Panglima Gunung Karya Stefanus Sp Bagian 1
PANGLIMA GUNUNG karya Stevanus SP Sumber Ebook : suhu Awie Darmawan
Edit teks: Saiful Dipersembahkan oleh Group FB Kolektor E-Book untuk pecinta ceritasilat Indonesia.
Jilid 1 Hak cipta dari cerita ini sepenuhnya berada pada Pengarang di bawah lindungan Undang Undang.
Dilarang mengutip / menyalin / menggubah
tanpa ijin tertulis dari Pengarang.
cerita silat ini episode terakhir setelah puing puing dinasti dan kembang jelita peruntuh tahta
_ CETAKAN PERTAMA CV GEMA SOLO-1995
Jilid 1 ANG SIOK-SIM si pemuda gunung baru saja mengumpulkan kayu bakar dari bukit itu merasa hatinya tidak enak ketika melihat kepala kampungnya, Bhe Tham-jin, sedang mengamat-amati ladang warisan ayah Ang Siok-sim _bersama beberapa orang _yang bertampang orang kaya dari kota.Bhe Tham-jin nampak berdandan lebih rapi dari biasanya,. menandakan hormatnya 'kepada orang orang kota itu. Dengan sikap kelewat ramah yang nyaris merupakan sikap menjilat ia nampak sedang menerangkan panjang lebar kepada orang-orang kota itu sambil menunjuk-nunjuk ladang garapan Ang Siok-sim.
Itulah yang membuat hati Ang Siok sim tidak enak. Kepala kampung yang rakus itu bukan mengayomi warga kampungnya serta hak milik warga kampung
sebaliknya malah bersikap bagai raja kecil yang menganggap kampung dan seisinya adalah milik pribadinya, bahkan manusia-manusia penghuninya juga dianggap milik pribadi Si Kepala Kampung yang berhak menjualnya seenaknya. Setahun yang lalu Bhe Tham-jin seenaknya merampas ladang seorang warganya sendiri untuk dijual kepada seorang bangsawan di ibu kota Lam-khia, untuk dijadikan peternakan kuda oleh si bangsawan. Harga ladang yang diterimanya dari bangsawan itu sebagian kecil diberikan kepada si pemilik tanah, sebagian besar amblas ke dalam kantong tak berdasar dari Bhe Tham-jin pribadi. Lalu setengah tahun yang silam, Bhe Tham-jin kembali "berjualan", kali ini "dagangan"nya ialah seorang gadis kampung yang tercantik di kampung itu, yang bernasib sial sehingga terlihat oleh seorang bangsawan dari Lam-khia yang sedang berburu. Tempat itu memang tidak jauh dari Lam-khia, ibu kota Kerajaan Beng Selatan setelah ibu kota utara, Pak-khia, diduduki bangsa Manchu hampir lima tahun yang silam.
Saat itu seluruh daratan Cina terbelah dua, sebelah utara dikuasai Manchu yang memindahkan ibu kotanya dari Jiat-ho ke Pak-khia, sebelah selatan masih dikuasai beberapa bangsawan keturunan dinasti Beng yang kurang rukun satu sama lain, dengan pusat pemerintahan yang lemah wibawanya terhadap daerah-daerah, di Lam-khia. Kembali ke kisah di kampung yang dikepalai Bhe Tham-jin, si bangsawan hidung belang dari Lam-khia itu lalu menguber si gadis kampung dan berusaha mendapatkannya, Bhe Tham-jin sesuai dengan wataknya malah membela si bangsawan dan menekan keluarga si gadis sampai gadis itu berhasil diboyong ke Lam-khia, tentunya Bhe Tham-jin mendapat imbalan dari si bangsawan. Dalam upaya memperkuat cengkeramannya atas kampungnya, Bhe Tham-jin menggaji belasan tukang kepruk yang diambilkan dari luar kampungnya, sebab orang kampung setempat tidak ada yang mau bekerja baginya untuk menindas sesama warga kampung.
Ada enam orang yang sedang membicarakan ladang Ang Siok-sim _itu. Yaitu Bhe Tham-jin diiringi dua orang tukang kepruknya, dan sang tamu mentereng dari kota raja juga diiringi dua tukang kepruknya. Orang-orang dari kota itu menunggangi kuda yang bagus-bagus, bagus kudanya, bagus tali kekang kudanya dan bagus pula selimut pelapis kudanya.
Biarpun agak takut,Ang Siok-sim merasa berhak juga mengetahui apa yang mereka bicarakan, sebab ladang yang ditunjuk-tunjuk itu kepunyaannya, peninggalan kedua orang tuanya yang sudah tiada.
Ang Siok-sim melangkah mendekat, kemudian menaruh ikatan kayu kering yang dibawanya dari bukit, lalu dengan sikap sesopan-sopannya ia :bertanya, "Selamat siang, Tuan-tuan yang mulia, saya lihat dari jauh tadi, nampaknya Tuan tuan sedang membicarakan ladang saya. Apakah benar?" .
Bhe Tham-jin pun menyambut dengan ramah, ''SiOk-Sim, mimpi apa kau semalam sehingga hari ini kau beroleh keberuntungan sebesar ini".
Keberuntungan yang akan membuat warga kampung lainnya iri kepadamu. Kuucapkan selamat kepadamu".
kalau Si Kepala kampung menunjukkan keramahan yang tidak wajar ini. bukannya Ang siok sim lega, malah sebaliknya Ang Siok sim merasa makin tidak enak.
"Lurah bhe,keberuntungan, apa yang kau bicarakan ini?""
Dengan sikap yang kelewat ramah, Bhe Tham-jin,_menepuk-nepuk pundak Ang Siok-sim ,sambil memperkenalkan tamu tamunya dari kota, "Siok-sim, kuperkenalkan kepada Tuan Coan Wan-hong. Beliau adalah tangan kanan yang menjalankan usaha dagang. berjaringan luas dari pangsawan Dao. Pernah dengar?"
Ang Siok-sim pun mengangguk lemas. Orang-orang di Lam-khia maupun puluhan mil seputar Lam-khia, siapa yang belum pernah mendengar nama si bangsawan yang merupakan saudara sepupu dari Permaisuri Kaisar" Bangsawan yang mengandalkan hubungan keluarganya terus menerus "memperluas" usahanya. Usaha dagang ,atau, tanah atau apa saja yang
kelihatannya menguntungkan, segera akan diincar oleh Bangsawan Dao dan diambil alih. Kalau tidak secara baik-baik Ya secara main kayu. Sekarang Bangsawan Dao mengirim orang yang agaknya meng incar ladang Ang Siok-sim. Ladang peninggalan mendiang ayahnya yang ingin digarapnya sampai akhir hayatnya, demi mempertahankan kenangan akan ayahnya. Tapi kalau Bangsawan Dao sudah mengincarnya, mana bisa lolos" Banyak cerita tentang orang, entah pemilik tanah entah pengusaha, yang hancur-lebur hidupnya karena menentang bangsawan itu. . Ang Siok-sim menyadari posisinya, dan ia tidak ingin menentang terang terangan meskipun dalam hatinya mulai marah. ia menghormat dalam-dalam kepada Coan Wan-hong sambil berkata, "Kehormatan besar bagi saya, bahwa tanah peninggalan almarhum ayah saya ini mendapat penilaian dari Tuan. Tetapi... saya masih punya seorang kakak yang sekarang tinggal di Lam-khia, ikut suaminya yang menjadi seorang pejabat militer berpangkat tinggi. Kakak perempuan saya dan suaminya itu, bagaimanapun juga berhak mengetahui urusan ini."
Padahal, baik Coan Wan-hong maupun Bhe Tham-jin sedikit pun belum menyinggung soal jual-beli tanah. Tadi Bhe Thamjin baru memperkenalkan Coan Wan-hong.
Mendengar kata-kata Ang Siok-sim itu, Bhe Tham-jin tertawa berkakakan sambil berkata, "Ha-ha-ha... Siok-sim, rupanya hidungmu tajam juga. Baru melihat Tuan Coan saja kau sudah menduga bahwa tanahmu diingini Bangsawan Dao. Memang benar. Dan itulah yang kusebut keberuntungan besarmu tadi."
"Tetapi saya harus bicara dengan kakak saya di Lam-khia, yang suaminya adalah pejabat tinggi militer."
Sudah dua kali Ang Siok-sim sengaja menekankan tentang kakak iparnya yang "pejabat tinggi militer" itu untuk menggertak Si Kepala Kampung maupun orang suruhan Bangsawan Dao itu, bahwa Ang Siok-sim "tidak selemah korban-korban penggusuran seperti yang sudah-sudah".
"Pejabat tinggi militer?" tanya Coan Wan-hong. "Siapa namanya" Aku juga
tinggal di Lam-khia dan barangkali pernah mendengar nama kakak iparmu itu."
Soal lelaki yang mengambil kakak perempuannya sebagai isteri itu Ang Siok sim sendiri kurang jelas, meski pernikahan kakak perempuannya sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu. Kakak iparnya itu ketika datang melamar dulu, berdandan mentereng, lalu memboyong kakak perempuan Ang Siok-sim ke Lam-khia dan sehabis itu tidak ada lagi kabar beritanya meskipun Lam-khia hanya sehari perjalanan jauhnya. Tetapi Ang Siok sim masih ingat, kakak iparnya itu she Eng, dan pernah dengan bangga berkata kepada Ang Siok-sim, "Kalau ke Lamkhia, katakan kepada semua orang bahwa kau mencari Jenderal Eng, dan orang akan menunjukkan tempatku."
Maka kini dengan dada membusung Ang Siok-sim berkata kepada Coan Wanhong, "Mungkin Tuan pernah mendengar nama Jenderal Eng?"
Coan Wan-hong memang agak terpengaruh oleh sikap mantap Ang Siok-sim itu. "Jadi... Saudara ini adalah adik ipar
Jenderal Eng?" "Benar." Melihat Coan Wan-hong mulai keder, diam-diam Si Kepala Kampung bersyukur bahwa tadi' sikapnya kepada Ang Sioksim cukup ramah. Dulu Bhe Tham-jin hanya tahu kalau Ang Siok-sim punya seorang kakak perempuan yang diambil isteri orang Lam-khia, tetapi siapa sangka kalau yang mempersunting kakak Ang Siok-sim seorang jenderal"
Kata Coan Wan-hong kemudian, "Majikanku kenal banyak panglima di Lamkhia, mungkin di antara mereka adalah kakak iparmu. Dan setelah mendengar kata-katamu tadi, Saudara, rasanya niat majikanku untuk membeli ladangmu ini takkan mendapat hambatan dari pihakmu, Silakan Saudara ke Lam-khia untuk menjumpai kakakmu dan merundingkan urusan ini. Kami beri waktu cukup, dan kami juga menawarkan harga yang pantas karena soal uang bukanlah masalah besar buat majikan kami."
Ternyata setelah mendengar bahwa ladang itu kepunyaan adik ipar "Jenderal Eng", niat Coan Wan-hong yang mewakili Bangsawan Dao itu tidak surut sedikitpun.
Diam-diam Ang Siok-sim membatin, "Kau ingin aku ke Lam-khia, baik, akan kuadukan hal ini kepada kakak iparku. Biar Bangsawan Dao sekali-sekali kena batunya, kebentur orang yang tidak menuruti kemauannya dan punya kekuasaan juga."
Coan Wan-hong pun kemudian pergi dari situ, diikuti Bhe Them-jin yang mengekor bagaikan anjing yang jinak kepada tuannya.
Setelah mereka pergi, beberapa tetangga yang semula hanya berani melihat dari kejauhan, kini berbondong-bondong keluar dan mengerumuni Ang Siok-sim, menanyakan apa yang dibicarakan tadi meskipun mereka sudah bisa menerkanya.
Ang Siok sim dengan gagah menjawab bahwa kali ini ia akan membuat Bangsawan Dao kena batunya, dan ia akan ke Lam-khia untuk menjumpai kakak iparnya yang menjadi jenderal di sana. Tetangga tetangga yang selama ini memang memendam rasa muak dan marah kepada Si Kepala Kampung, banyak yang mendukung niat Ang Siok-sim itu.
"Benar, jangan lepaskan ladang peninggalan ayahmu!"
"Si rakus Bhe Tham-jin itu udah malang-melintang sekian lama, sudah saatnya dia dihentikan."
"Begitu juga si bangsawan yang ingin mengangkangi seluruh bumi ini, entah mimpi buruk apa dia semalam sehingga hari ini dia kebentur masalah dengan adik iparnya Jenderal Eng!"
Dua orang penduduk kampung itu bahkan menyatakan sanggup akan menemani Ang Siok-sim ke Lam-khia. Sekalian melihat-lihat kota terbesar di seluruh daratan Cina itu. Bahkan lebih besar dari Pak-khia, Kai-hong, Lok-yang dan sebagainya.
*** Akhirnya sampai juga ketiga orang kampung itu ke Lam-khia, setelah mereka berjalan sejak matahari terbit sampai matahari terbenam.
Lam-khia adalah ibu kota pertama dinasti Beng ketika didirikan Kaisar Hong-bu beberapa abad yang silam. Ketika Kaisar pertama Itu wafat, penggantinya ternyata bukan salah seorang dari putera-puteranya, melainkan seorang cucunya yang naik tahta menjadi Kaisar Hui-te. Seorang putera Kaisar Hong-bu, jadi paman dari Kaisar Huite, yaitu Pangeran Yan-Eng, tidak puas dan memberontak. Mengalahkan keponakannya sendiri sehingga Kaisar Hui-te kabur dengan kapal ke luar negeri. Pangeran Yan-eng naik tahta bergelar Kaisar Seng-cou, memindahkan ibu kota kerajaan dari Lam-khia ke Pak-khia. Dalam sejarah, ia dikenal juga sebagai Kaisar Yung-lo, yang memerintahkan Laksamana The Ho (Cheng Ho) yang legendaris dengan armadanya menjelajahi samudera sampai ke Madagaspar di Afrika timur. Konon laksamana itu diam-diam ditugasi oleh rajanya untuk menemukan Kaisar Hui-te yang kabur keluar negeri itu, sebab Kaisar Yung-lo belum tenteram sebelum menemukan dan menumpas
keponakannya yang dikudeta itu. Pakkhia menjadi ibu kota selama berabad abad, sampai jaman raja ke tujuh belas dari dinasti Beng, yaitu Kaisar Congceng, kekuasaan direbut oleh kaum pemberontak Pelangi Kuning. Lalu diambil alih lagi oleh Manchu dan Pak-khia dijadikan ibu kota Manchu yang menguasai belahan utara daratan Cina. Belahan selatan tetap dikuasai beberapa pangeran keturunan dinasti Beng, yang setelah melalui serangkaian pergulatan dan intrik sengit, akhirnya dengan terpaksa menobatkan Pangeran Hok-ang menjadi Kaisar Beng-te yang wibawanya lemah.
Lamkhia adalah ibu kota apa yang disebut Kerajaan Beng Selatan.
Menyusuri jalan-jalan lebar berlapis batu, dengan gedung-gedung megah di kanan kiri kanannya, pagoda-pagoda yang menjulang tinggi ke langit, gapura-gapura indah, maka Ang Siok-sim dan kedua temannya mulai bingung.
Saat itu langit sudah gelap, lilin-lilin dan obor-obor serta lampion-lampion sudah menyala di mana-mana. Di depan rumah orang-orang kaya biasanya dipasangi lampion renteng yang kerudung lampionnya ditulis gelar kebesaran dari si empunya rumah.
Seorang teman Ang Siok-sim yang bernama Gui Gong sudah mulai gelisah, "Kakak Sim, mana rumah kakak iparmu" Dari tadi kita berputar-putar saja, dan entah berapa banyak dan berapa panjang jalan-jalan ini?"
"Kita tanya orang," kata Ang Siok sim. "Dulu kakak iparku' bilang, tanya saja rumah Jenderal Eng, pasti semua orang tahu."
"Wah, kakak iparmu sangat terkenal ya" Kenapa tidak tanya dari tadi?" kata teman Ang Siok-sim yang satu lagi yang bernama Ho Ke-liang.
"Sebab tadi kupikir... mencarinya mudah," Ang Siok-sim mengaku tersipu-sipu "Memang pernah kudengar bahwa Lamkhia kota besar, tetapi sebesar-besarnya sebuah kota, paling-paling ya cuma lebih banyak rumahnya dan jalannya, tak ku sangka akan sebesar ini, tak tahu di mana batasnya...."
"Ya sudah, tanya ya tanya,Coba tanya orang itu"
Mereka bertiga mendekati seorang lelaki yang sedang melangkah santai di jalanan. "Maaf, Bung, kami mau numpang tanya." '
"Ya, silakan." "Tahu rumahnya Jenderal Eng?"
Orang yang ditanya itu berpikir se-bentar, lalu katanya, "Jenderal Eng yang memikul tanggung jawab keamanan dermaga-dermaga sepanjang sungai Tiangkang?"
Ang Siok-sim sendiri malah belum pernah mendengar tentang itu, namun nekad saja ia menjawab, "Benar. Jenderal Eng yang itu."
"Buat apa Saudara-saudara ini hendak menjumpainya?"
Dengan nada amat bangga, Gui Gong menyahut mendahului Ang Siok-sim, "Kakak Sim ini adalah adik ipar Jenderal Eng. Kakak perempuannya diperisteri Jenderal Eng."
Orang yang ditanyai itu tercengang lalu memperhatikan tampang dan dandanan Ang Siok-sim. Tampang dan dandanan orang desa tulen. Orang seperti ini mengaku sebagai adik iparnya Jenderal Eng"
Namun orang itu menunjukkan Juga rumah Jenderal Eng.
Ang Siok-sim bertiga mengucapkan terima kasih lalu melangkah menuruti petunjuk orang tadi. Setelah berjalan kira-kira satu jam, tibalah mereka di depan sebuah gedung besar berdinding tinggi, di depan pintu gerbangnya dihias sepasang singa batu yang lebih tinggi dari orang biasa. Pintu gerbangnya dari kayu amat tebal, bercat merah, tertutup rapat, dan ada gelang tembaga untuk mengetuknya. Untuk mencapai pintu itu harus menaiki undakan batu hitam yang dihaluskan.
Di pintu juga digantungi lampion renteng yang kerudungnya bertulisan, dan Ang Sick-sim yang bisa membaca meskipun hanya sedikit, dapat mengenali hurufhuruf itu dan tahu memang itulah rumah Jenderal Eng.
Belum-belum Ang Siok-sim sudah berkata kepada kedua temannya dengan bangga.
"Hebat tidak, rumah kakak iparku" Bagian dalamnya pasti jauh lebih hebat." _
Gui Gong mengangguk-angguk sambil mengusap-usap perutnya, "Iya, iya, dan mudah-mudahan begitu melihat kita, pertama-tama kakak iparmu menawari kita makan ya?"
Dengan langkah penuh percaya diri, Ang Siok-sim melangkahi undakan, lalu menggunakan gelang tembaga yang terpasang di pintu itu untuk menggedor pintu berulang-ulang.
Pintu tidak langsung dibuka, melainkan hanya sebuah lubang kecil berbentuk segi yang hanya pas untuk sepasang mata yang mengintip dari sebelah dalam, dan teguran yang bernada tidak bersahabat, "He, pergi dari sini! Tempat ini sedang tidak mengadakan pembagian makanan gratis!"
Dengan mendongkol Ang Siok-sim menyahut, "He, kalau lihat orang jangan dinilai dari luarnya! Pakaian kami bertiga nampak kotor karena kami baru saja melakukan perjalanan jauh, bukan karena kami ini gelandangan. Laporkan Jenderal Eng. adik iparnya datang!"
Mata di balik lubang persegi kecil itu terbelalak. "Adik ipar Jenderal Eng?"
"Ya, namaku Ang Siok-sim. Kedua temanku itu Gui Gong dan Ho Ke-liang. Kalau sikapmu yang tidak sopan itu kulaporkan ke kakak iparku nanti, tahu rasa kau! Cepat buka pintu dan bersikaplah sopan!"
Gertakan Ang Siok-sim itu mengena juga. Lubang kecil persegi itu ditutup, tak lama kemudian terdengar suara keras ketika pintu gerbang dibuka. Di belakang pintu gerbang ternyata ada beberapa prajurit berjaga,_ mungkin sekitar sepuluh orang. Maklum rumah jenderal.
Pemimpin regu jaga itu menatap Ang Siok-sim bertiga dengan ragu, sampai Ang Siok-sim menanyainya, "Apa yang kau lihat, sobat" Cepat antarkan kami menjumpai kakak iparku."
Di kampungnya, Ang Siok-sim kenyang ditindas dan dibentak-bentak Bhe Thamjin, kini di kota sebesar Lam-khia justru Ang Sick-sim bertiga merasa beroleh kesempatan untuk menikmati bagaimana rasanya jadi orang berkuasa.
Gui Gong melangkah di samping Ang Siok-sim, dengan berani menatap prajurit prajurit itu sambil berkata, "Tidakkah kalian dengar" Antar kami menjumpai Jenderal Eng, atau kalian ingin dihukum oleh Jenderal?"
Komandan regu jaga menjawab hormat, "Setelah tamu Jenderal pergi, akan kami antar tuan-tuan kepadanya. Tetapi malam ini Jenderal sedang terima tamu, dan sudah berpesan tidak mau diganggu oleh siapa pun."
Sahut Gui Gong, "Siapa pun tamunya, tak ada yang lebih penting dari sanak keluarga yang dari jauh. Kakak Sim, Kakak Liang, ayo masuk. Anggap di rumah sendiri!"
Lalu ketiga orang itu melangkah masuk dengan langkah gagah dan dada membusung. Prajurit-prajurit penjaga ingin mencegah tetapi tak berdaya, benar-benar takut kalau menyakiti hati adik ipar Jenderal ini, di lain pihak ia benar-benar dipesan sungguh-sungguh untuk tidak menerima tamu lain sementara.
Sang Jenderal menjumpai tamunya yang sekarang.
Selagi si komandan regu jaga salah tingkah, dari halaman samping muncullah beberapa orang lelaki gagah berpakaian rapi, membawa senjata. Mereka tidak berseragam prajurit, sebab merekalah pengawal-pengawal pribadi Jenderal Eng.
"Ada apa ini" Tidakkah kalian tahu Jenderal sedang berbicara dengan tamunya?" tegur salah seorang pengawal pribadi itu. ia bertubuh ramping, tidak terlalu besar namun berotot, usianya sekitar empat puluh tahun, matanya tajam dan memakai jubah longgar. Di tangannya tergulung seutas rantai yang ujungnya berbandulan bola besi, senjata yang disebut lian-cu-tui.
Komandan regu jaga agak lega dengan munculnya para pengawal pribadi ini. Bisa diajak berbagi tanggung jawab kalau sampai ada apa-apa, lagipula para pengawal pribadi pembesar-pembesar di Lamkhia biasanya punya wewenang dan kekuasaan yang lebih besar dari para prajurit yang berseragam. Kekuasaan dan wewenang para "prajurit swaSta" ini ti dak mengikuti aturan tertentu melainkan menurut kehendak tuannya masing-masing.
"Kebetulan kau muncul, Saudara in," kata si komandan regu jaga. "Orang orang ini bilang bahwa mereka adalah kerabat Jenderal Eng, dan kami tidak bisa mencegah mereka."
"Kerabat" Ada hubungan apa mereka dengan Jenderal Eng?" .
Biarpun tidak ditanya, Gui Gong menjawab dengan gusar, "Kakak Sim ini adalah adik ipar Jenderal Eng, tolol!"
Pemimpin pengawal pribadi she In itu tercengang, "Adik ipar" Siapa namamu dan nama kakak perempuanmu yang menjadi isteri Jenderal Eng" Aku sudah sepuluh tahun bekerja pada Jenderal Eng, keluarganya sudah kukenal baik semuanya."
Sebetulnya waktu itu Ang Siok-sim maupun Ho Ke-liang sudah merasa tidak enak hati. Merasa urusannya agak tidak beres. Namun Gui Gong yang polos ditambah dorongan perutnya yang kelaparan itu terus saja pantang mundur, "Baik, kau mengaku kenal baik semua keluarga Jenderal, kau pasti kenal isteri Jenderal yang bernama Ang Siok-lan. Dialah kakak perempuan dari Kakak Sim ini. Kalau tidak percaya, coba pertemukan kami dengan Jenderal dan keluarganya!"
Tak terduga si pengawal she ln geleng-geleng kepala, "Jenderal punya lima orang isteri, dan tak seorang pun she Ang, juga tak ada yang bernama Sioklan. Kalian pasti keliru. Nah, pergilah, jangan mengganggu lagi."
Kata-kata terakhir itu diikuti isyarat kepada anak buahnya untuk mengusir Ang Siok-sim bertiga.
Gui Gong sudah hendak mengamuk, tetapi Ang Siok-sim mencegahnya, "Saudara Gui, barangkali kita memang salah alamat. Mungkin orang she Eng di kota yang luas ini bukan hanya kakak iparku saja. Kita cari ke tempat lain."
"Aku yakin di sini rumah kakak iparmu."
Biarpun Gui Gong sudah seyakin apa pun, kalau para pengawal pribadi Jenderal Eng sudah tak mengijinkannya, mereka bertiga tak bisa apa-apa. Sudah untung bahwa mereka hanya didorong dorong kembali ke luar pintu dan tidak digebuki.
Ketika mereka bertiga sampai di luar pintu yang besar dan tebal itu, daun pintu pun digabrukkan rapat-rapat dan dipalang dari dalam.
Gui Gong mendongkol bukan main dan menyalahkan Ang Siok-sim, "Kakak' Sim, Kakak ini bagaimana sih" Kok tidak membantu aku bicara, malah begitu saja mengalah dan mempercayai keterangan si congkak tadi" Kalau sudah begini, mau apa kita sekarang, sedang malam sudah larut dan kita belum makan?" '
"Urusan makan urusan gampang, kita masih ada bekal," sahut Ang Siok-sim. "Tapi rasanya tadi kita memang salah masuk rumah orang. itu bukan ruma kakak iparku. Bisa dirasakan kok. Kita cari yang lain saja."
Dengan langkah gontai ketiga orang kampung itu melangkah menjauhi gedung megah itu, menapak jalan gelap yang sudah amat sepi.
Belum jauh mereka dari gedung itu, tiba-tiba terdengar suara ribut ribut di gedung yang baru saja mereka tinggalkan. Ada suara orang berteriak-teriak, ada derap banyak orang berlari-lari kian kemari, bahkan satu kali terdengar suara letusan. Semuanya bisa didengar tetapi tak bisa dilihat karena berlangsung di balik dinding yang tinggi.
"Cepat kejar juga tiga cecunguk yang mengaku adik ipar Jenderal tadi! Mereka pasti sekomplotan dengan bangsat-bangsat itu, mereka bertiga mengalihkan perhatian agar teman-teman mereka dapat menyusup dari halaman belakang!"
Malam itu cukup sunyi, tidak ada suara lain, sehingga teriakan terakhir itu masih bisa terdengar oleh Ang Siok-sim bertiga yang belum jauh. Terdengar cukup jelas kata demi kata.
"Wah, gawat ini..." desis Ho Ke-Iiang. "Kok jadi kita disangkut-pautkan."
Dengan hati masih panas karena penasaran, Gui Gong berkata, "ini keterlaluan. Bukan saja kita diusir mentah-mentah, malah sekarang kita dituduh melakukan sesuatu yang tidak kita lakukan. Kita harus menjelaskan untuk membikin terang duduk perkaranya."
Lalu Gui Gong sudah membalik tubuh hendak kembali ke gedung Jenderal Eng, tetapi Ang Siok-sim dan Ho Ke-liang serempak memeganginya untuk mencegah .
"Kenapa kalian mencegahku" Kita harus...." .
"Kita harus lari atau sembunyi," desis Ho Ke-liang.
"Tetapi tidak adil kita diperlakukan begini...."
"Tidak adil tidak apa-apa, kita sudah biasa diperlakukan tak adil di kampung oleh Bhe Tham-jin."
"Tetapi ini kan Lam-khia, ibu kota kerajaan" Banyak orang yang pandai hukum, tahu undang-undang, kan mestinya kita diperlakukan lebih adil?"
"Jangan mimpi. Orang-orang Lamkhia lebih pintar-pintar tetapi juga jauh lebih kejam dari Bhe Tham-jin."
Ketika itulah pintu depan gedung itu terbuka ,kira-kira dua puluh orang prajurit berlari-lari keluar dengan senjata di tangan.
Ang Siok-sim bertiga tak sempat berpikir-pikir lagi, mumpung belum terlihat oleh prajurit-prajurit itu, mereka dapat bersembunyi di pepohonan di pinggir jalan, sambil membekap mulut Gui Gong.
Tetapi begitu mereka tiba di tempat gelap di balik pepohonan, ada tangan tangan kokoh lain yang "menyambut" mereka, membekap mulut mereka. Ang Siok-sim bertiga melihat tiga sosok tubuh lain di balik semak-semak itu, mereka berpakaian ringkas warna gelap, wajah ditutupi kain, namun bentuk tubuh mereka terlihat. Seorang gemuk mirip Gui Gong, seorang agaknya wanita, seorang lagi berperawakan sedang.
Mereka memang membekap Ang Sioksim bertiga, namun agaknya tidak berniat mencelakai. Sebab terdengar si wanita itu berdesis, "Kami takkan mencelakai kalian, sebab kalian bukan musuh. Tapi bantulah kami, jangan ribut, mengerti?"
Dengan mulut masih terbekap oleh tangan-tangan kokoh ketiga orang berkedok itu, Ang Siok-sim bertiga mengangguk-angguk. Lalu tangan-tangan kokoh itu pun melepaskan bekapannya.
Lalu Si Pendek Gemuk berkata. kepada kedua temannya, "Kalau perajurit prajurit itu menemukan kita di sini, ketiga orang tak bersalah ini pun bisa ikut terluka. Lebih baik kita muncul dan pancing prajurit-prajurit itu ke arah lain."
Kedua temannya mengangguk setuju, sementara Ang Siok-sim membatin,"Yang dimaksud 'tiga orang tak bersalah' itu pasti kami bertiga. Ketiga orang berkedok ini ternyata mempertimbangkan keselamatan kami bertiga. Ternyata tidak semua orang Lam-khia jahat dan suka mengorbankan orang lain."
Lalu orang berkedok yang gemuk itu berkata kepada Ang Siok-sim bertiga, "Siapa pun kalian, kalian tidak pantas ikut-ikut terluka dalam peristiwa yang tidak kalian ketahui ujung pangkalnya ini. Karena itu, nanti begitu prajurit-prajurit itu terpancing mengejar kami, kalian bertiga menjauhlah. Paham?"
"Paham. Tetapi kalian jadi terancam oleh prajurit-prajurit itu gara-gara kami.'
Orang berkedok yang bertubuh sedang tertawa di balik kedoknya, katanya dengan nada meremehkan, "Terancam" Mana bisa kantong-kantong nasi itu membuat kami terancam" Mereka hanya pintar menakut-nakuti orang-orang lemah, tetapi tidak terhadap orang-orang macam kami. Kami sudah biasa berurusan dengan mereka, kami...."
Agaknya orang berkedok yang satu ini gemar bicara, sehingga Si Gemuk menghentikannya, "Ayo kita muncul dan pancing mereka."
Si Gemuk sendiri mendahului melompat keluar seperti kelinci keluar dari semak-semak, disusul kedua temannya. Mereka lalu berlari-lari di jalanan sehingga terlihat oleh prajurit-prajurit itu.
"itu dia! Kejar!"
"Genap tiga orang, sama jumlahnya dengan yang menyelundup di kediaman Jenderal tadi!"
"Beritahu regu-regu yang lain, agar mengejar ke arah sini!"
Kejar mengejar terjadi di jalanan yang lengang itu.
Ang Siok-sim bertiga bukannya cepat cepat kabur, malahan dari tempat sembunyi mereka tertarik untuk meliha adegan yang langka terjadi di kampung asal mereka itu.
Orang berkedok yang gemuk itu biar gemuk ternyata sungguh cepat larinya begitu pula yang perempuan. Yang bertubuh sedang dan gemar bicara banyak tadi malahan nampak paling lambat namun teman-temannya agaknya tidak akan meninggalkannya.
Yang terang, para prajurit takkan bisa menyusul mereka, biarpun kejar mengejar dilanjutkan sampai ke manapun .
Para prajurit agaknya menyadari kekurangan mereka, terdengar komandannya berteriak, "Panah!"
Prajurit-prajurit pemanah segera mengincarkan panah-panah mereka, dan panah panah pun beterbangan di gelapnya malam, mengincar punggung ketiga orang berkedok itu.
Hampir saja Ang Siok-sim berseru memperingatkan karena cemas akan ke selamatan tiga-orang berkedok yang baik hati itu. Untung dia sempat menahan mulutnya sendiri, begitu pula dengan tangannya ia membekap mulut Gui Gong yang juga hampir berkaok.
Anak-anak panah itu menyambar, tetapi Si Gemuk tiba-tiba malah melakukan salto rendah ke belakang, kedua tangannya yang pendek-pendek itu seolah melambai sembarangan saja, tahu-tahu beberapa batang panah itu sudah diraup masuk ke sepasang telapak tangannya.
Sambil melakukan tindakan hebat itu, ia juga memerintahkan kedua temannya, "Lari terus!"
Sementara Si Gemuk mengayunkan pula kedua lengannya, melontarkan anak anak panah tadi. Beberapa prajurit terdepan mengaduh dan tumbang ke tanah.
Prajurit-prajurit lain rontok keberaniannya dan menghentikan pengejaran. Mereka pulang membawa teman-teman mereka yang luka.
Melihat itu, Ang Siok-sim berkata kepada kedua teman-temannya, "Betul juga omongan orang berkedok tadi. Prajurit prajurit tadi berani galak hanya kepada kita, karena melihat dandanan kita sebagai orang desa. Tetapi begitu ketemu batunya seperti orang-orang berkedok itu, mereka pecah nyali dan tidak berani meneruskan pengejaran."
"Hebat caranya Si Gemuk menangkap anak panah tadi." Gui Gong mengomentari terkagum-kagum. "Padahal dia lebih gemuk dari aku."
"Karena dia berolah-raga, tidak seperti kau yang banyak makan dan tidur saja," olok Ho Ke-liang.
"Siapa orang-orang itu?"
"Entah. Di kota seluas Lam-khia ini konon memang banyak bersembunyi para jagoan lihai."
"Kenapa mereka menyatroni rumah kakak iparmu?" Gui Gong tetap ngotot menyebut Jenderal Eng sebagai kakak ipar Ang Siok-sim. "Mereka orang baik atau jahat?"
Tak ada yang sanggup menjawab pertanyaan itu. Sebab sikap orang-orang berkedok itu baik terhadap mereka, tetapi kalau orang baik mengapa menyatroni rumah Jenderal Eng, apakah berarti yang disatroni itu pihak jahat" Padahal yang disatroni adalah "kakak ipar" Ang Siok sim. kemana kita sekarang?" tanya Ho Ke-liang.
Dengan lugunya Gui Gong mengusulkan, "Kita sebaiknya kembali ke kediaman kakak iparmu, Kakak Sim. Kita bisa jelaskan lagi bahwa kita ini...."
Ho ke-liang mulai geleng-geleng kepala, dengan gemas ia menyahut, "Saudara Gui, kau belum paham juga bahwa sekarang bukan saat yang tepat. Seandainya Jenderal Eng yang itu adalah Jenderal Eng yang benar-benar kakak ipar Saudara Ang, tetap saja kedatangan kita akan sulit diterima."
"Jadi bagaimana?"
"Malam ini kita makan, lalu beristirahat. Di mana saja. Besok kita coba tanya-tanya kepada orang-orang di sekitar gedung itu, bagaimana potongannya Jenderal Eng itu, Saudara Ang pasti masih ingat bagaimana potongan kakak Iparnya. Syukur-syukur kalau Jenderal itu pas keluar rumah, jadi kita bisa memastikan dia itu benar-benar kakak ipar Saudara Ang atau bukan."
Malam itu mereka cari tempat untuk melewatkan malam, mereka makan bekal makanan yang mereka bawa dari kampung, kemudian tidur pulas.
Esoknya, mereka kembali menuju ke rumah kediaman Jenderal Eng itu. Namun kali ini mereka tidak langsung main terobos saja, melainkan bertanya-tanya orang-orang di kiri kanan gedung besar itu, Jenderal Eng itu tampangnya seperti apa. Menurut orang-orang, Jenderal Eng yang itu berusia kira-kira enam puluhan tahun, tinggi gendut, rambutnya putih, kulitnya juga putih. Beda jauh dengan kakak ipar Ang Siok-sim yang usianya paling baru tiga puluh lima tahun, berperawakan sedang, berkulit agak hitam.
"Selain Jenderal Eng yang tinggal di gedung itu, apakah Saudara tahu ada Jenderal Eng lainnya yang tinggal di Lam-khia ini?" tanya Ang Siok-sim.
Yang ditanya menyahut. "Di Lamkhia ini, setiap harinya puluhan jenderal datang dan pergi, mana sempat aku menghitung dan mengenali mereka satu satu"
Bertahan hidup saja susah sekali'" Beberapa hari Ang siok-Sim bertiga bergelandangan di Lam-khia _sambil tanya ke sana ke mari tanpa hasil, sementara mereka semakin bingung melihat ribuan jalan-jalan dan lorong-lorong di Lamkhia yang bercabang-cabang seperti sarang laba-laba itu. Seandainya mereka ingin keluar dari Lam-khia lalu pulang kampung pun rasanya takkan menemukan jalannya.
Bekal sudah habis, untuk memperpanjang hidup, mereka'sering menjual tenaga untuk jadi kuli angkut. Gui Gong jadi nampak lebih langsing sedikit dan sering bersungut-sungut.
"Dulu tidak terpikir akan seperti ini ya?" keluh Gui Gong.
Setelah beberapa hari "menikmati" kerasnya hidup sehari-hari di Lam-khia, sepengalaman dengan orang-orang kecil yang begitu membanting tulang untuk hidup sehari-hari dan keluarganya, tiba juga harinya Ang Siok-sim bertiga menemui sedikit keberuntungan.
Siang itu, sehabis mereka memeras keringat sebagai kuli angkut di sebuah pasar kecil, dan mereka sedang duduk di bawah pohon rindang di pinggiran pasar, di depan mereka tiba-tiba saja berdiri seorang wanita yang berpakaian amat sederhana, dan kalau dilihat wajahnya barangkali sudah berusia empat puluh ke atas. Gurat-gurat wajahnya seakan mencatat penderitaan hidup yang dialaminya tahun demi tahun. Di tangannya ada keranjang kecil berisi barang belanjaan yang sederhana.
Ang Siok-sim bertiga yang terlalu lelah itu kurang memperhatikan wanita ini. Mereka bertiga sedang mengelap keringat, sedang Gui Gong juga menggerutu terus tentang "nasib"nya.
Tetapi ketika wanita itu berdiri demikian dekat sehingga bayangan tubuhnya menimpa mereka, barulah mereka mengangkat wajah. Ang Siok-sim tercengang, nampak ragu dan sekian lama menatap wajah perempuan itu. Inikah kakak perempuannya" Hati Ang Siok-sim diamuk keraguan. Kakaknya itu, biarpun sudah beberapa tahun tak bertemu, paling-paling usianya ya sekitar dua puluh lima tahun,padahal yang berdiri di depannya _ ini belasan tahun lebih tua dari yang dibayangkan Ang Siok-sim. Lagi pula, mana ada "isteri jenderal" belanja sendiri dengan pakaian sesederhana ini" Tetapi kok garis-garis wajah wanita itu mirip dengan kakaknya"
Keraguan Ang Siok-sim menurun, ketika mendengar wanita itu berdesis, "Siok-sim, adikku...."
Ang Siok-sim bangkit dari duduknya. "Kakak!"
Keraguan akhirnya lenyap, dan kakak beradik itu pun saling berpelukan melepas kerinduan.
"Aku sudah berhari-hari mencarimu, Kak." Ang Siok-sim berkata. "Pernah kudatangi rumah seorang yang bernama Jenderal Eng dan kami bertiga malahan diusir. Habis, kakak ipar dulu berpesan, kalau ke Lam-khia tanyakan saja rumah Jenderal Eng, pasti semua orang bisa menunjukkan."
Ang Siok-lan, kakak Ang Siok-sim itu menunjukkan sikap sungkan,namun juga bercampur geli dan iba ketika mendengar cerita adiknya itu. Katanya, "Kakak iparmu tidak salah. Kalau ke Lam-khia, tanyakan saja rumah Jenderal Eng, semua pasti tahu. Yang jelas, Jenderal Eng itu bukan kakak iparmu."
"Lho!" "Yang kakak iparmu ialah Eng Tuithio (Kopral Eng)...."
"Oooo..." Ang Siok-sim bertiga melongo serempak.
"Kalian bertiga, kenapa meninggalkan kampung?" tanya Nyonya Eng ini. Ia masih mengenali Ho Ke-liang dan Gui Gong sebagai orang-orang sekampungnya, meski sudah bertahun-tahun.
Ang Siok-sim bertiga berpandangan lesu. Tadinya mereka bersemangat, kalau "Jenderal" Eng turun tangan pastilah si lurah rakus Bhe Tham-jin akan surut nyalinya untuk mencaplok tanah warisan, biarpun lurah itu dibacking oleh BangsaWan Dao yang kerabat permaisuri. Ternyata setelah ketemu kakak perempuannya, ternyata yang hendak mereka andalkan hanyalah Kopral Eng.
"Ya, hitung-hitung ketemu keluarga-?" Ang Siok-sim mencoba mengurangi kecewanya dengan menghibur diri di dalam hati.
Bukan menjawab pertanyaan Ang Sioklan tadi, malahan Gui Gong balas bertanya, "Kakak Lan, apakah Jenderal Eng itu masih ada hubungan keluarga dengan suamimu?"
"Kau Gui Gong bukan" Dulu ketika aku ke Lam-khia, kau masih suka mengusap ingus, tetapi juga sudah segendut ini." Ang Sick-lan coba mengalihkan pembicaraan.
Gui Gong tertawa dan tanpa sadar mengusap bawah hidungnya seolah-olah ada ingusnya, tetapi tetap saja mengejar dengan pertanyaan tadi, "Kakak Lan, apakah ada hubungan antara Jenderal Eng dengan suamimu yang juga she Eng?"
"Kenapa kau tanya begitu?"
"Di kampung-kampung, kalau ada yang she-nya sama, biasanya bisa dilacak hubungan keluarganya. Malah ada orang sekampung yang shenya sama semua. Kampung keluarga." *
"Kampung ini bernama lam-khia, Agong. Di sini saudara kandung bisa tidak jadi saudara lagi kalau urusannya menyangkut uang atau kepentingan lain. Begitu sebaliknya, yang bukan saudara pun bisa jadi saudara kalau uangnya banyak."
"Jadi sebenarnya Jenderal Eng itu masih ada hubungan keluarga dengan suami Kakak Lan, tetapi tidak mengakuinya karena perbedaan pangkat?"
"Hus, aku tidak bilang begitu." tukas Ang Siok-lan. "Hanya sama shenya saja, dan itu banyak di kota sebesar ini. He, kenapa kau kelihatan kecewa?"
Sahut Gui Gong sambil cemberut, "Sebetulnya... adikmu ini sedang membutuhkan pengaruh seorang yang berkedudukan tinggi untuk menyelamatkan ladang warisannya, tadinya kami harapkan pengaruh Jenderal Eng, tapi kalau..."
Kuatir kalau kakak perempuannya tersinggung oleh kata-kata Gui Gong yang ceplas-ceplos itu, Ang Siok-sim buruburu memotong, "Kak, bagaimana pun kami senang ketemu Kakak.
Bagaimana kesehatan Kakak, dan Kakak ipar" Bagaimana dengan anak-anak?"
Ang Siok-lan yang nampak cepat tua itu, kini kelihatannya gembira mendapat kunjungan adiknya dan dua orang sekampung asalnya, katanya, "Kuundang kalian ke rumahku. Kita bercakap-cakap sambil berjalan, rumahku dekat."
Mereka berempat kemudian berjalan ke rumah Ang Siok-lan.
Sambil melangkah, Ang Siok-lan bertanya kepada adiknya yang melangkah di sampingnya, "Siok-sim, tadi A-gong bilang ladang warisan kita harus diselamatkan. Kenapa" Diselamatkan dari apa?"
"ingat Bhe Tham-jin si kepala kampung yang rakus itu?"
"Tentu ingat. Belum mati-mati juga dia?"
"Belum, Kak, padahal banyak orang mendoakan dia cepat mati. Nah, orang rakus itu sekarang sedang menjadi calo, dia menunjukkan ladang warisan orang tua kita kepada orang suruhan dari Bangsawan Dao. Aku tidak mungkin melawan pengaruh Bangsawan Dao sendirian, maka
"Ya aku ke Lam-khia untuk mencari kakak ipar?" Ang Siok-sim tidak melanjutkan dan kakaknya pun mengerti. "Ah, seandainya kakak iparmu benarbenar seorang jenderal..." keluh Ang Siok-lan. Ang Siak-sim tidak berani menanggapi, kuatir kakaknya tersinggung. Sementara Ang Siok-lan seperti menemukan tempat untuk mencurahkan isi hatinya yang bertimbun-timbun bertahuntahun dan menyesakkan dadanya, membuatnya cepat tua. Tanpa diminta oleh adiknya, dia pun bercerita, "Hidup di Lam-khia ini jangan hanya dilihat indahnya kota dan enaknya saja, tapi ingat juga bahwa tempat ini ibarat hutan belantara dengan hukum rimbanya, yang kuat makan yang lemah. Di hutan sungguhan, hewan makan hewan, di sini manusia makan manusia. Uang 'serba menentukan. Kakak iparmu sudah bertahun tahun mengabdi sebagai prajurit, tetapi pangkatnya tidak naik-naik juga. Bukan karena dia kurang baik tugasnya, melainkan karena tidak punya uang cukup untuk menyogok atasannya"
Sebaliknya ada pemuda ingusan yang baru setengah tahun masuk tentara, tahu-tahu pangkatnya sudah perwira _menengah. Orang macam itu kebanyakan tidak becus apa-apa, tetapi punya uang untuk menyogok atasannya, atau punya hubungan keluarga dengan si atasan."
"Bukan salah Kakak, juga bukan salah Kakak ipar..." Ang Siok-sim coba menghibur.
Kemudian tibalah mereka di tempat tinggal Ang Siok-lan dan keluarganya. Kediaman Kopral Eng sudah tentu jauh berbeda dengan kediaman Jenderal Eng yang Ang Siok-sim kunjungi beberapa hari yang lalu. Ini sebuah rumah dengan gang becek dan berhimpitan dengan rumah-rumah lain di kiri kanannya. Belakangan ini penduduk Lam-khia cukup padat karena kedatangan pengungsi dari utara dalam jumlah besar.
Pengungsi ini mendirikan bangunan-bangunan di setiap tanah kosong di Lam-khia, hingga Lamkhia jadi penuh.
Ang Siok-lan menyuguhi makan ketiga tamunya. Makanan yang mestinya menjadi jatah sekeluarganya sampai malam nanti. Gui Gong tanpa sungkan melahap apa yang ditawarkan, meskipun menawarkannya hanya sebagai basa-basi.
"Kakak Eng sedang pergi?" Ang Sioksim menanyakan kakak iparnya.
"Dia bertugas, nanti malam baru pulang."
"Kak, aku belum tahu apakah selama pernikahanmu dengan kakak ipar kau dianugerahi anak atau tidak?"
"Dua. Yang besar perempuan bernama Eng Joan, panggilannya A-joan, umurnya sudah enam tahun...."
"Namanya kok seperti anak laki-laki?"
"Karena kakak iparmu sebenarnya mengharap anak laki-laki waktu aku mengandungnya dulu. Waktu lahir perempuan, ia beri nama seperti anak laki-laki, maka tingkah-lakunya juga seperti anak lakilaki."
"Lalu, adiknya?"
"Laki-laki, namanya Eng Koan, dipanggil A-koan. Umurnya empat tahun."
"Di mana mereka?"
"Sedang bermain. Nanti sore juga pulang sendiri."
Setelah berbincang sekian lama, berkatalah Ang Siok-sim dengan sungkan, "Kak, kami tahu Kakak senang menerima kami. Tetapi... rasanya kami bertiga akan sangat mengganggu, maka soal tempat tinggal, lebih baik...."
"Kalian menginap di sini malam ini," kata Ang Siok-lan, ingin menjadi nyonya rumah yang baik, meski diembel-embeli "malam ini". "Ada tempat kok."
Demikianlah, mereka bertiga tinggal di rumah sempit itu. Ketika matahari sudah terbenam, seluruh keluarga Ang Siok-lan sudah berkumpul di rumah. Ang Siok-sim jadi berkesempatan melihat kedua keponakannya yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Sementara Eng Liong si kopral juga berusaha bersikap ramah, meski tak henti-hentinya ia mengeluhkan nasibnya sebagai prajurit yang pangkatnya tidak naik-naik meskipun sudah lama mengabdi.
Sehabis makan malam, Ang Siok-sim membicarakan soal ladang warisan itu dengan kakak perempuannya dan suaminya.
"Ya. Eng Liong menganjurkan agar ladang itu dilepas saja, sebab percuma berhadapan dengan Bangsawan Dao yang amat berpengaruh itu. Lalu Ang Siok-sim dianjurkan untuk ke Lam-khia saja, katanya akan dicarikan pekerjaan.
Ang Siok-sim merasa berat harus melepas ladang yang tiap hari dikucuri keringatnya itu, ia tidak segera menyatakan keputusannya di depan kakak dan kakak iparnya, melainkan menyusul tidur di sebelah dapur, bersama Gui Gong dan Ho Ke-liang yang sudah pulas lebih dulu.
Tengah .malam, selagi Ang Siok-sim nyenyak tidur, ia merasa tubuhnya diguncang-guncang dibangunkan. Ketika ia membuka mata, ternyata yang membangunkannya adalah kakak perempuannya.
"Siok-sim, aku ingin bicara denganmu, tetapi tidak di sini. Nanti membangunkan teman-temanmu."
Dengan mata mengantuk dan langkah gontai, Ang Siok-sim mengikuti kakaknya ke ruangan lain. Mereka kemudian bicara di dapur, setelah Ang Siok-lan menyalakan sebuah lilin dan ditaruh di meja.
Yang ingin Ang Siok-lan bicarakan dengan adiknya, ternyata adalah soal ladang itu, kelanjutan pembicaraan sebelum tidur tadi. Ang Siok-lan memohon kepada adiknya, agar ladang itu dijual saja, sebab percuma melawan Bangsawan Dao yang amat berkuasa itu. Kemudian Ang Siok-lan juga memohon agar uang hasil penjualan ladang itu boleh dipinjamkan kepada kakak iparnya, untuk memperjuangkan kenaikan pangkat yang bakal membutuhkan banyak biaya.
Permohonan kakak perempuannya itu membuat Ang Siok-sim termenung lama. Hatinya merasa berat melepas ladang itu, namun pertimbangan-pertimbangan yang disodorkan kakaknya mempengaruhinya juga. Jauh-jauh meninggalkan kampung menuju ke Lam-khia untuk menemui Jenderal Eng, ternyata yang ditemuinya Kopral Eng. Rasanya ladang itu memang sulit dipertahankan. Mumpung Bangsawan Dao mau memberi harga yang agak pantas, rasanya adalah lebih baik daripada dirampas dengan cuma-cuma. Selain itu, Ang Siok-sim juga kasihan melihat kakak
perempuannya, saudaranya satu-satunya, yang nampak cepat tua karena penderitaan hidup.
Juga kedua keponakannya yang kurus-kurus, juga kakak iparnya yang seragam prajuritnya sudah lusuh. Akhirnya Ang Siok-sim memutuskan, apa salahnya ia sebagai anak laki-laki berkorban bagi saudara perempuannya" Akhirnya, setelah kakaknya berbicara hampir dua jam kepadanya, Ang Sioksim pun menyetujui.
Ang Siok-lan memeluk adik laki-lakinya dengan mata berkaca-kaca, "Terima kasih, Adikku. Tanpa kau, kami sekeluarga takkan mengalami perubahan nasib."
Ang Siok-sim hanya menarik napas saja.
Singkatnya, Ang Siok-sim bertiga kembali ke kampung, diantar Eng Liong, sebab tanpa diantar, ketiga orang itu takkan bisa keluar dari Lam-khia yang ruwet itu, juga takkan bisa menemukan kembali rumah Eng Liong di tengah kota.
Atas permintaan Ang Siok-sim, di dusun nanti Eng Liong akan mengaku pangkatnya cukup tinggi, bukan kopral, agar Bhe Tham-jin dan orang suruhan Bangsawan Dao tidak seenaknya menetapkan harga yang terlalu rendah.
Di kampung, jual-beli pun berlangsung. Semua pihak tersenyum, kecuali Ang Siok-sim yang senyumnya kecut. Apalagi setelah tahu bahwa ladangnya bukan hendak ditanami, melainkan hendak dijadikan danau buatan untuk menjadi tempat peristirahatan Bangsawan Dao, karena letaknya memang rendah. Akan ditenggelamkan, airnya akan diambilkan dari sebuah sungai yang terdekat, dengan dibendung dan dibelokkan alirannya. Jadi puluhan ladang akan tergenang, dan puluhan sawah di hilir akan merana kekeringan air, tetapi bagi Bangsawan Dao, si empunya proyek, itu tak memusingkan benar.
Dengan hasil penjualan ladang yang cukup memadai, karena Eng Liong mengaku sebagai perwira tinggi, Eng Liong dan Ang Siok-sim kembali ke Lam-khia.
GUi Gong ternyata ingin ikut kembali
ke Lam-khla, ingin mencari keberuntungan katanya. Dan orang tuanya mengijinkan, sebab di kampung Gui Gong kerjanya juga cuma makan-tidur-bersantai sementara orang tuanya dan saudara-saudaranya bekerja keras di ladang. Siapa tahu di Lam-khia nanti bisa menemukan keberuntungan.
Di Lam-khia, dengan uang hasil peniualan ladang itu, ternyata Eng Liong memang mudah naik pangkat. Bahkan tidak tanggung-tanggung, dari tui-thio langsung jadi cian-bu (kira-kira setingkat kapten).
Ang. Siok-sim senang juga melihat peningkatan taraf hidup kakak perempuannya, meski dalam hatinya ada juga semacam gugatan, "Kalau kenaikan pangkat dalam pemerintahan ditentukan oleh besar kecilnya sogokan kepada atasan, bukan oleh kemampuan dan semangat pengabdian, lalu pemerintahan macam apa di Lam-khia ini?" '
Kemudian Ang Siok-sim dan Gui Gong pun mendapatkan pekerjaan. Sebagai tenaga kasar di sebuah rumah makan bernama Ceng-san-lau yang tidak jauh dari rumah kediaman Eng Liong. Cuci piring, menimba, membelah kayu dan sebagainya. Bagi Gui Gong yang nafsu makannya kuat, ia bisa makan sekenyang-kenyangnya di tempat kerjanya, selain makanan jatah, yaitu makanan sisa para tamu asalkan masih bersih. Ang Siok-sim sampai geleng-geleng kepala melihat kerakusan temannya itu. Mereka berdua, pagi masuk kerja dan sore pulang. Tidur tetap di rumah Eng Liong. Kapten Eng Liong.
Dalam pandangan Ang Siok-sim maupun Gui Gong, semuanya serba lancar dan serba beres. Mereka bekerja dengan baik, tidak ada masalah dengan Ang Siok-lan sekeluarga, tidak ada masalah dengan tetangga-tetangga baru mereka, dengan majikan dan teman-teman sekerja, tidak melanggar hukum kerajaan.
Mereka pikir keadaan yang tenangtenang saja itu akan berjalan seterusnya, sampai mereka lupa bahwa mereka hidup
di Lam-khia dan bukan di kampung mereka.
Ada seorang yang merasa terancam, merasa tidak tenteram, yaitu Jenderal Eng yang dUlu pertama kali "dikunjungi" Ang Siok-sim karena salah alamat ketika mencari rumah kakak iparnya. "Kunjungan" Ang Siok-sim bertiga dulu sungguhsungguh sekedar karena keliru dan tidak ada niat lain, namun bagi jenderal tua yang nama lengkapnya Eng Thian-bok itu, kedatangan orang-orang kampung yang mengaku-aku adik iparnya itu hanyalah pura-pura dan merupakan bagian dari usaha sebuah kelompok rahasia untuk membongkar urusannya. Bukankah kedatangan orang-orang kampung itu dulu bertepatan dengan datangnya tiga orang berkedok, dan bertepatan pula dengan kedatangan tamu rahasia yang diterima secara rahasia pula oleh Jenderal Eng" Dan menurut analisa kepala pengawal pribadi Jenderal Eng, In Yao yang berjulukan Tiat-tau-bong (Ular Besar Berkepala Besi) karena mahirnya bermain bandring besi, kedatangan orang-orang kampung "gadungan" (begitu anggapan In Yao) itu hanya sebagai pengalih perhatian agar "teman-teman mereka yang berkedok" dapat menerobos dari arah lain. "Jadi mereka itu sekomplotan, Jenderal." . Jenderal Eng tentu saja berkeringat dingin mendengar analisa orang kepercayaannya itu. Urusan ia menerima "tamu rahasia" itu tidak boleh sampai bocor, bisa membahayakan kedudukannya. Tak terduga malam itu tempat kediamannya juga kebobolan "tamu-tamu tak diundang", yang membahayakan kerahasiaan urusan Sang Jenderal. Jenderal Eng yakin bahwa "tamu-tamu tak diundang" itu pasti bukan sekedar ingin nyolong jemuran, tetapi pastilah ingin mengintip pembicaraannya dengan "tamu rahasia" itu. Hidup di pusat politik seperti Lamkhia harus membiasakan diri untuk hidup dengan selalu bercuriga kalau ingin selamat. Jenderal Eng tidak mau ambil resiko urusan rahasianya terbongkar, maka dia Pun menyuruh orang-orangnya dalam berbagai samaran untuk mencoba menemukan komplotan yang pernah menyatroni kediamannya itu. In Yao sendiri beserta anak buahnya yang banyak diantaranya merupakan jago-jago silat, ikut turun ke lapangan dalam samaran.
Sampai akhirnya, beberapa bulan kemudian Jenderal Eng dilapori bahwa "dua dari anggota komplotan" itu dapat diketahui ternyata tiap siang bekerja di rumah makan Ceng-san-lau.
"Tidak keliru orang?" tanya Jenderal Eng meyakinkan.
"Berani kupastikan, Jenderal," kata si pelapor. "Malam itu aku bertugas di kediaman Jenderal, dan meskipun malam itu gelap, aku sempat memperhatikan wajah mereka. Dua pegawai di rumah makan itu aku yakin pasti mereka. Terutama yang gemuk, tampangnya susah dilupakan, biarpun dulu aku melihatnya di malam hari."
"Hem, akhirnya ketemu juga jejak komplotan itu, biarpun baru ekornya. Tetapi dari ekornya, bisa dilacak sampai kita ketemukan kepalanya," Jenderal Eng berkata dengan puas sambil menepuk nepuk lengan kursi berukirnya. "Kalau begitu, tangkap mereka berdua. Cari alasan apa saja!"
"Tetapi... ada sedikit masalah, Jenderal..."
"Masalah apa?" "Menurut penyelidikan, ternyata kedua orang itu benar-benar orang-orang kampung yang ke Lam-khia untuk mencari familinya. Kebetulan sanak mereka pun she Eng seperti Jenderal, yaitu Kopral ' Eng yang sekarang sudah jadi Kapten. Jadi ada kemungkinan mereka datang kemari malam itu bukan karena sekomplotan dengan orang-orang yang mematamatai kita, tetapi kedatangan mereka ke sini sekedar kebetulan. Bersamaan waktunya, begitu...."
Namun Jenderal Eng memutuskan, "Tetap tangkap kedua orang itu. Jangan ambil resiko bocornya urusan kita! Selidiki juga Kapten Eng itu sikapnya ber-kiblat ke mana. Apa yang perlu dibereskan, bereskan tanpa ragu-ragu!"
"Setelah kedua orang itu ditangkap, apakah langsung dibunuh saja?"
"Tanyai dulu, kalau-kalau ada komplotannya. Setelah menjawab, baru bunuh. Kalau ternyata mereka juga sekedar orang kampung yang tidak tahu apa-apa, tetap saja bunuh. Jangan sampai gerakgerik kita meninggalkan jejak."
"Baik, Jenderal." sahut pembantu pembantunya yang sudah terbiasa menjalankan perintah-perintah kejam.
Panglima Gunung Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Maka pada suatu sore, ketika Ang Siok-sim baru saja meninggalkan rumah makan tempat kerjanya lewat pintu belakang, tahu-tahu mereka sudah dihadang beberapa orang lelaki garang. Langit sudah agak gelap dan gang itu juga gelap tanpa lampion atau obor satu pun, hingga Ang Siok-sim dan Gui Gong tidak dapat melihat jelas tampang mereka.
"Ikuti kami dan jangan banyak bicara!" salah seorang memerintahkan dengan garang.
"Siapa kalian" Ada urusan apa kalian dengan kami?" tanya Ang Siok-sim.
"Sudah dibilang jangan cerewet! Jalan!" pundak Ang Siok-sim didorong dengan kasar dari belakang.
"Kalian tidak berhak membawa orang semaunya, apalagi kami tidak tahu alasaannya! Dan kalian juga bukan prajurit yang berhak main tangkap seenaknya!"
"Jalan!" Sementara Gui Gong sudah gusar dan membentak, "He, tidak tahukah kalian, bahwa yang kalian tangkap ini adalah adik ipar Kapten Eng" Belum kenal Kapten Eng, ya?"
Tak peduli apapun yang dikatakan Ang Siok-sim maupun Gui Gong, orangorang itu tetap saja hendak membawa mereka. Ketika Ang Siok-sim dan Gui Gong hendak melawan sebisanya, mereka berdua dengan mudah dibuat pingsan.
Lalu mereka masing-masing dimasukkan ke sebuah karung besar, lalu dipikul pergi. Satu karung dipikul dua orang. Orangorang yang berpapasan tidak curiga, menyangka bahan makanan mentah yang sengaja dibawa setelah matahari tenggelam agar tidak cepat layu.
Ketika Ang Siok-sim dan Gui Gong siuman, mereka mendapati diri mereka terikat di kursi, dalam sebuah ruangan temaram yang hanya diterangi sebatang lilin. Tembok ruangan adalah batu-batu besar yang kelihatan basah, lembab dan berlumut, mungkin Sebuah ruang bawah tanah yang dekat dengan tempat berair.
Ada tiga lelaki berwajah garang di ruangan itu, salah satunya memegangi cambuk kulit. Sementara di ruangan itu berserakan alat-alat penyiksaan yang mengerikan. Ada alat penjepit jari tangan, capit kakaktua untuk mencabut kuku, tanur membara untuk memanaskan besi yang akan diselomotkan ke tubuh tahanan.
Ang Siok-sim belum merasa tubuhnya sakit, itu artinya ia belum dianiaya, meskipun hatinya gentar juga.
Dalam cahaya lilin remang-remang, Ang Siok-sim mengenali bahwa si pemegang cambuk adalah orang yang pernah dilihatnya di kediaman Jenderal Eng. Orang itu memang In Yao yang berjulukan Tiat-tau-bong (Ular Besar Berkepala Besi), bukan karena kepalanya sekeras besi, melainkan karena permainan bola besi berantainya begitu mahir sehingga rantai besi itu seolah hidup seperti ular ganas, dan bola besinya jadi kepala ularnya.
Melihat Ang Siok-sim sudah sadar, meskipun Gui Gong belum, ln Yao bertanya, "Nah, Ang Siok-sim, kumohon kau jawab semua pertanyaanku _agar tak perlu kugunakan alat-alat siksaan ini. Bagaimana?"
Ang Siok-sim mengangguk-angguk lugu, ia pikir, asal dirinya tidak melakukan yang tercela, kenapa takut bicara blak-blakan" Ia menoleh ke arah Gui Gong, lalu tanyanya, "Apakah temanku itu sudah kauaniaya?"
"Belum. Kau jawab saja pertanyaan pertanyaan kami, dan kau serta temanmu akan bebas."
Waktu mengucapkan itu, sebenarnya In Yao merasa kasihan juga, sebab Jenderal Eng sudah berpesan bahwa dari mulut Ang Siok-sim ada atau tidak keterangan berarti, kedua orang kampung ini tetap harus dilenyapkan, demi menjaga kerahasiaan Jenderal Eng dan segala urusannya. Pada kata-kata pertama Ang Siok-sim saja. In Yao sudah dapat menangkap betapa lugunya Ang Siok-sim.
Toh ln Yao bertanya juga, "Aku senang. Nah, ceritakan, siapa saja komplotanmu, di mana mereka bersarang, dan bekerja untuk pihak mana?"
"Tuan, aku tidak punya komplotan segala. Aku ke Lam-khia ini ya sekedar menyambung hidup karena di desa sudah tidak ada ladang lagi."
Jika yang menjawab begitu orang lain, pasti In Yao akan segera mengayunkan cambuknya. Tetapi jawaban Ang Siok-sim terasa begitu jujur, tulus, tak terkesan nada dibuat-buat sedikit pun. Makanya ln Yao tidak tega mencambuk.
"Kalau begitu, kenapa dulu kedatanganmu di rumah Jenderal Eng kebetulan bersamaan dengan kedatangan orang-orang berkedok yang hendak menguping pembicaraan Jenderal dengan tamunya" Kedatanganmu dan kedua temanmu seolah olah memancing perhatian para penjaga ke halaman depan, sehingga para penyusup dapat lolos lewat tembok belakang?"
Sebenarnya dalam pertanyaan In Yao itu sendiri sudah terkandung jawabannya sendiri, yaitu kata "kebetulan".
Dengan polos Ang Siok-sim PUn bercerita tentang maksud tujuannya datang ke Lam-khia, juga tentang kekeliruannya masuk ke kediaman Jenderal Eng yang dikira kakak iparnya. Cara bicaranya begitu polos. '
"... bahwa kami salah masuk, kami ingin mohon maaf sebesar-besarnya. Habis kakak iparku itu orangnya sok, di desa ketika melamar kakak perempuanku, dia mengaku 'kalau ke Lam-khia cari saja Jenderal Eng, pasti semua orang bisa menunjukkan' maka begitu kami ke sini, kami jalankan pesannya dan ternyata salah masuk. Dan setelah ketemu kakak ,iparku, eh, ternyata pangkatnya hanya tui-thio.?"
Bersambung jilid 2 PANGLiMA GUNUNG Karya : STEVANUS SP. Jilid II
sumber ebook: Awie Darmawan
edit teks: Saiful Ebook persembahan Group Fb Kolektor E-Book untuk pecinta ceritasilat Indonesia
_ IN YAO dan kedua penyiksa lainnya malah jadi geli mendengar cerita yang polos itu. Suasana ruang penyiksaan yang seharusnya seram menakutkan, malahan menjadi tempat guyon.
"Apakah kau kemudian dapat menjumpai kakak iparmu?" tanya In Yao pula.
Ang Siok-sim merasa bahwa apa yang hendak diceritakan itu tidak perlu disembunyikan, toh bukan perbuatan jahat, maka kembali ia bercerita amat gamblang dan jelas tentang jual-beli ladangnya, yang uangnya digunakan oleh kakak iparnya untuk naik pangkat.
"Sekarang kakak iparku bukan cuma tui-thio, tetapi cian-bu," ia menutup penuturannya dengan bangga. Lupa kaki tangannya yang diikat pada kursi.
In Yao berkata pula, "Baik. Sekarang jawab pertanyaanku, setelah malam itu kau meninggalkan tempat in... eh, kediaman Jenderal Eng, kau dan teman-temanmu menjumpai atau melihat orangorang berkedok itu atau tidak?"
Ang Siok-sim lugu, tetapi tidak bodoh. Ketika In Yao hampir menyebut "tempat ini" yang kemudian cepat-cepat diralat jadi "kediaman Jenderal Eng" maka otak Ang Sick-sim langsung menangkap bahwa "tempat ini" tidak lain adalah "kediaman Jenderal Eng".
"Jadi tempat ini adalah kediaman Jenderal Eng?" tanyanya.
In Yao dan kedua orang penyiksa lainnya bertukar pandangan, diam-diam mereka mengaku bahwa mereka terlalu memandang rendah kecerdasan si anak desa ini. Harus hati-hati bicara, sebab si anak desa ini ternyata tangkas menyimpulkan kata-kata lawan bicaranya. Untung si anak desa ini sebentar lagi bakal dihabisi, jadi apa yang berhasil dia simpulkan takkan jadi masalah.
"Tempat ini tempat siapa, bukan urusanmu. Jawab pertanyaanku tadi. apakah kau dan teman-temanmu melihat orangorang berkedok yang menyatroni kediaman Jenderal?"
Dengan tetap berpegang prinsip bahwa tidak ada jeleknya berterus terang, Ang Siok-sim pun menceritakan peristiwa perjumpaannya dengan tiga orang berkedok itu.
"Kau lihat muka mereka" Bisa kaugambarkan kepada kami?" desak In Yao.
"Mereka menutupi muka, hanya kelihatan matanya, aku tidak mengenali muka mereka."
"Kalau potongan tubuh mereka?"
"Satu laki-laki gemuk pendek, agaknya pemimpinnya. Gemuk pendek tetapi tangkas sehingga bisa menangkap panah yang dari belakangnya, padahal di malam gelap. Yang ke dua nampaknya seorang wanita tapi tegap berotot seperti lakilaki, larinya cepat. Yang ketiga, seorang lelaki bertubuh sedang, banyak omong."
Keterangan itu belum memuaskan In Yao, sebab di Lam-khia yang luas itu entah berapa banyak terdapat lelaki gemuk pendek, perempuan tegap, apalagi lelaki berperawakan sedang dan banyak omong" Namun In Yao juga tahu bahwa ia tidak akan memperoleh lebih banyak keterangan dari Ang Siok-sim.
in Yao merasa kasihan juga kepada dua pemuda desa yang tak terbukti bersalah namun harus dihabisi nyawanya sesuai perintah Jenderal Eng itu. Apa boleh buat. Jenderal Eng sedang "memainkan" suatu "permainan tingkat tinggi dengan resiko yang besar", maka harus tega mengamankan "permainan"nya meski pun harus kejam kepada orang tak bersalah.
Kata In Yao kemudian, "Baiklah, kalian berdua akan diantar pulang oleh orang-orangku."
Selama "pemeriksaan" ternyata In Yao tidak satu kalipun menggunakan cemetinya.
Dua orang anak buahnya kemudian melepaskan ikatan-ikatan Ang Siok-sim dan Gui Gong. Gui Gong harus disiram air dulu supaya siuman. Habis itu, mereka diajak keluar dari ruangan itu untuk "diantar pulang". Ang Siok-sim merasa berterima kasih akan kebaikan orangorang itu, tanpa berprasangka bahwa ia_ dan Gui Gong sebenarnya akan "diantar pulang" ke tempat nenek moyangnya di akherat.
Mereka berempat, dua calon korban dan dua algojo, berjalan bersama-sama menyusuri jalan-jalan di Lam-khia yang gelap, menuju suatu tempat yang sepi di mana .Ang Siok-sim dan Gui Gong akan dilenyapkan sama sekali.
Sepanjang jalan, Ang Siok-sim dan Gui Gong dengan ramah terus mengajak bicara kedua calon algojonya. Kedua calon algojo itu sebagai manusia biasa, tersentuh juga hatinya, biarpun hati itu sudah lama membatu akibat terlalu lama ikut "bermain" dalam permainan beresiko tingginya Jenderal Eng. "Permainan" di mana mengorbankan orang adalah biasa. Kedua calon algojo itu sudah terbiasa "mengantar pulang" orang ke dunia abadi, calon korban mereka ada yang mencacimaki dengan kasar, ada yang merengek, ada yang menggertak dengan menyebutkan hubungannya dengan sejumlah orang Berpengaruh, tetapi ulah para calon korban itu tak pernah mengusik hati algojo- algojo itu. Namun kini, rasa iba mereka justru teraduk-aduk mendengar Ang Sioksim yang dengan gembira dan polos menceritakan tentang kampungnya, tentang pekerjaannya, tentang impian-impiannya di masa mendatang, tentang dirinya.
"Apa boleh buat, tugas tetap tugas..." kedua algojo itu harus berulang kali mengeraskan hati mereka demi tugasnya.
Akhirnya mereka tiba di suatu tempat yang benar-benar gelap dan sepi, meskipun masih berada dalam lingkungan tembok kota Lam-khia. Sebuah tempat di tepi sungai buatan dengan ilalang-ilalangnya yang tumbuh subur karena dekat air.
Kedua algojo itu berhenti dan katakatanya mengejutkan kedua calon korbannya, "Kita sudah sampai...."
Ang Siok-sim keheran-heranan, "Lho, tempat apa ini" Katanya kalian hendak mengantar kami pulang setelah tahu kami tidak terlibat dengan orang-orang berkedok itu" Dan ini belum sampai ke rumah kakak perempuanku. Kami sendiri tak tahu jalan ke sana karena kota Lamkhia terlalu ruwet."
Salah seorang algojo .menarik napas dan berkata dengan berat hati, "Maafkan kami, sobat berdua. Perintah yang kami terima ialah membunuh kalian."
Sambil mengucapkan itu, si algojo sudah membayangkan bahwa seumur hidupnya ia bakal sulit membayangkan wajah _Ang Siok-sim, ia takkan pernah lagi memiliki yang namanya tidur nye-nyak, karena akan selalu digugat hati kecilnya.
"Katanya kalian akan mengantar kami pulang?"
"Ya. Pulang ke langit...."
Ang Siok-sim dan Gui Gong begitu bingung menghadapi situasi itu. Benarbenar tak terpikir bahwa orang-orang yang baru saja begitu ramah mengobrol dengan mereka, tahu-tahu hendak "mengantar puiang ke langit".
Salah seorang algojo itu mencoba mengurangi rasa bersalah di hatinya dengan menawarkan cara. yang "lebih nyaman" buat kedua calon korbannya. "Biasanya kami pakai pisau, tetapi berhubung kalian begitu baik, kami tawari kalian dengan racun yang tidak menyakitkan. Kalian masing-masing menelan sebutir, lalu kalian hanya merasa mengantuk dan setelah itu... wuuusss... kalian sampai ke dunia lain dengan nyaman."
"Benarkah kami harus mati'?"
Gui Gong bahkan coba mengiba, "Apa salah kami, hingga kami harus dibunuh" Kami tidak pernah menyusahkan kalian, bahkan juga tidak menyusahkan orang lain, kami hanya mencari hidup di Lamkhia ini."
Salah seorang algojo itu menggeleng geleng dan berkata dengan penuh sesal, "Di Lam-khia ini, untuk mati tidak diperlukan kesalahan lebih dulu. Orang baik pun bisa mati kapan saja tanpa perlu alasan ini itu."
"Ini tidak adil!"
"Memang." . "Apa tidak ada hukum?"
"Ada. Tetapi biarpun hukumnya sempurna, kan manusia-manusia yang menjalankannya tak sempurna" Jadinya ya... beginilah...."
"Tuan kalian, Jenderal' Eng, sebagai seorang pembesar kerajaan kan seharusnya mengayomi orang-orang kecil macam kami ini" Kenapa malah...."
"Soal ini, kami pun tidak tahu. Sudahlah, terimalah nasib dengan baik, sesungguhnya kami pun bersimpati kepada kalian. Nah, pilih pisau atau racun" Supaya lebih nyaman, kuanjurkan racun saja. Tetapi terserah kalian."
Agaknya algojo ini juga kenal "servis baik" kepada calon korban-korbannya.
Ang Siok-sim dan Gui Gong sudah terpojok, sadar bahwa mereka takkan bisa lari, juga takkan bisa melawan sebab mereka tidak bisa berkelahi.
Saat . mereka putus harapan itulah mendadak dari belakang semak-semak gelap terdengar suara seseorang, "Kami tahu kenapa Jenderal Eng tak segan membunuh orang tak berdosa. Karena dia ketakutan persekongkolan busuknya yang membahayakan tanah air itu terbongkar."
Kedua algojo itu dengan sigap memutar tubuh sambil mencabut senjata mereka.
Mereka melihat seorang lelaki berperawakan ramping muncul di kegelapan malam. Wajahnya tak terlihat karena ditutupi kain kedok, namun Ang Siok-sun dan Gui Gong rasanya bisa mengenalinya. Mereka ingat malam pertama mereka di Lam-khia dulu, pertemuan tak sengaja mereka dengan tiga orang berkedok itu. Dan orang berkedok yang inilah salah satu dari mereka. Potongan tubuhnya maupun suaranya masih diingat oleh Ang Siok-sim dan Gui Gong.
"Siapa kau?" bentak kedua algojonya Jenderal Eng itu.
Orang berkedok itu melangkah maju dengan santai sambil tertawa, "Kalau aku siap berterus-terang, buat apa kupakai kedok ini?"
"Apa maumu?" "Melaksanakan apa yang sudah digariskan oleh pimpinan kami, yaitu_mencegah orang-orang tak bersalah menjad' korban komplotan-komplotan busuk yang bertebaran di Lam-khia ini. antara lain komplotan busuknya Jenderal Eng."
Kedua algojo Jenderal Eng merasa pasti bahwa bentrokan takkan terhindari. namun mereka berbesar hati bahwa mereka berdua dan bersenjata, sedang orang berkedok itu sendirian dan tak bersenjata. Entah kalau Ang Siok-sim dan Gui Gong ternyata juga teman orang berkedok itu lalu ikut mengeroyok.
Tetapi nampaknya Ang Siok-sim dan Gui Gong takkan mengeroyok.
Si algojo yang lebih besar pundaknya mulai merunduk dan berancang-ancang menyerang. Senjatanya ialah pisau belati di tangan kanan, sedang tangan kirinya mengenakan empat buah kaitan besi berujung tajam yang sejajar, di pangkalnya ada cincin-cincin untuk dimasuki jarijari dan digenggam. Senjata itu selain bisa untuk melukai, juga bisa untuk menjepit dan merebut senjata tajam. Sedang temannya yang perutnya agak gendut namun keras berotot, menghunus sebatang golok.
Sebelum perkelahian berlangsung, tiba-tiba berkatalah Ang Siok-sim, "Saudara-saudara, ada baiknya kalian jangan berkelahi. Buat apa" Saudara yang berkedok, terima kasih kau menolongku. Tetapi saudara-saudara yang hendak membunuhku ini pun sebenarnya tidak membenciku. Mereka hanya disuruh. Sekarang kalau aku dan Gui Gong tidak jadi mati dan pulang ke rumah dengan segar-bugar bukankah berarti tidak perlu terjadi per tikaian" Kalian pun bisa pulang ke rumah masing-masing dengan damai."
Omongan seperti ini diucapkan di Lam-khia dimana sesama manusia saling menerkam dalam suasana hukum rimba sungguh kedengaran aneh dan ganjil sampai orang-orang yang hendak berkelahi itu tercengang.
Tetapi salah seorang algojo Jendera Eng menjawab, "Maaf, sobat, usulmu itu luhur sekali tetapi kami tetap harus menjalankan tugas. Setelah membereska sobat berkedok yang menghalangi ini kami akan membereskanmu berdua sesuai perintah yang kami terima."
Gui Gong menarik tangan Ang Siok sim sambil berkata, "Kakak Sim, mumpung ada kesempatan, ayo kita lari."
Ang Siok-sim menggeleng. "Tidak mungkin meninggalkan sobat yang berkedok itu. Dia sudah menolong kita, masa kita tinggalkan lari begitu saja" Kalau dia mengalami apa-apa yang buruk bagaimana?"
Orang berkedok itu terkesan mendengar jawaban Ang Siok-sim, pikirnya, "Bocah ini berwatak baik, bisa kuusulkan menjadi anggota kelompok, biarpun untuk tugas-tugas paling sederhana dulu. Sementara temannya yang gemuk itu agaknya berwatak mementingkan keselamatan diri sendiri."
Kata orang berkedok itu, "Saudara Ang, Saudara Gui, pergi sajalah. Aku takkan mengalami apa-apa."
"Lho, dia tahu nama kami..." pikir Ang Siok-sim heran. "Siapa dia?"
Sedang ucapan itu memerahkan kedua algojo Jenderal Eng yang merasa diremehkan. Orang yang lebih tinggi mulai menyerang, mula-mula cakar besi di tangan kirinya membuat gerakan kacau mengaduk udara, untuk membingungkan
pandangan lawan lalu pura-pura hendak mencakar padahal pisau belatinyalah yang menyelinap akan menikam si orang berkedok.
Orang berkedok itu dengan ringan melangkah mundur dan menerjang kesisi kiri lawannya. Dengan demikian ia mengurangi keleluasaan gerak tangan kanan lawannya, sekaligus juga "menyumbat" langkah dari lawan bersenjata golok yang ada di sebelah kanan temannya yang lebih tinggi.
Namun algojo pertama itupun sudah berpengalaman dan cukup tangkas, ia memutar tubuh dan mengejar lawanny dengan tendangan ganas ke selangkangan. Sementara kawannya yang bersenjata golok itupun harus memutar mencari ' jalan untuk ikut menggempur. ..
Perkelahian dua lawan satu di tepi saluran air yang sepi itupun berlangsung seru. Orang berkedok itu memancing. dalam Pertarungan dengan arena yang luas agar ia leluasa berkelit kian-kemari
di antara sambaran senjata-senjata lawannya '
Namun ia tidak cuma berkelit dan menghindar, biarpun bertangan kosong. Setiap ada peluang, dia pun balas menyerang, tangan kosongnya maupun tendangannya ternyata tidak kalah berbahaya dengan senjata. Kadang ia menusuk dengan ujung jari, kadang membabat_ dengan pinggir tangan, kadang menjotos atau menyikut, sedang tendanganny mantap dan bervariasi. '
Ang Siok-sim menyaksikan pertarungan itu dengan rasa cemas. la mencemaskan kedua pihak, ia benar-benar tidak ingin melihat ada yang celaka. Tanyanya dalam hati, "Apa di Lam-khia yang orang ' orangnya mengaku lebih terpelajar dari orang-orang kampung macam aku ini, meyelesaikan masalah-masalah selalu dengan baku hantam?"
Sementara bagi Gui Gong, perkelahian itu lebih "merupakan sebuah tontonan. Gerak-gerik tiga orang yang berkelahi ini begitu hebat dan mengasyikan. Tetapi Gui Gong berdebar juga mengingat bahwa hasil akhir dari perkelahian itu akan menetukan nasibnya dan nasib Ang Siok sim. Kalau si orang berkedok menang, selamatlah ia dan Ang Siok-sim. Kalau
orang berkedok kalah, ia dan Ang Siok-sim akan "diantar pulang".
Karena itulah Gui Gong sangat mengharapkan kemenangan si orang berkedok. , Harapan Gui Gong agaknya akan menjadi kenyataan. Biarpun si Gembul ini juga awam dalam urusan silat, tetapi ia melihat gejala-gejala kemenangan si orang berkedok. Geraknya -dalam berputar dan berpindah-pindah sudut nampak kian cepat dan kian membingungkan kedua lawannya. Sementara kedua lawannya kian terdengar keras suara napasnya yang terengah-engah.
Bahkan kemudian si orang berkedok tidak cuma berkelit dan bergeser, melainkan mulai sering menjejakkan kaki ke tanah dan melompati kepala lawan-lawannya untuk semakin mengacaukan posisi mereka. Kadang dari atas pun menyerang seperti elang menyambar. Agaknya si orang berkedok memperhitungkan dirinya punya kelebihan cadangan stamina untuk memperpanjang pertempuran, maka berani mengeluarkan gerakan-gerakan melomPat tinggi yang memakan lebih banyak tenaga itu. __
Menghadapi lawan yang bukan saja begitu licin berkelit tetapi seolah olah "bisa terbang" itu, kedua-algojo Jendral Eng itu makin tertekan posisinya, sering kehilangan sasaran, dan di gelapnya malam sering senjata mereka hampir mengenai teman sendiri.
Suatu kali, orang yang lebih pendek itu menyeruduk ganas dengan golok di sabet-sabetkan agak ngawur di depan tubuhnya. Sementara temannya suda siap menerkam ke sudut mana lawannya bakal berkelit.
Tak terduga orang berkedok itu kali ini menghindar dengan merebahkan diri ke samping sampai hampir serata tanah sambil kakinya menjejak keras ke samping lutut si pemegang golok. Gerakny mirip Bu-siang-toat-beng (Setan Jahat Mencabut Nyawa) tapi dilakukan dari samping.
orang bergolok itu mengaduh dan tubuhnya tumbang, tumbangnya seperti hendak menjatuhi si orang berkedok, dan dalam gerakan itu goloknya masih bisa berbahaya bagi lawannya.
Tetapi orang berkedok itu malah menelentangkan tubuhnya di tanah dan memainkan sepasang kakinya dengan mahir. Bukan saja berhasil mementalkan golok lawan dengan gerak kaki mirip Pai-lianka (Batang Teratai Bergoyang), yaitu kaki berputar dan menyampok dari samping, disusul kaki lainnya menjejak ke atas, ke dada si algojo yang sedang hendak menjatuhinya. Tubuh si algojo mencelat beberapa langkah ke samping sambil mengaduh. Lalu orang itu tetap terbaring di tanah, tak bisa bangkit lagi, cuma mengaduh-aduh.
Orang berkedok itu melejit bangkit, algojo yang satu lagi sudah menerjang beringas sambil mengayunkan lengan kirinya yang bercakar besi, dengan harapan bisa melukai lawannya. Tetapi serangan itu luput, malah lengannya berhasil ditangkap dan dihempaskan ke samping.
Orang itu sempoyongan dan coba mengaktifkan belati di tangan kanannya, tetapi kalah cepat oleh tendangan " orang berkedok yang menerpa bagai angin puyuh, membuat si algolo terhempas dengan punggung menabrak pohon, lalu pelan-pelan melorot turun dengan kempas-kempis. _
Dengan demikian, perkelahian pun selesai. _
Orang berkedok yang keluar sebagai pemenang itu berdiri kokoh, agak bergaya juga. Kemudian ia memungut golok si pendek yang terpental tadi, mendekati kedua lawannya yang sudah tak berdaya, dan berkata, "Sebagaimana tadi kalian 'berbaik hati' kepada Ang Siok-sim dan Gui Gong (lagi-lagi Ang Siok-sim dan Gui Gong heran bahwa orang itu tahu nama mereka) dengan menyuruh mereka memilih antara pisau atau racun, sekarang pun aku 'berbaik hati' kepada kalian dan menawari kalian memilih mati dengan golok, tangan kosong, atau kalian barangkali ingin memakai racun kalian yang kata kalian tadi merupakan cara nyaman pergi ke akhirat" Nah, silakan pilih."
Kedua algojo itu memucat wajahnya, tak bisa menjawab. Tak terduga begini jadinya.
Namun yang lebih tak terduga lagi terjadi, ketika Ang Siok-sim mendekati si orang berkedok dan memegang lengannya 'serta berkata, "Sobat, sudahlah. Kumohonkan maaf untuk mereka. Toh mereka tadi hampir membunuhku bukan karena mereka berniat jahat, melainkan sekedar disuruh. Lagi pula aku dan Gui Gong toh tidak luka seujung rambut pun, buat apa urusannya diperpanjang?"
Orang berkedok itu tercengang. "Kau... mintakan ampun bangsat-bangsat yang hampir membuat nyawamu melayang siasia ini?"
"Kalau bisa mengampuni, ya apa salahnya?"
Orang berkedok itu berpikir sebentar, lalu ia berkata kepada kedua pecundangnya itu, "Kali ini atas permintaan Ang Siok-sim kubiarkan kalian pergi. Tetapi lain kali kujumpai kalian masih menganiaya orang-orang tak berdaya, aku takkan lagi semurah ini. Siapa pun orang yang kalian andalkan, kelompok kami tak gentar." _
Lalu pergilah si orang berkedok bersama Ang Sick-sim dan Gui Gong.Kedua algojo Jenderal Eng itupun tertatih-tatih bangkit dan berjalan pergi pulang. Si pendek berjalan sambil menyusun kata-kata yang akan dipakai sebagai alasan di depan In Yao nanti. Intinya, Ang Sink-sim dan Gui Gong "ternyata benar-benar punya komplotan tangguh yang menyelamatkan mereka' dari maut". Sementara temannya terus membungkam sambil merenung-renungkan sikap Ang Siok-sim yang tidak lazim tadi. Membiarkan ia dan temannya tetap hidup, padahal harusnya sudah mati. Sementara itu, si orang berkedok berjalan bersama Ang Siok-sim dan Gui Gong di lorong-lorong yang sepi dan gelap, kata orang itu, "Aku akan mengantar Saudara berdua sampai ke rumah kakak ipar kalian untuk memastikan kalian takkan diganggu lagi."
"Terima kasih. Siapakah Saudara ini sehingga mengenali nama kami berdua,
dan bahkan mau bersusah-payah menolong kami?" tanya Ang Siok-sim.
Sahut orang berkedok itu, "Siapa aku, jangan kau pikirkan. Tetapi aku memang mengenalmu, tahu tempat kerjamu, dan sore tadi kebetulan melihat kalian berdua dibawa begitu saja. Kuikuti kalian, tapi aku tidak berani menerobos masuk rumah Jenderal Eng, penjagaannya terlalu kuat, aku cemaskan kalian berdua. Kutunggu saja pintu belakang, eh, kulihat kalian dibawa ke tempat tadi, jadi aku pun ' turun tangan."
"Kalau tidak salah, dulu kau juga pernah menyelundup ke rumah Jenderal Eng bersama dua temanmu, betul?"
"Ha-ha, kau masih ingat...."
Gui Gong ikut bicara pula, "Dan aku ingat, temanmu yang gemuk itu bisa melakukan salto ke belakang sambil menangkap anak-anak panah yang ditembakkan dari belakang, dalam gelap malam pula. Hebat sekali. Apa aku bisa seperti itu?"
Si orang berkedok tertawa, "Kalau berlatih keras, pasti bisa."
"Kulihat tadi kau juga hebat: waktu melawan kedua orang itu. Apakah mau mengajari aku?"
"Senang sekali kalau bisa. Sayang. waktuku kelewat padat, banyak tugas, jadi tidak bisa memenuhi keinginanmu, Saudara Gui."
Gui Gong kecewa, sementara Ang Siok-sim bertanya, "Sobat, nampaknya antara kelompokmu dengan pihaknya Jenderal Eng ada permusuhan. Dulu kau dan teman-temanmu menyatroni tempat kediamannya malam-malam, begitu pula pihak Jenderal Eng sampai menculik kami berdua karena dikira kami ada hubungan dengan kalian. Urusan apa sehingga kalian bermusuhan?"
"Soal ini pun lebih baik kau tidak tahu, Saudara Ang, daripada nanti terlibat banyak urusan yang membahayakan nyawa. Juga jangan ceritakan kepada siapa-siapa." '
Ang Siok-sim menarik napas. Hidup di Lam-khia agaknya memang jauh berbeda dengan di desa. Di desa serba sederhana dan terbuka, urusan apa pun tak berbelit belit. Di Lam-khia, salah bicara saja kepala bisa protol;
"Aku minta maaf, aku terlanjur menceritakan tentang bentuk tubuh sobat bertiga kepada orang-orang di kediaman Jenderal Eng ,itu..." kata Ang Siok-sim. "... karena aku kira tidak apa-apa...."
Langkah si orang berkedok sedikit melambat, menandakan ia agak terpengaruh. Namun kemudian sikapnya normal kembali, katanya santai, "Tidak perlu .merasa bersalah, Saudara Ang. Mereka akan tetap sulit menemukan kami. Dan seandainya menemukan, tidak jadi soal. Mereka akan menyesal telah bisa menemukan kami, he-he-he...."
sejak pertemuan pertama dulu, Ang Siok-sim memang sudah mendapat kesan bahwa orang berkedok yang satu ini memang jarang bicaranya, kedengarannya amat yakin dengan kekuatan pihaknya sendiri meskipun yang dihadapi adalah orang berpangkat tinggi macam Jenderal Eng'".
Setelah tiba di kediaman _Eng Liong dimana Ang Siok-sim dan GUI Gong menumpang, orang berkedok Itu pergi.
*** Sesuai dengan pesan si orang berkedok, Ang Siok-sim tidak menceritakan kejadian itu kepada siapa pun. bahkan tidak juga kepada kakak perempuannya dan kakak iparnya.
itulah sebabnya, pagi harinya ketika Eng Liong bangun tidur, ia menganggap semalam pulang terlambatnya adik iparnya dan temannya itu bukan sesuatu yang penting.
Eng Liong sendiri, semenjak pangkatnya naik jadi kapten, tiap pagi rajin latihan silat di halaman belakang. Silatnyanya memang cuma silat serdadu kasaran yang diajarkan di tangsi oleh pelatih tentara. Tetapi Eng Liong berlatih ,dengan rajin agar suatu kali apa yang ia latih berguna dan dapat menaikkan pangkatnya.
Biasanya Ang Siok-sim dan Gui Gong kagum kalau tiap pagi mereka melihat Eng Liong bermain tombak di halaman belakang. Tetapi setelah semalam meilhat orang berkedok itu yang bertarung begitu tangkas, Eng Liong ini jadi kelihatan lamban dan kaku.
Habis berlatih, Eng Liong menyeka keringatnya, lalu mandi, sarapan dan berangkat ke tangsi dalam pakaian seragamnya. Beberapa tetangga masih keliru menyapanya "kopral Eng" dan harus diingatkan bahwa ia sekarang kapten.
Acara Eng Liong seperti biasanya. Apel di tangsi, mendengarkan pidato menggebu dengan air ludah bermuncratan dari komandannya, pidatonya tentang perlunya semua prajurit mengabdi tanpa cari keuntungan, sepenuh hati, menjadi teladan di masyarakat, kalau musuh datang harus berjuang sampai titik darah terakhir, dan sebagainya. Para prajurit sudah hapal, cuma susunannya saja yang dibolak-balik.
Apel bubar, masing-masing prajurit menjalankan tugasnya yang berbeda-beda.
Semua seperti hari-hari sebelumnya, kecuali bagi Eng Liong yang hari Itu menjumpai suatu peristiwa.
Sehabis memimpin pasukan kecil yang meronda kota, menjelang sore Eng Liong pulang ke tangsinya untuk melapor kepada komandannya tentang tugasnya yang lancar seperti biasanya."
Namun kali ini ia melihat sang komandan sedang bersama seorang tamu. Seorang lelaki berusia empat puluhan berdandan sebagai orang sipil dengan wajah yang ramah berseri-seri, pakaiannya bagus. Dan pasti cukup penting juga karena terlihat sang komandan begitu ramah dan sungkan kepada tamu itu.
Lebih tak terduga bagi Eng Liong, ialah ketika komandannya berkata kepadanya, "Kapten Eng, Tuan Jiu ini ingin berbicara denganmu. Nah, silakan...."
Eng Liong belum kenal orang itu, ia heran orang she Jiu itu ingin bicara kepadanya.
Sementara orang she Jiu itu telah bangkit menghormat Eng Liong dengan sopan, katanya, "Kalau Komandan setuju, kurasa lebih baik kuajak Kapten Eng ke tempat yang suasananya lebih santai...."
Terserah Tuan sajalah...," keramahan
Komandannya itu benar-benar belum pernah _dilihat sebelumnya oleh Eng Liong.
Singkatnya, kemudian Eng Liong bersama orang yang mengaku bernama Jiu Tong itu, menuju ke sebuah rumah makan cukup besar. Dengan gajinya sendiri, tak mungkin Eng Liong sanggup membayar harga hidangan di situ, namun agaknya Jiu Tong ingin mentraktirnya. Eng Liong senang juga, meski merasa bahwa nama "Jiu Tong" itu kok kedengarannya kurang lazim dan menimbulkan kecurigaan sebagai nama palsu.
Sambil menikmati hidangan-hidangan mahal, mulailah Jiu Tong bertanya, "Kapten Eng, benarkah kau punya seorang adik ipar laki-laki bernama Ang Sioksim?"
Eng Liong hanya mengangguk sebagai jawaban, sebab mulutnya sedang penuh makanan lezat yang belum pernah dinikmati.
apakah Adik iparmu itu tinggal di rumahmu?"
Kembali Eng Liong mengangguk
"Kapten Eng, harap kau lebih cermat mengamat-amati adik iparmu itu, jangan sampai di Lam-khia ini bergaul dengan orang-orang tak keruan. Bisa celaka dia nanti, bahkan juga bisa merembet kepadamu dan keluargamu." _ .
Betapapun enak hidangannya, kali ini tidak bisa dijawab dengan sekedar mengangguk. Bahkan Eng Liong tersedak dan terbatuk-batuk. Setelah reda batuknya dan melegakan tenggorokan dengan semangkuk besar minuman, bertanyalah Eng Liong, "Apa" Adikku itu terlibat dengan orang-orang tak keruan" Orang-orang tak keruan macam apa" Perampok?"
"Lebih berbahaya dari itu. Orangorang yang punya niat jelek kepada negeri ini."
Seketika amblaslah selera makan Eng Liong mendengar itu. "Tuan ini... tahu dari mana?"
"Dari mana kami tahu, itu tidak penting diberitahukan kepadamu. Pokoknya kami mempunya sejuta mata dan sejuta telinga di seluruh Lam-khia. Beberapa waktu yang lalu, ada orang kami yang memberi keterangan tentang adik iparmu dan temannya yang gemuk itu. Tetapi pihak kami tidak langsung menerima keterangan begitu saja, pihak kami bersikap adil dan hati-hati agar jangan sampai keliru bertindak kepada orang yang tidak bersalah. Lagi pula, soal adik iparmu terlibat dengan orang-orang yang membahayakan negara, itu belum merupakan kepastian, baru dugaan. Mudah-mudahan dugaan ini keliru. Dan ketika kami tahu bahwa ia adalah adik iparmu, kami memutuskan untuk lebih dulu bicara kepadamu."
Tubuh Eng Liong sudah berkeringat dingin seperti orang masuk angin. Urusan yang dikatakan Jiu Tong itu bukan urusan main-main. Urusan itu bahkan bisa membuat orang berpangkat tinggi pun terpental jatuh dari kedudukannya, apalagi cuma seorang perwira menengah semacam Eng Liong"
Katanya tergagap-gagap, "Aku... _benar-benar tidak tahu... bahwa Ang Siok sim terlibat......"
Jiu Tong menukas, 'Salah, belum pasti terlibat kok. Baru diduga terlibat, dan dugaan itu belum tentu benar.
Eng Lion menarik napas agak lega, "Syukurlah Yang kuketahui, beberapa bulan yang lalu adik iparku ke Lam-khia, menjumpai aku. Minta tolong agar kugunakan pengaruhku...," bicara soal. Pengaruh", Eng Liong jengah juga karena waktu itu pangkatnya baru kopral, namun ia melanjutkan keterangannya, "...untuk menjual tanah warisan ayah mertuaku. Habis itu, dia dan temannya yang bernama Gui Gong pindah ke Lam-khia ini, di rumahku, dan mereka berdua berhasil mendapat pekerjaan di rumah makan Ceng-san-lau sebagai buruh kasar."
"Mereka tinggal di rumahmu kan?"
"Ya. Tetapi apa yang mereka lakukan di luar rumah sungguh tidak kuketahui, apalagi sampai terlibat dengan orangorang yang membahayakan negara segala. Jiu Tong hendak menukas, tetapi Eng Liong telah menyerocos saking takutnya). Aku sendiri sudah bertahun-tahun mengabdi sebagai prajurit dengan penuh diSiplin dan setia dan...."
Eng Liong baru bisa sedikit ditenangkan setelah Jiu Tong menepuk pundaknya.
Lalu berkata, "Jangan panik, Kapten Eng, jangan panik. Aku menghubungi kau dalam soal adik iparmu itu, bukan karena ingin menjerumuskanmu, justru sedang membuka sebuah kesempatan bagimu untuk naik ke jenjang lebih tinggi. Jangan panik, jangan panik."
Berangsur-angsur Eng Liong tenang, dan makin tenang makin dia pintar bicara dibuat-buat, "Yah, bagaimana tidak panik -mendengar adik iparku terlibat komplotan membahayakan negara yang kucintai dan kuabdi sepenuh jiwa raga, kubela sampai titik darah terakhir" Di negeri tumpah darahku inilah...."
"Deklamasinya dilanjutkan nanti saja, Kapten Eng," Jiu Tong mulai tidak sabar juga. "Sekarang kita bicarakan urusan kita. Mau naik pangkat apa tidak?"
"Aku mengabdi negeri dengan tulus tanpa mengharapkan....
mau naik pangkat apa tidak?" "pengabdian sejati tidak menghiraukan dapat imbalan atau tidak, asal bisa melakukan sesuatu untuk kerajaan.... "Ya, ya, sudah, sudah, aku paham semangatmu yang hebat itu, Kapten Eng. Nah, begini urusannya. Ada sebuah komplotan berbahaya yang sedang coba-coba hendak mengambil hati adik iparmu agar masuk komplotannya...."
"Komplotan itu pasti salah pilih. Apa yang diharapkan dari adik iparku" Silat tidak. becus, apa-apa juga tidak bisa. Dulu di desa bisanya mencangkul di ladang, sekarang di Lam-khia juga cuma bisa cuci piring dan memotong kayu."
"Entah apa yang dilihat komplotan itu pada diri adik iparmu, yang terang mereka sedang mendekati adik iparmu...."
"Akan kuperingatkan adik iparku, kutanamkan semangat cinta tanah air."
"Itu tidak usah."
"Tidak usah" Adik iparku harus kubiarkan direkrut komplotan itu?"
"Justru inilah kesempatan untuk menggulung komplotan jahat itu. Selama ini mereka bersembunyi terlalu rapat, terlalu licin, susah dipegang buntutnya. Sekarang mereka kelihatannya mendekati adik iparmu, nah, kita berlagak tidak tahu! cukup kalau kau dengarkan saja setiap kali adik iParmu berbicara. Catat apa saja yang dia katakan dan berikan catatannya kepada kami. Mudah bukan?"
"Komplotan akan dapat dilacak, tetapi aku cemas adik iparku akan ikut dihukum."
"Tidak. Keteranganmu tentang kepolosan dan kejujuran adik iparmu akan dipertimbangkan oleh pihakku, aku sendiri akan menjelaskan kepada orang-orang di pihakku tentang ketidakbersalahan adik iparmu. la takkan dipersalahkan, dan kau akan naik pangkat karena berjasa besar bagi kerajaan."
Belum sempat Eng Liong bilang setuju atau menolak, Jiu Tong sudah meletakkan sepotong kecil emas di atas meja, "Ini hanya sebagai tanda penghargaan untuk kerja sama kita dalam menyelamatkan kerajaan ini; Terimalah...."
Dengan agak malu-malu Eng Liong mengantongi uang itu. Ini memang pertama kali buatnya. Teman-temannya sudah lebih dulu banyak yang punya " penghasilan tambahan" yang belasan kalilipat dari gaji resminya dengan jadi pelindung tempat judi dan sebagainya.
"Jadi ingat, Kapten Eng, jangan sampai ada yang tahu pembicaraan kita ini.
"Tentu, tentu." "Juga jangan biarkan adik iparmu merasa sedang diamat-amati. Kami yakin kau bisa."
"Kalau ada yang penting, bagaimana caraku menghubungimu, Tuan Jiu?"
"Kami yang akan menghubungimu, untuk bulan ini kodenya ialah orang memakai sepatu sebelah kanan dan sandal sebelah kiri, itulah orang kami."
Eng Liong berdebar-debar juga. Sadar bahwa dirinya mulai memasuki suatu jaringan kegiatan yang rumit, tidak lagi sebagai prajurit biasa yang sekedar datang, apel, bertugas, pulang, terima gaji. Namun ia tahu juga-bahwa di Lam-khia ada berpuluh-puluh kelompok kepentingan yang saling bertentangan dan saling bersekutu satu sama lain. Kelompok-kelompok yang tak mudah dikenali karena semuanya sama-sama omong "demi negara,
*** Ang Siok-sim dan Gui Gong menjalani hari-hari seperti biasanya. Pagi berangkat kerja,_ sore pulang. Tiap mendapat gaji, sebagian diberikan kepada kakaknya untuk membantu si kakak yang menanggung makannya. Semenjak peristiwa ia dan Gui Gong hampir dibunuh itu, Ang Siok-sim nampaknya lebih berhati-hati, namun tidak sampai ketakutan. Sedang Gui Gong nampaknya selalu merasa tidak tenteram. ia takut melewati tempat-tempat yang sepi, bahkan kalau melewati tempat yang ramai pun sering menoleh-noleh ke belakang. ,Selain itu, Gui Gong tiap pagi ' juga memohon kepada Eng Liong agar diajari sedikit cara-cara membela diri. Karena Eng Liong sendiri hanya menguasai beberapa ya hanya beberapa gerak sederhana, _ itu yang bisa ia berikan kepada Gui Gong. Eng Liong yang sudah dibina oleh Jiu Tong sambil mengajari Giu Gong juga sambil bertanya-tanya menyelidiki. "Dulu kau tidak begini, kenapa sekarang tiba-tiba berminat latihan silat?" tanya Eng Liong sambil menyeka keringatnya sehabis latihan pagi_ Ketika itu Gui Gong yang gemuk sedang mandi keringat sambil mengulang ulang gerakan Kau-tui-hoan-tui (Membungkuk Sambil Menendang ke Belakang). Kalau Gui Gong berlatih segiat itu, Nyonya Eng biasanya diam-diam sudah mengeluh dalam hati, sebab habis latihan pasti akan menghabiskan empat mangkuk besar nasi, padahal biasanya hanya dua. Persediaan beras jadi cepat habis kalau Gui Gong berlatih silat. Pernah Nyonya Eng mengeluhkan hal ini kepada suaminya, tetapi suaminya menyatakan agar Gui Gong dibiarkan tetap di rumah itu, diam-diam hendak dijadikan sumber informasi untuk dilaporkan kepada Jiu Tong. Soal persediaan beras cepat habis, Eng Liong bilang jangan kuatir, sebab ia menerima sokongan diam-diam dari Jiu Tong dan kelompoknya. . Mendengar pertanyaan itu, Gui Gong berhenti bergerak dan menjawab, "Aku pikir hidup di kota sebesar Lam-khia ini perlu juga Punya sedikit kemampuan membela diri. Di kampung sih aman tapi di sini lain."
"Kuperhatikan hari-hari belakangan ini kau nampak cemas, seperti ada yang mengancammu" Siapa dan apa yang mengancammu?"
Gui Gong ingat pesan orang berkedok yang menolongnya, agar peristiwa malam itu tidak diceritakan kepada siapa-siapa, maka dia pun menggeleng keras-keras sampai pipi gembulnya berguncang-guncang.
"Benar tidak apa-apa" Sebab kalau sampai terjadi sesuatu denganmu, bagaimanapun juga aku akan merasa ikut bersalah. Jelek-jelek aku ini sekarang perwira lho, biarpun terbatas, ada yang bisa kulakukan untuk membantumu, asal kau berterus terang." _
Gui Gong menjawab, tetapi hanya dalam hati, "Kau harus jadi jenderal dulu untuk bisa menolongku."
Melihat Gui Gong masih enggan meniawab, Eng Liong ganti siasat, "Baiklah kalau memang kau tidak terancam oleh siapa-siapa. Latihan silat ini sekedar
untuk berolahraga, dan mungkin untuk sedikit melangsingkan tubuhmu?"
"Begitulah kak"
"Bagaimana kerjamu di Ceng-san-lau" Baik-baik saja?"
"Semuanya beres, Kak."
"Siok-sim bagaimana?" _
"Kakak Sim juga bekerja dengan baik; Kak. Malah majikan kami sering memuji Kakak Sim rajin."
"Majikannya apakah yang bertubuh kurus dan berjenggot." _
"0, bukan, bukan. Namanya Juragan Lai. Ia pendek, gemuk, hampir menyerupai aku. Pendek, gemuk tetapi tangkas."
"Kau dan Siok-sim mendapat temanteman baru di sana?"
"Yah, paling-paling orang-orang yang bertugas di bagian dapur. Ada Bibi Mo yang potongan badannya mirip laki-laki, ahli mencincang daging, masakannya lezat_, aku beruntung sering disuruh mencicipi masakannya.
lalu" siapa lagi?" masih ada NYO Ban-kit dan Ong Gai masih semuda Kakak Sim. Juga sebagai tenaga kasar di rumah makan itu. Bedanya, mereka berdua tidur di sana, sebab tidak punya sanak keluarga di Lam-khia ini."
"Lalu siapa lagi?"
"Sudah. Sehari-hari yang berada di bagian dapur ya cuma kami berlima ini; Aku, Kakak Sim, Bibi Mo, Kakak Kit dan Kakak Lam. Yang lain-lain bekerja di depan melayani tamu-tamu rumah makan."
Setelah bercakap-cakap beberapa saat lagi, Eng Liong merasa cukup sebagai awalnya untuk keterangan yang bakal diteruskannya kepada Jiu Tong atau kelompoknya. Keterangan tentang orangorang di lingkungan kerja Ang Siok-sim, nama-nama mereka, dan potongan tubuh mereka.
"Ternyata Gui Gong lebih mudah diajak bicara..." pikir Eng Liong.
Hari itu Eng Liong melakukan seperti biasanya, berdinas, dan sorenya pulang ke rumah, tetapi ketika ia baru saja keluar dari tangsi, di jalanan ramai ada seorang Pengemis menghadangnya, menyeringai .
sambil berkata, "Minta sedekah, tuan perwira."
Sikap pengemis itu agak diluar kewajaran. Biasanya orang-orang kecil macam si pengemis akan menyingkir kalau ada serdadu yang lewat, sebab biasanya mereka akan disepak seperti sampah. Tetapi pengemis ini malah berani cengengesan menghadang jalannya-seorang perwira.
Eng Liong hampir marah, kalau saja ia tidak segera melihat bahwa pengemis itu kaki kanannya bersepatu tetapi kaki kirinya bersandal. Sepatu dan sandalnya tentu saja sama-sama butut. Eng Liong segera tahu, inilah penghubung dengan kelompok Jiu Tong.
Eng Liong menaruh kertas catatan percakapannya dengan Gul Gong tentang lingkungan kerja Ang Siok-sim. Si pengemis _terkekeh-kekeh dan memberikan sekeping uang emas kepada Eng Liong.
Dengan demikian justru Eng Liong mendapat "sedekah". Eng Liong pulang ke rumahnya dengan gembira. "sungguh mudah. Hanya dengan melakukan tindakan _begitu saja, sekeping uang emas Jadi milikku."
Sementara si pengemis itu, yang adalah pengemis gadungan, di sebuah tempat tertutup membahas keterangan Eng Liong. "Pengemis" itu dan teman-temannya tertarik dengan keterangan tertulis Eng Liong tentang perawakan tubuh orangorang yang tinggal dirumah makan Cengsan-lau itu. Juragan Lai yang gemuk tapi tangkas. Bibi Mo yang berperawakan mirip laki-laki.
"Potongan mereka mirip dua orang dari tiga yang pernah menyatroni kediaman Jenderal, ketika Jenderal menerima tamu dulu..." komentar in Yao alias "Ular Raksasa Berkepala Besi".
"Cocok dengan keterangan Ang Siok-sim ketika kita tanyai dulu."
"Yakinkah kita akan keterangannya?" tanya Jiu Tong yag nama sebenarnya adalah Tong Jiu itu. Julukannya Siaubin Sat-jiu (Wajah Tersenyum, Tangan Membunuh).
"Aku percaya. Bocah she Ang itu benar-benar lugu"
*** #maaf satu halaman hilang#
ini yang disodorkannya kepada Eng Liong bukan sekeping uang emas, melainkan sampul yang agaknya berisi catatan juga.
Eng Liong agak kecewa, namun melihat sorot mata Pui Tong-Pa yang menakutkan, ia tidak berani memprotes
"Kerjakan dulu baik-baik, uangnya kami tidak lupa kok," si pengemis cengengesan sambil melangkah pergi.
Setibanya di rumah, Eng Liong diam diam membaca pesan tertulis itu, dan ia termangu-mangu memutar otak setelah memahami perintah itu. Sebab pesan itu menyuruh Eng Liong sendiri atau melalui Ang Siok-sim dan Gui Gong untuk menguji Juragan Lai dan Bibi Mo di rumah makan itu bisa ilmu silat atau tidak. Caranya menguji, diserahkan kepada Eng Liong, disuruh mencari caranya sendiri.
Setengah malam Eng Liong memikirkannya, akhirnya diketemukan juga suatu cara.
Pagi-pagi sebelum fajar .seperti biasa Eng Liong berlatih di halaman. Gui Gong ikut-ikutan pula. Mereka berlatih menambah tenaga Ci0k-so (gembok batu).
setelah agak berkeringat, mereka berhenti sebentar sebelum mulai latihan gerakan-gerakan silat.
Kesempatan itu digunakan oleh Eng Liong untuk "menugaskan" Gui Gong. "Menugaskan" tanpa disadari oleh yang "diberi tugas" sendiri. Katanya, "Eh, Agong, kalau kau belajar silat bersamaku terus-terusan, takkan ada kemajuan apaapa. Silatku bukan diperoleh dari seorang pendekar sakti, melainkan diperoleh di tangsi prajurit, ajaran seorang pelatih serdadu yang juga tidak hebat."
Gui Gong mengakuinya dalam hati. ia masih terus diusik oleh perasaan tidak aman, semenjak ia hampir dibunuh dulu. Dan ia anggap memiliki ilmu silat yang memadai akan membuat dirinya merasa aman.
"Maksud Kakak Liong?"
"Di Lam-khia ini banyak jago-jago hebat yang tersembunyi. Bahkan di tempat kerjamu,' di rumah makan Ceng-sanlau, barangkali saja bersembunyi 'naga dan harimau'...."
"Hah" Naga dan harimau" Di tengah kota?" Gui Gong kaget.
Eng Liong tertawa, "Bukan naga dan harimau sungguhan, tetapi itu istilah orang-orang rimba persilatan untuk menyebut orang-orang yang tangguh dalam silat. Pendekar, maksudku."
"Ooo... tetapi tadi Kakak bilang di... rumah makan tempatku bekerja?"
"Ya cuma kira-kira saja, belum tentu. Tokoh-tokoh hebat biasanya menyembunyikan kepandaiannya dan hidup sehari-hari tidak berbeda dengan orang-orang biasa. Yang suka petentengan memamerkan otot itu biasanya malah hanya pesilat-pesilat kelas kambing. Nah, siapa tahu Juragan Lai itu ahli silat yang menyembunyikan diri", Juga Bibi Mo?"
' Gui Gong tertawa, "Ah, Kakak Liong ini bercanda. Kedua orang itu tidak ada potongan jago silat."
"Eh, siapa tahu" Pendekar tingkat tinggi itu tidak kentara lho. Kemarin bukankah kau sendiri bilang, Juragan Lai Itu gemuk tetapi tangkas" Nah...."
bahwa Gui Gong ingat peristiwa berkedok walaupun Ang Siok-sim pesan agar tidak menceritakan peristiwa itu. Kini ia menyerocos kepada Eng Liong, "Ketika kami pulang kemalaman dulu, sebenarnya kami diculik."
"Kenapa selama ini kalian tidak bilang kepadaku" Dan bagaimana kalian bisa lolos?"
Gui Gong menceritakannya, tak lupa ditambahi dengan dugaan Ang Siok-sim bahwa mereka berdua telah dibawa ke rumah Jenderal Eng. Lalu dibawa keluar lagi untuk dibunuh di tempat sepi, tetapi muncul seorang berkedok yang dapat mengalahkan orang-orangnya Jenderal Eng.
Sejenak lupa akan tujuan semula untuk mendorong Gui Gong agar "menguji" orang-orang di Ceng-san-lau. Hati Eng Liong berdebar-debar membayangkan dirinya mungkin terlibat suatu urusan dengan Jenderal Eng yang berpengaruh itu, entah sebagai kawan atau lawan" Dan siapakah orang yang mengaku bernama Jiu Tong yang menjumpainya itu"
Pihak manapula orang-orang berkedok yang menyatroni kediaman Jenderal Eng _itu"
Tiba-tiba Eng Liong ketakutan sendiri. Kalau kemarin-kemarin ia gembira waktu menerima uang emas hanya untuk "tindakan yang mudah", kini ia gentar menyadari bahwa dalam "tindakan yang mudah" ini mungkin saja melibatkan pertikaian terselubung antara orang-orang berkuasa di Lam-khia. Dalam pertikaian macam itu, orang-orang macam Eng Liong hanyalah bidak-bidak catur yang bisa dilenyapkan setiap saat.
Tiba-tiba pula Eng Liong berpikir, "Lebih baik aku keluar dari perjanjian dengan Jiu Tong sebelum terlibat terlalu dalam. Aku mau kembali jadi prajurit biasa saja, menjalankan tugas baik-baik, tidak terlibat macam-macam, tiap bulan terima gaji."
Percakapannya dengan Gui Gong pun terhenti setengah jalan. Ia lalu mandi, makan pagi dan berangkat dinas.
Ketika sore hari ia berjalan pulang ke umah, kembali si pengemis cengengesan menghadangnya. "Bagaimana" Pesan tertulis itu sudah dilaksanakan" Bagaimana hasilnya" Uangnya sudah kubawakan lho..."
Si pengemis gadungan membuka telapak tangannya dan memperlihatkan sekeping uang emas. Tetapi uang emas itu digenggam lagi dan belum diberikan kepada Eng Liong.
Panglima Gunung Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Eng Liong menggeleng lesu, "Kalau ketemu Jiu Tong, bilang kepadanya bahwa aku tidak lagi ada hubungan dengannya atau denganmu. Biarkanlah aku menjalani hidupku seperti biasanya dulu."
"Lho, tidak mau uang"."
"Kupikir-pikir kok urusannya berbahaya, mungkin menyangkut beberapa tokoh pemerintahan yang amat berkuasa, aku jadi takut."
"Memang. Hanya orang-orang besar saja yang punya rencana-rencana besar menuju ke kejayaan, dan tak kusangkal bahwa beberapa di antara rencana itu mirip pertaruhan judi. Bukan pertaruhan kecil tetapi mempertaruhkan segala-galanya. Tapi begitulah orang hidup, tidak berani bertaruh, mana bisa menanjak"
Kau diajak ikut, supaya kau punya masa depan, masa seumur hidupmu mau segini segini saja taraf hidupmu?"
Eng Liong termangu-mangu. Tidak Mengangguk, juga tidak menggeleng. ia ingat masa bertahun-tahun ketika ia dicekik kejemuan karena pangkatnya yang tidak naik-naik, untung akhirnya ada uang hasil penjualan ladang adik iparnya. Sekarang setelah jadi kapten, akankah pangkat itu melekat kepadanya sampai masuk liang kubur"
"Bagaimana" Ingin terus?"
Akhirnya Eng Liong mengangguk.
Si pengemis menepuk pundak Eng Liong sambil tertawa. Untung kejadiannya di tempat sepi. Kalau di tempat ramai dan dilihat banyak orang, tentu orang-orang yang melihatnya akan heran melihat seorang pengemis berani menepuk-nepuk pundak seorang perwira.
Kata Pui Tong-pa, "Bagus, Kapten Eng. Resiko pertaruhan biarlah ditanggung oleh orang-orang yang di kalangan atas. Orang seperti kita-kita ini kan hanya menjalankan perintah, kalau kirakira orang di atas sudah tidak dapat diandalkan, ya kita tinggalkan mereka. Betul tidak?"
Kembali Eng Liong mengangguk-angguk, keraguannya hilang.
Eng Djiauw Ong 3 Pendekar Slebor 03 Mustika Putri Terkutuk Pendekar Tangan Baja 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama