Ceritasilat Novel Online

Rahasia Penunggu Kubur 1

Rahasia Penunggu Kubur Karya Maria Oktaviani Bagian 1


Rahasia Penunggu Kubur Karya Maria Oktaviani Pembuat Djvu : kang Ozan Sumber Image : Awie Dermawan
Edit teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
Ebook dipersembahkan oleh Group Fb Kolektor E-Book.
Selamat Membaca ! ********* RAHASIA PENUNGGU KUBUR oleh Mania Oktaviani Cetakan pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Gambar sampul oleh Soeryadi Hak cipta dilindungi oleh undang-undang All rights reserved
1 Dalam keremangan cahaya pelita, wajah buruk itu masih terlihat dengan jelas. Wajah itu, milik Jaka, pemuda berusia dua puluh tahun yang bekerja sebagai penunggu kubur.
Hampir satu tahun, pemuda berwajah buruk itu berada di Kota Jakarta. Ia bekerja sebagai penunggu kubur di sebuah tempat pemakaman umum yang letaknya cukup jauh dari pusat kota.
Kedatangan pemuda itu ke ibu kota bukan karena kemauannya, tapi diseret oleh langkah kaki yang tidak bersandar pada tujuan yang pasti. Langkah itu sepertinya digerakkan naluri liar. Kemudian, pemuda berwajah buruk itu terdampar di tempat pemakaman umum. Dan ia pun bekerja di sana untuk mempertahankan hidupnya.
"Hey, Anak Muda! Kau dari mana dan hendak ke mana?" tanya seorang lelaki tua
ketika berjumpa dengan Jaka. Lelaki tua itu bekerja sebagai penunggu kubur.
"Saya datang dari jauh, Kek...!" jawab Jaka lirih. "Dan saya tidak tahu pasti, ke mana arah tujuan saya."
"Ooo...!" ujar kakek itu sambil memandang wajah buruk Jaka dengan tajam. "Kasihan sekali kau, Nak!"
Jaka terdiam. Lalu, menundukkan wajahnya dalam-dalam .la sadar kalau wajahnya yang buruk itu membuat orang menjadi takut Selama pengembaraannya, orang orang yang berjumpa dengannya selalu menghindar. Mereka selalu menganggap dirinya sebagai orang gila yang berpenyakit kusta. Bila menghadapi situasi itu, hati Jaka bagai diiris oleh sembilu.
"Nak...!" terdengar suara kakek yang lirih itu memanggilnya.
Jaka pun perlahan mengangkat wajahnya. Ditatapnya wajah kakek itu dengan sinar mata yang sendu.
"Kau sudah bekerja?" tanya kakek penunggu kubur itu, dengan suara yang masih
terdengar lirih. Jaka menggelengkan kepala dengan perlahan sekali. Hatinya merasa perih mendengar pertanyaan kakek itu. Jangankan untuk mencari pekerjaan, untuk meminta pekerjaan kepada orang lain pun ia tidak sanggup. Karena pengalaman pahit telah membentuk dirinya menjadi orang yang terbuang. Orang-orang yang ditemuinya selalu memalingkan muka bila melihat wajahnya yang buruk itu.
Bahkan ketika Jaka pertama kali tiba di tempat pemakaman umum itu, yang kebetulan ada acara pemakaman, hampir semua yang hadir ketika itu berlari pontang panting. Kecuali beberapa orang, termasuk kakek yang berada di hadapannya kini.
"Kau mau bekerja di sini, membantu Kakek?" tanya lelaki tua itu pelan, tapi cukup membuat Jaka tersentak dari lamunan. Sehingga ia mengangkat wajahnya dan memandang wajah kakek itu. Sepertinya Jaka tidak percaya dengan apa yang barusan didengarnya.
"Kau mau bekerja di sini...?" kata kakek
itu mengulangi lagi pertanyaannya sambil membalas tatapan Jaka dengan tajam.
Wajah Jaka tampak bersinar-sinar ketika itu, seperti juga sorot matanya. Hatinya merasa sangat senang mendengar penawaran si kakek. Memang ia sudah lama mencari pekerjaan. Tawaran kakek itu membuat semangat hidupnya bangkit kembali.
*** Jaka tersenyum mengenang pertemuannya dengan lelaki tua itu. Dialah yang berjasa terhadap dirinya. Karena jasa lelaki tua itulah maka ia dapat bekerja sebagai penunggu kubur. Pekerjaan yang memang didambakannya.
Tetapi lelaki tua itu kerap membuat hatinya jengkel. Karena ia selalu menghalangi niatnya. Padahal Jaka berkeinginan membangkitkan gairah hidupnya. Bahkan ia ingin meraih kembali ketampanan dan kharisma keenamnya, yang pernah dimilikinya...!
Setelah satu bulan bekerja sebagai penunggu kubur, pemuda itu tak tahan memendam rasa jengkel terhadap lelaki tua itu. Maka, suatu malam Jaka melangkah pelan ke kamar tidur lelaki tua itu, dan secara cepat ia mengayunkan cangkul ke arah kepalanya. Tidak ada suara jerit, lelaki tua itu tewas seketika. Lalu, Jaka menguburkan mayatnya persis di bawah tempat tidurnya.
Jaka mendesah berat. Ia bangkit dan duduk di sisi tempat tidur. Pemuda berwajah buruk itu tampak tenang dalam keremangan cahaya pelita, yang bergoyang-goyang ditiup angin malam yang masuk lewat celah-celah dinding.
Jaka bangkit berdiri. Lalu melangkah ke sudut kamar pondoknya. Di sana ada sebuah cangkul yang biasa digunakan untuk menggali kuburan. Pemuda berwajah buruk itu mengambil cangkul. Lalu, dipandanginya cangkul itu dengan sorot mata berbinar-binar. Hatinya merasa lega. Sudah hampir dua minggu, ia tidak mendapat pekerjaan menggali kuburan. Baru tadi siang,
ia memperoleh pesanan untuk menggalikan lubang kubur. Sebenarnya, ia tidak terlalu berharap. Tanpa ada pesanan sekali pun, ia tetap dapat makan.
Tetapi, sore itu ketika iring-iringan jenazah datang ke tempat pemakaman, hati Jaka benar-benar bahagia, Ternyata jenazah yang diusung itu seorang gadis. Ia tewas karena bunuh diri dengan memotong urat nadinya.
Jaka kembali mendesah berat, dan cangkul itu digenggamnya erat-erat. "Ah, lama sekali aku tidak mendapat mayat seorang gadis perawan," bisik hatinya.
Jaka tersenyum dingin. Lalu ia melangkah menuju pintu rumah pondokannya. Perlahan ia menguakkan daun pintu, tapi
suara berderit _tetap terdengar. Mungkin engsel pintu itu sudah terlalu tua dan ber' karat.
Jaka tidak segera melanjutkan langkahnya. la berdiri sejenak di ambang pintu. Matanya menatap gundukan-gundukan tanah kuburan. Tampak batu nisan berjejer rapi dan teratur. Lalu pandangannya jatuh
pada kuburan yang masih sangat baru. Baru tadi sore! Kuburan gadis yang mati karena bunuh diri.
Jaka kembali tersenyum, seperti _baru saja mendapatkan kebahagiaan. Ia segera melangkah mendekati kuburan gadis itu.
Malam belum terlalu larut Jaka mengendap-endap menapaki makam-makam yang berjejer. Ketika tiba di kuburan gadis perawan itu, Jaka mengatur desah napasnya yang mulai agak memburu. Entah mengapa napasnya menjadi seperti itu" Mungkin karena ia harus menahan gejolak hatinya. Tampak dadanya naik turun, seirama detak jantungnya.
Hujan rintik-rintik mulai turun ketika Jaka mengayunkan cangkulnya untuk menggali kuburan gadis itu. Sementara agak jauh dari tempat itu, tampak seekor burung hantu memperhatikannya, sambil bertengger di atas dahan pohon kamboja.
Jaka terus bekerja, tanpa mempedulikan kehadiran burung hantu itu. Cangkulnya terus diayunkan pada gundukan tanah yang masih basah, hingga dalam waktu
yang tidak terlalu lama, Jaka berhasil menggali kuburan itu.
Napas Jaka masih terengah-engah, ketika ia berusaha mengangkat mayat gadis itu. Mata Jaka yang tajam seperti elang melihat kain putih pembungkus mayat itu telah kotor berlepotan tanah merah. Sesekali ia menghapus peluh yang membasahi wajahnya dengan ujung lengan baju yang berwarna hitam legam.
Hujan tidak jadi turun, meski gerimis telah memulainya. Dan, Jaka telah berhasil membawa mayat gadis itu ke atas kubutan. Diletakkannya mayat gadis yang terbungkus kain putih itu di samping kakinya.
"Aku harus secepatnya membawa tubuh gadis ini ke dalam pondokan, " kata Jaka pada dirinya sendiri. Matanya masih memandang bungkusan mayat itu lekat-lekat.
Jaka membungkukkan tubuhnya, dan mengangkat mayat itu di atas pundaknya. Lalu, ia melangkah meninggalkan galian kuburan itu. Ketika sampai di dalam pondokan, Jaka meletakkan mayat itu di atas
tempat tidumya sendiri. Tak ada rasa takut menyelinap di dalam hatinya. Pemuda berwajah buruk itu segera membuka ikatan kain putih yang membungkus mayat gadis itu. Kini tampaklah mayat gadis cantik dalam keadaan telanjang bulat.
"Cantik sekali gadis ini.. !" bisik Jaka seraya tersenyum. Tangannya mulai membelai-belai wajah mayat itu. "Tubuhmu mulus sekali! "
Jaka menelan air ludahnya sendiri. Matanya mulai menelusuri lekuk-lekuk tubuh mayat itu. Indah sekali! Pandangan matanya semakin nanar, menyapu kulit mulus milik gadis itu, meskipun sudah tampak pucat dan membiru.
Cahaya pelita semakin bergoyang-goyang karena tertiUp oleh angin. Dan, angin itu pula yang membangkitkan nafsu pemuda berwajah buruk itu. Lalu, ia segera mengangkangi tubuh mayat itu.
Cahaya bulan terlihat tersembul dari gumpalan awan hitam yang tadi menghalanginya. Malam belum terlalu larut, tapi suasana di sekitar tempat pemakaman umum tampak sunyi. Sepasang binatang tampak sedang bermesraan. Suaranya yang berisik memulas keheningan malam.
Napas memburu yang berasal dari kamar Jaka, terdengar mulai teratur. Mata Jaka memandangi mayat yang baru saja disetubuhinya. Tampak rasa puas membayang pada wajahnya.
Pemuda itu mendesah berat, lalu bangkit berdiri. la melangkah mendekati meja yang terletak di sudut pondokannya. Jaka menarik laci, dan mengambil pisau kecil yang sangat tajam.
Pemuda berwajah buruk itu kembali
mendesah berat, dan melangkah menuju tempat tidur di mana mayat itu masih
terbujur. Sepasang mata Jaka kembali merayapi mayat gadis itu. Pucat dan tampak
semakin membiru. Jaka tersenyum dingin sambil mengalihkan pandangannya pada pisau kecil yang digenggamnya, dan kembali memandang mayat itu. Jaka menjulurkan tangannya,
dan mengarahkan pisau itu ke kepala. Dan ia segera menggunduli rambut mayat itu! Tangan Jaka tampak bergetar-getar ketika itu
Entah untuk apa ia melakukan perbuatan itu" Tapi agaknya ia membutuhkan kekuatan gaib yang terdapat pada rambut mayat itu. Dan Jaka bukan baru pertama kali ini melakukannya....
Jaka memandangi untaian rambut yang berada dalam genggaman tangannya, setelah itu diletakkannya di atas meja. Pandangan Jaka kembali tertuju pada tubuh mayat yang sudah tidak berambut itu. Dan pemuda itu pun mulai membungkus mayat itu kembali dengan kain kafan. Setelah itu, ia meletakkan mayat itu ke atas pundak.
Jaka melangkah ke luar pondoknya. Di luar, cahaya bulan mulai tampak temaram. Jaka melangkah menuju kuburan gadis yang tadi digalinya. Dan tak lama kemudian, ia pun tiba di sana. Langsung diletakkannya mayat itu persis di samping kakinya.
Jaka mendesah, mencoba mengurangi rasa lelah. Wajahnya yang buruk itu tampak
berkilat-kilat diterpa cahaya bulan. Sebelah kakinya menjulur ke depan, menendang tubuh mayat itu.
Brukkk...! Tubuh mayat itu terhempas ke dalam lubang kuburnya.
Senyum Jaka kembali mengembang. Diraihnya cangkul yang tergeletak di sampingnya. Dan ia pun kembali menimbun! tubuh mayat itu dengan tanah yang masih tampak basah.
Angin malam bertiup agak kencang, menggetarkan bunga-bunga dan daun-daun kamboja. Seekor burung hantu masih tetap bertengger di atas ranting pohon kamboja, bagai ingin menjadi saksi atas perbuatan yang dilakukan oleh penunggu kubur Itu.
Suasana malam hening Jaka sudah selesai menimbuni kuburan gadis itu, tapi Ia masih saja berdiri di atas kuburnya. Pemuda itu berusaha mengatur desah napasnya yang tidak beraturan. Beberapa saat kemudian, Jaka pun melangkah meninggalkan
kuburan itu. Setelah tiba di pondokannya, Jaka berdiri terpaku di hadapan sepotong cermin yang terselip di dinding pondokannya, yang memang terbuat dari anyaman bambu.
Jaka memandangi bayangan wajahnya di dalam cermin itu. Pedih rasa hati Jaka! Betapa buruk waiahnya, bahkan hampir tidak menyerupai wajah manusia. Penuh dengan bekas-bekas luka yang sangat mengerikan.
Jaka tersenyum getir, lalu menelan air ludahnya sendiri. Tangan kanannya menjulur ke sisi meja, meraih untaian rambut yang tadi diletakkannya di sana. Digenggamnya rambut itu eraterat.
Jaka menatap untaian rambut itu lekat lekat, kemudian bibirnya menyunggingkan senyuman sinis. Suasana malam yang hening pecah ketika bibir Jaka bergetar membacakan untaian mantera-mantera gaib.
"Sari banun sari ning jiwa.... Jiwa ana ing jerone ati.. Sukma lara ati bra.... Jiwa bagja awak bagja..."
Suara Jaka bergetar, seperti getaran tangannya yang menggenggam sejumput rambut itu. Ia memandanginya. Tapi kemudian Jaka meraih sebuah pemantik api yang terselip di dekat cermin. Lalu dinyalakannya! Dan ia pun mulai membakar rambut perawan itu.
Usai membaca mantera dan membakar rambut, tiba tiba tubuh Jaka menjadi bergetar. Wajahnya tampak menegang dan mulai bersemu merah. Sesaat kemudian, keanehan pun terjadi. Terlihat tubuh Jaka tidak lagi menegang, wajahnya yang semula buruk berubah menjadi tampan!
Aneh sekali! Apa sebenarnya yang telah terjadi" Ada apa yang sebenarnya terkandung dalam rambut perawan itu" Dan kekuatan apa yang tersimpan dalam mantera-mantera yang dibacakan Jaka tadi..."
*** Senyum Jaka kembali mengembang, tapi bukan lagi senyuman yang getir. Melainkan senyum kepuasan. Jaka melangkah dari hadapan cermin itu, menuju lemari kusam tempat ia menyimpan pakaian. Di sana tersimpan beberapa lembar pakaian rombeng dan pakaian yang bagus-bagus. Pakaian yang harganya mahal itu dibelikan Tante Joice beberapa bulan yang lalu.
Tante Joice! Jaka kembali tersenyum. Ah, betapa anehnya kehidupan ini. Tante Joice yang germo itu telah mengajari Jaka menjadi seorang gigolo, sejak bertemu dengannya beberapa bulan yang lalu.
'Wajahmu tampan sekali, Anak Muda," begitu kata-kata yang tercetus dari mulut Tante Joice ketika pertama kali berjumpa dengan Jaka. la menatap Jaka lekat-lekat.
Jaka menundukkan wajahnya, menghindari tatapan Tante Joice yang penuh kekaguman itu. Ia baru menyadari, kalau kharisma indera keenamnya yang terpancar
pada wajah tampannya, telah memikat perhatian Tante Joice.
Dan ketampanan itu diperoleh Jaka melalui kekuatan mantera gaib, dan rambut perawan yang telah dibakarnya. Dan, rambut itulah yang telah membangkitkan kharisma indera keenamnya. Sehingga, ia memiliki daya pikat yang luar biasa hebat bagi wanita yang kebetulan memandangnya.
"Mau ke mana malam-malam begini?" tanya Tante Joice sambil tersenyum manis.
Jaka pun mengangkat wajahnya perlahan, sambil tersipu-sipu. Pemuda ini sadar dengan ilmu hitam yang baru saja dipraktekkannya. ilmu tentang 'Pembangkit Kharisma Indera Keenam'. Dan ilmu itulah yang membuat hati Tante Joice terpikat.
"Mau ke mana...?" tanya Tante Joice lagi sambil menatap wajah Jaka. la benarbenar terpesona melihat ketampanan Jaka.
"Saya mau jalan-jalan, Tante," sahut Jaka parau. Ia mencoba membalas pandangan wanita itu.
"Dengan pakaian yang kusam dan kotor ini...?" mata Tante Joice melotot. "Yang tak ubahnya seperti seorang penggali kubur."
Jaka tersentak ketika mendengar penuturan wanita itu. Ia baru sadar kalau pakaian yang dikenakannya sangat kotor. Meskipun selama ini ia bekerja sebagai penunggu dan penggali kubur, tapi uang yang diperolehnya sangat sedikit sekali, dan hanya
cukup untuk membeli nasi.
Namun, Tante Joice tetap terpikat dengan ketampanan Jaka, kendatipun pemuda itu berpakaian kotor. Sepasang mata wanita itu tak henti-hentinya merayapi wajah Jaka.
"Kau mau ikut ke rumah Tante?" tanya Tante Joice lagi. "Di rumahku kau dapat mempertampan dirimu. Kau dapat memakai pakaian yang bagus bagus. Bagaimana" Mau kan?" tanya Tante Joice sambil menatap tajam ke wajah pemuda itu.
Jaka masih diam sambil terus menundukkan wajahnya.
"Mau kan...?" ulang Tante Joice penuh harap.
Jaka mengangkat wajahnya, lalu mengangguk.
*** Jaka kembali tersenyum mengenang pertemuannya dengan Tante Joice. Ia telah selesai mengenakan pakaiannya. Dalam keremangan cahaya pelita, tampak Jaka berubah seperti seorang pangeran. Wajahnya tampan dan berpenampilan maskulin. Dalam keadaan demikian, tak ada sedikit pun kesan bahwa ia adalah seorang penunggu kubur yang berwajah buruk. Semua itu sudah hilang karena kekuatan ilmu "Pembangkit Kharisma Indera Keenam" yang diamalkannya.
Jaka mendesah berat, lalu membalikkan tubuhnya ke arah pintu. Dan ia pun melangkah keluar meninggalkan pondokannya, menuju rumah Tante Joice. Saat itu malam belum terlalu larut. Namun tak seorang pun yang tahu dengan kepergiannya, selain burung hantu yang masih saja bertengger pada dahan pohon kamboja.
*** 2 Mulut Tante Joice tampak menyunggingkan senyuman, ketika dilihatnya Jaka datang dengan wajah tersenyum. Hatinya sungguh terpesona melihat penampilan Jaka malam ini.
"Jaka...!" sapa Tante Joice dengan suaranya yang lembut. "Ayo masuk. Aku sudah lama menunggumu."
Jaka tidak berkata-kata, ia segera mengikuti langkah Tante Joice masuk ke dalam rumahnya. Begitu sampai di dalam, Jaka
segera menghenyakkan pantatnya di atas kursi empuk. "Ah, jarang sekali aku dapat duduk di kursi seperti ini," bisik hatinya. "Di dalam pondokku yang ada hanya sebuah balai-balai bambu yang sudah kusam.... "Hampir dua bulan kau tidak datang
kemari," kata Tante Joice yang baru saja tiba dari ruang dalam Tangannya membawa dua gelas minuman.
"Ke mana saja kau, Jaka?" tanya Tante Joice kemudian, sambil meletakkan gelas minuman ke atas meja. Lalu ia duduk di hadapan Jaka. Ditatapnya wajah pemuda itu lekat-lekat.
"Saya sibuk, Tante," dusta Jaka. Padahal, kalau saja dia mendapat mayat-mayat perawan setiap hari, tentu ia akan datang setiap hari. Karena hanya dengan mayat perawan itulah Jaka dapat membangkitkan indera keenamnya, yang berupa ketampanan dan daya pikat. Namun, ia harus menyetubuhi mayat itu dan menggunduli rambutnya.
"Kau selalu datang pada saat malam seperti ini. Apa kau tidak bisa datang siang hari, Jaka?" Tante Joice menatap Jaka makin tajam. Dan, Jaka balas memandangnya.
"Ingat, Tante!" suara Jaka datar. "itu salah satu syarat yang pernah saya ajukan. Dan, Tante tidak perlu tahu alasan saya, mengapa saya datang selalu malam hari."
Mendengar penuturan Jaka, Tante Joice mengerutkan keningnya. Sejak dulu ia memang sudah merasa aneh dengan pemuda tampan yang satu ini. Ia selalu datang malam hari, dan senantiasa menolak bila
berkencan siang hari. "Ada tugas untuk saya malam ini, Tante?" tanya Jaka dengan suara yang datar, tapi cukup menyentakkan Tante Joice.
"Oh, eh, i..., iya!" jawab Tante Joice gugup. "Sebentar, Jaka."
Tante Joice bangkit dari duduknya, lalu melangkah mendekati pesawat telepon.
"Tunggu sebentar. Aku akan menghubungi Barly dulu, " katanya sebelum memutar nomor telepon Barly, sambil berpaling memandang Jaka.
Jaka tersenyum. Ia sudah tahu siapa Barly. Dia adalah tangan kanan Tante Joice yang bertugas memasang kamera foto untuk merekam hubungan Jaka dengan mangsanya.
"Hallo...!" kata Tante Joice setelah telepon tersambung. "Barly...!"
"Ya, Tante...," terdengar jawaban Barly dari seberang sana. "Ada apa?"
"Jaka datang Kau segera siapkan kameramu !"
"Baik baiklah...!" jawab Barly dari seberang sana. "Tapi apakah Tante sudah mendapatkan partnernya?"
"Sudah," jawab Tante Joice sambil melirik ke arah Jaka. "Berty! Istri pengusaha terkaya di ibu kota. Aku tahu tempat dia mangkal setiap malam. King Discotique! Aku yakin dia berada di sana."
Terdengar suara tawa Barly dari balik corong telepon. "Di mana saya harus memasang kamera itu, Tante. "
"Di tempat biasa...," sahut Tante Joice sambil kembali melirik Jaka. Tapi, Jaka tampak tidak mempedulikannya.
"Okey, Tante! Saya akan segera ke sana. "
"Aturlah sebaik-baiknya, Bar!" pinta Tante Joice.
"Beres, Tante. " Trak!
Barty menutup pembicaraan, dan Tante
Joice pun tersenyum sambil melangkah mendekati Jaka.
"Kau sudah siap, Anak Manis. " katanya sambil tersenyum. la duduk kembali di tempatnya semula. Persis di hadapan Jaka.
"Siapa partner saya malam ini, Tante?" sahut Jaka, balik bertanya.
"Seorang wanita kaya...," jawab Tante Joice seraya tersenyum. "Namanya Berty. Dia juga sangat cantik. Karena suaminya selalu berada di luar negeri, maka ia selalu merasa kesepian. "
Jaka membalas senyum Tante Joice. Baginya semua itu tidak penting. Cantik maupun kaya, itu masa bodo. Bagi Jaka hanyalah ingin melampiaskan dendamnya kepada setiap wanita, karena wanitalah
yang telah menghancurkan hidupnya hingga menjadi seperti sekarang....
"Di mana saya dapat menemuinya, Tante?" tanya Jaka kemudian. Dipandanginya wajah Tante Joice dalam-dalam.
"King Discotique!" sahut Tante Joice sambil balas memandang Jaka. "Kau bisa naik taksi dari sini. "
Jaka diam, matanya masih terus memandang Tante Joice dengan tajam. Kemudian, Tante Joice bangkit dari duduknya. Lalu melangkah meninggalkan Jaka.
"Ini bayaranmu, Jaka!" kata Tante Joice setelah tiba dari dalam. Dilemparkannya segepok uang kepada Jaka. Dan, Jaka menerimanya, lalu bangkit berdiri.
"Oh iya, Tante...," kata Jaka sebelum beranjak pergi. "Ke mana nanti saya harus membawa wanita itu?"
"Tempat yang dulu! Hotel Srikandi kamar 26. Itu adalah apartemen pribadiku," sahut Tante Joice sambil berjalan menghampiri Jaka.
"Oh iya, Jaka.?" Tante Joice menatap Jaka. "Kau bisa kembali kemari setelah selesai dengan tugasmu. Tante ada perlu denganmu."
Jaka tersenyum sambil menggelengkan kepalanya dengan lembut. "Ingat, Tante! Ini pun salah satu persyaratan yang pernah saya ajukan. Saya tidak akan kembali ke tempat Tante setelah saya menyelesaikan tugas"
Tante Joice diam sambil memandang hampa. Hatinya benar-benar heran dengan pemuda yang satu ini. Jaka tampak begitu misterius" Mengapa ia tidak mau tinggal bersamanya" Dan, kenapa pula ia tidak pernah muncul di siang hari..."
"Tante...," suara Jaka yang pelan itu membuat Tante Joice tersentak dari lamunan. "Saya berangkat dulu."
"Ingat! Wanita itu biasanya duduk di kursi yang paling sudut," papar Tante Joice sebelum Jaka pergi. .
Ketika Jaka pergi, Tante Joice masih berdiri terpaku memandangi punggung pemuda tampan itu. Sejak pertemuannya yang pertama, hatinya telah terpikat oleh ketampanan Jaka. Malam ini, 'ia benar
benar ingin tidur bersama pemuda itu.
"Ah...!" Tante Joice mendesah, dan hatinya mulai berbisik lembut. "Siapakah Jaka sesungguhnya..."!"
*** Mata Jaka jelalatan mencari Berty, wanita yang akan menjadi korbannya. Benar apa yang telah dikatakan Tante Joice, Berty terlihat duduk seorang diri di sudut ruangan yang remang-remang.
"Ah, mungkin itulah wanita yang dimaksud Tante Joice," gumam Jaka sambil melangkah mendekati wanita itu.
Berty yang berusia hampir setengah baya itu benar-benar terpesona melihat kehadiran Jaka yang begitu tiba-tiba. Ditatapnya wajah Jaka lekat-lekat seperti memandang seorang pangeran. Hatinya terpikat seketika kepada Jaka. Betapa sangat tampannya pemuda ini, bisik hati Berty.
Jaka tahu apa yang ada di dalam hati Berty. la pura-pura acuh, seakan-akan tidak peduli. Jaka sadar dengan daya pikat gaibnya, daya pikat yang tidak mungkin dimiliki oleh manusia biasa. Jaka asyik dengan minuman yang berada di hadapannya.
"Ah...!" Berty mendesah lembut.
Hati perempuan itu mulai merasakan getaran-getaran aneh. yang tiba-tiba hadir. Perasaan ingin dibelai pemuda itu, perasaan ingin ditiduri'nya, dan perasaan ingin memilikinya....
Perasaan-perasaan itulah yang membuat Berty melangkah mendekati Jaka. la benar-benar terpikat dengan kekuatan gaib yang tersimpan dalam wajah Jaka, yang sesungguhnya sangat buruk itu.
"Kau sendirian.?" tanya Betty dengan suara bergetar, seperti getaran dalam hatinya. kemudian duduk di hadapan Jaka.
Jaka hanya tersenyum. Dan, senyum itu pula yang membuat hati Berty semakin terpikat
"Boleh aku menemanimu?" suara Berty semakin bergetar menahan gejolak hatinya. Matanya memandang wajah Jaka dengan sendu, hampir tidak berkedip.
"Kalau kau mau...," sahut Jaka sambil tersenyum.
Jaka benar-benar sadar, kalau Betty sudah masuk perangkapnya.
"Mau minum apa?" tanya Jaka sambil membalas pandangan Berty yang sendu dan penuh kekaguman itu.
Berty menggeleng lembut. Hatinya semakin bergejolak, dan hampir-hampir tak mampu menahan gejolak itu. Tapi, ia berusaha menekannya. Dipandanginya wajah Jaka lekat-lekat.
"Ada apa dengan wajahku...?" goda Jaka sambil membalas pandangan Berty. "Adakah sesuatu yang aneh" Atau mungkin wajahku mirip dengan seseorang yang pernah kau cintai" Atau mungkin juga wajahku ini kurang menyenangkan?"
"Oh.... Ma..., maaf...," ucap Berty gugup. "Aku tidak bermaksud membuat kau tersinggung. A..., aku sangat mengagumi ketampananmu. "
Berty menundukkan wajahnya dalam. dalam. Gejolak hatinya semakin tak menentu, seperti juga detak jantungnya yang semakin berpacu. Berty memang sudah terpikat oleh kharisma gaib milik Jaka. Kharisma yang memancarkan seribu getaran aneh bagi setiap wanita yang melihatnya.
"Mengapa kau menundukkan wajahmu...?" tanya Jaka pelan.
Berty terkesiap dan mengangkat wajahnya. Jaka memandangnya lekat-lekat.
"Kau tidak suka kalau aku pun ingin memandang wajahmu?" tanya Jaka lagi.
Berty tersenyum simpul, dan ia tersentak ketika melihat Jaka akan bangkit meninggalkannya.
"Oh.... Anda mau ke mana?" tanyanya mencoba menahan kepergian Jaka. Dipandanginya wajah pemuda itu dengan sendu. Jaka pun balas memandang.
"Aku ingin kembali ke hotel ," sahut Jaka lirih. "Kau mau menemaniku ke sana?"
Pertanyaan itulah yang membuat Berty semakin tersentak kaget. la menganggukkan kepalanya dengan lembut. Dan, benaknya mulai membayangkan kehangatan
yang akan diperolehnya dari pemuda tampan itu.
"Ayo...!" Jaka tersenyum lembut, selembut tarikan tangannya pada lengan Berty. Berty tak kuasa berkata-kata lagi. Hatinya sudah luluh oleh daya pikat kharisma indera keenam milik si penunggu kubur itu. Bahkan ketika mereka tiba di hotel, Berty pun sama sekali tak berpikir kalau ia masuk perangkap. Justru gejolak hatinya lebih kuat untuk bersetubuh dengan Jaka. Berty benar-benar merasa puas dengan kejantanan Jaka. Bahkan setelah hubungan badan itu berakhir, Berty tertidur lelap. Sampai-sampai ia tidak tahu kalau Jaka telah pergi. Agaknya, itu merupakan kekuatan gaib yang sengaja dibuat oleh Jaka. Ia sengaja membuat Berty seperti terbius.
*** Sopir taksi itu agak kaget dan merasa sangat aneh, ketika Jaka minta diantarkan
ke Tempat Pemakaman Umum. Padahal, fajar belum lagi terbit.
"Ke TPU, Pak?" tanya sopir taksi ini, seperti tidak percaya dengan permintaan Jaka, .
"Iya...!" sahut Jaka dari jok belakang "Ada apa" Kau merasa takut?"
"Ti..., tidak, Pak...," gugup sekali suara sopir taksi itu. Sebenarnya ia memang merasa takut. "Saya hanya merasa aneh."
"Kenapa...?" "Untuk apa malam-malam begini Bapak ke sana?"
"ini sudah jam setengah empat. Aku pikir bukan lagi malam," sahut Jaka, datar. "Aku sudah biasa mengunjungi tempat itu. "
"Aneh...?" sepir taksi itu mengerutkan keningnya. "Apa yang Bapak lakukan di sana "
"Menghirup udara pagi, sambil memandangi deretan makam yang tertata rapi."
Meskipun penuturan Jaka itu sangat datar, tapi cukUp membuat hati sopir taksi itu merasa kecut. Hatinya mulai dicekam rasa
takut. Karena itu bulu kuduknya pun mulai berdiri.
"Ada yang menarik dengan kuburan kuburan itu, Pak?" tanya sopir taksi itu, memberanikan diri.
"Tentu saja...," sahut Jaka dengan suara datar. "Untuk apa aku mengunjungi tempat itu, kalau aku tidak memperoleh sesuatu yang menarik dan membuatku bahagia?"
"Aneh...!" gumam SOpir taksi itu pelan. Hatinya makin dirayapi rasa takut .
Jaka memahami apa yang tersimpan di dalam hati sopir taksi itu. Jaka hanya tersenyum. Dan, beberapa saat kemudian, mobil itu pun tiba di pemakaman umum.
"Ini ongkosnya, Pak!" Jaka menyodorkan uang sepuluh ribuan kepada sopir taksi itu.
Tapi, ketika sapir taksi memberikan uang kembalian, ia terkejut sekali karena Jaka sudah melangkah pergi. Aneh sekali!
"Pak, ini kembalinya...!" teriak sopir taksi, mencoba menghentikan langkah Jaka.
Tetapi Jaka tidak peduli dengan teriakan sopir taksi itu. Ia sadar, kalau sebentar lagi kharisma gaibnya akan lenyap. Dan. ia tak mau diketahui oleh orang lain kalau wajahnya buruk.
"Aneh sekali orang itu! " gumam sopir taksi. "Apa dia bukan manusia" Atau" mungkin bantu...!"
Sopir taksi itu memandangi uang yang diberikan oleh Jaka kepadanya. Lalu, berpaling memandang Jaka. Tapi yang akan dipandang sudah menghilang.
"Aneh sekali! Hiiih...!" gumam sopir taksi itu merinding. Bergegas ia menginjak gas, dan mobil pun melaju kencang.
Di ufuk Timur mentari mulai terbit" Dan, bersamaan dengan itu, wajah Jaka pun berubah seperti semula. Wajah seorang
penunggu kubur yang sangat buruk dan menakutkan!
*** 3 Berty tersentak kaget ketika terjaga dari tidurnya. Ia tidak menemukan Jaka tidur di sampingnya. Padahal, dirinya masih membutuhkan kehangatan dari pemuda tampan itu.
"Aneh sekali! Ke mana perginya pemuda tampan itu?" gumam Berty dalam kesendiriannya. "Mungkinkah ia sedang turun ke bawah. Dan sengaja tidak membangunkan aku, karena tidak mau mengganggu tidurku?"
Cepat-cepat Berty bangkit dari tempat tidur. Lalu, pergi ke kamar mandi yang ada di dalam kamar hotel itu.
Usai mandi, Berty bergegas berdandan. Lalu, ia menunggu Jaka di dalam kamar itu.
"Aneh sekali! Mengapa begini lama?" Berty mulai kesal setelah lama menunggu. "Ah, lebih baik aku menyusulnya ke bawah. Barangkali ia tengah menungguku di ruang lobby."
Cepat-cepat Berty keluar dari kamar, timin menuju ruang lobby hotel. Begitu sampai di sana, ia tidak menemukan pemuda itu. Wanita itu segera bergegas menuju ke resepsionis untuk mencari infomasi.
"Selamat pagi!" kata Beny ketika tiba di hadapan resepsionis hotel itu.
"Pagi...!" jawab resepsionis itu sambil tersenyum. "Ada yang bisa saya bantu?"
"Oh, iya!" sahut Berty sambil balas tersenyum. "Saya ingin tahu nama penghuni kamar nomor 26. "
"Ada perlu dengannya...?"
"Dia teman saya. Oh maksud saya! Mungkin dia teman yang saya cari," ujar Berty berbohong.
"Oh...! Kamar itu disewa Tante Joice, dan sudah dijadikan apartemennya. Tapi, sekarang orangnya tidak berada ditempat "
"Aneh...!" Berty mengerutkan keningnya. Ia semakin bingung dengan pemuda tampan itu. Memang, tadi malam ia lupa
menanyakan tempat tinggalnya. Karena keinginan untuk menumpahkan gejolak hatinya sulit dibendung. Sehingga ia lupa menanyakan alamat rumah pemuda itu.
"Ada apa, Zus?" tanya resepsionis hotel sambil memandang Berty lekat-lekat.
"Oh...! Ti". tidak!" jawab Berty gugup. "Mungkin saya telah salah alamat. Ma", maksud saya! Mungkin teman yang sedang saya cari tidak menginap di hotel ini. "
Berty segera beranjak pergi. la bingung sekali dengan hilangnya pemuda yang telah memberinya kehangatan dan kepuasan itu.
*** Alis mata Tante Joice terangkat ketika melihat foto-foto Jaka dan Berty yang bercumbu di atas ranjang. Hatinya merasa aneh dan heran melihat gambar yang ada di dalamnya. Wajah Jaka tidak pernah
tampak! "Aneh sekali...!" gumam Tante Joice sambil mengerutkan keningnya.
"Ada apa, Tante?" tanya Barly yang
duduk di hadapannya. "Kau melihat sesuatu yang aneh pada foto-foto ini, Bar?" tanya Tante Joice seraya menyodorkan beberapa lembar foto kepada Barly.
Barly tidak segera menyahut. Ia hanya mengerutkan keningnya. Setiap kali ia mengambil gambar pemuda itu, wajahnya tidak pernah terekam oleh kameranya. Padahal, anggota tubuh lainnya tampak jelas. Aneh sekali! Ada apa sebenarnya dengan pemuda tampan itu..."
"Ya, saya melihat, Tante, " sahut Barly sesaat kemudian. "Tentang Jaka, bukan?"
"Benar...!" Tante Joice kembali mengerutkan keningnya. "Aneh sekali! Mengapa
wajah pemuda itu tidak pernah terekam oleh kameramu?"
"Bukan hanya itu keanehan yang terdapat pada diri Jaka, Tante," Barly memandang Tante Joice dengan tajam. "Tante tentu merasakannya."
"Ya...!" Tante Joice balas memandang. "Aku heran dengan anak itu. Mengapa ia
datang selalu malam hari" Dan, yang lebih aneh lagi, dia selalu meninggalkan korbannya di dalam kamar hotel. Menghilang begitu saja! Entah ke mana perginya." Barly tersenyum mendengar penuturan Tante Joice. "Kenapa?" tanya Tante Joice heran. "Kita sebenarnya tidak perlu memikirkan keanehan yang terdapat pada diri Jaka. Toh kita sudah dapat memanfaatkannya. Dan, sudah banyak keuntungan yang kita raih dari pemuda misterius itu. Bukankah itu tujuan kita yang sebenarnya, Tante?" Barly memandang wajah Tante Joice. Lalu, keduanya sama-sama tersenyum puas.
"Kalau saja pemuda itu bisa hadir setiap hari, mungkin kita cepat menjadi kaya, "
kata Tante Joice di sela-sela derai tawanya. Namun, dalam hati Tante Joice yang sesungguhnya ada perasaan aneh. Perasaan ingin mendapatkan kehangatan dari pemuda itu, dan perasaan ingin memilikinya. Rupanya kharisma indera keenam
milik Jaka yang berupa ketampanan dan daya pikat, juga telah menjerat hati wanita culas itu.
Untung saja Tante Joice masih dapat meredam keinginannya Kalau tidak, mungkin dia sudah lama menjadi tumbal hidup Jaka?"
"Anak itu memang hebat, Tante!" kata Barly setelah tawanya berhenti. "Dia memang memiliki daya pikat yang luar biasa. Setiap korbannya selalu gampang diajak tidur."
Tante Joice tersentak mendengar penuturan Barly. Hatinya sendiri tidak memungkiri, kalau Jaka memang lain dari pemuda kebanyakan. Di samping wajahnya tampan, dia juga mempunyai kharisma yang mampu memikat semua wanita. Bahkan hatinya sendiri pun bergetar ketika pertama kali bertemu dengan pemuda itu.
"Dia memang potensial untuk menjadi seorang gigolo. Wajahnya sangat tampan, itu modal utamanya," kata Tante Joice sesaat kemudian.
"Bukan hanya itu, Tante! Dia seperti mempunyai kekuatan gaib ."


Rahasia Penunggu Kubur Karya Maria Oktaviani di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maksudmu...?" Tante Joice memandang Barly lekat-lekat.
"Maksud saya...," Barly balas memandang "Maksud saya semacam susuk yang mampu memikat setiap wanita."
"Susuk..."!" desis Tante Joice dengan mata menyipit.
Hati Tante Joice mulai bertanya-tanya. Benarkah apa yang dikatakan Barly" Mungkinkah Jaka memakai susuk pengasih untuk membangkitkan kharismanya" Sehingga wanita-wanita mudah bertekuk lutut di hadapannya..." ;
"Ah, sudahlah, Tante. Kita tidak perlu memikirkan siapa Jaka sebenarnya," ucap Barly dengan suara datar, tapi cukup mem buat Tante Joice tersentak dari lamunan "Saya akan menyelesaikan tugas saya dulu. "
Setelah berkata demikian, pemuda itu meraih foto-foto yang berserakan di atas meja. Lalu, dimasukkannya ke dalam kantong kertas.
"Berty, wanita kaya itu pasti merindukan Jaka. Meskipun baru selang dua malam ia tidur bersamanya," ujar Tante Joice sambil tersenyum sinis.
"Jaka memang hebat! Tapi kita yang lebih hebat," sahut Barly sambil bangkit berdiri. "Saya berangkat dulu, Tante! Hari ini, kita akan mendapatkan uang lebih banyak lagi. "
"Jangan kurang dari lima juta, Bar!" kata Tante Joice sebelum Batly beranjak pergi.
"Okey, Tante!" sahut Barty sambil melangkah ke luar.
Tante Joice memandang kepergian Barly dengan hati yang masih diliputi pertanyaan. Benarkah Jaka memakai susuk pengasih" Dari mana anak muda itu mendapatkannya..."
*** 4 Di dalam rumah yang besar dan mewah itu, Berty tampak sangat gelisah. Hatinya masih rindu dengan kehadiran Jaka. Sejak berjumpa dengan pemuda tampan itu, lalu tidur bersamanya, ia sangat terkesan sekali. Apalagi kepuasan yang diperolehnya dari Jaka membuatnya menjadi rindu. "Ah, kenapa aku lupa menanyakan alamat rumahnya," bisik hati wanita cantik itu.
Berty memang tidak sadar, kalau kharisma indera keenam milik Jaka sudah tertanam dalam hatinya. itulah sebabnya Berty merindukan kehadiran Jaka. Sejak Berty tidur bersama Jaka, ia selalu merasakan
keanehan dalam dirinya. Bahkan istri pengusaha kaya itu pernah bermimpi tidur dengan pemuda tampan itu.
Dalam mimpinya, Berty berjumpa Jaka yang tak ubahnya seperti seorang pangeran. Mereka berjalan-jalan di sebuah taman yang indah, penuh dengan aneka bunga yang berwarna-warni. Mereka bercumbu mesra seperti pasangan pengantin baru.
Beberapa saat kemudian, mereka berdua melakukan hubungan suami istri. Berty merasakan kepuasan yang tiada tara. Ketika ia membuka matanya, hatinya terkejut sekali melihat wajah Jaka berubah menjadi buruk dan menyeramkan sekali.
Berty ingin menjerit, tapi tak mampu dilakukannya. Tiba-tiba lidahnya berubah menjadi sangat kelu. Berty ingin memalingkan pandangannya, itu pun sia-sia dilakukannya. Seperti ada kekuatan yang menahannya, untuk tetap memandang wajah Jaka yang buruk itu.
Ketika Jaka merenggut tubuhnya dengan kasar, Berty hanya diam dan menurut. ia hanya pasrah ketika Jaka menindih
tubuhnya kembali. Berty kaget ketika melihat sebilah pisau di genggaman tangan
Jaka. Lalu, pemuda itu menggunduli rambutnya. Berty meronta dan menjerit, kemudian ia terjaga dari tidurnya.
Aneh! Mimpi seperti itu tidak hanya dialami Berty, tapi dialami juga oleh Lisa dan Mirna. Mereka sama-sama mengalami mimpi yang serupa, sebelum kemudian mereka mati sebagai tumbal.
Berty memang tidak tahu dengan semua kejadian itu. Meskipun ia sudah mengalami mimpi yang sangat aneh dan menakutkan itu, tapi tetap merindukan Jaka. Perasaan yang dialami Berty persis dengan pengalaman Lisa dan Mirna, sebelum mereka menemui ajal.
Berty yang masih diliputi rasa gelisah, dan pikirannya tertuju pada diri Jaka, tibatiba tersentak ketika pembantunya mengetuk pintu kamar.
"Ada apa, Mbok. " katanya dengan suara yang lantang.
"Ada tamu, Nyonya," sahut si Mbok dari balik pintu.
Berty mendesah. "Lelaki atau perempuan?"
"Lelaki...!" Berty tersentak. Lelaki! Ah, mungkinkah Pemuda tampan itu yang datang" Tapi.
tidak mungkin. Dia tidak tahu alamat rumahku"
"Bilang saja saya tidak ada, Mbok! " kata Berty kemudian, setelah merasa yakin yang datang bukan pemuda idamannya.
"Baik, Nyonya!" sahut si Mbok dari balik pintu, kemudian ia pun beranjak pergi.
Berty mendesah dan ingatannya kembali tertuju kepada Jaka. "Ah, di mana aku dapat menjumpai pemuda itu lagi" Bagaimana caranya?" bisik hati Berty.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Berty yakin si Mbok yang melakukannya, karena di rumah itu tidak ada orang lain selain dirinya dan si Mbok. Ia tidak mempunyai anak, dan suaminya selalu berada di luar negeri.
"Ada apa bgi, Mbok " tanya Berty dengan suara lirih.
"Tamu itu tidak mau pulang, Nyonya!" sahut si Mbok dari balik pintu. "Katanya dia membawa sesuatu untuk Nyonya, dan katanya sangat berarti untuk Nyonya."
Lagi-lagi Berty mendesah.
"Sesuatu..." Sangat berarti?" desisnya,
"Suruh dia menunggu."
"Baik, Nyonya."
Berty bangkit dan turun dari pembaringannya. Kemudian, ia melangkah keluar kamar, setelah lebih dulu menyisir rambutnya. Begitu tiba di ruang tamu. Berty sempat ternganga heran. Ia tidak mengenal sama sekali tamunya.
"Selamat siang, Nyonya!" kata tamu itu yang tak lain adalah Barly.
"Siapa anda?" tanya Berty sambil rnemandang tamunya penuh selidik.
Barly tersenyum. "Saya datang ke sini dengan maksud yang baik, Nyonya," ucap Bady masih tersenyum.
"Maksud Anda...?" Berty duduk pada satu kursi. "Saya belum mengenal Anda. Apa tidak lebih baik kalau kita berkenalan dulu. "
" "Itu tidak penting," suara Barly datar. Saya sudah tahu nama Nyonya dan suami Nyonya. Juga tentang perilaku Nyonya di
Luar rumah." "Hai! Bicara apa Anda ini"!" Berty memandang Barty dengan tajam.
"Tentang diri Nyonya Berty, " ujar Barly seraya tersenyum sinis.
"Apa yang kau tahu tentang diriku?" sungut Berty sambil menatap tajam tamu yang baru pertama kali dilihatnya.
"Banyak sekali, Nyonya. Seperti kebiasaan Nyonya yang seringkali datang ke King Discotique. Atau, tentang adegan ranjang yang terjadi.... Yahhh! Di Hotel Srikandi, kamar nomor 26!"
Dada Berty mulai terbakar mendengar penuturan tamu yang baginya sangat misterius itu. "Aneh sekali! Mengapa dia banyak tahu tentang kehidupanku?" bisik hati wanita cantik itu.
"Siapa sebenarnya Anda?"
"Itu tidak penting, Nyonya!" sahut Barly sambil tetap menyunggingkan senyum sinisnya.
"Saya tidak suka menerima tamu yang tidak saya kenal! " sungut Berty kesal. "Tenang, Nyonya?"
"Anda bisa keluar dari rumah ini dengan segera!"
Sambil berkata begitu, Berty bangkit berdiri. Tapi bersamaan dengan itu, Barly kembali membuka mulutnya.
"Tunggu, Nyonya!" ujar Barly sambil mengeluarkan kantong kertas dari balik jaketnya. "Saya punya ini untuk Nyonya."
Berty kembali duduk di kursinya sambil memandang tangan Barly yang sedang berusaha mengeluarkan isi kantong kertas itu. Begitu Berty melihat foto-foto yang tergenggam dalam tangan pemuda itu, hatinya tersentak kaget.
"Nyonya tentunya tahu siapa. yang ada di dalam foto-toto ini?" kata Barly sambi memandang wajah Berty.
Berty masih terpaku. Ia baru sadar. kalau dirinya telah masuk perangkap kaum pemeras. Dan, ia pun baru tahu, kalau pemuda yang sedang digandrunginya itu seorang gigolo. Berty mendesah, dan menelan ludahnya yang terasa getir.
"Menarik bukan?" ejek Barly, yang membuat Berty tersentak,
"Apa yang Anda inginkan?" kata Berty dengan suara parau. Matanya memandang Barly dengan sendu.
"Ini, Nyonya?" Barly tersenyum sambil menjentikkan kedua ujung jarinya. "Uang! Uang, Nyonya!"
Berty mendesah berat. "Berapa?" katanya kemudian. '
Barly tidak segera menjawab. Tangannya menimang-nimang kunci mobil Lalu, pemuda itu kembali tersenyum sinis seraya memandang Berty.
"Cukup lima juta saja!" ujar Barly datar.
"Lima juta..?" mata Berty melotot ke arah Barly.
"Yah! Lima juta. "
"Gila! Aku tidak punya uang sebanyak itu. "
"Terserah Nyonya," ujar Barly sambil memasukkan foto-foto itu ke dalam kantongnya kembali. "Tapi berpikirlah sedikit jernih. Foto-foto ini akan menyelamatkan
kehidupan Nyonya yang kaya raya ini. Nyonya tentunya tidak ingin suami Nyonya tahu atau melihat foto-foto ini, bukan?"
Barly berhenti bertutur. Ditatapnya wajah Berty yang tampak mulai pucat. Berty memang takut kalau suaminya tahu kelakuannya. Barly tentu tidak main-main dengan ancamannya.
Dada Berty makin terasa panas. Ingatannya pada pemuda misterius yang telah tidur bersamanya. Pemuda itu memang sangat menarik hatinya, sampi-sampai ia lupa' daratan. la menyesal mengapa peristiwa itu bisa terjadi. Kalau saja malam itu ia tidak peduli dengan pemuda itu,
mungkin keadaannya tidak serunyam ini, bisik hatinya.
"Bagaimana, Nyonya?" ucap Barly. "Tentu Nyonya lebih sayang dengan suami dan harga diri Nyonya, daripada uang sebanyak lima juta."
Hati Berty sangat sakit sekali mendengar ucapan Barty. Tak henti-hentinya ia menyumpah dalam hati. Sial! Bangsat! Dasar pemeras!
"Saya akan bayar dengan check!" kata Berty kemudian, seraya bangkit dan beranjak meninggalkan tamunya.
' "Maaf, Nyonya!" sahut Barly. "Saya butuh uang kontan."
Berty menghentikan langkah dan menarik napas. Hatinya semakin dongkol, tapi ia tidak mau perbuatannya diketahui suaminva.Berty segera beranjak ke dalam.
Beberapa saat kemudian, ia kembali dengan membawa segepok uang.
"Saya harap, Nyonya lebih berhati-hati kalau bermain di luar!" kata Barly setelah menerima uang tebusan dan menyerahkan foto-foto itu kepada Berty.
"Cepat Anda keluar dari rumah ini! " sungut Berty.
Barly hanya tersenyum sinis, kemudian melangkah meninggalkan rumah itu. Berty memandang kepergian Barly dengan sorot mata yang nanar. la benar-benar menelan sebuah kegetiran.
*** 5 Mata Jaka memandang lurus ke depan. Hampa! Sehampa hatinya. Sudah tiga hari ia tidak mendapatkan mayat perawan yang mampu membangkitkan kharisma indera keenamnya. Selama itu pula, ia terbelenggu di dalam rumah pondokannya. Dirinya tak lebih dari seorang penunggu kubur berwajah buruk dan menyeramkan!
Angin bertiup lembut di sekitar tempat pemakaman umum itu, membuat hati Jaka kian terasa pedih. Ingatannya tertuju pada kampung halamannya yang sudah lama ditinggalkan. Masih terbayang peristiwa yang menyeret hidupnya seperti yang dialaminya sekarang
"Jaka! Lebih baik kau tidak usah pergi ke mana-mana. Biarlah pesta perkawinan itu berlangsung. Masih banyak gadis-gadis cantik di desa ini. Lupakanlah Sariti!" ujar ibu Jaka ketika itu, sambil membelai rambut
anaknya. "Tidak, Mak...!" sahut Jaka dengan hati
perih. "Saya ingin melihat Sariti untuk yang terakhir. Saya ingin melihat pengkhianatan gadis itu, Mak!"
Ibu Jaka benar-benar merasa iba melihat keadaan anaknya. Ia tahu, betapa besarnya cinta Jaka kepada Santi. Mereka sama-sama sudah berjanji untuk saling setia.
Tetapi kenyataannya, Sariti mengingkari janji-janjinya. la tergoda pada harta dan kedudukan. Lalu, diterimanya lamaran Surya. putra kepala desa yang kaya raya itu. Hati Jaka perih sekali!
"Saya ingin melihat pesta itu, Mak. Arak-arakannya hampir sampai di batas desa...!"
"Jaka," panggil ibu Jaka dengan suara
lirih. "Lebih baik kau diam di rumah. Hatimu pasti akan merasa sakit, kalau kau melihat pesta itu. "
"iyalah, Mak! " Jaka memberengut. Tapi, hatinya membenarkan apa yang diucapkan ibunya.
Jaka mendesah, ingatannya tertuju kepada Sariti, gadis desa yang benar-benar dicintainya setulus hati. Ah, betapa indahnya saat bersama Santi. Ketika di pematang sawah, di ladang, dan di sungai. Ah, semua itu memang telah berlalu. Jaka harus kalah, karena keluarganya miskin. "Tapi apakah cinta itu memang harus diukur dari nilai materi atau kekayaan...?" Jaka bertanya dalam hati.
Hati Jaka waktu itu terasa perih seperti diiris sembilu. Lalu, ia bangkit meninggalkan ibunya.
"Mau ke mana kau, Jaka?" tanya ibu Jaka dengan suara yang lirih, tapi cukup untuk menghentikan langkah Jaka .
"Saya akan ke ladang dulu, Mak," Jaka berpaling dan memandang ibunya dengan sinar mata sendu. "Saya ingin menghibur hati saya, Mak. "
Jaka kembali melanjutkan langkahnya. Sementara ibunya hanya memandang dengan hati pilu. Belum sempat Jaka mencapai pintu rumahnya, telinganya mendengar suara gaduh dari luar. Suara gerombolan orang-orang yang menuju rumahnya. Jaka berhenti melangkah.
"Ada apa orang-orang itu, Mak?" tanya Jaka seraya memandang ibunya dengan tatapan sendu. Hatinya mulai merasa waswas
Ibu Jaka hanya diam. Sementara di luar rumah, langkah kaki orang-orang itu sudah mendekati rumahnya. Hati Jaka dan ibunya diliputi rasa was-was. Takut ada hal-hal yang tidak diinginkan bakal terjadi.
"Buka! Buka pintunya"!" suara teriakan itu berbaur dengan suara gedoran pintu yang menghentak-hentak. Gaduh!
Jaka memandang wajah ibunya yang tampak pucat pasi. Ah, kasihan sekali! Wanita tua itu tampak sangat ketakutan. Tubuhnya tampak menggigil seperti orang kedinginan.
"Apa yang kau lakukan terhadap mereka, Jaka?" tanya ibu Jaka dengan suara bergetar, seperti getaran pada tubuhnya.
Suara ibunya itu hampir lenyap di tengah-tengah suara gaduh orang-orang yang berada di luar rumah.
Jaka hanya diam. Hatinya makin rikuh, tak tahu mengapa orang-orang dusun itu seperti mengamuk.
"Jaka keluar kau! Kami tahu kau ada di dalam!" teriak orang-orang itu. Suara di luar semakin terdengar gaduh.
Pandangan Jaka memancarkan rasa kegelisahannya. Ia memang tidak tahu dengan kejadian sesungguhnya. Mengapa orang-orang itu mengamuk terhadap dirinya"
Jaka memang tidak tahu kalau pesta perkawinan Sariti dan Surya yang berlangsung meriah, tiba-tiba menghadapi musibah yang memalukan.
Arak-arakan pesta perkawinan Sariti dan Surya dihantam angin yang bertiup kencang Sehingga pohon-pohon bertumbangan dan beberapa penduduk menjadi
korban. Dan, kedua pasangan pengantin itu pun tewas seketika!
Peristiwa itu membuat penduduk menjadi murka dengan Jaka. Mereka mengira Jaka-lah yang mendatangkan gempa dan badai itu dengan kekuatan gaib. Mereka yakin semua itu perbuatan Jaka. Karena pemuda itu sangat mencintai Sariti. Tentu Jaka sakit hati melihat Sariti nikah dengan Surya. Lalu, ia mendatangkan bencana itu.
"Semua itu pasti perbuatan Jaka, bocah miskin itu!" teriak beberapa orang penduduk.
Mereka pun kemudian sepakat untuk menuntut balas. Maka berbondong-bondonglah para penduduk desa menuju rumah Jaka.
"Jaka, keluar kau! Atau, rumah ini kami bakar"!" teriak salah seorang penduduk dari luar. .
"Bakar! Bakar saja...!" teriak orangorang yang ikut dalam rombongan itu.
Tubuh Jaka bergetar mendengar ancaman penduduk itu. ia benar-benar tidak tahu. Dan ia merasa tidak mempunyai dosa terhadap mereka, tapi mengapa mereka
menjadi murka" Jaka semakin bimbang. Hatinya mulai disergap perasaan takut. Ibunya pun mengalami perasaan serupa. Perempuan tua itu tetap saja duduk di balai-balai bambu yang beralaskan tikar lusuh.
Di luar, hari sudah petang. Penduduk mulai menyalakan obor. Napas mereka mendengus-dengus menahan amarah. Tetapi Jaka belum juga keluar dari dalam rumahnya. Dan mereka pun semakin marah.
"Jakaaa...! Keluar kau...!" teriak penduduk, dalam keremangan cahaya obor.
Beberapa orang di antara para penduduk itu melemparkan obor ke atas atap rumah Jaka, yang terbuat dari daun rumbia. Api pun mulai berkobar-kohar. Cahayanya menyala-nyala membuat suasana di sekitar rumah itu terang-benderang.
Jaka yang masih berada di dalam rumahnya, benar-benar panik menghadapi keadaan itu. la tidak menduga kalau orang orang desanya benar-benar membakar rumahnya. Jaka berlari mendapatkan ibunya yang sedang panik. Ia ingin membawa ibunya ke luar, tapi sekeliling rumahnya terkepung oleh kobaran api.
"Maaak..!" panggil Jaka dengan panik. la berlari ke sana kemari sambil menarik lengan ibunya.
Nyala api semakin berkobar-kohar, membakar dinding dan atap rumah. Jaka sudah pasrah dengan nasibnya. Bahkan ketika ia melihat pakaian ibunya mulai dijilati api, ia hanya menitikkan air mata. Dan ketika tubuhnya pun dijilati api, Jaka hanya bisa menjerit-jerit.
Tetapi tidak ada seorang penduduk pun
yang peduli dengan jeritan Jaka dan ibunya. Para penduduk yang mengamuk itu
hanya saling pandang. Bahkan ada di antara mereka yang tertawa terkekeh-kekeh, seperti merasa puas dengan penderitaan Jaka dan ibunya.
Kobaran lidah api masih terus menyala. Dan, para penduduk masih berkerumun di sana, tiba-tiba terlihat sesuatu yang sangat mengejutkan. Selarik sinar merah meluncur
menembus kobaran api! Para penduduk tampak saling pandang satu sama lain. Hati mereka kecut melihat keajaiban itu. Apalagi ketika mereka melihat sinar merah itu kembali melesat ke udara dengan membawa tubuh Jaka yang terbakar. Mereka ternganga.
Tak lama kemudian, hujan turun sangat lebat disertai hembusan angin yang kencang, Para penduduk panik, dan segera berlarian menuju rumahnya masing masing. Mereka memang tidak tahu dengan
sinar merah yang telah membawa tubuh Jaka.
*** Jaka menyeka air matanya yang jatuh menitik tanpa disadarinya. Benar-benar terasa perih hatinya. Karena ia dan ibunya telah menjadi korban kesalahpahaman.
Sesungguhnya pemuda itu telah mati. bila ia tidak dititiskan kharisma indera keenam yang berupa sinar kehidupan oleh sosok warna merah itu.
64 "untuk apa kau memberiku sinar kehidupan. Kek!" kata Jaka ketika itu.
"Kematianmu masih terlalu dini, Jaka!" sahut si Kakek yang menjelma menjadi seberkas sinar merah itu. "Karena itulah aku menitiskan sinar kehidupan kepadamu. "
"Bagiku lebih baik mati, Kek, " ujar Jaka dengan suara parau. "Aku tidak ingin hidup dalam keadaan seperti sekarang ini. "
"Tidak!" hardik si Kakek. "Aku ingin melihatmu tetap hidup. Kau telah menjadi korban dendamku. Akulah yang membuat bencana pesta pernikahan Sariti dan Surya itu. "
Jaka terkejut. Ia tidak tahu dengan kejadian yang sesungguhnya. Apalagi bencana pada pesta pernikahan itu, juga tentang kakek yang misterius ini.
Kakak itu sebenarnya mempunyai dendam terhadap ayah Surya yang menjadi kepala desa di kampung itu. Karena ia kalah dan dicurangi dalam pemilihan kepala desa. Maka, ia dendam dengan merusak
suasana pernikahan putranya melalui kekuatan ilmu hitamnya.
Ah, betapa pedihnya hati Jaka yang harus hidup sebagai manusia berwajah buruk. Kendati si Kakek mewariskan ilmu "Pembangkit Kharisma Indera Keenam'nya, tapi Jaka menerimanya dengan hati yang pedih juga.
Jaka menyadari kalau hidupnya hancur karena kesalahpahaman akibat persoalan wanita: Sariti! Wanita itulah yang telah membuat hidup Jaka menjadi hancur. Wanita itulah 'yang menyebabkan kematian ibunya yang sangat dicintainya. Maka, Jaka pun pergi meninggalkan desanya. la mengembara. hingga tiba di Jakarta.
Dan, Jaka pun telah bersumpah dalam hatinya, akan melampiaskan dendamnya kepada setiap wanita. Ah, betapa sakitnya pengkhianatan Sariti. Karena itulah Jaka berpikir bahwa setiap wanita adalah makhluk yang patut disakiti!
*** Jaka masih duduk di depan serambi pondokannya. Dipupusnya semua kenangan masa lalu, yang membuat hatinya menjadi perih. Baru saja ia akan bangkit, dilihatnya dua orang sedang tergesa-gesa berjalan ke arahnya. Jaka mengurungkan niatnya.
"Ah...!" Jaka bergumam. "Orang-orang itu pasti akan menyuruhku menggali kuburan."
Jaka memandang orang-orang itu. ia benar-benar tidak suka dengan pekerjaannya. Apalagi menggali kuburan untuk orang yang sudah mati. Sedang upah yang harus diterimanya hanya beberapa ribu rupiah.
"Mudah-mudahan yang mati hari ini seorang perawan suci," harap Jaka dalam hati.
Mayat perawan suci! Memang itulah yang selalu diharapkan Jaka. Karena dengan itulah Jaka dapat merasakan kenikmatan hidup, dan dapat melampiaskan dendamnya kepada wanita!
Jaka tersenyum getir ketika orang-orang
' tiba di hadapannya. " "Selamat siang, Pak!" kata salah seorang yang bertubuh kurus. Tampak ia memandang ngeri pada wajah Jaka. Perasaan itu dialami juga oleh temannya.
Jaka menimpali dengan anggukan kepala. la benar-benar tidak suka dengan ucapan basa-basi itu. Karena Jaka sadar, tidak ada seorang pun yang mau memberinya ucapan seperti itu, kalau orang itu tidak membutuhkan tenaganya. Jangankan untuk menyapanya, melihat wajahnya pun mereka sudah merasa jijik.
"Saya ingin memesan kuburan, Pak!" ujar lelaki bertubuh kurus itu.
"Siapa yang meninggal" Orang dewasa atau anak-anak?" tanya Jaka.
"Anak gadis. saya...," sahut lelaki bertubuh kurus itu dengan suara parau. "Baru
dua jam yang lalu dia meninggal karena kecelakaan...."
"Oh...! Kasihan sekali!"
potong Jaka. "Jatuh dari sepeda motor. "
"Yah, sudah nasib, Pak!" kata lelaki itu, dengan suara lirih.
"Hm...!" Jaka hanya menggumam sambil mengangguk-anggukkan kepala.
"Saya akan buru-buru pulang, Pak!" kata laki-laki itu lagi. "Ini makanan dan upah untuk Bapak."
Lelaki bertubuh kurus itu menyodorkan serantang nasi dan lauknya kepada Jaka. Di dalam rantang itu, biasanya terdapat uang untuk upah lelah Jaka. Memang begitulah kebiasaan yang selalu dihadapi Jaka, bila ada orang yang menyuruhnya menggali kuburan. Dan, Jaka selalu menerima pembayaran itu dengan hati pedih.
"Terima kasih, Pak!" kata laki-laki kurus itu sebelum beranjak pergi.
Jaka menimpalinya dengan sebuah anggukan kepala. Dipandanginya kepergian kedua orang itu dengan sorot mata nanar. Hatinya terasa pedih, meskipun terselip kebahagiaan di sana. Ah, apa yang dinantikan Jaka akhirnya datang juga. Mayat
perawan suci! Hanya dengan itulah Jaka dapat merasakan nikmatnya hidUp, dan dapat melampiaskan dendamnya, walaupun hanya sekejap.
"Hhh..!" Jaka mendesah berat, tangannya meraih cangkul yang tergeletak di dekat tiang gubuknya. Kemudian kakinya melangkah, menuju hamparan tanah kuburan yang membentang di hadapannya.
*** Sejak sore hujan turun dengan deras. Seperti membasuh seluruh permukaan bumi. Kuburan yang berjejer tampak permukaannya digenangi air. Begitu juga kuburan yang baru selesai ditimbun Jaka, terlihat gundukan tanah merah itu basah.
Ah, betapa menyedihkan suasana pemakaman gadis malang itu. Hampir seluruh yang hadir tampak mengucurkan air matanya. Kematian yang mendadak, memang mudah mengundang kesedihan.
Meskipun Jaka tidak sempat melihat mayat tubuh gadis itu. Tapi, ia sudah dapat membayangkan, betapa tubuh gadis itu penuh dengan luka. Ah, Jaka mendesah. Tapi, ia tidak peduli dengan keadaan tubuh gadis itu. Karena ia hanya membutuhkan kesuciannya untuk membangkitkan kharisma indera keenamnya, yang berupa ketampanan dan daya pikat.
Jaka tersenyum sinis pada dirinya sendiri. Tiga malam lalu, ia baru saja mendapatkan mayat perawan. Seorang gadis yang cukup cantik. Jaka menyetubuhi mayat itu, menggunduli rambutnya dan kemudian membakarnya. Sekarang, ia akan mendapatkan mayat perawan lagi. Ah, Jaka mendesah sambil kembali tersenyum sinis. Hujan sudah reda. Jaka bangkit dari
atas balai-balai tempat tidurnya. Ia melangkah menghampiri cangkulnya yang tergeletak di sudut ruangan biliknya. Lalu, ia meraih cangkul itu dan menggenggamnya erat-erat. Dipandanginya benda itu dengan sorot matanya yang tampak berbinar-binar.
Tiba-tiba ingatannya tertuju kepada wanita-wanita yang telah menjadi korbannya.
Lisa dan Mirna. Mereka pasti telah tewas, bisik hatinya. Jaka kembali tersenyum sinis ketika teringat dengan Berty.
"Kasihan wanita itu...," kata Jaka dalam kesendirian. "Sebentar lagi dia pun akan tewas secara mengerikan, seperti korban korbanku yang lain. "
Jaka menggenggam gagang cangkulnya lebih erat lagi. Lalu, ia kembali tersenyum sinis seraya melangkah mendekati pintu. Ketika pintu ia terkuak, ia berdiri sejenak.
Malam benar-benar gelap dan sangat pekat. Tak ada satu bintang pun yang menampakkan diri, apalagi sang dewi malam. Meneka seperti tidak ingin menyaksikan perbuatan Jaka malam ini. Perbuatan yang sangat biadab!
Kaki Jaka mulai melangkah menuju kuburan gadis yang meninggal akibat kecelakaan lalu lintas. Pemuda itu tidak peduli dengan hawa dingin yang menusuk tulang sumsumnya. Kakinya terus melangkah dan menembus kegelapan malam.
*** 6 Wajah Jaka masih menari-nari di pelupuk mata Berty, yang baru saja terjaga dari tidurnya. Karena tadi ia bermimpi bermesraan dengan Jaka, tapi berakhir dengan suasana hati yang menakutkan dan mengerikan.
Ketika Berty terbangun, ia segera meraba rambutnya yang panjang. Perempuan cantik ini khawatir kalau mimpinya benar benar menjadi kenyataan. Betapa sangat mengerikan sekali kalau kepalanya benarbenar gundul!
"Aneh sekali! Mengapa mimpi itu selalu saja hadir" Dan mengapa selalu sama keiadiannya. " kata Berty seraya mengernyitkan keningnya.
Tak henti-hentinya Berty memikirkan mimpi itu. Meskipun ia merasa sangat takut tapi ia tetap merindukan kehadiran Jaka. Ia tidak peduli siapa pemuda itu sesungguhnya, meskipun ia tahu kalau Jaka hanyalah seorang gigolo.
Aneh memang! Tapi memang begitulah kenyataan yang sesungguhnya. Sukma milik Berty sudah benar-benar terjerat oleh kharisma indera keenam milik Jaka. Dan Berty tidak dapat melepaskannya lagi.
Berty bangkit dan turun dari pembaringannya. ia berjalan keluar kamar, bermaksud ingin menonton siaran televisi. "SiMbok yang senang nonton televisi, pasti ada di ruang tengah," bisik hati Berty sambil melangkah.
"Acaranya bagus, Mbok?" tanya Berty setelah tiba di ruang tengah dan melihat si Mbok yang tengah asyik menonton.
"Eee", Nyonya!" si Mbok terkejut "Saya sampai kaget! Bagus, Nyonya. Film
cerita akhir pekan. "
"Film cerita akhir pekan...?" ulang Berty, seperti tidak percaya.
"iya, Nyonya. Kenapa?" si Mbok menatap wajah majikannya dengan tajam.
"Oh, ti..., tidak!" sahut Berty dengan suara gugup "Tidak apa-apa, Mbok. "
Berty segera menghenyakkan pantatnya di atas sofa. Sementara si Mbok tetap dUdUk di atas permadani. Berty mulai merasa heran kepada dirinya sendiri. Baru saja tiga hari ia tidak berjumpa dengan pemuda itu, tapi ia benar-benar menjadi linglung. Ia tidak tahu kalau sekarang malam Minggu. Aneh sekali!
Seperti juga halnya Berty, si Mbok merasa heran melihat perubahan sikap majikannya. Sudah empat malam majikannya tidak pernah keluar. Padahal, kalau suaminya tidak ada di rumah seperti sekarang ini, nyonyanya selalu pergi keluyuran. Tapi sekarang tidak. Aneh!
. . saya tiga _hari ia tidak berjumpa dengan pemuda "'", tapi ia benar-benar menjadi ll"Saung. Ia tidak tahu kalau sekarang malam Minggu. Aneh sekali!
"Mbok, tolong buatkan saya kopi!" kata Berty dengan suara datar.
"Baik, Nyonya," ujar si Mbok segera beranjak pergi untuk memenuhi permintaan majikannya. _
Sekilas mata Berty mengikuti kepergian pembantunya menuju dapur._ Setelah itu pandangannya kembali ke layar
televisi, meskipun sebenarnya ia tidak suka melihat acara televisi, tapi terpaksa ditonton juga. Karena ia ingin mengusir rasa gelisah dalam hatinya.
Suara langkah kaki si Mbok, membuat Berty harus berpaling dari layar televisi.
'Tidak terlalu manis kan, Mbok?" tanya Berty ketika si Mbok akan meletakkan kopi yang dipesannya di atas meja.
"Tidak, Nyonya!" sahut si Mbok tanpa berpaling memandang majikannya.
"Mbok kok tidak buat?" kata Berty lagi
"Tidak, Nyonya! Saya lagi pantang. "
Si Mbok duduk kembali di tempatnya semula, lalu melirik ke arah Berty sekilas.
"Sekarang saya sedang pantang minum kopi, Nyonya. Di samping itu, saya suka sulit tidur kalau habis minum kopi. Tapi, saya heran sama Mbok Sum, pembantu tetangga sebelah itu. Dia malah senang minum kopi. Padahal, umurnya sudah lebih tua dari saya, Nyonya. "
Berty tidak menimpali cerita pembantunya. Karena ia merasakan sesuatu yang
aneh dengan tubuhnya. Dadanya mulai terasa hangat, seperti juga seluruh tubuhnya. "Mbok...!" coba nyalakan AC-nya! Kok panas sekali sih."
"Panas...?" si Mbok memandang majikannya yang tampak gelisah. "Saya justru merasa kedinginan, Nyonya. "
"Cepat, Mbok. Nyalakan AC-nya!"
Si Mbok segera bangkit dari tempat duduknya, dan bergegas melangkah mendekati tombol AC yang terletak pada dinding dekat sudut ruangan tengah. Meskipun hatinya merasa heran, si Mbok segera menekan tombol AC di ruangan itu.
"Aneh sekali! Ada apa dengan Nyonya! Mengapa udara begini dingin dibilang panas" Ah, ada-ada saja!" kata si Mbok dalam hati. Ia kembali melangkah ke tempat duduknya semula.
Berty semakin panik, suhu tubuhnya semakin meninggi. Ia tidak sadar dengan keadaan dirinya, kalau nyawanya sudah berada di ambang maut.
Wajah dan seluruh kulit tubuh Berty tampak bersemu merah. Seperti terbakar Napasnya mendesah-desah tidak teratur persis seperti orang yang baru saja selesai berlari jauh.
"Ada apa, Nyonya?" si Mbok mulai ikut panik melihat keadaan majikannya.
"Panaaas...!" suara Berty bergetar. "Aduuuh..., panas sekali tubuhku, Mboook...!"
Tangan Berty tampak sudah memegang majalah, dan mengipas-ngipaskannya. Hawa_ panas benar-benar membakar tubuhnya. Berty terpaksa melorotkan pakaian tidurnya, hingga sebatas pinggang.
"Nyonya! Ada apa?" si Mbok makin panik, ia sudah tidak peduli lagi pada siaran televisi. Si Mbok bangkit, lalu berlari memburu majikannya
"Kenapa, Nyonya" Kenapa...?" pekik si Mbok sambil memegang bahu majikannya, dan mengguncang-guncangkannya. Ia merasakan betapa panasnya tubuh Berty.
"Aduuuh...!" rintih Berty memelas. tangannya memegang lengan si Mbok yang masih memegang bahunya. "Panas sekali..., panas sekali, Mboook...!"
Si Mbok benar-benar iba melihat keadaan majikannya. Tapi, ia benar-benar bingung, tak tahu apa yang harus dilakukan. Si Mbok mulai menitikkan air mata.
"Nyonya?" suara si Mbok sudah berbaur dengan suara tangis. "Apa yang dapat saya perbuat, Nyonya" Apa yang harus saya lakukan?"
"Panggil Dokter Herman, Mbok. Cepat!" perintah Berty dengan suara masih bergetar.
Si Mbok bergegas menuju pesawat telepon. Begitu tiba di sana, sgera diputarnya nomor telepon Dokter Herman, yang merupakan dokter pribadi majikannya. Dan, si Mbok sudah hafal nomor teleponnya.
Sementara itu, Berty semakin kepayahan. Tubuhnya semakin memanas, kulitnya makin memerah. Dan, pada bagian
atas pangkal lengannya, sudah ada bagian yang menggelembung seperti benjolan bisul.
"Oh! Apa ini"! Mengapa..."!" desis Ber" ty yang merasa heran sambil memandang nanar pada pangkal lengannya.
Benjolan pada lengan Berty makin bertambah banyak, dan suhu tubuhnya kian bertambah panas. Berty tak dapat lagi menguasai keadaan, ia mulai berlari ke sana kemari sambil menjerit-jerit. Suara jeritannya sampai menggema di dalam ruangan, sehingga ruangan itu terdengar gaduh.
Si Mbok yang sudah selesai menelepon Dokter Herman ikut pula menjerit-jerit. la benar-benar takut melihat keadaan majikannya, yang sudah seperti orang gila Menjerit-Jerit dan berlari di ruangan tengah itu.
Berty sudah tidak peduli lagi dengan keadaan dirinya. Ia tak ambil pusing dengan keadaan tubuhnya yang hampir tidak bergaun lagi. Seluruh tubuhnya sudah dipenuhi oleh benjolan-benjolan. Mata Berty memandang nanar, meneliti seluruh tubuh'
nya yang penuh dengan benjolan.
Berty meraba wajahnya. Dan, oh! Wajah itu pun sudah penuh dengan benjolan benjolan!
"Tidak! Tidaaak...!" suara jeritan Berty bergetar.
Si Mbok yang masih berdiri di sudut ruangan, benar-benar ngeri melihat keadaan tubuh majikannya. Tubuh Berty yang sintal dan mulus itu kini tak terlihat lagi sebagai tubuh manusia. Begitupun dengan wajahnya, yang semula cantik dan mulus, kini tak ubahnya seperti kulit seekor kodok buduk. Penuh dengan benjolan-benjolan. Mengerikan!
Ketika benjolan-benjolan itu mulai pecah, dan memancurkan darah segar, si Mbok menjerit dan menggigit-gigit ujung
jarinya. "Aaa...!" jerit Berty memilukan. Walaupun beberapa saat kemudian, suara jeritan itu berubah menjadi rintihan-rintihan yang kedengarannya pedih.


Rahasia Penunggu Kubur Karya Maria Oktaviani di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berty benar-benar merasakan sakit yang teramat sangat pada seluruh tubuhnya. Benjolan benjolan pada tubuhnya semakin banyak yang pecah dan memancurkan darah segar. Tapi Berty tidak dapat berbuat apa-apa, ia hanya berguling-guling di atas lantai sambil terus merintih-rintih.
Kisah Sepasang Bayangan Dewa 7 Your Eyes Karya Jaisii Q Pemburu Nyawa 2

Cari Blog Ini