digelung ke atas. Ditangannya
membawa sepiring singkong dan ubi serta segelas air putih dalam
gelas terbuat dari bambu.
Santana tidak menjawab, dia hanya memandang lugu wajah
si kakek yang bersih bersinar membuatnya merasa nyaman.
Berbeda dengan ayahnya yang berwajah seram.
Si kakek meletakkan piring berisi ubi dan singkong serta air
putih itu di dekat Santana.
"Siapa namamu, jang?"
Santana masih diam entah bingung entah apa, namun si
kakek memaklumi akan sifat anak kecil yang terlihat polos ini.
"Ya, sudah." Kata si kakek. "Sekarang makan saja dulu, kau
pasti lapar." Tanpa ragu lagi Santana mengambil satu singkong dan
memakannya dengan lahap. Perutnya memang terasa lapar. Begitu
lahap sehingga cepat habis lalu minum. Sehabis minum dia
menghela napas sesekali dia memandang ke arah si kakek yang
29 NANDAR HIDAYAT masih memperhatikannya. "Kalau masih lapar, ambil lagi. Itu semua untukmu." Kata si
Kakek lagi. Dalam hati dia berkata. "Dalam tubuh anak ini ada satu
ilmu yang melindungi dirinya dari bahaya, orang tuanya pasti bukan
orang sembarangan. Lalu kenapa dia pingsan sendirian di jalan?"
"Aku benci ayah!" Tiba-tiba Santana berkata datar dengan
sorot mata hampa. "Apa?" Si kakek terkejut sambil mengerutkan kening belum
mengerti apa maksudnya. Kata-kata itu pasti bukan ditujukan
untuknya. "Aku benci ayah!" Kata Santana lagi.
"Kenapa dengan ayahmu, jang?" Tanya si kakek mencoba
mencari keterangan. "Aku benci ayah!" Itu lagi yang diucapkan Santana malah
semakin keras dan terlihat perubahan wajahnya yang kini seperti
hendak menangis. "Tenanglah, jang!" Ujar si kakek menenangkan sambil
memegang pundak Santana."Ceritakanlah kenapa kau membenci
ayahmu?" "Ayahku jahat?" Jawab Santana dengan suara datar lagi.
"O, ya?" "Dia suka merampok orang?"
"Merampok?" 30 NANDAR HIDAYAT Santana mengangguk pelan.
"Siapa ayahmu?"
"Kuntawala!" "O?" Si kakek mengangguk-angguk kepala, dia tahu
sekarang siapa ayah anak ini. Siapa yang tidak kenal dengan
sekawanan perampok yang dipimpin oleh Kuntawala. Ternyata
pimpinan rampok itu mempunyai seorang anak laki-laki.
"Lalu di mana ayahmu?"
Santana menggeleng, diam sejenak lalu dengan kata-kata
yang belum lancar di menceritakan kejadian yang dia ingat di pagi
buta di rumahnya dulu. "Malam itu aku, ayah, dan teman-teman
ayah sedang tidur, lalu ada pintu didobrak, semua kaget,
teman-teman ayah ada yang hilang, waktu sudah pagi aku melihat
ada banyak orang di depan rumah, aku ingat ayahku memanggil
nama orang itu senopati Aji"Aji"Aji Dharma"." Begitulah cerita
polos Santana yang walau pun dituturkan dengan tidak jelas namun
si kakek tahu maksudnya apalagi mendengar nama Aji Dharma.
Senopati yang terkenal cerdik dan sakti itu pasti sudah meringkus
Kuntawala dan anak buahnya.
"Oh begitu ya, jang!" Timpal si kakek. "Tapi aki belum tahu
siapa namamu, jang?" tanya si kakek mengalihkan pembicaraan.
"Santana." "Santana?" Si bocah mengangguk pelan.
31 NANDAR HIDAYAT "Anak pemberani, maukah kau menjadi anak aki?"
"Aki bukan orang jahat, kan?"
Si kakek tertawa pelan. "Bukan, aki ini orang baik?"
"Nama aki siapa?"
"Namaku Wanayasa, orang-orang memanggil aki resi
Wanayasa?" "Aki resi Wanayasa?"
"Ya!" "Baik, aku mau menjadi anak aki. Tapi aki tidak merampok,
kan?" Santana sepertinya masih ragu.
Resi Wanayasa kembali tertawa kali ini agak mengekeh
melihat keluguan anak ini.
"Tentu tidak, Santana!" Jawabnya sambil mengelus-elus
kepala Santana dan untuk pertama kalinya anak ini tersenyum
setelah dari tadi tampak murung.
Akhirnya resi Wanayasa yang sudah lama hidup menyendiri
di tempat itu kini mempunyai seorang anak angkat laki-laki bernama
Santana. Walau Santana sebelumnya anak seorang kepala
perampok yang kejam. Namum sang resi berpikir anak ini masih
polos dan masih bisa dididik dengan budi pekerti yang baik. Tak
lupa karena dia juga seorang resi yang sakti mandraguna maka dia
pun mengajari Santana ilmu silat. Apalagi dalam tubuh Santana
sudah tersimpan ajian Wadah Rahayu sehingga dengan mudah
anak ini bisa menguasai apa yang diajarkan sang resi.
32 NANDAR HIDAYAT Resi Wanayasa adalah salah satu anak raja Galuh pertama
prabu Wertikandayun. Dia adalah adiknya rahyang Sempakwaja dan
kakaknya raden Amara atau rahyang Mandiminyak. Sama seperti
kakaknya di juga lebih memilih hidup menjadi pandhita atau resi.
*** Di pinggir sebuah jalan yang menghubungkan kampung
dengan hutan dan keadaannya cukup sepi, Santana sedang sibuk
sendirian membereskan kayu-kayu bakar kecil yang sudah
dipotong-potong unutk diikat. Kebiasaan baru setelah diangkat
menjadi anak resi Wanayasa. Suatu kebiasaan yang membuatnya
merasa berharga dan berguna bagi orang tua angkatnya. Tidak
seperti dahulu berama ayahnya walaupun tidak kurang makan
bahkan selalu lebih tapi rasanya seperti hambar. Ayahnya tidak
pernah mendidiknya secara benar. Meski belum mengerti apa-apa
tentang kehidupan di dunia ini tapi sedikitnya dia tahu mana yang
benar dan mana yang salah.
Semua kayu bakar sudah diikat dan siap di angkat namun
tiba-tiba saja di jalan lewat tiga orang yang berpakaian prajurit
bersenjata lengkap masing-masing menunggang kuda berhenti tepat
di depan Santana. "Lihat anak itu!" Seru salah seorang dari mereka.
"Rasanya aku pernah melihatnya," Ujar yang lain.
Lalu ketiga prajurit ini turun dan menghampiri Santana yang
masih berdiri belum sempat mengangkat bawaannya. Melihat
pakaian tiga orang ini Santana teringat akan peristiwa di pagi buta di
33 NANDAR HIDAYAT rumahnya dulu. "Ya, tidak salah lagi." Ujar sawung. "Ternyata dia masih
hidup!" "Kau benar!" Lambada menimpali.
"Kebetulan sekali!" Timpal Sokanta juga.
Rupanya ketiga prajurit ini adalah prajurit yang dulu ikut
bersama senopati Aji Dharma meringkus Kuntawala dan anak
buahnya, dan mereka mengenali Santana. Mereka langsung
bergerak mengurung Santana seperti hendak menangkapnya.
"Hai, bocah!" Sapa Sokanta. "Apa kau anaknya Kuntawala?"
Tanyanya langsung. Santana mengangguk pelan karena dia masih ingat nama
ayahnya walaupun resi Wanayasa menyuruhnya untuk
melupakannya. "Jangan banyak basa-basi begitu, Kanta!" Sela Sawung
bersikap tidak sabar. "Tenang dulu," Kata Sokanta menenangkan kawannya. "Jang,
apa ayahmu ada bersamamu?"
Santana menggeleng, belum mengerti apa maksud
oarng-orang ini. "Ah, dia pasti bohong!" Ujar Lambada.
"Jangan bohong!" Sentak Sawung tapi langsung ditenangkan
oleh Sokanta. Prajurit satu ini lebih sabar ketimbang dua orang
34 NANDAR HIDAYAT kawannya. "Jangan keras-keras sama anak kecil!" Pinta Sokanta pada
dua kawannya. "Jang?" Lanjutnya kepada Santana. "Kalau kau beri
tahu di mana ayahmu berada, aku akan memberimu hadiah yang
bagus." Bujuknya. Namun Santana menggeleng lagi sementara Sawung dan
Lambada sudah tidak sabaran untuk menangkap anak ini saja.
"Sudahlah!" Kata Sawung kemudian. "Kita langsung tangkap
saja anak ini untuk dijadikan sandra supaya Kuntawala meyerahkan
diri?" "Benar!" Lambada mendukung. "Dari tadi juga aku berpikiran
seperti itu, Cuma kau saja Kanta, yang banyak bertele-tele?"
"Ya sudah terserah kalian!" Kata Sokanta.
Sawung jongkok di depan Santana lalu berkata. "Jang,
maukah kau ikut bersama kami?" Ajaknya
"Ya," Lambada ikut-ikutan. "Nanti kau akan kami ajak
melihat-lihat istana Indrakila yang indah?"
Seperti tadi Santana hanya menggeleng-geleng kepala saja
membuat tiga prajurit ini kehabisan akal untuk merayunya supaya
mau ikut bersama mereka. Akhirnya dengan paksa Sawung hendak
menarik tangan Santana. "Jangan bawa dia!"
Tiba-tiba satu suara menggema terdengar seperti datang dari
langit. Tiga prajurit terkejut. Lalu muncullah sekelebat bayangan
putih yang tidak tahu datangnya dari mana tiba-tiba sudah berdiri di
35 NANDAR HIDAYAT samping Santana. "Bapak resi Wanayasa!" Ucap tiga prajurit ini bersamaan
mengenali siapa yang datang.
"Kenapa kalian hendak membawa anak ini?" Tanya resi
Wanayasa. Tiga prajurit ini tampak gugup seperti menghadapi atasannya
saja. Maklumlah resi sakti ini sudah terkenal di kalangan istana
bahkan mereka tahu bahwa sang resi adalah salah satu anak
penguasa Galuh. "Begini bapak resi," Sokanta memberanikan diri menjawab.
"Bolehkah kami mengajukan pertanyaan lebih dahulu?"
"Apa itu?" "Kenapa bapak resi seperti melindungi anak itu?"
"Memang kenapa?"
"Bukankah dia anak Kuntawala pimpinan perampok yang
kejam itu?" "Ya, aku tahu. Dia sudah kuangkat menjadi anakku?"
"Apa"!" Seru tiga prajurit lagi bersamaan.
"Aku tahu masalah kalian." Kata sang resi. "Kuntawala
melarikan diri saat hendak diberi hukuman, begitu bukan?"
"Iya, bapak resi" Jawab Sawung.
"Ketahuilah," Lanjut sang resi. "Anak ini tidak tahu menahu
36 NANDAR HIDAYAT soal ayahnya karena sudah beberapa hari ini dia selalu bersamaku,
bahkan Kuntawala sendiri tidak tahu kalau anaknya aku rawat. Jadi,
kalian jangan berprasangka buruk padanya, jelas!"
"Iya, bapak resi!"
"Sebaiknya kalian pergi saja, anak ini sekarang adalah
tanggung jawabku!" "Baik, bapak resi!"
Kemudian tiga prajurit ini menjura hormat dan pamit
meninggalkan resi Wanayasa bersama Santana.
*** 37 NANDAR HIDAYAT 3. PEMBERONTAKAN PURBASORA

Santana Dan Garuda Bulu Emas Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku datang menuntut hak!"
Suara itu datang menggema lebih dulu sebelum satu bayangan
berkelebat masuk ke dalam Bale Mangu di mana tengah
berlangsung pasewakan antara raja dan pejabat istana. Sosok ini
langsung berdiri di tengah-tengah.
Di atas kursi kebesaran raja, prabu Bratasenawa yang
mengenakan jubah kebesaran raja dan Mahkota Binokasih
Sanghyang Pake terkejut dengan kedatangan tamu yang tak
diundang ini. Begitu juga dengan para pejabat istana yang lain.
"Purbasora!" Desis prabu Bratasenawa hatinya merasa curiga.
Sementara para pejabat lain terdengar saling bergumam.
"Kanda tidak diundang, dan datang dengan cara tidak sopan!"
Sapa prabu Bratasenawa kepada orang yang baru datang yang
bernama Purbasora. Seorang lelaki yang kira-kira tinggi badannya
sama dengan sang prabu namun umurnya sedikit lebih tua.
Lelaki bernama Purbasora ini hanya mengenakan pakaian
rakyat biasa, rambutnya memakai ikat kepala bercorak batik yang
dibentuk sedemikian rupa hingga terlihat menyerupai blangkon jawa.
"Aku bisa datang ke istana ini kapanpun aku mau!" Jawab
Purbasora dengan suara lantang dan angkuh. "Karena kerajaan ini
adalah milikku!" Lanjutnya sambil merentangkan kedua tangannya
kesamping. 38 NANDAR HIDAYAT "Apa maksud kanda?" Tanya prabu Bratasenawa semakin
curiga namun masih tetap duduk dan bersikap tenang.
"Jangan berlagak bodoh, Sena!" Sentak Purbasora.
Sang prabu yang tadinya tenang kini tampak berubah raut
wajahnya ketika Purbasora menyebut nama kecilnya, nama yang
membuat dirinya merasa rendah dan malu.
"Tadi sudah aku katakan bahwa aku datang untuk menuntut
hakku!" Lanjut Purbasora. "Akulah pewaris tahta Galuh yang sah!"
"Benar juga kecurigaanku!" Ujar prabu Bratasenawa dalam
hati yang mengerti maksud Purbasora. "Aku mengerti kanda, tapi
semua itu ada aturanya?"
Tiba-tiba Purbasora tertawa terbahak-bahak kemudian
berkata. "Kau tahu aturan tapi kenapa kau masih duduk di situ?"
"Kanda memang benar!"
"Ya, terus kenapa lagi?"
"Menurut aturan, yang mewarisi kekuasaan seorang raja
adalah putra sulungnya?" Menjelaskan prabu Bratasenawa.
"Dan putra sulung aki prabu Wertikandayun suwargi adalah
Rahyang Sempakwaja ayahku," Potong Purbasora. "Ini berarti
akulah yang mewarisi tahta Galuh karena aku adalah putra Rahyang
Sempakwaja!" "Tunggu?" Sela prabu Bratasenawa. "Apakah kanda lupa
bahwa peraturan lainnya yang berupa syarat seorang raja adalah
memiliki tubuh yang sempurna, alias tidak diperbolehkan seseorang
yang mempunyai cacat di badannya menjadi seorang raja, dan itu
39 NANDAR HIDAYAT dimiliki oleh uwa Sempakwaja dan juga uwa Wanayasa. Jadi
mereka tidak memenuhi syarat untuk menjadi raja. Maka yang
kemudian yang berhak adalah ayahanda Mandiminyak." Balas sang
prabu tidak mau kalah. "Boleh saja ayahanda memiliki cacat, tapi aku sebagai
anaknya terlahir sempurna jadi menurutku garis warisnya langsung
kepadaku setelah kepempinan paman Mandiminyak berakhir!" Kata
Purbasora tetap mempertahankan pemikirannya.
"Tetap saja harus sesuai peraturan!"
"Peraturan apalagi!" Purbasora membentak lagi. "Lagi pula
apa hakmu menduduki tahta Galuh" Kau hanya seorang anak
haram yang lahir dari hubungan salah antara ayahmu dengan
ibundaku. Walaupun dilahirkan dari rahim yang sama, aku tak sudi
mengakuimu sebagai saudara!"
Naik pitamlah prabu Bratasenawa karena perkataan
Purbasora yang amat menghina. Dia bangkit dari duduknya.
"Jangan mengait-ngaitkan persoalan ini dengan masa laluku!"
Ujar sang prabu meninggi nada bicaranya.
"Kenapa, Kau malu" Ini kenyataan. Justru kau yang lebih
cacat dan tidak sempurna untuk menjadi seorang raja!" Maki
Purbasora. "Cukup, kanda!" Potong prabu Bratasenawa sambil
mengangkat tangan kanannya. "Hubungan orang tuaku memang
salah, tapi setiap anak yang lahir itu dalam keadaan suci?"
"Peduli apa dengan ucapanmu!" Potong Purbasora lagi.
"Sekarang juga kau turun dari kursi itu dan serahkan kekuasaan
40 NANDAR HIDAYAT Galuh kepadaku!" Perintahnya.
"Tidak bisa!" Sentak sang prabu yang sudang geram
lebih-lebih karena Purbasora mengungkit soal asal-usulnya yang dia
sendiri sebenarnya merasa rendah dan malu bila mengingat siapa
dirinya. Seorang anak yang lahir dari hasil perselingkuhan.
"Layakkah aku menjadi raja?" Tanyanya dalam hati.
"Aku hanya akan menyerahkan kekuasaan jika uwa
Sempakwaja sendiri yang meminta karena beliau masih hidup dan
kedudukannya sama dengan ayahanda, perintahnya berarti perintah
ayahanda juga" Jelas prabu Bratasenawa.
"Kenapa harus bertele-tele seperti itu?" Purbasora kesal.
"Anggap saja aku ini adalah utusan yang dikirim ayahanda
Sempakwaja untuk meminta tahta Galuh darimu, Sena!"
"Sekali lagi tidak bisa, karena aku memegang amanat dari
ayahanda Mandiminyak untuk menjaga keutuhan Galuh. Walau
harus mengorbankan nyawa?"
"Baiklah kalau begitu," Kata Purbasora. "Aku terpaksa berbuat
kekerasan, Aku menantangmu perang tanding. Jika kau kalah maka
aku yang menjadi raja. Itulah satu-satunya cara." Lalu dengan
angkuh Purbasora melangkah keluar, sebelum sosoknya lenyap di
balik pintu dia masih sempat bersuara. "Jangan remehkan aku
sekarang, Sena!" Prabu Bratasenawa menarik napasnya lalu memberi isyarat
kepada yang hadir di situ untuk berdiri lalu berkata.
"Aku merasakan sesuatu yang tidak enak, aku akan
bertarung melawan saudaraku sendiri. Tapi aku yakin, kalian yang
ada di sini semua mendukungku?"
41 NANDAR HIDAYAT Para pejabat itu menjura hormat.
Prabu Bratasenawa melanjutkan. "Aku berpesan kepada
kalian, jika aku kalah dan tahta Galuh jatuh ke tangan kanda
Purbasora. Hendaknya kalian jangan tetap di istana karena lambat
laun kalian pasti akan disingkirkan satu persatu atau sekaligus
semuanya, kecuali yang setia kepadanya. Aku sudah tahu sifat
kanda Purbasora." Para pejabat itu hanya menundukan kepalanya, entah apa
yang ada dalam pikiran mereka.
"Paman patih Jayengrana!" Panggil sang prabu kepada
patihnya. "Hamba, gusti." Patih Jayengrana menyahut.
"Aku percayakan kepada paman, jika aku kalah nanti aku
minta paman membawa lari istriku dan anakku Sanjaya mengungsi
ke tempat pertapaan uwa resi Wanayasa di Denuh."
"Baik, gusti!" Perasaan prabu Bratasenawa diliputi keresahan. Pirasatnya
mengatakan sesuatu yang buruk akan terjadi. Di belakang
Purbasora pasti ada sesuatu yang membuatnya kuat. Pikir sang
prabu menebak-nebak karena dia tahu siapa Purbasora sejak dari
kecil. Dengan langkah yang kurang yakin namun pasrah penguasa
Galuh ketiga ini melangkahkan kakinya menuju alun-alun istana di
mana Purbasora sudah menunggu untuk menantangnya di sana.
42 NANDAR HIDAYAT *** Di buruan depan Bale Mangu, sebuah halaman luas yang
ditanami dengan rumput-rumput lebat dan hijau.
