Santana Dan Garuda Bulu Emas Karya Nandar Hidayat Bagian 2
semua warga jadi senang karena mempunyai perhiasan sebagai
bekal untuk kehidupan mereka.
Walaupun sudah dikeluarkan untuk memberi orang
sekampung, ternyata isi dalam peti masih banyak.
Santana pun melanjutkan perjalanan. Kali ini dia melewati
sebuah jalan yang kiri kanannya terhampar sawah-sawah yang luas
yang tanaman padinya masih berwarna hijau setinggi betis.
Ada rasa puas dalam hatinya setelah membagi-bagikan
beberapa perhiasan kepada orang-orang kampong tadi. Walaupun
dulu, ayahnya yang telah merampas harta mereka. Tapi perasaanya
80 NANDAR HIDAYAT seolah-olah dia yang berdosa maka dia juga yang ingin menebus
dosa itu. Setidaknya sudah membuat warga kampung tadi merasa
senang. Hal lainnya adalah orang tidak perlu tahu kalau dia adalah
anak Kuntawala si perampok yang kejam. Begitupun dengan
ayahnya tidak perlu tahu bahwa anaknya masih hidup dan menjadi
orang baik sebagai bentuk perlawanan sikap terhadap sang ayah.
Benar juga kata sang resi, ayah angkatnya. Bahwa dalam
berbuat jangan sekali-sekali didasari dengan rasa dendam, tapi
harus ikhlas. Teringat dengan ayah kandungnya, Kuntawala. Dalam benak
Santana muncul keinginan untuk segera mencarinya. Tentunya
bukan karena perasaan rindu. Tapi karena ingin membuat ayahnya
menjadi orang baik, sebaik-baiknya. Walaupun semua itu pasti
sangat tidak mungkin. Sebagai jalan satu-satunya adalah
melawannya. Tapi, dia ingat lagi kata sang resi. Bahwa dia tidak perlu
mencari ayahnya karena pasti akan bertemu dengan sendirinya
pada waktu tertentu. Kata-kata sang resi yang ini membuat hatinya
penasaran. Apa maksud sang resi mengatakan demikian" Atau ini
suatu rahasia yang sebenarnya sang resi sudah mengetahuinya.
Sehubungan dengan hal ini, Santana teringat juga tentang
kabar ayahnya yang melarikan diri saat akan menerima hukuman
dari raja. Pertanyaannya, apa yang dilakukan ayahnya sekarang"
Apakah masih merampok seperti dulu atau sudah tobat"
Perjalanan Santana selanjutnya adalah mendatangi setiap
rumah atau orang yang dulunya pernah dirampok ayahnya. Itu juga
sebatas yang dia ingat saja. Kepada orang-orang itu dia
memberikan beberapa perhiasan sebagai tanda ganti rugi walaupun
orang yang menerimanya tidak mengetahui maksud yang
81 NANDAR HIDAYAT sebenarnya. Begitulah yang Santana lakukan sampai semua perhiasan
yang ada dalam dua peti itu hampir habis. Bahkan kudanya pun
sekarang sudah dijual lagi lalu sisa perhiasan itu hanya disimpan di
dalam buntalannya. Selain kepada orang-orang yang telah dirampok ayahnya,
Santana juga memberi kepada orang-orang lain yang sangat
membutuhkan seperti keluarga yang sangat miskin, pengemis dan
lain-lain. Saat perutnya terasa keroncongan, Santana mampir ke
sebuah kedai makan yang kebetulan dijumpainya. Sebuah kedai
pinggir jalan yang berada dekat dengan alun-alun sebuah desa yang
bernama desa Rancaputat. Kedai ini tidak terlalau ramai, hanya ada
beberapa orang saja yang sedang mengisi perut seperti Santana. Di
saat enak-enaknya makan tiba-tiba terdengar suara teriakkan.
"Jarnipa! Aku datang menantangmu!"
Suara teriakan itu terdengar sejauh sepuluh tombak dari kedai
tempat Santana makan. Seorang lelaki setengah baya berambut
putih yang berteriak tadi berdiri di depan sebuah rumah yang terlihat
agak mewah yang letaknya berada dekat dengan Bale desa.
"Siapa dia?" Tanya Santana kepada pengunjung kedai lain
yang berada di dekatnya. "Dia Barjawata," Jawab orang itu agak gemetar suaranya.
Sepertinya dia merasa takut.
"Barjawata?" "Dia orang yang suka mengacau di kampung ini," Lanjut orang
82 NANDAR HIDAYAT itu lagi. "Dia pasti akan menantang Ki Lurah."
Santana terus memperhatikan Barjawata yang berdiri di depan
rumah yang ternyata milik Ki Lurah setempat.
Sementara terdengar orang di samping Santana bercerita. "Ki
Lurah Jarnipa adalah orang paling sakti di desa ini dan juga sangat
baik terhadap warganya. Karena kebaikan hatinya dia ingin
menurunkan kepandaianya dalam ilmu silat kepada
pemuda-pemuda desa agar menjadi pemuda tangguh dan hebat."
Santana mengangguk tanpa menoleh.
Ki Lurah Jarnipa tampak keluar dari dalam rumahnya,
sikapnya begitu tenang. "Barjawata." Kata Ki Lurah pelan. "Lebih baik kau bertobat
saja, hentikan sepak terjangmu yang meresahkan warga."
"Heah!" Barjawata membentak. "Hentikan ceramahmu, aku
datang kesini bukan untuk diceramahi, aku tidak peduli dengan
keresahan warga, seharusnya kau yang berlutut di hadapanku dan
menyerahkan jabatan lurahmu, karena aku sekarang lebih sakti
darimu!" Barjawata tertawa pongah. "Biar kubuat mampus kau
sekarang!" Gertaknya.
Begitu habis ucapannya Barjawata langsung bergerak
menerjang kearah Ki Lurah Jarnipa. Yang diserang sudah waspada,
dengan enteng dia melesat keluar dari teras rumahnya lalu
mendarat di tempat yang lebih luas. Bersamaan dengan itu
Barjawata sudah melesat kembali kearahnya dengan tendangan
yang ganas. Sekali lagi Ki Lurah berhasil menghindari serangan lawan
dengan mengeposkan badannya. Kejap berikutnya terjadilah
83 NANDAR HIDAYAT pertarungan adu jurus dan kekuatan yang dikeluarkan
masing-masing. Beberapa saat lamanya pertarungan ini tampak
seimbang. Namun pada jurus yang ke sembilan belas, tampak
Lurah Jarnipa mulai terdesak. Kini dia sadar kalau tenaga dalamnya
berada di bawah Barjawata. Ternyata lawannya sudah mengalami
peningkatan yang pesat, pikir Ki Lurah dalam hati.
Saat itulah Lurah Jarnipa mulai mengeluarkan ajian
andalanya, tidak tanggung-tanggung dia keluarkan ajian tingkat
paling tinggi, dia merasa tidak perlu banyak bertele-tele menghadapi
lawannya yang berbahaya ini. Tenaga dalam dikerahkan penuh, dua
tangan dikepalkan dan tampak berubah warna menjadi merah
sebatas siku. "Keluarkan ajian "Wisangjenget"-mu, aku tidak takut!"
Barjawata mengejek. Tak ketinggalan dia juga mengerahkan tenaga
dalamnya untuk mengeluarkan ajian "Nagasagara".
Sementara di sekitar tempat itu para warga sudah
berdatangan menyaksikan pertarungan Ki Lurah Jarnipa dengan
Barjawata. Kejap berikutnya terdengar suara bentakkan nyaring dari
dua orang yang sedang mengeluarkan ilmu andalannya
masing-masing. Ki Lurah dan Barjawata sama-sama melesat cepat
seperti banteng yang hendak beradu tanduk.
Wesss.. Dess!" Dua pukulan sakti beradu. Dua sosok terpental menjauh
sampai beberapa tombak. Beberapa orang jantungnya
berdebar-debar tak karuan, cemas dan khawatir. Barjawata sempat
terguling tapi cepat berdiri lagi, tampaknya dia tidak mengalami satu
84 NANDAR HIDAYAT cidera apapun. melayang-layang. Sedangkan Ki lurah tampak terpental Tiba-tiba saja satu sosok menyambar tubuh Ki Lurah Jarnipa,
menyelamatkannya dari bahaya. Kemudian ki Lurah dibawa masuk
kedalam kedai. Sosok yang ternyata Santana ini memberikan
pertolongan mengobati luka yang diderita Ki lurah di bagian dalam
dengan mengalirkan hawa sejuk melalui tangannya dengan cara
ditempelkan ke punggung Ki Lurah. Setelah dirasa cukup, Santana
mendudukkan Ki Lurah Jarnipa di sebuah kursi.
"Terima kasih, nak!" Kata Ki Lurah pelan.
"Ki Lurah duduk dulu disini, tenangkan pikiran dan atur
napas." Kata Santana.
"Siapa kau, berani mencampuri urusanku?" Terdengar suara
membentak Barjawata. Santana melompat keluar dari kedai langsung berhadapan
dengan orang berambut putih ini.
"Kau sudah keterlaluan, orang tua!" Serunya.
Barjawata mendengus. "Anak kemarin sore berani jual
tampang di mukaku!" "Kalau kau mampu, belilah tampangku!" Tantang Santana lalu
usap-usap kepalanya. "Kurang ajar, kau menantangku! Terima ini!"
Barjawata meloncat membuat gerakan menendang, yang
dituju adalah kepala pemuda berambut gondrong anak angkat resi
Wanayasa ini. Pada saat kaki lelaki berambut putih ini jaraknya
85 NANDAR HIDAYAT sejengkal lagi menghantam muka. Santana gerakan tangan kanan
menangkis. Tak! Walau gerakannya pelan tapi tenaga yang keluar cukup kuat
sehingga membuat tubuh Barjawata berputar meliuk dan bagian
kepalanya jadi mendekat kemuka Santana, saat itulah tangan kiri si
gondrong ini memukul kedepan.
Buk! Tubuh Barjawata jatuh bergulingan di tanah tapi dengan cepat
dia segera bangkit lagi. Dia menggembor marah, tidak disangka dia
begitu mudah dijatuhkan dalam sekali gebrak. Ternyata tenaga
dalam pemuda ini cukup tinggi juga. Lalu dengan cepat dia pun
menyerang kembali dengan kekuatan penuh dan jurus-jurus yang
lebih dashyat lagi dibanding ketika menghadapi Ki Lurah Jarnipa.
Namun walaupun lawannya masih muda ternyata tak bisa
dipandang sebelah mata. Gerakan Santana lebih cepat, yang dituju adalah urat-urat
penting di bagian tubuh lawan. Walaupun dia membenci lawannya
ini tapi tak ada niat untuk membunuhnya. Ini adalah kali kedua dia
bertarung melawan orang setelah sebelumnya melawan orang
bertopeng merah yang sampai sekarang masih penasaran siapa
sebenarnya orang itu. Pemuda gondrong ini juga tidak menyangka kalau dia bisa
mengimbangi lawannya, tenaga dalam Barjawata masih tergolong
lemah baginya. Tek! Tek! Tek! Bagian-bagian urat penting di tubuh Barjawata terkena
86 NANDAR HIDAYAT pukulan dan sabetan yang cukup kuat, akibatnya dia merasa
urat-uratnya seperti putus tubuhnya menjadi lemas bahkan lumpuh.
Lalu" Brukk! Sosok Barjawata terkulai lemas tak berdaya. Yang dilakukan
Santana memang hanya melumpuhkan kekuatan lawan saja. Dia
ingat pesan gurunya, dalam keadaan apapun janganlah sampai
membunuh lawan. Cukup melumpuhkan kekuatannya saja. Dengan
begitu berarti telah membuat keputusan yang bijaksana. Karena
dengan membunuh, bukan suatu penghakiman yang baik.
Terdengarlah suara sorak sorai orang-orang desa yang
menyambut gembira atas tumbangnya Barjawata yang selama ini
telah meresahkan semua warga desa.
Beribu ucapan terima kasih pun terlontar dari semua warga
desa kepada Santana yang kini menjadi pahlawan. Bukan hanya
menyelamatkan nyawa Ki Lurah saja tapi juga membuat desa itu
menjadi tentram lagi. Dan Santana melanjutkan kembali perjalanannya.
87 NANDAR HIDAYAT 6. PERAMPOK CANTIK "Serahkan semua benda yang kau punya!" Seru seorang gadis
berparas cantik berambut panjang terurai sampai punggung, berkulit
putih mulus dan berpakaian serba hitam. Gadis ini menghadang
perjalanan Santana di sebuah jalan sepi yang menuju hutan.
Sementara pemuda berambut gondrong terurai ini bukan
merasa terkejut karena perjalanannya terganggu, tapi dia malah
terpana melihat kecantikkan si gadis yang menghadangnya itu.
Gadis itu kira-kira berumur setahun lebih muda dari Santana.
Dari ucapan si gadis, Santana mengerti apa maksudnya
karena di belakang si gadis itu sudah berdiri empat orang lelaki
bertampang garang masing-masing sambil menghunus senjata
berupa sebuah golok besar.
"Nona cantik, aku hanya membawa buntalan kentut ini." Ujar
Santana sambil mengacungkan buntalannya. Wajahnya
menyiratkan raut ketololan.
"Aku tahu, di dalamnya ada barang berharga!" Si gadis
bertolak pinggang. Rambutnya yang terurai melambai-lambai
terhembus angin. Santana tersenyum, dalam hatinya dia sama sekali tidak
merasa takut. Malah dia seperti mengagumi paras si gadis yang
tampak anggun saat rambutnya melambai-lambai itu.
"Cepat serahkan, kalau tidak?" Getak si gadis tampak
88 NANDAR HIDAYAT bengis sambil pelototkan matanya.
"Ah, nona cantik tidak usah galak-galak seperti itu. Aku akan
menyerahkan pakaian butut ini dengan senang hati. Karena nona
sangat cantik apalagi kalau sedang galak seperti itu?"
"Diam kau, jangan banyak mulut!" Gertak si gadis lagi. Empat
orang di belakangnya terlihat mengayun-ayunkan senjatanya.
Santana tersenyum lagi menatap ke arah si gadis,
senyumannya ini membuat wajahnya yang tampan jadi tampak lebih
mempesona. Diam-diam si gadis yang bersikap galak ini jadi
berdebar-debar juga jantungnya saat ditatap Santana.
"Kalau pakaian butut ini cukup berharga, ya silahkan ambil
saja?" Ujar Santana. Dalam hati dia berkata. "Cantik-cantik kok
Santana Dan Garuda Bulu Emas Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
galak, siapa dia ya?"
"Lekas berikan!"
Dengan tenang santana melemparkan buntalannya ke depan.
Salah seorang lelaki di belakang si gadis menyambutnya lalu
segera membukanya. Ternyata memang benar di dalamnya cuma
ada tiga pasang pakaian ganti. Karena sisa perhiasan yang dibawa
telah dijual dan uangnya kini tersimpan dalam kantung kain yang
diselipkan di balik ikat pinggang Santana.
Si gadis terkejut melihat isi buntalan itu. Dia mendengus tidak
percaya. Kembali matanya melotot tajam ke arah Santana seperti
hendak menelan bulat-bulat kepala Santana. Tapi si pemuda
gondrong ini tak merasa takut sedikitpun, dia hanya tenang-tenang
saja. "Kurang ajar!" Sentak si gadis. Walaupun begitu kecantiknnya
89 NANDAR HIDAYAT tidak pudar. "Di mana kau sembunyikan uangmu?"
"Bagaimana kau bisa tahu aku membawa uang?" Balik tanya
Santana. "Diam! Serahkan uangmu atau nyawamu melayang!" Si gadis
sudah tidak sabar. Diancam seperti itu anak angkat resi Wanayasa masih
tenang sambil diam-diam menghitung kekuatan lawan jika terjadi
pertarungan nanti. "Kalau aku tidak punya uang?"
"Pembohong!" "Kalau begitu aku serahkan nyawaku saja, mati di tangan
seorang gadis cantik aku tidak akan penasaran,"
Si gadis geram merasa dipermainkan sementara empat orang
yang tampaknya anak buah si gadis sudah mendengus-dengus
menahan amarah seperti harimau lapar.
"Pemuda sombong, rupanya kau belum mengenal Kuntiwala
anak Kuntawala!" Santana hampir saja tertawa cekikikan mendengar nama si
gadis. Namun dia segera menahan tawanya. Apa benar ayahnya
mempunyai anak selain dia" Jadi penasaran juga akhirnya, dia
ingin tahu siapa sebenarnya gadis cantik ini"
"Baiklah nona cantik yang bernama Kuntilanak?"
"Apa katamu!" 90 NANDAR HIDAYAT "E..eh, ya. Maksudku Kuntiwala kau boleh mengambil
nyawaku. Tapi kalau kau tidak bisa mengambilnya maka sebagai
gantinya kau mejadi milikku!" Santana sempat tercekat dengan
kata-katanya sendiri. "Ini keceplosan atau apa?" Katanya dalam
hati. "Sombong tolol!" Si gadis yang mengaku bernama Kuntiwala
anaknya Kuntawala memberi isyarat kepada anak buahnya untuk
segera menyerang Santana.
Dalam beberapa kejap Santana dikurung oleh lima orang yang
tampak bernafsu ingin segera menghabisi nyawanya. Ini adalah hal
pertama yang dihadapi Santana, melawan lima orang sekaligus.
Tapi dia tetap bersikap tenang, dia pasti bisa meyelesaikan
masalahnya. Kejap berikutnya terjadilah pertarungan yang tidak seimbang
di jalan sepi di hari yang beranjak sore. Lima orang mengeroyok
satu orang. Santana diserang dari berbagai penjuru. Empat golok
besar menyambar mencari sasaran sedangkan gadis bernama
Kuntiwala menyerang dengan tangan kosong saja.
Santana menggunakan ilmu meringankan tubuh untuk
menghadapi serangan beruntun ini. Sehingga dua serangan dari
arah kanan yang mengincar kepala dan tangan kanan, serta dua
serangan lagi dari arah depan dan kiri berhasil dihindarinya dalam
dua kali gerakan saja. Serangan itu hanya mengenai sasaran
kosong. Belum ada kesempatan bagi Santana untuk membalas
serangan karena lawan menyerangnya secara bersamaan dengan
gerakan yang sangat cepat pertanda mereka adalah orang-orang
yang sudah terlatih dalam ilmu silat.
Sampai beberapa jurus keadaan tetap sama, lima orang
perampok ini belum bisa menyentuh sedikitpun bagian tubuh
lawannya. Mereka tak ubahnya seperti sedang memburu seekor
91 NANDAR HIDAYAT lalat yang begitu lincah dan sukar untuk disentuh.
Lama kelamaan gerakan mereka melambat, itulah
kesempatan bagi Santana untuk membalas. Gerakannya seperti
belut yang licin menyusup di antara sambaran-sambaran golok
lawan yang tajam. Lalu"
Dess! Degg! "Uuukh!" Dalam satu gerakan sikut kanan Santana berhasil
menghantam tulang rusuk salah seorang anak buah Kuntiwala
sehingga orang ini mencelat keluar arena pertarungan. Orang ini
hanya terpental tanpa merasa kesakitan apapun. Bersamaan
dengan itu kaki kirinya berhasil menendang bagian perut lawan
lainya. Nasibnya sama dengan orang pertama yaitu terpental jauh
dari arena pertarungan. Tapi aneh orang ini juga tidak merasa
kesakitan saat perutnya ditandang.
Gerakan berikiutnya setelah kaki kirinya menendang lalu
disapukan memutar ke kiri dan ke kanan.
Dugh! Dugh! "Akh!" Dua orang anak buah Kuntiwala yang tersisa terpental lagi.
Kini tinggal Kuntiwala saja sendirian menghadapi Santana.
Dalam menghadapi gadis ini sendirian, Santana tidak
92 NANDAR HIDAYAT betul-betul serius menggunakan jurus maupun mengerahkan
tenaganya. Karena saat sengaja memapasi serangan ternyata
tenaga dalam si gadis tidak begitu besar walaupun sebenarnya
mempunyai gerakan yang cukup lincah dalam memainkan
jurus-jurusnya. Pertanda si gadis sudah terlatih dengan baik
sebelumnya. Sebaliknya si gadis yang mengaku bernama Kuntiwala
anaknya Kuntawala merasa kesusahan untuk menjatuhkan
lawannya. Jangankan melukainya menyentuhpun tidak bisa.
Akibatnya dia semakin bernafsu ingin segera menjatuhkan Santana,
tapi apa daya kemampuannya tidak sebanding dengan pemuda
gondrong ini. Tiba-tiba ke empat anak buah Kuntiwala sudah bersiap lagi
menyerang Santana. Dengan senjata terhunus mereka serentak
menyerbu ke arah Santana.
Wuutt! Empat golok besar dan tajam menghujam mengarah ke
bagian dada. Santana yang sedang sibuk memperhatikan gerakan
jurus si gadis tidak sempat menghindar. Namun dia tetap tenang
karena tubuhnya sudah terlindungi oleh ajian "Wadah Rahayu".
Traang! Saat empat golok bersama-sama menusuk dada Santana,
ternyata tubuh Santana kuat dan keras laksana batu gunung.
Akibatnya malah sebaliknya, empat golok besar yang terbuat dari
baja yang kuat itu patah-patah menjadi beberapa bagian. Tangan ke
empat orang yang memegangnya pun terasa bergetar hebat seperti
habis memukul benda keras ditambah tubuh mereka juga terpental
lalu sama-sama terjatuh bergulingan.
93 NANDAR HIDAYAT Kuntiwala tampak terkejut melihat kejadian itu. Belum hilang
rasa terkejutnya tiba-tiba Santana memutar badannya yang
berporos pada kaki kanannya, dua tangannya meraih tubuh bagian
atas Kuntiwala. Sett! Dalam sekejap Santana berhasil menarik si gadis itu dalam
keadaan tangan kanannya menekuk menjepit bagian leher si gadis
dan tangan kirinya memegang tangan kiri si gadis yang
ditelikungkan ke belakang punggung. Posisi Santana berada di
belakang si gadis. Sehingga si gadis dalam keadaan terkunci.
Walaupun sudah berusaha meronta-ronta untuk melepaskan diri
namun pegangan Santana begitu kuat.
Ke empat orang anak buah Kuntiwala sudah mengurung lagi,
tapi mereka bingung harus berbuat apa, pimpinan mereka berada
dalam kekuasaan lawan, senjata pun sudah tak ada.
"Jangan macam-macam!" Sentak Santana. "Ingat yang aku
katakan tadi, kalau kalian tidak bisa mengambil nyawaku berarti
pimpinan kalian ini menjadi milikku."
Empat orang lelaki bertampang garang itu saling pandang,
mereka bingung. "Lantas kami bagaimana?" Tanya salah seorang dari mereka.
"Terserah kalian, aku memberi kalian kebebasan untuk
menentukan jalan hidup kalian masing-masing. Tapi satu hal yang
penting adalah, jadilah kalian orang yang baik-baik?"
Ke empat orang ini terdiam. Setelah berpikir beberapa saat
akhirnya ke empat orang ini memutuskan untuk pergi meninggalkan
94 NANDAR HIDAYAT pimpinanya yang masih disekap Santana.
"Maafkan kami, nona." Kata salah seorang dari mereka.
"Tampaknya kami akan menempuh jalan hidup kami
masing-masing. Bukan sebagai anak buah nona lagi. Karena terus
terang kami sudah jenuh menjadi penjahat."
"Bagus!" Timpal Santana. "Pergilah!"
"Baik, terima kasih anak muda!"
Ke empat orang itu pun pergi. Tinggal Santana yang kali ini
melepaskan cekalannya sehingga si gadis bisa menarik napas lega.
"Sekarang aku milikmu," Ujar si gadis kali ini suaranya pelan
tidak garang lagi seperti tadi. "Terserah kau mau apakan aku, aku
pasrah?" Santana menyeringai sambil usap-usap kepala. "Aku tidak
akan menyakitimu, nona cantik."
Suasana jadi sunyi. Beberapa saat mereka saling pandang,
wajah galak si gadis sudah tak tampak lagi malah sekarang
kelihatan semakin anggun dan kemanja-manjaan.
"Sebanarnya aku merasa heran"," Kata Santana memecah
kesunyian. Mengapa kau mengaku bernama Kuntiwala anaknya
Kuntawala, kepala perampok yang buron itu?" Tanyanya sambil
mengambil buntalan yang tadi sempat dibuka oleh anak buahnya si
gadis. Si gadis terdiam, tampaknya pemuda di sampingnya ini
mengetahui kalau dia berbohong tentang namanya. Mungkin juga
pemuda ini lebih tahu tentang seseorang yang bernama Kuntawala,
95 NANDAR HIDAYAT pikir si gadis dalam hati.
"Apa yang kau ketahui tentang Kuntawala?" Si gadis balik
Tanya. "Banyak!" Jawab Santana singkat.
"Baiklah aku akan berterus terang.." Kata si gadis menghela
napas sejenak. "Sebenarnya aku hanya memanfaatkan kesempatan
ketika mendengar kabar bahwa Kuntawala perampok yang terkenal
itu sudah tertangkap prajurit khusus kerajaan Indraprahasta. Ayah
dan ibuku juga seorang perampok yang sudah lebih dulu ditangkap
dan dihukum mati, maka aku ingin melanjutkan pekerjaan mereka
dan juga membalas dendam. Aku memakai nama Kuntiwala
anaknya Kuntawala." Santana angguk-angguk kepala, ternyata gadis ini juga sama
seperti dirinya. Anak perampok.
"Apa kau tidak takut diburu oleh para prajurit kerajaan yang
meginginkanmu tertangkap?" Tanya Santana lagi.
"Buat apa takut, aku sudah pasrah kalaupun tertangkap juga
pasti nasibnya sama dengan orang tuaku?" Jawab si gadis dengan
nada putus asa. "Sudahlah, lebih baik sekarang kau menjadi orang baik saja.
Kau kan cantik, sayang kan kalau sifatnya jahat?"
Wajah si gadis jadi tampak merona merah mendengar ucapan
Santana. Maklum sekarang mendengarkannya dalam keadaan
biasa tidak seperti tadi dengan sikap galak sehingga ucapan
Santana yang beberapa kali memanggilnya "nona cantik" bukan
merupakan sebuah pujian. Tapi sekarang lain.
96 NANDAR HIDAYAT "Oh ya, terus siapa namamu sebenarnya?" Tanya Santana
lagi. "Anting kemala." Jawab si gadis sambil menundukkan kepala.
"Tuh kan bagus, Kuntilanak"ehh"eh..!"
kenapa harus diganti jadi "Iiiih"!" Si gadis yang ternyata bernama Anting Kemala
semakin tertunduk malu. Sikapnya seperti berubah drastis dari
galak menjadi manja dan pemalu.
"Ih.. jadi tambah cantik!"
"Sudah ah, kau sendiri siapa?"
"Namaku Santana, dan aku anak Kuntawala yang asli."
Anting Kemala terkejut mendengarnya, pantas saja
kebohongannya diketahui oleh pemuda di sampingnya ini. Tapi
paras si gadis mendadak berubah.
"Kenapa, kau tidak usah takut." Ujar Santana. "Aku orang
baik tidak seperti ayahku, buktinya kau sudah melihatnya tadi. Kau
percaya kan?" Anting Kemala kini tersenyum, begitu manis sekali. Ya, dia
mulai menyukai pemuda ini. Dari sorot matanya memang
menunjukkan bahwa dia orang baik. Kalau tidak, sudah sejak dari
tadi mungkin Santana akan menyakitinya apalagi pemuda ini
memiliki kekuatan yang lebih. Lebih-lebih lagi saat pertarungan tadi
tidak ada satu orang pun yang dibikin cedera termasuk dirinya.
Diam-diam gadis ini mengagumi kepandaian Santana.
97 NANDAR HIDAYAT 7. GARUDA BULU EMAS Sang surya sudah condong ke barat, sebentar lagi senja akan tiba.
Santana dan Anting Kemala sedang duduk-duduk disebuah gubuk
kecil pinggir jalan yang menghubungkan kampung dan hutan.
Sebuah hutan yang paling lebat pohon-pohonnya sehingga
keadaanya cukup gelap walau di siang hari karena cahaya matahari
Santana Dan Garuda Bulu Emas Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hanya sedikit yang menembus ke dalamnya. Sebuah hutan yang
menurut orang-orang kampung di dekatnya adalah hutan angker.
Hutan ini menghampar luas melewati tiga desa yang berada di
sebeleah utara wilayah kerajaan Indraprahasta, yakni desa
Baturuyuk, desa Kasokandel dan desa Giri Mukti.
Di sebelah kiri kanan jalan terhampar sawah yang begitu luas
yang tanaman padinya masih hijau. Suasana mulai sepi karena
orang-orang yang bekerja di sawah sudah pulah ke rumahnya
amsing-masing. Berada dekat dengan seorang gadis perasaan Santana
menjadi lain. Ada sesuatu yang sepertinya membuat dia semangat
yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Mungkin saja karena
sejak kecil sudah ditinggalkan ibunya, atau selama hidup bersama
resi Wanayasa dia tidak pernah melihat perempuan. Atau juga
karena gejolak jiwa muda yang sedang menggelora dan
menggebu-gebu akan satu hal tentang asmara. Mungkin yang
terakhir ini yang lebih tepat.
"Anting Kemala," Ucap Santana dengan suara lembut dan
sambil menatap ke arah si gadis.
"Ya," Jawab Anting Kemala balas menatap dengan tatapan
mesra, tampaknya si gadis sudah memberikan jalan untuk pemuda
98 NANDAR HIDAYAT gondrong ini. "Aku harus memanggilmu apa, Anting saja atau Kemala
saja?" "Terserah akang saja,"
"Apa!" Santana agak tersentak mendengar dia dipanggil
dengan sebutan "akang".
"Ya, terserah akang saja," Jawab Anting Kemala sambil
mengulum senyum manis. Santana tatap lagi si gadis dalam-dalam seakan-akam
hendak menembus ke dalam jantung. Lalu menghela napas pendek.
"Baiklah aku akan memanggilmu nyai saja?"
Anting Kemala mengulum senyum lagi, keanggunannya
makin bertambah saat senyumnya tersimpul di bibir yang tipis nan
ranum. Apalagi saat rambutnya berkibar terhempas angin sore. Bagi
Santana pemandangan ini lebih indah dari pemandangan di
sekelilingnya. "Hyang Widi Yang Agung, sungguh suatu perhiasan yang
keindahannya melebihi semua yang terhampar di jagat raya ini.
Betapa cantiknya bidadari-Mu yang telah kau turunkan. Lebih cantik
dari indahnya sinar rembulan saat purnama. Seandainya engkau
mengijinkan, maka aku akan membawanya ke dalam mahligai
istanaku yang megah," Begitulah beberapa bait syair pujian yang
dilantunkan Santana. Anting Kemala masih tersenyum mendengarkanya, hatinya
juga sedang berbunga-bunga. Sekian lama dia menjadi pimpinan
perampok yang galak, akhirnya hatinya luluh kepada seorang
99 NANDAR HIDAYAT pemuda gagah dan tampan di hadapannya yang ternyata anak
seorang perampok juga. "Bukankah aku sudah menjadi milikmu, kang!" Ujar Anting
Kemala. "Benarkah?" Tanya Santana seperti tidak percaya.
Si gadis berambut panjang terurai ini memegang tangan
Santana dengan lembut. Terasa hangat dan begitu lembut kulit si
gadis. Rupanya walaupun dia rampok tapi masih sempat merawat
tubuhnya juga. "Akangkan berkata kalau aku dan anak buahku tidak bisa
menghabisi nyawa akang, maka aku menjadi milikmu," Tutur Anting
masih memegang tangan si pemuda malah kini dia memberanikan
diri menyandarkan tubuhnya ke bahu Santana. Semankin hangat
tapi semakin kencang debaran jantung Santana sampai-sampai
kebiasaannya mengusap kepala dilakukaknya beberapa kali.
Memang benar dia mengatakan seperti itu sebelum pertarungan
terjadi, tapi rasanya masih belum percaya sebab waktu itu dia
hanya bicara asal-asalan.
Suasana pun sunyi yang terdengar hanyalah binatang malam
yang sudah mulai bersuara walaupun hari masih senja.
Pertemuan awal yang kurang berkenan ternyata telah
menumbuhkan benih-benih asmara di antara keduanya. Terbersit
dalam benak Santana suatu pertanyaan, apakah Anting Kemala ini
hanyalah salah satu dari ujian yang dia hadapi dalam menjalankan
tugasnya" Atau memang sengaja dikirim Tuhan untuk menemani
hidup dan perjalanannya" Sejenak dia teringat sahabatnya,
Sanjaya. Bagaimana keadaanya sekarang"
100 NANDAR HIDAYAT "Nyai," Santana memecah kesunyian.
"Ya kang," "Apa rencanamu selanjutnya?"
"Setelah aku bertemu dengan akang, entahlah aku tidak tahu
harus kemana lagi karena aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi,
aku juga tidak tahu mau apa."
"Lantas apa yang ada dalam pikiran nyai sekarang?"
"Inginnya si, aku selalu dekat dengan akang, aku merasa
nyaman dengan akang. Kalau akang berkenan aku akan menemani
perjalanan akang?" Santana terpana, memang ini jawaban yang diharapkannya.
Ternyata gadis ini sudah benar-benar pasrah kepadanya. Mungkin
benar Yang Maha Kuasa mengirimkan bidadari untuknya.
"Aku tidak pernah merasa sesenang ini, nyai. Dan aku begitu
bersemangat jika dalam pengembaraanku ada seorang bidadari
yang menemani." "Ah akang bisa saja!"
"Oh ya, sejak kapan nyai memakai nama Kuntilanak,
eeh..apa..tuh"!"
"Iiih akang mah?" Anting Kemala menggelayut manja ketika
digoda oleh Santana. "Iya-iya deh?" 101 NANDAR HIDAYAT "Kira-kira setahun yang lalu,"
"Lho, bukankah ayahku tertangkap saat umurku masih
sepuluh tahun, kira-kira tujuh tahun yang lalu?"
"Ya, saat itu juga aku baru berumur delapan tahun. Berita
tertangkapnya ayahmu tepat setelah pelaksanaan hukuman mati
untuk ayah dan ibuku. Aku dibesarkan oleh kakek. Dilatih ilmu silat.
Dan saat kakekku meninggal saat itulah aku berkeinginan untuk
meneruskan ayah dan ibu, menggantikan mereka menjadi pimpinan
perampok. Lalu aku menghubungi kembali anak buah orang tuaku
yang masih tersisa. Dan agar lebih ditakuti orang maka aku
memakai nama Kuntiwala anaknya Kuntawala?" Tutur Anting.
"Dan pada akhirnya nyai menjadi anak Kuntawala betulan?"
Sambung Santana seraya mencubit hidung si gadis yang lancip itu.
"Iiih, akang genit!"
Keduanya sama-sama tertawa lepas bahagia sepertinya
kehidupan ini sangat indah mereka rasakan. Seakan-akan dunia ini
hanya milik mereka berdua. Tanpa mereka sadari langit sudah
menjadi hitam pertanda malam sudah datang. Udara semakin dingin
menusuk tulang dan suara lolongan binatang malam semakin ramai.
Namun semua itu tak mereka hiraukan karena dua insan ini telah
terbuai dalam keindahan cinta yang menggelora.
Begitulah cinta. *** 102 NANDAR HIDAYAT Cetarrr! Suara petir menggelegar mengagetkan sepasang pemuda
yang sedang terlelap dalam buaian mimpi. Anting Kemala yang
terbaring dalam pelukan Santana makin eratkan pelukannya.
"Ada apa kang, mau hujan ya?"
"Entahlah, sepertinya benar mau hujan."
Tiba-tiba saja angin di sekitar tempat tiu bertiup sangat
kencang. Pohon-pohon besar tampak bergoyang seperti hendak
roboh. Daun-daun yang kering rontok berhamburan bagai hujan.
Suasana malam jadi mencekam. Langit tampak gelap tak terlihat
satu pun kerlipan bintang apalagi rembulan semuanya tampak
seperti tertutup awan hitam.
Gubuk kecil yang mereka tempati juga bergetar seperti
hendak roboh, bahkan sebagian atapnya ada yang terbang terbawa
angin kencang. "Kang, aku takut!" Rintih Anting Kemala.
"Tanang saja, nyai."
Santana mendekap erat Anting Kemala sambil mengalirkan
hawa hangat karena tiupan angin kencang yang menerpa mereka
sangat dingin. Keindahan yang mereka rasakan sebelumnya seperti
terhapus begitu saja oleh keadaan mencekam seperti ini. Ada apa
ini" Dikira akan turun hujan tapi ternyata tidak. Malah angin bertiup
semakin kencang dan berputar-putar di sekitar tempat mereka
berada. Cetarrr! 103 NANDAR HIDAYAT Suara Guntur menggelegar lagi disertai kilat yang menyala
berwarna merah kehijau-hijauan. Dalam sekejap suasana menjadi
terang lalu gelap lagi. Tiba-tiba terdengar satu suara manusia yang menggema yang
sepertinya berada sangat dekat dengan mereka namun tidak terlihat
wujudnya. "Kalian telah melanggar pantangan di sekitar hutan ini. Kalian
telah berani berbuat nista. Kalian akan menerima hukuman dariku
atas perbuatan kalian yang mencemari wilayah hutan Mandapa!"
Suara itu lenyap. Petir menyambar lagi dan angin bertambah
kencang hembusannya. Jleggarrr! Suara Guntur semakin dashyat, angin pun berubah laksana
badai topan melanda berbentuk pusaran yang mengitari gubuk
tempat Santana dan Anting kemala berada.
Anting Kemala semakin cemas dan ketakutan. Belum pernah
dia mengalami keadaan yang begitu mencekam dan mengerikan
seperti ini. Badannya sampai gemetaran lalu dia kuatkan
pelukannya ke badan Santana. Kini pemuda itu benar-benar jadi
tumpuannya. Sementara Santana hanya berusaha setenang mungkin
menghadapi situasi yang juga baru dialaminya. Masih terngiang
suara yang menggema tadi. Dia memperhatikan ke seluruh tempat
dengan pandangan tajam mencari dari mana asal suara itu. Namun
yang terlihat hanya kegelapan.
Jleggarrr! 104 NANDAR HIDAYAT Kilat menyambar lagi tepat di atas atap gubuk. Serta merta
membuat gubuk itu hancur berkeping-keping dan kedua insan yang
baru saling jatuh cinta ini ikut terpental ke atas terbawa pusaran
angin. Kontan saja Anting Kemala menjerit-jerit ketakutan.
Beruntungnya dia masih berpegang erat ke tubuh kekasihnya.
"Kang, aku takut sekali!"
"Jangan lepaskan peganganmu nyai, kuatkan. Aku akan
berusaha membawa kita keluar dari pusaran angin ini!"
Tubuh kedua muda mudi ini melayang-layang berputar
mengikuti arah angin. Sebenarnya Santana sudah mengerahkan
kekuatannya menggunakan ilmu meringankan tubuh paling tinggi
untuk lepas dari jeratan pusaran angin yang sepertinya sengaja
mengurungnya. Namun apa yang terjadi, Santana seperti kehilangan
tenaganya. Hal ini pernah dialaminya dulu sewaktu masih kecil yaitu
terbawa angin dashyat yang merupakan ilmu dari ayahnya. Tapia
arah anginnya hanya lurus saja tidak berputar-putar seperti ini.
Jleggarrr! "Aaaah"!" Anting Kemala menjerit setinggi langit saat kilat menyambar
lagi tepat mengenai mereka berdua. Akibatnya pelukan mereka
terlepas, untungnya Santana masih sempat meraih kedua tangan si
gadis. "Jangan panik nyai!" Seru Santana. "Aku akan memegang erat
tanganmu!" Kini mereka tampak seperti baling-baling yang berputar
105 NANDAR HIDAYAT kencang dengan poros berada pada dua tangan mereka yang saling
memegang kuat. Walaupun masih berada dalam genggaman
kekasihnya, Anting Kemala tetap ketakutan terus menjerit-jerit tiada
henti. Dan" Jleggarrr! Satu kilat dashyat menyambar lagi tepat mengenai tangan
mereka yang saling menggenggam. Akibatnya pegangan mereka
tak bisa di pertahankan lagi. Terlepas sudah genggamannya.
Terdengar jerit menyayat bagai merobek langit keluar dari
mulut Anting Kemala. Tubuhnya melesat bagaikan disedot lenyap
terbawa pusaran angin. Sementara tubuh Santana juga bagai
dihempas ombak badai mencelat entah kemana tak bisa
diterka-terka karena kedaan yang begitu gelap gulita.
"Antiiing"!"
Suara jerit menyayat Santana. Suara jerit kehilangan.
Tiba-tiba dari atas langit yang gelap berkelebat satu bayangan
besar menukik ke arah tubuh Santana yang sedang
melayang-layang lalu menyambarnya kemudian lenyap di kegelapan
membawa tubuh Santana. Saat bayangan besar itu menyambar dan
sebelum sosoknya lenyap terlihat tiga petir menyambar seperti
mengejar sosok besar itu.
*** 106 NANDAR HIDAYAT Sinar sang surya di pagi hari yang hangat membelai wajah
Santana yang tampak masih terpejam matanya. Sehinngga pemuda
ini membuka kedua matanya. Yang pertama dilihatnya adalah langit
biru yang cerah. Lalu dia seperti terkejut. Ternyata saat
membangunkan badannya dia berada di atas batu besar yang
berbentuk balok yang terletak di sebuah bukit kecil yang tandus.
Hampir tak ada pohon satupun. Santana usap-usap kepalanya.
Tiba-tiba dia ingat gadis pujaannya.
"Nyai", Anting", Anting memanggil-manggil nama gadis itu.
kemala!" Santana
Santana Dan Garuda Bulu Emas Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pikirannya mendadak cemas dan kacau, dia begitu sangat
mengkhawatirkan keadaan Anting Kemala. Dia merasa kehilangan.
Baru kemarin dia mengenalnya dan langsung jatuh hati. Belum juga
sehari dia melewatkan waktu bersama gadis itu sekarang sudah
terpisah lagi. Akhirnya dia menghela napas panjang.
"Hutan Mandapa," Gumam Santana mengingat-ingat nama
yang disebutkan suara tanpa wujud yang menggema. "Kemana aku
harus mencari Anting?" Lalu dia usap-usap lagi belakang kepalanya
yang sudah menjadi kebiasaannya.
"Hutan Mandapa!"
"Kreak"kreak"!"
Santana terkejut tiba-tiba terdengar suara mengeak yang
begitu jelas dan dekat, lalau dia menoleh ke arah datangnya suara.
Dan dia semakin terkejut lagi dengan apa yang dia lihat sekarang.
107 NANDAR HIDAYAT "Kreak"kreak"!"
Sejauh dua tombak dari arah kanan Santana di dekat sebuah
batu yang berbentuk balok pipih meninggi seperti daun pintu yang
tingginya setinggi orang dewasa, berdiri seekor burung garuda
berukuran besar alias raksasa yang tingginya sama dengan tinggi
batu pipih itu. Bulu di kepala dan kakinya berwarna hitam
sedangkan bulu di sayap, badan dan cakarnya berwarna kuning
keemasan. Begitu juga dengan kedua matanya yang tampak seperti
batu berlian berwarna kuning keemasan dan memancarkan sinar
menyilaukan. Santana terpana melihatnya. Baru kali ini dia melihat seekor
burung raksasa. Lalu dia teringat keadaan dirinya, di mana dia
berada. Bukan lagi di tempat semula berada sewaktu masih
berduaan bersama Anting Kemala. Lalu di mana dia sekarang"
Bingung dan heran melanda pikirannya.
"Kreak"kreak"!"
Binatang raksasa ini mengeak lagi sambil mengepakkan
sayapnya yang sebelah kiri. Gerakannya seperti sedang memanggil
Santana, namum pemuda ini masih tertegun.
"Kreak"kreak"!"
Sekali lagi burung garuda raksasa ini melakukan hal tadi.
Dengan perasaan yang masih heran dan bingung akhirnya Santana
bangun dari duduknya, perlahan dia menghampiri burung itu.
"Kau memanggilku?" Tanya Santana sambil usap-usap
kepala. Si burung tampak anggukkan kepala.
108 NANDAR HIDAYAT "Kreak"kreak"!"
"Kau mengerti ucapanku?"
"Kreak"kreak"!"
"Kau tidak bermaksud jahat, kan?"
Kali ini si burung menggeleng.
"Tampaknya binatang ini mengerti bahasa manusia." Ujar
Santana dalam hati. "Kenapa kau memanggilku?" Tanya Santana
kemudian kepada burung itu.
"Kreak"kreak"!"
Burung garuda raksasa yang bulunya sebagian berwarna
emas ini mengembangkan sayap kirinya ke arah batu kotak pipih
yang bentuknya seperti daun pintu itu. Seperti tangan manusia yang
menunjuk. Sengaja tak sengaja Santana melihat ke batu itu. Barulah dia
sadar kalau di batu itu terdapat suatu tulisan yang berbentuk ukiran
huruf yang berjajar dari atas ke bawah.
"Oooh?" Santana mendekati batu berbentuk daun pintu ini.
"Tampaknya burung ini ingin mengatakan sesuatu padaku melalui
tulisan di batu ini." Gumam Santana. Untungnya dia sudah diajari
baca tulis oleh ayah angkatnya, resi Wanayasa. Lalu denga
perlahan dia mulai membaca tulisan yang tergurat di batu itu.
109 NANDAR HIDAYAT Namaku Ismayana Umurku sudah seratus dua puluh tahun
Sebenarnya aku adalah manusia biasa seperti kamu, tapi
aku dikutuk menjadi seperti yang kau lihat.
Santana berhenti sejenak lalu memandang garuda bulu emas
ini. Si burung tampak mengangguk.
Tiga puluh tahun lalu aku dikutuk oleh penguasa hutan
Mandapa yang bernama Birawayaksa.
Santana terkejut dan memandang lagi ke arah si burung lalu
tampak mengangguk pelan. "Jadi kau telah menolongku saat aku
terlempar oleh angin dashyat malam itu?"
Sang garuda mengangguk. Barulah Santana dapat
menyimpulkan keadaannya sekarang.
Birawayaksa dan aku sebenarnya adalah saudara kandung,
tapi dia selalu menggunakan ilmu-ilmu sest seperti sihir,
teluh, tenung dan pelet. Sehingga aku selalu menentangnya
dan dia tidak terima lalu dia menyihirku menjadi seperti ini
untuk selamanya. Artinya aku tidak bisa lagi kembali ke
bentuk semula sebagai manusia biasa.
Selama tiga puluh tahun ini, walaupun wujudku seekor
burung. Aku telah memperdalam ilmu-ilmu yang aku miliki
sebelumnya ketika menjadi manusia biasa. Dan aku juga
menciptakan ilmu-ilmu baru dalam wujudku yang seperti ini.
Sekarang ini aku sedang mencari seseorang yang bisa
mewarisi semua ilmuku untk menghentikan semua tindak
tanduk Birawayaksa. Dan orang itu sudah aku temukan yaitu
110 NANDAR HIDAYAT kamu. Santana berhenti lagi. Selain itu juga aku akan menjadi binatang tungganganmu
jika kau hendak pergi kemana-mana. Kau harus menerima
semua ini karena kau juga harus menyelamatkan sahabatmu
yang kini ditawan Birawayaksa.
"Apa, maksudmu Anting Kemala?" Tanya Santana.
Sang garuda mengangguk. Santana menghela napas
panjang. Sekarang sudah mengerti semuanya. Ini adalah tantangan
baru dalam pengembaraannya, selain itu juga dia akan mendapat
tambahan ilmu dan yang lebih penting dan membuatnya semangat
adalah menyelamatkan gadis pujaan hatinya, Anting Kemala.
Dia ingat kata ayah angkatnya, Resi Wanayasa. "Teruslah
menuntut ilmu selama kau masih hidup. Karena manusia diwajibkan
menuntut ilmu sejak dilahirkan hingga ke liang kubur. Karena ilmu
di luar sana masih sangat banyak dan luas apalagi ilmu yang
berasal dari Tuhan. Seumpana seluruh lautan di dunia ini adalah
tinta, maka tidak akan mampu menuliskan semua ilmu-ilmuNya."
"Baiklah!" Kata Santana setelah merenung beberapa saat.
"Tapi aku harus memanggilmu apa, aki Ismayana atau?""
Sang garuda menggelng lau melebarkan kedua sayapnya
sehingga tampaklah kegagahan burung raksasa ini. Memperhatikan
sebagian besar warna bulunya akhirnya Santana mendapatkan satu
nama untuk burung ini. "Wahai burung garuda raksasa yang berbulu emas, karena
bulumu yang sebagian berwarna emas maka aku akan menyebutmu
111 NANDAR HIDAYAT Garuda Bulu Emas!" "Kreak"kreak"!"
Sang garuda mengangguk lalu menggenjotkan kedua kaki,
melesat ke udara terbang berputar-putar di langit tiga kali kemudian
menukik turun lagi ke tempat semula.
Santana tersenyum dan mengusap-usap leher burung itu. Si
garuda tampak merendahkan badannya, Santana mengerti
maksudnya. Lalu pemuda ini naik keatas punggung garuda. Untuk
kedua kalinya burung ini terbang melayang di angkasa, sekarang
sambil membawa Santaa. "Cihuy!" Teriak Santana girang. "Ternyata enak juga terbang
tinggi, tapi awas jangan terlalu tinggi dan capat. Aku masih takut
belum terbiasa." "Kreak"kreak"!"
Begitulah akhirnya Santana mempunyai teman sekaligus
guru baru yang wujudnya berupa seekor burung garuda raksasa
yang diberinya nama Garuda Bulu Emas.
Burung garuda raksasa jelmaan seorang kakek berumur
seratus dua puluh tahun yang bernama asli Ismayana ini mulai
mengajarkan dan mewariskan ilmu-ilmu yang dimilikinya kepada
Santana. Baik yang dimiliki selama hidup menjadi manusia biasa
maupun yang didapat dan diciptakan setelah menjadi seekor
burung. Yaitu selama tiga puluh tahun.
Walaupun hanya menggunakan bahasa binatang, namun
Santana yang berotak cerdas ini mudah memahaminya. Apalagi
saat memperagakan gerakan suatu jurus maka Santana hanya
mengikuti gerakan yang dilakukan si burung. Terlebih lagi karena di
112 NANDAR HIDAYAT dalam tubuhnya sudah tersimpan ajian "Wadah Rahayu", maka
untuk menguasai satu jurus saja dia tidak memerlukan waktu yang
lama. Beberapa jurus yang dipelajarinya adalah, Cakar Garuda
Merobek Langit, Cakar Garuda Merobek Bhumi, dan Cakar Garuda
Membedah Sagara merupakan jurus yang mengandalkan kekuatan
jari-jari tangan untuk mencakar. Kemudian jurus Kepak Sayap
Memapas Angin merupakan jurus yang menggunakan kekuatan
kedua tangan penuh yang digerakan seperti sayap.
Selain jurus ada juga beberapa ajian yang dia pelajari yaitu
Ajian Bayu Jangjang Dadali ajian yang apabila kedua tangannya
dikepakkan seperti sayap maka akan keluar ratusan cahaya hijau
seperti hujan yang akan menghujani tubuh lawannya hingga tebakar.
Kemudian Ajian Dadali Ngajerit Maratan Langit, ajian ini
mengandalkan suara yang menjerit dashyat hingga menghasilkan
gelombang suara yang memekakkan telinga bahkan bisa
memecahkan kepala. Juga Ajian Garuda Perkasa, sebuah ajian untuk kekebalan
dan kekuatan dashyat untuk merobohkan lawan yang sangat kuat
dan tangguh. Yang menjadi hal terpenting adalah mengajari bagaimana
caranya untuk menangkal ilmu-ilmu sesat yang dimiliki Birawayaksa
penguasa hutan Mandapa. Beberapa pantangan serta kelamahan
saudara kandung si burung garuda ini. Kadang-kadang bila Santana
benar-benar tidak mengerti dengan maksud si garuda, maka burung
itu akan menuliskan maksudnya pada sebuah batu dengan cara
mematukkan paruhnya. Seperti kabar yang diterima Santana dari membaca tulisan si
burung adalah tentang keberhasilan Purbasora dalam
113 NANDAR HIDAYAT menggulingkam kekuasaan Prabu Bratasenawa di istana Galuh
yaitu karena mendapat bantuan dari murid Birawayaksa yang
bergelar Iblis Merah Hutan Mandapa.
Garuda Bulu Emas juga bukan hanya meminta Santana
untuk melenyapkan Birawayaksa saja, tapi juga semua ilmu-ilmu
sesat yang dimilikinya termasuk juga muridnya.
Tentu saja sudah pasti Santana akan melaksnakan tugasnya
karena kebetulan berkaitan dengan tugasnya yang pertama dari resi
Wanayasa yaitu membantu Sanjaya merebut kembali tahta Galuh
dari tangan Purbasora. *** 114 NANDAR HIDAYAT 8. PEMBALASAN IBLIS MERAH Perasaan senopati Aji Dharma sedikit diliputi rasa heran. Karena
tidak biasanya sang Raja memanggilnya secara khusus di ruangan
pribadi raja. Dalam hatinya menduga-duga kemungkinan sang raja
akan menanyakan perihal kaburnya Kuntawala yang sampai saat ini
belum juga ditemukan. Sudah enam tahun lamanya dia menugaskan perwira
bawahannya untuk mencari dan menangkap Kuntawala. Namun
belum juga ada hasilnya. Setelah melewati jalan setapak yang di kiri-kanannya terdapat
kolam-kolam kecil yang banyak ikannya dan dihiasi dengan
tanaman bunga teratai yang menjulur indah di atas air. Akhirnya
sampailah senopati di pintu Bangongong bangunan Bale Bubut.
"Sembah bakti hamba, gusti prabu," Ucap senopati Aji
Dharma sembari menjura hormat ketika sampai di hadapan sang
raja yang tengah duduk di sebuah kursi di teras ruangan.
Sang Raja yang umurnya sudah setengah baya seumuran
dengan senopati sendiri mengangguk pelan, sorot matanya
memandang kosong. Dia tidak mengenakan pakaian kebesaran
raja, hanya sehelai kain sutra panjang yang dililitkan di tubuh bagian
atasnya, dibagian bawahnya menganakan celana bercorak batik
berwarna kuning keemasan. Senopati Aji Dharma duduk bersimpuh
di salah satu undakan tangga kayu yang tepat berada di depan sang
raja. 115 NANDAR HIDAYAT "Aji Dhama," Panggil sang raja sambil menatap tajam ke arah
senopati andalannya. "Hamba gusti!" Sahut senopati, sebaliknya dia hanya
menunduk pertanda sangat hormat kepada junjungannya.
"Kau tahu, kita semua tahu, bahkan seluruh rakyat dari
kerajaan-kerajaan kecil bawahan Galuh tahu." Sang raja memulai
pembicaraan. "Bahwa enam tahun yang lalu di istana Galuh telah
terjadi penggulingan kekuasaan oleh Purbasora atas prabu
Bratasenawa, yang menurut kabar dia masih saudaranya prabu
Bratasenawa, raja yang berkuasa pasa waktu itu?"
Sang raja berhenti bicara, namun senopati Aji Dharma tidak
berani untuk sekedar menyela saja. Dia hanya menunuduk hormat
menunggu sang raja melanjutkan.
"Dan sejak saat itu prabu Purbasora memaksa kepada
raja-raja kecil untuk menaikkan upeti, hal ini berimbas pada rakyat
yang menjadi tercekik bahkan sengsara. Karena apa yang mereka
keluarkan lebih besar dari apa yang mereka peroleh. Banyak raja
kecil yang menentang, namum kekuatan prabu Purbasora begitu
besar, kau tahu siapa yang membuat dia kuat?"
Setelah menjura dan menarik napas sejenak, sang senopati
menjawab. "Pasukan Bhayangkara dari Indra Prahasta yang
terkenal kuat dan menjadi prajurit utama sejak jaman Tarumanagara
berada di belakang prabu Purbasora karena antara mereka ada
ikatan kekeluargaan?"
Santana Dan Garuda Bulu Emas Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Itu pasti, selain itu juga ada lagi. Kau tahu?"
"Menurut kabar yang hamba terima, pada saat prabu
Purbasora berhasil mengalahkan prabu Bratasenawa dia dibantu
116 NANDAR HIDAYAT oleh seseorang yang berjuluk Iblis Merah Hutan Mandapa."
"Ya, kau benar!" Sang raja mengangguk-angguk.
"Menurut sebagian orang menyangka bahwa Iblis Merah
Hutan Mandapa adalah seorang tokoh berilmu sesat yang
bersemayam di hutam Mandapa , yang dulu lebih dikenal namanya
dengan sebutan Birawayaksa?" Menjelaskan senopati.
"Itu juga benar," Timpal snag raja. "Tapi semua orang di dunia
persilatan juga tahu bahwa sifat Birawayaksa tidak suka terlibat
dalam urusan kenegaraan, apa lagi membantu pemberontakan
Purbasora, dia tidak suka kekuasaan?"
"Itu juga yang membuat hamba bingung." Ujar senopati Aji
Dharma, tapi dalam hatinya masih bertanya-tanya untuk apa dia
dipanggil kesini" Masa hanya membicarakan soal kesewenangan
prabu Purbasora" "Mungkin si Iblis Merah Hutan Mandapa ini hanyalah salah
satu muridnya Birawayasa," Kata sang raja menduga-duga. "Dia
menggunakan nama Hutan Mandapa mungkin agar dia lebih
ditakuti, karena semua orang tahu bahwa hutan Mandapa tempat
bersemayamnya tokoh yang sangat ditakuti sekarang."
"Dugaan gusti prabu lebih masuk akal," Ujar senopati
mendukung pemikiran rajanya.
"Tapi, ada yang aneh!" lanjut sang raja, tampak ada perubahan
raut wajahnya. Kali ini dia memandang kosong jauh ke depan sana.
"Aneh?" "Ya, senopati. Orang yang berjuluk Iblis Merah Hutan
117 NANDAR HIDAYAT Mandapa itu ternyata mengenalmu.."
"Apa, mengenal hamba gusti?"
"Ya!" "Ampun gusti!" Sang senopati menjura. "Bolehkah hamba
mengetahui dari manakah gusti prabu mangatahuinya?"
"Beberapa saat yang lalu dia datang menemuiku?"
Senopati Aji Dharma tersentak kaget. Ternyata ini yang
hendak disampaikan sang prabu kepadanya. Jangan-jangan sang
raja menduga kalau dirinya dan Iblis Merah Hutan Mandapa ada
suatu hubungan. "Menemui gusti prabu?" Tanya sang senopati tidak percaya.
"Ya, tapi aku tidak bisa melihat wajahnya, kerana dia
memakai topeng kulit merah." Jawab sang raja. "Secara tiba-tiba dia
datang padaku dan mengatakan bahwa dia, Iblis Merah Hutan
Mandapa ingin menemuimu senopati?"
Sang senopati lebih terkejut lagi dan makin penasaran
karena sebenarnya jangankan mengenalnya, mengetahui ciri-cirinya
saja dia belum tahu. "Untuk apa dia ingin menemui hamba?"
"Itu yang aku tidak tahu!" Jawab sang raja tanpa memandang
lagi ke arah senopati. "Jadi sekarang apa yang harus hamba lakukan?" Senopati Aji
Dharma tampak berpikir, bingung.
118 NANDAR HIDAYAT "Itu terserah kamu, sekarang dia sudah menunggumu di luar
kuta belakang istana."
"Apa?" "Pergilah menemuinya, selesaikanlah apa yang menjadi
persoalanmu dengan dia jika memang antara kau dan dia ada suatu
masalah?" "Tapi, hamba sama sekali belum pernah mengenalnya apa
lagi bertemu dengan dia sebelumnya?"
"Aku hanya menyampaikan, senopati!"
Kemudian sang raja bergegas masuk ke dalam dengan raut
wajah yang hampa. Tinggal senopati Aji Dharma yang masih
terduduk, masih heran, aneh dan penasaran dengan apa yang telah
disampaikan rajanya. *** Di luar kuta artinya di luar benteng istana. Di bagian belakang
yang tenyata sebuah kebun palawija milik istana, kebetulan saat itu
baru habis masa panen dan belum ditanami kembali sehingga yang
terlihat hanya tanah lapang yang banyak berserakan daun-daun dan
ranting-ranting kering. Senopati Aji Dharma menghentikan langkahnya ketika di
depannya, sejauh empat ombak tampak berdiri seseorang tinggi
besar berpakaian seorang resi yang berwarna merah, pada
kepalanya orang ini memakai sorban India yang juga berwarna
119 NANDAR HIDAYAT merah. Orang ini tidak menghadap kearah datangnya sang senopati
alias membelakanginya. "Akhirnya kau datang!" Terdengar suara besar yang
tampaknya keluar dari orang tinggi besar berpakaian merah ini.
Rupanya walaupun tidak melihat namun bisa merasakan
kedatangan senopati. "Aku tidak pernah mengenalimu!" Sahut senopati Aji Dharma
langsung. "Tapi aku mengenalmu!"
"Siapa kau sebenarnya?" Tanya senopati yang masih
penasaran sejak diberi tahu oleh sang raja. "Sebelumnya aku tidak
pernah mengenal bahkan bertemu dengan orang yang berjuluk Iblis
Merah Hutan Mandapa."
"Nanti kau akan tahu!" Kata si baju merah yang tak lain
adalah si Iblis Merah Hutan Mandapa adanya. Lalu orang ini
membalikan badannya. Dikiranya senopati akan melihat wajah
orang ini, ternyata benar apa yang dikatakan raja bahwa orang ini
memakai topeng kulit berwarna merah.
"Tapi nanti, setelah kau berada di neraka!" Lanjut Iblis Merah
Hutan Mandapa dengan suara yang ditekan.
Senopati Aji Dharma yang sudah merasa tidak enak sejak
awal menjadi curiga. Dari perkataan orang berbaju merah ini jelas
sedang menginginkan nyawanya.
"Aku tidak pernah berurusan denganmu." Ujar senopati
berusaha mengelak. Bukan berarti dia takut atau gentar. Tapi
memang dia merasa tidak pernah berurusan dengan orang tinggi
besar ini. Ada pepatah mengatakan musuh jangan dicari tapi kalau
120 NANDAR HIDAYAT bertemu dengan musuh jangan lari.
Iblis Merah Hutan Mandapa tertawa keras. Suaranya seperti
hendak merobek gendang telinga senopati Aji Dharma. Namun
senopati andalan kerajaan Indraprahasta ini sudah sigap. Suara
tawa yang disertai tenaga dalam sudah biasa dia hadapi.
"Itu karena kau belum melihat wajahku yang sebenarnya!" Ujar
Iblis Merah Hutan Mandapa.
"Kalau ada silang sengketa diantara kita sebelumnya,
seharusnya tidak bersikap pengecut seperti itu." Timpal senopati
sedikit memancing amarah. Dalam benak senopati merasa seperti
pernah mendengar suara orang tinggi besar ini, tapi belum bisa
menebaknya. Mungkin karena umur yang sudah hampir lanjut.
Si tinggi besar alias Iblis Merah Hutan Mandapa kembali
tertawa terbahak-bahak. "Aku beri tahu sedikit tentang urusan kita
biar kau tidak mati terlalu penasaran. Urusan aku dan kau adalah"
dendam"ha"ha"ha"!"
Senopati Aji Dharma tetap masih penasaran. Kalau urusan
dendam, mungkin orang-orang di masa lalu yang merasa tersakiti
sewaktu sang senopati masih malang melintang di dunia persilatan.
Rasa penasaran itu akan terjawab kalau si Iblis Merah Hutan
Mandapa membuka topengnya.
"Oh, ya!" Lanjut Iblis Merah Hutan Mandapa. "Aku ingat dulu
kau adalah seorang pendekar pilih tanding yang tentunya
mempunyai banyak musuh. Dan aku mungkin salah satunya, tapi
tak apalah biarlah aku mewakili semua musuh-musuhmu di masa
lalu dan biarlah pula kau mati dalam penasaran, ha"ha"ha"!"
"Kalau begitu tidak usah banyak basa basi lagi," Sela
senopati. "Silahkan lampiaskan dendammu jika itu bisa membuatmu
121 NANDAR HIDAYAT tenang!" Kembali suara tawa Iblis Merah Hutan Mandapa membahana
lalu berseru. " Kau masih saja sombong Aji Dharma!"
Sejenak senopati Aji Dharma teringat dengan suara yang
membentak ini. Namun belum sempat ingatannya datang. Iblis
Merah Hutan Mandapa sudah bergerak melancarkan serangan
dengan jurus tangan kosong yang dialiri tenaga dalam.
Maka terjadilah pertarungan adu jurus tangan kosong yang
cukup mematikan karena keduanya sama-sama menyertakan
tenaga dalam di setiap gerakannya. Walaupun senopati Aji Dharma
sudah berpengalaman menghadapi banyak lawan dan mengenali
banyak jurus. Tapi jurus yang dikeluarkan Iblis Merah Hutan
Mandapa baru sekarang dia mengetahui dan menghadapinya.
Mungkin benar juga kalau Iblis Merah Hutan Mandapa adalah
muridnya Birawayaksa dari hutan Mandapa. Karena selama
berkelana senopati Aji Dharma belum pernah bertemu bahkan
menghadapi tokoh sesat yang satu itu.
Lima belas jurus sudah berlalu. Senopati Aji Dharma masih
bertahan. Namun saat dia terpaksa harus menangkis sebuah
pukulan lawan yang tak bisa dihindari, dia baru merasakan kalau
tenaga dalam Iblis Merah Hutan Mandapa berada di atasnya.
Terlebih lagi karena ukuran tubuh si Iblis Merah yang lebih besar.
Tap! Tap! Dua telapak tangan beradu membuat tubuh senopati Aji
Dharma terdorong kebalakang sampai empat tombak. Hal ini
dilakukan terpaksa karena seperti tadi dia tak bisa lagi menghidari
pukulan lawan sehingga harus menyambutnya dengan papasan.
Sedangkan Iblis Merah Hutan Mandapa hanya tersurut satu
122 NANDAR HIDAYAT tombak saja. Pertanda tenaga dalamnya bukan tandingan sang
senopati. Sang senopati bukannya tidak menyadari hal ini, tapi dengan
rasa yakin dia masih bisa menghadapi lawannya. Maka saat jarak
berjauhan dia tingkatkan tenaga dalamnya bahkan langsung siap
mengeluarkan ilmu andalannya. Hawa saktinya dialirkan ke dua
telapak tangannya sehingga tampak memancarkan sinar
kemerah-merahan lalu kedua tangannya diputar-putar di depan
dadanya. Wus! Wus! Dari kejauhan dua telapak tangan yang bersinar tampak
seperti bintang berekor yang berputar-putar.
Di balik topeng merahnya Iblis Merah Hutan Mandapa
menyeringai angkuh penuh kesombongan karena dia merasa lebih
unggul dari senopati andalan kerajaan Indraprahasta ini. Bahkan
kalau dia mau, dia bisa saja merebut kekuasaan raja Indraprahasta.
Tapi dia lebih memilih kekuasaan yang jangkauannya lebih luas.
Wus! Satu sinar merah yang memancar keluar dari salah satu
tangan senopati berkiblat menghantam kearah Iblis Merah Hutan
Mandapa. Namun dengan gerakan cepat dan mudah sang Iblis
Merah dapat menghindari serangan jarak jauh itu.
Blaar! Sinar merah kiriman sang senopati mengenai tanah kosong.
Akibatnya daun-daun dan ranting kering berhamburan ke udara.
"Ha..ha..ha"!" Terdengar suara tawa Iblis Merah Hutan
123 NANDAR HIDAYAT Mandapa. Tawa yang mengejek.
Wuss! Wuss! Dua sinar berkiblat lagi dalam jarak waktu yang sangat cepat
dari sinar yang pertama. Blaarr! Blaarr! Namun pukulan dashyat ini kembali hanya menganai sasaran
kosong. Iblis Merah Hutan Mandapa begitu cepat gerakannya untuk
menghindar. Terdengar lagi tawanya yang menggelegar laksana
hendak mengguncang seantero tempat itu.
Sambil tersenyum mengejek lelaki tinggi besar bersorban
merah ini melompat ke udara melakukan gerakan jungkir balik
sambil mengerahkan hawa sakti ke dua tangannya. Kemudian saat
hendak mendarat dia hentakkan kedua tangannya kearah senopati
Aji Dharma yang masih bersipa-siap melancarkan serangan
berikutnya. "Heaaa?"! Wuuss! Dari kedua tangan Iblis Merah Hutan Mandapa melesat dua
sinar hitam menggidikkan. Begitu sinar hitam itu terlepas keluar si
baju merah ini sudah mendarat dengan berdiri.
Pada saat yang bersamaan melesat pula dua sinar merah
yang berasal dari dua tangan senopati Aji Dharma.
Wuuss! 124 NANDAR HIDAYAT Jleggarrr! "Aaaakh..!" Dua pukulan dashyat beradu di udara sehingga menimbulkan
ledakan yang dashyat pula. Kebun ladang di belakang istana
bergetar hebat laksana dilanda gempa.
Kalau Iblis Merah Hutan Mandapa hanya bergetar saja
badannya saat terjadi ledakan, dia tidak terluka sedikitpun akibat
dari ledakan itu. Lain halnya dengan senopati Aju Dharma. Akibat dari ledakan
dashyat itu tubuhnya terpental jauh hingga beberapa tombak.
Seluruh tubuhnya terasa sangat panas seperti terbakar. Panas
serasa membakar urat-urat di dalam tubuhnya hingga pecah dan
hancur lalu dia terkapar di tanah tanpa bisa bergerak lagi alias telah
melayang nyawanya. Berakhir sudah riwayat senopati Aji Dharma,
senopati andalan kerajaan Indraprahasta tanpa mengatahui pangkal
sebab permasalahannya dengan Iblis Merah Hutan Mandapa yang
menewaskannya. Iblis Merah Hutan Mandapa mendekati mayat senopati Aji
Dharma lalu badannya membungkuk sedikit dan menarik topengnya
keatas. Dia memperlihatkan wajahnya setelah senopati tewas.
"Kau ingin tahu wajahku!" Katanya sambil menyeringai puas.
"Nih, lihatlah dengan puas, ha"ha"ha"!"
Tentu saja sang senopati tidak bisa lagi melihat wajah Iblis
Merah Hutan Mandapa. Karena dia sudah berada di alam sana.
*** "Aku sudah menyelesaikan urusanku dengan Aji Dharma."
Santana Dan Garuda Bulu Emas Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
125 NANDAR HIDAYAT Kata Iblis Merah Hutan Mandapa kepada sang raja Indraprahasta
yang berdiri di depan pendopo istana. Lalu dia menjatuhkan tubuh
senopati Aji Dharma yang sudah tak bernyawa yang semula
dipanggul di atas pundaknya.
Brukk! Sang raja sebenarnya terkejut melihat kenyataan senopati
unggulannya telah jadi mayat. Namun dia sembunyikan wajah
terkejutnya dengan berdiam tanpa kata. Dalam hatinya berkecamuk
dendam. Ingin rasanya dia menghajar orang bertopeng merah yang
berdiri di hadapannya, tapi kemampuannya membuat dia merasa
pengecut. Tanpa pamit lagi Iblis Merah Hutan Mandapa berkelebat pergi
meninggalkan halaman pendopo. Hanya suara tawanya saja yang
terdengar keras. Sang senopati agul telah gugur.
*** 126 NANDAR HIDAYAT 9. PENYERBUAN KE GALUH Sungai Citarum, sungai besar dan berair jernih yang menjadi
perbatasan antara Galuh dan Sunda. Siang hari yang terik ini
tampak beberapa kapal besar yang mengangkut sekitar tiga ratus
prajurit dari kerajaan Sunda tengah menepi kepinggiran sungai.
Sanjaya, adalah orang yang menjadi pimpinan rombongan
pasukan ini. Dia berada di kapal yang paling depan yang telah lebih
dulu menepi, dia beserta prajurit yang mendampinginya sudah
berada di daratan. Sementara kapal-kapal yang lain pun mengikuti.
Seperti biasa rambutnya selalu digelung keatas, kali ini dia
berpakaian sedikit resmi, yaitu sebuah pakaian untuk berperang.
Ini adalah perjalanan Sanjaya yang kembali hendak menuju
Galuh setelah sekian lamanya mengunjungi negeri Sunda. Dia
kembali membawa pasukan sebanyak ini untuk merebut kembali
tahta Galuh dari tangan Purbasora yang telah merebutnya dulu dari
tangan ayahnya, Bratasenawa.
Begitu banyak pengalaman dan pelajaran yang dia dapatkan
selama berada di Sunda. Seperti ketika pertama kali datang
kesana, dia mengutarakan tentang keinginnanya kepada prabu
Tarusbawa bahwa dia ingin meerebut kembali kekuasaan Galuh.
Sang prabu Tarusbawa tidak begitu saja langsung memberikan
bantuannya. Prabu Tarusbawa ingin menguji kemampuan Sanjaya terlebih
dahulu. Di antaranya mempelajari kitab yang diciptakannya yang
bernama Pustaka Ratuning Bala Sarewu. Kitab tentang siasat
dan taktik perang. Selain itu juga harus menerapkan apa yang
didapat dari kitab tersebut, yaitu menghadapi pasukan bajak laut
127 NANDAR HIDAYAT yang meresahkan di sekitar perairan kerajaan Sunda. Karena,
menumpas bajak laut ini juga merupakan bagian dari ujian umtuk
Sanjaya. Dan, karena kecerdasan dan ketekunan serta keberanian
Sanjaya. Maka dia berhasil melewati semua ujian yang diberikan
prabu Tarusbawa. Semua perompak atau bajak laut yang merajalela
di perairan Sunda yang konon katanya didalangi oleh kerajaan
Sriwijaya dari Swarna Bhumi dapat ditumpas habis oleh Sanjaya.
Sebagai imbalannya atas keberhasilannya, prabu Tarusbawa
menikahkan cucunya yang bernama Teja Kancana kepada Sanjaya.
Selain itu juga, janji prabu Tarusbawa untuk membantu Sanjaya
ditepati yaitu memerintahkan tiga ratus prajuritnya untuk menyerbu
ke Galuh yang dipimpin langsung oleh Sanjaya.
Dan sekarang Sanjaya bersama pasukannya telah
menyebrangi sungai perbatasan Sunda dan Galuh, sungai Citarum.
Di balik keberhasilannya dalam menjalankan ujian serta tugas
selama di negeri Sunda, jauh di lubuk hatinya terdapat suatu rasa
yang menganjal. Suatu perasaan sepi dan hampa. Ya, sejak
pertama kali datang ke Sunda dan sekarang telah kembali lagi
menuju Galuh. Dia tidak ditemani sahabat karibnya dari kecil yaitu
Santana. Padahal sebelumnya mereka sudah berjanji akan bertemu
di Sunda. Namun sampai Sanjaya berhasil menguasai ilmu kitab
Pustaka Ratuning Bala Sarewu, menumpas bajak laut, dan
menikahi Teja Kancana. Santana belum juga muncul.
Padahal dia ingin sekali sahabatnya itu melihat keberhasilan
yang telah dicapainya, menyaksikan pernikahannya dengan Teja
Kancana. Bahkan lebih dari itu, dia ingin melewati ujian yang
diberikan prabu Tarusbawa bersama Santana. Biar bisa saling
merasakan suka dan dukanya seperti waktu kecil mereka bersama
128 NANDAR HIDAYAT resi Wanayasa. Namun dalam hatinya lagi, dia tidak pernah menaruh
prasangka yang buruk terhadap sahabatnya itu. Dia yakin pasti
Santana juga mengalami hal yang sama dengan dirinya atau
mungkin lebih sulit lagi rintangan yang dihadapinya, serta
membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengatasinya.
Sanjaya masih yakin dia pasti akan berjumpa lagi dengan
sahabat yang sudah seperti saudaranya sendiri itu. Santana.
Ketika semua prajurit sudah mendarat dan berbaris rapi maka
merekapun bersiap melanjutkan perjalanan menuju pusat kerajaan
Galuh. Karena begitu mendaratkan kaki di sebelah timur sungai
Citarum berarti mereka sudah memasuki wilayah Galuh.
Berdiri di paling depan Sanjaya sudah siap memimpin
pasukan, tiba-tiba di atas langit terdengar suara menguik yang
begitu santar dan menggema.
"Kreaakk! Kreaak!"
Kejap kemudian tiba-tiba angin bertiup kencang, lalu
terlihatlah di udara setinggi puluhan tombak satu sosok yang
terbang melayang mendekat kearah pasukan Sanjaya. Makin dekat
makin jelas sosok yang terbang itu ternyata seekor burung garuda
raksasa berwarna kuning keemasan. Dan ketika semakin terbang
merendah barulah terlihat di atas punggung burung garuda ini ada
seseorang yang sedang duduk menunggangi.
Seseorang yang membuat Sanjaya tersenyum senang,
mengobati hatinya yang hampa, mengobati suatu kerinduan di sisi
batin yang lain. Seseorang yang sangat dikenal dan sangat dekat
dengannya. Pucuk dicinta ulam pun tiba.
129 NANDAR HIDAYAT "Santana!" Seru Sanjaya langsung berlari kearah orang yang
baru turun dari atas punggung garuda. Santana sahabat karibnya
sewaktu kecil. "Sanjaya!" Seru Santana juga tersenyum lebar lalu mereka
saling berpelukan beberapa saat.
"Akhirnya kita bisa berjumpa lagi, Santana saudaraku!"
"Aku sangat senang tapi juga menyesal,"
"Menyesal kenapa?"
"Aku tidak menepati janji untuk berjumpa di Sunda,"
"Sudahlah, kita kan sudah bertemu. Lagi pula kau bukan tidak
menepati janji, hanya sedikit terlambat saja. Bukankah kau hendak
menyusulku?" "Iya memang begitu, tapi tadi dari jauh aku melihat ada
beberapa kapal negeri Sunda sedang menyeberangi sungai
perbatasan. Ketika aku melihat lebih dekat ternyata kau berada di
barisan paling depan. Itu berarti kau sudah kembali, benarkan?"
Sanjaya mengangguk masih tersenyum. Betapa senang
hatinya. Lalu dia melihat kearah burung garuda raksasa yang berdiri
tak jauh di belakang Santana.
"Kau hebat!" Ujar Sanjaya. "Kau memiliki binatang tunggangan
yang luar biasa, dari mana kau mendapatkannya?"
"Namanya Garuda Bulu Emas." Jawab Santana. "Nanti aku
akan ceritakan. Sekarang aku akan menemani perjalananmu, sudah
lama kita tidak melakukan perjalanan bersama. Sementara burung
130 NANDAR HIDAYAT garuda itu aku biarkan terbang bebas dulu?"
Lalu Santana berseru kepada Garuda Bulu Emas. "Wahai
Bulu Emas, kau boleh pergi dulu nanti jika aku membutuhkan, aku
akan memanggilmu." "Kreaak! Kreaak!"
Garuda Bulu Emas mengeak sambil menganggukkan kepala
pertanda mengerti ucapan Santana. Kemudian sosoknya melesat
ke udara meninggalkan tuannya. Pada saat sayapnya mengepak,
angin di sekitar tempat itu terasa berhembus kencang.
Sanjaya menggeleng berdecak kagum. "Luar biasa!"
Gumamnya. "Baiklah, kita berangkat!" Seru Santana.
Kemudian Sanjaya memberikan isyarat kepada pasukannya
untuk segera berangkat. Maka rombongan pasukan bersenjata
lengkap yang dipimpin Sanjaya ini bergerak meninggalkan tepian
sungai Citarum. "Aku sudah tidak sabar ingin mendengar ceritamu selama di
negeri Sunda," kata Santana.
"Aku juga tidak sabar ingin mendengar ceritamu sampai bisa
sehebat ini!" Timpal Sanjaya.
"Ah kau terlalu memuji, justru kau yang lebih hebat!"
Sepasang sahabat yang sudah seperti saudara ini pun saling
berbagi cerita pengalaman masing-masing selama di perjalanan.
Sehingga lamanya waktu dan jauhnya jarak yang ditempuh, tidak
131 NANDAR HIDAYAT mereka rasakan. *** Malam begitu sunyi mencekam. Namun suasana terasa
berkecamuk dalam hati Purbasora. Bagaimana tidak, berita tentang
akan adanya penyerangan pasukan Sunda ke istana Galuh yang
dipimpin oleh Sanjaya anaknya Bratasenawa telah membuatnya
resah. Apakah ini suatu pembalasan atas perbuatannya dulu
menyingkirkan Bratasenawa"
Lelaki setengah baya ini masih duduk di kursi kebesaran
yang telah dia rebut dari Bratasenawa tujuh tahun yang lalu. Dan dia
juga masih memakai baju kebasaran raja juga Mahkota Binokasih
Sanghyang Pake yang juga didapatnya dengan cara merebutnya
dari Bratasenawa. Beberapa saat yang lalu baru saja diadakan pasewakan di
Bale Mangu ini. Ruangan yang dulu dia juga merebut paksa tahta
Galuh dari saudaranya satu ibu lain ayah. Para pejabat istana yang
lain sudah kembali ke peraduannya masing-masing.
Sebenarnya dia tidak perlu merasa resah apalagi takut seperti
ini. Sebab dia mempunyai pasukan yang sudah terkenal hebat
dalam peperangan. Pasukan Bhayangkara yang sudah turun
temurun menjadi pasukan utama kerajaan sejak jaman
Tarumanagara dulu. Pasukan Bhayangkara yang berasal dari Indra
Prahasta. Selain itu juga dia didampingi oleh tokoh yang sudah tidak
diragukan lagi kesaktiannya. Iblis Merah Hutan Mandapa murid
Birawayaksa penghuni hutan Mandapa yang terkenal angker.
Tapi tetap saja hatinya galau bahkan rasa takut sudah
merasuki relung hatinya. Dalam pikirannya terbayang akan suatu
132 NANDAR HIDAYAT pembalasan akan yang menimpa dirinya. Walaupun dia memiliki
kekuatan yang lebih tapi serasa seperti tak ada apa-apanya.
"Apa yang membuat gusti prabu begitu tampak resah?"
Satu suara besar terdengar memecah lamunan Purbasora.
Seorang lelaki tinggi besar berpakaian seorang resi berwarna merah
yang kepalanya memakai sorban India dan wajahnya ditutupi topeng
kulit yang semuanya berwarna merah. Iblis Merah Hutan Mandapa,
sudah berdiri di hadapan sang raja Galuh.
Saat pertama kali Purbasora datang ke istana dan
menggulingkan Bratasenawa, orang yang berjuluk Iblis Merah Hutan
Mandapa ini tidak memakai topeng dan sorban seperti sekarang.
"Kanda Iblis Merah," Panggil Purbasora setelah menghela
napas begitu mengetahui ada orang yang datang. "Aku heran
kenapa akhir-akhir ini kanda selalu mengenakan sorban dan juga
topeng?" Tanya Purbasora. Sebuah pertanyaan yang mencoba
menghilangkan kegalauannya.
"Saya baru saja menyelesaikan urusan lama," Jawab Iblis
Merah Hutan Mandapa. "Baiklah, aku tidak mau tahu urusan kanda. Karena ada yang
lebih meresahkan hatiku,"
"Tentang anaknya Sena yang hendak membalas dendam?"
"Ya, itu yang utama?" Purbasora merubah duduknya dari
menyender menjadi tegak lalu kedua matanya memandang orang
kepercayaannya ini. "Tidak perlu ditakutkan, gusti!" Ujar Iblis Merah Hutan
133 NANDAR HIDAYAT Mandapa. "Aku percaya pada kanda, tapi aku heran dengan prabu
Tarusbawa. Aku dan dia sudah menjalin hubungan dengan baik
cukup lama, bahkan sudah sering pula menjalin kerja sama. Tapi
kenapa sekarang dia malah membantu Sanjaya?" Ungkap
Purbasora. "Apa gusti prabu belum mengetahuinya?" Tanya Iblis Merah
Hutan Mandapa. Purbasora menggeleng dengan pandangan kosong. Dua
telapak tangannya diletakkan di kedua lututnya. Sehingga tampak
seperti sedang bertolak pinggang.
"Dari kabar yang saya dapat," Lanjut Iblis Merah Hutan
Mandapa masih berdiri tegak. "Sanjaya berhasil melaksanakan
syarat yang diajukkan prabu Tarusbawa untuk menikahi cucunya?"
"Syarat?" "Syaratnya adalah menumpas bajak laut yang merajalela di
perairan wilayah Sunda yang konon katanya didalangi oleh kerajaan
Sriwijaya dari Swarna Bhumi?"
"Mmmh"!" Purbasora mengangguk-angguk mendongak dengan pandangan kosong.
sambil "Sanjaya berhasil menumpas bajak laut itu kerana
mempelajari sebuah kitab yang bernama Pustaka Ratuning Bala
Sarewu," "Pustaka Ratuning Bala Sarewu?"
"Ya, sebuah kitab yang berisi tentang taktik cara berperang
134 NANDAR HIDAYAT yang diciptakan oleh prabu Tarusbawa sendiri,"
Santana Dan Garuda Bulu Emas Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jadi karena itu sebabnya," Gumam Purbasora. Dalam
hatinya semakin galau, apakah mungkin kitab taktik perang yang
diciptakan prabu Tarusbawa itu telah dipelajari oleh prajurit Sunda
dan nantinya bisa mengalahkan pasukan Bhayangkaranya yang
terkenal tangguh" Suasana jadi hening. Tapi jika melihat keberadaan Iblis Merah
Hutan Mandapa, memang tidak perlu ada yang ditakutkan.
Purbasora sangat percaya kepada orang ini. Dia ingat perintah
ayahnya, jika ingin mendapatkan kekuatan besar untuk menguasai
Galuh yang menurut ayahnya adalah haknya, maka dia harus
datang ke hutan Mandapa dan meminta bantuan penguasa hutan
itu. Lalu bertemulah dengan Iblis Merah Hutan Mandapa yang
megaku sebagai murid Birawayaksa. Bahkan sang Iblis Merah
bersedia membantunya menggulingkan kekuasaan Bratasenawa.
Dan dari Iblis Merah Hutan Mandapa-lah dia mendapatkan beberapa
ilmu dashyat hingga dia bisa mengalahkan Bratasenawa.
Tiba-tiba saja suasana yang hening itu dipecahkan oleh suara
gemuruh diluar istana. Suara yang lama kelamaan semakin jelas
yaitu suara ratusan orang yang sedang berteriak keras.
Belum hilang rasa kagetnya, tiba-tiba lagi dari arah pintu
ruangan muncul dua sosok yang berkelebat melesat ketengah
ruangan dan mendarat tepat di sana. Ternyata mereka adalah dua
pemuda yang gagah. Yang satu berpakaian gagah layaknya
seorang pemimpin pasukan yang hendak menuju medan perang.
Yang satunya lagi hanya memakai baju biru tanpa lengan, bercelana
hitam, mengenakan kain pinggang batik dan ikat pinggang warna
hitam juga. Rambutnya terurai gondrong tanpa diikat kepala.
"Siapa kalian, berani masuk tanpa ijin?" Hardik Purbasora
135 NANDAR HIDAYAT langsung berdiri. "Aku Sanjaya!" Jawab salah seorang dari mereka yang
sebelah kiri, yang sebelah kanannya tidak lain adalah Santana.
Purbasora terkejut tak percaya benarkah yang di hadapannya
ini Sanjaya anak Sena. Berarti suara gemuruh di luar sana adalah
pasukan yang dibawa Sanjaya dari Sunda.
"Hei, rupanya kau di sini muka merah!" Seru Santana begitu
melihat lelaki bertopeng merah alias Iblis Merah Hutan Mandapa.
Tentu saja dia ingat peristiwa saat di rumahnya di bukit
Cibaringkeng. Lelaki bertopeng merah dan bersorban india yang
hendak membawa dua peti berisi perhiasan itu tidak lain adalah Iblis
Merah Hutan Mandapa. "Siapa kau!" bentak Pubasora kepada Santana. "Lancang
sekali kau terhadap guruku, Iblis Merah Hutan Mandapa!"
"Wah!" Santana seperti terkejut tapi dengan muka tolol sambil
usap-usap kepala. "Ternyata kau yang berjuluk si Iblis Merah Hutan
Mandapa. Orang yang hendak mencuri di rumahku dulu!"
"Siapa yang mencuri!" Tukas Iblis Merah Hutan Mandapa.
"Justru kau yang telah merampas harta simpananku!"
"Apa, harta simpanan?" Santana usap-usap kepalanya lagi.
"Mau apa kau, Sanjaya?" Tanya Purbasora menyela di antara
perdebatan Iblis Merah Hutan Mandapa dan Santana.
"Tidak perlu kau tanyakan," Jawab Sanjaya. "Karena kau
sudah tahu sendiri jawabannya. Aku sudah mendapat restu dari aki
resi Wanayasa, karena selama tujuh tahun aku dididik si sana. Aku
juga mendapat bantuan dari aki prabu Tarusbawa, ditambah
136 NANDAR HIDAYAT sekutu-sekutu kerajaan Galuh dan Sunda di sebelah timur pulau
Jawa ini juga memihakku karena mereka masih satu keluarga
denganku." Jelas Sanjaya menggertak.
Diam-diam Purbasora menciut nyalinya. Namun dia masih
percaya dengan Iblis Merah Hutan Mandapa di sampingnya.
Sanjaya melanjutkan. "Sekarang di luar sana para prajurit
pasukanku sudah mengepung, seberapa hebat pasukan
Bhayangkaramu yang sudah terkenal itu, aku yakin tak akan
mampu melawan pasukanku yang sudah terlatih taktik perang dari
kitab Pustaka Ratuning Bala Sarewu!"
Purbasora mendengus marah terlebih lagi ketika mendengar
suara Santana yang dianggap menghina gurunya.
"Sanjaya, biar aku urus si muka merah ini. Beberapa waktu
lalu aku belum selesai mempecundanginya."
Iblis Merah Hutan Mandapa juga menggeram marah
mendengarnya dia merasa diremehkan bahkan dipermalukan.
"Kurang ajar sekali kau anak muda!" Bentak Purbasora. "Kau
tidak punya sopan santun!"
Santana hanya tertawa mencibir sambil usap-usap
kepala."Gurumu!" Ujarnya. "Aku ingin melihat seperti apa wajah
gurumu yang sembunyi dibalik topeng bututnya!"
Habis berkata seperti itu, secepat kilat bahkan sampai tak
terlihat oleh Purbasora maupun Iblis Merah Hutan Mandapa, tangan
kanan Santana menyabet kedepan kearah topeng yang menutupi
wajah Iblis Merah Hutan Mandapa.
137 NANDAR HIDAYAT Set! Plak! Kejap kemudian terdengar suara seperti kayu patah, ternyata
itu adalah suara topeng yang dikenakan Iblis Merah Hutan Mandapa
patah jadi dua sehingga tersibaklah wajah aslinya.
*** 138 NANDAR HIDAYAT 10. DI BALIK TOPENG MERAH Santana sangat terkejut sekali begitu melihat wajah asli dari Iblis
Merah Hutan Mandapa. Karena dia begitu kenal sekali dengan
wajah ini. Sementara Pubasora dan Iblis Merah Hutan Mandapa
dibuat terpana dengan gerakan Santana yang tak terlihat itu. Sesaat
Santana menjadi gugup, hal ini dilihat oleh Sanjaya lantas dia
bertanya pelan. "Kenapa kau, Santana?"
"Ternyata kata-kata aki resi berlaku juga padaku," Jawab
Santana, namun Sanjaya masih belum mengerti maksudnya.
"Yang mana?" Tanya Sanjaya lagi.
"Tegakkanlah kebenaran walau harus menghadapi keluarga
sendiri." Jawab Santana. Rupanya benar apa yang dikatakan resi
Wanayasa bahwa dia tidak perlu mencari ayahnya dan suatu saat
nanti juga pasti akan bertemu dengan ayahnya. Ternyata pada saat
seperti ini dia bertemu. Lebih terkejutnya ternyata ayahnya ikut
menjadi pemberontak bersama Purbasora. Akhirnya dia
menduga-duga, saat melarikan diri dari hukuman ayahnya mungkin
pergi ke hutan Mandapa kemudian berguru Birawayaksa dan
selanjutnya membantu pemberontakan Purbasora menggulingkan
ayahnya Sanjaya. "Jadi siapa dia?" Tanya Sanjaya.
"Ayahku!" 139 NANDAR HIDAYAT Sanjaya terkesiap mendengarnya.
"Gusti parabu, kita harus segera bertindak," Ujar Iblis Merah
Hutan Mandapa. "Jangan takut ancamannya, dia hanya menggertak.
Justru kita lebih kuat!"
Purbasora mengangguk sambil menggeram. "Baiklah, aku
sama sekali tidak takut padamu Sanjaya!" Teriaknya serta merta
bergerak menerjang kearah Sanjaya. Terjadilah pertarungan antara
keduanya. Sedangkan Iblis Merah Hutan Mandapa yang ternyata adalah
Kuntawala, ayahnya Santana. Walaupun sempat dipecundangi
sewaktu di bukit Cibaringkeng, namun hatinya masih penasaran
ingin menjajagi kekuatan pemuda ini. Dia sama sekali tidak tahu
kalau pemuda di hadapannya adalah anaknya. Mungkin juga dia
sudah lupa wajah Santana waktu kecil atau sudah lupa bahwa dia
juga memiliki seorang anak lelaki.
"Kenapa wajahmu tampak berubah, anak muda?" Tanya
Kuntawala alias Iblis Merah Hutan Mandapa masih bersikap tenang
walau topengnya telah dibuat pecah sehingga tersingkap wajahnya.
"Apa nyalimu menciut setelah melihat wajahku?" Ejeknya.
"Apa kau muridnya Birawayaksa?"Tanya Santana tenang.
Kuntawala terbahak-bahak mendengarnya. "Tidak salah, kau
takut?" Santana tersenyum. "Aku tidak takut sekalipun kau dibantu
oleh gurumu?" "Sombong!" "Tidak kusangka, kau melarikan diri di saat akan dijatuhi
140 NANDAR HIDAYAT hukuman. Ternyata kau berguru kepada Birawayaksa dan sekarang
menjadi pembantunya Purbasora."
Kuntawala terkesiap. "Siapa kau?"
"Ternyata kau juga sudah tidak mengenaliku!" Ujar Santana.
"Tentunya kau masih ingat pertarungan di bukit Cibaringkeng dulu?"
"Ya, kau memakai namaku!"
"Salah sendiri, kenapa mukamu ditutupi topeng!"
"Sudahlah anak keparat, aku tidak peduli lagi siapa kau.
Pertarungan tempo hari belum selesai, sekaranglah waktunya
menentukan siapa yang lebih kuat!"
"Baiklah, silahkan!"
"Huh, kubungkam kesombonganmu bocah ingusan!"
Kemudian Kuntawala bergerak melayangkan tinjunya ke
muka Santana, tentunya disertai tenaga dalam yang kuat. Namun
pemuda yang ilmunya bertambah berkat Garuda Bulu Emas ini
hanya meliukkan badan menghindar.
Wuss! Pukulan Kuntawala alias Iblis Merah Hutan Mandapa
mengenai sasaran kosong. Sekejap kemudian pukulan-pukulan
berikutnya menyusul dengan cepatnya, bahkan gerakannya seperti
bayangan. Dua tangan Kuntawala berkelebat laksana angin.
Santana memang masih muda umurnya namun soal
kepandaian tampaknya sudah menyamai tokoh seperti ayahnya ini.
Ini semua karena ajian "Wadah Rahayu" yang mendarah daging di
141 NANDAR HIDAYAT tubuhnya membuat dirinya cepat menguasai suatu jurus atau ilmu
apapun. Pertarungan antara ayah dan anak pun terus berlanjut. Kali ini
Kuntawala alias Iblis Merah Hutan Mandapa mengeluarkan
jurus-jurus yang lain, yang tidak digunakan sewaktu di bukit
Cibaringkeng. Jurus-jurus yang didapat dari Birawayaksa gurunya,
walaupun berguru kurang dari setahun saja. Jurus-jurus yang
gerakannya aneh dan sangat sulit untuk diikuti atau ditiru lawan. Dia
sengaja menggunakannya karena sewaktu di bukit Cibaringkeng,
lawannya ini bisa menirukan gerakan jurusnya.
Tampaknya Santana mengerti apa yang dilakukan ayahnya
ini, tapi serumit apapun gerakan jurusnya dia masih bisa
memperhatikan. Namun kali ini dia tidak ingin melakukannya lagi,
dia hanya bergerak tenang namun gesit dan cepat menghindari
setiap serangan lawan baik pukulan maupun tendangan. Walaupun
dia sudah memiliki beberapa jurus baru yang didapat dari Garuda
Bulu Emas, namun dia merasa belum saatnya untuk
menggunakannya. Lama-lama Santana terdesak juga, ruang geraknya untuk
menghindar semakin sempit. Maka terpaksa dia memapasi
serangan lawannya. Tak! Tak! Saat beradu tangan menangkis pukulan lawan ini, Santana
bisa merasakan seberapa besar tenaga dalam ayahnya. "Masih
seimbang!" Gumamnya dalam hati. Tiba-tiba dia teringat dengan
ajian "Wadah Rahayu" miliknya. Dia lupa kalau ajian ini watak
utamanya adalah kekebalan tubuh. Kenapa tadi malah memapasi
pukulan lawannya" Pikirnya. Lalu dalam benaknya muncul satu
rencana. 142 NANDAR HIDAYAT Yaitu saat ada satu pukulan yang mengarah ke dadanya,
Santana sengaja membiarkannya tanpa menangkis tanpa
menghindar bahkan pura-pura lengah saja.
Dugh! Tubuh Santana terdorong tiga langkah kebelakang, namun dia
tidak merasakan sakit. Malah lawannya menjadi terkejut dan
menghentikan serangannya.
"Ajian Wadah Rahayu!" Gumam Kuntawala, hatinya
menduga-duga. Dia teringat ajian ini dia sendiri yang
mendapatkannya dan satu-satunya orang yang memiliki ajian ini
adalah anaknya. "Kau"!" Suara Kuntawala seperti tersendat.
Sedangkan Santana hanya menunjukkan raut muka dingin.
Dia memandang ayahnya seperti memendang sesuatu yang
dibencinya. "Ternyata kau masih hidup, tapi kenapa kau menentangku?"
Suara Kuntawala agak gemetar.
"Aku hanya menegakkan kebenaran!"
"Kebenaran omong kosong, tidak tahu balas budi. Anak
durhaka!" "Aku senang disebut anak durhaka, karena yang ku durhakai
adalah seorang perampok, pemberontak yang gila kekuasaan!"
Bantak Santana. "Kurang ajar, kucabut kembali ajian Wadah Rahayu-mu!"
143 NANDAR HIDAYAT Kuntawala alis Iblis Merah Hutan Mandapa berteriak murka.
Tak ada lagi Tanya dalam hatinya tentang bagimana anaknya masih
bisa hidup bahkan menjadi seorang yang berkepandaian tinggi,
karena hatinya kini sudah tertutup benci dan kecewa. Lebih kecewa
lagi bila mengingat harta simpanannya telah dirampas anaknya.
Dengan mengalirkan tenaga dalam tingkat tinggi, kedua
tangannya menghentak kebawah.
Brat! Lantai yang diijak kakinya timbul letupan kecil. Saat diangkat
kembali kedua tangannya sudah diselimuti sinar merah menyala
sebatas siku. Dua tangan itu seperti membara.
Wut! Jerr! Kemudian dua tangan Iblis Merah Hutan Mandapa
menghentak kedepan. Sinar merah yang menyelubungi taangannya
memancar kearah tubuh Santana, kejap berikutnya tubuh anaknya
ini bagaikan terlilit sinar merah menyala bahkan kali ini tampak
mengepulkan asap merah pula.
Santana tak bisa menghindar dari lilitan sinar merah ini,
Santana Dan Garuda Bulu Emas Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
karena tubuhnya seperti ada yang menyedot. Tubuhnya bergetar
hebat dan terangkat keatas sampai beberapa jengkal. Dia
merasakan seperti disengat ratusan semut namun saat tenaga
dalamnya dikerahkan lebih tinggi lagi rasa sengatan itu semakin tak
terasa. Mungkin benar, ayahnya ini sedang menyedot atau
melepaskan kembali ajian Wadah Rahayu yang tersimpan di
badannya. Tapi sang ayah tidak tahu kalau ajian ini sudah
dikembangkan dan disempurnakan selama digembleng oleh resi
144 NANDAR HIDAYAT Wanayasa. Sedangkan Kuntawala terus mengerahkan seluruh
kekuatannya untuk menyedot ajian ciptaannya. Keringat dingin
tampak mengucur di keningnya yang mengerut. Sementara urat-urat
leher dan kedua tangannya tampak menyembul kencang,
menandakan bahwa tenaga yang dikeluarkannya sangat besar. Dia
seperti sedang menarik gunung saja.
"Kenapa jadi sangat berat menarik ajian Wadah Rahayu dari
dalam tubuhnya?" Tanya Kuntawala dalam hati. Saat melihat
kesana, Santana tampak tersenyum. "Hiaaa"!" Dia berteriak
garang. Tak peduli lagi anaknya atau bukan dalam benak si Iblis
Merah yang semula hanya ingin menyedot ajian Wadah Rahayu kini
berkeinginan untuk melenyapkan saja pemuda yang menjadi
lawannya. Sedangkan Santana merasakan kekuatan sinar merah yang
menyelubunginya semakin kencang bahkan seperti mencekik
semua urat-urat penting di tubuhnya. Maka sebelum keadannya
menjadi parah dia segera tingkatkan tenaga dalamnya lebih tinggi
lagi. Kedua matanya menatap tajam kearah ayahnya sambil
memusatkan pikiran di kepala. Mulutnya tampak komat-kamit
merapalkan sesuatu. Sebh! Tubuh Santana yang semula terangkat kini bergerak turun
cepat lalu seperti menancap di lantai. Kuda-kudanya menjadi kuat
tak tergoyahkan. Lalu dari kedua tangannya keluar cahaya hijau
sebesar lidi dalam jumlah banyak seperti tali yang melilit. Inilah
ajian "Bayu Jangjang Dadali" yang didapat dari Garuda Bulu Emas.
Perlahan kedua tangannya mengangkat seperti sayap garuda yang
145 NANDAR HIDAYAT sedang mengembang. Selubungan sinar merah di badannya kini
sudah tak dirasakannya lagi.
"Yeaah!" Santana berseru sambil megibaskan kedua tangannya
laksana garuda yang mengepakkan sayapnya.
Wutt! Sinar-sinar hijau sebesar lidi yang melilit kedua tangannya
melesat memanjang dan bertambah banyak menjadi ratusan
sehingga bentuknya seperti hujan sinar menderu kearah Kuntawala.
Tes! Tes! Tes! Hembusan hujan sinar hujau yang menerpa Kuntawala
menimbulkan suara seperti api yang terkena tetesan air. Saat itu
suasana di dalam istana seperti dilanda hujan salju, ini adalah suatu
ajian yang dikeluarkan Sanjaya yang sedang melawan Purbasora di
sebelah sana. Saat itulah tiba-tiba Iblis Merah Hutan Mandapa
terpental dan sinar merah di tangannya lenyap. Begitupun sinar
merah yang melilit di tubuh Santana.
Bruugh! Tubuh Kuntawala terjatuh kelantai berguling-guling. Saat
dihujani sinar hijau tadi, tubuhnya di bagian tertentu seperti terkena
percikan kembang api yang sangat panas. Lalu dia terkulai lemas
tak berdaya seperti tak punya tenaga lagi untuk sekedar bangkit.
Santana menarik napas lega, sinar hijau di tangannya sudah
hilang. Lalu dia mendekati sosok ayahnya yang tergeletak tak
berdaya. Terdengar suara erangan dari mulut murid Birawayaksa ini.
146 NANDAR HIDAYAT "Kau apakan aku?" Tanya Kuntawala hampir tak bersuara.
Untuk menggerakkan jarinya saja rasanya sangat sulit. Ternyata
kekuatan yang dimiliki anaknya ini sangat dashyat. Masih
beruntung dia tidak dibunuh.
"Aku melumpuhkan kekuatanmu." Jawab Santana pelan. Ajian
Bayu Jangjang Dadali yang digunankannya tadi memang diarahkan
pada titik-titik tertentu saja dengan maksud melumpuhkan kekuatan
lawan. "Oh ya!" Kata Santana lagi. "Aku ingin memberi tahu bahwa
harta simpanan yang aku bawa dulu telah kukembalikan kepada
pemiliknya." *** 147 NANDAR HIDAYAT 11. PURBASORA PEJAH Sekarang kita ikuti pertarungan antara Sanjaya dan Purbasora yang
kejadiannya bersamaan dengan pertarungan Santana dan ayahnya.
Tampaknya Purbasora langsung mengerahkan seluruh
kekuatannya. Bagaimana tidak, dia ingin mempertahankan
kekuasaannya. Namun dalam hatinya tetap was-was karena diluar
istana suara gemuruh semakin santar terdengar. Pikirannya agak
terpecah. Sebelumnya dia memang sudah memerintahkan agar semua
prajurit bersiap siaga untuk menghadapi serangan pasukan Sunda
yang kabarnya akan segera tiba, dan mungkin juga akan menyerang
sacara dadakan. Dan dugaannya benar kini perang itu telah terjadi.
Dia tidak tahu apakah prajuritnya bisa bertahan atau tidak.
Kembali ke pertarungan. Purbasora sedikit merasa lega saat melancarkan
serangannya, saat pukulannya berpapasan dengan pukulan lawan.
Ternyata tenaga dalam lawan masih seimbang, sehingga dia merasa
bisa mengatasi anak Sena ini.
Hanya jurus tangan kosong yang mereka keluarkan. Sanjaya
tampak tenang menghadapi lawannya. Dia berhasil menipu
lawannya dengan mengeluarkan tenaga dalam yang seimbang. Hal
itu bisa dilihat dari raut wajah Purbasora yang tampak percaya diri.
Padahal Sanjaya hanya mengerahkan kurang dari setengahnya
saja. 148 NANDAR HIDAYAT Set! Wut! Tangan kanan Purbasora menyambar kebagian leher
Sanjaya, kali ini dia meningkatkan lagi kekuatannya.
Tak! Dalam sekejap tangan kiri Sanjaya berhasil menangkisnya
dan sekaligus membuat Purbasora terkejut karena sambarannya
mental bahkan sampai mendorong badannya beberapa langkah.
Seketika wajah Purbasora pucat. "Ternyata anak ini masih
menyimpan kekuatannya!" Gumammnya dalam hati. Tidak
menyangka hanya gerakan menangkis saja bisa mendorong
tubuhnya. Sanjaya tersenyum. Purbasora menggeram lalu hentakkan kedua tangannya,
mengalirkan tenaga sakti kabagian kepalan tangan sehingga
tampak mengeluarkan cahaya merah dan juga mengepulkan asap.
Tampak dua kepalan tangannya seperti membara.
"Hiaah"!" Wuss! Purbasora hentakkan tangan lagi lalu dari kepalan tangannya
melesat dua bola api sebesar kepala menghantam kearah Sanjaya.
Namun pemuda yang sudah banyak ilmunya ini hanya
mengepos di tempat sehingga dua bola api yang sangat panas
ituhanya melintas di atas kepalanya lalu menghantam salah satu
tiang di ruangan itu. 149 NANDAR HIDAYAT Brakk! Tiang yang terbuat dari batu itu hancur dan roboh ke lantai.
Wuss! Werr! Sekali lagi dua bola api melesat menyerbu Sanjaya.
Tampaknya Purbasora tidak memberi kesempatan lawannya untuk
menyerang. Namun seperti tadi, serangan ini hanya mengenai
sasaran kosong. Kali ini mengenai lantai sehingga batu-batu
tersusun di lantai bermuncratan seperti air. Sanjaya yang begitu
gesit hanya melompat sambil jungkir balik.
"Kau merusak istana, kalau sudah tidak mau serahkan saja
padaku!" Seru Sanjaya membuat hati Purbasora semakin panas.
Kemudian lelaki hampir tua ini berteriak sekencang-kencangnya, mengeluarkan seluruh kesaktiannya. Dari
kedua kepalan tangannya yang semula hanya membara kini
berubah menjadi nyala api yang menjilat-jilat panjang. Dua
tangannya laksana obor besar yang apinya menjulur panjang hampir
menyentuh langit-langit. Tidak hanya itu, dari mulutnya juga tampak menyembur lidah
api merah yang dashyat. Tak ubahnya seperti pemain srkus yang
menyemburkan minyak tanah ke api dari mulutnya.
Melihat hal ini, Sanjaya tahu kalau lawannya sedang
mengeluarkan ilmu andalannya yang ganas dan tentunya sangat
mematikan. Maka dia segera mengalirkan hawa saktinya ke seluruh
badannya. Hawa sakti yang dingin sedingin es.
Akalnya memang cerdik, untuk menghadapi yang panas, dia
150 NANDAR HIDAYAT melawannya dengan yang dingin. Sanjaya mengeluarkan ajian
"Bayu Giri" yang didapat dari resi Wanayasa. Sebuah ajian yang
wataknya mendinginkan bahkan membekukan suasana sekitarnya
bila digunakan. Tentunya dengan pengerahan tenaga dalam tingkat
tinggi karena lawannya juga tampak mengeluarkan ilmu
pamungkasnya. "Wayya!" Purbasora menjerit sekencang-kencangnya laksana hendak
merobek dinding-dinding istana. Kedua tangan di putar-putar lalu
dihentakkan kedepan persis seperti melakukan gerakan mendorong
sampai-sampai badannya condong kedepan dengan salah satu kaki
menekuk di depan. "Wusss! Werrr! Lalu menyemburlah lidah api yang begitu besar dan dashyat
dari kedua tangan dan mulutnya menjadi satu menyambar kearah
Sanjaya. Siapa saja yang terkena api ini tubuhnya akan meleleh.
Jangankan manusia, baja yang kuat dan besar saja bisa leleh.
Sewaktu menghadapi Bratasenawa dia tidak menggunakan ajian ini
karena ayahnya Sanjaya ini tidak begitu sakti seperti Sanjaya
sekarang. Sementara Sanjaya yang sudah bersiap-siap dari tempatnya
berdiri. Dengan kekuatannya yang sudah mengalir penuh dia juga
menghentakkan kedua tangannya kedepan menghadang serangan
lawan sebelum lidah api yang dashyat itu membakarnya.
Cess! Dari dua tangan Sanjaya menyembur kabut putih dingin
seperti salju, semakin lama semakin besar bahkan seluruh ruangan
istana laksana dilanda hujan salju. Sehingga semburan lidah api
151 NANDAR HIDAYAT yang berasal dari Purbasora perlahan-lahan mengecil. Hal ini juga
membantu Santana saat mengeluarkan ajian Bayu Jangjang Dadali.
Lep! Lidah api pun menjadi padam tertutup kabut dingin. Kini
Purbasora tampak bergidik kedinginan. Seumpama sebatang besi
yang membara lalu disiram air, begitulah keadaanya sekarang.
Bahkan di sekujur tubuhnya tampak retak-retak seperti retaknya
kayu arang. Wuss! Bruukk! Tubuh Purbasora mencelat lalu ambruk persis di samping
sosok Kuntawala yang barusan tergeletak lemah tak berdaya. Iblis
Merah Hutan Mandapa ini tampak bergidik melihat keadaan
Purbasora yang mengenaskan.
Tak berapa lama suasana yang seperti hujan salju itu kini
kembali seperti semula. "Sanjaya!" Santana memenggil. "Aku serahkan ayahku ini
padamu untuk menerima hukuman yang setimpal sesuai peraturan
di negeri ini," Katanya lalu menarik napas sejenak. "Dia sudah
kehilangan semua kekuatannya, aku sudah memusnahkannya,"
"Kau memang bijaksana, sahabatku." Ujar Sanjaya. "Kau
tidak begitu saja langsung menjatuhkan tangan, tidak seperetiku
yang membunuh Purbasora."
Santana menyeringai sambil usap-usap kepoala. "Kurasa kau
hanya terpaksa saja melakukannya.."
152 NANDAR HIDAYAT "Ah tidak juga."
Kemudian Sanjaya bergegas keluar yang masih terdengar
suara gemuruh dua pasukan yang sedang bertempur di malam yang
masih buta. Tiba-tiba terdengar suara teriakan yang menggelegar yang
mengalahkan suara gemuruh ratusan prajurit.
"Purbasora pejah!"
Sekejap kemudian suasana menjadi sunyi begitu mendengar
teriakan yang ternyata keluar dari mulut Sanjaya.
Tak berapa lama lalu terdengarlah suara senjata-senjata yang
dijatuhkan. Yang melakukannya adalah prajurit-prajurit Galuh. Dan
terdengarlah suara-suara sorak kemenangan.
"Hidup Prabu Sanjaya!"
"Hidup!" Begitulah akhirnya kekuasaan Purbasora di istana Galuh
berakhir hanya selama tujuh tahun saja. Dengan demikian, Sanjaya
sang pewaris sah kini yang memegang tampuk kekuasaan. Selain
itu karena dia juga menikahi cucu prabu Tarusbawa maka dia juga
berhak menggantikan raja Sunda itu. Berarti Sunda dan Galuh yang
sempat terpisah kini disatukan kembali oleh Sanjaya.
*** 153 NANDAR HIDAYAT Saat Sanjaya menawarkan sebuah jabatan untuk Santana.
Santana Dan Garuda Bulu Emas Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan tulus pemuda berambut gondrong terurai ini menolaknya
dengan alasan masih ada tugas lain yang belum dilaksanakannya.
Namun dia akan selalu mengingat sang Raja baru di Galuh itu dan
akan tetap bersahabat. Ya, Santana memang masih ada tugas lain, tugas yang
diterima dari sang Garuda Bulu Emas. Untuk menghentikan sepak
terjang dan melenyapkan ilmu sesat Birawayaksa penguasa hutan
Mandapa. Dia juga harus menyelamatkan Anting Kemala gadis
pujaan hatinya yang di sandera Birawayaksa.
Petualangan Santana belum selesai sampai di sini!
INI HANYA EDISI COBA-COBA
MOHON KRITIKANNYA APABILA ADA KEKURANGAN
DALAM CERITA, BAIK PENUTURAN, KARAKTER TOKOH, ALUR,
DAN SEBAGAINYA. DITUNGGU DI arjunandar@gmail.com facebook.com/arjunandar @arjunandar 154 Pendekar Binal 7 Gento Guyon 2 Tanah Kutukan Pendekar Guntur 24
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama