Ceritasilat Novel Online

Never Let Me Go 5

Never Let Me Go Karya Kazuao Ishiguro Bagian 5


Tapi kemudian Ruth berkata, "Tommy menceritakan teorinya yang hebat itu. Katanya dia sudah memberitahumu. Sudah lama sekali. Tapi sekarang, dengan sangat baik hati, dia membolehkan aku ikut mengetahuinya."
Tommy menarik napas dalam-dalam dan baru akan mengatakan sesuatu, tapi Ruth berbisik mengejek, "Teori besar Tommy tentang Galeri!"
Lalu mereka memandangku, seolah-olah sekarang akulah yang memimpin dan tergantung padaku apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Itu bukan teori yang buruk," kataku. "Mungkin saja benar, entahlah. Bagaimana menurutmu, Ruth?"
"Aku benar-benar harus memancingnya keluar dari mulut si Cowok Manis ini. Tidak terlalu bersemangat untuk melibatkan-ku, ya kan, Sayang" Baru setelah aku mendesaknya untuk bercerita ada apa di balik semua karya seni ini."
"Aku tidak melakukannya hanya demi itu," Tommy merajuk. Kakinya masih di atas lengan kursi dan ia terus melanjutkan peregangannya. "Aku cuma bilang, kalau itu benar, tentang Galeri itu, aku bisa mencoba dan memasukkan hewan-hewan..."
"Tommy, Sayang, jangan membuat dirimu tampak konyol di depan teman kita ini. Kalau di depanku, silakan saja. Tapi jangan di depan Kathy sayang."
"Aku tidak mengerti kenapa itu begitu konyol," kata Tommy. "Teori itu sama bagusnya dengan teori orang lain."
"Bukan teorinya yang bakal dianggap lucu oleh orang-orang, Sayang. Mereka mungkin saja menerima teori itu, itu benar. Tapi gagasan bahwa kau bisa mengubah keadaan dengan menunjukkan kepada Madame hewan-hewan kecilmu..." Ruth tersenyum dan menggeleng.
Tommy tidak mengatakan apa-apa dan melanjutkan peregangannya. Aku ingin membelanya dan mencoba memikirkan kata-kata yang tepat yang bisa membuatnya merasa lebih baik tanpa membuat Ruth semakin marah. Tapi saat itulah Ruth mengatakannya. Rasanya cukup buruk, tapi aku tak tahu waktu itu di halaman gereja, bahwa akibatnya bakal buruk sekali. Yang dikatakan Ruth adalah,
"Bukan hanya aku, Sayang. Menurut Kathy, hewan-hewanmu konyol sekali."
Insting pertamaku adalah menyangkalnya, lalu hanya tertawa. Tapi cara Ruth berbicara benar-benar telak, dan kami sangat mengenal yang lain untuk mengetahui ada sesuatu di balik kata-katanya. Jadi akhirnya aku diam saja, sementara dengan kalut aku mengingat-ingat kembali, dan dengan perasaan ngeri, malam itu di kamarku saat kami mengobrol sambil minum teh. Lalu Ruth berkata,
"Selama orang-orang menyangka kau membuat makhluk-makhluk kecil itu untuk iseng semata, tidak apa-apa. Tapi jangan tunjukkan bahwa kau serius mengenai hal itu."
Tommy berhenti dan memandangku dengan tatapan bertanya. Mendadak ia seperti kanak-kanak lagi, tak berdaya, dan aku melihat sesuatu yang gelap dan marah muncul di matanya.
"Begini, Tommy, kau harus mengerti," Ruth melanjutkan. "Kalau Kathy dan aku menertawakanmu, itu tanpa maksud apa-apa. Karena itu hanya kami. Tapi tolong, jangan sampai semua orang ikut-ikutan."
Aku sudah bemlang kali memikirkan saat-saat itu. Seharusnya aku mengatakan sesuatu. Aku bisa menyangkalnya, meskipun Tommy mungkin takkan percaya. Dan terlalu rumit untuk berusaha menjelaskan yang sebenarnya. Tapi seharusnya aku bisa melakukan sesuatu. Aku bisa menantang Ruth, bilang bahwa ia memutarbalikkan fakta, bahwa meskipun aku tertawa, itu sama sekali bukan seperti yang dimaksudkan Ruth. Aku bahkan bisa menghampiri Tommy dan memeluknya, langsung di depan Ruth. Itu sesuatu yang baru bertahun-tahun kemudian terpikir olehku, dan mungkin bukan pilihan nyata waktu itu, mengingat pribadiku, dan bagaimana hubungan kami bertiga. Tapi mungkin itu bisa memulihkan situasinya, sementara kata-kata hanya akan membenamkan kami semakin dalam.
Tapi aku tidak mengatakan atau melakukan apa pun. Sebagian, kukira, karena aku begitu tercengang bahwa Ruth bisa melancarkan muslihat semacam itu. Aku ingat perasaan letih yang hebat menyerbuku, semacam kelesuan menghadapi kekacauan di depanku. Seolah-olah kau disodorkan soal matematika ketika otakmu sudah lelah, dan kau tahu kau bisa menjawabnya, tapi kau tidak bisa membangkitkan energi untuk mengerjakannya. Sesuatu dalam diriku menyerah begitu saja. Sebuah suara berkata, "Baiklah, biar saja dia menyangka yang terburuk. Biar saja dia berpikir begitu, biar saja dia berpikir begitu." Dan rupanya aku menatap Tommy dengan pandangan
Tommy berhenti dan memandangku dengan tatapan bertanya. Mendadak ia seperti kanak-kanak lagi, tak berdaya, dan aku melihat sesuatu yang gelap dan marah muncul di matanya.
"Begini, Tommy, kau harus mengerti," Ruth melanjutkan. "Kalau Kathy dan aku menertawakanmu, itu tanpa maksud apa-apa. Karena itu hanya kami. Tapi tolong, jangan sampai semua orang ikut-ikutan."
Aku sudah bemlang kali memikirkan saat-saat itu. Seharusnya aku mengatakan sesuatu. Aku bisa menyangkalnya, meskipun Tommy mungkin takkan percaya. Dan terlalu rumit untuk berusaha menjelaskan yang sebenarnya. Tapi seharusnya aku bisa melakukan sesuatu. Aku bisa menantang Ruth, bilang bahwa ia memutarbalikkan fakta, bahwa meskipun aku tertawa, itu sama sekali bukan seperti yang dimaksudkan Ruth. Aku bahkan bisa menghampiri Tommy dan memeluknya, langsung di depan Ruth. Itu sesuatu yang baru bertahun-tahun kemudian terpikir olehku, dan mungkin bukan pilihan nyata waktu itu, mengingat pribadiku, dan bagaimana hubungan kami bertiga. Tapi mungkin itu bisa memulihkan situasinya, sementara kata-kata hanya akan membenamkan kami semakin dalam.
Tapi aku tidak mengatakan atau melakukan apa pun. Sebagian, kukira, karena aku begitu tercengang bahwa Ruth bisa melancarkan muslihat semacam itu. Aku ingat perasaan letih yang hebat menyerbuku, semacam kelesuan menghadapi kekacauan di depanku. Seolah-olah kau disodorkan soal matematika ketika otakmu sudah lelah, dan kau tahu kau bisa menjawabnya, tapi kau tidak bisa membangkitkan energi untuk mengerjakannya. Sesuatu dalam diriku menyerah begitu saja. Sebuah suara berkata, "Baiklah, biar saja dia menyangka yang terburuk. Biar saja dia berpikir begitu, biar saja dia berpikir begitu." Dan rupanya aku menatap Tommy dengan pandangan menyerah, dengan ekspresi yang mengatakan, "Ya, itu benar, apa lagi yang kauharapkan?" Dan sekarang aku ingat, masih segar dalam ingatanku, wajah Tommy, kemarahannya sesaat mereda, digantikan ekspresi yang nyaris memancarkan keheranan, seakan-akan aku kupu-kupu langka yang didapatinya di tiang pagar.
Aku sama sekali tidak berpikir bahwa aku akan menangis atau marah atau semacamnya. Tapi aku memutuskan untuk berbalik dan pergi. Bahkan saat itu pun, aku menyadari bahwa itu kelim. Yang bisa kukatakan hanya pada saat itu yang paling kutakuti adalah bahwa salah satu dari mereka akan pergi lebih dulu, dan aku akan tertinggal dengan yang lain. Aku tidak tahu kenapa, tapi rasanya pilihan pergi itu hanya berlaku untuk satu orang, dan aku ingin memastikan bahwa akulah orangnya. Maka aku berbalik dan bergegas kembali ke jalan dari mana aku datang tadi, melewati batu-batu nisan menuju gerbang kayu yang rendah, dan selama beberapa menit, aku merasa seolah-olah aku menang; bahwa kini ketika mereka ditinggal berdua, mereka mengalami takdir yang sepenuhnya pantas mereka peroleh.
BAB 17 SEPERTI kukatakan, baru lama sesudahnya"lama setelah meninggalkan Cottage"aku menyadari betapa pentingnya percakapan kami di halaman gereja waktu itu. Saat itu aku memang jengkel. Tapi aku tidak menganggapnya jauh berbeda dengan pertengkaran lainnya. Tak terbayangkan olehku bahwa kehidupan kami, yang hingga saat itu terjalin erat, bisa renggang karena hal semacam itu.
Tapi nyatanya, kurasa, ada gelombang sangat kuat yang menarik kami hingga terpisah, dan hanya perlu hal seperti itu untuk menuntaskannya. Kalau saja waktu itu kami memahaminya"siapa tahu?"mungkin kami akan saling berpegangan lebih erat lagi.
Selain itu, semakin banyak siswa yang berangkat untuk menjadi perawat, dan di antara kelompok Hailsham lama kami, tumbuh perasaan bahwa wajar-wajar saja untuk mengikuti hal itu. Kami masih harus menyelesaikan esai kami, tapi semua tahu kami tak perlu merampungkannya jika memilih untuk memulai pelatihan kami. Pada masa-masa awal kami di Cottage, bayangan tidak menyelesaikan esai tampak mustahil. Tapi semakin lama kami meninggalkan Hailsham, esai-esai itu pun semakin berkurang pentingnya. Waktu itu aku mempunyai gagasan"dan mungkin aku benar"bahwa jika perasaan tentang pentingnya esai itu dibiarkan luntur, maka begitu pula apa pun yang mengikat kami sebagai siswa Hailsham. Itulah sebabnya selama beberapa waktu aku berupaya agar semangat kami untuk membaca dan membuat catatan tetap menyala. Tapi tanpa alasan untuk menganggap kami masih akan bertemu para guardian, dan dengan begitu banyak siswa yang pergi, dalam waktu singkat hal itu rasanya mulai mubazir.
Pokoknya, pada hari-hari sesudah percakapan di halaman gereja, aku melakukan sebisaku agar hal itu dianggap selesai. Baik terhadap Tommy maupun Ruth, aku bersikap seolah-olah tidak terjadi sesuatu yang khusus, dan mereka bersikap kurang-lebih sama. Tapi selalu ada sesuatu sekarang, dan bukan hanya antara aku dan mereka. Meskipun masih bersikap sebagai pasangan" mereka masih melakukan gerakan menepuk lengan bila berpisah"aku cukup mengenal mereka untuk melihat bahwa mereka jadi saling menjauh.
Tentu saja aku sedih, terutama tentang hewan-hewan Tommy. Tapi itu tidak sesederhana menghampiri dan bilang maaf dan menjelaskan keadaan sebenarnya. Beberapa tahun sebelumnya, bahkan enam bulan sebelumnya, mungkin masih bisa diselesaikan dengan cara itu. Tommy dan aku membahas dan menyelesaikannya. Tapi entah mengapa, pada musim panas kedua itu, keadaan berbeda. Mungkin karena hubunganku dengan Lenny, entahlah. Bagaimanapun juga, berbicara dengan Tommy sudah tidak mudah lagi. Di permukaan, keadaan masih seperti semula, tapi kami tak pernah menyebut hewan-hewan atau kejadian di halaman gereja.
Jadi itulah yang terjadi persis sebelum aku bercakap-cakap dengan Ruth di halte bus lama, waktu aku sangat jengkel padanya karena berpura-pura lupa tentang semak rhubarb di Hailsham. Seperti kataku, mungkin aku takkan sekesal itu bila hal itu tidak muncul di tengah percakapan yang begitu serius. Baiklah, memang kami sudah melewati sebagian besar inti pembicaraan, biarpun begitu, meski kami sudah mulai santai dan hanya mengobrol waktu itu, itu masih merupakan bagian upaya kami untuk membereskan masalah di antara kami, dan tak ada waktu untuk berpura-pura seperti itu.
Inilah yang terjadi. Meskipun di antara aku dan Tommy muncul ganjalan, tidak demikian halnya dengan Ruth"atau setidaknya aku menyangka begitu"dan aku memutuskan sudah waktunya aku berbicara dengannya tentang kejadian di halaman gereja itu. Kami baru saja melewatkan hari musim panas yang berhujan dan penuh badai, dan kami terkurung di dalam meskipun udara sangat lembap. Maka ketika cuaca tampak jernih sore itu, matahari terbenam dengan merah muda indah, aku mengusulkan kepada Ruth untuk mencari hawa segar. Aku menemukan jalan setapak terjal. Jalan itu menelusuri sisi lembah dan persis di mana jalan itu bertemu dengan jalan raya, ada halte bus. Sudah lama bus-bus tak lagi lewat di sini, rambunya sudah dicopot, dan pada dinding di belakang halte, hanya tinggal bingkai dari apa yang dulu berupa papan berkaca yang menunjukkan jadwal bus. Tapi haltenya sendiri"mirip gubuk kayu yang dibangun dengan penuh sayang, satu sisinya terbuka ke ladang-ladang yang membentang di lereng lembah"masih berdiri, dan bangkunya bahkan masih utuh. Maka di situlah Ruth dan aku duduk mengatur napas, memandangi jaring laba-laba pada kaso-kaso dan sore musim panas di luar. Lalu aku mengatakan sesuatu semacam,
"Kau tahu, Ruth, kita perlu membereskan apa yang terjadi waktu itu."
Aku sengaja memakai nada suara berdamai, dan Ruth memberikan responsnya. Katanya itu sangat bodoh, kami bertengkar tentang hal-hal sangat sepele. Ia mengingatkan saat-saat lain waktu kami bertengkar dan kami menertawakannya sedikit. Tapi aku tak ingin Ruth memendam saja masalahnya seperti itu, maka aku berkata, masih dengan suara lembut,
"Ruth, kau tahu, kupikir kadang-kadang, kalau kau bagian dari suatu pasangan, kau tidak melihat dengan jelas seperti yang bisa dilakukan orang luar. Hanya kadang-kadang."
Ia mengangguk. "Itu mungkin benar."
"Aku tidak ingin ikut campur. Tapi kadang-kadang, baru akhir-akhir ini, kupikir Tommy marah. Kau tahu. Tentang beberapa hal yang kaukatakan atau lakukan."
Aku khawatir Ruth akan marah, tapi ia mengangguk dan mendesah. "Kupikir kau benar," ia akhirnya berkata. "Aku juga banyak memikirkan hal itu."
"Kalau begitu mungkin seharusnya aku tidak membahasnya. Mestinya aku tahu kau bisa melihat apa yang terjadi. Sebenarnya ini bukan urusan ku."
"Tapi Kathy, ini urusanmu juga. Kau bagian dari kami, maka ini selalu menjadi urusanmu. Kau benar, keadaan tidak baik. Aku mengerti maksudmu. Masalah waktu itu, tentang hewan-hewannya. Itu tidak bagus. Aku sudah bilang kepadanya bahwa aku menyesal."
"Aku senang kalian sudah membicarakannya. Aku tidak tahu kalian sudah melakukannya."
Selama percakapan Ruth mengerik serpihan kayu berjamur di bangku di sebelahnya, dan sesaat ia kelihatan asyik sekali. Lalu ia berkata,
"Begini, Kathy, bagus juga kita membahas Tommy. Aku ingin memberitahumu sesuatu, tapi tidak benar-benar tahu bagaimana mengatakannya, atau kapan, sebenarnya. Kathy, berjanjilah kau tidak akan terlalu marah padaku."
Aku menatapnya dan berkata, "Asal bukan tentang T-shirt itu lagi."
"Tidak, ini serius. Janji kau tidak akan marah. Karena aku harus memberitahumu. Aku takkan pernah memaafkan diriku sendiri kalau menutup mulut lebih lama lagi."
"Baiklah, apa itu?"
"Kathy, sudah cukup lama aku memikirkan ini. Kau tidak bodoh, dan kau bisa melihat bahwa mungkin aku dan Tommy takkan berpasangan untuk selamanya. Itu bukan sesuatu yang besar atau apa. Kami pernah cocok. Apakah akan selamanya begitu, tak ada yang bisa menduga. Baiklah, begini, inilah yang ingin kukatakan, Kathy. Wajar saja jika kau memikirkan tentang, kau tahu, apa yang akan terjadi kalau aku dan Tommy memutuskan untuk tidak bersama-sama lagi. Bukannya kami bermaksud berpisah, jangan salah sangka. Tapi menurutku sangat normal jika kau setidaknya bertanya-tanya dalam hati tentang hal itu. Nah, Kathy, yang perlu kausadari adalah, Tommy tidak melihatmu seperti itu. Dia benar-benar menyukaimu, menurut dia kau hebat. Tapi aku tahu dia tidak melihatmu sebagai, kau tahu, kekasih. Lagi pula..." Ruth berhenti, lalu menarik napas dalam-dalam. "Lagi pula, kau tahu bagaimana Tommy. Dia bisa sangat cerewet."
Aku menatapnya. "Maksudmu?"
"Kau pasti tahu maksudku. Tommy tidak suka perempuan yang sudah berhubungan... nah, kau tahu kan, dengan si ini dan si itu. Begitulah sifatnya. Maaf, Kathy, tapi tidak benar kalau aku tidak memberitahumu."
Aku memikirkannya, lalu berkata, "Bagus juga untuk mengetahui hal-hal semacam ini."
Aku merasa Ruth menyentuh lenganku. "Aku tahu kau akan menerimanya dengan baik. Meski begitu, kau harus paham, dia sangat mengagumimu. Sungguh."
Aku ingin mengalihkan pembicaraan, tapi sesaat benakku kosong. Kupikir Ruth mengetahuinya, karena ia meregangkan tangan dan menguap sambil berkata, "Kalau nanti aku belajar menyetir, akan kubawa kita semua jalan-jalan ke tempat liar. Dartmoor, misalnya. Kita bertiga, mungkin Laura dan Hannah juga. Aku ingin sekali melihat tanah berlumpur dan sebagai-nya."
Kami menghabiskan saat-saat berikutnya dengan membicarakan apa yang akan kami lakukan kalau suatu waktu kami benar-benar bepergian. Aku bertanya di mana kami akan menginap, dan Ruth bilang kami bisa meminjam tenda besar. Aku mengingatkan angin bisa sangat ganas di tempat-tempat seperti itu dan tenda kami bisa gampang sekali tertiup angin. Semua itu tidak serius. Tapi saat itulah aku teringat masa lalu di Hailsham, ketika kami masih Junior dan berpiknik dekat kolam dengan Miss Geraldine. James B. disuruh ke rumah utama untuk mengambil kue yang kami panggang sebelumnya, tapi waktu ia membawanya, angin berembus sangat keras dan merenggut kue itu, dan mengempaskannya ke dedaunan rhubarb. Ruth berkata ia hanya samar-samar ingat kejadian itu, dan aku mengatakan, sambil berusaha agar ini terpatri dalam ingatannya:
"Masalahnya adalah, dia mendapat kesulitan karena itu membuktikan dia berjalan melewati semak rhubarb."
Dan saat itulah Ruth memandangku lalu berkata, "Lalu" Memangnya kenapa?"
Caranya mengatakannya tiba-tiba begitu palsu sehingga seandainya seseorang tengah menonton, orang itu pasti bisa melihat kepura-puraannya. Aku mengeluh jengkel dan berkata,
"Ruth, jangan berpura-pura. Tidak mungkin kau sudah lupa. Kau tahu rute itu terlarang."
Mungkin caraku mengatakannya agak tajam. Bagaimanapun juga, Ruth tidak mundur. Ia tetap berpura-pura tidak ingat apa pun, dan aku semakin jengkel. Dan saat itulah ia berkata:
"Apa sih pentingnya" Apa hubungannya semak rhubarb dengan apa pun" Teruskan saja ceritamu."
Sesudah itu kupikir aku kembali berbicara dengan sikap lumayan bersahabat, lalu tak lama kemudian, ketika hari sudah mulai gelap, kami melangkah di jalan setapak dan kembali ke Cottage. Tapi suasana tak pernah harmonis lagi, dan ketika saling mengucapkan selamat malam di depan Lumbung Hitam, kami berpisah tanpa sentuhan kecil pada lengan dan pundak seperti yang biasanya kami lakukan.
TAK LAMA sesudah itu aku mengambil keputusan, dan begitu mengambilnya, aku tak pernah ragu. Pada suatu pagi aku bangun dan mengatakan kepada Keffers bahwa aku ingin memulai pelatihanku sebagai perawat. Ternyata sangat mudah. Keffers sedang melintasi pekarangan, sepatu botnya penuh lumpur, bibirnya menggerutu dan ia memegang pipa. Aku menghampiri dan memberitahunya, dan ia hanya memandangku seakan-akan aku mengganggunya tentang tambahan kayu bakar. Lalu ia menggumamkan sesuatu tentang datang menemuinya siang itu untuk mengisi formulir. Semudah itu.
Masih butuh sedikit waktu sesudah itu, tentu saja, tapi segala sesuatu mulai bergerak, dan tahu-tahu saja aku memandang semuanya"Cottage, semua orang di sana"dari sisi lain. Kini akulah salah satu yang akan pergi, dan segera saja, semua tahu. Mungkin Ruth menyangka kami akan menghabiskan berjam-jam membahas masa depanku; mungkin ia berpikir pengaruhnya besar pada apakah aku akan berubah pikiran atau tidak. Tapi aku menjaga jarak dengannya, seperti juga kulakukan dengan Tommy. Tak ada lagi pembicaraan serius antara kami di Cottage, dan tanpa terasa, tahu-tahu aku mengatakan selamat tinggal.
BAGIAN TIGA BAB 18 SECARA keseluruhan menjadi perawat sangat menyenangkan. Bisa dibilang hal itu memunculkan semua sisi terbaik dalam diriku. Tapi beberapa orang memang tidak cocok dengan pekerjaan ini, sehingga rasanya berat. Mereka mungkin memulainya dengan cukup baik, tapi kemudian datanglah saat-saat yang begitu dekat dengan rasa sakit dan cemas. Dan cepat atau lambat ada donor yang tidak bertahan, meskipun baru, katakanlah, donasi kedua, dan tak seorang pun mengira akan muncul komplikasi. Bila seorang donor meninggal seperti itu, tanpa di sangka-sangka, apa pun yang dikatakan para perawat kepadamu setelahnya tak ada artinya, begitu pula surat yang menyatakan bahwa mereka yakin kau sudah melakukan semua yang kau bisa, dan agar kau mempertahankan pekerjaanmu yang bagus. Setidaknya untuk beberapa waktu, kau patah hati. Sebagian dari kami belajar cukup cepat bagaimana mengatasinya. Tapi yang lain"seperti Laura, misalnya"tidak pernah belajar.
Lalu ada kesepian. Kau tumbuh dikelilingi banyak orang, itu saja yang kaukenal selama ini, lalu sekonyong-konyong kau menjadi perawat. Kau menghabiskan jam demi jam, sendirian, bermobil melintasi negeri, dari panti ke panti, rumah sakit ke rumah sakit, bermalam di penginapan, tak ada yang bisa kauajak bicara tentang kekhawatiranmu, tak ada yang bisa kauajak tertawa. Hanya sesekali kau bertemu siswa yang kaukenal"perawat atau donor yang kaukenal dari masa lalu"tapi tak pernah ada cukup waktu. Kau selalu terburu-buru, kalau tidak kau terlalu letih untuk menjalin percakapan yang pantas. Dalam waktu singkat, jam-jam panjang, perjalanan-perjalanan, tidur yang terputus, merayap ke dalam pribadimu dan menjadi bagian dirimu, sehingga setiap orang bisa melihatnya, dari sikapmu berdiri, sorot matamu, caramu bergerak dan berbicara.
Aku tidak bilang kebal terhadap semua ini, tapi aku sudah belajar hidup dengannya. Namun untuk beberapa perawat, seluruh sikap mereka menghancurkan diri sendiri. Banyak dari mereka, bisa kaulihat, hanya sekadar melakukan tugas, menunggu hari ketika mereka diberitahu bahwa mereka bisa berhenti dan menjadi donor. Aku juga terenyuh melihat banyak sekali di antara mereka "menciut" begitu memasuki rumah sakit. Mereka tak tahu apa yang harus dikatakan kepada para dokter dan paramedis, mereka tak mampu "membela" donor mereka. Tak heran mereka akhirnya frustrasi dan menyalahkan diri sendiri jika muncul masalah. Aku berusaha tidak mencari gara-gara, tapi aku tahu bagaimana supaya suaraku didengar jika perlu. Dan jika keadaan memburuk, tentu saja aku resah, tapi setidaknya aku bisa merasa telah melakukan sebisaku dan tetap memandang segalanya dalam perspektif sebenarnya.
Bahkan kesendirian itu, sesungguhnya aku mulai menyukainya. Bukan berarti aku tidak berharap memiliki lebih banyak teman jika sudah selesai dengan semua ini. Tapi aku menyukai perasaan ketika menaiki mobil kecilku, tahu selama beberapa jam berikutnya aku hanya ditemani jalan, langit kelabu yang luas, dan lamunanku. Dan jika aku berada di sebuah kota entah di mana dengan sedikit waktu luang, aku menikmatinya dengan berjalan-jalan sambil melihat-lihat etalase toko. Di sini di kamarku, aku memiliki empat lampu meja, masing-masing dengan warna berbeda, tapi modelnya sama"lehernya beralur sehingga kau bisa menekuknya sesukamu. Maka mungkin aku akan mencari toko dengan lampu lain seperti itu di etalasenya"bukan untuk membelinya, hanya untuk membandingkannya dengan milikku di rumah.
Kadang-kadang aku tenggelam dalam diriku sendiri, sehingga bila sekonyong-konyong bertemu seseorang yang kukenal, aku sangat terkejut dan butuh sedikit waktu untuk menyesuaikan diri. Begitulah yang terjadi pagi itu, ketika aku melintasi lapangan parkir pompa bensin yang diterpa angin dan melihat Laura, duduk di balik kemudi salah satu mobil yang diparkir, menatap kosong jalan raya. Aku masih agak jauh, dan sedetik, meskipun kami tak pernah bertemu semenjak masa-masa di Cottage tujuh tahun yang lalu, aku tergoda untuk mengabaikannya dan terus berjalan. Reaksi yang aneh, aku tahu itu, mengingat ia salah seorang teman terdekatku. Seperti kataku, setengahnya mungkin karena aku tidak suka direnggut keluar dari lamunanku. Tapi juga, kurasa, karena ketika menyaksikan Laura duduk merosot di mobilnya, aku langsung melihat bahwa ia sudah menjelma jadi perawat seperti yang baru kugambarkan, dan sebagian diriku tak ingin tahu lebih banyak tentang hal itu.
Tapi tentu saja aku menghampirinya. Angin dingin menerpaku saat aku berjalan ke mobil hatchback-nya, diparkir jauh dari mobil-mobil lain. Laura mengenakan jas hujan biru, dan rambutnya"jauh lebih pendek daripada sebelumnya"menempel di dahi. Ketika aku mengetuk jendelanya, ia tidak kaget, atau bahkan kelihatan terperanjat melihatku setelah sekian lama. Rasanya nyaris seakan-akan ia duduk di situ menunggu, jika bukan menungguku, maka seseorang yang kurang-lebih seperti aku, yaitu dari masa lalu. Dan sekarang waktu aku muncul, pikirannya yang pertama sepertinya: "Akhirnya!" Karena kulihat bahunya bergerak seperti semacam desahan, lalu tanpa ribut-ribut ia mengulurkan tangan untuk membukakan pintu mobil bagiku.
Kami berbicara selama kurang-lebih dua puluh menit: aku tidak pergi hingga saat terakhir yang masih memungkinkan. Percakapan itu sebagian besar tentang dia, betapa kelelahan dirinya, bahwa salah satu donornya cerewet, betapa ia membenci juru rawat ini atau dokter itu. Aku menunggu bayangan Laura yang dulu, dengan senyum nakal dan lelucon yang tak ada habis-habisnya, tapi semua itu tidak muncul. Ia berbicara lebih cepat daripada dulu, dan meskipun ia kelihatan senang melihatku, kadang-kadang aku mendapat kesan bahwa tidak penting jika yang datang bukan aku, melainkan orang lain, asalkan ia bisa berbicara.
Mungkin kami sama-sama merasa berbahaya untuk membahas masa lalu, karena untuk waktu sangat lama kami menghindari membicarakannya. Meski begitu pada akhirnya, kami toh membahas Ruth, yang dijumpai Laura di sebuah klinik beberapa tahun yang lalu, ketika Ruth masih jadi perawat. Aku mulai menanyainya tentang keadaan Ruth, tapi ia tidak ingin memberitahuku, sehingga akhirnya aku berkata kepadanya,
"Ayolah, kalian pasti membahas tentang sesuatu."
Laura mendesah panjang. "Kau tahu, kan," katanya. "Kami sama-sama sedang terburu-buru." Lalu ia menambahkan, "Lagi pula, kami berpisah bukan dalam keadaan cukup bersahabat, waktu di Cottage dulu. Jadi mungkin kami tidak begitu senang bertemu."
"Aku tidak tahu kau bertengkar dengannya juga," ujarku.
Laura mengangkat bahu. "Bukan sesuatu yang penting. Kau ingat bagaimana Ruth dulu. Yang jelas, sejak kau pergi, dia semakin parah. Kau tahu, selalu mendikte orang-orang. Jadi aku menghindarinya, itu saja. Kami tidak pernah bertengkar hebat atau semacamnya. Jadi kau belum bertemu dengannya sejak itu?"
"Tidak. Aneh, tapi aku tak pernah melihatnya, meskipun sekilas."
"Yeah, itu aneh. Sangkamu kita semua bakal lebih sering bertemu. Aku melihat Hannah beberapa kali. Michael H. juga." Lalu ia berkata, "Aku mendengar kabar burung, donasi pertama Ruth buruk sekali. Hanya kabar burung, tapi aku mendengarnya lebih dari satu kali."
"Aku juga mendengarnya," kataku.
"Ruth yang malang."
Sesaat kami terdiam. Lalu Laura bertanya, "Benarkah, Kathy" Bahwa mereka membolehkan kau memilih donormu sekarang?"
Ia tidak bertanya dengan sikap menuduh seperti yang kadang-kadang dilakukan orang-orang, maka aku mengangguk dan berkata, "Tidak selalu. Tapi aku berhasil menangani beberapa donor, jadi ya, sesekali aku boleh memilih."
"Kalau bisa memilih," kata Laura, "kenapa kau tidak menjadi perawat Ruth?"
Aku mengangkat bahu. "Sudah kupikirkan. Tapi aku tak yakin itu gagasan bagus."
Laura tampak heran. "Tapi kau dan Ruth dulu sangat akrab."
"Ya, kukira begitu. Tapi seperti denganmu, Laura. Dia dan aku tidak begitu bersahabat pada akhirnya."
"Oh, tapi itu kan dulu. Dia mengalami masa yang buruk. Dan kudengar dia juga punya masalah dengan para perawatnya. Mereka terpaksa sering mengganti perawatnya."
"Sebenarnya tidak mengherankan," sahutku. "Bisa kaubayangkan" Menjadi perawat Ruth?"
Laura tertawa, dan beberapa saat sesuatu berkelebat di matanya yang membuat aku berpikir bahwa akhirnya ia akan melontarkan sebuah lelucon. Tapi cahaya itu padam, dan ia terus duduk sambil kelihatan lelah.
Kami kembali berbicara tentang masalah-masalah Laura"terutama tentang juru rawat yang sepertinya membencinya. Lalu sudah waktunya untuk pergi, dan aku meraih pintu dan berkata kami perlu bercakap-cakap lebih banyak kali berikut kami bertemu. Tapi kami sama-sama sangat menyadari bahwa ada sesuatu yang belum disebut, dan kupikir kami sama-sama merasa ada yang salah jika kami berpisah seperti itu. Bahkan, sekarang aku yakin, bahwa pada saat itu, benak kami berjalan melalui alur yang sama. Lalu Laura berkata,
"Aneh sekali. Mengira semuanya sudah lenyap sekarang."
Aku berbalik di kursiku untuk memandangnya. "Ya, memang aneh," ujarku. "Aku tak percaya itu benar-benar sudah tidak ada."
"Aneh sekali," timpal Laura. "Kurasa seharusnya sekarang tidak memengaruhiku. Tapi entah mengapa aku keliru."
"Aku tahu maksudmu."
Pembicaraan itu, ketika akhirnya kami menyebut-nyebut mengenai ditutupnya Hailsham, mendadak membuat kami kembali akrab, dan kami berpelukan, cukup spontan, bukan untuk saling menghibur, tapi sebagai cara untuk mengakui Hailsham, kenyataan bahwa Hailsham masih ada dalam kenangan kami. Lalu aku harus bergegas ke mobilku.
Pertama kali aku mendengar desas-desus tentang Hailsham akan ditutup, sekitar setahun sebelum bertemu Laura di lapangan parkir. Ketika mengobrol dengan donor atau perawat mereka mengatakannya sambil lalu, seakan-akan mereka menyangka aku sudah mengetahuinya. "Kau dulu di Hailsham, bukan" Jadi, benarkah?" Hal-hal semacam itu. Lalu suatu hari aku keluar dari klinik di Suffolk dan bertemu Roger C., yang setahun di bawahku, dan ia memberitahuku dengan penuh kepastian bahwa itu bakal terjadi. Hailsham akan segera tutup dan rumah serta lahannya akan dijual kepada sebuah perhotelan. Aku ingat reaksi pertamaku ketika ia memberitahu hal ini padaku. Aku berkata, "Tapi apa yang akan terjadi dengan semua siswa?" Roger jelas menyangka maksudku adalah para siswa yang masih di sana, yang masih bergantung kepada para guar-dian. Wajahnya menunjukkan ekspresi khawatir dan ia mulai berspekulasi bahwa mereka akan dipindahkan ke rumah-rumah lain di sekitarnya, meskipun beberapa sangat jauh berbeda dengan Hailsham. Tentu saja, bukan itu yang kumaksud. Maksudku kami, para siswa yang tumbuh bersamaku dan kini tersebar di selumh negeri, perawat dan donor, semua terpisah tapi saling terkait oleh tempat asal kami.
Malam itu juga, sambil mencoba tidur di sebuah penginapan, aku memikirkan sesuatu yang menimpaku beberapa hari sebelumnya. Aku sedang di kota pinggir pantai di North Wales. Sepagian hujan deras, tapi setelah makan siang, hujan berhenti dan matahari mengintip sedikit. Aku berjalan kembali ke tempat aku meninggalkan mobilku, di sisi salah satu jalan pantai yang lurus. Nyaris tak ada orang, sehingga aku bisa melihat garis ubin trotoar yang basah membentang tak terputus di depanku. Lalu sesudah beberapa saat sebuah van menepi, sekitar tiga puluh meter di depanku, dan seorang laki-laki keluar, berpakaian badut. Ia membuka bagian belakang van dan mengeluarkan seikat balon, sekitar selusin, dan ia memegang balon-balon di satu tangan, sambil membungkuk dan mencari-cari di dalam van dengan tangan yang lain. Ketika mendekat, aku melihat balon-balon itu berwajah dan bertelinga, seperti rumpun bangsa kecil, bergoyang-goyang di udara di atas si pemilik, menunggunya.
Lalu si badut menegakkan tubuh, menutup van dan berjalan, ke arah yang sama denganku, beberapa langkah di depanku, koper kecil di satu tangan, balon-balon di tangan yang lain. Tepi pantai terus membentang lurus, dan aku berjalan di belakang si badut untuk waktu yang terasa sangat lama. Kadang-kadang aku merasa jengah dan bahkan menyangka si badut akan menoleh dan mengatakan sesuatu. Tapi karena memang ke sanalah tujuanku, tak banyak yang bisa kulakukan. Maka kami terus melangkah, si badut dan aku, sepanjang trotoar lengang yang basah karena hujan tadi pagi, dan sepanjang waktu itu balon-balon saling bersenggolan dan nyengir kepadaku. Sebentar-sebentar aku memandang pergelangan tangan si badut, semua tali balon itu, dan melihatnya sudah memilin tali-tali itu dengan erat dan memegangnya kuat-kuat. Meski begitu aku terus cemas salah satu tali akan terlepas dan satu balon melayang menggapai langit berawan.
Ketika aku berbaring nyalang malam itu, sesudah apa yang diceritakan Roger kepadaku, aku terus menyaksikan balon-balon itu. Aku memikirkan Hailsham ditutup, dan rasanya bagaikan seseorang datang membawa gunting dan memotong tali balon persis di tempat mereka terjalin di atas kepalan si badut. Begitu hal itu terjadi, takkan ada lagi makna saling keterikatan balon-balon itu. Waktu memberitahu berita tentang Hailsham, Roger berkomentar, bahwa menurut dia, takkan banyak bedanya bagi orang-orang seperti kami. Dan dari segi tertentu, mungkin saja ia benar. Tapi rasanya mengerikan, memikirkan tidak ada lagi yang berlangsung di sana, seperti dulu; bahwa orang-orang seperti Miss Geraldine, misalnya, tidak memimpin kelompok Ju-nior mengelilingi Lapangan Bermain Utara.
Pada bulan-bulan sesudah berbicara dengan Roger, aku sering memikirkan hal itu, tentang penutupan Hailsham dan semua akibatnya. Dan aku mulai menyadari, tampaknya, bahwa banyak hal yang kuanggap masih banyak waktu untuk melakukannya, sepertinya harus segera kukerjakan atau jika tidak, sekalian saja dilupakan. Bukannya aku mulai panik. Tapi yang jelas, lenyapnya Hailsham sepertinya telah mengubah segala sesuatu di sekitar kami. Itulah sebabnya apa yang dikatakan Laura kepadaku waktu itu, agar aku menjadi perawat Ruth, sangat memengamhi-ku, meskipun waktu itu aku mengelak. Rasanya seolah sebagian diriku sudah mengambil keputusan itu, dan kata-kata Laura hanya menyingkap selubung yang menutupinya.
PERTAMA kali aku datang ke panti pemulihan Ruth di Dover" bangunan modern dengan dinding berubin putih"hanya beberapa minggu sesudah obrolan dengan Laura. Waktu itu sudah sekitar dua bulan setelah donasi pertama Ruth"yang, seperti kata Laura, sama sekali tidak berjalan lancar. Waktu aku memasuki kamarnya, ia duduk di pinggir tempat tidur mengenakan gaun tidur, dan tersenyum lebar kepadaku. Ia bangkit memelukku, tapi nyaris langsung duduk lagi. Ia mengatakan aku tampak sangat baik, dan potongan rambutku sangat serasi untukku. Aku juga mengatakan hal-hal baik tentang dia, dan selama sekitar setengah jam berikutnya, kupikir kami benar-benar senang bertemu kembali. Kami membahas banyak hal"Hailsham, Cottage, apa yang kami lakukan sejak itu"dan rasanya seolah kami bisa mengobrol untuk selamanya. Dengan kata lain, itu merupakan awal yang sangat membangkitkan semangat"lebih baik daripada yang berani kuharapkan.
Meskipun begitu, kali pertama itu, kami tidak mengatakan apa pun tentang bagaimana kami berpisah. Mungkin kalau kami melakukannya sejak awal, keadaan akan berbeda, siapa tahu" Yang terjadi, kami menghindarinya, dan begitu kami bercakap-cakap sebentar, rasanya seolah-olah kami sepakat untuk berpura-pura bahwa kejadian yang dulu itu tak pernah ada.
Mungkin tidak jadi masalah jika kami hanya bertemu sekali itu saja. Tapi begitu aku resmi menjadi perawatnya, dan mulai mengunjunginya secara rutin, perasaan bahwa ada yang tidak beres, semakin lama semakin kuat. Aku menjadwalkan untuk mengunjunginya tiga atau empat kali seminggu menjelang sore, membawa air mineral dan biskuit favoritnya, dan seharusnya suasananya indah, tapi awalnya sama sekali tidak begitu. Kami mulai membahas sesuatu, benar-benar sepele, dan tanpa alasan jelas kami berhenti. Atau jika kami berhasil meneruskan percakapan, semakin lama percakapan itu semakin kaku dan berhati-hati.
Lalu suatu siang, aku menyusuri lorong kamarnya untuk menjenguknya, dan mendengar seseorang di kamar mandi di seberang pintunya. Aku menduga itu pasti Ruth, maka aku masuk ke kamarnya, berdiri menunggu sambil menyaksikan pemandangan dari jendelanya. Lima menit kemudian Ruth masuk, berselubung handuk. Jujur saja, ia mengira aku baru tiba sekitar satu jam lagi, dan kupikir kami semua merasa agak rapuh sesudah mandi dan hanya mengenakan handuk. Meski begitu, sorot ketakutan di wajahnya membuatku terkejut. Perlu kujelaskan sedikit. Tentu saja aku tahu ia akan sedikit terkejut. Tapi masalahnya, sesudah ia menyadari bahwa itu aku, sejenak, sedetik atau mungkin lebih, ia terus menatapku dengan pandangan yang kalau bukan ngeri, pasti waspada. Seolah-olah ia sudah menunggu-nunggu aku melakukan sesuatu terhadapnya, dan ia berpikir sekaranglah saatnya.
Tatapan itu sirna sesaat kemudian dan kami bersikap seperti biasa, tapi insiden itu membuat kami tersentak. Itu membuatku tersadar bahwa Ruth tidak memercayaiku, dan kelihatannya, mungkin ia sendiri juga baru menyadarinya saat itu. Bagaimanapun juga, sesudah hari itu, suasana semakin parah. Seolah-olah kami sudah menyingkap sesuatu, dan bukannya menjernihkan suasana, hal itu justru membuat kami semakin menyadari segala sesuatu yang mengganjal di antara kami. Sebegitu parahnya sehingga sebelum masuk menjenguknya, aku akan duduk dulu di mobilku selama beberapa menit untuk menguatkan diri menghadapi siksaan. Setelah salah satu pertemuan, ketika kami memeriksa keadaannya sambil membisu, lalu sesudahnya duduk saja tanpa bicara, aku sudah siap melaporkan bahwa ini tidak berhasil, bahwa aku harus berhenti menjadi perawat Ruth. Tapi lalu segalanya berubah lagi, dan itu karena perahu.
ENTAH bagaimana hal-hal seperti ini terjadi. Kadang-kadang sebuah lelucon, kadang-kadang kabar angin. Beredar dari panti ke panti, melintasi seluruh negeri hanya dalam beberapa hari, dan mendadak semua donor membicarakannya. Nah, kali ini berhubungan dengan perahu itu. Pertama kali aku mendengarnya dari beberapa donorku di North Wales. Lalu beberapa hari kemudian Ruth menceritakan kepadaku tentang hal itu. Aku lega kami menemukan sesuatu untuk dibicarakan, dan mendorongnya untuk melanjutkan ceritanya.
"Pemuda di lantai atas itu," katanya. "Perawatnya sudah pergi melihatnya. Katanya tidak jauh dari jalan raya, jadi siapa pun bisa mendekatinya tanpa kesulitan. Perahu ini terdampar di sana, di rawa-rawa."
"Bagaimana bisa sampai ke sana?" aku bertanya.
"Mana kutahu" Mungkin mereka ingin membuangnya, siapa pun pemiliknya. Atau mungkin, waktu semuanya terendam banjir, perahu itu hanyut dan terdampar di tepian. Siapa tahu" Katanya itu perahu penangkap ikan kuno. Dengan kabin kecil untuk tempat berlindung kalau sedang badai."
Beberapa kali berikutnya aku datang menjenguk, ia selalu berhasil membahas perahu itu lagi. Lalu suatu siang, waktu ia mulai bercerita bahwa salah seorang donor lain di panti sudah dibawa perawatnya untuk melihat perahu, aku berkata,
"Begini, tempatnya tidak begitu dekat, kau tahu. Bisa makan waktu satu jam, mungkin satu setengah jam bermobil ke sana."
"Aku bukan mengusulkan sesuatu. Aku tahu kau masih harus mengurus donor-donor lain."
"Tapi kau ingin melihatnya. Kau ingin melihat perahu ini, bukan, Ruth?"
"Kurasa begitu. Kurasa aku memang ingin. Kau menghabiskan hari lepas hari di tempat ini. Ya, kukira akan menyenangkan melihat sesuatu seperti itu."
"Dan apakah kaupikir?"aku mengatakannya dengan lembut, sama sekali tidak sinis?"kalau kita bermobil ke sana, kita perlu mempertimbangkan untuk menjenguk Tommy" Karena pantinya persis di jalan tempat perahu ini berada?"
Awalnya wajah Ruth tidak menunjukkan sesuatu. "Kukira kita bisa mempertimbangkannya katanya. Lalu ia tertawa dan menambahkan, "Ya ampun, Kathy, itu bukan satu-satunya alasan aku terus membicarakan perahu. Aku ingin melihatnya, sungguh. Sepanjang waktu kerjaku hanya keluar-masuk rumah sakit. Lalu terkurung di sini. Hal-hal seperti itu jadi lebih berarti daripada dulu. Tapi baiklah, aku memang tahu. Aku tahu Tommy ada di panti Kingsfield."
"Kau yakin ingin bertemu dengannya?"
"Ya," sahutnya, tanpa ragu. Ia menatapku lurus-lurus. "Ya, aku yakin." Lalu katanya tenang, "Sudah lama sekali aku tidak melihatnya. Sejak di Cottage dulu."
Lalu, akhirnya, kami berbicara tentang Tommy. Kami tidak mengusut segalanya dengan telak dan tidak ada hal yang belum kuketahui. Tapi kukira kami sama-sama merasa lebih baik setelah akhirnya menyebut namanya. Ruth mengatakan bahwa, ketika ia meninggalkan Cottage pada musim gugur sesudah aku, hubungannya dengan Tommy sudah renggang.
"Karena toh kami akan pergi ke tempat berlainan untuk mengikuti pelatihan," kata Ruth, "rasanya tak ada gunanya, untuk putus dengan sepantasnya. Maka kami terus bersama sampai aku pergi."
Dan pada tahap itu, kami hanya membicarakannya sampai di situ.
Sedangkan ketika kami pertama kali membahas tentang tamasya untuk melihat perahu, aku tidak setuju maupun menolak. Tapi selama beberapa minggu berikutnya, Ruth selalu me-nyebut-nyebutnya, dan entah bagaimana rencana kami semakin mantap, sampai akhirnya aku mengirim pesan kepada perawat Tommy melalui seorang penghubung, memberitahu bahwa kecuali mendapat kabar dari Tommy agar kami tidak melakukannya, maka kami akan datang ke Kingsfield pada suatu siang pada minggu berikutnya.
BAB 19 PADA masa itu aku belum pernah ke Kingsfield, jadi Ruth dan aku perlu memeriksa peta beberapa kali dalam perjalanan dan masih juga kami tiba beberapa menit terlambat. Kingsfield tidak begitu diperlengkapi dengan baik layaknya panti pemulihan, dan kalau bukan karena Tommy, itu bukan tempat yang ingin kukunjungi. Tempat itu terpencil dan sulit dicapai, dan kalaupun sudah berada di sana, kau takkan menemukan ketenangan dan ketentraman. Kau selalu bisa mendengar deru lalu lintas di jalan raya di luar pagar, dan ada perasaan bahwa mereka tak pernah sungguh-sungguh mengubah tempat itu. Banyak kamar donor tidak bisa dicapai dengan kursi roda, atau ruangannya terlalu pengap maupun berangin. Kamar mandinya sedikit dan yang ada pun sulit dijaga agar tetap bersih, pada musim dingin sangat dingin dan umumnya terlalu jauh dari kamar para donor. Dengan kata lain, Kingsfield, tertinggal jauh dari tempat semacam panti Ruth di Dover, dengan ubinnya yang mengilap dan jendela-jendela berkaca ganda yang bisa ditutup rapat hanya dengan memutar gagangnya.
Di kemudian hari, setelah Kingsfield menjadi tempat yang familier dan bermakna, aku sedang di salah satu gedung administrasi dan menemukan foto hitam-putih berpigura tempat itu sebelum diubah, waktu masih mempakan kamp liburan untuk keluarga-keluarga normal. Foto itu mungkin diambil pada akhir lima puluhan atau awal enam puluhan, menunjukkan sebuah kolam renang persegi besar dengan orang-orang yang bahagia"anak-anak, orangtua"bermain air dengan riang gembira. Sekeliling kolam berlantai semen, tapi orang-orang memasang kursi geladak dan kursi jemur, serta payung-payung besar agar mereka terlindung dari panas matahari. Waktu pertama kali melihat foto ini, lama baru aku tersadar bahwa itu adalah foto dari apa yang kini oleh para donor dijuluki "Alun-Alun?"tempat kau masuk dengan mobil waktu pertama tiba di panti. Tentu saja sekarang kolam sudah ditutup semen, tapi garis luarnya masih sama, dan mereka membiarkan di salah satu ujung"contoh setengah perubahan yang mereka lakukan"bingkai besi untuk papan loncat yang tinggi menjulang. Baru waktu melihat foto itu, terlintas dalam benakku apa sebenarnya bingkai itu dan mengapa ada di sana, dan kini, setiap kali melihatnya, mau tak mau aku membayangkan seorang perenang meloncat dari sana dan membentur semen.
Mungkin aku takkan mengenali Alun-Alun di foto itu kalau bukan karena gedung-gedung putih berlantai dua yang mirip lubang perlindungan pada latar belakang, pada ketiga sisi kolam yang kelihatan. Sepertinya di situlah apartemen liburan para keluarga, dan meskipun kupikir interiornya sudah banyak berubah, bagian luar masih tampak sama. Kupikir, dalam beberapa hal, Alun-Alun masa kini tak banyak berbeda dengan keadaan kolam pada masa itu. Alun-Alun menjadi pusat pergaulan di tempat itu, para donor keluar dari kamar mereka untuk mencari udara segar dan mengobrol. Ada beberapa bangku piknik dari kayu di sekeliling Alun-Alun, tapi"terutama waktu matahari terlalu panas, atau hari hujan"para donor lebih suka berkumpul di bawah tonjolan atap ruang bermain di ujung di belakang kerangka papan terjun lama.
Siang itu ketika Ruth dan aku pergi ke Kingsfield, cuaca mendung dan sedikit dingin, dan waktu kami meluncur memasuki Alun-Alun, tempat itu lengang, hanya ada enam atau tujuh sosok samar-samar di bawah atap. Ketika aku menghentikan mobil di atas kolam lama"waktu itu aku belum tahu tentang kolam" satu sosok menjauh dari kelompok lalu menghampiri kami, dan aku melihat itu Tommy. Ia mengenakan atasan olahraga hijau pudar dan tampak lebih gemuk daripada terakhir kali aku melihatnya.
Di sampingku untuk sejenak Ruth panik. "Kita harus bagaimana?" katanya. "Apakah kita keluar mobil" Jangan, jangan keluar. Jangan bergerak, jangan bergerak."
Aku tak tahu apa yang sebenarnya ingin kulakukan, tapi ketika Ruth berkata begitu, entah mengapa, tanpa memikirkannya, aku keluar dari mobil. Ruth tetap di tempat, karenanya ketika Tommy tiba, tatapannya jatuh padaku dan itu sebabnya ia memelukku lebih dulu. Samar-samar aku mencium bau obat padanya yang tak bisa kukenali. Lalu, meskipun belum saling menyapa, merasakan Ruth memperhatikan dari dalam mobil, kami pun melepaskan diri.
Kaca depan memantulkan langit, sehingga aku tak dapat melihat Ruth dengan jelas. Tapi aku mendapat kesan ekspresi Ruth serius dan nyaris membeku, seakan-akan Tommy dan aku adalah pemeran dalam pertunjukan yang sedang ditontonnya. Ada yang aneh dalam tatapannya dan itu membuatku merasa tidak nyaman. Lalu Tommy berjalan melewatiku ke mobil. Ia membuka pintu belakang, masuk ke kursi belakang, lalu giliranku untuk memperhatikan mereka, di dalam mobil, berbicara, kemudian saling memberi ciuman kecil yang sopan di pipi.
Di seberang Alun-Alun, para donor di bawah atap ikut memperhatikan, dan meskipun aku tidak merasakan sikap bermusuhan pada diri mereka, tiba-tiba aku ingin pergi secepatnya dari sana. Tapi aku sengaja berlama-lama sebelum masuk ke mobil, agar Tommy dan Ruth punya lebih banyak waktu berdua.
KAMI mulai dengan menyusuri jalan-jalan kecil berkelok. Lalu kami keluar di alam pedesaan yang terbuka, tanpa ciri khusus, dan meluncur melewati jalan yang nyaris kosong. Yang kuingat tentang bagian itu dari perjalanan kami ke perahu adalah bahwa untuk pertama kalinya sejak waktu lama, matahari mulai menyorot lemah menembus langit yang mendung; dan setiap kali aku melirik Ruth di sampingku, wajahnya dihiasi senyuman kecil. Yang kami bicarakan, nah, seingatku kami bersikap seakan-akan kami bertemu dengan teratur, dan tak perlu membahas apa pun selain apa yang ada saat itu. Aku bertanya kepada Tommy apakah ia sudah melihat perahu itu, dan ia mengatakan tidak, ia belum melihatnya, tapi banyak donor di pantinya sudah. Ia sudah beberapa kali mendapat kesempatan, tapi tidak menggunakannya.
"Bukannya aku tidak ingin pergi," katanya, sambil condong ke depan. "Aku sebenarnya tidak bisa. Pernah aku akan pergi bersama beberapa yang lain dan perawat mereka, tapi aku mengalami pendarahan lalu tidak bisa ikut. Itu sudah lama sekali. Aku tidak mendapat kesulitan seperti itu lagi."
Lalu ketika kami meluncur melewati alam pedesaan yang kosong, Ruth menoleh dari kursinya hingga ia menghadap Tommy, dan hanya terus menatapnya. Ia masih tersenyum kecil, tapi tidak mengatakan apa-apa, dan bisa kulihat pada kaca spionku bahwa Tommy tampak sedikit jengah. Ia memandang ke luar jendela di sampingnya, lalu ke Ruth lagi, lalu ke luar jendela lagi. Beberapa saat kemudian, sambil terus menatap Tommy, Ruth memulai anekdot panjang tentang seorang donor di pantinya, seseorang yang belum pernah kami dengar namanya, dan sepanjang waktu ia terus memandang Tommy, senyuman lembut tak pernah sirna dari wajahnya. Mungkin karena aku jemu dengan anekdotnya, barangkali juga karena ingin membebaskan Tommy, aku menyela sesudah beberapa menit, berkata,
"Ya, baiklah, kita tidak perlu mendengar setiap detail tentang dia."
Aku mengatakan ini tanpa berniat jahat, dan benar-benar tak bermaksud apa-apa. Tapi bahkan sebelum Ruth berhenti, nyaris ketika aku masih berbicara, Tommy tiba-tiba mengeluarkan bunyi tertawa, semacam ledakan, bunyi yang belum pernah kudengar ia keluarkan. Dan Tommy berkata,
"Persis itulah yang ingin kukatakan. Aku sudah kehilangan alur ceritanya beberapa waktu yang lalu."
Mataku masih memandang jalan, jadi aku tak yakin apakah Tommy berbicara kepadaku atau Ruth. Bagaimanapun Ruth berhenti bicara dan perlahan-lahan berbalik hingga menghadap ke depan lagi. Ia tidak kelihatan jengkel, tapi senyumannya lenyap, dan matanya menerawang jauh, ke suatu tempat di langit di depan kami. Tapi aku harus jujur: pada saat itu aku sebenarnya tidak memikirkan Ruth. Jantungku sedikit melompat, karena dalam sekali sapuan, dengan tawa kecil tanda setuju, rasanya seolah-olah Tommy dan aku kembali akrab sesudah bertahun-tahun itu.
Aku menemukan belokan itu sekitar dua puluh menit sesudah meninggalkan Kingsfield. Kami menyusuri jalan sempit yang berkelok dan tertutup pagar tanaman, lalu parkir di samping rumpun sycamore. Aku memimpin jalan ke tepi hutan, tapi kemudian, ketika dihadapkan pada tiga jalan setapak di antara pepohonan, aku terpaksa berhenti untuk memeriksa lembar petunjuk yang kubawa. Sementara aku berdiri di sana sambil mencoba memahami tulisan tangan orang itu, mendadak aku menyadari bahwa Ruth dan Tommy berdiri di belakangku, tidak berbicara, nyaris mirip anak-anak yang menunggu diberitahu harus ke mana.
Kami memasuki hutan, dan meskipun cukup mudah menembusnya, aku memperhatikan napas Ruth semakin sulit. Tommy, sebaliknya, tampaknya tidak mengalami kesulitan, meskipun langkahnya sedikit pincang. Lalu kami sampai di pagar kawat duri, yang sudah terangkat dan karatan, kawatnya mencelat ke sana-sini. Ketika melihatnya, Ruth sekonyong-konyong berhenti.
"Oh, tidak," katanya, panik. Lalu ia menoleh kepadaku. "Kau tidak bilang sama sekali tentang ini. Kau tidak bilang kita harus melewati kawat berduri!"
"Tidak bakal sulit," ujarku. "Kita bisa lewat dari bawahnya. Kita hanya perlu bergantian memeganginya agar yang lain bisa lewat."
Tapi Ruth kelihatan sangat panik dan tidak bergerak. Dan ketika itulah, ketika Ruth berdiri di sana, bahunya naik-turun mengikuti napasnya, Tommy menyadari untuk pertama kali betapa rapuhnya Ruth. Mungkin sebelumnya Tommy sudah me-tidak memikirkan Ruth. Jantungku sedikit melompat, karena dalam sekali sapuan, dengan tawa kecil tanda setuju, rasanya seolah-olah Tommy dan aku kembali akrab sesudah bertahun-tahun itu.
Aku menemukan belokan itu sekitar dua puluh menit sesudah meninggalkan Kingsfield. Kami menyusuri jalan sempit yang berkelok dan tertutup pagar tanaman, lalu parkir di samping rumpun sycamore. Aku memimpin jalan ke tepi hutan, tapi kemudian, ketika dihadapkan pada tiga jalan setapak di antara pepohonan, aku terpaksa berhenti untuk memeriksa lembar petunjuk yang kubawa. Sementara aku berdiri di sana sambil mencoba memahami tulisan tangan orang itu, mendadak aku menyadari bahwa Ruth dan Tommy berdiri di belakangku, tidak berbicara, nyaris mirip anak-anak yang menunggu diberitahu harus ke mana.
Kami memasuki hutan, dan meskipun cukup mudah menembusnya, aku memperhatikan napas Ruth semakin sulit. Tommy, sebaliknya, tampaknya tidak mengalami kesulitan, meskipun langkahnya sedikit pincang. Lalu kami sampai di pagar kawat duri, yang sudah terangkat dan karatan, kawatnya mencelat ke sana-sini. Ketika melihatnya, Ruth sekonyong-konyong berhenti.
"Oh, tidak," katanya, panik. Lalu ia menoleh kepadaku. "Kau tidak bilang sama sekali tentang ini. Kau tidak bilang kita harus melewati kawat berduri!"
"Tidak bakal sulit," ujarku. "Kita bisa lewat dari bawahnya. Kita hanya perlu bergantian memeganginya agar yang lain bisa lewat."
Tapi Ruth kelihatan sangat panik dan tidak bergerak. Dan ketika itulah, ketika Ruth berdiri di sana, bahunya naik-turun mengikuti napasnya, Tommy menyadari untuk pertama kali betapa rapuhnya Ruth. Mungkin sebelumnya Tommy sudah melihatnya, tapi tidak ingin mengakuinya. Tapi sekarang ia menatap Ruth beberapa saat. Lalu kukira apa yang kemudian terjadi"meskipun aku tak tahu pasti"adalah bahwa kami, Tommy dan aku, ingat apa yang terjadi di mobil, ketika kami boleh dibilang bersekongkol melawan Ruth. Dan nyaris seperti naluri, kami mendekati Ruth. Aku meraih satu lengannya, Tommy menopang sikunya di sisi lain, dan dengan lembut kami membimbingnya ke pagar.
Aku melepaskan Ruth hanya ketika aku sendiri melewati pagar. Lalu aku memegang kawat setinggi mungkin, dan Tommy serta aku menolong Ruth lewat. Pada akhirnya memang tidak sulit bagi Ruth: lebih berupa masalah kepercayaan diri, dan dengan kami di sana mendukungnya, sepertinya ia terbebas dari ketakutannya terhadap pagar itu. Ketika sudah di seberang pagar, ia bahkan berusaha menolongku memegangi kawat bagi Tommy. Tommy lewat tanpa susah payah, dan Ruth berkata kepadanya,
"Hanya soal membungkuk seperti itu. Kadang-kadang aku tidak begitu pintar melakukannya."
Tommy tersipu-sipu, dan aku bertanya-tanya apakah ia malu dengan apa yang baru saja terjadi, atau ia teringat bagaimana kami bersekongkol melawan Ruth di dalam mobil tadi. Ia mengangguk ke arah pepohonan di depan kami dan berkata,
"Kurasa lewat sana. Betul bukan, Kath?"
Aku menatap kertasku dan kembali memimpin perjalanan. Semakin dalam memasuki hutan, keadaan mulai gelap dan tanah mulai lembap.
"Kuharap kita tidak tersesat," kudengar Ruth berkata kepada Tommy sambil tertawa, tapi aku bisa melihat tanah kosong tak jauh dari situ. Dan sekarang setelah ada waktu untuk mere-nunginya, aku menyadari mengapa aku terganggu oleh kejadian di mobil. Bukan hanya karena kami bersekongkol melawan Ruth: melainkan cara Ruth menanggapinya. Dulu, tak terba-yangkan bahwa ia akan membiarkan sesuatu seperti itu lewat begitu saja tanpa ia membalasnya. Ketika tersadar aku berhenti melangkah, menunggu Ruth dan Tommy mengejarku, lalu ku-rengkuh pundak Ruth.
Kelihatannya bukan sesuatu yang sentimentil; hanya sikap biasa seorang perawat, karena sekarang memang ada sesutu yang tak pasti dalam langkah Ruth, dan aku bertanya-tanya apakah aku sudah meremehkan kondisinya yang lemah. Napasnya mulai berat, dan ketika kami berjalan bersama, sesekali ia oleng ke arahku. Tapi kemudian kami sudah melewati pepohonan dan masuk ke tanah kosong, dan kami bisa melihat perahu itu.
Sebenarnya, kami tidak benar-benar masuk ke tanah kosong: lebih tepat dikatakan hutan tipis yang kami lalui telah berakhir, dan kini di depan kami terbentang tanah rawa sejauh mata memandang. Langit pucat tampak luas dan kau bisa melihatnya sesekali terpantul dalam genangan-genangan air yang menceraikan daratan. Belum lama berselang, hutan ini pasti lebih luas, karena di sana-sini bisa kaulihat tunggul-tunggul pohon mati menyemak dari dalam tanah, kebanyakan patah pada ketinggian hanya beberapa meter. Dan nun di sana, mungkin sekitar 55 meter, perahu itu terdampar di rawa, di bawah sinar matahari yang pudar.
"Oh, persis seperti yang dikatakan temanku," kata Ruth. "Indah sekali."
Kami dikelilingi keheningan, dan ketika bergerak menuju perahu, kau bisa mendengar bunyi isapan lumpur di bawah sepatu kami. Tak lama kemudian kulihat kakiku terbenam di bawah batang-batang rumput, lalu aku berseru, "Baiklah, sampai di sini saja."
Mereka berdiri di belakangku, tidak protes, dan ketika aku menoleh, kulihat Tommy kembali memegangi lengan Ruth. Jelas ini hanya untuk menopang Ruth agar tetap tegak. Aku melangkah panjang ke tunggul pohon terdekat, di mana tanahnya lebih padat, dan berpegangan supaya tidak jatuh. Mengikuti contohku, Tommy dan Ruth berjalan ke batang pohon lain yang berlubang dan lebih kurus daripada tunggulku, sedikit di belakangku di sebelah kiri. Mereka bertengger di kedua sisinya dan sepertinya aman. Lalu kami memandang perahu yang terdampar itu. Sekarang bisa kulihat catnya mulai mengelupas, dan kerangka kayu kabinnya mulai hancur. Dulu catnya berwarna biru langit, tapi kini kelihatan nyaris putih di bawah langit.
"Aku penasaran bagaimana perahu itu bisa sampai di situ," aku berkata. Aku meninggikan suaraku sedikit agar terdengar yang lainnya, dan kusangka bakal ada gema. Tapi bunyinya sangat dekat, seakan-akan aku berada di ruang yang dilapisi karpet.
Lalu aku mendengar Tommy berkata di belakangku, "Mungkin seperti inilah rupa Hailsham sekarang. Bagaimana menurutmu?"
"Kenapa kelihatan seperti ini?" Ruth kedengaran benar-benar heran. "Tidak akan berubah jadi tanah rawa hanya karena ditutup."
"Kukira tidak. Aku tidak berpikir tadi. Tapi aku selalu membayangkan Hailsham seperti ini sekarang. Tidak masuk akal. Sebenarnya, ini nyaris mirip bayangan di benakku. Tentu saja tanpa perahu. Tidak bakal terlalu buruk, kalau keadaannya seperti ini sekarang."
"Aneh juga," timpal Ruth, "karena aku bermimpi pagi itu. Aku bermimpi berada di Ruang 14. Aku tahu tempat itu sudah ditutup, tapi toh aku ada di sana, di Ruang 14, dan aku memandang ke luar jendela dan di luar digenangi banjir. Seperti danau raksasa. Dan aku bisa melihat sampah mengambang lewat di bawah jendelaku, kardus minuman kosong, apa saja. Tapi tak ada perasaan panik atau semacamnya. Nyaman dan tenang, seperti keadaan di sini. Aku tahu aku tidak dalam bahaya, bahwa semua seperti itu karena Hailsham sudah ditutup."
"Kau tahu," ujar Tommy, "Meg B. ada di panti kami selama beberapa waktu. Sekarang dia sudah pergi, ke utara untuk donasi ketiganya. Aku tidak mendengar kabarnya lagi. Apakah kalian ada yang mengetahuinya?"
Aku menggeleng, dan ketika tidak mendengar Ruth mengatakan sesuatu, aku menoleh memandangnya. Mula-mula kusangka ia masih memandang perahu, tapi lalu kulihat ia tengah menatap asap pesawat di kejauhan, perlahan mendaki langit. Lalu ia berkata,
"Akan kuceritakan sesuatu yang kudengar. Aku mendengar tentang Chrissie. Kudengar dia meninggal pada donasi keduanya."
"Aku juga mendengar itu," timpal Tommy. "Pasti benar. Yang kudengar persis sama. Sayang sekali. Baru yang kedua. Untung tidak terjadi padaku."
"Kukira itu jauh lebih sering terjadi daripada yang mereka beritahukan kepada kita," kata Ruth. "Perawatku di sana itu. Mungkin dia tahu itu benar. Tapi dia tidak mau bilang."
"Tidak ada rahasia besar mengenai hal itu," kataku, seraya kembali memandang perahu. "Kadang-kadang memang terjadi. Yang menimpa Chrissie sungguh menyedihkan. Tapi itu bukan hal umum. Sekarang ini mereka sangat berhati-hati."
"Taruhan hal itu terjadi jauh lebih sering daripada yang mereka beritahukan," Ruth kembali berkata. "Itu salah satu alasan mereka terus memindah-mindahkan kita di antara waktu donasi."
"Suatu kali aku bertemu Rodney," kataku. "Tidak lama sesudah Chrissie meninggal. Aku bertemu dengannya di klinik di North Wales. Keadaannya baik."
"Aku bertaruh dia pasti patah hati tentang Chrissie kata Ruth. Lalu kepada Tommy "Mereka tidak menceritakan seluruhnya, kau tahu?"
"Sebenarnya," timpalku, "dia tidak terlalu patah hati. Memang sedih, itu jelas. Tapi dia baik-baik saja. Mereka toh sudah beberapa tahun tidak bertemu. Menurutnya Chrissie tidak terlalu peduli. Dan kupikir dia pasti tahu."
"Kenapa dia pasti tahu?" tukas Ruth. "Bagaimana mungkin dia bisa mengetahui apa yang dirasakan Chrissie" Apa yang diinginkannya" Bukan dia yang terbaring di meja itu, berusaha bertahan hidup. Bagaimana dia bisa tahu?"
Ledakan amarah ini lebih mirip Ruth yang lama, membuatku kembali menoleh padanya. Mungkin hanya sorot marah di dalam matanya, tapi sepertinya ia balas menatapku dengan ekspresi keras dan serius.
"Tidak mungkin bagus," kata Tommy. "Meninggal pada donasi kedua. Tidak mungkin bagus."
"Aku tidak percaya Rodney pasrah saja," tukas Ruth. "Kau hanya bicara dengannya sebentar. Bagaimana kau bisa tahu hanya dari itu?"
"Yah," kata Tommy, "tapi kalau seperti Kath bilang, mereka sudah putus..."
"Itu tidak mengubah apa-apa," Ruth menyela. "Dalam beberapa hal malah membuatnya semakin buruk."
"Aku sudah sering melihat orang dalam posisi Rodney," kataku. "Mereka bisa menerimanya."
"Dari mana kau tahu?" sergah Ruth. "Bagaimana mungkin kau bisa tahu" Kau masih perawat."
"Sebagai perawat aku banyak melihat. Banyak sekali."
"Dia tidak mungkin tahu, ya kan, Tommy" Tidak tentang keadaan sebenarnya."
Sejenak kami memandang Tommy, tapi ia terus menatap perahu. Lalu ia berkata,
"Ada seorang laki-laki di pantiku. Selalu cemas dirinya tidak akan bertahan sesudah donasi keduanya. Sering bilang dia sudah mendapat firasat. Tapi ternyata semua berjalan baik. Sekarang dia baru melewati donasi ketiganya, dan semuanya berjalan lancar." Ia mengangkat tangan untuk melindungi matanya. "Aku tidak becus sebagai perawat. Bahkan tidak pernah belajar menyetir. Kukira itulah sebabnya panggilan donasi untukku datang begitu cepat. Aku tahu seharusnya tidak seperti itu, tapi aku ingat memang begitulah halnya. Aku tidak begitu peduli. Aku donor yang lumayan bagus, tapi aku perawat yang buruk."
Sesaat tak ada yang bicara. Lalu Ruth berkata, suaranya jauh lebih tenang sekarang,
"Kurasa aku perawat yang cukup baik. Tapi lima tahun rasanya cukup bagiku. Aku seperti kau, Tommy. Aku sudah cukup siap waktu menjadi donor. Rasanya pas. Bagaimanapun juga, memang itulah yang seharusnya kita lakukan, bukan?"
Aku tidak yakin apakah Ruth berharap aku bereaksi atas pernyataannya ini. Ia tidak mengatakannya dengan nada yang jelas memancing, dan sangat mungkin pernyataan ini dilontarkannya hanya karena kebiasaan"jenis yang sering dikatakan para donor kepada sesama mereka kapan saja. Ketika aku menoleh lagi kepada mereka, Tommy masih mengangkat tangan untuk melindungi matanya.
"Sayang kita tidak bisa lebih dekat ke perahu," katanya. "Suatu hari kalau lebih kering, mungkin kita bisa kembali."
"Aku senang sudah melihatnya," ujar Ruth, lembut. "Benar-benar menyenangkan. Tapi kupikir aku ingin pulang sekarang. Angin ini dingin juga."
"Setidaknya sekarang kita sudah melihatnya," timpal Tommy.
DALAM perjalanan pulang kami mengobrol jauh lebih bebas daripada ketika berangkat. Ruth dan Tommy membandingkan hal-hal mengenai panti mereka"makanan, handuk, hal-hal semacam itu"dan aku selalu jadi bagian dari percakapan karena mereka selalu bertanya kepadaku tentang panti-panti lain, apakah ini atau itu normal. Langkah Ruth sekarang jauh lebih stabil dan ketika kami sampai ke pagar, dan aku mengangkat kawatnya, ia nyaris ragu.
Kami masuk ke mobil, Tommy di kursi belakang lagi, dan untuk sementara suasana di antara kami sangat baik. Mungkin, ketika aku mengingat kembali, ada perasaan bahwa ada sesuatu yang tidak diungkapkan, tapi mungkin aku berpikir seperti itu karena apa yang terjadi selanjutnya.
Caranya muncul, agak seperti pengulangan hal sebelumnya. Kami sudah kembali ke jalan raya yang nyaris kosong, dan Ruth mengomentari sebuah poster yang kami lewati. Aku bahkan tidak ingat poster itu sekarang, gambar iklan besar di pinggir jalan. Ia mengatakannya seakan pada diri sendiri, jelas tidak bermaksud apa-apa. Ia mengatakan sesuatu semacam, "Ya Tuhan, lihat yang itu. Kau bakal mengira setidaknya mereka mencoba memunculkan sesuatu yang baru."
Tapi Tommy berkata dari belakang, "Sebenarnya aku menyukai iklan itu. Iklan itu ada di surat kabar juga. Menurutku cukup menonjol."
Mungkin aku ingin mendapatkan perasaan itu lagi, bahwa Tommy dan aku kembali akrab. Karena meskipun jalan-jalan ke perahu cukup menyenangkan, aku mulai merasa bahwa selain pelukan pertama kami, dan insiden di mobil tadi, Tommy dan aku belum bener-benar terhubung lagi. Pokoknya, aku mendengar diriku sendiri berkata,
"Sebenarnya aku juga suka. Butuh jauh lebih banyak kerja keras daripada yang kita duga untuk membuat poster-poster ini."
"Betul," ujar Tommy. "Seseorang mengatakan butuh waktu berminggu-minggu untuk menciptakan sesuatu seperti itu. Bahkan berbulan-bulan. Kadang-kadang orang-orang bekerja lembur semalaman untuk membuatnya, berulang kali, sampai benar-benar tepat."
"Terlalu mudah," tukasku, "untuk mengkritik kalau kau hanya lewat naik mobil."
"Hal paling mudah di dunia," timpal Tommy.
Ruth tidak mengatakan apa-apa, terus memandang jalan kosong di depan kami. Lalu aku berkata,
"Selagi kita membicarakan poster, ada satu yang kulihat waktu kita berangkat. Sebentar lagi seharusnya kelihatan. Kali ini di sisi kita. Akan muncul sewaktu-waktu."
"Posternya tentang apa?" tanya Tommy.
"Lihat saja. Sebentar lagi muncul."
Aku melirik Ruth di sampingku. Tak ada amarah di matanya, hanya semacam kewaspadaan. Bahkan ada sekelebat harapan, pikirku, bahwa ketika poster itu muncul, pasti berupa sesuatu yang tidak berbahaya"sesuatu yang mengingatkan kami kepada Hailsham, sesuatu semacam itu. Bisa kulihat semua itu berkelebat di wajahnya, bagaimana wajahnya tidak menunjukkan ekspresi tertentu, melainkan seperti menunggu-nunggu. Sepanjang waktu itu, tatapannya tetap tertuju ke depan.
Aku mengurangi laju mobil dan menepi, membentur naik ke pinggiran rumput yang kasar.
"Kenapa kita berhenti, Kath?" tanya Tommy.
"Karena kau bisa melihatnya paling bagus dari sini. Kalau lebih dekat lagi, kita harus terlalu mendongak."
Aku mendengar Tommy bergerak di belakang kami, berusaha mendapat pemandangan yang lebih baik. Ruth tidak bergerak, dan aku bahkan tak yakin ia memandang poster itu.
"Baiklah, memang tidak persis sama," kataku setelah beberapa saat. "Tapi poster ini mengingatkan aku. Kantor dengan tata ruang terbuka, orang-orang cerdas yang tersenyum."
Ruth membisu, tapi Tommy berkata dari belakang, "Aku mengerti. Maksudmu, seperti tempat yang kita datangi waktu itu."
"Bukan hanya itu," kataku. "Mirip sekali dengan iklan itu. Yang kita temukan di tanah. Kau ingat, Ruth?"
"Aku tidak yakin aku ingat," katanya tenang.
"Oh, ayolah. Kau ingat. Kita menemukannya di majalah di suatu jalan. Dekat genangan air. Kau benar-benar terpesona melihatnya. Jangan berpura-pura kau tidak ingat."
"Kukira aku ingat." Suara Ruth kini nyaris berbisik. Sebuah truk lewat, membuat mobil kami bergoyang, dan selama beberapa saat, menutupi pandangan kami dari papan reklame itu. Ruth menunduk, seolah berharap truk itu mengenyahkan gambar itu untuk selamanya, dan ketika kami bisa melihatnya lagi dengan jelas, ia tidak menengadah.
"Lucu sekali," kataku, "mengingat semua itu sekarang. Ingat bagaimana kau suka membahasnya" Bahwa suatu hari kau akan bekerja di kantor seperti itu?"
"Oh tentu, itulah sebabnya kita pergi waktu itu," kata Tommy, seakan-akan baru saja ia teringat. "Waktu kita ke Norfolk. Kita pergi untuk melihat kemungkinanmu. Bekerja di kantor."
'Tidakkah kau kadang-kadang berpikir kataku kepada Ruth, "bahwa seharusnya kau berusaha lebih keras lagi untuk mewujudkannya" Baiklah, kau akan jadi yang pertama. Yang pertama melakukan hal semacam itu. Tapi kau bisa melakukannya. Apakah kau tidak bertanya-tanya, apa yang bakal terjadi jika kau mencobanya?"
"Bagaimana mungkin aku mencobanya?" suara Ruth nyaris tak terdengar. "Itu hanya sekadar khayalanku. Itu saja."
"Tapi kalau saja kau setidaknya mencobanya. Bagaimana kau bisa tahu" Mungkin mereka akan mengizinkanmu."
"Yeah, Ruth," tukas Tommy. "Mungkin setidaknya kau harus mencoba. Mengingat kau begitu sering membahasnya. Kukira Kathy benar dalam hal itu."
"Aku tidak terus-menerus membahasnya, Tommy. Setidaknya, aku tidak ingat telah melakukannya."
"Tapi Tommy benar. Setidaknya kau harus mencoba. Maka kau bisa memandang poster seperti yang itu, ingat bahwa dulu itulah yang kauinginkan, dan bahwa kau sedikitnya sudah berusaha..."
"Bagaimana mungkin aku bisa berusaha?" Untuk pertama kali, suara Ruth menjadi keras, tapi kemudian ia mendesah dan kembali menunduk. Lalu Tommy berkata,
"Kau selalu bicara seakan-akan kau memenuhi kualifikasi untuk perlakuan istimewa. Dan siapa tahu, mungkin kau berhasil. Setidaknya kau seharusnya menanyakannya."
"Oke," tukas Ruth. "Katamu, mestinya aku berusaha. Bagaimana caranya" Ke mana aku harus pergi" Tidak mungkin aku bisa mencari tahu."
"Tapi Tommy benar," kataku. "Bila kau yakin dirimu istimewa, setidaknya kau harus bertanya. Kau harusnya pergi ke Madame dan bertanya."
Begitu mengatakan ini"begitu aku menyebut Madame"aku tersadar sudah melakukan kesalahan. Ruth menatapku dan aku melihat sesuatu seperti perasaan menang berkelebat di wajahnya. Kadang-kadang kau bisa melihatnya dalam film, bila satu orang sedang membidik pistol ke orang lain, dan si pemegang pistol membuat orang yang ditodongnya melakukan segala macam hal. Lalu tiba-tiba ada yang salah, pergumulan, dan pistol berpindah tangan. Dan orang kedua memandang orang pertama dengan berseri-seri, semacam ekspresi tak-disangka-jadi-ber-untung yang menjanjikan segala macam pembalasan. Nah, seperti itulah Ruth memandangku, dan meskipun aku tidak mengatakan apa pun mengenai penundaan, aku sudah menyebut Madame, dan aku tahu kami sudah terjeblos ke dalam wilayah baru sama sekali.
Ruth melihat kepanikanku dan bergerak memutar di kursinya untuk menghadapku. Maka aku bersiap menghadapi serangannya; sibuk mengatakan kepada diriku sendiri bahwa tak peduli apa pun yang dikatakannya, keadaan sudah berbeda sekarang, ia takkan bisa memaksakan pendapatnya seperti dulu. Aku mengatakan semua ini kepada diriku sendiri, karenanya aku sama sekali tidak siap menghadapi perkataannya itu.
"Kathy," katanya, "aku tidak berharap kau akan pernah memaafkan aku. Aku bahkan tidak melihat alasan mengapa kau harus memaafkanku. Tapi aku toh akan tetap memintamu memaafkanku."
Aku sangat tercengang, sehingga yang bisa kukatakan dengan agak lesu hanya, "Memaafkanmu atas apa?"
"Memaafkanku atas apa" Nah, pertama-tama, karena aku selalu berbohong kepadamu tentang dorongan-doronganmu. Waktu kau suka bercerita kepadaku dulu, bagaimana kadang-kadang dorongan itu begitu hebatnya sampai-sampai kau ingin melakukannya dengan siapa saja."
Tommy bergeser di belakang kami, tapi sekarang Ruth condong ke depan, memandang lurus wajahku, seolah-olah untuk sesaat Tommy tidak bersama kami di mobil.
"Aku tahu betapa hal itu membuatmu cemas," katanya. "Seharusnya aku memberitahumu. Seharusnya kukatakan bagiku sama saja, persis seperti yang kauuraikan. Sekarang kau sudah menyadari semua ini, aku tahu. Tapi waktu itu kau tidak tahu, dan seharusnya aku memberitahumu. Aku seharusnya memberitahumu bahwa meskipun aku berpasangan dengan Tommy, aku tak tahan untuk tidak melakukannya dengan orang lain beberapa kali. Setidaknya tiga orang lain selama kita di Cottage."
Ia mengatakannya tanpa memandang ke arah Tommy. Bukannya ia sengaja mengabaikan Tommy, ia berupaya sekuat tenaga untuk mengatakannya padaku, sehingga semua yang lain seperti kabur.
"Aku nyaris memberitahumu beberapa kali," lanjutnya. "Tapi tidak kulakukan. Bahkan waktu itu, aku tahu pada suatu hari kau akan menoleh ke belakang, menyadarinya, dan menyalahkan aku. Tapi masih juga aku belum mengatakan apa pun kepadamu. Tak ada alasan kau memaafkanku atas hal itu, tapi sekarang aku ingin bertanya, karena..." Tiba-tiba ia berhenti.
"Karena apa?" tanyaku.
Ia tertawa dan berkata, "Bukan apa-apa. Aku ingin kau memaafkan aku, tapi tak banyak berharap. Bagaimanapun, itu bahkan belum separuhnya, sebenarnya sebagian kecil saja belum. Yang terpenting aku telah memisahkan kau dengan Tommy." Suaranya kembali memelan, nyaris berbisik. "Itu hal terburuk yang kulakukan."
Ia menoleh sedikit, memandang Tommy untuk pertama kali.
Lalu nyaris saat itu juga ia kembali memandangku, hanya saja sekarang ia seolah-olah berbicara dengan kami berdua.
"Itu hal terburuk yang kulakukan," ia berkata lagi. "Aku bahkan tidak akan memintamu memaafkanku untuk itu. Ya Tuhan, aku sudah sering mengatakan ini di benakku, aku tak percaya benar-benar melakukannya sekarang. Seharusnya kalian berdualah yang berpasangan. Aku tidak berpura-pura bahwa aku tidak melihat itu. Tentu saja aku tahu, sejauh aku bisa mengingatnya. Tapi aku sengaja memisahkan kalian. Aku tidak meminta kalian memaafkan aku untuk itu. Bukan itu tujuanku sekarang. Yang kuinginkan adalah agar kalian memperbaikinya sekarang. Memperbaiki apa yang sudah kurusak untuk kalian."
"Apa maksudmu, Ruth?" tanya Tommy. "Apa maksudmu, memperbaiki?" Suaranya lembut, penuh rasa ingin tahu khas anak kecil, dan kupikir itulah yang membuatku mulai terisak.
"Kathy, dengar," kata Ruth. "Kau dan Tommy, kalian harus mencoba mendapatkan penangguhan. Kalau kalian berdua, pasti ada kesempatan. Kesempatan nyata."
Ia mengulurkan tangan dan meletakkannya di bahuku, tapi dengan kasar aku melepaskan diri dan memandangnya marah dari balik air mataku.
"Sudah terlambat untuk itu. Sangat terlambat."
"Belum terlambat. Kathy, dengar, belum terlambat. Baiklah, Tommy sudah melakukan dua donasi. Siapa bilang itu masalah?"
"Sudah terlambat untuk semua itu sekarang." Aku kembali terisak. "Konyol sekali, bahkan untuk memikirkannya saja. Sama konyolnya seperti ingin bekerja di kantor itu. Kita semua sudah melampaui itu sekarang."
Ruth menggeleng. "Belum terlambat. Tommy, beritahu dia."
Aku bersandar pada kemudi, jadi sama sekali tidak bisa melihat Tommy. Tommy mengeluarkan semacam bunyi dengung penuh tanda tanya, tapi tidak mengatakan apa-apa.
"Begini," kata Ruth, "kalian berdua, dengar. Aku ingin kita bertiga melakukan perjalanan ini, karena aku ingin mengatakan apa yang baru saja kukatakan. Tapi aku juga ingin memberi kalian sesuatu." Ia merogoh-rogoh saku jas hujannya, dan sekarang ia mengulurkan secarik kertas lecek. "Tommy, lebih baik kau mengambil ini. Jaga baik-baik. Lalu kalau Kathy berubah pikiran, kau masih menyimpannya."


Never Let Me Go Karya Kazuao Ishiguro di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tommy menggapai di antara kedua kursi dan mengambil kertas itu. "Terima kasih, Ruth," katanya, seakan-akan Ruth memberinya cokelat. Lalu sesudah beberapa saat ia berkata, "Apa ini" Aku tidak mengerti."
"Itu alamat Madame. Seperti katamu barusan. Setidaknya kalian harus mencoba."
"Bagaimana kau menemukannya?" tanya Tommy.
"Tidak mudah. Makan waktu sangat lama, dan aku mengambil beberapa risiko. Tapi akhirnya aku mendapatkannya, dan aku mendapatnya bagi kalian. Sekarang terserah kalian untuk mencari dia dan mencoba."
Waktu itu aku sudah berhenti menangis dan menghidupkan mesin. "Cukup tentang semua ini," aku berkata. "Kita harus mengantar Tommy. Lalu kita sendiri juga harus pulang."
"Tapi kalian akan mempertimbangkannya, ya kan?"
"Sekarang aku hanya ingin pulang," kataku.
"Tommy, kau akan menyimpan alamat itu" Kalau-kalau Kathy akhirnya setuju."
"Akan kusimpan," kata Tommy. Lalu, jauh lebih khidmat daripada kali terakhir, "Terima kasih, Ruth."
"Kita sudah melihat perahu," ujarku, "tapi sekarang kita harus pulang. Mungkin makan dua jam lebih ke Dover."
Mobil kami kembali ke jalan raya, dan seingatku kami tidak banyak bicara dalam perjalanan pulang ke Kingsfield. Masih ada sekelompok kecil donor berkerumun di bawah atap ketika kami masuk ke Alun-Alun. Aku memutar mobil sebelum menurunkan Tommy. Kami tidak memeluk atau mencium Tommy, tapi ketika ia menjauh menghampiri teman-temannya sesama donor, Tommy berhenti dan melemparkan senyum lebar kepada kami dan melambaikan tangan.
MUNGKIN kelihatannya aneh, tapi dalam perjalanan kembali ke panti Ruth, kami tidak membahas apa yang terjadi. Sebagian karena Ruth letih"percakapan terakhir di tepi jalan rupanya menguras tenaganya. Tapi juga, kupikir kami sama-sama merasa sudah cukup berbicara serius untuk satu hari, dan jika kami berbicara lebih banyak lagi, mungkin keadaan akan memburuk. Aku tak yakin bagaimana perasaan Ruth dalam perjalanan pulang itu, tapi bagiku, begitu luapan emosi itu mengendap, begitu malam mulai turun, dan cahaya menyala sepanjang sisi jalan, aku merasa baik-baik saja. Seakan-akan sesuatu yang menggantung di atasku untuk waktu lama telah lenyap, dan meskipun keadaan masih jauh dari beres, rasanya setidaknya kini ada sebuah pintu terbuka ke arah yang lebih baik. Maksudku aku tidak merasa senang atau apa. Hubungan kami sepertinya sangat rapuh dan aku merasa tegang, tapi bukan ketegangan yang buruk.
Kami bahkan tidak membahas Tommy selain mengatakan ia kelihatan baik-baik saja, dan bertanya-tanya berapa kilo bobotnya tambah. Lalu kami melewatkan bentangan-bentangan panjang dalam perjalanan itu dengan memperhatikan jalan sambil membisu.
Baru beberapa hari kemudian aku melihat bagaimana perjalanan itu membuat perubahan besar. Segenap kewaspadaan, kecurigaan di antara aku dan Ruth menguap, dan kami jadi ingat betapa besar arti kami bagi satu sama lain. Dan itulah awal masa itu, ketika musim panas mulai datang, dan kesehatan Ruth akhirnya stabil, aku datang di sore hari membawa biskuit dan air mineral, dan kami duduk berdampingan di dekat jendelanya, mengawasi matahari terbenam di atas atap-atap, membicarakan Hailsham, Cottage, apa pun yang muncul dalam benak kami. Kalau aku memikirkan Ruth sekarang, tentu saja aku sedih ia telah tiada; tapi aku juga sangat bersyukur atas masa yang sempat kami lewati bersama.
Meski begitu, ada satu topik yang tak pernah kami bahas dengan benar, yaitu tentang ucapan Ruth kepadaku dan Tommy di tepi jalan waktu itu. Sesekali Ruth menyinggung hal itu. Ia mengatakan sesuatu semacam:
"Sudah kaupertimbangkan untuk menjadi perawat Tommy" Kau tahu kau bisa mengaturnya, kalau mau."
Tak lama kemudian, gagasan itulah"bahwa aku menjadi perawat Tommy"yang menggantikan semua yang lainnya. Kukatakan aku masih memikirkannya, bahwa itu tidak sederhana, bahkan untukku, untuk mengatur hal seperti itu. Lalu biasanya kami berhenti membicarakannya. Tapi aku tahu Ruth selalu memikirkannya, dan itulah sebabnya, kali terakhir aku melihatnya, meskipun ia sudah tak mampu bicara, aku tahu apa yang ingin ia katakan kepadaku.
Itu tiga hari sesudah donasi keduanya, ketika mereka akhirnya membolehkan aku masuk untuk bertemu dengannya di pagi buta. Ia sendirian, dan sepertinya mereka sudah melakukan segalanya yang bisa mereka lakukan untuknya. Jelas bagiku saat itu, dari cara para dokter, koordinator, para juru rawat bersikap, bahwa mereka menganggap Ruth takkan bertahan. Sekarang aku memandangnya di tempat tidur rumah sakit, dalam cahaya remang-remang, dan mengenali ekspresi wajahnya, yang sudah sering kulihat pada wajah donor-donor sebelumnya. Seakan-akan ia bertekad agar matanya bisa melihat langsung ke dalam dirinya sendiri, supaya ia bisa mengawasi dan menyusun dengan lebih cermat setiap bagian-bagian terpisah yang terasa nyeri dalam tubuhnya"mungkin seperti cara perawat yang panik bergegas di antara tiga atau empat donor yang kesakitan di bagian negeri yang berlainan. Ruth masih sadar, tapi tak dapat merespons, ketika aku berdiri di samping tempat tidur besinya. Meski begitu aku menarik kursi dan duduk sambil memegang tangannya dengan kedua tanganku, meremasnya setiap kali gelombang nyeri membuatnya menggeliat menjauhiku.
Aku tetap bersamanya selama mereka mengizinkanku, tiga jam, mungkin lebih lama. Dan seperti kukatakan, nyaris sepanjang waktu ia tenggelam di dalam dirinya sendiri. Tapi hanya sekali, ketika ia menggeliat dengan cara tak wajar dan menakutkan, dan aku nyaris memanggil perawat untuk memberikan lebih banyak obat penahan sakit, hanya beberapa detik, tak lebih, ia menatapku dan mengenali siapa aku. Itulah salah satu momen ketika donor kadang-kadang tersadar di tengah perjuangan mereka yang mengerikan, dan ia menatapku, hanya sesaat, dan meskipun ia tidak mengatakan apa-apa, aku tahu makna tatapannya. Maka aku berkata kepadanya, "Baiklah, aku akan melakukannya, Ruth. Aku akan secepatnya menjadi perawat Tommy." Aku mengatakannya sambil berbisik, karena kupikir ia tidak mendengar kata-kataku, meskipun aku meneriakkannya sekalipun. Tapi aku beharap dengan saling menatap seperti itu selama beberapa detik, ia membaca ekspresiku persis seperti aku membaca ekspresinya juga. Lalu momen itu berlalu, dan ia kembali tak sadarkan diri. Tentu saja, aku takkan pernah benar-benar tahu, tapi kurasa ia mengerti. Dan meskipun ia tidak mengerti, sekarang terpikir olehku bahwa mungkin selama itu ia memang sudah tahu, bahkan sebelum aku, bahwa aku akan menjadi perawat Tommy, dan bahwa kami akan "mencobanya", seperti yang dikatakannya kepada kami di mobil waktu itu.
BAB 20 AKU menjadi perawat Tommy hampir setahun setelah perjalanan melihat perahu. Waktu itu belum lama sesudah donasi ketiga Tommy, dan meskipun pulih dengan baik, ia membutuhkan banyak waktu untuk beristirahat, dan ternyata cara itu cukup baik bagi kami untuk memulai fase baru ini bersama. Dalam waktu tidak terlalu lama, aku telah terbiasa dengan Kingsfield, bahkan mulai menyukainya.
Kebanyakan donor di Kingsfield mendapat kamar sendiri sesudah donasi ketiga, dan Tommy mendapatkan kamar tunggal paling besar di panti itu. Belakangan segelintir orang menduga akulah yang mengaturnya untuknya, tapi bukan demikian halnya; itu hanya keberuntungan, dan bagaimanapun juga, kamarnya tidak terlalu hebat. Kukira di masa kamp liburan kamar itu merupakan kamar mandi, karena jendela satu-satunya berkaca buram, dan letaknya cukup tinggi dekat langit-langit. Kau hanya bisa memandang keluar dengan berdiri di kursi dan membuka daunnya, lalu kau hanya mendapat pemandangan semak belukar yang rapat di bawah. Ruangannya berbentuk L, artinya selain tempat tidur, kursi, dan lemari, juga bisa ditempati meja tulis kecil dengan tutup yang bisa dibuka"benda yang ternyata merupakan bonus besar, yang nanti akan kujelaskan.
Aku tidak ingin memberikan gambaran keliru tentang masa di Kingsfield itu. Kebanyakan suasananya benar-benar santai, nyaris puitis. Waktu berkunjungku biasanya sesudah makan siang, dan aku akan mendapati Tommy berbaring di tempat tidur yang sempit"selalu berpakaian lengkap karena ia tak ingin "tampak seperti pasien". Aku duduk di kursi dan membacakan berbagai buku yang kubawa, novel seperti The Odyssey atau One Thousand and One Nights. Kalau tidak, kami hanya bercakap-cakap, kadang-kadang tentang masa lalu, kadang-kadang tentang hal lain. Menjelang sore ia sering terlelap, waktu aku menyelesaikan laporanku di meja tulisnya. Sangat mengagumkan, betapa tahun-tahun seolah mencair, dan kami bergaul dengan mudahnya.
Hanya saja, tidak semuanya seperti dulu. Pertama, Tommy dan aku akhirnya berhubungan seks. Aku tidak tahu seberapa sering Tommy memikirkan kami melakukan hubungan seks sebelum kami memulainya. Ia toh masih dalam masa pemulihan, dan mungkin itu bukan hal utama yang dipikirkannya. Aku tak ingin memaksa, tapi di lain pihak terpikir olehku bahwa jika kami terlalu lama menundanya, justru di saat kami mulai berpasangan, maka akan semakin sulit untuk menjadikannya bagian yang wajar dari diri kami. Dan pikiranku yang lain, kuduga, adalah bahwa kalau kami mengikuti kehendak Ruth, dan ternyata pergi memohon penangguhan, mungkin kenyataan bahwa kami belum pernah berhubungan seks bisa menjadi sandungan. Maksudku bukannya mereka akan menanyakannya kepada kami. Tapi aku khawatir mereka bakal tahu juga, karena tak ada keintiman di antara kami.
Maka kuputuskan untuk memulainya pada suatu siang di kamar itu, sedemikian rupa sehingga Tommy bisa memilih akan melanjutkan atau mengabaikannya. Tommy berbaring seperti biasa di tempat tidur, memandang langit-langit sementara aku membacakan buku untuknya. Setelah selesai aku menghampirinya, duduk di pinggir tempat tidur, dan menyelipkan tanganku ke bawah T-shirt-nya. Tak lama kemudian aku sudah menyentuhnya, dan meskipun perlu waktu lama baginya untuk terangsang, aku langsung tahu ia menyukainya. Kali pertama itu, banyak jahitan luka yang perlu kami waspadai, dan bagaimanapun juga, setelah bertahun-tahun mengenal tanpa berhubungan seks, rasanya seolah kami membutuhkan tahap peralihan sebelum bisa memasukinya dengan sempurna. Jadi setelah beberapa saat aku hanya membiarkan tanganku beraksi, dan ia berbaring tanpa berusaha balas merabaku, bahkan tidak mengeluarkan bunyi sama sekali, hanya tampak damai.
Tapi bahkan pada kali pertama itu ada sesuatu di situ, suatu perasaan, bersama perasaan bahwa ini sebuah awal, gerbang yang kami lewati. Lama aku tak ingin mengakuinya, dan meskipun akhirnya mengakuinya, aku berusaha meyakinkan diriku bahwa itu akan hilang bersama segenap rasa nyeri dan pedih yang diderita Tommy. Maksudku adalah, sejak saat pertama itu, ada sesuatu pada sikap Tommy yang bernada sedih, yang seakan-akan mengatakan: "Ya, kita melakukan ini sekarang dan aku senang kita melakukannya. Tapi sayang sekali kita menangguhkannya hingga selama ini."
Dan pada hari-hari berikutnya, ketika kami berhubungan seks dengan sepantasnya dan benar-benar bahagia karenanya, bahkan saat itu, perasaan yang mengusik itu selalu ada. Aku melakukan segalanya untuk melenyapkannya. Aku membuat kami melakukannya dengan sepenuh hati tanpa menahan diri, sehingga segalanya terasa mabuk dan mengawang-awang, dan tak ada tempat bagi apa pun yang lain. Bila Tommy di atas, aku mengangkat lututku untuknya; posisi apa pun yang kami gunakan, aku akan mengatakan dan melakukan apa pun yang menurutku akan membuatnya lebih nikmat, lebih bergairah, tapi tetap saja perasaan itu tidak pergi juga.
Mungkin ada hubungannya dengan kamar itu, bagaimana sinar matahari masuk lewat kaca sehingga bahkan pada awal musim panas, rasanya seperti musim gugur. Atau mungkin karena bunyi-bunyi nyasar yang sesekali sampai ke telinga kami sementara kami berbaring, dari para donor yang mondar-mandir, mengerjakan urusan masing-masing, dan bukan dari siswa-siswa yang duduk-duduk di lapangan rumput, berdebat tentang novel dan puisi. Atau mungkin ada hubungannya dengan bagaimana kadang-kadang, bahkan setelah kami melakukannya dengan sangat baik dan berbaring berpelukan, serpihan dari apa yang baru saja kami lakukan masih memenuhi benak, Tommy mengatakan sesuatu seperti: "Dulu aku bisa melakukannya dua kali berturut-turut dengan mudah. Tapi sekarang aku tidak bisa lagi." Lalu perasaan itu muncul dan aku harus meletakkan tanganku di atas mulutnya setiap kali ia mengatakan hal semacam itu, hanya supaya kami bisa terus berbaring dengan damai. Aku yakin Tommy juga merasakannya, karena kami selalu berpelukan erat sekali sesudah momen-momen semacam itu, seakan-akan dengan begitu kami berhasil menghilangkan perasaan itu.
SELAMA beberapa minggu pertama sesudah aku datang, kami nyaris tidak pernah membahas Madame atau percakapan dengan Ruth di mobil tempo hari. Tapi kenyataan bahwa aku menjadi perawatnya, menjadi pengingat bahwa kami tidak berada di sana untuk menghabiskan waktu dengan hal-hal rutin. Begitu pula, tentu saja, gambar-gambar hewan Tommy.
Bertahun-tahun aku sering bertanya-tanya tentang hewan-hewan Tommy, bahkan pada hari ketika kami pergi melihat perahu, aku tergoda untuk menanyakannya kepadanya. Apakah ia masih menggambarnya" Apakah ia menyimpan gambar-gambar-nya waktu di Cottage dulu itu" Tapi riwayat yang terkait dengan hal itu, membuatku sulit bertanya.
Lalu suatu siang, mungkin sekitar satu bulan setelah aku mulai, aku naik ke kamarnya dan mendapati ia duduk di meja tulis, dengan cermat menggambar, wajahnya nyaris menyentuh kertasnya. Ketika aku mengetuk pintu ia menyuruhkan masuk, tapi sekarang ia tidak mengangkat kepala atau menghentikan kesibukannya, dan setelah satu lirikan jelas bagiku ia sedang menggambar salah satu makhluk khayalannya. Aku berhenti di ambang pintu, tak yakin apakah boleh masuk, tapi akhirnya Tommy menengadah dan menutup bukunya"kulihat buku itu sama persis dengan buku hitam yang didapatnya dari Keffers bertahun-tahun yang lalu. Aku masuk dan kami berbicara tentang sesuatu yang sama sekali berbeda, dan sesudah beberapa saat ia menyimpan bukunya tanpa kami menyebut-nyebutnya. Tapi sesudah itu, aku sering masuk dan melihat buku itu tergeletak di meja atau dilempar ke dekat bantalnya.
Lalu pada suatu hari kami berada di kamarnya. Masih ada waktu sebelum berangkat melakukan pemeriksaan, dan aku melihat ada yang aneh dalam sikapnya: pura-pura malu dan seperti berkomplot, sehingga aku berpikir ia ingin berhubungan seks. Tapi ia lalu berkata:
"Kath, aku hanya ingin kau memberitahuku. Katakan dengan jujur."
Lalu buku catatan hitam itu keluar dari mejanya, dan ia menunjukkan kepadaku tiga sketsa sejenis katak"katak ini berekor panjang seakan-akan sebagian tubuhnya masih berupa kecebong. Setidaknya, begitulah tampaknya kalau kau memegangnya agak jauh. Dari dekat, setiap sketsa berupa detail kecil-kecil, mirip makhluk-makhluk yang kulihat bertahun-tahun yang lalu.
"Yang dua ini kubuat dengan gagasan mereka terbuat dari logam," katanya. "Lihat, semua permukaannya mengilap. Tapi yang satu ini, kupikir akan kubuat seperti karet. Lihat" Nyaris seperti gumpalan. Aku ingin membuat versi yang benar sekarang, yang benar-benar bagus, tapi aku tak bisa memutuskan. Kath, katakan sejujurnya, bagaimana menurutmu?"
Aku tidak ingat apa jawabku. Yang kuingat adalah campuran emosi kuat yang menyerbuku saat itu. Aku langsung menyadari inilah cara Tommy melupakan semua yang terjadi seputar gam-bar-gambarnya dulu di Cottage, dan aku lega, bersyukur, gembira. Tapi aku juga menyadari mengapa hewan-hewan itu muncul lagi, dan semua kemungkinan yang ada di balik pertanyaan Tommy yang kelihatannya kasual itu. Setidaknya, bisa kulihat, ia menunjukkan bahwa ia belum lupa, meskipun kami nyaris tidak membahas apa pun secara terbuka; ia memberitahuku bahwa ia tidak puas dengan dirinya sendiri, dan bahwa ia sibuk melakukan bagiannya dalam persiapan-persiapan.
Tapi bukan hanya itu yang kurasakan ketika memandang katak-katak aneh itu. Karena hal itu muncul kembali, hanya saja samar-samar dan awalnya hanya di latar belakang, tapi semakin membesar, sehingga sesudahnya hanya itu terus yang kupikirkan. Mau tak mau, ketika aku memandang halaman-halaman itu, hal itu terlintas dalam benakku, bahkan ketika aku mencoba meraih dan menyingkirkannya. Aku tersadar sekarang gambar-gambar Tommy tidak sesegar dulu. Baiklah, katak-katak ini mirip sekali dengan yang kulihat dulu di Cottage. Tapi sesuatu sudah hilang, dan gambar-gambarnya kelihatan dikerjakan dengan susah payah, nyaris seakan-akan dijiplak. Maka perasaan itu muncul lagi, meskipun aku berusaha mengelak: bahwa semua ini terlambat; bahwa dulu ada waktu yang tepat untuk itu, tapi kami menyia-nyiakannya, dan ada sesuatu yang konyol, bahkan memalukan dalam cara kami sekarang berpikir dan merencanakan.
Sekarang ketika menceritakannya lagi, aku tersadar mungkin ada alasan lain mengapa kami begitu enggan membicarakan rencana kami dengan blakblakan. Memang donor-donor lain di Kingsfield tak pernah terdengar membicarakan tentang penangguhan atau hal semacam itu, dan mungkin samar-samar kami agak malu, nyaris seolah kami menyembunyikan rahasia yang memalukan. Mungkin kami bahkan takut pada apa yang akan terjadi kalau rahasia kami bocor.
Tapi seperti kukatakan, aku tak ingin memberi gambaran yang terlalu muram tentang masa di Kingsfield itu. Untuk sebagian besar, terutama setelah Tommy bertanya tentang hewan-hewannya, rasanya bayangan gelap dari masa lalu tak ada lagi, dan sebagai pasangan kami benar-benar mapan. Dan meskipun Tommy tak pernah lagi meminta saranku tentang gambar-gambarnya, ia dengan senang hati mengerjakannya di depanku, dan kami sering melewatkan siang-siang seperti itu: aku di tempat tidur, mungkin membaca keras-keras; Tommy di meja, menggambar.
Mungkin kami bisa bahagia kalau saja keadaan tetap seperti itu untuk waktu lebih lama; kalau kami bisa menghabiskan lebih banyak siang dengan mengobrol, bercinta, membaca keras-keras, dan menggambar. Tapi ketika musim panas mulai berakhir, dan Tommy semakin kuat, serta semakin dekatnya kemungkinan panggilan untuk donasinya yang keempat, kami tahu kami tak bisa menangguhkan semuanya untuk waktu tak terbatas.
MASA itu luar biasa sibuk untukku, dan sudah hampir satu minggu aku belum ke Kingsfield. Hari itu aku tiba pagi-pagi, dan aku ingat hujan deras. Kamar Tommy nyaris gelap, dan kau bisa mendengar talang mengucurkan air di dekat jendelanya. Ia turun ke mang utama untuk sarapan bersama rekan-rekannya para donor, tapi naik lagi dan sekarang duduk di tempat tidur, pandangannya kosong, tidak melakukan apa-apa. Aku masuk dalam keadaan letih"sudah lama aku kurang tidur"dan aku roboh di tempat tidurnya yang sempit, mendorong Tommy ke dinding. Aku berbaring seperti itu beberapa saat, dan mungkin akan langsung terlelap kalau Tommy tidak menyodok lututku dengan ibu jari kakinya. Lalu akhirnya aku duduk di sampingnya dan berkata:
"Aku melihat Madame kemarin, Tommy. Aku tidak bicara kepadanya atau apa. Tapi aku melihatnya."
Ia memandangku, tapi diam saja.
"Aku melihatnya di jalan dan dia masuk ke rumahnya. Ruth benar. Alamatnya benar, pintunya benar, semuanya."
Lalu kuceritakan bagaimana hari sebelumnya, karena kebetulan berada di pantai selatan, aku pergi ke Littlehampton sore-sore, dan seperti dua kesempatan terakhir, menyusuri jalan panjang dekat tepi pantai, melewati deretan rumah-rumah berteras dengan nama-nama seperti "Wavecrest" dan "Sea View", sampai aku tiba di bangku umum di dekat telepon umum. Aku duduk dan menunggu"seperti yang kulakukan sebelumnya"terpaku memandang rumah di seberang.
"Persis yang dilakukan detektif. Sebelumnya, aku duduk di sana selama setengah jam, dan tidak ada apa pun, sama sekali tidak ada. Tapi aku tahu kali ini aku beruntung."
Aku sangat lelah, aku nyaris tertidur di bangku itu. Tapi kemudian aku menengadah dan melihat Madame, melangkah menuju arahku.
"Sangat mengerikan," kataku, "karena dia masih kelihatan sama. Mungkin wajahnya sedikit lebih tua. Tapi selebihnya, tak ada perbedaan berarti. Bahkan pakaiannya masih sama. Setelan abu-abu yang rapi itu."
"Tapi tidak mungkin setelan yang persis sama."
"Entahlah. Kelihatannya begitu."
"Jadi kau tidak mencoba berbicara dengannya?"
"Tentu saja tidak, bodoh. Satu langkah setiap kali. Dia tidak bisa dibilang ramah kepada kita, ingat!"
Kuceritakan bagaimana Madame lewat persis di depanku di sisi seberang, tanpa pernah menoleh ke arahku; bagaimana sejenak aku mengira ia juga akan melewati pintu yang sudah kuperhatikan"bahwa alamat yang diberikan Ruth salah. Tapi Madame membelok tajam di gerbang, melewati jalan setapak dalam dua atau tiga langkah dan menghilang ke dalam.
Sesudah aku selesai bercerita, Tommy diam beberapa saat. Lalu katanya:
"Kau yakin tidak akan mendapat masalah" Selalu bermobil ke tempat-tempat yang tidak seharusnya kaudatangi?"
"Kenapa pikirmu aku lelah begini" Aku bekerja lembur agar semuanya beres. Tapi setidaknya kita sudah menemukan Ma-dame."
Di luar hujan masih mengguyur. Tommy berputar dan membaringkan kepalanya di pundakku.
"Ruth sudah berbuat baik untuk kita," ia berkata, lembut. "Dia sudah memperbaikinya."
"Ya, dia berhasil baik. Tapi sekarang tergantung kepada kita."
Api Di Bukit Menoreh 1 Touche Karya Windhy Puspitadewi Rahasia Kaum Falasha 5

Cari Blog Ini