Puluhan prajurit berdiri tegap berjaga di depan teras Bale
mangu. Begitu prabu Bratasenawa keluar mereka menjura hormat.
Di tengah halaman Purbasora beridiri angkuh. Dia tidak sendiri. Di
belakangnya berdiri dua orang dengan sikap yang sama. Satu
orang yang wajahnya agak mirip dengan Purbasora adalah
Demunawan saudara seayah seibu Purbasora. Sedangkan orang
yang satunya adalah lelaki yang badannya tinggi besar berbaju
merah dan kepalanya botak. Prabu Bratasenawa belum tahu siapa
orang ini lantas menduga orang inilah tampaknya yang menjadi
kekuatan besar buat Purbasora.
"Maafkan aku, Sena!" Ujar Purbasora. "Aku terpaksa
melakukan cara ini karena kau tidak mau menyerahkan kekuasaan
Galuh secara baik-baik."
Di belakang sang prabu para pejabat lain sudah berdiri hendak
menyaksikan tarung patutunggalan antara raja mereka dengan
Purbasora yang masih saudara raja sendiri.
"Sang Hyang Widi beri aku kekuatan!" Gumam prabu
Bratasenawa memohon kepada yang Kuasa lantas dia melompat ke
tengah lapangan berhadapan dengan Purbasora.
Purbasora memberi isyarat kepada dua orang di belakangnya
agar menjauh dari arena. Demunawan dan si tinggi besar berkepala
botak pun mundur beberapa tombak.
Di saat semuanya sudah siap Purbasora berteriak.
"Bersiaplah, Sena!" Lalu menghambur memulai serangan.
43 NANDAR HIDAYAT Sudah panas kuping prabu Bratasenawa setiap kali dipanggil
nama "Sena" oleh Purbasora, maka dia pun langsung menghalau
serangan Purbasora tanpa banyak bertele-tele lagi dia langsung
keluarkan jurus-jurus mautnya.
Maka terjadilah pertarungan dua saudara satu ibu lain ayah
ini, yang satu ingin merebut kekuasaan karena merasa lebih berhak,
sedangkan yang satunya hanya mempertahankan karena mendapat
amanat dari raja yang dahulu.
Prabu Bratasenawa, Pubasora dan Demunawan, semasa
kecil mereka adalah satu perguruan di padepokan Rahyang
Sempakwaja ayahnya Purbasora. Walaupun Bratasenawa adalah
anak kesayangan Rahyang Mandiminyak, tapi dia selalu dikucilkan
oleh kedua saudaranya itu dengan alasan dia adalah anak salah,
anak yang lahir dari hubungan yang salah. Namun soal kepandaian
ilmu silat saat itu Sena selalu lebih unggul dari dua saudaranya itu.
Beberapa jurus berlalu baik prabu Bratasenawa maupun
Purbasora masih terlihat sama-sama bertahan belum ada yang
terdesak salah satunya. Sebenarnya prabu Bratasenawa sudah
menggunakan jurus "Tapak Wesi" tingkat tinggi, jurus yang selalu
dia gunakan untuk mengalahkan Purbasora sewaktu masih muda
dulu. Tapi nampaknya Purbasora tidak gentar sedikitpun bahkan
seperti percaya diri bisa menghadapinya. Dengan berani, Purbasora
memapasi setiap serangan yang dilancarkan prabu Bratasenawa.
Ada satu yang dirasakan berbeda oleh sang prabu.
"Aku bukan orang yang dulu lagi, Sena!" Ujar Pubasora sambil
tersenyum mengejek. Tampaknya mengerti apa yang dirasakan
lawannya karena melihat perubahan wajah sang prabu. "Sekarang
kau tidak akan mudah mengalahkanku!"
Dalam hati sang prabu membenarkan perkataan Purbasora.
Tenaga dalam saudaranya itu sekarang telah meningkat di atas
44 NANDAR HIDAYAT tenaga dalamnya. Jurus-jurus yang dikeluarkan pun bukan
jurus-jurus yang didapat dari Rahyang Sempakwaja. Rupanya dia
telah mempunyai guru lain selain ayahnya. Sekejap mata prabu
Bratasenawa melirik kearah laki-laki berkepala botak yang berdiri
bersama Demunawan. Mungkinkah dia guru barunya Purbasora"
Beberapa jurus kemudian mulailah prabu Bratasenawa
terdesak. Karena tenaga dalam lawa yang setingkat lebih tinggi
darinya, setiap pukulan yang dilancarkannya ditepis dengan mudah
bahkan bisa membalik menyerangnya. Akibatnya sang prabu
mendapat dua pukulan balasan sekaligus, yaitu pukulannya yang
menyerang balik ditambah pukulan lawan yang menyusul begitu
cepatnya. Satu, dua pukulan menghantam bagian-bagian tubuh yang
penting, seperti iga, rahang, dan perut. Meskipun prabu
Bratasenawa telah meningkatkan kekuatan tenaga dalamnya
disertai jurus-jurus yang lebih sempurna. Tapi kepandaian Purbasora
kini di atas angin. Hal ini membuat semua orang yang menyaksikan menjadi
khawatir dengan raja mereka. Walaupun mereka tahu latar belakang
sang raja tapi mereka sangat menghormatinya karena sifatnya yang
sejak kecil sudah sangat baik dan berbudi luhur. Tidak seperti
Purbasora yang seharusnya lebih bersikap baik karena dia anak
seorang Pandhita. Memang, latar belakang seseorang tidak
menentukan apakah sifatnya akan baik atau sebaliknya.
Set! Degh! "Aaaakh!" Semua orang kecuali Demunawan dan si tinggi besar
45 NANDAR HIDAYAT berkepala botak terkejut melihat prabu Bratasenawa terpental lalu
jatuh berguling-guling. Dari sela-sela bibirnya menetes darah segar.
Karena tenaga semakin terkuras, sementara lawan semakin kuat,
sang prabu tak bisa menghindari pukulan yang mengandung tenaga
dalam tinggi. Dia terluka di dalam tapi cepat bangkit kembali, sesaat
pandangannya kbur lalu cepat menenangkan pikiran, mengatur
napas dan aliran darah serta mengerahkan kekuatannya kembali
secara penuh. Dia sudah siap kembali!
Purbasora menyeringai penuh ejekkan lalu melirik ke arah
saudaranya. Demunawan dan orang berkepala botak membalas
dengan senyuman. Senyuman kemenangan karena sebentar lagi
Purbasora akan mengakhiri pertarungan ini dengan kemenangan di
tangannya. "Selamat jalan ke neraka anak haram!" Teriak Purbasora
kemudian sambil menghentakkan dua tangan yang disertai ilmu
pukulan yang mengandung tenaga dalam ke arah prabu
Bratasenawa. Ajian "Angin Merah" yang dia keluarkan, sebuah ajian
yang bial digunakan, dari kedua telapak tangannya menghembus
angin yang sangat panas dan bisa membakar lawan. Saat
mengeluarkan pukulan ganas itu tubuhnya sampai condong
kedepan. Pada saat yang sama prabu Bratasenawa juga sudah
mengeluarkan pukulan andalannya yang disertai tenaga dalam
penuh. Ajian "Bayu Sukma" yang didapat dari Rahyang


Santana Dan Garuda Bulu Emas Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sempakwaja. Sebuah pukulan angin padat yang mengandung
racun. "Ciaaat!" 46 NANDAR HIDAYAT Wuss! Dari kedua tangan masing-masing melesat serangkum angin
panas yang dashyat yang akibatnya bisa dirasakan oleh
orang-orang di sekitarnya, tubuh mereka seperti terkena percikan
bunga api yang panas. Blarr! Dua pukulan dashyat beradu keras sehingga menimbulkan
ledakan dan menggetarkan seantero tempat, beberapa prajurit yang
berjaga di depan teras tampak bermentalan, sementara para pejabat
yang menyaksikan di dalam teras sampai tersurut beberapa
langkah. Yang lebih mengejutkan adalah sosok prabu Bratasenawa
terpental jauh bagaikan daun ringan yang terhempas angin
melayang-layang. Mahkota Binokasih Sanghyang Pake yang
menempel di keningnya terlepas. Melihat hal itu Purbasora segera
menyambar benda yang menjadi tanda kebesaran raja itu.
Ternyata pukulan yang dikeluarkan Purbasora lebih kuat
dibanding dengan pukulannya sehingga dia tak dapat menghindar
lagi dan pukulan Purbasora menghantamnya dengan ganas. Bahkan
pukulan ajian "Bayu Sukma"-nya berbalik menghantamnya.
Tubuhnya terasa sangat panas sampai ke dalam saat terkena dua
hantaman sekaligus, hantaman pukulan lawan dan pukulanya
sendiri yang berbalik. Saat tubuh prabu Bratasenawa melayang-layang jauh hingga
sampai ke kuta istana tiba-tiba ada sekelebat bayangan yang
menyanggah tubuh sang prabu lalu dengan cepat berkelebat lagi,
lenyap. Lelaki berkepala botak yang melihat kejadian itu terkejut lalu
47 NANDAR HIDAYAT secepat kilat dia pun melesat mengejar sosok bayangan yang
menyambar tubuh prabu Bratasenawa.
Suasana di halaman depan Bale Mangu menjadi gempar.
Para pejabat istana segera meninggalkan tempat itu. Sementara
para prajurit yang berdiri di depan pendopo tampak bingung harus
berbuat apa karena kalau melakukan perlawanan sama saja dengan
bunuh diri. Purbasora terlalu tinggi ilmunya buat mereka walaupun
jumlah mereka lebih banyak. Akhirnya mereka hanya terdiam saja.
Purbasora tertawa terbahak-bahak. "Dengarkan seluruh rakyat
Galuh!" Serunya menggema karena disertai tenaga dalam. "Mulai
hari ini, aku Purbasora yang menjadi raja di Bumi Galuh,
ha"ha"ha"!"
Tiba-tiba dari berbagai arah bermunculan ratusan prajurit
bersenjata lengkap, sepertinya sebelumnya mereka sengaja
bersembunyi. Dari pakaiannya dapat dikenali bahwa ratusan prajurit
ini adalah prajurit paling handal sejak jaman raja Purnawarman dari
Tarumanagara, yaitu pasukan Bhayangkara dari kerajaan Inrda
Prahasta. Para prajurit Galuh yang sedang kebingungan akhirnya
menjatuhkan senjata mereka dan berlutut di hadapan Purbasora
yang sudah menyatakan diri sebagai raja.
*** 48 NANDAR HIDAYAT Di luar kuta atau pagar istana sebelah belakang.
Di jalan yang menuju hutan lebat yang pohonya besar-besar
dan tinggi, sesosok bayangan tampak berkelebat cepat sambil
memanggul tubuh prabu Bratasenawa yang terluka parah di dalam.
Di suatu tempat yang dirasakan sudah aman barulah dia
menghentikan larinya lalu menurunkan tubuh sang raja.
"Terimakasih paman patih Jayengrana!" Ucap sang prabu yang
masih sadar dan menahan rasa sakit di dadanya. Ternyata patih
Jayengrana mempunyai kesaktian yang lumayan.
"Gusti prabu, segera telan obat ini lalu pulihkan kembali
tenaga gusti," Saran sang patih sambil memberikan beberapa obat
yang berbentuk bulat-bulat kecil.
Prabu Bratasenawa melakukan apa yang disarankan sang
patih. "Tampaknya ada orang yang mengikuti kita!" Kata sang patih
lagi sambil melihat ke belakang.
Ternyata benar pirasat sang patih. Lelaki tinggi besar
berkepala botak kini sudah berdiri beberapa tombak di arah
belakangnya. Untungnya prabu Bratasenawa sudah hampir selesai
memulihkan kekuatannya. Ternyata Purbasora sekarang lebih
sakti, ujarnya dalam hati.
"Gusti prabu!" Kata sang patih lagi. "Gusti permaisuri dan
raden Sanjaya sudah menunggu di kereta kuda dan siap berangkat,
mereka menunggu di ujung jalan sana," Lanjutnya sambil
menunjukkan arah yang di maksud. "Biar hamba yang menghadapi
orang ini!" "Sekali lagi terima kasih paman," Ucap sang prabu lalu berdiri.
49 NANDAR HIDAYAT "Jika sudah tidak memungkinkan untuk melawan maka janganlah
paman memaksa diri untuk melawan lagi, lebih baik mundur dulu?"
"Baik, gusti!" Kemudian prabu Bratasenawa segera berlari ke arah tempat
yang di maksud sang patih.
"Jangan lari kau!" Teriak si botak hendak mengejar sang prabu
namun keburu dihalangi oleh patih Jayengrana.
Di ujung jalan sana akhirnya sang prabu menemukan sebuah
kereta yang ditarik oleh dua kuda yang di dalamnya sudah ada
permaisuri beserta anaknya yang masih berumur sebelas tahun.
Tampak seorang kusir duduk di depan dan empat prajurit
pendamping berdiri di sekeliling kereta.
"Ki Kusir dan kalian prajurit!" Panggil prabu Bratasenawa
setibanya di situ. "Hamba gusti!" Jawab mereka serentak sambil menjura
hormat. "Kalian boleh pergi, biarkan kami sendiri yang pergi!"
Sesaat pak kusir dan empat prajurit melongo, sebagai abdi
tentunya mereka akan menemani perjalanan sang raja. Tapi apa
boleh buat kalau sang raja sendiri sudah memerintahkan demikian.
Mereka pun segera berlalu meninggalkan sang prabu beserta
keluarganya. Kemudian kereta yang ditarik dua kuda itupun bergerak
meninggalkan tempat itu, meninggalkan istana Galuh yang kini telah
berpindah tangan kekuasaanya. Prabu Bratasenawa sendiri yang
menjadi kusirnya. Dalam hatinya masih mendendam terhadap
50 NANDAR HIDAYAT Purbasora lalu dia berharap kepada Sanjaya anaknya, dia berharap
suatu saat nanti anaknya akan merebut kembali tahta Galuh dari
tangan Purbasora. *** 51 NANDAR HIDAYAT 4. WEJANGAN SANG RESI Di sebuah bukit kecil yang ditumbuhi banyak pohon-pohon besar
dan tinggi sehingga keadaannya terasa menyejukkan. Sebuah bukit
yang berada di daerah yang bernama Denuh, masih termasuk
wilayah Galuh. Dua orang anak kecil yang umurnya kira-kira
sebelasan tahun, yang satu berkulit sawo matang yang satunya lagi
berkulit putih tampak begitu semangat memainkan jurus-jurus silat
dengan gerakan-gerakan yang indah namun cepat dan berisi di
halaman depan sebuah rumah panggung terbuat dari kayu.
Udara pagi begitu sejuk dan segar menambah rasa semangat
kepada dua bocah itu. Resi Wanayasa berdiri di teras rumah
memperhatikan semua gerakan anak didiknya. Anak yang berkulit
sawo matang itu adalah Santana, anak angkatnya. Lalu siapa anak
satunya" Diceritakan sekitar satu setengah tahun yang lalu setelah
Santana dijadikan anak angkatnya, resi Wanayasa kedatangan
prabu Bratasenawa anak Amara alias Rahyang Mandiminyak,
adiknya. Beserta Sannaha istri sang prabu, raja Galuh yang
tersingkir ini menitipkan Sanjaya, anaknya. Karena di istana telah
terjadi penggulingan kekuasaan yang dilakukan Purbasora.
Sementara mereka berdua mengungsi ke negeri ibunya Sannaha,
Dewi Parwati. Jadi anak berkulit putih itu adalah Sanjaya yang masih
cucunya sang resi. Dengan demikian Santana mendapatkan teman
sebayanya. Resi Wanayasa dalam mendidik mereka tidak 52 NANDAR HIDAYAT membeda-bedakan siapa Sanjaya dan siapa Santana. Tapi
semuanya dianggap sama sehingga antara keduanya terjalin
persahabatan yang akrab. Santana yang polos serta sikapnya yang
agak ketololan dan Sanjaya yang rendah hati, ramah, serta tegas
layaknya sifat seorang raja karena dia memang keturunan raja.
Tidak hanya memainkan jurus secara bersamaan, tapi
mereka juga kadang bertanding satu lawan satu dari mulai jurus
tangan kosong sampai menggunakan senjata. Namun karena
mereka masih kecil jadi senjata yang digunakan juga bukan senjata
betulan seperti pedang yang terbuat dari kayu dan lain-lainnya.
*** Enam tahun kemudian kedua anak itu kini menjadi remaja
yang beranjak dewasa yang gagah dan tangguh berkat gemblengan
resi Wanayasa. Santana selalu membiarkan rambutnya yang
gondrong terurai di pundaknya namun masih menampakkan pesona
yang indah apalagi saat tertiup oleh angin sehingga tampak
melambai-lambai ditambah wajahnya yang cukup tampan.
Sedangkan Sanjaya selalu merapikan rambutnya dengan cara
digelung, ini akan memudahkan dirinya saat bergerak dan terasa
ringan. Intinya kedua pemuda ini memiliki perawakan yang kekar,
dada bidang dan perut yang berbentuk kotak-kotak yang
menandakan ototnya kekar.
Saat tengah hari tiba mereka menghentikan latihan silatnya
lalu beristirahat sambil menyantap makan siang di teras rumah. Tak
lupa resi Wanayasa selalu menemani mereka saa-saat seperti itu.
53 NANDAR HIDAYAT "Sanjaya!" Panggil sang resi memulai pembicaraan.
"Ya, ki!" Sahut Sanjaya.
Sementara Santana hanya melirik sambil memakan singkong
bakarnya dan mengusap-usap bagian belakang kepalanya dengan
tangan kiri. "Kau masih ingat saat pertama datang kesini?" Tanya si
kakek yang agak bungkuk ini kepada Sanjaya.
"Emmh, masih!" Jawab Sanjaya sambil angguk-angguk.
"Apa yang dikatakan ayahmu sebelum kau dititipkan di sini?"
"Kata ayahanda begini, di sini kau akan menimba ilmu yang
lebih banyak dan lebih tinggi lagi yang tidak pernah diajarkan di
istana sampai kau dewasa dan siap mengantikan ayahanda. Begitu,
Ki!" Tutur Sanjaya. "Terus apakah kau tahu keadaan istana waktu itu?"
Sanjaya terdiam sejenak lalu menggeleng. Kelihatannya dia
mengingat-ingat sesuatu. "Kau ingat sesuatu?" Tanya sang resi yang langsung
mengetahui karena raut wajah Sanjaya yang demikian.
Di samping Sanjaya sepertinya Santana acuh saja sambil
menikmati makanan dan mengusap-usap bagian belakang
kepalanya padahal telinganya selalu siap mendengarkan
percakapan Sanjaya dan orang tua angkatnya itu.
Setelah menarik napas panjang Sanjaya menjawab. "Aku
ingat waktu itu, waktu hendak berangkat kesini. Pertama, aku dan
54 NANDAR HIDAYAT ibunda diantar oleh patih Jayengrana menuju belakang istana yang
sudah ada kereta kudanya di sana, anehnya kenapa jalannya ke
belakang?" Tutur Sanjaya lagi lantas melanjutkan. "Kedua, saat aku
dan ibunda sudah berada di dalam kereta kuda. Tiba-tiba ayahanda
datang seperti tergesa-gesa dan langsung menyuruh pak kusir serta
prajurit pendamping pergi, katanya biar ayahanda sendiri yang
menjadi kusir?" Sanjaya mulai menangkap sesuatu yang aneh
dalam pikirannya. Maklum waktu itu dia masih kecil belum mengerti
apa-apa. "Kemudian!" Lanjut Sanjaya seperti ada yang terlupa tadi.
"Pada saat perjalanan menuju kesini, ayahanda selalu terburu-buru
melarikan kudanya seperti sedang dikejar-kejar orang saja!"
Santana tampak angguk-angguk kepala sepertinya dia juga
mengerti dengan apa yang dituturkan Sanjaya. Ada yang aneh
dalam perjalanan Sanjaya dan kedua orang tuanya waktu itu,
kembali pemuda gondrong ini mengusap-usap bagian belakang
kepalanya. Sanjaya menghela napas, dia berpikir-pikir baru terasa
sekarang kalau saat itu ada yang janggal. Mungkin kakeknya ini
sebenarnya tahu apa yang terjadi, makanya sejak tadi dia
menanyakan hal itu. Tapi apa maksudnya" Yang ini dia belum
memahami. "Aki pasti mengetahui sesuatu!" Ujar Santana yang sejak tadi
cuma jadi pendengar. "Ya, benar!" Timpal Sanjaya sambil menoleh kearah Santana.
Mendadak dalam pikirannya ada satu cara untuk memancing
kakeknya untuk memberi keterangan.
Sang resi memandang dua muridnya silih berganti, sepertinya
55 NANDAR HIDAYAT dia tahu rencana cucu dan anak angkatnya itu.
"Baiklah!" Ujar sang resi.
Santana dan Sanjaya pun saling pandang lagi dan tersenyum,
umpannya mengenai sasaran.
"Untuk diketahui kalian berdua?" Kata si kakek. "Terutama
Sanjaya sebagai keluarga istana, terlebih dahulu akau akan
menuturkan asal-usulmu?"
Santana tegakkan badan yang semula duduknya nyeleneh.
"Kenapa kau?" Tanya Sanjaya.
"Ini serius!" Jawab Santana dengan raut wajah yang agak tolol


Santana Dan Garuda Bulu Emas Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan sambil mengusap-usap bagian belakang kepalanya. "Jadi aku
harus mendengarkan dengan seksama."
Sanjaya tertawa mengikik. "Ada-ada saja kau!"
"Sudah siap?" Tanya sang resi.
"Siap, ki!" Jawab Santana sedangkan Sanjaya hanya
mengangguk. Resi Wanayasa menarik napas sejenak lalu mulailah dia
bercerita. "Prabu Wertikandayun pendiri kerajaan Galuh mempunyai
tiga anak laki-laki. Yang pertama adalah Rahyang Sempakwaja,
kedua aku sendiri dan ketiga Rahyang Mandiminyak. Karena aku
dan kakakku memiliki cacat di tubuh maka kami tidak memenuhi
syarat untuk menggantikan beliau menjadi raja. Akhirnya jatuhlah
hak waris sebagai raja kepada Mandiminyak karena dia tidak
memiliki cacat. 56 NANDAR HIDAYAT Selanjutnya kanda Sempakwaja dinikahkan dengan Rababu
yang ternyata antara Rababu dengan Mandiminyak sebelumnya
sudah saling jatuh cinta. Karena Mandiminyak sangat tergila-gila
kepada Rababu, jadi dia sering mencari cara bagaimana supaya
bisa bertemu dengan Rababu secara diam-diam sebab Rababu tidak
tinggal di istana melainkan di padepokan Sempakwaja. Kakakku itu
memilih hidup menjadi Pandhita seperti aku.
Pucuk di cinta ulam pun tiba. Pada saat kanda Sempakwaja
dalam keadaan sakit, Mandiminyak mendapatkan cara yaitu
mengundang Rababu ke acara pesta syukuran di istana.
Sebenarnya acara ini juga atas usulannya kepada ayah prabu. Di
saat pesta itulah Mandiminyak dan Rababu bertemu secara
diam-diam bahkan lebih dari itu.
Dari hubungan yang diam-diam itulah akhirnya Rababu
mengandung lalu melahirkan anak yang diberi nama Sena oleh
Sempakwaja, sena yang artinya salah. Tapi Mandiminyak
memberinya nama Bratasenawa."
Santana mengangguk-angguk sambil mengusap-usap bagian
belakang kepalanya. Sedangkan Sanjaya hanya menunduk, nama
yang disebut terakhir tadi adalah ayahnya. Ternyata ayahnya adalah
anak dari hasil hubungan salah atau gelap.
"Sebelumnya?" Sang resi melanjutkan." Rababu sudah
mempunyai anak dari Kanda Sempakwaja yaitu Purbasora dan
Demunawan. Karena tahu bahwa Sena adalah bukan anaknya maka
kanda Sempakwaja menyuruh Rababu untuk menyerahkan Sena
kepada ayah aslinya yaitu Mandiminyak. Setelah dewasa Sena
dinikahkan dengan Sannaha anaknya Mandiminyak dari istrinya
yang sah yaitu Dewi Parwati?"
"Jadi ayahanda dan ibundaku adalah saudara satu ayah tapi
57 NANDAR HIDAYAT lain ibu!" Ujar Sanjaya.
"Ya, betul!" Timpal Santana sambil angguk-angguk pelan.
Sang resi juga mengiyakan lalu melanjutkan ceritanya.
"Ketika Mandiminyak mendapatkan warisan dari ratu Shima,
mertuanya dari kerajaan Kalingga, maka tahta Galuh diserahkan
kepada Sena?" "Warisan dari ratu Shima itu apa?" Tanya Santana memotong
sambil mengusap-usap bagian belakang kepalanya.
"Sebenarnya warisan itu untuk Dewi Parwati yaitu wilayah
kerajaan Kalingga sebelah utara yang diberi nama Bhumi
Sambhara." Jawab sang resi.
"Wah, jadi raja lagi!" Ujar Santana.
"Ya, begitulah!" Timpal sang resi.
"Selanjutnya?" Tanya Sanjaya.
"Selanjutnya anak kanda Sempakwaja, Purbasora tidak
senang atas naik tahtanya Bratasenawa karena dia merasa lebih
berhak atas tahta Galuh sehingga dia memberontak dan
menggulingkan kekuasaan ayahmu, Sanjaya."
"Apa?" Sanjaya tidak percaya. "Kapan itu terjadinya, apakah
saat aku sudah berada di sini?"
"Saat Barasenawa mengantarkamu ke sini itulah sebenarnya
di istana telah terjadi perebutan kekuasaan. Ayah dan ibumu
mengungsi ke negeri akimu karena tak bisa mempertahankan
tahtanya?" Jawab sang resi.
58 NANDAR HIDAYAT Terjawab sudah keanehan yang dirasakannya dulu.
"Jadi sekarang Purbasora berkuasa di Galuh?" Tanya Sanjaya
kemudian setelah merenung sejenak.
"Ya, sudah enam tahun lamanya?" Jawab sang resu. "Dan
sekarang sudah saatnya kau merebutnya kembali!"
"Aku"!" Tanya Sanjaya.
Santana kepalanya. melongo mengusap-usap bagian belakang "Iya," Jawab sang resi. "Bukankah kau juga seorang pangeran
Galuh yang kelak akan mewarisi tahta Galuh" Ilmu-ilmu yang sudah
aku ajarkan selama enam tahun sudah cukup mampu untuk
manghadapi Purbasora. Satu lagi?" Sang resi berhenti sejenak
menatap silih berganti kearah dua muridnya. "Ini adalah permintaan
ayahmu juga, Sanjaya. Dia menaruh harapan padamu agar kelak
menjadi penerusnya."
Suasana jadi hening. Angin sejuk bertiup menyegarkan
mengibaskan rambut Santana yang terurai. Dalam hati Sanjaya
mulai tumbuh benih-benih dendam begitu mengetahui apa yang
terjadi atas ayahnya. Ternyata untuk inilah ayahnya menitipkan dia
di sini. Ini berarti amanat dari ayahnya.
"Terus sekarang bagaimana?" Tanya Santana memecah
keheningan. "Sekarang sudah saatnya aku memberikan tugas kepada
kalian." Jawab si kekek. "Kalian akan turun gunung,"
Santana dan Sanjaya saling pandang lalu menoleh lagi kearah
59 NANDAR HIDAYAT gurunya. "Tugasnya sudah aku katakan tadi?" Lanjut sang resi. "Yaitu
merebut kembali tahta Galuh dari tangan Purbasora untukmu
Sanjaya. Dan kau Santana, tugasmu adalah membantunya?"
"Ya, ki!" sahut Santana.
"Bukankah kau ingin menjadi seorang pendekar yang baik
hati!" Ujar sang resi kepada Santana sambil menatapnya. "Kau ingin
menunjukkan kepada dunia bahwa kau orang baik dan suka
menolong tidak seperti ayahmu yang seorang perampok." Tutur
sang resi mengucapkan kembali keinginan Santana waktu kecil
yang terdorong dari sifat ayahnya yang jahat maka dia ingin menjadi
orang yang lebih baik dari ayahnya.
"Ya, ki!" Jawab Santana lagi. "Kabarnya ayahku kini jadi
buronan kerajaan Indrakila. Aku ingin mencarinya bahkan kalau bisa
aku sendiri yang akan mengadilinya!" Geram Santana.
"Satu hal yang sangat penting yang harus kalian terapkan
dalam menjalankan tugas nanti," Kata resi Wanayasa. "Yaitu
janganlah kalian melakukannya dengan didasari rasa benci dan
dendam. Karena dendam hanya akan membawa petaka bagi diri
kalian sendiri," Sang resi menarik napas sejenak lalu menatap ke
arah Santana. "Termasuk juga kau, Santana!" Ujarnya. "Sebenarnya
dalam hatimu ada dendam terhadap ayahmu sehingga kau
berkeinginan untuk bersifat baik sebagai bentuk perlawanan
terhadap ayahmu yang jahat!"
Santana menundukan kepala merasa benar apa yang
diucapkan sang resi tentang perasaannya.
"Niatmu memang baik, Santana." Lanjut sang resi lagi. "Tapi
sekali lagi, jangan timbulnya niat baikmu hanya karena nafsu
60 NANDAR HIDAYAT apalagi dendam. Tetapi harus ikhlas, tanpa pamrih. Jangan
mengharapkan suatu saat orang akan mengatakan "wah ternyata
anak seorang perampok berhati baik, berbudi luhur" dan
sanjungan-sanjungan lain?"
Santana makin menunduk. "Ikhlaskan perbuatan baikmu, jangan mengharap balasan dari
manusia dan pasrahkan semua kepada Sang Hyang Widi."
Kemudian sang resi berganti manatap pemuda yang
rambutnya digelung. "Sanjaya!" katanya.
"Ya, ki!" "Memang secara garis keturunan kau adalah pewaris tahta.
Tapi janganlah merebut tahta hanya karena dendam ayahmu.
Karena ingin memiliki istana yang megah, harta yang melimpah
serta kekuasaan yang besar. Itu sama saja dengan merampok.
Dasarilah hatimu dengan niat menegakkan kebenaran, menumpas
kesewenangan, keserakahan dan ketidak-adilan. Lebih dari itu, dan
ini yang paling penting adalah memakmurkan negeri dan
menyejahterakan rakyat?" Panjang lebar sang resi memberi
wejangan kepada cucu dan anak angkatnya membuat
tenggorokannya terasa kering. Akhirnya dia meminum air yang
terhidang di depannya. Sementara dua murid sang resi tampak mematung larut
dalam pikirannya masing-masing.
Kakek bungkuk yang rambutnya hampir memutih semua ini
menghela napas setelah minum air putih tadi kemudian melanjutkan
bicaranya. "Kita boleh saja memiliki harta yang melimpah, kekuasaan
61 NANDAR HIDAYAT atau kepandaian dan kesaktian. Tapi itu semua hanyalah titipan
semata dari Yang Maha Kuasa, bahkan termasuk nyawa kita juga.
Kita hanya mengaku-aku saja. Jika Yang Maha Kuasa berkehendak
mengambilnya kembali, kita tak akan bisa berbuat apa-apa. Kalau
kita kehilangan harta atau kekuasaan baik itu dirampok atau direbut,
janganlah kita merasa keberatan atau merasa tak ada gunanya jika
hidup tanpa itu semua, justru itu akan meringankan tanggung jawab
kita atas harta yang kita miliki itu?"
"Tanggung jawab?" potong Santana belum mengerti.
"Karena kelak saat Yang Maha Kuasa memanggilmu, Dia
akan menanyakan dari mana kau mendapatkan harta lalu digunakan
untuk apa harta yang kau miliki itu?" Jawab sang resi. "Dari mana
kau mandapatkannya" Apakah dari jalan berdagang atau
merampok" Lalu digunakan untuk apa" Apakah hanya untuk
berpoya-poya menghambur-hamburkannya untuk diri sendiri" Atau
juga untuk menolong sesama yang kekurangan, berbagi dengan
yang lain?" "Kalau dari merampok dan hanya untuk kesenangan sendiri?"
Tanya Santana lagi karena hal ini menyangkut pada pekerjaan
ayahnya. "Kau akan dijebloskan ke Kawah Candra Dimuka!" Jawab
sang resi. "Kawah Candra Dimuka?" Ulang Sanjaya.
"Ya, sama dengan neraka!"
"Ohh?" Kedua pemuda mengangguk.
"Apalagi kehilangan tahta atau kekuasaan!" Ujar sang resi
62 NANDAR HIDAYAT lagi. Sanjaya mengangguk-angguk pelan pertanda mengerti.
Memegang kekuasaan tentunya sangat besar lagi tanggung
jawabnya terutama dalam mensejahterakan rakyat. Sebab kalau
rakyat sampai sengsara sudah pasti bukan hanya akan dibenci dan
dicemooh oleh rakyat saja sewaktu masih hidup, tapi hukuman dari
Yang Maha Kuasa nanti akan lebih berat. Ada pepatah mengatakan
bahawa suara rakyat adalah suara Tuhan.
"Sudah paham, kalian?" Tanya sang resi kemudian.
"Ya, ki!" Jawab mereka serempak.
"Ada lagi!" Kata sang resi tiba-tiba. "Tegakkanlah kebenaran
walau harus menghadapi keluarga sendiri!"
Mungkin kata-kata itu ditujukan untuk Sanjaya, pikir Santana
dalam hati. "Mulai besok pagi kalian akan turun gunung," Beritahu sang
resi. "Lho!" Sanjaya dan Santana saling pandang.
"Tapi, aku masih berat meninggalkan aki di sini," Kata
Santana. "Terus kapan mulainya kau akan berbuat baik" Mencari
ayahmu yang buron?" Balik tanya sang resi.
Santana pun terdiam sambil mengusap-usap bagian belakang
kepalanya. "Tugas yang pertama adalah menemui prabu Tarusbawa di
63 NANDAR HIDAYAT kerajaan Sunda," Jelas si kakek.
"Untuk apa, ki?" Tanya Santana.
"Kenapa tidak langsung ke istana Galuh?" Sanjaya
menimpali. "Aku tidak tahu!" Jawab sang resi. "Tapi aku mendapat kabar
bahwa kedua orang tuamu, Sanjaya. Sudah berada di sana?"
"Dari mana aki tahu?" Tanya Santana lagi, seperti hanya
menggoda saja. Resi Wanayasa condongkan badannya dan mendekatkan
wajahnya ke wajah Santana, keningnya tampak mengerenyit
sampai kedua alisnya yang keputih-putihan seperti menyatu lalu
berkata setengah berbisik. "Aku kan resi yang sakti?"
Santana tertawa geli mendengarnya. "Ternyata aki bisa
bercanda juga?" Sanjaya ikut tertawa melihatnya.
"Orang tuamu sudah menunggu di sana?" Kata si kakek
kepada Sanjaya. "Perihal ada apa atau untuk apa ke sana nanti juga
kalian akan mengetahuinya sendiri sesampainya di sana. Karena ini
juga termasuk penting, yaitu meminta restu kepada orang tua untuk
menjalankan tugas kalian nanti. Doa otang tua itu didengar oleh
Hyang. Ada juga yang mengatakan restu orang tua adalah restu
Hyang?" "Aku juga mohon restumu, aki!" Memohon Santana.
"Tentu saja, Santana" Jawab sang resi. "Aku sangat
merestuimu, dan mendoakan kalian semoga selalu dalam lindungan
64 NANDAR HIDAYAT Sang Hyang Widi!" Tak terasa hari pun beranjak sore, sang surya sudah condong
ke barat. Pembicaraan pun selesai. Besok dua pemuda ini siap
melaksanakan tugas. ***

Santana Dan Garuda Bulu Emas Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

65 NANDAR HIDAYAT 5. MENEBUS DOSA Untuk menca"pai tahap yang dibutuhkan Sanjaya sebagai seorang
raja, dia harus menjalani ujian terakhir, berkelana di seluruh negeri
dalam waktu setidaknya satu tahun. Itulah tradisi yang selalu
dijunjung turun-temurun di negeri ini.
Banyak yang bisa dipelajari dan diserap dari petu"alangan
hidup di segenap pelosok negeri.
Sebagaimana semua leluhurnya, dia bisa menghirup udara
hutan dan pedesaan tiap hari, merasakan berbagai persoalan yang
dihadapi rakyat secara langsung, menyaksikan dengan mata sendiri
berbagai kemajuan, atau kemunduran, yang dialami negeri ini, dan
menimba dari siapa pun ilmu yang seringan apa pun, dan kalau
perlu turut memecahkan per"soalan sehari-hari yang dihadapi siapa
pun, demi bekal yang akan dibawanya ke singgasana istana.
Lebih dari itu, melalui pengembaraan seperti itu, dia bisa
benar-benar merasakan menjadi rakyat. Bagaimanapun, rakyat
adalah pemilik sebenarnya negeri ini.
Bagaimana ia bisa mengatur rakyatnya dengan baik dan
bijaksana kalau ia tak pernah mengalami rasanya menjadi rakyat"
Ujian ini harus dijalani Sanjaya sendirian. Terus kenapa resi
Wanayasa memberikan tugas kepada Santana untuk
membantunya" Di sebuah ujung persimpangan jalan yang terbuat dari
susunan batu pipih itulah kedua pemuda ini sudah siap hendak
66 NANDAR HIDAYAT melakukan perjalanan. Sesuai perintah sang resi, Sanjaya akan
berjalan kearah selatan untuk menyusuri seluruh pelosok negeri
Galuh hingga ke tempat tujuan terakhir yaitu negeri Sunda,
sedangkan Santana akan mengembara kearah utara namun
tujuannya sama berakhir di negeri Sunda. Setelah itu barulah
Santana melaksanakan tugasnya membantu Sanjaya yaitu
menggulingkan kekuasaan Purbasora di istana Galuh.
"Hari ini kita akan berpisah untuk sementara," Sanjaya
memulai pembicaraan. Seperti biasa dia selalu meggelungkan
rambutnya keatas. Dia mengenakan baju tanpa lengan warna
coklat, celana sepanjang betis warna hitam dan memakai kain
pinggang atau sering disebut Dodot warna coklat bercorak batik
yang diikat oleh ikat pinggang warna hitam.
"Kita akan berjumpa di Sunda nanti," Timpal Santana yang
rambutnya lebih suka dibiarkan terurai di pundaknya, pakaiannya
sama dengan sahabatnya itu hanya bajunya berwana biru dan
celananya berwarna abu-abu. Yang lainnya sama.
"Semoga dalam perjalanan nanti kau diberi kekuatan untuk
menghadapi segala rintangan yang akan menghadang." Ucap doa
Santana untuk sahabatnya.
"Kau juga , sahabat!"
Lalu mereka saling berpelukan. Sungguh berat rasanya
sebuah perpisahan, bertahun-tahun mereka selalu bersama sejak
kecil. Kini di saat akan melaksanakan tugas dari gurunya mereka
harus menempuh jalan masing-masing. Mengapa begitu" Karena
jika nanti mereka menghadapi suatu masalah tidak akan saling
mengandalkan satu sama lain, tapi akan berusaha memecahkan
masalahnya sendiri. Secara tidak langsung akan melatih
kemandiriannya. 67 NANDAR HIDAYAT "Sampai jumpa, saudaraku!"
melepaskan pelukannya. Ujar Sanjaya setelah "Sampai jumpa,"
Kemudian Sanjaya membalikkan badan dan memulai
melangkahkan kakinya yang terasa berat. Di tangannya membawa
buntalan yang berisi pakaian ganti.
