Ceritasilat Novel Online

Kanibalisme Di Atas Sekoci 1

Kanibalisme Di Atas Sekoci The Boat Karya Walter Gibson Bagian 1


THE BOAT KANIBALISME DI ATAS SEKOCI
Walter Gibson Penerbit PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia,
Jakarta THE BOAT ? 2007 by Walter Gibson First published in 1952
Published in 2007 by Monsoon Books Pte Ltd Singapore
lndonesian language edition arranged through Amer-Asia Books, Inc. (GlobalBooksRights.com). All Rights Reserved.
THE BOAT Alih bahasa : Utti Setiawati
EMK 188081042 ISBN : 978-979-27-2820-0 Hak cipta terjemahan Indonesia
? 2008 PT Elex Media Komputindo
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang
Diterbitkan pertama kali tahun 2008 oleh PT Elex Media Komputindo
Kelompok Gramedia, Anggota IKAPI, Jakarta
Dilarang keras memfotokopi atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia,
Jakarta Isi di luar tanggung jawab percetakan
PENJELASAN UNDANG UNDANG EPUB ini dibuat untuk memfasilitasi akses bagi tunanetra dan mereka yang memiliki keterbatasan membaca buku dalam cetak tinta.
Fasilitasi akses atas suatu Ciptaan untuk penyandang tuna netra, penyandang kerusakan penglihatan atau keterbatasan dalam membaca, dan/atau pengguna huruf braille, buku audio, atau sarana lainnya, tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap, kecuali bersifat komersial.
Cuplikan UU No.28 Tahun 2014 Pasal 44 Ayat 2 tentang Hak Cipta
Pasal 44 (1) Penggunaan, pengambilan, Penggandaan, dan/atau pengubahan suatu Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait secara seluruh atau sebagian yang substansial tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap untuk keperluan:
pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta;
keamanan serta penyelenggaraan pemerintahan, legislatif, dan peradilan;
ceramah yang hanya untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau
pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta.
(2) Fasilitasi akses atas suatu Ciptaan untuk penyandang tuna netra, penyandang kerusakan penglihatan atau keterbatasan dalam membaca, dan/atau pengguna huruf braille, buku audio, atau sarana lainnya, tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap, kecuali bersifat komersial.
(3) Dalam hal Ciptaan berupa karya arsitektur, pengubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta jika dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitasi akses terhadap Ciptaan bagi penyandang tuna netra, penyandang kerusakan penglihatan dan keterbatasan dalam membaca dan menggunakan huruf braille, buku audio, atau sarana lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Untuk istriku Mary anak perempuanku Ree,
dan putraku Colin Roy,tapi untuk siapa
kisah ini takkan pernah diceritakan.
Terima kasih untuk MacDonald Daly, sang penulis.
Usaha-usaha tak kenal lelahnya telah membentuk
pengalaman-pengalaman perangku menjadi wujudnya
yang sekarang. Juga untuk David Emsley atas kritiknya
yang membangun dan dorongannya
yang tak pernah berhenti.
BAB 1 Namaku Gibson. Walter Gibson, mantan pasukan Argyll dan Sutherland Highlander. Dengan Batalion I ke-2 itu, aku berdinas selama tujuh belas tahun di India, China, dan Malaya.
Kisah ini, seperti yang kurencanakan, akan selesai pada tanggal 2 Maret 1952"karena itu akan menjadi perayaan kesepuluh tahun, sejak pagi hari ketika aku memanjat masuk ke sekoci.
Kutulis kronik ini"tentang hari-hari seram yang aku dan Doris Lim si gadis China, alami bersama di sekoci"karena dari seluruh penjuru dunia, selama dua tahun terakhir, surat-surat berdatangan, mendesakku untuk menuliskan pengalaman itu.
Pada akhir tahun 1949, kisahku, dalam bentuk yang lebih ringkas, dimuat di surat kabar Minggu Inggris.
Sebagai sekuel, kisah itu dipublikasikan, meskipun masih lebih ringkas, dalam hampir semua bahasa di dunia. Kisah itu muncul di koran-koran dan majalah-majalah di Eropa, Amerika Serikat, China, Jepang, dan Amerika Selatan.
Reader"s Digest menerjemahkannya ke dalam bahasa Prancis, Jerman, Spanyol, Belanda, Italia, Denmark, Swedia, dan Jepang.
Dan dari negara-negara itu, dalam semua bahasa itu, datang permintaan dari orang-orang yang ingin tahu detail kejadiannya. Sekelompok orang terapung-apung selama sebulan di bawah matahari menyengat yang tak kenal belas kasihan, melintasi 1.609,3 km lautan tanpa apa pun kecuali beberapa genggam makanan dan beberapa teguk air untuk menopang hidup, berusaha bertahan hidup menghadapi cobaan berat itu.
Semoga hal ini tidak pernah terjadi lagi. Aku adalah satu-satunya orang kulit putih yang selamat dari 135 jiwa yang bergantung pada sekoci, demi mencari keselamatan, pada pagi hari tanggal 2 Maret 1942 itu.
Empat hari sebelumnya, kapal uap Belanda Rooseboom yang berbobot 1.000 ton, dengan awak opsir-opsir Belanda dan para pelaut Jawa, meninggalkan pelabuhan Padang di Sumatra. Kapal itu membawa lebih dari 500 orang yang diungsikan dari Malaya, sebagian besar orang Inggris.
Singapura telah jatuh ke tangan Jepang. Orang-orang yang diungsikan itu terdiri dari tentara dengan berbagai pangkat, pegawai negeri, polisi, pedagang, penambang, petani kebun, wanita, dan anak-anak.
Kapal Rooseboom membawa mereka, berdesak-desakan di dalam kabin-kabin dan di atas dek-deknya, menuju Ceylon (sekarang Sri Lanka) dan keselamatan. Di sana, resimen-resimen yang pecah dalam kehancuran Malaya diharap akan bisa dibentuk lagi.
Pada tengah malam hari Minggu, 1 Maret, Rooseboom ditorpedo ketika berada separuh jalan menuju Ceylon. Dalam beberapa menit, kapal itu tenggelam. Dari sekoci-sekocinya yang diluncurkan, hanya satu yang tetap mengapung.
Orang-orang yang selamat berusaha berenang ke arah sekoci dan menjejak-jejakkan kaki. Delapan puluh orang memanjat atau diangkat naik ke sekoci. Lebih dari lima puluh yang lain berpegangan di pinggir sekoci.
Sekoci itu memiliki panjang 8,5 meter dan lebar maksimal hanya 2,4 meter. Menurut rencana pembuatannya, bisa menampung 28 orang.
Selama lebih dari 1609,3 km, dalam waktu 26 hari, sekoci itu terombang-ambing melintasi Samudra Hindia. Drama, tragedi, keberanian besar, pembunuhan, kesedihan, dan pengorbanan diri menyertainya, hari demi hari.
Akhirnya, saat sekoci menabrak sebuah pulau karang yang berjarak kurang dari 160,9 km dari pelabuhan Padang tempatnya mengangkat sauh, hanya empat orang yang selamat.
Dua orang pelaut Jawa"perbuatan mengerikan terakhirnya di atas sekoci membuat mereka tidak pantas mendapatkan kehidupan yang dikembalikan pada mereka, serta seorang gadis China bernama Doris Lim, yang bekerja untuk Intelijen Inggris melawan pihak Jepang.
Dan, aku yang terakhir. Aku telah berjuang bersama pasukan Argylls, dari parit terakhir ke parit terakhir, dalam operasi militer yang getir di Malaya pada bulan Desember 1941 dan Januari 1942.
Aku selamat dalam upaya melarikan diri melintasi hutan sampai Pertempuran Slim River.
Aku telah menyeberang ke Sumatra naik sampan dan bergabung dengan teman-teman dari Argylls dan pasukan-pasukan lain sebelum naik ke Rooseboom.
Aku sedang tidur di atas kasur di dek Rooseboom ketika torpedo itu mencabik-cabik.
Oh, izinkan aku mulai dari awal...
BAB 2 Dermaga dan pelabuhan Padang, sebuah pelabuhan di Sumatra, memberi pemandangan suram pada hari-hari menyusul jatuhnya Singapura.
Kota Padang penuh orang-orang yang melarikan diri dari Malaya. Jepang mengebom secara sistematis.
Kapal Rooseboom, yang biasa dipakai pada pelayaran pesisir antara Sumatra dan Jawa, sedang dalam perjalanan dari Batavia menuju Ceylon dan keselamatan, ketika diperintahkan untuk menjemput orang-orang yang diungsikan di Padang.
Sekarang, di dalam air, jauh dari muatan manusia yang dibawanya, kapal itu ditarik menjauh dari pinggir dermaga. Kami bisa melihat kapal-kapal yang separuh-tenggelam" korban serangan Jepang"bertebaran di gerbang masuk pelabuhan.
Namun demikian, kudapati diriku tenggelam dalam pesona keindahan matahari yang sedang terbenam. Cahaya pudar itu jatuh menimpa tanaman tropis yang subur pada lusinan pulau di sekeliling kami.
Di belakangku, sebuah suara berkata, "Indah, kan, Hoot?" Aku menoleh dan mendapati Willie MacDonald berada di sampingku.
Sersan Willie MacDonald adalah teman lamaku. Dia terluka saat bertugas bersama peleton pengangkut Argyll di Dipang, tapi tetap bertugas sampai perang usai. Dia telah keluar dari rumah sakit untuk bergabung dalam pertempuran di Singapura, dan melarikan diri ke Sumatra.
"Ya, indah, Toorie," jawabku. "Orang-orang di kampung halaman rela menyerahkan apa pun untuk melihat ini, kan?"
"Beri aku Inverness," sahut Willie. "Dan Caledonian Ca-nal."
Itu secuil percakapan yang takkan pernah kulupa"kata-kata seorang Highlander yang berani, bertahun-tahun pergi jauh dari rumah, tapi dengan hati masih berada di kota perak yang takkan pernah dilihatnya lagi.
Suasana di atas Rooseboom merupakan campuran kelegaan yang aneh karena telah meninggalkan situasi berbahaya di Malaya dan Singapura, dan merasa tegang pada kemungkinan adanya serangan bom dan torpedo.
Pesawat Jepang melintas di atas pelabuhan tak lama setelah kami berangkat. Kami mengamati langit dengan gelisah, dua senapan mesin Bren teracung ke atas.
Para serdadu berdesakan seperti sarden dan tidur di dek, nyaris bertumpukan.
Tapi setelah kapten berkebangsaan Belanda menyampaikan pemberitahuan bahwa kami sekarang sudah berada di luar jangkauan bom, dan dua malam telah berlalu tanpa kejadian apa pun, ketegangan berkurang. Semua orang menjadi lebih bersahabat dan suasana nyaris tanpa kekhawatiran.
Perwira angkatan darat senior di atas kapal itu adalah Brigadir Archie Paris, pemimpin divisi melawan musuh yang tak berdaya selama operasi militer di Malaya.
Dia dan mayor brigade, Mayor Angus MacDonald" anggota keluarga Argyllshire yang terkenal dan pewaris estat senilai ?200.000, melarikan diri dari Singapura naik sebuah kapal layar yang dimiliki dan dikemudikan oleh seorang opsir muda dari Argylls, Kapten Mike Blackwood.
Blackwood, pemuda berambut merah dan bermata biru itu seorang pelayar andal. Dia telah memenangkan banyak lomba saat kami ditempatkan di Singapura sebelum operasi militer.
Dia, sang brigadir, dan Mayor MacDonald terlibat dalam pertempuran bahu-membahu saat Singapura jatuh.
Pada suatu ketika, sekitar lima puluh tank Jepang mengancam akan menerobos masuk bagian belakang kota Singapura. Mike Blackwood, dengan senjata antitank dan satu atau dua pria saja, mengambil posisi di barikade dan melawan tank yang memimpin dari jarak dekat.
Dia memperoleh waktu yang berharga untuk ukuran pejuang di jantung Singapura.
Sang brigadir sendiri terkenal sebagai tentara andal di antara kami yang memiliki catatan dinas cukup lama di India. Seorang opsir tampan bertubuh kekar, wajahnya cokelat terbakar matahari karena lama berdinas, kumis abu-abunya yang tegas selalu dipotong rapi, matanya cerdas dan penuh keingintahuan.
Dia selalu menjadi atlet hebat di segala bidang. Dengan kekuatan besarnya, dia sangat bangga pada kebugaran
fisiknya, dan di beberapa kesempatan sanggup mengalahkan pria yang bertahun-tahun lebih muda.
Pada petang ketiga dari Padang di atas Rooseboom, Brigadir Paris mengundang sejumlah opsir untuk minum bersama. Dia melakukan apa yang dia sebut "sulang yang sudah jelas" yaitu tiba dengan selamat di Kolombo.
"Empat puluh delapan jam lagi kita akan berada dalam keadaan yang lebih bahagia dan lebih nyaman."
Tapi lima jam kemudian, sepuluh menit menjelang tengah malam, torpedo itu menyerang.
Aku jatuh tertidur di kasur di atas dek, di sebelah Willie MacDonald. Aku terbangun dan mendapati diriku terbaring telentang dalam bukaan pembuangan air, separuh badan melewati jeruji pembatas.
Ada beban yang menekan wajah dan dadaku. Saat aku mendorongnya, kusadari bahwa itulah yang tersisa dari MacDonald.
Di sekelilingku terdengar suara yang sulit digambarkan. Jeritan, teriakan, erangan, suara bising uap yang bocor, dan air yang membanjir masuk. Tapi yang terutama adalah lenguhan sapi muda yang kami bawa untuk ransum.
Aku terhuyung-huyung di sepanjang dek yang sudah miring tajam. Bagian kiri kapal tampak sudah hancur.
Kapten dan awak kapal berusaha menurunkan satu dari dua sekoci di sisi kanan kapal. Di sekeliling salah satu sekoci, kerumunan berdesak-desakan. Saat kuperhatikan, ada sesuatu yang patah dan sekoci itu jatuh ke laut dengan bagian depan lebih dulu, melontarkan lusinan orang bersamanya.
Aku berlari ke sisi itu. Anehnya, aku tidak merasa sakit, meskipun kemudian kudapati tulang selangkaku patah, sekeping besi telah bersarang di tulang kering, dan gendang telingaku pecah akibat ledakan.
Pagar dek hampir tersapu. Saat kulontarkan tubuh ke dalam air dan muncul ke permukaan, satu hal yang tetap kusadari adalah suara yang terus-menerus.
Suara lenguhan keras dan kalut si sapi yang dominan kini telah menghilang, digantikan ratapan monoton bernada tinggi dari seorang pelaut lokal di suatu tempat di dalam kegelapan.
Suara-suara berteriak, "Kau di mana, Mac?", "Kaukah itu, Jock?" Juga terdengar tangis tercekik meminta tolong.
Di suatu tempat di sebelah kiriku, sebuah suara dengan tak terhindarkan mulai menyanyikan "Roli Out the Barrel". Di dekatku, seorang pria telanjang berpegangan pada sepotong puing yang terapung. Aku berenang ke arahnya dan berteriak, "Boleh aku bergabung di potongan kayumu?"
"Silakan, sobat," jawabnya.
Dia adalah Asisten Komisaris Roger Owen Davis1 dari Kepolisian Malaya. Dia hidup hanya dua puluh empat jam di sekoci. Pada petang hari pertama, dia melorot kelelahan, dikalahkan oleh kematian malamnya. 1
1 Asisten Komisaris Davis adalah putra Pendeta Gerald Davis, Rektor Biara Sturminster Marshal, di Wimborne, Dorset. Sejak kembali ke Inggris, aku tahu lebih banyak tentang dia. Sebetulnya dia akan bergabung bersama R.A.F. (Angkatan Udara Inggris), tapi ditemukan cacat pada penglihatannya. Dia pun dipindah untuk berdinas di daerah kolonial. Dia sarjana bahasa China yang sangat baik, banyak pekerjaannya dalam menindaklanjuti Komunis dan mata-mata Jepang di negara-negara bagian Melayu. Jepang menandainya sebagai "orang yang berbahaya." Pada tahun 1937, dia diberi tanda jasa oleh Raja berkat keberaniannya melawan penjahat. Dia memiliki kesempatan untuk melarikan diri dari Singapura ke Australia, tapi sangat ingin melanjutkan pengabdiannya dalam perang di India dan negara-negara Timur Jauh. Istri dan putranya sampai ke Durban dengan selamat.
Davis dan aku pasti telah berpegangan selama satu jam pada potongan kayu itu sebelum kami melihat"agak jauh dan samar-samar di bawah sinar bulan, sosok buram orang-orang yang berdiri di sebuah sekoci.
Kami menjejak-jejak air dan perlahan-lahan maju ke arah sekoci. Pemandangannya kacau-balau. Sekoci itu rusak saat dibuang ke laut, dan ada lubang menganga di haluan kiri.
Orang-orang memanjat naik, mendorong lubang ke bawah air sehingga sekoci itu penuh nyaris sampai ke bibir.
Saat kami sampai, kapten berkebangsaan Belanda dan opsir-opsirnya berteriak pada orang-orang di sekeliling mereka agar memberi mereka kesempatan untuk memperbaiki sekoci.
Kami tetap di sana. Lusinan orang menjejak-jejak air sementara mereka menambal lubang itu dengan kemeja, kaus kaki, singlet, dan celana pendek. Lalu seorang pria R.A.O.C. naik ke sekoci dan menambal lubang itu dengan selembar timah.
Sang kapten berteriak, "Ada wanita dan anak-anak di sana?"
Ya, ada tiga wanita, tapi tidak ada anak-anak.
"Ada yang terluka?"
Ya, empat atau lima orang dari kami.
Lalu, satu per satu, kami ditarik naik ke atas sekoci. Saat itulah seseorang menyambar lenganku dan rasa sakit yang menusuk menyerang bahu sehingga aku berteriak, "Ya Tuhan, aku juga terluka!"
Dengan tubuh kebas, masih terkejut oleh apa yang telah terjadi, kami menunggu fajar. Sekoci itu penuh sesak. Seperti
yang telah kubilang, sekoci itu dibuat untuk menampung 28 orang bukan 80 seperti sekarang. Sebagian besar dari kami berdiri berdempeten, berhadapan, atau saling memunggungi. Mustahil untuk berganti posisi.
Saat fajar merayap naik dan menerangi pemandangan itu, kami melihat orang-orang lain yang tergantung pada sekoci"sekitar 50 orang berpegangan pada tali penyelamat di sisi-sisi sekoci.
Di sekeliling kami, dalam radius 0,8 km, tampak kepala-kepala naik turun, milik orang-orang selamat lainnya.
Sekoci itu sendiri sudah tenggelam di air, hampir ke bibirnya.
Aku memandang berkeliling mencari wajah-wajah yang kukenal.
Aku berada di buritan, bisa melihat Brigadir Paris. Dia hanya memakai kemeja khaki, dengan lencana tang-dan-palu R.O.A.C. di lengan. Seorang sersan mayor telah memberikan kemeja itu saat dia naik ke sekoci dalam keadaan telanjang.
Di dekatnya, dengan tangan di tangkai dayung, adalah kapten kapal Rooseboom yang kekar dan berwajah merah.
Sang kapten memakai kemeja putih dan pantalon dengan hiasan tanda pangkat di bahu. Dia, opsir kepala, dan kepala ruang mesin"keduanya orang Belanda seperti dia"adalah para pria di sekoci yang berpakaian cukup pantas.
Aku, misalnya, masih memakai celana pendek khaki yang kupakai tidur saat torpedo itu menghantam.
Ada tiga orang wanita berkelompok di buritan.
Aku mengenali Mrs Gertrude Nunn, istri Mr R. L. Nunn, Direktur Dinas Pekerjaan Umum di Singapura. Wanita itu berwajah menyenangkan dan tampak keibuan, mengenakan kemeja khaki, dan celana panjang.
Ada wanita bertubuh besar, kekar, dan berambut terang berumur sekitar tiga puluhan, mengenakan blus dan rok, dan membawa tas tangan. Dia adalah istri Dirk, si opsir kepala berkebangsaan Belanda. Dan, yang ketiga adalah wanita China cantik dan langsing, yang memakai rok dan kemeja warna-warni, kakinya telanjang.
Meringkuk di bagian depan sekoci, di belakang sekelompok pria kulit putih yang bersesak-sesakan (sebagian besar tentara), bisa kulihat sekitar selusin pelaut Jawa. Di tengah mereka ada serang atau mandor kapal, seorang lelaki tua beruban dengan janggut tidak rata, yang tampak ramah.
BAB 3 Kami menyambut fajar pertama. Ada sebuah momen liar dan lucu saat kami membayangkan matahari pagi itu adalah lampu dari kapal yang datang dari cakrawala.
Tapi pada hari-hari setelah itu, kami mengutuk dan membenci momok bagai tembaga yang membakar dan menyala-nyala itu, yaitu matahari.
Matahari itulah"lebih daripada faktor lain, yang mendorong teman-teman kami melakukan aksi dan akhir yang gila seperti kesurupan. Memberi luka tak terperikan di tubuh kami yang tak terlindungi dan merampas semua kelembapan yang ada.
Tapi di pagi pertama itu, matahari hanya bersinar samar dan menghangatkan setelah malam yang menggigil dan membuyarkan kejutan. Satu hal yang pasti, itu membuat kami bisa mengatur posisi. Membiarkan kami melihat betapa sesaknya muatan manusia.
Kami berdiri sangat rapat. Malam demi malam, tak seorang pun bisa memejamkan mata. Orang terpaksa tidur dengan badan tegak, kepala bertelekan pundak atau dada orang di hadapannya.
Duduk merosot memiliki risiko ditekan ke dalam air kotor menggenang yang selalu memukul-mukul di dasar sekoci dan di sana, akan mencekik atau menenggelamkan.
Penghitungan mengungkapkan, seluruh teman kami berjumlah 135, termasuk orang-orang yang mengelilingi kami di air.
Tentu saja dalam satu atau dua jam angkanya berkurang. Beberapa orang yang tidak bisa bertahan lebih lama, mengendorkan genggaman dan hanyut.
Kami menghitung jumlah makanan dan air. Dengan hati miris kami mendengarkan jumlah totalnya.
Ada satu peti daging kelas satu, 48 kaleng isi 12 ons. Ada dua kaleng seberat 3,2 kilogram nasi berbumbu yang digoreng, biasa disebut orang Belanda nasi goreng. Kami punya 48 kaleng susu kental Colombo dan enam botol gin Bols penuh air segar.
Sebagian prajurit sudah punya botol air sendiri, tapi hampir semua terisi air laut setelah selama berjam-jam di laut.
Kapten Belanda memandang perbekalan yang minim ini dengan getir. Dia telah mengisi dengan saksama persediaan sekoci itu dengan makanan, air, perlengkapan darurat, dan obat-obatan. Dalam situasi kalang-kabut di kegelapan, saat kapal memiliki segalanya tapi tenggelam, hampir seluruhnya hanyut dalam kegelapan malam.
Brigadir Paris berdiri di permukaan buritan dan meminta perhatian.
Dia mungkin lebih lelah daripada semua orang yang ada di sekoci, karena dia telah ikut terseret bersama tenggelamnya Rooseboom, dan harus naik ke permukaan. Saat itu, dengan paru-paru hampir meledak dan perut penuh air, dia berkata, "Tuhan tahu caranya."
Sekarang dia berdiri di sana, begitu tegak, kaki telanjang di bawah ekor kemejanya, dan berbicara pada pasukannya seolah sedang berparade.
"Kapten akan memegang komando di atas sekoci. Aku yang bertanggung jawab atas kedisplinan. Kita akan sampai di Colombo pada hari Selasa subuh. Sekarang hari Senin. Kalau kita tidak muncul di hari Kamis, mereka harus mengirim sesuatu untuk mencari kita. Karena itu, Kapten telah memutuskan akan lebih bijaksana kalau kita tetap di sini, di sekitar tempat tenggelamnya kapal. Pasti ada yang datang sebelum hari Jumat.
"Posisi kita sangat gawat. Tapi aku menganggap kalian semua, sebagai tentara Inggris, sebagai orang yang telah menjalankan tugas di semenanjung, tetap mempertahankan sikap layaknya prajurit sampai bantuan datang."
Dia memberi tahu bahwa kami akan mendapat satu sendok makan air setiap matahari terbit, serta satu sendok susu dan air di malam hari.
Satu kaleng daging akan dibagi untuk 12 orang setiap hari. Dari tas tangannya, istri seorang perwira kapal Belanda mengeluarkan benda yang paling tak terduga. Sebuah sendok makan, yang akan berfungsi sebagai alat pengukur air"selama masih ada.
Wanita itu juga membawa tablet pereda rasa haus yang lalu dibagikan. Itu sikap yang menggembirakan jam-jam pertama kami.
Setelah itu, dia menunjukkan uang kertas Belanda yang tak ada gunanya, ribuan guilder (satuan uang di Belanda) yang menjadi bagian terbesar sisa isi tas tangannya.
Para opsir yang menerima pendelegasian tugas dari Brigadir di antaranya adalah Letnan Kolonel J. R Acworth dari Indian Army (Tentara India), R. E. Palmer dari Royal Engineers (Pasukan Zeni Inggris), Mayor Richard Dent dari Indian Army, dan Mayor Noel Corrie dari Royal Engineers.
Dengan cepat, Acworth menunjukkan dirinya sebagai karakter yang kuat. Dia pria berumur sekitar 45 tahun dengan bentuk tubuh bagus, mulai botak, dan kumis lurus memikat.
Dia mengawasi pembagian ransum dan mengumumkan bahwa untuk mengurangi kekakuan karena sesaknya orang, setiap laki-laki yang tidak terluka harus melakukan tugas wajib, yaitu berpegangan pada tali penyelamat di dalam air selama empat jam setiap hari.
Brigadir sendiri melakukan satu dari tugas pertama di dalam air. Saat dia berada di sana, dua ikan hiu menampakkan diri"yang pertama dari banyak ikan yang kami temui dalam berbagai suasana"tapi kami berteriak dan memukuli air sehingga hewan-hewan itu menjauh.
Selama satu giliran tugas di dalam air itu, satu prajurit muda tersengat semacam ikan dan diangkat ke atas sekoci dalam keadaan sangat menderita. Satu jam kemudian, dia tewas.
Menjelang malam pertama, ada kedatangan yang dramatis di atas sekoci kami.
Setelah berenang dari rakit yang berjarak beberapa ratus meter, Letnan Kolonel Douglas dari Indian Army Ordnance Corps (Korps Artileri Tentara India) bergabung dengan kami. Kami bisa melihat, sarafnya telah berada di titik kritis.
Dia memberi tahu bahwa bersamanya di rakit ada tiga orang lainnya. Seorang wanita kulit putih yang kakinya hilang karena ledakan, kopral satu dari Argylls (dari deskripsinya segera kukenali sebagai Jock Gray, salah seorang yang pernah pergi bersamaku melewati hutan setelah Pertempuran Slim River), dan Mayor Angus MacDonald1, seorang brigadir mayor yang sudah kusebut sebelumnya.
Douglas mengatakan bahwa MacDonald membawa sebuah botol dari kapal yang dia kira berisi air. Ternyata isinya brendi, dan MacDonald yang sudah seharian di atas rakit, meminumnya untuk meredakan haus.
Akibat panas sangat berbahaya.
"Angus MacDonald marah sekali," kata Douglas. "Aku harus meninggalkannya. Dia berusaha mendorongku keluar rakit."
Kami memberi Douglas satu sendok susu dan air. Samar-samar"karena di sana ada banyak hal yang butuh perhatianku"kudengar suaranya makin bersemangat untuk melanjutkan cerita.
Saat kegelapan datang, suaranya meninggi menjadi teriakan. Douglas akan berbicara satu kalimat dalam bahasa Inggris, lalu dalam bahasa Urdu (bahasa yang biasa digunakan India dan Pakistan). Celoteh gila bernada tinggi.
Tujuh tahun kemudian, aku menyerahkan bukti dalam sidang di Edinburgh yang memutuskan bahwa Mayor MacDonald telah tewas.
Tiba-tiba ada teriakan keras sekali. Dia menyerang semua yang ada di sekelilingnya. Aku mendengar suara-suara mengatakan, "Keluarkan dia sebelum membuat sekoci ini terbalik."
Dan, ada ceburan air. Kolonel Douglas berjuang mencapai sisi sekoci, berpegangan pada bibir perahu. Seseorang mengusirnya dengan dayung. Dia tergelincir dalam kegelapan, meneriakkan makian-makian dalam bahasa Urdu.
Esok paginya, Mayor Noel Corrie"pria yang selalu kuanggap paling berani di antara kami semua, mengajukan satu saran. Dia berkata pada Brigadir bahwa dia dan beberapa sukarelawan akan membuat sebuah rakit yang akan mengangkut mereka di belakang sekoci yang hanyut, untuk mengurangi sesak tak tertahankan dari orang-orang.
Corrie dan sekitar dua puluh pria, termasuk dua atau tiga pelaut Jawa, berenang mengumpulkan puing-puing yang akan mereka gunakan untuk membuat rakit.
Saat mereka telah menyelesaikannya, struktur rakit itu tidak kokoh, berukuran sekitar 6x6 meter, disatukan dengan potongan tali, sobekan kain, dan serat-serat sisal (tanaman sejenis lidah buaya) yang dapat mereka selamatkan dari laut.
Mereka juga memakai serat sisal untuk membuat tali penyeret yang dipasang ke buritan sekoci. Lalu, dua puluh orang itu naik ke rakit, dan rakit itu tenggelam hingga air mencapai setinggi pinggang.
Corrie pasti tahu, hanya ada satu akhir dari jalan yang ditempuhnya.
Seorang demi seorang, selama tiga hari berikutnya, anggota-anggota dari kelompok kecilnya, tergelincir dan menghilang. Akhirnya hanya tersisa Corrie sendiri, tak sadar akibat kecapaian. Tubuh bagian atasnya menghitam akibat sengatan sinar matahari, kakinya memutih karena air.
Jumlah orang di sekoci sudah berkurang. Brigadir memerintahkan Corrie untuk kembali.
Dia ditarik naik ke sekoci, lebih tampak mati daripada hidup. Rakit kecilnya yang gagah berani dan menyedihkan dipotong ikatannya.
Malam itu, Corrie meninggal.
Pada saat itu, ketiga wanita telah dikumpulkan. Di sinilah mereka, tiga orang yang mewakili jenis kelamin mereka dalam kumpulan pria yang berdesakan, berkeringat, dan mengerang, yaitu orang-orang Skotlandia, orang-orang London, dan para kelasi India.
Aturan bersikap sudah tampak nyata. Sebuah tempat kecil telah dikosongkan sehingga wanita-wanita itu bisa bersandar pada pembatas, setengah duduk, setengah berbaring.
Kebutuhan ke kamar kecil harus diperhatikan. Brigadir akan memberi perintah, "Semua melihat ke haluan," dan kami akan segera memandang ke depan dan memberi para wanita itu privasi.
Sekarang setelah ada ruang untuk bergerak"karena beberapa pria bergiliran selama empat jam di air dan lainnya berada di atas rakit, Mrs Nunn mendatangi yang terluka, dan merawat luka-luka mereka.
Suaminya meninggal saat menyelamatkan dirinya. Dengan mata kering dan rasa bangga dia menceritakan
kisahnya sambil mengikat lenganku ke belakang dengan gendongan tali yang kasar, berusaha meringankan rasa sakit yang menyiksa akibat tulang selangkaku patah.
Mereka sedang berada di dalam kabin saat torpedo menyerang. Dalam hitungan detik, air mulai membanjiri lantai.
Mr Nunn mengangkat istrinya dan mendorongnya melewati tingkap di sisi kapal. Maksudnya salah satu tingkap persegi yang luas khas kapal Belanda jenis ini.
Lalu Mrs Nunn naik ke permukaan. Tapi si suami tidak mengikuti.
Mereka adalah pasangan yang setia. Sejak itu, teman-teman selalu bercerita padaku tentang banyak kisah yang membantu menjelaskan pengaruh Mrs Nunn yang memberi inspirasi di sekoci.
Sebelum menikah, sebagai Gertrude Higgs, dia adalah penyanyi wanita terkenal bersuara alto. Dia pernah menyanyi dalam konser-konser Promenade bersama Royal Choral So-ciety, dan dalam banyak konser besar lain di Inggris dan luar negeri.
Suaminya, selain sebagai Direktur Pekerjaan Umum di Singapura, juga kapten kelompok di perusahaan penerbangan sukarelawan.
Dia telah bertugas sebagai insinyur sipil di Trinidad, Nigeria, dan British Guiana (sekarang Guyana). Pangkatnya naik begitu cepat sehingga dia diharapkan akan menjadi gubernur kolonial.
Mereka sedang berlibur di Inggris ketika perang pecah. Mr Nunn dipanggil kembali ke Singapura. Istrinya"yang kesetiaan dan pengabdiannya menjadi pembicaraan di antara teman-teman mereka, terbang mendampingi.
Mereka meninggalkan Singapura sehari sebelum kota itu jatuh, tapi kapal yang mereka tumpangi, Kuala, dibom dan tenggelam sebelum berlayar terlalu jauh.
Mr Oswald Gilmour, yang menjadi Deputi Municipal En-gineer di Singapura, bercerita bagaimana Mrs Nunn menolak untuk meninggalkan suaminya.
Para korban yang selamat dari Kuala berjuang mencapai Pulau Pohm-Pohm, tempat Mr Nunn bertugas.
Dia mengatur perintah penyelamatan. Pertama para wanita, anak-anak dan korban yang terluka, kemudian warga sipil, lalu CJnit Departemen Pekerjaan Umum Singapura, dan yang terakhir adalah para petugas dan dirinya sendiri.
Sebuah kapal barkas datang dan mulai membawa korban sebanyak mungkin.
Beberapa wanita yang berpengalaman kerja di rumah sakit dengan sukarela tinggal dan merawat korban terluka yang masih tinggal.
"Mrs Nunn," cerita Mr Gilmour, "ikut turun sejauh tempat keberangkatan, lalu memintaku untuk mencari suaminya. Suaminya datang dan dia berkata pada suaminya, "Rex, aku tidak mau pergi kalau kau tidak ikut. " Dia membujuk pria itu agar diizinkan tetap tinggal, karena dia tidak akan meninggalkan pulau itu sampai dirinya bisa menemani suaminya."
Saat rombongan terakhir korban yang selamat sudah dibawa dari pulau itu dengan jung (kapal layar China) dan kapal motor, Mr dan Mrs Nunn termasuk yang terakhir berangkat. Mereka dibawa ke Padang dan Rooseboom.
Setahuku, nama gadis China yang duduk bersama Mrs Nunn dan istri kelasi Belanda itu bernama Doris Lim.
Dia berbicara bahasa Inggris dengan aksen Amerika, peninggalan biara Amerika di Shanghai, ajaran biarawati yang membesarkannya.
Dia pernah bekerja pada dinas rahasia Inggris di China Utara. Sesaat sebelum pendudukan Jepang di sana, dia melarikan diri dari Tientsin. Sekali lagi dia mendahului mereka keluar dari Shanghai, kemudian Hong Kong.
Di Singapura, dia menduduki posisi sebagai asisten juru kamera acara berita berbahasa China.
Pengalamannya melarikan diri dari Singapura sangat mirip dengan pengalaman Mrs Nunn. Kapal yang dia tumpangi saat evakuasi dibom dan tenggelam, hanya beberapa mil dari titik tempat kapal pasangan Nunn juga tenggelam.
Doris adalah satu-satunya wanita di antara penumpang yang melarikan diri ke sebuah pulau. Dari sini, dia dibawa ke Padang dan Rooseboom.
Saat duduk di sekoci, dia terlihat sangat muda dan cantik sekali, bahkan menurut standar orang Eropa. Rona di wajahnya tampak menonjol karena wajahnya bagai bunga segar, tidak biasa untuk ukuran seorang gadis China.
Selama hari-hari pertama di sekoci, dia hampir tidak bicara sepatah kata pun. Dia hanya duduk menatap ke depan dengan ketabahan dan ketenangan rasnya.
Dan mungkin fatalisme itulah, penolakan untuk masuk dalam keputusasaan itulah, yang mengantarkan kami terdampar secara mengejutkan. Aku dan dia terdampar di sebuah pulau sejauh 1.609,3 kilometer.
BAB 4 Pada pagi pertama itu kami melakukan penghitungan dan menemukan bahwa kami semua berjumlah 135 orang. Setidaknya separuh dari kami adalah pasukan muda tanpa pengalaman dari Divisi ke-18, yang baru keluar dari rumah.
Mereka itu para pemuda yang ditugaskan pada saat-saat terakhir untuk memperkuat pertahanan Malaya yang melemah, tapi dialihkan saat dianggap jatuhnya Singapura sudah tak terelakkan lagi.
Mereka semua wajib militer, berumur 19 dan 20 tahun tanpa pengalaman apa pun di India. Pasti jumlah mereka sekitar 70 orang. Mereka yang pertama tidak bisa bertahan, dan memang wajar. Mereka duduk membisu, tak bergerak, dan patah semangat.
Kami, "jagoan kawakan" yang sudah banyak pengalaman ini, mengolok-olok dan berusaha membesarkan hati mereka.
"Bergembiralah, Nak. Tak akan lama, kok. Bayangkan terus bir di Kolombo."
Kami terus memaksa mereka turun dan berenang. Menurut kami, ini sangat penting, karena akan membuat mereka lebih tenang dan juga untuk mengalihkan perhatian.
Semua prajurit yang melakukan giliran wajib selama empat jam bergantung pada tali penyelamat di air harus bergantian di malam hari, sama seperti siang hari.
Mrs Nunn telah menjadi malaikat penyelamat kami, ibu yang hebat. Dia selalu sibuk di sekoci, berusaha menghibur pemuda-pemuda tak bahagia ini.
Percakapan mereka dengannya selalu sama. "Menurutmu, apa ada yang akan terjadi" Bukan tak ada harapan, kan" Kita pasti diselamatkan, kan?"
Dan Mrs Nunn selalu menjawab, "Tentu saja, jangan ragu. Satu hal yang penting adalah, kita harus selalu bisa mengendalikan diri."
Ada satu pemuda yang membuatku begitu kagum saat ini, C.Q.M.S. muda (entah dari Artileri atau Zeni, aku lupa). Dia kira-kira baru berumur 21 tahun, tapi memiliki warna suara dan sikap kuat yang tak dimiliki oleh yang lain. Aku terus merasa, dia pasti akan menjadi prajurit hebat.
Dia bercerita padaku tentang pacarnya. "Gadis yang sangat cantik. Aku ingin tahu apa mereka sudah memberitahunya sekarang. Dia pasti bertanya-tanya apa yang terjadi padaku."
"Dia tidak akan lama bertanya-tanya," sahutku. "Kirim dia telegram dari Kolombo."
Masih banyak di antara kami yang masih ceria dan optimis meskipun kenyataannya, mulai hari kedua dan seterusnya, lapar, haus dan tempat yang sesak mulai menyiksa.
Rasa haus ternyata lebih buruk daripada kelaparan.
Sakit yang menggerogoti akibat kelaparan sepertinya mencapai klimaks lumayan cepat, lalu kami sudah melupakannya.
Tapi kehausan"aku selalu haus. Selama satu atau dua hari air liur masih terasa, tapi hari-hari setelah itu teng-gorokan terasa kering-kerontang. Kami sepertinya selalu berusaha menelan, menjilat bibir, dan dengan berlalunya hari, usaha untuk melakukan itu terasa makin menyakitkan.
Aku lebih beruntung daripada sebagian besar orang-orang lain di sekoci karena sinar matahari tidak menggangguku. Ini sebagian, karena beberapa tahun di India aku tidak menggenakan apa-apa selain celana pendek. Sebagian lagi, karena warna kulit hitam para Highlander dan pigmentasi yang diakibatkan.
Yang lain mulai melepuh sejak hari pertama. Para pria Belanda berambut pirang yang paling menderita. Orang-orang mulai menyobek pakaian minim yang mereka kenakan untuk dimasukkan ke air asin dan diletakkan di atas kepala.
Tapi ini pun sepertinya merupakan kesalahan, karena air asin mengalir di kulit wajah mereka yang melepuh dan membuat rasa pedih jadi lebih parah.
Kapten Belanda mengambil petanya yang basah kuyup dan tak berguna, lalu memakainya sebagai penutup kepala. Doris Lim dan Mrs Nunn menggunakan kemeja mereka, duduk telanjang mulai dari pinggang ke atas.
Kami semua, dalam berbagai tahap di minggu pertama, menjadi mangsa halusinasi.
Korban pertama sangat tidak terduga, yaitu seorang sersan kulit berwarna dari Gordon Highlanders, pria agak tak waras karena kepanasan yang telah bertugas selama 15 atau 16 tahun di Timur Jauh, dan yang dikenal dengan julukan "Tich" di antara kami.
Suatu pagi dia berkata, "Tak lama lagi perahu terbang itu akan kembali."
"Perahu terbang apa?" tanyaku.
"Yang datang semalam," katanya.
Kurasakan jantungku melompat penuh harap.
Lalu dia melanjutkan. "Yang mengangkut wanita dan korban yang terluka."
Saat menatap ke arah buritan, aku melihat wanita Belanda itu, Mrs Nunn, dan si gadis China bersandar ke penghalang, dan tahu bahwa Tich adalah orang pertama di antara kami yang melihat fatamorgana.
Hampir semua dari kami, pada tahap tertentu, membayangkan melihat sebuah kapal.
Suatu kali, seorang prajurit mencondongkan tubuh ke samping sekoci dan minum air laut.
"Hmm, segar," teriaknya. "Airnya segar, lho."
Ini menunjukkan keadaan penerimaan mental kami karena kami pun berlomba bergabung dengannya, secara sembrono percaya bahwa ucapannya itu benar.
Beberapa orang, yang sudah berhalusinasi lebih jauh dibanding yang lain, meminumnya dan berkata, "Dia benar. Airnya memang segar. "
Kami mulai bermimpi"mimpi yang jelas dan hidup tentang makanan, minuman, dan pertemuan yang akrab.
Kami kemudian membandingkan mimpi-mimpi itu dan hampir semua memiliki kesamaan dalam beberapa hal.
Lalu kami terbangun karena derak kayu kering saat sekoci bergoyang diayun arus.


Kanibalisme Di Atas Sekoci The Boat Karya Walter Gibson di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Selama bertahun-tahun setelah itu"di kamp penjara Jepang, di Singapura, di London atau Skotlandia"aku tidak bisa mengusir perasaan takut dalam diri bahwa hidupku hanya sebuah mimpi lain, dan aku akan terjaga lagi karena ayunan yang berderak itu.
Hampir semua orang mencoba minum air laut.
Semula, ketika para pemuda diketahui menyendok air laut dengan tangan dari samping sekoci, kami berusaha menghentikan.
Acworth, yang tetap menjadi karakter terkuat, memerintahkan mereka agar jangan minum air laut.
Tapi pada malam hari banyak yang minum secara diam-diam, dan berangsur-angsur orang pun jadi tak peduli. Efeknya pada mereka yang minum banyak dapat mengakibatkan koma dan mereka tidak bisa sadar, kecuali menjadi gila dan ingin bunuh diri.
Tapi mereka yang minum air laut sedikit, sepertinya merasakan efek yang tidak terlalu buruk. Sejak awal aku hanya berkumur dengan air garam itu dan untuk membersihkan
gigi- Pada akhir minggu pertama, aku mulai minum air laut dalam jumlah sangat sedikit, hanya seraup kecil dengan kedua tangan saat rasa haus tak tertahankan.
Tapi aku menemukan cara terbaik untuk meredakan tenggorokan yang terbakar dengan berkumur air laut tanpa
menelannya. Dan entah bagaimana, selama hari-hari berikutnya, aku jadi ketagihan membersihkan tenggorokan dan gigi secara teratur dengan cara ini.
Hampir menjelang akhir, selama aku masih punya kekuatan untuk mengangkat tangan dan membersihkan gigi dengan jari, aku tetap melakukan ritual ini.
Pada hari ketiga, pertama kali diketahui bahwa ada orang-orang yang meminum air seni mereka. Seorang anak muda memulainya. Sambil berpaling pada temannya, dia berkata, "Tidak apa-apa, kok."
Hal itu ditiru. Aku juga melakukannya. Semula terasa memualkan, tapi lalu seseorang menyarankan agar kami mencampur urine itu dengan air laut. Kami menurutinya dan rasanya tidak terlalu buruk.
Tapi kemudian, rasanya jadi sangat masam sehingga kami merasa seperti minum bensin. Aku pun langsung berhenti melakukannya.
Perlahan, rasa seperjuangan yang kami miliki saat berangkat mulai hilang. Kami mendapati diri kami diam-diam mengawasi sesama rekan dengan sembunyi-sembunyi, penuh kecurigaan.
Sejak awal, ada pengawasan ketat pada ransum. Tapi kami mulai berpikir. "Siapa yang menjaga para pengawas itu?"
Lalu, sebagian dari kami secara khusus mengawasi sekelompok resimen lain. Mereka berlima, duduk berdesakan di dekat haluan, berbicara dengan suara lirih dan diam-diam melihat sekeliling pada para penumpang lain di sekoci.
Sejak awal ada dugaan bahwa mereka itu desertir. Mereka pernah ditempatkan entah di mana, di sebuah pulau dekat Singapura. Sebelum Rooseboom berlayar, ada yang mendengar mereka bicara tentang kemungkinan mencari perahu kecil dan berlayar bersama menuju teritori Belanda.
Sekarang, saat mereka duduk di sana, semuanya pria bertubuh kecil, semua jahat, berkelompok sendiri dan menyambut semua pendekatan orang lain dengan jawaban cabul. Orang jadi merasa bahwa mereka berniat jahat.
Banyak di antara kami telah hilang. Salah satu yang pertama adalah Mayor Richard Dent, yang dipanggil "Dicky" oleh setiap orang.
Pada hari pertama, saat dia melakukan empat jam gilirannya berjaga di air, dia nyengir pada kami dan berkata, "Ini seperti pesiar ke Laut Tengah, kan?"
Tapi dia termasuk satu dari para perwira"dan ada banyak di India"yang badannya tidak pernah terkena sinar matahari. Sekarang dia termasuk yang pertama merasakan siksaan terburuk akibat terbakar sinar matahari.
Malam harinya, dia lenyap begitu saja.
Kami melihat tanda-tanda lain bagaimana situasi di sekoci ketika seorang sersan mayor, yang telah diberi sabuk penyelamat saat gilirannya berjaga di air karena dia tidak bisa berenang, menolak untuk kembali ke sekoci dan tidak mau memberikan sabuk penyelamatnya pada orang lain yang juga tidak bisa berenang.
Dia memegang erat sabuk penyelamat seolah-olah benda itu penghubung terakhirnya dengan dunia. Para perwira memerintahkan agar dia menyerahkannya. Akhirnya, benda itu diambil secara paksa.
Malam itu kami bisa mendengar suaranya meninggi dalam kegelapan, menyerukan keluhan. Lalu kami dengar ada yang memukulnya. Esok paginya, dia sudah hilang.
Begitulah kejadiannya. Orang menghilang begitu saja di malam hari, dan kami menerima kepergian mereka dengan penerimaan yang muram. Tak seorang pun bertanya.
Di benak kami"yang sudah mulai dirasuki pikiran "Kalau bukan yang lain, aku yang kena" ada perasaan bahwa makin sedikit orang, makin luas tempat di sekoci.
Sejauh ini, di malam ketiga terjadi pengurangan jumlah kami yang terbanyak. Badai menerjang, gelombang laut sangat tinggi, dan sekoci kemasukan banyak air. Dengan panik kami mengeluarkan air dengan menggunakan peralatan yang kami punya, tapi banyak orang yang panik.
Dalam kegelapan malam, kami mendengar suara jeritan dan teriakan, dan paginya 20 orang telah hilang.
Menurutku, saat itulah kami benar-benar mulai menyadari apa rencana kelima orang di haluan itu.
Mereka telah membentuk diri menjadi gerombolan pembunuh, dan bertekad bahwa kalau semua orang lain pergi, mereka akan tetap hidup.
Esok paginya, ransum dikurangi. Sekarang, sekaleng daging harus dibagi untuk 20 orang. Dua sendok makan air per hari menjadi satu sendok.
Pembagian ransum tiap hari menjadi siksaan, seperti memberi makan gerombolan hewan liar yang kelaparan.
Acworth telah memerintahkan agar ransum dibawa ke buritan, di mana para perwira ditempatkan sehingga kami bisa melihat mereka. Semua mata tertuju pada kami, jam demi jam. Kami mengembangkan sebuah sistem untuk melihat agar tak seorang pun mendapatkan bagiannya dengan dobel.
Acworth berdiri di buritan, menuang tetesan air yang berharga ke dalam sendok. Orang-orang berteriak, "Kau belum mengisi sendoknya. Aku belum mendapat bagian yang utuh."
Acworth menyuruhku berdiri di sebelahnya, memeriksa wajah para pria itu saat mereka mengambil ransum.
Kalau aku berkata seseorang sudah mendapatkan sesendok bagiannya, Acworth bersikukuh menolak memberi lagi. Banyak yang memakinya dan berteriak mereka belum mendapat apa-apa.
Pada saat-saat seperti ini, yang paling tenang adalah orang-orang Jawa. Selama hari pertama atau kedua, mereka sama sekali menolak menerima air. Kami harus berkata pada mereka, "Kemarilah, kalian harus mendapatkan air."
Mereka seolah merasakan kebencian yang ada di antara sebagian orang pada mereka. (Memang ada golongan yang bilang, "Persetan dengan kulit hitam. Kenapa kita harus menderita demi mereka?")
Suasana itu berubah dengan cepat saat orang-orang mulai melihat orang-orang Jawa itu sebagai harapan utama keselamatan mereka.
Kami juga berjanggut dan hitam. Sulit dibedakan siapa orang kulit putih, dan siapa orang Jawa.
Matahari sepertinya bersinar makin garang dibandingkan di atas laut yang berkilau.
Selama dua hari, perwira pertama yang berambut pirang terbaring dalam keadaan koma, kepala di pangkuan istrinya, wajah terbakar, melepuh dan bengkak sampai tak bisa dikenali bentuknya. Sang istri duduk, tidak bicara pada siapa pun, menggumam lembut dalam bahasa Belanda untuk menenangkan suaminya.
Pada malam keempat, kami mendengar pria itu mengucapkan rentetan kalimat dalam bahasa Belanda. Kami mendengar istrinya berkata, "Nae, nae," saat dia mencoba membujuk suaminya. Si suami berkata bahwa dia akan mencari pertolongan.
Tiba-tiba dia melepaskan diri dari istrinya dan berteriak pada kami dalam bahasa Inggris, "Pergi... pergi berenang sana... cari bantuan." Lalu dia melompat ke air dan berenang menjauh menuju kegelapan, sangat tenang dan dengan tenaga cadangan yang tak terduga.
Istrinya tidak menangis. Dia duduk selama hampir satu hari dengan sikap pasrah, meratap dan menangis lirih untuk dirinya sendiri. Saat matahari tenggelam, ada gerakan di sekoci dan dia sudah terlempar.
Saat itu terjadi, aku sedang berdiri di sebelah salah seorang kelasi India. Kulihat wanita itu hanyut dan aku merasa bahwa aku bisa menyelamatkannya, bahwa aku seharusnya menyelamatkannya. Tapi, itu tidak kulakukan.
Itulah yang terjadi, padaku dan pada semua orang lain di dalam sekoci. Kami mulai menyadari, betapa kecil arti aturan buatan-manusia ketika manusia menghadapi saat-saat terakhir.
Satu insiden tentang kejadian ini menyiksaku dengan kesedihan mendalam. Aku merasa, tak sanggup lagi melaluinya.
Seorang prajurit yang telah kukenal selama bertahun-tahun"pria baik, orang Skotlandia, salah satu atlet terbaik, dan prajurit yang paling tak pernah mengeluh"melompat dari sekoci untuk berenang dan menyegarkan diri.
Dia membiarkan dirinya berada agak terlalu jauh dari jangkauan sekoci yang hanyut. Saat berusaha kembali, dia baru sadar bahwa dia sudah tidak bisa lagi menyusul sekoci.
Dia berenang bersusah-payah dengan ayunan lengan di atas bahu. Lalu kulihat dia berganti ke gaya dada.
Berangsur-angsur, dia makin jauh dari kami, seiring dengan ayunannya yang melemah. Kami berbaring, sebagian dari kami melihatnya, tapi terlalu lelah untuk memikirkan tindakan yang mungkin akan membantunya.
Akhirnya, saat wajahnya muncul ke permukaan bersama ayunan yang penghabisan, aku melihat ekspresinya yang penuh tekad berubah menjadi keputusasaan hebat yang tak terlupakan.
Aku melihatnya, sadar bahwa dirinya segera tenggelam.
Kulihat kepalanya naik turun sampai kira-kira berjarak 182,9 meter, dan tak ada apa pun di sekelilingnya, kecuali laut.
Ini terjadi setengah jam sebelum ombak besar menelannya dari pandangan. Ketika kami melihat lagi, dia sudah tidak ada di sana.
BAB 5 Menjelang berakhirnya minggu pertama, Brigadir Paris tenggelam kembali dalam sikap lamban, tidak bicara pada siapa pun, dan setiap jam menjadi makin lemah.
Setelah dia berbicara pada pasukannya, yang dilakukan segera setelah berjuang naik ke permukaan, dia hanya bicara sedikit. Letnan Kolonel Acworth yang menjadi pemimpin.
Tapi Brigadir memiliki seorang pelindung, yaitu Mike Blackwood, perwira muda yang mengeluarkannya dari Singapura dengan kapalnya.
Kapten Mike Blackwood bergabung dengan kami pada sore hari kedua. Dia sudah berenang berkeliaran sejak kapal tenggelam. Karena dia berambut merah dan berkulit bintik-bintik yang tidak tahan matahari, wajah dan bahunya jadi penuh luka melepuh. Bagian bawah tubuhnya menjadi putih karena terendam air, sehingga warnanya jadi biru aneh.
Tapi semangatnya yang positif sangat menakjubkan. Segera setelah naik ke sekoci, dia berkata, "Sepertinya semua terserah kau dan aku, Gibson, untuk menjaga Brigadir."
Aku telah mengenalnya dengan baik di India. Pada musim panas tahun 1939, tak lama sebelum keberangkatan Brigadir ke Malaya, ada kursus pelatihan yang dirancang untuk mencari seseorang "yang mampu memimpin kelompok yang berdinas aktif". Tak lama setelah keluar dari Sandhurst, Mike Blackwood, lulus sebagai yang terbaik. Aku"saat itu berpangkat rendahan, menyelesaikannya di peringkat ketiga.
Kini, dengan keuletan yang nyaris sulit dipercaya"karena rasa sakit akibat sengatan matahari yang pasti lebih parah daripada siapa pun"Blackwood melakukan tugas-tugas kecil bagi Paris yang melemah dengan cepat. Dia bahkan menyimpan ransum airnya yang sangat sedikit itu untuk Paris.
Sebuah kejutan terjadi saat Brigadir tiba-tiba mengangkat kepala dan menoleh pada Blackwood. Dengan sangat jelas, sangat lirih, dan sangat menyenangkan, dia berkata "Ayo kita minum-minum di klub."
Blackwood menjawabnya dengan santai, seolah mereka sedang berjalan-jalan menyusuri St. James. "Kita lakukan nanti saja, Pak," katanya.
Satu jam kemudian, Brigadir berguling-guling hebat di atas sekoci. Kesadarannya hilang sepenuhnya, sementara Blackwood dan aku berjuang keras memeganginya.
Esok paginya, hari Jumat, hari saat dia mengharapkan kedatangan tim penyelamat dari Kolombo, Brigadir Paris1 berada dalam keadaan koma.
Brigadir A.C.M Paris adalah putra salah seorang prajurit (Mayor Jendral Sir Archibald Paris, K.C.B.) dan seorang ayah prajurit juga (seorang mayor di Royal Signals). Dia bergabung dengan Oxfordshire dan Buckinghamshire Light Infantry dari Sandhurst pada tahun 1909. Pasukannya, Secunderabad Light Infantry Brigade, dikirim ke Singapura pada bulan Juli 1939.
Mike Blackwood mengumumkan kematiannya pada pasukan. Para pria berdiri diam saat kami memasukkan mayatnya ke laut, dan Blackwood mengulang bagian-bagian mirip misa pemakaman yang bisa dia ingat.
Brigadir adalah satu-satunya orang"dari semua yang hidupnya berakhir di laut, yang membuat kami mampu mengumpulkan kekuatan untuk mengadakan misa semacam itu.
Mike Blackwood yang malang, hanya bertahan sehari lebih lama daripada temannya. Dia terpeleset tak sadarkan diri ke dasar sekoci. Kami menemukannya terbenam di genangan air di dasar sekoci sedalam sekitar 15 sentimeter.
Pada malam sebelumnya, dia melakukan sesuatu yang khas.
Dia menoleh ke arahku dan berkata, "Seharusnya aku tidak memberitahumu, Gibson. Tapi dalam keadaan seperti ini,
Brigadir Paris mengambil alih pimpinan Divisi ke-11 di Malaya pada tanggal 23 Desember 1941, dan menyerang pihak Jepang dengan frontal selama beberapa hari. Ketika Singapura jatuh dia diperintahkan untuk naik kapal menuju India, sebagai ahli perang dengan medan hutan. Dia sampai di Sumatra lima hari sebelum tenggelamnya Rooseboom.
Kapten Mike Blackwood berumur 23 tahun. Dia sudah memiliki panutan tentang dinas ketentaraan dan pengorbanan diri dari keluarganya sebelumnya. Salah seorang nenek moyangnya pernah memimpin fregat Penelope di Trafalgar. Ayahnya, Kolonel F. H. Blackwood dari kesatuan Lincolns, adalah seorang D.S.O selama perang tahun 1914-1918. Ketika masih anak-anak, dia melihat ayahnya tenggelam di British Guiana saat berusaha menyelamatkan seorang gadis perenang yang berada dalam kesulitan.
Dari Wellington College, Michael meneruskan ke Sandhurst pada tahun 1936. Dia dapat melakukan permainan dengan baik, dan seorang penunggang kuda andal. Ketika masih menjadi kadet di Royal Military College, dia mengembangkan kecintaannya pada berlayar, membawanya berlayar bersama Brigadir Paris ke Sumatra sewaktu Singapura jatuh. Dia bergabung dengan Argylls pada tahun 1937, dan berangkat ke India saat peristiwa Munich.
aku merasa pantas untuk mengungkapkannya, sekarang setelah tak ada bedanya bagi kita berdua. Brigadir telah merekomendasikanmu untuk posisi D.C.M."
Mike bertanggung jawab atas catatan. Bisa kubayangkan konflik dalam benaknya saat dia berbaring di sampingku di atas sekoci. Haruskah dia melakukan hal yang tak bisa dimaafkan dari sudut pandang prajurit biasa, dan mengungkap sebuah rahasia" Atau haruskah dia mengatakan kalimat yang membesarkan hati pada seorang pria yang mungkin hanya akan bertahan hidup beberapa jam lagi"
Dalam waktu dua jam setelah pemakaman Brigadir, Kapten Belanda ditikam oleh salah seorang petugas ruang mesinnya sendiri.
Pria tua itu sedang tidur sejenak, tangannya masih memegang kemudi, ketika kami mendengar teriakan, rentetan makian berbahasa Belanda yang mendadak. Sebelum seseorang bisa mendekatinya, si petugas ruang mesin menyergap sang Kapten dan membenamkan sebilah pisau di rusuknya.
Tampaknya, selama ini dia sudah menyimpan ketidakpuasan, menyalahkan Kapten atas masalah kami. Tak ada yang tahu dia menyimpan pisau di ikat pinggangnya.
"Pegang dia," teriak Ackworth, dan seseorang melemparkan diri ke arah perwira itu karena dia berusaha merampas sedikit ransum yang tersisa.
Itu merupakan ciri yang aneh dari setiap usaha bunuh diri. Saat orang memutuskan terjun ke laut, mereka tampaknya
membenci fakta bahwa yang lain ditinggalkan dengan kemungkinan selamat.
Mereka akan mencoba menyambar ransum dan membuangnya ke laut. Mereka akan berusaha melakukan aksi terakhir di atas sekoci dengan menarik sumbat agar air bisa masuk.
Kegilaan mereka sepertinya selalu memakai cara bahwa mereka tidak akan mati sendirian, tapi harus mengajak serta semua orang.
Petugas ruang mesin yang telah menikam Kapten gagal mendekati ransum, tapi berhasil membebaskan diri dan terjun ke laut.
Dia juga masih cukup kuat berenang menjauh. Sejak itu, aku merasa bahwa semua orang Belanda"kecuali Kapten yang terbunuh, berenang pergi. Mereka adalah si perwira dek, istrinya, dan petugas ruang mesin.
Mrs Nunn membasuh luka Kapten dengan air laut. Pria itu hanya berbaring di sana dan berkata dalam bahasa Inggris, "Selesai, selesai, selesai... Inilah akhirnya." Lalu dia menggumamkan hal yang sama dalam bahasanya sendiri, "Kaput... kaput.. " Sesekali kami menangkap kata bahasa Inggris, "selesai".
Dia meninggal malam itu, kepalanya berada di pangkuan Mrs Nunn.
Sekarang aku menjadi penjaga botol-botol air. Hanya tersisa dua botol, dan salah satunya terisi setengah.
Aku tertidur sejenak, menaruh botol-botol itu di bawah tubuhku. Malamnya aku terbangun karena teriakan, dan kemudian suara Mrs Nunn. "Dia mencoba mencuri air."
Kurasakan ada tangan di bawahku. Aku menyambarnya.
Ternyata si kepala ruang mesin, satu-satunya orang Belanda yang masih bertahan. Sambil meneriakkan sesuatu dalam bahasa Belanda dengan penuh kemarahan, dia menceburkan diri ke laut.
Anehnya, sekarang orang-orang Jawa"yang sampai sekarang tampak takut pada para prajurit, punya sikap baru.
Seolah tahu bahwa mereka, satu-satunya pelaut yang tersisa di sekoci, sekarang lebih unggul daripada orang daratan.
Perilaku mereka tidak kentara perubahannya.
Serang naik ke buritan dan mengambil alih kemudi.
Tak satu pun pria kulit putih melakukan sesuatu untuk menolak kekuasaan ini. Bahkan, kami memang mendukung.
Sikap kami juga berubah. Kami jadi patuh pada orang-orang Jawa itu.
Bergiliran mereka memegang kemudi, dan kami dapati diri kami bertanya pada mereka.
"Apa kita masih jauh dari daratan, Serang?" tanya kami. Dan jawabannya selalu sama, "Tedah tao." ("Aku tidak tahu")
Setiap malam ada yang membayangkan dia melihat daratan. "Bukankah itu daratan, Serang?" teriak kami.
Pada malam ketujuh, hari Minggu, kami menghabiskan botol air terakhir.
Palmer yang memimpin sekarang, tapi meskipun dengan semua usaha yang telah dia lakukan, itu hanya gelar kosong. Dia duduk di sana, membungkuk dan lemah, wajahnya seperti burung, dan tulang pipinya menonjol.
Lalu kami melihat Mrs Nunn bicara dengannya. Palmer bangkit untuk bicara pada semua rombongan di sekoci dengan suara sedikit di atas bisikan.
"Kupikir tak banyak harapan untuk kita," katanya. "Sepertinya kita harus mengembalikan diri pada kenyataan bahwa kalau tak ada yang muncul dalam waktu dekat, maka semua sudah terlambat. Mrs Nunn menyarankan agar kita pasrah pada Tuhan. Dia akan mengadakan kebaktian."
Entah bagaimana"hanya Tuhan yang tahu, kami punya Alkitab, terendam air dan sobek-sobek. Siapa pemiliknya" tentara Skotlandia dari suatu desa di Highland, seorang letnan muda dari sekolah negeri, atau gadis China yang dibesarkan di biara itu"aku tidak pernah tahu.
Mrs Nunn berdiri, wajahnya menjadi gelap karena sinar matahari. Seperti semua suara kami sekarang, suaranya pun serak dan berbisik karena kehausan dan lemah.
Dia membuka Alkitab itu dan mulai membacanya keras-keras.
Kami sepertinya berpaling melihatnya secara otomatis. Beragam sosok manusia tersiksa dan putus asa yang aneh ini.
Kami menyanyi bersamanya "Abide with Me" (Tinggal di Dalam Diriku) dan "The Lord is my Shepherd" (Tuhan adalah Gembalaku). Kami membaca Lord"s Prayer (Doa Bapa Kami).
Masing-masing dari kami merasa nyaris ditarik mendekati Mrs Nunn secara fisik.
Berbulan-bulan kemudian, aku membicarakan peristiwa itu dengan seorang psikiater di kamp penjara.
"Kalian semua dikalahkan," katanya, "oleh desakan yang melanda setiap orang saat berada dalam bahaya"keinginan untuk kembali pada keamanan rahim. Bagi kalian semua, Mrs Nunn menjelma menjadi seorang ibu."
Aku tahu, cerita ini pasti sekarang hanya memberi kesan sebagai tragedi yang monoton. Catatan rentetan kejadian pada saat-saat di mana satu-satunya tonggak hanyalah kematian para pria atau wanita.
Tapi, itulah yang terjadi.
Mungkin ada lima puluh atau enam puluh orang yang tersisa saat kebaktian itu diadakan. Setelah itu, orang-orang pergi dengan cepat. Palmer.... Acworth....
Kolonel Acworth3, seperti banyak orang yang lain, menghilang begitu saja di malam hari. Ketenangan dan keefisienan yang dia pakai untuk mempertahankan disiplin dan moral saat di sekoci sudah menjadi ciri khasnya.
Peran "suplai" yang dia gunakan untuk membagi persediaan makanan dan air sudah sewajarnya baginya, karena dia dulu A.A.Q.M.G. dari Divisi India ke-11 ketika Jepang memulai perang.
Pada hari Senin, hari kedelapan, suasana muram menyelimuti. Aku sadar, kalau ada disiplin yang harus dipertahankan, akulah yang harus memeliharanya.
Di haluan, duduklah kelima desertir itu, tampak jahat dan mengancam.
Letnan Kolonel J. Pelham Acworth sudah bergabung dengan Indian Army sejak tahun 1916. Dia berdinas di Prancis dalam perang 1914-18 dan ambil bagian dalam operasi militer Frontier bersama pasukan Poona Horse. Kemudian, dia bergabung dengan Frontier Force (Pasukan Frontier), 4/12th. Pada tahun 1932, saat Pasukan 4/12th dijadikan pasukan India dan para opsir diberi kesempatan untuk pindah ke unit-unit lain siapa tahu mereka memiliki pandangan buruk tentang warna kulit, Acworth tetap tinggal. Banyak dari kedinasannya adalah menjadi Staf di India. Dia berkenalan dengan istrinya saat menjadi salah seorang Instruktur Indian Army di Sandhurst pada tahun 1929. Putranya (karier ketentaraannya telah direncanakan) lahir saat dia menjadi Staf College di Quetta di tahun 1933.
Hari itu, Mrs Nunn meninggal dunia.
Dia tahu akan mati. Menjelang saat terakhir, dia membicarakan suaminya dengan perasaan sayang. "Aku senang, dia pergi dengan kapal itu, dan tidak perlu menderita bersama kita di sini."
Dia tak sadarkan diri begitu saja dengan tenang ketika Doris Lim"kini telanjang di sebelahnya, membasahi bibir wanita itu dengan air laut.
Aku tahu kejadian-kejadian mengerikan yang telah terjadi pada penumpang lain yang mati, dan mayatnya tetap di sekoci. Jadi, aku berkata kepada Doris Lim, "Cepat pindahkan tubuhnya ke pinggir."
Kami menceburkan mayat Mrs Nunn sebelum gerombolan jahat di haluan itu tahu bahwa dia sudah mati.
Sekitar tahap inilah geng pembunuh itu"sebagaimana yang selalu kupikirkan tentang mereka sejak itu"menunjukkan siapa mereka sebenarnya.
Sementara yang lain melihat, tak berdaya dan apatis, mereka menyergap dari belakang C.Q.M.S. muda dari Divisi ke-18 yang telah membuatku sangat terkesan pada saat-saat awal, membenamkan potongan kaleng daging bergerigi, melintang di lehernya.
Niat mereka sudah tidak diragukan lagi. Setahu kami, mereka pernah mencoba minum darah orang yang sudah mati, dan mendapati bahwa itu mustahil.
Sekarang, mereka berusaha menjagal.
Pemuda itu meloloskan diri dan terhuyung-huyung ke arah kami untuk mencari perlindungan. Dia berbaring sekarat di sana, kesakitan dan terus kesakitan.
Aku berkata, "Demi Tuhan, ceburkan dia ke laut."
Lalu Sersan Mayor MacKenzie dari Indian Army Ordnance Corps (Korps Artileri Tentara India) mendatangiku. "Apa kau tidak sadar apa yang sedang terjadi" Apa kau tidak tahu bahwa kita semua akan dibunuh" Orang-orang itu ingin merebut sekoci."
Saat itu, aku tidak merasa berani. Tapi aku menguatkan diri dan berpidato pada semua penumpang dengan suara sekuat mungkin. Kusampaikan kecurigaan kami pada mereka.
"Kalian," kataku sambil menunjuk lima orang itu, "membuang orang ke laut demi kepentingan kalian sendiri. Memang kalian pikir bisa lolos begitu saja?"
Pemimpin gerombolan itu pun mencondongkan tubuh dengan agresif. Dia bertubuh kecil, tingginya kira-kira sama denganku, dan tidak jelek.
Seingatku, dia memiliki aksen Liverpool yang kasar. Ada ribuan orang yang setipe dengannya di dinas ketentaraan, yaitu bertemperamen buruk, kuat, dan tidak mudah puas. Kalau kau menjadi instruktur dalam perekrutan, kau harus menaklukkan mereka sebelum mereka menaklukkanmu.
"Kami pasti membuangmu juga kalau kau tidak tutup mulut," katanya.
Kupikir aku menggumamkan sesuatu tentang kami yang jumlahnya lebih banyak. Tapi aku memang tutup mulut. Aku takut. Ini bukan perkelahian di barak. Aku tidak tahu berapa banyak orang yang bisa kuandalkan untuk membantu.
Aku menunggu. Ketika MacKenzie mendekatiku lagi, aku berkata, "Mereka atau kita. Mereka cuma berlima. Berapa orang yang bisa kita andalkan kalau kita berusaha untuk menyerang dan mendorong mereka ke laut?"
MacKenzie mondar-mandir di antara yang lain dan saat kegelapan datang, dia memberitahuku bahwa dia telah mendapat suara mayoritas. Ada dua belas sampai empat belas orang yang siap berhadapan dengan gerombolan pembunuh itu.
Terjadilah konfrontasi. Aku berpikir dalam hati, " ini dia." Aku sudah melihat begitu banyak orang yang jatuh ke laut dan tidak kembali. Kami menyusuri sekoci, menghampiri mereka berlima di haluan.
Tentu saja mereka merasakan apa yang sedang terjadi. Pasti tujuan kami tampak jelas.
Seingatku, selama ini terjadi, orang-orang Jawa duduk dengan tenang di tempat mereka. Mereka pasti juga sudah tahu apa yang sedang terjadi, tapi tetap memasang wajah kosong dan dingin.
Suasana memanas. Salah satu anggota gerombolan yang bertubuh kecil dan kuat berteriak, "Mereka datang!" dan dari belakang tubuhnya dia menarik sebuah botol dan menggenggam leher botol itu.
Drummer F. Hardy dari Argylls"pria bertubuh kecil, tinggi tak lebih dari 161 sentimeter, salah satu pahlawan kami dalam pertempuran di Malaya"menyerbu ke depan. Botol
Drummer Hardy, dulu pelayan pribadi Brigadir I. MacA. Stewart, yang memimpin Argylls, memiliki tempat yang abadi dalam sejarah Argylls. Tidak hanya sebagai orang terakhir yang melewati pematang Johor menuju Singapura setelah mundur dari Malaya, tapi dari caranya melewati pematang itu.
Jika mengingat-ingat sejarah resimen, Brigadir Stewart berkata bahwa Hardy adalah orang yang tidak akan pernah lari. Tidak lari saat pesawat-pesawat Jepang datang atau saat detasemen penghancuran bergegas bergabung dengan pasukan utama. "Orang Jepang hanyalah orang Jepang, dan tidak pantas seorang Argyll memerhatikan mereka."
itu pecah dihantamkan ke kepalanya. Dua orang geng pembunuh menangkapnya dan mendorongnya ke laut.
Lalu kami menyerang mereka. Kami melawan, terjatuh, dan berguling-guling, bergulat di dasar sekoci.
Sepertinya kami tidak melempar mereka satu per satu ke laut, tapi mendorong mereka ke laut secara bergerombol.
Saat mereka muncul ke permukaan, tiga orang berhasil berpegangan ke bibir sekoci dan berusaha naik kembali.
Itu merupakan situasi membingungkan yang penuh dengan permohonan, kutukan, dan kata-kata cabul tertahan yang separuh tercekik.
Tanpa menaruh belas kasihan sedikit pun, kami pukuli jari-jari mereka dengan kili-kili (tempat pegangan) dayung. Pada diri kami, hanya tersisa sifat dasar. Malam itu, lusinan kali kami meyakinkan diri bahwa kalau bukan mereka, kami yang akan mati.
Pada pagi saat 30.000 orang melintasi pematang dari Malaya yang hilang ke Singapura yang dirusak, Hardy dan komandan adalah yang terakhir meninggalkan tempat.
Sisa-sisa Argylls yang lelah telah menguasai pangkalan terdepan. Pasukan belakang Australia telah menyeberangi pematang dan kemudian Gordons. Dengan mantap dan kepala terangkat, Argylls melangkah seiring melodi "Hielan" Laddie" dan "A Hun-dred Pipers", yang dimainkan oleh dua pemain alat musik tiup mereka yang masih tersisa.
"Para spesialis ranjau," kata Brigadir Stewart, "sedang menunggu dengan tidak sabar untuk memulai penghancuran mereka pada pematang, dan detasemen terakhir harus bergegas sebelum Jepang datang.
"Kusemangati Drummer Hardy untuk lari, tapi seperti sudah kubilang, dia tidak akan pernah lari dengan benar, bahkan di jalan setapak hutan saat tak seorang pun melihat dan pastinya tidak saat pasukan Jepang sudah dekat.
"Pada situasi yang dramatis ini, nyaris sendirian pada 1,2 kilometer pematang yang terbuka, di bawah cahaya terang fajar tropis, dengan pasukan Jepang datang dan pasukan pembela Singapura mengawasi, dia jadi pemberontak yang kehilangan harga diri.
"Apa pun yang kukatakan tidak ada pengaruhnya. Dia hanya berjalan pelan menyusuri pematang itu."
BAB 6 Ketika maut datang perlahan dan tak terelakkan, saat ketegangan saraf tidak tertahankan lagi, orang-orang jadi mengalami gangguan saraf.
Sejak perang, sudah dilakukan beberapa percobaan dengan rakit dan sekoci untuk mengetahui berapa lama orang bisa bertahan tanpa persediaan makanan.
Tapi bagaimana eksperimen-eksperimen ini menunjukkan gambaran lengkap bila orang-orang di sekoci itu tahu bahwa mereka tidak pernah benar-benar berada dalam bahaya"
Para dokter dan perwira akan mendatangi mereka secara berkala dan melihat bagaimana mereka bertahan. Para fotografer surat kabar akan terbang di atas kepala mereka. Mereka hanya perlu memberi isyarat dan akan kembali ke daratan untuk minum kaldu daging.
Dalam situasi darurat panjang dan berlarut-larut yang sebenarnya, dengan harapan diselamatkan yang makin redup setiap hari, otak tidak bisa bertahan mendahului tubuh. Tubuh bisa selalu mengumpulkan sisa-sisa energi. Tapi tubuh harus didikte dengan penolakan untuk menerima kematian, tekad untuk tidak mati, pengetahuan bahwa orang tidak ditakdirkan untuk berakhir seperti ini.
Sepanjang tahun-tahun yang telah berlalu, aku sudah ditanya ratusan kali"oleh sesama tawanan, psikiater, petugas penyelidik Jepang, teman-teman di rumah" "Menurutmu, kenapa kau hidup, sementara semua orang kulit putih lain mati?"
Sudah ratusan kali aku memikirkan alasan-alasannya di benakku.
Aku merasa mulai dengan beberapa keunggulanku dibandingkan dengan sebagian besar prajurit lain di sekoci.
Aku sudah biasa bertugas di luar negeri selama 13 tahun. Aku menjadi kuat terhadap keadaan cuaca di Timur. Aku pernah bertugas di beberapa tempat yang sangat panas di India, terutama bersama Komando Utara.
Tulang selangkaku yang patah telah menjadi berkah tersamar. Karenanya, Paris dan Acworth memberi tahu bahwa aku tidak perlu melakukan giliran berjaga di air selama awal hari-hari dengan penumpang yang berjejalan.
Tak diragukan lagi, empat jam sehari berpegangan erat pada tali penyelamat banyak menghabiskan cadangan kekuatan semua orang yang melakukannya. Aku terbebas dari itu.
Mungkin masa tugas yang panjang telah mengajarkan filosofi padaku. Sejak awal, aku menerapkan kepasifan.
Sepertinya sia-sia bagiku untuk ikut campur ketika begitu banyak orang membuat rencana dan memberi perintah. Kubayangkan sikap diamku memiliki sesuatu yang paralel dengan sikap tenang, sabar, dan tabah Doris Lim. Dan, itu bermanfaat bagiku.
Juga"mungkin ini alasan terpenting dari semuanya" aku bertekad untuk tidak mati. Tidak pernah terlintas di benak bahwa keselamatan akan datang karena sekoci kami akan hanyut ke daratan. Tapi entah kenapa aku tidak pernah ragu bahwa kami akan diselamatkan. Jarang sekali keputusasaan singgah di benakku.
Dan aku yakin masalah prosedur yang sepele, ketaatan pada aturan yang kubuat sendiri untuk berkumur, membersihkan gigi, dan sebagainya, berguna untuk mempertahankan moral. Sekali dan hanya sekali aku menyerah pada pengaruh buruk desakan untuk bunuh diri.
Hari-hari yang berlalu, membuat orang merasakan keinginan yang mengerikan untuk mengakhiri segalanya.
Sebagian besar bunuh diri kami terjadi pada siang hari, saat laut tenang dan hangat, dan kami merasa betapa mudahnya berenang menjauh dan dilupakan.
Bila malam hari, kami gemetar ketakutan dalam lindungan penghalang, takut pada kegelapan dan laut.
Suatu hari, tak lama setelah konfrontasi dengan geng pembunuh, seorang pemuda dari Loyal Regiment bertanya apakah menurutku ada kemungkinan bagi kami untuk keluar dari siksaan ini.
Kami memperdebatkan kemungkinan munculnya sesuatu. Tiba-tiba dia berkata, "Aku sudah muak. Aku akan mengakhirinya. Apa kau juga mau ikut?"
Saat itu aku sedang murung. "Baiklah," jawabku.
Kami memutuskan untuk minum air asin sebanyak-banyaknya sampai tubuh kami lemah dan sakit, lalu terjun ke laut.
Aku minum sampai rasa sakit yang hebat memaksa untuk berhenti. Lalu kami berdiri, bergandeng tangan, menarik napas dalam-dalam, dan melompat bersama-sama ke laut. Sepertinya kami tenggelam lumayan jauh sebelum aku mengeluarkan udara dalam paru-paru.
Begitu aku melakukan itu, dan merasa diriku tersedot air laut, aku dikuasai keinginan nekat untuk naik ke permukaan. "Aku tidak boleh tenggelam, aku tidak boleh tenggelam," adalah satu-satunya pikiran dalam benak ketika kusentakkan tangan dari tangan temanku dan menjejak-jejakkan kaki untuk berenang.
Saat aku muncul di permukaan, sekoci hanya hanyut sekitar 2,5 atau 3,5 meter dan aku berenang mati-matian untuk menyusulnya. Kutarik tubuh ke atas sekoci dan berbaring di sana, terengah-engah dan merasa mual. Setahuku, pemuda dari Loyal tadi tidak pernah muncul lagi ke permukaan.
Tak seorang pun memberi perhatian pada insiden itu. Saat itu, kami sudah pergi jauh sehingga tak ada yang mencampuri urusan orang lain dengan cara apa pun. Mungkin sampai tahap ini ada beberapa orang di antara kami yang tersisa. Aku tidak bisa mengatakannya.
Sejak itu hanya ada kasus satu lagi orang menghilang, lalu perjuangan yang makin berat, untuk mengangkat tubuhnya ke atas sekoci. Kami telah kehilangan identitas. Matahari dan air laut telah membuat kain compang-camping yang tersisa di tubuh busuk hingga kami semua telanjang.
Di tubuh kami semua, terbentuk luka yang memborok besar, dan daging sepertinya membusuk begitu saja, meninggalkan lubang yang cukup besar untuk menelan kepalan tangan manusia. Khususnya di sekitar bagian kecil punggung tempat kami bersandar di penghalang.
Kami jadi lupa waktu, dan urutan insiden yang terjadi setelah konfrontasi dengan geng pembunuh menjadi kabur bagiku. Tapi aku ingat hari saat hujan turun dan juga hari ketika kami menangkap burung-burung camar.
Sering kami melihat hujan di kejauhan. Itu terjadi di saat malam yang dingin. Kami bisa melihat hujan bergerak melintasi kaki langit, tampak seperti layar atau tirai.
Dengan tegang dan gelisah, kami menunggu. "Hore, hujan turun!" kami berkata. Mulut kami terbuka dan lidah terjulur. Lalu kami lihat hujan itu bergerak menjauhi kami. Sekali atau dua kali, memang, hujan itu lewat tepat di atas kepala.
Hujan kami, saat datang mengguyur kami, adalah hujan lebat. Tetes-tetes raksasa, dingin, menerpa keras, berlangsung tiga atau empat menit, nyaris cukup untuk membuat kami melupakan dahaga dan bersembunyi dalam perlindungan sekoci.
Karena sekarang aku yang memimpin, kuminta setiap orang untuk mengatur semuanya sampai kami mengisi empat botol gin Bols kosong yang masih tersisa.
Setiap orang membantu. Tak seorang pun berusaha untuk minum sampai kami telah mengisi botol-botol itu dengan air yang diciduk dengan tangan. Air hujan yang terkumpul di dasar sekoci, tentu saja, bercampur dengan air laut yang telah menggenang, tapi siapa peduli" Botol-botol telah terisi. Kami menjatuhkan diri di atas tangan dan lutut, dan menjilat air sepuasnya sementara hujan masih berlangsung.
Jumlah burung-burung camar itu sekitar dua belas ekor. Mereka lebih besar dibandingkan dengan yang kaulihat di sekitar pesisir Inggris.
Burung-burung itu datang mendadak, terbang mengitari sekoci selama beberapa menit lalu hinggap. Mereka sangat jinak dan tampak tak takut pada manusia. Burung-burung camar itu hinggap di bagian-bagian sekoci dan di kepala serta bahu beberapa orang.
Tubuh kami menegang dan kaku. Tak seorang pun berani bergerak. Lalu, dengan satu kesepakatan, kami menyambar. Kami menangkap tujuh ekor!
Beberapa menit kemudian, tak ada lagi yang tersisa kecuali bulu-bulu yang menempel di sekeliling sekoci. Kami mencabik-cabik burung-burung camar itu dan menelan dagingnya mentah-mentah.
Keadaan ini terus berjalan, jam demi jam, hari demi hari.
Hanyut dalam kebisuan yang hanya diusik oleh derit kayu dan sapuan air. Tak seorang pun bicara, apalagi bergerak. Si gadis China dan aku kadang saling mendekap demi kenyamanan kehangatan binatang.
Sepanjang waktu kami berada di dalam sekoci, cuma sekali"itu pun sudah menjelang akhir"aku membayangkan Doris Lim dengan pikiran yang tak sewajarnya.
Anehnya, dalam diri pria kurus dan tak berdaya seperti aku saat itu, tiba-tiba aku dicekam hasrat seorang pria terhadap wanita ketika gadis itu bersandar di lenganku. Aku mulai membelainya.
Gadis itu membalas tatapanku dengan mata hampa dan tak bersemangat. "Tolong, biarkan aku mati dengan damai," pintanya.
Sejak itu, tak pernah ada lagi momen semacam itu di antara kami.
Lalu tibalah hari"yang paling mengerikan dari perjalanan menakutkan itu"saat seorang penembak besar (namanya tak pernah kutahu) dan aku saling menatap dan menyadari bahwa kami adalah dua lelaki kulit putih yang tersisa di sekoci.
Meskipun kelelahan dan tubuhnya tinggal tulang, dia tetap pria dengan keadaan fisik yang bagus. Seingatku, dia sangat tinggi dan berkulit sangat gelap. Pria tegap berbahu lebar. Tak diragukan lagi, dia akan bisa bertahan karena sehari kemudian, kami melihat daratan"Tuhan menolong kami.
Tapi di atas haluan, duduk empat orang Jawa yang masih hidup. Serang tua salah satu di antaranya. Gadis China itu dan aku berada di dekat buritan. Si penembak berbaring di sisi kanan sekoci, lebih dekat dengan haluan. Tiba-tiba aku mendengarnya berkata, "Orang Skotlandia, orang Skotlandia... tolong aku, orang Skotlandia!"
Kami mendongak dan melihat dua dari orang-orang Jawa itu memukul kepala si penembak dengan kili-kili dayung. Pria itu telah berhenti melawan. Darah mengalir dari kepala, turun ke bahu dan tubuhnya.
Sementara kami menonton, si orang Jawa ketiga dengan potongan kaleng yang telah dibentuk menjadi pisau mulai mengoyak tubuh penembak itu. Aku masih bisa mendengarnya sekarang, seperti yang kami dengar saat itu, gesekan pisau pada tulang dan daging.
Si pelaut memasukkan tangannya ke dalam luka, seperti orang merogoh bagian dalam tas tangan, menarik sesuatu yang menetes-neteskan darah, lalu membenamkan giginya seperti anjing menyambar tulang. Dua orang temannya berhenti memalu kepala si penembak dan menyambar lukanya dengan rakus.
Mereka pasti sudah gila. Darah menetes dari wajah mereka. Sambil masih tetap mengunyah, mereka menyeringai seram ke arah kami. Salah satu dari mereka berteriak pada kami dan mengulurkan sesuatu yang dipegang dengan kedua tangan.
Kami hanya mampu menggeleng. Santapan keji ini sepertinya cukup memuaskan mereka. Begitu sudah selesai, mereka dan si serang membuang mayat penembak itu ke laut.
Malam itu, si serang meninggal. Kami mendengar tiga temannya menyanyikan semacam kebaktian di dalam gelap. Sementara mereka melakukan itu, aku merangkak di sepanjang dasar sekoci dan satu per satu, menemukan kili-kili dayung dan membuangnya ke laut. Kalau kami harus menjadi korban berikutnya, mereka harus mencari senjata lain.
Saat pagi menjelang, salah seorang Jawa itu membuat isyarat yang menunjukkan bahwa mereka tahu aku telah menjatuhkan kili-kili dayung ke dalam air.
Aku dan si gadis China tidak berani melepaskan pandangan dari tiga orang Jawa di haluan. Kami bertekad, kalau ada gerakan sekecil apa pun ke arah kami, kami akan melompat dari sekoci bersama-sama.
Tapi pada malam hari kami tidak bisa bertahan dengan mata tetap terbuka. Aku tersentak bangun ketika merasakan gerakan di dekat sikuku. Ternyata salah satu orang Jawa itu. Dia melempar seringai serigala sambil terus-menerus mengulang satu kata. Aku tidak mengerti, tapi itu kata bahasa Jawa untuk "daratan".
Dia menunjuk sambil bicara dan, saat menoleh, kulihat bayangan yang lebih gelap daripada kegelapan. Kami berpegangan erat, kelima-limanya, ke tepi sekoci, berusaha untuk berdiri dan menatap gelapnya malam.
Kami sudah sering sekali melihat fatamorgana sehingga takut membiarkan diri percaya bahwa ini benar-benar daratan. Sering sekali apa yang terlihat seperti daratan mendadak buyar ditelan awan. Tapi yang ini tampak terlalu besar, terlalu dekat, untuk menjadi segumpal awan. Kurasa kami berlima"pelaut-pelaut itu, si gadis, dan aku sendiri" mendengarnya pada saat bersamaan. Suara yang tak mungkin salah.
Suara ombak yang pecah menabrak karang.
BAB 7 Kami berlima menangis"termasuk orang-orang Jawa itu, seiring suara ombak yang bertambah keras dan bayangan daratan yang semakin besar.
Kecepatan hanyut sekoci bertambah ketika kami mendekati pantai. Ada sentakan dan suara gesekan saat sekoci menyentuh tanah. Lalu, sekoci berayun-ayun karena menabrak sesuatu, dan gelombang membuatnya miring.
Kami berebut keluar dan jatuh ke ombak. Sekoci terdampar di sebuah karang dan gelombang datang menghantam, membuat kami terhuyung-huyung ketika berusaha berdiri.
Kusambar tangan gadis China itu dan bersama-sama kami merangkak, tertatih-tatih, jatuh ke arah pantai.
Kami tidak bisa berkata-kata, tapi mengeluarkan suara gerutu tidak jelas dan terengah-engah karena saling menyemangati untuk maju.
Paling utama dalam pikiranku, juga dalam pikiran si gadis seperti yang kemudian dikatakannya padaku, adalah doa. "Jangan biarkan kami tenggelam sekarang, sudah sangat dekat dengan keselamatan."
Karang itu merobek kaki, lutut, dan tangan kami, tapi kami mati rasa, tidak merasakan sakit. Sejak sekoci terdampar, aku tidak melihat orang-orang Jawa itu. Setelah itu kami menemukan satu dari mereka bertiga tenggelam dalam ombak ketika berusaha mencapai pantai.
Dengan tangan dan lutut, kami merangkak melalui meter-meter terakhir menuju tanah kering. Bersama-sama kami berbaring di sana, terengah-engah, dan kelelahan.
Aku berusaha berdiri, tapi seluruh tempat itu sepertinya berayun seperti gerakan sekoci. Pikiran koheren pertamaku adalah "Ya Tuhan, kami mendarat di pulau terapung. Keadaan kami tidak membaik. Kami masih harus terapung di sini, sama seperti saat di sekoci."
Kami saling menggumamkan kata-kata yang tidak bisa dipahami. Dengan histeris kami berkomat-komat mensyukuri pembebasan. Kami terus berusaha berdiri dan jatuh lagi ke dekat bibir pantai. Akhirnya, kami berhasil merangkak sampai jarak yang aman dari air dan jatuh tertidur akibat kelelahan, dengan saling berpegang tangan.
Ternyata, kami terdampar di Sipora, salah satu pulau di Kepulauan Mentawai yang membentang kira-kira 96,6 km di sebelah barat pantai Sumatra. Kami sudah hanyut lebih dari 1.609,3 km. Kami pasti telah berada di sekoci selama sebulan.
Si gadis China membangunkan aku. Ada sesuatu yang mengganggunya. Di sekeliling kami, pantai diterangi cahaya yang bergerak maju-mundur setiap beberapa menit. Udara dipenuhi bunyi gemerisik tiada henti, seperti kertas yang diremas-remas.
Sementara kami berbaring diam-diam, cahaya mendekat dan suara itu bertambah keras. Kami merasakan sensasi aneh. Lalu, saat cahaya fajar menerangi pantai, kami melihat penjelasannya.
Kami dikelilingi oleh kepiting-kepiting besar, ratusan jumlahnya, seukuran piring makan. Pantai itu benar-benar tertutup oleh mereka. Cahaya terang itu ternyata berasal dari mata mereka dan suara gemerisik itu disebabkan oleh gerakan mereka.
Di atas pantai itu terhampar rawa bakau. Di baliknya ada hutan. Kami merangkak ke rawa. Tubuh kami benar-benar lemah sekarang sampai-sampai kami bahkan tidak bisa merangkak dengan tangan dan lutut. Kami menarik tubuh dengan menggunakan perut, menyeret diri maju dengan menggunakan akar-akaran dan semak-semak.
Kami berbaring di rawa itu saat matahari terbit. Tekanan yang dibuat tubuh kami di dalam lumpur dengan cepat terisi oleh air hitam yang tampak-berminyak, yang kami minum dalam tegukan besar.
Itu adalah air tawar pertama dalam jumlah besar yang kami rasakan sejak Rooseboom tenggelam.
Tabib Sakti Pulau Dedemit 1 Bukan Impian Semusim Karya Marga T Dendam Sejagad 14

Cari Blog Ini