Kembang Jelita Peruntuh Tahta Karya Stevanus S.p Bagian 16
rombongan itu. Siangkoan Yan lalu mendekati Ou Hin dan
mengemukakan usul, "Goan-swe, kita sudah
sampai dl sini, apakah harus balik mundur lagi"
Bagaimana kalau kita coba terjang saja" Dengan
bantuan pasukan suamiku dari luar Ceng-yangmui, kita pasti akan bisa menembus."
Namun Ou Hin ragu-ragu. "Masalahnya,
rombongan ini bukan dipersiapkan untuk
bertempur menghadapi musuh yang kuat. Di
tengah-tengah kita banyak orang tua, wanita,
kanak-kanak yang menjadi beban yang harus
kita lindungi. Lebih lebih Kaisar dan
keluarganya. Kaiau menghadapi gerombolan
kecil-kecil kita masih bisa, tapi kalau harus
menembus pasukan musuh yang telah mampu
Kembang Jelita 29 20 merebut Ceng-yang-mui, tidakkah akan
membahayakan Kaisar?"
Siangkoan Yan termangu-mangu. Masygul,
bingung, tapi juga bisa memahami alasan Ou
Hin itu. Sementara si pelapor itu menambahkan,
"Musuh berjumlah kelewat banyak, gerombolan-gerombolan liar dalam kota juga
banyak yang bergabung. Sebagian prajuritprajurit kita yang mengawal Ceng-yang-mui
telah kabur menyelamatkan diri sendirisendiri."
"Tikus-tikus tak berguna!" Ou Hin meluapkan
kesesakan hatinya. Wanita-wanita dalam rombongan pengungsi
itu mulai menangis ketakutan. Mereka sudah
membayangkan bahwa mereka akan tetap
terkurung dalam kota, lalu menjadi korban
kebuasan orang-orang Pelangi Kuning.
Ou Hin sendiripun amat bingung. Mengubah
arah rombongan besar yang berjalan lambat itu
tidak gampang, membutuhkan waktu dan
perhitungan matang. Susahnya lagi, situasi
Kembang Jelita 29 21 sudah tak menentu sehingga perhitunganperhitungan yang bagaimanapun matangnya,
mendadak bisa jadi tak berguna. Kaum Pelangi
Kuning bisa muncul di mana saja, dan kalau
rombongan itu terus-terusan harus menghindar, boleh jadi hanya akan berputarputar saja dalam kota Pak-khia sampai entah
kapan. "Ada apa, Goan-swe?" Kaisar bertanya dari
dalam tandu. "Kenapa kita berhenti di sini?"
Dengan terpaksa Ou Hin mendekat ke tandu
dan menjelaskan kesulitan yang dihadapi.
Kaisar pun termangu-mangu mendengarnya.
Tiba-tiba berkatalah Kaisar dengan suara
amat tenang yang di luar dugaan, lebih tepat
disebut amat pasrah, "Kembali saja ke istana
kalau semua jalan memang tertutup. Kalau
harus mati, biarlah mati di istana leluhurku
sendiri." "Tuanku, janganlah cepat berputus harapan.
Biarlah hamba carikan jalan lain...." waktu
berkata itu Ou Hin pun sebenarnya sudah
hampir putus harapan. Kembang Jelita 29 22 Ia kemudian memanggil beberapa pengawal
untuk diberi tugas, "Kalian pergilah ke semua
arah dan lihat jalan mana yang aman dilewati
sampai ke luar kota."
Dalam situasi sesulit itu, perintah itu tak
ubahnya seperti, "Cobalah kalian bikin tangga
yang tinggi sekali agar bisa untuk mengambil
bintang di langit." Maklum, dalam keadaan tenang pun kota
Pak-khia membutuhkan banyak waktu buat
seorang penunggang kuda untuk bisa
memutarinya, karena luasnya. Apalagi sekarang
di semua tempat sedang kacau dan masih juga
mereka diperintah "mencari jalan yang masih
aman untuk dilewati". Para pelaksana perintah
itu pasti akan mengalami hambatan dalam
perginya maupun pulangnya.
Toh mereka segera berangkat setelah
dibentak Ou Hin. Kemudian, selagi Ou Hin berpikir akan
dikemanakan rombongan itu, tiba-tiba dari arah
Ceng-yang-mui terdengar dentuman-dentuman
meriam, lalu beberapa rumah penduduk di
Kembang Jelita 29 23 dekat rombongan Ou Hin itu kena bola-bola besi
peluru meriam itu sehingga hancur atapnya
atau roboh temboknya. Jerit tangis wanita dan anak-anak dalam
rombongan itupun tak bisa lagi disuruh
bungkam, biarpun sudah dibentak-bentak atau
diancam dengan senjata. Sedang dari rumah-rumah yang terkena
peluru meriam itu, penghuninya berhamburan
keluar rumah sambil berteriak-teriak panik dan
menangis pula. Kiranya, setelah kaum Pelangi Kuning
berhasil merebut gerbang kota Ceng-yang mui,
maka meriam-meriam yang ditinggalkan oleh
pasukan kerajaan, yang semula moncongnya
menghadap keluar kota, sekarang diputar balik
menghadap ke kota dan ditembakkan bertubitubi tanpa memilih sasaran lagi.
Ou Hin merasa tempat itu tidak aman lagi,
bisa kejatuhan peluru meriam dari arah Cengyang-mui. Ia menyuruh rombongannya balik ke
arah barat dengan mencari jalan mendesak di
Kembang Jelita 29 24 antara kerumunan penduduk yang tengah
meratapi rumah mereka yang hancur.
Melihat derita rakyat, di dalam joli-nya
Kaisar Cong-ceng ikut menangis biarpun tanpa
suara. Memang, ada bedanya antara orang kecil
dan orang yang memegang kekuasaan besar.
Kalau orang kecil melakukan kesalahan, dengan
menangis dan menyesal maka kesalahannya
bisa jadi akan banyak berkurang dan bisa
diperbaiki. Kalau orang berkuasa melakukan
kesalahan besar, dengan mengucurkan airmata
darah pun kecil kemungkinannya untuk
memperbaiki kesalahannya. Karena kesalahan
besar parah akibatnya. Sedangkan para bangsawan dalam rombongan itu berpendapat bahwa saat itu
tidak ada yang lebih malang dari diri mereka,
dan mereka mulai berani menggerutu lagi,
"Celaka benar, mau diapakan saja kita ini" Dulu
mau pergi dari Pak-khia, dihalang-halangi. Lalu
tadi disuruh mengungsi dengan diberi waktu
yang begitu sempit, sehingga tak sempat
membawa semua barang-barang kita, tapi
Kembang Jelita 29 25 belum sampai ke luar kota sudah disuruh balik
lagi ke pusat kota. Mentang-mentang sedang
berkuasa." "Iya, kakiku sampai hampir patah rasanya...."
keluh yang lain. Maklum, bagi mereka yang jarang bergerak,
perjalanan itu benar-benar menyiksa. Ou Hin
tidak memperbolehkan mereka naik joli, sebab
kalau terlalu banyak joli dalam rombongan itu
akan menarik perhatian musuh. Hanya tiga joli
dalam rombongan itu. Satu untuk Kaisar, satu
untuk permaisuri, satu lagi untuk Puteri Tiangping bersama Putera Mahkota yang masih kecil.
Lainnya harus jalan kaki. Dan itu adalah siksaan
hampir tak tertanggungkan buat para
bangsawan itu, sehingga gerutu dan keluh kesah
mulai terdengar lagi. Ou Hin menjadi agak kesal mendengar suarasuara itu, bentaknya, "Diam! Kalau kalian mau
memisahkan diri dari rombongan dan berjalan
ke mana saja, silakan! Aku takkan menghalangi!
Aku hanya mengawal Sri Baginda dan bukan
kalian!" Kembang Jelita 29 26 Para bangsawan pun bungkam. Tapi sudah
tentu mereka tak berani memisahkan diri dari
rombongan, bisa dicincang oleh gerombolan liar
yang bermunculan di mana-mana.
Rombongan itu bergerak menjauhi Cengyang-mui. Suara riuhnya pertempuran yang
makin dekat, tak terasa memacu langkah
mereka. Para bangsawan gendut mulai
terengah-engah dan mandi keringat.
* * * Salah seorang sempoyongan, menekan
dadanya sendiri sambil menyeringai, "Apa.... apa
jalannya....tidak....tidak bisa lebih pelan....
sedikit" Aduh...."
Tak ada yang menggubrisnya, malah seluruh
rombongan berjalan makin cepat. Dua hamba
bangsawan itu lalu memapah tuan mereka dari
kiri kanan. Tapi kedua hamba itupun cepat
kelelahan karena tuan mereka berbobot seratus
kilo lebih. Ketika itulah rombongan tiba-tiba berhenti.
Kembang Jelita 29 27 Karena sekelompok orang bersenjata muncul
di depan rombongan itu, semuanya berikat
kepala kuning. Pemimpin mereka bermuka
buas, di wajahnya ada luka menyilang bekas
kena senjata, dan tangannya memegang Kaulian-jio (Tombak Berkait), bentaknya dengan
bengis, "Mana Kaisar goblok penghisap darah
rakyat itu?" Orang itu tidak menggunakan kesempatan
untuk merampok dan mengisi kantong sendiri,
melainkan berani menghadang rombongan
Kaisar yang berpeng-awal, menandakan kalau
dia adalah anggota Pelangi Kuning sejati, bukan
gerombolan liar yang cuma mengail di air
keruh. Ou Hin cepat menyiagakan para pengawal di
sekitar Kaisar yang terutama. Namun ia kaget
melihat di antara para penghadang itu ada
seorang perwira istana yang tadi ditugaskannya
sebagai pelopor untuk mencarikan jalan yang
aman. Orang itu sekarang malah membawa
kawanan Pelangi Kuing untuk menunjukkan
rombongan Kaisar. Kembang Jelita 29 28 "Pengkhianat!" geram Ou Hin sambil
menuding. "Ternyata kau malah berkhianat di
saat seperti ini!" Orang itu tertawa digin dan berkata, "Bukan
pengkhianat, karena aku sudah lima tahun
menjadi anggota Pelangi Kuning, dan sudah dua
tahun aku mengelabuhi kalian dengan
menyusup sebagai pengawal istana. He-he-he...."
Dengan berang Ou Hin mengayunkan
goloknya untuk menyabet ke pinggang orang itu
dalam gerakan Tiat-so Hengkang (Tali Besi
melintang Sungai). Namun orang itu berhasil
menangkis dengan pedangnya, biarpun agak
terhuyung mundur karena kalah tenaga.
Orang yang bersenjata tombak berkait Kaulian-jio lalu maju menghadapi Ou Hin,
melakukan gerak In-hou-kui-san (Macan Pulang
ke Gunung) dibarengi langkah yang berputar
membingungkan, mencoba mengait leher Ou
Hin. Geraknya tangkas dan mantap, tidak gentar
oleh kekuatan Ou Hin. Ketika Ou Hin menangkis, seketika
lengannya tergetar, sedang lawannya terus
Kembang Jelita 29 29 merangsek maju dengan permainan cepat
tombaknya. Ujung; tombak, kait tajam di leher
tombak maupun tangkai tombaknya menimbulkan daya serang hebat yang membuat
Ou Hin berulang kali terpaksa mundur.
Kelompok penghadang itu adalah bagian dari
pasukannya Li Giam. Waktu itu, Ou Hin baru menerima laporan
Kembang Jelita Peruntuh Tahta Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bahwa pintu gerbang Soan-bu-mui dan Cengyang-mui sudah bobol. Namun sebetulnya
gerbang-gerbang Ciang-gi-mui, Ce-hoa-mui dan
Tong-tit-mui saat itu juga sudah bobol. Pasukan
Li Giam dan Gu Kim-sing sudah membanjir
masuk kota lewat arahnya masing-masing.
Kedua tokoh Pelangi Kuning itu telah gagal
memenangkan sayembara Joan-ong, yang
mengatakan bahwa siapa yang lebih dulu
memasuki Pak-khia kelak akan menjadi
Panglima Tertinggi. Ternyata keduanya gagal,
sebab yang masuk kota lebih dulu adalah Lau
Cong-bin dari gerbang Soan-bu-mui. Namun
demikian, Li Giam dan Gu Kim-sing terus
menggempur dengan sengit. Kalau gagal
Kembang Jelita 29 30 menjadi "juara pertama" mereka akan
memperebutkan kedudukan "juara kedua".
Saat itu, dari sembilan pintu kota Pak-khia,
lima di antaranya sudah bobol. Sisanya tinggal
tunggu waktu, cepat atau lambat, inilah yang
belum dilaporkan kepada Ou Hin karena
kacaunya keadaan. Sementara rombongan Ou Hin sudah
bertempur hebat dangan rombongan peng
hadang. Ou Hin terdesak hebat oleh lawannya yang
tangkas, lengannya sudah kena dikait satu kali
sehingga mencucurkan darah.
Melihat kesulitan panglima tua ini, Siangkoan
Heng cepat maju dan berseru, "Goan-swe,
serahkan kepadaku! Lebih baik Goan-swe bawa
junjungan kita ke tempat aman!"
Lalu Siangkoan Heng tangkas menyusup ke
tengah dua orang yang bertempur Itu sambil
mengelebat-lebatkan pedangnya. Ketika itu
lawan Ou Hin sedang mengancam dengan Inliong-sam-hian (Naga Muncul Tiga Kali di
Mega), yang tak mungkin tertangkis oleh Ou Hin
Kembang Jelita 29 31 yang sudah kelelahan. Tapi semuanya
tertangkis oleh Siangkoan Heng, yang dengan
tangkas bahkan terus merebut kedudukan
untuk balik menyerang dengan sabetan
beruntun Liong-bun-sam-ko-long (Gelombang
Tiga Kali Mendampar Pintu Naga).
Lawannya mundur selangkah memperbaiki
posisi, insyaf telah ketemu lawan tangguh.
Namun hal itu tidak menyurutkan nafsunya
untuk bisa membawa batok kepala kaisar Congceng dan mengaraknya keliling kota.
Sementara Ou Hin berusaha membawa
Kaisar dan keluarganya keluar dari kemelut itu.
Tapi tidak gampang, karena orang-orang
Pelangi Kuning menghalanginya, rupanya
mereka sudah tahu kalau salah satu tandu itu
berisi Kaisar. Semula yang menghadang itu memang hanya
puluhan orang, namun banyak di antara mereka
yang berteriak-teriak memanggil teman, "Kaisar
penghisap darah itu ada di sini! Teman-teman,
ke sini semua!" Kembang Jelita 29 32 Maka orang-orang Pelangi Kuning membanjiri tempat itu seperti air bah, sehingga
pengawal-pengawal Kaisar mendapat pekerjaan
amat berat. Orang-orang Pelangi Kuning itu muncul dari
lorong-lorong, dari pohon-pohon, dari dalam
rumah-rumah di sekitar situ. Jelaslah kalau
lama sebelumnya mereka sudah sembunyi di
situ, dan kini mereka lalu mengurung
rombongan Kaisar. Perkelahian berkobar menggiriskan hati.
Bukan cuma pedang, tombak atau senjata lain
yang saling sambar, tetapi panah-panah dan
lembing dihujankan ke tengah-tengah rombongan Kaisar sehingga banyak korbannya,
tak pandang bulu wanita atau anak-anak.
Ou Hin sendiri sudah seperti seekor singa
terluka, tak peduli akan luka-lukanya ia terus
bertempur dengan gigih. Bersama sejumlah
pengawal yang setia, ia berusaha mencarikan
jalan keluar untuk Kaisar dan keluarganya. Topi
besinya sudah terpental, rambut putihnya
sudah lepas pita pengikatnya sehingga awutKembang Jelita 29
33 awutan, sebagian tubuhnya basah oleh darah
dari lukanya, tapi keselamatan dirinya tidak
dihiraukannya, ia terus menerjang paling depan
untuk menimbulkan semangat bagi pengawalpengawal lainnya.
Melihat semangat tempur Ou Hin itu,
Siangkoan Hi jadi terharu, desisnya, "Sayang
aku tidak bisa bersilat. Kalau bisa, tentu aku
akan mendampinginya bertempur."
Lalu menteri tua itu menyuruh Siangkoan
Yan yang berdiri di sumpingnya dengan pedang
terhunus, "Yan-ji, bantulah Ou Goan-swe
menembus rintangan musuh untuk menyelamatkan Kaisar."
Siangkoan Yan ragu-ragu. Dalam keadaan
seperti Itu, ia lebih berat akan keselamatan
ayahnya daripada Kaisar. Namun ayahnya terus
mendesak, "Cepatlah! Aku takkan mengakui
sebagai puteriku, kalau kau lupa berbakti
kepada junjungan negara."
Diam-diam Siangkoan Yan kagum juga
kepada ayahnya, yang tidak mementingkan diri
sendiri di saat tangan maut beterbangan begitu
Kembang Jelita 29 34 dekat di sekitarnya. Beda dengan para
bangsawan yang hebat dalam menyusun pidatopidato indah, terutama kalau pidatonya sedang
menyudutkan orang lain. Sekarang bukannya
mereka membantu meringankan tugas para
pengawal, malahan berteriak-teriak kebingungan, lari ke sana ke mari, minta
dilindungi paling dulu sambil meneriakkan hakhak kebangsawanun mereka. Tapi dalam
keadaan seperti itu, pengawal mana yang mau
menggubris mereka" Beberapa pengawal "comotan" yang tidak
berasal dari pasukan istana, sudah mulai
merosot semangatnya. Sekelompok dari mereka
tiba-tiba membuang senjata dan berteriak,
"Kami menyerah! Jangan bunuh!"
Rupanya mereka menjadi kecut hati melihat
teman-teman mereka yang tewas dengan tubuh
dicincang dan diinjak-injak, sebagai pelampiasan kebencian orang-orang Pelangi
Kuning itu. Tapi para prajurit yang bermaksud
menyerah itu kurang tepat memilih waktu.
Kembang Jelita 29 35 Mana mungkin orang-orang Pelangi Kuning
mau mempertimbangkan penyerahan mereka,
selagi mabuk dendam dan kemarahan" Prajuritprajurit yang meletakkan senjata itu ibarat
bunuh diri, mereka digilas tanpa ampun oleh
lawan-lawan mereka. Mereka dirobohkan tidak
cukup dengan satu bacokan atau tusukan,
melainkan dipotong-potong dengan buas dan
diinjak-injak pula. Maka seluruh anggota rombongan Kaisar itu
hanya punya satu pilihan, yaitu melawan terus.
Tak ada lagi yang punya pikiran untuk
menyerah. Kalau ada kesempatan ya lebih baik
lari daripada menyerah. Dalam keadaan seperti itulah Siang-koan Hi
justru terus menyuruh Siangkoan Yan membela
Kaisar, "Yan-ji, percuma aku hidup terus, kalau
gagal mendidik anakku sendiri untuk berbakti
kepada Kaisar!" Karena itulah akhirnya Siangkoan Yan
berkata, "Baiklah, ayah. Tapi ayah harap berada
dekat keluarga Kaisar, supaya sambil
Kembang Jelita 29 36 melindungi Kaisar, akupun bisa memperhatikan
ayah." "Baik." Siangkoan Yan lalu menuntun ayahnya di
antara orang-orang yang ribut seperti gabah
ditampi itu, didekatkan ke tandu Kaisar.
Kemudian Siangkoan Yan maju ke dekat Ou Hin
yang mulai kelelahan. Bagaimanapun gagah dan
bersemangatnya jenderal tua itu, namun usia
tuanya menggerogoti daya tahannya. Kalau
Siangkoan Yan tidak keburu menolong, pasti Ou
Hin juga akan kebagian giliran diubah jadi
daging cacah kaum Pelangi Kuning.
Menghadapi lawan-lawan yang mabuk darah,
mau tak mau Siangkoan Yan juga harus
bersikap keras, ragu-ragu sedikit saja pastilah
dirinya sendiri jadi korban. Begitu si macan
betina keluarga Siang-koan ini menunjukkan
kepandaian silatnya, segera terlihat hasilnya. Di
pihak lawan ternyata tak ada lagi tokoh lain
yang layak untuk membendung amukannya.
Orang-orang Pelangi Kuning yang menghadang
jalan segera bertumbangan kena pedangnya
Kembang Jelita 29 37 yang sulit ditangkis karena cepatnya. Para
pengawal Kaisar bertambah semangatnya dan
segera menekan lebih hebat, maka tekanan
musuh di satu sisi segera terasa mengendur.
Ou Hin lalu memimpin rombongan Kaisar itu
untuk maju mendesak. Begitulah, rombongan Kaisar itu setapak
demi setapak berhasil bergerak maju, meskipun
tiap langkah adalah langkah berdarah yang
harus melompati mayat-mayat kawan dan
lawan. Ou Hin membawa rombogan itu ke arah
istana. Mau ke mana lagi kalau keadaan di
segala penjuru amat tak menentu dan sulit
diperhitungkan" Ou Hin sudah merencanakan,
setelah Kaisar di istana kembali, semua pasukan
kerajaan yang berpencaran di seluruh pelosok
akan ditarik semua untuk bertahan di istana.
Itulah lebih baik daripada berpencaran dan
digulung satu demi satu oleh gelombang musuh.
Dan entah sampai kapan bisa bertahan
dalam istana, tak ada vang berani menjawab.
Masih ada setitik harapan yang timbul
Kembang Jelita 29 38 tenggelam, yaitu kedatangan pasukan Jenderal
Su Ko-hoat dari Yang-ciu. Harapan yang kadang
menyala sebentar, kadang padam, lalu menyala
lagi sebentar.... padam lagi.
Begitulah, rombongan Kaisar yang dipelopori
Siangkoan Yan yang terpaksa jadi ganas, sedikit
demi sedikit mencari jalan menuju ke istana.
Sambil bertempur, toh Siangkoan Yan beberapa
kali menoleh ke arah ayahnya.
Karena bertempur makin hebat, rombongan
Kaisar tak bisa dipertahankan untuk tetap utuh,
apalagi dalam rombongan itu juga banyak
terdapat yang bukan prajurit, bahkan
perempuan, orang tua dan anak-anak. Maka tak
terhindar lagi, rombongan itu jadi berceceran,
terpecah-pecah, sebagian terdorong ke sini dan
sebagian ke sana dan satu sama lain tidak tahu
lagi bagaimana nasib rombongan lainnya.
Pertempuran sudah tidak mirip antara dua
barisan, namun seperti perkelahian perorangan
namun massal. Campur aduk. Kaum Pelangi
Kuning maupun pengawal-pengawal Kaisar
Kembang Jelita 29 39 sudah sama nekadnya. Di arena, manusia rontok
berhamburan seperti laron saja.
Di sini tidak ada lagi penakut, semuanya
pemberani yang amat terpaksa. Ataukah
keberanian membunuh itu sebenarnya juga
Kembang Jelita Peruntuh Tahta Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ujud ketakutan terhadap kematian"
Terdengar aba-aba keras dari pihak Pelangi
Kuning, disusul teriakan-teriakan "perjuangan"
yang bernada kebencian, dan kaum Pelangi
Kuning mendesak makin sengit.
Siangkoan Yan yang terbawa arus itu
bertempur dengan bersemangat, sehingga maju
agak terlalu jauh, dan ketika ia ingat ayahnya
lalu menoleh, Siangkoan Yan pun terkesiap
karena nampak ayahnya terpisah dari
rombongan. Hanya bersama Siangkoan Heng
dan sekelompok pengawal, sedangkan tandutandu keluarga istana serta Ou Hin dan
sekelompok pengawal lainnya sudah tidak
kelihatan, entah "hanyut" ke mana terbawa arus
manusia yang saling bunuh itu.
Kembang Jelita 29 40 Lebih-lebih rombongan para bangsawan dan
keluarganya, sudah sejak tadi mereka tak
kelihatan dan tak kedengaran pula suaranya.
Siangkoan Yan lalu menerobos musuh untuk
mendekati ayahnya, dan bersama dengan
Siangkoan Heng mereka melindungi ayah
mereka, juga bersama sekelompok pengawal
yang gigih. Di tengah-tengah bahaya itupun si menteri
tua Siangkoan Hi masih berteriak kepada
seorang komandan pengawal di dekatnya,
"Coba cari jalan untuk bergabung dengan Sri
baginda! Lindungi Sri Baginda, jangan pedulikan
aku!" "Tidak mungkin menerjang dengan kekerasan!" sahut perwira itu. "Lebih baik cari
jalan lain!" Rombongan Siangkoan Yan itu kemudian
mundur, tetapi sekelompok orang Pelangi
Kuning memburu dengan penuh kebencian.
Siangkoan bersaudara serta beberapa perwira
istana dengan kejam menghadang dan
menghentikan kejaran itu, sehingga rombongan
Kembang Jelita 29 41 yang terdapat Siangkoan Hi itu akhirnya
berhasil menyelinap ke sebuah gang kampung
yang gelap. Rombongan itu berlari terus, dan akhirnya
sampai ke sebuah tempat di mana tidak ada
pertempuran. Sesaat semuanya menarik napas
lega, biarpun hanya sementara. Yang luka-luka
sempat memperhatikan lukanya lebih cermat,
dibantu teman-temannya. Ketika Siangkoan Yan lebih cermat
memperhatikan rumah itu, diapun terkesiap.
Itulah bagian kota di mana salah satu rumahnya
dibeli oleh Puteri Tiang-ping untuk menyembunyikan Tan Wan-wan setelah
disingkirkan dari istana. Semakin memperhatikan, semakin merasa yakinlah
Siangkoan Yan. Pintu rumah "penyimpanan" Tan Wan-wan
itupun tiba-tiba terbuka dari dalam, muncullah
Tan Wan-wan memegang lampion bertangkai.
Rupanya Tan Wan-wan mendengar ada suara
orang-orang di depan rumah, lalu dia keluar
Kembang Jelita 29 42 untuk menjenguk. Dan ia terkejut melihat siapasiapa orang di depan rumah itu.
"Adik Yan...." Siangkoan Yan pun berkata, "Cici Wan-wan,
kami dikejar-kejar oleh...." hampir saja
Siangkoan Yan mengatakan "teman-temanmu"
tapi lalu digantikannya, ".... oleh orang-orang
Pelangi Kuning." Sementara Tan Wan-wan telah memberi
hormat pula kepada Siangkoan Hi dan
Siangkoan Heng. Lalu katanya, "Rumah ini aman untuk
berlindung, ini kepunyaan Puteri Tiang-ping
namun tidak banyak yang mengetahuinya,
bahkan tetangga-tetangga pun tidak tahu."
Siangkoan Yan tahu bahwa Tan Wan-wan
adalah anggota Pelangi Kuning, namun
kesannya terhadap Tan Wan-wan jauh berbeda
dengan terhadap orang-orang Pelangi Kuning di
jalanan yang buas-buas tadi. Mendengar
tawaran itu, Siangkoan Yan pikir, alangkah
baiknya kalau ayahnya berlindung dengan
aman di tempat itu, daripada dibawa berlari ke
Kembang Jelita 29 43 sana ke mari dalam suasana terancam oleh
kaum Pelangi Kuning. Tapi maukah ayahnya
berlindung sementara di situ, karena ayahnya
pun sudah tahu siapa Tan Wan-wan
sebenarnya" "Bagaimana, ayah?" Siangkoan Yan menoleh
kepada ayahnya yang masih agak terengahengah. Dan agar ayahnya mau, Siangkoan Yan
pun menambahkan, "Ini rumah Puteri Tiangping yang belum lama dibelinya secara diamdiam, semua penghuninya pun orang-orang
kepercayaan puteri...."
Tetapi Siangkoan Hi masih ragu- ragu, ia
agaknya memikirkan tentang diri Kaisar.
Tahu apa yang dipikirkan ayahnya,
Siangkoan Heng berkata, "Ayah tetaplah di sini
bersama adik Yan. Aku akan, berusaha
mengetahui bagaimana keadaan Kaisar sekarang." Setelah mendengar kesanggupan anak Lakilakinya itu, barulah Siangkoan Hi mengangguk.
Maka Siangkoan Hi, Siangkoan Yan serta
pengawal-pengawal yang luka-luka pun
Kembang Jelita 29 44 ditinggal di rumah itu. Sedang Siangkoan Heng
bersama sekelompok pengawal istana yang
setia kepada Kaisar, berangkat kembali.
Di dalam rumah itu, kedudukan Tan Wanwan adalah tawanan Puteri Tiang-ping, namun
penjaga-penjaganya yang terdiri dari empat
perempuan dan tujuh laki-laki, semuanya
bersikap baik kepadanya, karena memang
dipesan oleh Puteri, asal Tan Wan-wan tidak
lari saja. Tan Wan-wan sendiri kemudian bersungguhsungguh sibuk ikut mengobati orang-orang
yang luka. Sejak beberapa hari ia sudah
mendengar kabar pertempuran, sore tadi
bahkan didengarnya kalau laskar Pelangi
Kuning sudah masuk kota. Ia tahu, itulah saat-saat puncak perjuangan
Joan-ong. Mestinya Tan Wan-wan gembira,
namun ketika didengarnya jerit tangis kaum
wanita dan anak-anak, kaum lemah lanpa daya
di tengah-tengah benturan dua kekuatan
raksasa yang sedang sama-sama kalap itu, Tan
Wan-wan merasa tersayat hatinya, la lebih ikut
Kembang Jelita 29 45 menangis bersama korban-korban itu, daripada
ikut bersorak bersama orang-orang Pelangi
Kuning, teman-teman seperjuangan selama ini.
Di halaman rumah, Siangkoan Yan berdiri
menatap langit yang merah. Kembang-kembang
api masih berluncuran di langit kelam, tanda
isyarat bagi pasukan-pasukan yang bertempur.
Dentuman meriam dan sorak pertempuran tak
sekejap pun sepi. Sulit mengetahui waktu, petugas-petugas
yang sering menandai waktu dengan bunyi
lonceng dan tambur di menara kota, pasti tidak
sempat menjalankan tugasnya. Tapi Siangkoan
Yan melihat bulan sudah miring ke arah barat.
Berarti tengah malam sudah jauh dilewati, dan
saat itu mungkin sudah hampir pagi.
Menjelang fajar, Siangkoan Heng datang
dengan melompati tembok, semuanya langsung
menanyakan berita di luar sana. Siangkoan
Heng menceritakan, Ou Hin berhasil membawa
Kaisar dan keluarganya kembali ke istana,
kemudian semua pasukan yang tersisa dari
seluruh Pak-khia dikumpulkan sedapatKembang Jelita 29
46 dapatnya untuk pertahanan di sekitar istana
dan di dalam istana. "Bagaimana dengan gerbang-gerbang kota?"
tanya Siangkoan Hi. "Sembilan pintu kota sudah terbuka lebar
untuk kaum Pelangi Kuning. Li Cu-seng sudah
memasuki kota lewat gerbang Tek-seng-mui."
Wajah Siangkoan Hi kontan menjadi amat
sedih, tanyanya pula, "Bagaimana sikap
penduduk Pak-khia terhadap kedatangannya?"
Agak lama Siangkoan Heng membungkam,
sahutannya kurang meyakinkan, "Aku....aku
tidak tahu, ayah." "Kau tahu tetapi tidak mau mengatakannya
padaku!" tiba-tiba Siangkoan Hi menjadi gusar
sampai terbatuk-batuk. "Mau kaukatakan
kepadaku atau tidak?"
Siangkoan Heng menundukkan wajahnya,
tidak berani menatap ayahnya ketika
menjawab, "Penduduk.... menyambut Li Cuseng.... sebagai....sebagai pahlawan pembebas."
Si menteri tua tertatih-tatih memutar tubuh
dan melangkah ke kamarnya. Ketika Tan WanKembang Jelita 29
47 wan hendak membantu jalannya, orang tua itu
dengan kasar menolaknya, tetapi tidak menolak
ketika Siangkoan Yan yang menuntunnya. Tidak
lama kemudian, dari kamar itu terdengar si
menteri tua menangis seperti anak kecil.
Pintu kota Tek-seng-mui terpentang lebar.
Dari luar, masuklah pasukan berkuda yang rapi.
Tiap penunggangnya berseragam sederhana,
namun rapi dan gagah, .semuanya memakai
caping kaum tani. Pasukan berkuda itu disusul
barisan pembawa bendera yang megah
berkibar-kibar. Di tengah-tengah barisan itu
nampak seorang lelaki bertubuh kekar,
wajahnya persegi dengan bentuk rahang kaum
petani, alisnya tebal, bibirnya juga tebal, kumis
dan jenggotnya pendek serta kasar. Kuda
tunggangannya hitam mulus, kepalanya
bercaping lebar dan jubahnya sederhana, dari
kain kapas tenunan kasar.
Begitu melihat orang ini, seketika menggemuruhlah sorak yang dipelopori orangorang Pelangi Kuning.
Kembang Jelita 29 48 "Hidup Joan-ong! Hidup Joan-ong! Hidup
Joan-ong!" Seruan itu terus bersambung dibawa angin.
Bukan cuma laskar Pelangi Kuning yang
bersorak-sorak, namun penduduk di sepanjang
jalan yang dilewati "pawai" itupun mau tak mau
harus ikut bersorak menyambut sambil
melambai-lambai. Berat resikonya kalau tidak
berbuat demikian, bisa dituduh oleh calon
penguasa baru itu sebagai "begundal dinasti
lama" dan hukumannya berat.
"Hidup Joan-ong! Hidup Joan-ong! Hidup
Joan-ong!" Ketika itu sudah tidak ada pertempuran di
jalan, tinggal bekas-bekasnya yang mengerikan.
Ou Hin telah menarik semua pasukan kerajaan
yang tersisa untuk mempertahankan istana,
dengan demikian bagian selebihnya dari kota
Pak-khia sudah dikuasai kaum Pelangi Kuning.
Namun laskar Pelangi Kuning tidak dapat
segera menyerbu ke istana, sebab Ou Hin telah
membakar deretan rumah kosong yang sudah
disiapkannya. Kobaran api yang dahsyat
Kembang Jelita 29 49 membentuk garis sekitar istana, menahan
majunya laskar Pelangi Kuning.
Laskar Pelangi Kuning tidak sabar
mendiamkan api itu sampai padam sendiri,
dengan giat mereka menyiraminya dengan air,
entah sampai berapa ribu ember, diambilkan
Kembang Jelita Peruntuh Tahta Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dari sumur-sumur penduduk sekitar situ.
Ketika mendengar bahwa Joan-ong Li Cuseng sudah masuk kota, laskar Pelangi Kuning
tambah bersemangat memadamkan api. Baik Li
Giam, Gu Kim-sing maupun Lau Cong-bin tidak
hanya memberi perintah dari garis belakang,
melainkan hilir-mudik di antara laskar yang
tengah mengangkut air. Dalam persaingan antar tiga tokoh Pelangi
Kuning itu untuk merebut kedudukan Panglima
Tertinggi yang dijanjikan Joan-ong, sudah
ketahuan pemenangnya, yaitu Lau Cong-bin
yang pertama berhasil memasuki Pak-khia
lewat pintu kota Soan-bu-mui. Kini Lau Congbin ingin menambah terang bintangnya sebagai
orang yang pertama pula merebut istana.
Kembang Jelita 29 50 Namun Li Giam dan Gu Kim-sing pun punya
ambisi yang sama. Mereka giat memimpin anak
buah masing-masing memadamkan api. Dan
bersamaan dengan merekahnya fajar, api
berhasil disiram padam. Begitu api padam, Gu Kim-sing dengan amat
bernapsu melambai-lambaikan pedangnya dan
memerintah laskarnya, "Maju! Rebut istana!
hancurkan semua perintang!"
Orang-orangnyapun menyerbu seperti banjir, melompati puing-puing yang masih
berasap dan hangat. Yang tidak memakai alas
kaki segera melepuh kakinya. Namun Gu Kimsing terus berteriak-teriak dan tidak suka
melihat anak buahnya ada yang mundur atau
berhenti. Lau Cong-bin tidak mau kalah dari rekannya,
pasukannya pun menyerbu dari arah lain.
Secara pribadi, Lau Cong-bin adalah penggemar
wanita cantik, la sudah mendengar kalau wanita
istana cantik-cantik, maka diapun memacu
laskarnya untuk paling dulu masuk istana demi
Kembang Jelita 29 51 merebut "harta karun bernyawa" kegemarannya itu. Demikianlah, dua gelombang laskar Pelangi
Kuning menyerbu istana dari dua arah. Pasukan
kerajaan di sekitar istana segera menyambut
dengan hujan panah dan lembing. Banyak laskar
bertumbangan, namun yang di belakang mereka
terus mendesak. Akhirnya laskar Pelangi Kuning menjadi
begitu dekat dengan pasukan kerajaan,
sehingga para prajurit tak sempat memanah
lagi, lalu mereka mengganti busur dan panah
dengan pedang atau tombak, pertempuran pun
pecah di sekitar istana. Pertarungan yang sengit
sekali, sebab laskar Pelangi Kuning berjumlah
banyak, sedangkan tentara kerajaan sudah
seperti binatang buas yang terpojok, berkelahi
dengan kalap seperti semalam.
Arena itu jadi amat berdarah. Kedua pihak
sudah berubah menjadi hewan-hewan tak
berakal-budi lagi. Saat itu Li Giam malah tetap tenang-tenang
saja, belum menyuruh maju pasukannya,
Kembang Jelita 29 52 sehingga Yo Kian-hi yang ada di sebelahnya
bertanya, "Goan-swe, kapan kita maju?"
Li Giam tersenyum sambil menjawab, "Siapa
yang paling dulu menguasai istana, harus maju
di saat yang paling tepat, bukan yang paling
dulu." Yo Kian-hi tercengang, "Kenapa begitu?"
"Karena dalam istana itu masih ada pasukanpasukan yang tangguh dan belum turun ke
lapangan. Kau tentu pernah mendengar namanama pasukan seperti Lwe-teng Wi-su (satuan
pengawal istana), Gi-cian Si-wi (satuan
pengawal Kaisar), Han-lim-kun (pengawal
ruang pusaka), Kim-ih Wi-kun (pengawal
berbaju benang emas) dan lain-lainnya?"
"Benar, Goan-swe. Mereka adalah pasukan
istimewa. Jumlahnya tidak banyak, namun
orang-orang pilihan semua dalam hal
kemampuan tempur, maupun kesetiaan.
Mereka lebih suka mati daripada menyerah.
Tapi kita tidak perlu takut kepada mereka,
bukankah kita juga sudah lama menyiapkan
Kembang Jelita 29 53 pasukan khusus yang terdiri dari pesilat-pesilat
gagah berani?" "Ya, kita tidak takut, tapi lebih baik kalau
pakai otak sedikit. Biarkan pasukan-pasukan
istimewa itu muncul lebih dulu untuk
menghadapi Gu Kim-sing atau Lau Cong-bin.
Biar mereka menggigit bagian yang keras, dan
kita pilih yang agak lunak saja. Karena itu,
jangan buru-buru maju."
Mendengar itu diam-diam Yo Kian-hi memuji
dalam hati. Saat itu, dalam pertempuran di sekitar istana
sudah nampak ada perubahan, pasukan
kerajaan mulai terdesak. Selain kalah jumlah,
mereka juga kalah semangat dan kelelahan.
Pasukan kerajaan mulai mundur dikejar
laskar Pelangi Kuning, kemudian memasuki
pintu-pintu istana yang segera ditutup rapat.
Laskar Pelangi Kuning yang ingin memanjat
tembok istana, berjatuhan seperti cecak karena
dihujani panah dari celah-celah tembok istana
bagian atas. Kembang Jelita 29 54 Namun Gu Kim-sing dan Lau Cong-bin yang
sedang "berlomba" itu, tak peduli berapapun
anak buah mereka yang bakal jatuh menjadi
korban. Mereka memerintahkan terus menggempur, seperti gelombang samudra yang
bolak-balik mendampar pasir tepian. Baik
anggota-anggota regu pendobrak yang memikul
balok besar untuk memecah pintu, maupun
yang berusaha memasang tangga di tembok
istana, telah banyak yang menjadi korban panah
dari atas tembok. Tapi mereka terus maju
menggantikan yang mati, maju, maju. Maju lagi,
karena pemimpin mereka memerintahkan.
Barisan pemanah Pelangi Kuning mencoba
membalas, tetapi kedudukan mereka kurang
menguntungkan. Mereka berada di tempat
terbuka, sedang lawan-lawan mereka ada di
atas tembok yang dilengkapi celah-celah untuk
memanah. Tetapi, biarpun dengan korban amat banyak,
akhirnya berhasil juga laskar Gu Kim-sing
menghantam pecah salah satu pintu gerbang
istana. Disertai sorak gemuruh, berbondongKembang Jelita 29
55 bondong mereka menyerbu pintu itu, namun di
balik pintu mereka segera ditahan pasukanpasukan istimewa istana yang kelasnya di atas
prajurit-prajurit biasa. Jadi kemajuan mereka
terhambat sementara waktu, sedang yang
masih di luar pintu, masih tetap menjadi
incaran pemanah-pemanah dari atas tembok.
Dari kejauhan, Li Giam menilai situasi lewat
teropongnya, lalu perintahnya, "Sekarang kita
maju. Pasukan pelopor lebih dulu."
Ternyata Li Giam punya persiapan jauh lebih
matang untuk menembus pertahanan istana.
berdasarkan laporan-laporan rahasia dari Tan
Wan-wan selama ini, ia punya denah lengkap
istana, terutama urusan pertahanannya. Maka
dia-pun sudah menyiapkan suatu cara yang
tidak harus obral nyawa seperti Gu Kim-sing
atau Lau Cong-bin. Pasukan pelopor itu adalah seratus orang
pilihan, dengan tangan satu membawa tameng
lebar, sedang tangan lain membawa senjata
andalan mereka yang beraneka ragam. Ada
pedang, tombak, golok, ruyung, rantai, kampak,
Kembang Jelita 29 56 atau tidak membawa apa-apa selain tameng
karena orang itu rupanya ahli tempur tangan
kosong. Anggota regu juga campur aduk, ada
hwesio, tojin, bahkan ada beberapa perempuan.
Mereka dipilih dari orang-orang yang sanggup
melompat tinggi. Perintah Li Giam menggerakkan mereka
untuk berlari kencang menyeberangi tempat
terbuka di luar tembok istana yang belum
diserang Gu Kim-sing maupun Lau Cong-bin.
Mereka berlari kencang secepat angin, tanpa
bersorak. Begitu cepatnya gerak mereka,
sehingga para perajurit di atas tembok
terlambat menyiapkan "sambutan" untuk
mereka. Paling depan dari regu itu adalah kakak
beradik seperguruan, Oh Kui-hou dan Yo Kianhi yang merasa tidak perlu membawa tameng
segala. Dari atas tembok berluncuran panah-panah,
namun karena lebih banyak prajurit yang
terlambat, maka hanya belasan batang panah
saja yang sempat dilepaskan, dan itupun
Kembang Jelita 29 57 semuanya gagal mengenai sasaran. Kalau tidak
dihadang tameng ya dihindari, malah ada yang
ditangkap dengan tangan. Pada saat para prajurit sedang berteriak
saling memperingatkan teman-teman mereka
akan datangnya serangan yang nyaris tanpa
suara ini, mereka sebenarnya sudah terlambat
sekali. Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi telah melambung
tinggi melompati tembok seperti dua elang
raksasa. Oh Kui-hou serempak menyapukan
sepasang cambuk kulitnya yang masing-masing
sepanjang tiga meter, dan prajurit-prajurit
pemanah di balik tembok, dan banyak dari
mereka yang tersapu runtuh babak belur.
Kemudian Yo Kian-hi juga "hinggap" di atas
tembok, sepasang pedang tebalnya beraksi.
Korbannya lebih banyak dari korban kakak
seperguruannya. Kedua saudara seperguruan itu lalu
melompat ke bagian dalam tembok istana,
disusul pendekar-pendekar pendukung Li Giam
Kembang Jelita 29 58 lainnya yang telah "beterbangan" melewati
tembok tanpa sempat dipanah.
Begitu sampai di bagian dalam tembok,
mereka segera berkelahi dengan pengawalpengawal istana, namun anggota kelompok
pendobrak itu sempat memecah diri untuk
membagi tugas seperti yang direncanakan.
Sepertiga menghadapi pengawal-pengawal
istana, sepertiga mencoba "membersihkan"
pemanah-pemanah di atas tembok, sepertiga
lagi menerobos ke pintu, lalu membuka gerbang
istana itu dari sebelah dalam, mementang lebarlebar.
Begitu melihat pintu terbuka, menyerbulah
pasukan depan Li Giam ke dalam istana,
gelombang demi gelombang.
Demikianlah, apa yang dengan susah payah
ingin dicapai Gu Kim-sing atau Lau Cong-bin,
diperoleh Li Giam dengan waktu singkat dan
tanpa banyak korban, karena keunggulan dalam
rencana dan persiapan. Dan semuanya itu tak
lepus dari jasa Tan Wan-wan yang sebelum ini
Kembang Jelita 29 59 banyak menyelundupkan keterangan tentang
keadaan istana. Li Giam sendiri maju bersama pengawalpengawal
kepercayaannya, membawa tombaknya. Ia tidak ingin menjadi penonton
saja sementara anak buahnya menyabung
nyawa. Baku hantampun meledak di dalam istana.
Halaman-halaman, taman-taman, kebun-kebun,
bangsal-bangsal, pagoda-pagoda, parit-parit
berair bening, jembatan jembatan berukir pun
segera jadi porak-poranda semuanya. Bungabunga yang lagi mekar penuh harapan, lumat
terinjak-injak kaki, patung-patung hiasan taman
Kembang Jelita Peruntuh Tahta Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
roboh atau remuk. Kolam-kolam berair jernih
tempat angsa-angsa putih dan ikan Ikan emas
biasanya berenang-renang di antara terataiteratai, menjadi merah dan amis airnya karena
dicemplungi tubuh-tubuh dengan luka merah
menganga. Pagar-pagar susuran yang terukir
halus, kini ditendang roboh begitu saja kalau
dianggap penghalang. Kembang Jelita 29 60 Pasukan istana tidak siap karena mendadaknya serangan itu. Begitu gelombang
serangan pertama tiba, banyak prajurit istana
langsung jadi korban, sedang yang lain-lain
terdesak mundur puluhan langkah sambil
berusaha menahan musuh. Tidak lama
kemudian, pertempuran beralih dari tempat
terbuka ke dalam bangunan-bangunan istana.
Terjadi kejar-mengejar di lorong-lorong
dalam berlantai mengkilat, sergap-menyergap
di antara pintu-pintu ruangan yang sudah copot
engselnya karena ditabrak begitu saja.
Melihat itu, Li Giam meneriakkan perintah
kepada orang-orangnya, "Musuh yang menyerah cukup diikat saja, jangan dibunuh!
Hindarkan kerusakan sebisa-bisanya!"
Perintah yang baik memang. Namun selagi
hati terbakar, berapa banyak yang menghiraukan perinlah itu" Di saat kebencian
menguasai tindakan, berapa banyak yang mau
repot-repot mencari tali untuk mengikat
tawanan" Dan yang menimbulkan kerusakan itu
Kembang Jelita 29 61 bukan Cuma laskar Pelangi Kuning, tetapi juga
pengawal-pengawal istana.
Li Giam sendiri maju paling depan,
memainkan tombaknya seperti seekor naga
mengamuk, la terus memberi semangat atau
perintah kepada orang-orangnya yang terus
berhasil mendorong mundur pengawalpengawal istana.
Tidak lama kemudian, pengawal-pengawal
istana mendapat bantuan dari bagian dalam,
dan perlawanan mereka mulai agak teratur.
Tapi laskar Pelangi Kuning juga terus
membanjir dari luar, dan orang-orangnya Li
Giam itu mau tidak mau menjadi tandingan
tangguh buat pengawal-pengawal istana.
Mereka bukan orang-orangnya Gu Kim-sing
atau Lau Cong-bin yang main serbu saja
mengandalkan jumlah banyak.
Tak tercegah oleh pasukan istana,
pertempuran menyebar makin luas ke bagianbagian istana lainnya.
Kemudian Ou Hin sendiri muncul membawa
golok Ceng-liong-tonya. Melihat laskar musuh
Kembang Jelita 29 62 sudah maju sejauh itu ke dalam istana, Ou Hin
terkesiap. Cepat-cepal ia mengatur pertahanan,
lalu dia sendiri menghadang Li Giam.
"Kaukah Li Giam, si gembong maling itu?"
bentaknya sambil membacok sengit.
Li Giam dengan tangkas memalangkan
tombaknya untuk menangkis, lalu balas
menikam sambil menjawab, "Li Giam
penyelamat tanah air dari pemerintah Kaisar
bobrok, bukan gembong maling!"
Dan tombaknya dengan tangkas menyerang
berulang kali, memaksa Ou Hin untuk bertahan
sementara. Bagaimanapun juga, faktor usia ada
pengaruhnya. Ou Hin sudah enam puluh tahun,
sedang Li Giam dua puluh tahun lebih muda,
tubuhnya juga lebih alot tergembleng
keprihatinan dan perjuangannya selama ini.
Karena itu, Li Giam segera kelihatan lebih
unggul. Sambil mendesak, Li Giam bertanya, "Tuan
tentunya Goan-swe Ou Hin, pahlawan pembela
tanah air dalam perang melawan bangsa
Manchu di Liau-tung, bawahan Goan-swe CongKembang Jelita 29
63 "Kaukah Li Giam, si gembong maling itu?" bentaknya
sambil membacok sengit. Kembang Jelita 29 64 hoan almarhum yang gagah berani. Benar
tidak?" Sambil bertahan ketat, Ou Hin menjawab
dengan keras kepala, "Jangan coba-coba
melunakkan hatiku dengan rayuan gombalmu!"
Namun dalam keadaan unggul, Li Giam justru
melompat mundur dan berkata dengan
sungguh-sungguh, "Aku menghormat Goan-swe
Wan Cong-hoan dengan setulus hati, bukan
sekedar basa-basi." Sambil berkata demikian, Li Giam melambai
memanggil seorang hulubalang Pelangi Kuning
yang tengah mengatur anakbuahnya belasan
langkah daripadanya, "Saudara Thio, kemarilah!" Orang yang dipanggil itu berusia lima puluh
tahun, berewoknya campuran hitam putih,
tubuhnya tegap, senjatanya ialah sebuah
pentung besar yang ujungnya dihiasi gerigi
berderet seperti gigi serigala, makanya disebut
Long-ge-pang (Pentung Gigi Serigala). Dia
segera melompat mendekat LI Giam.
Kembang Jelita 29 65 Begitu melihat orang ini, terkejutlah Ou Hin,
"Saudara Thio, kaukah ini?"
Karena Thio Gim ini dulu juga perwira
bawahan Jenderal Wan Cong-hoan, bahkan
sahabat Ou Hin. Ketika Wan Cong-hoan
dihukum mati gara-gara fitnahan Co Hua-sun,
Thio Gim menghilang. Dan kini muncul lagi
sudah memakai ikat kepala kuning dalam
rombongan yang menyerbu istana.
Thio Gim pun menjawab, "Benar, inilah aku,
saudara Ou. Sehat-sehat sajakah kau selama
ini?" Sesaat tanya jawab itu begitu akrab,
keduanya lupa sejenak kalau tengah beradu
pasukan sebagai lawan. Namun keduanya cepat
sadar kembali di mana masing-masing sedang
berpihak saat itu. Kata Ou Hin, "Saudara Thio, aku sedih
melihat kau telah memihak kaum pengacau
untuk merobohkan tahta junjunganmu sendiri."
"Hem, junjungan apa" Junjungan berkuping
angin yang mudah terpengaruh bisikan kaum
kebiri untuk menghukum mati hambaKembang Jelita 29
66 hambanya yang benar-benar setia" Aku tidak
sudi punya junjungan macam itu, saudara Ou.
Junjunganku sekarang adalah Joan-ong yang
adil. Negeri ini akan kami selamatkan dari
tangan junjungan tidak becus itu, supaya tidak
terlambat dun keburu direbut bangsa Munchu
yang sama-sama kita benci itu. Saudara Ou,
lebih baik kau dan orang-orangmu menghentikan perlawanan. Percuma mempertaruhkan nyawa untuk Kaisar goblok
yang tidak bisa membedakan antara tukang
fitnah dan patriot sejati, kaupun kelak akan
kecewa seperti Goan-swe kita Wan Cong-hoan."
"Itukah alasan untuk membenarkan pemberontakanmu?" sahut Ou Hin. "Sekarang
istana sudah bersih dari komplotan kotor Co
Hua-sun, jadi tidak ada alasanmu untuk
berontak kepada Kaisar. Namun kalau kau tetap
berontak, kaupun akan diperlakukan sebagai
pemberontak!" Thio Gim geleng-geleng kepala sambil
menarik napas, "Itu penyakit sejak dulu,
saudara Ou. Segala persoalan kauanggap
Kembang Jelita 29 67 gampang-gampangan saja. Kau anggap karena
Co Hua-sun sudah tidak ada, lalu kau akan
berhasil menyulap Kaisar goblok itu menjadi
bijaksana, adil dan berwibawa, begitukah" Dia
tetap akan mengacaukan negeri ini. Selama
orang selemah itu masih bercokol di singgasana,
biarpun satu Co Hua-sun kausingkir-kan, seribu
Co Hua-sun akan tumbuh kembali di
sekelilingnya, dan negara akan tetap moratmarit. Karena itu lebih baik saudara Ou
membantu Joan-ong mengadakan pembaharuan." Tapi Ou Hin tidak mau mendengarnya lagi.
Golok Ceng-liong-tonya berkelebat menyambar,
dan Thio Gim terpaksa membela diri. Maka
bertempurlah dua sahabat yang sama-sama
bekas bawahan Jenderal Wan Cong-hoan
almarhum itu. Baku hantam bersenjata sudah menjalar ke
segala tempat. Orang-orangnya Li Giam sudah
menyebar, ke bagian-bagian istana yang makin
dalam. Sia-sia para pengawal istana mencoba
menghalangi mereka. Sebab dari luar istana pun
Kembang Jelita 29 68 laskar Li Giam membanjir masuk tak hentihentinya, seperti air banjir dari bendungan yang
bobol, malah beberapa pintu istana lagi berhasil
ditembus. Para pengawal istana terus menerus
terpukul mundur. Di antara para pengawal pun
terdapat beberapa jagoan tangguh, namun satu
persatu mereka dirontokkan oleh Oh Kui-hou
atau Yo Kian-hi atau kawan-kawan mereka.
Ketika matahari sudah mencapai puncak
langit, kedua pihak sudah kehilangan banyak
teman. Korban malang-melintang di manamana.
Sementara Ou Hin yang sedang bertarung
dengan Thio Gim, tiba-tiba didekati seorang
pengawal istana yang berlari-lari sambil
melapor dengan kata-kata yang berluncuran
gugup, "Goan-swe.... Sri Baginda.... Sri Baginda
telah...." Jantung Ou Hin berdesir hebat, mengira telah
terjadi apa-apa dengan Kaisar. Ia lalu melompat
mundur meninggalkan Thio Gim dan berlari-lari
menuju Yang-wan-hu, tempat keluarga istana
Kembang Jelita 29 69 berkumpul. Sedang Thio Gim lalu dihadapi
seorang perwira istana yang bersenjata
sepasang Tiat-cu (Bola Besi Bertangkai Pendek).
Seperti dikejar setan Ou Hin berlari ke Yangwan-hu, dan kemudian apa yang dilihatnya di
situ amat mengejutkannya.
Ruang itu penuh tubuh-tubuh bergelimpangan. Antara lain Permaisuri,
diantara tubuh selir-selir Kaisar. Nampak pula
Puteri Tiang-ping tergeletak dengan sebelah
lengan putus. Nampak Puteri itu masih
bernapas lemah, matanya terpejam dan
wajahnya amat pucat. "Pemberontak-pemberontak
keparat, sungguh kejam kalian!" Ou Hin meluapkan
kegusarannya. "Aku akan menumpas kalian
sampai orang terakhir!"
Tetapi ketika sekali lagi ia memperhatikan
Kembang Jelita Peruntuh Tahta Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tubuh-tubuh berdarah itu, ia merasa ada
sesuatu yang kurang. Kaisar Cong-ceng dan
Putera Mahkota tidak ada di antara mereka.
Selagi termangu-mangu, tiba-tiba dari balik
penyekat ruangan terdengar suara tertahan.
Kembang Jelita 29 70 Cepat Ou Hin memutar tubuh dan membentak,
"Siapa" Keluar!"
Dari balik penyekat itu muncullah Pek-hong,
dayang kesayangan Puteri Tiang-ping, wajahnya
penuh air mata dan belum terbebas dari
perasaan ngeri. Ia juga menggandeng Putera
Mahkota yang masih menangis tertahan-tahan.
"Yang.... yang melakukan ini.... bukan....
bukan.... pemberontak...." tutur Pek-hong di
sele-sela isak tangisnya.
"Lalu siapa?" "Sri Baginda.... sendiri...."
Hampir-hampir tak percaya Ou Hin
mendengarnya, "Hah" Sri Baginda sendiri yang
melakukannya" Untuk apa?"
Biarpun suaranya masih tidak jelas karena
diselingi isak tangis, Pek-hong mulai bertutur.
Ketika Kaisar Cong-ceng mendengar kaum
Pelangi Kuning telah mengepung istana, bahkan
kemudian memasuki istana tanpa terbendung
oleh para pengawal, Kaisar menjadi sedih, putus
asa, dan mendadak kalap, la lalu mengambil
pedang dan membunuh Permaisuri serta selir,
Kembang Jelita 29 71 karena kuatir, kalau mereka tetap hidup tentu
akan dihina habis-habisan oleh kaum Pelangi
Kuning, jadi lebih baik dibunuh saja. Puteri
Tiang-ping juga hendak disabet dengan pedang,
namun Puteri itu terpeleset karena ruangan itu
penuh darah lantainya, sehingga hanya sebelah
lengannya yang terbabat putus. Sesudah itu,
Kaisar pergi. Sedang Putera Mahkota tidak
terbunuh karena cepat-cepat diselamatkan oleh
Pek-hong. Ou Hin seolah kehilangan pikiran dan
perasaannya mendengar kisah sehebat itu.
Apakah Kaisar sudah miring otaknya sehingga
berbuat demikian" "Sekarang Sri Baginda ke mana?" tanya Ou
Hin. "Beliau.... berlari-lari membawa pedang, ke
arah bukit Bwe-san."
Ou Hin melompat dan berlari ke arah itu.
Sepanjang jalan ia berpapasan dengan
pengawal-pengawal yang berlarian ke sana ke
mari, komandan-komandan yang berteriakteriak mengatur anak buahnya, abdi-abdi istana
Kembang Jelita 29 72 lelaki dan perempuan yang simpang siur sambil
menjerit-jerit ketakutan. Pokoknya tak terkatakan kacaunya istana itu.
Namun semuanya tidak digubris Ou Hin,
langkahnya terus dipacu ke arah bukit Bwe-san.
Dan ketika ia basah kuyup keringat serta
terengah-engah sampai ke tempat itu, yang
ditemuinya hanyalah mayat Kaisar Cong-ceng.
Menggantung diri di bawah sebuah pohon.
Rambutnya awut-awutan, mahkotanya tergeletak di tanah, sudah penyok terinjakinjak.
Hati Ou Hin terasa dingin, tenggelam.
Beberapa saat kemudian didengarnya derap
langkah berlari-lari mendekatinya. Seorang
perwira begitu gugup sampai tidak melihat
mayat Kaisar yang tergantung, "Goan-swe,
musuh hampir sampai ke Yang-wan-hu. Kita....
kita.... harus bagaimana" Kami menunggu
perintah Goan-swe...."
Dengan amat tenang dan pasrah, Ou Hin
memerintahkan, "Perintahkan semuanya untuk
menyerah, tapi tagih janji Li Giam untuk tidak
Kembang Jelita 29 73 mengganggu Puteri Tiang-ping dan Putera
Mahkota. Mudah-mudahan Li Giam masih
punya setitik belas kasihan. Kudengar ia orang
baik..." "Menyerah?" perwira itu tercengang.
"Ya, tak ada gunanya lagi menambah korban.
Cepat laksanakan." Perwira itupun berlari-lari pergi, kembali tak
sempat menoleh sekejap pun ke arah mayat
Kaisar yang masih bergoyang-goyang tergantung di pohon. Ou Hin kemudian dengan khidmat berlutut di
depan tubuh itu, melepas topi perangnya untuk
diletakkan di tanah, lalu menyembah beberapa
kali. Katanya khidmat, "Hamba gagal melakukan
yang terbaik buat Tuanku, meskipun telah
berusaha sebisa-bisa hamba. Hamba yang tidak
berguna ini biarlah ikut Tuanku untuk melayani
di alam sana." Dan golok Ceng-liong-to kesayangannya itu
sekarang menjadi alat kematiannya sendiri.
Dengan mantap tanpa ragu-ragu, ia menebas
lehernya sendiri. Kembang Jelita 29 74 Dan golok Ceng-liong-to kesayangannya itu sekarang
menjadi alat kematiannya sendiri.
Kembang Jelita 29 75 Hari Jtu adalah hari ke tujuh belas, bulan ke
tiga dan tahun ke tujuh belas pula dari
pemerintahan Kaisar Cong-ceng. Di tahun 1644
Masehi. Joan-ong Li Cu-seng naik tahta dengan gelar
Kaisar Tiong-ong. Namun di timur laut masih ada Kerejaan
Ceng (Manchu) yang tak pernah padam
ambisinya untuk mencaplok wilayah tengah.
Sedang di selatan masih ada bangsawanbangsawan dan jenderal-jenderal Kerajaan
Beng yang didukung angkatan perang yang
kuat. Jadi si Kaisar Tiong-ong ini baru
menguasai separuh wilayah Tiong-goan, yaitu
bagian utaranya saja. Pada hari penobatannya, seekor burung
merpati terbang lepas ke angkasa, dilepas dari
sebuah rumah kampung di tengah-tengah Pakkhia. Di kaki sang merpati terikat sebuah
bumbung kecil dan ringan, berisi sebuah pesan
rahasia. Tentu binatang itu tak sadar bahwa
dirinyapun sebetulnya seekor tokoh sejarah.
Kembang Jelita 29 76 Ia meluncur ke timur laut, lalu menukik
turun ke arah kota Jiat-ho. ibu kota Kerajaan
Ceng. Setelah lewat beberapa tangan, pesan rahasia
itu sampai ke tangan Pangeran To Ji-kun yang
bergelar Sit-ceng-ong, wakil Kaisar Sun-ti yang
belum cukup umur untuk menjalankan
pemerintahan sendiri. Begitu menerima pesan rahasia, Pangeran To
Ji-kun langsung berangkat meninggalkan Jiat-ho
menuju ke perkemahan angkatan perang Wiceng-ong To Sek-kun, adiknya, yang letaknya
berhadapan tidak jauh dari San-hai-koan, pos
tapal batas terdepan Kerajaan Beng yang dijaga
Bu Sam-kui. Rapat lengkap segera diselenggarakan di
perkemahan itu. Dihadiri Pangeran To Ji-kun,
Pangeran To Sek-kun, Kun-su (Penasehat
Militer) Kat Hu-yong dan semua komandan
pasukan. Pesan rahasia dari Pak-khia itu
dibahas, usul-usul ditampung dan diolah, dan
pada larut malam sebuah keputusan pun
diambil. Kembang Jelita 29 77 Peserta rapat itu bubar kembali.
Pangeran To Ji-kun tidak merasa mengantuk
karena semangatnya sedang bergolak. la
berjalan keluar kemahnya, matanya menatap
jauh ke arah barat daya, seolah-olah ingin
melihat kota Pak-khia dari jarak ribuan li.
Tiba-tiba didengarnya bendera Ngo-jiau Kimliong-ki (Naga Emas Berkuku Lima), bendera
Kerajaan Machu, di atas kepalanya itu
mengepak-ngepak keras, seolah meronta-ronta
kerasukan roh dewa perang yang menunggangi
angin malam. Pangeran To Ji-kun menengadah dan tertawa
perlahan, katanya kepada bendera itu,
"Sabarlah sobat. Tidak akan lama lagi...."
TAMAT. Kidul Tidar, 18 Nopember 1988.
Sumber Image : Koh Awie Dermawan
first share in Kolektor E-book
Pringsewu 9/07/2018 10 : 41 PM
Kembang Jelita 29 78 Jejak Di Balik Kabut 12 Pembawa Kabar Dari Andalusia Karya Ali Al Ghareem Taiko 26
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama