Ceritasilat Novel Online

Manekin 4

Manekin Karya Abdullah Harahap Bagian 4


Rinda sudah tahu. Tetapi pikirannya sedang dilecut oleh apa yang barusan ia dengar. Seorang komandan rayon militer! Dan Rendi yang secara samar-samar pernah mengatakan dari apa atau siapa ia lari!
"Dia bilang." sang wali kota menjawab sendiri pertanyaannya, karena sang nyonya rumah hanya diam membisu. "Dia tidak pernah berpikir untuk mengambil apalagi meminta. Yang ada dalam pikirannya hanyalah apa yang patut ia berikan sebagai anak dari Ibu Pertiwi!" Sang wali kota berdecak decak kagum. "Luar biasa, bukan?"
Prasetyo batuk-batuk kecil untuk memperingatkan istrinya. Rinda segera tersadar dunia mana dan apa yang sedang ia hadapi. Menghela napas panjang sesaat, ia memaksakan diri untuk tersenyum.
"Begitulah almarhum kakek sepupu saya, Pak Wali." katanya. Dengan pikiran masih saja menarawang. "Dan sampai kapan pun, saya akan tetap bangga dan menjadikan beliau sebagai panutan saya!"
'Atau panutan semua anak negeri ini!" Heri Herlambang mengangguk setuju. Lantas berdiri untuk pamitan. "Walau cuma beberapa menit. aku benarbenar gembira dapat mengunjungi Anda untuk menyatakan belasungkawa secara pribadi. Tetapi, banyak sekali tugas yang menungguku di kantor.
Maka, jika Anda berdua perlu sesuatu yang bisa kubantu..."
"Terima kasih, Pak Wali!" Rinda cepat menyela seraya bangkit dari kursinya, diikuti oleh sang suami. "Kedatangan Pak Wali sudah sangat membantu. Paling tidak... yah, untuk mengurangi duka cita saya!"
"Oke kalau begitu!" Sang wali kota mengulurkan tangan yang segera disambut oleh nyonya dan tuan rumahnya. "jangan lupa memberitahu jika kalian berdua sudah memutuskan untuk kembali ke jakarta!"
Karena sang istri diam saja, Prasetyo lantas mewakili. "Pasti. Terima kasih, Pak Wali!"
Prasetyo masih juga harus menggamit lengan istrinya agar ikut mengantar sang tamu ke pintu. Sebelum keluar, sang tamu tiba-tiba berhenti dan bertanya dengan nada sambil lalu.
"Oh ya, Bu Rinda. Liburan terakhirmu di Turen bersama almarhum pasti menggembirakan, tentunya!"
Tulang punggung Rinda kembali terasa sakit. Tetapi ia tahan sekuat daya, lantas bertanya. Polos.
"Kok Bapak tahu juga ya?"
"Karena," jawab Heri Herlambang hari-hati. "waktu itu aku masih jadi Dan Ramil di sana. Dan almarhum sempat sowan ke kantorku!"
"Sowan?" Tulang punggung Rinda terasa makin kaku saja. "Ke Bapak?"
"Persisnya mengunjungi Praka atau Prajurit Kepala Kartijo. sopirku yang memperkenalkan saudara kembarmu padaku sebagai teman satu bangkunya di
SD. Bahkan kalau tak salah ingat, juga teman berkeliaran di terminal Turen. Sebagai penyemir sepatu.?"
"Praka Kartijo?" tanya Rinda dengan mata menerawang.
"Benar!" angguk sang wali kota. "Tetapi dia sudah gugur sewaktu menjalankan tugas di luar Maumere, Timor Timur!" Diam sejenak, Heri Herlambang cepat mengingatkan. "Bagaimana dengan pertanyaanku tadi, Bu Rinda?"
"Tentang?" desah Rinda terkejut.
"Liburan kalian. Di Turen..."
"Oh. itu!" Sekali lagi Rinda memaksakan diri untuk tersenyum. Diam berpikir sejenak. ia lalu memutuskan untuk memberitahu apa adanya. "Mulanya memang menggembirakan..."
Heri Herlambang pun mengeryitkan dahi. "Mulanya?"
Rinda mengangguk. Dan berusaha keras agar wajahnya serta suaranya tidak tegang ketika ia menambahkan, "Tetapi baru juga satu malam, Rendi tiba-tiba mengajakku buru-buru kembali ke Jakarta!"
"Oh ya?" Wajah sang wali kota tampak biasabiasa saja ketika ia meneruskan. "Mengapa?"
Rinda mengawasi wajah yang tampak tenang itu. Berusaha mencari tahu apa yang ada di sebaliknya. Tetapi setelah tidak menemukan apa-apa, ia menyerah.
"Entahlah. Dia tak pernah memberitahu alasannya. Bahkan sampai sekarang pun, saya sendiri masih tetap penasaran!"
"Begitu," gumam sang tamu, masih tetap dengan wajah yang sukar dibaca. Lantas dengan cepat ia tersenyum lagi. Gembira. Dan tampak tulus. "Jangan terlalu dipikirkan. Bu Rinda. Karena, siapa tahu kita pun kelak. mungkin saja membawa rahasia sendiri-sendiri sampai ke alam kubur. Iya toh?" Sebelum Rinda sempat menjawab, Heri Herlambang sudah mengakhiri. "Selamat tinggal. Senang berkenalan lebih dekat, khususnya dengan cucu sepupu seorang pejuang sejati!"
Sang wali kota pun berlalu. Dengan seringai lebar yang langsung disambut oleh seringai lebar lainnya dari direktur hotel yang sudah menunggu sejak tadi di luar pintu kamar yang ditempati Rinda bersama suami.
Mengulurkan tangan dan memperkenalkan diri, sang direktur berjalan mendampingi di sepanjang koridor, sambil dengan gugup menyatakan permin_ taan maafnya karena kunjungan mendadak orang nomor satu di kota mereka itu tidak terlayani sebagaimana mestinya.
"Saya masih di rumah ketika staf saya menelepon bahwa..." Dan setiba di lobi. direktur hotel yang punya naluri bisnis itu dengan malu-malu berkata, "Akan menyenangkan sekali andaikata Pak Wali bermurah hati untuk mengisi kesan atau pesan di buku tamu kami. Sepatah dua pun. jadilah!"
"Tetapi aku bukan..."
Sang direktur cepat menanggapi. "Soal menginapnya, silakan kapan dan berapa lama Pak Wali ingin. Dan, gratis tentunya!"
Mau tak mau Heri Herlambang mendekat juga
ke meja resepsionis tempat beberapa orang staf hotel sudah berjajar menanti.
Bak pagar betis saja! Lalu pada halaman buku tamu yang disediakan sudah terbuka, Heri Herlambang pun menulis namanya pada urutan nomor yang sudah ada. Dilengkapi jabatan-ia juga membutuhkan popularitas, bukan" lalu ia menulis pada lajur kesan dan pesan. Pendek saja: menyenangkan!
Makin lebarlah seringai direktur hotel yang terus mendampingi sampai ke pelataran parkir, bahkan kemudian terbungkuk-bungkuk melebarkan pintu mobil dinas sang wali kota yang sudah lebih dulu dibuka oleh sopir pribadi si orang nomor satu, Reinaldi.
"Membosankan!" Heri Herlambang langsung menggerutu begitu pintu mobil ditutupkan oleh sang direktur, masih dengan terbungkuk-bungkuk. "Jika manusia-manusia semacam itulah yang harus kuhadapi. lebih enak rasanya bila dua bulan yang lalu aku memilih jadi komandan Korem!"
Reinaldi diam saja. Dan sementara mobil meluncur ke jalan raya. Heri Herlambang duduk diam di kursi belakang. Merenung. lalu. "Tetapi paling tidak, Ronald, cerita yang kukutip dari dalam sana cukup memuaskan. Hanya saja, sepertinya aku telah membuat kesalahan kecil !'
Reinaldi tetap berdiam diri.
Ia cuma seorang sopir. Merangkap pengawal pribadi, itu benar. Namun Reinaldi tetap saja seorang
bawahan. Yang tidak pantas untuk bertanya kesalahan apa yang sudah diperbuat oleh atasannya. Konon lagi. bila atasanmu itu seorang wali kota!
Seorang wali kota! *** "Bukankah itu aneh?" Prasetyo bertanya di tempatnya berdiri di dekat jendela. mengawasi mobil tamu mereka yang kemudian membaur dengan lalu lintas di jalan raya. Seraya menggeleng-geleng kepala. ia mendekat lalu duduk di sebuah kursi. Berhadapan dengan sang istri yang wajahnya tampak pucat dan tegang.
"Kemarin siang, menyampaikan sendiri pidato di pemakaman. Dan barusan tadi..." Prasetyo berhenti setelah menyadari ketegangan dan kepucatan wajah istrinya. "Apa. Ririn?"
Agak lambat, barulah bibir mungil Rinda menggeremet dengan susah payah. Dan suaranya yang kemudian keluar, nyaris menyerupai bisikan. Lirih dan terdengar sayup.
"Kita harus menelepon Mas Eko!"
"Eko?" "Eko Prayitno. sepupuku yang di Turen. Putra sulung almarhum kakek Kusparmono!"
"Untuk?" "Mencari tahu!" Rinda menarik napas berulang ulang. Dan suaranya pun kini terdengar lebih jelas, meski sedikit gemetar. "Pertama, mengenai apa sesungguhnya yang terjadi pada hari itu. Hari waktu Rendi mengajakku lari dari Turen. Lalu. lakarta!"
'Dan?" 'Mencari tahu. apakah benar dia gugur di Timtim," jawab Rinda cepat. Dengan mata menerawang, "Atau seperti Rendi... dibunuh!"
'Dia?" 'Kartijo, yang tadi disebut-sebut oleh Kolonel itu. Sang prajurit kepala, sopirnya selagi menjadi komandan rayon militer di Turen!"
Prasetyo tadi sudah mendengar. Maka ia pun sudah menduga keinginan istrinya itu akan muncul juga akhirnya. Berpikir sejenak, ia kemudian bertanya. Lembut. "Nanti dulu, Ririn. Agaknya kau menyembunyikan sesuatu padaku, ya?"
Bimbang sejenak, Rinda akhirnya memberitahu. "Telepon dari Rendi. Pagi hari sebelum dia meninggal!"
"Oh"!" "Untuk kau ketahui, Mas Pras. Semenjak lari dari Turen, Rendi sekali-sekali pernah lepas omong." Rinda menjelaskan dengan wajah berubah murung. "bahwa dia meninggalkan dosa besar di sana. Dosa apa, dia tak pernah mau memberitahu. Bahkan juga di teleponnya. pagi itu!"
'Apa yang dia bicarakan?"
"Bahwa. dia tidak akan lari lagi. Karena orang dari siapa dia lari, tiba-tiba sudah muncul di hadapannya. lalu dia bilang. dosa besar itu akan mcreka tanggung bersama-sama. Apa pun juga risikonya!"
Kalimat terakhir diucapkan Rinda dengan suara tegang. Membuat Prasetyo ikut-ikutan tegang.
"Aneh. Ditanggung bersama. Dengan orang dari siapa dia lari! Apa maksudnya?"
"Entah. Karena Rendi keburu menutup telepon. Setelah lebih dulu memperingatkan supaya aku tetap tenang. Supaya aku percaya bahwa dia... seperti dulu-dulu, pasti dapat menyelesaikannya dengan baik. Dan dia akan menelepon kembali!"
Yang ternyata tidak. pikir Prasetyo. Karena Rendi keburu mati. Dan di hadapannya kini, sang istri tampak meneteskan air mata dengan pundak gemetar oleh perasaan yang sangat terluka.
Prasetyo bangkit lalu pindah duduk di sebelah istrinya yang dirangkulnya lembut, sambil berkata, "Seharusnya kau beritahukan padaku. Sehingga kita dapat bertukar pikiran. Dan..."
"Mengenai dosa besar Rendi-ku?" isak Rinda. Tersendat-senda. "Yang aku sendiri tidak tahu apa?"
"Kita masih bisa mendatangi dan berbicara dengannya. bukan?"
Pertanyaan bodoh, Prasetyo. Karena tak ada gunanya lagi. Rendi toh sudah mati. Namun bukan itu jawaban yang keluar dari mulut sang istri.
"Lantas kita dimarahi!" kata Rinda. terisak. "Sesuatu, yang selalu kujaga semenjak kami masih bocah. Tidak mau membuat Rendi-ku kecewa. Membuat kebanggaan dirinya terluka!"
"Sudahlah...!" Namun toh tak perlu waktu sebelum akhirnya sang istri kembali tenang dan mereka berdua dapat bertukar pikiran dengan kepala dingin dan pikiran yang lebih jernih.
"Mengenai telepon ke Turen..." Prasetyo akhirnya berkata. "Sebaiknya, kita lupakan saja!"
"Dilupakan?" desah Rinda. Terkejut.
"Seperti halnya Rendi," jawab Prasetyo. Hatihati. "Prajurit kepala yang juga sahabat masa kecilnya itu, tak mungkin lagi berbicara, bukan?"
"Tetapi..." "Serahkan saja urusan Turen itu pada polisi!"
"Polisi?" "Bursok Sembiring!" Prasetyo memberitahu. "Sewaktu kau asyik bercerita padanya, aku sempat mendengar dua kali Ajun Komisaris itu menggumamkan kata Turen. Sambil mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja!"
"Aku tak mengerti...."
"Sederhana saja, Ririn!' Prasetyo tersenyum. Menghibur. "Tanpa kau beritahu atau minta pun. aku yakin dia sudah mengirimkan orang-orangnya ke Turen!"
"Tanpa dilengkapi data sebagai bekal?" tanya Rinda. Tak percaya. "Tentang apa atau siapa yang harus mereka datangi?"
"Turen cuma kota kecamatan,' jawab Prasetyo yakin. "Buat polisi. kota sekecil itu boleh dibilang tinggal membalik telapak tangan. Dan lagi, kau pun sudah memberi petunjuk untuk mereka telusuri!"
"Aku?" Prasetyo mengangguk. Tenang.
*** MOBIL dinas wali kota meluncur masuk tak berapa lama setelah seorang polisi berpakaian preman bersama sepeda motornya berlalu dari depan pos jaga di dekat gerbang utama. Tegak menghormat, satu dari dua orang satpam di pos penjagaan itu tampak melambai ke arah sopir di belakang kemudi.
Reinaldi mengangguk. Dan setelah menurunkan majikannya di pintu masuk gedung. ia cepat-cepat memarkir mobil di pelataran yang ada tanda khususnya, lalu bergegas menuju pos.
"Barusan tadi polisi ke sini memberi kabar," satpam yang tadi melambai berkata terbata-bata, "Mengenai saudara angkatmu. Markus!"
Dengan wajah pucat pasi, lima menit kemudian Reinaldi sudah menerobos masuk ke ruang kerja majikannya lalu bercerita dengan "gagap-gagap. Selesai ia bercerita. bukan hanya wajah Reinaldi saja yang pucat.
Tetapi juga, sang wali kota.
*** Pada waktu sama, di sekitar kuburan Rendi.
Terdengarlah suara lirih dan sayup itu berbisik tajam. "Mereka mulai panik. Rendi!"
Seorang warga setempat yang biasa mengambil jalan pintas lewat kompleks kuburan untuk sampai ke halte bis yang terdekat. seketika ter-tegak menegun. Lalu cepat memandang kiri-kanan. Tak ada manusia lain di dekatnya. Kecuali jajaran batu nisan serta gundukan kubur yang pada diam membeku.
'Bangkit?" bisikan itu terdengar lagi.
Si pejalan kaki cepat menoleh. Langsung ke kuburan di sebelah kirinya. Kuburan yang masih baru. dengan taburan bunga rampai yang sudah mulai layu. Pada kayu nisannya terbaca jelas satu nama: Rendi Suhandinara.
Dan kayu nisan itu bergetar. Disertai suara bisikan lirih yang terdengar sayup tadi.
'Aku memang sudah tak sabar untuk bangkit. Rendi. Tetapi..."
"Tidak. Jangan sekarang!" si pejalan kaki bergumam. Tegang. Sebagai warga setempat, ia sudah terbiasa melihat apalagi mendengar kejadian-kejadian aneh di kompleks tetangganya itu. Tetapi biasanya hanya pada malam hari. Bukan di siang bolong begini!
"Kumohon dengan sangat," gumamnya lagi. Gemetar. "Perkenankanlah aku lewat dulu. Tanpa diganggu!"
lantas, dengan cepat si pejalan kaki pun memutar tubuh.
Lari secepat kakinya mampu dan nyaris me. nabrak moncong bus kota yang pas lagi berhenti di halte yang ia tuju. Sopir bus mengumpat dengan kasar. Tetapi si pejalan kaki justru membalas dengan seringai lebar.
Gembira karena banyak orang di sekitarnya, ia pun naiklah.
Dengan senang hati. *** FAKS. Komandan," Hadi Saputra berkata. "Dari Malang!"
Bursok cepat menyambar dan langsung membaca faksimile yang disodorkan oleh ajudannya tersebut. Kop serta cap yang tercantum memang resmi dari rekan sejawat mereka di Polres Malang, ditandatangani oleh inspektur Satu Polisi Baharuddinsyah, teman satu angkatan Hadi Saputra di Institut Kepolisian Magelang.
Tetapi isi faksimile hampir keseluruhannya laporan dari Polsek Turen, yang agaknya telah diperintahkan supaya bekerja ekstra keras. Mungkin dengan mengerahkan segenap personel yang ada. Tertulis data pribadi Rendi serta saudara kembarnya Rinda, nama beberapa orang kerabat dekat serta saksi-saksi lain yang dimintai keterangan. Lengkap dengan hari serta tanggal kedua orang bersaudara kembar itu terakhir meninggalkan Turen, disertai sejumlah keterangan yang dipecah menjadi tiga bagian.
A. Tidak ada peristiwa istimewa pada hari ter
sebut, kecuali satu kasus perampokan bersenjata, satu bunuh diri (Hendarji, 35 thn. pekerja pabrik kuningan), dan satu kecelakaan biasa (Ayuningsari, janda 25 thn, desas desus mengatakan hamil muda. Mati tergelincir ke jurang).
B. Tidak ada petunjuk bahwa subjek maupun saudara kembarnya terikat dengan ketiga kasus. Namun masih akan terus diselidiki, khususnya dengan kasus bunuh diri.
C. Tanggal serta hari dimaksud, diingat betul oleh saksi bernama Eko Prayitno (45thn, kerabat sepupu subjek). Dengan dua alasan:
C-1 Subjek serta saudara kembarnya berencana libur satu minggu, tetapi baru satu malam subjek berdua mendadak meninggalkan rumah saksi. Pulang ke Jakarta, tanpa alasan yang jelas.
C-2. Hari berikutnya. ayah saksi (Kusparmono. 70 thn) meninggal dunia karena usia tua. Subjek berdua tidak datang melayat. karena memang tidak tahu dan ketika dihubungi ke Jakarta ternyata subjek berdua sudah pindah mendadak. Juga tanpa alasan dan alamat pindah yang jelas.
Sampai di situ, Bursok sedikit pun tidak menaruh minat. Minatnya baru tergugah setelah membaca bagian akhir faksimile yang dimulai dengan dua perkataan serta digaris-bawahi: senjata, kuasa. Yang keterangannya juga dipecah.
|. Menurut saksi EP, hari kedua setiba subjek di Turen, subjek pergi berburu burung dengan teman sekolah dan sahabat masa kecil subjek, Praka TNIAD Kartijo. Praka Kartijo datang melayat pada waktu ayah saksi meninggal, dan bertanya-tanya
mengenai keberadaan subjek dan mengaku tidak tahu menahu alasan subjek pulang mendadak ke Jakarta.
2. Praka Kartijo sehari-harinya adalah sopir Dan Ramil setempat pada waktu dimaksud. Kapten TNI-AD Heri Herlambang. Kabar terakhir menyebut Prajurit Kepala itu gugur di Timtim. dan...
"Heri Herlambang!" Bursok mengangkat muka. dengan wajah yang tiba-tiba tampak mengeras.
"Wali kota kita yang baru!" Hadi Saputra menyambung, dengan wajah lebih serius.
Diam berpikir seraya mengawasi ajudannya, Bursok kemudian menggeleng-geleng dan berkata raguragu.
"Nama yang kebetulan sama mungkin?" Diam lagi. ia lalu memberi perintah pada Hadi Saputra. "Telusuri itu. inspektur! Siapa tahu kita..."
Tak perlu. Karena keberuntungan agaknya sedang berpihak pada Bursok.
Dimulai dengan ketukan pada pintu yang memutus kata-kata Bursok. masuklah ke ruang kerjanya tiga anggota tim kasus Rendi. Polwan Diana 'Lady Di' Medina, Bharada Polisi Sodikin, dan Bharada Polisi Ahmad yang mula mula tampak ragu tetapi kemudian menyodorkan selembar kertas yang dibawanya ke tangan Hadi Saputra yang cepat membaca lantas wajahnya tampak tegang.
"Apa?" gumam Bursok. Tak sabar.
Hadi Saputra segera menyodorkan lagi kertas yang ia terima ke tangan Bunok. Faksimile susulan dari Polres Malang. Juga ditandatangani lptu
Baharuddiansyah, dan ditujukan untuk temannya seakademi.
Isinya singkat saja. "Bingo, Hadi! Baru saja masuk info yang menyebutkan bahwa H.H. kini menduduki jabatan sebagai orang nomor satu di kota Anda!"
Bursok meletakkan faksimile tersebut di atas lembaran faksimile pertama yang sudah selesai ia baca. Lantas duduk diam, berpikir. Sementara keempat orang anak buahnya berdiri menunggu dengan sabar.
Mcngetukkan buku-buku jari tangannya ke meja, Bursok kemudian menghela napas lalu berpaling pada Bharada Sodikin.
"Nah, Sodik?" "Siap, Komandan!" Sodikin melunaskan tegaknya lantas melapor. "Saya sudah menanyai paling sedikit lima orang saksi. khususnya petugas resepsionis. Keterangannya sama. Saksi utama kita beserta suaminya. sepanjang malam tadi tidak terlihat meninggalkan hotel. Terutama sekitar waktu yang dicurigai!"
"Seperti sudah kuduga!" Angguk Bursok. murung. "Alibi yang meyakinkan. Tetapi. kekuatan apa sesungguhnya yang dimiliki oleh wanita itu?"
Tak seorang pun yang menyahuti karena memang pertanyaan itu lebih ditujukan Bursok pada diri sendiri. Diam lagi berpikir. ganti ia berpaling pada Brigadir Dua Polisi Diana Medina.
"Bagaimana dengan kau. lady?"
Cemberut sesaat, sang Polwan memberitahu. dengan tenang. "Pertama, Komandan. Saya dan Bharada Sodikin tiba di hotel, lima menit setelah
saksi utama kita ditinggalkan oleh tamu istimewa mereka yang tiba-tiba datang berkunjung!"
"Tamu istimewa?"
"Wali kota kita yang baru," jawab Diana. Tetap tenang. "Bapak Heri Herlambang!"
Sejenak bertukar pandang dengan Hadi Saputra. Bursok bergumam lirih. "Dewi Fortuna-ku!" Lalu cepat meneruskan. "Alasan kunjungan, Brigadir?"
"Saksi bilang. kunjungan biasa. Untuk menyatakan belasungkawa secara pribadi...."
"Cuma itu?" Diana mengangguk lalu menambahkan, "Mengutip kata-kata saksi. Komandan mestinya lebih tahu!"
Bursok pun mengernyitkan dahi. "Aku?"
"Saya juga sudah menanyakannya, Komandan!" jawab Diana. "Tetapi saksi tidak bersedia mengatakan apa-apa lagi!"
"Hm, aneh juga. Tetapi..." Bursok diam lagi. Berpikir. lalu menggeleng keras. "Ya. sudahlah. Apa lagi?"
"Sesuai perintah, saya beritahu alasan sampingan kunjungan saya. Membatalkan pengidentihkasian oleh saksi, karena tersangka yang dicurigai sudah ditemukan...."
"Jadi mayat!" Angguk Bursok. Wajahnya kembali murung. Dan matanya menerawang. Jauh. Nyaris tanpa minat. ia bertanya lagi. "Dan?"
"Mengenai yang lainnya. Komandan...' jawab Diana. Kali ini wajahnya tidak lagi setenang tadi. Malah terkesan ragu. "Mulanya. saksi enggan bercerita. Katanya. malu!"
"Malu?" "Tetapi akhirnya dia mau juga bercerita. setelah saya bilang mungkin saja status dirinya ditingkatkan jadi tersangka. Dan..."
"Apa?" desak Bursok setelah sang polwan dua tiga detik hanya diam saja.
"Memang sangat sensitif, Komandan. Karena ceritanya menyangkut..." Lagi Diana terdiam. sebelum dengan kulit muka yang berubah kemerahan ia melanjutkan, "Hubungan seks!"
Sementara yang lain diam menatap. Hadi Saputra bergumam penuh gairah.
"Wah. Asyik, pasti!"
Menoleh pada sang Inspektur. Diana berpikir sejenak lantas tersenyum. Mengejek.
"Ringkasnya," ia kemudian kembali berbicara pada komandan mereka. "saksi merasa dirinya berada di ruangan luas yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Ada mobil ringsek, bau cat, tiner, dan entah apalagi. Saksi juga bilang, bahwa dirinya merasa memang sudah menunggu. Lalu korban-yang kita kenali sebagai Markus-datang. Dan hubungan seks pun berlangsung. Titik!"
Hadi Saputra tersenyum. "Titik bagaimana" Jangan begitu, ah. Ceritakan saja apa yang kau dengar, lady. Tahap demi tahap...!"
"Tutup mulutmu. Inspektur!" Bursok menyela. Tajam.
Hadi Saputra seketika mengentakkan kaki ke lantai. 'Tegak dengan wajah serius. "Maaf. Komandan!"
Bursok hanya menanggapi dengan gclengan ke
pala. Dan cepat beralih lagi pada Polwan-nya. "Teruskan!"
Puas kau lnspektur, pikir Diana. Dan di mulut ia melapor, "Menurut saksi. dorongan seks itu juga disertai dorongan lain. Dan sudah direncanakan!"
"Untuk membunuh!" gumam Bursok. Dengan mata kembali menerawang.
"Persis!" sahut Diana, seraya menatap heran pada komandannya. "Perlu saya teruskan?"
Bursok diam saja. Diana memutuskan untuk terus. "Saksi bilang. kepalanya... ia tanggalkan!"
Bursok tetap saja menerawang.
Tampak kecewa, Diana kembali membuka mulut. "Menurut saksi. kepalanya yang tanggal itu rasanya kemudian terbang ke atas. Dan menggigit putus bentangan kabel listrik di bawah atap. Lalu turun lagi dan...'
"Memasukkan arus listrik ke pinggang kiri batang tubuhnya!" Bursok tiba-tiba mendesah. "Pada sebuah stop kontak!"
Polwan Diana 'Lady Di' Medina hanya diam menatap. Tak mengerti.
Hal yang tidak biasa dilihat Hadi Saputra pada komandannya terjadi setelah anggota lainnya pergi dan hanya mereka berdua saja yang tinggal di ruang kerja sang Ajun Komisaris.
Bursok Sembiring duduk termenung-menung, dan beberapa kali menghela napas berat dan panjang tanpa berkata apa-apa. Juga jelas komandannya tidak punya maksud apa-apa ketika membolak-balik
bahkan membaca ulang faksimile dan dua berkas lain yang sebelumnya mereka bahas.
Isi masing-masing berkas dihafal dengan baik oleh Hadi Saputra. Yang satu, laporan data korban bernama Markus, yang ternyata jebolan penjara dan sang komandan tadi sudah mengomentarinya. "Setelah sekian tahun, kembali beroperasi. Mengapa?"
Lalu berkas lainnya. Visum sementara yang dikirimkan oleh si dokter tua Faisal. yang menyatakan bahwa Markus positif mati oleh sengatan arus listrik tegangan tinggi. Juga hasil pemeriksaan DNA pada noda noda darah yang ditemukan di sekitar TKP menyatakan AB. Sesuai golongan darah Markus. Dan tentu saja. mengenai lendir.
"Sperma tunggal." lapor sang dokter dalam visumnya. "Tidak ada sperma atau lendir lain kecuali sperma Markus. Masuk akal. ingat apa yang ada di selangkangan boneka pop: vibrator!"
itu pun sudah dikomentari sang komandan. "Sanggama atau kenikmatan sepihak. Bukankah begitu. Hadi?"
Hadi Saputra menghela napas.
Bursok mendengar, lantas tersadar. Menyandar di kursinya. ia menggeleng sejenak. Lalu bertanya. "Si antik Rinda atau aku yang sakit, Hadi?"
Hadi Saputra diam saja. tahu pertanyaan itu hanya sebuah keluhan. Dan memahami apa yang dimaksud dengan kata 'sakit': menyangkut hal-hal gaib. yang sulit dijangkau akal sehat manusia awam.
"Aku tidak ingin mewarisi darah itu. Hadi," Bursok kembali mengeluh. "Seperti halnya aku tidak
pernah berkeinginan punya kerabat yang dukun sohor di Sibolangit sana. Kerabat dekat, lagi!"
Hadi Saputra terap berdiam diri. Menunggu.
Sampai akhirnya sang komandan menguasai dirinya kembali. Didahului dua kali lagi tarikan napas panjang, Bursok meluruskan duduknya. melirik sekilas ke faksimile susulan lalu berkata serius, "Oke. Mari kita bahas saja mata rantainya!"
Dan. mata rantai itu sangat jelas.
Dugaan pertama, korban Rendi minggat ketakutan dari Turen. Dari seseorang, yang selain punya senjata juga kekuasaan. Jelas bukan Kartijo, si prajurit kepala. Selain bersahabat, Kartijo juga cuma seorang sopir.
Dugaan kedua, Heri Herlambang. Dahulu kapten, dengan jabatan komandan rayon militer. Yang ini lebih pas. Diperkuat fakta terbaru: tersangka datang ke Cirebon, dan Rendi pun mati.
"Tetapi jangan lupa, dia kini seorang wali kota. Dan konon masih kolonel aktif!" Bursok berkata kaku. "Kita akan menghadapi birokrasi yang akan membuat sakit kepala. Birokrasi di korps kita, korps militer dan... ini yang pasti akan sangat menjengkelkan: Departemen Dalam Negeri!"
"Kita punya banyak orang di atas sana, Komandan," Hadi Saputra bergumam hati-hati. "Mereka pasti lebih tahu bagaimana mengutusnya."
"ltu betul. Tetapi..."
Telepon di meja Bursok berdering. Bursok menyambarnya, menyahuti, diam mendengarkan dengan penuh minat, lalu mengucapkan terima kasih dengan suara datar-datar saja. Juga datar, ia berkata
sambil meletakkan telepon ke tempatnya semula, "Entah mengapa. Hadi. Hari ini agaknya keberunrungan terus menyertai kita!"
Hadi Saputra lagi-lagi harus diam menunggu.
"Dari rekan kita di Losari. Ajun Komisaris Raharjo," Bursok akhirnya memberitahu. "Dia bilang, dua orang staf dari biro hukum Pemda Kotamadya baru saja berlalu dari kantornya!"
"Oh?" Hadi Saputra mendesah. Tertarik.
"Mereka cuma bertanya tentang kematian Markus secara sambil lalu saja. Tetapi setengah memaksa" bahkan harus sampai mengkopi sendiri berkas pemeriksaan Jalal. Tahu kira-kira mengapa, Hadi?"
"Pak Wali!" jawab Hadi Saputra, yakin. "Ingin tahu apa saja yang telah dikatakan oleh yang masih hidup. Bukan yang sudah mati!"
"Persis," Bursok manggut-manggut setuju. Namun seperti biasa. tanpa emosi apa-apa di wajahnya. "Dengan itu saja, kita sudah punya sasaran tembak!"
"Pak Wali?" Hadi Saputra mengulangi sebutan yang sama. Kali ini dengan tanda tanya, bukan tanda seru. "Maksud Komandan, diakah tersangka kedua" yang suaranya di'dengar' oleh saksi utama kita?"
"Pasti bukan." Bursok menggeleng-geleng. "Sangat bodoh dan terlalu riskan apabila ia memainkan tangan sendiri. Tetapi kata-katamu barusan, tiba-tiba memberiku ide!"
"Apa, Komandan?"
Bursok menyandar santai di kursinya. Dengan
santai pula ia memberitahu. "Suatu keajaiban, Inspektur. Itulah yang harus kita tunggu!" Diam berpikir, Hadi Saputra kemudian tahu apa yang sedang menari-nari di benak komandannya. Suatu keajaiban dari saksi utama mereka. Kembaran si boneka!
*** BENAR, Diana Medina pernah dua kali mendampingi saksi yang akan diajukan ke pengadilan, dan keselamatan saksi itu menjadi taruhan mereka maupun penuntut umum. Juga si Lady Di pernah mengencani tersangka pembunuh, dalam batas-batas yang diperbolehkan tugas. tentu saja. Hanya untuk memperoleh sidik jari si tersangka dari gelas yang ia pakai sewaktu mereka makan malam di restoran.
Tetapi, keajaiban"! Alasan orang Sibolangit itu sederhana saja. "Potongan rambut kalian sama, sebatas tengkuk. Barangkali saja dengan itu kalian berdua bisa cocok satu sama lain!"
Namun Diana juga tahu alasan yang sesungguhnya. Penyakit menahun yang entah kapan dapat disembuhkan oleh republik ini: kekurangan personel. Dan kasus Rinda Suhandinata memang istimewa. Ada misteri segi tiga yang tidak semua angota boleh mengetahui apalagi ikut mencampuri. Rinda,
saudara kembarnya Rendi yang sudah almarhum, dan misterinya itu sendiri: boneka pop.
Mengenai yang terakhir, komandannya mengingatkan. "Aku sudah berjanji pada suaminya. Jadi di hadapan Bu Rinda. urusan manekin itu jangan sampai masuk dalam agenda pembicaraan!"
Sulit, memang. Tetapi Bripda Diana Medina tahu memutuskan yang terbaik. paling tidak untuk dirinya sendiri. Anggap saja liburan singkat. terbebas dari tugas-tugas yang sering kali terasa menjemukan.
Maka, dengan senang hati Diana pergi ke hotel, berbicara secara singkat dan jelas dengan kedua orang saksi utama mereka. Yang ikut bergembira, tentu saja sang suami. Prasetyo berterima kasih karena ia dapat dengan leluasa mengunjungi relasi bisnisnya di Cirebon, pada siapa ia berencana untuk menitipkan rumah maupun segala sesuatu menyangkut kematian saudara iparnya. setelah ia dan istrinya nanti diperbolehkan kembali ke Jakarta.
"Meski saya tahu, kami sesungguhnya tidak dicekal!" katanya. Tertawa.
Diana sendiri kemudian mendampingi saksi utama satunya lagi pergi berbelanja baju tambahan di sebuah toko serba ada. Meski punya kartu kredit serta uang tunai lebih dari cukup, Rinda tidaklah membeli baju-baju mewah yang sesuai dengan penampilan dirinya.
"Aku punya butik sendiri, bukan?" katanya tersenyum. Senyuman lemah, pertanda masih terpengaruh oleh kematian saudara kembarnya. "Jadi sekem
bali nanti ke jakarta, bisa kuberikan pada pelayan saya di rumah. Ukuran kami kebetulan sama!"
"Kelak bila Anda ke Jakarta. sempatkanlah singgah!" katanya kemudian, sewaktu mencari belanjaan lainnya. "Pilih model mana saja yang tersedia di butik saya. Dengan catatan, jangan sekali-kali berbicara soal harga!"
Maksudnya gratis, dan Diana berjanji akan singgah setelah tahu bahwa yang ia dengar bukanlah tawaran basa-basi. Terbukti dari penuturan Rinda sewaktu mereka antre di meja kasir. "Saya selalu menemui kesulitan untuk berteman dengan seseorang. Tetapi begitu melihat dan mengenal Anda"."
Dan seterusnya dan seterusnya. Yang, kurang ajarnya, membuktikan Bursok Sembiring kembali benar: kalian berdua bisa cocok satu sama lain!
Sialnya. sang ajun komisaris kemudian masuk pula dalam pembicaraan.
"Tugas Anda pasti berat, Bu Diana," kata Rinda setelah mereka berkeliling-keliling lalu berhenti untuk makan siang di sebuah restoran seabad. tak jauh dari pelabuhan Cirebon. "Coba saja, sekarang ini. Anda harus menunggu saya berbuat suatu keajaiban. Yang belum tentu akan terjadi hari ini, atau besok lusa, minggu atau bulan depan. Malah bukan mustahil. tidak akan pernah lagi terjadi!"
"Dia yakin akan terjadi, Bu Rinda," Diana menanggapi. Antara ingin dan ragu-ragu.
"Dia?" "Komandan saya!"
Rinda mengunyah daging udang besar di mulut
nya, nyaris tanpa menikmati karena pikirannya jelas berada di tempat lain.
"Oh, Pak Bursok," desahnya kemudian, setelah berhenti mengunyah. Lebih dulu mencicipi sari jeruk dari gelas di tangannya, Rinda melanjutkan, "Sejak saya bertemu lalu berbicara dengannya, saya lantas bertanya-tanya. Dia itu seorang polisi atau paranormal!"
"Murni polisi, Bu Rinda!" jawab Diana. Tersenyum.
"Kalau begitu, dia pasti punya ilmu ya?"
"Persisnya. naluri." jawab Diana. Tenang. 'Yang sering kali membuat kami anak buahnya, bingung dan kalang kabut tak menentu. Memang sekali dua dia ada juga membuat kesalahan. Manusiawi, tentunya. Namun lebih banyak kami terpaksa harus angkat topi!"
"Hm. Lalu. apa bisikan nalurinya kali ini."
"Hanya komandan yang tahu. Yang pasti, sewaktu menugaskan saya mendampingi Bu Rinda. dia bilang saya jangan berpikir soal waktu. Juga tempat. Bisa terjadi setiap saat. katanya. Dan di mana saja!'
Terdiam sejenak. bibir mungil Rinda kemudian menggeremetkan senyuman kaku.
"Anda membuat saya takut, Bu Diana!" katanya. Serius.
Siapa pula yang tidak, pikir Diana. Sambil mengawasi ulasan senyum pada bibir mungil yang merah segar di hadapannya, dan otomatis mengingatkan Diana pada senyuman sama yang sebelumnya telah
terlihat dan entah mengapa sukar untuk melupakannya.
Ulasan senyum di balik pintu lemari. Dari bibir mungil yang rautnya persis sama.
Bibir sang boneka. *** BUKAN boneka pop di hadapannya yang menarik perhatian Reinaldi. Melainkan gaun hamil transparan yang terpajang pada sosok pop tersebut. Cuma tertarik saja, tanpa niat untuk membeli. Karena Reinaldi keluar-masuk toko lalu melihat-lihat di sana sini pun cuma untuk sekadar mengisi waktu dan membuang pikiran tegang saja.
"Kau pulang atau pergilah menghibur diri, 'majikannya tadi berkata di kantor. "Yang selebihnya biar aku yang urus!"
Yang selebihnya!

Manekin Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Reinaldi yakin mengenai itu. Majikannya akan mengontak ke Pemda Kotamadya Ambon untuk dimintai bantuan mendatangi alamat mertua Markus yang nomor teleponnya tidak diketahui. Atau memang tidak ada. Juga supaya mengusahakan agar istri serta anak-anak Markus bisa diberangkatkan dengan pesawat pertama dari Ambon ke Semarang. jika perlu dengan transit Surabaya dan dari Semarang nanti biarlah istri serta anak-anak Markus
yang memutuskan sendiri, apakah mereka meneruskan perjalanan ke Cirebon dengan bus antarkota atau kereta api. Yang pasti semua biaya transportasi atas tanggungan Heri Herlambang pribadi. Bukan sebagai wali kota.
Lalu, Jalal. Penadah Markus.
Dua orang staf dari biro hukum Pemda sudah dikirim ke Losari untuk mencari tahu sebanyak apa Jalal telah berbicara. Reinaldi yang tidak sabar, tadi sudah menelepon ke kantor majikannya. Jawaban yang ia terima cukup melegakan hati.
"Jalal tahunya cuma terima barang. Tidak pernah bertanya dari mana atau dengan cara apa barang itu diperoleh!"
Oke mengenai itu. Pertanyaan berikut adalah, siapa pembunuh Markus" Dan apa yang telah diceritakan Markus sebelum mati" Biar aku yang urus, kata majikannya. Tetapi sepanjang pembunuh Markus belum diketahui, apa yang bisa diperbuat oleh Heri Herlambang" Dan apa pula yang harus dikerjakan oleh Reinaldi"
Majikannya bilang, menunggu.
Dan pulang. memang salah satu pilihan terbaik. Di rumah kecil yang ditempati Renaldi semenjak tiba di Cirebon-atas tanggungan Pemda-tidak ada siapa-siapa. Sarifah masih di Palangkaraya sana. Menyedihkan memang. tetapi mau apalagi. Demam sedikit saja. Sarifah pasti bersikeras untuk tergolek di bawah ketiak ibu mertua Reinaldi. Konon pula sedang hamil tujuh bulan. Takut membayangkan perjalanan jauh serta kota tujuan yang belum me
reka kenal, Sarifah manja yang putri bungsu itu langsung memvonis.
"Aku ingin kelahiran anak pertama kita ditunggui oleh Mama!"
Apa boleh buat. Reinaldi hanya seorang sopir, dan...
"Gaun hamil yang cantik bukan, Om?"
Terkejut. Reinaldi menoleh dan melihat seorang pramuniaga mengawasi dirinya disertai senyuman manis. Senyuman bisnis. Karena pikirannya sedang kacau. Reinaldi pun menjawab gugup. "Mungkin. Tetapi istriku nanti tidak hamil lagi. Dan..."
"Tidak hamil lagi?" pramuniaga manis itu menanggapi. Namun. salah mengerti. "Maksudnya Om bakal punya anak kedua. lantas tantenya akan dikontrasepsi ya?""
"Benar!" angguk Reinaldi. Tanpa berpikir.
'Saya ucapkan selamat, Om. Kalau begitu...'
Dan seperti orang bodoh Reinaldi kemudian menuruti saja usul si pramuniaga agar melihat-lihat berbagai macam serta corak busana wanita di blok pakaian jadi dari pusat perbelanjaan yang tadinya cuma iseng-iseng ia masuki.
Lalu di depan sebuah pop, Reinaldi berhenti menegun.
Bukan gaun merah hati yang terpajang pada pop itu yang tiba-tiba menarik minatnya. Melainkan pop itu sendiri. Wajah cantik sang boneka dengan potongan rambut sebatas tengkuk itu tampak sangat hidup. Sepasang mata bulatnya yang terbuka lebar, dan tidak sekalipun mengedip. seakan menatap tajam ke mata Reinaldi. Lalu bibir mungilnya yang
merah segar! Bibir itu terseyum tipis dan kaku, namun terlihat cantik menawan. Bahkan terkesan sensual.
Pada saat bersamaan, pramuniaga yang mendampingi Reinaldi juga ikut mengawasi sosok boneka yang sama. Sambil membatin heran, "Sejak kapan pop serta busana ini dipajang" Seingatku..."
Tetapi ah. sudahlah. Komisi lebih penting, Dan si pramuniaga pun berkata memuji, "Gaun yang hebat, bukan" Mana warnanya seronok pula!"
Reinaldi mengerjap tersadar. Menatap sekali lagi ke wajah pop bergaun merah hati itu. ia cepat bergumam, "Maaf. Aku memang berminat, tetapi belum punya maksud membeli. Entah kapan-kapan!"
Lantas Reinaldi buru-buru berlalu, meninggalkan sang pramuniaga yang dari terseyum manis seketika langsung cemberut.
Sambil berjalan keluar dari pusat perbelanjaan dimaksud, Reinaldi kembali teringat lantas menghitung-hitung di kepala. berapa banyak uang yang sebelumnya sudah ia habiskan di meja biliar. Dan berapa lagi yang masih tersisa di dompet serta saku celana. Hm. Agaknya masih cukup untuk mencari hiburan lainnya, pikir Reinaldi lalu melirik ke arlojinya.
Pukul empat sore. Masih ada waktu untuk pertunjukan kedua.
Melihat kiri-kanan, Reinaldi pun bergumam setengah tak sadar, "Bioskop mana yang terdekat ya?"
Dan di blok pakaian jadi yang ditinggalkan Reinaldi. Pelupuk mata boneka pop bergaun merah
hati yang semula keras dan kaku itu, tampak mcngerjap. hidup. Bibir mungilnya kemudian menggeremet.
Seakan berbicara! *** "Bioskop. eh?" desah Rinda, lirih dan terdengar sayup. "Jika memang itu pilihanmu, baiklah!"
Mereka sudah kembali ke hotel, bergabung dengan suami Rinda yang sudah lebih dulu tiba serta menunggu-nunggu dengan cemas. Brigadir polisi Diana Medina sedang mendengarkan cerita Prasetyo tentang rencana relasi bisnisnya untuk membuka cabang di Indramayu, ketika telinga polwan andalan Bursok itu menangkap suara desahan Rinda.
Diana cepat berpaling dan melihat Rinda duduk dengan punggung tegak di kursinya, dengan sepasang mata bulatnya yang indah tampak bersinarsinar. Galak.
Seketika waspada, Diana menegur. Lembut. "Anda mengatakan apa barusan. Bu Rinda?"
Rinda mengerjap dan cepat menoleh. Sinar galak di matanya sudah melenyap. Yang ada, hanyalah sinar redup. Yang masih diselimuti kabut duka cita. Duduk Rinda pun berubah rileks. Menatap bergantian pada Diana serta suaminya yang juga memusatkan perhatian, ia kemudian bertanya. Heran.
"Apa?" Tak ada yang menyahuti. Baik Diana maupun suaminya hanya diam, menunggu. Sehingga Rinda
kembali bertanya. Tak mengerti. "Eh, eh, nanti dulu. Mengapa kalian berdua seperti itu?"
Sang suamilah yang kemudian menyahuti. Dengan mengimbangi kelembutan suara Diana. "Agaknya. sayangku, barusan kau mengatakan sesuatu..."
"Mengatakan apa?"
Prasetyo melirik pada tamu mereka, yang segera memberitahu, "Bioskop. Bu Rinda. Anda menyebut nyebut bioskop. Dan sesuatu mengenai pilihan..."
"Pilihan?" Rinda menatap. Bingung.
"Biar saya kutip," Diana berkata. lalu mengulangi apa yang telah ia dengar. "Jika memang itu pilihanmu, baiklah!"
"Pilihanmu" Rinda menggeleng-gcleng. Semakin tidak mengerti. "Pilihan siapa?"
"Hanya Anda yang tahu, Bu Rinda!"
"Tetapi..." Prasetyo mengambil alih. "Begini saja. Ririn. Coba pikirkan lagi apa yang barusan terbayang di mata atau dalam pikiranmu. Mungkin itu akan membantu...."
Rinda diam. Tampak mengingat-ingat sebentar, ia kemudian kembali menggelenggeleng. Seperti putus asa.
"Tak ada. Yang kuingat hanyalah Mas Pras barusan bercerita tentang rencana Pak Hendrawan membuka cabang usaha di lndramayu. Aku bayangkan Mas Pras akan bekerja semakin keras, seperti biasa. Dan..."
"Aku membicarakan bisnis pengepakan hasil-hasil laut." Prasetyo menyela. "Tak ada hubungannya sama sekali dengan bioskop!"
Mendengar itu. Rinda pun mengerang. "Ya ampun, Mas. Tolonglah!"
Prasetyo tersadar. Cepat ia mendekat lalu merangkul sang istri yang seketika terisak gemetar di dadanya.
"Jangan biarkan itu... terjadi lagi padaku. Mas. Aku sangat takut. Terlalu mengerikan. Dan..!"
"Tidak apa. sayangku. Kau aman di dekatku. Mungkin kau lelah. Cuma itu. Ayo, kubantu kau ke tempat tidur!"
Tak satu pun dari suami istri itu yang meminta maaf apalagi izin dari Diana ketika Prasetyo kemudian membimbing Rinda ke ruang tidur kamar mite yang mereka tempati. Membuat sang brigadir risih. merasa kehadirannya pasti telah sangat menggangu privasi orang lain. Tetapi sebelum mengambil keputusan apakah akan tetap bertahan atau pergi saja, tak ada salahnya mengontak dan meminta saran dari markas komando.
Sang brigadir pun mengoperasikan pesawat HTnya, dan jawaban dari Mako sangat jelas serta tegas.
"Kau angkat kaki sekarang dari situ Brigadir," terdengar suara Bursok Sembiring di HT, berat dan galak, "maka kau akan kutembak mati!"
Lady Di pun menyerah. Namun toh ketika keajaiban yang mereka tunggu-tunggu akhirnya terjadi juga, mereka tetap saja kalah cepat.
Dari. si boneka Doo! *** BARANGKALI penyebab kegagalan mereka cuma satu: peristiwanya berlangsung sangat cepat.
Padahal Bursok sudah bertindak benar. juga tepat. Meski Rinda hanya menyebut kata bioskop tanpa penjelasan bioskop apa dan di mana, naluri polisi Bursok langsung bereaksi. Dibekali foto-foto Rinda yang diambil dari album milik almarhum Rendi sebagai model target yang harus dicari dan ditahan, semua personel tim buser atau buru sergap diperintahkan untuk cepat berpencar dan meluncur ke setiap bioskop yang ada di dalam kota.
Tetapi pada saat perintah itu dikeluarkan. Reinaldi sudah antre di depan loket sebuah bioskop model lama yang berlokasi di bangunan tua dan usang di pinggiran kota Cirebon. Yang ruang tunggu penontonnya bukan diisi oleh sofa atau kursi berjok busa empuk, melainkan jajaran kursi yang juga model lama. terbuat dari fiberglass serta terkunci oleh batangan besi panjang yang dibautkan pada setiap kursi. Barangkali sisi menarik bioskop
itu cuma satu saja : harga karcisnya yang murah meriah serta pas dengan isi saku Reinaldi.
Begitu mendapatkan tiket, mata Reinaldi pun mencari-cari lalu melihat masih ada satu kursi kosong di deretan belakang banjaran kursi ruang tunggu. Ke sanalah ia bergerak lantas duduk menghenyakkan pantat di sebelah seorang wanita cantik berpotongan rambut sebatas tengkuk dan memakai gaun merah hati.
Saat akan duduk, Reinaldi sempat berpikir-pikir bahwa yang ia lihat bukanlah si wanita, melainkan boneka pop di blok pakaian jadi pusat perbelanjaan yang tadi iseng-iseng ia masuki.
Tetapi kok mirip benar, ya"
Model dan warna gaunnya pun sama!
Reinaldi sudah tergerak untuk menyapa lalu membicarakan kemiripan itu ketika bibir mungil si wanita yang merah segar itu sudah lebih dulu menggeremet. Dan terdengarlah desahan lirih dan sayup. namun jelas dan terasa tajam di telinga Reinaldi.
"Kursi yang kita duduki!"
Entah pada siapa kalimat itu ditujukan. Karena ketika mengucapkannya. wajah si gaun merah hati menatap lurus ke depan, sambil duduknya bergeming pula. Dan, entah pula mengapa Reinaldi merasa ucapan si wanita itu ditujukan pada dirinya. Sehingga tanpa berpikir panjang, Reinaldi segera menyahuti sambil terheran-heran.
"Apa?" "Terbuat dari fiberglass," bibir mungil itu kembali mendesah. "Spesiesku!"
"Spesies?" Reinaldi ikut-ikutan mendesah. Bukan Cuma heran, tetapi juga bingung.
Wajah cantik dengan potongan rambut sebatas tengkuk itu tampak mengangguk. samar-samar. Masih tanpa menoleh, bibir merah segarnya berbicara lebih jelas.
"Jadi, mereka pasti akan menuruti apa saja yang kuperintahkan!"
Reinaldi pun menatap. Terbingung-bingung.
"Aku tak mengerti!"
"Rendi!" Reinaldi dapat juga tersenyum. lantas membetulkan. "Namaku Reinaldi. Panggil saja Ronald. Bukan Ren..."
Lalu, Reinaldi berhenti menegun.
Dan si gaun merah hati dengan tenang melengkapi ucapan Reinaldi yang terputus itu. "Rendi Suhandinata. Yang ditusuk oleh Markus. Kau ada di sana waktu itu. Dan..."
Polisi wanita. Dari satuan serse!
Dengan pikiran itu menyentak di otaknya. Reinaldi serempak bangkit untuk melarikan diri.
Hanya keinginan semata, betapa pun kuatnya. Karena baik pantat celana maupun punggung kemeja yang ia pakai seakan menempel dengan ketat ke dudukan maupun sandaran kursi. Dan, sementara para calon penonton lain yang duduk atau berdiri di sekitar mereka mulai memperhatikan, dengan terkejut Reinaldi kembali berusaha bangkit. Yang mengakibatkan terdengarnya suara robekan kain. yang tetap saja menempel ke bidang kursi. Semakin ketat. malah.
"Apa!" Reinaldi mulai pucat. Bahkan panik.
Sementara wanita bergaun merah hati di sebelahnya, seraya menatap ke sekitar mereka, berbisik dengan sedikit keras dan tajam.
"Menyingkir! Ayo, semua menyingkir. Cepat!"
Tampak ragu, satu-dua orang calon penonton di kiri-kanan maupun pada banjaran kursi depan, mulai bangkit satu persatu. Dan ketika terdengar suara plastik retak di sana-sini, yang lain cepat mengikuti sambil menatap bingung kian kemari. Dan tampaklah bahwa kursi yang sebelumnya mereka duduki. bergerak meretak dan terus meretak. Baik yang berderet di banjaran depan, maupun yang belakang. Malah dudukan atau sandaran satu dua kursi tampak mulai pecah.
Ada seseorang yang terpekik.
Ngeri. Dan di kamar suite hotel. Prasetyo yang baru saja bergabung dengan tamunya yang masih menunggu di ruang duduk. seketika terlompat bangkit dari kursi dan langsung menghambur ke ruang tidur. Diikuti oleh Brigadir Diana, yang seketika dibuat tegang.
"Pecah! Ayo pecah semua!"
Suara desisan keras itulah yang membuat mereka berdua terlompat dan setiba di ruang tidur, menatap tertegun ke arah ranjang.
Rinda yang sebelumnya ditinggalkan Prasetyo sudah tenang dan berjanji akan segera tidur, tampak
menggeliat-geliat resah sambil jari jemari tangannya dengan kuat mencengkerami seprai. Wajah Rinda tampak pucat dan bersimbah peluh. Sepasang matanya, mengatup rapat. Sementara dari mulutnya yang terbuka, keluar suara bisikan-bisikan keras dan tajam.
"Ayo, terus pecah. Dan menempellah! Menempellah!"
"Ririn?" Prasetyo menggagap kuatir lalu dengan cepat menghambur naik ke atas ranjang. Sang istri dirangkul dan dibujuk-bujuk dengan panik. "Bangun, Ririn. Sadarlah. Dan katakan..."
"Menyingkir kubilang!" Rinda menggeram dan sekaligus meronta. Cepat dan mengejutkan. Prasetyo yang tidak siap seketika terdorong bahkan terlempar dari ranjang. Punggungnya membentur Diana yang berdiri mengawasi. dan mengakibatkan mereka berdua jatuh terguling ke lantai.
Prasetyo terkapar sejenak. Akan halnya Diana, secepat jatuh terguling secepat itu pula ia sudah bangkit lalu tegak kokoh dan menatap waspada ke atas ranjang. Tampak Rinda sudah duduk dengan punggung tegak kaku serta mata yang menyorot liar. Begitu pula bibir mungilnya yang kini berubah memucat. Bibit mungil itu tersenyum, senyuman liar. Sambil berbisik sama liarnya.
"Bagus! Teruslah pecah. Teruslah menempel seperti lintah. Seperti lintah!"
Diana berdiri diam mengawasi. Tegang. namun tetap waspada. Dan tanpa menoleh, ia tahu bahwa Prasetyo sudah menggeliat bangun lalu berdiri terhuyung di sampingnya.
"Biarkan saja istrimu. Jangan disentuh!" ia cepat berkata, memperingatkan Prasetyo. "Tetapi tanyai dia dengan hati-hati. Apa atau siapa yang dia lihat. Dan, di mana!"
Sementara Prasetyo menatap ragu-ragu bercampur rasa takut ke arah Rinda yang meliuk-liukkan ke kiri-kanan, Diana cepat mengoperasikan pesawat HT-nya dan melapor ke markas komando.
"Elang satu! Uang satu! Kutilang melapor!"
"Elang satu di sini," terdengar suara Bursok di HT Diana. "Teruskan!"
Diana sudah membuka mulut untuk memberitahu apa yang sedang berlangsung di hadapannya, ketika senyuman liar di bibir mungil Rinda berubah dengan cepat. Dan mendadak tampak manis.
"Hai, Komandan," bisik Rinda di antara senyuman manisnya. "Paket kedua untukmu!"
"Diana?" Di pesawat HT terdengar suara Bursok yang kebingungan.
"Bukan saya. Komandan!" sahut Diana. gugup. "Tetapi, dia!"
"Dia?" Benar, dia. Yakni si gaun merah hati. Yang membisikkan pesan manis itu ke alamat Bursok, sambil tetap duduk bergeming di tempatnya semula, pada salah satu dari dua buah kursi yang masih tetap utuh di deretan berbanjar ruang tunggu bioskop. Sementara kursi lainnya terus saja retak lalu pecah dalam ke
pingan-kepingan kecil yang kemudian bergerak melesat ke satu arah: Reinaldi. Tanpa satu pun kepingan itu menyentuh tubuh si gaun merah hati.
Reinaldi yang malang. Sadar dirinya tak mampu melepaskan diri dari kursi yang ia duduki, Reinaldi kemudian hanya bisa menggerakkan kedua lengan untuk secara naluriah melindungi wajah. Yang toh. sia-sia. Karena serbuan itu datang bertubi-rubi dari berbagai arah. Seolah olah setiap kepingan yang datang. tahu bagian tubuh mana yang dituju lalu cepat menempel sambil menekan ke arah dalam. Serpihan-serpihan fiberglass yang menyerupai bubuk ikut pula terbang seperti gerombolan tawon. untuk kemudian ikut hinggap lalu mengisi celah-celah sempit di antara pecahan pecahan yang sudah lebih dulu menempel.
Mengisi rapat bagai perekat yang kuat serta liat.
Semua itu berlangsung cepat dan serba mengejutkan. Bahkan sebelum para penyaksi sempat menyadari apa sesungguhnya yang tengah terjadi. Malah sebagian dari mereka sempat menganggap bahwa dirinya bukan berada di ruang tunggu. tetapi di dalam gedung pertunjukan. Dan mengira telah salah masuk. atau operator bioskop keliru memutar film teror atau horor, bukan sebagaimana yang mereka harapkan semula: drama percintaan produksi lokal. yang konon dibumbui adegan seks yang vulgar!
Hanya satu dua orang saja yang sepenuhnya menyadari sedang berhadapan dengan kejadian nyata. Dan dengan cemas sempat meneriaki si gaun merah hati yang duduk bergeming di kursinya.
"Ya ampun! Kau tertidur atau apa, Neng"!" Dan yang lain. "Hai. kau! Menyingkirlah dari
sana. Cepat!" Seakan tersadar. si gaun merah hati tampak menggeliat lalu buru-buru bangkit terus menyingkir di antara riuhnya desingan fiberglass yang berkelebatan dari berbagai penjuru. Sambil, sekali lagi, pecahan maupun serpihan itu tak satu pun yang menyentuh tubuhnya!
Pada waktu si gaun merah hati menyingkir, nyaris tak satu pun kursi di ruang tunggu itu masih utuh. Malah kebanyakan cuma tinggal kerangka kaki atau batangan besi penyambungnya saja. Kecuali dua kursi di deretan belakang. Satu kursi si gaun merah hari yang barusan menyingkir, dan satunya lagi, kursi yang masih diduduki Reinaldi.
Hanya saja. sosok manusia Reinaldi sudah tidak terlihat.
Apa yang kini terlihat adalah sesosok monster yang berwujud manusia duduk, dengan kedua lengan menyilang di depan wajah. Duduk diam dan kaku. tanpa bergerak-gerak. Dengan sekujur tubuh mulai dari ujung rambut sampai ke ujung kaki sepenuhnya terbuat dari lapisan fiberglass.
Sesosok monster tanpa wajah.
Karena apa yang disebut kepala maupun wajah, tak lebih dari seonggok besar lapisan fbngbm, dengan banyak guratan samar di sana sini. Gila! dari kepingan-kepingan fiberglass yang telah menyatu dan direkat oleh bubuk serpihan bekas pecahan kursi.
Dan pengaruh kehadiran monster mengerikan
itu sungguh luar biasa. Tak seorang pun dari para saksi berani bergerak di tempat masing-masing. Juga, jangankan untuk berbicara, bahkan bernapas pun, mereka serasa tak mampu.
Suasana yang sebelumnya ribut dan panik, mendadak terasa begitu sunyi. Mencekam. Sampai suatu saat, terdengar suara berderit lalu pintu keluar-masuk ruang pertunjukan menganga terbuka. Penonton pertunjukan jam sebelumnya pun mulai keluar. Mulai pula terdengar suara ribut, lalu jeritan panik di sana sini.
Suasana kacau pun kembali muncul. Lebih kacau dari sebelumnya. Dan di tengah hiruk-pikuk itulah dua orang anggota tim buru sergap Bursok Sembiring tiba dan langsung menyerbu masuk ke ruang tunggu bioskop.
Hanya untuk tegak. Terbingung-bingung.
*** Sementara di ruang tidur kamar hotel Rinda menangis tersedu-sedu di pelukan Bripda Diana Medina. Di markas komando datang laporan yang menyakitkan hati, tapi juga sekaligus mendebarkan jantung. Mula-mula, melalui pesawat HT di meja kerja Bursok: paket ditemukan, tetapi pengirimnya menghilang.
lalu satu jam berikutnya, laporan langsung dari salah seorang anggota buser di TKP, yang wajahnya masih terlihat pucat.
"Ada beberapa orang saksi mata," katanya. Takut-takut. "Namun tak satu pun dari mereka
yang teringat untuk memperhatikan ke arah mana si gaun merah hati melenggang pergi!"
Sambil tersenyum mengejek, pikir Bursok. Geram.
Dan sang monster" Si anggota buser dengan wajah ngeri menceritakan bagaimana ia serta rekannya sedang memperdebatkan apakah lapisan luar tubuh korban yang mungkin masih bernapas, harus digergaji atau cukup dipalu saja. Lalu tahu-tahu. lapisan pembungkus dari fiberglass itu entah bagaimana meretak lantas pecah sendiri. Dan begitu tubuhnya terbebas, korban pun jatuh terguling dari kursi. Dengan mulut. hidung. telinga. bahkan mata, mengeluarkan darah.
"Kami langsung tahu bahwa korban sudah meninggal," si pelapor berkata. Getir. "Dengan paruparu serta jantung yang pecah!"
"ldentitasnya?" tanya Bursok. Datar.
"Ada dalam dompet di saku belakang celana korban. SIM, KTP, juga Kartu Pegawai. Lengkap dengan nomor NIP. Semuanya belum lama diterbitkan. Korban diketahui bernama Reinaldi."
Bursok mengibaskan tangan. "Swasta atau pegawai negeri?"
"Pegawai negeri. Komandan. Di Pemda Kotamadya!"
Sentuhan gaib tiba-tiba melecut sel-sel otak Bursok dengan keras.
"Rinciannya?" ia kemudian bertanya. Parau.
"Pada kartu pegawainya. tercantum bahwa korban adalah ajudan pribadi. Setelah kami cek per
telepon. sumber kita di Pemda mengatakan pekerjaan korban lebih pas disebut sopir. Persisnya, sopir pribadi..."
Bursok menahan napas. "Sopir siapa?"
"Heri Herlambang." jawab yang ditanya. Polos. dan kali ini tampak sudah lebih tenang. "Wali kota kita yang baru!"
Bursok pun membuang napas yang tadi ditahan. selepas-lepasnya, namun toh, jantungnya tetap saja berdebar. Keras.
"Masih ada pertanyaan. Komandan?"
Bursok menggeleng. "Untuk sementara ini tidak!" katanya. lantas tersenyum ketika menambahkan. "Kau dan anggota regumu pergilah makan ke kantin. Bilangi Bu Narsih. bonnya masukkan dalam rekeningku!'
"Siap, Komandan!"
Wajah Bursok berubah serius setelah si anggota buser berlalu dari ruang kerjanya. Ada setengah menit lamanya jari telunjuk orang Sibolangit itu mengetuk-ngetuk meja untuk membantu otaknya berpikir. Setengah menit berikutnya, Bursok sudah mengangkat telepon. Setelah mendapat sambungan. ia minta disambungkan dengan penghuni kamar hotel yang ia tuju.
Diana Medina yang menerima telepon. "Ada apa, Komandan?"
Wajar, karena Bursok bukan mengontak lewat HT. Ia lalu berkata menyeringai. "Eh, masih di situ juga kau?"
"Saya masih ingin hidup, Komandan!" jawab sang brigadir. Tenang.
Tapi mungkin sambil cemberut, pikir Bursok.
"Suruh saksi utama kita datang ke telepon. Si cantik, jangan salah. Bukan yang satunya lagi!"
"Dia masih syok, Komandan..."
"Tak peduli!" Sebentar kemudian suara si brigadir sudah digantikan oleh suara Rinda. Yang selain lirih, juga terdengar lemah."Halo?"
"Aku tiba-riba berpikir untuk pergi memancing. Bu Rinda,' ujar Bursok. Kalem. "Tetapi, aku perlu umpan. Yang baik. tentunya!"
Diam sejenak. lalu di seberang sana terdengarlah suara yang jelas mengandung gairah berapi-api. "Kapan?"
Bursok menarik napas lega.
"Nanti kita atur"l" jawab Bursok. Lembut.
MALAM pun jatuh. Mayat Reinaldi terbujur pucat dan kaku dalam salah satu kotak lemari pendingin yang ditarik keluar dari tempatnya tersimpan. Noda darah di wajah mayat itu sudah dibersihkan. Pelupuk matanya tertutup rapat, begitu pula mulut. Nyaris tampak seperti tidur. Namun gurat-gurat kematian pada wajah itu jelas masih memperlihatkan betapa hebat teror yang ia alami menjelang tibanya ajal.
Gambaran itu membuat Heri Herlambang seketika terpejam, dengan sekujur tubuh gemetar. Sakit. Satu dari tiga stafnya yang ikut mendampingi ke rumah sakit, bahkan sampai harus memalingkan muka, ngeri.
Detik-detik yang sunyi terus berlalu, sampai akhirnya Heri Herlambang membuka matanya kembali dan berkata parau pada petugas polisi yang berdiri menunggu di sebelahnya.
"Benar. Dia adalah Reinaldi. Sopirku!"
Lima menit kemudian, yang tetap tinggal di tem
pat hanyalah si polisi, petugas kamar mayat, dan direktur rumah sakit yang sengaja hadir hanya untuk menghormati kedatangan tamu yang orang nomor satu di kota mereka itu.
Heri Herlambang sendiri beserta ketiga orang stafnya berjalan keluar, meninggalkan bau parafin kamar mayat yang sungguh menyesakkan hidung. Masih gemetar. ia melangkah tersuruk-suruk di sepanjang koridor dengan kepala menunduk dalam, tanpa berbicara sepatah pun juga.
Para pendampingnya terpengaruh. lantas ikutikutan membisu. Menjelang ujung koridor, barulah terdengar helaan napas berat sang wali kota yang kemudian mengangkat muka lalu berkata lirih pada salah seorang stafnya.
"Dia sudah seperti anakku sendiri, Pak Joko..."
"Saya tahu. Pak Wali!" jawab orang yang namanya disebutkan. Tanpa komentar tambahan.
"Oleh karena itu..." Heri Herlambang berbelok ke kiri setiba di sebuah pertigaan koridor. "Selesai jenazahnya diotopsi, kalian uruslah penguburannya sebaik mungkin. Dan?" Sang wali kota menggeleng keras. Lantas menambahkan dengan geram, "Diselimuti fiberglass! Apakah kalian memercayai omong kosong itu, eh?"
"Mereka bilang. ada puluhan sakti mata!" jawab Joko. Hati-hati.
"Mungkin ratusan..."
"Ratusan!" dengus Heri Herlambang. "Lalu ribuan bahkan puluhan ribu. Bila yang ratusan itu bercerita di luaran. bayangkan heboh macam apa yang bakal kita hadapi!"
"Kita akan menetralisirnya, Pak Wali!" ujar Joko. Tenang. setengah menyabarkan. "Tinggal bilang, semua itu cuma desas desus. Dan penyebar desas desus itu hanya terpengaruh oleh film yang mereka tonton!"
"Dengan isu tambahan...." staf lainnya menimpali, "Ada unsur provokator yang berniat jahat menimbulkan kekacauan yang bermuatan politik!"
Joko manggut-manggut setuju. "Melalui siaran atau jumpa pers tentunya!"
"Hm. Pers..." gumam Heri Herlambang. dengan mata menerawang. "Salah seorang dari mereka magrib tadi menelepon ke rumah. Dia bilang, polisi mencurigai pembunuh Reinaldi adalah seorang wanita yang minggat diam-diam di tengah keributan penonton!"
"Akan kita dapatkan itu!" staf ketiga Anwar Suhardiman, sarjana hukum yang dari tadi diam saja. akhirnya ikut nimbrung. Dia dari biro hukum yang pagi harinya ditugaskan Heri Herlambang mencari informasi ke losari. "Saya punya teman dekat di kantor Polres. Hanya saja..."
"Bagus!" potong Heri Herlambang, bersemangat. "Setelah kau dapatkan identitasnya, cepat serahkan padaku. Akan ku..." Sang wali kota cepat tersadar setelah ekor matanya menangkap pandangan heran dari Joko yang berjalan di sebelahnya. "Eh, maksudku... aku benar-benar dibuat penasaran. Dan kau, Pak Anwar," ia berbicara lagi pada staf biro hukum yang berjalan di belakangnya. "jangan memikirkan soal jumlah. Sepanjang masuk akal, bilang saja temanmu di kepolisian itu minta berapa. Nanti akan
kukirimi cek. Atau mau langsung ditransfer, terserah."
"Beres, Pak Wali!" sahut Anwar. Tenang. Sambil di dalam hati, terheran heran. Karena siang harinya ia dan Joko yang kepala personalia sempat ribut berdebat apa sebab pimpinan mereka lebih tertarik pada kematian Markus yang cuma satpam, dibanding Rendi Suhandinata yang seorang kepala biro.
Lalu sekarang. Reinaldi, yang cuma sopir!
Seakan memahami jalan pikiran Anwar. sang pimpinan terdengar menggumamkan kata-kata yang tadi telah ia utarakan pada Joko.
'Reinaldi itu seperti anakku sendiri!"
Kebisuan lagi. sampai mereka tiba di koridor terakhir yang menuju halaman parkir. Dan Heri Herlambang tiba tiba menghentikan langkah yang mau tidak mau langsung diikuti oleh ketiga pendampingnya yang kemudian mengetahui apa kiranya penyebab sang wali kota menghentikan langkah.
Rinda Suhandinata! Si cantik berbibir sensual yang tampak beberapa langkah di depan mereka sedang berbincang-bincang dengan wanita lainnya dan dari seragam yang ia pakai jelas seorang juru rawat. Diikuti oleh para pengiringnya, Heri Herlambang kemudian meneruskan langkah. Dan pada waktu bersamaan, Rinda menoleh. Begitu pula dengan si juru rawat.
"Bu Rinda!" desah Heri Herlambang setelah berhadapan dengan si cantik dengan rambut sebatas tengkuk itu. "Sedang apa Anda di sini" Ada kerabat yang sakit?"
"Oh. Pak Wali kiranya." Rinda menyahuti. Juga
tampak terkejut. "Saya ke sini memang mengunjungi kerabat. Tetapi dia baik-baik saja, Pak Wali. Malah orangnya pun sedang berdiri di hadapan Anda!"
Tak ada perkenalan. Apalagi jabat tangan.
Yang ada. hanya saling menganggukkan kepala. Dan Rinda tahu-tahu bertanya. Polos-polos saja.
"Baru dari kamar mayat ya?"
Heri Herlambang menyahuri, terkejut.
"Kok tahu?" "Cuma menduga-duga!" jawab Rinda. Disertai senyuman tipis, dan terkesan misterius. Lantas seperti teringat sesuatu, ia melirik ke arlojinya dan cepat menambahkan dengan wajah kuatir yang ditujukan pada si juru rawat, "Oh, oh. Kita sudah keasyikan mengobrol rupanya. Mbakyu. Pasti Mas Pras sudah tak sabar menunggu!"
Dan pada Heri Herlambang. ia juga melemparkan senyuman menyesal.
"Maaf, Pak Wali. Bukan tak sopan, tetapi..."
"Aku mengerti!" jawab Heri Herlambang. sambil memaksakan senyum karena memang tidak tahu, apa yang harus dimengerti.
"Selamat malam, Pak Wali!"
"Malam, Bu Rinda?"
Saling mengangguk lagi, dan Rinda pun memegangi lengan si juru rawat yang langsung diajak pergi. Justru ke arah yang barusan ditinggalkan oleh Heri Herlambang serta pengiringnya, sambil Rinda terdengar berbicara.
"Mengenai kabar burung tentang kematian saudara kembarku itu, Mbakyu..."
lanjutannya tidak lagi terdengar. Karena Rinda
dan si juru rawat terus saja menjauh. Sementara sang wali kota hanya bisa menatap dengan wajah tertanya-tanya. Dan jauh di sanubari: curiga! " '
*** Dokter lndra berdiri mengawasi kegelapan malam di sekitar, lalu ganti mengawasi koridor panjang di sebelah kirinya yang tampak sepi. Angkat bahu sesaat, asisten Dokter Faisal itu kemudian memutar tubuh, langsung masuk kembali ke ruang kerjanya dan langung pula berbicara pada lpru Hadi Saputra yang menunggu dengan pesawat HT terpegang di salah satu tangannya.
"Aman. Tak ada yang mengikuti!"
Hadi Saputra pun mengoperasikan HT lantas memanggil.
"Tanggo pada Bravo. Tango pada Bravo!"
Di pesawat HT yang mana terdengar bunyi bergemeretak, lalu sahutan serak Bursok Sembiring.
"Diterima, Tango!"
"Lapor. Anak-anak sudah kembali dengan selamat." Hadi Saputra melapor seraya tersenyum menenangkan ke arah Rinda yang duduk tegang di kursi lainnya. Sementara teman bicara Rinda tadi tampak sedang menanggalkan topi serta seragam jururawatnya. Untuk saaat kemudian. ia sudah kembali menjadi dirinya sendiri, Brigadir Dua Polisi Diana 'Lady Di' Medina.
"Bagaimana dengan sang ayah?" tanya Bursok.
"Barusan pergi!"
"Ok. Tango. Salamku pada anak-anak yang manis itu!"
"Roger, Bravo. Tango out!" Hadi Saputra mematikan pesawat HT-nya lalu tersenyum lagi pada Rinda. Lebih lebar.
Pada waktu sama, di ruang tamu sebuah rumah besar bersuasana nyaman dengan dua orang satpam berjaga-jaga di pos dekat pintu gerbang. Bursok juga melakukan hal yang sama. Mematikan HT-nya yang kemudian disimpan ke atas meja di hadapannya. Ialu berpaling pada nyonya rumah dengan siapa ia semenjak tadi duduk mengobrol. Umumnya mengenai masa lalu serta kematian Reinaldi yang mengejutkan.
"Sampai di mana kita tadi, Bu Herlambang?" tanya sang Ajun Komisaris. Diiringi ulasan senyum yang maniiis sekali.
*** INGIN cepat-cepat menyendiri, Heri Herlambang tidak mengajak ketiga orang stafnya untuk singgah, bahkan minta diturunkan di depan pintu gerbang saja. Sayang. keinginan untuk menyendiri itu cuma tinggal keinginan belaka. Karena begitu mobil pengantarnya berlalu dan ia berbalik tubuh. sebuah mobil tak dikenal tampak sudah mendekam di halaman rumahnya. Padahal ia tidak punya jadwal menerima tamu malam itu!
Jantung Herlambang seketika berdebar tak enak. manakala salah satu satpam yang keluar menyongsong dari pos jaga memberitahu siapa tamu yang sudah menunggu dan sedang ditemani mengobrol oleh istrinya. Berjalan dengan langkah kaku ke pintu depan yang terbuka. Herlambang sempat menimbangnimbang. Sebagai apa nanti ia menghadapi tamunya. Wali kota atau seorang kolonel"
Jadi tuan rumah. Itulah yang kemudian terjadi. Karena begitu melangkah masuk. ia melihat tamunya yang cepat
bangkit dari kursi hanya mengenakan pakaian preman. Dan istri Herlambang sudah keburu pula bergerak menyongsong. memegang lengan sang suami lalu bertanya gemetar.
"Ronald tampak tenang atau bagaimana. Pak?"
"Persis seperti orang tidur!" jawab Herlambang bijaksana. Mengawasi wajah pucat istrinya yang dengan mata masih sembap bekas menangis pula. Herlambang cepat menambahkan, "Kau masuk dan istirahatlah, Bu. Aku akan segera menyusul!"
Kata "segera" diucapkan Herlambang dengan tekanan khusus seraya melirik sekilas ke arah tamu mereka yang tersenyum samar-samar. Pertanda sang tamu memahami maksudnya: tak ingin diganggu berlama-lama!
Menunggu sampai istrinya berlalu dari ruang tamu. barulah Herlambang mendekat dan menerima uluran tangan yang disongsongkan sang tamu sambil bertanya kuatir.
"Anda tidak menceritakan padanya sebagaimana yang saya serta staf saya dengar mengenai kematian Ronald, bukan?"
Ajun Komisaris Polisi Bursok Sembiring menggeleng manis.
"Serangan mendadak pada jantung," katanya. "Itu saja yang saya bilang. Pak Wali. Ibu percaya. meski tampak agak ragu-ragul'
"Terima kasih!" Herlambang mendesah lega. lantas sambil mengambil tempat duduk. "Itu karena dia... seperti juga saya. sangat merasa kehilangan. Maklum, Ronald itu sudah seperti anak kami sendiri!"
'Saya ikut berduka," gumam Bursok.
Tuan rumah mengangguk sebagai pengganti terima kasihnya atas belasungkawa sang tamu.


Manekin Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

'Tak apa. nanti akan lebih saya yakinkan istri saya..." katanya. Mengambang, karena pikiran yang tidak menentu. "Nah. Apa yang dapat saya bantu, Pak Bursok?"
Dia ingin aku cepat pergi. pikir Bursok. lantas menanggapi dengan tenang.
'Hanya dalam tempo tiga hari. Pak Wali. Kami tahu-tahu sudah disodori tiga mayat. Korban pembunuhan. Itu saja, sudah mengejutkan!" Bursok diam sejenak untuk memberi kesempatan tuan rumahnya menerima apa yang kemudian ia tambahkan. "Yang menimbulkan tanda tanya, semua korban tercatat sebagai pegawai di kantor Pemda. Mula-mula, Rendi Suhandinata. Kepala biro. Lalu. Markus, Satpam. Dan sore tadi. Reinaldi. Ajudan merangkap sopir pribadi Anda!"
Pendahuluan yang jelas. rinci. dan langsung. Herlambang sudah menduga. Maka ia pun menjawab. sederhana.
'Barangkali, Pak Bursok. Hanya suatu kebetulan belaka!"
Bursok mengangguk setuju.
'Hanya saja, Pak Wali. Menurut saya, itu kebetulan yang sangat menarik. Karena masih ada beberapa kebetulan lainnya. lnformasi yang saya terima... salah satunya barusan tadi. dari istri anda. Mengenai masa lalu Reinaldi!"
Herlambang tampak terkejut. Tetapi cepat me
nyimpan perasaannya, lalu mengomentari dengan gumaman pendek.
"Oh?" "lainnya, dari rekan sejawat saya di Losari!" Bursok tak memberi kesempatan. "Masa lalu Markus. Diketahui sebagai mantan pencuri mobil. Dan barusan... menurut istri anda, Markus dan Reinaldi punya hubungan saudara. Saudara angkat. ltulah kebetulan pertamanya. Dan..."
"Nanti dulu, Ajun Komisaris!" Herlambang meluruskan duduknya. Tampak bersiaga. "Sebelum Anda teruskan. tak salah kiranya bila saya mengingatkan posisi kita masing-masing, bukan?"
Ajun Komisaris, bukan Pak Bursok!
Birokrasi dimulai, pikir Bursok. Sambil kembali menanggapi. Dengan lembut.
"Itu maka saya tidak datang ke kantor Anda. Pak Wali. Karena sifat kunjungan saya ini adalah kunjungan pribadi."
"Hm, begitu." gumam tuan rumah. lantas meneruskan. disertai senyuman mengejek yang samarsamar, "Dan saya yakin, tanpa sepengetahuan apalagi seizin atasan Anda, bukan?"
Bursok manggut-manggut kalah. Tak apa. pikirnya, yang penting adalah hasil akhirnya!
"Anda benar-benar nekat." kata tuan rumah lagi. Dengan senyuman mengejek yang kian nyata "Bertindak sendiri, dengan menempuh risiko yang menurut saya cukup tinggi!"
Risiko dipecat atau dimutasi, pikir Bursok. Dipecat oleh atasannya, tentu saja dengan rekomendasi sang wali kota.
Nekat" Itu sih modal hidup Bursok semenjak dulu
Contohnya, Miranda. Di Sibolangit dulu, Bursok sempat dipukuli babak belur setelah ayah Miranda mengumpat umpat.
"SMA saja pun belum tamat, sudah berani-beranian membawa putriku keluyuran sampai tengah malam. Ayo, enyah! Dan jangan lagi tampakkan mukamu yang jelek itu di rumahku!"
Tidak di tempat lain, dengan dan sembunyi-sembunyi. Lantas ketika ketahuan juga. Bursok kembali dipukuli habis. Sampai berdarah-darah. Juga diikuti oleh umpatan ayah Miranda.
"Awas! Lain kali, aku tidak lagi pakai tangan. Tetapi. golok!"
Tetapi Bursok pantang menyerah. Ia dan Miranda jalan terus. Dan tibalah hari bersejarah itu. Bursok sudah lulus SMA dan sudah pula lulus ujian saringan masuk di Institut Kepolisian Magelang. Lalu ia dan Miranda kencan lagi.
Kencan pamitan di kebon kopi itu rupanya ada yang lihat, terus melapor ke ayah Miranda. Tahutahu ayah Miranda sudah datang berlari-lari sambil mengacung-acungkan golok dan menjerit histeris.
"Kau sudah kuperingatkan!"
Bukannya takut oleh ancaman bersenjata itu,
cepat melindungi Miranda di belakang punggungnya, Bursok langsung tegak menghadang. Sambil menanggapi dengan tenang.
"Silakan. Pak. Bapak bisa saja membunuhku. Tetapi tidak akan pernah mampu membunuh cintaku pada putri Bapak!"
Mendengar itu, bukan hanya sang ayah, bahkan Miranda pun terkejut lantas berujar cemas pada kekasihnya.
"Jangan. Bang Bursok. Kau cepatlah lari. Selamatkan dirimu!"
"Tidak!" Geleng Bursok. Tegas. "Aku tidak akan pernah lari. Sekali aku lari. itu berarti aku tidak mencintaimu!"
Dan, itulah kemudian yang terjadi.
Diam tertegun sejenak, sang ayah menjatuhkan goloknya ke tanah. Lantas memutar tubuh dan berlalu pergi tanpa menoleh-noleh ke belakang. Sambil meninggalkan pesan pada putrinya.
"Bilangi dia, Mita. Kapan dia nanti mau pergi ke Jawa, suruh dia menemuiku lebih dulu!"
Tiba waktunya untuk memulai kuliahnya di Magelang. tanpa ragu sedikit pun Bursok memenuhi amanah tak langsung itu. Bersilatutahmi sekaligus pamit diri pada Miranda dan kedua orangtuanya.
Dalam pertemuan singkat yang diakhiri dengan jamuan makan malam itu, tidak banyak yang mereka percakapkan kecuali basa-basi keluarga saja. Namun yang pasti. pada saat Bursok pamit. ayah Miranda yang sebelumnya menyambut kedatangan Bursok dengan jabatan tangan dingin dan kaku, kali
ini menggenggam tangan Bursok dengan sedikit Iebih kuat dan hangat. Sambil mengulrimatum.
"Baik-baiklah kau belajar. Dan jangan lupa. Putriku menunggu!"
Dan Bursok pun berangkat ke Magelang.
Disertai senyum kemenangan.
"Aneh..." terdengar suara gumaman sang wali kota di hadapannya.
Bursok mengerjap tersadar. Lantas menatap lelaki gagah dan perlente yang duduk di hadapannya.
"Apanya yang aneh, Pak Wali?"
Tuan rumah menggeleng-geleng sejenak, lantas memberitahu. "Setelah apa yang saya katakan tadi... risiko tinggi yang Anda ambil. Aneh bahwa Anda masih bisa tersenyum-senyum."
"Oh ya" Apakah barusan tadi saya tersenyum. Pak Wali?" tanya Bursok. heran. Lalu kemudian, benar-benar tersenyum. Yang ini, dengan kesadaran penuh.
Terpengaruh, tuan rumah sedikit melunak.
"Berbicara mengenai Markus, Pak Bursok..." katanya, kembali menyebut nama. Tenang. dengan wajah seakan tak berdosa. "Yang merekrut dia adalah wali kota sebelumnya. Bukan saya."
Bursok lantas menguasai dirinya. dan kembali pada tugasnya yang terpantang melewatkan kesempatan begitu jalan terbuka.
"Bagaimana dengan Reinaldi?"
"Saya harus mengatakan, bahwa saya tidak berbuat salah telah merekrut Ronald. Jika pun salah. maka kesalahan itu terletak pada kelemahan hati saya!"
"Maksud, Pak Wali?"
'Bukankah Anda bilang istri saya sudah bercerita?"
"Betul," angguk Bursok. "Tetapi hanya sepintaspintas!"
"Hm," Herlambang diam sejenak. Merenungrenung. Dan tampak murung. "Ketika melihat Ronald digebuki para awak kapal itu. hati saya langsung tergugah. Dia tampak begitu kurus dan lemah. Sementara mereka yang mcnghajarnya bergantian... Anda pasri tahu sendiri yang namanya awak kapal!"
"Kekar-kekar." Bursok manggut-manggut. "Dan menurut yang saya dengar, hal seperti itu buat mereka dianggap sebagai hiburan..."
"Hiburan yang mengerikan!" Herlambang menggeleng-geleng. Marah. "Ronald yang malang! Nyaris mati sewaktu kugotong menemui dokter kapal. Dia tertolong, dan saya langsung memutuskan untuk memboyongnya ke Lombok. Waktu itu, saya jadi Kasdim di sana!"
"Membawanya ke Lombok!" gumam Bursok. heran. "Sedang Anda tahu dari apa dia lahir'
"Dia mengakui itu terus terang, Pak Bursok" jawab Herlambang. Datar. "Pada saya, juga pada polisi pelabuhan setiba kami di Surabaya. Bahkan pada polisi pelabuhan itu sudah saya bilangi, agar mereka menghubungi polres Tangerang dan memberitahu
keberadaan Ronald. juga. kapan saja mereka inginkan. Ronald boleh mereka ambil ke Lombok. Dengan catatan setelah anak itu pulih dan cukup kuat untuk kembali menempuh perjalanan jauh...."
"Dan?" "Memang kemudian ada telepon ke Lombok. Mereka berjanji akan datang menjemput. Tetapi janji itu tak pernah mereka penuhi!"
"Mengapa?" Tuan rumah mengangkat muka. lalu menyahuti dingin.
"Sebaiknya pertanyaan itu Anda tujukan pada mereka, Pak Bursok. Bukan pada saya!"
Bursok terus melaju. "Bukan karena tekanan dari pihak Anda?"
Seketika itu juga. punggung tuan rumah kembali tegak. Kaku. Wajah maupun sinar matanya tampak mengeras. Sehingga Bursok diam-diam sadar bahwa orang yang duduk di hadapannya bukan lagi seorang wali kota, melainkan seorang militer dan menyandang pangkat kolonel.
Menatap galak. sang kolonel pun bertanyalah, sama galaknya.
"lni kunjungan pribadi atau interogasi?"
Diam-diam. Bursok menelan ludah.
*** Lumayan. Pungung tuan rumah tampak sedikit mengendur. Namun sinar matanya masih tetap galak. Secara naluriah, Bursok cepat-cepat melanjutkan.
"Dengan tulus saya katakan bahwa kedatangan
saya ke sini adalah untuk mengharapkan kerja sama dari Anda. Antar sesama pribadi tentunya!"
Tawaran yang manis. Tanggalkan pangkat serta jabatan masing-masing, yang tinggal hanya manusianya saja. Untuk sebuah pembicaraan pribadi. ltu sama artinya dengan of the record. tidak untuk diketahui oleh pihak luar. Lebih jauh lagi. terpantang besar untuk dibuka dan diberi nilai atau kekuatan hukum.
Naluri Bursok langsung memperlihatkan hasil nyata. Sinar mata maupun sikap tuan rumahnya terus mengendur. sampai akhirnya benar-benar berubah kembali. Dari seorang kolonel yang tidak mengenal kompromi, menjadi wali kota yang harus memperhatikan aspirasi warganya. Wali kota yang baru dilantik pula. yang harus mengeruk popularitas sebanyak-banyaknya.
Tak peduli dikeruk dari siapa atau dengan apa!
"Baiklah!" akhirnya tuan rumah berkata. Melunak, meski tanpa senyum. "Kita lupakan saja ucapan Anda barusan!" Diam lagi, menghela napas, lalu, "Tadi Anda bilang. kebetulan yang pertama. Apa kebetulan berikutnya?"
"Almarhum Rendi!" jawab Bursok. Tenang.
"Rendi?" "Mantan Kepala biro di kantor Anda," Bursok mengingatkan.
"Saya tahu. Lantas."
"Ketika dia lari dari Turen... terus terang saja. kami belum tahu dia lari dari apa!" Bursok menekankan kata terakhir sambil cepat meneruskan,
"Informasi kami menyebut, pada waktu itu Anda menjabat Dan Ramil di sana!"
Kelopak mata Herlambang mengerjap sesaat. Cuma itu. Lalu sambil tersenyum jelas nampak dipaksakan-ia melancarkan pujiannya. "Kalian rupanya sudah bergerak jauh juga, Pak Bursok!"
"Karena memang tugas kami, Pak Wali," sahut Bursok, sederhana.
"Ah iya, betul. Dan sebaliknya, Anda pun pasti tahu apa tugas saya pada kota kita ini, bukan?"
Dia sudah tak sabar untuk mengusirku, pikir Bursok. Dan di mulut, "Ada masukan untuk saya mengenai kebetulan yang itu. Pak Wali?"
Herlambang seketika berwaspada. "Maksudnya?"
"Yah, katakanlah... sedikit pengetahuan dari Anda barangkali, sewaktu menjadi Dan Ramil di sana!"
"Tentang?" "Dari apa almarhum Rendi melarikan diri!'
"Oh itu...." Herlambang mengangguk-angguk. lantas diam berpikir. Sampai akhirnya memperoleh jawaban yang tepat dan pasti sulit ditolak oleh tamunya. "Begini. Pak Bursok... Sewaktu jadi Dan Ramil Turen, tentu saja sangat banyak urusan yang harus saya tangani. Dan saya jelas menemui kesulitan untuk mengingat semuanya. Apalagi yang menyangkut kalangan sipil!"
Bursok diam saja. Menunggu.
"tapi untuk enaknya," tuan rumah meneruskan. "berilah saya tempo. Akan saya kontak Dan Ramil yang sekarang bertugas di sana supaya mau bermurah hari membuka-buka arsip lama. Setuju?"
Sebuah isyarat pada Bursok untuk segera angkat kaki.
Maka Bursok pun mengangguk setuju lantas bangkit dari kursinya.
"Saya tunggu. Pak Wali," katanya, seraya mengulurkan tangan. "Dan terima kasih karena Bapak, bahkan juga lbu, telah meluangkan waktu untuk saya. Yang cuma orang kecil ini!"
"Ah, jangan begitu!" sang wali kota tertawa senang. Terutama, karena sang tamu akhirnya pergi. "Datanglah lain kali. Pada situasi yang lebih menyenangkan, saya harap, sehingga kami dapat menjamu Anda dengan baik!"
"Akan saya ingat-ingat itu, Pak Wali. Terima kasih!"
Tuan rumah mengantarkan tidak hanya sampai di pintu tetapi juga ke teras. bahkan terus ke mobil di halaman. la perlu popularitas dan pandangan kagum dari warganya bukan"
Bursok tahu itu, sambil dengan sengaja memperlambat langkah dan secara sambil lalu menyinggung satu nama yang dalam pembicaraan tadi tidak mereka sebut-sebut.
Sebuah tembakan peluru terakhir.
"Omong-omong, Pak Wali. Saya benar-benar salut pada Bu Rinda?"
Kena! "Rinda?" sang wali kota tampak tertegun. Mengejut.
Sesaat. cuma. Tetapi untuk mata elang Bursok. yang sesaat itu sudah lebih dari cukup.
"Saudara kembar almarhum Rendi!"
'Ah ya, dia. Mengapa?"
"Dia tampak begitu tegar menerima kematian saudaranya. Padahal saya dengar-dengar, mereka saling mencintai satu sama lain. Sangat, malah!"
Langkah tuan rumah terhenti lagi sesaat. Tampak berpikir-pikir. lantas kembali mengikuti langkah Bursok sampai akhirnya tiba di mobil. Yang, tentu saja. pintunya sengaja dibuka Bursok berlambat lambat. Mudah saja. tinggal berlagak pintu macet meski akhirnya, bingo... terbuka juga!
Namun sebelum pintu mobil itu terbuka dengan benar, sudah terdengar pertanyaan yang memang sudah ditunggu-tunggu oleh Bursok.
'Dipikir-pikir, Pak Bursok. Mengapa tidak pada Bu Rinda saja ditanyakan. Dari apa saudara kembarnya lari?"
Dan Bursok pun menjejalkan umpannya ke mata kail.
"Agaknya, Pak Wali, dia sulit untuk digoyahkan!"
"Maksudnya kalian curiga bahwa dia tahu. tetapi berpura-pura tidak tahu?"
Bursok diam saja. Sambil dengan cepat masuk ke mobil dan langsung menghidupkan mesin. Di luar pintu, sang Wali kota berdiri termangu-mangu. Dan baru tersadar setelah Bursok menggumamkan pamit.
"Selamat malam. Pak Wali...."
Heri Herlambang cepat menggeleng. Jelas untuk membuang sesuatu dari pikirannya. lalu seraya memaksakan senyum di bibir ia menyahuti.
"Malam. Pak Bursok. Dan kirim salam pada keluarga di rumah. Oke?"
"Itu sudah pasti. Terima kasih!"
Ketika membelokkan mobil di luar gerbang, ekor mata Bursok sempat melihat bahwa tuan rumah masih berdiri termangu-mangu di tempatnya semula.
Dengan gembira, bahkan sambil bersiul-siul. Bursok mengebut mobilnya. langsung pulang ke rumah, untuk memenuhi janjinya pada Melati. si bungsu.
Tiba di rumah, dia bersyukur keluarganya hadir lengkap dan semuanya sudah makan malam. Seperti biasanya, kembali lebih dulu menelepon, Bursok memang tidak ditunggu untuk duduk bersama di meja makan.
Karena Bursok makan siang atau makan malam kapan saja. dan di mana sempat atau ingat.
Setelah ia sendiri selesai makan, sambil dengan setia ditunggui oleh Miranda yang tidak ikut makan, barulah Bursok teringat pada amanat sang wali kota. Titip salam pun di sampaikan. Terakhir. pada Melati sewaktu rebah di antara ayah dan ibunya di atas ranjang yang sama sebagaimana telah dijanjikan Bursok.
"Dari orang nomor satu di kota ini," komentar si bungsu. Takjub.
"Siapa orang nomor satu di sekolahmu, Imel?" tanya Bursok, dengan pikiran menerawang ke manamana.
"Ya, kepala sekolah dong. Papa ini bodoh amat
Dan si bungsu pun ribut berceloteh tentang kegarangan kepala sekolah yang ia sebutkan, juga guru matematikanya. Sangat jauh berbeda dengan Bu Novi. guru PKn yang menurut cerita Melati selain lembut juga sangat perasa.
'Bu Novi pernah kami pergoki sedang menangis di balik pintu kelas. Dan?"
Dan Melati akhirnya capek sendiri berceloteh. lantas tertidur. Bursok menyelimuti putrinya dengan hati-hati. Saling menukar senyum dengan Miranda, lantas merebahkan kepalanya di bantal. Dengan pikiran yang kembali menerawang.
Ada satu kebetulan lainnya yang tidak ia utarakan pada sang wali kota. dan memang sengaja ia simpan untuk dirinya sendiri. Unsur kebetulan yang boleh jadi sangat menentukan dalam kasus yang dihadapi Bursok.
Yakni. Heri Herlambang datang ke Cirebon dan Rendi Suhandinata pun mati terbunuh.
Mengapa" *** Setelah berhasil membujuk istrinya masuk kamar tidur, Herlambang sendiri kemudian naik dan masuk ke ruang kerja pribadinya di lantai atas.
Sebuah ruangan yang lumayan luas, yang selain ditempati lemari arsip dan satu lemari besi, juga dilengkapi perpustakaan kecil. lemari hias berisi perangkat keramik antik serta beberapa piala yang ia peroleh selagi masih aktif sebagai atlet taekwondo. Sementara di tembok ruangan terpajang sejumlah piagam dan tanda penghargaan. lalu sejumlah cindera mata seperti pedang, dan keris berlekuk khas lombok, tongkat kehormatan berukir yang terbuat dari kayu hitam, busur berumbai yang ia peroleh dalam upacara perpisahan dengan warga setempat di Palangkaraya, lengkap dengan sepasang anak panah yang matanya konon beracun.
Tetapi Herlambang masuk ke ruang kerja pribadinya bukan untuk mengagumi itu semua. juga bukan untuk kerja lembur atau membaca-baa buku. Setelah membuka jendela lebat-lebar supaya
udara malam yang segar serta alami masuk ke dalam, Herlambang langsung mendekat lalu rebahan di sofa yang empuk nyaman. Berharap bisa terlelap sambil mengingat-ingat isi pembicaraan dengan tamunya tadi.
Ada satu kesimpulan yang sudah ia tarik dari pertemuan itu. Yakni, Bursok Sembiring bukanlah polisi yang mudah dibodohi apalagi digertak. Coba saja. Sewaktu Herlambang secara halus mengancam bahwa Bursok bisa dipecat karena bertindak sendiri tanpa sepengetahuan atasannya, Ajun Komisaris Polisi itu malah melamun, lantas tersenyum-senyum!
Nekat atau sudah edankah dia itu"
Lalu, kunjungan pribadi katanya!
Dengan pertanyaan-pertanyaan yang menjurus dan juga terkesan menjebak emosi, Herlambang bahkan sampai terpancing ketika kepala Satuan Serse itu bertanya menuduh,
"Bukan karena tekanan dari pihak Anda"!"
Tadi, sebenarnya Herlambang ingin menjawab apa adanya. Bahwa polisi kemudian hanya menelepon dan berkata bahwa mereka mempercayakan pengurusan Reinaldi di tangan Herlambang. Dan itulah yang memang dilakukannya selama ini. Mendidik Reinaldi supaya berubah menjadi manusia baik-baik, meski gagal membujuk anak itu untuk meneruskan studi.
Tetapi semua itu tak sempat diutarakan oleh Herlambang, karena harga dirinya keburu tersinggung. Harga diri seorang kolonel yang dituduh macam-macam oleh seorang ajun komisaris polisi,
yang dalam hierarki militer setingkat dengan kapten! Herlambang lupa, bahwa dalam pertemuan itu statusnya adalah seorang wali kota. Yang baru menduduki jabatan pula. Dan selain popularitas, Herlambang juga membutuhkan tinta emas untuk mencatat keharuman namanya dalam buku sejarah kota Cirebon, kota kelahiran Herlambang sendiri!
Tidak dan jangan pernah lagi kesalahan seperti itu ia perbuat. Herlambang harus lebih berhati-hati. Khususnya dalam masalah rumit yang ia hadapi sekarang ini. Dan tentunya juga, dalam menghadapi seorang Bursok Sembiring, yang bukan mustahil akan kembali berkunjung. Bukan ke rumah, tetapi ke kantor Herlambang. Bukan pula sebuah kunjungan pribadi, tetapi resmi.
Oh ya. Bicara soal kehati-hatian, ia juga harus waspada terhadap orang satunya lagi: Rinda Suhandinata!
Dua hari yang lalu, Joko sudah menyarankan biarlah dirinya saja sebagai sekwilda yang menghadiri pemakaman Rendi Suhandinata. Namun Herlambang tetap memaksa hadir, dengan dalih ia harus rajin terjun untuk lebih mengenal warga kota yang akan dipimpinnya.
Alasan sesungguhnya. hanya Herlambang yang tahu. Ia tidak kuat menahan godaan untuk melihat sendiri bahwa Rendi benar-benar telah mati, telah dikuburkan. Dan di upacara pemakaman itulah untuk pertama kalinya Herlambang mengenal Bursok.
Dan terutama, Rinda. Sewaktu masih menjabat Dan Ramil di Turen,
Herlambang hanya tahu nama. Itu pun cuma dengar-dengar. Sampai di situ tidak ada masalah. Masalah baru timbul setelah Herlambang kembali tergoda. Kali ini untuk mencari tahu apa saja yang diketahui Rinda mengenai insiden Turen.
Dari pembicaraan mereka, kelihatannya Rinda juga tidak tahu dan tidak mengenal siapa Herlambang. Kecuali sebagai wali kota. Seharusnya titik sampai di situ saja dan Herlambang boleh pulang dengan berlega hati. Tetapi, godaan aneh itu datang lagi. Dan Herlambang pun menyebut Turen dan bahwa dirinya pernah menjadi Dan Ramil di sana. Lalu. Rinda mendadak tampak tegang bahkan terkesan waspada!
Memang, tak sepatah pun Rinda menyinggung soal insiden Turen. Tetapi tadi, di rumah sakit!
"Baru dari kamar mayat ya?" tanya Rinda. seperti sambil lalu pula. Juga, ucapan berikutnya. "Hanya menduga-duga!"
Dugaan apa yang ada di benak Rinda mengenai kunjungan Herlambang ke kamar mayat. Atau lebih jauh lagi. mengenai kematian Reinaldi" Lalu omongan lainnya dari Rinda pada juru rawat yang kata Rinda kerabatnya.
"Kabar burung mengenai kematian saudara kembarku itu...!"
Kabar burung apa yang sudah beredar di luaran, dan sejauh mana polisi mendengar lalu menanggapinya"
Polisi! Tadi sewaktu pamit, komandan satuan serse itu tidak membantah dugaan Herlambang. Bahwa
Rinda tahu, tetapi berpura-pura tidak tahu. Bursok Sembiring hanya mengatakan, bahwa Rinda sulit digoyahkan.
Sampai saat ini. ya. Tetapi besok lusa" Herlambang tahu betul bagaimana cara kerja polisi. Dan ia yakin, akan tiba waktunya mereka berhasil juga menggoyahkan Rinda.
Lalu, apa yang dimiliki atau diketahui Rinda" Dan apa yang harus dilakukan oleh Herlambang setelah... atau lebih bagus lagi, sebelum Rinda digoyahkan"
Dengan belakang kepalanya yang terasa berdenyut-denyut sakit, Herlambang bangkit dari sofa lalu berjalan mondar-mandir di ruang kerja pribadinya. Gelisah, dan dengan pikiran kacau bahkan kemudian melantur ke mana-mana.
Andaikata tidak ada insiden Turen. pikir Herlambang. Barangkali aku akan melihat Rinda dari sisi lain. Sisi seorang wanita. Dengan postur semampai. serta lekuk tubuh menawan. Belum lagi wajah cantik. sepasang mata bulat yang terbuka lebar. Kontras dengan bibir mungilnya yang"
Ah, ya. Terutama, bibir mungil itu!
Bibir mungil yang merah segar. Dan kalau bergerak. terkesan sensual. Membuat laki-laki yang melihat, tergoda untuk mencium dan mengulumnya selama mungkin.
Itu adalah bibir mungil yang sama.
Di wajah lembut Ayuningsari!
*** HUTANG budi dan nafsu berahi, pikir Herlambang seraya duduk menyandar di kursi kerjanya yang ia putar menghadap ke jendela terbuka. Dengan lamunan yang terus menerawang semakin jauh. Melampaui lampu-lampu kota yang terlihat dari tempatnya duduk. Melampaui gunung-gunung, lembah serta ngarai. sampai akhirnya berhenti di satu kota kecamatan kecil yang bernama Turen.
Utang budi dan nafsu berahi.
Dua hal itulah yang selalu membayangi kemudian malah menghancurkan perjalanan cinta yang singkat dari Herlambang dengan kekasih gelapnya, Ayuningsari. Utang budi itu bukan pada Ayuningsari di Turen sana, melainkan pada orang lain dan juga berbeda tempat maupun waktu.
Bermula ketika ibu Herlambang minggat dengan lelaki lain dan ayahnya yang frustrasi nekat pergi melaut sendirian di tengah hantaman angin badai. Sang ayah tak pernah kembali. Kecuali perahunya saja, yang ditemukan pada posisi terbalik diayun
ayun ombak laut kian kemari. Cuma perahu itu sajalah yang resmi diwarisi Herlambang. ditambah rumah dalam gadaian yang akhirnya dirampas tanpa ampun oleh si tengkulak pemilik modal.
Dalam keadaan terkatung-katung sengsara itulah Herlambang diambil oleh seorang kerabat yang kemudian bertanya kepadanya, "Kau tahu mengapa ibumu minggat dan ayahmu frustrasi?"
Herlambang yang ketika itu sudah menamatkan bangku SMP dan sempat menganggur dua tahun tentu saja tahu. Ibunya minggat karena sudah tidak tahan dan bosan harus selalu bertengkar dengan ayah Herlambang. Ayah yang baik, sebenarnya. Ulet bekerja, bertangan dingin pula sehingga mampu memiliki armada perahu sendiri.
Namun sang ayah punya satu titik lemah yang tidak bisa diangkat-angkat atau diungkit-ungkit oleh siapa pun juga: ambisi. Ambisi untuk diangkat sebagai seorang sultan yang sah dan diberi kediaman resmi di lingkungan keraton. Jika mungkin di istana Kasepuhan, lengkap dengan semua atribut-atributnya. Tidak lagi sebagai keturunan selir, yang hanya diundang dalam upacara tahunan saja, itu pun cuma diberi tempat duduk di deretan paling belakang. Dengan nama yang selain disebut selewat saja, bahkan sering dilupakan!
Ambisi tersebutlah yang rupanya mendorong ayah Herlambang untuk banting tulang sekeraskerasnya. Nyaris semua hasil keringatnya ia habiskan untuk menyumbang segala keperluan yang dibutuhkan oleh keluarga Kasepuhan. Istri dan anak satusatunya hanya kebagian ampasnya saja. Ditambah
ucapan-ucapan muluk tetapi mengambang seperti "Rejeki kita tidak akan ke mana-mana!" atau janji yang tak lebih dan' sebuah impian "Setelah kita nanti tinggal di lingkungan istana, maka"."
Tetapi istana tetaplah ditempati dan dimiliki oleh para keturunan sultan yang murni dan sah.
Mengenai ayah Herlambang"
Armada perahunya sudah terjual habis bahkan sampai terlibat utang untuk ikut andil dalam renovasi salah satu bagian istana Kasepuhan yang nyaris runtuh karena usia tua. Hasilnya" Boro-boro di Kasepuhan. Di istana Kacirebonan serta Kanoman pun tidak ada tempat untuk ayah Herlambang. Memang ada ucapan terima kasih. Disertai penjelasan bahwa pihak istana akan selalu terbuka untuk menerima dukungan dari luar.
Gelar Sultan" Penasihat istana memberitahu, "Darah memang ada. Tetapi..."
ltulah keputusan dan memang juga fakta nyatanya: keturunan selir tetaplah keturunan selir. lbu Herlambang tiba pada puncak kemarahannya pada sang suami, lantas minggat. Dan dengan wajah murung dan tanpa pamit pada siapa-siapa, malam harinya ayah Herlambang naik ke perahu milik satusatunya yang masih tersisa.
Dua orang mantan anak buahnya yang sudah pindah majikan sempat melihat dan memperingatkan tentang badai. Tetapi ayah Herlambang terus saja mengayuh perahunya menembus kegelapan malam yang ramai oleh angin ribut. Kemudian. ayah Her
lambang pun resmi dinyatakan meninggal karena kecelakaan di laut.
Sang kerabat bertanya lagi.
"jika kau sudah tahu, apa yang harus kau lakukan supaya tidak mengalami hal yang serupa?"
Herlambang tidak tahu. "Belajarlah yang giat," sang kerabat memberitahu. "Dan jangan pernah berharap menjadi orang lain. Tetapi jadilah dirimu sendiri!"
Herlambang pun diharuskan meneruskan sekolahnya. Dan selain keperluan sekolah, biaya hidup sehari-hari Herlambang juga ditanggung oleh kerabatnya yang seorang kolonel dengan nama serta reputasi baik. Tamat SMA. Herlambang dibantu pula masuk ke Akabri. Dan begitu Herlambang lulus tiga tahun kemudian lantas pulang ke Cirebon, ia disambut oleh ciuman rindu Nawangsih. putri kesayangan sang Kolonel. Yang kemudian berbisik gemetar di telinga Herlambang.
"Lamarlah aku hari ini juga!"
Meski sudah memperistri Nawangsih. Herlambang selalu memperingatkan pada dirinya sendiri bahwa utang budi tidaklah berarti sudah terbayar lunas. Utang budi itu tetap akan terbawa ke mana pun kaki dilangkahkan. Antara lain, setelah ayah mertuanya pensiun dengan pangkat brigadir jenderal purnawirawan dan pangkat Herlambang sendiri terus pula naik sampai akhirnya ia ditempatkan sebagai komandan rayon militer di Turen, dengan pangkat kapten.
Sukses awalnya. yang ia yakini berbasis pada utang budi itu juga.
Lalu, nafsu berahi itu pun datang!
Bermula pada suatu hari Herlambang melakukan perjalanan dinas penyuluhan pada warga sebuah desa. Selama memberi pengarahan di pendopo kelurahan. Herlambang diam-diam menyadari bahwa ada sepasang mata yang terus memperhatikan dirinya. Mata seorang perempuan, dari barisan ibu-ibu PKK.
Selesai penyuluhan dan Herlambang sedang berjalan menuju jip dinas tempat sopirnya sudah menunggu. si pemilik mata tahu-tahu mendekat dan berkata diiringi senyuman manis.
"Saya kebetulan mau ke pasar, Pak Ramil. Boleh numpang ya?"
Melihat bibir mungil yang tersenyum itu. jantung Herlambang langsung terasa hangat, bergetar. Dan dengan senang hati Herlambang pun mcmbantu si perempuan naik ke dalam jip. Namun untuk beberapa saat lamanya mereka berdua tidak saling berbicara. Entah apa yang mengunci mulutnya. dan apa pula yang mengunci bibir mungil yang merah segar itu.
Sampai suatu saat, mereka sama menoleh dan sama membuka mulut pula untuk berbicara. Herlambang pun tertawa.
"Silakan duluan, Jeng Ayu!"
Kulit wajah perempuan yang duduk di sebelahnya tampak memerah sebelum kemudian menyahuti. Malu-malu.
"Tadinya saya mau bertanya mengapa kok Pak Ramil diam saja!"
"Sama dong. kalau begitu!" jawab Herlambang.
Jujur. Tertawa lagi karena kebetulan yang menggelikan itu, ia meneruskan. "Tapi omong-omong. aku jangan disebut Pak Ramil, ah. Itu kan nama instansi tempatku berdinas!"
"Lantas saya panggil apa. Pak Ramil" Kapten, begitu?"
"Kapten boleh, nama juga boleh. Namaku kau sudah tahu, tentunya!"
Si bibir mungil mengangguk.
"Ada tertulis dalam surat undangan yang saya terima untuk mengikuti penyuluhan!" katanya. Lalu membuka tas, memperlihatkan surat dimaksud yang resmi dari kelurahan. tempat tercantum pangkat serta nama lengkap Herlambang sebagai pembicara utama. "Dengan nama yang mana saya harus memanggil. Kapten?"
"Yang di depannya!" jawab Herlambang. "Heri. Itu nama kecilku. Kau, Jeng Ayu" Boleh tahu siapa namamu?"
Bibir mungil itu tersenyum. merekah. Membuat jantung Herlambang kembali bergetar. Suara si pemilik bibir terdengar lirih ketika balik bertanya.
"Pak Kapten ini kura-kura dalam perahu ya?"
'Lho. Kok?" "Nama saya kan sudah Bapak sebut dari tadi," perempuan itu memberi tahu. "Tapi lengkapnya. Ayuningsari. Biasa dipanggil Nining. Dan baru Pak Kapten sendiri yang memanggil saya Ayu!"
"Oh?" Herlambang terkejut sendiri dan lagi-lagi ia harus tertawa. Dan tanpa berpikir panjang, langsung mengomentari, "Sejujurnya saja, aku menyebut
Jeng dengan tambahan Ayu, karena kupikir memang sesuai dengan wajah orangnya. Terutama..."
"Terutama apa, Pak Heri?" tanya Ayuningsari karena Herlambang tiba-tiba mengatupkan mulut.
"Ah, tidak!" sahut Herlambang. Kembali tertawa. namun kali ini dipaksa. Lalu cepat-cepat mengalihkan pembicaraan mengenai urusan desa tempat Ayuningsari berdomisili. kegiatan ibu-ibu PKK dan entah apa lagi. Sampai akhirnya perempuan itu turun di pasar yang memang dilewati Herlambang dalam perjalanan kembali ke kantor.
Setelah saling melambai dan saling menukar senyum, mobil pun meluncur kembali. Dan prajurit kepala Kartijo-sopirnya yang dari tadi diam saja tahu-tahu angkat bicara.
"Saya senang melihat Kapten sangat gembira hari ini.?"
Herlambang diam saja. Dan pulang kerumah malam harinya. ia rebah di sebelah Nawangsih tetapi dengan pikiran pada Ayuningsari. Terutama. apa yang tadi ditanya perempuan itu dan tidak dijawab oleh Herlambang: bibir mungilnya. Dan. masih ada satu lagi: dari Pak Ramil menjadi Pak Kapten, lalu tiba-tiba... Pak Heri!
Mengapa tidak: Mas Heri"
Sebutan yang diimpikan Herlambang datang juga seminggu kemudian.
Sore itu ia habis mengikuti latihan taekwondo di perguruan setempat. Memakai baju preman, naik mobil sendiri, yang ia kemudikan sendiri pula. Di perjalanan pulang ia melihat perempuan muda berdiri menunggu kendaraan umum di sebelah kiri ja
lan yang ia tempuh. Setelah dekat, temyata Ayuningsari. Herlambang memperlambat lalu menepikan mobilnya.
Ayuningsari mulanya sempat cemberut dan akan menyingkir sebelum akhirnya mengenali siapa yang keluar dari belakang kemudi. Dan perempuan berwajah ayu itu pun berkata terkejut.
"Eh. Mas Heri kiranya...!"
Herlambang tergetar mendengar cara Ayuningsari memanggil dirinya. Lalu bertanya diiringi senyum.
"Sedang apa kau di sini, Jeng Ayu?"
Kulit muka Ayuningsari memerah sesaat.
"Saya baru mengunjungi keluarga yang sakit," katanya seraya menunjuk mulut gang di belakang tempatnya berdiri. 'Dan sekarang lagi menunggu angkutan umum!"
"Bersedia diantar dengan angkutan pribadi?"
Sial dan benar-benar memalukan, tiba-tiba ban kempes di tengah jalan. Di jalan kampung yang sunyi sepi pula. Herlambang terpaksa turun untuk mengganti ban. Dan Ayuningsari menolak untuk duduk berpangku tangan lantas turun membantu.
Lalu ketika memasang roda pengganti. tanpa sengaja wajah mereka berdua saling mendekat. Baik Herlambang maupun Ayuningsari, sama menatap. Tertegun. Setelah mereka duduk kembali, berdampingan di kursi depan mobil, Herlambang tidak langsung menghidupkan mesin. Diam berpikir sejenak, ia kemudian menoleh lalu berkata ragu-ragu.
"Tadi di luar, Ayu. Bahkan mungkin sejak pertama kita bertemu?"
Herlambang. diam. Tak berani melanjutkan.
Ayuningsari-lah yang mendesak.
"Ya, Mas Heri?"
Herlambang pun menatap apa yang ingin ditatapnya berlama lama, lalu mengutarakannya dengan kata-kata.
"Aku tak bisa menahan godaan untuk... mencium bibir mungilmu!"


Manekin Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ayuningsari tampak menahan napas. lantas berkata. "Mengapa tidak kau lakukan sekarang. Mas?"
Dan itulah kemudian yang terjadi.
Setelah meyakinkan bahwa di jalanan sepi itu tidak ada orang yang melihat. Herlambang langsung meraih tubuh Ayuningsari yang terasa hangat dan gemetar. Lalu bibir mungil yang merah segar itu dicium dan dikulum Herlambang berlama-lama. Dibalas berapi api pula. Sampai akhirnya Ayuningsari menjauhkan wajahnya yang kemudian ia rebahkan di dada Herlambang. Tersengal-sengal beberapa saat, Ayuningsari kemudian bergumam, lirih.
"Sebelum hubungan kita ini berlanjut Mas... dan memang itulah yang saya harapkan, saya harus jujur padamu!"
Jantung Herlambang seketika berdetak. Lalu bertanya, kuatir.
"Kau... punya suami?"
Wajah yang rebah di dadanya. bergerak menggeleng-geleng. "Justru tidak, Mas Heri...."
"Lantas?" Agak lambat. barulah terdengar jawaban. Yang bukan cuma lirih. tetapi juga malu.
"Saya ini... janda!"
Satu dua detik. Serr. Dan pada detik berikutnya, Herlambang pun tertawa. Tergelak-gelak.
"Kukira apa!" katanya.
Lantas kembali tergelak. Dan setelah hari itu. banyak yang mengatakan bahwa terjadi perubahan drastis pada diri Herlambang. Dari seorang pemurung dan suka menggebrak meja jika perintahnya tidak segera dilaksanakan atau disalahtafsirkan, mendadak jadi orang yang suka bercanda dan penyabar pula. Untuk semua pertanyaan yang diucapkan secara berbeda itu, Herlambang memberi jawaban yang sama. Pendek pula.
"Mungkin karena pertambahan umur!" Jawaban yang sama ia berikan pada Nawangsih yang akhirnya tak tahan juga untuk bertanya.
"Ada apa sih, Pak" Kok kau suka mendadak memberi hadiah"!"
Dan ketika Nawangsih terus mendesak juga. Herlambang memberi alasan lain. Yang lebih masuk akal, lebih dapat diterima, karena memang demikianlah faktanya.
"Kau sedang mengandung anak pertama kita, bukan?"
Nawangsih pun tidak lagi menaruh curiga.
Begitu pula pada waktu kandungan Nawangsih semakin membesar dan sudah memasuki mingguminggu terakhir kelahiran. Nawangsih percaya saja alasan mengapa Herlambang mulai jarang menidurinya.
"Kita harus menjaga. jangan sampai kandunganmu terganggu!"
Padahal, penyebab sesungguhnya adalah Herlam
bang sudah memperoleh apa yang diinginkan seorang suami dari istrinya. 'Tetapi bukan dari Nawangsih, melainkan Ayuningsari.
Itu terjadi dua bulan setelah mereka menjalin cinta dalam kencan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Memasuki bulan kedua kencan mereka, Herlambang dan Ayu tidak lagi sekadar berpelukan atau berciuman. Dan sesungguhnya, tidak pula mereka niatkan apalagi rencanakan.
Itu terjadi begitu saja. Hujan tiba-tiba turun bagai ditumpahkan dari langit. dan mereka berdua terperangkap di dalam pondok persinggahan di hilir sungai yang bermuara ke laut di pesisir Banyuwangi. Terlambat tiba di pondok termaksud, baju mereka tentu saja samasama basah kuyup.
Dengan mempergunakan beberapa potong kayu bakar sisa ditambah pecahan-pecahan dinding pondok, Herlambang menyalakan mancis yang dibawanya. Yang semula untuk menyalakan rokok, kini untuk membuat api unggun kecil. Cukup untuk menghangatkan dan mengeringkan baju mereka sambil menunggu hujan berhenti.
Penungguan itu berlangsung selama tiga jam penuh. Dengan tubuh mereka berdua yang hanya dilapisi baju dalam saja. Yang kemudian. juga didiangkan. Hanya saja, ketika lapisan terakhir itu mereka tempatkan dengan aman di pendiangan, tubuh mereka sudah menyatu.
Dan terus menyatu, sedalam yang hasrat mereka inginkan.
Dan itu terus mereka ulang lagi dan lagi, tiap kali mereka bertemu. Pertemuan, yang jarak waktunya semakin mereka persempit pula. Terkadang sampai melupakan keamanan. Karena sudah tak tahan oleh desakan nafsu berahi.
Lalu anak pertama Herlambang pun lahir. Ditunggui oleh kedua orang mertuanya yang dahulunya adalah orangtua angkatnya. Dan mereka datang ke Turen dengan penuh sukacita karena sang putri kesayangan akhirnya memperoleh keturunan juga. Serta kebanggaan pada sang menantu yang sudah dapat lampu hijau untuk bersekolah ke Suslapa di Lembang. Bandung. Yang artinya jenjang karier sang menantu akan terus menapak.
Sekembali mertuanya yang pensiunan brigjen itu ke Cirebon, barulah Herlambang bertemu lagi dengan kekasih gelapnya setelah satu bulan lebih mereka berdua menahan rindu.
Wajah Ayuningsari tampak agak pucat, dan ketika ditanya mengapa oleh Herlambang, sang kekasih pun menjawab takut-takut.
"Saya hamil. Mas Heri!"
Herlambang pun langsung terenyak. Dengan wajah yang lebih pucat dari wajah Ayuningsari. Lalu...
"Herlambang..."!" suara lirih dan sayup. tiba-tiba terdengar memanggil namanya. Herlambang tetap diam. Duduk dengan mata
menerawang di kursi kainnya. menghadap jendela yang terbuka. Suara lirih dan sayup itu kembali terdengar. "Aku tahu kau di situ, Herlambang!"
HERLAMBANG mengerjap. Ayuningsari-kah itu" Tetapi, Herlambang! Bukan panggilan kesayangan itu: Mas Heri.
Mengerjap lagi lalu melihat bangunan-bangunan tinggi serta lampu-lampu kota di luar jendela, barulah Herlambang sadar bahwa ia ada di Cirebon, di ruang kerjanya sendiri. Bukan di Turen.
Nawangsih mungkin" Tetapi semenjak anak mereka lahir, yang kemudian disusul oleh anak kedua. istrinya sudah membiasakan diri memanggil dengan sebutan Bapak, bukan lagi nama. Herlambang sudah akan memutar kursinya untuk mencari tahu siapa yang telah memasuki ruang kerjanya manakala suara itu terdengar lagi.
Lebih jelas, kini. "Aku di sini, Herlambang"
Dari luar jendela! Herlambang pun bangkit serempak lalu dengan cepat mengawasi kegelapan malam di luar. Dan. bingo!
ltulah dia, di trotoar seberang jalan.
Seorang wanita bergaun merah hati. berdiri persis di bawah lampu penerangan jalan. menengadah ke arah jendela tempat Herlambang tegak mengawasi. sehingga sosoknya terlihat jelas. Dan... mulanya Herlambang tidak mengenali wajah itu. Tetapi setelah mencondongkan tubuhnya lebih ke depan lantas mengamat-amati dengan lebih cermat akhirnya wajah itu ia kenali juga. Dan Herlambang pun tertegak kaku. Sambil menatap, tak percaya.
Rinda Suhandinata. Sendirian. di tengah malam buta!
Herlambang sudah akan menyerukan tanya, ketika sebuah truk peti kemas dengan sasis pendek menderu lewat. Dan pandangan Herlambang pada perempuan bergaun merah hati di bawah sana seketika terhalang. Sesaat kemudian terlihat lagi. tetapi kembali terhalang oleh munculnya truk peti kemas lainnya, dengan sasis yang lebih panjang. Satu. dua. tiga. empat. Dan begitu truk terakhir meluncur lewat, trotoar di bawah lampu penerangan jalan tampak sudah kosong. Tak ada Rinda. Yang ada hanya mobil yang meluncur cepat ke arah konvoi tadi berlalu.
Bertumpu ke bingkai jendela, Herlambang berusaha mencari-cari dengan matanya.
Hanya lampu-lampu, bangunan-bangunan milik tetangga serta kegelapan malam saja yang ada. Halusinasi, barangkali" Herlambang meluruskan tegaknya. menghela napas panjang dan sudah bersiap-siap untuk menutup jendela, ketika secara tak sengaja ekor matanya menangkap sesuatu di pertigaan jalan.
Bocah Titisan Iblis 1 Lebih Dari Sekedar Lo Apsen Karya Dante Kisah Bangsa Petualang 12

Cari Blog Ini