Panglima Gunung Karya Stefanus Sp Bagian 10
ini untuk ikut dalam rombongan itu.
_An Bwe tertawa dan mengkritik rekannya itu, "Kau licik. Saudara Wan. Aku bagaimana" Ikut tidak?" '
"Saudara An, bukannya kami mau mengkesampingkan kau, tetapi kau seorang Panglima yang penting di Lam-khia, kalau kau menghilang beberapa hari, situasi bisa kacau dan. banyak orang akan merosot semangatnya. Berbeda dengan kami, menghilang selama-lamanya pun takkan ada yang menggubris.
"Ya, takkan terlalu menarik perhatian kalau aku tidak nampak di belakang meja kasir rumah makan Ceng-san-lau selama beberapa hari," sambung Lai Tek-hoa. "Masakan kami takkan berkurang kelezatannya karena juru masaknya masih Bibi Mo yang jempolan."
"Wah, promosi ya?" ejek Hui-yo (si "kambing terbang") Tam Yo yang memang sahabat baik Lai Tek-hoa dan sudah "langganan" saling sindir dengan Lai Tek-hoa.
Lai Tek-hoa pura-pura tidak mendengar. namun kata-katanya kemudian balas menyindir sahabatnya itu. 'Dan bebzrapa hari ini, ibu-ibu akan aman dompetnya."
orang-orang di ruangan itu meledak tawanya, sebab mereka tahu bahwa Pekerjaan sehari-hari Tam Yo ialah tukang copet. Meski mencopetnya dengan falsafah" kaum gunung hijau. yaitu "memindahkan" dari yang berkelebihan kepada yang kekurangan.
Berbeda dengan pembicaraan kaum "terhormat" yang sering berkepanjangan dan penuh basa-basi, pembicaraan kaum gunung hijau itu serba lugas, kadang kadang bahasa yang kotor pun terdengar. diselingi kelakar, dan tahu-tahu sudah terbentuklah regu yang akan mencoba membunuh jenderal Kim Sun-oh. Yang akan memimpin regu ialah Wan Keng-hin sendiri. Anggota regunya ialah dua puluh dua orang Hong-kun yang rata-rata adalah pesilat hebat. ditambah tiga orang pemimpin kelompok perairan.
"Kami akan membunuh Kim Sun-oh, demi lengan kanan San-cu Helian Kong!" Wan Kena-hiu mengacungkan tinjunya ke
langit. Orang-orang dalam ruangan itu PUn menyambutnya dengan bersemangat. Setelah makan minum, malam itu juga berangkatlah kelompok itu ke sasaran, suatu perjalanan yang akan makan waktu beberapa hari.
Perkemahan pasukan Jenderal Kim ada di sebuah tebing tegak lurus ratusan meter tingginya, yang dinamai Gu-wangai (Tebing Lutung Menangis), karena kata penduduk setempat, lutung pun takkan mampu memanjat tebing setinggi itu yang hampir-hampir tak ada pijakannya. Di balik tebing adalah perairan Sungai Besar yang di bagian itu adalah bagian yang deras airnya.
Tebing terjal mengelilingi perkemahan dari segala penjuru. dan jalan untuk memasuki "mangkok alam raksasa" itu hanya ada dua celah sempit. Yang satu dari arah barat yang dilewati pasukan
Jenderal Kim ketika datangnya dari barat. satu lagi yang akan dilewatinya kalau melanjutkan perjalanan ke timur. Supaya aman, Jenderal Kim hanya perlu menempatkan penjagaan kuat di kedua celah itu, selebihnya ia dan pasukannya "dilindungi alam".
Bahkan karena baiknya tempat itu sebagai benteng alam, akhirnya Jenderal Kim memutuskan tempat itu akan dijadikannya pangkalan untuk menekan Lamkhia yang letaknya hanya beberapa puluh li dari situ. Menekan untuk mencarikan peluang bagi pasukan besar Jenderal Ni Kam menyeberangi Sungai Besar.
Setelah mengetahui tempat Jenderal Kim yang terjaga kokoh oleh manusia dan alam itu, dua puluh enam orang tokoh kaum gunung hijau itu lalu merundingkan bagaimana caranya bisa memasuki benteng alam itu.
"Kelihatannya, selain menerjang lewat celah-celah sempit itu. tak ada jalan lain," kata Lurah Hui.
Tetapi Wan Keng-hiu sebagai pemimpin pasukan kecil itu gelang-gelang kepala; "Menerjang terang-terangan berarti kita takkan pernah sampai kepada Kim Sun-oh, seorang pun dari kita takkan pernah bisa menyentuh kulitnya seujung rambut pun, sebab kita akan habis lebih dulu direjam prajurit-prajuritnya yang dua ratus ribu jumlahnya."
"Memanjat tebing itu... apakah mungkin?" Si "naga kate" Toan'Ai-liong mengusulkan, tapi suaranya bernada meragukan usulnya sendiri. Soalnya tebing itu ratusan meter tingginya, sampai dikatakan penduduk bahwa "lutung pun menangis" karena tak mungkin melewatinya.
Dan usul Toan Ai-liong itu, benar saja, mulai ditentang oleh teman-temannya yang bertubuh berat. Misalnya Lurah Hui yang tinggi besar, begitu pula Yong Sek-tiong, hong-kun ke tiga di Lam-khia, yang bertubuh besar dan berjulukan si "kerbau mabuk" itu. Yang gendut-gendut macam Wan Keng-hin dan Lai Tek-hoa juga merasa gagasan Toan Ai-liong itu terlalu berat untuk dilaksanakan.
"Bagaimana kalau... kita menyamar sebagai prajurit-prajurit Manchu?" usul
hong-kun nomor satu di tepian Sungai Besar, Bhe Sun-gai yang memang gemar menyamar.
"Kesulitannya, logat kita semua adalah logat selatan, sangat jauh bedanya dengan logat timur laut dari prajurit prajurit Manchu itu. Belum lagi kalau mereka punya kata sandi yang tidak kita ketahui."
Bhe Sun-gai berkata pula, "Baik, kalau menyamar sebagai prajurit Manchu tak mungkin, bagaimana kalau menyamar sebagai prajurit-prajurit Kerajaan Beng?"
"Mana seragamnya" Lagi pula, apa alasannya prajurit-prajurit dinasti Beng mendatangi pasukan Manchu?"
"Kita tidak usah berseragam. Kita pura-pura sebagai prajurit-prajurit Beng yang ketakutan lalu hendak menakluk kepada Manchu. Mungkin pihak Manchu mau mempertimbangkan alasan kita dan kita bisa berhadapan cukup dekat dengan Kim Sun-oh."
"Yang ini bisa kita coba," Wan Kenghin sebagai pimpinan langsung menyetujui"Jadi aku yang sudah terlanjur berbadan segemuk ini tidak perlu bergelantungan di tebing seperti lutung." "
Kemudian mereka menentukan pangkat masing-masing, agar nanti di depan para prajurit Manchu tidak salah saling menyebut dengan. "pangkat" mereka agar tidak ketahuan penyamaran mereka.
Setelah itu, ke dua puluh enam orang itu pun berjalan dengan santai mendekati celah yang menghadap ke timur, yang dijaga ketat oleh prajurit-prajurit Manchu. Beberapa batang obor ditancapkan di tanah untuk menerangi malam.
Prajurit-prajurit Manchu dandanannya sederhana.. Mereka hanya memakai dua potong pakaian, atas dan bawah, yang sederhana, dan di kepala mereka bukanlah topi logam yang berkilat-kilat, melainkan hanya caping dari rotan. Prajurit-prajurit yang menjaga celah itu mellhat rombongan Wan Keng-hiu muncul dari kegelapan, mendekati pos penjagaan mereka, lalu mereka bersiaga dengan senjata-senjata mereka. dan komandan penjaganya membentak, "Berhenti!"
Wan Keng-bin dan teman-temannya berhenti melangkah.
Selanjutnya tanya jawab berlangsung dari jarak belasan meter.
"Siapa kalian?" tanya komandan Manchu. .
Jawab Wan Keng-hiu, "Aku Cam-ciang (Kolonel) Hin dari pasukan kerajaan Beng bersama teman-temanku sesama perwira."
Alis Si Komandan jaga Manchu itu berkerut, buat apa perwira-perwira Beng ini datang malam-malam"
"Berapa jumlah kalian?"
"Kami sekarang dua puluh enam orang." ' 'Apa maksud kalian kemari?" '
"Kami... sadar... kekuatan kami yang sangat terbatas takkan mampu mengubah jalannya sejarah. Sejarah sudah memberi isyarat bahwa dinasti Beng sudah tenggelam. Kami tak ingin berada di kapal yang sedang tenggelam."
Komandan _Manchu itu pun paham, rupanya "perwira-perwira Beng" ini hendak menakluk. Sesuatu yang tidak mengherankan lagi. Sudah bukan rahasia di kalangan para prajurit Manchu bahwa di
antara musuh mereka, prajurit-prajurit Beng, sudah tidak banyak lagi prajurit yang bersemangat tinggi. Sebagian besar sudah kehilangan harapan untuk mempertahankan dinasti 'Beng, sebagian sudah pecah nyalinya, sebagian lagi membelot ke pihak Manchu. Kalau masih ada prajurit-prajurit bersemangat, mereka sudah ditarik ke pihaknya para pangeran yang dianggap "lebih punya harapan".
Komandan Manchu itu pun tertawa mengejek, "Tidak usah bicara bertele-tele, Singkatnya, kalian hendak menakluk untuk memperpanjang nyawa, begitukah?"
Pertanyaan ' ini menggusarkan Wan Keng-bin dan teman-temannya yang adalah pecinta-pecinta tanah air itu, namun demi terjaganya penyamaran sampai di depan Jenderal Kim nanti, Wan Keng-hiu menjawab juga dengan gaya sorang pengecut, "Yah, kami ini kan-punya keluarga. Buat apa harus mempertaruhkan nyawa untuk sesuatu yang sudah pasti tak bisa diharapkan lagi?"
Si Komandan Manchu bergelak tawa, "Memang betul, kalau dinasti Beng punya
' prajurit-prajurit kantong nasi macam kalian. apa yang bisa diharapkan?"
Wan Keng-hiu menahan diri, tetapi mengancam dalam, hati. "Nanti setelah tiba di depan Kim Sun-oh, silakan kalian lihat kantong-kantong nasi ini beraksi."
"Jadi sekarang kalian kemari mau apa?"
"Kami ingin diperkenankan menghadap Jenderal Kim yang gagah perkasa, untuk menyumbangkan tenaga kami yang tak berguna buat beliau."
"Tenaga macam kalian ini tak berguna di medan laga, tetapi mungkin bisa berguna juga untuk membantu-bantu di dapur. Jadi, tunggulah di sini, aku akan tanya atasanku dulu apakah kalian bisa diterima atau tidak."
Lalu komandan Manchu itu pun masuk ke benteng alam itu. Tak lama kemudian ia sudah muncul kembali, "Kalian akan diperkenankan menghadap Jenderal Long."
Wan Keng-hiu kecewa. "Kami ingin menghadap Jenderal Kim."
"He, orang macam apa kau sehingga tak tahu diri ingin menghadap jenderal Kim" Boleh menjumpai Jenderal Long saja sudah untung."
"Komandan, biarpun kami ini barangkali memang benar cuma kantong-kantong nasi seperti katamu tadi, setidaknya kami punya sesuatu yang berharga untuk dipersembahkan kepada Jenderal Kim."
"Apa?" "Informasi militer tentang gerak-gerik Si Bandit Gunung yang bernama Helian Kong."
Hanya jenderal Manchu yang sudah bosan naik pangkat yang tidak tertarik mendengar informasi tentang Helian Kong. Wan Keng-hin berhasil memancing minat komandan Manchu itu.
Maka kedua puluh enam orang punggawa bawahan Helian Kong yang sedang menyamar itu pun diantar masuk ke benteng alam itu. Di bagian dalam benteng
alam itu mereka merasakan suasana disiplin tinggi dari para prajurit Manchu. Tanpa bertukar kata-kata pun para hulubalang Helian Kong itu merasakan bedanya disiplin tentara Manchu dengan disiplin tentara Beng yang jauh lebih rendah. Wan Keng-hiu menarik napas dan membatin, "Kalau hanya membandingkan kekuatan asing ini dengan para prajurit Beng, memang tak ada harapan., Tetapi mudah-mudahan kekuatan kaum gunung kami dapat memikul tugas besar ini.
Mereka menghadap jenderal Manchu she Long itu, ditanyai, namun bersikeras bahwa "informasi militer tentang bandit gunung Helian Kong" hanya akan dibeberkan kepada Jenderal Kim.
Takut kehilangan "informasi amat penting" itu dan disalahkan oleh atasannya, akhirnya Jenderal Long menghadap Jenderal Kim biarpun sudah cukup malam. Untungnya Jenderal Kim belum tidur, karena di kemahnya sedang mengobrol dengan tamunya dari Tian-sian (Korea) yang adalah adiknya seayah lain ibu. Kim Sun-jin.
Ketika Jenderal Long berlutut di depannya, Kim Sun-oh bertanya, "Ada apa menghadapku malam-malam begini?"
"Maafkan aku, Panglima. Malam ini ada dua puluh enam orang perwira kerajaan Beng datang kemari untuk menakluk kepada kita dan..."
"Cuma soal begitu saja kok tidak bisa kau selesaikan sendiri dan kau laporkan kepadaku" Bukankah sudah kejadian biasa kalau prajurit-prajurit Beng menakluk kepada kita" Apa lagi cuma dua puluh enam orang, di Propinsi Siam-sai barat dulu malah hampir tiga ribu orang sekaligus."
"Memang tidak seharusnya kuganggu Panglima, seandainya kedua puluh enam perwira itu tidak menyebut-nyebut bahwa mereka punya keterangan militer penting tentang gerak-gerik Helian Kong." ,
Disebutnya Helian Kong memaksa Kim Sun-oh beralih pembicaraan dari yang sedang dikatakannya dengan saudara tirinya. Keluhnya, "Lagi-lagi Helian Kong. Aku sudah lega mendengar dia dapat ditangkap oleh Ngo Tat, tahu-tahu kudengar kabar susulan bahwa dia kabur dari pangkalannya Phui Tat-liong. Keterangan apa tentang Helian Kong?"
"Maaf, Panglima, orang-orang itu tidak mau mengatakannya kecuali di
' hadapan Panglima sendiri, tak peduli kata-kataku bahwa aku adalah pembantu terpercaya Panglima. Aku kuatir kalau Panglima menolak menjumpai mereka, kita" akan kehilangan keterangan penting itu.
Jenderal Kim berpikir sebentar, lalu berkata, "Bawa mereka _ke kemahku. Cukup pemimpinnya saja, tidak usah semuanya."
"Maaf, Panglima, mereka mohon bisa menghadap semuanya. Katanya, masing masing punya keterangan-keterangan yang berbeda-beda tentang Helian Kong, keterangan-keterangan yang saling melengkapi."
Kim Sun-jin tiba-tiba berkata, "Ini mencurigakan, Kak. Jangan-jangan mereka punya niat mencelakai Kakak?"
Mendengar peringatan itu. Jenderal Kim nampaknya tidak gentar, ia mengelus jenggot kelabunya sambil berkata, "Sejak aku ikut dalam pasukan Sri Baginda menjarah wilayah selatan ini, selalu kubentengi diriku baik dengan cara biasa maupun cara yang gaib."
' Kim Sun-jin mengangguk. ia sudah tahu bahwa kakak tirinya itu punya sepasukan kecil jago-jago silat di sekelilingnya. Bukan jago-jago silat saja, Jenderal Kim juga dikawal ahli-ahli ilmu gaib, agaknya Si Jenderal im juga kuatir kalau dirinya disantet.
jenderal Long segera membawa kedua puluh enam "perwira Beng" itu ke kemah atasannya, dan ketika mereka sudah tiba dl kemah itu, jenderal Kim sudah duduk di kursi yang berlapis kulit macan, belasan pengawalnya ada di sekitarnya.
Ketika Wan Keng-bin dan teman-temannya tiba di depan kemah Jenderal Kim. mereka hendak dilucuti senjatanya oleh para prajurit di sekitar kemah.
Namun Wan Keng-hun yang merasa sudah sampai ke sasaran pun juga merasa tak perlu berpura-pura lagu. Sudah sejak tadi ia dan teman-temannya memendam kemarahan. sekarang kemarahan pun meletup.
"Tinggalkan senjata kalian di..." Jenderal hong tak sempat -menyelesaikan
kalimatnya sebab jotosan Wan Keng-hun sudah mendarat telak di wajahnya dan membuatnya menggelosor semaput seketika.
Para pengawal jadi gempar, mereka segera bergerak hendak meringkus dua puluh enam orang "perwira Beng" '." namun para hulubalang bawahan Helian Kong itu pun serempak menghunus senjata masing-masing dan lebih dulu menyergap para prajurit di sekeliling kemah.
Yang menyergap adalah para jagoan, tentu saja para prajurit itu kocar-kacir. Sementara Wan Keng-bin sendiri sudah masuk kemah dengan sepasang senjatanya yaitu tombak pendek bermata dua di masing-masing tangannya. Lurah Hui dengan tombak besinya serta Lai Tekhoa dengan sui-paa bajanya mengapit di kiri kanan Wan Keng-hiu.
Melihat lelaki setengah baya bertampang gagah yang duduk di kursi .berlapis kulit macan, tak berpikir panjang lagi wan Keng-hiu menerjang ke arah orang itu.
pengawal-pengawal pribadi yang di sekeliling Jenderal Kim tidak tinggal diam. Dua' orang bertubuh cebol dan berwajah kembar, maju serempak. Si Kembar Cebol itu bersenjata sama, yaitu tameng baja bundar di tangan kiri. gada perunggu pendek di tangan kanan. Permukaan tameng mereka .diberi duri duri besi. Mereka menyerang Wan Kenghin serempak.
Wan Keng-hin membentak keras. "Kalian begundal-begundal Manchu, enyah dari depanku!"
Sambil melangkah berputar-putar sehingga. tubuhnya bagaikan gasing, dibarengi sepasang dwisula pendeknya menggempur belasan kali tanpa tenggang waktu. Serangan yang tertangkis tameng itu menimbulkan suara brang-breng yang memekakkan telinga.
Begitulah Wan Keng-hin langsung berusaha menekan kedua lawannya itu, agar dapat segera mencapai jenderal Kim. Namun lawan kembarnya itu tak. mungkin dapat dilewati dalam waktu singkat. .
Wan Keng-hin tertahan, Lurah Huilah yang menyerbu ke arah jenderal Kim.
Tombak besinya yang berat itu meluncur dahsyat. siap memaku tubuh Jenderal Kim dengan 'kursinya, sementara Lai Tek-hoa siap menerjang siapa saja yang hendak merintangi usaha rekannya itu.
Ketika ada seorang berdandan sebagai imam agama To yang bersenjata pedang mencoba merintangi Lurah Hui, maka Lai Tek-hoa menyongsong Si Imam sambil meneriaki Lurah Hui, "Kakak Hui, lanjutkan!"
Namun tombak besi" Lurah Hui hanya berhasil menghancurkan kursi yang tadinya diduduki jenderal Kim, sebab Jenderal Kimnya sendiri sudah didorong minggir oleh adik tirinya. Adalah yang mengejutkan Lurah Hui bahwa kaki Kim Sunjin tiba-tiba melayang tinggi hendak menghantam wajah Lurah Hui. Ternyata lelaki setengah baya berdarah Korea ini di negeri asalnya dikenal sebagai pendekar Tong-jiu-tao yang ahli dalam memainkan tendangan beraneka ragam.
Lurah Hui agak terlambat menundukkan kepala, kegesitannya agak terganggu oleh tombak besinya yang berat. Maka
pundaknya pun kena tendangan Kim Sun jin sehingga agak terhuyung. Sudah begitu, Kim Sun-jin sudah bergerak bagai angin puyuh memburu Lurah Hui dengan tendangan putar yang amat cepat.
Ke dalam kemah itu sudah menerobos masuk lagi beberapa hulubalang kaum gunung hijau. Melihat kerepotan Lurah Hui, hong-kun nomor tiga dari Lam-khia, si "kerbau mabuk" Yong Sek-tiong yang bertubuh tinggi besar langsung menggerakkan sepasang martil bajanya sejajar dari atas ke bawah dengan gerak tipu Gai-thian-pi-te (Membuka Langit Menggempur Bumi) menggempur sepasang pundak Kim Sun-jin.
Si jago Tendangan dari Korea itu membuat langkah berputar sambil mengibaskan lengannya, lalu kakinya terangkat menjejak' ke perut Yong Sek-tiong. Yong Sek-tiong melangkah mundur sambil menghantamkan lagi sepasang martilnya untuk menghantam mata-kaki sekaligus lutut Kim Sun-jin. Gerak tipu sepasang martilnya agaknya banyak memiliki gerak-gerak sejajar dan serempak.
Sementara Lurah Hui yang sudah memperbaiki posisinya, kembali menerjang dengan tombak besinya. Begitulah Kim Sun-jin harus menghadapi keroyokkan kedua hulubalang kaum "gunung hijau" itu.
Para hulubalang gunung terus menerobos masuk kemah dan semuanya langsung mengincar Jenderal Kim. Kalau ada yang tertahan, yang lain menggantikannya. Pengawal-pengawal Jenderal Kim yang merupakan jagoan-jagoan silat pun jadi repot. Salah seorang pengawal pribadi Jenderal Kim menggunakan pisau tajam untuk merobek kain kemah, membuat pintu darurat sambil mengusulkan kepada Jenderal Kim, "Panglima, lebih baik tinggalkan tempat ini secepatnya."
Namun Jenderal Kim malah nampak tenang memperhatikan keributan dalam kemahnya itu. dan menggelengkan kepala sambil menolak. "Jarang sekali jagoan jagoan berjumlah sebanyak ini berkumpul di satu tempat. Aku ingin menonton banyak gerak tipu silat yang belum pernah kulihat."
pengawal-pengawalnya tidak bisa memaksa. Mereka tahu Jenderal Kim adalah penggemar silat, bahkan juga berlatih meski di sela-sela waktunya yang padat acara. Kini, selagi jiwanya diincar hulubalang gunung itu, Jenderal Kim malah menganggapnya sebagai tontonan. Dan ia benar-benar memperhatikan gerak tipu gerak tipu orang-orang yang bertempur itu dengan sungguh-sungguh. Para pengawalnyalah yang dengan sikap tegang membentengi Jenderal Kim sambil menduga-duga, berapa besar kekuatan yang hendak membunuh Jenderal Kim itu" .
Di luar kemah juga terjadi pertempuran hebat. Para hong-kun itu adalah pesilat-pesilat hebat, setiap hong-kun setara dengan delapan sampai dua belas orang prajurit biasa. Karena itu, pada awal pertempuran, banyak prajurit bertumbangan roboh oleh amukan para hong-kun itu. Para hong-kun bergerak terlalu cepat untuk dihindari para prajurit, dan terlalu bertenaga untuk ditangkis. Karena itu, para hong-kun ibarat serigala-serigala di tengah anak-anak domba,
setiap kelebatan senjata mereka atau sabetan kaki tangan mereka disusul dengan teriak kesakitan atau keluhan para prajurit disusul ambruknya tubuh mereka.
Namun 'prajurit di benteng alam itu ratusan ribu jumlahnya, dan semuanya sudah mengalami gemblengan jadi orang orang tak kenal takut, biarpun Silat mereka tak dapat dibandingkan. para hongkun. Jumlah mereka yang tak habis-habis lama-lama membuat para hong-kun makin repot juga. Bagaimanapun para hong-kun tetap manusia biasa yang kekuatannya terbatas biarpun mereka amat terlatih.
Hal lain yang lama-lama agak merugikan para hong-kun itu ialah, biarpun mereka pesilat-pesilat hebat, mereka terbiasa bertarung secara perorangan, mengandalkan diri sendiri-sendiri. Sedangkan para prajurit itu biarpun secara Perorangan hampir tak ada artinya, namun mereka biasa bekerja sama, saling melindungi. saling menutupi kelemahan.
Karena itu. setelah ratusan prajurit dapat dirobohkan oleh para hong-kun.
giliran para hong-kun mulai merasa kelelahan. Mereka masih melawan dengan gigih, karena berharap teman-teman mereka dalam kemah akan dapat segera membereskan Jenderal Kim lalu mereka dapat pergi meninggalkan tempat itu.
Ternyata teman-teman mereka yang menyerbu ke dalam kemah pun tak kunjung keluar kembali dengan membawa batok kepala Jenderal Kim. Malah kedengarannya di dalam kemah pun terjadi pertempuran hebat.
Dalam kemah, sebagian besar pengawal pribadi Jenderal Kim sudah terlibat pertempuran, tinggal empat orang yang masih membentengi Jendral Kim yang belum juga mau diajak pergi dari situ.
"Pengalaman sehebat ini merupakan pelajaran sangat berharga, kenapa aku harus melewatkannya?" demikian alasan Jenderal Kim.
Wan Keng-hin yang sedang bertarung "dengan Si Kembar Cebol, sempat memperhatikan keadaan itu, dan ia memperhitungkan kalau ada lima lagi temannya yang dari luar masuk ke dalam, nampaknya Jenderal Kim akan dapat dibereskan.
Tanpa mengurangi tekanannya kepada lawan kembarnya, Wan Keng-hin meneriakkan kata-kata isyarat rahasia yang hanya diketahui teman-temannya, yang artinya lebih kurang "suruh masuk lima orang lagi". '
Teriakannya sampai ke luar kemah, dan para hong-kun yang bertempur di luar mulai berupaya mewujudkan pesan itu. Selama ini mereka bertempur sendiri-sendiri, ada yang berlarian dari kemah ke kemah, dan yang cukup mahir melompat tinggi malahan melompati kemah kemah kesana kemari untuk mencoba membingungkan dan memecah perhatian dan kekuatan para prajurit. '
Bersambung jilid 18 Panglima Gunung Karya Stefanus SP Sumber Ebook : Awie Dermawan
Edit teks : Saiful Bahri Ebook persembahan group fb Kolektor E-Book untuk pecinta ceritasilat Indonesia
*** Panglima Gunung Jilid 18 KINI mereka mencoba saling mendekat. mencoba saling membantu. dan mencoba membebaskan lima teman mereka agar dapat masuk membantu.
Saat itu, yang paling dekat kemah jenderal Kim ialah si "naga kate" Toan Ai-liong serta si "lutung menari" joa Kian-pin. yang sedang dikeroyok belasan prajurit dan masih ada berlapis-lapis prajurit yang di sekitarnya.
Sepasang golok tipis Toan Ai-liong berkelebatan cepat di seputar tubuhnya yang pendek dan kurus. dan tiap kali ada prajurit Manchu yang roboh kena tebasannya. Tubuhnya yang kecil itu bergerak lincah, kadang menyusup di antara tubuh lawan-lawan yang lebh tinggi. kadang melompat di atas kepala lawan lawannya dan menyambar dari udara seperti burung elang.
Di dekatnya, Joa Kian-pin yang mukanya berbulu dan bersenjata toya .itu benar-benar mengingatkan orang akan dongeng Si Dewa Monyet Sun Go-kong. Kelmcahannya dalam berlompatan, bergulingan. menyapukan dan menyodokkan toyanya dalam berbagai gaya. Namun, tak berbeda dengan Toan Ai-liong, ia tak dapat segera memasuki kemah memenuhi isyarat Wan Keng-bin karena lawan begitu banyak di sekelilingnya.
Namun ada hong-kun lain yang justru tak berada di tengah-tengah musuh, karena si "kambing terbang" Tam Yo lebih banyak berlompatan dari atap kemah yang satu ke atap kemah yang lain. Tak ada prajurit Manchu di situ yang mengikutinya, paling-paling hanya memanah atau melemparkan lembing-lembing.
Tam Yo sendiri tidak sekedar berlompatan di atap-atap kemah, melainkan senjata jarak, jauhnya yang berupa rantai panjang dengan pisau sabit di ujungnya setiap kali mendesing ke bawah meminta korban. Setelah mendengar pesan rahasia Wan Keng-bin, sabit berantainya mulai
lebih mengutamakan untuk membabat prajurit-prajurit yang merintangi Toan Ai liong dan Joa Kian-pin agar dapat segera masuk kemah.
Begitulah para hong-kun lainnya berusaha untuk saling mendekat di depan kemah. Meski dengan susah payah, akhirnya Toan Ai-liong dan joa Kian-pm berhasil lolos dari lawan-lawan mereka dan menerobos masuk'ke dalam kemah.
Di dalam kemah, mereka disambut bentakan Wan Keng-bin, "Kenapa lama betul" Dan mana yang lain-lainnya?"
"Di luar berat, Kakak Wan," sahut Toan Ai-liong.
Bersama Joa Kian-pin, serempak Toan Ai-liong menerjang ke arah Jenderal Kim.
Ada pengawal jenderal Kim, seorang hwesio berjubah kuning rangkap merah, dengan topi lancip di tengah ubun-ubunnya yang diikat dengan tali di dagunya. ltulah dandanan pendeta kaum Ang-i Lama (Lama Berjubah Merah) di Tibet. Tubuh Lama itu tinggi besar dan perutnya gendut.
Melihat sepak terjang Toan Ai Liong
dan joa Kian-pin, Si Lama langsung melangkah menghadang di depan Jenderal Kim. Seketika itu Toan Ai-liong berdua merasa. seolah-olah ada sebuah bukit tiban muncul di depannya, saking besarnya tubuh Si Lama.
joa Kian-pin meluncur sambil menyodokkan toyanya ke ulu hati. Bukan saja luncurannya kuat, bahkan seluruh bobot tubuh joa Kian-pin diikut sertakan dalam sodokan itu. joa Kian-pin pernah mencoba jurus itu pada sebatang pohon. dan ujung toyanya masuk setengah jengkal ke batang pohon yang keras. '
Namun sasaran kali ini bukan pohon, bahkan perlawanannya mengejutkan. Ujung toya Joa Kian-pin itu ditangkap oleh Si Pendeta Lama,'berikutnya ketika Si Pendeta mengibaskan toya itu. Joa kian-pin mencelat terlempar kembali ke luar rumah bagaikan boneka kain saja.
Sepasang .golok tipis Toan Ai-liong pun sudah kena ke perut Si Pendeta Lama. berhasil merobek pakaian Si Pendeta namun tak membekukan luka seujung rambut pun di kulitnya. Malah Si Pandeta tertawa terbahak-bahak seolah bukan sedang dibacok melainkan sedang dikitik kitik.
Berikutnya, telapak tangan Si Pendeta yang lebar dan berlemak tebal. menutup wajah Toan Ai-liong, dan sekali dorong maka Toan Ai-liong jatuh terduduk sampai pantatnya berdebuk.
Keruan pihak hulubalang-hulubalang gunung kaget. Toan Aii-liong dan Joa Kian-pin adalah jago-jago tangguh yang tidak sembarangan. sampai terpilih menjadi hong-kun. Namun di depan Si Pendeta bertubuh raksasa, mereka dibuat jungkir-balik demikian rupa.
Saat itu para hulubalang gunung barulah sadar bahwa sebuah rintangan maha dahsyat telah melintang di depan mata.
Apalagi ketika mendengar Si Pendeta raksasa itu tertawa menggelegar dan suara tertawanya terasa mengguncang guncang rongga dada.
Ternyata suara tertawa itu bukan saja mempengaruhi lawan. tetapi juga kawan kawan sendiri. Pertempuran di dalam dan di sekitar kemah langsung berhenti. Para
jagoan dari pihak lawan maupun kawan sama-sama menutup kuping mereka. Yang celaka adalah para prajurit yang tak punya landasan ilmu sama sekali, hanya ketrampilan militer biasa, tak sedikit para prajurit yang langsung menggelosor dan berkelejetan di tanah dengan kuping dan hidung mengeluarkan darah sebelum nyawanya amblas.
Tetapi jatuhnya korban di pihak prajurit-prajurit itu tidak membuat Si Pendeta bertubuh raksasa -itu menyesal, sebab ia memang bertujuan menyombongkan ilmunya.
Setelah tawanya mereda, pendeta raksasa itu membentak, "Yang tidak ingin binasa bersama cecunguk-cecunguk ini. menjauh dari mereka!"
Jenderal Kim dan orang-orangnya, juga para serdadu, serempak mundur menjauh sampai puluhan langkah, keluar dari kemah. Dengan demikian terbentuklah sebuah lingkaran lebar bergaris tengah seratus meter lebih. Yang ada di tengah lingkaran hanyalah Si Pendeta Raksasa dan para hulubalang gunung.
tentunya adalah mayat-mayat para serdadu yang bergelimpangan.
Namun di tengah arena tiban itu ada juga benda-benda yang masih mengganggu pemandangan, yaitu kemah Jenderal Kim dan beberapa kemah yang berdekatan.
Dalam kemah Jenderal Kim, Si Pendeta yang namanya Kim-kong Lama dengan julukan Kiu-siang Thai-sian (Mahadewa Sembilan Gajah), berdiri bagai bukit yang ' menjulang, menatap Wan Keng-hiu dan teman-temannya yang wajahnya masih pucat karena jantung mereka baru saja diguncang suara tertawa Kim-kong Lama tadi..
Kim-kong Lama menatap para hulu-balang, lalu katanya, "Pertama-tama akan kusuguhkan Sian-hong-kang (llmu Angin Dewa)"
Bersamaan dengan selesainya kalimatnya, ia mengembangkan kedua lengannya yang terbungkus jubah longgar itu, memejamkan matanya, lalu ia melakukan gerakan yang sederhana, yaitu berputar dan berputar terus. _
Wan Keng-bin dan teman-temannya mula-mula tidak merasakan apa-apa. Mereka cuma melihat lengan-lengan jubah itu berkibar. Namun tiba-tiba Si Pendeta Tibet membentak dan putarannya makin kencang. Dalam kemah itu mulai terasa seperti ada prahara yang makin kencang.
Wan Keng-hiu, Lurah Hui, Lai Tekhoa dan Toan Ai-liong yang berada dalam kemah, merasa anginnya makin tajam dan makin menekan. Mereka bahkan harus pasang kuda-kuda agar tidak roboh oleh angin berputar itu. Namun anginnya makin kencang dan mereka saling mendekat dan saling berpegangan, Lurah Hui yang berdiri paling ujung sampai harus menancapkan tombak besinya dalam-dalam ke tanah untuk berpegangan; Kain pakaian mereka sampai melekat kuat di kulit.
Kim-kong Lama membentak sekali lagi, lalu dari bibirnya terluncurlah mantera berlagu dalam bahasa Tibet, dan hembusan angin berputar itu pun berlipat-lipat kuatnya. Udara dalam kemah itu seakan semakin padat dan membuat kain kemah
menggelembung. Beberapa saat kemudian pasak-pasak tali kemah tak lagi mampu "berpegangan" di tanah, membuat kain kemah itu terbang ke atas seperti layang-layang raksasa. Menyusul kemah kemah di sekitar kemah Jenderal Kim itu tercabut ke udara oleh angin pusar "buatan" Kim-kong Lama itu.
Kedua puluh enam orang hulubalang Helian Kong, yang tadinya di dalam kemah maupun di luar kemah, harus pasang kuda-kuda sekuatnya agar tidak ikut terbang bersama kemah-kemah itu. Namun, meski sudah pasang kuda-kuda, tetap.saja mereka terdorong mundur belasan langkah oleh angin yang hebat.
"itu bukan ilmu silat biasa, itu ilmu gaib yang jahat!" kutuk Wan Keng-hin.
Dalam kata-kata itu sudah tersirat bahwa usaha untuk membunuh jenderal Kim Sun-oh sudah tak ada harapan berhasil lagi. Mereka memang pernah mendengar bahwa Jenderal Kim punya beberapa jago silat sebagai pengawal, namun sungguh tak tersangka bahwa salah satunya adalah seperti Si Pendeta Tibet itu.
Di tengah-tengah arena, seorang pendeta berhadapan dengan dua puluh enam hulubalang. Dengan "ilmu angin dewa"nya Kim-kong Lama masih berputar kencang dalam usahanya "menerbangkan" ke dua puluh enam orang itu.
Para prajurit Manchu yang menonton pertarungan menakjubkan itu hanya mengagumi Kim-kong Lama, dan mereka tidak tahu bahwa Kim-kong Lama pun sebenarnya sudah sampai ke puncak ilmu Sian-hong-kangnya tetapi belum juga berhasil membuat terpental lawan-lawannya. Dalam pengalamannya mempraktekkan Sian-bong-kang, amat jarang orang yang dapat bertahan untuk tidak terpental sampai sekian lama.
"Jagoan sebanyak 'ini bisa berkumpul di bawah Helian Kong, dan entah berapa banyak lagi yang masih bertebaran di berbagai tempat. Kekuatan pendukung Helian Kong, benar-benar tak terduga," Kim-kong Lama membatin.
Sudah tentu Kim-kong Lama tidak ingin diketahui oleh para prajurit, bahwa sampai ke. puncak ilmunya tetap tidak
mampu melontarkan para hulubalang itu, karena itu, diapun akhirnya berhenti berputar, berusaha menyembunyikan engah napasnya, dan berlagak tertawa terbahak bahak sambil berkata, "Nah, tikus-tikus kecil, itu baru sebagian kecil dari ilmuku. Kalau kukerahkan seluruhnya, saat ini kalian sudah terbang entah ke mana."
Wan Keng-hiu dan teman-temannya sudah seperti tikus-tikus dalam perangkap. Mereka melihat sekeliling mereka adalah prajurit bersenjata yang tak terhitung banyaknya, ujung-ujung senjata yang mencuat ke atas sama tak terhitungnya dengan ujung-ujung daun ilalang di padang rumput. Sedang di hadapan mereka ada Si Pendeta Tibet yang bukan saja ahli silat tetapi juga ahli ilmu gaib. Kalau cuma silat, Wan Keng-hiu yakin ia dan kawan-kawannya masih ada harapan mengalahkan Si Pendeta Raksasa meskipun harus main keroyok. masa dua puluh enam jagoan lawan satu takkan menang" Tapi soal ilmu gaib, Wan Keng-hiu dan teman-temannya benar-benar tak tahu apa'apa.
Namun dalam keadaan terjepit macam Itu, Wan Keng-hin mengobarkan semangat orang-orangnya. "Orang boleh anggap kita sebagai tikus-tikus kecil. tetapi kita tak ingin mati begitu saja. Tikus tikus kecil ini ingin menggigit dulu sebelum mati."
Di tengah orang-orang sebanyak itu, suara Wan Keng-bin tetap dapat didengar karena suasana yang sunyi mencekam.
Para prajurit pun sudah siap-siap menyaksikan tontonan menarik di arena itu, bagaimana Pendeta Kim-kong dengan ilmu gaibnya akan mempermainkan kedua puluh enam "tikus kecil" itu. . Namun sebelum "tontonan" dimulai, tiba-tiba Pendeta Kim-kong mengangkat kepalanya dan memandang sekelilingnya sambil membentak, "Siapa berani mencampuri urusanku?" '
Orang-orang heran, siapa yang dibentak oleh.. Si Pendeta" Apa yang menyebabkan ia tiba-tiba merasa dicampuri urusannya, padahal orang lain tidak ada yang merasakan apa-apa"
Namun di udara malam yang berkabut
itu tiba-tiba terdengar suara sejuk dan merdu seorang wanita muda, "Aku Si Bhikuni Muda yang malang, memohonkan belas kasihan Sang Pendeta Agung untuk hulubalang-hulubalang ini."
Dan seolah muncul, begitu saja dari kabut malam, masuk ke arena itu seorang bhikuni muda yang cantik dalam jubah putihnya, nampak tangan kanannya buntung, dan tangan kirinya memegang sebuah bud-tim (kebut pertapa) berjuntai panjang. Ia melangkah berdampingan dengan seorang lelaki sebaya, yang dandanannya adalah jubah sederhana seperti orang gunung, namun wajahnya memancarkan wibawa. Lelaki ini juga buntung tangan kanannya.
Melihat munculnya lelaki buntung ini, para hulubalang serempak memberi hormat sambil menyapa,"San-cu!"
Karena lelaki buntung itu adalah Helian Kong.
Helian Kong menatap gusar ke arah anak buahnya sendiri, dan suaranya mengandung teguran, "Kapan aku mengajari Saudara-saudara melakukan tindakan seceroboh ini?"
Wan Keng-hin dan lain-lainnya menunduk di bawah sorot mata Sang Pemimpin. Si Bhikuni Berlengan Tunggal kemudian berkata, "Sudahlah, Jenderal Helian, tindakan orang-orangmu memang kurang perhitungan, tetapi terdorong oleh kepedulian mereka terhadap keselamatan tanah leluhur mereka."
Sementara itu Kim-kong Lama telah berkata, "jadi ini yang bernama Helian Kong, yang beritanya sampai memekakkan telinga" Kebetulan. Aku datang jauh-jauh dari puncak Loga di Tibet untuk menjajal kemampuanmu."
Dalam keadaan biasa, Helian Kong takkan keberatan meladeni tantangan itu, meski ia sudah tahu nama besar Si Pendeta yang berjulukan Maha Dewa Sembilan Gajah itu yang pakar ilmu silat dan ilmu gaib itu. Helian Kong tidak tahu menahu soal ilmu gaib, namun ia percaya keteguhan hati dan pikiran amat mengurangi pengaruh ilmu gaib. Namun saat itu Helian Kong masih canggung menggunakan tangan kirinya sejak tangan kanannya hilang. Main pedang tangan kiri memang sudah mulai dibiasakan, dan cukup untuk mengatasi lawan-lawan kelas menengah, tapi masih jauh dari cukup untuk menghadapi Kim-kong Lama.
Namun karena sudah ditantang, Helian Kong pun menghunus pedang pusaka Tiat-eng Pokiam (Pedang Pusaka "Elang Besi") dengan tangan kirinya dan siap melangkah maju. Tetapi Si Bhikuni lengan Tunggal tiba-tiba melangkah ke depan Helian Kong sehingga Helian Kong terhalang. Jawab Si Bhikuni, "Kim-kong Lama, kau sudah berjubah keagamaan harusnya sudah membersihkan hatimu dari segala nafsu kedunian, termasuk nafsu akan memiliki harta, pangkat dan nama besar. Semua itu debu yang menghalangi pembebasan sukma."
Sahut Kim-kong Lama. "Tindakanku justru suatu amal untuk kebaikan umat manusia. Helian Kong itu kepala bandit yang menghalang-halangi ketertiban tercipta di negeri ini, maka harus ditumpas."
"Kalau kau berniat mempertontonkan
kehebatanmu, meski diselubungi macam macam alasan, aku akan meladenimu bertempur. Cukup aku saja. buat apa orang sebesar Jenderal Helian mempertaruhkan nama besarnya melawan orang yang baru saja mendapat nama sepertimu?" ejek Si Bhikuni Lengan Tunggal. Helian Kong kaget, "Tuan Puteri." Cukup dengan kata-kata Helian Kong itu, semua orang di situ segera tahu bahwa Si Bhikuni Buntung adalah Puteri Tiang-ping. Puteri almarhum Kaisar Cong-peng yang riwayatnya menimbulkan rasa iba. Puteri Tiang-ping berpenyakitan sejak kecil, dan seorang ahli nujum mengatakan bahwa puteri itu takkan mencapai usia melebihi dua puluh tahun, juga tak diijinkan berkeluarga. Soal lengannya sampai buntung sebelah, terjadi ketika ibu kota utara, Pak-khia, sudah dalam keadaan tanpa harapan dikepung dan diserbu laskar pemberontak Pelangi Kuning. Kaisar Cong-ceng amat ketakutan mendengar laskar pemberontak makin mendekat ke istananya tanpa bisa ditahan oleh pasukan kerajaan. Kaisar Congceng cemas membayangkan isterinya, selir-selirnya dan puterinya akan diperkosa dan diperlakukan sewenang-wenang oleh laskar Pelangi Kuning yang kabarnya "biadab" itu. Maka, di sebuah istana, Kaisar Cong-ceng dalam kepanikannya membunuh isteri dan sehr-selirnya, karena menganggap lebih baik mereka mati daripada dihina orang-orang Pelangi Kuning. Ketika Kaisar Cong-ceng hendak membacok puterinya sendiri, kakinya terpeleset licinnya -lantai yang penuh darah, bacokan pedangnya meleset, bukan membunuh Puteri Tiang-ping melainkan hanya memotong lengan Puteri Tiangping sebatas pundak. Kaisar Cong-oeng sendiri dalam keadaan panik kabur ke bukit Bwe-san dan menggantung diri di situ. Setelah laskar Pelangi Kuning menguasai istana, ternyata Puteri Tiangping yang buntung itu diperlakukan-baik. Ketika Manchu menyerbu dan menguasai istana Puteri Tiang-ping diselamatkan seorang bhikuni tua amat sakti yang tak diketahui namanya. Di bawah didikan bhikuni tua itu, Puteri Tiang-ping bukan
saja mematahkan ramalan Si Ahli Nujum tentang umurnya, bahkan puteri itu melewati usia dua puluh dengan tubuh makin sehat. Ia juga mempelajari agama dan ilmu. Beberapa tahun kemudian kalangan persilatan mengenal Tok-pi Sinni (Bhikuni Sakti Berlengan Tunggal) yang masih muda, cantik namun hebat sekali.
Yang membuat Helian Kong menguatirkan Tok-pi Sin-ni ialah, meski mendengar kalau mantan_ puteri dinasti Beng itu sudah berilmu tinggi, tapi belum pernah dilihatnya sendiri sampai setinggi apa, mampukah menghadapi Kim-kong Lama Si Maha Dewa Sembilan Gajah yang amat ditakuti di wilayah Tibet itu"
Kim-kong Lama sendiri pun tercengang mendengar tantangan Si Bhikuni berlengan satu itu. "Kau ingin bertarung denganku?"
' "Kau yang ingin bertarung, dan aku cuma mewakili Jenderal Helian."
"Hem, hari ini akan kuringkus kalian semua. Si Kepala Bandit Helian Kong, Si Bekas Puteri Kaisar yang terus mengobarkan semangat perlawanan yang tak
ada artinya karena nasib dinasti Beng sudah habis menurut ramalan, dan sekali-gus kedua puluh enam tikus kecil ini."
Jenderal Kim bertanya dari pinggir arena, "Kim-kong Lama, apakah kau perlu bantuan?" '
Kim-kong Lama yang amat yakin akan keunggulan ilmunya dan sedang berambisi untuk mendapat nama besar itu, menyahut, "Tidak perlu, Jenderal. Tonton saja."
Memanfaatkan kecongkakan Kim-kong Lama ini, Tok-pi Sin-ni langsung menyodorkan perangkapnya, "Kim-kong Lama, kutawarkan kepadamu sebuah pertaruhan."
"Pertaruhan apa?"
"Kalau aku yang menang, kami semua harus diijinkan keluar tanpa gangguan. Kalau aku kalah, nasib kami semua di tanganmu."
Kim-kong Lama yakin sepenuhnya bahwa dia akan menang, karena itu ia menyanggupi pertaruhan itu. ia sampai lupa bahwa penguasa tertinggi di benteng alam itu adalah Jenderal Kim Sun-oh, bukan dirinya. Namun ia begitu saja melancangi Jenderal Kim untuk menyanggupinya. "Baik."
ia tidak menolak. sebab kalau menolak sama saja mengumumkan bahwa ia tidak yakin akan kemenangannya sendiri.
Jenderal Kim sebenarnya tersinggung juga ia dilangkahi begitu saja, namun ia menahan diri sebab sedang membutuhkan Kim-kong Lama yang mengaku bisa bermacam-macam ilmu itu. ilmunya sudah dibuktikan dengan "menerbangkan" kemah kemah tadi, dan katanya Kim-kong Lama juga bisa menujum, dan itu akan, berguna buat gerakan-gerakan militer Jenderal Kim.
Dengan demikian, berhadapanlah Kimkong Lama dan Tok-pi Sin-ni, dua penyandang nama besar di kawasannya masing-masing. Sikap Kim-kong Lama nampak agak meremehkan. Maklum, yang dihadapinya wanita, jauh lebih muda dan cacad pula.
Sedangkan Puteri Tiang-ping alias Tok-pi Sin-ni bersikap amat berhati-hati, ia tidak ingin melawan Kim-kong Lama dengan kebut pertapanya yang lalu di selipkannya ke ikat pinggangnya. Lalu ia menjulurkan tangan ke arah Helian Kong sambil berkata, "Jenderal Helian, boleh kupinjam pedangmu?"
Helian Kong senang dapat secara tidak langsung meringankan perjuangan puteri junjungan lamanya dulu. la menyodorkan gagang pedang, dan disambut Tok-pi Sin-ni.
Gaya Tok-pi Sin-ni nampak gemulai, tidak nampak seperti seorang pendekar pedang, melainkan lebih mirip penari pedang yang siap "menari". Namun suaranya tegas, tak ragu sedikit pun, "Silakan, Kim-kong Lama."
Kim-kong Lama melangkah pelan. Tiba-tiba ia melompat ke depan dan sepasang telapak tangannya menghantam bergantian, suatu gerak amat sederhana yang barangkali bisa dilakukan oleh pesilat pinggiran jalan. Yang membuatnya berbeda dari pesilat-pesilat jalanan ialah deru angin yang ditimbulkannya. Deru angin yang membuat pasir dan kerikil kerikil beterbangan deras ke arah Tokpi Sin-ni. Jadi meski kelihatannya Kimkong Lama tak bersenjata. tapi debu dan kerikil jadi "senjata rahasia"nya.
jubah putih Tok-pi Sin-ni berkibaran kencang sampai menempel ketat di tubuhnya. mencetak bentuk tubuh seorang perempuan muda yang menarik meskipun kepalanya gundul pelontos. Bentuk tubuh yang cukup menarik kaum lelaki. Namun Tok-pi Sin-ni sendiri tak menggubris apa pun kecuali memusatkan diri untuk pertarungan itu. Di tengah "badai buatan" itu ia berdiri tegak bagaikan patung yang tak bergeming dengan pedang ditegakkan di depan dada, bahkan kedua kakinya tidak memasang kuda-kuda. Hanya dua telapak kaki berada dalam posisi satu di depan satu di belakang. Kedua matanya terpejam.
Para hong-kun bawahan Helian Kong kagum melihat itu. Tadi mereka harus bersusah-payah dan saling membantu untuk tidak "diterbangkan" oleh "angin dewa" Kim-kong Lama. padahal mereka berdua puluh enam orang adalah lelaki"lelaki berotot. Kini mereka lihat perempuan muda yang ramping semampai itu
berdiri kokoh di depan hempasan badai buatan Kim-kong Lama, bahkan tanpa kuda-kuda kaki yang berkesan kokoh. Yang punya kenangan agak khusus dengan Tok-pi Sin-ni ialah Toan Ai-liong. Bertahun-tahun yang lalu Toan Al-liong bergabung dalam laskar Pelangi Kuning yang memberontak terhadap dinasti Beng, yang saat itu beribu kota Pak-khia. Pelangi Kuning menang, pemimpinnya yang bernama Li Cu-seng mengangkat diri jadi Kaisar Tiong-eng dan Toan Ai-liong terpilih sebagai salah seorang pengawal istana. Di istana, masih tersisa keluarga dari dinasti Beng yang diperlakukan hormat oleh Kaisar yang baru, di antaranya ialah Puteri Tiang-ping yang buntung. Toan Ai-liong sering melihatnya di dalam istana, dan dalam hati sering merasa iba kepada puteri Kaisar Cong-ceng itu. Yatim piatu, cacad. hidup di tengah-tengah orang-orang yang menumbangkan kekuasaan ayahandanya, lagi pula menurut ahli nujum. Sang Puteri takkan berumur panjang. Kini, hampir Toan Ai-Ilong tak percaya bahwa "mahluk lemah" yang
dulu dilihatnya di istana itulah yang kini berdiri tak bergeming di depan terkaman Kim-kong Lama yang dahsyat. Orangnya sama. tetapi kesan yang ditimbulkannya benar-benar jauh berbeda.
Pasir dan kerikil terbang yang menerpa Tok-pi Sin-ni tak berhasil, namun Tok-pi Sin-ni tak bersedia kalau sampai sepasang telapak tangan Si Pendeta Tibet yang pasti berdaya-hancur luar biasa itu mengenainya. Karena itu ketika tubuh Kim-kong Lama yang menerkam sudah dekat. Tok-pi Sin-ni membentak lalu menggeser kaki memasang kuda-kuda dan pedangnya yang dipegang tangan kiri itu mulai "menari" di udara. Ujung pedangnya menyusup di antara sepasang telapak tangan lawan dan mengincar ke dada lawan. Ujung pedang yang kelihatannya ringan itu ternyata tak terguncang sedikit pun oleh deru angin kencang yang ditimbulkan telapak tangan Kim-kong Lama.
Kim-kong Lama yang kaki-kakinya belum menginjak tanah. mengubah gerak sepasang telapak tangannya menjadi gerak seperti orang bertepuk tangan, berupaya menjepit batang pedang Tok pl Sin-ni untuk dirampas. Kembali gerak yang nampak sederhana namun butuh latihan ketepatan yang lama.
Tok-pi Sin-ni tidak susah-susah menghindarkan pedangnya, ia hanya miringkan pedangnya sehingga tajam di kedua sisi pedangnya sekarang menyongsong kedua telapak tangan Kim-kong Lama. Kalau Kim-kong Lama tidak menarik tangannya, sama dengan menyodorkan telapak tangannya sendiri untuk dilukai.
Kim-kong Lama meraung. tubuhhya anjlog ke tanah dan langsung memutar dan mengembangkan lengan-lengannya. Kibaran lengan-lengan jubahnya yang rangkap dua itu, kembali menimbulkan angin kencang. Kali ini anginnya tidak sekedar lurus atau berputar, bahkan terasa menyergap. punggung Tok-pi Sin-ni dari belakang, biarpun Kim-kong Lama berada di depan Tok-pi Sin-ni. Para penonton dapat mengetahui hal ini dari arah kibaran pakaian yang dikenakan Tok-Di Sin-ni.
Di tengah arah angin yang membingungkan itu. Tok-pi Sin-ni gemulai "menari pedang", namun bukan sembarang tarian. sebab pedangnya selalu mengincar tempat-tempat berbahaya di badan Kimkong Lama.
Gebrakan demi gebrakan berlangsung cepat dan menegangkan. Si "raksasa pembuat badai" melawan si "penari pedang". Helian Kong dan para hulubalangnya sering dengan tegang melihat bagaimana Tok-pi Sin-ni didesak dan ditekan oleh Kim-kong Lama dengan angin pukulannya yang bervariasi, bisa menyerang dari depan, dari atas, atau bahkan sepertinya hendak "mengangkat" Tok-pi 'Sinni dari bawah. Setiap kali Helian dan hulubalang-hulubalangnya pun berdesuh lega bila melihat Tok-pi Sin-ni dapat menyelinap lolos dari tekanan Kim-kong Lama. namun kelegaan segera disusul ketegangan baru karena melihat rangkaian serangan Kim-kong Lama kembali sudah membadai tiba.
Melihat keseimbangan pertarungan itu, adalah normal untuk tidak berani terlalu
berharap akan kemenangan Tok pi sinni. yang rupanya ilmunya masih di bawah taraf Kim-kong Lama.
Helian Kong berulang kali menarik napas masygul. ia menyesali diri sendiri, seandainya ia masih punya tangan kanan dan bisa memainkan pedang dengan tangan kanan, rasanya Kim-kong Lama bukanlah lawan yang terlalu menakutkan. Meski harus bertempur keras ribuan jurus Helian Kong masih yakin dapat menundukkan pendeta dari Tibet yang ilmunya toh tidak melebihi Kat Hu-yong, penasehat militer Jenderal Ni Kam itu.. Sedang Kat Hu-yong saja sudah dapat Helian Kong taklukkan. Namun kehilangan lengan kanan membuat Helian Kong merosot turun dalam peringkat jago-jago silat di daratan Cina. Ia harus berlatih main pedang dengan tangan kiri dan ia butuh waktu bertahun-tahun untuk semahir dengan tangan kanannya dulu. meski berlatih keras. Kini kekuatiran terasa men. cengkeram jantung Helian Kong menyaksikan pergulatan mati hidup Tok-pi Sinni melawan Kim-kong Lama.
Tok-pi Sin-ni sendiri kelihatan amat berhati-hati. la nampak berusaha sebisa bisanya menghindari berhadapan langsung dengan Si Raksasa Tibet. menghindari adu tenaga langsung. Untuk itu, Si Bhikuni harus banyak berpindah tempat, namun dalam berpindah tempat pun harus hati-hati. Harus dilakukan pergeseran dengan sepasang telapak kaki tak boleh berpisah sedikit pun dari permukaan bumi, agar bisa memasang kuda-kuda terus. Tok-pi Sin-ni tak berani melakukan lompatan, karena sekali melompat ia bisa terus "terbang" terbawa angin yang berpusaran menyelubungi Kim-kong Lama itu.
Demikianlah, dengan berbagai keterbatasannya, Tok-pi Sin-ni terus melawan. Meski belum melihat setitik harapan pun untuk menang. ia tetap memberanikan diri berharap sebab taruhannya bukan cuma nyawanya sendiri, melainkan juga nyawa Helian Kong dan kawan-kawannya.
Harapan untuk menang pun makin lenyap ketika ternyata sebagian besar kulit Kim-kong Lama ternyata tak dapat
dilukai pedang. Entah kulitnya yang kebal. entah jubah yang dipakainya itu dari bahan khusus anti tajamnya senjata.
susah ditentukan. Beberapa kali Kim-kong Lama sambil tertawa terbahak-bahak membiarkan tubuhnya dikenai pedang tanpa luka. Beberapa kali juga Kim-kong Lama menampar pedang dengan tangannya. Bahkan suatu kali, ketika ujung pedang Tok-pi Sin-ni hendak mengena dada Kim-kong Lama, tiba-tiba kain pakaian Kim-kong Lama 'menggelembung seperti balon ditiup. Dan pedang Tok-pi Sin-ni mengenai "balon" itu tanpa merobeknya sedikit pun, bahkan terpental balik.
Begitulah Kim-kong Lama memamerkan bermacam-macam ilmunya. Kedatangannya dari Tibet memang untuk cari nama, setelah dapat nama ia berharap mendapat kedudukan tinggi. Menuru ramalan gaibnya, daratan tengah akan begganti Penguasa. Manchu akan mencapai puncak kejayaan, wilayahnya membentang dari Korea sampai Tibet, dari pegunungan Altai (Thian-san) sampe
Annam, dan Kim-kong Lama sungguh berharap dirinya 'akan menjadi orang penting dalam kemaharajaan sehebat itu. Langkah pertamanya ialah cari nama dengan pamer kepandaian sebanyak-banyaknya.
Merasa makin unggul, Kim-kong Lama makin meremehkan lawannya. Tak jarang ia melakukan gerak-gerak yang sekedar bercanda sambil tertawa mengejek, untuk menunjukkan kepada semua orang bahwa untuk menghadapi Tok-pi Sin-ni ia tak perlu mengerahkan seluruh kemampuannya.
Sebaliknya Tok-pi Sin-ni bertempur dengan cermat, bukan saja semua gerakannya diperhitungkan baik-baik agar memberi hasil sebesar-besarnya, ia juga mengamati dan menafsirkan gerak-gerik lawannya, menduga-duga di mana kelemahannya. ia yakin, tak ada ilmu yang sempurna sepenuhnya, dan bagaimanapun hebatnya suatu ilmu pasti ada kelemahannya.
_ Waktu itu, tanpa disadari Tok-pi Sinni, 'Kim-kong Lama sebenarnya sudah mulai dipengaruhi kelemahannya. kimkong Lama sebenarnya cuma_ seorang pendeta gadungan yang sudah diusir dari kuilnya sendiri. Selain karena mempelajari ilmu-ilmu hitam, juga karena kelakuannya yang mengumbar hawa nafsu, khususnya' terhadap kaum wanita.
Sekian lama berhadapan dengan Tokpi Sin-ni yang muda dan cantik, meskipun buntung tangannya dan berpakaian bhikuni serta berkepala gundul, hawa nafsu Kim-kong Lama' terusik bangkit. Terpaan-terpaan angin kecang akibat pukulan Kim-kong Lama yang membuat pakaian Tok-pi Sin-ni seolah melekat ketat ke tubuhnya dan memperjelas garis garis tubuh Tok-pi Sin-ni, membuat Kimkong Lama semakin "panas".
Sementara itu, setelah sekian lama mengamati dan mencoba menyimpulkan. Tok-pi Sin-ni mulai menduga bahwa kekebalan tubuh Kim-kong Lama ada ke lemahannya di suatu daerah sempit yang di bawah ketiak. Kim-kong Lama berani menghadapi ujung pedang dengan bagian tubuh yang manapun, bahkan dengan
tenggorokan dan ulu hatinya dan terbukti ujung pedang tak melukainya, namun tiap kali ada serangan yang mendekati ke bawah ketiak itu maka Kim-kong Lama tergesa melindunginya. Lama kelamaan itu diperhatikan oleh Tok-pi Sinni dan muncullah dugaan kuatnya bahwa di situlah titik kelemahan Kim-kong Lama. _
Tetapi meski sudah menduga itu, sulit juga melaksanakannya, sebab titik kelemahan itu terjaga ketat, dalam keadaan tubuh Kim-kong Lama senantiasa bergerak dan menimbulkan gelombang tenaga besar di seputar tubuhnya, sungguh sulit mencapai sasaran itu dengan ujung pedangnya. Lagi pula posisi Tok-pi Sin-ni sedang dalam keadaan terdesak dan tertekan, keringatnya sudah kuyup di tubuhnya, napasnya terengah, hanya kegigihan saja yang membuatnya masih bisa 'bertahan.
Dalam keadaan sesulit itu Tok-pi Sin-ni masih berusaha untuk bersabar. la tidak buru-buru mengincar sasaran yang diduganya lemah itu, ia tidak mau
Kim-kong Lama keburu tahu bahwa kelemahannya sudah dapat ditebak. Tok-pi Sin-ni justru berlagak terus terdesak, sambil memasang mata sebaik-baiknya menunggu kesempatan.
Tok-pi Sin-ni tidak tahu bahwa saat itu Kim-kong Lama sedang diganggu "kelemahan" lain, yaitu hawa nafsunya terhadap wanita cantik. Menghadapi Tokpi Sin-ni yang nampaknya makin terdesak, Kim-kong Lama makin bernafsu untu segera menangkap hidup-hidup Si Bhikuni Cantik itu. Ia bahkan tak peduli seandai nya tindakannya itu menimbulkan kemarahan Helian Kong dan ke dua puluh enam hulubalangnya. Kalau mereka mengamuk, biarlah prajurit-prajurit di situ yang akan menyelesaikah mereka. Berapapun korban yang bakal jatuh di kedua pihak. Kim-kong Lama takkan peduli.
Suatu saat Kim-kong Lama menerkam hebat, sepasang telapak tangannya mencengkeram bergantian ke segala arah. bahkan bagian tubuh terlarang dari seorang wanita juga diincarnya.
Wajah Tok-pi Sin-ni merah padam ketika ia baru saja berhasil menghindarkan dadanya dari sentuhan tangan Kim-kong Lama. Bentaknya, "Kim-kong Lama, kau berkedok jubah keagamaanmu untuk menutupi kebusukanmu!"
"He-he-he... jangan berlagak tidak kepingin yang begituan ah!" Kim-kong Lama terkekeh-kekeh, lalu membentak dan mempergencar serangannya. Angin ribut berkekuatan hebat muncul dan mengepung Tok-pi Sin-ni dari berbagai jurusan, Tok_pi Sin-ni dengan repot menghindarinya, tetapi sebuah cengkeraman Kimkong Lama berhasil menarik robek lengan baju kiri Tok-pi Sin-ni. Maka terpampanglah di mata Kim-kong Lama sebuah lengan yang putih mulus, yang makin mengobarkan hawa nafsunya.
Terbawa oleh tabiat aslinya, lupalah Kim-kong Lama akan martabatnya, ia menciumi robekan lengan baju Tok-pi Sin-ni, dan Tok-pi Sin-ni yang melihatnya pun wajahnya jadi merah padam. Helian Kong juga mengertak gigi. karena bhikuni lengan tunggal itu bagaimanapun dulunya adalah tuan puterinya, puteri dari
junjungannya. Namun Helian Kong tahu, ia tak berhak mencampuri perang tanding itu.
Habis 'menciumi sobekan pakaian Tokpi Sin-ni, Kim-kong Lama tambah bernafsu dan ia lalu menerkam dengan dua lengan terpentang hendak memeluk Tokpi Sin-ni. Sagulung udara yang seolah memadat, menekan Tok-pi Sin-ni.
Tok-pi Sin-ni megap-megap, hidungnya sulit mendapatkan udara untuk dihirup, karena udaranya seolah sudah memadat, namun dalam keadaan macam itu ia masih sempat menghimpun semangatnya dan matanya tiba-tiba melihat sebuah peluang dan jiwa raganya menggumpal bersatu dalam suatu gerakan yang tak terlalu sadar.
Dan Kim-kong Lama meraung kesakitan dengan dahsyat ketika pedang milik Helian Kong yang dipinjam Tok-pi Sinni itu menancap hampir sepertiganya di bawah ketiak kanan Kim-kong Lama. Dalam kesakitannya, lengan Kim-kong Lama yang bergerak tak terkendali itu malah membuat pedang yang tertancap itu bergerak memperlebar luka. Sementara Tok Sin-ni sendiri sempoyongan mundur beberapa langkah kena kebasan lengan jubah Kim-kong Lama yang kuat. Namun setelah sempoyongan, Tok-Pi Sinni bisa berdiri dengan tegak dan menatap tajam Kim-kong Lama. _ .
Kim-kong Lama juga tetap berdiri tegak, namun wajahnya pucat, mimik mukanya mengandung ketidak-percayaan bahwa ia justru mengalami musibah itu selagi kemenangan tinggal selangkah di depannya. Dengan kerut-kerut wajah menahan sakit, Kim-kong Lama tak berani mengatupkan lengan 'kanannya, sebab akan membuat lukanya bertambah parah, jadi lengan kanannya terkedang terus ke samping. _
Suasana di tengah arena dengan sebanyak itu orangnya, beberapa saat sunyi mencengkam, ibaratnya kalau ada sehelai daun yang jatuh ke tanah akan terdengar jelas suaranya. Kemudian terdengar suara jenderal Kim Sun-oh, "Kalian boleh pergi. tak akan ada anak buahku yang akan mengganggu kalian."
TOk pi Sin-ni memberi hormat dengan sebelah tangan di' depan 'dada, "Kami mohon Pamit. Tetapi... pedang yang kupakai tadi adalah pedang pinjamannya Jenderal Helian. Aku tidak mungkin meninggalkannya di sini."
Tok-pi Sin-ni berkata demikian sebab pedang yang dipinjami Helian Kong masih tergantung di tubuh Kim-kong Lama.
Jenderal Kim menoleh kepada Kimkong Lama, "Bagaimana, Pendeta?"
Geram Kim-kong Lama, "Kalau pedang ini dicabut, darahku akan membanjir keluar. Memangnya Jenderal ingin aku mampus?" dalam sakitnya, Kim-kong Lama berbicara kasar, meskipun terhadap jenderal Kim.
Kim Sun-oh mengerutkan alis melihat sikap Kim-kong Lama yang sejak tadi sudah banyak ketidak-cocokan dengannya. Bahkan jenderal Kim merasa lebih hormat kepada Helian Kong dan para hulubalangnya. Katanya kepada Kim-kong Lama, "Katakan kepada Si Pemilik Pedang, Pendeta."
Kim-kong Lama menatap Helian Kong
dan lain-lainnya, dengan tatapan mata congkak bercampur takut bercampur memohon pengertian, katanya terbata-bata. "Kalau nyawaku terancam. apa Pun akan kulakukan demi mempertahankannya."
Helian Kong sudah. tentu berat untuk berpisah dengan pedang pemberian Suhunya itu, apalagi pedang itu juga sebagai lambang bahwa ia pewaris kedudukan sebagai Ketua Tiat-eng-bun (Perguruan Elang Besi). Namun ketika 'ia hendak ngotOt, dilihatnya wajah Tok-pi Sin-ni yang pucat, bahkan ada setitik darah di ujung bibirnya. Jelas Tok-pi Sin-ni, meskipun menang, mengalami cidera yang butuh perawatan segera. Helian Kong tahu, kalau ia ngotot ingin mendapatkan kembali pedangnya, urusan bisa berlarut larut dan kurang baik buat Tok-pi Sinni.
Akhirnya Helian Kong memilih untuk mengutamakan keselamatan puteri dari mendiang junjungannya itu, "Untuk sementara kutitipkan pedangku kepadamu, Kim-kong Lama. Kapan-kapan akan kuambil, mudah-mudahan waktu itu tidak
mengecewakanmu dalam perang tanding."
Kim'kong Lama menggeram jengkel. namun tidak berbuat apa pun.
Helian Kong dan rombongannya pun berjalan meninggalkan benteng alam itu, tanpa diganggu oleh para prajurit. Melihat prajurit sebanyak itu dalam sikap yang begitu disiplin dan tekad yang tersorot di mata mereka, dengan perlengkapan perang yang hebat-hebat seperti meriam-meriam, pelontar-pelontar batu, menara-menara beroda untuk memudahkan prajurit-prajurit mencapai bagian atas benteng musuh, dan sebagainya, maka Helian Kong dan pecinta-pecinta tanah air lainnya seolah melihat mendung tebal pertanda badai maha dahsyat yang mengancam negeri mereka.
Setelah keluar dari benteng alam itu, Tok-pi Sin-ni berkata penuh sesal, "jenderal Helian, aku benar-benar menyesal bahwa gara-gara aku, kau kehilangan pedangmu yang amat berharga itu."
Panglima Gunung Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sejak Tok-pi Sin-ni masih menjadi puteri Tiang-ping, ia sudah bersahabat baik dengan Helian Kong dan tahu nilai pedang itu bagi Helian Kong.
Tetapi Heliian Kong menjawab. "Yang memberi nilai kepada suatu benda itu kan manusia" Pedangku itu bisa kembali ya syukur, tidak bisa kembali ya apa boleh buat. Lagi pula aku masih punya pedang pendek Gu-hong-kiam (Pedang Burung Hong Menangis) pemberian Pangeran Kong-ong dulu... justeru aku harus minta maaf kepada Tuan Puteri, bahwa gara-gara anak buahku, Tuan Puteri sampai mempertaruhkan nyawa melawan Kim-kong Lama."
Wan Keng-hiu dan teman-temannya pun menyatakan penyesalannya. Kata Wan Keng-bin mewakili yang lain-lain, "San-cu, kamilah yang bersalah sehingga San-cu kehilangan pedang berharga dan Tuan Puteri terluka." .
Kejengkelan Helian Kong kepada anak buahnya pun mencair mendengar itu. "Yang sudah .berlalu ya biarkan sajalah. Tetapi tindakan gegabah kalian jangan diulangi lain kali. Memangnya kalian tidak memperhitungkan bahwa Kim Sun.. oh pasti dijaga amat ketat?"
Mendengar suara pemimpinnya melunak, Lai Tek-hoa berani berkata, "Kami lakukan ini bukan karena putus-asa, melainkan karena di Lam-khia sudah banyak Prajurit kerajaan yang patah semangat sebelum bertempur. Kami pikir, kalau tiba-tiba di tengah-tengah kota Lam-khia bisa kita pamerkan batok kepala KimSun-oh, mungkin semangat prajurit-prajurit di Lam-khia akan bangkit."
Tam Yo menyambung. "Kakak An sudah berusaha mati-matian dengan berbagai cara untuk menjaga semangat para panglima maupun prajurit di Lam-khia agar tidak merosot, tetapi kemerosotan semangat terus terasa makin parah."
Helian Kong menarik napas, yang disebut "Kakak An" tadi adalah An Hwe, wakil Helian Kong untuk daerah Lamkhia, yang membawahi keempat hong-kun. Suatu yang unik, An Bwe ini selain-sebagai hulubalang kawanan "gunung hijau" juga seorang perwira tinggi dalam tentara kerajaan. Ketika jenderal Eng sebagai Panglima Delapan Belas Dermaga dibongkar pengkhianatannya dan dihukum, An
Bwe menjadi jenderal dan menggantikan Jenderal Eng menjadi panglima Delapan Belas Dermaga. _ . .
"Di antara belasan panglima militer di Lam-khia, barangkali tinggal Kakak An satu-satunya yang masih bersemangat," kata Toan Ai-liong.
Ketika itulah Tok-pi Sin-ni agak terhuyung, namun berusaha berjalan tegak kembali. Helian Kong sempat melihatnya dan berdesis cemas, "Tuan Puteri..."
Tok-pi Sin-ni memaksa diri tersenyum, "Tidak apa-apa, cuma agak kelelahan setelah bertarung dengan Si Raksasa Tibet tadi."
"Kupersilakan beristirahat di tempatku Tuan Puteri," kata Toan Ai-liong.
Tadi. ketika di tengah-tengah pasukan musuh, Tok-pi Sin-ni belum sempat memperhatikan satu persatu kedua puluh enam orang anak buah Helian Kong. Kini ia menoleh ke arah orang yang menawarkan rumahnya itu, meskipun malam gelap, tapi bintang-bintang di langit ditambah ketajaman matanya membuat Tok-Di Sin-ni sempat memperhatikan
orang pendek kecil itu. Tiba-tiba Tok'pi Sin-ni merasa 'pernah 'melihat orang itu, tetapi lupa entah kapan dan di mana.
"Sobat, kau ini siapa?" tanyanya.
_ Toan Ai-liong tahu dirinya mulai diingat oleh Tok-pi Sin-ni, meski samar samar, jawabnya, "Saya pengawal istana semasa pemerintahan singkat Sri Baginda Tiong-eng. Dulu di istana, saya sering melihat Tuan Puteri bersama-sama dengan Tuan Puteri Kong-hui."
Tok-pi Sin-ni menarik napas mendengar nama ,Puteri Kong-hui. Nama asli-nya ialah Tan Wan-wan, bekas pacar Helian Kong, namun melalui jalan yang berliku lalu menjadi mata-mata tingkat tinggi Pelangi Kuning yang diselundupkan ke istana Kerajaan Beng, bahkan menjadi selir kesayangan Kaisar Cong-ceng. Ketika dinasti Beng ditumbangkan dan kaum Pelangi Kuning menguasai istana, Tan Wan-wan dihargai jasanya dan diberi gelar Puteri Kong-hui. Kemudian Bu Samkui, panglima dinasti Beng yang _menjaga perbatasan timur laut, yang sejak lama tergila-gila kepada kecantikan Tan Wan
wan, tak segan-segan bersekutu dengan balatentara Manchu yang amat kuat untuk merebut kembali istana di Pak-khia.Bu Sam-kui berhasil mendapatkan Tan Wan-wan sebagai isterinya. Tok pi sin ni yang dulunya adalah Puteri Tiang-Ping berdiri pada posisi yang berlawanan dengan Tan Wan-wan, namun karena beberapa kali bicara dari hati ke hati, Puteri Tiang-ping sebagai sesama wanita bersimpati mendengar riwayat Tan Wanwan yang penuh kepahitan. Simpati yang unik karena terjalin antara dua wanita yang berada dalam golongan yang bermusuhan, dan masing-masing tetap membela golongannya masing-masing tetapi tanpa saling membenci (dalam "Kembang Jelita Peruntuh Tahta I & II). Kini ketemu Toan Ai-liong, Tok-pi Sin-ni teringat kepada musuh golongannya sekaligus sahabat pribadinya itu. "Entah bagaimana keadaannya sekarang?" "ia pasti menderita batin. menjadi
isteri Bu Sam-kui yang memerangi bangsa Han sendiri."
*** Malam sudah larut di kota Lam-khia namun di malam selarut itu Kapten Eng Liong Justru sedang bersiap-siap untuk pergi. Anngsiok-lan, isterinya, yang nampak lebih kurus dan lebih tua karena berita menghilangnya Ang Siok-sim tanpa kabar berita, bertanya, "Mau menemui peramal itu?"
"Ya. Bersama beberapa teman. Kabarnya peramal itu benar-benar dapat memberi tahu apa yang akan terjadi."
"Tolong tanyakan juga kepada peramal itu tentang nasib adikku." kata Ang Siok-lan sendu. "la saudaraku satu-satunya. Sudah kutanyakan ke kantor Kimsai Piau-hang (Perusahaan Pengawalan Singa Emas) dan aku dipertemukan dengan yang namanya jun Lip. pemimpin rombongan waktu hilangnya Stok-sim. Dia menyesal sekali, namun benar-benar tak bisa menduga di mana Siok-sim sekarang. Karena itu, tolong tanyakan kepada Si Ahli Nujum."
"Baik." jawab Eng Liong ogah-ogahan. karena sebenarnya ia menganggap adanya Ang Siok-sim di rumahnya hanya sebagai
beban dan sudah tak banyak gunanya lagi. "Sudah, aku berangkat dulu. Ditunggu teman-teman."
Lalu menyelinaplah Eng Ljons keluar rumah. Bersama tiga orang temannya yang menunggu di depan rumah, ia menuju ke tempat peramal itu.
Tempat Si Peramal ada di sebuah gang lain, sebuah rumah sewaan, sebab Si Peramal belum punya rumah di Lamkhia. la menyebarkan berita dari mulut ke mulut bahwa ia baru saja "turun gunung" setelah bertapa sekian lama mempelajari rahasia-rahasia gaib. Katanya pula, begitu turun gunung, suatu "petunjuk gaib" menyuruhnya ke Lam-khia, sebab di kota terbesar di daratan Cina itu sedang banyak "orang-orang bingung yang membutuhkan tuntunan". Karena itulah Si Peramal laris dikunjungi orang yang banyak tanya soal rejeki, jodoh, karier, bahkan ada pembesar-pembesar kerajaan yang tanya bagaimana masa depan Kerajaan Beng.
Ketika Eng Liong dan teman-temannya datang, Si Peramal membukakan
pintu. itulah seorang lelaki tua berjanggut sePerti kambing dengan jubah panjang.
"Maaf, Tuan-tuan, aku hanya buka praktek sejak matahari terbit sampai matahari terbenam. Sekarang sudah larut malam dan..."
Eng Liong mendesak ke ambang pintu sambil tangannya menahan daun pintu supaya tidak ditutup. Katanya, "Kami perwira-perwira kerajaan. Sudah beberapa hari kami berniat mengunjungimu, tetapi tak ada waktu karena kesibukan. Baru malam ini kami sempat, masa kau mau menolak kami yang begitu mengagumi keahlian ramalanmu?"
Mendengar bahwa tamu-tamunya itu adalah perwira-perwira kerajaan, Si Tukang Ramal tak berani menolak lagi. Dengan sikap agak terpaksa membukakan pintu dan mempersilakan tamu-tamunya masuk. _
Eng Liong berempat dibawa duduk ke sebuah ruangan Yang penuh dengan benda-benda pernujuman, dan di dinding ada rak yang penuh densan gambar dan
patung kecil dari hampir seratus mahluk; mahluk dongeng. para "pangeran " dan "ratu langit" dan "panglima langit dan sebagainya.
Setelah duduk semuanya, Si Peramal bertanya, "Nah, di antara Tuan-tuan berempat ini, siapa yang ada keperluan denganku?" _
"Kami berempat, semuanya."
"Kalau begitu. siapa lebih dulu?"
Eng Liong dan ketiga kawannya berpandangan sebentar, Eng Liong minta persetujuan teman-temannya,".Aku duluan ya
Ketiga temannya pun mengangguk setuju, sekalian mereka ingin lihat-lihat dulu bagaimana caranya Si Peramal meramalkan Eng Liong. '
Pertama-tama Si Peramal tanya macam-macam dulu, tentang hari lahir Eng Liong, tempat lahirnya, rumahnya menghadap ke.arah mana, dekat tempat kelahirannya ada gunung atau tidak dan disebelah mananya, ada sungai atau tidak, shionya apa, dekat rumahnya ada simpangan atau tidak, dan sebagainya.
Dan setelah bertele-tele sekian lama sampai membuat Eng Liong kesal, barulah Si Peramal tanya keperluan Eng Liong.
Mula-mula Eng Liong dengan agak malu-malu sedikit menoleh ke arah teman-temannya, namun iapun mengutarakan keperluannya tanpa tedeng aling aling, "Aku mengabdi sebagai perwira kerajaan. Tetapi belakangan ini kerajaan yang kami abdi nampaknya semakin lemah, semakin tenggelam, ancaman dari pihak Manchu mustahil tertanggulangi, terlalu kuat. Kekuatan-kekuatan di dalam negeri sendiri malah kacau, tidak kompak. Aku jadi bingung akan masa depanku. Tolong tunjukkan aku jalan keluarnya."
Si Tukang Ramal menyuruh Eng Liong mengocok potongan-potongan bambu lalu menebarkannya di meja. Eng Liong melakukannya. Si _Tukang Ramal merenungi letak potongan-potongan bambu itu, lalu menarik napas.
"Apa yang kau ketahui?" tanya Eng Liong tegang.
Si Peramal menarik napas berat sambil geleng-geleng kepala. membuat Eng Liong semakin tegang. Namun agak lega ketika mendengar kata-kata Si Peramal, "Semalam kuperhatikan bintang bintang kuhitung-hitung, dengan menyesal kuberitahukan kepada Tuan-tuan bahwa nasib dinasti Beng yang di Lam-khia sudah mendekati ujungnya. Itulah yang langit beritahukan kepadaku."
Begitulah, Eng Liong yang perwira dinasti Beng itu merasa lega mendengar yang suram nasibnya itu bukan dirinya melainkan dinasti yang diabdinya. Itulah mental sebagian besar prajurit kerajaan di Lam-khia saat itu, yaitu mementingkan diri sendiri dan tidak ingin berkorban buat dinasti Beng.
Eng Liong baik-baik menyimak katakata Sang Peramal berikutnya. _
"... ada jalan simpang di depanmu, Kapten Eng." kata Si Peramal. "Kulihat dinasti Beng yang di Lam-khia ini memang seperti kapal sedang tenggelam, namun kulihat di langit selatan ada cahaya mencorong terang. Di sana akan bangkit penerus dinasti yang jaya. Siapa
yang mendukungnya akan ikut jaya."
Saking bernafsunya untuk menyelamatkan masa depannya sendiri agar tidak tenggelam bersama dinasti Beng di Lamkhia, Eng Liong bertanya, "Siapa penerus dinasti yang di selatan itu" Yang bakal jaya itu?" _ "Orang itu lahir di Tahun Naga, wajahnya agak persegi, kupingnya lebar," Si Peramal menjawab dengan memejaman matanya. "Kulihat ia berdiri di atas mega dengan pedang terhunus, dengan gagah ia menghadang naga berkuku lima yang datang dari utara... ya... kulihat jelas... _rembulan dan matahari menaunginya."
Saking takjubnya, Eng Liong sampai tak menyadari kata-kata Sang Peramal itu berbau propaganda. Yang dimaksud "naga berkuku lima dari utara" itu siapa lagi kalau bukan Kerajaan Manchu" Dan "rembulan serta matahari" adalah lambang dinasti Beng. Namun siapakah orang yang "lahir di tahun naga, berwajah perSegi dan berkuping lebar?" Bagi kalangan pernujuman, wajah persegi dan "berkuping lebar sering dianggap tanda-tanda orang bakal berderajat tinggi. _
Selagi Eng Liong bingung menafsirkan orang yang hendak dijadikannya junjungan baru itu, salah seorang teman Eng Liong berdesis, "Orang itu adalah Pangeran Cu Yu-long alias Lou-ong, di Siao-hin."
Si Peramal berlagak tidak tahu, "Entahlah, petunjuk gaib yang kuterima tidak memberi nama orang itu."
Lalu Si Peramal membuka matanya, dan berkata kepada Eng Liong, "Nah, itulah, Kapten Eng, kalau kau ingin tahu kemana kau harus melangkahkan kaki menapaki masa depan. Ada pilihan di depanmu, terserah kau pilih jalan yang mana."
Eng Liong sudah memilih dalam hatinya, namun sudah tentu ia tidak mengucapkannya terang-terangan, kurang pantas. Kemudian ia membayar tarip ramalan itu. ia ingat kata-kata isterinya untuk menanyakan soal Ang Siok-sim, namun ia tidak ingin membuang uang tambahan untuk itu. la memang tak terlalu pusing akan nasib Ang Siok-sim.
Habis Eng liong, yang lain-lainnya pun diramal. Ternyata pertanyaan-pertanyaannya sama pada garis besarnya. Bagaimana masa depan mereka kalau dinasti Beng ambruk.
Jawaban Si Peramal pun kurang lebih sama meski dengan "bahasa aneh" yang kurang lebih mengarahkan untuk mengabdi saja kepada Pangeran Lou-ong. Yang menurut ramalan, dialah yang akan jaya mengalahkan Manchu dan memulihkan kebesaran dinasti Beng.
Setelah mendapat jawaban "pasti" untuk masa depan mereka, keempat orang itu berpamitan. Namun ada seorang yang keluar paling akhir dari rumah Si Peramal, dan sebelum keluar dia sempat membisiki Si Peramal tanpa dilihat oleh teman-temannya, "Gayamu bagus, seperti peramal hebat sungguhan."
"Bawa lebih banyak perwira-perwura kemari." _
"Ssst, jangan keras-keras. Komisiku?"
"Kusimpankan, jangan kuatir."
Demikianlah, antara lain melalui ?"peramal" ini menyebarlah di kalangan prajurit di Lam-khia tentang "Kaisar di Lam-khia yang habis takdirnya serta Pangeran Lou-ong alias Cu Yu-liong yang naik bintangnya". Sebagai akibatnya ialah merosotnya semangat para prajurit di Lam-khia, apa lagi mendengar berita tentang makin dekatnya pasukan Manchu di bawah Jenderal Kim Sun-oh yang berjumlah besar, terlatih, bersenjata lengkap dan lebih-lebih lagi menurut para peramal "diberkati Langit".
Yang dengan gigih membangkitkan kembali semangat para prajurit adalah jenderal An Bwe, Panglima Delapan Belas Dermaga, yang juga wakil. Helian Kong untuk wilayah Lam-khia itu. An Bwe juga menerima laporan dari informan-informannya tentang munculnya beberapa "peramal tiban" yang" menyebarkan ramalan-ramalan yang mengecutkan hati. An Bwe ingin membekuk peramal peramal itu, namun wilayah ibu kota itu bukan daerah kewenangannya. Kewenangan An Bwe hanya di delapan belas dermaga sepanjang Sungai Besar. Pernah An Bwe membicarakan soal itu dengan rekannya Panglima Garnisun ibu Kota, agar peramal-peramal. itu ditangkap dan dilucuti kebohongannya. Namun setelah bicara sekian lama, gelagatnya Panglima Garnisun Ibu Kota itu pun sudah terpengaruh oleh ramalan yang beredar luas, mungkin juga sudah mengunjungi seorang peramal. ia menanggapi_anjuran An bwe dengan basa-basi saja, dan tak ada tindak lanjutnya.
An Bwe masygul sekali, upaya maksimalnya ialah dengan menjaga dan meningkatkan semangat prajurit-prajuritnya sendiri, mengingatkan bahwa prajurit prajuritnya tidak berjuang sendiri melainkan bersama "kawan-kawan dari pegunungan hijau" yang banyak jumlahnya, juga bahu-membahu dengan rakyat dari kampung-kampung -nelayan yang mulai berlatih kemiliteran.
"Kalau rakyat biasa yang sehari-harinya hidup susah saja merasa begitu: terpanggil menyiapkan diri membela tanah air, apalagi kita yang berseragam dan mengaku sebagai benteng negara. Jangan kita kalah semangat dari mereka." demikian An Bwe membakar hati prajurit prajuritnya yang jumlahnya tidak sampai dua puluh ribu orang, setiap kali hendak menyuruh prajurit-prajuritnya berlatih. "Suatu kali akan kita buktikan di medan laga bahwa prajurit-prajurit Manchu itu bukannya hantu-hantu berkepala tiga dan bertangan enam."
*** Suatu pasukan berkuda Manchu, dalam gerak cepat tiba-tiba keluar dari benteng alam. lalu menyerbu dermaga paling barat dari rangkaian delapan belas dermaga yang menjadi tanggung-jawab jenderal An Bwe. Seribu orang. prajurit dinasti Beng yang mempertahankan dermaga itu melawan mati-matian, dibantu kaum gunung hijau serta rakyat yang sekian lama sudah dilatih oleh kaum gunung hijau.
Meski rakyat sudah dilatih, namun mereka tidak diturunkan di garis depan yang paling gawat, di mana pertarungan jarak dekat seorang melawan seorang. Rakyat yang terlatih itu hanya berada
di garis belakang sambil melakukan perlawanan jarak jauh dengan panah, lembing dan alat-alat pelontar batu dari bambu, juga batu-batu sebesar kepala yang diberi tali lalu diputar-putar dan dilontarkan jauh-jauh bersama-sama talinya. Para penduduk di kampung nelayan itu belum dilatih melontarkan lembing, sebab latihannya akan lebih lama sedangkan waktunya sudah mendesak. Perlawanan penduduk terlatih itu lumayan mengganggu juga untuk barisan belakang musuh, sehingga barisan belakang musuh seolah tidak. dapat "mengalir" lancar membantu garis depan. Apa lagi kemudian ada penduduk desa yang mendapat gagasan untuk membalut batu-batu yang dilontarkan itu dengan kain perca atau ijuk yang direndam arak lalu dinyalakan api, ada juga yang melontarkan bukan batu melainkan_guci arak bermulut sempit yang diisi penuh arak atau minyak, mulut sempitnya disumbat kain yang dinyalakan, yang setelah dilontarkan lalu pecah dan membuat kobaran api besar di tengah-tengah barisan belakang musuh.
Untuk itu, tentu ladang sayuran penduduk di sekitar kampung jadi korban api, tetapi penduduk kampung harus merelakannya demi mempertahankan dermaga di kampung mereka. Mereka menyadari pentingnya dermaga itu bagi keselamatan negeri mereka.
Sedangkan di pinggiran desa, kebun kebun sayur penduduk sudah jadi palagan antara pasukan Manchu melawan gabungan tentara dinasti Beng dan kaum gunung 'hijau yang bahu membahu, bahkan empang-empang ikan yang dangkal pun jadi 'ajang perkelahian jarak dekat. Beberapa mayat dari kedua pihak sudah terapung apung di air empang, darah mereka memerahkan air empang.
Pasukan Manchu itu datang berkuda untuk mempercepat gerak mereka menempuh jarak, namun tiba di pinggir desa dan tahu medannya tidak cocok untuk penempatan berkuda, mereka berlompatan turun dari kuda dan bertarung di darat
Panglima Manchu yang memimpin serangan itu bukan orang Manchu asli tetaPi orang Tibet bernama Kulpa, murid bungsu Kim-kong Lama. Tubuhnya sedang sedang saja, namun "ilmu sembilan gajah" ajaran gurunya sudah merasuk ke tubuhnya sehingga ia punya tenaga besar yang melebihi batas-batas kenormalan, bahkan sudah cenderung ke kegaiban. Senjatanya ialah sepasang tongkat gada yang terbuat dari emas. Kedua gadanya itu dibentuk dalam wujud patung sepasang mahluk gaib yang dipuja Kulpa. yang dipercayainya memberi kekuatan. Karena itulah sepasang gada emas berbentuk patung yang berat bobotnya itu bergerak seringan sepasang lalat beterbangan saja.
Sepak terjang' Kulpa dalam palagan membuat ia seperti seekor singa yang buas berada di tengah-tengah kawanan biri-biri gemuk yang lemah. sepasang gadanya main kepruk ke kiri-kanan. dan korban-korban di pihak musuh pun berjatuhan. Bahkan kalau ada yang menangkis gadanya dengan tameng. maka tamengnya remuk beserta lengan yang memegangi tameng itu.
.Demikianlah Kulpa memanfaatkan tombak yang tak tertahan dari pasukan yang dipimpinnya, yang terus mendesak ke pintu gerbang kampung.
Tetapi hong-kun dari kaum gunung hijau di kampung itu, yang bernama Tek Bi-kian dan berjulukan Tho-ong (Si Raja Kelinci), tak membiarkan Kulpa mengamuk semaunya. Tek Bi-kian ini bertubuh kurus, namun punya kelincahan dan kecepatan gerak yang istimewa sebab setiap ada waktu luang ia berlatih berlarilari cepat naik turun bukit. Kelincahannya yang membuat ia digelari si "raja kelinci". Senjatanya ialah sebatang tombak berbobot ringan dengan ujung tombak yang tipis dan amat tajam.
Jadi, .hampir dalam segala hal, si "raja kelinci" ini kebalikannya Kulpa.
Bersambung jilid XIX. Panglima Gunung Karya : Stefanus SP Sumber Ebook : Awie Dermawan
Edit teks : Saiful Bahri Ebook persembahan group fb Kolektor E-Book untuk pecinta ceritasilat Indonesia
*** Panglima Gunung Jilid 19 TEK BI-KIAN ingin menghentikan amukan Kulpa yang merusak pihaknya, namun ia pun sadar takkan mampu mengatasi Kulpa sendirian saja. Sebelum maju, ia mengajak seorang perwira yang paling jago berkelahi di pasukan penjaga dermaga itu. Perwira itu namanya Yu Toan-hoan, galaknya bukan main kalau memarahi anak buahnya, dulu juga sering memukul penduduk, namun tidak lagi dilakukannya sejak kaum gunung hljau muncul terang-terangan di kampung sebagai kekuatan bersenjata, bahkan bekerja sama dengan pasukan kerajaan dan melatih penduduk.
Menanggapi ajakan Tek Bi-kian untuk bersama-sama melawan Kulpa, Si Perwira yang dulu galaknya seperti setan itu tiba-tiba sekarang menciut nyalinya dan berdalih. "Saudara Tek, aku harus memimpin prajurit-prajurit" di sayap utara ini, tidak bisa kutinggalkan ke mana mana."
Bantah Tek Bi-kian, "Tadi ketika Komandan Cong membagi tugas. aku melihatnya, dan aku tahu penanggung-jawab di sayap ini adalah Letnan Bin, bukan kau. Dan kudengar juga Kapten Cong menentukan orang-orang yang tidak terikat di satu tempat, termasuk kau, orang orang yang punya kemampuan tempur menonjol secara perorangan. untuk menghadang orang-orang serupa di pihak musuh."
"Kalau begitu, temukan orang-orang itu dan ajak mereka."
"Kau salah seorang dari orang-orang itu, Letnan Yu. Kapten Cong sendiri menyebut namamu dan aku kebetulan mendengarnya. Ayo, bantu aku melawan perwira Manchu bersenjata sepasang gada emas berbentuk orang-orangan itu. Kita berdua pasti bisa mengalahkannya, kalau aku sendirian..."
Namun Yu Toon-han terus saja menggalang gencar, sambil dalam cahaya obor
ia memperhatikan amukan Kulpa di kejauhan. "Tidak... tidak... aku punya tugas di sini."
Tek Bi-kian membanting kaki dengan kesal, entah bagaimana nasib Kerajaan Beng yang mempunyai banyak orang penakut seperti ini" Namun ia menghindari pertengkaran, sebab akan menguntungkan musuh bila sampai kaum gunung hijau dan prajurit kerajaan bertengkar satu sama lain.
Tek Bi-kian mencari orang lain yang mau diajaknya mengeroyok Kulpa, ternyata tak seorang pun jago-jago berkelahi di antara pasukan kerajaan yang monerima ajakannya. Ada dua orang jago kaum gunung hijau yang mau diajak, keduanya adalah jagoan-jagoan dari Lamkhia yang diperbantukan ke situ untuk memperkuat pertahanan di kampung dermaga itu. Keduanya ialah bekas bajak sungai yang sudah "bertobat" menjadi kaum laskar gunungnya Helian Kong. dan keduanya pernah ikut bertempur ketika rumah makan Ceng-san-launya Lai Tekhoa diserbu jago-jagonya Jenderal Eng
dulu. Keduanya ialah Hong-hi-jin (Nelayan Sinting) Co Kim-hong yang botak dan seluruh tubuhnya penuh senjata. Tangan kiri memegang tameng bundar kecil yang pinggirnya tajam sehingga bisa untuk memotong, di tengah tameng ada besi lancipnya, tangan kanan pegang golok pendek, kedua siku tangannya dipasangi besi lancip ke arah belakang, kedua lututnya juga dipasangi besi lancip menghadap depan, sedang kedua tumitnya dipasangi "taji besi" seperti ayam jago. Dengan dandanan tempur macam itu, Co Kim-kong sering diledek teman-temannya sendiri sebagai "toko senjata berjalan". Satunya adalah Ding Lui yang julukannya Tiat-cio-hi (Si Cucut Besi), mantan bajak sungai yang disegani karena senjatanya yang berbentuk pedang besar bergerigi kedua sisinya mirip ikan cucut.
_Demikianlah, selagi para jago tempur tentara Kerajaan Beng terbirit-birit menghindari Kulpa, ketiga hulubalang kaum gunung hijau itu justru menyongsong Kulpa.
Kulpa saat itu seolah sudah kerasukan.
sudah puluhan orang dikepruk mampus dengan sepasang patung emasnya. Ketika melihat tiga orang laskar gunung menghadangnya, tanpa pikir panjang dia pun menyapu dengan gada kanannya dengan gerak Heng-sau-jian-kun (Menyapu Seribu Prajurit). Angin menderu mengikuti geraknya.
Kali ini Kulpa memperoleh pengalaman yang agak berbeda. Kalau tadinya ia begitu mudah main tebas dan main kepruk saja, kini ia agak kaget melihat tiga lawannya dapat melompat serempak menghindari serangannya.
Setelah tertegun sejenak, Kulpa tertawa congkak dan berseru, "Bagus, aku memang sudah agak bosan membunuh tikus-tikus kecil tanpa arti. Kini aku akan sedikit berkeringat melawan tikus tikus yang agak besar, he-he-he."
Lalu gada kanannya terayun melengkung ke atas hendak mengepruk kepala si "cucut besi" Ding Lui yang berdiri tepat di depannya.
Ding Lui bertubuh pendek gempal dengan otot-otot bertonjolan di sekujur
tubuhnya. pedang moncong cucutnya juga tebal dan berat. dalam pertempuran. ia tidak segan adu tenaga karena dia pun bertenaga beaar. Menyambut hantaman Kulpa. Ding Lui pasang kuda-kuda rendah yang amat kokoh, lalu pedang yang dipegangi dengan dua tangan itu dihempaskan langsung ke gada emas Kulpa.
Terdengar suara dentang dahsyat yang menulikan kuping. Telapak tangan Ding Lui yang dua-duanya menggenggam catu gagang pedang, terasa disengat bara, kuda-kudanya goyah dan ia jatuh terduduk. Sedangkan Kulpa juga merasa lengannya bergetar keras dan ia harus memperbaiki pegangan jari-jarinya pada gada emasnya. Tetapi Kulpa masih punya gada kiri yang segera diayun ke arah kepala Ding Lui yang sedang dalam posisi tak mampu membela diri.
Saat itulah Tek Bi-kian dengan tubuh nya yang kurus melompat bagai belalang. dari samping. ujung tombaknya yang tipis dan tajam mengancam rusuk Kalpa. Kalau Kulpa meneruskan mengepruk. la
akan mengepruk kepala Ding Lui sampai jadi bubur, namun rusuknya sendiri akan ditembus mata tombak yang tipis itu, sebab Kulpa belum memiliki ilmu kebal seperti gurunya.
Terpaksa Kalpa harus mengadakan perubahan. ia mengubah langkah dan memutar tubuh, sepasang gada emasnya menggencet mengancam sepasang pelipis Tek Bi-kian.
Si "raja kelinci"' melompat kecil dan keluar dari jangkauan sepasang gada Kulpa, dan setelah senjata berat lawan itu "lewat" kembali si "raja kelinci" melompat maju dan menikam .lagi dengan gaya tikaman yang itu-itu juga.
Ternyata, cara bertempur si "raja kelinci" ini begitu sederhana, tak ada tipu yang rumit-rumit, hanya melompat maju sambil menikam, kalau dibalas maka ia pun melompat menjauh. Setelah ada kesempatan, melompat maju menikam lagi, lompatannya sedikit bervariasi maju-mundur, kiri-kanan, lurus-serong, lurus-berputar, tinggi rendah tikamannya juga bervariasi tapi gayanya ya begitu
begitu saja. Kadang saja ujung tombaknya tidak ditusukkan melainkan ditebaskan karena pipih seperti pisau. Tidak ada gerak tangkisan, sebab Tek Bi-kian kuatir tubuhnya yang kurus itu takkan tahan menangkis serangan bertenaga besar, katanya, kalau latihan menangkis maka akan terbiasa menangkis dan itu "berbahaya" maka ia tidak melatih tangkisan.
Begitulah Kulpa ketemu lawan yang gaya tempurnya sederhana namun cukup merepotkan karena tiap hari Tek Bi-kian berlatih tekun dengan gaya lompat-louipatannya itu. '
Begitulah, dengan dihadapi tiga orang jagoan sekaligus, Kulpa dapat dikekang untuk tidak menimbulkan kerusakan hebat dl pasukan pembela dermaga.
Kulpa dapat ditahan. namun prajurit prajurit Manchu terus mendesak ke arah desa dan mematahkan lapis pertahanan demi lapis pertahanan pasukan gabungan.
Kaum gunung hijau bertarung gigih, bahkan tak menghiraukan mati hidup mereka sendiri. tetapi prajurit Kerajaan
Beng bertarung dalam ketakutan dan tanpa pengharapan. Mereka sudah ingin kabur saja, dan berada di palagan tanpa semangat.
Yang pegang komando tertinggi dalam pertempuran itu adalah perwira Kerajaan Beng yang dipanggil Kapten Cong, sedangkan Tek Bi-kian sebagai hulubalang kaum gunung hanya berstatus diperbantukan dan harus menyesuaikan diri dengan perintah-perintah Kapten Cong.
Dan Kapten Cong ini ternyata sudah amat dipengaruhi "ramalan" yang sedang menggejala di Lam-khia. Kini di tengah palagan, Kapten Cong tak melihat harapan sedikit pun untuk mempertahankan dermaga, maka dari mulutnya keluarlah perintah untuk mundur.
Maka para prajurit dinasti Beng itu mundur begitu saja, meninggalkan laskar gunung yang masih bertahan gigih di titik-titik pertempuran terdepan dan terpanas.
Para laskar gunung yang ditinggal mundur begitu saja, tentu saja kelabakan dan menghadapi tekanan berat pasukan
Manchu. Karena pemimpin laskar gunung yaitu Tek Bi-kian sedang sibuk melawan Kulpa, maka wakilnya, yaitu Bhe Ping, juga memerintahkan laskarnya untuk mundur melompati empang-empang ikan dan ladang-ladang sayur yang sudah porak-poranda. Pasukan Manchu mengejar terus dengan ganas.
Di tengah-tengah pertempuran, Bhe Ping dengan gusar mencari Kapten Cong! dan setelah ketemu Kapten Cong langsung didampratnya, "Kapten Cong! Kau ingin mencelakakan kami semua" Ingin membuat kami tertumpas" Kau tarik mundur orang-orangmu begitu saja sedang orang-orangku masih di garis depan!"
Kapten Cong agak gugup juga menghadapi kemarahan Bhe Ping, tergagap gagap ia menjelaskan, namun Bhe Ping membentak gusar, "Mau mundur ya boleh saja, tapi sesuaikan langkah dengan kami, jangan korbankan kami begitu saja!"
"Baiklah... baiklah... aku minta maaf," sahut Kapten Cong gemetar. "Aku bertindak demikian karena tidak tahan lagi melihat prajurit-prajuritku berguguran
dalam pertempuran tanpa harapan ini."
"Kalau mau mundur, setidaknya beri waktu yang cukup untuk penduduk agar mengungsi lebih dulu. dan dermaganya dihancurkan dulu," kata Bhe Ping, yang menyetujui pengunduran diri namun tidak dengan terbirit-birit seperti maling jemuran dikejar orang kampung.
Antara prajurit kerajaan dan laskar gunung memang tercapai kesepakatan bahwa kalau mereka tidak mampu mempertahankan dermaga, dermaganya harus dihancurkan daripada dimanfaatkan oleh musuh.
Demikianlah, seorang kurir dikirim ke kampung untuk menjumpai kepala kampungnya dan memberitahu kesepakatan antara Kapten Cong dan Bhe Ping
Lurah Diong juga merasakan gawatnya keadaan, maka dia pun minta waktu agar ia dapat mengungsikan rakyatnya sambil menghancurkan dermaga. Dermaga itu memang sudah banyak dipasangi bahan peledak, untuk menghancurkannya tidak usah pakai kampak, cukup menyulut sumbunya saja.
"Baiklah, tapi jangan terlalu lama. pasukan yang digaris depan hampir-hampir tak bisa menahan tekanan musuh."
"Baik," sahut Lurah Diong. "Bukankah kita sudah sering melakukan latihan pengungsian?"
Penduduk kampung dermaga itu pun diungsikan, semuanya berlangsung cepat karena sudah berlatih, juga hanya barang barang yang mudah dibawa yang dibawa. Sebelum penduduk yang dipimpin Lurah Diong mengungsi lewat jalan yang ditentukan, sumbu penghancur dermaga disulut dan dermaga pun diledakkan berkepingkeping.
Suara ledakan itu mengisyaratkan kepada Kapten Cong dan Bhe Ping bahwa gerak mundur pasukan mereka boleh dimulai.
Kapten Cong memerintahkan pasukannya mundur dan pasukannya pun mundur lintang-pukang seperti air laut yang surut, tanpa menghiraukan apa-apa lagi kecuali keselamatan diri sendiri. Kapten Cong sendiri. yang perutnya besar dan
biasanya malas berlatih lari lari.... menjadi pelari yang benar-benar bersemangat.
Bhe Ping dan orang-orangnya juga mundur, tetapi mereka masih ingat Tek Bi-kian bertiga yang menghadapi Kulpa, yang tak mungkin mereka tinggalkan begitu saja.
Bhe Ping memilih beberapa laskar gunung yang pintar memanah, melempar lembing atau menyambitkan pisau-pisau untuk mendekati arena antara Kulpa dan ketiga hulubalang kaum gunung itu. Lebih dulu Bhe Ping meneriaki ketiga hulubalang itu agar memahami maksudnya, "Kakak Tek, Kakak Co dan Kakak Ding, kami sedang" mundur! Siap-siaplah untuk mundur juga!"
Lalu, setiap ada peluang, para pemanah, pelempar lembing dan pelempar pisau itu mengincar Kulpa. Kulpa yang belum kebal seperti gurunya, jadi agak terganggu, dan tekanannya atas Tek Bikian bertiga Pun mengendor. Tek Bi-kian bertiga berhasil meninggalkan arena dengan selamat.
Pasukan Manchu menduduki dermaga itu, namun dermaganya sudah dalam keadaan hancur dan perlu perbaikan sebelum bisa digunakan mendarat oleh pasukan Jenderal Ni Kam dari utara Sungai Besar.
Kulpa agak kecewa, meskipun berhasil merebut kampung nelayan itu, tapi pasti akan lebih besar pahalanya kalau dermaganya dapat direbut utuh-utuh.
Dia pun menggerutu, "Aku heran. dengan kekuatannya sekarang, Jenderal Kim bisa langsung mendobrak ke Lam-khia yang pertahanannya lemah, tetapi kenapa harus menunggu pasukan Jenderal Ni Kam menyeberang ke selatan?"
Seorang perwira pembantunya yang agak paham lika-liku permainan kekuasaan di tingkat atas, menjawab, "Kalau jenderal Kim masuk Lam-khia lebih dulu dari Jenderal Ni, bukankah di depan Kaisar mukanya akan lebih terang dari muka Jenderal Ni" Inilah yang harus dihindari."
"Ooo, begitu" Repot benar. Harusnya bisa menang lebih cepat, jadi lebih lambat karena harus jaga muka segala."
"Kalau kepingin cepat naik pangkat. harus memahami ini. Bukan jago di medan perang saja."
Kulpa yang naik pangkatnya karena 'dikatrol" oleh pengaruh Kim-kong Lama itu pun mengangguk-angguk. Ia kemudian menyimpan sepasang gada emasnya. Ternyata penyimpanannya tidak dengan cara biasa yang asal taruh saja, melainkan diberi sesaji agar tidak turun keampuhannya.
*** Helian Kong masih menunggui Tokpi Sin-ni alias Puteri Tiang-ping yang sedang memulihkan kesehatan di rumah Toan Ai-liong di kampung Hi-sian-tin Timur yang menjadi semacam "ibu kota" dari gugusan kampung-kampung nelayan di tepian selatan Sungai Besar itu, yang terletak di sebelah barat Lam-khia.
Helian Kong dan Tok-pi Sin-ni gusar ketika mendengar bahwa kampung dermega paling barat telah diserbu dan di duduki tentara Manchu.
Di depan pembantu pembantunya yang berkumpul di rumah Toan Ai liang. Helian Kong berkata, "Secara militer, jatuhnya kampung dermaga itu tak merugikan kita. apalagi Lurah Diong sudah menghancurkan dermaga lebih dulu. tentu tidak dapat segera dipakai untuk pendaratan tentaranya Ni Kam. Butuh waktu untuk memperbaikinya kembali. sedang pinggiran sungai lainnya terlalu curam untuk pendaratan pasukan. Secara moril. ini menurunkan semangat pasukan Kerajaan Beng. Selama ini saja An Bwe sudah amat susah payah menjaga semangat pasukannya, peristiwa ini benar-benar sebuah pukulan. Semangat para prajurit harus dibangkitkan kembali. dan hanya ada satu cara."
Belasan orang hong-kun di ruangan itu, hampir secara serempak menyambung kata-kata Helian Kong. ?" merebut kembali kampung itu !"
Biarpun tidak sedang gembira. Helian Kong tertawa juga mendengar itu. Katanya, "Aku senang saudara saudara seolah menjadi cacing-cacing dalam perutku
seolah-olah tahu semua isi perutku." wan Keng-hin yang kali ini tidak berani sembarangan meludah karena di depan Helian Kong dan Tok-pi Sinni. bertanya, "San-cu punya rencana?"
"Saat ini di kawasan ini sudah terhimpun cukup banyak kekuatan gunung kita yang berdatangan dari mana-mana, kita akan "bertindak sendiri tanpa mengajak prajurit-prajurit penakut yang tak banyak gunanya itu.. Selain merebut kampung itu, kita juga akan menyiapkan penghadangan di sebelah barat kampung, mencegah bala-bantuan dari pasukan induk Jenderal Kim Sun-oh."
Seorang hong-kun bermata satu segera berkata, "San-cu. di sebelah barat kampung itu ada posku, yaitu di Siang-longti_ap (Celah Sepasang Serigala). Tempat itu satu-satunya jalan yang harus dilewati dari arah barat, dari arah pasukannya Kim Sun-oh. sebab sebelah utaranya adalah rawa-rawa dan sebelah selatannya curam yang tak bisa dilewati pasukan "es". Siang-lons-tiap bisa digunakan Pasukan yang jauh lebih sedikit untuk
menghadang pasukan yang jauh lebih besar, karena keuntungan tanahnya."
Helian Kong mengangguk-angguk setuju usul hong-kun bermata satu tentang titik penghadangan itu. Hong-kun bermata satu itu bernama Gan Ek-siang dan berjulukan Tok-gan-liong (Naga Bermata Satu), senjatanya ialah sebatang kampak bertangkai sepanjang tombak.
Helian Kong kemudian mengatur pembagian kekuatan menjadi dua. Sebagian yang menyerang kampung dermaga akan dipimpin Wan Heng-kui, sedang Helian Kong sendiri yang akan memimpin laskar yang akan menghadang di Celah Sepasang Serigala. Kekuatan yang dikerahkan untuk itu cukup besar, sebab Helian Kong ingin agar gerakan itu berhasil dalam sekali pukul.
Tok-pi Sin-ni ingin ikut, tetapi berhasil dibujuk untuk tinggal, sebab kesehatannya belum pulih sepenuhnya.
Kata Helian Kong kepada pembantu pembantunya, "Rombongan yang akan merebut kembali dermaga itu haruslah berbaris terang-terangan melewati kampung demi kampung, agar diketahui musuh. Tetapi rombongan yang akan menempati Celah Sepasang Serigala akan berjalan malam hari lewat hutan, agar tidak diketahui musuh. Aku yakin, musuh sudah menaruh mata-matanya di kampung-kampung."
Demikianlah. kedua rombongan itu berangkat ke sasaran masing-masing, dengan cara masing-masing. Yang satu terang-terangan. yang lain menyelinap dalam kegelapan malam.
Dengan sebelah lengan baju yang melambai kosong karena buntung tangannya, Helian Kong memimpin laskarnya menembus hutan-hutan yang jauh dari perhatian orang. Tok-gan-liong Gan Ek berjalan di sebelahnya sambil memanggul kampak bertangkai panjangnya, mereka melangkah berdampingan sambil bercakap-cakap.
Perjalanan ke Celah Sepasang Serigala makan waktu tiga hari, dan selama perjalanan itu mereka mampir di beberapa basis kaum gunung untuk men ambil tambahan kekuatan. Maka ketika tiba
di Siang long kiap. jumlah laskar itu sudah hampir tujuh ribu orang.
"Apakah tempatmu di Siang long kiap bisa menampung sebanyak ini?" tanya Helian Kong.
"Tempat kami cukup luas. San-cu. meskipun masih berujud belukar dan harus dibanguni pondok-pondok baru. namun bahannya berlimpah-limpah." sahut Gan Eit-siang.
"Bahan makanan?"
"juga ada. memadai. Sejak San-cu memerintahkan kami bersiap-siap. kami menimbun bahan pangan. Selain itu. kami terus mendapat kiriman dari peladang peladang kita di pegunungan."
"Bagus. Kita bergerak seperti satu tubuh, satu bagian mendukung bagian lainnya, satu bagian menyediakan keperluan bagian lainnya."
Baru dua hari di Siang long kiap. Helian Kong sudah mendengar kabar tentang pecahnya pertempuran di kampung dermaga yang sudah direbut Manchu itu. Ternyata kampung itu tidak dapat direbut oleh laskar gunung hanya dalam
waktu satu hari, namun laskar gunung berhasil menekan hebat pasukan Manchu di bawah Kulpa.
"Bagus. Kuperhitungkan, Manchu akan minta bantuan ke Jenderal Kim dan kita harus siap-siap menghadangnya."
"Silakan atur kami, San-cu. San-cu mengerti banyak tentang kemiliteran 'daripada kami yang cuma berbekal otot dan nyali."
"Taktik yang sederhana saja, Saudara Gan. Kita bagi orang-orang kita jadi dua bagian, bersembunyi di kedua tebing. Waktu musuh memasuki celah, gulingkan batu-batu dan balok-balok ke pasukan musuh lalu serbu mereka."
"Bagus." Rencana disiapkan, dan sehari kemudian para pengintai sudah memberi isyarat lewat panah bersuara, bahwa suatu pasukan Manchu yang kuat muncul dari sebelah barat.
Helian Kong dan laskarnya di kedua tebing pun bersiaga.
Helian Kong dari sela-ssela dedaunan Melihat pasukan Manchu itu menjalar seperti seekor ular: naga di Jalanan. Mereka berseragam kain kapas biru tua yang sederhana, dan caping-caping rotan mereka seolah menjadi sisik-sisik ular naganya. Helian Kong menaksir jumlahnya lebih kurang sepuluh ribu orang, lebih banyak dari laskarnya Helian Kong, tetapi dengan keunggulan posisi tanah, Helian Kong tetap yakin pihaknya bisa menghancurkan lawan.
Tetapi sambil merenungkan sesuatu, Helian Kong sempat merasa masygul juga; Dandanan tentara Manchu begitu sederhana, hanya kain kapas dan caping, beda jauh dengan dandanan tentara dinasti Beng yang mentereng berkilat, lengkap dengan topi logam berjumbai, logam pelindung ulu hati, baju bersisik besi dan sebagainya, namun di balik menterengnya seragam tentara Beng hanya ada semangat yang patah.
Helian Kong tidak buru-buru mengkomando laskarnya untuk menghujani musuh dengan batu dan balok, ia tunggu sampai seluruh pasukan musuh ada dalam celah agar sebesar mungkin kerusakan yang ditimbulkan.
komandan pasukan Manchu yang berkuda di depan pasukan darat Itu ternyata seorang yang berpengalaman dan bernaluri tajam. ia seorang perwira yang rambutnya sudah campuran hitam dan putih. _
Komandan itu heran bahwa ketika pasukannya lewat di antara pepohonan, tak terlihat banyak burung beterbangan ketakutan dari pohon-pohon yang dilewati. Biasanya, kalau rombongan orang sebanyak itu masuk kawasan berpepohonan lebat, akan ada sejumlah besar burung terbang ketakutan. Sekarang itu tidak terjadi. Maka komandan yang kenyang asam garamnya pertempuran itu menduga di kawasan berpepohonan itu sudah lebih dulu ada sejumlah besar orang, entah dari pihak mana, dan ini membuat Si Komandan berwaspada, Apalagi ketika ia melihat jalan di depan yang akan dilaluinya itu berbentuk sebuah celah sempit dengan tebing-tebing di kiri-kanannya. Komandan Manchu itu kemudian menghentikan kuda sambil mengangkat tangan
tinggi-tinggi, pasukannya pun berhenti.
Komandan itu memberi isyarat agar perwira-perwira pembantunya mendekat, lalu katanya, "Aku curiga ada perangkap di sini."
Perwira-perwiranya melihat ke celah itu, dan mengangguk-angguk setuju. Kata salah seorang, "Yang kita hadapi adalah Helian Kong yang cerdik, yang tak mungkin melewatkan tempat sebagus ini untuk keuntungan pihaknya."
Komandan itu lalu menunjuk seorang perwiranya, "Orang-orangmu di barisan paling belakang, bukan?" .
"Benar, Komandan."
"Karena paling belakang, kuharap gerak orang-orangmu tak terlihat oleh musuh, seandainya ada musuh bersembunyi di tebing-tebing itu, karena terhalang oleh tinggi rendahnya tanah. Nah, pasukanmu harus keluar dari barisan dan bersembunyi di pepohonan, cari posisi yang sama -tingginya dengan tebing kiridan capailah tebing kiri di depan itu dan kalau tiba di sana, beri kami isyarat dengan menggoyangkan bendera."
"Baik." perwira yang diberi perintah menjalankan tugas.
si komandan kemudian memerintahkan perwira lain, yang pasukannya nomor dua dari belakang dengan perintah yang sama, mencapai tebing yang di depan dari tempat yang sama tingginya, bedanya, perwira kedua ini' disuruh mencapai tebing di sebelah kanan. ' '
Makhluk Manis Dalam Bis 2 Candika Dewi Penyebar Maut I I I Senopati Pamungkas I 18
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama