Ceritasilat Novel Online

Panglima Gunung 5

Panglima Gunung Karya Stefanus Sp Bagian 5


Pang Pa makin gusar, gerakan kampaknya makin membabi-buta seperti angin ribut, sementara Lai Tek-hoa berselusupan ke sana ke mari menghindarinya.
Agaknya Lai Tek-hoa memakai siasat sengaja menjengkelkan lawan agar lawan mengamuk dan menghambur-hamburkan tenaga. Pang Pa memang mengamuk "dahsyat-dahsyatnya, ayunan kampaknya membongkar tanah dan merobohkan pepohonan, seakan ingin meratakan pegunungan itu. Lai Tek-hoa sendiri belum sejurus pun balas menyerang.
Si Juru 'Tulis Sian Liu-jin memperhatikan itu dan diam-diam menilai, "Si Pemukul Merah dari Lam-khia ini menjalankan siasat yang tepat namun terlalu berbahaya juga, sekali keserempet saja kampak lawannya maka bukan hanya kulit dagingnya yang terpotong melainkan juga berikut tulang-tulangnya. Dan aku heran bahwa tubuhnya yang gemuk bulat itu tidak menghalanginya bertindak begitu lincah dan cepat."
Sian Liu-jin tak berlama-lama jadi penonton, sebab dilihatnya Tong jiu dengan pedangnya juga sudah menyerbu masuk ke medan laga. Sudah tentu Sian Liu-jin tidak akan membiarkan Tong jiu membantai orang-orang kampung yang kepandaiannya tidak seimbang dengannya, maka dia pun mencabut sepasang pena baja dari pinggangnya lalu melompat menghadang Tong jiu.
Tong jiu tertawa mengejek, "Pak Tuca jangan bangga karena kemarin kau dapat membanting Komandan Ik. Biarpun dia itu komandan, ia tak berilmu silat sedikit pun, ketrampilan tempurnya hanyalah ketrampilan serdadu biasa yang dilatihnya di tangsi tentara." .
Kemarin Sian Liu-jin sempat juga saling gebrak dengan Tong jiu meskipun hanya beberapa jurus, ketika kedua pihak sama-sama bertangan kosong, dan Sian Liu-jin tahu diri bahwa ia takbisa melawan Tong jiu, baik Bertangan kaosong maupun sama-sama bersenjata seperti sekarang. Namun Sian Liu-jin ingin meniru Lai Tek-hoa, yaitu membangkitkan emosi Tong jiu agar nanti tenaga Tong jiu cepat terkuras habis.
Maka ejeknya, "Tidak bangga kok. Kalau bisa mengalahkanmu, nah, itu baru bangga."
Tong jiu tertawa lebar, "Kalau begitu simpan saja mimpimu."
Habis itu, Tong jiu mulai menyerang ganas, Sian Liu-jin meladeninya dengan amat hati-hati. .
Sementara itu, di seluruh lereng gunung itu sudah berkecamuk pertarungan seru antara dua kelompok manusia itu. Para bandit bertarung ganas dan buas, sekilas nampak menakutkan, namun mereka bertarung sendiri-sendiri tanpa kenal istilah bantu-membantu atau tolong-menolong.
Orang-orang kampung awalnya agak gentar juga, namun setelah mereka menjalani pertempuran beberapa saat sambil sebisa-bisanya menerapkan apa yang pernah diajarkan Lurah Hui, makin lama makin besar juga hati mereka. Cara bertarung bahu-membahu seperti ajaran Lurah Hui, tiap orang tidak lepas dari barisan, tiap orang tidak hanya memperhatikan keselamatan sendiri tetapi juga keselamatan teman-teman di dekatnya, menimbulnya rasa aman, membesarkan hati, meningkatkan semangat.
Memang tak terhindar di kedua pihak jatuh korban, luka-luka, bahkan beberapa orang sudah mati, namun di pihak orang orang kampung tetap menjaga kekompakan mereka. Meski kadang saling bantu itu hanya bisa diwujudkan dengan saling berteriak memperingatkan atau memberi semangat, sudah saling mempengaruhi semangat, apalagi kalau dengan tindakan nyata. inilah yang tidak dimiliki para bandit yang mengandalkan diri sendiri sendiri. '
Sekian lama belum ketahuan siapa yang bakal unggul dalam perkelahian masal itu. Namun para bandit yang tadinya menyangka akan menang mudah melawan "Orang-orang yang baru kemarin sore belajar memegang senjata" itu, benar-benar kecewa menghadapi perlawanan orang-orang kampung itu. Kekompakan mereka bukan saja menjengkelkan para bandit, melainkan makin membuat putus asa para bandit, dianggap "cara bertempurnya nenek-nenek cerewet," lama-lama teriakan-teriakan itu terasa amat mengganggu konsentrasi para bandit.
"He, orang-orang udik, tidak bisakah kalian bertempur dengan bacot disumpal?" teriak kalap seorang bandit bersenjata gada berduri. Soalnya ia sedang merunduk untuk menghantam seorang kampung dari belakang, tetapi orang kampung lainnya meneriaki rekannya sehingga menggagalkan niatnya.
Orang-orang kampung tak peduli 'dan terus saja saling meneriaki temannya.
Tetapi meskipun orang-orang kampung dapat memberikan perlawanan tak terduga, masih jauh kalau ditentukan mereka sebagai pemenang. Hanya saja mereka bertempur lebih percaya diri.
Yang sudah pasti bakal menang adalah Lurah Hui pribadi, dalam pertarungannya melawan Pang Hou. Kedua orang itu sama-sama bertenaga besar, sama sama memakai senjata yang berat bobotnya dan sehari-harinya juga sama sama makan banyak-banyak demi menjaga kekuatan mereka, sama-sama berlatih pula. Yang berbeda, setiap hari Pang Hou juga hidup bergelimang hawa nafsu sebagai kepala bandit, urusan main perempuan dan minum sampai teler adalah kerja sehari-hari. Lurah Hui hidup sehat di pegunungan, semangatnya juga terpupuk baik karena hidupnya punya tujuan yang diyakininya. .
Karena itu, setelah sekian puluh kali Pang Hou dapat menandingi Lurah Hui dalam benturan senjata yang berdentang keras, ketika adu kekuatan itu diteruskan Pang Hou lebih cepat terengah, berkeringat deras sehingga telapak tangannya yang memegangi tangkai kampak agak licin. Lurah Hui juga berkeringat dan terengah,' namun kondisinya jauh lebih baik dari lawannya. Tahu lawannya makin lemah, Lurah Hui makin hebat menggempur dengan tombak besinya, bisa dibilang semua geraknya mengajak adu tenaga.
Pang Hou rasakan kedua tangannya yang memegangi kampak makin pegal tiap kali benturan, matanya makin berkunang-kunang dan rasanya ia ingin 'muntah, lalu lama-lama sepasang dengkulnya juga mulai lemas, langkahnya sempoyongan tak teratur. Sering serangannya ngawur tak terarah.
Lurah Hui tidak sedikit pun memberi kesempatan lawannya untuk memperbaiki posisinya. Bahkan ketika lawan sedang memantapkan pegangannya di gagang kampaknya pun Lurah Hui tetap menggempur, sambil membentak, "Dulu ketika San-cu mengusir kalian dari gunung, kami kira kalian akan jera lalu menjalani hidup baik-baik, ternyata kalian belum jera juga. Jadi, daripada penduduk kampung-kampung di pegunungan ini merasa tidak tenteram selama kalian masih berkeliaran, lebih baik kumusnahkan kalian sama sekali"
Lurah Hui mengucapkannya sambil terengah engah namun lebih segar dari lawannya. dan tombak besinya sekuat tenaga diayunkan mendatar untuk menyampuk kampak Pang Hou. Kampak mencelat lepas dari pegangan Pang Hon. berikutnya gagang tombak melayang menghantam pelipis Pang Hou dan meretakkan tengkoraknya. Saudara tua dari Sepasang Macan Gunung itu pun menggelepar sebentar di tanah sebelum terbang nyawanya.
Kematian Pang Hou meningkatkan semangat orang-orang kampung, sebaliknya membuat para bandit merosot semangatnya. Dasar gerombolan itu memang tidak punya disiplin, maka para bandit yang ingin kabur ya kabur begitu saja, dari lereng pegunungan yang berpohon pohon itu cukup melindungi pelarian mereka.
Keadaan berimbang yang tadi berlangsung jadi berantakan.
Pang Pa gusar sekali melihat kakaknya tewas,. namun ia sadar keadaannya sendiri sudah kritis, sudah terlambat untuk coba memperbaiki posisinya. Ia sudah sekian lama terpancing emosinya _ oleh Lai Tek-hoa dan tenaganya pun tinggal sedikit, saat itulah justru Lbi Tek-hoa tidak lagi sekedar menghindar dan menyelinap, melainkan mulai menggempur bertubi-tubi. Saat itulah Sui-Poa' nya_ yang kelihatannya seperti terbuat dari kayu itu ternyata terbuat dari baja dan menggempur kampak Pang Pa.
Ketika Lurah Hui mendekat hendak membantu Lai Tek-hoa, Lai Tek-hoa berkata, "Kakak Hui, bantu saja Kakak Sian, yang nampaknya dalam kesulitan. Tong Jiu jangan dilepaskan, dia berbahaya. Bandit yang ini jangan dirisaukan, umurnya tidak panjang lagi."
Pang Pa gusar mendengarnya, gusar bercampur jeri karena tahu bahwa ancaman, itu bukan ancaman kosong belaka, melainkan ada peluangnya untuk diwujutkan oleh Lai Tek-hoa. Pang Pa sudah hampir kehabisan tenaga sedang serangan Lai Tek-hoa makin gencar bergelombang. Meski tenaga Lai Tek-hoa tidak sebesar tenaga lawannya, namun tipu-tipu anehnya memaksa Pang Pa banyak bergerak berputar dan menguras makin banyak tenaganya.
Sebelum meninggaikan Lal Tek-hoa, _ganti Lurah Hui yang berpesan, "Yang ini juga dihabisi saja, supaya 'orang-orang gunung merasa tenteram."
'Beres, Kakak Hui." Ketika Lai Tek-hoa baru saja berkata demikian, Pang Pa sudah meraung' dan menyerbu sambil mengayunkan kampak beratnya. Namun geraknya sudah tidak sempurna lagi, kuda-kuda kedua kakinya nampak mengambang dan itu tak luput dari kejelian mata Lai Tek-hoa.
Lai Tek-hoa membanting diri ke tanah sambil menjejak, tubuh Pang Pa pun tumbang, Lai Tek-hoa melejit menghindar agar tidak kejatuhan tubuh besar itu sambil sui-poe bajanya menghantam. Tepat kena ubun-ubun Pang Pa, Si Pemimpin kedua dari gerombolan itu pun kelejetan dan menyusul abangnya.
Yang mengalami kesulitan adalah Si Juru Tulis she Sian, ia benar-benar hampir tak mampu menahan keganasan Tong Jiu dan pedangnya, meski Si juru Tulis sudah mengerahkan segenap kemampuannya. Agaknya faktor usia mempengaruhi juga.
,eUntunglah Lai Tek-hoa segera datang mendekat. "Kakak Sian, orang ini urusanku sejak di Lam-khia, biarlah kutuntaskan sekarang. Kakak Sian bantu Kakak Hui membereskan sisa-sisa gerombolan."
Tong Jiu sudah putus asa, kegagalan kemarin bersama Komandan Ik menyakitkan, kegagalan hari ini bersama Sepasang Macan Gunung lebih menyakitkan.
Seolah mengerti apa yang dipikirkan Tong Jiu. Lai Tek-hoa mengejek, "Jangan kuatir, sobat Tong, akan kujadikan kegagalanmu hari ini sebagai kegagalan terakhir, he-he-he."
Lalu Lai Tek-hoa menyelinap ke arena menggantikan Sian Liu-jin.
' Ketika bertarung_ dengan pang pa tadi Lai Tek-hoa tidak emosional, namun lain sekali perasaannya ketika berhadapan dengan TOng Jiu. Lai Tek-hoa teringat teman teman akrabnya yang tewas ketika penyerbuan kaki tangan Jenderal Eng ke Ceng-san-lou, beberapa waktu lalu .Tak bisa tidak , Perasaannya terlibat. dan ia bertarung dengan sengit.
Tong Jiu juga menghadapinya dengan sengit.
Namun situasi di medan laga "itu menguntungkan Lai Tek-hoa. Setelah Pang Hou dan Pang Pa tewas, para bandit kabur semua tanpa dikomando, sampai Tong Jiu tinggal sendirian di tengah lingkaran dari orang-orang kampung penghuni pegunungan itu, termasuk Lurah Hui dan Si Juru Tulis Sian Liu-jin.
Tong Jiu berjulukan Siau-bin-sat-jiu (Wajahnya Terseyum Sambil Tangannya Membunuh), menandakan betapa .dingin darahnya dalam menghabisi nyawa korban-korbannya. Bahkan rintih ketakutan para korbannya sering merupakan kenikmatan buatnya, itulah saat-saat ia merasa amat berkuasa atas mati hidupnya orang lain.
Namun kini, ia dalam situasi terpojok di mana mati hidup dirinya sendirilah yang sedang ditentukan. Ia sekarang begitu sulit untuk tersenyum. .
Dalam keadaan macam itu. selagi Lai Tek-hoa menggempurnya dengan dahsyat,
Tong jiu coba menawarkan sesuatu. Teriaknya sambil menangkis berulang kali sambil mundur-mundur, "Lai Tek-hoa. bagaimana kalau kau biarkan aku hidup, lalu kubeberkan rahasia militer yang disusun jenderal Eng bersama orang-orang Manchu itu?"
Apa yang ditawarkan itu menarik hati Lai Tek-hoa, karena ia memang ingin mengetahuinya. Di .depan kaki tangan Jenderal Eng, Lai Tek-hoa berlagak sudah tahu "dari prajurit-prajurit Manchu" itu. Namun kali ini Lai Tek-hoa menyingkirkan rasa ingin tahunya, katanya dingin tanpa mengurangi gempurannya sedikit pun, "He-he-he, inikah 'wajah tersenyum sambil tangannya membunuh' itu" Bagaimana kalau julukannya diganti saja jadi 'mulut merengek sambil dengkul gemetar?" Lagi pula. arwah teman temanku yang gugur di Ceng-san-lau bisa menghantui aku kalau kubiarkan lolos pengkhianat macam kau. Orang yang tak segan menjual negeri demi keuntungan diri sendiri."
Aku bisa menawarkan lebih; tanpa kenal malu Tong Jiu berkata pula sambil 'terengah-engah menangkis. "...aku bisa melaPOrkan apa saja yang kudengar dari pembicaraan jenderal Eng dan orang orangnya."
Tawaran itu bukan membuat Lai Tekhoa mengendorkan serangan, malah mempergencarnya dengan gemas, sambil menjawab, "Memang kami butuh banyak informasi tentang gerak-gerik Jenderal Eng dan kami mengaku masih banyak yang ingin kami dengar. Tetapi dalam upaya memperoleh keterangan-keterangan itu, kami tidak mengorbankan dua asas. Pertama, tidak bekerjasama dengan pengkhianat macam kau. bahkan tak memberi ampun. Kedua, tak mengorbankan setia kawan antar kami, ini tak dijual dengan keterangan yang bagaimanapun mahalnya."
Tong Jiu berteriak kalap. "Kalau benar kelompokmu punya semboyan macam .itu, kalian adalah kelompok paling goblok di dunia. Kalian akan ketinggalan banyak keterangan yang seharusnya dapat kalian dapatkan!"
Jawab Lai Tek-hoa, "keterangan keterangan yang belum kami dapatkan.akan kami dapatkan dengan cara kami tanpa mengorbankan asas asas kami"
Di luar gelanggang, Lurah Hui mengangguk-angguk setuju mendengarkan kata-kata Lai Tek-hoa itu. Sejalan dengan pesan San-cunya bahwa sepenting apa pun tujuannya, jangan sampai mengorbankan asas setia kawan, sebab asas itulah pengikat seluruh "golongan gunung hijau" agar tetap bersatu sebagai satu kekuatan.
Tong Jiu yang merasa jalan hidupnya sudah tertutup itu lalu berkelahi dengan kalap. Lai Tek-hoa melayaninya dengan hati-hati.
Suatu kali, ketika pedang Tong jiu menikam ganas, Lai Tek-hoa berkelit sambil menggerakkan sui-poa bajanya demikian rupa sehingga pedang Tong jiu menyusup masuk di antara jeruji-jeruji sui-poenya._Sambil membentak, Lai Tek. hoa memelintir sambil menyentakkan suipoenya sehingga pedang Tong Jiu lepas dari tangan pemiliknya.
Hampir bersamaan detiknya, Tong Jiu Gentar: kalap dan nekad mengayunkan tangan kiri dalam bentuk cakaran Houilau-kang menghantam ke ulu hati Lai Tek-hoa. Hantaman sekuat tenaga yang didorong kemarahan meluap itu dan dari jarak begitu dekat, sungguh bisa melukai bagian dalam dada Lai Tek-hoa.
Ternyata, biarpun tidak sekalap lawannya, Lai Tek-hoa juga sudah bertekad bulat untuk membereskan Tong Jiu hari itu juga. Dalam anggapan Lai Tek-hoa, orang berwatak macam Tong Jiu sulit diharapkan jadi orang yang bermanfaat bagi keselamatan tanah air. Masih kalah dibandingkan Un Tong-koen yang biarpun pernah jadi pembunuh bayaran namun hatinya masih bisa tersentuh oleh sikap polos Ang Siok-sim, namun orang macam Tong Jiu ini benar-benar menghalalkan cara apa saja untuk menguntungkan dirinya.
Melihat pukulan cakar macan Tong Jiu, Lai Tek-hoa tidak menghindar melainkan hanya merunduk dan mengumpankan pundaknya untuk dihantam. Selain mengerahkan kekuatan pelindung.
Ia pun lakukan gerak memutar untuk "membuang" dampak benturan pukulan lawan itu.
Hantaman. Tong Jiu berkurang banyak kekuatannya, namun jari-jarinya tetap membuat goresan panjang di bahu dan lengan Lai Tek-hoa. Ternyata, sambil berputar, Lai Tek-hoa juga melancarkan sebuah tendangan rendah yang luput dari perhatian lawannya, mungkin karena potongan tubuh Lai Tek-hoa yang juga pendek. Tendangan putar rendah yang tepat mematahkan sebelah lutut Tong Jiu.
Tong Jiu melolong kesakitan, dan lolongannya berhenti ketika Lai Tek-hoa susulkan sebuah jejakan keras ke dadanya. yang menjungkir-balikkan bagian dalam dada Tong Jiu. Tong jiu rebah di tanah, dengan mulut penuh darah. la masih coba angkat kepala, ingin mengatakan sesuatu, namun lalu kepalanya terkulai dan matilah ia.
Kampung yang dipimpin Lurah Hui dapat menghalau gerombolan, tapi beberaPa warga kampung gugur dan menimbulkan suasana perkabungan. Ditambah lagi banyak yang terluka.
Lai Tek-hoa sendiri, setelah membalut lukanya di pundak, lalu menjumpai Lurah Hui untuk berpamitan, "Kakak Hui, tujuanku datang ke pegunungan ini sudah tercapai, yaitu menjumpai San-cu untuk mendapatkan petunjuknya. Aku harus segera kembali ke Lam-khia untuk menanggulangi ulah khianat Jenderal Eng sebelum menimbulkan lebih banyak kerusakan. Aku mohon maaf bahwa kedatanganku di kampung yang damai dan tenang ini membawa keributan yang tidak ,kecil, bahkan beberapa nyawa melayang. Aku menyesal ini terjadi."
Namun Lurah Hui menepuk pundaknya dan menenteramkannya, "Jangan berpikir begitu, Saudara Lai. Kau hanya menjalankan tugas, tetapi memang begundal begundal Jenderal Eng itulah yang cari perkara. Gugurnya beberapa saudara kita membuat kita sedih, tetapi tak perlu terlalu disesali. Sejak kami bertekad menegakkan keadilan di bawah pimpinan San-cu, kami berlatih secara teratur, kami memupuk semangat dan sadar suatu kali akan ada di antara kami yang jadi korban, karena tak ada perjuangan tanpa pengorbanan. Bukankah teman-teman kita di Lam-khia juga sudah ada beberapa yang menjadi korban" .Mungkin juga di tempat-tempat lainnya."
"Kata-katamu sangat mengurangi rasa bersalahku, Kakak Hui. Terima kaSih.
"Nah, selamat jalan. Bawalah buku kecil ini, barangkali kau butuhkan sepanjang perjalanan." sambil berkata, Lurah Hui menyodorkan sebuah buku kecil dan tipis bersampul kertas minyak.
'Apa ini?" tanya Lai Tek-hoa.
"Catatan ini dibuat oleh Kakak Sian. berisi nama dan alamat dari orang-orang kita di sepanjang tepian Sungai Tiangkang, yang bisa kau hubungi kalau butuh apa-apa, bahkan kalau butuh pasukan tempur sekalipun, he-he-he."
Lal Tek-_hoa dengan girang memrima buku kecil itu dan menyimpannya baik baik di baju dalamnya. "Kakak Hui, buku ini sangat berguna buatku. Sampaikan terima kasihku kepada Kakak Sian."
salamku kepada teman-teman seperjuanan di Lam-khia. Perasaanku mengatakan, rasanya tak lama lagi seluruh 'kekuatan gunung hijau' bakal bergabung dan unjuk gigi di medan laga."
Dalam perjalanan pulang ke Lam-khia, setelah keluar dari pegunungan, sengaja Lai Tek-hoa mengajak kedua teman seperjalanannya menyusuri sepanjang tepian selatan Sungai Tiang-kiang. Tempat yang diyakini akan menjadi garis depan dan ajang paling berdarah apabila sampai pasukan Manchu menyerbu ke selatan.
Membayangkan dahsyat dan merahnya perang yang bakal meletus. dibandingkan betapa damainya kehidupan kampung kampung nelayan yang dilihatnya saat itu, Lai Tek-hoa menarik napas dan berkata, "Air Sungai Tiang-kang akan jadi merah nanti."
Un Tong-koen menyahut 'Yang membebani pikiranku, justru kalau Manchu dapat mendarat dengan mudah dan menguasai tepian' ini tanpa perlawanan berarti."
'Kenapa Kakak Un berpendapat begitu?" tanya Mo Giok-Iin. "Bukankah kita lihat prajurit prajurit kerajaan banyak berjaga-Jaga dan berpatroli di sepanjang tepian ini" Di tiap kampung ada pos penjagaan.
Sahut Un Tong-kaan, "jangan lupa, pasukan-pasukan yang berada di sepanjang tepian selatan ini hampir seluruhnya adalah bawahan Jenderal Eng, yang mengkomandani delapan belas dermaga penyeberangan, dan jenderal Eng sudah 'digenggam' oleh Manchu. Dengan suatu perintah palsu dari Jenderal Eng, pengawal-pengawal dermaga bisa kacau dan tak berkutik kalau Manchu menyerbu. Itulah yang kukuatirkan, Manchu akan mendarat mudah dan tanpa perlawanan berarti."
Kata-kata Un Tong-kaan cukup berbobot. sebab dia adalah bekas kaki tangan Jenderal Eng, biarpun kaki tangan kelas kambing dan bukan orang dekat yang sampai dipercayai rahasia-rahasia macam in yao atau Tong jiu. namun Un Tong-koen tahu banyak juga.
Mo Giok-iin garegetan, 'Bedebah manusia macam Eng Thian-bok itu. Selagi orang lain berprihatin menyatukan negeri dan mengamankannya dari serbuan Manchu, dia malah menjual negeri demi kauntungan pribadinya. Paman Lai, bagaimana kalau setibanya kita di Lam-khia nanti, kita langsung menyusun rencana untuk menjatuhkan jenderal pengkhianat itu" Agar jangan lebih parah kepentingan negeri digerogoti olehnya?"
Lai Tek-hoa mengangguk. "Dalam pertemuan pribadiku dengan San-cu. Sancu sudah menyetujui bahwa inilah saatnya kita tampil lebih terbuka agar diperhitungkan siapapun. Meskipun jangan sampai terbuka sepenuhnya sehingga kekuatan dan posisi kita bisa dihitung oleh musuh."
Mo Giok-lin jadi bersemangat mendengar itu. tak terasa tangannya udah meraba gagang goloknya. "Paman Lai. bagaimana kalau rencana menjatuhkan Eng Thian-bok itu tidak usah berbelit-belit tetapi pakai cara langsung dan lugas saja" Kita susun sebuah regu untuk mengambil batok kepala Jenderal Eng, lalu menggantung batok kepala itu di tempat ramai."
Terhadap usul yang ini, Lai Tek-hoa menggeleng. "Membunuh Jenderal Eng tanpa berhasil macam apa rencana yang ia buat bersama orang-orang Manchu itu. percuma."
"Bagaimana caranya kita mengetahui rencana mereka?"
"Sedang kucari akalnya."
"Jangan sampai terlambat. Paman Lai, nanti kerusakan yang ditimbulkan Si Pengkhianat itu keburu parah dan tak tertanggulangi lagi."
"jangan kuatir."
Percakapan mereka yang dilakukan sambil berkuda perlahan-lahan itu pun terhenti. ketika mereka melihat suatu peristiwa. Di sebuah jalan di tengah kampung nelayan, tiba-tiba nampak beberapa lelaki yang dandanannya tidak berbeda dengan kaum nelayan lainnya. sedang berlari-lari ketakutan, dikejar satu regu prajurit yang berkuda.
Kaki manusia lawan kaki kuda. tentu kaki manusianya kalah cepat. Kawanan nelayan itu tersusul di suatu tepian dan tak bisa lari lagi sebab didepan mereka adalah air Sungai Ting-kang. dan para-prajurit berkuda itu langSung berpencar mengurung dengan sikap mengancam.
Bentak Si Komandan regu. Nelayan nelayan bau amis. mau lari ke mana lagi sekarang?"
Seorang nelayan muda berkulit _gelap menjawab dengan berani, 'Lebih baik bau amisnya ikan daripada kalian. prajurit prajurit penindas, yang berbau amisnya darah rakyat kalian sendiri yang kalian lindungi."
"Kurang ajar. Omonganmu bernada menghasut dan mengobarkan ketidak puasan terhadap pemerintah kerajaan. Hukumanmu bisa berat."
Si Nelayan Muda tertawa sinis sambil membusungkan dadanya yang tegap dan mengepalkan kedua tinjunya, sedikit pun tak nampak gentar mendengar ancaman
Si Perwira. "Kau bilang aku menyebarkan ketidakpuasan. memangnya harus bagaimana" Harus bilang kepada orang-Orang tertindas ini bahwa pemerintah di Lamkhia adalah pemerintah yang adil, yang bersih, yang memperhatikan kesejahteraan rakyat. begitu?"
"Kurang ajar, mulutmu tajam benar dalam menyebarkan kebohongan ke antara orang-orang bodoh itu!"
"Kebohongan" Keadaan di kampung kampung -nelayan sepanjang tepian ini buktinya. Mereka nelayan, tetapi kenapa tidak boleh punya perahu sendiri" Kenapa tidak boleh membuat perahu sendiri, dan harus menyewa perahu-perahunya Juragan Thio" Apakah karena mentang-mentang Juragan Thio itu masih ada hubungan keluarga dengan Jenderal Eng?" " Lai Tek-hoa bertiga menghentikan kudanya untuk ikut memperhatikan peristiwa itu, tetapi mereka bertiga agak sulit mendapatkan tempat persembunyian, sebab tepian sungai itu tempatnya terbuka. Mereka hanya beroleh persembunyian tak memadai di belakang beberapa helai jala yang sedang dijemur dengan ditopang bambu.
Mendengar omongan Si Nelayan Muda. Lai Tek-hoa menoleh kepada Un Tongkoan dengan pandangan bertanya, dan Un Tong-koanpun mengangguk sambil menjawab lirih. "Semua perahu besar, sedang. kecil di sepanjang hampir seratus li di tepian ini, tak ada satu pun yang bukan milik Juragan Thio. Namanya Thio Po, ribuan perahu itu disewakan kepada kaum nelayan dengan sewa mencekik leher. Yang berani berusaha memiliki perahu sendiri, akan diusik dan dihukum. Setiap bulannya, entah berapa banyak uang yang mengalir ke kantongnya Thio Po dari hasil menyewakan perahu."
"Sungguh cara mencari kekayaan yang memuakkan," geram Mo Giok-lin. 'Dan karena prajurit-prajurit di sepanjang tepian ini adalah bawahan Jenderal Eng semua, maka prajurit-prajurit ini Jadi tak ubahnya tukang-tukang kepruk pribadinya Si Juragan Thio itu... begitu?"
"Tepat. Bukan hanya perahu, bahkan ada rencana dari Si Juragan tamak itu untuk memiliki seluruh ini!. bahkan seluruh bidang tanah di mana nelayan-nelayan ltu mendirikan tempat tinggalnya. jadi sewanya bisa berlipat ganda."
"Paman Lai, akankah kita lewati ketidakadilan ini begitu saja?"
"Tentu saja tidak." sahut Lai Tek-hoa. "Sebab monopoli pemilikan perahu di satu tangan. bukan saja suatu keserakahan. tetapi sekaligus juga bisa menjadi bagian dari suatu rencana militer Manchu untuk menyerbu ke selatan. Dengan perahu sebanyak itu. pihak Manchu amat dipermudah menyeberangi Sungai Tiang-kang."
"Kalau begitu, tunggu apa lagi, Paman Lai?" Mo Giok-lin sudah tak sabar namun berusaha bersikap disiplin terhadap Lai Tek-hoa sebagai pemimpin.
Lai Tek-hoa menoleh kepada Un Tong koen dan bertanya, "Saudara Un, kau mengaku dulu sering pergi ke wilayah ini bersama orang-orangnya Jenderal Eng, tahukah kau nama kampung nelayan ini?"
Un Tong koan nampak mengingat ingat sebentar, lalu menjawab, "Sudah " lama aku tidak kesini tapi kalau kulihat tempat-tempatnya dan bukit gersang coklat di kejauhan itu. kurasa inilah kampung Hi-sian-tin Barat."
Lai Tek-hoa mengeluarkan buku kecil pemberian Lurah Hui. dibacanya alamat alamat di situ, ternyata tak terdapat nama kampung Hi-sian-tin Barat. Yang ada adalah Hi-sian-tin Timur.
"Jauhkah antara Hi-sian-tin Barat dan Hi-sian-tin Timur?"
"Aku agak lupa, tetapi daerah ini agak padat penduduknya. tidak seperti daerah pegunungan. Antara Hi-sian-tin Barat dan Timur rasanya tidak jauh," sahut Un Tong-koen. "Kakak Lai. buat apa kau tanyakan itu?"
"Di Hi-sian-tin Timur ada tukang celup kain bernama Toan Ai-liong yang merupakan salah satu pos gerakan kita. Dengan demikian, seandainya kita harus adu kekuatan dengan tukang-tukang kapruknya Thio Po yang dibantu begundal begundalnya Jenderal Eng ini. kita pun punya pendukung. San-cu sudah berpesan kita harus lebih sering unjuk gigi agar para pengkhianat jeri. karena selama ini
mereka malang melintang seolah tidak ada yang berani kepada mereka."
"Asyiiik !!'." Ketika itu di tepian, sudah berlangsung perkelahian antara para pelayan yang dipimpin Si Nelayan Muda, melawan para prajurit. Pertempuran yang sama sekali tak berimbang, dalam hal jumlah maupun 'dalam hal perlengkapan dan keterampilan.
Dalam jumlah, para nelayan hanya lima orang dan para prajurit berjumlah dua puluh orang. Dalam perlengkapan, para nelayan hampir-hampir tak bersenjata, meskipun mereka mencoba meraih bambu-bambu penopang jala-jala yang sedang dijemur, sedangkan prajurit-prajurit _itu semuanya berkuda, membawa tombak dan pedang yang dimainkan sambil berkuda dengan mahir, bahkan ada seorang prajurit yang di atas kudanya memainkan golok koan-te (golok bertangkai panjang) dengan amat mahir dan berbahaya. . Dalam hal ketrampilan, para nelayan yang biasanya mendayung perahu dan menebar jala itu pun bukan tandingan para prajurit yang latihan bertempur setiap hari.
Dengan demikian, nampaknya di tepian itu akan terjadi pembantaian.
Saat itulah Lai Tek-hoa bertiga memasuki gelanggang. Ternyata mereka memilih untuk tidak menunggangi kuda mereka,_ melainkan mengikat kuda mereka agak jauh, lalu Lai Tek-hoa yang pendek gemuk dan berjubah ala juragan menengah itu melangkah ke gelanggang sambil berseru-seru, "He-he, kenapa kalian berkelahi" Ada urusan apa" Kenapa tidak diselesaikan baik-baik?"
Melihat munculnya pihak ketiga yang bukan nelayan dan juga bukan prajurit ini, orang-orang yang sedang bertarung di gelanggang itu sama-sama heran. Si Nelayan Muda yang sudah luka-pundaknya kena sabetan pedang, berteriak kepada Lai Tek-hoa bertiga, "He, kalian bertiga menyingkirlah, ini bukan urusan kalian! Kalian belum tahu betapa galaknya anjing-anjingnya juragan Thio ini kepada pihak yang lemah."
Biarpun caranya mengusir Lai Tek hoa kasar kata-katanya, namun Lai Tekhoa dapat menilai bahwa nelayan muda itu setidak-tidaknya peduli terhadap nasib orang yang tak bersalah. Atau orang yang tak.dikenal.
' Berbeda dengan para serdadu yang merasa sedang dalam posisi jauh lebih kuat dan "boleh" berlaku semaunya, maka seorang serdadu berkuda tiba-tiba merasa beroleh "permainan" ketika melihat cara berjalannya Lai Tek-hoa yang langkahnya pendek-pendek seperti bebek itu. Kebetulan serdadu itu sedang berlatih melempar tombak. maka ia tiba-tiba membalikkan kudanya, lalu sambil menderapkan kuda maka tombaknya pun dilemparkan ke arah Lai Tek-hoa sekuatnya.
"Biadab!" teriak Si Nelayan Muda ketika melihat itu dari' kejauhan, namun tak mampu berbuat apa-apa.
Namun Lai Tek-hoa malahan tertawa dan meralat kata-kata Si Nelayan Muda tadi. "Tidak biadab kok, cuma kena batunya."
Lai Tek-hoa memukul tombak yang melayang ke arahnya itu dengan sekeras kerasnya, menggunakan sui-paa bajanya. Tombak itu terputar seperti baling-baling dan balik mengejar ke arah Si Serdadu pelemparnya, jauh lebih cepat dari ketika dilemparkan lurus tadi.
Serdadu yang melemparkan tombak tadi kaget. Di atas kudanya ia coba menghindari dengan merunduk. la berhasil menghindari ujung tombak yang menyambar, tetapi lupa kalau tombak itu berputar, sehingga tangkai tombak menghantam pelipisnya dan membuat ia terlempar pingsan dari punggung kudanya.
Baru kini para serdadu kaget, setelah melihat lelaki gemuk pendek yang langkahnya seberti bebek itu ternyata bukan mangsa empuk, melainkan jagoan tangguh. Sedangkan para nelayan jadi senang. merasa kedatangan bala bantuan, meski entah dari mana asalnya dan entah apa pamrihnya.
Sementara Mo Giok-iin pun sudah menunjukkan ketangkasannya. Ketika aeorang serdadu berkuda menyambarnya, Mo Giok-lin melambungkan tubuhnya tinggi-tinggi di udara. berputar bagai
burung camar menyambar ikan sambil menggerakkan sepasang golok tipis Liu.. yap-tanya, dan serdadu penyerangnya Pun terjungkal dari kuda dengan luka menyilang di punggungnya.
Yang agak repot ialah Un Tong-koen, yang bekal kepandaian silatnya hanya setarap tukang-tukang kepruk di kediamannya Jenderal Eng. Bukan tukang-tukang kepruk andalan semacam In Yao atau Tong Jiu melainkan anak buah biasa.
Bersambung jilid IX. Panglima Gunung Karya Stefanus SP Sumber Ebook : Awie Dermawan
Edit teks : Saiful Bahri Ebook persembahan group fb Kolektor E-Book untuk pecinta ceritasilat Indonesia
*** Panglima Gunung Jilid 9 Hak cipta dari cerita ini sepenuhnya berada pada Pengarang di bawah lindungan Undang-Undang. Dilarang mengutip/ menyalin / menggubah tanpa ijin tertulis dari Pengarang.
CETAKAN PERTAMA CV GEMA SOLO 1995
PANGLIMA GUNUNG Karya : STEVANUS KETIKA seorang prajurit berkuda menyergapnya, Un Tong-koen tidak dapat melawannya terang-terangan, melainkan hanya berlari berputar-putar di antara jala-jala yang sedang dijemur. Bila ada kesempatan, Un Tong-koen coba balas menyerang dengan pedangnya segebrak dua gebrak, lalu berputar-putar lagi. Kadang dia menjumput segenggam pasir tepian untuk dihamburkan ke arah serdadu pengejarnya, meskipun belum berhasil .
Serdadu itu 'jadi mendongkol dan mencaci, "He, kau ini laki-laki apa bukan" Kenapa seperti ini cara bertempurmu?"
Sekian lama bergaul dengan Lai Tekhoa. Un Tong-koen agak ketularan sifat suka berkelakar dari Lai Tek-hoa. meski dalam situasi gawat. Sambil terus berlari berputar-putar di antara jala-jala ikan yang sedang dijemur, ia berteriak menjawab, "Dulu waktu ibuku mengandung aku, dia mendambakan anak perempuan sebab kelima kakakku sudah laki-laki semua. Tapi aku lahir laki-laki juga, tetapi dengan sifat sedikit seperti perempuan."
Serdadu itu gusar dan memperhebat usahanya menangkap Un Tong-koan Karena bernafsunya, suatu saat ia kurang berhati-hati dan kudanya menabrak jalajala yang sedang dijemur. Kuda serta penunggangnya bersama-sama terbelit jaring dan bergulingan di pasir tepian.
itulah "rejeki nomplok" bagi Un Tongkoan yang tidak disia-siakannya, cepat ia menubruk menikam dengan pedangnya kepada lawannya yang sedang tak berdaya itu. Tetapi Un Tong-koan harus kembali memainkan babak kedua petak umpet"nya sebab seorang serdadu berkuda lainnya sudah memburunya dengan ganas.
Pihak prajurit mulai memperhitungkan kekuatan Lai Tek-hoa bertiga, dan Si Komandan membagi anak buahnya, sebagian untuk membereskan Lai Tek-hoa bertiga.
Namun Lai Tek-hoa tidak ingin dipisahkan dari para nelayan itu, sebab tujuannya memang menolong mereka, sekalian memenuhi pesan Helian Kong untuk unjuk gigi. Karena itu, Lai Tek-hoa tidak mau pertempuran berlangsung bertele-tele, langsung saja ia memanfaatkan biji biji sui-poanya yang beterbangan merobohkan prajurit-prajurit itu.
Para prajurit yang belum jadi korban, seketika susut nyalinya melihat itu. Si Komandan memberi isyarat kepada orang-orangnya untuk kabur. Prajurit prajurit itupun memutar kuda mereka dan kabur begitu saja tanpa mempedulikan teman-teman mereka yang terluka atau tewas.
Si Nelayan Muda juga luka, namun tetap berdiri tegak dan mentertawakan prajurit-prajurit itu, "He-he... kalau ketemu pihak yang lebih lemah, kalian bukan main galaknya. Tetapi begitu ketemu yang lebih kuat, kalian tak berpikir lain kecuali kabur mencawat ekor. Kantong-kantong nasi macam kalian, mana bisa diharapkan mempertahankan negeri?"
Para serdadu itu mendengarnya karena belum jauh, tetapi mereka tak ambil pusing dan terus kabur.
Si Nelayan Muda kemudian ingat akan penolong-penolongnya, lalu ia memberi hormat kepada Lai Tek-hoa bertiga, "Terima kasih atas pertolongan kedua tuan dan nona ini, maafkan sikapku yang agak kasar tadi."
Lai Tek-hoa balas bertanya, "Kenapa kalian sampai diuber-uber oleh prajurit prajurit itu?" .
Si Nelayan Muda menarik napas, "Sebenarnya kami tidak berniat mengusik mereka sedikit pun, tak terduga bahwa mereka turun tangan langsung sekeras ini kepada kami yang seharusnya mereka lindungi." .
"Bagaimana kejadiannya?"
"Kami tidak memusuhi siapa-siapa, kami hanya memperjuangkan nasib. Kami adalah nelayan-nelayan yang tidak mampu membayar sewa perahu kepada Juragan Thio, maka kami mencoba membuat perahu sendiri untuk nafkah kami dan keluarga kami. Ternyata kemarin malam, Juragan Thio menyuruh orang-orangnya untuk mengubah perahu-perahu buatan kami jadi abu."
Hati Mo Giok-iin jadi panas mendengar itu, "Di mana-mana memang ada orang-orang macam itu, menggunakan hubungannya dengan orang-orang berkuasa untuk memperkaya diri dengan memeras orang-orang kecil."
Si Nelayan Muda meneruskan keluhannya, "Kami panas hati, kami membalas membakar beberapa perahunya Juragan Thio. Sungguh tak kami kira kalau dalam urusan ini ternyata pihak tentara ikut terbawa-bawa juga, sampai kami dikejar kejar seolah-olah kami ini penjahat-penjahat besar saja."
Nelayan lain yang lebih tua Juga berkeluh, "Kami kira para serdadu itu ada untuk membuat rakyat merasa aman, tetapi malahan mereka menjadi tukang kepruknya orang-orang kaya. Kami tak menyangka mereka semurah itu."
"Jadi baru tahu sekarang?"
Para nelayan itu nampak agak lesu, tak peduli Si Nelayan Muda yang tadinya paling bersemangat. Biarpun tadi mereka telah berani melawan para perajurit, namun sebetulnya-dalam hati mereka ada rasa takut juga. Mereka tadinya hanya siap bertentangan dengan Juragan Thio dan berharap menang dengan dukungan nelayan-nelayan lainnya. Tetapi setelah tahu urusannya sekarang dengan para prajurit kerajaan, para nelayan itu pun putus asa. Siapa berani mendukung mereka yang oleh penguasa resmi sudah diberi cap "pemberontak?"
"Agaknya kami dan keluarga kami harus secepatnya pindah dari sini, sebelum serdadu-serdadu itu balik kembali dengan lebih galak dan membawa teman lebih banyak." "
"Jangan buru-buru," cegah Lai Tekhoa. "jauhkah letak kampung Hi-sian-tin Timur dari sini?"
Para nelayan terheran-heran mendengar omongan Lai Tek-hoa, apa hubungannya antara "jangan buru-buru pergi" dengan kampung Hi-sian-tin Timur" Namun seorang nelayan menjawab juga. "Tidak jauh."
' "Di sana ada tukang celup kain bernama Toan Ai-liong?"
"Kudengar memang ada." '
"Antar aku ke sana, dan kalian tidak perlu mengungsi. Prajurit-prajurit itu akan kena batunya, bahkan Juragan Thio."
"Tetapi... baru hari ini kami dengar Juragan Thio itu punya sanak seorang Jenderal di Lam-khia."
"Bahkan Jenderal itu juga akan kena batunya," sahut Mo Giok-lin galak.
Nelayan-nelayan itu saling pandang kebingungan, tak menangkap arah pembicaraan orang-orang ini.
"Bagaimana kalau Jenderal yang menjadi sanak Juragan Thio itu membawa urusannya lebih tinggi lagi, kehadapan... Kaisar misalnya?"
Sebenarnya nelayan yang bertanya itu merasa pertanyaannya agak kelewatan Juga. Masa Kaisar menangani sengketa soal perahu" Tetapi siapa tahu Juragan Thio sengaja membesar-besarkan urusan-nya untuk memperoleh perhatian dari penguasa yang lebih tinggi"
Bagi Lai Tek-hoa yang mencurigai pemilikan perahu secara monopoli oleh Juragan Thio itu bagian dari rencana militer Manchu untuk menyeberangkan pasukannya, merasa tidak mustahil Juragan Thio dan Jenderal Eng membesar besarkan masalahnya di depan Kaisar Beng-te maupun di depan Panglima Tertinggi yaitu Jenderal Wan Heng-kui, demi keuntungan mereka sendiri.
Lai Tek-hoa sendiri ikut campur dalam urusan itu bukan sekedar membela urusan "kecil" yaitu sengketa tentang perahu, melainkan juga terdorong kekuatirannya akan negeri leluhurnya. Secara militer, sepanjang tepian Tiang-kang diramalkan menjadi garis pertahanan penting bila Manchu menyerbu ke selatan. Bila garis sepenting itu diserahkan kepada sekelompok serdadu yang dikomandani Jenderal Eng yang amat diragukan kesetiaannya kepada tanah air, ditambah tingkah laku para prajurit yang bukannya berakar di hati rakyat tetapi malahan menimbulkan kebencian rakyat, maka alangkah rapuhnya garis pertahanan itu. Seakan-akan hendak menahan banjir batu dari atas gunung yang meletus hanya dengan tanggul-tanggul terbuat dari ranting-ranting kering dan jerami belaka. Demi keamanan negerinya, Lai Tek-hoa berniat menjadikan daerah tepian itu menjadi daerah yang dibina oleh "kekuatan gunung," rakyatnya akan dilatih seperti penduduk kampung gunungnya Lurah Hui. Setelah jadi kekuatan macam itu, Lai Tek-hoa tidak bermaksud menjadikan mereka bersaing dengan prajurit-prajurit Lam-khia. Sebab kalau sampai rakyat dan prajurit Lam-khia bertikai, pihak Manchu yang akan kegirangan. Meskipun dalam waktu dekat, agaknya bentrokan dengan para prajurit tak terhindari, sementara para prajurit itu masih dikendalikan Jenderal Eng. Bentrokan-bentrokan itu' diperlukan sekedar untuk "membuka mata" para serdadu bahwa rakyat punya kekuatan dan bisa diajak bahu-membahu membela wilayah, bukan sekedar dianggap lemah dan diberlakukan semaunya. "Habis membangkitkan kekuatan rakyat di sini, di Lam-khia Jenderal Eng juga harus digulingkan dari kedudukannya."
demikian urut-urutan yang dirancang Lai Tek-hoa dalam hatinya. Dalam organisasinya, kedudukan' Lai Tek-hoa hanyalah salah seorang dari empat orang hong-kun (pentung merah-komandan operasi lapangan), tidak tinggi, dan rencana sebesar itu tidak seharusnya "dicetuskan oleh orang berkedudukan serendah ia. Namun organisasi "gunung hijau" bersifat persaudaraan yang erat, tinggi rendahnya kedudukan setiap anggota tidak menjadi penghalang bagi seorang anggota yang paling rendah pun untuk mencetuskan gagasan-gagasan demi manfaat bersama.
Para nelayan itu kemudian mengantarkan Lai Tek-hoa bertiga ke kampung Hi-sian-tin Timur, ke rumah seorang pencelup kain bernama Toan Ai-liong. Ketika menjelang sore mereka tiba di rumah yang tertuju, Lai Tek-hoa melihat sebuah rumah berhalaman luas tanpa tembok tinggi, penuh bambu-bambu panjang malang-melintang untuk menjemur kain-kain yang habis dicelup. Nampak beberapa orang sedang bekerja di halaman tu.
"inilah rumahnya," kata Si Nelayan kepada Lai Tek-hoa.
Lai Tek-hoa mendekati pencelup pencelup kain yang sedang bekerja Itu. lalu menyapanya dengan ramah, "Saudara-saudara, apakah ini pencelupan kain milik Juragan Toan?"
"Benar." "Aku ingin menjumpainya."
Sesaat Si Pegawai pencelupan menatap Lai Tek-hoa yang berpotongan orang kota itu, lalu ia menjenguk, ke pojok halaman, menunjuk seseorang lalu berkata, "Itu orangnya."
Orang yang ditunjuk itu bertubuh sependek Lai Tek-hoa, juga berjubah ala juragan kelas menengah, bedanya juragan ini juragan kelas kampung. Beda lainnya, juragan kain celup ini tidak gemuk seperti Lai Tek-hoa melainkan sedang-sedang saja perawakannya. la memelihara kumis dan jenggot, memakai topi berbentuk persegi yang sudah agak lusuh.
Lai Tek-hoa belum pernah bertemu dengan Toan Ai-hong biarpun mereka berdua seorganisasi.
Namun dari beberapa sumber, ia pernah mendengar sedikit tentang tokoh ini. Kalau Lai Tek-hoa dijuluki Tiat-ap (Bebek Besi) maka Toan Ai-liong dijuluki seperti namanya yaitu Ai-liong (Naga Kate). Toan Ai-liong juga bekas pengikut kaum Pelangi Kuning, golongan yang dulu menumbangkan Kaisar Cong-oeng di Pak-khia. Namun kemudian bergabung dengan Helian Kong karena sepaham dengan Helian Kong, bahwa tugas setiap bangsa Han saat itu ialah mempertahankan wilayah selatan dari ancaman Manchu, bahkan kalau perlu harus bisa merebut wilayah utara yang sudah diduduki Manchu. Untuk itu semua bangsa Han harus melupakan pertentangan masa lalu. * '
Lai Tek-hoa mendekati Toan Ai-liong. Toan Ai-liong sedang menunggui dan memberi petunjuk kepada seorang pegawainya yang sedang mencampur larutan pewarna di sebuah tong kayu besar. Namun ketika melihat Lai Tek-hoa melangkah mendekatinya, dia pun menyongsong maju. la menduga, dengan melihat dandanan Lai Tek-hoa yang seperti pedagang.
apalagi membawa-bawa sui-poa segala, mungkin tamu ini akan memesan sekian gulung kain celup.
Namun Tan Ai-liong tercengang ketika melihat tamu gemuk pendek ini dengan gerak tak kentara melontarkan isyarat "tiga gunung" dengan tiga jarijari tangannya. Mula-mula direbahkan untuk membuat huruf "tiga" lalu ditegakkan membentuk huruf "gunung".
Buru-buru Toan Ai-liong menjawab dengan isyarat yang sama, lalu tanyanya, "Saudara ini..."
"Lai Tek-hoa." Sebelum Lai Tek-hoa menjelaskan kedudukannya dalam organisasi, Toan Ai-liong sudah menebaknya lebih dulu, "... oh, Hong-kun nomor satu dari Lamkhia" Yang berjuluk... Tiat-ap?"
Lai Tek-hoa tertawa, "Seandainya bisa kupilih sediri julukanku di rimba persilatan, pasti kupilih yang mentereng, bukan 'si bebek besi' seperti yang sekarang. Tetapi sudahlah, julukan tidak penting. Dan Saudara ini pasti Toan Ai-liong, Hong-kun nomor sebelas dari sepanjang tepian selatan ini."
"Mari berbicara di dalam, Saudara Lai."
"Aku melakukan perjalanan kemari bersama beberapa orang, tetapi hanya satu orang yang menjadi anggota organisasi kita, jadi biarlah mereka di luar. Nanti setelah pembicaraan kita selesai, baru kita undang mereka masuk."
"Rumahku ada tempat cukup banyak untuk bermalam, Saudara Lai."
"Terima kasih, Saudara Toan. Kami akan menginap malam ini."
Toan Ai-liong mengajak Lai Tek-hoa ke sebuah loteng, setelah menutup pintu pintu dan jendela-jendela, barulah Toan Ai-liong menanyakan tujuan kedatangan Lai Tek-hoa.
Lai Tek-hoa mengawalinya dengan membeberkan perjumpaannya dengan Helian Kong di pegunungan. Waktu bercerita soal ini, Lai Tek-hoa merasa bangga dan berharap Toan Ai-liong akan menunjukkan sikap iri, karena hanya segelintir anggota organisasi yang pernah bertemu muka dengan San-cu yang sangat dikagumi dan disanjung-sanjung itu, dan Lai Tek-hoa telah menjadi bagian dari segelintir orang itu. Namun Toan Ai-liong kelihatannya biasa-biasa saja.
Kemudian Lai Tek-hoa menyampaikan pesan Helian Kong, tentang perubahan sikap "gerakan gunung hijau" yang tadinya jangan menampakkan diri sambil memupuk kekuatan, kini menjadi boleh menampakkan kekuatan bila diperlukan, maka barulah Toan Ai-liong memperlihatkan reaksi kegirangan Sambil menepuk meja, Toan Ai-llong berkata, "Nah, yang ini sudah kutunggu-tunggu sejak dulu! Sejak dulu, setiap kali aku bicara kepada San-cu dan melaporkan ketertindasan rakyat kecil dan kuusulkan agar kekuatan kita lebih sering muncul untuk unjuk gigi, biar para penindas tahu kalau rakyat yang mereka tindas ada pembelanya, ada yang memperhatikannya .Tetapi ketika itu jawaban San-cu selalu begini: kekuatan kita masih kecil, jangan muncul dulu, nanti keburu digempur dan dihancurkan oleh pihak-pihak yang tidak senang kepada kita. Begitulah, aku dan teman-teman terus harus bersabar meskipun hati ini panas melihat kaki tangan pembesar-pembesar korup bertingkah sewenang-wenang di depan hidung kami. Kami juga harus amat hati-hati merekrut tenaga-tenaga baru, tidak berani terbuka, setiap calon anggota baru harus kami amat-amati secermat-cermatnya agar tidak menimbulkan masalah dikemudian hari. Kini aku lega mendengar perubahan sikap San-cu itu. Agaknya San-cu sudah merasa mantap dengan kekuatan yang dipupuknya selama ini."
Lai Tek-hoa mengangguk-angguk, ternyata selama ini perasaan Toan Ai-liong sama dengan perasaan Lai Tek-hoa, dalam mematuhi pesan San-cu mereka untuk "bersembunyi dulu", dan mungkin juga perasaan itu ada dalam diri sebagian besar anggota "gunung hijau". Melihat kesewenang-wenangan yang mengusik nurani tetapi harus menahan diri. Kini mereka kegirangan menyambut perubahan sikap San-cu mereka.
Selain itu, Lai Tek-hoa sekarang tahu kenapa tadi Toan Ai-liong tidak kelihatan kagum atau iri ketika mendengar kisah Lai Tek-hoa ketemu San-cu, agaknya karena Toan Ai-liong sendiri sudah sering bertemu dan berbicara dengan San-cu. _Bisa disimpulkan dari kata-kata Toan Ai-liong tadi.
"Lalu, kedatangan Saudara Lai ini apakah hanya memberitahukan perubahan sikap San-cu itu?"
"Bukan itu saja, berikutnya yang hendak kukatakan adalah hasil pemikiranku sendiri tentang wilayah tepian Sungai Tiang-kang ini. Tapi aku tidak punya pengaruh di wilayah ini, jadi untuk bisa terlaksananya pemikiranku ini, aku membutuhkan kerjasama teman-teman seperjuangan di wilayah ini. Antara lain kau, Saudara Toan."
Toan Ai-liong memperlihatkan sikap sangat menantikan kelanjutan kata-kata Lai Tek-hoa.
Lai Tek-hoa meneruskannya,"Saudara Toan, percayakah kau bahwa bangsat bangsat Manchu itu puas hanya menguaosai wilayah sebelah utara Sungai Tiangkang?"
"He-he-he, aku balas bertanya, apakah seekor kucing lapar akan membiarkan sepotong dendeng lezat tergeletak di atas meja?"
"Jadi Saudara Toan sependapat denganku, juga dengan teman-teman seperjuangan kita di banyak tempat, bahkan dengan San-cu sendiri. itulah sebabnya San-cu memupuk suatu kekuatan yang demikian besar, untuk berjaga-jaga. Nah, kalau tiba saatnya Manchu merasa tiba waktunya untuk menyerbu ke selatan ini, daerah mana yang bakal menjadi medan laga paling sengit?"
"Wilayah tepian ini, tempat kita berada sekarang."
"Aku tidak suka memuji-muji musuh, Saudara Toan, tetapi pikir sendiri, kalau Manchu menyeberangi sungai, cukup memadaikah kekuatan di tempat ini untuk membendung pasukan Manchu yang amat terlatih dan _amat berdisiplin meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak?"
Toan Ai-liong menjawab sambil membayangkan pengalamannya di masa lalu, "Aku pernah bertempur di bawah bendera Baginda Tiong-ong menghadapi pasukan Manchu di it-pian-sek, sebelah timur ibu kota lama, Pak-kina. Alangkah ganasnya pasukan Manchu itu. Mereka lebih dulu sudah memporak-porandakan pasukannya Jenderal Lau Cong-bin yang jauh lebih besar' di luar kota San-haikoan. Prajurit-prajurit Manchu itu hanya berani maju oleh dua hal, pertama, perintah komandannya, kedua, maut. Kalau prajurit-prajurit macam itu yang menyeberangi Sungai Tiang-kang, kawanan kantong nasi penuh lagak yang berseragam mentereng bawahan pemerintahan . di Lam-khia itu akan digulung dalam waktu kurang dari setengah hari oleh tentara Manchu."
"itu benar sekali, Saudara Toan. Aku belum pernah terlibat perang besar dengan Manchu, tetapi rumah makanku di Lam-khia pernah didatangi prajurit-prajurit Manchu yang menyamar, dan dengan mataku sendiri kulihat betapa militannya mereka. Mereka berangkat ke alam kematian sePerti orang berangkat ke pasar saja. Nah, Saudara Toan. perbandingan tentara Manchu dengan tentara kita yang menyedihkan ini masih diperburuk lagi oleh dua hal. Satu, semua prajurit di pesisir ini adalah bawahan Jenderal _Eng Thian-bok, dan kami berani memastikan bahwa Jenderal Eng sudah menjadi kaki tangan Manchu. Bayangkan, seandainya Manchu menyeberangi kemari dan tempat ini dijaga oleh prajurit-prajurit yang di komandani antek Manchu."
Wajah Toan Ai-liong menujukkan rasa kaget dan gusar, karena baru kini ia mendengar tentang itu. "Benarkah itu?"
"Kami di Lam-khia sudah lama mencurigai dan mengawasi gerak-geriknya, dan hari-hari belakangan ini Jenderal Eng tidak tedeng aling-aling menunjukkan niatnya untuk menumpas kami, yang dianggap sudah mengetahui rencananya."
"Saudara Lai, tadi kau bilang ada dua hal yang memperburuk keadaan, baru kau katakan satu. Yang kedua apa?"
"Pasti yang kedua ini sudah Saudara Toan lihat setiap hari. Yaitu tingkah serdadu-serdadu itu yang membuat mereka dibenci rakyat. Kalau tingkah mereka begitu terus, jangan-jangan waktu Manchu datang nanti, rakyat malah akan menyambut penjajah-penjajah itu sebagai penyelamat atau pembebas?"
"itu pun lama mengusik hatiku cukup lama. Kulihat rakyat menderita dan Si Juragan Thio memonopoli pemilikan perahu, bahkan kabarnya sebentar lagi semua jala pun harus disewa darinya. Lebih buruk lagi, para prajurit tak ubahnya tukang-tukang kepruk pribadinya Juragan Thio karena Juragan Thio bersanak keluarga dengan Jenderal Eng. Tetapi aku tak bisa bertindak sebab masih mematuhi perintah San-cu untuk menyembunyikan kekuatan. Sekarang aku lega sekali mendengar San-cu membolehkan kita unjuk kekuatan. Saudara Lai, pikiran apa yang akan kau sampaikan kepadaku?"
"Aku malu tadi terlanjur menganggap ini sebagai buah pikiranku, padahal sekarang aku yakin bahwa kau sudah lama memikirkannya, hanya belum mewujudkannya karena mematuhi San-cu."
"Katakan saja, Saudara Lai, setidaknya akan meneguhkan niatku."
"Singkatnya, bangkitkan kekuatan rakyat.
Terbuka dan terang terangan, meskipun dengan resiko menimbulkan kegusaran para begundalnya Jenderal Eng yang melindungi kepentingan Juragan Thio. Untuk itu, apa_ kekuatan kita yang terpupuk di sini sudah sia ?"
Toan pek-liong mengangguk mantap, "Kalau orang-orang yang sudah kubina di tempat ini digabungkan dengan orang-orang tujuh belas orang hong-kun lainnya, rasa nya kami punya tiga ribu orang pejuang lebih. Tetapi, kalau sampai kami bentrok dengan prajurit-prajurit kerajaan, betapapun memuakkannya mereka, apakah ini 'tidak menguntungkan pihak Manchu?"
"Ini sudah kupikirkan. Perlawanan kita kepada para prajurit bukan untuk membinasakan mereka atau menguntungkan" Manchu, melainkan sekedar menyadarkan prajurit-prajurit itu bahwa kita punya kekuatan, dan siap diajak bekerja sama, bukan diinjak-injak. Kita juga akan tetap dalam baris Perjuangan yang ditetapkan san-cu._tidak ditunggangi pihak ketiga,
Terima kaSih, Saudara Lai, tidak berbasa-basi kalau kukatakan bahwa kata-katamu ini merupakan pengarahan yang berarti bagiku. Tidak memberontak, hanya 'menyadarkan' begitu?"
Lai Tek-hoa mengangguk. "... dan tidak ditunggangi pihak ketiga?"
Kembali Lai 'Tek--hoa mengangguk.
"Dan sekarang, Saudara Toan, ada beberapa nelayan yang terancam hidupnya, mereka ada di luar. Mereka butuh perlindunganmu."
Toan Ai-liong mengangguk mantap, "Akan kuperhatikan mereka. Untuk sementara akan kusembunyikan dulu, sebab untuk mengumpulkan kekuatan, butuh waktu. Aku harus memohon persetujuan Hu-san-cu dulu, kalau Hu-san-cu setuju, harus menghubungi ke tujuh belas Hongkun lainnya, lalu para Hong-kun mengumpulkan pejuang-pejuangnya untuk digabung."
"Kalau tidak setuju?"
"Dalam urusan ini, berani kupastikan Hu-san-cu akan setuju. Sudah lama dia pun jemu kepada Juragan Thio, itu sering dikatakannya kepadaku.
"Untuk lebih meyakinkan dia, katakan juga bahwa perahu-perahu milik Juragan Thio yang ratusan itu bisa dimanfaatkan oleh Manchu untuk menyeberang, sebab jenderal Eng. sanak dan pelindung Juragan Thio, sudah digenggam oleh Manchu."
"Malam ini juga kutemui Hu-san-cu."
Ketika itu hari sudah gelap, Lai Tekhoa serta Mo Giok-lin dan Un Tong-koen dipersilakan beristirahat di rumah Toan Ai-liong yang tergolong besar dan agak jauh dari taman. Toan Ai-liong sendiri tidak buang-buang waktu dalam menjalankan rencana yang sudah dibicarakannya dengan Lai Tek-hoa itu. Rencana yang sebenarnya sudah lama terpendam di hati Toan Ai-liong sendiri namun belum diwujutkan karena masih mematuhi Helian Kong Si "raja gunung". Malam itu juga Toan Al-liong menjumpai Hu-san cu (Wakil Penguasa Gunung) untuk wilayah tepian selatan Tiang-kang itu.
Si Hu-san-cu kegirangan sekali mendengarnya. dan tak peduli hari sudah larut malam, ia langsung mengirimkan perintah tertulis kepada tujuh belas orang Hong-kun bawahannya agar mengerahkan anak buah masing-masing untuk melindungi rakyat dan melatih kaum nelayan agar dapat bertempur seperti prajurit. Toan Ai-liong sendiri mengumpulkan orang-orangnya, sekaligus mengatur penempatan nelayan-nelayan yang terancam oleh para prajurit itu.
Kampung nelayan di tepian Sungai Tiang-kang itu bersuasana biasa. seperti hari-hari sebelumnya, dalam menyongsong terbitnya fajar. Perempuan-perempuan sibuk di dapur atau sekitar dapur, anak anak berlarian gembira, lelaki-lelaki kembali siap turun ke air sungai dengan perahu yang mereka sewa dari juragan Thio. Ada yang hendak menghabiskan hari untuk memperbaiki jala.
Suasana tiba-tiba berubah ketika suatu pasukan prajurit berderap garang memasuki kampung nelayan itu. Komandan nya menunggang kuda, dan anak buahnya yang berjumlah kira-kira seratus lima puluh orang itu berjalan kaki.
Si Komandan langsung meneriak orang-orang. "He. kalian tahu di man Ui Bun-tiam Si Penghasut Itu?"
Para nelayan tahu. kali ini urusannya agak gawat, sebab tidak biasanya para serdadu keluar sekaligus sebanyak itu. Para nelayan juga sudah mendengar peristiwa kemarin, ketika sekelompok teman mereka diuber-uber prajurit karena membakar beberapa perahu milik Juragan Thio.
Seorang nelayan tua menjawab mewakili teman-temannya, dalam sikap hormat dan tidak ingin tersangkut-paut dengan urusan berbahaya itu, "Tuan Perwrara rumah Ui Bun-tiam di ujung jalan tadi Tuan udah melewatinya."
"Tentu saia kami sudah tahu Itu rumahnya tetapi kami sudah menggeledahnya dan ia tidak di sana. Begitu pula ibunya yang hampir mampus itu! juga sudah menghilang entah ke mana. Mudah-mudahan mereka hanyut di sungai dan dimakan ikan."
Para nelayan di tepian itu bertukar pandangan dengan wajah ketakutan. Ketakutan bahwa para prajurit yang tidak menemukan Ui Bun-nam itu akan melampiaskan kekesalan mereka pada nelayan itu, sebab peristiwa semacam itu sering terjadi. Prajurit yang gagal dalam tugasnya lalu menghajar rakyat yang tak tahu apa-apa, sekedar untuk mengisi laporan kepada atasannya bahwa "pengacau sudah dibereskan",
Si Komandan pasukan tertawa dingin dan memutar-mutar cemeti kudanya. "Tidak ada yang mau memberi keterangan, ya" Atau kalian sudah berkomplot dengannya dan melindunginya" Kalau begitu, ya kami pun tidak perlu mencarinya. kami bumi hanguskan seluruh kampung ini dan kami tumpas setiap yang bernyawa di sini saja."
Wajah para nelayan semakin memelas, lalu seorang nelayan bertubuh kurus maju dam berkata takut-takut,, "
semalam ketika aku keluar rumah untuk memperkuat tambatan perahu karena air sungai agak banjir. tak sengaja aku melihat Ui Bun-tiam dan ibunya meninggalkan kampung ini. Arahnya kalau tidak salah ke kampung Hi-sin-tin Timur."
Si Komandan tertawa terkekeh, "Nah ini baru namanya warga teladan. E kurus, siapa namamu?"
Si Kurus menggeleng takut-takut "Tidak apa-apa, Tuan."
"Lho, ditanya namanya kok malah 'tidak apa-apa'" Siapa namamu" Supaya bisa memperoleh hadiah?"
Si Kurus tetap saja geleng-geleng kepala meskipun diiming-imingi hadiah "Tidak usah, Tuan Komandan. Tidak dapat hadiah ya tidak apa-apa."
Rupanya Si Nelayan Kurus itu meras bersalah sudah "mengkhianati" teman senasibnya, yaitu Ui Bun-tiam. Namun terpaksa itu dilakukannya demi menyelamatkan seluruh kampung ini dari keganasan para serdadu ini.
Si Komandan berkata pula. "Kalau tidak mau hadiah, ya sudah."
Lalu ia memberi aba-aba pasukannya untuk menuju ke kampung Hi-sian-tin Timur.
Kampung Hi-sian-tin Timur adalah kampung yang agak besar di antara rangkaian kampung-kampung nelayan di sepanjang tepian itu. Letak kampungnya agak jauh dari tepian sungai, suasana kehidupan nelayan tidak terlalu terasa di sini, namun ada juga sebagian penduduknya yang mata pencahariannya bersangkut-paut dengan kehidupan nelayan, seperti mengawetkan ikan dengan garam dan asap untuk dikirim ke tempat-tempat jauh.
Penduduk kampung terkejut ketika sepasukan serdadu mendatangi kampungnya. Anak-anak segera ditarik oleh ibunya masuk rumah, dan orang-orang yang sedang dijalanan pun bergegas memasuki rumah. Begitulah, orang-orang kampung Hi-sian-tin Timur ini kedatangan rombongan "pengayom rakyat" tetapi rasanya seperti kedatangan rombongan garong saja.
' Si Komandan pasukan membentak sarah seorang penduduk yang belum sempat menyembunyikan diri, "He. kamu!
Orang itu membeku, seolah berubah Jadi patung, wajahnya memucat.
Si Komandan membentak pula, "Kesini!"
Dengan langkah gemetar, orang itu mendekat.
"Kau penduduk sini?" tanya Si Komandan


Panglima Gunung Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang itu mengangguk-angguk.
"Kau tahu apa tidak, di kampung ini ada penghuni baru yang bernama Ui Bu tiam bersama ibunya yang tua?"
Kini orang itu menggeleng-geleng.
"Benar" Tidak bohong?"
Orang itu geleng-geleng kepala.
"Siapa kepala kampung di sini?"
Kali ini orang itu dapat menjawab dengan kata-kata, meskipun dengan teng gorokan seolah-olah diikat, "Kampung ini tidak ada kepala kampungnya, Tuan Komandan."
"Lho, kok aneh?"
"lya,_ Tuan. Pokoknya kami hidup saling memperhatikan yang lain, bereslah sudah. Tidak perlu pakai kepala kampung segala, nanti malah banyak aturan dan banyak memberatkan penduduk."
"Baiklah, kalau tidak ada kepala kampung, lalu siapa orangnya yang paling berpengaruh dan paling dihormati di sini"
"Juragan Toan."
"Di mana rumahnya?"
"Sebelah kiri dari persimpangan di depan itu, Tuan Komandan. Ada halaman luas dengan kain-kain celupan yang dijemur, karena dia adalah pengusaha kain celup."
Lalu Si Komandan membawa pasukannya ke sana. Tiba di rumah berhalaman luas yang tidak bertembok itu, Si Komandan dengan angkuhnya langsung menjalankan kudanya memasuki halaman sambil berteriak, "Mana orang she Toan?"
Dari antara orang-orang yang sedang bekerja mencelup kain, Toan Ai-Iiong yang bertubuh pendek dan kecil itu pun melangkah mendekat sambil tersenyum senyum. Sikapnya yang tak 'menunjukkan kegentaran sedikit pun itu mengherankan
Si Komandan. "Kenapa berteriak-teriak. Komandan" Aku tidak tuli." .
Si Komandan yang terlalu terbiasa berhadapan dengan penduduk yang berkerut gentar ketakutan, kini terperangah juga menghadapi sikap Toan Ai-liong. Namun demi "menjaga wibawa", Si Komandan tetap berusaha bersikap segarang. garangnya, "Aku bisa, membuatmu jadi orang tuli sekarang juga, kalau kau tidak bersikap sopan."
"Apa iya" Kau sendiri masuk halaman rumah orang tanpa turun dari kuda, apakah itu sopan?"
"Karena aku berkuasa!" Si Komandan naik darah, suaranya melengking, sampai pegawai-pegawai Toan Ai-liong menoleh semuanya. "Karena aku berkuasa! Aku bisa membumi-hanguskan kampung ini, dan kalau kurang, aku bisa mengerahkan ribuan prajurit lagi!"
sudah bertahun-tahun Toan ai liong berdiam di kawasan itu, dan sudah lama ia muak melihat lagak-lagu penindas penindas rakyat yang berseragam ini. Ia
muak karena Helian Kong berpesan. agar ia lebih mengutamakan pemupukan kekuatan secara diam-diam. Tetapi kemarin lusa Toan Ai-liong gembira mendengar perubahan sikap Helian Kong yang dikabarkan oleh Lai Tek-hoa. Ia dan orang-orangnya sudah siap beradu kekuatan dengan para prajurit, meskipun tujuannya bukan untuk memberontak, melainkan hanya "menyadarkan" para prajurit bahwa mereka tidak bisa lagi menginjak-injak rakyat, sekaligus membesarkan hati rak-yat.
Karena itu, mendengar gertakan Si Komandan, Toan Ai-liong malah tertawa, "Gertakanmu boleh jadi akan terwujut di tempat lain, tetapi tidak di Hi-siantin Timur ini. Kau dan prajurit-prajuritmu ibarat ikan sudah masuk wajan penggorengan, nasib kalian tergenggam mutlak di tangan kami!",
Belum pernah Si Komandan menemui Sikap macam ini, ia tak dapat mengendalikan diri lagi dan siap meneriakkan perintah kepada pasukannya agar _ bertindak. Tak terduga. sebelum perintahnya keluar, malah sudah didahului oleh teriakan Toan Ai-liong, "Saudara saudara. tangkap mereka!"
Si Komandan pasukan di atas kudanya seolah bermimpi melihat apa yang berlangsung di depan hidungnya. sampai mulutnya melongo dan tak bisa mengucapkan apa-apa.
Pasukan itu mengambil posisi di tengah-tengah sebuah simpang empat, dan kurang bersiaga, karena menganggap rakyat akan ketakutan seperti biasanya dan urusan pun akan lancar. Tak terduga tiba-tiba dari balik tembok-tembok rumah di sekitar simpang empat itu bermunculan orang-orang yang langsung saja menebarkan jala-jala mereka dari atas tembok ke arah pasukan. Bahkan juga dari halaman rumah Juragan Toan yang tak bertembok. Jala-jala yang mereka gunakan adalah jala-jala ikan biasa, namun puluhan banyaknya sehingga berangkap-rangkap dan tak seorang prajurit pun lepas.
Menyusul orang-orang bertubuh tegap tegap yang membawa bambu-bambu panjang , tiap bambu panjang dipegangi dua orang dikedua ujungnya. dan _bambu bambu ini digunakan untuk menjepit para prajurit yang sudah terjaring itu dari segala arah, sehingga tubuh-tubuh_ _ para prajurit itu berdesakan terlalu rapat, sulit menggunakan senjata mereka. Berikutnya muncul orang-orang yang dengan enaknya melucuti para prajurit.
Pasukan yang terdiri dari dua ratus serdadu itu praktis dijadikan tawanan tanpa perlawanan yang berarti. Orang orang yang bermunculan membereskan para prajurit itu juga berjumlah seimbang dengan pasukan, kira-kira dua ratus orang. Tampang dan dandanan mereka tak berbeda dengan penduduk biasa dari kampung-kampung nelayan itu, yang berbeda ialah sikap mereka yang tak gentar kepada prajurit, dan gerak-gerik mereka yang nampak serba terlatih dan tangkas, serta senjata-senjata yang mereka bawa dengan sikap tidak canggung sedikit pun. Dalam pertempuran 'biasa, belum tentu orang-orang itu kalah dari para prajurit, namun agaknya mereka memang ingin mendemonstrasikan "jurus" mereka meringkus sekaligus sebuah pasukan dengan jala dan bambu. Dan berhasil.
Sekarang Si Komandan praktis sendirian, karena seluruh anak buahnya sudah tertawan._ Dengan wajah pucat ia menoleh ke kiri kanannya, bibirnya gemetar dan bergerak-gerak tetapi sekian lama tak_ mengeluarkan suara apa-apa. Dan ketika akhirnya dapat bersuara, suaranya gemetar meskipun kata-katanya garang, "Kalian... kalian tidak sadar akibat dari tindakan... kalian ini" Kalian... tidak ahu... siapa atasan... kami."
"Kami sadar tindakan kami. dan kami tahu siapa atasanmu," sebuah suara menjawab Si Komandan dari belakangnya.
Si Komandan memutar kudanya dan elihat seorang lelaki gemuk pendek bertampang saudagar dengan memegangi sui-poa, cengengesan di belakangnya
Orang itu adalah Lai Tek-hoa. yang meneruskan kata-katanya. "Kami tahu kalian ingin mengatakan bahwa Juragan thio yang kalian bela itu pun di dukung orang berpangkat tinggi di Lam-khia,
yaitu jenderal Eng Thian-bok. begitu kan" Dan mungkin kalian juga akan' menggertak kami, 'dengan mengatakan bahwa Jenderal Eng sangat erat hubungannya dengan Bangsawan Dao yang kerabat Permaisuri itu, yang sangat berpengaruh dan berkuasa" He-he-he, ketahuilah, Kaisar sendiri pun tak berdaya terhadap kami, dan gertakan-gertakanmu itu akan percuma." .
Wajah Si Komandan berubah sebentar pucat sebentar merah, tidak mampu lagi mau menakut-nakuti orang-orang ini. Kalau kepada Kaisar yang dianggap "putera langit" saja sudah tidak takut, apa artinya ditakut-takuti dengan nama Jenderai Eng atau Bangsawan Dao"
Akhirnya Si Komandan dengan sikap loyo bertanya, "Siapa kalian" Apakah kalian adalah pendukung-pendukung salah satu Pangeran yang tidak menyukai pemerintahan di Lam-khia?"
jaman itu pemerintahan di Lam-khia memang kurang wibawanya, hanya terasa kehadirannya di daerah-daerah yang dekat, namun di wilayah para pangeran yang jauh dari Lam-khia, para pangeran bersikap seolah-olah merekalah kaisar kaisar di tempat masing-masing. Bahkan ada_ pangeran-pangeran yang sedang berperang satu sama lain karena berusaha memperluas wilayah dengan merebut daerah-daerah yang subur dan menguntungkan. Mereka tetap berperang meskipun pemerintah pusat sudah mencoba melerainya, namun tidak digubris. Kini Si Komandan menyangka orang-orang di kampung nelayan itu sebagai pendukung pendukung salah satu pangeran. '
Lai Tek-hoa menjawab tanpa tedeng eling-eling, "Kami adalah anak buah jenderal Helian Kong, pahlawan besar dinasti Beng yang besar jasanya sejak jaman almarhum Kaisar Cong-eens, namun terus menerus dimusuhi oleh pembesar-pembesar korup yang silih berganti tampil di Pak-khia maupun Lamkhia. Sekarang Jenderal Helian punya kekuatan, aku tidak membual kalau kukatakan bahwa setiap kekuatan di wilayah selatan ini, baik Kaisar maupun para pangeran, takkan ada yang bisa menahannya.
'Kalau kau ingin membuktikan kekuatan kami, kami beri kesempatan. Laporkan kejadian ini ke Lam-khia, kepada Jenderal Eng atau Bangsawan Dao, biar mereka kirim kekuatan kemari untuk menjajal apakah kami omong kosong atau tidak."
Si Komandan kehilangan seluruh kegarangannya, dengan nada amat memohon ia bertanya, "Lalu... aku hendak kalian apakan?"
"Temui Si Juragan Thio yang serakah itu, suruh dia berhenti memeras rakyat. Katakan juga kepada semua prajurit di wilayah ini, agar menganggap rakyat sebagai kekuatan seperjuangan yang bersama-sama menjaga wilayah ini dari ancaman Manchu, bukan sebagai keset yang diinjak-injak terus."
Si Komandan mengangguk-angguk jinak, "Baik, baik. Tetapi aku bukan pimpinan tertinggi prajurit di wilayah ini. Segala sesuatunya terserah pemimpinku."
"Pergilah," perintah Lai Tek-hoa.
"Anak buahku... bagaimana?"
Lai Tek-hoa menatap Toan Ai-liong,
?" Toan Ai-liong menjawab, "Anak buahmu untuk sementara biar menikmati keramah-tamahan kampung kami."
Akhirnya Si Komandan itu pun mengeloyor Pergi di atas kudanya, meninggalkan kampung Hi-sians-tin Timur.
Datang garang dengan pasukannya, perginya loyo sendirian. bahkan rasanya tak berani bertatapan muka dengan penduduk kampung yang berpapasan dengannya. Peristiwa yang baru saja dialaminya terlalu mengejutkan, dibayangkan pun belum pernah. Nelayan-nelayan yang kemarin masih membungkuk-bungkuk ketakutan, tiba-tiba memunculkan sebuah kekuatan yang garang, yang tak mempan digertak dengan nama Jenderal Eng dab Bangsawan Dao, bahkan dengan nama Kaisar sekali pun.
"Siapa itu Helian Kong?" perwira itu bertanya-tanya dalam hati sepanjang jalannya. Ia memang masuk tentara setelah Helian Kong lenyap dari jajaran orang-orang pemerintahan di Lam-khia, dan ia cepat naik pangkat karena 'dikatrol" koneksi-koneksinya di kalangan atas.
Karena belum tahu siapakah Helian Kong itulah maka dalam perjalanan itu ia makin lama makin meragukan gertakan Lai Tek-hoa dan Toan Ai-liong tadi. Bahkan akhirnya ia memutuskan, "Entah Helian Kong itu setan belang atau siapa pun. tak bisa kubiarkan para nelayan itu bertingkah semaunya. Akan kupanas-panasi hati Komandan Wat untuk menggerakkan pasukan yang lebih kuat ke kampung Hi-sian-tin Timur malam ini juga."
Sementara itu 'Toan Ai-liong dan orang-orangnya pun sudah siap menghadapi resiko dari tindakan mereka. Toan Ai-liong sudah menerima jaminan dari tujuh belas orang" Hong-kun rekan-rekannya yang sewilayah bahwa rekan-rekannya itu sudah siap dengan anak buah masing-masing di sekitar Hi-sian-tin Timur kalau menghadapi gempuran pemerintah yang lebih besar.
Yang kaget dan belum siap menerima situasi itu 'ialah para penduduk biasa. Mereka sudah amat ketakutan membayangkan betapa hebat pembalasan para serdadu nanti. Banyak penduduk kampung Hi-sian-tin Timur, bahkan juga para nelayan nelayan yang berdekatan, sampai mengungsi jauh-jauh menghindari balas dendam para serdadu.
Terhadap orang-orang yang ketakutan itu, Toan Ai-liong bersikap bijaksana. Ia tidak melarang, bahkan menawarkan pengantaran sampai di tempat aman. Namun ia juga menawarkan kemungkinan lain, bahwa mereka bisa menyusun dan membentuk diri mereka sendiri menjadi kekuatan yang harus diperhitungkan, bukan cuma diperas dan dianiaya terus. Ternyata beberapa nelayan yang juga sudah jemu akan susahnya hidup seharihari dan tidak tahu bagaimana melunasi hutang kepada Juragan Thio yang makin dicicil bukannya makin berkurang tetapi malah makin besar, akhirnya mengambil keputusan untuk mengikuti anjuran Toan Ai-liong daripada kabur.
"Asal kalian ingat, kita menghimpun kekuatan bukan'untuk memuaskan selera atas dendam pribadi, melainkan demi mempertahankan tanah leluhur dari ancaman Manchu." Toan Ai-liong memperingatkan orang-orang yang baru bergabung itu. "Kita mengikuti jejak San-cu kita. Biarpun dia kenyang difitnah dan disingkir-singkirkan oleh dinasti yang dia layani sepenuh hati, namun dia_ tidak mendendamnya. Kekuatan yang dihimpunnya untuk kepentingan negeri dan rakyat, bukan untuk memuaskan sakit hatinya."
Sementara itu, Lai Tek-hoa puas. melihat awalan yang bagus itu. ia berharap tak lama lagi kampung-kampung nelayan itu akan menjadi pusat-pusat kekuatan seperti kampungnya Lurah Hui di pegunungan, dan ratusan kampung pegunungan lainnya yang berhasil dibina Helian Kong bertahun-tahun.
Kata Lai Tek-hoa kepada Toan Ailiong, "Saudara Toan, aku harus segera _kembali ke Lam-khia dan merundingkan dengan teman-temanku caranya membereskan biang-keladi semua keburukan ini. yaitu Jenderal Eng."
"Hati-hatilah. Di Lam-khia, Jenderal Eng pasti mempunyai kekuatan dan pengaruh yang jauh lebih besar daripada' di sini."
' "Kekuatan Jenderal Eng tidak lebih besar dari kekuatan kita. Tapi bukan berarti kita tidak berhati-hati. Kau di sini lusa harus berhati-hati, Saudara Toan."
Malam itu, Lai Tek-hoa bersama Mo Giok-lin dan Un Tong-koen meninggalkan kampung Hi-sian-tin Timur.
Dalam perjalanan menuju ke Lamkhia, Lai tek -hoa bertiga berpapasan dengan sebuah pasukan berjumlah hampir dua ribu orang, menuju ke arah tepian sungai tempat kampung-kampung nelayan. lai Tek-hoa menduga, pasukan sekuat itu tentu hendak digunakan menghadapi kelompok "gunung hijau" yang mulai bangkit dan membangkitkan rakyat. Teapi Lai Tek-hoa yakin. Toan Ai-liong dan teman-temannya akan mampu menanggulangi kekuatan itu. Memang Lai tek-hoa belum melihat semua kekuatan "gunung hijau" di tepian selatan Sungai tiang-kang itu. namun menurut Toan Ai liong, ada delapan belas orang Hong-kun di sepanjang tepian. Kalau seorang Hongkun beranak "buah dua ratusan orang seperti Toan Ai-liong, maka ada dua ratus kali delapan belas pejuang yang bisa dikerahkan, belum lagi tenaga-tenaga baru yang bergabung untuk dilatih. Dan kalau perlu, Toan Ai-liong bisa minta bantuan ke basis terdekat dari kelompok "gunung hijau" ini.
"Para penindas ini belum sadar bahwa mereka sudah ketemu: tandingan," desis Mo Giok-lin ketika berpapasan dengan iring-iringan prajurit itu. "Mereka masih saja ingin mempertahankan posisi mereka yang di atas dan menginjak." .
"Jangan terbawa perasaan, Ai-lin." tegur Lai Tek-hoa. "Sikap para prajurit ini tergantung pimpinannya, yaitu Jenderal Eng. Kalau Jenderal Eng sudah kita jungkalkan, diganti panglima yang baru, sikap para prajurit di delapan belas dermaga ini pun akan berubah."
Tiba di Lam-khia, lai Tek-hoa bertiga langsung menuju ke sebuah gedung sekolah silat.
Gedung sekolah silat ini tentu saja kemegahannya jauh di bawah "Tiat-ciang Bu-siao (Sekolah Silat Telapak Besi) yang dimiliki dan dipimpin oleh Lam Peng-hi Sang Penasehat Kaisar itu. Yang didatangi Lai Tek-hoa ini adalah sebuah sekolah silat untuk peminat-peminat silat Yang tidak mampu membayar mahal memasuki Tiat-ciang Bu-siao.
Tetapi sekolah silat kelas kambing yang bahkan tidak punya papan nama ini' adalah salah satu tempat orang-orang "gunung hijau" bertemu, berkumpul dan bertukar berita. Semenjak rumah makan Ceng-san-lau dibakar habis oleh orang orangnya Jenderal Eng, anak buah Lai Tek-hoa bernaung di tempat ini.
Guru silat di perguruan tanpa merek ini' seorang lelaki berumur empat puluhan tahun bertubuh tegap, bernama Yong Sekutiong, dalam organisasi "gunung hijau" berkedudukan sebagai "hong-kun nomor tiga" untuk wilayah kota Lam-khia yang Punya empat Hong-kun di bawah seorang Hu-san-cu. Dalam penyamarannya sebagai guru silat kelas kambing, yang diajarkan kepada murid-muridnya juga
cuma silat kelas 'kambing, disesuaikan dengan penyamarannya, yaitu silat Tamcap-hoa-hong' yang terdiri dari empat "rangkaian "silat bakul jamu". Kalau ada murid yang ingin "ilmu lebih tinggi" maka paling-paling Yong Sek-tiong akan memberinya Pat-hong-kun (Pukulan Delapan Penjuru) ditambah Pat-hong-kiam (Pedang Delapan Penjuru) yang dapat dimainkan hampir semua tukang jamu yang menggelar dagangan di pinggir jalan.
Namun dibalik penyamarannya sebagai guru silat kampungan yang "ilmunya itu gitu-begitu saja" itu sebenarnya YongSek-tiong menyembunyikan kemampuan tempur yang tidak kalah dari Lai Tekhoa maupun Tam Yo. Kalau Lai Tek-hoa berjulukan "bebek besi" dan Tam Yo berjulukan "kambing terbang", maka Yong Sek tiong ini pun punya julukan yang ganjil yaitu Ciu-gu (Kerbau Mabuk). Sambil berperan sebagai guru silat kelas kambing, diam-diam Yong Sek-tiong sering mengamat-amati murid-muridnya untuk memilih kalau-kalau ada yang cocok untuk direkrut jadi anggota kelompok rahasianya.
Bukan saja ketangkasan dan kecerdasannya. tetapi juga wataknya. Dengan cara itu, sedikit demi sedikit Yong Sek-tiong menambah kekuatan kelompoknya.
Ketika Lai Tek-hoa pulang, ia langsung menanyainya, "Kakak Lai, bagaimana hasil perjalananmu" Berhasil menemui San-cu?" "
Setelah duduk di ruang tertutup, Lai Tek-hoa bercerita selengkapnya tentang perjalanannya ke pegunungan. Tak lupa cerita tentang ulah Tong Jiu, kemudian tentang Toan Ai-liong yang mulai unjuk gigi kepada Juragan Thio yang dibantu para serdadunya Jenderal Eng. Inti dari semua penuturan itu ialah, Helian Kong sebagai pemimpin tertinggi kaum "gunung hijau" sudah mengubah sikap dari "bersembunyi sambil memupuk kekuatan" menjadi "menunjukkan kekuatan terhadap para pembesar korup".
Seperti Toan Ai-liong, ketika mendengar perubahan sikap itu pun Yong Sektiong jadi kegirangan.
"Malam ini akan kulaporkan kepada
Hu-san-cu." Lai Tek-hoa menutup penuturannya. "Dan akan kuusulkan suatu cara untuk membuat jenderal Eng terpental dari kedudukannya, sekaligus mendapatkan rahasia militer Jenderal Eng dan komplotannya dari utara itu."
Malam harinya, di kediaman Yong Sek-tiong, berkumpul empat orang Hongkun ("Tongkat Merah") untuk wilayah Lam-khia itu. Keempatnya adalah Si "bebek besi" Lai Tek-hoa, Si "kambing terbang" Tam Yo, Si "kerbau mabuk" Yong Sek-tiong dan Bu-wan (si "lutung menari") Toa Kian-pin yang bungkuk dan mukanya berbulu, mulutnya monyong dan kedua lengannya satu seperempat kali lebih panjang dari lengan orang lain. Selain keempat orang Hong-kun wilayah Lam-khia itu, hadir juga Hu-san-cu (Wakil San-cu) untuk wilayah Lam-khia.
Kelompok "gunung hijau" adalah kelompok yang _dicurigai oleh pemerintah kerajaan, bahkan di pihak pemerintah ada yang sudah mendengar desas-desus bahwa pemimpin tertinggi dari kelompok rahasia yang tersebar di mana-mana itu bukan lain adalah Helian Kong Si Pembangkang Yang amat berpengaruh. Amat berpengaruh sebab meski Helian Kong sudah jadi orang gunung dan tak punya kedudukan aPa-apa dalam pemerintahan, namun para jenderal patriotik di wilayah selatan semua menjadi sahabatnya, para pangeran yang ingin kokoh kedudukannya juga berebutan merangkul Helian Kong, namun lebih dari semua itu Helian Kong punya kekuatan sendiri yang tersebar di manamana, yaitu "laskar gunung" yang membaur dengan penduduk di mana mana. Dengan posisi Helian Kong yang seperti itu, jadi menimbulkan kesan bahwa Helian Kong seolah-olah adalah "Kaisar Tandingan" dari Kaisar yang bercokol di Lam-khia meski Helian Kong sendiri tak jemu-jemu mengingatkan anak buahnya bahwa tujuan mereka bukan menggulingkan Kaisar melainkan menjaga kemerdekaan wilayah selatan terhadap bahaya dari utara mau Pun dari dalam oleh para pembesar korup maupun pangeran-pangeran yang berambisi. Dalam posisi seperti itu, cukup ganjil bahwa Hu-san-cu untuk wilayah Lam khia ini ternyata seorang Cong-peng setingkat Brigjen) di Lam-khia. Namanya An Bwe. mengkomandani sebuah pasukan yang terdiri dari seribu prajurit. Lebih ganjil lagi, sebagai pengikut Helian Kong, An Bwe tidak sembunyi-sembunyi dalam menunjukkan simpatinya kepada Helian Kong. Bahkan dalam sidang istanapun dia dengan lantang berani mengatakan Helian Kong adalah pahlawan sejati dinasti Beng, yang terusir karena orang orang korup. Keganjilan ketiga, meski sikap An Bwe galak, namun Kaisar Bengte maupun . Panglima Tertinggi yaitu jenderal Wan Heng-kui tidak bertindak apa-apa kepada An Bwe. Pernah juga, karena bisikan Bangsawan Dao dan Jenderal Eng, Kaisar mencoba hendak menggeser kedudukan An Bwe dan memisahkannya dari pasukannya yang terikat erat batinnya dengannya, namun Bangsawan Dao dan jenderal Eng entah kenapa mengalami suatu peristiwa yang membuat mereka ketakutan sendiri dan mereka sendirilah yang mengajukan usul kepada Kaisar agar membatalkan pencopotan dan Pemindahan An Bwe. Namun demikian. selama ini An Bwe juga terikat oleh Perintah Helian Kong untuk tidak memamerkan kekuatan dulu. Kini, mendengar laporan Lai Tek-hoa, bahwa perintah itu sudah dicabut, An Bwe merasa lega.
Setelah selesai Lai Tek-hoa melaporkan, An Bwe menarik napas panjang-panjang dan menghembuskannya dengan sangat lega. Katanya, "Baik, saudara saudara, sekarang kita boleh bertindak. Namun jangan ngawur, tetap harus memiliki sasaran yang pasti. Ada usul?"
Lai Tek-hoa menunggu sampai ada rekan-rekannya yang mengeluarkan usul, namun mereka diam saja, maka ialah yang mengusulkan, "Kakak An, kuusulkan pertama-tama kita cari cara bagaimana supaya kita dapat mengetahui rencana busuk macam apa yang direncanakan jenderal Eng dengan orang-aang Manchu itu" Yang kedua, copot jenderal Eng dari posisinya sekarang. sebab terlalu berbahaya kalau seorang pengkhianat memegang posisi menguasai delapan belas dermaga penyeberangan, selain itu
tergulingnya Jenderal Eng Juga akan menghindarkan teman-teman kita di sepanjang pesisir agar tidak bentrok langsung dengan tentara pemerintah."
An Bwe mengangguk, otaknya yang encer langsung menemukan jalan, "Untuk yang pertama, yaitu caranya mengetahui rencana busuk Jenderal Eng itu. Kita akan pakai. cara menggertak dengan tangan kanan, menolong dengan tangan kiri. Tentu saja menolongnya bohong bohongan, sebab yang ditolong adalah bangsat busuk macam Eng Thian-bok."
"Menggertak dengan tangan kanan, menolong dengan tangan kiri?" Lai Tekhoa heran. "Baru sekarang kudengar ini."
An Bwe tertawa, "Atau lebih tepat dikatakan : menggertak dengan tangan kanan, pura-pura menolong dengan tangan kiri, he-he-he."
Kali ini An Bwe menambahkan kata "pura-pura" di depan kata "menolong".
"Maukah Kakak An menjelaskannya lebih terperinci?"
"Besok pagi ada sidang kerajaan yang dipimpin Kaisar sendiri. Tentu jenderal Eng dan Bangsawan Dao juga akan hadir, nah, dalam sidang kerajaan itulah aku akan berperan sebagai penggertak. Akan kutuduh kedua manusia korup itu sehebat-hebatnya agar mereka gentar."
"Kakak An jadi tukang gertak. lalu 'penolong pura-pura'nya siapa?" tanya Joa Kian-pin Si "lutung menari".
Kata An Bwe, "Kalian cari beberapa orang anak buah kalian. Pilih yang cerdik tidak mudah gugup, bernyali besar, dan yang terpenting, bisa bicara dengan logat utara atau malahan logat Liao-tong."
Keempat orang Hong-kun itu mengangguk-angguk.
"Buat apa mereka?" tanya Tam Yo.
"Tugas mereka akan kuberitahukan setelah aku mengikuti sidang kerajaan."
Kemudian An Bwe berpamitan pulang.
An Bwe menempati sebuah rumah yang cukup bagus, sesuai dengan pangkatnya. la punya isteri dan dua anak yang sudah remaja, dan keluarganya tahu soal pendirian An Bwe yang simpati kepada Helian Kong, namun isteri dan anak-anak An Bwe tidak ada yang tahu kalau suami 'dan ayah mereka bahkan seorang pentolan Yang aktif dalam kelompok "gunung hijau", bahkan berkedudukan tinggi sebagai Hu-san-cu wilayah lam-khia:
Esok paginya, An Bwe siap berangkat ke istana. ia sudah berdandan rapi dengan pakaian pembesar militer namun bukan yang untuk ke medan laga.
Jubah bersulam berwarna merah tua untuk pembesar kelas dua. "
Habis bersantap pagi, An Bwe menuju istana dengan menunggang kuda dengan diikuti dua prajurit pengawal yang juga berkuda. Meniru Sifat Helian Kong yang bersahaja, An Bwe tidak mau naik tandu, tidak mau menyuruh pembuka jalan berjalan di depannya' sambil mengibarkan bendera 'dan menyuruh orang-orang di jalanan untuk minggir. ia berjalan seperti pemakai-pemakai jalan yang lain.
Tiba di depan istana Kaisar, di bawah tangga istana yang terdiri dari ratusan anak tangga -dengan arca-arca indah di kiri kanannya, An Bwe turun dari kuda lalu melangkah naik sendirian. Dengan ramah dibalasnya salam beberapa prajurit Lwe-teng Wi-su (Bayangkara Pengawal istana) yang mengenalnya. Beberapa angsota Lwe-teng Wi-su diam-diam sudah menjadi anggota aktif kelompok "gunung hijau", dan beberapa lagi sudah menjadi simpatisan meskipun belum jadi anggota aktif.
Tiba di anak tangga paling atas, An Bwe harus mencopot pedangnya untuk dititipkan kepada beberapa pengawal istana yang berjaga di situ, sebab ada peraturan bahwa di hadapan Kaisar tidak boleh bersenjata, kecuali pengawal-pengawal terpercaya Kaisar sendiri.
Di aula sidang, sudah banyak orang berkumpul, pembesar sipil maupun militer dari berbagai tingkatan. Makin tinggi tingkatnya. mereka makin dekat ke singgasana. Singgasananya sendiri masih kosong.
Sambil menunggu munculnya Kaisar. yang biasanya pasti terlambat. orang orang saling bercakap-cakap dengan suara perlahan. An Bwe pun mendekati sekelompok rekan sejawatnya yang setingkat kedudukannya dengannya. Para pembesar militer itu sedang asyik membicarakan Pemberontakan nelayan" di tepian selatan Sungai Tiang-kang.
"Nelayan-nelayan itu pasti dihasut oleh orang-orang Manchu sehingga moreka melawan prajurit-prajurit kita," kata seorang pembesar bermuka lancip dengan kumis tipis memanjang. "Kita harus kirim lebih banyak tentara ke sana untuk menumpas perlawanan secepat-cepatnya sebelum menjalar dan membesar."
An Bwe bergabung dengan kerumunan namun tidak ikut bicara tapi hanya mendengarkan.
Pembesar militer lain yang berwajah lebar berkata, Tetapi yang kudengar, para nelayan itu melawan karena ditindas kelewat batas oleh orang-orangnya juragan Thio. dan karena para serdadu malahan memperhebat tindasan itu dan bukannya menolong rakyat. Rakyatpun melawan."
"Dari mana kau tahu?"
"Memangnya aku tidak punya matamata di sana?" _
"Mata-matamu pasti ialah..
Dan mata-matamu pasti benar,. begitu " Pembicaraan yang mulanya santai sedikit agak menegang karena terjadi perbedaan penilaian dari kedua pembesar militer itu. An Bwe buru-buru melerai, "Sudahlah, jangan bertengkar,. Sidang hampir dimulai.
Waktu itu, memang hampir semua pembesar dan bangsawan sudah hadir. jenderal Eng dan Bangsawan Dao juga sudah nampak di barisan depan ,yang dekat singgasana. mereka berdiri berdekatan dan nampak sedang berkasak kusuk. Nampak pula Penasehat Kaisar, Lam Peng-hi juga sedang bicara. perlahan dengan seseorang, sedangkan Panglima Tertinggi. yaitu Jenderal Waru Heng-kui terlihat berdiri sendirian seperti. anak kecil kehilangan ibunya di tengah pasar.bedanya Jenderal Wan tidak menangis meraung-raung.
Ketika itulah tiba-tiba gong .Kengyang-ciong dibunyikan nyaring. ,suatu isyarat bahwa Kaisar akan segera keluar menduduki singgasananya.
Orang orang di" aula negera mengatur diri dalam barisan rapi menurut tingkatan kedudukannya menghadap ke arah singgasana sambil merapikan pakaian dan topi mereka.
Sebelum Kaisar sendiri yang muncul, didahului dengan barisan thai-kan berjubah kuning emas mentereng, lalu pengawal-pengawal bersenjata. pembawa benda-benda lambang kekaisaranq baru Kaisar sendiri 'melangkah ke singgasananya. Kaisar yang' dulunya dikenal sebagai Pangeran Hok-eng (sebelum _naik tahta) ini, nampak agak kegemukan, dan ia terengah-engah menaiki tangga singgasana yang hanya beberapa tingkat itu. sehingga harus dipapah seorang thai-kam.
Setelah Kaisar duduk di singgasana, orang orang di aula serempak berlutut sanbil menyerukan "ban-swe' ("selaksa tahun" harapan panjang umur yang khusus untuk Kaisar). Orang-orang baru bangkit kembali setelah Kaisar memperdengarkan suaranya mempersilakan bangkit. Setelah orang-orang berdiri, dan dipersilakan mengajukan laporan-laporan atau usul-usul, Jenderal Eng menoleh kepada Jenderal Wan Heng-kui dan memberi isyarat yang agak bersifat memerintah.. Dalam susunan kemiliteran, Jenderal Wan adalah Panglima Tertinggi, sedang Jenderal Eng hanya Penangung-Jawab delapan belas dermaga, jadi Jenderal Wan lebih tinggi. Namun siapapun tahu bahwa Jenderal Wan sudah dipengaruhi oleh Bangsawan Dao sehingga mudah diatur untuk melakukan ini itu, itu bukan rahasia lagi. Dan kini, tidak aneh kalau Jenderal Eng sebagai sekutu dekat Bangsawan Dao berani seenaknya memerintah Jenderal Wan. Bahkan meski Kaisar melihat main mata itu, Kaisar berlagak tidak tahu.
Bersambung jilid X. Panglima Gunung Karya : STEVANUS SP. Sumber Ebook: Awie Dermawan
Edit teks : Saiful Bahri Ebook persembahan group fb Kolektor E-Book untuk pecinta ceritasilat Indonesia
*** Jilid X Jenderal WAN maju selangkah,
"Hamba ingin melaporkan sesuatu"
"Tentang apa?" Dengan kata-kata yang lancar yang sudah dihapalnya di bawah bimbingan
Bangsawan Dao dan Jenderal Eng, Jenderal Wan melaporkan tentang "para nelayan yang dihasut orang-orang Manchu
sehingga melawan tentara pemerintah",
dan Jenderal Wan lalu melaporkan bahwa
kekuasaan Jenderal Eng akan diperbesar
sampai dua kali lipat dengan dipanggilkan
pasukan-pasukan dari beberapa tempat
lain, agar pemberontakan bisa segera di-atasi.
Kaisar langsung merasakan bahwa
di belakang permohonan itu tersembunyilah kepentingan Bangsawan Dao. Biasanya
Kaisar takkan mampu menolak permintaan-permintaan yang didalangi Bangsawan
Dao, sebab pengaruh Bangsawan Dao sudah merasuk ke mana-mana, sulit ditentang. Menentangnya hanya akan kehilangan muka.
Namun sudah tentu Kaisar pun harus "menjaga kewibawaan" dengan tidak langsung begitu saja mengabulkan usul itu. Ia harus pura-pura bertanya ini itu dulu, setelah itu barulah setuju.
"Jenderal Wan, kau gegabah menuduh para nelayan itu didalangi Manchu, apakah punya bukti?" tanya Kaisar.
"Buktinya, perlawanan para nelayan yang mulanya kelihatan tak berarti itu, ternyata amat kuat. Pasukan kita yang didatangkan ke sana belum juga berhasil mengatasinya, dan perlawanan para nelayan itu nampak tertib, terorganisir, jelas ada otak pintar di belakang mereka. Sebab kalau para nelayan biasa saja, mana mungkin melawan sebaik itu?"
Kaisar Beng-te sudah berdebar-debar hatinya, apakah Manchu sudah menyeberangi sungai dan mengancam singgasananya, setelah hampir enam tahun situasinya tenang-tenang saja" Ketika itu Kaisar Beng-te hampir dinina-bobokan oleh laporan-laporan yang mirip slogan-slogan kosong, seperti "air sungai akan berwarna merah jika Manchu coba-coba menyeberang" atau "seluruh rakyat Han akan bersatu-padu mempertahankan setiap jengkal tanah leluhur" dan kalimat-kalimat berbunga lainnya. Kini tiba-tiba disodori laporan macam itu, Kaisar jadi agak gugup juga.
Kegugupan Kaisar inilah yang hendak dimanfaatkan Bangsawan Dao yang memperalat Jenderal Wan untuk mencapai" sasarannya. Sudah lama Bangsawan yang amat kaya raya ini masih ingin menambah kekayaannya dengan menguasai lahan perikanan sepanjang tepian Tiang-kang. Kalau bisa menguasai semua perahu, semua jala, membeli semua ikan tangkapan nelayan dengan harga serendah rendahnya lalu menjualnya dengan harga setinggi-tingginya karena dimonopoli, alangkah tak terbayangkan "banjir uang" yang bakal mengalir ke koceknya. Untuk itu, tepian selatan perlu dikuasai total, dan perlu Jenderal Eng sebagai "tukang
kepruk"nya ditambahi kekuatan pasukannya. dan supaya Kaisar setuju. perlu Kaisar digertak dan ditakut-takuti tentang "orang-orang Manchu yang sudah menyeberang".
Kaisar Beng-te hampir menyetujuinya, namun sebagai basa-basi ia melontarkan pertanyaan ke arah para peserta sidang, Ada yang ingin mengeluarkan pendapat?"
Ruang sidang sunyi senyap sementara lamanya dan Bangsawan Dao sudah yakin kalau usulnya akan gol, tetapi ternyata dari deretan belakang, deretan pembesar pembesar kelas dua, terdengar suara, "Hamba, Baginda."
"Siapa itu?" tanya Kaisar.
An Bwe keluar dari barisan dan berlutut di tengah lorong, agar terlihat oleh Kaisar dari singgasananya. Sahutnya keras karena tahu Kaisar sudah agak tuli, "Hamba An Bwe, berpangkat Cong-peng, mengkomandani pasukan ke lima."
Melihat munculnya An Bwe, Bangsawan Dao sudah kesal, dan mengutuk dalam hati, "Lagi-lagi Si Biang Kerak ini hendak mengacaukan urusanku."
Sementara Kaisar berkata, "An Congpeng. kau diperkenankan mendekat ke singgasana agar suaramu terdengar jelas."
Aula persidangan itu memang besar, jarak antara Kaisar dan An Bwe ada puluhan meter. Maka An Bwe pun melangkah mendekat dengan sikap hormat, berhenti di bawah tangga singgasana dan berlutut, "Hamba menyampaikan sembah sujud kepada Baginda, terima kasih bahwa Baginda berkenan mendengarkan hamba."
Kaisar cuma mengangguk ogah-ogahann sebab sebetulnya ia ingin sidang cepat selesai lalu ia bisa meneruskan kebiasaan rutinnya yang santai bersama selir-selirnya yang muda-muda dan cantik-cantik.
Sedangkan An Bwe langsung saja "menyodok" Jenderal Eng, "Baginda, kerusuhan di tepi sungai itu sebenarnya bukan didalangi oleh Manchu sehingga para nelayan itu melawan tentara kerajaan. Sama sekali bukan. Menurut laporan yang hamba terima, terjadinya karena para nelayan sudah tidak tahan diperas habis-habisan oleh hartawan jahat bernama Thio Po. Hartawan jahat itu tidak mengijinkan _para nelayan sepanjang tepian itu memiliki perahu sendiri, melainkan harus menyewa perahunya Thio Po, dengan uang sewa yang mencekik leher. Barang siapa berani membuat atau memiliki perahu sendiri, akan dibakar perahunya. Rakyat mengharapkan perlindungan para tentara kerajaan yang sering mengaku-aku pelidung rakyat, eh, malah tentara kerajaan memihak Thio Po dan ikut menguber-uber rakyat. Tentu saja rakyat makin sengsara. dan dalam situasi seperti itu rakyat mudah saja menerima pertolongan orang luar untuk memperbaiki nasib mereka. Maka terjadilah perlawanan itu. Dan ketika hamba selidiki kenapa Thio Po berani begitu bertingkah, tak lain adalah karena dia itu sanak kerabatnya jenderal Eng. Dan para prajurit di wilayah itu adalah bawahannya Jenderal Eng, jadi tidak mengherankan kalau para prajurit seolah menjadi tukang tukang kepruk pribadinya Thio Po." Dalam sidang kerajaan, adalah hal biasa kalau ada pembesar-pembesar yang hendak saling menjatuhkan, namun dengan cara yang halus berliku, menjebak dengan jerat-jerat berselubung. Bisa dibilang hanya An Bwe yang berani menyodok langsung tanpa tedeng aling-aling
Wajah Jenderal Eng pun berubah-ubah sebentar memucat sebentar memerah, dengan bibir gemetar. Tetapi di antara para hadirin banyak juga yang diam-diam senang melihat keberanian An Bwe, soalnya sudah lama orang-orang "mencium bau busuk" komplotan Bangsawan Dao dan jenderal Eng yang sudah menjalar ke mana-mana. Hanya saja tidak ada yang berani melawan terang-terangan. sebab itu berarti mencelakakan diri sendiri. Sekarang ada An Bwe yang berani melawan, orang-orang pun mendukung biarpun hanya dalam hati.
jenderal Eng menuding An Bwe dan berkata dengan suara gemetar, "An Cong-peng, kau berani memfitnah aku?"
An Bwe tersenyum sambil mengelus pelan jenggotnya, "Tidak, jenderal, aku tidak berani memfitnah siapa-siapa. Dosa besar itu. Aku hanya menyodorkan laporan sesuai dengan pengamatan orang orangku. Silakan Baginda Kaisar yang akan membandingkan laporan Jenderal dengan laporanku."
. "An Cong-peng, orang-orangmu pasti juga melaporkan bahwa para nelayan itu bertempur dengan cara militer yang berlatih. Coba jawab, kalau bukan dilatih orang-orang Manchu, lalu dilatih oleh siapa?"
jawaban An Bwe benar-benar mencengangkan, "Tentu aku tahu siapa yang membela para nelayan itu, karena merekalah teman-temanku dari kelompok 'gunung hijau'."
"Kelompok itu bukankah kabarnya dipimpin oleh Si Pemberontak Helian Kong?" Jenderal Eng mendesak dengan sikap hendak menyudutkan An Bwe. "Kau adalah abdi kerajaan, tetapi berteman dengan kaum pemberontak?"
"Aku tidak malu bersimpati kepada Jenderal Helian, karena ia bukan pemberontak. la membela rakyat. dan ia juga pembela sejati dinasti Beng. bukan seperti orang orang yang mengakunya setia kepada dinasti Beng tetapi menggerogotinya dari dalam demi kepentingannya sendiri, memperkaya diri dan keluarganya.. jenderal Helian berada di pegunungan bukan karena ia pengecut atau berbuat kejahatan, namun karena ia difitnah untuk suatu kejahatan yang tidak dilakukannya. Jenderal Eng, dengan bangga aku mengaku terus terang bahwa aku bersimpati kepadanya, dan kukatakan pula bahwa Manchu sampai detik ini belum berani menyeberang ke selatan adalah karena gentar kepada Jenderal Helian dan bukan kepada badut-badut korup yang mengaku pembela negeri namun berkasak-kusuk dengan orang-orang dari utara!"
Yang pusing adalah Kaisar, seandainya An Bwe tidak muncul, ia sudah memutuskan akan mengabulkan saja usul Bangsawan Dao tadi agar urusan tidak berkepanjangan. Tetapi dengan munculnya An Bwe, kelihatan ganjil sekali kalau Kaisar mengabulkan begitu saja permintaan Bangsawan Dao.
Ketika itulah An Bwe sudah menghadap kembali ke arah Kaisar dan berkata,
"Baginda, untuk menenteramkan gejolak di wilayah tepian itu, hamba usulkan agar Si Hartawan serakah Thio Po dihukum untuk keserakahannya, lalu rakyat dilindungi mencari nafkahnya secara adil. maka rakyat akan berterima kasih kepada Baginda."
Sebelum Kaisar menjawab, Jenderal Eng mendahului, "Hamba tidak setuju, Baginda. Tidak sehat kalau kita membiasakan rakyat bertindak liar dan semaunya lalu pemerintah mentaatinya begitu saja. Lama-lama yang lain akan ikut-ikutan. Ingin apa saja, sedikit-sedikit berontak. Lalu mau jadi negeri macam apa negeri ini" Jadi negeri kacau-balau di mana semua orang mengambil tindakan sendiri-sendiri seenaknya saja. Jadi kirimkan tentara lebih besar, tumpas mereka!"
Menghadapi masalah-masalah rumit itu, baru kelihatan kalau Kaisar benar benar seorang yang lemah dan mudah kebingungan. Apalagi waktu An Bwe sudah menyahut pula, "Tidak! Jenderal Helian dengan kekuatannya yang besar berdiri di belakang para nelayan itu. Kalau adu kekuatan, tentara kerajaanlah yang akan tertumpas habis, berapapun kekuatannya. Kalau menghukum Thio Po. masih ada harapan mencegah jatuhnya korban lebih banyak!"
"Tetapi menimbulkan pemerintahan kita lemah dan mudah digertak!"
"Aku bicara soal kenyataan tentang perbandingan kekuatan, bukan sekedar-gertak sambal!"
"Karena kau adalah komplotannya Helian Kong!"
"Dan kau berkomplot dengan orang orang Manchu, jangan kau kira aku tidak tahu!"
Pertengkaran menjadi sengit, sebenarnya dalam soal pangkat, jenderal Em dan An Bwe sungguh tidak berimbang. namun An Bwe dengan sengitnya berani mendebat setiap patah kata Jenderal Eng
Jenderal Eng sendiri gentar sebenarnya. Seandainya An Bwe tidak di 'backing" oleh Helian Kong. mudah saja menyuruh orang memenggal lehernya. Sayangnya, di belakang An Bwe terlanjur
ada Helian Kong yang sudah jadi momok amat menakutkan bagi para pembesar kerajaan. sampai Kaisar sendiri pun takut kepada Helian Kong.
Kaisar dengan suara lemah menyuruh jenderal Eng serta An Bwe diam, dan kemudian melemparkan masalahnya ke arah Penasehat Kerajaan, yaitu Lam Peng-hi. "Koksu. bagaimana pendapatmu soal ini?"
Usia Lam Peng-hi sudah hampir tujuh puluh lima tahun. namun nampak segar dan tegap karena ia adalah mahaguru dari Tiat-ciang Bu-aiao (Sekolah Silat Telapak Besi) yang senantiasa menjaga kondisi fisiknya. Ditanya soal itu, Lam Peng-hi pun merasakan pertentangan dalam hatinya. Secara pribadi, diapun mendendam kepada Helian Kong yang pernah mempermalukannya di masa lalu (dalam cerita "Puing-puing Dinasti"). Menurut emosinya, ingin Lam Peng-hi mendukung Jenderal Eng untuk melucuti An Bwe yang bersimpati kepada Helian Kong itu. Tetapi Lam Peng-hi punya pertimbangan lain. Belakangan ini Lam Peng-hi melihat semakin lemahnya wibawa Kaisar. sehingga Lam Peng-hi diam diam sudah siap-siap mencari "majikan baru" yang lebih kuat. dan ia sudah lama menjalin hubungan dengan Pangeran Dou-ang di Siao-hinn. Lam Peng-hi memperhitungkan pemerintahan di Lam-khia bakal ambruk dan itulah saatnya Pangeran Lou-ong naik tahta menjadi Kaisar dan menjadikan Siao-hin sebagai ibu kota baru pengganti Lam:khia. Lam Peng-hi ditugasi oleh Pageran lou-ong untuk mencarikan simpati sebanyak-banyaknya bagi Pangeran Lou-eng. .Namun Pangeran Lou-eng juga berpesan sungguh-sungguh agar ambruknya Lamkhia melulu karena "lemahnya wibawa Kaisar" dan bukan karena serbuan Manchu. Pangeran Lou-ong sadar. kalau sampai Manchu berhasil menyeberangi sungai, habislah seluruh wilayah selatan ditelan pasukan padang rumput yang amat kuat itu, termasuk wilayah kepangeranan Pangeran Lou-ong sendiri. Lam Peng-hi juga punya banyak mata-mata di Lamkhia dan dari para mata-mata itu Lam Peng-hi sudah curiga bahwa Jenderal Eng serta Bangsawan Dao bersekutu diam diam dengan Manchu. Lam Peng-hi tidak suka ini. bukan karena ia cinta tanah airnya, melainkan karena intrik jenderal Eng itu membahayakan rencana Pangeran Lou-eng. calon "majikan baru" Lam Peng-hi. Kini, di depan Kaisar Beng-te yang sedang bingung untuk mengambil keputusan, Lam Peng-hi 'harus memutuskan. Dan ia mengambil keputusan yang disemaikan dengan kepentingan calon majikan barunya di Siao-hin.
Katanya. "Ampun, Baginda, menurut hamba, selagi Manchu mengancam di utara sungai, lebih baik dan bijaksana kalau kita mengambil hati rakyat. _Janganlah perlawanan para nelayan itu dihadapi dengan kekerasan. Hamba yakin. peristiwa itu takkan melemahkan wibawa pemerintah."
jenderal Eng melotot kaget mendengar jawaban Lam Peng-hi yang malah menguntungkan An Bwe itu. Padahal kemarin Jenderal Eng baru saja mengadakan "kunjungan persahabatan" ke kediaman Lam Peng-hi sambil membawa hadiah-hadiah amat berharga. Kunjungan macam itu biasa dilakukan Jenderal Eng kepada tokoh-tokoh tingkat atas pemerintahan, setiap menjelang sidang kerajaan. Tujuannya jelas. menggalang dukungan agar bisa merajalela di sidang kerajaan. Tak terduga kali ini Lam Peng-hi malah mendukung An Bwe.
Kaisar sendiri pun kaget menghadapi sikap Lam Peng-hi yang diluar kebiasaan itu. Akhirnya Kaisar memutuskan bahwa urusan pemberontakan nelayan itu akan dibahas beberapa hari lagi. _
Beberapa pembesar diam-diam masy gul, bahwa perkara semudah itu ditunda keputusannya oleh Kaisar. lni menandakan betapa Bangsawan Dao sangat mempengaruhi Kaisar. dan betapa Kaisar sebenarnya ingin sekali memenangkan usul Bangsawan Dao namun tidak terlalu menyolok. maka jalan keluarnya ya masalahnya "digantung" beberapa hari.
Orang-orang yang muak kepada pengaruh Bangsawan Dao, diam-diam berharap An Bwe melanjutkan desakannya. Namun ternyata An Bwe juga tidak mendesak lebih lanjut. An Bwe merasa tujuannya untuk "menggertak" sudah tercapai, sehingga ia akan bisa menjalankan langkah berikutnya yaitu "pura-pun menolong". '
Pendekar Wanita Penyebar Bunga 19 Sang Penjaga Hati Karya Gembel Sakti Anna Karenina Jilid 2 10

Cari Blog Ini