Ceritasilat Novel Online

Pewaris Iblis 2

Pewaris Iblis Karya Abdullah Harahap Bagian 2


"Tetapi jadi gelandangan!"
"Mengapa pula tidak, Nina" Buka matamu lebarIebar, dan lihatlah kenyataannya. Semua investasi yang kita miliki, sumbernya berasal dari tanah. tanah perkebunan di sekitar puri ini; usaha yang dijalankan ayah di Bandung, Rita di Bekasi, bahkan butikmu yang di Jakarta. Aku pun tak kurang sial. Memang aku belum menjalankan usaha sendiri. Tetapi saham atas namaku di perkebunan, terancam hilang. Dan kemungkinan besar aku terpaksa harus mengurungkan niat melanjutkan studi ke Kanada _
Jaka mendorongkan balok kayu bakar lebih dalam ke tungku perapian. Bias nyala dari tungku membuat wajah Jaka bagai membara. Dan matanya mengeras ketika ia melanjutkan kata katanya: "Yang paling menggemparkan aku. adalah kesimpulan akhir. Nina. Perjuangan kerasmu, Rita, ter
utama ayah. Ayah sempat jungkir balik untuk membangun kembali puing-puing kehancuran yang diakibatkan oleh para pendahulunya. Semua itu, pada akhirnya jUStru hanya menguntungkan orang lain saja. Dan sekali kita terdepak ke luar ----"
"Aku tak sudi didepak begitu saja!", desis Nina, marah. "Aku akan berjuang mati-matian untuk mempertahankan apa yang ku miliki!"
"Dengan apa, Nina.", Jaka bertanya murung. Sambil matanya terus mengawasi ke nyala api di tungku. Wajah Jaka tampak semakin membara. Dengan tarikan kaku, keras. Dan sinar mata tegang, ketika'dalam pikirannya terlintas kemungkinan kemungkinan itu, teramat sangat mengejutkan dirinya sendiri.
Dari belakang punggungnya, terdengar suara Nina dalam nafsu amarah: "Akan kusewa sejumlah pengacara terkemuka. Tak perduli berapapun biaya yang harus kukeluarkan untuk itu!"
Jaka membalikkan tubuh. Memandangi adik perempuannya, ingin tahu. Lalu bertanya, tenang: "Setelah itu apa, Nina?"
Nina membalas tatapan mata Jaka. Lalu berujar tajam: "Suaramu seperti tidak mendukung, Jaka!"
"Bukan tidak mendukung," jawab Jaka, sambil berpikir-pikir. "Aku hanya teringat apa-apa yang diucapkan ayah. mata Jaka menereWang. Jauh. Terbayang wajah ayahnya yang gempar sebelum berangkat ke puri ini. Begitu pula pesannya, yang jelas-jelas membuktikan kegemparan hatinya. "Kita harus menyelamatkan apa yang masih dapat di
selamatkan. Dan berhati-hatilah, Jaka. Jauhkan siapapun juga dari puri, sebelum kita dapat memastikan bahwa segala sesuatunya sudah beres dan aman!"
Lalu ayahnya mati, sebagaimana dikabarkan orang suruhan Abah yang menginterlokal ke Bandung dengan meminjam telepon di kantor kecamatan. Jaka pun sibuk menginterlokal ke Medan. Lalu ke Jakarta dan ke Bekasi. Menyuruh Nina dan Rita segera pulang ke Bandung begitu pembicaraan di telepon selesai. Baru setelah kedua orang saudara perempuannya itu muncul di rumah, Jaka menjelaskan musibah yang menimpa keluarga mereka. Nama baik keluarga ia pertaruhkan dengan tidak memberitahu orang lainnya lagi, di luar saudara-saudara kandungnya.
"pesan ayah itu," ia berkata antara sadar dan tidak. "harus tetap kita pegang. Melibatkan pengacara, sama saja dengan bunuh diri!"
"Langkah apa yang akan kau ambil, Jaka?"
"Aku belum tahu," Jaka mengeluh. "Lebih dulu, kita harus menemukan surat surat tua itu. Aku heran, Kang Dana belum memusnahkannya. Tak kutemukan bekasnya di tungku. Atau di tong sampah, jika ia telah merobek robeknya. Aku khawatir, Kang Dana tiba-tiba berubah pikir entah dengan maksud apa ---"
Nina mendengus sinis: "Maksudnya jelas, Jaka!"
"Oh ya?" "Mudah saja. Ia menjalin persekongkolan dengan istrinya!"
"Tak masuk diakal. Itu bukan sifat Kang Dana -----"
"Nah. Kau pun ragu ragu, bukan" Karena, ada kalanya manusia dapat berubah. Jamila yang telah merubah Kang Dana!" '
"Bagaimana kau sampai berpikir sejauh itu, Nina?"
"Sederhana sekali, Jaka. Habis menghendaki, ia dipertemukan dengan Kang Dana. Atau Jamila memang sengaja mengatur pertemuan itu "."
"Untuk?" "Hanya dengan jalan itu, ia dapat diterima dengan tangan terbuka di puri ini. Lalu dengan leluasa ia mengumpulkan setiap bukti yang ada. Tentu saja, ia pun punya bukti sendiri, paling tidak identitas. Tetapi apa yang ia miliki, terlalu rapuh ---" .
"-atau, saksi hidup!", sela Jaka, murung.
"Tamu ayah maksudmu, Jaka" Tidak usah khawatir. Orang itu ---"
"Kau melupakan orang lainnya, Nina."
"Siapa?" "Abah!" *** DUDUNG, atau si Abah, kaget begitu menyadari sesosok tubuh tahu-tahu sudah berdiri di sampingnya. "Nona Lola", ia berdesah, pusat.
"Si Juragan Kecil!", sambut Jamila diiringi senyuman manis. Padahal, ketika ia tinggalkan kamarnya di lantai atas, ia masih tegang dan juga gelisah. Kini ia sedikit terhibur oleh tingkah Dudung yang masih juga serba salah dan salah lagi. "Sudah kubilang, aku ----"
Menyadari wajah Dudung yang tampak resah, Jamila tidak meneruskan kata-katanya. Teringat. orangtua itu pernah ngacir ketakutan dari kamarnya ketika Jamila mengatakan dirinya ingin jadi Juragan Besar, bukan Juragan Kecil. Ia lihat pula bagaimana tangan kurus dan renta itu gemetar ketika memindahkan pakaian pakaian basah dari mesin cuci ke mesin pengering. Jamila yakin, itu bukanlah dikarenakan usia tua belaka. Melainkan dikarenakan kehadirannya.
"Kau sendiri yang mengerjakan segala sesuatu di puri ini, Abah?", ia mencoba menetralisir suasana.
Tetap merunduk ke mesin pengering, Dudung menyahut sumbang: "Non sampai repot-repot turun ke bawah. Padahal Non tinggal menarik bel!"
"Yang muda, lebih baik mendatangi yang lebih tua. Bukankah begitu, Pak Dudung?"
Dudung tertegun. Kemudian menarik nafas panjang. Katanya: "Sayang sekali. Kebanyakan orang telah melupakan hal itu, Non .?"
"Hem. Dan siapakah orang-orang itu, Pak?"
Dudung menggeleng muram. Lalu berkata lebih ramah lagi: "Sebaiknya Non tanyakan hal lain saja ---" '
Jamila yang kini salah tingkah. Mengapa semua orang di puri ini seolah berkomplot menjauhinya "
Bahkan juga Dudung, yang baru kemarin malam saling kenal. Jika pun Jamila melakukan kesalahan, paling hanya sebuah teguran. Dan itu pun berpangkal dari kesalahan Dudung sendiri, dalam menyebut nama dan kedudukan Jamila.
"tak ada sesuatu pun yang bisa kuperbuat di kamar, Pak Dudung." ia terus berusaha memperlihatkan sikap ingin bersahabat. "Tadi aku salah mengambil buku dari perpustakaan. Ternyata berbahasa Belanda ----"
"Kelak akan kubantu menerjemahkannya," desah Dudung, tak sabar.
"Terimakasih. Apa yang ingin kutanyakan adalah, benarkah Bapak tidak menemukan petunjuk tentang suamiku di luar sana?"
Pundak orangtua.itu tergetar seketika. "tidak, Non"!", jawabnya, setengah berisik. Parau.
"Dan ia belum pulang juga. Apakah itu tidak membingungkan?"
"Betul," ' " Lalu ---" "Non lapar, barangkali. Mungkin juga yang lain!", Dudung memotong cepat. Dengan gerakan kasar ia tekan mati tombol mesin pengering. "Maaf. Aku akan ke dapur untuk menyiapkan makan siang kalian ---"
ia pun berlalu ke dapur. Bergegas. Dengan langkahnya yang tersuruk. suruk.
Hilang akal sebentar, Jamila akhirnya tersinggung. Lantas memaki sendirian: "Persetan!"
Dan kemarahannya pun kian menjadi-jadi, setelah ia kembali ke kamar dan melihat kehadiran orang lain di sana. Nina, yang duduk tenang tenang di pinggir tempat tidur. Sambil menyulut sebatang rokok yang terselip di bibirnya. Ia berpaling ke pintu, tersenyum dipaksakan, lantas menyambut diriang riangkan: "Hai, Kak Mila!"
Jamiia tidak segera menyahut.
Karena, telah terjadi beberapa perubahan di dalam kamar. Map-map berisi berkas-berkas pekerjaan Perdana yang akan dilemburkan suaminya selama di puri ini, susunannya Sudah tidak rapih. Laci meja sebelah atas setengah terbuka, begitu pula yang di bawahnya. Pintu lemari memang tertutup rapat. Tetapi apa bedanya" Pintu lemari itu toh tidak terkunci.
Tak pelak lagi, Jamila menghardik: "Mau apa kau di kamarku, Nina"!"
*** ATAP istal nyaris terkena sambaran petir.
Di loteng perlengkapan, Rita mengeluh ketika tubuhnya ditinggalkan tubuh Eddi begitu saja. "Mengapa berhenti, Ed?"
Tangan Eddi merayap di keremangan loteng, mencari celananya. "Kita Sudah terlalu lama di sini!"
"Sebentar lagi, Ed. Aku hampir ---"
"Lain kali sajalah !", jawab Eddi seenaknya. Ia telah,menemukan pakaiannya dan cepat sekali ia
sudah selesai mengenakannya. Kini matanya ganti mencari-cari di mana letaknya tangga turun ke bawah. '
-Rita pun memprotes: "Ada apa dengan kau, Eddi?"
"Jelas bukan" Kita harus segera kembali ke puri, sebelum ada yang curiga atau bahkan memergoki apa yang barusan kita perbuat ...."
Seketika, Rita merentak duduk. "Kau sengaja!"
"Sudah kubilang -----"
"Kau sengaja berhenti setengah jalan ", Rita mendengus marah.
Akhirnya Eddi menemukan apa yang ia cari. Hati hati ia pun mendekati tangga, bermaksud turun ke bawah tanpa menunggu Rita. Santai saja protes Rita ia jawab pendek: "Memang."
"mengapa, Eddi?", tanya Rita, terkejut,
"Karena kau tidak sungguh-sungguh menginginkan tubuhku!"
"Hei -----" Dalam kegelapan istal, Eddi menyeringai. "Apa yang kau inginkan, Rita, hanyalah melukai jiwa adikmu yang memang sudah rapuh itu. iya toh?"
"Eddi!" "Kau tak mau basah kuyup, bukan" Aku akan pergi mengambilkan payung atau mantel. Setelah itu -----"
"Tunggu sebentar, Eddi!"
Eddi tak jadi turun. "Apa lagi?"
Rita mengurut dadanya yang terasa sesak. Sekujur tubuhnya bergemetar hebat. Menahan ama
rah. "Kau kira aku tidak tahu apa yang ada dalam pikiranmu, ya" Nina memang lebih muda dari aku. Lebih seksi. Tetapi hanya itu!"
"Katakan saja, Rita."
"Akan. Dan camkan baik-baik, Edi. Siasia jika kau berharap terlalu banyak dari Nina, yang sok manja itu. Kehadirannya di tengah keluarga kami diakui hanya secara de'-facto saja! Dan kini, ayah sudah mati. Sebelumnya, ibuku pun telah mati ---"
"Langsung saja, Rita," dengus Eddi tak sabar.
"Apakah kau belum melihat juga?", kata Rita, setengah menjerit. "Ataukah tak seorangpun yang pernah menceritakan padamu?"
"Menceritakan apa?"
"Bahwa sebelum ibuku meninggal, ayah telah berjanji. Di depan semua anak anaknya. Terkecuali Nina, tentu. Ayah berjanji pada ibu. bahwa Nina memang harus diasuh dan diperlakukan sebagaimana layaknya anak-anak yang lain. Terkecuali lagi; bahwa, nama Nina tidak dicantumkan sebagai ahli waris. Di luar persetujuanku dan saudara-saudaraku. Dan persetujuan itu belum pernah sekali pun dibicarakan. Mengertikah kau kini, Eddi?"
"Tidak." Mendengar jawaban sambil lalu dan tanpa perhatian sedikitpun itu, Rita pun menjerit saking marahnya: "Tidak ada lagi yang membela Ninamu, setelah ayah mati, Selain si Jaka tolol itu! Nina akan kubuat mengemis, merangkak rangkak. Baru kutendang ! Dan kau, Eddi boleh mengikutinya_
ke manapun kekasih tercintamu itu pergi. Jangan lupa --- cucurkan sekalian air matamu!"
"Oh, oh, oh. Kau pun sebaiknya mencamkan apa yang akan kukatakan ini, Rita. Tidak siapapun dari kalian berdua yang akan kuikuti. Tidak kau. Tidak juga Nina...."
"Apa"!" "Akan kuambilkan payung paling cantik untukmu ---" sahut Eddi seraya bergegas turun ke bawah. Dan dari sana, berteriak ke atas: "Atau kau ingin menyusulku dari belakang" Berhujan-hujan, sambil berbugil ria"!"
Histeris, Rita menggapai apa saja yang dapat ia pergunakan untuk melempar Eddi yang sudah pergi membuka pintu istal. Rita hanya menemukan jerami. Oh, juga tumpukan pakaiannya sendiri. Tumpukan itu ia gumpalkan, lalu diangkat tinggi-tinggi
"Akan kubunuh kau untuk apa yang kau lakukan terhadapku, Eddi!'', ia melengking nyaring, lalu melemparkan benda di tangannya. Pada saat bersamaan, pintu istal telah menganga lebar. Eddi pun berlari menerobos hujan lebat. Sementara di belakangnya, lidah badai menyerbu ke dalam lewat pintu istal yang terbuka. Angin keras bercampur butir-butir hujan pun mendorong pulang tumpukan pakaian yang tadi dilemparkan Rita. Melayang berkibar-kibar. Lalu hinggap dengan deras, seperti menampar, langsung di wajah pemiliknya sendiri --Tiba di puri, Eddi benar-benar basah kuyup. Cepat-cepat ia tutup pintu di belakangnya. Lalu berdiri sempoyongan. Seraya menggigil kedinginan ia mengawasi lantai bawah, lantai atas, dan lorong- lorong. Tak tampak seorang pun. Aman, pikirnya. Ia dapat menyelinap ke gudang untuk mencari payung, kalau perlu menanyakannya pada Dudung. Karena yang tergantung pada kapstok dekat pintu masuk, hanya sebuah jaket. Coba kalau mantel ....
Menggigil lagi kedinginan, ia pun bergegas menuju tangga. "Yang pertama, ganti baju dulu!", ia bergumam sendirian. Pikirannya pun terus berjalan sementara ia melompati anak tangga demi anak tangga. Apakah ia sendiri yang pergi menjemput Rita" Itu bunuh diri namanya. Lebih bijaksana si tua itu saja yang pergi menjemput. Tetapi bagaimana jika setiba Abah di istal, dan Rita masih telanjang"
Eddi tiba di pintu kamarnya sendiri.
la sudah mau masuk, sewaktu terlihat olehnya bias nyala lampu menerobos ke luar dari sebuah pintu lain. Dan bukan hanya bias lampu. Melainkan juga suara dua orang perempuan ribut bertengkar. Terheran-heran, Eddi bersijingkat ke sana. Dan begitu ia tegak di ambang pintu, dan kedua perempuan di dalam melihat penampilannya, baik Jamila maupun Nina serempak terpekik kaget dan ketakutan. Dalam tempo sekejap telah terdengar langkah kaki berlari mendatangi. Mula-mula, Dudung yang menghambur naik dari tangga di sebelah balkon. Orang berikutnya berlari-lari mendatangi dari arah tangga yang tadi dinaiki Eddi. Jaka, tentu saja.
Jaka mengawasi Eddi, kemudian melirik ke daIam kamar. "Apa yang kalian ributkan, Nina?"
Nina akan membuka mulut. Tetapi didahului Jamila: "Oh. Kami hanya terkejut melihat penampilan Eddi!" Ia memaksakan senyum di bibir. Lantas menambahkan: "Selebihnya, beres beres saja "' _"
"Apa" Beres"!", Nina memotong, emosionil. Lalu menoleh pada Jaka. Sinar matanya jelas mengharap dukungan penuh dari saudara kesayangannya itu. Lalu dengan marah ia menggeram: "Dia menuduhku pencuri, Jaka !"
Jamila tersentak. "Aku tidak mengatakan --"
"Apa bedanya" Ucapan-ucapanmu mengandung kecurigaan. Caramu memandangiku, apalagi. Sangat menyakitkan hati!"
Diam-diam Eddi merasa lega. Pemunculannya yang konyol telah terabaikan. Diam-diam pula Abah mengundurkan diri. Dengan cepat ia sudah menghilang ke bawah tangga dari mana tadi ia datang. Eddi pun bermaksud mengikuti, namun segera membatalkannya ketika ia melihat reaksi Jaka. Pemuda itu tengah memperhatikan dengan mata menyipit pada Jamila yang berjalan menuju meja. Mendorong tertutup laci laci yang tadi terbuka. Cara Jaka memperhatikan gerak-gerik Jamila itulah yang menarik perhatian Eddi. Ditambah nada tak senang dibalik pertanyaan Jaka yang ditujukan pada Jamila: "Apaan kau, Kak Mila. Kok sembarangan menuduh begitu?"
Jamilah bangkit lagi marahnya. Katanya, sewot:
"Itu salah adikmu sendiri. Masuk kamar orang tak bilang bilang!"
Nina tak mau kalah. "Aku sudah bilang! Aku "kehabisan rokok. Kebetulan pula pintu kamarmu terbuka. Lalu kau datang. Dan berlagak sedang memergoki penCuri ! Apa kau kira aku ----"
Saatnya tampil sebagai pahlawan yang dipuja, pikir Eddi gembira. Maka ia pun.-Mendehem keras untuk memotong kata-kata Nina. Baru setelah ia jadi pusat perhatian, Eddi berujar tenang: "Aku kira, telah terjadi kesalahpahaman!"
Tiga orang lainnya sama terdiam.
Eddi tersenyum manis. Lalu berujar lebih manis lagi. "Orang-orang bijaksana bilang, tak perlu meributkan jarum yang patah. Luruskanlah dulu benang yang kusut "'.'
"Apa pula maksudmu, Ed?", tanya Jaka, berpikir-pikir.
Eddi menggerakkan pundak dengan santai. "Waktu di pemakaman tadi, Jaka ", katanya, seraya memandang ke arah Jaka -, meski sebenarnya ia sangat ingin memandang ke arah Jamila. "Aku sempat menimbang nimbang. Seandainya aku terus pulang ke puri, apa kerjaku di sini?"
Eddi berhenti sebentar. Untuk memberi kesempatan pada salah seorang dari tiga orang lainnya di dekatnya, untuk mencerna lanjutan kata-kata yang ia lontarkan berikut ini: "Maka aku berpikir. Ketimbang menganggur ongkang ongkang kaki, Mengapa tidak kukerjakan saja hal hal yang lebih bermanfaat. "Heh. Lantas?", Jaka mendengus tak sabar. "Lantas. Karena Rita tak keberatan pulang sendirian ke puri, aku pun mengambil jalan yang menuju ke barak di sebelah Utara. Untuk memastikan, apakah Perdana memang singgah di sana sebelum meneruskan perjalanan ke' balik gunung ...."
Jamila menahan nafas. Nina acuh tak acuh. Jaka memandang tak percaya. "Padahal cuaca sedang buruk-buruknya?", ia bertanya, lebih tak percaya lagi.
"Kenyataannya memang begitu," jawab Eddi, masih tetap tersenyum manis. Aku sangka aku hanya akan melawan angin badai saja. Tak dinyana, hujan mendadak tercurah dari langit. Sungguh sial. Hasrat untuk melacak saudara kita itu, jadi tertunda karenanya
Kalimat terakhir Eddi, membuat Jaka malu hati. Dialah yang semestinya melakukan apa yang diterangkan Eddi. Untuk menutupi perasaan malunya, .Jaka mengangguk pada Nina. "Eddi benar," katanya "Aku sependapat, antara kau dan Kak Mila terjadi salah paham yang sebenarnya tak perlu diributkan ...."
la kemudian meninggalkan kamar itu, diikuti oleh Nina. Sebelum berlalu, Nina sempat mendeliki teman kumpul kebonya itu. Sekedar memberitahu, bahwa kekasihnya telah mengambil pilihan yang keliru.
Eddi hanya tersenyum. Dan memperhatikan bagaimana Nina masuk ke kamar mereka. Eddi ikut
masuk. Lalu pintu kamar ditutupkan. Eddi sampai tegang. 'Tetapi apa perdulinya" Biarkan saia Jaka dan Nina berpikir bahwa mereka berdualah Raja dan Ratu. Lalu esok lusa, mereka akan lihat. Bahwa mereka tak lebih dari kere --.
"-kau basah kuyup."
Eddi berpaling, terkejut. Ia melihat senyuman di bibir ranum Jamila. Juga kilatan basah, di sepasang mata yang bening itu. Jantung Eddi sampai berdenyut denyut karenanya. .
Berdenyut betapa hangat! , '
Maka Eddi pun menjawab, hangat: "Alaa. Sebentar juga kering ini!"
'.'Aku begitu khawatir -------". Jamila mendesah.
"Kau" Mengkhawatirkan aku?", Eddi pura pura membelalak, meski ia tahu tujuan sebenarnva dari kalimat yang diucapkan Jamila barusan. .Jamila agak tersentak, tetapi akhirnya tertawa dengan matanya yang masih basah. ' '
"Yang kumaksud suamiku, Ed," .ujar Jamila menjelaskan, dengan nada suara ingin dimaafkan. "Bahkan mereka seperti sudah melupakan Perdana, bukan?"
Eddi berlagak netral: "Situasinya memang membingungkan, Jamila."
"Yaah _", Jamila mengeluh. Dalam. "Bahkan aku sampai ribut dengan Nina Mana dibela pula oleh Jaka. Andai saja kau tak keburu menengahi, Ed ----"
"Ah. sudahlah!" Eddi memperlihatkan wajah tersipu-sipu. "Aku kira ada baiknya aku mencari
pakaian kering. Permisi, Jamila."
Eddi pun berlalu. Acuh tak acuh.
"Ed ---?" Eddi menghentikan langkah. "Ya?"
Jamila berbisik lembut: "Terimakasih, Eddi."
"Lupakan saja!"
Setelah menjawab seakan sambil lalu itu, Eddi pun berjalan menuju kamarnya. Dengan langkah ditenang-tenangkan. Padahal betapa ingin ia berlari. Seraya bersorak riang gembira. Dan berteriak lebih gembira lagi: "Selamat untukmu, pahlawanku !"
Sewaktu masih aktif menjalankan profesinya, entah sudah berapa ribu kali Eddi memberi nasihat. Bahkan sering pula disertai bentakan kasar, tak perduli yang ia bentak itu bintang film kenamaan yang sedang jadi rebutan produser. "Lupakan situasi di mana kau berada saat ini! Hayati perananmu saja!" Atau: 'Hei, anak tolol! Tahan sedikit emosimu ! Camkan! Di depan kamera, kau adalah orang lain. Bukan dirimu sendiri. Sialan!"
Eddi takjadi masuk ke kamar.
Karena keburu ditahan oleh suara bisik bisik di dalam: "_habis, bagaimana lagi?" Itu adalah suara Nina. Yang nyaris putus asa: "Aku merasa pasti, dia telah menemukan lalu menyembunyikan dokumen itu!"
Terdengar celaan Jaka: "Sayangnya, kau sembrono. Coba ketika ia tibatiba memergoki, kau lebih tenang. Dan berlaku sedikit manis!"
"Aku sudah ---"
Eddi bersijingkat menjauh. Mulutnya melepas
seringai lebar. Membatin penuh cemoohan: "Hidup ini memang panggung sandiwara ---!"
Hei. Kalau tidak salah, ada sebuah lagu ----_Eddi pun lantas bersenandung kecil ketika ia meneruskan langkah. Turun lewat tangga yang menuju ke lantai utama. Kemudian berjalan memutar menuju lorong yang langsung ke ruang belakang. Barangkali saja, ada pakaian Eddi yang bersih dan sudah disetrika oleh Abah.
-Hem, si Abah! "Dari apa yang kuketahui akhir-akhir ini," Eddi bergumam sendirian. "Si tua renta itu pun ternyata seorang aktor jempolan! Jaka dan Nina masih amatir. Adapun Rita ---"
Barulah Eddi teringat pada Rita yang tadi ia tinggalkan berbugil ria di loteng istal. Tampaknya Rita masih di sana. Entah apa yang dipikirkan dan kemudian akan dilakukan perempuan itu. Tetapi setelah mengenalnya bertahun tahun, Eddi tahu betul. Rita terlalu tinggi hati, untuk bercerita blak blakan tentang apa yang telah ia dan Eddi lakukan di istal. Rita tidak akan menjatuhkan reputasi. yang selama ini ia jaga dengan sangat hati-hati. Seorang manipulator, tak akan sudi kecolongan!
Betapa mengagumkan, Eddi memuji diri sendiri, ketika tadi ia memanfaatkan pengetahuannya yang hanya sempat melintas selewat saja. "Rita tak keberatan pulang sendirian .?"
Dan Rita akan memainkan sandiwaranya pula: "Aku paling benci flu. Maka begitu hujan turun, dan kebetulan aku melihat ke istal ----!"
Yang pasti, Rita tidak berpikir seujung rambut pun untuk menjadi seorang aktris, ketika perlahan lahan menghentikan tangisnya. Sebelum ia telah meraung raung histeris karena dipermalukan oleh Eddi -, yang di mata Rita, tak ada apa-apanya itu!
Raungan histeris Rita tentu saja tenggelam ditelan riuh rendahnya badai yang semakin menggila di luar istal. Sungguh raungan tangis yang sia-sia. Te tapi paling tidak, toh mampu mengurangi sedikit kekecewaan yang telah melukai jiwa dan kehormatan Rita sebagai seorang perempuan. Akhirnya Rita lelah sendiri. Mana ia kedinginan pula oleh serbuan angin dari pintu. Serpih-serpih hujan pun telah mencapai loteng istal di mana Rita bergulung sendirian.
Di antara isak tangisnya, Rita pun sibuk mengenakan pakaiannya kembali. Dan ia masih sempat meraung sedikit lagi ketika memikirkan apa yang akan ia perbuat untuk membalas hinaan Eddi. Sampai tiba-tiba, ia menyadari telah terjadi perubahan suara. Sejak tadi, pintu istal terus terhempas hempas digempur angin badai. Lalu mengapa sekonyong konyong pintu itu membungkam seribu bahasa" Pasti ada yang menahannya. Tetapi, siapa"
Rita tidak tahu, pertanyaannya salah.
Mestinya, bukan "siapa."
Tetapi -apa"! Karena ketika ia condongkan tubuhnya ke depan untuk mengintai lewat.bibir loteng, yang ia lihat bukan Eddi sebagaimana sempat ia harapkan. Melainkan sesuatu. Yang bukan tegak, tetapi me
lata. Sosoknya panjang. Sebagian masih ada di luar pintu. Selebihnya sudah masuk dan melata makin ke dalam. Rita dapat melihatnya dengan jelas. Karena punggungnya berlipat lipat aneh dengan warna coklat kehitaman itu, mengeluarkan sinar yang lebih aneh lagi. Sinar redup, namun menusuk pandang. Sampai perih sepasang mata Rita karenanya.
Rita memejam. "Apakah aku hanya berkhayal?", ia membatin.
Ia buka lagi kelopak matanya. Terasa perih lagi. Tetapi Rita bertahan. ia paksakan untuk tetap melihat lebih jelas. SOSOK panjang dengan punggung berlipat-lipat itu masih di sana. Masih tetap mengeluarkan sinar redupnya yang menusuk. Hanya perbedaannya, tidak ada lagi bagian yang tertinggal di luar pintu istal. Ekornya saja, yang masih menahan daun pintu. Ekor yang sama lebar dengan bagian tubuh lainnya. Mendekati lebarnya daun pintu istal!
Rita pun merinding. Dan ia baru saia menarik mundur tubuhnya, manakala terdengar desah nafas berat tersedak, bagai nafas orang tercekik. Disusul bunyi mendesing. Dan tahu-tahu saja, terlihat olehnya liukan sinar menjurus ke atas. Lalu ia melihat sosok tebal. lebar, dan kenyal, bergerak-gerak di depannya. Itu pasti bagian perut mahluk melata itu. Warnanya menyerupai darah. Dan dari sepanjang perut itu tampaklah sepasang atau empat, seratus seribu, barangkali" Kaki atau tangankah itu"
Sepasang titik mata kuning kemerahan, menatap lurus ke mata Rita. Membuatnya terkesima.
*** 8 "Wouw! Sungguh beruntung aku hari Ini!", ujar Eddi sukacita, sembari menerima kotak rokok yang disodorkan Dudung. "Kebetulan sekali. Sudah sejak di pemakaman tadi, aku ingin merokok!"
Dari kotak rokok kretek filter sepuluh batangan itu, Eddi mengeluarkan sebatang. Dan memang hanya sebatang itu yang masih tersisa. ia mencari cari korek api, lantas menyulut rokok yang terselip di bibirnya. Baru setelah dua tiga hisapan nikmat, pakaian basah yang melekat di tubuhnya, ia tanggalkan. Begitu saja! Tanpa perduli ia melakukannya di tempat terbuka dan ada orang lain di dekatnya.
"Benar-benar urakan", pikir Dudung seraya memalingkan muka. Menghindari ketelanjangan Eddi. Terlihat olehnya kotak rokok habis diremasremas, terbuang begitu saja di sudut. Dudung lantas menjemput lalu memasukkannya ke tong sampah yang tak berapa jauh letaknya.
Eddi melihat akibat kesembronoannya, dan bergumam tulus: "Maaf ---"
Senyum di bibir Dudung sama tulusnya. "Coba ya," katanya. "Jika yang terlupakan di saku bajumu, bukan kotak rokok. Tapi, uang ----"
Eddi tertawa seraya mengawasi Dudung menyu
sun kembali tumpukan pakaian yang telah ia setrika kemarin sore tetapi belum sempat ia kirimkan ke kamar masing masing pemiliknya. Lalu mengomentari guyonan orangtua itu: "Uang, Abah" Boro-boro lupa. Jika saja aku punya uang, sudah kuhabiskan sejak kemarin-kemarin!"
Dudung kembali ke dapur. "Kau tak akan pernah kaya, kalau begitu!"
Eddi lantas teringat mengapa ia mendekati Nina. Kemudian juga -astaga, bukankah ia telah menjanjikan akan mengantarkan payung atau mantel untuk Rita" Lantas, bagaimana mengatakannya pada Dudung" Sedang tadi di atas, ia sudah ber dusta tentang Rita. Konyol sekali jika ia meminta bantuan Dudung demi Rita. Bukankah dusta Eddi tadi berarti Eddi tidak tahu bahwa Rita ada di istal"
"Kok termenung!", tegur Dudung seraya meneruskan pekerjaannya. "Sedang berpikir bagaimana memulai jadi orang kaya, eh?"
Eddi diam diam tersentak. Ia pelajari wajah orangtua itu, lalu menyadari bahwa ucapannya barusan tak lebih dari kelanjutan canda. Bukan sindiran. Eddi juga melihat bagaimana orangtua itu terbungkuk-bungkuk sesekali, seraya mengurut pinggangnya, lalu dengan sabar dan telaten kembali meneruskan pekerjaan.
Eddi pun lantas tergoda untuk mengetahui lebih dalam tentang hidup dan kehidupan si renta yang begitu penuh pengabdian pada tugasnya itu. "Ada, peribahasa lama, Abah ---"
"Apa itu, Den Eddi?"
"Begini. Jika orangtua kaya, anak pun jadi raja. Sebaliknya jika anak yang kaya, orangtua justru jadi pembantu!"
Dudung tertegun. Gurat-gurat ketuaan di wajahnya, mengeras. Tanpa menoleh pada Eddi, ia bertanya tajam: "Jika kau punya maksud, katakan saja. Tak perlu berputar-putar ---!"
Maka Eddi pun menembak: "Mengapa kau membiarkan mereka, Abah?" ,
"Mereka siapa?"
"Yang berleha-leha di atas sana!"
"Mereka tidak tahu. Karena pendahulu-pendahulu mereka telah -", wajah orangtua itu tiba-tiba memucat. Ia berpaling cepat ke arah Eddi yang tegak menyandar di ambang pintu dapur. Sadar telah terlanjur berbicara, ia seketika marah. "Aku tidak tahu omong kosong apa yang telah kau dengar tentang masa lampauku, anak muda! Tetapi satu hal ingin kunasihatkan padamu. Anggap saja untuk memperkaya perbendaharaan peribahasamu yang tak habis habis itu ...."
Dudung mengatur sebentar nafasnya yang sesak. Lalu: "Sebelum memeriksa gigi harimau, berpikir dulu masak masak. Apakah ada manfaatnya bagimu, ataukah lebih baik lupakan saja niatmu!"
Eddi tibatiba menyesal. Satu lagi persahabatan, telah ia porak-porandakan.
Namun. Jamila justru berpendapat lain.
Dalam keadaan dirinya tanpa daya, membersit jua setitik harapan. Jamila tak perlu mencemaskan benar bagaimana ia bersikap jika nanti Suaminya kembali ke puri. Padahal ia sudah sempat dicekam kekhawatiran, setelah tadi ia berselisih paham dengan Jaka, kemudian Nina.
Jamila yakin Perdana mencintainya. Namun bagaimanapun, Jaka dan Nina tetaplah saudara kandungnya, yang patut dibela. Konon lagi, pernikahan Jamila dengan suaminya barulah seumur jagung. Ditambah embel-embel, Jamila itu janda. Okelah itu, karena sejak semula Perdana tidak keberatan. Okelah juga, bahwa Jamila tidak akan pernah mampu memberi keturunan pada suaminya. Karena apa yang kurang bukan terletak pada diri Jamila, melainkan pada diri Perdana. Tetapi berapa banyakkah rumahtangga yang dapat bertahan, jika tidak dilengkapi keturunan bersama sebagai pengikat"
Dan cinta, tinggallah sapuan bibir semata.
Persaudaraan dapat merusak cinta. Namun masih ada kemungkinan muncul cinta cinta yang lain. Namun jika cinta merusak persaudaraan, lupakan lah untuk berharap munculnya saudara-saudara yang lain. Kalaupun ada,.itu bukanlah murni saudara-saudaramu! Jamila sudah lama mengenal Perdana, sebelum mereka memutuskan untuk menikah. Dan ia sudah tahu pilihan mana yang akan diambil Perdana jika keadaan akhirnya memaksa.
Syukurlah, masih ada Eddi.
Eddi memang urakan. Gaya hidupnya pun konon, tak patut jadi panutan. Eddi pun, memang kekasih -bahkan boleh dibilang sudah menjadi suami Nina. Tetapi barusan tadi, Eddi telah membuktikan. Bahwa dalam situasi kritis, Eddi dapat tampil sebagai penengah.
Jamila merasa tenteram. ia tidak lagi memikirkan sikap permusuhan yang terang-terangan diperlihatkan Jaka dan Nina. Eddi kembali akan tampil sebagai juru selamat. Semuanya akan kembali normal. Dan Jamila bersama suaminya boleh pulang ke Medan dengan perasaan nyaman, karena mereka meninggalkan segala sesuatunya dalam keadaan baik dan beres.
Sembari rebahan di ranjang dengan mata mengawasi butir butir hujan menerpa kaca jendela, Jamila terus menerawang. Nanti setiba di Medan, Jamila akan mengirim surat pada Eddi. Ia akan mengucapkan terimakasih untuk budi baik Eddi selama Jamila dan suaminya ada di puri. Dalam suratnya nanti, antara lain Jamila akan menulis begini: "aku harap, persahabatan kita akan tetap langgeng selamanya."
Eddi pasti menyeringai jika membacanya.
Terbayang oleh Jamila ketika ia dan Eddi sempat ngobrol di luar ruang makan. Ketiak itu, Eddi ada satu dua kali menyeringai. Ketika mengingatnya kembali, kini barulah Jamila sadar. Eddi sebenarnya tidak begitu tampan. Tetapi Eddi sungguh punya daya tarik yang kuat. Yang justru terletak dalam seringainya!
*** Pantaslah Rita nekad mendekat.
Lalu Nina cemburu setengah mati.
Andaikata Jamila belum punya suami, barang kali ia pun -*** Geledek menyambar di luar puri. Membuat seluruh bangunan terasa bergetar. Sedetik dua cuma. Tetapi cahayanya yang menyilaukan di kaca jendela, telah merenggut Jamila, bangkit terduduk. Dengan wajah pucat pasi. Mengapa geledek menyambar" Mengapa bumi bergetar"
Jamila bergidik. Barusan ia berbuat dosa.
Memikirkan yang bukan-bukan tentang Eddi. Gemetar, Jamila mengucapkan istighfar. Lalu kembali rebah di tempat tidurnya. Habis, apalagi yang mau ia kerjakan" Perdana belum kembali iuga. Dan mereka tak dapat segera pulang ke Medan. Tak dapat segera bertemu dengan
"Latief, anakku !", Jamila merintih. "Maafkan Mama, anakku. Mama sempat melupakan dirimu ---"
Puri bergetar lagi. Tetapi hanya samarsamar. *** Dan pada getaran pertama, yang_lebih keras, Jaka pun terlontar dari duduknya. Ia mendengarkan suara hujan dan angin badai di luar, lantas ber sungut-sungut khawatir: "Rita. Aku tiba tiba memikirkannya ---"
Nina mengeluh. "Ia dapat menjaga diri sendiri, Jaka."
"Tetapi aku belum melihat dia semenjak aku kembali dari pemakaman ayah!", jawab Jaka, gelisah. "Aku akan memeriksa kamarnya, untuk memastikan apakah Rita baik-baik saja."
"Aaah. Paling juga ia tengah sibuk memikirkan Eddi", kata Nina seraya mengikuti saudaranya berjalan menuju pintu. "Tak usahlah kau berpurapura menutup mata, Jaka."
Jaka tertegun. "Apakah kau mencemburui kakakmu sendiri?"
Nina mendekat kemudian merangkulkan kedua lengan di pundak Jaka. Berdesah lembut: "Kau tahu betul, Jaka. Silahkan saja Eddi mengejar perempuan mana pun yang disukainya. Aku tak akan pernah cemburu ----"
"Nina" Wajah Nina lebih mendekat lagi ke wajah Jaka. "Sudah berapa tahun kita tidak pernah melakukannya lagi, Jaka?"
Wajah Jaka bersemu merah. Tak menjawab.
Nina pun mendorong: "Ciumlah aku, Sayangku '
Jaka ragu-ragu. Tidak demikian halnya dengan Nina. Tanpa menunggu, ia sudah mencecahkan bibir ke mulut Jaka, lalu mengulumnya dengan kuat. Jaka masih sempat mengimbangi ciuman itu dengan hangat, sebelum Jaka meronta lepas, dan kemudian berujar terengah-engah. "Tidak lagi, Nina. Tidak akan!"
Kelopak mata Nina meredup: "Mengapa, Jaka?"
"Yang dulu itu kita perbuat tanpa sadar, Nina!"
"Jika demikian, mengapa sekarang kita tidak
lakukan dengan ---" "Maafkan aku, Nina," kata Jaka tergesa-gesa. Tergesa-gesa pula ia membuka pintu. Lantas berlari-lari kecil menuju tangga. Lupa niatnya memastikan keadaan Rita. Ia akan mengurung diri di perpustakaan. Lalu membaca buku apa saja, untuk melupakan semuanya. Sambil berharap Perdana cepat pulang, semuanya dibicarakan, diselesaikan, kemudian masingmasing mereka dapat pergi mengikuti langkahnya sendiri-sendiri.
Jaka hampir saja bertubrukan dengan Eddi yang justru sedang naik ke atas. Sejenak mereka saling pandang. Sejenak, sama-sama terperanjat. Dan wajah masing-masing masih memperlihatkan perasaan menyesal. Menyesali kekeliruan-kekeliruan yang telah sama mereka perbuat. Meski dalam situasi dan porsi yang berbeda.
Lantas, Eddi menggumam: "Kau melamun ya?"
Jaka membalas: "Kau pun tak lihat-lihat jalan!"
Mereka pun saling bertukar pandang lagi.
Kemudian tertawa. Berpura-pura geli. Padahal, di dalam hati masing masing, mereka berdua sedang menghibur diri sendiri.
Belum habis mereka tertawa. sesosok tubuh tinggi kurus lewat di bawah tangga, dari arah lorong ke dapur. Sepertinya, akan bergegas ke pintu depan, dengan wajah kaku dan misterius.
Eddi tak berani menyapa. Sadar barusan tadi ia telah melukai hati orangtua itu. Jaka yang tidak berprasangka apa apa, lantas berseru: "Mau ke mana. Abah?"
Dudung menoleh. "Tidakkah kalian mendengarnya?"
"Mendengar apa, Abah?"
"Ada yang menjerit ---"
"Apa"!," Eddi kini yang terkejut. Mendadak saja ia teringat bahwa Rita sendirian di istal. Apakah hujan badai dan getaran keras tadi ataukah geledek telah menyambar -Dudung sudah sampai di pintu depan.
Di sana, ia tertegun. Terbungkuk bungkuk mengurut dadanya, sambil menggumamkan sesuatu. Kemudian, ia kuatkan dirinya, merenggut pintu depan sampai menganga lebar. Lantas menghambur pergi menerobos derasnya hujan. Agaknya tak sadar, ia tak pakai pelindung. _
Jaka dan Eddi untuk kesekian kali bertukar pandang.
"Di mana kalian menyimpan mantel. Atau payung"," Eddi menggerimit.
Setelah Jaka pergi mengambilkannya, mereka berdua segera menyusul Dudung yang sudah lenyap entah ke mana. Sejenak Jaka kebingungan. Tetapi kemudian ia merasakan tarikan Eddi pada lengannya. Jaka pun berlari-lari mengikuti Eddi sambil merapatkan mantel masing masing. Lambat laun Jaka menyadari, bahwa mereka sedang berlari menuju ke istal.
Dudung tampak berdiri di bawah hujan.
Membelakangi pintu. Di bawah siraman hujan deras, wajahnya tak memperlihatkan ekspressi. Hanya mata tuanya
saja, yang tampak layu.

Pewaris Iblis Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sebaiknya kalian tidak masuk ke dalam!," katanya, datar.
Dada Jaka berdebar. "Rita?"
Dudung mengangguk. "Aku akan menemuinya"
"Nanti saja, Den Jaka"
"Hei ----," Jaka gusar. "Rita kan tidak apa-apa. Mengapa harus ---"
Katakata Jaka tergantung begitu saja. Rasanya ia telah melihat sesuatu di balik ke suraman wajah Dudung yang basah kuyup. Dan apa yang dilihat nya, membuat Jaka terperanjat. "Tidak. Kau salah. Pandanganmu sudah lamur .Rita masih hidup. Dia ---"
Kemudian, Jaka mendorong Dudung dengan keras sehingga orangtua itu terhuyung lalu jatuh di tanah berlumpur. Dengan bebas kemudian Jaka pun 'menghambur ke pintu istal. Eddi ikut berlari di belakangnya. Eddi menahan daun pintu yang dihempas-hempas angin, sejenak silau.oleh cahaya terang benderang di dalam. Bukankah ketika tadi ia maSuk bersama Rita, lalu ketika juga meninggalkan Rita sendirian di sana, lampu di dalam telah menyala" Ah, pasti pak Dudung yang telah menyalakannya. Dan -Dan, setelah mata Eddi terbiasa dengan cahaya di ruangan dalam, Eddi pun terbelalak dengan wajah gempar. Bukan karena melihat Rita masih berbugil ria --Ruang dalam istal tampak berantakan. Loteng
roboh. Porak-poranda. Di lantai, bahkan juga di tembok, terlihat percikan dan genangan darah. Lalu cabikan-cabikan blouse dan rok, robekan robekan daging segar, tulang-tulang yang masih ditempeli serpihan serpihan daging dan darah. Terpisah agak jauh di sudut, tampaklah sepotong betis serta betis betis telanjang terputus se batas lutut".
Eddi menopangkan tubuhnya pada bingkai pintu. Dengan perut mual.
Jaka lebih tidak tahan lagi. Tanpa mengucapkan sepatah kata, Jaka menghambur ke luar. Di bawah siraman hujan deras, tubuh Jaka terbungkukbungkuk. Lantas tanpa ampun lagi, sesuatu yang bergerak dan mendorong kuat dari dalam lambung nya, ia muntahkan ke luar.
Setelah itu, Jaka terkulai. Jatuh berlutut di tanah berlumpur."
*** 9 DUDUNG lebih mampu menguasai diri.
Ia bergerak mendekati Eddi. Berujar tanpa emosi: "Kau antarkanlah Jaka ke puri!" ,
Dengan lutut masih gemetar, Eddi mengangguk susah payah lalu mendatangi Jaka yang masih berlutut di tanah berlumpur. la sentuhkan tangannya ke pundak Jaka. Mulutnya dibuka untuk mengucapkan kalimat membujuk. Namun lidahnya terlalu kelu. Maka ia cengkeram saja lengan Jaka lalu merenggutnya bangkit dengan kasar.
Di belakang mereka, terdengar Dudung berseru di antara riuh pikuknya hujan dan badai angin: "Kembalilah lagi kemari, Den Eddi. Ambilkan aku minyak tanah di dapur. Jangan lupa korek apinya sekalian!"
Eddi hanya mengangguk tak paham.
Lain halnya dengan Jaka. Seketika ia renggut lepas lengannya dari cengkeraman tangan Eddi. Dengan cepat ia sudah berdiri di hadapan Dudung. Lalu dengan gusar, kerah baju orangtua itu ia renggut. "Kau mau apa, Abah?"
"Apa boleh buat, Den Jaka ---"
"Tetapi membakarnya," Jaka berteriak marah. "Membakar Rita!"
"Sisa sisa Neng Rita." tambah Dudung, tetap
tenang. "Atau kau lebih suka membersihkan sendiri yang di dalam sana, eh" Dan kemudian, memperlihatkannya sebagai tontonan pada adik dan kakak iparmu"!"
Sebelah tangan Jaka sudah terangkat. Akan memukul. Eddi pun sudah akan bergerak, mencegah. Tetapi Jaka sudah menurunkan tangannya kembali. Terkulai di sisi tubuhnya. Kerah baju Dudung ia lepaskan, kemudian ia berdiri mematung. Seperti linglung. Eddi terpaksa harus mendatanginya lagi, mencengkeram lengannya lagi. Tetapi kali ini Eddi mampu juga membuka mulut: "Ayolah ---"
"Oh ya, Den Eddi ---"
Saking gempar, Eddi pun ikut-ikutan marah: "Mau apa lagi kau, tukang kremasi"!"
"Saluran listrik. Yang ke istal ini ---," Dudung menyahut acuh tak acuh. "Letaknya terpisah dekat pintu dapur. Jangan lupa mencabutnya!"
Mau tidak mau, Eddi terdiam malu.
Si tua bangka ini, pikirnya, hampir tak memerlukan tempo berpikir sebelum bertindak demi kebaikan dan keselamatan siapapun yang ada di puri. Seperti tadi pagi, ketika semua orang meributkan lenyapnya Perdana. Setelah tirikan sekilas ke wajah Jamila, orangtua bangka itu lantas memutuskan: "Akan kucarikan dia untukmu, Non."
Eddi menarik nafas panjang, kemudian membimbing Jaka menuju puri. Jaka menurut seperti kerbau dicucuk hidung saja. Tanpa semangat hidup. Ia sempat terhuyung hampir jatuh. Ter
paksalah Eddi melingkarkan ke pundaknya, lengan kiri Jaka. Jadi ia dapat menuntun Jaka tanpa kuatir pemuda itu ambruk di tengah jalan.
Tubuh, memang tidak. Lain halnya dengan jiwa.
Menjelang tiba di puri, Jaka pelan-pelan mengerang, kemudian menangis sesenggukan....
Ninajuga menangis. Di atas tempat tidurnya.
Masih terngiang di telinga Nina apa yang tadi diucapkan Jaka dengan tegas: "Tidak lagi, Nina -tidak akan! Yang dulu itu kita perbuat tanpa sadar ---"
Jaka benar. Tetapi mengapa kebenaran itu selain menyakitkan, iuga teramat sangat mengiris-iris sanubari Nina" Padahal baik Nina maupun Jaka sama sama tidak pernah menghendaki mereka dilahirkan, pada hari dan bulan yang sama, oleh ayah yang sama. Tidak pula mereka pernah berharap di pertemukan. Namun toh, di luar kemauan mereka berdua, semua itu terjadi juga.
Ketika Nina muncul di tengah keluarga mereka, usia Jaka lebih muda 9 tahun dari Rita dan 12 ta hun dari Perdana. Tak heran jika ia lebih diperlakukan sebagai boneka kesayangan. Bukan sebagai si bungsu kecil yang akan tumbuh menjadi sama besar dengan mereka yang mencintainya. Juga tidak mengherankan, ketika boneka lainnya datang, Jaka menjadi sangat bergirang hati. Dia bukan lagi sekedar yang 'dimainkan', tetapi sudah dapat 'memainkan' apa yang ia inginkan untuk dirinya sendiri. Lambat laun peranan Jaka sudah
lebih menyerupai pelindung buat Nina, yang jelas jelas diperlakukan sebagai boneka rusak.
"namun tetap harus dipajang dalam rumah kita. Karena tak ada lagi tempat untuk membuangnya"
Entah siapa yang mengucapkan kata-kata itu. Nina tak ingat benar lagi. Yang tetap diingatnya adalah bagaimana Jaka sampai memekik-mekik marah, lalu si boneka cantik pun membujuk si boneka rusak yang menangis: "Cup, cup, sayang. Aku ada di sini. Untuk melindungimu "
Begitulah mereka berdua tumbuh dari waktu ke waktu. Menangis bersama. Tertawa bersama. Begitu pula makan, mandi, tidur. Bahkan ketika yang satu sakit maka yang lain pasti akan sakit pula, tak seorangpun yang terpikir untuk menganalisa penyebabnya. Ketika pada akhirnya mereka berpikir, segala sesuatunya sudah terlalu lambat untuk dicegah. Karena Jaka dan Nina sudah melewati usia remaja, tanpa satu pun dari mereka pernah mempunyai pacar tetap. Jaka akan mencak mencak tanpa sebab sebab yang jelas, manakala Nina akrab dengan teman lelakinya. Begitu pula sebaliknya, Nina akan mengurung diri di kamar, tak mau ditemui atau berbicara dengan siapapun.
Lalu terjadilah musibah itu.
Suatu malam, paCar terakhir Nina baru saja berlalu. Tinggal Nina sendirian di rumah, ketika Jaka tiba tiba menerobos masuk. Saat itu Nina ada di kamar dan Nina baru saja melepas pakaian untuk diganti dengan gaun tidur. Tanpa memperdulikan
Nina masih bugil, Jaka langsung membentak dengan wajah memerah saga: "Si Johan merangkul dan menciummu di balik pintu!"
"Dia memaksa ---," jawab Nina, setengah membela diri.
"Tetapi kau mau!"
"Aku aku tak mampu menghindar"
"Karena kau menginginkan dia! Bahkan kau telah memberikan yang itu kepadanya. Mengakulah "
Pun basah, karena tuduhan yang sangat tidak benar itu. "Kau tahu betul, pada siapa yang itu ingin kupersembahkan. Tetapi sayang, dia terlalu pengecut untuk melakukannya!"
"Aku" Pengecut"!," Jaka menghambur ke depan, lantas menempeleng wajah Nina. "Jangan sekalikali kau menyebut aku ----"
Mata Nina semakin basah. Jaka tak tahan melihat, lantas merangkul. Entah siapa yang memulai, tahu-tahu bibir mereka pun bertemu. Entah bagaimana pula terjadinya, tahu tahu sudah terdengar suara mobil memasuki pekarangan rumah, dan mereka berdua masih bergulung di bawah selimut -; hampir pulas, dengan tubuh Jaka dalam keadaan yang sama seperti Nina, ketika. Jaka menerobos masuk ke kamar itu.
Tak seorangpun melihat apa yang telah mereka perbuat. Namun kecurigaan lambat laun mulai menjalar. Jaka kemudian dikirim ke Medan, dengan alasan ada yang mendampingi Perdana, yang baru saja membuka usaha di sana. Nina tak kuat me
nanggung siksaan bathin. Lantas lari dari satu ke lain lelaki, sampai ia putuskan untuk memegang seorang pendamping tetap. Baru setelah Nina hidup serumah dengan Eddi, Jaka diperbolehkan pulang ke Bandung. Dan memilih hidup sebagai bujangan yang demikian mengabdi pada buku buku kuliahnya.
"Aku baru akan menikah, jika aku sudah ingin," katanya, tegas.
Mereka tahu benar apa sebabnya. Tetapi mereka tak berdaya mengatasinya. Kecuali melampiaskan kemarahan pada Nina. Yang berusaha untuk tetap bertahan, sebagai imbangan kasih sayang sang ayah, yang tidak bosan-bosan menyebarkan: "Nina, manisku. Semua itu akan berlalu ---!"
Semuanya, tidak juga berlalu. Kalaupun ada, itu baru terjadi dinihari kemarin. Tidak akan ada lagi yang menyebut dirinya si 'Nina, manisku'. Dan barusan tadi, sesuatu yang lain jelas sudah akan ikut berlalu. Seperti apa yang tadi dikatakan oleh Jaka: "Tidak lagi, Nina, Tidak akan!"
Nina kembali terisak. Letih. Dan semakin letih __
*** SETELAH Eddi mengulangi ketukannya, lebih keras, barulah terdengar bunyi anak kunci berketak di lubangnya. Begitu pintu dibuka dari dalam, Eddi langsung menyerobot: "Mengapa kau mengurung diri?"
Nina diam saja. Lampu kamar tidak dinyalakan. Eddi jadi tidak melihat kelopak mata Nina yang sembab basah. Lagi pula perasaan Eddi masih terguncang memikirkan apa yang ia temukan di istal. Eddi pun tidak terlalu memperhatikan. Padahal justru saat itu, Nina diam diam merindukan perhatian lebih dari seseorang, agar Nina tertolong dari keruntuhan yang menyedihkan. Setelah ia tidak lagi dapat mengharapkan Jaka, kinilah saatnya ia mengharapkan Eddi secara utuh.
Tetapi sikap Nina yang diam, ditafsirkan Eddi sebagai sikap dingin. Yang sudah terbiasa ia telan selama hidup dengan Nina. Maka Eddi pun bertanya tak sabar: "Mana pil tidurmu?"
Tanpa komentar, Nina pergi ke meja kecil dekat kepala tempat tidur. la ambil satu dari sekian ples kecil yang ada di situ dengan tepat, bukan karena sudah hapal ples dan tempatnya, tetapi lebih banyak karena dorongan naluriah semata. Eddi menerima ples obat yang disodorkan Nina, sambil menggerutu tanpa sadar: "Tadinya aku mau minta sebutir saja. Tetapi karena kau tak keberatan memberi satu ples penuh, oke-oke.saja. Toh yang meminumnya bukan aku. Tapi Jaka!"
Eddi kemudian berlalu. Tanpa menoleh-noleh ke belakang. Satu dua saat Nina masih bengong. Saat berikutnya, baru pikiran warasnya kembali. Jaka" Membutuhkan pil tidur" Itu tidak pernah terjadi! Pasti ada sesuatu yang tidak beres -Cinta itu belum mati. Ia kini hidup kembali, dalam langkah-langkah panjang Nina ketika keluar dari kamarnya untuk menyusul Eddi. Ia lihat Eddi sedang menuangkan air dari teko stainless ke sebuah gelas. ke dalam mana dicemplungkan Eddi satu ples _ oh, ternyata hanya sebutir pil penenang tadi. Jaka duduk di pinggir tempat tidur, dengan wajah pucat dan layu. Ia menekuri lantai dengan sorot mata hampa.
Nina tersedak sendiri. Teringat ketika belum lama tadi ia telah mencium Jaka di balik pintu kamarnya. Pasti itulah yang telah menggoncangkan jiwa Jaka. Pasti Jaka tadi berlalu dengan pikiran diberati dosa. Pasti ia tersuruk di suatu tempat. Pasti ia telah menceracau. Pasti ia, pasti --Jaka menolak apa yang diulurkan Eddi.
Akal sehat Eddi hilang pula entah ke mana. Ia pun menghardik. "Tolol! Kau minum sendiri ini, atau kucekokkan ke mulutmu!"
Dan Jaka memang mendongak seperti orang tolol. Ia pun tampak takut melihat wajah Eddi. Lantas dengan tangan bergemetaran, botol berisi air putih yang sudah dicampur pil penenang itu, ia sambar dan diteguk habis isinya. Hanya dalam sekali tenggak.
Nina hampir menangis melihatnya.
Ia merasa sangat bersalah. Dan tak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia baru tersadar ketika Ia dengar Eddi membentak: "Jangan menghalangi jalanku, Nina!"
Nina menyisi. Matanya mengawasi Jaka yang rebah tanpa gairah hidup. Lantas merintih: "Kau
mengasari nya -----!"
Eddi membalikkan tubuh. Kemudian menyeringai. "Dan hatimu sangat terluka. Bukankah begitu, Nina?"
Air mata Nina menetes. Akibatnya, Eddi pun makin menjadi. "Aku punya obat mujarab untuk hatimu, Nina. Melompat dan menarilah. Bunyikan musik yang keras. Lalu teriakkan ucapan selamat jalan untuk Rita!"
"Rita ---," Nina makin bingung.
"Benar. Rita. Ia tidak akan pernah mengusik pestamu lagi!"
Setelah berujar demikian, Eddi kemudian bergegas menuju tangga di dekat balkon. Salah satu pintu yang ia lewati dibuka dari dalam. Tetapi pikiran Eddi terlalu kacau balau untuk memperhatikannya. Jamila ke luar dari pintu terbuka itu, dengan wajah heran melihat kepergian Eddi dengan wajah dan langkah-langkahnya yang bagai kesurupan itu.
Jamilah berpaling ke arah lain.
Di depan pintu kamar Jaka, ia lihat Nina tegak mematung. Dengan wajah seperti orang terkejut, dan anehnya, pipi yang basah pula. Jamila mau bertanya. Tetapi Nina sudah keburu masuk ke kamar Jaka. Nah. Ada yang tak beres di antara mereka bertiga, pikir Jamila. Lalu ia masuk lagi ke kamarnya. Menutupkan pintu, acuh tak acuh. Bukan urusannya. Lalu Jamila membuka-buka buku tua berbahasa Belanda yang tidak dimengertinya itu. Tetapi gambar gambarnya bagus dan me
narik. Dan ia telah bersikap bijaksana, dengan menutupkan pintu tadi.
Demikianlah Jamila berpikir, seraya tersenyum.
la pasti tidak akan mampu tersenyum, andaikata Jamila tahu apa yang terjadi sebenarnya. Juga apa yang kemudian diketahui Nina, dari mulut Jaka. Sebelum Jaka benar-benar tertidur, ia sempat menceracau. Setengah mengigau. "Darah -itu bukan tetapi betis yang Ayah -mengapa jaWablah, Rita. itu bukan kau tidak tidak ---"
Ayah. Dan kini, Rita. Terbuka kini pikiran Nina. Oh, tidak tidak mungkin!"
"-mati. Rita mati ---," Jaka menggumam lagi. Menggeliat sedikit. Kemudian jatuh tertidur.
Nina terduduk lemas. Padahal betapa ingin ia menjerit. Meraung. Bagaimana pun. Rita tetaplah saudaranya. Mereka telah hidup bersama cukup lama kadang-kadang Rita baik juga .Misalnya ia pernah --Nina mengerang. Bayangan kacau bermain di pelupuk matanya. Lebih kacau lagi. Di antara bayang bayang itu, tampak berkelabat sekilas wajah. Dia adalah Jamila. Dan Jamila sedang tersenyum. Cepat sekali, wajah dan senyum Jamila berkelebat hilang. Tetapi ia meninggalkan tawa. Meringkik-ringkik --.
_ Nina pun merentak bangkit.
Dengan marah tangannya menyentak terbuka
laci meja di dekatnya. Setelah menemukannya ia
kemudian berjalan tegak dan pasti ke pintu. Dengan pisau lipat -milik Eddi, di tangannya. Pisau lipat itu dalam keadaan terhunus. Berkilat-kilat. Tajam.
*** 10 EDDI harus berjuang keras melawan arus badai sebelum akhirnya ia sampai ke istal. Dengan nafas tersengal-sengal ia memperhatikan apa yang telah dikerjakan Dudung sementara ia tadi pergi. Dudung telah menempatkan tumpukan-tumpukan jerami kering sedemikian rupa sehingga nanti apinya mudah menjalar. Ke tumpukan-tumpukan itu. Dudung juga menambahkan barang barang bekas yang mudah terbakar.
Satu hal yang sedikit menggembirakan Eddi adalah, Dudung rupanya tidak akan membakar hantam kromo. Karena apa yang masih tersisa dari tubuh Rita dan keberadaannya masih layak dihormati, sudah tidak tampak lagi di lantai. Dudung telah memindahkannya ke tempat lain. Hanya tempat penyimpanan sisa-sisa tubuh Rita itu, yang sedikit mengiris perasaan Eddi. Yakni sebuah ember besar yang terbuat dari kayu. Yang sebelumnya, jelas dipergunakan sebagai tempat makanan kuda!
Dudung mengangkat ember itu ke luar pintu. Dan berseru sambil lalu: "Akan kusingkirkan dulu ini ke tempat yang aman. Kau mulailah siramkan minyak tanah itu!"
Eddi berpaling menghindari pemandangan tak
sedap di dalam ember, kemudian masuk ke ruang dalam istal. Serampangan saja, ia tumpahkan dan siram-siramkan minyak tanah dari jeriken plastik yang tadi ia bawa dari dapur.
Ketika hampir selesai, barulah ia melihat sesuatu di balik pintu istal. Sebuah garpu besi, dan sekop. Suatu pemikiran cemerlang melintas di kepalanya. Eddi lantas membuang jeriken plastik ke Sudut paling jauh. Ia kemudian pergi ke luar. Entah ke mana gerangan Dudung membawa ember tempat makanan kuda itu. Yang pasti, batang hidungnya tak kelihatan. Cepat cepat Eddi menyelinap lagi ke dalam. Garpu dan sekop ia ambil dari balik pintu. Secepat maSuknya, secepat itu pula ia sudah keluar lagi. Melirik kembali ke kiri kanan. Tampaknya aman-aman saja. Ia pun berlari menuju rimbunan pepohonan mawar tak jauh dari jalan masuk ke puri. Garpu besi dan sekop ia sembunyikan di sana, lantas bergegas kembali ke tempat semula.
Eddi berdiri menunggu di luar pintu istal. Dengan nafas semakin tersengal-sengal. Hampir saja ia berteriak saking kaget ketika tahu-tahu saja Dudung sudah ada di sebelahnya. Seraya mengomel: "Tunggu apa lagi, he?"
Karena gugup, Eddi tidak tahu apa maksud omelan Dudung. Terpaksalah Dudung mengingatkan: "Korek apinya. Lupa kau bawa, apa"!"
"Ooh --" Lalu Eddi merogoh saku celana di balik mantel hujannya. ia melirik bimbang ke sebelah dalam
pintu istal. Dudung mengerti, lantas mengambil alih pemantik api di tangan si anak muda. Orangtua itu kemudian masuk ke dalam, menyalakan pemantik api dan kemudian melemparkannya ke tumpukan jerami terdekat. Terdengar bunyi bersiut lemah di antara bunyi riuhnya badai. Api telah mulai menjilat.
Tanpa menunggu kobaran api membesar, Dudung menutupkan pintu iStal. Kemudian memutar langkah menuju puri. Tanpa kata, bahkan tanpa memperhatikan kehadiran Eddi di dekatnya. Eddi menggeleng. kemudian ia pun mengayun langkahnya. Berlari lari kecil menyusul si Abah.
Gelisah memikirkan sang suami yang belum juga kembali, membuat gambar gambar menarik dalam buku tua yang dibuka buka Jamila, menjadi tampak menjemukan. Jamila bangkit dengan resah. Menyimpan buku itu di meja. Tanpa maksud apaapa, ia melihat ke luar jendela. Di antara curah hujan, samar-samar ia melihat adanya nyala sesuatu di kejauhan. Jamila membuka lebar lebar kelopak matanya.
Hei. Bukankah yang menyala itu, api"
Rupanya ada yang terbakar. Apa" Terbakar" Oh. Oh. Itu adalah kebakaran. lstal kuda. Dilanda koberan api!
Jamila sudah akan bergerak untuk memberitahu seisi penghuni puri, ketika matanya menangkap
dua sosok tubuh lari berhujan-hujan mendekati puri. Lho. Kok aneh. Mereka bukannya berlari ke arah istal, untuk menyelamatkan apa yang masih dapat diselamatkan. Ini malah -Nanti dulu. Siapa pula mereka itu"
Jamila menempelkan wajah ke jendela, supaya dapat melihat lebih jelas. Yang tinggi kurus, pasti lah Dudung. Tetapi sosok satunya lagi, siapa gerangan" Jangan-jangan orang itu adalah --"Perdana," Jamila mencetuskan nama suaminya, penuh harap. ;
Lantas ia pun memutar tubuh. Bergegas ke pintu. Dan sekaligus merenggutnya terbuka. Jamila pun terperanjat ketika melihat sesosok tubuh lain berdiri tegak di luar pintu kamarnya.
Nina, tak kurang terperanjat. Ia baru saja akan menyentuh pegangan pintu, ketika pintu itu terbuka sendiri dari dalam. Dan tahu tahu Jamila sudah" tegak di depan mata. Saking terperanjat, Nina tak keburu menyembunyikan pisau terhunus di tangan kanannya.
Jamila pun melihatnya. Membelalak. Heran. "Nina Astaga. Dan untuk apa pisau ---"
Jamila tidak perlu melanjutkan pertanyaannya. Cukup dengan melihat sinar mata Nina, ia sudah tahu. Jamila melangkah mundur didorong panca indera keenamnya. Pada saat gerakan mundurnya terhenti, lidah petir pun menyambar tibatiba di luar jendela. Sinarnya yang tajam menerpa ke dalam. Jamila tidak terpengaruh, karena saat itu ia tengah membelakangi jendela.
Berbeda halnya dengan Nina.
Nina masih belum lepas dari kegugupannya. Kini, ditambah pula oleh sengatan tajam sinar petir, yang menyilaukan ke dua matanya. Nina mengerjap-ngerjap, menghindari sengatan menyilaukan itu. Lalu ketika sengatan itu lenyap, tampak oleh Nina bayangan samar-samar bergerak cepat menuju ke arah tubuhnya.
Jamila sudah menyerbu ke depan. Memanfaat kan kelengahan Nina. Pergelangan tangan kanan Nina berhasil dicengkeram tangan Jamila. Tetapi tubrukannya yang membabi buta, telah mendorong Nina sampai terjatuh ke lantai lorong. Nina pun terpekik, marah.
Malang bagi Jamila. Ia terbawa jatuh. Tetapi sebelum tubuhnya mendarat di atas tubuh Nina, kepala Jamila terlebih dahulu nyasar membentur tembok di seberang kamarnya.
Jamila pening alang kepalang. Pandangan mata nya pun berkunang-kunang. Tetapi naluri ingin menyelamatkan jiwa tetap mengalir lewat tangannya, yang mencengkeram pergelangan tangan kanan Nina. Dalam keadaan pening akal sehat Jamila masih bekerja normal. Pegang terus pergelangan tangan itu. Jangan lepaskan. Berusaha sedapat dapatnya menjauhkannya dari tubuhmu!
Nina pun kalap dibuatnya. Seraya menyumpah serapah, tangannya yang bebas ia pergunakan sebagai senjata untuk memukul, mencakar, menjambak. la tambah pula dengan gerakan kaki menendang-nendang. Tetapi tubuhnya tak lepas juga
dari rangkulan tangan Jamila yang lain. Nina pun menyerang membabi buta. Jamila menghindar sedapat-dapatnya. Tetapi pukulan dan tendangan Nina membuatnya semakin lemah, kepalanya pun semakin pening pula. Sebaliknya, Nina makin kuat saja memberontak, seraya terus berusaha mendekatkan pisau di tangannya ke leher Jamila.
Diam-diam, menyelinap perasaan takut dalam diri Jamila. Apakah ia akan mati sebentar lagi" Tetapi, mengapa" Jamila semakin takut juga. Lalu dibalik ketakutannya, ia pun berdo'a: "Ya Allah. Aku tak tahan lagi. Hentikanlah dia ----"
Jamila tiba-tiba merasakan sesuatu di pundaknva.
Tusukan ujung pisaukah itu" Oh, rasanya bukan. Itu adalah tarikan kuat pada tubuhnya, yang kemudian naik menjauhi tubuh Nina. Pukulan maupun tendangan Nina menghilang. Namun sumpah serapahnya masih terdengar jelas. Dalam pikiran Jamila, gadis itu telah berhasil meloloskan diri dari rangkulannya yang hanya dengan sebelah tangan. Dan gadis itu kini bersiap siap melancarkan serangan mematikan. Jamila memejamkan mata, ngeri.
Jamila tidak sudi menyerah. Biarkan ia memukulimu lagi, Jamila. Tetapi jangan sekali-kali lepaskan cengkeramanmu di pergelangan tangan nya. Cekal kuat kuat. Lebih kuat lagi, lagi, dan lagi --Lalu terdengar suara lembut di telinganya: "Lepaskanlah tangan Nina, Jamila. Kau aman sekarang!"
Perdanakah itu" Jamila membuka matanya. Dan samar-samar melihat sebuah seringai. Seringai khas Eddi. Apa kah semua ini mimpi belaka" Tetapi yang manakah mimpi, yang mana pula kenyataan. Serangan Nina, atau munculnya Eddi sebagai juru selamat"
Jamila melepaskan cengkeramannya, bukan karena ia sudah dapat memastikan mana yang benar di antara pertanyaan-pertanyaan yang mem bingungkan itu. Cengkeramannya lepas, karena ia sudah kehabisan tenaga. ia merasakan tubuhnya mengulai. Lalu jatuh ke pelukan seseorang. Iajuga mendengar ada yang menangis tersedesedu. Kalau tak salah, yang menangis itu adalah Nina....
Pelan pelan Jamila membuka matanya.
Memang Nina yang menangis itu. Dalam pelukan Dudung yang berusaha membujuk dengan kata kata yang tak jelas tertangkap telinga Jamila. Jamila pun segera sadar ia berada dalam pelukan lelaki yang salah. Reflek ia menjauhkan diri.
Eddi tak keberatan. Seraya melipat lalu memasukkan pisau yang tadi ia rampas dari tangan Nina. diamankan ke saku celana, Eddi berkata terengah engah: "Nanti saja kita bicarakan. Lebih baik masuk sajalah ke kamarmu, Jamila. Kau perlu istirahat ----"
Jamila menggeleng. Masih shock.
Eddi terpaksa membimbingnya ke dalam kamar. "Ayolah. Semuanya akan beres kembali!," ujarnva. tersenyum menghibur. "Oh ya. Jangan lupa
mengunci ini, oke"." Seraya Eddi menunjuk ke pintu, yang kemudian ia tutupkan sendiri dengan hati-hati.
Eddi masih harus menunggu, sebelum terdengar bunyi terkletak pada lubang kunci. Baru setelah itu ia memutar tubuh. Dan memandang gusar ke arah Nina, yang masih sesenggukan di dada Dudung. Nyaris Eddi memaki maki, jika tak keburu sadar bahwa makian hanya akan memperburuk suasana saja. Eddi melihat ke arah Dudung, lantas berujar ketus: "Semua ini harus segera di. hentikan!"
Dudung menjawab tanpa semangat: "Dengan apa, Den Eddi?"
"Begitu badai terkutuk ini mulai reda, kita semua harus meninggalkan puri. Tetapi sebelum itu, aku lebih dulu akan menjemput Perdana. Kita harap saja ia menunda niatnya Pergi Ke balik gunung, dan saat ini ia masih berleha-leha di barak ---." Eddi berkata begitu lancarnya, sehingga ia sendiri merasa heran akan kemampuan berpikirnya yang begitu cemerlang. "Akan ku jemput dia dengan mobil ---_ Oh ya, Nina. Kau dengar aku, Nina"!" '
Terisak di dada Dudung, Nina manggut manggut tak bernafsu.
"Di mana kau menyimpan kunci mobilmu?"
Nina menjawab terbata-bata: "Di kamar. Dalam laci -." Lantas kembali sesenggukan.
Eddi menahan diri untuk tidak tertawa melihat tingkah Nina. Ia cepat cepat memutar tubuh. Te.
tapi menghentikannya begitu ia dengar suara Dudung mengeluh: "Apakah masih ada gunanya ___?"
Eddi memutar tubuh dengan sikap waspada.
Ia amat amati wajah orangtua renta di depannya. Menaksir-naksir. Karena tak satu apapun yang dapat ia taksir di balik wajah tanpa emosi itu, Eddi nekad mengeluarkan pertanyaan menantang: "Jika ingin mengutarakan sesuatu, orangtua. Berterus terang sajalah!"
Dudung tampaknya akan menjawabkan sesuatu. Bimbang, sejenak. Akhirnya: "Ah. Kau benar. Aku memang Sudah tua. Sudah terlalu tua -----," lalu ia mengalihkan kata katanya pada Nina: "Ayo, Neng. Akan kuambilkan minuman hangat untukmu dari bar di sana...."
Eddi mengawasi orangtua itu berlalu dengan Nina ke tangga yang menuju ruang duduk di bawah. Wajahnya terasa tegang. Dengan perasaan masih tegang, ia meneruskan langkah menuju kamar yang ia tempati bersama Nina. Apa yang tadi ia tanya kan pada Nina, hanyalah sekedar basa basi. Tanpa bertanya pun ia sudah tahu, dan dengan mudah menemukan kunci mobil mereka. Sebelum berjalan menuju tangga ke lantai utama, ia berhenti sejenak di depan pintu kamar Jaka. Tak terdengar suara apa-apa. Pasti Jaka sudah tertidur pulas. Tanpa mengetahui, sebuah nyawa lain hampir saja melayang sia sia!
Tiba di garasi, Eddi lebih dulu membuka kap mesin mobil milik Nina. Pisau lipat di sakunya ia
keluarkan. Diterangi lampu garasi, dengan mudah ia temukan tali kipas mesin. Pisaunya beraksi. Dan putuslah tali kipas itu. Kap mesin ia tutupkan lagi dengan hati hati, seperti ketika membukanya tadi. Suara terbuka dan tertutupnya, dibuat serendah mungkin.
Tetapi kemudian ia terawa. Mencemooh diri sendiri. Bukankah suara badai yang bergulunggulung di luar sana, sanggup menelan suara apa saja yang terdengar di permukaan bumi"
Eddi pun kemudian memutuskan, tak perlu membuang tenaga sia-sia masuk ke dalam mobil, dan menghidupkan'mesinnya yang toh akan percuma saja, setelah tali kipas hilang fungsi. Eddi juga tidak merasa perlu memeriksa mesin mobil satunya lagi. Mobil ayah Nina. Kemarin sore, setiba di puri ini, iseng-iseng ia memeriksa mengapa mobil itu ngadat sehingga pemiliknya pindah ke punggung seekor kuda yang kemudian merenggut nyawanya. Ternyata hanya gangguan karburator saja. Ditambah persediaan bensin di tangki, yang agaknya lupa diisi oleh pemiliknya dalam per jalanan menuju puri. Suatu petunjuk, betapa sudah panik dan gemparnya ayah Nina ketika itu.
Dengan memikirkan semua itu, Eddi Sudah meninggalkan garasi dan pergi ke ruang duduk. Nina tampak sudah lebih tenang. Di tangannya ada sloki kosong. Dan sebotol whiski di meja. Ia dengar Nina berkata terisak: "aku hilang akal, Abah. Mula-mula Ayah. Kemudian Rita .Mana Jaka terbaring dalam keadaan seperti sekarat pula -----"
"Sudah, Neng. Sudah ---"
Dudung melihat Eddi masuk dengan wajah kusut. Sebelum Dudung sempat bertanya, Eddi sudah menjelaskan: "Tali kipasnya tak jalan. Ada yang tahu di mana kunci mobii Jamila tersimpan?"
Nina menoleh, tak senang. "Apakah ketika merangkul dia tadi, kau lupa menanyakannya?"
Acuh tak acuh, Eddi berjalan ke bar. Ia ambil sebotol minuman keras untuk dirinya sendiri. Setelah tutupnya dibuka, dan isinya ditenggak sebagian dari botol langsung, ia kemudian berjalan menuju tangga. "Kalau begitu, dia akan kurangkul sekali lagi!," katanya, mengejek.
Tanpa menunggu reaksi Nina ia naik dengan cepat ke lantai atas. Pintu kamar tidur Jamila di ketuk. Dua tiga kali, belum dibuka juga. Eddi memberitahu: "ini aku, Jamila ----"
Barulah kemudian pintu dibuka.
Jamila tampak masih letih dan sakit. Tetapi ia tersenyum juga untuk membalas seringai Eddi, walau setengah dipaksakan. "Aku dengar kau akan menjemput suamiku ---"
"Itulah yang terbaik kita lakukan sekarang, bukan"," jawab Eddi, santai. "Sayang, tali kipas mobil Nina tak jalan. Mobil mertuamu, mesinnya ngadat pula -----"
Jamila tampak kecewa. Eddi pun tertawa. Katanya: "Mobilmu. Tak apa kuutak-atik pintunya" Soal menghidupkan mesin, tak usah kuatirkan. Tinggal menyambung nyambungkan kabel ----"
Harapan pun muncul lagi di wajah mila. "Kau bisa?"
"Aku pernah belajar dari seorang sahabat. Tinggal membengkokkan sepotong kawat ----"
"Kau begitu baik, Ed," tukas Jamila, setengah berbisik.
Ucapan tulus. Menyejukkan hati. Namun juga, sebagai isyarat bahwa makin cepat Eddi pergi makin baik. Jamila sudah tidak sabar untuk dapat bertemu dengan suaminya. Eddi terenyuh. Tetapi tak ada yang perlu disesali lagi. Semuanya sudah terjadi. Dan semuanya pun akan berlalu.
Eddi bergegas turun. Ia kenakan lagi mantel hujannya, lalu pergi ke luar. Di bawah siraman hujan dan bunyi gelegar guntur yang menciutkan jantung, Eddi membungkuk ke pintu depan mobil yang diparkir di sana. Ia sadar, satu dari tiga orang di dalam sana mungkin saja memperhatikan. Maka ia pun purapura sibuk sebentar. Mengutak atik. Sambil diam-diam mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celananya. Yakni, kunci mobil itu sendiri, yang sewaktu di garasi, diambil Eddi dari tempat ia sembunyikan. Di mana lagi, kalau bukan di bawah kap mesin mobil Nina.
Ia kemudian tegak, setelah pintu mobil dibukanya dengan kunci yang semestinya. Pura-pura menggoyangkan kepala. Lega. Lalu tanpa melihat ke salah satu pun jendela puri di belakangnya maupun di atas sana, ia masuk ke dalam mobil. Membungkuk-bungkuk lagi sambil tangannya me
masukkan kunci yang sama ke stop kontak. Satu dua menit ia biarkan berlalu. Baru kemudian stop kontak dihidupkan. _
Ia harus memutar kunci stop kontak dua tiga kali, karena mesin rupanya sudah terlalu dingin. Saluran bensin dichuk. Barulah mesin hidup. Setelah digerung-gerung supaya mesin panas, mobil itu pun ia gerakkan menuruni jalan ke arah pintu gerbang di bawah sana. Istal masih terbakar. Tetapi curah hujan sudah mulai meredakan koberan api.
Eddi menghentikan mobilnya didekat rimbunan mawar. Tenang tenang saja ia menyelinap ke luar. Cuaca mendung, derasnya hujan, dan terhalang oleh pepohonan pinus pula, akan membuat mereka yang ada di puri sana tidak akan melihat ia berhenti. Kalaupun ada yang melihat juga, pasti menduga ia tertarik pada kobaran api di istal.
Diambilnya garpu besi dan sekop yang tadi ia sembunyikan. Dimasukkan ke jok belakang, lalu kembali menjalankan kendaraan _itu menuju pintu gerbang. Sambil bersiul siul gembira. Sesungguhnya, untuk menghibur diri. Rita memang tidak akan berbicara sesuatu apapun lagi. Tetapi Caranya mengakhiri nyawa dan apa gerangan yang dapat berlaku kejam dan buas sedemikian rupa" Daging di cabik-cabik anggota tubuh terpotong-potong, Bahkan ada yang cuma tinggal tulang -Baru detik inilah Eddi memikirkannya!
, Dan pikiran itu membuat ia terkejut sendiri. Itu bukanlah perbuatan manusia. Binatang buas,
mungkin. Tetapi binatang sebuas apa dan sebesar apa yang menerkam begitu cepat, memakan mangsanya lebih cepat lagi, lalu menghilang tanpa meninggalkan bekas kecuali sisa sisa tubuh mangsanya"
Entah mengapa, Eddi tanpa sadar melambatkan laju mobil.
Pikirannya melayang pada apa yang pernah ia dengar, dan ia anggap tahayul semata. Bahwa puri di belakang sana, berhantu. Bahwa roh dan mahluk mahluk gaib yang jahat, berkeliaran di sekitar lembah dan di setiap jurang. Namun belum ada seorangpun yang melihatnya. Kecuali, melihat korban atau kehancuran yang ditinggalkannya. Seperti halnya sisa-sisa tubuh Rita....
Eddi tak lagi bersiul. Ia mulai gelisah. Dan mendekati pintu gerbang, dengan kegelapan di luar sana, serta bayangan pepohonan yang bergoyang-goyang misterius, membuat dirinya merasa tertekan. Lalu sekonyongkonyong saja, kakinya menginjak rem.
_ Mobil pun berhenti mendadak.
Mesin masih hidup. Lampu depan masih menyala. Terang dan jelas, karena ia juga telah menghidupkan lampu kabut dan lampu variasi bervoltase tinggi. Cahaya lampu itu menerangi sesuatu yang tergeletak persis di ambang pintu gerbang.
Eddi mencondongkan wajahnya ke kaca depan.
Menyimak. " Lantas terkesima. Terkilas sesaat sebuah adegan film pembunuhan
yang pernah ia buat. Ada sepotong kepala manusia, dari boneka karet. Eddi ikut menyaksikan ketika kru special-effect' bekerja dengan mempergunakan bahan bahan khusus untuk --Tetapi film tetaplah sebuah film.
Dan apa yang tergeletak di ambang pintu gerbang, bukanlah sebuah boneka karet semata. Bulu kuduk Eddi mulai meremang, ketika matanya ia kerjap kerjapkan lalu dibuka lagi lebih lebar. Dan tampaklah makin jelas di atas genangan air lumpur, sesosok kepala. Rambutnya panjang, tebal, tetapi acak acakan, dan basah kuyup tak karuan. Kepala itu tanpa tubuh. Dan dari leher yang terputus, jelas masih tampak tetes-tetes darah --Lalu, wajah. Jelas sekali, karena wajah itu menghadap lurus ke arah sinar lampu mObll. Itu adalah wajah --" Rita'," bisik Eddi, tercekat. Kelu.
Dan Rita tengah menatap ke arahnya.
Dengan pandangan marah. Dan. buas. *** 11 REFLEKSI Eddi bereaksi seketika.
Terdengar bunyi derit berisik dan kasar, sewaktu telapak tangan kiri Eddi menghentakkan tongkat persnelling. Dipindahkan ke gigi mundur. Hampir bersamaan waktu, kakinya didorong keras. Menginjak gas. Mobil yang dikendarai Eddi seketika itu juga terlompatlantas mundur dengan kecepatan nyaris tidak terkendali.
Sesungguhnya, reaksi Eddi itu berlebihan.
Andai saja ia tetap menggunakan akal sehat dan mau menyimak sedikit lebih lama, pastilah akan ia lihat bahwa kepala tanpa tubuh yang tergeletak di pintu gerbang itu, sudah kaku. Mati. Jika pun sepasang mata Rita terpentang lebar, itupun di karenakan kengerian yang sangat di saat menjelang tibanya ajal. Dan sinar mata itu pun sudah mati.
Namun Eddi terlanjur ketakutan. Sudah takut, jiwanya ditampar perasaan bersalah pula. Bersalah pada Rita, untuk apa yang telah diperbuat Eddi sebelum meninggalkan janda yang sial itu di loteng istal. Maka, kombinasi perasaan takut dan bersalahnya, menyebabkan Eddi berpikir yang bukanbukan. Bahwa Rita, yang walau hanya tinggal kepala tanpa tubuh, telah hidup kembali. Dan sengaja menunggu Eddi di pintu gerbang. Dengan
pandangan buas, penuh dendam kesumat.
Jadilah Eddi memacu mundur mobilnya, saking panik. Perhatiannya pun terpecah dua pula. Pada jalan di belakang, untuk melarikan diri. Dan ke arah pintu gerbang dan jalan di depan mobil siapa tahu, kepala Rita Sudah terbang mengikutinya. Menguntit dan mengintip dari kegelapan di sekitar, tak sudi membiarkan Eddi lari begitu saja meninggalkannya; sebagaimana halnya ketika Eddi dengan penghinaan yang begitu menyakitkan, meninggalkan Rita di loteng istal.
Istal itu sendiri maSih terbakar.
Tetapi nyala api sudah semakin diredam oleh curah hujan.
-Di depan istal, jalan menuju puri sedikit menikung ke kanan. Tikungannya panjang. Jalan pun cukup lebar untuk dilalui dengan aman, walaupun mobil dalam posisi mundur. Namun panik sudah menguasai pikiran dan seluruh panca indera Eddi. Ia mengambil tikungan terlalu tajam, sehingga ban belakang mobil meluncur ke luar dari garis pinggir jalan. Gerak mundurnya yang cepat, membantu ban untuk melompati parit yang ada di Situ. Mobil terasa oleng. Eddi otomatis melepaskan pedal gas dari injakan kaki kanannya. Berpindah ke pedal rem.
Ia sedikit terlambat. Mobil terhentak berhenti, menyusul terdengarnya bunyi benturan keras ketika bagian belakang mobil itu menghantam batang pohon terdekat. Eddi sedikitpun tidak memperhatikan apalagi
menyesali kecerobohannya. Di kepalanya hanya ada keinginan dan pikiran untuk melarikan diri. Sejauh mungkin dari kepala Rita yang mengerikan itu. Tongkat persnelling ia hentak pindah ke gigi satu, sembari memutar setir sedapat dapatnya, untuk masuk kembali di jalan yang benar, dan sekaligus melaju ke depan, menuju puri yang tinggal beberapa ratus meter lagi.
Reaksi yang lagi-lagi berlebihan. Saking panik.
Ban yang dipaksa berubah arah dan dengan putaran tinggi pula, seketika melejit di rerumputan yang basah berlumpur. Untuk sepersekian detik gerak laju ban maSih normal, lalu pada persekian detik berikutnya selip. Dan akhirnya terperosok ke dalam parit yang sisi sisinya bertembok bebatuan. Ban belakang yang terperosok itu pun lantas tergantung tanpa daya. Putarannya yang masih tinggi memuncratkan aliran air berlumpur di bawahnya. Suaranya begitu riuh rendah, ditingkahi pula oleh sorak sorai badai yang terus saja membahana.
Akal sehat Eddi lenyaplah sudah.
Ia tak mampu lagi menguasai kombinaSi tongkat persnelling, gas, dan kopling. Lalu dengan suatu sentakan teramat kasar. getaran mobil berhenti. Mesinpun bungkam mendadak. Yang tinggal hanya uap panas mesin yang masuk ke kabin dalam. Membawa serta sengitnya bau ban yang aus. Setelah itu, disusul oleh kesunyian yang menekan.
Eddi terengah. Ia pentang matanya lebar lebar. Melihat ke arah pintu gerbang. Kemudian pada kegelapan di sekitarnya. Dan serpihan serpihan
hujan yang menampar nampar kaca, seakan berusaha memecahkannya, untuk memberi jalan masuk pada kepala Rita....
Eddi tak tahan menunggu. Siksaan mental melecut nalurinya untuk menghambur ke luar dari dalam mobil. Setelah mana ia langsung ambil langkah seribu menuju puri. Sambil menjerit-jerit histeris. Jeritan yang hanya sampai di kerongkongan, akibat lidah yang membeku, kelu.
Eddi berlari, belum pernah secepat itu.
Seraya membayangkan, kepala Rita mengejar di belakangnya. Siap untuk menerkam pundak -*** DUDUNG meluruskan punggungnya di kursi.
Kepalanya tegak. Sedikit ditelengkan ke arah jendela. Seraya berdesah samar. "Suara suara tadi di.luar sana!"
"Hanya badai, Abah. "Rasanya bukan ---"
Nina setengah menghentakkan pantat botol di meja. la tenggak whisky dari gelas di tangannya. Itu adalah seloki yang ketiga. Perut Nina sudah lebih hangat. Pikiran pun sudah lebih normal. Tetapi rona merah di wajahnya, bukan karena kembalinya semangat hidup yang sempat menghilang belasan menit sebelumnya. Rona merah di pipi Nina, begitu pula di cuping telinganya, muncul dikarenakan menahan amarah.
"Abah hanya cari cari alasan untuk tidak menjawab pertanyaanku tadi," ia memprotes, tak puas.
Suara-suara aneh yang tadi di dengar Dudung di luar sana, sudah menghilang kini. Dudung kembali melihat ke arah gadis yang sedang gusar di depannva. Dengan sabar ia berusaha menjelaskan. "Neng Nina. Aku sudah bilang bahwa Non Mila ----"
"Nah. Kau mengulanginya lagi, bukan?" Nina mencibir. Tangannya pun digerak gerakkan, seirama dengan bunyi kalimat berikut: "Non Mila. Non. Non. Dan terus Non! Mengapa aku, Neng" Mengapa Rita, juga Neng?"
"Aduh ---" "Berhentilah mengaduh aduh. Berterus terang sajalah. Bahwa Abah bukan hanya menaruh segan dan hormat yang lebih pada Jamila. Yang aku maupun Rita belum pernah mendapatkannya darimu Kau, Abah. Bahkan berusaha mati matian melindungi nama baik Jamila"
Akhirnya Dudung menyerah. Disertai senyuman getir. Bisiknya, lirih: "Kalau kau sudah tahu apa perlunya diperpanjang lagi ----"
Nina terjengah. "Tetapi mengapa, Abah"!"
Dudung kembali meluruskan duduknya.
Mendengarkan dengan seksama. Muncul lagi suara suara. Yang ini berbeda. Dan terdengar cukup dekat dengan mereka.


Pewaris Iblis Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu adalah suara langkah berlarilari Eddi yang melompat naik ke beranda. Namun tidak untuk berhenti. Kecuali untuk membanting pintu menutup keras di belakangnya. Setelah itu, kembali ia lari langkah seribu. Menuju ke ruang duduk. Dengan nafas terputus putus, dan wajah masih membayangkan panik campur ngeri.
Di lantai atas, Jamila menggeliat di tempat tidurnya. Siapa yang membuka lalu membantingkan pintu begitu kasar"
Matanya dipejamkan lagi. Pinggangnya pun masih terasa sakit, sehabis menerima terjangan lutut Nina yang membabi buta. Mulutnya merintih: "Kang Dana. Bawa aku pergi dari sini ---"
Di kamar satunya lagi, yang letaknya berseberangan dan dibatasi dua pintu lain, Jakapun menggeliat dalam tidurnya. Ia masih tertidur. Karena shock, dan karena baru pertama kali dalam hidupnya meminum pil penenang. Dalam tidurnya ia mengigau: "tidak, Nina. Kau tak boleh menikah dengan Eh, Rita Mengapa -tubuhmu hancur begitu -"!"
Dan di kamar duduk, Dudung dan Nina berpaling serempak ke arah pintu masuk. Di ambang pintu, tampak berdiri sesosok tubuh yang penampilannya tidak karuan. Ekspressi di wajahnya, lebih tidak karuan lagi. Sekujur sosok tubuh itu bergemetar hebat. Suaranya hampir-hampir tak jelas, karena saling dahulu mendahului dengan bunyi nafasnya yang terputus-putus.
Eddi mengerang. "Dia ada di sana ---"
Dudung bangkit. Mendatangi. "Dia siapa, Den Eddi?"
"Rita. Dia ---." Eddi melihat botol minuman
di meja dekat Nina. "Berikan itu padaku. Tolonglah ---"
Nina hanya duduk mematung. Jangankan untuk bergerak. Mengatur nafas saja pun ia hampir tak mampu. Jantungnya sudah terlanjur serasa hampir copot, karena penampilan Eddi yang begitu mengejutkan. Belum lagi, wajah kekasihnya itu bak habis dikejar hantu. Seakan semua itu belum cukup. Eddi meneror pula dengan pemberitahuannya. "dia ada di sana. Rita!"
Bukankah mereka bilang, Rita sudah mati"
Ataukah -- Nina melihat bayangan seseorang lewat di dekat mejanya. Ternyata Dudung. Yang mengambilkan botol whisky, yang kemudian ia sodorkan ke tangan Eddi.
mari kutolong melepas mantelmu," kata Dudung, tenang, setelah botol berpindah ke tangan Eddi yang bergemetaran. "Kau telah membuat Nina ketakutan. Kau hanya salah lihat, bukan?"
Eddi tampaknya ingin menjerit. Namun yang terlontar dari mulutnya hanya keluhan tersedak: "Dia menungguku. Di pintu gerbang Dia bahkan ---."
Eddi bergidik seram, kemudian melangkah terhuyung huyung ke dekat tungku pemanas. Lutut sudah tak kuat lagi menahan bobot tubuhnya. Di depan tungku itu, Eddi pun jatuh bersimpuh. Bahkan hampir tersuruk ke api tungku yang menyala, jika tangan Dudung tak keburu menahan. Eddi memegangi botol dengan ke dua telapak
tangannya, berusaha mendekatkan ke mulutnya. Tetapi ia gagal.
Dudung agaknya yakin Eddi bukan mengadaada.
"Aku akan pergi memeriksanya," ia berkata, lalu dengan cepat ia sudah menghilang dari ruangan itu. Lenyapnya orangtua itu menyebabkan Nina pun tersentak gelisah. Sesaat kemudian, ia dengar suara orang mengisak. Nina berpaling. Dan melihat pundak Eddi terguncang guncang.
Apa yang terjadi sebenarnya"
Mengapa Eddi menangis" Ada apa, dibalik semua keanehan ini"
Lantas tibatiba Nina menyadari, bahwa ia baru dalam taraf mendengar saja. Benar Nina tidak lagi melihat Rita semenjak Rita pergi mengantar jenasah ayah mereka ke pemakaman. Tetapi itu belum membuktikan bahwa Rita sudah mati. Nina harus melihatnya dengan mata kepala sendiri. Selain itu, ia juga terdorong ingin tahu. Jika memang benar Rita sudah mati, apa pula penyebab kematiannya"
Berpikir sampai di situ, Nina pun bangkit dari duduknya.
"Bodoh benar aku ini!," terlontar gumam tak sadar dari mulutnya. "Belum apa apa, sudah ketakutan!"
Eddi mendengar Nina. Ia berpaling cepat. "Jangan pergi ke sana, Nina ---" ujarnya, cemas.
Nina terus saia menuju pintu. "Apa perdulimu"!"
"Kau harus tetap di sini. Aku __," Eddi melirik
ke sekitar ruangan. Berhenti agak lama, mengawasi jendela, mendengarkan bunyi bunyi berdesah dan bersiutnya hujan badai. "Siapa tahu ----"
Tetapi ketika ia berpaling lagi, Nina sudah tak tampak di dekatnya.
Terdorong panik dan takut, Eddi menghambur ke pintu. Menutupnya dengan bantingan keras. Lalu menjerit ke arah menghilangnya Nina: "Terkutuklah kau, Nina! Semoga saja bukan aku -tetapi kaulah yang diterkamnya! Kau dengar itu, Nina"!"
Nina mendengarnya. Dan bukannya ketakutan. ia malah terhina karenanya. Yang justru menambah keberanian Nina. Dari melangkah, ia kemudian berlari-lari kecil. Menuju pintu depan yang tampak baru saja di tutupkan dari luar oleh seseorang. Nina lebih bersemangat lagi setelah yakin bahwa Dudung belum terlalu jauh meninggalkannya. Cepat cepat Nina menyambar sebuah mantel yang tergantung pada kapstok dekat pintu. Mantel itu basah. Jelas bekas dipergunakan sebelumnya, dan itu bukanlah mantel yang tadi dipakai Eddi. Oh. Itu tentu bekas dipakai Jaka, ketika ---Nina mengerang, sedih. Lalu pintu ditariknya terbuka.
Ketika itulah, telinga Nina menangkap adanya suara.
Di belakangnya. *** 12 SUNGGUH, obat yang mujarab!
Pening di kepala, perih di tulang pipi, ngilu di pinggang. Semua seakan menghilang begitu Jamila melihat Eddi telah memacu mobil meninggalkan puri; untuk menjemput Perdana!
Dari jendela kamarnya, Jamila terus mengawasi dengan penuh harap mobil itu berlalu menerobos hujan badai dengan lampu-lampu terpasang. Di belokan dekat istal, lampu lampu itu tampak menghilang beberapa saat di balik rimbunan mawar dan pepohonan sekitarnya. Pasti Eddi berhenti sejenak, mengawaSi istal yang masih terbakar. Lalu kelihatan muncul lagi, mendekati pintu gerbang.
Jamila baru saja akan mendoakan semoga Eddi selamat dan sukses hendaknya, ketika Jamila melihat beberapa keganjilan. Di kejauhan, ia lihat lampu lampu "mobil seakan berhenti maju. Apakah Eddi turun dulu, untuk membuka pintu gerbang.
Jamila lebih merapatkan wajah ke jendela. Berusaha melihat lebih jelas di antara cuaca buruk yang nyaris menggelapkan pandang. Lalu tampak olehnya lampu mobil berpendar pendar tidak menentu. Sepertinya bergerak mundur, untuk kemudian menghilang lagi setiba di belokan tadi. Samar samar Jamila mendengar bunyi mesin mobil
bergerung gerung sayup, kemudian suara itu pun lenyap secara aneh.
Jamila mengurut dada. Kuatir.
Lalu ia lihat sosok tubuh berlari lari di bawah hujan, menuju pintu depan puri. Ia merasa pasti itu adalah Eddi. Dan larinya cepat sekali. Mengapa ia kembali" Barangkali ada sesuatu yang terlupakan olehnya" Tetapi untuk itu Eddi mestinya tak perlu meninggalkan mobil. Ban selip, itulah jawabannya. Terperosok di selokan, dan Eddi agaknya membutuhkan bantuan seseorang untuk mengembalikan mobil ke tempat yang semestinya.
Perasaan kuatir Jamila, mau tidak mau mempengaruhi apa yang sebelumnya sempat menghilang. Peningnya datang. Luka baret bekas cakaran Nina di tulang pipinya, berdenyut. Pinggangnya pun bagai enggan dipaksa bergerak, sewaktu Jamila berjalan menuju pintu. Ia harus tahu apa yang terjadi. Dan untuk itu ia harus bertemu dengan Eddi.
Tetapi setelah pintu kamar dibuka dan Jamila menunggu sejenak, ternyata Eddi tidak naik ke lantai atas. Oh, oh. Tentu saja. ia membutuhkan bantuan seorang laki laki, bukan perempuan. Dan Dudunglah orang yang tepat. Jamila pun lantas beranjak menuju tangga di samping balkon. Ia baru saja akan turun ke bawah sewaktu ia dengar suara percakapan yang tak jelas. Jamila pun lantas teringat, Nina ada di bawah sana. Nina, yang beberapa Saat berselang, berniat mencelakakan Jamila.
Tidak. Jamila tidak boleh turun ke bawah.
Sudah cukup banyak kekeliruan yang ia buat sepagi ini. Dengan akibat yang tidak saja mengejutkan, tetapi lebih-Iebih lagi, mengherankan. Men jauhi Nina untuk beberapa waktu, adalah tindakan paling bijaksana.
Maka Jamila pun memutar langkah menuju tangga satunya lagi, yang turun ke lantai utama. Di sanalah lebih baik ia menunggu. Semoga saja Eddi muncul sendirian, atau mungkin juga didampingi Dudung. Tetapi bagaimana jika Nina memaksa ikut dengan mereka" Bila kemungkinan itulah yang terlihat, Jamila sebaiknya menghindar saja.
Jamila sudah tiba di lantai bawah, ketika ia dengar langkah langkah mendatangi dari arah lorong tengah. Sebelum dapat memastikan siapa yang akan dia hadapi, sewajarnya Jamila tidak langsung menampakkan diri. Tetapi untuk naik kembali ke atas, sudah terlambat. Tanpa membuang tempo, Jamila pun menyelinap ke samping bawah tangga. Bersembunyi di balik bayangan sebuah guci kuno besar dan tingginya sebatas bahu orang dewasa berdiri.
Jamila menggigil karena serbuan angin keras dari pintu depan, yang agaknya lupa ditutupkan kembali oleh Eddi. Langkah langkah itu kini memutari bawah tangga di seberang tempat persembunyian Jamila. Ternyata yang muncul itu Dudung.Herannya, ia hanya sendirian. Langkahnya terburu buru. Dengan wajah tegang pula.
Ke mana Eddi" Apa yang terjadi sebenarnya"
Jamila masih bingung, ketika Dudung sudah berada di luar pintu. Orangtua itu pun sudah akan menutupkan pintu dan luar. Jamila belum habis mengerti sewaktu ia dengar lagi langkah kaki yang lain. Yang ini, setengah berlari lari. Lalu dari lorong yang sama, muncullah -Nina'
Jamila semakin mepet ke tembok. Tidak menyadari, di atas kepalanya ada gelang rantai mainan dari sebuah hiasan dinding yang dipakukan ke tembok. Eddi tidak juga menampakkan batang hidung. Dan Nina, sepertinya akan menyusul Dudung. Nina bahkan sudah menyambar mantel di kapstok. Pas ketika Nina menarik pintu terbuka, nasib sial pun menimpa Jamila. Ngilu di pinggang kambuh sekonyong konyong. Otomatis ia meluruskan punggung, untuk mengurangi perasaan sakit.
Dan, bergemerencinglah gelang rantai itu.
Mengejutkan. Nina seketika membalikan tubuh, terperanjat. Dan Jamila pun tak dapat lagi mengelakkan pandangan mata Nina yang membelalak. Pandangan marah. Dan mengandung kecurigaan!
Wajah pucat Nina, segera memerah kembali.
Nina mengguratkan senyuman tipis. Diiringi ucapan sinis: "Guci yang bagus dan tampak mahal sekali harganya, bukan"!"
Pencuri. Itulah maknanya. Jamila sakit hati.
"Tetapi, sebelum kau berpikir untuk memiliki lantas menjualnya," Nina sudah meneruskan. "Baiklah kuberitahu. itu bukan asli. Guci yang.
asli, pernah diangkut diam diam oleh pamanku, atas bujukan seorang kolektor. Paman yang malang! Belum jauh meninggalkan puri ini, mobilnya diseret angin topan ke dalam jurang. Jurang yang sangat dalam. Penuh batu karang pula di bawahnya. Nah. Dapat membayangkan apa yang terjadi, eh?"
Itu bukan pertanyaan. Itu lebih tepat disebut sebuah pernyataan. Bernada peringatan!
Nina menyeringai, misterius. Lanjutnya, seperti ia berbicara hanya untuk diri sendiri; "_ hampir tak ada yang tersisa untuk diangkat ke atas. Tidak mobil. Tidak pula guci. Dan tubuh si paman yang malang ----"
Nina menggeleng gelengkan kepala.
Sepertinya, membuang gambaran buruk dan mengerikan dari benaknya. Ia kemudian menatap lurus dan tajam ke arah Jamila, yang masuh tak bergerak di tempatnya. "Ada pun guci di depanmu itu, Kakak Iparku Tercinta -" ia tersenyum mencemooh. "Adalah tiruan dari yang sudah hancur.dan, sudah lama terkubur di luar sana. Tahu siapa yang membuat tiruan yang begitu sempurna, Kakak Iparku Tercinta?"
Jamila diam saja. Tentu saja, ia sudah dapat menduga.
Tetapi apa perlunya ia jawab" Biar saja Nina yang menjawab. Hanya, jawaban Nina terdengar ganjil di telinga Jamila. Nina menjawab pertanyaannya sendiri, dengan suara kering: "Dia ada di luar
sana, sekarang ini. Entah hidup. Atau sudah mati'"
Jamila tersentak. Rita Entah hidup, atau sudah -Nina terus saja menceracau. Jelas sudah ia kehilangan kontrol diri. "Hebat sekali, bukan" Mereka bilang, Rita sudah mati. Suamimu, entah bagaimana pula naSibnya sekarang ini. Dan -, barangkali kau tadi mendengarnya juga. Nina sudah ditendang pula. Nina, SI haram jadah ----"
Jamila merinding sendiri. Tak kuasa membuka mulut.
Nina pun makin menjadi-jadi. "Eddi bebas lepas, bukan" Tak seorangpun lagi yang akan menghalanginya untuk mendekatimu. Atau sebenarnya, kaulah yang telah mendekatinya, eh" Karena kau sudah keburu terpincut oleh seringainya yang --, memuakkan itu"!"
"Oh tidak!," akhirnya lepas juga keluhan ngeri dari mulut Jamila. Ngeri bukan karena tuduhan Nina yang menyakitkan hati itu. Melainkan oleh apa yang sebelumnya telah meneror pikiran Jamila: "Rita sudah mati!"
Keluhan Jamila disalah-tafsirkan Nina. "Oh. Oh. Oh. Kiranya, kaupun pemain sandiwara juga, seperti halnya Eddi. Sungguh pasangan yang serasi, bukan"!"
Habis menumpahkan penghinaannya, Nina pun berlalu ke luar pintu. Tawa sinis lepas dari mulutnya. Disambut oleh sorak sorai angin badai. Yang, seakan kompak menerobos ke dalam ruangan.
menerjang, menggigit, menendang, menampar, mencemoohkan Jamila!
KERIUT pintu kayu yang berat dan tinggi itu, menyadarkan Jamila dari kejutan mental. Guntur menggemuruh sayup sayup. Tiupan angin ke dalam ruangan, seperti ikut pula menjauh. Namun lewat pintu yang terbuka, tampak hujan di luar masuh terus membadai.
Jamila tidak patut berpangku tangan saja.
Boleh saja ia marah besar. Boleh saja ia terhina bukan main dina. Tetapi ia tetap harus melakukan sesuatu. Paling kurang, menunjukkan simpati. Maka Jamila pun bergerak meninggalkan tempat persembunyiannya yang, akhirnya malah rnencelakakan itu. Cepat ia pergi ke pintu. Tak ada mantel atau payung. Untuk mencarinya, ia tak tahu di mana terSimpan. Dan belum tentu ada yang masih tersisa untuk dipakai. Bertanya pada Eddi" Oh, nanti dulu. Mendatangi Eddi sekarang Ini, sama dengan membenarkan tuduhan tuduhan Nina.
Sudah, Terobos sajalah ! Kepalang basah, Dan kepalang terhina'
Maka Jamila pun nekad berhujan-hujan. Dan sempat merasa heran. Suhu air hujan yang menerpa sekujur tubuhnya, ternyata tidak semembekukan yang ia perkirakan. Ia kuyup dan dingin, itu sudah jelas. Tetapi curah hujan yang terus tumpah dari langit kelam itu, tidak terlalu dikuatirkan benar lagi oleh Jamila.
Jamila pun berlari. Tanpa merasa pasti, ke arah mana ia harus ber
lari. Telusuri.saja jalan yang basah itu Dan berharap, ia akan melihat orang orang yang disusulnya, ia temukan di suatu tempat. Mudah mudahan saja, sebelum pintu gerbang .Kesananya, Jamila tak yakin akan terus atau tidak.
Nina lebih dulu tiba dari Jamila.
Ia lihat Abah memungut sesuatu dari ambang pintu gerbang yang memang terbuka. Orangtua itu sepertinya tidak tahu kehadiran Nina. Dan memang Nina pun tiba tiba bimbang, apakah ia terus saja atau lebih baik menunggu. Siapa tahu, Rita memang sudah mati. Dari cara kematiannya. Nina teringat pada gambaran sosok almarhum ayahnya di dalam peti mati. Membuat Nina merinding sendiri.
Ia melirik ke mobil yang tersuruk ban belakangnya ke selokan. Lampu lampu depannya menyala terang benderang. Agaknya Eddi lupa memadamkan. Diterangi sinar lampu mobil, Nina melihat Dudungbergerak beberapa belas meter di depannya. Dari pintu gerbang menuju ke samping istal. Ada sebuah benda di sana. Sepertinya sebuah ember kayu, bekas tempat makanan kuda. Setahu Nina, kuda terakhir yang makan dari ember itu, adalah kuda satu satunya yang maSih dipelihara di istal. Kuda tunggangan Dudung, Si Abah, yang tak pernah betah duduk dalam mobil. Sebaliknya dengan mereka yang lain. Kuda memang menyenangkan sebagai variasi. Terutama jika sedang berlibur di puri. Tetapi akhir akhir ini jarang sekali mereka mengunjungi puri. Selain karena disibuk
kan urusan hidup masmg masing, juga dikarenakan segan. Segan, mengingat begitu banyak orang yang telah mati di dalam maupun di luar puri. Dari kurun waktu yang satu ke kurun waktu berikut. Mati yang selalu menimbulkan tanda tanya pula. Seperti ayah mereka, yang diterjang kuda si Abah secara kalap membabi buta.
Lalu kini, Rita. Tetapi, apa pula yang telah membunuh Rita" Persisnya, benarkah Rita sudah mati"
Entah apa yang dipungut Abah dari pintu gerbang lalu di bawa ke arah istal. Nina pun sudah mencari cari dengan matanya. Tak juga ia melihat adanya kehadiran Rita. Abah pun bergerak kian ke mari seperti tanpa perasaan, tanpa gambaran dukacita.
Nina tiba tiba membuka matanya lebar lebar.
Itu terjadi, ketika orangtua itu lewat di atas rerumputan yang kebetulan tertangkap sinar lampu mobil. Dan tentu saja, semuanya tampak menjadi lebih |e|as. Yang terjinjing di genggaman tangan Abah, jelas rambut. Rambut tebal panjang. Yang melekat pada sebuah kepala. Kepala tanpa tubuh.
Seketika, sekujur tubuh Nina tegang membeku.
Pas ketika Dudung memasukkan apa yang ia jinjing ke ember kayu itu, sang kepala sedikit berputar arah. Sekejap cuma. Namun dalam waktu yang sekejap itu, Nina sudah dapat melihatnya .Melihat wajah sepasang mata terpentang, pudar dan mati. Dan mulut ternganga, bagai orang keheranan. Wajah yang seputih kertas itu, mata yang
terpentang itu, mulut ternganga itu, semuanya adalah milik Rita'
Nina memekik tertahan. Kemudian jatuh terkulai di aspal jalan yang basah oleh genangan air.
itu . Jamila telah melihat lampu-lampu mobil.
Kemudian, mobil itu sendiri.
Paling kemudian lagi, ia melihat adanya gerakan seseorang tengah membungkuk di aspal. Ada seseorang tergeletak di situ. Yang membungkuk, jelas Dudung. Tetapi yang tergeletak itu, Nina kah,
atau Rita" Rita yang tertabrak mobil Eddi, barangkali"
Jamila mempercepat langkahnya.
Dudung mendengar. Lantas melihat. Disusul
keluhan lirih. "tak kusangka, Nina akan menyusul _"
Jamila bertanya kembali "Apa yang terjadi Pak Dudung"
"Ia hanya pingsan ---" "Oh'"
Dudung, seperti tak terganggu oleh kekurusan tubuh dan usia tuanya, dengan enteng sudah mengangkat tubuh Nina, yang kemudian ia panggul dan dibiarkan terkulai di pundak. "Ayolah, Non. Kita kembali lagi ke puri . . ."
Dudung kemudian melihat Jamila yang basah kuyup.
"Ya, ampun, Non. Mengapa ----"
Seakan Nina tidak ada harganya dibanding Jamila, si orangtua cepat sekali sudah membungkuk lagi. Tubuh Nina kembali berpindah ke aspal. Cepat sekali Dudung sudah melepaskan mantelnya sendiri, ditangkupkan ke belakang Jamila. "Ini, Non. Jangan sampai kau masuk angin nanti!"
Dan Dudung justru memilih dirinya kelak yang terserang flu.
Ia kembali mengangkat tubuh Nina ke pundak, sementara Jamila sempat bimbang, tetapi akhirnya mengenakan iuga mantel ke tubuhnya secara benar. Masih tetap kuyup dan dingin pada tubuh karena gaunnya yang basah , namun mantel itu sedikit memberi kehangatan juga. Terbetik niat untuk menanyakan tentang Rita. Tetapi Dudung sudah berlalu dari sampingnya.
Jamila pun memutar tubuh. Menyusul.
Ketika mereka jalan beriringan dan lewat di samping mobil yang memang bannya tersuruk maSuk selokan, Jamila berhenti.
"Mau apa, Non?", Dudung ikut berhenti.
"Kupadamkan dulu lampu-lampu. Bisa habis nanti baterainya ", jawab Jamila, seraya membungkuk ke dalam mobil. Ia padamkan lampu lampu luar. Lampu dalam tetap menyala, karena pintu pintu masih terbuka. Dan lampu otomatis yang tetap menyala itu, telah memperlihatkan keanehan keanehan yang lebih mengherankan Jamila.
Kunci kontak menempel di tempatnya!
Itu, belum apa-apa. Teringat tas kosmetiknya pasti ada di jok belakang mobil dan mungkin sudah terguling ke lantai, Jamila pun menyurukkan tubuh melewati sandaran jok depan. Tas kosmetiknya memang sudah terguling. Dan isinya pun berserakan tidak karuan di lantai mobil. lajuga melihat hei, apa pula ini"
Bingung, Jamilah ke luar dari mobil.
Lantas bertanya pada Dudung: "Apakah Bapak yang menyimpannya ke dalam mobilku?"
"Menyimpan apa, Non?"
"Garpu besi. Dan sebuah sekop'"
"Lho?" Dengan Nina tetap terpanggul di pundaknya, Dudung mendekati pintu belakang mobil. Jamila mundur memberi jalan. Ia lihat orangtua itu cukup membungkuk sedikit saja, sudah tahu apa.yang dimaksud oleh Jamila. Terdengar ia berguman, sama herannya: "Ini 'kan mestinya ada di istal" Mengapa pula sudah ada di dalam mobil ini?"
Jamila, yang saat itu berdiri cukup dekat dengan kap bagasi, dijalari perasaan tidak enak. Terpikir seketika: lantas, siapa yang memasukkannya ke dalam mobil, jika bukan Dudung" Apakah sebelum pingsan, Nina telah --Saat itulah, petir menyambar di langit.
Cahaya menyilaukan menerpa sekitarnya. .Jamila setengah merunduk, menghindari silau secara refleks: saja. Tanpa sengaja terlihat olehnya bum per belakang mobil pecah dan penyok tidak karuan. Pintu bagasi sampai setengah terangkat ke atas.
Pasti copot dari kuncinya, akibat suatu benturan keras.
Perasaan tak enak pun, lantas menjalar semakin hebat.
Bukan karena mobil yang ringsek. Tetapi karena, matanya sempat menangkap sesuatu di antara celah-celah pintu bagasi. Sesuatu yang bentuknya ganjil, namun memberi wujud samar samar yang seperti dikenali Jamila.
"Apa itu di bagasi ", ia berucap, tersedak.
"Mari kulihat, Non"
Lebih dulu Dudung membaringkan Nina di jok mobil. Gadis itu hanya mengeluh sedikit, tetapi belum juga sadarkan diri. Dudung menggeleng prihatin, terus bergerak menuju bagasi. Secara naluriah, Jamila diam diam mundur menjauh. De ngan jantung berdebur keras.
Lain halnya Dudung. Gerakannya tetap enteng. Hanya dengan sedikit mendorong ke atas, kap penutup bagasi sudah menganga dengan leluasa. Curah hujan segera menyerbu ke bagasi yang terbuka. Pada sesosok tubuh yang meringkuk di dalamnya. Meringkuk dengan pOSiSi terlipat Kaku. Dan. mati. *** 13 EDDI menenggak isi botol kedua yang barusan diambilnya dari bar.
Whisky telah membantu meredakan ketakutan, bahkan juga perasaan bersalahnya. Sekujur tubuh Eddi kini terasa lebih nyaman, luar dalam. Pikiran jernih pun pelan-pelan mulai kembali.
Sebelah tangannya menggapai pencungkil bara. Tumpukan abu ia korek korek, supaya nyala di ujung balok balok kayu bakar, kembali mengorak. Lidah api menjilat semakin besar. Dengan perasaan puas, Eddi menyimpan kembali benda di tangannya.
Pencungkil bara! Misalkan, suatu hari kelak ia membuat lagi sebuah skenario cerita pembunuhan untuk diangkat ke layar putih (dan, seperti biasa akan ia sutradarai sendiri pula!); ia akan memasukkan pencungkil bara sebagai salah satu alat untuk membunuh. Dengan ujung merah menyala. Yang ditusukkan ke arah yang 'tepat dan mematikan!
"Pemeran utama filmku itu nanti ", Eddi nyeletuk sendirian. "Haruslah tokoh bertenaga luar biasa. Seperti Stallone Ah, tidak. Tidak. Yang menonjol dari Sly adalah wajah angkernya saja. Sosoknya memang kokoh. Tetapi tokoh
pilihanku nanti, haruslah dari tipe Arnold Szarzenegger. Dibanding Arnold, Sly itu bukan apa-apa. Apalagi jika dibandingkan dengan ---"
Eddi menenggak minumannya lagi. Lantas tertawa gembira. "-tetapi aku pun punya kelebihan. Ide cemerlang!"
Eh, nanti dulu! Yang punya ide memang Eddi. Namun berkat orang lain juga. Eddi harus mengakuinya terus terang. Dan tentu saja, pengakuan itu hanya akan diberikan Eddi pada diri sendiri!
Lagi pula, orang itu tak ada niat sedkitpun melontarkan gagasan untuk memancing inspirasi Eddi , yang menurut para kritisi, termasuk jenius dan pantas diperhitungkan keberadaannya ( tetapi sayang, kebanyakan produser film kita belum terbuka juga matanya, tulis salah seorang kritisi).
Mata Eddi meredup mengawasi nyala api di tungku.
Terbayang samar samar sosok orang yang secara tidak sengaja telah menggugah Eddi untuk menciptakan suatu ide cemerlang. Yang akan mengangkat Eddi kembali ke permukaan. Tidak lagi hanya sekedar jadi kapstok Nina, atau sebagai tempat penyaluran kebencian Rita pada saudara nya seayah dari lain ibu itu.
Dan justru dari Nina, semuanya bermula.
Nina yang menganjurkan hari itu : "Nggak apa 'kan. Tolong antar beliau ke Halim. Aku sudah terlambat nih membuka butik kita --"
Maka Eddi pun dengan senang hati mengantar tamu mereka yang hanya singgah tak sampai satu jam di rumah yang ia tempati bersama Nina. Itupun sekedar mengantar oleh oleh bawaannya dari Medan, untuk Nina. TUjuan utama tamu mereka adalah Bandung, mendampingi putera bungsunya yang akan di wisuda sebagai sarjana orbitan terbaru ITB.
"segera setelah itu. aku harus kembali lagi ke Medan", sang tamu menjelaskan selagi mereka berdua bermobil ke bandara." Tetapi tentu saja. akan kusempatkan singgah semenit dua di rumah mertuamu. Mertuamu itu pun mendapat titipan oleh-oleh dari anak menantunya di Medan". '
Waktu itu, Eddi sempat tertawa kecil.
Mertuanya! Belum pernah ada yang mengakui, bahkan tidak mengatakan itu! Dan pun Eddi tertawa kecil, karena menghibur diri sendiri. Lantas, sekedar basa basi, ia melontarkan basa baSi pula' "Coba Oom lebih lama di Bandung. Keluarga kami di Bandung pasti akan mengajak Oom beristirahat di Puri Lembah Karang ---"
Di situlah sumber idenya tercetus.
Orangtua yang duduk di sebelahnya, mengingat ingat sebentar. Kemudian : "Puri Lembah Karang! Aku ingat sekarang!"
Lantas meluncurlah cerita yang tak jelas mana awal, mana tengah, mana akhir, dari mulut sang tamu. Agaknya, ia bercerita lebih banyak dikarenakan kesal oleh jalanan macet di mana mana, belum lagi ternyata pesawat Merpati yang akan membawanya dari Halim ke Bandung, ditunda pula keberangkatannya karena cuaca buruk.
Tetapi Eddi sudah terbiasa diserahi bahan-bahan cerita baku, yang sering harus ia bongkar habis sebelum dipindahkan ke skenario jadi. Hari itu pun, mudah saja ia menarik garis besar cerita sang tamu yang susunannya amburadul itu. Bahwa, sewaktu masih jadi anak tanggung, si tamu tinggal bersama neneknya, yang bersahabat dengan seorang perempuan yang sama jomponya. Dua nenek jompo itu sering bertukar cerita. Dan si anak tanggung, kemudian tahu bahwa sahabat karib neneknya memang sudah seperti orang Aceh saja. Namun tak pernah melupakan kampung asalnya.
"Di sebuah puri. Namanya Puri Lembah Karang ---"
Yang aneh dari sahabat neneknya itu, adalah bahwa rahasia itu tidak pernah ia ceritakan pada anak cucunya. "Agar tidak membuka luka lama", begitulah selalu ia memberi alasan. "Lagipula, semua keturunanku sama beranggapan, darah mereka murni darah Tanah Rencong. Jadi kau pun, cucu", katanya pada anak tanggung yang suka nimbrung ngobrol dengan ke dua nenek jompo itu. "Hendaknya menyimpan rahasia ini untuk dirimu sendiri saja. . ."
Dan, memang tak ada perlunya.
Si anak tanggung yang kemudian merambat tua, ingin memegang amanat orang yang sudah meninggal, tetapi terjaga baik. "Apalagi setelah
ayah ibu Jamila meninggal, aku ini sudah dianggap sebagai orangtua pengganti ---", katanya, terharu.
"Eh, apakah aku tadi tidak salah dengar?", Eddi waktu itu sempat berujar untuk meyakinkan. "Benarkah sahabat nenek Anda itu menyebut dirinya sebagai pewaris tunggal Puri Lembah Karang?"
"Bukan hanya puri. Juga tanah tanah di sekitarnya ", sang tamu tiba tiba seperti tersadar. Wajahnya berubah cemas. Setengah merasa bersalah. "Agaknya kau tahu banyak tentang puri itu. Apakah, milik keluargamu?"
Sadar bahwa orangtua itu telah lepas rahasia, Eddi berkata menghibur: "Bukan. Bukaaan", katanya meyakinkan. "Hanya ya kami sering menyewa puri itu sebagai tempat berlibur!"
"Oh ya. Pasti tempatnya menyenangkan!"
"Sangat, malah. Apalagi buat mereka yang keranjingan cerita-cerita menyeramkan ----"
"Aku orangnya", sang tamu berkata gembira. "Cerita cerita nenekku dulu tak kalah seram dan Eh, sebentar. Apa saja cerita orang tentang Puri Lembah Karang?"
Petugas bandara keburu memberitahu, agar penumpang siap memasuki pesawat.
Eddi pun memberitahu sambil lalu: "Dia -eh, maksudku, mertuaku lebih banyak tahu. Karena dia paling sering berlibur di sana. Saking sering, dia terkadang sampai menganggap puri itu sudah seperti miliknya sendiri!"
"Oh. ya" Benar. Oh, ya Dan 'oh, ya' itu terbawa oleh sang tamu ke Bandung, dan sekali lagi ia melanggar amanat orang yang sudah meninggal, dan kata nya ingin dijaganya baik baik itu. Sematamata. karena sifat manusua. Yang serba penasaran. Apa lagi menyangkut sesuatu yang mengandung rahaSia besar. Ditutup dengan kalimat klise Seperti kalimat yang diucapkan sang tamu pada Eddi, dan pasti iuga kemudian, pada "mertua" Eddi : "Awas ya. Jangan bilang bilang Jamila!"
lalu dinihari berikutnya, Jaka pun menelepon dari Bandung: "Bilangi Nina, agar pulang ke Bandung pagi ini juga"
Pesan pendek, tak jelas, tetapi bernada gempar.
Dan agar Nina tidak Cidera dalam perjalanan ke Bandung akibat terbawa gempar, Eddi pun ikut mendampingi. Dan satu lagi, amanat orang meninggal telah dilanggar. Oleh orang lainnya pula. Jaka. "Jauhkan siapapun dari puri ----!". Tentu maksudnya, hanya anggota keluarga dekat, semata. Tetapi Siapa pula yang ingat, bahwa Eddi mestinya masuk dalam daftar terlarang itu" Eddi bukan seperti orang lain. Eddi toh sudah hidup satu atap dengan Nina.
Eddi mendongakkan kepala Apakah barusan ia mendengar sesuatu di luar sana"
Api bergemeretak di tungku.
Nyalanya, kian membara. Membuat wajah Eddi, kian memerah saga. Karena cahaya api. Dan karena whisky yang semakin
banyak mengisi lambungnya.
Yang didengar Eddi karena terbawa angin yang meniup ke arah puri, mungkin adalah jerit tertahan yang lepas tak terkendali dan mulut Jamila. Jerit hitseris, berulang ulang pula. Sampai sampai Dudung merasa perlu memeganginya, membujuknya, kemudian menampar wajahnya!
"Lihat! Lihat dengan jelas!", orangtua itu berkata setengah memerintah. Seraya menunjuk ke sosok tubuh terlipat. Sosok yang sudah mati, yang telah dikeluarkan Dudung dari bagasi mobil. Dan yang begitu diseret Dudung ke cahaya terang lampu lampu (Dudung menyalakannya sendiri, agar yakin), Jamila langsung mengenali apa yang melekat di tubuh terlipat kaku dan mati itu. Jamila mengenali kemeja, mengenali celana panjang, bahkan sampai ke sepatu.
"Mayat yang kau lihat itu, memang mengenakan pakaian suamimu!", Dudung berkata lagi, dengan nafas tersengalsengal. la agaknya sedang marah pada sesuatu. Atau seseorang, barangkali.
Takut-takut, berbaur harap harap cemas Jamila lebih melebarkan kelopak matanya. Tentu saja ia terpekik sekali lagi Karena wajah mati di depan matanya, sudah terlalu rusak untuk ia kenali. Hanya berkat naluri seorang isteri saja, ia percaya, yang ia lihat bukanlah wajah suaminya.
"Lantas ini -siapa?", ia bertanya, gugup.
"Parja!" "Parja. Parja siapa?", Jamila masih gugup saja.
"Astaga. Kau boleh saja belum bertemu muka dengannya. Tetapi, yang benar dong ! Masa iya kau tidak tahu nama mertuamu sendiri!"
Di lain waktu dan lain situasi, Jamila pasti mem bahak.
Tetapi saat itu Dudung sedang serius. Bukan sedang bercanda. Dan di dekat mereka ada sesosok mayat. Memakai baju orang lain'
"Lalu -ke mana suamiku?"
Dudung pun mendengus: "Memangnya aku yang menyimpan, Non?"
"Aduh. Tolonglah -", Jamila memohon dengan rintihan.
Dudung pun seketika ingat diri." Maaf, Non _ ", desahnya, menyesal. "Aku tadi lepas kontrol. Lantas marah marah tidak karuan".
"Jika aku salah, Pak Dudung, aku --"
"Terkutuklah aku, bila aku sampai berani memarahimu, Non'", tukas Dudung cepat dan penuh perasaan, yang membuat Jamila tersenyum. "Tidak, Non. Aku bukan memarahimu. Aku memarahi kebodohanku sendiri!"
"Oh!" "Sepagi tadi aku mengitari puri, menjelajahi jurangjurang dalam. Padahal, sebelum berangkat aku sudah berfirasat. Bahwa usahaku itu akan siasia belaka. Aku tidak akan menemukan Den Perdana di sana ---"
"Karena suamiku sudah pergi ke balik gunung.
Atau masih di barak", cetus Jamila. Harapannya timbul kembali. Tetapi tenggelam lagi seketika, setelah ia lihat Dudung menggeleng geleng sedih. "Tolonglah, Pak Dudung! Jangan menambah kacau pikiranku! Jika Bapak punya dugaan lain tentang suamiku, katakan saja terus terang!"
"Dugaan, memang sudah ada ---"
"Dan", desak Jamila. Tak sabar.
"Untuk menjawab pertanyaan Non, lebih dulu mayat ini kita seret ke dalam puri'".
Jamila merinding lagi. Mayat diseret seret Tetapi ucapan Dudung nyatanya hanya ungkapan simbolik belaka. Karena dengan gerakan enteng, seperti biasanya, tubuh kaku dan terlipat itu sudah diangkat dengan kedua lengan tuanya. DibOpong pulang ke puri. Tanpa sekalipun menoleh lagi ke belakang.
Victory 3 Ilusi Scorpio Karya Robert Ludlum Tinju Topan Dan Badai 2

Cari Blog Ini