Panglima Gunung Karya Stefanus Sp Bagian 3
syukur malah bisa ikut menginjak.
Ternyata pembangkitan minat tidak berlangsung sampai di situ saja, masih ada lanjutannya. Pintu gerbang besar yang_ bergambar telapak tangan besar berwarna hitam itu tiba-tiba dibuka, lalu kerumunan orang-orang itu seperti air mengalir ke tempat rendah, bergerak memasuki pintu itu. Gui Gong yang berada di tengah kerumunan itu pun terdorong-dorong searah dengan arus manusia itu. Gui Gong agak takut, ingat pengalaman pahitnya ketika diusir dari rumah Jenderal Eng dulu. Di tengah desakan orang-orang, _ia bertanya kepada seseorang di sebelahnya, "Eh, eh, Bung, ada apa ini?"
Orang itu menjawab, "Kita akan melihat demonstrasi silat gratis oleh muridmurid Tiat-ciang Bu-siao. Diadakan tiap tahun menjelang penerimaan murid-murid baru, terbuka untuk umum."
Gui Gong pun lega, maka ia ikuti saja orang-orang itu memasuki halaman depan gedung latihan Tiat-ciang Bu-siao itu. Orang yang datang menonton ternyata membeludag. Tua-muda, lelaki perempuan, anak-anak kecil yang minta duduk di pundak orang dewasa supaya bisa melihat.
Di tengah halaman luas ada panggung tidak permanen dari balok-balok dan papan-papan. Di sekitar panggung penuh bendera-bendera bergambar telapak tangan hitam, lambang perguruan itu.
Ketika deretan murid-murid berseragam berderet naik ke panggung, orang orang pun bersorak-sorak, ada yang bersuit segala. .
Tanpa banyak omong, 'para penonton menyaksikan demonstrasi tahunan itu. Mereka melihat pameran kekuatan tangan yang mematahkan tumpukan batu, kekuatan kaki, menendang hancur sasaran yang dipasang lebih dari dua meter tingginya. Biarpun perguruannya bernama "Telapak Besi" ternyata yang didemonstrasikan bukan cuma keampuhan telapak tangan, tetapi juga kerasnya tulang kering, bahkan juga jidat. Penonton disuguhi adegan kepala dikepruk dengan lempengan batu tetapi malah lempengan batunya yang patah, perut diinjak-injak, punggung dihantam pentung besi dan sebagainya. Lalu ada peragaan jurus tangan kosong maupun senjata, bermain sendiri maupun serang-menyerang berpasangan. Tiap kali tepuk tangan penonton bergemuruh.
Ketika hari hampir sore, barulah peragaan selesai. Penonton bubar membawa kesan kagum, apalagi kalau ada yang kenal dengan salah satu pelaku peragaan tadi.
Gui Gong melangkah kembali ke kediaman Eng Liong, membawa sebuah tekad dalam hati, melalui perguruan itu ia akan jadi orang yang tidak lagi diinjak injak.
Ketika Eng Liong sudah pulang dari tangsi dan seisi rumah itu duduk diruang makan, Gui Gong benar-benar menguasai seluruh pembicaraan dengan bercerita menggebu-gebu tentang demonstrasi di Perguruan Telapak Besi itu dan tentang cita-cita gemilangnya di masa depan. Suaranya tidak mau kalah keras dengan suara anak-anak Eng Liong yang sedang sibuk dengan mainan-mainan baru buatan
paman mereka. Maka ruangan itu jadi bising oleh suara-suara.
Setelah suara-suara agak tenang, Ang Siok-sim mengeluarkan kantong uang dari Mo Giok-Iin tadi, ditaruh di meja dan berkata, "A-gong, ini gajimu bulan ini dan bulan depan dari Ceng-san-lau."
Sejak pikirannya penuh soal "masa depan cemerlang", Gui Gong sudah lupa soal Ceng-sanLlau, kini tiba-tiba disodori gaji dua bulan, ia langsung meraupnya dan tertawa, "Ha-ha", memang beruntung aku hari ini. 'Tetapi kelak kalau sudah digembleng di sekolah yang hebat itu, maaf, aku takkan bisa lagi bekerja sebagai tukang 'cuci piring di Ceng-sanlau. Sampaikan kata-kataku kepada Juragan Lai."
Ang Siok-sim geleng-geleng kepala sambil berkata, "Lagakmu, A-gong, seakan sudah pasti memperoleh yang kau inginkan."
Sementara itu, Eng Liong tertarik melihat Ang Siok-sim ternyata mendapat hubungan kembali dengan Ceng-san-iau. Tanyanya kepada adik iparnya itu, "Siok sim, bagaimana bisa kauperoleh gaji Ceng-san-lau?"
Sebagai kaki tangan Jenderal Eng, Eng Liong ditugasi terutama mengawasi penghuni-penghuni Ceng-san-lau, apalagi setelah diketahui bahwa salah seorang "perampok", yaitu Ong Gai-lam, sehari harinya bekerja di Ceng-san-lau. Ketika penghuni-penghuni Ceng-san-lau menghilang begitu saja, Eng Liong seakan kehilangan sasaran. Tak terduga kini ia seakan kembali menemukan petunjuk.
Tanpa menyadari niat tersembunyi dari kakak iparnya, Ang Siok-sim menjawab, "Tadi ada yang mengantarkan kemari. Puteri Bibi Mo si juru masak, namanya Mo Giok-lin."
"Di mana sekarang penghuni-penghuni Ceng-san-lau?" tanya Eng Liong bernafsu.
"Tidak kutanyakan. Bagiku, aku sudah lega mendengar orang-orang baik itu selamat, tak kurang suatu apa pun."
"Aaah..." Eng Liong menepuk pahanya sendiri dengan rasa kecewa. "Harusnya kau tanyai gadis itu, sehingga kita tahu di mana mereka...."
"Buat apa?" Pertanyaan Ang Siok-sim itu seakan menyodok ulu hati Eng Liong, mengingatkan Sang Kapten bahwa dalam mencari tahu soal penghuni Ceng-san-lau itu ia tidak boleh kelihatan terlalu bernafsu, bisa menimbulkan kecurigaan.
Maka ia lalu menenangkan sikapnya dan menurunkan suaranya, katanya dengan lagak sesantai mungkin, "Aku setuju dengan Siok-sim, lega bahwa mereka selamat. Itu yang penting. Tapi kalau tahu mereka di mana, kan lebih baik?" _
Mata Ang Siok-sim seperti menerawang jauh, katanya setengah melamun, "Aku pun ingin tahu di mana mereka...."
Waktu berbicara begitu, yang terbayang adalah Mo Giok-_lin.
Sementara itu, di kediaman Jenderal Eng, di ruang bawah tanah, Ong Gailam dan Tam Ci dirantai di tembok. Mereka berdua sudah siap menjalani siksaan berat, namun anehnya siksaan berat yang ditunggu-tunggu itu malah tidak datang datang. Mereka memang dicambuk dua tiga kali, habis itu tidak lagi, sehingga mereka sendiri heran.
Ketika sendirian berdua saja, Ong Gai-lam mengutarakan rasa herannya, "Kakak Tam, menurut Kakak, apa yang kita alami selama ditawan ini ganjil apa tidak?"
"Aku juga merasa begitu, Saudara Ong. Sejak kita ditangkap, harusnya kita disiksa sekejam-kejamnya untuk mengorek keterangan sebanyak-banyaknya dari kita. Tetapi nyatanya tidak. Kita memang dicambuk sedikit, tetapi tidak terlalu menyiksa, dan kita baru mengakui nama kita masing-masing, mereka sudah berhenti mencambuk. Sampai sekarang mereka tahu hanya nama kita, tidak lebih, dan mereka kelihatannya kok tidak ingin tahu lebih banyak lagi...."
"Kakak Tam punya dugaan ada apa di balik semua ini?"
' "Belum mampu menemukan dugaan apapun."
"Ssst, ada orang datang."
Memang terdengar langkah-langkah di lorong batu di luar sel itu, namun tidak sampai ke sel itu. Terdengar dua orang berbicara.
"Kedua tawanan itu akan diapakan?" tanya seorang yang berlogat setempat.
Jawabannya berlogat utara, "Mereka tidak berguna lagi. Nanti malam bunuh saja mereka, buang mayatnya,"
Kedua orang yang berbicara itu tidak kelihatan orangnya oleh Tam Ci dan Ong Gai-lam. Mereka hanya bisa membedakan yang satu berlogat selatan, yang lain berlogat utara. Kedua tawanan itu juga tetap tenang meskipun mendengar bahwa nanti malam mereka akan dibunuh.
Terdengar pertanyaan si logat selatan, "Tidak perlukah kita siksa mereka agar kita tahu siapa yang memperalat mereka, dan jaringan mereka?"
"Buang-buang waktu saja..." sahut si logat utara. "Kita sederhanakan saia urusan kita. Yang penting, rencana militer kita tetap aman, tetap tersembunyi, habis perkara."
Tadi ketika mendengar diri mereka berdua akan dibunuh, Tam Ci dan Ong Gai-lam tenang-tenang saja, malah masih bisa saling cengengesan. Tapi kini begitu mendengar si logat utara bicara tentang suatu "rencana militer" maka Tam Ci dan Ong Gai-lam pun tak bisa lagi cengengesan. Rencana militer pihak mana ditujukan kepada pihak mana" Buat Tam Ci dan Ong Gai-lam, mati hidup diri mereka sendiri tidak diambil pusing, tapi jatuh-bangunnya negeri bangsa Han adalah urusan amat penting, jauh lebih penting dari mati hidup sendiri. Karena itulah Tam Ci dan Ong Gai-lam kini jadi gelisah, mereka kini ingin hidup, ingin membongkar "rencana militer" macam apa itu, dan apakah membahayakan tanah air"
"Rencana militer tertulis itu sudah kamu simpan?" terdengar pertanyaan si logat utara.
"Sudah." "Rapi?" "Benar-benar aman. Kenapa bukan Jenderal Eng saja yang menyimpannya?"
"Kuserahkan kepadamu, karena Jenderal itu sudah agak pikun. Berbahaya kalau diserahi sesuatu yang amat penting, bisa berantakan semua...."
Lalu langkah-langkah kaki itu menjauh.
Tam Ci dan Ong Gai-lam berpandangan sejenak, sama-sama menarik napas, lalu berkatalah Tam Ci, "Jadi itulah jawabannya kenapa mereka tidak menyiksa kita. Buat apa menyiksa calon mayat?"
"Mereka tidak ingin keterangan lebih banyak tentang kelompok kita, mereka hanya ingin rencana mereka aman."
"Pasti sebuah rencana yang amat penting."
"Mereka tadi menyebut-nyebut rencana militer. Rencana militer siapa dan ditujukan ke pihak siapa?"
"Entah. Satu hal kita tahu, kita tidak boleh mati di sini. Kita harus lolos dan memberi tahu teman-teman kita tentang yang kita dengar tadi."
"Ya. Dapatkah kau melepaskan diri?"
"Gelang rantainya erat sekali, _tetapi temboknya agak keropos karena air dan lumut yang meresapinya. Kukira bisa meski kita harus membawa rantai ini kabur di tangan kita."
"Tunggu sampai malam."
Sebelum malam tiba, kedua tawanan itu masih dijenguk beberapa kali oleh penjaga-penjaga. Ketika pengawasan penjaga mulai kendor, Tam Ci dan Ong Gailam mulai berusaha mencabut rantai yang ditanam di tembok itu. Sebentar ditarik, sebentar digoyang-goyang. Dan seperti yang mereka duga, ternyata akhirnya mereka berhasil mencabut rantai itu dari tembok sebelum diketahui penjaga.
Mereka lalu mengendap keluar, ternyata di ujung lorong bawah tanah hanya ada satu penjaga yang mudah mereka bereskan, lalu mereka pun kabur setelah memanjat dinding.
Mereka tidak sadar bahwa pelarian mereka diawasi dua pasang mata yang tajam. Yang seorang berusia empat puluh lima tahun, kurus, kecil, agak bungkuk, memakai topi bulu yang ada penutup kupingnya seperti orang-orang utara. Satu lagi bertubuh sedang, matanya seperti burung elang dan hidungnya seperti paruh burung, la merangkapi pakaiannya dengan jaket panjang bulu binatang, dandanan orang utara pula.
Dan mereka pun sama-sama bicara logat utara, meskipun pelan-pelan agar tidak terdengar siapa pun.
"Mereka sudah lolos..." komentar Si Kecil sambil tersenyum menatap Tam Ci dan Ong Gai-lam dari tempat tersembunyi. "Pasti mereka sudah mendengar percakapanmu tadi siang, dan kini mereka akan menjumpai teman-teman mereka untuk menyampaikan yang mereka dengar _ itu. He-he-he.?"
Si Mata Elang ikut terkekeh, pujinya, "Siasatmu benar-benar cemerlang, Komandan Ngo. Tak percuma Kun-su (Penasehat Militer) semakin banyak mempercayakan tugas-tugas di selatan ini kepadamu."
Si Kurus Kecil senang juga dipuji. "Dengan begini, dua sasaran bisa tercapai sekaligus. Pertama, memancing keluar Helian Kong dari tempat persembunyiannya. Dia pasti akan muncul kalau negerinya terancam bahaya.
Panglima Ni pernah bilang kepadaku, rencana militer sehebat apa pun masih ada kelemahannya kalau masih belum memperhitungkan Helian Kong, biarpun Helian Kong tidak punya jabatan apa-apa di kerajaan selatan yang rapuh ini. Helian Kong baru bisa dihitung kalau kita tahu di mana dia sekarang, seberapa kekuatannya, dan bagaimana .posisinya terhadap kekuatan kekuatan di selatan yang tidak kompak ini.
Nah, berita tentang 'rencana militer' tadi mudah-mudahan .memancing Helian Kong keluar dari persembunyiannya."
"Panglima Ni kelihatannya jauh lebih cermat dari Panglima Toh yang digantikannya, ya?"
"Panglima Toh sebenarnya juga seorang yang berotak cemerlang, tetapi pembantaian yang dilakukannya di Yangciu dan Ke-teng terhadap penduduk sipil telah menggusarkan Dewan istana. Keliru besar kalau kita sampai membangkitkan amarah bangsa Han, karena bangsa Han berjumlah jauh lebih banyak dari bangsa kita. Harusnya dirangkul dan... dibodohi.?"
Si Mata Elang menahan tertawanya
"Untunglah kejadian di Yang-ciu dan Ke-teng itu berangsur-angsur sudah dilupakan, karena sikap Jenderal Ni yang tepat terhadap bangsa Han di utara. Bahkan sudah banyak orang Han masuk menjadi tentara kita."
"Komandan Ngo, boleh aku tahu sasaran kedua dalam operasi kita ini'?"
"Orang-orang selatan ini takkan mau percaya kalau misalnya diberitahu kita takkan menyerbu ke selatan. Mereka akan lebih percaya seandainya diberitahu bahwa matahari terbit di barat dan tenggelam di timur. Nah, kita pancing perhatian mereka ke arah yang keliru melalui keterangan-keterangan palsu yang seakan-akan bocor dari pihak kita, dan kita menyerang dalam suatu rencana yang jauh dari perkiraan mereka. Hehe-he.?" '
"Tetapi yang bakalan pusing adalah Jenderal Eng. Di Lam-khia ini pastilah dia bakal dicurigai oleh banyak pihak, kediamannya ini barangkali juga akan sering digerayangi orang, karena dikira menyimpan rencana militer kita.".
*** "Biar saia jantungnya berpacu lebih kencang sedikit." Keduanya tertawa.
* *. ** Gui Gong bangun lebih dini dari biasanya, lalu mulai berlatih 'jauh lebih bersemangat dari biasanya. dibayangkannya sendiri ia memakai seragam siswa perguruan Telapak Besi, dan ribuan penonton sedang menatap kagum ke arahnya sambil bertepuk tangan meriah.
Bersambung Jilid V Panglima Gunung Karya Stefanus SP Sumber Ebook : Awie Dermawan
Edit teks : Saiful B Ebook persembahan Group FB Kolektor E-Book untuk pecinta ceritasilat Indonesia
**** PANGLIMA GUNUNG Karya : STEVANUS Setelah timbul berkeringat banyak. Timbul niatnya untuk mencoba sesuatu. Ia melihat sehelai genteng tak terpakai tergeletak di sudut halaman belakang. Ia pungut dan di taruh di suatu alas . lalu dipukulnya. Pecah berantakan. Gui Gong bangga bukan main. la ambil sehelai genteng lagi. diikat dengan tali dan digantung di dahan pohon setinggi kepala. ia coba menendangnya tetapi terpeleset karena tanahnya agak licin. Pinggulnya sakit membentur tanah. Tertatih-tatih ia bangkit, melepas genteng yang digantung itu.. Beberapa saat ia berpikir ragu, genteng itu dipegangnya dengan: dua tangan lalu dihantamkan ke jidatnya sendiri, meniru demonstrasi murid-murid Tiat-ciang Busiaa kemarin. Genteng pecah, tapi jidat Gui Gong pun bocor dan matanya agak berkunang-kunang. Setelah hilang rasa pusingnya, Gui berpikir, "Aku harus punya sasaran sansak untuk melatih pukulanku, tendanganku dan juga jidatku. Harus kupukul setiap hari seratus kali, kutendang seratus kali dan kuseruduk dengan jidat... sepuluh kali saja...."
Ketika seisi rumah bangun pula menyambut hari baru, mereka heran melihat Gui Gong si gemuk sudah bangun .mendahului mereka, bahkan sudah mandi keringat.
Nyonya Eng sudah mengeluh dalam hati, "Biasanya makannya saja setengah bakul sekali makan, sekarang ia mempergiat latihannya, bisa-bisa sebakul dimakan sendiri...."
Pernah Nyonya Eng mengeluhkan soal anggaran belanja ini kepada suaminya, namun suaminya ingin Gui Gong tetap di situ. Sudah tentu Eng Liong tidak berterus terang kepada isterinya, bahwa dia memperalat Gui Gong untuk memata matai penghuni-penghuni Ceng-san-lau. Soal beras yang cepat habis karena Gui Gong makannya banyak, Eng Liong memberi keping-keping uang emasnya kepada isterinya sambil berkata, "Sepuluh Gui Gong pun takkan membuat kita bangkrut dan kelaparan, isteriku."
Isterinya heran belakangan ini suaminya punya keping-keping uang emas. Meski gaji seorang cian-bu jelas jauh lebih banyak dari gaji seorang tui-thin, tetapi apakah keping-keping emas itu tidak terlalu berlebihan" Kalau ia tanya. itu kepada suaminya, Sang Suami cuma menjawab, "Seorang kapten punya penghasilan lain di luar gaji resminya. Jangan kau herankan itu."
Sementara Ang Siok-sim melakukan kewajiban paginya seperti biasa. Menimba dan mengisi air. Kali ini "ia bekerja'sambil setengah melamun, sehingga kakak perempuannya yang melihatnya menanyainya, "Siok-sim, kau kenapa" Sakit?"
Ang Siok-sim menggeleng. "Atau sedih kehilangan pekerjaanmu di Ceng-san-lau?"
Lagi-lagi Ang Siok-sim menggeleng. "Tidak. Bukankah aku terima gaji bulan Ini, bahkan bulan depan?"
Begitu Ang Siok-sim menyebut-nyebut soal "terima gaji", mendadak Nyonya Eng ingat. bahwa kemarin malam adiknya itu bercerita tentang "puterinya si juru masak Ceng-san-lau" "yang mengantarkan gaji adiknya dan gaji Gui Gong. Tampang si pengantar gaji itu belum dilihat oleh Nyonya Eng, sebab kemarin ketika Mo Giok-lin datang, kebetulan Nyonya Eng sedang di dapur.
Tiba-tiba Nyonya Eng tersenyum dan berkata, "Tahulah aku sekarang, kau melamunkan gadis yang mengantarkan uang itu bukan?"
Melihat perubahan air muka adiknya yang nampak agak tersipu, Nyonya Eng tahu bahwa tebakannya "menyerempet" sasaran yang tepat. Ia pun tertawa, "Kalau benar, kenapa malu mengatakannya kepadaku" Aku kakakmu, pengganti oran tua kita yang sudah tidak ada."
"Ah, baru berangan-angan kok...." "Tidak ada yang melarang orang mimpi, bercita-cita, asal berusaha sungguh-sungguh. Gui Gong saja berani bercita-cita tinggi sampai jidatnya bocor...."
Ang Siok-sim tertawa mendengar kata-kata kakaknya itu.
Ketika itulah salah seorang anak Eng Liong berlari-lari kecil dari halaman depan, sambil berteriak, "Paman Sim, ada yang cari...." .
Ang Siok-sim mengenakan bajunya sambil melangkah keluar, alangkah heran bercampur gembira ketika melihat orang yang datang itu adalah Ong Gai-lam, rekan sesama pegawai di Ceng-san-lau.
"Kakak Lam! Kau baik-baik saja?"
"Tentu saja baik-baik. Kau pikir kenapa?"
"Kalian membuatku bingung karena menghilang serempak begitu saja... Kakak Lam, Kakak Kit, Bibi Mo, Juragan Lai.."
"Kami baik semuanya. Dan kedatanganku untuk memberitahumu dan Gui Gong, bahwa rumah makannya sudah buka kembali seperti semula. Kau dan temanmu boleh masuk kerja kembali."
"Baik, aku akan segera ke sana. Eh, Kakak Lam, pergelangan tanganmu kenapa?"
Ang Siok-sim heran melihat kedua pergelangan tangan Ong Gai-lam merah dan lecet melingkar, seperti habis diborgol dengan borgol yang ketat.
Ong Gai-lam buru-buru menyembunyikan bekas borgolan itu sambil berkata, "Ah, ini panjang ceritanya. Kapan-kapan saja....
Habis berkata begitu, Ong Gai-lam pun pergi.
Eng Liong diam-diam mendengarkan percakapan mereka dari balik pintu. Pikirnya, "Bandit bernama Ong Gai-lam ini benar-benar bernyali besar. Ia bersalah kepada Jenderal Eng yang berpengaruh kuat di Lam-khia ini, tetapi enak saja si bandit ini berjalan kian-kemari di siang hari bolong, tanpa menyamar, tanpa sembunyi-sembunyi. Apakah kelompok Ceng-san-lau itu punya backing orang kuat di Lam-khia ini?"
Begitu Ong Gai-lam pergi dan Ang Siok-sim masuk kembali, Eng Liong cepat cepat menemui Gui Gong. Dalam kegiatannya mematai-matai penghuni-penghuni Ceng-san-iau, Eng Liong lebih suka "memakai" Gui Gong daripada Ang Siok-sim yang jadi adik iparnya sendiri. Soalnya Ang Siok-sim itu lebih pmeya pendirian, lebih "susah diatur" ketimbang Gui Gong yang lebih angin-anginan dan mudah diiming-imingi.
Kepada Gui Gong, ia berkata, sambil menunjukkan sekeping uang emas, "Agong, uang emas ini akan jadi milikmu kalau kau punya keterangan berarti tentang penghuni-penghuni Ceng-san-lau."
"Lho, bukankah sudah kuceritakan dulu?"
"Tidak. Mereka ternyata menyembmyikan sesuatu. Mereka ternyata jago-jago silat yang tersembunyi."
"Ah, masa" Dulu ketika Bibi Mo purapura hendak kusiram air panas, dia ikut terbanting jatuh, untung airnya tidak panas sungguhan. Begitu pula dalam beberapa percobaan."
Eng Liong geleng-geleng kepala, "Kuberitahu tapi jangan bilang siapa-siapa ya" Dua malam yang lalu kuintai tempat itu semalaman, sampai hampir pagi...."
"Hah" Kakak mengintai tempat itu semalaman" Buat apa" Aku yang ingin menemukan seorang pendekar untuk berguru pun tak segetol Kakak, tak sampai mengintai semalam suntuk segala."
Eng Liong harus menyembunyikan hubungannya dengan Jenderal Eng namun harus punya alasan yang masuk akal untuk menjawab keheranan Gui Gong itu. Katanya, "Buat apa" Aku ini kan prajurit kerajaan yang bertanggung jawab dalam soal keamanan" Kujalankan tugasku penuh hati, penuh pengabdian demi keamanan negara dan rakyat! Kalau ada orang-orang mencurigakan seperti yang di Ceng-san-lau, tentu saja harus kuselidiki.
Gui Gong membatin, "Waduh, hebat benar. Kalau semua prajurit kerajaan seperti ini semangatnya, negeri ini sudah seperti surga tiban, orang-orang kecil hidup bahagia, hak-haknya dilindungi.... Kata Eng Liong pula, "Malam itu kulihat tiga orang penghuni itu datang dengan melompati dinding. Bayangkan melompati dinding, padahal dinding itu tingginya dua setengah meter. Dan esok ' nya, kau dan Siok-sim bilang bahwa tempat itu kosong tanpa seorang pun. Bukankah ini mencurigakan" Kau kerja di sana, kau harus mengawasi mereka dan melaporkan kepadaku. Selain berjasa, juga ada hadiahnya."
Kembali Eng Liong menggoyang-goyang keping-keping uang emas itu di depan hidung Gui Gong namun tidak membiarkan Gui Gong menyambarnya.
"Baiklah..." Gui Gong setuju.
"Ingat dua hal, jangan sampai diketahui orang-orang di Ceng-san-lau itu. Juga jangan sampai diketahui Siok-sim. Siok-sim nampaknya takkan setuju karena terlalu bersimpati kepada orang-orang di Ceng-san-lau itu."
Gui Gong mengangguk-angguk.
Eng Liong kemudian berangkat ke tangsi. Tiba di tangsi, langsung ia menghadap komandannya dan minta ijin untuk menghadap kepada Jenderal Eng. Si Komandan berpangkat lebih tinggi, biasanya _ galak dan tak kenal ampun kepada anak buahnya, namun sejak tahu Eng Liong punya "hubungan istimewa" dengan orang orang berkuasa di luar tangsi, Sang Komandan "tahu diri" dan tidak berani terlalu menghambat gerak-gerik Eng Liong takut bersalah kepada "becking"Liong di luar tangsi sama. ia ijinkan Eng Liong menjumpai Jenderal Eng. Ia cuma titip salam untuk Jenderal Eng.
Melihat sikap komandannya yang lunak itu, Eng Liong pun tahu komandannya ini mulai gentar kepadanya. Diam diam Eng Liong senang, merasa jalan untuk mencapai kejayaan sudah terbuka di depannya, asalkan hati-hati menapakinya sebab jalan itu licin dan penuh perangkap.
Tiba di rumah Jenderal Eng, Eng Liong langsung menjumpai Jenderal di kebun belakangnya. Jenderal tua yang sudah jarang mengenakan seragam militer itu duduk di kursi goyangnya dalam pakaian sehari-hari yang santai. Ketika Eng Liong datang, Jenderal Eng sedang di dampingi oleh ln Yao yang nampak muram mukanya.
Eng Liong berlutut menghormat Sang Jenderal dan berkata, "Salam hormatku Jenderal"
Pembicaraan Jenderal Eng dan In Yao terhenti. Jenderal Eng menoleh kepada kaki tangannya yang baru ini dengan wajah berkerut tidak ramah, tanyanya. "Buat apa kau ke sini?"
"Maafkan kedatanganku. Jenderal. Tetapi aku merasa perlu melaporkan kepada Jenderal, bahwa bandit bernama Ong Gai-lam yang mencoba rampok kiriman Jenderal itu. pagi ini ternyata sudah bebas berkeliaran. Dan aku tidak tahu bagaimana ia bisa kabur dari ?"
Eng Liong masih ingin berkata-kata lebih banyak lagi untuk "menawarkan jasanya, tetapi kata-katanya terhenti ketika Jenderal Eng menyuruhnya diam dengan isyarat tangan, "Kalau kau main ingin bekerja untukku, Kapten Eng. belajarlah satu hal. Jangan mengurus yang tidak ditugaskan kepadamu?"
Eng Liong menunduk.la harapkan pujian, tak diduga malahan mendapat kata-kata setajam itu.
Namun demikian suara Jenderal Eng melunak, "Tetapi aku tahu kau bermaksud baik. Kapten. Urusan lolosnya Ong Gal-lam dari sini, bukan urusanmu."
Beberapa saat Jenderal Eng terengah engah menahan gusar, lalu katanya, "Terhadap bandit-bandit busuk yang ingin merampas kirimanku itu, ingin rasanya kucekik mereka dengan tanganku sendiri. Tetapi sayang, tanganku terbelenggu...."
Dengan hati-hati Eng Liong menawarkan diri, "Apakah Jenderal ingin aku.. menggerebek Ceng-san-lau dan menangkap Ong Gai-lam, bahkan dengan teman temannya sekalian?"
Sebelum Jenderal Eng menjawab, ln Yao menjawab lebih dulu, "Tadi Jendera bilang, jangan mengurus urusan yang tidak ditugaskan kepadamu, Kapten.. kau sudah lupa, padahal baru saja dikatakan?"
Biarpun Eng Liong seorang perwira dan ln Yao cuma seorang jagoan "preman" biasa, namun Eng Liong mengkerut gentar juga.
Dan muncul kembali sesuatu yang luar dugaan. Jenderal Eng yang tadi memarahi Eng Liong, sekarang berbalik membela Eng Liong dengan memarahi In Yao, "In Yao, siapa yang mengangkatmu menjadi juru bicaraku" Tutup mulutmu." In Yao pun membungkam. Eng Liong heran melihat semua itu. Diam-diam ia melihat adanya sedikit keretakan antara Jenderal Eng dengan tukang kepruk nomor satunya itu, entah karena soal apa.
Habis berkata kepada In Yao dengan kata-kata tajam, Jenderal Eng berkata kepada Eng Liong dengan sikap lebih lunak, meskipun tetap menunjukkan sikap orang atasan terhadap orang bawahan, "Kapten Eng, awasi saja penghuni-penghuni rumah makan itu, tetapi jangan bertindak apa-apa dulu. Ada orang orang sok pintar dari utara yang mencegahku berbuat demikian...."
"Jenderal..." In Yao coba mengingatkan Jenderal Eng agar jangan terlalu bebas bicara di depan Eng Liong, si kaki tangan baru yang belum terlalu boleh dipercaya itu.
Urusan persekutuan dengan "orang-orang utara" adalah urusan amat rahasia yang harus dijaga.serapat-rapatnya.
Eng Liong tahu diri, tangannya membuat gerakan seperti mengunci bibirnya sendiri, dan berkata, "Jangan kuatir Sobat In. Mulutku takkan bocor sedikit pun."
In Yao menyahut dingin, "Sebaikny begitu, supaya panjang umurmu dan seisi rumahmu."
Eng Liong siap berpamitan, ketika Sang Jenderal tiba-tiba bertanya, "Kapten Eng, kau lihat Un Tong-kaan tidak"
"Un Tong-kaan" Siapa dia?"
"Anak buahku yang pernah mengunjungi rumahmu, yang membocorkan rencana-rencana In Yao."
"Ooo, dia?" Eng Liong pun ingat "pengkhianat" yang kemarin dikhianat olehnya dengan menunjukkannya kepada ln Yao. Orang yang merasa berhutan budi kepada Ang Siok-sim, lalu memberi tahu Ang Siok-sim tentang rencana kejam In Yao. "Ooo, jadi dia namanya U Tong-koan?" .
"Kau lihat dia?"
"Lho, kenapa tanya aku" Bukanka kemarin kau bilang akan membereskan nya?" Eng Liong balas bertanya.
"Keparat itu beruntung, dia merasakan aku akan berbuat sesuatu kepadanya dan ia kabur lebih dulu."
Diam-diam Eng Liong senang juga mendengar itu. Kemarin hatinya diusik rasa bersalah setelah tahu orang itu akan dibunuh ln Yao, dan sekarang ia lega mendengar orang itu dapat lolos. Rasa bersalahnya lenyap. Sudah tentu ia tidak menampakkan kegembiraannya, sebab itu bisa dicurigai Jenderal Eng dan ln Yao.
Bahkan, meski Eng Liong tidak menampakkan kegembiraannya, In Yao menatapnya dengan curiga sambil berkata, "Kapten Eng, kemarin hanya kita bertiga yang tahu tentang rencana membunuh Un Tong-koan. Jenderal Eng dan aku tidak mungkin melakukan sesuatu yang bertentangan dengan rencana, tinggal kau bagaimana?"
"Kenapa aku" Aku memang orang baru, tetapi sudah bertekad untuk mengabdi sebaik-baiknya, mana mungkin kubocorkan rencana kepada Un Tong-kaan?"
"Mungkin saja. Barangkali karena merasa hutang budi, seperti Un Tong-kaan
merasa hutang budi kepada Ang Siok sim adik iparmu."
"Aku tidak melakukannya. Kau menuduh tanpa bukti," sahut Eng Liong berani merasa hari itu Jenderal Eng agak memberi angin kepadanya.
Jenderal Eng lalu berkata, "Tidak perlu bertengkar. Eng Liong, kaulihat pengkhianat itu tidak?"
"Tidak, Jenderal."
"Baik, aku percaya. Kalau melihat dia, laporkan kepadaku."
"Pasti, Jenderal."
Hari itu Eng Liong memang belum mendapat sekeping uang pun dari Jenderal Eng, tetapi ia puas dapat mem perkuat posisinya di mata Sang Jendera Cuma di hatinya masih bertanya-tanya siapakah yang disebut "orang-orang pintar dari utara" itu"
"Pasti patriot-patriot bangsa Han wilayah yang sudah diduduki Manchu... Eng Liong menduga dalam hati. "Jenderal Eng rupanya menjalin perlawanan di utara untuk mengenyahkan Manchu. Perlawanan bawah tanah. Dengan bergabung dengan beliau, aku juga menjadi seorang patriot."
Ketika Eng Liong kembali ke tangsi untuk melapor kepada komandannya, ternyata komandannya tidak memberinya tugas apa pun. Perwira-perwira lainnya diberi tugas ini-itu, Eng Liong malah diajak makan oleh Sang Komandan.
Ternyata Sang Komandan berpangkat cam-ciang (kira-kira setingkat kolonel) itu ada maunya. Kepada Eng Liong ia mengeluh, sudah belasan tahun berpangkat kolonel tetapi oleh Peng-po Cengtong (kementerian perang) pangkatnya tidak pernah dinaik-naikkan, sementara banyak temannya sudah jadi emg-peng dan punya pasukan sendiri. Si komandan yang biasanya congkak kepada bawahan, kini begitu rendah hati di depan Eng Liong, memohon agar Eng Liong membicarakan nasibnya di depan Jenderal Eng.
Eng Liong jadi ingat nasibnya sendiri ketika belasan tahun jadi kopral. Mendengar keluhan komandannya, diam-diam Eng Liong simpati juga dalam hati. Namun Eng Liong yang sedang mulai "belajar hidup di Lam-khia" alias mengenali segala like-liku untuk menanjak ke atas dengan memanfaatkan segala keadaan bahkan memanfaatkan nasib orang lain tidak cepat-cepat menunjukkan Simpatinya. Sengaja ia jual mahal dengan ber kata, "Komandan, aku kenal pribadi Jenderal Eng juga belum lama, belum berani minta ini-itu. Hubunganku dengannya adalah hubungan dinas semata, sejak aku disuruh mengawal kiriman beliau memasuki Lam'khia, beliau simpati kepadaku. Hanya itu."
Sementara Sang Komandan bernama Wai Tong-po itu menyesal bukan main sebab dulu dialah yang menugasi Eng Liong mengawal kiriman itu, karena di anggap bukan tugas penting, hanya tugas kecil saja. Tak disangka bahwa tugas itu berhasil membuka jalan bagi Eng Liong. Pikirnya masygul dalam hati, "Tahu gini jadinya, dulu kukawal sendiri sampai kepada Jenderal Eng, tak perlu kuserahkan kepada kapten karbitan ini."
Sekarang terpaksa ia harus seramah ramahnya kepada Eng Liong. la persilakan Eng Liong untuk menambah pesan makanannya, sambil tak lupa memuji muji Eng Liong sebagai perwira yang penuh pengabdian, gagah perkasa, tahan uji, tidak korup, ayah yang baik, suami yang bijaksana, perwira yang diteladani anak buahnya, sahabat yang dapat diandalkan, tetangga yang ramah.
Ketika melangkah pulang ke rumahnya, Eng Liong sudah membayangkan bahwa mulai hari itu ia akan sering ditraktir komandannya, dan bukan itu saja, rekan-rekannya pun pasti akan mencari muka kepadanya. Namun Eng Liong juga memperingatkan diri sendiri, bahwa ikut dalam komplotan Jenderal Eng memang banyak enaknya, tetapi juga seperti menunggang macan. Orang-orang minggir dari jalannya karena takut kepada sang Macan, tetapi si penunggang macanpun tak bisa turun karena begitu "ia turun ia akan dimangsa sang Macan. -Un Tongkoan contohnya.
Tiba di rumahnya, ia langsung membersihkan diri dengan segar sambil bersiul-siul. Habis makan malam, ia mengajak Gui Gong jalan-jalan di luar rumah.
maksudnya agar bisa bicara bebas tanpa di dengar oleh isterinya, adik iparnya, apalagi anak-anaknya. Mulut anak-anak susah dibungkam.
Nyonya Eng heran bahwa yang diajak jalan-jalan oleh suaminya hanya Gu Gong, sedangkan Ang Siok-sim tidak. Tetapi dengan dalih ini-itu ia dapat meyakinkan isterinya bahwa tidak ada apa apa dibalik ajakannya kepada Gui Gong itu.
Setelah agak jauh dari rumah, sambi berjalan perlahan menyelusuri jalan-jalan Lam-khia yang lengang dan remang-remang hanya berpenerangan lampion-lampion dari depan gedung-gedung besar bertanyalah Eng Liong, "Bagaimana la poranmu tentang Ceng-san-lau" Dari wajahmu, bisa kuketahui tadi ada yang ingin kau katakan kepadaku. Aku lihat sikapmu yang menahan diri dan tidak mengatakan itu di rumah."
"Yang pertama, penghuni Ceng-san lau sekarang hampir tiga kali lipat jumlahnya, dan diantara semuanya itu hanya aku dan Kakak Sim yang tidak tidur ' disana. Selebihnya tidur di sana."
"Hem, tempat itu sudah menjadi semacam benteng di tengah kota, dan aku yakin bukan hanya satu itu'saja 'benteng'nya..." gumam Eng Liong. "Siapa saja penghuni-penghuni baru itu?"
"Bibi Mo si juru maSak sekarang ditemani anak perempuannya yang keluar masuk dapur namun sama sekali tidak becus memasak, kentara sekali dia tidak terbiasa di dapur karena begitu canggung. Namanya Mo Giok-lin. Biarpun tidak becus melakukan pekerjaan-pekerjaan dapur, tetapi wajahnya yang manis bisa jadi penyegar suasana kerja..._ he-he-he... sebab selama ini Bibi Mo adalah satu satunya perempuan di tempat kerja."
Eng Liong tersenyum pula, namun tidak berkata apa-apa, memberi kesempatan kepada Gui Gong untuk terus bercerita. Gui Gong pun bercerita panjanglebar, dan Eng Liong mudah mengambil kesimpulan bahwa di rumah makan Cengsan-lau itu terjadi semacam peningkatan kekuatan. Sebab jumlah dua belas orang "pegawai" di rumah makan tak terlalu besar seperti Ceng-san-lau adalah jumlah yang sangat berlebihan, menurut hitungan normal, bisa-bisa keuntungannya tidak cukup untuk membayar pegawai-Pegawai nya. Menurut Gui Gong, selain MO GiOk lin juga ada seorang pemuda yang sombong dan mengaku keponakan Bibi Mo, jadi kasir. Ada lagi tambahan beberapa tukang belah kayu baru, tukang timba air baru, ada pelayan baru, semuanya melebihi keperluan. Rumah itu pada sekarang... entah mau disuruh tidur mana orang-orang itu."
Eng Liong berpikir, "Ini bahan laporan yang cukup berbobot untuk Jenderal Eng besok."
Dan bukan itu saja, laporan berikutnya menarik perhatian Eng Liong.
?" dan selain penambahan pegawai secara tidak wajar itu, hari ini terjadi sesuatu yang luar biasa."
"Apa?" "Ketika hari masih pagi, aku dan Kakak Sim belum lama masuk kerja, tiba tiba lewat pintu belakang menerebos seorang laki-laki, dengan wajah ketakutan
mencari Kakak Siok Sim", Siapa dia?"
"Uh, siapa punya waktu main tebak tebakan dengan dia" Ceritakan saja."
"ltulah anak buah Jenderal Eng yang pernah ditugasi membunuhku dan Kakak Sim, tapi kami waktu itu ditolong seorang berkedok. Orang-orangnya Jenderal Eng itu dikalahkan si orang berkedok dan hampir dibunuh, tetapi Kakak Sim memintakan ampun untuk orang-orang yang hampir membunuhnya itu."
"Un Tong-kaan..." desis Eng Liong.
Gui Gong heran, "Lho, Kakak tahu namanya" Aku dan Kakak Sim sendiri saja baru tadi tahu nama orang itu."
"Namanya memang Un Tong-kaan bukan?"
"Benar. Darimana Kakak tahu lebih dulu dari kami?"
"Kami, petugas-petugas keamanan, mengetahui banyak hal yang tidak diketahui warga sipil..." sahut Eng Liong tanpa menyebut bahwa ia tahu nama Un Tong-kaan dari Jenderal Eng. "Jadi Un Tong-koan kabur ke Ceng-san-lau?"
"Ya, ia nampaknya menghindari musuh yang menakutkan, tetapi entah apa?" sahut Gui Gong. "Kakak Liong takkan mencelakai dia, kan?"
"Kenapa kau bertanya begitu?"
"Yah, bagaimana pun dia pernah bersusah-payah mendatangi kita untuk memperingatkan adanya bahaya yang mengancam kita."
"Tentu saja aku takkan membuat dia celaka," jawaban Eng Liong ini tidak didukung keyakinan dalam hati. "Lalu apa yang dilakukannya di Ceng-san-iau?"
"Dia bicara kepada Kakak Sim di tempat tertutup di dekat sumur, entah apa yang mereka berdua omongkan. Lalu Kakak Sim menjumpai Juragan Lai, juga sendirian, lagi-lagi pembicaraan empat mata yang entah tentang apa._ Lalu orang she Un itu .bicara sendiri dengan Juragan Lai. Habis bicara dengan Juragan Lai, si juragan mengumpulkan orang-orangnya dan berpesan sungguh-sungguh agar keberadaan orang she Un itu di Ceng-sanlau tidak sampai bocor keluar. Nah, karena itu, jangan Kakak Liong tanyakan
ditegur keras." "Tidak. Kau sudah membantuku, masa aku menjerumuskanmu ke dalam kesulitan?" Eng Liong menepuk pundak Gu: Gong. _"Lalu apa lagi di Ceng-siau lan?"
"Sudah. Untuk hari ini ya cuma itu yang terjadi."
Eng Liong merogoh kantongnya dan memberikan uang emas itu kepada Gui Gong. "Ini untukmu. Awasi terus orang orang Ceng-san-lau dan laporkan kepadaku. Hati-hati, jangan sampai orang-orang itu merasa sedang diawasi olehmu, juga jangan sampai Siok-sim tahu. Dia itu aneh, sudah hidup di kota besar macam Lam-khia tetapi cara berpikirnya masih cara berpikir kampung, hidupnya takkan bakal maju-maju. Kau lain, kau cepat menyesuaikan diri, cepat merebut kesempatan, kau bakal maju, meningkat,"
Gui Gong menyeringai senang. Entah karena uang emasnya atau entah karena pujian.
Kata Eng Liong " "Nah sekarang pulanglah kau lebih dulu.
"Lho, Kakak tidak ikut pulang sekalian?"
"Aku mau... jalan-jalan sebentar. Katakan kepada orang-orang di rumah supaya tidak gelisah menungguku..."
"Kakak mau ke mana?"
"Kalau ingin lancar hidup di Lamkhia, belajar satu hal ini. jangan mengurus yang bukan urusanmu." Eng Liong menirukan kata-kata Jenderal Eng pagi tadi.
Gui Gong tak membantah lagi dan mengeloyor pergi. Tapi ia tidak langsung pulang, ketika ditemuinya sebuah warung kecil yang masih buka malam-malam, dia pun memasukinya dan "berpesta" sendirian dengan uang pemberian Eng Liong itu.
Sedangkan Eng Liong menuju ke kediaman Jenderal Eng, tidak peduli hari sudah malam. Kemarin ketika ia "menjual" Un Tong-kaan, di hati Eng Liong digelayuti rasa bersalah. Tetapi ia mulai "belajar" bahwa kalau ingin maju tidak boleh sedikit-sedikit merasa bersalah.
Dan kini ia menuju kediaman jenderal Eng guna "menjual" Un Tong-koan untuk kedua kalinya.
Ia mengetuk pintu, dibukai para pengawal pribadinya Diantaranya ada ln Yao, tetapi Eng Liong juga melihat dua jagoan lain yang belum pernah ditemuinya. Yaitu Siau-bin-sat-jiu Wajah Tersenyum, Tangan Membunuh) Tong Jiu, dan Ya-huitok-to (Pisau Beracun Terbang Malam) Pui Tong-pa.
Berbeda degan In Yao yang nampak acuh tak acuh akan kedatangan Eng Liong malam-malam dalam pakaian preman, bahkan sikapnya cenderung tidak suka, maka dua orang lainnya justru menyapa Eng Liong dengan tersenyum, "Selamat malam, Kapten Eng. Senang mendengar bahwa kau sekarang bergabung dengan kami."
Eng Liong menatap kedua orang itu dengan terheran-heran, sebab mereka langsung mengenalnya sebelum di perkenalkan, dan Eng Liong sendiri merasa seakan-akan pernah melihat kedua orang
itu, tetapi waktu dan tempatnya ia agak lupa.
TOng Jiu tertawa dan membantu mengingatkan Eng Liong. "Kapten Eng, aku adalah orang yang pernah menemuimu dan mengaku bernama Jiu Tong dulu. Tetapi karena kita sekarang sudah Jadi sekutu, kuberitahu namaku sebenarnya ialah Tong Jiu dengan julukan Wajah Tersenyum Tangannya Membunuh."
"Oh, iya, aku ingat sekarang."
"...dan kau pun pasti merasa pernah melihat temanku ini. Namanya Pui Tongpa, julukannya Pisau Beracun Terbang Malam dan dulu kau menemuinya dalam penampilan sebagai pengemis dengan aebelah kaki bersepatu dan sebelah kaki bersandal." Eng Liong paham, dan ketika dipikir lebih lanjut dia pun berkeringat dingin, Pahamnya, ia tahu sekarang kenapa sekat ia bergabung jadi kaki tangan Jenderal Eng, maka "kelompok Jiu Tong "dan Pengemis bersandal dan bersepatu tidak menjumpainya lagi. Rupanya karena kelompok itu memang kaki tangannya jenderal Eng.
Berkeringat dinginnya Eng Liong adalah karena ia sebenarnya pernah punya pikiran untuk berdiri diatas dua perahu" sambil mengambil keuntungan dari dua pihak. Yaitu bekerja untuk Jenderal Eng, tetapi juga untuk "kelompok Jiu Tong" dan kalau perlu "sedikit berkhianat" kepada salah satu pihak untuk pihak satunya, asal ada keuntungannya. Untung ia belum melakukan itu. Seandainya sudah melakukan, pasti pengkhianatan itu sudah terbongkar sebab yang disangka "dua pihak" itu ternyata adalah satu golongan, ibarat tangan kanan dan tangan kiri dari orang yang sama.
Pikir Eng Liong , "Sungguh berbahaya . Untung dulu aku tidak melakukannya. Mungkin _inilah caranya orang-orang berkuasa di Lam-khia menguji ketaatan pengikut-pengikutnya, dengan cara membentuk kelompok-kelompok yang seolah olah tidak saling berhubungan antara satu dengan lainnya, lalu suatu kelompok purapura menawarkan tawaran menarik untuk orang dari kelompok lain, dan akan di ketahui bagaimana kesetiaan orang itu... kalau dilihat ada tanda-tanda berkhianat pasti akan dimusnahkan."
"Kapten Eng, apa niatmu datang malam-malam begini kemari?" tanya In Yao dingin. .
"Aku ingin berjumpa dengan Jenderal Eng untuk sesuatu yang penting."
"Jenderal sudah beristirahat, kau bisa melaporkannya kepadaku."
Eng Liong ragu sejenak, karena siang tadi ia melihat bahwa antara Jenderal Eng dan pembantu nomor satunya ini ternyata tidak sepenuhnya sepaham. Namun akhirnya Eng Liong mengatakannya juga, "Saudara in, kau masih menginginkan Un Tong-koan atau tidak?" '
"Tentu saja. Pengkhianat itu bisa menghancurkan seluruh rencana pihak kita. Kau tahu di mana dia?"
"Di rumah makan Ceng-san-lau, bergabung dengan bandit-bandit lainnya termasuk Ong Gal-lam."
"Benar?" "Buktikan saia sendiri."
"Mari kita jemput bangsat itu," ajak ln Yao kepada Tong Jiu dan Pui Tong Pa, sambil meraba rantai berbandulan bola besi yang tak pernah terpisah dari Pinggangnya.
Kedua orang temannya itu sudah hampir menyambut ajakan itu: namun Eng Liong mencegah, "Jangan gegabah, kalian bertiga memang jagoan-jagoan hebat, tetapi rumah makan Ceng-sanlau itu pun sekarang ibarat sarang macan. Dalam suatu pengintaian, pernah kulihat sendiri tiga orang dari mereka dengan mudah melompati tembok yang tingginya dua setengah meter. Dan sekarang ini di Ceng-san-lau ada dua belas orang lebih, aku kurang tahu kemampuan tempur mereka, tetapi bisa diduga kalau kedua belas orang itu pun jago-jago semuanya. Apakah kalian hanya akan mendatanginya bertiga?"
Maka jagoan itu saling pandang kemudian In Yao berkata denggan sikap agak ramah, "Baiklah, Kapten Eng, keteranganmu sangat berguna. Besok akan kulaporkan kepada Jenderal Eng untuk dicatat sebagai pahalamu."
Eng Liong bergegas pulang ke rumahnya
Sementara ln Yao dan kawan-kawannya berunding.
"Bagaimana tindakan kita" Kalau dua belas orang di Ceng-san-lau itu jagoan semuanya, tenaga kita tidak mencukupi. Kalau kita panggil si kembar Auyang pun, jumlah kita hanya berlima. Anak buah kelas rendahan jelas tak mungkin diikutsertakan dalam operasi ini."
Usul Tong Jiu, "Kakak Yao, bagaimana kalau kita sewa beberapa tenaga luar" Aku kenal beberapa orang di Lam-khia ini yang bisa dipakai tenaganya malam ini juga, asal taripnya cocok."
In Yao menggeleng. "Dalam pertempuran sengit, pasti akan terjadi sedikit pembicaraan juga, kurang "baik kalau sampai orang-orang bayaran yang kurang bertanggung jawab itu mendengar percakapannya. Mereka belum tentu bisa menahan mulut di luaran."
"Orang-orang utara yang mengawal kiriman itu apa sudah pulang ke utara?" tanya Pui Tong-pa. "Di antara mereka
ada empat-lima jago tangguh kalau gabung dengan kita dan ditambah dengan si _kembar Auyang, jumlahnya sudah mendekati jumlah orang-orang di Ceng-sanlau itu. Hanya kurang sedikit."
"Mereka menginap di penginapan Cengsui-in, kalau belum pulang. Saudara Tong, coba lihat ke sana."
"Tetapi jumlah kita masih tetap kurang."
"Aku akan pergi ke kediaman Bangsawan Dao, sekutu jenderal kita, kepala pengawal pribadinya kukenal baik," kata ln Yao. "Kalau Coan Wan-hong tahu bahwa urusannya cukup serius, ia bisa meminjamkan beberapa anak buahnya untuk membantu kita, bahkan mungkin dia sendiri akan ikut turun tangan."
"Kalau begitu, tunggu apa lagi?"
"Apakah tidak perlu memberitahu Jenderal?"
"Jenderal sudah tidur, tidak perlu membangunkan beliau, ini bisa kita tangani sendiri."
Begitulah, ln Yao lalu pergi ke kediaman Bangsawan Dao, sedang Tong Jiu pergi ke penginapan Ceng-cui-in.
*** Ketika Un Tong-koan mengambil keputusan untuk berlindung di Ceng-sanlau, mulanya ia merasa ragu juga. Cengsan-lau dicurigai sebagai sarang orang orang yang merecoki Jenderal Eng, padahal Un Tong-kaan adalah anak buah Jenderal Eng yang sudah banyak menyusahkan banyak orang, dan barangkali diantara yang dibikin susah itu adalah penghuni penghuni Ceng-san-lau pula. Tetapi entah kenapa, jauh dalam hati Un Tong-koen timbul rasa percaya bahwa ia akan aman di Ceng-san-lau, bahkan ada tekad seandainya orang-orang Ceng-san-lau mendendam maka dia pun akan pasrah. Un Tong-koan terutama ingin menjumpai Ang Siok-sim, si bocah desa yang mengesankan hatinya itu. Sengaja ia tidak mencarinya di rumah Kapten Eng sebab kuatir kehadirannya di rumah itu akan mencelakakan seisi rumah Kapten Eng, maka dipilihnya Ceng-san-lau.
Ternyata di Cen san-lau yang didesas-desuskan sebagai "sarang bandit" itu ia begitu mudah menjumpai Ang Sioksim, dan ketika minta tolong Ang Sioksim agar bisa menemui Juragan Lai yang menjadi pimpinan di situ, ternyata bisa mudah saja menjumpai Lai Tek-hoa serta berbicara dengannya. Un Tong-koan_ diterima dengan ramah, bahkan dijanjikan perlindungan semaksimal mungkin.
Un Tong-koan pun tahu diri, tidak ingin berlindung tanpa imbalan apa-apa. Maka ia sudah bertekad untuk memberitahukan kepada Lai Tek-hoa tentang apa yang ia ketahui tentang kegiatan rahasia Jenderal Eng.
"Sudah kepalang tanggung, Jenderal Eng dan kaki tangannya sudah terlanjur menganggapku sebagai pengkhianat hanya karena aku membalas kebaikan Ang Sioksim menurut hati nuraniku..." pikir Un Tong-kaan. "Sekalian saja kubongkar rahasia-rahasia Jenderal Eng.?"
Maka ketika hari sudah gelap dan rumah makan itu sudah tutup, Un Tongkoan menjumpai Lai Tek-hoa dan berkata,
"Tuan Lai aku ingin berbicara kepadamu."
Lai Tek hoa mengajaknya ke ruangan tengah.
"Nah, Saudara Un apa yang ingin kau katakan?"
"Tuan Lai tahu, aku ini dulunya tukang pukulnya Jenderal Eng, demi uang aku sanggup disuruh mencelakai siapa pun, banyak orang baik sudah kubuat celaka. Tetapi beberapa waktu yang lalu, hatiku tersentuh. Aku disuruh membunuh orang tak bersalah bernama Ang Sioksim, dan seperti biasanya pasti akan kulaksanakan tanpa ampun, sebab kalau tidak, akulah yang dibunuh..." lalu Un Tong-kaan menceritakan kejadian itu.
Lai Tek-hoa mendengarkan, katanya, Song Pao juga sudah menceritakannya kepadaku. Ang Siok-sim ltu memang anak baik. Dia mahluk ganjil di Lam-khia yang buas dan penuh orang-orang mementingkan diri sendiri ini."
"Song Po" Siapa dia?"
"Orang berkedok yang menyelamatkan Ang Siok-sim dan Gui Gong, yang hampir membunuh Saudara dan teman Saudara tetapi tidak jadi karena Ang Siok sim. memintakan ampun buat kalian berdua.'
"Song Po itu... dari kelompok Tuan"
Panglima Gunung Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya." "Kalau Tuan tidak keberatan, maukah Tuan menunjukkan yang mana orangnya dari yang tinggal di rumah makan ini" Dulu tidak kulihat wajahnya karena dia berkedok, tetapi aku perlu juga mengucapkan terima kasih kepadanya. Biarpun ia mengampuniku karena permohonan Ang Siok-sim, tetapi aku perlu juga berterima kasih kepadanya."
Lai Tek-hoa bisa merasakan kesungguhan dan ketulusan Un Tong-koen, namun jawabnya, "Sayang sekali, ia tidak ada diantara orang-orang yang berada di tempat ini. ia teman kami, tetapi di tempat lain."
"Kalau begitu, lain kali saja sampaikan rasa terima kasihku kepadanya. Sekarang perlu kusampaikan beberapa hal yang kuketahui tentang Jenderal Eng dan kegiatan rahasianya." '
"Terus terang. Saudara Un, sudah lama aku dan teman-temanku mencurigai jendral tua itu, hubungan-hubungannya dengan beberapa orang yang mencurigakan. Tetapi semuanya masih samar, kami mengamati tetapi hasilnya masih belum jelas sehingga belum bisa bertindak." terang-terangan Lai Tek-hoa berbicara, tidak menyembunyikan lagi tindakamya dan sikapnya terhadap Jenderal Eng.
Un Tong-kaan juga berdebar-debar mendengar kata "bertindak" ini. Bertindak" Apakah kelompoknya Lai Tek-hoa ini punya kekuatan sehingga berani mempertimbangkan suatu tindakan" Dan kelihatannya Lai Tek-hoa si juragan gemuk ini bicaranya tidak cuma menggertak sambal, meskipun diucapkan dengan kalem tanpa membentak atau melotot.
"Tuan Lai, Jenderal Eng itu sebenarnya...."
"Tunggu. Bagaimana kalau kupanggil dulu teman-temanku, agar mereka ikut mendengarkan?"
Un Tong-koen tercengans' "Mereka... ikut mendengarkan?"
"Ya. Kok heran?"
"Biasanya biasanya..dalam" satu kelompok itu hanyalah gembong gembong saja yang menyadari tindakan mereka, memegang rahasia-rahasa, sedangkan anak buah pokoknya tinggal melaksanakan saja." "Kami juga mirip itu. Dan semua orang yang berkumpul di sini bisa _dipercaya, mereka semua menyadari perjuangan mereka. Mereka tidak bertarung karena diperintah tapi tidak tahu apa-apa."
"Kalau begitu... silakan Tuan panggil mereka."
Lai Tek-hoa pun memanggil teman temannya, maka ruangan itu tak lama kemudian penuh dengan seisi Ceng-sanlau itu. Ada dua belas orang termasuk Lai Tek-hoa.
Berada di tengah-tengah orang-orang itu, jantung Un Tong-koan berdegup kencang. Makin jelas bahwa orang-orang ini merupakan tokoh-tokoh dari suatu gerakan bawah-tanah yang entah siapa pimpinan tertingginya dan entah apa tujuannya. Orang-orang yang siang tadi tak ada bedanya dengan orang lain, membelah kayu, menimba air sumur, memasak, jadi kasir rumah makan, melayani pesanan tamu-tamu... orang-orang inilah yang kini duduk _ dalam ruangan itu dengan sikap meyakinkan, meskipun mereka tidak kehilangan keakraban dan kelakar di antara mereka.
Melihat wajah Un Tong-koen yang tegang, Lai Tek-hoa berkata' sambil tersenyum, "Santai saia, Saudara Un, kau tidak sedang berada di tengah-tengah suku pemakan manusia...."
Bibi Mo menimbrung, "Rumah makan ini menyajikan banyak jenis daging tetapi belum terpikir untuk menyuguhkan daging manusia."
Orang-orang dalam ruangan itu tertawa, dan Un Tong-koen pun mulai ikut tertawa meskipun belum lepas.
Lai Tek-hoa mengangkat tangannya agar orang-orangnya tenang, lalu berkata, "Nah, Saudara Un, katakanlah apa yang mau kau katakan, supaya semua mendengarnya." Un Tong-koen mulai bercerita, tentang hubungan Jenderal Eng dengan "orang orang utara" dan beberapa hal mencurigakan kan yang pernah dilihat oleh Un Tongkoan. '
"Siapakah orang-orang utara itu, Saudara. Un?"
"Inilah yang tidak jelas..." kata Un Tong-kom. "... karena aku tidak pernah ikut dalam pembicaraan, tetapi bisa kurasakan bahwa mereka merencanakan sesuatu yang besar, bisa dilihat dari makin gencarnya pembicaraan mereka. Jenderal Eng juga bersekutu dengan Bangsawan Dao."
Salah seorang teman Lai Tek-hoa yang bermuka merah, mendengus tak senang ketika mendengar nama Bangsawan Dao, "0, orang yang tidak pernah puas menelan lahan orang-orang kecil itu" Tanahnya sudah amat luas, tapi masih saja terus mencaploki harta terakhir para petani kecil. Moga-moga disambar geledek dia."
"Tenanglah, Saudara Bik," Lai Tekhoa menenangkan temannya yang bernama Bik Tiong itu. "Saudara Un, kau tahu apa isi kiriman dari utara itu?"
"Aku sebagai bawahan mana boleh melihat apa isi peti itu" Aku tidak tahu, "
tapi benda-benda itu amat berat ketika digotong Oleh tiga orang sekalipun," kata Un Tong-liang, "... dan bentuknya seperti sesuatu yang memanjang.?"
"Benda itu pasti ada sangkut-pautnya dengan suatu '" militer'." Ong Gai-lam menyeletuk.
Merasa sudah makin akrab dengan orang-orang ini, Un Tong-koan bertanya, "Kenapa kau berpendapat begitu, Saudara?"
"... Ong Gai-lam." yang ditanya memperkenalkan nama.
"Ya, kenapa kau berpendapat begitu, Saudara Ong?"
"Karena waktu aku dan Saudara Tam masih dikurung di kediaman Jenderal Eng, kudengar pembicaraan dua orang. Yang seorang berlogat utara; yang seorang berlogat selatan. Mereka bicara tentang rencana militer segala, tetapi tidak terperinci. Yang jelas rencana militer itu ada catatan tertulisnya, disimpan oleh seseorang di kediaman Jenderal Eng, tetapi bukan Jenderal Eng sendiri,
sebab oleh orang-orang utara itu Jenderal Eng dianggap sudah pikun, dianggap kurang layak dipercaya menyimpan sesuatu yang penting."
Ruangan itu sunyi sejenak, orang orang memeras otak untuk menebak kiriman dari utara itu, sekaligus memikirkan rencana militer oleh siapa dan ditujukan kepada siapa" ' Selagi mereka berpikir, mendadak di luar terdengar teriakan, "Un Tong-koanl Keluar dan serahkan batang lehermu untuk dipotong!"
Un Tong-koan menegang wajahnya, desisnya, "Itu ln Yao...."
Desisnya pelan tetapi didengar oleh semua orang yang sedang dalam ruangan yang sunyi mencekam itu.
Mendengar nama ln Yao, mendadak salah seorang dari kelompok Ceng-sanlau ini mengangkat kepalanya dan bertanya kepada Un Tong-koan, "Apakah ln Yao yang bergelar Tiat-tau-bong (Ular Besar Berkepala Besi) karena kemahiran bola besi berantainya?"
Un Tong-kaan menoleh kepada si penanya "ia adalah seorang lelaki berkulit coklat kemerahan, tanda terbiasa kerja di bawah matahari, bertubuh kekar meskipun tidak besar, usianya belum tua tetapi kepalanya tidak botak. Jawab Un Tongkoan, "Ya."
Orang itu tiba-tiba tertawa dan berkata, "He-he-he, tak kusangka di Lamkhia ini kujumpai kenalan lama. Kakak Lai, ln Yao ini punya perhitungan lama dengannku, mohon ijin menghadapinya sekarang.
Lai Tek-hoa mengangguk, "Hati-hatilah, Saudara Co."
Orang yang bernama Co Kim-hong dan berjulukan Hong-hi-iin (Si Nelayan Sinting) ini pun meninggalkan .ruangan. Tetapi lebih dulu ke kamarnya di belakang, untuk mengambil senjatanya.
Seorang lainnya yang bernama Ding Lui, yang sekian lama malang melintang di perairan Tiang-kang bersama Co Kimhong, dengan julukan Tiat-cio-hi (Si Cucut Besi), tak tega membiarkan sendirian sahabat karib itu menghadapi lawan yang Pernah mengalahkannya, " "
Iapun minta ijin kepada Lai Tek-hoa, "Kakak Lai, si bedebah in Yao itu pasti tidak datang sendirian, ijinkan aku juga keluar."
Dugaan Ding Lui itu diperkuat ketika terdengar di atas atap ada suara kaki menginjak genteng, suara kaki dalam jumlah banyak. Juga suara kaki yang melompati tembok dan mendarat di halaman belakang, satu-satunya halaman, sebab rumah makan Ceng-san-lau tidak punya halaman depan maupun samping.
Jawaban Lai Tek-hoa lebih dari yang diharapkan Ding Lui, "Semua ambil senjata dan keluar. Hati-hati...."
Orang pm bubaran. Lai Tek-hoa sendiri mengambil suipoa bajanya dan melangkah keluar sambil menggoyang suipoanya sehingga berbunyi gemerincing. '
Lai Tek-hoa dan orang-orangnya yang Semuanya sudah bersenjata, sudah keluar ke halaman belakang semuanya, sebab dari situlah tadi terdengar tantangannya.
Begitu ia dan teman-temannya memperhatikan keadaan, segera Lai Tek-hoa merasa keadaan pihaknya agak kurang menguntungkan. Pertama dari segi jumlah .
Lai Tek-hoa dan orang-orangnya hanya" dua belas orang, ditambah satu Un Tongkoan yang kemampuan tempurnya tidak seberapa namun tidak mau berpangku tangan saja, sedang pihak lawan yang datang ternyata kira-kira dua puluh orang. Kedua, pihak penyerang itu seolah sudah mengurung seluruh halaman belakang. Musuh berpencaran, ada yang berdiri di atas dinding, ada yang sudah turun ke halaman, ada yang berdiri di atas genteng. Mereka juga membawa banyak obor dan membuat seluruh halaman belakang itu terang benderang.
"Mudah-mudahan kemampuan tempur rata-rata orang-orangku lebih baik..." harap Lai Tek-hoa. "... dan dapur serta ruang depan yang bersambungan itu bisa dimanfaatkan orang-orangku agar tidak terlalu terjepit."
Kalau dilihat jumlah orang dari kedua pihak yang bakal terlibat dalam pertempuran, memang halaman itu akan menjadi terlalu sempit bisa bisa senjatanya kena teman sendiri.
Lai Tek-hoa lalu berkata pelan kepada Bibi Mo yang siaga di dekatnya dengan sepasang pisau dagingnya, "Adik Mo, kau dan A-lin serta A-goan harus menjaga di dapur agar dapat tetap dilewati orang-orang kita."
"Baik." Lalu Bibi Mo pun bergeser pelan sambil memberi isyarat kepada anak perempuannya serta keponakan lakilakinya untuk mengikutinya.
Melihat pihak Ceng-san-lau menggeser orang-orangnya untuk memperbaiki posisi, ln Yao tertawa dingin, "Lai Tek-hoa, sungguh besar nyalimu bahwa kau dan orang-orangmu berani tampil di depanku tanpa kedok muka seperti biasanya. Apa-kah kau tidak gentar kalau pertentangan antara pihakku dan pihakmu menjadi terbuka?"
Lai Tek-hoa tertawa, "Sebenarnya aku dan kawan-kawanku masih ingin bermain petak-umpet dengan kalian, tetapi kalau tempat persembunyian sudah diketahui, ya terpaksa jadi pertentangan terbuka. Apa boleh buat?"
ln Yao tertawa mengejek sambil geleng-geleng kepala. "Pihakmu akan hancur lebur, Lai Tek-hoa. Kau tahu sendiri siapa Jenderal Eng, dan kau sudah berani menentangnya."
Jawab Lai Tek-hoa sambil geleng geleng kepala juga, "Kau belum tahu kekuatan kami, ln Yao, itulah sebabnya kau berani membual. Kalau kau tahu kekuatan kami, seluruh kekaisaran ini pun tak ada yang dapat menahan kami. Jenderal Eng dan seluruh begundalnya pun terlalu lemah buat kami."
Wajah ln Yao merah padam, "Persetan dengan bualanmu. Serahkan Un Tongkoan, atau harus lewat pertempuran yang bakal menghancurkanmu?"
"Saudara Un berkehendak bergabung dengan kami karena tidak tahan akan kebusukan kalian. Kelompok kami berpegang teguh-pada asas, yang butuh perlindungan harus dilindungi, apa pun tatuhannya."
in Yao melepaskan rantai berbandulan bola besi dari pinggangnya, sambil mengejek, "Ooo, begitu" Kalau begitu, taruhan kali ini terlalu mahal. Mempertahankan nyawa satu cecunguk seperti Un Tong koan, dan bakal kehilangan begitu banyak nyawa di pihakmu."
"Bukan mempertahankan satu nyawa, tetapi mempertahankan falsafah kelompok kami: setia kawan. Tanpa itu, kelompok kami akan bubar."
"Kalau begitu, selamat bersetia kawan sama-sama menuju dunia orang mati."
Tapi ketika In Yao siap menyerang, dari belakang Lai Tek-hoa terdengar suara lantang, "In Yao, tiga tahun yang lalu kau melukai aku secara licik di atas kapal di dekat kelokan Sungai Long-san di Sungai Hong-ho. Gara-gara senjata beracunmu, aku terbaring tak berdaya hampir setahun lamanya. Kini kita bertemu, kukira aku sekarang harus menagihmu beserta bunganya sekalian."
Lalu muncullah Co Kim-hong dari belakang Lai Tek-hoa, dengan senjatanya. Tangan kiri memegangi perisai bundar yang tajam pinggirnya, dan di tengahtengah perisai ada logam lancipnya mirip tombak. itulah senjata yang bukan hanya pertahanan, tetapi juga dapat untuk menyerang. Tangan kanan memegang golok.
Ternyata bukan hanya itu senjata Co Kim-hong si Nelayan Sinting ini, bisa dibilang sekujur tubuhnya penuh senjata. Pada belakang siku tangannya dipasangi pula besi-besi lancip, terikat pada semacam ban lengan yang lentur sehingga tidak mengganggu gerakan persendian siku, begitu pula kedua lututnya ada besi-besi lancip menghadap ke depan, dan di belakang tumit juga ada logam-logam lancip menghadap ke belakang seperti taji ayam jantan.
Melihat perlengkapan tempur Co Kimhong itu, In Yao mengolok, "Wah, komplit benar persiapanmu, Nelayan Sinting. Tetapi kenapa kepalamu tidak kau pasangi tanduk sekalian, lalu punggungmu kau pasangi duri-duri landak dan _pantatmu kau pasangi sengat lebah?" _
Teman-teman ln Yao tertawa riuhrendah mendengar olok-olok itu, dan mereka menambahkan beberapa kata olok olok.
Namun sebetulnya ln Yao sendiri gentar dalam hati. Beberapa tahun yang lalu. ketika Co Kim-hong baru bersenjata tameng dan golok, belum sekomplit" ini, ln Yao hampir binasa, kalau ia tidak melakukan suatu tindakan licik pastilah ia sekarang adalah arwah gentayangan. Kini, entah sampai di mana kehebatan Co Kim-hong" Yang terang, sejak mengabdi kepada Jenderal Eng, karena hidup enak, ln Yao tidak berlatih keras. Berlatih memang berlatih, namun "sekedar olahraga" saja.
Kini, dengan isyarat matanya ia minta bantuan kepada Pui Tong-pa yang lihai melontarkan pisau beracun, sesuai dengan julukannya. Agaknya ln Yao siap mengulangi kecurangannya beberapa tahun yang lalu. Kali ini dengan bantuan Pui Tong-pa.
Pui Tong-pa paham isyarat tanpa kata dari temannya itu, dan ia sudah mengenakan sepasang sarung tangan kulitnya, sarung tangan yang digunakan kalau ia hendak melemparkan pisau-pisau beracunnya. Pisau-pisau beracun itu sendiri berderet melingkari pinggangnya, jumlahnya ada tiga puluh enam biji. '
Tapi main mata itu diawasi ketat oleh sahabat Co Kim-hong, yaitu Tiatcio-hi (Si Cucut Besi) Ding Lui. Ding Lui diam-diam bersiap dengan senjatanya yang ganjil, seperti pedang tetapi bentuknya memang mirip moncong ikan cucut. Di bagian pangkalnya lebar, makin ke ujung makin sempit, kedua sisinya dibuat bergerigi seperti gergaji. Selain itu, Ding Lui juga mengantongi senjata rahasia yang terbuat dari sejenis duri ikan.
Suasana sudah tegang dan kedua pihak siap bertempur.
Ketika Lai Tek-hoa memberikan anggukan mengijinkan Co Kim-hong, Co Kimhong pun langsung memilih ln Yao sebagai lawannya.
in Yao memutar rantai berbpla besinya, dan disertai bentakannya, bola besi itu meluncur ke kepala Co Kim-hong. Co Kim-hong mengangkat tameng besinya sambil berlari maju, sebab agar dapat menyerang ia harus memperpendek jarak. Goloknya juga menebas dahsyat dari bawah perisai.
Terdengar suara berdetang keras, ketika bola besi ln Yao menghantam perisai Co Kim-hong. Bola besi berhasil disampok terpental, tetapi In Yao menariknya dengan cepat dan setelah diputar sekali lee belakang lalu rantainya diperpanjang dan coba membelit sepasang kaki Co Kim-hong.
Co Kim-hong melompat, tamengnya yang berpinggir tajam itu coba menghantam dan goloknya membacok pula.
Ketika dua orang itu saling gebrak, itulah isyarat bagi kedua pihak untuk memulai pertempuran.
Pui Tong-pa yang tadi diberi isyarat oleh ln Yao untuk membantu mencurangi Co Kim-hong, nampaknya mulai bergeser mencari sudut yang tepat guna melontarkan pisau-pisau beracunnya.
Namun sebelum sebuah pisau pun "terbang malam" (sesuai julukannya), Ding Lui sudah mendekatinya sambil tertawa dingin, "ingin membokong sahabat-ku" Jangan harap. Dan rasakan ini dulu."
Pedang moncong cucut Ding Lui pun menyambar Pui Tong-pa. Pui Tong-pa harus terlibat pertarungan jarak dekat dengan Si Cucut Besi ini, dan ia tak bisa mengandalkan pisau-pisau terbang beracunnya, Ia harus menggunakan pentung besi yang dibawanya di punggung.
Lai Tek-hoa memperhatikan, antara In Yao dan, Co Kim-hong pertarungannya nampak seru, kelihatannya seimbang. Bahkan mata Lai Tek-hoa yang tajam sanggup menilai lebih dari yang terlihat; nampaknya kalau pertarungan berkepanjangan maka Co Kim-hong akan mengungguli lawannya dalam soal stamina. Lalu Lai Tek-hoa menilai pertarungan antara Pui Tong-pa dan Ding Lui, kelihatannya juga seimbang. Asal Ding Lui tidak menuruti emosinya, ia takkan terajerumus ke dalam kesulitan yang berarti.
Lai Tek-hoa harus mengamati dengan cermat, sebab pihaknya kalah jumlah. Kalau "pembagian lawan" tidak tepat, bisa-bisa di satu bagian akan kelebihan tenaga percuma sementara di lain bagian akan kekurangan tenaga. Lai Tek-hoa sendiri sebagai pimpinan di situ sudah mengambil keputusan dalam hati, untuk menyeimbangkan keadaan, ia harus "mengambil" lebih dari satu lawan. Bukan ia saja, tetapi ia berharap Bibi Mo juga akan berbuat serupa, tetapi selain itu tidak ada lagi yang bisa diharapkan untuk berbuat serupa.
"Seandainya di sini ada Tam Yo dan beberapa orangnya, kan lumayan..." pikir Lai Tek-hoa berangan-angan. "Tak kusangka malam ini ln Yao akan mendatangiku dengan kekuatan sebesar ini."
Meski baru dua orang dari masing masing pihak yang terlibat dalam pertempuran, namun suaranya sudah ribut bukan kepalang. Bola berantai In Yao menimbulkan suara gedombrangan nyaring ketika membentur perisai Co Kim-hong. Begitu pula pertarungan antara Pui Tongpa dan Ding Lui juga begitu ribut dengan bentakan-bentakan dan dentang senjata senjata beradu.
"Kalau semuanya sudah ikut bertempur, jangan-jangan tetangga-tetangga akan terbangun semua, mengira ada perang besar di sini?" pikir Lai Tek-hoa.
Tiba-tiba muncul sebuah gagasan Lai Tek-hoa, ia memberi isyarat agar beberapa orangnya mendekat, lalu berbisik,
"Beritahu semuanya, kalau terjadi pertempuran jangan bertempur sendiri-harus Saling bantu."
Perintah itu segera menyebar, pelaksanaannya takkan banyak kesulitan karena semua yang tinggal di Ceng-san-lau itu rata-rata adalah bekas pentolan-pentolan rimba hijau yang banyak pengalaman. .
Ketika itu, beberapa penyerbu yang berdiri di dinding halaman sudah berlompatan turun. Lai Tek-hoa berdesir jantungnya ketika melihat di bawah sinar obor bahwa beberapa pendatang itu berdandan ala orang utara. Lai Tek-hoa ingat pengalaman pahitnya ketika bersama-sama Tam Yo mengeroyok orang bungkuk kecil di rumah kepala kampung, ketika hendak merampas "kiriman dari utara" itu. Betapa tangguhnya orang itu masih sering menjadi mimpi buruk Lai Tek-hoa. Namun ketika ia mengamat amati orang-orang utara yang mendatangi Ceng-san-lau itu tidak ia lihat orang yang dilawannya bersama Tam Yo dulu.
"Tetapi aku tidak boleh lengah sedikitpun"
*** Ruyung tiga ruasnya langsung mengepruk ke gunduinya Si Hwesio, sedangkan teman Nyo Ban-kit dengan tombak berkaitnya hendak membedah pinggang berlemak dari Si Hwesio.
Dengan demikian pertarungan di halaman belakang itu bertambah satu partai lagi.
Ketika itu terdengarlah In Yao yang masih ,berhadapan dengan Co Kim-hong sudah berseru kepada teman-temannya, "Semuanya maju!"
Bersambung jilid VI. Panglima Gunung karya Stefanus SP Sumber Ebook : Awie Dermawan
Edit teks : Saiful Bahri Ebook persembahan group fb Kolektor E-Book untuk pecinta ceritasilat Indonesia
*** Jilid VI DALAM seruannya itu sebenarnya In Yao mengharapkan ada satu-dua teman-temannya yang membantunya mengeroyok Co Kim-hong, sebab pihaknya kelebihan jumlah. ln Yao sendirian sudah mulai merasakan betapa Co Kim-hong sudah meningkat pesat dan tak bakalan bisa dilawannya. Tetapi ln Yao malu untuk minta tolong terang-terangan kepada kawan-kawannya, maka hanya berseru menyuruh semuanya maju.
Para penyerbu itupun menghunus senjata-senjata mereka dan menyerbu. Sial bagi ln Yao, tak seorang pun membantunya. Orang-orang melihat In Yao kelihatannya kok "masih kuat" jadi tidak perlu dibantu, lagi pula kalau membantu akan menyinggung perasaan orang kesayangan Jenderal Eng itu. _ ,
Halaman itu segera riuh-rendah dengan orang-orang berkelahi. Pihak penyerbu ingin mengurung pihak Ceng-aan-lau. namun pihak Ceng-san-lau masih punya ruang gerak, yaitu didapur yang "diamankan" oleh Bibi Mo bersama Mo Gioklin dan keponakan Bibi Mo yang bernama Eng "long-thai itu. Beberapa penghmi Ceng-san-lau memancing lawannya ke arah dapur. bahkan ada yang langsung ke ruang depan rumah makan yang di siang hari untuk tamu-tamu itu.
Sebagai pemimpin Lai Tek-hoa ingin meringankan beban anak buahnya seringan-ringannya, dengan cara mengambil beban seberat-beratnya buat diri sendiri. Ketika musuh menyerbu serempak tak ketinggalan seorang pun, Lai Tek-hoa tak tempat menilai cermat kemampuan musuh seorang demi seorang, juga 'tak sempat mengatur siapa harus melawan siapa.
Namun sebisa-bisanya ia menilai dari gerak langkah dan lompatan mereka, meski penilaian macam itu bisa saja mmhasilkan kesimpulan yang kurang tepat. Apa boleh buat, karena tak ada waktu.
Lai Tek Hoa melihat, di pihak musuh ada seorang jangkung berdandan seperti orang utara dan senjatanya sepasang bola besi bertangkai pendek. Orang itu kelihatan tangguh. Di dekat orang itu juga kelihatan dua orang yang wajahnya sama persis, mungkin orang kembar. Satu memegang golok dengan tangan kanan, satu dengan tangan kiri.
Lai Tek-hoa segera memutuskan bahwa tiga orang itulah jatah'nya. Tetapi sebelum ia mengikatkan diri dengan lawan-lawan yang sudah dipilihnya itu, Lai Tekhoa masih ingin berbuat sesuatu untuk meringankan pihaknya. ia tekan salah satu sisi dari suipoa bajanya sehingga jari-jari suipoa majeplak lepas, dan ketika diayunkan keras. maka _biji biji sulpoa bajapun beterbangan deras ke arah orang-orangnya ln Yao itu. Karena sempitnya waktu, Lai Tek-hoa tak tempat mengincar dengan cermat, pokoknya biji biji sui-poenya "diobral aja.
Toh ada tiga orang musuh yang terjungkal jatuh, dua diantaranya takkan mampu bertempur lagi, satu lagi terpincang-pincang karena kena lututnya, bertempur pun takkan bisa sepenuh kekuatannya.
Habis itu, Lai Tek-hoa langsung menghadang orang-orang yang diincarnya.
Lelaki jangkung yang berdandan orang utara itu hampir saja dihadapi oleh seorang teman Lai Tek-hoa yang bersenjata tombak, tetapi Lai Tek-hoa meneriakinya, "Saudara Ging, ini untukku. Bantu saja Saudara Han!"
Bukan cuma berteriak, Lai Tek hoa langsung menyelinap rapat kepada orang jangkung itu dan suipoa bajanya langsung menyodok sekeras-kerasnya ke dada orang itu.
Orang itu berhasil mengelak dengan mencondongkan diri ke belakang, sambil berteriak gusar dalam logat utaranya, "He, manusia kura-kura, tak dapatkah berlaku jantan sedikit?"
Lalu sepasang bola besinya hendak menggencet pelipis Lai Tek-hoa, namun Lai Tek-hoa menyelinap ke samping sambil membungkuk dan tiba-tiba melompat ke arah si kembar. Tubuh Lai Tek-hoa pendek gemuk dan orang-orang tak menyangka ia dapat melompat selincah itu. Si kembar yang bergolok di tangan kanan memperingatkan saudara kembarnya, "A-lui, awas!"
Yang diberi peringatan juga melihat Lai Tek-hoa "terbang" di atas kepalanya dan dia pun mengangkat goloknya untuk menangkis suipoa baja yang dikeprukkan dari atas. Namun ia kurang siap, posisinya tanggung, lagi pula Lai Tek-hoa membebankan seluruh berat tubuhnya ke suipoanya. Maka terpentallah golok si kembar bergolok kiri ini, seperkian detik berikutnya, jotosan Lai Tek-hoa mematahkan tulang hidungnya. .
Begitulah si kembar untuk berikutnya takkan sama lagi wajahnya.
Orang kembar itu adalah pembunuh pembunuh bayaran peliharaannya Jenderal Eng. Yang memegang golok dengan tangan kanan adalah Auyang Hwe, yang memegang golok dengan tangan kiri dan hidungnya ringsek dijotos Lai Tek-hoa, adalah Auyang Lui.
Auyang Lui melolong panjang kesakitan, sambil kedua telapak tangannya menutupi wajahnya. Melakukan tindakan tak terkendali macam itu di tengah-tengah riuhnya pertempuran, sudah tentu membahayakan diri karena jadi tak dapat mewaspadai sekitarnya, tetapi sang pembunuh bayaran ini benar-benar sedang tak dapat menahan rasa sakitnya.
, Benar, ketika toya salah seorang penghuni Ceng-san-lau menimpa tengkuk Auyang Lui, Auyang Lui pun terkapar pingaan dan itu dapat sedikit "melupakan rasa sakit"nya. '
Auyang Hwe gusar bukan main, bertahun-tahun ia dan saudara kembarnya malang melintang dan melakukan banyak kekejaman kepada orang-orang yang lebih lemah, tak terduga kini di halaman belakang Ceng-san-lau ini si saudara kembar cidera sehebat itu selagi pertempuran baru di tahap awal. Dengan amarah meluap-[uap Auyang Hwe hendak mencincang orang bertoya yang menggebuk adiknya, namun Lai Tek-hoa menghadangnya sambil mengejek, "Aku saja. Maaf kalau kubuat wajah kalian tidak kembar lagi, tetapi dengan satu jotosanku di hidungmu, kujamin kalian akan berubah kembar lagi."
Tawaran "operasi wajah" itu sengaja diucapkan agar Auyang Hwe marah dan tidak mencari lawan lain kecuali Lai Tek-hoa. Benar, pembunuh bayaran yang ganas itu amat murka karena belum pernah diperlakukan begitu rupa. ia membacok bertubi-tubi ke arah Lal Tek-hoa, tapi Lai Tek-hoa berhasil memancingnya ke dekat si orang utara jangkung itu. Memang tujuan Lai Tek-hoa untuk melawan mereka sekaligus demi mengurangi beban teman-temannya. '
Rencana Lai Tek-hoa ialah menghadapi tiga orang sekaligus, yaitu -si orang utara serta si kembar ganas, ternyata salah satu dari si kembar itu begitu mudah "knock-out" jadi malah menguntungkan bagi Lai Tek-hoa. Pekerjaannya jadi lebih ringan.
Dengan bersemangat dia menghadapi kedua lawannya itu.
Seluruh rumah makan Ceng-san-lau benar-benar sudah menjadi palagan. Halaman belakang, dapur, ruangan depan. Dengan demikian perabotan di seluruh tempat itu juga bertebaran berantakan. Di dapur, yang berterbangan bukan hanya alat-alat memasak, tetapi juga bumbu bumbu dapur dan bahan-bahan mentah masakan.
Lantai jadi licin karena tumpahnya beberapa jenis cairan.
Di dapur inilah Bibi Mo bertarung gagah perkasa bagaikan seekor induk macan mempertahankan sarangnya. Sepasang pisau dagingnya berdesiran menyambar nyambar, menghadapi dua orang lawan bersenjata golok. Kalau pertarungan dilakukan di tempat normal, pasti Bibi Mo sudah mengalami kesulitan. Namun di dapur yang sempit dan licin, tempat Bibi Mo berada sehari-harinya, kedua lawannya jadi kehilangan banyak peluang, dan Bibi Mo yang menguasai keadaan. Malahan salah seorang lawannya bertempur sambil bersin berulang-ulang, soalnya tadi Bibi Mo sempat menaburkan serbuk lada yang biasanya untuk bumbu, ke wajah lawannya ini. Yang satu lagi bertempur dengan air mata terus menerus bercucuran.
Agaknya orang ini termasuk alergi kepada udara yang berbau bawang iris.
Mo Giok-lin dan saudara sepupunya. Ek Hlong-thal, bertarung berpasangan dan menyumbat jalan antara dapur dengan ruang depan. Di ruang depan, ada dua orang jagoan bawaan ln Yao yang sedang digodok habis-habisan oleh empat orang penghuni Ceng-san-lau. Teman-teman ln Yao lainnya hendak menerobos ke ruang depan untuk membantu teman-teman mereka yang terjebak, namun mereka terhambat oleh Mo Giok-lin dan Eng Hiong-thai yang gigih mempertahankan pintu. Kedua saudara sepupu ini berharap teman-teman mereka di ruang depan akan cepat membereskan para penyerbu yang terjebak, lalu bertempur membantu yang lain.
Teman-teman ln Yao yang dihalangi di pintu itu gusar, lalu salah seorang dari mereka menemukan akal dan berseru, "Keluar ke gang. Masuki ruang depan lewat lendela rumah makan!"
Tiga orang tetap bertahan di situ melawan Mo Giok-Iin dan Ek Hiong-thai,
sementara tiga orang lagi menjalankan rencana tadi.
Pertempuran massal itu begitu kacau balau. Keinginan Lai Tek-hoa agar orang orang bertarung dalam ikatan kerjasama, hanya setengah terlaksana, tetapi ada juga bagian-bagian yang tak terlaksana dan musuh begitu hebat tekanannya.
Dalam pertarungan pribadinya melawan Si Jangkung serta uyang Hare, Lai Tek-hoa harus mengerahkan segenap ketrampilan dan pikirannya, namun belum sampai tersudut ke dalam keadaan tanpa harapan.
Di seluruh medan pertempuran itu, keseimbangannya bervariasi. Ada bagian di mana orang-orangnya ln Yao unggul dan menekan hebat orang-orangnya Lai Tek-hoa, ada yang sebaliknya, yaitu pihak Lai Tek-hoa menekan pihak in Yao, ada yang seimbang dan susah ditebak mana yang akan menang. Selain itu, beberapa orang dari kedua pihak sudah tergeletak. Yang masih hidup dan sekedar terluka, dengan susah payah mencoba menyeret tubuhnya minggir dari gelanggang agar tidak terinjak-injak. Tetapi beberapa sosok tubuh diam tak bergerak, karena sudah tak bernyawa lagi.
Lai Tek-hoa mengetahui jatuhnya korban-korban itu, diantaranya adalah teman temannya, dan hatinya merasa pedih. Biarpun sudah berulangkali ia mengalami, perasaannya tak pernah menjadi tebal dari kepiluan.
Bagaimanapun nyawa manusia tetaplah nyawa manusia, di mata Lai Tek-hoa tetap tinggi nilainya.
Yang tidak kalah tersentuh hatinya ialah Un Tong-koen. ia heran betapa sahabat-sahabat baru ini membelanya begitu rupa. padahal kalau mereka mau menyerahkan diri Un Tong-koan ke pihak in Yao. pengorbanan sebesar itu tak perlu terjadi.
"Kelompok ini menjunjung tinggi kesetia-kawanan, apa pun resikonya..." pikir Un Tong-kan terharu. "...dalam kelompok ini tidak dibiasakan saling mengorbankan teman, biarpun teman baru yang kurang bernilai semacam aku ini."
Menyadari hal itu. Un Tong-koan bertarung sekuat tenaga biarpun pengaruhnya terbatas sekali untuk keseimbangan menyeluruh di situ. ia bertarung bukan hanya sekedar mempertahankan diri, dengan sebatang pedang pinjaman, tetapi untuk membalas kebaikan kelompok yang melindunginya ini.
Sementara itu, tiga orang anak buah ln Yao telah keluar menerobos untuk menolong dua orang teman mereka yang terkepung di situ, tapi ketika mereka tiba di dalam dengan melompati jendela yang dijebol, mereka hanya menjumpai teman-teman mereka ,sudah membeku di lantai. Orang-orang Ceng-sanlau yang "menggojlok" mereka sudah keluar ke halaman, bergabung dengan lain lainnya. Mo Giok-lin dan Ek Hiong-thai yang bertahan di lorong juga sudah pindah posisi.
Ketiga orang itu menjadi gusar, mereka lalu menumpuk-numpuk meja-meja dan kursi-kursi, mereka siram dengan arak yang berlimpah-limpah jumlahnya, dan menyalakannya. Habis itu, mereka berlari lewat pintu yang menghubungkannya dengan dapur.
Api cepat menyala karena banyaknya arak. Bagian depan rumah makan _Cengsan-lau itupun berkobar menjadi api unggun raksasa, yang menjilat dan membakar langit-langit.
Dalam pertempuran yang makin sengit, makin panas, dan orang-orangnya semakin lupa daratan karena haus darah, korban demi korban berjatuhan cepat.
ln Yao sudah sampai kepada batas perlawanannya tanpa memperoleh bantuan dari teman-temannya. Napasnya sudah memburu, pandangannya berkunang-kunang, tubuhnya basah-kuyup oleh keringat, ayunan bola besi berantainya sudah ngawur, asal putar dan asal sabet saja. Seperti yang dikuatirkannya, ternyata Co Kim-hong si Nelayan Sinting benar-benar mengalami kemajuan pesat dalam kemampuan tempurnya, agaknya karena didera perasaan ingin membalas.
Kalau ln Yao tidak dicegah oleh kesombongannya, dan mau terang-terangan minta bantuan temannya, mungkin ia akan tertolong. Tetapi itulah ln Yao, kesombongannya mencegahnya, dan ia bertekad menghadapinya sendiri, sebetulnya berharap ada yang membantunya tetapi tanpa perlu diteriaki.
Sampai satu kali ln Yao terpojok ke dinding, Co Kim-hong menyeruduk bagaikan babi hutan, merapat. Bandul besi ln Yao ditangkisnya dengan tameng. Tamengnya habis menangkis terus disodokkan ke depan, punggung ln Yao sudah menempel tembok, bola berantainya yang membuat ia dijuluki Tiat-tau-bong (Ular Besar Berkepala Besi) jelas sulit digunakan dalam ruang gerak seminim itu.. Besi runcing di tengah-tengah tameng Co Kimhong menembus pundaknya sehingga ln Yao melolong kesakitan. Co Kim-hong dengan ganas menghunjamkan lututnya yang juga diberi logam lancip itu, menembus lambung ln Yao.
Maka berakhirlah cerita tentang si "ular berkepala besi" itu di tangan Si Nelayan Sinting. .
Di lain pihak, pihak Lai Tek-hoa pun harus berkorban. Ong Gai-lam terkapar muntah darah dan rontok beberapa tulang rusuknya karena hantaman telapak tangan
si hwesio cengengesan, dan beberapa orang lagi yang terbunuh atau terluka parah.
"Selamat Jalan lebih dulu, teman-taman." Lai Tek-hoa berdesis ketika mengetahui gugurnya beberapa temannya.
Sebenarnya, dengan kematian ln Yao tidak berarti pihak ln Yao jadi lebih lemah, namun ln Yao adalah pemrakarsa serbuan itu. Kematiannya memadamkan semangat teman-temannya yang lain. Mereka memang bukan kelompok yang terikat kesetia-kawanan macam Lai Tekhoa dan kawan-kawannya, mereka datang serombongan tetapi terdiri dari tiga golongan, yaitu anak buah Jenderal Eng, bercampur dengan orang-orang dari utara yang belum kembali ke utara, ditambah jago-jago kepruknya Bangsawan Dao. Mereka menomorsatukan kepentingan sendiri sendiri, baik pribadinya sendiri maupun kelompoknya sendiri. meskipun mereka kebetulan bersama-sama. Ketika mereka merasakan pertempuran mulai berlarut larut dan tak tahu kapan selesainya, bobarapa orang mulai merasa tak ada untungnya melanjutkan pertempuran.
Dimulai dari orang-orang kelompok ln Yao, yaitu anak buahnya Jenderal Eng. Kelompok ini terdiri dari enam orang, namun In "Yao sudah mati, Auyang Lui tak berkutik dengan hidung patah, dan tak lama kemudian Auyang Hwe tewas karena Lai Tek-hoa "menembak"nya dengan jeruji suipoa bajanya dari jarak dekat. Lai Tekhoa sendiri merasa tindakannya itu curang dan kotor, namun ia melakukannya juga.
Tiga orang anak buah Jenderal Eng yang tersisa ialah Tong Jiu, Pui Tongpa dan satu lagi. Tong Jiu dan orang yang satu lagi itu tidak menggubris apa pun lagi segera melompat meninggalkan teman-temannya dan kabur melompati tembok.
Pui Tong-pa yang juga orangnya Jenderal Eng, kelabakan karena ditinggal pergi begitu saja, sedang ia sendiri tak bisa meninggalkan gelanggang begitu saja meskipun ingin, karena ia dilibat dalam pertarungan sengit melawan Si Cucut Besi Ding Lui.
Ketika itu keadaan di halaman belakang Ceng-san-lau itu sudah terang benderang, karena api yang menyala di dalam ruangan depan sudah membakar bubungan dan seolah menjilat langit.
Orang-orangnya Bangsawan Dao gusar melihat kaburnya Tong Jiu dan temannya tadi. Mereka menggerutu, "Kurang ajar, tadi mereka yang mengajak-ajak kita kemari, sekarang mereka yang kabur seenaknya meninggalkan kita. Ayo, kita pun kabur."
Orang-orangnya Bangsawan Dao pun kabur. Tak ada bedanya dengan Tong Jiu tadi, mereka menyelamatkan diri masing masing tanpa mempedulikan teman-teman mereka. Yang tidak bisa kabur ya tinggal begitu saja, mau tertawan atau dibunuh musuh ya biar saja, yang tergeletak luka pun tidak perlu susah-susah dibawa.
Setelah orang-orangnya Jenderal Eng dan Bangsawan Dao kabur, maka orang orang yang berdandan dan berlogat orang utara itu tentu tak punya alasan lebih lama tinggal di situ. Si jangkung bersenjata sepasang bola besi bertangkai pendek itu ternyata adalah pimpinan para Jagoan dari utara itu, dan dialah yang memberikan isyarat kepada orang-orangnya untuk kabur.
'Ternyata, gerak mundur orang-orang utara ini berbeda dengan gerak mundurnya tukang-tukang kepruknya Bangsawan Dao atau Jenderal Eng. Kalau kedua kelompok tukang kepruk tadi mundur asal mundur seperti' kabur dari pasar yang terbakar, maka orang-orang utara ini mundur teratur dalam ikatan yang kuat. Teman yang tak bisa mundur, mereka bantu dan mereka usahakan agar bisa ikut kabur, bahkan teman-teman yang terluka atau tinggal mayatnyapun mereka ingin membawanya pergi. Mereka tidak bergerak seperti perorangan-perorangan, melainkan seperti sebuah regu yang amat kompak. .
Ketaiaman mata Lai Tek-hoa bisa membedakan itu. ltulah suatu regu yang bisa bersikap demikian hanya karena latihan yang hebat. Latihan yang menghancurkan sikap pribadi masing-masing dan meleburnya menjadi sikap bersama.
"Pasti suatu latihan militer..." pikir Lai Tek-hoa. "Jadi mereka ini sebenarnya adalah sebuah regu prajurit. Bukan prajurit biasa, melainkan prajurit yang tergembleng habis-habisan, prajurit istimewa."
Dan yang membuat Lal Tek-hoa merasa tidak enak hati ialah, orang-orang yang diduganya prajurit-prajurit pilihan ini datang dari utara, dari wilayah yang dikuasai... Manchu! Sedang Lai Tek-hoa tahu, Kerajaan Beng di selatan ini tidak punya pasukan sebaik itu. Bahkan yang baiknya setengah dari ini pun tidak punya. .
Karena dugaannya itulah Lai Tekhoa meneriaki orang-orangnya, "Tangkap orang-orang ini hidup-hidup, jangan lolos seorang pun!"
Waktu itu, dua belas penghuni Cengsan-lau, tinggal tujuh orang yang hidup. Darah teman-teman yang tertumpah itu seakan minyak yang menyalakan kobaran dendam mereka, mereka agak kecewa mendengar perintah Lai Tek-hoa yang cuma "tangkap hidup-hidup" itu, kenapa
tidak "cincang lumat-lumat?" Tetapi biarpun bukan prajurit resmi, mereka sudah membiasakan diri berdisiplin menuruti pimpinan. _
Orang-orang dari utara itu tersisa lima orang, bukan tandingan Lai Tekhoa dan teman-temannya, dari sudut jumlah maupun kualitas perorangan. Mereka segera terkepung, nampaknya benar benar akan tertangkap hidup-hidup.
Saat itulah si jangkung yang bersenjata sepasang bola besi itu meneriakkan sesuatu kata dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh Lai Tek-hoa dan teman temannya. Lalu tiba-tiba ia tidak lagi menghiraukan serangan-serangan Lai Tek hoa yang masih bertempur dengannya. Bahkan orang itu menghantamkan bola besi bertangkainya ke... pelipisnya sendiri ia pun roboh terkapar, meregang nyawa sebentar lalu terdiam selamanya.
Orang-orangnya mengikuti jejaknya tanpa ragu-ragu, membunuh diri dengan senjata masing-masing. Tidak ada ke bimbangan sedikit pun yang nampak ketika mereka bertindak demikian.
suatu tanda mereka memang sudah di"cuci otak" menjadi robot-robot yang tak memiliki kemauan sendiri.
Pertempuran selesai, tubuh-tubuh bergelimpangan di seluruh halaman belakang Ceng-san-lau yang hawanya semakin panas karena makin besarnya api yang menyala.
"Tempat ini takkan bisa dipakai lagi," kata Bibi Mo masygul, seolah meratapi tempat selama ini ia "mengabdi" sebagai juru masak itu, biarpun hanya juru masak gadungan. Sama dengan Lai Tek-hoa yang juga hanya juragan gadungan dan lain lainnya yang serba gadungan. _
Lai Tek-hoa menatap mayat orangorang utara yang membunuh diri itu, lalu komentarnya, "Mereka ini bukan tukang tukang kepruk biasa yang menjual tenaga demi uang. Mereka adalah prajurit-prajurit yang jiwanya sudah dikuasai sepenuhnya oleh keyakinan yang ditanamkan oleh pimpinan-pimpinan mereka. Terlihat bagaimana mereka tidak takut mati sedikit pun dan bagaimana patuhnya terhadap perintah pimpinan mereka."
Teman-teman Lal Tek-hoa mengangguk-angguk setuju. Komentar Mo Gioklin, "Mereka lebih suka mati daripada memperpanjang hidup sebagai tawanan.'
"Dan sikap nekad seperti ini biasanya dilakukan oleh orang-orang yang menyimpan suatu misi amat rahasia, dan ingin membawa rahasianya itu ke lubang kubur."
"ini memperkuat kecurigaan kita. Se perti yang dikatakan Saudara Un tentang_ kerjasama Jenderal Eng dan Bangsawan Dao dengan orang-orang dari utara, da rencana militer seperti yang didengar tak sengaja oleh Saudara Ong ketika ditawan.'
"Apakah orang-orang utara ini bagian dari... rencana itu?"
"Dugaanku begitu," jawaban Lai Tek hoa mantap.
"Kira-kira siapa orang-orang utara itu?"
Hampir serempak beberapa orang mendesiskan kata yang sama, "Bangsa Manchu!"
"Mana puas mereka hanya menguasai wilayah utara daratan Cina saja" Pasti mereka juga mengingini wilayah selatan ini." Ek Hiong-thai mengepalkan tinju.
"Dan sebelum mereka bergerak ke selatan, lebih dulu mereka membina pengkhianat-pengkhianat di wilayah selatan ini. Antara lain si tua bangka Jenderal Eng itu!"
"Pengkhianat ! Penjual tanah air !"
"Mari kita ambil batok kepala sipengkhianat tua itu malam ini juga!"
Namun Lai Tek-hoa geleng-geleng kepala, "Aku tak setuju. Kalau Jenderal Eng mampus, terkuburlah rencana militer Manchu terhadap negeri kita. Tidak. Jenderal Eng tidak boleh mati dulu, kita harus tahu dulu rencana musuh, baru kita sembelih si tua bangka itu."
"Sekarang apa tindakan kita, Kakak Lai?" '
"Rawat semua yang luka, entah lawan entah kawan, dan bawa dari sini. Tempat ini tak dapat dipakai lagi."
"Yang mati, bagaimana?"
"Terpaksa kita tinggalkan, kecuali lima orang utara yang bunuh diri ini, kita bawa mayatnya."
"Lho, buat apa mayat mereka dibawabawa." ' "Agar kalau begundal-begundal Jenderal Eng memeriksa tempat ini dan tidak menemukan mayat-mayat orang orang utara ini, Jenderal Eng akan menyangka mereka tertawan hidup-hidup dan bisa membocorkan rahasia persekutuan busuknya. Dia akan gelisah, dan orang gelisah akan jadi ceroboh, orang ceroboh mudah dijebak... karena itu, rahasiakan kematian mereka, bahkan sebarkan kabar seolah-olah mereka masih hidup'dan sedang kita korek keterangannya. Paham?"
Semuanya mengangguk-angguk.
Mereka kemudian bergegas menolong yang terluka, dan membawa mereka pergi. Sedang mayat-mayat ditinggalkan, tak peduli mayat teman karib, mesti dengan berat hati, yang dibawa malahan mayat kelima orang utara yang bunuh diri itu.
Di gelapnya malam, mereka meninggalkan Ceng-san-lau yang terbakar, menuju tempat persembunyian baru.
Un Tong-koan memanggul salah orang penghuni Ceng-san-lau yang terluka, sambil melangkah di samping Lal Tekhoa, ia berkata penuh sesal, "Tuan Lai, korban di pihakmu terlalu besar hanya untuk melindungi seorang bekas penjahat macam aku."
"Jangan salahkan dirimu, Saudara Un. Sejak dulu memang pihakku dan pihak Jenderal Eng sudah tidak akur, kami mencurigai mereka dan mereka bernafsu menumpas_ kami. Tentu sebagai anak buah Jenderal Eng kau mengetahui soal ini. Soal bentrokan dengan pihak Jenderal Eng, cepat atau lambat akan terjadi juga, dengan atau tanpa urusan yang bersangkut paut denganmu."
"Aku merasa terlalu dihargai, Tuan Lai."
"Sudahlah." Sementara Bibi Mo bertanya, "Kakak Lai, kita ke mana?"
"Sudah kupikirkan, ke tempat Saudara Gan Bik-kui. Besok aku juga akan keluar kota untuk menjumpai San-cu (Penguasa Gunung). Persoalan yang kita hadapi sudah makin berat, aku butuh pengarahan dari San-cu."
"Hati-hati, mungkin si pengkhianat itu akan menyebar anjing-anjing pemburunya di sekitar Lam-khia."
Sambil melangkah, Bibi Mo juga tak lupa memperhatikan anak perempuannya yang bersikap murung. Sebagai ibu, Bibi Mo tahu bahwa gadisnya ini selain sedih karena malam itu kehilangan beberapa teman baik, antara lain Ong Gai-lam yang humoris, juga untuk sementara waktu takkan berjumpa dengan Ang Sioksim.
Pagi harinya, ketika fajar menyingsing, Lai Tek-hoa dan dua orang lainnya sudah menyelundup keluar Lam-khia dengan penyamaran yang sulit. Seperti sudah diduga, Jenderal Eng benar-benar menggunakan pengaruhnya untuk mengeluarkan sebanyak mungkin prajurit dari tangsi tangsi mereka untuk mengadakan penggeledahan amat giat di dalam kota sambil mengawal ketat pintu-pintu kota.
Tetapi Lai T ek-hoa bersama Un Tongkoan yang akan dijadikan saksi serta Mo Giok-iin yang belum pernah bertemu yang dipanggil San-cu dan ingin melihatnya, lolos dengan pengorbanan yang tidak kecil. Mereka masuk keranjang babi, lalu ditumpuk keranjang-keranjang lain yang berisi babi sungguhan, dalam sebuah pedati.
Sampai di luar Lam-khia mereka keluar dari keranjang dan turun dari pedati dengan pakaian berbau babi.
Mereka pergi ke sebuah dusun kecil yang kepala dusunnya ternyata sudah kenal baik dengan Lai Tek-hoa. Mendengar Lai Tek-hoa dan Si Kepala Dusun berbicara dalam bahasa rahasia, Un Tongkoan tahu bahwa mereka sekelompok.
"Entah berapa besar kekuatan kelompoknya Lai Tek-hoa ini?" Un Tong-koen bertanya dalam hati. "Mudah-mudahan cukup besar untuk membuat Jenderal Eng dan Bangsawan Dao kena batunya."
Makin jauh dari Lam-khia, Un Tongkoan merasa makin aman, rasanya makin Jauh dari jangkauan tangan-tangan kotor Jenderal Eng dan Bangsawan _Dao yang seakan membelit seluruh kehidupan di Lam-khia.
Mereka berkuda perlahan, dengan kuda pinjaman dari Si Kepala Dusun itu. Ketika matahari mulai terbenam, mereka pun beristirahat di sebuah rumah pemburu yang terpencil di kaki bukit.
Esoknya mereka meneruskan perjalanan berkuda. Merasa sudah aman, Lai Tek-hoa hari itu berani mengajak kedua temannya melanjutkan perjalanan lewat jalan besar antar kota. Mereka menuju ke selatan.
Namun justru saat Lai Tek-hoa bertiga merasa aman karena sudah cukup jauh dari Lam-khia itulah terjadi sesuatu.
Ketika Lai Tek-hoa sudah berkuda setengah hari, mereka memutuskan untuk melenyapkan lapar dan dahaga di sebuah warung kecil di suatu simpang tiga yang ramai. Para musafir dari tiga jurusan banyak yang berhenti di situ. Tidak heran kalau di pinggir jalan banyak kuda ditambatkan, joli, kereta, gerobak dorong dan sebagainya. Bahkan ada tiga ekor unta sebagai kendaraan jarak jauh.
Karena banyak warung di pinggir jalan, Lai Tek-hoa tidak buang banyak waktu untuk memilih-milih. ia pilih saja salah satu, asal kelihatan tempatnya bersih. .
Di tempat itu, Lai Tek-hoa bersama Un Tong-kaan dan Mo Giok-iin duduk menikmati makanan dan minuman, sementara kuda mereka pun diberi rumput oleh salah seorang pembantu di rumah makan.
"Paman, ke mana kita hendak menemukan San-cu?" tanya Mo Giok-iin.
Menganggap Un Tong-koan sudah boleh dipercaya untuk ikut mendengarkan tentang San-cu mereka, maka Lai Tekhoa pun menjawab, "Kalau tidak sedang bepergian, kita akan menjumpai San-cu di Pegunungan Pek-hong-san. Sebab Sancu sering bepergian, banyak urusan di seluruh negeri." '
Tak dapat menahan rasa ingin tahunya, Un Tong-koen berkata, "Tuan Lai, kalau aku boleh tahu, siapakah nama San-cu kalian itu?"
Mulanya Un Tong-koan_ mengira akan mendapat jawaban berbelit-belit, sebab umumnya gerakan rahasia akan menyembunyikan diri serapat-rapatnya terhadap orang yang belum menjadi anggota macam Un Tong-koan. Ternyata dugaannya salah, sebab Lai Tek-hoa begitu mudah menjawab, "Namanya Helian Kong. Ketika dinasti Beng masih beribu-kota di Pak-khia dulu, juga ketika sudah pindah ibu kotanya ke Lam-khia, San-cu kami besar jasanya. Tanpa usaha San-cu bersama jenderal-jenderal pecinta tanah air lainnya, pasti wilayah selatan ini akan terpecah-belah dikuasai pangeran-pangeran yang berambisi dan saling bertengkar terus. Berkat San-cu, tercapai kesepakatan bahwa Pangeran Hok-ang menjadi Kaisar wilayah selatan 'ini, ya Kaisar yang sekarang inilah. Meski kurang berwibawa tetapi lumayanlah untuk mempersatukan pangeran-pangeran yang berpencaran diwilayah kepangeranan masing. Sayang, meski sudah berjasa, San-cu malah difitnah dan didesak. Tapi ia tidak putus asa. Bertahun-tahun ia membangun kekuatan militer di pegunungan. Kekuatan militer tak tampak namun kekuatannya sanggup menandingi kekuatan pangeran yang manapun, bahkan seandainya dua -tiga pangeran menggabungkan kekuatan, dan jaringan lalu-lintas berita San-cu tersebar di mana-mana, di pusat. pusat kekuatan, tak ada gerak-gerik para penguasa yang lolos dari pengamatannya. Kekuatan kamilah kekuatan sejati yang membuat "sisa separuh negeri ini aman, bukan kekuatan prajurit-prajurit berseragam yang biasa petentengan itu." '
"Kenapa kau ceritakan kepadaku" Tidak takut seandainya tiba-tiba aku... berpikiran khianat lalu membocorkan ini?" tanya Un Tong-kaan blak-blakan.
Lai Tek-hoa tersenyum, "Ceritakanlah kepada siapa pun, mereka takkan dapat menemukan San-cu dan kekuatannya, tetapi akan dapat merasakan pengaruhnya yang besar di mana-mana. Sudah kubilang tadi, kekuatan kami amat besar tetapi tersembunyi, sebab kami tidak berseragam dan membaur dengan rakyat jelata, ada di mana-mana. Tetapi lebih dari itu,
' kami percaya kau takkan mengkhianati kami Saudara Un.
"Tuan Lai, kau terlalu cePat mempercayai seorang bekas pembunuh bayaran bawahannya Jenderal Eng."
"Niatmu membalas budi kepada Ang Siok-sim dengan membocorkan rencana In Yao, sudah menunjukkan kau masih punya hati nurani, dan layak diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang lalu."
Un Tong-kaan tersentuh, "Terima kasih, Tuan Lai. Akan kuiunjung tinggi kepercayaanmu."
"Mulai sekarang, panggil aku Kakak Lai atau Paman Lai seperti lain-lainnya; Jangan 'tuan' lagi."
"Kakak saja. Umurmu hanya sedikit lebih tua dari aku."
Pelayan warung datang menghidangkan makanan pesanan mereka. Mereka pun makan minum dengan santai. Di tengah.. tengah makan minum itu Un Tong-kog" tiba-tiba berkata, "Aku agak menguatirkan Ang Siok-sim, tidakkah dia terancam kalau pihak Jenderal Eng mengira dia tersangkut dengan kita, padahal dia benar-benar lugu, tulus, tak tahu apa apa soal gerakan-gerakan bawah tanah segala."
Mo Giok-lin diam-diam senang Un Tong-koan membicarakan Ang Siok-sim. Sebenarnya Mo Giok-lin yang ingin menanyakannya, tetapi merasa malu.
Jawaban Lai Tek-hoa tenyata melegakan, "Aku tahu. Sudah kusuruh teman teman untuk melindungi dia, tentu saja secara diam-diam."
"Pernahkah Kakak Lai mempertimbangkan untuk jadi... anggota kelompok?"
"Ada yang mengusulkan, dan kupertimbangkan juga. Tetapi dia harus belajar banyak hal, kalau masih selugu sekarang, bukannya membantu tetapi malah bisa mengacau."
Sementara itu serombongan penunggang kuda tiba pula di simpang tiga itu, jumlahnya ada lima orang dan mereka datang dari arah Lam-khia pula.
Salah seorang dari penunggang kuda itu menunjuk ke arah tiga ekor kuda Lai Tek-hoa bertiga yang diikat di depan sebuah warung,
" kuda mereka kalau tak salah"
"apakah kita temui mereka?" tanya seorang lagi kepada pria tampan berusia empat puluhan tahun yang nampaknya adalah pimpinan rombongan keeil itu.
Si tampan menggeleng kepala,"Jangan. Kurang berkesan kalau kita temui mereka sekarang. Nanti, kalau mereka mengalami sesuatu yang gawat, lalu kita muncul, nah, pasti itu mengesankan mereka.... Eh, sudah kau lihat benar-benar begundal-begundal Jenderal Eng itu?"
"Benar. Mereka di belakang kita, dipimpin Tong Jiu sendiri. Kekuatan mereka takkan terlawan oleh Lai Tek-hoa bertiga, dan itu berarti kita dibutuhkan sebagai... penolong-penolong... he-he-he...."
Lalu mereka memasuki warung lainnya yang berseberangan dengan warung tempat Lai Tek-hoa bertiga beristirahat, agar dapat mengawasi.
Sementara itu, setelah kenyang makan dan disegarkan minuman, Lai Tekhoa bertiga pun melanjutkan perjalanan..
Penunggang-penunggangnya segar, kudanya pun segar.
Di warung seberang jalan, si tampan dan rombongannya melihat keberangkatan Lai Tek-hoa bertiga lewat jendela. Salah seorang anggota bertanya "Kita ikuti sekarang" ya ya,
Si tampan menggeleng, "hmm..."
Sebab di jalanan nampak serombongan orang berkuda lainnya melintas cepat, menimbulkan debu yang menghambur tinggi, namun masih bisa dilihat bahwa pimpinan rombongan itu adalah Siau-binsat-jiu (Wajah Tersenyum, Tangan Membunuh) Tong Jiu. Rombongannya belasan orang, nampak bersenjata lengkap, bahkan di pelana kuda mereka nampak 'senapan-senapan Portugis.
Mereka tidak menggubris warung-warung di kiri kanan jalan yang memasang tulisan besar-besar menawarkan makanan makanan dan minuman-minuman menggiurkan, merekamemacu kudanya memburu Lai Tek-hoa bertiga yang sudah lewat beberapa saat sebelumnya. '
Setelah rombongan Tong Jiu berlalu, barulah si tampan dan rombongan kecilnya bangkit. Kata si tampan sambil _tertawa, kepada kawan-kawannya, "Wahai, dewa dewa penolong, bersiap-siaplah menolong manusia yang sedang menderita."
Kawan-kawannya pun tertawa.
Si Tampan berkata pula, kali ini tidak sambil tertawa-tawa dengan bersungguh sungguh, "Sebelum berangkat, periksa senapan-senapannya, agar dapat kita per-gunakan setiap waktu. Kalian sudah lihat tadi, Tong Jiu dan teman-temannya pun! membawa senjata mereka."
Lalu rombongan ini pun berderap searah dengan Lai Tek-hoa dan Tong Jiu tadi.
Salah seorang penghuni warung di tempat itu agaknya memperhatikan susul menyusulnya rombongan-rombongan berkuda itu, lalu ia buru-buru pergi ke belakang warungnya tanpa mempedulikan tamu-tamu yang sedang menunggu pelayanan. Ia masuk kekamar tertutup, menuliskan beberapa huruf di sehelai kertas amat tipis yang' lalu digulungnya dan dimasukkan sebuah bumbung bambu amat kecil yang besarnya tak lebih dari dua ruas lari kelingking. Bumbung itu dibawa ke belakang, diikatkan ke kaki seekor burung merpati, lalu burungnya dikeluarkan dari kandang dan diterbangkan ke angkasa. _
Burung merpati itu melesat mendahului rombongan Si Tampan, lalu rombongannya Tong Jiu, bahkan rombongannya Lai Tek-hoa, tanpa dirasa oleh ketiga rombongan itu, membawa berita yang terikat di kakinya.
Lai Tek-hoa bertiga berkuda dengan santai di sebuah jalan dikaki pegunungan. Mereka santai karena tidak tahu ada yang mengejar mereka. Namun ketika mereka merasakan bumi bergetar lembut oleh derap kuda rombongan lain, dan mereka menoleh ke belakang serta melihat ada debu mengepul jauh di belakang mereka, maka mereka pun sadar bahwa mereka dikejar.
"Nampaknya kita dikejar, Paman," desis Mo Giok-lin.
"Aku juga menduga begitu."
"Siapa kira-kira?"
Panglima Gunung Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Begundal-begundalnya Jenderal Eng dan Bangsawan Dao kukira. mereka pasti penasaran sekali karena menyangka kita menawan hidup-hidup orang-orang utara itu, sehingga kita dianggap membahayakan kerahasiaan rencana pengkhianatan mereka."
"Tak kuduga, sudah sejauh ini dari Lam-khia tetapi mereka tetap juga menjangkau kita dengan regu-regu pemburunya."
"Kita percepat perjalanan."
Mereka pun mempercepat lari kuda mereka, namun belum sampai dipacu habis-habisan, mereka masih ingin menghemat tenaga si kuda.
Tengah mereka berkuda sambil sebentar-sebentar menoleh ke belakang dan sampai ke suatu jalanan di mana di sebelah kiri mereka adalah ladang-ladang luas, sedang di sebelah kanan mereka adalah tanah yang mulai meninggi, kaki sebuah pegunungan, tiba-tiba saja di depan mereka ada petani menghadang jalan mereka sambil melambai-lambaikan tangan menyuruh berhenti. Satu tangan bergerak-gerak, satu tangan lainnya mengaCungkan tiga jari sehingga membentuk huruf _"san" (gunung). Sebentar tiga jari itu direbahkan membentuk huruf "sam" ("Sai dan sebentar membentuk "san" dengan ditegakkan. Dengan bahasa jari itu petani itu seolah ingin berkata "Samsan" (Tiga Gunung).
Anak Harimau 13 Emptiness Of The Soul Karya Andros Luvena Lima Jalan Darah 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama