Ceritasilat Novel Online

Kembang Jelita Peruntuh 10

Kembang Jelita Peruntuh Tahta Karya Stevanus S.p Bagian 10


muncul dalam percakapan ringan di warungwarung atau pasar.
Kembang Jelita 17 63 Pengaruh perang terasa pada naiknya harga
bahan-bahan makanan pula, yang makin lama
makin mendesak minggir kaum miskin dari
arena jual-beli. Ada yang sampai jual celana
untuk beli beras, tapi kalau barang-barangpun
sudah habis dijual, akhirnya banyak yang nefcad
jaldi maling atau tukang jambret.
"Kapan perang selesai?"
"Kalau salah satu pihak sudah takluk."
"Kapan salah satu pihak takluk?"
"Tanya saja kepada Kaisar atau Li Cu-seng,
kalau berani." "Payah kalau begini terus. Dagangan jadi sepi
karena harga mahal, makin banyak pengemis
dan copet gentayangan, dan sebentar lagi kita
mungkin juga akan jadi pengemis."
(Bersambung jilid ke XVI)
Sumber Image : Koh Awie Dermawan
first share in Kolektor E-book
Pringsewu 28/06/2018 22 : 35 PM
Kembang Jelita 17 64 Kembang Jelita 18 1 Kembang Jelita 18 1 "KEMBANG JELITA PERUNTUH TAHTA" Karya : STEFANUS S.P. Jilid XVIII "Ah, entahlah. Tapi aku dan keluargaku
sedang pikir-pikir untuk pindah ke Jiat-ho saja."
"Ah, bukankah Jiat-ho ibu kotanya bangsa
Manchu" lalu kau kelak juga menguncir rambut
seperti mereka" tinggal di tengah-tengah orang
biadab dan diperintah oleh raja biadab
mereka?" "Hem, keponakanku bersuami orang
Manchu, dan aku pernah mengunjunginya di
Jiat-ho. Mereka hidup senang, tidak seperti di
sini." "Tapi betapapun kita adalah orang Han,
bangsa yang berkebudayaan luhur sejak
berabad-abad!" "Huh, berkebudayaan luhur kok saling bunuh
terus, perang terus, pemerintahan semrawut,
Kembang Jelita 18 2 perdagangan semrawut, peradilan juga semrawut, lalu kita orang-orang kecil ini siapa
yang melindungi" di Jiat-ho lebih enak, biarpun
setiap pemuda diwajibkan latihan militer, tapi
semuanya tertib, tidak kacau."
Percakapan itu berlangsung di pasar, antara
seorang penjual buah-buahan yang tidak segar
lagi karena sudah didasarkan beberapa hari tapi
belum laku-laku juga, dengan seorang pedagang
pecah belah di sebelahnya. Pembeli sepi,
malahan sebentar-sebentar datang pengemis
menadahkan tangan. Tengah mereka bertukar gerutuan kesal,
tiba-tiba perhatian mereka tertarik ke suara di
jalanan depan pasar. Di sana datang
serombongan perajurit, yang langsung membuat semacam lingkaran di pinggir jalan
persis bakul jamu siap menggelar dagangannya.
Seorang prajurit naik dan berdiri di atas sebuah
bangku yang sembarangan dirampasnya dari
seorang pedagang kecil lalu diapun menabuh
gong bertalu-talu. Kembang Jelita 18 3 Si bakul buah-buahan bertanya, "Eh, ada apa
itu?" "Pengumuman. Mudah-mudahan bukan
pengumuman kenaikan pajak lagi," sahut si
tukang sayur di sampingnya tanpa minat.
Tapi si tukang buah yang sudah jemu
menunggui dagangannya yang cuma dikerumuni lalat, justru nampak berminat, "Ayo
kita dekat dan dengarkan, siapa tahu malah
penurunan pajak." "Ah, kau saja sana dengarkan. Kalau pajak
turun, kabari aku. Kalau naik, tidak usah bilang
aku, aku mau pura-pura tidak tahu saja."
"Kalau begitu tolong jagakan daganganku,"
dan si tukang buah telah bangkit dan menuju
kerumunan itu, lalu berdesak-desakan dengan
orang lain untuk mendengarkan pengumuman.
Tapi begitu mengenali prajurit yang tengah
berdiri di atas bangku sambil menabuh gong itu,
terkejutlah si penjual buah-buahan. Ketika
menoleh, di sebelahnya adalah orang yang
sudah dikenalnya, maka berbisiklah ia, "Tidak
kelirukah mataku" Bukankah yang berdiri di
Kembang Jelita 18 4 atas bangku itu adalah penjual obat kutu busuk
yang tiga hari yang lalu masih berjualan di
sudut pasar?" "Betul." "Sejak kapan dia jadi perajurit?"
"Mana aku tahu" Coba dengar dulu apa yang
mau dia umumkan." Prajurit di atas bangku itu menabuh gongnya
terus sampai terkumpullah kerumunan pendengar yang cukup banyak, lalu terdengarlah suaranya lantang, "Saudarasaudara, saat ini terbuka lebar kesempatan bagi
kalian untuk menunjukkan darma bakti kepada
kekaisaran! Daftarkanlah nama kalian sebagai
prajurit, masa depan gemilang menunggu
kalian! Kalau kalian cukup berjasa, siapa tahu
tiga tahun kemudian ada di antara kalian yang
jadi jenderal dan berhasil menjunjung tinggi
leluhur kalian! Ayo, ramai-ramai daftarkan diri!
Asal saudara adalah lelaki sehat berumur tujuh
belas tahun sampai empat puluh tahun, hampir
pasti diterima akan diterima! Ayo, ayo, jangan
lewatkan kesempatan ini!"
Kembang Jelita 18 5 Berkat pengalamannya sebagai bekas penjual
obat kutu busuk, ia nampak luwes sekali dalam
pidatonya. Kalau beberapa hari yang lalu ia
berteriak, "Dalam tiga hari tanggung semua
kutu busuk lenyap dari kasur kalian!" maka
sekarang, "Dalam tiga tahun bisa jadi jenderal!"
Terus saja dia memukul gong sambil
berteriak-teriak membujuk, mencoba membakar semangat, benar-benar tak ubahnya
menawarkan dagangannya. Dan jerih payahnya tidak sia-sia. Dari tengahtengah kerumunan penonton muncul seorang
lelaki kekar bertubuh pendek, bajunya buntung
untuk memperlihatkan belitan otot-otot
lengannya, matanya merah, mulutnya bau arak,
rambutnya awut-awutan. Sambil mendesak
maju diapun bertanya, "Aku boleh daftar?" .
Para pedagang kecil di jalan itu sudah kenal
siapa dia. Penganggur tapi doyan arak, uang
pembeli arak diperolehnya dari memeras para
pedagang kecil. Kini dia agaknya menemukan
lapangan kerja. Kembang Jelita 18 6 berambil mendesak maju diapun bertanya,
"Aku boleh daftar"
Kembang Jelita 18 7 Namun orang-orang yang melihatnya jadi
cemas. Dulu si penganggur itu sudah bersikap
begitu galak, entah bagaimana bertambah galak
kalau sudah berseragam prajurit kelak, apa lagi
kalau sampai "jadi jenderal?"
Namun si tukang teriak tidak peduli,
pokoknya ada sambutan. Maka diapun
mengobral pujian, persis kalau ada kawan
sekongkolnya yang pura-pura memborong obat
kutu busuknya, "Bagus! Bagus! Saudara ini
benar-benar seorang pencinta tanah air yang
patut kalian teladani! Tentu saja saudara
diterima silakan mendaftarkan nama di meja
yang di sana." Lalu gongnya kembali dipukul berirama.
"Nah, saudara-saudara rakyat Kerajaan Beng
yang setia, apa kalian akan tinggal diam melihat
negeri ini diancam kaum pemberontak Pelangi
Kuning serto bangsa Manchu" Tidak rela bukan"
Ayo daftarkan diri, ayo..... ayo....... siapa lagi?"
Muncul satu "calon jenderal" lagi. Kurus,
pucat, agak bungkuk, jalannya sambil terbatukKembang Jelita 18 8 batuk, dan biarpun sempoyongan dia menuju ke
meja pendaftaran. Perwira penerima pendaftaran pun mengerutkan alis melihat orang macam ini juga
mau jadi perajurit. Tapi kalau ditolak, ia kuatir
yang lain-lain akan patah semangat. Terpaksa
diapun tulis saja nama orang itu sambil
membatin dalam hati, "Lumayan untuk latihan
memanah." Kemudian beberapa orangpun susulmenyusul mengikuti jejaknya, termasuk si
penjual buah-buahan yang semula cuma berniat
menonton. Dulu ia sering ditendang pantatnya
oleh para prajurit, sekarang dia Ingin pindah,
masuk golongan yang menendang, bukan lagi
ditendang. Si penabuh gong makin semangat. Makin
lantang pula saaranya menyerukan sloganslogan yang membuat tengkuk merinding.
Hanya saja, di antara orang-orang yang
berkerumun itu ada yang merasa sedih dan
malu. Dialah Helian Kong. Setelah berhasil
meloloskan diri dari tawanan kaum Kembang Jelita 18 9 pemberontak di Tong-koan, Helian Kong lalu
berusaha menemukan kembali pasukannya
untuk disusun kembali, tetapi ternyata gagal.
Sejak Tai-goan dan Hun-ciu jatuh, pasukannya
sudah tercerai berai, banyak perajurit yang
melarikan diri dan tidak mau lagi kembali ke
induk pasukan. Ada yang jadi berandal di
gunung, dan ada yang kabur dengan mencopot
seragamnya, entah ke mana. Hanya sebagian
kecil yang tetap setia, meskipun harus ditarik
mundur untuk memperkuat pertahanan di Hantiong.
Maka Helian Kong pulang sendiri ke Pak-khia
dalam keadaan compang-camping dan akan
melapor ke Peng-po Ceng-tong (Kantor Perang)
siap ditugaskan kembali. Selain itu, ia juga akan
berusaha mengusulkan kepada Kaisar agar
pasukan-pasukan dari selatan ditarik ke utara
untuk membendung kemajuan tentara pemberontak yang luar biasa. Di selatan masih
ada Jenderal Su Kho-hoat di Yang-ciu, Jenderal
The Ci-liong di Hok-kian, Jenderal Thio Honggan di Ciat-kang, Jenderal Thio Hian-tiong di SeKembang Jelita 18
10 cuan, Jenderal Li Teng-kok di Kui-ciu, semuanya
masih memiliki pasukan yang besar, segar dan


Kembang Jelita Peruntuh Tahta Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terlatih. Memang usul itu pasti akan ditentang
oleh Co Hua-sun yang takut kepada "jenderaljenderal selatan" itu, namun Helian Kong
merasa bahwa Kaisar harus dibujuk sampai
menerima usul itu. itu lebih baik daripada
merekrut orang-orang di jalanan, tak ubahnya
berjualan jamu saja, dan entah macam apa
pasukan yang akan terbentuk kelak dengan cara
ini" Dengan perasaan kacau, merasa kebanggaannya sebagai prajurit dilukai, Helian
Kong meninggalkan kerumunan itu. Tengah ia
berjalan, tiba-tiba dilihatnya di antara orangorang yang lalu lalang di jalanan itu ada seorang
yang seperti sudah dikenalnya. Bentuk
tubuhnya dan wajahnya kalau dilihat dari
samping sekilas nampak seperti sahabatnya,
Liong Tiau-hui, perwira San-hai-koan yang sejak
keributan di depan gedung Ciu Kok-thio dulu
lalu menghilang tak tentu rimbanya. Kini ia
dengan heran melihat orang itu tidak lagi
Kembang Jelita 18 11 memakai seragam perwira, malahan berpakaian
dekil seperti gelandangan. Kepalanya memakai
topi rumput bertepian lebar yang ingin
digunakannya untuk menyamarkan dirinya.
"Liong Tiau-hui atau bukan?" tanda tanya
muncul di hati Helian Kong. Karena ingin tahu,
tak terasa ia mulai membuntuti orang itu.
Mula-mula semuanya berjalan biasa, orang
yang dibuntuti itu menoleh sekali ke belakang,
lalu mempercepat langkahnya. Helian Kong juga
mempercepatnya, dilihatnya orang itu berhenti
beberapa kali untuk berbicara dengan beberapa
orang. Kecurigaan Helian Kong makin tebal.
Orang yang dibuntuti itu tiba-tiba berbelok
masuk sebuah gang. Di mulut gang ada dua
gelandangan yang makan sambil berjongkok,
menggunakan mangkuk butut menyuapi mulut
hanya dengan jari-jarinya. Ketika melewati
orang itu, orang yang sedang dibuntuti Helian
Kong itu berbisik sambil terus berjalan, "Aku
dibuntuti. Cegah dia...."
Kembang Jelita 18 12 Kedua gelandangan itu tiba-tiba meletakkan
mangkuk-mangkuk mereka, lalu bicara satu
sama lain dengan keras, seolah-olah bertengkar.
Dan aneh, tingkah mereka itu seperti suatu
aba-aba untuk munculnya suatu gelombang
keributan. Seorang yang semula duduk tenang
di pinggir jalan, tiba-tiba melompat ke tengah
jalan, tertawa berkakakan, mengayun-ayunkan
tongkat berteriak-teriak tak keruan, berlagak
gila. Suasana jadi kacau seketika. Terutama
perempuan dan anak-anak yang berlari-lari
ketakutan, tapi banyak juga kaum lelaki yang
berhamburan dan banyak yang menabraknabrak tubuh Helian Kong sehingga terhambat
langkahnya. Dan keributan-keributan lain muncul
serempak. Mendadak ada penjual sayur yang
berkelahi dengan pembelinya, ada orang lewat
tersiram air panas dari warung, ada yang
kepalanya kejatuhan genteng, ada kambing
lepas yang melompat-lompat mengamuk dan
menanduk kian kemari. Kembang Jelita 18 13 Helian Kong terjebak di tengah kekacauan
itu, dan iapun kehilangan jejak buruannya.
Helian Kong berpendapat bahwa semuanya itu
disengaja. Nalurinya yang tajam mengatakan
itu. Maka Helian Kong pun mulai bersikap keras,
la mendesak di antara kekacauan itu dengan
menggunakan tenaganya, sehingga banyak
orang terpelanting roboh. Tentu saja tidak
banyak orang yang mampu menandingi
kekuatannya. Tapi keributan menghebat dan jelas semakin
diarahkan kepada Helian Kong. Seolah-olah
tidak sengaja, tetapi makin banyak orang yang
hendak mementung kepala Helian Kong dengan
pikulan bambu atau dengan bandul timbangan.
Ada juga yang berlagak panik terus hendak
melindas kaki Helian Kong dengan gerobak
roda satu. Helian Kong habis sabarnya. Ia melompat
tinggi di atas kepala orang-orang itu, meluncur
langsung ke dalam gang tadi sambil berharap
Kembang Jelita 18 14 mudah-mudahan masih bisa mengikuti jejak
orang yang mirip Liong Tiau-hui tadi.
Namun terlambat, lorong itu sudah kosong.
Dengan geram Helian Kong kembali ke jalan
besar, dan tercengang melihat keadaan jalan itu
sudah tenang kembali, seolah tidak pernah
terjadi apa-apa. Gelandangan-gelandangan
meneruskan makannya, yang bertengkar sudah
damai kembali, meskipun suasana jadi lebih
sepi karena banyak pembeli yang tadi sudah
keburu kabur dan tidak kembali.
Namun suasana tenang itu justru membuat
Helian Kong merinding. Kini jelaslah, sebagian
besar orang yang ada di situ adalah
sekomplotan, dan Helian Kong menduga
merekalah orang-orangnya Pelangi Kuning.
Berapa sebenarnya jumlah mereka di seluruh
Pak-khia, Helian Kong tidak dapat memperkirakan. Yang jelas, kaum pemberontak
ternyata menyiapkan "penyambut dari dalam"
apabila kelak mereka menyerbu Pak-khia. Ia
jadi ingat betapa Tong-koan, Hun-ciu dan Thaigoan jatuh begitu gampang dengan cara lebih
Kembang Jelita 18 15 dulu menghasut penduduk agar melawan
tentara kerajaan dan membukakan pintu untuk
laskar pemberontak. Dan kaum pemberontak
rupanya merencanakan hal yang sama untuk
Pak-khia. Bersahut-sahutan suara para pedagang itu,
menawarkan dagangan kepada Helian Kong,
namun di kuping Helian Kong, suara mereka tak
ubahnya ejekan. Helian Kong melangkah lebih
cepat meninggalkan tempat itu.
"Secepatnya semua panglima di kota ini
harus segera tahu kalau kota ini sudah
kesusupan entah berapa banyak orangorangnya kaum pemberontak. Kalau tidak
segera ada tindakan, Pak-khia akan gampang
sekali kelak direbut Li Cu-seng."
Namun semangat tinggi yang didasari
kemauan baik pun seringkali terbentur
kenyataan pahit yang tak terduga.
Begitu Helian Kong sampai ke rumahnya, ia
kaget melihat pintu rumahnya tertutup rapat
ditempeli kertas bersilang segel bercap istana.
Tertempel pula pengumuman singkat yang
Kembang Jelita 18 16 menyatakan bahwa Helian Kong sudah
berkhianat kepada kekaisaran, berkomplot
dengan kaum pemberontak, maka semua
pangkatnya dicopot, hartanya dirampas, bahkan
dinyatakan sebagai buronan yang harus
ditangkap hidup atau mati.
Helian Kong termangu-mangu, sulit mempercayai kenyataan itu. Dia pertaruhkan
nyawa di garis depan, biarpun mengalami
kekalahan tapi tidak setitik-pun ada niat
khianat terhadap kekaisaran. Setelah berhasil
kabur dari Tong-koan, ia buru-buru pulang ke
Pak-khia untuk bersiap menerima tugas baru.
Ternyata "sambutan" macam inilah yang
ditemuinya di Pak-khia. Tiba-tiba ada ledakan di langit, lalu hujanpun
turun dengan derasnya. Orang-orang di jalanan
berlari-lari mencari tempat berteduh, begitu
pula Helian Kong. Tetapi ia tidak berani masuk
ke rumahnya yang disegel, hal itu dianggap
tidak menghargai pemerintah dan akan
menyediakan bahan fitnahan tambahan bagi
pembenci-pembencinya. Maka dia-pun hanya
Kembang Jelita 18 17 dapat berteduh di emperan rumah di seberang
rumahnya, berjejal-jejalan dengan peneduhpeneduh lain. Bedanya, kalau orang-orang itu
nanti hujan reda masih bisa pulang ke rumah,
Helian Kong tidak, sebab tidak punya rumah
lagi. Sekilas terpikir oleh Helian Kong untuk
menumpang di rumah perwira yang menjadi
temannya, tapi akhirnya diapun singkirkan
gagasan itu dari benaknya. Selama tuduhan
terhadap dirinya belum dicabut, ia bisa
menyulitkan teman-temannya, dan ia tidak mau
itu. Terpaksa untuk sementara ia harus jadi
gelandangan, bahkan gelandangan yang diburuburu.
Tiba-tiba di jalanan itu ada seorang
penunggang kuda yang berpacu sambil
membungkuk, tanpa menghiraukan hujan lebat.
Seorang berseragam panglima, dan Helian Kong
mengenalnya. Bu Sam-kui. Keruan Helian Kong jadi heran, "Bukankah
Bu Sam-kui bertugas menjaga San-hai-koan
Kembang Jelita 18 18 untuk membendung orang Manchu" Kenapa
sekarang muncul kembali di ibu kota" Apakah ia
bernasib seperti aku, mengalami kehancuran
pasukan dan terpaksa kembali ke ibu kota?"
Tak tertahan lagi rasa ingin tahu Helian Kong
sehingga ia lupa segala-galanya. Ia melompat ke
tengah jalan, dan teriakannya mengatasi suara
gemuruhnya hujan, "Saudara Bu!" Bu Sam-kui
mendengarnya, sehingga diapun kuat-kuat
menarik kekang kudanya sehingga meringkik
sambil menggapai-gapaikan sepasang kaki
depannya ke langit. Namun Bu Sam-kui dengan
tangkas memutar kudanya dan berhenti
menghadap Helian Kong. "Saudara Helian!" Bu Sam-kui terceng-ngang
ketika melihat siapa yang me-manggilnya, lalu
sambil menunjuk pintu rumah yang disegel itu,
ia bertanya keras agar tidak tenggelam oleh
suara hujan, "Bukankah itu rumahmu" Kenapa
kau malah berteduh di emperan rumah orang
lain?" Helian Kong mengangkat pundak dan
menjawab dengan nada pahit, "Sekarang bukan
Kembang Jelita 18 19 rumahku lagi. Tidakkah saudara baca tulisan di
pintu itu?" "Yah, belakangan ini di Pak-khia memang
kudengar desas-desus tentang dirimu. Pasti
ulah si keparat tua Co Hua-sun. Saudara Helian,
jangan kecil hati, aku dan teman-teman lain
pasti akan ber usaha menjernihkan urusan ini."
"Terima kasih. Tapi urusanku bukanlah yang
paling penting tidak perlu sampai terjadi ributribut yang hanya menguntungkan musuhmusuh kekaisaran. Keselamatan negara harus
dinomor - satukan." Kata-kata itu seolah-olah menampar Bu Samkui, sehingga mendadak ia jadi tersipu-sipu lalu
menatap ke arah lain, sambil berkata, "Benar,
akupun harus menjunjung keselamatan negara."
"Kenapa saudara ada di Pak-khia dan bukan
di San-hai-koan?" "Eh.... begini ya.... eh, memang aku sedang ada
keperluan sedikit di Pak-khia. Ya keperluan
penting." "Apakah ada yang lebih penting daripada
menjaga tapal batas negara di San-hai-koan?"
Kembang Jelita 18 20 "Oh, tentu saja. Tapi sebelum kutinggalkan,
urusan di San-hai-koan sudah kuatur dulu.
Tidak apa-apa kalau cuma kutinggal sebentar."
Helian Kong mencemaskan nasib benteng


Kembang Jelita Peruntuh Tahta Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

San-hai-koan lebih dari mencemaskan dirinya
sendiri. Maklum, sekali San-hai-koan jatuh,
berarti terbukalah jalan bagi pasukan Manchu
untuk menyerbu wilayah pedalaman. Ia kurang
mengerti, bagaimana Bu Sam-kui berani
meninggalkan pos yang begitu penting untuk
"keperluan sedikit"nya di Pak-khia" Namun
karena Bu Sam-kui bukan bawahannya, Helian
Kong tidak berani menegur.
Beraninya cuma bertanya, "Bagaimana
keadaan pasukan saudara di San-hai-koan?"
"Aman, kokoh. Pasukan Manchu takkan
mampu maju sejengkalpun."
"Bagaimana dengan Jenderal Ang Seng tiu
yang ditawan orang Manchu" Apa berhasil
dibebaskan?" Tiba-tiba Bu Sam-kui menarik napas, "Lebih
buruk daripada mati."
"Lho, kenapa?" Kembang Jelita 18 21 "Dia tunduk akan bujukan kemuliaan dan
kedudukan yang ditawarkan bangsa Manchu,
maka dia menakluk dan sekarang dia adalah
panglima Manchu." "Hah" Kalau demikian saudara Bu sebaiknya
tetap berada di tengah-tengah pasukan saudara.
Pembelotan Jenderal Ang itu bisa menurunkan
semangat prajurit-prajurit kita di garis depan,
harus nya saudara tetap di tengah pasukan
untuk menjaga semangat mereka."
"Setelah urusanku di Pak-khia selesai, aku
secepatnya akan kembali ke San-hai-koan."
"Urusan apa, saudara Bu" Bisa aku bantu
agar cepat selesai?"
"Ah, urusannya agak pribadi sifatnya, bisa
kuselesaikan sendiri. Maaf, saudara Helian, aku
sedang tergesa-gesa."
Habis berkata demikian, Bu Sam-kui terus
memutar kudanya untuk berderap pergi.
Namun sempat juga melambaikan tangan
kepada Helian Kong yang masih berdiri di
bawah hujan lebat. Kembang Jelita 18 22 Beberapa saat kemudian, Bu Sam-kui-pun
lenyap di tikungan sana. Helian Kong baru menoleh setelah di
sampingnya terdengar suara langkah berkecipak di jalanan yang tergenang air. A-liok,
si bocah tanggung yang pernah tinggal bersama
Helian Kong itu mendekatinya sambil
membawa payung, matanya cerah menatap
Helian Kong. "Helian Toako."
"A-liok!" A-liok menyerahkan payungnya. He-lian
Kong menerimanya, lalu merangkul pundak Aliok diajak menepi. Sambil melangkah, A-liok
bertanya, "Toako, benarkah desas-desus yang
mengatakan bahwa Toako mengkhianati
kekaisaran?" "Kau percaya tidak?"
"Aku bisa percaya matahari muncul dari
barat, tapi tidak bisa percaya Toako menjadi
pengkhianat." Helian Kong tertawa dan mendekap kepala
A-liok lebih berat. Dan sambil berpayung
Kembang Jelita 18 23 melangkah ke suatu arah, Helian Kong tiba-tiba
bertanya, "Sekarang aku mau kau bawa ke
mana?" "Ke rumah kita."
"Yang disegel itu?"
"Bukan, maksudku rumah baru kita."
"Rumah baru?" Akhirnya merekapun tiba di "rumah baru"
yang dikatakan A-liok Itu, dan Helian Kong
terharu melihatnya. Tempat itu di sebuah gang,
di atas sebidang tanah sempit yang dulu untuk
pembuangan sampah, terjepit di antara dua
tembok lumutan. Tapi A-liok telah meninggikan
tanahnya dua jengkal sehingga tidak bisa
kemasukan air, lalu dilapisi papan-papan bekas
sebagai lantai, dilapisi iagi tikar, atapnya juga
papan-papan bekas dilapisi jerami campur ijuk,
membuat air hujan tak bisa masuk melainkan
mengalir ke tepi atap. Melihat tempat itu, toh Helian Kong merasa
hangat dalam hati, ternyata di Pak-khia masih
ada sepetak tanah tempatnya berteduh, dihiasi
kasih sayang. Kembang Jelita 18 24 Mereka harus merangkak untuk memasuki
gubuk itu. A-liok lalu meletakkan payungnya
yang tetap terbuka, diletakkan sedemikian rupa
untuk menahan angin dingin yang berhembus
dari luar. Di tengah ruang sempit itu ada bagian lantai
yang dicekungkan pinggirnya ditata dengan
batu, tengahnya untuk perapian. A-liok
menyalakan perapian untuk mendatangkan
sedikit kehangatan di ru ang itu.
"Toako, duduklah dekat api. Biar pakaian dan
tubuhmu kering." Helian Kong menurut dan menggeser
duduknya ke dekat nyala api, sementara A-liok
malah merangkak keluar kembali sambil
berkata, "Biar aku cari makanan dulu. Toako
tentu lapar." "Hujan-hujan begini cari makanan" Di
mana?" "Aku membantu paman tukang warung di
dekat belokan itu, upahnya makanan."
A-liok lalu membawa payungnya dan
berjalan menjauh. Kembang Jelita 18 25 Tidak lama kemudian ia pulang kembali
membawa bungkusan kertas besar. Setelah
meletakkan kembali payungnya di tempat
semula, diapun merangkak masuk kembali.
Bungkusan dibuka dan yang dibawa A-liok itu
adalah kue-kue sisa yang dingin dan tidak
mungkin dijual kembali. Ada bakpau yang sudah
bekas digigit, ada roti yang kena abu dan
sebagainya. Dengan agak malu-malu A-liok berkata, "Aku
minta maaf, Toako, benar-benar tidak pantas
sebenarnya aku suguhi Toako makanan macam
ini. Tetapi tidak bisa kudapatkan lainnya, sebab
aku tidak mau menjadi pengemis atau
menyusahkan orang lain."
"Tidak. Makanan ini cukup pantas untuk
seorang panglima yang perangnya kalah
melulu....." Helian Kong berusaha melegakan
hati A-liok dan menyambar bakpau dingin
bekas digigit itu, langsung dilahapnya sampai
habis. "Malahan terlalu pantas untuk seorang
yang sudah dicap sebagai pengkhianat."
Kembang Jelita 18 26 Dan tiba-tiba Helian Kong tertawa keras
sampai mendongak, suara tertawanya penuh
kepahitan. Dua lajur air mengalir melewati
pipinya sebelum jatuh di tikar. A-liok
melihatnya, namun ia bersikeras dengan
pendapat bahwa yang menetes itu tentu cuma
air hujan dari rambut Helian Kong, bukan air
mata. Sebab A-liok tidak mau melihat
pahlawannya menangis. "Sekarang, apa yang akan toako lakukan di
hari-hari mendatang ini?"
"Aku akan membereskan suatu urusan dulu,
kemudian pergi dari Pak-khia. Udara ibu kota
sudah terlalu sumpek dan memuakkan, bau
napas Co Hua-sun tercium di mana-mana, lebih
busuk dari bau bangkai tikus. Dan pihak istana
juga tak mau memberikan tempat sejengkalpun buatku di sini."
"Pergi ke mana?"
"Ke Yang-ciu, bergabung dengan Jenderal Su
Kho-hoat yang bersih dan jujur."
"Aku benar-benar sulit memahami Toako."
"Apa yang tidak kau pahami?"
Kembang Jelita 18 27 "Pemerintah bersikap buruk terhadap Toako.
Tidak kenal budi, tidak menghargai jasa dan
kesetiaan Toako, kenapa Toako masih juga
bersikeras membela kekaisaran?"
Helian Kong menarik napas dan menjawab,
"Kekaisaran ibarat sebuah rumah besar tempat
kita bernaung. Biarpun rumah itu jelek, kita
harus menjaganya jangan sampai roboh atau
dirobohkan orang lain."
"Aku kurang setuju."
"Lho..." "Kalau rumahnya sudah terlalu jelek, ya
dirikan saja rumah baru daripada tambal
sulam." Helian Kong kaget, "A-liok, dari mana
kaudapatkan pikiran sesat macam itu?"
"Dari pengalaman. Dua hari yang lalu gubuk
ini hampir diterbangkan angin dan bocor di
mana-mana, air masuk, alangkah susahnya aku.
Tambal sini, bocor sana. Tambal sana, bocor
yang lain lagi. Seandainya aku punya tempat
lain, tentu kutinggalkan tempat ini dan mencari
tempat berteduh yang lain."
Kembang Jelita 18 28 Mula-mula hampir saja Helian Kong
menyangka A-liok sudah kena hasutan kaum
Pelangi Kuning. Namun kemudian ia tertawa
sendiri, karena A-liok barulah berumur lima
belas tahun, apa yang dikatakannya masih jujur
dan tidak dima-sudkan untuk mempunyai arti
ganda. Hanya otak Helian Kong yang
"keracunan politik" sajalah yang hampir saja
menerima kata-kata A-liok dalam arti simbolis
untuk situasi jaman. Sementara A-liok berkata lagi, "Toa-ko, kalau
Toako kelak pergi ke Yang-ciu, aku harus ikut.
Aku tidak mau sendirian di Pak-khia."
Dengan rasa sayang Helian Kong mengusap
kepala A-liok, "Tentu saja."
"Kudengar Yang-ciu itu tempatnya indah?"
"Ya, amat indah. Tahu sebabnya?"
"Karena musim seminya lebih hangat
daripada di sini?" "Salah." "Kenapa?" "Karena di sana tidak ada Co Hua-sun."
Kembang Jelita 18 29 Langit makin gelap. Karena awan hitam
merata di langit, jadi sulit diketahui saat itu
masih siang atau sudah sore. Hujan dan angin
belum reda juga, langit seperti belum kehabisan
persediaan air untuk membasah-kuyupkan Pakkhia.
Tiba-tiba angin bertiup kencang, payung
yang diletakkan di depan gubuk itupun digiring
angin sehingga menggelinding seperti roda
yang lepas. Cepat A-liok melompat keluar gubuk
untuk mengejar harta yang berharga di musim
hujan itu. Namun begitu tiba di luar gubuk, segera Aliok melihat sesuatu yang jauh lebih
menakutkan daripada sekedar hujan lebat atau
halilintar di langit. Air hujan membentuk tirai yang menghalangi
pandangan, namun mata A-liok masih cukup
tajam untuk melihat bayangan-bayangan yang
bergerak mendekat dari kedua ujung lorong,
banyak sekali orang-orang membawa pedang
dan tombak. Mereka berseragam prajuritprajurit istana bergerak mendekati gubuk.
Kembang Jelita 18 30 Lupa akan payungnya, A-liok berteriak
sekuatnya ke dalam gubuk, "Toako, lari! Cepat!"
Teriakannya tidak selesai, dari balik tirai air
melompat sang pencabut nyawa dengan
pedangnya. Tubuh si jejaka cilik teriris telak
dari pundak kiri sampai ke pinggul kanan,
dengan irisan sedalam hampir setengah jengkal.
Tubuh A-liok ambruk, darahnya yang muncrat
ke udara dan ke tanah segera bersih disapu a-ir


Kembang Jelita Peruntuh Tahta Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hujan. Helian Kong begitu kaget, ia mendengar
teriakan A-liok tetapi tak sempat berbuat apaapa. Puluhan prajurit istana muncul di depan
gubuk itu dengan senjata-senjata terhunus.
Namun pusat perhatian Helian Kong masih
terpaku ke diri A-liok. Sepotong makanan yang
masih dipegangnya lalu dilempar begitu saja,
bersamaan dengan tubuhnya yang melontar
keluar sehingga gubuk darurat itupun ambruk
berantakan. Langsung dipeluknya tubuh A-liok,
didekapnya ke tubuhnya, dengan gerak tak
keruan ia mencoba menutup lubang luka yang
panjang itu. Luka yang semula merah namun
Kembang Jelita 18 31 dalam sekejap menjadi putih seperti daging
ikan karena tercuci air hujan.
"A-liok, bertahanlah... bertahanlah... kau pasti
sembuh......." "Toako....." suara lemah keluar dari bibir
pucat itu. "Aku ikut ke Yang-ciu..... di Pak-khia
orangnya jahat-jahat."
"Ya......... ya..... sekarang juga kubawa kau ke
Yang-ciu......... tapi bertahan ya! Ayo bertahanlah,
lawan maut itu....."
Kekuatan terakhir A-liok hanya cukup untuk
membentuk seulas senyum tipis di bibir,
sebelum kemudian terkulai ke samping.
Helian Kong tahu artinya sang maut
melangkah tanpa tercegah. Otaknya bisa
menerima, tapi hatinya tidak. Salah apa anak ini
sehingga harus menjadi korban pedang orangorang istana" Salah apa"
"Salah apa dia sehingga kalian bunuh?"
raungan kemarahan Helian Kong meledak
mengatasi gemuruh air hujan. Para prajurit
istana yang dibentaknya itupun terkesiap kaget
dan berdesakan mundur. Halilintar di langit pun
Kembang Jelita 18 32 meledak dahsyat bersahutan, seakan ikut
murka. "Salah apa anak ini" Salah apa?" Helian Kong
berdiri dengan mata berapi-api, membuat Song
Thian-oh, komandan pasukan itu jadi ngeri.
Namun di hadapan anak buahya, ia tidak mau
unjuk kelemahan, ia berusaha garang pula,
"Helian Kong! Kau berdosa besar terhadap
kekaisaran! Menyerahlah untuk menerima
hukuman!" "Jawab dulu, salah apa dia?" teriak
Helian Kong sambil menuding tubuh A-liok
yang kini meringkuk beku di tanah yang becek
tergenang air. Tak ubahnya bangkai anjing. "Dia
seorang anak yang baik, rajin, jujur, pantang
menyusahkan orang lain!"
"Helian Kong, aku tidak mau berbantah
denganmu. Ulurkan saja tanganmu untuk kami
borgol. Cepat!" "Kalian anjing-anjingnya si anjing tua Co
Hua-sun! Kalian anjingnya anjing! Selain
menggonggong dan menggigit untuk memuaskan si anjing tua itu" Karena kalian
Kembang Jelita 18 33 bunuh A-liok, akupun akan membunuh kalian
semua!" Song Thian-oh meremang mendengar katakata itu. Dalam pandangannya, Helian Kong jadi
nampak seperti sesosok hantu peminum darah
yang siap menerkamnya. Untuk mengatasi rasa
paniknya, dia mengibaskan pedangnya dan
berteriak, "Tangkap dia hidup atau mati!"
Menyerbulah prajurit-prajurit itu.
Helian Kong memekik dan berputar bagai
gasing, dan malanglah nasib prajurit-prajurit
yang maju paling depan. Meskipun Helian Kong
bertangan kosong, ketika cakar elangnya
menebas kian-kemari, ia menjadi sesosok
bayangan maut yang sulit disentuh. Tiga
prajurit paling depan ambruk. Satu tercakar
wajahnya sehingga remuk sampai kelihatan
tulang pipinya, satu hancur lehernya kena
cakaran, satu lagi hancur "benda pusaka" nya di
selangkangan kena tendangan.
Helian Kong bukan lagi manusia, tapi
binatang buas. Kembang Jelita 18 34 Tidak perlu para prajurit menyerbu Helian
Kong, sebab Helian Konglah yang menyerbu
mereka, seperti prahara berlalu di antara
ranting-ranting kering. Ia menerjang dengan
tangan dan kakinya, dan kembali ia menambah
korbannya tiga orang lagi.
Kematian A-liok yang beberapa menit
sebelumnya masih membayangkan kota Yangciu, memberi contoh Helian Kong betapa nyawa
manusia tidak berharga dalam kemelut ambisi
orang-orang istana. Maka Helian Kong
mempraktekkan contoh itu sebaik-baiknya, la
memungut sebilah pedang dari mayat seorang
korbannya, lalu mengamuk dengan hebat.
Prajurit-prajurit Song Thian-oh mulai kocarkacir. Sambaran pedang Helian Kong kelewat
cepat, kelewat bertenaga, luapan kemarahan.
Para prajurit panik berdesakan mundur, tapi
Helian Kong mengejar dengan buas. Naganaganya prajurit yang berjumlah lima puluh
orang itu akan dihabiskannya semua.
Kembang Jelita 18 35 Ia menerjang dengan tangan dan kakinya, dan kembali
ia menambah korbannya tiga orang lagi.
Kembang Jelita 18 36 Song Thian-oh menggigil di tengah
pasukannya yang bergerak mundur sepanjang
lorong itu. Teriaknya, "Orang ini sudah
kerasukan setan, cepat panggil bantuan
sebanyak-banyaknya!"
Baru saja selesai teriakannya, empat prajurit
di depannya yang menjadi "dinding pemisah"
antara dirinya dengan Helian Kong, telah roboh
terkapar. Lalu Helian Kong dengan wajah buas
menerjang ke arahnya. "Aku cuma menjalankan tugas!" teriak Song
Thian-oh gentar. Ketika pedang Helian Kong turun membabat,
Song Thian-oh menangkis ke samping, namun
malah pedangnya terpental dan menancap di
tubuh seorang prajuritnya, sementara Helian
Kong siap mengulangi tebasannya yang kedua.
Dalam paniknya Song Thian-oh tak peduli
cara apapun yang digunakan untuk menyelamatkan diri. Sambil menyusup mundur
ke dalam pasukannya, ia mendorong tubuh
seorang anak buahnya untuk dijadikan perisai
terhadap Helian Kong. Ia selamat, tapi anak
Kembang Jelita 18 37 buahnya yang malang itupun terbelah pedang
Helian Kong. Anak buahnya yang lain jadi patah semangat
melihatnya. Komandan mereka tidak memimpin
di paling depan, malahan tidak segan-segan
mengorbankan anak buah demi keselamatan
diri sendiri. Maka biarpun belum ada aba-aba
untuk mun dur, para prajurit sudah mundur
sendiri. Keluar dari gang itu menuju ke jalan
besar. Helian Kong terus mengejar, dan malanglah
prajurit-prajurit yang terlambat larinya. Tetapi
sasaran utama Helian Kong adalah Song Thianoh. Ketika melihat panglima kaki tangan Co
Hua-sun itu sudah keluar ke jalan besar dan lari,
Helian Kong melontarkan pedangnya
sekuatnya dengan cara seperti melempar
lembing. Song Thian-oh sudah lari belasan
meter, namun tetap tersusul oleh pedang yang
meluncur bagai kilat itu. Punggungnya tembus,
tubuhnya roboh berkelojotan di tengah jalanan
yang becek itu. Ia menggapaikan tangan kepada
setiap prajurit yang lewat di dekatnya, mungkin
Kembang Jelita 18 38 minta tolong supaya dibawa pergi, namun tidak
ada yang menggubrisnya. Semua anak buahnya
lari sekencang mung kin untuk menyelamatkan
diri sendiri. Helian Kong tidak memburu lagi. Sudah
cukup kemarahannya tersalur, kebuasannya
seolah luntur untuk menampakkan kembali
sifat manusiawinya. Sebagian besar lawannya
terbunuh dan cuma belasan orang yang lolos.
Sebenarnya mereka masih bisa dikejar, namun
Helian Kong sudah puas berhasil membunuh
Song Thian-oh. la berdiri tegak di antara mayat-mayat
bergelimpangan, menengadah ke langit yang
kelabu tua, menghadapkan wajahnya menerima
hempasan butir-butir air yang tak mereda.
Perlahan-lahan kesadarannya muncul, la telah
membunuh begitu banyak prajurit istana,
termasuk Song Thian-oh yang menjadi salah
satu orang kesayangan Co Hua-sun. Apapun
alasannya, maka cap sebagai "pengkhianat"
tentu sulit terhapus lagi.
Kembang Jelita 18 39 Perlahan ia kembali ke dalam gang untuk
mengangkat mayat A-liok sambil bergumam
setengah sadar, "Ayo A-liok, kita cari tempat
yang bebas dari incaran anjing-anjing serakah
itu. Kita ke Yang-ciu."
Lalu ia melayang berlompatan di atas atap
rumah-rumah, sambil tetap membopong A-liok
yang makin dingin, makin beku.
Hujan berhenti, awan mendung menyingkir.
Tapi langit tetap hitam karena saat itu memang
sudah beranjak malam. Bintang-bintang muncul
berkedip-kedip, seperti mata para gadis yang
berusaha menahan air matanya. Sedang bulan
bersembunyi entah di mana.
* * * Helian Kong terus melesat sambil bicara
komat-kamit sendiri menghibur A-liok. Ia
sampai ke bagian kota yang sepi, bukan
pemukiman orang hidup namun orang mati.
Sebuah kuburan luas. Hitam semuanya.
Pepohonan peneduh, batu-batu nisan mencuat
Kembang Jelita 18 40 di sana-sini, bayangan dari rumah-rumahan
yang biasanya merupakan kuburan orang-orang
kaya. Ada sebuah cungkup luas, seandainya di
muati orang hidup tentu cukup untuk dua ke
luarga. Namun "penghuni" cungkup itu
hanyalah sepasang suami isteri yang tidur
nyenyak di bawah sepasang nisan pualam.
Terengah-engah Helian Kong membopong Aliok melangkah ke bawah atap cungkup besar
itu, sambil bergumam "Nah, di sini hangat, tidak
kena angin. Memang gelap, tapi jangan takut, Aliok. Toakomu akan menyalakan api, mencari
makanan, lalu kita makan sama-sama ya. Besok
kita pergi dari kota busuk ini ya?"
Pelan-pelan dibaringkannva tubuh liok di
lantai cungkup, di depan sepasang bong-pai.
Helian Kong tidak sadar bahwa kedatangannya mengejutkan sekelompok orang
yang sedang bergerombol tidak jauh dari situ,
berjarak lebih kurang lima belas langkah.
Tadinya orang-orang itu sedang bercakap-cakap
dalam kegelapan, namun kedatangan Helian
Kong serempak membungkam mulut mereka.
Kembang Jelita 18 41 Bahkan dengan isyarat gerakan tangan, mereka
lalu bersembunyi di balik gundukan-gundukan
kuburan sambil mengintai penuh kewaspadaan
ke cungkup yang dimasuki Helian Kong.
Salah seorang dari mereka lalu merayap
maju amat perlahan, tanpa suara, mendekati
tempat Helian Kong, agar dapat melihat dan
mendengar lebih jelas, la hati-hati sekali, sebab


Kembang Jelita Peruntuh Tahta Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cungkup yang didekatinya itu tidak berdinding.
Dalam keadaan Helian Kong yang normal,
betapapun hati-hatinya gerak orang itu, tentu ia
akan dapat diketahui oleh Helian Kong. Tapi
saat itu Helian Kong sedang bingung, sedih,
marah dan kecewa bercampur aduk, sehingga
menumpulkan pendengarannya.
"A-liok, kenapa diam saja" Astaga, kau mati
ya?" Tiba-tiba Helian Kong melompat bangun dan
berteriak kalap, "Bangsaaaat! Kalian membunuh
orang tak bersalah! Hai Co Hua-sun! Suatu saat
pasti akan kucincang tubuhmu, kukirim
arwahmu untuk menjadi jongos A-liok di dunia
orang mati!" Kembang Jelita 18 42 Masih banyak yang diteriakkannya sampai ia
serak dan terengah-engah. Sementara orang
yang mengintainya itu kembali bergeser maju
dengan jauh lebih berhati-hati.
Sementara Helian Kong kembali terduduk
sedih di samping jasad A-liok, "Inikah pertanda
negara hampir runtuh" Penjahat-penjahat
kebiri bertengger di puncak kekuasaan,
sewenang-wenang menyebar kaki tangan untuk
memburu orang orang yang benar-benar setia
kepada negara?" Ia terkejut ketika mendengar gemerisik
ilalang tidak jauh dari cungkup. Ia melihat
seorang bertiarap beberapa langkah dari
tempatnya, diapun melompat bangun dengan
waspada. "Bagus! Apakah kau juga anjingnya Co Huasun yang belum puas membunuh A-liok" Kalau
benar, bersiaplah. Aku akan mengirim pulang
bangkaimu ke hadapan anjing tua kebiri itu!"
"Saudara Helian....." suara orang itu ternyata
bernada rendah, tanpa mengandung nada
permusuhan. Perlahan-lahan ia bangkit.
Kembang Jelita 18 43 Helian Kong melongo, karena suara Itu
dikenalnya, "Saudara Liong Tiau-hui."
"Benar...." orang itu melangkah mendekat.
"Aku Liong Tiau-hui. Lebih dulu aku minta maaf
atas kejadian siang tadi, waktu kau mengikutiku
dan kemudian direpotkan oleh teman-temanku.
Waktu itu aku menyangka kau akan
menangkapku, jadi terpaksa aku berbuat
begitu...." "Ah, jadi orang yang kubuntuti siang tadi
memang benar dirimu, saudara Liong?"
Kedua sahabat itu saling lebih dekat lagi, lalu
saling berjabat tangan dan menepuk pundak.
Mereka pernah dalam satu barisan dalam
menentang pengaruh Co Hua-sun.
Biarpun dalam kegelapan, kini Helian Kong
melihat keadaan Liong Tiau-hui tak ubahnya
dirinya sendiri. Dekil dan lusuh mirip
gelandangan kelaparan. Mengherankan, sebab
Liong Tiau-hui adalah perwira seangkatan Bu
Sam-kui, sama-sama bawahan Jenderal Ang
Seng-tiu yang ditugaskan ke Pak-khia, untuk
memintakan perhatian pemerintah pusat
Kembang Jelita 18 44 terhadap urusan tapal batas San-hai-koan. Kini
selagi Bu Sam Kui menanjak bintangnya sampai
menjadi panglima penjaga tapal batas di Sanhai-koan, kenapa malah Liong Tiau-hui jadi
seperti gelandangan yang malam-malam berada
di kuburan" Sebaliknya Liong Tiau-hui juga heran melihat
keadaan Helian Kong. "Saudara Helian,
bukankah kau ditugaskan ke Tong-koan untuk
membantu Jenderal Sun Toan-teng " Kenapa
sekarang malahan di sini" Dan kenapa
kelihatannya kau sedih dan marah sekali?"
Helian Kong menarik napas, duduk kembali
di samping mayat A-liok, mengelus jidat A-liok
dengan sedih. "Duduklah, saudara Liong."
Liong Tiau-hui pun duduk dan lebih dulu
bersiap sebagai pendengar.
Sedangkan Helian Kong merasa mendapat
kesempatan mencurahkan isi hatinya, "Saudara
Liong, baru tadi pagi aku masuk Pak-khia.
Kembali dari Tong-koan setelah berhasil
meloloskan diri dari kurungan Jenderal Li Giam.
Sepanjang perjalanan pulang aku berusaha
Kembang Jelita 18 45 menghubungi dan menghimpun sisa-sisa
pasukanku. Semuanya kulakukan dalam
keadaan kurang makan, kurang tidur,
mempertaruhkan nyawa. Untuk apa semua itu
kulakukan?" Bicara sampai di sini, suara Helian Kong
meninggi, menandakan kalau ia kembali mulai
emosional. "Demi apa kulakukan semua itu tanpa
menghiraukan diriku" Demi kekaisaran yang
kuabdi! Tapi apa balasan orang-orang istana
kepadaku" Aku diuber-uber seperti anjing
geladak, lihat anak yang tidak bersalah inipun
ikut dibunuh! Kenapa dia diperlakukan keji"
Karena ia memberiku tempat berteduh di gubuk
reyotnya, karena dia mencarikan aku makanan!
Dia dibunuh karena tidak pintar menjilat orangorang istana! Sekarang yang berhak hidup
hanyalah mereka yang pintar menjilat pantat
orang-orang di atasnya!"
Suaranya makin berapi-api, penuh luapan
kemarahan, sampai Liong Tiau-hui pelan-pelan
menepuk-nepuk pundaknya, "Memang, itulah
Kembang Jelita 18 46 pemerintah yang sudah buta sehingga tidak
dapat membedakan mana pahlawan dan mana
pengkhianat. Lihat saja nasib Menteri Him
Teng-pek alias Him Keng-liok dan Jenderal Wan
Cong-hoan, yang dihukum mati karena mereka
jujur membeberkan kenyataan supaya negara
diselamatkan. Tapi di kuping Kaisar pastilah
yang lebih merdu adalah suara Co Hua-sun yang
pintar membubui kata-katanya untuk mengaburkan kebenaran. Maka matilah abdiabdi setia itu."
Helian Kong menunduk. Sementara Liong Tiau-hui meneruskan, "Aku
terlalu kecil dibandingkan Menteri Him atau
Jenderal Wan, tetapi akupun pernah hampir
bernasib sama dengan mereka. Ketika Kaisar
mengunjungi gedung Ciu Kok-thio, pernah aku
nekad menghadap Kaisar untuk memintakan
perhatian atas pasukan di San-hai-koan yang
keadaannya senin-kemis, apalagi sejak tertangkapnya Jenderal Ang-Seng-tiu oleh
tentara Manchu. Apa reaksi Kaisar" Dia malah
menuruti anjuran Co Hua-sun untuk Kembang Jelita 18 47 mencincang aku di tempat itu juga. Untung aku
ditolong." Sejenak Liong Tiau-hui berhenti agar katakata berikutnya lebih mendapat tekanan, "....dan
sejak itu aku memutuskan takkan kembali ke
dalam tentara kerajaan. Percuma. Negeri ini
harus diselamatkan sebelum dicaplok orang
Manchu, maka pemerintahan bejat yang
sekarang bercokol di istana harus ditumbangkan. Itulah sebabnya sekarang aku
bekerja buat Joan-ong Li Cu-seng!"
Coba saja kata-kata Liong Tiau-hui itu
diucapkan dua puluh empat jam yang lalu, tentu
Liong Tiau-hui akan diterkam dan dicekik oleh
Helian Kong. Tapi sekarang Helian Kong cuma
pelan-pelan mengangkat wajahnya dan memandang Liong Tiau-hui dengan tatapan
kosong, sudah itu lalu menunduk lagi.
Dan itu membuat Liong Tiau-hui lebih
berani, "Hanya dalam barisan Joan-ong ada citacita yang tulus untuk menolong rakyat.
Mengabdi kepada Kerajaan Beng berarti hanya
mengabdi kepada segelintir orang she Cu yang
Kembang Jelita 18 48 sama sekali tidak menggubris nasib rakyat,
apalagi dikotori campur tangan Co Hua-sun,
buat apa dipertahankan terus" Joan-ong juga
berambisi, tapi ambisinya adalah menyelamatkan negeri, bukan ambisi pribadi.
Karena itulah ia didukung rakyat dan tidak lama
lagi pasti menang!" Begitu terang-terangan Liong Tiau-hui
mengecam pemerintah kerajaan dan menyanjung Li Cu-seng, ternyata Helian Kong
hanya bungkam saja. Karena itulah Liong Tiau-hui kemudian
berkata, "Saudara Helian, bergabunglah dalam
perjuangan Joan-ong!"
Namun sulit buat Helian Kong untuk
mengubah sikap dalam sekejap, sebab yang
dibencinya bukan dinasti Beng, melainkan
kelompok Co Hua-sun yang dianggapnya biang
keladi kebobrokan pemerintahan. Berbeda
dengan pandangan Liong Tiau-hui yang
menganggap kebobrokan sudah parah sehingga
pemerintah Beng harus dirobohkan sama sekali,
bukan cuma menyingkirkan kelompok Co HuaKembang Jelita 18
49 sun, karena Kaisar Cong-ceng yang berkepribadian lemah itu tetap akan memberi
peluang munculnya dorna-dorna baru biarpun
Co Hua-sun sudah dibabat.
Kemudian Liong Tiau-hui mendesak lagi,
"Sekarang saatnya untuk mengambil keputusan,
sebab keadaan berkembang begitu cepatnya
dan tidak memberi kesempatan kita untuk
berlambat-lambat. Tidak memihak Joan-ong
berarti membiarkan negeri jatuh ke tangan Co
Hua-sun yang didalangi orang Manchu."
Dengan kata-katanya itu, hanya disodorkan
dua pilihan, ikut Li Cu-seng atau ikut Manchu.
Pemerintah Beng sudah dianggap bukan apaapa lagi.
Namun Helian Kong berkelit dari keharusan
membuat pilihan itu, "Saudara Liong, jangan
paksa aku mengubah pendirian sekarang. Kita
sama-sama amat kecewa, tapi jangan memaksa
aku menerima pendirianmu."
"Ah, saudara Heiian terlalu lamban."
"Terserah pandanganmu. Kelompok Co Huasun memang harus dimusnahkan, tapi tidak
Kembang Jelita 18 50 harus merobohkan pemerintahan yang sekarang." "Ah, saudara Heiian memimpikan sesuatu
yang terlalu indah tapi tak mungkin menjadi
kenyataan, hanya mengecewakan dan menyakiti hati saja."
Tiba-tiba Liong Tiau-hui menghentikan katakatanya dan dengan kaget ia menoleh ke tepi
kuburan itu. Dari sana terdengar suara burung
hantu tiga kali, semacam isyarat.


Kembang Jelita Peruntuh Tahta Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Helian Kong ikut menoleh.
Nampak sesosok bayangan berlompatan
lincah di atas nisan-nisan, mendekat. Liong
Tiau-hui bangkit dan melompat menyambutnya,
begitu juga orang-orang yang tadinya
bersembunyi, teman-teman Liong Tiau-hui.
Helian Kong tetap duduk di samping mayat
A-!iok, namun perhatiannya mulai terusik.
Setelah ia tahu bahwa Liong Tiau-hui sudah
menjadi pengikut Li Cu-seng, maka orang-orang
yang berkumpul malam-malam di kuburan
itupun tentu orang-orangnya sekaum. Maka
Helian Kong jadi ingin mendengar apa saja yang
Kembang Jelita 18 51 akan mereka omongkan. Mungkin inilah naluri
kesetiaan kepada Kerajaan Beng yang tidak
luntur biarpun baru saja terguyur kekecewaan
dan kesedihan. Maka biarpun ia tidak bergerak di
tempatnya, ia menajamkan telinga dan matanya.
Malam gelap sekali, namun ketajaman mata
Helian Kong berhasil mengenali si pendatang
baru itu tak lain adalah "orang gila" yang siang
tadi membuat keributan di jalanan ketika Helian
Kong membuntuti Liong Tiau-hui. Kini orang itu
justru nampak waras seratus persen.
Liong Tiau-hui dan kawan-kawannya bicara
berbisik-bisik dalam jarak lima puluh meter
dari tempat Helian Kong dan mereka mengira
Helian Kong tidak mampu menangkap
pembicaraan mereka. Tapi mereka salah hitung.
Helian Kong tetap mampu menangkap
pembicaraan mereka, karena ketajaman telinga
yang dilandasi tenaga dalamnya yang tinggi.
"Ada pesan lagi dari balik dinding istana..."
kata "si gila" kepada teman-temannya.
Kembang Jelita 18 52 Diam-diam 'Helian Kong kaget. Ternyata Li
Giam tidak membual, ketika berkata kepadanya
bahwa "segala perkembangan di dalam istana
kami ketahui semuanya." Kaum pemberontak
itu telah mampu menyusupkan orang-orangnya
ke dalam istana. "Isi pesannya?" tanya Liong Tiau-hui.
"Posisi orang-orang kita dalam istana makin
terancam oleh komplotan Co Hua-sun yang
berusaha membongkarnya, untuk membeberkannya di hadapan si Kaisar Tolol.
Tiga saudara Giam, teman-teman kita dari Hantiong itu, setiap hari disiksa untuk buka mulut.
Aku kuatir mereka takkan tahan siksaan dan
akhirnya buka mulut."
"Begitu mereka buka mulut, yang paling dulu
habis ialah orang-orang kita di istana. Mereka
sudah seperti ikan di dalam wajan, begitu
wajannya dipanaskan, matanglah ikannya."
Helian Kong yang diam-diam mendengarkan
itupun tahu, di dalam istana rupanya kesusupan
dua komplotan, komplotan pengikut Li Cu-seng
dan komplotan Manchu yang mengikutsertakan
Kembang Jelita 18 53 Co Hua-sun. Kedua komplotan itu rupanya
sedang berusaha saling menelanjangi selubung
lawannya. Tapi merekapun sama-sama musuh
kerajaan. "Kita harus menyelamatkan teman-teman
kita, yang sudah ditawan Co Hua-sun maupun
yang dalam istana, sebelum seluruh jaringan
kita terbongkar." Sementara itu, terdengarlah suara Liong
Tiau-hui agak emosional, "Kalau aku sampai
tidak bisa menyelamatkan Oh Kui-hou aku malu
jadi manusia, lebih baik jadi anjing pemakan
tahi saja! Dulu ketika aku hampir mati dicincang
Kaisar banci itu, Oh Kui-houlah yang menolong
aku." "Apakah kita akan bertindak malam ini?"
"Jangan gegabah, ini perlu perencanaan yang
matang. Bukan saja kita belum tahu di mana
disekapnya teman-teman kita itu, kita juga
kekurangan tenaga untuk main kekerasan.
Salah-salah kita malah mati konyol pula."
Waktu itulah seorang dari mereka tiba-tiba
berseru kaget sambil menunjuk ke satu arah,
Kembang Jelita 18 54 "Seng Lo-toa, agaknya kau kurang hati-hati. Kau
dibuntuti!" Semua orang dalam kelompok itu serempak
menoleh searah, begitu pula He-lian Kong di
tempatnya yang terpisah. Nampak ada bayangan-bayangan melompati
kuburan. Hanya empat orang, tapi gerak mereka
yang tangkas menunjukkan kalau mereka lebih
berbahaya dari satu regu prajurit sekalipun.
Bayangan-bayangan itu segera berlompatan
terang-terangan mendekati kerumunan Liong
Tiau-hui dan kawan-kawannya.
Sekilas nampak keributan di kelompok itu,
salah seorang berseru keras, "Berpencar dan
tinggalkan tempat ini!"
Namun gerakan keempat pendatang itu
demikian cepatnya, seolah-olah terbang saja
mereka tahu-tahu sudah mengambil posisi di
empat penjuru. Kawanan mata-mata Li Cu-seng
itu tahu-tahu sudah terkurung, dan merekapun
terpaksa menghunus senjata, siap untuk
melawan. Kembang Jelita 18 55 Helian Kong karena tempatnya yang jauh,
tentu saja jadi berada di luar kepungan keempat
pendatang itu. Namun dengan bantuan bintangbintang yang berkelap-kelip di langit kelam, ia
bisa mengenali dua dari keempat pendatang itu.
Yang satu seorang tua berambut awut-awutan
dan berpakaian sembarang-an. Dialah yang
pernah menjebak Helian Kong dengan asap
beracun, ketika Helian Kong menyelundup ke
istana untuk menghadap Kaisar. Dialah Tong
Hin-pa yang bergelar Bu-eng-jiat-pian (Cambuk
Maut Tanpa Bayangan). Sedang orang yang satu
lagi membuat darah Helian Kong mendidih,
karena dia bukan lain adalah Ting Hoan-wi yang
kini tambah gemuk. Saudara seperguruannya
yang pernah mengkhianatinya dengan membocorkan rencananya untuk menghadap
Kaisar secara diam-diam, lalu membawa lari
pedang Tiat-eng Pokiam dan kitab Tiat-eng Pitkip, lambang-lambang kekuasaan Ketua Tiateng-bun. Kini dilihatnya pedang itu tergantung
di pinggang Ting Hoan-wi.
Kembang Jelita 18 56 Namun Helian Kong tetap menahan diri dan
menyembunyikan diri. Kemudian dua orang lagi yang tidak dikenal
Helian Kong, masing-masing adalah lelaki
berusia tiga puluh tahun dan dua puluh tahun.
Yang lebih tua berdandan seperti saudagar
keliling, bertangan kosong, bersikap amat
tenang sambil mengusap-usap jenggotnya. Yang
lebih muda bertubuh tegap, berpakaian ringkas,
menjinjing senjata yang disebut Sam-ciat-kun
(Ruyung Tiga Ruas). Helian Kong pun lebih menajamkan mata
untuk memperhatikan lebih baik lagi.
Terdengar Tong Hin-pa tertawa dan
menghina, "Nah, tikus-tikus Pelangi Kuning,
sekian lama kalian sembunyi dan bertingkah
laku merugikan negara. Malam ini berakhirlah
kalian, kalian akan kami tangkap dan kami
perkenalkan kepada pengalaman baru di tiang
gantungan." Habis berkata demikian, Tong Hin-pa
rupanya tidak mau buang waktu lagi, dengan
sigap ia segera menerjang lawan terdekat,
Kembang Jelita 18 57 dengan tendangan beruntun. Lawannya
mengayun-ayunkan tongkat agak ngawur untuk
membela diri, sambil mundur. Tong Hin-pa
menghindar dengan melingkari sebuah bongpai (nisan) dan kemudian mendesak makin
sengit. Rangkaian jotosannya membanjir dalam
jurus In-liong-sam-hian (Naga Muncul Tiga Kali
di Awan), sampai lawannya terpukul dadanya,
sehingga mencelat terkapar dan kepalanya
membentur batu nisan. Pertempuran dibuka dengan satu korban
dulu di pihak orang-orang Pelangi Kuning.
Ting Hoan-wi tidak mau kalah dalam pamer
kegagahan. Ia menghunus Tiat-eng Pokiam dari
pinggangnya lalu mengambil juga satu korban
yang rupanya tidak menduga kalau pedang Ting
Hoan-wi pedang pusaka. Tetapi dua orang
anggauta Pelangi Kuning lain serempak maju
untuk menahan keganasan Ting Hoan-wi.
Begitu pertempuran dimulai di tengah
malam di tengah-tengah kuburan itu, segera
terlihat kalau orang-orang Pelangi Kuning
menang jumlah, namun dalam perbandingan
Kembang Jelita 18 58 ilmu terlalu tidak seimbang, terlalu jauh di
bawah lawan mereka yang, cuma empat orang.
Dari tempatnya, Helian Kong melihat Ting
Hoan-wi mengalami kemajuan dalam ilmu
silatnya. Selain bertambah cepat dan mantap
gerakannya, ia bahkan memainkan beberapa
jurus baru yang belum dikenal Helian Kong.
Tentu jurus dari kitab Tiat-eng Pit-kip, pikir
Helian Kong geram. Tapi kalau Helian Kong ditanya apakah
masih mampu mengalahkan Ting Hoan-wi,
tanpa ragu-ragu Helian Kong akan mengiakannya. Kitab pelajaran silat yang paling
ampuh pun bukan semacam obat ajaib yang
begitu akan langsung terasa kasiatnya dalam
sekejap. Melainkan butuh banyak ketekunan,
pendalaman, latihan dan barangkali juga
beberapa kegagalan. Maka biarpun sudah
mengantongi Tiat-eng Pit-kip beberapa bulan,
Ting Hoan-wi tetap belum mampu mensejajarkan ilmunya dengan Helian Kong
saat itu. Kembang Jelita 18 59 Yang lebih mengherankan Helian Kong
adalah dua jagoan tak dikenal itu. Mereka
nampak bertempur lebih santai, tidak sengotot
Tong Hin-pa atau Ting Hoan-wi, tapi nampak
kepandaian mereka yang tinggi. Dalam sikap
santai itu, toh kedua orang tak dikenal itu jauh
lebih merepotkan orang-orang Pelangi Kuning.
Dibantu dua temannya yang berilmu silat
lumayan, Liong Tiau-hui menghadapi pemuda
bersenjata Sam-ciat-kun itu.
Toh menghadapi lawan yang berkelahi
sungguh-sungguh, si pemuda itu nampak
seperti bermain-main saja. Kadang-kadang ia
malah membuat beberapa gerakan seperti
akrobat yang sebenarnya tidak perlu. Toh
dihadapi dengan cara main-main itu, Liong
Tiau-hui bertiga tetap tak berkutik.
Tiba-tiba semangat tempur Helian Kong
bangkit, terdorong oleh dua alasan. Pertama,
kebenciannya kepada pengikut-pengikut Co
Hua-sun yang baru saja mencelakakan A-liok.
kedua, ia ingin merebut kembali Tiat-eng
Kembang Jelita 18 60 Pokiam dan Tiat-eng Pit-kip dari tangan Ting
Hoan-wi. Karena itulah ia tidak bersembunyi lagi. Ia
bangkit, lalu dengan langkah lebar mendekati
arena pertempuran sambil berseru keras, "Ahoan!"
Waktu itu Ting Hoan-wi dengan rasa unggul
tengah mendesak dua lawannya yang selalu


Kembang Jelita Peruntuh Tahta Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berlompatan mundur, dikejar terus oleh ujung
pedang Ting Hoan-wi. Namun begitu
mendengar suara Helian Kong yang dikenalnya,
kagetnya setengah mati, sehingga cepat-cepat ia
melompat keluar gelanggang untuk lebih
memperhatikan sosok tubuh yang melangkah
makin dekat di gelapnya malam itu.
"Helian Kong..." desisnya gentar, setelah
dapat memastikan siapa orang itu.
"Benar, ini aku," Helian Kong menatap tajam.
"Pengkhianat, kesalahanmu yang dulu belum
kau perbaiki, kau sudah menambah kesalahan
baru dengan menjadi begundal Co Hua-sun!"
Ketika Helian Kong maju selangkah, Tlng
Hoan-wi mundur dua langkah. Ia sadar, biarpun
Kembang Jelita 18 61 ilmu silatnya sudah meningkat, namun tetap
belum setimpal kalau dihadapkan kepada
Helian Kong. "A-kong, jangan bersikap begitu menakutkan,
kita kan teman" Apa maumu?" Ting Hoan-wi
coba mengulur waktu sambil melirik ke kiri
kanan mencari bantuan. Dilihatnya yang paling
dekat adalah Sek Hong-hua, pemuda yang
bersenjata Sam-ciat-kun dan bertempur seperti
bermain-main itu, maka Ting Hoan-wi coba
menggeser diri semakin dekat ke Sek Hong-hua.
Sementara Helian Kong mengancam,
"Kembalikan Tiat-eng Pokiam dan Tiat-eng Pitkip. Kalau kau menolak, malam ini juga kau
akan jadi penghuni tetap tanah pekuburan ini!"
"Kalau kuserahkan?" tanya Ting Hoan-wi
sambil bergeser lagi selangkah lebih dekat ke
arah Sek Hong-hua, namun jaraknya masih
belasan langkah. "Berhentilah bergeser, A-hoan. Tidak
percayakah kau bahwa aku dapat lebih dulu
menerkam nyawamu sebelum kau berhasil
mendapat pertolongan temanmu itu?" gertak
Kembang Jelita 18 62 Helian Kong yang rupanya dapat menduga niat
Ting Hoan-wl. Maka Ting Hoan-wi-pun berhenti
bergeser dengan tubuh menggigil dan
kerongkongan kering. Kemudian suara Helian Kong melunak
sedikit, "Kalau kau serahkan kedua benda itu,
mengingat persahabatan kita dulu, kubiarkan
kau pergi, asal berjanji tidak mejadi begundal
Co Hua-sun lagi!" Ternyata kepengecutan Ting Hoan-wi lah
yang lebih berkuasa dalam mengambil
keputusan. Apalagi sore itu didengarnya kabar
yang mengerikan tentang nasib Song Thian-oh
dan pasukannya yang terbantai hampir habis
oleh Helian Kong seorang diri.
Ketika Helian Kong maju setapak lagi, sukma
Ting Hoan-wi rasanya, lampir kabur terbang
dari raganya. Apalagi ketika mendengar geram
Helian Kong lagi, "Cepat serahkan!"
"A-kong, benar kau mau biarkan aku pergi
kalau kuserahkan pedang dan kitab itu?"
Kembang Jelita 18 63 "A-hoan, bertahun-tahun kau kenal diriku,
dan kau sendiri tahu aku ini orang macam apa"
Tukang menjilat ludah yang sudah di tanah?"
Ting Hoan-wi tak menjawab. Lebih dulu ia
sarungkan pedangnya lalu dilemparkan pelan
kepada Helian Kong. "Kitabnya?" (Bersambung jilid ke XIX)
Sumber Image : Koh Awie Dermawan
first share in Kolektor E-book
Pringsewu 29/06/2018 10 : 20 AM
Kembang Jelita 18 64 Kembang Jelita 19 1 Kembang Jelita 19 1 "KEMBANG JELITA PERUNTUH TAHTA" Karya : STEFANUS S.P. Jilid XIX Ting Hoan-wi pun mengambil kitab dari balik
bajunya dan dilemparkan pula kepada Helian
Kong. Habis itu ia terus berputar tubuh untuk
pergi, tak peduli lagi teman-temannya yang
masih bertempur. Namun langkahnya terhenti
oleh bentakan Helian Kong, "Tunggu!"
"A-kong, bukankah kau sudah berjanji
akan....." "Ya, aku cuma ingin berpesan agar kau
menjauhi Co Hua-sun, sebab aku akan
menumpasnya. Dan jangan sampai kau ikut
tertumpas." "Ya...... ya.........."
Tingkah Ting Hoan-wi itu tentu saja
membuat teman-temannya sendiri di arena itu
jadi gusar. Seru Tong Hin-pa, 'Ting Hoan-wi,
Kembang Jelita 19 2 jangan jadi pengecut! Kenapa kau begitu
ketakutan kepada Helian Kong" Dia pengkhianat, dan kau akan mendapat hadiah
besar kalau berhasil menangkapnya!"
Tapi Ting Hoan-wi sudah punya rencana
sendiri, maka diapun meninggalkan gelanggang
tanpa peduli caci maki temannya sendiri.
Tong Hin-pa lalu melompat meninggalkan
lawan-lawannya yang semula, dan kini
menghadapi Helian Kong. Pikirnya, "Kalau Ting
Hoan-wi bernyali terlalu kecil untuk membuat
pahala, baiklah aku saja."
Kepada Helian Kong ia berkata, "Pengkhianat, ternyata kau masih punya
keberanian muncul dan mengacau di Pak-khia
ini, ya" Sekarang akulah yang akan
meringkusmu!" Helian Kong tertawa dingin dan menjawab,
"Siapa yang pengkhianat" Aku" Apakah aku
bekerja sama dengan orang Manchu untuk
menggerogoti negeriku sendiri?" Sindiran balik
itu mengejutkan Tong Hin-pa dan kedua orang
lainnya. Serempak mereka berlompatan
Kembang Jelita 19 3 mundur menghentikan pertempuran agar dapat
mendengarkan kata-kata Helian Kong lebih
lanjut. Saat itu rencana Co Hua-sun yang
didukung orang Manchu telah mendekati
pelaksanaan, yaitu akan menggulingkan Kaisar
Cong-ceng untuk digantikan adiknya, Pangeran
Seng-ong, yang bakal menjadi Kaisar boneka
belaka di tangan orang Manchu. Namun
demikian rencana itu masih dianggap tertutup
rapat oleh Co Hua-sun dan para sekongkolnya.
tak heran mereka kaget mendengar Helian Kong
mengucapkannya selantang itu. Darimana
Helian Kong mengetahuinya"
Helian Kong sendiri pernah mendengar
tentang persekongkolan Co Hua-sun itu dari
mulut Li Giam, kurang jelas, dan Helian Kong
juga kurang percaya, dianggapnya hanya rekaan
Li Giam untuk menarik dirinya memihak
pemberontak, namun setelah melihat reaksi
orang-orangnya Co Hua-sun itu, Helian Kong
menduga jangan-jangan yang dikatakan Li Giam
itu memang benar, Co Hua-sun bukan cuma
memfitnah kiri kanan, tapi sudah membentuk
Kembang Jelita 19 4 persekongkolan untuk menyerahkan negara
kepada orang Man-chu"
"Benar-benar mulutmu harus dibungkam!"
sikap Tong Hin-pa malahan kelewat keras, dan
justru menunjukkan ketakutan pihaknya kalau
sampai rahasia itu tersiar. Tong Hin-pa
melompat, tangannya menggapai ke pinggangnya untuk melolos cambuk Kat-bwepian (Cambuk Ekor Kalajengking) yang beracun.
Seperti halilintar cambuknya menyambar
dengan tipu Cun-ma-toat-kiang (Kuda Melepaskan Pelana). Ujung cambuk berujud sepit besi itu
menderu datang. Helian Kong dengan tenang
dan tajam menatap gerak lawan, ia tidak mau
dibingungkan oleh macam-macam gerak tipuan,
tapi mencari gerak intinya. Lalu pedangnya
bergerak dalam gerakan Tan-hong-tiau-yang
(Burung Hong Sendirian Menghadap Matahari),
sasaran ujung pedangnya bukan tubuh Tong
Hin-pa, melainkan genggaman tangannya yang
menggenggam tangkai cambuk. Sasaran yang
Kembang Jelita 19 5 terus bergerak dan tersembunyi di balik
bayangan cambuknya yang berlapis-lapis.
Ketepatan incaran Helian Kong yang hampir
mencapai tahap "pedang adalah semangat dan
semangat adalah pedang" menjadikan pedang
itu sendiri berjiwa karena seolah menjadi
bagian tubuhnya sendiri yang dituntun
langsung oleh niat jiwanya.
Karena itulah ujung pedangnya seperti
seekor lalat yang terus mengejar genggaman
tangan Tong Hin-pa, tak peduli sasarannya
bergerak dan bersembunyi.
Terdengar Tong Hin-pa berteriak, campuran
antara kemarahan dan kepanikan. Usahanya
untuk menyelamatkan tangannya jadi mengacaukan gerak cambuknya yang melingkar-lingkar tak keruan. Sementara
tubuhnya masih meluncur ke arah Helian Kong,
maka kakinya menjejak sebuah bong-pai yang
mencuat tinggi untuk membelokkan luncurannya demi keselamatan dirinya.
Kembang Jelita 19 6 Begitulah, dengan satu kali gerakan balasan
Helian Kong, serangan Tong Hin-pa jadi
kedodoran. Helian Kong pun membentak, suaranya
menindih suara Tong Hin-pa. Tubuhnya yang
semula sekokoh bukit cadas, tiba-tiba berubah
seperti angin puyuh yang melanda Tong Hin-pa,
sesuai dengan nama jurusnya, Tai-bok-liu-soa
(Pasir Terbang di Gurun).
Darah Tong Hin-pa serasa berhenti mengalir
karena kaget menerima sergapan secepat itu,
tak ada waktu untuk mengantisipasi serangan
itu secara memadai. Upaya perlawanannya
lebih bersifat untung-untungan daripada
perhitungan cermat. Cambuknya disabetsabetkan sekuat tenaga, tangan kiri menjotos,
kaki ikut menendang. Toh perlawanan serabutan itu gagal. Tong
Hin-pa melolong kesakitan karena tangan
kanannya sebatas siku terbabat putus pedang
Helian Kong. Potongan tangan itu jatuh dengan
masih menggenggam tangkai cambuknya.
Kembang Jelita 19 7 Tong Hin-pa melolong kesakitan karena tangan
kanannya sebatas siku terbabat putus
pedang Helian Kong Kembang Jelita 19 8

Kembang Jelita Peruntuh Tahta Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Helian Kong pun berhenti menerjang.
Katanya sambil tertawa dingin, "Hem, hanya
seperti ini saja jagoan yang mengaku nomor
satu di bangsalnya Co Hua-sun" Aku bisa
membunuhmu sekarang tapi Hari ini sudah
banyak yang kubunuh. Pergilah!"
Kernyit-kernyit wajah Tong Hin-pa lebih
hebat dari kulit pala yang dijemur. Tertatihtatih
ia melangkah pergi membawa kekalahannya. Ngo Tat cepat-cepat hendak membantu Tong
Hin-pa berjalan, tapi ia tertegun ketika melihat
adik seperguruannya tidak juga beranjak pergi.
Tanyanya, "Sute, apalagi yang kautunggu" Ayo
pergi." Sek Hong-hua memain-mainkan ruyung tiga
ruasnya sambil tertawa dan berkata, '"Suheng
pergilah dulu Aku masih ingin di sini."
Kata-kata itu mencengangkan semua orang,
kecuali Ngo Tat yang sudah hafal benar watak
adik seperguruannya itu. Sambil geleng-geleng
kepala, Ngo Tat berkata, "Sute, belum hilang
juga sifat main-mainmu?"
Kembang Jelita 19 9 "Ini bukan main-main, Suheng. Mana bisa
ilmu silat menemukan rahasia-rahasia terdalamnya kalau tidak diuji melawan musuh
tangguh" Pedang baja mana bisa tajam kalau
cuma diasah dengan lempung atau gabus?"
"Sute, sekarang bukan saatnya."
Sambil bicara kepada kakak seperguruannya,
Sek Hong-hua menunjuk Helian Kong, "Kalau
tidak sekarang, kapan lagi kutemukan lawan
sekaliber orang ini?"
Dalam kata-katanya terkandung rasa percaya
diri yang tebal, juga nyalinya yang besar dan
tekadnya yang teguh. Maka tahulah semua
orang yang di situ bahwa pemuda ini seorang
yang "kecanduan berkelahi" dan takkan
melewatkan setiap kesempatan kalau bertemu
lawan yang dianggapnya seimbang.
Tak terasa timbul kekaguman Helian Kong,
sekaligus sadar bahwa diluar dugaan malam itu
ia akan mendapatkan "teman bermain" yang
tidak tanggung-tanggung. Ngo Tat sendiri tak
pernah bisa mencegah keinginan adik
seperguruannya kalau sudah berniat demikian,
Kembang Jelita 19 10 biarpun kadang-kadang merepotkan. Tapi ia
juga tidak tega membiarkan adik seperguruannya sendirian di tengah sekian banyak musuh di
kuburan itu. Terpaksa ia berkata kepada Tong
Hin-pa, "Sobat Tong, terpaksa kau harus pulang
sendiri. Sewa joli kalau perlu."
Namun beberapa orangnya Pelangi Kuning
tadi sudah menjadi korban Tong Hin-pa, tentu
saja sekarang mereka takkan membiarkan Tong
Hin-pa pergi begitu saja. Begitu Tong Hin-pa
mulai beranjak pergi, orang-orang Pelangi
Kuning itupun serempak bergerak hendak
mencegah. Namun gerak mereka berhenti ketika Ngo
Tat melompat melindungi Tong Hin-pa, sambil
berkata kepada orang-orang Pelangi Kuning itu,
"Kalian tetap di tempat. Bukankah lebih asyik
nonton dua pemuda berilmu tinggi mengadu
ilmu, daripada membuntuti orang buntung?"
Habis berkata demikian Ngo Tat menebaskan
telapak tangannya ke sebuah bong-pai. Batu
nisan yang keras dan tebal dari batu granit
itupun terbelah dua dan ambruk. Orang-orang
Kembang Jelita 19 11 Pelangi Kuning tak dapat meneruskan
langkahnya, sadar bahwa rintangan yang satu
ini takkan tertembus oleh mereka.
Ngo Tat tertawa, kemudian berkata kepada
Tong Hin-pa, "Sobat Tong, pergilah. Kawankawan kita dari Pelangi Kuning ini agaknya
mudah diberi pengertian."
Tong Hin-pa mengangguk sambil menyeringai kesakitan. Lengannya yang
buntung sudah diikat erat dengan bantuan Ngo
Tat, untuk mencegah darah mengalir terus.
Namun rasa nyeri takkan tercegah oleh apapun
juga sampai hilang sendiri nanti. Dalam hatinya
Tong Hin-pa mengutuk Sek Hong-hua yang
selagi keadaan gawat kok masih sempatsempatnya hendak "mengasah ilmu" segala.
Tapi ia tidak berani mengatakannya, lalu
tertatih-tatih melangkah pergi di antara
gundukan-gundukan kuburan yang masih licin
habis kehujanan. Terpaksa Tong Hin-pa harus jalan pulang
sendirian. Kembang Jelita 19 12 Belum jauh dari kuburan itu, ketika lewat
sebuah jalan gelap yang kiri kanannya
ditumbuhi pohon-pohon, Tong Hin-pa terkesiap
melihat sesosok bayangan melangkah dari balik
pohon dan menghadangnya. Namun ia lega
ketika mengenali suara Ting Hoan-wi, "Tong
Toako, bagaimana dengan lukamu?"
Semula Tong Hin-pa memang jengkel kepada
temannya yang kabur terbirit-birit hanya
karena digertak Helian Kong. Namun saat itu
adalah lebih baik mendapatkan seorang teman
berjalan, daripada lawan bertengkar. Terpaksa
iapun bersikap ramah, "Aduh, lukaku sakit
sekali.... Ting Hiante, bantulah aku berjalan......"
Ting Hoan-wi mendekati sambil berkata, "Ah,
kasihan....... mari kutolong Toako......."
Dan pertolongan Ting Hoan-wi benar-benar
tidak disangka Tong Hin-pa. Itulah sebilah belati
tajam yang dihunjamkan telak ke punggung
Tong Hin-pa yang sama sekali tak menduga.
Ketika Tong Hin-pa terkulai roboh, ia masih
berdesis, "Ke..kenapa kau....."
Kembang Jelita 19 13 Sahut Ting Hoan-wi dingin, "Aku belum mau
kehilangan kedudukanku di hadapan Co Kongkong karena pengaduanmu."
"Bangsat...." rintih Tong Hin-pa.
"Tapi masih ada Ngo Tat dan Sek Hong-hua
yang akan menceritakan kepada Co Kong-kong
tentang kelakuan pengecut mu tadi. Dan kau
takkan mampu membunuh kedua perwira
Manchu itu, dengan cara selicik apapun."
"Mereka akan mati, biarpun bukan oleh
tanganku. Ketika tadi aku bersembunyi di sini,
kulihat kakek gendut yang pernah menghadang
kita di luar Han-tiong itu menuju ke kuburan.
Kedua perwira Manchu itupun pasti mati."
Habis bicara demikian, dengan dingin Ting
Hoan-wi menginjak leher Tong Hin-pa supaya
"beres". Lalu di atas mayat itu diletakkannya
sehelai ikat kepala kuning yang biasanya
dipakai oleh orang-orang Pelang Kuning,
pengikut Li Cu-seng. Lalu pergilah Ting Hoanwi.
* * * Kembang Jelita 19 14 Di kuburan, ketegangan baru mencekam.
Semuanya siap menyaksikan adu ilmu antara
Sek Hong-hua dan Helian Kong.
Helian Kong menggenggam erat pedang nya
dengan tatapan matanya tajam. Ia menyadari
beratnya lawan kali ini, meskipun umurnya
baru sebaya dengannya. Sementara dalam diri Sek Hong-hua penuh
gairah tempur yang meluap-uap, namun iapun
harus mengendalikan diri karena tahu Helian
Kong bukan lawan empuk. "Kita mulai!" bersama dengan bentakannya
itu ruyung sam-ciat-kun Sek Hong-hua
menyabet ke kaki Helian Kong. Ruyung itu
dipegangi pada salah satu ruas ujungnya,
sehingga menjadi panjang jangkauannya,
disertai kecepatan dan kekuatan yang menuntut
segenap perhatian. Tetapi Helian Kong agaknya malah ingin
mengadu kekuatan, sekaligus mencari keuntungan dari ketajaman pedangnya yang
baru kembali dari tangan Ting Hoan-wi. Dengan
gerak Pek-ho-keng-ih (Bangau Putih Menyisik
Kembang Jelita 19 15 Bulu) ia menangkis ke bawah, tebasan
disongsong tebasan. Kedua senjata itu berbenturan begitu keras
sehingga berdentang memekakkan kuping,
kedua petarung sama-sama kaget dan
berlompatan mundur. Ketajaman Tiat-eng Pokiam ternyata tidak bisa memotong penampang
ruyung itu, bahkan lengan Helian Kong tergetar.
Sebaliknya Sek Hong-hua juga kaget karena
ruyungnya terpental balik hampir melukai
dirinya sendiri. Tetapi pemuda yang sama-sama berilmu
tinggi dan bernyali besar itu tidak jera oleh
benturan pertama. Mereka kembali melompat
saling terjang, dalam waktu kurang dari satu
detik, gemerincing beradunya senjata mereka
terdengar belasan kali. Cahayanya bergulung
dan menimbulkan gelombang udara yang
menggoncangkan pepohonan di sekitar arena.
Orang yang menyaksikan pertarungan.
itupun jadi kagum, tak terkecuali Ngo Tat yang
menjadi kakak seperguruan Sek Hong-hua
sendiri. Pikirnya, "Sute memasuki perguruan
Kembang Jelita 19 16 tujuh tahun lebih lambat dari aku, namun
sekarang tingkatan ilmunya sudah selapis di
atasku, biarpun selama inipun aku tidak
mengabaikan latihanku. Aku memang jelas
kalah berbakat, tidak salah kalau suhu
mempercayakan masa depan perguruan ke
tangannya, bukan ke tanganku yang lebih tua."
Meskipun demikian, Ngo Tat tidak iri kepada
adik seperguruannya itu, malah ikut bangga.
Cuma satu sifat adik seperguruannya yang
sering memusingkannya, yaitu kalau melihat
ada pesilat lain yang tangguh, tentu segera gatal
tangan untuk mengajak bertarung. Entah ada
persoalan atau tidak, pokoknya cari gara-gara
untuk bertarung. Begitu pula malam itu, ketika
melihat begitu cepatnya Helian Kong
mengakhiri perlawanan Tong Hin-pa, maka
nafsu bertempur Sek Hong-hua pun bangkit
untuk "menjajal" Helian Kong.
Tetapi kekaguman Ngo Tat melimpah juga
kepada Helian Kong, yang sama umurnya
dengan Sek Hong-hua namun sama tangguhnya.
Kembang Jelita 19 17 Katanya dalam hati, "Pangeran To Ji-kun
mengutus aku ke Tiong-goan untuk melakukan
hubungan rahasia dengan Co Hua-sun, tak
disangka kalau sekaligus juga menemui
pendekar-pendekar muda Tiong-goan yang
tangguh. Dalam waktu singkat sudah kutemui
dua orang, pertama Yo Kian-hi dan sekarang
Helian Kong. Jadi tiga kalau ditambah adik
seperguruanku. Tapi sayang, tiga pendekar
muda berbakat ini berdiri di tempatnya sendirisendiri, di tengah-tengah pihak-pihak yang
berperang." Sementara pertarungannya sendiri makin
dahsyat, keduanya makin meningkatkan
semangat, membulatkan pikiran untuk tidak
memikirkan apa-apa lagi kecuali pertempuran
itu. Jurus-jurus dan perhitungan-perhitungan
lain sudah "jalan sendiri" sehingga gerak
merekapun makin cepat. Maka di tengah arena
seolah nampak beberapa Helian Kong, beberapa
Sek Hong-hua, belasan batang pedang
berkilauan berhadapan dengan gulungan
Kembang Jelita 19

Kembang Jelita Peruntuh Tahta Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

18 cahaya sam-ciat-kun yang seperti naga bersisik
perak yang tengah menundukkan samudera.
Di sela-sela cahaya pedang lawannya, Sek
Hong-hua tiba-tiba mengulur jarak, lalu
ruyungnya menyabet dengan gerakan Oh-liongboan-jiu (Naga Hitam Membelit Pohon),
menyabet ke pinggang Helian Kong.
Helian Kong melompat menghindar dan
balas menikam ke lengan dengan gerak sama
cepatnya. Secepat bayangan hantu, Sek Hong-hua
bergeser, ujung ruyungnya yang luput
menyabet itupun disendai balik lalu ditangkap
dengan tangan kiri, ujung lain dilepaskan, lalu
kembali menyabet ke arah kepala dengan Sioklui-kek-ting (Geledek Menyambar Kepala).
Itulah kelebihan sam-ciat-kun yang bisa
dipegang bolak balik, dengan tangan kiri atau
kanan, maka tidak heran kalau di arena itu
seolah hampir penuh bayangan ruyungnya yang
seakan bergerak serempak. Semuanya itu juga
berkat kemahiran Sek Hong-hua yang sudah
bertahun-tahun melatih diri tak kenal lelah.
Kembang Jelita 19 19 Latihan silat buat orang lain barangkali akan
merupakan "siksaan" karena beratnya, tetapi
buat Sek Hong-hua justru menjadi kegemarannya. Namun Helian Kong tidak bingung, biarpun
harus amat hati-hati. Sambil menunduk
menyelamatkan kepalanya, ia merunduk terus
balas menikam. Kembali kedua senjata itu
berbenturan hebat, dan kedua petarung pun
kembali sama-sama melompat mundur.
"Hebat!" pujian yang sama-sama tulus keluar
dari mulut mereka masing-masing.
"Sudah puas belum?" tanya Helian Kong.
"Puas, bagaimana kalau kita anggap seri
dulu?" "Boleh di antara kita memangnya siapa yang
menang?" Jawaban Helian Kong itu bernada bersih dari
permusuhan, sampai lupa kalau pemuda itu
datangnya bersama dengan jago-jago kepruknya Co Hua-sun tadi.
Kembang Jelita 19 20 Sek Hong-hua tertawa puas, lalu membalik
tubuh untuk melangkah pergi sambil berkata,
"Nah, sekarang aku mau pulang dan tidur."
Namun Liong Tiau-hui tiba-tiba memberi
isyarat kepada teman-temannya, mereka
bersiaga untuk mencegah kepergian Ngo Tat
dan Sek Hong-hua. Kata Liong Tiau-hui,
"Tunggu, bangsat. Kau harus kami tangkap
untuk ditukar dengan teman-teman kami yang
disekap Co Hua-sun!"
Sek Hong-hua berhenti melangkah dan
berkata dengan dingin, "Oh, apa kalian bisa
menangkap kami berdua?"
Liong Tiau-hui termangu-mangu. Baru saja
dilihatnya keperkasaan Sek Hong-hua, maka
biarpun ia dan ketujuh temannya yang masih
tersisa itu maju serempak, belum tentu bisa
menangkap Sek Hong-hua yang masih
didampingi kakak seperguruannya yang juga
sudah terbukti ketangguhannya.
Tak terasa Liong Tiau-hui menoleh kepada
Helian Kong, namun ragu-ragu untuk
mengucapkan permintaannya. Dulu memang
Kembang Jelita 19 21 Helian Kong temannya, tetapi sejak Liong Tiauhui menjadi pengikut kaum pemberontak,
masih maukah Helian Kong membantunya"
Sek Hong-hua pun mentertawakan ting kah
Liong Tiau-hui itu, "Kenapa" Bingung" Mau
minta tolong perwira Kerajaan Beng yang
selama ini kalian musuhi?"
Dengan kata-katanya ini, Sek Hong-hua juga
berusaha mencegah terjadinya persekutuan
antara orang-orang Pelangi Kuning dengan
Helian Kong. Bisa berat buat pihaknya kalau
sampai terjadi demikian. Namun akhirnya Liong Tiau-hui berkata juga
kepada Helian Kong, "Saudara Helian, kedua
orang ini adalah kaki tangan Co Hua-sun,
anggauta komplotan yang siap menjual negara
kepada bangsa asing. Memang pihak kami
bermusuhan dengan pemerintah, tidak bisakah
kita sejenak melupakan permusuhan untuk
membasmi bahaya buat negeri ini?"
Helian Kong berpikir keras. Yang berhadapan
di tempat itu ada tiga pihak dalam pertikaian
segitiga. Masing-masing pihak tentu harus
Kembang Jelita 19 22 memperhitungkan pihak ketiga demi tercapainya tujuan sen diri.
Namun sebelum Helian Kong menentukan
sikapnya, tempat itu tiba-tiba bergetar oleh
suara tertawa yang penuh tenaga. Disusul katakata, "Liong Tiau-hui, kita pengikut Joan-ong
berusaha menyelamatkan negeri ini dengan
kekuatan sendiri dan penuh harga diri. Kedua
perwira Manchu ini berani seenaknya
berkeliran di Tiong-goan, menandakan kalau
mereka sudah meremehkan ksatria-ksatria
Bangsa Han. Untuk menangkap mereka demi
keselamatan negara, tidak perlu mengandalkan
pertolongan babi-babi kerajaan Beng yang tidak
becus." Semua orang kaget dan menoleh ke arah
suara itu. Nampak seorang kakek gendut duduk
seenaknya di atas batu nisan kuburan. Para
orang-orang Pelangi Kuning gembira ketika
mengenali orang itu sebagai Kong-thau-siang
(Gajah Berkepala Baja) Ko Ban-seng, guru dari
Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi.
Kembang Jelita 19 23 Helian Kong kaget ketika mendengar kakek
itu menyebut Ngo Tat dan Sek Hong-hua
sebagai perwira-perwira Manchu, sebab tadinya
dia mengira kalau mereka berdua cuma jago
bayarannya Co Hua-sun. Sikapnya terhadap Sek Hong-hua pun
berubah, tatapan matanya tajam, setajam
suaranya ketika bertanya kepada Sek Hong-hua,
"Benarkah kau perwira Man-chu yang
menyusup ke mari untuk kepentingan
negerimu?" "Mana buktinya?" suara Sek Hong-hua pun
mulai bersungguh-sungguh karena ketegangan
hatinya, namun masih mencoba menyangkal.
Sementara Si kakek gendut Ko Ban-senglah
yang menjawab, "Minta bukti" Bagaimana kalau
kutarik keluar kuncir kalian berdua yang
selama ini kalian sembunyikan di balik baju"
He, orang-orang Manchu sudah beberapa hari
ini kubayangi kalian dan kuamati kalian yang
sering menyamar sebagai pedagang-pedagang
obat keliling sambil menuntun keledai. Kulihat
kalian sering menarik-narik leher baju kalian ke
Kembang Jelita 19 24 atas, tentunya kalian takut kalau pangkal kuncir
rambut kalian dilihat orang bukan" Dan kulihat
pula betapa sering kalian berhenti di tempattempat strategis menurut Peng hoat (Ilmu
Perang) untuk menggambar denah tempat itu,
tentunya semua ini kalian lakukan untuk
persiapan penyerbuan kalian kelak ke negeri ini
bukan?" Kata-kata itu membuat Helian Kong yang
sudah menyarungkan pedang, tiba-tiba menghunusnya kembali dan menatap tajamtajam ke arah Ngo Tat dan Sek Hong-hua. Helian
Kong langsung mengambil sikap. Memang kaum
pengikut Li Cu-seng adalah musuh, orang
Manchu juga musuh, namun di dalam
permusuhan segi tiga itu Helian Kong memilih
untuk lebih dulu bersekutu dengan pengikut Li
Cu-seng yang sesama bangsa Han, guna
menyingkirkan dulu campur tangan orangorang Manchu. Helian Kong tidak mau kelak
orang Manchu yang memetik buah keuntungan
dari perang saudara di Tiong-goan saat itu.
Kembang Jelita 19 25 Sementara itu, Ngo Tat dan Sek Hong hua
pun sudah siap menghadapi mereka semua,
baik pengikut-pengikut Li Cu-seng maupun
Helian Kong. Mereka tahu Ko Ban-seng berilmu
tinggi, setingkat dengan Kat Hu-yong, paman
guru mereka yang baru saja meninggalkan Pakkhia untuk pulang ke jiat-ho. Karena itu Ngo Tat
dan Sek Hong-hua pun tidak bisa mengandalkan
lain dari diri mereka sendiri. Mereka adalah
perwira-perwira Manchu yang sudah "kontrak
mati" saat oleh Pangeran To Ji-kun ditugaskan
menyusup ke wilayah Kerajaan Beng, kini
mereka siap melawan sekuat tenaga.
Mereka sudah berdiri beradu punggung
untuk menghadapi musuh-musuh mereka yang
mengepung melingkar. Namun Ko Ban-seng tiba-tiba berkata kepada
orang-orangnya, "Kalian jaga di luar arena saja,
biar aku saja yang turun tangan untuk
menangkap hidup-hidup kedua tikus Manchu
ini. Agar bisa memaksa Co Hua-sun menukarnya
dengan kedua muridku serta tiga saudara
Giam." Kembang Jelita 19 26 Habis berkata demikian, Ko Ban-seng
melangkah maju sambil menggosok-gosok
sepasang telapak tangannya, "Nah, tikus-tikus
Manchu, menyerah sajalah sebab aku tidak
ingin membunuh kalian, hanya menangkap
hidup-hidup." Sek Hong-hua yang berdarah panas dan tak
kenal takut, tiba-tiba menyerang dengan ruyung
tiga ruasnya. Si kakek gendut seolah tidak
cukup cepat untuk menghindar, sehingga
jidatnya tepat kena gebukan keras ruyung Sek
Hong- hua yang terbuat dari baja itu. Tak
terduga si kakek gendut ternyata hanya
berteriak, "Haiya, benar-benar keras."
Habis itu diapun mengusap-usap jidatnya
yang benjol sedikitpun tidak. Sek Hong-hua
kaget bukan kepalang padahal ruyungnya
mampu menghancurkan batu dengan pukulan
sekeras itu. Ketika itulah Ko Ban-seng tiba-tiba
membentak gemuruh sambil mengayunkan
sepasang telapak tangannya dengan jurus
Hong-sui-kui-hai (Banjir Kembali ke Samudra)
Kembang Jelita 19 27 yang membawa tenaga jarak jauh amat dahsyat.
Ngo Tat dan Sek Hong-hua kontan terhuyunghuyung.
Kedua perwira Manchu itu sadar telah
bertemu lawan yang ilmunya setingkat dengan
guru mereka. Tapi mereka tidak mau menyerah
dan bersiap melawan habis-habisan Apa mau
dlkata, biarpun mereka bersemangat tinggi,
ilmu Ko Ban-seng memang Jauh di atas mereka.
Mereka menyerang tetapi tidak pernah sampai
berhasil mendekat si kakek gendut itu, setiap
kali tentu terpental mundur kembali oleh
sapuan angin dahsyat dari tiap gerakan si kakek
gendut. Di lain saat mereka seperti diangkat
dari tanah dan dibanting, dan di lain saat lagi
mereka seperti diputar secepat gasingan saja,
sampai mereka megap-megap dan tenaganya
menyusut cepat. Melihat kesaktian kakek gendut itu, diamdiam Helian Kong kagum, la sadar seandainya ia
ikut terjun ke arena menghadapi kakek gendut
itu, pasti dirinya pun akan mengalami nasib
sama dengan kedua perwira Machu itu. Maka
Kembang Jelita 19 28

Kembang Jelita Peruntuh Tahta Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diam- diam Helian Kong bertekad, mulai malam
itu ia akan meluangkan waktu setiap saat untuk
mempelajari kitab Tiat-eng Pit-kip. Ia tidak mau
mengulangi sikapnya di masa lalu, di mana
setelah mendapat kitab dari gurunya lalu dikantonginya saja, sampai akhirnya dicuri Ting
Hoan-wi. Untung kini berhasil didapatkannya
kembali. Sementara dalam benaknya muncul pertimbangan lain, setelah kakek gendut itu
berhasil menangkap kedua perwira Manchu itu,
tidakkah dirinya akan menjadi giliran
berikutnya" sebab dirinyapun adalah perwira
Kerajaan Beng yang gigih menentang
pemberotak. Karena itu, sebelum si kakek
gendut selesai menangkap kedua perwira
Manchu itu, tidakkah lebih baik ia pergi dari
tempat itu" Namun pikiran lain muncul. Dari pada
dirinya terombang-ambing tak menentu,
tidakkah lebih baik kalau saat itu sedikit ambil
resiko untuk pura-pura tertarik ikut kaum
pemberontak, sambil diam-diam menyelidiki
Kembang Jelita 19 29 hal-ihwal mereka" dan mungkin juga
"membantu" mereka untuk menggasak agenagen Manchu yang berkeliaran di Pak-khia
sebab agen-agen pemerintah sendiri tumpul
dan tak mampu mengimbangi ulah musuhmusuh mereka.
Karena itulah Helian Kong tidak beranjak
dari situ. Sementara di arena, Ko Ban-seng memang
jago angkatan tua yang hebat. Biarpun
dikeroyok dua orang bersenjata, dengan
serangan-serangan jarak jauhnya yang beraneka ragam tekanannya, lebih dulu ia
berusaha menguras habis tenaga kedua
lawannya. "Bukannya aku sebagai
orang tua menganiaya orang muda, tetapi dalam urusan
keselamatan tanah air, maaf saja kalau aku
bertindak tegas terhadap kalian!" Kata Ko Banseng, lalu menubruk secepat kilat ke arah Ngo
Tat. Kini ia bukan cuma melancarkan serangan
jarak jauh, tapi menerjang langsung dan hendak
menotok pinggang Ngo Tat.
Kembang Jelita 19 30 Untuk pendekar-pendekar seangkatan-nya,
Ngo Tat terhitung mahir juga menggunakan
serangan ujung jari, bahkan serangan itu sering
didukung pula oleh ilmunya yang lain, Thongpi-kong (Ilmu Memulurkan Lengan) dan pernah
mengalahkan Oh Kui-hou yang berjulukan ThaiIik-ku-hou (Macan Kurus Bertenaga Raksasa).
Namun kali ini yang dihadapinya adalah
gurunya Oh Kui-hou. Maka ia tidak sempat menghindar karena
gerakannya kalah cepat, terpaksa secara nekad
ia songsongkan dua jari untuk menusuk mata
lawan dengan tipu Ji-liong-jio-cu (Dua Naga
Berebut Mutiara), "bahkan terdengar lengannya
gemeretak dan mulur sejengkal lebih.
Tapi Ko Ban-seng terus menubruk lurus
tanpa membuat gerakan lain, sehingga Ngo Tat
kaget, apakah biji mata kakek gendut ini juga
sudah bisa dibikin sekebal jidatnya"
Ternyata begitu dekat si kakek gendut
menundukkan kepala sehingga matanya tidak
kena, terjangannya tetap lurus menyeruduk
Kembang Jelita 19 31 seperti kerbau. Bukan kerbau biasa, tapi
agaknya "kerbau sembrani" karena cepatnya.
Ngo Tat coba membanting diri ke samping,
tetap masih kalah cepat. Pundaknya terbentur
jidat baja si kakek gendut dan terpental,
pinggangnya juga kena totok sehingga tubuhnya
lumpuh sementara. "Ikat dia!" perintah Ko Ban-seng.
Liong Tiau-hui dan pengikut-pengikut Li Cuseng lainnyapun segera meringkus Ngo Tat
dengan tambang-tambang besar.
"Suheng!" Sek Hong-hua gusar melihat kakak
seperguruannya diperlakukan demikian. Diapun menerjang Ko Ban-seng seperti angin
puyuh. Tapi serangannya cuma beberapa jurus,
sesudah itu dia juga berhasil dilumpuhkan dan
diringkus. Helian Kong waspada. Dirinyakah sasaran
berikutnya dari si kakek gendut itu" Tapi ia
tidak pergi, sebab ia tetap pada niatnya semula
untuk "berjudi" dengan situasi. Kaum Pelangi
Kuning dan orang-orang Manchu ibarat dua
arus dahsyat, namun Helian Kong ingin
Kembang Jelita 19 32 mencoba bermain di antara kedua arus itu
untuk mencapai tujuannya sendiri.
Untuk menggempur Co Hua-sun, ia ingin
mencoba memanfaatkan orang-orang bawah
tanahnya Li Cu-seng yang menyelundup di Pakkhia ini. Setelah itu, tentu saja giliran orangorang Li Cu-seng inilah yang harus dibereskan.
Sementara Ko Ban-seng telah memerintahkan orang-orangnya, "Kalian pergilah dulu, bawa tawanan-tawanan itu dan
sembunyikan sebaik-baiknya!"
Sebelum pergi, Liong Tiau-hui mendekati Ko
Ban-seng dan berbisik, "Lo-cian-pwe, orang
itulah yang namanya Helian Kong, yang
menurut pesan Jenderal Li Giam bisa kita
manfaatkan untuk....."
Kata-kata Liong Tiau-hui terputus karena Ko
Ban-seng mengibaskan tangannya sambil
berkata, "Aku tahu apa yang harus kuperbuat
dengan dia. Jenderal Li juga sudah memberi
petunjuk kepadaku." Liong Tiau-hui pun mengangguk lega dan
berlalu dengan kawan-kawannya.
Kembang Jelita 19 33 Setelah orang-orang itu menghilang di
pinggiran kuburan, Ko Ban-seng menghadapi
Helian Kong dan bertanya dengan tajam,
"Kenapa kau kabur dari Tong-koan, dan
menolak ajakan Jenderal Li Giam untuk
bergabung dalam perjuangan kami?"
Helian Kong mundur setapak sambil
menyilangkan pedangnya di depan tubuh, dan
menyahut tegas, "Karena aku tetap prajurit
Kerajaan Beng! Apa yang kalian sebut
perjuangan, bagi aku tetap merupakan
pemberontakan terhadap pemerintah yang
sah!" "Benar-benar prajurit setia tapi tolol!" ejek
Ko Ban-seng. "Pihak istana sudah mengeluarkan
maklumat yang menyatakan kau sebagai
pengkhianat, kau diburu-buru oleh tentara
Kerajaan sendiri!" "Itu karena fitnah Co Hua-sun. Bangsat kebiri
tua itulah yang harus aku benci, bukan
pemerintah. Dan karena peristiwa itu, jangan
harap terus aku bisa kau paksa untuk
menyeberang ke pihak Li Cu-seng!"
Kembang Jelita 19 34 Helian Kong mundur setapak sambil menyilangkan
pedangnya di depan tubuh,
dan menyahut tegas Kembang Jelita 19 35 Mendengar jawaban keras itu, ternyata Ko
Ban-seng bukannya marah, malah tertawa
terbahak-bahak, "Bagus! Di depanku kau berani
bersikap seperti ini, tidak mencla-mencle,
benar-benar lelaki sejati! Tidak salah
pandangan Jenderal Li Giam atas dirimu!"
Perubahan sikap itu keruan membuat Helian
Kong agak bingung. Sehabis dimaki sebagai
"prajurit tolol", tiba-tiba sekarang berbalik
dipuji sebagai "prajurit sejati" segala. Apa
maunya si kakek gendut ini" Apakah juga ingin
membujuknya agar bergabung dengan pemberontak" Ternyata terdengar suara Ko Ban-seng, "He,
bocah, aku menghargai keteguhan sikapmu.
Coba kau dengan gampang menyerah dan
bergabung dengan kami, tentulah kami hanya
bisa memper-alatmu tapi tidak mungkin
menghargaimu. Namun sikap teguhmu menandakan bahwa kau pantas dijadikan ujung
tombak untuk merontokkan persekongkolan Co
Hua-sun dengan orang Manchu!"
"Hem, pihakmu mau memperalat aku?"
Kembang Jelita 19 36 "Untuk membela tanah airmu sendiri, apakah
kau merasa diperalat oleh kami?" balasan Ko
Ban-seng membuat Helian Kong bungkam.
Ko Ban-seng tidak lagi menunjukkan sikap
siap tempur, melainkan duduk dengan sikap
santai. Tapi Helian Kong tidak mengendorkan
kewaspadaan sedikit-pun, maklum tokoh yang
dihadapinya terlalu digdaya, bisa saja
menyerang secara tiba-tiba.
Namun Helian Kong jadi panas mukanya,
ketika mendengar Ko Ban-seng tertawa
terkekeh-kekeh sambil berkata, "Buat apa kau
terus pasang kuda-kuda seperti itu" Duduklah
dan santai. Kalau aku ingin menangkapmu,
tidak perlu aku pura-pura duduk untuk
melengahkanmu lalu menyergap. Tidak perlu
begitu. Terang-terangan saja, kau takkan
mampu menyelamatkan diri lebih dari lima
jurus." Itu bukan ucapan takabur, tapi cuma
menyodorkan kenyataan. Seperti seorang ayah
tidak takabur kalau bilang kepada anaknya
bahwa ia mampu membelikan layang-layang
Kembang Jelita 19 37 sekaligus sepuluh buah, sebab ya memang
mampu. Helian Kong pun menyarungkan. Tiat-eng
Pokiam lalu duduk. Ko Ban-seng pun berkata, "Anak muda, kita
berbeda sikap sehingga pihakmu dan pihakku
berhadapan di medan laga. Tapi kita sama-sama
anak negeri ini, kita sama-sama tidak rela kalau
ada orang yang ingin menjual negeri ini kepada
orang asing. Benar tidak?"
Helian Kong mengangguk. "Co Hua-sun
maksudmu?" "Ya. Seribu urusan kita boleh berbeda
pendapat, dan memperjuangkan tujuan kita
masing-masing sekalipun dengan senjata. Tapi
satu urusan ini, kuharap kita sejalan."
"Kenapa tidak kalian lakukan sendiri"
Kenapa memilih aku?"
"Jawab dulu, setuju atau tidak?"
"Kalau tidak setuju bagaimana, kalau setuju
bagaimana?" "Kalau tidak setuju, berarti kita tidak sejalan
dan tetap musuh dan malam ini takkan kubuang
Kembang Jelita 19 38 kesempatan untuk meringkus seorang musuh
macam kau. Kalau kau setuju, kita teman
biarpun hanya dalam urusan ini, sedang dalam
urusan selebihnya tetap musuh."
"Kalau aku berkomplot dengan pemberontak, apa bedanya aku dengan Co Huasun" Dia berkomplot dengan bangsa asing, aku
dengan pemberontak, apa bedanya" Sama
busuknya." "He, anak muda, pakai otakmu. Jangan


Kembang Jelita Peruntuh Tahta Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memandang soalnya secara garis tebal lurus
seperti itu. Kita sama-sama membutuhkan
persekutuan sementara, persekutuan taktis,
berarti kita tidak mengkhianati garis
perjuangan kita masing-masing. Atau kau mau
berlagak jadi pahlawan yang amat jujur, lalu
kita berperang habis-habisan sementara Co
Hua-sun siap memasukkan orang-orang
Manchu ke negeri ini" Itu yang akan kaupilih?"
Helian Kong garuk-garuk kepala tanpa
menjawab. Kembang Jelita 19 39 "Atau kau mengandalkan orang-orang
pemerintah sendiri untuk menumpas Co Huasun?"
Helian Kong tetap bungkam. Orang-orang
pemerintah pun sudah banyak yang jadi kaki
tangan Co Hua-sun, percuma mencoba
menggerakkan mereka untuk melawan Co Huasun, malah mereka akan membela Co Hua-sun.
Di tengah keraguannya, Ko Ban-seng berkata,
"Kalau rumahmu terbakar hampir ambruk, lalu
ada orang membawakan air untuk menyiram
api, apakah kau berpikir lama lebih dulu untuk
menyelidiki asal-usul air itu" Tentu rumahmu
akan keburu jadi abu. Tentu kau harus segera
menggunakan air itu untuk menyiram api,
begitu yang benar bukan" Nah, kami datang
membawakan air untuk menyiram negeri yang
terancam hangus oleh api ketamakan Co Huasun."
"Kenapa kau begitu memperhatikan kelangsungan kerajaan?"
"Apa" Memperhatikan kelangsungan dinasti
yang sekarang" Tidak, kami justru ingin
Kembang Jelita 19 40 merobohkannya!" kata Ko Ban-seng terangterangan. "Ya, kami akan merobohkannya! Tapi
aku bicara soal negeri tumpah darah bangsa
Han ini, bukan soal dinasti keluarga Cu! Tanah
tumpah darah inilah yang harus kami
selamatkan, bukan pemerintah yang sekarang!"
Helian Kong merah wajahnya mendengar
orang tua itu begitu leluasa mencaci maki
pemerintah kerajaan. Tapi ia bungkam saja.
Kemudian kakek gendut itu berkata, "He, kau
belum menjawab setuju atau tidak."
"Kenapa memilih aku dan tidak kalian
lakukan sendiri?" "Sebab kami dianggap pemberontak, tidak
mungkin secara resmi menghadap Kaisar
boneka Co Hua-sun yang nomor satu gobloknya
di dunia! Sedangkan kau punya kawan-kawan
dalam ketentaraan yang selama ini gigih
menentang Co Hua-sun, tapi kalian selalu gagal
karena tidak punya bukti tentang pengkhianatan Co Hua-sun! Tapi kami punya
bukti-bukti itu, dan kalianlah yang harus
Kembang Jelita 19 41 menyerahkannya kepada si Kaisar otak keledai
itu!" "Aku akan menolak kerja sama kalau kau
terus-terusan bicara kasar tentang Kaisar.
Bagaimanapun juga dia adalah junjunganku!
"Oh baik, baik. Kaisarmu itu benar-benar
orang paling pandai di dunia, otaknya
cemerlang, bijaksana, pendiriannya benarbenar teguh sehingga tidak mudah dihasut.
Rakyat hidup tenteram sejahtera di bawah
pimpinannya, seluruh negeri aman sentausa
dan he, mau pergi ke mana kau?"
Karena dilihatnya Helian Kong telah bangkit
dari duduknya dan melangkah pergi. Cepat Ko
Ban-seng melesat dan menghadang Helian
Kong. "Kau mau pergi ke mana?" bentaknya bengis.
"Ingat, menolak kerja sama ini berarti kau
membiarkan tanah air mu dimangsa persekongkolan Co Hua-sun!"
"Aku tidak tahan mendengar omonganmu.
Kalau mau bicara urusan menumpas Co Huasun, bicaralah. Tapi omonganmu jangan
Kembang Jelita 19 42 melenceng ke sana ke mari seperti orang mabuk
saja." "Baiklah, aku takkan menyinggung lagi
Kaisarmu. Bagaimana?"
"Kau benar-benar punya bukti persekongkolan Co Hua-sun dengan orang Man- chu"
Bukti yang bisa menjatuhkan dia?"
"Ya. Kami punya."
"Kalau begitu, aku mau."
"Bagus. Kelak kalau urusan ini selesai,
pihakmu dan pihakku boleh bertempur lagi
habis-habisan, tapi untuk sementara kita
gabungkan niat untuk menutup peluang bagi
pihak ke tiga mengambil keuntungan!"
"Jangan omong saja, mana bukti-bukti
persekongkolan Co Hua-sun itu?"
"Belum aku bawa. Besok tengah malam
datanglah kembali ke mari, aku akan
menyerahkannya kepadamu."
Ko Ban-seng kemudian berkelebat pergi dari
situ secepat kilat. Helian Kong sebetulnya ingin membuntutinya untuk mengetahui di mana
Kembang Jelita 19 43 sembunyinya kawanan mata-mata Li Cu-seng
yang membahayakan Kerajaan Beng itu, namun
melihat betapa cepat gerakan Ko Ban-seng,
Helian Kong pun merasa tidak mampu
mengikutinya. Helian Kong kemudian menguburkan A-liok.
Habis itu ia merebahkan diri di lantai cungkup
makam orang kaya itu. Karena pikirannya
bergalau terus, maka setelah hampir fajar
barulah datang kantuknya yang mengantarnya
ke alam mimpi. Ia bangun menjelang tengah hari. Namun
tempat berbaringnya selamat dari sengatan
matahari yang sedang bersinggasana di puncak
langit. Bahkan terasa cukup sejuk karena di
kuburan itu banyak pohon besar.
Helian Kong menggeliat bangun dengan
perut lapar, dirabanya sakunya dan dirasanya
masih ada sedikit uang, la pergi ke warung
terdekat dan membeli beberapa bakpao untuk
makan malam sekalian. Ia tidak berani makan di
warung itu. Selain untuk menghemat, juga
karena di seluruh kota Pak-khia sedang
Kembang Jelita 19 44 diadakan perburuan besar-besaran atas dirinya.
Kematian Song Thian-oh tentu tidak dibiarkan
begitu saja oleh Co Hua-sun.
Karena itulah Helian Kong bawa bungkusan
makanannya ke tengah kuburan. Ia merasa
lebih aman di tengah-tengah orang mati dari
pada orang hidup. Sambil duduk menggigiti bakpaunya, kitab
Tiat-eng Pit-kip dikeluarkannya dari kantong
lalu digelarnya di lantai cungkup, dibukabukanya
dan diperiksanya halamanhalamannya. Ada tiga puluh enam jurus dicatat
di situ, terdiri dari delapan belas jurus ilmu
pedang dan delapan belas jurus tangan kosong.
Jurus-jurus yang hanya boleh dipelajari oleh
Ketua Tiat-eng-bun dan bukan oleh muridmurid biasa.
Setelah perutnya kenyang, Helian Kong
bangkit mencabut pedang, mencari tempat
lapang tapi tersembunyi, lalu mulai belajar
jurus pertama ilmu pedang. Perlahan-lahan dan
penuh kecermatan. Bukan cuma sikap tubuhnya
yang mendapat perhatian, tetapi juga
Kembang Jelita 19 45 pernapasannya. Setelah ia melakukan gerakan
itu beberapa kali secara cepat dan pelan, sege-u
terasa kalau ilmu pedang itu bukan sekedar
"belajar menikam dan membacok", namun juga
memupuk tenaga dalam agar semakin kokoh.
Jadi manfaat ilmu pedang itu mirip Thai-kek
Kiam-hoat ciptaan Sam-hong Cin-jin, pendiri
Bu-tong-pai di jaman awal berdirinya dinasti
Beng. Bedanya kalau gerak-gerak Thai-kek
Kiam-hoat dilakukan dengan lambat sambil
menyalurkan "khi" (hawa tubuh), maka ajaran
dalam Tiat-eng Pit-kip dapat dilakukan keras
dan cepat, hanya di tiap pergantian jurus ada
latihan gerak-lambat untuk melambungkan
"khi" Itu. Dengan demikian jurus-jurusnya bisa
dipakai untuk bertempur secara cepat.
Singkatnya, untuk latihan ketangkasan main
pedang sekaligus memupuk tena ga dalam tidak
dilakukan sendiri-sendiri tapi sekaligus dalam
satu latihan. Sifat kerasnya ilmu ini juga bisa
dipahami kalau mengingat Tiat-eng-bun adalah
"sempalan" Siau-lim-pai yang juga beraliran
keras. Kembang Jelita 19 46 Ketika mulai merasakan manfaat ilmu itu
pada tubuhnya, semangat Helian Kong pun
meluap-luap. Pikirnya, "Alangkah tololnya aku
selama ini. Ilmu sehebat ini dari dulu cuma
kukantongi saja dan lupa kupelajari."
Dan kini bulatlah tekadnya untuk mengejar
ketinggalan waktu yang terbuang selama ini.
Namun ia tidak mau tergesa-gesa maju
mempelajari jurus ke dua. Tetap lebih dulu
ditekuninya jurus pertama sampai matang
betul, bukan cu-mu hapal dan ingat.
Hari itu ia bertekad akan melatih jurus
pertamanya seribu kali. Untuk membantu
hitungan, ditaruhnya seribu butir kerikil. Tiap
habis satu jurus, dibuangnya satu kerikil. Tiap
kali pula ia merasa ada kemajuan, tiap gerak
sekecil-kecil-nyapun seperti sudah jalan sendiri.
Hal itu membangkitkan kegembiraan Helian
Kong. Sesaat dunianya hanyalah sebatas gerak
silatnya dan di luar itu tidak ada apa-apa lagi.
Seluruh jiwa raganya tertumpah di situ.
Kesedihan dan kekacauan perasaannya yang
Kembang Jelita 19 47 selama ini mengaduk jiwanya, terusir oleh
kegembiraannya bersilat. Akhirnya kerikil-kerikil pembantu hitungan
habis dibuang. Tubuhnya basah kuyup dengan
keringat, namun anehnya tidak merasa lelah
karena dirasanya tenaga dalamnya lebih lancar
mengalir ke sana ke mari, ke segenap tubuhnya.
Ia lalu berbaring di "pondokannya" itu untuk
membiarkan keringatnya kering.
Ketika hari mulai gelap, ia mandi di sebuah
sumur yang terletak di pojok tanah kuburan itu.
Dan karena tidak ada ganti pakaian yang
dibawanya, terpaksa dipakainya kembali
bajunya yang bau keringat Itu. Lalu Ia makan
bakpaunya sambil menunggu gelap turun,
setelah gelap diapun menjinjing pedangnya
untuk meninggalkan kuburan itu.
la menuju ke rumah Menteri Slangkoan Hi,
kalau bisa ingin mengatur rencana bersama
untuk mengajukan bukti pengkhianatan Co
Hua-sun. Bukti itu memang belum didapatkannya dari Ko Ban-seng yang
menjanjikan malam nanti baru akan Kembang Jelita 19 48

Kembang Jelita Peruntuh Tahta Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyerahkannya, tapi Helian Kong merasa
perlu lebih dulu menyusun rencana penyerahan
bukti itu sedini mung kin, dan mulai memilih
siapa calon pela-ku-pelakunya. Sfangkoan Hi
hendak dihubungi Helian Kong, sebab menteri
tua itu dikenal jujur dan berani menentang Co
Hua-sun. Ketika tiba di rumah Menteri Siangkoan,
Helian Kong tidak masuk lewat pintu depan,
tetapi melompati tembok belakang rumah.
Sambil lebih dulu berjongkok di atas dinding
untuk mengamati halaman belakang rumah itu,
dilihatnya kamar Siangkoan Heng dan
Siangkoan Yan, putera-puteri Menteri Siangkoan, masih menyala lampunya. Beberapa
saat lamanya masih ada pelayan-pelayan rumah
yang hilir mudik. Setelah sepi, barulah Helian
Kong melayang seperti seekor burung dan
langsung merunduk mendekati pintu kamar
Siangkoan Heng yang menghadap taman
samping, lalu diketuknya pintu i-tu.
Dari dalam kamar terdengarlah suara
Siangkoan Heng, "Siapa?"
Kembang Jelita 19 49 "Aku Helian Kong......" baru saja selesai
jawaban itu, tiba-tiba terdengar langkah
bergegas dalam ruangan itu, lalu Siangkoan
Heng membukakan pintu dan memperlihatkan
dirinya. "Saudara Helian...."
Lalu ditariknya tangan Helian Kong masuk
kamar, kemudian ditutupnya kembali pintu
kamar itu. Suara Siangkoan Heng lirih berdesis
menahan luapan perasaannya, "Saudara Helian,
hampir-hampir tidak kupercaya kau tiba-tiba
muncul di sini." "Memang, saudara Siangkoan. Yang mengunjungimu malam ini bukan Helian Kong
yang hidup, tetapi hanya arwahnya yang
gentayangan......" Helian Kong mencoba berkelakar agar Siangkoan Heng tidak terlalu
tegang. Siangkoan Heng mengusap jidatnya, membuang napas, lalu memaksa diri untuk
tertawa, "Peristiwa kemarin terlalu hebat
dampaknya. Co Hua-sun sudah menyediakan
hadiah besar untuk siapapun yang bisa
Kembang Jelita 19 50 membawa batok kepalamu ke hadapannya,
saudara Helian...." "Saudara Siangkoan tidak berminat?"
"Aku memang ingin dapat uang banyak, tapi
tidak dengan menjual kepala temanku
sendiri...." sahut Siangkoan Heng yang mulai
terpengaruh bersikap santai.
Sesaat di dalam ruangan itu sunyi, sampai
terdengar Siangkoan Heng bertanya, "Saudara
Helian, apakah betul kabar yang mengatakan
bahwa kau sudah ikut pemberontak, dengan
sengaja meng-ngorbankan begitu banyak
prajurit kita agar tewas di medan laga?"
"Tidak..." sahut Helian Kong sambil menahan
sengatan pedih di hatinya. "Detik inipun aku
justru sedang dalam suatu rencana menyelamatkan negara, kalau saudara percaya."
"Aku selalu mempercayaimu. Co Hua-sun
boleh meneriakkan fitnahan sampai tenggorokannya jebol, aku takkan percaya. Aku
siap mendukung rencanamu itu, saudara Helian.
Rencana apa?" Kembang Jelita 19 51 "Tolong antarkan aku menghadap ayahmu,
apakah beliau sudah tidur?"
"Buat apa?" "Akan kusampaikan sebuah rahasia komplotan Co Hua-sun yang selama ini belum
diketahui orang banyak."
"Rahasia apa?" "Bagaimana kalau saudara antar aku dulu
menemui Siang Taijin?"
"Baik, marilah."
Helian Kong lalu mengikuti Siangkoan Heng
keluar dari kamar itu, menyusuri beberapa
lorong dan jalan setapak di tengah kebun bunga,
untuk menuju ke bangunan sayap kanan. Helian
Kong yang dulu sering berkunjung ke rumah itu,
tahu kalau dirinya sedang dibawa ke ruangan
buku, dan diapun tahu kalau Siangkoan Hi
sering menyendiri di ruangan itu sampai jauh
malam, kalau sedang memikirkan urusan
penting. Ketika Siangkoan Heng dan Helian Kong tiba
di depan ruangan itu, memang mereka masih
melihat lilin menyala dalam kamar. Nampak
Kembang Jelita 19 52 pula sesosok bayangan lelaki tua yang sudah
agak bungkuk hilir mudik, bayangannya terlihat
di kertas jendela. Siangkoan Heng perlahan mengetuk pintu
dan memanggil, "Ayah......."
Agak lama baru terdengar jawaban dari
dalam, "Ada apa, Heng-ji?"
"Ayah, aku mengantar seorang yang ingin
menghadap ayah." "Malam-malam begini?"
"Ya, ayah. Urusannya penting sekali."
"Siapa?" "Saudara Helian..."
Terdengar desah kaget dari balik pintu.
Sesaat tidak ada jawaban apa-apa dari balik
pintu, menteri tua itu rupanya agak ragu-ragu
karena Helian Kong menurut maklumat resmi
istana telah dinyatakan sebagai pengkhianat
negara. Siapa yang berani menerima Helian
Kong di rumahnya, berarti akan diikutsertakan
dalam "pengkhianatannya" dan dikenakan
hukuman berat. Kembang Jelita 19 53 Namun kemudian pintu itupun terbukalah
dari dalam, dan muncullah menteri tua di
ambang pintu. Cepat-cepat Helian Kong berlutut dan
berkata, "Hormatku untuk Siang-si Taijin."
"Masuklah..." Helian Kong dan Siangkoan Heng masuk, lalu
menutupkan pintu. Setelah keduanya duduk, Siangkoan Hi tanpa
membuang waktu terus bertanya, "Helian Congpeng, ada keperluan apa?"
"Taijin, sebelum kubeberkan semuanya, aku
lebih dulu ingin bertanya, apakah Taijin masih
mempercayai aku sebagai hamba setia Kerajaan
Beng, ataukah percaya fitnah yang disebarluaskan oleh Co Hua-sun tentang
diriku?" Siangkoan Hi menarik napas, "Apa saja yang
keluar dari mulut Co Hua-sun selalu kuanggap
sebagai racun jahat yang tidak patut didekati.
Atau sebagai gonggongan anjing belaka..."
"Terima kasih, Taijin. Apa yang akan
kusampaikan ini memang membutuhkan orangKembang Jelita 19
54 orang yang mempercayainya, lalu cepat
bertindak sebelum terlambat."
Mendengar kata-kata Helian Kong begitu
bersungguh-sungguh, tak terasa Si-angkoan Hi
menegakkan duduknya di kursinya, tidak lagi
duduk melorot seenaknya, menandakan ia
mulai memberi perhatian kepada kata-kata
Helian Kong. Sedangkan Helian Kong pun menyusun katakatanya baik-baik, "Taijin, selama ini Kaisar
selalu menolak usul siapa saja untuk
mendatangkan pasukan dari selatan. Kenapa?"
"Co Hua-sun yang selalu menghalangi Sri
Baginda berbuat demikian. Yaitu dengan
Tiga Maha Besar 3 Panah Kekasih Karya Gu Long Sayap Sayap Terkembang 14

Cari Blog Ini