Manekin Karya Abdullah Harahap Bagian 5
Tetapi sekarang. pertigaan jalan itu tidak dalam keadaan kosong.
Dia ada di sana. Si gaun merah hati. Tegak diam, menengadah ke arah jendela ruang kerja Herlambang.
Tak pelak lagi, Herlambang menggeram. "Haram jadah!"
Bersama umpatannya itu, Herlambang cepat menghambur ke pintu yang ia buka dengan sekali renggut. Berlari-lari menuruni tangga dan melintasi ruang tengah lalu ruang depan, dengan cepat ia sudah keluar dari rumah dan terus menghambur menuju pintu gerbang yang tertutup rapat. Terkunci pula. Kedua orang petugas piket yang sedang asyik bermain kartu di pos jaga. seketika dibuat kaget oleh bentakan Herlambang.
"Buka gerbang ini. Cepat!"
Namun toh percuma saja. Mereka bertiga sudah berlari-lari dan mencari ke pertigaan dimaksud, juga sudut-sudut lainnya. Mobil-mobil yang oleh pemiliknya diparkir di luar rumah atau tepi jalan, semuanya telah diperiksa. Begitu pula mobil-mobil yang kebetulan lewat, tak luput dari perhatian. Tetap saja tidak ditemukan tanda-tanda keberadaan si gaun merah hati.
Sambil menutup dan mengunci kembali pintu gerbang, salah seorang petugas piket akhirnya memberanikan diri untuk mengemukakan apa yang kemudian muncul dalam pikirannya.
"Maaf, Pak Wali." katanya, takut-takut. "Kalau memang seperti Bapak bilang bahwa Bapak tidak bermimpi, ada baiknya polisi kita telepon. Dan..."
Tetapi Herlambang terus saja berlalu. Dengan langkah-langkah panjang serta wajah yang memucat
saking marah. Masuk kembali ke dalam rumah. ia langsung melembari buku dengan gerakan kasar sambil bersungut-sungut tak jelas. Setelah menemukan apa yang dicari, gagang telepon ia renggut dari tempatnya. Mengoperasikan nomor sesuai yang tercantum pada buku telepon, ia menunggu sesaat. Dengan sangat tak sabar. Dan begitu dapat sahutan, ia langsung menggeram.
"Ini dari kediaman Wali Kota. Cepat sambungkan ke kamar yang ditempati Rinda Suhandinata!"
Menunggu lagi dengan sebelah tangannya yang bebas dikepal-kepalkan dengan marah, dari ujung saluran telepon terdengarlah sahutan mengantuk dari seorang pria.
"Halo...?" "Siapa ini?" bentak Herlambang.
"Prasetyo..." jawab yang ditanya. Disusul suara ragu-ragu. "Yang menelepon ini Pak Wali Kota sendiri atau..."
"Bukan kau, tapi aku yang bertanya!" potong Herlambang. Kasar, dan benar-benar lupa pada popularitas yang dibutuhkannya. "Apa maksud istrimu berkeliaran di sekitar rumahku. eh"!"
Sepi sesaat dua. Lalu, "Istri saya, Pak Wali" Tetapi... dia sedang tidur. Pulas lagi. Atau perlu saya bangunkan?"
"ltulah maksudku!"
Tetapi selagi menunggu. Herlambang mulai bim
bang. Sedang tidur, kata si suami. Dan tadi setelah ribut mencari kian kemari. jangan-jangan Bapak cuma bermimpi, kata petugas piket. Tetapi Herlambang yakin dirinya sepenuhnya terjaga, dan...
"Halo?" terdengar sahutan lirih seorang perempuan di teleponnya.
Rinda-kah itu atau... Hm. bisa saja orang lain!
Tanpa menyahuti lagi, Herlambang cepat meletakkan telepon lantas duduk terenyak. Ada yang salah di sini, pikirnya.
Tetapi, apa" Prasetyo juga merasakan hal yang sama. Ada yang salah. pikirnya seraya mendampingi Rinda yang meletakkan telepon dengan wajah bingung dan tampak masih mengantuk.
"Sungguh, kau tidak merasakan apa-apa tadi?" Prasetyo akhirnya bertanya. Serius.
"Tidak!" geleng sang istri sambil mengingatingat. "Aku cuma bermimpi. Dan kali ini... mimpi benaran!"
"Mimpi apa?" Duduk termenung-menung. Rinda memberitahu. "Aku merasa diriku seperti melayang-layang. lantas... hinggap di bawah sebuah lampu penerangan jalan. Dan di tempat yang rasanya kukenali!"
"Tempat apa?" "Rumah kediaman Wali Kota.?"
Tulang punggung Prasetyo mendadak terasa
kaku dan sakit. la lantas menunggu, dengan tegang.
"Aku seperti melihat ada jendela terbuka," Rinda meneruskan. Dengan mata menerawang. "Dan dia ada di sana. Pak Wali Kota!"
'Lalu"' "Tiba-tiba ada konvoi yang lewat. Konvoi peti kemas," jawab Rinda, dengan wajah tampak memucat. "Dan tahu-tahu tubuhku sudah menempel di bagian luar... salah satu peti kemas! Tetapi dengan cepat sudah melayang lagi. Dan kembali hinggap di sekitar kediaman Wali Kota. Tetapi di tempat terpisah..."
'Dan?" Rinda menggeleng dan menarik napas panjang.
'Tak ada apa-apa lagi," katanya. "Karena Mas tahu-tahu sudah membangunkan aku dari tidur!"
Dan mimpi aneh itu pun berakhir. pikir Prasetyo. Merenung-renung. Beberapa saat cuma" Karena dengan segera ia sudah bangkit lalu menyambar gagang telepon yang tadi sudah diletakkan oleh Rinda.
Rinda menoleh lantas bertanya gelisah.
"Mau menelepon siapa, Mas?"
Prasetyo tidak menyahuti.
Ajun Komisaris Polisi Bursok Sembiring menyambar handphone yang berbunyi di samping ranjang tidurnya dan langsung menyahuti.
'Halo?" Diam mendengarkan sejenak, Bursok memaksakan diri untuk tersenyum.
'Tak apa, Bung Pras. Aku kebetulan memang belum juga bisa tidur dari tadi. Nah, kabar aneh apa yang Anda maksudkan barusan."
Bursok diam lagi mendengarkan. Kali ini lebih lama, dan dengan wajah perlahan-lahan berubah mengeras. Bahkan sampai harus duduk di pinggir ranjang untuk lebih berkonsentrasi. la mendengar Miranda mengeluh dan menggeliat dalam tidurnya namun Bursok tidak tertarik untuk berpaling.
Lalu tanpa mengajukan pertanyaan apa pun, Bursok kemudian mengakhiri pembicaraan telepon itu dengan suara lembut dan bernada menghibur.
"Biar kami saja yang memikirkannya, Bung Prasetyo. Anda dan istri Anda tidur sajalah lagi. Terima kasih untuk pemberitahuannya. Selamat malam!"
Duduk berpikir sejenak, Bursok meletakkan handphone di tempat semula dan ganti menyambar HT polisinya yang tersimpan di tempat yang sama. la sudah akan menekan salah satu tombol ketika tampak seperti teringat sesuatu. Bursok pun menoleh dan melihat ke arah Miranda yang merangkulkan sebelah tangannya ke tubuh si kecil Melati. Istri serta putri bungsunya benar-benar pulas, dan Bursok tak tega mengusik kenyamanan orang-orang yang dikasihinya itu.
Maka Bursok pun bangkitlah dari tempat tidur. Bukan untuk keluar dari kamar, melainkan masuk ke kamar mandi yang pintunya dibuka lalu ditutupkan dengan hati-hati. Duduk seenaknya di atas
kloset, barulah tombol 'on' pada HT-nya ditekan. setelah itu Bursok memanggil.
"Buldog pada Herder satu! Buldog pada Herder satu!"
Terdengar suara bergemeresak pada HT di tangan Bursok. disusul terdengamya suara Hadi Saputra yang sedikit tersengal. Agaknya sedang kepayahan. atau sesuatu telah mengganggu pernapasannya.
"Herder satu di sini. Roger"
"Dia lolos lagi, bukan?" Bursok langsung bertanya. Serius.
"Dari mana Anda tahu, Komandan?" terdengar suara heran sang inspektur satu yang kemudian tiba-tiba menyesal karena Bursok diam saja. Ada helaan napas, lalu, "Dia tiba-tiba muncul begitu saja. Komandan. Sekali lagi. begitu saja! Di bawah salah satu lampu penerangan jalan!"
"Lantas?" "Kami bergegas keluar dari mobil untuk mendekat. Tetapi suatu konvoi panjang peti kemas tahutahu menghalangi langkah kami. Dan dia pun lenyap!"
"Lenyap bagaimana?"
"Lenyap dari tempatnya di bawah lampu penerangan jalan, bersama munculnya konvoi peti kemas. Konvoi itu lantas kami kejar bahkan sempat kami tahan. Dan?"
Dan dengan suara yang terdengar marah bercampur malu. Hadi Saputra memberitahu bahwa hasil yang mereka peroleh Cuma omelan marah bahkan juga umpatan-umpatan kasar dari satu dua so
pir truk. Si gaun merah hati" Tak seorang pun dari sopir truk itu yang mengaku telah melihatnya. Sementara tanda-tanda keberadaan si gaun merah itu juga tidak mereka temukan setelah berlelah-lelah memeriksa truk demi truk.
"Kami lantas lembali ke tempat pengintaian semula," Hadi Saputra mengakhiri ceritanya. lagi, dengan napas tersengal. "Tetapi hanya untuk terus lewat. Menyingkir..."
"Menyingkir?" "Apa boleh buat, Komandan. Karena di tempat itu kami lihat target kita sedang sibuk. Berkeliaran ditemani dua anjing penjaganya. Tak syak lagi, mereka juga pasti sibuk mencari apa yang telah kami cari!"
"Hm. Lantas ada di mana kalian sekarang?"
"Kembali lagi ke pos semula. Tentu saja setelah melihat situasinya sudah megizinkan!"
"Dan?" "Tak ada apa-apa lagi. Komandan. Semuanya aman-aman saja sampai sekarang!"
"Aneh!" Bursok bergumam. Lebih ditujukan pada diri sendiri. "Kok tidak seperti sebelum-sebelumnya. langsung menyambar mangsa!"
Pesawat HT Bursok sepi. "Oke!" Bursok akhirnya memutuskan. "Suruh Herder Dua mengambil alih. Dan kalian pulanglah!"
"Roger. Komandan. Out!"
Semakin sepi setelah Bursok menekan tombol 'on pada HT di tangannya. la masih duduk beberapa saat di atas kloset. Berpikir keras. laporan
yang ia dengar memang sangat mengecewakan. Tetapi ada dua hal yang masih bisa dianggap sebagai pelipur lara. Pertama, target mereka dalam keadaan selamat sampai saat ini. Besok lusa" ltu urusan nanti!
Yang sudah pasti adalah hal kedua. Si gaun merah hati!
Apa yang diduga Bursok ternyata tidak keliru. Bahwa target berikutnya dari sang manekin alias si boneka pop adalah sang wali kota. Pertanyaannya adalah. mengapa ia cuma muncul untuk menghilang lagi" Permainan apa yang sedang ia lakoni"
Atau lebih khusus lagi, apa yang ia tunggu"
Dan. di komplek pemakaman.
Si gaun merah hati bergerak dengan langkahlangkah kaku di antara batu-batu nisan, sebelum akhirnya berhenti lalu duduk bersimpuh menghadapi gundukan kubur Rendi Suhandinata. Menatap gundukan kubur itu sejenak, bibir mungil si gaun merah hari kemudian tampak menggeremet terbuka.
lalu terdengarlah suaranya yang lirih dan sayup Itu.
"Asyik juga mengikuti jalan pikiran orang Sibolangit itu, Rendi-ku. Membuat panik si Herlambang terkutuk itu dan berharap dia melakukan kesalahan!"
Bibir mungil yang merah segar itu tersenyum sesaat. Lalu, "Aku jadi tergoda untuk ikut meramai
kan. Tak apa kan" Biarkan si Herlambang terkutuk itu ketakutan dulu setengah mati. Baru setelah itu..."
Senyum manis si merah hati melenyap. Pelupuk matanya tampak terpejam pula. setelah mana tubuh moleknya tampak bergetar dan terus bergetar.
Diterangi sinar rembulan yang diam membeku di langit malam. gundukan kubur Rendi Suhandinata terlihatlah ikut pula bergetar. Sampai suatu saat, garis tengah kuburan tersebut sedikit demi sedikit mulai terbelah dan terbelah.
lantas akhirnya terbuka. Menganga. *** HERLAMBANG menatap nanar.
Ditingkahi suara dengkuran keras Nawangsih yang sudah pulas di sebelahnya, tentu saja Herlambang tidak menemukan apa pun juga di langit-langit kamar tidur mereka. Kecuali benak yang terasa seakan-akan pecah sehingga hampir tak mampu berpikir.
Maka, sang wali kota pun bangkit dari rebahnya. Sekeluar dari kamar tidur ia sempat terniat untuk kembali lagi ke ruang kerjanya di lantai atas. Namun saking pikiran tak menentu, kakinya kemudian berganti arah menuju dapur. Kepalang tak bisa tidur. ia menyeduh secangkir kopi lantas mengenyakkan pantat di kursi meja makan. Duduk merenungrenung, menduga-duga, dan berandai-andai.
Andai setelah tadi gagal menemukan Rinda di luar sana, ia tidak menelepon. Tetapi langsung mengeluarkan mobil pribadinya dari garasi. terus ngebut ke hotel tempat Rinda menginap. Barangkali ia akan tiba lebih dahulu, lalu mengejutkan Rinda
yang tiba belakangan. Sekaligus juga memergoki siapa yang oleh Prasetyo dikatakan istrinya dan kemudian sempat menyahuti telepon Herlambang. Setelah itu meteka akan berbicara. Terbuka dan langsung!
lsi pembicaraan" Jelas Herlambang akan membatasi maksud Rinda berkeliaran di luar tempat kediaman Herlambang. Tempat kediaman seorang wali kota!
Tetapi setelah itu apa"
Oh ya. Biarkan Rinda yang lebih dulu bercerita mengenai apa yang diketahuinya, lalu apa yang ditujunya. Herlambang tinggal menyesuaikan diri. Dengan membantah. Atau kalau tidak bisa membantah bukti yang dipunyai Rinda. tinggal mengatur lalu mencari kesepakatan.
Tetapi bagaimana jika Rinda menolak"
"Aku seorang wali kota. kolonel. lagi!" pikir Herlambang. Sambil tersenyum sumbang. "Aku tingal menekan dia!"
Kalau tidak bisa ditekan"
Masih ada. Katakanlah suatu ancaman serius.
"Aku punya pistol. Lengkap dengan sekotak peluru yang sudah lama menunggu untuk dipakai.?"
Tetapi kau seorang wali kota!
"Oh ya. Tinggal meminjam tangan orang lain. Seperti terhadap..."
Benar. Rendi Suhandinata-lah biang keladi dari semua urusan yang menjengkelkan ini. Anak sialan itu sudah melihat, terus lari seraya membawa serta penge
tahuan mengenai apa yang dilihatnya. Padahal Rendi tak perlu lari. Rendi seharusnya datang saja pada Herlambang, dan Rendi akan mengetahui kejadian yang sebenarnya. Kalau Rendi tak juga percaya, mereka tinggal mencari kesepakatan. Selesai. Titik sampai di situ!
Selesai" Tidak. Karena itu cuma angan-angan. Karena, sialnya, Rendi juStru lari. Dan sekarang, Herlambang harus membuat kesepakatan lain. Dengan saudara kembar Rendi. Tentu kesepakatan yang sangat tidak mudah. Atau jika pun mudah, nilai atau barangkali juga tebusannya akan besar sekali. Tidak apa. Yang penting nama baik Heri Herlambang tetap terjaga. Nama baik yang dengan susah payah telah diperjuangkan serta dipertahankan Herlambang selama ini.
Bukti nyatanya ada. Setelah dibantu memasuki Akabri, Hedambang boleh dibilang tidak pernah lagi memanfaatkan pengaruh nama besar mertuanya yang dikenal sebagai suri teladan untuk sistem pembinaan teritorial yang sukses. Bagaimanapun kacau atau ingar-bingarnya suatu wilayah, maka wilayah itu akan berubah aman begitu mertua Herlambang masuk.
Cara sang mertualah yang kemudian ditiru oleh Herlambang. Pendekatan persuasif dengan tokoh-tokoh masyarakat setempat. Dari kalangan birokrat. alim ulama, mahasiswa, sampai ke masyarakat pinggiran di pemukiman kumuh. Sambil selalu turun sendiri, tanpa pengawalan yang berlebihan, tanpa
aneaman-ancaman. Terkadang. ancaman memang perlu bahkan harus.
"Tetapi susunlah kata-katanya sehalus mungkin!" begitu mertuanya selalu menasihatkan.
Hasilnya memuaskan. Dengan pangkat yang terus melejit, kedudukan Herlambang pun tents meningkat. Dari seorang perwira bawahan yang sebelumnya tidak diperhatikan, tahu-tahu sudah berpangkat kapten dengan jabatan Dan Ramil sebagai titik awal karier. Sukses dan nama baik kemudian mengantarnya ke Suslapa. Lulus dengan nilai cum-laude, Herlambang lalu ditempatkan jadi Kasdim di Lombok. Naik pangkat lagi, lantas meloncat jadi Dandim di Palangkaraya. Sukses dan mengikuti pendidikan lagi. kali ini di Seskoad Bandung, Herlambang disuruh memilih satu di antara tiga. Menempati jabatan Danrem, sekolah lagi di Seskogab dengan tingkat kepangkatan tidak terbatas, atau... jadi Wali kota!
Tiba di situ. bukan Herlambang yang memutus
kan. Melainkan, istrinya. "Kasihan anak-anak," Nawangsih memberi alasan. "Mereka sudah bosan harus berpindah-pindah. Mana aku sendiri pun sudah jemu pula!"
Mertuanya ikut mendukung. Bahkan kembali mengambil peran yang sudah lama diabaikan Herlambang.
"Aku punya uang!" kata sang mertua, bersemangat. "Juga, kau tahu sendiri apa jabatanku di partai yang selama ini kugeluti!"
Ketua dewan pakar dari sebuah partai terkemuka jawab Herlambang. membatin.
"Dan mereka siap mendukung pencalonan dirimu!" lanjut mertuanya, meyakinkan.
Dan terutama, menyangkut sejarah keluarga!
Mengapa tidak. pikir Herlambang waktu itu. Apalagi setelah ia diberitahu oleh atasan, jabatan wali kota Cirebon yang lama sudah akan berakhir dan penggantinya. yang harus asli orang daerah setempat, sudah ditunggu.
Cirebon. Kota tempat Herlambang dan juga istrinya dilahirkan. K0ta tempat... sebaliknya, ayah Herlambang mati karena frustrasi. Dan. sekali Herlambang menjadi wali kota di Cirebon, maka cita-cita ayahnya bahkan mungkin juga para leluhurnya, akan tercapai.
Memang tidak akan pernah memperoleh gelar seorang sultan, tetapi kedudukan mereka akan sederajat. Tidak seperti ayahnya yang hanya diberi tempat di deretan belakang, nama pun disebut selewat saja, Herlambang akan memperoleh barisan paling depan. Dan pembicara sultan akan mendahului nama Heri Herlambang dengan sebutan pelengkap.
"Yang terhormat..." atau malah "Yang Mulia...!"
Tenteramlah hendaknya roh sang ayah di alam kubur ketika Herlambang mengambil pilihan ketiga: menjadi orang nomor satu di Cirebon. Suatu kedudukan terhormat yang ia raih dengan susah payah dan nyaris tanpa cacat cela. Jika pun Herlambang pernah melakukan kesalahan di sana sini, kesalahan
itu terlalu kecil dan tidak terlalu berarti untuk ditulis dengan tinta merah.
Kecuali barangkali... Ayuningsari!
Tidak banyak orang tahu. bahkan mungkin cuma dua tiga saja. bahwa kasus Ayuningsari boleh jadi adalah salah satu kesalahan terbesar yang pernah diperbuat Herlambang di sepanjang perjalanan kariernya yang sukses.
Ayuningsari yang suatu hari membuat kejutan yang sama besar dengan sukses Herlambang kemudian. Kejutan melalui sebuah kalimat pendek dan sederhana. "Saya hamil, Mas Her!"
lalu... Kompyang! Kelopak mata Herlambang mengerjap-kerjap. kaget.
Lantas menyadari sumber suara ingar-bingar yang barusan membuyarkan lamunannya. Pasti berpangkal pada kemarahan yang tanpa ia sadari tersalur ke lengan kanan dan terlemparlah cangkir beserta tatakannya dari permukaan meja. Jatuh berderai di lantai. Bersama cairan kopi kental yang tadi ia seduh dan belum sempat-karena memang tidak ingat-dicicipi walau hanya seteguk!
Selagi Herlambang tegak termangu-mangu oleh pengaruh kaget. ke ruang makan itu masuklah berlari-lari tiga sosok masa kini Herlambang. Mulanya Sarijah. pelayan setia yang mendampingi mereka semenjak di Palangkaraya. Lalu pada waktu ber
samaan, Nawangsih serta putri dan anak bungsunya, Angelia.
Putri yang biasa dipanggil Herlambang dengan sebutan Angel atau malaikatku itu langsung bertanya dengan tatapan mata kuatir..
"Ada apa. Papa?"
Herlambang menghela napas. Lantas duduk kembali seraya berjuang keras untuk menenangkan diri.
"Saking asyik melamun?" katanya, membara. 'Cangkirnya tahu-tahu jatuh. Cuma itu!"
"Dengan tatakannya?" ganti Nawangsih yang bertanya. Curiga.
"Yah...." Herlambang tak meneruskan. Cuma angkat bahu. Tak tahu harus menjawab apa.
Beruntung pelayan mereka tampil sebagai penyelamat. Sambil sibuk memberesi pecahan beling di lantai. Sarijah menggumam lirih.
"Makanya. Juragan. Saya sudah bilang. relakan saja kepergian Om Ronald!"
Reinaldi. Bahkan kematiannya pun sudah sempat terlupakan!
Teringat ke situ. Herlambang terenyuh sendiri. Angelina cepat mendekat lantas merangkul lembut. Seraya mengingatkan. sama lembutnya.
"Sudah, Papa. Tidur sajalah. Bukankah seperti kata Papa. besok di kantor Papa akan mencetuskan rencana besar.
Rencana besar. Rencana besar apa" *** CIREBON masa depan. ltulah judul makalah yang pagi harinya disampaikan Herlambang di ruang rapat utama dan disimak dengan tekun serta penuh perhatian oleh semua kepala stafnya yang hadir lengkap. Tentu saja di antara kilatan nyala blitz atau sorotan lampu kamera elektronik dari bagian dokumentasi. yang pada waktunya nanti akan disebarluaskan pada media cetak maupun televisi.
Sebagai kota transit perdagangan, Cirebon sudah oke. Begitu pula dengan kota wisata, khususnya Sangkan Hurip. Di daerah pemandian air panas itu sudah banyak pondok-pondok peristirahatan dibangun, bahkan hotel tipe man dengan segala Fasilitas yang diperlukan. lstana Kasepuhan, Kacirebonan serta Kanoman"
Teringat pada pengorbanan besar almarhum ayah. nya, pada bagian yang itu dengan enteng Herlambang berkata. "Mau diapa-apakan. terserah pada mereka-mereka yang mendudukinya!"
Contoh-contoh di atas adalah program jangka pendek. Tiba saatnya Herlambang membicarakan program jangka panjang. Mulailah terlihat gelagat bakal timbulnya perdebatan sengit.
"Coba saja Bapak-Bapak pikirkan sendiri," demikian antara lain Herlambang memulai pembicaraan jangka panjangnya. "Selama ini, hasil udang serta rajungan petani nelayan kita dikirim ke Sidoarjo untuk dikelola lalu dipasarkan. Bandeng ke Semarang. Kita di sini yang banting tulang, mereka di sana yang punya nama. Terutama... duitnya!"
Geerr sampai di situ. lantas mendadak sepi ketika Herlambang mengajukan pertanyaan.
'Mengapa tidak kita bangun pabrik-pabrik pengelolaan serta pengalengan sendiri di sekitar pelabuhan?"
Daerah pelabuhan, itulah kuncinya.
Selama ini. pelabuhan Cirebon hanya disibukkan oleh ekspor atau pemasaran barang yang tidak ada kaitannya dengan laut yaitu industri rotan. Hasil laut melimpah, negara peminat tidak kurang-kurang pula. Untuk itu. sejumlah pabrik baru harus dibangun. Pelabuhannya sendiri juga harus diperbesar dan diperluas, untuk meningkatkan daya tampung, daya lempar, daya saing.
'Jika perlu, dengan mereklamasi pantai !' ujar Herlambang, bersemangat. "Dengan adanya pelabuhan yang saya rencanakan itu, pengusaha-pengusaha kita di Cirebon ini dapat memasarkan langsung hasil produk mereka. Sekaligus menghemat apa yang selama ini terpaksa mereka keluarkan. Biaya transportasi, gudang. biaya dari kontraktor
dan entah apa lagi, yang kesemuanya dikantongi orang-orang luar!"
Ide besar lainnya adalah bandara Pegung, yang selama ini hanya disingggahi pesawat-pesawat perintis, atau paling banter CN-ZSS.
"Mengapa tidak DC-lO, atau bahkan Boeing?" tanya Herlambang, bergairah. "landasan pacu, itulah kuncinya. Landasan pacu yang harus diperpanjang, diperlebar. Dan..."
Dan lain lainnya. Termasuk sumber daya manusia yang akan memperoleh lebih banyak kesempatan kerja, serta jumlahnya tidak kurang-kurang di Cirebon.
Tetapi tinta emas yang mulai ditorehkan Herlambang itu dengan segera langsung mendapat tekanantekanan. Terutama menyangkut dana dari APBD yang kata para stafnya, selama ini bukan saja tak mencukupi, malah sering-sering nombok, walau misalnya hanya untuk menambah panjang jalanan di pinggir kota!
Investor, itulah pertanyaannya.
Dan jawabannya sudah dipersiapkan oleh Herlambang. Dengan sedikit risi. ia pun menyinggung nama besar mertuanya serta lima relasi sang mertua yang sudah menyatakan siap untuk membantu. Dua di jakarta, satu di Abu Dhabi, dua lainnya dari Brunei Darussalam.
"Dalam hal ini, perlu kiranya saya ingatkan," Herlambang berkata dengan dagu terangkat dan sorot mata meyakinkan. "Tolong Bapak-Bapak buang jauh-jauh pikiran bakal adanya kolusi atau nepotisme. Korupsi, apalagi!"
Sementara peserta rapat menyimak dengan pandangan ragu-ragu, Herlambang dengan tenang memberitahu.
"Saya berani menjamin hal itu karena urusan berikutnya akan saya serahkan pada Bapak-Bapak sekalian, termasuk mengenai pembagian saham dengan calon investor. Tentu saja, dengan persetujuan dari anggota dewan kita yang terhormat!"
Keuntungan buat Herlambang serta mertuanya"
"Boleh dibilang tidak ada!" Herlambang menjelaskan. "Apa yang kami upayakan, semata-mata demi niat baik. Cirebon masa depan! Cirebon tempat saya, mertua saya, bahkan istri dan anak-anak saya tercinta dilahirkan!"
Berkeringat dan lelah alang kepalang seusai mengikuti rapat. Herlambang melangkah lunglai menuju ruang kerjanya untuk beristirahat. Namun apa daya. seorang tamu sudah menunggu. Tamu yang kehadirannya tidak bisa ditolak. karena sang tamu ia harapkan membawa sesuatu yang sudah ditunggu-tunggu Herlambang pula. Orang itu adalah Anwar Suhardiman, SH. dari biro hukum Pemda yang tadi malam ikut mendampingi Herlambang mengidentifikasi jenazah Reinaldi di kamar mayat rumah sakit.
"Ayo. masuklah," Herlambang mempersilakan dengan suara lelah. Kini bukan cuma lelah. tetapi juga sakit. Terutama pada otaknya. Yang disebut terakhir itu muncul setelah si penasihat hukum meletakkan selembar foto di atas meja.
Foto Rinda Suhandinata! Ketika menerima foto dimaksud dari sumber langganannya di kepolisian, Anwar benar-benar dibuat terkejut. Karena yang terpampang pada foto adalah wajah yang telah dilihatnya di rumah sakit. Bahkan sempat mengagumi kecantikannya... terutama gerak bibir mungilnya yang sensual ketika berbicara dengan Herlambang.
Tak ayal lagi, dengan bersemangat tinggi ia langsung ngebut ke Pemda. Lalu dengan penuh kesabaran namun tetap bergairah. ia menunggu sampai sang atasan selesai mengikuti rapat dan berharap orang yang ia tunggu akan memperlihatkan reaksi yang sama. Terkejut. lalu pujian. dan semoga juga kemudian... bonus lumayan!
Sang penasihat hukum terpaksa harus menelan kecewa.
Karena setelah melihat sekilas ke lembar foto di atas meja. sang wali kota tampak tenang-tenang saja. Dengan tenang pula tangan si orang nomor satu itu menjemput lantas mengamat-amati foto yang dimaksud. Kemudian berkomentar sama tenangnya.
"Hasil mesin repro yang kurang sempurna, menurutku!" Herlambang berkata. setengah menggumam. "Sudah warnanya terlalu pucat. ada bercakbercak pula. Masih untung kecantikan wajah pada foto ini tidak rusak karenanya!"
Anwar pun menelan ludah. Baru kemudian memberanikan diri bertanya. Dengan suara yang mendekati frustrasi.
"Bapak tahu... itu foto siapa ?"
"Bahkan sebelum Pak Anwar datang aku sudah menduga siapa orangnya!" jawab Herlambang seraya meletakkan kembali lembar foto yang ia pegang ke atas meja yang mereka hadapi, sambil berusaha keras agar tidak mengernyitkan dahi.
"Kepalaku!" ia membatin. "Makin sakit saja rasanya!"
Anwar juga berusaha. Berusaha mencoba, dengan motivasinya sendiri.
"Tetapi masih ada informasi lain yang mungkin Bapak belum tahu!"
"Oh ya?" desah Herlambang, seraya memaksakan senyum di bibir.
"Saya tidak akan bertanya dari mana Bapak sampai lebih dulu tahu siapa orangnya," Anwar memulai secara profesional. sesuai bidang yang ia lckuni untuk cari makan. Penuh kehati-hatian dan juga, mengingat siapa yang dihadapi sekarang ini, bijaksana.
Si orang nomor satu diam menunggu. Dan Anwar pun memulai serangannya.
"Sumber saya itu bilang, ada sesuatu yang ikut bermain di belakang kematian Reinaldi. Boleh jadi juga. Markus!"
Lumayan. Si orang nomor satu mengangkat muka. Tampak mulai tertarik. Terbukti dari desahannya.
"Apa?" Apa. Bukan lagi: oh ya"!
Anwar langsung menjatuhkan palu. Melalui kalimat pendek yang diucapkan dengan khidmat.
"llmu hitam!" Herlambang diam sejenak. Berpikir. Lalu. "Oh?"
Cuma itu. Dan Anwar merasa dirinya sedang berhadapan dengan seorang hakim yang tahu betul bagaimana membuat orang merasa bersalah. Tetapi ia terus berusaha.
"Bapak tentunya belum lupa bagaimana caranya Reinaldi, maaf, menemui ajal!" katanya, mengingatkan dengan hati-hati. "Bangku-bangku fiberglass yang retak dan pecah sendiri lalu menyelimuti Reinaldi. Setelah Reinaldi mati. selimut fiberglass itu berpecahan sendiri lagi, lantas kembali ke tempat dan bentuknya semula. Bangku-bangku yang utuh. siap untuk diduduki!"
Mendengar penuturan si penasihat hukum, Herlambang terpejam, sakit. Terbayang lagi betapa mengerikannya kematian yang harus dialami Reinaldi yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri itu.
Tetapi cuma sebentar. Dengan segera ia sudah menguasai diri. Membuka kelopak matanya kembali, Herlambang kemudian berkata. setenang yang mampu ia perlihatkan..
"Di Lombok sana, Pak Anwar. Banyak ilmu hitam yang sama atau mungkin lebih hebat dari itu. Akan saya kasih tahu salah satu contoh!"
Diam mengingat-ingat sejenak, Herlambang meneruskan. "Aku pernah melihat dengan mata kepalaku sendiri orang yang merasa akan melewati pintu. padahal yang dihadapinya adalah tembok beton. Tubuhnya memang menembus masuk, tapi tak per
nah bisa keluar lagi walau kami sudah beramai-ramai membetot dari muka maupun dari belakang. Tahu apa yang terjadi kemudian, Pak Anwar?"
Anwar diam menunggu. Dan Herlambang memberitahu. "Setelah beton di sekeliling orang tersebut dibongkar paksa, dia tetap tegak bergeming di tempatnya semula. Tetapi dalam keadaan sudah tak bernyawa!"
Membiarkan suasana hening berlalu sejenak, Herlambang menggeleng-geleng dan kembali berbicara, "Masyarakat dengan kepercayaan seperti itulah yang waktu itu harus kuhadapi dan kubina. Mencemaskan, memang. Namun aku tetap mendatangi dan berbicara dengan mereka. Hanya dengan berbekal kepercayaan diri!"
"Dan, tak pernah terjadi apa-apa menimpa diri Pak Wali?" tanya Anwar. Takjub bercampur ingin tahu.
"Aku sekarang duduk di hadapanmu, Pak Anwar!" jawab Herlambang enteng. "Dalam keadaan segar bugar, bukan?"
Sepi lagi. Masing-masing dengan pikirannya sendiri. Sampai akhirnya Herlambang membuka tasnya dan mengeluarkan buku cek sambil bertanya setengah tak acuh.
"Nah. Berapa yang harus kubayar pada sumbermu di kepolisian itu?"
Si penasihat hukum diam sejenak. Teringat bagaimana ia sempat terkejut ketika sumbernya menyebut angka lima puluh juta rupiah, lalu sempat memperdebatkannya.
"Pak Anwar?" Anwar tersadar, lantas cepat menyahuti. Tenang dan polos-polos saja.
"Dua puluh juta, Pak Wali. Dari hasil nego, tentunya. Dan sudah saya bayarkan uang muka lima juta!"
'Dua puluh juta!" Herlambang menatap, terkejut. Lalu sebelah tangannya menyambar dan mengibas-kibaskan oleh-oleh yang tadi dibawa oleh stafnya dari biro hukum tersebut.
"Cuma untuk selembar foto jelek ini?"
Anwar tetap tenang. Wajahnya pun tetap polos ketika menjelaskan.
"Saya juga sempat kaget. Pak Wali. Tetapi dia bilang, dia harus membayar beberapa orang untuk mendapatkannya. Juga, foto serta informasi yang melengkapinya dia bilang bersifat rahasia!"
"Informasi apa?"
"Identitas pemilik foto. Lengkap dengan alamatnya...."
"Yang semua itu sudah kuketahui!"
"Memang betul, Pak Wali. Tetapi..."
"Sudahlah!" potong Herlambang menahan jengkel. lalu mulai menulis pada lembaran kosong buku ceknya. "Biarkan dia telan uang haramnya, Pak Anwar. Ambillah dua puluh lima juta ke bank. Lima belas juta serahkan padanya. Lima juta untuk pengganti uang muka yang telah dibayarkan. Sisanya, pengganti jerih payah Pak Anwar bernegosiasi untuk mendapatkan foto di hadapanku ini...!"
Si penasehat hukum seketika memperlihatkan sikap malu-malu. "Aduh. Pak Wali. Tak usahlah repot-repot. Saya...'
Herlambang sudah keburu menyodorkan lembaran cek yang sudah ia tandatangani. sambil berkata tak acuh.
"Sambil lewat, tolong beritahu sekretarisku bahwa aku tak mau diganggu. Baik oleh tamu maupun telepon!"
"Baik, Pak Wali!" Anwar mengantongi cek. Lantas bangkit dari kursi. "Oh ya. Apakah perlu saya mintakan tanda terima dari sumber saya itu?"
jawabannya .sudah diduga oleh si penasihat hukum. Tersenyum kaku, sang wali kota menyahuti. "Yang benar saja! Selamat siang, Pak Anwar!"
"Siang, Pak Wali!"
Anwar Suhardiman, S.H. kemudian berlalu sambil tak lupa mengangguk hormat sebelum menutupkan pintu. Pada sekretaris di luar. ia memberitahu pesan yang dititipkan tadi.
"Berapa lama beliau ingin bertapa?" tanya si sekretaris. Setengah bercanda.
"Lupa kutanyakan!" jawab Anwar Suhrdiman. "Tetapi mulailah dengan menghitung uban di kepala!"
Dan seraya meneruskan langkah, Otak pegawai negeri Anwar mulai pula menghitung-hitung untuk apa dan berapa yang harus ia keluarkan dari keuntungan yang ia peroleh sebagai perantara sambilannya.
Dengan, tentu saja, sedikit me-mark up jumlah yang harus dibayarkan pada kontak mereka di kepolisian itu.
Manekin Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
PADA waktu sama, di ruang kerja sang wali kota.
Meski cuma beranda. umpan sekretarisnya tidaklah jauh dari kenyataan. Karena Herlambang tampak duduk diam di kursi empuk di belakang meja kerjanya. Diam mematung. dengan kedua siku lengan bersitumpu ke permukaan meja dan kepala setengah tersembunyi di antara kedua telapak tangannya.
Persis patung pertapa. Bertapanya pemikir.
Staf biro hukum serta uangnya yang hilang sudah terlupakan. Bahkan hasil repro foto Rinda Suhandinata di hadapannya pun tidak lagi menarik perhatiannya. Seperti pada malam atau hari-hari sebelumnya, pikiran Herlambang sudah kembali dan kembali lagi pada hal yang sama. Ayuningsari. Yang selalu muncul bak suatu simbol dari kesalahan yang diukir dengan satu kalimat pendek,
"Saya hamil. Mas Heri!"
Hamil! Pertama kali mereka melakukannya, Herlambang memang tak memakai apa-apa. Karena mereka berdua memang tidak siap. Hujan deras yang turun tiba-tiba, pondok persinggahan, kobaran api pendiangan. dan tubuh mereka yang tahu-tahu sudah menyatu oleh kobaran api yang lain. Nafsu berahi.
Setelah hari yang mengejutkan itu, barulah Herlambang memakai kondom dan Ayuningsari pun tidak keberatan. Ayuningsari juga menganggukkan kepala ketika Herlambang pernah mengingatkan, "Jika yang pertama itu menimbulkan akibat, kau pasti tahu apa yang harus kau lakukan, bukan?"
Tetapi toh Ayuningsari hamil juga!
Dan mereka berdua tahu-tahu sudah ribut. Dimulai dengan pertanyaan tak percaya dari Herlambang yang waktu itu kepalanya bak disambar petir.
"Kau yakin?" Ayuningsari mengangguk. "Mas tahu sendiri ibu saya seorang dukun beranak," katanya. "Saya sudah berulang kali mengelak, Mas. Tetapi Ibu kemudian meraba-raba perut saya sewaktu saya tertidur lelap. Dan dia langsung memastikan apa yang saya sudah tahu!"
Diam terguncang, Herlambang kemudian bertanya lagi. Kali ini, dengan bibit kemarahan yang mulai merambat.
"Mengapa, Ayu" Dulu kau sudah berjanji. Bila ternyata kau hamil, kau akan menggugurkannya!"
"Sumpah mati, Mas, saya tidak pernah berjanji seperti itu!"
"Tetapi..." "Coba kau ingat-ingat sendiri Mas Heri," Ayuningsari memotong dengan sabar. 'Pada waktu itu Mas cuma berkata bahwa saya pasti tahu apa yang harus saya lakukan..."
"Dan kau mengangguk setuju!'
"Nanti dulu, Mas Hen'. Saya mengangguk bukan berani setuju. Tetapi karena saya benar-benar tahu apa yang harus saya lakukan!"
"Membiarkan dirimu hamil...."
Ayuningsari diam saja. "Mengapa. Ayu?" Pertanyaan itu lagi. Dengan kemarahan yang terasa meningkat.
"Karena saya memang sangat mendambakannya,' jawab Ayuningsari. Sederhana. dan lugu. 'Mendambakan keturunan yang terlahir dari cinta saya dan cinta Mas Heri. Apalagi saya percaya Mas akan bersedia mengawini saya."
"Kawin! Astaga"!" Herlambang ingin tertawa namun tertahan oleh kemarahannya.
Dengan marah ia melangkah mondar-mandir di hadapan Ayuningsari tanpa memedulikan jalan setapak di bawah kakinya. Jalan setapak yang sempit. dengan rimbunan semak belukar tebal di salah satu sisi, semak belukar yang mungkin saja menyembunyikan lubang-lubang menganga, atau celah terjal yang mungkin saja menjungkirkan dirinya jauh ke bawah sana.
"Padahal kau sudah tahu siapa Nawangsih!" katanya lagi seraya mondar-mandir. "Tahu mengapa sampai aku harus menikah dengannya. Juga tahu bahwa sulit untukku melepaskan dirinya. Sampai kapan pun!"
'Tak apa, Mas. Saya bersedia menikah di bawah tangan!"
"Dan merusak karierku begitu saja, eh?" Herlambang berhenti. Menatap gusar ke arah Ayuningsari yang duduk mencangkung di atas rerumputan. "Scmentara pintu sudah dibukakan lebar-lebar untuk kumasuki! Pintu di balik mana jenjang pangkat serta kedudukan yang lebih tinggi sudah menunggu! Apa kau pikir aku bersedia melewatkannya hanya karena sejemput cinta?"
Ayuningsari tidak menjawab. Hanya wajahnya saja yang tampak memucat. Dan bersama lelehan air matanya yang kemudian keluar, Ayuningsari tahu-tahu bangkit lantas berlari-lari meninggalkan Herlambang yang dibuat terkejut.
"Hei!" Tersadar, Herlambang cepat berlari mengejar. Berlari di jalan setapak yang naik turun. dan di sana sini curam serta berbahaya. Ayuningsari akhirnya terkejar juga. Dan cepat dirangkul sambil Herlambang membujuk terengah-engah.
"Tahan, Ayu! Aku tidak bermaksud melukai hatimu. Tetapi..."
"Tidak!" Ayuningsari meronta-ronta. Bahkan sampai memukul dan menendang nendang. "lepaskan! Aku ini cuma sejemput Cinta' Tidak! Lepaskan aku! Aku tak sudi kau sentuh lagi! Dan..."
Dan musibah itu pun terjadi.
Satu pukulan nyasar menghantam mata Herlambang. Tidak terlalu keras. memang. Namun membuat pandangan matanya nanar dan cengkeramannya seketika melonggar. Ayuningsari merenggut lepas,
langsung berbalik tubuh. Pasti maksudnya untuk melarikan diri.
Lalu, malang pun datang menimpa. Ayuningsari berbalik ke arah yang salah. Dan tubuhnya tahutahu sudah terjungkal ke bawah.
Herlambang masih sempat membungkuk. Dan dengan pandangan yang masih nanar, berusaha meraih. Cuma angin saja yang terpegang. Sementara tubuh Ayuningsari terus saja meluncur semakin jauh ke bawah sana. Terkadang tampak melayang.
Seperti burung yang terbang...!
"Pak Wali?" Punggung dan terutama siku-siku lengan Herlambang terasa bagaikan remuk. Ayuningsari-kah yang jatuh terempas di dasar jurang atau dirinya"
"Pak Wali?" Suara lembut dan terdengar jauh itu kembali terdengar. "Bapak tidak sedang tidur. bukan?"
Herlambang membuka kelopak matanya dengan susah payah dan langsung melihat garis tepi bidang kayu jati berlapis kaca.
Meja kerjanya! Dengan kedua lengan yang terasa kesemutan. Herlambang berjuang untuk mengangkat muka, bersama denyut-denyut menyakitkan pada bagian belakang kepalanya. Pandangan matanya nanar dan nyaris gelap. Tetapi jelas bukan oleh pukulan tinju Ayuningsari, melainkan karena terus terpejam entah sejak kapan. Terpejam saja. tapi tak tidur.
"Bapak tidak sakit. bukan?" Suara itu lagi. Kali ini terdengar kuatir.
Herlambang menggeleng-geleng. Bukan untuk membantah. Melainkan untuk menghilangkan perasaan pusing di kepalanya. Sekaligus membuang bayangan Ayuningsari... yang terbang seperti burung.
Lambat tetapi pasti. pandangannya mulai menjelas dan semakin jelas. Dan Herlambang pun mengenali Wirdaningsih. wanita berusia 45 tahun dan satu dua helai rambutnya sudah mulai ubanan. Sekretarisnya. Yang konon juga sekretaris tiga wali kota sebelum Herlambang.
"Aku baik-baik saja, Bu Ningsih!" Keluar juga kata-kata dari mulut Herlambang yang terasa kaku.
"Tetapi wajah Bapak seperti?"
"Ada perlu apa. Bu Ningsih?" Herlambang cepat memotong sambil meluruskan punggung. Aduh. sakitnya bukan main!
"Sekarang sudah pukul lima, Pak Wali dan..."
"Pukul lima?" Herlambang terkejut sendiri. Berarti hampir tiga jam ia duduk dalam posisi seperti tadi. Oh ya. apakah dia juga sudah makan siang"
"Benar. Pak Wali. Pukul lima. Dan saya sudah mengetuk-ngetuk dari tadi. Karena tak ada sahutan. saya merasa kuatir lantas membuka pintu. Jadi, maaf bila saya telah mengganggu tidur Bapak!"
Tidur" Herlambang memaksakan diri untuk tersenyum. Lantas bertanya lagi, seperti orang bodoh.
"Ada yang perlu kubantu?"
Sang sekretaris balas tersenyum, sambil tampak sedikit heran.
"justru saya mau pamit untuk pulang. Tetapi jika Bapak masih membutuhkan sesuatu..."
"Oh, tidak. Tidak. Selamat sore, Bu Ningsih!"
"Sore, Pak Wali. Permisi!"
Pintu ruang kerjanya kemudian ditutupkan si sekretaris dari luar. Herlambang cuma diam mengawasi, lantas perlahan-lahan menyandar ke kursinya untuk mengurangi perasaan sakit pada punggung serta bagian lain tubuhnya. Kelopak matanya dipejamkan beberapa saat. Lantas ketika membuka lagi, secara tak sengaja mata itu menangkap lembaran foto yang terletak di meja kerjanya.
Rinda. pikir Herlambang tanpa bergerak untuk menyentuh foto dimaksud. Apa yang harus kulakukan dengannya. Dan yang lebih penting lagi, apa yang dimiliki Rinda"
Duduk diam. berpikir, muncul pertanyaan lain di kepala Herlambang.
Markus sudah mati. Lalu. Ronald. Apakah yang berikutnya aku. Juga yang lebih penting lagi, jika memang ada ilmu hitam atau unsur magis di balik semua ini. Siapa sesungguhnya yang bermaksud balas dendam melalui tangan-tangan Rinda"
Rendi Suhandinata-kah"
Atau. Ayuningsari" *** SUNGGUH hari yang menjemukan.
Pagi masuk kantor, Bursok sudah ditunggu setumpuk berkas di meja kerjanya. Terbanyak menyangkut kasus pencopetan dan pencurian biasa, lalu penggelapan pajak, sengketa hak waris yang berbuntut penganiayaan, dan dua kasus pemerkosaan yang salah satunya dilakukan oleh ABG.
Setelah membaca lalu menandatangani semua berkas itu untuk nantinya diserahkan ke kantor kejaksaan, Bursok berangkat ke markas polisi wilayah untuk mengikuti pertemuan khusus satuan serse yang menurut pemberitahuan sebelumnya akan diisi oleh pembicara tamu seorang petugas Interpol dari Amsterdam. Nyatanya sesampai Bursok di Polwil, ada pengumuman bahwa petugas Interpol tersebut batal hadir.
Namun telanjur semua kepala satuan serse sudah lengkap hadir, Kapolwil tetap meneruskan pertemuan dengan topik membahas statistik kasus kriminal semester terakhir serta peningkatan mitra kerja
anak-anak serse. Hasilnya, ya itu. Bukan cuma Bursok dan beberapa rekan sejawatnya. Kapolwil sendiri pun akhirnya tampak jemu. lantas mengakhiri pertemuan lebih cepat dari jadwal yang disepakati.
Tetapi kejemuan itu belum berakhir.
Dari markas polisi wilayah. Bursok terbang lagi ke kantor pengadilan untuk menghadiri sidang perusakan pabrik oleh para karyawan yang di-PHK dan sialnya, saat peristiwa itu berlangsung Bursok secara kebetulan lewat di TKP lantas tergerak turun tangan untuk mengamankan situasi. Maka jadilah Bursok masuk daftar saksi mata. saksi dari pihak jaksa penuntut umum.
Sudah lewat pukul tiga ketika Bursok akhirnya keluar juga dari ruang sidang dan terpaksa bermanis-manis muka-yang juga menjemukan-di hadapan para wartawan yang tahu-tahu sudah mengerubungi dirinya. ribut bertanya mengenai pembunuh berantai, tiga korban dalam waktu kurang dari satu minggu. Khususnya menyangkut kematian Reinaldi yang oleh para nyamuk pers itu dikaitkan dengan ilmu hitam.
"Karena kalian yang mengatakannya," jawab Bursok mengelak, tentu saja disertai senyuman manis yang dipaksakan dan membuat giginya terasa sakit, "kalian bantulah aku pergi bertanya pada dukun!"
Ada tawa berderai. lalu, "Bagaimana dengan si gaun merah hati?"
Bursok tersentak dan cepat menatap si penanya. "Si gaun merah hati?"
"Wanita cantik yang duduk di sebelah korban
pada saat kejadian!" Angguk wartawan dimaksud. setengah mengingatkan. "Kami dengar-dengar identitasnya sudah diketahui. Lalu mengapa belum ditangkap?"
"Aku tahu siapa kalian," jawab Bursok. Kalem. "Tetapi kok ya sampai saat sekarang ini aku belum tahu di mana kalian tinggal!"
"Bisa dicari, Komandan!" teriak yang lain.
"ltulah yang sedang kami lakukan, bukan?"
Dan Bursok pun akhirnya lolos. Begitu mobilnya meluncur ke jalan raya, barulah perutnya terasa melilit. Sudah hampir pukul empat. pikirnya setelah melirik ke jam digital mobil. Pantas saja perutnya melilit. la lupa belum makan siang.
Kalau Miranda tahu... wah!
Bosan makan pesanan nasi bungkus di kantor atau makan di restoran, Bursok akhirnya memarkir mobil di depan deretan kafe-tenda Cilutung, pinggiran kali Cimanuk. Mulanya ia akan memasuki tenda yang menjual sop kaki dengan embel-embel "abang Tanah Abang Jakarta." Namun keburu teringat jenis makanan itu adalah kesukaan anak-anaknya dan Bursok merasa tak tega menikmatinya sendiri, ia kemudian beralih ke tenda yang menjual makanan khas Sunda.
Seperti ia duga, tenda yang ia masuki tampak sepi dan Bursok justru merasa senang karena bisa makan tanpa banyak gangguan. Hanya ada sepasang suami istri tengah baya yang sedang bersantap di bawah tenda yang sama. Maka Bursok pun duduk dengan nyaman pada bangku panjang yang juga
diduduki suami istri tersebut, tetapi dengan mengambil jarak yang cukup untuk kesopanan.
Nasi putih yang asapnya mengepulkan wangi mengundang selera dengan segera terhidang di depan Bursok. Selebihnya. silakan pilih dan ambil sendiri. Bursok pun mulai bersantap. sementara suami istri tadi meneruskan santapan serta pembicaraan mereka yang sempat terhenti sewaktu Bursok melangkah masuk. Keduanya berbicara dengan suara sengaja direndahkan. dan tampak sangat serius sehingga mau tak mau Bursok tergoda untuk mencuri dengar.
Anggap saja untuk membunuh perasaan jemu!
Meski hanya terdengar bagian tengah dari pembicaraan mereka-itu pun sebagian tak begitu jelas-Bursok toh dapat menangkap akar pembicaraan. Rupanya, menyangkut putri bungsu mereka yang baru saja menikah tetapi harus ikut sang suami pindah tugas ke Papua.
"Ke Fakfak lagi!" Ia dengar desahan berat lelaki tengah baya yang duduk paling dekat dengan dirinya. Dari nada suara lelaki tengah baya itu, Bursok dapat memperkirakan perasaan kasih yang dalam pada putri mereka.
"Justru lebih bagus, Pak,' kata sang istri, menyabarkan. "Aku dengar, mayoritas penduduk Fakfak seagama dengan kita. Cocok untuk Yanti dan suaminya yang rajin ke pengajian!"
"Tetapi Bu?" Rupanya mereka mulai melupakan tempat mereka berbiara. karena suara si perempuan kini lebih ielas terdengar oleh Bursok. "Aku tahu Bapak me
mang sulit berpisah dengan Yanti. Tetapi kan Bapak juga tahu sendiri. semenjak masih pacaran saja, dia tak tahan berpisah lama-lama dengan Jaka. Itu, saking dekatnya mereka satu sama lain..."
Si suami tengah baya hanya diam membisu.
Sang istrilah yang terus berbicara. Untuk meyakinkan.
"Bapak tahu apa kata anak kita ketika kemarin itu aku bertukar pikiran dengannya?"
"Apa?" sang suami membuka mulut dengan setengah hati.
"Dia bilang. tekadnya sudah bulat!" jawab sang istri. "Ke mana pun Jaka pergi, dia akan ikut. Katanya lagi, sampai ke ujung langit pun jadi!"
"Hm...!" sang suami mendesah. Tampak mulai mengalah.
Namun bukan itu yang membuat Bursok tibatiba berhenti mengunyah potongan babat goreng yang sudah telanjur masuk ke mulut. Bukan juga karena gurihnya babat tidak terasa. Enak, malah.
Apa yang membuat Bursok tertegun adalah kalimat-kalimat yang barusan ia dengar. Tak terpisahkan... saking dekatnya satu sama lain" ke mana pun pergi, ikut... ke ujung langit pun jadi!
Mengapa tidak ke" "Ada apa, Pak?"
Itu bukan pertanyaan perempuan. Tetapi pertanyaan bersuara laki-laki. Bursok mengerjap dan melihat pemilik warung tenda tengah menatap kuatir ke arah dirinya. Begitu pula halnya dengan si suami istri yang seketika menghentikan pembicaraan mereka.
Agak tersengal. Bursok meneruskan mengunyah babat goreng di mulutnya dengan susah payah. Susah payah pula ia menyahut.
"Eh. anu" eh, sakit maagku barusan kambuh lagi. Tapi sudah baikan kok!"
Bursok mengakhiri kata-katanya dengan seringai. Seringai kecut. memang. Tetapi si pemilik warung tampak lega. Sementara pasangan suami istri itu meneruskan santapan mereka. meneruskan pembicaraan mereka. Hanya kali ini, nyaris berbisik-bisik saja.
Tetapi Bursok tak peduli. Juga mengenai dusta besarnya tadi. Tak apa, pikirnya. demi kebaikan scmua pihak! Dan ia pun melanjutkan makannya dengan lahap. Juga. dengan perasaan jemu yang menghilang seketika. Akhir dari kejemuan hari ini ternyata menyenangkan karena keberuntungan lagi-lagi berpihak padanya.
Meninggalkan kafe tenda itu setengah jam kemudian, Bursok yakin memang keberuntunganlah yang ia peroleh. Bukan kebetulan. Kebetulan belum makan siang. kebetulan pindah ke tenda berbeda, kebetulan suami istri tengah baya itu menghadapi masalah... yang semoga dapat mereka selesaikan dengan baik.
Itulah yang memenuhi pikiran Bursok selagi mobilnya ia biarkan meluncur dengan tenang. Kata demi kata dari pembicaraan si suami istri mengingatkannya pada pembicaraan Rinda Suhandinata dua malam yang lalu.
"Kami dekat satu sama lain. Sedemikian dekatnya, sehingga sulit untuk dipisahkan...!"
Pada saat mendengar umpan Rinda, sesuatu melintas di sel-sel otak Bursok. Cuma melintas, lantas hilang lagi. Tetapi barusan tadi, suami istri tengah baya itu mengulanginya lagi. Sekaligus melengkapinya,
"Ke mana pun pergi. ikut...!"
Dan apa tadi yang ia ucapkan pada salah seorang dari wartawan itu" Oh ya, "Aku sudah tahu siapa kalian. 'Tetapi..."
Bursok tidak merasa perlu tergesa-gesa, yakin yang dicarinya tidak akan pergi ke mana-mana. Maka setiba di komplek pemakaman Kemlaten. ia turun dari mobilnya dengan tenang. sebagaimana layaknya orang yang akan berziarah. Tenang-tenang pula ia melangkahkan kaki diantara blok demi blok kuburan, sampai akhirnya tiba lalu berhenti di depan kuburan Rendi Suhandinata.
Dan jantung Bursok langsung bergetar.
Sepintas lihat. gundukan kubur Rendi tampak biasa-biasa saja dalam jilatan matahari sore yang sudah mendekati senja. Begitu pula tebaran sedikit sisa taburan bunga rampai yang sudah layu bahkan ada yang setengah tertanam di permukaan tanah. Bekas terinjak-injak. Namun mata elang Bursok yang awas toh melihat sesuatu, yaitu garis samar-samar di bagian atas kubur.
Garis memanjang yang pasti tidak terlihat karena permukaan gundukan kubur itu tampak biasa-biasa saja, seperti halnya kuburan lain di sekitarnya. 'Tetapi cobalah perhatikan lagi dan lagi. Terutama jika kau punya mata seekor elang pemangsa!
Fiberglass adalah ciptaan manusia. Tetapi tanah,
Tuhanlah yang mencipta. Betapa pun kau berusaha keras untuk merapatkannya. konon lagi bila tanah itu gembur dan mulai mengering maka kau tak akan pernah mampu menjadikannya serapat dan serata batu. Tak peduli kau itu seorang pakar planologi atau bahkan... si gaun merah hati!
Bursok sudah tahu! Namun ia tidak ingin mengganggu. Biarlah semuanya tetap berada di tempat masing-masing. Terutama mengingat betapa sulitnya membuktikan cara-cara kematian Markus, terlebih lagi Reinaldi. yang tak masuk akal. Hukum perlu Fakta serta bukti nyata. Bukan dongeng yang membuat anakmu ketakutan lantas tak bisa tidur.
Dan satu-satunya cara supaya mereka yang sok tahu hukum itu mau membuka diri lalu menerima dengan berlapang dada adalah dengan bersabar menunggu. Menunggu si gaun merah hati tertangkap tangan! Tidak gampang, memang.
Tetapi jangan putus asa. orang Sibolangit! Bergembiralah!
Maka sambil tersenyum-senyum, Bursok pun meninggalkan kuburan Rendi dengan sikap seolaholah tidak tahu apa-apa. Dan dengan senang hati pula, ia kemudian melakukan sesuatu yang sudah lama ia abaikan, yakni menziarahi kuburan seorang kembar jauh yang juga dimakamkan di kompleks yang sama.
Bursok tidak membawa kembang setaman. Tak apa. Toh doa lebih bermanfaat. Maka setiba di kuburan kerabat dimaksud, Bursok pun duduk mencangkung. lantas bertafakur. Khusuk. Membiarkan
menit demi menit yang sunyi sepi terus berlalu. Baru kcmudian Bursok bangkit berdiri. Dan saat memutar tubuh, ia langsung tcrtcgak. Membeku.
Tidak. Jangan sekarang, pikir Bursok.
Jangan, sebelum aku punya bukti kuat untuk membekuk dirimu!
Namun si gaun merah hati terus saja berjalan di antara dua blok terpisah, tidak berapa jauh dari blok tempat Bursok tegak mengawasi. Berjalan dengan langkah-langkah kaku dan tampak berat. Wajah terus menghadap ke depan, lurus, seakan tak peduli keadaan sekitar. Mungkin dengan mata tidak pernah berkedip, sebagaimana yang pernah dilihat dan tak pernah lekang dari ingatan Bursok. Sampai akhirnya si gaun merah hati berhenti melangkah. Lalu berdiri diam di tempat mana sebelumnya Bursok juga berdiri.
Di depan kuburan Rendi. Untuk beberapa saat lamanya, Bursok juga tetap diam di tempatnya berdiri. Dengan pikiran tegang. Tangan kanannya saja yang sempat bergerak, menyelinap ke balik jaket. Maksud semula mengeluarkan pesawat HT-nya lalu menghubungi markas komando untuk meminta bala bantuan.
Tetapi niat itu seketika dibatalkan. Karena mungkin saja si gaun merah hati tiba-tiba melenyap, dan Bunok tidak sudi nantinya dijadikan bahan tertawaan di belakang punggungnya. Maka tangan
yang sudah telanjur masuk ke balik jaket ia alihkan ke bawah ketiak kiri. tempat Colt 38-nya terkurung dengan aman. Katup penutup sarung dibuka dengan ujung jari. Lalu dengan tangan dibiarkan tetap dekat pada gagang pistol di balik jaketnya itu. Bursok pun mulai beranjak dari tempatnya berdiri.
la melangkah hati-hati melewati kuburan demi kuburan di blok tempatnya berada menuju blok kuburan Rendi. Tentu saja dengan mengambil arah memutar agar dirinya tidak terlihat, namun sebaliknya ia tetap dapat melihat sasarannya dengan jelas dan bisa bertindak jika tiba-tiba diperlukan. Sambil sel sel otaknya terus ribut berdebat satu sama lain.
Jika makhluk cantiknya Hadi Saputra itu mencoba terbang untuk menghilang, apanya yang harus ia tembak. Sayap" Kelihatannya tidak punya. Kepala" Tetapi menurut penuturan Rinda yang didengar Bursok melalui mulut Bripda Diana. kepala itu justru mampu terpenggal sendiri sebelum kemudian menggigit putus kabel listrik tegangan tinggi di bawah atap bengkel Jalal. Boleh jadi, kepala dengan rambut sebatas tengkuk itu lebih dulu menyerang sebelum Bursok sempat mencabut pistol.
Jantung, barangkali"
Apa, Bursok" Jantung" Lupakah kau pada apa yang sudah kau lihat sendiri di atas meja bedah dokter tua itu" Isi lambung serta rongga dada makhluk itu hanyalah engsel-engsel, lempengan baja tipis. batangan besi atau plastik dan"
Tetapi dia hidup! Maka itu, Bursok. Lebih celaka lagi.
Ingat saja bagaimana Reinaldi menemui ke
matiannya. llmu hitam, Bursok. llmu hitam! ltulah yang menghidupkannya. jika bukan ilmu hitam, pastilah roh jahat dari alam gaib. Roh yang bisa jadi adalah...
Si gaun merah hati tampak bergerak. Bursok cepat menyentuhkan jari ke gagang pistol manakala ia lihat gerakan sang makhluk hanyalah untuk berganti posisi berdirinya ke posisi duduk. setengah bersimpuh. Dari belakang tampak seperti diam. Menekur. Tampak jelas tengkuknya yang putih mulus. Dan ke tengkuk itulah nanti moncong pistol Bursok disentuhkan. Menyuruh si makhluk cantik tidak bergerak. baru ia memanggil bala bantuan dari Markas Komando.
Bursok kini bergerak maju. Lurus ke depan. menuju sang makhluk yang setengah duduk membelakangi arah kedatangan si elang pemangsa. Sambil sel-sel otak Bursok semakin ribut saling menjerit. Awas, itu adalah roh! Ah, omong kosong! Ada Tuhan yang melindungiku, dan"
Sesuatu tiba-tiba menghantam tulang kering kaki kiri Bursok dan sekaligus membuat tubuhnya terjungkir ke depan. Sambil Bursok terpekik, kaget.
"Aduh!" Si gaun merah hati seketika terlompat tegak dan memutar tubuhnya sekalian. Menghadap ke arah Bursok yang untuk sesaat tampak seperti menindih sebuah kuburan semen tetapi dengan cepat dan sigap sudah bangkit berdiri. Dan langsung tegak, sambil tangan sudah menggenggam gagang kaliber 38-nya dengan laras terarah ke tanah. namun se
waktu-waktu siap diangkat lalu diarahkan ke sasaran yang dituju.
Sambil wajah Bursok tampak meringis. tentu. Diam-diam ia menyadari bahwa tulang kering kakinya bukan dihantam melainkan menghantam. atau tepatnya. menubruk nisan batu dari kuburan yang barusan ia tindih.
Sakitnya. ampun! Tetapi perasaan sakit itu segera terlupakan manakala menangkap rona kaget di wajah si gaun merah hati. Disusul, meski agak terlambat. pertanyaan yang tidak kurang kaget.
"Astaga, Komandan. Anda kiranya!"
Sel-sel otak Bursok yang sebelumnya ribut alang kepalang, mendadak pada diam. Membisu.
"Apa yang terjadi dengan Anda, Komandan?" si gaun merah hati bertanya lagi. Kini, bernada kebingungan. "Sejak kapan Anda di situ" Main pegangpegang pistol pula!"
Sel-sel otak Bursok mulai bersuara lagi. Tetapi, hanya berbisik-bisik. Lihat, kepalanya tidak terpenggal! Oh ya" Itu karena dia belum berniat menyerang! Tetapi, dia pakai tas tangan. arloji, perhiasan! Dan tuh juga lihat, ada seikat kembang sedap malam di samping kuburan Rendi. Pasti dia bermaksud ziarah. Jangan bodoh,Bursok. itu hanya tipuan mata! Cobalah jika berani, maka benda-benda itu seketika akan berubah menjadi...
"Komandan?" Bursok mengerjap. "Heh?"
"Kok Anda seperti terlihat..." Bibir mungil itu mengatup sesaat dua. Wajah cantiknya tampak se
perti berpikir-pikir. lantas berubah terkejut. disusul membukanya kembali bibir mungilnya yang sensual. "Ya Allah, Tuhanku! Apakah Anda berpikir bahwa saya ini adalah hantu, Komandan?"
Hantu" Mengucapkan Ya Allah. Sel-sel otak Bursok kini berlarian kian kemari. Semua sibuk menari-nari. lantas tiba-tiba sepakat untuk merangkai sebuah kalimat tanya. yang mereka keluarkan melalui mulut Bursok yang mendadak terasa kering.
"Gaun merah hati yang Anda pakai. Bu Rinda. Dari mana Anda peroleh?"
"Tentu saja dapat beli!" jawab yang ditanya. Heran. "Ya ampun, Komandan. Demi Tuhan, tolonglah saya beritahu. Apa sih sesungguhnya yang terjadi?"
Demi Tuhan. Dan sel-sel otak Bursok kembali pada diam.
Membisu. *** PRASETYO yang baru saja usai mandi terkejut sewaktu melihat istrinya diantar pulang oleh orang yang sudah tak asing lagi buat mereka berdua: komandan satuan serse Polresta Cirebon. Bursok Sembiring. si orang Sibolangit, yang wajahnya tampak kaku ketika Prasetyo mempersilakan masuk.
Sewaktu mengambil tempat duduk masing-masing di kamar mite yang mereka tempati, Prasetyo memandangi istrinya dengan mulut terkatup rapat. Mata serta wajahnya saja yang bertanya.
"Aku ingin menyendiri barang sejenak, Mas!" Rinda akhirnya menjawab penanyaan yang tidak terucap itu. "Maka begitu kulihat Mas tertidur pulas. aku lantas pergi naik taksi ke Kemlaten!"
Tak ada permintaan maaf, karena tampaknya pun tak ada tuntutan dari sang suami yang menanggapi dengan gumaman lirih. penuh pengertian.
"Ke kuburan Rendi!"
Sang istri mengangguk. dan Prasetyo menambah
kan dengan nada yang wajar-wajar saja, "Padahal baru pagi tadi kita berziarah ke sana."
"Seperti kubilang. Mas, aku hanya ingin menyendiri. Dan..."
"Dan aku menggagalkannya!" Bursok cepat menimpali. Karena ada hal yang jauh lebih penting untuk mereka bicarakan, ketimbang membiarkan pertengkaran lembut serta aneh itu terus berlarut-larut. "Aku kebetulan datang ke tempat yang sama. Pada waktu yang hampir bersamaan pula!"
Tak pelak lagi. Prasetyo menatap heran. "Anda" Menziarahi makam Rendi?"
"Memangnya tak boleh?" Bursok balik bertanya. Lantas menambahkan dengan senyuman kaku. "Mungkin karena tak ada izin dari Anda berdualah yang menyebabkan kaki kiri saya membentur batu nisan salah satu kuburan di sana. Sakitnya sih tidak seberapa. Malunya yang minta ampun. Pada istri Anda, tentu saja!"
Pendahuluan yang baik. Kalimat itu membuat suami isrri di hadapannya sama tersenyum. Dan Bursok pun mempergunakan kesempatan iru untuk mengutarakan niamya mengantar Rinda pulang ke pangkuan sang suami.
"Kita terpaksa membuka kartu, Bang Pras!" katanya dengan wajah berubah serius.
"Tentang?" 'lsi lemari almarhum Rendi!"
Dan akhir dari pembicaraan yang terbanyak diborong oleh Bursok itu adalah kejutan dari wajah Rinda yang kemudian disusul oleh suatu pertanyaan yang sulit untuk dijawab. yang meluncur keluar le
wat bibir mungilnya nan merah segar. Dimulai dengan sebuah desahan lirih dan terdengar sayup. "Sebuah boneka pop...!" Baru setelahnya, "Tetapi... mengapa"!" Lalu telepon tahu-tahu berdering. Mengejut
kan. Secara naluriah. mereka bertiga berpaling serempak. Seakan sudah sama-sama mengetahui. telepon itulah yang akan menjawab pertanyaan Rinda Pembuluh darah otak Bursok bahkan sempat bergetar ketika memperhatikan Prasetyo yang bangkit dari kursinya, lantas melangkah gontai ke pesawat telepon yang segera disahuti.
"Halo?" Diam mendengarkan sejenak. Prasetyo menjauhkan gagang telepon dari mulut serta telinganya, lalu bergumam serak pada istrinya."Untukmu...!'
Entah mengapa, sahutan Rinda pada sang suami terdengar serak. "Dari?"
"Pak Wali!" Si orang nomor satu! Dan telepon penentu. Sedemikian menentukannya. sehingga gundukan kubur Rendi di Kemlaten yang sebelumnya hanya diam membeku saat Bursok maupun Rinda berada di dekatnya. tiba-tiba tampak bergetar. Sepersekian detik cuma. Tetapi getarannya jauh lebih kuat dari biasa. Tiga tangkai bunga sedap malam yang sebelumnya ditinggalkan Rinda di dekat nisan kepala bahkan sampai tampak terlompat-lompat. Untuk kemudian jatuh kembali di tempat semula dengan pengikat yang sudah terlepas.
Bersama terlepasnya penguat bunga sedap malam itu, terdengarlah suara bisikan uyup namun tajam menusuk. dari balik gundukan kubur.
"Saatnya sudah tiba rendi-ku!"
*** TENAR, pikir Herlambang. 'Jika tidak ingin ada hitam pekat menggantikan tinta emas sebagai pengukir namanya, singkirkan dulu duri yang menghalangi. Itu sudah ia lakukan pada duri lainya. bukan" Dua duri yang sialnya kebetulan lewat lantas tertegak menengadah pada saat tubuh Ayuningsari melayang jatuh lalu terempas di depan kaki mereka. lalu mereka melihat Herlambang yang setengah membungkuk dengan kedua tangan terulur ke depan.
Siapa yang akan menduga perannya bahwa gerakan tangannya itu adalah untuk meraih"
Bukan mendorong jatuh Ayuningsih"
Dua duri, yang kehadirannya sungguh tak diharapkan oleh Herlambang hahkan mungkin oleh mereka sendiri. Waktu itu Herlambang sempat panik. Dan siapa sangka bahwa proses penyelesaiannya berjalan mulus dan mudah pula. Salah satu dari duri tersebut. menyingkir sendiri entah ke mana
dan kelihatannya tanpa membuka mulut pula. Duri lainnya tersingkir dengan aman.
Bukan oleh Herlambang. Melainkan atas kehendak alam!
Tiga jam setelah insiden mengejutkan di tepi jurang itu. Prajurit Kepala Kartijo datang menghadap secara pribadi. Kepada sopirnya itu. Herlambang tidak mengajukan pertanyaan langsung apalagi yang menjurus. Tetapi memulai pembicaraan mereka sehalus dan serapi mungkin.
"Katakan dengan jujur padaku, Prajurit! Apa yang tersirat di dalam pikiranmu?"
"Tidak satu pun, Kapten!" jawab Kartijo. Tegas dan tanpa ragu-ragu.
Setengah tak percaya, Herlambang kembali bertanya, "Ttdak bagaimana?"
"Untuk jelasnya. Kapten. Saya tidak melihat apa-apa!"
Mendengar jawaban yang juga diutarakan secara halus dan rapi itu, Herlambang seketika merasa lega. Berpikir sejenak. barulah ia mengajukan pertanyaan berikutnya dengan nada lebih bersahabat.
"Katakan lagi padaku, Kartijo. Apakah kau menyukai pekerjaanmu sekarang ini?"
"Sebagai sopir?"
Herlambang mengangguk. Jawaban yang keluar dari mulut Kartijo sedikit lebih panjang, namun terus terang.
"Sewaktu saya melamar lalu mengikuti pendidikan untuk diterima sebagai anggota ABRI, Kapten. cita-cita saya adalah mengangkat senjata sebagai prajurit sejati. Bukan menjadi sopir...." Diam sesaat,
si perajurit kepala cepat menambahkan. "Maksud saya. terlepas dari siapa yang saya sopiri!"
Tersenyum mengerti, Herlambang berpikir lagi. kemudian memberitahu. "Ada kesempatan terbuka untuk itu. Sekaligus untuk memperoleh kenaikan pangkat lebih cepat. Itu, jika kau nanti memperlihatkan prestasi yang memuaskan!"
Kartijo tidak bertanya. Tetapi menunggu.
Herlambang-lah yang bertanya.
"Bersedia ditempatkan ke Timor Timur?"
Prajurit kepala yang sopir setianya itu seketika mengentakkan tumit sepatunya ke lantai. Keras dan tuntas.
"Siap, Kapten! Seorang perajurit sejati harus siap ditempatkan ke mana pun juga!"
Herlambang pun mengeluarkan rekomendasi. Tanpa niat apa-apa kecuali memenuhi keinginan murni dari sang prajurit.
Dan tujuh bulan kemudian. Kartijo memang memperoleh kenaikan pangkat satu tingkat. Hanya saja upacara kenaikan pangkat itu diterimakan pada sang istri, lengkap dengan jenazah Kartijo. yang lambungnya ditembus panah beracun sewaktu bertempur dengan gagah berani di luar kota Maumere.
Salah satu duri sudah teringkir. Sekali lagi, oleh kehendak alam. jika pun Herlambang terlibat di dalamnya dan sedikit banyak ikut menyesal. maka keterlibatannya hanya sebatas memberi rekomendasi. Titik sampai di situ!
Tetapi. duri satunya lagi!
Sebelum berangkat ke Timtim, Kartijo sudah ia
tugaskan secara pribadi untuk mencari tahu bahkan sampai ke Jakarta. Hasilnya nihil. Bagaimana dengan keluarga sang target di Bengkulu" idem dito.
"Jangankan orangnya." Kartijo melapor, "kabarnya saja pun tak pernah mereka dengar!"
Sang duri benar-benar hilang tak tentu rimba. Petunjuk satu-satunya yang ia tinggalkan hanyalah kota tujuan pindah, Medan. tanpa alamat yang jelas! Herlambang sendiri juga kemudian harus berpindah-pindah. sampai akhirnya berhenti di kota tujuan terakhir yang menjadi pilihan keluarganya. Cirebon.
Dan Herlambang pun terkejut alang kepalang.
Duri yang hilang itu ada di kota yang sama!
*** Pertama kali melihatnya kembali, mulanya Herlambang tidak mengenali Rendi Suhandinata-sang duri! Waktunya pada hari Herlambang resmi dilantik sebagai wali kota, yang dihadiri lengkap oleh seluruh staf. Tiba waktu istirahat, seseorang berbisik ke telinganya.
"Dia terus memperhatikan Bapak semenjak tadi"!"
Si pembisik adalah Joko Mardiansyah, kepala staf dan duet kerjanya semasih di Palangkaraya. Melalui perdebatan sengit serta perjuangan keras Herlambang, oleh pimpinan komando di tingkat yang lebih tinggi ia akhirnya direkomendasikan sebagai Sekwilda di Cirebon.
"Dia siapa?" Tanpa menunjuk, joko memberitahu tempat duduk serta ciri-ciri orang yang ia sebut-sebut. Herlambang pun menoleh ke arah dimaksud. Bertemu pandang sesaat. Rendi cepat berpaling dan langsung pula berlalu dari ruang aula tempat dilaksanakannya pelantikan.
Pada malam jamuan makan serta pengenalan diri Herlambang sebagai wali kota baru. tanpa alasan yang jelas Rendi tidak ikut hadir dan langsung terlupakan. Semakin terlupakan lagi setelah Herlambang dibuat sibuk oleh tugas-tugasnya sebagai wali kota. Ditambah harus bolak-balik ke Jakarta untuk melapor dan meminta petunjuk dari pimpinannya di dua instansi yang berbeda, Depdagri dan Dephankam. Belum lagi kesibukan bernegosiasi dengan relasi bisnis mertuanya demi mewujudkan cita-cita luhur Herlambang, yaitu Cirebon Masa Depan.
Lalu suatu hari, joko melapor ke ruang kerjanya.
"Mereka bilang, akhir-akhir ini dia sering mangkir dengan alasan tak enak badan. Pekerjaannya pun banyak yang terbengkalai!"
Pertanyaan yang itu lagi. 'Dia siapa?"
"Rendi Suhandinata. Kepala biro perlengkapan!"
"Bagaimana dengan hari ini?"
Manekin Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Masuk. Sekarang ada di ruang kerjanya. Tampak murung, dan jauh lebih kurus dibanding pertama kali saya melihatnya!"
"Oke. Suruh dia menghadap ke sini!"
Selagi menunggu, Herlambang membaca sekilas
data pribadi Rendi Suhandinata yang sengaja ditinggalkan Joko untuk dipelajari. Jantung Herlambang seketika berdenyut keras manakala membaca tulisan pada lajur tempat lahir yaitu kecamatan Turen, Malang. Mau tidak mau Herlambang langsung teringat siapa Rendi Suhandinata dan membuat dirinya sempat gugup ketika terdengar pintu ruang kerjanya diketuk dari luar.
Saat berikutnya. di ambang pintu berdirilah salah satu duri yang bertahun-tahun sebelumnya tegak menengadah di dasar jurang. Ia tampak pucat dan ragu-ragu sebelum Herlambang mempersilakan, "Masuk dan duduklah!"
"Terima kasih..." jawaban itu nyaris tak terdengar. Sambil Rendi mengambil tempat duduk di kursi tamu, berhadapan dengan kursi yang sebelumnya sudah diduduki oleh Herlambang.
Tak ada jabat tangan. Bahkan selama beberapa detik yang mendebarkan, juga tidak kata-kata. Yang ada hanyalah saling menatap. Di pihak Herlambang. sambil menguatkan diri. Di pihak lain. jelas tampak sambil memberanikan diri. Sampai akhirnya Herlambang memutuskan untuk memulai. Dengan suara yang dibuat selembut mungkin.
"Agaknya, kita sudah saling mengenal, bukan?"
Anggukan kaku. lantas diam.
Terpaksalah Herlambang meneruskan, "Aku yakin Pak Rendi juga pasti sudah menduga kiranya apa yang akan kita bicarakan.?"
Anggukan lagi. lalu jawaban yang luar biasa tenang.
"Bukan menyangkut urusan dinas tentunya!"
Satu nol untuk kemenangan Rendi Suhandinata!
Ganti mengangguk, Herlambang kembali diam untuk membuat posisi mereka seimbang. Ada saatsaat di mana kita harus menunggu supaya lawanlah yang lebih dulu memulai pertempuran. Agar tahu dari sudut mana dirimu diserang dan kau siap untuk menangkis. jika mungkin, melakukan serangan balik.
Memahami diamnya Herlambang. Rendi batuk' batuk kecil yang terdengar dipaksakan dan ganti dirinya yang memulai. Namun, ia ternyata menyerang dari sudut tak terduga. Dengan tembakan yang sambil lain pula.
"Oh ya, sebelum lupa," Rendi berkata, 'bagaimana kabarnya dengan teman masa kecil saya itu. Pak Heri?"
Pak Heri, bukan Pak Wali!
Bukan main, pikir Herlambang seraya menyahuti dengan bingung. "Teman masa kecil?"
"Praka Kartijo!"
"Oh, dia!" Herlambang langsung teringat. Dan langsung pula menyahuti tanpa dipikir panjang. "Menyesal sekali. Sahabat karibmu itu sudah meninggal dan?"
Terlambat! Herlambang baru menyadari kekeliruannya setelah melihat wajah lawan bicaranya tampak berubah pucat, dan duduknya pun seketika membeku. Kekeliruan itu coba diperbaiki Herlambang dengan buru-buru menambahkan. "Dia gugur dalam per
tempuran di Maumere. Kematian yang murni sebagai halnya pahlawan. Bukan oleh sebab-sebab lain...!"
Percuma saja. Mulut Rendi sudah keburu mengatup, sangat rapat. Jelas menunjukkan seperti ketika Herlambang terlihat oleh Rendi dan Kartijo di bibir jurang. Pembelaan diri tetap saja sia-sia. Karena siapa pula yang mau percaya" Paling tidak, Herlambang sendirilah yang mengusulkan dan merekomendasi Kartijo menuju kancah pertempuran. Atau dengan lebih spesifik, merekomendasi kematiannya!
Tak ubah seekor tikus yang terpojok, Herlambang pun diam menunggu datangnya pukulan berikut. Namun karena tak datang-datang juga, Herlambang terpaksa mengajukan penawaran.
"Jika ada yang masih ingin Anda tanyakan. Pak Rendi..."
Agak lambat, barulah mulut Rendi terbuka lagi. Namun bukan untuk bertanya. Tetapi untuk mcngeluarkan pernyataan.
"Ada dua hal yang harus saya beritahu pada Anda, Pak Heri!" desah Rendi. Serak, dan terdengar agak gemetar. "Pertama, saya sudah kadung mencintai kota ini. Dan juga pekerjaan saya'"
"Bagus" Herlambang ikut-ikutan mendesah. Menyatakan persetujuannya yang tulus. "Hal kedua?"
"Saya sudah lelah," jawab Rendi. "Jadi, saya sudah memutuskan... tidak akan lari lagi dari kejaran dosa masa lalu itu. Semuanya harus segera diakhiri!"
"Dengan?" tanya Herlambang. Nyaris berbisik,
saking kuatnya deburan jantungnya yang terasa seperti memberi harapan.
"Nantilah. Saya pikirkan lagi!"
itu saja. Rendi kembali mengatupkan mulut. Dengan sinar mata yang memperlihatkan keteguhan hati. Tak tergoyahkan. Menyadari hal itu. Herlambang pun bangkit dari duduknya. Sambil memaksakan senyuman manis di bibir.
"Oke. Beritahulah aku kelak apa keputusanmu!"
"Pasti!" Lagi, tak ada jabat tangan. Juga tidak kata atau salam perpisahan. Setelah mengucapkan jawaban pendek dan tegas itu, Rendi langsung memutar tubuh dan sekaligus berlalu. Berlalu begitu saja, seakan tak peduli bahwa yang ia tinggalkan di belakangnya adalah pemimpinnya. Seorang wali kota, berpangkat kolonel pula!
Herlambang tidak merasa terhina.
Yakin bila dirinya menempati posisi Rendi Suhandinata, ia pun akan bertindak serupa. Buat lawanmu merasa bagai tunggul yang sudah rapuh. Maka, walau pertempuran baru saja dimulai, kemenangan sudah tergenggam di telapak tanganmu!
Tetapi, dengan apa gerangan Rendi bakal meraih kemenangannya" Dan setinggi apa kiranya nilai yang harus dikorbankan Herlambang" Tidak ada jawaban yang pasti. Kecuali satu hal. Bahwa sampai hari itu, perjalanan karier Herlambang sukses dan mulus-mulus saja adanya. Berarti di pihak lain. Rendi Suhandinata masih tetap menutup mulut.
Tetapi lagi, sampai kapan"
Ah "Uang dan kedudukan lebih tinggi!"
Yang berbicara itu adalah Reinaldi. Orang yang hidupnya bahkan mungkin juga masa depannya pernah diselamatkan Herlambang. Paling tidak, Herlambang pernah berjudi melawan arus. Menjauhkan Ronald dari jeruji besi dengan reputasi Herlambang sebagai taruhannya. Selain itu. ia masih menanggung biaya hidup Ronald, memberi pekerjaan, mencarikan jodoh sekaligus menanggung biaya pernikahan Ronald dengan Syaripah-yang kemudian ternyata cocok di hati Ronald.
Tak heran bila Ronald sangat setia dan sepenuhnya mcngabdi pada Herlambang. Juga tidak terhindari bahwa Ronald-lah satu-satunya orang pada siapa Herlambang berani buka cerita mengenai Ayuningsari. Dan dengan Ronald pulalah ia kemudian bertukar pikiran mengenai duri yang pernah hilang namun tahu-tahu tumbuh kembali di depan kaki Herlambang.
"Hanya itu satu-satunya kemungkinan yang akan dia minta sebagai tebusan," kata Ronald lagi. Dengan wajah yakin. Dan sekali Bapak mengabulkan permintaannya, maka percayalah. Bapak akan terus diperas... eh, maksud saya ditekan. Karena yang namanya nafsu duniawi tidak akan pernah terpuaskan!"
Herlambang percaya. Karena memang itu pulalah yang ada dan terus tertanam di benaknya semenjak rendi memunggunginya bak memunggungi tunggul kayu.
"Lantas, Ronald, apa yang harus kulakukan?"
"Percayakan saja pada saya. Pak Heri. Yang penting... bila waktunya tiba. Bapak pastikanlah bahwa Bapak akan berbicara dengannya. Tanpa ada telinga atau mata orang lain di tempat Anda berdua nantinya bertemu!"
Sebuah medan pertempuran yang lain. Dan tak ada salahnya dicoba.
Tanpa diminta. beberapa hari kemudian Rendi Suhandinata datang ke ruang kerjanya untuk memberitahu dirinya siap berbicara.
"Tetapi supaya lebih leluasa. sebaiknya jangan di sini!"
"Bagaimana kalau aku bersilaturahmi ke rumahmu saja?" Herlambang pun mengajukan penawaran. Dan begitu Rendi menyatakan setuju dan juga waktunya disepakati, Herlambang menambahkan apa yang telah dipesan Reinaldi pada dirinya, yang ia jadikan sebagai kalimat penutup yang meyakinkan namun berbau menekan.
"Bila ada sesuatu yang menyimpang, perjanjian kita batal. Dan Pak Rendi benar-benar tidak akan mampu lari lagi. Ke mana pun juga!"
Riskan dan menyedihkan memang. Tetapi Cirebon Masa Depan sudah menunggu. Belum lagi roh almarhum ayah Herlambang yang pasti akan lebih tenang karena cita-cita almarhum akhirnya diraih oleh penerusnya. meski dalam wujud berbeda.
Tetapi. duri yang masih tersisa harus disingkirkan lebih dulu. Melalui negosiasi yang waktu dan tem
patnya sudah mereka sepakati. Ada kemungkinan sang duri akan pasang tarif tinggi dan sulit dipenuhi. Namun, untuk itu Herlambang siap berjuang, bahkan jika perlu. berkorban. Karena bagaimanapun, yang terpenting adalah hasil akhirnya!
lalu panggilan mendadak itu pun datang. Dari orang nomor satu lainnya, orang nomor satu di propinsi, yang mau tidak mau harus ia hadiri. Sementara pada waktu yang sama, sang duri sedang menunggu kehadirannya. Membatalkan atau menunda, bisa disalahtafsirkan Rendi Suhandinata sebagai pelecehan. bahkan boleh jadi penghinaan. Dengan akibat yang sulit diduga.
Jalan keluarnya, Reinaldi. Orang kepercayaan dan sekaligus juga orang satu-satunya pada siapa Herlambang pernah bercerita tentang sang duri.
"Beritahu siapa dirimu dan bagaimana sampai kau sudah seperti anakku sendiri. Dengan begitu, aku yakin dia akan menganggap wajar bila kau yang kuminta datang mewakili diriku..!"
Perintahnya adalah, "Bilangi dia, berapapun permintaannnya akan kupenuhi. Yang penting, mulutnya harus tertutup untuk selama-lamanya!"
Di situlah Herlambang melakukan kesalahan yang kedua, setelah Ayuningsari sebagai kesalahan pertamanya, dengan kurun waktu yang berbeda.
Herlambang menganggap oke-oke saja sewaktu Reinaldi memberitahu ia akan meminta Markus saudara kandungnya-untuk ikut mendampingi. Herlambang tidak tahu siapa Markus dahulunya sebelum menjadi satpam di kantor Pemda. Lebih
celaka lagi, Herlambang lupa apa yang sebelumnya diingatkan oleh Reinaldi.
"Sekali Bapak mengabulkan permintaaannya. maka percayalah. Bapak akan terus diperas!"
Dan itulah alasan yang dikemukakan Reinaldi pada Herlambang yang dibuat shock berat setelah dilapori mengenai apa yang terjadi pada Rendi Suhandinata.
"Apa yang ada dalam pikiran saya, cuma satu hal saja..." katanya, tanpa terlihat sedikit pun perasaan menyesal di wajahnya. "Saya tak mau Bapak dijadikan sapi perah...!"
Titik sampai di situ. Habis mau apa lagi"!
Dan meski melalui proses yang menyimpang dari rencana semula, duri itu toh sudah tersingkirkan.
Aman. mulanya. Tetapi Markus tiba-tiba mati. Disusul oleh Reinaldi. lantas Herlambang tiba-tiba menyadari. masih ada duri lainnya yang sebelumnya tidak pernah ia perhitungkan!
Apa boleh buat. Duri yang terakhir ini pun terpaksa harus ia hadapi. Jika perlu, juga disingkirkan. Caranya tergantung nanti dari ketajaman duri itu sendiri. Dan seberbahaya apa racun yang terkandung di dalamnya. Yang pasti, sepanjang perjalanan kariernya, Herlambang berpegang teguh pada ayah angkat yang sekaligus juga adalah mertuanya.
"Untuk mencapai sukses, lakukan apa yang bisa
kau lakukan hari ini. Jangan menunda sampai besok!"
Klise sebenarnya. Namun bukti nyata sudah banyak diraih oleh Herlambang. Salah satunya. sekarang ini, menjadi wali kota di tempat kelahirannya sendiri. jangan menunda, kata sang mertua. Itu benar sekali. Jikau kau biarkan sang duri merajalela, maka Cirebon Masa Depan selamanya hanya akan tercatat dan tersimpan di lemari arsip saja!
Sepanjang sisa malam tadi ditambah setengah hari ini ia habiskan untuk berpikir. Sekaranglah saatnya untuk bertindak. lelah dan merasa sakit-sakit di sekujur tubuhnya, Herlambang menghela napas panjang dua tiga kali. barulah setelah itu tangannya dengan mantap mengangkat gagang telepon.
Mula-mula yang menerima adalah operator telepon hotel. lalu Prasetyo, sang suami. Dan akhirnya... setelah penantian yang sepi serta menegangkan sejenak, barulah sang duri. Dengan suaranya yang lirih dan terdengar sayup. "Halo?"
Saling bertukar salam dan menanyakan keadaan masing-masing untuk meyakinkan si pembicara di seberang sana benar-benar orang yang dituju, Herlambang pun mengutarakan maksudnya menelepon.
Aku ingin meluruskan kesalahpahaman yang terjadi tengah malam tadi." katanya memulai. "Bagaimana kalau Anda bersama suami. saya undang makan malam" Hanya kita bertiga saja tentunya!"
Disetujui. Dan Herlambang pun menarik napas lega. Namun jauh di sanubari, ia diam-diam cemas. Alang kepalang!
*** YANG dibuat tegang bukan cuma Herlambang seorang.
Selesai pembicaraan telepon mereka, Rinda duduk tegang di samping suaminya yang juga tampak tegang. Antara sadar dan tidak. tangan mereka saling mencari lalu saling menggenggam. Dengan demikian, ketegangan yang mereka rasakan menjadi sedikit berkurang. Lantas sama-sama diam mengawasi Bursok yang sibuk berbicara dan mengeluarkan perintah lewat Handphone maupun HT dinasnya.
Beberapa menit kemudian. Bursok meletakkan kedua alat komunikasi itu di atas meja. Diam berpikir sejenak, barulah ia mengakhiri penantian tuan serta nyonya rumahnya yang tampak sudah tidak sabar.
"Menentukan sendiri tempat dan waktu pertemuan. Yang tidak bisa ditawar-tawar pula." gumamnya. Menggeleng-geleng. "Dengan jujur harus kuakui. dia sudah selangkah di depan kita!"
AH ! Didahului tarikan napas panjang, Prasetyo menanggapi dengan hati-hati.
"Agaknya, Komandan, Anda melupakan bahwa dia itu bukan birokrat biasa. Dia juga militer. Berpangkat kolonel pula!"
"Yang sudah terlatih bergerak cepat!" angguk Bursok. Setuju. "Aku tidak melupakan itu. Aku angkat topi. dia bergerak lebih cepat dari dugaanku semula!"
"Lantas apa rencana Anda sekarang?"
"Tetap pada rencana semula!" jawab Bursok. Tenang. "Kalian temui dan berbicaralah dengannya. Titik lemahnya sudah kuberi tahu. Harga diri. Kalian serang habislah itu. Buat dia lepas kendali. Dan pada saat itulah anak buahku nanti menampakkan diri. Sekaligus bertindak. jika situasinya memungkinkan!"
"Termasuk menjaga keselamatan kami berdua tentunya!"
"Prioritasnya memang itu!" Angguk Bursok, tersenyum. Lantas mengalihkan perhatiannya pada Rinda. "Yang kita diskusikan kemarin sore, Bu Rinda. Aku percaya Anda masih mengingat semuanya dengan baik!"
"Saya kira masih," jawab Rinda sambil mengingat-ingat. "Tetapi, Komandan. setelah salinan faksimile itu saya pelajari lagi. di situ tertulis rekan sejawat Anda lebih menjuruskan perhatian mereka pada kasus bunuh diri. Lalu. mengapa kita justru memilih Ayuningsari?"
"Hm." Bursok mau tak mau menggaruk kepala
nya yang tidak gatal. Lantas tersenyum. Mengambang. "Katakanlah. sebuah firasat!"
"Tetapi harus ada alasan yang kuat untuk itu. bukan?"
Bursok mengangguk setuju. "Kasus bunuh diri. Bu Rinda. biasanya menyangkut masalah yang lebih bersifat pribadi. Dan aku tidak menemukan penyebab saudara kembarmu harus lari ketakutan karenanya!"
"Mungkin saja pekerja pabrik kuningan itu bukan bunuh diri. Melainkan dibunuh, dan Herlambang terlibat di dalamnya. Rendi tahu itu, lantas minggat ketakutan!"
"Masuk akal juga!" jawab Bursok, dengan senyuman yang lebih manis. Diam-diam kagum dengan cara berpikir lawan bicaranya. "Tetapi aku melihatnya dari sisi lain. Herlambang orangnya tampan, lagi gagah. Bahkan sampai sekarang. Lebih-lebih pada masa mudanya... katakanlah waktu itu. sekitar tiga puluh tahun. Berpangkat kapten lagi. Wanita mana yang tidak ingin" Konon pula di kota sekecil Turen!"
Diam sejenak untuk meyakinkan kedua pendengarnya, Bursok melanjutkan, "Lalu, muncullah Ayuningsari. Seorang janda pula, dengan siapa Herlambang merasa bebas untuk bermain. Tetapi celakanya, sang janda tiba-tiba hamil dan nekat pula menekan Herlambang, sementara Herlambang sudah berkeluarga. Dalam kondisi terjepit seperti itu, apa yang paling mungkin untuk dilakukan oleh Herlambang?"
Karena kedua pendengarnya sama membisu, Bursok menjawab sendiri pertanyaannya. Masih sambil tersenyum. tetapi kali ini senyuman kaku. "Tak usahlah aku rinci. Faksimile itu menyebut kecelakaan biasa. Tetapi aku akan menyebutnya sedikit berbeda. Dibuat seperti kecelakaan biasa!"
Detik-detik yang sunyi berlalu sebelum akhirnya Rinda memecahkannya dengan nada menuduh, "Anda seperti mempertaruhkan telur di ujung randuk, Komandan. Yakin telur itu tidak akan jatuh!"
"Untuk bertahan hidup. Bu Rinda," jawab Bursok tenang. "terkadang manusia harus berani berjudi!"
"Dengan keselamatan istri saya sebagai taruhannya!" Prasetyo menyeletuk. Kuatir. "Bahkan mungkin juga saya!"
Bursok sempat terdiam. sebelum akhirnya mengomentari.
"Mudah-mudahan penutup cerita kita tidak akan serepot itu. Lagi pula, seperti kuingatkan kemarin sore, kalian hanya perlu menyebut nama Ayuningsari. Biarkan Herlambang yang bereaksi. Dan kalian berdua tinggal menyesuaikan diri dengan reaksi yang ia perlihatkan. Oke?"
Prasetyo diam. Dan Bursok kembali pada sang istri.
"Nah, Bu Rinda. Apa kunci utamanya"
Rinda kembali harus mengambil napas dan kembali tampak tegang. "Pengakuan Reinaldi sebelum mati." jawabnya. Nyaris seperti berbisik. "Yang diam-diam saya rekam dan hasil rekaman itu saya simpan di tempat yang aman...!"
Kembali Bursok menganggguk. Puas. Lantas bergumam setengah melamun.
"Terima kasih pada sang manekin. Terima kasih juga pada para saksi mata yang sempat dibuat gempar namun masih ingat ciri-ciri wanita yang duduk di sebelah Reianaldi. Juga. bahwa mereka berdua tampak berbicara!"
Prasetyo mengawasi dengan senyuman kecut. Lantas mengingatkan.
'Jangan lupa, Komandan. Rekaman itu sesungguhnya tidak pernah ada!"
'Ah ya!" Bursok mendesah, tersadar dari lamunannya. "Mengenai itu, pada waktunya nanti kita tinggal menyerahkan kaset apa saja. Musik, lagu dangdut, atau pidato Presiden!" Bursok tertawa sendiri. "Yang penting. ganti kitalah yang mengatur waktu dan tempat penyerahan. Tetapi sekali lagi, mudah-mudahan tidak akan secepat itu. Malah jika mungkin kita selesaikan malam ini juga. Tergantung... oh ya, dengan apa kalian berdua akan menekan titik lemahnya, Bu Rinda?"
"Uang dan ancaman!"
"Sekadar menyegarkan ingatan Anda saja!" kata Bursok. Tersenyum manis. "Bersedia mengulangi rincian yang sudah kita diskusikan?"
"Usaha saya dan suami sepenuhnya bangkrut, sehingga kematian Rendi... menjadi nomor dua!" Rinda mengucapkan kata demi kata tanpa menyembunyikan perasaan tak senangnya. Namun ia terus saja melanjutkan. "Saya akan menuntut jumlah yang juga bisa membuat Herlambang bangkrut dalam seketika. Dan jika dia menolak... maka reputasinya
lah yang akan saya buat hancur. Reputasi seorang wali kota!"
Rinda kemudian diam. Dan tampak gemetar. Sang suami mempererat genggaman tangan mereka, lalu berkata dengan wajah dingin ke arah Bursok.
"Dan begitu harga dirinya terluka lalu dia berbuat sesuatu, Komandan, semoga anak buah Anda tidak muncul terlambat!"
"Akan kupastikan itu!" jawab Bursok. Datar. "Meski terus terang, aku tidak berani memberi jaminan mutlak bahwa mereka akan muncul tepat waktu!"
Prasetyo sudah akan memprotes lagi, namun keburu didahului oleh istrinya yang berbicara dengan lebih tenang. Sangat tenang.
"Tak apa. Demi Rendi-ku, risiko apa pun siap kutempuh!"
"Terima kasih!" desah Bursok, gembira bercampur haru. Ada terniat untuk menyentuh dan menggenggam tangan Rinda satunya lagi. Namun, menganggapnya terlalu sentimental dan malah berlebihan, niat itu cepat dibatalkan.
Melirik ke arlojinya, Bursok menggumamkan kata penutup pembicaraan mereka.
"Waktu kita hanya tinggal sekitar dua jam lagi. Kalian harus bersiap-siap, sementara aku harus kembali bekerja dari posku sendiri...."
Bursok lantas bangkit dari kursinya, diikuti oleh tuan dan nyonya rumahnya.
"Oh ya. Mungkin saja sewaktu-waktu kita memerlukan kontak mendadak. Kalian punya telepon genggam tentunya!"
Prasetyo mengangguk. "Nanti kami bawa!"
"Bagus. Dan satu hal lagi. Seorang brigadir akan kukirim untuk mendampingi kalian. Menyamar sebagai sopir tentunya. sehingga dia punya alasan kuat untuk berada cukup dekat dengan kalian berdua. Di luar, personel lain yang juga sudah kutugaskan. Oke?"
Bursok sudah akan mengulurkan tangan untuk berpisah ketika Rinda tahu-tahu bertanya. Pertanyaan yang di luar dugaan. Dan hebatnya. disertai senyuman pula pada bibir mungilnya yang sensual.
"Beritahulah saya, Komandan. Gaun warna apa cocoknya yang nanti saya pakai?"
Bukan cuma Bursok. sang suami juga sempat dibuat bingung. Tetapi cepat sekali Bursok sudah menemukan jawabannya. Seraya mengamati gaun merah hati yang dikenakan nyonya rumah, Bursok pun berkata dengan senyum.
"Jika Anda mau mandi lebih dulu, silakan. Tetapi pakailah lagi gaun yang di tubuh Anda sekarang!"
Rinda mengamati sekilas gaun yang membungkus tubuhnya, lalu bertanya kembali, "Mengapa harus yang ini, Komandan?"
Seperti tadi, Bursok kembali menggaruk kepala yang tidak gatal.
"Entahlah. Mungkin karena aku selalu menganggap bahwa warna merah hati mencerminkan dua lambang yang betul-betul kontras. Kelembutan tetapi sekaligus kemarahan!"
Sebenarnya, firasat lagi. Firasat aneh dan sulit untuk dimengerti. Berpikir demikian. Bursok cepat mengakhiri.
"Berdoa dan berhati-hatilah. Oke?"
Lantas Bursok pun berlalu. Tanpa menolehnoleh lagi ke belakang. Karena sel-sel otaknya dibuat ribut oleh satu pemikiran yang mendebarkan dari firasat aneh yang tadi muncul begitu saja.
Yang bertanya soal gaun itu Rinda-kah"
Atau. sang boneka" *** Sudah sia-sia mencari tahu makna dari firasat aneh tersebut. satu jam kemudian sel-sel otak Bursok masih ditambah kacau oleh laporan mengejutkan dari orang kepercayaannnya melalui telepon di meja kerjanya, bukan HT. Artinya. sekuritas.
"Kita terpaksa langsung pada rencana B. Komandan!" lapor Hadi Saputra di telepon. "Rencana A sudah dibatalkan oleh keadaan setempat!"
Bursok mengernyitkan dahi.
"Seberapa berat keadaan yang kalian hadapi di sana?"
"Selain kita kekurangan waktu untuk membuat persiapan. usaha penyadapan bahkan suap juga sangat tidak memungkinkan!"
"Alasannya?" "Lingkungan cottage yang ditetapkan target sebagai tempat rendezwuz ternyata dibangun dan didaftarkan untuk dan atas nama Nawangsih oleh ayahnya sendiri. yang kini sudah pensiun..."
"Dan siapa itu Nawangsih?"
Hadi Saputra menjawab dengan nada yang terdengar khidmat. "Istri dari target kita!"
"Oh. oh...!" "Repotnya lagi. Komandan. cottage yang akan mereka pakai justru difasilitaskan khusus untuk pemilik. Tidak pernah disewakan atau diisi orang lain walaupun itu kerabat dekatnya sendiri. Diurus, dan bila diisi oleh pemilik, dilayani khusus oleh orangorang kepercayaan yang terlalu riskan untuk kita dekati."
"lantas apa yang tersisa untuk kita, Hadi?"
"Dua cottage kosong untuk rencana B. Hanya untuk berjaga-jaga. melihat dan jika mungkin, mendengarkan. Yang satu agak jauh. tetapi yang satunya lagi kebetulan berdampingan dengan cottage target?" Berhenti sesaat, sang lptu meneruskan dengan suara lirih. setengah mengeluh. "Sebagian dengan kartu kredit. Sebagian lagi tunai dan... secara patungan!"
Bursok tersenyum. "Oke," katanya. "Kalian simpan saja bonnya untuk bukti penagihan ke Tata Usaha. Penempatannya sudah diatur?"
"Sudah. Komandan. Saya akan mengisi cottage terdekat. Tetapi..."
"Ya?" "Kepalang basah menyewa cottage. Saya" enaknya sih, punya teman tidur!"
Bursok sudah menduga, dan sudah siap dengan jawabannya."Tak masalah. Bunga sedang dalam perjalanan ke sana!"
"Bunga?" "Melati!" "Wah. Komandan. Brigadir yang galak itu?" Hadi Saputra benar-benar mengeluh kini. "Rasanya latihan dulu itu seperti baru kemarin terjadi. Pukulan karatenya pada rahang saya membuat saya dua hari susah mengunyah nasi...!"
Bursok menahan diri untuk tidak tertawa.
"Maka itu. Hadi, perlakukan dia baik-baik. Oh ya, omong-omong, kau tentunya tidak menelepon dari lokasi, bukan?"
"Telepon umum, Komandan. Tetapi masih di sekitar Sangkan Hurip Indah." Hadi Saputra memberitahu. dan cepat menambahkan, "Satu hal, Komandan...!"
"Apa?" "Kita sudah berlelah-lelah menginformasikan tentang ilmu hitam pada orangnya sang target. Tetapi mengapa justru dia tetap berani menghadapi orang kita" Dan lewat jalur biasa pula?"
"Itu juga menjadi pemikiranku, Hadi," jawab Bursok setelah berdiam diri sejenak. "Kesimpulanku. dia memegang sesuatu!"
"Dukun?" "Sesuatu!" Bursok mengulangi. Teguh. "Masih ada pertanyaan?"
"Sementara ini tidak, Komandan. Roger !'
"Oke!" Telepon diletakkan. Rencana B, pikir Bursok seraya duduk merenung.
Akan lebih baik bila misalnya Rinda atau suami
nya dipasangi alat penyadap. Atau perekam mini dalam tas Rinda. bisa juga dalam kaus kaki yang dipakai Prasetyo. Tetapi kemungkinan rencana B yang terjadi. sudah mereka perhitungkan. Begitu pula reputasi orang yang akan dihadapi. Sebelum masuk atau sebelum memulai pembicaraan. bukan mustahil akan ada penggeledahan. Akibatnya. mereka akan jatuh sebagai pecundang sebelum peluit pertandingan dibunyikan. Maka niat yang sangat menggoda itu pun terpaksa dibatalkan.
Sekarang, dengan kondisi yang tadi diberitahu oleh Hadi Saputra, semuanya akan sangat tergantung pada kedua umpan mercka.Khususnya sang istri.
"Jangan kuatir!' terngiang lagi ucapan tegas Rinda dalam diskusi serta latihan mereka kemarin sore. "Saya tahu bagaimana harus memancing kemarahan dan juga merendahkan martabatnya. Cukup dengan mengingat bagaimana Rendi-ku menerima kematian"!"
ltu dalam latihan. Bagaimana pula nanti, setiba di medan pertempuran"
Dan masih ada lagi, pikir Bursok seraya menyandar ke kursi kerjanya, dengan jemari kedua tangan didekatkan lalu ditepuk-tepukkan lambat-lambat satu sama lain untuk membantu mencairkan pikirannya yang mendadak seperti buntu.
Sang wali kota punya sesuatu.
Tetapi. apa" ILMU hitam! Berhenti untuk menunggu pergantian lampu merah di sebuah perempatan. Herlambang tersenyum kecut ketika lamunannya melantur ke pembicaraannya dengan Anwar Suhardiman.
Meski di hadapan staf dari biro hukum itu ia memperlihatkan sikap tak acuh-demi kehormatan dari seorang wali kota-Herlambang sesungguhnya percaya ada ilmu hitam bermain di balik kematian Reinaldi. Boleh jadi juga, Markus. Yang secara misterius mati oleh sengatan listrik, sambil berbugil ria pula!
Terutama, Reinaldi. Wartawan yang menelepon Herlambang itu berkata bahwa ia mencatat sejumlah nama lengkap dengan alamat saksi mata yang bersedia diangkat sumpah. Bahwa. dengan mata kepala sendiri. mereka menyaksikan bagaimana Reinaldi secara mengerikan tiba-tiba sudah berselimut fiberglass dari bangku-bangku yang pada retak lalu terpecah sen
diri. Perbuatan apalagi itu namanya jika bukan ilmu hitam"
Tetapi-sekali lagi demi kehormatan dirinya sebagai wali kota-Herlambang tentu saja tidak boleh memperlihatkan dirinya terpengaruh apalagi gentar. Lalu kepada si penasihat hukum itu dengan enteng ia bilang akan mengatasi masalah itu dengan berbekal kepercayaan diri.
Hm, percaya diri. Bukan main! Dan...
Bunyi klakson yang ribut di belakang mobilnya membuat Herlambang seketika menyadari lampu merah telah berganti ke hijau dan mobil di depannya sudah bergerak maju, bahkan sudah melewati perempatan. Melirik sekilas ke kaca spion, Herlambang melepas rem lantas membelokkan mobilnya ke kanan, arah menuju pulang ke rumah, untuk mengambil apa yang ia sebut kepercayaan diri.
Menyedihkan memang. Tetapi sesungguhnyalah, Herlambang tidak pernah mengharapkan apalagi meminta. Semua itu datang sendiri, dan tahu-tahu sudah ia miliki.
Dan tanpa terasa. setahap demi setahap memberinya kepercayaan dirinya yang asli!
Awalnya memang demikian. Ke mana pun Herlambang pergi mengemban tugas. ia selalu memulai langkahnya dengan kepercayaan diri yang penuh bahwa ia akan mampu dan berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik. Sampai akhirnya ia terlibat dalam kasus unik di Lom
bok itu. Mendamaikan warga dua desa yang terus bermusuhan selama hampir tiga generasi. Dan justru kebanyakan di antara warga yang saling bermusuhan itu masih terkait hubungan darah dari satu leluhur.
Masalahnya sepele. tetapi konon sudah berlangsung turun-temurun. Menurut kabar angin, akar permasalahan bermula dari pembagian warisan yang konon tidak adil. Lalu kemarahan serta kebencian pun terus-menerus dilampiaskan, dengan kambing hitamnya tetap sama, dan sekaligus selalu jatuh sebagai korban. Yakni, selokan yang menjadi sumber air sawah dan ditetapkan sebagai tapal batas kedua desa bertetangga tetapi terus bermusuhan itu.
Merasa masing-masing paling berhak atas selokan tersebut. seringkali terjadi kedua sisi bahkan juga belokan-belokannya berubah-ubah posisi atau berpindah arah. Akibatnya pertengkaran mulut. bentrokan, sampai ke tawuran yang mengambil korban-jika bukan dikubur pastilah ada yang harus digotong ke rumah sakit, terus saja berlangsung dan berkelanjutan.
Camat yang sudah kewalahan akhirnya dengan malu-malu datang pada Danramil setempat. Gagal, Danramil melapor ke Dandim bahwa ada desasdesus bibit tawuran sudah mulai tumbuh lagi di sana-sini.
Karena Dandim kebetulan harus berangkat untuk mengikuti Rapim di Mabes, pelaksanaan tugas bukan dilimpahkan pada wakilnya, tetapi pada Kasdim yang dianggap tahu banyak mengenai pembinaan teritorial.
Memang bidang kesukaan orang yang ditunjuk.
Maka selain menerjunkan orang-orang yang ia percayai. Herlambang sendiri pun ikut berkecimpung ke lapangan. Tentu saja dengan modal lamanya, percaya diri. Sialnya, kali ini ia dihadapkan pada perseteruan yang sudah mendarah daging. Kencing salah tempat saja bisa berakibat perkelahian. Dan Herlambang nyaris mengalami nasib sama dengan para pendamai terdahulunya, ketika suatu hari ia menerima laporan menarik dari anak buahnya.
Dilaporkan bahwa putra kepala desa yang satu diam-diam menjalin hubungan cinta dengan putri kepala desa yang jadi musuh bebuyutan. Meski ke dua orang remaja itu meragukan masa depan percintaan mereka, keduanya tetap nekat menjalin hubungan, dengan menjadikan alamat teman sekolah mereka dari desa lain sebagai posko surat-menyurat . penemuan-penemuan singkat namun membahagiakan.
Herlambang mempelajari laporan itu selama berhari-hari.
Dan begitu komandannya pulang dari Jakarta, ia langsung datang menghadap dan berbicara. Begitu mendapat lampu hijau, dengan penuh kepercayaan diri Herlambang secara bergantian mendatangi dua kepala desa yang bermusuhan itu untuk mengutarakan maksud baiknya. Dan sebagaimana yang sudah ia perhitungkan, gayung langsung bersambut.
Mengapa tidak. Orang desa mana pula yang tidak bangga memperoleh kehormatan yang langka dan mustahil itu. Menikahkan putra-putri mereka dengan Pak Dan
dim sebagai pendamping sekaligus ikut jadi saksi pernikahan!
Pernikahan yang luar biasa meriah pun berlangsunglah. Warga kedua desa yang sebelumnya saling pelotot itu datang berbaur untuk saling rangkul dan tertawa. Cerita-cerita mengenai para pendahulu mereka pun satu persatu dibuka. dengan masing-masing menjaga sedemikian rupa agar mulutnya hanya menceritakan yang baik-baik saja.
Lalu satu minggu berikutnya datang laporan ke meja kerja Herlambang.
Lima pasang remaja dari dua desa yang tadinya bermusuhan itu dan diam-diam selama ini juga menjalin cinta kasih, menyatakan diri siap menikah. Hanya saja, kali ini saksi mereka bukan Dandim. Melainkan kedua kepala desa mereka, yang masingmasing memberi persetujuan dengan suka cita.
Untuk sukses kecilnya itu ternyata Herlambang bukan cuma memperoleh tanda jasa kedinasan, tetapi juga suatu tanda jasa lainnya, yang kelak menentukan perjalanan hidupnya. Tanda jasa yang disebut terakhir itu berupa empat belas helai rambut yang berasal dari dua orang dukun ternama yang tinggal dan berpraktik terpisah pada dua desa yang sebelumnya bermusuhan itu. Masing-masing dukun itu mencabut tujuh helai rambut dari kepalanya, yang kemudian disatukan lalu diberi ramuan serta mantra secara bersama-sama.
Dan jadilah rambut dua orang dukun dari desa berbeda itu menjadi jimat yang kata mereka ketangguhannya "dijamin oleh para leluhur kami berdua!" dengan tambahan kalimat yang mengharukan, "Sebagai pernyataan terima kasih kami atas jerih payah Bapak menyatukan kembali ratusan keluarga yang selama ini tanpa sadar memisahkan diri secara tidak patut!"
Jimat, kata mereka. Jimat multifungsi, dengan unsur pokok tergantung keperluan yang dikehendaki. Disimpan ke dalam sabuk yang juga mereka berikan lalu dibelitkan ke pinggang, jimat itu akan berfungsi sebagai penangkal ilmu hitam ke mana pun kaki Herlambang dilangkahkan. Direndam ke air putih yang kemudian airnya diminum, jadi penawar racun. Tentu saja. racun ilmu hitam.
Dan terakhir, dengan cara pemakaian sendiri pula, jadi ilmu penunduk. Membuat orang yang kita kehendaki, tunduk pada kemauan kita. Hebatnya lagi, menurut kedua orang dukun tersebut, ketiga unsur itu dapat berperan sekaligus: penangkal. penawar, penunduk Tergantung pemakaian dan siapa yang dihadapi,
"Mantranya mudah saja," kata mereka, "begitu akan dipergunakan, Bapak tinggal menyebut nama kami berdua. Tak soal nama mana yang lebih dulu Bapak ucapkan. Bisa Jerot-Jembar. Bisa pula JembarJerot. Cuma itu. Selebihnya serahkan saja pada jimatnya!"
Jerot-Jembar atau Jembar-jerot.
Herlambang menggeleng geleng seraya membelokkan mobil yang ia kemudikan sendiri itu memasuki halaman rumah dinasnya, tanpa melihat pada kedua orang satpam yang tegak menghormat di luar pos jaga sebelah dalam pintu gerbang. la tiba pas saat
istri serta kedua anaknya sudah siap untuk makan malam.
Dengan dalih akan menghadiri pertemuan mendadak-dan itu memang benar ia menolak bergabung di meja makan dan langsung masuk ke kamar. Setelah mandi dan bersalin pakaian. barulah ia naik ke lantai atas. untuk mengambil apa yang jadi tujuannya pulang ke rumah.
Sang jimat. Jimat dari si dukun Jembar dan si dukun Jarot. Atau si Jerot dan si Jembar"
Menggeleng-gelengkan kepala, Herlambang tiba lalu masuk ke ruang kerja pribadinya, sekaligus mengunci pintu agar tidak ada yang mengganggu. Mendekat lalu memutar tombol kombinasi lemari besi sebentar, pintu lemari itu kemudian dibuka. Tangannya kemudian menyelusup ke dalam. Surat surat berharga digeser, juga tumpukan uang, lalu beberapa balok kecil emas satu ons.
Dan sabuk itupun terpegang. lalu dikeluarkan.
Dengan tangan gemetar. *** SETELAH menutup kembali pintu lemari, Herlambang pun duduk menenangkan diri sejenak di kursi kerjanya, sambil dengan mata nanar memandangi sabuk hitam bertali panjang yang ia simpan di atas meja. Sabuk yang tampak terlalu besar dan hebat mengingat apa yang tersimpan didalamnya: rambut, yang cuma sekian belas helai pula!
Tetapi ketangguhannya sudah teruji. Dengan hasil menakjubkan pula.
Awalnya, Herlambang menerima jimat itu sekadar untuk menghormati niat baik si pemberi. Lantas iseng menyimpan dan mengganggap sebagai salah satu kenangan masa tugas. Menyimpannya pun sembarangan. Di laci meja kerja. dalam tas, di lemari bahkan pernah di salah satu pot bunga yang tidak terpakai. Tentu saja sering kali terlupakan. Bahkan pernah hilang. Bukan hanya sekali dua.
Dan anehnya. setelah sibuk mencari lantas dilupakan. sabuk hitam itu-lengkap dengan isinyatahu-tahu muncul sendiri di tempat mana saja ia
sebelumnya tersimpan. Di lemari, atau dalam tas sewaktu Herlambang merogoh untuk mengeluarkan berkasnya setelah tiba di kantor. Padahal sebelum berangkat dari rumah, Herlambang lebih dulu sudah ganti tas dan dengan sendirinya tahu dan ingat betul apa saja yang telah ia masukan ke dalamnya. Tentu saja tak termasuk sang jimat, karena memang telah hilang satu minggu sebelumnya!
ltu salah satu uji tangguhnya.
lalu pernah, di Palangkaraya.
Baru beberapa minggu menempati posnya sebagai komandan Kodim, Reinaldi yang ikut ke mana pun Herlambang pergi-terserang penyakit gatal yang hebat, bahkan sampai mengeluarkan nanah. Dokter-dokter yang didatangkan sudah kewalahan. ketika Herlambang akhirnya teringat pada jimat yang ia bawa dari Lombok.
Rambut jimat pun direndam, dibacakan mantra Jarot-Jembar, lalu air rendamannya diminumkan. Hasilnya. siang diminum. malamnya penyakit gatalgatal Reinaldi hilang. Dan hari berikutnya, luka borok pada mengering sendiri dan belakangan sembuh tanpa meninggalkan bekas.
Yang mengherankan, suatu ketika mobil Herlambang menabrak seekor kuda di tengah jalan. Si pemilik kuda tidak mau menerima ganti rugi yang ditawarkan Herlambang untuk kudanya yang mati. Malah cepat-cepat menyingkir seraya menyumpah serapah.
"Jangan mentang-mentang tentara dan berpangkat tinggi...!" dan entah apalagi yang sangat menyakitkan hati. Hanya karena bentuk ganti rugi yang
ia minta tak bisa dipenuhi Herlambang. yaitu kuda dengan warna yang sama, jenis yang sama. dan lcbih hebat lagi, tingkat kesuburan yang sama. Permintaan yang aneh memang, tetapi itulah manusia!
Manekin Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan beberapa hari kemudian. serombongan kecil warga tak dikenal tahu-tahu mendatangi Herlambang dengan membawa sejumlah besar hasil kebun untuk diserahkan pada Herlambang sebagai... permintaan maaf.
"Permintaan maaf!" desah Herlambang, heran. "Untuk apa?"
Seraya menangis terisak-isak. seorang wanita tengah baya menjelaskan bahwa dirinya adalah istri si pemilik kuda. Wanita tengah baya itu juga memberitahu dirinya seorang dukun. yang oleh suaminya dimintai bantuan untuk membuat Herlambang menerima nasib sama seperti kuda mereka. mati dihantam mobil.
"Karena saya sangat mencintainya. permintaan itu saya penuhi," kata si wanita lagi. "Satu malam penuh saya jungkir balik mengeluarkan ilmu saya. sebelum akhirnya bisikan itu datang!"
"Bisikan apa?" "Bisikan gaib!" jawab si wanita. Terisak "Bahwa pagi harinya akan terjadi tabrakan mobil..."
Saking gembira-begitu cerita si wanita tengah baya-ia langsung menghentikan semadinya lantas memberitahu bisikan yang ia dengar pada sang suami yang terus menunggu sambil marah-marah. Suaminya tertawa puas lalu pergi minum tuak bersama teman-temannya. Mereka minum dan main
kartu sampai pagi datang. sebelum si suami akhirnya minta diri untuk pulang ke rumah.
"Dan itulah yang terjadi..." si wanita mengakhiri sambil sesenggukan. "Di tengah perjalanan pulang... mobil angkutan umum yang ditumpangi suami saya... tertabrak bus antarkota!"
Karena tak bisa melanjutkan ceritanya, kerabat pendamping si wanitalah yang kemudian memberitahu Herlambang. bahwa satu-satunya korban yang mati akibat kecelakaan lalu lintas itu adalah suami si wanita sendiri.
Tentu saja Herlambang terkejut.
Dan lebih terkejut lagi ketika sebelum pulang. wanita yang dukun itu bertanya dengan suara lirih, setengah takut-takut.
"llmu penangkal apa yang Bapak punya"'
Herlambang cuma diam membisu. Sambil teringat pada pagi hari yang disebutkan itu ia keluar rumah untuk jogging. dan entah mengapa, isengiseng memakai sabuk hitamnya sebagai pengganti ikat pinggang!
"Pak?" Suara memanggil yang disertai ketukan pintu itu membuat lamunan Herlambang buyar seketika dan ia langsung menoleh ke pintu ruang kerja pribadinya. Dari balik mana terdengar lagi suara lembut Nawangsih.
"Bapak tidak ketiduran, bukan?"
Tanpa bangkit dari kursinya, Herlambang menyahuti dengan suara dikeraskan.
"Mataku masih terjaga. Bu!"
"Mau kubuatkan minuman?"
'Tak usah!" "Hm. baiklah. Aku cuma mau mengingatkan. Bapak tadi bilang harus sudah berangkat sekitar pukul delapan...!"
Herlambang melirik sekilas ke jam dinding pada tembok di seberang meja kerja. Tujuh empat lima. Dan Herlambang pun mendengus.
Golok Maut 8 Dewi Ular 79 Pembalasan Selir Sesat House Of Dreams 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama