Menembus Rimba Raya Kalimantan Karya M.t.h. Perelear Bagian 2
"Kembali ke kepala-kepala keju itu" Sacre nom de tonnerre!1 Tidak sudi!" teriak si Walloon bersemangat.
"Maka hentikan keluhanmu itu; serahkan itu kepada perempuan dan anak-anak; laki-laki harus bertindak."
"C"etait plus fort que moi," (Disambar gledek) La Cueille bergumam. "Cerita-cerita yang telah aku dengar selama dua hari terakhir ini mengerikan aku, dan pardieu, (Demi Tuhan!)
ketika aku melihat benteng di mana kita dapat istira?hat aman seperti di pangkuan ibu kita, jauh dari hantu-hantu, para pengayau, pengisap darah, dan sebagainya benteng yang dapat kita capai hanya dengan beberapa kayuhan saja-jujur saja, aku punyai itu, aku benar-benar merasa tergoda tadi. Tapi itu sudah sirna sekarang."
Si Walloon mengayuhkan kembali dayungnya sekuat tenaga, membantu agar sampan secepat mungkin bergerak maju sehingga perbentengan dengan cepat lenyap samasekali dari pandangan. Para buronan melewati gugusan pulau kecil yang disebut Kepulauan Telu, dan ketika hari terang mereka sudah berada dekat dengan pulau Kanamit.
Dalim berpendapat, lebih baik mereka tidak meneruskan per?jalanan lebih jauh dan menyarankan untuk bersembunyi di satu anaksungai yang mengalir ke tepi kanan Sungai Kapuas di belakang pulau. Ketika sampan memasuki cabang sempit sungai ini, Yohanes menunjukkan satu tempat dan berkata:
"Persis di situ kami nyaris tidak dapat lolos dari sampan-sampan orang Dayak. Kapal kami kandas dan kami diserang oleh pribumi yang berkhianat. Untunglah kapal Montrado tiba membantu kami dan mengusir mereka dengan satu tembakan meriam."
"Tapi," tanya Wienersdorf, "bagaimana sikap pribumi terhadap kita sekarang?"
"Mereka sangat tidak dapat dipercaya, dan jika mereka tahu kita adalah si muka pucat, nyawa kita tidak harganya. Tapi kita adalah orang-orang Dayak sekarang. Helo mikeh-Jangan takut," Yohanes melanjutkan sambil tersenyum. "Bagaimanapun juga kita bertujuh, dan kita bebas menyimpan senjata di bawah kendali kita sendiri."
Sampan kini bergerak sampai di depan satu rumah besar. Dalim, ditemani oleh salah seorang rekannya dan Yohanes, naik ke darat, memanjat sepotong kayu yang ditegakkan miring, semacam tangga untuk naik ke rumah orang Dayak, dan masuk ke dalam rumah. Semua yang tinggal di belakang memegang senapan dan masing- masing bersiap untuk bertindak.
Setelah beberapa lama Yohanes muncul, memberikan tanda aman dan menyerukan dalam bahasa Dayak bahwa mereka telah bertemu dengan para sahabat. Kebetulan keluarga salah seorang Dayak pemberontak buronan berdiam di sini. Ia Dayak Islam, orang yang telah memeluk agama Islam; ini dilakukannya baru-baru saja dan telah mengganti nama Dayaknya, "Mihing", dengan "Ali Bahar".
Orang Dayak, yang selalu siap menggelar perjamuan, sangat gembira menyambut peristiwa penting itu seperti bertemu dengan keluarga sendiri, sehingga tidak ada yang lebih pantas dilakukan daripada mengundang keluarga mereka dan teman-temannya ma?kan malam dan pesta minum secara meriah. Semua, termasuk Syekh Mohamad Al Mansur, setuju, bahkan yang terakhir mengucapkan "Alhamdulillah atas nikmat-Nya." Maka, pada tengah hari, mereka mengambil tempat, duduk melingkar di atas tikar dengan kaki ber?sila. Satu kepala celeng besar dipanggang, diletakkan di piring dan dibawa masuk, didampingi satu mangkuk besar berisi tuak.
Yohanes membungkuk ke arah si Walloon dan membisikkan sesuatu, dan yang terakhir tampak seolah terperanjat dan berteriak lantang:
"Semoga wabah mencekikmu, binatang terkutuk!"
Seluruh keluarga Dayak itu bangkit, terkejut karena teriakan itu, tetapi Yohanes menenangkan mereka, mengatakan bahwa keturun?an suci Nabi hanya mengungkapkan keterkejutannya atas keberani?an keluarga yang baru memeluk Islam itu menyajikan makanan dan minuman semacam itu, terutama yang dihidangkan kepada dia.
"Lihat," lanjutnya, "bagaimana orang suci ini gemetar terpe?ranjat melihat makanan haram yang sangat dilarang oleh Nabi Muhammad."
Dan benar-benar Arab gadungan itu mondar-mandir seperti orang gila, bergumam memaki-maki dalam bahasa campuran Walloon, Prancis, dan Belanda. Ia tahu betul bahwa dengan peran yang sedang dijalankannya, ia tidak dapat menyantap kepala celeng
matang dan menenggak tuak yang harum baunya. Beberapa waktu yang lalu ia pernah mencicipi tuak, minuman yang dibuat dari fermen?tasi beras, lada, pinang, dan gula, dan rasanya cocok untuk lidahnya, sehingga ketika melihat mangkuk itu disajikan, ia bertekad meng?habiskan minuman yang menggoda itu. Tetapi peringatan Yohanes benar-benar merenggut dia dari acara minum-minum. Orang usil sialan! Mengapa dia tidak tutup mulut saja" Si Walloon menyalurkan kemarahan pada serbannya, yang diputar-putar, seolah-olah ia hendak melemparkan benda istimewa itu ke dalam sungai. Tetapi tuan rumah segera menghidangkan untuk orang Arab yang bersedih ini seporsi besar tambilok, yang digoreng kering dan diberi bumbu serta lada, di samping beberapa potong lindung dengan saus telur asam yang enak. Setelah berdoa orang suci itu dengan khidmat meludeskan makanannya, juga sejumlah besar kujang goreng, sam?bil memuji bahwa masakan Dayak sangat lezat.
"Aku percaya," kata Yohanes tersenyum; "itu adalah makanan pilihan terbaik yang dapat mereka sajikan untukmu."
La Cueille menjadi cemas pada senyum Yohanes yang men?curigakan. "Demi Tuhan, apa yang telah aku makan?"
"Maksudmu kamu tidak tahu, bodoh" Baiklah, kujang adalah semacam umbi yang banyak sekali terdapat di tanah Dayak hilir dan menggantikan kedudukan kentang kita."
"Aku tahu karena aku sering memakannya di Kuala Kapuas. Makanan ini memang sangat enak digoreng dalam irisan tipis. Tapi apa yang mereka menyebut makanan-makanan itu?"
"Tambilok dan lindung, maksudmu?"
"Ya, apa itu?" "Tidak pernah kamu amati ulat-ulat putih gemuk di pohon yang terapung di sungai selama beberapa lama" Nah, itulah yang disebut oleh orang Dayak tambilok, dan mereka buat menjadi masakan yang enak."
"Oh, Notre Dame de bon secours!" (Bunda Penghibur tolonglah!) si Walloon menjerit, terkejut. "Dan lindung," Yohanes melanjutkan dengan cepat, "adalah se?macam ular air dengan panjang sekitar tiga kaki dan besarnya se?lengan orang dewasa. Warnanya merah dan ada strip-strip hitam dipunggungnya. Binatang ini punya kulit yang sangat licin dan tidak berbisa. Itu adalah makanan kesukaan orang Dayak."
"Dan aku pikir aku makan belut tadi!" La Cueille berteriak dengan jijik di setiap mimiknya.
"Tapi jangan khawatir," Yohanes menambahkan dengan sikap baik, "aku telah membungkuskan untuk kamu sepotong besar kepala celeng dengan daun menurut cara Dayak, dan segera setelah kamu merasa lapar lagi kamu bisa makan lebih banyak daripada yang kau bayangkan. Tapi ingat, kamu mungkin harus menelan makanan yang lebih buruk daripada ular atau ulat sebelum sampai di rumah."
La Cueille menghela napas tetapi tidak menjawab. Ia pergi isti?rahat dan segera tertidur.
Selagi Syekh Mohamad Al Mansur terbaring tidur, Yohanes, Wienersdorf, Schlickeisen, dan Dalim, ditemani oleh tuan rumah, Ali Bahar, memasuki hutan bersenjata lengkap. Dua orang Dayak lainnya menjaga sampan dengan senapan di tangan. Tetapi tidak ada sesuatu yang mencurigakan terjadi, dan kira-kira satu jam sebelum matahari terbenam mereka pulang dengan membawa sejumlah besar sekop, kapak, dan alat-alat lainnya, selain dua pucuk meriam perunggu kecil berukuran dua pon, yang mereka pikir berguna. Perkakas dan meriam- meriam itu ditemukan di suatu gubuk kosong. Semuanya berasal dari kapal yang terdampar dan diambil oleh orang-orang Dayak. Mereka harus menempuh perjalanan lain, karena masih tertinggal satu peti mesiu dari tembaga yang umum digunakan oleh serdadu dan masih berisi sejumlah serbuk mesiu. Terdapat pula sekitar 50 butir peluru meriam dan 30 alat pengukur kedalaman air dari rantai ringan yang barangkali sangat bermanfaat.
Kira-kira jam delapan malam semua sudah berada di atas sampan, dan La Cueille, yang waktu itu telah bangun, mengira mereka akan melanjutkan perjalanan lagi. Sebaliknya, teman-temannya malah duduk mengobrol panjang dengan tuan rumah. Ketika akhirnya si Walloon masuk ke rumah dan yang lain naik ke sampan dan bersiap- siap istirahat, Yohanes memberitahu si Walloon bahwa mereka ber?maksud bermalam sampai esok hari.
"Tapi," kata La Cueille, "apa tidak berisiko berhenti di dekat ben?teng Belanda lebih lama daripada yang diperlukan?"
"Kamu tahu kita tidak boleh terlalu terburu-buru," jawab Yohanes. "Itu bertentangan dengan adat Dayak, dan kita harus menghindari
timbulnya kecurigaan. Kamu telah mendengar bahwa tuan rumah kita menceritakan bahwa tetua mereka ditelan seekor buaya. Karena itu ia memohon kepada kita untuk membantu dia menangkap bina?tang itu besok. Itu adalah undangan yang tidak seorang Dayakpun berani menolaknya; penolakan dapat menimbulkan pertumpahan darah."
"Asyik sekali! Syukurlah, aku tidak tahu apapun tentang perbu?ruan semacam itu dan aku akan tinggal di belakang."
"Salah lagi; sebaliknya, kehadiranmu sangat diharapkan."
"Aku mau saja selama kita tidak diminta memakan ular; jika kita harus melakukannya, aku tegas menolak ikut."
"Jangan bodoh. Dengar, telah aku umumkan diriku sebagai Pa- ngareran."
"Aku ini keturunan Nabi; kamu sekarang berubah menjadi Pangeran. Aku ramalkan, suatu ketika negeri Swiss berubah menjadi kerajaan. Baiklah, sepanjang kita akan sampai di pantai utara aku puas."
"Kamu salah mengerti. Aku bukan Pangeran, melainkan Panga- reran."
"Tapi aku tidak tahu harus berperan sebagai apa."
"Baiklah, seorang Pangareran tidak akan menunaikan tugasnya tanpa disertai seorang ulama yang membacakan doa; dan sobat Arab?ku yang terhormat, peran itu untuk kamu sekarang."
Si Walloon menarik serbannya, berpikir sejenak dan berkata, "Tapi kupikir orang-orang Dayak itu kafir. Doa Islam tidak pada tempatnya."
"Sebagian besar Pangareran adalah orang Melayu, dan karena itu beragama Islam. Kamu tahu, tidak seorang Dayakpun diizinkan menangkap buaya."
"Mengapa?" "Karena Jata, saudara Mahatara, dewa orang Dayak, adalah bapak semua buaya. Walau dibayar kekayaan seisi dunia pun orang Dayak tidak mau membunuh binatang ini kecuali terpaksa karena balas dendam darah, yaitu bila salah seorang anggota keluarga, teman, atau tetangga telah ditelan. Maka ia membayar orang Melayu untuk membunuh si penyerang."
"Tapi bagaimana mereka menemukan penyerang sesungguhnya" Di sungai ini banyak buaya."
"Sudah jelas bahwa dalam perburuan semacam itu banyak anak- anak Jata yang tidak bersalah akan mati, tapi orang Dayak tampak?nya tidak begitu peduli. Mereka tidak akan meninggalkan perburuan sampai mereka menangkap seekor yang di dalam perutnya ditemu?kan sisa-sisa korban. Kamu masih ingat ketika gadis kecil Dayak yang manis, si Kecil Bingis, disergap seekor buaya di benteng Kuala Kapuas" Aku kira waktu itu kita membunuh sekitar 50 ekor buaya, dan pada akhir minggu keenam kita menangkap seekor buaya besar yang di dalam perutnya ditemukan segunduk hampir utuh rambut manusia dan gelang-gelang tembaga yang dikenakan oleh gadis itu. Itu yang mengakhiri perburuan."
"Aku tidak ingat itu" Bukankah aku yang membantu para serda?du Jawa memasak lemak bangkai-bangkai buaya sebagai bahan bakar lampu-lampu mereka pada malam hari" Dan bukan main lunaknya lemak itu, lebih lunak daripada lemak babi terbaik. Aku bermaksud menyimpan sedikit lemak itu untuk membalur kaki dan tanganku jika gatal-gatal karena kedinginan."
"Baiklah, dengarkan sekarang. Nanti aku akan memasang kail- kail dan kamu harus hadir. Kamu sudah cukup banyak istirahat, kan?"
"Ya. Tapi kenapa kamu ingin aku hadir ketika kamu memasang kail-kail itu?"
"Kamu akan lihat nanti. Tugasmu cukup ringan; hanya menggu?mamkan beberapa doa, dan karena mungkin kita akan melakukan sendiri seluruh pekerjaan, kamu bisa tidak melakukannya. Tapi ingat! Jika kebetulan kita menangkap buayanya, kamu harus berdoa sepantasnya besok. Kamu harus memantrai binatang itu, karena ka?lau tidak, kecelakaan buruk bisa menimpaku. Ini ada sepotong pidato bahasa Melayu Roorda van Eisinga; ini dapat digunakan sebagai Al- Quran"bentuknya sudah cukup lusuh."
Setelah percakapan ini keduanya mengikuti teman-teman mere?ka, membungkus diri dengan selimut dan tidur.
Ketika talutuk, sejenis burung hantu dengan bulu hitam lembut, sayap dan ekor merah, menyuarakan bunyi kuk-kuk yang syahdu pada tengah malam, Yohanes memberi tanda kepada si Walloon dan membangunkan seorang dari kedua orang Swiss itu guna berjaga demi keamanan semuanya. Kemudian mereka menaiki satu jukung yang di dalamnya terdapat rotan-rotan panjang yang diikat dan membentuk
tali-tali yang panjangnya 30 sampai 40 yard; di ujung tali-tali itu terdapat kail-kail besi kokoh yang panjangnya sekitar satu setengah kaki dan tebalnya sekitar satu inci. Setelah menyalakan lampu kecil mereka memasang umpan berupa itik-itik hidup pada kail-kail. Kail- kail dan itik-itik itu diikatkan sedemikian rupa di satu rakit kecil dari batang pisang sehingga itik-itik itu tetap mengambang di atas permukaan air. Segera setelah mereka selesai Yohanes memadamkan lampu. Kemudian mereka mengapung pelan-pelan dan tanpa berisik ke hilir sungai, dibimbing ribuan kunang-kunang yang berkelap-kelip di atas dedaunan pohon-pohon yang berbaris sepanjang anaksungai seperti percikan-percikan cahaya yang kesepian.
Mereka memasang beberapa kail di arus utama sungai dan meng?ikatkan ujung-ujung tali rotan pada sebatang kayu yang besar, yang ditambatkan pada beberapa cabang pohon di tepi sungai dengan cara sedemikian rupa sehingga dengan sedikit tarikan cabang-cabang itu akan patah dan batang kayu itu mengambang. Mereka juga menem?patkan peralatan yang sama di muara sungai dan sisi barat Pulau Kanamit. Setelah semua dipasang, kedua orang Eropa itu mendayung ke tempat mereka semula tanpa berisik dan pergi tidur.
Segera setelah matahari terbit dengan segala kemegahannya, para penghuni rumah dan orang-orang yang berada di dalam sampan dibangunkan oleh beberapa anak yang telah pergi ke sungai. Mereka membawa kabar tentang hilangnya satu umpan yang dipasang di muara sungai kecil. Mereka juga melihat jauh di hulu sungai sepotong kayu yang tampaknya diseret paksa melawan arus pasang.
Setelah mendengar laporan ini, semua orang bersiap-siap, dan segera setelah sarapan disiapkan, mereka membawanya ke jukung dan segera menghilang dari pandangan dua orang Swiss yang berjaga di belakang.
Umpan yang dipasang di mulut sungai kecil telah hilang, termasuk kail dan tali rotan. Maka dilakukan pencarian secara teliti, dan segera terlihat sepotong kayu besar ditarik-tarik dengan paksa melawan pasang ke utara pulau seperti yang diceritakan oleh anak-anak.
Dalam waktu singkat jukung-jukung telah mencapai potongan kayu itu. Semua tangan memegang tali dan menarik, dan tampaklah seekor binatang yang panjangnya paling sedikit 20 kaki. Sewaktu ditarik ke permukaan, binatang itu meloncat keras, menampakkan seluruh tubuhnya dan mencoba melepaskan diri atau memutuskan
kail. Binatang itu memecut air dengan ekornya dan meloncat ke depan dengan kekuatan besar sehingga orang-orang terpaksa mele?paskannya agar jukung-jukung mereka tidak terbalik. Mereka tak sempat menarik lagi potongan kayu itu. Walaupun demikian mereka mengambil dayung mereka dan terus mengikuti dengan tatapan mata. Ketika binatang buas itu bergerak setengah jam, laju potongan kayu itu tampak mulai berkurang dan akhirnya berhenti di atas permukaan air. Jukung-jukung itu kini mendekat lagi dan para penumpangnya se?gera berusaha menarik kembali buaya itu dari dalam sungai. Binatang itu melawan lagi, berputar ke sekeliling tali dan memecut air dengan keras hingga menjadi percikan buih. Kemudian ia mulai bergerak dan dengan marah mencoba menenggelamkan sampan-sampan itu ke dasar sungai. Tetapi akhirnya perlawanan buaya itu melemah dan tiba saatnya diseret ke dekat Pangareran dan pembantunya, yang akan melaksanakan tugasnya. Sampan di mana Pangareran dan pembantunya duduk mendekat ke samping buaya. Pangareran kini menyatakan maafnya kepada orang-orang Dayak karena terpaksa membunuh buaya, anak Jata, saudara Mahatara, yang mahakuasa. Ia juga harus mengemukakan alasan bahwa mereka terpaksa membalas dendam karena salah seorang anggota keluarga mereka telah dibunuh. Ungkapan ini perlu untuk memuaskan takhayul orang Dayak.
Sang ulama, pembantu Pangareran, lalu membacakan bebe?rapa doa dari Al-Quran, dan setelah itu mereka berdua naik ke atas punggung buaya yang kehabisan tenaga dan kini tergolek tidak ber?daya di samping sampan. Lantas Pangareran mengatupkan mon?cong binatang yang menakutkan itu dengan buhul rotan yang kuat agar tidak melukai dia, dan sang ulama membantunya dengan doa selama pekerjaan berlangsung. Biasanya pekerjaan semacam ini tidak berbahaya jika dilakukan dengan tenang dan cekatan. Yohanes telah meloncat dengan kaki telanjang di atas kepala reptil itu dan siap membungkam mangsanya ketika orang-orang Dayak berteriak mengingatkan dia supaya berhati-hati karena sang ulama belum menyusulnya. Pada saat itu La Cueille mengumpulkan seluruh kebe?raniannya untuk membantu Yohanes dan naik ke kulit binatang yang licin itu. Kakinya terpeleset dan ia pun jatuh. Menyaksikan gerak salto yang kaku semacam itu, orang-orang Dayak, meskipun khusuk dalam peristiwa seperti itu, tidak dapat menahan diri untuk tidak tertawa terbahak-bahak.
Buaya, yang menjadi marah karena kejutan terakhir ini dan dibuat gila oleh rasa sakit yang bertambah karena kail dalam kerong?kongannya, mengerahkan seluruh sisa tenaganya dan menyentakkan tali celaka itu, memukul air keras-keras dengan ekornya. Si Walloon mencoba berada di atas punggung buaya, tetapi karena kulit buaya itu licin dan punggungnya tajam, ia kehilangan keseimbangan dan cepat tercebur ke dalam air.
Yohanes juga mencoba mempertahankan posisi duduknya dengan menusukkan jari-jarinya ke bola mata buaya itu. Murka karena menahan rasa sakit, binatang itu menyentak keras, memu?tuskan tali rotan yang terikat pada sampan dan menghilang beserta penunggangnya ke dasar sungai. Tetapi ini adalah usaha terakhir, karena tidak berapa lama kemudian gelembung-gelembung udara yang besar naik ke permukaan sungai dan tubuh buaya itu tampak mengambang dengan perutnya yang berwarna kuning terbalik ke atas, memperlihatkan sejumlah luka tusukan pisau segitiga kecil karena tikaman tangan Yohanes yang kuat.
Ketika muncul di permukaan Yohanes dengan cepat melempar?kan pandangan ke sekitar mencari temannya, si Walloon, yang segera dilihatnya setengah tenggelam. Ia berenang untuk menolong si Walloon dan dengan cepat berhasil menariknya ke sampan terdekat.
Tindakan pertama-tama yang dilakukan oleh La Cueille adalah bersyukur secara khusus kepada Perawan Suci karena lolos dari maut. Tetapi sayang! Orang suci yang malang itu kehilangan "Al- Quran", tasbih, dan sandalnya. Sandalnya, karena mengambang, dapat diambil kembali, tetapi "kitab suci" dan tasbih tenggelam ke dasar sungai.
Bangkai buaya didaratkan dan dibedah. Di dalam perutnya dite?mukan segunduk rambut manusia, sebentuk cincin emas bertatah?kan batu permata indah dan seuntai tasbih. Yang terakhir ini adalah barang-barang milik Haji yang telah ditelan dan membuktian tanpa sangsi lagi bahwa pembunuhnya telah ditemukan dan dijagai.
Kini kegembiraan merajai. Balas dendam telah dipenuhi dan per?buruan dianggap selesai. Sebagai tanda terimakasih, Ali Bahar mem?beri hadiah kepada Pangareran yang gagah-berani itu cincin, semen?tara si "Arab" menerima tasbih sebagai ganti tasbihnya yang hilang.
Yohanes tampak sangat terkesan dan bergumam di dalam hati sambil mengamati cincin itu dengan cermat,
"Demi Tuhan, aku tidak akan berpisah dengan kenang-kenangan ini, yang hampir merenggut nyawaku. Aku tidak dapat menyom?bongkan keberuntunganku di Pulau Kanamit; ini adalah kehadiranku yang kedua dan kedua-duanya aku nyaris mati."
La Cueille membungkuk dengan khusuk, membuat tanda salib dan berjanji dengan sungguh-sungguh akan menyerahkan rosario (tasbih) itu kepada Bunda Suci segera setelah ia kembali dengan selamat ke negeri asalnya.
"Pada saat itu kamu telah mengumpulkan sejumlah koleksi yang menarik," kata Yohanes, "dan Notre Dame akan tampak gembira jika kamu berhasil membawa kepalamu pulang."
"Kamu boleh tertawa, kafir berkulit kopi! Aku benar-benar berdoa sepanjang waktu, dan aku betul-betul yakin bahwa tanpa kehadiranku kamu kiranya akan...."
"Berada di dalam air, sahabatku Arab hitam!" Yohanes tertawa ramah. "Bagaimanapun, kita berdua telah melaksanakan tugas kita; kamu dengan doamu dan aku dengan pisauku; semuanya berakhir dengan baik."
Tengah hari telah lama lewat ketika para pemburu buaya itu kembali ke kediaman tuan rumah. Penduduk asli sibuk menguliti binatang tangkapan itu, yang segera dapat dirampungkan. Tulang- belulangnya dipajang di empat tempat di muara sungai, yang diber?sihkan secara khusus untuk itu. Untuk membuat piala kemenangan itu lebih menarik, Ali Bahar meletakkan satu tengkorak manusia di antara taring-taring kepala raksasa buaya itu. Banyak tanda ke?menangan semacam itu di daerah Dayak, di tepi-tepi sungai. Di situ tidak saja dipajang tulang putih buaya, tetapi juga babi hutan untuk mengenang sejarah keberanian manusia membinasakan binatang- binantang itu; bahkan di tanah-tanah kuburan, tulang-tulang bina?tang buas itu dipasang sebagai monumen bagi mereka yang telah berhasil membunuh binatang-binatang itu.
Piala-piala ini tidak terbatas hanya pada binatang-binatang hina seperti buaya dan babi hutan. Di daerah-daerah hilir, di mana Belan?da melarang keras pengayauan, tengkorak manusia dihargai tinggi sekali dan dipajang dengan kebanggaan sebagai tanda keberanian penduduk pribumi. Tetapi bila seorang Dayak ditanya mengenai asal-usul tengkorak itu, dia akan pura-pura menjawab bahwa ia
mendapatkan warisan dari ayahnya, suatu penjelasan yang sama- sekali tidak meyakinkan.
Setelah makan besar, para petualang itu bersiap melanjutkan perjalanan, dan ketika matahari terbenam mereka berangkat menuju ke arah utara.
Ketika sampai di Sungai Kapuas, air pasang naik berlangsung cepat. Mereka tahu itu, karena dengan hanya menggunakan dua pendayung saja sudah diperoleh kecepatan yang cukup, sehingga memungkinkan sampan mencapai Sungai Mentangi. Bahkan jika seandainya pun mereka salah perhitungan dan pasang surut sudah berlangsung sebelum mereka sampai ke sungai itu, mereka hanya tinggal mengerahkan semua pengayuh untuk mengganti waktu yang hilang. Karena itu mereka mengusulkan dua orang Dayak yang mengayuh, sementara yang satu lagi mengemudikan. Pengemudi diperlukan karena pada perahu Dayak tidak pernah ditempelkan kemudi.
La Cueille masih ingat bagaimana ia diperlakukan buruk berkaitan dengan minuman dan mengutuk Yohanes karena telah menunjuk dia berperan sebagai orang Arab. "Aku yakin," katanya, "segelas tuak akan menyegarkan setelah aku basah-kuyup."
"Mungkin; tapi melanggar ajaran Al-Quran tentu akan menim?bulkan kecurigaan, dan kita belum cukup jauh dari Kuala Kapuas," kata Yohanes bersungguh-sungguh. "Tapi," ia melanjutkan, "karena sekarang tidak ada yang mengawasi, aku tidak keberatan kamu minum sepuasmu, asal kamu menyerahkan botol itu ke tanganku. Tentu saja kamu pantas memperoleh minuman hari ini."
Sesuai dengan ucapannya, Yohanes mengambil satu botol persegi di bawah tempat duduk di mana La Cueille berbaring, menuangkan isinya segelas penuh dan menyerahkannya kepada si Walloon, yang menyambutnya dengan sigap dan mengosongkan isinya dalam sekali tenggak sambil mengecap-ngecapkan bibirnya.
"Wah! Ini tuak enak; belum pernah aku mencicip tuak semacam ini sebelumnya," katanya sambil menghela napas.
"Ini disuling dua kali," jawab Yohanes.
"Berikan aku sedikit lagi," si Walloon memohon.
"Sabar, Teman. Yang lain juga harus mendapat giliran. Lihat bagaimana orang-orang Dayak itu memandang; ah, mereka juga para peminum."
"Dari apa mereka suling tuak ini?" tanya Wienersdorf.
"Tuak dibuat dari beras," Yohanes menjelaskan, "dan terutama beras ketan, satu jenis beras yang lengket dan menjadi kental ketika dimasak. Mereka membuatnya sebagai berikut: mula-mula mereka membuat adonan asam yang disebut ragi, terdiri atas gerusan wortel, lada, parutan pisang, dan gula. Kemudian beras ketan ini dengan hati-hati dicampur dengan ragi dalam satu belanga besar dan seluruh campuran itu dijemur di terik matahari selama tiga hari. Lalu mereka tuangkan air ke dalam belanga itu dengan ukuran satu gantang air untuk satu gantang beras ketan. Kemudian mereka biarkan belanga itu meragi dalam terik panas matahari selama dua hari dan kemudian menyaring cairannya dengan kain kanvas. Cairan ini disebut tuak." "Tapi bagaimana bisa cairan itu begitu keras seperti yang baru kita cicipi tadi?" Wienersdorf bertanya. "Menurut penjelasanmu, prosesnya adalah dimasak, bukan disuling."
"Dengar; untuk membuat tuak lebih keras, orang-orang Dayak memasaknya dalam satu panci yang ditutupi dedaunan dan memiliki lubang bambu yang diletakkan dalam posisi horizontal. Uapnya mengalir melalui lubang bambu ini dan mengembun, dan cairan hasil pengembunan itu dikumpulkan lagi di dalam periuk tanah. Karena itu tersuling. Orang Dayak menamakannya arak; dan salah satu botol arak ini diberikan padaku oleh Ali Bahar."
Ketika para musafir itu selesai dengan percakapan mereka yang menarik tentang tuak, Yohanes mengulang semua informasi me?ngenai diri mereka dan tujuan perjalanan mereka, yang dengan ter?paksa telah ia sampaikan kepada tuan rumah mereka sebelumnya. Mereka menyatakan bahwa mereka dalam perjalanan ke Kapuas hulu untuk berdagang dengan orang Olo Ot; bahwa Syekh Mohamad Al Mansur mengikuti mereka untuk mengenal daerah-daerah itu, dan bermaksud kembali lagi kelak dengan barang dagangan kain cita; dan kedua orang Swiss itu adalah pelayannya, dan Dalim beserta kedua orang Dayak lainnya disewa sebagai pendayung selama mereka menempuh perjalanan. Atas tencana ini, Yohanes menyarankan kepada mereka untuk diikuti di mana saja mereka bersua dengan orang asing. Ini tidak merugikan persahabatan mereka, karena Yohanes bukanlah orang yang akan menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan kepada dia; sementara saling pengertian dituntut di
antara mereka, masing-masing juga dituntut untuk berinisatif dan bertindak cekatan.
Demikianlah, tengah malam mereka lewati, dan kira-kira pada jam satu dini hari mereka sampai di tujuan akhir perjalanan hari itu, Sungai Kuala Mentangi. Jauh sebelum melihat muara sungai mereka mendengar bunyi titih; dan ketika memasuki sungai dan mendekati rumah-rumah yang didirikan di sepanjang tepi sungai, terdengar suara-suara lain sehingga mereka harus bergerak dengan hati-hati.
Dari segala penjuru terdengar jerit para perempuan dan anak- anak, menandakan ketakutan yang amat sangat. Beberapa obor terlihat di kejauhan, dan para perempuan berlarian ke arah satu rumah di mana mereka berkumpul sambil menjerit ketakutan. Sampan segera disembunyikan di antara semak-belukar dan Dalim mendarat untuk mengetahui apa gerangan penyebab ketakutan yang sangat itu. Yang lain tinggal di sampan, hanya menduga-duga makna kepanikan yang terjadi saat itu. Mereka semua menduga sesuatu yang penting telah terjadi, dan mereka takut menjadi korban pengayauan. Tetapi ketakutan ini segera sirna ketika Dalim muncul dan meminta teman-temannya untuk mendarat dengan membawa serta mandau mereka. La Cueille, karena sampan tidak dapat ditinggalkan begitu saja, tinggal bersama seorang Dayak. Yang lainnya bergabung de?ngan Dalim, dan mereka semua merangkak maju ke arah obor-obor, bergerak di bawah lindungan semak-semak, dan kini mereka melihat ada tigapuluh orang perempuan dan anak-anak berlarian dengan sangat ketakutan. Setelah maju lebih dekat lagi mereka dapat me?lihat seekor ular raksasa yang panjangnya lebih daripada 30 kaki dan besarnya sepinggang orang sedang bergeliang-geliut, bergerak naik- turun sangat tidak lazim dan terlihat tidak beranjak dari tempatnya, seakan-akan ular itu terjerat dalam suatu lingkaran. Dengan menilik lebih dekat lagi tampaklah bahwa ular itu terjerat dan terikat di seutas tali rotan yang telah dilemparkan oleh para perempuan itu pada seba?tang pohon. Tetapi mereka tidak berani menarik kuat tali rotan itu, sehingga ular itu masih bebas bergerak dalam satu lingkaran besar.
Itu adalah seekor boa konstriktor, ular piton berukuran raksasa, yang menggeliat dengan ganas, mencoba melepaskan diri dari tali rotan atau pohon. Tetapi usahanya sia-sia. Gerakan-gerakannya membuat para perempuan menjaga jarak, karena tidak seorangpun
di antara mereka punya cukup keberanian membunuh reptil itu meskipun semua memegang mandau terhunus.
Ketika para musafir berdiri memandang dalam kebisuan, ular itu mulai membuat gerakan kilat ke depan dan menangkap seorang anak laki-laki yang menghampiri terlalu dekat. Anak malang itu meraung dan mendeguk di dalam lilitan yang fatal itu. Para perem?puan menjerit ngeri, sementara ibu anak yang malang itu berlutut, menengadahkan kedua tangannya, memohon kepada binatang itu untuk melonggarkan lilitannya dan tidak menyakiti anaknya.
Sambil mengangkat tinggi-tinggi anak itu ke udara, ular itu ber?usaha menggapai pohon. Usahanya mula-mula gagal, karena tali rotan itu tidak cukup lentur. Tetapi akhirnya ia berhasil menggapai dahan, yang dibelitnya dua atau tiga kali. Dalim, dengan mandau di tangan, meloncat ke depan di antara kelompok perempuan yang menjerit; tetapi sebelum ia dapat mencapai ular itu, derak tulang patah terdengar bercampur dengan jeritan korban yang sekarat, yang diremukkan pada pohon seperti di penggilingan.
Dalim maju dengan berani ke arah ular dan mengayunkan satu tebasan terhadap ular itu tanpa menimbulkan luka. Mengetahui ada lawan baru, reptil itu dengan cepat melepaskan pagutannya terha?dap anak itu, yang rebah tak bernyawa ke tanah, dan menyerang orang Dayak itu, memagutnya dengan belitan yang mematikan dan melilitnya dengan keras sehingga ia terengah-engah. Tampak dada Dalim seolah dijepit sebuah ragum yang kokoh. Dalam perjuangan hidup-mati itu Dalim mengayunkan tebasan-tebasan tanpa mengenai sasaran. Sialnya, salah satu tebasannya mengenai tali rotan sehingga membebaskan binatang itu, dan binatang itu membelitkan ekornya yang ada di dahan pohon untuk meremukkan orang Dayak itu seperti meremukkan anak kecil tadi.
Kematian Dalim kiranya tidak dapat dihindarkan lagi jika Wienersdorf dan Yohanes tidak maju untuk menyelamatkan dia. Mereka menyerbu ke arah ular itu dan mencoba mengalihkan per?hatian binatang itu ke arah mereka. Binatang itu melepaskan diri dari Dalim dan menerkam Wienersdorf, menggigitnya di antara leher dan bahunya. Yohanes kini menebas dan mengoyak-goyak binatang itu dengan sengit hingga binatang itu lari dan hampir lolos karena kebodohan para perempuan itu. Mereka, dalam kepanikan, telah menjatuhkan obor-obor dan membiarkan diri dalam kegelapan
yang pekat; tetapi tepat pada saat itu Schlickeisen beraksi. Ia juga telah mendekat untuk membantu Dalim, tetapi ia berhenti untuk mengangkat anak yang terkapar gepeng itu. Tetapi menyadari tidak dapat berbuat apa-apa lagi, ia alihkan perhatian ke arah ular yang kini telah menghilang dalam kegelapan. Ia menyerahkan anak itu kepada ibunya, memungut salah satu obor yang masih menyala dari tanah dan mengejar Yohanes dan ular. Beberapa tebasan yang diarahkan dengan tepat, dengan ayunan tangan yang perkasa, segera mengakhiri pertarungan itu. Kepala ular itu telah dipancung hingga putus dari tubuhnya, dan reptil yang tadinya sangat kuat itu berubah menjadi onggokan daging yang tidak bergerak.
Ketiga orang Eropa itu berjabat tangan di atas tubuh ular dan saling mengucapkan selamat atas hasil pergulatan yang sengit itu. Dalim juga mendekat dan mengucapkan terimakasih kepada mereka dengan tulus. Ia meyakinkan teman-temannya bahwa ia berutang nyawa berkat bantuan mereka yang tepat pada waktunya, dan selan?jutnya mereka dapat menaruh kepercayaan penuh kepada dia; ia akan menemani mereka sampai ke Singapura dan tinggal bersama mereka sampai mereka dapat menjalani lagi kehidupan sebagai orang-orang merdeka.
Setelah ular itu dikuliti sebagaimana semestinya, para perem?puan di kampung itu menceritakan kepada para musafir bahwa sua?mi-suami mereka tidak berada di tempat karena sedang mengumpul?kan damar. Pada malam sebelumnya seorang perempuan tua terjaga dari tidurnya karena merasakan ada yang menindih perutnya; ia mengulurkan tangannya dalam gelap untuk mengetahui apa gerangan yang menindih dia, dan ia merasakan suatu benda yang dingin dan lembab bergerak ketika ia menyentuhnya. Ia segera meloncat, menjerit ngeri, dan berteriak minta tolong. Para tetangga segera datang memberikan pertolongan, tetapi kelap-kelip lampu mereka tidak memperlihatkan apa-apa kecuali satu gumpalan hitam yang merayap di sepanjang lantai dan akhirnya lenyap dalam gelap. Ketika memasuki kamar tempat perempuan tua itu tidur, mereka temukan suami perempuan itu mati dengan luka menganga di bawah rusuknya, cukup besar untuk dimasuki kepala manusia. Teka-teki itu sekarang terungkap sudah. Kampung itu telah kedatangan seekor ular piton, suatu hal yang sungguh jarang terjadi di daerah berawa ini. Para perempuan itu, karena tidak dapat berunding dengan para suami
mereka, mencari akal untuk memasang perangkap dengan umpan seekor kera hidup yang diikatkan di satu pengait"dan hasilnya seekor ular piton tertangkap pada malam berikutnya. Karena pada hari sebelumnya makan malamnya terganggu, rasa lapar ular itu belum terpuaskan dan binatang itu pun terjerat.
Setelah cerita itu Yohanes menjawab pertanyaan-pertanyaan pa?ra perempuan itu mengenai dari arah mana mereka datang. Ia baru saja menceritakan kepada mereka bahwa mereka datang ke hulu ne?geri untuk berdagang ketika suara tajam "leeeeh, lelelele, ouiiiit" ter?dengar dari arah sampan mereka, disusul beberapa suara tembakan senapan. Suara senapan itu menimbulkan perasaan cemas yang sangat. Mereka bergegas pergi dan menjumpai La Cueille dan orang Dayak yang menjaga sampan terlibat perkelahian dengan penum?pang beberapa jukung. Siapa para penyerang itu, untuk sementara, tidak dapat dipastikan. Para petualang itu meloncat ke dalam sam?pan, mengambil senapan dan menembak seperti mengusir seluruh tentara. Serangan gencar mereka membuat para penyerang segera melarikan diri.
Setelah jukung-jukung itu mundur, para petualang itu mencoba mencari tahu dari mana gerangan serangan itu datang.
Sambil memanggil beberapa orang perempuan yang membun?tuti mereka, Dalim menanyakan apakah mereka tahu siapa para penyerang itu.
"Orang-orang itu adalah para pencari damar yang baru saja pulang," kata salah seorang perempuan. Kemudian sambil meninggi?kan suaranya ia memanggil:
"Ooooh Mihing!!" Terhadap seruan Mihing ini, barangkali sua?minya, terdengar dari dalam hutan seruan "Ooooh" serupa.
Mereka segera memperoleh semua rincian mengenai serangan yang keliru itu. Beberapa sampan telah mendahului para pengumpul damar, dan ketika mendekati kampung mereka mendengar jeritan para perempuan. Takut kalah banyak, mereka kembali memanggil teman-temannya dan dengan demikian jumlah mereka bertambah. Mereka lihat satu sampan disembunyikan di antara semak-belukar dekat kampung, dan mereka yakin sekelompok pengayau telah menghilir Sungai Dusun dan Sungai Mentangi dan mereka sedang sibuk menyerang istri dan anak-anak mereka.
Karena itu orang-orang yang ketakutan tersebut mencoba mendekati sampan ini, tetapi disambut oleh La Cueille, yang telah mengamat-amati mereka dengan curiga. Untuk menjawab "Siapa itu?" dengan teriakan menantang, ia menembak orang-orang yang mendekat. Karena itu orang-orang Mentangi mundur ketakutan, tetapi mereka segera sadar untuk bersatu kembali dan melanjutkan penyerangan. Mereka memekikkan teriakan perang dan merangsak maju dengan jukung-jukung mereka, disambut dengan tembakan senapan yang kedua. Beberapa di antara mereka terluka parah dan lari lagi. Segera saja tidak ada satu jukungpun yang tampak; tetapi bahwa mereka tidak jauh tampak dari jawaban segera Mihing atas seruan istrinya.
Orang-orang Mentangi itu berterimakasih atas bantuan para buronan kepada istri-istri mereka dalam perkelahian melawan ular. Meskipun demikian Demang Surah menggelengkan kepalanya dengan ragu-ragu dan berpendapat para musafir itu lebih baik pergi secepat mungkin. Dalam penembakan yang fatal itu darah telah tumpah, dan "jeritan darah dibalas darah" katanya. Ia menyarankan dengan sungguh-sungguh kepada mereka untuk segera berangkat agar lolos dari akibat-akibat nafsu balas dendam yang pasti segera tersulut di antara penduduk asli itu.
Para desertir melihat arifnya nasihat itu dan meninggalkan Su?ngai Mentangi sebelum hari merekah untuk melanjutkan perjalanan ke arah utara melalui Sungai Kapuas.
Gigitan ular piton di leher Wienersdorf ternyata lebih menya?kitkan daripada berbahaya. Setelah dirawat oleh Dalim, yang mena?pai Wienersdorf dengan dedaunan, rasa sakit itu mereda dan orang Swiss tersebut kembali siap memegang dayung keesokan paginya.
Dalim tampaknya selamat dan hampir tidak cedera akibat pagut?an ular: ia hanya mengeluh sedikit kaku di bagian persendian-per- sendiannya dan meregangkan lengan dan kakinya berulang-ulang, menggerakkan badannya ke belakang dan ke depan beberapa kali. Ia kemudian meminta kepada para desertir semangkuk tuak dan menyatakan dirinya lumayan sembuh.
"Aku harap kita akan beruntung bertemu dengan ular piton lagi," kata Schlickeisen.
"Harapan yang bagus; dan tolong katakan, untuk apa?"
"Karena aku menyesal telah meninggalkan binatang yang telah mati itu."
"Astaga! Apa yang hendak kamu lakukan dengan bangkai itu" Kita hampir tidak punya tempat untuk bangkai itu di sini."
"Benar, tapi kita dapat kuliti dan membuat kotak cerutu atau dompet dari kulit."
"Jika saja aku punya kulit itu," kata La Cueille, "aku akan...."
"Tentu, membawanya pergi dan menghadiahkannya pada Notre Dame," Wienersdorf menyela.
"Sebagai tambahan untuk rosario," Yohanes melanjutkan, "aku yakin kulit itu akan menjadi hiasan altar; dan itu akan mencengang?kan para jemaah!"
"Diam, kafir sialan! Jangan meledek benda-benda suci," teriak si Walloon. "Kita masih sering memerlukan bantuan Tuhan, dan aku berdoa dengan khusuk pada Bunda Suci agar kita senantiasa di bawah lindungannya."
"Amin!" Bab 6 MESKIPUN para buronan itu sudah berada dalam perjalanan lagi, ini bukan petualangan yang terakhir. Beberapa orang Dayak telah terluka dalam perkelahian, dan karena mereka juga tahu pem?bedahan, mereka putuskan untuk membawa para korban ke benteng dan meminta pertolongan pada orang-orang Belanda.
Tidak ada balas dendam terhadap pertumpahan darah yang ter?jadi, karena orang-orang asing itu telah pergi tanpa meninggalkan jejak ke arah mana mereka menuju. Kepala kampung, khawatir dendam penduduknya akan melibatkan dia dalam kesulitan yang serius dengan Belanda, memberitahu penduduknya bahwa sampan yang membawa para buronan telah berlayar menghulu Sungai Mentangi untuk mencapai Sungai Dusun.
Ketika orang-orang yang terluka itu tiba di Kapuas mereka segera dirawat oleh dokter bedah. Luka-luka mereka tampak akibat peluru dan samasekali berbeda dengan luka akibat mandau atau tombak pribumi. Kenyataan ini menimbulkan keheranan dan kecu?rigaan. Mereka menceritakan peristiwa ular piton, dan mengatakan bagaimana para suami dari Kampung Mentangi menganggap para penolong istri mereka sebagai para pengayau; bagaimana kekeliruan ini menimbulkan perkelahian dan bagaimana mereka terluka dan melarikan diri karena tembakan gencar senapan. Informasi bahwa para penyerang mereka adalah para saudagar Dayak yang sedang dalam perjalanan menuju ke Dusun Hulu melalui Sungai Mentangi tidak dipercaya oleh Kolonel; sebaliknya, ia juga tidak curiga para desertir berada di wilayah itu. Baru sehari sebelumnya ia kembali dari Laut Jawa dalam usahanya menangkap kembali mereka. Ia gagal, tetapi dalam pikirannya ia yakin telah mengikuti jejak mereka dengan benar.
Pada pagi hari menyusul peristiwa desersi itu, Kolonel telah sibuk sendiri. Lama sebelum matahari terbit ia mengunjungi Temenggung Nikodemus Jaya Nagara. Setelah membuat beberapa persiapan ia memimpin sejumlah besar orang Dayak, membagi-bagi mereka dalam beberapa sampan, dan dengan ditemani oleh Temenggung ia menuju ke arah laut.
Setelah melewati satu pulau kecil di Sungai Dayak Kecil mereka menemukan satu sampan yang telah rusak berat akibat tembakan- tembakan dari benteng malam sebelumnya. Tetapi karena awak sampan itu tidak tahu soal para desertir, tidak ada informasi yang dapat diperoleh. Mereka hanya dapat menunjukkan mayat dan orang yang terluka dan menjelaskan bagaimana sampan yang membawa keranda telah lenyap dalam kegelapan di hilir sungai. Mereka sangat ketakutan dan bahkan sampai saat itu ketakutan mereka belum lenyap samasekali. Akan tetapi setelah lama berbincang, mereka yakin atas keselamatan mereka dan yang terluka dijamin akan dibawa ke benteng untuk dirawat.
Semua anaksungai dan semua sungai diperiksa, pulau-pulau ke?cil dijelajahi, tetapi tidak ditemukan sesuatu yang mencurigakan. Ketika Kolonel mendekati muara Terusan ia perintahkan sebagian orangnya menelusuri kanal dan bergabung kembali dengan dia di muara Sungai Kahayan. Jika perintah ini dilaksanakan, para bu?ronan kiranya dapat ditangkap. Tetapi sebelum perintah itu benar- benar dilaksanakan, sampan yang membawa Temenggung, seorang sahaya yang amat dipercaya, muncul di muara Terusan, dan dia me?ngatakan tidak menjumpai satu sampanpun. Karena itu jelas para buronan tidak menempuh jalan tersebut. Penyusuran diteruskan ke muara Sungai Dayak Kecil. Pencarian di anaksungai-anaksungai serta cabang-cabangnya memakan banyak waktu sehingga hari telah petang sebelum mereka mencapai Laut Jawa.
Kolonel kini mengamati cakrawala dan melihat dua kapal pen?jelajah sedang membuang jangkar. Di sebelah baratdaya satu perahu sedang berlayar menentang angin, tetapi begitu melihat armada kecil Kolonel, perahu tersebut membentangkan seluruh layarnya dan mencoba melarikan diri. Ini memperkuat dugaan Kolonel bahwa para buronan berada di atas perahu itu. Bahkan Temenggung mengatakan
bahwa tampaknya seperti perahu yang membawa mayat korban kolera. Mengenai siapa para pendayungnya, Temenggung tidak memperoleh gambaran apapun. Ia tahu ketakutan terhadap wabah yang mematikan ini merasuki orang-orangnya, dan kenyataan ini menambah keragu-raguannya.
Kolonel memerintahkan melepaskan beberapa tembakan untuk menarik perhatian kapal-kapal penjelajah dan mengibarkan bende?ra-bendera kebangsaannya. Komandan masing-masing kapal tam?paknya memahami apa yang diharapkan dari mereka. Mereka segera menaikkan jangkar dan berlayar menuju ke armada kecil Kolonel.
Kolonel naik ke salah satu kapal dan memerintahkan semua layar dipasang. Ia juga memerintahkan untuk melepaskan tiga tembakan peluru kosong sebagai tanda agar perahu yang dicurigai berhenti. Akan tetapi jangankan mematuhi, perahu itu malah menambah layarnya dan mengerahkan seluruh dayungnya. Ketika pertama kali diamati, perahu itu hanya membawa empat pengayuh, tetapi kini dalam pelariannya tampak perahu itu dijejali orang.
Kolonel memerintahkan para penembak meriam mengisi peluru, memutuskan untuk menunjukkan bahwa ia tidak main-main. Tetapi peluru-peluru meriam tiga pon hanya memantul di air dan meledak dengan letusan-letusan keras; jarak terlalu jauh. Jumlah orang yang ada di perahu itu menimbulkan kecurigaan Temenggung juga, teta?pi ia katakan bahwa tidak mungkin itu perahu yang membawa para buronan, dan mereka berada pada jejak yang salah. Jika perahu itu mengambil muatan di Kuala Kapuas dengan demikian banyak pen?dayung, mustahil itu tidak diketahuinya selaku Temenggung.
Akhirnya Kolonel memutuskan untuk menyuruh salah satu kapal penjelajah mengejar perahu buronan itu, sedangkan yang satu lagi tetap tinggal untuk membantunya memeriksa pantai.
Selagi memberikan perintah, terdengar teriakan dari salah satu sampan di sekitar bahwa ada satu peti yang terikat. Ternyata peti itu adalah keranda korban kolera yang telah dibawa untuk dikubur?kan pada malam sebelumnya. Salah seorang Dayak mengenal tubuh mayat, sedangkan yang lain mengatakan bahwa dialah yang membuat keranda itu. Kolonel dan Temenggung saling pandang; keduanya mengira-ngira jarak antara perahu yang diburu dan muara sungai, dan karena keranda itu ditemukan di dekat garis antara kedua titik itu maka semua keragu-raguan menjadi hilang. Bahkan Temenggung
menyimpulkan bahwa keranda itu telah dilempar ke luar perahu yang dicurigai memuat para buronan.
"Cepat, cepat!" kini terdengar suara perintah.
Sepanjang waktu itu, perahu yang dikejar tetap dapat menjaga jarak, kini hilang sedikit, kemudian tampak lagi. Menjelang petang, angin muson selatan mulai bertiup, dan sebagaimana biasa pada garis lintang itu, angin darat berembus. Angin bertiup dari arah tenggara ke timur-utara dan gumpalan awan tebal menyelimuti langit. Kedua kapal penjelajah, meskipun bertentangan dengan aturan yang ada, memasang lampu-lampu mereka dan semua perahu dalam armada kecil Dayak juga memasang lampu. Tetapi tidak ada cahaya lampu yang tampak dari perahu yang diburu, dan karena itu tidak mungkin terlacak. Meskipun demikian, gabungan armada itu tetap menempuh arah barat-baratdaya sepanjang malam, dan melihat keesokan harinya perahu itu telah tampak hanya sebagai noktah hitam di cakrawala sebelah selatan. Perahu itu hanya perlu mengubah arah dalam kegelapan malam agar tidak terlalu dekat dengan Tanjung Selatan.
Manuver ini memungkinkan perahu tersebut lari segera sesudah angin berembus kembali dari arah tenggara.
Kapal-kapal penjelajah Belanda berusaha keras mengganti wak?tu yang hilang dalam kebisuan yang merajai selama jam-jam per?tama pagi itu, dan segera setelah angin muson muncul kembali pada jam delapan, mereka memasang seluruh layar; tetapi hasilnya sama seperti sehari sebelumnya. Kira-kira jam dua siang satu sekunar be?sar muncul di cakrawala. Kapal ini, seraya mengawasi perahu yang diburu, memasang terbalik bendera Belanda, melepaskan tembakan, dan bergerak untuk menggandeng perahu itu. Ini dapat dilakukannya dengan cepat. Kemudian, sambil memanfaatkan angin, kapal itu me?lepaskan satu tembakan lagi, serangan yang melayang di atas kapal penjelajah pertama, tetapi mengenai tiang kapal penjelajah yang lain dan kemudian jatuh ke laut. Dengan memperhitungkan jarak dan akibat tembakan itu, nyatalah bahwa kapal itu dipersenjatai meriam alur. Kolonel, yang murka karena merasa terhina dengan bendera terbalik dan tembakan itu, memutuskan untuk terus mengejar; tetapi sekunar itu terlalu cepat, dan dalam waktu satu jam ia telah lenyap dari pandangan.
Mereka kemudian berpikir untuk berlayar pulang. Temenggung menunjuk ke arah cakrawala dan mengatakan bahwa bayangan samar
daratan di arah utara adalah Tanjung Puding, dan satu lagi yang agak lebih tinggi di barat adalah Tanjung Keramat. Kolonel memeriksa petanya dan wajahnya menjadi muram.
"Dari titik ini kita harus berlayar kira-kira tigapuluh enam mil melawan angin. Ini celaka sekali; kurangajar!" teriaknya.
Sambil memberikan perintah, ia mengatur kedua kapal penjelajah itu tetap bersama, dan yang patah tiangnya harus dihela sampai ke Sungai Dayak Kecil dengan enam sampan. Begitu sampai di situ, kapal itu selanjutnya dapat menggunakan kayuh. Setelah urusan menghela perahu yang tiangnya patah selesai, Kolonel, ditemani oleh Temenggung, naik ke sampan tercepat dalam armada itu, diawaki oleh enam pendayung pilihan, dan dengan terburu-buru kembali ke posnya di Kuala Kapuas, yang dicapainya larut malam setelah dia tidak ada di tempat selama empat hari.
Setibanya di benteng ia disambut oleh dokter yang heran tidak melihat para buronan kembali bersama dia. Pandangan penuh selidik dokter dijawab oleh Kolonel dengan kata-kata,
"Lenyap, dan selama-lamanya! Saya melihat mereka menghilang di atas satu sekunar yang bersenjata. Tapi bagaimana mereka dapat berhubungan dengan sekunar itu" Semakin saya pikirkan semakin saya tidak mengerti."
Ia ceritakan pengalamannya, melihat perahu-perahu, menemukan mayat, mengejar, tembakan sekunar yang fatal dan bendera yang terbalik, dan ia simpulkan dengan,
"Itu suatu misteri bagiku."
"Kapal macam apa sekunar itu?" dokter bertanya.
"Bagaimana saya tahu" Ia membawa peralatan Eropa, dan saya yakin kapal itu dilengkapi meriam-meriam kaliber-baja. Barang?kali itu salah satu kapal penyelundup Inggris dari Selat Malaka yang melakukan perdagangan gelap opium dan amunisi perang. Bagaimanapun, saya akan menulis laporan. Sementara itu apakah Anda sudah mengirimkan laporanku sebelumnya selama saya tidak ada?"
"Sampan pos bertolak ketika Anda masih kelihatan dari jauh."
"Bagus; barangkali kita menerima jawabannya hari ini."
Dalam hati, dokter gembira dengan lepasnya para desertir itu; tetapi kegembiraannya akan segera sirna jika ia tahu di mana para buronan itu kini berada.
Pada hari sekembalinya Kolonel, tersebar laporan di Kampung Kuala Kapuas bahwa Dalim dan dua orang Dayak lainnya, yang ketiganya sedang diawasi polisi, terlihat di Sungai Naning. Tidak seorangpun tahu bahwa mereka telah bertindak sebagai pengayuh sampan pemakaman, dan ketika Kolonel berbicara tentang tidak hadirnya mereka kepada Temenggung, Temenggung memperkuat pernyataan tersebut bahwa ketiga orang Dayak itu telah menghilang. Temenggung juga menceritakan tentang seluruh kejadian perburuan buaya di Pulau Kanamit dan menyatakan bahwa ia telah mengirimkan orang-orangnya yang dapat dipercaya untuk membawa kembali ketiga orang Dayak tersebut. Atas pertanyaan Kolonel apakah ada kaitan antara menghilangnya ketiga orang ini dan desersi keempat serdadu Eropa, Temenggung tertawa ramah.
"Mustahil, Tuan! Tuan melihat dengan mata-kepala sendiri muka- muka pucat itu naik ke sekunar. Apa urusan ketiga orang Dayak itu dengan mereka, yang barangkali sedang berlibur di Sungai Naning" Tuan tahu bahwa saudara kandung Dalim tinggal di sana."
Kolonel menggelengkan kepalanya dan tetap bungkam.
Tetapi ketika dua hari kemudian penduduk Sungai Mentangi yang terluka dibawa ke benteng, dan mereka, seperti lazimnya orang Timur, melebih-lebihkan peristiwa tembakan senapan, seakan-akan ratusan orang sedang terlibat pertempuran"juga ketika dokter menyatakan bahwa ia sulit memastikan apakah luka-luka itu dise?babkan oleh pelor atau bukan, karena menurut pendapatnya luka- luka sobek lebih disebabkan oleh ledakan peluru"Kolonel mulai berpikir. Ia menghendaki Temenggung hadir untuk membicarakan masalah itu dengan dia, dan akhirnya dia memerintahkan untuk menyiapkan tigapuluh orang Dayak. Ia juga menyuruh memanggil kepala kampung, Dambung Papundeh, ke benteng untuk menerima instruksi lebih lanjut.
Ketika meninggalkan benteng Temenggung tua itu menemui dokter.
"Tamatlah riwayat mereka sekarang," katanya. "Jejak mereka te?lah terlacak."
"Tapi Temenggung, bagaimana mungkin orang-orang Eropa ini berkelahi di Sungai Mentangi?"
"Saya tidak bisa menjelaskan kemungkinan itu, Tuan, tapi saya bersumpah bahwa itu benar-benar mereka."
"Hati-hati," dokter tertawa, "muka-muka pucat itu menghukum berat sumpah palsu."
"Saya yakin itu. Tidak ada jahanam semacam itu di seluruh negeri Dayak. Pertama-tama, perburuan buaya itu; lalu perkelahian dengan boa; kemudian tembakan-tembakan gencar ke arah jukung penduduk kampung yang mendekat. Tidak seorangpun di sini yang membawa senjata semacam itu. Saya berani bertaruh bahwa senapan mauser Kolonel itu telah memainkan peran dalam seluruh peristiwa itu." "Apakah Anda telah menceritakannya kepada Kolonel?"
"Belum; ia terlalu percaya dengan anggapan bahwa muka-muka pucat itu berada di atas sekunar itu. Temuan peti mati adalah bukti yang meyakinkan dia bahwa para buronan telah memilih arah itu." "Apakah Anda tidak berpendapat demikian juga, Temenggung?" "Mula-mula saya juga berpikir demikian, tapi sekarang tidak. Menurut pendapatku, para buronan itu telah pergi ke hulu. Jika saja Kolonel mau mendengarkan saya, kita sudah berada di jejak mereka."
"Apa yang ingin dilakukan Kolonel?"
"Menyuruh Dambung Papundeh untuk pertama-tama memper?oleh keterangan apa tujuan tiga orang Dayak itu di Sungai Mentangi. Tapi pada saat Dambung Papundeh mendapat keterangan pasti, para buronan itu telah pergi jauh."
"Biarkan mereka pergi, Temenggung, biarkan mereka pergi." "Mudah saja bagi Anda mengatakan itu; tapi jika kita tidak mengejar mereka sekarang, kalau tidak menjadi mangsa para pe- ngayau di daerah pedalaman, mereka akan tinggal di antara suku Ot Danum dan membuat orang-orangku lebih sulit menangkap mereka. Pertumpahan darah yang sia-sia akan terjadi. Saya akan kembali malam ini dan berharap Kolonel berada dalam suasana hati yang lebih baik untuk mendengarkan saran-saran saya."
"Tapi tidak bisakah Anda menunggu barang sehari atau dua hari" Misalnya, sampai kita menunggu berita lebih lanjut?"
"Rasa terimakasih saya kepada Anda, Tuan, mulai menekan saya. Saya berutang nyawa anak saya kepada Anda, Tuan, tapi kini menyangkut nyawa banyak manusia."
"Saya mohon sekali kepada Anda, bersabarlah sedikit lagi." "Baiklah! Tapi ini kali terakhir saya berbuat sesuatu untuk para buronan itu. Saya merasa bahwa saya telah bertindak salah, dan jika saya tidak mendengarkan Tuan sejak awal maka kita telah selamat dari berbagai kesulitan ini."
Beberapa jam kemudian tiga sampan yang memuat para serdadu bersenjata lengkap mudik ke Sungai Kapuas. Mereka di bawah pimpinan Dambung Papundeh, seorang kepala suku Dayak muda yang ingin sekali berjasa dan mendapat kehormatan pertama di bawah bendera Belanda. Ketika Kolonel menginformasikan kepada dia bahwa sampan yang terlibat pertempuran dengan penduduk di Sungai Mentangi telah berlayar ke arah Dusun, ia tersenyum dan berkata bahwa ia tahu betul bagaimana harus bertindak.
Beberapa menit kemudian dokter berusaha berbicara empat mata dengan Dambung Papundeh, akan tetapi orang Dayak itu menolak semua bujukan dan dengan angkuh menyatakan bahwa "ia telah berjanji kepada dirinya sendiri untuk membawa kembali para buronan itu, hidup atau mati."
Sampan pos tiba di Kuala Kapuas keesokan harinya dan memba?wa rekomendasi bagi Kolonel untuk tidak berhenti menangkap kembali para desertir.
"Tapi apa yang akan Anda lakukan?" tanya dokter, yang seperti biasa menghabiskan waktu petang bersama Kolonel dan menyaksikan pembukaan surat-surat resmi.
"Apa yang harus saya lakukan" Bagiku, para desertir itu boleh saja lenyap. Tidak ada lagi yang dapat saya lakukan mengenai itu. Saya telah menjalankan tugas saya sebagai komandan militer. Bukan salah saya jika kapal-kapal penjelajah itu lamban dan tidak dapat mengejar."
Sambil melepaskan unek-uneknya, secara mekanis Kolonel mem?buka surat-surat lain dan membaca sepintas isinya. Kebanyakan isi?nya mengenai masalah administrasi dan tidak begitu penting. Tetapi satu surat yang kini ada di tangannya tampak menyita perhatiannya. Surat itu dari Residen, yang memberitakan bahwa satu sekunar yang memasang bendera Belanda terbalik dan memuat garam, opium, amunisi, dan peluru timah dan besi telah ditangkap oleh kapal-uap Sri Baginda Montrado di dekat Pulau Mangkop, sebelah selatan Tanjung Batu Titi. Sebagian besar awaknya telah mati dalam pertempuran. Hanya seorang Eropa, tampaknya berkebangsaan Inggris, yang tersisa diatas kapal. Para komandan semua pos di se?panjang pantai telah diperintahkan untuk siap-siaga kalau-kalau ada usaha menyelundupkan barang-barang serupa.
"Demi orang-orang kudus! Pastilah sekunar setan jahanam itu," Kolonel berteriak. "Dan para desertir itu samasekali tidak ada di atas?nya! Ke mana mereka" Apa kami telah mengikuti jejak yang salah" Tapi bagaimana kami sampai menyusul peti mati itu ke Laut Jawa" Aku samasekali tidak mengerti. Temenggung tua itu agaknya benar bahwa para buronanlah yang menjadi biang kerok keonaran di Sungai Mentangi. Tapi bagaimana mereka sampai ke sana?"
Keheranannya kini semakin bertambah, dan ia mengirim seorang suruhan untuk menemui Temenggung, memerintahkan Temenggung itu untuk datang ke benteng esok pagi bersama 50 orang pendayung yang akan menyertai Kolonel ke Sungai Mentangi.
Para buronan melanjutkan perjalanan dari Sungai Mentangi se?panjang malam. Mereka kini telah tujuh hari penuh menjadi buron?an. Daerah sekitar lambat-laun tidak lagi terlihat seperti pinggiran sungai, dan meskipun ketinggian tanah belum begitu mencolok dan para buronan itu masih dapat membedakan dengan jelas gelombang air pasang naik atau pasang surut, riwut harusan, napas sungai, samasekali telah berhenti. Pasang tertinggi tidak pernah membawa air laut sejauh tempat itu dan air sungai di sini bebas dari rasa payau.
Pada jam tiga sore para petualang tiba di satu tempat yang disebut petak baputi, layar putih, oleh penduduk. Tempat ini terdiri atas deretan bukit dengan ketinggian sekitar 40 kaki, terbentuk dari pasir putih kebiru-biruan, bercampur dengan berbagai jenis kerang dalam lumpur tanah liat yang ditemukan di sekitar pantai selatan Kalimantan. Untuk mendukung hipotesis ini, bahwa dahulu kala daerah ini merupakan pantai selatan suatu pulau, formasi-formasi bukit yang serupa ditemukan dalam jarak yang sama di muara Sungai Dusun, Kahayan, dan Mantawei.
Mengendurkan segala persendian di atas pasir putih itu meru?pakan relaksasi bagi orang-orang Eropa itu, karena duduk selama berhari-hari dengan menyilangkan kedua kaki dalam sampan sangat meletihkan bagi mereka yang tidak terbiasa. Karena itu mereka bergerak leluasa, masing-masing sibuk mengumpulkan sejumlah buah "beriy" merah tua, seperti "beriy" hitam Eropa, yang tumbuh melimpah di sini. Buah itu memberi kesegaran sebagai selingan makanan mereka yang membosankan.
Setelah mereka beijalan satu atau dua jam, Dalim memberi tanda untuk berangkat, menceritakan kepada mereka bahwa di daerah itu mereka akan diserbu ribuan nyamuk pada malam hari. Meskipun menggunakan brotoali sangat banyak, tetap mustahil mereka tidur. Menurut cerita Dalim, daerah itu merupakan tempat di mana sebagian besar nyamuk di seluruh pulau berkumpul; untuk itu ia menceritakan legenda berikut:
"Putra Sultan Kuning, Jata"atau Buaya"Raja Batang Murung, akan menikah dengan putri Anding Maling Guna, Raja Buaya Sungai Kapuas. Perkawinan dilangsungkan di tempat ini; dan semua ikan, ular air, udang, katak, dan penghuni lain sungai itu berkumpul untuk merayakan upacara perkawinan. Mereka membawa ratusan pon nyamuk, hadiah terbaik yang dapat mereka berikan untuk pasangan pengantin muda tersebut sebagai tanda penghormatan. Hadiah itu dengan senang hati diterima; dan keturunan nyamuk itu, untuk mengenang perkawinan tersebut, memberi para musafir yang karena sial terpaksa bermalam di situ hadiah yang sangat tidak menyenangkan."
"Hadiah yang aneh," komentar La Cueille, "hanya orang Dayak yang sanggup menyarankan hadiah perkawinan semacam itu."
"Aku mendengar Dalim menyebut Pulau Kalimantan," berkata Wienersdorf. "Pulau yang mana itu?"
Yohanes menjelaskan kepada La Cueille bahwa Kalimantan ada?lah sebutan penduduk pribumi untuk "Borneo", dan sebutan ini diucapkan oleh orang Eropa, berasal dari kata "Brunai", yang hanya menunjuk sebagian kecil saja wilayah pulau itu, yang terletak di pantai baratlaut.
"Apakah kata Kalimantan punya arti?"
"Kalimantawa adalah sebutan orang Dayak untuk buah durian, bentuk pulau ini juga mirip durian, yang mungkin sekali juga dipakai sebagai nama pulau ini."
"Itu sangat tidak mungkin," Wienersdorf menyambung. "Borneo adalah salah satu pulau terbesar di dunia, dan untuk menetapkan bentuk pulau sebesar ini orang dituntut memiliki pengetahuan yang memadai, hal yang tidak dimiliki oleh penduduk Kepulauan Hindia ini."
Dalim kemudian membungkuk ke arah Yohanes dan membisik?kan sesuatu.
"Mungkin kamu benar," kata Yohanes kemudian. "Dalim baru saja menyarankan Kaliintan, sungai intan. Ini mungkin asal-usul nama Kalimantan yang sebenarnya."
Dengan diskusi semacam itu waktu terasa menjadi singkat dan para buronan segera tiba di kota1 Towanan. Ini adalah benteng Dayak yang umum ditemukan di seluruh wilayah pedalaman Kalimantan. Benteng ini berupa bangunan persegi panjang tanpa ada bagian yang menjorok; dinding-dindingnya terbuat dari tonggak-tonggak kayu yang kokoh berukuran besar dan diberi hiasan di sana-sini dengan patung-patung kayu seukuran orang hidup, yang menggambarkan para pejuang Dayak dalam berbagai sikap perang.
Semakin dekat, tetapi masih terhalang tepi sungai terakhir yang menjorok, Dalim menasihatkan agar kota itu didekati dan diamati secara cermat untuk mengetahui apakah tidak diduduki oleh para perompak sungai atau pengayau. Sekelompok pengintai, ditemani oleh Schlickeisen dan La Cueille, mendarat dan menembus hutan. Mereka segera kembali dan melaporkan bahwa mereka tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan.
Mula-mula mereka mengusulkan untuk melewatkan malam di dalam kota dan menikmati tidur di atas tanah kering lagi; tetapi sete?lah Wienersdorf meninjau dengan cermat, ia mengingatkan bahwa di bagian depan dan belakang benteng terdapat gerbang-gerbang lebar yang harus dijaga. Sampan juga harus diawasi ketat karena berisi segala macam milik mereka. Dengan jumlah orang sekecil itu dan posisi benteng demikian, menciptakan pertahanan yang efisien terlalu berat. Maka belum ada seorangpun yang bisa menikmati istirahat pada malam itu dengan baik. Karena itu diputuskan untuk tetap tinggal di dalam sampan, dan dengan menempatkan seorang sebagai penjaga, yang lain dapat menikmati istirahat tanpa terganggu. Malam mulai turun dan orang-orang Dayak mendapat tugas pertama berjaga. Orang-orang Eropa akan menggantikan mereka kemudian.
Tetapi manusia merencanakan Tuhan yang menentukan. Isti?rahat mereka ditakdirkan terganggu.
Barangkali waktu itu sekitar jam sembilan malam; orang-orang Eropa itu telah membungkus diri dengan selimut dan mendengkur. Ketiga orang Dayak itu sedang duduk mengobrol ketika Dalim
1 Kota: Benteng atau kampung yang diperkuat sebagai benteng.
memberitahu bahwa persediaan kayu bakar tidak cukup untuk men?jaga agar api tetap menyala guna menerangi daerah sekitar. Dalim menyuruh salah seorang temannya mengambil lagi kayu bakar dan menunjukkan kepada dia satu tumpukan dahan kayu kering yang dili?hatnya ketika memeriksa benteng beberapa jam sebelumnya. Tanpa berkomentar orang Dayak itu pergi menjalankan permintaan Dalim. Teman-temannya melihat orang Dayak itu mendarat dan menghilang melalui salah satu pintu benteng; dan tiba-tiba terdengar jeritan yang menyayat hati sampai para penjaga dan orang-orang Eropa berdiri. Wienersdorf dan La Cueille adalah dua orang pertama yang meraih senapan dan meloncat ke tepi sungai; Dalim membuntuti rapat di belakang mereka, sementara yang lain tetap berjaga dengan mata awas, dan senapan mereka siap ditembakkan dengan jari-jari di pelatuk.
Dalim dan teman-temannya dengan hati-hati memasuki benteng, tetapi Wienersdorf tiba-tiba terantuk suatu benda, terjatuh, dan ia meneriakkan jerit mengerikan. Dalim yang berada di belakangnya segera datang membantu. Ia membawa obor, dan di dalam kere- mangan cahaya ia dapatkan mayat temannya sekampung sudah tanpa kepala. Kepala temannya itu telah dipenggal dengan cara Dayak, kepala dipisahkan dari tubuh dengan sekali tebas.
Sebagaimana lazimnya, pemenggalan kepala itu dilakukan de?ngan tiba-tiba sehingga korban memasuki dunia abadi sebelum me?reka menyadari nasib yang menimpanya. Akan tetapi dalam hal ini orang Dayak itu rupanya menyadari situasi terakhirnya, itu tampak dari jeritan yang sempat dikeluarkannya. Ia kiranya juga sempat memegang penyerangnya, terbukti dari sobekan ewah yang masih tergenggam di tangannya, sementara tangan kanannya masih tetap memegang mandau. La Cueille melihat sesuatu tergeletak di atas rumput tidak jauh dari orang Dayak yang mati itu; ia membungkuk dan memegangnya, kemudian meneriakkan jerit kengerian dan ketakutan. Tak berdaya melepaskan benda yang ada di tangannya, ia mengangkat kepala itu. Itu adalah kepala teman mereka, matanya masih terbeliak dan rahang serta bibirnya masih bergerak-gerak dalam penderitaan terakhir, seakan-akan sedang mencari jalan pelepasan. Dengan pemandangan yang mengerikan ini Dalim berteriak ketakutan sambil bergerak mundur,
"Cepat kembali!"
Ia hampir tidak sempat mengucapkan kata-kata ini ketika satu siulan terdengar dan La Cueille dengan umpatan menurut cara Walloon berteriak bahwa ia terluka. Ia memanggul senapannya tanpa melepaskan kepala; tetapi Dalim memegang lengannya dan cepat- cepat memapahnya ke sampan, sementara Wienersdorf melindungi gerak mundur dengan menembakkan senapan Remington ke arah kegelapan di sekitar. Ketika dekat dengan cahaya yang dipancarkan api di dalam sampan, La Cueille merasa melihat sesuatu bergerak dalam semak-semak yang membatasi pagar benteng. Ia melepaskan diri dari Dalim, melemparkan kepala yang masih berdarah ke dalam sampan, dan melepaskan tembakan ke arah semak-semak. Tembakan itu segera dijawab dengan jeritan menantang leeeeh, lelelele, ouiiiit, dan bersamaan dengan itu beberapa sosok manusia muncul dari kegelapan. Tetapi kini datang giliran Yohanes dan Schlickeisen memberi bantuan. Mereka tetap tinggal dalam sampan sambil menunggu kesempatan baik untuk bertindak. Schlickeisen bersenjatakan senapan Remington yang lain; Wienersdorf dan si Walloon mengambil posisi dekat sampan, dan satu tembakan sena?pan beruntun membuat orang-orang Dayak penyerang bertempera?san mundur. Dua tembakan pertama yang dilepaskan oleh orang- orang Eropa dari sampan tampaknya memadai, karena dilakukan dengan jitu dan terarah, dan dua penyerang dilumpuhkan; yang lain segera melarikan diri.
Tidak ada lagi yang dapat dilihat di darat; karena itu para petua?lang menghentikan tembakan dan menggunakan waktu untuk ber?benah. La Cueille mengeluh lengannya sakit, kemudian Wienersdorf memeriksanya dan menemukan si Walloon terluka karena tertembus satu anaksumpit beracun. Mereka saling pandang dengan wajah murung, karena mereka cukup paham akibat buruk yang ditimbul?kan anaksumpit beripuh. Dalim mengambil sejemput garam dan di?usapkan ke gusi pasien sehingga menerbitkan sejumlah besar ludah. Dalim kemudian mengusapkan ludah itu ke luka ketika Wienersdorf mendorongnya ke samping, dan setelah membuka pisau lipatnya ia membuat torehan yang dalam di atas luka kecil. Wienersdorf lalu mengambil cairan amonia dan menuangkan beberapa tetes alkali itu ke dalam torehan.
Si Walloon meraung kesakitan, menggelepar-gelepar sambil me?neriakkan kata-kata tanpa arti sambil berulang-ulang mengucapkan, "Sainte Vierge, priez pour moi!"2
Meskipun situasinya memang sangat kritis, Yohanes tidak dapat menahan diri untuk mengingatkan La Cueille betapa orang ini cepat melupakan perannya sebagai orang Arab dan menasihati dia dengan sungguh-sungguh untuk mengucapkan "Lailaha ilallah" ketimbang menyebut Perawan Suci. Si Walloon, meskipun amat marah terhadap temannya yang berkulit sawo matang itu, merasa sakitnya terlalu sangat sehingga ia tidak sanggup melampiaskan perasaannya. Akhirnya setelah berkali-kali menghela napas dan mengerang ia jatuh tertidur, dan oleh Dalim ini dianggap sebagai gejala yang baik.
Jelaslah bahwa yang lain-lain tidak punya niat untuk tidur kembali. Mereka tahu musuh berada di dekat mereka. Karena itu mereka tetap berjaga, senapan di tangan, mengawasi tepi-tepi sungai dari bawah atap sampan mereka agar selalu siap terhadap serangan baru. Semua tinggal senyap selama beberapa waktu. Tiba-tiba mereka mendengar dari arah belakang mereka pekikan yang amat dikenal leeeeh, lelelele, ouiiiit! dan hujan anaksumpit pun berjatuhan di sampan dan di atas atap sampan. Ketika menoleh tajam mereka melihat satu sampan berada di tengah sungai, para penumpangnya terus meneriakkan tantangan. Karena itu mereka melepaskan beberapa tembakan yang tampaknya dibidik dengan jitu sehingga jeritan perang berhenti dan berganti dengan jerit kesakitan. Ini berlangsung beberapa lama dalam malam yang sunyi, tetapi suara mereka lambat-laun semakin jauh dan akhirnya lenyap karena jarak.
La Cueille, mendengar jeritan perang dan disusul dengan bunyi tembakan, teijaga dari tidurnya dengan ketakutan yang sangat. Ia bertingkah seolah-olah telah merebut beberapa senjata dan meme?gang kepala yang beberapa jam lalu dia lemparkan ke dalam sampan, padahal ia sebenarnya masih belum sadar. Karena masih di bawah pengaruh tragedi terakhir, kepanikannya memuncak, dan ia segera menyimpulkan bahwa para pengayau itu berada di atas sampan dan sedang menjagal teman-temannya. Untunglah tidak ada senjata di sekitar dia. Jika tidak, dalam kegelapan yang pekat itu, barangkali ia akan melukai teman-temannya sendiri. Dalam keadaan bernafsu
mempertahankan diri tanpa terkendali, ia merenggut leher Yohanes dan mencoba mencekiknya, sehingga yang terakhir ini bangkit marah dan melepaskan beberapa tinju sebagai balasan sambil berseru, "Si Walloon setan ini bermaksud mencekikku; aku yakin ia sudah gila." Mereka semua menduga si Walloon telah menderita semacam penyakit gila gara-gara anaksumpit beracun; tetapi ketika si Walloon bercerita kepada mereka bagaimana setelah sadar ia memegang sebutir kepala, pecahlah tawa mereka dan menyalami si pengayau gadungan atas korban yang telah diperolehnya.
"Kami akan menguliti dan membersihkan kepala itu dengan cermat untukmu," kata Yohanes, "dan kamu dapat membawanya ke Jupille. Itu akan menjadi harta yang bernilai untukmu, dan gadis- gadis Walloon akan mengerumunimu jika kamu menceritakan ke?pada mereka bahwa menurut adat Dayak kamu sanggup meletakkan satu tengkorak di kaki kekasihmu."
Mereka semua tertawa atas saran ini kecuali La Cueille, yang belum sepenuhnya pulih dari rasa takutnya. Satu regukan dari botol tuak segera menyembuhkan dia.
Setelah mengalami berbagai peristiwa yang mengerikan itu, tidur tampaknya menjadi mustahil meskipun Dalim meyakinkan teman- temannya bahwa tidak ada lagi yang perlu ditakutkan. Akan tetapi diputuskan untuk tetap berjaga-jaga sampai matahari muncul di langit.
"Kita terus saja," berkata Schlickeisen, "kekuatan kecil kita ber?kurang, seorang mati dan dua luka-luka. Jika segala sesuatunya berjalan seperti ini, pada waktu kita sampai di tempat tujuan hanya beberapa orang saja yang tetap hidup untuk menceritakan kisah petualangan kita."
"Ah, bah! Apakah kamu pikir kita dapat lolos tanpa lecet sedikit- pun?" tanya Yohanes. "Seandainya separuh saja dari kita berhasil men?capai Laut Cina, kita boleh bilang telah beruntung. Kenyataannya, tidak seorangpun di antara kita yang nanti selamat."
"Ramalanmu tentu saja jauh dari menyenangkan," Wienersdorf berkata.
"Dia selalu meramalkan sesuatu yang mengerikan," La Cueille mengomel. "Orang jelek ini mencoba membuat hidup kita lebih merana daripada yang sudah-sudah."
"Kamu harus terima bila saatnya tiba, dan menghadapi tantangan
ini tanpa rasa takut. Walaupun demikian, keadaan kita sebenarnya tidaklah terlalu buruk; tentu saja kita harus merasa berduka atas matinya salah seorang teman kita, tapi untung belum ada seorang- pun di antara kita berempat yang mati. Luka Wienersdorf yang dise?babkan oleh boa telah hampir sembuh, dan karena La Cueille belum benar-benar mati kita dapat tertawa atas gangguan kecil yang diha?dapinya. Bukan main kegaduhan yang telah dibuat oleh si Walloon ini. Bukankah demikian?" komentar Yohanes sambil tertawa.
"Karena aku benar-benar belum mati, kamu boleh menikmati sendiri leluconmu," kata La Cueille. "Tapi apakah aku tadinya benar- benar dalam bahaya?"
"Aku tidak terlalu berharap kamu selamat ketika melihat anak- sumpit itu. Senjata itu biasanya bereaksi sangat cepat. Pertama- tama kamu akan menggigil demam, kemudian gigi-gigimu mulai bergemeletukan, bicaramu meracau tidak keruan dan mengamuk seperti pemabuk; dan itu semua berakhir dalam waktu setengah jam. Karena kamu dapat bertahan terhadap semua gejala ini, kamu boleh menganggap dirimu sudah lepas dari bahaya."
Si Walloon menghela napas lega.
"Tapi Wienersdorf harus hati-hati dengan botol cairan yang ber?bau busuk itu," Yohanes melanjutkan, "ia telah membuat keajabaian dengan cairan botol itu."
"Dalim bersumpah bahwa garamnya yang telah menyelamatkan La Cueille."
"Tidak secuilpun," jawab Yohanes. "Aku telah mengamati berba?gai percobaan Kolonel di Kuala Kapuas dengan anaksumpit beracun itu pada anjing, monyet, dan burung. Garam sebagai obat penawar selalu gagal; binatang-binatang malang itu tetap mati walaupun diberi garam, sementara yang lain, yang dirawat dengan menggunakan cairan berbau busuk itu, semuanya sembuh."
Wienersdorf, sambil duduk melamun, bertopang dagu. "Masih menjadi teka-teki bagiku," akhirnya ia berkata, "bagaimana bisa orang-orang itu meninggalkan kepala di tanah. Aku selalu mengira bahwa para pengayau memegang korban pada rambutnya sebelum menebas."
"Itu aku juga tidak mengerti," orang Dayak itu membenarkan Wienersdorf. "Menurut kebiasaan, menjambak rambut dan memeng?gal kepala berlangsung begitu cepat sampai korban tidak sempat
mengeluarkan jeritan. Tercatat, beberapa kejadian, karena berlang?sung cepat, para korbannya benar-benar bergerak maju beberapa langkah sambil mengayunkan tangannya setelah dipenggal. Anak- anak Dayak di daerah hulu bahkan menganggap pengayauan sebagai suatu seni. Mula-mula mereka meletakkan sebutir batok kelapa di puncak satu tiang kecil dan mempraktekkan latihan sampai mereka sanggup memotong tiang itu tepat di bagian yang telah ditandai di bawah batok kelapa tanpa mengenai batok kelapa itu. Kemudian, setelah usia mereka bertambah dan kekuatan mereka meningkat, tiang itu diganti dengan orang-orangan sebesar manusia dewasa, lehernya dibuat dari kayu lunak tetapi elastis, dan untuk melengkapi gambarannya, mereka hiasi batok kelapa dengan rambut palsu dari ijuk pohon aren, yang kalau dibuat dengan cermat sangat mirip dengan rambut tipis pribumi. Dari sinilah terlatih ketrampilan mereka.
"Dapat aku tambahkan," lanjut Yohanes, "orang-orang Dayak di daerah hilir sama trampilnya menggunakan mandau. Aku melihat di Kuala Kapuas bagaimana, disaksikan oleh Kolonel, semua orang Dayak, betapapun lemah penampilannya, dengan enteng dapat mem?belah kelapa dengan sekali tebas, sementara tidak seorangpun orang Eropa yang sanggup menembus kelapa itu lebih dari sabutnya."
"Tampaknya suatu adat yang ganjil memberi hadiah kepada kekasih kepala manusia," lanjut Schlickeisen.
"Betul; namun ada maknanya," jawab Yohanes. "Mula-mula ha?diah itu merupakan bukti keberanian pengantin laki-laki pada pe?ngantin perempuan, untuk menunjukkan bahwa ia sanggup melin?dungi istri dan anak-anaknya. Apakah ada bukti lebih baik daripada kepala musuh yang dibunuh dengan tangan sendiri yang dapat diberikan oleh suatu masyarakat sederhana" Adat ini kemudian merosot dengan menjadikan tengkorak sebagai barang mewah atau barang dagangan gelap yang menguntungkan. Dengan demikian adat yang awalnya timbul dengan tujuan mulia menjadi kutukan bagi seluruh penduduk."
"Tetapi kekejaman yang mengerikan ini tidak dapat dilakukan di daerah hilir, bukan?" Wienersdorf bertanya kepada Dalim.
"Belanda melarangnya," jawab yang belakangan.
"Jadi kamu meninggalkan praktek itu melulu karena dilarang" Apakah kamu tidak menganggap pengayauan adalah pekerjaan yang menjijikkan?"
"Siapa bilang" Menurut pendapatku nggak juga," adalah jawaban tanpa emosi, membuktikan bahwa persepsi Wienersdorf tentang rasa ngeri tidak terlalu mengesankan.
Sementara mengobrol semacam ini berlangsung malam terus me?rayap dan akhirnya hari pun terang, yang membuat para pengembara itu lega.
Mereka memeriksa kota dengan cermat dan tidak menemukan sesuatu kecuali tubuh temannya yang telah terpenggal. Satu genangan kecil darah tampak tidak jauh dari situ, sementara di salah satu pagar benteng terdapat beberapa bekas jemari yang berdarah menempel pada kayu benteng. Karena itu mereka mengambil kesimpulan bahwa musuh juga menderita kekalahan, meskipun keluar seruan kekecewaan si Swiss yang tidak menemukan satu mayatpun. "Apakah menurutmu bangsat-bangsat itu lolos dengan selamat?" Schlickeisen bertanya sungguh-sungguh.
"Tentu saja tidak," jawab Yohanes, "karena aku dapat melacak jejak darahnya sampai ke sungai, di mana mereka membawa si kor?ban ke rangkan. Kita harus memeriksa tanah lebih cermat lagi. Tapi kamu jangan lupa bahwa penduduk pribumi Hindia-Belanda ini menganggap tindakan meninggalkan mayat saudara-saudaranya begitu saja sebagai aib besar."
Setelah memeriksa kota, para desertir keluar melalui salah satu celah dan memeriksa sekitarnya. Menurut pengamatan, mereka sampai di satu tempat yang ilalangnya telah terinjak-injak. Ketika Schlickeisen membabat dan menyingkirkan tumbuhan merambat dan semak-belukar, ditemukannya dua mayat dalam pakaian perang, rompi dari rotan dan tutup kepala dari kulit kera, perisai di tangan kiri dan mandau terhunus di tangan kanan. Menurut Dalim, mereka adalah orang-orang Punan, salah satu suku di pedalaman Kalimantan yang berdiam di dekat mataair Sungai Dusun-Kahayan dan Kutai. Ke?dua mayat itu telah membinasakan sejumlah korban, itu terlihat dari potongan rambut manusia yang menghiasi bilah dan gagang mandau mereka. Mereka masih muda, dan Dalim meyakinkan bahwa salah seorang telah membunuh empat orang dan yang lain tujuh orang, sebagaimana terlihat dari jumlah cincin rotan warna merah di seke?liling sarung mandau mereka.
Senjata dan rompi kedua mayat itu diambil oleh kedua orang Dayak rombongan para desertir, dan mayatnya diceburkan ke dalam
sungai sebagai persembahan bagi Jata, pemimpin semua buaya. Sedangkan teman mereka yang gugur dibasuh dengan hati-hati, dahi dan kukunya dicat, dan setelah itu mereka beserta orang-orang Eropa menggali kubur dan memakamkannya, menempatkan kembali kepala si mayat di atas tubuhnya. Mereka letakkan sebilah mandau di tangan dan tombak di sisinya di dalam kubur. Masing-masing lalu menaburkan segenggam beras di atas tubuh mayat sambil berkata,
"Jetoh akam"Ini untukmu."
Kemudian mereka menaburkan lagi segenggam beras untuk kedua kalinya seraya berkata, "Ini kami kirim untuk leluhur kami," dan akhirnya yang ketiga kali dengan kata-kata, "Ini untuk si ini dan si itu?"sambil menyebutkan nama beberapa kerabat orang yang baru saja meninggal itu.
Upacara menaburkan beras selalu ada dalam tiap pemakaman.
Setelah itu teman-teman orang Dayak yang mati mengeluarkan jeritan menyayat yang disebut tatum, ratapan kesedihan untuk si mati, dan kemudian menutup kuburan. Untuk mencegah mayat dibongkar, mereka memilih satu tempat di tengah-tengah tanaman perdu yang rimbun dan dengan hati-hati mendungkir tanah yang ada tanamannya itu serta meletakkannya ke samping tanpa merusaknya. Kemudian mereka mengonggokkan tanah galian di atas suatu lembaran besar, dijaga jangan sampai ada yang tercecer. Setelah penguburan selesai, tanah diurukkan kembali dan diinjak-injak sepadat mungkin, sejumlah rumput pendek ditanam, dan tanah yang tadi didungkir ditempatkan kembali dengan amat cermat sampai mata yang paling awaspun tidak dapat menemukan tempat yang telah digali dengan sekop. Sisa tanah yang ada dengan hati-hati diangkut dan dibuang ke sungai, dan kuburan itu disiram dengan banyak air agar rerumputan dan tanaman perdu tidak layu.
Ketika semua pekerjaan usai para buronan kembali ke sampan, mendayungkan kayuh mereka, dan meninggalkan tempat yang ham?pir menjadi peristirahatan mereka terakhir.
Bab 7 "TERKUTUKLAH sungai ini," omel La Cueille pada dirinya sendiri, "Sulit dipercaya bahwa kita telah membuat kemajuan."
Menembus Rimba Raya Kalimantan Karya M.t.h. Perelear di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Memang dibutuhkan kerja keras dan keletihan untuk menyusuri sungai itu. Sampan seperti maju-mundur saja, tak bergerak satu yardpun, meskipun anakbuah sampan telah mendayungkan kayuh mereka sekuat tenaga. Ini akibat banyaknya penghalang yang meng?hadang. Untuk itu diperlukan pengetahuan yang mendalam tentang sungai agar dapat melewati tanjung-tanjung, memotong simpang- simpang, menghindari tikungan-tikungan, memanfaatkan arus-arus, dan cara mengemudi untuk menghindari gosong-gosong. Tetapi bahaya terbesar terletak pada banyaknya kayu-kayu mati yang ter?pancang di dasar sungai. Bertumbangan dari tepi-tepi sungai karena badai atau banjir, pohon-pohon ini terseret arus dalam jarak tertentu sampai akhirnya terhalang beting atau gosong pasir di mana pohon- pohon itu tertahan dan terpancang permanen. Bertabrakan dengan penghalang semacam ini merupakan salah satu bahaya terbesar dalam pelayaran sungai, karena umumnya berakibat sangat fatal. Dalim dan kawan-kawannya tetap siaga mengamati, dan dengan kewaspadaan dan ketrampilan mereka mampu menghindari kecelakaan fatal yang membahayakan nyawa mereka dan menghancur-leburkan sampan.
La Cueille merasa mendayung keras semacam itu sangat men?jengkelkan. Berkali-kali ia mengamati lengannya, dan torehan yang dibuat oleh Wienersdorf bisa sembuh dengan baik tanpa menunjuk?kan gejala peradangan. Tidak ada yang terlihat kecuali satu lingkaran hitam. Kata Dalim kepada dia, lingkaran hitam akibat senjata bera?cun itu akan terus membekas, baik korbannya mati atau sembuh.
Atas pertanyaan Wienersdorf dari apa ipuh itu dibuat, Dalim mengatakan bahwa ada dua macam ipuh yang digunakan oleh orang
Dayak, yang dikenal dengan nama siren dan ipoh. Keduanya terbuat dari tumbuhan beracun, tetapi tidak ada nama botani khusus yang dikenal untuk jenis pohon asal upas itu diambil. Tetapi tentang penyiapan ipuh itu, setelah ditanya berkali-kali, Dalim menceritakan sebagai berikut.
Di pedalaman Kalimantan, terutama di lereng-lereng gunung dan bukit, tumbuh pohon yang disebut batang siren oleh penduduk asli. Seperti pohon eik di Negeri Belanda, pohon ini dapat mencapai usia seratus tahun, bahkan lebih. Getah putih seperti susu yang menetes setelah ditakik kemudian dikumpulkan dalam bumbung kecil. Kare?na kontak dengan udara, getah ini kehilangan warna aslinya, mula- mula menjadi kuning, lalu coklat, dan akhirnya hitam. Ketika keluar dari pohon, getah itu samasekali tidak berbahaya dan baru beracun setelah menguap dan dicampur dengan tumbuh-tumbuhan lain. Getah itu, setelah diolah sebagaimana mestinya, lalu dituangkan ke dalam buli-buli selagi masih hangat; ketika mendingin getah itu se?gera mengental. Orang Dayak selalu membawa buli-buli ini, yang di?ikatkan di ikat pinggang beserta mandau mereka. Lalu ujung-ujung anaksumpit mereka celupkan ke dalam buli-buli itu sampai terbalut lapisan tipis getah itu, yang segera mengering.
Gejala pertama yang diderita oleh mereka yang terkena ipuh adalah muntah-muntah. Gejala ini diikuti dengan lumpuhnya persen?dian, yang berlangsung sampai sepuluh menit, dan kemudian mati dalam keadaan kejang-kejang.
Ipoh disiapkan dengan cara yang sama, tetapi racun itu diambil dari semacam tumbuh-tumbuhan merambat. Satu-satunya perbe?daan efek racun ipoh dan siren adalah yang pertama tidak diikuti dengan muntah-muntah.
Semua orang Dayak tahu bagaimana membuat kedua jenis upas itu, tetapi karena tanaman dan berbagai campurannya terutama ter?dapat di daerah pegunungan, penduduk asli pedalaman lebih ahli mengolahnya daripada penduduk asli pantai.
Kira-kira tengah hari para petualang sudah mendekati Sungai Muroi. Ketika mendayung melewati sungai itu, mereka melihat satu rakit sedang menghilir sungai yang lebar itu. Rakit itu memuat tiga orang yang sedang berjuang keras menghentikan rakit yang tidak terkendalikan. Salah seorang dari mereka berseru minta tolong, dan karena menurut adat negeri ini menolak permintaan adalah hal
mustahil, Dalim mengemudikan sampan ke arah rakit dan segera menambatkannya di samping rakit.
Ternyata arus deras tetap menghanyutkan rakit itu; karena itu jalan pertama yang mesti dilakukan adalah menggiring rakit ke tepi sungai dan menambatkannya di situ. Para petualang segera menge?luarkan sulur rotan dan rantai jangkar yang dibawa dari Sungai Naning. Setelah keduanya diikatkan dengan erat, mereka ikatkan ujung sulur rotan yang satu pada semacam paksi jangkar yang ada di rakit, sementara ujung yang lain dibawa ke tepi sungai dengan sampan dan diikatkan pada sebatang pohon yang kuat. Rakit itu masih tetap bergerak maju karena arus ketika tali sedang ditarik ken?cang, tapi kemudian terhenti. Akibatnya, timbul guncangan keras sam?pai Schlickeisen dan La Cueille terjengkang ke dalam sungai; tetapi mereka segera ditolong oleh Dalim dan kawan-kawan baru mereka.
Sulur rotan itu menahan guncangan dengan baik; tetap teren?tang seperti kawat meskipun rakit itu bergetar karena tekanan air pasang. Sekarang rakit yang berat itu terayun ke arah tepi sungai ketika orang-orang itu menariknya ke arah pohon dengan bantuan paksi jangkar, di mana akhirnya alat angkut itu ditambatkan kuat- kuat dengan sulur rotan.
Kini para petualang mengetahui bahwa pemilik rakit itu adalah penduduk asli Kuala Kapuas bernama Bapa Andong, yang telah mengumpulkan hasil-hasil hutan di Sungai Muroi dengan sukses. Sekarang mereka dalam perjalanan ke Danau Ampang, tempat ia menyimpan dengan aman berbagai macam hasil hutan yang telah dikumpulkan; tetapi karena kurang tenaga ia tidak sanggup membawa rakitnya ke Danau Ampang karena melawan air pasang. Ia kini bicara kepada Yohanes, yang dianggap sebagai pemimpin rombongan itu, memohon agar mereka membantu dia mengemudikan rakit yang berat itu. Putranya, ditemani enam orang upahan, sedang menunggu kedatangannya di danau itu, dan ia cemas atas keselamatan mereka. Akhirnya disepakati para petualang akan membantu membawa rakit ke Danau Ampang dan menaikkan semua barang yang disimpan di sana ke atas rakit; kemudian mereka akan membawa rakit itu kembali ke Sungai Kapuas, dan setelah itu bantuan mereka tidak diperlukan lagi.
Sebelum kesepakatan ini diambil, lebih dulu disetujui bahwa
ketika mereka berpisah nanti dua orang upahan Bapa Andong akan diberikan kepada para petualang.
Setelah perjanjian disepakati, pekerjaan dimulai. Rakit itu diikat dengan seutas tali lagi, sulur rotan dilepas dari pohon dan dibawa dengan jukung ke arah hulu sejauh yang dapat dicapai, kemudian diikatkan pada sebatang pohon lain. Paksi diawaki lagi sehingga rakit bergerak maju ke atas melawan air pasang. Pekerjaan ini dilakukan berulang kali dengan sukses. Dapat dibayangkan betapa beratnya pekerjaan itu, terutama yang dirasakan oleh orang-orang Eropa itu, yang tidak terbiasa dengan pekerjaan semacam itu; tetapi itu memberi mereka pengetahuan yang mendalam mengenai kegiatan penduduk di mana mereka kebetulan berada di tengah-tengahnya, dan memperlihatkan berlimpahnya sumberdaya yang dimiliki oleh anak-anak alam itu.
Rakit tempat mereka kini berada terdiri atas duaratus gelon?dongan kayu berkualitas prima, diikat satu sama lain dengan sulur- sulur rotan. Lantainya adalah gelondongan-gelondongan kayu itu juga dan di tengah-tengahnya dibangun pondok yang cukup besar. Di bawah atap pondok yang menjorok ke luar, berbagai hasil hutan tersimpan aman. Rakit itu mengangkut hampir 4.000 kebat rotan, ribuan gantang damar, seribu pikul lilin-lebah, 20 pikul karet, dan sebungkus kecil sarang burung. Karet dan sarang burung itu ada?lah hasil pertukaran Bapa Andong dengan lilin-lebah milik para pedagang di daerah hulu. Hasil-hasil hutan lainnya merupakan hasil kerja kerasnya sendiri. Rotan didapatkan di sepanjang sungai-sungai, damar sebagian dikumpulkan dari pohon-pohon dan sebagian lagi dari tepi-tepi sungai.
Hari telah senja ketika rakit berjuang melawan arus terakhir, dan jalan masuk ke kanal yang terbentuk dari pertemuan antara danau dan sungai pun terlihat. Para awak rakit amat kelelahan, dan istira?hat dengan sendirinya merupakan keharusan. Karena mustahil me?ngemudikan rakit melalui kanal yang sempit dalam gelap, mereka labuhkan rakit itu ke tepi kanal, dan setelah itu sebagian awak men?darat untuk membersihkan tanah di sekitar agar pandangan mereka bebas. Semak-belukar dan pepohonan dipotong untuk dijadikan semacam kubu pertahanan guna mencegah serangan mendadak. Selanjutnya mereka membagi dua kelompok jaga, yang bergantian menjalankan tugas pengawasan. Yohanes yang mengatur. Ia dan La Cueille berada dalam kelompok yang sama, sedangkan kedua orang Swiss bergabung dalam kelompok lain.
Segera setelah hari mulai terang para desertir bekerja lagi, dan setelah sejam bekerja keras rakit berhasil diarahkan ke dalam terusan. Matahari hampir di atas cakrawala ketika rakit berlabuh dengan selamat di tempat tujuan untuk selanjutnya memuat barang-barang lainnya. Pemuatan barang dilakukan sangat cepat sehingga ketika hari mulai sore semua sudah di atas rakit lagi dan siap meneruskan perjalanan.
Tetapi ada satu pekerjaan lain yang perlu diselesaikan. Sejak Bapa Andong mulai mengumpulkan hasil-hasil hutan, pekerjaan yang menyita waktu sekitar enam bulan, ratusan kawanan lebah telah membuat sarang-sarang di pohon-pohon yang tumbuh di tepi barat danau. Pohon-pohon yang dipilih oleh seranga-serangga kecil ini amat tinggi, batangnya lurus-licin dan cabangnya membentang panjang. Orang Dayak menyebut pohon raksasa ini tanggirang, dan pada musim-musim baik, duaratus sampai tigaratus sarang lebah bisa ditemukan pada satu batang pohon saja. Sejak mengamati serangga- serangga yang giat ini memulai bekerja, Bapa Andong telah membuat persiapan untuk memanen produk serangga-serangga itu nantinya pada saat yang tepat. Tiap hari ia memasang pasak-pasak dari kayu keras di tiap pohon dengan jarak sekitar satu setengah kaki sampai tangga-tangga sederhana ini mencapai dahan yang paling rendah. Pekerjaan ini memakan waktu lama, tetapi pekerjaan itu memang tidak dapat dilakukan dengan cepat, karena terus-menerus memalu pasak-pasak itu akan mengganggu lebah-lebah, dan mereka pasti akan menyerang.
Orang-orang upahan Bapa Andong kini membersihkan tanah dari semak dan rumput liar di sekitar pohon-pohon; dan setelah semua siap bertindak, mereka menunggu kesempatan yang baik untuk memulai pekerjaan. Kesempatan itu segera tiba.
Malam itu amat gaduh, angin bertiup kencang bagaikan hendak mencabut pohon sampai ke akarnya; langit tertutup mendung tebal dan sangat gulita, seakan-akan semua diselimuti warna hitam pekat. Kini mereka semua berjumlah 17 orang, termasuk putra Bapa Andong dan enam orang upahan yang menunggu di tepi danau. Dengan menggunakan jukung milik para petualang dan dua jukung tambahan, mereka menyeberangi danau yang berbuih ke tepi lain danau di
mana terdapat pohon-pohon yang berlebah. Setiba di sana mereka mendarat dan menggelar lembaran-lembaran linen lebar di empat tempat sedemikian rupa, menekuk ke atas empat sudutnya sehingga membentuk semacam karung-karung besar. Setelah semua selesai, mereka menyalakan obor-obor dari kayu damar yang masih hijau. Satu orang Dayak memilih satu pohon dan dengan cepat memanjat tangga-tangga yang ada, sedangkan Bapa Andong dan keempat orang Eropa lainnya mengamati dari bawah sambil memegang senapan.
Orang-orang upahan itu memanjat dengan cepat dan mulai memukul-mukul sejumlah sarang. Lebah-lebah, dengan suara men?dengung seperti amukan badai, keluar dari sarangnya dan menyerang para pengacau, tetapi serangga-serangga itu dibutakan oleh cahaya obor dan sekarat oleh asap. Mereka kemudian diterbangkan oleh topan yang dahsyat dan jatuh di seberang danau dalam jumah ratusan ribu. Segera setelah kawanan lebah itu menghilang, orang- orang Bapa Andong dengan cepat melepaskan sarang-sarang lebah dari dahan-dahan pohon dengan menggunakan sembilu dan men?jatuhkannya ke karung-karung yang ada di bawah. Cuma dibutuhkan sedikit waktu untuk menyelesaikan pekerjaan itu, dan mereka yang memanjat pohon telah turun sebelum orang-orang Eropa menyadari kekaguman mereka. Memandang sosok-sosok berkulit coklat telan?jang, dengan rambut berjela-jela, memanjat pohon dengan cepat di bawah keremangan cahaya obor, badan mereka yang membungkuk di cabang-cabang yang tinggi, obor-obor yang bergerak kian-kemari dan membalut segalanya dengan asap hitam; suara ribut badai dan dengungan ribuan lebah"semua ini tampak begitu menggetarkan, begitu mengerikan, daripada yang mereka bayangkan, tetapi sejumlah sarang yang meneteskan madu tergeletak di kaki mereka.
"Mereka orang-orang yang berani!" seru La Cueille.
"Dengan kecepatan dan ketrampilan, dikombinasikan dengan perhitungan yang matang," ucap Schlickeisen, "tak ada satu kecela- kaanpun yang mengganggu pekerjaan terjadi."
Sarang-sarang lebah segera dibawa ke rakit dan seluruh ekspedisi telah bergerak jauh sebelum tengah malam.
Setelah semua sarang diletakkan di atas rak supaya madu mene?tes, jaga malam diberlakukan lagi seperti malam sebelumnya dan sebagian awak rakit pergi tidur.
Tetapi istirahat tampaknya menjadi impian yang aneh di negeri orang Dayak. Jam-jam pertama memang berlalu tanpa gangguan, tetapi ayam hutan, yang oleh penduduk asli disebut takakak lantaran suaranya, hampir tidak berkokok pada sekitar jam tiga pagi, ketika putra Bapak Andong merasa mendengar suatu suara dari arah hutan. Ia tak beranjak dari pos jaganya, bergeming bagai patung, memasang telinga, dan memberi isyarat pada teman-temannya tanpa bersuara. Mereka semua juga memasang kuping dan menyimak. Terdengar satu gerakan seperti tubuh merangkak mencoba menerobos melalui kayu-kayuan dan semak-belukar yang dijadikan pertahanan. Untung saja topan telah reda. Jika tidak, suara yang mencurigakan itu tidak terdengar. Kelompok yang sedang tidur dibangunkan dengan suara sesedikit mungkin dan persiapan untuk bertarung pun dibuat. Orang- orang Eropa telah siap dengan senjata di tangan. Tetapi karena sia- sia saja menembak dalam kegelapan yang pekat, mereka pun meniru orang-orang Dayak, masing-masing menghunus mandau dan siap digunakan sebaik-baiknya.
Tetapi Bapa Ajidong membisikkan sesuatu kepada Yohanes, yang dijawab dengan senyum dan anggukan; segera setelah cara-cara komunikasi semacam ini disampaikan kepada yang lain, semua siap beraksi. Kedua orang Swiss mengambil senapan Remington mereka dan La Cueille serta Yohanes mengambil senapan-kopak, dan masing- masing berbekalkan satu revolver dan dua senapan lagi yang telah diisi untuk digunakan dalam keadaan darurat.
Segala sesuatu kini telah diatur dan mereka menunggu dengan jantung berdebar. Tidak ada yang dapat dilihat dalam kegelapan malam; semua yang terdengar hanyalah suara seretan kaki atau gemeretak ranting-ranting kecil. Tiba-tiba sekitar duapuluh sosok, bagai muncul dari danau, meloncat ke arah rakit, memekikkan teriakan mereka yang lazim, "Leeeeh, lelelelele, ouiiit!"
Para penumpang rakit tahu bahwa jumlah mereka lebih sedikit. Maka jika strategi mereka gagal dan perkelahian hidup-mati tidak terelakkan, hasilnya barangkali mereka semua tewas. Sungguh merupakan adegan yang mengerikan melihat orang-orang Dayak liar itu berloncatan sambil merundukkan badan di belakang perisai- perisai mereka dengan mandau di tangan dan memperdengarkan jeritan menantang terhadap lawan-lawannya. Akan tetapi tidak
terdengar suara sahutan. Kebisuan ini tampaknya mencengangkan para penyerang.
Tiba-tiba beberapa sosok muncul dari kegelapan di ujung rakit di mana mereka yang bertahan berada. Mereka yang bertahan me?loncat ke tengah-tengah para penyerang, menebaskan mandau beberapa kali tepat di antara para penyerang, yang kemudian diam- diam menghilang. Musuh memekikkan jeritan perang lagi, saling merapatkan diri dan berlindung di balik perisai-perisai, berlari di sepanjang papan-papan yang menghubungkan mereka dengan rakit. Dua sosok menampakkan diri seolah-olah hendak menyerang pe?numpang rakit, tetapi mereka juga menghilang dengan cepat; dan pada saat itulah tiba-tiba nyala api yang benderang muncul dari tumpukan gulungan rotan yang disimpan di tengah-tengah rakit, dan pada waktu yang sama tembakan senapan diarahkan ke para penyerang yang kini terlihat. Wienersdorf dan Schlickeisen menem?bakkan Remington mereka dengan bernafsu ke arah musuh yang merayap dan persis berhadapan dengan moncong-moncong senjata. La Cueille dan Yohanes, yang membentuk barisan kedua, mula-mula menembakkan senapan dan kemudian revolver, sementara ayunan mandau berkelebatan dari tumpukan rotan. Mustahil menggam?barkan kelumpuhan yang luarbiasa di pihak musuh, karena cahaya benderang tiba-tiba menerpa dan disusul dengan tembakan-tembakan yang menghancurkan. Hanya sedikit peluru yang melenceng dari sasaran. Suatu gerakan seperti ombak kemudian terlihat, mula-mula ke belakang kemudian ke depan; terdengar jerit amarah bercampur kesakitan dari segala arah; tampak seperti amuk yang telah lepas kendali. Akhirnya tinggal sejumlah kecil musuh yang terpecah dua, yang terbesar melarikan diri, melompat ke darat dan menghilang dalam gelap, sedangkan yang lain melompati rekan-rekan mereka yang terbunuh, melakukan usaha terakhir dengan nekat: berkelahi satu lawan satu. Tembakan-tembakan dilepaskan tanpa henti; kelompok kecil itu semakin kecil hingga tinggal dua orang, yang melompat ke rakit dan merangkak mendekati musuh-musuhnya dengan man?dau terhunus. Salah seorang dari mereka segera dirobohkan oleh Schlickeisen. Sedangkan yang satu lagi, sambil merangkak hati-hati ke depan, bangkit dan mengangkat mandaunya, siap mengayunkan tebasan mematikan ke arah Wienersdorf yang tampak tak mungkin menghindari bacokan. Namun tiba-tiba Wienersdorf menjatuhkan
senapannya dan mencengkeram pergelangan lawannya dengan kuat untuk memaksa orang Dayak itu melepaskan senjata. Pergumulan sengit terjadi di antara mereka, yang sadar bahwa kini nyawa salah seorang menjadi taruhannya. Hanya beberapa inci saja mereka terpisah dari air. Mereka bergulat dengan gerakan begitu cepat, sehingga campur-tangan dari luar dapat membahayakan keduanya. Akhirnya kekuatan orang Dayak yang kurang berotot itu segera terkuras. Wienersdorf, melihat keadaan ini, menendang mandau orang dayak itu, yang kemudian jatuh ke danau, membuat gerakan pamungkas yang keras: mengangkat kedua lengan dan membanting lawannya ke belakang sampai orang Dayak itu terengah-engah dan berlutut di depan Wienersdorf.
"Blako ampun!"Saya minta ampun!" jerit pribumi itu.
Orang Swiss itu, mendengar kata-kata ini diucapkan dengan suara lembut dan memohon, melepaskan musuhnya dan mengulurkan tangannya, tetapi orang itu yang masih berlutut ragu-ragu menyam?butnya. Degup dadanya masih kencang dan sinar matanya masih nyalang seperti api. Akhirnya ia berdiri, menyambut uluran tangan Wienersdorf, dan meletakkan tangan Orang Swiss itu di kepalanya sambil menunduk sebagai tanda menyerah. Ketika berbuat demikian ia mengucapkan beberapa kata yang tidak seorangpun memahaminya.
Putra hutan itu tetap tegak berdiri selama beberapa saat. Ia tiba- tiba mengangkat kepalanya, mengeluarkan pisaunya, melukai sedikit lengannya, menadah darah yang mengucur dengan telapak tangannya, dan mengoleskannya sebagian ke dahi dan kedua bibir Wienersdorf, yang berdiri menyaksikan seperti tak berdaya. Kemudian ia melukai sedikit orang Swiss itu, menadah darahnya dan mengoleskannya ke dahi dan bibirnya, setelah itu ia menelan tetesan darah terakhir. Sekali lagi ia mengambil tangan penakluknya, menekannya kuat-kuat dan menarik tangan itu ke bibirnya, dan dengan jelas ia mengucapkan kata-kata "Harimaung Bukit"Harimau Bukit". Kemudian, sebelum seorangpun sempat mencegah, orang Dayak itu meloncat ke danau, ke dalam air yang menutupi bagian atas kepalanya.
Persis pada saat itu, seakan alam ingin membantu pelarian orang liar itu, sekonyong-konyong angin kencang memadamkan api yang menyala dan menyelimuti para penumpang rakit itu dengan kegelapan yang pekat.
Bab 8 "AKU tidak yakin," kata La Cueille, "bahwa kita bijaksana membiarkan orang itu lolos."
Kalimat ini diucapkan pada kesempatan pertama pagi hari sebagai lanjutan percakapan sesudah pengayau itu melarikan diri.
"Morte la bete, mort le venin,"(Orang mati tidak bisa bercerita) adalah pendapat si Walloon, di?ucapkan dalam bahasanya karena dia tidak mengerti bahasa Arab.
Ketika hari sudah benar-benar terang, para penumpang rakit menghitung jumlah mayat penyerang yang tewas karena tembakan orang-orang Eropa. Semuanya 14 orang, termasuk orang yang terti?kam pisau Schlickeisen. Senjata-senjata dan baju-baju zirah menjadi rampasan para pemenang; mayat-mayat, karena tuntutan keadaan, dilarungkan ke danau.
"Persembahan untuk Jata," seringai Dalim.
Ketika penguburan itu selesai dan mereka saling mengucapkan selamat, perhatian para petualang kini terarah pada tiga sampan yang terlihat di pertemuan kanal dan sungai. Mereka sangat terkejut ketika diamati betul di buritan dua sampan pertama berkibar bendera Belanda. Tak sangsi lagi para petualang itu sedang diburu, dan pengalaman mereka yang sudah-sudah bisa dianggap sepele jika dibandingkan dengan apa yang kini akan dihadapi. Dengan napas diburu karena terkejut dan cemas, mereka menunggu apa yang terjadi selanjutnya.
Bapa Andong, tidak menyadari perasaan teman-temannya, tidak melihat adanya bahaya, menyangka bisa mendapat bantuan dari sampan-sampan itu jika orang-orang Punan muncul kembali. Karena itu ia, dibantu putranya, dengan bersemangat berteriak lantang tiga kali, "Kemari, cepat! Ahoi!"
Sudah bisa ditebak siapa yang membawa sampan-sampan itu ke danau. Dia adalah Dambung Papundeh, yang telah meninggalkan Kuala Kapuas dan kini muncul di situ. Kepala suku muda itu, dengan kemauan keras, telah menyusuri Sungai Mentangi dan melakukan eks?pedisi pengejaran para disertir. Setelah mendengar berita-berita ten?tang perkelahian dengan ular, disusul dengan tembakan-tembakan terhadap penduduk laki-laki, ia yakin bahwa para buronan itu telah berlayar ke hulu Sungai Mentangi untuk mencapai Sungai Dusun.
Meskipun awalnya ia cenderung tidak percaya pada berita-berita tersebut, bukti-bukti yang ditunjukkan begitu meyakinkan sehingga ia tidak syak lagi. Karena itu ia memutuskan untuk berlayar ke arah yang sama.
Setelah berlayar di Sungai Mentangi sepanjang hari, ia tiba di satu kampung kecil bernama Takisan. Di kampung itu ia terpaksa berhenti karena terkena marutas.
Marutas artinya tidak bersih. Satu rumah, satu desa, bahkan satu distrik dapat dikenakan larangan dimasuki atau dinyatakan tidak ber?sih akibat ancaman kematian, wabah penyakit, atau pengaruh kon?taminasi. Bila satu rumah terkena marutas, rumah itu ditutup dan tangganya disingkirkan. Para penghuninya tidak berani meninggal?kan rumah, apalagi menerima tamu. Jika satu desa atau distrik terke?na marutas, semua jalan raya atau jalan setapak diblok dan tidak boleh dibuka dengan ancaman hukuman mati bagi pelanggarnya.
Inilah yang terjadi ketika Dambung Papundeh melihat Sungai Mentangi ditutup dengan sulur rotan rangkap dua, yang ujung-ujung?nya dijaga oleh orang-orang bersenjata. Ia tahu bahwa menggunakan kekerasan tidak ada gunanya, dan karena itu ia segera memerintah?kan untuk jalan balik, sampan-sampannya diputar dan perjalanan dilakukan dengan kecepatan penuh. Untuk mengganti waktu yang hilang, mereka mendayung siang-malam tanpa henti sampai akhirnya mereka ada di dekat Danau Ampang. Di danau ini mereka istirahat, samasekali tidak menyadari betapa dekatnya mereka dengan sasaran perburuan mereka.
Angin bertiup kencang dari arah baratlaut dan cukup mengham?bat serta membahayakan perjalanan mereka; karena itu Dambung Papundeh terpaksa mengalah pada protes orang-orangnya dan setuju
melewatkan malam itu untuk istirahat di salah satu anaksungai. Setelah istirahat ini ia bermaksud melanjutkan perjalanan sampai ke kota Baru secepatnya untuk mendapatkan berita mengenai bu?ruannya. Ia berencana mendayung mendahului para buruan untuk disergap dan kemudian ditangkap dengan bantuan penduduk se?tempat. Rencana ini tampaknya sangat mungkin dilaksanakan dan besar kemungkinan berhasil, akan tetapi ada satu peristiwa yang menghalangi dan menggagalkan semua perhitungannya.
Istana Iblis 1 Girls Of Riyadh Karya Rajaa Alsanea Munculnya Kera Siluman 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama