Ceritasilat Novel Online

Misteri Gadis Bergaun Putih 2

Misteri Gadis Bergaun Putih Karya Abdullah Harahap Bagian 2


"Boss bilang, setiap saat kau dapat datang mengambil pembayaran buku itu!"
'Aku tak punya waktu," jawabku, jual mahal. Kalian maSukkan saja uang itu ke dalam rekening bankku!" Sambil menenggak minuman sampai hampir mabuk, tak habis-habis mereka mencemoohku: 'Kau rugi, tak kawin kawin!"
Selama mereka bertamu, dia seperti biasa. ngumpet entah di mana. Tak tahulah aku, apakah dia akan bangkit dari kubur, ketika salah
seorang tamuku meledek: 'Kau tahu" Si Mona mencari-carimu. Mengapa tidak kau tulis surat, bahwa kau sudah melupakan dia" Lalu aku akan menggaet si montok yang pemalu tapi binal itu!"
Kualihkan percakapan ke arah lain: "Kalian tadi bicara soal longsor. Begitu parahkah, sampai kalian beramai-ramai?"
"Cukup parah." jawab salah seorang tamuku. "Enam korban meninggal. tujuh luka parah dan tiga rumah lenyap ditelan bumi."
"Wah. Di mana itu?"
"Hanya sepuluh kilo dari sini," Alex yang menjawabkan. "Subuh tadi kami terus saja ke sana. melewati rumahmu... rumah ini begitu sepi, kami kira kau lagi pergi...."
Untung mereka tak singgah pada waktu itu. Kuperkirakan. dia lagi sibuk menyiapkan sarapan pagiku. atau masih mencuci di kamar mandi. "Apa yang longsor. Lex?"
"Sebuah bukit!"
"Wouw!" "Selain rumah dan kebun yang hancur berantakan, juga ada sebuah bus penuh penumpang jatuh tertimpa?"
"Bus" Bukan mobil?" aku teringat sosok hitam yang terbang dengan mobil ke arah yang mereka ceritakan.
"Bus. Bus antar kota, bukan mobil.' Alex menguatkan. "Mengapa rupanya?"
"Ah. tidak-tidak. Hem, jadi ada yang celaka."'
'Hampir setengah dari penumpang bus." Alex bersungut-sungut setengah berpikir. Lalu: "Nanti dulu. Rasanya ada sebuah mobil... tetapi tidak terperangkap tanah longsor. Hubungan lalu lintas putus. dan subuh tadi hanya bus dan mobil itu saia yang kami temukan di sana. Penumpang mobil itu selamat dan ia berjalan seiring dengan rombongan kami. Sayang tak mau diajak singgah. ketika kami mampir di sini...."
"Hai," aku tertarik. "Warna mobilnya" Pengemudinya?"
'Merah hati. Sebuah mobil mahal. dan pengemudinya kukira juga pemilik mobil itu sendiri. Seorang pengusaha di Jakarta. begitu yang kami ketahui dalam pembicaraan singkat."'
"Oom Subarja," tukas salah satu tamuku. 'Ia kukenal baik. Perusahaan ekspedisi muatan kapal laut, itulah usahanya. Sedang maju pesat. tetapi tidak berbahagia dalam rumah tangganya. Beberapa kali kawin cerai" dan perceraian itu selalu tak berusia lama. Belum lagi anak-anaknya. Yang satu sakit lumpuh. Dua yang lain mati muda, dan yang bungsu. lahir gagu...."
Aku merasa iba. Dan berkata pada diri sendiri: bukan orang macam pengusaha terkenal itu yang mau memasuki rumah orang pakai kunci palsu. Siapa
pun orang yang subuh tadi berhasil lolos dari rumahku. tentulah telah menghilang di suatu tempat. Barangkali juga, ia bukan pakai mobil sedan... mungkin kendaraan umum, pik-up atau semacamnya. Aku tak begitu yakin. Namun begitu. tetap penasaran: apa yang mau dia curi" Apa isi bungkusannya" Mengapa dia harus ke kamar mandi"
Coba kalau aku tak keburu membentak pencuri itu!
Setelah tamu-tamuku pulang. Suasana rumah kembali sunyi sepi. Seorang anak tetangga datang memberitahu, kalau hari telah mulai senja dan cucianku di jemuran belum diangkat. Aku pergi ke samping rumah, mengangkat kain jemuran dan ngobrol sebentar dengan salah seorang ibu-ibu yang katanya tinggal di rumah petak sebelah bawah. Sambil lalu ia memberitahu, bahwa ada batu yang runtuh ke kebunnya. Batu itu berasal dari tebing penguat rumah tempatku berdiri. Ketika kuperiksa, memang kulihat ada bagian yang retak pada tebing batu penahan rumah itu. tetapi tidak begitu mengkuatirkan.
Kuputuskan untuk melihat lihat keadaan lebih dulu, sebelum menemui pemilik rumah untuk membicarakan kerusakan itu. Cukup kuat untuk enam tahun mendatang, pernah ia meyakinkan, dan melihat kokohnya tebing di bagian belakang rumah, aku percaya katakatanya.
Puas. aku masuk kembali ke dalam rumah.
Dan. ta'jub melihat segala sesuatunya telah bersih rapih. Tidak ada lagi bekas pesta pora yang ditinggalkan terlantar oleh tamutamuku. Sampah bertumpuk di sudut ruangan lantai bawah. dan aku membuangnya lewat jendela belakang
Lama aku menunggu di kamar.
Kalau-kalau dia datang, atau memperlihatkan tanda tanda untuk bercengkerama. Setelah penungguanku Sia-Sia, aku berpendapat ia ingin membiarkan aku sendirian, supaya aku dapat bekerja dengan tenang. Barangkali, dia juga mendengar. aku harus membuat novel yang baru.
Tengah malam. selagi aku tekun mengetik dan tenggelam dalam kisah yang kutumpahkan pada toets toets mesin tik. segelas kopi kental dan sepiring kueh sisa oleh-oleh rekanku tadi siang, telah terhidang di sudut meja. Aku hampir menumpahkannya karena tidak sadar kopi itu telah terhidang di sana. Lagi lagi aku mencari. lagi-lagi kuketahui bahwa dia tidak ingin mengusik keasyikanku.
Pagi-pagi benar, kudengar kesibukan di dapur. Ia tengah mempersiapkan sarapan .
Lama-kelamaan. aku merasa benar-benar berada di rumahku sendiri. dengan seorang teman yang tidak terlihat tetapi baik hati. rajin dan menyenangkan. Banyak pekerjaan-pekerjaan yang telah selesai dengan sendirinya ketika aku bangun pagi. atau ketika aku pulang setelah pergi keluar untuk berbagai keperluan.
Segalanya sudah terbiasa bagiku.
Bantuannya yang diberikan diam-diam. Protes yang ia berikan melalui suara gaduh kalau aku berbuat sesuatu hal yang tidak sesuai dengan keinginannya. serta semakin banyaknya hal-hal ganjil yang harus kualami. Misalnya, setrika listrik yang bergerak sendiri. dapur yang sibuk. kamar mandi yang ramai. pakaian dan segala macam benda yang melayang layang di udara bebas.
Ia menghidangkan sarapan pagi secara tetap.
Kopi. telur rebus dan diseling dengan roti panggang. Aku memang tidak biasa makan siang, dan itu kuterangkan padanya ketika suatu hari ia menyediakannya kira-kira jam sebelas pagi. Menu makanan sore, selalu bervariasi. la menyesuaikan diri dengan bahan yang kubeli sendiri ke pasar pada tempo-tempo tertentu.
Pakaianku dicuci jauh malam. Ketika ayam berkokok. pakaian pakaian itu sudah terjemur di halaman samping yang sempit itu. Tentu saja tidak lucu kalau ada orang melihat pakaian-pakaianku melayang masuk rumah satu persatu, maka ia membiarkan aku mengambil pakaian itu setelah kering dan membawanya masuk ke dalam rumah. Di dalam, segala sesuatu bebas melayang-layang tanpa ada yang melarang.
Benda-benda terbang yang mirip kejadian sehari-hari di angkasa luar itu baru terhenti. kalau ada tamu mengetuk pintu.
"Menyenangkan sekali suasana rumah ini." tamu atau tetangga-tetanggaku memuji dengan suara yang tulus bercampur heran.
"Biar aku betah." tak lupa aku memuji diri.
Tetapi sesekali, ada juga pertanyaan itu:
'Tidak ada yang menganggu."
"Orang luar" Tidak."
"Eh. makSudku... penunggu rumah ini."
"Yang menunggu rumah ini. hanya aku sendiri,' sahutku tertawa lebar.
"Kalau begitu. mengapa tidak mengajak seorang teman atau mempekerjakan seorang pembantu?"
"Oh. Aku lebih senang bekerja sendiri. Lumayan. bisa melenyapkan rasa sepi.?"
Dan kepada dia yang tidak terlihat, aku bersungut setelah tamu-tamuku pergi:
'Kau dengar" Aku sudah bermulut besar!'
*** DELAPAN Kontak kami yang berikutnya, terjadi ketika aku demam karena kehujanan waktu pulang dari kantor pos. Ia meraba dahiku yang panas. mengelus lenganku yang menggigil dengan tangannya yang dingin tetapi lembut itu. Terasa kasih sayang yang tersembunyi dikedinginan jari jemari atau telapak tangannya.
Ketika ia menyuapkan bubur ke mulutku. aku tahu ia duduk di pinggir tempat tidur. Karena. dapat kulihat kasur di bagian yang ia duduki. membuat cembungan dalam. Benda lunak dan dingin. menyentuh pinggangku. Mungkin pahanya. Entah pakaian apa yang ia kenakan.
Ingin aku menyentuh udara hampa itu.
Tetapi aku sadar, kalau itu kulakukan. ia akan segera menghindar. Karena itu kutekan keinginanku, dan aku menurut dengan patuh terhadap segala yang ia lakukan atas diriku. Termasuk ketika ia melap tubuhku dengan handuk yang dibasahi air hangat. karena aku tak mampu untuk turun ke kamar mandi. .
Sendok bubur tertegun di udara. ketika
aku berujar: "Kau seorang wanita yang baik dan patut dikasihi."
Ketika ia melap tubuhku dengan tidak melepas celana dalamku. aku mengatakan hal yang lebih menjurus.
"Baru kau seoranglah yang pernah menjamah tubuhku dalam keadaan begini rupa"."
Gerak lap tertegun lebih lama.
Entah terharu oleh ucapanku. entah tahu kalau aku berbohong. Tetapi handuk basah itu terus bergerak. kadang kadang setengah menekan, memijit-mijit bagian-bagian uratku yang kejang. Dan aku segera tertidur begitu selesai mengganti pakaianku.
Dalam tidurku. gadis yang sama muncul.
Dengan gaun tidurnya yang putih. rambutnya yang panjang. Tetapi senyumnya tidak lagi penuh rahasia, serta matanya berkaca-kaca. Ia tidak minggat ke balik kabut waktu aku menggapai. Tiba-tiba saja kami telah berpelukan. Tubuhnya dingin. sedingin salju tempatnya selalu lenyap. Ketika aku menciumnya bibirnya juga dingin.
Kaget. aku membuka mata. Aku yakin kali ini aku tidak bermimpi. Aku tidak melihat gadis itu. Tetapi aku dapat merasakannya. Tepi tempat tidur lekuk ke dalam kemudian rata kembali. Uap dingin menyapu wajahku. Kemudian langkah-langkah kaki menjauh ke pintu. lalu lenyap.
Pada hari-hari senggang kusempatkan bertamu ke tetangga. memenuhi apa yang selalu kujanjikan. Dan pada suatu hari. aku bertamu khusus di rumah Pak Jayusman, untuk menanyakan apa yang diam-diam mulai menggerogoti benakku.
Dengan jujur kuakui aku baru saja sembuh sakit. ketika ia terkejut melihat wajahku yang lebih pucat dari biasa. Setelah marah marah karena aku tidak memberitahu sehingga tidak ada yang menolongku selama sakit... menurut dia. tentu!." Pak Jayusman bertanya:
"Tentu ada maksudmu datang ke mari. Nak Doli. Dapat kulihat dan sinar matamu...."
Aku memilih pokok pembicaraan yang diplomatis.
"Tentang itu. Pak! Desas desus mengenai rumah yang saya tempati....'
Pak Jayusman memegang tanganku. Kuat.
"Kau... kau telah bertemu dengannya?" tanyanya, bernafsu.
"Bertemu"' aku bingung.
'Maksudku. diganggunya.' 'Ah.... Tidak." Duduknya kembali tegak seperti semula. Matanya memandang kecewa.
"Lalu?" dengusnya. lirih.
"Ingin tahu saja, Pak. Maklum... saya hidup dari kisah-kisah seram seperti yang orang orang di sini ceritakan. Siapa tahu, barangkali ada kisah menarik yang bisa kuangkat ke mesin tik."' Meskipun masih kecewa, ia mau juga menceritakan.
*** Rumah yang kutempati dibangun oleh seorang laki-laki dari ibukota. untuk isteri muda. Laki-laki itu jarang berkunjung menemui isterinya. Tak heran, kalau isteri yang masih muda belia itu tergelincir menempuh jalan yang tidak terhormat,
Ia mulai main mata dengan pemuda-pemuda setempat. Mula mula diam diam, lama lama terang-terangan. Belakangan, suaminya mengetahui hal itu. Terjadi pertengkaran sengit, tentu saja. Hasilnya: si lelaki lebih sering berkunjung dari biasa. dan si wanita menolak uluran cinta pemuda pemuda yang selama ini mengisi kesepian hatinya. Namun desas desus iuga keluar. lewat pembantu mereka yang mulutnya tak pernah terkatup.
Suami isteri itu sering bertengkar. Malah pernah berkelahi. Rupanya yang perempuan tidak cinta sama sekali kepada yang lelaki. Ia mau kawin dengan laki-laki itu, karena desakan ekonomi keluarganya yang morat marit Sebaliknya. si suami mencintainya. tetapi takut menceraikan isteri pertama, yang telah mengaruniai lakilaki itu setengah lusin anak-anak. Beberapa kali perempuan muda itu minta cerai, tetapi tak pernah dikabulkan.
Desas desus agak reda setelah pembantu yang tak bisa menyimpan rahasia itu diberhentikan, dan diganti oleh seorang pembantu yang jarang keluar rumah. Beberapa hari kemudian. isteri muda belia itu tidak tampak lagi batang hidungnya. Konon sang suami sudah memberi ijin cerai, lantas mengusirnya tengah malam buta. Laki-laki itu masih menetap di sana selama berbulan-bulan serta membawa isteri tua dan anak-anaknya sesekali untuk berlibur di sana. Tetapi sang isteri mengetahui siapa yang tinggal di rumah itu bersama suaminya, sehingga mereka pun bertengkar. Cerai tidak terelakkan lagi.
Rumah itu kemudian dijual. dan sudah sering berpindah tangan.
"Tetapi tak lama".' Pak Jayusman mengakhiri ceritanya yang ringkas itu. "Karena kata orang. ada hantunya"."
"Hantu siapa?" desakku. ingin tahu.
'Mana aku tahu?" Pak Jayusman angkat bahu. "Tak pernah ada yang melihatnya secara nyata. Hanya terdengar desas desus yang sukar dipercaya kepastiannya..."
"Mengenai apa pula itu?"
'Sang isteri muda. Konon. ia tidak diusir. Tetapi dibunuh!"
Aku menggigil, meski cerita itu kuharap memang demikian pada akhirnya.
"Tentu setelah mayatnya diketemukan!"
aku memancing. Pak Jayusman gelang kepala.
"Jangankan mayat. Kabar beritanya pun tidak pernah terdengar lagi," katanya, setengah tertawa puas karena ia dapat membalas kekecewaannya dengan membuatku mengalami hal yang sama. "Itu cuma kabar burung belaka. Polisi sudah pernah memeriksa ke sana. tetapi hasilnya" Nihil. Nak. itu cuma kabar burung. bukan?"
Ia yang memancing sekarang.
Dan aku mengkik balik dia seketika.
'Tentu. Karena di rumah itu tak ada hantu!"
Pak Jayusman mengantarku sampai di pintu. dengan wajah malu. Aku agak menyesal juga. Tetapi yah... hantu itu memang ada. Tetapi ia terlalu baik, terlalu menyenangkan, terlalu sayang untuk digubah jadi dongeng yang bisa menakut-nakuti anak-anak agar segera masuk ke rumah. tidak kelayapan malam di luar.
*** SEMBILAN Meski merasa seram mengingat kemungkinan adanya sesosok mayat tertanam di salah satu bagian rumah. aku berusaha sedapatnya memperlihatkan sikap biasa-biasa. seolah tidak tahu apa-apa. Menyapa suasana temaram di dalam: "Hai. Sedang apa?" kemudian menekuni pekerjaanku dan pada waktu-waktu senggang ngobrol secara rutin dengannya.
Dia seorang pendengar yang baik dan setia. ' '
Dan paling senang kalau aku ceritakan suasana kehidupan di luar rumah kami, atau keadaan para tetangga; Pak Sulaeman akan menikahkan anak gadisnya yang sulung". Ibu Endah bertengkar dengan ibu Rukman karena soal kucing... si Dudung ketahuan menghamili anak pak lurah dan kini buron entah ke mana. Bung Lee yang bekerja jadi kuli bangunan di Arab Saudi tadi siang mengirim uang banyak sekali pada orang tuanya.... Pak Barli cerai dengan isterinya karena panenan sawah tahun ini gagal lagi." Dan banyak kisah-kisah lain. Sebagian menurut apa yang
kudengar dan kuketahui, tetapi kebanyakan dari celoteh Bi Saodah. tukang sayur yang rutin datang ke rumah tiap pagi menawarkan dagangannya. '
Kalau aku sedang malas ngetik dan dia hilang dalam kesunyian rumah. kusempatkan sesekali memeriksa lantai. memeriksa tembok sampai tempat pembuangan sampah. Bahkan sudut sudut pekarangan di sekeliling rumah iuga kuteliti. Siapa tahu ada tembok yang di bangun tidak semestinya: kelewat tebal, atau bentuknya tidak wajar. Adakah lantai yang bekas dibongkar dan ditutup lagi" Atau rerumputan, ilalang. kembang yang tumbuhnya lebih muda dari bagian lain, pada bekas galian lanah" Barangkali juga: tulang kaki tersembul di antara tumpukan sampah!
Rupanya diam diam ia perhatikan juga apa yang kulakukan.
Suatu hari, selesai membersihkan diri untuk membuang kuman-kuman sampah, di meja kerjaku terhampar sehelai kertas yang ditulis kata kata: "Sibuk benar. Cari apa sih?"
Tulisan dia! Aku menatap sekeliling kamar, dan setelah kurasakan kehadirannya, aku menyeringai: "Ada deh. Mau tahu saja!" Sebuah ungkapan kuno, namun ternyata tidak membuatnya senang karena kertas yang tadi ia tulisi dirampas dari tanganku lantas dirobek berkeping-keping.
"Tak usah curiga, manis," aku cepat-cepat membujuk. "Kau tahu,aku menyukai rumah ini... dan kau juga!" kucoba tersenyum, jujur. "Jadi tak ada salahnya kalau semua sudut kuperiksa dulu. agar kelak aku tidak rugi atau tertipu. bukan?"
Sepi sejenak. Lalu kepingan-kepingan kertas yang berserakan. melayang satu persatu ke ranjang sampah. Menyusul segelas kopi panas diletakkan di mejaku. lalu usapan dingin tetapi lembut menyenangkan di pipiku. Kusentuh tangan yang halus dingin itu. dan menunjuk ke kertas kertas kosong serta pulpen di mejaku. Berkata: "Ayo. Tulislah. Sesuatu lagi. Aku senang membacanya. Senang pada tulisan tanganmu yang cantik...."
Tangan itu menjauh. Tetapi kertas-kertas di meja, tetap kosong.
'Ayo dooong!" aku merajuk.
Pulpen bergerak. Lalu: 'Apa yang harus kutulis?"
Aku langsung menembak sasaran yang selama ini ingin kubidik: "Tentang siapa kau sabenarnya'"
Pulpen tertegun di permukaan kertas. Meninggalkan titik biru. lantas berdentang terkulai. bergulir sebentar lalu berhenti di tepi meja. Aku terjengah, menyadari ia begitu gigih untuk tidak memberitahu keterangan mengenai pribadinya.
'Apa sih yang harus disembunyikan?" rungutku, dongkol. "Kau sudah banyak tahu tentang aku. Malah, kukira kau lebih banyak tahu dari pada aku sendiri.... Sedang kau?" Kuperlihatkan wajah tak senang. Wajah kecewa yang teramat sangat. Baru menambahkan dengan tekanan; Ini namanya sepihak. Kau mau menang sendiri"
Sepi menyentak. Dan... ah. pulpen itu bergerak, bimbang. kemudian srat-sret. di sehelai kertas ia menulis: "Aku malu, sayang. Aku bukan perempuan baik-baik.?"
"Teruskan." desakku, ketika pulpen itu tertegun lagi.
Ragu-ragu, ia meneruskan: "Ketika aku putuskan untuk merobah tingkah lakuku. semuanya sudah terlambat!"
"Apanya"' tanyaku, bernafsu. "Apanya yang terlambat?"
Pulpen tertegak lagi. Kaku. Beberapa detik yang mencengkam berlalu. sebelum pulpen itu akhirnya terjatuh di permukaan meja. seolah tangan yang memegangnya tidak sadar kalau pulpen terjatuh. Terdengar hentakan kaki samar dalam kesunyian kamar. lalu Suara sayup seperti mengisak. Aku menggapai ke udara dingin yang paling keras. Menemukan tubuhnya. dan membawanya dalam pelukanku. 'Sudahlah...." aku membujuk.
Ia balas memelukku Ada tekanan-tekanan keras di dada. serta kedinginan yang kian menajam. Oh. Dia menangis di dadaku Rambutnya kubelai, lembut. Berkata menghibur: 'Tak usah kita perpanjang lagi, okey. Dan kau tak usah malu. Aku sendiri pun bukan pemuda baik-baik. Aku telah mengecewakan Sejumlah orang. Membuat ibuku mati. Menyebabkan anakku terkubur tanpa aku.?"
Jari jemari yang dingin menyentuh bibirku.
Artinya: 'Ssssttt....' Tubuhnya pelan-pelan menjauh. Pulpen melayang sebentar, dan pada sehelai kertas yang masih kosong, dia menulis: "Tenteramkan pikiranmu. Dan ingat. Siang tadi ada surat yang menagih naskah!"
Sebelum aku sempat berkata apa-apa, sebuah ciuman dingin hinggap di pipiku. Dorongan aneh menggerakkan lengan-lenganku untuk memeluknya untuk memperoleh lebih dari sekedar ciuman di pipi. Namun udara dingin itu telah menjauh. Pintu terbuka lalu menutup lagi. Udara di dalam kamar kembali hangat. Tak lama. Udara berubah dingin perlahan lahan. Bukan karena dia hadir untuk menemaniku.
Tetapi, karena hujan tiba-tiba jatuh di luar rumah.
Hujan deras terus menggebu di luar rumah ketika malam itu aku mengetik bagian-bagian terakhir dari naskah yang akan kukirimkan ke Redaksi. Topan membadai dengan suara yang nuh rendah. Butir-butir air menghantam kaca jendela dengan suara yang membuatku khawatir kalau-kalau jendela itu sampai pecah.
Kumatikan rokok ke asbak.
Lalu berjalan ke jendela. menyingkapkan tirai. Tidak tampak apa apa sama sekali di luar, selain kegelapan yang hitam pekat. Bagian luar jendela dialiri air hujan yang deras seolah ada sungai besar meluap dari langit.
Ketika guntur menggelegar. aku tergoncang mundur.
Darahku tersirap sebentar. Benarkah guntur itu yang membuatku tergoncang sebentar tadi" Atau sesuatu yang lain. pada tempatku berpijak" Aku mundur kembali ke kursi, mengnadapi mesin tik. Mungkin hanya dugaan saja. atau tadi aku terlalu letih karena terus-terusan berdiri.
Di kejauhan, terdengar suara pohon besar. berderak. Tumbang.
Tanganku yang sedang memaSukkan kertas tik ke ban mesin, tertegun. Ada goncangan halus lagi terasa di kakiku. Hanya sekilas. kemudian tenang. Di luar, hujan mulai reda. Namun suara angin masih terdengar ribut. berkecamuk.
Pintu terbuka tiba-tiba. Angin dingin menerpa ke dalam.
Aku menggigil, dan merasa tenang kembali setelah melihat sebuah baki melayang di udara. setinggi dada. Di atas baki tampak kopi tubruk kental. beberapa potong singkong goreng pada piring, yang kesemuanya kemudian diletakkan di atas meja tempatku bekerja.
Napas yang dingin menyentuh tengkukku sesaat.
"Terimakasih," aku bergumam. seperti biasa.
Terdengar langkah-langkah halus berjalan menjauh. Pintu tertutup kembali. Selama beberapa saat aku menunggu. Setelah mengunyah sepotong singkong dan mereguk kopi yang panas, aku meneruskan ketikanku yang tertunda. Baru berjalan setengah lembar, ketika napas yang dingin menyentuh tengkukku lagi.
Berarti, ia tidak keluar.
Aku tertegun. Heran. "Kau masih di Sini?" aku bertanya.
Sebagai jawabannya, kurasakan sentuhan. halus dan dingin di pundak kananku.
"Sudah larut malam," lanjutku. "Pergilah tidur. Istirahat. Kau sudah lelah bekerja sepanjang hari. Jangan merepotkan diri lagi denganku.?"
Langkah-langkah kaki itu berhenti.
Lalu. Sreeeekkkk! Kertas di ban mesin, tertarik sampai lepas, lalu reeetlt. reeeett... sobek dua. melayang di udara, jatuh ke lantai tak berdaya.
Aku terkejut. Langkah-langkah halus lagi, tetapi terdengar gelisah.
Aku menggerakkan leher sesuai dengan arah irama langkah, dan bersungut. "Ada apa dengan kau, manis?"
Diam. DI luar, sisa sisa hujan menerpa jendela.
"Kau tak mau tidur?"
Kuputar kursi, menghadap ke arah pintu maSUk, karena langkahnya yang terakhir aku dengar di sana. Tetapi segera berpindah lagi. ke arah tempat tidur. Kuperhatikan kasur. Tidak ada yang melekuk, sprei tidak berubah bentuk. Jadi, ia tanya berdiri saja disana.
Kucoba tersenyum. "Aku tak tahu mengapa kau gelisah Tetapi... adakah sesuatu yang dapat kulakukan, untuk menyenangkan hatimu?"
Sepi. Sepi sekali. Lalu. napas dingin, langkah-langkah kaki yang lembut. Tiba-tiba. kertas di lantai melayang ke udara, pindah dengan gerakan tetap ke atas meja. Sobekannya dirapatkan. seolaholah ia ingin menyatukannya kembali dengan perasaan menyesal.
"Tak usah dipikirkan, sayang," aku bergumam, terharu, 'Toh jalan ceritanya masih kuingat. Aku bisa mengetiknya kembali".."
Kureguk kopi panas yang ia hidangkan.
"Sungguh tak enak rasanya minum sendirian, sementara engkau kedinginan....' ujarku. "Dan singkong ini." aku mengunyah. "Bagaimana kau menggorengnya" Gurih dan enak sekali rasanya."
Lama. tidak ada reaksi. Apakah ia telah keluar melalui kemampuan empat dimensinya"
Barangkali ia ingin melihat aku bekerja. Baiklah. Kuambil sehelai kertas, memasukkannya ke ban mesin. dan pelan-pelan mengonsentrasikan diri. Tik-tak tik-tak mesin tik mulai memperdengarkan suara kembali. Tetapi agak tertegun tegun, karena kesadaran bahwa dia masih ada di dalam kamar sehingga konsentrasiku agak terpecah.
Tiba-tiba, musik mengalun lebih keras.
Tidak terlalu hingar, tetapi ternyata sangat cocok untuk mengatasi suara angin di luar rumah. Tetapi barangkali buat dia sendiri, mungkin punya pengaruh lain. Karena tahu tahu saja aku sudah merasakan hembusan dingin di pundak, disusul sepasang lengan yang lembut melingkar ke depan dan mendekap dadaku. Sesuatu yang lunak menekan di punggung. Sepasang bukit kembar yang menonjol lembut, sayang betapa dingin, namun aku tentu saja sangat gugup dibuatnya.
"Kau... kau kedinginan?" tanyaku, lirih
Sebagai jawaban. sebuah kecupan bibir ' mendarat di pipi kananku. Kecupan yang lama. disertai geseran lidah yang basah dan lunak. Kontak seperti itu telah dua tiga kali kualami semenjak ia menciumku di kala aku tertidur waktu masih sakit.
Aku pun sudah dapat merasa sedikit sedikit.
Ia masih muda, dengan lekak lekuk tubuh yang apabila terlihat mungkin akan membuat hatiku tergetar. Dan aku sangat yakin, bahwa ia mengenakan gaun malam, yang meski warnanya tidak dapat kulihat. aku tahu tentulah berwarna putih seperti yang sudah beberapa kali kulihat dalam mimpiku.
Rambutnya yang panjang, menebarkan harum semerbak ke hidungku.
"Baiklah,..." aku berbiSik, parau. "Kalau kau tak ingin aku mengetik...."
Aku memutar setengah tubuhku di kursi, lalu menerima ciuman yang lembut itu pada bibirku. Ia menggigitnya sedikit. penuh getaran. pertanda kegemasannya. Bagaimanapun aku membelalakkan mata toh aku tidak akan dapat melihat dia.
Karena itu kupejamkan mata.
Lantas aku memeluk, dan membalas ciumannya dengan hangat.
Tekanan wajahnya kemudian terasa di dadaku. disertai hendusan-hendusan napas
"Kau... kau kedinginan"' tanyaku, lirih Sebagai jawaban. sebuah kecupan bibir mendarat di pipi kananku. Kecupan yang lama,
disertai geseran lidah yang basah dan lunak .Kontak seperti itu telah dua tiga kali kualami semenjak ia menciumku di kala aku tertidur waktu masuh sakit.
Aku pun sudah dapat merasa sedikit sedikit.
Ia masih muda, dengan lekak lekuk tubuh yang apabila terlihat mungkin akan membuat hatiku tergetar. Dan aku sangat yakin, bahwa ia mengenakan gaun malam, yang meski warnanya tidak dapat kulihat. aku tahu tentulah berwarna putih seperti yang sudah beberapa kali kulihat dalam mimpiku.
Rambutnya yang panjang, menebarkan harum semerbak ke hidungku.
'Baiklah."' aku berbisik, parau. "Kalau kau tak ingin aku mengetik.. ."
Aku memutar setengah tubuhku di kursi, lalu menerima ciuman yang lembut itu pada bibirku. Ia menggigitnya sedikit. penuh getaran. pertanda kegemasannya. Bagaimanapun aku membelalakkan mata toh aku tidak akan dapat melihat dia.
Karena itu kupejamkan mata.
Lantas aku memeluk, dan membalas ciumannya dengan hangat.
Tekanan wajahnya kemudian terasa di dadaku, disertai hendusan-hendusan nafas
yang terengah-engah. Getaran ganjil mengaliri jalan darahku. Aku seolah-olah memeluk makhluk perempuan yang lembut dan hangat, dengan gairah yang minta dipenuhi. Kubayangkan wujudnya yang sering kulihat dalam mimpi. semakin lama semakin jelas."
Tetapi ketika aku menariknya ke tempat tidur.... Ah, sesungguhnya. dialah yang menarikku ke tempat tidur. aku tidak melihat apaapa. selain merasakan kehadiran dirinya. sentuhan tangannya. desah napasnya yang serba dingin. Anehnya. gairahku perlahan-lahan lepas dari kendali. Aku mengikuti gerakannya dengan tertegun-tegun, setengah gugup, setengah berhasrat, kemudian kami telah berbaring di tempat tidur.
Musik mengalun mendayu-dayu, penuh goda. Diluar, angin masih menderu.
Dingin sekali di sini. Tetapi pakaianku sudah dilepas oleh tangan-tangan gaib, dan pada saat berikutnya tubuhku telah menyentuh kulit tubuh yang licin, halus dan dingin. Sentuhan itu secara lambat tetapi nyata mulai berubah hangat. Barangkali oleh kobaran api yang bergejolak dalam darahku, dan menebar dengan liar di seputar kamar.
Dengan lampu tetap menyala. kami bermain cinta.
Dan aku merasakan. betapa hebat gejolak
birahinya, seorang telah sekian lama terpendam, tanpa menemukan pipa untuk menyalurkannva keluar....
*** SEPULUH Tak ubahnya manusia hidup dan berperasaan normal. ternyata dia dapat juga marah. Kemarahan yang sungguh luar biasa. Aku sampai kalang kabut dia buat. Bingung memikirkan bagaimana cara mengatasi tingkah lakunya yang serba diluar dugaan itu.
Pagi pagi. aku bangun. Sekujur tubuhku letih lesu.
Aku bangkit dan seketika tersentak mengetahui di bawah selimut. tubuhku dalam keadaan bugil. Sprei acak-acakan. Salah satu bantal terguling di lantai. Baik piyama maupun pakaian dalamku. tidak kutemukan dalam kamar. Baru kemudian aku tahu piyama dan celana dalam telah dia cuci dan dijemur di luar rumah. Perlahan-lahan aku ingat apa yang terjadi tadi malam.
Dan, aku menggigil Kucari tanda tanda kalau ia ada di kamar. Nihil Aku membuka pintu, menjenguk ke luar. Rupanya ia sedang sibuk di dapur, karena aku mencium bau masakan dan suara perabotan yang samar-samar. Berkerudung selimut, aku
turun ke lantai bawah. Terus ke dapur.
Di pintu dapur aku berhenti.
Penggilingan melayang di udara. Rempah rempah yang telah digiling lumat bercucuran jatuh ke katel beriSi minyak mentega. dengan bantuan sendok besar. Penggilingan kemudian hinggap sendiri di meja. Sendok maSih melayang layang, mengaduk sendiri adonan di katel. Sebutir telur rekah, kemudian belah. Bagian dalamnya masuk ke mangkok kecil dan sebuah sendok lagi lantas mengaduknya. Beberapa hari belakangan ini ia memang suka mengganti menu sarapan pagiku. Kopi tetap tersedia. tetapi telur rebus telah ditukar dengan telur dadar dan nasi goreng .
Aku terbatuk menCium bau sengit dari katel
Gerakan di sekitar kompor terhenti. cuma sesaat Kemudian segala sesuatunya kembali 'memasak sendiri". Sambil menyeringai. aku bergumam: "Kau membuatku lapar... "
Tak ada sahutan. Perabotan terus saja bekerja. NaSi goreng terus saja diaduk di katel. Kutunggui dengan asyik. Sebuah serbet mengudara pula hinggap di kuping kiri kanan panci. Ternyata ada air mendidih, yang dalam sekejap telah berpindah tempat ke dalam ember yang sudah tersedia. Pegangan plastik ember itu terangkat, ember bergerak dan berhenti di depan kakiku. Pegangannya jatuh lagi. Dan uap panas menyelinap nakal lewat celah selimut. merayap sampai di kelangkanganku.
"Hem. Jadi aku harus mandi dulu. Habis itu. baru ngobrol?" aku nyeletuk. Daun pintu dapur bergerak tiba tiba. Sebelum menghantam batang hidung. cepat aku menyingkir mundur. Untung ember berada di luar dapur. kalau tidak tentulah isinya tumpah mengenai kakiku. Sambil geleng-geleng kepala memikirkan pernyataan kesalnya. aku membawa ember itu ke kamar mandi. Bersenandung sumbang, karena pikiranku masih tercurah pada kejadian malam tadi. Aku masih bersenandung ketika menaiki tangga, dan baru menghentikan suaraku yang memang tidak enak didengar, setelah kaleng panci berbunyi ribut dari dapur. dipukuli sendok sebagai musik pengiring bernada mengejek.
"Sialan!' aku memaki pelan. masuk ke kamar. Ganti pakaian.
Pagi itu. seperti biasa aku sarapan sendiri. Ia, seperti biasa pula. duduk di seberang meja dan kadang-kadang berdiri untuk menuangkan teh atau beranjak ke dapur waktu aku ingin kecap. Selesai aku makan, dia beberes. Sembari memandangi perabotan bekas makan pada mengudara, aku bergumam tak tahan: "Hei,?"
Piring tergantung di permukaan meja.
Ia tengah menatapku. aku yakin.
"Mau duduk sebentar" Ada yang mau kuperbincangkan....'
Piring itu mendarat dengan halus. seperti benda dari angkasa luar saja layaknya. Kursi di seberang meja bergeser. la duduk. seraya mengisi gelasku yang kosong dengan air teh panas. "TerimakaSih." ujarku. tulus. Teko mendarat pula di tempat semula. Mulus. Setelah itu. kesepian tergantung di langit-langit. Agak lama. baru aku dapat menemukan kalimat yang kuanggap paling baik: "Kau sadar apa yang telah kita lakukan tadi malam, bukan?"
Diam. Dia diam. "Aku menyukainya." "aku lagi. terus terang Apakah ia juga menyukainya" Apakah ia malu" Apakah ia tersipu-sipu" Apakah kulit mukanya bersemu merah. lantas merunduk atau berpaling menyembunyikan isi hati" Sungguh malang. aku tidak akan pernah tahu. Karena itu kulanjutkan saja: "Mungkin yang kita perbuat itu tidak punya arti apa-apa buatmu.?"
Kalimatku terputus oleh gerakan taplak meja yang setengah tertarik ke seberang, melipat dan menekan ke arah bawah. Ia telah mencengkeramnya.
"Kuharap. seperti aku maka kau juga menyukai dan bahagia dengan apa yang telah kita perbuat,' kataku. memperbaiki kalimat sebelumnya. Lipatan dan tekanan di ujung meja. pelan-pelan mengendur. "Kuulangi sekali,lagi.
Aku menyukainya... dan, menikmatinya. Belum pernah aku... sebahagia tadi malam."
Tersenyumkah dia'" Atau, mencibir" 'Hei .. kau masih di Situ?"
Ada detakan-detakan kaki lembut di bawah meja_ dan taplak yang dilurus luruskan di depan.
'Aku masih di sini." tentu itu yang dia maksudkan.
Aku meneguk tehku. Masih ragu ragu. kujilati pula bibir sebentar. Baru kemudian; . begini.. Setelah apa yang terjadi tadi malam, antara kita berdua .. yah. kita semakin intim dan semakin dekat satu sama lain Itulah yang kumaksud. Dan. . '
Dan. taplak meja terlipat-lipat lagi.
Dia tak sabar. "Untuk tidak berbelit." kataku cepat cepat. "Kau telah tahu Siapa aku. Aku tak mendengar kau memanggilku. tetapi kukira. dari duniamu kau sudah sering memanggil namaku. Nah. Apa salahnya. kalau aku juga mengetahui namamu" Jadi aku tak usah berhei hei lagi Semenjak ini. aku dapat memanggilmu Misalnya Tien. Lies, atau Neneng"." kutunggu reaksi dari seberang meja Sepi. Diam.
Demikianlah yang terjadi.
Tanpa dapat dikendalikan. aku telah menembak. Menembak tanpa berpikir panjang, lewat mulutku yang tergetar karena sudah
lama penasaran ingin mengatakannya: 'Aku... kau lebih suka kupanggil Maria" Itulah namamu yang benar. bukan" Maria Magdalena. sebuah nama yang "'
Taplak meja sekonyong-konyong tertarik ke depan. Tidak pelan. tidak pula sedikit. Taplak meja itu tertarik seluruhnya. Perabotan bekas makan terhumbalang kian kemari. Baskom berisi sisa nasi terlempar ke lantai. Teko terguling membentur salah sebuah kursi. lalu pecah terderai setiba di lantai. Menyusul sebagian perabotan bekas aku makan. Sebagian, kubilang. Karena sebagian lagi punya tugas tersendiri
Mula mula gelas Sebelum gelas itu jatuh. dia telah menyambarnya dan melemparkannya ke arahku. Reflek. aku mengelaka Namun toh sisi kepalaku terserempet juga. Sendok garpu kemudian terbang bagaikan senjata masa datang yang ditembakkan dari lubang kanon. Meluncur cepat sekali. Kursi yang kududuki terbanting setelah aku berguling guling untuk menghindari ceceran peluru peluru ajaib itu. Sendok berdentang menghantam rak di dekat tembok. Garpu menghunjam dalam ke tembok di atasnya.
Aku tercekat. Pucat pasi. Andaikata garpu itu menghantam jidatku."
Selagi bersiap menunggu serangan berikutnya. .mataku liar mengawasi ke depan. ke kiri. ke kanan karena aku tidak tahu di mana ia saat itu ambil ancang ancang. Yang penting kulakukan hanyalah merapat ke tembok dan siap menunggu serangan tak terduga.
Lalu krompyang, taak! Baskom nasi terhumbalang di lantai. Tunggang langgang. Kukira ia telah menyepaknya sambil berjalan pergi ke... ya. kemana" Atau pura-pura pergi, me nunggu aku lengah dan ia melakukan serbuan dadakan"


Misteri Gadis Bergaun Putih Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sepi bagai di kuburan. Setelah hingar bingar yang hanya beberapa detik itu. benar benar terasa sangat sepi seperti di kuburan. Dan ah... apakah rumah itu bukan merupakan kuburannya" Tingkah laku dia jelas menunjukkan aku benar. Dia adalah Maria Magdalena. Maria yang dibunuh oleh laki laki yang mencintai dan memeliharanya sebagai isteri muda, lama berselang. Di rumah ini.
Pak Jayusman bilang, Maria telah pergi. Minggat meninggalkan rumah ini. Rahib tanpa kabar berita. Tetapi Pak Jayusman bilang, timbul juga desas desus Maria telah mati. la dibunuh. Di rumah ini" Mungkin juga di tempat lain. Lalu arwahnya kembali ke rumah ini, karena ia mencintai rumah ini. Kalau saja aku tahu di mana mayatnya ditanam....
Sepanjang hari, pintu berdentam-dentam.
Ya pintu dapur, ya pintu kamar mandi, ya pintu-pintu kamar tidur. Isi rak berhamburan di lantai bawah. Tetapi tidak ada lagi serangan
yang ditujukan ke arahku. setelah suatu saat aku berteriak melawan kesunyian yang menakutkan di sekelilingku: "Mengapa harus marah" Apa salahnya aku mengetahui namamu" Aku menyukainya! Aku juga menyukaimu! Tak usah malu mengenai masa lalu! Kau tetap adalah kau yang kukenal selama ini. Tak akan aku berubah pikir!"
Tak ada reaksi untuk beberapa jam.
Apakah karena apa yang kuucapkan" Atau, yah... apalagi kalau bukan! Ada tamu tibatiba muncul di rumah. Bi Ijah. tukang sayur. Sambil meninjau ke dalam. ia bertanya: "Lagi berteriak pada siapa?"
'Berteriak"' sahutku. malu. "Apakah tadi aku berteriak?"
"He-eh. Kudengar kau mengucapkan?"
'Oh. Oh. Rupanya aku terlalu larut dalam lamunanku."
'Lamunan?" 'Ya. Aku hidup dari melamun, bukan?"
Bi Ijah bingung sebentar. kemudian tertawa bergelak. Katanya: "Kau orang beruntung, Nak. Orang lain akan pusing kepala dan bisa gila kalau terus-terusan melamun. Sedang kau, justru dapat duit!"
Sebelum pergi, ia dengan sengaja mengantarkan barang belanjaanku ke dapur. Dan mengeluh heran: "Kok berantakan begini" Apakah kalau kau melamun. seisi rumah kau hancurkan?" Bukan pengarang namanya. kalau aku tak segera menemukan jawab: "Tadi ada tikus naik ke meja makan, Bi. Lima ekor, bayangkan' entah dari mana datangnya. Aku begitu marah, sampai taplak meja kurenggut sekaligus dalam usahaku meringkus binatang-binatang menjijikkan itu. Tetapi aku kalah pengalaman Kalah cepat...." aku tersenyum. Bi Ijah ikut pula tersenyum. "Seekor hampir tertangkap olehku. tapi keburu lolos. Habis. terganggu ketukan Bi Ijah di pintu!"
'Maaf. Nak Doli. Bibi sungguh engga tahu. Tetapi ya... kukira bukan hanya lima ek0r. Mungkin ratusan ekor tikus di rumah ini. Maklum. sudah lama kosong tak berpenghuni dan kalau sedang kosong, bukan sekali dua kudengar suara berisik di dalam"."
"Oh ya?" Seorang tetangga berseru dikejauhan. "Bi" Bi Ijah" Kau bawa ayam potong?"
Bi Ijah berlalu. Dan, pintu demi pintu berdentam dentam lagi. Aku sibuk beberes segala perabotan yang bergelimpang di bawah. Menyapu, mengepel. Namun segera berantakan lagi. Karena begitu kususun atau kuletakkan di tempat semestinya. dia sudah mengacak-acaknya lagi.
Karena jengkel. akhirnya kubiarkan!
Aku mengenakan sepatu dan jaketku, beranjak ke pintu depan. Di Situ. aku mengawasi ke dalam dan berkata: "Puaskanlah kemarahanmu.
Aku akan pergi. Bersenang-senang di luar!"
Sebuah buku besar terangkat dari rak. melayang di udara.
Buru buru pintu kututup di belakangku. Buku besar itu menghantam deras di balik pintu. Aku geleng kepala, tak habis pikir. Kemudian benar-benar mencari kesenangan di kota. Minum sampai mabuk di rumah seorang rekan dan hampir jadi bercumbu di kamar seorang pelacur kelas menengah.
Kukatakan hampir, sebab begitu aku mulai menggeluti pelacur itu. pikiranku terbayang pada Maria. Kutahan gelutan-gelutan bernafsu si pelacur. Membayar uang lelah yang semestinya kemudian meninggalkannya tanpa menjelaskan mengapa pikiranku berubah. Rekanku masih asyik di kamar lain. Jadi ia kutinggalkan.
Aku langsung naik ke kendaraan umum, pulang
Tiba di rumah. kutemui kesunyian yang merasuk dalam sampai ke sanubari. Suasana tidak lagi berantakan. Semua telah bersih.Rapi dan licin habis disapu. Tetapi dia tidak memperlihatkan diri. Tidak pula terhidang makan sore, atau kopi dan penganan ringan waktu aku duduk di belakang meja, menghadapi mesin tik.
Satu setengah bungkus rokok telah kuhabiskan dengan hasil paru-paruku gersang, beberapa kali aku batuk-batuk, dan entah sudah berapa puluh lembar kertas yang kurobek karena gagal menemukan ilham. Benakku hanya diisi oleh dia. dia dan dia lagi.
Tengah malam, aku tegak diberanda.
Menatap ke lantai bawah. Entah mengapa, setiap kali dia kucari, aku selalu berbuat sama: menatap ke lantai bawah. Apakah itu suatu magnit atas kehadirannya" Barangkali bisa juga berarti: mayat Maria Magdalena ditanam di lantai bawah. Atau di sekitar lantai bawah. Entah di dapur. entah di ruang tamu. entah di kamar mandi.
Gelisah menghubung-hubungkan kemungkinannya. aku berdesah lirih: "Maria?"
Lengang. Dingin menusuk. "Maria. Dengarkan," aku mengeraskan suara, karena tak juga ada reaksi. "Kutahu. kau ada di situ. Jadi. dengarkan. Aku meminta maaf, karena telah berusaha mengorek masa lalumu dari orang lain...." Teringat semuanya sudah rapih ia bereskan, aku menambahkan: "Kutahu pula, kau telah memaafkan aku. Jadi. Mengapa kita tidak kembali pada keadaan semula" Aku merindukan kehadiranmu. Dengar" Aku merindukan kehadiranmu. tak perduli siapapun kau adanya.'
Diam. Membeku. 'Hei!' aku setengah berteriak. 'Hei. Perlihatkanlah dirimu barang sejenak!"
Maria memperlihatkannya. Tidak di lantai bawah. Tidak ketika aku sedang sadar sepenuhnya. Ia baru muncul. setelah aku memutuskan untuk tidut saja; apapun yang terjadi. terjadilah! Mataku sudah berat menahan kantuk. Tetapi aku belum pulas benar. manakala dia muncul.
Maria datang menembus daun pintu.
Langkahnya pelan. Bimbang. Ia masih tetap mengenakan gaun putih yang sama. Hanya kini. gaun putih itu berubah warna di beberapa tempat. Ada noda-noda merah. Darah. Aku juga melihat genangan darah di sisi kepala dan telinga kanannya. Kemudian aku melihatnya. Melihat luka menganga di atas telinga, dan barut-barut bengkak membiru melingkari lehernya.
Mimpi buruk itu membuat napasku sesak.
Lalu kudengar dia berkata. getir: 'Kau ingin tahu siapa aku, bukan" Nah. inilah diriku yang sebenarnya....' suara Maria terus bergaung: sebenarnya... sebenarnyaaaa."
Mataku terpejam. Rapat bercampur ngeri. Waktu kubuka lagi. bayangan tubuh mengerikan itu mulai mengabur. Suaranya pun makin sayup: "... apakah kau masih tetap akan menganggapku sebagai "hei'mu yang cantik" "Hei'mu yang tidak bernoda" Masihkah kau akan tetap menyayangiku... menyayangiku... menyayangikuuuu....'
Gaung suaranya semakin jauh dan jauh.
Kemudian lenyap. tak berbekas.
Seperti juga bayangan tubuhnya. Sirna, tak berbekas.
Aku terlonjak bangun. Tak sadar, berteriak: "Maria.. !'
Dan hujan, terhempas-hempas jatuh di atas rumah.
Aku mengerang: "Maria, Maria. Maria... aku bermaksud menolongmu. Aku ingin membuat rohmu hidup tenteram" Meski. itu berarti... kita mungkin harus berpisah."
HUjan kian menderas. Gigiku bergemeletukan, tak kuat menahan udara dingin yang melesat bersama uap hujan dari ventilasi jendela. Dalam gigilku, aku merintih: 'Aku sayang padamu, Maria.'
Angin dan uap hujan berhenti merembes. Waktu aku melirik, ternyata sehelai kain tebal telah digumpal-gumpalkan pada celah celah ventilasi. Udara berubah hangat. tetapi masih tetap dingin di satu arah. Tak ada yang bergerak. Tak ada yang bersuara.
Tahu-tahu saja. pundakku sudah dielus.
Aku terpaku. Tenggelam dalam keharubiruan, hampir menangis karena tidak tahu bagaimana caranya mengungkapkan perasaanku.
Lalu, dia mencium bibirku.
Lembut. bergetar. *** SEBELAS Bukan sekali itu saja dia marah besar.
Pernah aku mengetik dua hari tiga malam nonstop. Lupa makan lupa tidur, saking keranjingan cerita yang tengah kukerjakan. Kertas yang sedang kuketik. tanpa pemberitahuan mendadak sontak disentak dari depanku. Mesin tik melayang-layang ke langit dan hampir terbang menuju mukaku. Aku baru mau mengelak. mesin tik sudah mundur sendiri lantas terhempas jatuh dengan suara ribut di meja.
Selagi aku ternganga-nganga kaget. terdengar suara menepuk nepuk di kasur dan bantal. Dia menyuruhku tidur. Tetapi baru juga aku mau rebah. kembali tubuhku diseret ke lantai bawah. Langsung didudukkan di belakang meja makan, sementara dia sibuk ke luar masuk dapur. Habis makan, aku buang hajat di kamar mandi.
Rupanya aku tertidur di kloset duduk.
la menggedor gedor pintu dengan marah. Pintu bukan sekali dua dia gedor. Suatu hari, aku sedang mengetuk-ngetuk tembok dan lantai untuk mencari bunyi hampa udara. kalaukalau di sebaliknya kutemukan tempat mayat Maria ditanam. Pintu ia gedor. ia hempas-hempaskan. Kertas tik berhamburan di kamar tidur. dan pada ban mesin tik terjepit sehelai kertas yang sudah diketik olehnya, dengan umpatan kesal: "Kau ingin cepat berpisah dengan aku. ya?"
Aku terpaksa sibuk membujuk agar dia tidak sakit hati: "Bukan begitu Maria. Kuingin, kau hidup aman dan damai. Di manapun kau juga adanya. Apakah itu salah?"
Jawabnya: "Kalau toh kita harus berpisah, biarlah waktu yang menghendaki. Kecuali. kau sudah bosan"."
"Bosan?" aku memeluknya mesra. 'Lebih Suka aku kehilangan ilham. ketimbang kehilangan dirimu.'
Lalu aku berhenti ngetik selama beberapa hari.
Kuisi waktu itu dengan bercumbu dan main kucing-kucingan bersama Maria. Tentu saja seisi rumah jadi porak poranda, karena aku tidak dapat melihat dia yang kukejar atau ingin kutangkap, sedang ia dengan mudahnya mempermainkan dan tentulah, mentertawakan diriku. Lututku sampai bengkak karena terbentur kaki meja. la mengoleskannya dengan minyak gosok. dan mengajaknya naik ke ranjang.
"Lututku masih nyeri." Ujarku. berlagak.
Ia tetap menyeretku ke ranjang.
"Aduh, sakit!' aku berteriak.
Tetap saja. aku ditindihnya. Ditindih udara dingin. hampa tak berwujud tetapi lembut, penuh gairah itu.
*** Suatu hari. di luar dugaanku Mona muncul di rumah.
Ia datang sendirian. Menyapa: "Belum menikah?"
Aku terpana oleh penampilannya. Ia makin dewasa. makin mengundang lewat tatap mata dan bibirnya. 'Dari mana kau tahu aku tinggal di sini," tanyaku.
"Aku punya mulut untuk bertanya. Dan telinga untuk mendengar. Lalu. kaki untuk mencari. ia tertawa "Tak senang dengan kehadiranku, Bang Doli?"
"Aku, oh... aku...." belingsatan aku dibuatnya. Mataku liar mengerling kian kemari. Apakah dia melihat" Apakah dia mendengar" Akibat apa yang bakal dia pertunjukkan sebagai imbalan kehadiran Mona"
'Menyembunyikan seseorang?" tanya Mona, menyeringai.
"Eh. tidak." "Kau tidak mengirimku n0vel-novelmu yang baru.'
"Mau" Sebentar kuambilkan...."
'Tak usah. Abang kelihatan ribut benar. Kuatir ketahuan seseorang ya" Baiklah kuberitahu. Aku tak lama. Bang Doli. Cuma mau memberitahu dan sekalian mengundangmu....'
"Untuk?" "Aku akan menikah. Minggu depan."
"Kuucapkan selamat." dan kuulurkan tangan sebagai ucapan selamatku yang tulus hati. Mona menyambutnya. tetapi kemudian tidak melepaskannya. Ia malah menarik tanganku sehingga tubuhku rapat dengan tubuhnya. Katanya: 'Hanya sekedar uluran tangan"
"Mona..." "Ciumlah aku, Bang Doli."
"Uh?" 'Cium perpisahan Yang berkesan. tentu saja Sebelum aku dimiliki laki-laki yang bakal' jadi suamiku, dan aku suatu ketika merasa penasaran kalau kebetulan membaca novelmu "
"Nggg. .." "Ayo dong?" Mona menaikkan tumit kaki nya mendongakkan wajah. Mata setengah terpejam. mulut terbuka mengundang. Sempat kulihat lidahnya menggapai. Merah. basah. Aku gemetar. Merunduk tak sadar. Moncium bibir merah hangat itu, mengulum lidah lembut basah itu.
Musik menghentak di kamar tidurku yang terbuka.
Dia telah memasang tape, menghidupkan ampli dan memutar volume tinggi sehingga seiSi rumah seakan mau pecah berantakan. Tak sampai di situ.
'Blam! Blam! Blam! Pintu kamar tidur dihempas tertutup terbuka.
Mona mundur dengan kaget.
"Jadi kau sudah punya sekretaris baru." katanya. 'Boleh dong ya aku berkenalan '
Ia bergerak menuju tangga.
'Jangan!" aku berteriak mencegah.
"Kenapa"' "Dia.. dia galak. Sangat galak. Kalau tak percaya.. .'
Mona terpaksa harus percaya kata-kataku Karena botol Tipp-Ex penghapus ketikan. pulpen dan kotak perlengkapan barang melayang lewat pintu. lurus menerjang ke arah tempat aku dan Mona berdiri. Gadis itu ternganga sejenak. Kotak kayu itu terbang ke arah mukanya. Aku melesat maju, menahan kotak itu sehingga lenganku bagai terpotong oleh benda keras dan Hem, dan kotak terhumbalang ke lantai. Hancur berantakan.
"Sekretaris macam apa dia itu"' keluh Mona, pucat pasi
Ia merayap ke pintu depan. Memandang tajam ke lantai atas. mengawasiku dengan bingung. kemudian: "Sampai ketemu." ia mencoba tersenyum, lantas terbang masuk ke dalam mobilnya di depan rumah.
Setelah mobil meluncur pergi. baru terasa lenganku yang sakit alang kepalang.
Siku kananku. berdarah, 'Jadah." aku mengumpat.
Sebagai jawabannya, perabotan di dapur berkelentangan riuh rendah dan baru berhenti ketika malam tiba. Aku terpaksa masak sendiri sore hari itu. Membuat kopi sendiri malamnya, dan terbaring kesakitan di tempat tidur karena siku yang membengkak biru.
Kali ini ia tidak muncul untuk mengobati lukaku.
Ia tidak pula hadir selama beberapa hari berikutnya Terpaksa aku sibuk melakukan pekerjaan rumah yang selama ini tidak ia perkenankan aku kerjakan sendiri. Untungnya, tidak pula dia mengganggu. Semua kemudian tampak bersih rapih. dan dari beranda aku menatap ke lantai bawah. sedikit mengangkat dagu.
Tak ada yang kuucapkan. Tetapi kuharap ia tahu apa yang kumaksud: "Tanpa kau, akutoh dapat berdiri sendiri'"
Masih saja sepi. Masih saja lengang.'seolah rumah itu benar-benar tak berpenghuni. Mendadak. aku mulai ketakutan. Ketakutan yang dialami setiap orang yang pernah jatuh cinta begitu mendalam, dan suatu ketika menyadari Cinta itu telah berakhir begitu kejam.
Aku takut. ya takut kehilangan dia!
Lalu, suatu hari tamu asing itu muncul di rumah.
Ia tegak di depan pintu yang kubuka, dengan mobil mulus berwarna gelap yang diparkir di pekarangan, sebagai latar belakang. Malam baru saja jatuh, dan agak lama baru aku dapat mengenali laki-laki itu yang melempar seulas senyum manis sebagai ganti kata selamat bertemu.
"Mogok lagi?" aku menyeringai.
"Syukur tidak.' jawabnya, ramah. "Boleh masuk" Kau pernah menawarkan segelas minuman, kalau tak salah.'
"Tentu saja. Silakan,' kataku, suka ria. Aku sedang tidak bernafsu mengetik, dan sudah lama aku tidak ngobrol dengan dia yang telah menghilang begitu saja ke alam gaib.
Tamuku masuk dan meletakkan tas yang ia bawa dekat kursi yang ia duduki.
"Aku baru pulang dari luar kota. Biasa, tugas." katanya menjelaskan. "Rupanya saking gembira karena usahaku yang menemUi sukses, aku tadi terlalu banyak minum. Waktu mengemudi mobil. baru tahu kalau aku masih agak mabuk. Tak ada hotel atau penginapan di sekitar sini... jadi ketika aku lihat lampumu masih menyala. kuputuskan untuk singgah'
Kuamat-amati tamuku itu. Ia sudah setengah baya. Masih kekar, berotot.
Wajahnya yang subuh hari itu hanya kelihatan samar-samar. kini tampak jelas dalam
jilatan lampu ruang tamu. Matanya tidak berseri. Mungkin. ia memang masuh mabuk. Lipatan pada dahi,'sudut sudut mata dan bibir terpeta jelas. Buatku lipatan-lipatan serupa mengingatkan aku pada bekas mertuaku dulu; ayah Rosnah seorang pekerja keras, ulet. Tetapi juga mengingatkan aku pada lipatan-lipatan wajah salah seorang rekanku sesama pengarang' tidak pernah bahagia pada saat terakhir kariernya yang semakin meluncur ke bawah.
"Secangkir kopi mungkin membantu "' ujarku. lalu bangkit dan menyedu dua cangkir kopi di dapur.
Waktu aku kembali lagi ke depan. tamuku nampak setengah tertidur.
"Ngantuk?" aku bertanya.
"Kepalaku berat sekali rasanya." ia mengangguk. 'Tetapi setelah minum kopi. kukira aku akan segar kembali....' Ia mengawasi keadaan di sekitar kami. Mendesah; "Masih tetap sendirian?"
Ya 'Bung mestinya menikah ' "Aku ingin." 'Kau ditinggalkan" Atau kau yang mengecewakan mereka?"
'Entahlah. Mungkin karena belum ada yang cocok di hati." aku tersenyum dan mempersilahkan ia meneguk minumannya. Bersamasama kami mengangkat cangkir. Berjilatan lampu ruang tamu. Matanya tidak berseri. Mungkin. ia memang masih mabuk. Lipatan pada dahi,'sudut-sudut mata dan bibir terpeta jelas Buatku lipatan-lipatan serupa mengingatkan aku pada bekas mertuaku dulu; ayah Rosnah seorang pekerja keras, ulet Tetapi juga mengingatkan aku pada lipatan-lipatan wajah salah seorang rekanku sesama pengarang' tidak pernah bahagia pada saat terakhir kariernya yang semakin meluncur ke bawah.
"Secangkir kopi mungkin membantu ...' ujarku. lalu bangkit dan menyedu dua cangkir kopi di dapur.
Waktu aku kembali lagi ke depan. tamuku nampak setengah tertidur.
'Ngantuk?" aku bertanya.
"Kepalaku berat sekali rasanya." ia mengangguk. 'Tetapi setelah minum kopi. kukira aku akan segar kembali."' la mengawasi keadaan di sekitar kami. Mendesah: "Masih tetap sendirian?"
Ya !! ' 'Bung mestinya menikah ' 'Aku ingin." "Kau ditinggalkan" Atau kau yang mengecewakan mereka?"
'Entahlah. Mungkin karena belum ada yang cocok di hati,' aku tersenyum dan mempersilahkan ia meneguk minumannya. Bersama-sama kami mengangkat cangkir. Bersama-sama kami meneguk. Dan sama pula lamunannya: tegukan yang sedikit. Tegukan tak berselera. Cangkir-cangkir diletakkan kembali di meja. maSih terisi penuh.
'Maaf " katanya. "Boleh minta gula sedikit" Aku keranjingan yang manis-manis belakangan ini ,
Tamu yang terang-terangan tetapi sopan. pikirku seraya beranjak ke dapur. Aku kembali lagi membawa sendok dan botol kecil tempat gula. Tamuku buru-buru menjauhkan tubuhnya dari meja duduk. tampak sedikit gugup. Selagi aku berpikir mengapa ia gugup. tamuku sudah berkata: "Ah. betapa lancangnya aku." dan ia menerima benda yang kusodorkan menambahkan setengah sendok gula ke cangkir dan mengaduknya. 'Lebih enak sekarang," katanya tersenyum setelah meneguk isi cangkirnya.
Aku minum pula. untuk menghormati tamuku.
Habis setengah cangkir. Tidak kutambah gula. tetapi kopi di cangkirku kok rasanya lebih lezat, lebih harum dari biasa. Sisa yang dicangkir habis pula selagi kami ngobrol tentang cuaca akhir-akhir ini dan tentang damainya hidup di pedesaan.
Mungkin karena obrolan itu membosankan. aku mulai mengantuk.
Begitu hebat keinginan untuk tidur, namun aku tetap bertahan agar terjaga karena tamuku
belum memperlihatkan tanda-tanda mau pamit. Melihat aku menguap. tamuku mengerti. Katanya: "Wah, sudah larut rupanya. Masih senang ngobrol, tetapi?"
"Mengapa tidak tidur saja di Sini?" aku mengundang.
Ia tampak ragu sebentar. Kemudian: "Hem, bagaimana ya. Besok memang aku harus kembali ke luar kota. Ke tempat yang sama. Tak begitu jauh dari desa ini. Tetapi?"
"Cuma cuma." aku tersenyum. sebagai tuan rumah yang baik dan memahami kesulitan tamunya. "Tak perlu segan."
"Aku senang sekali." jawabnya.
"Mari kutunjukkan kamar untuk Anda"." tasnya mau kutolong bawakan.
"Biar olehku." katanya, dan memegang tasnya kuat-kuat. Barang berharga, pikirku. Emangnya aku seorang pencuri. pikirku lagi, agak sakit hati. Namun sakit hati itu semakin lenyap, bersamaan dengan semakin merosotnya pula kesadaranku. Begitu kamarnya kutunjukkan. aku sudah tidak kuat lagi berdiri tetap. Yakin segala sesuatu siap pakai di kamar tamu, aku meminta maaf: "Tak apa saya terbang dulu ke dunia impian?"
"Silahkan," ia tertawa. "Siapa tahu. ketemu peri cantik."
Peri cantik itu memang ada di rumah ini.
Ke mana dia gerangan"
Masuk ke kamar. aku langsung rebah di
kasur empuk hangat. Sekilas terlintas pertanyaan di benak: siapa sih nama tamu tadi" Aku lupa bertanya. Hanya samar-samar dalam obrolan kami kuketahui ia seorang pengusaha di "Jakarta dan tak jauh dari desa ini ia punya anak perusahaan yang belum lama diresmikan. Ah, namanya. Siapa ya" Nama perusahaannya apa" Beroperasi dalam bidang apa" Di mana ia tinggal" Berapa orang anaknya"
Aku pulas dengan segera. Tak ingat apa-apa lagi. Hei. suara apa itu.... Siapa yang membuka pintu dan kemudian menutupkannya lagi perlahan-lahan"
Terpejam lagi mataku. Kian rapat. Seolah kelopak mataku direkat dengan plester.
*** DUA BELAS Gadis bergaun putih itu menari-nari di depanku. Menari nari liar. Tak beda dengan orang kesurupan, ia menceracau kacau. berteriak-teriak histeris. Pekak telingaku dibuatnya. Tak tahu apa yang ia ucapkan. Tak tahu apa yang ia teriakkan. Dalam kebingunganku. kulihat gadis itu menunjuk nunjuk. Aku diam saja. Ia melonjak-lonjak, terus menghempas hempas marah. Karena aku tetap diam, ia mulai menangis. Putus asa.
Aku menggeliat. Resah. Mata tetap berat. Hasrat tidur masih juga menggebu-gebu. Tetapi dia terus mengganggu Muncul sekali lagi. Kali ini. ia tidak menari. Dia berjalan lemah gemulai ke tempat tidurku. Pinggulnya bergoyang, menimbulkan gairah. Susah payah. mata kubuka. Ia semakin dekat. semakin nyata. Tiba di tepi tempatku tidur. ia membungkuk tiba tiba. Matanya melotot hampir ke luar. mulut menyeringai seram. Dari luka menganga di kepalanya darah mengucur deras. Lehernya yang bengkak membiru pelan pelan rekah. berdarah.
Sambil menyeringai, ia terus membungkuk.
Mau menciumku. 'Jangaaaann...!" aku berteriak nyaring. Dan tenaga seketika Sekujur tubuhku banjir keringat. Kantuk masih terasa. menggoda Tetapi rasa takut menyerbu lebih kejam. Liar mataku mencari cari. Tetapi aku tidak menemukan gadis bergaun putih di kamarku.
Yang ada, cuma udara dingin.
Menyergap. menghentak hentak kacau. bagaikan orang yang dilanda panik. Kemudian aku mendengarnya. Suara berisik di ruang bawah. Apakah pencuri itu tetah datang lagi" Apa yang menarik hatinya di rumah kosong ini" Aku toh tidak punya sesuatu yang berharga.
Berjingkat-jingkat aku mendekati pintu.
Lantai bawah gelap gulita. Begitu pula ruang tamu. Dapur sunyi sepi. Tetapi pintu kamar mandi terbuka. Lampu menyala di dalam. seseorang sedang sibuk mengungkit tegel kamar mandi dengan sebuah linggis kecil. Ada bungkusan kecil tergeletak dekat kakinya. Dialah pencuri yang dulu itu. Dan waktu aku berjingkat jingkat menuruni tangga, ia mendengar dan berpaling. dia kukenali sebagai... wah. tamuku. Tamu asing yang begitu gampang diajak menginap di rumahku!
"Lagi apa?" tanyaku. heran
Si tamu meloncat berdiri 'Menyingkirlah" ia berbisik. Kemudian menggeram. "Menyingkirlah!"
'Apa"' lampu kunyalakan. Lantai bawah terang benderang seketika. Lantas seraya menuruni anak tangga demi anak tangga, aku berkata mengejek; "Kau suruh aku menyingkir" Biar kau seorang yang mengangkangi harta karun itu?"
"Tak ada harta karun di sini!" ia berjalan ke luar dari kamar mandi. 'Begini....' katanya. pas ketika aku sudah tegak di depannya.
"Duk." Sebuah pukulan keras dan jitu menghantam tengkuk. Aku sempat berkelit. Toh pukulan itu mendarat iuga, tetapi tidak telak. Sakit bukan main Mataku berkunang-kunang. "Aku sudah menyuruh kau supaya pergi"." ia mendengus dan menyerbu ke depan. Aku melompat mundur. Sambil mundur tanganku menangkis datangnya pukulan. Malang. terpegang olehnya. Tubuhku dibetot. Kutendang kakinya. la menjerit pelan. tetapi tidak terjatuh. Malah dengan buas ia mencengkeram pinggangku.
Tanganku menggapai apa saja.
Terpegang pahanya. Kujepit dengan kedua lengan. Dalam posusi yang tanpa aturan itu. kami berdua jatuh bergulingan di lantai. Ganti berganti di bawah, di atas. memukul dan dipukul.
"Kau memasukkan obat bius ke cangkir kopiku!" aku berteriak marah. setelah dapat
memahami Situasi. "Dan kau. terkutuk! Kau ternyata cukup kuat melawan pengaruh pel itu.. ia balas berteriak sambil menjepit leherku dengan kuat
Bukan. Bukan karena aku mampu melawan pengaruh obat itu.
Tetapi dia telah membangunkan aku. Dia memperingatkan aku. Dia' Maria.
Tersengal sengal kehabisan napas. aku mengeluh: " .. kau... kau mau mencekik aku pula... seperti kau... mencekik Maria?"
Itu suatu dugaan dan tuduhan yang membabi buta.
Namun herhasil mengurangi jepitan tangannya yang kekar pada leherku. Kaki kugerakkan dengan cepat. la terguling. tetapi tidak melepaskan jepitan mautnya, Karena kondisiku belum pulih benar-benar. dengan mudah ia menjatuhkan dan menekan tubuhku di bawah tubuhnya.
Tidak seorang pun boleh tahu itulah syaratnya!" ia mendengus dengan mata berputar putar liar. "Kau dengar" Itulah syaratnya! tidak seorang pun boleh tahu. Kalau tidak. aku terpaksa membunuh sekali lagi!"
Aku menjerit waktu selangkanganku ia hantam dengan lututnya.
Sekujur tubuhku lemah lunglai. Jepitan pada leherku membuatku sesak napas. pusing! Mata semakin berkunang kunang. Tibalah saatku pikirku. Ya Tuhan.. !
Lalu terdengar suara perempuan menjerit.
Suara yang datang dari alam baka. Samar samar. aku melihat sebatang linggis yang tadi dipergunakan musuhku mengungkit tegel kamar mandi, meluncur ke tempat kami berkutet. Meluncur deras bagai panah dilepas dari busur.
"Hei .. apaa .!" laki-laki di atas tubuhku. tertegun
Heran. bercampur takut. Lalu Duk! Ujung linggis menghantam lehernya. Untung bagian yang tumpul. Namun toh meninggalkan barut dan sakit yang luar biasa, karena korban serbuan linggis itu tercengkat. mundur menjauhi tubuhku. Mundur, terus mundur dengan linggis terus pula mengejar. memukul-mukul kacau tanpa terlihat ada tangan mengendalikannya.
Laki-laki itu tiba di pintu
Berkelit dari linggis menghantam jendela. Kaca nako pecah berderai-derai. Tamu yang bingung dan ketakutan itu kukira telah berlari memasuki mobilnya. karena kudengar suara mesin mobil bergerung-gerung. Ban berdecit ribut ketika dimundurkan ke jalan raya, berdeCit lagi waktu kabur meninggalkan tempat itu. Namun sebelum ia sempat kabur. masih kudengar Suara kaca pecah hingar bingar dan bunyi linggis jatuh di ialan aspal. Mobil itu tentulah hancur berantakan. setiba di kota .
Aku bangkit sempoyongan. Sekujur tubuhku tersiksa azab sengsara yang menyakitkan. Beberapa kali aku terjatuh. bangkit lagi. mengeluh. mengerang. merintih. Sampai tangan-tangan yang halus tetapi dingin itu mencengkeram lengan-lenganku. Dia membantuku berdiri Dan memapahku ke arah tangga. Dekat dengan telingaku, aku dengar suara menangis yang sayup-sayup sampai.
Lalu. "Wah. Apa yang terjadi... aduh. Nak Doli! Mengapa kau ?" seseorang berlarian masuk. Tangan tangan gaib yang menuntunku tadi, hilang lenyap seketika. Karena tanpa pemberitahuan. aku terhumbalang jatuh. Syukurlah, seseorang segera menangkap tubuhku. Lamat lamat kukenali dia sebagai Darius, kepala keamanan di daerah kami. "Ya Allah. Siapa yang berbuat sejahat ini padamu, Nak Doli" Ayo, tahanlah. Biar kubantu kau naik ke atas..."
Ia merebahkan aku di pembaringan.
"Tadi kulihat seseorang." katanya seraya memeriksa leher dan kepalaku kalau kalau ada yang terluka. "Waktu kudekati. ia sudah kabur dengan mobil. Apakah dia.?"
"Pencuri!" aku mengeluh. sakit.
"Dia" Tetapi Nak Doli. Mobilnya sejak tadi malam ...
"Ia pura pura kemalaman. Minta menginap. Lalu... haram jadah, Apa dia kira aku punya berkilo kilo emas di rumah ini?"
"Sudah. Istirahatlah. Sebentar kupanggilkan Pak Daeng ." ia berlari-lari turun dan tak sampai seperempat jam ia telah kembali pula dengan orang yang ia maksud. Pak Daeng kukenal sebagai menteri kesehatan di puskesmas setempat dan sering menggantikan tugas dokter kalau dokter sedang berhalangan datang
'Hanya luka memar. Tak berbahaya.?" kata Pak Daeng setelah memeriksa di sana sini "Wouw. pasti luar biasa ketika selangkanganmu kena ya" Aku juga pernah menerimanya. Dari isteriku." ia tersenyum. "Tak usah kuatir. Aku punya obatnya.?"
Aku juga tersenyum. Bukan kepada Pak Daeng atau Pak Darius. Tetapi pada seseorang yang berdiri di pojok ruangan. Seorang yang begitu putih, samar dan kabur. Dia menatapku dengan mata kuatir dan butir-butir air bening melelehi pipi Pipi yang lembut lunak halus, rambut yang bergelombang indah, kepala yang mulus tanpa luka leher jenjang tanpa noda, gaun putih yang tanpa bercak darah .
'Minumlah ini," Pak Daeng menyodorkan gelas. Setelah aku melahap minuman sangat pahit dan bau pesing itu, ia meletakkan dua ples kecil di meja. "Obat gosok," ia menerangkan "Oleskan di leher dan... itumu,' ia tertawa ringan. "Sekali lagi. sekali waktu mau tidur."
Pak Darius yang sempat menghilang se
bentar muncul di pintu. 'Kaca depan berantakan. Besok akan kupanggilkan seseorang untuk memperbaikinya_' ia berkata Lalu meletakkan sebuah bungkusan kecil di meja. Bungkusan itu belum terbuka, tetapi bayangan putih samar di pojok menghilang seketika.
"Aku juga menemukan ini. Di kamar mandi," kata Pak Darius. "Kau punya"'
"... ya. Ya itu aku punya." sahutku, setelah bimbang sejenak.
"Hem. Buat apa semua ini?" Pak Darius membiarkan kain pembungkus terbuka. Di situ campur aduk berbagai rempah rempah. Bawang putih, beras putih, kemiri, dan akar-akaran. Juga sebutir telur ayam kampung. sekuntum bunga kamboja dan sebonggol garam.
Aku meram melek sebentar. Baru menjawab, seenaknya: 'Obat sakit perut, Pak Darius!"
"Oh ya. Mengapa ada di kamar mandi?"
"Tadinya mau dicuci" '
"Lantas?" "Ya, dimasak. Putih telur dibuang, ambil merahnya. Bawang putih, kemiri, kembang. dan garam ditumbuk sampai lumat. Beras di... he. disangrai. ditumbuk lumat pula. Masukkan panci. Jerang di atas kompor. Jangan lupa, pakar air...." aku tertawa. Merasa geli dengan leluconku.
"Kukira aku harus memperhatikan resep
itu," Pak Daeng berpikir-pikir. "Obat kampung memang kadang-kadang lebih mujarab dari obat keluaran pabrik. Sakit perut, hem. Mules" Melilit'" Atau kembung?"
"Aku baru mau mencoba. Seorang rekan yang memberitahu," potongku. kuatir manteri kesehatan itu menganggap serius.
"Tegel kamar mandimu rusak"." Pak Darius memotong, dengan mata curiga.
Pak Daeng yang mewakiliku memprotes: "lni interogasi apa, heh?"
"Aku kepala keamanan di sini." jawab yang ditanya, tandas.
"Kalau begitu. tangkaplah si pencuri. Bukan korbannya.
Kikuk, Pak Darius mengeluh: 'Maksudku... kalau ia merasa perlu bantuan untuk membongkar lantai kamar mandi, aku sih setuju saja. Kapan?"
"Nantilah. Setelah aku sembuh." jawabku. "Lagi pula. uangnya belum terkumpul...."
"Mau diapain lagi. Nak Doli?"
"Tegel itu sudah pada licin dan retak di sana sini. Aku mau menggantinya dengan tegel baru yang lebih bagus. Terbuat dari karet sintetis. Pernah dengar?"
Kedua orang itu menggelengkan kepala.
Kemudian pamit sambil berjanji akan menjenguk lain waktu. Begitu mereka pergi. seraya meringis menahan sakit aku menggapai bungkusan itu. Kuamat amati sejenak, teringat
pada pelajaran yang pernah diberikan guru kebathinanku. Isi bungkusan itu jelas dimakSudkan sebagai pembuang sial. sekaligus pelepas kutuk.
Aku membuka daun jendela.
Membuang semua rempah-rempah dan pembungkusnya ke luar. Dan apa yang kuperkirakan segera terjadi. Dia tidak takut lagi. dan pelan pelan masuk ke dalam kamar. Tanpa wujud. Hanya udara hampa yang dingin sejuk itu saja sebagai pertanda. Disusul usapan lembut di rambut. kemudian di pipi lalu bibirku.
Jari jemari yang dingin tetapi tidak terlihat itu, kukecup.
Terasa sesuatu berjatuhan di kain kemeja yang kupakai. Sesuatu yang cair kukira, karena ada lekukan kecil berupa titik-titik halus yang semakin melebar. seolah membuat kemejaku lembab


Misteri Gadis Bergaun Putih Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudahlah. Jangan menangis lagi." aku berbisik. haru. "Kau lihat. aku baik-baik saja bukan?"
Ia kemudian pergi. Lalu kembali lagi dengan sebuah baskom berisi air hangat, sehelai handuk kecil yang dia celupkan ke air hangat itu. Diperas sedikit. lalu digosokkan ke dahi dan leherku. Sementara itu. pahanya terasa menyentuh pahaku. Aku mengusap paha tanpa wujud itu. berkata lembut. "Kau tahu mengapa mereka kubiarkan bingung Maria?"
la terus saja membasahi dahi dan leherku.
Memberi kehangatan. Mencurahkan kasih dan sayang,
"Supaya mereka tidak menemukanmu dengan segera, Maria. Kalau kuceritakan hal yang sebenarnya, mereka akan ribut membongkar kamar mandi itu. DiSitulah kau ditanam... eh, maksudku. di tempat itulah kau berbaring selama ini. bukan?"
Kain lap tertegun di leherku.
Naik lagi. mengudara. hingga di dalam baskom. diperas dan kembali mengusap-usap jidatku yang berdenyut-denyut menyakitkan. Peningku mulai berkurang. Rabaan di pahanya perlahan-lahan membangkitkan gairahku. Apalagi setiap kali ia membungkuk untuk melap leherku yang sebelah dalam, payudaranya beberapa kali menekan dadaku
"Peluklah aku, Maria. Peluk dan lepaskanlah rinduku padamu.'
Kami berpelukan, berciuman dengan mesra. Tetapi terpaksa harus menahan birahi. karena selangkanganku masih terasa ngilu.
Pagi harinya aku belum dapat bangkit.
Pak Jayusman datang menjenguk bersama isterinya. Sementara isterinya menyibukkan diri di dapur untuk membuatkan sarapan pagiku. aku ngobrol berdua dengan Jayusman. Maria telah pergi, begitu pintu depan diketuk orang.
'Pintumu tidak terkunci. Nak." kata Pak
Jayusman. 'Aku tak sempat." jawabku, senang dikunjungi. "Kukira pencuri itu tak akan nongol lagi.'
"Jadi kau sempat melemparinya dengan linggis ya" Kami temukan benda itu dekat selokan."
"Untung cuma mengenai mobilnya. Kalau kena orangnya, wah .. aku paling ngeri membayangkan hidup dibalik jeruji besi." aku berkata seenak perut.
"Benarkah lantai kamar mandi akan kau ganti?"
"Oh, oh. MaSih rencana."'
'.Tak heran. Nak. Tanah di bawah kamar mandi itu kadang-kadang bergerak. Kalaulah bukan tembok, pasti lantai yang retak. Penghuni-penghuni sebelum kau. sudah sering mengeluhkannya. Tiap diperbaiki retak lagi. Pak Hadiman, pada Siapa aku menyewa rumah ini. malah berniat untuk meruntuhkan kamar mandi itu suatu ketika. Tetapi rupanya ia melupakan hal itu. setelah ia pindah.?"
"Tanah di bawah kamar mandi pasti belum dikeraskan, Pak Usman. Mestinya setelah di keraskan."'
'Sekeras apapun. Nak. Percuma saja. Habis. Bak mandi yang kau pergunakan. dulunya bekas sumur yang sangat dalam. Ketika rumah ini dipermak, pipa saluran air minum memasuki daerah kita. Pendatang pertama yang menempati rumah ini. lantas menutup sumur dan keran air ledeng menggantikan tugas sumur itu...."
"Pendatang pertama?"
"He-eh. Dulunya di atas tanah ini hanya ada gubuk bobrok. Lalu dia membelinya. dibangun untuk isteri mudanya."
'Dia...." kepalaku berdenging. "Dia siapa?"
'Tuan Subarja." "Tuan Subarja?" aku mengeluh. Bingung. Dimanakah aku pernah mendengar nama itu disebut-sebut, dan oleh Siapa"
"Kau belum dengar rupanya ya" Orang yang dulu kuceritakan padamu itu. terdaftar di kantor lurah dengan nama Gilang Sb. Nama itulah yang pernah kusebut padamu. kalau tak lupa. Lalu.... setelah sekian tahun. orang itu dilihat beberapa orang anak sering mundar mandir dengan mobilnya di depan rumahmu. Darius yang belum lupa kepada Maria yang hilang misterius. meniadi curiga. Ia biarkan orang itu lalu lalang. dan diam-diam menyelidiki identitasnya dengan patokan merk dan nomor plat mobil yang ia pakai Ternyata Sb di belakang Gilang, kepanjangan dari Subarja. Gilang itu rupanya panggilan nama keCil. Seorang pengusaha ekspediSi muatan kapal laut, dan
"Dia!" aku ingat sekarang. seorang rekan pernah menceritakan. "Pengusaha dengan nama besar, tetapi kehidupan rumah tangganya murat marit. Kalau tak boleh dikatakan:
buruk dan menggaibkan "
"Jadi... kau Sudah kenal dia eh?"
"Bukankah dia menginap semalam di rumahku?" aku balas bertanya. "Katanya, kangen. Ingin lihat-lihat Nostalgia. bukan begitu Pak Usman?" aku tersenyum.
Orangtua itu tidak tersenyum.
la menatapku dengan seksama. lalu memberengut. "Jadi, ia bukan mau mencuri apaapa di rumah ini. Memang. sungguh tak masuk di akal!"
'Kami cuma bertengkar," cepat aku berkata "Ya. ampun. Aku telah membuat Pak Darius bingung. Nantilah aku minta maaf. Dan memberitahu. kami Cuma bertengkar.?"
'Apa yang kalian pertengkarkan. Nak?"
"Apa?" aku angkat bahu. Selancar aku menuangkan cerita di mesin tik. selancar itu pula aku menumpahkan dusta besar ke telinga Pak Jayusman "Aku ini buangan, Pak Usman. Tetapi tak begitu lapuk. Beberapa kali pacaran, sayang tak ada yang sampai ke penghulu, Dan, hem. Begitulah. Tuan Subarja bertamu untuk bernostalgia. Aku menerimanya dengan senang hati. Ngalor ngidul, tentu saja. Akhirnya. yah. Pembicaraan sampai ke persoalan sesama lelaki. Apalagi kalau bukan tentang perempuan. Kami menyebut nama nama. Dan, terbentur pada satu nama.?"
"Siapa"' Pak Jayusman bertanya. tertarik.
"Rahasra dong. Pak. Rahasra lelaki." aku
menyeringai. "Pendeknya, nama yang satu itu membuat kami mulai tegang. Salah seorang gendak Tuan Subarja. ternyata kekasih yang sangat kucintai....' dan, itu adalah pengakuanku yang sesungguhnya benar seribu persen. Aku mencintai Maria, biar pun cuma arwahnya saja! '
"Pasti rame!" Pak Jayusman tersenyum simpul.
'Bukan rame lagi. Dari tarik urat leher. kami tarik otot. Pukul memukul, dan yah... aku kepepet. Linggis pun mulai main. Agak curang memang. Tetapi lebih baik begitu. daripada aku dipecundangi dua kali. bukan?"
Pak Jayusman manggut. setuju.
Isterinya memanggil dari bawah: "Tolong bantu aku mengangkat ini ke atas. Pak!"
Sarapan pagi bukan untuk satu orang.
Pantas isteri Pak Jayusman perlu bantuan. Sarapan pagi, mungkin cukup untuk enam orang. Tetapi kami bertiga dapat meludaskannya. karena terus ngobrol. tertawa mendengar kicauan Nyonya Jayusman yang ribut menggunjingkan salah seorang tetangga yang ditipu mentah-mentah oleh menantunya.
Masih ada beberapa tamu hari itu.
Malamnya, barulah Maria mendapat tempat.
Ia masuk ke kamar tidur, memelukku dengan penuh rindu, menciumiku bertubi-tubi. Pertanda betapa ia tidak sabar sepanjang hari
karena tersisih oleh orang-orang yang baik hati itu.
"Sayangku." aku berbisik, dan menyeka pipinya yang basah. "Aku kira. kondisiku lebih baik malam ini."
Lalu kami bersenggama. Dengan penuh rasa cinta. *** TIGA BELAS Semenjak malam itu dia tidak lekang-lekang lagi dari sisiku. Karena dia, aku jadi malas ke luar rumah. Dan karena aku. dia enggan kembali ke tempat peristirahatannya yang tak pernah kuketahui letaknya itu. Dia akan Sibuk di dapur selagi aku mandi. Menyetrika selagi aku membaca surat kabar atau majalah. Aku tidak membaca dalam hati. Atas permintaannya. aku membaca sedikit keras. Jadi dia dapat mengikuti kemajuan pesawat ulak alik Amerika di angkasa luar, perang di Timur Tengah yang seolah tanpa akhir; efek letusan Gunung Galunggung yang sempat menarik perhatian PBB; meningkatnya perampokan bersenjata di dalam negeri meski KOpkamtib telah turun tangan; perkembangan harga logam mulia sampai ke harga kebutuhan pokok seperti beras. gula, cabai; munculnya kembali bintang layar putih tempo doeloe; timbulnya gejala baru di kalangan artis kita... ya aktor, ya penyanyi, ya wartawan, ya pengusaha kursi antik. Aku baru membaca dalam hati (dan dia sangat setuju) kalau kebetulan yang kubaca
mengenai berita pembunuhan.
Dia tetap melayani keperluanku. Tetap menemaniku ngobrol dengan setia. Dia akan ikut menyelinap kalau aku masuk kamar, Duduk atau rebahan selagi aku tekun mengetik. Terkadang, kertas hasil ketikanku mengudara tidak menentu. lalu hinggap kembali di meja dalam susunan yang sudah rapih menurut angka-angka di sudut atas halaman. Kapan saja aku mau. dia sudah siap melayaniku di tempat tidur. Seringkali inisiatif datang dari dia. Terutama kalau ia lihat aku sedang buntu inspirasi. Kalau aku tidur, ia akan rebah di sebelahku. Bangun pagi. ia maSih di sampingku. Pernah kusarankan agar kami tidur di kamar sebelah saja. karena ranjangnya lebih besar. Jawabnya "Makin sempit. makin hangat" Dan tentu saja makin sering kami terangsang untuk bercumbu!
Apabila ada tamu, dia tetap hadir.
Entah di pojok, entah di tengah ruangan. entah di salah satu kursi yang kosong. Asal tempat itu temaram, gelap. atau lembab. ia tidak hanya hadir dalam bentuk udara dingin menusuk, ia makin sering hadir dalam wujud samar samar. Si gadis bergaun putih. Selama aku melayani tamuku. ia berdiri atau duduk diam diam. Matanya terus menatapku. Tanpa berkedip. Seolah. kalau ia berkedip, aku akan minggat tanpa setahunya. Sinar matanya ketika menatap-ku membuatku terenyuh: rindu, takut kehilangan.
Pak Darius merupakan tamu tetapku. lantai kamar mandi itu,ia menuntut. 'Tak jadi kuperbaiki," jawabku.
Lain hari: "Tebing terjal di belakang kamar mandi itu mulai retak." Ujarnya lagi .
Jawabku: "Pak Hadiman bilang. masih kuat bertahan enam tahun lagi."
Suatu ketika: "Ini menyangkut pembunuhan!" katanya gigih.
Aku mengelak: "Sudah punya bukti, Pak" Sudah ada petunjuk kuat" Membongkar bekas sumur. bukan pekerjaan mudah. Banyak resikonya. Aku sudah berniat membeli rumah ini. Karena aku menyukainya. sebagaimana adanya. Suatu perubahan mungkin saja membuatku tidak terkesan...."
"Pikirkanlah lagi, Nak."
"Akan saya pikirkan, Pak."
"Beritahu aku, kalau kau sudah mengambil keputusan.'
"Oke. Eh. Mari. diminum airnya".'
Alex pernah pula muncul. "Kudengar kau sudah punya sekretaris pribadi "
"Mona yang bilang ya?" ejekku. "Jadi dia menikah?"
'Ditunda." 'Lho Mengapa?" 'Mona keburu bertemu seorang pemuda Arab."
"Wah! King-size. pasti!" ujarku. dan kami tertawa bergelak gelak.
Bi Ijah makin sering pula melongok ke dalam rumah. Semua rapi. semua bersih. dan ia mengangkat pikulannya seraya geleng-geleng kepala, melanjutkan pergi ke rumah tetangga. Ibu Jayusman kemudian memberitahu: "Bi Ijah bilang, kau rupanya hidup tanpa didampingi perempuan.'
"Ah. masa iya. Emangnya aku impoten. Bu?"
Sudah berapa lama berlalu. entahlah Aku tidak teringat menghitung waktu. Pada suatu hari. dia terus menempel di SiSiku Lekat bagai lintah. Ia tidak menyediakan sarapan pagi. tidak pula makan sore. Ia ikut kalau aku mandi, dan marah kalau aku mulai memegang mesin tika Sekujur'tubuhku terus saja diraba. Semula kukira rabaan birahi. Tetapi kemudian kuketahui, rabaan kasih sayang. Ia memintaku ngobrol apa saja. dan memohon agar dia kubiarkan terus meraba raba setiap inci tubuhku. menciuminga sesekali. memeluk. merangkul, mengajakku rebah di tempat tidur tanpa sekalipun dia melepaskan aku dari rangkulannya.
Hari itu hujan badai jatuh menggempur bumi
Mungkin ia takut dan kedinginan, pikirku dan berusaha mengobrol apa saja seriang mungkin, membalas Ciumannya. membalas rangkulannya. Entah berapa kali kami bercumbu sepanjang siang dan malam hari itu, tidak kuhitung. Anehnya, dia tidak pernah merasa
letih, dan aku sendiri seakan memperoleh kekuatan luar biasa yang Casanova pun pasti tidak mampu melakukannya. Namun, diantara curah hujan di luar rumah sempat kudengar isak tangis sayup-sayup sampai.
"Apa yang kau tangisi, Maria?" tanyaku.
Dia malah memelukku semakin kuat. Sayup sayup terdengar Suaranya: kekasihku. Kekasihku. Sayangku. sayangku...!"
Dan tanpa dapat kutahan. aku pun ikut menangis bersamanya. Aku merasa sesuatu akan terjadi. Sesuatu yang sangat ia takutkan, sesuatu yang tidak ia ingini terjadi. Diam-diam. naluriku berbisik; apakah telah tiba waktunya untuk berpisah"
Menjelang subuh, aku tersentak bangun. oleh goncangan yang hebat di dalam kamar. Aku segera melompat turun dari tempat tidur dan kaget waktu menyadari bahwa aku telanjang. Pakaian yang kukenakan sebelumnya. tertumpuk di pojok ranjang.
Aku memperhatikan ke sekitarku. ketika goncangan itu mereda. Kemudian aku melihatnya. Bukan dia. Melainkan pakaianku yang melayang di udara. kemudian didesak desakkan ke tanganku yang gemetar.
Seolah ia ingin berkata: "Pakailah! Pakailah! Pakailah...!"
Masih dalam keadaan takjub oleh kontak kami yang mesra sepanjang malam itu, kuterima pakaianku dan segera mengenakannya. Aku mendengar bunyi srek-srek yang halus, mungkin suara pakaianku sendiri. Tetapi mungkin juga suara gaun tidurnya. ketika ia mengenakannya.
Musik telah lama berhenti.
Tetapi angin di luar rumah, tidak! Justru semakin keras. semakin kencang. Hwan deras kembali membadai. Butir-butir air menerpa kaca jendela menimbulkan suara tersentak-semak yang menyeramkan. Rumah bergoncang lagi. Lantai tempatku berpijak, terasa goyang.
"Hai!" aku berseru. panik.
Kupandang berkeliling, mengharap ia memberitahu aku apa yang tengah ia lakukan. Tiba tiba aku sadar, semua itu bukan berasal dari dirinya. Karena di luar rumah aku mendengar suara yang lebih hiruk pikuk. Seolah ada gunung yang belah dikejauhan...
Aku berdiri membeku. Sadar dengan apa yang terjadi, tetapi tidak cukup sadar untuk berbuat sesuatu. Tempat tidur bergeser ke sudut. Meja menjadi miring, dan mesin tik membentur dinding. Suara berderak membuat aku berpaling. Ternyata sice terbalik, dan tape deck menghambur jatuh ke lantai
Aku beranjak mau mengangkatnya, ketika cengkeraman tangan yang kuat dan dingin.
membelit pergelangan tangan kiriku. Aku rertarik ke arah pintu. setengah dipaksa. Meskipun masih bingung dan panik, aku menurut juga diseretnya. keluar dari kamar kemudian berlari lari menuruni tangga. Di tengah-tengah tangga. aku tertegun. Dia juga. rupanya
Dengan mata mengecil kusaksikan bagaimana suasana dapur berantakan. Lampu utama di langit-langit telah lepas, dan jatuh berderai ke lantai. Seketika suasana menjadi gelap gulita. Namun sebelum kegelapan yang luar biasa itu menyerap bumi aku masih sempat melihat lantai ruang bawah itu telah rekah di sana sini
Aku disentak tangan yang dingin itu lagi.
Kemudian didorong ke arah pintu keluar. Maklum peristiwa apa yang tengah berlangsung. aku segera menghambur ke pintu. Di sana, pegangannya lepas. Aku berusaha meraba-raba memanggil-manggil dalam kegelapan.
"Hei! Di mana kau! Hei!"
Sebuah tangan mendorongku keluar lewat pintu yang terbuka.
Aku terdesak mundur sampai ke teras. Naluriku membisikkan sesuatu yang membuat jantungku sangat kecut. Kembali aku merabaraba seraya berteriak-teriak:
'Kesinilah' Mari keluar bersamaku!'
Kembali tangan itu mendesak desak.
Aku menyambar pergelangannya. Ia tersentak berusaha menarik mundur tangannya yang kupegang. Aku berusaha memeluknya, tetapi dengan segera memukul dan mencakar dengan tangannya yang lain. sehingga aku merasa sakit di dada dan wajahku.
Hujan menderas, menyapu teras.
Aku basah kuyup seketika. Merasa kedinginan yang amat sangat. Angin yang sudah gila menghempas-hempaskan daun pintu dan jendela dengan liarnya. membuat kaca kacanya berpecahan. Tetapi aku tidak memperdulikannya. Aku memusatkan perhatianku pada dia, yang meronta sekuat tenaga untuk melepaskan diri
Perlahan lahan aku sadar akan satu hal.
Gerakannya menunjukkan bahwa ia hanya menghendaki aku sendiri yang lari menyelamatkan diri.
'Pergi' Pergi! Pergi" Suara sayup sayup seorang perempuan. menyentuh telingaku.
Benarkah" Aku tertegun. Mendengarkan.
"Pergilah! Selamatkan dirimu." suara itu terdengar lengking dan jauh, seolah Suara angin. "Tinggalkan aku di sini. Tempatku di rumah ini ., Pergi' Pergilah. kumohon .."
Lalu, hentakan keras yang tiba-tiba, membuat tubuhnya terlepas dari pelukanku. Sebuah tangan mendorongku. sehmgga aku terhumbalang melampaui teras,jatuh di atas rerumputan dengan kepala hampir membentur
batang pohon cemara. "Tunggu!" aku berseru lantang
Lalu menghambur berdiri. Tetapi. 'Blam' Pintu telah ditutpkan. disusul "Klak
klak'" Dikunci dua kali
Hujan semakin deras, seolah air bah dan langit
Tanah tempatku berpijak. terasa bergetar. Angin badai bertiup kencang membuatku bingung.
Lalu dalam kegelapan. petir menyambar.
Terang benderang Seketika. Aku melihat atas rumah seperti menghilang. Lalu tanah tempatku berpijak bergetar lebih hebat. Tanpa berpikir panjang lagi. aku berlari ke jalan raya. Di antara suara hUjan aku juga mendengar suara-suara orang orang berteriak teriak di semua arah. Lalu aku melihat banyak bayang bayang kehitaman berlari lari." di sepanjang jalan. Kalang kabut! Ribut !
Di bagian tanah yang keras, di Seberang jalan aku berhenti. Dan menatap ke depan. Melihat bentuk samar-samar dari rumah mungil itu yang perlahan lahan mulai roboh dengan suara riuh rendah. Sebuah papan terbang ke arahku. Jatuh di jalan. setengah meter dari ujung kakiku yang telanjang. Berhenti di situ. Diam.
Aku berdiri di seberang jalan sampai huian reda dan angin telah kehabisan tenaga. Dari ufuk timur. matahari mulai memancar. keluar dari sebelah sana gunung yang kelabu, Lembah sawah menghampar hijau. Sungai meluap. Pohon cemara itu masih berdiri. Tetapi tegaknya sudah miring
Aku juga dapat melihat rumput.
seonggok bunga. Tembok teras setengah meter yang retak retak dan runtuh sebagian. Lalu bagian depan rumah yang merupakan potongan sia sia, lunglai tak berdaya.
Hanya itu' Rumah mungil itu telah lenyap. Aku sangat merasa kehilangan. Kehilangan rumah mungilku tersayang. Kehilangan seseorang yang tidak kukenal. tetapi telah memberiku limpahan kasih sayang. Perasaannya demikian halus. Sangat mudah tersinggung. tetapi sama mudahnya untuk memberi maaf.
Berdiri diam diseberang jalan. bermandi matahari pagi yang hangat aku mulai berpikir. Bahwa ia bukan orang asing bagiku. Bahwa ia bukan makhluk yang tidak kukenal.
Aku mengenal dia seperti aku mengenal diriku sendiri
Dan kini ia telah pergi Aku merintih Berharap ia muncul tiba tiba. kembali ke pangkuanku. Meski tanpa wujud yang nyata. Aku menginginkan sentuhan sentuhan tangannya, kecupan bibirnya yang lembut, desah napasnya yang menggetarkan. suara bisikannya yang sayup
"Mengapa menangis, sayangku" Aku ada di dekatmu"
Aku menoleh ke samping. mengharap suara itu berasal dari sebelah kiriku tetapi dengan getir. aku sadari. suara itu keluar dari sanubariku yang memendam rindu
Aku melihat seseorang mendekat
Bukan dia Tapi Pak Jayusman. yang berwajah kuyu. dan mata yang putus asa
"Setelah sekian puluh tahun. Nak. kini terjadi'lagi.... Longsor yang mengerikan ini akan membunuh kita semua perlahan lahan _"
Tanpa menunggu komentarku. ia kemudian berjalan pergi.
Langsung menuju di mana hari sebelumnya. terletak rumah tempat tinggal keluarganya, yang kini hanya tinggal sisa sisa.
Tanpa dasar, kakiku terayun Satu satu.
Sesekali aku mengeluh. Sakit
Terdengar langkah langkah kaki di sekitarku. Hilir mudik. Seorang anak kecil berteriak. Seorang ibu memanggil manggil. Di belakangku. ada suara suara bergumam. Suara suara lelaki. Aku tak perduli. Terus berjalan ke tempat di mana rumah mungilku meninggalkan kesia-Siaan yang memedihkan.
Aku berdiri di bibir tebing yang telah melebar sangat dekat ke jalan raya. Tidak semua dari rumah mungil itu terbawa bersama tanah yang longsor jauh ke bawah. Sebahagian masih berada di tempatnya semula. meski porak poranda dan sesewaktu terancam akan ikut longsor .
Seseorang di dekatku mendesah.
"Mari kita lihat. Barangkali masih ada yang bisa diselamatkan.
Aku tidak tahu pada siapa ia berbicara. Dan aku tidak suka suaranya. Terlalu serak. Terlalu menusuk. Sama sekali tidak memberi harapan.
Ketika ia berjalan mundar-mandir di antara puing puing rumah. barulah aku menyadari bahwa ia adalah pemilik lama pada siapa aku telah membayar uang kontrak, dan dari siapa aku memperoleh jaminan "Tembok ini masih kukuh sekitar enam tahun lagi
Berapa lamakah aku telah tinggal di rumah mungil itu"
telah berapa lamakah aku kenal dan hidup bersama "dia" (kukembalikan tanda kutip. karena yang kusebut dia. kini telah pergi).
Pak Hadiman tiba-tiba tertegun.
Ia kemudian mengorek-ngorek sesuatu dengan kakinya, ke dalam rekahan tanah berlubang di bagian mana seingatku terletak kamar mandi.
Waktu ia berdiri lagi. wajahnya pucat pasi
"Ke-marilah!" ia berseru. Tersendat.
Kali ini aku tahu pada siapa ia berseru. Maka aku mendekat, ingin tahu.
Dan di bekas lantai itu, tempat di mana aku terpaksa harus mempel setelah oleh "dia" diguyur seember air yang kotor tampaklah tulang belulang manusia yang berserakan.
Aku merintih lagi Pak Hadiman bertanya. seolah pada diri sendiri
"Tulang belulang Siapakah ini gerangan"'
Ia menatap wajahku. dan mendesis:
"Apakah kau tahu"''
Aku mengangguk. Ia tercengang. "Siapa?" tanyanya tidak percaya.
"Dia." jawabku.
"Dia?" Kuulang: "Dia." Lalu aku berbalik. Meninggalkan Pak Hadiman termangu-mangu.
*** PENUTUP CERITA Pak Darius tidak menunggu waktu terbuang Sia-sia
Ia langsung melapor ke pihak berwajib, dan bersama sama mereka mendatangi alamat rumah Tuan Subarja. yang melapor pada lurah dengan nama kecil, Gilang. Tuan Subarja meninggalkan sepucuk surat yang dialamatkan atas namaku.
Dalam suratnya ia minta maaf atas perlakuannya terhadapku. Ia begitu putus asa, sudah lupa diri tetapi ia mengaku tidak punya niatan membunuhku .. seperti ia juga tidak pernah terlintas pikiran untuk membunuh Maria
Maria gadis yang baik. Tuan Subarja menulis dalam suratnya. "Ia tidak banyak menuntut. Materi. bukan tujuan hidupnya. Apa yang diinginkan Maria tak lebih dari ini. Perhatian.! Sungguh malang. justru itulah yang tidak mungkin kupenuhi. Padahal begitu sederhana. bukan" Maria ingin diperhatikan. itu saja.
Tetapi bisnisku benar benar Sibuk. Aku punya isteri yang setia tetapi mulai reot dimakan usia dan kesibukannya mengurus rumah dan
anak-anak. Aku punya tiga orang anak yang juga membutuhkan perhatian. Aku tidak mungkin memperhatikan Maria seorang.
Kemudian, dia mulai menyeleweng. Aku kecewa. tetapi masih dapat menahan diri. Dengan segala cara kucoba mengendalikan tingkah laku Maria. Hasilnya, ia justru semakin menjauhiku. Maria tidak sudi dikekang. Lalu kami bertengkar. Bertengkar dan bertengkar lagi. Ketika pertengkaran itu memuncak. terjadilah apa yang semestinya terjadi. sebagai imbalan dosa dosaku selama ini.
Aku sayang pada Maria. Jadi aku tidak bersungguh-sungguh ketika mencekik lehernya. Tetapi ia malah menantang "Mengapa ragu ragu" Ayo teruskan! Teruskan! Biarlah segalanya berakhir'" Dan ia meludahi mukaku. Aku terhina. Sangat terhina. Tidak mampu lagi mengendalikan diri. Cekikan di leher Maria makin kukencangkan.
Baru setelah matanya terbalik dan perlawanannya melemah. akal sehatku timbul Menyesal. cekikan kulepas. Maria mundur. Sempoyongan. Tetapi ia terjatuh ke lantai kamar mandi. Setelah kepalanya lebih dulu membentur bibir sumur.
Mengerikan. Bung Doli. Aku panik. Aku putus asa. Tetapi aku Juga belum mau mati. Aku harus kembali pada pekerjaanku. pada isteriku. pada anak anakku. Banyak bekas bahan bahan bangunan tertumpuk di belakang rumah. Pipa ledeng sudah masuk. Apa boleh buat. mayat Maria kucemplungkan dalam sumur. Tembok atas sumur kubongkar sendiri. dan kuruntuhkan ke sebelah dalam. Kutambah dengan sejumlah bahan bangunan. Ketika kuli pekerja bangunan datang keesokan harinya. mayat Maria Sudah lenyap. Tidak meninggalkan bekas, tidak menimbulkan bau. Bersama mereka. sumur kami timbun lalu diratakan. Di bekas sumur itu. dibuat bak mandi... (maafkan Bung Doli, karena kubiarkan kau mandi di atas kuburan Maria).
Waktu terus berlalu Aku ternyata aman dari kecurigaan. (itulah yang selalu kuyakini, sampai mereka datang menemuiku) Bisnisku terus maju. Rumah kecil mungil di pinggir kota itu kemudian kujual dengan harga pantas. Belakangan kudengar, penghuninya selalu berganti. Kudengar pula, penghuni-penghuninya itu tertimpa Sial, bahkan ada yang mati di atas kuburan Maria .
Ya, bisnisku maju pesat. Sebaliknya, kehidupan pribadiku menurun drastis. Aku konflik hebat dengan ibu anak anakku, lalu cerai. Kutuk lain datang susul menyusul. Toni. si sulung mendadak lumpuh setengah badan sepulang piknik ke gunung. Lusiana ditabrak mobil dan mati dalam perjalanan ke rumah sakit. Nina jatuh dari tangga. Kepalanya berderak ketika tiba di lantai. Meninggal saat itu juga. Lalu Tonton, si bungsu yang kuperoleh dan pernikahan dengan perempuan lain tak lama setelah cerai dari istriku pertama; lahir gagu. Gagunya Tonton membuatku selalu ribut dengan isteri baruku. Cerai lagi. Kali ketiga aku kawin, aku sempat berbahagia beberapa bulan. Kemudian, isteriku yang ketiga itu mendadak pula sakit sarap dan terpaksa dirawat di rumah sakit jiwa. Masih banyak kutuk lain menimpaku. Antara lain, seorang pelacur memerasku habis-habisan. kemudian membuatku malu dengan menuduh aku tidak pernah membayarnya. Daripada sampai ribut ke pengadilan, terpaksa ia kubelikan sebuah rumah, sebuah mobil dan membiayai pernikahannya dengan salah seorang bawahan kepercayaanku.
Kau tahu ke mana aku jadinya pergi. Bung Doli.
Dukun. Dan dukun bilang: bawa rempah rempah ini. Sudah kuisi jampe-jampe. Tanam di tempat mayat perempuan itu berkubang. Ingat, tak seorang pun boleh tahu ketika kau melakukannya, seperti tak seorang pun tahu ketika kau membiarkan perempuan itu mati. Kalau ada yang tahu. terpaksa kau harus membunuh lagi Bukan untuk menghilangkan jejak. Tetapi memang demikian syaratnya'
Seperti kau tahu, Bung Doli. aku gagal bukan" '
Dan kau hampir terbunuh. Entahlah, kau memaafkan aku atau tidak. Tetapi aku tetap mengharapkannya. demi meringankan azab sengsara yang harus kutanggung kelak di akhirat. Tempat di mana, kukira aku akan bertemu dia lagi. Maria, yang tidak menyayangiku seperti dulu. Marialah yang nanti ganti mencekik aku.
Kau tahu rasanya dicekik, Bung Doli"
Menyakitkan. Namun tidak seberapa menyakitkan, dibandingkan saat-saat aku melihat tubuh Mariaku tersayang. jatuh terkulai di lantai dengan kepala berlumur darah. Dan gaun putihnya itu. Bung Doli. Gaun putihnya yang paling Ia senangi itu. ternoda?"
Menyesali gaun putih itu sudah ternoda, Tuan Subarja mengakui terus terang semua perbuatannya Ia kemudian minta diijinkan bersalin pakaian di kamarnya. Petugas yang menjemput bersama Pak Darius, memperkenankan dengan pesan. jangan berlama lama. Memang, tidak lama. Sebuah tembakan tetah menggema di dalam kamar itu. Tuan Subarja telah menembak jidatnya sendiri. Menembak kehormatan yang ingin tetap ia jaga. Pelayannyalah yang memberikan Surat itu 'Tuan menulisnya beberapa hari yang lalu. Tuan berpesan. agar disampaikan pada seseorang bernama Doli. pengarang." kata si pelayan.
Surat itu kini tergantung di tanganku.
Kusulut dengan sebatang korek api. Terbakar Hangus Lalu jatuh berupa puing-puing hitam. ke tanah kuburan Maria yang masih baru. Berbaur dengan bunga rampai yang dengan setia selalu kutaburkan di makamnya.
Dia telah pergi dari sisiku.
Tak pernah kembali. Aku merasa kehilangan. tetapi juga pasrah dan berbahagia dengan akhir yang tragis itu.
"Tidak ada pertemuan tanpa perpisahan. Bukan begitu, Maria?" aku berbisik di kuburannya. Sebuah ungkapan kuno, tetapi kuharap dia mengangguk setuju. "Pergilah dengan damai."
Udara dingin menyergap kulitku.
Aku menggigil. Dan gerimis jatuh. Satu satu.
Ebook dipersembahan oleh Group Fb Kolektor E-Book
https://m.facebook.com/groups/1394177657302863
dan Situs Baca Online Cerita Silat dan Novel
http://ceritasilat-novel.blogspot.com
Sampai jumpa di lain kisah ya !!!
Situbondo,22 Juli 2018 Terimakasih TAMAT Hikmah Pedang Hijau 8 Sherlock Holmes - Petualangan Pria Paris Anak Pendekar 12

Cari Blog Ini