Ceritasilat Novel Online

Hulubalang Raja 4

Hulubalang Raja Karya Nur St. Iskandar Bagian 4


Selang beberapa lama kebetulan majelis diadakan oleh Verspreet di loji. Hasilnya sangat menyenangkan hati; tak kelihatan di dalamnya apa-apa yang dikhawatirkan 'si Buyung' itu. Rupanya Verspreet insaf akan kesalahan yang diperbuat Gruys, yaitu beraja pada hati sendiri. Oleh sebab itu, segala buah pikiran orang besar-besar didengarkannya dan diindahkannya.
"Terima kasih," katanya, setelah mendengar keterangan Hulubalang Raja tentang tipu muslihat perang yang akan dilakukan pada Pauh itu, "tinggal lagi sekarang perkara Kotatengah, yangbelot itu. Lebih baik negeri itu kita hancurkan."
"Oh, tiada boleh tergesa-gesa! Jangan terburu nafsu, Tuan," kata Regen dengan cepat dan sungguh-sungguh, "kita mesti bekerja dengan akal budi yang halus. Dengan kekerasan takkan diperolehnya keselamatan sebab negeri Kotatengah kuat kukuh juga."
"Tetapi apa akal?" tanya Verspreet dengan agak tersurut sedikit.
"Lebih dahulu berbicara dengan segala penghulu di sana, berikhtiar supaya mereka itu tetap setia akan janjinya. Sebab kalau Kotatengah melawan, amat besar bahayanya. Lain daripada kita mesti bertentangan dengan negeri itu sendiri, musuh dari tempat lain pun mudah masuk dari situ."
Verspreet mengangguk-anggukkan kepalanya, alamat setuju dengan timbangan Regen itu.
"Demikian juga dari pihak Ujungkarang dan Batubantal," kata Hulubalang Raja pula, "orang Aceh sudah banyak masuk ke situ, diterima orang dengan sukacita. Jadi kita mesti berhati-hati benar."
Beberapa hari kemudian, sepuluh orang penghulu Kotatengah dan beberapa penghulu Ujungkarang tiba di Padang. Mereka itu berjanji dan bersumpah setia dengan Alquran akan membantu Padang memerangi orang Aceh dan sekutunya; dalam penerangan ini kompeni harus menolong dengan senjata dan pasukan, tetapi tiada terkemuka, tiada melagak berkuasa di sana.
Dengan segera Verspreet bersiap hendak berangkat ke Pauh. Bala tentara dinaikkan ke darat dengan upacaranya. Sementara itu Hulubalang Raja sudah mengajak dua belas atau tiga belas perahu orang Melayu, yang dilarang berniaga, akan turut berperang. Meriam penembakan bom pun telah dipasang sekaliannya. Dalam pada itu, datang pula bantuan tiga puluh orang lagi. Sebelum berangkat ke medan perang, lebih dahulu Verspreet diajak oleh 'si Buyung' pergi mengintai-intai benteng musuh, supaya nyata kepadanya bahwasanya negeri Pauh itu amat besar adanya. Tak dapat diserang dalam sekejap saja, sebagaimana pikiran Mendiang Gruys yang takabur dan sombong itu! Dan supaya berhasil penyerangan, maka dinasihatkannya, bala tentara mesti tinggal barang semalam di medan perang "barangkali lebih ....
Kemudian anak negeri disuruhnya mengangkut kemah ke atas bukit kedi empat segi kira-kira seperempat mil di luar kota Padang. Segala kemah itu akan dipasang di situ untuk tempat bermalam sebab amat berbahaya tidur di tengah padang saja. Hawa tiada baik! Akan tetapi, pekerjaan itu tiada dapat dilangsungkan dengan cepat sebab pada ketika itu hujan turun amat lebat, tiada berhenti-henti beberapa hari lamanya. Pada tanggal 14 September barulah berdiri kemah itu.
Betapa teguh hati dan tetap iman orang Pauh, pada hari itu kelihatan sudah kepada orang Padang dan kompeni. Pasukan Ambon pergi melihat-lihat keadaan, sepanjang jalan yang ditempuh Gruys dahulu. Seketika juga mereka itu pun diserang oleh musuh.... Perang menjadi, bukan buatan hebatnya sebab hampir sekalian bala tentara sudah turut menyeburkan diri.
Ketika Vespreet hendak campur pula, dilarang oleh Hulubalang Raja dengan perkataan, "Tahan nafsu dahulu, Tuan. Sabar dan tenangkan pikiran menanti saat yang baik. Ingat-ingat, beri saja perintah dan pimpinan dari sini."
Sungguh deras serangan dan pukulan orang Pauh, tetapi pihak Padang dan kompeni menangkis dengan gagah perkasa pula, sambil mendesak tiada berkeputusan. Akhirnya, musuh terpaksa undur dan ketika itu barulah Hulubalang Raja dan Verspreet berbalik ke kemah kembali.
Hujan lebat turun pula, dua hari dua malam lamanya. Pada tanggal 16 September perang diulang sekali lagi.
Bala tentara berbaris. Yang di muka sekali dua pasukan laskar berbedil, dikepalai oleh Poolman. Sayap kiri, yaitu serdadu Ambon dan pasukan Bugis; sayap kanan laskar Padang yang kira-kira 800 atau 1.000 orang banyaknya dan dikepalai oleh Hulubalang Raja sendiri. Di tengah-tengah dua pasukan matros dan dua pasukan pula serdadu, di bawah perintah kemendur dan di belakangnya ada kereta meriam, mesiu, dan lain-lain, yang dijalankan oleh enam puluh orang kelasi. Akan penutup di belakang sekali, ada pula dua pasukan besar.
Hari masih pagi benar, hawa masih sejuk, tetapi sekalian orang perang itu telah berasa panas badannya"panas karena hati gembira. Setelah siap sekaliannya, segala pasukan itu pun berangkat ke medan perang, sambil 'memohonkan rahman dan rahim Allah subhanahu wataala'. Gemuruh bunyi langkahnya yang serentak, amat panjang barisannya, bersaf-saf sehingga pasukan yang di belakang sekali kalau dilihat dari muka, sudah kedi rupanya; itu pun belum habis lagi, barisan itu belum putus, ada lagi yang terlindung di balik kelok jalan .... Bendera tiap-tiap pasukan itu berkibar-kibar ditiup angin sepoi-sepoi basah; bedil dan tombak bagai ranting bercoangan ke udara, berkilat-kilat kena sinar matahari yang masih lembap; pedang bergantungan di sisi paha masing-masing, gemerencing bunyinya meningkah langkah yang sederap serentak itu. Keris, "senjata itu pun menghiasi pinggang orang yang menghendaki darah musuh itu. Opsir-opsir berjalan kaki"ada pula yang berkuda"di sisi barisan laskarnya masing-masing dengan gagah, pedang terhunus ada di tangannya, seraya mengamat-amati pasukan itu dengan mata yang tajam.
Hulubalang Raja, panglima laskar sayap kanan, kelihatan berkendaraan dengan sabar. Air mukanya tenang, pandangnya tajam dan awas. Kalau ditilik badannya yang tiada seberapa besarnya, kalau dilihat wajahnya yang putih kuning bersih, halus bentuk dan rautnya, sekali-kali belum patut lagi ia memimpin pasukan bala tentara yang sebesar itu. Akan tetapi, keberanian dan kecakapan rupanya tiada bergantung kepada raut dan badan bentuk muka. Selama ini sudah nyata benar-benar kepada Regen Padang kekerasan hati dan kesetiaan orang muda itu sehingga ia sudah percaya betul menyerahkan pimpinan yang seberat itu kepadanya.
Baru kira-kira setengah jam perjalanan Verspreet pun menggertakkan kudanya, lalu berjalan bersisi-sisian dengan orang muda yang tangkas itu.
"Senang hati saya melihat pimpinan Hulubalang," katanya dengan manis, "jauh lagi tempat musuh?"
"Kira-kira dua jam perjalanan lagi, Tuan," sahut panglima muda itu.
Ia pun memandang berkeliling dan kemudian menunjuk ke muka tepat, yaitu arah ke sebelah timur laut. Di kaki Bukit Barisan terbentang daerah negeri Pauh, terdiri dari delapan buah kampung yang besar dan kukuh. Di sebelah utara sekali terletak Kampung Kelumbuk, sudah itu Kota Pauh, dan di sebelah selatan kelihatan Batubantal; di hadapan negeri itu sudah dibuat kubu yang enam belas kaki tebalnya dan sepuluh s.d. sebelas kaki dan pada beberapa tempat enam belas s.d. tujuh belas kaki tingginya; di sebelah muka kubu itu terbentang sawah diairi oleh dua batang sungai yang mengalir melalui negeri Pauh yang amat ramai itu.
"Tuan, lihat," katanya pula sambil menunjukkan ranah negeri itu kepada Belanda itu"negeri, yang menimbulkan perasaan pahit dan pedih di dalam hatinya " "berapa luasnya danberapa banyaknya rumah di situ?"
"Ya," sahut Kemendur seraya memandang tenang-tenang ke arah tunjuk itu, "saya kira, ada 8.000 buah banyaknya."
Jalan yang ditempuh bala tentara itu adalah setengah mil lebih panjang daripada jalan Gruys dahulu; tetapi lebih mudah dilalui, tidak serupa jalan yang ada di sebelah selatan ini.
Makin lama panas makin terik, badan laskar sudah basah oleh peluh. Tempat yang dituju pun semakin dekat juga. Setelah berjalan kira-kira tiga jam lamanya dengan susah payah, mereka itu pun tiba di antara Kelumbuk dengan Pauh yang ramai itu.
"Awas, Tuan," kata Hulubalang Raja dengan tiba-tiba kepada Verspreet, "beri perintah laskar sekalian. Musuh ..."
Dengan sigap dan tangkas, Verspreet memalingkan kepala kuda kepada barisannya. "Siap!" serunya pula dengan nyaring, "Jaga tempat masing-masing."
Bala tentara berhenti, masing-masing mencapai senjatanya. Sebentar itu juga kedengaranlah suara riuh rendah di sayap kiri; musuh kelihatan olehnya datang dari arah Kelumbuk. Mereka itu maju ke situ. Sementara itu haluan bala tentara pun diserang orang dari muka dengan keras, lalu berperang dengan hebat. Sibuk, dalam sekejap mata saja musuh sudah datang dari segenap pihak"laskar kompeni terkepung di tengah-tengah dan tercerai dari laskar orang Padang yang gagah....
Laskar Pauh mendesak laskar Padang dengan keras sehingga terjadi peperangan yang hebat dahsyat. Mereka itu bertikam-tikaman, bertangkis-tangkisan dengan sigap dan tangkas. Kedua belah pihak sama-sama tiada mau undur rupanya; niat maksud mereka itu serupa, tiada bertukar berubah, hendak menang di medan perang itu. Bunyi pergesekan mata pedang, bunyi tangkai tombak patah remuk, bercampur baur dengan gemuruh tempik sorak. Dan di atas sekalian bunyi itu tiada terhenti-henti pula kedengaran lengking suara hulubalang memberi perintah dengan kurang sabar: ayo, maju, tikam, bunuh...! Hulubalang Raja melarikan kudanya ke sana kemari, ke muka dan ke belakang, dengan pedang terhunus, yaitu memberi pimpinan dengan sebaik-baiknya.
Tiada terperikan ribut perang itu, mayat bergelimpangan bagai batang pisang. Akan tetapi, sekaliannya itu tidak dipedulikan orang, perang terus dengan sekeras-kerasnya.
Lama-kelamaan kelihatanlah oleh Hulubalang Raja hal yang tiada disangka-sangkanya. Berangsur-angsur laskarnya mundur ke belakang, berangsur-angsur bimbang dan takut mengguncangkan imannya. Kebanyakan mereka itu sudah merasa ngeri hendak maju, bahkan sudah menoleh ke kiri dan ke kanan mencari tempat terluang"jalan lari. Bukan main panas hati Hulubalang Raja, mendidih darahnya. "Ayo," serunya dengan nyaring, seraya menggertakkan kudanya ke muka, "maju, beranikan hatimu!" Ia pun menyerbukan diri ke dalam musuh dengan tangkas. Pedangnya menari ke kiri dan ke kanan, melukai dan mencabut nyawa orang yang dikenainya. Musuh berkuak ke pinggir dengan ketakutan, setengah lari pontang-panting, sedang Hulubalang Raja mengejar juga dengan bengis. Ingatannya cuma sebuah, hendak menghabiskan orang Pauh, yang telah menganiaya dia dan adiknya, yang telah membinasakan kawan-kawannya. Ia maju dengan keras. Oleh karena itu, ia tercerai jauh dari pada laskarnya dan ketika ia menoleh ke belakang, akan melihat adakah tentaranya meneladan perbuatannya, ia pun disergap musuh dari rusuk. Dengan sigap ia mengelak dan maju ke depan, tetapi ketika ia hendak melompati sebuah bandar; tertarunglah kudanya pada sebuah batu besar .... Hulubalang Raja terjerembap ke muka, lalu jatuh ke tanah.
Demi dilihat musuh hal sedemikian, mereka itu pun bertempik sorak dengan riuh rendah sambil berlarian ke tempat kecelakaan itu. Empat buah mata lembing ditujukan orang ke dada orang jatuh itu, empat orang berseru dengan bengis, "Sekarang mati engkau, sampai ajalmu, hai, budak kompeni ...."
Sebelum ajal berpantang mati! Seketika itu juga keempat orang itu dilompati oleh beberapa orang Bugis, direnggutnya ke belakang dan dibunuhnya.
Kebetulan ketika perang laskar Padang hampir pecah, ketika mereka itu mulai gentar menentang musuh yang menyerbukan diri dengan hebatnya, ketika itu pula bala tentara Bugis dan Ambon surut ke belakang akan menolong, sedang pasukan Poolman maju sampai ke tepi sungai. Dengan cara demikian barisan laskar Padang dapat diaturkan kembali. Dan lebih beruntung lagi, nyawa Hulubalang Raja yang terancam itu pun dapat dilindungi dan dipeliharakan. Akan tetapi, ia tiada sadarkan diri, pingsan rupanya sebab kepalanya berlumur darah, terantuk pada sebuah batu runcing. Dengan segera ia diangkat orang ke atas kudanya, dilarikan ke bala tentara.
Sementara itu perang bertambah sibuk, musuh bertambah garang pula. Dengan cepat meriam dibawa ke haluan bala tentara, lalu ditembakkan kepada musuh di sayap kanan. Mereka itu pun mundur, lari membawa nyawanya masing-masing sehingga terluang jalan maju bagi pasukan orang Padang dan sekutunya. Mereka itu menyerbukan diri ke Kelumbuk; sesampai ke sana, dilihatnya kampung itu sudah kosong sebab musuh telah diusir oleh Aru Palaka dan Kapitan Jonker dengan keras. Pasukan itu pun berduyun-duyun masuk ke dalam kampung itu, gegap gempita bunyi tempik soraknya. Sebagai harimau lepas dalam kandang kambing, demikian mereka itu merampas ke sana kemari; segala yang ada diambilnya dan rumah pun dibakarnya ....
Poolman menyeberangi sungai dengan tiga pasukan; demikian pula orang Bugis yang telah dijadikan sayap kanan. Di sebelah kiri mereka maju pula Verspreet dengan pasukannya. Dalam pada itu musuh menyerang juga dengan mati-matian dari belakang, tetapi dapat ditangkis dan dialahkan.
Lama-kelamaan pasukan kompeni sampai ke bawah kubu. Poolman masuk dari sebuah jalan sempit ke Pauh, yang dipertahankan musuh dengan keras. Berperang, beramuk-amukan pula dengan hebat dan ngeri. Akan tetapi tiada lama"sejurus antaranya musuh itu pun dapat diusir dan dienyahkan.
Kampung itu dikelilingi oleh kemendur serta pengiringnya. Kemudian dikumpulkannyalah bala tentara dari luar, kira-kira seperempat mil jauhnya dari tempat itu.
Pauh dibakar sampai jadi abu!
Dalam terang api yang menyala-nyala berkobar-kobar itu kemendur mulai menghitung laba rugi. Kedapatan pula pada pihak kompeni sepuluh orang yang mati, di antaranya tiga orang Bugis, dan kira-kira dua puluh orang yang luka; pihak musuh, ada mayat bergelimpangan di medan perang kira-kira tiga ratus ....
"Mana Hulubalang Raja?" tanyanya dengan agak heran, seraya melihat berkeliling.
Seorang penghulu maju ke muka dua tiga langkah, lalu berkata dengan perlahan-lahan, "Sudah diusung ke perhentian bala tentara, Tuan."
"Apa" Hulubalang Raja ... luka?" tanya Verspreet pula dengan terkejut.
"Luka parah, Tuan," kata seorang Bugis, yang menolong nyawa orang muda itu, seraya maju ke muka pula dengan hormat, "ketika menyerang musuh dengan keras, kaki kudanya tersandung dan...."
Lalu diceritakannya peristiwa itu dari awal sampai kepada akhirnya, sambil memuji-muji keberanian dan ketangkasan orang muda itu.
Verspreet termenung sejurus. Kemudian ia memberi perintah akan balik ke perhentian bala tentara kembali. Pasukan berangkat dengan beraturan, berbaris-baris sebaik-baiknya; tengah malam baru sampai ke tempat yang dituju. Di sana kemendur mendapat kabar dari opsir jaga bahwa Hulubalang Raja sudah diantarkan orang ke Padang senja hari karena khawatir akan nyawanya, jika ia ditahan lama-lama di tempat itu.
Keesokan harinya tidak berperang. Hanya pada tanggal 18 September pukul tiga dini hari barulah bala tentara berangkat pula ke Pauh, akan memperhatikan keadaan negeri itu dengan saksama. Anak negeri Pauh telah lari ke pegunungan. Akan tetapi, malam hari kira-kira dua ratus atau tiga ratus orang berbalik ke kampung pula, akan mencari barang makanan.
Maksud mereka itu pun tiada sampai, barang-barang itu dirampas kembali dari tangannya oleh pasukan Bugis, yang telah maju dahulu ke sana. Mereka itu undur ke rimba, bertahan dengan kuat di bukit yang curam. Mula-mula orang Bugis ragu hendak menempuh tempat itu karena malam itu di sana ada berkumpul kira-kira 3.000 musuh. Tidak, akhirnya mereka itu pun maju juga .... Sekalian barang makanan jatuh ke tangannya. Tambahan pula ada lagi 4.000 ekor binatang yang dapat dibawanya ke Pauh. Lain daripada itu, banyak pula binatang yang jatuh masuk jurang dan mati atau hilang.
Pauh musnah, anak negeri sengsara dan perang pun selesai. Bala tentara balik ke Padang kembali, sedang Hulubalang Raja sudah sehari semalam terbaring mengigau di tempat tidur di rumah Regen. Dan ia ditangisi serta diratapi oleh perempuan yang amat dnta akan dia.
SESAL TAK PUTUS "Hampir kita tidak bersua lagi, Manis," ujar seorang panglima pada suatu petang kepada istrinya, beberapa hari sesudah perang di Pauh itu, "kalau tiada lekas aku kerahkan pasukan kita berbalik, barangkali nama kami saja tinggal lagi."
"Sayang," sahut Putri Limau Manis dengan perlahan-lahan, seraya menatap muka suaminya.
"Sayang bagaimana, Manis?" tanya Sutan Besar, panglima sahabat Aceh yang termasyhur gagah berani di Kotatengah, dengan agak gelisah sebab dilihatnya gerak bibir dan sinar mata istrinya seakan-akan mencemeehkan, "Sayang aku tidak mati?"
"Belum pergi Tuan sudah berbalik," jawab perempuan itu dengan tenang, "belum Tuan coba perang agak sejemang, telah Tuan hadapkan bedil pulang!"
Panglima muda itu menggeleng-gelengkan kepalanya." Engkau tidak melihat betapa kerasnya perang orang Padang, yang berserikat dengan kompeni itu. Pasukannya teratur dengan sebaik-baiknya, dan senjatanya cukup lengkap. Meriam "siapa dapat menentang mulut naga yang memuntahkan api itu?"
"Meriam Pauh 'kan ada pula?"
"Benar, tetapi tak dipedulikan oleh musuh yang sebanyak dan sekuat itu. Rupanya berbagai-bagai bangsa ada dalam laskar kaum serikat itu. Aku berhadapan dengan sayap kanan, laskar Padang sejati."
"Bagaimana?" "Nyaris kami menang. Meskipun mereka itu banyak dan gagah berani, hampir jua cerai-berai kami pukul. Beratus-ratus yang mati dan luka." "Kabarnya, cuma beberapa orang saja!"
"Bohong dan hulubalangnya... eh, ya, dia bukan orang Padang, Manis."
"Orang mana dia?"
"Dahulu aku, sudah bertemu dengan dia di Padang; kabarnya ia berasal dari Darat."
"Dari Darat?" ujar Limau Manis dengan agak terkejut, seakan-akan teringat akan suatu peristiwa yang telah lama lupa, "Bagaimana rupanya?"
"Elok, jombang"raut mukanya jirus ke dagu dan pandang matanya amat tajam."
"Oh"tetapi bagaimana dia?"
"Gagah berani betul .... Tetapi hampir juga mati, jatuh dari kudanya."
"Dibiarkan saja?"
"Ketika beberapa orang laskar kita hendak menusuk batang lehernya, tiba-tiba mereka itu diserkap oleh pasukan hitam, yang tiada kami ketahui telah undur akan menolong kawannya. Ia diangkat orang ke atas kudanya, dilarikannya. Bala tentara kompeni mengamuk, bukan main kerasnya sehingga kami terpaksa mundur."
Sutan Besar berdiam diri sejurus dan Putri Limau Manis termenung. "Sejak itu kami tak dapat membalas lagi," kata panglima itu pula, "di mana-mana pasukan kita kalah. Harapan habis!"
"Negeri Pauh?" "Habis, musnah! Sebuah rumah pun tak ada yang tinggal lagi, jadi abu semuanya. Seekor ternak pun tiada bersisa; jangan kata harta benda, emas perak! Lidn tandas sekaliannya dirampas oleh musuh itu."
Putri Limau Manis tiada berkata-kata lagi; dadanya yang penuh kelihatan turun naik dengan kencang. Dalam pada itu Sutan Besar berkata pula dengan perlahan-lahan, "Apa pikiranmu sekarang?"
"Pikiran hamba?" tanya Limau Manis dengan agak keras, sedang matanya bersinar-sinar, "kalau hamba laki-laki.... Apa daya upaya kaum sekutu kita, sesudah kalah sedemikian?"
"Apa lagi" Pikiranmu sendiri bagaimana?" tanya Sutan Besar ragu bimbang menentang mata istrinya yang bersinar seperti api nyala itu.
"Hendak mengulang perang sekali lagi! Tidak adakah niat kaum sekutu kita semacam itu"
"O, ada! Dan sekarang sedang diusahakan. Lebih dari tiga ribu orang Pauh, yang masih bersembunyi di pegunungan, akan datang kemari."
"Bila?" tanya Putri Limau Manis dengan gembira.
"Kalau rakyat di sini telah siap."
"Di sini hendak dibangkit perang?"
"Di mana lagi" Itu pun jika sekalian rakyat sudah berpihak kepada kita. Aku sudah bermusyawarah dengan Orang Kaya Mulia, dengan Orang Kaya Hitam, dan beberapa penghulu lain-lain. Kabarnya, separuh penduduk negeri ini sudah dapat oleh kita."
"Bagus! Negeri kita ini akan dijadikan kancah perjuangan?" kata Limau Manis pula, "Tapi, ya, hal itu cukup sudah! Boleh digelamainya .... Apalagi jika datang pula bantuan dari Aceh. Sudah berangkat armada dari sana."
"Dari siapa engkau peroleh kabar itu?"
"Eh"tentu Tuan lebih tahu daripada hamba tentang itu."
"Masih kabar angin, Dik! Tak boleh kita harapkan benar bantuan dari jauh itu."
"Baik! Tetapi 3.000 orang Pauh, separuh rakyat di sini. Itu belum cukup?"
"Ada lagi alangan yang amat besar."
"Ah, apa lagi?"
"Sepuluh orang penghulu yang sangat berkuasa, turutan rakyat, masih berpihak kepada kompeni."
"Kalau Tuan dapat membujuk-bujuk mereka itu?"
"Kalau .... Engkau tak ingat Sri Raja Hulubalang, sahabat baik kompeni."
Putri Limau Manis terkejut pula, pucat mukanya. Sudah dua kali dengan itu dalam waktu sekejap saja, dengan tidak disengajanya sedikit jua pun ia teringat kepada orang mati"bekas suaminya.
"Kekuasaannya teramat besar di sini, lebih daripada yang lain-lain," kata Sutan Besar pula dengan kurang memedulikan perubahan air muka istrinya itu.
"Habis" Tak dapat diruntuhkan?" kata perempuan itu, sebagai terlompat saja perkataan itu dari mulutnya.
"Ya, boleh diusahakan."
"Bila" Elok dipercepat!"
Sutan Besar berpikir-pikir sejurus. "Benar"dan tolong ambilkan aku tembakau di dalam kambut!" katanya, "Isi selapahku ini, aku hendak segera pergi ke rumah Orang Kaya Mulia memperbincangkan perkara itu.
Setelah diperolehnya yang dimintanya itu, ia pun turun dari atas rumah istrinya. Putri Limau Manis menurutkan dia dengan matanya, sambil berdiri lurus-lurus di muka jendela. Ketika panglima itu tiada kelihatan lagi, ia pun duduk kembali dan berkata dengan sendirinya.
"Senang hatiku! Kalau berhasil, kalau menang perang sekali ini, niscaya Tuan Sutan Besar dirajakan orang di sini! Aku jadi permaisuri .... Sampai cita-citaku. Tentang hal Sri Raja Hulubalang, penghulu tua itu...."
Ia termenung pula "yang ketiga kalinya! Ia teringat akan masa setahun yang telah lalu. Perkataan 'orang Darat' tadi itu membayangkan pokok perselisihan antara dia dengan suaminya: perempuan jelita yang dirindukan Sutan Alam Syah dan saudaranya, yang bersua dengan dia di rumah Regen Padang dahulu! Rupa suaminya yang sangat dikasihi itu pun tampak nyata oleh mata hatinya. Istimewa pula apabila tersebut nama penghulu tua itu! Hati Limau Manis jadi berdebar-debar dan imannya berguncang. Sekonyong-konyong darah panas yang mengalir di dalam tubuhnya menjadi dingin. Sifat kelaki-lakian menjarak dari semangatnya, digantikan oleh sifat pedusi.11 Kekerasan hati lenyap; perasaan lemah lembut, cinta, dan rindu datang membuncah ingatannya. Ia terkenang akan bekas suaminya. Ya, ruh Sutan Alam Syah tiba-tiba merupa di hadapan matanya. Orang muda itu seakan-akan berdiri di dekatnya, berpakaian serba putih sambil memandang kepadanya dengan muka yang pucat pasi dan mata yang kuyu tenang-tenang. Limau Manis terkedik ke belakang sedikit, terperanjat, tetapi sebentar itu juga ia pun berdiri dan berseru dengan rindu dendam, "Wahai, Kakanda ...." Dan ia pun mengembangkan kedua belah tangannya, seakan-akan hendak memeluk leher kekasihnya. Akan tetapi, ia tersungkur ke tikar ... dan ketika ia mengangkat kepala pula, suatu apa pun tak ada kelihatan di hadapannya, ruh itu telah lenyap!
Hati Putri Limau Manis tiada senang lagi"sukmanya tergoda sudah! Sutan Alamsyah mati karena dia; dan orang tuanya, yang telah kurus kering karena menderita rindu itu pun hendak dibinasakannya pula....
Hawa nafsu! Dan karena hawa nafsu itu pula maka ia kawin dengan Sutan Besar, yang berdta-dta hendak mengambil faedah dari putra negeri itu bagi dirinya. Kawin dengan perhitungan bahwa jika Sutan Besar sudah menjadi orang besar karena putar negeri itu, tak dapat tiada ia pun akan dimuliakan orang .... Lebih daripada ketika bersuamikan almarhum Sutan Alam Syah yang 'tak setia itu'!
Akan tetapi, rupanya cita-cita itu akan tinggal dta-dta saja. Telah diperhatikannya dalam dangkal semangat laki-laki itu selama bergaul serumah tangga dengan dia. Makin lama makin nyata kepadanya bahwa tidak semacam Sutan Besar itu orang yang akan sanggup dan dapat memperjuangkan dta-dtanya dan menepati janjinya. Tidak sekali-kali....
Jadi, ia menyesal" Benar, Limau Manis telah menyesali perbuatannya yang telanjur itu" Dan insyaf akan kesalahannya" Entah, tetapi semalam-malaman itu memang ia tiada dapat memejamkan matanya sebab tak terperikan rindu dendam hatinya kepada almarhum jandanya.
Keesokan harinya tetap sudah pikirannya, hendak menghalangi maksud suaminya. Takkan terderitakan olehnya kesedihan, jika bekas mentuanya dua laki istri yang baik hati dan tiada bersalah itu binasa pula dalam pemberontakan kelak. Akan tetapi, Sutan Besar tiada pulang pada hari itu, besoknya pun tidak juga sebab ia pergi mengunjungi segala kepala kaum sekutunya.
Adapun Sutan Besar yang jaya itu disegani dan ditakuti orang karena gagah beraninya. Lagi pula ia pandai bercakap-cakap pandai menggembirakan hati orang dengan pelbagai janji .... Di antara sepuluh penghulu yang setia kepada Padang dan kompeni itu sudah beberapa orang cenderung kepadanya"mau menurut haluannya.
Tak lama lagi tentu perang akan bangkit di Kotatengah dengan hebat pula!
Akan tetapi, kaum serikat tiada tuii, tiada pekak, apa yang akan terjadi selalu diamat-amatinya. Semenjak selesai perang Pauh itu sudah terpikir juga oleh Orang Kaya Kecil, kalau tidak ingat-ingat, tentu orang Aceh serta kaum sekutunya akan membuat Kotatengah jadi negeri Pauh yang kedua. Oleh sebab itu, ia memberi nasihat kepada Verspreet, supaya selalu berdaya upaya menghalangi dan menjauhkan bahaya itu. Pada segenap tempat dan penjuru harus diadakan mata-mata, yang akan memberitakan segala cakap dan bisik desus rakyat, terutama pihak orang kenamaan, tentang perkara maksud hendak melawan itu.
Demi didengar oleh Orang Kaya Kecil niat penghulu hendak putar itu, dengan segera diajaknya Verspreet berlayar ke Kotatengah beserta dengan beberapa penghulu Padang yang lain. Mereka itu bermalam di loji. Seketika itu juga Verspreet menyuruh panggil penghulu yang sepuluh itu dengan diam-diam. Mereka itu pun datang dengan ketakutan. Kepadanya diingatkan oleh Verspreet dan segala penghulu Padang sumpah yang diucapkannya dengan Alquran dahulu bahwa mereka itu berjanji tidak akan berbuat khianat kepada kompeni selama-lamanya!
Sementara itu SutanBesar sudah bersiap lengkap. Waktu hendak mulai berperang telah ditentukan. Orang Pauh sudah diberi tahu. Mereka itu akan menyerbu masuk ke dalam negeri, apabila tempik sorak alamat perang telah kedengaran.
Hati Sutan Besar penuh dengan harapan! Seluruh isi negeri hendak turun ke medan perang. Sekali itu tentu menang! Sampai cita-citanya....
Waktu yang ditentukan tiba, ketika sampai sudah! Udara pagi yang masih dingin sudah penuh dengan bunyi canang dan tabuh yang gemuruh. Di mana-mana sudah berdiri kepala-kepala kawanan sekutu dan pasukan kawan-kawan panglima muda itu, tetapi sekali-kali tiada gembira tampaknya! Banyak gentar daripada berani, banyak mundur daripada maju sebab dilihatnya sedikit pun tak ada membawa bekas alamat perang yang dibunyikan itu. Hampir tak ada orang yang turun dari rumahnya. Dan lebih mengecewakan lagi karena dari segala penghulu yang berpengaruh besar, yang telah berjanji hendak campur mengerahkan bala tentara, tiada seorang jua yang menampakkan dirinya.
Akhirnya, kepala-kepala itu pun undur, lalu pergi mencari tempat yang sentosa baginya.
Kecewa! Perang tak jadi....
Sutan Besar" Sedang termangu-mangu duduk di atas rumah istrinya "putus asa tak berdaya lagi"beberapa orang suruhan Verspreet datang memanggil dia ke loji.
"Mengapa?" katanya, seraya memperhatikan air muka segala suruhan itu tenang-tenang.
"Kami tidak tahu, hanya kami tersuruh menyilakan Tuan hamba datang ke loji dengan segera."
Panglima muda itu berpikir sejurus. "Baik," katanya tiba-tiba dengan suarabulat, "sampaikan salam hamba kepada TuanKemendur bahwa hamba akan datang dengan enam orang pengiring."
"Sama-sama dengan kami?"
"Dahulu Tuan seketika, segera hamba turuti di belakang."
Setelah suruhan itu turun dari atas rumahnya, Sutan Besar segera memanggil seorang hambanya. "Pergi engkau ke rumah Orang Kaya Mulia," katanya kepada orang itu, "katakan bahwa kompeni ...." Ia berbisik-bisik beberapa lamanya. Dan setelah pesannya, hamba itu pun berangkat dengan hormat.
Sutan Besar mengenakan pakaiannya.
Ketika ia hendak turun tangga, Putri Limau Manis datang mendapatkan dia serta berkata dengan cemas.
"O, Tuan Sutan Besar, jangan Tuan pergi. Mimpi hamba buruk benar."
"Akan fasik engkau gerangan, Manis, percaya akan mimpi! Rasian12 permainan lelap, kecimpung permainan mandi. Tidak, jangan engkau raga langkah hamba, Manis; takkan ada apa-apa! Tuanku Regen Padang serta penghulu lain-lain ada di sini. Dengan nama mereka itu Tuan Verspreet memanggil hamba akan bermusyawarah di loji. Segala penghulu di negeri kita ini pun sudah menanti di situ. Aku pergi.... Tinggal Adik, tinggallah Manis!"
Ia pun melangkah ke halaman.
"O, Tuan, dengarkan jua kata hamba! Sedikit Tuan akan menyesal, kalau tak di mulut dalam hati. Hamba bermimpi malam tadi; rumah gedang bak rasa hangus! Dengan siapa hamba ditinggalkan, Tuan?"
"Kalau itu mimpimu, Manis, alamat kita akan berkekalan. Lepas hamba berjalan, sebentar hamba berbalik." Sambil berkata demikian ia pun mengayun langkah dengan cepat, lalu hilang di balik batang beringin besar.
Sebagaimana telah dijanjikan, Sutan Besar datang ke loji dengan enam orang kawannya; tetapi di hadapan loji itu sudah berkumpul kira-kira 700 s.d. 800 orang. Ia disambut oleh Verspreet dengan seorang Belanda lain serta segala penghulu Padang dan Kotatengah. Baru duduk dengan segera Sutan Besar dan kawan-kawannya meletakkan senjatanya dekat kaki Verspreet"alamat tunduk.
"Bagus," kata Kemendur dengan sukacitanya, "jadi Tuan-tuan takluk kepada kami?"
"Hamba, Tuan," kata Sutan Besar dengan perlahan-lahan, "sesat surut, terlangkah kembali. Kami terima perjanjian dengan Tuan."
Verspreet berpaling kepada segala penghulu yang hadir di situ, serta memberi isyarat akan membawa surat perjanjian yang harus ditandatangani mereka itu. Akan tetapi, ketika upacara perdamaian itu hampir selesai, tiba-tiba mereka itu mengeluarkan senjata dari balik bajunya. Mereka mengamuk dengan keras, menyerbukan dirinya pada orang Belanda dan kawan-kawan serikatnya. Gempar" orang berkelahi dengan hebat. Dalam perkelahian itu beberapa orang Belanda teman tuan kemendur itu luka dan empat lima orang sampai ajalnya. Sutan Besar dan tiga orang kawannya pun mati di situ juga, sedang tiga orang lain pula ditangkap dengan segera.
Sementara kaum serikat dan Verspreet bersukadta dan riang sebab dengan cara demikian mereka itu telah luput dari 'kesusahan dan bahaya besar'. Putri Limau Manis mengambung-ambung air, menangis, dan meratap dengan amat sedih di rumahnya.
Ia menyesal tiada berkeputusan, berasa salah besar sebab telah menggembirakan hati suaminya. Betul dalam waktu yang akhir, sesudah didatangi ruh Sutan Alam Syah senja itu, ia sudah berusaha hendak melunakkan hati Sutan Besar kembali, tetapi tiada berhasil lagi. Sudah terlambat! Karena putus asa, suaminya tak dapat disabarkan lagi.
"Putus tali tempat aku bergantung, patah dahan tempat aku berpijak! Wahai, dengan siapa aku ditinggalkan, Tuan?" ratapnya, "Badan malang, nasib celaka, oleh karena aku, Tuan Sutan Alam Syah meninggal dengan sedih ngeri dan kini karena aku pula Tuan Sutan Besar mendahului daripada aku ini. Bagaimana kesudahan nasibku ini" Jemput aku, Tuan, jangan aku ditinggalkan," demikian bunyi ratap tangisnya dengan tiada dapat disabar-sabarkan beberapa lamanya.
Kebalikannya, di rumah ibu bapak Sutan Alam Syah orang bersukadta dan beriang-riang sebab penghulu Sri Raja Hulubalang dijadikan orang besar oleh kompeni di Kota tengah, akan lawan dia berunding dan bermufakat. Lain daripada itu, ia pun diberi gelar gubernur oleh tuannya....
TERTANGKAP Heran takjub Orang Kaya Kecil, ketika ia pulang dari perjalanannya sebab perilaku orang mengelu-elukan dia jauh daripada bersuka-cita rupanya. Dan takjub itu pun lekas bercampur dengan khawatir dan cemas, kalau-kalau si sakit yang ditinggalkannya .... Baru sampai ke serambi muka, sebelum berlepas lelah agak sececah, ia pun bertanya kepada istrinya, "Bagaimana 'si Buyung', belum juga sembuh?"
"Bukan ia belum sembuh, Kanda," sahut istrinya dengan tangisnya, "malah sudah sehat benar-benar."
"Mana dia dan mengapa Adinda ...?"
"Ia tidak di sini lagi."
"Apa?"tanya Regen dengan sangat terperanjat." 'Si Buyung' tak di sini lagi! Kemana dia?"
"Sudah pergi, Kakanda, dengan diam-diam."
"Sebabnya?" "Kami tidak tahu."
"Bila ia pergi?"
"Empat malam yang baru lalu ini. Siang harinya, pagi-pagi benar, Putri Sarayawa pulang; tengah hari dituruti oleh ibunya."
"Oh, tentu 'si Buyung' ke Rimbakeluang pula," kata Orang Kaya Kecil dengan tersenyum, agak timbul harapannya sedikit. Ia pun masuk ke ruang tengah, lalu duduk beristirahat di atas kasur tebal yang bertutup dengan kain tenunan.
"Mula-mula sangka kami demikian juga kata istrinya, seraya duduk pula di sisinya, "dengan segera hamba suruh orang pergi melihat dia ke sana."
"Ada?" "Tidak." "Tidak" Dan tidak ditanyakan kepada Sarayawa dan ibunya, ke mana dia pergi?"
"Ada." "Apa katanya?" "Mula-mula ia seakan-akan tak peduli saja. Katanya: tentu ia pergi ke rumah istrinya."
"Hai, apa?" "Benar, Kanda! Sangkanya demikian."
"Ah, ada-ada saja."
Dengan segera tuan putri menceritakan igauan' si Buyung' waktu demam keras dan bagaimana persangkaan Sarayawa tentang itu sehingga menimbulkan perselisihan.
"Kurang siasat!" kata Regen dengan perlahan-lahan, sambil menggelengkan kepalanya, "kalau Sarayawa berbuat dengan halus, tentu terbuka jua rahasianya."
"Sekarang ia menyesal sudah, Kanda. Selalu ia berurai air mata, terkenang akan ... mulut terdorong. Demikian cerita ibunya, yang tak kurang kehilangan akal pula."
"Boleh jadi! Dan apa baru ikhtiar yang Adinda jalankan tentang itu?"
"Setelah hamba ketahui ia tidak ada di Rimbakeluang, lalu hamba suruh beberapa orang jaga mencari dia sekeliling kota, sepanjang jalan raya dan segenap lorong. Tetapi usaha itu lekas hamba suruh hentikan karena hamba ada mendapat sepucuk surat di dalam lipatan bajunya."
"Surat" Oh, jadi pakaiannya tidak diangkutnya?"
"Banyak yang tinggal daripada yang dibawanya."
Tuan putri bangkit berdiri dan masuk ke bilik dalam; sejurus antaranya ia pun kembali membawa sehelai kertas kecil. "Ini, Kanda, sebenarnya bukan surat, hanya secarik kertas," katanya, seraya memberikan kertas kedi itu ke tangan suaminya.
Lipatan kertas itu dibuka oleh Orang Kaya Kecil, lalu dibacanya kalimat yang tertulis dengan huruf Arab di dalamnya.
"Jangan hamba dicari-cari,
berbalik pulang, jikalau untung,
Relakan jasa Tuanku Laki Istri,
Kepada hamba"si Buyung."
"Ajaib! Datangnya ajaib, perginya ajaib pula. Tak ubahia sebagai malaikat, yang datang mengantarkan rahmat Allah kepada kita, melepaskan kita dari marabahaya, dan ketika negeri telah aman kembali ia lenyap pula! Dari dahulu telah terpikir olehku bahwa ia bukan sembarang orang! Kalau ia bukan dewa kayangan, yang menjelma jadi manusia, niscaya ia putra seorang raja besar yang berdaulat.... Selama ini persangkaan sedemikian aku simpan saja di dalam hati. Aku nantikan dengan sabar sampai rahasia itu terbuka sendiri, sampai aku beroleh kesempatan akan membalas jasanya. Sekarang kesempatan itu ada sudah, tetapi karena kelancangan mulut Sarayawa yang bodoh itu telah menghilang. Sayang!"
"Tidak pula dapat disalahkan benar anak itu, Kanda," kata Tuan Putri dengan lemah lembut mempertahankan gadis itu "maklum, hati gadis itu menaruh cinta ...."
"Kurang siasat, kataku tadi. Salah raba, sebagai orang kekurangan akal budi," sahut Orang Kaya Kecil dengan murka, sambil merentak berdiri dan masuk ke dalam bilik dalam, "demikian perangai perempuan belaka, tahu berdnta, tapi tak pandai memelihara dnta itu. Sekarang ke mana dia hendak dicari?"
"Oleh karena itu, niscaya bertambah berat jua beban Kakanda."
Orang Kaya Kecil mengirim dua tiga orang utusan ke mana-mana, akan mencari orang hilang itu. Akan tetapi, beberapa hari kemudian mereka itu berbalik pulang dengan tangan hampa.
Hati orang besar itu terharu dan kecewa benar-benar. Telah putus tangannya, istimewa pula telah terhalang hasratnya akan mempertalikan 'si Buyung' dengan anak keluarganya, sebagai pembalas jasa kepadanya.
Dengan perasaan kurang senang ia pun terpaksa seorang diri melayani Verspreet dan pasukannya. Mereka itu harus berangkat pula ke Ulakan beserta kira-kira 300 orang VIII Kota dan IX Kota, yang hendak menolong kompeni menaklukkan negeri itu. Kabarnya, banyak orang Aceh dari Pauh yang lari ke Ulakan sebab anak negeri di situ sangat taat memeluk agama Islam serta suka kepada mereka itu. Jadi, pasukan kompeni pergi ke sana tak ubah seperti pergi ke sarang buaya. Oleh sebab itu, mereka itu pun berhati-hati dan ingat-ingat benar supaya selamat.
Dengan tipu muslihat yang halus dapatlah negeri itu dirampas dari kekuasaan Aceh dan Aru Palaka dibatalkan jadi raja di situ.
Dari Ulakan pasukan berangkat menepi pasir ke Pariaman; negeri itu pun dapat pula ditaklukkan dengan mudah. Demikian juga Tiku dan Gasan, sedang dengan Naras dan Sungailimau perjanjian telah diperbarui pula.
Kapitan Jonker atau Raja Ambon diangkat jadi panglima di Pariaman dan Orang Kaya Kecil jadi panglima di Tiku dan Gasan.
Ketika itu orang Aceh sudah berangkat ke sebelah utara.
Pada tanggal 3 Oktober, sekalian pasukan itu berlayar ke Padang kembali. Maksud hendak terus memerangi Bandar Sepuluh tiada jadi dilangsungkan sebab negeri-negeri di situ, Terusan, Painan, dan Salido, rupanya sudah suka akan berdamai saja.
Meskipun kompeni telah maju benar-benar, meskipun orang pesisir telah mulai hormat dan segan pula kepadanya dan meskipun perniagaan dengan dia telah mulai ramai kembali sehingga emas dari
Sungaipagu dan dari Dara t telah dijual orang kepadanya saja, tetapi Verspreet belum bebas lagi dari curiga dan khawatir. Sekali-sekali masih kelihatan mega mendung, alamat kompeni sewaktu-waktu akan ditimpa bahaya pula. Kecuali Padang, segala negeri yang takluk itu sudah berasa sangat tertipu oleh ... kompeni. Mereka itu sudah mulai main mata dengan Aceh pula. Dan Raja Adil pun tiada dapat diabaikan! Pengaruhnya bertambah besar dalam negeri-negeri yang bermusuh dengan kompeni itu. Beberapa kali ia telah diperangi dan dikepung, tetapi ia tiada dapat ditaklukkan, bahkan dari sehari ke sehari ia pun bertambah berkuasa jua. Terutama sekalian negeri yang di sebelah selatan Batangkapas sudah berpihak kepadanya dan telah berdaya upaya hendak membangkitkan perang di Bandar Sepuluh, Sungaipagu, Sungaikepayang, dan XIII Kota. Dalam pada itu Yang Dipertuan Minangkabau pun berikhtiar pula hendak menggerakkan hati rakyat, yakni mengingat-ingatkan kewajiban mereka itu terhadap kepada rajanya. Baginda sudah mendengar kabar bahwa perang orang Aceh sudah terusir dari segenap pesisir. Jadi, siapa yang berkuasa lagi" Tentu saja baginda pula! Dan tanda mereka itu takluk kepada baginda, mereka itu wajib membayar upeti!
Pada tanggal 28 Januari 1667, utusan Yang Dipertuan datang ke Pulau Cingkuk dua orang. Seorang Paduka Sri Maharaja Lela, bekas orang pelayaran, yang sebenarnya bergelar Nakhoda Marabat, dan seorang lagi Paduka Raja namanya. Pada mereka itu ada beberapa pucuk surat, yang dialamatkan kepada orang besar-besar di daerah pantai. Bunyinya, seolah-olah Yang Dipertuan sudah diakui orang pula jadi raja di sana; baginda minta supaya dikirimi bingkisan dari delapan bahar11 lada, jadi alamat bahwa mereka itu telah mengakui kebesaran Minangkabau kembali! Jika tidak dikirim, tanda ingkar! Lain daripada itu, ada pula tersebut di dalamnya bahwa baginda bertitah, supaya rakyat baginda yang berserak-serak di seluruh Kepulauan Nusantara: di Jawa, Banten, Makassar, dan lain-lain dikembalikan ke Sumatra dan diberi tempat diam di pesisir. Jika titah itu tidak didengarkan, tidak diturut oleh wakil kompeni di Pantai Barat, maka kedua utusan itu mesti terus pergi ke Betawi. Mereka itu harus minta tolong kepada pemerintah tinggi kompeni membicarakan perkara itu.
Akan menerima upeti dari anak negeri, maka bersama-sama dengan Nakhoda Marabat itu dititahkan pula oleh baginda Raja Putih, putra Datuk Bendahara Sungaitarap pergi ke pesisir. Besar upeti yang harus diterimanya itu sepersepuluh bagian dari hasil barang-barang.
Bukan main khawatir Verspreet mendengar bunyi surat itu. Baik di dalam susunan kata-katanya, baik pun pada diri utusan itu, terutama pada diri Nakhoda Marabat, yang telah biasa mengarungi lautan Kepulauan Nusantara dan bersahabat baik dengan Aceh" sangkanya, ada tersembunyi suatu rahasia besar. "Seolah-olah Sri Ratu Aceh ada berdiri di balik layar," pikirnya, sambil duduk bermenung di dalam kamarnya, "aku kenal Nakhoda Marabat itu, seorang pelayar yang kenamaan. Dari mulutnya kerap kali keluar celaan kepada kompeni. Katanya, kompeni yang menyebabkan bangsa Melayu tidak banyak berlayar lagi, bahkan karena kompeni maka pelayaran mereka itu jadi mundur! Padahal dahulu"katanya" lautan manakah yang tidak ditempuh orang Melayu?"
Ia bangkit berdiri dari kursinya, lalu berjalan hilir mudik beberapa kali dari dinding ke dinding kamar itu. "Bukan tidak boleh jadi," katanya dengan cemburuan seraya duduk pula, "bahwa orang Aceh sudah mengambil Nakhoda Marabat jadi perkakas. Dengan perantaraannya Aceh telah bersekutu dengan Minangkabau dan dengan salah satu dalih barangkali sudah diingatkannya kepada Yang Dipertuan bagaimana perlunya orang pelayaran bangsa Melayu yang berserak-serak itu dipanggil pulang kembali. Keuntungan bagi Aceh .... Sebab sudah nyata mereka itu menaruh dendam kepada kompeni dan sudah nyata pula"jika telah pulang"mereka itu akan lebih suka berajakan Ratu Aceh daripada Minangkabau yang hampir tiada berkuasa lagi itu. Sebab memang sejak masa dahulu Raja Aceh selalu melindungi orang pelayaran, yang beragama Islam. Jika orang yang telah jauh pemandangannya dan banyak pengalamannya itu bercampur dengan penduduk pesisir yang masih kurang pengetahuannya, niscaya mereka itu akan beroleh pengaruh atau kekuasaan besar. Kalau sampai demikian, niscaya negeri di pesisir sudah masak pula untuk berperang mempertahankan Aceh: apabila Aceh menang, tentu mereka itu dapat leluasa pula berniaga logam"terlepas dari kekuasaan Minangkabau."
Ia termenung pula sejurus. "Tipu Aceh," katanya pula dengan geram, "tidak, orang pelayaran bangsa Melayu mesti tinggal tetap berserak-serak. Jikalau mereka itu ada di Pantai Barat ini, tak dapat tidak kompeni akan menderita kerugian besar dalam perniagaan emas; harga barang itu akan naik setinggi-tingginya karena sudah ada persaingan. Biaya orang Melayu tidak besar sebab itu ia dapat membuat keuntungan lebih besar daripada kompeni; ia akan dapat menawarkan semahal-mahalnya dan lama-kelamaan tentu logam mulia itu jatuh ke tangannya saja."
Akan membicarakan perkara yang mahapenting itu dipanggil-nyalah wakil-wakil kaum serikatnya dengan segera.
Pada tanggal 13 Februari, Orang Kaya Kecil dan Pits datang ke Pulau Cingkuk dari Padang. Pada hari itu juga majelis diadakan dengan wakil lain-lain. Sesudah dibacakan oleh Verspreet surat Yang Dipertuan itu serta diuraikannya perasaan dan cemburuan hatinya, Regen Padang tafakur beberapa lamanya. Ia teringat akan orang hilang .... "Kalau 'si Buyung' ada di sini," pikirnya, "niscaya berulas tangan dan lidahku dalam masalah yang sulit ini."
"Daripada bunyi surat ini, Tuanku," kata Verspreet dengan agak keras sehingga Regen terluput dari permenungannya, "nyata sudah kepada saya bahwa Yang Dipertuan hendak mencari silang selisih dengan kompeni. Seakan-akan Baginda tiada ingat lagi akan persahabatan yang diucapkannya kepada mendiang Groenewegen dahulu. Sava heran, apa sebabnya di dalam surat Baginda tiada tersebut-sebut sedikit jua bahwa orang Aceh enyah dari Pantai Barat semata-mata karena usaha dan biaya kompeni" Apa sebab Yang Dipertuan tidak mengucapkan terima kasih akan jerih payah dan kerugian kompeni itu" Saya minta supaya perkara ini diingatkan kepada Yang Dipertuan dan supaya diterangkan juga kepada Baginda bahwa titah Baginda itu tiada dapat kita jalankan."
"Jadi, Tuan hendak bersengketa dengan Minangkabau?" tanya Orang Kaya Kecil dengan agak cemas, "Dua perkara yang mesti timbul karena itu, Tuan! Pertama, perniagaan emas boleh dialangi Yang Dipertuan sampai mati sama sekali, atau sampai tidak mendatangkan keuntungan kepada kompeni. Kedua "kalau benar Baginda telah bersekutu dengan Aceh"bukan mustahil pula Yang Dipertuan akan berpihak kepada Ratu Aceh, jika ia berdaya upaya pula hendak mengembalikan kekuasaannya di negeri sepanjang pantai. Kalau terjadi demikian, tentu terbit peperangan, yang lebih hebat dan dahsyat daripada perang Pauh yang telah terlampau itu. Sebab hal itu sudah mengenai kebangsaan. Niscaya suara bangsa kami atau golongan Raja Adil akan bertambah nyaring. Minangkabau tali persatuan bangsa kami, Tuan. Hal itu tak dapat dibantah ...."
"Apa akal?" kata Verspreet dengan agak bingung.
"Sebaik-baiknya diselidiki dahulu benarkah surat itu datang dari Yang Dipertuan atau tidak?" kata Sri Raja Hulubalang Kotatengah dengan tenang, "sebab hamba bimbang, jangan-jangan perkara ini"terutama perkara upeti"hanya kehendak Mangkubumi Datuk Bendahara saja. Kalau tidak, mengapa anaknya benar yang datang memungut cukai itu?"
"Baik surat itu datang dari Yang Dipertuan, baik pun dari Mangkubumi saja, setali tiga uang," kata Orang Kaya Kecil dengan sungguh-sungguh, "Sebab keduanya bagai kuku dengan daging. Sia-sia bertentangan dengan Yang Dipertuan dan Datuk Bendahara itu.
"Jadi apa akal?" tanya Verspreet sekali lagi dengan gelisah.
"Minangkabau jangan dijadikan musuh, melainkan harus diingatkan tali persahabatan: esok Solok, dua Selaya, tiga Padang, empat kompeni," kata Orang Kaya Kecil pula.
"Dan hamba sambung," ujar wakil Kotatengah dengan lucu, "salah benang menyenggala, dipakai kain salah ragi."
"Ha, ha, ha...."
Verspreet terkejut dan menoleh kepada kedua orang besar itu berganti-ganti. "Jadi bagaimana akal akan mengelakkan kesalahan atau permusuhan itu?" tanyanya.
Orang Kaya Kecil tafakur sejurus. "Akal yang utama," katanya dengan tenang, "jangan dikusut benang selesai, jangan dipakai kain salah ragi, bukan begitu, Tuanku Kotatengah?"
"Hm, ya, dan hendaklah diikhtiarkan supaya Minangkabau tetap bersahabat dengan kita dan dapat menolong kita jua," sahut Tuanku Kotatengah itu dengan senyumnya sehingga Verspreet bertambah gelisah.
"Benar," kata Orang Kaya Kecil pula, "dan kita pohonkan ke hadirat baginda, agar baginda jangan mengenakan cukai kepada anak negeri; supaya segala perjanjian yang telah kita perbua t dengan kompeni, demikian juga tentang hal bangsa asing lain-lain tidak boleh berniaga dan bertempat diam di Pantai Barat, diakui dan dipegang teguh oleh ba ginda, sebagai baginda sendiri yang membuat janji itu; supaya kepada residen kompeni dijadikan wakil raja di pesisir sebab ia telah menolong kita, rakyat baginda di pesisir."
Demi didengar Verspreet timbangan sedemikian, besarlah pula hatinya. "Bagus, bagus. Akan tetapi,bagaimana dengan Raja Putih?" tanyanya dengan cepat, "Akan diapakan dia?"
"Diperbantukan dalam pemerintahan di sini, di pesisir. Dan tentang kedua utusan Minangkabau itu, mereka itu jangan dibiarkan berlayar ke Betawi dahulu, sebelum kita mendapat kabar dari Yang Dipertuan tentang permohonan itu."
Majelis ditutup dan orang besar-besar mohon diri....
"Sayang Hulubalang Raja tidak ada di sini," kata Verspreet, sambil mengguncang-guncang tangan Regen Padang dengan riang. "Kalau ada dia, tentu dia pula kita suruh mengantarkan bingkisan ke Minangkabau .... Ke mana dia, Tuanku?" tanyanya dengan minatnya.
"Belum pulang," jawab Orang Kaya Kecil dengan cepat, akan menghilangkan rusuh hatinya dan mengalih percakapan kepada perkara lain, "selamat tinggal, Tuan."
Buah pikiran Orang Kaya Kecil yang disetujui oleh majelis itu, berhasil dengan sebaik-baiknya. Surat Verspreet yang menguraikan perkara itu kepada Yang Dipertuan mendapat balasan sukacita. Verspreet dianugerahi baginda gelar Panglima Gagah. Bahkan bertambah gagah lagi karena ia pun diberi kuasa atas nama baginda akan menyelesaikan segala sengketa di pesisir, sejak dari Inderapura sampai ke daerah Barus. Dan Pits digelari Bentara Raja serta disahkan jadi pengganti Verspreet kelak.
Anugerah besar! Tentu saja semenjak itu bertambah mudah bagi Verspreet akan meluaskan kekuasaannya. Hampir segenap negeri di Pantai Barat sudah menurut barang apa perintah dan kehendaknya. Hanya sebuah dua buah negeri yang masih ragu-ragu, bahkan tidak percaya .... Masa Yang Dipertuan Alam Minangkabau yang mempunyai dewan pemerintahan Besar Empat Balai akan berlaku sedaif itu! Lain tidak akal cerdik Orang Kaya Kecil semata-mata. Oleh sebab itu, beberapa orang raja sewaktu-waktu telah siap sedia akan menggempur kompeni serta pengkhianat Padang itu. Di Salido masih berpengaruh besar Sri Nara, sahabat dan pengikut Raja Adil yang setia, dibantu oleh Raja Mulia dan dua atau tiga orang ternama di Batangkapas. Mereka itu mencela"kalau benar"keputusan Yang Dipertuan sedemikian, apalagi setelah nyata niat maksud orang yang dijadikan wakil itu, penjajah. Sebab katanya, "Dengan kekerasan, dengan senjata perang, dan dengan bantuan kaum serikat, tentu mereka itu dapat kukalahkan dan kutundukkan."
Oleh sebab itu, mereka itu pun berusaha benar-benar akan mengalangi cita-cita Verspreet yang berbahaya itu.
Tatkala dilihat Verspreet usaha itu, ia pun mundur selangkah seraya berpikir-pikir demikian.
"Memang jika Salido diperangi, akan lebih banyak timbul bahaya daripada bahagia. Banyak rugi daripada laba sebab negeri itu jadi pintu perniagaan emas dari Sungaipagu, Sungaikepayang, dan daerah-daerah lain: sama pentingnya dengan Padang. Bahkan lebih lagi sebab di situ banyak pula diperjualbelikan lada dari Bayang dan Batangkapas. Tambahan pula jika Sri Nara ditangkap atau dibunuh sebab ia berani mengalang-alangi kehendakku, hasrat hakiki kompeni, niscaya negeri takkan aman! Tidak sebab itu lebih baik aku jalankan taktik lain, yang lebih halus dan sempurna. Lebih baik dan utama ia didekati, daripada dijauhi. Sri Nara mesti aku angkat jadi gubernur!"
Rupanya akal sedemikian membawa berkat pula kepada kompeni. Sri Nara teperdaya .... Dan setelah ia dijadikan gubernur, panglima, berubahlah sikapnya. Nafsu hendak melawan tiba-tiba menjadi rasa setia .... Ia pun berusaha memengaruhi rakyatnya. Sampai mereka itu merasa berbahagia dengan janji-janji ... akan disentosakannya sehingga mereka tidak menaruh syak paham lagi kepada apa-apa yang dikhawatirkan oleh pihak Raja Adil tentang perbuatan kompeni itu. Lupa daratan.... Dengan demikian dapatlah Verspreet mendirikan loji di Salido dengan tenang.
Hampir sampai cita-cita Verspreet sekaliannya. Tinggal lagi perkara Inderapura yang masih sulit rupanya. Tentang sebab musabab maka terjadi peperangan di sana, pendapatnya berlainan benar dengan pikiran residen lain-lain. Kata residen yang dahulu-dahulu, orang Inderapura jadi huru-hara karena dihasut oleh Aceh. Akan tetapi, pikir Verspreet karena pemerintahan Malafar Syah tua tiada baik, yaitu pemerintahan, yang dilakukannya sebagai wali atas nama putra yang terjauh daripada nama kebijaksanaan itu. Katanya, 'alan-alan tua' itu sudah dipermainkan alat senjata kompeni, sudah mempergunakan kekuasaan kompeni dengan jalan salah akan mencucut benak rakyat; itulah sebabnya maka rakyat lari ke mana-mana, itulah sebabnya Inderapura jadi lengang dan binasa. Kebun lada, yakni pohon kemakmuran daerah yang subur itu, tiada dipedulikan orang lagi. Kebanyakan anak negeri pergi berlindung ke bawah kekuasaan Raja Adil yang jaya itu. Panas hatinya. Oleh sebab itu, ketika Malafar Syah dan putranya terpaksa datang ke Pulau Cingkuk pula, minta tolong sekali lagi dengan senjata kompeni, tiadalah diindahkannya. Ia tak mau menolong lagi. "Tak ada lagi keuntungan yang akan diperoleh di situ," pikirnya, "dan si Bakhil tua ini sudah lama benar mengisi puranya dengan pertolongan orang Belanda yang baik hati!"
Dan Sultan Muhammad Syah mesti ditahannya, tinggal di Pulau Cingkuk, di dekatnya! Katanya, supaya ia luput dari pengaruh buruk bapaknya. Dengan menjaga orang bekerja loji di Salido, moga-moga ia tahu cara memerintah dengan agak baik! Keberatannya akan meninggalkan istana tidak dipedulikan ....
Malafar Syah balik ke Inderapura kembali, tetapi ia sudah diikat benar-benar dengan peraturan: tidak boleh sekali-kali merusakkan kekuasaan kompeni. Ia tidak boleh lagi mengenakan cukai kepada anak negeri; ia wajib membangunkan Inderapura kembali dengan pertolongan dua puluh menteri dan sebagian rakyat yang masih setia kepadanya. Perkara dengan Raja Adil dan diselesaikan oleh Verspreet sendiri.
Sungguh ia sudah berikhtiar hendak menyelesaikan perkara itu dengan damai. Sri Nara dan Raja Mantari Batangkapas sudah disuruhnya pergi bermusyawarah dengan Raja Adil, Panglima Manyuto itu.
Kedua utusanitu pun berangkat ke Manyuto, akan menyampaikan hasrat damai itu....
"Berdamai?" kata Raja Adil dalam majelis yang dihadiri kedua wakil kompeni itu serta Perdana Menteri Raja Mulana, sesudah berunding beberapa lamanya. "Apa perlunya bagiku berdamai dengan sultan sekarang" Tidak perlu, aku sudah jadi raja di sini dan takhta kerajaan Inderapura itu pun sudah dalam tanganku."
"Ingat kesejahteraan rakyat, Tuanku," kata Sri Nara dengan suara hampir putus asa, "jika terus berperang juga
"Hum, sekarang baru teringat kesejahteraan" Nyawa ayah-bundaku, nyawa dan mayat adikku.... Dan wahai, sahabatku kedua! Wahai, Sri Nara yang mulia, gubernur kompeni; wahai Tuanku Raja Mantari Yang Dipertuan Batangkapas ... tak kusangka sedikit jua saudaraku kedua akan terbujuk dan tertipu juga oleh kompeni laknat itu! Rupanya emas, perak, dan pangkat besar tinggi lebih berharga bagi Tuan-tuan daripada kepentingan nusa dan bangsa. Mau Tuan-tuan menjual negeri dan menjadikan rakyat budak bangsa asing yang tak diketahui asal usulnya dan tanah tumpah darahnya, asal Tuan-tuan senang sentosa dan mewah."
Raja Adil berhenti berkata-kata sejurus sebab tiba-tiba kerongkongan tersumbat. Amat marah hatinya dan berapi-api matanya.
Majelis ketakutan. Sri Nara dan Raja Mantari berpandang-pandangan. Pada cahaya matanya masing-masing sudah nyata terbayang perasaan hatinya, kecewa sebab sia-sia kedatangannya. Akan tetapi, untuk penghabisan Raja Mantari mencoba jua berkata dengan lemah lembut.
"Atas nama persahabatan kita, Tuanku, hamba minta dengan sangat supaya perang dihentikan dahulu."
"Oh, kalau Tuan masih mengaku hamba sahabat Tuan," sahut Raja Adil dengan menahan hati, seakan-akan terbit air matanya, "niscaya akan terasa oleh Tuan betapa sakit, pedih, dan iba hati hamba akan kekhilafan Tuan itu. Belot daripada kewajiban terhadap kepada tanah air kita hanya karena kepentingan diri sendiri, lupa akan sumpah setia kita hanya karena silau melihat kilat uang emas!! Tidak, sahabat! Di dalam surat kepala kompeni ini tersebut bahwa ia suka menolong hamba menyelesaikan perkara dengan Inderapura. Orang Belanda, katanya, berjanji akan berpihak kepada hamba, akan berikhtiar dengan giat supaya hamba beruntung, asal hamba mau tunduk kepadanya. Terima kasih! Akan tetapi, katakan kepadanya bahwa selagi ada jua nyawa di badan hamba tak perlu bagi hamba pertolongan orang sebagai kompeni itu. Tambahan pula Kerajaan Inderapura tetap akan hamba hancurkan dan sultan-sultan yang zalim serta berkhianat itu harus hamba serahkan kepada kekuasaan dan kedaulatan rakyat! Bukan mereka itu raja, malah sekalian orang besar-besar yang telah menyerahkan daerah Pantai Barat Pulau Andalas kepada musuh, akan hamba suruh cencang oleh rakyat belaka. Hamba tahu, sahabat, siapa yang telah berdosa kepada tanah airnya. Nama-nama mereka itu sudah ada di dalam kitab peringatan hamba. Takkan dapat hamba lupa-lupakan."
Ia terhenti pula berbicara sebab di luar kedengaran hiruk-pikuk. Anak-anak dan orang bersorak-sorak dengan riuh rendah. "Mata-mata musuh tertangkap, ikat, pukul, bunuh ...
Anggota-anggota majelis berpaling ke halaman, maka kelihatan oleh mereka itu seorang anak muda yang berpakaian sederhana digiring serta diapit oleh dua orang kawal, sedang anak-anak bersorak dan bertepuk-tepuk tangan di belakangnya.
"Mata-mata musuh, ikat, pukul, bunuh ...!"
Dengan segera Raja Adil memberi isyarat kepada Raja Mulana akan memeriksa hal itu. Perdana Menteri itu pun berdiri dari kedudukannya, lalu pergi ke pintu Balairung Sari itu, diturutkan oleh sekalian orang dengan matanya. Seorang dari kawal itu datang menghadap kepadanya, akan menyembahkan peristiwa itu. Setelah bersoal jawab dengan kawal itu sejurus lamanya, ia pun berbalik ke dalam majelis kembali dengan muka suram, lalu berdatang sembah kepada rajanya, "Memang mata-mata musuh, Tuanku. Sudah hamba suruh bawa dia ke dalam penjara oleh kepala kawal."
"Baik, nanti kita periksa," sahut Raja Adil dengan tegas, "sekarang kita lanjutkan rundingan. Apalagi yang hendak Tuan-tuan persembahkan" Silakan
Sri Nara dan Raja Mantari agak gugup, berpandang-pandangan, seakan-akan mereka itu hendak mengembalikan pikiran daripada penglihatan yang tak disangka-sangka tadi itu. Sebab sesungguhnya pada air muka mereka itu terbayang bahwa mereka itu kenal kepada orang tangkapan itu.
"Tuan-tuan kenal kepadanya?" tanya Raja Adil dengan senyumnya, "hum, jadi Tuan-tuan datang kemari dengan mata-mata?"
"Tidak, Tuanku," jawab Sri Nara dengan cepat, "dan dan ... sungguh ada lagi yang hendak hamba persembahkan. Ampun, Tuanku, mudah-mudahan Tuanku sudi menghilangkan salah sangka terhadap kepada kami, yaitu kami tidak merasa sekali-kali telah melampaui sumpah setia kami kepada Tuanku. Tidak, kami tetap setia kepada persahabatan kita dan tetap cinta kepada nusa dan bangsa. Akan tetapi dalam pada itu, kami pun tetap berpendapat bahwa tiada baik diteruskan jua permusuhan dengan Sultan Inderapura itu. Lebih baik kita berdamai dengan dia supaya kita dapat memperbaiki segala kesalahannya."
"Hum," kata Raja Adil sambil menggelengkan kepalanya, "tidak mungkin, Tuan."
"Apabila ia telah merasa tiada dimusuhi lagi, tentu tak perlu lagi ia minta bantuan kompeni, bukan?"
"Tuan tidak dimusuhi oleh siapa pun jua, tetapi mengapa Tuan perlu jua akan bantuan kompeni itu?" tanya Raja Adil dengan tajam, "Tuan raja dalam negeri Tuan, disayangi oleh rakyat Tuan, tetapi mengapa Tuan mau jadi kaki tangan saudagar penjajah itu" Tuan tahu bahwa kita sejak dari dahulu kala hanya memakai pakaian buatan kita sendiri, mengapa sekarang Tuan sampai hati memusnahkan kebun kapas kita sendiri" Lain tidak, supaya barang pakaian perdagangan kompeni itu laku, bukan?"
"Tidak, Tuanku, melainkan karena lada lebih berharga daripada kapas dan karena pakaian buatan asing itu lebih baik dan lebih kuat daripada buatan kita sendiri."
"Ha, ha, ha, betul-betul Tuan telah kena pengaruh saudagar penjajah itu. Sangka Tuan, hamba tidak tahu bahwa Tuan sudah ditipu oleh kompeni dengan cara monopoli, sudah dibohongi oleh kaki tangan kompeni, oleh Hulubalang Raja budak Orang Kaya Kecil di Padang dengan mulut manis" Sehingga Tuan tak ingat lagi bahwa mulut Tuan disumbat kompeni dengan pisang, tetapi ekor Tuan dikaitnya dengan duri."
Kedua utusan kompeni merah padam warna mukanya. Mereka itu tak dapat melanjutkan perkataan lagi. Mati bicaranya! Oleh karena itu, mereka itu pun berdatang sembah dan mohon diri akan meninggalkan majelis itu.
PERTEMUAN Ketika kedua orang besar daerah Barus itu sudah agak jauh dari Balairung Sari, maka Raja Adil berpaling kepada Perdana Menteri serta berkata dengan masam. "Mamanda, bagaimana pendapat Mamanda tentang kedua sahabat kita itu?"
Raja Mulana berdatang sembah dengan perlahan-lahan katanya, "Telah disaputi kemewahan"tak tahu daratan lagi."
"Benar"tetapi maksud hamba tentang orang tangkapan tadi, mereka itu kenal kepadanya, bukan?"
Perdana Menteri berdiam diri sejurus, terkernyit alis matanya. "Pendapat Tuanku sendiri bagaimana pula?" tanyanya.
"Betul orang itu mata-mata musuh?"
"Ada tanda-tandanya."
"Kalau begitu Sri Nara dan Raja Mantari harus diamat-amati dengan teliti! Tentu mereka itu sekongkol atau setidak-tidaknya sepaham dan sehaluan dengan orang itu. Tampak jelas benar oleh hamba pada sikapnya dan air mukanya bahwa mereka itu tahu seorang akan seorang."


Hulubalang Raja Karya Nur St. Iskandar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mungkin Tuanku sehingga sindiran Tuanku kepadanya tadi itu tepat benar adanya."
"Ya, di mana mata-mata itu sekarang?"
"Dalam penjara, sebagaimana hamba perintahkan tadi kepada kepala kawal."
"Hamba harap, ia diperiksa dengan segera."
"Pemeriksaan pertama telah dilakukan oleh kepala kawal itu,
"Apa sebabnya?"
"Ada permintaannya. Kata kedua kawal yang menangkap dia itu, ia hanya akan menjawab pertanyaan yang ke luar dari mulut Tuanku sendiri."
"Jadi ia berkehendak, supaya hamba sendiri memeriksa dia?"
"Rupanya demikian, Tuan."
"Bagaimana timbangan Mamanda?" tanya Raja Adil dengan sabar.
"Hamba kira, ada perkara penting tersimpan dalam kalbunya."
"Tentu saja, karena itu ia jadi mata-mata."
"Bersangkut dengan diri Tuanku sendiri"lain daripada masalah negeri."
"Siapa namanya?"
"Telah beberapa kali ditanyakan kepala kawal kepadanya, dengan keras dan lunak, tetapi ia tidak mau menyebut namanya atau gelarnya. Kecuali di hadapan Tuanku."
Raja Adil berpikir-pikir. Sambil menggulung rokok sebatang, ia pun bertanya, "Tidak adakah keberatan Mamanda akan hal itu?"
"Tidak"tetapi baik juga hamba hadir dalam pertemuan itu."
"Ya, baik"kalau dia sendiri tidak keberatan."
"Kita coba kelak."
"Sekarang, suruh bawa dia kemari. Eh, tak usah tergesa-gesa. Nanti sesudah sembahyang asar saja di rumah hamba. Di sana kita tanyai dia."
"Hamba, Tuanku."
Setelah itu Raja Adil berbangkit dari kedudukannya, berjalan pulang diiringkan oleh perdana menterinya yang budiman itu.
Setiba di rumah, dengan segera ia mengambil air wudu, lalu sembahyang zuhur di dalam bilik tempat bertekun. Kemudian ia
nnn mpikpm hprspimpi-spima Hpnran istri rHn pirmknvpi
Biasanya, sesudah makan zuhur semacam itu Raja Adil dapat beristirahat dengan senang, sekadar menenangkan jalan pikirannya dan mengurangkan perasaan lesu penat pada batang tubuhnya. Akan tetapi, sekali itu ia tiada dapat melepaskan kejadian sehari itu dari ingatannya. Sebab hal kedua sahabatnya yang telah membelakangi kepentingan negeri itu adalah sebuah daripada beberapa kenyataan yang telah timbul hampir di seluruh Pantai Barat"sejak dari Inderapura sampai ke Airbangis. Kompeni telah dapat berkuasa dalam beberapa negeri sepanjang pantai itu, tidak lain dan tidak bukan sebabnya, hanya karena kecerdikan olah kompeni mempergunakan kekuranginsyafan anak negerinya sehingga mereka itu mudah dijadikannya perkakas. Jungkat sini, jungkit sana, sayangi ini dan bend akan itu, ya, kompeni pandai benar mempertikai-tikaikan pendirian dan pendapat orang dalam masyarakat; sehingga dengan tak diketahui awak sama awak sudah berkelahi berbunuh-bunuhan. Sementara itu dilakukannyalah jarumnya akanmenjelujur negeri, akan mengatur hidung rakyat dengan tiada berasa sakit .... Dan kerja mata-mata itu pun tiada sedikit mengacaubalaukan pergaulan dan pemerintahan, bukan kepalang merugikan negeri dan kerajaan, di mana-mana sehingga kompeni tidak segan-segan lagi mengeluarkan uang untuk keperluan itu. Sekaligus hal itu terjadi di negerinya, sahabat berpaling haluan dan mata-mata musuh masuk! Keduanya tentu sudah menyesuaikan langkah lebih dahulu, Sri Nara membujuk-bujuk Raja Adil dengan terus terang dan mata-mata menyelinap ke dalam negerinya akan menyebarkan benih bencana, hasut fitnah di antara rakyatnya.
"Akan tetapi, ya untung hal itu dapat diketahui dengan sekaligus pula," kata Raja Adil akan mengurangkan sesak dadanya, "dan tentu dapat diselesaikan dengan segera."
Hanya hal mata-mata hendak berunding dengan dia sendiri itu tak mudah dijawabnya. Dan ketika terbit pertanyaan di dalam hatinya, tidak mungkinkah kedatangan orang itu berhubung dengan kehilangan adiknya, dengan Putri Ambun Suri, atau ..." Ia pun terlonjak dari kedudukannya lalu katanya, "Mungkin dan akan kuusut dan kuperiksa kelak."
Dua tiga jam kemudian daripada itu, Raja Mulana datang menghadap. Baru sejurus pendek ia di penghadapan, datanglah pula dua orang kawal mengiring mata-mata itu.
Dengan segera ia disuruh masuk. Kedua orang kawal itu pun berdiri di kiri kanan pintu, masing-masing memegang sebatang lembing.
Dengan tak gentar sedikit jua mata-mata itu pun masuk dan duduk di hadapan Raja Adil, sambil menyembah seperti adat anak raja-raja besar, tak ada cacat celanya sehingga Raja Adil dan Raja Mulana keheran-heranan beberapa lamanya. Meskipun pakaiannya sangat sederhana, mukanya dan rambutnya tiada terpelihara, tetapi bentuk badannya dan wajahnya menunjukkan kejombangan parasnya. Di balik kekurangan dan kekotoran itu nyata terbayang kelebihannya, lahir dan batin.
"Ampun, Tuanku, segala titah patik junjung," sembahnya sambil menyusun kesepuluh jarinya, "dibuang hamba jauh, digantung hamba tinggi, dibunuh hamba mati, tetapi hamba hendak mati di bawah duli Tuanku."
Raja Adil berdiam diri saja, sedang matanya tidak bergerak-gerak menentang muka orang tangkapan itu. Raja Mulana demikian juga, tetapi sebentar ia memandang kepada tuannya, sebentar kepada orang itu.
"Siapa nama Tuan?" tanya Raja Adil dengan tiba-tiba.
"'Si Buyung', dipanggilkan orang, Tuanku," jawabnya.
"Gelar Tuan?" "Kata orang: Hulubalang Raja, Tuanku."
Dengan cepat Raja Adil berpaling kepada Perdana Menteri, seraya katanya, "Mamanda kenal betul akan 'si Buyung' gelar Hulubalang Raja di Padang, bukan" Benar ini dia?"
"Benar, Tuanku jawab Raja Mulana dengan tiada ragu-ragu, "ia tiada mengada-ada."
"Kalau begitu, Mamanda sudah dari tadi kenal akan dia. Mengapa tiada Mamanda terangkan kepada hamba?"
"Sebab hamba tahu bahwa dia akan Tuanku terima menghadap."
"Ha, ha, ha, ahli nujum jua Mamanda rupanya," kata Raja Adil sambil tertawa, "dan Hulubalang Raja, Tuan anak emas Orang Kaya Kecil, bukan?" Ia berpaling kepada mata-mata itu, yakni orang yang sangat berbahaya kepadanya, "apa kabar Tuanku Regen yang mulia itu?"
"Hamba tinggalkan dia tiada kurang suatu apa-apa, Tuanku."
"Ia telah jadi orang besar, telah kaya raya, sejak ia jadi kaki tangan, kompeni, bukan?"
"Itu perkara dia sendiri, Tuanku."
"Baru-baru ini"kabarnya"ia telah diangkat pula oleh kompeni jadi gubernur di Padang dan Tiku; bukan, jadi Perdana Menteri kompeni" Ya, kalau mau menjual negeri...."
"Hamba tak tahu-menahu akan hal itu, Tuanku!"
"Masa! Hamba dengar Tuankah yang selalu menjalankan tipu muslihat regen kompeni itu. Senang hati Tuan melihat Tiku dan Pariaman telah jatuh ke tangan musuh, gembira benar Tuan menyaksikan Pauh yang ramai dan makmur itu jadi lautan api, habis jadi abu; melihat rakyat Pauh mati bergelimpangan kena peluru dan pedang musuh laknat itu: melihat perempuan dan anak-anak yang masih hidup bergelandangan di tengah padang karena tiada berumah tangga lagi! Lapang rasa dada Tuan karena sudah dapat membujuk-bujuk segala penghulu di Kotatengah, mengabui mata mereka itu sehingga mereka itu sudah rela menyerahkan negerinya dan rakyatnya ke tangan saudagar-saudagar penjajah itu! Belum puas lagi dengan segala kesenangan itu Tuan pun datang ke daerah Bandar Sepuluh akan mematahkan perjuangan rakyat dalam mempertahankan haknya. Sehingga Salido dan Batangkapas telah tunduk dan diperalat kompeni pula! Pun Inderapura tiada Tuan lupakan! Tuan datang ke sana dengan bala tentara kompeni, sengaja hendak memberi hormat kepada hamba, ha, ha, ha! Dan sekarang Tuan jelang pula hamba kemari sekali lagi"sesudah dua tiga kali"karena rindu akan berjumpa dengan hamba" Baik, kini kita sudah berhadap-hadap, Tuan, coba katakan segala niat maksud yang tersimpan dalam hati Tuan terhadap kepada diri hamba ini!"
"Ampun, Tuanku, sekalian tempelak itu tiada akan hamba bantah karena benar belaka pada lahirnya. Panjang benar ingatan Tuanku, sebuah pun tidak lupa kepada Tuanku gerak-gerik hamba, perbuatan dan usaha hamba selama ini, seolah-olah Tuanku adalah beserta hamba senantiasa," sahut orang muda itu dengan tenang dan tersenyum, "memang hamba berjalan kian kemari sebagai utusan Tuanku Orang Kaya Kecil, karena hamba suruh-suruhannya, budaknya. Benar hamba melakukan segala perintahnya karena hamba anak semangnya. Betul pula hamba selalu berkhidmat kepada beliau karena hamba berutang budi kepadanya dan keluarganya. Utang budi, Tuanku, yang tak dapat hamba bayar dengan emas; utang budi, yang mesti hamba bawa mati...."
Raja Adil termenung sejurus, heran akan kepandaian orang muda itu menyusun kata-kata yang akan dikeluarkannya. Ia mengaku dengan terus terang, dengan kata-kata biasa saja, tetapi tajam-tajam. Kemudian katanya, "Jadi/ Tuan hanya menjalankan perintah Orang Kaya Kecil saja, tidak lebih dan tidak kurang?"
"Hamba, Tuanku."
"Sehingga Tuan berbuat 'membabi buta' saja?"
"Apa maksud Tuanku dengan kata 'membabi buta' itu?"
"Dimisalkan perintah itu tidak sesuai dengan pikiran Tuan, berlain dengan cita-dta atau angan-angan Tuan sendiri sebagai putra negeri! Akan tetapi, mengapa Tuan jalankan jua perintah itu dengan tidak membantah-bantah" Sekalipun berbahaya bagi diri dan negeri Tuan sendiri, tetapi sebab perintah itu datang dari orang tempat Tuan berutang budi itu, Tuan tak peduli, mesti Tuan jalankan jua, bukan?"
"Jadi, hal sedemikian itukah yang Tuanku cap sebagai perbuatan membabi buta itu?"
"Ya, dan banyak lagi yang lain."
"Misalnya, Tuanku?"
"Ini... sebagai orang muda yang berpelajaran niscaya Tuan tahu dan insyaf bahwa tingkah laku kompeni di seluruh pantai atau pulau kita ini tidak sama dengan perbuatan kebanyakan saudagar, bukan" Bangsa kita orang pelayaran jua, sejak dahulu sampai sekarang. Nakhoda kita selalu mengarungi lautan sampai ke benua Cina dan Jepun, ke Patani dan Parsi, ke tanah Arab dan Madagaskar, hanya dengan niat hendak berniaga semata-mata! Akan tetapi, kompeni berniaga sambil merampas negeri orang. Demikian di Pulau Jawa dan sekarang di sini pula ... berniaga dengan kapal perang, dengan bedil dan meriam! Tuan biarkan sajakah perbuatan yang melanggar aturan itu" Senang sajakah hati Tuan, sebagai anak negeri asli, melihat kejadian semacam itu" Tidak berkata sedikit juakah sukma Tuan ketika menjalankan perintah itu, bahkan ketika Tuan memberi bantuan kepada mereka itu?"
"Yang bertanggung jawab tentang hal itu ialah induk semang hamba, Tuanku, Orang Kaya Kecil itu. Hamba hanyalah sebagai hubungan lidah saja, lain tidak."
"Tetapi dalam peperangan Tuan jadi hulubalang, jadi panglima besar. Sampai hatikah Tuan menembaki bangsa Tuan sendiri, sekalipun Tuan tidak segan-segan akan membunuh hamba ini" Hamba, yang dalam pemandangan Tuan hanya sebagai burung lepas di udara saja" Hamba, yang Tuan perangi dengan tentara kompeni; hamba, yang Tuan kejar-kejar ke dalam rimba sebagai binatang perburuan?"
"Ampun, Tuanku .... Hal itu bergantung pada peri keadaan semata-mata. Kalau suatu negeri memang penuh dengan penyamun, jadi pokok pangkal huru-hara, walau negeri hamba sendiri sekalipun, niscaya akan hamba hancurkan juga."
"Itu lebih baik daripada diserahkan kepada bangsa asing!"
"Tapi sudah di tangan bangsa asing jua. Kini hanya bertukar Tuan saja, Tuanku. Lepas dari bangsa asing ini, pindah ke tangan bangsa asing itu. Umpamanya Pauh dan Kotatengah"apakah yang dapat diharapkan dari kedua negeri itu" Sarang penyamun Aceh..."
"O, begitu?" kata Raja Adil dengan agak sesak dadanya, "Tidak sesatkah pikiran Tuan itu?"
"Hamba kira, tidak, Tuanku. Sungguh Pauh dan Kotatengah tak dapat hamba puji, tak mungkin hamba pertahankan sebab pemerintahan tidak ada lagi di sana. Orang berbuat sekehendak hati saja, siapa berani siapa di atas, lebih-lebih segala bangsa dari Aceh telah merajalela di situ. Samun saka, rampok rampas terjadi siang dan malam."
"Kedua negeri itu di bawah kedaulatan Minangkabau, bukan?"
"Namanya saja demikian, Tuanku. Bilakah Yang Dipertuan Minangkabau datang ke sana, bilakah Baginda membela rakyatnya" Tidak pernah"dan kekuasaan Minangkabau itu di seluruh pantai telah lepas ke tangan Aceh dan sekarang kompeni telah datang menyela pula."
"Sebab kompeni mendapat sokongan dan tunjangan dari orang khianat sebagai Tuan," kata Raja Adil dengan tajam.
"Tuanku..." "Kebenaran itu tak dapat Tuan bantah lagi, seperti kata Tuan tadi. Di mana-mana kompeni masuk, berkuasa, lain tidak karena pertolongan bangsa kita sendiri."
"Akan tetapi, hamba tiada berasa khianat kepada tanah air!"
"Pauh Tuan hancurkan."
"Sebab seperti kata hamba tadi, negeri itu sarang penyamun. Wahai, Tuanku, jika Tuanku telah pernah berhal serupa hamba ini, takkan sampai hati Tuanku berkata sekasar itu kepada hamba. Malah kebalikannya, ya tak dapat tiada"hamba yakin"Tuanku pun akan berbuat seperti hamba terhadap kepada negeri Pauh itu. Ya, Tuanku sendiri pun"kalau hamba tidak salah"sengaja berbuat sedemikian terhadap kepada kesultanan Inderapura ..."
Hening sebentar. Raja Adil agak terperanjat sebab orang muda itu seolah-olah membangkit-bangkit, mencerca, dan mengata-ngatai dia sendiri. Dan memang, perkataannya itu pun tersemat dalam hatinya.
"Sungguh, Tuanku, hamba dan belahan diri hamba hampir mati disamun orang di situ," kata mata-mata itu pula.
"Gila?" tanya Raja Adil sambil menahan hati.
"Ketika hamba akan ke Pesisir."
"Jadi Tuan bukan anak Padang, anak Pesisir?"
"Anak Darat, Tuanku."
"Oh, anak Darat... dari mana?"
"Dari Kotagedang Luhak Tanah Datar, bukan Luhak Agam."
"Oh, oh"hum, hum," " Raja Adil batuk-batuk, rasa tersumbat kerongkongannya?"dan belahan Tuan itu siapa namanya?"
"Mungkin nama dahulu berlain dengan nama sekarang ini Tuanku. Ia menuruti hamba .... Di Pauh ia disamun orang pula, dibawa orang ke Kotatengah dan dari sana"kabarnya dilarikan oleh orang Aceh .... Akan tetapi, kemudian hamba mendapat kabar bahwa orang yang berpakaian cara Aceh itu, Tuanku, ialah bangsa kita jua kiranya!"
Raja Adil termenung, payah benar menahan gelora hati sehingga warna mukanya berubah-ubah, pucat dan merah berganti-ganti. Dan Raja Mulana pun tersirap darahnya. Sebentar ia memandang kepada mata-mata itu, sebentar kepada Raja Adil pula. Ia pun tiada dapat mengeluarkan perkataan, terkunci mulutnya. Sementara itu mata-mata itu berkata pula, "Tak tahu hamba ke mana dia dibawa oleh orang itu, hamba cari ke sana kemari, hamba tanyakan kepada sekalian orang, tetapi usaha hamba tiada berhasil. Hampir hamba putus asa, dan sekarang, seperti orang gila hamba sampai ke sini ..."
"Jadi, Tuan kemari bukan sebagai mata-mata musuh?" tanya Raja Mulana mencampuri percakapan itu.
"Sekali-kali tidak, Tuan, hanya semata-mata mencari orang hilang, belahan diri hamba itu. Ampun, Tuanku, hamba bukan mata-mata, bukan jadi utusan rahasia datang kemari, melainkan mencari orang hilang."
"Laki-laki atau perempuan?" tanya Raja Mulana pula, sedang Raja Adil masih termenung-menung.
"Perempuan, di mana dia sekarang, Tuan?"
Ketika itu Putri 'Terus Mata' tengah bermain-main dengan putranya yang telah pandai berjalan selangkah-selangkah itu dekat pintu perhubungan antara ruang dengan bilik penghadapan itu. Entah ditiup angin, entah ditolakkan oleh anak kecil itu, entah tersinggung oleh seorang pengawal yang berjaga di sana tiba-tiba pintu itu pun terbuka. Dengan segera tuan putri bergerak hendak menutupkan pintu itu kembali, sebelum pengawal dapat berbuat apa-apa. Astaga .... Ketika ia berdiri di muka ambang, ketika ia memegang daun pintu dengan tangannya yang halus indah itu, beradulah pandangnya dengan pandang orang muda yang terdakwa itu. Sama-sama tajam mata keduanya, bagai panah beripuh yang menghunjam pada wajahnya masing-masing. Tuan putri mundur selangkah, berguncang perasaannya yang tenang selama ini. Mukanya pun pucat, dadanya yang bidang turun naik dengan kencang. Dan sebentar itu jua ia pun menyerbu ke dalam bilik penghadapan itu, sedang kedua pengawal pintu itu tercengang-cengang. "Wahai, Kaktua," jeritnya, sambil menjerembap ke hadapan 'mata-mata' itu, "Kaktua Malekewi...."
"Adikku, Andam Dewi," sahut mata-mata itu, seraya meraba bahu adiknya, "nasib, di sini kita bersua ..."
Kedua kakak beradik itu pun berpeluk-pelukan dan bertangis-tangisan dengan sedih, meratap berbuah-buah dengan tiada mengindahkan "karena lupa"orang sekeblingnya.
PULANG Pada petang hari itu jua sudah pecah kabar dalam negeri, sampai ke lorong-lorong dan kampung bahwa Tuanku Raja Adil kedatangan jamu yang dirindukan selama ini dengan tiada disangka-sangkanya. Mata-mata yang tertangkap pagi itu kiranya ipar beliau, saudara kandung sibiran tulang istrinya, yang sangat diharap-harapkannya.
Oleh karena kabar gembira hilang lenyaplah dari dada rakyat perasaan gelisah, yang disebabkan oleh kemasukan mata-mata musuh itu.
Di dalam masjid dan surau, sesudah sembahyang magrib sengaja orang membaca doa akan menyatakan sama-sama bersyukur akan bahagia yang dilimpahkan Tuhan kepada keluarga panglima muda itu.
Kepada Sri Nara dan Raja Mantari utusan kompeni itu pun kedatangan Hulubalang Raja menimbulkan penghadapan besar pula, sebagaimana nyata daripada percakapan mereka itu sedang duduk minum kopi di rumah tempat menumpang.
"Nasib," kata Raja Mantari kepada kawannya, "sungguh tak dapat ditentukan. Tadi hamba betul-betul sudah putus harapan, lebih-lebih setelah hamba perhatikan gelagat orang yang empunya rumah ini. Seakan-akan mereka itu telah mendapat perintah akan menurut-nurutkan langkah kita, sedang penjagaan di luar telah diperkeras pula."
"Mereka itu takut, kita akan lari...."
"Sebab sangkanya kita sekongkol dengan mata-mata Hulubalang Raja yang tertangkap itu."
"Sekarang?" "Seolah-olah sesudah panas terik tiba-tiba turun hujan lebat,
akan menghanyutkan segala sampah dan debu! Ramah-tamah orang terhadap kepada kita kelihatan pula, setelah 'riwayat mata-mata' bertukar dengan riwayat lain, yang sangat menggembirakan sekalian orang itu. Oleh sebab itu, ada harapan, tampak alamat bahwa masalah damai akan dapat dibicarakan kembali."
"Mudah-mudahan," kata Sri Nara sambil meminum kopinya. "Akan tetapi, teramat sulit rupanya. Tak mungkin pendirian Raja Adil yang kuat kukuh itu akan dapat digeser walau oleh siapa pun jua."
"Berterang-terang tentu tidak," sahut Raja Mantari, "kita sudah cukup mengetahui sifat, tabiat, dan semangat Raja Adil itu, bukan" Akan tetapi, dengan pengaruh Hulubalang Raja yang bijaksana itu mungkin tercapai jua maksud kita."
"Pengaruh kebijaksanaannya" Hamba tidak percaya! Tambahan pula hamba tidak mau kalah bertanding dengan orang muda itu tentang kefasihan lidah berkata-kata, tentang kepandaian mempercaturkan seluk-beluk pemerintahan, tentang mempersilatkan kepentingan masing-masing. Sungguhpun demikian, segala bicara hamba dan segala maksud hamba dapat didahului oleh Raja Adil yang cerdik itu. Mati bicara kita! Hamba tak percaya, Tuan, bahwa Hulubalang Raja dalam hal itu akan berpengaruh.... Apalagi ia lebih dekat kepada kompeni daripada kita kedua, suatu hal, yang sangat menyakiti hatinya. Lain daripada itu jangan pula dilupakan Perdana Menteri. Ia pun lebih benci kepada Hulubalang Raja daripada Raja Adil sendiri."
"Memang, hal itu hamba lihat dengan nyata pada air mukanya. Hebat benar perubahan sikapnya, ketika ia mula menampak orang muda itu. Rupanya Raja Mulana tak pernah lupa akan dia, walau telah berganti roman sekalipun. Kalau tidak lekas ketahuan bahwa Hulubalang Raja itu saudara tuan putri, barangkali ia telah dicencang ...."
"Dan kita juga kata Sri Nara dengan perlahan-lahan.
"Nyawa di dalam tangan Allah," kata Raja Mantari pula dengan sabar, "kalau Tuhan akan menolong, aturan mati tak mati. Kebalikannya, kalau sukatan telah penuh, walau kita bersembunyi dalam peti besi sekalipun, kita akan mati jua pada saat ketika yang telah ditentukan."
"Jadi, Tuan percaya bahwa tolongan Allah akan terlimpah kepada kita sekarang ini?"
"Percaya, tetapi bukan dalam hal ... sebagai Tuan gambarkan tadi itu. Bukan dengan pengaruh kecerdikan, kepandaian, dan kebijaksanaan, melainkan dengan pengaruh lain, yang dapat mengenai hati sekalian manusia. Dalam hal ini, pengaruh persaudaraan atau pertalian ipar besan."
"O, begitu ..." sahut Sri Nara sambil menghabiskan kopinya, "sebab itu damai akan dapat diperoleh dengan mudah."
"Mari kita tunggu."
Bahwasanya Raja Adil sebagai kena pukau ketika istrinya mengacaukan tanya jawab itu. Ia terharu sangat, tak tentu apa yang akan diperbuatnya. Hendak marah tiada dapat, hendak menyetujui perbuatan yang luar biasa itu pun ia masih ragu bimbang. Ya, di dalam dadanya hal itu mula-mula menjadi peperangan hebat, antara perasaan dengan kewajiban, antara dendam kepada musuh dengan kasih kepada persaudaraan dan peri kemanusiaan. Apabila rasa kewajiban itu bagi dia sebagai kepala negeri, bahkan sebagai panglima perang dan ditambah pula dengan rasa dendam terhadap kepada orang yang senantiasa mengintai-intaikan nyawanya, diutamakannya, niscaya sebentar itu jua ia harus menjatuhkan hukum perang, yaitu hukum tembak atas diri kaki tangan kompeni itu. Kebalikannya, apabila dalam pada itu melintas di hadapannya rupa istrinya dan anaknya, apabila diresapkannya bagaimana mesranya pertemuan kakak dengan adik itu, ia pun tunduk dan tafakur. "Kalau aku berjumpa pula dengan Ambun Suri," kata hatinya, "entahbagaimana gerangan, sekalipun sakit hatiku terhadap kepada Sultan Muhammad Syah sekarang ini tak dapat diobati lagi rasanya." Dengan demikian lama-kelamaan, berangsur-angsur rasa permusuhan dan dendam kesumat itu pun disaputilah oleh rasa cinta akan perkauman. Apalagi, setelah ditimbangnya baik-baik segala jawab Hulubalang Raja dalam tanya jawab di atas itu, tidaklah ada lagi jalan baginya melainkan membenarkan permainan alam, karena tak kenal maka tak sayang. Kini sebab mereka itu sudah berkenalan, sudah tahu seorang kepada seorang, segeralah Raja Adil membulatkan hati dan pikiran, sama-sama bersukacita dengan istrinya. Ia pun tegak sambil memangku anaknya, yang tercengang-cengang melihat peristiwa itu.
Raja Mulana sudah keluar dari dalam bilik itu dengan diam-diam. Di muka pintu diberinya isyarat kedua pengawal itu, supaya mereka itu berangkat dari situ. "Pulang," katanya, "sudah selesai. Bukan perkara mata-mata, melainkan perkara keluarga. Biarkan saja, ya, mari kita berangkat dari sini!"
Ketika gelora rindu sudah agak teduh dalam kalbu tuan putri dan saudaranya, rindu, yang dideritanya dan ditanggungkan mereka itu selama ini, dan ketika rindu itu telah bertukar dengan sukacita yang dibawa pertemuan itu, barulah Andam Dewi ingat akan perkara lain-lain. Ia berpaling kepada suaminya, yang telah duduk merintang-rintang hati dengan anaknya. "Kanda," katanya dengan senyum manis, "inilah Kaktua Sutan Malekewi, yang kita rindukan selama ini!"
Kedua panglima yang bertentangan dengan dahsyat dalam peperangan dahulu dan bersoal jawab tadi itu, segera bersalam-salaman dengan karibnya. Dan sesudah itu Malekewi memeluk dan mencium kemenakannya yang molek itu, sedang air matanya berlinang-linang pula karena sangat suka hatinya.
Semalam-malaman itu orang bersukaria dalam istana. Orang besar-besar, penghulu, menteri, dan lain-lain banyak datang ke sana berkenalan dengan ipar raja itu.
Kemudian daripada itu, barulah ketiga mereka itu dapat cerita menceritakan rindu dendam dan penanggungannya masing-masing dengan tenang. Kata Malekewi, tiga empat bulan yang akhir ia berangkat ke Terusan dengan pencalang Malim Sutan, akan mencari adiknya ke mana-mana. Dari sana ia mengembara sebagai fakir miskin, masuk kampung keluar kampung, sambil memasang-masang telinga juga. Di Air Haji barulah ia mendapat kabar bahwa Andam Dewi ada di Manyuto dengan nama 'Terus Mata'....'
"Hamba alih nama hamba," kata Andam Dewi dengan senyumnya, "sebab hamba takut akan disusul Ayah sebelum Kaktua bersua...."
"Dan hamba pun sudah berjanji dengan si Andam akan mencari Tuan sampai dapat," kata Raja Adil dengan senyum yang banyak artinya, "tapi janji itu tak dapat hamba penuhi dengan sebaik-baiknya, oleh sebab sesudah kawin kami dirundung malang ...."
"Apa hendak dikata!" kata Malekewi dengan cepat, terharu hatinya, "Sebab kita tidak berkenalan .... Siapa yang menyangka ada pertemuan nasib sebagai ini" Dan hamba sebagai sahaya orang, mesti menurut titah dan perintah orang itu, bukan?"
"Ya, kebanyakan cita-cita tak sesuai dengan takdir," kata Raja Adil dengan tersenyum masam seraya memandang kepada istrinya, "Tuhan berbuat sekehendaknya. Kemalangan berturut-turut, bertimpa-timpa pada diri hamba. Sungguhpun demikian dalam kemalangan hebat yang akhir itu hamba sudah beroleh bahagia besar; ketika itu barulah hamba tahu dan insyaf, betapa setia si Andam Dewi kepada hamba ini .... Eh, jadi dari Air Haji dengan apa Tuan kemari?"
"Berjalan kaki."
"Bersua dengan Sri Nara dan Raja Mantari di, ah, di Painan?"
"Tidak, hamba tak kenal betul kepada kedua-duanya."
"Sekarang mereka itu ada di sini, diutus oleh kompeni," ujar Raja Adil sambil memperhatikan air muka iparnva itu.
"Urusan apa?" tanya Hulubalang Raja agak tercengang.
"Urusan yang telah disetujui jua oleh Orang Kaya Kecil, masa Tuan tidak tahu?"
"Sungguh tidak tahu," kata Sutan Malekewi, "sebab hamba sudah lama meninggalkan Padang."
"Banyak kejadian penting sepeninggal Tuan. Induk semang Tuan diangkat jadi gubernur dan dirajakan dengan ramai permai."
"Tentang angkatan itu," kata Hulubalang Raja dengan senyumnya, "sudah lebih daripada patut... baginya. Sungguh harus kompeni memberi kehormatan yang sebesar itu kepadanya sebab bukan sedikit jasanya kepada kompeni dalam perniagaan di daerah Pesisir. Dengan anjurannya sendiri orang Padang berpihak kepada Belanda, setia kepada Belanda itu."
"Kalau begitu, masih sedikit, masih kecil sekali balas kesetiaan yang diberikan itu," kata Raja Adil dengan senyum yang banyak artinya, "hanya pangkat gubernur, padahal sejak dari Tiku sampai kemari sudah menjalar kekuasaannya. Kompeni takkan melakukan suatu perkara, baik tentang pemerintahan negeri, baik pun tentang perniagaan, jika tiada minta nasihat lebih dahulu kepada Orang Kaya Kecil yang bijaksana itu, bukan" Dan dalam perkara sekarang ini pun besar sekali pengaruhnya!"
"Perkara apa?" "Perkara damai, yang kami permusyawaratkan baru-baru
ini." Malekewi memandang kepada adiknya dan iparnya berganti-ganti, dengan pandang yang membayangkan perasaan bimbang. Ia teringat akan soal jawab dalam pemeriksaan yang baru lampau itu. Pertengahan dua buah pendirian, yang tak dapat disesuaikan!
Lama ketiga mereka itu bertukar-tukar pikiran. Tak habis, tak selesai pada hari itu, diulang dan diteruskan pula pada keesokan harinya.
Dua tiga hari kemudian majelis diadakan pula dengan utusan kompeni itu. Dalam majelis yang kedua itu sudah berubah benar pendirian Raja Adil dari dahulu, seakan-akan ia telah menyerahkan diri saja. "Apa boleh buat," katanya, "hamba harus mengorbankan perasaan .... Sesungguhnya, kalau perkara hamba dengan Sultan Muhammad Syah tidak dicampuri orang lain, sudah lama hamba habisi. Sebab perselisihan awak senegeri, sama dengan sengketa awak sekeluarga. Cabik-cabik bulu ayam, ujar Mamanda Raja Mulana dahulu. Akan tetapi, lama-kelamaan perkara kami itu semakin sukar karena hamba tidak berhadapan dengan sultan saja lagi, melainkan dengan bangsa asing jua. Mengerti Tuan-tuan, dengan bangsa asing, yang pandai memancing dalam air keruh, yang akan menjajah negeri kita bertopengkan perniagaan" Kalau hal itu kita biarkan saja, niscaya kita akan ... meninggalkan nama buruk kepada keturunan masa depan! Akan tetapi, ya, kini apa hendak dikata lagi" Lain tidak, elok buruk perkara itu harus hamba pulangkan kepada kebijaksanaan Raja Mantari dan Sri Nara.... Bukan hamba sendiri yang bertanggung jawab atas tanah air kita ini! Tuan-tuan jua dan ... tak patut hamba berlainan haluan dengan ipar hamba, yang sangat dikasihi oleh istri dan ibu putra hamba sendiri!"
Raja Mantari dan Sri Nara berpandang-pandangan; pada sinar matanya terbayang suka dan dukacita hatinya.
"Dan bagaimana bicara Mamanda?" tanya Raja Adil pula kepada perdana menterinya, "Adakah Mamanda setuju dengan pikiran kami itu?"
"Mana titah patik junjung, Tuanku," sembah Raja Mulana tua itu, "sudah sepatut-patutnya benar Tuanku bersenang-senang dengan tuan putri dan putra mahkota. Apalagi cita-cita Tuanku boleh dikatakan sudah tercapai! Apa jua gunanya berperang lagi" Perkara tanah air sungguh bukan tanggungan atau beban Tuanku saja. Orang besar-besar serta rakyat sekalian harus insyaf akal hal itu."
Raja Adil menatap muka Raja Mulana dengan suram, lalu katanya, "Bersenang-senang" Bagi hamba, Mamanda, tidak ada istilah bersenang-senang itu selama negeri masih diancam bahaya penjajah. Mamanda tahu betul pendirian hamba, bukan" Hanya hamba mau berdamai seperti kata hamba tadi, dengan Sultan Muhammad Syah. Dengan kompeni" Sekali-kali tidak."
"Ampun, Tuanku," kata perdana menteri itu, "maksud hamba hanya bersenang-senang dengan keluarga Tuanku. Bukan di dalam negeri jajahan, bukan pula dengan si penjajah. Sebab hamba sendiri pun sampai bercerai nyawa dengan tubuh hamba ini, akan tetap taat dan terus berjuang di bawah pimpinan Tuanku. Jika hamba katakan tadi bahwa orang besar-besar serta rakyat sekalian bertanggung jawab akan keselamatan tanah air, lain tidak hanyalah sekadar menegaskan bahwa di atas mereka itu mestilah ada seorang pemimpin yang berani lagi jujur. Biar Raja Mantari dan Sri Nara berpihak kepada kompeni, kepada saudagar penjajah musuh nusa dan bangsa kita itu, biar"namun, pimpinan Tuanku sebagai tiang perjuangan takkan dapat dipatahkan."
Raja Adil tersenyum, tetapi kedua kaki tangan kompeni itu tertunduk"malu sangat rupanya. "Benar, kekuasaan Tuhan adalah di atas segala-galanya," katanya dengan tawakal.
Dengan segera dimaklumkan bahwa peperangan antara Manyuto dengan Inderapura sudah dihentikan.
Dan tiada lama sesudah itu majelis besar diadakan di Pulau Cingkuk, yaitu suatu 'rapat negeri', yang dihadiri oleh sekalian orang-orang besar di pesisir. Verspreet duduk jua dalam majelis itu jadi wakil kompeni, sedang Raja Adil diwakili oleh Raja Mantari sendiri.
Kepada rapat negeri itu dimajukan perjanjian sebagai di bawah ini: Sultan Muhammad Syah tetap memerintah di Inderapura!
Raja Malafar Syah dilarang benar-besar mencampuri perkara pemerintahan negeri sebab putranya sudah akil balig.
Raja Adil memerintah di daerah Manyuto dan bagian sebelah selatan sampai ke Silebar, jadi wakil sultan sebab bagaimanapun juga keadaannya, daerah Manyuto itu tidak dapat diceraikan dari ibu negeri Inderapura, tempat kedudukan sultan asli itu!
Setelah masalah itu diperbincangkan dengan panjang lebar, maka wakil Raja Adil berkata bahwa ia mau menerima perjanjian sedemikian, asal Malafar Syah ditahan di Pulau Cingkuk. Sebab kalau ia masih bebas, masih dibiarkan tinggal di Inderapura atau di mana-mana"lain daripada di pulau itu"Raja Adil yakin bahwa keamanan yang dikehendaki dan diharapkan itu akan tinggal jadi cita-cita saja. Timbangan itu nun dibenarkan oleh majelis, asal Raja Adil mau berjanji seperti ini: ia harus membawa segala-gala dari daerah itu ke Pulau Cingkuk atau ke tempat kedudukan kompeni yang lain-lain dan harus mempergunakan kekuasaannya, supaya orang Silebar pun menjual hasil tanahnya ke pulau itu juga.
Meskipun perjanjian itu amat berat terasa oleh Raja Mantari dan apalagi takkan mungkin dibenarkan oleh Raja Adil yang diwakilinya sebab Raja Adil tak suka sekali-kali kepada monopoli, tetapi sesudah diperbincangkan dengan panjang lebar. Akhirnya, ia memberanikan diri akan memikul segala akibatnya. Dengan demikian, perjanjian itu pun disahkan.
Setelah itu orang besar-besar pulanglah ke negerinya masing-masing dengan senang hatinya. Dan ketika Muhammad Syah hendak balik ke Inderapura, Malafar Syah, 'yang dapat dalam sejam merusakkan kerja orang dalam setahun', tiada kelihatan bersama-sama. Ya, mulai dari waktu itu ia tiada boleh meninggalkan Pulau Cingkuk lagi. Peraturan atau keputusan itu pun disahkan oleh Muhammad Syah dan majelis menteri dua puluh orang.
Semenjak itu Raja Manyuto berbuat seolah-olah telah membelakangi peperangan dengan sungguh-sungguh. Segala kekuatannya telah dipergunakannya untuk mencapai kemajuan negerinya dan kemakmuran rakyatnya. Berat"baik bagi dia, baik pun bagi anak negeri! Akan tetapi setelah kelihatan hasilnya, keberatan pada mulanya itu pun bertukar dengan kesukaan dan pengharapan.
Istana Raja Adil sudah aman dan sentosa. Bahkan makin lama makin permai dan bersemarak rupanya sebab mereka itu senantiasa bersukadta dan beriang-riang. Memang Putri Andam Dewi, lebih-lebih sejak bersua dengan saudaranya, selalu hari menampakkan sukacitanya. Putranya pun bagai ditambak-tambak besarnya"lekas, cerdik, dan pandai bertutur.
Ya, bukan karena itu saja. Terutama pula karena Raja Adil telah mendapat penjelasan tulus ikhlas dari Hulubalang Raja sendiri bahwasanya ia pun sependirian dan sejiwa dengan dia .... Sama-sama dnta kepada alam Minangkabau, sama-sama memperjuangkan kemerdekaan dan kesejahteraan tanah air seluruhnya, sekalipun ia bekerja sebagai 'budak' Orang Kaya Kecil, gubernur kompeni itu. Ia terpaksa berlaku demikian, katanya, tidak lain dan tidak bukan melainkan karena pengalaman pahit dan karena 'utang budi' yang tak dapat dibayarnya. Kecuali dengan jiwa raganya! Oleh karena itu, perjuangannya itu tidak tegas, malah tidak nyata menentang penjajah. Akan tetapi, dalam suasana kehidupannya tidak mungkin jalan yang ditempuhnya lain daripada itu"demikian pernyataannya.
Sekali peristiwa, ketika suami istri itu bermain-main dengan putranya dan ketika hari keduanya sedang terbuka benar-benar, berkatalah Sutan Malekewi dengan lemah lembut, "Mari Suha, mari Yung dengan Mamanda!" Anak itu pun berlari ke pangkuannya, lalu dipeluk diciumnya, "Yung sudah besar, sudah pintar"berapa 'kan besar hati nenekmu melihat rupamu ini"
"Nek"mana Nek, Mak" Yung, Nek, Mak," kata putra itu dengan telornya, seraya berlari ke pangkuan bundanya pula.
Andam Dewi memandang kepada suaminya, yang tersenyum-senyum simpul melihat laku putranya yang cerdik itu.
"Sudah lama terpikir dalam hati hamba hendak pergi menjelang ayahanda dan bunda," kata Raja Adil dengan sukacita, "akan tetapi, selama ini pikiran atau niat sedemikian hamba simpan saja sebab hamba masih dirintangkan kerja berat dan Kakanda Sutan Malekewi pun belum lama lagi beristirahat di sini. Sekarang, jika sudah semufakat, boleh kita berangkat ke Kotatengah dengan segera
"Bila?" tanya Andam Dewi dengan suka hati, "bila Kanda?"
Raja Adil memandang kepada iparnya, seakan-akan meminta buah pikirannya.
"Bila saja kehendak Adinda keduanya," kata Sutan Malekewi dengan girang, "akan tetapi, lebih baik hamba kirim kabar pulang dahulu supaya Ayah dan Bunda bersedia-sedia
"Ya, tentu surat ke Padang penting pula, bukan?" kata Andam Dewi dengan senyumnya, "Sebab, hum, kita mesti lalu dan singgah dahulu di sana. Orang di sana, ya, kerja Kaktua di sana ...."
"Ya, ke Padang jua," sahut Malekewi memutuskan perkataan adiknya, seraya menundukkan kepalanya akan menyembunyikan perubahan air mukanya.
"Sementara itu kita lengkapkan alat pelayaran," kata Raja Adil pula dengan girang, "supaya pekerjaan Kaktua yang terbengkalai di Padang itu dapat diselesaikan orang dengan baik."
"Apa maksud Adinda dengan kata terbengkalai itu?" tanya Malekewi dengan agak terkejut.
"Kan di sana orang tengah mengarang bunga melati Kaktua tinggalkan," sahut Andam Dewi dengan cepat dan lucu, akan menghilangkan salah paham.
"Hem, ya, benar demikian, bukan?" ujar Raja Adil dengan senyumnya.
Malekewi kemalu-maluan, tetapi ia segera tertawa.... Dan ketiga mereka itu pun tertawa bersama-sama dengan riang hatinya.
Sepekan dua pekan kemudian, yaitu setelah diresmikan bahwa pemerintahan dan pertahanan kerajaan Manyuto dipegang dan dijalankan oleh Perdana Menteri Raja Mulana selama Raja Adil dalam perjalanan, maka keempat orang berkeluarga yang mulia wan itu pun turun dari istana beserta dengan beberapa pelayan dan dayang-dayang, berangkat ke pelabuhan, diiringkan oleh orang besar-besar dan rakyat banyak dengan upacara kebesaran. Hari terang cerah, angin berembus dengan selesai. Layar kapal Songsong Barat sudah terkembang semuanya. Andam Dewi, Raja Adil, Sutan Malekewi, dan kemenakannya naiklah ke kapal itu, demikian pula segala pengiringnya.
Setelah mustaid sekaliannya, meriam pun dibunyikan orang tiga kali berturut-turut. Sauh dibongkar, kemudian dijalankan, maka Songsong Barat berlayarlah dengan jombang ke tengah laut, dilepas dengan tempik sorak dan lambaian tangan dan doa selamat oleh rakyat dari pangkalan.
Ketika itu terharu jua hati raja itu, dapat jua ia didaya setan, rindu kepada almarhum keluarganya. Seakan-akan bayang-bayang ayah bundanya dan arwah adiknya, Putri Ambun Suri, yang hilang lenyap itu adalah terdiri di tengah-tengah orang banyak itu!"
Oleh karena itu, ranai jua air matanya ....
Pelayaran selamat, tiada kurang apa-apa. Di Bayang kapal berlabuh sebentar, lalu dielu-elukan oleh Datuk Sri Nara, yang sudah menanti di situ dengan upacaranya. Panglima itu naik ke kapal Songsong Barat akan mengucapkan doa selamat kepada sahabatnya.
"Tidak singgah di Pulau Cingkuk?" tanya Sri Nara kepada Raja Adil sedang santap di atas geladak yang diatap dengan kain layar dan diaturkan dengan indahnya.
"Tidak," jawab Raja Adil dengan pendek.
"Di Inderapura?"
"Tidak juga. Bagaimana kabar di sana?"
"Kabarnya, Muhammad Syah datang ke Pulau Cingkuk .... Ia masih khawatir, kalau-kalau Tuanku mungkir dari perjanjian yang ditetapkan Raja Mantari itu. Tuanku berlaku di Manyuto bukan sebagai wakil Sultan Inderapura, melainkan ...."
"... seperti raja yang berdaulat di sana, maksud Tuanku" Ha,
ha, ha, memang demikian kehendak dan penobatan rakyat, bukan" Akan tetapi, Raja Mantari sudah datang ke Pulau Cingkuk sekali lagi," katanya, "dan perjanjian itu telah dikuatkannya dengan hitam di atas putih."
"Sejak Tuan datang ke sana sebagai utusan dari Padang dahulu, ada agak aman. Akan tetapi, baru-baru ini timbul pula huru-hara sedikit. Raja Bungapasang dengan empat orang raja lain-lain berdiri di bawah kekuasaan Yang Dipertuan Minangkabau dan mengaku jadi wakil baginda. Ia hendak jadi kepala di Painan, tetapi orang besar-besar dan wakil kompeni tak mau mengesahkan. Kebetulan sementara itu terbitlah gerakan yang berbahaya di daerah itu. Raja Putih, putra Mangkubumi Minangkabau, yang dijadikan kawan pura-pura oleh Verspreet dalam pemerintahan negeri, tiba-tiba kena pengaruh dari Lela Garam di Batangkapas. Tuanku tahu sudah, bagaimana fiil pekerti Lela Garam itu!"
"Cerdik, banyak tipu muslihatnya yang bukan-bukan," kata Raja Adil, "apa maksudnya?"
"Apalagi kalau tidak hendak mencari faedah bagi diri sendiri" Ia bermaksud supaya bangsawan tinggi Minangkabau itu boleh dijadikan tempat dia berlindung. Ketika Verspreet danPits berangkat dari Padang ke Pulau Cingkuk Raja Putih dibawanya dengan diam-diam ke Painan dan setelah Verspreet berlayar ke Betawi, lalu putra mangkubumi itu dikawinkannya dengan anak Sri Indera Pahlawan, penghulu Painan."
"Kawin?" "Ya, tapi seorang pun tiada tahu sebab perkara itu dilakukannya dengan sembunyi-sembunyi. Ketika Raja Bungapasang telah tunduk, sekonyong-sekonyong Lela Garam pergi ke Pulau Cingkuk di bawah perlindungan Raja Putih, dan mengaku bahwa ia jadi wakil Empat Suku atau Batangkapas!"
"Percaya Tuan Pits?"
'Tidak. Lela Garam diusirnya dan Raja Putih dimurkainya
"Hum"Habis?"
"Maksudnya yang jahat itu tidak sampai kepada hamba. Cuma ia dapat menghasut rakyat supaya melawan kepada kompeni. Hampir tertarik hati rakyat olehnya; apalagi sebab kata orang, ada 300 orang Pauh datang ke Bandar Sepuluh. Dan Raja Putih menyuruh rakyat memanggilkan dia Panglima Raja di sana; katanya, ia telah beroleh gelar itu dari ayahnya."
"Mungkin. Dan ia tentu bukan menghasut, hanya menginsyafkan."
"Tetapi sia-sia belaka. Lela Garam tertangkap dan Raja Putih dikirim ke Minangkabau kembali."
"Oh, begitu!" "Sekarang negeri boleh dikatakan telah aman pula. Rakyat sudah boleh mencari kehidupan dengan senang."
Setelah selesai dari makan minum dan rundingan pun sudah habis pula, Sri Nara berjabat tangan dengan kedua sahabatnya itu serta mengucapkan selamat jalan kepada Putri Andam Dewi dan putranya. Sebelum turun ke sampan, ia berpaling kepada Sutan Malekewi pula dan berkata dengan manis, "Niscaya Hulubalang takkan terus ke Darat, bukan?"
"Ber...henti di Padang sebentar," jawab Malekewi dengan tersenyum.
"Tentu"dan sampaikan salam hamba kepada Orang Kaya Kecil, o, ya, Tuan telah mendengar kabar bahwa ia sudah dianugerahi oleh Yang Dipertuan Pagarruyung gelar Panglima Raja dan dipanggilkan kompeni dengan gelar Groot Gouverneur?"
"Oh, kalau pandai menyayatkan pisau bermata dua, tentu dari kiri kanan dapat daging," kata Raja Adil dengan masam, "dan Tuanku"ya, moga-moga Tuanku lebih daripada itu... negeri Bayang makmur. Selamat Jalan."
Sejurus antaranya kapal Songsong Barat meneruskan pelayaran dengan kencang.
Makin lama mereka itu makin jauh ke sebelah utara, ke pelabuhan yang penghabisan. Dalam pada itu perasaan hati Malekewi semakin berbeda dengan perasaan ipar dan adiknya. Sedang ia telah mulai resah rupanya, Andam Dewi masih tenang. Baginya Padang baru berarti permulaan jalan darat ke Minangkabau, masih lama ia akan bertemu kembali dengan ayah bunda yang telah lama ditinggalkannya, tetapi bagi Malekewi..." Berjam-jam ia berdiri di atas geladak, berjam-jam pula ia memandangi daratan yang terbayang kebiru-biruan. Ia berdiam diri saja, tetapi semangatnya berkobar-kobar dan sukmanya bersorak-sorai karena gembira akan berjumpa dengan kekasihnya.
Ketika daerah muara telah kelihatan terbayang sedikit-sedikit, ia pun masuk ke dalam kurung dan berkata dengan perlahan-lahan kepada Raja Adil laki istri, "Padang telah tampak," seraya memangku kemenakannya.
Mereka itu naik ke geladak .... Di muara orang ramai sebagai semut kelihatan dari kapal itu. Di muka sekali tampak dua orang berdiri di bawah payung keemasan, diapit oleh kelompok laki-laki dan perempuan yang berpakaian indah-indah daripada kaum orang besar-besar dan bangsawan. Sekaliannya tetap memandang dengan rindu ke kapal yang hendak masuk ke pelabuhan itu.
Darah Andam Dewi tersirap. Mukanya pucat, tetapi hampir sebentar ia juga merah berseri-seri kembali. "Kaktua," katanya dengan suara tertahan-tahan, "itu ... Ayah dan Bunda?"
Malekewi tersenyum, sambil memandang kepada adik dan iparnya dengan riang.
"Lihat, Kanda," kata Andam Dewi pula kepada suaminya dengan sukacita yang tiada terperikan, "awak ditipu oleh Kaktua .... Ayah dan bunda disuruhnya datang kemari.... Itu, yang berdiri berdua itu, tapi tidak dikabarkannya sedikit jua kepada awak!"
Selang berapa saat keempat bangsawan mulia yang ditunggu-tunggu dengan rindu dendam itu pun turun ke darat lalu berpeluk-pelukan dengan orang tuanya dan sesudah itu bersalam-salaman dengan orang besar lain-lain.
Ketika berhadapan dengan Raja Adil, orang besar-besar itu hendak bersikap sebagai menyambut kedatangan seorang raja yang berdaulat. Akan tetapi, Raja Manyuto yang rendah hati dan sopan itu berharap benar-benar, agar orang memandang akan dia tidak lebih dan tidak kurang daripada seorang anggota keluarga Sutan Malekewi biasa saja. Dan pengharapannya itu pun dibenarkan dan dikuatkan oleh istrinya.
Demikian maka suasana kekeluargaan berkumandanglah dengan sinar terang benderang.
Akan hal Sutan Malekewi, setelah adik dan iparnya yang mulia itu diterima oleh Orang Kaya Kecil suami istri dan oleh Putri Rubiah anak beranak sebagaimana diharapkan mereka itu, ia pun berbisik ke telinga seorang dari putri-putri itu,"gadis yang berseri-seri cahaya muka dan matanya, "Itu, Sara ... ya, masih ingatkah Adinda akan igauan Kakanda dahulu?"
"Sungguh cantik jelita Kaktua itu," kata Sarayawa sambil memalis dengan semanis-manisnya.
"Adikmu," kata Malekewi dengan senyumnya, "adik kepada Kakanda, tentu adik pula kepadamu, bukan?"
"Tetapi Andam Dewi tetap permaisuri raja yang berdaulat, Kanda. Harus dimuliakan dan dihormati menurut derajatnya."
"Sara, Adikku, ingat suasana!"
"Ah, ya, sesuka hati awaklah," sahut Sarayawa dengan berahinya, "hamba mengaku kalah dan salah. Maaf, hamba menyerah ...."
"Dengan tak bersyarat?"
"Ada di dalam...dada Kakanda dan dalam jiwaku sendiri. Cukup syarat itu?"
"Sudahlebih dari cukup, Kakak kata Putri Andam Dewi seraya mendekat kedua asyik dan masyuk itu, "senang hatiku mendengar penyerahan Kakak itu kepada Kaktua
"Kami pun begitu pula," kata ayah bunda Andam Dewi yang datang pula menyertai anak-anaknya, "penyerahan Ananda itu menjadikan kami berbahagia sangat, Sara! Dua orang anak kami hilang, empat gantinya."
"Dan lima dengan cucu muliawan ini," ujar Orang Kaya Kecil menyela dengan girang, seraya mengusap-usap pipi Sultan nan Suha yang molek itu, "bahagia itu harus disyukuri, harus dirayakan dengan meriah benar-benar."
"Di Darat, ya kami sudah siap sedia," kata bunda Andam Dewi. "Di sini jua," sahut Putri Rubiah dengan tegas.
"Betul, betul," kata istri Orang Kaya Kecil dengan sungguh-sungguh, "tak dapat lagi ditawar-tawar
Hulubalang Iblis 1 Sirens Dan Monster Laut Odisei Buku Ketiga Karya Mary Pope Osborne Api Di Bukit Menoreh 9

Cari Blog Ini