Ceritasilat Novel Online

Pewaris Iblis 1

Pewaris Iblis Karya Abdullah Harahap Bagian 1


Pewaris Iblis Karya Abdullah Harahap Sumber Image : Awie Dermawan
Sumber Djvu : Koleksi Kolektor E-Book
Edit teks : Saiful Bahri Situbondo dibantu mas Billa Takkajo
Pdf : Saiful Bahri Ebook persembahan Group Fb Kolektor E-Book
Selesai di edit : 14 Juli 2018,Situbondo
Selamat Membaca ya!!! *** ABDULLAH HARAHAP PEWARIS IBLIS PEWARIS IBLIS ABDULLAH HARAHAP Pewaris Iblis Sarana Karya Jakarta. Sarana Terbitan Bermutu. Apabila ada nama, tempat kejadian ataupun cerita yang bersamaan, itu hanyalah suatu kebetulan belaka. Cerita Ini adalah fiktif.
PEWARIS IBLIS Karya : Abdullah Harahap
Diterbitkan oleh : Sarana Karya, Jakarta Cover oleh : Suryadi
Cetakan : 1992 Setting oleh : Trias typesetting
Hak penerbitan ada pada Sarana Karya Dilarang mengutip. memproduksi dalam bentuk apapun tanpa ijin
tertulis dari penerbit. *** MALAM belum larut betul ketika badai angin yang dahsyat muncul begitu saja, tanpa pemberitahuan lebih dulu. Penduduk Lembah Karang yang masih ada di luar, bergegas masuk ke rumah masing masing. Atau lari mencari tempat perlindungan terdekat. Penduduk percaya. siapapun yang lengah kemudian tersapu badai -akan lenyap. sirna. Raib begitu saja tanpa meninggalkan bekas atau petunjuk pada keluarga yang masih hidup untuk menemukan jasadnya, yang mungkin masih tersisa.
Dari satu dasawarsa ke dasawarsa berikutnya. badai angin itu telah menjadi legenda mengerikan. Pada setiap kemunculannya, akan jatuh korban manusia. Paling tidak manusia-manusia yang menghuni puri terpencil di atas bukit. Dan ke sanalah, sebagaimana selalu terjadi, badai angin yang ditakuti itu kini menuju. Berdesus dan bersiut kejam. Tak ubahnya suara segerombolan roh gaib yang dilanda kemarahan karena tidur mereka yang nyaman tiba-tiba diusik oleh manusia yang tak tahu diri.
Manusia yang tidak tahu diri itu, baru saja masuk ke istal kuda sewaktu lidah badai menjilati daerah sekitar puri. Terpaan badai angin yang legendaris itu membuat puncak bukit bergetar. Puri
yang berusia lebih dari satu abad itu tetap tegak. Kokoh, tak tergoyahkan. Namun pepohonan pinus di sekitarnya terayun-ayun begitu hebat, sampai menimbulkan bunyi berderak-derak mendebarkan.
Sejenak, orang itu mengawasi kegelapan malam di luar. Bayangan pepohonan pinus tampak seperti ratusan pasang kaki raksasa yang terayun tanpa daya dan setiap saat dapat roboh lalu melesat bersamaan ke arah puri. Wajah orang itu sempat membayangkan kecemasan. Namun tekadnya sudah bulat. Tak dapat dihalangi oleh apapun juga. Apalagi oleh badai angin yang konon jelmaan dari roh-roh gaib dari masa lampau, yang menurut pandangannya tak lebih dari omong kosong manusia-manusia penakut belaka. '
ia kemudian berpaling kembali. Melihat ke arah satu-satunya kuda yang ada di dalam istal. Dan toh ia memekik juga, terperanjat. Sesosok tubuh lain berdiri di samping kuda. Sosok seorang lelaki tinggi kurus dan renta. Andai saja ia tidak berpegang kuat pada tiang istal, tentulah dia sudah terhumbalang oleh hempasan angin yang menyerbu ke dalam lewat pintu yang menganga terbuka. Namun meski sosoknya tampak rapuh, sinar matanya tetap menyorot tajam. Begitu pula suaranya, tatkala mulut si tua menggerimit terbuka.
"Kunasihatkan sekali lagi ..!.", ujarnya tajam. "Jangan kau teruskan niatmu yang tidak patut itu!"
Orang yang baru masuk ke istal. menyeringai tak senang. "Tidak patut bagaimana. Abah"!"
"Si ahli waris -, yang syah", jawab orang yang lebih tua, dengan'suara berubah. Bagai tercekik. "Jika benar kau telah tahu siapa orangnya lebih baik kau hindari dia ----"
"Dia yang harus menghindar Abah. Sejauh mungkin. Jika terpaksa untuk selamanya!"
Wajah si orangtua seketika membayangkan kengerian. "Tarik kembali ucapanmu. Kalau tidak -----"
Terlambat. Di luar, suara angin bagai terdengar makin menggila. Si tua menatap ketakutan ke arah pintu yang terbuka. Tak ada sesuatupun yang tampak kecuali malam yang semakin menggelap. Tetapi ia yakin betul, sesuatu di luar sana kini Sedang menunggu, dengan perasaan tak sabar. Si tua berpaling kembali, mengawasi wajah lawan bicaranya. Dan apa yang ia lihat adalah wajah yang keras membatu, bahkan tampak licik dan kejam.
Si tua bergidik. Seram. "Aku sudah memperingatkanm !", bisiknya tersendat. Kemudian ia bergegas ke luar istal. Menyelinap sepanjang tembok yang terlindung dari serbuan angin. Langsung menuju ke puri. Sesaatketika menjauhi istal, masih terdengar olehnya suara mengakak, disertai gerutuan kasar:
"Orangtua bodoh dan pengecut. Maunya tetap jadi budak!"
Si tua renta, terus saja berlari. Masuk ke dalam puri membawa hatinya yang perih. Ia sudah terlalu sering mendengar ucapan ucapan semacam,
bahkan yang jauh lebih kotor atau menghina. ia sudah terbiasa. Namun setiap kali, hatinya senantiasa terasa perih. Bukan karena sakit hati. Melainkan karena kesadaran akan ketidakberdayaannya. Untuk mencegah, apa yang akan -atau selama ini selalu terjadi.
Celakanya lagi, ia selalu tidak tahan untuk tidak melihat.
Orangtua itu melangkah tertatih-tatih ke ruang depan. Tirai jendela ia singkapkan sedikit. Cukup untuk dapat mengintip ke arah istal. Dan lebih jauh, ke arah pintu gerbang. Pintu gerbang besi dengan pilar-pilar beton yang kokoh perkasa, saat itu tertutup rapat. Tak seorangpun konon pula dengan niat buruk di kepala, dapat melewati pintu itu. Tanpa ijin dari si penjaga puri
Orangtua kurus dan renta itu membuka lebar kelopak matanya, ketika ia melihat gambaran sosok tubuh seseorang, muncul dari dalam istal. Orang itu duduk rapat setengah membungkuk di atas punggung kuda. Sejak, kuda itu menjompak liar, namun penunggangnya dengan terkendali terus saja mengarahkan kuda ke arah pintu gerbang.
Si orangtua di balik jendela puri, berbisik sendirian: "Selamat jalan, Parja -----"
Parja yang duduk di punggung kuda, tentu saja tidak mendengar. Suara desus angin makin membahana saja. Kuda yang ia tunggangi sempat melakukan pemberontakan kecil. Tetapi dengan menghentakkan tali kekang, disertai dengan sedikit
tendangan lunak. ke perut, kuda yang terlatih itu kembali menemukan keberaniannya. Lalu berlari tersuruk suruk melawan arus angin 'menuju pintu gerbang.
Baru setelah cukup dekat, Parja menyadari bahwa pintu gerbang masih tertutup. Ia bermak sud menghentikan kudanya lalu turun untuk membuka pintu gerbang ketika kudanya tibatiba mengangkat kaki-kaki depannya dengan liar. Parja dengan susah payah menguasai kuda tunggangannya, lalu memandang ke depan. Ingin tahu, apa yang membuat binatang itu seperti dilanda ketakutan yang sangat. Jelas terasa dari getaran hebat di sekujur punggung kuda yang ia tunggangi.
Dan, Parja lantas ternganga.
Pintu gerbang besi yang berat dan kokoh itu, tahu-tahu terbuka sendiri dengan suara berkeriut. Tajam menusuk. Bersamaan dengan terbukanya pintu gerbang, badai angin mendadak pergi. Menghindar jauh jauh, meninggalkan siutnya yang kian menyayup, sampai akhirnya yang tersisa hanyalah kesunyian yang mencekam.
Lalu dari jalan yang menurun dan gelap gulita di bawah naungan pepohonan pinus yang kembali tegak kaku, terdengar suara samar-samar. Suara desah-desah nafas yang ganjil. Nafas yang begitu keras, serak, tersedak-seduk bagaikan nafas binatang buas dan pendendam tengah sekarat di tengah luapan kebenciannya.
Sesuatu kemudian menggelinding ke luar dari balik kegelapan. Sesuatu yang menyerupai ban
atau roda kendaraan lapis baja. Warnanya coklat kehitaman, dan meluncur cepat sekali di jalan tanjakan, melambat lewat pintu gerbang. Untuk kemudian berhenti diam bagai direm dengan kekuatan yang dahsyat. Hanya beberapa langkah di depan kuda tunggangan Parja.
Satu dua detik berlalu tanpa ada yang bereaksi.
Parja meluruskan duduknya di punggung kuda. Ia amati benda pipih bundar yang bagian luarnya tampak berlipat lipat dan bagaikan mengeluarkan sinar redup namun terasa menyakitkan mata Parja. Kuda yang ia tunggangi, tegak diam, seakan menunggu perintah. Lalu, dari lingkaran teratas benda atau mahluk ganjil itu, ada sesuatu yang bergerak. Hanya sedikit liuk kecil saja, tegak lurus mengarah ke arah rembulan di langit. Tampak sepasang benda menyerupai tanduk, lalu sepasang mata yang tak lebih dari sepasang bintik kecil cahaya merah kekuningan.
Dan, terdengarlah jeritan lirih dan tajam.
Datangnya dari bagian benda asing yang meliuk ke arah rembulan itu. Sebelum Parja sempat berpikir apa dan mengapa, kuda tunggangannya sekonyong-konyong mengangkat kedua kaki depan tinggi tinggi, disertai ringikan keras, membahana dari satu sisi ke sisi bukit lainnya. Parja terkejut. Tali kendali terlepas dari pegangannya. Ia berusaha meraihnya kembali. Gagal karena kuda itu terus saja mengangkat tinggi ke dua kaki depan, gerakannya liar dan marah. Parja yang berubah panik, berusaha menyelamatkan diri dengan merangkul
leher kuda. Parja berhasil, namun mendadak kuda tunggangannya merubah posisi. Kedua kaki depannya turun serempak menghantam'tanah, dan kakikaki belakangnya yang kini terangkat. Menendang-nendang udara kosong, sambil terus meringkik, melompat, meliuk, melengkung-lengkungkan tubuh begitu hebat. Sampai akhirnya, Parja terlempar dari punggung kuda. Jatuh terhempas di tanah.
Parja terpekik. Masih sempat berusaha menghindar. Tetapi kuda tunggangannya tetap saja melompat-lompat, tetap meringkik-ringkik. Makin lama makin liar dan makin buas. Lalu dalam tempo sekian detik saja, ringkikan kuda kini ditingkahi oleh jerit pekik sengsara seorang anak manusia. Terdengar pula bunyi tulang berderak patah. Disusul bunyi berdetuk lunak, manakala kuku kuda berladam besi mendarat tanpa ampun di kepala Parja.
Binatang yang kalap itu baru berhenti meringkik dan melompat-lompat setelah tak terdengar lagi suara apa apa. Kecuali dengus keras nafas kuda itu sendiri, yang kini memandang tegak ke depan dengan sekujur tubuh bergemetar hebat. Banda asing bertanduk dan menyerupai roda kendaraan lapis baja itu sudah tak ada di tempat. Tetapi bersama munculnya kembali tiupan angin keras dari segala penjuru, sayupsayup terdengar lolongan lirih yang kian menjauh.
Sesaat, kuda itu masih tegak dengan gelisah. Kemudian ia menghambur lurus ke depan. Menerobos pintu gerbang besi yang menganga lebar,
lalu lenyap ditelan kegelapan pepohonan pinus di luar sana. Meninggalkan korban kekalapannya yang terkulai diam di tanah. dalam "genangan darahnya sendiri.
Dan di salah satu jendela depan puri, tirai yang sebelumnya tersingkap, perlahan-lahan diturunkan kembali. Seberkas cahaya yang sebelumnya menerobos ke luar jendela, melenyap pula dengan sendirinya. Yang tersisa kini hanya kegelapan malam yang semakin pekat, menghitam.
Badai angin pun kian menggila.
Membawa serta jerit tangis sengsara roh roh gaib yang terus berusaha menghindari panasnya api neraka.
*** 2 "AWAS!", Jamila setengah berteriak memperingatkan, ketika terlihat mulut sebuah jembatan tahu-tahu muncul di tikungan yang membelok tajam ke kanan. Perdana yang memang dalam keadaan setengah mengantuk, terperanjat seketika. Ia injak rem sekaligus sehingga mobil terbanting keras lalu berhenti melintang persis di mulut jembatan berpilar beton itu.
Setelah sama berdiam diri saking terkejut, Jamila melontarkan kecaman lunak pada suaminya: "Kalau Abang mau bunuh diri, silahkan. Tetapi Mila jangan dibawa bawa!"
Kecaman bernada sayang; Bukan kemarahan. Perdana menyeringai malu, lantas mengeluh: "Aku tak tahu mengapa, Mila. Mendadak saja aku terserang kantuk yang hebat ---"
"Abang letih. Mari kugantikan!"
Mereka berdua bertukar tempat setelah lebih dulu Perdana membetulkan posisi mobil dan menghentikan kendaraan itu di seberang lain jembatan. Sambil tak lupa meledek: "Syukur aku punya supir cadangan ----"
"Yang. sudah waktunya menuntut kenaikan gaji", balas Jamila, diiikuti senyuman masam. Mobil ia jalankan dengan kecepatan sedang.
Perdana menimpal kalem: "Tuntutan ditolak!"
"Alasannya?" "Namanya juga supir cadangan. Mana, sebelum ini sudah pula terlalu sering menuntut ...."
Sambil terus mengawasi jalan di depan, Jamila berkata sengit: "Itu tidak benar! Aku tidak pernah ----"
Perdana menguap. "Apa tidak pernah. Malah nyaris setiap malam
"Aku" Menuntut"!"
"Benar, supirku sayang. Bukan menuntut naik gaji. Melainkan naik ke atas tubuh majikanmu!"
Jamila akan protes, tetapi kulit mukanya keburu terasa memerah. Ia cuma bisa menggumam lemah: "Jorok, ah!"
Perdana tertawa kecil. Kemudian, menguap lebar.
"Hem. Menguap lagi!" .
Perdana menggelengkan kepala. "Jika ditahan, otot perutku sakit ---'"
Jawaban seenaknya itu tidak ditanggapi Jamila. Perhatiannya sedang tercurah ke rumah-rumah di kiri kanan jalan. Di sana sini ada lampu, tetapi semua pintu dan jendela tertutup rapat. Tak seorang pun manusia lalu-lalang. Bahkan juga tidak, walau hanya seekor anjing. Rumah-rumah itu tampak kusam, sebagian besar tampak menyerupai bekas barak. Pekarangannya luasluas, namun gersang.
"inikah desa Lembah Karang?", Jamila bertanya
ingin tahu. Perdana membuka kelopak matanya lebar-lebar. Terasa berat. Mengawasi sekilas kiri kanan jalan yang mereka lalui, ia menyahut lemah: "He-eh."
"Kok sepi amat sih?"
Perdana mengerdip-ngerdipkan mata, mengusir kantuk. "Dari sononya sudah begini ---"
"Kok?" "Habis" Mau ramai bagaimana. Kau lihat susunan rumah-rumah itu. Penghuninya. terbanyak bekerja di perkebunan. Selebihnya, petani. Mereka memang memiliki sawah berhektar hektar. Namun para petani itu tak akan pernah cukup kaya untuk membuat desa ini berkembang "'
"Mengapa bisa begitu?"
"Segala macam teknik pertanian sudah dicoba di sini. Tak ada perubahan. Tetap saja sawah hanya dapat dipanen sekali dalam setahun. Diselang seling tanaman kentang, singkong, sayur sayuran. Atau ikut memburuh di perkebunan keluargaku. Dengan resiko dibayar murah, karena terjadi kelebihan tenaga kerja ----"
"Minus sangat!"
Perdana menguap lagi. Jawabnya: "Sesuai dengan nama. Lembah Karang!"
Jamila tak sudi mengemudi sendirian. Mana desa sudah terlampaui. dan jalanan kembali sepi, lengang, dengan kegelapan yang menghitam ke manapun mata memandang. Dan tak sekalipun mereka berpapasan dengan mahluk hidup. Tahu suaminya mengantuk lagi, ia terus menyerbukan pertanyaan: "Kenapa sih daerah ini dinamai Lem
bah Karang" Dari tadi kuperhatikan, tak juga terlihat bukit atau hamparan tanah berkarang -----"
Perdana mati matian mengusir kantuk yang terus menyerang. Toh sebelum menjawab, ia sempat menguap panjang. "Persisnya aku tak tahu. Tetapi menurut dongeng jaman baheula Bukan sombong ", ia tersenyum lebar. "Leluhurku keturunan salah seorang istri Bupati. la ditugaskan membuka lembah ini. Sebuah lembah karang, dalam arti kata sesungguhnya. Konon, leluhurku lebih dulu harus bertempur melawan jin dan segala macam dedemit. Dengan kesaktiannya yang luar biasa, leluhurku berhasil memenangkan pertempuran. Lalu ia membuka daerah ini untuk bisa dihuni, dan bisa memberi makan para pengikutnya yang setia. Jadilah perkebunan karet, kopi, kemudian sawah. Yang, konon di masa itu subur luar biasa --"
"Di daerah berbatu karang?", tanya Jamila, seraya mengawasi sekilas pepohonan karet dengan semak belukar tinggi di sana sini.
"Memang tak masuk di akal. Tetapi jangan lupa, supirku sayang ----", Perdana tertawa pelan. "Yang merubah kondisi tanah di sini, bukan hanya leluhurku dan pengikut-pengikutnya saja. Bantuan terbesar, konon mereka peroleh dari jin dan dedemit taklukan leluhurku itu ----"
Jin dan segala macam dedemit!
Apakah ada di antara mereka yang berkeliaran di antara pepohonan yang tegak menjulang di tengah kegelapan malam itu. Atau, bersembunyi
di balik rimbunan semak belukar" Bagaimana pula rupanya" Kepulan asapkah" Yang makin lama makin memberi wujut aneh aneh kelelawar berkepala manusia dengan taring-taring panjang, -atau m0nyet bermata merah saga -Hei bukan iin dan setankah itu" Berdesau-desau, mendengusdengus di luar mobil .Dan bunyi apa yang bergerung gerung itu"
Jamila menajamkan telinga. Waspada.
Sinar lampu mobil menangkap gerakan pucuk semak belukar terayun ayun teratur kian kemari. Astaga, hanya bunyi tiupan angin kencang belaka. Dan gerungan monoton yang sangat tidak mengenakkan telinga itu, tak lebih dari bunyi mesin mobil yang ia pacu dengan mempergunakan gigi rendah, karena jalanan terus saja menanjak. Mana diselang seling belokan dengan tanjakan terjal pula.
Sekali ia melirik ke samping. Suaminya rebah dengan kepala mengulai ke_sandaran tempat duduk. Tetapi kelopakmata suaminya belum mengatup seluruhnya. Jamila menegur: "Jangan tidur dong. Tunjuki aku jalan -----!"
Berat sekali jawaban yang keluar dari mulut Perdana: "Kau sudah menemukannya ----"
"Apa"!" "Akan ada satu dua simpangan kecil. Tetapi kau tinggal mengikuti jalanan aspal ini Saja. Tak sampai lima menit lagi kalau tak salah, ujung jalan ini akan berakhir di pintu gerbang puri -----"
"Dan -", Jamila menelan ludah. Lalu menerus
kan dengan gumaman kecut: "Sesosok mayat di dalamnya. Yang menunggu kedatangan kita dengan sabar!"
"Persis !", sahut Perdana seenak perut. Lantas kelopak matanya dipejamkan, tak acuh.
Obrolan tentang mayat, yang terlontar dari mulut Jamila sendiri, membuat Jamila mendadak kehilangan nafsu untuk mengobrol. la pun tak berhasrat untuk memperhatikan apakah suaminya masih terjaga, atau sudah terbang ke alam mimpi. Sudah sejak kemarin malam suaminya tidak tidur, setelah siang harinya menerima interlokal tentang kematian ayahnya. Perdana terpaksa kerja lembur sampai dinihari. Ia harus mengumpulkan beberapa orang staf perusahaannya, memberi instruksiinstruksi yang diperlukan -, lalu menugaskan salah seorang dari mereka untuk mewakili dirinya selama masa berkabung. Kemudian berangkat dengan pesawat pertama yang tinggal landas dari bandara Polonia. Sementara Jamila terlelap dalam penerbangan menuju Jakarta, suaminya sibuk mempelajari sejumlah berkas. Ia kemudian membangunkan Jamila setelah pesawat turun dan berhenti di bandara asing buat Jamila.
"Palembang," suaminya menjelaskan. "Ada gangguan cuaca!"
Baru dua jam lebih kemudiannya, pesawat yang mereka tumpangi diijinkan oleh tower untuk me neruskan perjalanan ke Jakarta. Suaminya makin tak dapat kesempatan istirahat, karena jalanan yang macet dari bandara Cengkareng ke Halim.
Jadwal mereka jadi kacau. Mereka terpaksa harus menunggu satu jam, sebelum ada pesawat yang membawa mereka ke Bandung. Untuk meringankan beban pikiran suaminya, Jamila mencari telepon dan menginterlokal ke Bandung. Sudah disepakati bersama, mereka akan berangkat serempak ke Pameungpeuk, Garut. Ternyata rombongan keluarga yang menunggu mereka sudah berangkat karena menduga ia dan suaminya menunda keberangkatan dari Medan. Terpaksa setiba di Bandung, mereka sibuk mencari mobil sewaan tanpa sopir, dengan jaminan kartu kredit. Suaminya punya hobby mengemudi, dan tak senang disupiri orang yang belum dikenal. Bahkan pada Jamila sendiri, baru ia berani menyerahkan kemudi jika sudah merasa keadaan cukup aman.
Kilatan aneh mengejutkan Jamila.
la mengurangi kecepatan laju mobil, dan menyimak dengan seksama benda apa yang tadi menimbulkan kilatan di antara bayang-bayang pepohonan tadi. Ia lantas terkejut dan mencela diri sendiri, setelah dihadapan mobil terlihat sebuah pintu gerbang besi yang berat, tinggi, dan kokoh -, dengan pilar-pilar beton yang angkuh di kiri kanannya.
Mujur ia keburu mengerem. Jika tidak -kita sudah sampai, Bang," desahnya lirih.
Tak ada sahutan. Jamila tak perlu menoleh. Cukup mendengar
saja. Dengkuran suaminya seolah akan memecahkan kegelapan dan kesunyian di sekitar mereka. Haruskah Jamila membunyikan klakson" Jangan dulu. Siapa tahu ada bel atau genta. Menunggu sejenak namun tak juga ada orang yang datang untuk membukakan pintu gerbang, Jamila lantas memutuskan untuk membangunkan sang suami.
Lalu ia mendengarnya! Mendengar suara-suara ganjil. Berdetak-detak. Samar samar. Jamila mengawasi kegelapan malam di luar jendela mobil. Yangtampak hanya bayang bayang pepohonan yang tegak menghitam, dan semak belukar yang bergoyang kian kemari mengikuti arah angin.
Tak ada orang atau makhluk hidup -Tidak" Oh. ada. Itu dia. Mendekat dengan gerakan lamban namun: teratur. Gerakan setengah mengambang di permukaan tanah. Lewat celah celah besi pintu gerbang, di sebelah dalam sana tampaklah sesosok mahluk besar berwarna putih atau kelabu, mendekat ke pintu gerbang. Seekor kuda yang gagah, dengan penunggangnya yang duduk tegak dan gagah pula di atas pelana.
Jamila tidak dapat menaksir usia si penunggang kuda, karena jaraknya masih cukup jauh. Mana agak menghindari sorotan lampu depan mobil, yang menyala terang, benderang. Namun cukup jelas untuk melihat pakaian yang membalut tubuh sosok manusia di atas punggung kuda itu. Astaga, pakaian kebesarankah itu" Pakaian yang aneh pula. Belum pernah Jamila melihat model pakaian se
macam itu. Atau, pernah" Yakni, ketika ia masih duduk di bangku sekolah lanjutan. Benar. Pakaian orang itu, jika tak salah, jelas mengikhti mode tempo doeloe.Mode bangsawan pribumi di jaman penjajahan kolonial.
Jamila akan tersenyum, ketika kuda gagah itu mendadak berhenti.
Si penunggang, meluruskan duduknya. Lalu memandang lurus-lurus ke arah mobil. Langsung ke wajah Jamila. Meski ia berada di tempat yang agak temaram, toh jelas terlihat sorot matanya bersinar tajam. Samar samar mulutnya membentuk garis, menyerupai senyuman. Jamila tak dapat menduga, apakah tarikan bibir tipis itu senyuman ramah atau senyuman tak senang.
Yang. pasti, senyuman orang itu sangat misterius.
lebih misterius lagi, ia tetap saja duduk di punggung kuda. Tanpa ada pertanda untuk turun membukakan pintu gerbang. Apalagi untuk mengucapkan katakata selamat datang!
Tahu diri sebagai tamu, Jamila bermaksud membuka pintu mobil dengan niat menyapa si penunggang kuda dan menjelaskan siapa mereka dan mengapa dinihari begini mereka datang mengusik kenyamanan tidur para penghuni puri. Tetapi tangan Jamila baru saja menyentuh hendal pintu mobil, manakala dari arah belakang si penunggang kuda, tampak sesosok tubuh datang berlari-lari mendekat. Langsung menuju pintu gerbang.
Pendatang kedua itu seorang lelaki lanjut usia. Tampak renta karena tubuhnya yang sudah kurus,
tinggi pula. Pakaiannya bersahaja. Ia lewati begitu saja kuda dan penunggangnya tadi, seakan tak melihat kehadirannya. Begitu pula sebaliknya. Si penunggang kuda tak sedikitpun melirik. Acuh tak acuh saja sewaktu lakilaki tua itu lewat di samping kudanya. Mata si penunggang kuda terus saja memandang ke arah Jamila.
Sekujur tubuh Jamila terasa dingin.
Perasaan yang muncul tiba-tiba. Karena pandangan orang berpakaian aneh itukah" Atau -oh, oh. Rupanya tanpa sadar tangan Jamila telah mendorong terbuka pintu mobil, dan angin malam yang dingin menggigit segera menerpa masuk ke dalam mobil. Jamila berpaling sewaktu terdengar suara gerutuan kasar di sebelahnya. Perdana telah bangun. Mengucek ucek mata. Mulanya akan bertanya pada Jamila. Tetapi begitu mendengar keriut besi beradu besi, Perdana menoleh ke depan. Terlihat pintu gerbang telah dibuka lebarlebar oleh si lelaki tua renta tadi. _
"Ah. Itu dia. Si Abah!", rungut Perdana, setengah mengantuk.
"Yang mana?", tanya Jamila seraya menutupkan pintu mobil kembali. Terpaan angin malam yang dingin menusuk itu segera digantikan kehangatan udara di dalam mobil. Jamila memasukkan versnelling ke gigi satu untuk memacu mobil lewat pintu gerbang.
"Yang mana bagaimana ", Perdana berujar sengit. "Yang membuka pintu gerbang, dong. Siapa laqi kalau bukan dia?"
Jamila dongkol oleh kesengitan suara suaminya. Ia kembali melihat ke depan. Dan benar saja. Yang tampak olehnya, hanya si lelaki tua saja, yang tegak kaku di sisi pintu gerbang menunggu mereka lewat. Jamila melirik ke arah lain. Tetapi selain barisan pepohonan pinus di kiri kanan jalan menuju puri, ia tidak melihat apa apa lagi.
Laki laki misterius itu sudah lenyap.
Begitu pula mahluk perkasa berwarna putih kelabu yang ditungganginya. Benar benar lenyap. Tanpa meninggalkan bekas. Walau hanya detakdetuk kaki kuda, yang sebelumnya terdengar samar-samar oleh telinga Jamila sebelum Jamila melihat kehadiran mereka tadi.
Sementara laki-laki tua yang tadi membukakan pintu gerbang kini berlari'lari kecil mengikuti mobil yang dijalankan Jamila perlahan-lahan, penasaran Jamila mengawasi tempat sekitarnya. Selintas ia lihat suaminya membukakan jendela mobil di sampingnya. Ia juga mendengar suaminya bertegur sapa dengan si lelaki tua, yang menyahuti dengan suara keras untuk mengatasi bunyi deru angin. Tetapi ke manapun mata Jamila menjelajah, tetap saja ia tidak melihat orang atau kuda yang ia cari. Meski cuma bayang-bayangnya.
Sekujur tubuh Jamila terasa dingin lagi.
Bukan karena terpaan angin. Melainkan, oleh darahnya yang menyirap dan menyirap, ketika ia tiba-tiba teringat cerita suaminya sebelum ini tentang puri yang kini mereka datangi. Bukan sekali dua suaminya berkata begini: "Aku tak suka
ke sana. Puri itu berhantu!"
Lalu kemarin malam: "Kau lihat, bukan" Ayahku pun mati di puri itu. Mati secara mengerikan. Seperti pendahulu pendahulunya --"
Kini. Jamila menghibur diri dengan apa yang sebelum ini selalu ia lontarkan pada suaminya: "Omong kosong. Tak ada hantu di dunia ini. Kecuali dalam jiwa manusia-manusia penakut dan lemah iman!"
Seraya mengawasi bangunan yang memberi gambaran sebuah istal kuda, lalu kemudian puri yang mulai tampak di depan mereka -, puri yang tegak menjulang dengan sosoknya yang menyeramkan di bawah siraman rembulan, Jamila berdo'a dalam hati: "Ya Allah. Jangan Engkau lemahkan imanku sekarang ini -----"
Namun, Jamila toh tetap merasakannya.
Perasaan takut. Yang muncul diam-diam. Merayap lambat tetapi pasti
*** 3 SETURUN dari mobil, Jamila memandang terpesona apa yang sebelum ini hanya ia dengar dari penuturan suami atau saudara-saudara iparnya. Meski tetap beranggapan mereka agak melebih lebihkan, namun toh Jamila selalu mendengarkan dengan asyik.
"Puri Lembah Karang. Mengapa kau tidak berbulan madu di sana saja"!"
"sekali.waktu, kau harus melihatnya!"
"Kau akan betah. Apalagi kau bilang, kau tak percaya adanya hantu ---"
"Eh, Jaka. Kok malah menakut nakuti!"
"Kau ingin tahu, bagaimana dahulunya puri itu dibangun kakek moyang kami, Mila" Leluhur kami tidak hanya mengerahkan kekuatan fisik. Konon, ia dibantu oleh kekuatan gaib dan mistis. Misalnya ----"
Mistis! Itulah yang kini dirasakan oleh Jamila, ketika memperhatikan sekilas bangunan besar dan megah, yang tegak kokoh bahkan tampak angkuh di depan matanya. Tiang tiangnya tampak angker, dengan atap tinggi menjulang ke arah langit yang temaram. Agaknya bangunan di depan Jamila itu jarang mendapat sentuhan restorasi sehingga ke
adaannya agak terbengkalai, bahkan kusam. Namun justru kekusamannyalah yang membuat keberadaan bangunan itu seakan berbau mistis. Sebuah bangunan antik bergaya Eropa lama, dan jelas sudah.. ini adalah salah satu bangunan bersejarah peninggalan jaman kolonial. Yang seharusnya didayagunakan.
"Bukan sebagai milik keluarga," Jamila membathin. "Tetapi sebagai milik bangsa -, yang patut dilestarikan!"
Sungguh mengherankan. Sewaktu berpikir demikian, Jamila merasakan adanya perubahan dalam dirinya. Perasaan takut tadi pelan pelan kehilangan gigitannya. Diganti oleh sentuhan nyaman. Yang merayap hangat lalu kemudian merangkul sanubari Jamila, memberikan semacam rasa tenteram dan terlindungi.
Pesona itu mendadak buyar ketika dari pintu depan yang setengah terbuka, muncul seorang pemuda yang bergegas mendatangi dengan kata sambutan yang menunjukkan kegembiraan: "Ah. Jadi kalian datang juga akhirnya!"
Jamila segera mengenali Jaka, adik iparnya yang terbungsu. Pemuda itu mengenakan kimono tidur yang tampak sedikit kusut seperti juga rambutnya.
"Apa kabar, Kak Mila?", ia mengulurkan tangan.
Sewaktu menyambutnya, Jamila merasakan tangan Jaka tidak sehangat biasa. Mungkin karena cuaca yang dingin membeku. Tetapi mengapa begitu cepat dilepaskan" Biasanya Jaka setengah
mengusap, dan seakan enggan melepaskan. Oh, tentu saja..! ia harus.pula menyambut saudaranya yang tertua, dengan siapa Jaka kemudian saling bertukar rangkulan.
"Andai saja aku bermimpi indah," ujar Jaka dengan tawa lunak, "Pastilah aku tidak akan terjaga untuk menyambut kedatangan kalian ...." Ia mengangguk ke arah Jamila. "Ayolah, kita ke dalam."
Jamila tersenyum lalu mengikuti Jaka naik ke beranda. Iseng bertanya: "Jadi kau terjaga karena bermimpi buruk, ya?"
"Buruk sekali," jawab Jaka, segan. "Dalam mimpiku tadi, rasanya aku akan kehilangan Kang Dana untuk selama-lamanya!"
"Memang nyaris ---"
Jaka tertegun. Bertanya, terkejut: "Apa?"
Jamila tertawa menghibur. "Di bawah sana tadi. Abangmu hampir saja mengadu kemampuan mobil yang kami kendarai, dengan pilar-pilar beton sebuah jembatan yang muncul tibatiba di tikungan ---"
"Astaga ...", Jaka ternganga.
Karena mereka sempat terhenti, Perdana yang tadi membuka bagasi mobil dengan segera sudah berada di samping mereka. Diiringkan oleh si lelaki kurus yang sudah tua dan tampak renta itu. Ternyata ia tidaklah setinggi yang semula dibayangkan Jamila. Bayangan itu hanya muncul karena kekurusan tubuhnya saja. Terbukti ketika ia berdiri di dekat Jamila, tinggi mereka hampir serupa.
Semua rambutnya sudah memutih. Kulit wajahnya pun sudah pada mengerut di sana sini dimakan usia. Jalannya sedikit bungkuk. Mungkin karena koper berat yang dijinjingnya.
Ia terus saja lewat untuk mengikuti Perdana masuk ke ruangan dalam, yang segera pula disusul oleh Jaka. Dua bersaudara itu agaknya belum puas saling melepas rindu. Mereka terus saja masuk sambil bertukar tanya. Sehingga Jamila seperti terlupakan.
Jamila bermaksud akan menyusul mereka dengan perasaan sedikit keki, tentu -, tatkala si orangtua yang berjalan paling belakang, tahu-tahu saia menghentikan langkah. Sekaligus pula membalikkan tubuh. Nyaris saja mereka bertubrukan, andai saja Jamila langsung menyusul masuk.
Sesaat, mereka saling berpandangan.
Jamila mengurai senyuman di bibir, sebagai tanda perkenalan dan ingin bersahabat. Lain halnya dengan si orangtua. Lelaki itu menatap Jamila dengan sepasang mata terbuka lebar. Tubuhnya pun berubah tegang, kaku. Gemetar pula lagi. Terlihat dari getaran kopor di jinjingan tangannya. Tampak mengatur nafasnya dengan susah payah. orangtua itu kemudian berucap tersendat:
"Non Lola!" Jamila mengernyitkan dahi. Lantas menjawab disertai senyuman lebar: "Mila, Pak. Bukan Lola. Kau tentunya Pak Dudung, bukan?"
Orangtua itu mengangguk kaku. Dan tetap gemetar.
Jamila mengulurkan tangannya ke arah koper di jinjingan tangan lelaki itu. lba memikirkan, selain sudah tua renta lelaki itu tentunya capek sendiri karena tadi berlari-lari mengikuti mobil mereka sejak dari pintu gerbang. Kopernya sendiri memang besar dan berat. "Mari. Aku tolong bawakan!"
Kepala orangtua itu segera ditegakkan. "Biar olehku, Non ---"
"Mila. Kependekan dari Jamila. Jangan salah lagi ya?"
Ada perasaan segan atau bahkan takut" _ di wajah Dudung sewaktu ia mengangguk patuh lalu menyisi dengan tubuh sedikit dibungkukkan untuk memberi jalan pada Jamila. Orangtua itu tidak segera masuk. Ia masih tegak kaku di tempatnya, mengawasi punggung Jamila. Dari uiung rambut sampai ke ujung kaki. Dan sekali lagi ia tampak gemetar....
Akan halnya Jamila yang sempat dibuat bingung oleh cara orangtua itu memandangi dan keliru pula menyebutkan namanya, dengan segera sudah berada di ruangan dalam. Bergabung dengan suami dan saudara iparnya. Dan sama-sama tegak, walau tanpa dikomando oleh siapapun. ke arah sesuatu yang diletakkan persis di tengah tengah lantai utama puri. Tepat di bawah gantungan lampu lampu kristal, tampaklah Sebuah peti empat persegi panjang, dengan pelituran warna coklat tua, seakan menyambut dan balas memandangi kehadiran mereka dengan tatapan kaku dan kejam..Di manapun, sebuah peti mati tetap saja menimbulkan
kesan kaku dan kejam. Sunyi menghentak untuk beberapa detik lamanya, sebelum Perdana meneruskan langkah. Langsung menuju peti mati yang dalam keadaan tertutup itu. Jamila tergerak untuk menyertai dan mendampingi suaminya. Tetapi dicegah oleh bisikan tajam menuSuk dari sampingnya: "Kuanjurkan agar tetap di tempatmu, kak Mila ----!"
Jamila memandangi Jaka, terheran-heran. "Aku harus"."
Tanpa berpaling, Jaka memotong kata kata kakak iparnya: "Lupakan saja."
"Mengapa?" "Aku sudah cukup repot sore tadi. Oleh kak Rita yang jatuh pingsan. Dan Nina yang muntah berat. Aku yakin Kak Mila cukup tangguh. Tetapi apa yang terbaring di dalam peti itu ------"
Jaka tak perlu meneruskan. Cukup dengan melihat reaksi Perdana saja. Awalnya, ketegangan yang menggigit manakala terdengar bunyi derit penutup peti didorong setengah terbuka oleh suaminya. Kemudian tangan Suaminya mendadak berhenti mendorong. Dan tangan itu segera ditarik mundur kembali. Perdana memaling sejenak, jelas menghindari sesuatu yang tidak menyenangkan untuk dilihat. Tubuhnya tampak limbung sesaat. Lalu ia kuatkan dirinya untuk melihat sekali lagi ke dalam peti mati. Baru kemudian, dengan lengan lengan gemetar, menarik penutup peti mati ke tempatnya semula. Tidak persis benar, karena jelas terlihat adanya sedikit celah. Sepertinya Perdana
diperintahkan untuk menyisakan celah itu, agar si penghuni peti mati dapat mengintip ke luar. Dan mengawasi satu persatu mahluk mahluk hidup yang ada di dekatnya. Dan melihat bagaimana reaksi mereka.
Wajah Perdana jelas terlihat sangat pucat ketika ia bergabung kembali dengan isteri dan adiknya. Lalu, tak jelas pada siapa ditujukan, ia berujar gemetar: "-----menyedihkan, bukan?"
Jaka mengawasi abangnya. Tersenyum samar. "Komentar Akang lebih bijaksana ketimbang Nina ---". Tak ada yang bertanya. Tetapi Jaka tetap saja menjelaskan: "Tahu apa komentar Nina" Menjijikkan!"
"Itu melampaui batas!", protes Perdana, tidak setuju.
"Tetapi memang mendekati kenyataan, bukan"," sahut Jaka, acuh tak acuh.
"Yah -----," Perdana angkat bahu. "Lagipula, siapa sangka ayah kita mati secara -----"
Dehem lembut menghentikan pembicaraan mereka. Dudung diam-diam sudah masuk dan dari tadi ikut terdiri di dekat mereka, menunggu perintah. Ia melihat betapa Jamila gelisah mendengar percakapan suami dan adik iparnya. Jelas terlihat oleh Dudung perasaan tidak senang di wajah Jamila, yang terpaksa ia tahankan.
"Apakah tidak lebih baik saya antarkan dulu Non Mila ke kamarnya"," tanya Dudung, sopan.
"Batu! sekali:," Jaka menyetujui. "Lagipula masih ada yang harus kubicarakan dengan Kang
Dana." "Tidak bisa menunggu sampai besok"," Perdana melontarkan apa yang semula akan dikeluhkan Jamila.
"Makin cepat makin baik," jawab Jaka. diplomatis.
Perdana terpaksa menganggukkan kepala pada isterinya, yang segera mengikuti Dudung menuju tangga ke lantai atas. "Sebentar, Abah!"
Dudung berhenti di anak tangga terbawah.Menunggu.
Sebelum mengatakan sesuatu pada orangtua itu. lebih dulu Perdana berpaling pada Jaka. "Aku kira, cukup sekali saja aku melihat jenazah ayah kita untuk terakhir kali. Kau?"
"Sependapat" . "Rita" Nina?"
Jaka menyeringai. "Aku yakin, biar dipaksa! bagaimanapun mereka tidak akan _sudi melihatnya dua kali!" '' , . -_
Perdana tersenyum kecut. Baru kemudian berujar pada Dudung: "Sebaiknya kau pakukan saja peti mati itu, Abah."
"Sekarang"," orangtua itu kebingungan.
"Biarkan yang lain tidur dengan pulas," jawab Perdana, tak senang. "Lakukanlah itu pagi-pagi. Bunyikan palumu agak keras. Supaya mereka terbangun dan segera siap mengikuti upacara pemakaman!" .
"Dan kau"," Jamila menyela.
Perdana memaksakan senyum di bibir. "Kau
supir cadangan yang jempolan. Tadi aku kau buat terlelap di mobil, bukan ?"
Jamila mau protes: tetapi gelengan kepala Jaka di samping suaminya menahan protes Jamila. Ia kemudian bergerak mengikuti Dudung naik ke lantai atas, sementara di belakangnya ia dengar ajakan Jaka: "Ayo, Kang Dana. Kita ngobrol di perpustakaan saja!"
Sementara ke dua kakak beradik itu memutari bawah tangga meuju perpustakaan, Jamila tiba di lantai atas di mana Dudung berdiri menunggu. Jamila segera'paham mengapa orangtua itu tidak segera membawanya ke kamar di maksud. Karena yang ada di hadapan Jamila adalah sebuah lorong berlampu temaram, yang di kiri kanannya tampak jejeran pintu seperti di sebuah lorong kamar kamar hotel.
"Pilih yang kiri atau yang kanan, Non?"
Jamila memandangi pintu-pintu itu. Bingung. "Apa perbedaannya, Pak?"
"Yang sebelah kiri, jendelanya menghadap ke lereng gunung. Kamar kamar sebelah kanan, menghadap ke lembah...."
"Oh. Bagaimana dengan yang itu"," Jamila menunjuk ke pintu tertutup yang terletak di ujung lorong, menghadap langsung ke arah mereka.
"Balkon," Dudung memberitahu. "Tempat di mana Non dapat bermandi matahari, sambil menikmati pemandangan di dua tempat sekaligus. Ya ke gunung, ya juga ke lembah ---"
"Hem. Tempat yang adil. Bagaimana dengan
kamar yang ini"," Jamila menunjuk pintu pertama di sebelah kanan.
"Silahkan saja, jika Non ingin menempatinya. Toh penghuni tetapnya tidak membutuhkannya lagi ----," jawab Dudung, seraya melirik kecut ke lantai bawah, lurus ke peti mati.
Mau tidak mau Jamila bergidik sendiri. "Sebaiknya aku pun harus ikut menghormati kamar almarhum," katanya, setengah membela diri, menyembunyikan keterkejutan karena dua kali salah memilih. "Lebih baik kau yang memilihkan, Pak Dudung ___-"
"Kalau begitu, ayolah," si tua tersenyum arif, namun tetap dengan sikapnya yang kaku. Dengan kepala setengah dirundukkan, seperti tidak punya keberanian menatap langsung ke mata Jamila. Ia membiarkan Jamila berjalan di depan, sambil menjelaskan. Bahwa pintu pertama sebelah kiri biasanya ditempati Rita. Tetapi karena takut terlalu dekat dengan lantai bawah di mana peti mati itu berada, Rita memilih kamar yang di ujung. Bersebelahan dengan kamar Jaka. Nina memilih kamar ke dua sebelah kanan. Tetapi malam ini Nina harus menemani Rita yang takut tidur sendirian.
"Teman Neng Nina terpaksalah harus tidur sendirian," Dudung menambahkan sambil lalu.
"Teman?" "Menurut istilahku sendiri, Non. Karena agak asing di telingaku mendengar istilah yang disebutkan Neng Flita atau Den Jaka Pasangan kumpul
kebo, begitulah menurut mereka. Heran juga. Anak muda setampan dan semenarik Den Eddi itulah nama teman Neng Nina, dijuluki kebo atau kerbau. Dan ia tenang tenang saja dijuluki sekasar itu ---!"
Jamila hampir tertawa. "Kelak kau akan mengerti, Pak Dudung," katanya menahan diri. Ia memang sudah lama mendengar bagaimana Nina dan Eddi hidup satu atap tanpa nikah. Dan bagaimana keadaan itu sempat menimbulkan perselisihan, sebelum akhirnya semua anggota keluarga terpaksa menyerah karena kekeras kepalaan Nina tetap tidak bisa diganggu-gugat. Dengan satu kesepakatan. Nina tidak diperbolehkan hamil, kecuali jika mereka sudah menikah syah sebagai suami isteri.
Akhirnya mereka berhenti di depan 'pintu kamar yang berhadapan dengan kamar tidur pilihan Rita. Kamar besar dan luas dengan perabotan lengkap, berbau kuno tetapi menyenangkan. Mana dilengkapi pula dengan kamar mandi tersendiri.
Setelah meletakkan koper di depan sebuah lemari berukir, Dudung menunjuk ke sebuah gantungan di sisi kepala tempat tidur. "Tarik saja!," katanya. "Genta dikamarku akan berbunyi, pertanda Non menghendaki sesuatu yang akan kulayani secepat kemampuanku ----"
"Terimakasih, Pak Dudung"
Dudung melangkah ke pintu. Sebelum ke luar, ia mengawasi Jamila sejenak, tetapi tidak langsung ke wajah. Lalu berujar, misterius: "Selamat malam, Juragan Kecil."!"
Jamila membelalak. "Nah. Apa pula itu. Tadi, Lola. Sekarang -----," Jamila tersenyum lebar. "Benar, aku ingin jadi Juragan. Tetapi Juragan Besar. Bukan "
Jamila seketika menghentikan selorohnya tatkala ia sadari betapa wajah Dudung tampak berubah tegang dan pucat. Orangtua itu memberanikan diri melihat langsung ke wajah Jamila. Sesaat ia gemetar, menelan ludah dengan susah payah, kemudian cepat cepat berlalu tanpa lupa menutupkan pintu. Dengan tangan-tangan kurusnya, yang bergemetar hebat.
Jamila ternganga. Heran bercampur bingung. Ada apa dengan orangtua itu" Apa pula yang salah dalam diri atau ucapan ucapan Jamila" Sehingga menyebabkan Dudung memperlihatkan keseganan yang sangat, yang lebih tepat dikatakan perasaan takut yang tidak dapat disembunyikan"


Pewaris Iblis Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Capek Jamila berpikir, namun tidak menemukan jawaban yang pas. Kecuali, bahwa Jamila termasuk orang asing di rumah besar yang mereka sebut puri ini. Ia orang luar. Muncul pertama kali di sini. justru pada saat yang memang sangat tidak menggembirakan. Tetapi mengapa orangtua itu tampak begitu segan atau takut padanya" Sikap itu semestinya ia tujukan pada penghuni-penghuni lain. Teristimewa, pada penghuni yang kini memilih tempat beristirahat yang pasti sempit dan pepak: sebuah peti mati.
Peti mati. Dan mayat -- Kuduk Jamila merinding. Lantas. terdorong
naluri seorang perempuan, ia bersijingkat ke pintu. Menguncinya dari dalam. Ia merasa sedikit lebih aman, sekarang. Tetapi setelah itu, apa" Oh. Tunggu saja sampai suami tercinta datang. Untuk melindungi sang isteri tersayang!
Dan sembari menunggu ada baiknya ia mengerjakan sesuatu. Jamila pun sibuk. Memindahkan tas suaminya dari lantai ke atas meja. Dari sebuah kantong, ia keluarkan setumpuk map dan perlengkapan kerja suaminya. Di susun rapih di meja yang sama. Koper k0per dibuka. Isinya dipindahkan pula ke dalam lemari. Kemudian, tas kosmetik --Hei, di mana tas kosmetiknya" Mata Jamila mencari-cari. Kemudian ia mengeluh: "Astaga! Pasti masih di mobil!"
Dan mobil mereka masih ada di luar sana. Belum sempat dimasukkan ke garasi. Mana kuncinya pasti telah disakui Perdana.Tak apalah. Tas kosmetik dapat menunggu sampai besok pagi....
*** Dudung turun dari lantai atas dengan langkah tersuruk-suruk. Sekujur tubuhnya terasa lunglai. Detak jantungnya pun semakin keras saja. Menyentak nyentak. Terkutuklah jantungnya yang belum juga melakukan sentakan akhir. Padahal betapa Dudung sangat mendambakannya !
Di anak tangga terbawah, ia berdiri sejenak. Memandang lurus ke arah peti mati. Dari celah penutup peti yang sedikit terbuka, jenasah Parja
seakan mengintip. Lalu menjeritkan sebuah tuduhan: "Kau bertanggungjawab atas kematianku Abah!"
Dudung merintih. Sakit. Ia padamkan lampu ruangan sehingga gambaran peti mati lenyap ditelan kegelapan. Ia kemudian masuk ke kamar pribadinya. ia duduk di atas ranjang. Bersemedi. Pikiran ia kosongkan. Dan ia pusatkan hanya pada satu pertanyaan yang seketika membuat sanubarinya bergetar: "Apakah saat untukku sudah tiba. Juragan Besar?"
*** 4 KERTAS KERTAS itu sudah tua. Terlihat dari warna dan bahannya yang kasar tetapi kuat dan lunak jika dipegang. Di rak maupun di lemari, bahkan ada yang sebagian tertumpuk begitu saja di lantai, mudah saja Perdana menemukan lebih banyak kertas-kertas sejenis. Bahkan yang di'produksi pada jaman yang lebih tua. Dalam bentuk buku-buku kuno dan bersejarah, yang akan membuat para kolektor meneteskan air liur. Sewaktu masih mahasiswa, Perdana pernah iseng menawarkan dua tiga buku pada kalangan tertentu. Salah satu buku itu ia lepaskan juga. Dan uang penjualannya lebih dari cukup untuk membeli sebuah sepeda motor rakitan terbaru!
Namun toh perbuatan Perdana itu ketahuan jUga. Ayahnya marah besar. "Apapun boleh kalian ambil dari puri. Tetapi tidak isi perpustakaan. Apa yang ada di dalamnya, termasuk puri itu sendiri, harus tetap dibiarkan utuh sebagai kebanggaan keluarga!"
Ternyata ayah mereka keliru.
Kertas kertas yang terhampar di meja baca itu, buktinya. Apa yang tercantum dalam setiap lemhar kertas itu, jelas tidak patut dibanggakan. Malah kini, telah menimbulkan situasi rumit dan
gawat Karena nafas kehidupan keluarga mereka kini sangat tergantung pada apa yang tercantum di kertas-kertas berupa surat surat tua itu"!
" aku merasa pasti," ia dengar Jaka berdesah lirih di sebelahnya. "Dokumen inilah yang menyebabkan kematian Ayah!"
"Bagaimana mungkin, Jaka?"
"Mungkin saja. Setelah menemukan dokumen ini, ayah langsung shock. Lalu bertindak kurang hati-hati. Ia memaksa pulang ke Bandung untuk memberitahu kita tentang penemuannya. Mobilnya ngadat. Lalu ia nekad naik kuda. Tak perduli badai sedang menggila ---"
"Apakah benar kuda itu yang membunuh Ayah?" ,
"Menurut polisi desa, ya. Kuda itu ditemukan mati terjerumus di sebuah jurang. Di antara kuku kuda, mereka temukan sesuatu masih melekat. Kau tahu apa kiranya, Kang Dana?"
Perdana tidak berani menduga duga. Maka Jaka menjawabkan untuknya: "Bercak-bercak darah kering. Dan -secabik kulit kepala manusia. Lengkap dengan rambut, yang ---," sekilas Jaka memandangi rambut Perdana yang diterangi lampu meja. " -seperti rambut Akang. Ikal kemerah merahan!"
Perdana merintih: "Tuhanku!"
"Apa yang akan kau lakukan, Kang Dana?"
"Aku belum tahu. Atau kau punya usul untuk kita pikirkan bersama?"
"Aku pun masih bingung, Kang Dana...."
"Rita" Dan Nina?"
"Mereka belum mengetahui apa-apa. Hanya aku seorang yang hadir ketika Ayah bertemu dan berbicara panjang lebar dengan tamunya. Ayah hanya berpesan agar aku segera menginterlokalmu ke Medan. Menyuruhmu segera pulang. Sendirian!"
Perdana menyeringai. Kecut. "Jangan kau salahkan aku, Jaka, kalau pada akhirnya isteriku terpaksa ikut ----" '
"Memang bukan salahmu. Keadaan yang menghendaki. Harus menginterlokalmu lagi pada hari yang sama. Untuk mengabarkan kematian Ayah. Wajar-wajar saja Kak Mila memaksa ikut. Bagai manapun, yang mati itu mertuanya juga...," Jaka mundar-mandir hilang akal. Satu satunya lampu yang menyala di dalam perpustakaan, hanya lampu baca di meja. Biasnya yang lemah menerpa tubuh Jaka yang mundar-mandir, dan menimbulkan bayang-bayang misterius di lantai dan di dinding tembok.
"Aku sebenarnya menyukai Kak.Mila," katanya, seraya tiba tiba menghentikan langkah begitu saja. Lalu memandang ke wajah saudaranya, yang duduk gelisah dekat meja.
Perdana mendorong. "Katakan saja. Tak perlu sungkan-sungkan!"
Jaka menelan ludah, baru meneruskan hati-hati: "Aku pun Suka juga pada Latief, anaknya ------"
"Anak kami," Perdana membetulkan. Namun dengan suara kering.
"Anaknya, Kang Dana. Dari suaminya yang
pertama, sebelum ia bertemu dan kemudian menikah dengan Akang." Jaka berujar ketus. "Biarpun Akang telah bersusah payah menganggap dan memperlakukan Latief sebagai anak sendiri -, ia tetap saja darah daging orang lain. Bukan darah daging Akang!"
"Tetapi ibunya Latief adalah isteriku ----"
Jaka mengangguk.setuju. Dengan wajah suram. Sesuram kata katanya yang bernada menusuk' "Memang. Selama ia masih mencintai Akang. Setelahnya?"
"Dia ___ Perdana tidak melanjutkan ucapannya. Ia terduduk lemas di kursinya. Menangkupkan wajah di kedua telapak tangan. Pundaknya bergetar hebat. Menahan tangis. Jaka mendekat, menyentuh pundak Perdana dengan lembut. Suaranya pun berubah lembut: "Maaf, Kang Dana. Bukan aku bermaksud ---" '
"Tak perlu minta maaf, Jaka.?" Perdana menyahut lunak. Tangannya pelan-pelan terkulai di haribaannya. "Dalam situasi yang kita hadapi sekarang ini -memang ada baiknya kau mengingatkan bahwa aku seorang lelaki mandul!"
"Dan, Kak Mila sudah tahu...."
"Sudah. Bahkan semenjak kami belum memutuskan untuk menikah. Lalu kami pikir -kami sudah Cukup berbahagia dengan apa yang dibawa Jamila dalam perkawinan kami. Malah sering kuanggap dan kusyukuri kehadiran anak tiriku itu merupakan sebuah karunia?"
"Aku mengerti" Perdana menarik nafas panjang. "Kau teruskanlah tidurmu yang tadi terganggu, Jaka.?"
"Dan Akang pun memerlukan istirahat," kata Jaka, setengah mengajak, setengah menghibur.
"Aku tidak punya waktu lagi untuk beristirahat, bukan"," Perdana tersenyum, pahit. la memandangi surat-surat tua di meja. "Kukira aku lebih baik mempelajari lagi semua ini. Dan memikirkan kemungkinan-kemungkinannya ------"
Jaka mengangguk sependapat, dan pergi ke pintu.
"Jaka?" Jaka menghentikan langkah. Menatap lurus ke wajah saudaranya, dengan perasaan iba yang tulus"Ya?"
Sekali lagi Perdana menarik nafas panjang. Lalu berujar, mantap. "Aku memang mandul, Jaka. Tetapi kau, tidak. Begitu pula Rita dan Nina. Suatu ketika kelak, kalian bertiga akan punya anak-anak yang kalian cintai dan harus kalian tunjang ke hidupannya di masa mendatang.?"
la berhenti seienak. Tampak berpikir keras untuk mengambil sebuah keputusan. Jaka menunggu dengan Sabar dan jantung berdebar. Perdana melempar seulas senyum ke arah' dirinya. Jaka pun ikut tersenyum. Meski tidak tahu untuk apa ia harus tersenyum.
"Aku kira Ayah benar," Perdana mendengus datar. "Kita harus menyelamatkan apa yang masih dapat kita selamatkan. Pertama, saham milik keluarga, yang sampai saat ini masih atas nama
Ayah sebagai pewaris terakhir sebelum kita. Saham-saham itu sebaiknya kita lempar ke pasaran bebas. Itu memerlukan tempo. Tetapi mudahmudahan tidak terlalu lama...."
Perdana berhenti lagi. Lalu memandang enggan ke setiap sudut perpustakaan. Suaranya bernada sangat berat ketika ia meneruskan: "Kedua, puri ini. Tidak ada masalah. Investor yang menjadi partner kerja Ayah selama belasan tahun, pernah menawar. Harga penawarannya cukup pantas. Tetapi Ayah tidak tertarik. Bulan kemarin, partner Ayah bersama dua stafnya, datang ke Medan dalam rangka negosiasi dengan PT. Indo Rayon. la sempatkan mengundang aku makan siang. Dan sambil lalu memberitahu bahwa penawarannya Masih berlaku. Dengan harga yang lebih baik!"
Mendengar itu, Jaka menelan ludah. Namun tidak segera memberi komentar, Sehingga saudaranya berpaling mengawasi. "Apakah gagasanku tadi tidak menarik hatimu, Jaka?"
"Oh!," Jaka terengah. "Cukup menarik, Kang Dana. Tetapi kak Mila ---"
Perdana memaksakan senyum di bibir. Jelas ia tidak menyukai apa yang kemudian ia.lontarkan: "Biarlah aku sendiri yang mengatur. Dia isteriku, bukan"!"
"Tetapi, surat-surat tua itu ---"
"Sederhana saia, Jaka. Musnahkan segera, sebelum di kelak kemudian. hari berbalik menghantam punggung kita. Jangan lupa memberitahu Rita
dan Nina setelan 'upacara penguburan besok pagi...."
"Ada penjelasan tambahan yang harus kukatakan pada mereka berdua, Kang Dana"," tanya Jaka, seakan sambil lalu.
"Aku mengerti maksud pertanyaanmu !," Perdana menyeringai pada adiknya. "Baiklah. Berapapun yang nanti kita peroleh, mereka berdua akan mendapatkan bagian yang sama. Sebesar bagianmu. Dan bagianku sendiri. Cukup adil, bukan?"
.Jaka mengangguk puas. "Aku gembira mendengar Akang menempatkan Nina dalam posisi yang sederajat dengan kita!," katanya.
"Mengapa pula tidak. Biar Nina dilahirkan oleh lain ibu,.toh tidak dapat dibantah bahwa darah yang mengalir di tubuh Nina adalah darah Ayah kita-juga -." Perdana menatap tajam ke mata adiknya, kemudian menambahkan dengan nada suara misterius: "Aku pun tahu. kau teramat mencintai dia ------"
Sekali lagi, Jaka terengah. Kikuk.
Kemudian. setelah mengucapkan selamat malam, Jaka meninggalkan perpustakaan. Tak lupa ia tutupkan dulu pintu di belakangnya sebelum berjalan menuju tangga. la sempa terkejut oleh kegelapan tiba-tiba yang ia hadapi begitu tiba di lantai utama. Entah siapa yang telah memadamkan lampu. Ia tak melihat siapa siapa di lantai ruang utama itu. Tetapi ia tahu, di situ ada sebuah peti mati. Dan jenasah ayah mereka yang berbaring di dalamnya. Jenasah yang keadaan pisiknya begitu sengsara. Memandang ke arah kegelapan, Jaka ber
pikir tentulah roh ayahnya ikut mendengar apa yang dibicarakan di ruang perpustakaan. Dan roh ayahnya tidak akan lagi bergentayangan sengsara.
Ia kemUdian naik ke lantai atas.
Masuk ke kamar. Mencoba tidur.
Dan di tempat yang ia tinggalkan, Perdana baru saja mendekatkan lampu pada kertas-kertas yang ia papar teratur di meja. Ia sempat tertegun ketika merasakan adanya hembusan angin yang samar. samar menerpa wajahnya. Disusul bunyi berdesir yang aneh, dan nafas berat tertahan. Perdana mengangkat muka. Mengawasi sekitar. Pada rak rak besar dan tinggi. Lemari-lemari yang berat dan kokoh. Seperangkat baju besi di sudut. Pedang dan berbagai jenis senapan tua di tembok. Tak ada yang lainnya lagi. Walau hanya bayang-bayang. Ia lantas mencemoohkan diri sendiri. Udara dingin yang sejuk itu tentulah berasal dari pintu ketika Jaka tadi menutupkannya. Bunyi desir dari kertas yang ia Paparkan. Dan nafas berat itu adalah nafasnya sendiri. Tak ada siapapun di dekatnya. Atau di luar pintu. Tidak seorangpun yang ingin lalu lalang saat ini.
Siapa pula yang berani. Dengan adanya peti berisi mayat di lantai utama!
Perdana lantas meneliti kembali kertaskertas di atas meja. Memilih yang penting-penting, dan memusatkan perhatian pada kalimat-kalimat tertentu dalam surat surat tua dan kuno itu. Di benaknya ia mencatat dengan teliti: 1886" tak mungkin pulang ke Jawa Kapal terseret arus perang ter
dampar di daratan Aceh __
1890. ia seorang putera Aceh yang fanatik, namun pantas iadi panutan bangsanya. Kuharap, Ayah kelak akan menyukainya akan menjadi menantu kebanggaan ayah -1896. Tak ada yang tertinggal, kecuali semangat Teuku Umar. Segala sesuatunya mendadak musnah... Teuku Umar masih terus berjuang. Tetapi menantu Ayah di kuburannya, aku sering tertidur setelah lelah mencucurkan air mata....
1905. Cucumu, Abdurachman -masih terus menggempur pasukan van Daalen. Tak kenal menyerah seperti almarhum ayahnya. Calon isterinya bertekad mendampingi, sebagai anggota Palang Merah -Padahal mereka masih terlalu muda belia untuk --1910. Nesia pulang. Bersama Abdurachman kecil.... Anak yatim yang malang.... Punggungku makin sakit saja -Mengapa tak sekalipun ayah membalas surat suratku .Apakah ayah sudah sedemikian murka -1925. Samalanga. Di sini aku berharap dapat lebih sehat --Selamat tinggal Tanah Gayo terCinta -1943. Jepang makin membabi buta. Tetapi mengapa harus takut" Buyutku lebih membutuhkan perhatian. Buyut. Astaga, Ayah. Bagaimana ia harus memanggilmu" -ia kuberi nama depan Suryadi. Karena sebelum ia lahir, aku memimpikan ayah. Namun belakangnya Samalanga, untuk mengingat tempat kelahirannya .aku semakin
payah, Ayah aku juga semakin putus asa untuk dapat bertemu lagi denganmu _ untuk mengetahui, apakah kau masih mengakui keberadaanku --Aku bahkan sudah jadi nenek-nenek tua dan jompo _. --Perdana meluruskan duduknya. Menarik nafas panjang berulang-ulang. Entah mengapa surat-surat yang ia baca mendatangkan perasaan terenyuh dan duka yang sangat dalam di kalbunya. Haruskah ia memusnahkannya sekarang" Dengan apa" Merobek-robeknya"
Bunyi gemertak menyadarkannya.
Bara di tungku perapian. ltulah pemusnah yang paling pas, dan tak akan ada lagi yang tersisa. Setelah itu ia harus membongkar seluruh isi perpustakaan. Dan mengorek lebih banyak keterangan dari Dudung, si Abah yang misterius itu. Untuk apa si Abah menyimpan semua surat-surat tua ini" Dan mengapa orangtua itu tak pernah memberitahukan adanya dokumen itu pada mereka" Tetapi benar juga alasan orangtua itu. Jaka telah menanyakan, dan menurut Abah, baru ayah Jaka seorang yang menanyakan tentang surat surat itu. Setelah sekian puluh, bahkan ada yang lebih dari satu abad berselang!
Suara bergemeratak itu terdengar lagi. Makin jelas.
Seperti ada yang menggerayangi tungku perapian yang memanasi ruangan perpustakaan.
Terheran-heran, Perdana berbalik di tempat duduknya. Melihat ke arah tungku pemanas. Masih banyak bara menyala. Dan salah satu nyala bara itu tampak terangkat lalu melayang dalam kegelapan. Sedetik dua, Perdana masih sempat melihat sesosok bayang bayang bergerak ke arahnya. Ia juga sempat menyadari mengapa ada bara terangkat dan bisa melayang sendiri. Itu adalah ujung besi pencungkil bara. Ujung yang menyala merah, bahkan tampak sedikit menyilaukan.
"Apa ___" Hanya satu ucapan pendek itu saja yang sempat dilontarkan Perdana. Wajahnya memperlihatkan keheranan yang bertambah-tambah saja, manakala ia mendengar bunyi berdesir seperti puntung rokok menyala dibenamkan ke dalam air. Semacam perasaan panas yang memerihkan kemudian menyengat lambung kiri -ataukah igenya"
Ujung besi penCungkil yang merah membara itu. Astaga!
Perdana tersadar. Dan terbetik dalam hatinya keinginan menjerit minta tolong. Tetapi ujung besi pencungkil itu sudah' lebih dahulu terbenam semakin dalam. Menoreh lalu menembus jantungnya. Perdana mengeluh pendek dan lemah.
Kemudian pandangannya menggelap.
Semuanya berubah hitam. Pekat. Dan gelap gulita!
*** 5 SENTAKAN tiba tiba di relung dadanya, membuyarkan konsentrasi Dudung.
"Tidak lagi. Jangan sekarang!," ia membathin, dan berjuang keras untuk mengosongkan kembali alam pikirannya. Tetapi sungguh sulit untuk mengabaikan sentakan tadi begitu saja. Sentakan sekilas, samar saja -namun, memberi pengaruh yang meluruhkan jiwa Dudung. Ia tahu sesuatu telah ter jadi. Dan ia takberdaya mencegah. Tak pernah!
Air mata Dudung menetes tanpa terasa.
la lenturkan otot-otot sekujur tubuhnya. Jiwa yang luruh dari ketidak berdayaan ia tekan dalam dalam. la tarik dan buang nafasnya secara tetap dan teratur, sampai ia tak lagi mendengar atau merasakan sesuatu apapun juga. Dan ketika tetes air mata di pipi tuanya telah mengering sendiri. konsentrasi Dudung sudah kembali.
Kemudian ia mengutarakan permohonannya. Bukan melalui bibir, yang mengatup rapat membentuk garis tipis dengan gurat ketuaannya yang menyedihkan. la memohon lewat jeritan sanubari. Yang menggelepar dalam keputusasaan: "sudah lebih dari seratus tahun aku menunggu, Juragan Besar. Dan kau -terus saja membisu. Sudilah memberi petunjuk kepadaku, Juragan Besar. Walau hanya untuk satu kali ini SaJa -----!"
Tak sesuatu pun ia peroleh.
Kecuali keheningan yang menggigit. Dan dada kurusnya, yang terasa semakin kering dan gersang.
Tetapi Dudung belum juga menyerah.
Yang menyerah, adalah Jamila. Sia-sia saja ia menunggu, tetapi suaminya tak juga masuk ke kamar. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya ia putuskan turun ke lantai bawah dan pergi ke perpustakaan. Sepenting apapun pembicaraan mereka, Jaka harus melepaskan Perdana dan membiarkan saudaranya itu istirahat barang sejenak. Besok pagi akan ada penguburan. Adalah tidak pantas jika ada orang yang terkantuk-kantuk di sebuah upacara pemakaman. Konon pula yang dimakamkan itu ayah kandung sendiri!
Sekeluar dari kamar, Jamila segera berhadapan dengan lorong yang sunyi dan temaram. Pintupintu kamar sepanjang lorong, tak satu pun yang terbuka. Ia dengar bunyi dengkuran seseorang dari balik pintu'kamar yang berseberangan dengan kamar tidur Jamila sendiri. Ritakah itu" Atau Nina" Siapapun di antara mereka, ada yang salah pada tenggorokannya. Itu harus diobati. Karena sangat memalukan jika seorang perempuan mendengkur begitu keras dalam tidurnya.
Jamila tiba di ujung lorong, dan tersentak sendiri melihat kegelapan di lantai bawah. Ia juga tiba-tiba teringat, tidak tahu di mana letaknya perpustakaan. Memang dapat dicari. Lalu di mana pula letaknya sakelar lampu" Di atas sinikah" Atau
di bawah sana" Ah. Daripada bingung memikirkan sakelar, sudah saja turun kebawah. Jamila menyentuhkan kakinya ke anak tangga paling atas. Siap untuk turun, ketika pikiran itu ia tunda sendiri. Ia memang punya jawaban yang masuk akal jika seseorang tiba'tiba terbangun dan menemukan Jamila bergentayangan di tengah kegelapan.
Tetapi bagaimana kalau ia tersasar, dan langkahnya justru mengarah ke peti mati"
Peti mati, astaga. Dan mayat di dalamnya. Mayat yang pasti keadaannya mengerikan, mengingat reaksi suaminya ketika tadi membuka penutup peti. Bahkan menjijikkan, menurut istilah Nina atau mungkin juga Jaka. Mayat, memang tetaplah mayat. Sudah membeku mati. Omong kosong saja itu zombie atau mayat yang bangkit kembali dari kuburannya.
Jamila menahan nafas. Benar ia tidak percaya akan tahayul. Tetapi tiap kali menonton film jenis drakula, jantungnya senantiasa merasa miris bila sudah melihat gambaran tutup peti mati terbuka perlahan lahan, disusul menjulurnya tangan kurus dan pucat ---Jamila membuka kelopak matanya lebar-lebar.
Apakah ia melihat sesuatu di bawah sana. Bayang-bayang samar dalam kegelapan. Dan suara apa itu -yang seperti terseret-seret -di sekitar tempat di mana seingatnya terletak peti mati itu" Lalu tiba-tiba ia dengar bunyi yang lain. Desah nafas berat. Dan bunyi sesuatu bergeser dari tempatnya. Peti mati itu. Penutupnya sedang terbuka,
dan ---- Jamila mundur dan mundur ketakutan.
Lalu kemudian berbalik dan menghambur secepat ia mampu. Langsung ke kamar. Mengunci pintu tergopoh-gopoh, lalu melambat ke tempat tidur. Selimut ditarik sampe ke hidung. Dan dengan matanya yang bebas terpentang, ia mengawasi daun pintu.
Menunggu. Dengan jantung berdebar-debar. Saking takutnya, ia lupa berdo'a.
*** Penungguan dan ketabahan Dudung ternyata sia-sia. ' .
Alam pikiran dapat saja ia kosongkan. Tetapi ia tidak sanggup lagi menguasai pisik, yang kemampuannya tentu saja terbatas. Sekujur tubuh nya terasa begitu lunglai. Lalu melorot jatuh di tempat tidur. Dengan benak yang kembali diberati begitu banyak beban dan begitu banyak dosa.
ia sedang mencoba tidur ketika ia dengar suara berisik dari luar kamar tidurnya yang bersebelahan dengan dapur. Ya, dari sanalah datangnya suara berisik itu. Ingin sekali ia mengabaikannya. Lalu membenamkan diri dalam tidur yang kalau boleh, untuk.selamanya. .
Tetapi karena sudah rutin dan terbiasa, dan itu sudah berlangsung lebih dari satu abad -, Dudung bangkit juga dari tempat tidur. Kakinya menggapai
mencari sandal. Setelah menemukannya, ia kemudian ke luar dari kamar. Benar saja. Pintu dapur terbuka. Ada cahaya menerobos ke luar, dan seseorang tengah bersungut-sungut di sebelah dalam sambil menggerayangi perabotan.
Dudung melangkah ke ambang pintu dapur.
Mengawasi sesaat, kemudian bertanya: "Perlu kubantu, Den Eddi?"
Pertanyaan yang diucapkan pelan saja. Nyaris menyerupai gumaman. Tetapi gelas yang dipegang Eddi, toh lepas dari tangannya dan jatuh berderai di lantai. Wajah pemuda tampan bertubuh atletis itu tampak kusut dan pucat. '
Cepat sekali, pemuda itu sudah mampu menguasai diri.
"Ya ampun. Abah. Kau sungguh mengejutkan aku. Dan lihatlah apa yang terjadi sebagai akibatnya -," ia menggerakkan jemari tangannya mengarah ke pecahan gelas yang bertebaran di lantai.
"Lapar"." desah Dudung lunak, seraya maSUk ke dapur.
"Hanya ingin kopi, Abah"
Dudung menemukan sendok sampah dan dengan sapu ia kumpulkan pecahan beling dan kemudian dimasukkan ke tong sampah.
"Begitu banyak botol dan kaleng -," Eddi ber kata getir, seperti menyesali ketidak berdayaan nya. "Namun toh aku belum tahu mana yang isinya bubuk kopi...."
Dudung membantu mengambilkan kaleng dimaksud. dan menawarkan diri untuk menyedu
kopi buat Eddi. ' "Terimakasih, Abah. Tak usahlah repot-repot. Dapat teman ngobrol pun,. aku sudah bersyukur ---" '
Dudung mendorongkan termos air panas ke depan Eddi, ialu mulai menyalakan kompor gas. Eddi memperhatikan bagaimana orangtua itu dengan tangkas dan tak terganggu oleh tubuh kurus dan usia tuanya, mengerjakan segala Sesuatu untuk keperluan minum dan sarapan pagi semua penghuni.
"Ini bukan pekerjaan lelaki. Apalagi yang sudah serenta Abah," desahnya, bersimpathi.
Dudung tersenyum. "Aku sudah melakukan ini semenjak masih ingusan ----"
"Sudah berapa lamakah itu, Abah?"
"Lama, Den Eddi. Lama sekali"
"Ada yang bilang, umurmu Sudah mendekati satu abad. Ada pula yang bilang, malah sudah lebih. Mana yang benar, Abah?"
Dudung berjalan ke jendela. Membukanya dengan gerakan enteng saja. Padahal daun jendela itu tebal dan lebar, engsel-engselnya tampak jarang diminyaki. Nyata dari bunyi deritnya yang menyakitkan telinga. Disusul gumaman Dudung yang lirih, tak bergairah: "Ah -kiranya sudah pagi !"
Ia lalu keluar dari dapur, menuju ruangan di sebelahnya.
Dengan gelas kopi di tangan, Eddi mengikuti. "Apakah pertanyaanku tadi tidak pantas, Abah?"
"Pantas pantas saja. kok"
"Lantas?" "Kalaupun kujawab, apa gunanya untukmu Den Eddi"," sahut Dudung acuh tak acuh seraya masuk ke ruangan yang pintunya telah ia buka. Dari apa yang bertumpuk hampir tak karuan di dalamnya, Eddi memastikan itu adalah ruangan gudang.
"Apa aku tidak salah lihat, Abah "," tanya Eddi heran. "Ruangan ini lebih cocok untuk sebuah kamar tidur, karena letaknya yang cukup dekat dengan lantai ruang utama...."
"Dahulunya memang kamar tidur," jawab Dudung seraya membungkuk dan mencari-cari sesuatu dari peti perkakas.
"Kamar tidur siapa, Abah?"
Gerakan tangan Dudung di dalam peti, tertegun sejenak. Tubuh tuanya yang membungkuk saat itu, jelas terlihat bergetar. Namun hanya sepersekian detik saja. Kemudian tangannya kembali mencari-cari dan menemukan juga sebuah palu dan beberapa buah paku.
Sejenak ia mengawasi Eddi yang tampak salah tingkah, karena sadar telah menanyakan sesuatu yang tidak ada sangkut paut dengan kepentingannya. Pemuda itu dengan susah payah melontarkan seringai penyesalan. Dudung menggeleng kasihan. Katanya: "Heran. pagi ini kau mendadak banyak bertanya. Tetapi seperti kau bilang tadi, sungguh menyenangkan dapat teman mengobrol dalam suasana sekarang ini...," ia meninggalkan gudang diikuti Eddi, langsung menuju lantai utama. "Gudang yang lama," katanya menjelaskan. "Ter
benam ditimbun longsor besar belasan tahun berselang. Lantas, tamu atau anggota keluarga yang berkunjung lebih suka memilih kamar kamar di lantai atas selama masa istirahat mereka di sini. Jadi, ketimbang tidak digunakan, kamar tidur tadi kumanfaatkan saja sebagai gudang pengganti. Toh satu'satunya orang yang pernah menghuninya tak akan pernah kembali ---"
"mati?" "Ya. Seperti juga mereka yang lain," sahut Dudung seraya tersenyum misterius. la menekan sakelar lampu sampai lantai utama terang benderang seketika. .
Nyala menyilaukan itu membutakan mata Eddi beberapa kejap. Dan ketika mata Eddi sudah terbiasa.dengan cahaya yang terang benderang dari lampu-lampu kristal itu, barulah ia sadari Dudung sudah beberapa langkah di depannya. Langsung ke arah peti mati.
Eddi seketika terperanjat.
Wajahnya berubah pucat, namun tentu saja Dudung tidak melihatnya. Eddi mengatur alur nafasnya yang sempat sesak, lalu bergegas menyuSul orangtua itu. " Mau Abah apakan peti mati ini?"
"Sesuai perintah. Langsung dipaku rapat ," sahut Dudung santai. Santai pula ia membungkuk dan tampak akan menggeser terbuka penutup peti, untuk meyakinkan jenasah di dalamnya aman aman saja. Tetapi ia dicegah oleh Eddi, yang dengan cepat menutupkan peti itu kembali sebelum Dudung sempat meninjau ke sebelah dalam.
"Lho," Dudung memandang bengong.
"Aku takut, Abah --," bisik Eddi, dengan suara gemetar.
"Dapat kulihat itu di wajahmu yang begitu pucat." tambah Dudung, seraya tertawa lunak. "Baiklah. Seperti juga anak-anaknya di atas sana --" ia melirik ke lantai atas. "Aku juga berpendapat memang tak ada manfaatnya melihat dua kali jenasah yang berbaring di dalam peti ini!"
Dudung kemudian membungkuk.
Paku dipasang pada tempatnya. Kemudian di palu.
Semakin banyak paku yang terbenam pada penutup peti, semakin wajah Eddi berubah lebih tenang. Gambaran ketakutan di wajahnya itu pun akhirnya menghilang. Telinganya menangkap bunyi palu dipukulkan makin keras saja oleh Dudung.
"Kau akan membangunkan setiap orang, Abah," ia menegur hati-hati.
"Memang itulah maksudku," jawab Dudung, kalem.
Lantas.ia pukulkan palu pada paku terakhir.
Sekuat kuatnya. Seakan Dudung ingin betul, agar jenasah yang saat itu terbaring sengSara di dalam peti mati, ikut terbangun karenanya.
Orang pertama yang keluar tergopohgopoh dari kamar tidur, adalah Jamila. Meski sebelumnya ia ketakutan setengah mati, toh ia sempat terlelap sebentar. ia baru terjaga setelah mendengar bunyi sesuatu. Seperti beling jatuh dan pecah di lantai. Disusul suara percakapan samar-samar, lalu
bunyi berisik dari lantai ruang utama di bawah. Menjelang tiba di tangga, Jamila melihat salah satu pintu kamar terbuka dan Jaka bergegas ke luar dengan wajah kusut masai.
Tak ada yang bertanya. Mereka berdua langsung saja melihat ke bawah. Lalu Jaka tertawa kering.
"Sungguh pelayan yang patuh, si Abah itu," katanya.
Jamila melihat Dudung telah selesai memaku penutup peti. la berpaling, melihat ke atas, melempar seulas senyum letih ke arah mereka. Begitu pula laki-laki muda di sebelahnya. Tentulah dia itu Eddi pasangan.kumpul kebo Nina, pikir Jamila seraya membalas anggukan si pemuda.
Jamila memutar langkah. Bermaksud kembali ke kamar. Saat itulah baru ia sadari betul kehadiran Jaka di sebelahnya. Jamila pun bertanya tak sabar: "Apakah suamiku tidur di kamarmu, Jaka?"
"Tidak!," jawab Jaka, tandas. Kemudian balik bertanya. Heran. "Ia tidak menyusul Kakak ke kamar?"
Jamila menggeleng. "Mungkin tertidur di perpustakaan," Jaka berkata setengah menyesalkan. "Ayo, kita bangunkan -----"
Tetapi baru beberapa anak tangga, Jaka tibatiba teringat pada pembicaraannya dengan Perdana, dan surat-surat tua yang ditemukan ayah mereka -dan mungkin saja belum sempat dimusnahkan
Jaka Dengan bijaksana ia meralat ajakannya. Tentunya, didahului senyuman lebar. "Kakak kembali sajalah ke kamar. Biar aku seorang saja yang memarahi Kang Dana!"
Semula Jamila mau menolak, namun sorot mata Jaka jelas memperlihatkan tidak suka dibantah. Jamila menyerah dan kembali masuk ke kamarnya sambil bertanya-tanya dalam hati mengenai sikap Jaka yang tampaknya makin tak bersahabat. Tetapi ia segera melupakan sikap Jaka itu setelah menyimak arloji yang sebelum tidur telah ia letakkan di meja. Astaga, hampir saja ia ketinggalan waktu untuk menunaikan sholat shubuh. Jamila bergegas masuk ke kamar mandi. Dan bersyukur di situ ada kran pengatur air panas dan air dingin. Tampaknya fasilitas untuk orang kota cukup tersedia di puri yang jauh terpencil ini....
Tak. sampai lima menit, pintunya diketuk dari luar. Jaka masuk dengan wajah yang tampak semakin kusut saia. Laporannya pendek saja: "Nihil ---"
"Yang benar!" "Mengapa pula aku_harus membohongimu," dengus Jaka. Mendadak gusar.
Jamila tersentak tapi mampu menguasai diri. Ia menetralisir suasana tak menggembirakan itu dengan berkata lembut: "Jangan sewot, dong. Dan coba cari di kamar lain ---"
"Sudah kuperiksa sebelum ke sini," jawab Jaka dengan suara lebih lunak. Tiba-tiba sadar, bahwa sikapnya dapat menimbulkan permusuhan yang
terlalu pagi. Jamila mulai cemas. "Aneh --"
"Aku juga berpikir begitu," Jaka menyatakan persetujuannya itu dengan tidak melepaskan tatapan matanya dari wajah sang kakak ipar. Seperti menduga-duga.Tetapi agaknya ia tidak menemukan apa yang ia cari di wajah Jamila. Ia lantas menarik nafas paniang. Katanya: "Aku lupa masih ada satu kamar yang terlewatkan ---.
Dengan nada suara tak yakin itu ia kemudian berlalu dari kamar Jamila. Langsung menuju pintu kamar di seberangnya. la mengetuk beberapa kali sampai ada sahutan malas, entah Nina entah Rita, yangmenyatakan pintu tidak dikunci. Jamila melihat Jaka membuka pintu di seberang. Lalu mendengar sambutan setengah enggan dari salah se orang penghuni di dalamnya: "Ah. Kau, Jaka. Apakah waktu penguburan sudah tiba"!"
*** NINA menekuri sarapan pagi yang terhidang di piringnya. Lantas nyeletuk, murung: "Setiap kali akan berangkat ke puri ini -, yang pertama kucipta-ciptakan, adalah hotdog buatan Abah!"
"Jadi, mengapa belum kau sikat habis"," tegur Jaka, lembut. "Kau belum menelan apa-apa sejak kemarin sore"."
Nina menjawab lesu: "Perutku masih mual. Belum sanggup melupakan pemandangan menjijikkan di dalam peti mati itu!"
"Kau mengulanginya lagi -.-," Rita menyela, seraya meletakkan garpu yang ia pegang ke piring di depannya. Jelas, setengah dijatuhkan. Dengan sengaja. "Menjijikkan! Hem Berbahagialah Ayah hendaknya, dipuji sedemikian rupa. Justru oleh puteri kecintaannya!"
"Aku tidak bermaksud menghina Ayah!," Nina membela diri. "Aku hanya berbicara tentang jasad ---"
"Jasad Ayah !," dengus Rita, pendek, disertai senyuman kering. "Yang sebaiknya dikubur. sedalam-dalamnya, dan sesegera mungkin. Agar tidak lagi mengganggu, sementara kita membagibagi harta peninggalannya. Bukankah begitu Nina manisku"!" .
Perkataan terakhir yang Sengaja diberi tekanan oleh Rita, seketika mendongakkan kepala Nina yang menekur semenjak tadi. Rona murung lenyap sudah dari wajahnya. Mendelik marah pada Rita, ia berkata sengit: "Berhentilah mencemburui sebutan Ayah padaku, Rita!"
"Kak Nina," Rita menyeringai. "Atau tidak lagi, karena Ayah sudah mati, eh?"
*** Terdengar suara kursi digeser keras. Jamila bangkit. Berjalan membawa gelas kopinya menuju teras ruang makan. Eddi pun ikut bangkit dari kursi.
"Ada yang ingin minuman lebih hangat"," ia bertanya simpathik. Tentu saja hanya basa-basi belaka. Karena iapun, tanpa menunggu jawaban, langsung'saja berjalan ke luar. Tiga orang bersaudara
yang saat itu masih duduk mengitari meja makan. tanpa dikomando, memperhatikan bersama-sama bagaimana Eddi menyimak deretan botol minuman keras di salah satu rak, memilih sebotol di antaranya kemudian berjalan santai ke arah teras. Tanpa sekalipun menoleh ke belakang.
Beberapa detik berlalu, sebelum tiga bersaudara yang ditinggalkan Eddi dan Jamila. tanpa di sengaja beradu pandang pada waktu bersamaan. Jaka yang pertama-tama membuka mulut. Melontarkan sebuah keluhan pendek: "Memalukan sekali!"
"Kakakmu yang memulai," Nina mengelak.
Rita tertawa. "Kau dengar itu, Jaka. Kakakmu. Bukan lagi kakaknya ---"
"Ya, ampun -!," Jaka menggoyangkan kepala. Lalu menambahkan dengan susah payah: "Andai saja Kang Dana melihat kalian berdua saling cakar !"
Tersadar tiba-tiba, Rita menarik nafas panjang. la lirik jam antik di dinding tembok yang berseberangan dengan meja makan. Lantas bergumam kuatir: "Aku tahu, jogging setiap pagi sudah rutin ia lakukan semenjak kami masih bocah ingusan. Katakanlah ia meninggalkan puri sekitar pukul lima. Berarti sudah hampir tiga jam -------"
Sementara itu, di teras depan, Jamila merapatkan mantel-hangatnya untuk menahan serbuan angin sejuk menggigit, yang sempat membuat tubuhnya mengigil. Ia mendengar langkah langkah kaki mendekatinya. Disusul suara lembut meng
hibur: "Pilihanmu benar sekali. Hawa di luar sini ternyata lebih enak ketimbang di dalam sana...."
"Sayang," Jamila menyela. "Matahari agaknya enggan menemani!"
Eddi mengangkat muka. Melihat warna hijau kebiruan di puncak dan lereng gunung, yang se belumnya sempat ia nikmati dari jendela dapur, kini sudah berubah hitam. Hitam yang kelam. Misterius. Matahari pagi hanya meninggalkan biasbias samar. Sesamar kabut tebal yang menggelantung ke penjuru manapun mata memandang. Dan mendung pekat di langit tampak bergulung gulung. Bagai mengancam. Eddi menoleh sewaktu mendengar keluhan lirih di sebelahnya:
"dan suamiku belum tampak juga batang hidungnya," Jamila memandangi kabut. Dengan wajah muram. "Kunci mobil dibawanya pula Sampai berbedak pun, aku belum!"
"Hei. Kau berbicara apa"," tanya Eddi, hampir tertawa.
Jamila mengeluh: "Maaf, Ed. Aku sedang bingung --"
"Karena dia tidak pamit lebih dulu"," Eddi tersenyum. "Jika aku berada dalam posisinya, Mila. Maka akupun akan melakukan hal yang serupa. Menyelinap diam-diam, sehingga tidak mengusik tidur isteriku yang begitu pulas ------"
"Itu dia, Eddi. Justru aku sebenarnya hampir tak bisa tidur ------!"
"Suamimu tidak tahu itu. Karena pintu kamar tidurmu tertutup, bukan?"
"Yah -----," Jamila mengeluh tak puas.
"Sudahlah. Abah sudah pergi mencarinya, bukan" la satu satunya orang yang paling tepat untuk memenuhi permintaanmu, dan lihat saja nanti. Akan ia buktikan bahwa kekuatiranmu tidak beralasan ---"
Jamila mencicipi kopinya. Hanya sedikit, karena ternyata suhu udara di luar sudah membuat kopi itu dengan cepat berubah dingin. Matanya mengawasi lembah di luar tembok tinggi kokoh yang membentengi sekeliling puri. Yang tampak hanya kabut dan kabut. Dan pucuk pepohonan pinus menyembul samar-samar di sana sini. Seperti mengintip, ingin tahu mengapa puri sedikitpun tidak disentuh oleh kabut.
"Yang ini akan lebih baik untukmu," Eddi berujar seraya menyodorkan gelas sloki kosong di satu tangan, dan tangan yang lain siap menuangkan isi botol yang ia pegang.
Jamila menggeleng: "Terimakasih, Eddi. Kopi ini sudah cukup"
"Ayolah ----" "Bukan tak menghargai tawaranmu yang menyenangkan, Eddi. Namun aku tetap menganggap isi botol yang kau pegang. haram untuk diminum ----"
"Kata siapa?" "Tuhanku. Dan Tuhanmu juga, bukan"," Jamila memandang tersenyum.
"Astaga. Aku ketinggalan selangkah darimu, Mila," Eddi tertawa seraya mengamat-amati botol
di tangannya. "Barangkali ini sebaiknya kubuang saja ---"
Setelah berkata demikian, Eddi menenggak langsung minuman keras dari mulut botol di tangannya. Hanya sedikit, memang. Cukup untuk menghangatkan perut, lalu botol yang masih terisi hampir penuh itu ia lemparkan jauh-jauh. Jatuh di rerumputan di bawah mereka. Lalu menggelinding hilang di balik dataran yang lebih rendah.
Gaya Eddi yang berbau munafik itu, mau tidak mau membuat Jamila tertawa iuga. "Nina bilang --," katanya. "Kau sesungguhnya seorang teman yang menyenangkan -----"
"Mestinya, suami. Bukan teman ," Eddi menyerangai.
"Lantas mengapa kau tidak segera menikahi Nina?" '
"Menurut Nina, perlu tempo ---"
."la meragukan cintamu, mungkin?"
"Justru sebaliknya, Mila"
"Oh ya"," Jumila membelalak, tak percaya.
"Ada sesuatu yang salah dalam keluarga ini, Mila -," Eddi bergumam. Tetapi tidak segera meneruskan. Lalu diiringi senyuman lebar, ia memandangi Jamila. Katanya, santai: "Tuhanmu dan Tuhanku juga melarang kita bergunjing. Bukankah begitu?"
"Ah. Kau membuatku ikut lebih santai!," Jamila tertawa renyai.
"Bagus. Jadi bulan madumu tidak terbuang percuma... ."
"Hei. Aku dan suamiku tidak bermaksud ----"
"Aku tahu. Peti' mati di dalam sana. Untuk orang yang berbaring di dalamnya itulah, suamimu baru tergerak untuk melupakan sejenak bisnisnya yang begitu sibuk...." Eddi manggut-manggut setuju. "Tetapi kuanjurkan, segera setelah mertuamu dikuburkan ---"
"Mertuaku," Jamila memotong dengan keluhan getir. "Jangankan melihatnya semasa hidup. Bahkan setelah mati pun, aku belum tahu seperti apa atau bagaimana orangnya!"


Pewaris Iblis Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ada bagusnya kau tak ikut melihat isi peti mati itu, Mila. Sungguh merupakan sebuah mimpi buruk -----," Eddi menarik nafas panjang, lebih diperuntukkan melonggarkan dadanya sendiri, yang mendadak sesak. "Bayangkan saja ia sebagaimana ia masih hidup...."
"Tanpa pernah mengetahui seperti 'apa orangnya?"
"Aku percaya, Mila. Kau bukan menyesali mengapa perkawinanmu tidak dihadiri oleh ayah suamimu ---"
' 'Mendadak sakit, kata mereka ------"
"Itu memang sesungguhnya," Eddi menegaskan. "Ia yang memintaku mengantarkan ke rumah sakit begitu penyakit livernya mendadak kambuh. Lalu ia memarahi anak anaknya yang bersikeras tinggal. Dia bilang, jika mereka tidak segera berangkat ke Medan untuk hadir pada saat upacara pernikahan -, itu akan merupakan penghinaan terhadapmu"
"Orangtua yang bijaksana -," gumam Jamila. terenyuh. ' '
"Seperti anak sulungnya," Eddi menambahkan. Ia berpaling ke arah kabut, dengan pandangan menerawang. "Dalam beberapa kesempatan, aku dapat mengetahui sifat Perdana, suamimu. Mengutamakan kepentingan keluarga, bahkan di atas kepentingan dirinya sendiri;..."
Diam sejenak, Eddi _kembali berpaling memandangi Jamila. Meski ia mengulas senyum di bibir, tatap matanya tampak misterius bahkan agak sedikit tegang, menurut penglihatan Jamila. Kemudian: "Jika kau ingin mengetahui atau mengenal mertuamu, Mila. Gampang sekali. Kau tinggal menyimak suamimu. Dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Tinggal melengkapinya sedikit, dengan gurat-gurat ketuaan. Sesuai perbedaan usia mereka ------"
Ada suara bersiut-siut di kejauhan.
Jamila tak mendengar, tetapi Eddi mendengar. la memperhatikan kabut yang tampak bergerak terayun-ayun ke berbagai arah, jauh di lembah. Awan pun sudah memadati langit. Tanpa mereka sadari, teras depan itu sudah menggelap.
"Akan datang badai angin," desah Eddi, lembut. "Sebaiknya kita bergabung saja dengan mereka yang ada di dalam sana...."
ia lalu mengulurkan lengannya dengan gaya khas seorang bangsawan terhormat Jamila sejenak bimbang, tetapi seraya tersenyum geli ia merangkulkan tangannya ke lengan Eddi. Lalu mereka
masuk bergandengan ke ruang makan. Namun dengan jarak tubuh tetap terjaga. Agar tidak menimbulkan kecurigaan saudara-saudara ipar Jamila.
Lampu di ruang makan sudah dinyalakan. Hidangan sarapan pagi masih terletak di atas meja. Banyak yang masih tersisa, bahkan yang ada di atas piring Nina dan Jamila, juga masih tetap utuh. Tetapi tak seorangpun yang masih duduk di tempatnya semula. '
Jamila baru saja akan membuka mulut untuk bertanya, manakala ia dengar suara percakapan samar datang dari arah ruang utama di ujang lorong, lewat pintu ruang makan yang menganga lebar. Jamila melepaskan rangkulannya dari lengan Eddi lantas berjalan bergegas menuju ruang utama, diikuti Eddi di belakangnya.
Tiga orang bersaudara itu tengah mendengarkan pembicaraan seseorang yang tidak dikenal oleh Jamila. Ia juga melihat Dudung, yang segera berpaling ketika ' mendengar langkah-langkah kaki mendekat.. Sebelum Jamila sempat bertanya, Dudung sudah menggelengkan kepala. Sebagai penanda bahwa ia belum menemukan Perdana. Lalu dengan cepat ia telah mengikuti pembicaraan antara Jaka dengan orang tak dikenal itu. Lewat pintu depan, Jamila juga melihat sejumlah orang. orang asing berkerumun menunggu.
Jamila tertegun. "Apakah suamiku -----"
Eddi yang ikut berhenti di sebelahnya, menjelaskan. "Tenanglah. Yang mereka perbincang
kan pasti tentang peti mati itu -----," Eddi menggerakkan dagu ke benda yang ia sebutkan. Peti mati yang membeku diam. Yang'seperti menunggu dengan tak sabar.
Jaka kemudian memutar tubuhnya. Memandangi Rita kemudian Nina. Katanya: "Aku kira Pak Lurah benar. Sebaiknya kita tidak terus terusan menunda pemakaman."!"
Rita mengeluh: "Tetapi, Perdana?"
_ "Apa boleh buat," jawab Jaka, mengangkat pundak. "Di manapun ia sekarang ini, aku berharap ia tidak keberatan sesekali kuwakili. Bagaimanapun, kita harus menghargai orang-orang yang menunggu di luar sana -----"
"Jika begitu, tunggu apa lagi"," Rita menyatakan persetujuannya. Jaka memandang Nina. Nina hanya mengangguk, tanpa gairah; kemudian pergi duduk di sebuah kursi. Ia kemudian melihat kehadiran Jamila dan Eddi. Dengan anggukan pelan, ia mengajak ke dua orang itu untuk ikut duduk dengannya.
"Kau bergabunglah dengan Nina dan Rita," Eddi berkata pada Jamila. '.'Aku akan berolah raga sedikit. Ikut mengusung peti mati!"
Lalu ia menyusul Jaka mendekati peti mati. Atas perintah orang yang disebut Jaka sebagai lurah, beberapa orang di luar segera masuk ke dalam. Lalu bersama-sama Jaka dan Eddi, menggotong peti mati di lantai. Lalu dengan tertib mengusungnya ke luar puri. Rita tampak berubah pikir, dan kemudian mengikuti rombongan pem
bawa jenasah untuk ikut menghadiri upacara penguburan ayahnya.
Jamila duduk gelisah di sebelah Nina.
Pikirannya tak lepas dari belum pulangnya Perdana ke puri. Ia tidak memperhatikan, bagaimana Nina mengawasi dengan sorot mata tajam ke arah Rita, yang berjalan cukup dekat di sebelah Eddi yang ikut mengusung peti jenasah. '
Senyum menggerimit di bibir Nina. Senyuman sinis.
Kemudian menyandar di kursi. Dengan kelopak mata dipejamkan. Rapat-rapat. Kelopak matanya baru membuka setelah ia mendengar Jamila bertanya, dengan suara penuh kekuatiran: "Apakah tak seorang pun dari mereka yang telah melihat abangmu, Nina?"
Kelopak mata Nina membuka, terperanjat. Barulah ia sadari Jamila ada di dekatnya. "Kau bertanya apa barusan, Kak Mila?"
"Perdana. Apakah Pak Dudung ----"
Nina mempelajari wajah Jamila sejenak, kemudian tersenyum. Menghibur. "Kakak lihat sendiri, bukan" Hanya satu jenasah yang mereka antar ke liang kubur -----"
"Astagfirullah, Nina! Ngomong apa pula kau ini"!" '
"Oh. Hanya bercanda. Agar tidak ketularan berpikir yang bukan..bukan mengenai Kang Dana. Tentu saja Abah tidak menemukan apa-apa. Hanya untuk menyenangkan hati Kak Mila saja, kaki tua nya yang renta ia paksakan naik turun ke setiap
sudut jurang berbahaya yang mungkin dilalui Kang Dana .?"
"Namun aku tetap merasa tidak enak, Nina."
"Lumrah seorang istri mencemaskan suaminya." Nina tersenyum, bersimpati. Tetapi seperti sudah dikatakan Jaka, suamimu kemungkinan besar pergi ke balik gunung. Untuk mendata tanah milik kita yang letaknya berpencaran. Konon sudah lama pula ditelantarkan penduduk setempat yang dipercayakan mengelolanya.
"Dengan berjalan kaki?", Mila tak percaya.
"Kalau naik mobil, justru lebih memakan tempo. Selain harus berputar-putar sangat jauh, juga jalannya buruk dan berbahaya. Jadi aku sependapat dengan Jaka, suamimu memang jogging pagi tadi. Tetapi hanya sampai ke barak pekerja di sebelah Utara puri. Dari situ, ia tentunya meminjam sepeda motor salah seorang buruh, dan ----"
"Dan," Jamila mendengus tak senang. "Menempatkan harta waris di atas kewajiban menghadiri upacara pemakaman!"
"Persis Ayah", Nina berkata dengan suara getir. "Dahulukan hal-hal yang lebih penting. Sisanya, biarkan diurus orang lain ----"
Jamila memandangi wajah Nina, karena terkejut. "Aku menangkap nada pahit dalam kata-ketemu, Nina."
" Lebih dari pahit"
"Boleh aku tahu?"
Nina mengangkat mukanya, sampai mereka beradu pandang. Lantas balik bertanya: "Menurut
yang kudengar, kedua orangtua Kak Mila meninggal dalam kecelakaan lalu lintas, bukan?"
Pertanyaan yang menyimpang itu lebih mengejutkan Jamila. Namun ia anggukan juga kepalanya. Nina meneruskan: "Berapa tahun usia Kakak ketika musibah menyedihkan itu terjadi?"
"Lima tahun. itu, kalau aku tak salah ingat ------"
"Memang begitulah yang kudengar. Dan seusia itu pulalah aku, ketika aku ditinggal pergi oleh Ibuku
"Ditinggal mati, bukan?"
Nina tersenyum, kecut. "Aku sudah menduga, pasti seperti itulah yang diceritakan Kang Dana padamu. Untuk bersikap bijaksana, seseorang terkadang memang harus jadi pendusta. Sebaliknya, orang yang sedikitpun tidak memiiiki sifat bijaksana, tidak pernah segan mengutarakan kebenaran; tanpa perduli, orang lain akan sangat menderita karenanya!"
"kau berteka teki."
"Kontradiksi, Kak Mila. Bukan teka-teki _", jawab Nina, datar. "Kontras yang begitu nyata. Antara apa yang dikatakan Kang Dana padamu. Dan apa yang dikatakan, atau tepatnya, selalu diingatkan Rita padaku ---"
" Lalu, apa yang dikatakan Rita, Nina?", tanya Jamila, tertarik.
"Bahwa Ibuku pergi sambil tertawa ngakak, dengan menggondol sekantong besar uang dan perhiasan pemberian Ibunya Rita!"
"Maksudmu ----" '
"ltulah kenyataannya, Kak Mila. Ibuku masih hidup. Entah di mana dan dengan siapa, aku tak pernah diberitahu. Tak pernah pula ia berusaha menghubungiku. Mungkin benar Rita berlebihan mengatakan Ibuku tertawa ngakak. Tetapi kebenaran lainnya tidak dapat kupungkiri. Rita pernah memperlihatkannya padaku. Sebuah surat cerai. Dilengkapi akte perjaniian di dalam mana disebutkan pengasuhan diriku untuk seterusnya diserahkan pada Ayah kandung dan Ibu tiriku. Sebagai imbalannya -, di dalam akte disebutkan sebagai tanda kekeluargaan; Ibuku menerima biaya hidup secukupnya sampai tiba waktunya ia membina rumahtangga dengan orang lain ...."
Jamila menggeleng takjub. Sekaligus juga muak. "Tega nian Rita berlaku seperti itu padamu!"
"Itu kenyataan lainnya yang juga tak dapat kupungkiri, Kak Mila. Seperti kukatakan tadi, Ayah punya prinsip: dahulukan yang lebih penting dan biarkan sisanya diurus orang lain. Maka Ayah menyerah pada tekanan istri pertama dan anakanaknya. Pernah suatu ketika ia berkata padaku, bahwa penyerahan yang ia lakukan seringkali membuat dirinya merasa berdosa. Terhadapku. Aku pun lantas mengerti, mengapa ia teramat kasih padaku. Melebihi kasihnya pada Rita."
"Lalu Rita cemburu."
"Benar. Dan aku dapat menerima sikapnya. Yang tidak dapat kuterima, apa yang kemudian selalu ia tuduhkan tentang kematian Ibunya, atau ibu tiriku. Semenjak ia.tahu ia telah dikhianati
ayah, ibu tiriku tak pernah sembuh sembuh. Kata mereka, ibu tiriku mati karena digerogoti tekanan batin. Dan akulah biang keroknya, menurut Rita
"Sungguh terlalu", Jamila terjangkit perasaan marah.
Nina tersenyum, sabar. "Setidak tidaknya aku memang terlibat. bukan?"
"Tetapi apa perlunya ia selalu mengingatkan semua itu padamu" Hanya karena ayah kalian menyebutmu, Nina manisku?"
"Itu hanya bibit saja, Kak Mila. Pupuknya, Eddi."
"Eddi?" "Apakah Kak Mila tadi tak memperhatikan Eddi yang mengusung jenasah ayah, dikutit rapat oleh Rita?"
Jamila.menggeleng. "Itulah yang selalu dilakukan Rita setiap kali ada kesempatan. Mendekati Eddi !"
Jamila tercengang. "Bukankah Eddi itu kekasihmu eh, maksudku ---"
"Tak perlu repot repot meralat ucapanmu, Kak Mila," desah Nina, seraya tertawa pahit. "Kau betul. Eddi memang kekasihku. Bukan suami, meski kami hidup dibawah satu atap. Tetapi di situlah letak persoalannya. Seorang kekasih, belum tentu menjadi milik kita secara mutlak. Rita tahu betul mengenai itu. Dan ia juga tahu bagaimana memanfaatkan pengetahuannya, kapan saja ada kesempatan ...."
"Astaga ----", Jamila lagi-lagi tercengang. "Dan ia nekad melakukannya terangterangan di depan mata semua orang?"
"Sebelumnya, Rita selalu sembunyi-sembunyi. Baru hari ini ia berani melakukannya terang terangan. Setelah ayah diusung dalam peti mati!"
"Itu hanya prasangkamu saia, barangkali ---"
"Rita seorang janda, Kak Mila!"
"Betul. Dan menurut abangmu padaku, justru karena ia janda maka ia sangat berhati-hati jika didekati lelaki."
"Rita sudah berlaku hatihati semenjak ia belum berumahtangga, Kak Mila. Itu karena trauma. Ia takut mengalami nasib serupa dengan ibunya. ia baru menentukan pilihan, hanya setelah ia sadar bahwa ia telah berangkat jadi perawan tua. Sayangnya, pilihan Rita jatuh pada laki-laki yang egoisnya tak kalah dengan Rita. Akibatnya, pernikahan mereka hanya bertahan beberapa bulan. Semenjak perceraiannya, boleh dikata Rita mengharamkan laki-laki dalam kehidupan pribadinya ..."
Nina diam sejenak. Tercenung, murung. Ketika ia mengangkat mukanya lagi, Jamila tidak tahu apakah sinar mata Nina mengandung rasa iba -, karena bagaimanapun Rita adalah saudaranya; ataukah kebencian yang terpendam. Kata-katanya seakan tak bermakna apa-apa: "Lalu muncullah Eddi dalam kehidupanku. Dan Rita tiba-tiba berubah pendirian -------"
"Sedrastis itu?"
"Mengapa tidak" Persoalan utamanya toh bukan
memiliki Eddi atau tidak. Tetapi bagaimana supaya luka yang pernah ia goreskan di dadaku, tetap menganga. Lebih sakit, lebih bagus"
"Naudzubillah -----", desah Jamila, merinding. Ia pun tiba-tiba merasa resah.'"Aku kira _ pembicaraan kita telah -------"
"Menyimpang, begitu?", potong Nina, hambar." Jika ingin mempersalahkan dirimu, Kak Mila, silahkan. Tetapi aku, tidak. Mungkin aku telah berbicara terlalu banyak. Namun toh kelak suatu ketika, kau akan mengetahui juga keluarga mana yang kau masuki. Menurutku, adalah lebih baik kau mendengarnya sejak awal. Dan langsung dari mulut orang dalam sendiri ---"
Ada benarnya juga, pikir Jamila, seraya duduk terhenyak di kursinya. Merasa tidak enak, ia menghindari tatapan Nina dengan memaling ke jendela. Di luar, tampak cuaca sudah semakin memburuk. Bahkan kabut pun sudah hampir lenyap ditelan kegelapan. Tadi, ada satu dua kali ia mendengar bunyi guntur. Namun baru setelahkini guntur itu memperdengarkan kehadirannya lagi, Jamila terkejut oleh bunyi gelegarnya yang mengejutkan.
Jamila lantas teringat pada upacara penguburan di luar tembok puri. Jika tiba-tiba hujan menderas turun --"alangkah baiknya jika ditunda", Jamila bergumam, tak sadar.
Nina yang sudah sempat menyandar dengan mata terpejam, pelan-pelan membuka matanya. "Apa. Kak Mila?" Ia kemudian mengikuti arah
pandang Jamila. Lalu memahami maksud gumaman yang barusan ia dengar. "Oh. Penguburan ayah, maksudmu?"
"Ya. Cuacanya tak cocok."
"Bukan hanya cuaca. Tetapi juga rombongan pengantar ---"
"Karena ketidakhadiran Kang Dana?"
"itu satu kejanggalan. Sesaat barusan, mendadak aku teringat pada kejanggalan lainnya ...."
"Apa, Kak Mila?"
"Di antara rombongan itu, tidak kulihat adanya kaum kerabat. Atau relasi dekat. Ataukah mereka telah datang melayat sebelum aku dan abangmu tiba?" '
"Tak seorangpun!"
Jamila berpaling kaget. "Yang benar, Nina----"
"Aku bersungguh sungguh, Kak Mila. Kenyataannya, memang tidak seorangpun yang sempat diberitahu ------"
"Aneh!" "Aku juga berpikir begitu, ketika diberitahu Jaka bahwa untuk sementara, hanya anggota keluarga dekat saja yang tahu dan boleh hadir. Ditambah beberapa penduduk setempat. Itupun, hanya orang orang kepercayaan saja ----"
"Mengapa, Nina?"
"Entahlah. Jaka bilang, ia baru akan menjelaskannya setelah ia berbicara lebih dulu dengan suamimu."
Jamila terdiam seketika. Teringat ketika mereka tiba tadi malam, suaminya langsung saja diseret
Jaka ke perpustakaan. Tanpa diberi kesempatan beristirahat. Ada misteri apa gerangan di balik kematian mertuanya" Di luar sana, guntur kembali menggelegar. Demikian kerasnya, sehingga lantai ruang utama puri, terasa bergetar di bawah kaki Jamila. ' Bahkan Nina. sempat terpekik. Ketakutan.
*** 6 CUACA belum buruk benar, ketika peti mati diturunkan ke liang lahat. Gundukan tanah, kemudian ditimbunkan. Beramai-ramai. Seolah mereka khawatir terlambat, dan peti mati itu mendahului terbuka. Lalu mayat yang terbaring di dalamnya, keburu menerkam lantas menyeret salah seorang dari mereka; karena tak sudi dikuburkan sendirian. '
Agaknya, ketakutan warga desa yang mengerjakan penimbunan itu, menjalar pula ke dalam diri Rita. Karena tiba-tiba ia bergerak mundur beberapa langkah. Tanpa sadar ia masih menggandeng lengan Eddi. Dengan sendirinya Eddi terbawa mundur.
"Ada apa, Rita?", bisik Eddi, heran.
"Entahlah -". sahut Rita, lirih. "Sewaktu peti mati itu diturunkan ke liang lahat, mendadak dadaku terasa sesak ---"
"Itu karena yang berbaring di dalamnya, adalah ayahmu."
"Mungkin. Tetapi aku tidak suka semua ini. Aku -----"
Pada saat itulah guntur menggelegar pertama kali. Keras dan tanpa pemberitahuan lebih dulu. Rita sampai menjerit karenanya. Orang-orang di sekitar mereka, pada memandang terperanjat. Ke
mudian, para pekerja mempercepat pekerjaannya, Sambil sesekali mendongak ke mendung tebal yang bergulung-gulung mengancam di atas mereka.
Jaka menatap tak senang pada Rita. Lantas memberi isyarat pada Eddi, dengan gerakan kepala.
"Tuh, lihat ", kata Eddi di dekat telinga Rita. "Adikmu sampai meminta menyingkirkanmu jauh jauh...." '
"Memang itulah yang ingin kulakukan", dengus Rita gembira. "Ayolah!"
Rita setengah menyeret Eddi meninggalkan komplek pemakaman keluarga itu, menempuh jalan pulang ke puri. Begitu mereka sudah melewati tanjakan dan gerbang puri sudah terlihat, sekali lagi guntur menggelegar. Panjang. Disusul sambaran petir yang menyilaukan mata. Rita makin mempercepat langkah. Makin erat pula menggandeng lengan Eddi. Tubuh mereka menjadi sedemikian rapat. Sehingga Eddi dapat merasakan kekenyalan payudara Rita pada lengannya. Memberi sedikit kehangatan, di tengah serbuan angin yang dingin menUSuk tulang.
Di tempat yang mereka tinggalkan, kayu-kayu nisan dipancangkan buru buru. Jaka, mewakili keluarganya, menyampaikan pidato singkat, ucapan terima KaSih, dan berjanji tidak akan melupakan jasa baik Lurah serta warga desa yang telah membantu pelaksanaan upacara pemakaman. "yang, karena satu dan lain hal, terpaksa dilangsungkan secara darurat," katanya. .
Lurah pun dapat kesempatan untuk menyambut
pidato keluarga almarhum,_disusul pembacaan do'a oleh salah seorang warganya. Upacara penutupan yang resmi-resmian itu sedikitpun tidak terasa khidmat. Semua warga desa yang hadir di situ, tampak sangat gelisah dan saling memandang satu sama lain, dengan sorot mata tak sabar. Belum juga pembacaan do'a berakhir, satu per satu mereka sudah menyelinap diam-diam ke arah sebuah truk. Truk itu diparkir di luar komplek makam. Bahkan supirnya, sudah menghidupkan mesin.
Tak lama kemudian, semua warga desa sudah naik di kabin belakang. Lurah pun sudah duduk di belakang supir. Sesaat ia memperhatikan ke arah kuburan baru di sana, kemudian mengangguk pada supir truk. Supir seketika memasukkan gigi mesin mobil ke gigi satu, dengan suara bergemeratak. Lalu gas ditancap. Truk tua itu pun merayap menaiki tanjakan. Dan setelah menemukan jalan menurun menuju desa, truk pun melaju dengan kecepatan hampir tak terkendali.
_ "Kita pun sudah waktunya masuk ke ruang, Den Jaka," Dudung memperingatkan pemuda yang berdiri di sebelahnya. .
Jaka mengawasi kuburan baru di depan kakinya, kemudian menganggukkan kepala. Begitu mengetahui truk sudah lenyap entah ke mana, ia geleng kepala. Berkata gundah: "Sedemikian takutnyakah mereka, Abah?"
"Badai, Den Jake. Siapa yang tidak takut?"
"Semua itu tahayul!"
"Tetapi kenyataan berbicara lain, Den Jaka,"
jawab Dudung, dengan suara dan wajah tanpa emosi. '
Jaka terdiam. Lalu hujan pun. sekonyong-konyong jatuh dari langit. Bagai ditumpahkan tangan-tangan gaib yang bersembunyi di balik kegelapan dan kepekatan mendung serta angin yang bertiup keras, dengan suara berdesau desau.
Jaka berlari menuju pintu gerbang.
Pada saat bersamaan, Rita merasakan terpaan hujan di wajahnya. Ia melihat ke kiri kanan, dan setelah menemukan apa yang ia cari, Rita kemudian menyeret Eddi berlari ke arah istal. "Kita berteduh di dalam sana -", katanya.
"Apa salahnya kita terus saja ke rumah?"
"Aku tak sudi basah kuyup sekarang ini!", iawab Rita dengan suara keras mengatasi suara angin dan hujan, lantas membuka pintu istal. Menyeret Eddi masuk ke dalam, kemudian menutupkan pintu rapat-rapat. Masih terasa dingin di dalam. Namun tetap lebih baik ketimbang berlari-lari sekian ratus meter lagi menuju puri, di bawah siraman hujan lebat.
Bau pepak lantai istal segera menyerang hidung mereka.
Rita menarik Eddi menuju tangga kayu. Mereka bergiliran naik ke atas. Dan Rita beroeloteh riang: "Di sini lebih nyaman. bukan?"
*** FAKTOR usia tidak selamanya menentukan kemampuan seseorang.
Dudung buktinya. la tiba lebih dahulu di puri. Dan tanpa menoleh kiri kanan, langsung menyelinap menuju ke kamar pribadinya. Nina yang sedang duduk melamun sendirian di kursi, terkejut melihat kehadiran orang tua itu -; yang dalam tempo sekejap sudah lenyap dari pandangan mata. Tak ubahnya angin lewat belaka.
Nina segera beranjak dari duduknya. Pergi ke pintu yang masih menganga terbuka. Di antara curah hujan ia menampak seseorang berlarilari mendatangi. Tahu-tahu orang itu sudah berdiri di hadapan Nina, dengan nafas kembangkempis.
"Kau basah kuyup, Jaka," sambut Nina, mesra.
Jaka yang sempat malu hati karena tertinggal cukup jauh oleh Dudung, menggumam tanpa alamat: "Benar kata orang -," ia mengatur nafasnya sebentar. "Puing-puing yang masih hidup dari generasi-generasi sebelum kita, memiliki banyak hal yang adakalanya membuat kita tercengang tak percaya ---"
.. Apa ____.. Jaka tersenyum pada Nina. "Dalam situasi apa. pun, kau tampak tetap cantik," katanya, lembut. "Kang Dana sudah kembali?"
"Belum," jawab Nina, dengan kulit muka merona merah. "Naiklah ke atas, sebelum kau terserang pneumonia -----"
Sewaktu berjalan menuju tangga, ia melirik ke kursi kursi di mana tadi Nina dan Jamila mereka
tinggalkan duduk berdua. "Kak Mila ke mana?"
"Barusan masuk ke perpustakaan. Katanya cari buku bacaan. ia juga mengatakan tentang kunci mobil yang mungkin ada di -'--"
Mendadak sontak Jaka menghentikan langkah. Lalu berkata tegang: "Kau teruslah ke atas. Ambil kan baju gantiku di kamar. Aku akan menunggumu di perpustakaan!"
"Hei ---" "Kau tak mau aku kena pneumonia, bukan"!" Jaka mendengus tajam.
Nina memandang terheran-heran, kemudian naik ke lantai atas untuk memenuhi permintaan saudaranya.
Tanpa membuang tempo, Jaka langsung pula pergi ke perpustakaan. Pintunya terbuka. Di dalam, lampu besar sudah dinyalakan. Jamila tampak memunggungi pintu. Kakinya bersijingkat untuk dapat meraih sebuah buku besar dan tebal di lapis rak yang letaknya agak tinggi. Sampul sisi buku itu ber tuliskan tinta emas dengan huruf huruf antik dan menarik hati siapapun orangnya yang menganggap sebuah buku adalah gambaran salah satu sisi kehidupan manusia.
"Mencari sesuatu, Kak Mila"!"
Pelan saja Jaka berkata. Namun cukup untuk mengejutkan Jamila. Sehingga buku yang sudah setengah teraih dari lapis rak atas, terlepas dari tangannya dan jatuh berdebuk ke lantai. Cepat Jamila membalikkan tubuh. Wajahnya pucat. Setelah mengenali Jaka, lepaslah protes kecil dari
mulutnya: "Agaknya kau gemar mencopot jantung orang, Jaka !"
Jaka mengawasi Jamila dengan Sorot mata menusuk. "Apa yang kau cari di sini?"
Sarkastis. ltulah nada yang tertangkap telinga Jamila. Ia mencoba tersenyum. Dan berpikir, sikap Jaka semenjak mereka bertemu, tidak lain disebab kan oleh kematian ayahnya. Begitulah Jamila menghibur diri sendiri, untuk dapat memaafkan perilaku Jaka yang seperti ingin menciptakan jarak di antara mereka. Namun toh ia tetap merasa tidak tenteram karenanya. Maka sambil memungut buku di lantai, Jamila pun berkata menyindir: "Jika ada harta karun keluargamu tersimpan di ruangan ini, Jaka ----Silahkan menggeledah tubuhku sebelum aku ke luar -----"
Sepasang mata Jaka menyipit mendengar kalimat yang diucapkan Jamila. Ia pelajari sekujur tubuh perempuan itu, seakan sambil lalu, kemudian ia putarkan mata menyimak setiap sudut. Tampaknya tidak ada sesuatu yang berubah, semenjak terakhir kali ia tinggalkan perpustakaan itu. Ia kembali memandang Jamila, yang tidak berusaha mengelak. "Maaf. Suasana di luar sana membuat aku sedikit tegang ---", katanya, dengan suara lebih lunak.
"Oh ya?", Jamila mencibir sambil mendekat ke pintu. "Siapa pula yang tidak tegang. Setelah Perdana minggat tanpa kabar berita!"
Jaka menyisi untuk memberi Jamila jalan.
Jamila terus saja melewatinya, tanpa menoleh.
Langsung menuju tangga. Naik ke atas dengan dagu ditengadahkan dan langkah digagah-gagahkan. Jaka memperhatikan dari belakang. Lalu menyadari satu hal. Bahwa, meski sikap dan langkah kaki Jamila jelas munafik, toh tetap saja ayunan pinggulnya tampak mengasyikkan.
Nina yang sedang menuruni tangga, takjub karena Jamila tak menoleh apalagi menyapanya. Nina memutari bagian bawah tangga lalu melihat Jaka masih berdiri di ambang pintu perpustakaan, mengawasi kepergian Jamila. Nina bergegas mendekati, lalu menarik Jaka ke dalam perpustakaan. "Kau ingin aku tetap di sini selagi kau bersalin pakaian, Jaka?"
Jaka menarik nafas panjang. Dan berjalan menuju kamar mandi di salah satu sudut ruangan itu. Dalam tempo singkat, ia sudah tampil lebih baik di hadapan Nina. Hanya rambutnya saja yang masih acak-acakan. Namun tidaklah mengurangi ketampanan raut wajahnya.
Nina mengamat'amati Jaka memeriksa sela sela buku yang ada di atas meja, tanpa berkata sepatah pun. Jaka kemudian juga memeriksa laci, mencari cari dengan tangannya. Setelah itu memperhatikan rak buku di mana tadi ia lihat Jamila berdiri. Kembali mencari-cari, dengan matanya..la kemudian tercenung, berpikir. Lantas beranjak menuju tungku pemanas ruangan. Sekali lagi ia mencari-cari. Terus bertanya heran: "Ke mana pencungkil bara yang ada di sini?"
"Mana aku tahu," jawab Nina. mengangkat
bahu. Jaka bergegas ke luar, meninggalkan Nina yang tak habis heran. Ketika Jaka kembali lagi ke perpustakaan, ia sudah dibekali pencungkil bara yang diambilnya dari tungku pemanas lantai utama. Dengan hati-hati ia mengorek tumpukan _abu dan sisa bara di tungku. Seraya bergumam tak jelas. Nina menanya ia menggumamkan apa. Jawab Jaka: "Apapun yang dikerjakan Kang Dana di perpustakaan ini tadi malam, bukanlah kebiasaannya berlaku serampangan ---"
"Maksudmu?" "ia telah merokok di kamar kecil. Lalu membuang puntung tidak pada tempatnya!"
"Oh. Kukira apa ---"
"Pasti karena pikiranmu masih curiga aku mengapa apakan Jamila!"
Jaka tidak memperhatikan perubahan di wajah saudara perempuannya satu ayah itu. Ia meluruskan tegaknya di depan tungku, dengan dahi mengerut. Katanya, tak menentu: "Unsur kimiawi, membuat kertas tidak musnah berupa abu, jika dibakar ----"
Nina seketika tertarik. "Kertas?"
"Surat surat, tepatnya," jawab Jaka. "Setumpuk surat surat lama, yang sebelumnya dikoleksi oleh si tua bangka itu ...."
"Abah, maksudmu ---"
Jaka manggut-manggut, seraya berpikir keras.
"Ada apa sebenarnya, Jaka ?"
"Aku kira tak ada salahnya menjelaskan padamu
sekarang, Nina. Tetapi tutuplah dulu pintu itu. Jangan lupa memastikan, ada orang lain ikut menguping pembicaraan kita!"
Jantung Nina, seketika berdebar.
*** Jantung kakaknya, Rita, lebih berdebar lagi. Rebah di tumpukan jerami yang terdapat di loteng istal, kelopak matanya meredup tatkala Eddi menjauhkan mulutnya dari bibir Rita.
"Ciumannya tak sehangat dulu dulu, Eddi," ia mengeluh, manja.
Eddi menyeringai di atasnya. "Terakhir kali kita bertemu, hem. Kapankah itu ya?"
Rita melebarkan kelopak matanya. "Tiga bulan. Selama itulah aku kau abaikan ---"
"Bukan mengabaikan, Rita. Kau tahu, aku begitu sibuk membantu adikmu membuka cabang boutique nya di Kebayoran. Belum lagi mempersiapkan pagelaran busana yang sungguh sangat melelahkan itu ------"
"Entah mengapa, kini aku sangat ingin merampas kau dari si tolol itu, Eddi!"
"Yang benar. Sebagaimana kukatakan tadi. Terakhir kali kita bertemu, kau bilang aku terlalu dingin untuk menghangatkan tubuhmu. Padahal saat itulah pertamakalinya, aku menginginkanmu. Luar dalam --"
"Waktu itu kau sedang mabuk," Rita menyeringai.
"Sekarang, kau yang mabuk. Tak ada hujan tak ada angin, kau tiba-tiba memaksaku berteduh di sini. Laluterang-terangan berkata, yang dulu tertunda, dapat kita lakukan sekarang ..."
Kelopak mata Rita kembali meredup.
"Lantas ----Tunggu apa lagi, Eddi?"
Eddi menurunkan wajahnya. Sampai bibirnya bersentuhan dengan bibir Rita. Rita menyambut dengan gigitan lembut. Sehingga begitu bibir mereka menjauh sesaat, Eddi lantas menggeram di telinga Rita: "Sungguh tak penyabar kau ini ---"
Jemari-jemarinya kemudian merayap ke payudara terus turun ke pinggang Rita. Begitu ujung blouse Rita terpegang, dia pun menariknya ke atas. Perlahan lahan, maksudnya. Tetapi mendadak, di luar istal, guntur menggelegar lagi di langit. Eddi sempat terkejut. Dan gerakan terkejut itu menyebabkan tangannya secara otomatis menyentak cepat sehingga dalam tempo sekejap mata saja, bagian atas tubuh Rita di bawah tubuhnya, sudah tidak lagi dilapisi sehelai walau hanya selembar benang.
Rita merintih: "Siapa sebenarnya yang tidak sabar, Eddi?" '
Tetapi Eddi telah menciumi bibir lagi.
Dan tak lama kemudian, hujan badai dan gelegar guntur di luar sana, tidak lagi punya arti. Menerkam dan mencabik-cabik kian kemari. Liar. Dan, buas -*** 7 NINA terhenyak, pucat. "jadi gelandangan. Aku tak percaya'"
"Pada mulanya, Nina, aku pun tak percaya," Jaka menyetujui, dengan suara mengandung keputusasaan. "Baru setelah situasinya kupelajari lebih rinci, aku terkejut. Kepercayaanku pun goyah seketika."
Sahabat Karib 1 Pendekar Hina Kelana 2 Misteri Neraka Lembah Halilintar Giri 5

Cari Blog Ini