Santana memandang kepergian sahabat yang sudah seperti
saudaranya itu sambil mengusap-usap kepalanya dengan tangan
kanan karena tanga kirinya juga memegang buntalan yang sama
seperti Sanjaya. "Semoga berhasil, tuan pangeran!" Teriak Santana setelah
Sanjaya jauh. Dari jauh Sanjaya menoleh mendengar teriakkan sahabatnya
yang memanggilnya dengan sebutan "tuan pangeran" karena baru
kali ini dia mendengarnya. Lalu dia tersenyum dan Santana
membalasnya sambil usap-usap kepalanya.
Setelah sosok Sanjaya tak terlihat lagi barulah pemuda
berambut gondrong terurai ini melangkahkan kakinya. Memulai
petualanganya. Ada banyak rencana dalam benaknya. Yang
pertama adalah mendatangi rumahnya yang dulu di bukit
Cibaringkeng karena dia ingat sesuatu di sana.
Karena di jalan yang dia lalui tampak sepi, dia ingin mencoba
ilmu meringankan tubuh dengan cara berlari. Dan"
Wusss! Tubuh Santana melesat begitu ringan saat berlari. Larinya
laksana kuda jantan yang perkasa yang berlari dengan kecepatan
68 NANDAR HIDAYAT penuh. Dia melihat pohon-pohon tinggi di pinggir jalan seperti
bergerak sendiri kearah belakangnya. Sambil berlari seperti itu anak
angkat resi Wanayasa ini mengingat-ingat jalan yang menuju bukit
Cibaringkeng. Jalanan yang dilaluinya masih terlihat sepi seperti tak ada
kehidupan, atau memang jalan ini tak pernah dilalui seorangpun
selain Santana saat ini. Setelah beberapa ratus tombak jarak yang
ditempuh Santana barulah tampak dari kejauhan bukit Cibaringkeng
berdiri kebiru-biruan warnanya. Dari semula hanya berlari dengan
kecepatan luar biasa kini Santana ingin mencoba ilmu meringankan
tubuh yang lain yaitu melompat, melesat terbang seperti burung
hinggap dari satu dahan pohon ke dahan yang lain.
Set! Set ! Set! Jarak yang seharusnya ditempuh seharian menjadi lebih
cepat, selama sepeminuman teh akhirnya sampai juga di ujung
perbatasan jalan. Batas yang menghubungkan jalan kampung
dengan jalan masuk ke lereng bukit. Di sebelah kanan jalan sebagai
tanda batas terdapat sebuah arca setinggi orang duduk yang
bentuknya tidak beraturan. Inilah jalan menuju bukit Cibaringkeng,
bukit tempat masa kecilnya tinggal bersama sang ayah si kepala
rampok yang kejam dan ganas.
Sesaat pemuda ini memperhatikan arca yang sudah
bertahun-tahun berdiri di situ. Jika diperhatikan, kadang-kadang
bentuknya seperti seekor monyet raksasa. Tapi Santana tidak
memperhatikan lebih dalam lagi, dia melanjutkan perjalanan menuju
puncak bukit, dia melesat lagi bagai burung terbang.
Santana mendarat di halaman depan rumahnya yang tampak
sepi dan sepertinya hampir ambruk. Dia menghela napas sejenak,
mengingat perjalanannya tadi yang menggunakan ilmu meringankan
tubuh. Dia merasa lega bisa menggunakannya dengan benar tanpa
69 NANDAR HIDAYAT mengalami kecelakaan atau sesuatu hal yang buruk lainnya.
Pintu rumahnya tampak terbuka lebar, semula Santana
mengira pintu itu terbuka sejak dulu. Sejak peristiwa penangkapan
ayahnya. Tapi begitu melihat lebih dalam lagi dia terkejut melihat
seseorang sudah berada di dalam rumahnya. Dengan gerakan cepat
dan ringan dia melesat masuk ke dalam rumah.
"Siapa kau!" Sentak Santana begitu sampai di dalam. Dia
melihat seorang lelaki yang berpakaian seorang resi warna merah
menyala yang kepalanya mengenakan sorban india yang juga warna
merah sedang mengemasi dua buah kotak besar yang berbentuk
seperti peti. Sepertinya dia baru saja memasukkan beberapa barang
ke dalam peti-peti itu. Lelaki bersorban ini terkejut mendengar suara sentakan
Santana lalu menoleh. Ternyata wajah ditutupi dengan topeng
terbuat dari kulit yang berwarna merah.
"Apa yang kau lakukan?" Tanya Santana kemudian, kedua
matanya mengawasi lelaki ini. Sayangnya dia tidak dapat
mengenalinya karena wajah lelaki ini memakai topeng.
"Siapa kau, berani campuri urusanku!" Lelaki bersorban itu
balas membentak dengan suara sangar.
Mendengar suaranya Santana seperti ingat seseorang, tapi
tak ada waktu untuk mengingat-ingatnya karena tujuan utamanya
bukan itu. "Aku Kuntawala, pemilik rumah ini!" Jawab Santana sengaja
memakai nama ayahnya. Walaupun ditutupi topeng merah tapi dari gerakan kepalanya
70 NANDAR HIDAYAT menandakan bahwa lelaki ini terkejut mendengar jawaban Santana.
"Berani-beraninya kau?" Ucapan lelaki ini terputus seperti
ada sesuatu yang dipendam dan tidak ingin orang lain tahu. Sejenak
dia memperhatikan Santana. Ada rasa heran dalam benaknya.
"Ini rumahku dan yang ada di dalam peti-peti itu adalah
barang-barang simpananku dulu, enak saja kau mau mencurinya?"
Gertak Santana. "Apa katamu?" "Itu barang-barang hasil rampokanku!"
Inilah tujuan Santana kembali ke rumahnya, yaitu teringat
akan barang-barang hasil rampokkan ayahnya dulu yang disimpan
di sebuah tempat teersembunyi dan sekarang hendak
mengambilnya. Tapi dia heran kenapa orang bersorban merah itu
sepertinya tahu tempat penyimpanan barang-barang itu"
Begitu juga lelaki bertopeng, di balik topengnya dia
menunjukkan wajah heran. Timbul banyak pertanyaan dalam
benaknya. "Pembohong!" Sentak si baju merah. "Kau bukan Kuntawala!"
"Kau tidak percaya?" Ujar Santana. "Rupanya kau belum
mengenali siapa Kuntawala, perampok ganas dari bukit
Cibaringkeng!" Lanjutnya sambil bertolak pinggang tapi kemudian
kebiasaannya dilakukan juga yaitru mengusap-usap kepalanya.
"Aku tidak akan percaya ucapanmu, pemuda tolol!"
Santana terkesiap. "Lantas siapa kau, kenapa kau sembunyi
71 NANDAR HIDAYAT di balik topeng?" "Bukan urusanmu, sekarang enyahlah dari hadapanku!"
"Kau yang harus menyingkir!"
"Kurang ajar!" Si topeng merah tak bisa lagi menahan kemarahannya. Dia
langsung saja kirimkan serangan pukulan tangan kosong kearah
pemuda berambut gondrong yang mengaku sebagai Kuntawala ini.
Dengan enteng Santana melakukan gerakan menghindar.
Inilah saatnya menguji kemampuan yang dimilikinya.
Ternyata tenaga dalam orang bertopeng merah ini cukup tinggi
juga saat Santana sengaja memapas serangan yang dilancarkan
lawannya. Sehingga dia harus mengerahkan lagi tenaga dalamnya
untuk mengimbangi lawannya.
Perkelahian tangan kosong pun terjadi di dalam rumah yang
tidak terlalu besar ini. Selain ingin menguji kepandaian yang dia dapatkan dari ayah
angkatnya, resi Wanayasa alias Rahyang Kidul. Santana juga
sambil menjajagi kekuatan lawan, memperhatikan gerakan jurus dan
mencari celah kelemahannya.
Berbagai pukulan dan tendangan dihadapi dengan tenang.
Karena begitulah yang diajarkan sang resi kepadanya bahwa jika
menghadapi seorang lawan yang ringan maupun sangat tangguh
harus dengan tenang jangan disertai dengan nafsu atau ambisi
untuk menang. Makin lama makin bertambah kuat tenaga dalam yang
72 NANDAR HIDAYAT dikeluarkan karena satu sama lain belum ada yang terdesak. Jika si
topeng merah tampak ingin segera menjatuhkan lawannya, lain
halnya dengan Santana yang hanya berusaha untuk bertahan
sambil terus mencari celah untuk membalas serangan lawan.
Kesempatan itu pun datang walau sangat kecil. Tangan kanan
Santana bergerak menyusup di antara gerakan lawannya. Lalu"
Dess! Ujung jari tengah Santana berhasil menghantam dada si
topeng merah. Walaupun Cuma ujung jari tapi kekuatannya lumayan
dashyat. Tubuh si topeng merah sampai terpental kebelakang dan
menabrak dinding rumah yang sudah rapuh akibatnya jebol. Tak
bisa menahan diri, tubuh si topeng merah terjatuh keluar rumah
namun dia segera bangkit. Napasnya terengah-engah memburu
penuh amarah. Dalam hatinya si topeng merah yang kalau dilihat dari
perawakannya sudah berumur enam puluhan tahun merasa heran.
Ada seorang anak muda yang begitu mudahnya menjatuhkan
dirinya dalam adu jurus tangan kosong dengan tenaga dalam
seimbang. Sementara Santana merasa kagum kepada dirinya sendiri,
ternyata dengan pengerahan kekuatan yang seimbang dengan
lawannya dia begitu mudah menjatuhkannya. Dia merasa seperti
melempar ranting pohon saja. Tapi rasa kagumnya segera ditepis
karena barangkali saja orang berbaju merah itu memiliki kekuatan
yang lebih tinggi lagi. Karena penasaran akhirnya si topeng merah melakukan
penyerangan lagi. Kali ini tenaga dalamnya ditingkatkan. Apalagi
bagi Santana, pikirannya yang masih muda tentu ingin mencoba
segala hal termasuk menjajagi lagi sampai di mana kekuatan
73 NANDAR HIDAYAT lawannya. Pertarungan adu jurus tangan kosong terjadi lagi, kali ini di
halaman depan rumah. Salah satu watak ajian "Wadah Rahayu" yang sudah melekat
di badan Santana sejak kecil selain untuk kekebalan adalah bisa
mempelajari gerakkan jurus yang digunakan lawan dan bahkan
langsung bisa menggunakannya. Tentunya setelah ajian ini
disempurnakan. Itulah yang dilakukan Santana saat ini, saat
lawannya menyerang dia hanya mengindar dan menghindar tapi
perhatiannya tak luput dari gerakkan jurus lawan. Sampai ada
kesempatan untuk menyerang maka yang dia gunakan adalah jurus
lawannya sehingga si topeng merah semakin dibuat penasaran.
Kenapa pemuda ini memainkan juruas yang sama dengannya"
Apakah pemuda ini masih satu guru dengannya" Pikirnya.
Lain lagi dengan Santana, dia merasapelajaran dari guru


Santana Dan Garuda Bulu Emas Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekaligus ayah angkatnya telah berhasil dia gunakan dengan benar.
"Anak muda, tunggu!" Si topeng merah hentikan pertarungan.
Santana hanya usap-usap kepala, raut wajahnya jadi tampak
tolol. "Siapa kau sebenarnya?" Tanya si topeng merah yang
penasaran. "Bukankah sudah aku katakan. Aku Kuntawala!"
"Aku tahu siapa Kuntawala yang sebenarnya, kau dusta!"
"Terserah kau mau percaya atau tidak!"
"Satu lagi," Kata si topeng merah. "Dari mana kau
74 NANDAR HIDAYAT emndapatkan jurus yang sama denganku tadi?"
"Kau tidak perlu tahu!" Jawab Santana sambil meyeringai
mengejek. "Baiklah, tidak ada gunanya lagi berlama-lama denganmu!"
"Aku juga, muka merah!"
Dengan gerakan cepat si topeng merah melompat ke dalam
rumah, yang dia tuju adalah dua buah peti kayu besar yang berisi
barang-barang berharga yang telah dikemasinya tadi.
Tapi Santana tidak membiarkannya begitu saja. Begitu si
topeng merah hendak menyambar dua peti itu, pemuda gonrong
dengan rambut terurai ini menghentakkan kedua tangan yang sudah
terisi pukulan jarak jauh.
Wusss! Satu gelombang angin dashyat menghantam rumah kayu.
Brak! Blarrr! Rumah kayu yang sudah rapuh itu hancur bagaikan dihantam
banjir bah. Dua peti besar dan berat mencelat ke udara. Saat itulah
Santana melesat menyambar dua benda itu. Begitu berhasil
mendapatkan keduanya, lalu dia hinggap disalah satu pohon yang
tinggi dan berdahan besar dan dia berdiri di dahan itu sambil
membawa kedua peti di kedua tangannya. Dua peti itu sebenarnya
sangat berat kalau diangkat oleh tenaga biasa.
"Dasar pencuri busuk, kembalikan padaku!" Teriak si topeng
75 NANDAR HIDAYAT merah yang baru saja terbangun dari reruntuhan rumah. Rumah
sarang perampok itu kini sudah hancur tak bebentuk lagi.
Santana menyeringai lalu mencibir. "Apa katamu, pencuri?"
Lalu tertawa mengekeh. "Kau yang pencuri, pengecut busuk!"
"Jahanam, keparat!" si topeng merah sangat marah besar.
"Sudah saatnya aku menggunakan barang-barang ini." Ujar
Santana dengan suara lantang, maksudnya supaya terdengar oleh
si topeng merah itu. "Terima kasih sudah mengemasinya dengan
baik!" Lalu pemuda ini melesat meninggalkan tempat itu membawa
kedua peti yang berisi harta yang dulu dipendam ayahnya.
Sementara si topeng merah berteriak marah, kesal dan juga
dendam. Bukan hanya karena kehilangan barang yang sudah
dikemasinya saja, tapi merasa dipecundangi oleh seorang anak
muda yang tampangnya masih seperti anak kemarin sore. Padahal
dia adalah seorang tokoh yang banyak diperbincangkan orang saat
ini. Sambil berteriak marah si topeng merah ini melancarkan
serangan jarak jauh berupa pukulan angin dashyat yang ganas ke
arah Santana yang sudah melesat kabur, namun pukulannya ini
hanya mengenai dahan-dahan pohon hingga patah dan tumbang.
Sosok Santana begitu cepat lenyap dari pandangan mata.
*** 76 NANDAR HIDAYAT Semua yang terdapat dalam dua peti kayu yang besar ini
adalah perhiasan emas hasil rampasan yang disimpan khusus
untuk persediaan. Lalu untuk apa Santana membawa barang-barang
hasil rampokkan ayahnya dulu" Sebuah rencana sudah tertulis
dalam benaknya. Dengan menjual beberapa perhiasan kepada juragan kaya,
Santana bisa membeli seekor kuda jantan yang digunakan untuk
mengangkut dua peti kayu besar itu yang dikaitkan pada samping
kiri kanan punggung kuda. Sementara Santana tetap jalan kaki
menuntun kudanya. Di tengah perjalanannya, tiba-tiba Santana menemukan
seorang lelaki yang sudah hampir tua tengah duduk menggeletak di
tanah di bawah sebuah pohon besar. Punggungnya menyandar ke
sebagian akar pohon yang menyembul dari tanah. Lelaki ini tampak
kurus dan lemas seperti kekurangan makan.
"Maaf, kisanak kenapa?" Sapa Santana setelah sampai di
depan lelaki kurus itu. "Saya lemas, den." Jawab si kurus dengan suara memelas.
"Kisanak, belum makan?"
"Belum, den. Persediaan makanan saya dicuri binatang?"
Kemudian dari dalam buntalan kainnya Santana mengambil
sebungkus nasi campur lauknya yang dibelinya tadi sewaktu
melewati sebuah kedai makan, lalu memberikannya kepada lelaki
kurus itu. 77 NANDAR HIDAYAT "Ini ki, buat kisanak saja. Kebetulan saya masih ada bekal."
"Terima kasih, den!" Si lelaki langsung menerimanya dengan
senang hati karena dia memang sudah lapar sejak dari tadi.
"Dan ini juga buat kisanak." Santana memberikan lagi
beberapa keping uang sisa hasil penjualan perhiasan yang dibelikan
kuda. Si lelaki kurus tampak lebih senang lagi menerimanya sambil
mengucapkan terima kasih berulang-ulang.
"Wah, aden baik sekali." Ujar si lelaki kurus.
"Sudah menjadi kewajiban saya untuk saling tolong
menolong, ki." Kata Santana sambil senyum.
"Kalau boleh tahu, siapa nama anak muda ini?"
Santana diam sejenak. Dia berpikir dalam hatinya apakah
akan menggunakan nama ayahnya seperti waktu bertemu dengan
lelaki bertopeng merah yang hendak mengambil perhiasan di
rumahnya atau nama dirinya sendiri" Tapi, lebih baik jadi diri sendiri.
"Saya Santana."
"Baiklah, den Santana. Sekali lagi saya ucapkan banyak
terima kasih, semoga aden selalu dilindungi oleh Sang Hyang Widi."
"Sama-sama, Ki."
Kemudian lelaki kurus ini bangkit dan pamit kepada Santana.
Pemuda berambut gondrong terurai ini pun melanjutkan
perjalanannya. 78 NANDAR HIDAYAT Dalam perjalanannya dia mengingat-ingat jalan yang dulu
sering dilewatinya bersama ayahnya. Hingga sampailah di sebuah
kampung kecil yang keadaannya begitu sepi karena di kampung itu
hanya terdapat kurang dari dua puluh rumah saja. Rumah-rumah
yang terbuat dari bilik bambu. Seketika dia teringat saat bersama
ayahnya dulu menjarah semua harta yang dimiliki penduduk
kampung ini. Setelah menambatkan tali kuda ke sebuah pohon, Santana
mendatangi salah satu rumah yang terdekat.
"Sampurasun!" Ucap Santana sambil mengetuk pintu.
Tak lama terbukalah pintu rumah itu dan muncul seorang
lelaki setengah baya. Santana masih ingat wajah orang ini. Dulu
orang ini tampak sangat ketakutan saat dipaksa menyerahkan harta
bendanya. "Siapa ya, dan ada perlu apa?" Sapa lelaki yang ternyata saat
bicara tadi giginya kelihatan ompong.
"Kisanak masih ingat saya?" Santana malah balik Tanya
sambil menyeringai dan usap-usap kepalanya. Sungguh aneh dia,
mungkin maksudnya siapa tahu lelaki ompong ini masih ingat
wajahnya waktu kecil dulu.
"Kau ini aneh anak muda." Ujar si ompong. "Kau yang
mengetuk pintu malah kau bertanya seperti itu. Ya jelas saya tidak
tahu siapa kamu, melihat saja baru sekarang!"
Santana tersenyum. Berarti benar orang ini tidak mengingat
wajahnya, tentu saja karena waktu itu mana ada kesempatan untuk
melihat wajahnya walaupun jaraknya dekat. Yang ada hanyalah rasa
takut karena nyawanya terancam.
79 NANDAR HIDAYAT "Baiklah!" Kata Santana. "Nama saya Santana, apakah
kisanak pernah mendengar nama saya atau tidak, bukan suatu
masalah karena kedatangan saya kemari adalah untuk berbagi
dengan warga kampung disini."
Lelaki ompong ini tampak bingung lagi mendengarnya.
"Apa maksudnya?" Tanya si lelaki ompong.
"Sudahlah, saya tidak waktu lagi. Sekarang sebaiknya
kisanak kumpulkan saja semua kepala keluarga di kampung ini."
Sesaat lelaki ini masih bingung tapi akhirnya menurut juga
apa yang dikatakan Santana.
Beberapa saat kemudian semua kepala keluarga di kampung
ini sudah berkumpul di depan rumah si lelaki ompong. Seperti kata
Santana tadi, dia ingin berbagi dengan warga kampung. Maka setiap
kepala keluarga diberikan beberapa perhiasan yang diambil dari
dalam salah satu peti. Tentu saja warga kampung tidak menyangka
akan ada orang baik yang memberikan perhiasan emas begitu saja
tanpa meminta balasan apa-apa. Dan yang terpenting dari itu adalah
Sepasang Ular Naga 17 Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo Babi Ngesot 1

Cari Blog Ini