Ceritasilat Novel Online

Misteri Lemari Antik 2

Misteri Lemari Antik Karya Abdullah Harahap Bagian 2


Ternyata dalam kondisi apa pun, kasih seorang ibu pada anaknya adalah harga mati. Dengan mudah Harlas memenangkan perundingan. Mertua Harlas lolos dari ancaman kehancuran akibat rongrongan si
pelacur. Meski pertolongan sang menantu harus dibayar mahal oleh si mertua, yaitu menanggung biaya pendidikan bintang pelajar itu selama mertua Harlas mampu. Ismed termangu mangu, takjub mendengar cerita Harlas tentang mertuanya. Kemudian ia ingat untuk mengutarakan sesuatu yang mengganjal di tengah cerita Harlas. "Andai si pelacur itu menolak tawaranmu, apakah nama anak itu sungguh-sungguh akan kau cemarkan?" "Demi Tuhan, tidak! Aku cuma untung untung an." "Andaikata ia tetap menolak?" "Yah. Daripada mengorbankan anak malang itu, lebih baik aku mengorbankan mertuaku. Pendirianku ini sebelumnya juga kuntarakan pada mertuaku. Ku kira ia akan marah seperti biasa. Nyatanya, ia menangis. Ia malah bersumpah tak akan mengulangi kesalahan yang memalukan itu. Mertuaku semakin mengenal diriku, semakin menyayangi aku. Bahkan melebihi sayangnya pada anak anaknya sendiri." Ismed terdiam membatin, "Harlas bukan sahabatku seorang. Ia sahabat sejati semua orang." Sambil menutupi rasa haru di hatinya, ia menepuk bahu Harlas. "Baiklah. Kalau begitu, tancap gas ke rumahmu sekarang. Aku benar benar lapar"
Setelah puas menyantap makan malam buatan istri Harlas, menjelang tengah malam Ismed pamit. "Bu
kan aku tak senang menginap di rumah ini. Aku merasa ada di tengah keluargaku sendiri. Hanya saja, aku khawatir kalau Farida mendadak muncul dan aku tak siap menerimanya." Lalu ia tambahkan dengan gurau, "Lagi pula, siapa tahu ada maling membawa truk ke rumahku."
Dengan Vespa nya Harlas kembali mengantar Ismed sampai di depan rumah yang baru ditempati sahabatnya itu. Saat Ismed menawarkan untuk mampir, Harlas juga punya gurau untuk buru-buru pulang kembali. "Maaf, Ismed, isrriku baru habis masa haidnya!"
Gurauan itu meninggalkan kesan mendalam di hati Ismed. Kini ia benar benar merasa sendirian. Sepi.
Ia tiba tiba sangat merindukan Farida.
Akibatnya, meski letih seharian matanya tak dapat terpejam. Beberapa kali ia mondar-mandir di kamar, menghabiskan berbatang batang rokok. Sayang, tadi siang ia hanya memikirkan yang besar besar. Lupa hal hal kecil tetapi ternyata sangat penting: kompor, minyak tanah, panci, termos dan gelas.
"Enakan ngelayap ke pasar. Mungkin masih ada warung kopi yang buka," pikirnya, sambil beranjak meninggalkan kamar.
Begitu pintu dibuka, pandangannya langsung terpaut pada lemari mungil berukir yang ditempatkan Harlas di seberang ruangan. Darah Ismed tcrsirap. Perempuan di daun pintu lemari benar benar menatap
nya! Di bawah siraman lampu neon, sinar matanya jelas mengundang, senyumnya mengajak Ismed mendekat. Tarikan gaib perempuan itu begitu kuatnya, sehingga langkah Ismed bagai tersentak, lalu mengambang di permukaan lantai.
Gemetar jemarinya meraba ukiran wajah si perempuan, mengusap matanya, bibirnya, turun ke leher, lalu menyusuri lekuk dada si perempuan. Gairah kelelakian melonjak-lonjak garang dalam tubuh Ismed. Namun tak urung menimbulkan perang batin. Antara keinginan untuk menyetubuhi perempuan itu-entah bagaimana caranya-dan kesadaran bahwa yang di hadapannya hanya benda mati belaka. Wajah perempuan itu memang begitu mirip dengan Farida. Dan ingatannya pada Farida membuatnya malu sendiri. Sangat malu. Malu karena digelitik hasrat menyetubuhi benda mati. Padahal kehadiran Farida di sisinya tinggal menunggu hari, bahkan mungkin hanya dalam hitungan jam. Tak lama lagi ia akan memiliki Farida. Farida yang benar benar hidup, dengan embusan napas dan tubuh yang hangat, Farida yang penuh rindu dan cinta.
Ismed mengerjapkan matanya sambil melafalkan istigfar. Seperti tebasan pedang, ucapan lirih itu membebaskannya dari tarikan tangan tak kasatmata. Dan seketika, perempuan jalang di daun pintu lemari hilang pengaruhnya. Kesadaran Ismed perlahan semakin jernih. Ia mengawasi lemari mungil di depan
nya. Baru sekarang ia bisa leluasa menatap lemari itu berlama-lama tanpa gangguan orang lain. Bila diamati dengan teliti, tampaknya bagian sisi lain lemari itu telah mengalami beberapa perbaikan, kecuali daun pintu yang masih tampak kokoh.
"Mungkin ini pernah jadi lemari pakaian. Tetapi kemudian orang merombaknya jadi lemari buku, lemari penyimpanan benda-benda berharga, dan segala macam." Terngiang kembali di telinga Ismed ucapan pemilik toko mebel tadi siang.
"Hm, sebaiknya dimanfaatkan untuk keperluan apa ya lemari ini," pikir Ismed sambil memutar anak kunci dan pelan pelan membuka pintu lemari.
Bagian dalamnya ternyata serba guna. Ruang kosong di bawahnya cukup untuk menggantung pakaian. Bagian-bagian sebelah atas... oh! bagian atas itu tidak kosong. Ada beberapa benda hias dari keramik. juga sepucuk surat dalam amplop. Ketika membuka nya dengan heran, Ismed hanya membawa sebaris kalimat pendek. "Sekadar tanda mata untuk istrimu. Tertanda, Haji Bajuri bin Jamil."
Bukan main pemilik toko mebel itu! Meski sempat bersitegang, tapi perhatiannya mampu membuat Ismed diliputi rasa haru.
Ismed baru saja bermaksud menutup dan mengunci kembali pintu lemari ketika keanehan itu terjadi. Benda benda keramik di bagian atas mendadak le nyap. Ismed sampai menggoyangkan kepala untuk
meyakinkan kalau pandangannya tak salah. Bidang bidang sebelah dalam lemari itu juga sirna. Sebagai gantinya, udara dingin berembus dari dalam lemari, menerpa wajahnya serta membawa aroma yang asing. Cahaya lampu yang jatuh di atas tubuhnya menimbul kan bayangan memanjang, jauh ke dalam lemari lalu lenyap ditelan kabut tipis.
Kabut! Astaga. Dari mana kabut itu datangnya" Dan mengapa ruangan di dalam lemari begitu gelap, begitu suram" Ismed seakan berada di depan goa dengan lorong panjang. Udara dingin dan kabut terus berembus keluar, menyelimuti Ismed yang diam ter pana. Lalu samar samar terdengar bunyi gemerincing. Seperti bunyi benda besi saling beradu. Entah besi apa, tetapi dari bunyinya jelas seperti diseret seret. Ismed menajamkan telinga, semakin lama bunyi itu semakin nyaring, semakin nyata.
Dari balik kabut, perlahan mucul sesosok bayangan. Ismed ingin meloncat, mundur menjauh. Tetapi kedua kakinya bagai dipaku ke lantai. Kelopak matanya tak bisa dipaksa terpejam untuk melenyapkan bayangan mengerikan di hadapannya. Matanya nyalang, membelalak.
Lalu ia melihatnya! Seorang laki-laki renta dengan rambut dan jenggot seputih kapas muncul dari lorong gelap di balik kabut. Wajahnya bengis, menggambarkan teror. Tangan maupun kaki telanjangnya dibelenggu dengan
rantai besi yang begitu panjang, sehingga rantai besi itu terjurai di tanah, melingkar lingkar. Dengan langkah berat menyeret rantai yang membelenggu, si tua renta itu menyeringai seram, matanya membeliak menatap Ismed. Suaranya berdesis mengancam, "Enyah kau, manusia hina! Enyah kau... jangan kau ganggu kekasihku! Pergi. Pergi! Jauhi kekasihku. Pergilah kau ke neraka jahanam!"
Bibir keriput si tua renta terus mendesiskan sumpah serapah, langkahnya semakin mendekat. Karena Ismed bergeming, tidak juga mematuhi perintahnya, ia menggeram, "Hem. Jadi kau lebih suka kujadikan budakku ! Ayo, mendekatiah kemari, mendekatlah." Kedua lengannya terangkat makin tinggi ke depan. Belenggu rantai besi itu pun ikut terangkat, membentuk setengah lingkaran, siap untuk dikalungkan ke leher Ismed.
"Tid-tidak... ja... jangan..." Ismed terengahengah.
Namun rantai besi semakin terangkat. Kini hampir mencapai bagian atas kepala Ismed yang menggigil ketakutan.
Tapi mendadak, gerakannya terhenti.
Lelaki renta yang berantai itu menggeram dengan kalimat tak menentu, mengumbar sumpah serapah tanpa alamat. Pelan pelan ia menurunkan tangan, bibirnya terus mendesis.
"Pergi, pergi, pergi!"
Manusia ajaib itu terus saja mundur ke balik kabut, lenyap ditelan kegelapan lorong pekat jauh di dalam lemari. Seiring menjauhnya si tua renta, kabut yang menyelimutinya pun pelan pelan semakin menipis. Semua kembali seperti semula.
Saat itulah Ismed mendengar suara orang memanggil manggil namanya disertai gedoran keras di pintu. Bukan pintu lemari, melainkan pintu depan rumahnya sendiri. Seketika, Ismed melompat mundur lalu berlari ke pintu depan. Pintu direnggutnya terbuka, nyaris membuat Harlas tersuruk ke dalam.
"Sialan! Begitu caramu menerima tamu. ya?" umpat Harlas dongkol. Ia terus menyelinap masuk. Lalu terheran heran melihat Ismed gemetar dengan napas terengah-engah, seolah habis berlari ratusan kilometer. "Apa yang terjadi, Med?" selidik Harlas.
Ismed susah payah menarik napas panjang. Megap megap. Ia kemudian berpaling, melirik lewat pintu penghubung ke ruang tengah. Pintu lemari tadi masih menganga terbuka. Tidak ada lorong goa. Tidak ada kabut. Tidak ada lelaki tua yang mengerikan. Yang ada hanya benda benda hias dari keramik, ruang kosong di lemari bagian bawah, serta amplop dengan secarik kertas surat yang terjatuh ke lantai.
"Ada orang mengganggumu, Ismed?" tanya Harlas. Nada suaranya terdengar khawatir.
Ismed lagi lagi menarik napas panjang. Masih gemetar, ia menyahut terbata bata, "Kau... menggedor
pintu terlalu keras, mengagetkan saja. Padahal aku sudah tertidur dengan mimpi yang aneh, mimpi buruk... dan..." Ismet tidak melanjutkan ucapannya. la mengembuskan napas lega. Ah, benar. Semua itu hanya mimpi buruk belaka. Mungkin karena sempat berniat menduakan Farida. pikiran jahat itu kemudian melahirkan ilusi-ilusi mengerikan.
Harlas menghambur ke ruang dalam, menerobos ke dapur. la mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru rumah, tetapi tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Harlas kembali menemui Ismed.
"Tampaknya kau aman," katanya, menggerutu bercampur lega.
lsmed mencoba tersenyum. "Aku hanya dikejutkan oleh polahmu. Menggedor rumah orang tengah malam buta, begini. Ada perlu apa kau, he?"
"Yah...," Harlas menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal, "kupikir-pikir, tak pantas juga aku membiarkanmu tidur sendirian. Jadi di tengah jalan, Vespa kuputar kembali. Kau punya kopi?"
"Ada. Di pasar," tandas Ismed.
"Kalau begitu, ayolah kita ke sana." timpal Harlas tak acuh. "Aku sendiri entah mengapa tak berhasrat tidur malam ini."
Sebelum mereka pergi, lsmed menyempatkan diri merapatkan pintu lemari yang menganga. Perempuan dalam ukiran itu menyeringai....
*** SENYUM di bibir Farida melebar waktu mendengar ibu mertuanya nyeletuk, "Ini namanya janda ketemu janda!"
"Kenapa Ibu berkata begitu?" tanya Farida sambil mengawasi dua orang kuli yang memindahkan kardus berisi pesawat televisi ke dalam mobil di halaman rumah.
"Habis?" keluh ibu mertuanya, "aku sendiri sih jelas janda. Kau. Semua kau yang mengurus. Mengurus surat pindah, berbenah barang-barang, pamitan pada tetangga. Sedang suamimu" Hem, Ismed pasti lagi enak-enaknya tidur. Meringkuk di bawah selimut. Masih untung kalau di bawah selimut itu Ismed cuma sendirian..."
"Eh. Ibu agaknya mencurigai Bang Ismed, ya?"
"Apa kau tidak?"
"Aku tanya lbu. lbu yang punya anak, bukan?"
"Tapi yang punya suami, kan kau Ida?"
"Belum setengah tahun aku jadi istrinya, Bu. Tetapi kami pacaran sudah lebih dari tiga tahun. Jadi aku sudah kenal dia luar-dalam. Dan aku percaya, di hati Bang lsmed cuma ada aku seorang. Entah. kalau perkiraanku ternyata keliru."
"Syukur kalau kau berpandangan begitu, lda. Soalnya, aku mengkhawatirkan engkau. Aku sayang padamu. Dan tak ingin kau disia-siakan anakku. Itu saja. Yah. namanya saja aku yang melahirkan dan menyusui lsmed. Tetapi terus terang saja, aku tak begitu mengenal pribadinya. Tamat SMP ia sudah meninggalkan kami di Padangbolak. Dia nekat merantau ke Bandung. meneruskan sekolah sampai ke bangku perguruan tinggi. Ia hanya pulang dua kali ke Padangbolak. Setamat SMA dan setelah wisuda Perguruan Tinggi. Sesudah itu, kami cuma dua kali bertemu. Waktu kalian menikah lalu sekarang, waktu kalian akan pindah. Dan... eh, mau apa mereka itu. Ida?"
Dua pasang suami-istri memberi salam dan masuk ke dalam rumah setelah dipersilakan. Rupanya ketua RT dan tetangga sebelah yang bersikeras ingin ikut mengantarkan Farida ke Pandeglang. "Aku bawa mobil sendiri. Jadi kau dan ibu mertuamu bisa ikut mobil kami, lda. Tak pantas kalau kau naik mobil barang yang sudah penuh sesak itu," ujar ketua RT.
Sementara suami-istri yang lainnya mengatakan
akan numpang di mobil barang saja. "Lumayan, buat jaga-jaga kalau terjadi apa-apa di tengah jalan. Maklum, cukup jauh ke Pandeglang. Mana berangkatnya pagi buta begini pula," kata si tetangga, tidak mau menerima alasan Farida yang tidak ingin merepotkan orang.
Akhirnya Farida tidak dapat menolak. Mobil barang yang dikirimkan bekas kepala kantor suaminya untuk dipakai memang tidak begitu besar. Maklum yang diangkut pun tidak begitu banyak, hanya perabotan dapur, peti berisi pecah belah, empat koper pakaian, dua lemari lipat dari plastik dan seperangkat barang-barang elektronik. Perabotan besar-besar di rumah kontrakan mereka sebelumnya disewa dari pemilik rumah. Untuk keperluan itu, Ismed katanya akan membeli sendiri di Pandeglang karena sudah kapok menyewa rumah sekalian dengan perabotnya.
Nyatanya, biar semula diperkirakan sedikit saja, mobil barang itu jadi penuh sesak juga. Mana ibu mertuanya yang sudah tua itu belum habis letihnya menempuh perjalanan darat melalui lintas Sumatra dari Padangbolak ke Bandung. Jadi tawaran para tetangganya yang baik hati itu tentu saja sangat menolong. Diam-diam Farida menyesal sendiri ketika beberapa hari yang lalu menolak bantuan suaminya. "Kau bereskanlah urusanmu di Pandeglang. Yang di sini biar aku sendiri yang menyelesaikan."
Betapa gampangnya kata-kata itu terucap!
Sebelum berangkat, mereka salat subuh bersama. usai salat, Farida sekali lagi memeriksa kalau-kalau ada yang terlupakan. termasuk persediaan untuk bekal makan di jalan. Sebelum menyerahkan kunci pada pemilik rumah. Farida sempat termenung mengawasi kamar tidur. Di kamar tidur itu, meski dengan ranjang serta kasur sewaan dari pemilik rumah, ia menikmati malam pengantin yang tak akan terlupakan perempuan mana pun juga. Ia masih ingat, tetesan darah perawannya membasahi seprai dan meninggalkan noda di kasur. Seprainya disimpan Farida sebagai kenangan. Sayang, kasur di atas ranjang itu lupa ia memintanya pada pemilik rumah, kalau perlu membeli.
Sambil menarik napas panjang, Farida membalikkan tubuh.
Lalu angin dingin menampar wajahnya.
Disertai bisikan tajam. "Jangan pergi!"
"Apa?" Farida tersentak, memandang berkeliling. Tidak ada siapa-siapa, ia hanya seorang diri di dalam rumah itu. Di luar memang terdengar suara-suara orang yang ribut mau berangkat. Namun tak mungkin bisikan salah seorang dari mereka sampai ke telinganya. Begitu dekat pula. Begitu jelas terdengar ucapannya. "jangan pergi!"
Siapa yang telah membisikinya" Mengapa ia dilarang pergi"
Kembali ia mengawasi sekelilingnya.
Sepi. "Astaga. Aku telah melamun kiranya!" Farida menggeleng-gelengkan kepalanya. la menyimpulkan sendiri lalu berjalan ke luar rumah.
Meski waktu menunjukkan belum pukul lima pagi. jalan yang mereka tempuh sudah mulai ramai, terutama menjelang perbatasan kota. Peristiwa aneh yang sekejap tadi segera terlupakan oleh Farida. Apalagi bersama lbu RT yang senang ngobrol. Ada saja topik pembicaraannya.
"Apa kau sudah punya video, Farida?"
"Belum, Bu," jawab Farida tersenyum.
"Belum" Kalau begitu, belilah satu. Kalian akan membutuhkannya nanti. Habis, di Pandeglang tidak ada bioskop. Usaha semacam itu ditentang keras warga masyarakat setempat. Di bagian mana kalian mengontrak rumah?" tanyanya lagi. Tapi belum juga Farida menjawab, Ibu RT kembali mencerocos. "Kalau di pusat kota, lumayan ada air ledeng. Kalau di pinggiran, wah... terpaksa harus mandi dan mencuci di pancuran. Enak sih enak, airnya konon mengandung belerang pula. bagus buat kulit. Tetapi kalau tengah malam mau buang air besar, payah!"
Dan banyak lagi hal lain yang diceritakan oleh ibu RT yang tak henti-hentinya berceloteh, sehingga suaminya menyindir, "Radio mobilku rusak. Untung ada gantinya!"
Menjelang pukul delapan pagi, mereka berhenti di Puncak. Betapa menyenangkan menikmati sarapan pagi, menyeruput kopi panas sambil menatap pemandangan bukit-bukit dengan hamparan teh menghijau yang sebagian masih berselimut kabut. Meski matahari sudah muncul, namun udara Puncak tetap terasa dingin menusuk. Oleh karena itu mereka cuma istirahat sebentar. sekadar mengisi perut kosong. Kembali Farida orang terakhir yang masuk mobil karena tak tega membiarkan bekas makan mereka berserakan begitu saja.
Pada saat ia beranjak ke mobil. udara dingin sekali lagi menampar wajahnya. Lebih dingin dari udara Puncak yang sebelumnya ia rasakan. Aneh, padahal mentari pagi saat itu menjilati wajahnya, hangat dan menyenangkan. Namun udara dingin itu lebih kuat menampar. Seolah ada tangan-tangan gaib melayang dari balik kabut.
Bisikan yang sama kembali terdengar.
Hanya kalimatnya lain. "Pulanglah! Pulanglah! Pulanglah. . .!"
Tak ada orang lain di dekatnya. Yang lain telah masuk ke mobil masing-masing. Di jalan tanjakan, tiga sepeda motor menderu dengan bunyi knalpot memekakkan telinga waktu menyalip truk tangki yang merayap dengan suara mesin terbatuk-batuk. Tetapi di antara kebisingan itu jelas ia mendengar suara
berbisik, menyuruhnya pulang. Sebuah perintah pendek, yang diulangi sampai tiga kali!
Farida bukan seorang penakut.
Namun toh, bulu kuduknya meremang juga. Sejenak ia tegak mematung. Bingung. Gelisah. Lalu ia dengar suara ibu mertuanya memanggil.
"Hei. lda. Tunggu apa lagi?"
Dari Bogor mereka mengambil jalan pintas lewat Leuwiliang dan istirahat lagi sejenak menjelang Jasinga. Jalannya lebih sepi dan lancar ketimbang mereka harus lewat Jakarta. Panorama pun seakan tak pernah habis. Bukit-bukit tandus menyelingi hutanhutan pinus, perkebunan yang teratur di kiri kanan jalan. lembah dan sungai yang airnya mengalir jernih di antara batu-batu raksasa. kehidupan penduduk yang damai, anak-anak sekolah yang berlarian di tepi jalan. udara yang terasa semakin hangat, serta matahari yang bersinar semakin cemerlang.
Tetapi semua itu kurang menarik minat Farida.
la tenggelam dalam kegelisahannya. Kurang enak badan, begitu jawabnya kalau ada yang bertanya mengapa Farida tiba-tiba tampak murung dan pendiam. Untuk menghindari lebih banyak pertanyaan maupun perhatian, ia memutuskan tidur sepanjang sisa perjalanan ke Pandeglang. Beberapa kali ia terlelap. Tetapi beberapa kali pula ia dibangunkan oleh bisikan-bisikan aneh yang sama. Jangan pergi! Jangan... Pulanglah! Pulanglah... Pasti ada sesuatu yang
terjadi dalam dirinya, begitu pikir Farida. Barangkali ia memang benar-benar sakit, lantas dihinggapi ilusi yang bukan-bukan. Di Pandeglang nanti, ia akan konsultasi ke dokter. Ya, siapa tahu, ia memang benar sedang sakit.
Dengan keputusan itu, ia coba lagi untuk tidur.
Sia-sia belaka. Bagaimana kalau dokter ternyata mengatakan ia sehat" Bahwa ia segar bugar, tidak menderita apa pun yang perlu dicemaskan. Haruskah ia ceritakan ilusi yang sangat menganggu itu. Dan kalau dokter bertanya apakah ia sedang mengalami tekanan batin. bagaimana ia harus menjelaskan" Ia tidak menderita tekanan batin. Ia sangat berbahagia dengan keadaannya sekarang. Punya suami yang baik, yang dicintainya dan mencintainya, kehidupan ekonomi mereka meski masih merangkak tetapi mudah-mudahan belum pernah kekurangan. Sesekali memang cekcok, tetapi hanya mengenai soal-soal sepele dan segera dapat mereka atasi. Apa lagi"
Oh ya! Ia pernah merengek pada suaminya, "Awas. kalau di Pandeglang sana kau main perempuan!"
Lalu ibu mertuanya sempat bilang, "Masih untung kalau di bawah selimut, lsmed cuma sendirian..."
Farida yakin, hati dan jiwanya tidak berubah.
Ataukah lsmed yang berubah"
Tidak. Baru beberapa hari lsmed di Pandeglang.
Walaupun Farida sudah sering mendengar cerita-cerita orang tentang kepandaian wanita Banten-gadis atau janda-memikat perhatian laki-laki, Farida tak percaya. Ia tak yakin, kalau dalam tempo begitu singkat seorang gadis telah jatuh hati pada Ismed. Apalagi janda. Seorang janda lebih banyak pertimbangan kalau hendak bersuami kembali. Kecuali janda kesepian yang tak punya harga diri!
Dan, janda model begitu pernah hadir dalam kehidupan Farida.
Yang diganggu adalah ayahnya.
Waktu itu Farida baru menginjak usia enam belas. ibunya meninggal dunia tiga bulan sebelum Farida merayakan ulang tahunnya. Lalu seorang wanita lain muncul di rumah mereka. Namanya Miranti, usianya lima tahun lebih tua dari Farida atau hampir setengah dari usia ayah Farida. Tetapi meski sudah memasuki usia ke-40, ayah Farida masih fit, kuat dan sehat. Jejak ketampanannya di masa muda masih terlihat. Karena itu tak heran kalau Miranti lantas tertarik pada ayah Farida, dan kebetulan pula Miranti sekretaris di kantor ayah Farida. Konon Miranti dicerai suaminya karena ketahuan menyeleweng. Kabar itulah yang membuat ayah Farida tidak begitu tertarik untuk melayani sang janda muda yang binal itu. Tetapi Miranti tak kalah taktik.
la mendekati Farida, sering mengajaknya jalan-jalan dan membelikannya sesuatu. Sering pula ia muncul di rumah mereka untuk mengerjakan apa saja sekadar menarik hati Farida dan ayahnya. Tetapi lama kelamaan Farida kurang senang. Karena Miranti suka bercerita tentang mantan suaminya, pacar-pacarnya dan apa saja yang mereka lakukan. Semua ceritanya penuh kesombongan. Tentang bagaimana ia dikejarkejar lelaki, main-main sebentar dengan mereka, kemudian ditendang satu persatu. Sifat sombong itulah yang tidak disukai Farida, sehingga Farida mengultimatum ayahnya, "Kalau Papa menikah dengan dia. aku akan minggat dari rumah ini!"
Ayahnya menjawab. "Memperistri dia" Uh. mana aku mau memperistri perempuan yang pernah kupergoki di kamar mandi kantor sedang ditelanjangi bawahanku sendiri?"
Nyatanya, memasuki bulan kelima setelah Miranti muncul dalam kehidupan mereka. Ayah Farida mendadak berubah. Ia begitu keranjingan pada Miranti, sampai-sampai pernah berkelahi dengan seseorang yang ia lihat pergi ke kelab malam bersama Miranti. Kemudian sang ayah pun mulai sering bertengkar dengan anaknya. Kalau Farida menentang, ayahnya naik pitam.
"Kalau kau mau minggat, minggatlah. Pendeknya. aku akan tetap kawin dengan si Ranti!"
Farida pasti sudah nekat meninggalkan ayahnya.
kalau tak keburu dicegah Ismed yang ketika itu masih jadi pacarnya. Kata Ismed, "Perubahan sikap ayahmu yang drastis itu, pasti ada sebab-sebabnya!" Lalu diam-diam mereka menyelidiki Miranti hingga mengetahui kabar kalau Miranti suka pergi berdukun. Tak butuh waktu lama. Ismed berhasil memperoleh nama dan alamat dukun dimaksud. Saat mendatangi desa tempat si dukun tinggal, beberapa warga mengungkapkan kegalauan mereka tentang keberadaan si dukun. "Kami sebenarnya sudah lama ingin mengusir dukun itu. Tapi tak ada yang berani."
Ismed berani. "Allah beserta kita," katanya tegas.
Ismed berhasil membujuk warga setempat yang tidak mau daerah mereka dicemari oleh kelakuan sang dukun, yang konon sudah banyak mengambil korban perempuan di desa mereka. Waktu yang dipilih adalah saat Miranti terlihat memasuki rumah tempat praktik dukun. Setelah menunggu beberapa menit, Ismed beserta warga yang geram lantas menyerbu masuk. Di kamar tidur yang pepak dengan peralatan aneh-aneh. sesajian, serta bau asap kemenyan yang menusuk hidung. mereka temukan Miranti tengah bertindihan dengan tubuh kerempeng sang dukun yang telanjang bulat. Tak pelak lagi, dukun mesum itu dikeroyok hingga babak belur sebelum kemudian diserahkan ke polisi. Miranti sendiri bukan main malunya, tapi ia berdalih. "Aku sungguh tidak sadar. Entah mengapa
mau saja disetubuhinya!" Dan setelah mengenal lsmed, tak pernah lagi Miranti muncul di rumah keluarga Farida. Ia juga minta berhenti dari kantor dengan alasan akan pulang ke kampungnya di Indramayu.
Ayah Farida sendiri, sempat seperti orang linglung beberapa waktu. dan baru kembali pulih setelah dibawa berobat ke seorang ajengan di Sukabumi. Tahun berikutnya ayah Farida kawin juga. Masih dengan seorang janda tetapi sebaya dengannya, punya anak empat, taat beribadah, serta masih ada pertalian famili. Farida tentu saja tak keberatan. Toh. ia sendiri sudah punya tambatan hati, sudah pula siap untuk menikah. Bagaimanapun, ayahnya perlu seorang pendamping. Lucu kalau diingat. begitu naik pelaminan maka sang duda langsung punya empat anak, lima dengan Farida.
Farida terbangun dari tidurnya setelah bahunya diguncang-guncang.
He, penidur. Kita telah sampai!" lbu RT berkicau riang gembira. Rupanya mereka telah memasuki kota Pandeglang yang suasananya sesaat membuat Farida agak bimbang. Menjawab pertanyaan Pak RT, Farida kemudian menyebut alamat rumah yang telah diberitahukan oleh lsmed lewat telepon. Letaknya masih di pusat kota. tak pula begitu jauh dari pasar. Hingga
mereka tiba di sebuah rumah mungil, halamannya resik menyenangkan, dan yang terpenting Ismed tengah menunggu di dalam....
Tidak. Ismed tidak menunggunya!
Yang membuka pintu untuk Farida serta para pengiringnya justru seorang perempuan berusia 30-an, berwajah rupawan dengan bentuk tubuh yang masih menggiurkan. Belum lagi tatap matanya yang tajam ketika menatap rombongan di hadapannya.
Jantung Farida berdenyut keras.
"Oh. Jadi, Andalah bakal teman saya berbelanja ke pasar." Perempuan itu tertawa renyah seraya mengulurkan tangan, lalu ia tidak saja menyalami Farida. tetapi juga memeluk dan menghadiahi kecupan hangat di pipi. "Selamat datang, Ida. Tak apa aku langsung menyebut nama, ya?"
Melihat tamu-tamunya yang kebingungan. perempuan yang ramah itu memperkenalkan diri. "Aku Euis Yuningsih. Panggil saja Euis. Aku istrinya Harlas."
"Harlas" Harlas siapa?" kejar Farida, masih belum puas.
"Teman lama suamimu. Apa suamimu tak pernah cerita" Tetapi itu nanti sajalah. Aku disuruh suamiku menunggu di sini, siapa tahu kalian tiba-tiba datang. Suamimu tadi pulang sebentar. tetapi pergi lagi ke kantor. Dekat kok dari sini. Cuma lima menit naik ojek. Sebentar, kupanggilkan anakku..." Tidak lama,
seorang anak laki-laki tanggung muncul menjawab panggilan Euis. "Adang! Kau cepat pergi ke kantor Om Ismed. Katakan padanya kalau yang ditunggu sudah datang!"
Anak itu lantas pergi berlari-lari ke pangkalan ojek di simpang jalan.
"Ayo. silakan masuk." Euis tersenyum mempersilakan. Setelah tamu-tamunya masuk beriringan, tinggal ia berdua di luar pintu bersama Farida yang tengah memandangi tanaman bunga di pekarangan. Euis menyentuh lengan Farida. "Mestinya kau yang mempersilakan. bukan begitu. ida?"
Farida tertawa. "Yah, tak apa. Sesekali disilakan orang lain masuk ke rumah kita sendiri. Jadi kakak ini istrinya Bang Harlas ya" Apakah..."
"Nantilah kita ngobrol di dalam. Kau masuklah. Biar aku menemui orang-orang yang akan menurunkan barang-barang kalian dari mobil." Tanpa menanti komentar ia mendatangi supir dan kernet mobil barang yang sibuk bekerja dibantu oleh dua tamu lelaki yang ikut dari Bandung.
Farida mendengar mereka ngobrol dengan suara riang diselingi tawa gembira. Entah lelucon apa yang dilontarkan Euis Yuningsih. Memandangi perempuan itu. Farida merasa seperti sedang memandangi seorang sahabat. mungkin malah seorang saudara.
Ia kemudian memutar tubuh, tak sabar ingin melihat ke dalam rumah.
Tap ! mendadak sebuah tamparan mendarat di pipi kanan Farida. Disusul dengan suara hardikan.
"Anak bodoh! Kau sudah kuperingatkan!"
Farida tersentak. Suara itu! Suara yang memperingatkannya bahkan saat masih di Bandung, hanya saja kali ini tanpa embusan udara dingin.
Tak ada seorang pun di dekatnya. la meraba pipinya yang masih terasa pedas, bekas ditampar. Tamparan itu nyata. Hardikan itu pun masih mengiang nyata, "Kau sudah kuperingatkan!"
Farida tegak mematung. Wajahnya pucat, tak berdarah.
*** TAMU terakhir yang pulang malam itu adalah Harlas beserta istrinya. Para pengantar dari Bandung lebih dulu pamit sore harinya.
"Anak-anak di rumah tak biasa kami tinggalkan berlama-lama," kata Pak RT.
Sedang yang seorang lagi memberi alasan, "Malu ah, kalau bolos kantor dua hari berturut-turut."
Dengan dalih itu mereka menolak halus ajakan lsmecl untuk bermalam saja, juga tawaran Harlas mengajak jalan-jalan ke pantai Carita di Labuan atau melihat-lihat masjid terkenal yang dibangun para Sunan di Demak.
Meskipun malam belum larut benar, ibu Ismed sudah mendengkur di kamar tidur. Hari itu memang hari yang teramat melelahkan. Setelah menempuh perjalanan jauh, mereka masih harus berbenah. Ke
mudian tamu-tamu datang silih berganti. Tetangga kiri-kanan rumah juga rekan-rekan sejawat Ismed dari kantor. Sampai beberapa kerabat Harlas juga ikut memperkenalkan diri, mengucapkan selamat datang dan semoga betah. Dengan tulus juga mereka menawarkan bantuan bila Farida butuh sesuatu. Semuanya begitu ramah. akrab dan menyenangkan. Sehingga Farida merasa datang ke tengah keluarga sendiri, seolah-olah ia ada di kota kelahirannya sendiri.
"Bagaimana sekarang?" gumam lsmed setelah ia tinggal berdua dengan istrinya. "Masih menyesal karena aku dibuang ke kota kecil yang tak ada apaapanya ini?"
"Tidak lagi, Bang," jawab Farida jujur.
"Punya rencana?"
"Ada. Kukira akan kembali menekuni keahlianku di bidang jahit-menjahit. Temanmu Harlas seorang kepala sekolah, bukan" lstrinya bilang. setidaknya aku bisa mendapatkan order pembuatan pakaian seragam murid maupun karyawan. Tetapi lebih dulu aku harus membeli mesin jahit dan mesin obras. Yang bekas saja. Asal masih baik. Kemudian membuat beberapa pakaian contoh. Model terbaru, tetapi dengan harga terjangkau peminat kelas menengah ke bawah. Sekadar promosi, tentu..." urai Farida dengan antusias.
lsmed tersenyum. "Tampaknya kau sudah berkomplot dengan Euis," katanya.
"Ternyata ia teman yang menyenangkan, Bang."
"Ternyata?" "He-eh. Tadinya, ia hampir kulabrak."
"Sebabnya?" "Di jalan, aku melamun yang bukan-bukan tentang kau. Lalu ketika kami tiba" tahu apa yang terjadi" Bukan kau yang membuka pintu. Tetapi seorang perempuan muda, cantik pula. Sesaat kupikir, dia pasti seorang janda yang kau ajak menginap tetapi bangun kesiangan!"
"Ha ha ha. Kau mencurigai aku, ya?"
"Abang tak menyimpan janda sebelum aku datang, kan?" selidik Farida sambil memasang wajah mcrengut.
"Pertanyaan macam apa itu, Ida?" Ismed mendengus, sambil terus tertawa.
"Soalnya, Bang. Semenjak dari Bandung, aku mengalami hal-hal yang... ah. bukan apa-apa. Aku cuma mengkhawatirkanmu, Bang. Itu karena ibumu ngomong yang bukan-bukan."
"Ibu ngomong apa, Ida?"
"Katanya, jangan-jangan di bawah selimutmu kau menyimpan perempuan lain," cibir Farida.
"Astaga! Ibu bilang begitu?"
"Itu cuma guyon, Bang Ismed," ujar Farida menahan tawa. "Lagi pula, yang mengatakan itu ibumu, bukan ibuku. Itikad baiknya bisa dipercaya. Kecuali, kalau memang anaknya yang tidak bisa dipercaya."
"Kau tidak percaya padaku, Ida?"
"Percaya, Bang Ismed."
"Mau membuktikannya?"
"Boleh. Kapan?"
"Sekarang." "Di sini?" "Di kamar dong!"
Sambil tertawa cekikikan mereka menyelinap masuk ke kamar tidur. Lalu menuntaskan kerinduan setelah beberapa waktu sempat berjauhan. Kemesraan mereka berlangsung sekitar setengah jam, hingga akhirnya letih dan kantuk mendera. Yang lebih dulu terlelap adalah Ismed, matanya terpejam dengan bibir mengulas senyum puas penuh kebahagiaan....
Sedang Farida, meski lelah tetap tak bisa memicingkan matanya.
Peristiwa-peristiwa aneh hari itu masih terus mengganggu pikirannya. Ia ingin menceritakannya pada seseorang, khususnya Ismed. Tetapi ia takut jadi bahan tertawaan. Syukur kalau cuma disebut penakut. Bagaimana kalau ia lalu dituduh sakit jiwa" Orang yang terkena gangguan saraf" Ataukah memang saraf Farida mengalami gangguan di luar sadar" Tetapi mengapa" Ia merasa cukup sehat. Ia merasa waras. Tapi mengapa ia mendengar bisikan-bisikan tajam itu. lalu tamparan keras di pipinya. Apa apa dengan semua itu" Orang-orang terlalu sibuk hari ini, sehingga tidak memperhatikan keadaannya. Terpaksa ia me
nelan sendiri kenyataan aneh yang diam-diam terasa mulai terasa mengerikan itu.
Bahkan di depan rumahnya sendiri. Tak ada orang. Tak ada tanda-tanda. Tahu-tahu saja pipinya ditampar.
Malam ini pun, Farida seperti masih merasakan betapa keras dan pedasnya bekas tamparan itu. Tetapi setelah memeriksa di depan kau riasnya. tidak terlihat balur-balur di pipi kanan yang mestinya timbul akibat tamparan yang begitu keras. Hanya karena naluri saja, ia tidak sampai menjerit kesakitan. Lalu apa maksud bisikan-bisikan aneh itu" Pertama: Jangan pergi. Kedua: Pulanglah! Terakhir: Anak bodoh. Kau sudah kuperingatkan!
Farida mencoba menganalisa ketiga bisikan itu.
Tiba-tiba ia bergidik ngeri menyadari kaitan ketiga bisikan itu. Bahwa ia dilarang pergi ke Pandeglang. Bahwa di tengah jalan, ia disuruh pulang ke Bandung. atau ke mana saja. asal bukan terus ke Pandeglang, Ketiga, ia perempuan bodoh karena tidak mau dinasihati dan tetap meneruskan niatnya. Tapi, mengapa pula ia harus patuh" Ia pergi untuk mendampingi suami. Itu haknya!
Lalu siapa yang melarangnya"
Dan, mengapa" Apakah semua itu benar-benar cuma ilusi" Atau sungguh-sungguh suatu penanda" Apakah pertanda bahwa sesuatu akan teriadi di rumah ini" Sesuatu
akan terjadi atas dirinya. Atas suaminya. Sesuatu yang ia tidak tahu apa. Namun terasa begitu menggelitik, menggugah, menyiksa.
Farida menggigil di bawah selimut. Takut.
Rumah yang tadi terasa hangat, entah mengapa mendadak teramat sepi. Dingin dan diselubungi suasana misterius. la seakan melihat kabut melayang di langit-langit kamar. Mula-mula berwarna putih. Lalu berubah merah seperti darah. Kabut itu kian tebal, kian menurun dengan cepat, kian membentuk... dan tiba-tiba ia melihat wujud seorang perempuan yang semakin dekat ke mata Farida. semakin nyata.
Dengan napas terengah. gigil Farida mendadak beku.
Terperangah. Karena yang ia lihat adalah wujud dirinya sendiri. Seolah bercermin. Dan kini, wujud di hadapannya mendekat, kemudian membungkuk dan memperhatikannya. Semakin dekat, Farida semakin yakin. Benar. Wajah itu adalah wajahnya sendiri! Tidak salah lagi. Yang berbeda hanya sorot mata serta tarikan bibir. Sorot mata perempuan yang muncul dari balik kabut begitu kejam, penuh dendam. Senyumnya sinis mengandung kedengkian. Mungkinkah itu hanya gambaran sisi lain pribadinya"
Desisan suara dari sosok di hadapannya menyentak kesadaran Farida. "Siapa kau?"
Farida membuka mulut. Gemetar. Menyahut tergagap-gagap. "Kau sendiri" Si... siapa kau?"
"Aku yang bertanya!"
"Ja... jangan dekati aku."
Wajah itu menyeringai. Bisikannya lebih seram lagi.
"Aku akan tetap mendekatimu. Bahkan aku akan menelanmu. Kecuali kau jawab. Siapa engkau?"
Farida memejamkan matanya, tak berani menatap sosok di hadapannya.
"Audzubillah... Ya Allah. Aku..." Bibir Farida komat-kamit.
Dan seketika, wajah itu menjauh. Gumpalan kabut yang melingkupi sosok itu menyebar. Semakin menipis, hingga lenyap tak berbekas. Kemudian terasa sesuatu yang hangat merayapi pinggangnya, melingkari perut. Tubuh Farida mengejang, kaku. Tapi tak berani melihat apa yang terus merayap hingga ke dadanya lantas memeluknya. Farida meronta-ronta. lngin berteriak, tetapi lidahnya kelu. la hanya bisa meronta. meronta. dan terus meronta. Makin lama makin kuat, makin dahsyat. Farida hampir berhasil menepisnya agar menjauh. Tapi karena tekanan benda berat dan hangat itu ternyata cukup kuat, Farida berusaha menggigitnya.
Tiba-tida terdengar pekikan tertahan, "Aduh, sakit!"
Ismed bangkit, menarik lengannya menjauh.
"Kau apakan tanganku, he?" la memprotes sambil mengucek-ngucek mata. Sesaat kemudian, barulah ia
lihat wajah istrinya yang pucat di bawah jilatan lampu pojok yang samar-samar. Dada Farida naik turun, terengah-engah. Bola matanya bergerak-gerak ketakutan. Bibirnya terus kemak-kemik namun tak terdengar berkata apa.
"Ada apa, Ida?" Ismed menggugah tubuh istrinya. "Apakah kau sakit?" Tangannya menyeka kening Farida yang berpeluh, lalu merangkul tubuh istrinya.
Kali ini Farida tidak mengelak. la balas merangkul. lalu menangis tersedu-sedu. "Syukurlah, syukurlah..." Ia mengucap beberapa kali.
"Kau bermimpi. ya?" tanya Ismed.
Farida mengangguk di dadanya.
"Kubuatkan minuman. ya?"
Farida mengangguk lagi. Tetapi ketika Ismed mau beranjak dari tempat tidur, secepat kilat Farida kembali menghambur ke pelukan suaminya. "Jangan tinggalkan aku!" Ia berbisik ketakutan.
"Lho?" "Tidurlah lagi. Dekap aku!"
"Farida sayangku. Kau membuatku bingung. Apa yang terjadi?"
"Aku cuma mimpi. Cuma mimpi..."
"lantas. Mimpi apa kau, sampai lenganku kau kunyah?"
"Kukunyah?" Farida terkejut.
Ismed tersenvum. "Rasanya sih begitu."
"Sakit, Bang" Berdarah?" tanya Farida, merasa bersalah.
"Uh, bukan main sakitnya. Darah mengucur banyak sekali!"
"Mana. Coba kulihat." Farida mengambil lengan suaminya yang terkena gigitan. Memang ada bekas hunjaman gigi. Tetapi tidak mengucurkan darah, walau setetes. Farida menjatuhkan tangan Ismed. Dongkol setengah mati. "Brengsek!"
Ismed tertawa lembut. "Tadi aku terpekik karena kaget. Habis, lagi enak-enak tidur. Tetapi kalau dalam keadaan biasa, yakinlah, gigitanmu itu pasti enak. Kau geram, ya?"
"Geram apa?" "Ingin..." "Ingin apa?" "Ingin sekali lagi."
"Sekali lagi apa" Kok berbelit-belit, sih."
"Kau yang berbelit, Ida. Bilang saja deh terangtetangan. Bahwa kau ingin ku'gitu'kan sekali lagi." Sambil berkata begitu, Ismed mencubit pinggang istrinya.
"Ih. Genit!" Farida pura-pura cemberut menanggapi godaan suaminya. Tetapi ia biarkan juga tangan Ismed bermain-main, menyusuri lekuk tubuhnya. Dan perlahan mimpi buruk mengerikan itu menguap dari pikiran Farida. Bersama suaminya tidak ada lagi hal yang perlu ditakuti. Semua berubah menjadi indah.
penuh debaran yang mengasyikkan. Kali ini mereka bercinta lebih lama. Lebih lembut. Lebih syahdu. Farida benar-benar sangat menghayati semua sentuhan Ismed. Seolah permainan cinta itu baru pertama kali ia alami, dan tidak akan pernah terulang lagi.
Ketika mereka selesai. terdengar bunyi beduk disusul suara azan sayup-sayup sampai.
"Wah. Sudah subuh kiranya," ujar Farida seraya meloncat turun dari tempat tidur. "Aku ke dapur dulu. Masak air untuk mandi."
Saat hendak menuju dapur, Farida tertegun.
Untuk pertama kali sejak tiba di rumah mereka yang baru. Farida melihat lemari mungil di ruang tengah itu. Sesaat ia ternganga. jantungnya berdegup lebih cepat. Ukiran di daun pintu lemari menggambarkan perempuan yang duduk dengan seekor kambing di pangkuannya. menarik perhatian Farida. Meski gemetar, Farida tetap melangkah mendekat lalu ia menjulurkan kepalanya memperhatikan lemari itu dengan seksama.
Ia hampir saja terpekik. Wajah perempuan di daun pintu lemari itu adalah waiah yang ia lihat dalam mimpinya!
*** Dikantornya. hari itu suasana hati lsmed Effendi sedang bagus. Berkas-berkas laporan yang disodorkan bawahannya ia periksa tanpa banyak tanya ini-itu. Tamu-tamu ia layani dengan senyum yang selalu mengembang di wajahnya. Surat-surat ia tanda tangani dengan lancar.
Saat hendak keluar untuk pulang sebentar makan siang di rumah, ia lewat ruang utama dan mendengar bisik-bisik para pegawai di belakang punggungnya.
"Untunglah bos kita yang baru tidak galak seperti bos yang lama." Seseorang bergumam.
"Ah. Biasa," sambut yang lain. "Hari ini begitu. Besok. siapa tahu?"
"Aku percaya padanya. Malah aku berani taruhan..."
Sambil memacu mobil dinasnya menuju rumah.
Ismed nyeletuk sendiri, "Silakan kalian menduga apa saja. Silakan kalian bertaruh. Dan camkan, yang keluar sebagai pemenang adalah yang berprestasi!" serunya penuh semangat. Ia menggeleng-geleng, mengingat obrolan pegawainya. Sesaat kemudian. Ismed mendengus senang. "Coba kalau kalian tahu apa yang kupikirkan. Ya, betapa mudahnya menyenangkan seorang istri! Hanya dengan tipuan kecil."
Tadi pagi selagi sarapan, Farida mengomentari perabotan rumah mereka.
"Baru kali ini kulihat lemari itu, Bang. Sebuah lemari yang bagus!"
"Lemari yang mana?" sahut Ismed, pura-pura.
"Yang berada di ruang tengah. Pcmbuatnya tentulah seorang yang sangat ahli."
"Oh. betul itu." Cepat Ismed menjawab, sambil mengangguk-angguk. Bangga mendengar pujian istrinya. Sungguh, akan pingsan si Harlas mendengarnya nanti!
"Sebuah surprise." Farida mengerling.
"Tepat!" "Ukiran pintunya pasti sengaja dipesan..."
Ismed menelan makanannya. Tertegun sesaat. Lantas melihat ada kesempatan, ia jawab sekenanya saja.
"Memang." "Kau yang memesannya, Bang Ismed?"
"Ya. Ya, aku." Ismed menyeringai sambil mengunyah tempe goreng dengan rakusnya. Kunyahan itu tidak ia
nikmati. Yang ia nikmati, tipuannya yang menakjubkan!
"Kok pengukirnya tahu benar raut wajahku, ya?" tanya Ida tiba-tiba. "Padahal. bertemu pun kami bclum."
"Oh, itu. Itu... hm. aku memberi dia gambaran tentang dirimu." Tak urung Ismed gelagapan menjawab pertanyaan Farida. "Eh, maksudku, kuperlihatkan salah satu potret dirimu pada pengukir yang hebat itu!"
"Berapa lama ia mengerjakannya, Bang Ismed?"


Misteri Lemari Antik Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hm" Tiga hari. Ya. Tiga hari."
"Bukan main! Ia tentunya seorang pengukir jempolan." puji Farida penuh kekaguman.
"Jempolan tapi kampungan! Berselera rendah," cela ibu mertua Farida, tak senang.
"Kok Ibu bilang begitu?" rungut Ismed, cemas.
"Aku juga sudah melihat lemari itu, Nak. Pengukirnya memang ahli. Tetapi menurutku, ia menggambarkan istrimu mengikuti imajinasi berlebihan."
"Berlebihan bagaimana. Bu?"
"Ia merusak citra istrimu."
"Merusak bagaimana?" tanya Ismed, heran.
"Kelembutan yang dimiliki istrimu, sama sekali tak terlihat dalam ukiran kayu itu. Yang kulihat, justru kekejaman. Kalau mau terang-terangan-tetapi jangan tersinggung, ya. Ia menggambarkan istrimu sebagai seorang wanita yang kejam. Wanita jahat. Seperti
wanita menakutkan dalam dongeng tentang dunia sihir!"
Hampir jatuh gelas berisi teh yang akan diminum Ismed. Apakah Harlas telah bercerita sesuatu pada ibunya mengenai asal usul lemari itu" Hm" terlalu benar si Harlas. Awas nanti kalau nanti mereka bertemu!
"Tapi aku senang, Bu," ujar Farida, menenteramkan hati Ismed yang resah. "Aku senang dengan gambaran lain tentang diriku. Karena kupikir, gambaran seperti itu mungkin saja tampil pada seseorang. Dengan adanya ukiran diriku itu, mengingatkan aku agar selalu berusaha menekan emosi kalau tak ingin membuat lawan bicaraku ketakutan."
"Bukan saja menakutkan." comel ibu Ismed. tak puas. "Di pintu lemari itu, dibuatnya kau seolah-olah perempuan binal!"
"Masa iya?" Farida tersenyum. "Tambah nasinya, Bu?"
"Aku sudah kenyang." Ibu Ismed meneguk tehnya. lalu menarik napas sebentar. "Anak kambing itu," lanjutnya, "apa-apaan si pengukir menghadiahi haribaanmu seekor kambing" Berwarna hitam pula. Di zaman dulu, zaman nabi-nabi, binatang macam itu perlambang setan."
Ismed terbatuk. Farida coba menengahi. "Kalau Ibu kurang suka..."
"Bukan tak suka. Ida." sanggah ibu menua Farida.
"Cuma yah, kok rasanya kampungan dan... eh, kau sendiri menyukai ukiran di pintu lemari itu, bukan?"
Farida mangut-mangut. "Hadiah dari suami tentulah harus diterima sang istri dengan sukacita. Bu. Apalagi aku tahu, Bang Ismed bermaksud menyenangkan hatiku. Kuanggap lemari itu sebagai hadiah dan pernyataan cinta kasih darinya. Bukankah begitu. Bang?"
Ismed menggerakkan kedua lengan dengan telapak tangan terbuka, tanda menyerah. Tak lupa menambahkan dengan malu-malu, "Kau lebih tahu, sayangku."
Melihat anak dan menantunya saling berpandangan bahagia, ibunya Ismed tidak dapat berkata apa-apa lagi.
"Kalau kau menyukainya, Ida, aku pun suka jugalah," katanya sambil mengangkat bahu. Lalu sambil mendongak pada Ismed, ia melanjutkan. "Dan, tolonglah Ismed, perlihatkan juga potretku pada pembuat lemari itu. Tetapi aku punya permintaan khusus."
"Apa. Bu?" tanya Ismed sambil berpikir siapa pembuat lemari antik itu.Masih hidupkah orangnya. atau tinggal tulang belulang di bawah gundukan kuburan tua, di suatu tempat entah di mana"
"Kalau ia mengukir aku." kata ibunya tenang. "tolong di ribaanku jangan diletakkan seekor kambing. Aku minta yang lain saja."
"Apa. Bu?" "Seekor gajah!" Dan mereka tertawa berderai-derai.
Tiba di rumah. Ismed disambut pertanyaan dari ibunya. "Apakah istrimu menemui kau ke kantor?"
"Tidak. Bu. Mengapa?"
"Aku tak melihatnya dari tadi," sahut ibunya seraya menghidangkan makan siang untuk Ismed. "Mungkin juga ia pergi belanja ke pasar. Tetapi kok lama benar, ya?"
"Jam berapa ia pergi?"
"Tak bisa kupastikan. Setelah mencuci pakaian. lalu menyapu rumah. Eh. tahu-tahu tak kudengar lagi suaranya. Waktu aku selesai menyetrika. aku tidak melihat dia lagi. Heran. Kok dia meninggalkan rumah tanpa bilang-bilang. Apa dia biasa begitu?"
"Tidak, Bu." "Kau tahu ke mana ia kira-kira pergi?"
"Entahlah. Ida baru pertama kali ke kota ini. Barangkali, ia pergi ke rumah Harlas. Kudengar ia ada rencana usaha bersama dengan Euis. Ibu tahu apa rencana mereka?"
"Tidak." "Ida bermaksud buka konveksi."
"Bersyukurlah kau, anakku. Punya istri yang tidak hanya berpangku tangan. mengandalkan gaji suami."
"Gajiku sebenarnya lebih dari cukup, Bu. Tetapi yah" mana bisa kularang. Lagi pula. timbang ia me
lamun, kesepian. Mana di kota yang masih asing baginya. Jauh dari sanak famili pula. Entah, kalau lbu memutuskan untuk tinggal selamanya dengan kami."
"Aduh, Nak. Adik-adikmu di kampung masih perlu diurus. Belum lagi sawah peninggalan ayahmu. Memang ada yang mengerjakan dengan hasil bagi dua, tetapi kalau tak diawasi. kau tahu sendiri. Diserang hama tikuslah, werenglah, rebutan airlah. Pendeknya, segala macam alasan mereka agar kita kebagian sendikit dan yang mengerjakan untung besar lalu diam-diam membeli sawah sendiri."
"Biarkan saja, Bu. Kau tinggal saja dengan kami di sini. Si Mariam toh sudah kawin. Si Londuk juga sudah bekerja. Soal si bungsu, Maraiman, biar sekolah di Pandeglang ini saja."
"Kalau ia mau."
"Ibu yang tak mau!"
"Bukan aku tak betah dengan kalian, Nak. Tetapi aku ini sudah tua. Kalau kelak meninggal, aku ingin dikubur di tanah tempat aku dilahirkan. lagi pula, kakekmu sudah pikun. Tak ada yang sabar mengurusnya. Kalau tak ada aku, bagaimana nasibnya?"
Satu jam sudah Ismed di rumah.
Tetapi Farida belum pulang juga.
"Jangan-jangan Ida tersesat, Nak," ujar ibu Ismed, khawatir.
Ismed tertawa. "Dia bukan anak kecil lagi, Bu. Kota ini pun lebarnya cuma setelapak tangan. Tak
usah khawatir. Pasti ia di rumah Harlas. Euis memang teman ngobrol yang membuat orang lupa waktu."
Tetapi toh, ketika masuk kantor kembali, pikiran Ismed mulai tidak tenang. Apa-apaan Farida" Pergi tanpa pamit. Tidak ingat waktu. Kalau cuma mereka berdua sih tak apa. Tetapi ini. kan ada Ibu." Sungguh memalukan! Tetapi ya. barangkali Farida tak perlu terlalu disalahkan. Mungkin ia dan Euis sedang pergi melihat-lihat mesin jahit yang akan dibeli. Barang demikian memang susah dicari di Pandeglang ini. Mereka mungkin mencarinya ke Serang, siapa tahu juga malah ke Jakarta. Sayangnya, kok nggak bilangbilang!
Dan. di depan mata para pegawai yang tadi berbisik-bisik memuji dirinya, Ismed Effendi tampak sudah berubah.
Mendadak tampak angker! ISMED baru panik setelah waktu menunjukkan pukul delapan malam dan Farida belum kelihatan batang hidungnya. Paniknya bertambah mendengar ibunya terus-terusan menangis sambil ketakutan.
"Jangan-jangan istrimu mengalami kecelakaan. Atau... diculik orang!"
Kecelakaan. mungkin. Tetapi tidak kalau diculik. Orang yang berani melakukannya bakal babak belur lebih dulu, karena Farida jago karate. lsmed menyabarkan ibunya, kemudian keluar rumah. la malu bertanya pada tetangga sekitar rumah. Bisa-bisa jadi bahan gunjingan. Ia juga malu bertanya pada Harlas, karena ia yakin tentulah Harlas dan istrinya tidak akan sampai hati menahan Farida berlama-lama di rumah mereka. Farida tidak
mungkin pergi ke rumah Harlas, pikirnya. Tetapi bagaimanapun ia harus ke rumah sahabatnya itu. Di kota ini, hanya Harlas seorang yang dapat ia mintai tolong.
Euis kaget setelah diberitahu Farida menghilang. "Tidak. Sejak kemarin malam itu, aku belum bertemu dia lagi."
Harlas tak kalah kagetnya. "Yang benar saja! Berani istrimu berkeliaran seorang diri di tempat yang masih asing baginya?"
Mereka kemudian nekat ke rumah sakit terdekat, mencari informasi mana tahu ada korban peristiwa kecelakaan lalu lintas. Nihil. Lalu ke kantor polisi. tetap tak ada jejak Farida. Mau tidak mau Ismed meminta bantuan polisi untuk ikut mencari istrinya, tetapi agar dirahasiakan benar pada orang lain. Sangat memalukan, kepala seksi sebuah instansi pemerintah dilaporkan telah kehilangan istrinya.
Harlas kemudian mengajak Ismed pulang.
"Ibumu perlu didampingi. Kalau perlu, beri ia obat tidur," katanya menyarankan agar ibu Ismed bisa lebih tenang. Sambil menyetir mobil ke rumah sahabatnya. Harlas berpikir keras. Kemudian ia menepuk keningnya, menyesali otaknya yang terlambat memberikan informasi. "Oh ya, lsmed! Kemarin Euis sempat ceritacerita dengan istrimu. lda bilang, memang ia baru pertama kali ke daerah ini. Tetapi sebenarnya ia-tepatnya leluhurnya, bukan orang asing di sini."
"Maksudmu?" "lda bilang, kakeknya berasal dari Malimping. Dikuburkan di Malimping. Apa ia tak pernah cerita padamu?"
"Oh. Itu sih pernah. Tetapi aku tak tahu di mana Malimping itu."
"Malimping kita singgahi kalau pergi menuju Labuan. Memang hanya kota kecamatan. Tetapi luasnya bukan main. Wilayahnya sampai ke pinggir kabupaten Bogor. Sekarang, coba kita andaikan ia pergi menziarahi kuburan kakeknya atau menemui seorang sanak di sana. Di desa mana kiranya?"
"Mana aku tahu?" keluh lsmed sambil angkat bahu. Putus asa. "Tentang kakeknya yang di Malimping, sudah lama rasanya ia ceritakan padaku. Itu pun, cuma sambil lalu."
"Payah kalau begitu. Tetapi, nanti dulu. Seluasluasnya daerah sekitar sini. kita masih mungkin mencari alamat seseorang, asal kita tahu siapa orang yang kita cari."
"Siapa?" gumam Ismed. bodoh.
"Kakeknya itu."
"lda sendiri tak pernah tahu siapa nama kakeknya!"
"Ya. ampun!" Harlas ikut putus asa.
Tiba di rumah, Farida belum pulang juga. Ismed kewalahan mendengar ratap tangis ibunya. Harlas sendiri tidak banyak menolong. Harlas kemudian pamit.
berjanji akan minta bantuan beberapa orang kenalan dan kerabatnya untuk ikut mencari Farida.
"Kau di rumah saja. temani ibumu. Biar aku yang berkeliling," ujar Harlas membesarkan hati Ismed.
"Aku ikut, Harlas."
"Jangan. Kau terlalu letih. juga shock. Malah akan menambah pekerjaan kami nanti."
"Tetapi Farida..." tukas Ismed dengan nada waswas.
"Berdoalah bahwa ia akan baik-baik saja. Bayangkan misalnya ia iseng naik bus ke Rangkas, tetapi salah naik yang ke Jakarta. Doakan, istrimu sudah tiba di rumah sebelum matahari terbit esok pagi!"
Kemudian Harlas pergi. Tinggal Ismed termangu-mangu. Gelisah setengah mati. Ibunya terus-menerus mengeluh soal bencana. soal culik-menculik dan segala macam. Sampai Ismed jengkel dan berteriak membentak ibunya, "Diamlah, Bu! Ibu membuatku makin sakit kepala saja!"
Ibunya terkejut, lantas mundur teratur. Masuk ke kamar tidur. menangis menyesali nasib. Di usia setua ini, masih juga tega anaknya membentak sekasar itu. Ia hanya tidak tahu harus melakukan apa untuk membantu menemukan menantunya.
Ismed menyeka dahi, menyesali sikapnya barusan. Ia lalu melangkah Iungai ke kamar ibunya. Perempuan tua itu meringkuk, pucat dan bersimbah air mata.
"Maafkan aku, Bu," bisik Ismed tersendat.
"Aku mengerti, Nak."
"Ida..." "Ya. Ya. Aku pun kehilangan dia."
"Kalian berdua tidak bertengkar sebelumnya, Bu?" tanya Ismed hati-hati. Takut kembali menyinggung perasaan ibunya.
"Demi Tuhan. tidak, anakku. Lebih baik aku mati berdiri, ketimbang harus menyakiti hati menantuku itu."
Diam sejenak, Ismed bertanya lagi. "Apa sebenarnya yang terjadi pagi tadi. Bu?"
"Bukankah sudah kuceritakan?"
"Coba Ibu ulangi lagi," bujuk Ismed lembut. "Bagian demi bagian. Jangan lupakan hal-hal yang terkecil sekali pun. Misalnya, ibu mendegar ada sendok jatuh."
"Bukan sendok." sanggah ibunya.
"Apa, Bu" Bukan sendok?"
"Keramik. Salah satu keramik di lemari itu. Aku sedang buang air ketika kudengar suara benda seperti gelas jatuh. Tetapi keluar dari kamar mandi, aku mencium bau gosong. Rupanya aku lupa mencabut kabel setrikaan dari stop kontak. Aku malunya bukan main. Karena yang hangus justru celana istrimu. Dan... eh, apakah kau mendengar ceritaku, Nak?"
Ismed mengangguk-angguk. dengan jantung berdegup kencang. Sekujur tubuhnya mendadak terasa
dingin. "Ibu yakin, yang jatuh itu keramik dari lemari" Lemari yang mana?"
"Yang mana lagi" Itu, yang ukirannya kampungan!" dengus ibunya. Masih dengan nada kesal.
"Lupakan dulu soal kampungan!" Ismed tersedak. "Siapa yang menjatuhkannya?"
"Pasti istrimu."
"Bagaimana Ibu tahu?"
"Tentu saja aku tahu! Karena sebelumnya sempat kudengar istrimu berkata akan memindahkan keramik itu ke bufet hias di ruang depan. Katanya, lemari kecil itu lebih pantas diisi buku-buku koleksi kalian, juga barang-barang pecah belah yang tidak patut dipajang. Aku sendiri ikut membantu mengangkatkan sebagian barang dimaksud. Tetapi Ida menyarankan agar aku tak usah repot-repot, lalu kupikir lebih baik aku menyetrika saja. Dan ia pun kutinggalkan..."
"Setelahnya, Bu" Setelahnya?" desak Ismed hampir menjerit.
"Jangan terlalu keras suaramu, Nak. Telingaku pekak kau bikin. Hm. setelahnya... ya, aku ingin buang air. Waktu masih di kamar mandi itulah aku mendengar suara benda jatuh, pecah, dan..."
"Ibu memeriksanya?"
"Aku memeriksanya. Tetapi setelah lebih dulu menyembunyikan celana istrimu yang hangus itu. Aku lantas pura-pura menyetrika yang lain satu dua lembar sambil cemas kalau kelalaianku dipergoki istrimu.
Tetapi setelah lama tak kudengar suara, aku jadi heran. Kuintip ke ruang depan, dan..."
"Dan?" "Aku tak melihat Farida. Yang kulihat, tumpukan buku-buku di lantai. Juga seperangkat piring. gelas, dan..."
Ismed menelan ludah. Kerongkongannya kering kerontang. Serak, ia bertanya, "Apa yang lbu lihat di lemari?"
"Yang kulihat" Tentu saja keramik-keramik itu. Kecuali yang satu, pecahannya berserakan di lantai. Pintu lemari dalam keadaan terbuka. Farida kukira belum sempat memasukkan apa pun ke dalamnya. Entah apa yang membuatnya membatalkan niat, lantas kemudian meninggalkan rumah diam-diam."
lsmed bangkit dengan lutut goyah.
"Aku tahu ke mana ia pergi," bisiknya parau.
"Kau tahu, Nak?" Ibunya terheran-heran.
"Ya. Aku tahu. Ibu tidur saja. Aku akan menjemput menantumu. Tak akan lama."
Kemudian ia meninggalkan kamar ibunya.
lsmed berjalan tersuruk-suruk ke ruang tengah. Dengan dada berdebur-debur. jantung mengembang mengempis begitu kuat, begitu menyakitkan, begitu menyesakkan. Tersengal-sengal nyaris tidak sanggup lagi menarik napas, sampai juga ia di depan lemari antik yang sekonyong-konyong membuatnya ketakutan setengah mati. Sesaat ketika memandangi daun
pintu lemari, pengaruh gaib yang aneh langsung menyergapnya. Serupa dorongan untuk melampiaskan hasrat kelelakiannya.
Matanya dipejamkan agar tak melihat gambaran perempuan misterius yang terukir pada kayu pintu lamari. Lalu dengan tangan gemetar, ia meraba pegangan pintu, lalu menyentakkannya sampai terbuka lebar. Matanya pun ikut terpentang lebar. Dalam jilatan lampu ruangan, ia mendapati bagian dalam lemari telah diisi dengan buku-buku yang tertata rapi serta perabotan pecah belah. Mungkin ibunya yang telah menyusun dengan rapi.
"Tapi...," mulutnya ternganga tak mengerti. "apakah aku salah?"
Tidak. Dugaan Ismed tidak salah sedikitpun.
Perlahan, bentuk sebelah dalam lemari beserta segenap isinya mengabur. Sebagai gantinya. muncul bayangan kegelapan. Bayangan hitam pekat, seolah tanpa batas. Dari balik kegelapan itu, hidung Ismed mencium bau yang asing. Bukan bau apak ruang tertutup, bukan pula bau kayu atau bingkai papan lemari. Entah bau apa.
Tanpa sadar, Ismed mengangkat tangannya.
Digapaikan ke depan. Tangannya ternyata menembus kegelapan. Kulit tangannya merasakan udara dingin yang menusuk.
"Tua bangka terkutuk. Kembalikan istriku!" Ismed
menggeram, marah. Lalu melangkahkan kakinya ke depan. Selangkah. Dua langkah. Tiga langkah. Makin jauh ia melangkah, makin berubah kegelapan itu. Rasanya ia melihat seman cahaya. Kecil dan samarsamar. Ia juga mulai mencium bau udara alam terbuka.
"Ida?" Mulutnya memanggil dengan lidah yang kelu. "Ida" Di mana engkau, sayangku?"
Suara Ismed memanggil-manggil nama Farida terdengar oleh perempuan tua yang terbaring letih di kamar tidurnya. Meski diliputi rasa heran, ia diam mendengarkan. Tapi suara anaknya kian menjauh, sayup-sayup, lalu hilang. Perempuan itu turun dari tempat tidur lalu tertatih-tatih keluar dari kamar.
"Ismed?" Kini ia yang memanggil-manggil. "Ismed" Apakah kau masih di dalam rumah?"
Perempuan itu beringsut ke arah lemari di ruang tengah.
Ia melihat pintu lemari ukiran itu dalam keadaan terbuka. Buku-buku koleksi anak dan menantunya serta barang pecah belah tersusun di bagian dalam lemari. Ia telah merapikannya tadi pagi, setelah Farida meninggalkannya begitu saja.
Pintu lemari yang terbuka ia tutupkan dengan empasan keras. Kasar sekali. lalu dikuncinya sekalian.
ke mana itu anak: lsmed ! lsmed! la memanggil-manggil lagi, sambil matanya mencari-cari. Ia tidak melihat anaknya. Ia kini sendirian. Di rumah yang teramat asing bagi nya.
*** LORONG hitam itu berakhir di tempat yang seketika membuat lsmed Effendi terperanjat.
"Bermimpikah aku?" gumamnya kelu, seraya mencubit paha keras-keras. Pahanya terasa sakit. Ia tak bermimpi. Tetapi bagaimana mungkin. Ia tahu betul. beberapa saat sebelumnya ia masih berada di rumah. Membuka pintu lemari di ruang tengah lalu masuk, mencari-cari istrinya. Kini tahu-tahu ia sudah muncul di tempat yang sangat asing.
Cahaya samar-samar yang tadi ia lihat, kini terpampang nyata. Ternyata cahaya itu adalah bias sinar matahari yang menembus celah rimbunan pohonpohon yang menjulang di sekitarnya. Sinar matahari" Padahal belum jauh ia berjalan, serta yakin bahwa saat membuka pintu lemari, waktu menunjukkan tengah malam. Lebih menakjubkan lagi, beberapa detik
sebelumnya ia berada di rumah, tahu-tahu kini sudah terjebak di tengah rimba belantara!
Panik melanda diri lsmed.
la melangkah mundur, terus mundur. Kemudian memutar tubuhnya, berlari ke arah semula ia datang. Tetapi ia tidak melihat pintu tempat ia masuk. la hanya melihat kegelapan hutan di sekelilingnya dengan bias-bias mentari di sana sini. Ia tidak melihat dinding tembok rumah. Yang ia lihat adalah dinding hutan berupa tumbuh-tumbuhan raksasa yang tumbuh rapat, pepohonan yang luar biasa besar dan dahsyat, luar biasa tinggi seakan ingin mencakar langit di atasnya.
"Mana pintu itu! Mana pintu itu! Mana...!" lsmed berteriak-teriak histeris. Sambil berteriak ia berlari ke sana sini. Tersaruk-saruk. Kakinya yang telanjang menginjak duri dan ranting-ranting patah, membentur akar-akar yang menyembul dari dalam tanah. lsmed jatuh tunggang-langgang, tetapi segera bangkit lagi seraya menjerit-jerit. "Tidak! Aku tak mau di sini! Aku harus pulang! Aku harus menemukan pintu lemari itu! Aku?"
Terdengar suara menggeram di dekatnya.
lsmed tertegun. Diam. Suara menggeram itu kian dekat. Endusan napas yang berat disusul suara menggeram lagi. Lalu sepi sejenak. Sekonyong-konyong, benda hitam besar melonCat dari balik semak belukar. Terbang ke arahnya.
Satu dua detik Ismed hanya terpana. Awalnya ia hanya melihat dua bintik hijau kemerahan di bagian depan benda hitam tersebut. Detik kemudian baru ia melihat taring-taring putih. Berkilau tajam. Ismed kini sadar, makhluk apa yang menerjangnya.
Ismed mencoba mengelak. Tetapi ia terlambat beberapa detik.
Dengan pekikan yang menyayat hati, Ismed terempas dengan benda hitam besar dan berat itu berada di atas tubuhnya. Terdengar suara menggeram, suara mengaum. Kedua tangan Ismed meronta-ronta, mendorong-dorong tak terkendali saat telapak tangannya menyentuh benda kenyal, hangat, dan berbulu. Sekuat tenaga ia mendorong tubuh makhluk itu. Ia jauhkan wajahnya dari pancaran mata hijau kemerahan itu, juga dari terkaman taring-taring yang mengancam buas.
Ismed bertarung seperti orang gila, mempertahankan nyawanya yang diancam maut. Kakinya menendang-nendang lalu dijejakkan sekuat-kuatnya ke tanah. lutut dilipat, kemudian tubuhnya menggeliat untuk membebaskan diri dari impitan makhluk angkara murka itu. Tetapi cakaran demi cakaran kuku mulai merobek bajunya, kulit dada serta perutnya. Ia mulai merasakan pedih dan hangat darah yang merembes dari balik bajunya. Tenaganya semakin berkurang. Perlawanannya pun semakin mengendur. semakin lemah.
Tangannya meluncur terkulai.
Lehernya kini terbuka tanpa perlindungan, siap direngkah maut. Mata Ismed terpejam. Pasrah.
Tetapi maut itu tak pernah datang.
Justru menjauh. Ismed merasakan endusan napas hangat menerpa lehernya. Tubuh hitam besar yang mengimpitnya, terangkat pelan. Endusan napas makin menjauh, begitu pula suara dengus menggeram. makin merendah. Secara naluriah Ismed membuka kelopak matanya. Takut-takut. Ia sadar sudah makhluk apa yang dihadapinya. Dan ia juga tahu, makhluk itu akan menghentikan serangannya kalau ia diam tak bergerak, pura-pura mati.
Ismed menaikkan lehernya. Sedikit saja. Dan hatihati.
Barangkali ia masih punya kesempatan untuk lolos dari bahaya. Paling tidak, untuk melakukan perjuangan terakhir sebelum benar-benar menyerahkan nyawanya yang cuma selembar ke tangan-tangan malaikat maut. Yang ia lihat justru keanehan. Raja hutan berbulu hitam berkilauan itu bergerak mundur menjauhinya. Lebih aneh lagi. raja hutan yang luar biasa besarnya itu bergerak dengan keempat kaki merayap di atas tanah. Sepasang matanya yang tadinya galak, meredup tak berdaya. Seringai mulut yang tadinya buas, juga mengendur. Kepalanya yang mengerikan, merunduk dalam penyerahan yang patuh. Terdengar suara menggumam. Pelan. Lirih.
lalu makhluk penguasa hutan itu bangkit di atas keempat kakinya yang kekar kukuh, bergerak memutar, lantas dengan suatu lompatan yang tangkas makhluk itu menghilang di balik pepohonan. Tak lama kemudian terdengar suara aumannya, sayupsayup sampai. Auman lirih, seakan mengadukan nasib malangnya pada matahari.
Ismed berusaha bangkit. Dengan susah payah akhirnya ia mampu juga untuk duduk. Meski dengan sekujur tubuhnya terasa remuk, persendian terasa mau rontok dan kaki hampir lumpuh. Di belakangnya. terdengar lagi suara menggumam pelan. Suara yang asing dengan logat yang juga asing bagi telinganya. Gemetar. lsmed berpaling. Kemudian beringsut menggerakkan tubuh agar bisa menghadap ke arah dewa penyelamat itu.
Tadinya ia menyangka akan melihat seorang pemburu dengan senapan berlaras dua di tangan. Paling tidak. ia berharap akan melihat seorang tua bangka dengan rantai belenggu terjuntai-juntai dari pergelangan tangan serta kakinya, si tua bangka yang ia cari-cari. Tetapi orang yang berdiri di depannya, bukan orang yang ia bayangkan. Orang itu tidak berseniata. Tidak Dula memakai belenggu besi. Orang itu
tegak dengan kukuh, membelakangi matahari. Menimbulkan bias-bias gaib di sekeliling kepala dan tubuhnya. Tangannya bersedekap di dada. Seluruh tubuhnya sampai ke batas leher, berwarna putih.
Dengan cemas Ismed menatap lebih ke bawah.
Balutan warna putih itu ternyata kain penutup tubuh. Bagian bawah kain itu berakhir pada betis, hingga lsmed bisa melihat sepasang kaki telanjang, kurus tetapi tegak dan kokoh. Dan yang jelas. telapak kaki telanjang itu tidak mengambang di atas permukaan tanah. Telapak kaki itu menjejak nyata di rerumputan. lsmed menarik napas lega, si pemilik kaki bukanlah makhluk halus.
Karena orang itu berdiri membelakangi matahari, Ismed tidak dapat melihat wajahnya. Hanya samarsamar ia menangkap sinar mata yang tajam menusuk. Lalu gerak bibir mengucapkan kalimat tertentu yang tidak dimengerti oleh lsmed. Sadar kalau lawan bicaranya tidak memahami bahasanya, orang itu menggantinya dengan bahasa yang mungkin dapat dimengerti lsmed. Bahasa Sunda dengan logat serta tekanan kata khas orang Banten.
"Kau bisa berdiri, anak muda?"
Suara seorang lelaki tua yang ramah dan berwibawa.
lsmed membuka mulut, tergagap.
"Kukira... a-aku bisa."
"Bangkitlah." Ismed mencoba bangkit. Tetapi ia segera terjatuh lagi. Sesosok tangan kurus dengan kulit hitam menyembul dari balik putihnya kain. Ismed merasakan jemari hangat serta kokoh mencengkeram lengannya dan membantunya berdiri.
"Kau terluka." ujar orang tua berjubah putih itu.
"Ya," Ismed mengerang. Tiba-tiba merasa sakit luar biasa setelah diingatkan mengenai luka-lukanya.
"Kau berbaringlah kembali."
"Tetapi. . . " "Berbaringlah. Agar perdarahanmu berhenti."
Orang itu kemudian berpaling ke arah lain, mengedarkan pandangan mencari-cari sesuatu. Lalu beranjak memetik beberapa helai dedaunan menyerupai daun nenas. Kembali ke tempat Ismed terbaring, dedaunan itu dipatah-patahkan. Bagian luar tampaknya keras. tetapi bagian dalam daun teramat lunak. Cairan getah putih kekuningan segera mengalir dengan deras. lantas dioleskan ke leher Ismed.
"Mujur, pembuluh darahmu tidak putus," gumamnya lega.
Jemari yang kurus hitam itu kemudian dengan terampil merobek-robek baju serta celana Ismed yang memang sudah tidak karuan wujudnya. Kembali cairan dingin dari getah dedaunan itu dioleskan ke perut, dada. serta paha Ismed yang terluka oleh cakaran kuku-kuku runcing si raja hutan.
"Getah ini untuk menawar racun," kata orang
berjubah putih itu. "Mujur luka-Iukamu tidak begitu parah. Kulit tubuhmu yang terbuka dapat kurapatkan kembali."
Setelah luka-luka Ismed diolesi sampai rata dan tidak ada yang terlewat, orang tua itu menunggu sebentar. Kemudian. setelah telapak tangan serta jemarinya diusapkan sedemikian rupa, terlihatlah keajaiban. Luka-luka menganga di tubuh Ismed mulai merapat dengan sendirinya. Tinggal gurat samar-samar serupa cakar ayam yang semrawut.
Si tua berjubah melangkah mundur.
"Gerakkan tubuhmu sedikit. Agar bagian-bagian yang terluka. terkena sinar matahari," perintahnya.
Ismed menurut dengan segenap kepercayaan diri. Keajaiban berikutnya pun terjadi. Gurat-gurat merah tadi perlahan-lahan sirna. Kulit tubuhnya pulih seperti sediakala. Seakan tidak pernah mengalami luka.
"Sekarang... duduklah. Perlahan saja."
Saking takjub dan senang hatinya. Ismed bangkit. Duduk serempak. Seketika, ia melolong kesakitan lantas terhempas. Tubuhnya menggeliat menahankan azab. Bagian-bagian yang tadinya terluka, seolah dibakar dengan sundutan puntung rokok menyala.
"Aku sudah bilang. Perlahan-lahan saja," bisik orang tua di dekatnya dengan nada mencela. "Diam dulu sebentar. Ambil napas. Yang tenang. Biar aliran darahmu bekerja dengan baik. Bagus... Tarik lagi na
pasmu... lebih panjang. Nah, sekarang cobalah sekali lagi. Ingat, duduklah perlahan-lahan!"
Siksaan perih itu masih terasa ketika lsmed mencoba bangkit. Tetapi tidak sesakit tadi. Akhirnya Ismed berhasil duduk dengan napas terengah-engah.
"Tenangkanlah dirimu. Ambil napas yang dalam. Teruslah begitu selama beberapa saat?"
Lima menit lamanya Ismed duduk bersimpuh, mengatur pernapasannya seperti yang diperintahkan. Lima menit pula sang penolong berjubah putih menungguinya dengan sabar. Menit berikutnya ia disuruh berdiri. Orang tua itu membantunya dengan hati-hati.
"Sekarang, cobalah berjalan."
Ismed mematuhi. "Masih terasa sakit?"
"Ya." "Tadi aku hanya menyembuhkan bagian luar. Luka dalam di tubuhmu akan disembuhkan oleh getah yang kini pasti telah menyatu dengan daging serta darahmu. Kemudian kau harus meminum obat. Nanti akan kuberikan. Bisa mengikuti aku sekarang?"
Mereka berdua kemudian berjalan menerobos hutan. Perjalanan itu teramat lambat karena mereka beberapa kali harus berhenti. Menunggu sampai siksaan perih yang mendera tubuh Ismed mereda kembali. Orang tua yang ternyata memiliki wajah yang sama ramah dengan tutur katanya, menunggu dan mem
perhatikan dengan sabar seraya memberi beberapa petunjuk untuk mengurangi rasa sakit.
Di tengah perjalanan, Ismed hampir menjerit dan lari ketakutan, manakala dari cabang rendah sebatang pohon, menjulur ular dengan sisik berbintik-bintik. Dari kepala yang lancip terlihat lidah bercabang keluar masuk di ujung moncongnya. Orang tua yang berjalan di depan Ismed berhenti sejenak. Ditatapnya ular besar yang sebagian tubuhnya melingkar di cabang pohon rendah itu. Mata ular yang galak itu bersinar tajam, sambil berdesis-desis, lalu meliuk dengan gerakan liar. Dan detik berikutnya, bagian tubuh yang tadinya terjuntai ke bawah. kini sudah kembali melingkar lalu merayap naik ke cabang yang lebih tinggi.
"Dia tak akan mengganggu lagi," ujar si orang tua seraya mengajak Ismed meneruskan perjalanan.
Sambil mengawasi jalan setapak di depan mereka, Ismed bergumam heran, "Apakah tadi Bapak berbicara dengan ular itu?"
"Benar." "Tetapi tak kudengar sepatah kata pun Bapak ucapkan."
"Kami berbicara melalui hati nurani."
"Oh. lalu apa yang Bapak katakan?"
"Bahwa kau tamuku."
"Oh." "Tetapi hanya sebatas senja."
"Apa?" "Kau dalam perlindunganku sampai batas senja. Begitu malam terjatuh, maka kau harus melindungi dirimu sendiri."
"Maksud Bapak?"" Ismed tercekat.
"Sebelum malam tiba. kau harus sudah pergi." jawab si orang tua dengan suara tenang. "Karena itu. marilah kita bergegas."
Mereka mempercepat langkah. Perasaan cemas dan takut mendorong semangat Ismed dan mengabaikan sakit di dalam tubuhnya. Setelah agak lama mereka saling berdiam diri. Ismed tak dapat menahan hati.
"Bapak siapa?" Ismed bertanya pelan.
"Pu-un." "Siapa?" "Pu-un. Kepala suku."
"Maksud Bapak, kepala kampung?"
"Kepala suku." Mereka memasuki tempat terbuka. Tempat yang lebih banyak tersiram matahari.
Ismed tercengang melihat begitu jarangnya rumah atau tepatnya gubuk di tempat terbuka itu. Lebih tercengang lagi setelah menyadari. tidak satu pun gubuk itu dibangun di permukaan tanah. Semua dibangun di atas pohon-pohon besar. Terbuat dari potonganpotongan kayu, bilah-bilah bambu dan beratap dedaunan enau kering serta ijuk. Sekeliling gubuk berpagar, seolah tergantung di awang-awang. Sepintas
saja Ismed memahami kegunaan pagar yang sangat rapat itu. Karena di depan salah satu gubuk di atas kepalanya Ismed melihat sesosok tubuh kecil, merangkak-rangkak tak terawasi. Pastilah bayi itu belum berusia setengah tahun. Sekelompok anak-anak yang lebih besar bermain-main di gubuk lain atau berlariIarian di antara rerumputan. Ada pula yang memanjati akar-akar pepohonan yang bergelantungan.
Semua kegiatan di tempat terbuka itu mendadak terhenti.
Perhatian semua penghuni tertuju pada Ismed. Tetapi dengan satu gerakan tangan sang kepala suku, kegiatan mereka diteruskan lagi. Kehadiran Ismed sepertinya tidak lagi menarik minat mereka. Ismed kemudian diajak naik ke gubuk yang paling besar dan paling bagus. Orang tua itu tetap sabar membantu Ismed. Tampak sekali tamunya tidak terbiasa naik melalui tangga-tangga bambu yang posisinya tegak lurus, mana terayun-ayun liar pula kala dinaiki. Bukan itu saja. ujung bawah tangga itu bergantung hampir satu meter di atas permukaan tanah.
Beberapa sosok tubuh berpakaian hitam-hitam yang sesaat sebelumnya beraktivitas di teras gubuk di atas pohon, menghilang dengan cepat setelah Ismed menjejakkan kaki di lantai gubuk. Ia dipersilakan masuk ke ruang dalam yang ternyata cukup luas. Tak ada perabotan untuk menyimpan barang-barang. Segala sesuatu ditumpuk di lantai kayu. ada yang
diselipkan ke dinding bambu atau dijemur pada seutas tambang memanjang yang terbuat dari pintalan ijuk. Sia-sia mata lsmed mencari barang pecah belah apalagi barang elektronik, semisal radio berkekuatan baterai. Diam-diam lsmed lantas menyadari bahwa ia telah memasuki dunia primitif. suatu peradaban yang benar-benar sangat primitif.
lsmed tidak sedikit pun mendengar sang kepala suku memerintahkan sesuatu. Tetapi beberapa orang perempuan telah sibuk keluar masuk. Dalam sekejap mata, di depan tempat lsmed duduk bersila telah terhidang nasi serta lauk pauknya. Nasi putih itu memancarkan aroma harum semerbak yang menggoda selera. Masih mengepulkan uap, agaknya baru dikeluarkan dari periuk. Lauknya terdiri dari daging yang ternyata sangat lunak. Mungkin daging menjangan atau kelinci. Kemudian ikan bakar, petai rebus, sambal dengan bermacam-macam lalap. Dari kendi tanah dituangkan air dingin sejuk ke cangkir yang terbuat dari tempurung kelapa.
Kepala suku mempersilakan tamunya makan, menasihatkan agar tidak usah malu-malu, kemudian menunggui dengan sabar. lsmed yang kehabisan tenaga dihadang maut, makan dengan lahap. Begitu rakusnya, sampai lsmed malu sendiri saat sang tuan rumah menatapnya dengan senyum penuh pengertian.
Usai makan, kepadanya disodorkan tempurung
berisi cairan hangat berwarna kenijauan yang beraroma aneh.
"Apa ini?" tanya lsmed, ragu-ragu.
"Teh." "Hanya teh?" lsmed masih ragu.
"Dengan ramuan obat. tentu."
Teh hangat itu kesat di lidah, tetapi enak di langitlangit mulut, hangat di kerongkongan. dan menyergap lebih hangat lagi ketika memasuki lambung lsmed. Tanpa malu-malu ia minta secangkir lagi yang dengan senang hati dikabulkan tuan rumah.
"Bagus," ujar kepala suku. gembira. "Paling lambat, dalam dua hari luka dalammu akan sembuh."
Tetapi matahari telah merosot semakin rendah di balik jendela gubuk.
Sikap orang tua itu mendadak berubah dingin dan kaku. Dari sela-sela bibir tuanya terlontar gumam tajam tanpa kompromi.
"Sudah waktunva engkau pergi. anak muda!"
*** LENYAP sudah keramahan tuan rumah. Seketika. lenyap pula kenikmatan hidangan yang telah mendekam di perutnya. Ismed Effendi menatap tuan rumah, orang tua yang menolongnya dari hadangan maut. "Ke mana aku harus pergi?" gumamnya getir,
mengharap belas kasihan. "Aku tak tahu. Dan tak perlu tahu." tandas orang tua itu dengan tegas.
Ismed jengah. Campur bingung. "Bapak dapat memberi saran?"
"Pergilah ke arah semula engkau datang, anak muda!"
"Arah mana itu?"
"Sejalan dengan tenggelamnya matahari."


Misteri Lemari Antik Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jauhkah itu?" "Tergantung secepat apa kau mampu menerobos hutan belantara yang harus kau jauhi."
Ismed pucat pasi. Terbayang liukan ular dengan lidahnya yang bercabang mengerikan. Terngiang auman macan kumbang dengan taring-taringnya yang mengancam buas. Itu baru satu ekor, dari masingmasing jenis. Berapa jenis lagi binatang-binatang buas yang harus ia hadapi" Berapa ratus ekor pula makhluk-makhluk yang siap berebut memangsa dirinya"
"Aku... a-ku tak berani pergi," rintihnya. "Entah, kalau besok pagi." Ismed mencoba menawar.
"Kau harus pergi, anak muda. Sekarang juga."
"Tak bolehkah aku memohon untuk diberi tempat bernaung barang satu malam saja?"
"Tidak pernah, anak muda. Tidak pernah kami perkenankan pada orang luar atau pendatang dari luar suku kami. Sudahlah. Jangan banyak cakap lagi. Waktumu semakin sempit."
"Aku... aku tak tahu jalan pulang."
"Tak usah khawatir. Seseorang akan mendampingimu. Ia juga pendatang. Dan ia akan menyertaimu pergi. Setelah kau ada di tangannya. tergantung dia ke mana akan membawamu. Maafkan kami, anak muda. Kami ingin membantu. Tetapi kau pun tahu, bantuan setiap manusia pada manusia lainnya ada batasnya, ada batas kemampuannya. Kunasihatkan, setelah kau berhasil keluar dari hutan ini-itu sangat kuharapkan
sekali, buanglah pikiran untuk kembali kemari. Dan tolong, jangan ceritakan pada siapa-siapa tentang kami. Jadi, begitu kau keluar dari lingkungan kami, lupakanlah semua yang terjadi hari ini."
"Aku... belum mengucapkan terima kasih."
Orang tua itu bangkit dari duduknya.
"Kau sudah mengucapkannya. Silakan..." katanya sambil mengulurkan tangan terbuka dan diarahkan ke pintu. Cara mengusir yang halus dan sopan.
Entah kapan dan pada siapa sang kepala suku memberi perintah. Yang jelas, begitu Ismed kembali menjejakkan kaki di permukaan tanah, seseorang telah menunggunya. Tangan orang itu tampak menjinjing sebuah bungkusan besar. Nasibnya sama dengan Ismed. harus segera angkat kaki dan tidak diperbolehkan menginap. Yang mengejutkan Ismed, orang yang akan menemaninya itu ternyata perempuan berusia sekitar 30-an. Berkulit cokelat sawo matang tetapi bersih dan halus. Parasnya tidak begitu cantik. namun manis. Semula. si perempuan ternganga takjub melihat siapa orang yang harus didampinginya meninggalkan hutan terpencil itu. Baru setelah melihat wajah Ismed yang kaku, perempuan itu mencoba tersenyum. Senyum ramah dan bersahabat. Senyuman yang langsung menarik hati.
"Siap untuk berangkat, anak muda?" tanya pcrempuan itu lembut.
Ismed memandangi wajah pendampingnya sejenak.
Kemudian ia tengadah, mengawasi gubuk di atasnya. Tak tampak kehadiran sang kepala suku maupun keluarganya. Dari gubuk-gubuk lain di sekitarnya juga tidak ada wajah-wajah yang menyembul dari balik pintu atau dari balik jendela, sebagaimana kebiasaan tuan rumah melepas kepulangan tamunya.
"Ke mana mereka semua?" bisik lsmed, heran.
"Di dalam rumah. Mengurus diri masing-masing. Kita pun demikian, harus mengurus diri sendiri. Dan waktu kita tak sampai dua jam."
Mereka mulai melangkah. Ismed mengiringi perempuan itu berjalan masuk ke dalam hutan, menempuh jalan setapak yang kelihatannya sudah sering dilalui manusia. Meski di sepanjang jalan tumbuh semak belukar serta pepohonan yang rapat, namun agaknya si perintis jalan selalu berusaha mencari tempat yang lebih terbuka dan masih dapat dijangkau sinar matahari. Namun semakin jauh memasuki hutan, suasana semakin temaram.
"Kau bawa senjata, kan?" tanya Ismed penuh harap.
"Senjata?" "Ya. Pisau. Atau parang."
"Buat apa?" "Siapa tahu, kita harus menghadapi serangan binatang buas."
"Memang akan." "Apa!" lsmed memekik. Matanya langsung liar mengawasi setiap pohon, mengawasi semak belukar.
Perempuan itu tertawa lunak.
"Kita akan berhadapan dengan makhluk-makhluk pemangsa manusia, apabila masih di hutan ini setelah matahari terbenam. ltulah perjanjiannya."
"Perjanjian?" "Ya. Maka, marilah kita bergegas."
"Perjanjian antara siapa?"
"Antara manusia dengan sesama penghuni hutan."
"Tetapi... toh. aku tadi sempat diterkam macan!"
"Sudah kudengar itu dari mulut utusan kepala suku. Dan aku percaya, ia telah menyembuhkan lukalukamu. Apa kau sudah merasa baikan, sekarang?"
"Lumayan. Pertanyaanku tadi belum kau jawab." tagih lsmed.
"Perihal kau diterkam binatang buas di siang bolong?"
"Ya." "Binatang itu tahu kau orang asing."
"Ah..." "Apakah kau perhatikan, kepala suku serta keluarganya berubah kaku dan tak mau tahu sebelum kalian berpisah" Dan kau lihat" Warga lainnya juga menghilang. sama sekali tak peduli."
"Ya. Aku heran."
"Tak usah heran."
"Mengapa mereka berlaku seperti itu?"
"Kebiasaan turun-temurun. Bantu orang lain yang memerlukanmu. Tetapi lepaskan mereka pergi setelah bantuanmu tidak lagi diperlukan..." ujar si perempuan, seolah tengah menghafal isi sebuah buku. "Kemudian. lupakan orang itu. Terlebih kalau ia orang asing. Kalau kau terus mengingatnya dan suatu ketika kau dengar orang yang kau bantu itu meninggal atau hilang karena kau lepaskan, rohmu akan selalu tersiksa. ltulah hukumannya!"
Ismed berusaha mencerna hukum yang aneh itu.
"Mereka harusnya membantu kita," tukas Ismed tak puas. "Paling tidak. untuk mengantar sampai kita benar-benar selamat keluar dari hutan ini."
"Kita akan selamat. Sekali lagi. kalau kita keluar hutan sebelum matahari terbenam. Tepatnya, sebelum malam jatuh."
"Kau percaya kita pasti selamat?"
"Aku percaya. Bahkan yakin seyakin-yakinnya. Karena semua penghuni hutan telah dikabari-dengan cara masing-masing yang kalian orang asing tak akan mengerti, bahwa sampai matahari terbenam. kita masih tetap dianggap sebagai tamu penghuni hutan dari jenis manusia. Jenis yang paling mulia. Paling dihormati. Tak boleh dibantah!"
"Luar biasa!" Ismed menggeleng takjub. "Tetapi, bagaimana kau sampai begitu yakin?"
"Karena aku pernah tinggal di tempat yang barusan kita tinggalkan." Perempuan itu berjalan lebih hati
hati karena jalan setapak mulai menurun dan curam. Dari sela-sela pepohonan tampak sungai mengalir jauh di bawah bukit. Juga sawah-sawah yang menghampar luas, kebun palawija, lalu kelompok-kelompok pepohonan yang di sela-selanya terlihat samar sebuah perkampungan.
"Setelah lewat sungai itu, tak ada yang perlu kita khawatirkan lagi," lanjut si perempuan, seraya mempercepat langkahnya.
lsmed membantu si perempuan waktu menuruni jalan yang semakin curam dan licin oleh hawa hutan yang lembab. "Boleh kubawakan bungkusanmu?" ujarnya malu. ia baru menyadari kalau sepanjang perjalanan hanya lenggang kangkung tanpa beban.
"Dengan senang hati." sambut si perempuan.
Bungkusan itu berpindah tangan. Ternyata ringan, meski bungkusannya tampak menggembung.
"Apa sih isinya?" tanya Ismed, ingin tahu.
"Tembakau juga kopi. Buatan mereka lebih enak ketimbang buatan penduduk kampung kami."
"Dapat beli. ya?"
"Benar. Tetapi jual beli tidak pakai uang. Kami tukar dengan barang. Aku membawakan mereka garam. ikan asin. atau gula merah. Gula merah banyak di kampungku, tetapi garam dan ikan asin harus beli dari Wan Ahmad."
"Wah Ahmad" Siapa dia?"
"Pedagang keliling dari kota. Ia keturunan Arab.
Sambil berdagang, ia juga mengajarkan agama pada penduduk kampung yang disinggahinya. Ia menjual barang dagangannya dengan harga yang cukup murah. Nantinya tembakau serta kopi dalam bungkusan di tanganmu akan kujual dengan harga yang sebanding padanya. Tetapi Wan Ahmad baik hati. Ia selalu membeli barang jualanku dengan harga lebih tinggi dari orang lain. Karena mutu daganganku juga lebih tinggi serta laku keras di kota."
"Apakah" hei! Diam di tempatmu!" Ismed mencekal lengan si perempuan dan maju lebih dulu ke depan. Seekor babi hutan yang sangat besar. dengan moncong bertaring mengerikan tahu-tahu keluar dari balik pohon dan tegak menghadang mereka. Kaki depannya mengais-ngais tanah dengan ganas, moncongnya mendengus keras. Belum lagi matanya yang kecil, tetapi bersinar merah menakutkan....
Ismed merasakan sekujur tubuhnya tegang.
Yakin, makhluk menyeramkan itu bukan tandingannya, Ismed sempat berpeluh dingin.
Tetapi setelah mengawasi dua sosok manusia yang ada di depannya selama beberapa helaan napas, babi hutan itu segera menyelinap lagi ke dalam rimbunan semak. Lalu tak terdengar lagi suara kakinya berlari menerobos semak. Makhluk itu bergeming, diam di tempatnya mengawasi dari balik belukar.
"Ayo," si perempuan menyeret tangan Ismed. "kita berlari sekarang!"
"Celeng itu pasti mengejar."
"Tidak akan. Percayalah."
Lalu mereka berlari. Jatuh bangun hingga wajah dan pakaian mereka tidak keruan. Akhirnya mereka tiba di pinggir sungai yang airnya mengalir tenang, pertanda mereka berhadapan dengan lubuk yang dalam. Untuk menyeberang, terdapat titian bambu yang cuma terdiri dari dua batang bersambungsambung. Tampaknya terikat cukup kuat. Tiang-tiang penyangga yang kokoh tertanam di kedua sisi sungai. Untuk menahan guncangan, di sisi titian terbentang tambang besar yang diikatkan ke batang-batang pohon raksasa di tepi sungai. Berjarak tetap sekitar dua meter. bagian tengah tambang disambungkan ke tambang lain yang lebih pendek. Ujung tambang inilah yang kemudian diikatkan ke titian.
Titian gantung itu membuat nyali Ismed menjadi ciut.
Tetapi matahari sudah terbenam di balik gunung. Hutan belantara telah mereka tinggalkan. Namun di tempat terbuka tak jauh di belakang mereka. Ismed masih bisa melihat celeng besar menunggu kesempatan menyerang. Bukan itu saja. kera dan monyet yang bergelantungan mulai turun ke dahan yang lebih rendah. Suara mereka riuh dan terdengar mengancam.
"Maju!" Ismed berseru, di luar sadar.
Perempuan itu meniti dengan tangkas dan hanya
sekejap ia telah tiba di seberang. Ketika tiba giliran Ismed. kakinya melangkah ragu-ragu namun kemudian terlalu terburu-buru. Titian gantung itu bergoncang, terayun-ayun keras mengombang-ambingkan tubuh Ismed. Dengan perasaan ngeri Ismed diam sejenak. menunggu ayunan titian lebih tenang. Lantas dengan lebih hati-hati ia maju selangkah demi selangkah. Tetapi karena takut, ia sesekali masih berpaling juga ke belakang. Siapa tahu celeng atau kerakera buas itu membuntutinya. Akibatnya, Ismed lengah.
Sebelah kakinya menginjak tempat kosong.
Ismed terpekik. lalu jatuh tergelincir. Tercebur ke sungai. Rasa sakit di tubuhnya kembali menyerang dengan hebat manakala ia berusaha berenang dengan sekuat tenaga. Tepi sungai di seberang semakin dekat. Tetapi Ismed tetap kepayahan menggapainya. seakan ada kekuatan gaib dari dalam lubuk yang menarik kakinya, membetot begitu misterius. Ismed gelagapan, tangannya menggapai-gapai udara kosong. Tapi tubuhnya tertarik ke dalam dan tenggelam lagi. Tangannya terus berkecipak menggapai-gapai di permukaan air.
Saat Ismed merasa tubuhnya terseret semakin dalam. seseorang mencengkeram pergelangan tangannya lalu menariknya ke atas. Terdengar suara berkecipak. dan air tersibak di kiri kanan tubuhnya. Ia terus terseret tetapi bukan ke hilir, melainkan ke tepian. Barulah ia sadar kalau si perempuan telah terjun ke lubuk
untuk menolongnya. Dengan keahlian berenang yang menakjubkan, perempuan itu berhasil menyeret Ismed dan menarik tubuh Ismed naik ke seberang sungai.
Setelah itu mereka jatuh terkapar di pinggir sungai.
Ismed sama sekali tidak sadar. kalau ia masih merangkul pinggang perempuan itu. Si perempuan yang masih kelelahan, membiarkan pula. Wajah mereka rapat satu sama lain, wajah yang sama-sama basah kuyup. Rambut si perempuan tergerai kian kemari, menutupi sebagian wajah dan lehernya. Pakaian yang basah tak mampu lagi menyamarkan lekuk dadanya yang naik turun dengan cepat.
"Kita... sudah... selamat." desah si perempuan dengan napas terengah namun menyiratkan kelegaan. Ia coba bangkit. Tanpa menyadari gerakan itu membuat lengan Ismed yang memeluk pinggangnya berpindah posisi. Beberapa saat, telapak tangan Ismed terasa menyentuh benda lunak, kenyal lagi hangat. Wajah si perempuan bersemu merah tatkala ia sadari tangan Ismed merayapi dadanya.
"Bangunlah..." perempuan itu berbisik. gemetar.
Ismed membuka kelopak matanya.
Lalu menyadari tangannya berada di tempat yang tidak semestinya. Terkejut dan malu, Ismed menarik mundur tanganya dan berusaha duduk dengan susah payah. Untuk menyembunyikan perasaan malunya, ia menatap ke seberang sungai. Memperhatikan makhluk
maknluK buas di tepian sana yang menyelinap satu persatu kembali ke tengah kegelapan hutan. Di sebelahnya, sorot mata si perempuan menyiratkan kekecewaan. Kecewa, karena tangan yang hangat dan kekar itu telah menjauhi dadanya.
Tatapan si perempuan bukannya tidak menggugah indera keenam Ismed. Pelan-pelan Ismed berpaling. Tatapan mereka bertemu, mengalirkan semacam pengaruh magnet yang menarik wajah Ismed mendekat ke wajah si perempuan. Bibir perempuan itu sedikit terbuka, menanti dengan gemetar. Bibir Ismed hampir menyentuh bibir yang bergetar hangat itu. Namun pada detik-detik terakhir Ismed kembali menguasai kesadarannya. Bibirnya beralih mengecup pipi si perempuan.
"Terima kasih," bisiknya lembut. "Kau telah menyelamatkan aku...."
*** DENGAN apa harus kuganti milikmu yang hilang itu?"
Pertanyaan itu diajukan Ismed setelah mereka duduk dekat tungku dapur rumah si perempuan untuk menghangatkan badan. Perempuan itu telah bersalin pakaian. Ia kini mengenakan kebaya model sederhana dan ringkas. Kain yang agaknya terbuat dari bahan yang keras karena mudah keriput.
Si perempuan menambahkan sebatang kayu kering ke tungku yang nyalanya hampir padam. Bau ketela rebus dari dalam periuk tanah di atas tungku membuat perut terasa lapar.
"Lupakan saja." katanya seraya memandangi percikan api dalam tungku.
"Aku tak sengaja menjatuhkannya ketika aku tercebur ke sungai." desah Ismed penuh sesal. "Kalau
saja bungkusan itu masih ada di tempatnya jatuh. aku bersedia menyelaminya besok pagi."
Si perempuan tersenyum. "Tembakau apa namanya dan kopi apa namanya kalau diangkat dari dalam lumpur?" Ia menjawab riang.
Mau tak mau. Ismed tergelak. "Tembakau istimewa. Kopi istimewa," sahutnya. "Tetapi tidak seorang pun sudi menikmatinya, kecuali orang itu tidak waras otaknya!"
Perempuan itu ikut tertawa. "Kau teman yang menyenangkan," pujinya dengan tulus, namun pandangannya tidak berpaling dari tungku. "Boleh aku tahu siapa namamu?"
"Astaga" Rupanya kita lupa berkenalan. Aku Ismed. Ismed Effendi. Kau?"
"Selasih. Panggil saja, Asih."
Mereka tidak berjabat tangan. Cuma saling bertukar pandang.
Perempuan itu menatap Ismed dengan seksama. Dan sesaat kemudian. ia terkikik sendiri sambil mcnunjuk Ismed.
"Kau tampak tambun dengan pakaian itu."
Ismed memperhatikan pakaian yang melekat di tubuhnya. Baju hitam dengan bahan yang keras, berlengan tiga perempat. Celana sebatas betis yang juga hitam keras.
"Mantan suamimu orang gemuk dan besar, ya?"
"Tepat ! Mirip kerbau. Tetapi ia suami yang baik,"
berkata si perempuan, seraya mengangkat periuk dari tungku. Ketela rebus yang sudah masak ia pindahkan ke sebuah piring beling berhias gambar kembang. Dari sebuah panci kecil, ia menyendok cairan kental gula merah yang sudah dicampur parutan kelapa. Cairan itu kemudian dituangkan ke tumpukan ketela di atas piring. Uap yang mengepul semakin menerbitkan liur.
Ketela berkuah gula dan kelapa itu mereka santap dengan nikmat. Diselingi dengan tegukan kopi panas. Mereka makan diam-diam, dengan pikiran masingmasing sama berkecamuk.
Ismed menyesap kopinya. sebelum kembali membuka obrolan.
"Kapan suamimu meninggal?"
"Hampir empat tahun yang lalu."
"Sakit?" "Hilang," bisik si perempuan lirih. Wajahnya mendadak muram.
"Maaf..." Ismed menyesali pertanyaannya.
"Tak apa." Perempuan bernama Selasih itu memaksakan senyum. "Toh, sudah lama terjadi. Lagi pula, lumayanlah untuk menambah pengetahuanmu tentang perkampungan tempat kita pertama kali bertemu. Di sana pula lah suamiku hilang tak tentu rimbanya."
"Tak pernah pulang " Tak pernah kau dengar kabar beritanya?"
"Tidak." "Pernah dicari?"
"Percuma." "Percuma bagaimana?"
"la terlambat meninggalkan hutan. Rupanya ia berselisih paham dengan salah seorang sepupunya di kampung terasing itu. Perselisihan mereka sudah didamaikan Puun, kepala suku yang menolongmu. Lalu suamiku pamit. Sayang, tak ada yang mengetahui bahwa ia sudah lama menderita sesak napas. Selain padaku, penyakit itu ia rahasiakan pada orang lain.
Karena orang di sini percaya, penyakit sesak napas adalah penyakit akibat kualat. melanggar pantangan karuhun-nenek moyang, atau menghina roh orang tua. Begitulah yang terjadi. Kudengar ia pulang dari tempat saudara sepupunya ketika hari telah mulai gelap. Seseorang sempat melihatnya limbung sewaktu akan memasuki jalan setapak di hutan. Tetapi batas perjanjian telah menjelang. Tidak seorang pun yang berani menolongnya. lalu suamiku... tak pernah lagi dilihat orang..."
"Tradisi mengerikan," gumam lsmed dengan bulu kuduk merinding. "Padahal suamimu punya saudara di sana."
"Juga orang tua," timpal Asih dengan suara sendu. "Suamiku lahir di perkampungan itu. Begitu pula aku."
Ismed meletakkan gelas kopinya.
"Gak. "Pernah dicari?"
"Percuma." "Percuma bagaimana?"
"la terlambat meninggalkan hutan. Rupanya ia berselisih paham dengan salah seorang sepupunya di kampung terasing itu. Perselisihan mereka sudah didamaikan Puun, kepala suku yang menolongmu. lalu suamiku pamit. Sayang, tak ada yang mengetahui bahwa ia sudah lama menderita sesak napas. Selain padaku, penyakit itu ia rahasiakan pada orang lain. Karena orang di sini percaya, penyakit sesak napas adalah penyakit akibat kualat. melanggar pantangan karuhun-nenek moyang. atau menghina roh orang tua. Begitulah yang terjadi. Kudengar ia pulang dari tempat saudara sepupunya ketika hari telah mulai gelap. Seseorang sempat melihatnya limbung sewaktu akan memasuki jalan setapak di hutan. Tetapi batas perjanjian telah menjelang. Tidak seorang pun yang berani menolongnya. Lalu suamiku... tak pernah lagi dilihat orang..."
"Tradisi mengerikan." gumam Ismed dengan bulu kuduk merinding. "Padahal suamimu punya saudara di sana."
"Juga orang tua," timpal Asih dengan suara sendu. "Suamiku lahir di perkampungan itu. Begitu pula aku."
Ismed meletakkan gelas kopinya.
"Tetapi tadi, kepala suku-bahkan kau sendiri mengatakan kau juga pendatang," tukas Ismed tak percaya.
"Orang luar, tepatnya. Tidak lagi termasuk lingkungan mereka."
"Bagaimana pula itu?"
"Di sana, setiap perempuan boleh terus melahirkan anak. Boleh menyusui anak-anaknya, merawat mereka sampai tumbuh besar hingga mencarikan mereka jodoh. Tetapi sebelum mendudukkan anak-anak mereka di pelaminan, setiap perempuan di sana harus memperhatikan dua hal. Pertama, apakah anaknya memang sudah ingin buru-buru kawin. Atau kedua, apakah anaknya lebih suka membujang sampai tua atau sampai ia punya kesempatan?"
"Kesempatan" Terhadap apa?"
"Jumlah penghuni. Suku yang menghuni hutan terasing itu hanya boleh berjumlah tak lebih dari empat puluh kepala keluarga. Kepala keluarga yang keempat puluh satu dan seterusnya harus rela menyingkir, keluar dari lingkungan suku maupun keluarganya yang masih jadi anggota suku. Apabila satu atau lebih dari jumlah empat puluh kepala keluarga itu meninggal, barulah seorang bujang atau perawan tua mempergunakan kesempatan untuk menikah. ltu terjadi disebabkan mereka tak ingin dibuang dari lingkungan kehidupan yang sangat mereka cintai."
"Dan kau, apa tidak lagi mencintai suku tempat
kau dilahirkan?" lsmed nyeletuk tanpa berpikir, saking tertarik mendengar kisah Selasih.
"Aku tetap mencintai tempat aku lahir. Aku juga tetap mencintai keluargaku. Tetapi aku lebih mencintai Kosim. suamiku. Kami lalu menikah. Dan karena kami termasuk hitungan keempat puluh tujuh bersama enam pasangan lain yang kebetulan menikah pada minggu yang sama, maka kami pun keluar. Begitu pula enam suami-istri yang lain itu." Selasih kemudian membereskan bekas makan mereka, setelah Ismed menolak menambah isi perutnya. "Toh, di luar sini. kami hidup cukup bahagia. Kami juga masih boleh mengunjungi tempat asal, kapan saja kami mau. yang penting ingat waktu," lanjutnya.
"Kalian tak punya anak?" tanya lsmed lagi. teringat suasana sepi mencekik setelah ia dibawa Selasih masuk ke rumahnya. Sebuah rumah panggung, berlantai papan dan berdinding bambu. Beberapa bagian dinding sudah agak reot. Tetapi rumah panggung ini jauh lebih menyamankan hati timbang mendekam di atas pepohonan tinggi, di gubuk angkasa yang salah satunya telah beruntung dimasuki lsmed.
"Anak" Rupanya dalam hal itu kami kurang beruntung," ujar si perempuan. "Suamiku mandul. Namun kenyataan pahit itu membuat kami lebih intim satu sama lain. Mau kopi lagi?"
"Bolehlah. Terima kasih." ismed mengangsurkan
gelasnya. "Sebenarnya sungguh nikmat kalau ngopi sambil merokok."
"Tentu saja. Kalau kau mau, akan kubuatkan untukmu. Aku masih punya persediaan tembakau. Suka tembakau yang dilinting dengan daun kawung" Atau lebih suka mengisap pipa" Aku masih punya pipa peninggalan Kang Kosim."
"Yang dilinting saja!" jawab lsmed ringkas, sambil membatin. "Cukuplah bajunya yang kupakai. Kalau tawaran pipanya kuterima, nanti miliknya yang lain ditawarkan pula!" Lalu diam-diam ia memperhatikan si perempuan melinting tembakau untuknya, dan menyadari bahwa janda itu tidaklah terlalu jelek. Lekuk tubuhnya pun masih mampu menarik hati lelaki.
"Mengapa kau tidak kawin lagi?" Ia bertanya sambil lalu.
"Tidak mudah." "Sebabnya?" "Di kampung ini, janda dengan gadis perbandingannya tujuh banding satu. Tujuh untuk jumlah janda dan satu gadis. Dan kau lihat sendiri bukan?" Perempuan itu menggerakkan tangan menunjuk keadaan rumahnya yang sederhana. "Mungkin aku akan cepat laku, kalau saja keuanganku lebih baik. Sayangnya, aku ini cuma seorang miskin. Hanya seorang tukang tenun sederhana."
"Tukang tenung?" lsmed terperanjat.
"Tenun. Tanpa huruf 'ge'!" Selasih tersenyum. "Apakah aku bertampang seorang penenung atau penyihir?"
Pertanyaan itu mendadak mengingatkan lsmed pada sesuatu. Tetapi apa" Rasanya waktu belum lama berlalu, tetapi ia telah melupakan banyak hal. Bahkan ia sampai lupa, dari mana ia datang!
Keasyikan mereka tiba-tiba diganggu oleh suara orang memberi salam. Selasih meninggalkan dapur lalu pergi membuka pintu depan. Terdengar ia mengobrol dengan seseorang. Ketika muncul lagi, ia telah ditemani seorang pria berusia lanjut, tidak berpakaian hitam-hitam sebagaimana kebanyakan warga lainnya yang sempat ditemui Ismed sebelum ia sampai di rumah Selasih. Lelaki yang satu ini mengenakan kemeja biasa, celana biasa, juga punya arloji. Sebuah arloji rantai yang sempat dilihat lsmed karena orang itu mengeluarkan sebentar untuk melihat waktu. Masih pula terdengar rungutnya yang jelas dibuat sesopan mungkin.
Antara Budi Dan Cinta 1 Beautiful Disaster Karya Jamie Mcguire Sari Otak 2

Cari Blog Ini