Ceritasilat Novel Online

Menembus Rimba Raya 3

Menembus Rimba Raya Kalimantan Karya M.t.h. Perelear Bagian 3


Kira-kira jam tiga menjelang subuh, tiba-tiba terdengar suara leeeeh, lelelelele, ouiiit sangat dekat dari arah barat. Suara itu diikuti dengan letusan tembakan senapan. Kini Dambung tahu bahwa orang- orang yang sedang dicarinya sangat dekat dan sedang bertempur melawan penduduk kampung seperti halnya yang terjadi di Sungai Mentangi atau dengan para pengayau, yang diperkirakan mengganggu lagi daerah ini.
Malam dilewati dengan perasaan sangat tidak sabar, dan segera setelah hari mulai terang ia menuju ke muara kanal yang mengarah ke danau. Kini ia yakin bahwa drama, yang berlangsung pada malam harinya, akan terjadi pula di muara kanal itu, dan ia tidak ingin kehilangan waktu sedetikpun dan bergegas menuju ke arah muara.
Tidak terlihat sesuatu yang istimewa atau mencurigakan di terusan itu; akan tetapi begitu sampai di danau mereka melihat di kejauhan, di pesisir timur, satu rakit raksasa yang dipenuhi gulungan rotan, yang para penumpangnya tampaknya mengundang rombong?an Dambung untuk mendekat. Seruan mereka jelas terdengar.
Dambung memerintahkan salah satu sampan rombongannya tinggal di belakang untuk berjaga di muara terusan dengan perintah tegas melarang siapapun lewat. Kemudian dengan dua sampan lain ia berlayar menyusuri tepi barat danau untuk memeriksa semua sudut dan anaksungai sambil maju melingkar menuju ke arah rakit di tepi timur.
Bapa Andong, melihat bahayanya manuver kedua sampan itu, ingin memberi tanda kepada mereka untuk berbalik; tetapi Dalim dengan keras menutup mulut Bapa Andong dan membisikkan se?suatu ke telinganya sambil menekankan sebilah belati kecil di ping?gangnya. Orang Dayak itu ketakutan terhadap sesamanya; ia meng?amati bagaimana teman-teman Dalim, dengan senapan atau mandau di tangan, mengelilingi dia dengan wajah mengancam, sementara
orang-orangnya sendiri hampir tidak dapat berkutik melihat adegan itu. Ia samasekali tidak mengerti, tetapi jelas baginya bahwa saat itu lebih baik dia diam saja.
Dua sampan itu tetap menyusuri tepi barat. Sekonyong-konyong jerit mengerikan terdengar dari arah kedua sampan itu dan para penumpangnya tampak mengangkat lengan mereka dan dikibas- kibaskan dengan keras. Beberapa di antara mereka terjun ke danau dan mencoba menyelamatkan diri dengan berenang secepat mungkin, silih berganti menyelam dan berteriak, "Bajanji! Bajanji!"Lebah! Lebah!"
Mereka diserang hebat oleh serangga-serangga itu, yang sarang- sarangnya telah dijarah tanpa ampun pada malam sebelumnya. Tercekik asap dan diembuskan topan, lebah-lebah itu jatuh kelenger ke tanah. Esok paginya serangga-serangga itu kembali ke tempat asalnya dan mencari sarang-sarang mereka yang telah dirusak dengan kasar, dan karena tidak mendapatkan apa-apa lagi mereka menjadi amat marah. Inilah yang selalu terjadi; selama beberapa hari setelah memanen lilin dan madu, sangat berbahaya mendekati pohon di mana semula sarang lebah bergelantungan, dan inilah yang dialami oleh Dambung Papundeh dan orang-orangnya, yang kini menerima akibat buruk. Tanpa merasa bersalah rombongan Dambung mendekati tempat itu dan tiba-tiba awan lebah menyerbu ke bawah dan menyerang dengan sengatan berbisa.
Orang-orang Eropa di atas rakit memandang dengan terpana ke?panikan yang berlangsung di antara para penumpang sampan yang sedang melaju, tetapi karena agak jauh mereka samasekali tidak me?ngetahui apa sesungguhnya yang tengah terjadi. Namun setelah me?lihat Dalim meloncat-loncat kegirangan dan mendengarkan musuh macam apa yang menyerang para pemburu mereka, perasaan syukur penuh kemenangan memenuhi diri mereka. Mereka tidak dapat me?nahan kegembiran melihat akhir cerita itu, yang dengan demikian mencegah pertempuran berdarah. Akan tetapi ketika menyadari ba?haya yang dihadapi oleh para pemburu mereka, hati mereka menjadi lumer dan merasa malu sendiri menonton dengan berpangku tangan sementara sesama makhluk sedang berjuang mati-matian mempertahankan nyawa. Kedua orang Swiss itu terjun ke sampan untuk membantu orang-orang malang itu, terhadap siapa mereka tidak lagi mengganggap sebagai musuh, melainkan sebagai saudara sependeritaan. Tetapi Dalim meminta mereka tetap tinggal di rakit, kecuali jika mereka memang ingin cepat mati. Ternyata nasihat bijak ini segera terbukti, karena sekumpulan lebah ganas yang tidak puas dengan balas dendam pertama terhadap para penumpang kedua sampan, mulai memencar ke danau dan menyerang segenap makhluk hidup yang ditemui.
Wienersdorf dan Schlickeisen mendapat beberapa sengatan yang menyakitkan di tangan dan di wajah, sehingga mereka lari kembali ke rakit. Mustahil memberi bantuan terhadap para korban. Mereka sendiri, untuk menghindari serangan lebih lanjut, terpaksa menyalakan api dan berlindung di balik asap tebal.
Tidak ada lagi suara yang terdengar dari kedua sampan, yang terbawa arus danau dan hanyut dengan tenang ke arah muara kanal di luar capaian serangga-serangga yang mendendam itu. Segera setelah menduga kemarahan lebah-lebah itu reda dan telah terbang kembali ke pohon, Dalim dan Bapa Andong memutuskan untuk mendekati kedua sampan yang hanyut untuk mengetahui apa yang dapat diambil. Yohanes, Wienersdorf, dan tiga orang upahan menemani mereka. Ketiga orang ini membawa sepelukan cabang kayu damar yang masih hijau untuk dinyalakan dalam keadaan darurat guna melindungi mereka dengan asap.
Pemandangan yang terlihat ketika mereka mendekati kedua sampan itu sangat memilukan. Empat penumpang sampan ditemukan sedang kesakitan bergulat melawan maut dan menunjukkan gejala- gejala tidak waras; sementara lengan, tangan, wajah, bahkan semua bagian tubuh mereka penuh dengan bekas kemurkaan lebah-lebah, bengkak-bengkak, rusak serusak-rusaknya, hingga tidak lagi berwujud manusia. Semua pingsan karena rasa sakit yang amat sangat.
Untuk mencegah serangan baru, kedua sampan itu dibawa ke tengah-tengah kanal. Ketika sudah sampai di situ, mereka, terutama kedua orang Eropa, mulai memberikan bantuan. Mereka memberi para penderita air minum, menggosok wajah dan anggota tubuh yang bengkak dengan minyak kelapa dan menggunakan berbagai ikhtiar lain untuk mengurangi penderitaan. Ketika mereka sibuk, sampan yang ditinggalkan oleh Dambung Papundeh untuk menjaga kanal datang membantu. Bantuan obat-obatan tampaknya merupakan
kebutuhan utama. Untuk mendapatkan ini, pelayaran pulang segera diputuskan. Duabelas prajurit dibagi dalam tiga sampan, dan armada kecil itu mulai berangkat pulang.
Dalim mengusulkan menemani mereka sampai di Sungai Kapuas untuk membantu mereka melayari kanal yang berkelok-kelok. Menjelang sampai dijalan keluar, keempat penderita meninggal dan kondisi tiga orang lainnya, termasuk Dambung Papundeh, menjadi semakin gawat. Karena itu Dalim menyarankan betul kepada para pribumi untuk mendayung sekuat tenaga ke kampung terdekat di mana mereka bisa mendapatkan bantuan lebih lanjut.
Sebelum berpisah, Wiendersdorf sekali lagi menengok yang luka dan membekali mereka dengan tempurung kelapa yang telah diisi air untuk menghilangkan dahaga. Yohanes, sementara itu, meng?ambil bendera-bendera yang dibawa oleh dua sampan besar sambil menekankan akan menggunakan bendera-bendera itu sebaik-baik?nya. Ia juga menemukan perintah tertulis yang ditujukan kepada Dambung Papundeh. Perintah ini, dengan cap resmi, ditemukan di dalam satu kotak bambu yang diletakkan di bawah tempat duduk Dambung Papundeh. Kemudian kedua sampan itu dilepaskan dan membiarkan arus menghanyutkannya, dan segera saja kedua sampan itu lenyap dari pandangan.
Pertama-tama yang harus dilakukan setelah keberangkatan armada kecil Dambung Papundeh adalah membawa rakit yang kini telah sarat dengan muatan dari danau ke arah sungai. Begitu selesai mereka berjabat tangan dengan bersahabat, dan rakit yang lamban itu, selepas dari tambatannya, segera hanyut terbawa arus deras. Para petualang kemudian pindah ke sampan mereka sendiri, memancangkan bendera Belanda di atasnya, meneriakkan sorak gembira ke arah rakit, membenamkan dayung mereka ke dalam air dan segera menghilang dari tatapan para sahabat yang telah bekerja keras dan menghadapi kesulitan bersama dengan gagah-berani.
Yohanes kini memperingatkan teman-temannya, bahwa sejak jejak mereka diketahui maka segala sesuatu bergantung pada kece?patan. Mereka lolos semata-mata karena kebetulan, dan pada ke?sempatan kedua mungkin mereka tidak lagi beruntung. Ia menghi?tung, mereka punya keuntungan lima hari, dan dengan lebih sedikit mengerahkan tenaga mereka dapat menempuh jarak yang jauh dan
barangkali sudah berada di luar jangkauan Belanda. Karena itu me?reka memutuskan untuk mendayung siang-malam.
Sampan yang disiapkan oleh Baba Pucieng untuk para desertir itu sungguh luar biasa. Sampan itu dibuat ramping dan lunasnya runcing sehingga mudah meluncur di atas air.
"Syukurlah, sudah berakhir!" kata La Cueille, ketika mereka sedang istirahat pada malam hari sambil menyiapkan makan ma?lam. "Peristiwa demi peristiwa bersusulan dengan cepat. Kemarin dulu kita punya satu tarian dan tadi malam ada pertunjukan serupa. Menurutku, semua pengayau dari Kalimantan sedang mengikuti kita."
"Mustahil," jawab Yohanes. "Mereka yang semalam sama dengan orang-orang yang menyerang kita sebelumnya. Apakah kamu kira mereka tidak membuntuti kita lagi" Sedikitpun tidak."
"Tapi siapa yang merancang strategi memancing mereka dalam lorong sempit itu, dan dari mana api tiba-tiba muncul" Tampaknya seperti keajaiban."
"Untuk ini semua kamu harus mendoakan Bapa Andong," jawab Yohanes. "Ia telah menumbuk sejumlah besar damar sepanjang hari dan menaburkannya pada ayakan rotan di atas lapisan minyak yang dituangkan pada piring. Tumbukan damar itu siap dinyalakan dengan sedikit api yang aku berikan dalam bentuk kotak korek api."
"Tapi, ah!"seru Wienersdorf, "benar-benar menghancurkan nyawa manusia! Ini benar-benar merupakan perjalanan yang mengerikan dan tidak seorangpun tahu kapan dan bagaimana berakhirnya!"
"Tak usahlah kita memikirkan soal itu sekarang," kata Yohanes. "Kita sekarang berada di sampan dan harus berlayar."
Kini Schlickeisen mencoba mengalihkan percakapan ke arah lain. "Alangkah indahnya danau itu," katanya, "yang kita masuki de?ngan rakit Bapa Andong. Aku terpesona pada pandangan pertama. Permukaannya yang mulus dan tidak beriak itu memantulkan pemandangan sekitar dan langit yang begitu bersih dan biru; kelokan- kelokan dan anaksungai-anaksungai yang ada hampir tak tampak di bawah pekatnya warna hijau hutan-hutan perawan; tanjung-tanjung dan dataran-datarannya yang menjorok seolah merindukan air be?ning; dan yang tak kalah menakjubkan, hutan belantara itu, seperti bingkai cermin, dengan tumbuhan merambat dan membelit yang
fantastis, pohon-pohon raksasa yang menegaskan kesuramannya tapi bersinar menantang langit yang indah dan bercampur-baur dengan anggrek-anggrek yang cantik dan bunga-bunga yang elok"semua ini memperlihatkan pemandangan indah yang membuat aku terpesona hampir beberapa saat."
Wienersdorf, yang duduk, larut dalam lamunan. Ia tampak sangat terpukau oleh deskripsi itu. Ia pelan-pelan mengangkat kepalanya, memandang ke arah si pembicara dan mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia tampak telah meninggalkan pikiran-pikiran murung?nya, dan wajahnya mencerminkan kebenaran kata-kata yang diucap?kan oleh temannya itu.
"Oh, benar! Danau itu memang indah," katanya, ketika yang lain terdiam. "Sangat indah dalam kesunyiannya. Semuanya bersinar dan mengkilap di bawah sinar matahari tropis seperti berlian-berlian yang baru lepas dari tangan Sang Pencipta."
"Ha! Ha! Ha!" tertawa Yohanes.
"Apa yang kamu tertawakan?" tanya Wienersdorf agak men?dongkol.
"Lanjutkan, lanjutkan!" kata Yohanes, masih tetap tertawa. "Jangan biarkan rayuan puitismu terganggu oleh kata-kataku yang membosankan. Aku suka mendengarkan kamu."
"Saya merasa terhormat," Wienersdorf melanjutkan, "terutama karena tepian-tepian danau itu tidak teracuni asap-asap pabrik; tak ada kapal-uap yang berderum di atas permukaan danau yang tenang; tidak ada bunyi peluit-uap yang memecahkan ketenangan dan kesunyian suci pada tepi-tepinya, dan tak ada gerombolan manusia yang mengejar keuntungan dan makan riba. Di sana orang merasa sendiri, sendiri di bawah mata Tuhan."
"Semuanya sangat indah! Aku ingin sekali bisa berbicara seperti itu," sela Yohanes tajam. "Betapa manusia bisa menjadi buta ketika dia larut dalam rapsodi puitis, atau betapa manusia dengan cara yang berbeda memandang sesuatu apa adanya. Benar, kita tidak melihat asap pabrik atau mendengar bunyi peluit lokomotif yang bersiung- siung atau kapal-uap yang meluncur di atas danau; tak ada pengusaha pabrik yang getol memaksakan cara mereka pada para saudagar yang resah; tapi itu semua adalah persoalan-persoalan yang harus lebih disesalkan daripada dipesonai. Selain daripada itu, apa yang telah kita temukan" Sebagai ganti asap tebal pabrik, kita menyaksikan
rangkaian bunga api di mana para pembunuh sedang memanggang kepala-kepala manusia yang tertangkap untuk dilepaskan dari da?gingnya. Sebagai ganti bunyi peluit-uap kita mendengar jeritan perang iblis-iblis itu, ketika mereka menyergap para korbannya yang sedang tidur, dan jeritan itu merupakan tanda peringatan kematian, ketika yang diserang dapat lolos hanya dengan menjadikan dirinya juga sebagai pembunuh. Dan kamu bisa-bisanya membandingkan ini semua dengan berlian yang baru lepas dari tangan Sang Pencipta dan mengatakan merasa sendirian seperti berada di hadapan Tuhan" Apakah itu semua pujian untuk Yang Mahakuasa" Bagaimana de?ngan orang-orang buas yang menyerang kita dengan pedang-pedang terhunus" Bagaimana dengan orang-orang Dayak yang mengepung kita di rakit" Apakah mereka bukan manusia" Sendirian, dan sen?dirian bersama Tuhan"! Tidak, tidak diragukan lagi kita telah digiring untuk berhubungan dengan manusia, manusia-manusia dari jenis terendah. Sebagian mereka tidak berperikemanusiaan, bernafsu untuk membunuh; manusia-manusia yang senang dengan bunyi gemeretuk kematian dan deguk darah."
"Sudah, sudah!" sela Wienersdorf. "Aku tidak sedang membela pengayauan. Aku mendukung sepenuhnya kejijikanmu itu. Tapi Da- yak-Dayak lain yang telah kita lihat benar-benar manusia yang bekerja keras demi hidup. Mereka adalah orang-orang yang puas dengan apa yang diwariskan oleh alam, selama berbulan-bulan tinggal bersama dalam belantara di mana mereka bekerja keras mengumpulkan hasil- hasil hutan"orang-orang seperti Bapa Andong."
"Bapa Andong dan kelasnya punya kesalahan-kesalahan, seperti dapat kuperlihatkan," kata Yohanes; "meskipun mereka merupakan perkecualian dari kebiasaan umum. Kamu akan lihat hanya sedikit orang Dayak yang kaya, dan kenyataan ini, dibandingkan dengan sumberdaya alam yang dimiliki hutan-hutan mereka, akan menjadi bukti betapa sengsara dan borosnya ras ini. Tengoklah tempat tinggal mereka; semua berupa gubuk-gubuk paling sederhana di muka bumi ini; tengoklah pakaian mereka. Ketika berpakaian lengkap, pakaian mereka hanya terdiri atas kain-kain lusuh yang kotor dan mengibakan, yang sebagian besar dari anyaman kulit kayu dan hampir tidak berbeda dengan kulit yang dimiliki seekor binatang sebagai satu- satunya penutup badan."
"Apa yang kamu ceritakan padaku memang sangat mengibakan," jawab Wienersdorf getir. "Manusia hampir seperti kutukan bagi pulau yang indah ini."
"Sebaliknya, negeri ini merupakan kutukan manusia," Schlic- keisen menjawab berapi-api. "Negeri ini terlalu kaya, ia mengha?silkan kekayaan tanpa perlu orang bekerja. Orang hanya cukup membungkuk untuk memungut hasilnya. Ini membuat mereka malas; dan kemalasan, kamu tahu, adalah akar semua kejahatan."
Ini menyentuh luka yang menggerogoti eksistensi manusia di wilayah milik Belanda yang paling kaya dan paling luas ini. Selama bertahun-tahun Kalimantan dijajah Belanda, dan dengan hati penuh dengki Belanda mencoba menjauhkan bangsa-bangsa lain yang mendekati pulau itu; mereka tidak berbuat apapun untuk mendorong penduduknya untuk giat bekerja.
Makan malam telah selesai dan jam istirahat telah lewat, orang- orang itu pun mengayuhkan kembali dayung mereka dengan tenaga baru dan perjalanan dilanjutkan.
Bab 9 TIGA hari dua malam berlalu tanpa terjadi insiden. Tampaknya pulau itu tidak berpenghuni. Tidak seorang manusiapun tersua selama itu, tidak satu perahupun tampak, bahkan tidak ada kepulan asap yang menunjukkan adanya gubuk di mana pribumi berjuang untuk hidup yang paling sederhanapun. Sesekali sekawanan monyet muncul dari pinggiran hutan, kemudian segera menghilang lagi di tengah-tengah dedaunan hijau sambil mengeluarkan jerit ketakutan dan menampakkan muka-muka menyeringai yang amat mengerikan. Kadang-kadang pula seekor ikan besar mengganggu ketenangan air dan muncul di permukaan. Ini semua yang mereka saksikan untuk meyakinkan diri bahwa kehidupan binatang tidak sirna dari Kalimantan.
Mereka mendayung tanpa henti. Sampan yang dikemudikan oleh Dalim telah melewati sejumlah jalan pintas, dan dengan cara itu mereka menghindari banyak kelokan sungai dan membuat banyak kemajuan. Malam ketiga telah dilalui separuh ketika para pengelana itu mendekati Kuala Hiang.
Benteng ini dibangun di muara Sungai Hiang atas perintah Peme?rintah Belanda untuk mencegah ekspedisi-ekspedisi perompakan masuk ke negeri Kapuas. Benteng itu dipersenjatai empat pucuk meriam kecil dan dijaga oleh 50 orang Dayak dari Kuala Kapuas.
Dalim berulang kali berbisik kepada Yohanes berkenaan dengan bahaya yang bisa mucul di tempat ini. Tidak diragukan lagi, sangat tidak mungkin garnisun itu telah dilapori tentang pelarian empat serdadu Eropa. Apalagi mereka semua tahu Dalim dan teman-teman Dayaknya berada di bawah pengawasan polisi. Semua orang di Kuala Kapuas akan mengenal mereka; jika itu diketahui, kepala Kuala
Kapuas, Temenggung Pati Singa Jaya, pasti akan menangkap dan mengirim mereka kembali ke Kuala Kapuas. Menghindari benteng, dan dengan demikian mencegah mereka ketahuan, juga mustahil, karena tidak ada jalan pintas di bagian sungai ini untuk menghindar dan mencapai anaksungai-anaksungai di beberapa tempat.
Yohanes berpikir keras. Akhirnya ia mengusulkan melewati Kuala Hiang pada malam hari selarut mungkin. Garnisun Dayak pada waktu itu kiranya sudah tidur lelap dan sampan bisa lolos tanpa diketahui.
Usul ini disepakati; tetapi untuk menyiapkan keadaan darurat, Yohanes dan La Cueille sibuk memasang dua meriam kecil yang diambil dari Sungai Naning pada dua potong kayu keras, dan mon?cong-moncongnya diarahkan ke darat. Kedua meriam itu diisi dengan peluru-peluru kosong.
Malam sangat gelap ketika mereka sampai di perbentengan. Dayung diayunkan hati-hati dan hampir tidak terdengar. Dalim me?ngemudikan sampan ke bagian tepi sungai yang terlindung di mana benteng itu tegak berdiri. Mereka maju berlahan-lahan dan hampir mendekati batas hutan ketika tiba-tiba terdengar suara berteriak,
"Hei, apa yang dilakukan orang-orang itu di sini?" dan belum lagi jawaban diberikan, satu tembakan dilepaskan menembus atap sampan.
Keputusan tidak dapat ditarik kembali.
"Mereka menembak orang-orang Belanda!" Yohanes berteriak keras dalam bahasa Dayak. "Kota ini telah diduduki para pemberon?tak! Maju, tembak para pembunuh itu! Tembak, tembak mereka!"
La Cueille, atas perintah Yohanes, menembakkan kedua meriam tanpa menimbulkan cedera, menerangi malam yang gulita dengan leretan sinar dan suara seperti guntur ketika gema peluru meriam berpantulan di antara tepian sungai. Yohanes dan Dalim, dengan empat senapan, melepaskan tembakan ke arah benteng dan dengan cepat mengisi kembali senapan mereka. Dua orang Swiss melepaskan tembakan jitu dengan senapan-senapan repetitir mereka, yang membuat orang-orang Dayak di benteng percaya bahwa satu pasukan besar, sepuluh kali lebih kuat daripada yang sesungguhnya, telah ikut beraksi.
Para petualang tetap menembak dengan bersemangat sampai sekitar seratus tembakan ketika Yohanes memerintahkan untuk berhenti. Tidak ada suara yang terdengar. Garnisun Dayak telah
terbangun dari tidur mereka karena bunyi tembakan, tetapi orang- orang ini menjadi ciut nyalinya jika mendengar bunyi tembakan senjata-api. Jadi ketika seharusnya mengambil senjata, mereka justru panik dan melarikan diri lewat gerbang belakang benteng, menghilang ke dalam hutan. Begitu tergesa-gesanya mereka sampai beberapa orang di antara mereka hampir patah lehernya ketika me?nuruni tangga, dan pelarian mereka dipercepat ketika mendengar Yohanes mengeluarkan aba-aba dalam bahasa Belanda. Ini membuat mereka menyangka bahwa mereka sedang diserang oleh orang-orang Belanda; ketakutan ini dibenarkan oleh para pengawal benteng, yang dengan yakin mengatakan bahwa mereka melihat bendera Belanda berkibar di ujung sampan.
Kesenyapan mencekam benteng. Beberapa jerit teror terdengar dari arah hutan di kejauhan. Kini La Cueille mengisi kedua meriam dengan peluru dan menembakkan ke arah asal suara-suara itu. Peluru- peluru mendesing melintasi hutan dan menyertai para pelarian.
Yohanes kemudian ke tepi sungai sementara yang lain berjong?kok siaga dengan senapan di tangan untuk melindungi teman mereka yang ada di belakang. Yohanes segera kembali dan memberitahukan bahwa benteng telah kosong. Kecuali dua orang Dayak yang diting?gal untuk mengawasi sampan, selebihnya kini meloncat ke darat. Orang-orang Eropa segera menutup dan memalangi benteng bagian belakang. Tiga orang di antara mereka mengawasi dengan tajam untuk mencegah kemungkinan baliknya garnisun tadi; sementara Yohanes, ditemani oleh Dalim dan lain-lain, memeriksa dengan cermat tempat itu. Mereka menyita peluru-peluru dan mesiu yang ditemukan, dan dibantu oleh orang-orang upahan semua peluru dan mesiu itu diangkut ke sampan. Mereka juga merampas empat pucuk meriam kecil dan 40 senapan yang merupakan persenjataan garnisun itu.
Setelah seluruh benteng diperiksa dan beberapa senapan di?ambil lagi, termasuk beberapa keranjang tembakau, Yohanes meng?ambil sepotong kayu yang terbakar dan melemparkannya ke arah tumpukan kayu bakar yang disimpan di gudang. Dalam waktu singkat api menyebar dan para petualang itu harus segera menghindar agar cepat sampai ke sampan, yang membawa mereka keluar dari bahaya ke tengah-tengah sungai. Beberapa jukung kepunyaan benteng yang ditambatkan di satu anaksungai terdekat ditenggelamkan tanpa
ampun. Kemudian mereka meneruskan perjalanan, meninggalkan benteng yang terbakar hebat, cahayanya menerangi sungai dan mengubah malam jadi siang.
"Aha!" Yohanes berkata gembira, "ini adalah cahaya penghor?matan terhadap pelarian kita."
"Tapi apakah itu bukan cahaya tanda tindakan bodoh?" Wieners- dorf bertanya. "Apakah penyerangan terhadap garnisun ini perlu" Aku kira kita dapat lolos tanpa rintangan atau perkelahian, dan pembakaran itu barangkali dapat kita hindari."
"Pembakaran!" Yohanes berkata marah. "Pernyataanmu agak keras! Tidak, itu tidak mungkin dihindari; perhatian orang-orang itu harus dialihkan dan mereka sendiri terpaksa melarikan diri. Tidak, aku bersikukuh pada pendapatku bahwa dalam keadaan seperti ini merebut benteng dan menghancurkannya adalah keharusan."
Meskipun Yohanes berkata dengan penuh keyakinan, ia tidak tahu bahwa penyerangan itu berdampak langsung terhadap pelarian mereka. Ia akan segera menyadari akibat-akibat perhitungannya; pada saat itu bahaya lain yang lebih besar daripada yang baru diatasi siap menghadang.
Pembaca tentu masih ingat pada hari keberangkatan Dambung Papundeh. Komandan Kuala Kapuas memerintahkan Temenggung untuk siap dengan 50 orang Dayak bersenjata guna menemani sang Komandan melakukan ekspedisi ke hulu Sungai Kapuas.
Sampan dinas milik benteng, alat angkut yang bagus dan lapang, disiapkan dan diisi perbekalan; dan pada jam yang ditentukan Kolonel berangkat. Perintahnya kepada dokter ketika dia berangkat sangat tegas, yakni senantiasa bersiap-siaga dan terus-menerus mengirim berita atas semua peristiwa penting yang terjadi selama dia tidak berada di tempat.
Kunjungan yang pertama adalah ke Sungai Naning, tetapi Kolonel gagal mendapatkan berita penting yang bisa dipercaya. Ketika kalulus, sebutan barkas dinas dalam bahasa Dayak, yang bagus itu mendekat dan mengibarkan bendera Belanda di haluannya, yang diawaki oleh sejumlah besar pendayung, Ali Bahar melarikan diri ke dalam hutan. Dengan sendirinya istri Ali Bahar yang diinterograsi, tetapi si istri sangat ketakutan atas kunjungan tersebut hingga semua bahasa yang ramah dan bujukan yang ditujukan kepadanya oleh Temenggung Nikodemus Jaya Negara tidak berhasil mengorek informasi yang
diperlukan. Istri Ali Bahar juga bersikukuh menyatakan bahwa tidak ada muka-muka putih yang dilihatnya.
Usaha untuk mengejar Ali Bahar ke dalam rimba dilakukan, tetapi ternyata tidak berhasil, sehingga Kolonel memutuskan untuk meneruskan pelayaran.
Di Sungai Mantangei laporan-laporan yang diperoleh juga tidak memuaskan. Para pribumi tidak tahu-menahu dan tidak dapat menceritakan selain menyebutkan kunjungan-kunjungan yang per?nah berlangsung di situ sebelumnya. Akhirnya, setelah lama diper?timbangkan, diputuskan untuk mendayung ke hulu Sungai Kapuas sejauh Kuala Hiang untuk mencari informasi di sana, dan setelah itu, dibantu oleh sebagian garnisun benteng itu, mereka akan melakukan berbagai tindakan selanjutnya yang dianggap perlu.
"Anda akan lihat, Tuan," kata Temenggung tua itu, "kita akan ber?hasil baik dengan pergi ke sana. Para pelarian itu tidak mungkin men?coba lari ke arah Sungai Dusun. Di sana nyawa mereka tidak aman sedetik pun."
"Terus-terang saya berharap Anda benar," jawab Kolonel, "karena saya sudah sangat lelah meraba-raba dalam kegelapan ini."
Perjalanan lalu diteruskan dan segera informasi pertama yang penting diperoleh. Perahu Dambung Papundeh ditemukan, tetapi para korban masih dalam kondisi kritis, sehingga tidak ada sesuatu yang bermanfaat diperoleh dari mereka. Mereka menceritakan semua yang diketahui; bahwa mereka mendengar suara tembakan senapan yang gencar, yang mendorong mereka mendatangi Danau Ampang. Mereka menceritakan bahwa mereka diserang lebah, dan akhirnya menceritakan pula bantuan yang diberikan kepada para korban oleh Bapa Andong dan para penumpang rakit. Tetapi semua cerita ini hanya memberi sedikit keterangan tentang pokok masalah, karena mereka semua bersikukuh tidak melihat seorang kulit putihpun. Hanya ada bagian cerita yang sangat menarik perhatian Temenggung dan Kolonel, yakni tentang seorang Dayak bertubuh kekar, yang setelah merawat para korban dengan cermat kemudian mengambil dua bendera Belanda. Pencarian surat perintah tertulis yang diberikan kepada Dambung Papundeh dilakukan secara teliti, tetapi tidak ditemukan, dan tidak seorangpun yakin dokumen itu telah dicuri.
Kolonel dan Temenggung saling pandang selama beberapa menit. Tidak seorangpun dari keduanya dapat menarik kesimpulan atau
kesan. Tetapi Kolonel memutuskan untuk melanjutkan perjalanan sampai ke Kuala Hiang. Dia yakin mereka akan mendapatkan informasi yang lebih jelas di sana.
Kira-kira pukul satu dinihari mereka melihat muara Sungai Hiang; tetapi tidak terlihat benteng di tempat terbuka itu.
"Apa yang telah terjadi dengan kota?" tanya Kolonel heran.
"Saya juga sedang mencari-carinya," jawab Temenggung. "Saya tidak habis pikir; biasanya berada di tempat itu."
Sambil mengucapkan kata-kata itu ia menunjukkan jarinya ke arah yang diduga tempat benteng itu dibangun.
Setelah semakin dekat orang-orang itu menemukan sisa-sisa arang bekas kota itu. Sekarang jelas bahwa benteng itu telah terbakar. Tetapi apakah kerusakan itu akibat kebetulan atau karena hal lain"
Ketika Kolonel dan Temenggung sedang mendiskusikan masalah itu, beberapa tembakan yang tertuju ke arah mereka dari belakang dilepaskan dari semak-semak, dan desing peluru-peluru itu membuat panik orang-orang Dayak, para awak barkas dinas. Temenggung mengambil senapan burunya, Kolonel mengambil revolvernya, dan keduanya siap beraksi. Tetapi para pendayung, tanpa diperintah, membalikkan dayung sehingga sampan dalam waktu sekejap putar haluan dan bergerak mundur dengan cepat. Karena kemudian tepi sungai senyap, kepanikan mereka segera berkurang. Tenang seperti biasanya, tetapi tetap waspada, kepala suku tua itu meloncat ke darat tanpa senjata. Ia tinggikan suaranya dan berteriak lantang kepada para penyerang yang bersembunyi bahwa tidak ada bahaya; tidak seorangpun yang akan dilukai. Teriakannya tidak bersambut untuk beberapa saat, tetapi akhirnya terdengar jawaban. Dan setelah jeda cukup lama, kepala kota yang terbakar itu, Temenggung Pati Singa Jaya, keluar dari balik dedaunan yang rimbun. Ia berseru dengan ucapan kebencian yang sangat terhadap Belanda, menyebut mereka pengkhianat, pembunuh, perampok, dsb. Kiranya tidak ada kata-kata yang cukup keras untuk melampiaskan kedongkolannya.
Nikodemus yang tenang tetap membiarkan Pati Singa Jaya marah; tetapi, segera setelah menghela napas, sekarang ia mengerti bahwa kepala suku itu telah tertipu dan karena itu kesalahan tidak dapat ditimpakan kepada Belanda. Kemudian Temenggung menceritakan kepada Pati Singa Jaya bahwa Komandan Kuala Kapuas berada di
atas barkas dinas dan dengan gembira akan mendengarkan seluruh informasi mengenai apa yang telah terjadi di benteng itu.
Temenggung Pati Singa Jaya menceritakan semua yang terjadi sambil melebih-lebihkan sejumlah hal. Benteng telah diserang dengan tembakan meriam dan senapan, dan garnisun itu baru melarikan diri setelah benteng dihancurkan. Kolonel tersenyum ketika kata meriam disebutkan. Para disertir itu memang punya senapan, tetapi dari mana mereka mendapatkan meriam" Namun semua bukti yang didapat membenarkan pernyataan bahwa mereka telah ditembak beruntun dengan senapan kaliber besar, dan setelah mereka melari?kan diri, tembakan bertubi-tubi yang hanya dapat dilakukan dengan meriam ditujukan ke arah mereka. Kolonel mengernyitkan dahi dan mengangkat bahu, tidak tahu informasi mana yang harus dipercaya. Kini ia yakin bahwa dirinya berada pada jejak para desertir, karena semua diperkuat dengan pernyataan bahwa para penyerang itu telah menggunakan bahasa Belanda ketika memberikan komando. Bagaimana ia harus bertindak"
Tugas dan kehormatan, pikirnya, menuntut kerja keras. Dia tidak akan mencoba cara-cara yang mustahil, percaya pada keberuntungan semata.
Dengan meminta pendapat Temenggung, mereka akhirnya me?mutuskan untuk mendayung sampai ke kota Baru, di mana mereka akan memerintahkan penduduk mempersenjatai diri. Paling sedi?kit mereka bisa mengumpulkan beberapa ratus orang. Kekuatan semacam itu, ditambah kekuatan yang dapat dikumpulkan di sini, sejumlah orang bersenapan, akan membuat mereka lebih mampu menangkap para desertir.
Sementara itu para pelarian tidak tinggal diam. Mereka tahu bahaya yang menghadang. Tujuan mereka adalah mencapai hulu pedalaman, karena semakin jauh mereka dari Belanda, semakin aman mereka. Karena itu mereka mendayung sekuat tenaga, dan ke?tika hari mulai benderang, di langit sudah tidak tampak lagi kepulan asap benteng yang terbakar.
Mereka mendarat di salah satu tepian berpasir yang banyak ber?tebaran di sudut-sudut sungai itu yang menjorok, dan selagi makanan disiapkan mereka menyegarkan diri dan mengumpulkan tenaga dengan menceburkan badan ke dalam sungai yang airnya bening- dingin.
Setelah mandi dan kemudian menunggu nasi masak, orang-orang Dayak duduk melingkar membicarakan berbagai peristiwa yang terjadi beberapa hari lewat. Mereka mengingatnya dengan perasaan kagum terhadap keempat orang itu, yang meskipun kulitnya coklat seperti mereka, dan tingkah-lakunya sama sederhananya dengan mereka, mereka bertindak seperti setan tiap kali menghadapi kesu?litan. Perkelahian di atas rakit dan serangan terhadap benteng telah meninggalkan kesan yang mendalam di hati para pribumi itu. Me?reka tertawa gelak-gelak ketika mengingat bagaimana orang-orang senegeri mereka melarikan diri, dan mereka berulang-ulang men?ceritakan beberapa kejadian lucu yang menyertai penyerangan itu.
Orang-orang Eropa itu meregangkan badan dalam kelompok kecil di atas pasir putih bersih, merasa nyaman dapat menggerakkan kembali anggota badan mereka yang kaku karena tekurung di dalam sampan yang sempit. Berbagai peristiwa yang baru lewat juga menjadi bahan pembicaraan mereka, tetapi hanya sebentar.
Perhatian mereka tertambat pada keindahan sekitar. Cahaya pagi menyepuh langit dan tepian hutan, membuat sungai bagai banjir keemasan, seperti aliran emas cair. Sinar fajar yang terbit di timur mula-mula membentuk selarik garis merah jambu lembut yang samar, lambat-laun menutupi seluruh cakrawala dengan warna indah, dan semakin terang ketika matahari mendekati horizon. Alam memperoleh kemegahannya yang damai, yang meskipun ber?langsung tiap hari di daerah ini sangat jarang dinikmati oleh manu?sia yang beradab dan perenung. Tidak ada embusan angin yang terasa, tidak ada sehelai daunpun yang mendesir; hanya bisikan lembut sungai mengalir yang terdengar bagai sedang melantunkan doa pagi yang mulia dan penuh syukur. Kubah langit berlahan-lahan bersolek warna ungu gemerlapan. Beberapa saat lagi, di tengah- tengah kemegahan ini, akan terlihat jelas sesuatu di timur. Sesuatu itu lambat-laun membesar sampai mencapai seukuran bola api dan beranjak naik di cakrawala"matahari yang agung! Kini tidak hanya pucuk-pucuk pepohonan yang tersepuh sinar matahari; cahayanya menerobos di antara dedaunan dan cabang-cabang pohon, mengusir kegelapan malam dan membiaskan sinar dan kehidupan ke sudut- sudut belantara yang paling suram. Dalam warna yang menyala, la?ngit melukiskan keajaiban ini dan berbicara kepada manusia dalam
bahasa mengesankan yang hanya dapat didengar dan dipahami di tengah-tengah hutan tropis.
Ketika matahari semakin menjulang, warna merah lembayung menghilang. Sinar matahari memandikan segalanya dengan cahaya putih benderang, sementara kubah langit bersolek warna biru yang amat bersih, warna angkasa tanpa batas. Di tengah-tengah ketenang?an sempurna yang biasa menyertai hari pada jam-jam pertama di iklim tropis, muncul di langit biru suatu fenomena yang meskipun jamak di Kalimantan tidak terjadi tiap hari. Persis di atas kepala, para petualang itu melihat sekelompok awan laksana bulu-bulu kecil membentang dari selatan ke utara dan melukiskan tiap kelokan sungai. Itu semacam peta raksasa yang dibeberkan di angkasa, di atas mana sungai digambarkan dengan hidup bagai dilukiskan di atas tanah biru; warna biru keperakan angkasa semakin jelas begitu warna lembayung sirna. Dalam pantulan ini tepi-tepi Sungai Kapuas jelas sekali terlihat; tiap sungai ditunjukkan, bahkan danau-danau dan rawa-rawa sepanjang pinggir sungai tampak jelas. Terlukis, sungai menyempit ke arah utara dan melebar lagi ke arah selatan sampai ke cakrawala, ketika mencapai perbatasan hutan, dan menghilang di angkasa yang tidak terbatas. Tidak ada yang lebih sempurna daripada lukisan hidrografis ini, yang di satu sudutnya barangkali benar-benar tertulis huruf-huruf besar, "Skala ukuran alam", sementara di sudut yang lain mungkin tertulis pesan, "Deus sculpsit." (Pahatan Tuhan)
Para pengembara itu tenggelam dalam kekaguman. "Keindahan yang agung," Schlickeisen mengakui, dan menambahkan dengan bersemangat, "Langit memuji keagungan Tuhan dan cakrawala menunjukkan hasil ciptaan-Nya."
"Apa yang menyebabkan pantulan semacam itu?"
"Aku sedang berpikir," jawab Wienersdorf, "dan juga mencoba menjelaskan pendapatku mengenai terbentuknya pantulan itu. Penguapan massa air yang amat besar di tanah berawa seperti Kalimantan dan akibat pengaruh matahari tropis menyebabkan awan lebih banyak terbentuk di sini daripada di bagian lain bumi ini. Aku kira, dengan atmosfer yang sangat kering dan amat tenang, uap-uap ini, yang terbentuk di atas tiap lapisan air, naik tegak lurus dan ketika sampai di daerah yang lebih tinggi mengonsentrasikan diri dalam bentuk awan-awan bulu yang tampak oleh mata kita. Jika daerah di atas sana sama tenangnya, maka awan-awan kapas itu berkumpul tepat di atas sungai-sungai dari mana air itu berasal dan tampak seperti duplikatnya."
"Penjelasan yang bagus sekali," puji Schlickeisen, "tapi butuh satu lagi penjelasan sebelum kusampaikan terimakasih kepada teman kita ini. Katamu, awan-awan bulu naik setelah terjadi penguapan yang terbentuk dari lapisan air. Sekarang, karena seluruh bagian berawa Kalimantan di mana kita kini berada bisa dianggap sebagai pembentukan lapisan air yang saling berlekatan, bila pembentukan lapisan air itu terjadi dengan cara seperti yang kamu gambarkan, mengapa hanya ada bayangan satu sungai atau aliran saja" Mengapa tidak seluruh cakrawala tertutup jejaring awan yang sama?"
"Itu hanya mungkin," jawab Wienersdorf, "jika penguapan di atas tanah-tanah berawa berlangsung tanpa terganggu; atau dengan kata lain, jika apa yang terjadi di atas sungai dan danau itu dapat berlangsung di sembarang tempat. Tetapi dedaunan lebat hutan perawan tersebar di atas rawa-rawa dan membentuk semacam atap yang sulit ditembus. Pada malam hari terjadi radiasi, cabang-cabang dan daun-daun menjadi dingin dan kabut yang terbit mengembun, bersentuhan dengan cabang dan daun-daun itu dengan cara yang sama seperti ketika partikel-partikel uap yang lembab menempel pada jendela kamar yang dipanasi. Lihatlah sendiri apakah pohon-pohon yang bersalut embun banyak atau tidak. Embun ini akan membentuk awan-awan bulu hanya jika bisa naik ke atas. Ia akan menguap cepat segera setelah cabang-cabang dan daun-daun bertemperatur sama dengan atmosfer sekitarnya. Karena itu, hutan, berkaitan dengan penguapan, membentuk suatu atap horisontal, suatu dataran yang menyilang di atas sungai, danau, dan lain-lain, dan membiarkan atom- atom air yang menguap lenyap pada jam-jam pertama pagi hari; di tempat lain, atom-atom yang menyatu itu jatuh ke bawah. Aku yakin telah memberikan penjelasan yang memuaskan. Bagi diriku sendiri alasan-alasan ini cukup untuk menjelaskan asal-muasal lukisan- angkasa yang baru saja kita kagumi, dan sekarang telah menghilang diembus angin tenggara."
"Aku sangat puas dan senang dengan caramu menerangkan," jawab Schlickeisen.
"Aku juga," kata Yohanes; "kuucapan rasa terimakasihku yang
paling tulus atas kuliahmu yang jelas dan menarik; tapi nasi yang telah siap dan dibagi menurut jatah oleh orang-orang Dayak kita, terhidang di atas daun-daun lebar. Kita semestinya punya waktu untuk memakannya, tetapi sekarang ini aku perintahkan semua kembali ke sampan dan melanjutkan mendayung. Tak boleh ada waktu yang hilang dalam upaya mencapai kota Baru."
Matahari hampir terbenam ketika mereka tiba di kota Baru. Dalim dan Yohanes naik ke darat. Para penduduk, melihat satu sam?pan mendekat dengan bendera Belanda, dipenuhi rasa ingin tahu. Yohanes, sambil menunjukkan perintah tertulis yang diambil dari Dambung Papundeh, meminta 20 orang pengayuh untuk menda?yung sampan sampai ke hulu sungai. Tentu saja tidak seorangpun yang dapat membaca dokumen itu; tetapi karena disertai lambang Belanda, sebagaimana biasa dicap dengan lak merah, dokumen itu berpengaruh. Kesan pun bertambah dengan janji upah satu dollar- Spanyol per hari dan persenan tembakau. Terutama sekali yang terakhir tidak dapat ditahan, dan ketika Yohanes mengeluarkan daun bernikotin itu dan menghadiahkan sebungkus kepada kepala dusun, kesepakatan dapat diambil dengan cepat. Tepuk tangan keras menyusul. Para lelaki tegap berebutan mengajukan diri, dan tidak lama setelah terpilih, mereka membawa tikar kecil dan bantal ke dalam sampan, memegang dayung dan siap memulai perjalanan. Yohanes berbisnis yang menguntungkan di sini. Ia menukar dua ke?ranjang tembakau dengan lima pikul beras dan satu kantong garam. Dalam pikirannya, mereka kini telah berperlengkapan penuh untuk seluruh perjalanan, terutama dengan adanya duapuluh pendayung yang diupah untuk sepuluh hari. Empat orang upahan Bapa Andong dipercayakan kepada kepala kota itu untuk dipulangkan ke Kuala Kapuas pada kesempatan paling awal. Yohanes, yang sedang dalam suasana hati enak, memberi mereka masing-masing satu dollar- Spanyol sebagai upah kerja sukarela mereka dan menyatakan puas dengan bantuan mereka. Semua negosiasi ini, harus diingat, dilakukan atas nama Pemerintah Hindia-Belanda. Perahu berbendera dan surat berstempel membuktikan bahwa Yohanes adalah agen orang kulit putih yang secara resmi ditugaskan membuka komunikasi dengan Olo Ot, dan melaporkan sikap mereka terhadap pemerintah. Bayar?an besar kepada para pengayuh dan hadiah tembakau yang baru saja dibagi-bagikan memperkuat kepercayaan umum, dan penduduk
menjadi yakin bahwa mereka sedang berhubungan dengan wakil Pemerintah Belanda.
Karena tidak ada matauang yang beredar di kota Baru, dan tidak ada yang dapat didapat di pedalaman Kalimantan kecuali dengan barter, Yohanes menukar semua uang para pengembara itu dengan kain cita, linan, dan serbuk emas. Logam mulia ditemukan dalam jumlah kecil di pasir aluvial sungai di lain tempat, tetapi karena di kota Baru biasa digunakan sebagai upah, maka serbuk emas di kota ini menjadi barang dagangan biasa. Yohanes, sebagai pejabat Pemerin?tah Belanda, diperlakukan istimewa dan membayar 55 gulden untuk satu tahil emas yang nilainya di Banjarmasin sampai 60-70 gulden.
Setelah tinggal selama dua jam, didorong 26 pasang dayung, sampan melesat dengan kecepatan kilat dan segera lenyap dalam perjalanan ke hulu.
Kini diatur, pada malam hari 20 pendayung terus-menerus mengayuh bergantian sementara enam orang lainnya istirahat selama dua jam dan menggantikan enam orang lainnya, yang pada gilirannya menikmati dua jam tidur. Sampan, karena dijalankan dengan cara yang efisien, melaju dengan tenang dan cepat.
Obrolan orang-orang Eropa itu, yang tidak pernah surut betapapun bersemangatnya mereka mendayung, beralih pada fauna daerah yang sedang dilintasi.
"Kecuali sejumlah buaya dan gerombolan monyet yang memanjat pohon seperti anak-anak nakal, sampai sekarang kita masih sedikit saja melihat kehidupan jenis binatang lain di pulau ini," kata Schlickeisen. "Jenis binatang seharusnya banyak terdapat di negeri seperti ini."
"Tentu saja tidak," jawab Yohanes. "Kenyataannya, dalam hal ini Kalimantan miskin dibandingkan dengan pulau-pulau besar lainnya di Kepulauan Hindia-Belanda ini. Kita tidak punya badak, gajah, atau macan, bahkan kuda sekalipun. Pulau ini dipenuhi ular, sebab tanahnya berawa. Banyaknya ular ini pada gilirannya membuat sedikit burung yang dapat dilihat di daerah-daerah hilir, karena reptil- reptil ini merayapi pohon untuk mengambil sarang-sarang burung, mengisap telur-telur, atau menelan anak-anaknya."
"Tampaknya aneh bahwa hanya pulau ini, yang berada di tengah- tengah Kepulauan Hindia, yang samasekali kehilangan binatang- binatang bagiannya."
"Kehilangan samasekali bukanlah pernyataan yang tepat," sela Yohanes. Sampai sekarang kita belum melihat banyak pusat pulau yang besar ini, sebagaimana dikatakan oleh Wienersdorf. Kita akan menjumpai sejumlah besar monyet sebagaimana terdapat di mana- mana. Kita sekarang berada di surganya orangutan, Homo silvarum, yang telah dilihat Darwin ketika mengemukakan teorinya mengenai leluhur nenek moyang kita, dan ia telah memberikan pujian yang buruk pada monyet-monyet itu dengan menjadikan kita sebagai keturunan mereka. Kawanan rusa menjelajahi hutan-hutan dan dataran tinggi, yang jumlah dan ragamnya akan membuat kamu mengubah pendapat dan membantah pernyataanmu mengenai mis?kinnya kerajaan binatang."
"Daging punggung rusa akan disambut dengan gembira," usul La Cueille sambil mengecap-ngecapkan bibirnya; "aku yakin hanya minta sepotong kecil saja dari segumpal besar, aku tidak minta terlalu banyak."
"Bersabarlah, Sobat! Semua ada waktunya. Kembali ke pokok pembicaraan kita. Apa kamu tidak berpikir bahwa ini negeri yang bahagia, di mana di darat orang hanya takut terhadap sesamanya, dan di air terhadap makhluk yang tidak pernah kenyang, buaya?" "Tapi apa penyebab tiadanya binatang-binatang besar di Kali?mantan ini, sementara di pulau-pulau lain dijumpai sejumlah besar binatang besar?"
"Aku pernah membaca ada sederetan pulau yang berawal dari teluk Pegu di Timur Jauh dan barangkali dihubungkan dengan Guinea Baru. Dalam perjalanan waktu, lantaran ledakan dan gempa bumi, terbentuklah berbagai selat yang kini memisahkan pulau-pulau itu dan membiarkan air Samudra Hindia masuk ke Laut Cina. Jika bisa dipercaya, teori ini dapat menjelaskan tentang adanya sejumlah besar binatang di pulau-pulau itu, yang sejak penciptaannya telah tersebar di seluruh Hindustan dan Timur Jauh."
"Penjelasan itu sangat sesuai untuk pulau-pulau yang disebut; tapi untuk Kalimantan alasannya masih tetap misteri."
"Sabar; aku belum lagi selesai. Pada waktu rangkaian pulau itu masih merupakan satu benua, Kalimantan belum ada. Situsnya masih tertutup samudra yang merentang dari Jawa sekarang sampai pantai Cina, berbatasan di barat dengan Sumatra, Malaka, dan Kocin Cina, dan di timur dengan Sulawesi dan Kepulauan Filipina."
"Penjelasan yang bagus," puji La Cueille; "itulah alasan mengapa tidak ada gajah, badak, macan yang berenang di atas air yang luas ini.
Yohanes, yang memandang dengan sikap menghina terhadap si Walloon, tanpa menghiraukan interupsi itu, terus melanjutkan.
"Di tengah-tengah lembah yang luas ini, berbagai macam gosong karang kecil memunculkan puncak-puncaknya yang rata ke atas per?mukaan air. Dengan naiknya dasar laut secara lambat-laun, batu dan lempung di atas mana gosong-gosong karang ini bertumpu lama- kelamaan muncul juga ke permukaaan air. Bentuk yang dihasilkan berupa rangkaian pegunungan yang membentang dari timur laut ke baratdaya, dan beberapa cabang mataair muncul dari pegunungan itu. Demikianlah Kalimantan mendapatkan bentuknya yang seka?rang, yang cepat atau lambat akan lenyap lagi."
"Kenapa?" tanya Schlickeisen.
"Karena pulau ini belum terbentuk utuh. Apakah naiknya tanah ini masih berlangsung aku tidak tahu. Biarkan orang lain yang men?jawab soal ini, dan serangkaian pengamatan harus dilakukan untuk memperoleh fakta. Tapi naiknya deposit aluvial masih berlanjut, dan menakjubkan melihat air laut surut dan memunculkan daratan luas di pantai selatan. Terutama hutan cemara yang menjadi ukuran. Pohon- pohon kecil yang tingginya hanya beberapa inci saja ditemukan di dekat tepi laut; jajaran tumbuhan di belakangnya sedikit lebih tinggi dan gradasi ini terus berlanjut sampai satu atau duaratus yard dari laut, ketika kita tiba di hutan-hutan lebat, di mana tumbuh pohon- pohon yang tingginya sampai 30 kaki. Meningkatnya tinggi pohon secara gradual ini hampir tidak terlihat, hanya dedaunan yang dapat dilihat dari laut, yang membentuk semacam lereng mulus warna hijau yang paling murni."
"Semua ini dijelaskan dengan cerdas," kata Wienersdorf, tengge?lam dalam lamunan. "Tapi apa dasar hipotesis kenaikan yang gradual ini" Apakah ini teori yang ditemukan oleh para sarjana Eropa lewat penelitian, atau telah dibuktikan dengan fakta-fakta?"
"Oleh fakta-fakta positif, sahabat Swissku! Barangkali kita akan melewati batas-batas formasi kapur besok, jika kita lebih cepat. Ke- mudian-dalam karang yang kamu kumpulkan, dalam pecahan ke?rang-kerang laut, dsb., yang nanti kamu lihat-kamu akan saksikan bukti-bukti bahwa laut pada suatu masa telah menghempaskan ge?
lombangnya ke sana. Tapi jangan kamu bayangkan hanya di Sungai Kapuas saja terdapat pecahan-pecahan batu karang dan kerang- kerang. Kamu akan temukan formasi yang sama di tepi-tepi sungai yang sejajar dengan Sungai Kapuas. Koinsiden yang paling gamblang atas semua ini adalah jika kamu menarik garis sepanjang formasi kapur, suatu bukti tak terbantahkan mengenai adanya pantai pada dahulu kala, dan garis pantainya hampir sama dengan rangkaian pegunungan tengah dan yang menjadi dasarnya."
"Apakah tidak ada tradisi-tradisi negeri ini yang menunjukkan kondisi semacam itu?"
"Pasti. Banyak legenda dan cerita di kalangan berbagai suku Dayak yang menghuni tepi-tepi sungai."
"Apakah tiadanya binatang pemakan daging disadari juga oleh penduduk pribumi di sini?" tanya Wienersdorf. "Apakah tradisi- tradisi mereka memberikan penjelasan tentang hal ini?"
"Tradisi-tradisi mereka, sejauh yang kuketahui, tidak menyebut?kan semacam itu; barangkali juga mereka samasekali tidak mengira terdapat binatang-binatang itu di bagian lain bumi ini. Akan tetapi terdapat satu legenda untuk menunjukkan adanya gagasan tentang binatang raksasa, yang menggambarkan salah satu watak penduduk di sini, yakni penggunaan muslihat dalam melawan kekerasan. Legenda itu demikian: Pada suatu waktu, ketika binatang-binatang masih dapat berbicara, seekor gajah raksasa tiba di pantai selatan Kalimantan dari sisi lain dan berenang ke hulu Sungai Kahayan. Binatang-binatang yang hidup di sana melihat dengan terkejut bagaimana gerangan seekor monster sampai ke sungai mereka. Seekor buaya raksasa diutus untuk menanyakan maksud kedatangan makhluk asing itu. Buaya ini dengan sangat tidak diplomatis mulai memegang bagian tubuh si pendatang di antara giginya dan menyangka akan menang dengan mudah. Tapi gajah mengangkat buaya itu dengan belalainya yang kuat dan melemparkannya seperti sebuah bola ke udara, dan menghancurkan tulang belakang buaya, ketika binatang itu jatuh menimpa sepotong kayu yang sedang mengapung. Marah karena serangan culas itu, si pendatang mendarat, menemui seekor rusa yang sedang merumput di sekitar, dan berpesan kepadanya untuk menyatakan perang terhadap semua binatang di Kalimantan. Si gajah mengirim dua bilah gadingnya melalui duta ini untuk memberikan kesan betapa besar dan kuatnya sang penantang.
Meskipun tantangan ini agak sombong, gajah itu menduga dengan tepat apa yang akan terjadi. Binatang-binatang menjadi ketakutan dan terkejut melihat gigi raksasa itu; sementara nasib yang dialami buaya, seperti diceritakan oleh rusa, membuat nyali mereka ciut. Di tengah-tengah ketakutan yang luarbiasa ini, seekor landak kecil muncul sebagai penyelamat. Ia menasihatkan kepada binatang- binatang untuk mengirimkan beberapa helai bulunya, meminta pendatang asing itu membandingkan bulu calon-calon lawannya de?ngan bulunya, dan dengan itu mendapatkan gambaran ukuran gigi binatang-binatang yang memunyai bulu-bulu sebesar itu. Tipu-mus- lihat itu berhasil dengan sempurna. Gajah tentu saja tidak berani me?masuki gelanggang untuk beradu dengan musuh-musuh yang kuat itu, meminta gading-gadingnya dikembalikan, dan berenang kembali secepat-cepatnya ke negeri asalnya. Sampai sekarang, tempat di ma?na binatang berkulit tebal itu mendarat disebut rantau gajah undur, atau tikungan sungai di mana gajah itu kembali pulang."
"Demi para santo! itu cerdik sekali," puji La Cueille, "bulu-bulu itu akan membuat si goblok itu merasa malu dengan janggutnya, dan mereka benar-benar menyampaikan peringatan, "qui s"y frotte, s"y pique.?" (yang menabur angin, menuai badai)
"Legenda itu tidak jelek," kata Schlickeisen, "tapi aku tidak mene?mukan jawaban yang kutanyakan. Larinya gajah kuduga lebih sebagai gambaran adanya serangan asing, barangkali oleh orang-orang Hindu pada zaman dahulu, yang kemudian diolah menjadi cerita dengan cerdik oleh penduduk pribumi. Itu tidak memberi keterangan tentang adanya binatang buas seperti gajah. Tapi mungkin, jika para penyerang itu benar-benar orang Hindu, mereka punya gajah dalam angkatan perang mereka."
"Mungkin," jawab Yohanes dingin, "tapi aku telah menceritakan apa yang kuketahui, dan aku sangat yakin, dengan perkecualian beberapa orang Singales yang ada di sini dan bergiat sebagai pedagang, tidak ada orang Hindu ditemukan di Kalimantan."
Dalam percakapan semacam ini malam berlalu dengan tenang. Para pengembara tidak peduli untuk tidur. Ketika hari mulai terang mereka mulai menyadari adanya jejak-jejak yang tidak diragukan lagi menunjukkan adanya manusia. Mereka telah menjelajah selama berhari-hari bersama-sama tanpa melihat manusia atau tanda-tan?da keberadaan mereka. Di sini samasekali berbeda. Mereka acap- kali menjumpai kebun jagung, tebu, dll., dan pohon buah-buahan, seperti kelapa, pisang, durian, dsb., dsb., yang ditanam di sepanjang perbatasan hutan asli. Rumah-rumah terlihat di beberapa tempat dan mereka merasa gembira melihat manusia sibuk dengan ber?bagai macam pekerjaan. Tetapi keganjilan juga terlihat di sini, yang mengesankan mereka berada di kota Towanan dan kota Baru. Semua rumah di daerah hulu dikelilingi pagar besar runcing sehingga menja?di semacam benteng. Hanya dengan sedikit kewaspadaan di pihak penduduk, tidaklah mungkin musuh memasuki pagar, dan hanya kelaparan atau kepengecutan saja yang dapat memaksa mereka nekat menyerahkan kubu pertahanan semacam itu. Ini adalah akibat nafsu mengerikan untuk mengumpulkan tengkorak manusia. Semua orang mempertahankan diri terhadap tiap kemungkinan pembantaian besar-besaran, dan mereka hanya merasa aman di balik dinding- dinding dan barikade-barikade yang kuat.
Perubahan aspek negeri itu cukup menambah minat para pe?ngembara itu. Dalam waktu semalam seolah mereka telah sampai di dunia baru. Pikiran pertama mereka adalah memanfaatkan ke?sempatan itu untuk menambah bekal makanan. Karena itu mereka berhenti di satu kebun, menghadiahkan tembakau kepada penjaga, dan sebagai gantinya mereka diizinkan mengambil umbi-umbian dan sayur-mayur serta jagung sebanyak yang dikehendaki. Mereka juga mendapatkan kelapa dan buah-buahan lain. Penjaga itu selanjutnya memberitahu mereka bahwa sekelompok orang Punan berada di sekitar daerah itu beberapa hari lewat dan menasihatkan mereka untuk berhati-hati. Lagi peringatan kuno, "awas kepalamu".
Setelah mengambil bekal makanan secukupnya, para pelarian itu melanjutkan perjalanan, dan pada siang hari mereka tiba di muara Sungai Kuatan, cabang utama Sungai Kapuas. Sungai ini dapat dilayari selama beberapa hari oleh sampan-sampan berukuran sedang. Sungai ini berawal dari sebidang tanah berawa yang berhubungan dengan Sungai Dusun melalui Sungai Lemo.
Yohanes mengusulkan untuk meneruskan perjalanan sepanjang Sungai Kuatan, karena Sungai Dusun lebih lama dilayari daripada Sungai Kapuas; dan dengan demikian mereka akan mencapai pegunungan tengah lebih cepat. Ketiga orang Eropa setuju dengan
usul ini; tetapi Dalim dan orang-orang Dayak menolak dengan keras. Jalan itu tentu saja lebih mudah, tetapi karena mereka penduduk daerah Sungai Kapuas, mereka akan mendarat di daerah musuh bebuyutan, dan mereka tidak mungkin menyembunyikan diri atau melarikan diri, dan mereka tidak akan diberi ampun atau belas kasihan. Perjalanan ke arah Sungai Kuatan merupakan hukuman mati bagi mereka. Selagi mereka mempertimbangkan masak-masak, satu rangkan yang didorong oleh 20 pendayung terlihat di belakang para pengembara itu. Munculnya rangkan ini dari sekitar belokan tajam begitu tiba-tiba sehingga para pendayung di dalam sampan menjadi lumpuh kengerian.
"Orang Punan! Orang Punan!" teriak mereka sambil mengambil mandau.
Orang-orang Eropa memegang senapan mereka dan tembakan gencar bakal segera dilepaskan jika Dalim tidak segera menghentikan mereka sambil berteriak, "Tahan, jangan tembak!"
Seorang Punan dalam pakaian perang lengkap, tetapi tidak ber?senjata, berdiri di buritan rangkan sambil mengangguk-anggukkan kepala dan melambaikan kedua lengannya seperti seorang gila.
Ketika rangkan dan sampan semakin saling mendekat, para pengembara mengenali si pengayau itu. Ia adalah Harimau Bukit" orang Punan yang nyawanya telah diselamatkan oleh Wienersdorf di Danau Ampang. Ia telah kembali ke sukunya, tetapi karena merasa teman-teman barunya itu berada dalam bahaya ia datang untuk membantu mereka. Itu sebabnya ketika mendekati para pengembara, ia dan kawan-kawannya meletakkan senjata sebagai tanda persahabatan.
Bab 10 KETIKA rangkan telah berada di sisi sampan, Kepala Suku Punan itu menceritakan kepada para petualang bahwa setiba rombongan mereka di kota Baru pada malam sebelumnya, mereka lihat segala sesuatunya sangat membingungkan. Di situ terdapat satu barkas dinas tertambat di tepi sungai dan segerombolan orang berkumpul, seakan- akan suatu peristiwa penting sedang terjadi. Didorong rasa ingin tahu, Harimau Bukit mendarat dan mengamati seorang perwira kulit putih dari Kuala Kapuas, yang digambarkannya membawa sebilah mandau panjang, menghimpun penduduk dan memerintahkan mereka mengejar sebuah sampan yang berisi beberapa pelarian. Ia minta disediakan 250 orang bersenjata dengan tambahan sejumlah awak sampan"suatu tuntutan yang menyebabkan sedikit rasa tidak puas. Orang Punan itu, setelah mendengar semuanya, segera mengambil kesimpulan bahwa mereka hendak menangkap orang- orang yang dengan murah hati telah menyelamatkan nyawanya, dan ia dengan cepat memutuskan untuk memberi peringatan, dan kalau perlu membantu mereka. Karena itu ia merayap kembali ke rangkannya dengan sangat hati-hati sebagaimana tadi ia keluar, dan setelah berdiri kembali ia memberi isyarat pada teman-temannya dan mengulangi informasinya.
Ketika Harimau Bukit mengakhiri ceritanya, para pelarian itu saling pandang penuh keheranan campur cemas. Mereka tidak pernah mengira disusul oleh Belanda demikian dekat dan cepat. Mereka telah memperhitungkan bahwa paling sedikit mereka lebih cepat sepuluh hari daripada para pengejarnya. Apa sekarang yang harus dilakukan"
"Terus, terus!" seru Wienersdorf, "satu-satunya jalan selamat kita adalah melarikan diri"! "
"Tidak." kata Yohanes. "Karena Kolonel sangat dekat dengan kita, maka melarikan diri sedikit sekali gunanya. Ia telah memutuskan untuk meninggalkan kota Baru sekarang ini, dan telah memengaruhi sejumlah besar penduduk untuk mengabdi padanya. Ia punya awak sampan yang lebih besar jumlahnya daripada kita."
"Tapi apa yang dapat kita lakukan?"
Yohanes tidak menjawab, melainkan bertanya pada Kepala Suku Punan.
"Apa ada orang-orang kulit putih di antara awak Kolonel?"
"Saya telah mengamati dengan teliti sekali," kata orang Punan itu, "tapi tidak melihat seorang muka pucatpun kecuali yang kalian sebut Kolonel."
"Tak ada serdadu kulit putih di antara mereka; itu berguna untuk diketahui. Tapi mungkin ia diikuti oleh serdadu-serdadu Jawa, yang tidak mudah dihadapi," Yohanes bergumam dalam hati. "Apakah di antara mereka ada yang bersenjata?" ia bertanya lebih lanjut.
"Muka pucat membawa sepucuk pistol di tangannya dan seorang budak membawa sepucuk senapan dan terus-menerus membuntuti dia. Selebihnya bersenjatakan mandau dan sebagian besar membawa sumpit dan anaksumpit beracun atau tombak. Kepala Kuala Kapuas yang saya tahu persis satu-satunya orang yang membawa senapan. Tapi...."
Orang Punan itu kini membisikkan sesuatu kepada Yohanes.
"Itu dapat dicoba," jawab yang terakhir, mukanya bersinar, dan tertuju kepada teman-temannya, ia berkata,
"Seandainya kita dapat mencapai kota Jangkan, kesempatan kita lebih baik dan kita punya harapan lagi. Ayo, dayung lagi!"
Sambutan gembira menyusul. Rangkan ditarik dan atap sampan direndahkan. Teman-teman Harimau menempatkan diri masing- masing di antara para pendayung, sehingga sampan yang kini dika?yuh oleh 44 pendayung melesat secepat kilat, menyaingi kapal-uap tercepat. Orang-orang Punan berdiri, seperti kebiasaan mereka di atas sampan, di antara para pendayung yang duduk, dan dalam posisi ini mereka menggunakan dayung mereka yang panjang tanpa mengganggu yang lain. Mereka gagah, para pengayau berbadan tegap dengan dada bidang dan lengan berotot. Mereka mengenakan
pakaian perang lengkap, berhiaskan dua helai bulu burung enggang panjang dan mengenakan zirah yang diikatkan pada jaket tebal dari kulit kayu. Kedua pakaian itu terbuka di bagian depan dan memperlihatkan tubuh mereka yang ditato indah dengan desain bagus seakan-akan dilukis dengan pensil oleh seorang seniman. Perisai mereka digambari arabeska yang amat aneh, diletakkan di bagian bawah badan, sementara di pinggang tergelantung mandau, berhiaskan sejumlah ikat rambut.
Segera setelah sampan melaju penuh, Yohanes memanggil kedua orang Swiss, si Walloon, dan Harimau Bukit ke buritan sampan, di mana Dalim duduk bertugas sebagai jurumudi. Kemudian mereka merundingkan tindakan-tindakan apa yang akan diambil di kota Jangkan. Kota Jangkan adalah suatu benteng di Sungai Kapuas yang dipagari kuat, karena posisinya paling strategis.
Limaratus jiwa, termasuk hampir 80 orang prajurit, hidup da?lam dinding-dinding yang membentuk kota seperti umumnya di pedalaman Kalimantan, suatu kampung yang dibentengi kuat. Ke?palanya seorang tua bernama Amai Kotong, yang juga mengepalai kota Mawat dan Brobok di Sungai Mawat.
Amai Kotong adalah keturunan suku Punan. Putra kepala suku besar di Sungai Miri ini mengawini perempuan dari suku OtDanum dan setelah itu ia menetap di tepi Sungai Kapuas. Kekayaannya diperoleh dari rampasan beberapa ekspedisi perampokan, tetapi sebagian besar diperoleh dari pendulangan emas. Ia adalah paman Harimau Bukit dan selalu memperlakukan putra saudara tuanya itu dengan sangat hormat. Karena itu kepala suku Punan ini mengharap?kan penerimaan yang baik dan bantuan berharga di kota Jangkan.
Informasi itulah yang disampaikan oleh Yohanes kepada para pendengarnya.
"Lalu apa maksud semua keterangan ini?"
"Ya cuma itu," jawaban yang agak marah, "bahwa kita tinggal di kota Jangkan dan menunggu bagaimana hasilnya. Jika diserang, kita akan mempertahankan diri dengan berani."
"Aku benar-benar percaya bahwa lebih aman jika kita terus lari; tidak ada sampan yang dapat mengejar kita dengan kecepatan kita sekarang."
"Tapi apa kita dapat terus mempertahankan kecepatan itu?" Yohanes menyela dengan suara keras. "Kita bisa menganggap diri
beruntung jika kita dapat melakukan itu sampai nanti malam, ketika kita mungkin sampai di kota Jangkan. Jika kita dapat menggantikan para pendayung setiap saat, itu akan lain urusannya, tapi kita tidak dapat melakukan itu. Para pengejar kita, aku berani bertaruh, telah menggunakan tenaga-tenaga segar. Tapi bersikaplah berani! Mari kita hadapi situasi ini dengan jantan; tak ada yang dapat kita lakukan kecuali mempertahankan diri. Kalian akan lihat bahwa hasil yang menyenangkan akan berpihak pada usaha kita."
"Semoga Tuhan mengabulkan," Wienersdorf menghela napas. "Amin!" seru La Cueille, "dan sekarang aku pikir kita lebih baik memegang dayung. Empat pasang lengan Eropa seperti kita bukan untuk disia-siakan, dan semakin besar jarak kepala-kepala keju itu dengan kita semakin baik."
Perjalanan kini dilanjutkan dengan tenaga bertambah. Selagi mendayung keempat orang Eropa itu melihat di antara hamparan pasir putih di berbagai sudut yang menjorok terdapat sejumlah bung- kahan besar benda hitam. Perhatian La Cueille yang terutama tertuju pada benda hitam itu, tetapi ia tidak mampu menebaknya karena kecepatan sampan yang melaju. Tetapi ketika tiba di salah satu hamparan yang menjorok, tepat ketika sampan mendekati benda-benda itu, ia meloncat ke air yang dangkal, merenggut beberapa ben?da hitam itu dan kembali lagi ke sampan sebelum sampan memutar arah.
"Nom d"un chien!"1 teriaknya dengan bersemangat menunjuk?kan apa yang dia dapat, "batubaru dan dari jenis terbaik. Dan ini ditemukan di sini, di sepanjang tepi-tepi sungai?"
"Tenanglah," Yohanes tertawa, "kamu akan melihat lebih banyak lagi dan boleh mengumpulkannya jika kamu suka. Tapi aku senang sekali melihat batubara itu ada di sini. Ini pertanda kita telah mendekati kota Jangkan. Tiga atau empat lapisan batubara terdapat di bukit di mana kota berada, dan di bagian yang terdalam konon menghasilkan bahan bakar yang amat besar."
"Ini benar-benar harta karun," La Cueille berpendapat.
"Ya, itu benar jika dimanfaatkan dengan baik. Tapi orang Dayak tidak menghiraukan batubara. Hutannya menghasilkan kayu yang cukup sehingga batubara tidak dimanfaatkan. Dan di banyak tempat penggunaan batubara dilarang karena membuat lingkungan tidak bersih. Tapi bagi Belanda...."
Di sini Yohanes disela salah seorang pendayung yang berteriak bahwa kota Jangkan sudah tampak di depan. Benar juga, di sana tampak perbentengan tinggi di atas bukit. Sejumlah tiang yang tinggi, lebih tinggi daripada pagar-pagar benteng, dihiasi tengkorak- tengkorak putih, sungguh menambah kesan bagi orang-orang Eropa atas tempat yang hebat ini dengan pandangan sekilas. Dekat pinggir sungai berdiri satu tomoi, tempat tangga untuk turun ke air. Sampan berhenti di situ dan Kepala Suku Punan mendarat. Setelah beberapa saat, Harimau Bukit muncul kembali ditemani oleh pamannya, Amai Kotong, seorang Dayak tua pendiam, yang memberitahu para pendatang bahwa kota siap membantu mereka. Ia hampir tidak sempat mengucapkan selamat datang ketika para pendayung meloncat ke darat dan mulai, dengan petunjuk Dalim, membongkar muatan.
Setelah perkenalan awal dengan tuan rumah, orang-orang Eropa itu juga turut bekerja. Hari telah lama berlalu dan munculnya para pengejar barangkali tinggal beberapa jam saja. La Cueille dan Schlickeisen memasang enam pucuk meriam, mengeluarkan amu?nisi, dan menjaga persenjataan garnisun. Pertahanan dipercayakan kepada Wienersdorf, semua kebutuhan yang diperlukan dalam benteng dan daerah sekitarnya diserahkan kepada dia; sementara Yohanes ditugaskan menyediakan bahan makanan dan bertindak sebagai komandan umum.
Setelah memeriksa benteng dengan cermat, para penembak me?riam menemukan beberapa meriam kecil yang sudah rusak, tetapi mesiu dalam jumlah cukup, sehingga menambah persediaan mereka, menghilangkan semua kekhawatiran atas keamanan. Setelah semua amunisi disimpan sebagai persediaan, orang-orang Eropa, dibantu oleh orang-orang Dayak, memasang dua meriam kecil di atas benteng di sisi yang mengarah ke daratan dan memindahkan beberapa pagar agar dapat menambah jarak tembak. Beberapa meriam lain ditempatkan di semua sisi benteng yang mengarah ke sungai.
Sementara itu Wienersdorf dengan cermat mengamati lagi ba?gian dalam kubu pertahanan. Jalan setapak sepanjang pagar ben?teng diperkuatnya di sana-sini dengan papan-papan yang kokoh. Ia membuat lubang-lubang pengintai di bagian tengah di keempat sisi benteng, terutama di dekat kubu-kubu, supaya lebih leluasa meng?gunakan senapan; dan akhirnya ia mengumpulkan di antara kayu- kayu yang ada di dalam benteng beberapa papan dan tiang balok untuk digunakan membangun di atas bangunan tertinggi semacam gardu jaga tertutup guna mengamati seluruh daerah sekitar dengan aman.
Yohanes segera menyelesaikan tugasnya. Ia menyimpan semua bahan makanan dan pada saat yang sama menanyakan sumber-sumber persediaan kota Jangkan. Hasil inspeksinya sangat memuaskan. Terdapat tidak saja sejumlah besar beras, tetapi juga dendeng, dua ekor rusa besar yang masih segar, sejumlah unggas, angsa, dan itik. Sangat puas, panglima tertinggi itu, dalam pengawalan kuat para prajurit Dayak, pergi ke luar benteng untuk membersihkan daerah sekitar dari ilalang tinggi dan semak-belukar yang dapat dipakai oleh musuh untuk merayap ke benteng secara diam-diam. Begitu selesai, Yohanes memindahkan tangga yang dapat menjadi jalan naik dari sungai ke bagian atas tepi sungai yang curam.
Ketika masuk kembali ke benteng ia bertemu dengan Amai Kotong yang baru saja pulang bersama orang-orangnya dari kebun dan hutan sekitar. Mereka ke luar untuk mengumpulkan lada liar spanyol, kelapa, rebung, dll., yang semuanya akan menjadi makanan mereka selama pengepungan yang mengancam. Amai juga telah mengirim salah seorang putranya ke Sungai Mawat untuk meminta rakyat di sana siap berperang.
Orang-orang Harimau sibuk meruncingkan ujung-ujung anak- sumpit dan mencelupkannya ke dalam ipuh yang masih baru. Semen?tara itu kepala suku mereka bergabung dengan pamannya dan terlibat percakapan yang serius.
Setelah selesai melakukan semua tindakan antisipasi, para desertir duduk bersama menikmati malam yang menyenangkan. Langit bersih, dan kini, setelah matahari terbenam, udara panas digantikan udara sejuk dan nyaman, yang membuat jam-jam malam di daerah tropis itu sangat menyenangkan. Demikianlah, bermandikan cahaya rembulan yang lembut mereka duduk dan mengobrol tentang berbagai peristiwa beberapa hari yang lewat, dan kemungkinan menghadapi pertempuran dalam waktu dekat.
"Betapa aku berharap pertempuran dapat dihindari," kata Wienersdorf. "Darah, selalu darah! Perjalanan kita ini sangat menge?rikan."
"Jangan khawatir," jawab Yohanes dengan marah. "Kamu sebaik?nya tetap tinggal di rumah saja jika menjadi begitu lembek. Kita ini hanya mempertahankan diri. Tidak satupun tembakan dilepaskan atau pukulan diayunkan kecuali terpaksa. Mempertahankan diri, bukan menantang, telah menjadi aturan kita dan ini harus terus dilanjutkan selama mungkin."
Selagi mereka bercakap-cakap demikian, tiba-tiba terdengar sedu- sedan lembut, sepertinya diisakkan oleh seorang perempuan. Mereka saling pandang, tidak tahu suara apa itu. Mereka telah melihat semua perempuan di kampung itu. Para perempuan di kota itu, yang tidak dihalangi kecemburuan tuan atau suami mereka, bergerak leluasa di antara orang-orang asing itu dan banyak yang menertawakan kekikukan mereka yang berlagak jadi orang Dayak. Yohanes sendiri, karena ubel-ubelnya, menimbulkan rasa hormat. Ada perempuan tua dan muda, cantik dan jelek, di antara mereka; tetapi mereka semua tampak gembira, jika bukannya senang bersenda-gurau. Ini sangat berlawanan dengan suara isak yang kini terdengar.
La Cueille, yang paling sopan di antara mereka berempat, bangkit, memutuskan untuk mencari tahu suara aneh itu. Ia kembali beberapa saat kemudian dan memberitahu bahwa di dekat bangunan tinggi, di mana Amai Kotong tinggal, seorang perempuan disekap di satu ke?rangkeng besar. Ia menyapa perempuan itu dan dijawab, tetapi apa yang diucapkannya La Cueille tidak mengerti.
Yohanes tiba-tiba terbahak-bahak dan berkata,
"Barangkali seorang suami tolol dengan baik hati telah mengurung istrinya untuk mengajari dia tatakrama. Adat negeri, Sobat!"
"Tindakan yang kasar memenjarakan kaum lemah seperti binatang liar," menegur Schlickeisen.
"Kadang-kadang kaum perempuan tidak pantas mendapat nasib yang lebih baik," jawab yang lain, sambil tertawa. "Tapi mari kita lihat, kukira aku dapat memahaminya."
Tetapi sebelum Yohanes mengakhiri pembicaraannya, Dalim muncul. Penjelasan Dalim tentang suara isak yang mereka dengar membuat para pengembara itu sangat terkesima. Suara isak itu mengingatkan mereka pada kejadian di Danau Ampang, ketika Harimau Bukit mengoles orang yang mengalahkan dia dengan darahnya, dan mengoles dirinya sendiri dengan darah orang yang mengalahkannya.
"Itu baru upacara pendahuluan," orang Dayak itu melanjutkan, "dan yang paling singkat untuk saat itu. Kalian berdua, sejak saat itu, berubah dari musuh bebuyutan menjadi bersaudara. Tapi adat Dayak menuntut ritual yang lebih rumit untuk mengukuhkan ikatan persaudaraan itu. Upacara ini, yang disebut sumpah penebusan dosa, akan dilakukan besok dan akan digabungkan dengan ikatan darah. Kemarin, setiba kita di sini, Harimau Bukit memberitahu pamannya mengenai hubungan khususmu dengan dia, dan mereka telah me?milih seorang gadaian yang akan dikorbankan besok."
"Dikorbankan"!" orang-orang Eropa itu berteriak terkejut.
"Ya, dikorbankan," demikian jawaban yang tenang. "Harimau menyerang kita, ingat, dan orang-orang terbunuh dan terluka dalam penyerangan itu. Ini merupakan kejahatan besar dalam hukum adat Dayak, dan hanya dapat dihapus dengan mempersembahkan korban seorang gadaian, yang di dalam surga orang Dayak akan menjadi budak Wienersdorf."
"Tak akan kubiarkan orang gadaian ini dikorbankan," orang Swiss itu berseru penuh emosi. "Aku akan mencegahnya apapun risikonya."
"Kamu tidak bisa berbuat seperti itu," Dalim menyela. "Semua yang kamu upayakan hanya akan merusak tujuan kita. Tampaknya kamu menyesal telah menyelamatkan nyawa orang Punan itu. Korban sudah dipilih, telah kehilangan namanya sebagai manusia, dan sekarang disebut kabalik, tak bernyawa."
"Mengerikan!" Wienersdorf berteriak putusasa. "Ya, Tuhan! Tidak dapat dicegahkah kejahatan itu" Tapi," ia melanjutkan de?ngan garang, "orang Punan itu boleh berpikir apa yang dia mau. Aku menyesal sekarang telah menyelamatkan dia. Aku akan cari si celaka itu dan memohon untuk menyelamatkan perempuan itu. Jika ia menolak permohonanku, semoga Tuhan mengampuninya, hanya kematianku yang akan menyelamatkan nyawanya."
"Tenangkan dirimu dan ingat nyawa kita semua yang menjadi taruhannya," Yohanes memperingatkan. "Kamu dengan jiwa luhur?mu mau menyelamatkan perempuan itu, tapi kuulangi lagi, dengan berbuat begitu kamu membahayakan nyawa kita semua dan nyawa?mu sendiri. Kini untuk nyawamu sendiri kamu adalah tuannya, tapi apakah kamu kira kami mau mengorbankan nyawa demi mempertahankan keinginanmu" Aku katakan tidak. Tanyakan dalam
benakmu apakah perempuan seperti itu, yang sudah dianggap mati, lebih berharga dibandingkan dengan pembunuhan besar-besaran yang pasti akan terjadi karena campur tanganmu" Selain daripada itu, jika kamu menyelamatkan dia hari ini dengan akibat yang sudah kugambarkan, perempuan itu akan dipilih lagi pada minggu lain dan pertumpahan darah akibat campur tanganmu praktis sia-sia."
"Mengerikan, mengerikan!" teriak orang Swiss itu putusasa seraya meremas-remas tangannya.
"Dengar!" Yohanes melanjutkan dengan serius, "kamu dengan sukarela telah memilih aku sebagai pemimpin pelarian ini; kamu semua telah berjanji untuk patuh seandainya kita berada di tengah- tengah penduduk pribumi pedalaman ini. Kini aku menuntut kepa?tuhan segera sebagai jaminan keselamatan kita semua. Kepatuhan ini pertama-tama adalah jangan melawan sesuatu yang tidak dapat dielakkan. Aku tidak berbicara karena tidak toleran atau kurang belas kasihan, tapi semata-mata demi keselamatan diri kita. Jika kita tidak dapat mencegah kekejaman yang dilakukan di depan mata kita, ayo kita kutuk bangsa beradab yang memerintah sebagian besar pulau yang luas ini, namun tidak berdaya menghadapi kekejaman seperti yang akan kita hadapi esok."
Yohanes berapi-api. Kepalanya bergerak ke belakang dan dada?nya terangkat dengan berat. Wajahnya yang tampan jelas menunjuk?kan amarah jiwanya.
"Besok," lanjutnya, "aku akan memasang bendera Belanda pada kayu sula ketika upacara pengorbanan dilaksanakan. Dengan demi?kian kejahatan itu dilakukan atas nama bendera Belanda; dan aku akan pastikan bahwa percikan darah perempuan malang itu, yang menggeliat-geliat karena siksaan, adalah darah segar dan segera terbalut kotoran."
Setelah beberapa saat ia kembali tenang dan melanjutkan:
"Tapi mari kita ke pos-pos kita; Wienersdorf dan aku istirahat sementara yang lain berjaga-jaga." Kemudian tertuju kepada Schlickeisen dan La Cueille, Yohanes berkata, "Bangunkan kami tengah malam, ketika kami akan menggantikan kalian. Dan sekarang selamat malam!"
"Selamat malam! Ya, Tuhan, malam yang luarbiasa!" Wienersdorf menggumam, menyusul Yohanes dengan tidak sabar.
Kira-kira jam lima pagi, ketika bulan sudah terbenam dan di sekitar telah gelap, Wienersdorf, menggunakan kesempatan tatkala Yohanes berbicara dengan salah seorang pengawal, merayap ke kerangkeng tempat perempuan malang itu dikurung, yang dilihatnya sedang tidur nyenyak. Diam-diam ia membangunkan perempuan itu dan berusaha keras mematahkan beberapa jeruji kerangkeng. Lalu ia mendesaknya dengan isyarat supaya keluar dari kerangkeng dan melarikan diri ke dalam hutan. Sayang! Perempuan malang itu, karena takut melihat orang yang samasekali asing dalam kegelapan malam, menolak bergerak. Orang Swiss itu memohon-mohon kepadanya untuk pergi; ia menyatukan kedua tangannya karena putusasa dan merenggut terali-terali kerangkengnya. Tetapi semuanya sia-sia.
Demikianlah Yohanes kemudian melihat Wienersdorf larut dalam keputusasaan. Sambil menuntun orang Swiss itu menjauh, Yohanes mencoba meyakinkan dia tentang mustahilnya perempuan itu melarikan diri. Upacara penebusan dosa itu tidak akan pernah dihapuskan dengan larinya si perempuan, karena korban yang lain akan segera dipilih untuk menggantikan dia, sementara pencarian segera dilakukan untuk mengejar buronan, yang pada akhirnya berkesudahan dengan penangkapan dan kematian yang mengerikan.
Malam berlalu dengan tenang. Tidak ada tanda-tanda musuh tampak. Segera setelah hari mulai terang Amai Kotong mengirimkan beberapa orang Dayaknya dalam satu jukung ke hilir sungai dan membangun pos jaga di sudut terdekat yang dibentuk oleh sungai. Mereka akan bertugas sebagai pengawas terdepan, karena dari situ mereka punya jarak pandang yang leluasa ke sungai dan dapat memberi tanda pada kota jika ada sampan mendekat.
Bab 11 PADA pagi hari semua orang di dalam benteng mulai bekerja lagi menyelesaikan semua rencana pertahanan. Yohanes dan Wienersdorf termasuk yang paling awal bekerja dan pekerja yang paling giat. Mereka menghela semua sampan ke hulu dan menambatkannya di tempat yang aman, dan kemudian tepi-tepi sungai dibikin ber?tingkat agar serangan mendadak melalui sungai tidak dapat dilaku?kan. Begitu semua pekerjaan itu selesai, mereka menggali lubang- lubang besar di sekeliling benteng, dan setelah menancapkan be?berapa pancang di tiap lubang, mereka menutupinya dengan lapisan rumput tinggi untuk mengelabui.
Sementara itu orang-orang Punan pengikut Harimau Bukit sibuk membuat pancang tempat si perempuan akan dikorbankan. Setelah selesai dibuat, pancang akan ditanam di tengah-tengah lapangan per?segi empat, yang disapu dan ditaburi pasir putih sesuai dengan kebia?saan. Para perempuan sibuk memasak karena upacara penebusan dosa itu akan diakhiri dengan pesta besar. Mereka memotong dua ekor kerbau dan empat ekor babi besar yang dagingnya dibuat menjadi ber?bagai macam sajian enak, dimasak, dipanggang, dan direbus. Selain onggokan ulat seperti biasa, para perempuan menyediakan irisan- irisan ular dan bangamat, atau kelelawar, yang semua dipanggang dan disajikan seperti babi panggang. Hidangan tambahan utama terdiri atas baluduk, binatang amfibi yang panjangnya sekitar satu kaki, putih dan bersisik bagus. Badannya mirip ikan dan kepalanya seperti katak. Selain semua makanan itu ada pula hambatar atau larva kumbang. Mereka juga menyiapkan kue dari beras ketan, sagu, dan pisang, sementara untuk pencuci mulut, mereka menyajikan cangkang-cangkang yang diisi tanguli, larva lebah yang direbus
dengan madu, makanan lezat yang paling disukai. Dengan sibuknya semua orang seperti itu, waktu segera berlalu.
Hari sudah menjelang tengah hari ketika upacara siap dimulai. Kemudian Amai Kotong mengumpulkan seluruh penduduk kota Jangkan, dan Harimau Bukit secara resmi mengundang orang-orang Eropa untuk hadir dalam upacara penebusan dosa. Tetapi tidak semua dapat hadir, karena mereka sedang mendapat giliran berjaga selagi pesta berlangsung. La Cueille adalah orang pertama yang mendapat tugas utama ini. Wienersdorf dan Harimau Bukit mengambil tempat di tengah-tengah enam orang pemuda yang memegang cabang- cabang palem. Mereka bertugas menjadi pengawal kehormatan kedua pahlawan upacara itu.
Tiba di lapangan, Wienersdorf dan Harimau Bukit menyaksikan semua orang berpakaian perang lengkap dan wajah mereka ditutup tabukan atau topeng kayu. Semua membawa mandau dan tombak, dan sekarang mengelilingi kayu sula. Ketika semua orang itu sudah rapi, para bilian mulai menyanyi diiringi katambong.
Nyanyian berlangsung sampai lewat tengah hari, ketika isyarat untuk mengeluarkan korban diberikan. Ketika si korban dijemput dari kerangkengnya, salah seorang bilian menaiki tangga khusus yang telah disiapkan dan menyanyikan lagu doa, memohon agar upacara berlangsung lancar.
Seekor elang, seakan-akan mengerti arti doa itu, tiba-tiba muncul di atas perbatasan hutan. Terbang tinggi di sisi kiri benteng, burung itu semakin lama semakin membubung ke udara, terbang membuat lingkaran besar sampai naik ke tengah-tengah zenit, ketika ia berhenti beberapa menit. Setelah bergeming beberapa saat, tiba-tiba burung itu mengeluarkan jeritan tajam dan terbang kembali ke arah asal ia datang. Semua orang Dayak yang hadir terpengaruh. Jeritan burung itu ditafsirkan sebagai peringatan dan dianggap sebagai pertanda paling jelek.
Sementara itu si perempuan malang telah masuk ke dalam ling?karan dan dua orang mulai mengikatnya. Ia hampir tak berdaya untuk berdiri dan membiarkan kepalanya tergolek ke samping. Selanjutnya, ia tampak tenang dan dengan bebas memandang lingkaran sekitar.
Setelah korban diikat, Harimau Bukit mendekati Wienersdorf, membuat irisan kecil dengan pisaunya di dada Wienersdorf yang telanjang dan menadah darahnya di satu wadah. Kemudian ia mem?
buat irisan serupa di badannya, menadah darah di wadah yang sama dan mengisi wadah itu dengan tuak. Setelah itu ia mengangkat campuran darah itu dan meneriakkan kutukan yang mengerikan terhadap dirinya sendiri jika ia memutuskan tali persaudaraan yang kini tengah dibuhulnya. Ia menyerukan kepada dewata dan setan untuk menyaksikan kasih-sayang persaudaraan terhadap penyelamat hidupnya. Ia memohon hukuman paling mengerikan jika ia mengkhianati sumpah dan mengakhiri permohonan dengan menenggak separuh isi wadah yang dipegangnya. Separuh sisanya kemudian diserahkan kepada Wienersdorf, yang menenggak isinya meskipun perutnya berontak terhadap campuran itu. Setelah upacara ini Kepala Suku Punan itu berbicara lagi, ditujukan kepada orang Swiss itu:
"Kita sekarang bersaudara dan saya akan selalu memperlakukan- mu seperti itu. Tapi masih ada utang darah lain di antara kita. Ketika saya menyerang rombonganmu saya bermaksud mengambil kepala- kepala kalian. Selama pergumulan itu salah seorang anggotamu mati terbunuh, beberapa orangku sendiri lenyap"darah dibalas darah. Lihat! Untuk menghilangkan tuntutan ini, kita akan korbankan salah seorang gadaian. Kita akan baluri dia dengan darah kita sendiri, yang akan melunasi utang ini dan membuat kita saling bebas."
Yohanes kini menuntun tangan Wienersdorf dan menaiki bersama tangga yang baru ditinggalkan oleh bilian.
"Saudara-saudaraku," kata Yohanes kepada yang hadir, "temanku Dohong (Pedang Perang), yang sejak kecil tinggal di Banjarmasin, di mana tuan besar Belanda memerintah, tidak lancar bicara bahasa Dayak dan telah meminta bantuan saya untuk berbicara kepada Anda semua. Ia sangat berterimakasih menerima ikatan Harimau Bukit, dan apapun yang terjadi akan selalu menjadi saudara yang baik baginya. Seperti air yang dibelah mandau bersatu kembali, per?saudaraan mereka akan tetap terjaga, sehingga dalam hidup dan mati mereka saling membantu. Tapi Dohong kita ini telah dibesarkan di antara orang-orang kulit putih. Mereka telah mengajarkan kepada dia bahwa tak seorangpun diizinkan membunuh sesama manusia. Bahkan di Kuala Kapuas perbuatan itu dilarang keras. Dohong mengikuti adat mereka dan membenci pembunuhan manusia, kecuali di medan pertempuran. Karena itu ia memohon kepada saudaranya untuk menyelamatkan nyawa perempuan ini, dan untuk mencuci
bersih utang darah itu ia mengusulkan seekor kerbau dikorbankan. Anda semua telah menyaksikan isyarat buruk burung elang itu. Ini terjadi karena kami, penduduk Kuala Kapuas, akan berbuat dosa bila melanggar perintah yang kami patuhi dengan khidmat untuk tidak membunuh sesama manusia. Marilah kita membunuh seekor kerbau daripada perempuan ini dan Anda semua akan melihat isyarat-isyarat itu akan berganti menjadi baik."
Keheningan yang benar-benar hening menguasai alun-alun kota Jangkan. Pada akhir sambutan itu semua wajah menjadi muram dan menunjukkan ketidakpuasan yang sangat. Terutama orang-orang Punan menunjukkan perasaannya dengan memegang mandau. Mereka menganggap kata-kata itu sebagai penghinaan besar terhadap kepala suku mereka. Harimau Bukit kini naik ke tangga dan berbicara kepada yang hadir:
"Di sini, di negeri hulu," ia memulai, "orang-orang kulit putih tidak berhak bicara; kapan saja mereka ingin berkuasa di sini, biar?kan mereka datang! Apa mereka sendiri juga peduli dengan nyawa manusia" Berapa ribu nyawa telah dikorbankan selama perang di pulau yang indah ini" Dan siapa yang menyebabkan perang itu" Apakah ini bukan karena keserakahan" Siapa yang akan bercerita sejumlah besar orang Jawa mati kelaparan, karena mereka diharuskan menanam kopi dan membangun kota-kota untuk muka pucat, sehingga mereka tak punya waktu untuk menanami tanah mereka sendiri" Apakah Anda pikir kami tidak peduli dengan ini semua" Mereka melarang kita membunuh orang gadaian dan pura-pura menghormati budak. Jangan percaya orang kulit putih; mereka licik dan munafik." Dengan semakin berapi-api, ia melanjutkan, "Utik-utiklah pundi-pundi mereka dan mereka akan membunuh ratusan orang merdeka dan juga budak-budak."
Orang Punan itu diam sejenak seperti hendak mengambil napas dan kemudian meneruskan: "Tapi siapa yang peduli dengan perintah orang-orang kulit putih ini" Tugas semua orang untuk mengikuti adat kebiasaan negerinya. Upacara harus diteruskan"kecuali saudaraku Dohong menolak menerima persahabatanku."
Kata-kata terakhir itu diucapkan dengan nada tertahan disertai isak. Pikiran bahwa penyelamatnya akan menolak persahabatannya tampak memengaruhi anak alam itu. Lalu orang Punan itu berdiri
dengan angkuh dan perkasa, cuping hidungnya membesar dan kepalanya mendongak ke belakang, sementara mandaunya telah setengah terhunus.
Wienersdorf dengan cemas memerhatikan orang-orang yang ada di sekitar. La Cueille tidak ada; Yohanes berdiri dengan kepala menunduk; orang-orang Dayak kota Jangkan menggumamkan tanda setuju dan bergabung di pihak sanak-keluarganya, orang-orang Punan. Bahkan Dalim dan teman-temannya pun bergeming. Mereka tidak dapat memberikan bantuan apapun. Sedikit lagi keragu-raguan kiranya akan menimbulkan pertengkaran yang dapat berakhir dengan kematian orang-orang Eropa itu. Wienersdorf melihat semua gelagat ini dan tiba-tiba memegang tangan Harimau Bukit, mengangkatnya ke bibirnya sambil menundukkan kepalanya.
Yohanes sekarang berjalan ke tiang bendera, mengeluarkan satu buntalan kecil, mengikatnya di seutas tali, dan siap mengereknya ke atas. Anak-anak berbaris; yang tertua menapak maju dan sambil mengeluarkan tawa buas menikam korban di bagian bawah dada kiri. Semua laki-laki mesti mengikuti contoh itu, menghunjamkan ujung- ujung tombak ke daging korban sedalam kira-kira satu inci, akan tetapi peristiwa yang kemudian berlangsung menyebabkan semua perhatian beralih dari korban.
Mula-mula si korban mengeluarkan jeritan yang menyayat. Sam?pai saat itu ia tetap tenang, tetapi sekarang jeritannya sangat me?milukan.
Selagi semua itu terjadi, Yohanes mengerek tali bendera dan melepaskan buntalan yang baru dinaikkan, dan bendera Belanda berkibar sendirian dengan megah di atas kepala perempuan malang itu.
Sang tiga-warna itu seolah-olah menjadi penyelamat perempuan malang itu, karena dua meriam ditembakkan berturut-turut, meng?ingatkan garnisun untuk kembali ke kubu-kubu. Yohanes, mengambil kesempatan dari kekacauan itu, segera maju melepaskan tali yang mengikat korban dan dengan demikian membebaskannya. Kemudian ia bergabung dengan teman-temannya untuk melihat apa yang telah terjadi.
La Cueille, karena duduk di gardu jaganya yang tinggi, dengan leluasa dapat memandang ke arah sungai sampai jarak tertentu. Dia menempatkan kedua meriam yang berisi peluru pada posisinya,
memegang sumbu dan menunggu kesempatan dengan mata awas ke arah sungai. Akhirnya ia melihat satu armada sampan muncul dari kelokan sungai. Tetapi ia tinggal diam dan membiarkan mereka semakin dekat.
Saat untukberaksi akhirnya tiba. Sambil mengukur elevasi meriam- meriamnya, ia menyulutkan api ke lubang sumbu, dan menembakkan beberapa peluru ke tengah-tengah armada, menenggelamkan salah satu sampan dan menimbulkan kekacauan yang tak sedikit di antara sampan-sampan lain.
Karena itu Kolonel memerintahkan orang-orangnya mendarat sehingga untuk sementara waktu dapat menyelamatkan diri, dan para penyerang bersembunyi di antara semak-belukar dan pohon-pohon di tepi sungai. Namun Kolonel tahu betapa berbahayanya membiarkan pasukannya terpengaruh oleh pukulan mundur pertama, dan karena itu, meskipun berkibarnya bendera Belanda di benteng masih merupakan teka-teki baginya, ia memutuskan untuk tidak ragu-ragu mengumpulkan pasukannya dan maju menyerbu benteng. Ia ingat pengalaman pertempuran-pertempuran sebelumnya, bahwa dalam peperangan di Hindia-Belanda keberanian membuahkan hasil.
Ia yakin kali ini akan berhasil, tetapi itu untuk orang-orang Eropa yang ada dalam benteng. Orang-orang Eropa itu, begitu melihat musuh berada dalam jarak tembak, melepaskan tembakan meriam yang berisi sekumpulan peluru besi, yang membuat para penyerang terpukul. Tembakan senapan beruntun menciutkan nyali para penyerang dan membuat mereka melarikan diri sebelum dapat melepaskan tembakan sekalipun. Ketika Harimau Bukit menyaksikan mereka melarikan diri, ia hampir kalap. Ia melesat ke luar benteng untuk memburu kepala-kepala musuh. Akan tetapi ketika ia sedang memarang buruan-buruannya yang meronta-ronta, sepasukan prajurit bersenjata tiba-tiba muncul dari belakang dan menyerang serta mengepungnya. Mereka melemparkan tali ke lehernya dan menyeretnya dengan setengah tercekik. Wienersdorf dan Schlickei- sen, melihat ini, mengumpulkan beberapa orang dan buru-buru menuju ke tempat kejadian dengan kecepatan penuh.
Setiba di lereng bukit mereka melihat tubuh orang Punan itu dibawa pergi oleh beberapa orang. Sambil membidik cermat mereka melepaskan tembakan dan empat orang musuh tewas. Yang lain jadi keder, tetapi mengetahui mangsa mereka adalah kepala suku,
sehingga sangat berharga untuk ditinggalkan, mereka mencoba ber?tahan meskipun dua orang lagi di antara mereka tertembak. Seko?nyong-konyong dari arah benteng datang bala bantuan. Beberapa pribumi muncul, menyerbu dengan mandau terhunus, dan setelah pergumulan singkat Wienersdorf berhasil melepaskan orang Punan itu dari tali yang hampir mencekiknya. Ia mengulurkan tangannya sambil membantunya berdiri tegak dan membisikkan "selamat" ke telinganya, ketika Harimau Bukit sudah berdiri.
Orang Punan itu memegang kedua tangan orang Swiss itu, diletakkan di atas kepalanya, lalu berkata, "Paharingku-Saudaraku."
Setelah beberapa tembakan lagi dari kedua belah pihak segala sesuatu pun kembali tenang.
Para penyerbu terus mundur dan mulai menghitung kerugian mereka. Lima orang yang tewas segera dikuburkan, tetapi mereka meninggalkan yang luka-luka lebih dari tiga kali lipat, yang mengerang di balik semak-semak. Garnisun dalam kota hanya kehilangan satu orang, seorang gadaian yang terbunuh karena tembakan senapan.
Walaupun demikian upacara yang tertunda tidak ditinggalkan. Mereka yang diserbu membagi diri, sebagian berpesta sebagian lagi siap siaga mempertahankan benteng dari serangan baru. Tetapi se?mua merayakan kemenangan dengan menenggak tuak, dan mereka tetap dapat mengendalikan diri sehingga tidak sampai mabuk.
Setia pada peran alim yang dijalankannya, si Walloon pantang makan-minum yang haram. Dengan acuh tak acuh orang suci ia me?lihat penganan kecil menghilang melalui tenggorokan yang tidak pernah terpuaskan, dan ia tetap bisa menahan diri ketika Yohanes memegang sepotong daging babi enak di bawah hidungnya. Akan tetapi untuk tuak ia hanya bisa menghela napas dalam-dalam mencium baunya saja. Namun ia terhibur dengan janji Yohanes menyimpankan bagiannya untuk dinikmati setelah meninggalkan lingkungan yang profan ini.
Ketika orang-orang Eropa itu menikmati berbagai macam makan- an-minuman, seorang Punan masuk dan melemparkan beberapa butir kepala orang ke tengah-tengah mereka yang hadir. Tepuk tangan me?mekakkan menyambut tindakan itu. Dua orang merenggut kepala- kepala itu, memotong sisa tulang tengkuk dan dengan sebilah sembilu menuangkan isi otak ke dalam piring melalui lubang sumsum belakang. Orang Punan lain melepaskan sejumlah besar rambut dari kepala,
memotongnya sepanjang satu setengah inci dan mencampurkannya ke dalam otak yang berdarah itu dengan lada bubuk. Para desertir menyaksikan semua ini dengan kengerian yang bisu. Ketika semua isi otak telah dipindahkan dari tempurung kepala dan piring telah disiapkan dengan semestinya, seorang Punan mengambilnya, me?nyendok campuran itu dengan sendok tanah liat dan ditawarkan kepada Yohanes, yang menolaknya dengan sopan. Ketika campuran itu disajikan kepada Wienersdorf, ia memandangnya, dan tiba-tiba ia dikuasai perasaan nausea dan roboh tidak sadarkan diri.
Orang-orang Eropa lainnya, dalam ketakutan luarbiasa, tidak memerhatikan Wienersdorf yang pingsan, dan orang-orang Dayak, meskipun agak sedikit heran dengan penolakan orang-orang asing untuk mencicipi makanan yang mereka anggap lezat itu, sangat senang melihat semuanya tersisa untuk mereka sendiri. Orang yang mem?bawa piring memegang sendok, mengisinya, menegakkan kepalanya ke belakang dan sambil mengatupkan kedua matanya ia menelan makanan itu, yang meluncur ke dalam tenggorokannya, roman mukanya dalam waktu yang sama bersinar dengan amat gembira. Kemudian ia menyerahkan piring kepada salah seorang temannya, yang juga melakukan hal serupa dan menggilirkan makanan itu kepada yang lain. Lambat-laun, dan dengan kegembiraan meluap, mereka sengaja mengisap-isap rambut yang termasuk dalam campuran itu untuk mengungkapkan kepuasan menikmati sajian.
Pesta yang sangat memuakkan itu sudah sangat tidak tertahankan bagi orang-orang Eropa tersebut. Adegan itu telah menjungkir?balikkan jiwa mereka yang paling dalam, dan tersentak sadar dari adegan mengerikan ini mereka baru tahu Wienersdorf telah terbaring pingsan.


Menembus Rimba Raya Kalimantan Karya M.t.h. Perelear di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka mengangkat Wienersdorf ke udara terbuka, dan dengan dibantu tegukan-tegukan air dingin, mereka semua pun segera sadar kembali.
Harimau Bukit sekarang untuk kedua kalinya berutang budi pada Wienersdorf. Ia mengetahui dari para pengikutnya bagaimana saudara barunya itu menyelamatkan dia dengan gagah-berani. Harimau Bukit menghampiri penolongnya dan meletakkan tangannya ke bahu si penolong sambil menanyakan apakah ia dapat melakukan sesuatu untuknya. Semua miliknya akan ia serahkan kepada penyelamatnya,
dan bahkan ia menawarkan diri menjadi orang gadaian sebagai pe?ngorbanan atas kemerdekaan dirinya.
Wienersdorf, kendati masih terpengaruh adegan yang baru disaksikannya, tidak lama ragu-ragu. Ia memegang tangan orang Punan itu, dijabatnya berkali-kali, dan memohon agar menyelamat?kan jiwa perempuan yang malang itu, yang untuk sementara sela?mat dari kematian yang mengerikan dengan datangnya armada musuh secara tidak terduga. Permohonan ini dikabulkan setelah Harimau Bukit ragu beberapa saat sambil menegaskan tidak dapat memahami mengapa Wienersdorf ngotot menyelamatkan nyawa perempuan itu, yang hanya ibu dua anak, telah berusia setengah baya, dan berwajah buruk. Harimau Bukit merasa sangat heran pada selera orang Swiss yang menyimpang itu. Tetapi karena ingin sekali penolongnya itu bahagia dengan memiliki seorang istri yang cantik, ia kini menawarkan adik perempuannya sendiri, seorang gadis muda dan molek, kebanggaan sukunya. Dengan perkawinan yang pantas mereka akan memperkuat tali persaudaraan.
Hamadu, demikian nama gadis itu, adalah makhluk yang luar- biasa dengan warna kulitnya yang bagus dan lembut. Mulutnya seperti dipahat indah, kedua bola matanya besar dan legam, menyorot dengan ekspresi sayu dan lembut, tetapi juga sanggup bercahaya cemerlang seperti umum ditemukan pada bangsa-bangsa Timur. Tubuhnya indah, tinggi, luwes, dan anggun; ia memiliki pembawaan istimewa, yang menjadi ciri khas anak alam dan amat jarang ditemukan di negeri-negeri masyarakat yang beradab.
Orang-orang Eropa itu seringkali mengagumi Hamadu yang cantik itu dan mengakui bahwa ia pantas menyandang namanya yang berarti madu yang manis. Tetapi ketika mutiara yang cantik itu ditawarkan kepadanya, Wienersdorf ragu-ragu dan hampir saja menolaknya. Untung saja Yohanes menengahi dan dengan tangkas menjawab orang Punan itu bahwa sahabatnya sangat berterimakasih menyambut tawaran untuk menjadi suami Hamadu yang molek.
Kaget karena intervensi yang tidak disangka-sangka ini, orang Swiss itu memelototinya dan ingin bicara; tetapi Yohanes dengan so?pan memohon kepada Wienersdorf untuk mundur; dan karena itu ia mundur, tidak dapat mengatakan bahwa betapapun memesonanya kecantikan Hamadu, ia tidak bisa dipaksa berbuat sesuatu yang tolol.
Harimau Bukit mengajak Yohanes ke tempat kediamannya. Gadis itu dipanggil, dan Yohanes secara resmi melamar untuk sahabatnya menurut adat-istiadat Dayak. Mula-mula tampak gadis itu menerima dengan baik, tetapi setelah melihat mak comblangnya tidak mem?bawa sebutir tengkorakpun sebagai hadiah perkawinan ia jadi ragu. Akhirnya ia mengambil pakaian perempuan yang tergantung di jemuran dan menyerahkannya kepada Yohanes sambil berkata, "Sahabatmu itu bukan jantan, ia hanya seorang betina penakut dan tidak pantas memakai pakaian laki-laki; katakan kepada dia untuk mengenakan pakaian ini."
Yohanes hanya tersenyum tanpa menerima pakaian itu. Kini Harimau Bukit memberitahu Hamadu bahwa orang asing itu telah dua kali menyelamatkan nyawanya dan menjelaskan kepada dia bahwa di daerah hilir orang Belanda melarang mengayau, dan penyelamatnya tunduk pada perintah itu, tetapi bagaimanapun juga ia adalah yang terberani di antara para pemberani, seorang yang benar-benar Dohong.
Dengan penjelasan tersebut gadis itu tidak ragu-ragu lagi, dan dengan jujur ia menyatakan menarik kembali kata-katanya. Ditam?bahkan juga, ia bangga bisa menyenangkan hati abangnya dan siap menjadi teman hidup Dohong dan berbagi suka dan duka. Ia memohon kepada abangnya untuk segera mempersiapkan perayaan blako ontong, upacara memohon berkat pernikahan pada Raja Balawang Bulau, Raja Gerbang Keemasan Langit.
Semua dikatakan dengan demikian sopan memesona hingga Yohanes terpikat pada gadis itu dan nyaris iri pada keberuntungan sahabatnya. Ketika Hamadu undur diri, akad perkawinan yang sesungguhnya berlangsung. Yohanes memulai dengan menjelaskan bahwa Dohong, sebagai orang gadaian yang telah dibebaskan, tidak memiliki harta-benda. Maka ia tidak sanggup memberikan palakko yang tinggi atau sejumlah uang tertentu untuk merayakan perka?winan. Palakko adalah mahar yang diberikan oleh pengantin laki- laki kepada orangtua pengantin perempuan menurut kekayaan pihak pengantin laki-laki, sejumlah uang berkisar antara 80 dan 8oo.
Uang ini berlaku sebagai tanda pengikat kekasih; sedikit saja ada bukti ketidaksetiaan, uang itu menjadi milik pihak istri. Harimau Bukit tersenyum atas penjelasan ini, mengambil beberapa kotak bambu dari dinding dan menyerahkannya kepada Yohanes dengan keterangan bahwa isinya kira-kira 20 tahil serbuk emas, cukup untuk menyediakan semua keperluan darurat.
"Bukankah saya tidak bisa menolak berpisah dengan uang ini demi kebahagiaan saudaraku Dohong?" tanya Kepala Suku Punan yang pemurah itu. "Saya telah menyerahkan tubuhku kepada dia dan setelah itu ia dapat menganggap apa saja yang menjadi milikku sebagai miliknya."
Demikianlah, setelah semua diselesaikan, hari perkawinan pun ditentukan. Diusulkan agar upacara diselenggarakan secara resmi dua bulan sejak saat itu di rumah Harimau Bukit di Sungai Miri, dan untuk menghormati Kajanka, penguasa bulan dan pelindung pengantin perempuan, diselenggarakan pada saat bulan purnama.
"Dan marilah kita berharap," tambah Harimau Bukit, "para pengepung kita telah pergi jauh-jauh sebelum perayaan itu dilangsungkan."
Ketika Yohanes kembali bergabung dengan teman-temannya, segera terjadi perselisihan antara dia dan Wienersdorf, yang menolak mengikuti rencana perkawinan cara Dayak itu.
"Aku yakin kamu ini sedang gila," jawab Yohanes, "kamu bicara seolah perceraian begitu amat sulit dilakukan di kalangan orang Dayak. Mengapa, karena di sini lebih mudah bercerai daripada kawin. Masing-masing berjalan sendiri-sendiri dan semua berakhir."
"Dan semua berakhir, ha, ha!" orang Swiss itu tertawa pahit. "Tentu saja sangat mudah meninggalkan istrimu yang malang, kan" Aku tak menyangka kamu ini ternyata seorang bajingan tak bermoral."
"Baiklah, aku terima itu," Yohanes menyela berapi-api. "Inilah aku, berbuat sebaik-baiknya untuk menyingkirkan akibat fatal atas kedermawananmu yang absurd dan lembek. Seorang bidadari ber?wujud seorang gadis dipersembahkan kepadamu sebagai istri, dan aku telah menerimanya untukmu, berharap bisa menghilangkan bekas-bekas ketololan yang sudah-sudah, tapi kamu dengan dingin malah mengganjar jasa-jasaku dengan sebutan bajingan tak bermoral. Maka biarkan aku mengatakan sesuatu padamu," lanjutnya dengan semakin bernafsu, "kalian orang-orang Eropa tidak hanya paling tidak tahu berterimakasih, tapi juga makhluk yang paling tidak membumi yang pernah diciptakan karena memegang prinsip-prinsip yang mengawang-awang. Aku yakin, Sang Pencipta sekarang ini dan
selamanya merasa sangat malu atas ketololan ras kulit putih."
Yohanes tampak sangat tampan dalam hinaan; matanya bersinar, cuping hidungnya kembang-kempis dan urat-urat darah di dahinya tampak seperti tali-tali yang menggelembung.
Schlickeisen yang kini bertindak sebagai juru damai berkata, "Jangan merasa sakit hati atas ucapan teman yang tak terkendali, yang aku yakin ia tidak bermaksud.... kan?"
"Kata-kata tentu saja terucap tanpa pikir," Wienersdorf menjawab dengan sungguh-sungguh, "dan aku dengan senang hati menariknya kembali. Aku sangat marah mendengar sahabatku berbicara dengan dingin tentang perkawinan dan perceraian dalam satu napas."
"Aku mengatakan hanya untuk menghilangkan kesanmu bahwa perkawinan merupakan paksaan di pulau ini. Aku merasa sungkan membuat olok-olok mengenai hal-hal yang serius, tapi aku mencoba meyakinkanmu betapa perlunya kita semua tunduk pada keadaan yang tak terelakkan. Segera setelah aku berada di tengah-tengah orang kulit putih, aku akan menghormati gagasan mereka tentang perkawinan dan perceraian, tapi sementara aku berada di tengah- tengah orang Kalimantan aku menerima adat-istiadat dan lembaga- lembaga mereka."
"Tapi izinkan aku berkata bahwa aku akan berbuat sama. Aku benar-benar menghormati adat-istiadat Dayak, tapi tak seorangpun boleh mencela aku karena kurang toleran ini, yang kamu salahkan padaku. Orang-orang di sini dan di manapun bebas kawin dan cerai sesuka hati, asal kamu tak melibatkan aku."
"Namun kamu harus menerima perkawinan ini," jawab Yoha?nes.
"Tidak akan!" seru Wienersdorf.
"Tapi kali ini saja, pikirkan baik-baik."
"Tak akan kupikirkan. Aku tak akan mengawini seorang pe?rempuan yang kuketahui sebentar lagi harus kuceraikan."
"Tapi dengar; dalam keadaan seperti sekarang, perkawinan tak terelakkan. Kamu telah sangat menghina Kepala Suku Punan itu selama upacara pengampunan dosa dan mandau-mandau telah setengah terhunus. Awas, menolak mengawini adik perempuannya, Kepala Suku Punan itu akan membalas dendam dengan kejam. Dan kuulangi lagi, seperti telah kuperingatkan sebelumnya, jika kamu menghargai nyawamu sendiri, kau harus memikirkan kami."
"Tapi," kata Wienersdorf, "itu hanya dugaanmu yang berlebihan. Apakah orang Punan itu serius terhadap sikap penolakan?"
"Apa kamu meragukannya" Apa kamu lupa bagaimana kela?kuanmu selama pelaksanaan hukuman budak itu membuat dia takut kamu tidak menghargai persahabatannya" Apa gerangan akibat penolakanmu mengawini adik perempuannya, yang ditawarkan padamu dengan penuh persahabatan" Itu pasti akan menimbulkan sikap yang tak jauh dari permusuhan. Orang Punan itu akan menarik diri bersama semua pengikutnya dan meninggalkan kita dalam nasib kita sendiri."
Harimau Mendekam Naga Sembunyi 15 Mustika Lidah Naga 1 Kekayaan Yang Menyesatkan 8

Cari Blog Ini